Peran Pemerintah Daerah Dalam Pengembangan
Kesenian Reog Sebagai Identitas Adat Dan Ritual
Agama Di Ponorogo
Penyusun :
Budi Santoso
Bunga Lailatul S.
Mega P. Chalida
Nadya Gita Zaviera
Rizka Ayu Ratnasari
Jurusan Seni Tari
Fakultas Bahasa dan Seni
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2012
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat Rahmat dan Hidayah-
Nya yang tercurah, maka laporan penelitian yang berjudul ―Peran Pemerintah Daerah Dalam
Pengembangan kesenian Reog Sebagai Identitas Adat Dan Ritual Agama Di Ponorogo‖ dapat
terselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan penelitian ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah antropologi tari.
Ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah ini, serta pihak semua yang turut
serta membantu dalam penelitian ini. Peneliti menyadari bahwa manusia tidak ada yang
sempurna. Untuk itu apabila terdapat kesalahan dalam penulisan laporan ini merupakan
murni dari kesalahan peneliti sendiri. Peneliti berharap laporan ini akan berguna di kemudian
hari bagi semua pembacanya.
Terima Kasih.
Jakarta, 02 Januari 2012
Penyusun
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..........................................................................................1
DAFTAR ISI ............................................................................................2
ABSTRAK ............................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................5
A. Judul ............................................................................................5
B. Latar Belakang ...........................................................................................5
C. Rumusan Masalah ......................................................................................7
D. Tujuan Penelitian ........................................................................................7
E. Manfaat Penelitian ......................................................................................8
F. Teori dan Konsep .......................................................................................8
1. Teori ............................................................................................8
2. Konsep ............................................................................................9
G. Metode Penelitian .......................................................................................9
1. Desain Penelitian ............................................................................9
2. Setting Penelitian ............................................................................9
i. Tempat Penelitian ................................................................9
ii. Waktu Penelitian .................................................................10
iii. Unit Analisis .......................................................................10
3. Sumber Data ...................................................................................10
i. Narasumber dan Informan ...................................................10
ii. Objek Penelitian ..................................................................10
iii. Pustaka ................................................................................11
3
iv. Dokumen .............................................................................11
4. Teknik Pengumpulan Data ..............................................................11
i. Wawancara ..........................................................................11
ii. Pengamatan .........................................................................11
iii. Studi Pustaka .......................................................................11
iv. Studi Dokumen ....................................................................12
5. Teknik Analisis Data .......................................................................12
6. Teknik Kaliberasi dan Keabsahan Data ...........................................12
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...................................13
A. Letak Geografis Kota Ponorogo ..................................................................13
B. Sejarah Berdirinya Ponorogo ......................................................................13
C. Legenda dan Sejarah Reog Ponorogo ..........................................................15
BAB III PERDA PONOROGO DALAM MENGEMBANGKAN KESENIAN REOG
PADA SAAT INI DALAM RANAH UPACARA TRADISI, IKON PARIWISATA,
MAUPUN IDENTITAS KOTA PONOROGO ...................................................17
A. Pemerintah Daerah sebagai Pembuat Pedoman Kesenian dari Masa ke Masa
............................................................................................17
B. Pemerintah Daerah sebagai Pelestari Kesenian ...........................................19
C. Pemerintah Daerah dan Perubahan yang Terjadi pada Kesenian Reog.........20
BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................26
LAMPIRAN ............................................................................................27
4
ABSTRAK
Penelitian ini membahas tentang peran pemerintah daerah untuk melestarikan
kesenian Reog di daerah Kabupaten Ponorogo yang diadakan didalam acara Grebek Suro
yang diadakan setiap setahun sekali untuk merayakan tahun baru islam (1 Muharam/1 Suro).
Rangkaian yang mengikuti acara Grebek Suro mulai dari ziarah makam , kirap pusaka,
Festival Reog Nasional, Larungan malam, Larungan pagi, dan yang terakhir Tumpeng Purak.
Pemerintah Daerah sangat mendukung kegiatan Grebek Suro dan memerintahkan
kepada seluruh instansi-instansi pemerintah juga swasta untuk turut andil dalam acara Grebek
Suro pada tiap tahunnya untuk turut serta dalam melakukan prosesi acara Grebek Suro.
Kesenian Reog sangat berperan penting didalam acara Grebek Suro dan merupakan inti acara
dalam Grebek Suro. Terbukti dari pengadaan penampilan Reog pada Festival Reog Nasional
yang diikuti oleh peserta tidak hanya dari Ponorogo namun dari daerah-daerah lainnyah dan
mengisi acara pada ritual Larungan pagi.
Dengan adanya festival tersebut, Ponorogo lebih memperkenalkan Reognya sebagai
identitas kesenian khas Ponorogo. Pemerintah juga sudah mengupayakan agar Reog dikenal
oleh penjuru dunia dengan mengadakan tari jatilan yang ditarikan ribuan orang hingga
mendapatkan rekor MURI. Selain rangkaian acara Grebek Suro, Pemerintah Daerah juga
mempunyai beberapa program kerja atau program induk untuk melestarikan Reog ponorogo.
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul
―Peran Pemerintah Daerah dalam Pengembangan Kesenian Reog sebagai Identitas
Adat dan Ritual Agama di Ponorogo‖
B. Latar Belakang
Setidaknya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang
asal-usul Reog1. Beberapa yang terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng
Kutu, seorang abdi keRajaan pada masa Bhre Kertabhumi, Raja Majapahit terakhir yang
berkuasa pada abad ke-15 dan kisah Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi
Ragil Kuning, namun di tengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri2.
Meski terdapat berbagai sejarah munculnya Reog di Ponorogo, tetapi telah terbukti bahwa
Reog merupakan identitas dari Ponorogo. Berdasarkan SK Bupati nomor 425/1995 tentang
penetapan semboyan daerah Kabupaten Tk. II Ponorogo maka Reog ditetapkan sebagai
semboyan kota, sebagai identitas supra lokal. Reog dimaknai sebagai Resik, Endah, Omber,
Girang-Gumirang (bersih, indah, lapang, dan menyenangkan).
Pemerintah Indonesia menetapkan tahun 1998 adalah Tahun Seni dan Budaya sebagai
sebuah identitas bangsa dan mengembangkan pariwisata Indonesia. Legitimasi penetapan itu
diwujudkan pula dengan dibentuknya Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya. Realitas itu
menjadikan kebudayaan berada dalam dua label yang berbeda, yakni lebel ―Pendidikan‖
dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sedang yang lain berlebel ―Kepribadian
1 Reog di Jawa Timur, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1978-9
2 “Reog (Ponorogo)” http://id.wikipedia.org/wiki/Reog_(Ponorogo)
6
Nasional‖ dan ―Pariwisata‖ yang diwadahi oleh Departemen Pariwisata. Hubungan tarik-
menarik antara kepentingan ideologi tersebut dialami oleh kesenian tradisional, salah satunya
adalah Reog Ponorogo3.
Berdasarkan konteks dan bentuk pementasannya, terdapat dua klasifikasi pementasan
Reog yang diselenggarakan oleh Pemda Ponorogo, yakni Reog desa yang diadakan
bersamaan dengan hajat seperti selametan, bersih desa, sunatan, dan lain sebagainya; serta
Reog Kabupaten yang telah menggunakan panggung, pola lantai, dan kelengkapan unsur
tarian sebagai upaya Pemda mengikuti peraturan pemerintah pusat untuk kepentingan
pariwisata. Upaya yang dilakukan Pemda ini, tidak hanya mendapat dukungan namun juga
kritikan terutama dari praktisi Reog. Dalam jurnal yang bertajuk Reog Ponorogo: Antara
Identitas, Komoditas, dan Resistensi, menuliskan bahwa para praktisi Reog mengatakan Reog
Kabupaten sudah tidak murni.
Secara politis, Reog Kabupaten berada dalam tataran supra lokal mampu mengingkari
identitas ‗yang lain‘ (Reog desa). Sedangkan di tingkat lokal, eksistensi para praktisi Reog
diwakili oleh penampilan pementasan Reog desa sehingga kebijakan pariwisata Pemda
Ponorogo yang melahirkan bentuk Reog Kabupaten dianggap beroposisi dengan Reog desa
yang merupakan identitas dan komoditas lokal para praktisi Reog. Konstruksi identitas dan
pengemasan seni dan kebudayaan tradisional oleh pemerintah lewat labelisasi ‗keaslian‘
seringkali menjauhkan posisi seni dan kebudayaan tradisional itu dari masyarakat
pendukungnya.
3 Zamzam Fauzanafi, Esti Anantasari, Ani Himawati. “Reog Ponorogo: Antara IdentitasKomoditas, dan
Resistensi” ( http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=1306 ).
7
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka pokok permasalahan yang akan dibahas
pada penelitian ini adalah:
1) Bagaimana upaya Pemerintah Daerah dalam mengembangkan kesenian Reog
pada saat ini, baik dalam ranah upacara tradisi, ikon pariwisata, maupun
sebagai identitas Ponorogo?
2) Bagaimana Pemerintah Daerah menjembatani perbedaan kesenian Reog
sebagai kemasan pariwisata dengan Reog di pedesaan? Bagaimana Perda
menanggapi beberapa perubahan tradisi di dalam pertunjukkan Reog?
3) Bagaimana upaya Pemda mensosialisasikan Reog sebagai identitas Ponorogo
ke berbagai lapisan masyarakat Ponorogo terutama cendikia agama?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1) Mengetahui upaya yang dilakukan Perda dalam mengembangkan Reog baik
pada upacara tradisi, ikon pariwisata, maupun sebagai identitas Kota
Ponorogo.
2) Mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai permasalahan
Reog sebagai kemasan pariwisata dan Reog desa, serta tindakan Perda dalam
mengatasi permasalahan tersebut.
3) Mengetahui proses sosialisasi yang dilakukan Pemda atas Reog sebagai
identitas Ponorogo ke berbagai lapisan masyarakat.
8
E. Manfaat Penelitian
Manfaat melalui penelitian ini dapat berupa informasi atas aplikasi dari Peraturan
Pemerintah dalam hal pengembangan pariwisata tradisional sejak 1998, bagaimana
permasalahan yang mengikuti peraturan tersebut pada seni-seni tradisi, dan upaya-upaya
yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah untuk menyatukan misi pemerintah dengan idealis
seniman daerah – khususnya Kesenian Reog di Ponorogo pada penelitian ini.
F. Teori & Konsep
1. Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Tanpa teori hanya ada
pengetahuan tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan
(Koentjaraningrat,1973:10). Sebagai pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis
menggunakan beberapa teori yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian ini.
Teori identitas dapat dijabarkan menjadi beberapa bagian yaitu: teori identitas sosial,
identitas kelompok, dan identitas budaya. Identitas social merupakan suatu proses, bukan
tindakan atau perilaku. Teori identitas kelompok lebih banyak didasari untuk menentukan
cirri-ciri etnik pada kelompok masyarakat. Identitas dikatakan sebagai sebuah proses dan
sesuatu yang dibentuk, dengan kata lain identitas tidak bersifat inheren tetapi timbul sebagai
sebuah proses pemberian lebel. Memberikan suatu identitas kepada suatu budaya dapat
mempermudah mengenasli seseorang atau asal dari sebuah budaya.
9
2. Konsep
Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari pengertian
konkret, gambaran mental dari objek atau apapun yang ada di luar bahasa yang digunakan
oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia,1990:456).
Dalam konsepnya, identitas menurut Kathryn Woodward, dibentuk lewat ‗penandaan
perbedaan‘. Penandaan perbedaan ini terjadi baik lewat sistem simbolis bernama representasi,
maupun lewat bentuk-bentuk tertentu dari ‗pengecualian sosial‘.
G. Metode Penelitian
1. Desain Penelitian
Pada penelitian ini menggunakan desain Etnografi. Kata etnografi berasal dari Yunani
yaitu ethnos yang berarti rakyat dan graphia yang berarti tulisan. Jadi, etnografi adalah
strategi penelitian ilmiah yang mempelajari masyarakat, kelompok etnis dan formasi etnis
lainnya, etnogenesis, komposisi, perpindahan tempat tinggal, karakteristik kesejahteraan
sosial, juga budaya material dan spiritual mereka4. Peneliti mengumpulkan informasi melalui
pengamatan partisipan dan wawancara.
2. Setting Penelitian
i. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di daerah Ponorogo, Jawa Timur. Tepatnya di Kabupaten
Ponorogo dan Desa Ngebel, Kecamatan Ngebel.
4 “Etnografi” http://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi
10
ii. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 26 – 28 November 2011.
iii. Unit Analisis
Studi kasus terhadap kebijakan Pemda Ponorogo yang dikaji dalam penelitian ini
adalah:
Pelaksanaan Ziarah Makam Bataro Katong.
Penyelenggaraan Kirab Pusaka dan Tumpeng Purak.
Penyelenggaraan Festival Reog tingkat Nasional yang dihubungkan dengan acara
grebek suro.
Penyelenggaraan upacara Larungan dan pertunjukkan Reog desa yang dihubungkan
dengan acara grebek suro.
3. Sumber Data
i. Narasumber dan Informan
Guna mendapatkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan namun juga
mewakili semua lapisan masyarakat, maka Bupati Ponorogo dan Dinas Kebudayaan
Ponorogo merupakan narasumber pada penelitian ini. Sedangkan pimpinan RT, RW, Lurah,
Camat, dan panitia Larungan merupakan informan bagi penelitian ini.
ii. Obyek Penelitian
Materi pada penelitian ini adalah peran Pemerintah Daerah dalam ritual agama dan
adat melalui seni.
11
iii. Pustaka
Referensi dan bahan-bahan tertulis yang akan dikaji untuk memperoleh data
penelitian ini berupa peraturan-peraturan yang dibuat Pemerintah Daerah dalam mengelola
Kesenian Reog.
iv. Dokumen
Benda-benda fisik yang dikaji untuk memperoleh data penelitian ini berupa surat
keputusan Pemerintah Pusat prihal mempariwisatakan kesenian daerah maupun situs-situs
yang terkait dengan eksistensi kesenian Reog.
4. Teknik Pengumpulan Data
i. Wawancara
Kegiatan wawancara yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan metode
indepth interview yakni wawancara terbuka secara mendalam dengan pedoman wawancara
(interview guide). Wawancara juga dilaksanakan secara tim/panel dengan Focus Group
Discussion (FGD).
ii. Pengamatan
Kegiatan pengamatan dilakukan dengan observasi partisipasi di wilayah Ngebel
dimana peneliti mengikuti aktifitas upacara Ngebel pada tanggal 27 November 2011.
iii. Studi Pustaka
Referensi kepustakaan yang digunakan berupa Buku Pedoman Dasar Kesenian Reog
Ponorogo dalam Pentas Budaya Bangsa – yang wajib diikuti oleh seluruh kelompok Reog di
Ponorogo.
12
iv. Studi Dokumen
Dokumen yang digunakan pada penelitian ini adalah surat Keputusan Pemerintah
Pusat yang merujuk agar tiap kesenian tradisi dikemas untuk dijadikan pariwisata nasional.
5. Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan analisis data kualitatif yang disajikan melalui
analisis deskriptif yang menekankan bahwa perilaku manusia merupakan perilaku simbolik
yang memiliki makna.
6. Teknik Kaliberasi dan Keabsahan Data
Untuk keabsahan data yang diperoleh, pada penelitian ini menggunakan trianggulasi
data, yakni menggunakan berbagai sumber yang berbeda, metode-metode, dan teori-teori
untuk menyediakan informasi yang benar. Dilakukan pula pengecekan sejawat, yakni
menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang makna dan intepretasi penelitian kepada rekan
peneliti lainnya.
13
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
A. Letak Geografis Kota Ponorogo
Kabupaten Ponorogo mempunyai luas 1.371,78 km² yang terletak antara 111° 17‘ -
111° 52‘ Bujur Timur dan 7° 49‘ - 8° 20‘ Lintang Selatan dengan ketinggian antara 92
sampai dengan 2.563 meter diatas permukaan laut, yang berbatasan dengan sebelah utara
Kabupaten Madiun, Magetan dan Nganjuk, sebelah Timur Kabupaten Tulungagung dan
Trenggalek, sebelah Selatan Kabupaten Pacitan, dan sebelah Barat Kabupaten Pacitan dan
Wonogiri (Jawa Tengah).
Adapun jarak Ibu Kota Ponorogo dengan Ibu Kota Propinsi Jawa Timur (Surabaya)
kurang lebih 200 Km arah Timur Laut dan ke Ibu Kota Negara ( Jakarta ) kurang lebih 800
Km ke arah Barat. Dilihat dari keadaan geografisnya, Kabupaten Ponorogo dibagi menjadi 2
sub area, yaitu area dataran tinggi yang meliputi kecamatan Ngrayun, Sooko dan Pulung serta
Kecamatan Ngebel sisanya merupakan daerah dataran rendah. Sungai yang melewati ada 14
sungai dengan panjang antara 4 sampai dengan 58 Km sebagai sumber irigasi bagi lahan
pertanian dengan produksi padi maupun hortikultura. Sebagian besar dari luas yang ada
terdiri dari area kehutanan dan lahan sawah sedang sisanya digunakan untuk tegal pekarangan
Kabupaten Ponorogo mempunyai dua iklim yaitu penghujan dan kemarau5.
B. Sejarah Berdirinya Ponorogo
Menurut Babad Ponorogo (Purwowidjoyo;1997), setelah Raden Katong sampai di
wilayah Wengker, lalu memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman ( yaitu di
5 Letak Geografi (http://www.ponorogo.go.id/ )
14
dusun Plampitan Kelurahan Setono Kecamatan Jenangan sekarang). Melalui situasi dan
kondisi yang penuh dengan hambatan, tantangan, yang datang silih berganti, Raden Katong,
Selo Aji, dan Ki Ageng Mirah beserta pengikutnya terus berupaya mendirikan pemukiman.
Sekitar 1482 M eng konsulidasi wilayah mulai di lakukan.
Tahun 1482 – 1486 M, untuk mencapai tujuan menegakkan perjuangan dengan menyusun
kekuatan, sedikit demi sedikit kesulitan tersebut dapat teratasi, pendekatan kekeluargaan
dengan Ki Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya ketika itu mulai membuahkan hasil.
Dengan persiapan dalam rangka merintis mendirikan kadipaten didukung semua pihak,
Bathoro Katong (Raden Katong) dapat mendirikan Kadipaten Ponorogo pada akhir abad XV,
dan ia menjadi adipati yang pertama.
Mengutip buku Babad Ponorogo karya Poerwowidjojo (1997). Diceritakan, bahwa asal-
usul nama Ponorogo bermula dari kesepakatan dalam musyawarah bersama Raden Bathoro
Katong, Kyai Mirah, Selo Aji dan Joyodipo pada hari Jum'at saat bulan purnama, bertempat
di tanah lapang dekat sebuah gumuk (wilayah katongan sekarang). Didalam musyawarah
tersebut di sepakati bahwa kota yang akan didirikan dinamakan ―Pramana Raga‖yang
akhirnya lama-kelamaan berubah menjadi Ponorogo.
Pramana Raga terdiri dari dua kata: Pramana yang berarti daya kekuatan, rahasia hidup,
permono, wadi sedangkan Raga berarti badan,j asmani. Kedua kata tersebut dapat ditafsirkan
bahwa dibalik badan, wadak manusia tersimpan suatu rahasia hidup(wadi) berupa olah batin
yang mantap dan mapan berkaitan dengan pengendalian sifat-sifat amarah, aluwamah,
shufiah dan muthmainah. Manusia yang memiliki kemampuan olah batin yang mantap dan
mapan akan menempatkan diri dimanapun dan kapanpun berada.
Kadipaten Ponorogo berdiri pada tanggal 11 Agustus 1496 Masehi, tanggal inilah yang
kemudian di tetapkan sebagai hari jadi kota Ponorogo. Penetapan tanggal ini merupakan
15
kajian mendalam atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala di daerah Ponorogo
dan sekitarnya, juga mengacu pada buku Hand book of Oriental History, sehingga dapat
ditemukan hari wisuda Bathoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo. Bathoro
Katong adalah pendiri Kadipaten Ponorogo yang selanjutnya berkembang menjadi
Kabupaten Ponorogo6.
C. Legenda dan Sejarah Reog Ponorogo
Reog merupakan salah satu kesenian tradisional dari sekian banyak kesenian
tradisional yang dimiliki oleh Indonesia. Dalam buku milik Dinas Pendidikan Ponorogo
berjudul mengenal Reog Ponorogo, kesenian ini lahir dan besar di kota yang sekarang dikenal
dengan nama Ponorogo. Dalam proses terciptanya kesenian Reog ini terdapat dua sudut
pandang yaitu menurut legenda dan menurut sejarah.
Kata Reog diambil dari bebunyian atau suara yang dikeluarkan oleh gamelan
pengiring ketika tarian ini dipentaskan, pencetus nama Reog adalah Ki Ageng Surya Alam
(kumpulan kliping tari-tarian daerah) ada pula sumber yang mengatakan kata ―Reog‖ atau
―reyog‖ memiliki arti cukup ilmu, berwibawa serta luhur budinya Menurut legenda
masyarakat Ponorogo kesenian Reog ini menceritakan tentang perjuangan seorang Raja yang
akan melamar seorang permaisuri namun pada akhirnya sang Raja gagal untuk meminang
sang putri dan terciptalah pertunjukan yang belum pernah ada sebelumnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2009) legenda adalah sebuah cerita rakyat
pada zaman dahulu yang berhubungan dengan peristiwa sejarah. Sedangkan, menurut
sejarahnya awal terciptanya kesenian ini sekitar tahun 1200 masehi oleh seorang patih
Bantarangin bernama Raden Klana Wijaya atau biasa disebut Pujonggo Anom adalah sebuah
pertunjukan satir yang mana di tujukan untuk seorang Raja bernama Raden Klono
6 “Sejarah Ponorogo” (http://www.ponorogo.go.id/)
16
Sewandono yang terlalu tunduk kepada permaisurinya yang mengakibatkan sang Raja lalai
dalam memimpin negerinya.
Ada pula sumber lain yang diperoleh dari buku mengenal Reog Ponorogo (Dinas
Pariwisata Ponorogo) menceritakan hal yang mendasari terciptanya kesenian Reog ini adalah
inisiatif dari sang patih keRajaan Bantarangin yaitu patih Pujangga Anom dalam menghibur
Rajanya yaitu Raja Kelono Sewandono yang ditinggal pergi oleh istrinya yaitu Putri Dwi
Songgo Langit ketika diketahui sang istrinya tidak dapat memiliki anak. Sesungguhnya sang
Raja berkali-kali mencoba menahan kepergian sang permaisuri yang berkeinginan kembali
kenegerinya yaitu Kediri untuk menjadi seorang petapa. Akan tetapi keingin sang permaisuri
sudah bulat dan Raja pun melepas kepergian sang permasurinya dengan kesedihan. Karena
itulah sang patih mementaskan sebuah pertunjukan tari-tarian yang menggunakan kepala
harimau dan seekor merak yang hinggap diatasnya, hal ini dimaksudkan untuk mengenang
kembali masa-masa perjuangan sang Raja dalam mempersunting Putri Dwi Songgo Langit.
Akan tetapi dari setiap pementasan maupun pagelaran yang disajikan oleh para
seniman Reog saat ini menggunakan versi dari R. Klana Wijaya atau biasa disebut dengan
Pujangga Anom. Yang berceritakan tentang perjuangan Raja Bantarangin Klono Sewandono
dalam mempersunting putri dari keRajaan Kediri Putri Dwi Songgo Langit.
17
BAB III
PERDA PONOROGO DALAM MENGEMBANGKAN KESENIAN REOG PADA
SAAT INI DALAM RANAH UPACARA TRADISI, IKON PARIWISATA, MAUPUN
IDENTITAS KOTA PONOROGO
A. Pemerintah Daerah sebagai Pembuat Pedoman Kesenian dari Masa ke Masa
Berubah-ubahnya pemegang kekuasaan politik seiring dengan zaman sangat
mempengaruhi keberadaan sebuah kesenian. Hal ini pun berlaku untuk kesenian Reog
Ponorogo. Asal usul Reog Ponorogo yang semula disebut Barongan merupakan satire
(sindiran) dari Demang Ki Ageng Kutu Suryongalam terhadap Raja Majapahit Prabu
Brawijaya V (Bre Kertabumi). Pada masa kekuasaan Batoro Katong, oleh Ki Ageng Mirah,
memandang perlunya pelestarian kesenian Barongan tersebut sebagai alat pemersatu dan
pengumpul massa sekaligus sebagai media informasi dan komunikasi langsung dengan
masyarakat.
Kuatnya posisi Reog Ponorogo dalam kehidupan keseharian masyarakat Ponorogo
membuat partai-partai politik memanfaatkan kesenian ini untuk mencapai tujuan mereka.
Tahun 1963, Reog dimanfaatkan oleh PKI dengan dibentuknya BRP (Barisan Reog
Ponorogo). Oleh Ahmad Tobroni seorang pengurus Nadhatul Ulama dibentuk CAKRA
(Cabang Reog Utama)n dan kemudian diikuti oleh kaum nasionalis dengan memebentuk
BREN (Barisan Reog Nasional). Tahun 1966 BRP bubar, dan akhirnya CAKRA dan BREN
18
menjadi cikal bakal INTI ( Insan Takwa Ilahi) yang berisi aktivitas Reog dan orang-orang
terkemuka (pejabat) di Ponorogo.7
Perubahan kembali terjadi ketika usai peristiwa G30S/PKI. Kesenian Reog Ponorogo
dibina secara utuh dan terencana oleh Pemerintahan Orde Baru. Upaya pembinaan yang
ditempuh Pemda II Ponorogo dengan merealisasikan satu unit Reog di setiap desa dan
dibangunnya sarana kegiatan berupa padepokan. Langkah selanjutnya, Pemerintah Daerah
Tingkat II Ponorogo menyelenggarakan saresehan Reog Ponorogo pada tanggal 24
November 1992 di Pendopo Agung Kabupaten Ponorogo. Dari kegiatan ini, diperoleh
masukan dari berbagai kalangan praktisi, ilmuwan dari berbagai disiplin ilmu, maupun pakar
tari dan tata busana sehingga terwujud ―Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo dalam
Pentas Budaya Bangsa‖ atau terkenal dengan sebutan ―Buku Kuning‖. Terbitnya buku
pedoman ini di susun pada 1 April 1996 pada masa Bupati Markoem Singodimedjo8.
Pada pengertian istilah dalam judul disebutkan alinea pertama: Pedoman dasar adalah
kerangka landasan, membuat rambu-rambu yang harus ditaati dalam setiap penyajian
Kesenian Reog Ponorogo dari alur cerita sampai pada instrument dan aransemennya (alur
cerita, seni tari, tata busana/rias, instrument, aransemen, dan peralatan lainnya).
Seiring jatuhnya Orde Baru, Pemerintah Indonesia menetapkan tahun 1998 adalah
Tahun Seni dan Budaya sebagai sebuah identitas bangsa dan mengembangkan pariwisata
Indonesia. Legitimasi penetapan itu diwujudkan pula dengan dibentuknya Departemen
Pariwisata, Seni, dan Budaya. Realitas itu menjadikan kebudayaan berada dalam dua label
yang berbeda, yakni lebel ―Pendidikan‖ dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
sedang yang lain berlebel ―Kepribadian Nasional‖ dan ―Pariwisata‖ yang diwadahi oleh
7 Zamzam Fauzanafi, Esti Anantasari, Ani Himawati. “Reog Ponorogo: Antara Identitas, Komoditas, dan Resistensi” ( http://i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=1306 ) 8 A. Budi Susanto. “Sisi Senyap Politik Bising”. Kanisius:Yogyakarta, 2007
19
Departemen Pariwisata. Hubungan tarik-menarik antara kepentingan ideologi tersebut
dialami oleh kesenian tradisional, termasuk Reog Ponorogo. Maka, Reog Ponorogo memulai
eranya sebagai kesenian yang menjadi ―identitas‖ namun juga sebagai ―komoditas‖.
B. Pemerintah Daerah sebagai Pelestari Kesenian
Reog berasal dari kata Riyoqun yang berarti walaupun seluruh perjalanan hidup
manusia dilumuri berbagai dosa dan noda, bilamana sadar dan beriman yang pada akhirnya
bertakwa pada Tuhan Yang Maha Esa maka jaminanya adalah manusia sempurna, baik, dan
muslim sejati (Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo, Pemda Tk. II Ponorogo:1996).
Berdasarkan SK Bupati Nomor 425/1995 tentang penetapan semboyan daerah Kabupaten Tk.
II Ponorogo, maka Reog ditetapkan sebagai semboyan kota, sebagai identitas supra lokal.
Reog dimaknai sebagai Resik, Endah, Omber, Girang-gumirang (bersih, indah, lapang
menyenangkan).
Seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan politik, Reog Ponorogo mendapatkan
perhatian untuk dilestarikan oleh Pemerintah Daerah. Beberapa rencana kerja sebagai upaya
pelestarian kesenian ini menjadi fokus utama pada Departemen Pariwisata Ponorogo. Perda
memiliki rencana induk sendiri yaitu membiayai desa atau setiap kecamatan yang mampu
membuat reog (seniman reog). Perda juga mempunyai rencana untuk membuat pusat
pengrajin Reog agar wisatawan tidak kesulitan untuk mencari informasi kesenian Reog.
Perda mempunyai beberapa program yang sudah dan masih berjalan saat ini, seperti:
1. Setiap sebulan sekali menampilkan Reog di panggung pada saat bulan purnama dan
di biayai oleh Dinas Pariwisata Pemda Ponorogo bekerjasama dengan Polres
Ponorogo.
2. Setiap satu tahun sekali setiap 11 Agustus diadakan festival Reog oleh Perda.
3. Menampilkan Reog dalam kegiatan Grebek Suro pada setiap tahunnya.
20
4. Setiap 2 bulan sekali menampilkan Reog dan tari-tarian khas Ponorogo.
5. Pelestarian makam Batoro Katong oleh Badan Pemerintah Pengawasan Benda
Purbakala.
Pemerintah juga berperan mananamkan jiwa seni kepada generasi muda dan staf
pemerintahan Kabupaten Ponorogo untuk andil dan juga terlibat dalam pengambangan
kesenian tradisi setempat. Untuk generasi muda pemerintah yaitu melibatkan siswa/siswi
yang masih dudk di bangku pelajar untuk ikut serta dalam pagelaran kesenian ( penari
larungan, kirab pusaka, festival), selain itu pemerintah juga mewajibkan ekstrakulikuler
disetiap sekolah yang masing-masing dibimbing oleh guru mengenal tradisi kesenian
Ponorogo.
C. Pemerintah Daerah dan Perubahan yang Terjadi pada Kesenian Reog
Kebijakan pariwisata Pemda Ponorogo melahirkan sebuah bentuk Reog yang disebut
Reog Kabupaten yang berdimensi supra lokal dan beroposisi dengan Reog Desa yang
merupakan identitas dan komoditas lokal para praktisi Reog. Reog Kabupaten merupakan
upaya untuk membuat penataan kembali penayjian Reog Ponorogo. Hasilnya menjadi
semacam panduan seni pertunjukkan yang digunakan untuk keperluan festival dan
pertunjukkan di tingkat Kabupaten. Materinya diambil dari penonjolan ciri khas Reog Desa,
yaitu pukulan kendang, tiupan slompret, dan senggakan. Unsur lain yang dimasukkan adalah
penambahan tokoh Klana Sewandana, Penthul, dan Tembem. Elemen tata busana juga
mengalami penambahan yaitu dengan mengadopsi dari istana Surakarta dan budaya
perkotaan. Sedangkan Reog Desa berlangsung jika ada hajat seperti slametan, bersih desa,
maupun sunatan. Penari dan penonton bebas menggerakan tubuh, arena pentas bebas, di
jalan, halaman rumah, lapangan, dan sebagainya. Tari lepas ditampilkan ketika iker, sehingga
21
tarian masing-masing tokoh disebut juga dengan iker. Tari lepas pada Reog Desa tidak selalu
Bujangganongnya saja, atau Barongannya saja9.
Berbagai fungsi seni pertunjukkan bagi masyarakat menunjukkan bahwa dalam tiap-
tiap individu terdapat pemahaman yang sama terhadap konsep penyelenggaraannya. Pilihan
pementasan terhadap versi Reog desa menunjukkan alasan bahwa versi tersebut lebih
memberikan media penuangan ekspresi dan kebersamaan antar warga melalui nilai-nilai yang
tercermin dalam kesenian sesuai dengan kepribadian masyarakat pendukungnya.
Representasi identitas akhirnya dapat diketahui melalui penelusuran pementasan terutama
pada Reog desa sesuai dengan fungsinya, dilakukan pada acara-acara adat yang diperlukan
oleh anggota masyarakat dalam budaya tersebut. Pedoman yang dibuat oleh Perda untuk
pementasan Reog merupakan bentuk representasi identitas budaya. Upaya ini tidak
sepenuhnya salah, tetapi terjadi penolakan secara tidak langsung dari masyarakatnya. Pemda
Ponorogo sebagai pemegang otoritas mencoba membuat tatanan agar Reog dan praktisinya
mematuhi peraturan itu, namun senantiasa masih terdapat perlawanan (resistensi) meskipun
tidak frontal.
Bentuk-bentuk resistensi yang muncul sebenarnya sulit dikenali karena tersembunyi
dalam keseharian para praktisi atau semacam protes di dalam hati. Para praktisi Reog yang
lebih berhak mewarisi tafsir sendiri terhadap kesenian Reog hanya bisa berkata: “Sebenarnya
9 Tim Estetika FBS UNJ. “Estetika Sastra, Seni, dan Budaya” UNJ Press: Jakarta, 2008.
22
Reog (Kabupaten) sudah tidak murni, karena ini keinginan pemerintah, hanya kalau gitu-gitu
saja tidak menarik, ya saya ikut saja” (Mbah Wo, dalam layar Horison, Indosiar, 14 Agustus
1998). Strategi para praktisi dalam menghadapi kenyataan tadi adalah dengan memunculkan
identitas ganda. Secara politis, Reog Kabupaten berada dalam tataran supra lokal sedangkan
tingkat lokal, eksistensi para praktisi Reog diwakili oleh penampilan pementasan Reog desa.
Bukan hanya dari bentuk pertunjukkan yang berubah antara Kabupaten dan Desa,
seiring waktu kesenian Reog Ponorogo memiliki perubahan-perubahan, seperti penari kuda
jatilan yang semula laki-laki berubah ditarikan oleh wanita dan tidak ada lagi istilah gemblak.
Warok sendiri selain merupakan prajurit atau orang yang memiliki kekuatan kanuragan,
biasanya dijadikan sebagai pemimpin suatu desa pada masa-masa penjajahan. Selain itu
tradisi gemblak mulai dihilangkan oleh para Warok sekitar tahun 1980. Tradisi gemblak
merupakan sebuah tradisi dimana para Warok menjaga ilmu kanuragannya dengan
memelihara anak kecil yang tampan untuk dijadikan teman teman tidurnya. Dikarenakan para
Warok mendapat pantangan untuk tidak melakukan hubungan dengan wanita atau istrinya.
Dikarenakan norma di masyarakat sudah berubah maka tradisi ini digantikan menjadikan
para gemblak sebagai anak asuh dari para Warok, mereka disekolahkan dan dirawat seperti
anak mereka sendiri. Biasanya para gemblak adalah para penari jathilan atau biasa disebut
juga penari kuda kepang. Semenjak saat itu para penari jathilan dapat dimainkan oleh anak
perempuan.
Bapak Satria selaku Kepala Dinas Pariwisata Ponorogo menuturkan, “Di saat
diadakan tari jatilan yang tercatat sebagai rekor Muri, Perda kekurangan penari laki-laki.
Maka di putuskan penari jatilan diperankan oleh perempuan disamping gerakan penari
jatilan agak keperempuan-perempuanan jadi sulit untuk penari laki-laki memeragakan
sebagai penari jatilan. Maka dari itu penari jatilan digantikan oleh perempuan dan jika
ditarikan oleh perempuan terlihat lebih indah dan cantik. Sedangkan untuk gemblak pada
23
saat ini sudah tidak ada dan saat ini istilah gemblak lebih dikenal dengan anak asuh. Kalau
dulu gemblak digunakan untuk mengukur status sosial, semakin banyak gemblak maka status
sosial seseorang semakin tinggi.”
