Acara II
KITIN & KITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh :
Nama : Michael Heryanto
NIM : 13.70.0004
Kelompok : D1
`
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
I. PRESENTASE PLAGIASI VIPER
1
2
1. MATERI DAN METODE
1.1. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari heater, pengaduk, timer¸ gelas beker,
gelas ukur, kain saring.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini terdiri dari limbah udang (berukuran 40-60
mesh), larutan asam klorida (HCl), dan larutan NaOH.
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang
3
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
4
1.2.2. Deproteinasi
Hasil demineralisasi dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1
dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitin
5
1.2.3. Deasetilasi
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan perbandingan 20:1
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam dan dihasilkan chitosan
2. HASIL PENGAMATAN
Berikut merupakan hasil pengamatan pada praktikum mengenai proses pembuatan kitin dan
kitosan dari limbah crustaceae dengan menggunakan perlakuan berbagai tingkatan
konsentrasi asam dan basa, dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Pengaruh Tingkatan Konsentrasi Asam dan Basa Terhadap Rendemen Kitin dan
Kitosan yang Diperoleh.
Kelompok PerlakuanRendemen Kitin I (%)
Rendemen Kitin II (%)
Rendemen Kitosan (%)
D1HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%32,14 25 48,25
D2HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5%32,14 31,38 39,43
D3HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%36,84 45,71 46,80
D4HCl 1N + NaOH 50% + NaOH
3,5%34,78 37,78 39,20
D5HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5%29,17 32,73 39,14
Pada Tabel 1 di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar peningkatan konsentrasi
asam HCl yang ditambahkan dalam proses demineralisasi akan mengakibatkan %
rendemen kitin I yang semakin kecil dan berlaku sebaliknya. Penggunaan NaOH dengan
konsentrasi sama sebesar 3,5% digunakan dalam tahapan deproteinasi dalam menghasilkan
rendemen kitin II. Selanjutnya semakin besar nilai konsentrasi NaOH yang ditambahkan
dalam proses deasetilasi akan menghasilkan rendemen kitosan yang semakin kecil. Adapun
% rendemen kitin II tertinggi terdapat pada kelompok D3 (HCl 1N) sebesar 45,71 dan
terendah pada kelompok D5 (HCl 1,25%) sebesar 25. Selanjutnya % rendemen kitosan
tertinggi terdapat pada kelompok D1 (NaOH 40%) sebesar 48,25 dan terendah pada
kelompok D5 (1,25 N) sebesar 39,14. Adapun pada data hasil pengamatan masih belum
menunjukan secara jelas pengaruh konsentrasi asam dan basa terhadap % rendemen kitin I
dan kitosan yang diperoleh. Hal ini disebabkan karena nilai yang diperoleh tidak
menunjukan suatu pola garis lurus (data bersifat fluktuatif).
3. PEMBAHASAN
Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang dikenal akan produk hasil lautnya
dalam jumlah yang tinggi. Tingginya sumber daya hasil produk laut terkhusus yang berasal
dari golongan crustaceae tidak diimbangi dengan kemampuan pengolahan limbah
produknya yang dihasilkan. Tingginya limbah hasil pengolahan yang menempati porsi
cukup besar sekitar 20% - 30% setiap tahunnya menurut Sakthivel et al (2015) merupakan
suatu permasalahan tersendiri, diketahui bahwa limbah tersebut memiliki kelemahan
dimana dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk mendegradasi senyawa tersebut. Limbah
udang (kulit dan kepala) pada umumnya saat ini hanya dimanfaatkan lebih lanjut sebagai
bahan perasa, pembuatan krupuk, terasi, dan dimanfaatkan sebagai pakan ternak
(Abdulkarim et al, 2013). Maka dari itu diperlukan suatu pemanfaatan lebih jauh untuk
memanfaatkan nilai fungsionalitas yang lebih dari limbah udang dengan cara mengubah
mengubah senyawa kitin yang terdapat dalam limbah crustaceae dan diubah menjadi
senyawa kitosan melalui peristiwa diasetilasi (Jiffy et al, 2013). Sehingga dalam percobaan
ini ingin mengetahui proses pemanfaatan limbah udang menjadi kitin dan kitosan yang
dapat dimanfaatkan lebih lanjut.
Gambar 1. Struktur Kitin dan Kitosan
(atas dan bawah) (Islam et al, 2011)
8
Kitin merupakan senyawa dengan bentuk homopolimer linear (karbohidrat) dari N-asetil D-
glukosamin dengan ikatan β-1,4 glikosidik yang tersusun atas 2000-3000 monomer
(Abdulkarim et al, 2013). Kitin dengan mudah diekstraksi dalam limbah hasil laut yang
berasal dari golongan udang, lobster, kepiting, dan kerang-kerangan (crustaceae).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Zaku et al (2011) mengungkapkan bahwa
ekstraksi kitin dapat diperoleh dari penggunaan bahan berupa limbah dari sejenis ikan
gurame (carp fish).
Kitosan merupakan senyawa polimer yang dihasilkan melalui peristiwa deasetilasi kitin
yang merupakan kation polisakarida dengan bentuk rantai linear dengan rantai utama 2-
asetamida-2-deoksi-β-D-glukopiranosa yang berikatan β-1,4 (Sakthivel et al, 2015) Proses
deasetilasi dapat terjadi secara dua cara yaitu baik secara enzimatis dengan penggunaan
enzim kitin deasetilase, maupun penggunaan secara kimiawi (Abdulkarim et al, 2013).
Adapun dalam percobaan ini peristiwa deasetilasi yang dilakukan secara kimiawi dengan
pelarutan senyawa kitin yang didapatkan dengan larutan NaOH. Menurut Zaku et al (2011)
proses deasetilasi yang dilakukan secara enzimatis akan menghasilkan ukuran produk yang
lebih seragam dengan derajat deasetilasi yang tinggi sebesar 80-90%.
Pemanfaatan limbah udang menjadi senyawa kitosan menjadi perhatian khusus pada saat
ini dibandingkan pemanfaatan menjadi produk hasil lainnya. Hal ini disebabkan dilihat dari
sifat keduanya yang bersifat biodegradasi, biokompabilitas, non toksik, aman bagi
lingkungan, dan memiliki kemampuan lebih sebagai antitumor, antimikroba, antigastritis,
mampu meransang dari terbentuknya senyawa metabolit sekunder pada tanaman, serta
sebagai senyawa antifungal (Ishikara et al, 2015). Dalam bidang pangan kitin dan kitosan
banyak dimanfaatkan sebagai bahan antimikroba, agen penstabil, agen emulsifier, agen
pengental, agen pengklat dan flokulasi (Yen et al, 2009). Dalam penelitian yang dilakukan
oleh Paul et al (2013) melakukan penelitian mengenai pengembangan kitosan yang mampu
digunakan sebagai kemasan bioaktif yang mampu memperpanjang dari produk ikan yang
telah diproses. Kitosan mampu digunakan sebagai pengemas pangan dikarenakan sifatnya
yang mampu membentuk semi-permeable film dan kemampuannya yang bersifat
9
antimikroba sehingga mampu menjaga dan memperpanjang umur simpan suatu produk
pangan dengan maksimal (Paul et al, 2013).
Bahan yang digunakan dalam percobaan ini berupa produk limbah udang yang telah
mengalami pengecilan dan penghomogenan struktur hingga berbentuk bubuk kasar.
Limbah udang pada umumnya berasal dari kulit dan kepala udang yang bernilai ekonomis
rendah dan hanya mampu dimanfaatkan sebagai pakan ternak, akan tetapi memiliki nilai
fungsionalitas untuk dimanfaatkan menjadi produk lain yang tinggi (Toan, 2009).
Berdasarkan Rao et al (1996) di dalam limbah udang berdasarkan berat kering mengandung
10-20% kalsium, 30-65% protein, dan 8-10% kitin. Adapun proses dalam ekstraksi kitin
dalam limbah udang dilakukan melalui kedua tahap yang terdiri atas; (1) demineralisasi,
dan (2) deproteinasi. Tahapan untuk memperoleh kitosan dilalui dengan melakukan tahapan
deasetilasi dengan menambahkan NaOH pada rendemen kitin ataupun dengan penambahan
enzim deasetilase. Proses demineralisasi dan deproteinasi dapat dilakukan secara bertukar
dan tergantung sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang diharapkan (No & Lee, 1995).
Karateristik kitin yang terdapat dalam limbah udang (kulit dan kepala) terdapat dalam
struktur yang berikatan dengan protein serta mineral. Oleh karena itu untuk memperoleh
kandungan kitin yang murni perlu dilakukannya prinsip dari demineralisasi dan
deproteinasi dengan menggunakan prinsip perubahan pH (pengasaman maupun pembasaan)
(Mazzurelli, 1977). Tahapan awal yang dilakukan dalam percobaan ini merupakan langkah
demineralisasi dengan menggunakan prinsip pelarutan bubuk limbah udang dengan
menggunakan asam HCl. Dalam tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan kandungan
mineral serta kandungan anorganik yang berperan sebagai penyusun utama dalam limbah
cangkang udang, seperti kalsium karbonat maupun kalsum fosfat (Rao et al, 1996).
Penggunaan pelarut asam kuat seperti HCl didasarkan pada sifat yang dimiliki dari mineral
dimana akan terpresipitasi atau memiliki sensitifitas yang tinggi apabila bereaksi dengan
asam. Dimana selama pelarutan dengan asam akan terjadinya perubahan senyawa mineral
dari kalsium karbonat menjadi kalsium fosfat dan kalsium fosfat yang akan dikonversi
menjadi asam fosfat. Senyawa hasil konversi tersebut memiliki sifat polar, sehingga mudah
10
dihilangkan selama pencucian dengan menggunakan pelarut polar seperti air (Rege &
Lawrence, 1999). Sehingga dalam reaksi tersebut akan menghasilkan produk kitin yang
masih berikatan dengan protein, dengan reaksi sebagai berikut :
CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).
Ca3(PO4)2(s) + 2 H3O+(aq) 3 Ca2+(aq) + 2 H3PO4(aq) + O2(g) (Roberts, 1992).
Terbentuknya produk bubuk yang berasal dari limbah udang didapat melalui langkah
pencucian terlebih dahulu dengan menggunakan air mengalir dan dikeringkan. Selanjutnya
dilakukan pencucian dengan menggunakan air panas sebanyak 2 kali dan dikeringkan
kembali. Proses pencucian pada prinsipnya menurut Roger (1986) bertujuan untuk
melakukan pemisahan senyawa pengotor yang terdapat dalam produk limbah padat,
sedangkan pencucian dengan menggunakan air panas bertujuan untuk memudahkan dalam
tahap demineralisasi-deproteinasi dan menekan aktifitas dari pertumbuhan mikoorganisme
yang mempercepat pembusukan. Diketahui bahwa sebagian besar mineral dan protein
memiliki sensitifitas tinggi terhadap suhu yang tinggi. Selanjutnya dilakukan pengecilan
ukuran partikel dengan menggunakan ayakan mesh 40-60 mesh yang bertujuan untuk
memperluas permukaan kontak limbah udang dengan senyawa asam dan basa yang akan
direaksikan (Ishikara et al, 2015). Selain memperluas kontak permukaan bahan yang
dimiliki, adanya pengecilan stuktur ukuran dari kitin-kitosan hingga skala nano menurut
(Ishikara et al, 2015) merupakan langkah yang tepat dalam memaksimalkan fungsionalitas
yang dimiliki kitin-kitosan. Hal ini disebabkan kitin-kitosan yang memiliki luas permukaan
dalam skala nano akan memiliki kemampuannya yang lebih sebagai senyawa pengklat
(chelating agent) terhadap senyawa logam dan memiliki greater influences terhadap
aktivitasnya yaitu sebagai senyawa antimikrobial. Dengan hal ini menjelaskan bahwa
pengecilan ukuran merupakan hal yang penting dalam memaksimalkan kapasitas
fungsional yang dimiliki oleh kitin-kitosan (Ishikara et al, 2015).
Selanjutnya limbah udang yang berbentuk bubuk direaksikan dengan tingkatan konsentrasi
asam HCl yang berbeda-beda antar grup kelompok (0,75 N; 1 N; 1,25 N). Proses
11
dilanjutkan dengan melakukan pengadukan selama 1 jam sembari larutan dipanaskan pada
suhu 80oC selama 1 jam. Proses pemanasan bertujuan dalam memaksimalkan proses
perusakan mineral yang diketahui memiliki kesentifitasan tinggi terhadap panas dan
pengadukan bertujuan untuk menghindari terjadinya pembentukan gelembung selama
proses pemanasan berlangsung (Zaku et al, 2011) Untuk mengetahui apakah demineralisasi
yang dilakukan memiliki derajat yang optimum perlu dilakukan pengujian lebih lanjut
mengenai kandungan mineral yang terkandung di dalamnya setelah pengujian
demineralisasi berlangsung, seperti terhadap kadar kalsium dan abu yang dimiliki oleh
sampel seperti yang dilakukan dalam penelitian (Zaku et al, 2011)
Berdasarkan hasil percobaan didapatkan bahwa % rendemen kitin I terkecil dimiliki oleh
kelompok D5 dengan konsentrasi HCl 1,25 N sebesar 29,17. Sedangkan nilai terbesar
terdapat dalam kelompok D3 dengan konsentrasi HCl 1 N sebesar 36,84. Diketahui
menurut Sakthivel et al (2015) bahwa proses demineralisasi yang optimum sangat erat
kaitannya dengan penggunaan tingkatan konsentrasi pelarut asam HCl yang digunakan dan
lama proses waktu pemanasan yang berikan. Semakin tinggi konsentrasi HCl dan semakin
lama waktu pemanasan akan menghasilkan efektifitas yang tinggi dalam proses
penghilangan komponen mineral dalam limbah udang Sakthivel et al (2015). Akan tetapi
pemanasan yang berlebihan dalam jangka waktu yang lama menurut penelitian yang
dilakukan oleh Sakthivel et al (2015) merupakan bukanlah suatu langkah yang baik dalam
menjaga agar kandungan zat gizi dan fungsionalitas lainnya yang terdapat dalam limbah
seperti kandungan vitamin tetap terjaga dengan baik. Walaupun pemanasan yang
berlebihan secara teori bersifat sangat efektif dalam penghilangan komponen mineral secara
utuh dalam limbah udang. Jika dilihat dari hasil penelitian menunjukan hasil yang tepat
dimana pada kelompok D5 dengan penggunaan konsentrasi HCl tertinggi memiliki %
rendemen kitin I terkecil, yang menandakan bahwa semakin banyak komponen mineral
yang terpresipitasi dalam larutan asam. Keganjilan hasil percobaan terdapat pada
kelompok D3 dan D4 dengan penggunaan konsentrasi HCl (1 N) yang lebih besar daripada
konsentrasi HCl pada kelompok D1 dan D2 sebesar (0,75 N) akan tetapi memiliki %
rendemen kitin I yang lebih kecil. Hal ini dimungkinkan terdapat kesalahan dalam tahap
12
akhir dalam perlakuan penetralan pH kitin yang diperoleh dengan air mengalir dan
penimbangan bobot produk hingga dihasilkan berat bersih produk kering. Perlakuan
penimbangan produk kitin yang tidak tepat dengan membiarkan kitin tertinggal dalam kain
saring dan tidak terikut dalam proses penimbangan merupakan salah satu penyebab yang
menghasilkan ketidakstabilan bobot bersih yang bersifat fluktuatif dan terkesan tidak
dipengaruhi oleh pengaruh penambahan asam HCl dengan perbedaan konsentrasi.
Proses selanjutnya adalah dengan melakukan deproteinasi pada rendemen kitin yang telah
dikeringkan. Dalam tahapan ini bertujuan untuk memurnikan kembali kitin yang diketahui
bahwa kitin berikatan dengan protein yang terdapat dalam limbah udang. Adapun tujuan
lain selain pemurnian kitin adalah untuk mencegah terjadinya pemanfaatan protein oleh
mikroorganisme yang mempercepat terjadinya reaksi pembusukan (Frazier & Westhoff,
1988). Tahapan ini dilakukan karena pada umumnya setelah pelarutan dalam asam pada
metode demineralisasi masih terdapatnya komponen kitin yang berikatan dengan protein.
Penggunaan basa kuat NaOH dalam penghilangan komponen protein pada prinsipnya
memanfaatkan dari sifat protein yang memiliki kesentifitasan yang tinggi pada saat
perubahan pH berlangsung. Adapun mekanisme yang terjadi adalah dengan cara NaOH
akan masuk ke dalam jaringan kitin dan akan merusakan ikatan garam yang terdapat dalam
protein, sehingga akan mengakibatkan terdenaturasinya protein dalam larutan dan
selanjutnya dapat dipisahkan (Faigin, 1997). Mekanisme perusakan ikatan garam protein
diawali dengan terbentuknya ikatan ion positif Na+ yang berasal dari NaOH yang
selanjutnya akan berikatan dengan rantai protein pada bagian ujung yang memiliki muatan
negatif dan akan mengakibatkan terdenaturasinya protein dan pembentukan natrium
proteinat yang mampu dihilangkan melalui pencucian dengan menggunakan aquades pada
saat penetralan pH berlangsung. Selanjutnya percobaan dapat dilanjutkan dengan
melakukan uji biuret untuk memastikan bahwa protein yang terdapat dalam kitin benar-
benar terpisahkan (Faigin, 1997).
Perlakuan pemanasan yang diberikan dalam tahapan ini berperan dalam meningkatkan
efektifitas penghilangan protein yang juga mudah terpresipitasi dengan perlakuan panas,
13
membantu pemecahan protein, serta mengkonsentrasikan larutan basa yang digunakan.
Pengadukan dilakukan bertujuan untuk memaksimalkan saat perlakuan pemanasan
berlangsung sehingga protein yang berikatan dengan kitin akan terurai secara sempurna.
Penggunaan ketetapan konsentrasi NaOH sebesar 3,5% dan tidak diberikan perlakuan
variasi bertujuan untuk menghindari terjadinya peristiwa deasetilasi yang terlalu cepat dan
peristiwa depolimerisasi pada rantai kitin yang mampu menurunkan kualitas dari kitin
akibat dihasilkannya komponen hidrolisat (Mizani & Aminlari, 2007). Dapat dikatakan
bahwa NaOH sebesar 3,5% merupakan konsentrasi yang efektif dalam memisahkan
komponen protein dengan kitin. Akan tetapi penentuan konsentrasi NaOH yang digunakan
dalam tahapan deproteinasi sangat erat kaitannya dengan seberapa kuat ikatan yang dimiliki
antara protein dengan kitin (Toan, 2009). Dengan hal ini untuk menghindari terjadinya
peristiwa depolimerisasi akibat penggunaan konsentrasi pelarut yang tidak tepat dapat
dimanfaatkan metode alternatif dalam penghilangan komponen protein yang berikatan
dengan kitin dengan menambahkan enzim proteinase yang mampu memecah protein
menjadi bentuk yang lebih sederhana dan pada akhirnya dapat dipisahkan (Waldeck et al,
2006). Akan tetapi dengan kelemahan yaitu dibutuhkannya durasi yang lebih panjang
dibandingkan metode deproteinasi dengan pelarutan menggunakan basa kuat. Tahapan
selanjutnya yang dilakukan sama dengan fungsi yang sama seperti yang terdapat dalam
metode demineralisasi, seperti penyaringan, pencucian, dan pada akhirnya dilakukan
pengeringan (Rao et al, 1996). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Toan (2009) dalam
memaksimalkan tahapan demineralisasi dan deproteinasi dalam menghasilkan kitin dan
kitosan dapat dilakukan dengan cara pemberian pre-treatment seperti autolisis dengan
menggunakan penambahan enzim, sehingga mampu menurunkan kadar protein dan mineral
hingga 1%, dibandingkan dengan metode umum yang hanya mampu meninggalkan
kandungan mineral dan protein hanya sebesar 5%.
Proses terakhir yang dilakukan berupa deasetilasi bertujuan untuk melakukan konversi
komponen kitin yang didapat menjadi kitosan melalui proses tersebut. Prinsip dalam
perlakuan deasetilasi adalah pelarutan komponen NaOH dalam basa kuat dengan tingkatan
konsetrasi yang berbeda (40%; 50%; 60%) dan dilanjutkan dengan pemanasan untuk
14
meningkatkan efektifitas proses deasetilasi. Pentingnya dilakukan deasetilasi adalah untuk
melakukan konversi kitin menjadi kitosan dan diketahui bahwa kitin merupakan komponen
yang sukar terlarut dalam pelarut yang disebabkan tebalnya struktur sel dalam kitin, dan
ikatan yang kuat antara atom H yang terdapat dalam gugus amina dengan oksigen dalam
gugus karbonil (Agustina & Kurniasih, 2013). Melihat dari fungsinya yang banyak
berperan dalam agen penstabil dan pengental dalam industri pangan (Jiffy et al, 2013)
sehingga diperlukan treatment deasetilasi yang mampu merubah karateristik kitin dalam
permasalahan kelarutan dalam pelarut kimia. Mekanisme proses deasetilasi terjadi melalui
hidrolisis amida (kitin) yang diawali dengan berikatannya gugus OH- yang berasal dari
NaOH dengan gugus NHCOCH3, diikuti reaksi selanjutnya dalam tahapan eliminasi gugus
CH3COO hingga menghasilkan gugus amina yang terdapat dalam rantai utama yang disebut
dengan kitosan (Kurniasih & Kartika, 2011). Secara sederhana peristiwa deasetilasi
merupakan penghilangan gugus asetil yang terdapat dalam kitin yang sebelumnya berikatan
dengan gugus N-asetil yang terdapat dalam gugus amin dengan bantuan kombinasi yang
sinergis dari basa kuat dan panas yang diberikan (Abdulkarim et al, 2013). Berikut
merupakan mekanisme dari deasetilasi yang akan mengkonversi kitin menjadi kitosan.
Gambar 2. Mekanisme Deasetilasi chitosan (Champagne, 2002)
15
Dapat dilihat pada gambar di atas bahwa dalam proses deasetilasi pada produk akhir akan
terjadinya peningkatan jumlah gugus NH2 yang terdapat dalam gugus akhir dari rantai
utama. Dengan terbentuknya gugus amina (NH2) kitosan akan memiliki kemampuannya
sebagai senyawa pengkhelat (mampu mengadsorpsi ion logam). Terjadinya mekanisme ini
membuat kitin memiliki karateristik peningkatan derajat kelarutan dan absorbansi.
Perlakuan selanjutnya dalam tahap deasetilasi adalah dengan melakukan pengadukan yang
bertujuan optimalisasi kontak rendemen kitin dengan basa kuat yang digunakan, pemanasan
bertujuan untuk menghilangkan gugus asetil kitin, penyaringan dan pencucian yang
digunakan dalam penetralan pH yang dimiliki oleh kitosan, serta langkah yang paling akhir
berupa proses pengeringan oleh bantuan oven (Kurniasih & Kartika, 2011). Dalam
mengetahui apakah derajat deasetilasi yang dilakukan telah bersifat optimal dapat
dilakukan dengan cara metode FTIR (Abdulkarim et al, 2013).
Berdasarkan hasil percobaan mengenai % rendemen kitosan tertinggi terdapat pada
kelompok D1 (NaOH 40%) sebesar 48,25 dan terendah pada kelompok D5 (1,25 N)
sebesar 39,14. Hasil ini menunjukan dan dipengaruhi oleh metode sebelumnya (seberapa
banyak % rendemen kitin yang diperoleh sebelumnya). Apabila proses demineralisasi dan
deproteinasi dilakukan dengan konsentrasi pelarut yang sama maka akan menghasilkan data
dengan pola dimana penggunaan konsentrasi NaOH tertinggi akan menghasilkan %
rendemen kitosan yang tertinggi. Hal ini didukung oleh pernyataan dari Sinaga (2009) yang
berpendapat bahwa semakin tingginya konsentrasi NaOH akan menghasilkan produk
kitosan yang dengan derajat deasetilasi yang tinggi. Akan tetapi konsentrasi NaOH yang
tinggi akan menurunkan waktu dan suhu optimal pemanasan (Ishikara et al, 2015).
Penggunaan suhu dan waktu pemanasan yang sama antar kelompok dengan penggunaan
konsentrasi NaOH yang berbeda bukanlah merupakan hal yang tepat dan justru akan
menyebabkan ketidakvalidan data pada kelompok dengan penggunaan konsentrasi NaOH
tertinggi. Selain hal tersebut ketidakvalidan pada data disebabkan pada saat pencucian
untuk menperoleh kitosan yang tidak dilakukan secara hati-hati yang mampu menyebabkan
terjadinya % rendemen kitosan yang dihasilkan.
16
Menurut Dutta et al (2004) suatu proses deasetilasi yang berjalan secara optimum
dipengaruhi oleh faktor nilai dari konsentrasi basa kuat yang digunakan, suhu dan waktu
pemanasan, serta jenis limbah crustacean yang dimanfaatkan. Konsentrasi basa kuat dan
suhu pemanasan yang digunakan merupakan parameter yang memiliki kaitan yang kuat
dalam terbentuknya kitosan dengan kualitas yang optimum. Secara teoritis semakin tinggi
konsentrasi basa kuat dan suhu pemanasan yang digunakan akan memaksimalkan proses
deasetilasi hingga terbentuknya kitosan secara murni dalam jumlah rendemen yang semakin
tinggi. Akan tetapi berdasarkan penelitian yang diakukan oleh Sinaga (2009) menunjukan
bahwa konsentrasi NaOH optimal dalam proses deasetilasi berada pada nilai 50%. Berbeda
pada penelitian yang dilakukan oleh Agustina & Kurniasih (2013) yang memberikan
kesimpulan bahwa konsentrasi NaOH optimal sebesar 60% yang mampu menghasilkan %
rendemen dari kitosan sebesar 67,08%.
Dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa % pelarut yang digunakan dalam proses deasetilasi
merupakan suatu hal yang relatif dan nilai penentuan konsentrasi yang optimal sangat
ditentukan oleh karateristik dari limbah tersebut. Semakin mudah limbah tersebut untuk
dilakukan proses deasetilasi maka akan menghasilkan derajat deasetilasi yang besar dan %
rendemen yang dihasilkan juga sangat dipengaruhi oleh kondisi selama percobaan
berlangsung. Dengan hal ini memberikan kesimpulan bahwa hasil pengamatan yang
didapatkan belum bersifat optimal mengenai pengaruh tingkatan konsentrasi pelarut
terhadap rendemen kitin dan kitosan yang didapatkan. Oleh karena itu tidak dapat diberikan
kesimpulan mengenai tingkatan konsentrasi teroptimal dalam menghasilkan % rendemen
kitin dan kitosan tertinggi. Selain itu dikarenakan hanya menggunakan pengujian berat saja,
maka tidak dapat diketahui mengenai kualitas dari kitin dan kitosan yang dihasilkan.
Ketidakvalidan pada data dipengaruhi juga oleh beberapa faktor lain diantaranya adalah
ketidaksesuaian penambahan konsentrasi asam dan basa yang ditambahkan, proses
pengovenan dengan suhu dan waktu yang tidak tepat, proses penetralan rendemen yang
tidak maksimal, dan adanya rendemen yang hilang selama proses pencucian berlangsung.
Untuk mengetahui kualitas dari kitin dan kitosan yang diperoleh dibutuhkan uji lebih lanjut
17
mengenai karateristik viskositas, kelarutan dalam air, turbiditas, warna, bau, serta berat
molekul yang dimiliki (Toan, 2009).
Terdapat perlakuan tambahan yang tidak dilakukan dalam percobaan pada kali ini yaitu
proses dekolorasi. Perlakuan ini terdapat diantara tahapan deproteinasi dan deasetilasi.
Proses dekolorasi bertujuan untuk menghilangkan sebagian besar zat warna (pigmen) yang
terdapat dalam kulit udang (Sakthivel et al, 2015). Proses ini bersifat kondisional dan dapat
tidak dilakukan pada saat ekstraksi kitin dan kitosan. Alhasil hasil kitosan yang didapatkan
pada percobaan kali ini memiliki warna kecoklatan hasil dari pigmen yang tersisa dalam
limbah udang yang tidak dihilangkan melalui proses dekolorisasi. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Abdulkarim et al (2013) menunjukan bahwa diberikannya perlakuan
dekolorasi akan mengakibatkan terbentuknya kitosan yang tidak berwarna, sehingga
mampu diaplikasikan bagi suatu industri pangan tanpa dipengaruhi oleh warna yang
terbentuk dari pigmen yang tertinggal dalam limbah tersebut.
4. KESIMPULAN
Kitin dapat dengan mudah diekstraksi dalam limbah hasil laut yang berasal dari
golongan udang, lobster, kepiting, dan kerang-kerangan (crustaceae) dan merupakan
penyusun utama dalam limbah crustaceae (kulit dan kepala).
Kitosan diproduksi dengan memberikan perlakuan deasetilasi terhadap kitin yang
dihasilkan.
Pengolahan limbah golongan crustaceae sangat penting dilakukan karena memiliki
nilai manfaat yang tinggi sebagai bahan antimikroba, agen penstabil, agen emulsifier,
agen pengental, agen pengklat dan flokulasi, serta dimanfaatkan sebagai bahan bagi
bioactive packaging.
Tahapan dalam pengolahan limbah crustaceae menjadi kitin dan kitosan terdiri dari
demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi.
Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral seperti kalsium
karbonat maupun kalsum fosfat dengan menggunakan pelarut asam kuat (HCl).
Deproteinasi merupakan metode untuk memurnikan kitin yang diketahui berikatan
dengan protein yang terdapat dalam limbah udang dengan menggunakan larutan basa
kuat (NaOH).
Semakin tinggi konsentrasi HCl dan NaOH yang digunakan akan mengakibatkan
semakin banyaknya mineral dan protein yang terlarut dan akan menghasilkan kitin
dengan kemurnian yang tinggi.
Pemanasan berperan dalam meningkatkan efektifitas proses demineralisasi dan
deproteinasi dengan perlakuan panas, membantu pemecahan protein dan mineral, serta
mengkonsentrasikan larutan yang digunakan.
Pengadukan bertujuan untuk memaksimalkan saat perlakuan pemanasan berlangsung
sehingga protein dan mineral yang berikatan dengan kitin akan terurai secara
sempurna.
Konsentrasi pelarut dan suhu pemanasan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan
kemurnian dari kitin yang meningkat akan tetapi menurunkan kualitas yang dimiliki.
19
Deasetilasi merupakan kondisi penghilangan gugus asetil dalam kitin yang akan
menghasilkan kitosan yang tersusun atas gugus NH2 dalam jumlah yang tinggi.
Deasetilasi yang dilakukan pada percobaan ini secara kimiawi dengan pelarutan
rendemen kitin dalam larutan basa kuat NaOH.
Semakin tinggi konsentrasi NaOH dalam proses deasetilasi akan menghasilkan produk
kitosan yang dengan derajat deasetilasi yang tinggi.
Akan tetapi NaOH dengan konsentrasi tinggi akan menurunkan waktu dan suhu
optimal pemanasan sehingga penggunaan suhu dan waktu pemanasan antar kelompok
bukanlah merupakan yang tepat.
Derajat deasetilasi sangat dipengaruhi oleh faktor nilai dari konsentrasi basa kuat yang
digunakan, suhu dan waktu pemanasan, serta jenis limbah crustacean yang
dimanfaatkan.
Derajat deasetilasi yang tinggi dapat diperoleh dengan perlakuan secara enzimatis.
Ketidakvalidan pada data dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah
ketidaksesuaian penambahan konsentrasi asam dan basa, suhu dan lama pemanasan,
suhu dan waktu proses pengovenan, proses penetralan rendemen yang tidak maksimal,
dan adanya rendemen yang hilang selama proses pencucian berlangsung.
Kualitas kitin-kitosan yang diperoleh dalam kondisi yang terbaik didapatkan melalui
pengolahan yang diberikan perlakuan pre-treatment dengan pembekuan bahan ataupun
autolisis parsial.
Tidak diberikannya perlakuan dekolorasi mengakibatkan pada warna kecoklatan yang
terdapat dalam produk akhir kitosan.
Semarang, 29 Oktober 2015Praktikan Asisten Dosen :
Michael Heryanto Tjan, Ivana Chandra (13.70.0004)
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdulkarim .A; Muhammed T.I; Surajudeen .A; Abubakar J.M; & Alewo O.A. 2013. Extraction and characterisation of chitin and chitosan from mussel shell.
Champagne, L.M. 2002. The Synthesis of Water Soluble n-acyl Chitosan Derivatives for Characterization as Antibacterial Agent, Dissertation. University of Louisiana. United States.
Dutta, P.K, Dutta, J, Tripathi, V.S. 2004. Chitin and Chitosan: Chemistry, Properties and Application. J.Sci.Ind.Res Vol 63:-20-31.
Faigin, C.O. 1997. Protein Stability and Stabilization of Protein Function. Landes Bioscience. Texas.
Frazier, W.C & D.C, Westhoff. 1988. Food Microbiology 4th Edition. McGraw Hill. New York.
Ishikara .M; Vinh Q.Y; Yasutaka .M; Shingo .N; & Hidemi .H. 2015. Adsorption of silver nanoparticle onto different surface structures of chitin/chitosan and correlations with antimicrobial activities. International Journal of Molecular Sciences. ISSN 1422-0067.
Islam, M.M, Masum, S.M, Rahman, M.M, Molla, M.A.I, Shaikh, A.A, Roy, S.K. 2011. Preparation of Chitosan From Shrimp Shell and Investigation on it’s Properties. International Journal of Basic & Applied Science Vol 11(1):77-80.
Jiffy, P.P, Sharmila, J.J.W & K, Mohan. 2013. Development of Chitosan Based Active Film to Extend the Self Life of Minimally Processed Fish. Engineering & Technology Vol 1(5):15-22.
Kurniasih, M & D, Kartika. 2011. Sintesis dan Karaterisasi Fisika-Kimia Kitosan. Jurnal Inovasi Vol 5(1):42-48.
Mazzurelli, R.A.A. 1977. Chitin. Perganon Press. New York.
No, H.K & M.Y, Lee. 1995. Isolation of Chitin from Crab Shell Waste. J.Korean.Soc.Food.Nutr Vol 24:105-113.
21
Paul .J; Sharmila J.J.W; & K Mohan. 2013. Development of chitosan based active film to extend the shelf life of minimally processed fish. International Journal of Research In Engginering and Technology. ISSN 2321-8843.
Rao, M.S, Stevens, W.F, Varum, K.M. 1996. The Proceedings of the Second Asia Pasific Chitin and Chitosan Symposium. Thailand.
Rege, P.R & H.B, Lawrence. 1999. Chitosan Processing : Influence of Process Parameter During Acidic and Alkaline Hydrolysis and Effect of the Processing Sequence on the Resultan Chitosan’s Properties. Carbhy.Res Vol 321:235-245
Robert. G.A.F. 1992. Preparation of Chitin and Chitosan. The Macmillan Press. London.
Roger, E.P. 1986. Fundamental of Chemistry. California Science Publishing Ltd. England.
Sakthivel .D; N. Vijayakumar; & V.Anandan. 2015. Extraction of chitin and chitosan from mangrove crab Sesarma plicatum from thengaithittu estuary pondicherry southeastcoast of india. Internatonal Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Research. ISSN 2349-7203.
Sinaga. P.A.K. 2009. Perekat Berbasis Kitosan Untuk Papan Isolasi. Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor
Toan, N.V. 2009. Production of Chitin and Chitosan from Partially Autolyzed Shrimp Shell Material. Open.Biomal.J Vol 1:21-24.
Walldeck, J, Daum, G, Bisping, B & F, Meinhardt. 2006. Isolation and Molecular Characterization of Chitinase-Deficient Bacillus liceniformis Strains Capable of Deproteinization of Shrimp Shell Waste to Obtain Higly Viscous Chitin.
Yen, M.T, Yang, J.H, Mau, J.L. 2009. Physicochemical Characterization of Chitin and Chitosan from Crab Shells. Carbohydrate Polymer Vol 75:15-21.
Zaku S.G; S.A. Emmanuel; & S.A. Thomas. 2011. Extraction and characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of common carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known source. African Journal of Food Sciences. ISSN 1996-0794.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering
beratbasa h I× 100 %
Rendemen Chitin II = berat kitin
berat basa h II×100 %
Rendemen Chitosan = berat kitosan
berat basa h III×100 %
Kelompok D1
Rendemen Chitin I = 4,514
× 100 %
= 32,14 %
Rendemen Chitin II = 28
× 100 %
= 25 %
Rendemen Chitosan = 1,523,15
×100 %
= 48,25 %
Kelompok D2
Rendemen Chitin I = 4,514
× 100 %
= 32,14%
Rendemen Chitin II = 2,046,5
× 100 %
= 31,38 %
Rendemen Chitosan = 1,383,5
×100 %
= 39,43 %
Kelompok D3
Rendemen Chitin I = 3,59,5
× 100 %
= 36,84 %
Rendemen Chitin II = 1,63,5
×100 %
23
= 45,71 %
Rendemen Chitosan = 1,172,5
× 100 %
= 46,80 %
Kelompok D4
Rendemen Chitin I = 4
11,5× 100 %
= 34,78 %
Rendemen Chitin II = 1,74,5
× 100 %
= 37,78 %
Rendemen Chitosan = 0,982,5
× 100 %
= 39,20 %
Kelompok D5
Rendemen Chitin I = 3,512
×100 %
= 29,17 %
Rendemen Chitin II = 1,85,5
×100 %
= 32,73 %
Rendemen Chitosan = 1,373,5
× 100 %
= 39,14 %
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal