POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1) Dalam Ilmu Syari’ah Oleh : ANIFATUL KIFTIYAH NIM 072111055 PROGRAM STUDI KONSENTRASI ILMU FALAK JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG SEMARANG 2011
112
Embed
POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM …library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/102/jtptiain... · 2013-01-16 · Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM
DALAM PELAKSANAAN IBADAH
DI KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Dan Melengkapi Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Program Strata 1 (S.1)
Dalam Ilmu Syari’ah
Oleh :
ANIFATUL KIFTIYAH NIM 072111055
PROGRAM STUDI KONSENTRASI ILMU FALAK
JURUSAN AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
SEMARANG 2011
ii
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
Jl. Tugurejo No. A2 Rt 02/Rw 01 Tugurejo
Tugu Semarang
Drs. Slamet Hambali, M.Si
Jl. Candi Permata II / 180 Semarang
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Lamp : 4 (empat) eks
Hal : Naskah Skripsi
An. Sdri. Anifatul Kiftiyah
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
Setelah saya mengoreksi dan mengadakan perbaikan seperlunya, bersama
ini saya kirim naskah skripsi saudara :
Nama : Anifatul Kiftiyah
NIM : 072111055
Judul Skripsi : Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam
Pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat
Dengan ini saya mohon kiranya skripsi saudara tersebut dapat segera
dimunaqosyahkan.
Demikian harap menjadikan maklum.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Semarang, 10 Mei 2011
Pembimbing I
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
NIP. 19650605 199203 1003
Pembimbing II
Drs. H. Slamet Hambali, M.Si
NIP. 19540805 198003 1 004
iii
PENGESAHAN
Nama : Anifatul Kiftiyah
N I M : 072111055
Fakultas/Jurusan : Syari’ah / Ahwal Syakhsiyah Konsentrasi Ilmu Falak
Judul : Posisi Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan Ibadah
di Keraton Ngayogyakarta hadiningrat
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Syari’ah Institut Agama
Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal :
20 Juni 2011
dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan
studi Program Sarjana Strata 1 (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh
gelar Sarjana dalam Ilmu Syari’ah.
Semarang, 20 Juni 2011
Dewan Penguji,
Ketua Sidang,
Moh.Khasan, M. Ag
NIP. 19741212 200312 1004
Sekretaris Sidang,
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
NIP. 19650605 199203 1003
Penguji I,
Dr. Ali Imron, M. Ag
NIP. 19730730 200312 1003
Penguji II,
H, Ahmad Izzuddin, M. Ag
NIP. 19720512 199903 1003
Pembimbing I,
Drs. H. Eman Sulaeman, MH
NIP. 19650605 199203 1003
Pembimbing II,
Drs. H. Slamet Hambali, M.Si
NIP. 19540805 198003 1002
iv
Motto
Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu
Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu
terang,
agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu
mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala
sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas.
(Q.S. al-Isra: 12)
Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikitpun atas orang-orang
yang bertaqwa terhadap dosa mereka, akan tetapi kewajiban
mereka telah mengingatkan mereka agar mereka bertaqwa.
)Q.S al-An’am: 69)
v
PERSEMBAHAN
Saya persembahkan untuk:
Bapak dan ibu tersayang
(Mastur dan Suparti), yang dengan sabar dan ikhlas mendidik anknya sampai
saat ini dan seterusnya, yang selalu mengingatkan untuk memberi yang terbaik
dengan cara yang terbaik pula.
Adik-adik ku tersayang (Muhammad Habib Firmansyah dan Ahyi Hidayatullah
Kavi).
Serta guru-guru tercinta semoga ilmu yang diberikan menjadi barokah dan
senantiasa bermanfaat di dunia dan akhirat.
Serta untuk oarang-orang tersayang (keluarga serta sahabat-sahabat yang
selalu ada) yang turut serta mendoakan untuk menjadi lebih baik.
vi
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab,
penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak
berisi materi yang pernah ditulis oleh orang
lain atau diterbitkan, demikian juga skripsi ini
tidak berisi pikiran orang lain kecuali referensi
dan informasi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 12 Juni 2011
Deklarator
Anifatul Kiftiyah
NIM:72111055
vii
ABSTRAK
Sebagian besar masyarakat Indonesia tidak mengenal adanya Penanggalan
Jawa Islam. Hanya beberapa kelompok masyarakat Jawa saja yang masih
menggunakan penanggalan Jawa Islam. Dari beberapa kelompok tersebut banyak
yang masih menggunakan sistem hisab Aboge. Akan tetapi Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat sudah menggunakan sistem Asapon. Hal menarik
bagi penulis yang akan penulis teliti adalah tentang posisi penggunaan
Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dalam hal yang
berkaitan dengan penentuan ibadah. Sebagaimana yang kita tahu masalah yang
berkaitan dengan penentuan waktu-waktu untuk pelaksanaan ibadah merupakan
masalah yang sangatlah krusial.
Dalam penelitian ini, persoalan yang dibahas adalah: 1. Bagaimanakah
sistem penanggalan Jawa Islam yang di pakai oleh Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat?, 2. Bagaimana posisi penggunaan penanggalan Jawa Islam dalam
pelaksanaan Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka dibutuhkan
metode penelitian yang bersifat lapangan (Field Research) dengan pendekatan
ilmu falak. Data primer berupa hasil wawancara kepada ahli hisab Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Data sekunder diperoleh dari dokumentasi, berupa
catatan atau tulisan. Analisis dilakukan bersamaan dengan penyajian data
berdasarkan pendekatan penelitian, dengan metode analisis deskriptif. Tujuan dari
analisis deskriptif sendiri untuk memberikan deskripsi mengenai subjek yang
diteliti dan tidak dimaksudkan untuk pengujian hipotesis. Analisis ini digunakan
untuk mengetahui Penggunaan Sistem Penanggalan Jawa Islam dalam
Pelaksanaan Ibadah di Keraton Hadiningrat Ngayogyakarta.
Temuan dari hasil skripsi ini adalah pertama, dalam perhitungan
penanggalan Jawa Islam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih
menggunakan cara perhitungan manual dengan rumus sederhana (sistem
aritmatik). Sehingga untuk menentukan tanggal, bulan, dan tahun pihak hisab
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat harus mengetahui urutan penanggalan
sebelumnya. Kedua, terjadi pergeseran penggunaan penanggalan Jawa Islam
antara sebelum kemerdekaan RI dengan setelah kemerdekaan RI. Saat ini
penggunaan penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dalam hal penetapan waktu ibadah lebih mengikuti ketetapan pemerintah, akan
tetapi dalam penetapan upacara adat istiadat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
masih tetap menggunakan penanggalan Jawa Islam sebagai acuan.
Kata kunci : Penanggalan, Jawa Islam, Keraton Ngayogyakarta.
viii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah serta ‘inayahnya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul: Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa
Islam Dalam Pelaksanaan Ibadah Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Shalawat serta salam senantiasa penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad
SAW beserta keluarganya, sahabat-sahabatnya dan para pengikutnya yang telah
membawa kita dari zaman kegelapan menuju zaman yang terang benderang
seperti sekarang ini.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini bukanlah hasil jerih
payah penulis secara pribadi. Tetapi semua itu merupakan wujud akumulasi dari
usaha dan bantuan, pertolongan serta do’a dari berbagai pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi tersebut. Oleh karena itu, penulis
sampaikan banyak terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Kedua orang tua penulis beserta segenap keluarga, atas segala do’a, perhatian,
pengorbanan, nasehat dan curahan kasih sayangnya yang tidak dapat penulis
ungkapkan dalam untaian kata-kata.
2. PD. Pontren Kementrian Agama RI, yang telah memberi kesempatan
mendapat Beasiswa Santri berprestrasi.
3. DR. Imam Yahya, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Semarang dan Muhyiddin, M.Ag (Dekan sebelumnya).
ix
4. Drs. H. Eman Sulaeman, MH., selaku kepala Prodi Konsentrasi Ilmu Falak
(KIF) yang pertama, beserta staf-staf-nya, yang telah bersusah payah
memberikan arahan dan bimbingan sepenuhnya kepada penulis dan teman-
teman KIF lainnya mulai dari pertama kita belajar di Semarang sampai saat
ini. Arja’ Imroni, M.Ag, selaku ketua prodi Konsentrasi Ilmu Falak yang ke
dua, yang turut serta membimbing kami saat ini dengan penuh kesabaran.
5. KH. Sirodj Chudlori, dan H. Ahmad Izzuddin, M.Ag, selaku Kyai, serta
pembimbing penulis selama di Semarang, serta keluarga besar PP. Daarun
Naajah.
6. Eman Sulaeman, M.H., selaku pembimbing I dan dosen wali, serta Drs.
Slamet Hambali, M.Si, selaku pembimbing II dalam penulisan skripsi ini,
yang telah memberikan masukan sehingga dapat menyelesaikan tulisan ini.
7. Para abdi dalem Keraton Hadiningrat Ngayogyakarta khususnya bapak KRT.
Rintaiswara yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data serta
informasi yang diperlukan dalam penulisan skripsi.
8. Keluarga besar Amanatul Ummah yang telah mendidik selama 6 tahun dalam
menimba ilmu.
9. Sayful Mujab dan Tedi Kholiludin atas segala bantuan dan pengarahannya.
10. Mamas, thank’s for everything (yang tidak bisa disebutin satu persatu).
11. Buat temen-temen Genk-Star tersayang (Cepot, Yuyun, Bekong, Ipeh, Yoyo’,
penanggalan Jawa3. Penanggalan Masehi biasanya banyak digunakan
masyarakat pada umumnya. Sedangkan penanggalan Hijriyah biasanya
digunakan oleh umat Islam untuk menentukan waktu-waktu ibadah.
Sedangkan penanggalan Jawa hanya digunakan oleh masyarakat Jawa tertentu.
Satu tahun Masehi (masa perjalanan semu Matahari dari titik aries4
hingga kembali ke titik aries lagi) adalah 365,25 hari. Untuk mengatasi angka
pecahan 0,25 hari maka dibuatlah tahun pendek yang disebut dengan tahun
basitoh, dan tahun panjang yang disebut kabisat. Tahun pendek umurnya 365
hari, sedangkan umur tahun panjang 366 hari. Urutan 1, 2, 3, adalah tahun
pendek (basitoh), sedangkan urutan 4 adalah tahun panjang (kabisat)5.
Sedangkan satu tahun Hijriyah rata-rata adalah 354 11/30 hari. Tahun
pendek berumur 354 hari, dan tahun panjang berumur 355 hari. Dalam setiap
30 tahun terdiri dari 11 tahun panjang dan 19 tahun pendek. Tahun-tahun
1 Dinamakan tahun syamsiyah karena perhitungannya dihitung menurut lamanya Bumi
mengeliningi Matahari dalam satu kali putaran. Tahun ini dinamakan juga tahun miladiyah. Zul
Efendi, Ilmu Falak, Bukit Tinggi: STAIN Bukit Tinggi, 2002, hlm. 67. Dalam bukunya Susiknan
Azhari, tahun ini disebut juga tahun tropis, yaitu periode revolusi Bumi lamanya 365 hari 5 jam 48
menit 46 detik. Susiknan Azhari, Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern,
Yogyakarta: Suara Muhamadiyah, 2007, cet. 2 hlm. 17 2 Dinamakan tahun Kamariah karena perhitungannya berdasarkan gerak Bulan
mengelilingi Bumi selama 29 hari 12 jam 44 menit dan 03 detik atau masanya satu bulan
Kamariah. ibid., hlm.75-76 3 Tahun Jawa di sebut juga tahun Aji Saka, sebab permulaan perhitungannya di mulai
seorang raja dari keturunan Aji Saka, pada tahun 78 M. Slamet Hambali, Almanak Sepanjang
Masa,Semarang: IAIN Walisongo, 2009, hlm. 7 4 Dua buah titik perpotongan ekliptika dan equator sekitar tanggal 21 maret. P. Simamora
, Ilmu Falak (KOSMOGRAFI), Jakarta: CV. Pedjuang Bangsa, 1985, hlm. 13. 5 Abd. Salam Nawawi, Ilmu Falak Cara Praktis Menghitung Waktu Shalat Arah Kiblat
Dan Awal Bulan, Sidoarjo: Aqaba, 2009, cet. 4, hlm. 49
3
panjang (kabisat) ada pada urutan tahun ke 2, 5, 7, 10, 13, 16, 18, 21, 24, 26,
dan 29.6
Dalam satu tahun terdapat 12 bulan baik tahun Syamsiyah, Kamariah
maupun tahun Jawa, sebagaimana Firman Allah swt:
Artinya : "Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas
bulan, dalam ketetapan Allah di waktu menciptakan langit dan bumi,
diantaranya terdapat empat bulan haram …". ( al Taubah 36)7
Untuk bulan pada tahun Syamsiyah, jumlah harinya sudah dapat
diketahui secara pasti yaitu 30 atau 31 hari setiap bulannya kecuali untuk
bulan Februari jumlah harinya adalah 28 hari untuk tahun basitoh dan 29 hari
untuk tahun kabisat. Sedangkan untuk tahun Kamariah jumlah hari dalam tiap
bulannya sama dengan satu synodic8 sehingga selama satu tahun jumlah hari
dalam satu bulan akan bergantian antara 29 atau 30 hari, sehingga
penentuannya memerlukan perhitungan yang jelas.
Secara fiqh terdapat dua metode dalam penentuan awal bulan
Kamariah yakni dengan cara hisab dan rukyah, akan tetapi di negara Indonesia
2 Ijtima’ juga disebut Iqtiran, yaitu antar Bumi dan Bulan berada pada bujur astronomi,
(Dawairu al-Buruj) yang sama, dalam istilah astronomi disebut konjungsi, para ahli hisab
dijadikan pedoman untuk menentukan Bulan baru (Kamariah), Badan Hisab Rukyah Depag RI,
Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm.
219.
21
(fase) Bulan3. Hal ini berbeda dari penanggalan Syamsiyah yang
menekankan pada konsistensi terhadap perubahan musim, tanpa
memperhatikan tanda perubahan hariannya.4
Untuk itu dalam penentuan waktu-waktu ibadah ini, khususnya
dalam penentuan awal bulan Kamariah dibagi menjadi 2 kelompok:
1) Metode Hisab
Dalam bahasa Inggris kata hisab disebut Arithmatic yaitu ilmu
pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan.5
Kata ’hisab’ secara istilah adalah perhitungan benda-benda langit
untuk mengetahui kedudukan suatu benda yang diinginkan. Dalam
penggunaannya dikhususkan pada hisab waktu atau hisab awal bulan
Kamariah, yang dimaksud adalah untuk menentukan kedudukan
Matahari atau Bulan. Sehingga, kedudukan Matahari dan Bulan
tersebut dapat diketahui pada saat-saat tertentu, seperti pada saat
terbenamnya Matahari.6
Kata Hisab dalam al-Qur’an yang mempunyai arti ilmu hisab
terdapat dalam surat Yunus ayat 5, yang berbunyi :
3 Sayful Mujab, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab
Ittifaq Dzatil Bain, Skripsi Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang, 2007, hlm. 2. 4 Untuk jumlah hari Masehi Basitoh / Kabisat = Januari (31), Februari (59/60), Maret
(90/91), April (120/121), Mei (151/152), Juni (181/182), Juli (212/213), Agustus (243/244),
September (273/274), Oktober (304/305), Nopember (334/335), Desember (365/366) lihat: Sayful
Mujab, op.cit., hlm. 2 5 Badan Hisab Rukyah Depag RI, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta: Proyek Pembinaan
Badan Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 14. 6 Maskufa, Ilmu Falak, Jakarta: GP Press, 2009, hlm. 148.
22
Artinya :“ Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan
bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-
tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu)”(Q.S Yunus: 5).7
2) Metode rukyah
Kegiatan merukyat merupakan komponen yang sangat penting
pula dalam perhitungan awal bulan. Hal ini dikarenakan kegiatan
merukyah merupakan konsep syari’ yang diajarkan Nabi Muhammad
kepada umatnya. Kegiatan ini pula merupakan observasi praktis
berupa pengamatan untuk terciptanya hasil yang ingin dicapai dalam
kegiatan perhitungan awal bulan Hijriyah atau Kamariah. Kegiatan ini
pula bisa dijadikan kegiatan untuk mengoreksi perhitungan atau hisab
yang dipakai8.
Istilah rukyah dilihat dari metodenya berati melihat atau
mengamati al-hilal dengan mata ataupun dengan alat bantu seperti
teleskop pada saat Matahari terbenam menjelang bulan baru
Kamariah.9 Apabila al-hilal berhasil di lihat maka malam itu dan
keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal satu untuk bulan baru.
Sedangkan apabila al-hilal tidak berhasil dilihat karena gangguan
7 Ibid, hlm. 306.
8 Sayful Mujab, Studi Analisis Pemikiran KH. Moh. Zubair Abdul Karim Dalam Kitab
Ittifaq Dzatil Bain, op. cit., hlm.9-10. 9 Abd. Salam Nawawi, Algoritma Hisab Ephimeris, Semarang: Pendidikan dan Pelatihan
Nasional Pelaksanaan Rukyah Nahdotul Ulama, 2006, hlm. 130.
23
cuaca maka tanggal satu Bulan baru ditetapkan pada malam hari
berikutnya atau Bulan di-istikmal-kan (digenapkan) 30 hari.
Bulan-bulan yang menjadi sorotan oleh metode rukyah ini adalah
dalam penentuan awal bulan Ramadan, Syawal, dan Dzulhijah. Dua
Bulan pertama berkaitan dengan puasa dan hari raya Idul Fitri, yang
ketiga berkaitan dengan ibadah Haji. Keberhasilan dalam pelaksanaan
rukyat sendiri sangatlah bergantung pada kondisi ufuk saat Matahari
terbenam dan ketajaman mata perukyah.
Diketahui pula bahwa perbedaan dalam menentukan awal bulan
Kamariah juga terjadi karena perbedaan memahami konsep permulaan
melihat hilal. Disinilah kemudian muncul berbagai aliran mengenai
penentuan awal bulan.
Dalam al-Qur’an dijelaskan beberapa petunjuk yang dijadikan
landasan hisab rukyah untuk penentuan awal bulan Kamariah. Dasar
hukum tersebut adalah:
1. Dasar hukum al-Qur’an antara lain :
al-Baqarah : 189
Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah:
"Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan
(bagi ibadat) haji; (Q.S. al-Baqarah : 189).
24
al-Baqarah ayat 185
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan
Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai
petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu,
Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan
itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.(Q.S. al-Baqarah:185 )
Surat al-Isra ayat 12
Artinya: Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu
Kami hapuskan tanda malam dan Kami jadikan tanda siang itu
terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya
kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan
segala sesuatu telah Kami terangkan dengan jelas. (Q.S. al-Isra:
12)
2. Dasar hukum dari hadis antara lain:
رة حذثنا آدم حذثنا شعبت حذثنا محمذ بن زاد قال سمعت أبا ىر
و وسلم أو قال قال أبو صلى اللو عل اللو عنو قول قال النب رض
و وسلم صوموا لرؤتو وأفطروا لرؤتو فإن غب القاسم صلى اللو عل
كم فأكملوا عذة شعبان ثلاثن )رواه البخاري(عل
Artinya: Bercerita kepada kami Adam bercerita kepada kami Syu’bah
bercerita kepada kami Muhammad bin Ziyad dia berkata saya
menedengar Abu Hurairah dia berkata Nabi Saw bersabda atau
berkata Abu Qosim Saw berpuasalah kamu karena melihat hilal dan
25
berbukalah karena melihat hilal pula, jika hilal terhalang oleh awan
terhadapmu maka genapkanlah bulan Sya’ban tiga puluh hari. 10
Dalam melakukan rukyat, perbedaan pamahaman matlak masih
menjadi permasalahan fenomenal. Ada pendapat yang menyatakan
bahwa hasil rukyat disuatu tempat berlaku untuk seluruh dunia.
Pemahaman ini karena menganggap khitab dalam hadis-hadis hisab
rukyat ditujukan kepada seluruh dunia Islam. Kelompok ini terkenal
dengan Rukyat Global/ Internasional, di Indonesia seperti Hizbut
Tahrir dan Hizbullah. Pendapat lain menayatakan bahwa hasil rukyat
berlaku bagi suatu wilayah kehakiman yang menetapkan hasil hisab
tersebut. Pemikiran ini terkenal dengan istilah Ru’yat fi al-Wilayah al-
Hukmi.11
B. Penanggalan Hijriyah
1) Hisab urfi
Urfi diambil dari kata العرف yang berarti العادة المرعت yaitu:
Convensi atau kebiasaan yang dipelihara12
. Hisab urfi adalah
perhitungan awal bulan Kamariah yang didasarkan pada umur-
umur bulan secara konvensional, untuk bulan-bulan ganjil berumur
30 dan bulan-bulan genap berumur 29 hari kecuali pada tahun
kabisat untuk bulan yang ke 12 menjadi 30 hari. Setiap satu daur
(30 tahun) terdapat 11 tahun kabisat (panjang = 355 hari)bdan 19
Nama-nama tahun Masehi, Jawa, Bali, pranotomongso dan Arab adalah:46
.
Masehi India/jawa
I Jawa III Bali Arab Jawa II
Januari Mukha Kapitu Kapitu Safar Sapar
Februari Palghuna Kawolu Kawulu Rabiulawal Maulud
Maret Caitra Kasongo Kasanga Rabiulakhir Bakdomulud
April Waishaka Kasadasa Kasada Jumadilawal Jumadilawala
Mei Jyestha Jesta Jesta Jumadilakhir Jumadilakhir
Juni Asadha Sada Sada Rajab Rajab
Juli Srawana Koso Kasa Syaban Ruwah
Agustus Bhadrapa Karo Karo Ramadahan Puasa
September Aswina Kalmia Kalmia Syawal Sawal
Oktober Kartika Kapat Kapat Julkaidah Dulkaidah
November Margasirsa Kalima Kalima Julhijah Besar
Desember Pusya Kaenam Keenam Muharam Suro
Cara perhitungan penanggalan ini tidak terlalu sulit. Cukup
mengurutkannya dengan tanggalan Masehi pada tanggal dan bulan yang
sudah ditentukan. Jika kita melihat fenomena alam saat ini maka
penanggalan pranotomongso tidak relevan lagi dijadikan sebagai acuan.
Seiring berjalannya ilmu pengetahuan maka pada tahun 1555 Jawa
terjadi pergantian penanggalan dari penanggalan Jawa Saka menjadi
penanggalan Jawa Islam. Perubahan penanggalan Jawa Saka menjadi Jawa
Islam diprakarsai oleh Sultan Agung.
46
Tjokorda Rai Sudharta, et al, Kalender 301 Tahun (Tahun 1800 s/d 2100), op. cit.,,
hlm. 21.
41
Tahun Jawa Islam ditetapkan berlakunya oleh Sultan Agung
Hanyokrokusumo yang bertahta di Mataram pada 1 Syura 1555 tahun
Jawa bertepatan dengan tahun 1043 H dan juga tahun 1633 M. Tahun
Jawa pada awalnya adalah tahun Aji Saka, permulaan tahun Saka dihitung
mulai dari penobatan Prabu Saliwahana (Aji Saka) sebagai raja India pada
hari Sabtu 14 Maret tahun 78 Masehi. Sehingga tahun Saka dengan tahun
Masehi selisih 78 tahun.47
Penanggalan Aji Saka diasimilasikan dengan Hijriyah, jika pada
awalnya tahun Saka berdasarkan peredaran Matahari, oleh Sultan Agung
diubah menjadi tahun Hijriyah yakni berdasarkan peredaran Bulan,
sedangkan tahunnya tetap meneruskan tahun Saka tersabut.48 Namun
demikan tahun Jawa bukanlah tahun Hijriyah, tahun Jawa hanya
disesuaikan dengan tahun Hijriyah oleh Sultan Agung yang saat itu
beragama Islam. Selain itu, jika kita melihat penetapannya sebenarnya
tahun Jawa usianya lebih muda dibandingkan dengan tahun Hijriyah, tapi
karena tahun Hijriyah meneruskan tahun Jawa maka seolah-olah tahun
Jawa lebih dahulu daripada tahun Hijriyah.
Adapun dalam tahun Jawa mempunyai beberapa ketentuan yaitu:49
a. Setiap 15 windu atau 12050
tahun meliputi 15 x 2835 hari = 42525 hari.
47
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak dalam Teori dan Praktek, op.cit, hlm. 116 48
Penelitian Slamet Hambali, Melacak Pemikiran Penentuan Poso dan Riyoyo Kalangan
Kraton Yogyakarta, tt., hlm. 43 49
Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Sejarah Sistem Penanggalan Masehi,
Hijriyah Dan Jawa ), op. cit., hlm. 50 50
120 : 15 = 8 tahun = 1 windu = 2835 hari.
42
b. Satu kebulatan masa tahun Hijriyah adalah 30 tahun menurut ketetapan
umum, meliputi 30 x 354 + 11 hari = 10631 hari.
c. Setiap 120 tahun meliputi 4x 10631 hari 42524 hari.
Dari perhitungan di atas bahwa setelah 120 tahun maka akan
terpaut 1 hari dari tahun Hijriyah, maka setiap 120 tahun maka harus di
samakan kembali keduanya dengan jalan mengganti tahun kabisat menjadi
tahun basithoh. Pergantian selama 120 tahun ini disebut dengan wuku.51
Adapun cara perhitungan Penanggalan Jawa Islam adalah:52
Tahun Saka sekarang adalah = 1431 + 512 = 1943 J
1. Tentukan tahun Jawa (tahun Hijriyah + 51253
tahun)
2. Tahun Jawa di bagi 854
3. Sisa pembagian apabila
a. 0/8; 6: berarti tahun Ba, 1 Suro jatuh pada hari Rabu Kliwon
b. 1; 7: berarti tahun Wawu, 1 Suro jatuh pada hari Ahad Wage
c. 2; 8: berarti tahun Jim Akhir, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Pon
d. 3; 1: berarti tahun Alip, 1 Suro jaruh pada jatuh Selasa Pon
e. 4; 2: berarti tahun Ehe, 1 Suro jatuh pada hari Sabtu Paing
f. 5; 3: berarti tahun Jim Awal, 1 Suro jatuh pada hari Kamis Paing
g. 6; 4: berarti tahun Ye, 1 suro jatuh pada hari Senin Legi
h. 7; 5: berarti tahun Dal, 1 suro jatuh pada hari Sabtu Legi
Setelah diperoleh hari dan pasaran pada tanggal 1 Suro, maka
untuk tanggal-tanggal pada bulan-bulan berikutnya tinggal menambahkan
perbedaan hari dan pasaran antara tanggal 1 Suro dan pada tanggal-tanggal
bulan berikutnya itu.
51
Ibid. 52
Ibid,. hlm. 52 53
Selisih pergantian tahun saka 1555 dengan tahun 1043 H (1555-1043) 54
Tahun jawa dibagi dalam satu masa yang meliputi 8 tahun yang dinamakan windu
yang pada setiap tahunnya berbeda, adapun namanya adalah: Alif ( ا) , Ehe (ه) , Jim awal ( ج ), Ye Dal ,( ز ) ( ج) Jim akhir ,( و) Wawu ,( ب ) Be ,( (د
43
Rumus Arti rumus
Rom ji ji Muharram Kamis Pahing
Par lu ji Sapar Sabtu Pahing
Uwalpatmo R. Awal Ahad Legi
Uhir ne mo R. Akhir Selasa Legi
Diwaltupat J. Awal Rabo Kliwon
Dihir ro pat J. Akhir Jum’at Kliwon
Jab lu lu Rojab Sabtu Wage
Ban mo lu Sya’ban Senin Wage
Donnemro Romadlon Selasa Pon
Wal ji ro Syawal Kamis Pon
Dahroji Dzulqo’dah Jum’at pahing
Jah pat ji Dzulhijjah Ahad Pahing
Penggunaan tabel diatas dalam penentuan tahun Jawa adalah
dengan menyesuaikan tanggal 1 Muharram sebagai patokan perhitungan.
Seandainya dalam perhitungan 1 Muharram jatuh pada hari Senin Legi,
maka hari dan pasaran ini dijadikan sebagai patokan untuk bulan-bulan
berikutnya dengan jumlah hari 30 dan 29 dalam satu bulan.
Contoh pada tanggal 1 Syawal 1944 Jawa.55
8/1944 (242
16
34
32
22
16
6 (tahun Ye)
Tanggal 1 Muharram 1944 J adalah tahun Ye hari Senin pasaran Legi.
Cara menentukan tanggal 1 Syawal 1944 tahun Ye adalah hari
Senin Legi dijadikan patokan perhitungan. Maka 1 Syawal jatuh pada hari
Senin Pahing.
55
Slamet Hambali, Almanak Sepanjang Masa (Sejarah Sistem Penanggalan Masehi,
Hijriyah Dan Jawa ), op.cit., hlm. 53
44
Perlu diketahui dalam penanggalan Jawa Islam, tahun Dal
dianggap mempunyai keistimewaan. Selama tahun Jawa Islam, setiap
tanggal 12 bulan Mulud tahun Dal, jatuh pada hari Senin Pon. Agar
tanggal 12 Mulud tahun Dal tetap jatuh pada hari Senin Pon, maka tahun
Je dan tahun Dal yang sebenarnya tahun panjang (wuntu) dijadikan tahun
pendek. Jumlah hari dalam tahun dal tidak urut seperti tahun Jawa Islam
yang lainnya, yaitu 30, 30, 29, 29, 29, 29, 30, 29, 30, 29, 30, 30.56
Nama-nama bulan Hijriyah dan bulan bulan Jawa Islam beserta
dengan jumlah harinya.
1. Muharam atau Suro 30 30
2. Safar atau Sapar 29 59
3. Robi’ul Awal atau Mulud 30 89
4. Robi’ul Akhir atau Ba’da Mulud 29 118
5. Jumadil Awal atau Badi Awal 30 148
6. Jumadil Akhir atau Badi Akhir 29 177
7. Rajab atau Rejeb 30 207
8. Sya’ban atau Ruwah 29 236
9. Ramadhan atau Poso 30 266
10. Syawal atau Bodo 29 296
11. Dzulqa’dah atau Apit 30 325
12. Dzulhijjah atau Besar 29/30 354/355
56
Kangjeng Pangeran Karya Tjakraningrat, Kitab Primbon Qamarrulsyamsi
Adammakna, Ngayogyakarta: CV. Buana Raya 1990, hlm. 35
45
BAB III
TINJAUAN UMUM TERHADAP POSISI PENGGUNAAN
PENANGGALAN JAWA ISLAM DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI
KERATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT
A. Sejarah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
1). Awalnya, Mataram Islam
Daerah Yogyakarta merupakan daerah yang sistem
pemerintahannya masih menganut sistem kerajaan. Sebagian besar
wilayah Yogyakarta berada dibawah kekuasaan Kasultanan dan sebagian
kecil berada di bawah kekuasaan Kadipaten Pakualaman. Sri Sultan adalah
raja Yogyakarta, sedangkan Sri Paku Alam juga merupakan raja kecil. Sri
Sultan (waktu itu Hamengku Buwono IX) dan Sri Paku Alam (waktu itu
Paku Alam VIII) merupakan dwitunggal pemimpin yang berkuasa penuh
atas rakyat Yogyakarta.1
Awal dari sejarah ini dimulai dari sebuah kerajaan besar Mataram
Islam. Kelahiran Mataram Islam mempunyai keterkaitan dengan kerajaan
Pajang. Sebelum menjadi raja Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya2
1 Haryadi Baskoro & Sudomo Sunaryo, Catatan Perjalanan Keistimawaan Yogya
meruntun Sejarah Mencermati Perubahan Menggagas Masa Depan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010, hlm. 4 2 Pada waktu Sultan Trenggana telah wafat, R. Jaka Tingkir menjadikan dirinya sebagai
raja dengan gelar Sultan Hadiwijaya dengan pusat kerajaan Pajang (peristiwa ini ditandai dengan
candrasengkala: “Tri lunga panca bumi”). Seluruh pusaka yang berada di kerajaan dipindahkan ke
Pajang. Tidak ada seorangpun yang berani melawan tindakan ini. Hal tersebut dikarenakan
kesaktian yang dimiliki Sultan Hadiwijaya. Soewito. S, Babad Tanah Jawi (Galuh Mataram),
Delanggu, 19970, hlm. 226.
46
(1546 M – 1586 M), Joko Tingkir3 atau Mas Karebet harus berperang
melawan Arya Panansang4 Adipati Jipang. Akhirnya Joko Tingkir
memenangkan peperangan berkat bantuan Danang Sutawijaya. Namun,
kemenangan itu berkat strategi yang diberikan oleh ayahanda Danang
Sutawijaya, yang bernama Ki Ageng Pemanahan.5
Setelah kemenangan itu, Joko Tingkir memberi hadiah kepada Ki
Ageng Pemanahan berupa tanah Mentaok, di daerah sekitar Kota Gede
Yogyakarta. Pada awalnya, Ki Ageng Pemanahan membangun daerah
Mentaok itu menjadi sebuah kota baru yang bernama Mataram Islam.
Akan tetapi setelah wafatnya Ki Ageng Pemanahan anaknya yang bernama
Danang Sutawijaya menjadikan Mataram Islam sebagai kerajaan baru.
Akhirnya Danang Sutawijaya menjadi raja pertama Mataram Islam dengan
gelar Panembahan Senopati (1584 M – 1601 M).6
Mataram Islam mencapai puncaknya pada jaman raja Sultan
Agung Hanyokrokusumo (1613 M – 1646 M). Sementara itu kerajaan
Pajang merosot setelah Sultan Hadiwijaya wafat, Daerah kekuasaan
Mataram Islam mencakup P. Jawa, P. Madura, dan daerah Sukadana di
3 Jaka tingkir merupakan keturunan dari Brawijaya lewat jalur Adipati Andayaningrat
yang kawin dengan salah seorang putri Brawijaya. Sementara pendiri Mataram, Sutawijaya, adalah
keturunan Brawijaya melalui jalur Bondan Kejawan atau Lembu Peteng, anak Brawijaya hasil
perkawinan dengan “Putri Negro” (mungkin dari papua). Bisa jadi genealogi para raja Jawa
tersebut hanyalah klaim atau rekayasa sebagai penulis babad untuk menunjukkan keabsahan
mereka sebagai penguasa polotik di Tanah Jawa di mata masyarakat. Somanto Al Qurtuby, Arus
Cina-Islam-Jawa, Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya, 2003, hlm. 119 4 Arya panansang marupakan murid dari Sunan Kudus. Saat itu Sunan Kudus mempunyai
tiga orang murid, yaitu Arya Penanasang, Sunan Prawata, dan Sultan Pajang. Arya Penansang
merupakan murid kesayangan dari Sunan Kudus. Baca dalam buku W.L. Olthof (penyusun), Alih
Bahasa: H.R. Sumarsono, Babad Tanah Jawi Mulai dari Nabi Adam Sampai Tahun 1647,
Kangjeng Pangeran Harya Tjakraningrat, et al, Kitab Primbon Qamarrulsyamsi
Adammakna, op. cit., hlm. 34-35. Lihat juga Muh. Wardan, Hisab Urfi dan Hakiki, Yogyakarta:
Siaran, 1957, hlm. 13. 35
Departemen Agama, Almanak Hisab Rukyat, Jakarta : Proyek Pembinaan Badan
Peradilan Agama Islam, 1981, hlm. 46. 36
Wawancara dengan KRT Rintaiswara, Senin, 13 Maret 2011. op. cit.
62
Menurut KRT. Rintaiswara, B. A. alasan kurup Ajumgi belum
genap 120 tahun adalah jika dilihat dari pergantian dimulainya
penanggalan Jawa Islam dengan penanggalan Hijriyah adalah tahun 1555
J sama dengan 1043 H sudah melampaui 11 kurup yang berakhir pada
tahun 1115 H sama dengan 1627 J. Jadi kurup Ajumgi sudah melampaui 6
windu (48 tahun) sebelum tahun 1555 J / 1043 H. Namun karena pada
waktu itu penanggalan Jawa Islam belum dicetuskan oleh Kangjeng
Sinuhun Sultan Agung maka 48 tahun tidak dimasukkan dalam hitungan
1 kurup penanggalan Jawa Islam. Oleh karena itu kurup Ajumgi hanya 72
tahun karena pada saat dicetuskannya penanggalan Jawa Islam ini sudah
berjalan 48 tahun.37
Selain penanggalan Jawa Islam terdapat juga penanggalan
pranotomongso yang pada mulanya sudah tidak digunakan lagi akan
tetapi oleh Susuhunan Solo pada tahun 1855 Tarikh Jawa I dihidupkan
kembali dengan nama-nama mengambil kata-kata setempat dan sekaligus
dicocokan dengan penanggalan Masehi, yaitu berdasarkan keadaan
alam.38
Adapun nama-nama pranotomongso adalah: 39
1) Kasa : 41 hari, jatuh pada tanggal 22 Juni sampai dengan tanggal 1
Agustus, Sotya murcasaka embanan adalah watak dari musim ini, yang
37
Tertulis dalam arsip Widyabudaya wawancara H.Sudarmadi dengan KRT. Rintaiswara,
B. A., pada tanggal 8 Desember 2009. 38
Tjokorda Rai Sudharta, et al, Kalender 301 Tahun (Tahun 1800 s/d 2100), Balai
Pustaka: Jakarta, 2008, hlm. 21. 39
KRT Rintaiswara, Karaton Ngayugyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa, op. cit.
63
artinya ratna jatuh dari tatahan, dedaunan berguguran. Pada saat ini
musim daun-daun gugur dan pohon-pohon menjadi gundul.
2) Karo : 23 hari, jatuh pada tanggal 2 Agustus sampai tanggal 24 Agustus,
Bantala rengka adalah watak dari musim ini yang artinya banyak tanah
kekeringan. Musim tanah jadi gersang dan retak-retak.
3) Katiga : 24 hari, jatuh pada tanggal 25 Agustus sampai tanggal 17
September, Suta manut ing bapa adalah watak dari musim ini yang artinya
ubi, gembili mulai tumbuh. Musim pucuk tanaman menjalar pada
rambatan.
4) Kapat : 25 hari, jatuh pada tanggal 18 September sampai tanggal 12
Oktober, Waspa kumembeng jroning kalbu adalah watak dari musim ini
yang artinya sumber air mati. Musim sumber-sumber jadi kering. Jatuh
pada musim labuh. Pada masa ini kemarau berakhir.
5) Kalimo : 27 hari, jatuh pada tanggal 13 Oktober sampai tanggal 8
November, Pancuran emas sumawur ing jagad watak dari musim ini
yang artinya sumber air mulai hidup. Mulai musim hujan. Gejala pertama
mangsa ini adalah turunnya hujan yang tidak begitu deras.
6) Kanem : 43 hari, jatuh pada tanggal 9 November sampai tanggal 21
Desember, Rasa mulya kasucian watak dari musim ini yang artinya
pepohonan berbuah. Musim pohon-pohon mulai berbuah. Mangsa ini
berada pada musim hujan.
7) Kapitu : 43 hari, jatuh pada tanggal 22 Desember sampai tanggal 2
Pebruari, Wisa kenter ing maruta watak dari musim ini yang artinya
64
banyak penyakit, musim hujan. Pada mangsa ini Matahari ada di zenit
garis balik selatan bumi (22 Desember). Musim ini dikenal juga sebagai
musim datangnya penyakit dan alam ditandai dengan adanya banji
8) Kawolu : 27 hari, jatuh pada tanggal 3 Pebruari sampai pada tanggal 28/29
Pebruari, Anjrah jroning kayu watak dari musim ini yang artinya banyak
banjir. Musim bertiupnya angin yang mengandung penyakit. Musim ini
dikenal juga sebagai musim datangnya penyakit dan alam ditandai dengan
adanya banjir.
9) Kasongo : 25 hari, jatuh pada tanggal 1 Maret sampai tanggal 25 Maret,
Wedharing wacana mulya watak dari musim ini yang artinya banyak hujan
guntur, hewan gareng berbunyi, gangsir genthir. Musim jangkrik, gasir,
gareng poung, (banyak orang bicara berlebih-lebihan).
10) Kasepuluh : 24 hari, jatuh pada tanggal 26 Maret sampai tanggal 18 April,
Gedhong minep jroning kalbu watak dari musim ini yang artinya musim
hewan hamil, burung bertelur. Musim binatang-binatang hamil. Gejala
yang muncul adalah awal perkembangbiakan atau masa di mana binatang
bertelur dan berabak. Pada masa ini orang mudah lesu dan pusing karena
sebentar lagi mau musim kemarau.
11) Dhesto : 23 hari, jatuh pada tanggal 19 April sampai tanggal 11 Mei, Sotya
sinarawadi watak dari musim ini yang artinya burung-burung menyapa
anaknya. Musim burung-burung menyuapi anaknya pada musim panen.
Kesuburan seakan diasah lagi, kendati kemarau sudah diambang mata.
65
12) Sadha : 41 hari, jatuh pada tanggal 12 Mei sampai tanggal 21 Juni, Tirta
sah saking sasana watak dari musim ini yang artinya musim dingin kering,
pohon dadap berbunga. Musim dingin, orang jarang berkeringat karena
teramat dingin. Jatuh pada musim terang. Hujan mulai sungguh habis dan
kemarau mulai tiba. Masa ini juga termasuk mangsa yang panjang, yaitu
selama 41 hari.
Jumlah hari pada pronotomongso adalah 365/366 hari. Hal ini
sama dengan jumlah hari pada penanggalan Masehi. Yang membedakan
adalah jumlah hari pada tiap musimnya. Akibat adanya revolusi Bumi
maka terjadi pergantian musim disetiap tahunnya. Dalam pranotomongso
pergantian musim didasarkan pada posisi Matahari yang mana posisi
Matahari dan Bumi senantiasa berubah sepanjang tahun.
Adanya pergantian musim tergantung pada banyaknya (lamanya)
sinar Matahari. Posisi Matahari dan Bumi senantiasa berubah sepanjang
tahun. Dan pada bulan Juni dan Desember Matahari berada pada posisi
terjauh pada equator. Perbedaan posisi Matahari terhadap bola langit
menyebabkan sudut arah pancar sinar Matahari terhadap equator barubah-
ubah. Perubahan dan perbedaan posisi Matahari menyebabkan adanya
sudut deklinasi, yaitu kemiringan arah sinar Matahari yang jatuh di
permukaan Bumi terhadap akuator Bumi. Deklinasi Matahari naik 00
66
(sekitar 21 Maret) ke deklinasi tertinggi 23°27 sekitar 21 Juni. Sedangkan
pada 21 Desember adalah deklinasi selatan tertinggi
- 23°27 disebut.40
Akan tetapi karena Indonesia merupakan negara yang bermusim
tropis yang hanya mempunyai dua musim saja, yaitu musim hujan dan
musim kemarau. Jika dilihat dari musim-musim pronotomongso maka
mulai dari mongso Kasa sampai dengan kapat menunjukkan musim
kemarau, sedangkan untuk mongso Kalimo menunjukkan musim
pergantian musim kemarau ke musim hujan, mongso Kanem sampai
kasanga menunjukkan musim hujan, mongso Kasepuluh sampai destha
menunjukkan pergantian musim hujan ke musim kemarau, dan mongso
Sadha menunjukkan musim kemarau.
E. Posisi Penggunaan Penanggalan Jawa Islam dalam Pelaksanaan
Ibadah di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Meskipun penanggalan Hijriyah dan penanggalan Jawa Islam
mempunyai dasar penanggalan yang sama yaitu berdasarkan pada
penampakan Bulan, akan tetapi penanggalan Jawa Islam bukanlah
penanggalan Hijriyah. Konsep hari pasaran yang terdiri dari lima hari
(Kliwon, Legi, Pahing, Pon, Wage), Windu, dan Wuku (Pawukon)
merupakan wujud unsur-unsur Jawa yang tidak ditemui dalam
penanggalan Hijriyah dan Masehi.
40
W. M. Smart, Textbook on Spherical Astronomi, revisied by R.M. Green, Cambridge
University Prees: Cambridge London New York New Rochelle Melbourne Sydney, Sixt Edition,
1997, hlm. 150.
67
Hal diatas sebagaimana penulis paparkan menunjukkan
bahwasannya penanggalan Jawa Islam tidak lepas dari unsur budaya
Jawa. Akan tetapi penanggalan Jawa Islam ini juga tidak terpaku kepada
kebudayaan Jawa. Penanggalan ini merupakan penggabungan antara
penanggalan Jawa dan penanggalan Hijriyah.
Sebagaimana sebuah penanggalan, secara garis besar penanggalan
Jawa Islam ini berfungsi sebagai penunjuk hari, bulan, dan tahun. Akan
tetapi keistimewaan dari penanggalan ini khususnya bagi Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat adalah untuk menentukan upacara-upacara
ritual adat istiadat yang masih sering dirayakan oleh Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat. Baik upacara adat yang biasa ataupun
upacara adat yang bersifat keagamaan.41
Zaman dahulu pada masa kerajaan-kerajaan Islam seperti kerajaan
Demak (1412 M), kerajaan Pajang (1546 M), kerajaan Mataram Islam
(1584 M), sejak dicetuskannya penanggalan Jawa Islam kerajaan-
kerajaan tersebut menggunakan penanggalan Jawa Islam sebagai
penetapan acuan ibadah mereka, namun seiring berjalannya waktu
pendidikan semakin berkembang. Pada tahun 1912 saat pemerintahan Sri
Sultan HB VII Gusti Raden Mas Murtedjo dengan gelar Ngarsa Dalem
Sampeyan Dalem Hingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono
VII terdapat wacana bahwasannya KH. Ahmad Dahlan selaku penghulu
keraton memberi usulan bahwasannya penanggalan Jawa Islam ini
41
Wawancara dengan KRT. Rintaiswara., Senin, 27 Desember 2010
68
disesuaikan dengan penanggalan Hijriyah supaya bisa dijadikan patokan
dalam penentuan waktu ibadah penetapan awal bulan Hijriyah khususnya
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah.
Dengan sangat bijak Sri Sultan menjawab bahwasannya jika pada
saat hari raya ingin mengacu terhadap penanggalan Hijriyah dalam
pelaksanaannya maka Sri Sultan tidak melarang. Akan tetapi pada saat
perayaan Grebeg Sri Sultan tetap mengacu terhadap penanggalan Jawa
Islam sebagai penetapan waktu perayaan.42
Pada waktu itu hal ini hanya sebatas wacana. Sampai akhirnya
pada tahun 1945 Indonesia merdeka dan menjadi NKRI. Saat itulah
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat mulai mengikuti penanggalan
Hijriyah untuk penentuan waktu-waktu ibadah yang berhubungan dengan
penentuan awal bulah Hijriyah. Pada tahun 1945 tidak dirayakan Grebeg
karena pada saat itu sedang terjadi kekacauan di negara Indonesia.43
Alasan bergabungnya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dengan
penanggalan Hijriyah dalam penentuan ibadah awal bulan Hijriyah yang
ditetapkan oleh pemerintah karena karena Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat sudah melebur dengan pemerintah RI semenjak kemerdekaan
RI 1945.
Jika pada saat ini Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat tetap
bertahan menggunakan penanggalan Jawa Islam dalam penetapan ibadah
awal bulan Hijriyah, maka dikhawatirkan akan “bingung kawulone” yaitu
42
Ibid . 43
Ibid
69
akan terjadi kebingungan dan kekacauan dimasyarakat. Akan tetapi
ketetapan pemerintah ini tidak berpengeruh terhadap upacara-upacara
adat istiadat yang dirayakan oleh Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.44
Misalnya, 1 Muharram jatuh pada hari Selasa Wage versi
pemerintah RI dan Departemen Agama, akan tetapi versi penanggalan
Jawa Islam jatuh pada hari Rabu. Dalam perayaan 1 Muharram Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat tetap mengikuti ketetapan pemerintah. Akan
tetapi dalam perayaan Grebeg Mulud mereka tetap berpedoman pada
penanggalan Jawa Islam.45
Begitu juga dalam perayaan Grebeg Sawal. Jika terjadi perbedaan
antara penanggalan Jawa Islam Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dengan penanggalan Hijriyah, maka dalam pelaksanaan 1 Syawal keraton
Yogyakarta mengikuti ketetapan pemerintah. Akan tetapi dalam
pelaksanaan Grebeg Sawal mereka tetap menggunakan hitungan
penanggalan Jawa Islam.
Berbeda dengan perayaan Ngabekten. Dalam perayaan Ngabekten
Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat lebih luwes dalam memperingatinya.
Karena perayaan Ngabekten berhubungan dengan ketetapan 1 Syawal
yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Jika pemerintah menetapkan 1
Syawal pada hari Rabu sedangkan dalam penanggalan Jawa Islam 1
44
Ibid. 45
Ibid.
70
Syawal pada hari Kamis maka perayaan Ngabekten dilaksanakan pada
hari Rabu tidak pada hari Kamis.46
Banyak unsur dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang
memiliki arti. Tidak hanya dari sejarah, letak tempat keraton, ataupun dari
segi bangunannya. Akan tetapi upacara-upacara adat istiadat pun
memiliki arti tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta. Acara Grebeg
misalnya. Grebeg dilakukan 3 kali dalam setahun. Yaitu Grebeg Mulud
yang diadakan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad
SAW, Grebeg Sawal yang diadakan untuk memperingati hari raya Idul
Fitri, dan Grebeg Besar yang diadakan untuk memeperingati hari raya
Idul Adha.
Oleh karena itulah pada penetapan upacara adat istiadat Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat tetap berpedoman terhadap penanggalan
Jawa Islam, tidak mengikuti penanggalan Hiriyah yang telah ditetapkan
oleh pemerintah RI. Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat masih
senantiasa mempertahankan budaya yang mereka miliki.
46
Wawancara dengan KRT. Rintaiswara., Kamis, 14 April 2011.
71
BAB IV
ANALISIS POSISI PENGGUNAAN PENANGGALAN JAWA ISLAM
DALAM PELAKSANAAN IBADAH DI KERATON NGAYOGYAKARTA
HADININGRAT
A. Analisis Sistem Penanggalan Jawa Islam di Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat
Penanggalan Jawa Islam atau yang disebut juga dengan penanggalan
Sultan Agung yang masih dipakai oleh sebagian masyarakat Yogyakarta
merupakan warisan tersendiri bagi umat Islam khususnya bagi para
masyarakat Jawa Islam.
Penanggalan Jawa Islam terdiri dari 354 hari 9 jam. Selisih antara
penanggalan Hijriyah dengan Jawa adalah:
Untuk tahun Jawa = 354 3/8 hari
Untuk tahun Hijriyah = 354 11/30 hari
Selisih dalam satu tahun = 354 3/8 – 354 11/30 =
= 354 45/120 – 354 44/120 = 1/120 hari.
Tahun Jawa Islam = 120 X 354 3/8 = 42525 hari
Tahun Hijriyah = 120 X 354 11/30 = 42524 hari
Sehingga dalam masa 120 tahun tertinggal 1 hari.
72
Penanggalan Jawa Islam mempunyai siklus 8 tahun yang dinamakan
windu. Dalam 8 tahun terdapat 3 tahun kabisat yang umurnya 355 hari, yaitu
tahun ke 2, tahun ke 5, tahun ke 8. Adapun rumusannya sebagai berikut: 1
Tahun Hijriyah Tahun Jawa Islam Hari- Jam Tahun
1 7 0 hari 9 jam Basithoh
2 8 0 hari 18 jam Kabisat
32 1 1 hari 3 jam Basithoh
4 2 1 hari 12 jam Kabisat
5 3 1 hari 21 jam Basithoh
6 4 2 hari 6 jam Basithoh
7 5 2 hari 15 jam Kabisat
8 6 2 hari 24 jam/
3 hari 0 jam Basithoh
1) “tahun Hijriyah” dan “tahun Jawa Islam”:
Penanggalan Jawa Islam tidak lepas dari penanggalan Hijriyah,
karena Sultan Agung menginduk kepada penanggalan Hijriyah. Jika
dihitung dari pembagian tahun Hijriyah dibagi dengan 1 siklus Jawa Islam
maka:
1043 : 83 = 130, 375 Sisa 3 maka pada saat itu tahun 1043 Hijriyah
merupakan tahun ke 3 Jawa dalam 1 siklus tahun Jawa Islam.
1Wawancara dengan Sayful Mujab, Dosen Falak Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang
merupakan putra dari KH. Noor Ahmad ahli falak Jepara. Pada hari Jumat, tanggal 31 Desember
2010. 2Tahun ke tiga ini adalah tahun ke 3 hijriyah dengan konsep pembagian 1 siklus Jawa
Islam yang menjadi tahun pertama Jawa Islam, oleh karena itu tahun ini dinamakan tahun Alip (أ) 3 Dibagi dengan 8 (konsep siklus dalam penanggalan Jawa Islam) untuk menyamakan
antara tahun Hijriyah dengan tahun Jawa Islam.
73
Tahun ke 3 ini adalah tahun pertama Jawa Islam kemudian
dinamakan tahun Alip (أ) pada penanggalan Jawa Islam.
Pada tahun ke 3 Hijriyah dengan konsep siklus 8 windu inilah
Sultan Agung menetapkan awal penanggalan Jawa Islam. Oleh karena itu
pada tahun ke 3 Hijriyah dengan konsep siklus 8 tahun (1 windu)
dijadikan patokan pertama dalam penanggalan Jawa Islam. Tahun ke 3
Hijriyah adalah tahun ke 1 Jawa Islam.
2) “hari – jam”:
Pada penanggalan Jawa Islam selama satu tahun sekitar 354 3/8
hari, 3/8 hari sama dengan 9 jam. Jika dalam penambahan lebih dari 24
maka dikurangi dengan 24 dan menambah 1 hari. Misalnya:
0 + 9 jam = 9 jam
9 + 9 jam = 18 jam
18 + 9 jam = 27 jam, 27 jam sama dengan 1 hari 3 jam.
1 hari 3 jam + 9 jam = 1 hari 12 jam
3) ”tahun”:
Untuk mengetahui tahun kabisat atau tahun basithoh dengan cara
jumlah jam yang mendekati atau lebih dari 12 jam (0,5 hari) dalam hari
yang sama, jika lebih dan mendekati maka tahun tersebut adalah tahun
kabisat. Dari tabel perhitungan diatas yang mendekati angka 12 adalah
terletak pada tahun Hijriyah ke 2 (0 hari 18 jam) maka kabisat, ke 4 (1 hari
12 jam) maka kabisat, dan ke 7 (2 hari 15 jam) maka kabisat.
74
Dalam penetapan nama-nama tahun yang digunakan dalam tahun
ataupun bulan Jawa tidak terlepas dari unsur bahasa Arab. Tepatnya adalah
bahasa Arab yang dijawakan.
Adapun perhitungan untuk menentukan nama-nama kurup dalam