1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tepat pada tahun 1952 ketika Mesir masih dipimpin oleh Raja Farouk,
sekelompok tentara melakukan kudeta terhadapnya. Sekelompok militer tersebut
menamakan diri sebagai Perwira Bebas atau The Free Officers yang dipimpin oleh
jenderal Muhammad Naguib. Kudeta tersebut dilandasi karena kekecewaan kubu
militer Mesir terhadap Raja karena berkurangnya dana untuk militer dalam perang
melawan Israel (Sihbudi dkk, 2001: 84).
Militer Mesir, merupakan salah satu badan militer yang terkuat di kawasan
Timur Tengah. Setelah Raja Farouk lengser dari jabatannya sebagai raja Mesir,
militer Mesir memegang peranan penting dalam situasi perpolitikan saat itu.
Tugas-tugas militer juga bukan hanya sebagai aparatur negara dalam menjaga
keamanan, tapi juga berperan dalam berbagai kebijakan politik. Para perwira
tersebut kemudian membentuk Dewan Komando Revolusi (RCC), yang pada
akhirnya mengubah bentuk negara Mesir (Widyarsa, 2012: 275).
Setahun setelah pembentukannya, RCC membubarkan bentuk negara
monarki dan mendeklarasikan Mesir sebagai negara Republik. Pada 1954, Gamal
Abdul Nasser resmi menjadi Presiden Mesir yang sah dengan Mesir yang telah
berbentuk republik. Kelompok Ikhwa>nul Muslimi>n (IM) yang didirikan oleh
Hasan Al-Banna dilarang keras setelah rezim militer mulai berkuasa. Hal ini
menjadikan kekuasaan militer semakin kuat dalam ranah perpolitikan di Mesir.
Kalangan ilmuwan pada tahun 1950-an juga menganggap militer sebagai badan
1
2
otonom yang memiliki tingkat progesitas tinggi dalam proses demokratisasi
(Cook, 2007: 14). Dalam hal ini, politik menjadi tumpuan utama dalam
peningkatan peran militer di Mesir.
Nasser berambisi untuk menjadikan Mesir sebagai negara yang benar-benar
berada dibawah kendalinya. Hal itu dibuktikan dari berbagai kebijakannya yang
bersifat condong pada kekuasaan serta penyelesaian urusan-urusan yang tergolong
singkat. Setelah semua tuntas, konstitusi baru yang telah disahkan menjadikan
posisi presiden semakin kuat. Di sisi lain, Nasser ingin menyatukan negara-negara
Arab setelah melihat pasca PD I dunia Arab terpecah menjadi beberapa wilayah.
Namun usaha itu tidak membuahkan hasil.
Pemerintahan selanjutnya dipegang oleh Anwar Sadat yang juga berasal dari
kelompok militer. Sadat tidak seperti Nasser yang memperjuangkan nasionalisme
atau persatuan Arab. Sadat adalah penganut nasionalisme Mesir dan liberalis
(Sihbudi dkk, 1933: 94). Berbeda dengan Nasser, Sadat mengeluarkan kebijakan
dengan memperbolehkan sistem multi partai. Namun, ia juga mendirikan Partai
Nasional Demokrat (NDP). NDP tidak jauh berbeda dengan partai Persatuan
Sosialis Arab (ASU) yang pernah didirikan oleh Nasser. NDP berperan sebagai
basis kekuatan Sadat dalam melancarkan strategi politiknya. Meskipun dia
memperbolehkan sistem multi partai serta kebebasan pers yang dimulai sejak
perubahan konstitusi Mesir tahun 1980 dan 1981, NDP tetap menjadi partai
terbesar yang mendominasi pemerintahan dan tidak dapat tersaingi oleh partai-
partai lain.
Pemerintahan selanjutnya berpindah ke tangan Hosni Mubarak yang untuk
ketiga kalinya berasal dari kelompok militer. Hosni Mubarak adalah pemimpin
3
Mesir yang terlama. Masa jabatan hingga tiga puluh tahun memberikan kesan
tersendiri bagi Mesir sebagai negara yang perkasa akan kemiliteran. Kebijakan-
kebijakan yang dikeluarkan oleh Mubarak tidak jauh berbeda dengan para
pendahulunya. Meskipun kebebasan dalam partai politik lebih longgar dari pada
masa sebelumnya, NDP yang merupakan partai pemerintah masih unggul
dibanding partai lainnya. Ini terlihat saat pemilu Mei 1984, NDP memperoleh
390 kursi dalam pemerintahan, sedangkan partai Wafd Baru yang berkoalisi
dengan IM hanya memperoleh 58 kursi (Sihbudi dkk, 1933: 96). Mubarak ingin
menghidupkan Demokrasi di Mesir, namun dia juga telah memastikan bahwa
kelompoknya tetap akan menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan.
IM memang telah dilegalkan oleh Mubarak, namun pergerakannya masih
dibatasi. Sebab, IM merupakan kelompok yang condong ke salah satu Agama
(baca : Islam). Meskipun dalam konstitusi tahun 1971 pasal 2, telah disebutkan
bahwa Islam adalah agama resmi negara dan syariat Islam adalah sumber
perundang-undangan, Mubarak belum menjalankannya secara sempurna. Mubarak
tetap ingin menjadikan kelompoknya sebagai kekuatan terbesar dalam kursi-kursi
pemerintahan Mesir dan tidak mempedulikan pihak yang tak sejalan dengannya.
Estafet pemerintahan mulai menunjukan aroma pergantian. Tepat pada 11
Februari 2011 rezim Hosni Mubarak berhasil ditumbangkan oleh rakyatnya sendiri
karena kediktatorannya. Salah seorang demonstran, Essam Abdul Qader
mengatakan bahwa masyarakat sudah muak melihat pola kepemimpinan politik di
Mesir (republika.co.id: 1 Februari 2011).
Kemarahan masyarakat Mesir hingga ke permukaan juga tidak dapat
dibendung oleh kekuatan militer dan aparat kepolisian. Semua elemen masyarakat
4
bersatu untuk perubahan sistem pemerintahan Mesir yang lebih baik. Elemen
tersebut bukan hanya berasal dari satu kelompok (Islam), tetapi terdiri dari kubu
Muslim, Kristen, dan sekuler Mesir. Para pemimpin di Eropa mengindikasikan
bahwa Islam adalah dibalik kekacauan pemerintahan Mubarak. Tetapi, wartawan
Al Jazi>ra Ayman, Mohyeldin, menyebutkan bahwa sinyalemen gerakan massa
hanya dimotori kubu Islamis adalah salah besar. Demo melibatkan semua
masyarakat yang marah dengan Mubarak. Kaum Muslim, Kristen, dan sekuler
bergandengan tangan di Tahrir Square (republika.co.id: 2 Februari 2011).
Selain demo besar-besaran yang dilakukan para demonstran pasca
pengunduran Mubarak dari jabatannya, jalan-jalan di kota-kota Mesir juga
semakin dipenuhi dengan seni grafiti-grafiti baik pro-demokrasi maupun pro-
Mubarak. Para seniman grafiti itu terus bekerja, baik menggunakan dinding,
bangunan, jembatan dan trotoar sebagai kanvas untuk mengecam para jenderal
yang mengambil kekuasaan setelah Mubarak lengser. Mereka menuntut revolusi
yang sebenar-benarnya (republika.co.id: 29 Januari 2012).
Kemarahan rakyat Mesir atas kebobrokan pemerintahan Hosni Mubarak
menciptakan suasana perlawanan rakyatnya sendiri dari segala arah. Terjadinya
ledakan perlawanan tersebut, tentu menimbulkan luka yang pilu bagi setiap
individu. Tetapi atas rasa nasionalisme yang tinggi, perubahan menuju Mesir yang
lebih baik akan selalu ditempuh oleh seluruh rakyat apapun resikonya. Hal ini
sudah terbukti dengan peristiwa pelengseran Mubarak dengan demonstrasi dan
cara-cara lainnya (baca: media sosial) dari seluruh elemen masyarakat.
Setahun setelah pelengseran Hosni Mubarak, Mesir merayakan
kemenangannya dengan mengadakan pesta demokrasi rakyat. Melalui pemilihan
5
langsung, posisi presiden akhirnya dimenangkan oleh seorang tokoh yang berlatar
belakang agamis dan berasal dari kelompok IM, Muhammad Mursi. Mursi adalah
presiden yang nyata dipilih secara demokratis untuk pertama kalinya. Mursi yang
berasal dari kelompok agamis telah menunjukan beberapa perbedaan dalam pola-
pola demokrasi yang akan dia terapkan. Hal itu juga telah dibuktikan dengan
beberapa kebijakannya yang pro-IM serta Islam. Namun, tindakan tersebut
memunculkan respon negatif dari berbagai kalangan termasuk badan militer yang
sebelumnya berkuasa.
Salah satu kebijakan yang paling kontroversial dari Mursi adalah Dekrit
Presiden 22 November 2012 yang berisi bahwa segala keputusannya melebihi
hukum legal sampai parlemen baru terpilih. Hal ini oleh lawan politiknya dianggap
sebagai kejahatan hukum. Sameh Ashour, ketua sindikasi pengacara kelompok
oposisi mengatakan bahwa itu sama dengan kudeta melawan legitimasi (bbc.com:
23 November 2012).
Meskipun Mursi mengatakan bahwa dekrit tersebut dikeluarkan demi
membersihkan institusi negara serta menghancurkan infrastruktur rezim lama,
masyarakat Mesir dan seluruh komponen negara yang mengimpikan demokrasi
merasa dicederai. Dekrit tersebut juga mendapatkan komentar dari Wael Ghonim
–salah satu tokoh kunci dalam penggulingan Hosni Mubarak- bahwa revolusi tidak
dibuat untuk menjadi “diktator baik”1 (kompas.com: 23 November 2012).
Ujung pangkal dari permasalahan-permasalahan tersebut, membangkitkan
kembali badan militer yang didahului dengan aksi protes besar-besaran oleh massa
1 Maksudnya adalah bahwa Mursi dianggap sebagai seorang diktator yang berkedok agamis, sehingga terlihat baik dan nasionalis namun dibalik itu adalah seorang yang otoriter.
6
penentang Mursi. Kudeta terhadap Mursi yang langsung dilakukan oleh para
tentara Mesir menjadi jawaban atas sikap Mursi. Pihak militer kemudian
membekukan konstitusi Mesir serta membentuk komite independen yang
beranggotakan berbagai macam unsur masyarakat untuk menyusun konstitusi baru
Mesir. Bahkan pengumuman “Peta Jalan Bagi Masa Depan Mesir” oleh pihak
militer juga dihadiri dari berbagai pihak seperti Syeikh Agung Al-Azhar Prof. Dr.
Ahmed Al-Thayeb, Pemimpin Gereja Koptik Mesir Baba Tawadrous II, dan Tokoh
Oposisi Mesir Muhammad El-Baradei. Ketiga tokoh nasional Mesir itu juga
memberikan tanggapan singkatnya terhadap kudeta militer baik yang bernada
netral maupun mendukung secara terang-terangan (Hamdani, 2013: 1).
Berdasarkan urutan kejadian sejak pelengseran Hosni Mubarak hingga
kudeta terhadap Mursi, penulis melihat bahwa Mesir merupakan negara yang
belum siap untuk menerapkan sistem demokrasi secara utuh. Hal ini dikarenakan
Mesir dapat mengalami dua kali revolusi dalam dua setengah tahun. Dari jumlah
tersebut kedua-duanya dilakukan dengan cara kekerasan baik dari sisi masyarakat
sipil, aparat kepolisian, maupun badan militer itu sendiri. Kekerasan dalam
pergantian pemerintahan di Mesir seolah menjadi suatu budaya yang terbentuk
akibat buruknya sistem pemerintahan di Era Hosni Mubarak.
1. Kekerasan sebagai Budaya
Kekerasan yang diangkat dalam kasus ini adalah kekerasan yang dilakukan
secara kolektif. Kekerasan kolektif atau kelompok dilakukan oleh segerombolan
orang (mob) dan kumpulan orang banyak (crowd) dan dalam pengertian sempitnya
dilakukan oleh gang (Douglas dan Waksler dalam ed. Santoso, 2002: 9). Untuk
7
memahami bagaimana kekerasan tersebut menjadi sebuah budaya tentu diperlukan
pandangan konkrit tentang kekerasan itu sendiri.
Budaya-budaya dapat dibayangkan dan bahkan dapat dijumpai tidak saja
dengan satu aspek tetapi juga pelbagai aspek, sehingga domain budaya itu, yang
bermula dari pembicaraan tentang kasus kekerasan budaya sampai budaya yang
penuh kekerasan dapat diketahui (Galtung dalam ed. Sanstoso, 2002: 183). Studi
kekerasan budaya menyoroti cara bagaimana suatu perbuatan kekerasan langsung
dan fakta kekerasan struktural dilegitimasi dan menjadi bisa diterima di
masyarakat (Galtung dalam ed. Sanstoso, 2002: 184). Berdasarkan pernyataan
tersebut, maka sesuatu yang telah diimplementasikan secara berkala dapat
dikatakan sebagai budaya apabila telah mendapatkan legitimasi dari seluruh pihak
baik yang terlibat maupun tidak. Untuk lebih menguatkan argumen bahwa
kekerasan dapat digolongkan sebagai suatu budaya, maka penulis mempunyai
beberapa rasionalisasi dengan merujuk kepada para pendapat pakar bidang
kebudayaan.
Rasionalisasi pertama adalah memahami kebudayaan dari karakteristiknya.
Menurut Sulasman dan Gumilar (2013) dalam melihat dan memahami suatu
kebudayaan, kita harus mengacu pada sejumlah karakteristik kebudayaan pada
umumnya. Secara teoritis, kebudayaan sebagai objek pengamatan dan penelitian
memiliki karakteristik berikut:
1) dapat dipelajari dan diperoleh melalui belajar;
2) berasal dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen eksistensi
manusia
3) berstruktur, bersistem, dan bersifat simbolis;
8
4) sebagai struktur, kebudayaan mempunyai variabel yang dapat dipecah-
pecah ke dalam berbagai aspek;
5) bersifat relatif dan universal;
6) bersifat dinamis, adaptif, dan adakalanya mal adaptif;
7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah;
8) kebudayaan merupakan alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur
keadaan totalnya dan menambah arti kesan kreatif (Sulasman & Gumilar,
2013: 63-64).
Jika mengacu pada karakteristik kebudayaan diatas, maka kekerasan dalam
kasus yang diangkat dapat dikategorikan sebagai suatu kebudayaan yang telah
terbukti secara empiris. Kekerasan yang dilakukan ketika revolusi Mesir dapat
dipelajari oleh seluruh masyarakat Mesir yang diperoleh melalui proses belajar.
Perilaku tersebut muncul dari adanya suatu reaksi psikologis yang diakibatkan
oleh lingkungan yang mendukung untuk melahirkan kekerasan. Pada tahapan
selanjutnya, kekerasan yang terjadi menyebar luas serta mempunyai sistem yang
terbentuk secara alamiah. Kekerasan dalam hal ini juga dapat dipecah ke dalam
berbagai aspek seperti aspek politik, aspek ekonomi, dan aspek teknologi.
Berbagai kejadian didalamnya juga menimbulkan penilaian yang relatif. Dari
sisi pendukung rezim, kekerasan dikatakan sebagai bentuk kejahatan, namun bagi
penentang rezim adalah sebuah upaya tepat yang harus dilalui. Adakalanya juga,
kekerasan dalam peristiwa revolusi Mesir 2011 dan 2013 bersifat dinamis dan
adaptif. Hal ini dikarenakan kekerasan yang muncul adalah sebagai reaksi dari
respon pemerintah terhadap tuntutan rakyat. Sehingga, berbagai kejadian
kekerasan ini memperlihatkan keteraturan dan dapat dianalisis secara ilmiah. Pada
akhirnya, kekerasan dijadikan alat untuk mengembalikan keadaan total Mesir
meskipun tidak di tempuh dengan segala resiko. Keseluruhan karakteristik
9
kebudayaan diatas mempunyai relevansi yang erat dengan kekerasan yang
diangkat dalam kasus ini.
Rasionalisasi kedua adalah memandang kekerasan dari segi unsur-unsur
kebudayaan. Koentjaraningrat membagi unsur kebudayaan menjadi tujuh,
diantaranya; 1) bahasa; 2) sistem pengetahuan; 3) organisasi sosial; 4) sistem
peralatan hidup dan teknologi; 5) sistem mata pencaharian hidup; 6) sistem religi;
7) kesenian. Secara keseluruhan, ketujuh unsur tersebut tidak ada yang
menyebutkan secara eksplisit kata “kekerasan”. Hal ini sudah tentu karena
kekerasan bukan termasuk ke dalam unsur, melainkan dampak dari adanya suatu
konflik. Tetapi, Linton (1963) (dalam Koentjaraningrat, 1986: 205-206) membuat
sebuah metode pemerincian unsur-unsur kebudayaan dengan merincikan setiap
unsur kebudayaan hingga empat kali.
Empat tahapan yang dibagi oleh Linton (1963) digunakan Koentjaraningrat
(1989) untuk merincikan unsur-unsur kebudayaan yang dikemukakan olehnya.
Tahapan tersebut diantaranya: 1) cultural activities; 2) complexes; 3) traits; 4)
items. Setiap unsur kebudayaan diatas bersifat universal. Setiap unsurnya juga
mempunyai tiga wujud, yaitu wujud sistem budaya, wujud sistem sosial, dan
wujud kebudayaan fisik (Koentjaraningrat, 1986: 206). Oleh karena itu,
pemerincian dari ketujuh unsur diatas masing-masing juga harus dilakukan
mengenai tiga wujud itu. Berikut adalah bagan untuk memahami proses
pemerincian unsur kebudayaan dengan tetap memperhatikan tiga wujud budaya
seperti yang telah disebutkan diatas.
10
Wujud sistem budaya dari suatu unsur kebudayaan universal adalah berupa
adat. Pada tahap pertamanya adat dapat diperinci ke dalam beberapa kompleks
budaya. Tiap kompleks budaya dapat diperinci lebih lanjut ke dalam beberapa
tema budaya dan akhirnya pada tahap ketiga dapat diperinci ke dalam gagasan
(Koentjaraningrat, 1986: 206).
Kemudian dalam bentuk proses yang sama, wujud sistem sosial dari suatu
unsur kebudayaan yang berupa aktivitas-aktivitas sosial yang dapat diperinci pada
tahap pertamanya ke dalam berbagai kompleks sosial. Pada tahap ke dua, tiap
kompleks sosial dapat diperinci lebih khusus ke dalam pola sosial. Pada tahap
terakhir, tiap pola sosial dapat diperinci lebih khusus ke dalam berbagai tindakan
(Koentjaraningrat, 1986: 206).
Gambar 1. Bagan Pemerincian Kebudayaan ke dalam Unsur-Unsurnya Yang Khusus
Sumber: Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Hlm. 207
11
Ketujuh unsur kebudayaan itu masing-masing tentu memiliki wujud fisik,
meskipun tidak ada satu wujud fisik untuk mewakili keseluruhan unsur-unsur
kebudayaan. Itulah sebabnya kebudayaan fisik tidak perlu diperinci melalui empat
tahap seperti yang dilakukan pada sistem budaya dan sistem sosial. Namun, semua
unsur kebudayaan fisik sudah tentu secara khusus terdiri dari benda-benda
kebudayaan (Koentjaraningrat, 1986: 206).
Berdasarkan penjelasan Koentjaraningrat diatas, maka kekerasan dalam
revolusi Mesir 2011 dan 2013 dapat dikatakan sebagai suatu kebudayaan.
Meskipun kekerasaan bukan termasuk ke dalam unsur-unsur kebudayaan, namun
pemerincian unsur-unsur budaya menunjukan relevansi langsung untuk
mengkategorikan kekerasan sebagai suatu kebudayaan. Kekerasan berada pada
tahap keempat pemerincian unsur kebudayaan yang diistilahkan sebagai sebuah
tindakan (pada wujud sistem sosial/wujud kedua). Tindakan ini didahului dengan
sebuah gagasan (pada wujud sistem budaya/wujud pertama).
Jika kekerasan berada pada tahap pemerincian hingga tahap keempat, maka
kekerasan juga harus dapat di masukan ke dalam salah satu induk dari unsur
kebudayaan universal. Unsur kebudayaan yang paling dekat adalah unsur universal
sistem pengetahuan. Sistem pengetahuan yang dimaksud oleh Koentjaraningrat
adalah yang berkaitan dengan beberapa kajian. Diantaranya; 1) alam; 2) tumbuhan;
3) binatang; 4) tubuh manusia; 4) sifat dan tingkah laku; 5) ruang dan waktu
(Sutardi, 2007: 44-45). Kekerasan dapat dimasukan ke dalam kateogri sifat dan
tingkah laku manusia, karena pada hakikatnya kekerasan merupakan implikasi dari
suatu kondisi yang membuat manusia harus melakukannya, khususnya dalam
kasus yang diangkat ini. Meskipun kekerasan pada awalnya tidak digolongkan
12
sebagai sebuah budaya, namun kekerasan dapat menjadi suatu budaya jika telah
mempunyai sistem dan dijadikan alat untuk mencapai sebuah tujuan.
Rasionalisasi yang terakhir adalah menggolongkan kasus kekerasan yang
diangkat ini sesuai dengan tiga wujud kebudayaan yang di rumuskan oleh J.J.
Hoeningman. Merujuk pada pendapat J.J. Hoeningman bahwa wujud kebudayaan
dibagi menjadi tiga; 1) Gagasan; 2) Aktivitas; 3) Artefak. Kekerasan yang muncul
ke permukaan masyarakat pada revolusi Mesir 2011 diawali dari sebuah gagasan
beberapa individu yang kemudian diwujudkan dalam aktivitas atau nyata dengan
dukungan legitimasi kaum yang bertindak. Pada revolusi Mesir 2013 kekerasan
kembali terjadi ketika ingin menurunkan rezim. Namun prosesnya bukan di awali
dari gagasan sekelompok orang, melainkan oleh lawan politik (oposisi) yang
akhirnya mampu mengajak masyarakat Mesir untuk menuntut turun Presiden
Muhammad Mursi dengan memanfaatkan trauma rakyat Mesir ketika berada di
bawah rezim yang otoriter. Maka dari itu, wujud tindakan tersebut akhirnya
memunculkan sebuah sistem sosial yang bersifat konkret, dapat diamati serta
dapat didokumentasikan (Sulasman & Gumilar, 2013: 36).
Adapun kekerasan yang diangkat, tidak selalu berwujud konflik antar fisik.
Namun dengan bentuk yang halus dan yang tersembunyi (tidak tampak) dibalik
pemaksaan dominasi kekuasaan simbolik yang dimiliki oleh rakyat (Bourdieau
dalam Purnomo, 2009: 5). Perwujudan menuju kekerasan fisik yang terjadi di
Mesir –khususnya pada revolusi Mesir 2011- melewati beberapa tahapan yang
memanfaatkan lingkungan sekitar. Sosial media berupa Facebook dan Twitter
digunakan untuk meraih tujuan yang diimpikan bersama (Tamburaka, 2011: 81-
82). Masing-masing dari media jejaring sosial tersebut mempunyai ciri khas
13
tersendiri yang berguna untuk menyusun agenda bersama dalam penggulingan
Presiden Hosni Mubarak.
Setelah tercapainya satu opini publik yang dimulai dari media jejaring sosial,
massa akhirnya turun ke jalan dan melakukan demonstrasi besar-besaran.
Demonstrasi tersebut (2011) sudah diprediksi akan melahirkan berbagai bentuk-
bentuk kekerasan di antara pasukan keamanan dan pengunjuk rasa. Peristiwa
serupa lantas kembali terjadi pada revolusi Mesir 2013 yang tidak dimulai dari
media jejaring sosial. Melainkan tindakan langsung dari pihak oposisi dan militer
sebagai respon dari pola kebijakan Mursi yang tidak disukai oleh beberapa pihak
di Mesir khususnya kelompok oposisi.
2. Kerangka Berpikir
Dibawah ini adalah bagan kerangka berpikir untuk memudahkan pemahaman
kasus.
Gambar 2. Bagan Kerangka Berpikir
14
3. Tinjauan Pustaka
Berkaitan dengan penelitian ini, penulis melihat beberapa penelitian skripsi,
jurnal, serta berita yang berkaitan dengan kasus ini sebagai tinjauan pustaka.
Tinjauan yang pertama adalah skripsi yang ditulis oleh Rizfa Amalia,
Program Studi Arab Universitas Indonesia dengan judul “Kebijakan-Kebijakan
Hosni Mubarak di Mesir (1981-2011)”. Dalam skripsi tersebut dipaparkan bahwa
kebijakan politik, agama, dan ekonomi adalah faktor yang membuatnya mampu
berkuasa selama 30 tahun. Namun ketika di akhir kepemimpinannya ketiga
kebijakan tersebut juga yang membuatnya harus menanggalkan jabatannya. Di
awal pembahasan skripsi ini juga dibahas profil Mesir secara singkat sehingga
dapat lebih mudah dalam mempelajari isi pembahasan inti yang diangkat. Diakhir
pembahasan dipaparkan proses-proses turunnya Mubarak, namun pembahasan
yang disajikan masih secara umum dan kronologi kejadian tidak diurutkan secara
detail. Demonstrasi yang di paparkan juga masih terbatas pada detik-detik
pernyataan Mubarak untuk mundur.
Tinjauan yang kedua adalah skripsi yang ditulis oleh Ulil Amri, Program
Studi Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin dengan judul “Masa Depan
Mesir Pasca Pemerintahan Hosni Mubarak”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan
bahwa pada era Presiden Hosni Mubarak masih diterapkan undang-undang darurat
negara yang diberlakukan sejak masa Anwar Sadat. Hal ini berdampak pada
kekuasaan pemerintah secara penuh dalam penangkapan dan penahanan tanpa
proses peradilan terhadap mereka yang dianggap teroris dan mengancam
keamanan nasional. Hal ini dimanfaatkan secara maksimal untuk menyingkirkan
kelompok-kelompok oposisi yang berpotensi sebagai penentang rezim mereka.
15
Kemudian, Amri menambahkan bahwa suasana Dinastyc Republicanism juga
sangat mencolok dimana subjektivitas Mubarak terhadap kelompoknya dan
keturunannya sangat terlihat. Masyarakat yang menyadari hal itu merasa diingkari
oleh pemimpinnya yang telah berjanji untuk menegakkan demokrasi Mesir. Dua
permasalahan tersebut merupakan diantara banyak penyebab yang menghadirkan
hujan massa di Tahrir Square. Berbeda dengan tinjauan yang pertama, tinjauan
yang kedua lebih merincikan urutan kronologi demonstrasi secara urutan tanggal
serta disajikan. Peranan media jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter yang
ikut membentuk terjadinya demonstrasi di Tahrir Square juga disajikan lebih rinci.
Tetapi, bentuk kekerasan yang di lakukan oleh masyarakat dalam media sosial
berupa kata-kata provokasi maupun aksi kekerasan nyata tidak dipaparkan.
Tinjauan ketiga adalah artikel ilmiah dalam jurnal Info Singkat DPR RI Vol
V, No.14/II/P3DI/Juli/2013 seri Hubungan Internasional yang ditulis oleh Lisbet
dengan judul “Krisis Politik di Mesir dan Posisi Indonesia”. Jurnal tersebut
menjelaskan bahwa demokrasi masih membayangi ketidakpastian revolusi di
Mesir. Hal tersebut dikarenakan militer yang telah berkuasa selama masa
Pemerintahan Mubarak dan menjadi penyelenggaraan pemerintahan transisi tak
sepenuhnya menyerahkan kekuasaan kepada Presiden terpilih. Presiden Mursi dan
IM yang awalnya dipuji oleh negara-negara Barat sebagai penyelamat kapitalisme
Mesir, telah dilucuti dengan adanya revolusi. Penyajian kasus dalam jurnal ini
menitikberatkan pada permasalahan ekonomi dan sosial politik. Namun
kekurangannya adalah penyajian tidak dipaparkan secara tuntas sehingga masih
menimbulkan pertanyaan.
16
Tinjauan keempat adalah artikel ilmiah dan masih dalam jurnal yang sama
Vol V, No.14/II/P3DI/Juli/2013 ditulis oleh Poltak Partogi Nainggolan dengan
judul “Kegagalan Transmisi Demokratis dan Masa Depan Mesir”. Dalam
tulisannya di paparkan ada empat alasan mengapa militer memilih untuk
menjatuhkan Mursi. Pertama, kelompok militer adalah kelompok yang berkuasa
dan berperan dominan dalam politik domestik negeri piramid tersebut pasca
Gamal Abdul Nasser. Kedua, kelompok pesaing militer sejak lama, yaitu kelompok
Islam garis keras IM yang sejak dulu merupakan pengusung Syariah dan gagasan
pan-Islamisme di kawasan timur tengah. Ketiga, kelompok Islam moderat,
kelompok minoritas Kristen Koptik dan Katholik, serta gabungan kalangan sekuler
dari kelompok-kelompok agama tersebut jika digabung jumlah mereka menjadi
lebih banyak dari pada IM. Keempat, kelompok lain, yang walaupun jumlahnya
jauh lebih minoritas, namun karena kewenangan monopoli penggunaan kekerasan
secara sah yang diberikan negara kepadanya, ia mempunyai kepentingan laten
untuk memulihkan kembali pengaruh dan kekuasaannya dalam politik nasional.
Empat alasan tersebut yang dijadikan oleh Lisbet sebagai opini dasar mengapa
Mursi harus dijatuhkan. Artikel tersebut hanya memusatkan perhatian pada
pematangan opini bahwa kudeta terhadap Mursi adalah langkah yang benar.
Tinjauan kelima adalah artikel ilmiah yang ditulis oleh Muhammad Riza
Widyarsa dalam jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Pranata Sosial dengan judul
“Rezim Militer dan Otoriter Mesir, Suriah dan Libya”. Pada bagian pembukaan,
Widyarsa memberikan pernyataan bahwa untuk menjadi presiden Mesir, seakan-
akan harus dari kalangan militer dikarenakan pemimpin Mesir dalam kurun waktu
lebih dari 50 tahun berasal dari militer. Selanjutnya, terdapat sub bab khusus yang
17
membahas estafet pemerintahan Mesir sejak masa Turki Utsmani. Dalam
pembahasan selanjutnya di paparkan perjalanan perpolitikan kelompok militer
dalam memulai dan mempertahankan kekuasaannya di Mesir. Namun, pada
pembahasan militer, yang dikaji hanya sampai pada masa Anwar Sadat dan tidak
membahas lebih lanjut rezim militer dibawah pemerintahan Hosni Mubarak.
Tinjauan keenam adalah berita dari Harian Jurnal Asia dengan judul “Militer
Kudeta Morsi”. Berita tersebut mengabarkan bahwa terjadi bentrokan antara
massa pendukung Mursi dan militer. Bentrokan terjadi akibat kekecewaan
masyarakat terhadap militer yang dengan secara paksa menurunkan Mursi yang
baru setahun berkuasa. Diakhir berita juga sebutkan bahwa Mursi jatuh karena
tekanan masyarakat yang memuncak dan bergabung dengan kubu posisi. Tetapi
tidak dijelaskan lebih lanjut terkait massa yang kontra dengan Mursi.
Tinjauan ketujuh adalah buku yang ditulis oleh M. Agastya ABM dengan
judul “Arab Spring Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah”. Pada buku
tersebut terdapat sub bab yang khusus membahas konflik Mesir pada 2011 dan
2013. Pembahasan disajikan dengan mengungkapkan kronologi kejadian-kejadian
menjelang revolusi Mesir 2011 dan 2013 juga diurutkan sesuai tanggal. Biografi
kedua tokoh pemimpin Mesir (Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi) juga
dijelaskan secara lengkap dan komprehensif. Selanjutnya, juga terdapat
pembahasan terkait perbedaan massa demonstran penentang Mursi dan pendukung
Mursi. Terdapat empat poin yang diungkap terkait perbedaan demonstran; 1)
kekerasan versus aksi damai; 2) saat tiba waktu sholat; 3) kemaksiatan versus
shalat malam; 3) umpatan versus takbir; 4) dukungan media barat. Keempat poin
tersebut diungkapkan hanya untuk menunjukan sisi positif pendukung Mursi dan
18
menimbulkan efek negatif dari massa penentang Mursi yang berhaluan nasionalis-
sekuler. Kemudian di bagian akhir pembahasan di paparkan tentang keterlibatan
luar negeri dalam Revolusi Mesir. Tetapi secara keseluruhan, dilihat dari
penggunaan gaya bahasa dan cara penyajian, unsur subjektivitas (membela) Mursi
sangat diperlihatkan sehingga memberikan kesan “penelitian subjektif”.
Tinjauan kedelapan sekaligus yang terakhir adalah skripsi yang ditulis oleh
Wahyu Ardianti Woro Seto, Program Studi Sastra Arab UNS dengan judul
“Demokratisasi Mesir Pasca Husni Mubarak sampai Muhammad Mursi Tahun
2011-2013 (Studi Kepustakaan)”. Skripsi tersebut membahas proses demokrasi
Mesir yang melalui tahapan alot hingga menciptakan revolusi dalam dua setengah
tahun. Seto membagi transisi demokrasi menjadi tiga; 1) persiapan; 2) keputusan;
3) konsolidasi. Kemudian dikaji tentang kondisi Mesir saat jeda pemerintahan
setelah Hosni Mubarak. Pada akhir pemerintahan Mursi kronologi menjelang
kudeta terhadap Mursi di paparkan secara urut. Diantaranya dijelaskan bahwa
terjadi konflik antara kelompok Islamis dan Kristen Koptik, demo massa penuntut
Mursi, dan diakhiri dengan kudeta oleh militer. Dalam pembahasan kudeta oleh
militer, dijelaskan respon militer berupa tindakan represif terhadap kebijakan-
kebijakan Mursi, namun tindakan (kekerasan) yang dipaparkan hanya terhadap
massa pendukung Mursi sedangkan tindakan lanjutan terhadap Mursi tidak
disajikan.
Berdasarkan beberapa tinjauan kepustakaan yang penulis lakukan, semuanya
memusatkan pembahasan pada pergantian-pergantian pemerintahan Mesir yang
menimbulkan gejolak. Meskipun terdapat sedikit pembahasan terkait kronologi
maupun peristiwa penurunan Hosni Mubarak dan kudeta terhadap Mursi, kajian
19
tentang kekerasan dalam objek tersebut tidak dilakukan secara mendalam. Bahkan
boleh dikatakan belum ada yang mengkhususkan pada kekerasan yang terjadi.
Maka dari itu pada penelitian ini, memfokuskan pembahasan pada kekerasan yang
diimplementasikan sebagai buah dari gagasan pikiran baik dari sisi masyarakat
maupun militer yang kemudian berkembang menjadi sebuah budaya.
B. Perumusan Masalah
Rumusah masalah dari penelitian ini terdiri dari dua pokok permasalahan,
yaitu:
1. Apa saja kekerasan yang dilakukan masyarakat, polisi dan militer Mesir
dalam peristiwa turunnya Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi ?
2. Apa penyebab lahirnya kekerasan tersebut ?
C. Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menggambarkan berbagai kekerasan yang
dilakukan oleh masyarakat sipil, polisi dan militer pada revolusi Mesir
2011 dan 2013.
2. Untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kekerasan yang terjadi pada
peristiwa penurunan Hosni Mubarak dan Muhammad Mursi dari
jabatannya.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang
budaya kekerasan yang tercipta di tengah masyarakat sipil, polisi, dan badan
militer Mesir.
20
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan penelitian selanjutnya
tentang iklim kekerasan masyarakat Mesir pada peristiwa jatuhnya pemerintahan
Hosni Mubarak juga tentang peristiwa kudeta Mursi oleh militer Mesir, karena
hingga saat ini penelitian ilmiah tentang kekerasan di Mesir masih tergolong
minim.
E. Pembatasan Masalah
Dalam penelitian ini, akan membahas berbagai proses kekerasan yang terjadi
pada saat jatuhnya pemerintahan Hosni Mubarak (2011) dan Muhammad Mursi
(2013). Adapun alur pembahasannya dimulai dari mengulas kembali profil negara
Mesir yang berhubungan dengan sejarah pemerintahannya, jenis-jenis kekerasan
yang terjadi pada revolusi Mesir 2011 dan 2013, serta bentuk-bentuk kekerasan
yang dilakukan.
F. Teori
Penelitian skripsi ini menggunakan teori hegemoni. Teori hegemoni pertama
kali di cetuskan oleh Antonio Gramci (1891-1937). Teori Hegemoni yang
dimaksud oleh Gramci menunjuk pada kuatnya pengaruh kepemimpinan, dalam
bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelas yang dipimpin
dalam karakter konsensual (Purwasito, 2011: 45). Menurut Arif (dalam Purwasito,
2011: 45) konsensus yang terjadi dalam dua kelas ini (yang dipimpin dan yang
memimpin) bisa diciptakan melalui cara pemaksaan maupun pengaruh secara
terselubung, lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat
kekuasaan.
21
Kepemimpinan hegemoni juga harus memerhatikan sentimen-sentimen dari
masyarakat-bangsa dan tidak boleh tampak sebagai makhluk aneh atau asing yang
terpisah dari massa. Dalam konsep hegemoni Gramci, terdapat pemikiran tentang
negara-bangsa. Negara dan bangsa adalah dua konsep yang berbeda dalam politik
dunia. Dalam terminologi Gramci, dapat dikatakan bahwa bangsa dan identitas-
identitas etnis yang lain, dibentuk dalam masyarakat sipil. Masyarakat sebagian
dibentuk dalam sistem pendidikan. Adapun negara, sebagai suatu aparat koersif
yang mengontrol hukum dan administrasi “keadilan” dalam wilayah tertentu dan
lembaga hukum didalamnya membantu membentuk “suatu masyarakat” yang
tunduk terhadapnya (Bocock, 2007: 38-39).
Bagi Gramci, hegemoni tidak dilakukan dengan cara anarkis maupun
tindakan-tindakan persuasif, tetapi proses emansipasi dengan memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat (individu) untuk mengembangkan
potensi dan bakat yang dimilikinya (Purwasito, 2011:46). Kenyataan yang telah
kita saksikan bersama bahwa pada peristiwa lengsernya Hosni Mubarak akibat
kemarahan rakyat Mesir telah membuktikan bahwa pemerintahan yang sangat
membatasi masyarakat dengan kediktatoran yang cukup lama pada akhirnya dapat
menjadi bumerang. Menurut Gramci, apabila kekuasaan hanya dicapai dengan
mengandalkan kekuasaan memaksa (baca : diktator), maka hasil yang dicapai
hanya sebatas kata “dominasi” dan itu tidak akan bersifat langgeng (Sulasman &
Gumilar, 2013 : 209).
Menurut Heryanto (dalam Sulasman dan Gumilar, 2013 : 208) melalui
konsep hegemoni, Gramci beragumentasi bahwa jika ingin kekuasaan dapat abadi
dan langgeng membutuhkan dua perangkat kerja. Pertama, perangkat kerja yang
22
mampu melakukan berbagai tindak kekerasan yang bersifat memaksa, dengan kata
lain membutuhkan perangkat kerja yang bernuansa Law Enforcement. Perangkat
kerja ini biasa dilakukan oleh pranata negara melalui hukum, militer, polisi, bahkan
penjara. Kedua, perangkat kerja yang mampu membujuk masyarakat beserta
pranata-pranata negara untuk taat pada mereka yang berkuasa melalui kehidupan
beragama, pendidikan, kesenian, bahkan keluarga.
Apabila kita mengalihkan pandangan ke Mesir dengan berdasarkan
pandangan dari Gramci, pelengseran Hosni Mubarak dan kudeta terhadap Mursi,
disebabkan karena tidak seimbangnya eksistensi antar perangkat kerja. Pada masa
Hosni Mubarak, badan militer berkuasa melalui dirinya dan membatasi kebebasan
masyarakat serta ditambah dengan memburuknya kondisi negara. Sedangkan masa
Muhammad Mursi, kekuatan politik Islam yang diusung oleh IM seperti belum
mendapatkan restu seutuhnya dari seluruh pihak di Mesir.
Keadilan dalam kehidupan bernegara perlu mempertimbangkan unsur
keseimbangan antar kelompok manusia yang sama-sama menjadi “penghuni
negara”. Bagi penguasa yang benar-benar ingin melanggengkan kekuasannya
tentunya pasti akan mempertimbangkan perangkat kerja yang kedua agar
keseimbangan itu dapat tercapai. Dengan demikian, supremasi kelompok
(penguasa) atau kelas sosial tampil dalam dua cara, yaitu dominasi atau penindasan
dan kepemimpinan intelektual dan moral. Tipe yang kedua merupakan hegemoni,
sehingga hegemoni berarti kekuasaan melalui persetujuan atau konsensus. Pada
kesimpulannya, Hegemoni adalah rantai kemenangan yang didapat melalui
mekanisme konsensus (consenso) dari pada melalui penindasan terhadap kelas
sosial lain (Sulasman & Gumilar, 2013: 210).
23
G. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber data
primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari hasil wawancara para pengamat
atau ahli Timur Tengah, dan melalui beberapa kuesioner yang diisi oleh informan
langsung di Mesir. Adapun data sekunder diperoleh dari buku-buku, jurnal, dan
berita/koran yang membahas seputar kasus yang diangkat oleh peneliti. Untuk
sumber data kepustakaan diantaranya adalah :
1. Teori-Teori Kekerasan editor oleh Thomas Santoso
2. Revolusi Timur Tengah karya Apriadi Tamburaka
3. Arab Spring Badai Revolusi Timur Tengah yang Penuh Darah karya
M. Agastya ABM
4. Dari Istana ke Liang Lahat: Mursi karya Badriyah Huriyah
5. Liberation Square, Inside The Egyptian Revolution and The Rebirth of A
Nation karya Ashraf Khalil
6. Tweets From Tahrir karya Nadia Iddle dan Alex Nuns
H. Metode dan Teknik Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif
kualitatif. Penelitian kualitatif cenderung berkembang dan banyak berkembang
dalam ilmu-ilmu sosial yang berhubungan dengan perilaku sosial atau manusia
(Subana dan Sudrajat, 2001: 11). Metode pembahasan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode deduktif yaitu memfokuskan pembahasan dari umum
ke khusus.
24
Model pembahasan yang diterapkan adalah studi kasus tunggal. Studi kasus
tunggal ini berhubungan dengan penyikapan dimana peneliti mempunyai
kesempatan untuk mengamati dan menganalisis suatu fenomena yang tak
mengizinkan penelitian ilmiah (Yin, 1996: 47). Selanjutnya, model studi kasus
tunggal yang dimaksud adalah studi kasus tunggal terpancang yaitu pembahasan
kasus secara mendalam dan bukan menyeluruh (Yin, 1996: 51-53). Studi kasus
yang mendalam berarti memfokuskan pada satu kasus yang ekstrem atau unik
kemudian berusaha untuk mengungkap hal ihwal terkait yang masih dianggap
abstrak oleh khalayak umum.
Paradigma penelitian yang digunakan adalah paradigma naturalistik. Pada
paradigma ini peneliti berusaha menafsirkan fenomena budaya yang ditemuinya,
tidak memanipulasi atau mengontrolnya, dan lebih mengutamakan logic in action
(Endraswara, 2006 : 39).
2. Pengambilan dan Penyeleksian Data
Data dan sumber diperoleh melalui hasil wawancara beberapa informan
profesional, observasi, dan penelusuran dokumen.
a. Wawancara dilakukan dengan para peneliti di bidang Kajian Timur
Tengah, pejabat diplomat Kemlu RI, dan tokoh Pendeta Koptik. Hasil
dari wawancara kemudian di transkripsi dan dijadikan sumber data
primer atau menjadi rujukan berpikir peneliti.
b. Observasi dilakukan dengan memantau perkembangan berita melalui
surat kabar cetak maupun media online pada tahun 2011 dan 2013. Selain
itu, peneliti menyebarkan beberapa kuesioner di Mesir melalui kerja
sama mahasiswa Sastra Arab UNS yang sedang berada di Canal Suez
25
University. Kuesioner diberikan kepada beberapa WNI yang tinggal di
Mesir sekaligus menjadi saksi mata pada saat kejadian terjadi. Pemilihan
WNI sebagai informan dikarenakan kasus yang diangkat masih sangat
sensitif bagi warga Mesir sendiri baik di kalangan akademisi maupun
umum.
c. Penelusuran dokumen dilakukan dengan studi pustaka (library research)
di beberapa perpustakaan dan jurnal-jurnal terkait.
Setelah data dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah penyeleksian data. Data
hasil penelitian di lapangan dijadikan sebagai data primer sedangkan data dari
buku, berita, dan jurnal ilmiah dijadikan sebagai data sekunder. Data sekunder
dijadikan sebagai pendukung data primer agar data primer dapat dipertanggung
jawabkan validitasnya. Untuk menguji keabsahan data maka peneliti
menggunakan teknik triangulasi, yaitu usaha memahami data melalui berbagai
sumber, subjek peneliti, cara (teori, metode, teknik) dan waktu (Ratna, 2010: 241).
Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi
sumber, yaitu dengan membandingkan berbagai sumber data yang diterima dan
melakukan pengujian data melalui sumber data yang berbeda, pengecekan data
melalui pembanding ini berfungsi untuk menguji elemen data agar data yang
diperoleh valid dan bersifat objektif. Cara dalam menguji validitas data adalah:
a. Membandingkan hasil wawancara, pengamatan dan dokumen yang
diperoleh
b. Membandingkan pengakuan seorang informan secara pribadi dengan
pernyataan-pernyataannya di depan umum
26
c. Perbandingan pendapat sebagai orang biasa dan birokrat dengan situasi
pemberitaan media
3. Analisis Data
Setelah pengumpulan data, pengujian, dan penyeleksian data selesai maka
tahap selanjutnya adalah analisis data. Teknik analisis data menggunakan analisis
model interaktif. Menurut Miles dan Huberman analisis data dilakukan melalui
tiga tahapan utama: reduksi data, penyajian data dan penarikan simpulan (Ulber,
2009: 27).
Tahapan pertama, reduksi data dilakukan dengan cara mengklasifikasikan
data sesuai dengan esensinya. Pemilahan data pada tahap reduksi yang dilakukan
adalah dengan cara menetapkan data yang akan dianalisis melalui kegiatan
observasi non-partisipan serta wawancara. Pemilihan data dilakukan berdasarkan
derajat keabsahan data. Tahapan kedua, penyajian data yakni dengan melakukan
proses pemahaman makna melalui deskripsi dalam bentuk narasi hingga akhirnya
mengantarkan data menuju ulasan akhir. Pada tahapan terakhir yaitu penarikan
simpulan dari seluruh proses penelitian dengan menyertakan kritik dan saran.
Gambar 3. Tahapan Analisis Data Menurut Miles dan Huberman
Sumber: Silalahi. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Refika Aditama. Hlm. 27
27
I. Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam empat bab dengan masing-masing
beberapa sub bab untuk memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini.
Adapun rinciannya adalah sebagai berikut :
Bab I adalah pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, batasan masalah, teori, sumber
data, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab II merupakan pembahasan rumusan masalah pertama yang terdiri dari
empat sub bab yaitu; 1) Profil Mesir dan Pemerintahannya; 2) Agresi, Kekersan,
Revolusi; 3) Kekerasan Simbolik pada revolusi 2011; dan 4) Kekerasan fisik pada
revolusi 2011 dan 2013.
Bab III adalah pembahasan rumusan masalah kedua yaitu sebab-sebab
terjadinya kekerasan yang terdiri dari dua sub bab; 1) Kekerasan Simbolik pada
revolusi Mesir 2011; dan 2) Kekerasan fisik pada revolusi Mesir 2011 dan 2013.
Bab IV adalah penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan
saran yang bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Bagian paling terakhir di
sertakan juga daftar pustaka dan lampiran-lampiran selama penelitian berlangung.