PERAN HAKIM AGAMA, METODE BERPIKIR YURIDIS
DAN KONSEP KEADILAN DALAM PENERAPAN HUKUM1
oleh: Mukti Ali Jalil, S. Ag., MH 2
A. Pendahuluan.
Hakim adalah figur sentral dalam proses peradilan, senantiasa
dituntut untuk membangun kecerdasan intelektual, terutama kecerdasan
emosinal, kecerdasan moral dan spiritual, jika kecerdasan intelektual,
emosional, dan moral spiritual terbangun dan tepelihara dengan baik bukan
hanya akan memberikan manfaat kepada diri sendiri, tetapi juga akan
memberikan manfaat bagi masyarakat dalam konteks penegakan hukum.3
Kemampuan ketiga unsur penting tersebut, dalam diri seorang Hakim
harus memperoleh perhatian seimbang dalam keperibadian, kedinasan dan
dalam pergaulan kemasyarakatan, sehingga keluhuran dan martabat hakim
dimanapun dan kapanpun akan tetap terjaga terpelihara.
Secara formalistic, tugas Hakim adalah memeriksa, dan memutus
perkara, yang diajukan kepadanya, tetapi sejati filosofis tugas hakim harus
berjuang mengerahkan segala kemampuan meliputi; kecerdasan
intetelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual untuk
menemukan kebenaran dan keadilan yang sangat abstrak ditengah-tengah
hiruk pikuknya kehidupan. Karena hakim dalam memutus perkara wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
1 Makalah (dahulunya sebagai makalah yang diprosentasikan pada mata kuliyah
Sejarah Hukum dengan Dosen Pengasuh: Prof. DR. H. Ediwarman, SH., M. Hum., pada saat
penulis sebagai Mahasiswa S2 Program Pasca Sarjana UIR Pekanbaru tahun 2008-2009) 2 Wakil Panitera Pengadilan Agama Bengkalis;
3 Ahmad Kamil, 2008, Pedomana perilaku Hakim dalam perspektif Filsafat Etika,
Dalam Majalah Hukum, suara Uldilag No. 13., MARI, Jakarta, Halaman 38.
masyarakat. disini terkandung aktivitas kegiatan filosofis dan sosiologis
yang harus juga dilakukan oleh seorang Hakim.4
Putusan Hakim yang adil dalam penerapan hukum akan menjadi
puncak kearifan bagi penyelesaian permasalahan hukum yang terjadi dalam
kehidupan bernegara, karena putusan Hakim yang diawali dengan irah-irah
“DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA” hakikinya adalah sinyal betapa kewajiban penegakan hukum dan
keadilan itu harus dipertanggungjawabkan oleh Hakim secara vertikal
dengan mempertaruhkan nama Allah swt.
Untuk menegakkan suatu keadilan dalam penerapan hukum harus
ada sumber hukum berupa hukum-hukum tertulis yang sudah terkodifikasi.
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, menghadapi suatu
kenyataan, bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat
menyelesaikan masalah yang dihadapi.5 Bahkan seringkali Hakim harus
menemukan sendiri hukum itu (Rechtsvinding), dan/atau menciptakan
(Rechtsschepping), untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus
suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus menemukan hukum6, karena
Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak
lengkap, atau hukum samar-samar7. Termasuk juga dalam hal ini adalah para
4 Ibid., hal. 43
5 Sudikno Mertokusumo, Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum Sebuah
Pengantar, cet. II, Liberty, Yogyakarta, Halaman 10. 6 Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya Bakti, Jakarta, Halaman 7. 7 Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.4 tahun 2004,
LN. No. 9 tahun 2004, TLN No. 4359, ps.16. Berbunyi sebagai berikut: (1) Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya
Hakim diperadilan agama.
Untuk itu Hakim Agama senantiasa harus melengkapi diri dengan ilmu
hukum, teori hukum dan filsafat hukum. Hakim Agama tidak boleh membaca
hukum itu hanya secara normatif (yang terlihat) saja. Dia dituntut untuk
dapat melihat hukum itu secara lebih dalam, lebih luas, dan lebih jauh
kedepan. Dia harus mampu melihat hal-hal yang melatar belakangi suatu
ketentuan-ketentuan tertulis, pemikiran-pemikiran apa yang ada di
sana, dan bagaimana rasa keadilan dan kebenaran masyarakat akan hal itu.8.
Untuk itu, Hakim Agama juga harus mampu berperan dalam proses
penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping),
pada saat memutus perkara. Masalahnya sekarang, sanggupkah Hakim
Agama melakukan peran seperti tersebut di atas? Jawabannya harus
sanggup, Hakim Agama harus mempunyai pengetahuan yang cukup,
serta memiliki metode proses berpikir yuridis, didalam penerapan
hukum tersebut.
Dari pertimbangan yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa suatu
kajian tentang peran Hakim Agama dalam penerapan hukum, adalah suatu hal
yang menarik untuk dikaji/dibahas, yang dituangkan dalam bentuk makalah
yang diberi judul “ PERAN HAKIM AGAMA, METODE BERPIKIR
YURIDIS DAN KONSEP KEADILAN DALAM PENERAPAN
HUKUM”.
8 Sugijanto Darmadi, 1998, Kedudukan Hukum dalam llmu dan Filsafat. CV
Mandar Maju, Jakarta, Halaman 3. Bandingkan dengan Theo Hwijbers, 1995, Filsafat Hukum,
Kanisius, Jakara, Halaman 17-18.
B. Masalah Pokok.
Seperti diungkap di atas, masalah pokok yang hendak dicari
jawabannya dalam penelitian ini adalah “Bagaimana peran seorang Hakim
Agama, metode berpikir yuridis, dan konsep keadilan dalam penerapan
hukum”. Masalah ini dapat dirinci menjadi beberapa masalah berikut yang
perlu dicari jawabannya untuk menjawab masalah pokok itu sendiri, yaitu:
1. Bagaimana Peran Hakim Agama dalam Penemuan Hukum
(Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (rechtsschepping)?
2. Bagaimana Metode/Cara Berpikir Yuridis Hakim Agama dalam
Penerapan Hukum?
