Conference Proceeding ICONIMAD 2019 International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama Adeng Muchtar Ghazali Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Indonesia Email: [email protected]Abstrak Tulisan ini berangkat dari fenomena kehidupan beragama yang semakin hari semakin dinamis dan kompleks. Beberapa faktor, baik yang bersipat sosial, kultural, politik, ekonomi, maupun pemahaman agama ikut mempengaruhi dinamika dan kompleksitas kehidupan beragama. Komunitas antar umat beragama semakin terbuka (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dari entitas sebuah masyarakat. Kenyataan pluralitas agama dan multi kultural merupakan suatu kenyataan yang muncul ditempat yang berbeda-beda, dan umat beragama tidak bisa lagi hidup secara terisolasi. Melalui analisis- kualitatif, menstudi agama sebaiknya lebih diorientasikan pada memahami ‘manusia beragama’nya. Oleh karena itu, Smith menyodorkan logika memahami agama melalui pendekatan pronominal terms. Tujuannya adalah untuk terjalin harmoni dalam perbedaan diantara penganut agama yang berbeda-beda. Pemikiran Smith dapat berimplikasi secara teoritis dan konseptual dalam membangun masyarakat beragama yang rukun, toleran, dan saling bekerja sama. Kata kunci: pronominal terms, kerukunan, pluralitas, faktor sosial kultural
15
Embed
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN Studi atas Pemikiran …
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni
Antar Umat Beragama
Adeng Muchtar Ghazali
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Indonesia
Tulisan ini berangkat dari fenomena kehidupan beragama yang semakin
hari semakin dinamis dan kompleks. Beberapa faktor, baik yang bersipat sosial,
kultural, politik, ekonomi, maupun pemahaman agama ikut mempengaruhi
dinamika dan kompleksitas kehidupan beragama. Komunitas antar umat
beragama semakin terbuka (inklusif) dan tidak menutup diri (eksklusif) dari
entitas sebuah masyarakat. Kenyataan pluralitas agama dan multi kultural
merupakan suatu kenyataan yang muncul ditempat yang berbeda-beda, dan
umat beragama tidak bisa lagi hidup secara terisolasi. Melalui analisis-
kualitatif, menstudi agama sebaiknya lebih diorientasikan pada memahami
‘manusia beragama’nya. Oleh karena itu, Smith menyodorkan logika
memahami agama melalui pendekatan pronominal terms. Tujuannya adalah
untuk terjalin harmoni dalam perbedaan diantara penganut agama yang
berbeda-beda. Pemikiran Smith dapat berimplikasi secara teoritis dan
konseptual dalam membangun masyarakat beragama yang rukun, toleran, dan
saling bekerja sama.
Kata kunci: pronominal terms, kerukunan, pluralitas, faktor sosial kultural
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
260 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Pendahuluan
Wilfred Cantwell Smith adalah seorang penstudi agama berkebangsaan
Kanada kelahiran tahun 1916 dan meninggal tahun 2000. Ia pernah belajar di
Unversitas Toronto dalam bidang oriental studies, terutama sejarah dan
bahasa,,kemudian melanjutkan jenjang pendidikannya ke Wentminster College
Universitas Cambridge. Ia menekuni bhs Arab dan Islam dari seorang tokoh
orientalis Prof. HAR Gibb. Untuk lebih memperdalam teori yang dibangunnya,
ia pernah ke India untuk mempelajari agama dan budaya setempat.
W. C. Smith memulai karir dosennya di universitas M. C. Gill, Montreal
pada bidang kajian perbandingan agama (Comparative Study of Religion).
Sebagai Profesor di Unversitas M. C. Gill, ia mendirikan M. C. Gill Institute of
Islamic Stadies yang sekaligus menjadi direkturnya pada tahun 1952 yg
merupakan bagian dari M. C. Gill University, kemudian dikembangkan pula di
Harvard university. Sebagian pengajar dan mahasiswanya adalah orang-orang
Islam. Latar belakang pendidikan dan pengalaman mengajarnya ini membentuk
pemikiran dan keahliannya di bidang metodologi studi ilmu perbandingan
agama.1
Smith ingin menunjukkan dua hal yang berbeda ketika memahami agama
: “agama” (religion) dan “manusia beragama” (religious faith).2 Manusia
beragama berkaitan dengan konstruk kesejarahan (historical construct), yang
melibatkan banyak elemen baik sosial kultural, ekonomi, politik dan lain
sebagainya. Melalui proses interaksi, muncul beragam tradisi dan komunitas
keagamaan. Pada konteks kepenganutan inilah para penstudi agama lebih fokus
dalam menstudi agama.
Tulisan ini lebih fokus pada pemikiran Smith tentang metodologi
memahami agama-agama sebagai tahapan dalam proses terbangunnya
hubungan yang harmonis di antara para penganut agama.
Dasar-dasar Metodologis
Memahami agama pada dasarnya memahami agama dari teks dan
konteks. Teks menunjukkan pada doktrin atau ajaran agama yang
bersumberkan wahyu, sedangkan konteks menunjukkan pada sikap dan
pemahaman penganut agama terhadap teks. Oleh karena itu, para penstudi
agama pada umumnya, termasuk didalamnya W.C. Smith yang memisahkan
agama dengan klasifikasi internal dan eksternal religion, selalu memisahkan
1 W.C. Smith, Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious
Tradistions, pertama kali dipublikasikan di Macmillan Company, New York, Amerika, 1962,
kemudian di Inggris tahun 1978, hal. 165-169 2 Ibid, hal. 1-4
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 261
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
agama sebagai doktrin (religion) dan agama sebagai perilaku (religiosity).3
Emile Durkheim, misalnya, memisahkan istilah religion dengan religious
phenomena.4 Demikian pula, para penstudi agama lain, seperti Eliade, Wach,
Kitagawa, memisahkan agama dan praktek agama dalam studinya. Pemisahan
ini untuk memudahkan dalam memahami agama. Sebab, agama menjadi hidup
dan dinamis sangat bergantung kepada para penganutnya. Demikian pula
sebaliknya, agama bisa mati karena ditinggalkan penganutnya. Dengan
demikian, secara empiris, baik buruknya agama tergantung pada penganutnya
yang merefleksikan keyakinan agamanya dalam kesehariannya. Jika agama
dikesani sebagai ‘teroris’, radikalis, dan lain sebagainya, adalah ditujukan
kepada para pengnutnya yang merepresentasikan ‘perilaku’ ini, bukan pada
agamanya. Di sinilah pentingnya memahami agama sebagai teks dan konteks,
agama sebagai doktrin dan praktek, serta agama yang bersipat internal dan
eksternal.
Secara filosofis, pemikiran Smith semakin mudah dipahami jika
mempelajari pemikiran Fritjof Schuon dan Huston Smith tentang Supreme
Being (Adi Kudrati)5 melalui pendekatan esoteris dan eksoteris, sebagaimana
diulas dalam pembahasan sebagai bagian dari dasar-dasar metodologis Smith
dalam memahami agama-agama. Semua penganut agama yang dipelajari Smith
memiliki tujuan untuk menyusun dan mengembangkan teori-teori yang dapat
diterima baik oleh orang Yahudi, Budha, Islam maupun Kristen, yg diperkuat
melalui tradisi akademik sebagai scientific method.
Smith seolah memberi pemahaman setidaknya : pertama, diperlukan
reorientasi baru ilmu perbandingan agama dalam menstudi agama pada situasi
dan dinamika kehidupan keagamaan yang semakin kompleks, terutama
berhadapan dengan kemajuan sains dan teknologi. Kedua, diupayakan adanya
hubungan antaragama yang lebih harmonis, minimal diawali dari lingkungan
tokoh agama dan kaum intelektual sebagai bagian yang integral dan komunitas.
Ketiga, hubungan yang berlangsung sebagaimana pada pemikiran di atas,
bukan hanya bersifat pertemuan ilmiah, tetapi lebih bersifat kebersamaan
komunitas dalam beragama.
Pembahasan
3 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Toleransi Beragama dan Kerukunan dalam Perspektif
Islam”, dalam Religious, Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Vol. 1, Nomor 1,
September 2016, Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati
Bandung, hal. 25. 4 Ibid; lihat pula, Emile Durkheim, the Elementary Forms of the Religious Life, translated by
Joseph Ward Swain, George Allen & Unwin LTD, London, 1976, hal. 23-47. 5 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2005, hal. 139-
148
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
262 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
1. Tahapan Memahami Agama ‘Kita’ dan ‘Orang Lain’
Sebagai seorang penganut Kristen, upaya akademis Smith dalam
memahami agama orang lain tidak terlepas dari kesejarahan Kristianinya -
sebagai agama yang diyakininya. Mempelajari agama adalah mempelajari
manusia dengan ragam karakter, kapasitas pengetahuan, dan kondisi sosial
kultural yang mengitarinya. Dalam merefleksikan keyakinannya, manusia
beragama dihadapkan dengan ragam keyakinan lain yang berbeda dengan
keyakinan agamanya. Pada konteks ini, Smith menyodorkan pemikiran tentang
bagaimana seseorang atau sekelompok komunitas tertentu bisa saling
berinteraksi dengan sekelompok orang yang berbeda keyakinan dengan
dirinya, tanpa memunculkan ‘perasaan’ bermusuhan.
Untuk menggambarkan ‘personalisasi’ agama antara ‘keyakinan kita’
dengan ‘keyakinan orang lain” sehingga memunculkan “harmoni dalam
perbedaan”, Smith menggunakan pendekatan pronominal terms. Menurutnya,
di lingkungan Kristen, agama Kristen dipandang sebagai ‘personal’, sedangkan
non-Kristen dipandang sebagai impersonal. Smith mengawali pernyataan
teologisnya dengan menjelaskan adanya implikasi moral dan implikasi
konseptual wahyu Kristen. Pada tingkat wahyu Allah, Kristus menghendaki
rekonsiliasi dan rasa kebersamaan yang dalam: kita harus berusaha
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
268 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Berdasarkan itu, sebagai bagian dari akibat semakin intensifnya
pergaulan dan proses komunikasi antar bangsa, maka antara satu agama dengan
agama lainnya, harus berhubungan secara terbuka, dan bukan sebagai entitas
yang tertutup dalam sebuah masyarakat yang terbuka pula. Disadari, bahwa
pluralitas agama-agama akan muncul ditempat yang berbeda-beda, dan agama
tidak bisa lagi hidup secara terisolasi.
Solarso Sopater memberikan pandangan bahwa pluralisme terjadi bukan
hanya sebagai suatu proses eksternal, akan tetapi juga internal. Hal ini
disebabkan adanya kontak dimana agama-agama itu hidup, yang juga
menentukan corak-corak agama itu sendiri. Sebagai contoh, keberagamaan
Kristen di Eropa akan berbeda dengan keberagamaan Kristen di Asia, Afrika
atau di Amerika Latin. Demikian pula kerbergamaan Islam di negeri-negeri
jazirah Arab akan berbeda dengan Islam yang berkembang di Indonesia
ataupun di negara-negara lainnya. Dengan demikian terlihat bahwa proses
pluralisasi menimbulkan kesadaran akan kemajemukan ekspresi keagamaan
yang ada di tempat-tempat yang berbeda. 18 Tinggi rendahnya kualitas bergama atau “perwujudan” kebenaran agama
terletak pada manusianya, karena hanya manusia yang menganut agama. Taufik
Abdullah menekankan bahwa memahami agama tiada lain adalah memahami
kebenaran agama dari realitas empiris, yang berarti apa-apa yang diyakini dan
diperbuat oleh manusia dalam kesehariannya sebagai manusia beragama.19
3. Personalisasi : Antara Eksklusif dan Inklusif Dengan menggunakan pronominal terms sebagai gambaran tahapan-
tahapan orang Barat dalam memahami agama, yang pada mulanya
dipandang sebagai ‘impersonal’ menjadi ‘personal’, dan akhirnya tercapai
kebersamaan sebagai saru komunitas, maka sikap eksklusif yang selama ini
mewarnai sebagian besar orang-orang Kristen (atau Barat) semakin terbuka.
Menurut Smith, sikap eksklusif seperti ini secara moral tidak dapat
diterima. Apabila orang Kristen bertemu atau mendengar tentang seorang
Hindu, Islam atau Budhis yang hidupnya saleh dan bermoral, sehingga
kelihatannya dekat sekali dengan Tuhannya dalam pengertian ‘memadai’
sebagaimana pandangan hidup Kristen, maka orang Kristen yang
bersangkutan harus bersuka cita dengan penuh semangat, berharap bahwa
hal ini benar.20
Sikap Kristen yang dipersepsikan Smith, jelas adanya
“keinginan” hidup bersama secara damai, atau paling tidak adanya
pengakuan bahwa “ada kebenaran lain” selain kebenaran agamanya.
18 Ibid,, hal.79 19 Taufik Abdullah & Rusli Karim, ed, Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Jakarta,
1989, hal. xiii 20 Coward, Op.Cit, hal. 62
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 269
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Dalam eksklusivitas tercakup pengertian tentang pemikiran yang
magis-religius, satu hal yang datangnya “dari dalam” yang hanya bisa
dihayati oleh anggota-anggota kelompok tersebut. Hal demikian disebut
“kesadaran kolektif”, dan kesadaran kolektif inilah kemudian yang
membentuk satu tembok pemisah antara “we group” dan “they group”.
Kuatnya orientasi kedalam berarti menekan adanya orientasi keluar
seminimal mungkin. Proses integrasi atau adanya kemauan kebersamaan,
sering tertumbuk pada “tapal batas” nilai-nilai berbagai kelompok yang
selalu memandang nilainya sebagai yang terbaik, satu-satunya yang benar.
Dalam karya klasiknya, “The Meaning and End of Religion”,21
Smith
menjelaskan bahwa penggunaan teologi yang eksklusif mengakibatkan
agama orang lain dipandang sebagai penyembahan berhala dan
menyamakan Tuhannya dengan dewa. Sebagai contoh , Smith mengutip
pernyataan teolog Kristen Emil Brunner, “Allah dari agama lain”,
senantiasa merupakan suatu berhala. Contoh-contoh mengenai sikap
eksklusif seperti itu adalah contoh dari keangkuhan beragama yang tidak
dapat diterima. Kita tidak dapat mengenal satu sama lain kecuali dengan
kebersamaan : Atas dasar hormat, kepercayaan, persamaan dan kasih timbal
balik. Dalam pengetahuan agama, menurut Smith, kita harus beralih dari
pandangan mengenai mereka sebagi sesama anggota yang sederajat dari
komunitas keagamaan yang meliputi seluruh dunia22
.
Teosentris, adalah sebutan yang kira-kira tepat terhadap pemikiran-
pemikiran Smith tersebut di atas, sekalipun pendiriannya itu sendiri
didasarkan kepada Allah yang duwahyukan melalui Kristus. Tiap-tiap
komunitas manusia, tiap-tipa agama, sedang berkembang ke arah suatu
tujuan akhir pengetahuan dan pengalamannya bersama-sama dengan tujuan
akhir semua komunitas dan agamalainnya. Hanya, Smith tidak bisa
menjawab persoalan tentang cara menghindari hiangnya keyakinan
kebenaran seseorang sementara memperluas misinya mengenai kebenaran,
sehingga dapat menampung semua kebenaran lainnya. Tentu saja, pendirian
Smith akan menjadi masalah bagi para fundamentalis agama-agama.
4. Reorientasi Baru dalam Menstudi Agama
Melihat beberapa pemikiran tersebut tampak bahwa yang menjadi titik
tekan studi-studi agama (baca: ilmu perbandingan agama) bukan lagi agama-
agama sebagaimana sering dipahami, tetapi manusianya, yakni “kehidupan
21 W.C. Smith, Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious
Tradistions, (dalam Bab 3 tentang agama dan kultur,hal.51, dan dalam Bab 6 tentang kumulasi
tradisi, hal. 154). 22 Coward, Op.cit, hal. 65
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
270 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
manusia beragama”23 Tinggi rendahnya kualitas beragama atau perwujudan
kebenaran agama terletak pada manusianya karena hanya manusia yang
menganut agama, Taufik Abdullah berpendapat bahwa memahami agama tiada
lain adalah memahami kebenaran agama dari realitas empiris, yang berarti apa-
apa yang diyakini dan diperbuat oleh manusia dalam kesehariannya sebagai
manusia beragama.24
Kepercayaan agama adalah sesuatu yang diyakini dan dipahami
manusia. Kepercayaan ini bisa tampak manakala diekspresikan oleh manusia
atau penerapan kongkret nilai-nilai yang dimiliki manusia.25 Smith mencoba
mempersoalkan agama berdasarkan apa yang diyakini dan diperbuat manusia
karena kebenaran itu muncul berdasarkan yang dipahami oleh manusia.
Keberagamaan seseorang, bagaimanapun akan dipengaruhi oleh skuktur sosial,
politik, dan kultural tempat agama itu hidup dan berkembang. Dalam konteks
demikian, mengapa perwujudan Islam di Indonesia bisa dibedakan dengan
Islam di Arab Saudi, Pakistan, atau Mesir? Juga, mengapa Hindu di India
berbeda dengan Hindu di Bali? Setiap agama tidak dapat dipisahkan dari
cirinya yang kompromisis atau akomodatif. Sifat akomodatif terletak pada
penghampiran manusia terhadap agamanya yang dipengaruhi oleh lingkungan
sosial, kultur, dan politis ternpat dia hidup.
Tentu saja pandangan itu lebih bersifat sosial antropologis. Sebaliknya,
sebagai sistem keyakinan agama dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-
sistem nilai yang ada dalam kebudayaan suatu masyarakat dan menjadi
pendorong tindakan-tindakan anggota masyarakat supaya tetap berjalan sesuai
dengan niali-nilai kebudayaan dan ajaran agamanya26
Untuk mernberikan pemahaman yang benar tentang personalisasi agama
yang diajukan Smith, perlu dibedakan dua bagian agama sebagai objek
kajiannya yakni:
a. External religion; bagian luar agama, seperti ajaran-ajaran, simbol-
simbol, praktek-praktek, dan lain-lain yang selama ini dipandang
sebagai agama.
b. Internal religion; bagian dalam agama, yang tiada lain adalah pada diri
manusia. Apa artinya dan makna agama bagi semua orang yang
terlibat?27
Internal religion merupakan inti kajian Smith dalam memahami agama
dan agama yang sebenarnya terletak pada bagian ini. Setiap pelaku agama akan
berbeda dalam memahami doktrin-doktrin, simbol-simbol atau ajarannya. Oleh
23 Kitagawa & Eliade, 1974, Op.Cit, hal. 32 24 Taufiq Abdullah, Op.Cit, 1989, hal. xii 25 F.J. Moreno, Agama dan Akal Fikiran, terjemahan, Rajawali, Jakarta, 1985, hal. 122 26 Roland Robertson, Sosiologi Agama, terjemahan, Rajawali, Jakarta,1985, hal. vi 27 Kitagawa & Eliade, 1974, Op.Cit, hal. 35
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 271
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
karena itu, untuk memahami kebenaran agama adalah menuruti apa yang
dikatakan benar oleh penganutnya sehingga objek studi agama bukan pada
bagian pertama (eksternal), tetapi pada diri manusia (internal) yang memahami
agamanya. Max Weber seringkali mengisyaratkan bahwa dalam mengkaji dan
menganalisis agama bukanlah dalam arti, “Apakah agama itu?” Akan tetapi,
untuk menelusuri kondisi dan dampak teodisi yang berbeda-beda dan budaya
yang berbeda pula.28 Dalam segi kepercayaan, beragama berarti usaha untuk
menjadikan hidup lebih bermakna dan menyelaraskan kesenjangan antara
harapan-harapan dan pengalaman aktual. Kitagawa dengan tepat pula menaruh
perhatiannya pada isu sentral masalah meaning, yakni arti penting agama
menurut para pemeluknya. Hal ini dapat dicapai dengan cara kerja
memperhatikan keseluruhannya, melihat the Wholenes, atau dengan kata lain
menggunakan pendekatan holistik; atau menurut istilahnya sendiri, pendekatan
internal consistency.29
Penutup
Memahami agama melalui sisi kepenganutan, sebagaimana yang
diinginkan Smith, menginspirasi para penstudi agama dalam membangun teori
kerukunan antar umat beragama dan faham keagamaan dimana pun manusia
beragama hidup. Di Indonesia, misalnya, keragaman kepenganutan agama dan
budaya yang dimilikinya mengandung potensi konflik. Di satu sisi bahwa
beragama merupakan hak pribadi yang otonom, namun pada saat yang
bersamaan memiliki implikasi sosial yang kompleks dalam kehidupan
bermasyarakat.30
Untuk itu, pemahaman agama dari sisi penganut bisa membuka ruang
untuk saling mengenal dan berinteraksi tanpa mengabaikan dasar keimanan
yang dimilikinya. Semua doktrin agama mengarahkan kepada semua
penganutnya untuk memelihara perdamaian dan menjauhi permusuhan.
Toleransi, sebagai perilaku, muncul dari kesadaran ini. Untuk itu, dalam
pendekatan budaya, sosial dan politik, toleransi merupakan simbol kompromi
beberapa kekuatan yang saling tarik menarik untuk kemudian bahu membahu
membela kepentingan bersama, menjaga dan memperjuangkannya.31 Dengan
28 Dalam buku Brian S. Turner, Weber and Islam, A Critical Study, Routledge &Kegan Paul,
London, 1973, hal.45 29 Dalam buku Romdhon, Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 1996, hal. 3 30 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Teologi Kerukunan Beragama dalam Islam”, dalam
Analisis, Jurnal Studi Keislaman, Vol.XIII, Nomor 2, Desember 2013, IAIN Raden Intan
Lampung, hal. 271. 31 Ibid, hal. 280
PERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
272 | Conference Proceeding ICONIMAD 2019
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
demikian, toleransi adalah pintu menuju kerukunan di lingkungan masyarakat
yang beragam kepenganutan agama dan budaya.
Di negara atau bangsa yang memiliki ragam kepenganutan agama dan
budaya, konsep “agree in disagreement” yang disodorkan Mukti Ali, dapat
dijadikan salah satu model dalam membangun kerukunan antar kepenganutan
agama dan faham keagamaan. Gagasan Mukti Ali ini sampai sekarang masih
segar dan menjadi rujukan utama pemerintah dalam membangun dan
memelihara kerukunan hidup antar umat beragama di Indonesia.32
Daftar Pustaka
Buku :
Coward, Harold. (1989). Pluralisme Tantangan Bagi Agama-Agama, terjemahan, Kanisius, Yogyakarta. Durkheim, Emile. (1976). the Elementary Forms of the Religious Life, translated by Joseph Ward Swain, George Allen & Unwin LTD, London. Kitagawa & Eliade. (1974). History of Religion, Essays in the Problem of Understanding, University of Chicago Press. Muchtar Ghazali, Adeng. (2005). Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung. Moreno, Jose. (1985). Agama dan Akal Fikiran, terjemahan, Rajawali, Jakarta. Robertson, Roland. (1985). Sosiologi Agama, terjemahan, Rajawali, Jakarta. Romdhon. (1996). Metodologi Ilmu Perbandingan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta,. Smith, Wilfred Cantwell. (1978). Meaning and End of Religion, A Revolutionary Approach to the Great Religious Tradistions, pertama kali dipublikasikan di Macmillan Company, New York, Amerika, 1962, kemudian di Inggris, 1978 Schuon, Frithjof. (1993). Islam dan Filsafat Perenial, terjemahan, Mizan, Bandung Taufik Abdullah & Rusli Karim, ed. (1989). Metodologi Penelitian Agama, Tiara Wacana, Jakarta. Turner, Brian S. (1973). Weber and Islam, A Critical Study, Routledge &Kegan Paul, London.
32 Lihat, Adeng Muchtar Ghazali, “Perbandingan Agama antara Ilmu dan Nama Jurusan”,
dalam Wawasan, Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 37, Nomor 1, Januari-Juni
2014, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Hal. 21
SPERSONALISASI AGAMA DAN KERUKUNAN
Studi atas Pemikiran W.C.Smith dalam Membangun Harmoni Antar Umat Beragama
Conference Proceeding ICONIMAD 2019 | 273
International Conference on Islam in Malay World IX, Krabi, Thailand
Jurnal :
Analisis. (2013). Jurnal Studi Keislaman, Vol.XIII, Nomor 2, Desember, IAIN Raden Intan Lampung Religious. (2016). Jurnal Studi Agama-Agama dan Lintas Budaya, Vol. 1, Nomor 1, September, Jurusan Studi Agama-agama Fakultas Ushuluddin UIN Gunung Djati Wawasan. (2014). Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya, Vol. 37, Nomor 1, Januari- Juni, Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.