LEMBAR PENILAIAN
PRAKTIKUM MATAKULIAH
PENCEMARAN LAUT
NO BAB NILAI
1 PENDAHULUAN
2 TINJAUAN PUSTAKA
3 MATERI METODE
4 HASIL PEMBAHASAN
5 PENUTUP
6 DAFTAR PUSTAKA
Semarang, 20 Desember 2015
Koordinator Asisten Asisten
Wahyu Bagio Leksono Wahyu Bagio Leksono
NIM.26020112130053 NIM.26020112130053
KOORDINATOR MATAKULIAH
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia mempunyai Perairan dengan topografi dasar perairan, jenis
ikan, udang dan biota laut lainnya yang sangat mendukung untuk dilakukan
suatu kegiatan penangkapan, mengakibatkan banyaknya alat tangkap yang
digunakan oleh nelayan Indonesia (Suyatman, 1997).
Salah satu PLTU-PLTGU di Tambak Lorok,Semarang Jawa Tengah
yang mensuplai kebutuhan listrik di Jawa dan Bali menghasilkan limbah panas
dan langsung dibuang ke badan air. Pembuangan air limbah secara langsung ke
badan air sekitarnya tanpa melalui proses pendinginan kembali dapat
menyebabkan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung berupa perubahan
kualitas perairan maupun pengaruh terhadap organisme yang hidup di dalam
badan airnya (Trihadiningrum dan Tjondronegoro,1998).
Perubahan suhu yang diakibatkan oleh pembuangan air limbah panas dari
pendingin mesin-mesin industri atau pembangkit tenaga listrik ke perairan laut,
lambat laun akan memiliki dampak terhadap biota perairan.Limbah air panas dari
instalasi pembangkit listrik biasanya dibuang secara langsung ke sungai sehingga
meningkatkan suhu air dan menimbulkan pencemaran termal. Kenaikan suhu 10
derajat dapat mempercepat aktivitas metabolisme biota air menjadi dua kali dari
biasanya.Karena masing-masing jenis biota air memiliki kecepatan metabolik
yang berbeda, maka biota air hanya dapat hidup pada rentangan suhu tertentu
yang berbeda-beda untuk setiap kelompok biota. Populasi hewan air akan
menurun pada suhu tinggi, hanya sedikit jenis hewan yang dapat hidup pada suhu
di atas 40oC.
Menurut Sunarsih, menunjukkan bahwa limbah air panas yang dibuang ke
perairan dapat merubah kondisi perairan yang berakibat naiknya suhu lebih
tinggi dari suhu ambien level-nya (30°C) sebesar 7°C. Naiknya suhu perairan
berpengaruh terhadap kelarutan oksigen dalam air. Semakin tinggi suhu air,
maka kelarutan oksigen makin rendah sehingga kandungan oksigen terlarut akan
kecil. Kenaikan suhu di perairan menyebabkan oksigen terlarut menurun,
kebutuhan oksigen bialogi (BOD) meningkat dan kebutuhan oksigen kimia
(COD) meningkat.
Untuk mengetahui sebaran air limbah ke badan air sekitarnya tersebut
perlu adanya suatu sistem yang informatif karena berdasarkan penelitian-
penelitian yang ada pada umumnya hanya memberikan database yang kadang
kurang memberikan kemudahan untuk dipahami dengan baik dan kurang
informatif padahal informasi tersebut sangat diperlukan untuk program
mengenai kualitas lingkungan dimasa datang (Bhattacharya et al., 2003).
Sistem yang informatif akan memberi kemudahan dalam analisa kondisi
lingkungan yang terjadi khususnya mengenai kondisi penyebaran limbah air
panas dan kemungkinan perubahan salinitasnya.
I.2 Tujuan Praktikum
Untuk mengetahui distribusi penyebaran limbah panas di daerah
pembuangan.
Untuk mengetahui sebaran organisme yang terkena dampak pencemaran.
I.3 Manfaat Praktikum
Mampu melakukan pengukuran parameter lingkungan di perairan
tercemar limbah panas PLTU.
Mampu melakukan analisa distribusi penyebaran limbah panas PLTU
Tambak Lorok.
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Pencemaran Laut
Sumber utama dari pencemaran laut dikategorikan menjadi dua yaitu
sumber kontaminan langsung dan tidak langsung (Warlina, 2004). Sumber
langsung meliputi limbah industri, limbah pertanian, limbah domestik,
pengeboran minyak lepas pantai, transportasi kapal laut, tumpahan minyak di laut.
Sumber tidak langsung adalah adalah kontaminan yang memasuki badan air dari
tanah, air tanah atau dari atmosfir berupa air hujan.
Lebih lanjut Dahuri dan Damar (1994) mengatakan bahwa sumber bahan
pencemar perairan laut dapat dibagi atas dua jenis yaitu:
1) Point sources yaitu sumber pencemar yang dapat diketahui dengan pasti
keberadaannya, contoh: pencemar yang bersumber dari hasil buangan pabrik
atau industri.
2) Non point sources yaitu sumber pencemar yang tidak dapat diketahui secara
pasti keberadaannya, contoh: buangan rumah tangga, limbah pertanian,
sedimentasi serta bahan pencemar lain yang sulit dilacak sumbernya.
Dahuri dan Damar (1994) menyatakan bahwa ditinjau dari daya
uraiannya maka bahan pencemar pada perairan laut dapat dibagi atas dua jenis
yaitu:
1) Senyawa-senyawa konservatif merupakan senyawa yang muda terurai dan
berubah bentuk di dalam suatu badan perairan, contoh: senyawa organik
seperti karbohidrat, lemak dan protein yang mudah terlarut menjadi zat-zat
anorganik oleh mikroba.
2) Senyawa-senyawa non konservatif senyawa-senyawa yang dapat bertahan
lama di dalam suatu badan perairan sebelum akhirnya mengendap ataupun
terabsorbsi oleh adanya berbagai reaksi fisik dan kimia perairan, contoh:
logam berat, pestisisda, dan deterjen.
II.2 Pencemaran Limbah Panas
Pencemaran air limbah panas (thermal pollution) adalah masukan dalam
jumlah besar air yang mengalami pemanasan dari satu atau sejumlah industri yang
menggunakan sumber yang sama sehingga temperatur airnya melebihi kondisi
normalnya serta dapat menyebabkan efek merugikan pada kehidupan perairannya.
Industri air pendingin merupakan sumber awal panas dimana pembangkit tenaga
listrik menggunakan 80% air pendingin (Neves dan Lourenco 1996; Kristanto,
2002). Luas pengaruh limbah panas tergantung pada beberapa faktor yaitu volume
air limbah, temperatur air limbah, temperatur air tempat pembuangan limbah, arus
atau sirkulasi massa air tempat pembuangan limbah panas. Limbah panas
menyebabkan pengaruh baik fisik, kimia maupun biologi. Secara fisik
berpengaruh terhadap densitas, viskositas, tekanan uap, dan kelarutan. Pengaruh
terhadap densitas dan viskositas berdasarkan hukum stokes tentang pengendapan
padatan dalam medium non-turbulen seperti dirumuskan sebagai berikut
(Tchobanoglous dan Burton, 1991; Neves dan Lourenco,1996), dengan :
V = D²g / 18π (ρs-ρf)
Ket :
Vt = kecepatan pengendapan (m/s)
D = diameter partikel (m)
g = kecepatan gravitasi (m/s2)
µ = viskositas dinamik (N.s/m2)
ρs = densitas padatan (kg/m3)
ρf = densitas cairan (kg/m3)
Berdasarkan persamaan tersebut dapat dilihat bahwa temperatur akan
mengalami kenaikan dengan penurunan ρf and µ Dan kemudian Vt naik, dimana
kenaikan temperatur dipengaruhi oleh lokasi dan jumlah deposit sedimen.
Densitas yang sedikit berbeda (0,001-0,002) dapat disebabkan oleh adanya
stratifikasi, juga tergantung pada kedalaman dan pergerakan air yang menghambat
percampuran secara vertikal (vertical mixing) dan transfer oksigen. Pengaruh
terhadap tekanan uap yang akan naik sejalan dengan kenaikan temperatur dan
mempengaruhi laju evaporasi yang akan naik sejalan dengan kenaikan tekanan
uap karena adanya perbedaan tekanan uap udara dan air serta aliran udara seperti
persamaan sebagai
berikut (Neves dan Lourenco,1996), dengan:
F= CW/L (es – ea)
Ket :
F = flux evaporasi (kg m-2 s-1)
L = panas aten (J kg-1)
C = coefisien empiris evaporasi
W =keceptan angin (m s-1)
es = tekanan uap dari udara jenuh pada temperatur di permukaan
air (Pa)
ea = tekanan uap lapisan udara (Pa)
Kelarutan gas secara langsung sebanding dengan tekanan parsial yang
dipengaruhi temperatur pada kondisi setimbang. Perubahan temperatur
menyebabkan oleh perubahan keseimbangan dinamis oksigen dalam air yang
kompleks yang berhubungan dengan reaerasi atmosfir, produksi fotosintesis,
difusi, mixing dan sebagainya. Pengaruh secara kimia adalah terhadap kecepatan
reaksi dimana reaksi pada kondisi yang setimbang akan berubah sejalan dengan
perubahan temperatur. Kecepatan reaksi akan naik sekitar duakalinya untuk setiap
kenaikan 100C. Banyak reaksi yang mempengaruhi kualitas air yaitu reaksi
biokimia dan sekitar pusat aktivitas mikroba. Rasa dan bau terjadi pada air yang
hangat karena terjadinya penurunan kelarutan terutama gas H2S, SO2, CH4, SOx.
Efek temperatur mempunyai dampak spesifik sehingga perlu dipelajari efeknya
terhadap spesies lokal yang penting. Tingkat oksigen dan salinitas turut
mempengaruhi efek tersebut. Penurunan oksigen terlarut dan kenaikan laju
metabolisme dapat berkombinasi yang membuat lingkungan kurang sesuai bagi
kehidupan ikan.
II.3 PLTU
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) adalah pembangkit yang
mengandalkan energi dari uap untuk menghasilkan energi listrik. Pembangkit
listrik ini menggunakan bahan bakar batubara, minyak atau gas sebagai
sumber energi primer (Marsudi, 2005).
Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), merupakan salah satu
andalan pembangkit tenaga listrik yang merupakan jantung untuk kegiatan
industri. Salah satu bahan bakar yang digunakan adalah batubara. Konsep
dasar dari PLTU batubara ini adalah batubara sebagai bahan bakar utama harus
disediakan dengan kualifikasi tertentu untuk jangka waktu lama (Sukandarrumidi,
2006). Prinsip kerja PLTU batubara secara umum adalah sebagai berikut
(Nursyahid, 2013):
Gambar 1. Prinsip Kerja PLTUKeterangan gambar :1. Cooling tower 15. Penampung batubara2. Cooling water pump 16. Pemecah batubara3. Transimission line 3 phase 17. Tabung Boiler4. Transformer 3-phase 18. Penampung abu batubara5. Generator Listrik 3-phase 19. Pemanas6. Low pressure turbine 20. Forced draught fan7. Boiler feed pump 21. Preheater8. Condenser 22. combustion air intake9. Intermediate pressure turbine 23. Economizer10. Steam governor valve 24. Air preheater11. High pressure turbine 25. Precipitator12. Deaerator 26. Induced air fan13. Feed heater 27. Cerobong14. Conveyor batubara
II.4 Parameter Lingkungan
II.4.1 Parameter Fisika
a) Temperatur
Suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan
organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme
maupun perkembangbiakan diri organisme-organisme tersebut. Oleh karena
itu tidaklah mengherankan jika banyak dijumpai berbagai macam jenis
hewan di dunia. Sebagai contoh binatang karang dimana penyebarannya
sangat dibatasi oleh perairan yang hangat yang terdapat di daerah tropik dan
subtropik. Faktor yang mempengaruhi perbedaan pemanasan adalah sinar
matahari yang merambat melalui dan perbedaan sudut atau elevasi datang
sinar matahari ketika atmosfir mencapai permukaan bumi (Hutabarat dan
Evans, 1985).
Suhu adalah ukuran energi gerakan molekul secara horizontal sesuai
dengan garis lintang dan secara vertikal sesuai dengan kedalaman.
Metabolisme organisme biasanya berkisar pada suhiu antara 0-40° C.
Semua organisme laut, kecuali burung-burung dan mamalia laut bersifat
poikilotermik atau ektotermik, artinya suhu tubuhya dipengaruhi oleh suhu
massa air di sekitarnya. Berdasarkan penyebaran suhu permukaan laut dan
penyebaran organisme secara
keseluruhan, dapat dibedakan empat zona biogeografik utama: kutub,
tropik,beriklim sedang-panas, dan beriklim sedang dingin (Nybakken,
1985).
b) Arus
Air laut selalu dalam keadaan bergerak, gerakan - gerakan ini
disebabkan karena beberapa faktor, seperti angin yang berhembus di atas
permukaan laut, pengadukan yang terjadi karena perbedaan suhu air laut dan
dua tinggi permukaan laut, pasang surut dan lain lain.Gerakan air laut ini
sangat penting bagi berbagai proses alam laut, baik itu biologik atau non
biologik, gerakan air ini dikenal sebagai arus gelombang, pemukaan massa
air (upwelling), tenggelaman massa air (downwelling) dan sebagainya
(Romimohtarto, 2001).
Arus merupakan gerakan massa air dengan skala luas yang terjadi di
seluruh perairan laut dunia. Arus merupakan faktor yang menentukan arah
pelayaran, arus biasanya disebabakan karena hembusan angin di permukaan
perairan, selain itu arus juga dipengaruhi oleh faktor - faktor lain seperti
bentuk topografi dasar lautan dan pulau - pulau yang ada di sekitarnya, gaya
coriolis dan juga arus ekman. Pada arus lautan terdapat arus air vertikal
yang disebut dengan upwelling, upwelling sendiri merupakan proses dimana
massa air didorong keatas dari kedalaman sekitar 100 sampai 200 meter dan
dapat terjadi disepanjang pantai barat dibeberapa benua dan di beberapa
samudra tertentu (Hutabarat dan Evans, 1985).
II.4.2 Parameter Kimia
a) pH (Derajad Keasaman)
Perubahan nilai derajat keasaman (pH) dan konsentrasi oksigen yang
berperan sebagai indikator kualitas perairan dapat terjadi sebagai akibat
berlimpahnya senyawa-senyawa kimia baik yang bersifat polutan maupun
bukan polutan. Limbah yang mengalir ke dalam perairan laut pada
umumnya kaya akan bahan organik, berasal dari bermacam sumber seperti
limbah rumah tangga, pengolahan makanan dan bermacam industri kimia
lainnya. Bahan organik dalam limbah tersebut terdapat dalam bentuk
senyawa kimia seperti karbohidrat, protein, lemak, humus, surfaktan dan
berbagai zat kimia lainnya. Air laut umumnya memiliki nilai pH di atas 7
yang berarti bersifat basis, namun dalam kondisi tertentu nilainya dapat
menjadi lebih rendah dari 7 sehingga menjadi bersifat asam. Sebagian besar
biota akuatik sensitif terhadap perubahan nilai pH, nilai yang ideal untuk
kehidupan antara 7 – 8,5. Pada nilai pH yang lebih rendah (< 4), sebagian
besar tumbuhan air mati karena tidak dapat bertoleransi terhadap pH rendah
(Susana, 2009).
b) Salinitas
Menurut Ghufron (2010) Salinitas Adalah Konsentrasi Keseluruhan larutan
yang diperoleh dari dalam ir laut. Konsentrasi garam-garam jumlhnya
relative sama dengan setiap contoh air laut,sekalipun pengambilanya
dilakukan di tempat yang berbeda. Oleh karena itu tidak diperlukan untuk
mengukur seluruh salinitas dari contoh setiap kali. Cara yang biasa
dilakukan untuk memnentukan salinitas adalah menghitung jumlah kadar
garam yang dalam suatu sampel, disebut chlorinitas. Dengan rumus:
Menurut Arief (1984) Salinitas didefinisikan sebagai berat dalam gram dari
semua zat padat yang terlarut dalam 1 kilo gram air laut jikalau semua brom
dan yodium digantikan dengan khlor dalam jumlah yang setara; semua
karbonat diubah menjadi oksidanya dan semua zat organik dioksidasikan.
Dalam 1 kg air laut kira-kira 35 gram terlarut konsentrasi tersebut
dinyatakan sebagai 35 ppt (part per thousand). Nilai salinitas air laut
berkisar antara 33-38 ppt. Di dalam oseanografi terdapat dua metode untuk
menentukan salinitas, yaitu salinitas absolute dan salinitas praktis
II.5 Dampak Pencemaran Thermal
Menurut Haryono (2007) dampak dari adanya pencemaran atau
limbah panas diantaranya adalah :
1. Penurunan DO (Dissolved Oxygen)
Tingkat: Suhu hangat mengurangi kadar DO (Dissolved Oxygen) dalam air.
Air hangat memegang oksigen yang relatif kurang dari air dingin. Penurunan
DO dapat membuat sesak napas bagi tanaman dan hewan seperti ikan, amfibi
dan copepoda, yang dapat menimbulkan kondisi anaerobik. Air yang lebih
hangat memungkinkan ganggang tumbuh subur di permukaan air dan dalam
jangka panjang pertumbuhan ganggang dapat menurunkan tingkat oksigen
dalam air.
0/00 = Chlorinitas x 1,817
2. Peningkatan Racun
Dengan aliran konstan debit suhu tinggi dari industri, ada peningkatan besar
dalam racun yang sedang muntahan ke dalam tubuh alami air. Racun ini dapat
mengandung bahan kimia atau radiasi yang mungkin memiliki pengaruh
buruk pada ekologi lokal dan membuat mereka rentan terhadap berbagai
penyakit.
3. Kehilangan Keanekaragaman Hayati
Aktivitas biologis di dalam air dapat menyebabkan kerugian yang signifikan
dari keanekaragaman hayati. Perubahan lingkungan dapat menyebabkan
beberapa spesies organisme untuk menggeser basis mereka ke tempat lain
sementara mereka bisa sejumlah besar spesies yang bisa berubah di karenakan
perairan hangat. Organisme yang dapat beradaptasi dengan mudah dapat
memiliki keuntungan lebih dari organisme yang tidak terbiasa dengan suhu
hangat.
4. Dampak Ekologis:
Sebuah thermal shock tiba-tiba dapat mengakibatkan pembunuhan massal
ikan, serangga, tanaman atau amfibi. Air yang lebih panas dapat membuktikan
menguntungkan bagi beberapa spesies sementara itu bisa mematikan bagi
spesies lain. Suhu air kecil meningkatkan tingkat aktivitas, sementara suhu
yang lebih tinggi menurunkan tingkat aktivitas. Banyak spesies air yang
sensitif terhadap perubahan suhu yang kecil seperti satu derajat Celsius yang
dapat menyebabkan perubahan signifikan dalam metabolisme organisme dan
efek biologi seluler yang merugikan lainnya.
5. Mempengaruhi Sistem Reproduksi
Sebuah perlambatan cukup signifikan dalam reproduksi satwa laut (meskipun
ini mungkin benar, reproduksi masih dapat terjadi antara ikan - tapi
kemungkinan cacat pada bayi baru lahir lebih tinggi secara signifikan) dapat
terjadi karena meningkatnya temperatur reproduksi dapat terjadi dengan dalam
kisaran tertentu suhu. Suhu yang berlebihan dapat menyebabkan pelepasan sel
telur yang belum matang atau dapat mencegah perkembangan normal telur
tertentu.
6. Meningkatkan Metabolic Rate
Polusi Termal meningkatkan tingkat metabolisme organisme sebagai
peningkatan aktivitas enzim terjadi yang menyebabkan organisme untuk
mengkonsumsi lebih banyak makanan dari pada apa yang biasanya
diperlukan, jika lingkungan mereka tidak berubah. Ini mengganggu stabilitas
rantai makanan dan mengubah keseimbangan komposisi jenis.
II.6 Limbah Cair PLTU
Limbah cair bersumber dari pabrik yang biasanya banyak menggunakan
air dalam proses produksinya. Di samping itu ada, pula bahan baku yang
mengandung air sehingga dalam proses pengolahannya, air tersebut harus dibuang
(Kristanto, 2013).
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 08 tahun 2009, air
limbah dari usaha dan/atau kegiatan pembangkit listrik tenaga termal bersumber
dari: proses utama, kegiatan pendukung dan kegiatan lain yang menghasilkan oily
water. Proses utama adalah proses yang menghasilkan air limbah yang bersurnber
dari proses pencucian (dengan atau tanpa bahan kimia) dari semua peralatan
logam, blowdown cooling tower, blowdown boiler, laboratorium, dan regenerasi
resin water treatment plant. Kegiatan pendukung meliputi kegiatan fasilitas
air pendingin, kegiatan fasilitas desalinasi, kegiatan fasilitas stockpile batu bara,
dan kegiatan air buangan dari fasilitas flue gas desulphurization (FGD)
sistem seawater scrubber.
Air buangan dari pabrik membawa sejumlah padatan dan partikel, baik
yang larut maupun mengendap. Kerap kali air buangan pabrik berwarna keruh dan
bersuhu tinggi. Air limbah yang tercemar mempunyai ciri yang dapat
diidentifikasi secara visual lewat kekeruhan, warna, rasa, bau, yang ditimbulkan
dan indikasi lainnya. Secara laboratorium, limbah cair ditandai dengan
peruabahan sifat kimia air, dimana air telah mengandung bahan berbahaya
dan beracun (B3) dalam konsentrasi yang telah melampauhi batas Kristanto
(2013).
III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi
3.1.1 Waktu dan tempat Praktikum
Hari, Tanggal : Sabtu, 5 Desember 2015
Pukul :10.10 WIB-10.35 WIB
Tempat :Kawasan PLTU Tambak Lorok
3.1.2 Alat dan Bahan
3.1.2.1 alat
Tabel 1. Alat yang digunakan
No Nama Alat Gambar Fungsi1 GPS Untuk menentukan titik
lokasi untuk menentukan arah
2 Kompas Tembak
untuk menentukan arah
3 Sedimen Grab Untuk mengambil mikroorganisme bentos
4 Panci pengayak Untuk mengayak sedimen
5 ATK Untuk mencatat hasil pengukuran
6 Kamera Sebagai alat dokumentasi
7 Bola Duga Untuk mengukur kecepatan arus
8 Termometer Untuk mengukur suhu perairan
9 Stopwatch Untuk mengukur waktu yang dibutuhkan tali pada bola duga sampai menegang
10 Refraktometer Untuk mengukur salinitas
3.1.2.2 Bahan
Tabel 2. Bahan yang Digunakan
No Nama Bahan Gambar Fungsi1 Kertas Lakmus Untuk mengukur pH
perairan
2 Air laut tercemar
Bahan yang akan diu
3.2. Metode
3.2.1 Metode Praktikum Lapangan
3.2.1.1 Suhu
1. Menyiapkan termometer
2. Menentukan titik pada stasiun yang akan diukur suhunya
3. Mencelupkan termometer pada perairan kemudian tunggu hingga
suhunya stabil
4. Membaca suhu yang terstruktur pada termometer dan dicatat
5. Mengulangi pengukuran suhu pada 3 stasiun yang berbeda
3.2.1.2 Salinitas
1. Menyiapkan refraktometer dan pipet tetes
2. Menentukan titik pada stasiun yang akan diukur salinitasnya
3. Mengambil sampel air laut dengan pipet tetes kemudian teteskan pada
tempat sampel pada refraktometer
4. Mengarahkan refraktometer ke arah sumber cahaya kemudian membaca
salinitas pada refraktometer
5. Mencatat salinitas perairan dan mengulang pengukuran salinitas 3
stasiun yang berbeda
3.2.1.3 pH
1. Menyiapkan kertas lakmus (indikator pH)
2. Menentukan titik pada stasiun yang akan diukur pHnya
3. Mencelupkan kertas pH pada perairan kemudian tunggu hingga terjadi
perubahan warna
4. Membandingkan hasil kertas pH dengan indikator pH
5. Mencatat pH yang diperoleh, lakukan pada stasiun yang berbeda
3.2.1.4 Arus
1. Menyiapkan bola duga dan kompas tembak
2. Menentukan titik pada saluran yang akan diukur
3. Memasukkan bola duga pada perairan dan menghitung waktu yang
diperlukan hingga tali menegang menggunakan stopwatch
4. Menentukan arah arus menggunakan kompas tembak
5. Mencatat hasil pengukuranpada 3 stasiun yang berbeda
3.2.1.5 Biota yang Ditemukan
1. Menyiapkan Grab Sampler dan tissue
2. Menentukan titik pada stasiun yang kan diambil sedimennya
3. Membuka grab sampler dan mencuci alat, memasukka grab sampler
pada perairan hingga dasar perairan
4. Menarik grab sampler dengan tali yang terpasang hingga kepermukaan
5. Membuka grab sampler dan mengeluarkan sedimen yang terisi pada
grab sampler, memasukkan pada panci pengayak
6. Mengambil organisme bentos yang tertangkap dan letakkan pada tissue
7. Menghitung jumlah organisme bentos, mencatat hasil perhitungan
8. Melakukan pengukangan pada stasiun yang berbeda
3.2.2 Software Surfer
1. Membuka aplikasi surfer
2. Membuka notepad surfer serial
3. Masukan serial pertama pada notepad ke serial number pada software
surfer 9
4. NEXT, kemudian pilih register now lalu finish
5. Lalu klik New, Klik Base Map. Pilh folder yang berisi titik-titik
6. Klik New, klik Page Setup. Pilih paper size, letter. Kemudian width dan
height dirubah.
7. Lalu kik kanan Map dan pilih Digitaze
8. Akan muncul gambar yang ada titiknya dan notepad yang ada nilai
digitaze
9. Klik bagian titik digitaze, sebanyak 9 titik
10. Klik file, save output. Pilih dimana folder akan disimpan dan beri nama
file dengan nama_nim
11. Klik new, klik open, buka file dengan format bln
12. Maka akan terbuka file yang sudah tersimpan, lalu masukkan data rata-rata
suhu pada tiap titik dan stasiun
13. Buka kembali Plot 1, lalu klik Grid, pilih Data, Pilih Data yang telah
disimpan dengan format .bln. Maka akan pilih grid data dan klik OK.
Maka akan muncul Gridding Report di Notepad
14. Ubah nama Gridding Report menjadi nama kelompok.
15. save Surfer
16. Klik map, klik new dan klik contour map
17. Buka data HendriLahagu_3140118.grd
18. Akan muncul kontur pada peta
19. Klik kiri Contours , kemudian klik Properties. Checklist fill contours, color
scale, dan smooth contours. Lalu klik Apply
20. Klik Levels, kemudian rubah Foreground color menjadi Gravity
21. Colormap dipilih, dan opacity dirubah menjadi 40%
22. Akan muncul hasil seperti ini
23. Klik kiri pada contours, pilih properties. Klik Levels, dan atur contour
levels. Minimum dirubah menjadi 36. Data maximum dirubah menjadi 44
dan interval 0,2. Lalu klik OK. Pilih Apply
24. Akan muncul hasi seperti ini
25. Buat rectangle sebagai tempat text
26. Buat text. Ketik PRAKTIKUM PENCEMARAN LAUT PENCEMARAN
LIMBAH PANAS
27. Klik file, klik import dan masukkan lambang undip
28. Masukkan nama dan export file dengan format jpg dengan nama_nim
IV. HASIL DAN PEMBAHASANIV.1 Hasil
IV.1.1 Hasil Berupa Tabel
IV.1.2 Hasil Surfer
Gambar 2. Hasil layout distribusi limbah panas PLTU
IV.2 Pembahasan
Limbah air panas hasil buangan dari PLTU secara langsung dibuang ke
sungai sehingga meningkatkan suhu air dan menimbulkan pencemaran termal.
Pencemaran panas berdampak buruk bagi kualitas perairan disekitarnya serta biota
yang hidup didaerah tersebut.
Pada pengukuran parameter lingkungan yang telah dilakukan di peroleh
nilai suhu berkisar 38-42oC dimana suhu tertinggi berada pada limbah pusat
pembuangan limbah (stasiun 1). Semakin jauh dari titik buangan (outfall) limbah
air panas, maka suhu semakin menurun hingga mencapai suhu normal (alami)
perairan seperti pada stasiun 3 yang jauh dari sumber pembuangan. Ketika limbah
air panas bercampur dengan air laut, penyebarannya merata dan tidak mengendap
seperti limbah cair yang berbahan kimia sehingga terjadi penurunan suhu dengan
bertambanhya jarak dari outfall (titik buangan) PLTU.
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari ketiga stasiun yaitu stasiun I pada
wilayah sumber pencemar, stasiun II menggunakan sopek serta stasiun serta
stasiun III di wilayah jembatan. Dari ketiga stasiun tersebut diambil masing –
masing tiga titik pengamatan dengan koordinat yang berbeda. Parameter kualitas
air pun diukur untuk mengetahui pola persebaran atau distribusi pembuangan
limbah PLTU Tambak Lorok dan biota yang mampu beradaptasi dengan
lingkungan tersebut. Parameter kualitas air yang diukur diantaranya adalah suhu,
salinitas, dan pH. Parameter fisik yang diukur adalah kecepatan dan arah arus.
Sedangkan parameter biologi yang diamati adalah jumlah biota yang terdapat di
sekitar pembuangan limbah PLTU.
Parameter yang pertama adalah suhu, dari ketiga stasiun yang diamati
suhu berkisar antara 38 oC sampai dengan 42oC yang mana kisaran suhu tertinggi
pada stasiun II yaitu stasiun diantara stasiun I dan III yang agak jauh dari lokasi
pembuangan limbah, dan suhu terendah pada stasiun III yaitu stasiun yang terjauh
dari sumber panas. Seharusnya suhu yang paling tinggi terukur pada stasiun I
kemudian berangsur-angsur menurun hingga stasiun II dan III karena stasiun I
merupakan stasiun terdekat dengan tempat pembuangan limbah dan percampuran
antara air limbah dan air laut belum sempurna.
Selanjutnya adalah pengukuran salinitas yang mana didapatkan semakin
tinggi suhu maka semakin rendah salinitasnya, hal ini berbanding terbalik dengan
hubungan antara suhu dan salinitas yang mana menyebutkan bahwa semakin
tinggi suhu perairan maka semakin tinggi pula salinitas perairan tersebut. Hal ini
terjadi karena limbah panas PLTU tidak hanya sekedar air dengan suhu tinggi,
namun ditambah pula dengan kandungan – kandungan senyawa lain yang dapat
menurunkan tingkat salinitas perairan, selain itu pengukuran salinitas ini
dilakukan pada saat musim penghujan dengan curah hujan yang cukup tinggi
sehingga dapat meningkatkan tingkat kelarutan pada perairan tersebut.
Pengukuran parameter pH, kadar keasaman yang didapatkan pada stasiun
I (sumber pencemar) cenderung basa yang mana disebabkan banyaknya senyawa
– senyawa kimia yang dihasilkan oleh limbah PLTU. Sementara pada stasiun II
pH 6 termasuk dalam golongan asam lemah karena pada wilayah tersebut air
limbah mengalir dengan kecepatan yang cukup tinggi sehingga meminimalisir
senyawa limbah untuk mengendap sehingga semakin sedikit pula yang
mempengaruhi pH perairan. Selanjutnya, untuk stasiun III pH cenderung normal
sedikit asam karena kecepatan arus yang tidak terlalu besar dan ditambahnya
limbah – limbah rumah tangga yang ada di dekat wilayah pengambilan sample,
mengingat pada wilayah tersebut terdapat warung yang membuang air bilasan
cuci piring ke perairan tersebut.
Pada pengukuran kecepatan arus terjadi ketidaksesuaian, pada data
diperoleh kecepatan arus tertinggi pada stasiun III dan yang terendah pada stasiun
II. Hal tersebut tidak sesuai karena stasiun yang paling sedikit terpengaruh sumber
pembuangan limbah memiliki kecepatan yang lebih rendah dari pada stasiun yang
letaknya lebih dekat dengan sumber pencemar. Namun arus juga dapat
dipengaruhi oleh factor lain seperti angina.
Dalam hal ini mengindikasikan bahwa biota yang mampu hidup di
wilayah yang tercemar limbah panas hanya dari genus gastropoda dan dengan
ukuran yang kecil hal ini dikarenakan gastropod berperan sebagai biofilter yang
mampu menyerap berbagai macam senyawa – senyawa bahkan logam berat
sekalipun. Tiga titik yang diukur pada stasiun II terletak pada koordinat yang
berbeda, pada titik pertama dimulai dari titik terdekat dari sumber pencemar,
sehingga hanya didapatkan 15 gastropoda. Pada titik yang kedua dilanjutkan
sedikit jauh dari sumber pencemar dan ditemukan 30 gastropoda, dan pada titik
ketiga merupakan titik pada stasiun II yang terjauh dari sumber pencemar dan
didapatkan 112 gastropoda. Hal tersebut menandakan bahwa semakin jauh lokasi
dari sumber pencemar, kemampuan bertahan hidup suatu organisme semakin
bertambah.
pH perairan tinggi pada pusat pembuangan limbah, ini diduga disebabkan
karena senyawa kimia yang terkandung dalam air limbah sehingga menyebabkan
pH perairan bersifat basa. Lain dengan stasiun 3 yang jauh dari pusat pembuangan
limbah, pH perairan menurun diduga disebabkan oleh penyebaran pH secara
merata dengan air sungai di sekitarnya.
Kenaikan suhu 10oC dapat mempercepat aktivitas metabolisme biota air
menjadi dua kali dari biasanya, ini karena kenaikan suhu mengurangi kandungan
oksigen terlarur didalam suatu perairan. Karena hal tersebut, tidak banyak biota
yang mampu hidup pada suhu tinggi. Dari hasil pengamatan, hanya ada beberapa
ikan yang masih dapat bertahan hidup, serta gastropod yang banyak ditemukan.
Gatropod bersifat non motile atau tidak dapat berpindah tempat, sehingga
gastropod memiliki kemampuan beradaptasi dari berbagai pengaruh lingkungan,
salah satunya limbah panas.
V. PENUTUP
V.1 Kesimpulan
1. Distribusi penyebaran limbah panas dari pusat pembuangan (stasiun
1) membuat suhu perairan menjadi panas, tetapi semakin menjauh
dari pusat limbah (stasiun 2 dan stasiun 3) suhu perairan semakin
menurun seiring dengan bercampurnya air limbah panas dengan air
sungai yang dingin.
2. Daerah yang terkena dampak pencemaran limbah panas hanya
terdapat biota gastropod dan ikan, dengan jumlah yang sedikit
terutama dibagian yang paling dekat dengan jalur pembuangan
limbah (stasiun 1), sedangkan stasiun 2 dan 3 hanya terdapat
gastropod dengan jumlah yang lebih banyak.
V.2 Saran
1. Praktikan sebaiknya memperhatikan asisten saat praktikum lapangan
dilaksanakan.
2. Memaksimalkan waktu yang ada untuk melaksanakan praktikum
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, Kadir. 1995. Energi. Jakarta: UI- Pers.
APHA (American Public Health Association). 1989. Standard methods for the
examination of water and wastewater. 17th ed. APHA, AWWA
(American Water Works Association) and WPCF (Water Pollution
Control Federation). Washington DC 3464 p
Barnes, R. D. 1987. Invertebrate Zoology. New York: Sounders College
Publishing
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan
Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta : Kanisius.
GESAMP. 1986. Environmental Capacity an Approach to Marine Pollution
Prevention. Reports and Studies GESAMP No. 30. Rome, FAO. 49 p
Gross, M.G. 1972. Oceanography A View of The Earth. Prentice Hall, Inc.
Englewood Cliffs, New Jersey.
Handayani, E. A.2006. Keanekaragaman Jenis Gastropoda di Pantai Randusanga
Kabupaten Brebes Jawa Tengah. Semarang: Skripsi FMIPA
Universitas Negeri Semarang.
Harminto, S. 2003. Taksonomi Avertebrata. Jakarta: Penerbit Universitas
Terbuka.
Huboyo, Haryono Setiyo dan Zaman, Badrus. 2007. Analisis Sebaran
Temperatur dan Salinitas Air Limbah PLTU-PLTGU Berdasarkan
Sistem Pemetaaan Spasial (Studi Kasus : PLTU-PLTGU Tambak
Lorok Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro
Kristanto, Philip. 2002. Ekologi Industri. LPPM Universitas Kristen Petra
Surabaya & Andi Yogyakarta
Neves, R., dan Lourenco, S. 1996. Thermal Pollution.
http://www.Cape.canterbury.ac.Nz/archive/THERMAL/tte1.htm
Nybakken, J. W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia.
Jakarta
Odum, E. P. 1971. Fundamentals of Ecology. W.B. Sounders Company Ltd.
Philadelphia.
Pramudianto, Bambang. 1999. Sosialisasi PP No.19/1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Prosiding Seminar Sehari
Teknologi dan Pengelolaan Kualitas Lingkungan Pesisir dan Laut.
Bandung: Jurusan Teknologi Lingkungan ITB.
Romimohtarto, K. dan S. Juwana. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang
Biota Laut. Puslitbang Oseanologi LlPI. Jakarta. 527 h.
Soegiarto, Aprilani. 1978. Lingkungan Laut dan Pencemaran Laut. Jakarta:
Lembaga Oceanologi Nasional, LIPI.
Sukarno, 1981. Terumbu Karang di Indonesia. Permasalahan dan
Pengelolaannya. LON-LIPI, Jakarta.
Wijayanti, H.M. 2007. Kajian Kualitas Perairan Di Pantai Kota Bandar
Lampung Berdasarkan Komunitas Hewan Makrobenthos. Universitas
Diponegoro. Semarang. Thesis.