24
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1 Kinerja Guru
2.1.1 Definisi dan Konsep Kinerja Guru
Kinerja merupakan terjemahan dari kata
performance (Job Performance), secara etimologis
performance berasal dari kata to perform yang berarti
menampilkan atau melaksanakan, sedang kata
performance berarti “The act of performing; execution”(
Webster Super New School and Office Dictionary ),
menurut Henry Bosley Woolf performance berarti “The
execution of an action” (Webster New Collegiate
Dictionary). Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan
bahwa kinerja atau performance berarti tindakan
menampilkan atau melaksanakan suatu kegiatan, oleh
karena itu performance sering juga diartikan
penampilan kerja atau perilaku kerja.
Setiap individu yang diberi tugas atau
kepercayaan untuk bekerja pada suatu organisasi
tertentu diharapkan mampu menunjukkan kinerja
yang memuaskan dan memberikan konstribusi yang
maksimal terhadap pencapaian tujuan organisasi
tersebut (Suharsaputra, 2011). Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI, 2002), kinerja didefinisikan
sebagai sesuatu yang dicapai, prestasi kerja yang
25
diperlihatkan dan kemampuan kerja yang dimiliki oleh
individu.
Benardin dan Russel (dalam Ruky, 2001)
mendefinisikan kinerja sebagai catatan hasil yang
dihasilkan dari fungsi pekerjaan atau suatu kegiatan
tertentu selama suatu periode waktu tertentu. Kinerja
adalah tingkat keberhasilan seseorang atau kelompok
orang dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya serta kemampuan untuk mencapai tujuan
dan standar yang telah ditetapkan (Sulistyorini, 2001).
Sedangkan Ahli lain berpendapat bahwa kinerja
merupakan hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan
tertentu yang di dalamnya terdiri dari tiga aspek yaitu:
kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya; kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu
pekerjaan atau fungsi; kejelasan waktu yang diperlukan
untuk menyelesikan suatu pekerjaan agar hasil yang
diharapkan dapat terwujud (Timpe, 1992). Kinerja
merupakan suatu kondisi yang harus diketahui dan
dikonfirmasikan kepada pihak tertentu untuk
mengetahui tingkat pencapaian hasil suatu instansi
dihubungkan dengan visi yang diemban suatu
organisasi atau perusahaan serta mengetahui dampak
positif dan negatif dari suatu kebijakan operasional.
Menurut Maier (dalam Wijono,2010) kinerja
didefinisikan sebagai suatu keberhasilan dari suatu
individu dalam suatu tugas dalam pekerjaannya, yang
26
oleh Wijono (2010) juga menjelaskan bahwa kinerja
adalah sesuatu yang berkenaan dengan apa yang
dihasilkan individu melalui tingkah laku dalam
pekerjaannya. Demikian juga halnya dengan Wood,
Wallace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt dan Osborn
(dalam Ruata, 2012) yang menyatakan bahwa kinerja
adalah pencapaian prestasi secara kuantitas maupun
kualitas baik secara individu, kelompok maupun
organisasi. Sejalan dengan pendapat tersebut
Mangkunegara (2002) juga memberikan definisi kinerja
sebagai hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan
kepadanya. Kemudian Hasibuan (2001,
mengemukakan kinerja (prestasi kerja) adalah suatu
hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan
tugas tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan
kesungguhan serta waktu. Irawan ( dalam
Wahyuningrum, 2008) menyatakan bahwa : kinerja
adalah hasil kerja yang konkrit, dapat diamati, dan
dapat diukur. Sehingga kinerja merupakan hasil kerja
yang dicapai oleh pegawai dalam pelaksanaan tugas
yang berdasarkan ukuran dan waktu yang telah
ditentukan.
Sementara itu, Guio (dalam Wijono, 2007)
mengatakan bahwa kinerja memiliki dua hal, yaitu
27
pertama secara kuantitas mengacu pada hasil dari
suatu pekerjaan dan yang kedua dari sudut kualitas
yaitu bagaiman seseorang melakuan pekerjaan secara
sempurna. Ada pendapat lain juga mengenai kinerja
yaitu bahwa kinerja merupakan suatu kombinasi hasil
gabungan antara keahlian dan motivasi dimana
keahlian adalah usaha individu untuk melaksanakan
suatu pekerjaan dan merupakan suatu ciri yang stabil
(Vroom dalam Wijono, 2007). Selanjutnya, Porter dan
Lawler (Wijono, 2010) mengatakan bahwa kinerja
sebagai “successful role achievement” yang diperoleh
dari hasil pekerjaan yang dikerjakan oleh individu.
Uraian mengenai beberapa definisi atau
pengertian mengenai kinerja yang telah dipaparkan,
telah memberikan gambaran yang cukup jelas
mengenai kinerja. Berkenaan dengan hal itu kinerja
dalam penelitian ini dikaitkan dengan keberadaan guru
sebagai ujung tombak dalam kegiatan belajar mengajar
guna tercapainya tujuan pendidikan. Sebagai seorang
profesional maka tugas guru sebagai pendidik,
pengajar dan pelatih hendaknya dapat berimbas
kepada siswanya. Guru merupakan komponen yang
paling berpengaruh terhadap terciptanya proses dan
hasil pendidikan yang berkualitas. Kewajiban guru
sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tentang
Guru Pasal 52 ayat (1) mencakup kegiatan pokok, yaitu
merencanakan pembelajaran, melaksanakan
28
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, membimbing
dan melatih peserta didik, serta melaksanakan tugas
tambahan yang melekat pada pelaksanaan tugas
pokok. Oleh karena itu upaya perbaikan apapun yang
dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan
tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan
tanpa di dukung oleh guru yang profesional dan
berkualitas. Dalam hal ini guru hendaknya dapat
meningkatkan terus kinerjanya yang merupakan modal
bagi keberhasilan pendidikan. King dalam Dami (2011)
mengemukakan bahwa kinerja seorang guru
dihubungkan dengan tugas-tugas rutin yang
dikerjakannya. Sebagai seorang guru tugas rutinnya
adalah melaksanakan proses belajar mengajar di
sekolah. Selanjutnya, Obilade (1999), yang dikutip oleh
Adeyemi (2010), menyatakan bahwa kinerja guru
adalah kewajiban-kewajiban yang dilakukan oleh
seorang guru pada suatu periode tertentu di dalam
sistem sekolah untuk mencapai tujuan organisasi.
Berdasarkan beberapa definisi mengenai kinerja
dan kinerja guru yang telah dikemukan, lebih lanjut
penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan
kinerja guru dalam penelitian ini adalah persepsi guru
tentang kemampuan kerja yang dimilikinya pada suatu
periode tertentu baik secara kuantitas dan kualitas
dalam melaksanakan tugas-tugas yang diberikan dalam
hal ini mengajar, mendidik dan melatih yang
29
berpedoman pada standar yang telah ditetapkan guna
mencapai tujuan pembelajaran.
2.1.2 Teori Kinerja
Berdasarkan definisi-definisi mengenai kinerja
yang telah dikemukakan sebelumnya, menunjukkan
bahwa kinerja berkaitan dengan perilaku individu dan
hasil kerjanya (Sonnentag & Frese, 2001). Secara
umum kinerja merupakan salah satu komponen dalam
ilmu perilaku organisasi (organization behavior) yang
pada hakekatnya mendasarkan kajiannya pada ilmu
perilaku itu sendiri (akar ilmu psikologi), yang
dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada
tingkah laku manusia dalam organisasi. Kerangka
dasar teori perilaku organisasi ini didukung oleh dua
komponen pokok, yakni individu-individu yang
berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari
perilaku tersebut. Kinerja individu sangat penting bagi
suatu organisasi secara keseluruhan dan bagi individu
bekerja di dalamnya. Kinerja dapat ditunjukkan melalui
sikap dan perilaku kerja, dalam hal ini kinerja
merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap
orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan sesuai
peranannya di tempat kerjanya (Rivai, 2006).
Kinerja individu adalah konsep inti dalam kerja
dan psikologi organisasi. Selama 10 atau 15 tahun
terakhir, para peneliti telah membuat kemajuan dalam
30
menjelaskan dan memperluas konsep kinerja
(Campbell, dalam Sonnentag & Frese, 2001). Kinerja
merupakan konsep multi-dimensi. Pada tingkat yang
paling dasar, Borman dan Motowidlo (dalam Sonnentag
& Frese,2001) membedakan antara tugas dan kinerja
kontekstual. Dimana, tugas kinerja mengacu pada
kemampuan individu dalam melakukan kegiatan
yang berkontribusi terhadap organisasi
organisasi. Sedangkan kinerja kontekstual mengacu
pada kegiatan yang tidak memberikan kontribusi tetapi
secara teknis mendukung lingkungan organisasi,
sosial, dan psikologis dalam mencapai tujuan
organisasi. Kinerja kontekstual meliputi tidak perilaku
satunya seperti membantu rekan kerja atau menjadi
anggota handal dari organisasi, tapi juga membuat
saran tentang bagaimana untuk meningkatkan
prosedur kerja. Tiga asumsi dasar yang berhubungan
dengan perbedaan antara tugas dan kontekstual
kinerja (Borman & Motowidlo, 1997, Motowidlo &
Schmit, dalam Sonenntag & Frese, 2001) yaitu : (1)
Kegiatan yang relevan untuk kinerja tugas bervariasi
antara pekerjaan sedangkan kinerja
kontekstual kegiatan relatif sama di seluruh pekerjaan,
(2) kinerja tugas yang berkaitan dengan kemampuan,
sedangkan kinerja kontekstual berhubungan dengan
kepribadian dan motivasi, (3) tugas kinerja lebih
ditentukan dan merupakan di-peran perilaku,
31
sedangkan kontekstual kinerja lebih diskresioner dan
ekstra-peran.
Selanjutnya, Sonnentag dan Frese (2001)
membahas mengenai garis utama dalam kinerja.
Pertama, mengenai relevansi kinerja individu yang
berhubungan dengan kinerja individu maupun bagi
organisasi, menggambarkan definisi kinerja dan
menjelaskan mengenai sifat kinerja yang multidimensi
serta dinamis. Secara singkat ketiga garis utama dalam
kinerja dijelaskan sebagai berikut :
2.1.2.1 Relevansi Kinerja Individu
Organisasi memerlukan individu sebagai pelaku
organisasi dalam memenuhi tujuan organisasi, untuk
memberikan produk dan jasa, dan dalam mencapai
tujuan bersama. Oleh karena itu, kinerja menjadi
bagian yang penting bagi individu. Dimana, kinerja
dapat menjadi sumber kepuasan dan kebanggan bagi
individu yang bekerja. Kinerja yang rendah dan tidak
dapat mencapai tujuan orgaisasi dapat menjadikan
individu merasa mengalami kegagalan pribadi dan tidak
memperoleh rasa puas dalam bekerja.
Selain itu, sebaliknya, ketika individu dapat
menghasilakan kinerja yang baik dan memperoleh
penghargaan dari orang lain akan memberikan motivasi
yang lebih tinggi dalam meningkatkan kinerjanya.
Sejalan dengan itu, VanScotter, Motowidlo dan Cross
sebagaiman yang dikutip oleh Sonnentag dan Frese
32
(2001) mengatakan bahwa individu yang memiliki
kinerja yang tinggi pada umumnya memiliki peluang
karir yang lebih baik daripada mereka yang memiliki
kinerja yang rendah. Dengan demikian Sonnentag dan
Frese (2001) memberikan kesimpulan bahwa individu
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari
kinerja dan merupakan variabel kunci dalam pekerjaan
dan organisasi yang dapat berdampak pada
peningkatan dan optimalnya kinerja organisasi.
2.1.2.2 Konsep Kinerja
Sejak tahun 1990 Campbell (dalam Sonnentag &
Frese, 2001) telah menggambarkan literatur tentang
struktur dan isi dari kinerja. Namun, selama 10 sampai
15 tahun terakhir, dapat dilihat meningkatnya minat
para ahli dalam mengembangkan definisi kinerja dan
menentukan konsep kinerja. Kinerja adalah apa yang
dilakukan demi kemajuan suatu organisasi ke arah
yang lebih baik (Campbell et al, dalam Sonnentag &
Frese,2001). Hal ini berarti bahwa kinerja tidak
didefinisikan hanya oleh tindakan tetapi oleh proses
dan evaluasi. Lebih lanjut Campbell (1993)
sebagaimana yang dikutip oleh Sonnentag dan Frese
(2001) mengatakan bahwa kinerja merupakan tindakan
yang dapat diukur dan tingkatkan. Aspek hasil dari
kinerja itu sendiri mengacu pada konsekuensi atau
akibat dari perilaku individu.
33
2.1.2.3 Kinerja sebagai Konsep Multi-dimensi
Kinerja merupakan konsep multi-dimensi. Pada
tingkat yang paling dasar, Borman dan Motowidlo
(dalam Sonnentag & Frese, 2001) membedakan antara
tugas dan kinerja kontekstual. Tugas kinerja mengacu
pada kemampuan individu dengan mana ia melakukan
kegiatan yang berkontribusi secara teknis dalam
organisasi. Kontribusi yang diberikan ini dapat
diberikan secara langsung maupun tidak langsung.
Selanjutnya, kinerja kontekstual mengacu pada
kegiatan yang tidak memberikan kontribusi secara
teknis tetapi mendukung lingkungan organisasi, sosial,
dan psikologis dimana tujuan organisasi dapat
tercapai. Kinerja kontekstual dapat diaplikasikan dalam
dunia kerja misalnya dengan membantu rekan kerja
atau menjadi anggota yang dapat diandalkan dari
organisasi dan membuat saran tentang bagaimana cara
untuk meningkatkan kerja.
Tiga asumsi dasar yang dapat menjelaskan
perbedaan antara tugas dan kontekstual kinerja
menurut Borman dan Motowidlo (1997), Motowidlo dan
Schmit (1999) yang dikutip oleh Sonnentag dan Frese
(2001) adalah : (1) dalam bentuk kegiatan yang relevan
dalam organisasi untuk tugas kinerja memiliki variasi
dalam pekerjaan sedangkan kinerja kontekstual
memiliki kegiatan yang relatif sama dalam setiap
pekerjaan,(2) kinerja tugas memiliki kaitan dengan
34
kemampuan individu sedangkan kinerja kontekstual
berhubungan dengan kepribadian dan motivasi yang
dimiliki individu dan (3) kinerja tugas lebih ditentukan
dan merupakan peran perilaku, sedangkan kinerja
kontekstual lebih diskresioner dan memiliki peran
ekstra dalam organisasi. Dengan kata lain bahwa
kinerja kontekstual bukanlah merupakan perilaku yang
seragam, tetapi memiliki konsep yang multidimensi.
Berdasarkan penjelasan mengenai teori yang
dikemukakan oleh Sonnentag dan Frese (2001), secara
garis besar dapat digambarkan bahwa kinerja individu
merupakan implikasi dari perilaku individu itu sendiri
yang dapat memberikan dampak dalam tercapainya
tujuan organisasi. Oleh karena itu, untuk memahami
konsep kinerja individu maka konteks yang ingin
dicapai dalam organisasi perlu dipahami karena kinerja
berkaitan dengan perilaku individu dan hasil kerjanya
(Sonnentag & Frese,2001).
2.1.3 Penilaian Kinerja
Kinerja, baik secara individu maupun organisasi
mempunyai peran yang besar dalam keberlangsungan
organisasi menjalankan peran dan tugasnya di
masyarakat, setiap organisasi perlu memperhatikan
bagaimana upaya untuk terus meningkatkan kinerja
karyawannya agar dapat memberi kontribusi optimal
bagi meningkatnya kinerja organisasi. Secara umum
35
kinerja merupakan salah satu komponen dalam ilmu
perilaku organisasi (organization behavior) yang pada
hakekatnya mendasarkan kajiannya pada ilmu perilaku
itu sendiri (akar ilmu psikologi), yang dikembangkan
dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia
dalam organisasi. Oleh karena itu, organisasi perlu
memahami bagaimana kondisi kinerja pegawai untuk
dapat melakukan pengelolaan dan pengembangan bagi
kepentingan organisasi, untuk itu diperlukan suatu
penilaian kinerja dalam rangka tersebut. Penilaian
Kinerja merupakan tahapan penting dalam manajemen
kinerja sustu organisasi, dalam tahapan ini dapat
diperoleh informasi yang dapat dijadikan dasar bagi
kebijakan yang berkaitan dengan pengembangan
sumber daya Manusia, baik itu kebijakan penggajian,
promosi, demosi dan sebagainya. Penilaian kinerja
merupakan suatu kegiatan guna menilai prilaku
pegawai dalam pekerjaannya baik secara kualitatif
maupun kuantitatif (Suharsaputra, 2011).
Penilaian kinerja menurut Rivai dan Sagala
(dalam Ruata, 2012) merupakan hasil kerja karyawan
dalam lingkup tanggung jawabnya. Penilaian kinerja
mengacu pada suatu sistem formal dan terstruktur
yang digunakan untuk mengukur, menilai dan
mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan
pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat
ketidakhadiran. Penilaian kinerja mempunyai peranan
36
penting dalam peningkatan motivasi ditempat kerja.
Penilaian kinerja ini (performance appraisal) pada
dasarnya merupakan faktor kunci guna
mengembangkan suatu organisasi secara efektif dan
efisien. Pegawai menginginkan dan memerlukan
balikan berkenaan dengan prestasi mereka dan
penilaian menyediakan kesempatan untuk memberikan
balikan kepada mereka jika kinerja tidak sesuai dengan
standar, maka penilaian memberikan kesempatan
untuk meninjau kemajuan karyawan dan untuk
menyusun rencana peningkatan kinerja (Dessler 1997).
Selanjutnya, Dessler (1997) mengemukakan 5 (lima)
faktor dalam penilaian kinerja, yaitu: 1) kualitas
pekerjaan meliputi: akuisi, ketelitian, penampilan dan
penerimaan keluaran; 2) kuantitas pekerjaan meliputi:
volume keluaran dan kontribusi; 3) supervisi yang
diperlukan, meliputi: membutuhkan saran, arahan
atau perbaikan; 4) kehadiran meliputi:regularitas,
dapat dipercaya/diandalkan dan ketepatan waktu ; dan
(5) konservasi yang meliputi : pencegahan, pemborosan,
kerusakan dan pemeliharaan.
Menurut Rivai dan Sagala (dalam Ruata, 2012)
dalam penilaian kinerja perlu memiliki :
1. Standar kinerja, yaitu sistem penilaian
memerlukan standar kinerja yang mencerminkan
seberapa jauh keberhasilan sebuah pekerjaan
dicapai. Agar efektif, standar perlu berhubungan
37
dengan hasil yang diinginkan dari tiap pekerjaan.
Hal tersebut dapat diuraikan dari analisis
pekerjaan dengan menganalisis hubungannya
dengan kinerja karyawan saat sekarang. Untuk
menjaga akuntabilitas karyawan, harus ada
peraturan-peraturan tertulis dan diberitahukan
kepada karyawan sebelum dilakukan evaluasi.
Idealnya, penilaian setiap kinerja karyawan harus
didasarkan pada kinerja nyata dari unsur yang
kritis yang diidentifikasi melalui analisis
pekerjaan.
2. Ukuran kinerja, digunakan untuk mengevaluasi
kinerja. Agar terjadi penilaian yang kritis dalam
menentukan kinerja, ukuran yang handal juga
hendaknya dapat dibandingkan dengan cara lain
dengan standar yang sama untuk mencapai
kesimpulan sama tentang kinerja sehingga
menambah reliabilitas sistem penilaian.
Berdasarkan pengertian mengenai kinerja guru
yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini
untuk dapat melihat dan mengukur kinerja guru
diperlukan penilaian terhadap hasil kerja guru
tersebut. Maier (dalam Wijono, 2005) memberikan
gambaran untuk mengukur kinerja dengan dua cara
yaitu :
1. Pekerjaan produksi, merupakan pekerjaan yang
sesuai dengan hasil produksi yang sesungguhnya
38
baik secara kuantitatifbmaupun kualitatif,
sehingga lebih mudah diukur dengan suatu
kriteria yang subjektif.
2. Pekerjaan non produksi, merupakan pekerjaan
yang dinilai sendiri oleh individu (self appraisal)
untuk menentukan tingkat keberhasilan yang
dicapainya baik secara kuantitas maupun
kualitas yang biasanya disebut sebagai
pertimbangan subjektif (human judgement).
Penilaian ini dapat dilakukan oleh atasan,
individu sendiri (self appraisal) maupun teman
kerjanya.
Guru, sebagai individu yang memiliki
tanggungjawab profesional terhadap pekerjaanya
sebagai sumber daya yang sangat penting dalam
lingkup pendidikan, maka perlu untuk memberikan
perhatian, pertimbangan dan penilaian terhadap
kinerjanya sendiri, sehingga dapat meningkatkan
kinerjanya dimasa yang akan datang ke arah yang lebih
baik guna tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Penilaian kinerja dalam penelitian ini berdasarkan
bentuk penilaian subjektif atau penilaian kinerja
human judgment dengan memberikan penilaian
terhadap diri sendiri (self appraisal). Melalui
pendekatan ini guru-guru menilai dan mengevaluasi
diri mereka sendiri di atas dasar merumuskan dengan
baik seperangkat kompetensi atau karakteristik-
39
karakteristik mereka. Dengan demikian pengkajian
terhadap kinerja tidak terlepas dari evaluasi/penilaian
kinerja.
2.1.4 Tujuan Penilaian Kinerja
Pada dasarnya penilaian prestasi kerja bertujuan
mengidentifikasikan sumbangan-sumbangan yang
diharapkan dari setiap karyawan. Ghiselli & Brown
(dalam As’ad,1991) mengatakan bahwa penilaian atau
pengukuran hasil kerja sangat penting itu bertujuan
untuk:
1. Untuk mengukur prestasi kerja, yaitu sejauh
mana karyawan dapat sukses dalam
melaksanakan pekerjaanya.
2. Untuk melihat seberapa jauh kemajaun dalam
latihan.
3. Sebagai data yang digunakan untuk bahan
pertimbangan apabila ada promosi bagi karyawan
yang bersangkutan.
Haris (1984) mengatakan baha pada dasarnya
penilaian prestasi kerja ini bertujuan
mengidentifikasikan sumbangan-sumbangan yang
diharapkan dari setiap karyawan. Beberapa ahli yang
berkecimpung pada bidang perilaku manusia dalam
organisasi, telah merumuskan beberapa tujuan.
Adapun tujuan penilaian prestasi kerja secara garis
besar dapat dikelompokkan sebagai berikut:
40
1. Tujuan Administrasi. Hasil yang diperoleh dari
program penilaian prestasi kerja dapat digunakan
untuk keperluan administrasi peruasahaan.
Penilaian prestasi kerja merupakan komponen
yang penting dalam proses administrasi
karyawan. Data-data yang digunakan dari
penilaian prestasi kerja dapat digunakan sebagai
bahan untuk memilih atau menentukan
karyawan yang perlu dipromosikan, dipindah dan
diberhentikan sementara atau diberhentikan
seterusnya. Hasil penilaian juga digunakan
sebagai dasar pertimbangan metode pengujian,
pengupahan dan pemberian bonus.
2. Tujuan Pengembangan. Kecenderungan program
penilaian prestasi kerja yang dilaksanakan oleh
beberapa perusahaan dewasa ini mengarah pada
usaha-usaha pengembangan karyawan..
penilaian prestasi kerja memberikan informasi
mengenai kekuatan dan kelimahan karyawan
dalam melaksanakan pekerjaannya. Informasi
tersebut selanjutnya dapat digunakan dalam
penyusunan program pelatihan untuk
memperbaiki prestasi kerja bagi karyawan yang
berprestasi rendah, dan meningkatkan
motivasinya. Data-data hasil penilaian prestasi
kerja dapat juga digunakan sebagai dasar
pertimbangan untuk mengembangkan system
41
umpan balik terhadap karyawan dan
menentukan kebutuhan konseling bagi
karyawan.
3. Tujuan Penelitian. Usaha-usaha perbaikan dan
pengembangan efektifitas metode dan
pelengkapan kerja, serta kondisi yang dapat
dicapai salah satunya dengan memanfatkan
informasi yang diperoleh dari penilaian prestasi
kerja. Selain itu juga dapat digunakan sebagai
dasar untuk mengefaluasi validitas system
seleksi, perekutan karyawan dan program
pelatihan yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan
bahwa tujuan dari penilaian prestasi kerja
karyawan adalah untuk mengetahui potensi dan
mengembangkan karier karyawan serta
mengambil keputusan tentang promosi dan gaji,
dapat memberikan kesempatan baik bagi atasan
maupun bawahan untuk bersama-sama
meninjau hubungan kerja diantara karyawan dan
pimpinan. Penilaian hasil kerja dapat digunakan
untuk mengidentifikasikan ketidak efisienan
masalah pekerjaan yang mungkin timbul dalam
perusahaan.
42
2.1.5 Dimensi Kinerja Guru
Dimensi pekerjaan menyediakan alat untuk
melukiskan keseluruhan cakupan aktivitas di tempat
kerja. Dimensi kinerja merupakan unsur-unsur yang
terdapat dalam suatu pekerjaan yang mampu untuk
menunjukkan kinerja. Dimensi-dimensi ukuran kinerja
dapat meliputi kualitas atau mutu kerja, minat
terhadap pekerjaan, menerima pengarahan,
pengetahuan kerja, keefektifan kerja, sikap positif,
kehadiran dan hubungan dengan teman kerja (Wijono,
2005). Tinggi rendahnya kinerja guru berkaitan erat
dengan sistem pemberian penghargaan yang diterapkan
oleh lembaga atau organisasi tempat mereka bekerja.
Pemberian penghargaan yang tidak tepat dapat
berpengaruh terhadap peningkatan kinerja seseorang.
Kinerja guru mempunyai spesifikasi atau kriteria
tertentu.
Kinerja guru dapat dilihat dan diukur
berdasarkan spesifikasi/kriteria kompetensi yang harus
dimiliki oleh setiap guru. Standar Kompetensi Guru
adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau
dipersyaratkan dalam bentuk penguasaan pengetahuan
dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar
berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional
sesuai dengan bidang tugas, kualifikasi dan jenjang
pendidikan. Berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 16
43
Tahun 2007 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan
Kompetensi Guru, dijelaskan bahwa Standar
Kompetensi Guru dikembangkan secara utuh dari 4
kompetensi utama, yaitu sebagai berikut :
1. Kompetensi Pedagogik, yaitu kemampuan
mengelola pembelajaran peserta didik.
2. Kompetensi Kepribadian, Kompetensi kepribadian
ini mempunyai peranan yang sangat penting
dalam membentuk kepribadian anak, guna
menyiapkan dan mengembangkan Sumber Daya
Manusia.
3. Kompetensi Sosial, yaitu suatu kemampuan guru
sebagai bagian dari masyarakat.
4. Kompetensi Profesional, yaitu kemampuan
penguasaan materi pembelajaran secara luas dan
mendalam.
Dimensi atau aspek-aspek dalam kompetensi
secara umum menurut McClelland (dalam Ruata, 2012)
yaitu:
1. Keterampilan yaitu keahlian atau kecakapan
melakukan sesuatu dengan baik.
2. Pengetahuan yaitu informasi yang dimiliki atau
dikuasai seseorang dalam bidang tertentu.
3. Peran sosial yaitu citra yang diproyeksikan
seseorang kepada orang lain.
4. Citra diri yaitu persepsi individu tentang dirinya.
44
5. Trait yaitu karakteristik yang relatif konstan pada
tingkah laku seseorang.
6. Motif yaitu pemikiran atau niat dasar yang
konstan yang mendorong individu untuk
bertindak atau berperilaku.
Secara umum, Pope dan Brown, Spencer dan
Spencer, Kunnanatt (dalam Ruata, 2012)
mengemukakan dimensi kompetensi yaitu :
1. kompetensi intelektual, adalah kemampuan
individu dalam bidang intektual. Hal ini
menyangkut kemampuan dalam bidang
pengetahuan dan wawasan.
2. kompetensi emosional, adalah kemampuan
individu mengelolah emosi.
3. kompetensi personal, adalah kemampuan
individu dalam kaitan dengan kepribadiannya.
4. kompetensi sosial, adalah kemampuan individu
dalam melakukan interaksi dengan orang lain.
Selanjutnya, Seivers (2007) mengemukakan 6
(enam) dimensi kinerja guru yaitu sebagai berikut :
1. Perencanaan, yaitu kemampuan guru dalam
merencanakan tujuan, aktivitas dan evaluasi
murid didasarkan pada pengertian yang dalam
dari isi, kebutuhan murid, dan standar
kurikulum.
2. Strategi mengajar, yaitu kemampuan guru
menggunakan strategi kelas yang didasarkan
45
pada penelitian yang dihubungkan dengan cara
berpikir yang tinggi, problem solving dan dunia
nyata.
3. Penilaian atau evaluasi, yaitu kemampuan guru
menggunakan penilaian dan evaluasi yang cocok
untuk menentukan penguasaan murid pada isi
dan membuat keputusan-keputusan
pembelajaran.
4. Lingkungan belajar, yaitu kemampuan guru
menciptakan budaya kelas yang mengembangkan
kapasitas intelektual murid.
5. Perkembangan profesional, yaitu kemampuan
guru dalam membangun kerja sama dengan
sesama rekan kerja dan menunjukkan tanggung
jawab profesional secara efektif dan efisien.
6. Komunikasi, yaitu kemampuan berkomunikasi
secara jelas dan benar dengan murid, orang tua
dan masyarakat.
Mengacu pada penilaian kinerja yang telah
dijelaskan sebelumnya maka penilaian kinerja yang
digunakan dalam penelitian ini berdasarkan panduan
penilaian kerja yang dinamakan yang dikemukakan
oleh Seivers (2007) yang disebut sebagai Teacher
Performance Assessment Guide, yang diukur ada 6
indikator, yaitu: (1) Perencaaan; (2) Strategi mengajar;
(3) Penilaian atau evaluasi; (4)Lingkungan mengajar; (5)
pertumbuhan/perkembangan profesional; (6)
46
Komunikasi. Panduan ini dibangun oleh Tennessee
State Department of Education, Division of Teaching and
Learning. Indikator-indikator ini memperkenalkan
perilaku dan karakteristik-karakteristik yang
diharapkan guru. Oleh karena responden dalam
penelitian ini adalah guru Sekolah Dasar yang
merupakan pegawai negeri sipil maka metode penilaian
kinerja ini yang sesuai untuk digunakan dalam
penelitian ini. Berdasarkan hal tersebut maka acuan
dimensi kinerja guru yang digunakan dalam penelitian
ini adalah berdasarkan dimensi kinerja guru yang
dikemukakan oleh Seivers (2007) yaitu : perencanaan,
strategi mengajar, penilaian atau evaluasi, lingkungan
belajar, perkembangan professional dan komunikasi.
2.1.6 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang, baik yang berasal dari dalam diri maupun
yang berasal dari luar. Tiffin dan Mccormick (dalam
Kurniati, 2007) menyatakan ada 2 (dua) macam faktor
yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang yaitu:
1. Faktor Individual, yaitu faktor-faktor yang
meliputi sikap, sifat-sifat kepribadian, sifat fisik,
keinginan atau motivasinya, umur, jenis kelamin,
pendidikan,pengalaman kerja, latar belakang
budaya dan variabel-variabel personal lainnya.
47
2. Faktor Situasional terdiri dari 2 faktor yaitu : a)
faktor sosial dan organisasi, meliputi :
kebijaksanaan organisasi, jenis latihan dan
pengawasan, sistem upah dan lingkungan social
dan b) faktor fisik dan pekerjaan, meliputi :
metode kerja, desain dan kondisi alat-alat kerja,
penataan ruang kerja dan lingkungan kerja
(seperti penyinaran, kebisingan dan fentilasi).
Selain faktor individual dan faktor situasional
yang sudah dikemukakan diatas, Timpe (1992) juga
mengemukakan bahwa kinerja seseorang dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal seperti pada berikut :
Tabel 2.1
Faktor Internal dan Eksternal Kinerja
Mengapa di balik keberhasilan dan kegagalan Internal Eksternal
Kinerja Baik
Kemampuan tinggi
Kerja keras
Pekerjaan mudah
Nasib baik
Bantuan dari rekan kerja
Pimpinan yang baik
Kinerja Buruk
Kemampuan rendah
Upaya sedikit
Pekerjaan sulit
Nasib buruk
Rekan kerja tidak produktif
Pimpinan tidak simpatik
Sumber : Timpe, (1992: 33)
Penyebab-penyebab yang dapat dijelaskan
dibawah keadaan kinerja baik mungkin bersifat
48
internal “ Saya bekerja dengan baik karena saya
memiliki kemampuan kerja yang tinggi ”. Pengaruh
eksternal “ Saya bekerja dengan baik karena
pekerjaannya begitu mudah, siapa saja dapat
melakukannya sama baiknya dengan saya ”. Penyebab-
penyebab yang dapat dijelaskan dibawah keadaan
kinerja jelek dapat bersifat internal “Saya
melakukannya dengan buruk karena saya memiliki
kemampuan yang rendah”,atau bersifat eksternal “
Saya melakukan dengan buruk karena saya
mempunyai pimpinan yang tidak memiki rasa
simpatik”.
Faktor-faktor yang memengaruhi kinerja
seseorang sebagaimana diuraikan diatas pada dasarnya
dapat berupa faktor internal pagawai maupun faktor
eksternal pegawai. Faktor internal adalah faktor yang
dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya,
kinerja seorang baik disebabkan karena mempunyai
kemampuan tinggi dan seseorang itu tipe pekerja keras,
sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek
disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan
rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-upaya
untuk memperbaiki kemampuannya. Faktor eksternal
yang mempengaruhi kinerja berasal dari lingkungan
seperti perilaku, sikap, dan tindakan-tindakan rekan
kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja, dan iklim
organisasi. Hal tersebut sejalan dengan pendapat
49
Winardi (dalam Trihandini, 2005) mengemukakan
bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi motivasi,
pendidikan, kemampuan, keterampilan dan
pengetahuan dimana kesemuanya tersebut bisa di
dapat dari pelatihan. Faktor ekstrinsik meliputi
lingkungan kerja, kepemimpinan, hubungan kerja dan
gaji. Menurut Wood, Wallace, Zeffane, Schermerhorn,
Hunt dan Osborn, (dalam Ruata, 2012) mengemukakan
faktor yang mempengaruhi kinerja sebagai berikut :
1. Individual attributes, seperti karakteristik
demografik (misalnya, gender, usia, suku,
agama), karakteristik kompetensi (misalnya,
bakat atau kemampuan, atau apa yang bisa
seseorang lakukan), karakteristik personal
(misalnya, sifat seseorang), nilai, serta sikap dan
persepsi.
2. Work effort, menjelaskan akan adanya motivasi
dalam diri seseorang yang dengan konsisten dan
persisten mewujudkan upaya untuk bekerja yang
optimal dan menunjukkan kinerja yang
maksimal.
3. Organisational support, dukungan organisasi
merupakan faktor yang mempengaruhi kinerja
seseorang. Sebab dukungan organisasi yang
lemah akan mengakibatkan kinerja individu pun
50
tidak maksimal. Organisasi yang sehat akan
mendukung terwujudnya kinerja yang sehat dari
pekerjanya.
Bernadin (dalam Trihandini, 2005) menjelaskan
bahwa kinerja seseorang dapat diukur berdasarkan 6
kriteria yang dihasilkan dari pekerjaan yang
bersangkutan. Keenam kriteria tersebut adalah :
1. Kualitas, yaitu tingkatan dimana hasil akhir yang
dicapai mendekati sempurna dalam arti
memenuhi tujuan yang diharapkan oleh
perusahaan
2. Kuantitas, yaitu jumlah yang dihasilkan yang
dinyatakan dalam istilah sejumlah unit kerja
ataupun merupakan jumlah siklus aktivitas yang
dihasilkan
3. Ketepatan waktu, yaitu tingkat aktivitas di
selesaikannya pekerjaan tersebut pada waktu
awal yang diinginkan
4. Efektifitas, yaitu tingkat pengetahuan sumber
daya organisasi dimana dengan maksud
menaikkan keuntungan.
5. Kemandirian, yaitu dapat melakukan fungsi
kerjanya tanpa meminta bantuan dari orang lain
6. Komitmen, yaitu memiliki tanggung jawab penuh
terhadap pekerjaannya.
Selanjutnya, selain faktor-faktor yang sudah
dikemukakan di atas faktor lain yang mempengaruhi
51
kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor
motivasi (motivation) yang dikemukakan oleh Davis
(dalam Mangkunegara, 2001). Kedua faktor tersebut
dijelaskan sebagai berikut :
1. Faktor Motivasi (motivation)
Motivasi terbentuk dari sikap seorang guru dalam
menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan
kondisi yang menggerakkan seseorang yang
terarah untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sikap mental merupakan kondisi mental yang
mendorong diri seorang guru untuk berusaha
mencapai kinerja secara maksimal. Seorang guru
akan mencapai kinerja maksimal jika memiliki
motivasi yang tinggi.
2. Faktor Kemampuan (ability)
Secara psikologis kemampuan (Ability) seorang
guru terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan
kemampuan reality (Knowledge + Skill). Artinya
guru yang memiliki latar belakang pendidikan
yang memadai untuk jabatannya dan terampil
dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari, maka
ia akan lebih mudah mencapai kinerja yang
diharapkan. Menurut Hawari (dalam Waryanti,
2011) terdapat beberapa kecerdasan pada diri
manusia, diantaranya: kecerdasan intelektual,
kecerdasan emosional, kecerdasan kreativitas,
dan kecerdasan spiritual.
52
Sejalan dengan Mangkunegara (2001), Robbins
(2001) juga mengemukakan variabel yang dapat
menentukan tingkat kinerja organisasi/individu yaitu :
1. Motivasi, yaitu kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan
organisasi yang dikondisikan oleh kemampuan
upaya itu untuk memenuhi beberapa kebutuhan
individual.
2. Komitemen, yaitu suatu keadaan dimana seorang
pegawai memihak terhadap organisasi tertentu
serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk
bekerja dan memepertahankan keanggotaannya
dalam organisasi tersebut.
3. Kompetensi, sebagai ability, yaitu kapasitas
seseorang individu untuk mengerjakan berbagai
tugas dalam suatu pekerjaan. Selanjutnya
dikatakan bahwa kemampuan individu dibentuk
oleh dua faktor, yaitu faktor kemampuan
intelektual dan kemampuan fisik. Kemampuan
intelektual adalah kemampuan yang diperlukan
untuk melakukan kegiatan mental sedangkan
kemampuan fisik adalah kemampuan yang
diperlukan untuk melakukan tugas-tugas yang
menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan
keterampilan.
4. Produktivitas, suatu ukuran kinerja termasuk
didalamnya efisiensi dan efektivitas, dan hal ini
53
berkaitan dengan kerja individu maupun
kelompok, dimana ada suatu dorongan untuk
berusaha mengembangkan diri dan
meningkatkan kemampuan kerja
5. Kemangkiran, ketidakhadiran di kantor tanpa
izin.
6. Kepuasan kerja, yaitu perasaan positif tentang
pekerjaan seseorang yang merupakan hasil dari
evaluasi karakteristiknya.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan
diatas mengenai berbagai faktor yang dapat
memberikan pengaruh terhadap kinerja guru, maka
penulis menyimpulkan dua faktor penting dalam
kinerja individu yaitu motivasi kerja dan kecerdasan
spiritual. Walaupun banyak faktor lain yang juga turut
menjadi prediktor dalam kinerja individu namun kedua
faktor ini merupakan faktor yang penting untuk dapat
memprediksi kinerja.
2.2 Motivasi Kerja
2.2.1 Definisi dan Konsep Motivasi Kerja
Motivasi dalam bahasa Inggris disebut dengan
motivation, yang berasal dari bahasa Latin “movere”,
yang berarti dorongan atau daya penggerak (Steers &
Porter dalam Wijono, 2010). Motivasi didefinisikan
sebagai dorongan internal yang mendorong seseorang
untuk melakukan hal-hal untuk mencapai sesuatu
54
(Harmer dalam Suslu, 2006). Sebagaimana dinyatakan
oleh Brown (Suslu,2006), motivasi adalah istilah yang
digunakan untuk menentukan keberhasilan atau
kegagalan dari setiap tugas yang kompleks. Steers dan
Porter (Suslu, 2006) membahas motivasi berdasarkan
tiga hal yaitu : apa yang memberi energi pada perilaku
manusia, apa yang mengarahkan perilaku tersebut dan
bagaimana perilaku tersebut dipertahankan atau
berkelanjutan. Dalam hal ini motivasi dianggap
bertanggung jawab atas mengapa orang memutuskan
untuk melakukan sesuatu, berapa lama mereka
bersedia untuk menopang aktivitas dan seberapa keras
mereka akan mengejarnya.
Menurut kamus psikologi (Kartono & Gulo, 2003),
motivasi diartikan sebagai kontrol batiniah dari tingkah
laku, kondisi-kondisi fisiologis, minat, kepentingan,
sikap dan aspirasi serta merupakan kecenderungan
organism untuk melakukan sesuatu, yang dipengaruhi
oleh kebutuhan dan diarahkan kepada tujuan tertentu
yang telah direncanakan. Sama halnya dengan
pendapat yang dikemukakan oleh As'ad (2003),
menggunakan istilah motivasi dengan dorongan.
Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa
dan jasmani untuk berbuat sehingga motivasi tersebut
merupakan kekuatan yang menggerakkan manusia
untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu
mempunyai tujuan tertentu. Motivasi juga merupakan
55
daya penggerak atau pendorong gairah kerja individu
agar memiliki kemauan untuk bekerja keras (Hasibuan,
2003). Luthans (dalam Tella, 2007) menegaskan bahwa
motivasi adalah proses yang membangkitkan,
memberikan energi, mengarahkan, dan memelihara
perilaku dan kinerja. Artinya, itu adalah proses
merangsang orang untuk tindakan dan untuk
melaksanakan suatu tugas yang diinginkan. Salah satu
cara untuk merangsang orang adalah dengan
menggunakan motivasi secara efektif, yang membuat
pekerja lebih puas dengan dan berkomitmen untuk
pekerjaan mereka. Secara sederhana motivasi adalah
apa yang membuat kita berbuat, membuat kita tetap
berbuat dan menemukan kearah mana yang hendak
kita perbuat.
Sementara itu, Vroom (dalam Robbins, 1996)
memberikan definisi mengenai motivasi yaitu bahwa
motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin
dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan
bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang
diinginkannya. Robbins (2003), mendefinisikan
motivasi sebagai kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi ke arah tujuan organisasi,
yang dikondisikan oleh kemampuan upaya itu untuk
memenuhi sesuatu kebutuhan individual. Suatu
kebutuhan berarti sesuatu keadaan internal yang
menyebabkan hasil-hasil tertentu tampak menarik.
56
Suatu kebutuhan yang tidak terpuaskan
menciptakakan tegangan yang merangsang dorongan-
dorongan di dalam diri individu. Kemudian, dorongan-
dorongan tersebut menimbulkan suatu perilaku untuk
menemukan tujuan-tujuan tertentu yang jika tercapai,
akan memenuhi kebutuhan itu dan tegangan pun akan
berkurang (Robbins, 1996). Sejalan dengan hal
tersebut, Schifrman dan Kanuk (dalam Wijaya dkk,
2007) mendefinisikan motivasi sebagai daya gerak
dalam diri individu yang mendorongnya untuk
melakukan tindakan yang disebabkan oleh adanya
tegangan yang diakibatkan oleh belum terpenuhinya
suatu kebutuhan.
Motivasi merupakan suatu konsep yang sangat
kompleks dan sulit didefinisikan karena masing-masing
ahli memiliki pendapat sendiri berdasarkan aliran
masing-masing. Namun, dengan demikian penulis
menyimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan yang
timbul pada diri seseorang yang menyebabkan ia
melakukan sesuatu tindakan tertentu untuk memenuhi
kebutuhannya. Oleh karena itu, dalam dunia kerja
motivasi sangat diperlukan dan merupakan hal yang
penting karena dengan motivasi seseorang akan
terdorong untuk melakukan sesuatu lebih
bersemangat, lebih bergairah dan lebih efektif dalam
bekerja. Motivasi kerja diberi pertimbangan utama
dalam manajemen saat ini, karena hal tersebut
57
memberi sumbangan besar terhadap produktifitas kerja
dan tentunya terhadap prestasi kerja atau kinerja
seseorang (Wijono, 2007). Menurut Irwanto (dalam
Avianto, 2006) ada dua faktor yang mempengaruhi
motivasi yaitu :
1. Faktor internal, yaitu faktor yang mendorong,
mengarahkan dan menghentikan perilaku yang
berasal dari dalam diri individu, seperti harapan,
cita-cita dan emosi.
2. Faktor eksternal, yaitu faktor yang mendorong,
mengarahkan, mempertahankan dan
menghentikan perilaku yang berasal dari luar
individu, seperti pengaruh lingkungan dalam hal
ini pengaruh dari keluarga, teman-teman, suami,
dan sebagainya yang dapat berpengaruh terhadap
tinggi/rendahnya motivasi yang ada di dalam diri
individu tersebut.
Terkait dengan motivasi kerja tersebut, Robbins,
(2003) berpendapat bahwa motivasi kerja adalah
kesediaan untuk mengeluarkan tingkat upaya yang
tinggi untuk tujuan organisasi, yang dikondisikan oleh
kemampuan upaya untuk memenuhi sesuatu
kebutuhan individu. Senada dengan pendapat tersebut,
Munandar (2001), mengemukakan bahwa motivasi
kerja adalah suatu proses dimana kebutuhan-
kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan
serangkaian kegiatan yang mengarah kepada
58
tercapainya tujuan tertentu. Bila kebutuhan telah
terpenuhi maka akan dicapai suatu kepuasan.
Sekelompok kebutuhan yang belum terpuaskan akan
menimbulkan ketegangan, sehingga perlu dilakukan
serangkaian kegiatan untuk mencari pencapaian
tujuan khusus yang dapat memuaskan sekelompok
kebutuhan tadi, agar ketegangan menjadi berkurang.
Pinder, (dalam Lubis 2008) berpendapat bahwa
motivasi kerja merupakan seperangkat kekuatan baik
yang berasal dari dalam diri maupun dari luar diri
seseorang yang mendorong untuk memulai berperilaku
kerja, sesuai dengan format, arah, intensitas dan
jangka waktu tertentu. Menurut Anoraga (dalam
Kurniati, 2007) motivasi kerja dalam psikologi adalah
sebagai pendorong semangat kerja. Dengan demikian,
motivasi kerja merupakan kondisi psikologis yang
mendorong seseorang atau pegawai untuk
melaksanakan usaha atau kegiatan untuk mencapai
tujuan organisasi maupun tujuan individual, seperti
yang terlihat dalam bagan/gambar 2.1 pada halaman
berikut :
59
Gambar 2.1 Proses Motivasi
(sumber : Wijono,2007)
Bagan tentang proses motivasi dapat dijelaskan
sebagai berikut yaitu bahwa sekelompok kebutuhan
yang belum dipuaskan menciptakan suatu ketegangan
yang menimbulkan dorongan-dorongan untuk
melakukan serangkaian kegiatan (berperilaku mencari)
untuk mencapai dan menemukan tujuaan-tujuan
khusus yang akan memuaskan sekelompok kebutuhan
tadi yang berakibat terhadap berkurangnya ketegangan
(Munandar, 2001).
Selanjutnya, menurut Wijono (2007) motivasi
kerja yaitu kesungguhan atau usaha dari individu
untuk melakukan pekerjaannya guna mencapai tujuan
organisasi disamping tujuannya sendiri. Munandar
(2006) menyimpulkan motivasi kerja sebagai suatu
proses dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong
seseorang untuk melakukan serangkaian kegiatan yang
mengarah ke tercapainya tujuan tertentu. Sejalan
Ketegangan Dorongan-
dorongan Kelompok
kebutuhan yang
belum dipuaskan
Melakukan
serangkaian
kegiatan
(perilaku
mencari)
Tujuan telah
tercapai
(kebutuhan
yang telah
dipuaskan
Reduksi dari
ketegangan
60
dengan itu As’ad (2004) mengemukakan bahwa
motivasi kerja seseorang ikut menentukan besar
kecilnya prestasinya. Sehingga motivasi kerja
merupakan bagian yang penting dari kinerja. Motivasi
terdiri atas motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari
dalam diri seseorang. Selanjutnya motivasi ekstrinsik
adalah dorongan dari luar diri seseorang sehingga
melakukan sesuatu hal (Reece dan Brandt dalam
Wijaya dkk, 2007).
Berdasarkan definisi-definisi mengenai motivasi
dan motivasi kerja, maka yang dimaksud dengan
motivasi kerja dalam penelitian ini yaitu kondisi
psikologis yang mendorong seorang guru dalam
melakukan pekerjaannya sehingga dapat tercapai
tujuan pendidikan nasional dengan mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi yang dikondisikan dengan
kemampuan baik yang bersumber dari dalam diri
individu (motivasi intrinsik) maupun yang berasal dari
luar diri individu (motivasi ekstrinsik).
2.2.2 Self Determination Theory (SDT)
Konsep motivasi dalam berbagai literatur
seringkali ditekankan pada rangsangan yang muncul
dari seseorang baik dari dalam (motivasi intrinsik),
maupun dari luar (motivasi ekstrinsik). Hal ini
memberikan memberikan pemahaman mengenai
61
motivasi kerja sebagai suatu kondisi yang mendorong
individu baik yang bersifat internal maupun yang
bersifat eksternal dalam membangkitkan,
menggerakkan dan memelihara perilaku individu dalam
hubungannya dengan lingkungan dan kerja dengan
tujuan untuk mencapai keberhasilan, kesuksesan dan
kesempurnaan dalam bekerja (Siagian, 2004).
Locus of control merupakan salah satu konstruk
utama dari motivasi dimana terdapat dua tipe dari
locus of control tersebut yang dikenal sebagai internal
locus of control yang didefinisikan sebagai "keadaan
atau keyakinan bahwa perilaku seseorang menentukan
peristiwa kehidupan seseorang", dan external locus of
control yang dianggap sebagai "suatu keadaan dimana
seseorang merasa peristiwa berada di luar kendalinya"
(Suslu, 2006). Hal tersebut memiliki kaitan erat dengan
self determination theory (SDT).
SDT, merupakan teori makro dari motivasi
manusia yang dapat diaplikasikan dalam berbagai
bidang kehidupan seperti : pendidikan, organisasi,
olahraga, keperawatan, kesehatan dan latihan,
hubungan antar individu,pencapaian tujuan,
psikoterapi, kesehatan dan kesejahteraan psikopatologi
serta lingkungan. Teori ini awalnya dikembangkan oleh
Edward L. deci dan Richard M. Ryan di University of
Rochester, dan telah diuraikan dan disempurnakan
oleh para sarjana dari berbagai negara. SDT
62
mengartikulasikan suatu meta-teori untuk membingkai
studi mengenai motivasi, teori formal yang
mendefinisikan dan mendeskripsikan jenis motivasi
(motivasi ekstrinsik & intrinsik).
Dasar teori SDT ini berpusat pada suatu
keyakinan bahwa sifat manusia menunjukkan fitur
positif persisten, yang berulang kali menunjukkan
usaha dan komitmen dalam hidup mereka untuk
mencapai suatu pertumbuhan serta memiliki
kebutuhan psikologis bawaan yang merupakan dasar
untuk motivasi diri. SDT mendukung tiga kebutuhan
psikologis dasar manusia yaitu (Deci &
Vansteenkiste,2004) :
1. Autonomy (otonomi), yaitu dorongan bagi individu
untuk menjadi agen kausal hidup sendiri dan
bertindak selaras dengan salah satu integritas
diri dan tidak bergantung pada orang lain. Hal ini
berkaitan dengan kebutuhan untuk membuat
keputusan independen sehubungan dengan
bagian dalam hidup yang penting bagi individu
atau dengan kata lain yang berhubungan dengan
penentuan pilihan sendiri sebagai inisiator atas
tindakannya sendiri.
2. Competence (kompetensi), yaitu suatu usaha
untuk mengontrol hasil dan penguasaan
terhadap pengalaman. Dalam hal ini berarti
63
sukses di dalam tugas yang menantang dan
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan
3. Relatedness (keterkaitan), yaitu suatu kebutuhan
untuk membangun relasi dan berinteraksi
dengan orang lain, yang terkait dengan
membangun rasa menghormati dan keterkaitan
dengan orang lain.
Jika dikaitkan dengan penelitian ini maka
motivasi kerja berarti suatu tenaga atau daya yang ada
di dalam diri seseorang, yang mendorong munculnya
sebuah tindakan atau reaksi untuk bekerja yang
didasarkan pada kebutuhan psikologis, kebutuhan
kompetensi dan kebutuhan sosial untuk mencapai
tujuan dalam bekerja. Kebutuhan tersebut harus
dipenuhi untuk mencapai kesejahteraan dalam
kehidupan dan ketiga kebutuhan tersebut dapat
diterapkan secara bersama. Namun, beberapa mungkin
lebih menonjol daripada yang lain pada waktu tertentu
dan akan dinyatakan secara berbeda berdasarkan
waktu, budaya atau pengalaman. Hubungan dari ketiga
kebutuhan tersebut dapat dilihat melalui gambar
berikut :
64
Gambar 2.2
Basic of self-determination theory
(by Ryan R.M & Deci E.L,2000)
Kebutuhan-kebutuhan ini dilihat sebagai kebutuhan
universal yang bawaan, tidak diperoleh melalui proses
belajar, dan terlihat pada manusia, gender dan budaya
setiap waktu (Ryan,dkk 2003). Deci dan Vansteenkiste
(2004) menyatakan bahwa ada tiga elemen penting dari
teori ini:
1. Manusia pada dasarnya proaktif dengan potensi
mereka dan menguasai kekuatan batin mereka
(seperti dorongan dan emosi)
2. Manusia memiliki kecenderungan inheren
menuju pertumbuhan dan perkembangan fungsi
yang terintegrasi.
3. Pengembangan optimal dan tindakan yang
melekat pada manusia tetapi mereka tidak terjadi
secara otomatis.
Secara formal SDT terdiri dari lima sub-teori,
masing-masing dikembangkan untuk menjelaskan
65
seperangkat fenomena berdasarkan motivasi yang
muncul.
1. Cognitive Evaluation Theory (CET)
CET,merupakan teori yang dirancang untuk
menjelaskan efek dari konsekuensi eksternal pada
motivasi internal. Secara khusus, CET adalah teori
yang berfokus dan menyoroti peran penting yang
dimainkan oleh kompetensi dan otonomi, yang
mendukung pengembangan dari motivasi intrinsic dan
bagaimana motivasi intrinsik dipengaruhi oleh
kekuatan eksternal. Secara keseluruhan, CET
menyiratkan bahwa dalam kondisi yang melibatkan
tugas-tugas yang menarik atau umpan balik positif
umumnya merupakan kekuatan positif pada motivasi
intrinsik dan imbalan yang nyata dan yang diharapkan
adalah kekuatan negatif. CET menggunakan tiga
proposisi untuk menjelaskan bagaimana konsekuensi
mempengaruhi motivasi internal yaitu:
a. Peristiwa eksternal akan berdampak pada
motivasi intrinsik secara optimal dan menantang
pada kegiatan sampai pengaruh pada kompetensi
dirasakan, dalam konteks self-determination.
Peristiwa yang mempromosikan kompetensi yang
dirasakan lebih besar akan meningkatkan
motivasi intrinsik, sedangkan mereka yang
mengurangi kompetensi dirasakan akan
menurunkan motivasi intrinsik.
66
b. Acara relevan dengan inisiasi dan pengaturan
perilaku memiliki tiga aspek potensial, masing-
masing dengan fungsi yang signifikan. Aspek
informasi memfasilitasi lokus dianggap internal
kausalitas dan kompetensi yang dirasakan,
sehingga secara positif mempengaruhi motivasi
intrinsik. Aspek pengendalian memfasilitasi lokus
eksternal (persepsi seseorang terhadap penyebab
keberhasilan atau kegagalan), sehingga secara
negatif mempengaruhi motivasi intrinsik dan
ekstrinsik meningkatkan kepatuhan atau
menantang. Aspek amotivating memfasilitasi
ketidakmampuan dirasakan, dan merusak
motivasi intrinsik.
c. Peristiwa pribadi berbeda dalam aspek kualitatif
mereka, seperti peristiwa eksternal, dapat
memiliki makna fungsional yang berbeda.
Peristiwa-peristiwa yang dianggap internal akan
memfasilitasi dan mempertahankan atau
meningkatkan motivasi intrinsik. Peristiwa
dianggap internal mengontrol peristiwa
berpengalaman sebagai tekanan terhadap hasil
spesifik dan merusak motivasi intrinsik.
2. Organismic Integration Theory (OIT)
OIT, merupakan teori yang membahas topik
motivasi ekstrinsik dalam berbagai bentuknya, sifat
67
penentu dan konsekuensi. Secara garis besar motivasi
ekstrinsik adalah perilaku yang merupakan instrumen
yang bertujuan menuju hasil ekstrinsik untuk perilaku
itu sendiri. Namun ada bentuk-bentuk yang berbeda
dari perantaraan, yang meliputi peraturan eksternal,
introjeksi, identifikasi, dan integrasi. Subtipe motivasi
ekstrinsik dipandang sebagai kontinum internalisasi.
Semakin diinternalisasi motivasi ekstrinsik, semakin
otonom orang tersebut akan memberlakukan perilaku.
Lebih lanjut, OIT berkaitan dengan konteks sosial yang
meningkatkan atau mencegah internalisasi yaitu,
dengan melihat setiap kondisi individu baik yang
menolak, sebagian mengadopsi, atau dalam
internalisasi nilai-nilai, tujuan, atau sistem
kepercayaan. OIT terutama menyoroti dukungan bagi
otonomi dan keterkaitan yang penting bagi
internalisasi.
3. Causality Orientations Theory (COT)
Sub teori ketiga dari SDT ini menjelaskan
perbedaan individu terhadap kecenderungan untuk
mengarahkan lingkungan dan mengatur perilaku dalam
berbagai cara. COT menggambarkan dan menilai tiga
jenis orientasi kausalitas: orientasi otonomi dimana
orang bertindak karena minat dan menilai dari apa
yang terjadi; orientasi kontrol di mana fokusnya adalah
pada manfaat, keuntungan, dan persetujuan; dan
68
orientasi impersonal atau amotivated ditandai dengan
kecemasan tentang kompetensi.
4. Basic Psychological Needs Theory (BPNT)
Teori ini menguraikan konsep perkembangan
kebutuhan psikologis dan hubungannya dalam bidang
kesehatan psikologis dan kesejahteraan. BPNT
berpendapat bahwa kesejahteraan psikologis dan fungsi
optimal didasarkan pada otonomi, kompetensi dan
keterkaitan. Teori ini berpendapat bahwa ketiga
kebutuhan yaitu otonomi,kompetensi dan keterikatan
merupakan hal yang penting dan bahwa jika ada yang
digagalkan akan ada biaya fungsional yang berbeda.
Karena kebutuhan dasar merupakan aspek yang
memiliki fungsi universal, maka BPNT melihat
pengaturan lintas perkembangan dan lintas-budaya
untuk memvalidasi dan memperbaiki.
5. Goal Contents Theory (GCT)
Bertumbuh dari perbedaan antara tujuan
intrinsik dan ekstrinsik dan dampaknya pada motivasi
dan kesejahteraan, GCT melihat kepuasan kebutuhan
dasar sebagai hal yang berbeda terkait dengan
kesejahteraan. Tujuan ekstrinsik seperti kesuksesan
finansial, penampilan, dan popularitas / ketenaran
secara khusus kontras dengan tujuan intrinsik.
69
Selanjutnya, berdasarkan konsep motivasi kerja
dalam penelitian ini yaitu kondisi psikologis yang
mendorong seorang guru dalam melakukan
pekerjaannya sehingga dapat tercapai tujuan
pendidikan nasional dengan mengeluarkan tingkat
upaya yang tinggi yang dikondisikan dengan
kemampuan baik yang bersumber dari dalam diri
individu (motivasi intrinsik) maupun yang berasal dari
luar diri individu (motivasi ekstrinsik) maka,akan
dijelaskan lebih lanjut mengenai motivasi intrinsik dan
motivasi ekstrinsik.
1. Motivasi Intrinsik (Intrinsic Motivation)
Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah
motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak
perlu dirangsang dari luar, karena dalam setiap diri
individu sudah ada dorongan untuk melakukan
sesuatu. Selanjutnya, menurut Hennessey dan Amabile
(2005) yang dikutip oleh Oudejans (2007) menyatakan
bahwa motivasi instrinsik adalah motivasi untuk
melakukan atau bertindak untuk kepentingan sendiri
atau hanya untuk menikmati kegiatan tersebut.
Robbins (2003) menggambarkan bahwa hal tersebut
adalah keinginan untuk mengerjakan sesuatu yang
menarik, menantang dan memuaskan. Motivasi
intrinsik adalah kecenderungan bawaan dan alam
untuk melibatkan kepentingan, keterampilan dan
kemampuan individu oleh karena itu harus mencapai
70
peluang optimal (Deci & Ryan dalam Oudejans, 2007).
Deci dan Ryan (1985) yang dikutip oleh Oudejans
(2007) menyatakan bahwa motivasi ini datang dari
kecenderungan internal individu dan dapat
mengarahkan serta memotivasi perilaku tanpa
kehadiran kendala atau imbalan.
Dalam konteks dunia kerja, motivasi intrinsik
membuat individu benar-benar peduli terhadap
pekerjaannya, mencari cara terbaik untuk
mendapatkan pekerjaan dan berkomitmen untuk
melakukan yang terbaik untuk pekerjaan tersebut
(Thomas dalam Oudejans, 2007). Dengan kata lain
bahwa motivasi intrinsik membuat individu terikat dan
menjadi bagian dengan pekerjaan mereka. Lebih lanjut
motivasi intrinsik mengacu pada melakukan sesuatu
karena pekerjaan itu sendiri adalah sesuatu hal yang
menarik atau menyenangkan (Deci & Ryan 2000).
Ketika individu termotivasi secara intrinsik, maka ia
akan bergerak untuk mengatasi tantangan dengan
menikmati pekerjaan bukan berfokus pada imbalan
yang akan diperoleh. Motivasi intrinsik dikaitkan
dengan cognitive evaluation theory (CET), yang
menentukan bahwa seseorang tidak akan
meningkatkan motivasi intrinsik kecuali jika disertai
oleh rasa otonomi. Otonomi digambarkan sebagai
derajat dimana seseorang merasa mereka memiliki
kebebasan dan dapat menggunakan kebijaksanaan
71
mereka untuk menjadwalkan pekerjaan dan
memutuskan bagaimana untuk menyelesaikannya
(Deci & Ryan, 2000).
Berdasarkan definisi mengenai motivasi intrinsik
yang telah dikemukakan maka dalam penelitian ini
yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah
dorongan dari dalam diri guru dalam melakukan
pekerjaan dan menciptakan suatu kondisi dimana guru
merasa menjadi bagian dari tugas yang dikerjakan
karena pekerjaan tersebut adalah sesuatu yang
menarik atau menyenangkan.
2. Motivasi Ekstrinsik (Extrinsic Motivation)
Secara garis besar motivasi ekstrinsik adalah
perilaku yang bertujuan untuk memperoleh instrument
dari perilakunya. Lebih lanjut motivasi ekstrinsik
mengacu pada kinerja suatu aktivitas disebabkan
karena aktivitas mengarah pada beberapa penghargaan
eksternal dengan kata lain bahwa motivasi ekstrinsik
cenderung melihat kepada apa yang diberikan oleh
organisasi kepada mereka dan kinerjanya diarahkan
kepada perolehan hal – hal yang diinginkannya dari
organisasi (Ryan & Deci, 2000).
Hennessey dan Amabile (dalam Oudejans, 2007)
menggambarkan bahwa motivasi ekstrinsik adalah
motivasi untuk melakukan sesuatu untuk memastikan
bahwa beberapa tujuan eksternal dicapai atau bahwa
72
beberapa kendala eksternal yang ditetapkan terpenuhi.
Perilaku yang termotivasi oleh dorongan ekstrinsik
adalah tindakan yang menyebabkan pencapaian
penghargaan yang eksternal, termasuk harta benda,
gaji, bonus tambahan, umpan balik positif dan evaluasi
dari orang lain, tunjangan, dan prestise (Ryan dan Deci,
2000b). Deci dan Ryan mengembangkan Organismic
Integration Theory (OIT) sebagai sub-teori SDT, untuk
menjelaskan berbagai cara di mana perilaku dari
motivasi ekstrinsik diatur dan untuk membahas lebih
lanjut empat gaya regulasi motivasi ekstrinsik, sebagai
berikut : (a) amotivation, yang merupakan keadaan
kurang memiliki intensi untuk bertindak; (b) eksternal
regulasi (external regulation), di mana perilaku
dilakukan untuk memenuhi permintaan eksternal atau
memperoleh imbalan eksternal dikenakan kontingensi
(c) peraturan introjected, yang mengacu pada
internalisasi parsial di mana peraturan eksternal yang
diambil oleh individu tetapi peraturan tersebut tidak
diterima sepenuhnya oleh individu. Hal ini adalah jenis
perilaku di mana orang merasa termotivasi untuk
menunjukkan kemampuan untuk mempertahankan
nilai diri. (d) identifikasi, yang mengacu pada
internalisasi lebih lengkap di mana orang
mengidentifikasi dengan nilai perilaku dan menerima
sebagai miliknya sendiri; (e) motivasi terintegrasi,
menginternalisasi alasan untuk tindakan dan asimilasi
73
diri, ketika tindakan termotivasi ekstrinsik menjadi
terpadu dan sekaligus menjadi sumber penentuan diri
(Wang, 2008).
Dari beberapa penjelasan mengenai motivasi
ekstrinsik maka dalam penelitian ini yang dimaksud
dengan motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang
berasal dari luar diri guru dan tingkah laku yang
mendorong guru tersebut mengacu pada kinerja suatu
aktivitas disebabkan karena aktivitas mengarah pada
beberapa penghargaan eksternal dengan kata lain
bahwa motivasi eksternal cenderung melihat kepada
apa yang diberikan oleh organisasi kepada mereka dan
kinerjanya diarahkan kepada perolehan hal-hal yang
diinginkannya dari organisasi.
2.2.3 Dimensi Motivasi Kerja
Menurut Maslow (dalam Wijono, 2010) ada lima
dimensi motivasi manusia yang ditunjukkan dalam
lima tingkat kebutuhan yang akan dicapai menurut
kepentingannya sebagai berikut :
1. Kebutuhan Fisiologis merupakan kebutuhan
akan makan, minum, pernapasan seperti juga
tidur dan seks.
2. Kebutuhan Keamanan, merupakan kebutuhan
akan perlindungan, kestabilan, ketergantungan,
bebas dari rasa takut dan ancaman.
74
3. Kebutuhan Sosial, merupakan kebutuhan akan
kasih sayang, kebutuhan untuk berhubungan
dengan orang lain, perhatian dari seseorang.
4. Kebutuhan Harga Diri, merupakan kebutuhan
akan kekuasaan, berprestasi, kekuatan, nama
baik, status dan pengakuan serta penghargaan
dari orang lain.
5. Kebutuhan Aktualisasi Diri, merupakan
kebutuhan untuk mewujudkan diri sebagai
seseorang yang unik.
Vroom (dalam Wijono, 2010) mengemukakan
aspek-aspek motivasi kerja berdasarkan teori
pengharapan adalah sebagai berikut:
1. Valence, yaitu suatu dorongan yang dapat
membuat individu menginginkan sesuatu
ganjaran pada waktu dirinya melakukan suatu
kegiatan dalam pekerjaannya. Hal ini
menunjukkan suatu ekspresi dimana individu
mempunyai keinginan untuk mencapai tujuan
pada waktu dia bekerja. Setiap individu memiliki
valence yang berbeda dari setiap pekerjaan
mereka.
2. Expectancy, yaitu keyakinan bahwa perbuatan
akan mengakibatkan tercapainya tujuan.
Hasibuan (2003) menyatakan bahwa expectancy
merupakan suatu kesempatan yang diberikan
akan terjadi karena perilaku. Harapan dapat
75
diketahui dari tingkat kuat atau tidaknya usah
yang dilakukan oleh seseorang selama
melakukan kegiatan dalam pekerjaannya.
3. Instrumentaly, yaitu adanya sarana dalam rangka
pencapaian hasil yang diinginkan, mencangkup
fasilitas yang diberikan oleh organisasi dan
adanya jaminan kerja. Hasibuan (2001)
menyatakan apabila individu percaya bahwa
dengan prestasinya akan memperoleh hasil yang
memiliki daya tarik, maka ia akan berupaya
untuk berprestasi (instrumentality).
Selanjutnya, Deci & Ryan (2000) dalam Self-
Determination Teory (SDT), mengemukakan dimensi
motivasi kerja meliputi dua hal yaitu :
1. Motivasi intrinsik, adalah dorongan dari dalam
diri guru dalam melakukan pekerjaan dan
menciptakan suatu kondisi dimana guru merasa
menjadi bagian dari tugas yang dikerjakan
karena pekerjaan tersebut adalah sesuatu yang
menarik atau menyenangkan.
2. Motivasi eksternal, dorongan yang berasal dari
luar diri guru dan tingkah laku yang mendorong
guru tersebut mengacu pada kinerja suatu
aktivitas disebabkan karena aktivitas mengarah
pada beberapa penghargaan eksternal dengan
kata lain bahwa motivasi eksternal cenderung
melihat kepada apa yang diberikan oleh
76
organisasi kepada mereka dan kinerjanya
diarahkan kepada perolehan hal – hal yang
diinginkannya dari organisasi.
Mengacu pada dimensi motivasi kerja yang telah
dikemukakan para ahli di atas, maka acuan dimensi
motivasi kerja yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berdasarkan dimensi motivasi kerja yang
dikemukakan oleh Deci dan Ryan (2000), dengan
pertimbangan bahwa dimensi yang dikemukakan
sesuai dengan konsep motivasi kerja yang digunakan
dalam penelitian ini dan dimensi tersebut mencangkup
keseluruhan aspek dalam diri individu dalam bekerja
yaitu tidak hanya aspek internal atau eksternal saja
tetapi mencangkup keduanya.
2.2.4 Peran Motivasi Kerja Terhadap Kinerja
Dalam dunia kerja motivasi sangat diperlukan
dan merupakan hal yang penting karena dengan
motivasi seseorang akan terdorong untuk melakukan
sesuatu lebih bersemangat, lebih bergairah dan lebih
efektif dalam bekerja. Motivasi kerja diberi
pertimbangan utama dalam manajemen saat ini,
karena hal tersebut memberi sumbangan besar
terhadap produktifitas kerja dan tentunya terhadap
prestasi kerja atau kinerja seseorang (Wijono, 2007).
Motivasi kerja secara umum dapat diidentifikasikan
sebagai serangkaian kekuatan penggerak yang muncul
77
dari dalam dan diluar diri masing-masing individu.
Kedua kekuatan itu menimbulkan minat kerja dan
berhubungan dengan tingkah laku dan menentukan
arah, intensitas dan durasi dari tingkah laku atau
kebiasaan individual.
Winardi (dalam Trihandini, 2005) mengemukakan
bahwa faktor-faktor yang memengaruhi kinerja dapat
dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi motivasi,
pendidikan, kemampuan, keterampilan dan
pengetahuan dimana kesemuanya tersebut bisa di
dapat dari pelatihan. Faktor ekstrinsik meliputi
lingkungan kerja, kepemimpinan, hubungan kerja dan
gaji. Guru yang memiliki motivasi tinggi akan berusaha
untuk memberikan yang terbaik yang bisa
dilakukannya, karena ia mempunyai komitmen yang
tinggi terhadap panggilan profesinya. Guru bekerja
tidak hanya karena ingin dipuji atau untuk
mendapatkan imbalan, tetapi lebih dari itu karena
tuntutan profesinya. Implikasi terhadap hal-hal yang
telah diuraikan menunjukan bahwa tanpa motivasi
terhadap kerja,keahlian atau usaha untuk bekerja
seseorang tidak dapat meningkatkan kinerjanya.
Menurut Tosi dan Carrol (dalam Wijono, 2007) motivasi
dengan kinerja merupakan satu hubungan yang
kompleks.
78
2.3 Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)
2.3.1 Definisi dan Konsep Kecerdasan Spiritual
(Spiritual Quotient)
Pada masa kini orang mulai mengenal istilah
kecerdasan lain disamping kedua kecerdasan yang
sudah banyak dikenal yaitu Intelectual Quotient (IQ) dan
Emotional Quotient (EQ), yaitu kecerdasan spiritual atau
Spiritual Quotient (SQ). Spiritual berasal dari bahasa
Latin spiritus yang berati prinsip yang memvitalisasi
suatu organisme. Sedangkan, spiritual dalam SQ
berasal dari bahasa Latin sapientia (sophia) dalam
bahasa Yunani yang berati ’kearifan’ (Zohar dan
Marshall, 2002). Kecerdasan spiritual memungkinkan
seseorang untuk berpikir kreatif, berwawasan jauh,
membuat atau bahkan mengubah aturan, yang
membuat orang tersebut dapat bekerja lebih baik.
Secara singkat kecerdasan spiritual mampu
mengintegrasikan dua kemampuan lain yang
sebelumnya telah disebutkan yaitu IQ dan EQ (Idrus
dalam Trihandini, 2005).
Emmons (dalam Amran, 2009) berpendapat
bahwa spiritualitas adalah salah satu bentuk
kecerdasan. Kecerdasan spiritual dapat didefinisikan
sebagai kemampuan untuk menciptakan makna
berdasarkan pemahaman yang mendalam tentang
pertanyaan eksistensial, dan kesadaran dan
kemampuan untuk menggunakan beberapa tingkat
79
kesadaran dalam pemecahan masalah (Vaughan, dalam
Amran 2009). Selanjutnya, Halama dan Strizenec
(dalam Amran, 2009) berdasarkan teori Gardner
mendefinisikan kecerdasan eksistensial sebagai
kemampuan untuk menemukan dan menyadari arti
dalam hidup. Seperti disebutkan sebelumnya,
kemampuan untuk menciptakan dan mewujudkan
yang berarti juga merupakan komponen kunci dari
kecerdasan spiritual. Oleh karena itu, Halama dan
Strizenec melihat eksistensial dan kecerdasan spiritual
sebagai sesuatu yang non-identik tetapi saling terkait.
Zohar dan Marshal (2002) mendefinisikan
kecerdasan spiritual sebagai rasa moral, kemampuan
menyesuaikan aturan yang kaku dibarengi dengan
pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk
melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada
batasannya, juga memungkinkan kita bergulat dengan
ihwal baik dan jahat, membayangkan yang belum
terjadi serta mengangkat kita dari kerendahan.
Kecerdasan tersebut menempatkan perilaku dan hidup
individu untuk menghadapi dan memecahkan
persoalan makna dan nilai, yaitu menempatkan
perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna
yang lebih luas dan kaya, serta menilai bahwa tindakan
atau jalan hidup seseorang lebih bermakna
dibandingkan dengan yang lain (Zohar & Marshall,
2002). Menurut Amran (2009), kecerdasan spiritual
80
sebagai kemampuan untuk menciptakan makna
berdasarkan pemahaman yang mendalam tentang
pertanyaan eksistensial, kesadaran dan kemampuan
menggunakan beberapa tingkat dalam pemecahan
masalah. Menurut Cacioppe (2000) yang di kutip oleh
Boone (2010) memberikan konsep mengenai
spiritualitas sebagai penemuan makna, nilai, atau
tujuan hidup seseorang dalam bekerja. Kemudian, King
(2008) mendefinisikan sebagai sekumpulan kapasitas
mental adaptif yang mana didasarkan pada aspek-
aspek non material dan transenden dari realitas, secara
khusus yang berhubungan dengan natur dari
eksistensi seseorang, makna pribadi, transendensi dan
pengembangan tingkat kesadaran.
Selanjutnya, Eckersley (dalam Trihandini, 2005)
memberikan pengertian yang lain mengenai kecerdasan
spiritual. Kecerdasan spiritual didefinisikan sebagai
perasaan intuisi yang dalam terhadap keterhubungan
dengan dunia luas didalam hidup kita.Kecerdasan
spiritual membuat seseorang menghasratkan motivasi-
motivasi yang lebih tinggi dan membuatnya bertindak
dengan motivasi-motivasi ini. Dalam evolusi manusia,
pencarian akan maknalah yang menggerakkan otak
seseorang untuk mengembangkan bahasa. Dalam
evolusi masyarakat, pencarian akan makna dan nilai-
nilai mendalamlah yang menyebabkan seseorang
menyeleksi para pemimpin terbaik bagi kelompoknya.
81
Pencarian kecerdasan spiritual akan makna, tujuan,
dan nilai-nilai yang lebih agung membuat seseorang
tidak puas dengan apa yang telah tersedia, dan
mengilhaminya untuk mencipta lebih banyak lagi.
Kecerdasan spiritual juga mendorong seseorang untuk
tumbuh dan berkembang sebagai sebuah budaya.
Kecerdasan spiritual menyediakan satu jenis wawasan
dan pemahaman nirbatas mengenai keseluruhan
sebuah situasi, sebuah masalah, atau mengenai
keseluruhan eksistensi itu sendiri. Kecerdasan spiritual
membuat seseorang mengetahui atau menemukan
kedalaman atau arti penting dari segala sesuatu (Zohar
dan Marshall, 2002).
Dalam dunia kerja, spiritual dipandang tentang
bagaimana individu melihat pekerjaan mereka sebagai
jalan spiritual, sebagai kesempatan untuk bertumbuh
secara pribadi dan memberikan kontribusi kepada
masyarakat dengan cara yang berarti. Hal ini adalah
tentang belajar untuk menjadi lebih peduli dan penuh
kasih dengan sesama rekan kerja, atasan, murid-murid
disekolah, orang tua murid dan masyarakat.
Kecerdasan spiritualitas merupakan perjalanan menuju
integrasi kerja dan spiritualitas, bagi individu dan
organisasi, yang memberikan arah, keutuhan dan
keterhubungan di tempat kerja (Gibbons dalam Neal,
1997).
82
Konsep mengenai kecerdasan spiritual dalam
hubungannya dengan dunia kerja, menurut Ashmos
dan Duchon (2000) memiliki tiga komponen yaitu
kecerdasaan spiritual sebagai nilai kehidupan dari
dalam diri, sebagai kerja yang memiliki arti dan
komunitas. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
jiwa. Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan yang
membuat seseorang menjadi utuh, sehingga dapat
mengintegrasikan berbagai fragmen kehidupan,
aktifitas dan keberadaannya. Kecerdasan spiritual
memungkinkan seseorang dapat mengetahui apa
sesungguhnya dirinya dan organisasinya. Kecerdasan
spiritual membuat persentuhan dengan sisi dalam
keberadaan seseorang dan dengan mata air
potensialitasnya. Kecerdasan spiritual memungkinkan
lahirnya wawasan dan pemahaman untuk beralih dari
sisi dalam itu ke permukaan keberadaan seseorang,
tempat seseorang bertindak, berpikir, dan merasa.
Kecerdasan spiritual juga menolong seseorang untuk
berkembang. Lebih dari sekedar melestarikan apa yang
diketahui atau yang telah ada, kecerdasan spiritual
membawa seseorang pada apa yang tidak diketahui dan
pada apa yang mungkin. Cacioppe (dalam Boone,2010)
mendefinisikan spiritualitas sebagai penemuan makna,
nilai, atau tujuan hidup seseorang dan bekerja.
Berdasarkan konsep dan definisi mengenai
kecerdasan spiritual maka yang dimaksud dengan
83
kecerdasan spiritual dalam penelitian ini adalah
sebagai satu rangkaian kapasitas mental yang
merupakan perasaan terhubungkan dengan diri
sendiri, orang lain dan alam semesta secara utuh,
mengarah kepada hasil seperti refleksi eksistensial
mendalam, peningkatan makna, pengakuan transenden
diri, dan pengembangan penguasaan kesadaran.
2.3.2 Dimensi Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk
menghadapi persoalan serta menempatkan perilaku
dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas
dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan
atau jalan hidup sesorang lebih bernilai dan bermakna.
Menurut Zohar dan Marshall (2002), ada beberapa
indikasi dari kecerdasan spiritual yang telah
berkembang dengan baik yang mencakup:
1. Kemampuan untuk bersikap fleksibel, yaitu
mampu menempatkan diri dan mampu menerima
pendapat orang lain secara terbuka.
2. Adanya tingkat kesadaran diri yang tinggi, yaitu
kemampuan untuk mengetahui visi dan tujuan
hidup.
3. Kemampuan untuk menghadapi dan
memanfaatkan penderitaan, yaitu kemampuan
untuk bersikap tenang dan mampu menerima
tanpa adanya penyesalan.
84
4. Kemampuan untuk menghadapi dan melampaui
perasaan sakit, yaitu keikhlasan dalam menerima
segala sesuatu.
5. Kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-
nilai, yaitu memiliki prinsip dan pegangan dalam
hidup.
6. Keengganan untuk menyebabkan kerugian yang
tidak perlu, yaitu tidak suka menunda pekerjaan
dan berpikir sebelum bertindak.
7. Kecenderungan untuk berpandangan holistik,
yaitu kemampuan untuk berfikir logis dan
bertindak sesuai norma dalam masyarakat.
8. Kecenderungan untuk bertanya “mengapa” atau
“bagaimana jika” dan berupaya untuk mencari
jawaban-jawaban yang mendasar, yaitu
kemampuan untuk berimajinasi dan mau
mencoba hal yang baru.
9. Memiliki kemudahan untuk bekerja melawan
konvensi, yaitu bekerja mandiri dan
bertanggungjawab penuh terhadap tugas.
Menurut Neal (1997, ada empat aspek atau
dimensi manusia dalam dunia kerja yaitu :
1. Dimensi fisik yaitu kemampuan seseorang untuk
merawat tubuh guna mendapatkan kesejahteraan
fisik.
85
2. Dimensi mental yaitu kemampuan seseorang
untuk berpikir jernih, belajar, dan membuat
keputusan yang baik.
3. Dimensi emosional yaitu kemampuan seseorang
untuk menciptakan hubungan yang positif dan
menangani situasi yang sulit.
4. Dimensi spiritual yaitu kemampuan seseorang
untuk melihat bahwa ada sesuatu yang lebih
besar dari diri kita sendiri serta kemampuan
untuk melayani orang lain.
Selanjutnya, Amran (2009) mengemukakan 7
(tujuh) aspek dalam kecerdasan spiritual yaitu :
1. Consciousness : Menggunakan berbagai praktek
untuk mengembangkan dan memperbaiki
kualitas kesadaran atau spiritual
2. Grace : Hidup selaras dengan suci, mewujudkan
kepercayaan dan cinta untuk hidup yang
berdasarkan syukur, keindahan dan sukacita.
3. Meaning : Mengalami signifikansi dalam kegiatan
sehari-hari melalui rasa tujuan dan pelayanan,
termasuk dalam menghadapi rasa sakit dan
penderitaan.
4. Transcendence : Di luar diri egoic terpisah
menjadi suatu keutuhan yang saling
berhubungan,termasuk pandangan dunia holistik
dan membina hubungan manusia melalui empati,
kasih sayang, cinta kasih
86
5. Truth : Hidup dalam keterbukaan, pengampunan
keingintahuan penerimaan, dan kasih terhadap
semua yang ada (semua penciptaan), termasuk
penghargaan terhadap kearifan tradisi spiritual
ganda.
6. Peaceful Surrender : Secara damai menyerah
kepada diri yang lebih tinggi (Tuhan, Kebenaran,
Absolut, atau benar
alam), termasuk penerimaan diri, batin-
keutuhan, keseimbangan batin, kerendahan hati
dan egolessness.
7. Inner-Directedness : kebebasan batin yang selaras
dalam tindakan bijaksana yang bertanggung
jawab.
Kecerdasan spiritual merupakan perasaan
terhubungkan dengan diri sendiri, orang lain dan alam
semesta secara utuh. Pada saat orang bekerja, maka ia
dituntut untuk mengarahkan intelektualnya, tetapi
banyak hal yang membuat seseorang senang dengan
pekerjaannya. Seorang pekerja dapat menunjukkan
kinerja yang prima apabila ia sendiri mendapatkan
kesempatan untuk mengekspresikan seluruh potensi
diri sebagai manusia. Hal tersebut akan dapat muncul
bila seseorang dapat memaknai setiap pekerjaannya
dan dapat menyelaraskan antara emosi, perasaan dan
otak. Kecerdasan spiritual mengajarkan orang untuk
mengekspresikan dan memberi makna pada setiap
87
tindakannya, sehingga bila ingin menampilkan kinerja
yang baik maka dibutuhkan kecerdasan spiritual
(Munir, dalam Trihandini 2005). Oleh karena itu
berdasarkan definisi mengenai kecerdasan spiritual
yang telah dikemukakan, maka dalam penelitian ini
akan menggunakan aspek-aspek kecerdasan spiritual
yang dikemukakan oleh King (2008) yang meliputi :
1. Pemikiran kritis eksistensial (Critical Existential
Thinking), yang diartikan sebagai kesadaran
eksistensial atau keberadaan artinya kapasitas
untuk secara kritis merenungkan makna, tujuan
dan isu-isu eksistensial/metafisika lainnya
(seperti keberadaan, realitas, kematian dan alam
semesta); dan datang pada kesimpulan-
kesimpulan eksistensial original atau filosofi; juga
kapasitas untuk merenungkan isu-isu non-
eksistensial dalam hubungan dengan eksistensi
seseorang (artinya dari sebuah perspektif
eksistensial)
2. Hasil pemaknaan pribadi (Personal Meaning
Production), sebagai kesadaran tentang makna
dan tujuan hidup, yakni kesanggupan untuk
memperoleh makna pribadi dan tujuan dari
semua pengalaman fisikal dan mental, termasuk
kapasitas untuk menciptakan dan menguasai
(artinya hidup menurut) sebuah tujuan
kehidupan.
88
3. Kesadaran transedental (Transcendental
Awareness), diartikan sebagai pandangan holistik
terhadap berbagai hal dalam hidup dan
pandangan yang melampaui keadaan fisik;
adalah kapasitas untuk mengidentifikasi dimensi
transenden/gambar diri (artinya sebuah
transpersonal atau diri transenden), orang lain
dan dunia fisikal (seperti holisme,
nonmaterialisme) selama keadaan normal dari
kesadaran, disertai oleh kapasitas untuk
mengidentifikasikan hubungan semua itu
terhadap diri dan dunia fisikal.
4. Ekspansi keadaan kesadaran (Conscious State
Expansion), dimengerti sebagai kesadaran yang
lebih tinggi dalam dimensi spiritual yakni
kesanggupan untuk memasuki dimensi spiritual
yang lebih dalam atau lebih tinggi (seperti pada
saat perenungan yang dalam atau refleksi,
meditasi, saat teduh, doa dan sebagainya).
2.3.3 Peran Kecerdasan Spiritual Terhadap Kinerja
Kecerdasan spiritual merupakan perasaan
terhubungkan dengan diri sendiri, orang lain dan alam
semesta secara utuh (King,2008). Pada saat orang
bekerja, maka ia dituntut untuk mengarahkan
intelektualnya, tetapi banyak hal yang membuat
seseorang senang dengan pekerjaannya. Seorang
89
pekerja dapat menunjukkan kinerja yang prima apabila
ia sendiri mendapatkan kesempatan untuk
mengekspresikan seluruh potensi diri sebagai manusia.
Hal tersebut akan dapat muncul bila seseorang dapat
memaknai setiap pekerjaannya dan dapat
menyelaraskan antara emosi, perasaan dan otak.
Kecerdasan spiritual mengajarkan orang untuk
mengekspresikan dan memberi makna pada setiap
tindakannya, sehingga bila ingin menampilkan kinerja
yang baik maka dibutuhkan kecerdasan spiritual
(Munir dalam Trihandini, 2005).
Kinerja merupakan suatu konsep yang bersifat
universal yang merupakan efektifitas operasional suatu
organisasi, bagian organisasi, dan karyawannya
berdasarkan standar dan kriteria yang telah ditetapkan
sebelumnya. Organisasi pada dasarnya dijalankan oleh
manusia maka kinerja sesungguhnya merupakan
perilaku manusia dalam memainkan peran yang
mereka lakukan di dalam suatu organisasi untuk
memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan agar
membuahkan hasil dan tindakan yang diinginkan
(Winardi dalam Trihandini, 2005). Maksud dan tujuan
kinerja adalah menyusun sasaran yang berguna, tidak
hanya bagi evaluasi kinerja pada akhir periode tertentu,
melainkan hasil proses kerja sepanjang periode
tersebut (Simamora, 1997).
90
Dalam melaksanakan pekerjaan, seseorang yang
bekerja memiliki dua kekuatan besar yakni kekuatan
fisik dan kekuatan mental psikologis. Kekuatan mental
psikologis yang dimaksudkan dalam penelitian ini
adalah salah satu ragam kecerdasan yang dimiliki oleh
seseorang yaitu kecerdasan spiritual. Para ahli
menyatakan bahwa kecerdasan spiritual dapat ikut
berperan dalam menentukan keberhasilan sesorang
dalam mencapai kinerja yang tinggi (Khairuddinn &
dkk, 2011). Kecerdasan spiritual juga mengajarkan
orang untuk mengekspresikan dan memberi makna
pada setiap tindakannya, sehingga bila ingin
menampilkan kinerja yang baik maka dibutuhkan
kecerdasan spiritual (Zohar & Marshall, 2002). Lebih
lanjut Zohar dan Marshall (2002) menyatakan bahwa
kecerdasan spiritual merupakan suatu kemampuan
bawaan dari otak dan dari hubungan individu dengan
realitas termasuk dengan pekerjaan. Jika dikaitkan
dengan kinerja guru, maka dapat dikatakan bahwa
guru sebagai tenaga profesional yang bertanggungjawab
dan memiliki peran yang sangat penting dalam
peningkatan mutu pendidikan diharapkan mampu
menggunakan kecerdasan spiritualnya sehingga apa
yang dikerjakan menjadi lebih berarti dan dapat
memberikan sesuatu yang lebih bermakna terhadap
apa yang dikerjakan.
91
2.4 Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian sebelumnya yang mendasari
penelitian ini mengenai motivasi kerja dengan kinerja
guru adalah penelitian yang dilakukan oleh Kurniati
(2007) mengenai Pengaruh Supervisi Kepala Sekolah
dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Guru SMK Negeri 1
Purbalingga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
motivasi kerja berpengaruh terhadap kinerja,
ditunjukkan dari p value = 0,001 ≤ 0,05. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi kerja
akan diikuti dengan tingginya kinerja guru, begitu
sebaliknya. Besarnya motivasi kerja terhadap kinerja
mencapai 20,7% Sunarno (2005) tentang pengaruh
motivasi kerja, kepemimpinan kepala sekolah dan
lingkungan kerja terhadap kinerja guru di SMK Negeri
kota Tegal menunjukkan bahwa motivasi kerja sendiri
berpengaruh terhadap kinerja Guru. Implikasi terhadap
hal-hal yang telah diuraikan menunjukan bahwa tanpa
motivasi terhadap kerja,keahlian atau usaha untuk
bekerja seseorang tidak dapat meningkatkan
kinerjanya. Susanto (dalam Sunarno, 2005) yang
menunjukkan adanya hubungan antara motivasi kerja
dan kepuasan kerja terhadap kinerja adalah kuat,
dengan perolehan besarnya R = 0,677. Hal ini berarti
bahwa semakin tinggi motivasi kerja Guru dapat
berpengaruh positif bagi peningkatan kerjanya.
Berdasarkan uraian di atas, terdapat penelitian
92
yang menunjukkan bahwa motivasi kerja tidak
memiliki hubungan serta pengaruh dengan kinerja
seseorang. Hal ini dapat terjadi oleh karena motivasi
merupakan salah satu karakteristik individu yang sulit
untuk diukur, kemudian keterbatasan instrumen
untuk dapat mengukur dengan tepat variabel motivasi
kerja serta adanya faktor lain yang mempengaruhi
kinerja. Guru yang profesional akan tercermin dalam
pelaksanaan pengabdian tugas-tugas yang ditandai
dengan keahlian baik dalam materi maupun metode.
Selain itu, guru yang profesional juga mempunyai
tanggungjawab pribadi, sosial , intelektual, moral dan
spiritualitas. Tanggungjawab spiritual dan norma
diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk
beragama yang perilakunya senantiasa tidak
menyimpang dari norma-norma agama dan moral
(dalam Riduwan, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Wiersma (dalam
Trihandini, 2005) memberikan suatu bukti bagaimana
kecerdasan spiritual berpengaruh terhadap dunia kerja.
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui
peran kecerdasan spiritual terhadap perilaku
pengembangan karir. Studi kualitatif yang dilakukan
menunjukan hasil bahwa kecerdasan spiritual
memberikan pengaruh terhadap tujuan seseorang
mencapai puncak pada pengembangan karir dalam
dunia kerja. Sejalan dengan hal itu, hasil penelitian
93
Trihandini (dalam Waryanti, 2011) menyimpulkan
bahwa kecerdasan spiritual memiliki pengaruh yang
nyata terhadap kinerja karyawan. Selanjutnya,
Trihandini (2005) dalam penelitiannya mengenai
pengaruh kecerdasan intelektual,kecerdasan emosi dan
kecerdasan spiritual terhadap kinerja karyawan
memberikan hasil baik secara parsial maupun secara
simultan berpengaruh terhadap kinerja. Seseorang
yang membawa makna spiritualitas dalam kerjanya
akan merasakan hidup dan pekerjaannya lebih berarti.
Hal ini mendorong dan memotivasi dirinya untuk lebih
meningkatkan kinerja yang dimilikinya, sehingga dalam
karir ia dapat berkembang lebih maju. Hasil penelitian
ini sama dengan apa yang pernah dilakukan Biberman
dan Whittney (dalam Trihandini, 2005). Mereka
mengemukakan hubungan antara kecerdasan spiritual
dengan pekerjaan. Kecerdasan spiritual ternyata
memberikan pengaruh pada tingkah laku seseorang
dalam bekerja. Berkaitan dengan peran kecerdasan
spiritual dengan kinerja guru dibuktikan dalam
penelitian yang dilakukan oleh Syamiah (2010), hasil
penelitian berdasarkan hipotesis dan rumusan masalah
bahwa kecerdasan spiritual dan kinerja guru SMAN 3
Cirebon sangat tinggi, dan kecerdasan spiritual sangat
berperan terhadap kinerja guru. Hal tersebut
dibuktikan dengan nilai indeks masing-masing dan
keduanya mempunyai pengaruh yang sedang satu
94
sama lain. Dan kecerdasan spiritual berperan 29,2%
terhadap kinerja guru SMAN 3 Cirebon.
Selanjutnya, pengaruh secara simultan yang
signifikan antara kecerdasan intelektual, kecerdasan
emosional, kecerdasan spiritual, motivasi ekstrinsik
dan motivasi intrinsik dengan kinerja guru
dikemukakan dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Khairuddin,dkk (2011). Jadi, berdasarkan uraian
penelitian-penelitian di atas, diketahui bahwa telah
ditemukan penelitian mengenai motivasi kerja,
kecerdasan spiritual serta kinerja, secara parsial antara
motivasi kerja dengan kinerja, dan kecerdasan spiritual
dengan kinerja. Begitupula penelitian yang secara
simultan antara motivasi kerja dan kecerdasan spiritual
terhadap kinerja. Namun, kemudian diketahui adanya
pro kontra mengenai pengaruh motivasi kerja terhadap
kinerja. Oleh karena, sebagian besar penelitian yang
dilakukan di atas, responden dalam penelitian adalah
pegawai atau karyawan sehingga perlu untuk
dilakukan penelitian terhadap guru. Penelitian
mengenai motivasi kerja, kecerdasan spiritual dan
kinerja guru belum pernah dilakukan sebelumnya
sehingga penulis tertarik untuk meneliti mengenai
ketiga hal tersebut pada guru-guru di UPTD Kecamatan
Mori Atas, Kabupaten Morowali.
95
2.5 Landasan Teori
2.5.1 Pengaruh Motivasi Kerja dan Kecerdasan
Spiritual Terhadap Kinerja Guru
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha
membudayakan manusia atau memanusiakan
manusia, pendidikan amat strategis untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa dan diperlukan guna
meningkatkan mutu bangsa secara menyeluruh.
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara. Mantan Menteri
Pendidikan Nasional Wardiman Djoyonegoro
mengatakan bahwa sedikitnya terdapat tiga syarat
utama yang harus diperhatikan dalam pembangunan
pendidikan agar dapat berkontribusi terhadap
peniningkatan kualitas SDM, yakni : (1) sarana gedung,
(2) buku-buku yang berkualitas dan (3) guru dan
tenaga kependidikan yang profesional (Mulyasa, 2005).
Penyelenggaraan pendidikan di sekolah
didasarkan pada suatu pendekatan sistem yang
merupakan suatu gambaran yang utuh dan
menyeluruh dari berbagai komponen yang ada. Semua
komponen secara bersama-sama berupaya mencapai
96
tujuan yang telah ditetapkan. Pendidik atau guru
sebagai salah satu komponen sentral dalam pendidikan
yang memiliki peranan penting dalam menentukan
keberhasilan pendidikan. Hal senada juga dijelaskan
Atmojo (2009) bahwa guru merupakan komponen vital,
penggerak utama sebagai faktor kesuksesan dari sistem
pendidikan dan pengajaran yang akhirnya akan
mempengaruhi produktivitas sekolah. Dalam keadaan
seperti ini, guru mengembangkan “multi fungsi atau
multi peran” antara lain sebagai motivator dan
pembimbing dalam proses belajar-mengajar agar siswa
dapat menemukan, melengkapi serta mendiskusikan
berbagai alternatif jawaban terhadap masalah-masalah
tertentu.
Fullan (dalam Dami, 2011), memberi gambaran
betapa majemuknya peran dan fungsi guru di dalam
pendidikan, yaitu:
1. Manajer: Mengelola secara totalitas lingkungan
pembelajaran yang di dalamnya tercakup peserta
didik, program pengajaran, lingkungan dan
sarana-prasarana penunjang pendidikan.
2. Pengamat: Keefektifan guru di dalam membina,
mengawasi anak didik tentang tingkah laku,
kegiatan serta interaksi dalam proses belajar-
mengajar.
3. Pendiagnostik: Sebagai bagian tak terpisahkan
dari peran observasi di dalam upaya mengetahui
97
kekuatan dan kelemahan anak didik serta
berupaya membantunya melalui program yang
sesuai.
4. Pendidik: Menetapkan tujuan, bahan ajar, dan
pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
5. Pengorganisasian: Memberdayakan kegiatan atau
proses belajar-mengajar dengan efektif dan efisien
sejalan dengan kebutuhan belajar siswa dan
tujuan pendidikan.
6. Pembuat keputusan: Menetapkan bahan ajar,
topik atau proyek kegiatan bagi seluruh kelas
ataupun bagi setiap peserta didik.
7. Penyaji: Guru sebagai ekspositor, narator,
bertanya, menjelaskan dan memimpin.
8. Komentator: Seperti halnya penyaji, guru
mengkomunikasikan informasi, gagasan kepada
orang lain yang memerlukan.
9. Fasilitator: Membimbing siswa dalam diskusi
atau kegiatan-kegiatan lain yang bertujuan
membantu mereka.
10. Konselor: Membantu memecahkan masalah para
siswa yang meliputi masalah pendidikan, pribadi,
sosial dan emosional.
11. Penilai: Menilai program, mengakses kemampuan
dan hasil belajar siswa.
Dari uraian diatas dapat dilihat betapa
majemuknya peran guru dalam pendidikan. Guru
98
merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya
mutu hasil pendidikan mempunyai posisi strategis
maka setiap usaha peningkatan mutu pendidikan perlu
memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru
baik dalam segi jumlah maupun mutunya. Guru
merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan,
khususnya di sekolah. Semua komponen lain, mulai
dari kurikulum, sarana-prasarana, biaya,dan
sebagainya tidak akan banyak berarti apabila esensi
pembelajaran yaitu interaksi guru dengan peserta didik
tidak berkualitas. Semua komponen lain, terutama
kurikulum akan “hidup” apabila dilaksanakan oleh
guru. Begitu pentingnya peran guru dalam
mentransformasikan input-input pendidikan, sampai-
sampai banyak pakar menyatakan bahwa di sekolah
tidak akan ada perubahan atau peningkatan kualitas
tanpa adanya perubahan dan peningkatan kualitas
guru (Dharma, 2008).
Upaya Pemerintah terhadap pemerintah tenaga
guru sebenarnya telah dilakukan oleh Pemerintah
Republik Indonesia, melalui berbagai bentuk kebijakan.
Ditetapkannya Undang Undang nomor 14 tahun 2005
tentang guru dan dosen merupakan dasar kebijakan
untuk memperkuat eksistensi tenaga kependidikan
sebagai tenaga profesional, seperti profesi-profesi yang
lainnya. Kualitas profesi tenaga guru selalu
diupayakan, baik melalui ketentuan kualifikasi
99
pendidikannya maupun kegiatan in-service training,
dengan berbagai bentuknya, seperti: pendidikan dan
latihan (diklat), penataran dan pelibatan dalam
berbagai seminar untuk meng-update wawasannya
dalam kompetensi pedagogik dan akademik. Guru
mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional
pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal yang diangkat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kedudukan guru sebagai tenaga
profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat
(1) dalam UU N0.14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen berfungsi untuk meningkatkan martabat dan
peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional. Peran yang
dimiliki oleh guru bukan hanya sebatas sebagai tenaga
pengajar yang dapat memberikan ilmu kepada peserta
didik namun juga memiliki peran besar yang begitu
kompleks untuk dapat membentuk anak bangsa dan
dalam proses pencapaian tujuan pendidikan yang
berkualitas. Guru merupakan profesi profesional di
mana ia dituntut untuk berupaya semaksimal mungkin
menjalankan profesinya sebaik mungkin.
Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai
tujuan tergantung pada bagaimana para personil dalam
melaksanakan pekerjaannya sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya masing-masing. Setiap individu
100
yang diberi tugas dan tanggung jawab untuk bekerja
pada suatu organisasi tertentu diharapkan mampu
menunjukkan kinerja yang memuaskan dan
memberikan konstribusi yang maksimal terhadap
pencapaian tujuan organisasi tersebut. Dalam
organisasi sekolah misalnya, berhasil tidaknya tujuan
pendidikan sangat ditentukan oleh kinerja guru, karena
tugas utama guru adalah mengelola kegiatan belajar
mengajar. Guru dituntut memiliki kinerja yang mampu
memberikan dan merealisasikan harapan dan
keinginan semua pihak terutama masyarakat umum
yang telah mempercayai sekolah dan guru dalam
membina anak didik. Dalam meraih mutu pendidikan
yang baik sangat dipengaruhi oleh kinerja guru dalam
melaksanakan tugasnya sehingga kinerja guru menjadi
tuntutan penting untuk mencapai keberhasilan
pendidikan. Secara umum mutu pendidikan yang baik
menjadi tolok ukur bagi keberhasilan kinerja yang
ditunjukkan guru. Kinerja guru melalui pelaksanaan
tugasnya sebagai pendidik, pengajar dan pelatih
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berari
bagi pencapaian tujuan pendidikan yang telah
ditetapkan (Subroto, 2012).
Kinerja guru tidak begitu saja dapat ditingkatkan
tanpa adanya unsur pendorong yang dapat membuat
guru sebagai sumber daya utama dalam lingkup
pendidikan berkontribusi terhadap organisasinya.
101
Banyak faktor yang dapat memengaruhi tinggi
rendahnya kinerja seseorang baik yang berasal dari
dalam diri individu sendiri maupun yang berasal dari
luar individu. Salah satu faktor penting yang
berpengaruh terhadap kinerja guru adalah motivasi.
Motivasi didefinisikan sebagai dorongan internal yang
mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal untuk
mencapai sesuatu (Harmer, dalam Suslu). Menurut
Brown (1994) sebagaimana yang dikutip oleh Suslu
menyatakan bahwa motivasi adalah istilah yang
digunakan untuk menentukan keberhasilan atau
kegagalan dari setiap tugas yang kompleks. Sejalan
dengan itu Steers dan Porter mendefinisikan atau
mengaitkan motivasi dengan tiga hal penting yaitu :
(1)apa yang memberi energi perilaku manusia, (2) apa
yang mengarahkan atau perilaku saluran tersebut dan
(3) bagaimana perilaku ini dipertahankan atau
berkelanjutan. Motivasi dianggap bertanggung jawab
atas "mengapa orang memutuskan untuk melakukan
sesuatu, berapa lama mereka bersedia untuk
menopang aktivitas dan seberapa keras mereka akan
mengejarnya" (Dörnyei dalam Suslu,2006).
Motivasi merupakan sesuatu yang penting karena
dengan motivasi diharapkan setiap individu bekerja
keras dan antusias untuk mencapai hasil kerja yang
tinggi. Deci dan Ryan (2000) menyatakan bahwa
termotivasi berarti tergerak untuk melakukan sesuatu.
102
Tingkah laku manusia selalu timbul oleh adanya
kebutuhan yang mendorong perbuatan ke arah suatu
tujuan tertentu. Pada dasarnya, setiap individu dalam
bekerja didorong oleh adanya motivasi kerja, sehingga
melalui motivasi kerja tersebut individu akan berusaha
untuk memenuhi tujuannya dalam bekerja. Motivasi
merupakan satu penggerak dari dalam hati seseorang
untuk melakukan atau mencapai sesuatu tujuan.
Motivasi kerja juga bisa dikatakan sebagai rencana
atau keinginan untuk menuju kesuksesan dan
menghindari kegagalan hidup dalam bekerja. Dengan
kata lain motivasi kerja adalah sebuah proses untuk
tercapainya suatu tujuan. Seseorang yang mempunyai
motivasi dalam bekerja berarti ia telah mempunyai
kekuatan untuk memperoleh kesuksesan dalam
kinerjanya (Hendrawan, 2011).
Dalam dunia kerja, motivasi kerja secara umum
dapat diidentifikasikan sebagai serangkaian kekuatan
penggerak yang muncul dari dalam (motivasi internal)
dan diluar diri (motivasi eksternal ) masing-masing
individu. Kedua kekuatan itu menimbulkan minat kerja
dan berhubungan dengan tingkah laku dan
menentukan arah, intensitas dan durasi dari tingkah
laku atau kebiasaan individual. Keberhasilan guru
dalam mencapai kinerja yang tinggi harus didukung
oleh motivasi yang kuat baik yang berasal dari dalam
dirinya maupun dari luar dirinya. Guru akan berusaha
103
mencapai kinerja tertentu sesuai dengan yang
dikehendaki sekolah karena guru yang termotivasi,
tidak akan puas dengan apa yang didapat atau
dicapainya, dalam dirinya ada keinginan untuk
meningkatkan apa yang sudah dicapai. Guru juga akan
selalu berusaha terus untuk mendapatkan apa yang
diinginkan, dengan berusaha meningkatkan mutu
secara terus-menerus maka berarti pula meningkatkan
kinerja dari guru tersebut. Keberhasilan guru dalam
mengajar karena dorongan atau motivasi ini sebagai
pertanda apa yang telah dilakukan oleh guru telah
menyentuh kebutuhannya (Chandra, 2006). Oleh
karena itu, motivasi kerja guru merupakan faktor
penting dalam peningkatan kinerja guru karena sebagai
pendorong utama setiap guru melaksanakan tugas
profesinya sesuai ketentuan yang berlaku.
Faktor motivasi kerja tentu saja bukan menjadi
faktor tunggal yang dapat memberikan pengaruh
terhadap tinggi atau rendahnya kinerja seseorang.
Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja, salah
satunya adalah kecerdasan spiritual. Jauh sebelum
istilah kecerdasan spiritual (SQ) dipopulerkan, pada
tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran
tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya,
bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh
manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1)
nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap.
104
Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan
dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan
rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan
nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh
persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan
rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan,
diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah
kesadaran dan tanggung jawab.
Kecerdasan spiritual muncul karena adanya
perdebatan tentang IQ dan EQ, oleh karena itu istilah
tersebut muncul sebab IQ dan EQ dipandang hanya
menyumbangkan sebagian dari penentu kesuksesan
seseorang dalam hidup. Ada faktor lain yang ikut
berperan yaitu kecerdasan spiritual yang lebih
menekankan pada makna hidup dan bukan hanya
terbatas pada penekanan agama saja. Kecerdasan
spiritual memungkinkan seseorang untuk berpikir
kreatif, berwawasan jauh, membuat atau bahkan
mengubah aturan, yang membuat seorang dapat
bekerja lebih baik (Zohar & Marshal, 2002). Kecerdasan
spiritual merupakan perasaan terhubungkan dengan
diri sendiri, orang lain dan alam semesta secara utuh
(King, 2008). Pada saat orang bekerja, maka ia dituntut
untuk mengarahkan intelektualnya, tetapi banyak hal
yang membuat seseorang senang dengan pekerjaannya.
Seorang pekerja dapat menunjukkan kinerja yang
prima apabila ia sendiri mendapatkan kesempatan
105
untuk mengekspresikan seluruh potensi diri sebagai
manusia. Hal tersebut akan dapat muncul bila
seseorang dapat memaknai setiap pekerjaannya dan
dapat menyelaraskan antara emosi, perasaan dan otak.
Kecerdasan spiritual mengajarkan orang untuk
mengekspresikan dan memberi makna pada setiap
tindakannya, sehingga bila ingin menampilkan kinerja
yang baik maka dibutuhkan kecerdasan spiritual
(Munir dalam Trihandini 2005). Mereka yang dapat
memberi makna pada hidup mereka dan membawa
spritualitas kedalam lingkungan kerja mereka akan
membuat mereka menjadi orang yang lebih baik,
sehingga kinerja yang dihasilkan juga lebih baik
dibanding mereka yang bekerja tanpa memiliki
kederdasan spiritual (Hoffman dalam Trihandini, 2005).
Jika kecerdasan spiritualitas dipahami sebagai
penemuan makna bagi hidup seseorang dan komitmen
untuk ide atau penyebab yang lebih besar dari diri, ada
justifikasi yang cukup untuk memasukkannya sebagai
komponen penting dalam pengajaran, pembelajaran,
dan kepemimpinan. Para pakar yang menemukan
kecerdasan spiritual meyakini bahwa salah satu bentuk
kecerdasan ini dapat juga menentukan kesuksesan
seseorang dalam mencapai kinerja yang tinggi
(Khairuddin,dkk 2011). Jika hal ini didukung juga
dengan motivasi kerja yang tinggi maka kinerja guru
106
yang optimal dapat tercapai dan dapat berimbas pada
tercapainya tujuan pendidikan.
2.6 Model Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka, landasan teori
dan hasil-hasil penelitian sebelumnya yang telah
dikemukakan, maka model penelitian yang
dikembangkan dalam penelitian ini sebagai berikut:
Gambar 2.3
Model Penelitian
Keterangan :
X1 = Motivasi Kerja (Variabel bebas)
X2 = Kecerdasan Spiritual (Variabel bebas)
Y = Kinerja Guru (Variabel terikat)
2.7 Pengembangan Hipotesis
Bertitik tolak dari masalah dan tujuan penelitian
yang telah dikemukakan sebelumnya, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah “Secara simultan, ada
pengaruh yang signifikan antara motivasi kerja dan
kecerdasan spiritual terhadap kinerja Guru”.
X1
Y
X2