1. MATERI METODE 1.1. Materi 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan gelas, pengaduk, pemanas elektrik, cawan porselin, label, timbangan analitik, dan pH meter. 1.1.2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah limbah kulit udang, HCl 0,75 N, HCl 1 N, HCl 1,25 N, NaOH 3,5%, dan air. 1.2. Metode 1.2.1. Demineralisasi Limbah udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan, lalu dicuci dengna air panas 2 kali, dan dikeringkan kembali. Limbah udang kemudian dihancurkan hingga menjadi serbuk dan diayak dengan ayakan 40-60 mesh. HCl ditambahkan dengan perbandingan 10:1. Kelompok B1 dan B2 menggunakan HCl 0,75N, B3 dan B4 HCl 1N, dan B5 HCl 1,25N 1
kitin adalah polisakarida paling banyak kedua di alam, setelah selulosa, dan sebagian besar ada di limbah dari pengolahan produk makanan laut (kepiting, udang dan krill kerang). Sedangkan kitosan adalah modifikasi dari senyawa kitin yang banyak terdapat dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang dan kepiting
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, ayakan, peralatan
Setelah proses penambahan HCl, selanjutnya kitin tersebut dipanaskan pada suhu 90oC
dengan diaduk secara terus menerus selama 1 jam. Proses pemanasan selama 1 jam ini
berfungsi untuk mempercepat proses perusakan mineral. Sedangkan proses pengadukan
yang dilakukan bersamaan dengan proses pemanasan ini bertujuan untuk menghindari
timbulnya gelembung-gelembung udara yang akibat proses pemisahan mineral selama
terjadinya proses demineralisasi (Puspawati et al., 2010). Gelembung-gelembung udara
merupakan dampak dari terbentuknya gas CO2 pada saat larutan HCl ditambahkan ke
dalam sampel pada proses perusakan mineral (demineralisasi). Reaksi yang terjadi pada
proses terbentuknya gelembung dari gas CO2ini adalah sebagai berikut:
CaCO3(s) + 2HCl(l) CaCl2(s) + H2O(l) + CO2(g).
(Robert, 1992)
Setelah proses pemanasan, selanjutnya kitin tersebut kemudian dicuci dengan air hingga
pH air tersebut menjadi netral dimana pH tersebut diuji dengan menggunakan kertas
lakmus. Setelah kitin tersebut mencapai pH netral (berwarna hijau), lalu kitin tersebut
dikeringkan dengan oven selama 24 jam. Adanya proses demineralisasi ini harus
dilakukan untuk menghilangkan garam-garam anorganik serta kandungan mineral yang
dikandung oleh kitin, terutama kandungan kalsium karbonat (CaCO3) (Hargono &
Haryani, 2004). Proses demineralisasi ini akan mengakibatkan kalsium karbonat beraksi
16
dengan asam klorida sehingga membentuk kalsium klorida, asam karbonat, dan asam
fosfat yang merupakan senyawa yang larut dengan pelarut polar seperti air sedangkan
residu yang tidak larut dengan pelarut polar (air) merupakan senyawa kitin yang telah
terekstrak. Karena mineral yang ada pada kitin terlarut dengan air, maka diperlukannya
proses penyaringan dalam proses penetralan pH ini sehingga hanya residu kitin saja
yang tersisa (Bastaman, 1989). Adanya proses pengeringan menggunakan oven berguna
untuk menghilangkan kadar air pada bahan sehingga bahan yang diperoleh menjadi
kering Bastaman, 1989). Setelah proses pengeringan tersebut, maka kitin yang
dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih (Ramadhan et al., 2010). Hal ini
sesuai dengan praktikum yang dilakukan bahwa hasil yang didapatkan berwarna putih.
Setelah proses selesai dilakukan, bahan ditimbang berat keringnya, dan dihitung %
rendemen dengan rumus :
Rendemen Kitin I = berat keringberat basah I
x 100%
Rendemen kitin I yang dihasilkan setelah proses demineralisasi ini dapat dilihat pada
hasil pengamatan. Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa rendemen kitin I tertinggi
didapatkan oleh kelompok B2 dengan penambahan HCl 0,75 N. Sedangkan rendemen
kitin I terendah didapatkan oleh kelompok B4 dengan penambahan HCl 1 N. Hasil yang
didapatkan pada praktikum kali ini tidak sesuai dengan teori yang ada. Pada dasar teori
menurut Johnson dan Peterson (1974) dikatakan bahwa penambahan asam atau basa
dengan konsentrasi yang lebih tinggi dengan disertai proses atau waktu yang lebih
panjang,hal ini akan mengakibatkan lepasnya atau regannya ikatan protein dan mineral
dengan kitin serta bahan organik lainnya yang ada pada kulit udang. Dan apabila
konsentrasi HCl yang ditambahkan juga semakin tinggi maka rendemen kitin yang
dihasilkan juga akan semakin banyak pula. Hal ini dikarenakan adanya senyawa-
senyawa mineral pada serbuk udang akan semakin mudah untuk dilepaskan. Dari teori
tersebut dapat ditarik pernyataan bahwa penambahan HCl dengan konsentrasi yang
lebih besar akanmenghasilkan rendemen kitin I (setelah proses demineralisasi) yang
lebih banyak pula.
17
Ketidaksesuaian teori dengan hasil pengamatan dapat juga disebabkan karena pada
proses penetralan, ada kitin yang terbawa dengan air sehingga nilai rendemennya bisa
menurun. Menurut Ramadhan et al. (2010), pelarut yang paling baik digunakan untuk
proses demineralisasi adalah HCl 1 N. Selain itu pada kelompok C2 juga dihasilkan
rendemen yang sangat tinggi dengan selisih yang jauh bila dibandingkan dengan
kelompok lain. Hal ini dapat disebabkan karena adanya perlakuan pemanasan setelah
penambahan HCl dan ditambah dengan proses pengadukan. Menurut Bastaman (1989),
nilai rendemen tinggi disebabkan karena adanya perlakuan pemanasan setelah
penambahan HCl disertai proses pengadukan. Proses ini akan membantu pelepasan
mineral dalam kitin dan meningkatkan jumlah rendemen yang dihasilkan.
1.1.2. Deproteinasi
Setelah dilakukan proses demineralisasi, selanjutnya kitin tersebut diberikan perlakuan
deproteinasi. Pertama-tama, tepung yang sudah mengalami proses demineralisasi
dicampur dengan NaOH 3,5% dengan 6 : 1. Pengunaan NaOH, berdasarkan teori
Bastaman (1989) ekstraksi kitin melalui proses deproteinasi dapat menggunakan basa
kuat. Larutan tersebut selanjutnya diaduk selama 1 jam dan dipanaskan pada suhu 90oC
selama 1 jam. Menurut Puspawati et al. (2010), penambahan basa NaOH pada proses ini
bertujuan untuk menghilangkan protein. Menurut Rogers (1986), penambahan basa
NaOH pada proses deproteinasi ini bertujuan untuk memisahkan kandungan protein
yang ada pada kitin. Menurut Reece & Mitchell (2003) dan Puspawati & Simpen
(2010), penambahan NaOH berfungsi untuk menghilangkan protein. Adanya tahapan
pemanasan untuk menguapkan air dan mengkonsentrasikan NaOH sedangkan
pengadukan dapat membantu pelarutan NaOH (Rogers, 1986). Setelah itu dilakukan
proses pendinginan lalu kitin dicuci dengan air hingga pHnya netral. Rogers (1986)
mengatakan bahwa netralisasi akan berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin
dengan alkali yang akan menyebabkan proses efektivitas ikatan hidrolisis basa terhadap
gugus asetamida pada rantai kitin akan semakin baik. Pada tahap pencucian ini
digunakan kain saring yang bertujuan untuk memperoleh residu yang tidak tersaring
yang telah memiliki pH netral (Puspawati & Simpen, 2010).
18
Proses pemanasan pada deproteinasi memiliki fungsi yang sama dengan pemanasan dan
pengadukan yang ada pada tahap demineralisasi yaitu untuk menguapkan air dan
mengkonsentrasikan NaOH, sehingga kitin yang dihasilkan lebih maksimal. Proses
pengadukan akan membantu pelarutan NaOH sehingga proses deproteinasi dapat
berjalan dengan baik. Setelah itu dilakukan proses pendinginan lalu kitin dicuci dengan
air hingga pHnya netral. Proses penetralan ini dilakukan seperti pada proses
demineralisasi. Proses netralisasi akan berpengaruh terhadap sifat penggembungan kitin
dengan alkali. Hal ini akan menyebabkan efektivitas proses hidrolisis basa terhadap
gugus asetamida pada rantai kitin akan semakin baik (Rogers, 1986).
Kitin yang sudah netral selanjutnya dikeringkan dengan oven dengan suhu 80oC selama
24 jam. Dalam deproteinasi, larutan NaOH akan terionisasi dalam air dan membentuk
ion natrium dan ion hidroksida. Jika larutan tersebut ditambahkan secara perlahan-lahan
ke dalam larutan asam, maka setiap ion hidroksida akan bereaksi dengan ion hidrogen
membentuk molekul air. Saat ion hidrogen tetap ada di dalam larutan maka larutan akan
bersifat asam. Namun, jika ion hidroksida yang ditambahkan sama dengan jumlah ion
hidrogen maka larutan menjadi netral (Rogers, 1986). Setelah proses pengeringan
tersebut, maka kitin yang dihasilkan akan berbentuk serbuk dengan warna putih
(Ramadhan et al., 2010). Hal ini sesuai dengan praktikum yang dilakukan bahwa hasil
yang didapatkan berwarna putih. Tujuan pengeringan di oven yaitu sama dengan proses
demineralisasi yaitu untuk menghilangkan kadar air pada bahan sehingga bahan yang
kering (Bastaman, 1989). Setelah proses pengeringan selesai dilakukan, bahan
ditimbang berat keringnya. Dan didapatkan produk kitin, kemudian dihitung %
rendemen denga rumus :
Rendemen Kitin II = berat kitin
berat basah II x 100%
Proses deproteinasi bertujuan untuk memisahkan protein dari kitin. Pada praktikum ini,
proses deproteinasi dilakukan setelah demineralisasi. Langkah ini sesuai seperti teori
Alamsyah et al. (2007) yang mengatakan jika isolasi kitin melalui tahap demineralisasi-
deproteinasi akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak dibandingkan dengan
tahap isolasi kitin dengan tahap deproteinasi-demineralisasi. Hal ini disebabkan karena
mineral akan membentuk pelindung yang keras pada kulit udang. Pada umumnya
19
mineral memiliki struktur yang lebih keras dibandingkan protein, sehingga jika mineral
sudah dihilangkan terlebih dahulu maka proses deproteinasi dapat berlangsung lebih
optimal karena pelindung dari mineral sudah dihilangkan.
Berdasarkan tabel 1 pada hasil pengamatan dapat dilihat rendemen kitin II hasil
deproteinasi. Rendemen kitin tertinggi didapatkan oleh kelompok B3 yaitu sebesari
50,00% sedangkan rendemen kitin terendah didapatkan oleh kelompok B4 yaitu sebesar
22,22%. Pada umumnya rendemen kitin yang berasal dari kulit udang akan
menghasilkan rendemen kitin lebih dari 20% (Puspawati et al., 2010). Hal ini sesuai
dengan hasil praktikum bahwa semua hasil yang didapatkan lebih dari 20% dapat dilihat
pada table 1. Berdasarkan teori Fennema (1985) dapat dinyatakan bahwa proses
deproteinasi dengan NaOH yang bersifat basa akan mengoptimalkan proses
penghilangan mineral dan khususnya komponen protein yang berada pada kitin tersebut.
Hal ini bisa saja mengakibatka massa rendemen kitin mengalami penurunan. Jika dilihat
pada hasil pengamatan, semua kelompok sudah sesuai dengan teori tersebut. Hasil
rendemen kitin II dari semua kelompok memiliki nilai yang lebih kecil apabila
dibandingkan dengan rendemen kitin I.
Faktor-faktor yang menyebabkan berhasil atau tidaknya pembuatan kitin antara lain
jenis bahan baku yang digunakan, serta proses ekstraksi kitin yang dibagi menjadi dua
metode yakni proses demineralisasi dan proses deproteinasi. Kitin dapat diekstrak baik
dengan secara kimiawi maupun secara enzimatis. Faktor lain yang mempengaruhi
kualitas kitin dipengaruhi oleh tahapan dan kondisi proses yang di dalamnya termasuk
lamanya proses pengolahan, suhu pengeringan yang digunakan, konsentrasi zat kimia
yang ditambahkan, dan pH saat proses pengekstrakan kitin (Laila & Hendri, 2008).
Dengan semakin lama proses pemanasan (pengeringan), maka hal ini Semakin lama
proses pemanasan yang dilakukan akan menyebabkan denaturasi protein, sehingga
protein yang terlarut berkurang banyak. Namun, apabila pemanasan dilakukan dalam
waktu yang lebih singkat, hal ini mengakibatkan kandungan protein yang terlarut
menjadi lebih rendah karena protein yang ada di dalam kitin tersebut belum larut
sepenuhnya (Winarno, 1997).
20
1.1.3. Deasetilasi
Proses deasetilasi merupakan proses pengubahan kitin menjadi kitosan. Setelah kulit
udang melalui proses pembuatan kitin (demineralisasi dan deproteinasi), maka kitin
yang telah dihasilkan tersebut diberikan perlakuan lanjutan sehingga terbentuk senyawa
turunannya, yakni kitosan. Proses ekstraksi kitosan dari kulit udang sendiri terbagi
menjadi tiga tahap, yakni tahap demineralisasi dan deproteinasi yang merupakan tahap
pembuatan kitin, serta deasetilasi yang akan mengubah senyawa kitin yang telah
terbentuk sebelumnya menjadi senyawa kitosan (Robert, 1992).
Transformasi senyawa kitin menjadi senyawa kitosan pada tahap deastilasi ini sendri
dilakukan dengan langkah penghilangan gugus asetil yang ada pada kitin menjadi gugus
amina yang ada pada kitosan (Ramadhan et al., 2010). Mutu kitosan yang dihasilkan
digambarkan dengan persentase gugus asetil yang bisa dihilangkan dari rendemen kitin
sebelumnya maupun kitosan tersebut. Standar mutu kitosan yang menilai berdasarkan
persentase gugus asetil yang bisa dihilangkan ini bernama dengan derajat deasetilasi.
Dengan semakin tingginya derajat deasetilasi dari kitosan yang dihasilkan, hal ini
menandakan bahwa gugus asetil yang dimiliki kitosan tersebut semakin rendah sehingga
mengakibatkan interaksi antar ion-ion dan ikatan hidrogennya bertambah kuat (Knoor,
1984).
Azhar et al. (2010) menambahkan bahwa, Tujuan dari proses deasetilasi ini adalah
untuk memutuskan ikatan kovalen antara gugus asetil dengan gugus nitrogen yang
terletak pada gugus asetamida kitin untuk diubah menjadi gugus amina (–NH2) yang
merupakan bagian dari senyawa kitosan yang akan dihasilkan. Kitin dapat diubah
menjadi kitosan dengan cara mengubah gugus asetamida (–NHCOCH3) yang dimiliki
oleh kitin menjadi gugus amina (–NH2) yang nantinya dimiliki oleh kitosan. Berikut ini
merupakan gambar dari proses pelepasan gugus asetil pada asetamida kitin
menghasilkan gugus amina terdeasetilasi yang dimiliki oleh kitosan.
21
Gambar 4. Pengubahan gugus asetil pada gugus asetamida kitin (Azhar et al., 2010)
Kitosan adalah senyawa yang memiliki banyak kegunaan pada bidang pangan, yang
salah satunya dapat digunakan sebagai bahan antimikroba. Kemampuan antimikroba
yang dimiliki oleh kitosan ini dikarenakan kitosan mengandung enzim lysosim dan
gugus aminopolisakarida yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba tertentu.
Kemampuan antimikroba kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut kitosan dimana
antimikroba yang menggunakankitosan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan dari
berbagai macam bakteri dan kapang (Cahyaningrum, 2007).
Proses deasetilasi dimulai dengan penambahan NaOH kepada kitin yang telah melalui
proses demineralisasi dan deproteinasi. Perbandingan kitin dengan NaOH yang
ditambahkan adalah 20:1 dimana konsentrasi NaOH yang ditambahkan untuk setiap
kelompok berbeda-beda.Untuk kelompok B1 dan B2 NaOH yang digunakan adalah
NaOH dengan konsentrasi 40%, sedangkan untuk kelompok B3, B4, dan B5
menggunakan NaOH dengan konsentrasi 50%. Konsentrasi NaOH yang digunakan
sesuai dengan teori Johnson & Peniston (1982) bahwa dengan penggunaan senyawa
alkali yang konsentrasi tinggi (¿ 40%) maka berguna untuk memutuskan ikatan antara
rantai gugus karboksil dengan atom nitrogen. Selain itu bertujuan untuk membantu
proses enzim mendeasetilasi dengan memecah susunan kristalin kitin yang rapat
(Martinou et al., 1995). Menurut teori Mekawati et al., (2000) Semakin tinggi
konsentrasi NaOH maka akan menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang
tinggi pula karena gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil pada kitin
dalam larutan akan semakin aktif, sehingga proses deasetilasi yang dilakukan akan lebih
optimal. Penambahan NaOH dengan konsentrasi sekitar 50% ini sudah sesuai dengan
teori dari Hirano (1989) yang menyatakan bahwa struktur kristal kitin panjang memiliki
22
ikatan yang kuat antara ion nitrogen dan gugus karboksil, sehingga di proses deasetilasi
ini digunakan larutan natrium hidroksida (NaOH) dengan konsentrasi 40-50% dan suhu
yang tinggi untuk mengubah struktur kitin menjadi struktur kitosan.
Penambahan NaOH ini bertujuan untuk merubah konformasi kitin yang sangat rapat
menjadi renggang, sehingga enzim yang akan menguraikan lebih mudah masuk untuk
mendeasetilasi polimer dari kitin. Alkali (NaOH) dengan konsetrasi yang tinggi ini akan
memutuskan ikatan antara gugus karboksil dengan gugus nitrogen pada kitin (Martinou,
1995). Semakin tinggi konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi, hal
ini akan menhasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi pula. Hal ini
dikarenakan gugus fungsional amino yang mensubstitusi gugus asetil pada kitin dalam
larutan tersebut menjadi semakin aktif, sehingga proses deasetilasi yang dilakukanakan
lebih optimal. Sedangkan penggunaan suhu tinggi pada poses deasetilasi
iniakanmengakibatkan gugus asetil terlepas dari struktur kitin dan gugus amina pada
struktur kitin akan berikatan dengan gugus hidrogen yang memiliki muatan positif
sehingga membentuk gugus amina bebas (Mekawati et al., 2000).
Setelah proses penambahan larutan alkali (NaOH) tersebut, tahap yang termasuk di
dalam proses diasetilasi selanjutnya adalah dilakukan pengadukan selama 1 jam dan
didiamkan selama 30 menit yang bertujuan agar bubuk kitosan dapat mengendap secara
maksimal pada bagian bawah (Rogers, 1986). Kemudian dipanaskan selama 1 jam pada
suhu 90oC. Suhu yang digunakan pada proses pemanasan dan pengadukan ini juga akan
berpengaruh terhadap derajat deasetilasi kitosan yang terbentuk. Dimana semakin tinggi
suhu yang diaplikasikan maka derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk akan
meningkat. Tujuan dari pemanasan ini sendiri adalah untuk meningkatkan derajat
deasetilasi dari kitosan yang terbentuk. Sedangkan proses pengadukan yang dilakukan
bersamaan dengan proses pemanasan ini berfungsi untuk meratakan kitin yang
digunakan sebagai bahan dengan larutan NaOH yang ditambahkan sehingga proses
deasetilasi berjalan lebih optimal (Puspawati et al., 2010).
Setelah melalui proses pemanasan dan pengadukan, kitin tersebut kemudian disaring
dan dicuci dengan air mengalir hingga pH netral. Hal ini bertujuan untuk memisahkan
23
rendemen kitosan yang terbentuk dengan komponen-komponen lainnya. Proses
pencucian dengan air mengalir ini bertujuan untuk menetralkan larutan kitosan yang
terbentuk. Setelah melalui proses tersebut, kitosan yang telah didapatkan kemudian
dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 70oC selama 24 jam. Penggunaan
suhu dalm praktikum ini didukung oleh Puspawati & Simpen (2010) bahwa semakin
tinggi suhu maka derajat deasetilasi dari kitosan yang terbentuk akan meningkat.
Setelah proses pengeringan tersebut, maka kitosan yang dihasilkan akan berbentuk
serbuk dengan warna putih kekuningan (Ramadhan et al., 2010). Hal ini sesuai dengan
praktikum yang dilakukan bahwa hasil yang didapatkan berwarna putih kekuningan.
Hasil kitosan dapat dihitung dengan rumus : Rendemen Kitosan = berat kitosan
berat basah III x
100%
Berdasarkan tabel 1 pada hasil pengamatan dapat dilihat mengenai rendemen kitosan
setelah proses deasetilasi. Rendemen kitosan tertinggi didapatkan oleh kelompok B3
yaitu sebesar 50,00% dengan penambahan NaOH 50%, sedangkan rendemen kitosan
terendah didapatkan oleh kelompok B2 dan B5 yaitu sebesar 0% dengan penambahan
NaOH 40% dan 50%. Hal ini kurang sesuai dengan teori dari Hong et al. (1989) yang
menyatakan bahwa, penggunaan NaOH dengan konsentrasi yang lebih tinggi akan
menghasilkan kitosan dengan rendemen yang lebih rendah. Hal ini dikarenakan
penambahan NaOH akan mengakibatkan proses depolimerisasi rantai molekul kitosan
sehingga berat molekul dari kitosan akan menurun. Kualitas dari produk kitosan yang
dihasilkan sangat ditentukan oleh derajat deasetilasinya dimana derajat deasetilasi pada
proses pembuatan kitosan ini dipengaruhi oleh jenis dan kualitas bahan dasar yang
digunakan dan kondisi proses yang dilakukan (konsentrasi larutan alkali, suhu, dan
waktu) (Suhardi, 1992). Kesalahan yang terjadi dalam praktikum dapat disebabkan
karena proses penetralan menggunakan air secara berulang-ulang menyebabkan
sebagian kitin maupun kitosan ikut terbuang bersama air sehingga mempengaruhi nilai
rendemen.
24
4. KESIMPULAN
Limbah udang merupakan sumber yang kaya akan kitin, yaitu kurang lebih 30% dari
berat kering.
Kitosan adalah hasil proses deasetilasi dari senyawa kitin yang banyak terdapat
dalam kulit luar hewan golongan Crustaceae seperti udang dan kepiting.
Kitin berbentuk serpihan dengan warna putih kekuningan, memiliki sifat tidak
beracun dan mudah terurai secara hayati (biodegradable), tidak larut dalam air,
larutan basa encer dan pekat, larutan asam encer dan pelarut organic tetapi larut
dalam asam mineral pekat, seperti asam klorida, asam sulfat, asam nitrat dan asam
pospat.
Proses pembuatan kitin meliputi beberapa tahapan utama, yaitu demineralisasi dan
deproteinasi.
Kitin (C8H13NO5)nadalah biopolimer yang dirangkai dari monomer N-asetil-D-
glukosamin yang saling berikatan satu sama lain dengan ikatan β (1,4).
Kitosan adalah produk turunan dari kitin yang merupakan senyawa dengan rumus
kimia (2-amino-2-dioksi-β-D-Glukosa).
Proses pembuatan kitin meliputi tahap demineralisasi dan tahap deproteinasi.
Kitosan dibuat dari kitin yang telah melalui tahap deasetilasi.
Perubahan kitin menjadi kitosan dilakukan dengan cara menghilangkan gugus asetil
yang dimiliki oleh kitin menjadi gugus amina yang ada pada kitosan.
Kitosan mempunyai sifat larut dalam asam dan viskositas yang dimilikinya
tergantung dari derajat diasetilasi dan derajat degradasi polimer.
Penambahan larutan HCl pada proses demineralisasi bertujuan untuk melarutkan
kandungan mineral yang dimiliki oleh kulit udang.
Semakin tinggi konsentrasi HCl yang ditambahkan maka rendemen kitin yang
dihasilkan akan semakin tinggi pula.
Semarang, 2 Oktober 2015
Praktikan, Asisten Dosen
Robby Chaniago Tjan, Ivana Chandra
25
26
(13.70.0179)
5. DAFTAR PUSTAKA
Abun, Tjitjah Aisjah, dan Deny Saefulhadjar. (2007). Pemanfaatan Limbah Cair Ekstraksi Kitin dari Kulit Udang Produk Proses Kimiawi dan Biologis Sebagai Imbuhan Pakan dan Implikasinya terhadap Pertumbuhan Ayam Broiler. http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/10/pemanfaatan_limbah_cair_ekstraksi_kitin1.pdf.Diakses tanggal 29 September 2015.
Alamsyah, Rizal., et al.. (2007). Pengolahan Khitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang sebagai Bahan Baku Industri. http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf. Diakses tanggal 29 September 2015.
Aranaz, Inmaculada, Marian M., Ruth H., Ines P., Beatriz M., Niuris A., Gemma G. & Angeles H. (2009). Functional Characterization of Chitin and Chitosan. http://benthamscience.com/ccb/openacsesarticle/ccb3-2/0009CCB.pdf. Diakses tanggal 9 September 2014.
Austin, P.R, C.J. Brine, J.E. Castle and J.P. Zikakis. (1981). Chitin New Facets of Research. Science 212 : 749
Azhar, M., Jon Efendi, Erda S., Rahma M. L, dan Sri Novalina.(2010). Pengaruh Konsentrasu NaOH dan KOH Terhadap Derajat Deasetilasi Kitin dari Limbah Kulit Udang.EKSAKTA Vol. 1 Tahun XI.
Bastaman, S., 1989. Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan from Prawn Shell. The Queen’s University of Befast. England.
Cahyaningrum, S. E., Agustini, Herdyastuti. (2007). Pemakaian Kitosan Limbah Udang Windu sebagai Matriks Pendukung pada Imobilisasi Papain. Jurusan Kimia, FMIPA, Universitas Negeri Surabaya. Jurnal Akta Kimindo Vol. 2 No. 2 Oktober 2007: 93-98. Diakses tanggal 29 September 2015.
Cha D.S. and M.S. Chinnan. (2004). BiopolymerBased Antimikrobial Packaging: A Review. Critical Rev. Food Sci.Nutr. 44:223-237.
Czechowska-Biskup R., Diana J., Bozena R., Piotr U., Janusz M. R.. (2012). Determination of Degree of Deacetylation of Kitosan-Comparision of Methods. Progress On Chemistry And Application Of Kitin And Its...,Volume XVII.
Dunn, E.T., E.W. Grandmaison & M.F.A. Goosen. (1997). Applications and Properties of Chitosan. Technomic Pub, Basel, p 3-30.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry.Second Edition.Marcel Dekker, Inc., New York.
Hargono, S dan Haryani D (2004). Pengaruh Konsentrasi Zat Pelarut dalam Proses Demineralisasi, Deproteinasi, dan Deasetilasi terhadap Kualitas Khitosan. Universitas Indonesia, Jakarta.
Hartarti, F.K., Susanto, T., Rakhmadiono, S., dan Lukito, A.S. (2002). Faktor-Faktor yang Berpengaruh terhadap Tahap Deproteinisasi Menggunakan Enzim Protease dalam Pembuatan Khitin dari Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). BIOSAIN, VOL. 2, NO. 1 : 68-77
Hirano. (1989). Production and Aplication on Chitin and Chitosan in Japan.Jepang.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Islam Md.M , Shah Md. M., M. M.Rahmana, Md. Ashraful I.M, A. A. Shaikh, S.K. Roy. (2011). Preparation of Chitosan from Shrimp Shell and Investigation of Its Properties. International Journal of Basic & Applied Sciences IJBAS-IJENS Vol: 11 No: 01.
Johnson, A.H. dan M.S. Peterson.(1974). Encyclopedia of Food Technology Vol. II. The AVI Publishing Co., Inc., Connecticut.
Jothi N., et all. (2013). Identification and Isolation of Chitin and Chitosan from Cuttle Bone of Sepia prashadi Winckworth, 1936. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry. India
Kaya M., et all. (2014). Bat guano as new and attractive chitin and chitosan source. Frontiers of Zoology. Turkey
Knorr, D. 1973. Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85
Kumirska J., et all. (2010). Application of Spectroscopic Methods for Structural Analysis of Chitin and Chitosan. University of Gdansk. Poland
Linawati, H. 2006. ”Chitosan Bahan Alami Pengganti Formalin”. Departemen Teknologi Perairan (THP) Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FKIK-IPB). http://www.kompas.com/kesehatan/news/0601/07/085109.htm. Diakses tanggal 9 September 2014.
Laila, A & Hendri, J. (2008).Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id /file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf . Diakses pada tanggal 29 September 2015.
Marganov. (2003). Potensi Limbah Udang sebagai Penyerap Logam Berat (Timbal, Kadmium, dan Tembaga) di Perairan. http://rudyct.topcities.com/pps702_71034/ marganof.htm.Diakses tanggal 29 September 2015 .
Martinou, A., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. 1995. Chitin deacetylation by enzymatic means: monitoring of deacetylation processes. Carbohydrate Res 273:235-242.
Mekawati, Fachriyah, E. dan Sumardjo, D. (2000).Aplikasi Kitosan Hasil tranformasi Kitin Limbah Udang (Penaeus merguiensis) untuk Adsorpsi Ion Logam Timbal.Jurnal Sains and Matematika, FMIPA Undip, Semarang, Vol. 8 (2), hal. 51-54.
Muzzarelli, RA.A., (1977). Chitin. Faculty of Medicine. University of Ancona. Ancona, Italy.
Peter, Martin G. (1995). Application and Environmental Aspects of Chitin and Chitosan.Journal of Pure and Appl. Chem. Marcel Dekker, Inc., Germany. Hlm. 629-639.
Pillai, Willi Paul, Chandra P. S. (2009). Chitin and Chitosan Polymers: Chemistry, Solubility and Fiber Formation. Progress in Polymer Scince.
Prasetyo, Kurnia Wiji. (2006). UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. terbit di KOMPAS pada tanggal 29 September 2013.
Purwaningsih. (1994). Teknologi Pembekuan Udang. PT Penebar Swadaya. Bogor.
Puspawati, N. M dan I. N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood Menjadi Khitosan Melalui Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Vol 4 hal 79 – 90.
Ramadhan L.O.A.N., C. L. Radiman, D.Wahyuningrum, V. Suendo,1 L. O. Ahmad, S. Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa molekul Kitosan.
Ratna, A.W. & Sugiyani S. (2006). Pembuatan Chitosan Dari Kulit Udang dan Aplikasinya Untuk Pengawetan Bakso. http://eprints.undip.ac.id/1718/1/makalah_penelitian_fix.pdf. Diakses tanggal 2 9 September 2015.
Robert, G.A.F. (1992). Chitin Chemistry. The Macmillan Press Ltd., London.
Reece, C., dan Mitchell. (2003). Biologi, Ed. kelima-jilid 2, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company. California.
Saules. J. E., Krzysztof N. Waliszewski, Miguel A. Garcia, &Ramon Cruz-Camarillo1. (2005). The Use of Crude Shrimp Shell Powder for Chitinase Production by Serratia marcescens WF. www.ftb.com.hr/44-95.pdf
Suhardi, U. Santoso dan Sudarmanto. (1992). Limbah Pengolahan Udang untuk Produksi Kitin, Laporan penelitian, BAPPINDO-FTP UGM. Yogyakarta.
Supitjah, Pipit. (2004). Tingkatan Kualitas Kitosan Hasil Modifikasi Proses Produksi. Buletin Teknologi Hasil Perikanan 56Vol VII Nomor 1.
Wieczore A. S., et all. (2014). Microbial responses to chitin and chitosan in oxic and anoxic agricultural soil slurries. Published in Biogeosciences. Germany
Winarno,F.G. (1997). Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Zakaria. Z, et all. (2012). Effect of Degree of Deacetylation of Chitosan on Thermal
Stability and Compability of Chitosan Polyamide Blend. Universitas Teknologi