Acara III
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:
Nama: Maria Windayani
Nim: (13.70.0043)
Kelompok : D3
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG
2015
1
1. MATERI DAN METODE
1.1. Alat dan Bahan
1.1.1.Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah blender, pisau, botol, toples,
panci, kain saring, pengaduk kayu..
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah tulang dan kepala ikan,
enzim papain komersial, garam, gula kelapa dan bawang putih.
1.2. Metode
Enzim papain ditambahkan ke dalam toples dengan konsentrasi 0,2% (kelompok
D1), konsentrasi 0,4% (kelompok D2), konsentrasi 0,6% (kelompok D3),
konsentrasi 0,8% (kelompok D4); konsentrasi 1% (kelompok D5)
Tulang dan kepala ikan dihancurkan dan dimasukkan ke dalam toples
sebanyak 50 gram
2
Hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring
Hasil fermentasi ditambahkan dengan air sebanyak 300 ml
Toples diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari
3
Setelah dingin hasil perebusan disaring
Filtrat direbus sampai mendidih sambil diaduk selama 30 menit
Filtrat ditambahkan dengan 50 gram bawang putih, 50 gram garam,
dan 50 gram gula kelapa.
4
Dilakukan uji salinitas kecap dengan menggunakan hand refractometer
Kecap diambil sebanyak 1 ml dan diencerkan dengan aquades sebanyak 9 ml
(pengenceran 10-1)
Dilakukan pengamatan uji sensori berupa warna, rasa, dan aroma kecap
5
Salinitas kecap ikan dihitung dengan menggunakan rumus:
Salinitas = hasil refraksi
1000 x 100%
6
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil Pengamatan Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Kecap Ikan dengan Penambahan Enzim Papain
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas
(%)
D1 Enzim papain 0,2% ++++ +++++ ++ +++++ 4,00
D2 Enzim papain 0,4% +++++ ++++ ++ ++++ 3,00
D3 Enzim papain 0,6% +++ ++++ ++ +++ 3,00
D4 Enzim papain 0,8% +++ ++ ++++ + 2,50
D5 Enzim papain 1% +++ +++++ +++ + 3,50 Keterangan:
Warna : Aroma
+ : tidak coklat gelap + : sangat tidak tajam
++ : kurang coklat gelap ++ : kurang tajam
+++ : agak coklat gelap +++ : agak tajam
++++ : coklat gelap ++++ : tajam
+++++ : sangat coklat gelap +++++ : sangat tajam
Rasa Penampakan
+ : sangat tidak asin + : sangat cair
++ : kurang asin ++ : cair
+++ : agak asin +++ : agak kental
++++ : asin ++++ : kental
+++++ : sangat asin +++++ : sangat kental
Pada tabel 1 dapat dilihat hasil bahwa setiap kelompok diberi perlakuan yang berbeda-
beda dengan penambahan enzim papain. Pada kelompok D1 ditambah enzim papain
0,2%, D2 0,4%, D3 0,6%, D4 0,8% dan D5 1%. Warna yang didapatkan dari kecap ikan
berwarna coklat gelap pada kelompok D1, agak coklat gelap untuk kelompok D3, D4,
dan D5, serta berwarna sangat coklat pada kelompok D2. Hasil untuk rasa yaitu
kelompok D1 dan D5 memiliki rasa sangat asin, kelompok D2 asin dan kelompok D3
memiliki rasa kurang asin. Uji aroma didapatkan hasil kelompok D1,D2 dan D3
aromanya kurang tajam, untuk kelompok D4 tajam dan kelompok D5 agak tajam. Pada
pengujian penampakan kecap ikan hasilnya yaitu kelompok D1 sangat kental, D2
kental, D3 agak kental sedangkan untuk kelompok D4 dan D5 sangat cair. Untuk nilai
salinitas didapatkan nilai tertinggi pada kelompok D1 yaitu 4% dan nilai terkecil
terdapat pada kelompok D4 sebesar 2,50%
7
3. PEMBAHASAN
Kecap ikan adalah hasil hidrolisa ikan dari proses fermentasi dengan garam, enzimatis
maupun kimiawi (Astawan & Astawan, 1988). Menurut Lopetcharat et al., (2001)
dalam jurnal “Proteinase-producing halophilic lactic acid bacteria isolated from fish
sauce fermentation and their ability to produce volatile compounds” kecap ikan
merupakan bumbu yang biasa digunakan dalam makanan asia yang dibuat dari ikan
yang dicampur dengan garam kemudian difermentasi selama 12-18 bulan. Kecap ikan
biasanya berbentuk cair, memiliki rasa yang agak asin dan berwarna kekuningan sampai
coklat muda kualitas kecap ikan dipengaruhi oleh jumlah penambahan garam dan lama
fermentasi (Afrianto & Liviawaty, 1989). Pada saat proses fermentasi terjadi protein
ikan akan mengalami hidrolisis oleh bakteri (Fukami et al.,2004). Menurut Akolkar,
(2010) dalam penelitiannya “Halobacterium Sp. SP1(1) As A Starter Culture For
Accelerating Fish Sauce Fermentation” kecap mengandung protein, nitrogen dan asam
amino bebas yang sangat banyak jumlahnya.