3. Bagaimana Konsep Keadilan dalam Penerapan Hukum oleh Hakim
Agama dalam Memutus suatu Perkara?
C. Pembahasan
1. Peran Hakim Agama Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan
Penciptaan Hukum (rechtsschepping).
Para ahli filsafat hukum memang berbeda pendapat mengenai apakah
Hakim punya peran untuk menemukan hukum, yang kadangkala atau selalu
berarti menyimpang dari undang-undang.
Dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman sebagai hasil revisi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Bab
IV tentang Hakim dan Kewajibannya, Pasal 28 ayat (1) dinyatakan bahwa:
"Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
keadilan yang hidup dalam masyarakat". Selanjutnya dalam penjelasan dari
pasal tersebut disebutkan: "Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan Hakim
sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat". Ketentuan Pasal 28 ayat
(1) ini merupakan pengulangan dengan sedikit perubahan dari Pasal 27
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang digantikannya.9
Dari ketentuan di atas, tersirat secara juridis maupun filosofis, Hakim
mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan
penciptaan hukum, agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum
dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua Hakim dalam
semua lingkungan peradilan dan dalam semua tingkatan.
Selanjutnya, dalam upaya menyelesaikan suatu perkara yang
disodorkan kepadanya (Hakim), maka menurut Sudikno, ada tiga tahapan
yang harus dilewati seorang Hakim, yakni mengkonstatir fakta-fakta,
mengkualifikasikan peristiwa dan mengkonstitusikan peristiwa hukum10
.
Menurut Sudikno, mengkonstatir fakta-fakta adalah menilai benar
tidaknya suatu peristiwa konkrit yang diajukan dipersidangan, baik perkara
pidana atau perdata, dan hal ini memerlukan pembuktian. Jadi yang harus
dibuktikan adalah fakta atau peristiwa konkrit. Sedangkan dalam tahap
kualifikasi hakim menilai peristiwa konkrit (fakta-fakta) tersebut termasuk
hubungan apa atau mana. Dengan kata lain, mengkualifisir berarti
mengelompokkan atau menggolongkan peristiwa konkrit tersebut masuk
dalam kelompok atau golongan peristiwa hukum apa (pencurian, pemerasan,
9 Lihat UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pasal 28 ayat (1).
10 Sudikno Mertokusomo, Penemuan Hukum… Op. cit., Halaman 49.
perzinaan, percekcokan terus menerus, penganiayaan jasmani, peralihan
hak dan sebagainya) dengan jalan menerapkan peraturannya sebagai
suatu kegiatan yang bersifat logis. Dalam proses ini adakalanya Hakim
bukan hanya menerapkan peraturan tetapi juga harus menciptakan
hukumnya. Selanjutnya, tahap akhir adalah mengkonstituir atau memberi
konstitusinya, yakni hakim menentukan hukumnya, memberi keadilan,
menentukan hukum dari suatu hubungan hukum antara peristiwa hukum
dengan subjek hukum (terdakwa, tergugat ataupun penggugat).
Selanjutnya, pada dasarnya hakim memang harus menerapkan
hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Adanya hukum
yang tertulis dalam bentuk perundang-undangan sebagai wujud dari asas
legalitas, memang lebih menjamin adanya kepastian hukum. Tetapi undang-
undang sebagai produk politik, tidak mudah untuk diubah dengan cepat
mengikuti perubahan masyarakat. Disisi yang lain, dalam kehidupan
modern dan komplek serta dinamis seperti sekarang ini, masalah-masalah
hukum yang dihadapi masyarakat semakin banyak dan beragam yang
menuntut pemecahan yang segera.11
Dalam praktek, Hakim menghadapi dua kendala, yakni seringkali
kata atau kalimat undang-undang tidak jelas, atau undang-undang tidak
lengkap dalam arti belum tegas-tegas mengatur suatu kasus konkrit yang
diajukan kepada Hakim. Padahal disisi lain, Hakim dilarang menolak
mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih hukum tidak
11
Mukhsin Asyrof, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum oleh
Hakim dalam Proses Peradilan, 2006, Artikel dalam Varia Peradilan, tahun ke XXI No. 252.
ada atau kurang jelas, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat (1)
UU.No. 4 Th. 2004.
Kendala yang dihadapi ini, menurut Sudikno,12
diatasi Hakim
dengan dua cara. Jika peraturannya tidak jelas, Hakim melakukan
interpretasi/penafsiran terhadap bunyi undang-undang dengan berbagai
metode interpretasi/penafsiran, seperti penafsiran otentik, sistematis,
historis, sosiologis dan lain-lain. Jika peraturannya tidak lengkap, Hakim
akan melakukan penalaran (reasoning), juga dengan berbagai
metode penalaran13
/ argumentasi tertentu seperti argumentum a
contrario, argumentum per analogiam (analogi) "' dan penyempitan
hukum (rechts-verfijning).
Atas dasar tersebut, maka Hakim juga berperan disamping menerapkan
hukum juga menemukan dan menciptakan hukum. Pada waktu mengadili,
Hakim menentukan hukum in concreto terhadap suatu peristiwa tertentu.
Dengan demikian putusan hakim adalah hukum atau dengan putusannya
Hakim membuat hukum (judge made law). Disamping lembaga legislatif
sebagai pembentuk hukum yang objektif abstrak, maka Hakim juga
membentuk atau mencipta hukum, hanya saja hukum yang diciptakan
Hakim adalah hukum inconcreto.14
Secara tekstual, sebagaimana telah disebutkan, undang-undang
memang menuntut Hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam
12
Mertokusomo Sudikno,Penemuan Hukum….Op.cit., Halaman 142. 13
Ahmad Ali menyebutkan,” Metode Penalaran /Argumentasi ini dengan nama
konstruksi Hukum, lihat bukunya Mengembara di Belantara Hukum, 1990, Bulan Bintang,
Jakarta, Halaman 158. 14
Ibid., Halaman 133.
masyarakat, yang secara filosofis berarti menuntut Hakim untuk
melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum. Hanya saja,
apakah dengan dalih kebebasan hakim tersebut, atau dengan dalih
Hakim harus memutus atas dasar keyakinannya, lalu Hakim boleh
sekehendak hatinya melakukan penyimpangan terhadap undang-
undang (contra legem) atau memberi interpretasi/ penafsiran terhadap
undang-undang.