Festival Reog Nasional yang menjadi perubahan utama Reog Obyok (Reog Desa),
diselenggarakan setiap 1 Muharram dalam acara Grebeg Suro. Dalam acara tersebut pihak
Pemda Ponorogo berupaya mengerahkan seluruh potensi kelompok Reog yang ada di setiap
desa. Dalam menjembatani antara Reog Festival dengan Reog Obyok agar tidak ada
kesenjangan, Pemerintah Daerah Tk. II Ponorogo memiliki penangan pelestarian yang
berbeda. Melalui wawancara dengan Bapak Satria selaku Kepala Dinas Pariwisata Ponorogo,
ia kembali menjelaskan “Masing-masing Reog mempunyai jalur sendiri-sendiri. Adanya reog
festival karena adanya upaya pemerintah untuk melestarikan reog di kancah nasional seperti
halnya Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo mengadakan festival reog nasional setiap
tahunnya dan untuk Reog Obyok pemerintah mempunyai paguyuban Reog di setiap
kecamatan yang totalnya 21 kecamatan. Dari paguyuban tersebut Reog Obyok bisa berlatih
dan melestarikan Reog Obyok. Dan antusias masyarakat untuk kedua reog tersebut sangat
luar biasa.Sebagai pemerintah daerah kita hanya bisa memfasilitasi kegiatan tersebut.”
Selain pertentangan antara Reog Kabupaten dan Desa, Reog pun menjadi permasalahan
di antara kaum muslim Ponorogo. Para praktisi Reog di Kabupaten Ponorogo disebut
golongan tiyang ho’e, yaitu golongan yang lekat dengan kesenian tradisional Reog dan religi
kejawen. Sedang golongan tiyang mesjid adalah golongan yang sibuk dalam aktivitas masjid
dan melaksanakan kehidupan berdasarkan Al-Quran dan Al-Hadist.
Golongan tiyang ho’e merupakan abangan yang acuh tak acuh terhadap doktrin islam.
Warok-warok yang memiliki kekuatan supranatural mengasihi orang papa, membela
kebenaran, dan memiliki kepercayaan hanya berhubungan seksual dengan sejenisnya adalah
24
streotip identitas tiyang ho’e di masa lampau. Orang-orang itu bisa dikenali saat pementasan
Reog desa; mereka mengenakan pakaian penadon, minum-minuman keras, menari bersama
jathil, dan mengikuti upacara sesaji meskipun sebagian dari mereka sudah tidak tahu maksud
dan tujuannya.
Pedoman pelaksanaan kesenian Reog yang telah dibuat oleh Perda pun merupakan
bentuk upaya pemerintah mengatasi masalah ini. Selain itu, untuk menjembatani
permasalahan ini, Perda bekerja sama dengan Pesantren Gontor untuk melakukan kesenian
Reog islami. Perda memberikan kelonggaran dalam hal berbusana, seperti membiarkan
penari jathil memakai kerudung dan kain panjang semata kaki.
25
BAB IV
KESIMPULAN
Kabupaten Ponorogo yang merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur, tidak dapat
dipisahkan dengan keseniannya yang telah melekat menjadi identitasnya, yaitu Kesenian
Reog Ponorogo. Seiring berjalannya zaman dan pergantian tampuk kekuasaan, Reog
Ponorogo pun mengalami berbagai perubahan. Dari dimanfaatkan oleh partai politik hingga
menjadi komoditas.
Pemerintah daerah Tk. II Ponorogo dalam upaya pelestarian kesenian Reog yang telah
menjadi identitas Kabupaten tersebut, menerbitkan Pedoman Dasar Kesenian Reog Ponorogo
dalam Pentas Budaya Bangsa sebagai rambu-rambu yang harus ditaati dalam setiap penyajian
Kesenian Reog Ponorogo dari alur cerita sampai pada instrument dan aransemennya (alur
cerita, seni tari, tata busana/rias, instrument, aransemen, dan peralatan lainnya). Niatan baik
Perda Ponorogo tersebut mendapatkan penolakan secara tidak langsung dan perlawanan
meskipun tidak frontal dari para praktisi kesenian Reog Ponorogo. Adanya pedoman tersebut
membagi pertunjukkan menjadi dua, yaitu Reog Kabupaten dan Reog desa (Obyok).
Seiring berkembangnya zaman pun beberapa hal dalam pementasan Reog Ponorogo
mengalami perubahan, seperti penggantian penari jathilan yang semula laki-laki menjadi
wanita dan tidak digunakannya lagi istilah gemblak. Hal ini disebabkan, masyarakat merasa
gemblak yang biasa menarikan jathilan dan juga menjadi pasangan Warok sudah tidak sesuai
dengan norma dan nilai yang berlaku—terutama masyarakat islam Ponorogo. Dan kesenian
ini pun tak luput dari pertentangan antara masyarakat agamais dengan praktisi yang acuh tak
acuh dengan norma agama. Sebagai penengah, Perda bekerjasama dengan Pesantren Gontor
untuk mensosialisasikan Reog islami dengan berbagai perubahan baik dalam kostum maupun
penyelenggaraannya.
26
DAFTAR PUSTAKA
BUKU/JURNAL
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1978. Reog di Jawa Timur. Jakarta: DEPDIKBUD.
Fauzanafi, Zamzam, Esti Anantasari, Ani Himawati. 1999. ―Reog Ponorogo: Antara
Identitas, Komoditas, dan Resistensi‖ dalam Bulletin Penalaran Mahasiswa UGM
Yogyakarta: Universitas Gajah Mada. Vol. VI/01 Oktober.
Susanto, A. Budi. 2007. Sisi Senyap Politik Bising. Yogyakarta: Kanisius.
Tim Estetika Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Jakarta. 2008. Estetika sastra,
seni, dan budaya. Jakarta: UNJ Press.
INTERNET
Dokumentasi Foto Kegiatan Grebeg Suro 2011. http://www.facebook.com/pages/GREBEG-
SURO-PONOROGO-PHOTOS/198831152298? sk=wall&filter=2. Diunduh pada
6 Desember 2011.
―Etnografi‖ http://id.wikipedia.org/wiki/Etnografi. Diunduh pada 6 Desember 2011.
―Letak Geografi dan Sejarah Ponorogo‖ http://www.ponorogo.go.id/. Diunduh pada 2 Januari
2012.
―Reog (Ponorogo)‖ http://id.wikipedia.org/wiki/Reog_(Ponorogo). Diunduh pada 6
Desember 2011.
27
LAMPIRAN
Hasil Wawancara Daftar Pertanyaan
No Daftar Pertanyaan Jawaban Narasumber
A. 1. Apakah pemerintah daerah mempunyai rencana induk pengembangan kesenian daerah ponorogo ? 2. Apakah pemerintah mempunyai program khusus untuk melestarikan reog ponorogo ?
1. Pemerintah daerah mempunyai rencana induk sendiri yaitu pemerintah membiayai desa atau setiap kecamatan yang mampu membuat reog ( seniman reog).pemerintah juga mempunyai rencana ingin membuat pusat pengrajin reog agar wisatawan tidak kesulitan untuk mencari kesenian reog. 2.Pemerintah juga mempunyai program yang sudah berjalan dan masih berjalan hingga saat ini yaitu
- Setiap sebulan sekali
menampilkan reog di
panggung pada setiap
bulan purnama dan di
biayai oleh pemerintah
- Setiap satu tahun sekali
pemerintah daerah setiap
11 Agustus diadakan
festival reog
- Menampilkan reog dewasa
dalam kegiatan grebek suro
pada setiap tahunnya.
- Setiap 2 bulan sekali
menampilkan reog dan tari-
tarian khas ponorogo, agar
reog selalu mempunyai
eksistensi di ponorogo
3.Ya, di desa ngebel selalu diadakan larungan setiap tahunnya pada
1. Bupati Ponorogo 2. Bupati Ponorogo
28
3.Apakah acara larungan ini selalu diadakan setiap tahunnya ? 4. Apakah alasan di adakannya ritual larungan ini oleh tokoh-tokoh desa ? 5.Peran pemerintah dalam acara larungan di desa ngebel ? 6. Apakah ada peran pemerintah dalam melestarikan makam Betoro Katong ? Dan apakah aparat pemerintah ikut mendoakan makam betoro katong atau hanya sekedar datang berkunjung ?
tanggal 1 muharam. 4. Karena pada zaman dahulu danau ngebel ini sering meminta korban jiwa, maka perangkat desa serta tokoh-tokoh desa bermusyawarah dan memutuskan untuk melakukan ritual larungan sebagai pengganti adanya korban jiwa.Larungan diadakan 2 kali yaitu siang dan malam, yang malam ialah ritual sakralnya dan yang siang oleh kabupaten dikemas sedemikian rupa hingga menjadi sebuah pariwista untuk masyarakat ponorogo. 5. Peran pemerintah baik kecamatan maupun kabupaten memfasilitasikan acara larungan sedangkan untuk penyelenggara acara larungan dari panitia kecamatan. 6. Pemerintah mempercayakan pelestarian makam betoro katong oleh Badan Pemerintah Pengawasan Benda Purbakala.Pusaka-pusaka peninggalan betoro katong di jaga dan di rawat oleh BP3 ini, dan setiap satu suro benda-benda pusaka tersebut di kirap dan disemayamkan ke makam ini.Para aparat pemerintah juga turut mendoakan makam betoro katong.
3. Lurah desa Ngebel 4. Lurah desa Ngebel 5. Lurah desa Ngebel 6. Pak Nardi sebagai juru kunci makam betoro katong
B. 1. Apakah masih terdapat reog obyok di ponorogo ? 2. Bagaimana pemerintah menjembatani antara reog festival dengan reog obyok ?
1. Justru reog obyok banyak di sukai oleh masyarakat karena reog obyok sering diadakan di desa dalam perayaan seperti perkawinan, khitanan, serta bersih desa yang sering memanggil reog obyok sebagai pelengkap acara-acara tersebut. 2. Masing-masing reog mempunyai jalur sendiri-sendiri. adanya upaya pemerintah untuk melestarikan reog di kancah nasional seperti halnya pemerinyah daerah kabupaten ponorogo mengadakan festival reog
1.pak satria kepala dinas pariwisata 2. pak satria kepala dinas pariwisata
29
nasional setiap tahunnya dan untuk reog obyok pemerintah mempunyai paguyuban reog di setiap kecamatan yang totalnya 21 kecamatan dari paguyuban tersebut reog obyok bisa berlatih dan melestarikann reog obyok. Dan antusias masyarakat untuk kedua reog tersebut sangat luar biasa. Sebagai pemerintah daerah kita hanya bisa memfasilitasi kegiatan tersebut.
3. Dulu didalam kesenian reog terdapat istilah gemblak, menurut bapak masih adakah gemblak didalam kesenian reog saat ini ? 4. Kenapa sekarang penari jatilan ditarikan oleh perempuan ? 5.Apa pendapat bapak mengenai perubahan yang terjadi didalam penggunaan kostum reog ?
3. Gemblak pada saat ini mungkin sudah tidak ada dan saat ini istilah gemblak lebih dikenal dengan anak asuh, kalau dulu gemblak digunakan untuk mengukur status social, semakin banyak gemblak maka status social seseorang semakin tinggi.Pada zaman dulu warok sering melakukan tirakat dan didalam tirakat sang warok dilarang dilayani oleh istri baik kebutuhan jasmani maupun rohani. Maka gemblak ini yang menggantikan posisi sang istri. 4. Disaat diadakan tari jatilan yang tercatat sebagai rekor di muri kita kekurangan penari laki-laki. Maka di putuskan penari jatilan diperankan oleh perempuan lagi pula gerakan penari jatilan seharusnya agak keperempun-perempuanan jadi sulit untuk penari laki-laki memeragakan sebagai penari jatilan maka dari itu penari jatilan digantikan oleh perempuan dan jika ditarikan oleh perempuan terlihat lebih indah dan cantik. 5.Sebenarnya kita juga agak kecewa kenapa kostum penari-penari reog di ubah-ubah tidak sesuai dengan reog asli dari ponorogo, seperti halnya didalam festival reog yang diikuti oleh penjuru daerah di Indonesia, ada beberapa daerah yang menggunakan kostum yang jauh dari kesan penari
3. Bpk. Satria kepala dinas pariwisata 4. Bpk. Satria Kepala dinas pariwisata 5. Bapak Satria Kepala dinas pariswisata