Pada praktikum pembuatan kecap ikan ini menggunakan bahan baku tulang dan kepala
ikan bawal hasil filet yang dagingnya digunakan untuk praktikum surimi. Metode yang
dilakukan yaitu 50 gram tulang dan kepala ikan bawal dihancurkan menggunakan
blender dimasukkan kedalam toples. Proses penghancuran ini bertujuan untuk
memperluas permukaan yang akan kontak dengan enzim. Hal ini seperti yang dikatakan
Saleh et al.,(1996) yaitu semakin besar luas permukaan bahan akan mempercepat proses
pelepasan komponen flavornya. Selanjutnya ditambahkan enzim papain dengan
konsentrasi 0,2% (kel D1), 0,4% (D2), 0,6% (D3), 0,8% (D4 ) dan 1% (D5) lalu ditutup
dan direkatkan dengan isolasi untuk difermentasi selama 4 hari dalam suhu ruang.
Menurut Amano, (1962) dalam jurnal “Halobacterium Sp. SP1(1) As A Starter Culture
For Accelerating Fish Sauce Fermentation” proses fermentasi bertujuan untuk menjaga
kandungan asam amino yang dalam ikan serta dapat meningkatkan protein yang
terdapat dalam ikan. Setelah difermentasi kemudian ditambahkan 300 ml air kemudian
diaduk sampai larut semua.
8
Tahapan berikutnya hasil fermentasi disaring menggunakan kain saring untuk
mendapatkan filtrat kecap ikan yang bebas dari ampas. Filtrat yang dihasilkan kemudian
direbus sampai mendidih selama 15 menit dan selama perebusan ditambahkan bumbu
yaitu gula merah, bawang putih dan garam yang masing-masing beratnya 50 gram.
Proses selanjutnya hasil rebusan didinginkan kemudian disaring kembali sehingga
menghasilkan kecap ikan yang jernih dan bebas ampis. Proses perebusan menurut
Fellows, (1990) bertujuan untuk membunuh mikroorganisme yang ada didalam bahan
dan membahayakan kesehatan. Selain itu perebusan berguna untuk melarutkan bumbu,
meningkatkan rasa,seta untuk menguapkan sebagian air sehingga didapatkan kecap ikan
yang kental. Setelah dingin, kecap ikan diuji sensori dari segi rasa, aroma, dan warna
serta diukur salinitasnya menggunakan hand refractometer.
Penambahan enzim dalam pembuatan kecap ikan inii berguna untuk mempercepat
proses hidrolisis protein dan mempercepat proses fementasi yang menentukan hasil
akhir dari kecap ikan. Hal ini didukung oleh (Afianto dan Liviawaty, 1989) yang
menyatakan bahwa pada saat dilakukan pembuatan ikan secaa tradisionnal
membutuhkan waktu yang lebih lama. Oleh karena itu dilakukan penambahan enzim
untuk mempercepat proses penguraian protein sehingga proses pembuatan kecap ikan
lebih cepat. Namun hasil yang diperoleh dari pembuatan kecap ikan dengan
penambahan enzim memiiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan cara
tradisional.
Pada praktikum ini menggunakan enzim papain dengan berbagai konsentrasi. Menurut
Dwinastiti, (1992) enzim papain merupakan jenis enzim proteolitik yang terbuat dari
isolasi getah buah pepaya (Carica papaya L) yang biasanya diaplikasikan untuk
mengempukkan daging dan hidrolisis protein. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
proses hidrolisis protein pada saat pembuatan kecap ikan salah satunya adalah
penambahan enzim. Mitchel et al. (1929) dalam Hidayat (2005) menyatakan bahwa
proses hidrolisis ini dipengaruhi oleh konsentrasi enzim yang ditambahkan yaitu
semakin meningkat konsentrasinya maka akan volume hidrolisat protein ikan dari yang
bersifat tidak larut menjadi larut akan meningkat.
9
Pada pembuatan kecap ini ditambahkan garam, gula dan bawang putih sebagai bumbu
tambahan. Menurut Akolkar, (2009) dalam penelitiannya yaitu “Halobacterium Sp.
SP1(1) As A Starter Culture For Accelerating Fish Sauce Fermentation” menyatakan
bahwa fungsi dari penambahan garam bukan hanya sebagai penambah rasa juga
berfungsi untuk menjaga protein ikan dari pembusukan akibat botulinum. Penambahan
gula jawa dalam pembuatan kecap ikan berguna untuk meningkatkan viskositas dari
kecap, sebagai pengawet serta untuk memberikan warna coklat karamel pada hasil akhir
(Kasmidjo, 1990). Sementara bawang putih menurut Fachruddin, (1997) bertujuan
untuk menambah rasa dan aroma serta berguna sebagai antimikrobia karena megandung
zat allicin didalamnya yang efektif untuk membunuh bakteri.
Hasil yang didapatkan dari berbagai kelompok yang menggunakan perlakuan yang
berbeda mendapatkan hasil yang hampir sama. Pengujian sensori dari segi warna
didapatkan hasil untuk kelompok D1 dengan penambahan enzim papain 0,2% berwarna
coklat gelap, kelompok D2 dengan penambahan enzim papain 0,4% didapatkan hasil
warna yang paling pekat diantara kelompok yang lain yaitu sangat coklat gelap,
sedangkan untuk kelompok D3, D4, dan D5 yang masing-masing menggunakan
konsentrasi enzim papain 0,6%, 0,8% dan 0,1% didapatkan kecap ikan yang berwarna
agak coklat gelap. Tebentuknya warna coklat pada kecap ikan menurut Ibrahim, (2010),
dikarenakan adaya reaksi antara asam amino dan gula reduksi. Penambahan gula jawa
juga akan membentuk warna coklat karamel. Menurut teori Astawan & Astawan, (1991)
penambahan enzim papain yang merupakan enzim proteolitik juga akan membentuk
warna coklat pada kecap ikan yang dihasilkan. Semakin tinggi konsentrasi yang
ditambahkan maka akan terbentuk warna coklat yang semakin gelap. Hasil pengamatan
yang diperoleh tidak sesuai dengan teori yang ada, sebab warna yang paling gelap
didapatkan oleh kelompok D2 dengan penambahan enzim papain 0,4%. Hal ini dapat
terjadi karena pada saat proses perebusan memiliki suhu yang berbeda-beda sehingga
dapat menyebabkan warna menjadi lebih coklat. Hal ini didukung oleh Lay, (1994)
yang menyatakan bahwa pada saat perebusan dengan suhu yang terlalu tinggi dapat
menyebabkan reaksi maillard yang menghasilkan warna kecap ikan semakin gelap.
10
Untuk segi rasa didapatkan hasil yang bervariasi yaitu kelompok D1 (0,2%) dan D5
(1%) didapatkan kecap ikan dengan rasa sangat asin, kelompok D2 (0,4%) dan D3
(0,6%) memiliki rasa asin dan kelompok D4 (0,8%) memiliki rasa kurang asin.
Penambahan enzim papain dalam pembuatan kecap ikan ini akan mempengaruhi rasa
yang dihasilkan. Menurut Hezayen, et al.,(2010) dalam jurnal “Oceanobacillus
aswanensis Strain FS10 sp.nov., an Extremely Halotolerant Bacterium Isoalted from
Salted Fish Sauce in Aswan City, Egypt” mikroorganisme yang tumbuh pada saat
fermentasi akan menghasilkan asam dari yaitu glukosa, fruktosa, arbinosa dan manosa.
Adanya asam ini akan ikut mempengaruhi rasa dari kecap asin yang dihasilkan.
Menurut Haslaniza et al. (2010) proses hidrolisis protein oleh enzim proteolitik dapat
memecah protein menjadi senyawa yang lebih sederhana yaitu asam amino dan peptida
yang memberikan rasa yang khas pada kecap ikan. Kurniawan et al. (2012)
menambahkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim yang ditambahkan akan
menghasilkan kecap ikan yang memiliki rasa yang kuat. Hasil pengamatan yang
diperoleh belum sesuai dengan teori, sebab pada kelompok D4 dengan konsentrasi
papain 0,8% memiliki tingkatan rasa yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok
D1 yang memiliki konsentrasi papain lebih rendah yaitu 0,2%. Hal ini dapat terjadi
kerena pada saat proses perebusan tidak diaduk secara sempurna sehingga bumbu yang
ditambahkan tidak tercampur merata. Selain itu banyaknya filtrat dari proses pemerasan
hasil fermentasi juga akan mempengaruhi hasil yang diperoleh. Pada saat filtrat yang
didapatkan sedikit maka bumbu tambahan akan lebih meresap kedalam filtrat sehingga
menghasilkan rasa yang lebih tajam.
Dari segi aroma pada kelompok D1,D2 dan D3 menghasilkan aroma kurang tajam,
untuk kelompok D4 menghasilkan aroma yang tajam dan kelompok D5 didapatkan hasil
agak tajam. Berdasarkan teori Amstrong (1995) Aroma dari kecap ikan dipengaruhi
oleh penambahan garam dengan asam glutamat dapat menghasilkan flavor yang enak.
Selain itu adanya komponen nitrogen seperti kadaverin, putresin, arginin, histidin dan
amonia yang merupakan hasil dari proses dari hidrolisis protein. Enzim papain yang
merupakan pendorong terjadinya proses hidrolisis perbedaan konsentrasi yang
ditambahkan akan mempengaruhi flavor yang terbentuk. Semakin tinggi konsentrasi
enzim papain yang ditambahkan maka flavor yang terbentuk semakin tajam. Namun
11
berdasarkan hasil pengamatan yang didapat tidak sesuai dengan teori karena aroma
yang paling tajam diantara semua kelompok terdapat pada D4 dengan konsentrasi
papain 0,8%. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh dari faktor lingkungan, seperti teori
Mitchel et al. (1929) dalam Hidayat (2005) yaitu proses hidrolisis protein dipengaruhi
oleh suhu, pH dan waktu hidrolisis. Oleh sebab itu komponen pembentuk flavor dapat
berubah pada saat perebusan karena suhu yang digunakan dalam perebusan berbeda-
beda.
Pada pengujian penampakan kecap ikan hasil yang didapatkan dari kelompok D1
hasilnya sangat kental, D2 kental, D3 agak kental sedangkan untuk kelompok D4 dan
D5 sangat cair. Konsentrasi enzim papain yang ditambahkan menentukan penampakan
kecap ikan. Seperti teori dari Martassasmita et al. (1975) yang menyatakan semakin
tinggi konsentrasi enzim yang ditambahkan akan menyebabkan semakin banyaknya
hidrolisis protein yang memecah komponen kompleks menjadi sederhana yang larut air.
Oleh karena itu seharusnya semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan
maka akan semakin kental kecap ikan yang diperoleh. Namun hasil yang didapatkan
tidak sesuai dengan teori karena pada kelompok D5 dengan konsentrasi papain 1%
penampakannnya sangat cair sedangkan D1 yang menggunakan 0,2% sangat kental.
Hasil ini dapat terjadi karena proses perebusan, seperti teori Fellows, (1990) yang
menyatakan bahwa perebusan dapat menguapkan sebagian air dari kecap ikan dan
mengakibatkan kecap viskositasnya meningkat. Oleh sebab itu dapat terjadi ketidak
sesuaian hasil dan teori karena suhu perebusannya berbeda-beda tiap kelompok.
Hasil % salinitas yang didapatkan dalam praktikum ini yaitu kelompok D1 sebesar
4,00% , kelompok D2 dan D3 mendapatkan hasil yang sama yaitu 3,00%, kelompok D4
sebesar 2,50% sedangkan kelompok D5 sebesar 3,50%. Salinitas adalah kadar garam
yang terlarut dalam 100 gram air laut (Wibisono, 2004). Teori ini menujukkan bahwa
semakin tinggi % salinitas yang didapatkan maka semakin asin juga kecap ikan yang
dihasilkan. Kelompok D1 yang mendapatkan %salinitas yang paling tinggi yaitu 4%
memilki rasa yang sangat asin dan pada kelompok D4 dengan % salinitas yang rendah
yaitu 2,50% didapatkan rasa agak asin. Hasil yang diperoleh dalam praktikum ini sudah
sesuai dengan teori.
12
Menurut Udomsil, (2010) dalam jurnalnya “Proteinase-producing halophilic lactic acid
bacteria isolated from fish sauce fermentation and their ability to produce volatile
compounds” menyatakan bahwa perubahan rasa, aroma dan warna pada kecap ikan
dipengaruhi oleh keberadaan mikrooganisme yang ada didalam kecap ikan tersebut.
Pada saat proses fermentasi mikroorganisme ini akan memproduksi senyawa-senyawa
tentu yang akan merubah rasa, aroma serta warna dari kecap ikan. Contohnya adanya
bakteri asam laktat yang berkontribusi terhadap rasa dan aroma dari kecap ikan. Namun
terkadang bau yang ditimbulkan oleh mikroorganime tersebut tidak disukai dan bahkan
dapat menurunkan kualitas dari kecap ikan. Hal ini seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Jiang, (2008) yang berjudul “Analysis of Volatile Compounds in
Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu)“ yaitu isolat yang ditambahkan pada proses
fermentasi pembuatan kecap dapat memproduksi bau asam lemak yang cenderung
dinilai buruk bagi industri pembuatan kecap ikan. Bau asam ini terbentuk karena
oksidasi asam lemak dan asam amino melalui fermentasi yang dilakukan bakteri.
Komponen yang berkontribusi membentuk aroma yang khas dari kecap ikan adalah
dimetil sulfida, dimetil trisulfida,3-(methylthio)-propanol, 2-methylpropanoic acid,
butanoic acid, 2-methyl-butanoic acid, dan 2- methylbutenal.
Menurut Zaman et al. (2010) “Occurrence of Biogenic Amines and Amines Degrading
Bacteria in Fish Sauce” dalam jurnal Hal yang hasrus dihindari adalah terbentuknya
amina biogenik seperti histamin, putrescine, kardavin, and triamin yang sulit
dihilangkan. Komponen ini memiliki efek racun bagi kesehatan seperti hipertensi,
pusing kepala. Apabila pada kecap ikan mengandung komponen amina ini berarti tidak
bersihnya proses fermentasi yang dilakukan oleh karena itu proses fermentasi harus
dijaga kebersihan mulai dari bahan baku sampai alat yang digunakan.
13
4. KESIMPULAN
Kecap ikan merupakan hasil hidrolisis protein dari proses fermentasi garam,
enzimatis atau kimiawi.
Karakteristik kecap ikan yaitu berbentuk cair, memiliki rasa yang asin dan
berwarna coklat.
Proses fermentasi yang dilakukan dalam pembuatan kecap ikan bertujuan untuk
meningkatkan kandungan protein dan sebagai pengawet.
Penambahan enzim papain berfungsi untuk mempercepat proses hidrolis protein
sehingga waktu pembuatan kecap ikan dapat dipersingkat.
Penambahan bumbu dalam pembuatan kecap ikan berguna untuk meningkatkan cita
rasa pada ikan ikan yang dihasilkan.
Bumbu tambahan yang digunakan adalah garam, gula jawa dan bawang putih
Penambahan garam dalam pembuatan kecap ikan bertujuan untuk menjaga protein
ikan dari kerusakan akibat adanya Botulinum.
Gula jawa berguna untuk meningkatkan viskositas dari kecap, sebagai pengawet
serta untuk memberikan warna coklat karamel pada hasil akhir
Bawang putih bermanfaat sebagai antimikrobia karena megandung zat allicin yang
efektif untuk membunuh bakteri.
Suhu dari perebusan dapat mempengaruhi aroma dan penampakan (viskositas) dari
kecap ikan yang dihasilkan
Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan dapat meningkatkan
rasa, aroma, warna dan penampakan (viskositas).
Semarang, 28 Oktober 2015
Praktikan: Asisten Dosen
Maria Windayani (13.70.0043) Michelle Darmawan
14
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Kanisius.
Yogyakarta.
Akolkar, A.V., D. Durai and A.J. Desai.(2010). Halobacterium sp. SP1(1) as a starter
culture for accelerating fish sauce fermentation. The Society for Applied
Microbiology, Journal of Applied Microbiology 109 44–53
Amano, K. (1962) The influence of fermentation on nutritive value of fish with special
reference to fermented fish products of Southeast Asia. In Fish in Nutrition ed.
