PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI
PENETAPAN HAKIM
(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms)
SKRIPSI
Oleh :
Benny Zuliansyah
E1A009175
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
2
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI
PENETAPAN HAKIM
(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms)
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
Benny Zuliansyah
E1A009175
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2015
i
3
ii
i
4
iii
5
PRAKATA
Segala Puja dan Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
penyusunan skripsi dengan judul : “PELAKSANAAN PENGANGKATAN
ANAK MELALUI PENETAPAN HAKIM (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor :
01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms)”sebagai syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga
kepada berbagai pihak yang telah membantu dan membimbing penulis hingga
penulisan dan penyusunan skripsi ini selesai tepat waktu. Para beliau yang
terhormat dan untuk itu penulis ucapkan terima kasih adalah :
1. Bapak Dr. Angkasa, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Jenderal Soedirman.
2. Bapak Trusto Subekti, S.H.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan Skripsi.
3. Ibu Rochati, SH.,M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang juga telah
memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan Skripsi.
4. Ibu Haedah Faradz, S.H.,M.H, selaku Dosen Penguji dan Penilai Skripsi.
5. Seluruh dosen, para tenaga kependidikan dan seluruh karyawan Fakultas
Hukum Unsoed, terima kasih atas bimbingan, pelayanan dan kerjasama yang
baik selama penulis menempuh ilmu.
iv
6
v
7
PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK MELALUI
PENETAPAN HAKIM
(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor: 01/Pdt.P/2014/PN.Bms)
Oleh: Benny Zuliansyah
E1A009175
Abstrak
Penetapan anak angkat atau pengangkatan anak dan pengesahan anak angkat
menjadi kewenangan pengadilan agama dan pengadilan negeri .dan berdasar pasal 49
huruf a Undang –Undang No 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Undang- undang
No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang menerangkan bahwa Pengadilan
Agama memiliki kewenangan untuk melakukan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum islam.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pelaksanan
pengangkatan anak dari pemohon yang beragama islam di Pengadilan Negeri Banyumas
studi terhadap Nomor :01/PDT.P/ 2014/PN .BMS. Metode pendekatan yang di gunakan
dalam pendekatan ini adalah Clinical Legal Research.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah: 1. Prosedur pengajuan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri, didaftarkan dalam buku regristrasi, membayar perskot
biaya perkara, Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi voluntair
Pengadilan, ditetapkan hari dan tanggal sidang, pelaksanaan sidang dibuka dan diperiksa
oleh hakim segala bukti dan saksi, sekiranya pengajuan pemohon beralasan maka hakim
akan mengabulkan permohonan pemohon dan sidang ditutup. 2. Dari aspek substansi
normatifnya: a. Hakim memeriksa alasan permohonan, b. Hakim menemukan hukumnya,
c. Hakim memeriksa bukti-bukti Pemohon, d. Hakim memberikan pertimbangan hukum,
e. Hakim memberikan penilaian hukum terhadap fakta-fakta yang didalilkan dengan
ketentuan hukum pengangkatan anak, dan f. Hakim memberikan putusan tambahan: 1)
mengirimkan salinan penetapan ini kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil untuk ditindak lanjuti pencatatannya pada Register Akta kelahiran dan Kutipan Akta
Kelahiran, setelah Para Pemohon menunjukkan salinan Penetapan ini yang telah
berkekuatan hukum tetap; 2) Hakim mengingatkan kepada Pemohon bahwa
“pengangkat anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua kandungnya”, “orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal-usulnya dan orang tua kandungnya”. Selanjutnya disarankan bahwa
sebaiknya pada bagian awal pertimbangan hukum pada penetapan hakim
mempertimbangkan dulu kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili
perkara yang diperiksanya, sehingga kepastian hukumnya menjadi semakin jelas.
Kata Kunci: Pengangkatan Anak, Penetapan Hakim.
vi
8
APPOINTMENT OF CHILDREN THROUGH
DETERMINATION OF JUDGE
(Judicial Review Determination No. 01 / Pdt.P / 2014 / PN.Bms)
By: Benny Zuliansyah
E1A009175
Abstract
Determination of a foster child or adoption and ratification of adopted children under
the authority of religious courts and state courts under Article 49 letter .and a law No. 3
2006 on change Top Law No. 7 1989 On the Religious Court explained that the religious
court has the authority to make the determination of adoption under the laws Islam.
Purpose this study to determine the conduct of the applicant's adoption of the religion of
Islam in the District Court of Banyumas study of numbers: 01 / PDT.P / 2014 / PN .BMS.
The approach used in this approach is the Clinical Legal Research.
The results obtained are: 1. The procedure for filing an application to the Chairman
of the Court, registered in the book registrars, pay court fees, Case petition included in the
definition voluntary jurisdiction of the Court, set the day and date of the hearing, the
implementation of the trial opened and examined by the judge of all the evidence and
witnesses, in case of filing the applicant argued that the judge will grant the petition of the
applicant and the hearing was closed. 2. From the aspect of normative substance: a.
Judges examine the reasons the request, b. The judge found the law, c. The judge
examined the evidence of the Petitioner, d. Judge gives legal considerations, e. Judges
give legal assessment of the facts argued by the law of adoption, and f. Judge gives
additional award: 1) send a copy of this determination to the Head of the Department of
Population and Civil Registration to follow up recording in the Register birth certificate
and citation Birth Certificate, after the applicant to show a copy of this stipulation that has
binding; 2) The judge reminded the Applicant that "lifting the child decides not blood
relations between the adopted child and his biological parents", "foster parent shall notify
the adopted son of the origins and biological parents". Furthermore, it is suggested that
should be at the beginning of the legal considerations in the determination of the judge to
consider first the authority of the court to examine and adjudicate cases examined, the
legal outcomes becomes increasingly apparent.
Keywords: Adoption, Determination Judge.
vii
9
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN ........................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................................... ii
SURAT PERNYATAAN ................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ iv
ABSTRAK ......................................................................................................................... vi
ABSTRACT ....................................................................................................................... vii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ................................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 7
D. Kegunaan Penelitian................................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dan Tinjauan Umum Mengenai Beberapa Istilah Anak
Angkat ..................................................................................................... 8
B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak ....................................................... 12
C. Motivasi Pengangkatan Anak ............................................................... 16
D. Prosedur Pengangkatan Anak ............................................................... 18
E. Prosedur dan Acara Pemeriksaan Permohonan Pengangkatan Anak
Dalam SEMA No. 6 Tahun 1983 yang secara teknis ada
penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979 ............................................ 22
F. Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam
Penetapan Pengangkatan Anak .............................................................. 28
G. Hak-hak dan Kewajiban Anak Angkat ................................................. 31
H. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ....................................................... 36
viii
10
BAB III METODELOGI PENELITIAN
A. Metode Penelitian .................................................................................. 39
B. Spesifikasi Penelitian ............................................................................. 39
C. Lokasi Penelitian ................................................................................... 40
D. Metode Pengumpulan Data .................................................................... 40
E. Metode Penyajian Data .......................................................................... 40
F. Metode Analisis Data ............................................................................ 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ..................................................................................... 41
B. Pembahasan ............................................................................................ 54
BAB V PENUTUP ...............................................................................................................
A. Kesimpulan ............................................................................................ 73
B. Saran ....................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA
ix
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia pengaturan mengenai pengangkatan anak sampai saat ini
belum diatur secara khusus dalam undang-undang, melainkan masih diatur
dalam beberapa ketentuan hukum yang masih tersebar, seperti ketentuan
mengenai adopsi bagi anak laki-laki Tionghoa (S. Tahun 1927 No. 129),
kebiasaan pengangkatan anak pada masyarakat Bali yang juga menganut
sistim patrilineal, kebiasaan masyarakat di Jawa terjadi pada keluarga yang
tidak mempunyai anak, atau hanya mempunyai anak laki-laki atau anak
perempuan saja, maka mereka akan mengangkat anak laki-laki atau anak
perempuan; demikian juga di Indonesia dewasa ini pengangkatan anak juga di
kenal dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pengangkatan anak menurut Pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa :
1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang
tua kandungnya.
3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut
oleh calon anak angkat.
4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
5) Dalam hal asal usul anak tidak diketahui, maka agama anak
disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
2
Definisi Pengangkatan Anak menurut Pasal 1 butir 2 Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Memperoleh,
Kehilangan, Pembatalan, dan Memperoleh kembali Kewarganegaraan
Indonesia adalah sebagai berikut :
"Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan,
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau
orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkat".
Sejak zaman dahulu pengangkatan anak dilakukan masyarakat dengan
cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat dan
perasaan hukum yang hidup serta berkembang di daerah yang bersangkutan.
Perbedaan dalam hukum adat disyaratkannya suatu imbalan sebagai pengganti
kepada orang tua kandung anak angkat biasanya berupa benda-benda yang
dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan magic.1 Sedangkan menurut
Hukum Islam pengangkatan anak sangat dianjurkan asalkan tidak memutus
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan ibu kandungnya, tidak
menimbulkan hubungan nasab dan waris dengan orang tua angkatnya. Namun
diberikan wasiat wajibah maksimal 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya, sebagaimana ketentuan Pasal 209 KHI.2
Perbedaan mengenai ketentuan dan akibat hukum sebgaimana dijelaskan
menurut Hukum Adat dan Hukum Islam di atas, oleh pemerintah dipandang
perlu diberikan ketentuan sebagai rujukan bagi hakim dalam menjalankan
tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya:
1 Wignjodipuro, Soerojo. 1973. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Bandung: Alumni,
hal 31 2 Iman Jauhari, 2003. Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, hlm. 163
3
Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006, Pengadilan Agama memiliki
kewenangan absolut untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara
permohonan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak, motivasi
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik
bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini
sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya
memang sangat tergantung dari orang tuanya.3
Anak angkat menurut Hukum Adat adalah anak orang lain yang
dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai anak
kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”.4 Dalam hukum adat dikenal dua
macam pengangkatan anak, yaitu :
1) Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai.
2) Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai.5
Kewajiban dan tanggung jawab terhadap pengelolaan dan perlindungan
anak (anak angkat) dalam Undang-Undang Perlindungan Anak pada Pasal 20
sampai dengan Pasal 26, disebutkan bahwa: Negara, pemerintah, masyarakat,
keluarga dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak.6 Negara dan pemerintah berkewajiban
3 Djaja S.Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982, hal. 3.
4 Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Puionir jaya, Bandung, 1972, hal. 52
5 ING Sugangga, 1995. Hukum Waris Adat, Universitas Diponegoro, Semarang, Februari,
hal.35 6 Andi Syamsu Alam, dan H. M. Fauzan,, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta, 2008, hal. 219.
4
dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak
tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya
dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik
dan/atau mental.7 Dalam hal ini M. Budiarto menyebutkan bahwa menurut
hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan atau tidak dilarang
apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :8
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya dan keluarganya.
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua
angkatnya, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua
kandungnya, demikian juga orang tua angkatnya tidak berkedudukan
sebagai pewaris dari anak angkatnya.
3. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung, kecuali sekedar sebagai alamat atau tanda pengenal.
4. Orang tua angkatnya tidak bisa bertindak sebagai wali dalam
perkawinan anak angkatnya.
Pengangkatan anak sebagaimana telah dijelaskan di atas dalam aspek
sejarahnya sering juga diistilahkan dengan adopsi. Pengangkatan anak (adopsi,
tabbani), yaitu suatu pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri. Anak
yang diadopsi disebut “anak angkat”, peristiwa hukumnya disebut
“Pengangkatan Anak”. Pengangkatan anak dapat dijumpai dalam lapangan
hukum keperdataan, khususnya dalam lapangan hukum keluarga. Sehubungan
dengan telah diaturnya anak angkat dan pengangkatan anak pada Peraturan
7 ibid, hal. 7
8 Op Cit, hal. 24, 25.
5
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 di atas, maka substansi dan akibat hukum
dari pengangkatan anak ini telah mengalami perubahan. Apalagi dalam
perkembangan hukum sekarang ternyata Pengadilan Agama juga memiliki
kewenangan menetapkan pengangkatan anak bagi masyarakat Indonesia yang
beragama Islam, artinya kebiasaan mengangkat anak juga dilegitimasi dalam
Hukum Islam di Indonesia. Perlu diingat bahwa Hukum Islam semula tidak
mengenal anak angkat atau pengangkatan anak. Yang dikenal dalam Hukum
Islam adalah anak asuh. Dengan demikian sekarang ini mengenai penetapan
anak angkat atau pengangkatan anak ini juga menjadi kewenangan Pengadilan
Agama dan Pengadilan Negeri.
Mengingat persoalan mengenai anak angkat dan pengangkatan anak ini
merupakan sesuatu lembaga hukum yang penting karena menyangkut aspek
perlindungan anak juga berkaitan dengan perkembangan hukum keluarga dan
juga hukum waris; maka perlu dilakukan studi mengenai hal ini. Seperti
halnya dalam penetapan Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms bahwa dalam
penetapam hakim yang secara sah menurut hukum bahwa pengangkatan anak
yang telah dilakukan oleh Para Pemohon DARSO dan SITI KHASANAH
terhadap seorang anak perempuan yang bernama DESI RAHMAWATI, lahir
di Banyumas pada tanggal 7 Juli 2002, anak dari pasangan suami-isteri yang
bernama RIRIN SUSANTO dan SULASTRI. Dalam duduk perkaranya telah
dijelaskan secara kronologis proses pengangkatan anak telah terjadi yang
secara umum terdapat dua aspek yang mengerucut yaitu persoalan
pengangkatan anak dan pengesahan anak angkat. Sebetulnya kedua hal
tersebut berkaitan dengan pengangkatan anak secara substansi yang artinya
6
telah terjadi penyerahan anak dari kakek yang mengasuhnya karena anak
tersebut sudah ditelantarkan oleh ayahnya dan ibunya sudah meninggal, dan
penyerahan anak tersebut secara adat kebiasaan telah terjadi proses
pengangkatan anak; kemudian pengangkatan secara prosesual dan
legitimasinya di pengadilan memberikan penjelasan bahwa pengangkatan
anak secara adat kebiasaan tersbut disahkan atau dilegitimasi oleh Pengadilan.
Hal ini menjadi menarik untuk dilakukan studi secara mendalam agar
diperoleh penjelasan lebih lanjut mengingat permaslahan anak angkat dan
pengangkatan anak dari aspek substansi, proses dan akibat hukumnya telah
ada kaidah hukum kebiasaannya, kemudian Hakim dalam pertimbangannya
juga mempertimbangkan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007.
Berdasarkan uraian tersebut diatas maka penulis tertarik untuk
melakukan suatu penelitian dengan judul "PELAKSANAAN
PENGANGKATAN ANAK MELALUI PENETAPAN HAKIM
(Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms)"
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan pengangkatan anak melalui
penetapan hakim (Tinjauan Yuridis Penetapan Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN.
Bms)?
7
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang dituliskan di atas maka tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan
pengangkatan anak melalui penetapan hakim (Tinjauan Yuridis Penetapan
Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms)?
D. Kegunaan Penelitian
Dari tujuan diharapkan penelitian ini dapat digunakan untuk:
1. Kegunaan secara teori
Diharapkan penulisan ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran
dalam hukum keluarga dan perkawinan terutama masalah yang
menyangkut pengangkatan anak.
2. Kegunaan secara praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada
hakim dalam melakukan penetapan terhadap suatu kasus yang ada
terutama mengenai pengangkatan anak.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Dan Tinjauan Umum Mengenai Beberapa Istilah Anak
Angkat
Sebuah kajian akademik dan kajian yuridis pertama-tama harus
menemukan konsep definitif dalam kaitannya tentang anak angkat dan
pengangkatan anak, berikutnya asas dan tujuan pengangkatan anak, apa saja
hak-hak dan kewajiban anak yang harus mendapat perhatian orang tua,
kewajiban dan tanggung jawab terhadap masa depan anak, kedudukan,
perwalian terhadap anak angkat, penyelenggaraan perlindungan terhadap anak
angkat, dan ketentuan pidana kejahatan terhadap anak angkat. Hal ini dapat
kita petik beberapa ketentuan, Hukum pengangkatan anak yang didalamnya
melindungi kehidupan anak. Perlindungan terhadap anak angkat akan
memiliki payung hukum yang utuh untuk menjamin masa depan anak angkat
agar lebih baik.
Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002, adalah Undang-Undang
tentang Perlindungan Anak di Indonesia yang diundangkan tanggal 22
Oktober 2002. Memberikan istilah pengertian tentang anak, (Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih dalam
kandungan) dari masing-masing istilah tersebut dapat memberikan gambaran
serta konsepsi yang berbeda-beda. Konsepsi yang berbeda-beda tentang
pengangkatan anak di atur dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak yang dapat ditemukannya beberapa istilah
dimaksud, anak itu dapat dikategorikan sebagai anak yang berstatus terlantar,
9
anak yang menyandang cacat, anak yang memiliki keunggulan. Masing-
masing istilah tersebut telah diberikan pengertiannya secara definitif.
Para Sarjana juga telah memberikan rumusan terminologi anak angkat,
sebagai berikut:
Menurut M. Budiarto:
“anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam
lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan Republik Indonesia”.9
Menurut Fuad Muhammad Fachruddin:
“seorang anak dari seorang ibu dan bapak yang diambil oleh manusia
lain untuk dijadikan sebagai anak sendiri. Anak angkat tersebut
mengambil nama orang tua angkatnya yang baru dan terputuslah
hubungan nasab dengan orang tua”.10
Sampai saat ini belum ada Undang-Undang yang secara khusus mengatur
tentang pengangkatan anak, namun praktik kenyataannya yang diperoleh dari
salah satu kasus tersebut adalah meliputi pengangkatan anak di tengah-tengah
kehidupan sosial masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya
yang hidup di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu dari
keinginan masyarakat Indonesia yang belum dikarunia anak telah melakukan
pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda, sesuai
dengan sistem hukum adat dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang
di daerah yang bersangkutan.11
Pemerintah melalui Menteri Sosial
menyatakan bahwa, dalam kenyataan kehidupan sosial tidak semua orang tua
mempunyai kesanggupan dan kemampuan penuh untuk memenuhi kebutuhan
9M. Budiarto. 1985. Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Akademik Presindo
10Fachruddin, Fuat, 1991, Hukum Perkawinan dan Harta Kekayaan, Graha Grafindo, Jakarta,
hal 41 11
ibid, hal 55
10
pokok anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak. Kenyataan yang
demikian mengakibatkan anak menjadi terlantar baik secara rohani, jasmani,
maupun sosial.
Meskipun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang
pengangkatan anak belum mencukupi, telah ada asas hukum bahwa
"Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya bahkan Pasal
22AB (Algemene Bepalingen van wetgeving vor Indonesia) secara tegas
menentukan bahwa hakim yang menolak untuk menyelesaikan suatu perkara
dengan alasan bahwa peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menyebutkan, tidak jelas atau tidak lengkap, maka ia dapat dituntut untuk
dihukum karena menolak mengadili.12
Asas hukum tersebut menunjukkan bahwa sistem hukum di Indonesia
juga menjunjung tinggi sistem hukum dalam common law yang menghargai
hakim sebagai makhluk mulia dan memiliki hati nurani serta kemampuan
untuk menangkap sinyal nilai-nilai hukum dan keadilan yang hidup dalam
masyarakat sebagai hukum rill yang oleh hakim dapat digali sebagai bahan
ramuan untuk menciptakan hukum yurisprudensi dalam menangani kasus
yang hukum tertulisnya belum mencukupi seperti hukum pengangkatan anak
di Indonesia. Temuan hukum oleh hakim (yurisprudensi) tersebut, ke
depannya akan menjadi sumber hukum dalam praktik peradilan.
12
Loc cid, hal 9
11
Dalam hukum adat peraturan mengenai pengangkatan anak juga
menjelaskan beberapa aspek hukum seperti hukum Islam serta memiliki segi
persamaan dengan hukum adopsi yang dikenal dalam hukum barat yaitu
masuknya anak dalam keluarga orang tua yang mengangkatnya dan
terputusnya hubungan keluarga dengan keluarga atau orang tua kandung anak
angkat. Perbedaan dalam hukum adat disyaratkannya suatu imbalan sebagai
pengganti kepada orang tua kandung anak angkat biasanya berupa benda-
benda yang dikeramatkan atau dipandang memiliki kekuatan magic.13
Sudut hukum Islam mengenai pengangkatan anak, pengangkatan anak
dalam Islam sangat dianjurkan asalkan tidak memutus hubungan darah antara
anak yang diangkat dengan ibu kandungnya, tidak menimbulkan hubungan
nasab dan waris dengan orang tua angkatnya. Namun diberikan wasiat
wajibah maksimal 13 dari harta warisan orang tua angkatnya, sebagaimana
ketentuan Pasal 209 KHI.14
Selanjutnya pengertian orang tua angkat menurut Pasal 1 butir 4
Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak menyatakan bahwa ”Orang tua angkat adalah orang yang
diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik, dan membesarkan anak
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat kebiasaan”. Undang-
undang juga memberikan pengertian terhadap anak angkat yaitu Pasal 1 butir
9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak jo Pasal
1 butir 1 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
13
Wignjodipuro, Soerojo. 1973. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Bandung: Alumni,
hal 31 14
Iman Jauhari, 2003. Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta, hlm.
163
12
Pengangkatan Anak menyatakan bahwa ”Anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan
membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tuanya
angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan”.
Tujuan pengangkatan anak Pasal 3 ayat (1) menyebutkan tujuan
pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan terbaik bagi anak untuk
mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak yang dilaksanakan
berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Kemudian pada Pasal 2 ayat (1) memuat prinsip pengangkatan
anak, antara lain :
a) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi
anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
b) Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang
diangkat dengan orang tua kandungnya
c) Calon orang tua angkat (COTA) harus seagama dengan agama yang dianut
oleh Calon Anak Angkat (CAA);
B. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa
permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke
Pengadilan Negeri tampak semakin bertambah, baik yang merupakan
permohonan khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukkan
adanya perubahan, pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.
13
Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak
menyebutkan bahwa :
Pasal 4
Syarat material calon anak yang dapat diangkat meliputi:
a. anak yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b. merupakan anak terlantar atau diterlantarkan;
c. berada dalam asuhan keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan
Anak; dan
d. memerlukan perlindungan khusus.
Pasal 5
Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan persyaratan
administratif CAA yang meliputi:
a. copy KTP orang tua kandung/wali yang sah/kerabat CAA;
b. copy kartu keluarga orang tua CAA; dan
c. kutipan akta kelahiran CAA.
Pasal 6
Persyaratan CAA sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a,
dibagi dalam 3 (tiga) kategori yang meliputi :
a. anak belum berusia 6 (enam) tahun merupakan prioritas utama,
yaitu anak yang mengalami keterlantaran, baik anak yang berada
dalam situasi mendesak maupun anak yang memerlukan
perlindungan khusus;
b. anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua
belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan laporan
sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi darurat;
c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun yaitu anak terlantar yang memerlukan
perlindungan khusus.
14
Pasal 7
(1) Persyaratan COTA meliputi :
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi
55 (lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak kejahatan;
e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu
orang anak;
h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua
atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam)
bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Propinsi.
(2) Umur COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu
perhitungan umur COTA pada saat mengajukan permohonan
pengangkatan anak.
(3) Persetujuan tertulis dari CAA sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa dari
CAA.
Keadaan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat
tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan
dirasakan bahwa untuk memperoleh jaminan kepastian hukum hanya didapat
setelah memperoleh putusan pengadilan. Pengadilan Negeri atau Pengadilan
Agama dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima,
memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan
kepadanya, antara lain permohonan pengesahan atau pengangkatan anak,
harus mengacu kepada hukum terapannya. Sebagaimana telah diuraikan di
atas bahwa Mahkamah Agung sendiri sebagai penanggung jawab atas
15
pembinaan teknis peradilan mengakui bahwa peraturan perundang-undangan
dalam bidang pengangkatan anak Warga Negara Indonesia, terutama
pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga Negara Asing
ternyata tidak mencukupi, namun ada beberapa peraturan hukum yang dapat
dijadikan rujukan bagi hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan
kehakiman tentang pengangkatan anak, misalnya:15
1) Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 2006 yang berlaku mulai tanggal 21
Maret 2006, Pengadilan Agama memiliki kewenangan absolut untuk
menerima, memeriksa, dan mengadili perkara permohonan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam.
2) Undang-Undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
bahwa anak adalah tunas potensi dan generasi muda penerus cita-cita
perjuangan bangsa, memiliki peran stategis dan mempunyai ciri dan sifat
khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada
masa depan.
3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang konvensi ILO nomor 182,
bahwa pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak dan undang-undang.
4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
5) Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979
tertanggal 7 April 1979, tentang Pengangkatan Anak yang mengatur
prosedur hukum mengajukan permohonan pengesahan dan/atau
15
http://www.scribd.com/doc/2953998/Kedudukan-Anak-Dalam-Hukum-Di-Indonesia,
diakses tanggal 20 September 2014
16
permohonan pengangkatan anak, memeriksa dan mengadilinya oleh
pengadilan.
6) Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun
1979, yang mulai berlaku sejak tanggal 30 September 1983.
7) Staatsblad 1927 Nomor 129, Pasal 5 sampai dengan Pasal 15 mengatur
masalah adopsi yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang
ada, dan khusus berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Tionghoa.
8) Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak, yang mulai berlaku
sejak tanggal 14 Juni 1984.
9) Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktik peradilan telah diikuti
oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan
perkara yang sama, secara berulang-ulang, dalam waktu yang lama sampai
sekarang.
C. Motivasi Pengangkatan Anak
Dalam praktiknya, pengangkatan anak di kalangan masyarakat
Indonesia mempunyai beberapa tujuan dan/atau motivasinya. Tujuannya
antara lain adalah untuk meneruskan keturunan, apabila dalam suatu
perkawinan tidak memperoleh keturunan. Motivasi ini sangat kuat terhadap
pasangan suami istri yang telah divonis tidak mungkin melahirkan anak
padahal mereka sangat mendambakan kehadiran anak dalam pelukannya di
tengah-tengah keluarganya. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
17
Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan
anak, motivasi pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan
yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini
sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang
sangat tergantung dari orang tuanya.16
Pengangkatan anak harus dilandasi oleh semangat kuat untuk
memberikan pertolongan dan perlindungan, sehingga masa depan anak angkat
akan lebih baik dan lebih maslahat. Harus disadari bahwa pengangkatan anak
yang sesuai dengan budaya dan akidah masyarakat Indonesia tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya.17
Hal sensitif yang juga harus disadari oleh calon orang tua
angkat dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus
seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting
diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap Anak
angkat hanya memiliki satu arus arah dari orang tua angkat terhadap anak
angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta
akidah orang tua kandung anak angkat itu.
Pengangkatan anak juga mungkin terjadi dilakukan oleh warga Negara
Asing terhadap anak-anak Indonesia, hal ini memerlukan adanya ketentuan
hukum yang jelas terhadap pengangkatan anak antarwarga negara. Pasal 39
angka 4 Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 menyatakan bahwa
16
Djaja S.Meliala, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982, hal.
3. 17
ibid, hal 25
18
pengangkatan anak oleh Warga Negara Asing hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.
Kaitannya dengan bimbingan dan pengawasan terhadap anak angkat,
Pasal 41 Undang-Undang Nomor. 23 Tahun 2002 menegaskan bahwa
pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap
pelaksanaan pengangkatan anak, yang detailnya akan diatur dengan peraturan
pemerintah.
Secara umum pengangkatan anak menurut hukum adalah pengalihan
anak kepada orang tua angkat dari orang tua kandung secara keseluruhan dan
dilakukan menurut adat setempat agar sah. Jadi orang tua kandung sudah lepas
tangan terhadap anak itu, dan tanggung jawab beralih kepada orang yang
mengangkatnya.
D. Prosedur Pengangkatan Anak
1. Menurut Staatsblad 1927 Nomor 129
Pasal 5 Staatsblad Tahun 1927 Nomor. 129 menjelaskan bahwa yang
boleh mengadopsi adalah seorang laki-laki yang telah beristri atau telah
pernah beristri tak memiliki keturunan laki-laki yang sah dalam garis laki-
laki, baik keturunan karena kelahiran maupun karena pengangkatan anak,
maka bolehlah ia mengangkat anak laki-laki sebagai anaknya. Dari
ketentuan maka yang boleh mengangkat anak adalah sepasang suami istri
yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda yang tidak memiliki
anak laki-laki ataupun seorang janda yang tidak memiliki anak laki-laki,
asal janda yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah yaitu
berupa surat wasiat dari suaminya yang tidak menghendaki pengangkatan
anak. Dalam ketentuan ini tidak diatur secara konkrit mengenai batasan
19
usia dan orang yang belum berkawin untuk melakukan pengangkatan
anak. Adapun mengenai tata cara pengangkatan anak (mengadopsi anak)
diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 10 Staatsblad Tahun 1927 Nomor. 129,
dalam Pasal 8 disebutkan bahwa :
1) Persetujuan dari orang atau orang yang melakukan pengangkatan
anak
2) Persetujuan dari orang yang akan mengangkat anak jika ia telah
berumur lima belas tahun
3) Jika diangkat anak oleh seorang janda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 harus mendapatkan persetujuan dari saudara laki-
laki yang telah dewasa dan dari ayah suaminya yang telah
meninggal.
Dalam Pasal 10 Staatsblad Tahun 1927 Nomor. 129 dinyatakan bahwa :
1) Anak angkat hanya dapat dinyatakan melalui persetujuan dari
akta notaris
2) Pihak-pihak harus menghadap sendiri ke akta notaris atau
diwakilkan melalui kuasa khusus akta notaris
3) Setiap yang berkepentingan dapat menuntut agar anak angkat
dicatat pada tepi akta kelahiran orang yang diangkat anak.
4) Namun tidak adanya suatu catatan tentang anak angkat pada tepi
akta kelahiran, tidak dapat digunakan sebagai senjata terhadap
anak yang diangkat untuk akhirnya menyangkal
pengangkatannya.
Berdasarkan Staatsblad Tahun 1927 Nomor. 129 akibat hukum dari
pengangkatan anak adalah sebagai berikut :
1. Anak angkat secara hukum memperoleh nama dari bapak angkat.
2. Anak angkat dijadikan sebagai anak adopsi yang dilahirkan dari
perkawinan orang tua angkat.
3. Anak angkat menjadi ahli waris orang tua angkat.
4. Karena adanya pengangkatan anak, maka terputus segala
hubungan perdata yang berpangkal pada keturunan karena
kelahiran antara anak angkat dengan orang tua kandung.18
18
M. Budiarto, S.H. Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Akademik Presindo,
1985, hlm. 27
20
2. Anak Angkat Menurut Hukum Adat
Anak angkat menurut Hukum Adat adalah anak orang lain yang
dijadikan anak dan secara lahir batin diperlakukan seakan-akan sebagai
anak kandung sendiri “ada kecintaan/kesayangan”.19
Dalam hukum adat dikenal dua macam pengangkatan anak, yaitu :
1) Pengangkatan anak yang dilakukan secara terang dan tunai, artinya
pengangkatan anak dilakukan secara terbuka dihadiri segenap
keluarga, pemuka adat (terang) dan seketika itu juga diberikan
pembayaran uang adat (tunai). Akibat hukum putus, hubungan hukum
antara anak tersebut dengan orang tua aslinya.
2) Pengangkatan anak secara tidak terang dan tidak tunai, artinya
pengangkatan anak dilakukan secara diam-diam tanpa mengundang
keluarga seluruhnya atau hanya dihadiri oleh keluarga tertentu dan
tidak dihadiri oleh pemuka adat atau desa, dan tidak dengan
pembayaran uang adat.20
Sebagai contoh salah satu bagian dari hukum keluarga mengenai
pengangkatan anak. Mengangkat anak disebut “mupu anak” (Banten Utara
& Cirebon), “mulung” atau “ngukut anak” (suku Sunda umumnya) dan
“mungut anak” (Jakarta). Orang tua angkat umumnya bertanggung jawab
terhadap anak yang diangkatnya, sedangkan orang tua kandung lepas
tanggung jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara pengangkatan pun
sangat sederhana biasanya hanya keluarga yang menyerahkan dan yang
19
Tamakiran, Asas-Asas Hukum Waris, Puionir jaya, Bandung, 1972, hal. 52 20
ING Sugangga, Hukum Waris Adat, Universitas Diponegoro, Semarang, Februari, 1995,
hal.35
21
mengangkat, tetapi tetangga akan segera mengetahuinya. Adapula yang
dihadiri para kerabat dari kedua belah pihak.
Anak angkat dalam pengertian hukum adat dapat kita ambil dari
berbagai pendapat para Sarjana hukum adat, antara lain:
“Iman Sudiyat dalam bukunya Hukum Adat Sketsa Asas, tertulis
bahwa pengangkatan anak yang terdapat di seluruh Nusantara, ialah
perbuatan memungut/mengangkat anak dari luar ke dalam kerabat,
sehingga terjalin suatu ikatan sosial yang sama dengan ikatan
kewangsaan biologis.21
Menurut pendapat Imam Sudiyat, perbuatan
pengangkatan anak dalam hukum anak terjadi apabila terciptanya
ikatan sosial antara anak angkat dan keluarga angkatnya”.
“Menurut pandangan Hilman Hadi Kusuma, ia mengartikan anak
angkat sebagai anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh
orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat setempat,
dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan atau
pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.22
Pendapat Hilman
Hadi Kusuma mengartikan anak angkat yang sah adalah anak orang
lain yang telah diakui oleh keluarga angkat dan hukum adat
setempat”.
“Menurut Soerojo Wignjodipuro telah memberikan batasan bahwa
mengangkat anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang
lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara
orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu tumbul
suatu kekeluargaan yang sama seperti ada antara orang tua dengan
anak kandungnya sendiri.23 Dalam pendapat Soerojo menegaskan
bahwa dalam pengangkatan anak tidak hanya sebatas mengangkat
atau mengakui, tetapi keluarga angkat harus memberlakukan anak
angkat tersebut seperti anak kandungnya sendiri”.
Dalam hukum adat dikenal adanya pengangkatan anak,
sebagaimana hukum adat pada umumnya di Nusantara jarang
terdokumentasi secara tertulis, tetapi hidup dalam ingatan kolektif
masyarakatnya. Sebagai contoh salah satu bagian dari hukum keluarga
mengenai pengangkatan anak. Mengangkat anak disebut “mupu anak”
21
Iman Sudiyat, 2000. Hukum Adat Sketsa Asas, cet.ke-4 , Yogyakarta: Liberty, hlm.102. 22
Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: tnp, 1977). 23
Soerojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, (Bandung: Alumni, 1973),
hlm.118.
22
(Banten Utara & Cirebon), “mulung” atau “ngukut anak” (suku Sunda
umumnya) dan “mungut anak” (Jakarta). Orang tua angkat umumnya
bertanggung jawab terhadap anak yang diangkatnya, sedangkan orang tua
kandung lepas tanggung jawabnya setelah pengangkatan itu. Cara
pengangkatan pun sangat sederhana biasanya hanya keluarga yang
menyerahkan dan yang mengangkat, tetapi tetangga akan segera
mengetahuinya. Adapula yang dihadiri para kerabat dari kedua belah
pihak.
E. Prosedur dan Acara Pemeriksaan Permohonan Pengangkatan Anak
Dalam SEMA No. 6 Tahun 1983 yang secara teknis ada penyempurnaan
SEMA No. 2 Tahun 1979
Prosedur pengangkatan anak dilihat dari segi motivasi pengangkatan
anak, dalam hukum adat lebih ditekankan pada kekhawatiran (calon orangtua
angkat) akan kepunahan, maka calon orangtua angkat (keluarga yang tidak
mempunyai anak) mengambil anak dari lingkungan kekuasaan
kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak yang diangkat
itu kemudian menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak
yang mengangkatnya dan ia terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.
Berdasarkan hasil pengamatan Mahkamah Agung RI menemukan fakta
bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang prosedur, tata
cara menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan permohonan
pengangkatan anak dipandang belum mencukupi, maka Mahkamah Agung
sebagai lembaga tertinggi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan
kekuasaan kehakiman di Indonesia, memandang perlu mengeluarkan surat
23
edaran yang menyempurnakan surat edaran sebelumnya yang mengatur
prosedur dan syarat-syarat pengajuan permohonan pengangkatan anak.
Di samping Hukum Acara Perdata yang berlaku, prosedur dan syarat-
syarat pengangkatan anak secara teknis telah diatur dalam SEMA No. 6 Tahun
1983 tentang Penyempurnaan SEMA No. 2 Tahun 1979 tentang Pengangkatan
Anak. Prosedur pengangkatan anak baik antar WNI, ataupun antar WNI dan
WNA akan diuraikan dalam pembahasan selanjutnya.
1. Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia No 110/HUK/2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak, mengatur tentang syarat-syarat calon
orang tua angkat bagi pengangkatan anak warga negara Indonesia (WNI)
yaitu :
Pasal 7
(1) Persyaratan COTA meliputi :
a. sehat jasmani dan rohani;
b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(lima puluh lima) tahun;
c. beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d. berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak kejahatan;
e. berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun;
f. tidak merupakan pasangan sejenis;
g. tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;
h. dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial;
24
i. memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau
wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak;
k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat;
l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,
sejak izin pengasuhan diberikan; dan
m. memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Propinsi.
(2) Umur COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, yaitu
perhitungan umur COTA pada saat mengajukan permohonan
pengangkatan anak.
(3) Persetujuan tertulis dari CAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf i, disesuaikan dengan tingkat kematangan jiwa dari CAA.
Pasal 8
(1) COTA dapat mengangkat anak paling banyak 2 (dua) kali dengan
jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun.
(2) Jarak waktu pengangkatan anak yang kedua sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat dikecualikan bagi anak penyandang cacat.
(3) Dalam hal calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat
dilakukan sekaligus dengan saudara kembarnya oleh COTA.
25
2. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak Warga Negara Indonesia Kepada
Warga Negara Asing dalam Surat Edaran Mahkahmah Agung No 6 Tahun
1983.
a. Pengangkatan anak Warga Negara Asing harus dilakukan melalui
suatu yayasan sosial yang memiliki izin dari departemen sosial bahwa
yayasan tersebut telah diizinkan bergerak kegiatan pengangkatan
anak, sehingga pengangkatan anak Warga Negara Asing yang lagsung
dilakukan antara orangtua kandung anak Warga Negara Asing dengan
calon orang tua angkat Warga Negara Indonesia (private adoption)
tidak diperbolehkan.
b. Pengangkatan anak Warga Negara Asing oleh seorang Warga Negara
Indonesia yang tidak terikat dalam perkawinan sah/belum menikah
(single parent adoption) tidak diperbolehkan.
Surat Edaran Mahkamah Agung No 6 tahun 1983 mengatur syarat
calon orang tua angkat bagi anak antar Negara :
a. Berstatus kawin dan berumur minimal 25 tahun atau maksimal 45 tahun
b. Pada saat mengajukan permohonan sekurang-kurangnya sudah kawin 5
tahun, dengan mengutamakan keadaan:
1) Tidak mungkin mempunyai anak (surat keterangan dokter
kebidanan, dokter ahli)
2) Belum mempunyai anak
3) Mempunyai anak kandung seorang
4) Mempunyai anak angkat seorang dan tidak mempunyai anak
kandung
26
5) Dalam keadaan mampu ekonomi berdasarkan surat keterangan
pejabat yang berwenang serendah-rendahnya lurah atau kepala desa
setempat.
6) Berkelakuan baik berdasarkan keterangan Polisi Republik
Indonesia.
7) Dalam keadaan sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat
keterangan dokter pemerintah
8) Mengajukan pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak semata-
mata untuk kepentingan kesejahteraan anak
Prosedur menerima, memeriksa dan mengadili perkara permohonan
pengangkatan anak antar-WNI harus diperhatikan tahapan-tahapan dan
persyaratan sebagai berikut :
a. Syarat dan Bentuk Surat Permohonan
1) Sifat surat permohonan bersifat voluntair.
2) Permohonan pengangkatan anak hanya dapat diterima apabila
ternyata telah ada urgensi yang memadai, misalnya ada ketentuan
undang-undangnya.
3) Permohonan pengangkatan anak dapat dilakukan secara lisan atau
tertulis berdasarkan ketentuan hukum acara yang berlaku.
4) Surat permohonan pengangkatan anak dapat ditanda tangani oleh
pemohon sendiri, atau oleh kuasa hukumnya.
5) Surat permohonan pengangkatan anak ditujukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri atau Ketua Pengadilan Agama. Pemohon yang
beragama Islam yang bermaksud mengajukan permohonan
27
pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam, maka
permohonannya diajukan kepada Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggal pemohon.
b. Isi Surat Permohonan Pengangkatan Anak
1) Bagian dasar hukum permohonan pengangkatan anak, harus secara
jelas diuraikan motivasi yang mendorong untuk mengajukan
permohonan pengangkatan anak.
2) Harus diuraikan secara jelas bahwa permohonan pengangkatan
anak, terutama didorong oleh motivasi untuk kebaikan dan/atau
kepentingan calon anak angkat, didukung dengan uraian yang
memberikan kesan bahwa. Hukum Perlindungan dan Pengangkatan
Anak di Indonesia calon orang tua angkat benar-benar memiliki
kemampuan dari berbagai aspek bagi masa depan anak angkat
menjadi lebih baik.
3) Isi petitum permohonan pengangkatan anak bersifat tunggal, yaitu
hanya memohon "agar anak bernama A dketapkan sebagai anak
angkat dari B." Tanpa ditambahkan permintaan lain, seperti: "agar
anak bernama A dtetapkan sebagai ahli waris dari si B."
c. Syarat-syarat Permohonan Pengangkatan Anak Antar-WNI
1) Syarat bagi calon orang tua angkat/pemohon, berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a) Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua
kandung dengan orang tua angkat (private adoption)
diperbolehkan.
28
b) Pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang yang tidak
terikat dalam perkawinan sah/belum menikah (single parent
adoption) diperbolehkan.
c) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang
dianut oleh calon anak angkat.
2) Syarat bagi calon anak angkat
a) Dalam hal calon anak angkat berada dalam asuhan suatu
yayasan sosial harus dilampirkan surat izin tertulis Menteri
Sosial bahwa yayasan yang bersangkutan telah diizinkan
bergerak di bidang kegiatan anak.
b) Calon anak angkat yang berada dalam asuhan yayasan sosial,
maka harus mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial atau
pejabat yang ditunjuk bahwa anak tersebut diizinkan untuk
diserahkan sebagai anak angkat.
F. Kewenangan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama dalam Penetapan
Pengangkatan Anak
a. Pengangkatan Anak Menurut Kewenangan Pengadilan Agama
Sebelum berlakuknya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006,
memang belum ada aturan yang tegas membolehkan Pengadilan Agama
untuk menangani lembaga hukum tersebut. Penjelasan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 yang secara absolut dan limitative menyebut
kewenangan Pengadilan Agama di bidang perkawinan tidak ditemukan
satu itempun yang menyebut lembaga hukum tersebut. Akan tetapi,
kemudian dalam Kompilasi Hukum Islam yang untuk sementara
29
dipandang sebagai Hukum Materiil Islam, istilah anak angkat secara tegas
disebut. Dengan alasan ini pulalah ada beberapa Pengadilan Agama yang
secara diam-diam„ menangani permohonan pengesahan pengangkatan
anak versi Islam. Praktek illegal„ dari beberapa Pengadilan Agama
tersebut ternyata cukup ampuh untuk menciptakan budaya hukum yang
kemudian mendapat respon dari para legislator. Puncaknya adalah dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Bersama dengan sejumlah tambahan kewenangan lain yang dibebankan
Pengadilan Agama, lembaga pengesahan pengangkatan anak itu, secara
tegas disebut pula dalam Undang-Undang tersebut. Pada penjelasan
Ketentuan Pasal 49 huruf a poin 20 yang sebelumnya hanya berbunyi :
Penetapan asal-usul seorang anak sekarang berbunyi : “penetapan asal-
usuk anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam”.
Penegasan tersebut, di satu sisi menunjukkan adanya pengakuan dari
negara terhadap eksistensi lembaga pengangkatan anak versi Islam. Di sisi
lain, pada saat yang sama, menepis keragu-raguan masyarakat muslim dan
para praktisi hukum Peradilan Agama untuk memanfaatkan lembaga
tersebut. Bagi masyarakat muslim, kalau penetapan pengangkatan anak
dapat diajukan ke Pengadilan Agama yang memakai norma hukum Islam
kenapa harus diajukan ke pengadilan lain yang memakai norma hukum
lain (baca : hukum barat atau Adat ). Bagi Pengadilan Agama, dituntut
kesiapan teknisnya, yaitu penguasaan terhadap segala sesuatu yang
berkaitan dengan mekanisme guna melayani setiap pemohon penetapan
30
pengangkatan anak tersebut.
Ketentantuan Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
pada pokoknya telah menegaskan, bahwa hukum acara yang berlaku bagi
Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku bagi peradilan umum
kecuali yang diatur secara khusus oleh undang-undang tersebut. Hukum
acara tentang penetapan pengangkatan anak tersebut, secara khusus tidak
ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989, maka harus
dilihat hukum acara yang dipakai oleh Peradilan Umum. Secara praktis,
dengan kalimat lain, dapat dikatakan bahwa segala aturan hukum acara
yang berkaitan dengan penetapan pengangkatan anak yang berlaku bagi
peradilan umum, dengan mengacu ketentuan Pasal 54 tersebut, harus
dibaca berlaku pula bagi Pengadilan Agama.
b. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam Penetapan Pengangkatan
Anak
Pengangkatan anak merupakan suatu upaya hukum yang memiliki
fungsi efektif dalam perlindungan anak. Masyarakat internasional telah
mengenal apa yang disebut dengan adopsi, yaitu suatu pengangkatan anak
orang lain menjadi anak kandung orang tua angkat, dengan hak-hak dan
kewajiban sebagaimana hak-hak dan kewajiban yang dimiliki anak
kandung, baik hak waris hak menggunakan nama orang tua angkatnya, hak
perwalian dan lain-lain.
31
Pengadilan Negeri di Indonesia, merupakan peradilan tingkat
pertama. Peradilan Umum merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan mengenai perkara perdata maupun
pidana. Tugas pokok Pengadilan ialah untuk menerima, memeriksa,
mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Pada tanggal 20 April 2006 lahir Undang-Undang Nomor 3 tahun
2006. yang menerangkan tentang penetapan asal-usul anak. Tepatnya pada
penjelasan Pasal 49 huruf a angka 20, yang menerangkan
bahwa,penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan
anak berdasarkan hukum Islam. Pasal 49 tersebut menerangkan bahwa
Peradilan Agama menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan perkara asal usul anak dan pengangkatan anak berdasarkan
hukum Islam. Akan tetapi kenyataannya, Pengadilan Negeri juga berhak
menerima, memeriksa dan mengadili permohonan pengangkatan anak bagi
mereka yang beragama Islam.
G. Hak-hak dan Kewajiban Anak Angkat
Mengurus masa depan anak adalah sama dengan mengurus dan
menyelamatkan masa depan bangsa dan negara Indonesia. Ketentuan yang
mengatur tentang kewajiban dan tanggung jawab terhadap pengelolaan dan
perlindungan anak (anak angkat) di Indonesia menjadi sangat penting. Dalam
Undang-Undang Perlindungan Anak telah digariskan kewajiban dan tanggung
jawab tersebut yang diatur pada Bab IV mulai Pasal 20 sampai dengan Pasal
32
26. Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua berkewajiban dan
bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.24
Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab
menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku,
agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum
anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.25
Negara dan
pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan
sarana dan prasarana dalam penyelengaraan perlindungan anak. Negara dan
pemerintah menjamin perlindungan, pemeliharaan dan kesejahteraan anak
dengan memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain
yang secara hukum bertanggung jawab terhadap anak.
Perlindungan terhadap anak di Indonesia termasuk anak angkat
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia, dan sejahtera. Anak angkat dan anak-anak lain pada umumnya adalah
amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat hak-
hak sebagai anak dan harkat serta martabat sebagai manusia seutuhnya,
melekat hak-hak yang perlu dihormati dan dijunjung tinggi oleh orang tua
angkatnya dan masyarakat pada umumnya.
24
Andi Syamsu Alam, dan H. M. Fauzan,, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam,
Jakarta, 2008, hal. 219. 25
Loc Cit, hal. 7
33
Sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, hak-hak anak
angkat dimaksud terdapat dalam Pasal 4 samapai dengan Pasal 18 antara lain :
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan;
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam
bimbingan orang tua;
Pasal 7
1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan
diasuh oleh orang tuanya sendiri;
2) dalam hal karena sesuatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka
anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau
anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Seetiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial;
34
Pasal 9
1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai
dengan minat dan bakatnya;
2) khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh
pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki
keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus;
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan
usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan
dan kepatutan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang,
bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, dan berkreasi sesuai dengan
minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi perkembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan social.
Pasal 13
1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain
mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dan perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan, dan
f. perlakuan salah lainnya.
2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan tersebut, maka pelaku dikenakan pemberatan
hukuman.
35
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali ada
alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan
itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan
pertimbangan terakhir;
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak
manusiawi.
2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum.
3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat
dilakukan sebagai upaya terakhir;
Pasal 17
1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya
dipisahkan dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif
dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak
yang objektifdan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk
umum.
2) setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau
yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
36
Di samping hak-hak yang dijamin oleh undang-undang tersebut,
anak-anak dan/atau termasuk anak angkat memiliki kewajiban-kewajiban
sebagai kewajiban asasi yang juga harus dilaksanakan oleh seorang anak,
yang dijelaskan dalam Pasal 19 Undang-Undang Republik Indonesia
Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu :
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan Negara
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
H. Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Selain menimbulkan hak dan kewajiban, pengangkatan anak juga
menimbulkan suatu akibat hukum bagi anak angkat maupun orang tua angkat.
Akibat hukum ini bisa berbeda antara pengangkatan anak yang didasarkan
pada hukum Islam dengan pengangkatan anak yangdidasarkan pada hukum
perdata barat yang dilakukan melalui Pengadilan Negeri dimana Islam
melarang akibat hukum pengangkatan anak yang didasarkan pada ketentuan di
luar Hukum Islam.
Dalam kaitannya dengan hal tersebut, M. Budiarto menyebutkan
bahwa menurut hukum Islam pengangkatan anak hanya dapat dibenarkan atau
tidak dilarang apabila memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :26
1. Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya dan keluarganya.
26
Op Cit, hal. 24, 25.
37
2. Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orang tua
angkatnya, melainkan tetap sebagai pewaris dari orang tua
kandungnya, demikian juga orang tua angkatnya tidak
berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya.
3. Anak angkat tidak boleh menggunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung, kecuali sekedar sebagai alamat atau tanda
pengenal.
4. Orang tua angkatnya tidak bisa bertindak sebagai wali dalam
perkawinan anak angkatnya.
Dalam Al-Qur‟an tidak memberi hak bagi anak angkat untuk menerima
warisan dari orang tua angkatnya, namun dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) yang merupakan produk manusia dari berbagai mahzab dan dijadikan
salah satu sumber hukum di negara kita memberikan ketentuan bahwa anak
angkat berhak menerima bagian harta orang tua angkatnya berupa wasiat
wajibah, sebagaimana diatur dalam Pasal 209 Ayat (1) dan Ayat (2) Kompilasi
Hukum Islam (KHI), sebagai berikut :
1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176
sampai dengan Pasal 193, sedangkan terhadap orangtua angkat
yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah, sebanyak-
banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan anak angkatnya.
2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan
orangtua angkatnya.
38
Berdasarkan bunyi Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam (KHI) ayat (1)
dan (2) di atas, dapat dipahami bahwa wasiat wajibah yang dimaksud oleh
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah wasiat yang diwajibkan berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang diperuntukkan bagi anak angkat atau
sebaliknya orang tua angkatnya yang tidak diberi wasiat sebelumnya oleh
orang tua angkat atau anak angkatnya, dengan jumlah maksimal 1/3
(sepertiga) dari harta peninggalan.
39
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif, yaitu suatu pendekatan yang menggunakan legistis positivis. Konsep
ini memandang hukum identik dengan norma-nonna tertulis yang dibuat atau
diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang benvenang. Konsep ini melihat
hukum sebagai sistem normatif yang otonom, tertutup dan terlepas dari
kehidupan masyarakat yang nyata dan menganggap norma lain itu bukan
sebagai norma hukum.
Penelitian ini juga menggunakan metode pendekatan perundang-
undangan (Statute Approach) yaitu pendekatan yang dilakukan dengan
menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani. Berdasarkan pendekatan ini diperoleh
peraturan hukum dan menguji penerapannya secara praktis dengan
menganalisis putusan hakim.
B. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah legal research, yaitu
penelitian yang bertujuan hendak menguji apakah suatu ketentuan normatif
tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan suatu
masalah hukum tertentu.
40
C. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengambil data di Pusat Informasi
Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
D. Metode Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan studi pustaka terhadap
peraturan perundang-undangan, buku buku literatur dan dokumen-dokumen
yang berhubungan dengan obyek atau masalah yang akan diteliti dan membuat
catatan.
E. Metode Penyajian Data
Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun
secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan badan hukum
yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan
dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan
yang utuh didasarkan pada norma hukum atau kaidah-kaidah hukum serta
doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.
F. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode
normatif kualitatif, yaitu dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang
diperoleh berdasarkan norma norma atau kaidah kaidah, teori teori, pengertian
pengertian hukum dan doktein-doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum,
khususnya dalam Hukum Acara Pidana.
41
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Permasalahan penelitian ini adalah mengenai pelaksanaan
pengangkatan anak melalui penetapan hakim Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN.
Bms, dengan demikian fokus kajiannya adalah melakukan studi normatif
mengenai pelaksanaan pengangkatan anak melalui penetapan pengadilan
sebagai obyek atau materi penelitian dan fakta atau data yang diperoleh melalui
bahan hukum primer ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai
bekerjanya hukum pengangkatan anak di Indonesia, khususnya yang terjadi
pada masyarakat Jawa pada umumnya. Digunakan kata “pelaksanaan” harap
dipahami terminologinya sebagaimana peneliti sampaikan, yaitu menunjukkan
fokus kajian pada penelitian ini ingin melihat aspek implementasi
pengangkatan anak pada aspek normatifnya saja; dan digunakannya kata
“melalui penetapan hakim” menjelaskan bahwa ruang lingkup penelitian ini
hanya studi terhadap penetapan hakim Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms,
Maka di bawah ini disajikan pokok-pokok substansi atau materi dari penetapan
hakim tersebut secara sistimatis sebagai berikut:
1. Subyek hukum
a) Subyek hukum atau dalam hal ini para pemohon adalah: DARSO dan
SITI KHASANAH, Bertempat Tinggal di Desa Pageralang, RT. 003,
RW. 002, Kecamatan Kemranjen, Kabupaten Banyumas, beragama
Islam.
b) Anak angkatnya adalah DESI RAHMAWATI yang lahir di Banyumas
42
tanggal 7 Juli 2002 anak kandung pasangan suami isteri RIRIN
SUSANTO dan SULASTRI telah bercerai berdasarkan Akta Cerai No.
433 / AC / 2009 / PA.Bms tanggal 25 mei 2009.
c) Kakek nya adalah SAMSUDI sebagai pengasuh yang merawat DESI
RAHMAWATI.
2. Duduk Perkara
Duduk perkara menjelaskan mengenai serangkaian peristiwa yang
terjadi dan menjadi dasar secara kronologis serta berisi alasan dari
permohonan pengangkatan anak yang diajukan ke pengadilan, dan
disajikan dalam bentuk pointes sebagai berikut:
1. Pada tanggal 14 Nopember 2001 Para Pemohon telah melangsungkan
pernikahannya secara sah dihadapan Pegawai Pencatat Nikah Kantor
Urusan Agama Kecamatan Kemranjen Kabupaten Banyumas.
2. Para Pemohon selama pernikahan sampai saat ini belum dikaruniai
keturunan, sedangkan kami sangat mendambakan kehadiran seorang
anak dalam sebuah rumah tangga.
3. Pada tanggal 1 Juli 2013 seorang bernama SAMSUDI selaku kakek
anak tersebut telah menyerahkan kepada kami Para Pemohon selaku
calon orang tua angkat terhadap anak perempuan yang bernama DESI
RAHMAWATI yang lahir di Banyumas tanggal 7 Juli 2002 anak
kandung pasangan suami isteri RIRIN SUSANTO dan SULASTRI
telah bercerai berdasarkan Akta Cerai No. 433 / AC / 2009 / PA.Bms
tanggal 25 mei 2009, yang juga masih merupakan keponakan
Pemohon (DARSO) kakak kandung SULASTRI.
43
4. Setelah perceraian DESI RAHMAWATI diasuh dan dirawat oleh
SULASTRI yang kemudian telah menikah lagi dengan laki-laki yang
bernama WASLAM namun selanjutnya karena kecelakaan lalu-lintas
ibu kandung meninggal dunia.
5. Para Pemohon telah:
a. Sesuai adat kebiasaan para Pemohon mengadakan syukuran
dengan mengundang tetangga sekeliling tempat tinggal Para
Pemohon sebagai rasa syukur atas anak yang telah Para Pemohon
angkat tersebut.
b. anak tersebut telah diasuh, dirawat dan Para Pemohon
memberikan bimbingan layaknya anak kandung sendiri.
c. anak tersebut sekarang telah tinggal bersama dengan Para
Pemohon.
d. Para Pemohon terdorong untuk mengangkat anak dengan alasan
tidak semata-mata atas dasar faktor ekonomi, akan tetapi lebih ke
arah perkembangan dan pertumbuhan jiwa anak itu sendiri dan
untuk kesejahteraan anak tersebut, agar kelak dikemudian hari
mendapatkan perhatian, kasih sayang, perlindungan serta
pendidikan yang layak di masa yang akan datang agar
kehidupannya menjdi lebih baik.
6. Pengangkatan anak dimaksudkan untuk memperoleh kepastian hukum
maka pengesahan pengangkatan diajukan kepada Ketua Pengadilan
Negeri Banyumas untuk memberikan penetapannya.
44
3. Bukti-Bukti
Bukti-bukti yang diajukan sebagai berikut :
1) Asli Surat Rekomendasi Pengangkatan Anak dari Kepala Dinas
Sosial,Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Banyumas, Nomor
: 467/12.435/2013, tertanggal 17 Desember 2013, selanjutnya diberi
tanda (Bukti P-1);
2) Asli Laporan Sosial Hasil Kunjungan ke Rumah Calon Orang Tua
Angkat atas nama DARSO dan SITI KHASANAH dari Pekerja
Sosial Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten
Banyumas, tertanggal 16 Desember 2013, selanjutnya diberi tanda
(Bukti P-2);
3) Fotokopi Kutipan Akta Nikah No. 595/33/XI/2001 tanggal 14
Nopember 2001 atas nama DARSO dan SITI KHASANAH,
selanjutnya diberi tanda (Bukti P-3);
4) Fotokopi Kartu Keluarga No. 3302062806060002, atas nama Kepala
Keluarga DARSOtanggal 28 Juni 2006, selanjutnya diberi tanda
(Bukti P-4);
5) Fotokopi Surat Akta Kelaiharan atas nama DESI RAHMAWATI No.
Reg. 22982/LT/2013, tanggal 17 Oktober 2013, selanjutnya diberi
tanda (Bukti P-5);
6) Fotokopi Surat Pernyataan Penyerahan Anak tertanggal 09 Nopember
2013, selanjutnya diberi tanda (Bukti P-6);
7) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama DARSO, NIK.
3302060106690002, tertanggal 24 Agustus 2012, selanjutnya diberi
45
tanda (Bukti P-7);
8) Fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) atas nama SITI
KHASANAH, NIK. 3302064201770002, tertanggal 24 Agustus
2012, selanjutnya diberi tanda (Bukti P-8);
9) Fotokopi Surat Keterangan Catatan Kepolisian atas nama DARSO,
Nomor : SKCK/ YANMAS/1723/XI/2013/ SEK.KMJ, tertanggal 07
Nopemnber 2013, selanjutnya diberi tanda (Bukti P-9);
10) Fotokopi Surat Keterangan Catatan Kepolisian atas nama SITI
KHASANAH, Nomor : SKCK/YANMAS/1726/XI/2013/SEK.KMJ,
tertanggal 107 Nopember 2013, selanjutnya diberi tanda (Bukti P-
10);
11) Fotokopi Akta Cerai Nomor : 433/AC/2009/PA.Bms, antara
SULASTRI Binti SAMSUDI dengan RIRIN SUSANTO Bin
SUKIR, tertanggal 29 Mei 2009, selanjutnya diberi tanda (Bukti P-
11);
12) Fotokopi Duplikat Surat Kematian, No. 472/893/2013 atas nama
SULASTRI, yang dibuat dan ditanda tangani oleh Sekretaris Desa
Adisana atas nama Kepala Desa Adisana, tertanggal 30 Desember
2013, selanjutnya diberi tanda (Bukti P-12);
13) Fotokopi Kartu Keluarga No. 3302052811070001, atas nama kepala
keluarga WASLAM, tertanggal 21 Januari 2013, selanjutnya diberi
tanda (Bukti P-13);
14) Fotokopi Surat Keterangan dari Kepala Desa Sidamulya Kecamatan
Kemranjen Kabupaten Banyumas Nomor : 470/XII/2013 tanggal 13
46
Desember 2013 atas nama RIRIN SUSANTO, selanjutnya diberi
tanda (Bukti P-14);
15) Fotokopi Surat Keterangan Ghoib dari Kepalas Desa Adisana
Kecamatan Kebasen Kabupaten Banyumas Nomor : 472/842/2013
tanggal 14 Desember 2013, atas nama RIRIN SUSANTO,
selanjutnya diberi tanda (Bukti P-15);
16) Asli Surat Keterangan Dokter pada Puskesmas I Kemranjen, atas
nama DARSO, selanjunya diberi tanda (Bukti P-16);
17) Asli Surat Keterangan Dokter pada Puskesmas I Kemranjen, atas
nama SITI KHASANAH, selanjunya diberi tanda (Bukti P-17);
4. Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hakim merupakan proses deduktif atau penerapan
hukum abstrakto terhadap perkara inkonkreto, artinya penerapan hukum
pengangkatan terhadap peristiwa hukum yang dipaparkan dalam duduk
perkaranya yang menjadi tanggung jawab para pemohon untuk
membuktikan kebenarannya, sehingga hukum secara pasti dapat diterapkan
dan menjadi hukum subyektif, atau hukum yang diterapkan atau
diberlakukan terhadap suatu peristiwa konkrit. Selanjutnya penetapan
hakim dalam hal ini disebut sebagai hukum inkonkreto atau hukum
subyektifnya. Di bawah ini disajikan pertimbangan hakim yang menjadi
dasar penetapan hakim yang secara kronologis pula dapat diartikan sebagai
informasi mengenai pelaksanaan pengangkatan anak melalui penetapan
hakim dalam perkara Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms dalam bentuk
tabel, sebagai berikut:
47
Tabel 1: Pertimbangan Hakim Pengangkatran Anak Putusan
Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms.
No. Pertimbangan Hakim Substansi
1 inti dari Permohonan adalah:
1) Para Pemohon telah melangsungkan
pernikahan secara sah pada tanggal 14
Nopember 2001 di Kantor Urusan Agama
(KUA) Kecamatan Kemranjen Kabupaten
Banyumas,
2) Para Pemohon belum dikaruniai seorang
anakpun,
3) Para Pemohon sangat mendambakan
kehadiran anak dalam kehidupan rumah
tangganya,
4) sehingga muncul keinginan untuk
mengangkat anak dan memberikan asuhan,
perawatan, pendidikan dan bimbingan
layaknya seperti anak kandung sendiri
Alasan Permohonan
Pengangkatan Anak,
yaitu:
1) Status perkawinan
Pemohon.
2) Pemohon belum
punya anak.
3) Sangat
menginginkan
anak.
4) Motivasi
mengangkat anak.
2 Dasar hukum mengenai pelaksanaan
pengangkatan anak adalah:
1) Peraturan Pemerintah RI No. 54 tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak,
pada Pasal 1 butir ke-1 menyebutkan
definisi mengenai anak angkat, yaitu:
a) anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan
keputusan atau penetapan pengadilan.
b) pada butir yang ke-2 menyebutkan juga
definisi pengangkatan anak, yaitu suatu
perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali
yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkat.
Dasar Hukum;
1) Pemerintah RI No.
54 tahun 2007
tentang
Pelaksanaan
Pengangkatan
Anak pada:
Pasal 1 butir
ke-1 dan butir
ke-2.
Pasal Pasal 12
dan 13
mengenai
syarat-syarat
calon anak
angkat dan
calon orang tua
angkat.
2) Peraturan Menteri
Sosial Republik
Indonesia, No. 110/
HUK/ 2009 tentang
Persyaratan
Pengangkatan
Anak pada:
48
2) Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak, pada:
a) Pasal 3 ayat (1) menyebutkan tujuan
pengangkatan anak, yaitu untuk
kepentingan terbaik bagi anak untuk
mewujudkan kesejahteraan dan
perlindungan anak yang dilaksanakan
berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
b) Pasal 2 ayat (1) memuat prinsip
pengangkatan anak, antara lain :
(1) Pengangkatan anak hanya dapat
dilakukan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang
berlaku.
(2) Pengangkatan anak tidak
memutuskan hubungan darah
antara anak yang diangkat dengan
orang tua kandungnya
(3) Calon orang tua angkat (COTA)
harus seagama dengan agama
yang dianut oleh Calon Anak
Angkat (CAA);
3) Bahwa perlu juga dijabarkan mengenai
syarat-syarat calon anak angkat dan calon
orang tua angkat sebagaimana dijelaskan
pada Pasal 12 dan 13 Peraturan
Pemerintah RI No. 54 tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, lalu
Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia, No.
110/ HUK/ 2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak.
Pasal 2 ayat (1)
dan Pasal 3 ayat
(1) serta Pasal 4
sampai dengan
Pasal 7
3 Dari uraian ketentuan mengenai pelaksanaan
pengangkatan anak tersebut, bila dihubungkan
dengan inti atau dalil permohonan Para
Pemohon, maka yang menjadi permasalahan,
apakah cukup beralasan hukum dalil-dalil Para
Pemohon untuk dikabulkan.
49
4 Ada beberapa point yang dipertimbangkan
mengenai alasan mengangkat anak, sebagai
berikut:
i. Anak yang akan diangkat adalah bernama
DESI RAHMAWATI (Bukti P-1, P-2, P-
5), anak perempuan yang lahir di
Banyumas, pada tanggal 07 Juli 2002
(Bukti P-1, P-2, P-3, P-5, P-6, P-13).
ii. Keterangan Saksi SAMSUDI, Saksi M.
ZAENUDIN, dan Saksi MADKISWAN,
DESI RAHMAWATI tersebut memiliki
orang tua kandung yang bernama RIRIN
SUSANTO dan SULASTRI (Bukti P-3, P-
5), dimana RIRIN SUSANTO dan
SULASTRI menikah secara agama Islam
pada tanggal 21 Desember 1996 dan
keduanya juga sama-sama menganut
agama Islam, begitu pula dengan anaknya
DESI RAHMAWATI dan selama bersama
orang tua kandungnya, kebutuhan hidup
DESI RAHMAWATI sebagai anak kurang
terpenuhi baik secara jasmani maupun
rohani, karena faktor ekonomi keluarga,
maupun perhatian dari ayah dan ibu
kandungnya,
iii. Orang tua kandung DESI RAHMAWATI
telah menempuh perceraian di Pengadilan
Agama Banyumas pada tanggal 23 April
2009 (Bukti P-11),
iv. Sebelum ibu kandung DESI
RAHMAWATI (SULASTRI) menggugat
cerai ayah kandung DESI RAHMAWATI
(RIRIN SUSANTO), RIRIN SUSANTO
(ayah kandung DESI RAHMAWATI)
telah pergi meninggalkan dan
menelantarkan DESI RAHMAWATI dan
SULASTRI (ibu kandung DESI
RAHMAWATI), bahkan sampai sekarang
RIRIN SUSANTO (ayah kandung DESI
RAHMAWATI) tidak diketahui
keberadaannya (Bukti P-14, P-15),
v. Pada tanggal 30 Mei 2013 ibu kandung
DESI RAHMAWATI (SULASTRI) telah
meninggal dunia yang disebabkan karena
kecelakaan (Bukti P-12),
vi. Setelah ibu kandung DESI RAHMAWATI
(SULASTRI) meninggal dunia, DESI
RAHMAWATI diasuh dan tinggal
Keterangan saksi:
1) Subyek anak yang
diangkat anak
(Desi Rahmawati).
2) Keterangan saksi
Samsudi,
Zaenudin dan
Madkiswan,
mengenai:
Si anak selama
bersama orang
tua
kandungnya,
kebutuhan
hidup
jasmaninya dan
rohaninya
kurang
terpenuhi,
Orang tua
kandungnya
sudah bercerai.
Si Anak dalam
keadaan
terlantar dan
ibu kandungnya
telah
meninggal.
Si anak ikut
kakeknya
(Samsudi).
50
bersama kakeknya yang bernama
SAMSUDI.
5 Ada beberapa point yang dipertimbangkan
oleh hakim, sebagai berikut:
i. Para Pemohon merupakan pasangan
suami-isteri yang menikah pada tanggal 14
Nopember 2001 secara agama Islam (bukti
P-3),
ii. Selama Para Pemohon berumah tangga
sampai dengan sekarang belum satu pun
dikaruniai anak (bukti P-15), lalu
berdasarkan bukti P-10, DARSO lahir
pada tanggal 01 Agustus 1969, lalu bukti
P-8, SITI KHASANAH lahir pada tanggal
02 Januari 1977 dan Para Pemohon sama-
sama menganut agama Islam.
iii. DESI RAHMAWATI telah diasuh atau
telah berada pada penguasaan kakeknya
(samsudi) yakni setelah ibu kandung DESI
RAHMAWATI meninggal dunia pada 30
Mei 2013,
iv. lalu Para Pemohon mempunyai inisiatif
untuk mendatangi Saksi SAMSUDI dan
menyampaikan niat untuk merawat,
memelihara, mendidik DESI
RAHMAWATI dengan penuh kasih
sayang layaknya sebagai anak kandung
Para Pemohon dengan cara mengangkat
anak.
v. Menurut keterangan Para Saksi dan bukti
P-6 telah terjadi penyerahan DESI
RAHMAWATI secara formil dan
kekeluargaan serta berdasarkan adat
kebiasaan disekitar lingkungan tempat
tinggal Para Pemohon,
vi. Saksi SAMSUDI (kakek DESI
RAHMAWATI) kepada Para Pemohon,
penyerahan ini dilakukan secara sadar dan
sukarela oleh Saksi SAMSUDI (kakek
DESI RAHMAWATI), karena demi
kepentingan yang lebih baik bagi DESI
RAHMAWATI.
vii. Menurut keterangan Para Saksi, kehidupan
ekonomi Para Pemohon jauh lebih baik
daripada orang tua kandung maupun kakek
DESI RAHMAWATI, dimana Para
Pemohon memiliki tempat tinggal yang
Pertimbangan hakim: 1) Pemohon menikah
secara sah secara
Islam.
2) Pemohon tidak
mempunyai anak.
3) Si anak diasuh
kakeknya setelah
ibunya meninggal.
4) Niat Pemohon
untuk mengangkat
anak.
5) Penyaksian
masyarakat
penyerahan anak
secara sadar dan
sukarela kepada
Pemohon oleh
kakek si anak demi
kepentingan yang
lebih baik.
6) Kehidupan
Pemohon jauh lebih
baik sebagai
pedagang.
7) Ayah kandung si
anak tidak diketahui
alamatnya dan
kakeknya sudah
lanjut usia (sakit-
sakitan).
51
tetap dan pekerjaan tetap sebagai
pedagang,
viii. sedangkan ayah kandung DESI
RAHMAWATI yaitu RIRIN SUSANTO
sampai dengan sekarang tidak diketahui
lagi keberadannya (Bukti P-14, P-15), dan
kakek DESI RAHMAWATI sudah merasa
tidak mampu untuk mengasuh karena
sudah lanjut usia dan sering sakit-sakitan.
6 Hakim menilai, bahwa:
i. Para Pemohon adalah calon orang tua
angkat bagi calon anak angkat yang
bernama DESI RAHMAWATI,
ii. Para Pemohon ingin melakukan suatu
perbuatan yang mengalihkan seorang anak
yang bernama DESI RAHMAWATI dari
orang tua kandungnya, yaitu RIRIN
SUSANTO atau dari kakenya SAMSUDI
ke dalam lingkungan keluarga Para
Pemohon,
iii. ada kesesuain antara tujuan Para Pemohon
dalam pengangkatan anak ini dengan
tujuan yang diamanatkan pada ketentuan
hukum yang berlaku, yaitu ingin merawat,
mendidik, memelihara, membimbing DESI
RAHMAWATI layaknya sebagai anak
kandung sendiri dengan penuh kasih
sayang dan kesemuanya itu demi
kepentingan dan kesejahteraan DESI
RAHMAWATI.
iv. Para Pemohon juga telah melewati proses
adat kebiasaan yang berlaku dilingkungan
tempat tinggal Para Pemohon dalam
melaksanakan pengangkatan anak tersebut,
v. adanya penyerahan secara formil dari
kakeknya DESI RAHMAWATI kepada
Para Pemohon. Kemudian bukti surat-surat
P-1 sampai P-17 yang diajukan di
persidangan,
vi. sehingga menurut Hakim, Para Pemohon
juga telah memenuhi syarat yang
ditentukan dalam Pasal 12 dan 13
Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun
2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak, lalu Pasal 4 sampai dengan Pasal 7
Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak.
Penilaian hakim
terhadap Pemohon:
1) Pemohon sebagai
calon orang tua
angkat.
2) Keinginan Pemohon
untuk mengangkat
anak.
3) Ada kesesuaian antara
tujuan Pemohon
mengangkat anak
dengan hukum yang
berlaku.
4) Pemohon telah
mengikuti proses adat
kebiasaan.
5) Sudah ada penyerahan
secara formil dari
kakeknya kepada
Pemohon.
6) Pemohon telah
memenuhi syarat
menurut Pasal 12 dan
13 Peraturan
Pemerintah RI No. 54
Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan
Pengangkatan Anak,
lalu Pasal 4 sampai
dengan Pasal 7
Peraturan Menteri
Sosial Republik
Indonesia, No. 110/
HUK/ 2009 tentang
Persyaratan
Pengangkatan Anak.
52
7 Para Pemohon dapat membuktikan dalil
permohonannya serta melihat dari kepentingan
terbaik bagi anak untuk mewujudkan
kesejahteraan bagi diri si anak dikemudian hari,
maka dalil permohonan Para Pemohon di
pandang beralasan dan berdasarkan hukum dan
oleh karenanya patut untuk di kabulkan;
permohonan Para
Pemohon di pandang
beralasan dan
berdasarkan hukum
dan oleh karenanya
patut untuk di kabulkan
8 1. Bahwa selanjutnya oleh karena Permohonan
Para Pemohon dikabulkan dan meskipun
tidak diminta oleh Para Pemohon, namun
berdasarkan Pasal 47 ayat (1) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor : 23
Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan yang isinya “pencatatan
pengangkatan anak dilaksanakan
berdasarkan penetapan pengadilan di tempat
tinggal Pemohon; ayat (2) “pencatatan
pengangkatan anak sebagaimana dimaksud
ayat (1) wajib dilaporkan oleh penduduk
kepada Instansi Pelaksana yang menerbitkan
Kutipan Akta kelahiran paling lambat 30
(tiga puluh) hari setelah diterimanya salinan
penetapan pengadilan oleh penduduk”; ayat
(3) “berdasarkan laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) Pejabat Pencatatan
Sipil membuat catatan pinggir pada Register
Akta kelahiran dan kutipan Akta kelahiran”,
2. memerintahkan kepada Panitera Pengadilan
Negeri Banyumas atau pejabat yang
ditunjuk untuk mengirimkan salinan
penetapan ini kepada Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kabupaten Banyumas, untuk mencatat
dalam buku register Pencatatan Sipil yang
diperuntukan untuk itu, serta membuat
catatan pinggir pada Register Akta kelahiran
dan Kutipan Akta Kelahiran, No
22982/LT/2013, atas nama DESI
RAHMAWATI atau setelah Para Pemohon
menunjukkan salinan Penetapan ini yang
telah berkekuatan hukum tetap.
Putusan tambahan
dengan berdasar atas
Pasal 47 ayat (1)
Undang-Undang
Republik Indonesia
Nomor : 23 Tahun 2006
tentang Administrasi
Kependudukan,
memerintahkan kepada
Panitera Pengadilan
Negeri Banyumas atau
pejabat yang ditunjuk
untuk mengirimkan
salinan penetapan ini
kepada Kepala Dinas
Kependudukan dan
Pencatatan Sipil
Kabupaten
Banyumas,
untuk mencatat dalam
buku register
Pencatatan Sipil yang
diperuntukan untuk
itu,
membuat catatan
pinggir pada Register
Akta kelahiran dan
Kutipan Akta
Kelahiran, No
22982/LT/2013, atas
nama DESI
RAHMAWATI
atau setelah Para
Pemohon
menunjukkan salinan
Penetapan ini yang
telah berkekuatan
hukum tetap.
9 Bahwa oleh karena permohonan Para Pemohon
dikabulkan dan sebelum Hakim menetapkan
permohonan ini, perlu Hakim ingatkan terhadap
ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah RI No.
54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak, yang isinya “pengangkat
Hakim
mengingatkan:
ketentuan Pasal 4
Peraturan
Pemerintah RI No.
54 Tahun 2007
53
anak tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya”, kemudian Pasal 6 Peraturan
Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, ayat (1)
“orang tua angkat wajib memberitahukan
kepada anak angkatnya mengenai asalusulnya
dan orang tua kandungnya”, ayat (2)
“pemberitahuan asal-usul dan orang tua
kandungnya sebagaimana pada ayat (1)
dilakukan dengan memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.
tentang Pelaksanaan
Pengangkatan
Anak, yang isinya:
“pengangkat anak
tidak memutuskan
hubungan darah
antara anak yang
diangkat dengan
orang tua
kandungnya”,
Pasal 6 Peraturan
Pemerintah RI No.
54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan
Pengangkatan
Anak, ayat (1)
“orang tua angkat
wajib
memberitahukan
kepada anak
angkatnya mengenai
asalusulnya dan
orang tua
kandungnya”,
ayat (2)
“pemberitahuan
asal-usul dan
orang tua
kandungnya
Sumber: Putusan Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms.
5. Penetapan Hakim
a) Mengabulkan permohonan Para Pemohon untuk seluruhnya;
b) Menyatakan sah menurut hukum bahwa pengangkatan anak yang telah
dilakukan oleh Para Pemohon DARSO dan SITI KHASANAH
terhadap seorang anak perempuan yang bernama DESI
RAHMAWATI, lahir di Banyumas pada tanggal 7 Juli 2002, anak dari
pasangan suami-isteri yang bernama RIRIN SUSANTO dan
SULASTRI;
54
c) Memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Banyumas atau
Pejabat yang ditunjuk untuk mengirimkan salinan penetapan ini kepada
Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten
Banyumas, untuk mencatat dalam Buku Register Pencatatan Sipil yang
diperuntukan untuk itu, serta membuat catatan pinggir pada Register
Akta kelahiran dan Kutipan Akta Kelahiran Nomor : 22982/LT/2013,
atas nama DESI RAHMAWATI atau setelah Para Pemohon
menunjukkan salinan Penetapan ini yang telah berkekuatan hukum
tetap;
d) Menghukum Para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang
ditetapkan sebesar Rp. 171.000,- (seratus tujuh puluh satu ribu rupiah)
B. PEMBAHASAN
1. Proses Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Penetapan Hakim
a. Prosedur pengajuan permohonan
1) Permohonan diajukan dengan Surat Pemohonan yang
ditandatangani oleh pemohon atau kuasa yang sah ditujukan
kepada ketua Pengadilan Negeri.
2) Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat
mengajukan permohonannya secara lisan dihadapan ketua
pengadilan yang akan menyuruh mencatat permohonannya
tersebut
3) Permohonan disampaikan kepada ketua pengadilan, kemudian
didaftarkan dalam buku regristrasi dan diberi nomor unit setelah
pemohon membayar perskot biaya perkara yang besarnya sudah
55
ditentukan oleh pengadilan
4) Perkara permohonan termasuk dalam pengertian yurisdiksi
voluntair dan terhadap perkara permohonan yang diajukan itu,
hakim akan memberikan suatu penetapan Pengadilan Agama
Banyumas hanya berwenang untuk memeriksa dan mengabulkan
permohonan apabila hal itu ditentukan oleh peraturan perundang-
undangan.
b. Proses pengajuan permohonan
Mengajukan surat permohonan pengangkatan anak kepada ketua
Pengadilan Negeri, kemudian surat permohonan diberi register oleh
panitera, setelah itu ditetapkan hari dan tanggal sidang. Jurusita
memanggil pemohon dan pada hari serta tanggal sidang dilaksanakan,
setelah pemohon dan saksi hadir sidang dibuka oleh hakim.
Kemudian memeriksa segala bukti dan saksi sekiranya pengajuan
pemohon beralasan maka hakim akan mengabulkan permohonan
pemohon dan sidang ditutup.
2. Peristiwa Hukum Pengangkatan Anak melalui Pengadilan
Pengangkatan anak melalui pengadilan ada 2 (dua) macam, yaitu
Pengangkatan Anak, yaitu pengangkatan anak yang peristiwa hukum
pengangkatan anaknya terjadi setelah ada penetapan oleh hakim dalam
sidang pengadilan, artinya lahirnya hubungan hukum pengangkatan anak
antara orang tua angkat dengan si anak angkat terjadi setelah adanya
penetapan hakim, dan Pengesahan Anak Angkat yaitu pengangkatan anak
sudah terjadi atau hubungan hukum antara orang tua angkat dengan si
56
anak angkat sudah ada berdasar atas peristiwa hukum pengangkatan anak
atas dasar hukum adat atau adat kebiasaan masyarakat, dan penetapan
hakim tersebut hanya mempunyai arti sebagai mengesahkan saja peristiwa
hukum pengangkatan anak yang sudah terjadi sebelumnya; sehingga
memiliki nilai pembuktian yang kuat.
Data yang diperoleh dari sumber putusan hakim pada bagian ke-2
Penetapan Hakim dalam perkara Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms.
Yang berunyi; Menyatakan sah menurut hukum bahwa pengangkatan anak
yang telah dilakukan oleh Para Pemohon DARSO dan SITI KHASANAH
terhadap seorang anak perempuan yang bernama DESI RAHMAWATI,
lahir di Banyumas pada tanggal 7 Juli 2002, anak dari pasangan suami-
isteri yang bernama RIRIN SUSANTO dan SULASTRI. Dari istilah yang
digunakan oleh hakim dalam penetapannya digunakan “menyatakan sah
menurut hukum” dan “pengangkatan anak yang telah dilakukan DARSO
dan SITI KHASANAH ” di atas telah jelas menunjukkan bahwa:
a. Penetapan hakim bersifat Declaratoir atau bersifat menyatakan sah
terhadap suatu peristiwa pengangkatan anak, artinya kualifikasi
perkaranya bukan Pengangkatan Anak tetapi Pengesahan
Pengangkatan Anak.
b. Dalam hal ini peristiwa pengangkatan anak yang mana yang
dinyatakan sah menurut hukum, adalah pengangkatan anak yang telah
dilakukan, artinya peristiwa hukum pengangkatannya sudah ada
menurut adat kebiasaan dan terjadi sebelum ditetapkan hakim di
pengadilan. Yang dalam hal ini adalah pengangkatan anak yang telah
57
dilakukan oleh Para Pemohon DARSO dan SITI KHASANAH
terhadap seorang anak perempuan yang bernama DESI
RAHMAWATI, lahir di Banyumas pada tanggal 7 Juli 2002, anak
dari pasangan suami-isteri yang bernama RIRIN SUSANTO dan
SULASTRI.
3. Pelaksanaan Pengangkatan Anak Melalui Penetapan Hakim Dalam
Perkara Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms.
Pada tahapan ini fokus kajiannya hendak menjelaskan
pelaksanaan pengangkatan anak melalui pengadilan negeri dengan
membatasi kajiannya hanya menjelaskan hal-hal apa saja dari aspek
substansinya yang menggambarkan unsur-unsur normatif yang secara
kronologis dan mengenai persyaratan serta landasan hukum yang
dipertimbangkan oleh hakim untuk mengabulkan permohonan
pengangkatan anak, melalui logika sistematis yang dipaparkan oleh hakim
dalam putusan penetapan hakim dalam perkara Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/
PN. Bms.
Tabel 1 di atas telah menjelaskan mengenai pertimbangan hakim
yang menjadi dasar bagi hakim untuk mengabulkan permohonan
pengangkatan anak dalam perkara Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms.,
maka untyuk kebutuhan pembahasan ini disajikan bagian dari tabel 1 di
atas pada bagian substansinya yang secara metodologis merupaka reduksi
data yang menjadi fokus pembahasannya sebagai berikut.
58
Tebel 2: Substansi Pertimbangan Hakim Yang merupakan Deskripsi
Pelaksanaan Pengangkatan Anak di Pengadilan
No. Substansi Pertimbangan Hakim
1 Alasan Permohonan Pengangkatan Anak, yaitu:
1) Status perkawinan Pemohon.
2) Pemohon belum punya anak.
3) Sangat menginginkan anak.
4) Motivasi mengangkat anak.
2 Dasar Hukum;
1) Pemerintah RI No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan
Pengangkatan Anak pada:
• Pasal 1 butir ke-1 dan butir ke-2.
• Pasal Pasal 12 dan 13 mengenai syarat-syarat calon anak
angkat dan calon orang tua angkat.
2) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia, No. 110/ HUK/
2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak pada:
• Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) serta Pasal 4 sampai
dengan Pasal 7
3 Alasan atau fakta yang menjadi dasar permohonan pengangkatan
anak
4 Keterangan saksi:
1) Subyek anak yang diangkat anak (Desi Rahmawati).
2) Keterangan saksi Samsudi, Zaenudin dan Madkiswan,
mengenai:
• Si anak selama bersama orang tua kandungnya, kebutuhan
hidup jasmaninya dan rohaninya kurang terpenuhi,
• Orang tua kandungnya sudah bercerai.
• Si Anak dalam keadaan terlantar dan ibu kandungnya telah
meninggal.
• Si anak ikut kakeknya (Samsudi).
5 Pertimbangan hakim:
1) Pemohon menikah secara sah secara Islam.
2) Pemohon tidak mempunyai anak.
3) Si anak diasuh kakeknya setelah ibunya meninggal.
4) Niat Pemohon untuk mengangkat anak.
5) Penyaksian masyarakat penyerahan anak secara sadar dan
sukarela kepada Pemohon oleh kakek si anak demi
kepentingan yang lebih baik.
6) Kehidupan Pemohon jauh lebih baik sebagai pedagang.
7) Ayah kandung si anak tidak diketahui alamatnya dan kakeknya
sudah lanjut usia (sakit-sakitan).
6 Penilaian hakim terhadap Pemohon:
1) Pemohon sebagai calon orang tua angkat.
2) Keinginan Pemohon untuk mengangkat anak.
3) Ada kesesuaian antara tujuan Pemohon mengangkat anak
dengan hukum yang berlaku.
59
4) Pemohon telah mengikuti proses adat kebiasaan.
5) Sudah ada penyerahan secara formil dari kakeknya kepada
Pemohon.
6) Pemohon telah memenuhi syarat menurut Pasal 12 dan 13
Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, lalu Pasal 4 sampai dengan
Pasal 7 Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia, No. 110/
HUK/ 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
7 permohonan Para Pemohon di pandang beralasan dan berdasarkan
hukum dan oleh karenanya patut untuk di kabulkan
8 Putusan tambahan dengan berdasar atas
Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Banyumas atau
pejabat yang ditunjuk
• untuk mengirimkan salinan penetapan ini kepada Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyumas,
• untuk mencatat dalam buku register Pencatatan Sipil yang
diperuntukan untuk itu,
• membuat catatan pinggir pada Register Akta kelahiran dan
Kutipan Akta Kelahiran, No 22982/LT/2013, atas nama DESI
RAHMAWATI
• atau setelah Para Pemohon menunjukkan salinan Penetapan ini
yang telah berkekuatan hukum tetap.
9 Hakim mengingatkan:
• ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yang isinya:
“pengangkat anak tidak memutuskan hubungan darah antara
anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya”,
• Pasal 6 Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, ayat (1) “orang tua angkat
wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai
asalusulnya dan orang tua kandungnya”,
• ayat (2) “pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya
Tabel 2 di atas dapat memberikan penjelasan secara kronologis dan
sistematis fakta dan unsur-unsur normatif yang menjadi dasar bagi hakim
untuk mengabulkan permohonan pengangkatan anak dalam perkara ini,
untuk itu dijelaskan secara urut point demi point dan sekaligus dilakukan
pembahasan agar diperoleh gambaran yang jelas mengenai pelaksanaan
pengangkatan anak di pengadilan. Sebagaimana telah dijelaskan pada
bagian ke-2 pembahasan di atas bahwa perkara ini merupakan perkara
60
permohonan penetapan hakim dalam kualifikasi Pengesahan Anak Angkat
bukan Penetapan Pengangkatan Anak.
Untuk itu hal-hal yang diharapkan dapat diperoleh disini adalah
gambaran mengenai hal-hal yang esensia atau penting untuk dipahami
mengenai Pengesahan Pengangkatan Anak. Untuk itu hal-hal yang
diharapkan dapat diperoleh di sini adalah gambaran mengenai hal-hal yang
esensia atau penting untuk dipahami mengenai Pengesahan Pengangkatan
Anak.
Hanya disini SAYOGYANYA diberikan pertimbangan dulu
mengenai kewenangan pengadilan (yudisdiksi voluntair) untuk memeriksa
permohonan pengangkatan anak dari pemohon, mengingat pada huruf a
Pasal 20 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 telah mengatur
kewenangan pengadilan agama untuk melakukan penetapan asal-usul anak
dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum islam. Ketentuan
ini telah ditafsirkan bahwa pengadilan agama memiliki kewenangan
absolut untuk memeriksa dan melakukan penetapan pengangkatan anak
bagi orang-orang yang beragama islam.
Pada point ke-1 dari Tabel 2 di atas diperoleh data mengenai alasan
Permohonan Pengangkatan Anak, yaitu: 1) Status perkawinan Pemohon,
2) Pemohon belum punya anak, 3) Sangat menginginkan anak, 4)
Motivasi mengangkat anak. Dari sistimatika pertama yang
dipertimbangkan oleh hakim menunjukkan hal yang mendasar dari perkara
permohonan Pengangkatan Anak adalah keadaan dari Pemohon karena
keadaan Pemohon merupakan suatu fundamen apakah permohonan
Pengangkatan Anak akan dikabulkan atau tidak. Ibarat anak adalah sebuah
tanaman, maka orang tua angkat adalah media tanamnya. Apabila media
tanamnya tidak baik dengan sendirinya tanamannya akan tidak baik pula.
61
Seorang anak membutuhkan pemeliharaan dan pendidikan maka kondisi
motivasi mengangkat anak yang ditandai dari status perkawinan Pemohon,
keadaan Pemohon belum punya anak, hasrat dan motivasi untuk
mengangkat anak disamping aspek kemapuan ekonomi serta suasana kasih
sayang yang dibutuhkan seorang anak menjadi hal yang fundamental atau
mendasar. Maka hal tersebut menjadi point yang pertama untuk
dipertimbangkan oleh hakim; dengan sendirinya pembuktian dan hal-hal
lainnya yang akan dipertimbangkan oleh hakim adalah bukti dan jaminan
kepastian dari alasan Pemohon tersebut di atas.
Pada point ke-2 Hakim dalam memeriksa dan memberikan keadilan
terhadap perkara yang disodorkan kepadanya dengan sendirinya akan
selalu berdasar atas hukum atau berdasar atas peraturan perundang-
undangan yang berlaku untuk itu. Maka pada point ke 2 hakim telah
menemukan hukum (hukum in abstracto) untuk diterapkan pada perkara in
konkretonya (kasusnya), yaitu:
1) Pemerintah RI No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak pada:
• Pasal 1 butir ke-1 dan butir ke-2 menyebutkan definisi mengenai
anak angkat, yaitu: anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan
anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya
berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.
62
Definisi Pengangkatan anak, yaitu suatu perbuatan hukum yang
mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab
atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Definisi anak angkat dan definisi pengangkatan anak merupakan
sebuah konsep yang diamanahkan oleh pembentuk undang-
undang sebagai gambaran dari politik hukum mengenai
perkembangan hukum pengangkatan anak. Hakim dengan
sendirinya harus melaksanakan amanah tersebut dalam tugasnya
menerapkan hukum terhadap perkara yang disodorkan kepadanya
untuk diberikan keadilan. Maka untuk itu menjadi kewajiban
hakim untuk menerapkan pula persyaratan yang ditentukan bagi
anak angkat maupun bagi orang tua angkat.
• Pasal Pasal 12 dan 13 mengenai syarat-syarat calon anak angkat
dan calon orang tua angkat. Menyebutkan syarat bagi seorang
anak yang diangkat anak adalah belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, merupakan anak terlantar atau ditelantarkan, berada dalam
asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan
memerlukan perlindungan khusus. Selanjutnya juga ditentukan
bahwa prioritas utama adalah anak yang belum berumur 6 tahun,
dan bagi anak yang. anak sudah berusia 6 (enam) tahun sampai
dengan belum berusia 12 (dua belas) tahun, sepanjang ada alasan
mendesak; dan juga bagi anak yang sudah berusia 12 (dua belas)
63
tahun sampai dengan belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus. Kemudian
syarat-syarat bagi orang tua angkat ditentukan sehat jasmani dan
rohani, berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling
tinggi 55 (lima puluh lima) tahun, beragama sama dengan agama
calon anak angkat, berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum
karena melakukan tindak kejahatan, berstatus menikah paling
singkat 5 (lima) tahun, tidak merupakan pasangan sejenis, tidak
atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak, dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial, memperoleh
persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak,
membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak, adanya laporan sosial dari pekerja sosial
setempat, telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6
(enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan memperoleh
izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
Pada uraian point ke-1 di atas telah dikemukakan mengenai
alasan bagi Pemohon untuk mengangkat anak, maka dari
ketentuan pada Pasal 12 dan Pasal 13 ini oleh pembentuk
peraturan perundang-undangan telah dirumuskan syarat-syarat
bagi calon anak angkat dan syarat-syarat bagi calon orang tua
angkat, secara substansial telah diletakkan dasar pemikiran bahwa
persoalan pengangkatan anak adalah soal menentukan nasib atau
64
masa depan seorang anak dan secara nasional juga meletakkan
dasar bagi gambaran Indonesia masa depan harus diisi oleh
generasi muda yang sehat serta berkepribadian yang baik
pula.jadi seorang anak harus ditempatkan pada tempat yang
btepat untuk bisa tumbuh dan berkembang baik dari aspek
lahiriahnya maupun aspek batiniahnya.
2) Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009
tentang Persyaratan Pengangkatan Anak pada:
• Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) serta Pasal 4 sampai dengan
Pasal 7 yang telah mengatur mengenai prinsip pengangkatan
anakantara lain: Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan
untuk kepentingan terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan
adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, Pengangkatan anak tidak memutuskan
hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua
kandungnya, dan Calon orang tua angkat (COTA) harus
seagama dengan agama yang dianut oleh Calon Anak Angkat
(CAA); kemudian diatur pula mengenai tujuan pengangkatan
anak, yaitu: untuk kepentingan terbaik bagi anak untuk
mewujudkan kesejahteraan dan perlindungan anak yang
dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
65
Bahwa perlu juga dijabarkan lebih lanjut mengenai syarat-syarat
calon anak angkat dan calon orang tua angkat dalam Pasal 4
sampai dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak, sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari
peraturan perundang-undangan yang berada dibawahnya, yaitu:
syarat material calon anak yang dapat diangkat meliputi: a. anak
yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun; b. merupakan
anak terlantar atau diterlantarkan; c. berada dalam asuhan
keluarga atau dalam Lembaga Pengasuhan Anak; dan d.
memerlukan perlindungan khusus. Juga ditentukan pada Pasal
bahwa Permohonan pengangkatan anak harus melampirkan
persyaratan administratif CAA yang meliputi: a. copy KTP
orang tua kandung/wali yang sah/kerabat CAA; b. copy kartu
keluarga orang tua CAA; dan c. kutipan akta kelahiran CAA.
Kemudian dirinci lebih lanjut mengenai Persyaratan CAA
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dibagi dalam 3
(tiga) kategori yang meliputi : a. anak belum berusia 6 (enam)
tahun merupakan prioritas utama, yaitu anak yang mengalami
keterlantaran, baik anak yang berada dalam situasi mendesak
maupun anak yang memerlukan perlindungan khusus; b. anak
berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua
belas) tahun sepanjang ada alasan mendesak berdasarkan
laporan sosial, yaitu anak terlantar yang berada dalam situasi
66
darurat; c. anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan
belum berusia 18 (delapan belas) tahun yaitu anak terlantar yang
memerlukan perlindungan khusus. Dan akhirnya juga diatur
lebih lanjut mengenai syarat orang tua angkat meliputi : a. sehat
jasmani dan rohani; b. berumur paling rendah 30 (tiga puluh)
tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; c. beragama
sama dengan gama calon anak angkat; d. berkelakuan baik dan
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; e.
berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun; f.
tidak merupakan pasangan sejenis; g. tidak atau belum
mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak; h. dalam
keadaan mampu secara ekonomi dan sosial; i. memperoleh
persetujuan anak dan izin tertulis dari orang tua atau wali anak;
j. membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah
demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan
perlindungan anak; k. adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial
setempat; l. telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6
(enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan; dan m.
memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Propinsi.
(2) Umur COTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
yaitu perhitungan umur COTA pada saat mengajukan
permohonan pengangkatan anak. (3) Persetujuan tertulis dari
CAA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf i, disesuaikan
dengan tingkat kematangan jiwa dari CAA.
67
Pada point ke-2 di atas secara metodologis normatif dijabarkan
konsep dari peraturan perundang-undangan yang akan diterapkan
(dideduksi) pada perkara yang akan diperiksa dan diberikan keadilan oleh
hakim, maka pada point ke 3 mengenai keterangan saksi, point ke-5
mengenai pertimbangan hakim dan point ke-6 mengenai penilaian hakim
dipaparkan mengenai langkah normatif yang dilakukan oleh hakim secara
sistematis. Pada point ini dibuktikan melalui keterangan saksi mengenai
Subyek anak yang diangkat anak (Desi Rahmawati). Dan dari keterangan
saksi Samsudi, Zaenudin dan Madkiswan diperoleh kesaksian mengenai:
Si anak selama bersama orang tua kandungnya, kebutuhan hidup
jasmaninya dan rohaninya kurang terpenuhi, Orang tua kandungnya sudah
bercerai, Si Anak dalam keadaan terlantar dan ibu kandungnya telah
meninggal, Si anak ikut kakeknya (Samsudi). Dengan demikian
diharapkan melalui keterangan saksi ini diperoleh fakta yang membuktikan
syarat-syarat bagi calon anak angkat maupun bagi ncalon orang tua angkat
sexcara umum telah memenuhi sebagaimana ditentukan dalam Pemerintah
RI No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak pada:Pasal
1 butir ke-1 dan butir ke-2 dan Pasal Pasal 12 dan 13 mengenai syarat-
syarat calon anak angkat dan calon orang tua angkat. Serta Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009 tentang
Persyaratan Pengangkatan Anak pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1)
serta Pasal 4 sampai dengan Pasal 7.
68
Kemudian terhadap fakta-fakta tersebut oleh hakim telah diberikan
pertimbangan yang sebetulnya dalam kerangka berpikir normatif
merupakan proses deduksi dari dari peraturan perundangan-undangan
mengenai pengangkatan anak diterapkan kepada kasusnya atau terhadap
fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan. Fakta-fakta yang
dipertimbangkan oleh hakim di persidangan meliputi: 1) Pemohon
menikah secara sah secara Islam, 2) Pemohon tidak mempunyai anak, 3).
Si anak diasuh kakeknya setelah ibunya meninggal, 4) Niat Pemohon
untuk mengangkat anak, 5) Penyaksian masyarakat penyerahan anak
secara sadar dan sukarela kepada Pemohon oleh kakek si anak demi
kepentingan yang lebih baik, 6) Kehidupan Pemohon jauh lebih baik
sebagai pedagang, 7) Ayah kandung si anak tidak diketahui alamatnya
dan kakeknya sudah lanjut usia (sakit-sakitan). Pada akhirnya langkah
normatif yang dilakukan hakim adalah memberikan penilaian terhadap hal-
hal yang telah dikemukakan di depan untuk dijadikan landasan dalam
mengambil keputusan, meliputi: 1) Pemohon sebagai calon orang tua
angkat, 2). Keinginan Pemohon untuk mengangkat anak, 3). Ada
kesesuaian antara tujuan Pemohon mengangkat anak dengan hukum yang
berlaku, 4) Pemohon telah mengikuti proses adat kebiasaan, 5) Sudah ada
penyerahan secara formil dari kakeknya kepada Pemohon, dan mengenai
6) Pemohon telah memenuhi syarat menurut Pasal 12 dan 13 Peraturan
Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan
Anak, lalu Pasal 4 sampai dengan Pasal 7 Peraturan Menteri Sosial
Republik Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009 tentang Persyaratan
69
Pengangkatan Anak. Jadi berdasar atas penilaian hakim tersebut di atas
permohonan pengesahan pengangkatan anak yang diajukan oleh Pemohon
di pandang beralasan dan berdasarkan hukum dan oleh karenanya patut
untuk di kabulkan (point ke-7).
Pada point ke-8 terdapat yang menarik karena dalam hal ini telah
terdapat perkembangan dalam praktek peradilan bahwa ada hal-hal yang
dipandang perlu oleh hakim sepanjang untuk efektifitas pelaksanaan
keputusannya dan sebagai konsekuensi dari sebuah sistem hukum,
dipandang perlu untuk memberikan pertimbangan hukum dan keputusan
yang berupa penetapan walau tidak diminta oleh Pemohon dengan
memberikan putusan tambahan, mengenai: Putusan tambahan dengan
berdasar atas Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor : 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,
memerintahkan kepada Panitera Pengadilan Negeri Banyumas atau pejabat
yang ditunjuk:
• untuk mengirimkan salinan penetapan ini kepada Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Banyumas,
• untuk mencatat dalam buku register Pencatatan Sipil yang diperuntukan
untuk itu,
• membuat catatan pinggir pada Register Akta kelahiran dan Kutipan
Akta Kelahiran, No 22982/LT/2013, atas nama DESI RAHMAWATI,
• atau setelah Para Pemohon menunjukkan salinan Penetapan ini yang
telah berkekuatan hukum tetap.
70
Artinya ke-4 putusan tambahan tersebut berkaitan dengan proses
administrasi negara berkaitan dengan pencatatan pengangkatan anak ini
dalam register pencatatan sipil dengan membuat catatan pinggir pada
register akta kelahiran maupun kutipan akta kelahiran setelah Penetapan
hakim ini memiliki kekuatan hukum tetap.
Pada point ke 9 Hakim juga memandang perlu menambahkan
putusannya dengan memberikan arahan kepada Pemohon untuk mengingat
bahwa pengangkatan anak ini tidak menjadikan putusnya hubungan nasab
antara anak yang diangkat anak dengan orang tua kandungnya dan
kewajiban untuk memberitahukan asalusul anak kepada anak yang
diangkat anak, dan lebih lanjut dengan sendirinya akan memiliki akibat
hukum di lapangan hukum keluarga dan di lapangan hukum warisnya,
dengan mengingatkan mengenai:
• ketentuan Pasal 4 Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, yang isinya: “pengangkat
anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat
dengan orang tua kandungnya”,
• Pasal 6 Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak, ayat (1) “orang tua angkat wajib
memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asalusulnya dan
orang tua kandungnya”,
• ayat (2) “pemberitahuan asal-usul dan orang tua kandungnya.
71
Pertimbangan hukum di atas telah memberikan gambaran
perkembangan hukum di masyarakat mengenai politik hukum yang telah
berkembang mengenai hubungan hukum dan akibat hukum dari
pengangkatan anak baik di lapangan hukum keluarga maupun di lapangan
hukum waris. Perkembangan hukum pengangkatan anak seperti tersebut di
atas karena sudah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan
memang telah berdampak secara sosial maupun secara yuridis yang
berlaku bagi masyarakat di Indonesia pada umumnya. Dalam hal ini dapat
dikontruksi npemikirannya bahwa suatu undang-undang secara teoritis
dapat diposisikan sebagai nilai baru dan kebiasaan masyarakat (hukum
adat) dapat diposisikan sebagai nilai lama.
Secara logika hukumk nilai baru akan meniadakan nilai lama (lex
posterior derogat legi priori), akan tetapi proses internalisasi nilai-nilai
baru tersebut untuk bisa menjadi kesadaran hukum masyarakat dan
nampak sebagai suatu perasaan hukum masyarakat, sebagai ukuran yang
benar dan yang salah dalam pergaulan masyarakat, tidaklah seperti
membalik telapak tangan; artinya masih membutuhkan waktu yang
panjang. Seperti halnya pada masyarakat di Bali, masyarakat Tionghoa
yang menganut sistem kekerabata patrileal, masyarakat di Jawa pada
umumnya yang menganut sistem kekerabatan parental pengangkatan anak
memiliki akibat hukum yang berbeda baik di lapangan hukum keluarga
maupun di lapangan hukum warisnya. Selama ini sistem nilai yang dianut
masyarakat antara orang tua angkat dengan anak angkat terbentuk
hubungan antara orang tua dengan anak dan seorang anak angkat memiliki
72
kesamaan kedudukan dengan anak kandung. Dalam hal ini dalam etika
masyarakat ada etika larangan kawin diantara mereka (aspek hukum
keluarga) dan pada masyarakat dengan sistem kekerabatan Patrilineal pada
umumnya anak yang diangkat tidak mewaris dri orang tua kandungnya,
dan disisi lain seorang anak angkat pada masyarakat dengan sistem
kekerabatan parental dapat “mengambil air dari dua sumber”. yang artinya
dapat mewaris baik dari orang tua angkatnya maupun dari orang tua
kandungnya.
Perkembangan hukum pengangkatan anak sebagaimana telah
diuraikan di atas merupakan suatu fenomena yang secara yuridis
merupakan pedoman tingkah laku yang dipergunakan sebagai alat sosial
kontrol dalam prinsip penegakan hukum, artinya sebagai alat untuk
menentukan sesuatu tingkah laku orang dalam masyarakat itu benar atau
salah dalam perspektif hukum, hanya apabila dilihat secara empiris,
terutama dari aspek kultural, persoalan perkembangan hukum
pengangkatan anak ini telah menyisakan pekerjaan rumah. Terlepas dari
persoalan tersebut harapan peneliti adalam hal ini adalah tulisan ini dapat
memberikan yang jelas mengenai proses pengangkatan anak khususnya
mengenai pengesahan anak angkat melalui penetapan hkim di pengadilan.
73
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasar atas uraian sebagaimana telah diuraikan di atas, dapat
diambil simpulan bahwa pelaksanaan pengangkatan anak melalui penetapan
hakim Nomor : 01/ Pdt. P/ 2014/ PN. Bms, dapat dirinci dalam 2 (dua) tahap,
yaitu:
1. Prosedur pengajuan permohonan dengan mengajukan permohonan
kepada Ketua Pengadilan Negeri, didaftarkan dalam buku regristrasi,
membayar perskot biaya perkara, Perkara permohonan termasuk dalam
pengertian yurisdiksi voluntair Pengadilan, ditetapkan hari dan tanggal
sidang, pelaksanaan sidang dibuka dan diperiksa oleh hakim segala bukti
dan saksi, sekiranya pengajuan pemohon beralasan maka hakim akan
mengabulkan permohonan pemohon dan sidang ditutup.
2. Pemeriksaan oleh hakim pelaksanaannya pengesahan pengangkatan anak
dilihat dari aspek substansi normatifnya: a. Hakim memeriksa alasan
permohonan, b. Hakim menemukan hukumnya, c. Hakim memeriksa
bukti-bukti yang membuktikan dalil-dalil Pemohon, d. Hakim
memberikan pertimbangan hukum, e. Hakim memberikan penilaian
hukum adanya kesesuaian antara fakta-fakta yang didalilkan dengan
ketentuan hukum yang berlaku mengenai pengangkatan anak, dan f.
Hakim memberiksn putusan tambahan mengenai:
74
a. Mengirimkan salinan penetapan ini kepada Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil untuk ditindak lanjuti
pencatatannya pada Register Akta kelahiran dan Kutipan Akta
Kelahiran, setelah Para Pemohon menunjukkan salinan Penetapan ini
yang telah berkekuatan hukum tetap.
b. Hakim mengingatkan kepada Pemohon bahwa “pengangkat anak
tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan
orang tua kandungnya”, “orang tua angkat wajib memberitahukan
kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orang tua
kandungnya”.
B. Saran
Berdasar hasil penelitian dan pembahasan di atas, maka dalam
penelitian ini dapat diberikan saran bahwa sebaiknya pada bagian awal
pertimbangan hukum pada putusan hakim mempertimbangkan dulu
kewenangan pengadilan untuk memeriksa dan mengadili perkara yang
diperiksanya, sehingga kepastian hukumnya menjadi semakin jelas.
75
DAFTAR PUSTAKA
Literature :
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, 2008, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta
Djaja S.Meliala, 1982. Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia, Tarsito,
Bandung
Fachruddin, Fuat, 1991, Hukum Perkawinan dan Harta Kekayaan, Graha
Grafindo, Jakarta
Hilman Hadi Kusuma, 1977, Hukum Perkawinan Adat, Bandung, CV. Cipta
Karya
Iman Jauhari, 2003. Hak-hak Anak dalam Hukum Islam, Pustaka Bangsa, Jakarta
Iman Sudiyat, 2000. Hukum Adat Sketsa Asas, cet.ke-4, Yogyakarta: Liberty
ING Sugangga, 1995. Hukum Waris Adat, Universitas Diponegoro, Semarang,
M. Budiarto. 1985. Pengangkatan Anak Ditinjau dari Segi Hukum, Akademik
Presindo
Soerojo Wignjodipuro, 1973. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Bandung:
Alumni
Tamakiran, 1972. Asas-Asas Hukum Waris, Puionir jaya, Bandung
http://www.scribd.com/doc/2953998/Kedudukan-Anak-Dalam-Hukum-Di-
Indonesia, diakses tanggal 20 September 2014
76
Perundang-Undangan
Undang–Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor : 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan
Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama
Peraturan Pemerintah RI No. 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Komplikasi Hukum
Islam
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia, No. 110/ HUK/ 2009 tentang Persyaratan
Pengangkatan Anak