-
PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
SITI NURJANAH
NIM: 1110044100044
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1436 H/2015 M
-
PERAN HAKIM MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN(Studi di Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)
SkripsiDiajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk
MemenuhiSalah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syariah
(S.SV)
Oleh:
SITI NURJANAHNIM: 1110044100044
Di Bawah Bimbingan:
W"Hotnidah Nasution. S.Ae.. MA.
NIP: 197106301997032002
KONS ENTRA SIPERADILANAGAMAPROGRAM STT]DI HUKT]M KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUMTJNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAHJAKARTA1436 rV2015 M
1l
-
SURAT PERI\YATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
l. Skripsi ini merupakan hasil karya asii saya yang di ajukan
untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata I di Universitas Islam
Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri
Of$ Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya
asli saya atau
merupakan hasil jeplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Jakarta (UIN)
Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 02Marct2015
Siti Nurjanah
lll
-
PENGESAHAI\ PANITIA UJIAN SKRIPSI
Skripsi yang berjudul "Peran Hakim Mediasi Dalam Perkara
Perceraian (Studi di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat Tahun 2012-2014)" telah diajukan
dalam sidang
Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Konsentrasi Hukum Keluarga
Universitas
Negeri Syarif Hidayatullah Jakartapada tanggal 19 Maret2015.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Syariah
(S.Sy) pada Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah.
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Kctua Prodi Kamarusdiana. S.Ag.. MH.NIP. 1 972 0 22 4199
803t0 03
Sri Hidayati" S.Ag.. M.AsNIP" 1 971 0215t997 032002
:................ )
3" Pembimbing Hotnidah Nasution" S..Ag.. MA.NIP. 19710 6301997
032002
Dr" I{i" dzizah. MA.l{IP. 19630409198902200 X
4. Penguji I
Abdurrauf" Lc." MA" *NIP. 19731215200s01 1002
2, Sekretaris Prodi
xv
J akarta, 1 9 Maret 20 I 5
NIP. 19691
5. Penguji II
-
v
ABSTRAK
Siti Nurjanah, NIM 1110044100044, dengan judul PERAN HAKIM
MEDIASI
DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat
Tahun 2012-2014), Konsentrasi Akhwal Syakhsiyah, Program Studi
Peradilan
Agama, Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2015.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui; proses dan penerapan
mediasi dalam
perkara perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat, tingkat
keberhasilan mediasi,
faktor penghambat dalam mediasi, dan juga untuk mengetahui
apakah hakim yang
ditunjuk sebagai mediator telah menjalankan upaya mediasi
tersebut dengan optimal.
Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif, dengan cara
mengumpulkan
data-data baik secara langsung turun kelapangan tentang objek
yang diteliti. Sumber
data yang didapat yaitu, data primer dan data sekunder. Data
primer adalah data yang
diperoleh melalui penelitian lapangan melalui wawancara, data
sekunder adalah data
yang diperoleh melalui buku-buku, dan dokumen-dokumen resmi. Dan
teknik
pengumpulan data dengan cara dokumentasi dan interview.
Kesimpulan penelitian ini adalah pelaksanaan mediasi di
Pengadilan Agama
Jakarta Pusat sudah dilakukan sesuai dengan PERMA No. 1 Tahun
2008. Namun,
tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta
Pusat masih belum menunjukan hasil yang maksimal dalam menekan
angka
perceraian. Sedangkan kendala dalam pelaksanaan mediasi adalah:
a) terbatasnya
waktu yang digunakan mediator dalam melaksanakan mediasi, b)
terbatasnya
kepiawaian atau keterampilan hakim dan mediator dalam
melaksanakan mediasi, c)
kurangnya respon dari para pihak yang melakukan mediasi untuk
terciptanya
perdamaian diantara mereka, sehingga mediasi sangat sulit untuk
dilakukan.
Kata Kunci: Peran Hakim, Mediasi, Perceraian
Pembimbing: Hotnidah Nasution. S. Ag., MA.
Daftar Pustaka: Tahun 1954 s.d 2014
-
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan
hidayahNya, shalawat seiring salam semoga selalu tercurah
limpahkan kepada insan
pilihan Tuhan Khatamul anbiya’i wal mursalin Muhammad SAW.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari
kesempurnaan
namun demikian, skripsi ini hasil usaha dan upaya yang maksimal
dari penulis.
Tidak sedikit hambatan, cobaan dan kesulitan yang di temui.
Banyak hal yang tidak
dapat di hadirkan oleh penulis di dalamnya karena keterbatasan
pengetahuan dan
waktu.
Tanpa penulis lupakan banyak yang terlibat dalam menyelesaikan
studi
penulis di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
terutama dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Untuk itu penulis tak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak
terhingga
kepada semua pihak, Bapak dan Ibu:
1. Bapak Dr.Phil. JM. Muslimin, MA. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Bapak Kamarusdiana, S.Ag, M.H. dan ibu Sri Hidayati, M.Ag.
Ketua dan
Sekretaris Prodi Hukum Keluarga.
3. Ibu Hotnidah Nasution, S.Ag., MA. Sebagai dosen pembimbing
yang begitu peduli
dan senantiasa meluangkan waktu serta telah banyak memberikan
berbagai saran,
nasehat, semangat dan bimbingan kepada penulis dalam penyusunan
skripsi ini.
-
vii
4. Seluruh staf pengajar bapak dan ibu dosen lingkungan Fakultas
Syariah dan
Hukum yang telah mentransfer sebagian ilmu pengetahuannya kepada
penulis
sebagai landasan dasar dalam penyusunan skripsi ini.
5. Segenap pengelola perpustakaan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta dan perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan
fasilitas kepada penulis dalam mencari data-data yang penulis
butuhkan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat untuk bapak Ruslan,
SH., MH. serta
bapak dan ibu hakim mediator sebagai narasumber yang telah
meluangkan waktu
dan memberikan informasi kepada penulis seputar permasalahan
yang penulis
angkat.
7. Teristimewa ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
Ayahanda Warto
dan Ibunda Surati tercinta yang telah memberikan banyak bantuan
terutama dari
segi keuangan dan dukungan, terima kasih juga atas do’a dan
pengorbanan ayah
dan ibu yang tak terhingga serta senantiasa memberi semangat
tanpa jemu hingga
ananda dapat menyelesaikan studi di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah
Jakarta dengan baik, terutama motivasi untuk meyelesaikan
skripsi ini. Tiada kata
yang pantas selain ucapan do’a dan terima kasih, sungguh jasamu
tiada tara dan
tak akan pernah terbalaskan.
8. Kakak-kakakku Waryanti dan Ahmad Nurcholik serta keponakanku
tercinta
Queenta Afkaha Syakur dan Syifa Kainati Syakur yang juga ikut
memberikan
motivasi serta doa yang tiada hentinya kepada penulis, yang
tidak pernah lelah
-
viii
memberikan semangat dan selalu meluangkan waktunya untuk
menemani hingga
terselesai nya skripsi ini.
9. Teman-teman seperjuangan ku keluarga besar mahasiswa
Peradilan Agama
angkatan 2010 yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu
khususnya
Sahabat baikku Nurkhofifah Syarif dan Siti Rachmah. Dan juga
teruntuk sahabat
terbaikku, Ryzkiana Riedho, Nurfitriana, Arwinda, Windri
Wulandari, Tri Prisca
Amiyudo. Dan teman-teman semasa kecilku Selly Muliani dan Fauzah
Hasan,
terima kasih banyak atas bantuan doa dan semangat serta
inspirasinya, kalian
banyak membantu penulis selama penulis studi di Universitas
Islam Negeri Syarif
Hidayatullah.
10. Seluruh pihak/instansi terkait yang tidak penulis sebutkan
yang ikut andil dalam
penyelesaian skripsi ini
Semoga segala kebaikan dan sumbangsih kalian semua di catat oleh
Allah
SWT sebagai amal untuk bekal di akhirat nanti, Aamiin Ya Rabbal
Alamin.
Jakarta, 02 Maret 2015
Siti Nurjanah
-
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
.................................................................................................
i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING
........................................................ ii
LEMBAR PERNYATAAN
....................................................................................
iii
LEMBAR PERSETUJUAN PENGUJI
................................................................
iv
ABSTRAK
.................................................................................................................
v
KATA PENGANTAR
.............................................................................................
vi
DAFTAR ISI
.............................................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
.......................................................................
1
B. Batasan dan Rumusan Masalah
........................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
............................................................. 9
D. Metode Penelitian
...............................................................................
10
E. Penelitian Terdahulu
...........................................................................
13
F. Sistematika Penulisan
.........................................................................
14
BAB II UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA
PERCERAIAN
A. Perceraian
...........................................................................................
16
B. Mediasi
...............................................................................................
27
C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian
......................................... 34
D. Mediasi Dalam Hukum Islam
.............................................................
41
E. Mediator
.............................................................................................
43
-
x
BAB III PENGADILAN AGAMA JAKARTA PUSAT
A. Sejarah Pengadilan Agama Jakarta Pusat
........................................... 59
B. Fasilitas Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.......................................... 61
C. Bagan Struktur Organisasi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
............ 63
D. Visi Misi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
........................................ 65
E. Yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta Pusat
........................................ 65
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian di Pengadilan
Agama
Jakarta Pusat
.......................................................................................
73
B. Tingkat Keberhasilan Mediasi Dalam Perkara Perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat
........................................................ 82
C. Faktor-faktor Penghambat Keberhasilan Mediasi Dalam
Perkara
Perceraian di Pengadilan Agama Jakarta Pusat
.................................. 87
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
.........................................................................................
90
B. Saran
..................................................................................................
92
DAFTAR PUSTAKA
..............................................................................................
94
LAMPIRAN-LAMPIRAN
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan dalam bahasa arab berarti nikah atau zawaj. Kedua
kata ini
yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang arab dan banyak
terdapat dalam
Al-Qur’an dan hadis Nabi. Al-Nikah mempunyai arti al-wath‟i,
al-dhommu, al-
jam‟u atau ibarat „an al-wath wa al aqd yang berarti bersetubuh,
hubungan badan,
berkumpul, jima’ dan akad. Secara terminologis perkawinan
(nikah) yaitu akad
yang membolehkan terjadinya istimta’ (persetubuhan dengan
seorang wanita,
selama seorang wanita tersebut bukan dengan wanita yang
diharamkan baik
dengan sebab keturunan atau sebab susuan. 1
Menurut sebagian ulama Hanafiah “nikah adalah akad yang
memberikan
faedah (mengakibatkan) kepemilikan untuk bersenang-senang secara
sadar
(sengaja) bagi seorang pria dengan seorang wanita, terutama guna
mendapatkan
kenikmatan biologis”. Sedangkan menurut sebagian mazhab Maliki,
nikah adalah
sebuah ungkapan (sebutan) atau title bagi suatu akad yang
dilaksanakan dan
dimaksudkan untuk meraih kenikmatan (seksual) semata-mata”. Oleh
mazhab
Syafi’iah, nikah dirumuskan dengan “akad yang menjamin
kepemilikan (untuk)
bersetubuh dengan menggunakan redaksi (lafal) “inkah atau
tazwiji; atau turunan
1 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern,
(Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011), Cet. 1, h. 4
-
2
(makna) dari keduanya”. Sedangkan ulama Hanabilah mendefinisikan
nikah
tangan “akad (yang dilakukan dengan menggunakan) kata inkah atau
tazwij guna
mendapatkan kesenangan (bersenang).2
Ulama muta’ akhirin mendefinisikan nikah sebagai berikut3 :
“Nikah adalah akad yang memberikan faedah hukum kebolehan
mengadakan
hubungan keluarga (suami-istri) antara pria dan wanita dan
mengadakan tolong-
menolong serta memberi batas hak bagi pemiliknya dan pemenuhan
kewajiban
masing-masing.”
Perkawinan harus dilihat dari tiga segi pandangan.
1. Perkawinan dilihat dari segi hukum.
Dipandang dari segi hukum, perkawinan itu merupakan suatu
perjanjian. Oleh
Al-Qur’an surat An-Nisa: 21, dengan istilah “perkawinan adalah
perjanjian
yang sangat kuat”, disebut dengan kata-kata “mitsaaqaan
ghaliizhaan”.
2. Segi sosial dari suatu perkawinan
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui suatu penilaian yang
umum, ialah
bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga
mempunyai
kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Pandangan suatu perkawinan dari segi agama suatu segi yang
sangat penting,
dalam Agama, perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci.
Upacara
2 Muhammad Amin Suma, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2005), h. 45
3 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern,
(Yogyakarta:Graha Ilmu,
2011), Cet. 1, h. 4
-
3
perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak
dihubungkan menjadi
pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya
dengan
mempergunakan nama Allah.4
UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia merumuskannya
dengan:
Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5
Dalam Kompilasi Hukum Islam, pengertian perkawinan dan
tujuannya
dinyatakan dalam pasal 2 dan 3 sebagai berikut:
Pasal 2
Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad
yang sangat
kuat mitsaqan ghalizan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya
merupakan ibadah.
Pasal 3
Perkawina bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga
yang
sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Tujuan dari perkawinan menurut agama Islam ialah untuk
memenuhi
petunjuk agama dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis,
sejahtera dan
bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota
keluarga;
sejahtera artinya terciptanya ketenangan lahir dan batin
disebabkan terpenuhinya
4 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern,
(Yogyakarta:Graha Ilmu,
2011), Cet. 1, h. 4
5 Undang-Undang Perkawinan, di Himpun oleh Redaksi Sinar
Grafika, Jakarta 2000, h. 1
-
4
keperluan hidup lahir dan batinya, sehingga timbullah
kebahagiaan, yakni kasih
sayang antar anggota keluarga.
Adapun tujuan dari perkawinan tersebut adalah:
1. Mendapatkan dan melangsungkan keturunan.
2. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwatnya dan
menumpahkan
kasih sayangnya.
3. Memenuhi panggilan agama, memelihara diri dari kejahatan dan
kerusakan.
4. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak
serta
kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta
kekayaan yang
halal.
5. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang
tentram atas
dasar cinta dan kasih sayang.6
Adapun asas-asas dan prinsip-prinsip yang dianut oleh UU
perkawinan
adalah sebagaimana yang terdapat pada penjelasan Umum UU
perkawinan itu
sendiri, sebagai berikut:
1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal.
Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar
masing-
masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan
mencapai
kesejahteraan spiritual dan materiil.
2. Dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa suatu perkawinan
adalah sah
bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
6Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Bogor: Kencana, 2003),
Cet.1, h.10 dan 22
-
5
kepercayaannya itu; dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus
dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami istri
itu telah harus
masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar
supaya
dapat diwujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir
pada
perceraian dan mendapatkan keturunan yang baik dan sehat.
4. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia,
kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip
untuk
mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan
perceraian, harus
ada alas an-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan
siding pengadilan.
5. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kewajiban suami
baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan
masyarakat,
sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat
dirundingkan
dan diputuskan bersama oleh suami istri.7
Dalam kehidupan rumah tangga, meskipun pada mulanya dua
suami-istri
penuh kasih sayang seolah-olah tidak akan menjadi pudar, namun
pada
kenyataannya rasa kasih sayang itu bila tidak dirawat bias
menjadi pudar, bahkan
bisa hilang berganti dengan kebencian. Kalau kebencian sudah
datang, dan suami-
istri tidak dengan sungguh hati mencari jalan keluar dan
memulihkan kembali
kasih sayangnya, akan berakibat negatif bagi anak keturunannya.
Oleh karena itu,
upaya memulihkan kembali kasih sayang merupakan suatu hal yang
perlu
7 Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern,
(Yogyakarta:Graha Ilmu,
2011), Cet. 1, h. 7
-
6
dilakukan. Memang benar kasih sayang itu bisa beralih menjadi
kebencian. Akan
tetapi perlu diingat bahwa kebencian itu kemudian bisa pula
kembali menjadi
kasih sayang. 8
Perkawinan merupakan konsep hukum (legal conceptal) di mana
perbuatan tersebut menimbulkan sejumlah hak dan kewajiban antara
para pihak
yang membuat perjanjian yaitu suami-istri. Akad perkawinan
merupakan sumber
yang menyebabkan lahirnya hak dan kewajiban suami istri. Hak dan
kewajiban
suami istri berlangsung selama mereka terikat dengan akad, dan
putusnya
perkawinan menyebabkan berakhirnya hak dan kewajiban suami istri
dalam suatu
rumah tangga.
Perkawinan juga bertujuan membentuk keluarga yang bahagia,
mawadah
dan rahmah sebagai wujud ibadah kepada Allah. Allah menyatakan:
“Diantara
tanda-tanda (kekuasaan)-Nya, diciptakan kepadamu pasangan dari
dirimu agar
kamu cenderung kepadanya, dan kami jadikan diantara kamu mawadah
wa
rahmah …” (QS. Ar-Rum: 21). Perkawinan juga akan melahirkan
keturunan yang
merupakan pelanjut generasi manusia di muka bumi. Perkawinan
menjadi
kebutuhan naluriah manusia, karena manusia cenderung untuk hidup
berpasang-
pasangan yang melahirkan keturunan yang sah, sehingga kedudukan
manusia
sebagai makhluk mulia dan bermartabat akan tetap terjaga.9
8 Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga
Kontemporer, (Jakarta: Kencana
Prenada Media, 2010), Cet. 3, h. 96
9Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional,
(Jakarta: Prenada Media, 2011), Cet. 2, h. 176
-
7
Islam mengharapkan perkawinan yang akadnya bernilai sakral
dapat
dipertahankan untuk selamanya oleh suami istri. Namun, Islam
juga memahami
realitas kehidupan suami istri dalam rumah tangga yang
kadang-kadang
mengalami persengketaan dan percekcokan yang berkepanjangan.
Perselisihan
antara suami istri yang memuncak dapat membuat rumah tangga
tidak harmonis,
sehingga akan mendatangkan kemudaratan. Oleh karena itu, Islam
membuka jalan
berupa perceraian. Perceraian merupakan jalan terakhir yang
dapat ditempuh
suami istri, bila rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan
lagi. Perceraian
dalam Islam memiliki proses panjang. Persengketaan suami istri
tidak serta-merta
menjadi alasan yang memutuskan hubungan perkawinan, tetapi
mengandung
proses mediasi dan rekonsiliasi, agar rumah tangga mereka dapat
dipertahankan.10
Terkadang juga dalam menjalankan bahtera rumah tangga itu tidak
selalu
mulus, pasti ada kesalahfahaman, kekhilafan, dan pertentangan.
Percekcokan
dalam menangani permasalahan keluarga ini ada pasangan yang
dapat
mengatasinya. Terkadang percekcokan itu perlu ada di tengah
dinamika keluarga
sebagai bumbu keharmonisan dan variasi rumah tangga, tentunya
dalam porsi
yang tidak terlalu banyak.11
Pada setiap perkawinan tentunya diharapkan adanya keharmonisan
dalam
berumah tangga dan menjadikan keluarga yang sakinah mawaddah dan
rahmah,
10
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h.
181
11
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam
Dalam Hukum
Nasional, (Ciputat: UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), Cet.
1, h. 172
-
8
namun adakalanya perkawinan ini tidak mencapai kebahagiaan. Maka
demi
kebaikan bersama terbukalah pintu perceraian. Dalam
menyelesaikan perkara
perceraian di pengadilan agama di awali dengan mediasi.
Mediasi adalah merupakan proses penyelesaian perselisihan atau
sengketa
yang terjadi antara dua pihak atau lebih. Mediasi dari sisi
kebahasaan lebih
menekankan pada pihak ketiga yang menjembatani para pihak
bersengketa untuk
menyelesaikan perselisihan. Pihak ketiga ini disebut
mediator.
Mediator berada pada posisi di tengah dan netral antara para
pihak yang
bersengketa, dan mengupayakan menemukan sejumlah kesepakatan
sehingga
mencapai hasil yang memuaskan para pihak yang bersengketa.12
Peran hakim Pengadilan Agama dalam proses persidangan pertama
dan
utama, tujuannya adalah untuk mendamaikan para pihak yang
berperkara, karena
mendamaikan itulah sebagai prioritas utama. Termasuk dalam hal
ini perkara
perceraian pasal 28 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
disebutkan
“selama pekara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat
dilakukan pada
setiap sidang pemeriksaan”.
Karena itu penulis berkeinginan meneliti mediasi dalam
perkara
perceraian dalam bentuk skripsi dengan judul “PERAN HAKIM
MEDIASI
DALAM PERKARA PERCERAIAN (Studi di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat Tahun 2012-2014)”
12
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana, 2011), Cet. 2, h. 3
-
9
B. Batasan dan Perumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi masalahnya pada
masalah
peranan Mediator dalam memediasi perkara perceraian di
Pengadilan Agama
Jakarta Pusat yang di batasi dari tahun 2012-2014
2. Perumusan Masalah
Dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan para pihak
adalah
bersifat imperatif, karena itu upaya mendamaikan haruslah
dilaksanakan
dengan baik oleh hakim secara optimal. Namun pada prakteknya
mediasi
dalam perkara perceraian dilakukan hanya sekedar formalitas.
Karena itu pertanyaan penelitiannya adalah :
1. Bagaimana proses pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian
di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat ?
2. Bagaimana tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama
Jakarta Pusat
dalam perkara perceraian ?
3. Faktor apa yang menjadi penghambat dan pendukung dalam
pelaksanaan
mediasi di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dalam perkara
perceraian ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan mediasi dalam perkara
perceraian di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
-
10
2. Untuk mengetahui tingkat keberhasilan mediasi di Pengadilan
Agama Jakarta
Pusat dalam perkara perceraian.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menjadi penghambat dan
pendukung
dalam pelaksanaan mediasi perceraian di Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para
Hakim dan praktisi
hukum dalam melakukan mediasi pada perkara perceraian di
Pengadilan
Agama.
2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam
menambah
wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang
akan
dibahas pada permasalahan tersebut.
3. Hasil penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk
penelitian
selanjutnya.
D. Metode Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Penelitian ini adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan
memakai pendekatan yuridis sosiologis. Penelitian yuruidis
sosiologis adalah:
suatu penelitian didasarkan pada suatu ketentuan hukum dan
fenomena atau
kejadian yang dilapangan.13
Dalam penelitian ini yang akan dicari perihal
pelaksanaan mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
dengan
13
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normartif Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Raja
Grafindo, 2001), h. 26
-
11
berpedoman pada aturan hukum yang berlaku, sehingga dapat
diperoleh
kejelasannya di persidangan pengadilan.
2. Jenis Penelitian
Untuk memperoleh data yang berkaitan dengan permasalahan
yang
diangkat maka dalam penulisan skripsi ini menggunakan penelitian
kualitatif
dengan metode deskriptif berupa kata-kata atau lisan dari
orang-orang atau
perilaku orang.
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini
ialah
secara spesifik lebih bersifat deskriptif. Metode deskriptif ini
dimaksudkan
untuk memperoleh gambaran yang baik, jelas, dan dapat memberikan
data
seteliti mungkin tentang objek yang diteliti, dalam hal ini
untuk
menggambarkan peraturan mediasi berdasarkan PERMA Nomor 1
Tahun
2008.
3. Sumber Data
Jenis data dalam penulisan skripsi ini terdiri dari data primer
dan data
sekunder, dengan teknik pengumpulan data dilakukan dengan
metode
dokumentasi dan interview.
a. Data primer
Data primer diperoleh langsung dari sumber pertama yaitu, yang
diperoleh
melalui penelitian lapangan melalui wawancara langsung terhadap
pihak-
pihak yang berkaitan dengan penelitian terutama hakim mediasi
di
Pengadilan Agama Jakarta Pusat.
-
12
b. Data sekunder
Data sekunder, antara lain, mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-
buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian,
makalah
umum dan bacaan lain yang berkaitan dengan judul peneliti.14
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan
metode
sebagai berikut:
a. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variable berupa
catatan,
transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, notulen,
agenda, dan
sebagainya.
b. Metode Interview
Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh
pewawancara
untuk memperoleh informasi dari terwawancara. Dalam penulisan
skripsi
ini penulis akan melakukan wawancara dengan pakar hukum,
seperti
hakim dan pengamat hukum lainnya.
5. Teknik Penulisan
Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman
pada
prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku
pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.
14
Soerjono Sukanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:
UI-press, 1986), Cet. 2, h. 12
-
13
E. Penelitian Terdahulu
Pada kenyataannya kehidupan berkeluarga tidaklah selalu
harmonis
seperti yang diinginkan. Bahwa memelihara untuk hidup bersama
suami istri
bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan. Dari beberapa
penelitian yang
penulis teliti terdapat beberapa penelitian dari tulisan yang
relefan. Di antaranya
sebagai berikut :
1. Nur Hidayat, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, judul
skripsi
Efektifitas Mediasi di Pengadilan Agama (Studi Implementasi
Perma No. 1
Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Agama Bekasi).
Skripsi
tahun 2012, dari perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Skripsi ini menguraikan tentang mediasi faktor-faktor apa saja
yang menjadi
penghambat mediasi dan faktor-faktor yang mendukung proses
mediasi
tersebut.
2. Siti Umu Kulsum, mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
judul skripsi
Efektifitas Mediasi Dalam Perceraian Perspektif PERMA No. 1
Tahun 2008
Tentang Prosedur Mediasi (Studi Pasca Pemberlakuan Perma No. 1
Tahun
2008 di Pengadilan Agama Jakarta Timur). Skripsi tahun 2011,
dari
perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Skripsi ini membahas sejarah lahirnya PERMA Nomor 1 Tahun
2008
Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dan mediasi; pengertian,
dasar hukum,
-
14
prinsip-prinsip dan prosedurnya mulai tahap pramediasi, proses,
hingga
putusannya.
Perbedaan skripsi ini Penulis lebih menjelaskan tentang
proses
pelaksanaan mediasi, tingkat keberhasilan mediasi, dan
faktor-faktor yang
penghambat mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta
Pusat.
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi
dalam
bentuk bab dan sub bab yang saling berkaitan merupakan suatu
bahasan dari
masalah yang diteliti. Maka masing-masing dengan sistematikanya
sebagai
berikut:
Bab pertama pendahuluan, bab ini akan menjelaskan tentang
latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat
penelitian, studi terdahulu, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab kedua bab ini menjelaskan tentang perceraian, pengertian
mediasi, proses
mediasi dalam perkara perceraian, mediasi dalam hukum Islam, dan
mediator.
Bab ketiga yang terdiri dari dari sejarah singkat berdirinya
Pengadilan
Agama Jakarta Pusat sampai lokasinya, fasilitas Pengadilan Agama
Jakarta Pusat
bagan struktur organisasi Pengadilan Aagama Jakarta Pusat, visi
misi Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, dan yuridiksi Pengadilan Agama Jakarta
Pusat.
-
15
Bab keempat hasil penelitian dan pembahasan, bab ini akan
menjelaskan
tentang proses mediasi dalam perkara perceraian di Pengadilan
Agama Jakarta
Pusat, tingkat keberhasilan mediasi dalam perkara perceraian di
Pengadilan
Agama Jakarta Pusat, dan faktor-faktor penghambat dalam
keberhasilan mediasi
dalam perkara perceraian.
Bab kelima penutup yang terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran.
-
16
BAB II
UPAYA MEWUJUDKAN MEDIASI DALAM PERKARA PERCERAIAN
A. Perceraian
1. Pengertian Perceraian
Menurut bahasa Arab perceraian berasal dari kata talaq atau
itlaq yang
artinya lepas dari ikatan, berpisah menceraikan, pembebesan.1
Perceraian
menurut kamus bahasa Indonesia disebut “cerai” yang artinya
pisah,
perpisahan antara suami dan istreri.2 Menurut Al-Jaziry “talak”
ialah
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan
ikatannya
dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangkan menurut Abu
Zakaria Al-
Anshari “talak” ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak
dan yang
semacamnya.3
Secara garis besar, talak adalah suatu perbuatan yang dilakukan
oleh
suami untuk memutuskan atau menghentikan berlangsungnya
suatu
perkawinan. Talak merupakan hak cerai suami terhadap istrinya,
talak dapat
dilakukan apabila suami maupun istri merasa sudah tidak dapat
lagi
dipertahankan perkawinannya tersebut.
1 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir, Kamus Arab-Indonesia
Terlengkap, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1997), h. 861
2 Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: PT Gramedia
PustakaUtama, 2008), edisi ke-4, h. 261
3Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003),
h. 192
-
17
Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk
melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri
hubungan
perkawinan itu sendiri. Dari definisi talak diatas, dijelaskan
bahwa talak
merupakan sebuah institut yang digunakan untuk melepas sebuah
ikatan
perkawinan.4
Dasar Hukum Perceraian
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah
dan
sunnah Rasul. Itulah yang dikehendaki oleh Islam. Sebaliknya
melepaskan
diri dari kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan
sunnah Rasul
tersebut dan menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga
yang
sakinah mawaddah dan warahmah.
Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat
lagi
dipertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi
kehancuran dan
kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya
perceraian.
Dengan demikian.pada dasarnya perceraian atau talak itu adalah
sesuatu yang
tidak disenangi yang dalam istilah Ushul Fiqh disebut makruh.
Hukum
makruh ini dapat dilihat dari adanya usaha pencegahanterjadinya
perceraian
atau talak itu dengan berbagai pebahapan.5
4 Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h. 207
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 199
-
18
Dalam ajaran Islam, talak bagaikan pintu darurat yang
merupakan
jalan pintas untuk mengatasi kemelut rumah tangga, bila tidak
ditemukan
jalan lain untuk mengatasinya. Dengan demikian, pada dasarnya,
ajaran Islam
tidak menyukai terbukanya pintu darurat tersebut. Karena itu,
Allah Swt
memandang talak yang terjadi antara suami-istri sebagai
perbuatan halal yang
sangat dimurkai-Nya.
Hadits Ibnu Umar menyatakan, Rasulullah Saw bersabda:
“Talak merupakan perbuatan halal yang sangat dibenci Allah
Swt.”(HR. Abu
Daud dan Hakim).
Untuk menjaga agar pintu darurat itu benar-benar hanya
dipergunakan
pada situasi gawat darurat dalam kehidupan suami istri, maka
Al-Qur‟an
menetapkan, wewenang talak hanya berada pada tangan suami, yang
pada
umumnya, tidak seemosional seorang istri dalam berbuat dan
menentukan
sikap.
Dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 231:
“Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati
akhir iddahnya,
maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah
mereka
dengan cara yang ma’ruf (pula).” (QS. Al-Baqarah: 231
-
19
“Persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu
dan
hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (QS.
At-Talaq: 2)
Berdasarkan sumber hukumnya, maka hukum talak ada empat:
a. Wajib, atau mesti dilakukan, yaitu perceraian yang mesti
dilakukan oleh
hakim terhadap seorang yang telah bersumpah untuk tidak
menggauli
istrinya sampai masa tertentu, sedangkan ia tidak mau pula
membayar
kafarah sumpah agar ia dapat bergaul dengan istrinya.
Tindakannya itu
memudaratkan istrinya.6
b. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar
kewajibannya
(nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga
kehormatan
dirinya.
c. Haram, dalam dua keadaan: pertama; menjatuhkan talak sewaktu
si istri
dalam keadaan haid, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang
telah
dicampurinya dalam waktu suci itu.7
d. Mubah, atau boleh dilakukan bila memang perlu terjadi
perceraian dan
tidak ada pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu
sedangkan
manfaatnya juga ada kelihatannya.8
6 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 201
7 Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), h.
380
8 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Kencana, 2006), h. 201
-
20
Di dalam Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan
hal-hal
yang menyebabkan terjadinya perceraian. Perceraian dapat terjadi
karena
alasan atau alasan-alasan.9
2. Rukun dan Syarat Perceraian
Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan
terwujudnya talak bergantung ada dan lengkapnya unsur-unsur
dimaksud.
Rukun talak ada empat, sebagai berikut:
a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak talak dan yang
berhak
menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh
karena
talak itu bersifat menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak
tidak
mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan
yang
sah.
Untuk sahnya talak, suami yang menjatuhkan talak
diisyaratkan:
1) Berakal. Suami yang gila tidak sah menjatuhkan talak.
Yang
dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak
akal
karena sakit, termasuk ke dalamnya sakit pitam, hilang akal
karena
sakit panas, atau sakit ingatan karena syaraf otaknya.
2) Baligh. Tidak dipandang jatuh talak yang dinyatakan oleh
orang yang
belum dewasa. Dalam hal ini ulama Hanabilah menyatakan bahwa
talak oleh anak yang sudah mumayyiz kendati umur anak itu
kurang
dari 10 tahun asalkan ia telah mengenal arti talak dan
mengetahui
akibatnya, talaknya dipandang jatuh.
9 Lihat, Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia,
Direktorat Pembinaan Peradilan
Agama Islam, Ditjen Pembinaan Kelembagaan Islam Departemen Agama
2001, h. 16
-
21
3) Atas kemauan sendiri. Yang dimaksud atas kemauan sendiri
disini
ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan talak
itu
dan dijatuhkan atas pilihan sendiri, bukan dipaksa orang
lain.10
b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak
terhadap istri
sendiri. Tidak dipandang jatuh talak yang dijatuhkan terhadap
istri orang
lain. Untuk sahnya talak, bagi istri yang ditalak disyaratkan
sebagai
berikut:
1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan
suami. Istri
yang menjalin masa iddah talak raj‟i dari suaminya oleh hukum
Islam
dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
Karenanya bila dalam masa itu suami menjatuhkan talak lagi,
di
pandang jatuh talaknya sehingga menambah jumlah talak yang
dijatuhkan dan mengurangi hak talak yang dimiliki suami. Dalam
hal
talak bai‟in, bekas suami tidak berhak menjatuhkan talak lagi
terhadap
bekas istrinya meski dalam masa iddahnya, karena dengan talak
ba‟in
itu bekas istri tidak lagi berada dalam perlindungan kekuasaan
bekas
suami.
2) Kedudukan istri yang talak itu harus berdasarkan atas akad
perkawinan
yang sah. Jika ia menjadi istri dengan akad nikah yang batil,
seperti
akad nikah terhadap wanita dalam masa iddahnya, atau akad
nikah
dengan perempuan saudara istrinya (memadu antara dua
perempuan
bersaudara), atau akad nikah dengan anak tirinya padahal
suami
10
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003),
h. 201
-
22
pernah menggauli ibu dan anak tirinya itu dan anak tiri itu
berada
dalam pemeliharaannya, maka talak yang demikian tidak
dipandang
ada.
c. Sighat talak ialah kata-kata yang diucapkan oleh suami
terhadap istrinya
yang menunjukan talak, baik itu sharih (jelas) maupun kinayah
(sindiran),
baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna
wicara ataupun
dengan suruhan orang lain.
Talak tidak dipandang jatuh jika perbuatan suami terhadap
istrinya
menunjukan kemarahannya, semisal suami memarahi istri,
memukulnya,
mengantarkannya ke rumah orang tuanya, menyerahkan barang-
barangnya, tanpa disertai pernyataan talak, maka demikian itu
bukan talak.
Demikian pula niat talak atau masih berada dalam pikiran dan
angan-
angan, tidak diucapkan, tidak dipandang sebagai talak.
Pembicaraan suami
tentang talak tetapi tidak ditunjukan terhadap istrinya juga
tidak dipandang
sebagai talak.11
d. Qashdu (Sengaja), artinya bahwa dengan ucapan talak itu
memang
dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk talak, bukan
untuk
maksud lain. Oleh karena itu, salah ucap yang tidak dimaksud
untuk talak
dipandang tidak jatuh talak, seperti suami memberikan sebuah
salak
kepada istrinya, semestinya ia mengatakan kepada istrinya itu
kata-kata:
11
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201
-
23
“Ini sebuah salak untukmu”, tetapi keliru ucapan, berbunyi: “Ini
sebuah
talak untukmu”, maka talak tidak dipandang jatuh.12
3. Alasan-Alasan Perceraian
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum
Islam
sebagai wujud kodifikasi hukum Islam, telah mengklasifikkasikan
penyebab
atau alasan terjadinya perceraian. Di dalam pasal 38 UU
Perkawinan
disebutkan yakni perceraian terjadi dengan sebab:
a. Kematian salah satu pihak,
b. Perceraian karena talak dan perceraian karena gugat,
c. Keputusan Pengadilan.13
Kemudian dalam pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 ditegaskan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan
sidang
Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan
tidak berhasil
dalam mendamaikan kedua belah pihak.14
Ketentuan ini dijelaskan kembali di dalam penjelasan pasal 39
ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 19 Peraturan
Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 dengan menyebutkan bahwasannya alasan-alasan
yang
dapat dipergunakan untuk melaksanakan perceraian adalah:
12
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, h. 201
13
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h. 74
14
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2003),
h. 248
-
24
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau pemabuk, pemadat dan lain
sebagainya
yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan
yang sah atau
karena hal lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau
hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
menyebabkan
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah
tangga.15
4. Akibat-Akibat Perceraian
Perkawinan dalam hukum Islam adalah ibadah atau perjanjian
suci
antara laki-laki dan perempuan. Oleh karena itu, apabila
perkawinan putus
atau terjadi perceraian, tidak begitu saja selesai urusannya.
Akan tetapi ada
akibat-akibat hukum yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak
yang bercerai.
Terlebih akibat hukum perkawinan yang terputus tersebut, bukan
saja karena
perceraian namun karena kematian salah satu pihak, juga memiliki
kosekuensi
hukum tersendiri.
15
H. Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), h. 74-
75
-
25
Apabila perkawinan yang diharapkan tidak tercapai dan
perceraian
yang diambil sebagai jalan keluarnya maka akan timbul akibat
dari perceraian
itu sendiri. Dalam hal ini baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang
Perkawinan atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur hal
tersebut pada
pasal-pasal berikut ini, yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
Pasal 41
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :
a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak,
bilamana
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan
memberi
keputusan.
b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlakukan anak itu, bilamana bapak dalam
kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut Pengadilan
dapat
menentukan ibu ikut memikul biaya tersebut.
c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk
memberikan biaya penghidupan dan atau menentukan sesuatu kewajiban
bekas
istri.16
b. Kompilasi Hukum Islam (KHI)17
Pasal 149
Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib
:
a. Memberikan mut‟ah yang layak kepada bekas istri baik berupa
uang atau benda kecuali bekas istri tersebut Qobla al-Dukhul.
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama
dalam iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak bain atau
nusyyuz dan
dalam keadaan tidak hamil.
c. Melunasi mahar yang masih terutang seluruhnya dan separuh
apabila Qobla al-Dukhul.
16
Amiur Nurudin, Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta:
Prenada Media, 2004), h. 219
17
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, 1996, h. 149
-
26
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun
Pasal 150
Bekas suami berhak melakukan ruju‟ kepada bekas istrinya yang
masih
dalam masa iddah.
Pasal 151
Bekas istri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya
tidak
menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.
Pasal 152
Bekas istri berhak mendapat nafkah iddah dari bekas suaminya
kecuali
bila ia nusyyuz.
Pasal 156
a. Anak yang belum Mumayyiz berhak mendapat hadhanah dari
ibunya,
kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya
diganti oleh:
1) Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ibu; 2) Ayah; 3)
Wanita-wanita dalam garis lurus keatas dari ayah; 4) Saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan; 5) Wanita-wanita dari
kerabat sedarah menurut garis samping dari
ibu;
6) Wanita-wanita dari kerabat sedarah menurut garis samping dari
ayah;
b. Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan
hadhanah dari ayah atau ibunya.
c. Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin
keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah
dan
hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang
bersangkutan pengadilan dapat memindahkan hak hadhanah
kepada
kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d. Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggungan
ayah
menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak
tersebut
dewasa dan dapat mengurus dirinya sendiri (21 tahun).
e. Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah
anak,
pengadilan agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),
(b),
(c), dan (d).
-
27
f. Pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya
menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-
anak yang tidak turut padanya.18
Dalam Al-Qur‟an tidak ada yang menyuruh atau melarang
eksistensi
perceraian, sedangkan untuk perkawinan ditemukan beberapa ayat
yang
menyuruh melakukannya.
Suatu kejadian pastilah terdapat hikmah yang akan didapatkan,
begitu juga
pada permasalahan perceraian aka ada hikmah yang akan kita
dapatkan baik
bagi sang suami atau istri. Talak pada dasarnya sesuatu
perbuatan yang halal
tetapi hal yang paling di benci oleh Allah SWT, hikmah
dibolehkannya talak
itu adalah karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang
menjurus
kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan pembentukan rumah
tangga
itu. Dalam keadaan begini kalau dilanjutkan akan menimbulkan
mudharat
bagi kedua belah pihak baik itu sang suami atau istri bahkan
juga kepada anak
itu sendiri.19
B. Mediasi
1. Pengertian Mediasi
Mediasi merupakan kosakata atau istilah yang berasal dari
kosakata
Inggris, yaitu mediation. Para penulis sarjana Indonesia
kemudian lebih suka
mengindonesiakan menjadi “mediasi” seperti halnya
istilah-istilah lainnya,
18
Departemen Agama RI, Kompilasi Hukum Islam, h. 74-75
19
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2006), h.
109-200
-
28
yaitu negotiation menjadi “negosiasi”, arbitration menjadi
arbitrase, dan
litigation menjadi litigasi”. Orang awam yang tidak menggeluti
ranah
penyelesaian sengketa tidak jarang salah sebut atau menyamakan
antara
mediasi dan “meditasi” yang berasal dari kosakata Inggris
meditation yang
berarti bersemedi. Sudah pasti keduanya amat berbeda karena
mediasi
berkaitan dengan cara penyelesaian sengketa bernuansa sosial dan
legal,
sedangkan meditasi berkaitan dengan cara pencarian ketenangan
batin atau
bernuansa spiritual.20
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin,
mediare
yang berarti ditengah. Makna ini menunjuk pada peran yang
ditampilkan
pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya
menengahi dan
menyelesaian sengketa antara para pihak. „berada ditengah‟ juga
bermakna
mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak
dalam
menyelesaikan sengketa.21
Dalam Collins English Dictionary and Thesaurus disebutkan
bahwa
mediasi adalah kegiatan yang menjembatani antara dua pihak
yang
bersengketa guna menghasilkan kesepakatan (agreement).22
20
Takdir Rahmadi, Mediasi, Penyelesaian Sengketa Melalui
Pendekatan Mufakat, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2011), Cet-2, h. 12
21
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 1-2
22
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h. 1-2
-
29
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata mediasi diberi arti
sebagai proses pengikutsertaan pihak ketiga dalam penyelesaian
suatu
perselisihan sebagai penasihat.
Pengertian mediasi yang diberikan Kamus Besar Bahasa
Indonesia
mengandung tiga unsur penting. Pertama, mediasi merupakan
proses
penyelesaian perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dua
pihak atau
lebih. Kedua, pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa
adalah pihak-
pihak yang berasal dari luar pihak yang bersengketa. Ketiga,
pihak yang
terlibat dalam penyelesaian sengketa tersebut bertindak sebagai
penasihat dan
tidak memiliki kewenangan apa-apa dalam pengambilan
keputusan.23
Penjelasan mediasi dari sisi kebahasaan (etimologi) lebih
menekankan
pada keberadaan pihak ketiga yang menjembatani para pihak
bersengketa
untuk menyelesaikan perselisihannya. Mediator berada pada posisi
di tengah
dan netral antara para pihak yang bersengketa, dan
mengupayakan
menemukan sejumlah kesepakatan sehingga mencapai hasil yang
memuaskan
para pihak yang bersengketa. Penjelasan kebahasaan ini masih
sangat umum
sifatnya dan belum menggambarkan secara konkret esensi dan
kegiatan
mediasi secara menyeluruh. Oleh karenanya, perlu di kemukakan
pengertian
mediasi secara terminologi yang diungkapankan para ahli resolusi
konflik.24
23
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h. 3
24 Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat,
dan Hukum Nasional, h.
2-3
-
30
Mediasi sebagaimana dicantumkan pada pasal 1851 Bab ke
Delapan
Belas Tentang Perdamaian KUHPerdata adalah, suatu perjanjian
dengan
menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang, mengakhiri
suatu
perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya
suatu
perkara.25
2. Prinsip-Prinsip Mediasi
Prinsip dasar (basic principles) adalah landasan filosofis
dari
diselenggarakannya kegiatan mediasi. Prinsip atau filosofi ini
merupakan
kerangka kerja yang harus diketahui oleh mediator, sehingga
dalam
menjalankan mediasi tidak keluar dari arah filosofi yang
melatarbelakangi
lahirnya institusi mediasi.
David Spencer dan Michael Brogan merujuk pada pandangan Ruth
Carlton
tentang lima prinsip dasar mediasi, yaitu26
:
Prinsip pertama, mediasi adalah kerahasiaan atau
confidentiality.
Kerahasiaan yang dimaksudkan disini adalah bahwa segala sesuatu
yang
terjadi dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh mediator dan
pihak-pihak
yang bersengketa tidak boleh disiarkan kepada publik dan pers
oleh masing-
masing pihak. Demikian juga sang mediator harus menjaga
kerahasiaan
25
R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, (Jakarta: Pradyana
Paramitha, 2004), h. 468
26
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h.
28
-
31
mediasi tersebut.27
Pada pasal 6 PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan. Mediasi dalam asasnya tertutup kecuali
para pihak
menghendaki lain.28
Prinsip kedua, mediasi ini bersifat volunteer atau sukarela.
Masing-
masing pihak yang terkait datang ke mediasi atas keinginan dan
kemauan
mereka sendiri secara sukarela tidak ada paksaan dan tekanan
dari pihak-
pihak lain atau pihak luar. Prinsip kesukarelaan ini dibangun
atas dasar bahwa
orang yang akan mau berkerja sama untuk menemukan jalan keluar
dari
persengketaan mereka, bila mereka dating ke tempat perundingan
atas pilihan
mereka sendiri.
Prinsip ketiga, pemberdayaan atau empowerment. Prinsip ini
di
dasarkan pada asumsi bahwa orang yang mau datang ke mediasi
sebenarnya
mempunyai kemampuan untuk menegoisasikan masalah mereka sendiri
dan
dapat mencapai kesepakatan yang mereka inginkan.
Prinsip keempat, netralitas (neutrality). Di dalam mediasi,
peran
seorang mediator hanya menfasilitasi prosesnya saja, dan isinya
tetap menjadi
milik para pihak yang bersengketa. Mediator hanyalah berwenang
mengontrol
proses berjalan atau tidaknya mediasi. Dalam mediasi, seorang
mediator tidak
bertindak layaknya seorang hakim atau juri yang memutuskan salah
atau
27
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h. 29
28
PERMA No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
-
32
benarnya salah satu pihak atau mendukung pendapat dari salah
satunya, atau
memaksakan pendapat dan penyelesaiannya kepada kedua belah
pihak.
Prinsip kelima, solusi yang unik (a unique solution).
Bahwasannya
solusi yang dihasilkan dari proses mediasi tidak harus sesuai
standar legal,
tetapi dapat di hasilkan dari proses kreativitas. Oleh karena
itu, hasil mediasi
mungkin akan lebih banyak mengikuti keinginan kedua belah
pihak.
Dari uraian di atas bahwa mediasi memiliki karakteristik
yang
merupakan ciri pokok yang membedakan dengan penyelesaian
sengketa yang
lain. Karakteristik tersebut dirumuskan dalam setiap proses
mediasi terdapat
metode, dimana para pihak dan perwakilannya, yang di bantu pihak
ketiga
sebagai mediator berusaha melakukan diskusi dan perundingan
untuk
mendapatkan keputusan yang dapat disetujui oleh para
pihak.29
3. Tujuan dan Manfaat Mediasi
Tujuan dilakukan mediasi adalah menyelesaikan sengketa antara
para
pihak dengan melibatkan pihak ketiga yang netral. Mediasi
dapat
mengantarkan para pihak pada perwujudan kesepakatan damai yang
permanen
dan lestari, mengingat penyelesaian sengketa melalui mediasi
menempatkan
kedua belah pihak pada posisi yang sama, tidak ada pihak yang
dimenagkan
atau pihak yang dikalahkan (win-win solution). Dalam mediasi
para pihak
yang bersengketa proaktif dan memiliki kewenangan penuh
dalam
29
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional,
(Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h. 28
-
33
pengambilan keputusan.30
Mediator tidak memiliki kewenangan dalam
pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak
dalam
pengambilan keputusan, tetapi ia hanya membantu para pihak dalam
menjaga
proses mediasi guna mewujudkan kesepakatan damai mereka.
Penyelesaian
sengketa melalui jalur mediasi sangat dirasakan manfaatnya,
karena para
pihak telah mencapai kesepakatan yang mengakhiri persengketaan
mereka
secara adil dan saling menguntungkan. Bahkan dalam mediasi yang
gagal
pun, dimana para pihak belum mencapai kesepakatan, sebenarnya
juga telah
dirasakan manfaatnya. Kesediaan para pihak bertemu dalam suatu
proses
mediasi, paling tidak telah mampu mengklarifikasikan akar
persengketaan dan
mempersempit perselisihan diantara mereka.31
Mediasi merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa
yang
melibatkan pihak ketiga. Mediasi dapat memberikan sejumlah
keuntungan
antara lain:
a. Mediasi diharapkan dapat menyelesaikan sengketa secara tepat
dan relatif
murah.
b. Mediasi akan memfokuskan perhatian para pihak pada
kepentingan
mereka secara nyata dan pada kebutuhan emosi atau psikologis
mereka.
c. Mediasi memberikan kesepakatan para pihak untuk
berpartisipasi secara
langsung dan secara informal dalam menyelesaikan permasalahan
mereka.
30
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h. 24
31
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h. 25
-
34
d. Mediasi memberikan para pihak kemampuan untuk melakukan
kontrol
terhadap proses dan hasilnya.
e. Mediasi memberikan hasil yang tahan uji dan akan mampu
menciptakan
saling pengertian yang lebih baik di antara para pihak yang
bersengketa.
f. Mediasi mampu menghilangkan konflik atau permusuhan yang
terjadi
antara para pihak.32
C. Proses Mediasi Dalam Perkara Perceraian
Proses mediasi dibagi kedalam tiga tahap, yaitu tahap
pramediasi, tahap
pelaksanaan mediasi, dan tahap akhir implementasi hasil mediasi.
Ketiga tahap ini
merupakan jalan yang akan ditempuh oleh mediator dan para pihak
dalam
menyelesaikan sengketa mereka.
1. Tahap Pramediasi
Tahap pramediasi adalah tahap awal di mana mediator menyusun
sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar
dimulai. Tahap
pramediasi merupakan amat penting, karena akan menentukan
berjalan
tidaknya proses mediasi selanjutnya. Pada tahap ini mediator
melakukan
beberapa langkah antara lain; membangun kepercayaan diri,
menghubungi
para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi,
fokus pada
masa depan, mengoordinasikan pihak bertikai, mewaspadai
perbedaan
budaya, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan
pertemuan,
32
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h.
24-26
-
35
kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa aman bagi
kedua belah
pihak untuk bertemu dan membicarakan perselisihan mereka.33
Dalam membangun kepercayaan diri seorang mediasi tidak boleh
terlalu berambisi, seolah-olah ia mampu menyelesaikan semua hal
dalam
waktu singkat, tanpa mempertimbangkan kendala yang akan dihadapi
ketika
ia menghubungi para pihak yang bersengketa, Seorang mediator
harus
menyadari bahwa dirinya belum tentu diterima oleh kedua belah
pihak,
sebagai mediator yang memediasi sengketa mereka.
Kesadaran ini penting agar tidak menimbulkan kekecewaan bila
mediasi mengalami kegagalan.
Mediator harus menggali sejumlah informasi awal tentang
persoalan
utama yang menjadi sumber sengketa. Informasi yang diinginkan
mediator
bersifat menyeluruh, sehingga memudahkan bagi dirinya untuk
menyusun
strategi dan memosisikan persoalan tersebut dalam kerangka
penyelesaian
konflik melalui jalur mediasi. Mediator harus menginformasikan
sejelas
mungkin tentang mediasi, langkah-langkah kerja dalam mediasi,
manfaat
mediasi, dan menjelaskan situasi-situasi yang dialami para
pihak.34
Tahap-tahap perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan dalam
pasal 7 ayat
(1) disebutkan: pada hari sidang yang ditentukan dan dihadiri
oleh kedua
33
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h.
36
34
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h. 39
-
36
belah pihak yang berperkara, hakim mewajibkan para pihak agar
terlebuh
dahulu menempuh mediasi, dan pada hari itu juga atau paling lama
2 hari
kerja berikutnya para pihak dan atau kuasa hukum mereka wajib
berunding
untuk memilih mediator dengan alternatif pilihan sebagaimana
Pasal 8 Perma
ini lalu menyampaikan mediator pilihan kepada Ketua Majelis. Dan
jika hal
ini juga tidak dapat disepakati oleh para pihak, maka Ketua
Majelis yang akan
menunjuk mediator dari daftar mediator dengan suatu
penetapan.35
Dalam tahap pramediasi ini, langkah selanjutnya yang di
tempuh
mediator adalah memformulasikan sejumlah pertanyaan yang secara
tidak
langsung mengajak para pihak untuk memikirkan masa depan mereka,
dan
tidak larut memikirkan faktor-faktor yang menyebabkan mereka
terseret
dalam konflik atau persengketaan. Mediator harus mampu
mengarahkan
mereka untuk mengambil sikap, untuk sama-sama menuju masa depan
yang
lebih baik dan damai.
Dalam tahap terakhir pramediasi, mediator harus mampu
menciptakan
rasa aman bagi kedua belah pihak sebelum proses mediasi dimulai.
Para pihak
bersedia mengambil mediasi sebagai jalan penyelesaian konflik,
karena
mereka berharap keadaan akan berubah kepada situasi yang lebih
baik.
Namun, kadang-kadang mereka datang ke pertemuan mediasi
menunjukan
sikap yang sama sekali tidak mencerminkan bahwa mereka menaruh
harapan
35
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h. 72
-
37
besar pada proses mediasi. Seringkali para pihak cemas, curiga
kepada pihak
lain, khawatir keprihatinan mereka tidak didengarkan, serta
tidak memiliki
penjelasan mengenai mediasi dan apa yang bias diharapkan dari
seorang
mediator. Untuk menghindari hal tersebut, seorang mediator
harus
bmenciptakan rasa aman. Ronald S. Kraybill mengemukakan empat
langkah
yang dapat ditempuh oleh mediator untuk menciptakan rasa
aman,36
yaitu:
a. Berusahalah tiba ditempat yang sudah disepakati sebelum
kedatangan para
pihak-pihak yang bertikai
b. Aturlah tempat agar terasa nyaman dan mendukung interaksi
c. Buatlah rencana pengaturan ruang dan,
d. Ciptakan rasa aman melalui pengendalian situasi dalam
memimpin
pertemuan, sehingga tidak menimbulkan keraguan para pihak siapa
yang
bertanggung jawab pada pertemuan tersebut.
2. Tahap Pelaksanaan Mediasi
Pada tahap pelaksanaan mediasi ini dimana para pihak yang
bersengketa satu sama lain dipertemukan untuk dilakukan mediasi.
Tahap
mediasi dalam Pasal 13 ayat (1) PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang
proses
mediasi di Pengadilan, disebutkan: Dalam waktu paling lama 5
hari kerja
setelah para pihak menunjuk mediator yang disepakati, para pihak
dapat
menyerahkan resume perkara kepada satu sama lain dan kepada
mediator.
Selanjutnya mediator menentukan jadwal pertemuan, dimana para
pihak dapat
36
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h.
43
-
38
didampingi kuasa hukumnya. Proses mediasi pada dasarnya bersifat
rahasia
dan berlangsung paling lama 40 hari kerja sejak pemilihan atau
penetapan
penunjukan mediator (Pasal 13 ayat 3) dan dapat diperpanjang
paling lama 14
hari kerja sejak berakhirnya masa 40 hari tersebut dengan syarat
bahwa
kesepakatan akan tercapai.37
Tahap pelaksanaan mediasi merupakan tahap dimana pihak-pihak
yang bertikai sudah berhadapan satu sama lain dan memulai proses
mediasi.
Ada beberapa langkah dalam tahap ini yaitu sambutan pendahuluan
mediator,
presentasi dan pemaparan kisah para pihak, mengurutkan dan
menjernihkan
permasalahan, berdiskusi dan negoisasi masalah yang disepakati,
menciptakan
opsi-opsi, menentukan butir kesepakatan dan merumuskan
keputusan,
mencatat dan menuturkan kembali keputusan, dan penutup
mediasi.38
Perdamaian dalam sengketa perceraian mempunyai nilai
keluhuran
tersendiri. Dengan dicapainya perdamaian antara suami istri
dalam sengketa
perceraian, bukan keutuhan rumah tangga saja yang dapat
diselamatkan tetapi
juga kelanjutan pemeliharaan anak dapat dilaksanakan sebagaimana
mestinya.
Agar fungsi mendamaikan dalam perkara perceraian ini dapat
dilakukan oleh
hakim secara efektif dan optimal, maka sedapat mungkin hakim
menemukan
hal-hal yang melatarbelakangi dari persengketaan yang
terjadi.39
37
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011) h.
73
38
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h.
44
39
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164
-
39
Dalam hal sengketa perceraian karena alasan percekcokan
pertengkaran secara terus menerus, peranan hakim sangat
diharapkan untuk
mencari faktor-faktor penyebab dari perselisihan dan
pertengkaran itu.
Apabila hal ini telah diketahui oleh hakim, maka dengan mudah
para hakim
tersebut mengajak dan mengarahkan para pihak yang berselisih itu
untuk
berdamai dan rukun kembali.40
Dengan dicapai perdamaian antara suami istri dalam sengketa
perceraian, bukan hanya keutuhan perkawinan saja yang dapat
diselamatkan.
Sekaligus dapat diselamatkan kelanjutan pemeliharaan dan
pembinaan anak-
anak secara normal. Kerukunan antara kedua belah pihak dapat
berlanjut.
Harta bersama dalam perkawinan dapat lestari menopang kehidupan
rumah
tangga. Suami-istri dapat terhindar dari gangguan pergaulan
sosial
kemasyarakatan. Mental dan pertumbuhan kejiwaan anak-anak
terhindar dari
perasaan terasing dan rendah diri dalam pergaulan hidup.
Upaya
mendamaikan dalam sengketa perceraian, merupakan kegiatan
terpuji dan
lebih diutamakan dibanding dengan upaya mendamaikan
persengketaan di
bidang yang lain.41
Khusus dalam sengketa perkara perceraian, asas mendamaikan
para
pihak adalah bersifat imperatif. Usaha mendamaikan para pihak
adalah beban
yang diwajibkan oleh hukum kepada para hakim dalam setiap
memeriksa,
40
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, h. 164 41
Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
(Jakarta: PT.
Sarana Bakti Semesta, 1989) h. 49
-
40
mengadili dan memutuskan perkara perceraian. Oleh karena itu,
upaya
mendamaikan dalam perkara perceraian atas dasar perselisihan
dan
pertengkaran secara terus menerus haruslah dilakukan oleh para
hakim secara
optimal.42
Tindakan hakim dalam mendamaikan para pihak yang bersengketa
adalah untuk menghentikan persengketaan dan mengupayakan agar
perceraian
tidak terjadi. Apabila berhasil dilaksanakan oleh hakim yang
menyidangkan
perkara tersebut, maka gugatan perceraian yang diajukan ke
Pengadilan oleh
para pihak itu, dengan sendirinya harus dicabut. Terhadap
ketentuan ini tidak
dibuat akta perdamaian karena tidaklah mungkin dibuat suatu
ketentuan yang
melarang satu pihak meninggalkan tempat tinggal bersama,
melarang salah
satu pihak melakukan penganiayaan dan sebagainya. Apabila
perjanjian itu
disepakati oleh para pihak dilanggar oleh salah satu pihak, maka
akta
perdamaian itu tidak dapat dieksekusi, karena akibat dari
perbuatan itu tidak
mengakibatkan putusan perkawinan maka salah satu pihak
mengajukan
gugatan baru.43
3. Tahap Akhir Implementasi Hasil Mediasi
Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah
menjalankan hasil-
hasil kesepakatan, yang telah mereka tuangkan bersama dalam
suatu
42
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 164
43
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, h. 103
-
41
perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan
berdasarkan
komitmen yang telah mereka tunjukan selama proses mediasi.44
D. Mediasi Dalam Hukum Islam
Dalam hukum Islam mediasi lebih dikenal juga istilah islah dan
hakam.45
Ishlah atau Sulhu menurut bahasa adalah perbaikan.46
Perdamaian dalam syariat
Islam sangat dianjurkan. Karena dengan perdamaian akan terhindar
dari
kehancuran tali silaturahmi dan permusuhan di antara para pihak
yang
bersengketa dapat diakhiri. Dasar hukum perdamaian dapat dilihat
dalam QS. An-
Nisa ayat 35 yang berbunyi:
Artinya :
Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimkanlah
seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari
keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan
perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.Hakam ialah juru pendamai. (QS.
An-Nisa:
35).
Dalam ajaran Islam istilah Ishlah adalah memutuskan suatu
persengketaan, sedangkan menurut istilah Ishlah adalah suatu
akad dengan
44
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum
Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011) h. 53
45
Nuraningsih Amriani, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa
Perdata di Pengadilan,
(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2011), h. 119.
46
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,
(Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997), h. 789
-
42
maksud mengakhiri suatu persengketaan antara dua orang. Yang
maksud disini
adalah mengakhiri suatu persengketaan dengan perdamaian karena
Allah
mencintai perdamaian. Dengan demikian, pertentangan itu
apabila
berkepanjangan akan mendatangkan kehancuran, untuk itu maka
Ishlah mencegah
hal-hal yang menyebabkan kehancuran dan menghilangkan hal-hal
yang
membangkitkan fitnah pertentangan.47
Kewajiban hakim dalam mendamaikan pihak-pihak yang
berperkara
adalah sejalan dengan tuntutan ajaran Islam. Ajaran Islam
memerintahkan agar
menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi diantara manusia
sebaiknya
diselesaikan dengan jalan perdamaian (islah).48
Peran dalam mendamaikan para pihak-pihak yang bersengketa itu
lebih
utama dari fungsi hakim yang menjatuhkan putusan terhadap suatu
perkara yang
diadilinya. Usaha mendamaikan pihak-pihak yang berperkara itu
merupakan
perioritas utama dan dipandang adil dalam mengakhiri suatu
sengketa, sebab
mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa yang
kalah dan siapa
yang menang, tetap terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan.49
Tentang hal yang berhubungan dengan perceraian dikemukakan
dalam
Pasal 65 dan 82 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 39
Undang-
47
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di
Pengadilan Agama, (Jakarta:
Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010), Cet-1, h. 31
48
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000) h. 151
49
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama, h. 151
-
43
undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 31 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun
1975. Dalam Pasal-Pasal ini dikemukakan bahwa hakim wajib
mendamaikan para
pihak yang berperkara sebelum putusan dijatuhkan. Usaha hakim
mendamaikan
para pihak-pihak yang berperkara itu dapat dilakukan pada setiap
sidang
pemeriksaan. Dalam upaya mendamaikan itu hakim wajib
menghadirkan pihak
keluarga atau tetangga dekat pihak-pihak yang berperkara untuk
didengar
keterangannya dan meminta bantuan mereka agar pihak-pihak yang
berperkara
rukun kembali.50
E. Mediator
1. Peran dan Fungsi Mediator
Mediator memiliki peran menentukan dalam suatu proses
mediasi.
Gagal tidaknya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang
ditampilkan
mediator. Ia berperan aktif dalam menjembatani sejumlah
pertemuan antara
para pihak. Desain pertemuan, memimpin dan mengendalikan
pertemuan,
menjaga keseimbangan proses mediasi dan menuntut para pihak
mencapai
suatu kesepakatan merupakan peran utama yang harus dimainkan
oleh
mediator. 51
Mediator sebagai pihak ketiga yang netral melayani kepentingan
para
pihak yang bersengketa. Mediator harus membangun interaksi
dan
50
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan
Peradilan Agama,
(Jakarta: Prenada Media, 2005), h. 151
51
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h.
77
-
44
komunikasi yang positif. Tindakan seperti ini amat penting
dilakukan
mediator dalam rangka mempertahankan proses mediasi. Komunikasi
dan
interaksi dapat dilakukan mediator secara terbuka dan dihadiri
bersama oleh
para pihak.
Dalam memimpin pertemuan yang dihadiri kedua belah pihak,
mediator berperan mendampingi, mengarahkan dan membantu para
pihak
untuk membuka komunikasi positif dua arah, karena lewat
komunikasi yang
terbangun akan memudahkan proses mediasi selanjutnya. Pada peran
ini
mediator harus menggunakan bahasa-bahasa yang santun, lembut dan
tidak
menyinggung para pihak, sehingga para pihak terkesan rileks
dalam
berkomunikasi satu sama lain. 52
Menurut Fuller, mediator memiliki beberapa fungsi yaitu,
katalisator,
pendidik, penerjemah, narasumber, penyandang berita jelek, agen
realitas.
Fungsi sebagai katalisator diperlihatkan dengan kemampuan
mendorong
lahirnya suasana yang konstruktif bagi dialog atau komunikasi
diantara para
pihak dan bukan sebaliknya, yakni menyebar terjadinya salah
pengertian dan
polarisasi di antara para pihak. Mediator berperan sebagai
penerjemah,
mediator juga juga harus berusaha dalam menyampaikan dan
merumuskan
usulan pihak yang satu kepada pihak yang lainnya melalui bahasa,
atau
ungkapan yang enak di dengar oleh pihak lainnya, tetapi tanpa
mengurangi
maksud dan sasaran yang hendak dicapai.53
52
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h. 78
53
Takdir Rahmadi, Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan
Mufakat, (Jakarta: PT. Grafindo Persada, 2011), h. 15
-
45
Dalam praktik sering ditemukan sejumlah peran mediator yang
muncul ketika proses mediasi berjalan. Peran tersebut, antara
lain:
a. Menumbuhkan dan mempertahankan kepercayaan diri antara para
pihak;
b. Menerangkan proses dan memndidik para pihak dalam hal
komunikasi
dan menguatkan suasana yang baik;
c. Membantu para pihak untuk menghadapi situasi atau
kenyataan;
d. Mengajar para pihak dalam proses keterampilan tawar-menawar;
dan
e. Membantu para pihak mengumpulkan informasi penting, dan
menciptakan
pilihan-pilihan untuk memudahkan penyelesaian problem.54
Dengan adanya kewajiban untuk mendamaikan para pihak yang
bersengketa yang berada di pengadilan tingkat pertama, maka
peran hakim
sebagai mediator sangat menentukan. Hakim mediator tidak saja
harus
menguasai norma-norma yang tertulis dalam PERMA tentang
mediasi.
Hakim dalam memeriksa perkara bersifat aktif, namun dalam
tugas
mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa, selama ini hakim
bersifat pasif.
Tanggung jawab hakim yang tadinya hanya sekedar memutuskan
perkara,
namun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung tentang Mediasi
tersebut,
kini berkembang menjadi mediator yang mendamaikan pihak-pihak
yang
berperkara sebagai penengah.55
54
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h.
79
55
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di
Pengadilan Agama, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Ekonomi, 2010),
Cet-1, h. 41
-
46
Dalam rangka mewujudkan proses sederhana, cepat dan murah
sesuai
dengan asas Hukum Acara Perdata, pasal 130 HIR menyebutkan
apabila pada
hari sidang yang ditetapkan kedua belah pihak hadir, maka
hakim
berkewajiban untuk mendamaikan mereka.
Pasal 130 HIR yang mengatur upaya perdamaian masih dapat
diintensifkan. Caranya dengan mengintegrasikan proses mediasi ke
dalam
prosedur perkara. Dalam pasal 2 Ayat (2) PERMA No. 1 Tahun 2008
Tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan, mewajibkan hakim sebagai
mediator dan
para pihak mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui
mediasi.Peran
hakim dalam pemeriksaan di Pengadilan tidak hanya harus
menguasai norma-
norma yang tertulis dalam PERMA, tetapi jiwa PERMA itu
sendiri.Hakim
pemeriksa harus bertanggung jawab menjelaskan
ketentuan-ketentuan dalam
PERMA, tidak hanya sekedar memenuhi syarat formal.56
Tugas hakim yang menjalankan fungsi sebagai mediator
berdasarkan
PERMA, sebagai berikut: mediator wajib mempersiapkan jadwal
pertemuan
mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
Kemudian, mediator
wajib mendorong para pihak untuk secara langsung berperan dalam
proses
mediasi. Selanjutnya, apabila dianggap perlu, mediator dapat
melakukan
kaukus dan mediator wajib mendorong para pihak untuk
menelusuri,
menggali, kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan
penyelesaian
yang terbaik bagi para pihak. Tujuan tersebut menjelaskan
tugas-tugas
56
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di
Pengadilan Agama, h. 41
-
47
mediator sehingga proses mediasi yang dipimpinnya dapat berjalan
dengan
baik. Selain itu, dapat mendorong para pihak yang bersengketa
untuk
mencoba menyelesaikan sengketa dengan damai sehingga tercapai
suatu
kesepakatan bersama.57
Peran mediator ini hanya mungkin diwujudkan bila ia
mempunyai
sejumlah keahlian (skill). Keahlian ini diperoleh melalui
sejumlah pendidikan,
pelatihan (training) dan sejumlah pengalaman dalam menyelesaikan
konflik
atau sengketa. Mediator sebagai pihak yang netral dapat
menampilkan peran
sesuai dengan kapasitasnya.
Mediator dapat menjalankan perannya mulai dari peran
terlemah
sampai peran terkuat. Berikut akan dikemukakan sejumlah peran
mediator
yang dikategorikan dalam peran lemah dan peran kuat. Peran-peran
ini
menunjukan tinggi rendahnya kapasitas dan keahlian (skill) yang
dimiliki oleh
seorang mediator.58
Mediator menampilkan peran yang lemah, bila dalam proses
mediasi
ia hanya melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Menyelenggarakan pertemuan;
b. Memimpin diskusi rapat;
c. Memelihara atau menjaga aturan agar proses perundingan
berlangsung
secara baik;
57
Yayah Yarotul Salamah, Mediasi Dalam Proses Beracara Di
Pengadilan Agama, h. 41
58
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h.
80
-
48
d. Mengendalikan emosi para pihak; dan
e. Mendorong pihak/perundingan yang kurang mampu atau segan
mengemukakan pandangannya.59
Sedangkan mediator menampilkan peran kuat, ketika dalam
proses
mediasi ia mampu melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. Mempersiapkan dan membuat notulensi pertemuan;
b. Merumuskan titik temu atau kesepakatan dari para pihak;
c. Membantu para pihak agar menyadari bahwa sengketa bukanlah
sebuah
pertarungan untuk dimenangkan, tetapi sengketa tersebut
harus
diselesaikan;
d. Menyusun dan mengusulkan alternatif pemecahan masalah;
e. Membantu para pihak menganalisis alternatif pemecahan
masalah;
f. Membujuk para pihak untuk menerima usulan tertentu dalam
rangka
penyelesaian sengketa.60
g. Mediator harus mampu berperan untuk menghargai apa saja
yang
dikemukakan kedua belah pihak, dan mediator juga harus
menjadi
pendengar yang baik dan mampu mengontrol kesan buruk sangka,
mampu
59
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, h. 81
60
Syahrizal Abbaas, Mediasi, Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan
Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2011), Cet-2, h.
81
-
49
berbicara netral.61
Peran-peran diatas harus diketahui secara baik oleh seorang yang
akan
menjadi mediator dalam dalam penyelesaian sengketa. Mediator
harus
berupaya melakukan yang t