E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |1 Copyright © September 2019
PERTEMUAN 6
ATRIBUSI, SIKAP DAN PERILAKU
Kompetensi Dasar:
Mahasiswa memahami dan mampu menjelaskan atribusi dan teori-teori retribusi, pengertian
sikap dan perilaku manusia, cara mengukur sikap, bagaimana sikap terbentuk, keterkaitan
sikap dan perilaku serta bagaimana mengubah sikap.
Sumber:
Armando, Nina M. 2014. Psikologi Komunikasi. Universitas Terbuka: Jakarta.
ATRIBUSI
Atribusi adalah proses menyimpulkan motif, maksud, dan karakteristik orang lain dengan
melihat pada perilakunya yang tampak (Baron dan Byrne, 1979).
Mengapa manusia melakukan atribusi?
Manusia memiliki kecenderungan memberikan atribusi disebabkan oleh manusia berusaha
menjelaskan segala sesuatu yang ada dibalik perilaku orang lain.
Menurut Kulik (1983), seseorang memiliki atribusi tentang orang lain sesuai dengan skema
yang ada dalam pikirannya. Jika seseorang berperilaku sesuai dan konsisten dengan skema
itu, maka kita percaya bahwa hal itu terjadi karena sesuatu dalam dirinya (dispositionally
caused). Akan tetapi, saat dia sikapnya berbeda, kita akan percaya bahwa itu terjadi karena
situasi yang mendukungnya (situasionally caused).
Naive Psychology
Fritz Heider seorang tokoh psikologi atribusi, mengemukakan bahwa dasar mencari
penjelasan mengenai perilaku orang adalah akal sehat (commonsense). Hal ini disebut sebagai
Naive Psychology.
Secara akal sehat, ada dua golongan yang menjelaskan suatu perilaku, yaitu:
1. Atribusi Internal
Hal-hal yang berasal dari orang yang bersangkutan seperti suasana hati, kepribadian,
kemampuan, kondisi keuangan, atau keinginan.
2. Atribusi Ekstenal
Hal-hal yang berasal dari lingkungan atau luar diri orang yang bersangkutan seperti
tekanan dari luar, ancaman, keadaan cuaca, kondisi perekonomian atau pun pengaruh
lingkungan.
Contohnya:
Seorang mahasiswa memperoleh IP jelek. Penyebabnya dapat saja karena mahasiswa tersebut
malas, tidak pernah belajar atau bodoh (atribusi internal) atau karena mahasiswa tersebut
sedang punya masalah di rumahnya, mengalami kesulitan ekonomi atau cara mengajar dosen
yang kurang menarik baginya (atribusi eksternal).
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |2 Copyright © September 2019
Atribusi internal dan eksternal dapat terjadi sekaligus, namun menurut Heider orang
cenderung memilih salah satu saja. Misalnya, kepada anak yang memperoleh nilai bagus,
seorang ayah akan berkata, “Anak Ayah memang pandai”. Akan tetapi, ketika anak itu
memperoleh nilai jelek, ayah akan berkata “Pelajarannya terlalu sulit untuk anak seumur itu”.
Teori-teori Atribusi
1. Correspondent Inference Theory
Teori Penyimpulan Terkait dari Edward E. Jones dan Keith Davis (1965). Teori ini
berasumsi “perilaku orang merupakan sumber informasi yang kaya”.
Dengan demikian, jika kita mengamati perilaku orang lain dengan cermat, kita dapat
mengambil beberapa kesimpulan perilaku seseorang.
Misalnya, seorang pemuda yang sering menghubungi teman wanitanya dapat
disimpulkan bahwa pemuda tersebut memiliki perhatian istimewa kepada sang wanita. Orang
yang berwajah murung kita simpulkan sedang sedih.
2. Causal Analysis Theory
Teori Analisis Kausal dari Harold H. Kelley. Dasar dari teori ini adalah commonsense
(akal sehat) dan berfokus pada atribusi internal dan eksternal.
Menurut Kelley, para pengamat perilaku orang lain bertindak seperti ilmuan yang
naif, mengumpulkan berbagai informasi tentang perilaku dan menganalisis polanya supaya
bisa dimengerti. Dari kesimpulan yang diperoleh, pengamat menentukan atribusi apa yang
harus dilakukan. Teori ini berasumsi suatu perilaku orang bisa menimbulkan perilaku lain
sebagai sebab akibatnya.
Ada beberapa hal yang membuat seseorang mencari penyebab terjadinya sesuatu
antara lain kejadian yang tidak terduga, kejadian negatif, kejadian ekstrem, sikap
ketergantungan, dan mempertahankan skema.
Teori ini juga menyebutkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan untuk menetapkan
apakah suatu perilaku beratribusi internal dan eksternal, yaitu:
1) Konsensus apakah perilaku cenderung dilakukan oleh semua orang pada situasi
yang sama. Makin banyak yang melakukannya, makin tinggi konsensus; makin
sedikit yang melakukannya, makin rendah konsensus
2) Konsistensi apakah pelaku yang bersangkutan cenderung melakukan perilaku
yang sama di masa lalu dan situasi yang berbeda-beda? Kalau ya, maka
konsistensinya tinggi, jika tidak maka konsistensinya rendah.
3) Distingsi/kekhasan apakah pelaku yang bersangkutan cenderung melakukan
perilaku yang sama di masa lalu dan situasi yang berbeda-beda? Kalau ya, maka
distingsinya tinggi; kalau tidak, maka distingsinya rendah.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |3 Copyright © September 2019
Bias-bias dalam Atribusi
Dalam menganalisis suatu perilaku tertentu, kita pasti akan menemukan beberapa bias atau
kesalahan sebagai bentuk lain dari kognisi sosial. Ada dua jenis bias atribusi, yaitu:
1. Bias Kognitif (Cognitive Biases)
Teori atribusi mengatakan bahwa manusia mengolah informasi dengan cara yang
rasional sehingga bisa memperoleh informasi yang benar-benar objektif dan kesimpulan yang
diambil juga bersifat objektif. Ada beberapa aspek yang diperhatikan dalam bias kognitif ini,
yaitu:
a. Salience (Menonjol)
Salience merupakan suatu hal yang paling terlihat, paling diketahui dan menonjol dalam
kasus tertentu. Salience membuat kita melihat suatu stimuli sebagai hal yang paling
berpengaruh dalam membentuk persepsi. Sesuatu yang bergerak, berwarna, atau baru
atau apa pun yang paling sering bergerak atau berubah dalam suatu lingkungan akan
memberikan perhatian yang besar.
b. Memberikan atribusi lebih pada disposisi (Overattributing to dispositions)
Salah satu konsekuensi dari bias ini adalah kita akan lebih sering menjelaskan perilaku
seseorang melalui disposisinya. Disposisi itu kemudian dianggap sebagai kepribadian
dan perilaku secara umum, sementara situasi di sekitarnya tidak kita perhatikan.
Memberikan atribusi lebih pada disposisi dan tidak menghiraukan situasi yang ada
merupakan hal yang biasa terjadi yang disebut sebagai kesalahan atribusi mendasar (the
fundamental attribution error).
c. Pelaku vs Pengamat (Actors vs Observers)
Salah satu hal dalam kesalahan atribusi yang mendasar adalah terletak pada pengamat
dan bukan pelakunya. Para pelaku biasanya justru sering terlalu menekankan pada peran
faktor eksternal.
Misalnya, sudah biasa bagi orang tua untuk menetapkan peraturan tertentu yang ketat
pada anak-anak remajanya. Mereka hanya boleh berjalan-jalan ke mall di akhir pekan,
mereka harus sudah ada dirumah pada am tertentu, mereka hanya boleh menonton
televisi setelah mengerjakan PR, dan sebagainya. Bagaimana sebenarnya peraturan ini
diartikan?
Anak-anak di sini berlaku sebagai pengamat, sering melihat peraturan itu sebagai
penyebab disposisi (dispositionally caused). Mereka menganggap orang tua sebagai
orang yang kejam, otoriter, tidak mau mengerti, kuno, tua dan sebagainya. Sementara itu
para aktor, yaitu orang tua biasanya akan menjelaskan perilaku mereka dari sisi
situasionalnya. Mereka hanya berusaha melakukan hal yang terbaik untuk anak-anak.
2. Bias Motivasi (Motivational Biases)
Bias ini muncul dari usaha yang dilakukan manusia untuk memenuhi kepentingan dan
motivasi mereka. Bias kognitif timbul dari anggapan bahwa seolah-olah manusia hanya
memiliki satu kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk memperoleh pemahaman yang jelas dan
menyeluruh tentang lingkungannya. Sementara dalam kenyataan, manusia memiliki berbagai
kebutuhan lain seperti kasih sayang, percaya diri, harga diri, gengsi, kebutuhan materi, yang
sering kali tak diindahkan. Padahal kebutuhan-kebutuhan tersebut ternyata juga memiliki
peran yang penting dalam menimbulkan kesalahan atribusi.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |4 Copyright © September 2019
Bias motivasi yang paling sering muncul adalah apa yang disebut pengutamaan diri
sendiri (self-serving bias). Istilah ini menjelaskan tentang atribusi yang menekankan pada ego
atau mempertahankan kepercayaan diri sendiri. Setiap orang cenderung untuk membenarkan
diri dan menyalahkan orang lain.
Atribusi tentang Diri (Self)
Atribusi tidak hanya tentang orang lain. Atribusi juga dapat dilakukan pada diri sendiri.
Salah satu hal yang menarik dalam teori atribusi adalah orang memiliki persepsi berdasarkan
kondisi internalnya sendiri, sama seperti saat mereka memiliki persepsi tentang kondisi orang
lain.
Sama seperti atribusi tentang orang lain, dalam atribusi pada diri sendiri kita juga mencari
sebab akibat suatu tindakan yang kita lakukan. Hal ini berhubungan dengan atribusi disposisi
dan situasional yang ada. Saat kita bisa mengenal dan melakukan suatu hal, kita bisa dengan
mudah menyebutnya sebagai tindakan yang didasarkan pada atribusi eksternal atau
situasional. Sebaliknya, saat faktor eksternal itu tidak ada, berarti atribusi disposisi (internal)
bisa lebih menjelaskan perilaku kita. Pendekatan ini memberikan pemahaman tentang
persepsi kita mengenai sikap, motivasi dan emosi.
1. Sikap
Penelitian menunjukkan bahwa seseorang memikirkan sikap mereka sendiri melalui
introspeksi. Padahal, manusia memperoleh informasi yang amat minim dan ambigu
tentang kondisi internalnya (dalam diri), sama seperti saat kita berusaha memperoleh
informasi tentang diri orang lain. Oleh karenanya, yang dilakukan manusia adalah
mencoba menilai sikap kita sendiri dengan mengamati perilaku yang kita tampilkan.
2. Motivasi
Manusia cenderung mau melakukan sesuatu dengan ganjaran atau imbalan tinggi. Ini
berarti, manusia memiliki atribusi eksternal dalam melakukan suatu hal. Sementara
melakukan hal yang sama dengan ganjaran atau imbalan yang sedikit atau lebih rendah
akan membuat manusia memiliki atribusi intenal.
3. Emosi
Para peneliti mengatakan bahwa pada dasarnya manusia mengenal apa yang dirasakan
dengan cara mempertimbangkan atau memahami keadaan psikologi, mental, dan
berbagai dorongan eksternal yang menyebabkan hal itu terjadi.
Penelitian Stanley Schachter (1962) tentang persepsi diri dengan pendekatan emosional
menghasilkan persepsi dari emosi kita tergantung dari:
a) Derajat rangsangan psikologis yang kita alami
b) Label kognitif yang kita gunakan, seperti marah atau senang.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |5 Copyright © September 2019
Sikap
Sikap didefinisikan sebagai posisi yang diambil dan dihayati seseorang terhadap benda,
masalah atau lembaga.
Sikap adalah sebuah reaksi evaluatif (suatu penilaian) mengenai kesukaan dan ketidaksukaan
seseorang) terhadap orang, peristiwa atau aspek lain dalam lingkungannya. (Weber)
Sikap merupakan posisi yang tidak netral mengenai suatu objek. Sikap akan selalu positif
(bagus, setuju) atau negatif (buruk, menolak), tetapi tidak pernah netral. Dari definisi di atas
dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap memiliki ciri khas, yaitu:
1. Mempunyai objek tertentu (orang, perilaku, konsep, situasi dan benda)
2. Mengandung penilaian (setuju-tidak setuju, suka-tidak suka)
Sikap terbentuk dari berbagai kesimpulan yang kita peroleh tentang pengalaman di masa lalu,
untuk mempermudah pilihan perilaku kita nantinya.
Sebagaian besar pakar berpendapat bahwa sikap adalah sesuatu yang dipelajari (bukan
bawaan). Oleh karena itu, sikap lebih dapat dibentuk, dikembangkan, dipengaruhi atau
diubah. Sikap berbeda dari sifat (trait) yang lebih merupakan bawaan dan sulit diubah. Untuk
itu mari kita lihat perbedaan sikap dan sifat menurut Ajzen (Sarwono, 1997).
Tabel Perbedaan Sikap dan Sifat
Sikap (Attitude) Sifat (Trait)
Laten Laten (tidak tampak dari luar)
Mengarahkan perilaku Mengarahkan perilaku
Ada unsur penilaian terhadap objek sikap Tidak selalu menilai, cenderung konsisten
pada berbagai situasi, tidak tergantung
penilaian sesaat
Lebih bisa berubah/menyesuaikan Menolak perubahan
MODEL-MODEL SIKAP
1. Model Satu Dimensi (One-Dimensional Model)
Model ini merupakan model yang paling sederhana dalam menjelaskan sikap secara
langsung, dalam arti suka atau tidak suka terhadap objek tertentu. Sikap di sini sangat
jelas, positif atau negatif sehingga hal ini dapat menjelaskan anda memilih untuk tidak
menonton film tentang kekerasan karena anda memang tidak menyukainya (anda
memiliki sikap negatif tentang film kekerasan) dan akibatnya, anda akan menghindari
film yang banyak menampilkan kekerasan.
2. Model Tiga Komponen (Three-Component Model)
Model ini menjelaskan sikap dalam jangkauan yang lebih luas berdasarkan pengalaman
psikologi. Di sini dijelaskan, sikap menyangkut tiga dimensi, yaitu:
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |6 Copyright © September 2019
a) Pengalaman kognitif (seperti kepercayaan)
b) Pengalaman afektif (emosi)
c) Perilaku (pilihan dan tindakan).
Model ini menjelaskan sikap dalam jangkauan yang lebih luas berdasarkan pengalaman
psikologi. Di sini dijelaskan, sikap menyangkut tiga dimensi, yaitu:
a) Pengalaman kognitif (seperti kepercayaan)
b) Pengalaman afektif (emosi)
c) Perilaku (pilihan dan tindakan).
Misalnya:
Ketidaksukaan kita terhadap rokok berkembang menjadi tiga jenis informasi sebagai
berikut:
1) Pertama kita tahu dan percaya bahwa asap rokok memiliki efek yang tidak baik untuk
kesehatan. Dari kepercayaan itu, kita akan merasa tidak nyaman saat berada di antara
orang-orang yang merokok. Hal itu berakibat pada perilaku kita, misalnya langsung
menghindar atau pergi ketika tahu ada teman kita yang merokok.
2) Penilaian negatif yang kita miliki itu membawa konsekuensi lain. Pertama, kita akan
memiliki kepercayaan negatif tentang rokok. Kedua, kita akan mengalami emosi yang
tidak menyenangkan saat berada di antara perokok. Ketiga, saat kita tahu ada teman
kita yang akan merokok kita akan menghindarinya.
3) Perilaku menjadi konsekuensi dari sikap merupakan hal yang penting karena
menunjukkan bahwa sikap seseorang dapat memperkirakan seperti apa perilakunya di
masa datang. Misalnya saat ktia tahu bahwa kita memiliki sikap negatif tentang rokok,
mereka tidak akan merokok di sekitar kita.
ASPEK-ASPEK SIKAP
Ahli psikologi sosial menyatakan bahwa sikap terdiri dari tiga bagian (domain), yaitu:
Kognitif, Afektif dan Perilaku. Myers (1996) memberikan istilah “ABC”. Ini kependekan
dari “Affective (Perasaan), Behavior (Perilaku) dan Cognitive (Kesadaran).
Ketiga domain ini saling terkait erat sehingga timbul teori bahwa jika kita dapat mengetahui
kognisi dan perasaan seseorang terhadap suatu objek tertentu, kita akan tahu pula
kecenderungan perilakunya.
Jadi, sikap dapat meramalkan perilaku. Namun, dalam banyak kasus kita menemukan bahwa
sikap tidak selalu sesuai dengan perilaku. Misalnya, seorang anak yang sangat benci sekolah
(sikap negatif) tetap saja bersekolah terus (bisa jadi karena dipaksa orang tuanya, diancam
guru, tidak tahu lagi apa yang dilakukannya jika tidak sekolah).
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |7 Copyright © September 2019
PENGUKURAN SIKAP
Ada beberapa teknik yang bisa digunakan untuk mengukur sikap. Di bawah ini akan
dikemukakan tiga skala pengukuran sikap, yaitu:
1. Skala Thurstone
Dalam skala ini, seorang peneliti mengembangkan serangkaian pertanyaan tentang sikap
objek. Setiap pertanyaan kemudian disusun ke dalam urutan secara numerik menurut skala
positif-negatif. Contoh pertanyaan: “Urutkan skala sikap 1 sampai 10 tentang pembelian
motor bebek matic”. Dimana poin 1 menunjukkan sikap yang amat negatif dan poin 10
menunjukkan sikap yang amat positif.
Skala Thurstone disusun dengan meminta responden untuk membaca daftar pertanyaan yang
ada dan memberikan tanda atau poin pada pertanyaan yang mereka setujui. Dari situ, poin-
poin yang telah mereka pilih akan dihitung dan dicari rata-ratanya untuk memperoleh skor
sikap seseorang.
2. Skala Likert
Skala ini lebih sering digunakan dari pada skala Thurstone. Skala pengukuran Likert
merupakan skala pengukuran yang mengembangkan pernyataan sikap. Responden kemudian
memilih satu angka dari skala setuju sampai tidak setuju. Jumlah dari angka yang dipilih
menunjukkan sikap responden terhadap hal yang dimaksud.
3. Skala Semantik Differential
Dasar teori dari skala ini adalah bahwa sikap orang terhadap suatu objek dapat diketahui
jika kita mengetahui konotasi (arti psikologik) dari kata yang melambangkan objek sikap itu.
Satu sikap tertentu bisa memiliki makna atau kualitas evaluasi yang berbeda. Dalam teknik
ini responden diminta untuk mengurutkan satu objek sikap dalam beberapa skala yang
berbeda secara semantik. Misalnya: responden memberikan nilai terhadap iklan rokok
sebagai berikut:
Baik 1 2 3 4 5 Buruk
Bagus 1 2 3 4 5 Jelek
Jujur 1 2 3 4 5 Tidak Jujur
TEORI PEMBENTUKAN SIKAP
Idealnya sikap dibentuk dari pengalaman seseorang yang akan berfungsi sebagai
penuntun untuk perilakunya di masa datang. Para peneliti telah mengidentifikasikan tiga jenis
pendekatan dalam memahami pembentukan sikap manusia, yaitu:
1) Pendekatan Belajar (Learning Approaches)
Sikap biasanya terbentuk lewat proses pembelajaran, suatu proses di mana
pengalaman dan praktik menghasilkan perilaku yang relatif sama atau tetap. Proses
pembelajaran ini secara umum diidentifikasikan dalam pembentukan sikap melalui hal
berikut:
a) Asosiasi
b) Peneguhan
c) Belajar sosial
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |8 Copyright © September 2019
Berikut penjelasannya
a) Asosiasi
Asosiasi mengacu pada proses menghubungkan pengalaman-pengalaman yang amat
dekat dari segi waktu, ruang, atau keadaan. Terdapat dua bentuk pembentukan sikap melalui
asosiasi, yaitu:
I. Classical Conditioning
Sikap bisa saja merupakan serangkaian ide, perasaan, dan keinginan yang kompleks.
Namun, sikap bisa juga terbentuk dengan mengasosiasikan satu pengalaman dengan
yang lain dan membuat respons yang umum terhadapnya. Belajar untuk membuat
respons yang sama pada stimuli baru yang diasosiasikan pada stimulus sebelumnya
disebut Classical Conditioning.
Contohnya:
Seorang anak diminta untuk mengikuti les matematika oleh orang tuanya. Sementara
anak tsb tahu bahwa matematika amat membosankan. Apalagi jika anak tsb belajar
dengan suasana yang tidak menyenangkan karena gurunya galak berdasarkan hal tsb,
anak akan berfikir, dengan ikut les matematika ia akan berada dalam situasi yang
tidak nyaman. Sehingga anak akan berusaha mencari alasan untuk menghindari les
matematika. Ia memiliki pengalaman buruk pada matematika dan akhirnya
membentuk sikap penolakan.
II. More Exposure
Pembentukan sikap yang paling jelas dapat dibentuk lewat pengalaman yang
berulang-ulang dengan objek sikap, seperti manusia atau tampilan lingkungan yang
sering kali ditemui.
Menurut psikolog Zajonc, terpaan yang berulang-ulang itu biasanya akan
menghasilkan perasaan positif. Misalnya, iklan televisi yang sering kali kita tonton
bisa berdampak pada kesukaan kita terhadap produk yang diiklankan. Apalagi kalau
kita beranggapan produk itu memang dibutuhkan dan menarik.
b) Peneguhan (Reinforcement)
Sikap bisa dipelajari dari pengalaman pribadi karena ada konsekuensi-konsekuensi
tertentu yang bisa diambil dari sana.
Misalnya, kita tahu bahwa saat kita mengikuti mata kuliah psikologi, kita amat menikmatinya
sehingga bisa memperoleh nilai tinggi.
Dari hal ini dapat dilihat bahwa ada semacam peneguhan dalam mengembangkan sikap
positif terhadap psikologi. Peneguhan merupakan segala macam konsekuensi dari
pengalaman kita yang nantinya bisa menghasilkan perilaku tertentu, seperti kecenderungan
untuk mengambil hal yang disukai.
Terdapat dua faktor yang menimbulkan peneguhan, yaitu:
i. Pengaruh keluarga
ii. Kelompok bermain (peer group) dan kelompok acuan (reference group).
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |9 Copyright © September 2019
c) Belajar Sosial (Social Learning)
Proses belajar sosial (social learning) dari Bandura (1977) menjelaskan bahwa beberapa
sikap yang dihasilkan bisa diperoleh dari hasil asosiasi pasif atau pengaruh persuasif dari
orang-orang yang setuju atau sepihak dengan kita.
Biasanya manusia secara aktif mencari informasi dan pengalaman yang menjadi dasar
untuk bersikap dan berperilaku. Bentuk pendekatan belajar sosial yang paling umum
berhubungan pada proses pengamatan terhadap konsekuensi dari perilaku orang lain
(vicarious learning) dan proses modeling, yaitu proses belajar untuk meniru perilaku orang
lain.
Pada proses vicarious learning, manusia belajar membentuk sikap baru dengan
mengamati apa yang dilakukan atau terjadi pada orang lain dalam melakukan hal itu.
Misalnya:
Anak berusia 14 tahun bisa saja tidak terlalu memahami apa artinya homoseksualitas,
akan tetapi ia melihat orang-orang yang menyatakan dirinya “Gay” selalu diprotes dan
dikucilkan oleh orang sekitar. Dengan demikian ia akan belajar membentuk sikap
menghindari kaum homoseksualitas – Gay.
Manusia cenderung memiliki orang lain yang mereka kagumi, yang biasa disebut sebagai
kelompok orang pemberi aspirasi (Aspirational Reference Group). Dalam proses modelling
ini, manusia akan cenderung untuk membentuk kehidupan sosial kita dengan meniru
(mengimitasi) kebiasaan-kebiasaan dan selera ataupun gaya hidup mereka yang kita kagumi.
2) Pendekatan Konsistensi Kognitif (Cognitive Consistency)
Teori-teori konsistensi kognitif berpangkal pada sebuah proposisi umum, yaitu bahwa
kognisi (pengetahuan, kesadaran) yang tidak sesuai dengan kognisi-kognisi lain
menimbulkan keadaan psikologik yang tidak menyenangkan dan keadaan ini mendorong
orang untuk bertingkah laku agar tercapai konsistensi antar kognisi-kognisi tersebut, hal yang
mana menimbulkan rasa senang.
Keadaan inkonsistensi, misalnya terjadi apabila kita melihat seorang menteri sedang
makan di warteg. Menteri dan warteg adalah dua kognisi (kesadaran) yang tidak saling
berkaitan, bahkan mungkin bertolak belakang. Apabila dua kognisi ini muncul sekaligus,
maka timbul perasaan inkonsistensi dalam diri kita, yang menyebabkan kita perlu melakukan
sesuatu agar timbul konsistensi yang menyenangkan dalam diri kita.
Seperti, melihat orang tersebut sekali lagi untuk meyakinkan bawah orang yang
makan di warteg tersebut bukan menteri. Atau mengubah struktur kognitif yang ada bahwa
menteri juga manusia kebanyakan yang sekali-sekali juga bisa makan di warteg.
Hubungan inkonsistensi antar kognitif-kognitif diberi sebutan yang berbeda-beda,
yaitu:
a) Fritz Heider menamakannya “ketidakseimbangan kognitif” (Cognitive Imbalance)
b) Newcomb menamakannya “Asimetri” (Asymetry)
c) Osgood & Tannebaum menamakannya “ketidakselarasan” (Incongruence)
d) Festinger menakannya “disonansi” (Dissonance).
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |10 Copyright © September 2019
3) Pendekatan Motivasional
Menurut Weber, pendekatan motivasional disebut juga pendekatan insentif,
mengasumsikan bahwa individu menilai untung rugi dalam membuat respons tertentu,
termasuk memelihara dan mengekspresikan sikap tertentu.
Dua model yang termasuk dalam pendekatan ini adalah (a) Evaluations Models dan
(b) Processing Models.
(a) Evaluations Models
Model ini melihat pembentukan sikap sebagai suatu hal yang dimotivasi oleh keinginan
untuk memaksimalkan hal yang positif. Satu model melihat kepentingan evaluasi yang
subjektif tentang sikap objek dan yang lain menekankan pada nilai yang diharapkan.
Termasuk dalam model ini adalah Teori Respons Kognitif dan Teori Expentancy-Value.
Model ini melihat pembentukan sikap sebagai suatu hal yang dimotivasi oleh keingian
untuk memaksimalkan hal yang positif. Yang termasuk dalam model ini adalah Teori
Respons Kognitif dan Teori Expentancy-Value
• Teori Respons Kognitif (Cognitive Response Theory)
Salah satu cara mengembangkan sikap adalah dengan cara mendengarkan apa yag
diungkapkan orang lain dan melihat apakah kita setuju atau tidak dengan mereka.
Kesepakatan atau persetujuan berarti kita memberikan satu respons kognitif yang
positif terhadap satu pernyataan, sementara ketidaksetujuan berarti ada satu respoens
kognitif yang negatif.
Pendekatan respons kognitif mengatakan bahwa untuk menentukan apakah kita
melakukan suatu sikap tertentu, pertama kita akan menentukan apakah kita
memberikan respons positif atau negatif terhadap bagian tertentu yang berbeda. Pada
dasarnya teori ini mengatakan bahwa sikap bisa dibentuk dari perasaan subjektif kita.
Contoh: kita akan menyukai sesuatu yang memberikan kesenangan walaupun
alasannya tidak bisa diterima akal.
• Teori Expentancy-Value
Teori ini melihat bahwa sikap berkembang dari proses evaluasi, pertimbangan aspek
positif dan negatif dari objek sikap.
Teori ini memasukkan unsur tambahan, yaitu kemungkinan bahwa sikap akan
membawa hasil yang baik atau buruk.
Misalnya, kita akan tahu bahwa dalam menentukan mobil mana yang akan dibeli,
anda akan mempertimbangkan tidak hanya perasaan, penampilan dan kesan yang
ditimbulkan saat ini, tetapi juga mobil mana yang nantinya akan memberikan
keuntungan di masa mendatang.
(b) Elaboration vs Heuristic Processing
Pembentukan sikap bisa juga dibentuk dari pentingnya objek sikap dan keadaan di mana
opini seseorang terbentuk. Beberapa ilmuan membedakan antara pembentukan sikap
sebagai hasil dari elaborasi atau proses kognitif yang sistematis dengan mereka yang
memperolehnya sebagai hasil dari proses periferal atau heuristic.
• Elaborasi
Elaboration-Likelihood Model merupakan suatu pemahaman teori yang penting
mengenai bagaimana sikap bisa berubah sebagai respons dalam komunikasi persuasif.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |11 Copyright © September 2019
Model elaborasi disebut juga model sentral atau model proses sistematis. Pemahaman
ini juga memiliki implikasi untuk perkembangan maupun perubahan sikap. Menurut
model ini, manusia akan cenderung untuk lebih berpikir sebelum menentukan sikap
mereka dalam beberapa kondisi dari pada yang lain.
Dalam kondisi yang ideal, kita akan lebih berhati-hati dalam berpikir mengenai
argumen yang akan diberikan saat kondisi formal. Namun saat kondisi tak lagi ideal,
maka kita akan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal (periferal)
• Heuristic
Kebalikan dari model Elaborasi, model ini menjelaskan bahwa sikap kita terbentuk
secara cepat dan mudah, tanpa melakukan analisis untung rugi sebelumnya. Saat kita
terganggu, tidak dilibatkan, atau tidak diinformasikan suatu masalah, kita akan lebih
memperhatikan pada pertimbangan-pertimbangan seperti betapa menariknya
komunikator saat itu atau apakah saat itu kita merasa sepakat dengan mereka.
Dalam kondisi itu, berarti kita hanya mengandalkan pada keadaan heuristic (petunjuk
sederhana) atau pada tanda-tanda eksternal (periferal) untuk menentukan sikap
terakhir kita tentang objek atau isu.
PERUBAHAN SIKAP
Sikap yang dimiliki seseorang berkembang dan karenanya dapat pula berubah.
Perubahan sikap dapat disebabkan oleh pengalaman atau hal-hal baru yang diperoleh dari
orang lain atau dari media massa.
Perubahan sikap merupakan hasil dari komunikasi persuasuf. Berubahnya sikap
adalah akibat langsung dari bujukan (persuasif), yaitu sebuah bentuk pengaruh sosial yang
bertujuan mengubah keyakinan, perasaan, dan perilaku seseorang. Efektivitas persuasi
ditentukan oleh kualitas sumber atau komunikator yang melakukan persuasi, isi dan
penyajian pesan yang persuasif, motif serta kemampuan audience.
Berikut ini komponen komunikasi persuasi yang mempengaruhi sikap yaitu:
1. Sumber
2. Pesan
3. Audiens
4. Efek Situasional
Berikut penjelasannya
1. Sumber
Informasi pertama yang orang terima dari pesan persuasif adalah karakteristik source
(sumber atau komunikator) yang menyampaikan pesan. Ada dua variabel yang
mempengaruhi sumber, yaitu:
a) Kredibilitas
Sebuah pesan dapat lebih persuasi dan menghasilkan perubahan sikap yang lebih
besar ketika komunikator dianggap memiliki kredibilitas. Komunikator dapat
dianggap lebih kredibel jika terlihat memiliki keahlian (pengetahuan) dan dapat
dipercaya.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |12 Copyright © September 2019
b) Daya tarik
Daya tarik komunikator merupakan hal penting dalam mempersuasi orang. Misalnya,
sebuah perusahaan mengiklankan produknya di media massa dengan menggunakan
selebritis yang mempunyai reputasi di bidang tertentu untuk menarik perhatian
konsumen.
Terdapat tiga macam daya tarik, yaitu:
(1) penampilan fisik,
(2) power, dan
(3) kesamaan dengan penerima pesan.
2. Pesan
Elemen pesan yang memiliki lebih banyak variabel yang membangun efek untuk
mempersuasi. Kualitas epsan persuasif yang berdampak pada perubahan sikap, meliputi:
a) Posisi
Semakin suatu pesan dekat dengan posisi atau sudut pandang seseorang pada saat itu,
semakin mudah orang tersebut dalam menerima pesan.
b) Isi Pesan
Isi pesan merupakan salah satu elemen yang dapat mempersuasi penerima pesan untuk
mengubah sikap. Dalam dunia periklanan, isi pesan atau slogan suatu produk dibuat
sebisa mungkin untuk dapat meresap ke dalam benak konsumen.
Berikut adalah hal-hal yang mempengaruhi dampak persuasif isi pesan, yaitu:
(1) Kesederhanaan,
(2) Daya tarik emosional,
(3) Kepentingan pribadi,
(4) Penyajian/Gaya penyampaian pesan.
3. Audience (Khalayak, Penerima Pesan)
Karakteristik audiens akan menentukan mana komunikator yang kredibel atau atraktif,
mana pesan yang logis, dapat diingat atau seimbang. Berikut hal-hal yang mempengaruhi
audiens adalah:
a) Attention (Perhatian)
Pesan yang muncul di media massa tidak dapat mempersuasi audiens yang tidak menaruh
perhatian terhadapnya. Berikut hal-hal yang berkaitan dengan perhatian audiens, yaitu:
• Selective Exposure (Terpaan Selektif) kecenderungan seseorang akan memilih
pesan yang sesuai dengan sudut pandang kita, dan menghindari informasi lainnya.
• Ego Involvement (Keterlibatan Diri) keterlibatan dengan sesuatu yang membuat
kita kurang menerima hal lainnya. Semakin seseorang terlibat dengan sikapnya
terhadap sesuatu, semakin kurang menerima posisi lain. Contohnya, pendukung suatu
partai akan tidak menyukai partai saingannya.
E-Learning Universitas Bina Sarana Informatika Page |13 Copyright © September 2019
b) Karakteristik personal
Penerimaan pesan persuasif dapat berbeda-beda antara satu individu dengan individu
lainnya. Beberapa karakteristik pribadi yang mempengaruhi individu dalam menerima
pesan, yaitu:
• Umur. Berdasarkan masa-masa yang mudah dipengaruhi, umur anak-anak dan remaja
(18 – 25 tahun) memiliki sikap yang kurang stabil dibandingkan orang dewasa.
• Kebutuhan. Sebuah pesan akan lebih persuasif jika sesuai dengan kebutuhan penerima
pesan. Para pengiklan akan mengidentifikasi kebutuhan khalayak, kemudian
menawarkan janji-janji yang sesuai untuk, memenuhi kebutuhan tersebut.
4. Efek Situasional
Persuasi tidak hanya dihasilkan dari komunikator, pesan, dan penerima pesan. Ada
beberapa hal yang terjadi dalam proses berlangsungnya komunikasi persuasif, dan dampak
pentingnya bagi perubahan sikap, yaitu:
a) Message Density (Kerapatan Pesan)
Banyaknya pesan yang datang dalam waktu singkat akan mempengaruhi kita. Contoh
yang paling nyata adalah banyaknya iklan yang mengikuti suatu program acara televisi.
Biasanya iklan yang muncul berasal dari kategori produk yang sama, sehingga sebuah
produk akan saling berperang dalam menyampaikan pesan persuasif kepada audiens.
b) Repetisi (Pengulangan)
Seseorang akan terbiasa terhadap suatu pesan persuasif disebabkan adanya pengulangan
pesan. Pengulangan pesan akan menyebabkan perubahan sikap.
c) Distraction (Gangguan/Pengalih Perhatian)
Penerima pesan akan membuat argumen perlawanan terhadap pesan yang diterimanya.
Akibatnya, kekuatan persuasi pesan akan berkurang.