Heen, E. and Kreuzer, R. pp. 180–200. London: Fishing News.
Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Astawan, M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Astawan, M.W. & M.Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat
Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.
Dwinastiti, A. 1992. Pengaruh varietas dan penambahan NaCl pada getah pepaya
terhadap rendemen dan mutu papain. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian.
Istitut Pertanian Bogor.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Fellows, P. (1990). Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis
Horwood Limited. New York.
Fukami, K., Funatsu, Y., Kawasaki, K., Watabe, S., 2004. Improvement of fish sauce
odor by treatment with bacteria isolated from the fish-sauce mush (moromi)
made from frigate mackerel. Journal of Food Science 69 (2), 45–49.
Haslaniza, H. 2010. The effects of enzyme concentration, temperature and incubation
time on nitrogen content and degree of hydrolysis of protein precipitate from
cockle (Anadara granosa) meat wash water. International Food Research
Journal 17: 147-152
Hezayen, Francis F., Magdi A.M. Younis, Naura S.A. Hagaggi And Mohamed S.A.
Shabeb.(2010).Oceanobacillus aswanensis Strain FS10 sp.nov., an Extremely
15
Halotolerant Bacterium Isoalted from Salted Fish Sauce in Aswan City, Egypt.
Global journal of moleculer science 5(1): 01-06
Hidayat, T. (2005). Pembuatan hidrolisat protein dari ikan selar kuning (Caranx
leptolepis) dengan menggunakan enzim papain. Skripsi. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Ibrahim, S. M. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce
Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172.
Jiang, Jin- Jin, Qing- Xiao Zeng & Zhi-Wei Zhu. (2008). Analysis of Volatile
Compounds in Traditional Chinese Fish Sauce (Yu Lu). Springer Science +
Business Media, LLC.
Kasmidjo,R.B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta
Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Kurniawan, S. Lestari, Dan S. Hanggita. (2012). Hidrolisis Protein Tinta Cumi-Cumi
(Loligo Sp) Dengan Enzim Papain. Jurnal Fishtech, Vol. 1 No. 1 : 41 – 54.
Lay, B. W. (1994). Analisis Mikroba di Laboratorium. PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Lopetcharat, K., Choi, Y.J., Park, J.W., Daeschel, M.A., (2001). Fish sauce products
and manufacturing: a review. Food Reviews International 17 (1), 65–88.
Martassasmita.S. Winarno, F.G. dan Kristiaty.D. (1975). Pengaruh Jenis Kapang,
Waktu Fermentasi dan Varietas Kedelai Terhadap Mutu Kecap. Buletin Penelitian
TeknologiHasil Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi
Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Udomsil, Natteewan, Sureelak Rodtong, Somboon Tanasupawat and Jirawat
Yongsawatdigul. (2010). Proteinase-producing halophilic lactic acid bacteria
isolated from fish sauce fermentation and their ability to produce volatile
compounds. International Journal of Food Microbiology (141)186–194.
Wibisono, M.S. (2004). Pengantar Ilmu Kelautan. PPPTMGB LEMIGAS.
16
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus:
𝑆𝑎𝑙𝑖𝑛𝑖𝑡𝑎𝑠 (%) =ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑔𝑢𝑘𝑢𝑟𝑎𝑛
1000𝑥 100%
KelompokD1
Hasilpengukuran = 40
Salinitas (%) =40
1000x 100% = 4 %
Gram Papain :
0,2 % = 0,2
100 x 50 = 0,1 gram
KelompokC2
Hasilpengukuran = 30
Salinitas (%) =30
1000x 100% = 3 %
Gram Papain :
0,4 % = 0,4
100 x 50 = 0,2 gram
KelompokC3
Hasilpengukuran = 30
Salinitas (%) =30
1000x 100% = 3 %
Gram Papain :
0,6 % = 0,6
100 x 50 = 0,3 gram
KelompokC4
Hasilpengukuran =25
Salinitas (%) =25
1000x 100 = 2,5 %
Gram Papain :
0,8 % = 0,8
100 x 50 = 0,4 gram
KelompokC5
Hasilpengukuran = 35
Salinitas (%) =35
1000x 100 = 3,5 %
Gram Papain :
1 % = 1
100 x 50 = 0,5 gram
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal