RENCANA KEBIJAKAN BUILD OPERATED TRANSFER (BOT) DI
LAHAN EKS RSJ ERNALDI BAHAR MILIK PEMERINTAH PROVINSI
SUMATERA SELATAN
KEPADA PT PRAJA ADIKARA UTAMA (LIPPO GROUP)
1.Pendahuluan
a.Pengertian Build, Operated, and Transfer (BOT)
Salah satu jenis perjanjian yang mulai marak saat ini
adalah “Build, Operate and Transfer” yang sering sekali oleh
banyak pihak disebut transaksi Build, Operate and
Transfer /bangun, guna dan serah, yaitu membangun, mengelola
dan menyerahkan ialah suatu bentuk hubungan kerjasama antara
pemerintah dan swasta dalam rangka pembangunan suatu proyek
infrastruktur.
Menurut Pasal 1 ayat (12) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
38 Tahun 2008 Tentang Pengelolaan Barang Milik Negara-
Daerah, yang menyatakan bahwa Bangun guna serah adalah
pemanfaatan barang milik negara/daerah berupa tanah oleh
pihak lain dengan cara mendirikan bangunan dan/atau sarana
berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain
tersebut dalam jangka waktu tertentu yang telah disepakati,
1
untuk selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah
berakhirnya jangka panjang.
Sedangkan pasal 1 ayat (13) menyatakan bahwa
Bangun serah guna adalah pemanfaatan barang milik
negara/daerah berupa tanah oleh pihak lain dengan cara
mendirikan bangunan dan/atau sarana berikut
fasilitasnya, dan setelah selesai pembangunannya
diserahkan untuk didayagunakan oleh pihak lain tersebut
dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.
Pengertian BOT menurut Keputusan Mentri Keuangan
Nomor 248/KMK.04/1995 Jo SE - 38/PJ.4/1995 adalah:
1. Bentuk perjanjian kerjasama antara pemegang hak atas
tanah dengan investor,
2. Pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada
investor untuk mendirikan
bangunan selama masa perjanjian,
3. Setelah masa perjanjian berakhir, investor
mengalihkan kepemilikan atas
2
bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah.
4. Bangunan yang didirikan investor dapat berupa
gedung perkantoran, apartemen,
pusat perbelanjaan, rumah toko, hotel, dan/atau
bangunan lainnya.
Build, operate, and transfer (BOT) adalah perjanjian
untuk suatu proyek yang dibangun oleh pemerintah dan
membutuhkan dana yang besar, yang biasanya pembiayaannya
dari pihak swasta, pemerintah dalam hal ini menyediakan
lahan yang akan digunakan oleh swasta guna membangun proyek.
Pihak pemerintah akan memberikan ijin untuk membangun,
mengopersikan fasilitas dalam jangka waktu tertentu dan
menyerahkan pengelolaannya kepada pembangunan proyek
(swasta). Setelah melewati jangka waktu tertentu proyek atau
fasilitas
tersebut akan menjadi milik pemerintah selaku milik
proyek.
Surat edaran yang dikeluarkan oleh menteri dalam
negeri tentang kerjasama antar daerah, menyebutkan
pengertian BOT ialah bangun, kelola dan alih milik yang
dicirikan dengan adanya investasi swasta, pembangunan
sarana, biaya rendah, kualitas tinggi, menguntungkan, 3
efisiensi tinggi cocok dilakukan pada kondisi ekonomi yang
baik.
Bagi Pemerintah Daerah pembiayaan pembangunan
infrastruktur dengan mengandalkan APBD (Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah) juga dirasakan semakin terbatas
jumlahnya, untuk itu dibutuhkan pola-pola baru sebagai
alternatif pendanaan yang tidak jarang mellibatkan pihak
swasta (nasional-asing) dalam proyek-proyek Pemerintah.
Kerja sama tersebut dimanifestasikan dalam bentuk
perjanjian. Adapun bentuk kerja sama yang ditawarkan antara
lain Joint Venture berupa production sharing, manajemen contract, technical
assistance, franchise, joint enterprise, portofolio investmen, build operate and
transfer (BOT) atau bangun guna serah dan bentuk kerja sama
lainnya.
Sebagai salah satu alternatif yang dapat dipilih yaitu
perjanjian kerja sama sistem bangun guna serah atau build
operate and transfer (BOT) yang tergolong masih baru. Sistem
perjanjian ini juga banyak digunakan dalam hal perjanjian
antara Pemerintah dengan swasta dalam membangun sarana
umum lainnya seperti sarana telekomunikasi, jalan tol,
tenaga listrik, pertambangan, pariwisata dan lain-lain.
Bangun guna serah atau build operate and transfer adalah 4
bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang
hak atas tanah dengan investor, yang menyatakan bahwa
pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna
serah (BOT), dan mengalihkan kepemilikan bangunan
tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah masa guna
serah berakhir.
Sumber lain mengatakan bahwa, dalam kerja sama dengan
sistem build operate and transfer (BOT) ini, pemilik hak
eksklusif (biasanya dimiliki Pemerintah) atau pemilik lahan
(masyarakat/swasta) menyerahkan pembangunan proyeknya kepada
pihak investor untuk membiayai pembangunan dalam jangka
waktu tertentu pihak investor ini diberi hak konsesi untuk
mengelola bangunan yang bersangkutan guna diambil manfaat
ekonominya (atau dengan presentasi pembagian keuntungan).
Setelah lewat jangka waktu dari yang diperjanjikan,
pengelolaan bangunan yang bersangkutan diserahkan kembali
kepada pemilik lahan secara penuh. Hak eksklusif maksudnya
adalah dalam hal hak terhadap tanah yang hanya dimiliki oleh
subjek hukum tertentu saja.
Kerja sama ini menjadi alternatif solusi kerja sama yang
saling menguntungkan, build operate and transfer (BOT) 5
dilakukan dalam jangka waktu yang lama bahkan nyaris dalam
jangka waktu satu generasi sehingga perlu dikaji lebih
mendalam keuntungan dan kerugian yang akan muncul dikemudian
hari. Juga berkaca dari permasalahan-permasalahan yang
timbul di daerah lain yang menggunakan sistem kerja sama
ini.
b. Unsur-unsur yang terdapat pada Build, Operate and
Transfer (BOT)
Berdasarkan pengertian sebagaimana dimaksud di atas maka
unsur-unsur perjanjian sistem bangun guna serah (build,
operate, and transfer/BOT) atau BOT agreement, adalah:
1. Investor (penyandang dana)
2. Tanah
3. Bangunan komersial
4. Jangka waktu operasional
5. Penyerahan (transfer)
c. Rencana Penerapan BOT oleh Pemerintah Provinsi Sumatera
Selatan di Lahan Eks RSJ Ernaldi Bahar Kepada PT Praja
Adikara Utama (Lippo Group)
Berkembang pesatnya industri hotel dan mal di Kota
Palembang dalam beberapa tahun terakhir ini, memberikan
peluang yang besardan minat bagi pemilik modal untuk 6
menanamkan investasi di Kota Palembang. Untuk mencari
lokasi hotel dan mal yang berada di tengah pusat
pemerintahan Provinsi Sumatera Selatan, maka para investor
mencari lahan dengan lokasi yang stretegis yang berada di
dekat pusat pemerintahan.
Namun lokasi dan lahan yang diinginkan para investor itu
kebanyakan adalah lahan yang dimiliki oleh pemerintah,
sehingga tidaklah mudah untuk mendapatkan lahan tersebut.
Disisi lain pemerintah juga memerlukan modal dan dana yang
sangat besar untuk membangun sarana dan prasarana yang
dibutuhkan oleh masyarakat, dan tentunya dengan
pengelolaan yang baik dan berkelanjutan dan berdaya guna
untuk jangka waktu yang panjang.
Berdasarkan hal tersebut, maka di privinsi Sumatera
Selatan banyak terdapat asset milik daerah provinsi yang
dianggap oleh pemerintah kurang berdaya guna baik,
sehingga diperlukan solusi dan cara untuk membangun
infrastruktur yang melibatkan pihak swasta sebagai
penyandang dan pemilik modal untuk mewujudkan hal
tersebut. Saat ini yang marak berkembang adalah
perjanjian dengan sistem Build, Operated, and Transfer (BOT) yang
akan saling menguntungkan satu sama lain.7
Wacana terbaru saat ini yang sedang hangat dibicarakan
seperti pemberitaan di berbagai media masa local di Kota
Palembang adalah, pengambil alihan eks RSJ Ernaldi Bahar
milik pemerintah provinsi Sumatera Selatan oleh PT Praja
Adikara Utama (Lippo Group) untuk membangun mall empat
lantai dan hotel. Menurut Kepala Dinas PU Cipta Karya,
Eddy Hermanto mengatakan, perusahaan Group Lippo itu sudah
mengikuti proses seleksi. Tinggal menyusun rancangan
kerjasama untuk dibahas di DPRD Sumsel. Bahkan tendernya
sudah dilaksanakan, dan tidak ada masalah, begitu yang
dikatakan Kepala Dinas PU Cipta Karya Eddy Hermanto.
Namun ketika ditanya mengapa Pemprov Sumsel setuju
melepas asset ke swasta yang ingin membangun mall dan
hotel, Kepala Dinas PU Cipta Karya enggan untuk
menjawabnya. Padahal, asset tersebut bisa saja ditawarkan
kepada perusahaan lain yang tergerak untuk membangun
berdasarkan asas manfaat.
Sebenarnya banyak warga yang menolak dengan rencana
Pemprov Sumsel untuk melepas asset kepada pihak swasta,
apalagi tujuan adalah untuk pembangunan mall dan hotel.
Hal ini bisa dimaklumi karena sampai saat ini sudah cukup
banyak mal yang berdiri di Kota Palembang, begitu juga 8
dengan hotel-hotel berbintang. Menanggapi hal tersebut
Kepala BPKAD Sumsel Laonma L. Tobing, menjelaskan bahwa
pola kerja sama pemerintah dengan swasta menggunakan Bulid
Operated and Transfer (BOT). Swasta membangun infrastruktur di
atas lahan milik pemerintah, mengoperasikan dalam jangka
waktu tertentu dan mengembalikannya lagi ke pemerintah
berikut infrastruktur yang sudah mereka bangun.
Saat ini yang menarik bagi pihak swasta dalam perjanjian
BOT adalah membangun mal dan hotel. Kepala BPKAD Sumsel
mengklain, Pemprov mendapat keuntungan lewat dana bagi
hasil dengan pihak swasta. Meski besarannya tidak
disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) N0. 38 Tahun
2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara-Daerah, namun
ditentukan lewat kesepakatan yang diketahui DPRD. Aturan
tidak mematok jumlah dana bagi hasil. Tetapi di dapat
berdasarkan penghitungan konsultan. Sebelum membangun
infrastruktur, swasta dan pemerintah menghitung nilai
investasi dan kontribusi sesuai pembangunan lewat masing-
masing konsultan.
Dari analisa akuntan tersebut pemerintah dan swasta
menyepakati besaran dana bagi hasil yang tertuang dalam
kontrak. Namun sebelum penandatangan kontrak, pemerintah 9
harus mendapat restu dari DPRD untk melepaskan asset.
Jadi tidak aset yang hilang, tapi dimaksimalkan. Saat
pengelolaan kita dapat dana bagi hasil, dan setelah 30
tahun infrastruktur yang dibangun swasta jadi milik
pemerintah. Kepala BPKAD mengatakan, proses eks-RS
Ernaldi Bahar kini ditangani Dinas PU Cipta Karya Sumsel.
Setelahnya baru pembuatan perjanjian (MoU) dan dipaparkan
ke wakil rakyat. BOT adalah salah satu bentuk percepatan
pembangunan, dengan terbatasnya dana APBN maka paling
efektif dan efisien lewat pola itu, demikian
penjelasannya.
Menurut pengamat Kebijakan Publik Dr. Alfitri
mengatakan, kebijakan pemerintah tersebut harus diketahui
secara jelas apa manfaatnya untuk masyarakat. Seperti
sebelumnya, pembangunan mall Palembang Square dan mall
Palembang Icon merupakan lahan pemerintah, tidak jelas
kapan jeda waktunya. Kepentingan masyarakatnya apa,
apakah masyarakat menikmati keuntungan dari pembangunan
tersebut. Justru pembangunan tersebut akan mengubah pola
masyarakat menjadi lebih konsumtif.
Diungkapkannya, sebenarnya pembangunan tersebut memang
memiliki dua sisi. Pemerintah dengan menggunakan sistem 10
Build Operated and Transfer (BOT) dapat menghemat anggaran karena
tidak menggunakan APBD, tapi selama ini BOT tidak jelas
waktu pengembaliannya. Dampak negatifnya setelah
dibangun, bangunan itu akan menjadi lebih komersial.
Untuk pemerintah mesti hati-hati dalam menerapkan sistem
BOT, jangan sampai dugaan sebagain public bahwa BOT itu
hanya akal-akalan untuk melimpahkan lahan ke swasta
menjadi terbukti. Perlu penegasan waktu pengembalian aset
tersebut ke tangan pmerintah, jangan sampai terlena dan
terus dikuasai swasta dan ujung-ujungnya harganya akan
komersial dan tidak dapat dimanfaatkan oleh warga.
Saat ini pemerintah juga perlu memikirkan infrastruktur,
disaat banyaknya fasilitas public yang tidak terawat,
jalan yang sampai saat ini belum juga baik, patut
diperhatikan oleh pemerintah, jangan hanya bangun-banguan
mal dan hotel saja yang terus berkembang.
2. Formulasi Kebijakan Publik
a. Agenda Setting
Adapun yang menjadi agenda setting dalam kebijakan
Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk pengalihan aset
pemerintah eks RSJ Ernaldi Bahar kepada PT Praja Adikara 11
Utama (Lippo Group) merupakan Public Problem, yaitu masalah
yang mempunyai akibat lebih luas termasuk orang-orang yang
secara tidak langsug terlibat.
Hal ini dikatakan sebagai Public Problem dikarenakan lahan
eks RSJ Ernaldi Bahar adalah lahan milik pemerintah, yang
dalam hal ini adalah mewakili masyarakat sebagai pemilik
lahan milik publik yang seharusnya dipergunakan untuk
kepentingan publik. Akan tetapi dengan adanya rencana
pemerintah Provinsi Sumatera Selatan untuk mengalihkan
lahan tersebut kepada pihak swasta dengan mengadakan
perjanjian menggunakan system Build Operated and Transfer (BOT).
Dalam rencana tersebut eks RSJ Ernaldi Bahar akan dibangun
mal dan hotel, karena dianggap pihak swasta lebih tertarik
untuk membangun mal dan hotel yang lebih cepat
mendatangkan keuntungan.
Secara tidak langsung kebijakan yang diambil oleh
pemerintah Provinsi Sumatera Selatan di eks lahan RSJ
Ernaldi Bahar, menimbulkan berbagai tanggapan baik itu
positif maupun bersifat penolakan dari masyarakat, dan
menimbulkan pertanyaan : mengapa harus dibangun mal dan
hotel ? Padahal di kota Palembang ada beberapa mal dan
hotel yang berdiri di atas lahan milik pemerintah yang 12
sebelumnya merupakan ruang terbuka dan area publik yang
digunakan masyarakat untuk berbagai aktivitas, seperti
olah raga atau digunakan untuk berbagai kegiatan event-
event besar yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat
luas, tanpa harus membayar mahal karena tidak bersifat
komersial.
Namun seiring dengan keinginan pemerintah untuk
mengembangkan wilayah dan membangun infrastruktur yang
lebih modern dan lengkap, tapi pemerintah terkendala
dengan pendanaan, maka system perjanjian Build Operated and
Transfer (BOT) menjadi pilihan yang dianggap tepat sebagai
bentuk investasi pemerintah dengan melibatkan pihak swasta
dalam pembangunan di lahan milik pemerintah yang merupakan
aset pemerintah provinsi Sumatera Selatan.
b. Policy Problem Formulation
Situasi
Masalah
Meta Masalah
13
Pengalihan Lahan
Eks RSJ Ernaldi
Bahar oleh
Pemerintah
Provinsi
Sumatera Selatan
Kepada Pihak
Swasta (PT Praja
Adikara Utama-
Lippo Group)
dengan Sistem
Perjanjian Build
Operated and
Transfer (BOT)
Banyaknya pengalihan lahan milik
pemerintah provinsi yang merupakan aset
daerah kepada pihak swasta ;
Penerapan perjanjian dengan system BOT
belum dipahami oleh masyarakat, dan
manfaatnya bagi masyarakat dalam
perjanjian tersebut;
Menjadikan masyarakat lebih konsumtif
karena dari semua lahan yang dialihkan
pembangunannya kepada pihak swasta
lebih terarah untuk pembangunan
bangunan komersial seperti mal dan
hotel’
Tidak adanya sosialisasi dari kebijakan
sistem perjanjian BOT
Dalam pengalihan lahan milik pemerintah
kepada masyarakat;
Perkembangan wilayah yang menuntut
pemerintah untuk membangun fasiltas
infrastruktur yang modern, namun
14
terkendala dengan dana;
Berkurangnya area publik yang berasal
dari pemerintah, dan beralih kepada
pihak swasta, dengan biaya yang lebih
tinggi karena bersifat komersial
c. Policy Design
1. Tujuan dan Sasaran Kebijakan
Penetapan tujuan dan sasaran kebijakan diperlukan
sebagai dasar pijakan dalam merumuskan alternatif
intervensi yang diperlukan serta menjadi pijakan
standar penilaian apakah langkah intervensi tersebut
bisa disebut gagal atau berhasil.
Dalam kebijakan pemerintah provinsi Sumatera Selatan
untuk melakukan perjanjian dengan sistem Build Operated
and Transfer (BOT) tujuan dan sasaran yang ingin dicapai
oleh pemerintah adalah untuk investasi jangka panjang
dengan menawarkan kepada pihak swasta untuk membangun
fasiltas dan infrastruktur yang modern dan saat ini
yang menarik bagi pihak swasta dalam perjanjian BOT
15
adalah membangun mal dan hotel. Kepala BPKAD Sumsel
mengklain, Pemprov mendapat keuntungan lewat dana bagi
hasil dengan pihak swasta.
2. Alternatif Kebijakan
Alternatif kebijakan yang bisa digunakan untuk
kebijakan yang terapkan oleh pemerintah Provinsi
Sumatera Selatan dalam penjanjian menggunakan sistem
BOT terhadap pengalihan lahan eks RSJ Ernaldi Bahar
kepada pihak swasta adalah, dengan melakukan penawaran
terlebih dahulu aset milik pemerintah tersebut dengan
ditawarkan kepada perusahaan lain yang tergerak untuk
membangun berdasarkan asas manfaat untuk kepentingan
publik. Sehingga akan mengurangi dampak negatif dari
kebijakan yang akan diterapkan oleh pemerintah provinsi
Sumatera Selatan baik secara langsung maupun tidak
langsung.
3. Penyusunan Model Formulasi Kebijakan
16
Formulasi kebijakan yang digunakan oleh pemerintah
Provinsi Sumatera Selatan dalam pengalihan lahan eks
RSJ Ernaldi Bahar adalah menggunakan Model Kelembagaan.
Dalam kebjikan dengan menggunakan Model Kelembagaan,
kebijakan dipandang sebagai kegiatan lembaga-lembaga
pemerintah. Terdapat tiga ciri menonjol dalam model
kelembagaan ini yaitu :
a. Pemerintah memberikan legitimasi/pengesahan terhadap
kebijakan public.
b. Kebijakan publik yang dibuat oleh lembaga pemerintah
bersifat universal.
c. Pemerintah memiliki hak memonopoli penggunaan
paksaan/kekerasan untuk mengimplementasikan
kebijakannya.
d. Penilaian dan Perangkingan Alternatif Kebijakan
Melalui penilaian akan ditemukan alternative intervensi
yang paling efektif, efisien dan visible dalam memecahkan
masalah yang dihadapi. Oleh karena itu alternative
intervensi yang dipilih paling tidak harus yang efektif
dalam mencapai tujuan dan sasaran, yang paling efisien
dari sisi biaya dan keuntungan, yang paling bisa diterima
17
oleh stakeholder, dan secara kelembagaan dapat
dilaksanakan serta memenuhi syarat administratif
Berdasarkan kriteria penilaian alternatif tersebut,
dapat dilakukan pengukuran terhadap alternative kebijakan
yang diusulkan. Untuk kasus tersebut di atas dapat
dilakukan pengukuran seperti tabel berikut ini :
a. Penilaian Alternatif Kebijakan
No KRITERIA DIMENSI
1.Technical
Feasibility
Perjanjian dengan sistem BOT
harus jelas dan sesuai dengan
peraturan perundangan yang
berlaku, sehingga perjanjian
dengan penggunaan sistem BOT
dalam pengalihan aset milik
pemerintah kepada pihak swasta
18
tepat sasaran dan berguna bagi
kepentingan publik.
2. Economic and
Financial
feasibility
Menciptakan kondisi ekonomi dan
keuangan daerah yang lebih stabil
dengan mengadakan perjanjian
menggunakan sistem BOT dalam hal
investasi jangka panjang,
terutama untuk pendayagunaan
lahan/aset milik pemerintah yang
dianggap tidak termanfaat dengan
baik dan hanya menjadi lahan
kosong yang tidak dipergunakan,
atau dianggap kurang mendatangkan
keuntungan.
3. Political
Viability
Sejauh ini dampak dari penerapan
perjanjian dengan menggunakan
sistem BOT, hanya dirasakan bagi
pemilik kepentingan, yaitu
pemerintah dan pihak swasta yang
mengelola fasilitas yng telah
mereka bangun. Masyarakat hanya
menjadi bagian dari dampak19
tersebut adalah menciptakan
masyarakat lebih konsumtif,
karena dari semua lahan/aset
milik pemerintah yang dialihkan
kepada pihak swasta lebih
tertarik untuk membangun mal dan
hotel. Dalam perjanjian
tersebut, masyarakat tidak banyak
yang mengetahui apakah nantinya
lahan yang telah berdiri mal dan
hotel tersebut akan dikembalikan
lagi kepada pemerintah atau tetap
kepada pihak swasta yang
mengelola mal dan hotel tersebut.
4. Administrative
Operability
Tercapainya suatu kebijakan tidak
terlepas dari adanya komitmen
dari semua stake holder tersebut
dalam mencapai sebuah kebijakan
b. Perangkingan Alternatif Kebijakan
Penilaian Alternatif Kebijakan
No Kriteria Penilaian Alternatif KetA B C
20
1. Technical Feasibility 4 4 22. Economic and Financial
Viability 4 2 2
3. Political Viability 3 3 24. Administrative
Operability 2 3 2
Jumlah 13 12 8Rangking I II III
Alternatif Kebijakannya adalah :
a. Kebijakan pemerintah untuk melakukan perjanjian
dengan sistem BOT dalam pengalihan lahan milik
pemerintah kepda pihak swasta
b. Kebijakan pemerintah yang diambil tanpa melalui
dengar pendapat dan ditawarkan kepada masyarakat dalam
pengelolaan aset daerah yang belum terkelola dengan
maksimal pemmanfaatannya.
c. Pemberian pengertian dan sosialisasi kepada
masyarakat tentang manfaat dari sistem perjanjian BOT
dalam pengalihan lahan milik pemerintah kepada pihak
swasta.
5. Rekomendasi Alternatif Kebijakan
Berdasarkan hasil penilaian alternatif kebijakan
tersebut, maka pilihan rekomendasi alternatif kebijakan
diperoleh dari hasil nilai untuk kebijakan pemerintah
21
mengenai penerapan kebijakan perjanjian dengan menggunakan
sistem Build Operated and Transfer (BOT) dalam pengalihan lahan
eks RSJ Ernaldi Bahar sebelum dilakukan penanda tangan
kontrak dengan pihak swasta yang memenangkan tender,
terelbih dahulu di sosialisasikan kepada masyarakat, apa
manffat dari sistem perjanjian tersebut untuk kepentingan
masyrakat luas baik secara langsung maupun tidak langsung,
dengan tidak memandang segi komersil dari perjanjian
tersebut.
3. Strategi Pelaksanaan Alternatif Kebijakan yang Dipilih
Strategi pelaksanaan alternatif kebijakan yang diambil dari
pelaksanaan perjanjian dengan menggunakan sistem Build
Operated and Transfer (BOT) terdiri dari :
a. Penggunaan alternatif model kebijakan diharapkan lebih
mendekatkan kebijakan yang berpihak pada kepentingan
masyarakat. Model altenatif kebijakan yang dapat
digunakan adalah model rasional. Dalam penggunaan model
rasional, suatu kebijakan dipandang suatu pencapaian
tujuan secara efisien. Kebijakan dipandang sebagai
pilihan alternatif yang ada untuk memecahkan masalah
publik.
22
b. Tahap-tahap yang dapat dilakukan :
Mengetahui seluruh nilai-nilai yang ada dalam
masyarakat dan memberi bobot
Mengetahui secara tepat altenatif-alternatif kebijakan
yang tersedia
Mengetahui semua akibat yang mungkin terjadi dari
setiap alternative kebijakan yang dipilih
Menghitung nisbah antara nilai yang dicapai dengan
pengorbanan yang diberikan masyarakat
Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien.
c. Penerapan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (Good
Governance)
Seiring dengan telah diberlakukannya sistem
desentralisasi dalam pemerintahan Indonesia, penerapan
konsep dasar tata kelola pemerintahan yang baik,
hendaknya digali dari best practices yang telah dirancang
dan diperkenalkan terlebih dahulu oleh beberapa
pemerintah provinsi/kota/kabupaten di wilayah Indonesia.
Lingkup perbaikan sistem administrasi yang mereka lakukan
secara umum meliputi perbaikan layanan publik, penegakan
hukum, administrasi, keuangan, dan partisipasi aktif dari
masyarakat dengan mengacu kepada prinsip-prinsip yang23
transparan, akuntabel, efisien, konsisten, partisipatif,
dan responsif.
4. Penutup
Uraian mengenai rencana pemerintah provinsi Sumatera
Selatan untuk pengalihan lahan eks RSJ Ernaldi Bahar ke
pihak swasta (Lippo Group) dengan mengadakan perjanjian
sistem Build Operated Transfer (BOT) untuk dijadikan mal dan hotel,
dikhawatirkan sebagian masyarakat dan pengamat kebijakan
publik hanya alasan dan akal-akalan pemerintah untuk tidak
membangun rumah sakit provinsi seperti pernah diwacanakan
sebelumnya. Namun saat ini yang berkembang lewat
pemberitaan dan bahkan sudah dilakukan tender, lahan
tersebut malah akan dibangun mal dan hotel.
Masyarakat menilai apa yang dilakukan pemerintah hanya
menguntungkan satu pihak saja, yakni pemilik modal dan
pemerintah sendiri. Sedangkan nilai manfaat untuk
masyarakat hanya sedikit, bahkan yang akan terjadi adalah
masyarkat akan semakin konsumtif ditengah-tengah kesulitan
ekonomi yang di hadapi pada masa sekarang ini.
Seharusnya pemerintah sebelum menerapkan kebijakan dalam
mengalihan lahan, milik pemerintah kepada pihak swasta
24
dengan mengadakan perjanjian sistem BOT, terlebih dahulu
disosialisasikan apa yang lebih tepat pembangunan yang akan
diinvestasikan di lahan milik pemerintah. Karena lahan yang
dimiliki pemerintah adalah lahan yang diperuntukan
kepentingan publik, yang dalam hal ini diwakili oleh
pemerintah. Masyarakat lebih menginginkan dibangunnya
fasilitas publii yang berguna bagi kepentingan publik secara
luas dan merata tanpa adanya unsur komersial, dimana
masayakat harus membayar lebih mahal, seperti dibangunnya
rumah sakit provinsi yang sangat cukup mendesak, karena
semakin banyak pasien BPJS yang memerlukan penanganan
kesehatan, sehingga manfaatnya akan dirasakan oleh
masyarakat kecil.
Untuk itu sebaiknya pemerintah mengkaji ulang kembali
kebijakan untuk mengalihkan lahan milik pemerintah tersebut
kepada pihak swasta, karena dengan pembangunan mal dan hotel
akan meresakan warga, karena yang dibutuhkan masyarakat saat
ini adalah pembangunan fasiltas kesehatan dengan berdirinya
rumah sakit yang baik dan dapat memberikan pelayanan
kesehatan yang baik juga. Oleh karena itu alternatif
kebijakan yang diambil harus berpihak kepada msayarakat
bukan kepada pemilik modal.25