Acara II
CHITIN & CHITOSAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama : Gabryella Santi
NIM : 13.70.0111
Kelompok : D5
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. MATERI METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah oven, blender, kain saring,
peralatan gelas dan hot plate.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah limbah udang, HCl 0,75 N; 1 N dan 1,25 N, NaOH
3,5%, NaOH 40%; 50% dan 60%
1.2. Metode
1.2.1. Demineralisasi
Limbah udang dicuci menggunakan air mengalir dan dikeringkan
Dicuci dengan air panas sebanyak 2x dan dikeringkan
Bahan dihancurkan dan diayak menggunakan ayakan 40-60 mesh dan ditimbang
Dicampur dengan HCl 0,75N, 1N dan 1,25N dengan perbandingan 10:1
2
1.2.2. Deproteinasi
Dipanaskan hingga suhu 80oC dan mengaduk selama 1 jam
Dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama 24 jam
Tepung
Tepung dicampur dengan NaOH 3,5% dengan perbandingan 6:1
dipanaskan pada suhu 70oC selama 1 jam dan dilkakukan pengadukan
3
1.2.3. Deasetilasi
Residu disaring dan dicuci hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama
24 jam dan dihasilkan chitin
Kitin
Hasil deproteinasi dicampur dengan NaOH 40%, 50% dan 60% dengan
perbandingan 20:1
Dipanaskan pada suhu 80oC selama 1 jam dan dilakukan pengadukan
4
Residu dicuci dan disaring hingga pH netral dan dikeringkan pada suhu 80oC selama
24 jam dan dihasilkan chitosan
Kitosan
5
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan kitin dan kitosan yang dibuat dari limbah udang dapat dilihat pada tabel
1.
Tabel 1. Kitin dan Kitosan
Kelompok Perlakuan Rendemen
Kitin I (%)
Rendemen
Kitin II (%)
Rendemen
Kitosan (%)
D1 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 32,14 25 48,25
D2 HCl 0,75N + NaOH 40% +
NaOH 3,5% 32,14 31,38 39,43
D3 HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% 36,84 45,71 46,80
D4 HCl 1N + NaOH 50% +
NaOH 3,5% 34,78 37,78 39,20
D5 HCl 1,25N + NaOH 60% +
NaOH 3,5% 29,17 32,73 39,14
Pada tabel 1. dapat dilihat bahwa rendemen kitin I mengalami peningkatan pada
konsentrasi HCl 1 N, sedangkan pada konsentrasi 1,25 N mengalami penurunan.
Kemudian pada rendemen kitin II mengalami peningkatan dari rendemen kitin I tetapi
pada kelompok D1 dan D2 mengalami penurunan. Untuk rendemen kitosan mencapai
persentase tertinggi pada penambahan NaOH 50% dan persentase terkecil pada
penambahan NaOH 60%.
6
3. PEMBAHASAN
Kitin dan kitosan merupakan kelompok polisakarida yang banyak terdapat di alam dalam
bentuk selulosa yang biasa ditemukan pada struktur eksoskeleton crustacean, insekta,
jamur serta sel dinding fungsi dan alga hijau. Kitin merupakan turunan glukosa yang
tersusun dari rantai panjang polimer dari glukosamin N-asetil. Kitin memiliki sifat tidak
larut air tetapi larut dalam pelarut organik yang bersifat asam maupun basa. Sedangkan
kitosan merupakan hasil deasetilasi dari kitin yang tersusun atas poly β-(1 → 4) N-acetyl-
D glucosamine. Kitosan memiliki sifat tidak larut dalam larutan bersifat basa atau netral
tetapi larut dalam pelarut anorganik dan asam organic seperti asam asetat, asam format,
asam laktat dan asam glutamate (Sakthivel, et al. (2015).
Dalam industry makanan kitin dan kitosan dapat berfungsi sebagai edible film untuk
meningkatkan kualitas makanan dan memperpanjang umur simpan. Dimana lapisan film
tersbut dapat mangendalikan perubahan fisiologis, morfologis dan fisikokimia dalam
produk makanan (P, Jiffy Paul, et al., 2013). Zaku, et al. (2011) menambahkan bahwa
kitin memiliki kemampuan untuk membentuk film yang bersifat tidak berbau, tidak
beracun serta enzimatik biodegradable. Selain itu, kitosan dapat berperan sebagai
antimikroba, dimana kitosan yang bermuatan positif akan berikatan dengan membrane
sel mikroba yang bermuatan negatif. Hal ini akan menyebabkan kebocoran pada protein
dan komponen intraseluler lainnya sehingga pertumbuhan mikroba dan produksi toksik
akan terhambat (P, Jiffy Paul, et al., 2013). Kitin dan kitosan memiliki sifat sebagai
biopolimer kationik alami, dimana sifat tersebut membuat kitik dan kitosan sangat cocok
sebagai biokompatibilitas, biodegradabilitas, antimikroba, jaringan perekat, hemostatis
dan penyembuhan luka (Ishihara, et al. 2015)
Pada praktikum ini, bahan baku yang digunakan untuk pembuatan kitin dan kitosan
adalah kulit udang. Menurut Abdulkarim, et al. (2013), kitin banyak terdapat pada kulit
udang, cangkang kepiting, tulang rawan cumi-cumi, kulit serangga serta pada mikrofibril
Kristal yang membentuk struktur ekoskeleton dari arthropods atau yang membentuk sel
dinding fungi dan yeast. Dalam kulit crustacean mengandung protein sebanyak 30-40%,
kalsium karbonat dan kalsium fosfat 30-50% dan 20-30% kitin. Namun hasil tersebut
7
tergantung dari metode pengolahan yang digunakan serta bahan baku yang digunakan.
Sedangkan menurut Rohani (2000) limbah udang mengandung sebagaian besar mineral
yaitu sekitar 63,6% dan protein 16,9%. Dimana untuk memperoleh kitin dengan kualitas
baik, maka kedua komponen tersebut harus dihilangkan.
Menurut Sakthivel, et al. (2015) pada prinsipnya ektrasksi kitin dapat dilakukan dalam
dua tahap yaitu demineralisasi dan deproteinasi dengan penambahan asam seperti HCl
dan basa NaOH. Sedangkan kitosan diperoleh dari hasil deasetilasi kitin. Faktor-faktor
yang mempengaruhi demineralisasi dan deproteinasi pada proses ekstraksi kitin yaitu
konsentrasi, dosis dan lama waktu reaksi. Dimana semakin tinggi konsentrasi asam/ basa,
dosis dan lama waktu reaksi maka akan semakin banyak pula mineral dan protein yang
akan terlepas (Lehninger, 1975). Winarno (1997) menambahkan pemanasan dalam waktu
cukup lama akan menyebabkan denaturasi protein sehingga protein terlarut dapat
berkurang.
Pada praktikum ini, pertama-tama dilakukan proses demineralisasi yaitu tahapa yang
dilakukan untuk menhilangkan kandungan mineral yang terdapat pada kulit udang yang
meliputi garam anorganik dan mineral berupa kalsium karbonat (CaCO3). Hal ini
dilakukan karena kulit undang banyak mengandung mineral dengan jumlah yang cukup
tinggi (Suhartono, 1989). Kulit udang pertama harus dicuci dengan menggunakan air
keran mengalir untuk menghilangkan segala jenis pengotor yang melekat pada kulit
udang. Kemudian kulit udang dikeringkan untuk menghilangkan air bekas cucian, lalu
dicuci kembali sebanyak 2 kali dengan menggunakan air panas. Penggunaan air panas
bertujuan untuk menghilangkan mikroorganisme yang mungkin menempel dan
mengontaminasi kulit udang. Lalu kulit udang dikeringkan kembali untuk menurunkan
kadar air dan menguapkan air sisa pencucian. Setelah itu, kulit udang dihancurkan dan
diayak menggunakan ayakan berukuran 40-60 mesh. Penghancuran bertujuan untuk
memperbesar luas permukaan sehingga ketika ditambah dengan pelarut bagian yang
kontak dengan pelarut lebih luas dan mengefisienkan proses pelarutan.
Kulit udang yang berbentuk bubuk kemudian ditimbang dan ditambah dengan HCl
dengan perbandingan penambahan pelarut HCl : kitin yaitu 10:1. HCl yang ditambahkan
8
memiliki konsentrasi yang berbeda-beda yaitu HCl 0,75 N; HCl 1 N dan HCl 1,25 N.
Perbedaan penambahan konsentrasi HCl tersebut bertujuan untuk mengetahui konsentrasi
mana yang paling efektif dalam mengurangi jumlah mineral pada kulit udang. Hal ini
sesuai dengan teori Sakthivel, et al. (2015) yang menyatakan bahwa untuk
menghilangkan kandungan mineral pada kulit undang dapat dilakukan dengan
menambahkan larutan HCl. Setelah itu, campuran bubuk kulit udang dan larutan HCl
diaduk selama 1 jam tetapi sebelumnya dipanaskan terlebih dahulu hingga mencapai suhu
80℃ dan suhu tersebut harus tetap dijaga selama pengadukan. Menurut Puspawati &
Simpen (2010) pemanasan dan pengadukan akan mempermudah mineral terpisah dari
kulit udang. Selain itu, pengadukan bertujuan agar panas yang ada tersebar merata
keseluruh bagian serta mencegah terbentungnya gelembung udara yang dapat
menyebabkan air meluap. Hendry (2008) menambahkan bahwa proses pelepasan mineral
ditandai dengan terbetuknya gas CO2 berupa gelembung udara yang terbentuk ketika HCl
ditambahkan ke dalam sampel.
Setelah itu, residu yang terbentuk disaring dan dicuci menggunakan air mengalir atau air
keran. Pencucian tersebut bertujuan untuk menetralkan pH larutan yang semula asam
akibat penambahan HCl, lalu untuk mengetahui pH sudah netral digunakan kertas pH.
Hal ini sesuai dengan pendapat Abdulkarim, et al. (2013) yang menyatakan bahwa setelah
proses demineralisasi tepung kulit udang yang digunakan harus dinetralkan dengan cara
mencucinya agar dapat dilanjutkan ke tahap berikutnya. Setelah itu, residu dikeringkan
menggunakan oven dengan suhu 80ºC selama 24 jam. Tujuan pengeringan ini yaitu untuk
menguapkan air yang masih tersisa setelah proses pencucian, sehingga diperoleh produk
tepung dari limbah udang tersebut.
Berdasarkan hasil pengamatan, jumlah rendemen yang paling tinggi ditunjukkan pada
penambahan HCl dengan konsentrasi 1 N. Hal ini sesuai dengan pendapat Ramadhan, et
al. (2010) yang menyatakan bahwa konsentrasi HCl yang paling efisien dalam proses
demineralisasi yaitu 1 N. Menurut Laila & Hendri (2008), semakin tinggi konsentrasi
HCl yang ditambahkan maka rendemen yang dihasilkan akan semakin besar, karena
senyawa-senyawa mineral dalam serbuk udang akan semakin mudah terlepas. Lehninger
(1975) menambahkan bahwa peningkatan jumlah redemen akan dipengaruhi dengan
9
semakin meningkatnya waktu, dosis dan konsentrasi asam yang digunakan dalam proses
demineralisasi. Jika berdasarkan teori tersebut, dalam praktikum ini jumlah rendemen
yang paling banyak seharusnya ditunjukkan pada penambahan HCL 1,25 N. Namun pada
penambahan HCl 1,25 N justru menunjukkan hasil rendemen yang paling kecil. Menurut
Knorr (1984), penggunaan asam dengan konsentrasi yang terlalu tinggi dan waktu yang
terlalu lama akan menyebabkan kitin pada sampel akan mudah terdegradasi. Jika
konsentrasi asam terlalu tinggi maka reaksi yang terjadi akan berjalan semakin cepat
sehingga menyebabkan HCl bereaksi dengan protein dan komponen mineral tidak
terlepas secara sempurna. Selain itu, jumlah rendemen yang sedikit juga dapat disebabkan
masih adanya rendemen yang tertinggal dikain saring sehingga tidak ikut tertimbang.
Tahap selanjutnya adalah deproteinasi yang bertujuan untuk menghilangkan kadar protein
pada tepung hasil demineralisasi. Pertama-tama tepung hasil demineralisasi ditambah
dengan larutan NaOH 3,5% dengan perbandingan penambahan 6:1 (larutan NaOH :
tepung). Menurut Bastaman (1989) proses deproteinasi pada ekstraksi kitin dapat
dilakukan dengan menambahkan menambahkan larutan yang bersifat basa kuat. Martinou
et al. (1995) menambahkan larutan basa yang biasa digunakan adalah NaOH, dimana
NaOH akan mengubah konformasi kristalin kitin yang rapat sehingga enzim lebih mudah
berpenetrasi. Setelah itu, campuran dipanaskan hingga suhu 700C, dimana suhu tersebut
harus dijaga selama 1 jam serta dilakukan pengadukkan. Penambahan NaOH dan proses
pemanasan bertujuan untuk membuat protein terdenaturasi, dimana NaOH yang
ditambahkan mampu membuat proses denaturasi berjalan merata dan efisien. Sedangkan
proses pengadukkan bertujuan untuk mengkonsentrasikan larutan NaOH sehingga akan
diperoleh rendemen kitin yang lebih optimal (Ramadhan et al., 2010). Kemudian
dilakukan penyaringan untuk mengdapatkan residu. Setelah itu, residu yang diperoleh
didinginkan dan dicuci, dimana pendinginan yang dilakukan selama 30 menit dapat
mengendapkan kitin dibagian bawah secara sempurna sehingga tidak ada yang terbuang
selama proses pencucian (Rogers, 1986). Proses pencucian dilakukan hingga diperoleh
pH netral agar diperoleh kitin dengan kualitas baik. Diaman kondisi alkali akiban
penambahan NaOH mampu mempengaruhi sifat pengembangan pada kitin. Kemudian
dilakukan pengeringan menggunakan oven selama 24 jam dengan suhu 80°C.
10
Berdasarkan hasil pengamatan, rendemen kitin II mengalami peningkatan dibandingkan
rendemen kitin I. Menurut Fennema (1985) protein dan mineral memiliki kelarutan yang
lebih tinggi pada kondisi alkali dibandingkan pada kondisi asam, sehingga penggunaan
larutan NaOH mampu menghidrolisis protein dan mineral lebih tinggi. Hal ini yang
menyebabkan jumlah rendemen kitin II yang merupakan kitin murni memiliki nilai yang
lebih tinggi. Selain itu, pada praktikum ini rendemen yang diperoleh lebih dari 20%,
karena menurut Puspawati dan Simpen (2010) pada kulit udang terkandung kitin lebih
dari 20%. Namun pada praktikum ini terdapat hasil yang berbeda pada kelompok D1 dan
D2, dimana dengan penambahan HCl 0,75 N pada proses demineralisasi, jumlah
rendemen yang dihasilkan setelah proses deproteinasi mengalami penurunan. Hal ini
dapat disebabkan oleh komponen mineral yang menyusun pelindung pada kulit undang
lebih keras dibandingkan protein sehingga mineral tersebut baru ikut terlepas pada proses
deproteinasi (Alamsyah et al., 2007). Selain itu penurunan jumlah rendemen juga dapat
disebabkan oleh ikut terbuangnya rendemen pada saat pencucian atau tertinggal pada kain
saring.
Tahap yang terakhir adalah deasetilasi, dimana pada proses ini kitin akan diubah menjadi
kitosan. Menurut Muzzarelli & Peter (1997), proses deasetilasi adalah proses
pembentukan kitosan dari kitin yang dilakukan dengan menambahkan larutan NaOH
sebagai pengganti gugus asetamida dengan gugus amino. Pada praktikum ini, konsentrasi
larutan NaOH yang ditambahan pada kitin berbeda-beda yaitu 40%, 50% dan 60%.
Penambahkan larutan NaOH berperan untuk merubah konformasi kitin yang sangat rapat
menjadi renggang sehingga enzim lebih mudah terekspos untuk mendeasetilasi polimer
kitin (Martinou, 1995). Kitin yang ditambah dengan larutan NaOH kemudian diaduk dan
dipanaskan pada suhu 90ºC selama 1 jam. Proses pengadukan bertujuan untuk meratakan
pemanasan, dimana peningkatan suhu akan menpengaruhi derajat deasetilasi kitosan yang
akan meningkat pula. Setelah itu, dilakukan pencucian untuk menetralkan kitosan yang
bersifat basa karena penambahan NaOH. Kenudian dilakuan proses pengeringan dengan
suhu 70ºC selama 24 jam.
Berdasarkan hasil pengamatan, secara keseluruhan rendemen akan mengalami
peningkataan dari rendemen kitin yang diperoleh. Rendemen kitosan tertinggi
11
ditunjukkan pada penambahan larutan NaOH 40% sedangkan rendemen terkecil
ditujukkan pada penambahan NaOH 50%. Hal ini tidak sesuai dengan teori Rochima et
al. (2004) yang menyatakan bahwa tingginya konsentrasi NaOH akan menyebabkan
peningkatan derajat deasetilasi sehingga rendemen kitosan yang diperoleh akan semakin
tinggi pula. Namun teori tersebut berlawanan dengan teori yang dikemukakan Hong, et
al. (1989) yang menyatakan bahwa konsentrasi NaOH yang tinggi akan menyebabkan
proses depolimerisasi rantai molekul kitosan dan akan menyebabkan penurunan berat
molekul kitosan.oleh karena itu, semakin tinggi konsentrasi NaOH akan menyebabkan
semakin menurunnya rendemen kitosan.
12
4. KESIMPULAN
Kitin dan kitosan dapat berperan dalam meningkatkan kualitas makanan,
memperpanjang umur simpan dan sebagai pengemas.
Kitosan memiliki kemampuan sebagai antimikroba.
Sumber kitin dan kitosan berasal dari crustacean, insekta, jamur serta sel dinding
fungsi dan alga hijau.
Prinsip ekstraksi kitin yaitu demineralisasi dan deproteinasi, sedangkan kitosan yaitu
deasetilasi dari kitin.
Demineralisasi bertujuan untuk menghilangkan kandungan mineral pada kulit udang.
Pelarut yang paling efisien dalam proses demineralisasi yaitu HCl 1 N.
Deproteinasi bertujuan untuk menghilangkan kandungan potein.
Deasetilasi merupakan proses pembentukan kitosan dari kitin dengan menambahkan
larutan NaOH sebagai pengganti gugus asetamida dengan gugus amino.
Derajat deasetilasi kitosan ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu konsentrasi NaOH,
suhu dan lama proses deasetilasinya
Ekstraksi kitin dan kitosan dipengaruhi oleh konsentrasi pelarut, suhu dan lama reaksi.
Semarang, 28 Oktober 2015
Praktikan, Asesten Dosen,
Gabryella Santi Tjan, Ivana Chandra
13.70.0111
13
5. DAFTAR PUSTAKA
Abdulkarim, Avdulwadud, Muhammed Tijani Isa dan Surajudeen Abdulsalam. (2013).
Extraction and Characterisation of Chitin and Chitosan from Mussel Shell. Civil
and Environmental Research. ISSN 2222-1719.
Alamsyah, Rizal, et al., (2007). Pengolahan Kitosan Larut dalam Air dari Kulit Udang
sebagai Bahan Baku Industri, http://www.bbia.go.id/ringkasan.pdf.
Bastaman, S. (1989). Studies on Degradation and Extraction of Chitin and Chitosan From
Prawn shell (Nephropsnorregicus). Thesis. The Departement of Mechanical,
Manufacturing, Aeronautical and Chemical Engineering. The Queen’s University.
Belfast. 143 p.
Fennema, O.R. (1985). Food Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc., New York.
Hong H, No K, Meyers SP, Lee KS. (1989). Isolation and Characterization of Chitin from
crawfish shell waste. J Agric Food. Chem 33:375-579.
Ishihara, Masayuki, Vinh Quang Nguyen, Yasutaka Mori, Shingo Nakamura and Hidemi
Hattori. (2015). Adsorption of Silver Nanoparticles onto Different Surface Structures of
Chitin/Chitosan and Correlations with Antimicrobial Activities. International
Journal of Molecular Sciences ISSN 1422-0067.
Knorr, D. (1984). Use of Chitinous Polymer in Food. Food Technology 39 (1) : 85
Laila, A & Hendri, J. (2008). Study Pemanfaatan Polimer Kitin Sebagai Media
Pendukung Amobilisasi Enzim α-Amilase. http://lemlit.unila.ac.id
/file/arsip%202009/SATEK%202008/VERSI%20PDF/bidang%203/41.pdf.
Lehninger, A.L. (1975). Biochemistry. 2nd Ed. Worth Publisher Inc., New York.
Martinou, A.D., D. Kafetzopoulos dan V. Bouriotis. (1995). Chitin deacetylation by
enzymatic means: Penelitian Andalas. 12 (V) : 138 –143.
Muzzarelli, R.A.A.. (1985). Chitin in the Polysaccharides. Vol. 3, pp. 147. Aspinall (ed)
Academic press Inc. Orlando, San Diego.
P, Jiffy Paul, Sharmila Jesline J. W and K. Mohan. (2013). Development of Chitosan
Based Active Film to Extend the Shelf Life of Minimally Processed Fish.
International Journal of Research in Engineering & Technology. ISSN 2321-8843
Vol. 1, Issue 5.
Puspawati, N. M dan I N. Simpen. (2010). Optimasi Deasetilasi Khitin dari Kulit Udang
dan Cangkang Kepiting Limbah Restoran Seafood menjadi Khitosan melalui
Variasi Konsentrasi NaOH. Jurnal Kimia Volume 4. Halaman 70 – 90.
14
Ramadhan, L. O. A. N.; C. L. Radiman; D. Wahyuningrum; V. Suendo; L. O. Ahmad;
dan S.Valiyaveetiil. (2010). Deasetilasi Kitin secara Bertahap dan Pengaruhnya
terhadap Derajat Deasetilasi serta Massa Molekul Kitosan. Jurnal Kimia Indonesia
Vol. 5 (1), 2010, 4. 17-21. Diakses tanggal 20 Oktober 2010.
Rogers, E.P. (1986). Fundamental of Chemistry. Books/Cole Publishing Company.
California.Science Published Ltd., England.
Sakthivel, D., N. Vijayakumar and V. Anandan. (2015). Extraction of Chitin and Chitosan
from Mangrove Crab Sesarma plicatum from Thengaithittu Estuary Pondicherry
Southeast Coast of India. International Journal of Pharmacy & Pharmaceutical
Research.
Winarno,F.G., (1997), ”Kimia Pangan dan Gizi”, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Zaku, S. G., S. A. Emmanuel O. C. Aguzue and S. A. Thomas. (2011). Extraction and
characterization of chitin; a functional biopolymer obtained from scales of common
carp fish (Cyprinus carpio l.): A lesser known source. African Journal of Food
Science Vol. 5(8), pp. 478 – 483.
15
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus :
Rendemen Chitin I = beratkering/beratbasahI×100%
Rendemen Chitin II = (berat kitin)/(berat basah II)×100%
Rendemen Chitosan = (berat kitosan)/(berat basah III)×100%
Kelompok D1
Rendemen Chitin I = 4,5/(14`)×100% = 32,14 %
Rendemen Chitin II = 2/8×100% = 25 %
Rendemen Chitosan = 1,52/3,15×100% = 48,25 %
Kelompok D2
Rendemen Chitin I = 4,5/14×100% = 32,14%
Rendemen Chitin II = 2,04/6,5×100% = 31,38 %
Rendemen Chitosan = 1,38/3,5×100% = 39,43 %
Kelompok D3
Rendemen Chitin I = 3,5/9,5×100% = 36,84 %
Rendemen Chitin II = 1,6/3,5×100% = 45,71 %
Rendemen Chitosan = 1,17/2,5×100% = 46,80 %
Kelompok D4
Rendemen Chitin I = 4/11,5×100% = 34,78 %
Rendemen Chitin II = 1,7/4,5×100% = 37,78 %
Rendemen Chitosan = 0,98/2,5×100% = 39,20 %
Kelompok D5
Rendemen Chitin I = 3,5/12×100% = 29,17 %
Rendemen Chitin II = 1,8/5,5×100% = 32,73 %
Rendemen Chitosan = 1,37/3,5×100% = 39,14 %
16
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal