Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni
Antar Umat Beragama
Adeng Muchtar Ghazali
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Indonesia
Email: [email protected]
Abstrak
Tulisan ini berangkat dari fenomena kehidupan beragama yang semakin
hari semakin dinamis dan kompleks. Beberapa faktor, baik yang bersipat sosial,
kultural, politik, ekonomi, maupun pemahaman agama ikut mempengaruhi
dinamika dan kompleksitas kehidupan beragama. Komunitas antar umat
beragama semakin terbuka (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dari
entitas sebuah masyarakat. Kenyataan pluralitas agama dan multi kultural
merupakan suatu kenyataan yang muncul ditempat yang berbeda-beda, dan
umat beragama tidak bisa lagi hidup secara terisolasi. Melalui analisis-
kualitatif, menstudi agama sebaiknya lebih diorientasikan pada memahami
‘manusia beragama’nya. Oleh karena itu, Smith menyodorkan logika
memahami agama melalui pendekatan pronominal terms. Tujuannya adalah
untuk terjalin harmoni dalam perbedaan diantara penganut agama yang
berbeda-beda. Pemikiran Smith dapat berimplikasi secara teoritis dan
konseptual dalam membangun masyarakat beragama yang rukun, toleran, dan
saling bekerja sama.
Kata kunci: pronominal terms, kerukunan, pluralitas, faktor sosial kultural
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
260 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Pendahuluan
Wilfred Cantwell Smith adalah seorang penstudi agama berkebangsaan
Kanada kelahiran tahun 1916 dan meninggal tahun 2000. Ia pernah belajar di
Unversitas Toronto dalam bidang oriental studies, terutama sejarah dan
bahasa,,kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya ke Wentminster College
Universitas Cambridge. Ia menekuni bhs Arab dan Islam dari seorang tokoh
orientalis Prof. HAR Gibb. Untuk lebih memperdalam teori yang dibangunnya,
ia pernah ke India untuk mempelajari agama dan budaya setempat.
W. C. Smith memulai karir dosennya di universitas M. C. Gill, Montreal
pada bidang kajian perbandingan agama (Comparative Study of Religion).
Sebagai Profesor di Unversitas M. C. Gill, ia mendirikan M. C. Gill Institute of
Islamic Stadies yang sekaligus menjadi direkturnya pada tahun 1952 yg
merupakan bagian dari M. C. Gill University, kemudian dikembangkan pula di
Harvard university. Sebagian pengajar dan mahasiswanya adalah orang-orang
Islam. Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajarnya ini membentuk
pemikiran dan keahliannya di bidang metodologi studi ilmu perbandingan
agama.1
Smith ingin menunjukkan dua hal yang berbeda ketika memahami agama
: “agama” (religion) dan “manusia beragama” (religious faith).2 Manusia
beragama berkaitan dengan konstruk kesejarahan (historical construct), yang
melibatkan banyak elemen baik sosial kultural, ekonomi, politik dan lain
sebagainya. Melalui proses interaksi, muncul beragam tradisi dan komunitas
keagamaan. Pada konteks kepenganutan inilah para penstudi agama lebih fokus
dalam menstudi agama.
Tulisan ini lebih fokus pada pemikiran Smith tentang metodologi
memahami agama-agama sebagai tahapan dalam proses terbangunnya
hubungan yang harmonis di antara para penganut agama.
Dasar-dasar Metodologis
Memahami agama pada dasarnya memahami agama dari teks dan
konteks. Teks menunjukkan pada doktrin atau ajaran agama yang
bersumberkan wahyu, sedangkan konteks menunjukkan pada sikap dan
pemahaman penganut agama terhadap teks. Oleh karena itu, para penstudi
agama pada umumnya, termasuk didalamnya W.C. Smith yang memisahkan
agama dengan klasifikasi internal dan eksternal religion, selalu memisahkan
1 W.C. Smith, Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious
Tradistions, pertama kali dipublikasikan di Macmillan Company, New York, Amerika, 1962,
kemudian di Inggris tahun 1978, hal. 165-169 2 Ibid, hal. 1-4
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 261
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
agama sebagai doktrin (religion) dan agama sebagai perilaku (religiosity).3
Emile Durkheim, misalnya, memisahkan istilah religion dengan religious
phenomena.4 Demikian pula, para penstudi agama lain, seperti Eliade, Wach,
Kitagawa, memisahkan agama dan praktek agama dalam studinya. Pemisahan
ini untuk memudahkan dalam memahami agama. Sebab, agama menjadi hidup
dan dinamis sangat bergantung kepada para penganutnya. Demikian pula
sebaliknya, agama bisa mati karena ditinggalkan penganutnya. Dengan
demikian, secara empiris, baik buruknya agama tergantung pada penganutnya
yang merefleksikan keyakinan agamanya dalam kesehariannya. Jika agama
dikesani sebagai ‘teroris’, radikalis, dan lain sebagainya, adalah ditujukan
kepada para pengnutnya yang merepresentasikan ‘perilaku’ ini, bukan pada
agamanya. Di sinilah pentingnya memahami agama sebagai teks dan konteks,
agama sebagai doktrin dan praktek, serta agama yang bersipat internal dan
eksternal.
Secara filosofis, pemikiran Smith semakin mudah dipahami jika
mempelajari pemikiran Fritjof Schuon dan Huston Smith tentang Supreme
Being (Adi Kudrati)5 melalui pendekatan esoteris dan eksoteris, sebagaimana
diulas dalam pembahasan sebagai bagian dari dasar-dasar metodologis Smith
dalam memahami agama-agama. Semua penganut agama yang dipelajari Smith
memiliki tujuan untuk menyusun dan mengembangkan teori-teori yang dapat
diterima baik oleh orang Yahudi, Budha, Islam maupun Kristen, yg diperkuat
melalui tradisi akademik sebagai scientific method.
Smith seolah memberi pemahaman setidaknya : pertama, diperlukan
reorientasi baru ilmu perbandingan agama dalam menstudi agama pada situasi
dan dinamika kehidupan keagamaan yang semakin kompleks, terutama
berhadapan dengan kemajuan sains dan teknologi. Kedua, diupayakan adanya
hubungan antaragama yang lebih harmonis, minimal diawali dari lingkungan
tokoh agama dan kaum intelektual sebagai bagian yang integral dan komunitas.
Ketiga, hubungan yang berlangsung sebagaimana pada pemikiran di atas,
bukan hanya bersifat pertemuan ilmiah, tetapi lebih bersifat kebersamaan
komunitas dalam beragama.
Pembahasan
3 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif
Islam”, dalam Religious, Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Vol. 1, Nomor 1,
September 2016, Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, hal. 25. 4 Ibid; lihat pula, Emile Durkheim, the Elementary Forms of the Religious Life, translated by
Joseph Ward Swain, George Allen & Unwin LTD, London, 1976, hal. 23-47. 5 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hal. 139-
148
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
262 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
1. Tahapan Memahami Agama ‘Kita’ dan ‘Orang Lain’
Sebagai seorang penganut Kristen, upaya akademis Smith dalam
memahami agama orang lain tidak terlepas dari kesejarahan Kristianinya -
sebagai agama yang diyakininya. Mempelajari agama adalah mempelajari
manusia dengan ragam karakter, kapasitas pengetahuan, dan kondisi sosial
kultural yang mengitarinya. Dalam merefleksikan keyakinannya, manusia
beragama dihadapkan dengan ragam keyakinan lain yang berbeda dengan
keyakinan agamanya. Pada konteks ini, Smith menyodorkan pemikiran tentang
bagaimana seseorang atau sekelompok komunitas tertentu bisa saling
berinteraksi dengan sekelompok orang yang berbeda keyakinan dengan
dirinya, tanpa memunculkan ‘perasaan’ bermusuhan.
Untuk menggambarkan ‘personalisasi’ agama antara ‘keyakinan kita’
dengan ‘keyakinan orang lain” sehingga memunculkan “harmoni dalam
perbedaan”, Smith menggunakan pendekatan pronominal terms. Menurutnya,
di lingkungan Kristen, agama Kristen dipandang sebagai ‘personal’, sedangkan
non-Kristen dipandang sebagai impersonal. Smith mengawali pernyataan
teologisnya dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan implikasi
konseptual wahyu Kristen. Pada tingkat wahyu Allah, Kristus menghendaki
rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam: kita harus berusaha
menghilangkan hambatan-hambatan, menjembatani perbedaan-perbedaan,
mengakui semua orang sebagai sesama dan anak-anak Allah Bapa, yang sedang
berupaya menemukan Dia. Pada taraf ini, kita tidak akan menjadi orang Kristen
sejati sebelum kita mencapai suatu komunitas yang mengubah seluruh umat
manusia menjadi satu “kita” yang mutlak. Jika pernyataan-pernyataan teologis
dirumuskan, pernyataan-pernyataan itu jangan sampai memungkinkan orang-
orang Kristen nrengabadikan sikap kami (we) dan mereka (they), yang menjadi
sikap eksklusif masa lampau. Sikap seperti ini, didasari oleh keangkuhan dan
bukan kerendahan hati yang diajarkan Kristus dan benar-benar tidak bermoral.6
Untuk lebih memahami personalisasi agama yang dikaitkan dengan
penggunaan “pronominal terms”, penulis kemukakan istilah-istilah pronominal
yang digunakan Smith. Ada beberapa tahapan studi agama dalam upaya
personalisasi yang menggunakan pronominal terms7, yaitu :
a. It, bentuk tradisional yang biasa digunakan orang barat (baca: Kristen)
untuk membicarakan agama-agama (non-Kristen). It menunjukkan sesuatu
yang impersonal. Pada tahapan ini agama non-Kristen adalah agama yang
impersonal, masih asing, belum bisa dijadikan objek kajian.
66 Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, terjemahan, Kanisius,
Yogyakarta, 1989, hal. 62 7 Kitagawa & Eliade, History of Religion, Essays in the Problem of Understanding, University
of Chicago Press, 1974, hal. 34
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 263
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
b. They, agama yang impersonal menjadi personal, sesuatu yang asing
menjadi dikenal dan bisa didekati sebagai objek kajian. Pada tahapan ini,
ada pengakuan bahwa agama-agama non-Kristen (they) merupakan bagian
dari komunitas manusia beragama.
c. We, sudah tercapai adanya hubungan yang bersifat dialogis antar agama
Kristen dan non-Kristen. We mencakup they dan you. They menunjukkan
bahwa para penstudi memandang agama yang dikajinya sebagai objek, dan
penstudi berkedudukan hanya sebagai partisipan, sedangkan you
menunjukkan adanya dialog yang harmonis, tadinya we’re speaking (to)
you, --kami berbicara (kepada) Anda, menjadi we’re speaking (with) you,--
kami berbicara (kepada) Anda. Di sini nampak bahwa yang tadinya (to)
you sebagai objek, berubah menjadi (with) you sama-sama sebagai subjek.
d. We all, merupakan kelanjutan dari tahapan sebelumnya sebagai tahapan
terakhir dalam personalisasi agama dengan menggunakan pronominal
terms. Unsur kebersamaan dari berbagai umat beragama yang berlainan,
menjadi satu komunitas, satu sama lain saling berbicara dan tertukar
pikiran tentang agamanya. We all yang dibicarakan tiada lain adalah with
each ather about us - marilah bersama-sama berbicara tentang kita; yakni
agama yang sedang kita anut dan tersebar di seluruh pelosok dunia.
Tahapan di atas menunjukkan bahwa masing-masing keyakinan agama
sebagai “keyakinan kita” (truth claim) tetap terpelihara, tetapi pada saat yang
bersamaan dia “menghormati” keyakinan agama “orang lain” yang berbeda
dengan keyakinannya. Dari rasa ‘saling’ menghormati ini dalam prosesnya
membuka ruang peluang terjadinya suasana kebersamaan dan kerjasama untuk
memelihara kedamaian dan kenyamanan diantara sesama penganut agama.
2. Pendekatan Eksoteris dan Esoteris
Implikasi teoritis dari penggunaan pendekatan pronominal terms adalah,
bahwa dalam memahami agama perlu menggunakan pendekatan esoteris dan
eksoteris. Pendekatan ini digunakan untuk memahami prinsip dasar keyakinan
agama. Pendekatan esoteris adalah hakikat (essence), sedangkan eksoteris
adalah perwujudan (manifest). Kajian ini didasarkan kepada ajaran yang
bersipat metafisik, bukan bersipat filosofis. Berdasarkan pendekatan itu,
perbedaan dasar bukanlah antara agama yang satu dengan agama yang lain.
Dapat dikatakan, garis pemisah itu bukannya membagi perwujudan historis
yang besar dari agama-agama secara vertikal. Sebaliknya, garis pemisah tadi
bersipat horizontal dan hanya ditarik satu kali membelah berbagai esoterisme,
sedangkan dibawahnya terletak faham eksoterisme. Secara esoteris semua
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
264 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
agama pada dasarnya atau pada hakeketnya sama, dan secara eksoteris hanya
berbeda dalam bentuknya.8
Setiap agama memiliki satu bentuk dan satu substansi. Substansi
mempunyai hak-hak yang tidak terbatas, sebab ia lahir dari Yang Mutlak
sedangkan bentuk adalah relatif, dan karena itu hak-haknya terbatas. Setelah
mengetahui ini, orang tiak dapat menutup matanya dari dua fakta, bahwa : (1)
tidak ada kredibilitas mutlak pada tingkat fenomena semata dan, (2) penafsiran
harfiah dan eksklusif atas pesan-pesan agama diperdayai oleh ketidaktepatan
mereka yang relatif sepanjang menyangkut orang-orang beriman dari agama-
agama lain.9
Pemahaman esoteris dan eksoteris, berdasarkan logika Schuon, adalah
melalui penjelasan bahwa wujud penyelamat dari Yang Mutlak adalah
Kebenaran atau Kehadiran, tetapi salah satunya tidak berdiri sendiri.Dalam
kerangka ini kita bisa melihat bahwa Kristus adalah kebenaran dan Kehadiran
bagi orang-orang Kristen, yaitu kehadiran dalam kebenaran itu itu sendiri atau
satu-satunya Kehadiran Tuhan yang benar. Nabi, sebaliknya, adalah kehadiran
dari kebenaran bagi seorang Muslim, dalam arti bahwa ia sajalah yang
menghadirkan Kebenaran murni atau menyeluruh, Kebenaran itu sendiri.10
Frithjof Schuon berusaha untuk menganalisis hubungan antar agama-
agama. Dasar pemikirannya adalah, bahwa setiap hal memiliki persamaan
sekaligus perbedaan dengan hal-hal lainnya. Persamaan, paling tidak dalam
adanya hal-hal itu sendiri. Perbedaan, karena kalau tidak, pasti tidak akan ada
keragaman yang dapat diperbandingkan. Demikian pula halnya dengan agama-
agama. Bila tidak ada persamaan pada agama-agama, kita tidak akan
menyebutnya dengan nama yang sama : “agama”. Bila tidak ada perbedaan
diantaranya, kita pun tidak akan menyebutnya dengan kata majemuk : “agama-
agama”, dan karena itu kata benda tunggal akan lebih cepat untuk itu.
Dimanakah akan ditarik garis antara kesatuan dan kemajemukan diantara
keduanya ? mengajukan teori tentang “Perbedaan antara hakekat dan
perwujudan : esoteris lawan eksoteris”. Kajian ini didasarkan kepada ajaran
yang bersipat metafisik, bukan bersipat filosofis. Schuon menarik garis
pemisah antara yang eksoteris dan esoteris. 11
Pendekatan esoteris dan eksoteris itu bisa memperoleh pemahaman
tentang “kesatuan” : kesatuan yang absolut, kategoris dan utuh. Secara
antropologis, kesatuan ini menutup kemungkinan bagi munculnya perbedaan
akhir antara yang manusiawi dan ilahi. Sedangkan secara epistimologis,
kesatuan yang sama akan meniadakan kemungkinan bagi munculnya
8 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, Op.Cit, hal.75 9 Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial, terjemahan, Mizan, Bandung, 1993, hal. 25 10 Ibid, hal. 17 11 Ibid, hal.74
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 265
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
perbedaan akhir antara yang mengetahui dan diketahui Inilah yang
memungkinkan kita memahami bahwa versi Schuon tentang perbendaan antara
hakekat dan perwujudan agama sangat penting artinya. Menurut
pandangannya, kelemahan versi-versi lain mengenai perbedaan ini karena
versi-versi tadi terlalu cepat menyatakan adanya kesatuan, padahal
sesungguhnya kesatuan tersebut tidak terjangkau karena bercorak eksoteris
sebagaimana terlihat pada garis bawah, nampak berbagai agama itu terpecah
belah. Namun, perbedaan tingkat ini merupakan hal yang mendasar. Tanpa
perbedaan tersebut akan terjadi kebingungan yang tidak dapat dielakkan.
Sebagaimana yang dikatakan dalam pengantar buku Attitudes toward other
Religions bahwa “kadang-kadang ditekankan bahwa semua agama sama
benarnya, tetapi hal ini kelihatannya merupakan suatu pendapat yang lemah,
karena agama yang bermacam-macam itu mempunyai pandangan yang sangat
berbeda tentang realitas, jika bukan bertentangan satu sama lain”.12
Kesatuan berbagai agama hanya terjadi pada tingkat estoris. Ia
bersembunyi dan bersipat rahasia, bukan karena orang mengetahuinya,
melainkan karena kebenaran yang merupakan rahasia itu terbenam didalam
timbunan unsur manusiawi. Inilah sebabnya mengapa mereka tidak dapat
menjelaskan secara meyakinkan kepada orang banyak.
Ada perbedaan yang jelas antara pengetahuan metafisik dengan
pengetahuan teologis. Dapat dicontohkan melalui analogi indrawi. Pengetahuan
metafisik atau esoteris, jika diungkapkan dalam simbol religius adalah
kesadaran mengenai hakekat cahaya yang tidak berwarna dan mengenai cirinya
sebagai sumber terang sejati. Sebaliknya, suatu kepercayaan religius tertentu
akan mengatakan cahaya itu berwarna merah dan bukan hijau, sementara itu
kepercayaan religius lainnya akan menyatakan sebaliknya. Kedua pernyataan
tadi adalah benar sejauh keduanya membedakan cahaya dari kegelapan, tapi
tidak benar kalau cahaya itu mereka anggap sama dengan sesuatu warna saja.
Dalam pengertian lain, pengetahuan metafisik merupakan “sumber asal
kebenaran” dan “sumber asal adi kodrati”, sedangkan pengetahuan teologis
merupakan “perwujudan” dari yang adi kodrati tadi, dan hanya bisa diphamai
dengan bahasa “dogmatis”. Dengan demikian, berbagai agama yang ada
merupakan “terjemah” dari kebenaran metafisik atau kebenaran universal
dengan bahasa dogmatis. Karena itu, walaupun kebenaran intrisik dari dogma
tidak dapat dipahami semua orang, termasuk melalui kemampuan intelek, tapi
hanya bisa dipahami lewat iman. Ini merupakan satu-satunya cara yang
mungkin bagi sebagian besar manusia untuk berpartisipasi dalam ‘kebenaran
ilahi’.13
12 Ibid, hal.76 13 Ibid, hal. 77
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
266 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Dari pembahasan diatas nampak jelas, bahwa pada dasarnya, agama-
agama yang ada didunia berasal dari satu sumber, satu kebenaran universal,
yakni adi kodrati. Hanya sebutan untuk adi kodrati tersebut dapat berbeda
sesuai dengan wujud eksoteris dari pengetahuan esoteris (metafisik).
Khususnya untuk ungkapan eksoteris, perwujudan berbagai agama menjadi
persoalan tersendiri. Bagaimana cara yang paling tepat, agar diantara agama-
agama tersebut terjadi keharmonisan, dan tidak menjadi perbedaan yang perlu
diperdebatkan.
Tentu saja hal ini melalui batasan-batasan keyakinan tertentu sesuai
dengan apa yang dianjurkan dan diajarkan oleh masing-masing agama tersebut.
Hal ini disadari, karena pada akhirnya masing-masing agama mengakui dan
meyakini “kebenaran dogmatis”nya. Paling tidak, dapat membukakan dialog
antar agama, dan hal ini hanya bisa dimulai dengan mengandaikan adanya
keterbukaan sebuah agama terhadap agama lainnya. Masalahnya mungkin baru
timbul, bila kemudian mulai dipersoalkan secara terperinci apa yang dimaksud
dengan keterbukaan, segi-segi mana dari suatu agama yang memungkinkannya
terbuka terhadap agama yang lain, pada tingkat mana keterbukaan itu dapat
dilaksanakan atau dapat ditolerir, dan juga dalam modus yang mana
keterbukaan itu dapat dilaksanakan.
Dengan lain perkataan, perlu dirumuskan juga batas-batas kemungkinan
keterbukaan tersebut). Karena itu, yang perlu mendapat perhatian bukanlah
bagaimana agama sebagai suatu sistem substansial dengan ajaran, doktrin dan
kewajiabn-kewajibannya melihat persamaan dan perbedaannya dengan suatu
agama lain, tetapi bagaimana agama menjadi jalan dan sebab seseorang atau
sekelompok orang terbuka kepada kelompok orang yang beragama lain.
Hakekat dan perwujudan, atau pun Kebenaran dan Kehadiran adalah
jelas saling melengkapui, terlepas dari yang mana yang ditekankan, tetapi
secara de fakto dapat meruncingkan pandangan-pandangan yang bertentangan,
sebagaimana yang ditunjukkan bukan hanya oleh antagonisme antara agama
Kristen dan Islam, melainkan juga – dalam kandungan Islam sendiri – oleh
perpecahan antara ajaran Sunni dan Syi’ah. Ajaran Syi’ah dengan caranya
sendiri setia kepada nsur kehadiran, sedangkan ajaran Sunni – yang sejalan
dengan Islam yang murni – mendukung unsur Kebenaran.
Agama Buddha mengemukakan secara a priori (eksoterik), yaitu dalam
kerangka formalnya, sebagai suatu jalan menurut “kekuatan-diri” dan dengan
demikian dibangun di atas unsur “Kebenaran” sebagai suatu kekuatan penerang
dan pembebas yang imanen. Tetapi, secara a posteriori (esoterik), ia
menyiratkan jalan menurut “kekuatan dari yang lain”, yang karenanya
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 267
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
didasarkan pada unsur “Kehadiran” sebagai suatu kekuatan transenden dari
kerahiman dan keselamatan.14
Dengan menggunakan pendekatan yang sama, secara eksoterik, unsur
Kebenaran dalam agama Kristen merupakan dalil bahwa Kristus adalah Tuhan.
Tetapi secara esoteris, Kebenaran Kristus di satu pihak berarti bahwa setiap
perwujudan dari Yang mutlak identik dengan Yang Mutlak. Di lain pihak, ia
berarti bahwa Perwujudan itu bersipat transenden dan selalu ada. Transenden
karena Kristus itulah yang ada di atas kita dan selalu ada, karena Kristus berada
dalam diri kita sendiri. Ialah Hati, yang sekaligus berupa Akal dan Kasih.
Masuk ke dalam Hati berarti memasuki Kristus, dan, begitu pula sebaliknya,
Kristus adalah Hati dari Makro-kosmos, sebagaimana Akal merupakan Kristus
dari Mikro-kosmos. “Tuhan menjadi Manusia sehingga manusia dapat menjadi
Tuhan”; “Diri menjadi Hati sehingga Hati dapat menjadi Diri”; dan inilah
sebabnya mengapa “Kerajaan Surga ada dalam dirimu”.15
Dalam jasmani manusia, unsur Kebenaran diwakili oleh pengetahuan
dan unsur Kehadiran oleh Kebajikan; pengetahuan berdasar pada akal, dan
kebajikan pada kekuatan kehendak. Pengetahuan sepenuhnya dikarenakan
adanya usaha tertentu dari kehendak. Dan sebaliknya, terbukti bahwa akal yang
diterapkan secara baik dapat melahirkan atau menguatkan kebajikan, karena
akal menguraikan secara gamblang kepada kita sipat kehendak dan kebutuhan
kita akan kebajikan. Dan juga sama jelasnya bahwa kebajikan pada gilirannya
dapat meningkatkan pengetahuan karena ia menentukan hal-hal tertentu dari
pengetahuan.
Setiap pelaku agama akan berbeda dalam memahami doktrin-doktrin,
simbol-simbol atau ajarannya. Oleh karena itu, untuk memahami “kebenaran”
agama tiada lain apa yang dikatakan “benar” oleh penganutnya, sehingga obyek
studi agama bukan pada bagian pertama (external religion), tetapi pada “diri
manusia” (internal religion).16
Max Weber, seringkali mengisyaratkan bahwa dalam mengkaji dan
menganalisis agama bukan dalam arti “apakah agama itu”, tetapi untuk
menelusuri kondisi-kondisi dan dampak-dampak teodisi budaya yang berbeda-
beda. Karena itu, hakekat beragama adalah untuk menjadikan hidup bermakna
dan menselaraskan kesenjangan antara harapan-harapan dan pengalaman
aktual. Maka, pendekatan internal consistency untuk memahami arti dan makna
agama dari para pemeluknya adalah sangat penting.17
14 Ibid, hal. 22 15 Ibid, hal. 16 16 Adeng Muchtar, Op.Cit, hal.78 17 Ibid.
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
268 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Berdasarkan itu, sebagai bagian dari akibat semakin intensifnya
pergaulan dan proses komunikasi antar bangsa, maka antara satu agama dengan
agama lainnya, harus berhubungan secara terbuka, dan bukan sebagai entitas
yang tertutup dalam sebuah masyarakat yang terbuka pula. Disadari, bahwa
pluralitas agama-agama akan muncul ditempat yang berbeda-beda, dan agama
tidak bisa lagi hidup secara terisolasi.
Solarso Sopater memberikan pandangan bahwa pluralisme terjadi bukan
hanya sebagai suatu proses eksternal, akan tetapi juga internal. Hal ini
disebabkan adanya kontak dimana agama-agama itu hidup, yang juga
menentukan corak-corak agama itu sendiri. Sebagai contoh, keberagamaan
Kristen di Eropa akan berbeda dengan keberagamaan Kristen di Asia, Afrika
atau di Amerika Latin. Demikian pula kerbergamaan Islam di negeri-negeri
jazirah Arab akan berbeda dengan Islam yang berkembang di Indonesia
ataupun di negara-negara lainnya. Dengan demikian terlihat bahwa proses
pluralisasi menimbulkan kesadaran akan kemajemukan ekspresi keagamaan
yang ada di tempat-tempat yang berbeda. 18 Tinggi rendahnya kualitas bergama atau “perwujudan” kebenaran agama
terletak pada manusianya, karena hanya manusia yang menganut agama. Taufik
Abdullah menekankan bahwa memahami agama tiada lain adalah memahami
kebenaran agama dari realitas empiris, yang berarti apa-apa yang diyakini dan
diperbuat oleh manusia dalam kesehariannya sebagai manusia beragama.19
3. Personalisasi : Antara Eksklusif dan Inklusif Dengan menggunakan pronominal terms sebagai gambaran tahapan-
tahapan orang Barat dalam memahami agama, yang pada mulanya
dipandang sebagai ‘impersonal’ menjadi ‘personal’, dan akhirnya tercapai
kebersamaan sebagai saru komunitas, maka sikap eksklusif yang selama ini
mewarnai sebagian besar orang-orang Kristen (atau Barat) semakin terbuka.
Menurut Smith, sikap eksklusif seperti ini secara moral tidak dapat
diterima. Apabila orang Kristen bertemu atau mendengar tentang seorang
Hindu, Islam atau Budhis yang hidupnya saleh dan bermoral, sehingga
kelihatannya dekat sekali dengan Tuhannya dalam pengertian ‘memadai’
sebagaimana pandangan hidup Kristen, maka orang Kristen yang
bersangkutan harus bersuka cita dengan penuh semangat, berharap bahwa
hal ini benar.20
Sikap Kristen yang dipersepsikan Smith, jelas adanya
“keinginan” hidup bersama secara damai, atau paling tidak adanya
pengakuan bahwa “ada kebenaran lain” selain kebenaran agamanya.
18 Ibid,, hal.79 19 Taufik Abdullah & Rusli Karim, ed, Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Jakarta,
1989, hal. xiii 20 Coward, Op.Cit, hal. 62
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 269
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Dalam eksklusivitas tercakup pengertian tentang pemikiran yang
magis-religius, satu hal yang datangnya “dari dalam” yang hanya bisa
dihayati oleh anggota-anggota kelompok tersebut. Hal demikian disebut
“kesadaran kolektif”, dan kesadaran kolektif inilah kemudian yang
membentuk satu tembok pemisah antara “we group” dan “they group”.
Kuatnya orientasi kedalam berarti menekan adanya orientasi keluar
seminimal mungkin. Proses integrasi atau adanya kemauan kebersamaan,
sering tertumbuk pada “tapal batas” nilai-nilai berbagai kelompok yang
selalu memandang nilainya sebagai yang terbaik, satu-satunya yang benar.
