i
PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL LELAKON KARYA LAN FANG
SUATU PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia Program Studi Sastra Indonesia
Oleh Ermie Dyah Paramita R.
NIM: 044114021
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2009
ii
iii
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi ini untuk BAPAK dan IBUku yang senantiasa memberikan
tenaga, waktu, dan materinya hanya agar anaknya bisa menjadi seseorang yang
berhasil.......
Kupersembahkan juga untuk KAKAK-KAKAKku yang senantiasa membimbingku dan
mendukungku demi terselesaikannya skripsi ini......
Terkhusus ku persembahkan untuk PAPACHAY yang dengan kesabarannya
menantikan skripsi ini selesai.......
v
HALAMAN MOTTO
TAK ADA YANG TAK AKAN BISA KAU LAKUKAN
JIKA SEMUA ITU
KAU LAKUKAN DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH DAN SUKA CITA
vi
PERNYATAAN KEASLIAAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagiamana layaknya karya ilmiah.
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta:
Nama : Ermie Dyah Paramita R.
Nomor Mahasiswa : 044114021
demi mengembangkan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas
Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI TOKOH UTAMA DALAM NOVEL LELAKON
KARYA LAN FANG SUATU PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak
untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk
pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet
atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 26 Januari 2010
Yang menyatakan,
vii
ABSTRAK
Paramita R., Ermie Dyah. 2009. Pembentukan Identitas Diri Tokoh Utama dalam Novel Lelakon Karya Lan Fang Suatu Pendekatan Psikologi Sastra. Skripsi. Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Penelitian ini mengkaji pembentukan identitas diri tokoh utama dalam novel Lelakon karya Lan Fang dengan pendekatan Psikologi Sastra. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dan mendeskripsikan pembentukan identitas diri tokoh utama dalam novel tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sastra dalam memaparkan pembentukan identitas diri tokoh utamanya. Metode yang digunakan untuk memperoleh data dan hasil penelitian adalah metode deskriptif. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh adalah sebagai berikut: pertama, menganalisis tokoh dan penokohan tokoh utama; kedua, menganalisis dan mendeskripsikan proses pembentukan identitas diri tokoh utama.
Tokoh utama dalam novel Lelakon adalah Mon dan Bulan. Tokoh Mon dan Bulan dalam novel Lelakon memiliki ruang penceritaan yang besar dan memiliki intensitas lebih banyak dalam proses pembentukan identitas dirinya. Tokoh Mon digambarkan sebagai seorang wanita yang pekerja keras, tidak serakah, memiliki harga diri yang tinggi, tetapi memiliki rasa iri dan dengki. Karakter tokoh Mon tersebut berubah menjadi karakter yang mudah menyerah, putus asa, mudah gelisah, dan menjadi polos dan lugu dalam mewujudkan keinginannya tanpa memakai hati nurani. Tokoh Bulan digambarkan sebagai seorang wanita yang sempurna, baik secara fisik, intelektual, keluarga, dan materi. Tokoh Bulan juga digambarkan sebagai seorang yang ringan tangan dan ringan hati, penuh perhitungan, tetapi tidak diperhatikan suaminya. Namun karakter Bulan tersebut berubah menjadi seseorang yang sadar akan memiliki kekurangan, sadar bahwa hidupnya tidak selalu berada diatas, sadar bahwa seseorang itu membutuhkan orang lain, sadar bahwa seseorang itu dilihat bukan dari fisiknya saja, dan memiliki sifat legawa atau berpasrah diri.
Pembentukan identitas diri tokoh utamanya dapat dilihat dari proses pembentukan kepribadian melalui faktor lingkungan dan faktor diri. Pembentukan identitas diri tokoh Mon adalah menjadi seorang yang lebih mempunyai keyakinan bahwa hidup ini harus dijalankan dengan rasa syukur, legawa atau berpasrah diri, dan meyakini hidupnya bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi juga untuk orang lain. Sedangkan pembentukan identitas diri tokoh Bulan adalah menjadi seorang yang memiliki pandangan bahwa kebahagiaan sejati berasal dari keseimbangan antara kebahagiaan duniawi dengan kebahagiaan rohani.
viii
ABSTRACT
Paramita R., Ermie Dyah, 2009. Self Identity Formation of Major Character in
Lelakon by Lan Fang, A Literature Psychology Approach. Thesis. Department of Indonesian Letters, Faculty of Letters, Sanata Darma University. Yogyakarta.
This research studies about self identity formation of major characters in Lelakon by Lan Fang using literature psychological approach. This research aims to analyze and describe self identity formation of major characters in this novel. This research uses literature psychological approach in describing the major characters’ self identity formation. The method used to get the data and research result is descriptive method. Then, these are the steps taken: First, analyze the characters and characterize the major characters; second, analyze and describe the process of self identity formation of major characters.
The major characters in Lelakon are Mon and Bulan. Those characters have big space of narration and more intensity in the process of self identity formation. Mon character is described as a hard-working woman, moderate, has high self-esteem, but she has jealousy. However, Mon’s characteristics change into easily give up, nervous, and plain in making her dreams come true without inner self. Bulan character is described as a perfect woman seeing from her physic, intellectuality, family, and material. Bulan is also described as a helpful, patient, thoughtful, but ignored by her husband. On the other hand, Bulan finally realizes that life keeps moving, so people are not always on a high position. She also realizes that as a human being, we always need one another, we should not only judge a person physically and have “legawa”or try to accept the fate.
The character building of the main character can be seen from the process of the character building through the environment and self factor. Mon’s self identity formation is becoming a person who has a conviction that people should be thankful to God, legawa or try to accept the fate, and believe that her life is not merely for herself but also for the others. However, Bulan’s self identity formation is becoming a person who has a view that the truly happiness is from the balance between secular and spiritual happiness.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulisan skripsi
ini dapat penulis selesaikan berkat bimbingan, bantuan, dan dukungan dari banyak
pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih dan rasa hormat kepada
pihak-pihak yang penulis sebutkan sebagai berikut ini.
1. Ibu S. E. Peni Adjie, S.S, M. Hum selaku pembimbing I yang sudah
membimbing penulisan skripsi ini dan dengan penuh kesabaran menanti
penulis menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum selaku pembimbing II yang
membantu penulis dalam memberikan masukan.
3. Serta segenap dosen Prodi Sastra Indonesia, Drs. B. Rahmanto, M. Hum,
Drs. Hery Antono, M. Hum, Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum, Drs. P.
Ary Subagyo, M. Hum, Drs. Yosef Yapi Taum, M. Hum, dan Drs. F.X.
Santoso, M. S. yang telah membagikan ilmu-ilmunya kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya.
4. Mbak Ros, Mas Tri, dan segenap karyawan perpustakan USD yang turut
membantu penulis dalam memberikan pelayanan atas apa yang dibutuhkan
penulis.
5. Bapak YF. Mudji Rahardjo dan Ibu Sri Purwani, terima kasih atas
kesabaran, dukungan, dan cintanya yang tulus.
6. Mbak Ernie Setyorini dan Mas Agt. Erlie Guritno, terima kasih atas
motivasi yang tak lelah kalian ucapkan.
7. Adimas Oktavianto, terima kasih atas kesabaran dan motivasi yang kau
berikan agar penulis senantiasa bisa menyelesaikan skripsi ini.
8. Adimas Satrio Laksono, Matheus Nastiti Nurcahyo Wijaya dan Dewi
Rachmawati yang selalu menjadi penuntun penulis untuk selalu semangat,
serta seluruh teman-teman Sastra Indonesia 2004 dan teman-teman
x
diberbagai jurusan di Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan
kenangan-kenangan indah, lucu, dan konyol saat-saat masih berkuliah.
9. Media Saptarina, Nami Yuanasti Sembiring, dan Bill Ishak Franklin
Kalalo yang telah memberikan waktunya untuk berbagi keluh kesah di saat
penulis mengalami kebuntuan dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Dan segenap pihak yang telah membantu dan mendukung kelancaran
penulisan skripsi ini. Tidak ada kata yang mampu mengungkapkan syukur
ini selain ucapan terima kasih yang tulus dari dalam hati.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua kebaikan yang telah
diberikannya. Akhir kata, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih ada
kekurangan karena terbatasnya pengetahuan dan kemampuan penulis. Penulis
mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis juga
mengharapkan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi perkembangan
kesusastraan Indonesia dan pembaca pada khusunya.
Penulis
xi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ........................................................iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .....................................................................iv
HALAMAN MOTTO ..................................................................................v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .........................................................vi
ABSTRAK .......................................................................................................vii
ABSTRACT ......................................................................................................viii
KATA PENGANTAR .................................................................................ix
DAFTAR ISI .........................................................................................................xi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah ..................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian ..............................................................................................5
1.4 Manfaat Penelitian ..................................................................................6
1.5 Tinjauan Pustaka ..............................................................................................6
1.6 Landasan Teori ..............................................................................................7
1.6.1 Teori Struktural ..................................................................................7
1.6.1.1 Tokoh ..............................................................................................8
1.6.1.2 Penokohan ..................................................................................9
1.6.2 Psikologi Sastra ..................................................................................9
xii
1.6.3 Identitas Diri ............................................................................................10
1.7 Metode Penelitian ................................................................................13
1.7.1 Pendekatan ............................................................................................13
1.7.2 Metode penelitian ................................................................................13
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................14
1.7.4 Sumber Data ................................................................................14
1.7.4.1 Sumber Data Primer ....................................................................14
1.7.4.2 Sumber Data Sekunder ........................................................14
1.8 Sistematika Penyajian ................................................................................14
BAB II ANALISIS UNSUR TOKOH DAN PENOKOHAN TOKOH UTAMA
DALAM NOVEL LELAKON ........................................................16
2.1 Tokoh dan Penokohan Mon ....................................................................17
2.2 Tokoh dan Penokohan Bulan ....................................................................33
2.3 Kesimpulan ............................................................................................41
BAB III PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI TOKOH UTAMA DALAM
NOVEL LELAKON ....................................................................43
3.1 Pembentukan Kepribadian ....................................................................45
3.1.1 Pembentukan Kepribadian Mon ........................................................46
3.1.1.1 Faktor Lingkungan ....................................................................46
3.1.1.2 Faktor Diri ................................................................................54
3.1.2 Pembentukan Kepribadian Bulan ........................................................60
3.1.2.1 Faktor Lingkungan ....................................................................60
3.1.2.2 Faktor Diri ................................................................................63
xiii
3.2 Pembentukan Identitas Diri ....................................................................70
3.2.1 Pembentukan Identitas Diri Mon ........................................................70
3.2.2 Pembentukan Identitas Diri Bulan ........................................................74
3.3 kesimpulan ............................................................................................78
BAB IV PENUTUP ............................................................................................81
4.1 Kesimpulan ............................................................................................81
4.2 Saran ........................................................................................................85
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................86
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lelakon merupakan novel yang memiliki karakter yang unik. Novel
Lelakon ini mencampurkan antara realitas dan imajinasi liar yang diungkapkan
oleh Lan Fang. Menurut Dian (2007) melalui resensi buku yang dimuat di surat
kabar Jawa Pos mengungkapkan bahwa Lelakon adalah novel yang menceritakan
pencarian jati diri para tokoh-tokohnya. Hal ini yang melatarbelakangi penulis
untuk mengembangkan pandangan Dian dalam bentuk tulisan ilmiah dengan topik
yang berbeda.
Karya sastra dianggap sebagai hasil aktivitas penulis, yang sering
dikaitkan dengan gejala-gejala kejiwaan, seperti obsesi, kontemplasi, sublimasi,
bahkan sebagai neurosis. Oleh karena itulah karya sastra disebut sebagai salah
satu gejala (penyakit) kejiwaan (Ratna, 2004: 62). Sesuai dengan hakikatnya,
karya sastra memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung.
Melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya, misalnya masyarakat dapat
memahami perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan lain yang
terjadi dalam masyarakat, khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna, 2004:
342). Hal inilah yang menjadi dasar penulis beranggapan bahwa dalam
menuliskan novel Lelakon tersebut, Lan Fang bertolak pada pemikiran seperti
yang diungkapkan oleh Ratna di atas.
2
Berdasarkan judulnya, novel Lelakon ini menceritakan bagaimana proses
pembentukan tokoh utama dalam menemukan identitas dirinya. Tokoh utama
dalam novel Lelakon adalah Mon dan Bunga. Mon digambarkan sebagai seorang
wanita yang hidup dengan sederhana, memiliki keteguhan hati, pekerja keras, dan
berkeinginan kuat demi mendapatkan keinginannya untuk menjadi seorang yang
kaya. Akan tetapi dalam mewujudkan keinginannya Mon harus menghadapi
berbagai kendala dan melakukan berbagai usaha-usaha berat. Karena tidak
mendapatkan hasil dari kerja kerasnya, Mon menyerah dan berserah dalam
menghadapi hidup yang apa adanya. Hal ini dilakukannya setelah melihat
bagaimana kehidupan sekumpulan orang di sebuah terminal yang menjalankan
hidupnya dengan sikap yang legawa atau pasrah.
Mon kemudian berkenalan dengan Tongki yang mengajarkannya tentang
hidup kaya tanpa usaha keras. Karena itulah, Mon kembali tertarik dan berusaha
untuk belajar dan melakukan apa yang diajarkan padanya. Namun lama-kelamaan
Mon menyadari bahwa apa yang diajarkannya tidaklah sesuai dengan hati
nuraninya.
Tokoh Bulan digambarkan sebagai wanita yang sempurna baik secara
fisik, intelektual, ekonomi, maupun rumah tangganya. Bulan selalu mengatur
rumah tangganya sesempurna mungkin dan bisa membuat semua orang berdecak
kagum dan iri terhadapnya. Karena hal inilah, Bulan menjadi seseorang yang
mandiri yang sudah mengetahui apa yang terbaik untuk keluarganya. Untuk
itulah, Bulan tidak pernah memerlukan bantuan orang lain.
3
Namun, segala kesempurnaan yang diagung-agungkan oleh Bulan tidak
berangsur lama. Bulan merasa ada sesuatu yang hilang di dalam dirinya sesuatu
yang selama ini sudah dilupakannya. Bulan melupakan bahwa dalam setiap
kesempurnaan pasti ada kekurangan. Bulan pun rela meninggalkan kehidupannya
yang sempurna demi mencari dan mempelajari apa saja kekurangan yang telah
Bulan lupakan dalam hidupnya. Awalnya Bulan sulit untuk menerima kenyataan
bahwa Bulan telah meninggalkan kesempurnaan yang dibangunnya selama ini.
Namun, lama-kelamaannya Bulan bisa menerimanya dan mulai menemukan
jawaban yang dicarinya.
Pengalaman-pengalaman yang dialami Mon dan Bulan merupakan sebuah
proses bagaimana identitas diri yang mereka cari terbentuk. Menurut Salim (1991:
548), identitas diri adalah ciri khas atau kekhasan seseorang. Manusia mencari
identitasnya untuk menentukan siapakah atau apakah manusia itu pada masa
mendatang. Setelah itu manusia baru bisa memiliki suatu pandangan jelas tentang
diri mereka dan tidak akan meragukan tentang identitas batinnya sendiri serta
mengenal perannya dalam masyarakat. Hal tersebut akan terjadi apabila ia sadar
akan ciri-ciri khas pribadinya, seperti kesukaan dan ketidaksukaannya,
aspirasinya, tujuan masa depan yang diantisipasi dan perasaan bahwa manusia itu
dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya sendiri (Erikson, 1989: 182).
Identitas diri tokoh Mon dan Bulan terbentuk dari sebuah proses
pembentukan kepribadian yang berdasarkan faktor lingkungan dan faktor diri.
Kepribadian merupakan suatu kebulatan yang bersifat kompleks yang disebabkan
oleh karena banyaknya faktor-faktor dalam dan faktor-faktor luar yang ikut
4
menentukan kepribadian itu (Sujanto dkk., 2006: 11). Faktor dalam itu
berdasarkan pada faktor keturunan dan faktor diri. Sedangkan faktor luar hanya
berdasarkan pada faktor lingkungan. Menurut Shalahuddin, faktor keturunan
(heredity) dapat diartikan sebagai kecenderungan untuk bertumbuh dan
berkembang menurut pola-pola, ciri-ciri, sifat-sifat tertentu yang diturunkan dari
kedua orang tuanya. Faktor lingkungan (environment) adalah suatu kenyataan
bahwa pribadi-pribadi atau individu-individu, sebagai bagian dari alam sekitarnya,
tidak dapat lepas dari lingkungannya itu baik lingkungan fisik, lingkungan sosial,
maupun lingkungan psikologis. Faktor diri (self) merupakan kehidupan kejiwaan
seseorang. Kehidupan kejiwaan ini terdiri dari perasaan, usaha, pikiran,
pandangan, penilaian, keyakinan, sikap dan angggapan yang berpengaruh dalam
membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari (Shalahuddin, 1991: 64-68).
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui
bagaimana pembentukan identitas diri tokoh Mon dan Bulan dalam novel
Lelakon. Penulis dalam menganalisis novel ini menggunakan pendekatan
psikologi sastra.
Sastra dalam hubungannya dengan psikologi, menurut Ratna (2004: 343)
berkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh yang fiksional yang terkandung
dalam karya sastra. Artinya, sebagai dunia dalam kata karya sastra memasukkan
berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pendekatan ini
bertolak dari asumsi bahwa karya sastra dapat didekati dari sudut psikologi tokoh-
tokohnya.
5
Penulis dalam analisis ini akan terlebih dahulu menganalisis struktur
dalam karya sastra ini yang hanya berupa tokoh dan penokohan. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa kajian utama penelitian ini adalah tokoh utama
dalam pembentukan identitas diri. Hasil dari analisis tokoh dan penokohan ini
digunakan penulis untuk mengenal dan memahami tokoh utama dalam novel
Lelakon karya Lan Fang sebagai dasar untuk menganalisis pembentukan identitas
diri tokoh utamanya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, masalah yang dikaji dalam penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimanakah unsur tokoh dan penokohan tokoh utama dalam novel
Lelakon karya Lan Fang?
1.2.2 Bagaimanakah pembentukan identitas diri tokoh utama dalam novel
Lelakon karya Lan Fang?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, masalah yang dikaji dalam
penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1.3.1 mendeskripsikan unsur tokoh dan penokohan tokoh utama dalam novel
Lelakon karya Lan Fang,
1.3.2 menganalisis dan mendeskripsikan pembentukan identitas diri tokoh
utama dalam novel Lelakon karya Lan Fang.
6
1.4 Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan manfaat
dari penelitian ini, sebagai berikut.
1.4.1 Penelitian ini diharapkan dapat menambah bahan kajian dalam memahami
novel Lelakon karya Lan Fang dengan mengetengahkan sebuah
problematika tokoh dalam pembentukan identitas dirinya.
1.4.2 Penelitian ini diharapkan dapat menambah pembendaharaan apresiasi
sastra, khususnya bidang penelitian sastra dengan tinjauan psikologi.
1.5 Tinjauan Pustaka
Tansil (2008) mengatakan bahwa penceritaan dalam novel Lelakon karya
Lan Fang ini bukan novel yang realis melainkan semi realis. Dalam
penceritaannya banyak konflik yang terjadi diceritakan dengan mengerikan dan
tampak sedikit digambarkan secara berlebihan. Ia juga mengungkapkan
banyaknya pelajaran yang dapat diambil oleh pembacanya dari novel ini.
Dian (2007) melalui resensi buku yang dimuat di surat kabar Jawa Pos
mengungkapkan bahwa Lelakon adalah novel yang menceritakan pencarian jati
diri para tokoh-tokohnya. Sebuah kisah yang menceritakan secara gamblang
perasaan (emosional) ketika diri yang sesungguhnya harus berhadapan dengan
realitas yang pahit, kejam, bengis, dan tiada ampun. Sebuah kisah yang
mengeksplorasi, mendudah isi hati yang terdalam, yang paling benar, yang paling
jujur yaitu hati nurani. Menurutnya Lelakon bertutur tentang perasaan yang
disingkirkan hingga hati nurani tidak bisa berlalu-lalang sebagai penjaga terbaik.
7
Dalam karakter-karakter di buku ini, Lan Fang menceritakan gambaran kehidupan
(khususnya perempuan) yang hidup di masa kini dan melupakan arti jati diri.
Berdasarkan tinjauan di atas, sejauh pengamatan penulis belum ada yang
menganalisis novel Lelakon dalam bentuk penelitian maupun karya ilmiah
lainnya. Penelitian yang dilakukan penulis merupakan pengembangan dari ulasan
Dian di atas dengan topik “Pembentukan Identitas Diri Tokoh Utama”.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Teori Struktural
Struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan, dan
gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya yang secara
bersama membentuk kebulatan yang indah (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2007:
36). Selain itu, struktur karya sastra menyaran pada pengertian hubungan
antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling
mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh
(Nurgiyantoro, 2007: 36).
Apabila struktur cerita atau plot merupakan elemen fiksi yang fundamental
sehingga sering disebut sebagai jiwa fiksi, aspek tokoh dalam fiksi pada dasarnya
merupakan aspek yang lebih menarik perhatian (Sayuti, 2000:67).
Dalam penelitian ini teori struktural yang digunakan dalam menganalisis
struktur dalam novel Lelakon hanya meliputi tokoh dan penokohan. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa kajian utama penelitian ini adalah tokoh
utamanya. Hasil dari analisis tokoh dan penokohan digunakan penulis untuk
8
mengenal dan memahami tokoh utama dalam novel Lelakon yang nantinya dapat
digunakan untuk menganalisis pembentukan identitas diri tokoh utamanya.
1.6.1.1 Tokoh
Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan
dalam peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Meskipun tokoh cerita hanya
rekaan pengarang, ia haruslah merupakan tokoh yang hidup secara wajar, sewajar
kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran
dan perasaan.
Menurut Sudjiman (1992: 17-19), tokoh dalam cerita berdasarkan
fungsinya dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh
sentral adalah tokoh rekaan yang memegang peranan dalam cerita, tokoh ini
meliputi tokoh utama (protagonis) dan tokoh lawan (antagonis).
Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel
yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Bahkan pada novel-novel
tertentu, tokoh utama senantiasa hadir dalam setiap kejadian dan dapat ditemui
dalam tiap halaman buku cerita yang bersangkutan (Nurgiyantoro, 2007: 177).
Menurut Sayuti (2000: 74), tokoh sentral merupakan tokoh yang
mengambil bagian terbesar dalam peristiwa dalam cerita. Tokoh sentral ini dapat
ditentukan dengan tiga cara. Pertama, tokoh itu yang paling terlibat dengan makna
atau tema. Kedua, tokoh itu yang paling banyak berhubungan dengan tokoh lain.
Ketiga, tokoh itu yang paling banyak memerlukan waktu penceritaan.
9
Sesuai dengan topik yang diangkat, penulis hanya akan meneliti tokoh
utamanya saja.
1.6.1.2 Penokohan
Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165), penokohan adalah
pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah
cerita. Penokohan atau watak atau karakter mengacu pada perbauran antara minat,
keinginan, emosi, dan moral yang membentuk individu tokoh (Sayuti, 2000:76).
Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2007: 165), tokoh cerita
(character) adalah orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam
tindakan.
1.6.2 Psikologi Sastra
Psikologi sastra memiliki tujuan untuk memahami aspek-aspek kejiwaan
yang terkandung dalam suatu karya sastra. Sesuai dengan hakikatnya, karya sastra
memberikan pemahaman terhadap masyarakat secara tidak langsung melalui
pemahaman terhadap tokoh-tokoh, misalnya, masyarakat dapat memahami
perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan-penyimpangan yang lain yang terjadi
dalam masyarakat khususnya dalam kaitannya dengan psike (Ratna, 2004: 342).
Ada tiga cara yang dapat dilakukan untuk memahami hubungan antara
psikologi dengan sastra, yaitu: a) memahami unsur-unsur kejiwaan pengarang
sebagai penulis, b) memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional dalam
karya sastra, dan c) memahami unsur-unsur kejiwaan pembaca. Pada dasarnya
10
psikologi sastra memberikan perhatian pada masalah yang kedua, yaitu
pembicaraan dalam kaitannya dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional
yang terkandung dalam karya (Ratna, 2004: 343).
Menurut Ratna (2004: 343), sebagai dunia dalam kata karya sastra
memasukkan berbagai aspek kehidupan ke dalamnya, khususnya manusia. Pada
umumnya, aspek-aspek kemanusiaan inilah yang merupakan objek utama
psikologi sastra, sebab semata-mata dalam diri manusia itulah, sebagai tokoh-
tokoh, aspek kejiwaan dicangkokkan dan diinvestasikan.
Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Ratna di atas, penulis
menjadikannya sebagai dasar penelitian dalam pembentukan identitas diri tokoh
utama dalam novel Lelakon melalui cara memahami unsur-unsur kejiwaan tokoh-
tokoh fiksional dalam karya sastra.
1.6.3 Identitas Diri
Dalam kehidupan, manusia memiliki lebih dari satu lakon (peran) yang
tercitra dari identitas diri masing-masing. Identitas diri ini terbentuk dari sebuah
proses pembentukan kepribadian. Pembentukan merupakan pembuatan,
penciptaan, pendirian, penjadian, penyusunan (Endarmoko, 2006: 76).
Kepribadiaan merupakan karakter, (budi) pekerti, pembawaan, perilaku, sifat,
tabiat, temperamen, watak (Endarmoko, 2006: 487).
Menurut Sujanto dkk (2006: 11), pembentukan kepribadian merupakan
suatu kebulatan yang bersifat kompleks yang disebabkan oleh karena banyaknya
faktor-faktor dalam dan faktor-faktor luar yang ikut menentukan kepribadian itu.
Faktor-faktor dalam yang menentukan kepribadian adalah segala sesuatu yang
11
telah dibawa dari lahir, seperti pikiran, perasaan, kemauan, fantasi, ingatan, dan
kondisi fisik. Sedangkan faktor-faktor luarnya adalah segala sesuatu yang ada di
luar manusia seperti faktor lingkungan (Sujanto dkk., 2006: 5).
Faktor-faktor di ataslah yang membuat diri seseorang menjadi unik dan
tidak memiliki kesamaan dengan orang lain. Qahar mengungkapkan bahwa
kepribadian itu berarti sesuatu jang dimiliki seseorang jang membedakan mutu pribadinja
dari pribadi orang lain (1970: 3).
Pembentukan kepribadian menjadi unik juga diungkapkan oleh
Shalahuddin. Menurutnya manusia memiliki kepribadian yang unik itu ditentukan
oleh faktor keturunan, lingkungan, dan faktor diri. Keunikan manusia terlihat pada
tingkah laku pikir, tingkah laku sifat, perasaan maupun gerak-geriknya yang
berlainan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Meskipun ada
sebagian besar tingkah laku dan sifat yang sama, namun tidak ada yang benar-
benar identik. Keunikan ini disebabkan oleh faktor keturunan (heredity), faktor
lingkungan (environment), dan faktor diri (self). Faktor keturunan (heredity) dapat
diartikan sebagai kecenderungan untuk bertumbuh dan berkembang menurut pola-
pola, ciri-ciri, sifat-sifat tertentu yang diturunkan dari kedua orang tuanya
(Shalahuddin, 1991:64).
Faktor lingkungan (environment) adalah suatu kenyataan bahwa pribadi-
pribadi atau individu-individu, sebagai bagian dari alam sekitarnya, tidak dapat
lepas dari lingkungannya itu baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun
lingkungan psikologis (Shalahuddin, 1991:65-66). Faktor diri (self) merupakan
kehidupan kejiwaan seseorang. Kehidupan kejiwaan ini terdiri dari perasaan,
12
usaha, pikiran, pandangan, penilaian, keyakinan, sikap dan angggapan yang
berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari. Faktor diri
(self) ini berinteraksi dengan faktor keturunan (heredity) dan faktor lingkungan
(environment) untuk membentuk pribadi seseorang, karena faktor ini mempunyai
pengaruh yang besar untuk menginterpretasikan kuatnya daya pembawaan
(sebagai faktor keturunan) dan kuatnya daya lingkungan (Shalahuddin, 1991: 68).
Setelah kepribadian seseorang terbentuk maka terbentuklah juga identitas
dirinya. Menurut Salim, identitas diri adalah ciri khas atau kekhasan seseorang
(1991: 548). Identitas diri merupakan ciri (-ciri), individualitas, jati diri,
personalitas, label, nama sebutan (Endarmoko, 2006: 242). Menurut Erikson
(1989: 182), manusia mencari identitasnya untuk menentukan siapakah atau
apakah manusia itu pada masa mendatang. Setelah itu manusia baru bisa memiliki
suatu pandangan jelas tentang diri mereka dan tidak akan meragukan tentang
identitas batinnya sendiri serta mengenal perannya dalam masyarakat. Hal
tersebut akan terjadi apabila ia sadar akan ciri-ciri khas pribadinya, seperti
kesukaan dan ketidaksukaannya, aspirasinya, tujuan masa depan yang diantisipasi
dan perasaan bahwa manusia itu dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya
sendiri.
Uraian di atas dijadikan dasar acuan penulis untuk menganalisis
pembentukan identitas diri tokoh utamanya melalui proses pembentukan
kepribadian yang berdasarkan pada faktor keturunan, faktor lingkungan, dan
faktor diri. Melalui proses pembentukan kepribadian itulah diperoleh ciri khas dan
pandangan tentang diri tokoh utama dalam novel Lelakon sebagai pembentukan
13
identitas diri tokoh utama tersebut. Namun dalam penelitian ini, penulis tidak
menganalisis faktor keturunannya. Hal ini dikarenakan tidak terdapat data-data
yang menyangkut faktor keturunan dalam novel Lelakon karya Lan Fang.
1.7 Metode Penelitian
Pada bagian ini akan dikemukakan tentang pendekataan, metode
penelitian, teknik penelitian, dan sumber data penelitian.
1.7.1 Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan
psikologi sastra. Pendekataan ini bertolak dari anggapan bahwa psikologi sastra
memiliki keterkaitan dengan unsur-unsur kejiwaan tokoh-tokoh fiksional yang
terkandung dalam karya sastra (Ratna, 2004: 343). Namun, sebelumnya penulis
akan memulai dengan analisis struktural terlebih dahulu. Analisis struktural ini
dilakukan untuk mengkaji unsur-unsur pembangun karya sastra.
1.7.2 Metode Penelitian
Penulis dalam penelitian ini menggunakan metode diskriptif. Metode
diskriptif adalah metode yang melukiskan sesuatu yang digunakan untuk
memaparkan secara keseluruhan hasil analisis yang dilakukan (Keraf, 1981: 93).
Dengan menggunakan metode ini, penulis mendeskripsikan hasil analisis tokoh
dan penokohan tokoh utama serta pembentukan identitas diri tokoh utama dalam
novel Lelakon.
14
1.7.3 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
teknik studi pustaka yaitu penelitian ini berbatas pada pemanfaatan teknik kartu
data (Ratna, 2004: 39). Penulis melakukan teknik studi pustaka untuk
mendapatkan data-data yang berkaitan dengan objek penelitian yang kemudian
diidentifikasi dan dianalisis berdasarkan masalah yang dibahas yaitu pembentukan
identitas diri tokoh utamanya.
1.7.4 Sumber Data
Sumber data terdiri atas sumber data primer dan sumber data sekunder.
1.7.4.1 Sumber Data Primer
Judul Buku : Lelakon
Penulis : Lan Fang
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
Cetakan/Tahun Terbit : Pertama/2007
Tebal Buku : 272 halaman
1.7.4.2 Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yang mendukung penulis berupa artikel-artikel dari
internet dan surat kabar yang berhubungan dengan objek penelitian.
1.8 Sistematika Penyajian
Sistematika penyajian dari penelitian ini terdiri dari 4 bab. Bab I
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat hasil penelitian, landasan teori, metode penelitian, dan
15
sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan berisi analisis unsur tokoh
dan penokohan tokoh utama dalam novel Lelakon. Bab III merupakan
pembahasan yang berisi analisis pembentukan identitas diri tokoh utama dalam
novel Lelakon. Bab IV berupa penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
16
BAB II
ANALISIS UNSUR TOKOH DAN PENOKOHAN
TOKOH UTAMA DALAM NOVEL LELAKON
Dalam suatu karya sastra dapat terbentuk sebuah jalinan cerita karena ada
pelaku cerita atau tokoh-tokoh yang diimajinasikan oleh pengarangnya. Tokoh
adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berkelakuan dalam
peristiwa dalam cerita (Sudjiman, 1988: 16). Meskipun tokoh cerita hanya rekaan
pengarang, ia haruslah merupakan tokoh yang hidup secara wajar, sewajar
kehidupan manusia yang terdiri dari darah dan daging, yang mempunyai pikiran
dan perasaan. Melalui tokoh-tokoh inilah pembaca dapat mengerti dan mengikuti
jalan ceritanya.
Meskipun begitu, seorang tokoh harus digambarkan secara jelas
bagaimana penokohannya dalam sebuah cerita. Penggambaran penokohan atau
watak atau karakter mengacu pada perbauran antara minat, keinginan, emosi, dan
moral yang membentuk individu tokoh (Sayuti, 2000:76). Selain itu, penokohan
merupakan pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan
dalam sebuah cerita (Jones dalam Nurgiyantoro: 1998: 165).
Pengertian di atas, menjadikan landasan bagi penulis pada Bab II ini untuk
menganalisis tokoh dan penokohan tokoh utama dalam novel Lelakon karya Lan
Fang. Tokoh utama dalam novel ini adalah Mon dan Bulan. Mon dan Bulan
merupakan tokoh utama karena keduanya oleh Lan Fang diberikan ruang
penceritaan yang besar dan masing-masing memiliki intensitas lebih banyak
17
dalam proses pembentukan identitas diri dalam novel Lelakon ini. Untuk itu,
penulis menitik-beratkan penelitiannya pada kedua tokoh utama tersebut.
2.1 Tokoh dan Penokohan Mon
Mon digambarkan sebagai seorang perempuan yang hidup dengan
keterbatasan ekonomi. Mon tinggal di daerah miskin yang bersebelahan dengan
perumahan mewah. Perbedaan inilah yang membuat Mon menjadi seorang yang
terobsesi dengan kekayaan. Mon merasa bosan dengan kehidupannya yang
miskin. Meskipun begitu, Mon tidak menjadi seorang yang serakah. Mon justru
menjadikan perbedaan itu sebagai sebuah motivasi untuk melakukan pekerjaan
halal dan menghasilkan uang dengan hasil kerja kerasnya. Mon tidak ingin
menjadi seperti nyonya rumah dan seorang pembantu yang tinggal di perumahan
mewah yang melakukan segala cara demi mendapatkan kekayaan.
(1) Ia jadi teringat kantongnya sendiri yang hanya memiliki uang untuk makan esok hari. (Fang, 2007: 34)
(2) “Yang kutahu adalah aku harus memiliki uang. Aku memang tidak serakah ingin kaya raya tetapi aku bosan miskin.” (Fang, 2007: 54)
(3) Mon tidak merasa seserakah Tumini yang hanya dengan modal telur bisa
menjadi nyonya. Ia lebih cantik dan lebih pintar dibanding Tumini. Ia bukan seekor kucing, juga tidak mau menjadi penjilat telur. Ia tidak berambisi menimbun berlian seperti nyonya. Ia hanya mau Tanda Tanya menjadi miliknya. (Fang, 2007: 47)
Rumah ‘Tanda Tanya’, merupakan rumah kontrakan Mon yang sederhana
yang Mon tinggali terletak bersebelahan dinding dengan kawasan perumahan elit.
Mon jatuh hati pada rumah itu, tetapi karena keadaan ekonominya ia tidak mampu
mendapatkannya. Mon hanya menjadikan rumah itu sebagai tanda tanya bagi
dirinya.
18
Banyak perbedaan antara isi rumah Mon dengan isi yang ada dalam
rumah-rumah yang ada di perumahan mewah itu. Segala kemewahan terlihat jelas
dalam perumahan mewah itu. Perbedaan inilah yang membuat Mon memiliki rasa
dengki.
(4) Tanda Tanya terletak di sebelah kompleks perumahan, tetapi bukan berada di dalamnya. Hanya bertetangga karena berdempetan dinding dengan tembok besar tinggi yang mengelilingi kompleks perumahan tersebut. (Fang, 2007: 35)
(5) Ketika ia menyipitkan mata melihat apa yang ada di tembok sebelah, Mon seperti melihat mimpi karena ia melihat dunia yang berbeda dengan dunia yang setiap hari dilakoninya. Ia berpikir, mungkin ia tidak tinggal di dunia yang sama dengan orang-orang dari tembok sebelah itu. Karena dilihatnya, matahari di dunia di balik tembok itu tidak pernah terbenam. (Fang, 2007: 37)
(6) Ketika pagi mereka berbondong-bondong pergi naik mobil-mobil mewah
keluar dari kompleks perumahan. Sopir membukakan pintu mobil, pembantu membukakan pagar, satpam mengangkat palang pintu. Itu para tuan dan anak-anak mereka yang sekolah. Lalu tidak berapa lama, mobil lain juga menderu keluar, mobil para nyonya yang menuju plaza untuk menghamburkan uang hanya untuk sepasang sepatu, sebuah gaun, atau sekeping sabun mandi. (Fang, 2007: 37)
(7) Mon suka mengintip dan mengorek-ngorek lubang itu sehingga semakin
lama semakin besar seperti ia memelihara rasa dengki di hatinya yang semakin lebar. (Fang, 2007: 36)
Selain merasa dengki dengan keadaan rumah di dalam perumahan mewah
tersebut. Mon juga menyimpan rasa iri kepada anak-anak, nyonya-nyonya rumah,
serta pembantu rumah tangga yang tinggal dalam perumahan itu.
(8) “Kamu iri! Asli seasli-aslinya kamu iri seiri-irinya dengan nasib bocah itu!” Celetuk suara yang entah datang dari mana. Mungkin datang dari kepalanya, dadanya, atau lidahnya. Lalu tangannya sendiri menunjuk-nunjuk jidatnya sendiri. “Kamu iri!” Sentak suara itu lagi. “Iri?” “Bisa jadi!” Mon mengakui diam-diam. (Fang, 2007: 36)
(9) Kembali lagi Mon mengerami rasa iri. Si jahat menalu-nalu katup jantungnya sampai bocor. Katakanlah Mon memang tidak bisa bersaing nasib dengan bocah-bocah kaya itu, masa dengan pembantu pun Mon kalah
19
bertaruh nasib? Apakah ia memang apes seapes-apesnya seperti kartu-kartu yang terpampang di atas meja taruhan? (Fang, 2007: 47)
Meskipun memiliki rasa dengki dan iri, namun Mon juga memiliki sikap
yang tidak patah semangat. Mon memiliki keinginan yang kuat dan mau bekerja
keras untuk bisa mewujudkan keinginannya.
(10) Dulu Mon bekerja sebagai penjaga meja kasino gelap. Di sana Mon duduk sebagai bandar yang berperan sebagai bank, dan pemasang taruhan sebagai player. (Fang, 2007: 32)
(11) Pak Lolok memperkenalkannya kepada pimpinan perusahaan asuransi. Menurut Pak Lolok, Mon cantik, menarik, dan luwes. Mon tidak pantas cuma menjadi pengocok kartu di meja taruhan. Tetapi justru harus berani menjadi pemain yang memasang taruhan. (Fang, 2007: 48)
(12) Mon sudah pasti ingin jadi pemenang. Sekarang ia memegang kartu. Ia
bukan sekedar mengocok dan membagikannya kepada para pemasang taruhan. Ia sudah masuk ke arena pertaruhan dan ia harus menang. Ia harus mempunyai jawaban untuk Tanda Tanya. (Fang, 2007: 48)
(13) ... Pak Lolok agar memberikan pinjaman padanya untuk membeli Tanda Tanya. Ia pergunakan uang itu untuk membayar uang mukanya. Ia ingin rumah itu menjadi miliknya, bukan sekedar tanda tanya lagi. Menurut perhitungannya, gemerincing uang akan terus mengalir ke dalam kantongnya. Ia pasti sanggup membayar cicilan rumah itu. (Fang, 2007: 52)
Mon juga memiliki prinsip yang kuat terhadap harga dirinya. Meskipun
mendapatkan tawaran untuk bisa memperoleh kekayaan yang diinginkannya tanpa
harus bekerja keras, namun Mon menolaknya.
(14) Mon tidak mau menjadi selir Pak Lolok. Selir hanyalah perempuan nomor dua. Walaupun selir pilihan, tetap saja bukan perempuan nomor satu. Dan tidak pernah ada dalam kamus hidup Mon menjadi orang (perempuan) nomor dua. Ia harus selalu nomor satu. Ia adalah ratu. (Fang, 2007: 49)
(15) Ia adalah ratu, perempuan gemilang yang bisa bersabda apa bertitah untuk siapa, suka-suka dia, dan semua orang adalah budak belian yang meniarapkan kepalanya untuk alas kakinya dan mengiyakan semua kehendaknya. (Fang, 2007: 53)
20
Mon adalah wanita yang memiliki pesona luar dan dalam. Meskipun
miskin, namun Mon memiliki wajah yang cantik yang dapat memikat pria
manapun termasuk Buang. Hingga tokoh Buang tersebut mau melakukan apapun
demi menyenangkan hati Mon.
(16) ..., Mon mulai membagikan kartu. Dari balik tembok, Mon bersiul memberikan tanda bahwa ia mengintip laki-laki itu. Mon menunggunya sepanjang malam sampai selesai bermain tembak-menembak kucing dengan nyonya si Tumini.
(17) Mereka menata kartu di atas dada Mon yang dijadikan sebagai meja. Mereka bermain poker, bridge, cap sa, domino dan semua jenis permainan kartu dengan taruhan sesuai dengan kesepakatan. Jika Mon kalah, Mon membuang pakainnya satu per satu. Dan bila Buang kalah, laki-laki itu menembak Mon sesukanya dengan senapannya yang meledak di kepala, mulut, dada, perut, atau selangkangan.
(18) Termasuk ia menjadikan Buang apa saja yang dimauinya. Karena ia tidak
membutuhkan Buang lebih dari sekedar mainan taruhan. Jika ia ingin Buang menjadi tukang ojek, maka Buang dijadikannya tukang ojek. Kalau ia membutuhkan tukang becak, maka Buang langsung menjadi tukang becak. Lalu bila ia membutuhkan jongos, disuruhnya Buang menjadi jongosnya. Kemudian ketika sedang merasa bosan dan ingin bermain kartu, Buang menjadi lawan mainnya. Dan Mon selalu mengatakan itu adalah atas nama cinta. (Fang, 2007: 53)
Namun dengan mengatasnamakan cinta, tokoh Mon terjebak dengan
kondisi itu. Mon harus menerima perilaku over protektif dari Buang.
(19) Jadi tidak salah ketika Buang membutuhkan uang dan meminta kepada Mon, itu juga atas nama cinta. Pun tidak keliru bila Buang cemburu melarang Mon mengenakan wajah ratu, itu pasti atas nama cinta. Semakin tidak keliru ketika Buang hendak memuntahkan peluru dari senapannya setiap pagi, siang, sore, malam, pokoknya setiap hari, itu karena cinta! (Fang, 2007: 53)
Mon memiliki kemauan bekerja keras. Meskipun Mon harus bekerja
seperti sebuah gasing yang berputar terus-menerus tanpa berhenti, harus merayu
dan mengoceh terus menerus agar dapat menyakinkan calon pembeli, serta harus
berwajah cantik tetapi Mon tidak pantang menyerah.
21
(20) Mon bercerita sejak ia bekerja di perusahaan asuransi ia menjadi gasing. Berputar dan terus berputar mencari calon pembeli asuransi. Mengoceh dan terus mengoceh untuk menyakinkan calon pembeli (tepatnya setengah memaksa dan setengah mengiba). Bermuka tebal ketika harus berulang kali datang dan menerima penolakan. (Fang, 2007: 54)
(21) Mon dan Bulan seperti sepasang rel kereta api yang jalannya selalu
berselisihan. Bulan menolaknya. Mon terus mendesaknya dengan ulet. Entah karena ia memang orang ulet atau karena dikejar target penjualan polis. (Fang, 2007: 76)
(22) Maka Mon bukan saja menjadi gasing yang berputar, ia mulai menjadi mesin pencetak wajah. Ia tidak boleh kehabisan persediaan wajah dan senyum. (Fang, 2007: 56)
Namun, lama-kelamaan Mon merasa jenuh, capek, dan mulai berputus asa.
Mon merasa segala kerja keras yang sudah dilakukan tidak membuahkan hasil,
tetapi justru membuatnya menjadi seseorang yang lain. Hal ini terlihat ketika Mon
harus memakai wajah cantik, senyuman palsu, dan kalimat-kalimat rayuan hanya
untuk memikat pembeli. Hal itu juga terlihat ketika Mon tertekan dengan tekanan
yang dilakukan oleh Mak Lampir, bos di perusahaan asuransi.
(23) Sampai pada saat tertentu Mon merasa capek berputar, mengoceh, dan bermuka tebal. Mon merasa tuli dengan suara yang merayu-rayu. Mon muak harus terus tersenyum dan menampilkan wajah cantik, karena senyumnya bukan senyum si cantik yang keluar dari dalam hati. Senyumnya adalah senyum mekanik. Ada tombol-tombol yang disetel secara otomatis kepada siapa ia harus melebarkan jarak kedua bibirnya. Ia tersenyum hanya karena membutuhkan uang dari orang-orang yang diberikan senyuman” (Fang, 2007: 55)
(24) “Itu pasti karena kamu kurang murah senyum. Kamu harus ramah, harus cantik, harus segar. Apa kamu tidak kepingin baju bagus, perhiasan, rumah, dan mobil? Mana bisa kamu medapatkan penjualan bagus bila tidak berdandan dan tidak bonafide? Dan sssttt..., untuk itu semua tidak ada yang gratis di dunia ini... Ayo, cari setoran...!” Mak Lampir terus mencuci otak Mon. (Fang, 2007: 57)
(25) Mak Lampir tidak perlu mencuci otak Mon untuk mencari setoran, karena
jika tidak punya uang pun Mon sudah bingung sendiri. Mon merasa kepalanya kopyor! (Fang, 2007: 56)
22
Dengan tingkat kejenuhan yang dialami Mon, maka lama-kelamaan Mon
menjadi depresi. Hal ini dibuktikan dengan keadaan Mon yang seperti mayat
hidup. Mon menjadi seorang yang mudah gelisah, yang selalu mengalami mimpi
buruk, dan selalu memuntahkan segala sesuatu yang dimakannya.
(26) Ia tidak boleh kehabisan persediaan wajah dan senyum. Untuk itu ia tidak boleh kehabisan tenaga. Maka ia memakan semua yang bisa dimakan. Padahal ia sudah remuk, lunglai, terkulai. Setiap jam ia makan. Makan apa saja. (Fang, 2007: 56)
(27) Selang beberapa menit, ia merasa mual dan muak, maka dimuntahkannya lagi apa yang sudah ditelannya. Tetapi ia takut kehabisan tenaga untuk mencetak wajah. Maka ia makan lagi. Ia muntah lagi. Ia makan lagi. Ia menelan lagi. Ia mual lagi. (Fang, 2007: 57)
(28) Kalau terang sudah lenyap dan gelap yang datang, maka tiap jam yang dilalui Mon bukan dengan makan dan muntah. Tetapi tiap jam yang mendatanginya adalah mimpi buruk. Wajah-wajah cantik ratu yang disimpannya di dalam laci keluar mengejarnya. Mengingatkannya bahwa persediaan wajah dan senyuman sudah menipis. Ia harus mencetak lagi sebanyak mungkin. Juga harus secepat mungkin. Karena mencetak wajah sama dengan mencetak uang. Karena memberi senyuman berarti mendapat uang. (Fang, 2007: 57)
(29) Maka tiap jam ia terbangun. Jam sebelas malam ia terbangun. Dadanya turun-naik dengan napas sesak. Jam dua belas malam ia tersentak. Perutnya kram dan melilit. Jam satu subuh ia terenyak. Matanya sembab karena tangis yang tak bersuara. Jam dua subuh ia mendelik. Wajah mana yang hendak dikenakannya? Jam tiga subuh ia melotot. Ke mana ia hendak memberikan senyum. Jam empat subuh ia mondar-mandir. Kepalanya pindah ke kaki dan kakinya ada di kepala. Jam lima subuh ia mencoba tidur lagi. Langit-langit rumah roboh menimpanya sampai ia terpelanting. Jam enam pagi ia tidak bisa tidur lagi. Maka ia makan... Dan muntah lagi... (Fang, 2007: 58)
23
(30) ... ia melihat persediaan wajahnya sudah habis. Cerminnya memantulkan si busuk yang dieraminya sudah menetas menjadi ulat yang mengorek-ngorek semua liang dan belulang. Tidak tampak wajah ratu anggun cemerlang di sana. Yang membayang adalah wajah hamba sahaya. Pucat, letih, lesu, tanpa gairah. Mon melihat wajah orang mati di cermin! (Fang 2007: 58)
Melihat keadaan dirinya itu yang menyedihkan, Mon mengambil
keputusan untuk menyerah dan membuang jauh semua keinginannya. Mon sudah
tidak mempedulikannya lagi keinginan itu karena Mon sudah merasa letih dan
benci dengan wajah-wajah cantiknya. Benci dengan wajah-wajah pendusta yang
ditampilkannya. Mon merasa puas karena tidak perlu lagi mencetak wajah-wajah
palsunya dan bekerja seperti gasing.
(31) Ia sudah tidak mau menjadi ratu. Ia pusing menjadi gasing. Ia ingin berhenti. (Fang, 2007: 58)
(32) Ia diberhentikan karena gasingnya sudah tidak mampu berputar lagi, karena persediaan wajah di lacinya sudah habis, karena ia bukan ratu lagi. (Fang, 2007: 58)
(33) Ia memang ingin membuang kartu ratunya! Karena ia sudah benci melihat wajah-wajah di cerminnya. Ia tidak mau melihat wajah-wajah cantik lagi yang memantul dari sana. Ia tahu bahwa cermin ternyata penipu nomor satu. Mon tidak yakin lagi bahwa wajah yang memantul dari cermin itu adalah wajahnya. (Fang, 2007: 59)
(34) Mon ingin mendengarkan suara lain yang bukan suara manusia. Juga ingin melihat wajah lain yang bukan wajah pendusta. Suara yang bukan keluar dari laring tenggorokan. Wajah yang bukan pantulan cermin rata dua dimensi. (Fang, 2007: 59)
(35) Mon ingin membanting mukanya. Ia ingin merobek pita suaranya.
Harusnya ada yang lebih meriah daripada wajah dan suara manusia. (Fang, 2007: 59)
(36) Ia suka! Ia puas! Ia tidak perlu lagi menjadi ratu. Ia tidak usah menjadi gasing. Ia tidak harus mencetak wajah dan senyuman. (Fang, 2007: 60)
24
Mon merasa harga dirinya terinjak-injak. Hal ini terlihat ketika Mon ingin
mengusir Buang dari kehidupannya, Mon justru dipaksa untuk melayani nafsu
Buang. Mon melakukan hal ini karena Buang justru membuatnya semakin depresi
dan tidak lagi menjadi seseorang yang dibutuhkannya lagi.
(37) Jika Mon tidak memberikan apa yang dimintanya, Buang pun tidak menuruti permintaan Mon. Lama-kelamaan sudah jelas Mon tidak tahan. Semakin hari kebutuhan hidup semakin besar. (Fang, 2007: 60)
(38) Mon sudah malas bermain kartu, tapi Buang terus memaksa. Padahal Mon sudah tidak membutuhkan tukang ojek, tukang becak, jongos, atau lawan bermain kartu. Mon hanya ingin tidur nyenyak karena ia merasa letih sekali. Ia tidak mau diganggu. (Fang, 2007: 60)
(39) Ia menyuruh Buang pergi, Buang tidak mau pergi. Ia mengusir Buang, tetap saja Buang tidak beranjak. Ia menendang Buang, tetapi Buang bergeming. (Fang, 2007: 61)
(40) Buang lalu menembaki Mon seenaknya. Memberondongnya dengan ludah
dari mulut dan pelatuk senapannya. Memaksanya dengan kata-kata dan dengan liat tubuhnya. (Fang, 2007: 61)
(41) Gairah yang mengental menjadikannya seperti eksekutor. Ia tetap menembaki Mon sambil menutup wajah Mon dengan bantal. Ia bagaikan berada di tengah lapangan eksekusi. Dan Mon adalah terpidana mati yang ditutup wajahnya. Ia terus membidikkan senapannya tanpa kenal rasa kasihan. (Fang, 2007: 62)
(42) Mon benci sekali! Ia ingin meledakkan kepala kucing itu sampai otaknya berhamburan. Ia muak dengan otak binatang yang isinya cuma makan dan kawin! (Fang, 2007: 62)
Mon tidak menerima begitu saja harga diri yang dijunjungnya tinggi-tinggi
terinjak-injak. Mon menjadi marah dan tidak terkendali. Hal ini terlihat ketika
Mon membalas semua perbuatannya dengan pukulan, cambukan, sampai
membuat bola mata dan lidah Buang putus. Dari peristiwa ini terlihat bahwa Mon
adalah perempuan yang bisa membara dan membakar sesuai dengan
keinginannya.
25
(43) Maka ia mengambil helm. Ia memukulkan berkali-kali dengan harapan kepala kucing itu remuk. (Fang, 2007: 63)
(44) Mon mengayunkan tali karet, pecut, dan cambuk itu. Suaranya meledak-ledak bergeletar di udara dan menyabet tubuh sapi. Ia memecut kepala sapi. Ia mencambuk badan sapi. (Fang, 2007: 63)
(45) Ia ingin membuang laki-laki yang berasal dari dunia kegelapan itu. (Fang,
2007: 64) (46) Mon berdiri dan menyerang Buang. Ditubruknya tubuh laki-laki itu.
Sekarang Mon merasa menjadi kucing yang mencakar-cakar. Ia menggarukkan kelima cakarnya ke wajah Buang. (Fang, 2007: 64)
(47) Telunjuk dan jari tengahnya mencolok kedua biji mata Buang seperti stop
kontak masuk ke colokan listrik. Mon mencongkel kedua biji mata yang selalu mendelik kepadanya dengan kurang ajar itu keluar dari rongganya. (Fang, 2007: 64)
(48) Mon masih belum merasa puas.
Ia juga ingin mulut Buang hancur. Maka ia memasukkan kelima jarinya ke dalam rongga mulut bajingan itu dan mengobok-oboknya. Ia menarik lidahnya. Ia ingin lidah Buang putus. (Fang, 2007: 64)
(49) Mereka tarik-menarik. Mereka saling adu kuat. Mon hendak memutuskan lidah Buang. Buang hendak memutuskan jari-jari Mon. Dan cressss...!!! Tiga jari Mon putus di dalam mulut Buang bertepatan dengan putusnya lidah Buang dari tempatnya. (Fang, 2007: 65)
(50) Mon pucat pasi melihat ada dua biji bola mata berlumuran darah di atas lantai. Bola mata yang besar itu menggelinding seperti bola pingpong bergulir di atas net. Bagian hitamnya memandang dengan tatapan tajam. Bagian putihnya dipenuhi urat seperti cacing. Lalu ada sepotong lidah tebal dengan bintil-bintil pori yang tergenang ludah dan darah, bercampur tiga ujung jarinya yang putus tergolek seperti puntung abu rokok di dalam asbak. (Fang, 2007: 66)
(51) Dipandangnya perempuan cantik di depannya dengan pandangan tidak percaya. Ia mengenakan wajah yang mana? Untung merasa bulu kuduknya meremang berdiri. Tetapi wajah cantik itu tetap tenang seperti awan mendung yang berarak teratur. Untung berusaha menerka terbuat dari apakah perempuan itu? Apakah perempuan itu juga masih terbuat dari darah dan daging? Untung merasa Mon terbuat dari api di dalam sekam. Ia bisa membara dan membakar setiap saat ia mau. (Fang, 2007: 66)
26
Masalah Mon tidak segera berakhir setelah Buang, masih ada yang harus
dihadapi, yaitu masalahnya dengan Pak Lolok yang terus-menerus meminta uang
tagihan kepadanya. Mon belum mampu membayar setelah apa yang terjadi
padanya. Hal ini kembali membuat Mon pasrah untuk menjalani hidup, meski
harus berhadapan dengan tukang tagih.
(52) “... Anda lihat sendiri bahkan kursi di rumah saya pun tidak ada.” (Fang, 2007: 16)
(53) Mon memberikan kotak kecil kepada Untung seperti kotak perhiasan terbuat dari beludru berwarna merah tua. “Tolong berikan kepada Pak Lolok. Kapan saja ia bermain kartu dan bertaruh, aku siap. Tetapi sampaikan, aku sudah tidak punya kartu As juga tidak punya kartu ratu. Jadi aku pasti kalah. Hanya itu yang aku punya. Dan itu adalah taruhanku.” Ada tiga ujung jari putus di dalam kotak itu. (Fang, 2007: 69)
Setelah Mon diberhentikan sebagai marketing asuransi, Mon menjadi
pengangguran dan gelandangan yang setiap hari pergi mengelana dari satu
terminal ke terminal yang lainnya. Namun Mon justru menjadi seorang yang
pasrah menghadapi segala masalah yang dihadapinya.
(54) Sejak berhenti bekerja di perusahaan asuransi, Mon memang pengangguran. Mon jadi gembel, gelandangan luntang-lantung ke sana ke mari tidak menentu. Ia pergi naik-turun angkot dari satu terminal ke terminal lain mencangkung melihat banyak orang yang berseliweran. (Fang, 2007: 117)
Dalam perjalanannya itu, Mon berjumpa dengan Untung kembali. Melihat
kehidupan Untung yang telah berubah Mon juga merasakan kegembiraan yang
dialami oleh Untung. Di tempat Untunglah Mon berkenalan dengan Tongki
seorang pemuda yang kaya raya. Mon terpesona dengan cerita kesuksesan Tongki
yang didapatnya dengan mudah. Hal ini membuat Mon kembali termotivasi untuk
mendapatkan apa yang diinginkan dulu.
(55) Mon merasakan kelegaan dari gema tawanya.
27
Mon juga gembira. Untung mendapatkan hidupnya. (Fang, 2007: 173)
(56) Mon terpesona dan ingin tahu bagaimana Tongki bisa sekaya itu dengan cara yang begitu mudah. Sedang ia dahulu bekerja seperti pengemis, meminta-minta dengan menebalkan muka dan akhirnya memang Cuma menjadi gelandangan. (Fang, 2007: 174)
Agar keinginannya dapat terwujud, Mon ingin menjadi murid dan
mempelajari semua ilmu yang dimiliki Tongki. Mon kembali mempertaruhkan
hidupnya lagi, mempertaruhkan semua uang yang dimilikinya untuk bisa berguru
pada Tongki. Uang itu untuk membayar semua keperluan Tongki sebagai syarat
menjadi muridnya. Dari sinilah perubahan karakter Mon mulai berubah lagi
menjadi seorang yang lebih haus akan kekayaan. Ia pun mau melakukan apapun
juga demi mendapatkan kekayaan.
(57) Maka Mon berkata ia hendak menjadi murid Tongki. Ia hendak belajar dari Tongki. (Fang, 2007: 174)
(58) Mon mengatakan ia tidak punya uang karena ia tidak punya pekerjaan. Belakangan, ia hanya punya sedikit uang dari simpanan dan upah mencuci piring. Dikeluarkannya semua uang receh dari kantongnya sampai tak bersisa. Uang-uang itu bergemerencing di atas meja, membuat Mon teringat bunyi uang yang dipertaruhkan di atas meja kasino. Apakah sekarang ia mulai mempertaruhkan hidupnya lagi? Yah! Ia akan mempertaruhkan sisa uang yang dia miliki untuk hidupnya lagi. (Fang, 2007: 175)
(59) Maka Mon membayar semangkuk mi ayam Tongki. Kemudian ia ikut ke mana saja Tongki pergi dan membayar semua pengeluaran. Ia membayar bensin, parkir, karcis tol, tiket pesawat, makan, mengganti ban mobil, membeli onderdil mobil, pulsa telepon, membayar telepon dan listrik rumah Tongki, juga membayar ongkos kencing di kakus umum bila Tongki kebelet di jalan. (Fang, 2007: 175)
(60) Semua uangnya ludes untuk pertaruhan menata hidup dengan Tongki! (Fang, 2007: 175)
Selama bersama dengan Tongki Mon berubah menjadi seorang murid yang
penurut, mengikuti ke mana Tongki pergi dan melakukan semua yang dikatakan
oleh Tongki tanpa Mon mau menyangkalnya.
28
(61) Maka jadilah Mon anak ayam yang lugu, polos, dan penurut. Dengan langkah kecilnya ia mengikuti lari Tongki. Diikutinya sejak pagi, siang, malam sampai pagi lagi dengan kepatuhan budak belian. Ia ikut ke kanan ke kiri ke muka ke belakang. Si Tongki menjadi raja diraja di atas kepalanya. (Fang, 2007: 175)
(62) Ia sekolah cukup lama kepada Tongki. Ia murid yang baik dan mendengarkan semua pelajaran dari lelaki itu. Apa yang dikatakan Tongki ditelannya mentah-mentah. Semua yang disuruh Tongki dilakukannya tanpa dikunyah. (Fang, 2007: 176)
Banyak yang Mon pelajari selama Mon mengikuti Tongki, sedikit demi
sedikit Mon mengerti bagimana cara Tongki mendapatkan kekayaannya dengan
mudah. Namun ilmu yang telah Mon dapatkan ternyata tidak dapat Mon lakukan.
Ada suatu rasa yang menggeliat di dalam hati Mon ketika melakukan ilmu itu.
(63) Semakin belajar kepada Tongki, Mon semakin tahu bagaimana cara untuk memperkaya diri. Rupanya itu yang dilakukan Tongki selama ini. Tetapi semakin Mon tahu, entah kenapa Mon semakin tidak bisa mempraktikkan ilmu yang didapatnya dari Tongki. Semakin mencoba ilmu itu batinnya semakin menggeliat. (Fang, 2007: 179)
Mon mencoba mengambil barang orang lain untuk menambah jumlah
barangnya seperti yang sudah Tongki ajarkan. Namun ternyata Mon tidak dapat
mengambil barang yang bukan miliknya. Mon justru mengembalikan barang itu
dan cukup menikmati barang yang sudah ada. Mon merasa lebih senang dengan
barang yang Mon miliki sendiri.
(64) Mon pernah mencoba mengambil barang orang lain untuk menambah jumlah barangnya. Tetapi tangannya tidak bisa bergerak menjangkau barang itu. Tangannya kaku mengambang di udara. Alih-alih mengambil barang orang lain, tangannya malah mengembalikannya. Ia memutuskan untuk menikmati barangnya sejumlah yang ada. Tak mengapa, biar sedikit dan buruk tetapi miliknya sendiri. (Fang, 2007: 179)
Mon mencoba cara yang lain. Mon mencoba untuk mempraktekkan
pelajaran membuat alasan dan meminta yang diajarkan oleh Tongki. Menurut
Mon pelajaran membuat alasan dan meminta adalah pelajaran yang paling mudah
29
untuk dilaksanakan. Namun ternyata lidah dan mulut Mon tidak bisa
melakukannya. Ada rasa malu yang menghinggapi jika kalimat-kalimat alasan
keluar dari mulutnya.
(65) Kemudian Mon berpikir, mungkin pelajaran membuat alasan adalah pelajaran yang paling mudah. Bukankah paling gampang kalau lidah asal berbunyi dan mulut asal menjawab. Maka ia akan melakukannya. (Fang, 2007: 180)
(66) Tetapi celakanya lidah dan mulutnya tidak bisa diajak kompromi. Tidak bisa keluar kata-kata semacam itu karena malunya lebih besar daripada berucap demikian. Apa jadinya bila sekedar kata-kata pun tidak bisa dipegang dan dipercaya? Bila terjadi sekali orang akan menerima. Untuk kejadian kedua kali, orang masih memaklumi. Tetapi ketika terjadi yang ketiga kali, orang mulai menjauhi. (Fang, 2007: 180)
(67) Kalau begitu, bisa jadi pelajaran meminta lebih mudah. Apa susahnya
meminta? Bukankah dulu pekerjaannya juga meminta-minta orang membeli polis asuransi? Apa lagi Tongki sudah memberikan kata-kata mantra sakti yang membuat orang sulit menolak permintaan. (Fang, 2007: 180)
(68) Lagi-lagi mulut dan lidahnya tidak mau bekerja sama. Maka Mon
menyumpahi lidah dan mulutnya kenapa begitu sulit hanya untuk meminta saja tidak mau. (Fang, 2007: 180)
Mon menyadari bahwa memberi lebih baik daripada meminta. Mon
merasakan adanya rasa tulus yang menghinggapi dirinya ketika memberi.
(69) Kenapa harus meminta bila bisa memberi? Bukankah lebih terhormat memberi daripada meminta? Lidah dan mulutnya mengguruinya melebihi Tongki. Bahkan mulut dan lidahnya berbicara sendiri di luar kemauannya kepada banyak orang. Lidahnya mengoceh di luar kendali. “Aku punya banyak. Ambillah bila kau mau.” “Ini kubeli untukmu. Kuharap kau suka menerimanya.” (Fang, 2007: 181)
(70) “Bukankah kata-kata itu lebih indah dan menyenangkan?” “Benar, itu kata-kata tulus penuh persahabatan.” Dan matanya melihat orang-orang tersenyum kepadanya. Orang-orang yang menerima pemberian dengan sumringah dan mata berbinar. (Fang, 2007: 181)
Mon merasa terlalu bodoh karena tidak bisa melakukan pelajaran yang
Mon dapatkan dari Tongki. Mon merasa mungkin Tongki adalah seorang
30
mahaguru yang luar biasa pintarnya. Karena tidak bisa melakukan dengan baik
apa yang telah diajarkan oleh Tongki, Mon harus menerima kemarahan dari
Tongki.
(71) Mon berpikir ternyata pelajaran dari Tongki sangat sulit. Sejak taman kanak-kanak sampai lulus perguruan tinggi, Mon tidak pernah mendapatkan pelajaran itu dari guru-gurunya. Mungkinkah Tongki mahaguru sehingga ilmunya tidak mudah didapat? Atau mungkin Mon murid yang bodoh karena tidak bisa menyerap dengan baik ilmu dari Tongki? Tongki selalu memberi nilai merah di rapornya. (Fang, 2007: 181)
(72) “Kamu memang perempuan paling goblok yang pernah kukenal! Tidak heran kamu kehilangan tiga jari tanganmu. Itu karena ketololanmu.” (Fang, 2007: 182)
(73) Dalam pikiran Mon, Tongki adalah laki-laki yang pandai luar biasa.
Otaknya lebih cepat daripada komputer, kalkutor, atau sempoa. Tidak pernah ada kerugian dalam perhitungan Tongki. Juga tidak pernah kekeliruan. Karena bagi Tongki semua orang lebih bodoh dari dirinya. Mon merasa Tongki sempurna. Tidak ada kekurangannya. (Fang, 2007: 182)
Mon merasa telah mengenal Tongki dengan baik, semua kebaikan maupun
kejelekkannya sudah Mon ketahui. Mon jatuh cinta pada Tongki, meskipun
Tongki telah beristri banyak, tapi Mon meyakini bahwa Tongki mencintai,
membutuhkan dan takut kehilangan Mon.
(74) “Aku memujanya sebagai rajaku.” “Kulayani sebagaimana aku menjadi budaknya.” (Fang, 2007: 210)
(75) Hanya Mon yang masih tetap tulus. Mon masih mengikuti Tongki seperti anjing geladak kudisan yang mengekor kepada tuannya dengan setia. Padahal Mon tahu tuannya sudah tidak punya tulang lagi untuk digerogoti. Bahkan ia harus berbagi tulang yang didapatnya untuk tuannya. (Fang, 2007: 193) Mon tetap setia.
(76) Bila ada yang memaki “anjing” sebagai penghinaan, Mon hanya tertawa. Tidakkah lupa bagi yang memaki, bahwa anjing adalah binatang paling setia. Ia menjaga rumah, mengendus bahaya, mencintai tuannya, bahkan rela mengorbankan diri untuk tuannya. Dan Tongki adalah tuan bagi Mon. Tuan yang harus dijaganya, dilindunginya, dicintainya.
31
Karena sebagaimana naluri alamiah anjing yang selalu mengendus kebohongan dan kejujuran, Mon mencium ketidakberdayaan yang harus dilayaninya dengan kesetian. (Fang, 2007: 193)
(77) Mon sudah lebih dari cukup untuk mengerti, Tongki bisa mati kalau ditinggalkannya. (Fang, 2007: 194)
(78) Mon tahu Tongki tidak pernah membual bila di dalam pelukannya. Karena hanya di pelukannya Tongki melabuhkan semua resah dan gelisah. (Fang, 2007: 199)
Kepada Monlah Tongki bisa selalu bersandar dan berkeluh kesah. Tongki
beranggapan bahwa Monlah satu-satunya perempuan yang tulus dan setia
mencintainya.
(79) “Kamu memberikan kebahagian untukku. Karena kamu memiliki ketulusan.” (Fang, 2007:194)
(80) “Bodoh! Kamu memang selalu bodoh! Artinya, sampai mati pun, aku ingin
kamu tetap bersamaku. Menemaniku. Membersihkan kuburku. Bercerita untukku. Matiku adalah milikmu. Mengerti, bodoh?” (Fang, 2007: 200)
Meskipun Mon selalu terlihat bodoh di depan Tongki namun Mon tidak
pernah merasa terhina. Mon menyadari bahwa seorang laki-laki tidak mau terlihat
bodoh di depan pasangannya. Mon juga menyadari bahwa Mon tidak sebodoh
seperti yang dikatakan oleh Tongki.
(81) Mon tidak terhina bila Tongki mengatakannya bodoh. Biarlah lelaki selalu merasa lebih pandai dari perempuan. Mungkin di sana letak kebanggaan lelaki. (Fang, 2007: 200)
(82) Walaupun sebetulnya, Mon merasa ia tidak sebodoh yang dikatakan Tongki. Ia pernah menjadi pemain, petaruh, pemenang, dan pecundang. (Fang, 2007: 200)
Sebagai seorang yang setia pada Tongki, Mon tidak lepas dari cemoohan
yang dikeluarkan oleh Likilik istri tua Tongki. Likilik tidak pernah menganggap
Mon, selalu menghina Mon dengan kecacatannya dan selalu mengatakan bahwa
32
Tongki hanya ingin memanfaatkan keluguan Mon. Namun Mon hanya diam
karena Mon sudah terbiasa dengan sebuah hinaan yang menghujam padanya.
(83) Bila sedang menunggu mahaguru Tongki, maka Mon ikut mendengarkan cerita kedua perempuan itu. Tetapi ia hanya mendengarkan cerita kedua perempuan itu. Tetapi ia hanya sebagai pendengar. Karena kedua perempuan itu tidak pernah menganggapnya ada. (Fang, 2007: 195)
(84) Tetapi Mon diam. Ia sudah terbiasa dihina. Bahkan hinaan lebih nista pernah diterimanya. Jadi tidak masalah baginya bila ada yang mengumpatnya lagi. Maka Mon tetap memilih diam. Karena diam adalah emas. Dan bukankah yang direndahkan akhirnya akan ditinggikan? Sedangkan yang meninggikan diri justru akan direndahkan. (Fang, 2007: 196)
(85) “Kalau selama ini kau kubiarkan berdekatan dengan si Tongki..., itu tidak
masalah. Karena bagi Tongki, kau masih bisa dimanfaatkan. Katanya, kau muridnya yang bodoh dan penurut. Disuruh menunggu berjam-jam, berhari-hari sampai mati merana pun kamu mau. Karena tidak ada laki-laki lain yang mau dengan perempuan dengan jari mrotol seperti kamu! Puih! Mengacalah kau! Kamu bukan ancaman buatku, tahu?!” (Fang, 2007: 210)
Meskipun Likilik yang memiliki semua kekayaan Tongki namun hati,
jiwa, dan badani Tongki semuanya telah Mon miliki. Monlah yang Tongki pilih
untuk hidup bersama. Monlah yang ditawarkan Tongki untuk tinggal dalam
ketidakpastian dan tinggal dalam pertaruhan yang tidak pasti. Namun Mon mau
dan mengikutinya.
(86) “Kupertaruhkan utuh penuh kehidupanku karena aku adalah kehidupannya.” (Fang, 2007: 210)
(87) Karena Mon tidak tahu harus melakukan apa ketika Tongki berkata, “Kita diam, kita tenang, kita tinggalkan dia tanpa keributan.” (Fang, 2007: 211)
(88) Mobil terus melaju membelah malam menuju ke satu arah waktu yang sudah jelas selalu berjalan ke depan. “Tetapi di depan ada apa? Di depan bagaimana? Di depan seperti apa? Aku dibawa ke dalam ketidakpastian yang pasti kujalani.” (Fang, 2007: 227)
Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis, tokoh Mon digambarkan
sebagai seorang wanita yang cantik dan memiliki pesona sang ratu (kutipan 14-
15). Tokoh Mon juga digambarkan sebagai wanita yang ambisius dan terobsesi
33
dengan kekayaan (kutipan 1-13). Selain itu, tokoh Mon digambarkan sebagai
seorang wanita yang pekerja keras (kutipan 10-13), tidak serakah (kutipan 20-22),
memiliki rasa iri dan dengki (kutipan 8-9), dan memiliki harga diri yang tinggi
(kutipan 43-51).
Karakter tokoh Mon tersebut berubah menjadi karakter yang mudah
menyerah (kutipan 31-36), putus asa (kutipan 23-25), mudah gelisah (kutipan 26-
30), dan menjadi seorang yang polos dan lugu dalam melakukan sesuatu untuk
mewujudkan keinginannya tanpa menggunakan hati nurani (kutipan 61-62, 71-78,
83-88). Akan tetapi tokoh Mon menyadari bahwa yang dilakukannya untuk
mewujudkan keinginannya tidak sesuai dengan hati nurani (kutipan 63-70).
2.2 Tokoh dan Penokohan Bulan
Bulan digambarkan sebagai seorang wanita yang mempunyai kehidupan
yang sempurna baik secara fisik, intelektual, keluarga dan materi. Materi yang
berkelimpahan membuat Bulan tidak memusingkan segala keperluan diri sendiri
maupun keluarganya.
(89) Hidup Bulan sangat menyenangkan. Ia memiliki bola kristal yang diinginkan oleh setiap perempuan mana pun di belahan dunia ini. Setiap hari ia mengamati bola kristalnya sambil tersenyum-senyum bahagia. Senyum paling manis seorang perempuan. (Fang, 2007:70)
(90) Di dalam bola kristal itu, Bulan mempunyai rumah dengan banyak pintu dan jendela yang selalu terbuka. Halamannya cukup luas dengan rumput Jepang dan sepasang palem merah di sudut taman. Ada cemara udang bersusun tiga, cemara wangi yang menguarkan harum bila embun berkelompok di ujung-ujungnya, terasnya di kelilingi jejeran lili paris yang selalu menguapkan keringat bila matahari menampakkan senyum. (Fang, 2007: 70)
(91) Ia nyaris sempurna dengan keelokan paras, keindahan otak dan hati yang
rupawan. (Fang, 2007: 73)
34
(92) “Lihat, aku punya rumah, mobil, kedudukan, suami yang baik, anak-anak
yang lucu, lingkungan yang menyenangkan, pekerjaanku punya posisi, uang yang berkecukupan, berlibur ke luar negeri dan masa depan yang bagus.” (Fang, 2007: 77)
(93) Ia dan suaminya punya jabatan yang mapan, ia berludah api sehingga
semua yang dikatakannya dituruti orang, ada suami yang begitu mencintainya, anak-anak yang memeriahkan hidupnya, uang yang tidak pernah kekurangan sehingga ia tidak perlu pusing ketika membayar listrik, telepon, koran, elpiji, atau bahkan membeli sekotak bedak yang berharga jutaan rupiah, teman, sahabat, sampai tetangga yang menyukainya, liburan ke mana saja yang ia suka, membeli apa saja yang ia mau, dan kasur hangat yang selalu bergelora. (Fang, 2007: 78)
Bulan selalu memperhitungkan segala sesuatunya dengan benar dan tepat.
Bulan selalu tahu apa yang harus dikerjakan tanpa harus diatur karena Bulan
merupakan perempuan mandiri. Perempuan yang berkuasa baik bagi dirinya
sendiri maupun di keluarga.
(94) Bulan sendiri memang tidak perlu diatur harus seperti apa. Karena ia sudah tahu harus seperti apa. Ia tidak perlu disuruh ke kanan karena ia tahu kapan waktunya harus ke kanan. Ia tidak sah disuruh ke kiri karena sebelumnya sudah tahu bila harus berbelok ke kiri. Ia bisa maju dengan sangat cepat dan jarang harus mundur karena hidupnya serapi tumpukan pakaian yang dilipat dengan sisi yang sama di dalam lemari pakaiannya. (Fang, 2007: 73)
(95) Maka Bulan adalah perempuan mandiri yang berkuasa atas dirinya sendiri. Ia mau pergi ke mana, maka ia akan pergi. Ia hendak berbelanja apa, maka ia akan membelinya. Ia ingin melakukan apa, maka dilakukannya. Ajaibnya yang dilakukannya selalu benar dan tepat. Seperti panah Robin Hood yang tidak pernah meleset dari sasaran. Ia benar luar biasa sepeti Tuhan menciptakan bulan. (Fang, 2007: 73)
(96) Bulan memang mengatur semuanya. Mengatur rumah dari depan sampai
belakang. Mengatur dapur dari garam sampai elpiji. Mengatur lemari dari baju digantung sampai celana dalam dilipat. Mengatur uang dari belanja sampai tabungan. Bulan mengatur kehidupan mereka dengan tertib seperti bulan yang pasti menjadi purnama penuh ketika pada hari kelima belas dan menjadi bulan sabit muda seiris ketika tanggal satu. (Fang, 2007: 76)
Hal di atas juga terlihat pada Angin Puyuh, suaminya yang memberikan
kebebasan dan kepercayaan terhadap semua hal.
35
(97) Karena cintanya, Angin Puyuh memberikan apa pun yang diinginkan Bulan. Rumah, mobil, uang, deposito, semuanya. Ia memberikan kebebasan dan kepercayaan sepenuhnya kepada Bulan. (Fang, 2007:73)
(98) Padahal ia sudah memberikan semua kekuasaan untuk mengatur segalanya
kepada Bulan. Perempuan itu sudah memegang seluruh teritori di rumah sampai ke rekening banknya. (Fang, 2007: 75)
Hal itupun terlihat jelas ketika Mon datang untuk menawarkan polis
asuransinya. Bulan hanya tersenyum penuh makna karena ia merasa yakin ia
sudah memperhitungkan dengan cermat tanpa harus mempunyai asuransi. Dengan
cekatan Bulan menghitung selisih untung dan rugi antara bunga bank dan premi
asuransi.
(99) Maka ketika beberapa bulan yang lalu Mon, tetangga yang tinggal di balik tembok perumahannya, datang menawarinya untuk membeli polis asuransi jiwa, ia tersenyum anggun. Untuk apa polis asuransi jika ia mengatur semuanya dengan cermat di dalam bola kristal? (Fang, 2007: 76)
(100) “Aku punya tabungan dan deposito.” Karena Bulan bekerja di bank, ia mengeluarkan kalkulator dan mulai menghitung selisih untung dan rugi membandingkan bunga bank dengan membayar premi asuransi. Maka terjadilah hitung-menghitung di antara dua otak. Otak pekerja bank yang selalu memperhitungkan bunga uang yang akan berlipat ganda... (Fang, 2007: 76)
Bulan juga merupakan perempuan yang ringan tangan dan ringan hati
dalam melakukan semua pekerjaannya. Bulan selalu membersihkan dan
merapikan semua barang yang dibuat berantakan oleh suami dan anak-anaknya.
Selain itu, Bulan selalu memberikan pertolongan yang diperlukan oleh teman-
temannya.
(101) Sepatu terlempar di garasi, kaos kaki melayang, jaketnya terbang di sofa, kemeja dan celana panjang di kamar, celana dalam di kamar mandi. Setelah itu, maka Bulan yang akan mengambil dan merapikan barang-barang yang berterbangan itu. Bulan memang ringan tangan dan ringan hati. Ia suka segala sesuatu terletak pada tempatnya dengan rapi dan tidak pernah keberatan bila menolong orang lain. Sehingga selain bekerja di bank, pekerjaan Bulan adalah menolong orang lain. Di kantornya ia menolong teman yang tidak
36
punya uang. Ia meminjamkan uang tanpa bunga atau bahkan memberi cuma-cuma. Ia suka berbagi makanan apa saja yang ia punya. Sedangkan di rumah ia juga menolong tetangganya berbelanja ke pasar sampai mencarikan pembantu rumah tangga. Bahkan juga tidak bisa menolak ketika seorang tetangga menitipkan daging mentah di kulkasnya yang sudah penuh. (Fang, 2007: 72)
Meskipun Bulan terlihat sempurna, ternyata Bulan tetaplah memiliki
kekurangan. Bulan tidak bisa berperan sebagai istri yang menemani suaminya
menonton acara televisi kesukaan suaminya. Bulan selalu menganggap bahwa
suaminya bodoh, selalu menertawakan hal-hal yang dianggap Bulan tidak lucu. Di
sini terlihat bahwa Bulan tidak mempunyai rasa humor. Bulan merasa suaminya
lebih memilih menonton acara televisi dibandingkan Bulan.
(102) Kekurangannya hanya satu, ia tidak suka menemani suaminya tertawa menonton televisi yang dianggapnya tolol. (Fang, 2007: 73)
(103) Bulan melihat suaminya sangat bodoh. Tidak mengerti apa-apa tetapi suka tertawa untuk hal yang menurut Bulan tidak lucu. Apa yang perlu ditertawakan saat melihat orang jatuh karena menginjak kulit pisang? Bukankah itu namanya tidak hati-hati? (Fang, 2007: 74)
(104) Bahkan ketika makan pun, mata dan telinganya tertancap pada televisi. Ia
menyuapkan makanan tanpa melihat piring dan sendok. Ia tidak pernah mendengar Bulan bercerita. Ia seperti picek dan budek terhadap istrinya sendiri. baginya televisi lebih penting daripada Bulan. Dan kelucuan yang tidak lucu di layar kaca itu lebih menarik daripada Bulan yang menemaninya makan dan ngobrol. (Fang, 2007: 74)
Selain itu, Bulan juga memiliki kekurangan dalam mengatur anak-
anaknya. Bulan terlalu menata anak-anaknya sedemikian rupa, sampai mereka
tidak mengenal apa rasa sakit itu, yang mereka kenal hanyalah kebahagiaan.
(105) Anak-anaknya adalah anak-anak dewa. Jadi ia harus menata masa depan mereka serapi-rapinya sehingga menjadi anak-anak yang tertib dan jenius. Ia akan menuntun anak-anaknya naik sepeda. Ia tidak akan membiarkan anak-anaknya jatuh, luka, lecet, dan berdarah. Karena ia tahu luka itu perih dan darah itu sakit. Ia tidak akan membiarkan anak-anaknya merasakan perih dan sakit. (Fang, 2007: 114)
37
Setelah bertemu dengan Mon kehidupan Bunga sedikit demi sedikit
berubah. Hal ini terjadi ketika Mon mengungkapkan bahwa menurutnya
kehidupan Bulan yang terlihat sempurna ternyata masih memiliki kekurangan.
Namun Mon tidak menjelaskan secara pasti apa yang sebenarnya kurang dalam
hidup Bulan. Bulan pun memang tidak pernah merasakan kekurangan dalam
hidupnya. Namun lama kelamaan Bulan justru merasakan adanya gejolak dalam
dirinya ketika tanda tanya tentang kekurangannya. Gejolak akan diri fantasi-
nyalah yang membuat Bulan bertanya-tanya.
(106) “Kau akan belajar tahu kekurangan.” “Untuk apa tahu kekurangan“ “Agar kau tahu seperti apa surga dan separti apa neraka.” “Hidupku sudah surga.” “Justru itu! Kau terlalu lama berada di surga. Sekali-kali tidak ada salahnya mengintip neraka.” “Buat apaaaaaa?” Bulan tertawa. “Untuk tahu hidup.” (Fang, 2007: 97)
Bulan pun mengalami pergumulan akan apa yang kurang dalam dirinya
dan mulai mencari jawaban akan tanda tanya ini. Namun, Bulan justru membuat
segala kesempurnaan yang dimiliki dalam bola kristalnya hancur berkeping-
keping. Bulan pun meninggalkan segalanya demi mencari tanda tanya dalam
dirinya. Namun dalam pencariannya, Bulan masih belum bisa beradaptasi dengan
lingkungannya yang sekarang. Ia masih merasakan sakit karena meninggalkan
bola kristalnya. Ia pun menjadi seorang yang lemah, tidak lagi kuat.
(107) Bulan merasa napasnya tersenggal-senggal seakan dadanya terhimpit Gunung Merapi, panas bergolak tetapi tidak segera meletus. Hanya magmanya mengalir menggelindingkan batu, kerikil, pasir, debu dengan suhu tinggi. Geliginya saling merapat gemeletuk karena tak tahan rasa sakit yang diendap. Jikalau bisa, ia ingin seperti King Kong yang berteriak nyaring sembari memukul dada sampai getarannya meruntuhkan gedung-gedung. Tetapi ia ternyata hanya putri duyung yang merangkak terseok di atas pasir karena tidak mempunyai kaki. Ia malu dengan ekornya yang bersisik. Ia ingin berkata bahwa ialah putri yang menolong sang pangeran
38
yang tenggelam. Ia hanya memberikan ciuman berisi gelembung udara sehingga paru-paru pangeran berkembang. Ia yang menuntun pangeran menari di sela karang. Tetapi pangeran lupa. Dan ia tidak punya suara. Bulan mengerang kesakitan. Badannya melengkung seperti busur terentang tanpa anak panah yang diluncurkan. Karena anak-anak panah sudah menancap di tiap helai rambutnya. Ia tidak punya kata lain kecuali, “Aduhhhh...” Ia cuma tidur, bermimpi, bangun, menangis, tidur, bermimpi, bangun dan menangis. Cuma itu setiap hari yang dikerjakannya. (Fang, 2007: 107)
Namun lama-kelamaan, Bulan mulai menerima dan beradaptasi dengan
lingkungannya dan mempelajari setiap kejadian yang dialaminya. Ketika Bulan
melihat anak-anaknya jatuh dan terluka ketika bermain bersama dengan seorang
perempuan yang menggantikannya ia pun marah. Ia merasa tidak pernah membuat
anak-anaknya terjatuh karena ia selalu mengatur semua dengan baik. Namun dari
kejadian itulah Bulan mendapatkan pelajaran hidup bahwa rasa sakit membuat
seseorang bangkit dari rasa sakit itu.
(108) Ia ingin lari menembus tembok itu menolong anak-anaknya. Membawa mereka berjalan-jalan ke plaza, membelikannya mainan banyak, memberikan les musik, balet, bahasa asing, sempoa. Anak-anaknya adalah anak-anak dewa. Jadi ia harus menata masa depan mereka serapi-rapinya sehingga menjadi anak-anak yang tertib dan jenius. Ia akan menuntun anak-anaknya naik sepeda. Ia tidak akan membiarkan anak-anaknya jatuh, luka, lecet, dan berdarah. Karena ia tahu luka itu perih dan darah itu sakit. Ia tidak akan membiarkan anak-anaknya merasakan perih dan sakit. Mon menarik lengannya. “Perempuan itu mengajarkan jatuh kepada anak-anakmu.” “Tetapi jatuh itu sakit dan perih.” “Jika tak pernah jatuh, orang tidak akan belajar bangun.” Bulan terenyak mendengarkan kata-kata Mon. Ia terperangah. (Fang, 2007: 114)
Bulan juga mendapatkan pelajaran hidup bahwa seseorang membutuhkan
orang lain ketika ia memperhatikan seorang nenek yang duduk di kursi roda dan
dilayani oleh seorang perawat. Bulan menyadari bahwa hidup ini manusia
membutuhkan orang lain untuk membantunya. Bulan merasa selama ini ia tidak
39
membutuhkan orang lain, karena menurutnya ia sudah mengatur hidupnya dengan
baik.
(109) Bulan melihat ternyata manusia sangat lemah dan tidak berdaya. Dari lahir sampai tua (bahkan meninggal) selalu tergantung kepada orang lain. Padahal ketika semua tulang belulang tumbuh sempurna, manusia lupa asal-muasalnya dari bayi tak berdaya dan akan menjadi si jompo yang tak berguna. (Fang, 2007: 121)
Selain itu, Bulan menyadari bahwa apa yang dilihat di mata baik belum
tentu baik dan yang terlihat jelek belum tentu jelek, karena terkadang yang terlihat
baik justru mengeluarkan kejelekannya dan yang terlihat jelek justru
menimbulkan kebaikkan. Seperti ketika Bulan memperhatikan orang-orang yang
menebang dahan-dahan pohon pinus yang ditumbuhi benalu karena menganggap
bahwa benalu menghambat pertumbuhan pohon dan merusak pemandangan.
Padahal di pohon pinus itu juga terdapat bunga Anggrek yang tumbuh, tetapi
bunga Anggrek itu dibiarkan saja tumbuh di dahan pohon pinus karena sedang
berkembang dengan indah.
Namun ternyata, benalu sangat dibutuhkan bagi beberapa orang untuk obat
dan bagi burung-burung kecil yang menjadikan benalu sebagai sarangnya. Bulan
memperhatikan kuntum bunga Sedap Malam yang cantik, putih dan wangi Bulan
pun terpesona. Tetapi ketika kuntum bunga itu layu dan akan diganti Bulan
terkejut karena tangkai bung itu mengeluarkan bau yang busuk.
Dengan pengalaman ini, Bulan pun teringat akan kejadian ketika Mon
datang ke rumahnya, ia justru menghina Mon dengan kecacatannya, dan yang
terjadi sekarang ia justru tinggal bersama dengan Mon dan mempelajari hidup.
(110) “Ah, ternyata benalu tidak merugikan,” pikir Bulan. Banyak yang membutuhkan benalu. Orang sakit yang memakai daunnya sebagai rebusan obat sampai burung kecil yang membuat sarang di rerimbunannya. Kenapa
40
manusia menebang benalu? Bukankah anggrek juga sama-sama melekat dan menumpang hidup di pohon pinus? Tetapi manusia tidak menebangnya malah memuji-mujinya. Apakah karena anggrek meberikan bunga cantik sehingga tidak ada yan keberatan bila si cantik yang hidup menumpang. Bulan juga menyukai bunga anggrek. Tetapi ia kasihan dengan benalu. Mungkin memang kodrat manusia selalu terpikat dengan yang dilihat. (Fang, 2007: 123)
(111) Bulan tersentak. Apa yang terlihat cantik ternyata juga menyimpan kebusukan. Bau busuk akan melekat lebih lama daripada aroma wangi. Sebagimana manusia lebih suka membicarakan keburukan orang lain daripada memuji kelebihannya. (Fang, 2007: 124)
Bulan pun mulai mengerti dengan sikap legawa yang dibicarakan Mon
padanya. Ini diketahui Bulan ketika Bulan selalu memperhatikan seorang sales
yang tidak pernah lelah menawarkan barang-barangnya kepadanya meskipun
Bulan tidak pernah membelinya. Namun sales itu tetap tersenyum ketika tidak
memiliki uang untuk membeli celana baru untuk Lebaran.
(112) Seperti kemudian ia mengenal laki-laki muda yang selalu berkeliling dari pagi hingga petang dengan sepeda motornya. Tubuhnya biasa-biasa saja dengan kulit legam. Tidak ada yang istimewa darinya sehingga bisa dipastikan bahwa ia adalah orang yang mudah dilupakan. Mungkin Bulan mengingatnya, karena ia selalu tersenyum. Ia selalu tersenyum bahkan ketika Lebaran tiba dan tidak memiliki uang untuk membeli celana baru. Ia tetap tersenyum saat mewantek celana lamanya. Mungkin ini yang dinamakan legawa seperti yang diceritakan Mon, pikir Bulan. (Fang, 2007: 124)
Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis, dapat disimpulkan bahwa
tokoh Bulan adalah seorang wanita yang sempurna, baik secara fisik, intelektual,
keluarga, dan secara materi (kutipan 89-98). Tokoh Bulan juga digambarkan
sebagai seorang yang ringan tangan dan ringan hati (kutipan 101), penuh
perhitungan (kutipan 99-100), tetapi tidak diperhatikan suaminya (kutipan 102-
104).
Karakter tokoh Bulan tersebut berubah menjadi seorang yang sadar akan
memiliki kekurangan (kutipan 106), sadar bahwa hidupnya tidak selalu berada di
41
atas (kutipan 108), sadar bahwa ia membutuhkan orang lain (kutipan 109), sadar
bahwa seseorang dilihat bukan dari fisiknya saja (kutipan 110-111), dan memiliki
sifat legawa atau berpasrah diri (kutipan 112).
2.3 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tokoh dan penokohan Mon dan Bulan di atas
dapat disimpulkan bahwa ada perubahan karakter yang terjadi pada tokoh Mon
dan Bulan. Perubahan karakter yang dialami tokoh-tokoh utamanya merupakan
sebuah perubahan yang melandasi pembentukan identitas diri tokoh-tokoh
utamanya yang akan dibahas pada bab III.
Tokoh Mon awalnya digambarkan sebagai seorang yang ambisius, yang
terobsesi akan kekayaan dan perubahan hidup yang lebih baik. Meskipun begitu,
Mon tidak lantas menjadi seorang yang serakah yang melakukan segala
sesuatunya dengan tidak halal. Mon mempunyai harga diri yang tinggi, dan
mempunyai sikap seperti seorang ratu. Namun setelah Mon mengalami kelelahan
yang luar biasa, Mon tidak lagi terobsesi kepada kekayaan dan perubahan hidup.
Mon justru menjadi seorang yang bersikap pasrah dan legawa.
Setelah berkenalan dengan Tongki, Mon tidak lagi bersikap seperti
seorang ratu. Mon justru berubah menjadi seorang budak belian yang selalu
mengikuti dan melaksanakan semua yang diperintahkan oleh tuannya. Mon juga
menjadi seorang yang terobsesi kembali dengan kekayaan, meskipun apa yang
dilakukannya sekarang menggunakan cara yang tidak halal dan tidak sesuai
dengan hati nuraninya. Dari peristiwa inilah, Mon menyadari bahwa tidak hanya
kekayaan yang bisa membahagiakan dirinya.
42
Tokoh Bulan merupakan tokoh yang pada awalnya digambarkan secara
sempurna. Bulan memiliki segalanya, keluarga yang bahagia, anak-anak yang
lucu, materi yang melimpah, fisik dan intelektual yang sempurna. Namun ternyata
dari kesempurnaan yang dimilikinya, Bulan tidak merasa bahagia. Bulan merasa
kebahagiaan yang dicarinya bukan berasal dari sebuah materi yang diperolehnya,
melainkan dari sebuah pembelajaran hidup.
Bulan mengalami perubahan karakter setelah meninggalkan semua
kesuksesannya. Meski awalnya sulit, namun Bulan menjadi seorang yang lebih
menghargai orang lain dan lebih bersikap legawa menghadapi hidupnya.
Berdasarkan hasil analisis pada Bab II ini, penulis mendapatkan
gambaran tentang bagaimana proses pembentukan identitas diri tokoh-tokoh
utama dalam novel Lelakon.
43
BAB III
PEMBENTUKAN IDENTITAS DIRI
TOKOH UTAMA DALAM NOVEL LELAKON
Dalam kehidupan, manusia memiliki lebih dari satu lakon (peran) yang
tercitra dari identitas diri masing-masing. Identitas diri ini terbentuk dari sebuah
proses pembentukan kepribadian. Pembentukan merupakan pembuatan,
penciptaan, pendirian, penjadian, penyusunan (Endarmoko, 2006: 76).
Kepribadiaan merupakan karakter, (budi) pekerti, pembawaan, perilaku, sifat,
tabiat, temperamen, watak (Endarmoko, 2006: 487).
Menurut Sujanto dkk (2006: 11), pembentukan kepribadian merupakan
suatu kebulatan yang bersifat kompleks yang disebabkan oleh karena banyaknya
faktor-faktor dalam dan faktor-faktor luar yang ikut menentukan kepribadian itu.
Faktor-faktor dalam yang menentukan kepribadian adalah segala sesuatu yang
telah dibawa dari lahir, seperti pikiran, perasaan, kemauan, fantasi, ingatan, dan
kondisi fisik. Sedangkan faktor-faktor luarnya adalah segala sesuatu yang ada di
luar manusia seperti faktor lingkungan (Sujanto dkk., 2006: 5).
Faktor-faktor di ataslah yang membuat diri seseorang menjadi unik dan
tidak memiliki kesamaan dengan orang lain. Qahar (1970: 3) mengungkapkan
bahwa kepribadian itu berarti sesuatu jang dimiliki seseorang jang membedakan
mutu pribadinja dari pribadi orang lain.”
Pembentukan kepribadian menjadi unik juga diungkapkan oleh
Shalahuddin. Menurutnya manusia memiliki kepribadian yang unik itu ditentukan
44
oleh faktor keturunan, lingkungan, dan faktor diri. Keunikan manusia terlihat pada
tingkah laku pikir, tingkah laku sifat, perasaan maupun gerak-geriknya yang
berlainan antara manusia yang satu dengan manusia yang lain. Meskipun ada
sebagian besar tingkah laku dan sifat yang sama, namun tidak ada yang benar-
benar identik. Keunikan ini disebabkan oleh faktor keturunan (heredity), faktor
lingkungan (environment), dan faktor diri (self). Faktor keturunan (heredity) dapat
diartikan sebagai kecenderungan untuk bertumbuh dan berkembang menurut pola-
pola, ciri-ciri, sifat-sifat tertentu yang diturunkan dari kedua orang tuanya
(Shalahuddin, 1991:64).
Faktor lingkungan (environment) adalah suatu kenyataan bahwa pribadi-
pribadi atau individu-individu, sebagai bagian dari alam sekitarnya, tidak dapat
lepas dari lingkungannya itu baik lingkungan fisik, lingkungan sosial, maupun
lingkungan psikologis (Shalahuddin, 1991:65-66). Faktor diri (self) merupakan
kehidupan kejiwaan seseorang. Kehidupan kejiwaan ini terdiri dari perasaan,
usaha, pikiran, pandangan, penilaian, keyakinan, sikap dan angggapan yang
berpengaruh dalam membuat keputusan tentang tindakan sehari-hari. Faktor diri
(self) ini berinteraksi dengan faktor keturunan (heredity) dan faktor lingkungan
(environment) untuk membentuk pribadi seseorang, karena faktor ini mempunyai
pengaruh yang besar untuk menginterpretasikan kuatnya daya pembawaan
(sebagai faktor keturunan) dan kuatnya daya lingkungan (Shalahuddin, 1991: 68).
Setelah kepribadian seseorang terbentuk maka terbentuklah juga identitas
dirinya. Menurut Salim, identitas diri adalah ciri khas atau kekhasan seseorang
(1991: 548). Identitas diri merupakan ciri (-ciri), individualitas, jati diri,
45
personalitas, label, nama sebutan (Endarmoko, 2006: 242). Menurut Erikson
(1989: 182), manusia mencari identitasnya untuk menentukan siapakah atau
apakah manusia itu pada masa mendatang. Setelah itu manusia baru bisa memiliki
suatu pandangan jelas tentang diri mereka dan tidak akan meragukan tentang
identitas batinnya sendiri serta mengenal perannya dalam masyarakat. Hal
tersebut akan terjadi apabila ia sadar akan ciri-ciri khas pribadinya, seperti
kesukaan dan ketidaksukaannya, aspirasinya, tujuan masa depan yang diantisipasi
dan perasaan bahwa manusia itu dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya
sendiri.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, pembentukan kepribadian yang
berdasarkan pada faktor keturunan, faktor diri, dan faktor lingkungan sangat
mempengaruhi pembentukan identitas diri tokoh utama. Hal inilah yang menjadi
dasar penulis untuk menganalisis pembentukan identitas diri tokoh utamanya
dalam novel Lelakon. Pada bab ini akan dibahas bagaimana pembentukan
identitas diri tokoh Mon dan Bulan dengan membaginya dalam dua subbab, yaitu
pembentukan kepribadian dan pembentukan identitas diri. Pembentukan
kepribadian dianalisis terlebih dahulu sebagai proses dalam pembentukan identitas
diri.
3.1 Pembentukan Kepribadian
Dalam penelitian ini, penulis tidak akan menganalisis pembentukan
kepribadian tokoh Mon dan Bulan dengan berdasarkan faktor keturunan. Hal ini
dikarenakan tidak diungkapkannya pola-pola, ciri-ciri, dan sifat-sifat tertentu
46
tokoh Mon dan Bulan yang diturunkan dari kedua orangtuanya dalam Novel
Lelakon ini. Untuk itu, penulis hanya akan menganalisis pembentukan
kepribadian tokoh Mon dan Bulan berdasarkan faktor lingkungan dan faktor diri
sebagai proses awal dalam pembentukan identitas diri.
3.1.1 Pembentukan Kepribadian Mon
3.1.1.1 Faktor Lingkungan
Mon tinggal di rumah kecil yang berbatasan langsung dengan perumahan
mewah. Perbedaan secara ekonomi inilah yang membuat Mon menjadi seseorang
yang ambisius, terobsesi, dan mau berjuang keras untuk memiliki kehidupan yang
lebih baik dan mendapatkan apa yang diinginkan. Mon ingin menjadi orang yang
kaya, untuk itu Mons selalu memperhatikan aktivitas di dalam lingkungan mewah
itu. Hal ini membuat Mon memiliki rasa dengki kepada perbedaan itu.
(113) Tembok yang membatasi kompleks perumahan dengan gang tempat Tanda Tanya berada, mempunyai lubang kecil. Mon suka mengintip dan mengorek-ngorek lubang itu sehingga semakin besar seperti ia memelihara rasa dengki di hatinya yang semakin lebar. Mon tidak bisa melihat ke dalam kompleks perumahan itu dari depan berhubung ada tembok tinggi lagi yang menutupinya. (Fang, 2007: 36)
(114) Setiap Mon ke luar rumah dan melewati kompleks perumahan itu, ia berusaha melirik untuk melihat seperti apa kolam renangnya, lapangan tenisnya, lapangan basketnya, atau joggingtrack-nya. Tetapi ia tidak bisa melihat apa-apa, kecuali mobil mewah yang keluar-masuk dan dua orang satpam yang berjaga di depan, kadang dengan kepala terantuk-antuk mengantuk. Maka tidak ada yang bisa dilakukan Mon kecuali membuat lubang di tembok yang membatasi kompleks perumahan dan Tanda Tanya menjadi semakin besar. (Fang, 2007: 36)
(115) Yang istimewa justru penghuni kompleks perumahan di sebelah dalam
tembok itu. Mereka keluar-masuk pintu gerbang dengan mobil mewah melalui sistem pengamanan one way gate yang dijaga satpam selama dua puluh empat jam nonstop. (Fang, 2007: 35)
47
(116) Ketika ia menyipitkan mata melihat apa yang ada di tembok sebelah, Mon seperti melihat mimpi karena ia melihat dunia yang berbeda dengan dunia yang setiap hari dilakoninya. Ia berpikir, mungkin ia tidak tinggal di dunia yang sama dengan orang-orang dari tembok sebelah itu. Karena dilihatnya, matahari di dunia di balik tembok itu tidak pernah terbenam. (Fang, 2007: 37)
Keadaan yang seperti ini membuat Mon juga menyimpan rasa iri kepada
penghuni perumahan mewah khususnya anak-anak, seorang nyonya rumah, dan
seorang pembantu yang tinggal di dalam perumahan mewah tersebut. Mon iri
dengan keberuntungan yang dimiliki oleh mereka. Nyonya rumah dan anak-anak
memiliki keberuntungan karena memiliki dan merasakan kekayaan yang mereka
miliki. Meskipun Tumini seorang pembantu namun ia dapat menikmati segala
kemewahan yang dimiliki oleh majikannya dengan melakukan perbuatan asusila.
(117) Ketika pagi mereka berbondong-bondong pergi naik mobil-mobil mewah keluar dari kompleks perumahan. Sopir membukakan pintu mobil, pembantu membukakan pagar, satpam mengangkat palang pintu. Itu para tuan dan anak-anak mereka yang sekolah. Lalu tidak berapa lama, mobil lain juga menderu keluar, mobil para nyonya yang menuju plaza untuk menghamburkan uang hanya untuk sepasang sepatu, sebuah gaun, atau sekeping sabun mandi. (Fang, 2007: 37)
(118) Bahkan Mon melihat anak-anak mereka yang masih berusia empat tahun dan masih duduk di playgroup, sudah diantar sopir dengan mobil mewah dan ditemani pengasuh yang membawa tas dan botol minumannya. (Fang, 2007: 35)
(119) “Kamu iri! Asli seasli-aslinya kamu iri seiri-irinya dengan nasib bocah
itu!” Celetuk suara yang entah datang dari mana. Mungkin datang dari kepalanya, dadanya, atau lidahnya. Lalu tangannya sendiri menunjuk-nunjuk jidatnya sendiri. “Kamu iri! Sentak suara itu lagi.” “Iri?” “Bisa jadi!” Mon mengakui diam-diam. (Fang, 2007: 36)
(120) Setelah semua orang pergi, maka rumah-rumah menjadi sepi. Para pembantu menjadi pembantu yang menjalankan tugas rutinnya. Si Tumini mengepel, menyapu, mencuci, memasak. Setelah semua selesai, Tumini menjadi majikan. Ia menyetel plasma tivi, membunyikan tape recorder, bukan sekedar duduk di sofa tetapi berjingkrak-jingkrak di atas kasur
48
majikannya, menyemplungkan diri ke dalam bathtub juragannya, dan bermandikan busa sabun nyonyanya. (Fang, 2007: 35)
(121) Kalau sudah begini, Tumini langsung mengerti kenapa tuan suka mencuri remas pantat dan teteknya kalau nyonya tidak ada. Tuan juga suka mengendap-ngendap seperti kucing yang hendak menerkam tikus ketika menerkam tubuhnya saat nyonya sedang ngorok. (Fang, 2007: 40)
(122) Kembali lagi Mon mengerami rasa iri. Si jahat menalu-nalu katup
jantungnya sampai bocor. Katakanlah Mon memang tidak bisa bersaing nasib dengan bocah-bocah kaya itu, masa dengan pembantu pun Mon kalah bertaruh nasib? Apakah ia memang apes seapes-apesnya seperti kartu-kartu yang terpampang di atas meja taruhan? (Fang, 2007: 47)
Meskipun Mon memiliki rasa iri dan dengki kepada kehidupan di dalam
perumahan mewah tersebut tidak membuat Mon menjadi seorang yang diam dan
menerima nasibnya saja. Mon memiliki kepercayaan diri untuk mampu menjadi
orang kaya dan memiliki Tanda Tanya. Mon mencoba untuk bekerja, awalnya
Mon bekerja sebagai bandar di sebuah kasino gelap. Namun menurut Pak Lolok,
Mon tidak pantas bekerja di tempat itu, karena ia melihat Mon mampu bekerja
yang lebih menantang dibandingkan hanya mengocok kartu dan membagikannya.
Hal ini menjadikan Mon lebih percaya diri untuk memenangkan pertaruhan demi
mendapatkan Tanda Tanya.
(123) Menurut Pak Lolok, Mon cantik, menarik, dan luwes. Mon tidak pantas cuma menjadi pengocok kartu di meja taruhan. Tetapi justru harus berani menjadi pemain yang memasang taruhan. (Fang, 2007: 48)
(124) Mon sudah pasti ingin jadi pemenang. Sekarang ia memegang kartu. Ia bukan sekedar mengocok dan membagikannya pada pemasang taruhan. Ia sudah masuk ke arena pertaruhan dan ia harus menang. Ia harus mempuyai jawaban untuk Tanda Tanya. (Fang, 2007: 48)
(125) Menurut perhitungannya, gemerincing uang akan terus mengalir ke dalam kantongnya. Ia pasti sanggup membayar cicilan rumah itu. (Fang, 2007: 52)
Mon memulai pertaruhan yang ditawarkan oleh Pak Lolok dengan bekerja
sebagai petugas asuransi. Demi memenangkan pertaruhannya Mon bekerja keras
49
menjual polis asuransinya. Mon merasa ia harus bekerja seperti gasing yang
berputar terus tanpa henti agar polis yang ditawarkannya laku terjual dan ia
mendapatkan keuntungan yang banyak. Lingkungan kerja sebagai marketing
asuransi mempengaruhi Mon untuk mampu memberikan penampilan yang
menarik sebagai pendukung agar konsumen mau membeli polisnya. Mon sangat
percaya diri mampu melakukan semuanya karena Mon memeliki keyakinan
bahwa dirinya seorang ratu yang sangat cantik.
(126) Setiap pagi ketika bercermin, ia selalu berpikir, wajah mana yang hendak dikenakannya, senyum mana yang hendak disuguhkannya hari ini. Setiap pagi ia mengerami si busuk di katup jantung. Ia adalah si culas yang cantik tetapi yang tampak adalah si cantik yang tidak culas. Ia tidak perlu telanjang untuk menjual diri atau lidah bercabang dan berkepala dua untuk bermanis kata. Ia cukup memoles warna apa di bibirnya yang bermadu, memulas apa di matanya yang sendu, memakai wajah seperti apa untuk siapa-pada saat apa. Ia adalah ratu, perempuan gemilang yang bisa bersabda apa bertitah untuk siapa, suka-suka dia, dan semua orang adalah budak belian yang meniarapkan kepalanya untuk alas kakinya dan mengiyakan semua kehendaknya. (Fang, 2007: 53)
(127) Mon bercerita sejak ia bekerja di perusahaan asuransi, ia menjadi seperti gasing. Berputar dan terus berputar mencari calon pembeli polis asuransi. Mengoceh dan terus mengoceh untuk menyakinkan calon pembeli. Bermuka tebal ketika harus berulang kali datang dan menerima penolakan. (Fang, 2007: 54)
Dalam mengisi waktu senggangnya di sela-sela menjadi seorang marketing
asuransi, Mon berkenalan dengan Buang dan tinggal bersamanya. Awal mula
tinggal dengan Buang, Mon merasa bahagia, karena permainannya dengan Buang
sangat mengasyikkan yang setidaknya membuat Mon melupakan sejenak
pekerjaannya sebagai marketing asuransi, dan terlebih karena Buang selalu
menuruti apa yang diinginkan oleh Mon. Karena hal inilah yang menjadikan Mon
semakin percaya diri terhadap kecantikannya yang seperti ratu.
(128) Mon merasa permainannya dengan Buang adalah permainan yang mengasyikkan untuk mengisi waktu senggang di sela-sela ia menjadi
50
marketing asuransi yang harus berputar seperti gasing berkeliling mencari dan menyakinkan klien untuk membeli polis asuransi. (Fang, 2007: 52)
(129) Termasuk ia menjadikan Buang apa saja yang dimauinya. Karena ia tidak membutuhkan Buang lebih dari sekedar mainan taruhan. Jika ia ingin Buang menjadi tukang ojek, maka Buang dijadikannya tukang ojek. Kalau ia membutuhkan tukang becak, maka Buang langsung menjadi tukang becak. Lalu bila ia membutuhkan jongos disuruhnya Buang menjadi jongosnya. Kemudian ketika sedang merasa bosan dan ingin bermain kartu, Buang menjadi lawan mainnya. (Fang, 2007: 53)
Namun, setelah beberapa lama tinggal dengan Buang, Mon merasa Buang
justru menjadi benalu dalam kehidupannya. Lama-kelamaan Buang sudah tidak
mau lagi menuruti keinginan Mon jika keinginannya tidak Mon penuhi terlebih
dahulu. Pada saat yang sama, Mon mendapatkan tekanan dari Mak Lampir selaku
bosnya untuk lebih bekerja keras agar segala keinginan Mon terpenuhi. Padahal
tanpa ditekan oleh Mak Lampir pun Mon sudah kalang kabut sendiri memikirkan
biaya hidupnya.
(130) Jika Mon tidak memberikan apa yang dimintanya, Buang pun tidak menuruti permintaan Mon. Lama-kelamaan sudah jelas Mon tidak tahan. (Fang, 2007: 60)
(131) “Itu pasti karena kamu kurang murah senyum. Kamu harus ramah, harus cantik, harus segar. Apa kamu tidak kepingin baju bagus, perhiasan, rumah, dan mobil? Mana bisa kamu mendapatkan penjualan bagus bila tidak berdandan dan tidak bonafide?” ujarnya sambil melet-melet. “Dan sssttt..., untuk itu semua tidak ada yang gratis di dunia ini... Ayo, cari setoran...” Mak Lampir terus mencuci otak Mon. (Fang, 2007: 56)
(132) Mak Lampir tidak perlu mencuci otak Mon untuk mencari setoran, karena jika tidak punya uang pun Mon sudah bingung sendiri. (Fang, 2007: 56)
Kerasnya tekanan dalam pekerjaan yang dilakukan Mon, membuat Mon
mulai merasa frustasi. Hal ini terlihat pada saat Mon sudah kehabisan tenaga
untuk bekerja terus-menerus dan menciptakan wajah-wajah palsu untuk menarik
konsumen. Mon juga tidak bisa lagi tidur dengan tenang, konsentrasi dalam
pekerjaannya, dan tidak lagi mampu menampilkan wajahnya yang cantik.
51
(133) Sampai pada saat tertentu Mon merasa capek berputar, mengoceh, dan bermuka tebal. Mon merasa tuli dengan suara yang merayu-rayu. Mon muak harus terus tersenyum dan menampilkan wajah cantik, karena senyumnya bukan senyum si cantik yang keluar dari dalam hati. (Fang, 2007: 55)
(134) Tetapi tiap jam yang mendatanginya adalah mimpi buruk. Wajah-wajah cantik ratu yang disimpannya di dalam laci keluar mengejarnya. (Fang, 2007: 57)
(135) Ia sudah tidak mau menjadi ratu.
Ia pusing menjadi gasing. Ia ingin berhenti. tepatnya diberhentikan karena gasingnya sudah tidak mampu berputar lagi, karena persediaan wajah di lacinya sudah habis, karena ia bukan ratu lagi. (Fang, 2007: 59)
Setelah tidak lagi bekerja, Mon menjadi seorang pengangguran dan
gelandangan yang selalu pergi dari satu terminal ke terminal lainnya. Namun di
lingkungan terminal, Mon mulai mengerti bagaimana kehidupan orang-orang di
sana yang selalu hidup dalam kepasrahan.
(136) Sejak berhenti bekerja di perusahaan asuransi, Mon memang pengangguran. Mon jadi gembel, gelandangan luntang-lantung ke sana ke mari tak menentu. Ia pergi naik-turun angkot dari satu terminal ke terminal lain mencangkung melihat banyak orang yang berseliweran. Bau pesing jamban umum menguap. Puntung rokok berterbarangan. Ludah berceceran. Kuku hitam berdaki. Kulit kusam berkerak. Gigi-geligi berselip nikotin. Sepulangnya ia selalu bercerita bagaimana orang-orang yang ditemuinya tadi adalah orang-orang yang legawa dengan nasibnya. Walaupun mereka cuma sopir angkot, kernet, penjual tisu, penjual koran dan tidak pernah punya mimpi besok akan seperti apa, tetapi orang-orang itu selalu tertawa lebar. (Fang, 2007: 117)
Dalam perjalanan menemukan identitas dirinya, Mon bertemu dengan
Tongki yang memperlihatkan bahwa kekayaan itu bisa didapatkan dengan mudah.
Mon mulai mengerti dengan ajaran yang diberikan Tongki bahwa kekayaan tidak
harus didapatnya dengan jalan yang susah, tetapi bisa juga dengan jalan yang
mudah yang penuh dengan intrik atau kelicikan. Dari peristiwa inilah Mon
berubah menjadi seorang yang licik.
52
(137) Berawal dari depot mi ayam Untung, Mon berkenalan dengan Tongki. Awa perkenalan mereka sederhana saja. Karena Tongki juga pelanggan yang sering makan mi ayam di depot si Untung. lalu Mon mendengar Tongki bercerita bahwa ia adalah miliarder muda yang memiliki tiga rumah dan usaha yang bisa mencetak uang sendiri sementara ia cukup makan tidur dan ongkang-ongkang kaki. Mon terpesona dan ingin tahu bagaimana Tongki bisa sekaya itu dengan cara yang begitu mudah. Sedang ia dahulu bekerja seperti pengemis, meminta-minta dengan menebalkan muka dan akhirnya memang cuma menjadi gelandangan.” (Fang, 2007: 174)
Bersama Tongki, Mon menjadi seorang yang lugu, polos, dan penurut.
Mon selalu mengikuti ke mana Tongki pergi dan melakukan apa yang
diperintahkan Tongki padanya. Mon rela menjadi seorang budak mejatuhkan
harga dirinya demi mendapatkan ilmu dari Tongki.
(138) Semua uangnya ludes untuk pertaruhan menata hidup dengan Tongki! Maka jadilah Mon anak ayam yang lugu, polos, dan penurut. Dengan langkah kecilnya ia mengikuti lari Tongki. Diikutinya sejak pagi, siang, malam sampai pagi lagi dengan kepatuhan budak belian. Ia ikut ke kanan ke kiri ke muka ke belakang. Si Tongki menjadi raja diraja di atas kepalanya. Hanya karena Mon ingin menata hidup lagi. Ia sekolah cukup lama kepada Tongki. Ia murid yang baik dan mendengarkan semua pelajaran dari lelaki itu. Apa yang dikatakan Tongki ditelannya mentah-mentah. Semua yang disuruh Tongki dilakukannya tanpa dikunyah. (Fang, 2007: 175)
Selama berguru dengan Tongki, Mon selalu mengikuti ke mana gurunya
pergi termasuk bertemu dengan istrinya, Likilik. Tinggal bersama Likilik Mon
menjadi pribadi yang tahan banting terhadap segala hinaan dan cercaan yang
dilontarkan kepadanya. Tinggal bersama Tongki, Mon menjadi lebih mengenal
Tongki dan jatuh cinta padanya.
(139) Tetapi Mon diam. Ia sudah terbiasa dihina. Bahkan hinaan lebih nista pernah diterimanya. Jadi tidak masalah baginya bila ada yang mengumpatnya lagi. Maka Mon tetap memilih diam. (Fang, 2007: 196)
(140) “Kalau selama ini kau kubiarkan berdekatan dengan si Tongki..., itu tidak masalah karena bagi Tongki kau masih bisa dimanfaatkan. Katanya, kau murid yang bodoh dan penurut. Disuruh menunggu berjam-jam, berhari-hari sampai mati merana pun kamu mau. Karena tidak ada laki-laki lain yang mau dengan perempuan dengan jari mrotol seperti kamu! Puih!
53
Mengacalah kau! Kamu bukan ancaman buatku, tahu?! Tongki hanya takluk kepadaku! Ingat itu!” Likilik mengatakan itu sambil setengah mendesis dengan mata menyipit. Lalu ia berlalu dengan dagu terangkat karena kesombongan yang menggunung. (Fang, 2007: 210)
(141) Mon masih mengikuti Tongki seperti anjing geladak kudisan yang mengekor kepada tuannya dengan setia. Bila ada yang memaki ‘anjing’ sebagai penghinaan, Mon hanya tertawa. Tidaklah lupa bagi yang memaki, bahwa anjing adalah binatang paling setia. Ia menjaga rumah, mengendus bahaya, mencintai tuannya, bahkan rela mengorbankan diri untuk tuannya. Dan Tongki adalah tuan bagi Mon. Tuan yang harus dijaganya, dilindunginya, dicintainya. (Fang, 2007: 193)
Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis dalam menganalisis
kepribadian tokoh Mon berdasarkan faktor lingkungan, maka dapat disimpulkan
bahwa faktor lingkungan sangat mempengaruhi kepribadian tokoh Mon. Faktor
lingkungan dengan status ekonomi yang berbeda membentuk kepribadian tokoh
Mon menjadi seorang yang ambisius, terobsesi dengan kekayaan, iri dan dengki,
serta pekerja keras (kutipan 113-122). Faktor lingkungan di tempat kerja Mon
memaksanya untuk terus bekerja keras yang lambat laun membentuk kepribadian
tokoh Mon menjadi frustasi dan menyerah dalam mewujudkan keinginannya
(kutipan 130-135). Faktor lingkungan di terminal membentuk kepribadian tokoh
Mon yang legawa atau berpasrah diri dengan kehidupannya (kutipan 136). Faktor
lingkungan di tempat tinggal Tongki membentuk kepribadian tokoh Mon menjadi
polos dan lugu dalam menerima dan melakukan setiap pelajaran yang diajarkan
tanpa melihat benar atau tidaknya pelajaran itu (kutipan 137-138). Selain itu,
tokoh Mon menjadi seorang yang tegar dalam menghadapi tekanan dari istri
Tongki (kutipan 139-141).
54
3.1.1.2 Faktor Diri
Kepribadian Mon dalam menentukan arah hidupnya yang berdasarkan
dirinya sendiri dilandaskan pada segala pikiran, penilaian, keyakinan, sikap, dan
perasaannya. Hal ini terlihat pada saat Mon bekerja keras supaya mendapatkan
uang agar tidak hidup miskin. Sikap kerja kerasnya untuk mewujudkan sebuah
obsesinya merupakan sikap hidup Mon.
(142) “Yang kutahu adalah aku harus memiliki uang. aku harus menjual polis sebanyak mungkin supaya mendapat komisi yang menggunung. Aku memang tidak serakah ingin kaya raya tetapi aku bosan miskin.” (Fang, 2007: 54)
(143) “Coba lihat sekarang, rumahku tidak punya kursi, saluran air, dan telepon sudah diputus karena menunggak, lalu apakah aku harus kembali hidup primitif kalau aliran listrik juga diputus?” (Fang, 2007: 54)
Meski Mon sangat menginginkan kekayaan untuk hidup yang lebih baik,
namun Mon tidak mau memiliki kekayaan dengan jalan yang pintas. Mon
memiliki harga diri yang tinggi dan tidak serakah, terlihat ketika Mon menolak
Pak Lolok yang ingin menjadikannya istri kedua.
(144) Mon tidak mau menjadi selir Pak Lolok. Selir hanyalah perempuan nomor dua. Walaupun selir pilihan, tetap saja bukan perempuan nomor satu. Dan tidak pernah ada dalam kamus hidup Mon menjadi orang (perempuan) nomor dua. Ia harus selalu nomor satu. Ia adalah ratu. Memang Pak Lolok kaya raya. Pak Lolok bahkan lebih kaya dari pada tuan Tumini. Mon tahu berapa ratus juta yang dihamburkan Pak Lolok di atas meja judi. Berapa pun uangnya habis, kantongnya tidak pernah kering. (Fang, 2007: 49)
(145) Mon tidak merasa seserakah Tumini yang hanya dengan modal telur bisa menjadi nyonya. Ia tidak berambisi menimbun berlian seperti nyonya rumah.” (Fang, 2007: 47)
(146) “Yang kutahu adalah aku harus memiliki uang. Aku harus menjual polis sebanyak mungkin supaya mendapat komisi yang menggunung. Aku memang tidak serakah ingin kaya raya tetapi aku bosan miskin.” (Fang, 2007: 54)
55
Menurut Mon daripada ia menjadi istri Pak Lolok lebih baik ia meminjam
uang untuk membeli Tanda Tanya. Karena rasa percaya dirinya sebagai seorang
ratu ia bisa meluluhkan hati Pak Lolok untuk meminjamkan uang dan sesuai
dengan perkiraannya Mon bisa mengganti uang yang telah dipinjamkan Pak
Lolok.
(147) Senyummu memang cantik...meluluhkan hati orang... Kamu memang secantik ratu. Termasuk meluluhkan hati Pak Lolok agar memberikan pinjaman padanya untuk membeli Tanda Tanya. Ia pergunakan uangnya itu untuk membayar uang mukanya. Ia ingin rumah itu menjadi miliknya, bukan sekedar tanda tanya lagi. Menurut perhitungannya, gemerincing uang akan terus mengalir ke dalam kantongnya. Ia pasti sanggup membayar cicilan rumah itu. (Fang, 2007: 52)
Agar bisa mengganti uang Pak Lolok dan membayar cicilan rumah, maka
Mon berpikir tidak boleh kehabisan tenaga. Ini dimaksudkan agar Mon selalu bisa
menghasilkan wajah dan senyum cantiknya supaya ia terus bisa memperoleh
pendapatan.
(148) Maka Mon bukan saja menjadi gasing yang berputar, ia mulai menjadi mesin pencetak wajah. Ia tidak boleh kehabisan persediaan wajah dan senyum. Untuk itu ia tidak boleh kehabisan tenaga. Maka ia memakan semua yang bisa dimakan. Setiap jam ia makan. Makan apa saja. (Fang, 2007: 56)
Namun lama-kelamaan Mon merasa lelah dan muak karena melihat wajah
cantik yang mekanik. Wajah cantik yang bukan dari hati namun terbentuk karena
ada maksud yang terselubung. Ia merasa wajah-wajah cantik yang ia buat
merupakan wajah-wajah palsu dan wajah yang bukan dirinya.
(149) Mon muak harus terus tersenyum dan menampilkan wajah cantik, karena senyumnya bukan senyum si cantik yang keluar dari dalam hati. Senyumnya adalah senyum mekanik. Ada tombol-tombol yang disetel secara otomatis kepada siapa ia harus melebarkan jarak kedua bibirnya. Ia tersenyum hanya karena membutuhkan uang dari orang-orang yang diberikan senyuman.” (Fang, 2007: 54)
56
(150) Cerminnya memantulkan si busuk yang dieraminya sudah menetas menjadi ulat yang mengorek-ngorek semua liang dan belulang. Tidak tampak wajah ratu anggun cemerlang di sana. Yang membayang adalah wajah hamba sahaya. Pucat, letih, lesu tanpa gairah. (Fang, 2007: 58)
(151) Karena ia sudah benci melihat wajah-wajah di cerminnya. Ia tidak mau melihat wajah-wajah cantik lagi yang memantul dari sana. Ia tahu bahwa cermin ternyata penipu nomor satu. Mon tidak yakin lagi bahwa wajah yang memantul dari cermin itu adalah wajahnya. (Fang, 2007: 59)
Mon harus rela kehilangan pekerjaannya di asuransi karena Mon merasa
lelah. Namun bukannya Mon sedih karena kehilangan pekerjaannya, Mon justru
senang karena ia sudah tidak lagi memakai wajah-wajah palsu yang selalu Mon
pakai. Mon pun ingin kembali menjalani hidup yang biasa tanpa tekanan
darimanapun. Mon menginginkan untuk hidup tenang tanpa gangguan. Dari
kejadian ini, Mon menjadi seorang yang pasrah dalam menjalani kehidupannya.
(152) Ia sudah tidak mau menjadi ratu. Ia pusing menjadi gasing. Ia ingin berhenti. Tepatnya diberhentikan karena gasingnya sudah tidak mampu berputar lagi, karena persediaan wajah di lacinya sudah habis, karena ia bukan ratu lagi. Tetapi itu bukan masalah bagi Mon. Ia memang ingin membuang kartu ratunya! Karena ia sudah benci melihat wajah-wajahnya di cerminnya. Ia tidak mau melihat wajah-wajah cantik lagi yang memantul dari sana. Karena ia sudah benci melihat wajah-wajah di cerminnya. Ia tidak mau lagi melihat wajah-wajah cantik lagi yang memantul dari sana. (Fang, 2007: 59)
(153) Ia puas! Ia tidak perlu lagi menjadi ratu. Ia tidak usah menjadi gasing. Ia tidak harus mencetak wajah dan senyuman. Ia melengos tidak menoleh lagi. Ia membangun mimpi baru di atas keping beling. (Fang, 2007: 60)
(154) Ia ingin tidur nyenyak di kasur yang memberikan mimpi indah. Bangun ketika matahari menghujani kehangatan dari jendela Tanda Tanya. Lalu membiaran angin yang menggelitik pipinya ketika ia menikmati secangkir teh tawar hangat dan sepotong pisang goreng yang renyah. Mon ingin duduk di beranda menyulam malam menjadi satu kenangan yang tak cuma sepenggal. Membuat gambar dari benang wol yang disilang-silangkan di atas kain berlubang. Ia ingin membuat gambar indah dihidupnya yang berlubang-lubang. (Fang, 2007: 62)
57
(155) Ia bosan gelap. Ia ingin terang.
Ia enggan malam. Ia rindu siang. (Fang, 2007: 63)
Sebelum Mon menikmati hidupnya yang tidak lagi penuh tekanan. Mon
harus menghadapi Buang yang tidak lagi memberikan rasa nyaman kepadanya.
Mon merasa hidupnya tidak lagi seindah dulu maka Mon ingin meninggalkan
Buang, tetapi Buang tidak mau. Mon dan Buang pun bertengkar hebat setelah
Buang memaksa Mon untuk melayani nafsunya. Pertengkaran ini membuat Mon
kehilangan jari-jari tangannya. Namun bagi Mon itu tidak ada artinya
dibandingkan dengan kedamaian dan ketenangan yang diperolehnya nanti setelah
Buang meninggalkannya.
(156) Mon memasukkan kelima jarinya ke dalam rongga mulut bajingan itu dan mengobok-oboknya. Ia menarik lidahnya. Ia ingin lidah Buang putus. Kali ini Buang tidak tinggal diam. Ia berusaha menarik tangan Mon keluar dari mulutnya. Tetapi tangan Mon semakin menyodok-nyodok ke dalam. Tidak pikir panjang, maka Buang mengatupkan gerahamnya kuat-kuat. Ia menggigit kelima jari Mon yang ada di dalam mulutnya. Ia mau mengunyah jari-jari itu seperti mengunyah kerupuk. Mon menjerit melolong kesakitan. Ia berusaha meloloskan tangannya dari gigitan Buang. Tetapi gigitan Buang terlalu kuat. Darah mengucur meleleh di mulut Buang. Rasa sakit yang luar biasa membuat Mon juga berusaha menarik jemarinya untuk lolos dari kunyahan Buang. Mereka tarik-menarik. Mereka saling adu kuat. Mon hendak memutuskan lidah Buang. Buang hendak memutuskan jari-jari Mon. Dan cressss....!!! Tiga jari Mon putus di dalam mulut Buang bertepatan dengan putusnya lidah Buang dari tempatnya. (Fang, 2007: 64)
Setelah lepas dari pekerjaan dan Buang, Mon merasa menikmati hidupnya
yang berkelana mengikuti kakinya. Mon pergi dari satu terminal ke terminal
lainnya, Mon juga pergi ke mall, kafe, hotel-hotel berbintang, bandara, dan lain-
lain untuk memperhatikan dan mempelajari apa yang dapat dipelajarinya. Ia pun
mendapatkan pelajaran untuk selalu pasrah dalam menjalani kehidupan tanpa
harus berpura-pura penuh kemunafikan.
58
(157) Ia pergi naik-turun angkot dari satu terminal ke terminal lain mencangkung melihat banyak orang yang berseliweran. Bau pesing jamban umum menguap. Puntung rokok berterbangan. Ludah berceceran. Kuku hitam berdaki. Kulit kusam berkerak. Gigi-geligi berselip nikotin. Sepulangnya ia selalu bercerita bagaimana orang-orang yang ditemuinya tadi adalah orang-orang yang legawa dengan nasibnya. Walaupun mereka cuma sopir angkot, kernet, penjual tisu, penjual koran dan tidak pernah punya mimpi besok akan seperti apa, tetapi orang-orang itu selalu tertawa lebar. (Fang, 2007: 117)
(158) Lalu Mon juga bercerita tentang orang-orang yang ditemuinya di plaza, mal, kafe, hotel-hotel berbintang, bandara, bahwa banyak orang berdasi, berkacamata, berpakaian trendi dan wangi. Ada petugas yang membuang puntung rokok di tong sampah, membersihkan lantai sehingga tidak ada bercak ludah, menyemprotkan wewangian di toilet. Orang-orang itu berjabat tangan, saling mencium pipi, saling memeluk dan juga tertawa lebar. Mon menyambung ceritanya ketika Mon mengintip jantung mereka ternyata berdebar-debar kencang seperti menunggu kartu yang hendak dibuka di atas meja judi. Sel-sel di kepala mereka seperti aliran listrik yang saling menyetrum bila sudah berbicara mengenai uang. Satu sama lain tidak pernah mau kalah atau mengalah. Masing-masing memakai topeng di wajah sementara menyembunyikan belati di punggung. (Fang, 2007: 118)
Dalam pencariannya akan hidup, Mon pun bertemu dengan Tongki dan
berguru padanya. Selama tinggal dengan Tongki, Mon banyak mendapatkan ilmu
darinya, namun sayang ilmu itu tidak dapat Mon lakukan karena Mon merasa
bahwa ilmu yang didapatnya tidak sesuai dengan hati nuraninya. Terlihat ketika
setiap kali Mon mempraktekkan ilmunya, Mon justru melakukan sebaliknya.
Namun, anehnya Mon justru menikmati kenikmatan batin yang didapatnya ketika
Mon melakukan hal yang berkebalikan dari yang diajarkan oleh Tongki.
(159) Semakin belajar kepada Tongki, Mon semakin tahu bagaimana cara untuk memperkaya diri. Rupanya itu yang dilakukan Tongki selama ini. Tetapi semakin Mon tahu, entah kenapa Mon semakin tidak bisa mempraktikkan ilmu yang didapatnya dari Tongki. Semakin mencoba ilmu itu batinnya semakin menggeliat. (Fang, 2007: 179)
(160) Alih-alih mengambil barang orang lain, tangannya malah mengembalikannya. Ia memutuskan menikmati barangnya sejumlah yang ada. Tak mengapa, biar sedikit dan buruk tetapi miliknya sendiri. (Fang, 2007: 179)
59
(161) Ketika semua selesai makan, dilihatnya orang-orang berebut mengeluarkan uang untuk membayar makanan dan minuman. Mereka saling mendahului untuk membayar satu sama lain. Cuma ia yang berdiam diri. Setelah usai, ia melihat orang-orang itu bersalaman denngan senyum lebar. Mereka membuat jalinan persahabatan dengan ikhlas. Dan semua memandangnya dengan pandangan yang tidak bisa dimengertinya. Mon merasa pipinya panas. Mon tidak sanggup melakukan itu. Maka di lain waktu, ia juga gantian membayar makanan dan minuman. Ternyata kegembiraan juga mengalir di hatinya ketika ia bisa ikut bercerita tertawa sambil menikmati kudapan bersama-sama. Kehangatan itu ada ketika bisa saling berbagi. (Fang, 2007: 179)
(162) Dan matanya melihat orang-orang tersenyum kepadanya. Orang-orang yang menerima pemberian dengan sumringah dan mata berbinar. Selain itu ternyata dengan memberi ia tidak menjadi kekurangan malah menjadi berkelimpahan. Karena ketika ia memberi kue kepada orang lain ternyata ada orang lain yang memberikan pizza kepadanya. Saat ia menyerahkan setangkai kembang, di saat lain ada yang mengalungkan seuntai mutiara untuknya. (Fang, 2007: 181)
Faktor diri sangat mempengaruhi kepribadian tokoh Mon. Tokoh Mon
memiliki sikap hidup untuk mengubah hidupnya menjadi lebih baik dengan cara
bekerja keras (kutipan 142-143). Tokoh Mon juga memiliki sikap hidup yang
tidak serakah meskipun menginginkan kekayaan (kutipan 144-146). berwajah
seperti seorang ratu membuat tokoh Mon memiliki rasa percaya diri tinggi
(kutipan 147-148). Namun, rasa lelah dan jenuh membuat keyakinan dan
kepercayaan diri tokoh Mon hilang (kutipan 149-151), meskipun kehilangan
pekerjaan tidak membuat tokoh Mon patah semangat, namun justru membuat
tokoh Mon senang dan memulai hidupnya dari awal lagi (kutipan 152-155), dan
lebih bersikap legawa atau berpasrah diri dalam menerima jalan hidupnya
(kutipan 151-158). Selain itu, pada saat tokoh Mon mempelajari ilmu yang
diajarkan Tongki, tokoh Mon tidak melakukannya karena menyadari hal itu tidak
sesuai dengan hati nuraninya. (kutipan 159-162).
60
Berdasarkan analisis di atas penulis menyimpulkan bahwa pembentukan
kepribadian tokoh Mon yang berdasarkan pada faktor lingkungan dan faktor diri
membentuk kepribadian tokoh Mon menjadi seorang pekerja keras yang
berkeinginan kuat. Namun, kepribadian tokoh Mon berubah menjadi seseorang
yang bersikap legawa atau berpasrah diri dalam menjalankan hidupnya sesuai
dengan hati nuraninya.
3.1.2 Pembentukan Kepribadian Bulan
3.1.2.1 Faktor Lingkungan
Tinggal di lingkungan yang mengatasnamakan rasa gengsi, membentuk
pribadi Bulan yang selalu mengutamakan kesempurnaan dalam menata hidup
berumah-tangganya. Bulan ingin agar selalu terlihat sempurna dan membuat
orang-orang iri terhadapnya.
(163) Hidup Bulan sangat menyenangkan. Ia memiliki bola kristal yang diinginkan oleh setiap perempuan mana pun di belahan dunia ini. Di dalam bola kristal itu, Bulan mempunyai rumah dengan banyak pintu dan jendela yang selalu terbuka. Halamannya cukup luas dengan rumput Jepang dan sepasang palem merah di sudut taman. Ada cemara udang bersusun tiga, cemara wangi yang menguarkan harum bila embun berkelompok di ujung-ujungnya, terasnya di kelilingi jejeran lili paris yang selalu menguapkan keringat bila matahari menampakkan senyum. (Fang, 2007: 70)
(164) Bulan juga mempunyai tiga anak mungil yang lucu bermain di dalam bola kristal itu. Anak-anak itu menangis dan tertawa serempak. Dada Bulan selalu tumpah ruah karena kehangatan yang selalu merebak. Tiga anak mungilnya bernama Yes, Iya, Inggih. Dinamakannya begitu karena ia ingin anak-anaknya menjadi anak-anak yang penurut. (Fang, 2007: 70)
Bulan sangat percaya diri dalam mengatur dan menata keluarganya agar
terlihat sempurna. Pribadi Bulan yang tidak perlu diatur dan yang sudah tahu apa
61
yang akan dia lakukan yang terbaik untuk keluarganya terbentuk atas dorongan
untuk kesempurnaan.
(165) Bulan sendiri memang tidak perlu diatur harus seperti apa. Karena ia sudah tahu harus seperti apa. Ia tidak perlu disuruh ke kanan karena ia tahu kapan waktunya harus ke kanan. Ia tidak usah disuruh ke kiri karena sebelumnya sudah bila harus berbelok ke kiri. (Fang, 2007: 73)
(166) Maka Bulan adalah perempuan mandiri yang berkuasa atas dirinya sendiri. Ia mau pergi ke mana, maka ia akan pergi. Ia hendak berbelanja apa, maka ia akan membelinya. Ia ingin melakukan apa, maka dilakukannya. Ajaibnya yang dilakukannya selalu benar dan tepat. (Fang, 2007: 73)
Tidak hanya percaya diri, Bulan juga menjadi seorang yang
membanggakan dirinya kepada Mon ketika Mon datang untuk menawarkan polis
asuransi. Bulan meyakinkan Mon bahwa ia tidak membutuhkan asuransi karena ia
sudah merencanakan dengan tepat masa depannya. Bulan membanggakan dirinya
bahwa hidupnya sudah ia rencanakan dengan baik berbeda dengan kehidupan
Mon yang kacau.
(167) Maka ketika Mon, tetangga yang tinggal di balik tembok perumahannya, datang menawarinya untuk membeli polis asuransi jiwa, ia Cuma tersenyum anggun. Untuk apa polis asuransi jika ia sudah mengatur semuanya dengan cermat di dalam bola kristal. (Fang, 2007: 76)
(168) Segala dalam hidupku sudah kurencanakan dengan baik dan berjalan lancar. Lihat aku punya rumah, mobil, kedudukan, suami yang baik, anak-anak yang lucu, lingkungan yang menyenangkan, pekerjaanku punya posisi, uang yang berkecukupan, dan masa depan yang bagus! Sekali lagi..., masa depan yang bagus! Tidak seperti hidupmu yang kacau. Tidak punya apa-apa. Tidak punya semua. (Fang, 2007: 77)
(169) Ia dan suaminya punya jabatan yang mapan, ia berludah api sehingga semua yang dikatakannya dituruti orang, ada suami yang begitu mencintainya, anak-anak yang memeriahkan hidupnya, uang yang tidak pernah kekurangan sehingga ia tidak perlu pusing ketika membayar listrik, telepon, koran, elpiji atau bahkan membeli sekotak bedak yang berharga jutaan rupiah. (Fang, 2007: 78)
Bulan kehilangan segala-galanya, suami, anak-anak, rumah mewah, dan
kehidupan yang sempurna. Bulan harus tinggal dan memulai hidup baru bersama
62
Mon yang memberinya tumpangan. Perbedaan lingkungan membuat Bulan harus
beradaptasi dengan lingkungan barunya. Bulan menjadi pribadi yang tidak lagi
mengatur dirinya, ia menjadi seorang yang lemah dan tidak berusaha
menyembuhkan luka di hatinya. Ia menjadi seorang yang tidak lagi mandiri. Ia
tidak lagi tahu apa yang dilakukannya, karena ia hanya mampu tidur, bermimpi,
dan menangis.
(170) Bulan mengerang kesakitan. Badannya melengkung seperi busur terentag tanpa anak panah yang diluncurkan. Karena anak-anak panah sudah menancap di tiap helai rambutnya. Ia tidak punya kata lain kecuali, “Aduhhhh....” Mon memeluknya. Mengelus punggungnya. Berbisik di telinganya. “Bicaralah dengan alam... Kau sedang belajar menikmati rasa sakit...” Sejak itu, Bulan tinggal dengan Mon. Ia cuma tidur, bermimpi, bangun, menangis, tidur, bermimpi, bangun, dan menangis. Cuma itu setiap hari yang dikerjakannya. (Fang, 2007: 107)
(171) Bulan tidak pernah bosan bermimpi. Mimpi adalah pecahan mozaik yang bila diterobos cahaya akan memancarkan aneka warna. Walaupun kadang-kadang, warnanya pekat menakutkan atau merah darah. Maka ia selalu menciptakan mimpi. (Fang, 2007: 108)
(172) Ia menangis. Tetapi tidak tahu apa yang ditangisinya dan untuk apa menangis. Ia hanya menangis karena merasa sakit. Dalam dera ia merapal mantra. Mon kasihan kepadanya. Setiap hari Mon mencabuti beling yang menancap di kaki Bulan. Mon juga dengan telaten membebat luka Bulan. Walau Bulan tidak pernah mau mengurus dirinya, tetapi Mon menyisiri rambutnya yang masai dan melerai anak panah yang terserabut dari sana. (Fang, 2007: 111)
Berdasarkan analisis yang dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa
faktor lingkungan juga mempengaruhi kepribadian Bulan. Faktor lingkungan
jetset membentuk kepribadian Bulan menjadi seorang yang perfeksionis dalam
menata rumah tangganya (kutipan 163-164), serta memiliki rasa percaya diri,
mandiri, dan sombong (kutipan 165-168). Selain itu, ketika tinggal bersama Mon
di lingkungan sederhana membentuk kepribadian tokoh bulan menjadi seorang
63
yang lemah, tidak mandiri, cengeng, dan menjadi tahu bahwa ia membutuhkan
orang lain (kutipan 170-172).
3.1.2.2 Faktor Diri
Bulan seorang yang tidak memerlukan orang lain untuk mengatur dan
mengarahkan apa yang akan dilakukannya. Ini dikarenakan Bulan adalah
perempuan yang mandiri yang sudah tahu apa yang akan dilakukannya.
(173) Bulan sendiri memang tidak perlu diatur harus seperti apa. Karena ia sudah tahu harus seperti apa. Ia tidak perlu disuruh ke kanan karena ia sudah tahu kapan waktunya harus ke kanan. Ia tidak usah disuruh ke kiri karena sebelumnya sudah tahu bila harus berbelok ke kiri. (Fang, 2007: 73)
(174) Maka Bulan adalah perempuan mandiri yang berkuasa atas dirinya sendiri. Ia mau pergi ke mana, maka ia akan pergi. Ia hendak berbelanja apa maka ia akan membelinya. Ia ingin melakukan apa, maka dilakukannya. (Fang, 2007: 73)
Demi mewujudkan kesempurnaannya, Bulan telah mengubur pribadinya
yang lain. Pribadi yang bertolak belakang dari Bulan. Pribadi ini terkurung dan
menjadi sebuah Fantasi yang kemudian berontak untuk dikeluarkan. Karena
Monlah, Bulan kembali diingatkan dengan pribadinya yang lain.
(175) “Kamu jangan bilang hidupku akan berubah. Segala dalam hidupku sudah kurencanakan dengan baik dan berjalan lancar. Lihat, aku punya rumah, mobil, kedudukan, suami yang baik, anak-anak yang lucu, lingkungan yang menyenangkan, pekerjaanku punya posisi, uang yang berkecukupan, berlibur ke luar negeri dan masa depan yang bagus! Tahu?! Sekali lagi..., masa depan yang bagus! Tidak seperti hidupmu yang kacau. Tidak punya apa-apa. Tidak punya semua. Sampai jari tangan lengkap pun kau tidak punya!” “Oh! Apakah kamu merasa sudah memiliki semuanya?” “Ya! Hidupku sudah lengkap! Dan tidak akan ada yang berubah dalam hidupku .” “Oh! Masih ada yang kurang. Masih ada yang tidak kaumiliki.” “Apa?” “Aku tidak tahu. Kaurasakan sendiri.” “Dasar perempuan sirik!” maki Bulan membanting pintu tepat di depan hidung Mon. (Fang, 2007: 77)
64
(176) Pikiran itu hanya sebentar mengusik Bulan, lalu Bulan mengabaikannya karena ia kembali asyik dengan bola kristalnya. Ia melihat dan merasakan semuanya yang indah ada di dalam situ. Jadi pikiran itu tidak perlu digubris. Harus diabaikan. Itu hanya pikiran tidak berguna yang menguras energi dan menghabiskan waktu. Maka Bulan mencungkil pikiran yang mulai menjalar di setiap sel-sel kelabu otaknya dan membuangnya ke tong sampah, ke jalanan, ke got. (Fang, 2007: 79)
(177) Masalahnya, itu memang bukan pikiran yang bisa dibuang. Tetapi itu perasaan yang bertengger di setiap lubang hati Bulan. Perasaan itu menyelinap di jantungnya yang berdenyar, ikut memompa napasnya, sampai tahu-tahu sudah merasuk ke seluruh sumsum tulangnya. (Fang, 2007: 79)
(178) Ia menemukan seseorang (sesuatu) di dalam sana. Ia tidak pernah
melihatnya sebelum ini. Makhluk di dalam bola kristal itu mengapai-ngapaikan tangan kepadanya. Lalu mengetuk kaca bola kristalnya. Bulan melihat makhluk itu serupa dirinya. Seperti Allah menciptakan Adam mirip gambarNya. Maka makhluk itu pun persis sepersis-persisnya dengan Bulan. Tangannya, kakinya, kepalanya, wajahnya, badannya, ketawanya, matanya, juga ketukannya. Ketika telunjuk mereka bersatu, Bulan merasa ada aliran setrum ribuan watt yang mengalir melalui telunjuk mereka. Bulan gemetar karena tergetar. Ia merasa makhluk di dalam bola kristal itu adalah dirinya. Dan dirinya membutuhkan pertolongannya. Dirinya menyuruhnya untuk membanting bola kristal itu. Dirinya merasa bosan terkurung di dalam bola kristal itu. Seperti Chang E’ dewi bulan yang terkurung di bulan. Dirinya ingin keluar karena kesepian. Ia ingin memecahkannya agar dirinya bisa ke luar dari sana. (Fang, 2007: 80)
Karena peristiwa itulah, Bulan mengalami pergumulan dengan Fantasinya.
Pergumulan dengan rasa jenuh dan bosan atas hidup yang teratur dan sempurna
yang telah dijalankannya selama ini.
(179) “Kamu siapa?” tanyanya ketika telunjuk mereka bertemu. “Aku Fantasi.” “Kamu mau apa?” “Aku mau keluar dari sini.” “Kenapa?” “Aku bosan.” “Bukankah di sana menyenangkan?” “Di sini amat sangat terlalu menyenangkan.” “Lalu apa yang kurang?” “Yang kurang adalah tidak ada yang kurang di sini.” “Setelah kau keluar, apa yang akan kau lakukan?” “Mengajakmu bermain. Ayo, kita bermain fantasi. Bukankah kamu juga bosan?” Suatu tawaran yang menarik, pikir Bulan. (Fang, 2007: 97)
65
(180) Ia ingin ada suara riuh rendah lain yang didengarnya daripada hanya suara
tawa. “Goblok! Bola kristal itu mahal dan berharga. Jangan dipecahkan!” ada yang berbicara di kepalanya. Ia meletakkan lagi bola kristal itu pada tempatnya. Tetapi ia melihat dirinya hampir mati lemas di dalam bola kristal itu. “Tolong keluarkan aku...” dirinya begitu memelas. Ia mengangkat bola kristal itu lagi tinggi-tinggi . “Kembalikan! Dia setan! Jangan dituruti!” kepalanya berbicara lagi. “aku adalah kamu...” “Dia bohong. Jangan dengarkan!” “Suaraku adalah suaramu” Bulan merasa sakit kepala karena dirinya berdebat dengan kepalanya.” (Fang, 2007: 81)
Pergumulan yang terjadi antara Bulan dan Fantasi membuat Bulan
menyadari bahwa dalam hidup tidak ada yang sempurna. Bulan menyadari bahwa
selama ini yang diketahuinya hanyalah kesempurnaan. Bulan juga menyadari
bahwa di dalam kesempurnaan terdapat kekurangan.
(181) “Hm..., aku akan jadi apa? Dan kau jadi apa?” tanya Bulan “Aku akan jadi kau. Dan kau jadi aku.” “Cuma itu? Apanya yang menarik?” “Kau akan belajar tahu kekurangan.” “Untuk apa tahu kekurangan?” “Agar kau tahu seperti apa surga dan seperti apa neraka.” “Hidupku sudah surga.” “Justru itu! Kau terlalu lama berada di surga. Sekali-kali tidak ada salahnya mengintip neraka.” “Buat apaaaaa?” Bulan tertawa. “Untuk tahu hidup!” “Ah!” (Fang, 2007: 97)
(182) “Manusia pertama adalah manusia yang bodoh karena hanya tahu yang indah dan baik. Lalu jadi pandai setelah tahu jelek dan buruk. Karena setelah tahu yang buruk, maka mereka berusaha mengakali yang buruk itu menjadi yang baik. Bukankah itu berarti menjadi pintar? Menurutmu memakan buah ara itu kecelakaan atau anugerah? Apakah itu kesalahan atau kebenaran? Apakah itu dosa atau berkat?” Apakah Bulan seperti Hawa yang terbujuk ular berbisa? Bukankah benar adanya bahwa tanpa belajar dari kesalahan kita tidak pernah mendapatkan kebenaran? “Kalau begitu setan adalah malaikat. Setan adalah malaikat yang bersayap tiga dan bertangan lima yang membawa gada menggedor-ngedor langit dan berkata. Jika kita tak pernah mencicipi kejahatan, tak pernah tahu rasa kebaikan.”
66
Bulan sempat menjawab, “Tidak. Hitam tetap hitam. Dan putih tetap putih.” “Kamu sungguh ungu. Terlalu lugu untuk tahu. Hitam tidak hitam. Ada titik putih di ujungnya. Dan putih tidak selalu putih. Ada titik hitam di sudutnya. Lebih baik menjadi abu-abu.” Betul juga, pikir Bulan. Kemudian Bulan mengangkat, meletakkan, mengangkat, meletakkan, mengangkat lalu meletakkan lagi bola kristal itu. Bulan merasa kepalanya sakit karena perdebatan antara kepala dan perasaannya.” (Fang, 2007: 98)
Perdebatan itu menjadikan Bulan melepaskan Fantasinya keluar. Dari
peristiwa inilah, Bulan menjadi tahu rasanya sakit dan perasaan lega terhadap
dirinya sendiri.
(183) Bulan melihat serpih-serpih pecahan beling yang bergelimang di atas lantai dengan perasaan bingung. Tangan dan kakinya tersayat, lalu mengeluarkan darah terkena pecahan beling yang menciprati tubuhnya. Bahkan masih ada serpihan-serpihan beling yang menancap di tangan dan kakinya. tetapi ia tidak berniat mencabutnya. Ternyata sakit itu nikmat. (Fang, 2007: 96)
(184) Bulan menyesuaikan matanya dari pendaran cahaya yang menyilaukan. Ia
mengerjap-ngerjapkan matanya beberapa detik, dan menyadari dirinya terbaring di tengah ruangan yang tidak terlalu besar. Kulitnya terasa dingin karena bersentuhan dengan lantai tanpa alas. Tetapi ada perasaan lega dan nyaman melingkupinya seperti habis pulang dari perjalanan jauh. (Fang, 2007: 104)
Pilihan Bulan melepaskan sisi Fantasinya membuatnya harus menerima
dan melihat keadaan kesempurnaan yang selama ini dibangun rusak dan hancur.
Bulan juga harus merasakan sakit dan mencari kembali kebahagian sejatinya.
Selama menemukan kembali kebahagiannya sambil menyembuhkan luka di
hatinya melihat kehidupannya yang sempurna rusak, Bulan tinggal bersama
dengan Mon di rumah Tanda Tanya. Kesombongan Bulan ketika pertama kali
bertemu dengan Mon sirna dengan kehangatan yang diberikan Mon padanya.
Bulan menjadi malu dan menyesal.
(185) Mon mengangsurkan segelas teh yang masih mengepulkan asap hangat. Aroma teh melati sedap sekali.
67
“Terima kasih,” gumam Bulan sambil duduk menerima gelas teh itu dan menghirupnya dengan bibir gemetar. Ia merasa rohnya utuh kembali dan merah darahnya sudah luntur lagi dari lebam biru yang membatu. Dengan perasaan mengambang, ia berkata pada Mon, “Maaf, aku pernah membanting pintu ketika kau datang ke rumahku. Tidak kusangka sekarang aku berada di rumahmu. Aku malu.” (Fang, 2007: 106)
Awalnya Bulan belum bisa menerima kenyataan yang dihadapinya dan
hanya mampu untuk tidur dan bermimpi. Bulan merasa bahwa ia sendirian
menanggung semuanya. Untuk itu, Bulan memutuskan untuk tinggal dan merasa
nyaman dalam tidurnya karena Bulan bisa bermimpi sesuka hati tanpa harus
memusingkan diri dengan keadaannya yang sekarang. Meskipun di dalam
mimpinya Bulan juga selalu sendirian. Hal ini membuat Bulan terlihat pasrah dan
menyerah dengan keputusan yang diambilnya.
(186) Ia memejamkan mata ketika pekak dengan suara pecahan bola kristal yang terbanting, juga dengan suara tuhan yang menyerapahinya. Ia mendengar suara-suara itu memantul, menggema, dan mengejarnya. Ia tidak bisa lari sembunyi. Karena sudah tidak ada tempat untuk sembunyi. Maka yang bisa dilakukannya hanyalah memejamkan mata. Ia tidak peduli apakah ia tidur atau tidak. Hanya dalam pejam ia merasa aman. (Fang, 2007: 108)
(187) Ia coba mencari senyum lain di pecahan bola kristalnya. Tetapi yang ia temukan adalah sepuluh jari tangannya yang meneteskan darah dari ujung-ujungnya dan kesepuluh jari kakinya yang tak bisa berjalan karena beling menancapi telapaknya. Yang ada hanyalah kulit melepuh di sekujur tubuh. Ia mencari tawa anak-anaknya. Tetapi yang didengarnya hanyalah dengung rengekan yang teramat jauh. Ia mencari kata-katanya. Tetapi yang keluar dari tenggorokannya hanyalah bahasa yang tercekik, entah dari pulau-kota-negara-benua di seberang mana, tetapi yang pasti hanyalah sebuah pekikan gagu. (Fang, 2007: 110)
Namun lama-kelamaan Bulan bisa menerimanya dan mulai menemukan
jawaban akan kehidupan yang dicarinya. Hal ini terlihat ketika Bulan kembali
bersemangat ketika tersadar bahwa rasa sakit mengajarkan seseorang untuk
bangkit dari rasa sakit itu.
(188) Jadi ia harus menata masa depan mereka serapi-rapinya sehingga menjadi anak-anak yang tertib dan jenius. Ia akan menuntut anak-anaknya naik
68
sepeda. Ia tidak akan membiarkan anak-anaknya jatuh, luka, lecet, dan berdarah. Karena ia tahu luka itu perih dan darah itu sakit. Ia tidak akan membiarkannya anak-anaknya merasakan perih dan sakit. Mon menarik lengannya. “Perempuan itu mengajarkan jatuh kepada anak-anakmu.” “Tetapi jatuh itu sakit dan perih.” “Jika tidak pernah jatuh, orang tidak akan belajar bangun.” Bulan terenyak mendengar kata-kata Mon. Ia terperangah. Raganya seperti terlempar dari cupu oleh embusan napas para raksasa di belantara tersembunyi tempat peri-peri tidak bersayap tetapi bisa terbang. Ia terpelanting dari awan terempas ke ladang kaktus. Onak-onak duri terasa menusuk. Ia tersadar ternyata ia sangat manja. Ia meratapi perihnya karena luka pecahan beling. Ia lupa harus berdiri ketika onak menancapinya. Ia bukan pencari kutu yang menyisir helai demi helai rambutnya hanya untuk seekor kutu yang menyebabkan gatal di kepala. Sejak saat itu Bulan rajin bangun dari tidurnya. Ia tidak meratap lagi. Tetapi ia jadi rajin duduk melihat dunia di sebelah tembok melalui lubang itu. Dari lubang Tanda Tanya, Bulan bukan sekedar melihat anak-anakya, tetapi ia melihat dunia. “Permainan baru dimulai...” Ia merasakan gairah baru merasukinya. (Fang, 2007: 115)
Dari peristiwa ini, Bulan menjadi tahu bahwa ternyata semua orang
membutuhkan pertolongan orang lain dan salah jika orang selalu melihat orang
lain melalui fisiknya semata. Hal ini terihat ketika Bulan melihat nenek tua yang
duduk di atas kursi roda dan tidak bisa melakukan apa-apa tanpa pertolongan
suster yang merawatnya. Selain itu, Bulan juga melihat bahwa selain menjadi
pengganggu bagi pohon pinus ternyata benalu sangat dibutuhkan bagi kesehatan
dan makhluk yang lainnya. Dari pengalaman-pengalaman inilah Bulan banyak
mempelajari kehidupan yang selama ini tidak diketahuinya.
(189) Bulan melihat ternyata manusia sangat lemah dan tidak berdaya. Dari lahir sampai tua (bahkan meninggal) selalu tergantung kepada orang lain. Padahal ketika semua tulang-belulang tumbuh sempurna, manusia lupa asal muasalnya dari bayi tak berdaya dan akan menjadi si jompo yang tak berguna. (Fang, 2007: 121)
(190) Ah ternyata benalu tidak merugikan, pikir Bulan. Banyak yang
membutuhkan benalu. Orang sakit yang memakai daunnya sebagai rebusan obat sampai burung kecil yang membuat sarang di rerimbunannya. Kenapa manusia harus menebang benalu? Bukankah anggrek juga sama-sama
69
melekat dan menumpang hidup di pohon pinus? Tetapi manusia tidak menebangnya malah memuji-mujinya. Apakah karena anggrek memberikan bunga cantik sehingga tidak ada yang keberatan bila si cantik yang hidup menumpang? Bulan juga menyukai bunga anggrek. Tetapi ia kasihan dengan benalu. Mungkin memang kodrat manusia selalu terpikat dengan yang dilihatnya. (Fang, 2007: 123)
(191) Bulan tersentak. Apa yang terlihat cantik ternyata juga menyimpan kebusukan. Bau busuk akan melekat lebih lama daripada aroma wangi. Sebagaimana manusia lebih suka membicarakan keburukan orang lain daripada memuji kelebihannya. (Fang, 2007: 124)
Berdasarkan analisis di atas faktor diri juga membentuk kepribadian tokoh
Bulan. Perasaan, pikiran, pandangan, sikap, mempengaruhi Bulan dalam membuat
keputusan tentang tindakannya dalam menjalankan kehidupannya. Hal ini terlihat
ketika Bulan merasa bahwa tidak memerlukan orang lain untuk mengarahkan atau
mengatur hidupnya (kutipan 173-174). Anggapan bahwa ada sesuatu yang kurang
dalam diri tokoh Bulan yaitu rasa bahagia mendorong tokoh Bulan untuk mencari
kebahagiaannya itu (kutipan 175-178). Perasaan sakit yang dirasakan tokoh Bulan
justru membuatnya belajar untuk bangkit dari rasa sakit itu (kutipan 188). Sikap
rasa percaya diri dan sombong membuat tokoh Bulan malu dan menyesal ketika
tokoh Bulan mulai membutuhkan orang lain untuk membantunya bertahan
(kutipan 185, 189-191).
Berdasarkan analisis di atas penulis menyimpulkan bahwa pembentukan
kepribadian tokoh Bulan yang berdasarkan pada faktor lingkungan dan faktor diri
membentuk kepribadian tokoh Bulan menjadi seorang yang perfeksionis, percaya
diri, sombong, dan tidak membutuhkan orang lain. Namun, kepribadian tersebut
berubah ketika tokoh Bulan merasa tidak bahagia dengan semuanya. Tokoh Bulan
70
kemudian mencari kebahagian itu dan juga menyadari bahwa ia juga
membutuhkan bantuan orang lain untuk menemukan kebahagiaanya.
Berdasarkan kesimpulan di atas, kepribadian tokoh Mon dan Bulan
ternyata sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor diri. Oleh karena
itu, sebagai proses awal hasil dari analisis pembentukan kepribadian tokoh Mon
dan Bulan menjadi acuan dan dasar penulis untuk selanjutnya menganalisis
pembentukan identitas diri tokoh Mon dan Bulan.
3.2 Pembentukan Identitas Diri
Dalam proses pembentukan identitas diri tokoh Mon dan Bulan mengalami
perubahan dan perkembangan dari masa lalu ke masa kini. Perubahan dan
perkembangan itu menjadi sebuah dasar pengertian bahwa seseorang mengenal
dirinya sendiri untuk mengetahui tujuan hidup yang sebenarnya.
3.2.1 Pembentukan Identitas Diri Mon
Proses pembentukan identitas diri Mon di awali dari sebuah proses
pembentukan kepribadian. Mon akhirnya menemukan apa yang harus dilakukan
dalam menjalankan hidupnya. Awal mulanya Mon melakukan semua pekerjaan
demi mendapatkan kekayaan tanpa melihat kemampuan yang dimilikinya. Tetapi
dalam proses pembentukan kepribadian menjadi sebuah pembentukan identitas
diri, Mon menemukan keyakinan hidup bahwa manusia harus selalu bersyukur
atas apa yang dialaminya dan menjalankannya dengan legawa atau bersikap
pasrah. Hal ini terlihat pada saat Mon bertemu dengan orang-orang yang selalu
bersikap legawa menerima nasibnya dengan sukacita.
71
(192) Ia pergi naik-turun angkot dari satu terminal ke terminal lain mencangkung melihat banyak orang yang berseliweran. Bau pesing jamban umum menguap. Puntung rokok berterbangan. Ludah berceceran. Kuku hitam berdaki. Kulit kusam berkerak. Gigi-geligi berselip nikotin. Sepulangnya ia selalu bercerita bagaimana orang-orang yang ditemuinya tadi adalah orang-orang yang legawa dengan nasibnya. Walaupun mereka cuma sopir angkot, kernet, penjual tisu, penjual koran dan tidak pernah punya mimpi besok akan seperti apa, tetapi orang-orang itu selalu tertawa lebar. (Fang, 2007: 117)
Mon menyadari bahwa semakin orang tahu, pintar, bisa, dan percaya ia
mampu melakukan segala hal, dengan kata lainnya manusia itu menjadi sombong
dan tinggi hati. Namun Mon menyadari bahwa sebenarnya mereka semakin takut
karena mereka semakin tidak tahu segala sesuatu.
(193) Mon bercerita tentang Hanoman, si kera kecil yang dibesarkan oleh alam. Kera kecil yang bisa menelan matahari. Tetapi ia menjadi ragu dan waswas ketika belum menemukan negara Alengka dalam sehari semalam seperti yang dijanjikannya pada Rama. Padahal ia begitu yakin dengan kesaktiannya. Menelan matahari pun ia bisa, maka apa yang tidak bisa dilakukannya? Matahari menggelincir semakin cepat padahal titik Alengka ada di mana pun ia tidak tahu. Dengan rasa malu dan pasrah, barulah ia berkeluh kesah. Betara Surya penguasa matahari pun menertawakan keangkuhan Hanoman. “Kenapa Hanoman kecil bisa menelan matahari sedangkan Hanoman sakti tidak mampu?” “Karena ketika itu hamba masih kecil. Sebagaimana makhluk kecil yang hanya diselimuti ketidaktahuan,” begitu jawab Hanoman. Betara Surya menjawab, “bahwa itulah jawaban dari ketahuan manusia. Semakin tahu, semakin pandai, semakin semakin berencana, semakin yakin, semakin bisa, tetapi juga semakin takut karena sebetulnya semakin tidak tahu.” (Fang, 2007: 118)
Mon meyakini bahwa dirinya adalah bagian dari alam semesta yang harus
selalu menjaga diri sendiri dan selalu berserah pada Yang Kuasa. Hal ini terlihat
ketika Mon berbicara kepada Bulan.
(194) “Alam semesta itu adalah diri kita juga. Kita adalah bagian dari alam semesta. Dan kita adalah alam semesta itu sendiri. Alam semesta yang besar. Manusia adalah alam semesta yang kecil.” (Fang, 2007: 120)
Perkenalannya dengan Tongki menjadikan Mon seorang yang lebih
menghargai orang lain, rendah hati menyadari bahwa kesenangan batin dapat ia
72
peroleh dari sebuah kebahagiaan yang ia buat bagi orang lain. Mon juga
menyadari bahwa ada sesuatu kebahagian yang akan didapatkan jika Mon
memberikan kebahagian pada orang lain. Hal ini terlihat pada saat Mon
mengaplikasikan ilmu yang diajarkan oleh Tongki.
(195) Setiap kali bila berkumpul dengan banyak orang. Ia diam saja, tidak minum, tidak makan, juga tidak mengeluarkan uang. Maka orang lain akan membelikannya minuman dan menawarinya makan, juga tidak mengeluarkan uang. Maka orang lain akan membelikannya minuman dan menawarinya makanan. Ketika semua selesai makan, dilihatnya orang-orang berebut mengeluarkan uang untuk membayar makanan dan minuman. Mereka saling mendahului untuk membayar satu sama lain. Cuma ia yang berdiam diri. Setelah usai, ia melihat orang-orang itu bersalaman dengan senyum lebar. Mereka membuat jalinan persahabatan dengan ikhlas. Dan semua memandangnya dengan pandangan yang tidak bisa dimengertinya. Mon merasa pipinya panas. Mon tidak sanggup melakukan itu. Maka di lain waktu, ia juga gantian membayar makanan dan minuman. Ternyata kegembiraan juga mengalir di hatinya ketika ia bisa ikut bercerita tertawa sambil menikmati kudapan bersama-sama. Kehangatan itu ada ketika bisa saling berbagi.” (Fang, 2007: 179)
(196) “Aku punya banyak. Ambillah bila kau mau.” “Ini kubeli untukmu. Kuharap kau suka menerimanya.” Lalu lidah dan mulutnya berkata kepada Mon “Bukankah kata-kata itu lebih indah dan menyenangkan” Telinganya mengiyakan. “ Benar, itu kata-kata tulus penuh persahabatan.” Dan matanya melihat orang-orang tersenyum kepadanya. Orang-orang yang menerima pemberian dengan sumringah dan mata berbinar. Selain tiu ternyata dengan memberi ia tidak menjadi kekurangan malah menjadi berkelimpahan. Karena ketika ia memberi kue kepada orang lain ternyata ada orang lain yang memberikan pizza kepadanya. Saat ia menyerahkan setangkai kembang, di saat lain ada yang mengalungkan seuntai mutiara untuknya. (Fang, 2007: 181)
Selain itu, Mon menyadari bahwa dirinya bukanlah orang yang tidak
berguna, karena ternyata ada orang lain yang sangat membutuhkan dirinya. Hal
ini Mon dapatkan setelah hidup dan mengikuti Tongki pergi. Mon menyadari
bahwa Tongki sangat membutuhkan, mencintainya, dan lebih memilih dia
daripada Likilik istrinya.
73
(197) “Biarkan semua menjadi milik istriku. Tetapi aku mau kuburanku menjadi milikmu.” Mon tahu Tongki tidak pernah membual bila dalam pelukannya. Karena hanya di dalam pelukannya Tongki melabuhkan semua resah dan gelisah. Ternyata Tongki tetap manusia biasa. Tongki bisa lelah berdusta. “Kauberikan kuburanmu untukku?” Mon tidak mengerti. “Bodoh! Kamu memang selalu bodoh! Artinya, sampai mati pun, aku ingin kamu tetap bersamaku. Menemaniku. Membersihkan kuburku. Bercerita untukku. Matiku adalah milikmu. Mengerti, bodoh?”(Fang, 2007: 199)
(198) Karena Mon tidak tahu harus melakukan apa ketika Tongki berkata, “Kita diam, kita tenang, kita tinggalkan dia tanpa keributan.” (Fang, 2007: 211)
Peristiwa-peristiwa ini membuat Mon menjadi pribadi yang mengerti
bahwa hidup dan kebahagian bukan hanya sekedar kaya dan miskin, serta kalah
dan menang. Karena menurut Mon hidup dan kebahagian berasal dari sikap
legawa akan hidup yang dijalani, menerima kekalahan dengan besar hati, dan
mengerti akan orang lain.
(199) Lagi pula, seberapa sih banyaknya harta yang dimiliki manusia?apakah seperti kekayaan Pak Lolok? Atau seperti Tuan Tumini? Mon sudah melihat dan merasakan begitu banyak orang kaya. Yang bermobil, punya pabrik, punya bank, hilir-mudik keliling dunia , mungkin juga bercinta di atas tumpukan uang. Tetapi di atas kaya selalu masih ada yang lebih kaya. Di atas langit masih ada langit. Jadi ia selalu tertawa bila ada yang membicarakan kekayaan. Karena kekayaan adalah kemiskinan bagi Mon. (Fang, 2007: 200)
(200) Ia pernah menjadi pemain, petaruh, pemenang, dan pecundang. Semua
sudah dilakoninya. Ia menang gemilang menjadi pemain ratu, mendapatkan Tanda Tanya bahkan berhasil mencopot lepas lidah dan bola mata Buang. Tetapi ia juga kehilangan wajah ratunya. Dari manis dan pahit yang dirasanya, ia tahu hidup tidak sekedar harus kalah dan menang, tetapi bagaimana menerima kekalahan dengan besar hati dan mensyukuri kemenangan dengan rendah hati. Hidup juga bukan berarti harus menjadi lebih pintar, lebih kaya, lebih terkenal, setidaknya selalu lebih di atas orang lain. Tetapi justru hidup mengajarinya untuk mengerti orang lain. (Fang, 2007: 200)
Pembentukan identitas diri Mon terlihat dari sikap dan cara pandang Mon
dalam menyikapi setiap masalah yang dihadapinya. Mon menjadi seorang yang
berkeyakinan bahwa dalam menjalankan hidup ini haruslah dijalankan dengan
74
rasa syukur, legawa atau berpasrah diri, dan meyakini bahwa orang lain
membutuhkan dirinya (kutipan 192-200).
3.2.2 Pembentukan Identitas Diri Bulan
Proses pembentukan identitas diri Bulan diawali dari sebuah proses
pembentukan kepribadian. Dari proses itulah Bulan menyadari bahwa yang tujuan
hidunya adalah mencari kebahagiaan sejati. Bulan yang awalnya tinggal dalam
sebuah bola kristal yang memiliki kehidupan yang sempurna sebagai seorang
wanita modern yang sudah mendapatkan segalanya kekayaan, keluarga, dan
jabatan dalam pekerjaannya. Namun Bulan merasa tidak bahagia dengan semua
hal itu dan dari perasaan itulah Bulan mulai mencari kebahagiaan sejatinya.
Pengalaman pertama yang dipelajari Bulan adalah Bulan menyadari bahwa
meskipun mandiri manusia juga membutuhkan pertolongan orang lain untuk
membantunya. Hal ini terbukti ketika Bulan melihat seorang jompo yang
membutuhkan seorang perawat untuk membantunya.
(201) Bulan melihat ternyata manusia sangat lemah dan tidak berdaya. Dari lahir sampai tua (bahkan meninggal) selalu tergantung kepada orang lain. Padahal ketika semua tulang-belulang tumbuh sempurna, manusia lupa asal muasalnya dari bayi tak berdaya dan akan menjadi si jompo yang tak berguna. (Fang, 2007: 121)
Pada awalnya, Bulan adalah seorang wanita yang selalu melihat orang lain
melalui fisiknya tanpa mengenal pribadinya terlebih dulu seperti yang
dilakukannya kepada Mon. Bulan mulai mengerti bahwa fisik tidaklah menjadi
penentuan apakah orang itu baik atau tidak. Pengalaman ini terlihat pada saat
Bulan mengamati sebuah bunga.
(202) Bulan tersentak. Apa yang terlihat cantik ternyata juga menyimpan kebusukan. Bau busuk akan melekat lebih lama daripada aroma wangi.
75
Sebagaimana manusia lebih suka membicarakan keburukan orang lain daripada memuji kelebihannya. (Fang, 2007: 124)
Bulan menjadi seorang yang mulai mengerti tentang bagaimana hidup
legawa yang selalu Mon ungkapkan padanya. Bulan mempelajarinya dari seorang
sales yang selalu gigih menawarkan semua barang dengan hati gembira tanpa
mengenal menyerah dan tetap tersenyum dengan semua keadaan yang dihadapi
sales itu.
(203) Seperti kemudian ia mengenal laki-laki muda yang selalu berkeliling dari pagi hingga petang dengan sepeda motornya. Tubuhnya biasa-biasa saja dengan kulit legam. Tidak ada yang istimewa darinya sehingga bisa dipastikan bahwa ia adalah orang yang mudah dilupakan. Mungkin Bulan mengingatnya, karena ia selalu tersenyum. Ia selalu tersenyum bahkan ketika Lebaran tiba dan tidak memiliki uang untuk membeli celana baru. Ia tetap tersenyum saat mewantek selana lamanya. Mungkin ini yang dinamakan legawa seperti yang diceritakan Mon, pikir Bulan. Ia kagum pada laki-laki itu. (Fang, 2007: 124)
(204) “Jangan selalu mengeluh. Karena mengeluh itu mencobai Tuhanmu.
Selalulah mengucap syukur karena masih banyak yang jauh lebih menderita daripada dirimu,” begitu Imam yang sang imam berkata kepada Bulan kala mengeluh betapa ia merasa bosan atau menyesal karena jalan hidupnya yang terjebak di dalam Tanda Tanya. Bulan merasa Imam sangat bijaksana. Bulan ingin belajar seperti Imam yang bisa menerima penderitaannya dengan gembira seperti ia meneguk segelas kopi hitam dengan nikmat. Bulan terus menerus bertanya bagaimana caranya Imam bisa mengatasi ketidakpuasannya atas serba ketidakcukupannya sementara acap kali Bulan masih sering merasa takut miskin. Dan Imam dengan semangatnya yang anggun laksan angsa yang hilir mudik memamerkan helai-helai bulunya yang berkilat di tengah danau memberikan siraman di hatinya agar tidak perlu merasa takut, karena ketika Bulan makan nasi dan telur saja masih banyak orang yang makan kerak nasi dingin tanpa lauk. Karena menurut Imam si imam, tujuan hidup bukan sekedar makan tetapi bagaimana berlaku untuk mencapai kesempurnaan. (Fang, 2007: 126)
Bulan mendapatkan pelajaran agar tidak pernah lelah berusaha dan
meyakini bahwa segala sesuatunya ada jalan keluar dalam menjalani
kehidupannya. Pelajaran ini Bulan dapatkan dari tiga ekor kura-kura yang
diberikan Mon padanya.
76
(205) Tetapi suatu malam ketika ia sudah menutup pintu depan dan hendak menutup pintu kamar, ia melihat di dalam stoplesnya hanya ada dua kura-kura! “Papo! Papo! Papo!” Bulan menjadi panik kehilangan Papo, kura-kura kecil yang paling gesit. Suatu hal yang mustahil bila kura-kura bisa memanjat dan keluar dari stoples. Memang stoplesnya tidak terlalu tinggi. Hanya setinggi kotak nasi anak sekolah. Tetapi tetap saja Bulan tidak habis pikir bagaimana Papo bisa tidak berada di dalam stoples. Tidak mungkin ada yang mengambilnya juga karena di dalam Tanda Tanya tak ada siapa-siapa kecuali dirinya. Mon belum kembali. Dilihatnya Franklin berada di atas tempurung Stanley. Dan Stanley berada di atas tumpukan batu. Aha! Bulan sekarang sudah tahu bagaiman Papo bisa keluar dari stoples. Ternyata Papo memanjat di atas tumpukan batu, tempurung Stanley lalu tempurung Franklin. Akhirnya ia bisa merayap keluar. Bulan tercenung. Ia jadi berpikir bahwa makhluk sekecil kura-kura pun bisa keluar dari kesulitannya dengan pelan-pelan memanjat dan merayap. Dengan tangan dan kaki kecilnya, ia menapaki undakan-undakan sampai bisa keluar dari stoples. Bulan seakan-akan mendapatkan jawaban dari tanda-tanyanya.” (Fang, 2007: 129)
Dari peristiwa itulah membuat Bulan mengerti dan tersadar bahwa dalam
hidup terdapat sakit, suka, duka, kemewahan, kemiskinan, seperti roda yang
berputar kadang di atas kadang juga di bawah, serta berbagai macam lagi
perasaan. Karena Bulan adalah bagian dari alam semesta yang bisa menikmati dan
merasakan nikmatnya hidup dalam kepasrahan menjalankan hidupnya. Perasaan
gembira tinggal di alam semesta ini baru Bulan rasakan untuk pertama kalinya.
(206) “Alam semesta itu adalah diri kita juga. Kita adalah bagian dari alam semesta. Dan kita adalah alam semesta itu sendiri. Alam semesta yang besar. Manusia adalah alam semesta yang kecil.” Bulan tidak mengerti. Mon berkata, “Karena itulah kau sekarang berada di sini. Berada di dalam Tanda Tanya. Cari dan temukan jawabannya!” (Fang, 2007: 119)
(207) Bulan merasa nikmat karena merasakan adanya semburan dari perut bumi dan curahan dari tingkap langit yang menyejukkan. Seperti bintang jatuh menjadi serpihan serbuk cahaya yang menghujani kepalanya. Seperti pasir diayak dan kerikil disaring. Ada langit. Ada bumi. Ada manusia di tengahnya. Ia manusia yang menadahkan tangan ke langit dan menginjakkan kaki ke tubuh bumi. Ia alam semesta.
77
Semesta yang menghamburkan semerbak. Sukma yang porak-poranda kembali menjadi satu satuan yang utuh saat bersedekap dengan wewangian. Keharuman itu menentramkan karena harum itulah jagat raya yang besar. Jagat raya memberikan harum kulit padi yang segar, kembang kenanga yang terkenang-kenang, garam laut yang lengket di rambut para perempuan, pucuk pandan yang brkeringat embun, tanah basah disiram hujan. Alam semesta sungguh harum tiada dua. Bulan mengembangkan paru-paru sebesar-besarnya untuk menghirup wangi jagat semesta. Dirasakannya langit begitu dekat dalam raihan tangan dan bumi melekat dalam genggaman. Bintang, awan, bulan, matahari, tanah, rumput, bekicot, burung, masuk ke dalam dirinya. Ia satu kesatuan yang utuh dengan alam raya. Bulan bertaburan bunga. Ada mawar, melati, kenanga. Bulan adalah bunga. Bunga yang kuncup, mekar, dan rontok. Bulan beredar di tata surya. Ada bumi, planet, satelit. Bulan di alam semesta. Alam semesta yang bergerak seperti siklus bunga dibuahi si kumbang jantan. Dari ada yang menjadi tiada. Dari tiada menjadi ada. Ada itu adalah tiada. Tiada itu adalah ada. Keseimbangan. Pasrah marang purbowasih saning Gusti (pasrah kepada Tuhan). (Fang, 2007: 133)
Dalam analisis pembentukan identitas diri Bulan dapat disimpulkan bahwa
tujuan hidupnya adalah mencari kebahagian sejati. Kebahagian sejati yang
diperoleh Bulan berasal dari sebuah keseimbangan hidup antara kebahagiaan
duniawi dan sorgawi (kutipan 201-207).
Berdasarkan analisis pembentukan identitas diri di atas, pembentukan
identitas diri Mon dan Bulan terlihat menjadi sebuah keyakinan akan tujuan masa
depan yang dijalankan dari masing-masing tokoh utama tersebut. Pembentukan
identitas diri Mon terlihat dari sikap dan cara pandang Mon dalam menyikapi
setiap masalah yang dihadapinya. Mon menjadi seorang yang berkeyakinan
bahwa dalam menjalankan hidup ini haruslah dijalankan dengan rasa syukur,
berpasrah diri atau legawa, dan meyakini bahwa orang lain membutuhkan dirinya.
Sedangkan keyakinan Bulan adalah menjalankan hidup dengan seimbang.
78
3.3 Kesimpulan
Pembentukan kepribadian tokoh Mon dan Bulan merupakan sebuah awal
dari proses pembentukan identitas diri. Dalam pembentukan kepribadian tokoh
Mon dan Bulan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor diri. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi tokoh Mon meliputi perbedaan status ekonomi
yang membentuk tokoh Mon menjadi seorang yang ambisius, terobsesi dengan
kekayaan, iri dan dengki, dan menjadikannya seorang pekerja keras demi
mewujudkan keinginannya. Faktor Lingkungan di perusahaan asuransi,
membentuk tokoh Mon menjadi seorang yang frustasi dan mudah menyerah
karena apa yang diinginkannya tidak segera terwujud. Faktor lingkungan di
terminal bertemu dengan para penjual asongan membentuk tokoh Mon menjadi
seorang yang lebih bersikap legawa atau berpasrah diri dalam menjalankan
hidupnya. Selain itu, faktor lingkungan di tempat tinggal Tongki, membentuk
tokoh Mon menjadi seorang yang polos dan lugu dalam menerima segala
masukan untuk menjadi seorang yang kaya, dan seorang yang tegar dalam
menerima caci maki maupun ejekan karena menuruti Tongki.
Faktor diri yang terbentuk pada tokoh Mon adalah sikap hidup yang
diambil tokoh Mon dalam mewujudkan keinginannya. Sikap hidup tokoh Mon
adalah menjadi seorang yang percaya diri, pekerja keras, tidak serakah, dan
legawa meskipun demi mewujudkan keinginannya tokoh Mon dapat
melakukannya dengan mudah.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tokoh Bulan meliputi faktor
lingkungan jet set yang membentuk tokoh Mon menjadi pribadi yang
79
perfeksionis, percaya diri, mandiri dalam menata hidup keluarganya, dan
sombong karena merasa tidak memerlukan bantuan orang lain. Faktor lingkungan
yang sederhana yaitu tempat tinggal Mon, membentuk pribadi Bulan yang
menyadari bahwa dirinya lemah, tidak mandiri, cengeng, dan sangat
membutuhkan orang lain untuk membantunya bangkit.
Berdasarkan pembentukan kepribadian di atas, pembentukan identitas diri
tokoh Mon dan Bulan mengalami perubahan dan perkembangan dalam hidupnya.
Perubahan dan perkembangan itu sebuah dasar pengertian bahwa Tokoh Mon dan
Bulan mengenal makna dan tujuan hidupnya. Tokoh Mon mengenal makna dan
tujuan hidupnya berawal dari obsesi akan sebuah kekayaan, kehormatan,
kesuksesan dan diri sendiri menyadari bahwa hidup bukan hanya itu saja
melainkan sebuah hidup yang mesti dijalankan dengan legawa atau berpasrah diri.
Ini dipelajari tokoh Mon dari sebuah lingkungan terminal yang mana orang-orang
di terminal itu selalu bersikap legawa, bersyukur dan bisa tertawa sukacita dalam
menjalin kehidupan mereka. Tokoh Mon juga menyadari bahwa hidupnya sangat
dibutuhkan oleh orang lain yaitu sebagai penyemangat dalam hidup khususnya
Tongki. Pembentukan identitas diri tokoh Mon menjadikan tokoh Mon pribadi
yang berpandangan bahwa hidup dan kebahagiaan berasal dari sikap bersyukur,
legawa atau berpasrah diri, dan mengerti akan orang lain yang membutuhkan
dirinya.
Tokoh Bulan mengenal makna dan tujuan hidupnya dari sebuah
pergumulan diri akan sebuah arti kebahagiaan yang sejati yang bukan diperoleh
tokoh Bulan dari kekayaan, kehormatan, dan kesuksesan dalam pekerjaan dan
80
keluarga. Berawal dari sebuah pembelajaran akan pertolongan orang lain yang
dipelajarinya dari sebuah panti jompo, serta sikap hidup yang legawa atau
berpasrah diri yang dipelajarinya dari seorang sales. Pembentukan identitas diri
tokoh Bulan menjadikan tokoh Bulan pribadi yang berpandangan bahwa dalam
hidup itu ada sakit, suka, duka, kemewahan, kemiskinan seperti roda yang
berputar terkadang ada di atas dan terkadang di bawah, dan menyadari bahwa
kebahagiaan sejati tidak saja melalui kebahagiaan duniawi namun juga melalui
kebahagiaan sorgawi yang didapatnya dengan bantuan orang lain.
81
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Novel Lelakon merupakan novel yang menceritakan bagaimana tokoh-
tokoh utamanya menemukan makna dan tujuan hidupnya sebagai proses dari
pembentukan identitas dirinya. Berdasarkan hal itulah yang melatarbelakangi
penulis untuk mengangkat topik Pembentukan Identitas Diri Tokoh Utama dalam
Novel Lelakon sebagai bahan yang di analisis dalam skripsi yang ditulisnya.
Sebagai awal dari penulisannya, penulis menganalisis terlebih dahulu
penokohan dari tokoh utama dalam novel Lelakon tersebut. Tokoh utama dalam
novel Lelakon adalah Mon dan Bulan. Tokoh Mon dan Bulan dianggap sebagai
tokoh utama karena intensitas kemunculan dalam novel ini sangat banyak. Tokoh
Mon digambarkan sebagai seorang wanita yang cantik, memiliki pesona sang ratu,
ambisius dan terobsesi dengan kekayaan. Tokoh Mon juga digambarkan sebagai
seorang wanita yang pekerja keras, tidak serakah, memiliki harga diri yang tinggi,
tetapi memiliki rasa iri dan dengki.
Namun, karakter tokoh Mon tersebut berubah menjadi karakter yang mudah
menyerah, putus asa, mudah gelisah, dan menjadi seorang yang polos dan lugu
dalam melakukan sesuatu untuk mewujudkan keinginannya tanpa memakai hati
nurani. Akan tetapi tokoh Mon mulai menyadari bahwa yang dilakukan untuk
mewujudkan keinginannya tidak sesuai dengan hati nurani.
82
Tokoh Bulan digambarkan sebagai seorang wanita yang sempurna, baik
secara fisik, intelektual, keluarga, dan materi. Tokoh Bulan juga digambarkan
sebagai seorang yang ringan tangan dan ringan hati, penuh perhitungan, tetapi
tidak diperhatikan suaminya.
Namun karakter Bulan tersebut berubah menjadi seseorang yang sadar akan
memiliki kekurangan, sadar bahwa hidupnya tidak selalu berada diatas, sadar
bahwa seseorang itu membutuhkan orang lain, sadar bahwa seseorang itu dilihat
bukan dari fisiknya saja, dan memiliki sifat legawa atau berpasrah diri.
Melalui analisis tokoh dan penokohan Mon dan Bulan ini penulis dapat
mengetahui karakter tokoh-tokoh utamanya. Berdasarkan analisis tersebut penulis
menjadikannya sebagai acuan dan gambaran tentang bagaimana proses
pembentukan identitas diri tokoh-tokoh utamanya. Proses pembentukan identitas
diri tokoh-tokoh utamanya diawali dengan proses pembentukan kepribadian yang
didasarkan pada faktor lingkungan dan faktor diri.
Pembentukan kepribadian tokoh Mon dan Bulan merupakan sebuah awal
dari proses pembentukan identitas diri. Dalam pembentukan kepribadian tokoh
Mon dan Bulan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor diri. Faktor
lingkungan yang mempengaruhi tokoh Mon meliputi perbedaan status ekonomi
yang membentuk tokoh Mon menjadi seorang yang ambisius, terobsesi dengan
kekayaan, iri dan dengki, dan menjadikannya seorang pekerja keras demi
mewujudkan keinginannya. Faktor Lingkungan di perusahaan asuransi,
membentuk tokoh Mon menjadi seorang yang frustasi dan mudah menyerah
karena apa yang diinginkannya tidak segera terwujud. Faktor lingkungan di
83
terminal bertemu dengan para penjual asongan membentuk tokoh Mon menjadi
seorang yang lebih bersikap legawa atau berpasrah diri dalam menjalankan
hidupnya. Selain itu, faktor lingkungan di tempat tinggal Tongki, membentuk
tokoh Mon menjadi seorang yang polos dan lugu dalam menerima segala
masukan untuk menjadi seorang yang kaya, dan seorang yang tegar dalam
menerima caci maki maupun ejekan karena menuruti Tongki.
Faktor diri yang terbentuk pada tokoh Mon adalah sikap hidup yang
diambil tokoh Mon dalam mewujudkan keinginannya. Sikap hidup tokoh Mon
adalah menjadi seorang yang percaya diri, pekerja keras, tidak serakah, dan
legawa meskipun demi mewujudkan keinginannya tokoh Mon dapat
melakukannya dengan mudah.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi tokoh Bulan meliputi faktor
lingkungan jet set yang membentuk tokoh Mon menjadi pribadi yang
perfeksionis, percaya diri, mandiri dalam menata hidup keluarganya, dan
sombong karena merasa tidak memerlukan bantuan orang lain. Faktor lingkungan
yang sederhana yaitu tempat tinggal Mon, membentuk pribadi Bulan yang
menyadari bahwa dirinya lemah, tidak mandiri, cengeng, dan sangat
membutuhkan orang lain untuk membantunya bangkit.
Berdasarkan pembentukan kepribadian di atas, pembentukan identitas diri
tokoh Mon dan Bulan mengalami perubahan dan perkembangan dalam hidupnya.
Perubahan dan perkembangan itu sebuah dasar pengertian bahwa Tokoh Mon dan
Bulan mengenal makna dan tujuan hidupnya. Tokoh Mon mengenal makna dan
tujuan hidupnya berawal dari obsesi akan sebuah kekayaan, kehormatan,
84
kesuksesan dan diri sendiri menyadari bahwa hidup bukan hanya itu saja
melainkan sebuah hidup yang mesti dijalankan dengan legawa atau berpasrah diri.
Ini dipelajari tokoh Mon dari sebuah lingkungan terminal yang mana orang-orang
di terminal itu selalu bersikap legawa, bersyukur dan bisa tertawa sukacita dalam
menjalin kehidupan mereka. Tokoh Mon juga menyadari bahwa hidupnya sangat
dibutuhkan oleh orang lain yaitu sebagai penyemangat dalam hidup khususnya
Tongki. Pembentukan identitas diri tokoh Mon menjadikan tokoh Mon pribadi
yang berpandangan bahwa hidup dan kebahagiaan berasal dari sikap bersyukur,
legawa atau berpasrah diri, dan mengerti akan orang lain yang membutuhkan
dirinya.
Tokoh Bulan mengenal makna dan tujuan hidupnya dari sebuah
pergumulan diri akan sebuah arti kebahagiaan yang sejati yang bukan diperoleh
tokoh Bulan dari kekayaan, kehormatan, dan kesuksesan dalam pekerjaan dan
keluarga. Berawal dari sebuah pembelajaran akan pertolongan orang lain yang
dipelajarinya dari sebuah panti jompo, serta sikap hidup yang legawa atau
berpasrah diri yang dipelajarinya dari seorang sales. Pembentukan identitas diri
tokoh Bulan menjadikan tokoh Bulan pribadi yang berpandangan bahwa dalam
hidup itu ada sakit, suka, duka, kemewahan, kemiskinan seperti roda yang
berputar terkadang ada di atas dan terkadang di bawah, dan menyadari bahwa
kebahagiaan sejati tidak saja melalui kebahagiaan duniawi namun juga melalui
kebahagiaan sorgawi yang didapatnya dengan bantuan orang lain.
85
4.2 Saran
Penelitian ini hanya terbatas satu segi analisis saja. Penulis menyadari
bahwa masih ada analisis-analisis yang lain yang dapat dilakukan dalam novel
Lelakon ini. Seperti halnya sudut pandang yang digunakan penulis hanyalah
psikologi sastra. Jadi masih ada sudut pandang sosiologi sastra yang bisa
dijadikan acuan dalam meneliti novel Lelakon ini dengan topik yang lain.
86
DAFTAR PUSTAKA
Dian, Maria. 2007. “Ketika Bulan Mencari Jati Diri”. Jawa Pos edisi 21 Oktober
2001, hlm. 10.
Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia. Terj./sad. Agus
Cremers. Jakarta: PT. Gramedia.
Fang, Lan. 2007. Lelakon. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Keraf, Gorys. 1981. Eksposisi dan Diskripsi. Yogyakarta: Nusa Indah dan
Kanisius.
Nurgiyantoro, Burhan. 2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gama Press.
Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme hingga Postrukturalisme, Perspektif Wacana Naratif.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Salim, Peter dan Yenny Salim. 1991. Kamus Bahasa Indonesia Kotemporer.
Jakarta: Modern English Press.
Sayuti, Suminto A. 2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Yogyakarta: Gama
Media.
Shalahuddin, Mahfudh. 1991. Pengantar Psikologi Umum. Surabaya: PT Bina
Ilmu.
Sudjiman, Panuti. 1992. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sujanto, Agus dkk. 2006. Psikologi Kepribadian. Jakarta: Bumi Aksara.
87
Tansil, Hernadi. 2007. “Lelakon”. http://library.stikom.edu/detailresensi.asp.
Download 25 Juni 2008.
Qahar, Drs. Jahja. 1970. Apakah Kepribadian Itu. Djakarta: IKIP.