Jawabnya tentu saja tidak, karena hal itu akan menimbulkan kekacauan
dan ketidak pastian hukum. Penemuan dan penciptaan hukum oleh Hakim
dalam penerapan hukum dan keadilan, haruslah dilakukan atas prinsip-
prinsip atau asas-asas tertentu, yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu
bagi Hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan
menciptakan hukum.
2. Metode/ Cara Berpikir Yuridis Hakim Agama dalam Penerapan
Hukum.
Untuk menegakkan suatu keadilan dalam penerapan hukum harus
ada sumber hukum berupa hukum-hukum tertulis. Dalam sistem hukum civil
law, hukum tertulis adalah merupakan primadona sebagai sumber hukum.
Hal itu ditandai oleh munculnya suatu gerakan kodifikasi, oleh aliran
legisme, yaitu: aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui
hukum di luar undang-undang. Mereka mengatakan bahwa hukum adalah
identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan
hukum, diakui sebagai hukum apabila undang- undang menunjuknya15
.
Selanjutnya mereka mengatakan, bahwa undang-undang (kodifikasi) justru
diadakan untuk membatasi hakim, yang karena kebebasannya telah menjurus
ke arah kesewenang-wenangan atau tirani16
. Apabila hukum tertulis tidak
lengkap, atau belum dapat menjawab permasalahan yang ada untuk
menyelesaikan sengketa yang dihadapi, barulah dicari kelengkapannya dari
sumber hukum yang lain-lainnya. Menurut Sudikno Mertokusumo, sumber
hukum adalah: peraturan perundangan-undangan, kemudian kebiasaan,
yurisprudensi, perjanjian internasional, barulah doktrin. Jadi, terdapat
hirarkhi atau kewerdaan dalam sumber hukum, ada tingkatan-tingkatan.17
Selain itu menurut TAP MPR, sumber hukum meliputi: Pancasila, Hukum
tertulis, dan Hukum Tidak Tertulis, yang dipakai sebagai sumber (bahan)
menyusun peraturan perundang-undangan.18
Hakim dalam memeriksa dan memutus perkara, menghadapi suatu
kenyataan, bahwa hukum tertulis tersebut ternyata tidak selalu dapat
15
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993, Bab-Bab Tentang…...Op.cit.,
Halaman 10. 16
J.A. Pontier, "Penemuan Hukum (Rechtvinding)", diterjemahkan oleh B. Arief
Shidarta (Untuk digunakan secara terbatas hanya untuk kalangan sendiri, Laboratorium Hukum
Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahiyangan, Bandung 2000), hal.54. Disana dikatakan:
Kodifikasi sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan para hakim. Kodifikasi hukum
mengimplementasikan bahwa tugas pengembangan hukum secara formal dibebankan kepada
pembentuk undang-undang, dan bukan hakim. 17
Sudikno Mertokusumo, 2001, Penemuan Hukum…….Op.cit., Halaman 48. 18
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No:
III/MPR/2000,Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan,
ps. 1. Yang berbunyi sebagai berikut: (1) Sumber Hukum adalah sumber yang dijadikan bahan untuk
penyusunan peraturan perundang-undangan. (2) Sumber Hukum terdiri atas Sumber Hukum Tertulis dan
Tidak Tertulis. (3) Sumber Hukum Dasar Nasional adalah Pancasila sebagaimana yang tertulis dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan
beradab, Persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Tubuh
Undang-Undang Dasar 1945.
menyelesaikan masalah yang dihadapi.19
Bahkan seringkali Hakim harus
menemukan sendiri hukum itu (Rechtsvinding), dan/atau menciptakan
(Rechtsschepping), untuk melengkapi hukum yang sudah ada, dalam memutus
suatu perkara. Hakim atas inisiatif sendiri harus menemukan hukum20
, karena
Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak ada, tidak
lengkap, atau hukum samar-samar21
. Termasuk juga dalam hal ini adalah para
Hakim diperadilan agama.
Untuk menemukan/menerapkan hukum dan menciptakan hukum
haruslah melalui metode. Metode penemuan hukum hanya dapat
digunakan dalam praktek hukum22
. Metode penemuan hukum juga
bukan teori hukum. Metode penemuan hukum terdiri atas penafsiran
hukum, seperti: penafsiran gramatikal; penafsiran sistematis; dan
penafsiran teleologis atau sosiologis. Metode penemuan hukum juga
mencakup konstruksi hukum, seperti: analogi, argumentum a kontrario,
dan penghalusan hukum23
. Metode penemuan hukum hanya
dipergunakan dalam praktek terutama oleh hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara.
Metode penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang
19
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum….Op.cit., Halaman 10. 20
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang…Op.cit., Halaman 7. 21
Indonesia, Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.4 tahun 2004,
LN. No. 9 tahun 2004, TLN No. 4359, ps.16. Berbunyi sebagai berikut: (1) Pengadilan tidak boleh menolak
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya 22
Sugijanto Darmadi, Op.cit., Halaman 63. 23
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum…., Op.cit., Halaman 56-74. Di sana
diuraikan secara panjang lebar tentang penafsiran dan konstruksi hukum tersebut. Untuk jelasnya
silahkan membaca sendiri literature tersebut, karena secara detail tidak akan dimuat dalam
uraian penelitian singkat ini. Selain itu, telah banyak literatur yang membahas dan menguraikan
akan hal itu.
bersifat khusus, konkret, dan individual. Jadi, metode penemuan
hukum adalah bersifat "praktikal", karena lebih dipergunakan dalam
praktek hukum. Hasil dari metode penemuan hukum, adalah terciptanya
putusan pengadilan yang baik, yang dapat dipergunakan sebagai
sumber pembaharuan hukum. Putusan hakim berperan juga terhadap
perkembangan hukum dan ilmu hukum, oleh karena itu keputusan hakim
juga dapat digunakan sebagai bahan kajian dalam ilmu hukum.
Kemampuan seorang Hakim Agama akan terlihat dari kualitas
putusan yang dilakukannya. Putusan yang berkualitas, adalah hasil dari
proses berpikir Hakim Agama yang bersangkutan, yang sudah barang tentu
dengan bekal pengetahuan yang cukup tinggi dalam ilmu hukum, teori
hokum, filsafat hukum, serta berbagai ilmu penunjang lain, yang
dimilikinya. Oleh karena itu, dalam uraian selanjutnya dari tulisan ini, akan
memuat tentang bekal pengetahuan dan proses berpikir Hakim tersebut.
Mengapa penemuan hukum perlu? Hakim dalam memeriksa dan
memutus perkara, ternyata menghadapi suatu kenyataan, bahwa hukum yang
sudah ada tidak dapat secara pas untuk menjawab dan menyelesaikan sengketa
yang dihadapi. Hakim harus mencari kelengkapannya, dengan menemukan
sendiri hukum itu24
. Menurut Sudikno Mertokusumo: Kegiatan kehidupan
manusia itu sangat luas, tidak terhitung jumlah dan jenisnya, sehingga tidak
mungkin tercakup dalam suatu peraturan perundang-undangan dengan
tuntas dan jelas. Maka wajarlah kalau tidak ada peraturan perundang-
24
Lihat: Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang……., Op.cit., Halaman 10; dan
Lie Oen Hock Op.cit., Halaman 8.
undangan yang dapat mencakup keseluruhan kegiatan kehidupan manusia,
sehingga tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-
lengkapnya dan yang jelas sejelas-jelasnya. Oleh karena hukumnya tidak jelas,
maka harus dicari dan ditemukan.25
Jadi, pertama-tama Hakim harus
menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, akan tetapi apabila hukum
tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas, maka barulah hakim
mencari dan menemukan sendiri hukum itu dari sumber-sumber hukum
lainnya26
. Sumber-sumber hukum lainnya tersebut, adalah: yurisprudensi;
doktrin; traktat; kebiasaan atau hukum tidak tertulis27
. Menurut B. Arief
Sidharta, ada 6 (enam) jalur proses pembentukan hukum, salah satunya adalah
melalui jalur proses peradilan28
.
Proses dan cara berpikir Hakim untuk menemukan hukum, dapat
dikelompokkan ke dalam 2 (dua) aliran, yaitu: (1). Aliran konservatif; dan
(2). Aliran progresif29
. Dari karya putusan seorang Hakim, dapat diketahui
apakah dia termasuk kelompok aliran konservatif atau aliran progresif.
Mereka sendiri tidak menyebutkan bahwa mereka adalah penganut dari salah
satu aliran tersebut. Bahkan, seringkali seorang Hakim dalam setiap kasus
(secara kasuistis) berubah-ubah pendirian. Dalam kasus (A) misalnya, dia
memutus dalam aliran konservatif, tetapi dalam kasus (B) dia
25 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum ….., Op.cit., Halaman 37.
26 Lihat: Ps. 16 dan Ps. 28 UU No. 4 Tahun 2004; dan Sudikno Mertokusumo,
Op.cit., Halaman 8. 27
Lihat: Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang……., Op.cit., Halaman 8; dan
juga Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum…, op.cit., Halaman 18. 28
Bernard Arief Sidharta, Refeksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, 2000, Mandar
Maju, Bandung, Halaman 189. Beliau mengatakan: Proses pembentukan hukum itu
berlangsung melalui proses politik yang menghasilkan perundang-undangan, proses peradilan
yang menghasilkan yurisprudensi, putusan birokrasi, pemerintahan yang menghasilkan ketetapan,
prilaku hukum warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dan pengembangan ilmu hukum. 29
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang…., Op.cit., Halaman 5.
memutus dalam aliran progresif.
Aliran konservatif dan aliran progresif pernah menjadi primadona
pada jamannya masing-masing.30
Sebagai reaksi terhadap tidak adanya
kepastian hukum pada sekitar tahun 1800, oleh karena penggunaan hukum
kebiasaan yang beraneka ragam, muncullah gerakan-gerakan kodifikasi,
disertai timbulnya aliran legisme, yang tidak mengakui hukum diluar
undang-undang. Hukum dan undang-undang itu indentik, sedangkan
kebiasaan dan ilmu pengetahuan diakui sebagai hukum apabila undang-
undang menunjuknya31
.
Sejak saat itu hingga sekarang, tanpa disadari, terdapat kelompok-
kelompok hakim, yang lebih mengutamakan hukum tertulis sebagai sumber
utama untuk memutus perkara. Kelompok-kelompok hakim yang berpikir
secara demikian digolongkan kepada suatu aliran konservatif. Artinya,
hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara berusaha
mempertahankan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat32
. Dari
strukturnya, hukum terlihat sebagai hal yang cenderung mempertahankan
status quo. Hukum berusaha untuk menghindar dari perubahan. Hukum
menjaga stabilitas33
. Mereka tidak pernah berpikir, bahwa melalui putusan-
putusannya, mereka dapat menciptakan nilai-nilai baru, atau mereka dapat
30
Menjadi primadona pada jaman kodifikasi, jaman ligisme, dimana ilmu
pengetahuan hukum tidak mengakui hukum di luar undang-undang. Pandangan ini berkembang di
Eropa sekitar tahun 1930-1980 yang dipelopri ajaran Montesquiew. Setelah itu muncul aliran
progresif, madzab historis dan freirechtschule, yang berpendapat bahwa undang-undang tidak
lengkap. Di samping undang-undang masih ada sumber-sumber lain, yaitu: kebiasaan. Tokoh Von
Savignya melahirkan sistem azas-azas hukum (Begriffsjurisprudenz). Lihat: Sudikno
Mertokusumo, Penemuan Hukum,…..Op.cit., Halaman 8-11. 31
Lihat kembali: UU No. 4 tahun 2004. ps. 16 dan ps. 28. 32
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum…Loc..cit. 33
Sugijanto Darmadi, Op.cit., Halaman 5.
merekayasa suatu masyarakat yang baru yang sesuai dengan perkembangan
jaman dan tekhnologi masyarakat34
.
Pada aliran konservatif, Hakim hanya mengkonstatir bahwa undang--
undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian Hakim
menerapkannya menurut bunyi undang-undang. Dengan demikian maka
penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-undang yang
terjadi secara terpaksa atau silogisme35
. Lie Oen Hock mengatakan "deduksi
logis", menemukan sendiri hukum yang berlaku untuk peristiwa konkret.
Hakim tidak menciptakan sesuatu yang baru, Hakim hanya menemui dan
menyatakan pikiran-pikiran yang tersembunyi dalam undang-
undang36
. Hakim hanya sekedar mulut atau corong undang-undang,
substantie automate37
atau la bouche de la loi38
. Hakim tergantung
pada bunyi undang-undang, hakim heterotonom, memutus berdasarkan
peraturan-peraturan yang berada diluar dirinya, oleh karena itu
Hakim tidak mandiri, Hakim heterotonom karena harus tunduk kepada
undang-undang39
.
Perkembangan selanjutnya, sebagai reaksi terhadap cara berpikir di
34
Mochtar Kusuma Atmaja pada waktu menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI,
menyebut hukum sebagai sarana rekayasa sosial. Akan tetapi hal itu hanya berlaku terhadap
bidang-bidang hukum yang netral seperti: bidang ekonomi, sedangkan yang menyangkut agama
dan kultur (tidak netral), hal itu tidak mungkin dilakukan seperti: hukum keluarga. Lihat: Tatiek
Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, 2004, Disertasi Doktor Program
Pascasarjana Universitas Surabaya, Halaman 275-276. 35
Ibid., Halaman 272; lihat juga. Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab Tentang…..
Op.cit., Halaman 6. 36
Lie Oen Hock, Op.cit., Halaman 7. 37
Ibid., Halaman 8. 38
Wiarda, Drie Typen Van de Rechtsvindings. Deventer, 1999, W.E.J-Tjeink
Willink, Halaman 14-17. 39
Ibid., Halaman 13.
atas, pada sekitar tahun 185040
, muncul aliran progresif, yang berpendirian
bahwa Hakim bukan lagi sekedar corong undang-undang. Hakim harus
mandiri, atas apresiasi sendiri menemukan hukum. Dalam menjatuhkan
putusan seorang Hakim harus dibimbing oleh pandangan-pandangan, atau
oleh pikirannya sendiri. Hakim menjadi otonom, bukan lagi heterotonom41
.
Pada aliran progresif diyakini bahwa undang-undang tidak
lengkap, hukum tertulis bukan satu-satunya sumber hukum. Undang-undang
tidak identik dengan hukum, karena undang-undang hanya merupakan satu
tahap dalam proses pembentukan hukum, dan hakim harus mencari
kelengkapannya dalam praktek memutus perkara42
. Pengetahuan dan
pengalaman empiris seorang hakim dapat mempengaruhi putusan-putusan
yang dibuatnya.
Aliran progresif tidak hanya mempertahankan nilai-nilai yang ada,
akan tetapi secara dinamis harus mampu menciptakan nilai-nilai yang baru,
atau merekayasa masyarakat sesuai dengan perkembangan jaman dan
teknologi masyarakat43
. Lebih jauh Roscoe Paund mengatakan: "Law as a tool
of social engeneering"44
Aliran progresif menjadi populer dengan semakin
kuatnya perkembangan ilmu sosiologi dan budaya ke dalam ilmu hukum.
Muncullah aliran-aliran tentang sosiologi hukum dan budaya hukum
40
Sudikno Mertokusomo, Bab-Bab tentang…. Op.cit., Halaman 7. 41
Van Eikema Hommas, Logica en rechtsvinding, (roneografie) vrije
universiteit, Halaman 26. 42
Sudikno Mertokusomo. Bab-Bab Tentang,………. Op.cit., Halaman 8. 43
Lihat Pendapat Prof. Dr. Muchtar Kusuma Atmaja, SH., Tentang Hukum sebagai
Sarana Rekayasa, ditulis oleh Dr. Tatiek Sri Djatmiati, SH., Op.cit., Halaman 275. Bandingkan
Soerjono Soekanto, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, 1991, Citra Aditia Bakti, Bandung,
Halaman 48. 44
Lili Rasyidi dan LB. Wijata Putra, Hukum Sesuatu Sistem, 1993, Remaja
Rosdakarya, Bandung, Halaman 126.
(legal culture)45
, dan sebagainya. Hukum yang timbul dan berkembang di
masyarakat, menjadi lahan penemuan hukum, di dalam pembaruan
hukum. Oleh karena itu, Hakim senantiasa harus melengkapi diri
dengan ilmu sosiologi hukum dan budaya hukum tersebut.
3. Konsep Keadilan dalam Penerapan Hukum oleh Hakim Agama dalam
Memutus suatu Perkara.
Keadilan dalam cita hukum yang merupakan kemanusiaan
berevolusi mengikuti ritme zaman dan ruang, dari dahulu sampai sekarang
tanpa henti dan akan terus berlanjut sampai manuasi tidak beraktivitas lagi,
keadilan tetap harus ditegakkan46
.
Keadilan dalam penerapan hukum oleh Hakim dalam memutus
perkara, secara kasuistis, selalu dihadapkan kepada 3 (tiga) Azas, yaitu:
Azas Kepastian Hukum (Rechtssicherheit); Azas Keadilan
(Gerechtigkeit); dan Azas Kemanfaatan (Zweckmassigkeit)47
.
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa ketiga azas tersebut harus
dilaksanakan secara kompromi, yaitu dengan cara menerapkan
ketiga-tiganya secara berimbang atau proporsiona1 dalam suatu
putusan Hakim48
.
Bertitik tolak ketiga azas dasar hokum tersebut diatas sebaiknya
45
Lawrence M. Pridmen, yang mengatakan; Bahwa hukum dipatuhi karena 3 hal,
yaitu: Substance; Structure; and legal Culture; Peran budaya hukum menjadi lebih penting
dalam kepatuhan kepada hukum. 46
M. Rasjidi dan H. Cawidu, 1988, Islam Untuk Disiplin Ilmu Filsafat, Bulan
Bintang, Jakarta, Halaman 17. 47
Sudikno Mertokusomo, Bab-Bab Tentang ..Op.cit., Halaman 1- 4. 48
Ibid., Halaman 2.
Hakim membuat atau menjatuhkan keputusan terlebih dahulu
memperhatikan nilai keadilan, apakah dengan menetapkan suatu
keputusan tersebut sudah adil atau tidak ada lagi kekeliruan dan unsur ini
benar-benar dipertimbangkan, karena Hakim harus objektif, adil Hakim
juga harus mempertimbangkan unsur yang kedua yaitu kepastian hokum
dengan melihat kepada peraturan perundang-undangan yang ada apakah
keputusan yang ditetapkan tersebut sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang ada. Dalam melihat peraturan perundang-
undangan Hakim harus melihat secara komprehensif dengan mengaitkan
kepada aturan-aturan hukum yang lebih tinggi derajatnya. Sedangkan
nilai dasar Hukum yang ketiga yaitu kemanfaatan, apa manfaatnya
seorang Hakim menjatuhkan suatu putusan kepada seseorang, baik
terhadap tersangka maupun sikorban49
.
Ketiga nilai dasar hukum tersebut harus diterapkan secara
seimbang dan tidak bisa mengutamakan nilai keadilan saja, sedangkan
nilai kepastian hukum dan nilai kemanfaatan tidak diterapkan, demikian
juga sebaliknya tidak dapat diterapkan nilai kepastian hukum, sedang
nilai keadilan dan kemanfaatan tidak dipertimbangkan, demikian juga
tidak bisa mengutamakan nilai kemanfaatan, tetapi nilai keadian dan
kepastian hukum dikesampingkan, tegasnya sebelum menjatuhkan
putusan kepada seseorang, ketiga nilai dasar hukum tersebut harus
dipenuhi dalam putusannya, jika tidak terpenuhi ketiga unsur tersebut,
49
Lihat; Ediwarman, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandangan Hak Asasi
Manusia.(Guru Besar FH. USU dan Konsultan Hukum di Medan), Halaman 9-10.
maka keadilan yang diharapkan oleh kedua belah pihak yaitu keadilan
yang responsive/real justice tidak terwujud50
.
Melihat kepada realita sekarang ini, terhadap suatu putusan ke 3
(tiga) nilai dasar hukum tersebut menurut penulis, hal itu tidak mungkin
dilakukan oleh seorang Hakim dalam diktum putusan. Paling-paling hanya
dapat dilakukan misalnya; dalam hal-hal yang meringankan; perkara perdata,
penundaan eksekusi agar Tergugat berkesempatan melunasi hutangnya;
perkara PTUN, menunda eksekusi agar pihak pemerintah berkesempatan
melakukan kewajiban-kewajibannya seperti mencabut keputusannya, dan
sebagainya. Hakim harus memilih salah satu dari azas tersebut, untuk
memutus perkara, dan tidak mungkin mencakupnya sekaligus dalam satu
putusan (harmonisasi). lbarat dalam sebuah garis, Hakim dalam memeriksa
dan memutus perkara berada (bergerak) diantara 2 (dua) titik pembatas dalam
garis tersebut, yaitu: titik keadilan dan titik kepastian hukum. Azas
kemanfaatan berada diantaranya. Manakala Hakim memutus lebih dekat
ke arah titik kepastian hukum51
, maka secara otomatis dia akan jauh dari
titik keadilan. Sebaliknya, kalau dia memutus dekat dengan titik keadilan,
secara otomatis dia juga akan jauh dari titik kepastian hukum. Di sinilah
letak batas-batas kebebasan Hakim. Dia hanya bisa bergerak di antara 2
50
Ibid., Halaman 10. 51
Sebagai contoh lihat Hakim hentikan sidang Soeharto ",Kompas (29 September
2000), Halaman 6. Disana diuraikan penghentian persidangan kasus mantan Presiden Soeharto
dan membebaskannya dari tahanan kola. Alasan penghentian tersebut adalah karena sakit
berdasarkan surat keterangan dokter, dan orang sakit tidak mungkin disidangkan karena tidak
sanggup mengikuti jalannya persidangan. Tidak dapat,menjawab pertanyaan - pertanyaan, untuk
memperoleh data (keterangan) yang lengkap. Lihat juga : " Soeharto diperiksa Tim Dokter RSCM
", Kompas (19 Juni 2002), Halaman 7; dan Soeharto masih terbaring Kejagung hentikan
penyelidikan", Kompas (23 Juli 1999), halaman 16.
(dua) titik pembatas tersebut. Dengan suatu pertimbangan yang bernalar,
seorang Hakim akan menentukan kapan dia berada dekat dengan titik
kepastian hukum, dan kapan dia harus berada dekat dengan titik keadilan.
Jadi tidak benar bahwa hakim dalam memeriksa dan memutus perkara bebas
dan tanpa batas52
. Azas kemanfaatan bergerak di antara 2 (dua) titik
tersebut, yang lebih melihat kepada tujuan atau kegunaan dari hukum itu
kepada masyarakat. Sugijanto Darmadi mengatakan bahwa hukum adalah
ciptaan manusia, bukan ciptaan supranatural. Hukum sengaja dibuat oleh
manusia dan untuk kepentingan manusia, sebab itu bersifat artifisial53
.
Demikian juga, seorang Hakim Agama dalam memeriksa dan
memutus perkara tidak selamanya terpaku pada satu azas saja. Pada setiap
kasus, atau secara kasuistis, mereka bisa saja berubah-ubah dari azas yang
satu, ke azas yang lain. Yang penting, mereka harus mempertimbangkan
dengan nalar yang baik, mengapa dalam kasus tertentu mereka memilih azas
tersebut. Kualitas Hakim Agama akan terlihat dari bobot pertimbangan-
pertimbangannya dalam menetapkan suatu putusan.
Penekanan azas kepastian hukum oleh seorang Hakim, lebih
cenderung untuk mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari
hukum positif yang ada. Peraturan undang-undang harus ditegakkan demi
kepastian hukum. Cara berpikir yang normatif (normative thinking) tersebut,
52
Lintong O. Siahaan, "Quo Vadis Normative Thingking-Profil, Hakim PTUN"
(Dimuat dalam majalah "Gema Peratun", tahun VI No. 13 Triwulan III November 2000),
Halaman 84-86. 53
Sugijanto Darmaji, Op.cit., Halaman 5. Selanjutnya dikatakan bisa saja hukum
bersumber pada ajaran agama atau wahyu Tuhan yang tidak tertulis dalam Kitab Suci, tetapi
ajaran agama atau wahyu Tuhan itu dapat menjadi hukum apabila secara sadar memasuki
hubungan-hubungan hukum yang berakibat hukum dengan legitimasi dan validitasi tertentu.
akan mengalami kebuntuan manakala ketentuan-ketentuan tertulis tidak
dapat menjawab persoalan-persoalan yang ada. Dalam situasi yang
demikian, hakim harus menemukan hukum untuk mengisi kelengkapan
hukum itu. Inilah yang dinamakan oleh Sugijanto Darmaji metode penemuan
hukum, yang hanya digunakan dalam praktek, terutama oleh hakim dalam
mengadili perkara54
. Sacipto Raharjo mengingatkan, penekanan azas
kepastian hukum, bukan berarti hanya sekedar penegakkan undang-undang
dan peraturan yang ada. Sebab undang-undang dan peraturan-peraturan
tidak identik dengan hukum. Hukum lebih luas dari hanya sekedar teks
undang-undang dan peraturan-peraturan. Dalam suatu kesempatan beliau
pernah berkomentar, agar hukum jangan menjadi hukum kacangan dan agar
negara hukum, jangan ditafsirkan menjadi negara undang-undang atau
negara peraturan. Kalau terjadi yang demikian, maka celakalah negara ini
sebagai negara hukum55
.
Penekanan azas keadilan, berarti harus mempertimbangkan hukum
yang hidup di masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan-kebiasaan dan
ketentuan-ketentuan hukum yang tidak tertulis. Sosiologi hukum dan
budaya hukum sangat berperan dalam bidang ini56
. Harus dibedakan antara
54
Ibid., Halaman 83; Penemuan hukum diarahkan pada suatu peristiwa yang bersifat
khusus, kongkrit, dan individual. Hal yang sama juga disebutkan oleh penulis-penulis yang lain
tentang penemuan hukum, seperti: Sudikno Mertokusumo, B. Arief Sidarta, Theo Huijbers dan
lain-lain. 55
Lihat Juga : " Indonesia Jangan Menjadi Negara Hukum Kacangan"', Kompas (19
Agustus 2002), Halaman 4; "Tidak Menjadi Tawanan Undang - undang ", Kompas (25 Mei
2000), Halaman 4. 56
Tokoh-tokoh Sosiologi Hukum seperti: Aguste Comte; Max Weber; Emile
Durkheim; Eugen Ehrlich; Roscoe Pound; Talcott Parson; dan sebagainya, hendaknya menjadi
bahan studi seorang hakim secara terus menerus, agar dapat dipedomani dalam memutus perkara
yang berhubungan dengan azas keadilan.
rasa keadilan individu, kelompok dan masyarakat. Selain itu, juga rasa
keadilan dari suatu masyarakat tertentu, belum tentu sama dengan rasa
keadilan dari masyarakat yang lain. Hakim dalam pertimbangan-
pertimbangannya harus mampu menggambarkan hal itu semua, manakala
ia memilih azas keadilan sebagai dasar untuk memutus perkara
yang dihadapinya.
Penekanan azas kemanfaatan lebih bernuansa ekonomi. Dasar
pemikirannya adalah bahwa hukum adalah untuk manusia atau orang
banyak, oleh karena itu tujuan hukum harus berguna untuk manusia atau
orang banyak tersebut. Dari mulai legislasi dan regulasi sudah ada
penekanan-penekanan akan azas kemanfaatan tersebut.
D. Kesimpulan.
Dari uraian tentang peran Hakim Agama, metode berpikir yuridis
dan konsep keadilan dalam penerapan hukum sebagaimana yang telah
diuraikan diatas, maka dapatlah disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1. Secara yuridis maupun filosofis, Hakim Agama mempunyai peran dalam
melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum. Agar putusan yang
diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat,
dalam upaya menyelesaikan suatu perkara yang disodorkan kepadanya,
ada tiga tahapan yang harus dilewati seorang Hakim, yakni mengkonstatir
fakta-fakta, mengkualifikasikan peristiwa dan mengkonstitusikan peristiwa
hukum. Untuk itu sangat diperlukan Hakim-Hakim Agama yang
berkualitas, yang mampu berperan dalam penemuan hukum
(Rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping).
2. Metode berpikir yuridis seorang Hakim Agama dalam penerapan hukum,
dimulai dengan menggunakan hukum tertulis terlebih dahulu, apabila
hukum tertulis tersebut ternyata tidak cukup atau tidak pas, maka barulah
hakim mencari dan menemukan sendiri hukum itu dari sumber-sumber
hukum lainnya berupa; yurisprudensi, doktrin, traktat, kebiasaan atau
hukum tidak tertulis. Sementara proses dan cara berpikir Hakim untuk
penerapan/ menemukan hukum, dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga)
aliran, yaitu: (1). Aliran konservatif; (2). Aliran progresif; (3). Aliran
Progresif.
- Aliran konservatif. Artinya, Hakim dalam memeriksa dan memutus
suatu perkara berusaha mempertahankan nilai-nilai yang ada di
dalam masyarakat dari strukturnya, hukum terlihat sebagai hal yang
cenderung mempertahankan status quo. Hukum berusaha untuk
menghindar dari perubahan. Hukum menjaga stabilitas.
- Aliran konservatif. Artinya Hakim hanya mengkonstatir bahwa undang-
undang dapat diterapkan pada peristiwanya, kemudian Hakim
menerapkannya menurut bunyi undang-undang. Dengan demikian
maka penemuan hukum tidak lain merupakan penerapan undang-
undang yang terjadi secara terpaksa atau silogisme. Hakim tidak
menciptakan sesuatu yang baru, hakim hanya menemui dan
menyatakan pikiran-pikiran yang tersembunyi dalam undang-undang.
- Aliran progresif. Artinya Hakim bukan lagi sekedar corong undang-
undang. Hakim harus mandiri, atas apresiasi sendiri menemukan
hukum. Dalam menjatuhkan putusan seorang Hakim harus dibimbing
oleh pandangan-pandangan, atau oleh pikirannya sendiri. Hakim
menjadi otonom, bukan lagi heterotonom. Dalam aliran ini, Hukum
yang timbul dan berkembang di masyarakat, menjadi lahan penemuan
hukum, di dalam pembaruan hukum. Oleh karena itu, Hakim
senantiasa harus melengkapi diri dengan ilmu sosiologi hukum dan
budaya hukum tersebut.
3. Konsep keadilan dalam penerapan hukum oleh Hakim Agama dalam
memutus perkara, haruslah berpijak kepada 3 (tiga) azas, yaitu: (1).
Azas Kepastian Hukum, (2). Azas Keadilan, dan (3). Azas
Kemanfaatan.
- Penekanan azas kepastian hukum oleh seorang Hakim, berarti lebih
cenderung untuk mempertahankan norma-norma hukum tertulis dari
hukum positif yang ada. Peraturan undang-undang harus ditegakkan
demi kepastian hukum.
- Penekanan azas keadilan oleh seorang Hakim, berarti harus
mempertimbangkan hukum yang hidup di masyarakat, yang terdiri
dari kebiasaan-kebiasaan dan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak
tertulis. Sosiologi hukum dan budaya hukum sangat berperan dalam
bidang ini. Harus dibedakan antara rasa keadilan individu, kelompok
dan masyarakat. Selain itu, juga rasa keadilan dari suatu masyarakat
tertentu, belum tentu sama dengan rasa keadilan dari masyarakat
yang lain. Hakim dalam pertimbanganpertimbangannya harus mampu
menggambarkan hal itu semua, manakala is memilih azas keadilan
sebagai dasar untuk memutus perkara yang dihadapinya.
- Penekanan azas kemanfaatan oleh seorang Hakim, berarti lebih
bernuansa ekonomi. Dasar pemikirannya adalah bahwa hukum
adalah untuk manusia atau orang banyak, oleh karena itu tujuan
hukum harus berguna untuk manusia atau orang banyak
tersebut……… Wassalam.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Buku –Buku.
Arief Sidharta, Bernard, 2000, Refleksi Tentang Stuktur Ilmu Hukum . Cet.
II, CV. Mandar Maju, Jakarta.
Asshiddiqie, Jimly, 2006, Konsolidasi Naskah UUD 1945 setelah perubahan keempnt. Rajawali Pres, Jakarta.
Asyrof, Mukhsin, 2006, Asas-Asas Penemuan Hukum dan Penciptaan Hukum
oleh Hakim dalam Proses Peradilan, Artikel dalam Varia
Peradilan, tahun ke XXI No. 252 , MARI, Jakarta.
Darmadi, Sugijanto. 1998, Kedudukan Hukum dalam Ilmu dan Filsafat Cet.
I, CV Mandar Maju, Jakarta.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta. 2001, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Alam,
Rajawali Pres, Jakarta.
Ediwarman, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandangan Hak Asasi
Manusia.(Guru Besar FH. USU dan Konsultan Hukum di Medan).
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir
Abad Ke-20. Alumni, Bandung.
Huijbers, Theo, 1992, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah. Kanisius,
Jakarta.
---------------- , 1995, Filsafat Hukum. cet. III, Kanisius, Jakarta.
Maslow, A.H., 1954, Motivastion and personality, Harpers, New York.
Mamuji, Seri, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Cet. 6. PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Mertokusumo, Sudikno, et A. Pitlo. 1993, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum,
Citra Aditya, Jakarta.
---------------, 2001, Penemuan Hukum sebuah pengantar, Liberty, Jogjakarta.
Oen Hock, Lie, 1959, Yurisprudensi Sebagai Sumber Hukum, Pidato
Pengukuhan Guru Besar di U.I., Jakarta.
Pontier, J.A., 2000, Penemuan Hukum (Rechtvinding), diterjemahkan oleh B.
Arief Shidarta, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas
Katolik Parahiyangan, Bandung.
Purbacaraka, Purnadi dan Soekanto, Soerjono, 1993, Perihal Kaidah Hukum,
cet. IV, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rasyidi, Lili dan Putra, LB. Wijata, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT
Remaja Rasdakarya, Bandung.
Schheltens, D.F.,1983, Intending Tot De Wijsbegeerte Van Het Recht.
Terjemahan Siregar, Bakri, Pengantar Filsafat Hukum, Erlangga,
Jakarta.
Siahaan, Lintong , 2000, Quo Vadis Normative Thingking-Profil Hakim
PTUN". Dimuat dalam majalah "Gema Peratun", tahun VI No. 13
Triwulan III .
Soekanto, Soerjono, 1991, Fungsi Hukum Dan Perubahan Sosial, cet. III.
PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Sri Djatmiati, Tatiek, 2004, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi
Doktor Program Pascasarjana Universitas Surabaya.
Van, Eikema Hommes. 1999, Logica en rechtsvinding, (roneografie) vrije
universiteit. Wiarda. Drie Typen Van de Rechtsvindings. Deventer:
W.E.J - Tjeink Willink.
B. Perundang –Undangan.
UUD 45 Amandemen ketiga.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tentang
Sumber Hukum. TAP MPR RI no. 111/2000.
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Undang-undang No. 14
Tahun 1970. LN. 1970. No. 74
Tentang Peruhahan Undang Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang
Mahkamah Agung, Undang-undang No. 5 Tahun 2004. LN.
2004. No. 9, TLN. 4359.
UUD 45 Amandemen ketiga.
Undang-Undang Tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No.4 Tahun 2004, LN
No. 9 Tahun 2004, TLN No.4359.