Dalam karya klasiknya, “The Meaning and End of Religion”,21
Smith
menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan
agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan
menyamakan Tuhannya dengan dewa. Sebagai contoh , Smith mengutip
pernyataan teolog Kristen Emil Brunner, “Allah dari agama lain”,
senantiasa merupakan suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap
eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan beragama yang tidak
dapat diterima. Kita tidak dapat mengenal satu sama lain kecuali dengan
kebersamaan : Atas dasar hormat, kepercayaan, persamaan dan kasih timbal
balik. Dalam pengetahuan agama, menurut Smith, kita harus beralih dari
pandangan mengenai mereka sebagi sesama anggota yang sederajat dari
komunitas keagamaan yang meliputi seluruh dunia22
.
Teosentris, adalah sebutan yang kira-kira tepat terhadap pemikiran-
pemikiran Smith tersebut di atas, sekalipun pendiriannya itu sendiri
didasarkan kepada Allah yang duwahyukan melalui Kristus. Tiap-tiap
komunitas manusia, tiap-tipa agama, sedang berkembang ke arah suatu
tujuan akhir pengetahuan dan pengalamannya bersama-sama dengan tujuan
akhir semua komunitas dan agamalainnya. Hanya, Smith tidak bisa
menjawab persoalan tentang cara menghindari hiangnya keyakinan
kebenaran seseorang sementara memperluas misinya mengenai kebenaran,
sehingga dapat menampung semua kebenaran lainnya. Tentu saja, pendirian
Smith akan menjadi masalah bagi para fundamentalis agama-agama.
4. Reorientasi Baru dalam Menstudi Agama
Melihat beberapa pemikiran tersebut tampak bahwa yang menjadi titik
tekan studi-studi agama (baca: ilmu perbandingan agama) bukan lagi agama-
agama sebagaimana sering dipahami, tetapi manusianya, yakni “kehidupan
21 W.C. Smith, Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious
Tradistions, (dalam Bab 3 tentang agama dan kultur,hal.51, dan dalam Bab 6 tentang kumulasi
tradisi, hal. 154). 22 Coward, Op.cit, hal. 65
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
270 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
manusia beragama”23 Tinggi rendahnya kualitas beragama atau perwujudan
kebenaran agama terletak pada manusianya karena hanya manusia yang
menganut agama, Taufik Abdullah berpendapat bahwa memahami agama tiada
lain adalah memahami kebenaran agama dari realitas empiris, yang berarti apa-
apa yang diyakini dan diperbuat oleh manusia dalam kesehariannya sebagai
manusia beragama.24
Kepercayaan agama adalah sesuatu yang diyakini dan dipahami
manusia. Kepercayaan ini bisa tampak manakala diekspresikan oleh manusia
atau penerapan kongkret nilai-nilai yang dimiliki manusia.25 Smith mencoba
mempersoalkan agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat manusia
karena kebenaran itu muncul berdasarkan yang dipahami oleh manusia.
Keberagamaan seseorang, bagaimanapun akan dipengaruhi oleh skuktur sosial,
politik, dan kultural tempat agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks
demikian, mengapa perwujudan Islam di Indonesia bisa dibedakan dengan
Islam di Arab Saudi, Pakistan, atau Mesir? Juga, mengapa Hindu di India
berbeda dengan Hindu di Bali? Setiap agama tidak dapat dipisahkan dari
cirinya yang kompromisis atau akomodatif. Sifat akomodatif terletak pada
penghampiran manusia terhadap agamanya yang dipengaruhi oleh lingkungan
sosial, kultur, dan politis ternpat dia hidup.
Tentu saja pandangan itu lebih bersifat sosial antropologis. Sebaliknya,
sebagai sistem keyakinan agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-
sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat dan menjadi
pendorong tindakan-tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan sesuai
dengan niali-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya26
Untuk mernberikan pemahaman yang benar tentang personalisasi agama
yang diajukan Smith, perlu dibedakan dua bagian agama sebagai objek
kajiannya yakni:
a. External religion; bagian luar agama, seperti ajaran-ajaran, simbol-
simbol, praktek-praktek, dan lain-lain yang selama ini dipandang
sebagai agama.
b. Internal religion; bagian dalam agama, yang tiada lain adalah pada diri
manusia. Apa artinya dan makna agama bagi semua orang yang
terlibat?27
Internal religion merupakan inti kajian Smith dalam memahami agama
dan agama yang sebenarnya terletak pada bagian ini. Setiap pelaku agama akan
berbeda dalam memahami doktrin-doktrin, simbol-simbol atau ajarannya. Oleh
23 Kitagawa & Eliade, 1974, Op.Cit, hal. 32 24 Taufiq Abdullah, Op.Cit, 1989, hal. xii 25 F.J. Moreno, Agama dan Akal Fikiran, terjemahan, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 122 26 Roland Robertson, Sosiologi Agama, terjemahan, Rajawali, Jakarta,1985, hal. vi 27 Kitagawa & Eliade, 1974, Op.Cit, hal. 35
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 271
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
karena itu, untuk memahami kebenaran agama adalah menuruti apa yang
dikatakan benar oleh penganutnya sehingga objek studi agama bukan pada
bagian pertama (eksternal), tetapi pada diri manusia (internal) yang memahami
agamanya. Max Weber seringkali mengisyaratkan bahwa dalam mengkaji dan
menganalisis agama bukanlah dalam arti, “Apakah agama itu?” Akan tetapi,
untuk menelusuri kondisi dan dampak teodisi yang berbeda-beda dan budaya
yang berbeda pula.28 Dalam segi kepercayaan, beragama berarti usaha untuk
menjadikan hidup lebih bermakna dan menyelaraskan kesenjangan antara
harapan-harapan dan pengalaman aktual. Kitagawa dengan tepat pula menaruh
perhatiannya pada isu sentral masalah meaning, yakni arti penting agama
menurut para pemeluknya. Hal ini dapat dicapai dengan cara kerja
memperhatikan keseluruhannya, melihat the Wholenes, atau dengan kata lain
menggunakan pendekatan holistik; atau menurut istilahnya sendiri, pendekatan
internal consistency.29
Penutup
Memahami agama melalui sisi kepenganutan, sebagaimana yang
diinginkan Smith, menginspirasi para penstudi agama dalam membangun teori
kerukunan antar umat beragama dan faham keagamaan dimana pun manusia
beragama hidup. Di Indonesia, misalnya, keragaman kepenganutan agama dan
budaya yang dimilikinya mengandung potensi konflik. Di satu sisi bahwa
beragama merupakan hak pribadi yang otonom, namun pada saat yang
bersamaan memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam kehidupan
bermasyarakat.30
Untuk itu, pemahaman agama dari sisi penganut bisa membuka ruang
untuk saling mengenal dan berinteraksi tanpa mengabaikan dasar keimanan
yang dimilikinya. Semua doktrin agama mengarahkan kepada semua
penganutnya untuk memelihara perdamaian dan menjauhi permusuhan.
Toleransi, sebagai perilaku, muncul dari kesadaran ini. Untuk itu, dalam
pendekatan budaya, sosial dan politik, toleransi merupakan simbol kompromi
beberapa kekuatan yang saling tarik menarik untuk kemudian bahu membahu
membela kepentingan bersama, menjaga dan memperjuangkannya.31 Dengan
28 Dalam buku Brian S. Turner, Weber and Islam, A Critical Study, Routledge &Kegan Paul,
London, 1973, hal.45 29 Dalam buku Romdhon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996, hal. 3 30 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Teologi Kerukunan Beragama dalam Islam”, dalam
Analisis, Jurnal Studi Keislaman, Vol.XIII, Nomor 2, Desember 2013, IAIN Raden Intan
Lampung, hal. 271. 31 Ibid, hal. 280
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
272 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
demikian, toleransi adalah pintu menuju kerukunan di lingkungan masyarakat
yang beragam kepenganutan agama dan budaya.
Di negara atau bangsa yang memiliki ragam kepenganutan agama dan
budaya, konsep “agree in disagreement” yang disodorkan Mukti Ali, dapat
dijadikan salah satu model dalam membangun kerukunan antar kepenganutan
agama dan faham keagamaan. Gagasan Mukti Ali ini sampai sekarang masih
segar dan menjadi rujukan utama pemerintah dalam membangun dan
memelihara kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia.32
Daftar Pustaka
Buku :
Coward, Harold. (1989). Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, terjemahan, Kanisius, Yogyakarta. Durkheim, Emile. (1976). the Elementary Forms of the Religious Life, translated by Joseph Ward Swain, George Allen & Unwin LTD, London. Kitagawa & Eliade. (1974). History of Religion, Essays in the Problem of Understanding, University of Chicago Press. Muchtar Ghazali, Adeng. (2005). Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung. Moreno, Jose. (1985). Agama dan Akal Fikiran, terjemahan, Rajawali, Jakarta. Robertson, Roland. (1985). Sosiologi Agama, terjemahan, Rajawali, Jakarta. Romdhon. (1996). Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta,. Smith, Wilfred Cantwell. (1978). Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious Tradistions, pertama kali dipublikasikan di Macmillan Company, New York, Amerika, 1962, kemudian di Inggris, 1978 Schuon, Frithjof. (1993). Islam dan Filsafat Perenial, terjemahan, Mizan, Bandung Taufik Abdullah & Rusli Karim, ed. (1989). Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Jakarta. Turner, Brian S. (1973). Weber and Islam, A Critical Study, Routledge &Kegan Paul, London.
32 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Perbandingan Agama antara Ilmu dan Nama Jurusan”,
dalam Wawasan, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 37, Nomor 1, Januari-Juni
2014, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Hal. 21
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 273
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Jurnal :
Analisis. (2013). Jurnal Studi Keislaman, Vol.XIII, Nomor 2, Desember, IAIN Raden Intan Lampung Religious. (2016). Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Vol. 1, Nomor 1, September, Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Gunung Djati Wawasan. (2014). Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 37, Nomor 1, Januari- Juni, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.