Top Banner

of 21

Kecap Ikan_Erdina Maya_12.70.0008_E5_UNIKA SOEGIJAPRANATA

Oct 10, 2015

Download

Documents

Reed Jones

Kecap ikan merupakan produk hasil dari hidrolisa ikan yang diperoleh melalui proses fermentasi dengan garam, secara enzimatis maupun kimiawi. Kecap ikan ini berbentuk cair dan berwarna coklat jernih
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

1. HASIL PENGAMATANHasil pengamatan dari warna, rasa, aroma, dan salinitas kecap ikan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap IkanKelPerlakuanWarnaRasaAromaSalinitas (%)Kenampakan

E1Enzim papain 0,4%++++++++++++3,70+++

E2Enzim papain 0,8%++++++++++3,50+++

E3Enzim papain 1,2%+++++++++++3,40++

E4Enzim papain 1,6%++++++++3,50++

E5Enzim papain 2,0%+++++++3,30+++

E6Enzim papain 2,5%++++++++++4,20+++

Keterangan :Warna :Rasa :Aroma :+: tidak coklat gelap+: sangat tidak asin+: sangat tidak tajam++: kurang coklat gelap++: kurang asin++: kurang tajam+++: agak coklat gelap+++: agak asin+++: agak tajam++++: coklat gelap++++: asin++++: tajam+++++: sangat coklat gelap+++++: sangat asin+++++: sangat tajam

Kenampakan: +: sangat cair ++: cair +++: agak kental ++++: kental +++++ : sangat kental

Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa pada kecap ikan dengan penambahan enzim papapin dengan konsentrasi yang berbeda-beda ini menhasilkan warna yang bervariasi, kecap dengan warna coklat gelap (paling gelap diantara kelompok lainya) diperoleh oleh kelompok E1 dengan enzim papain 0.4% dan warna kecap yang tidak coklat gelap (paling tidak coklat) didapatkan kelompok E5 dengan penambahan enzim papain 2%. Dari segi rasa dari masing-masing kelompok rata-rata memiliki rasa asin dan sangat asin, kelompok E1, E2, E4 dan E5 memperoleh rasa asin, sedangkan kelompok E3 dan E6 memiliki rasa yang sangat asin pada penambahan enzim papain sebanyak 1,2% dan 2,5%. kemudian, dari segi aroma, kelompok E1 dan E2 memiliki aroma yang tajam dengan penambahan enzim 0,4% dan 0,8%, sedangkan kelompok E4 dan E5 memperoleh aroma yang kurang tajam dengan penambahan enzim papain sebanyak 1,6% dan juga 2%. Dari segi salinitas diperoleh presentase salinitas antara 3,30-4,20%, presentasi salinitas yang tertinggi diperoleh oleh kelompok E6 dengan penambahan enzim papain sebanyak 2.5%. sedangkan presentase salinitas terendah diperoleh oleh kelompok E5 dengan penambahan enzim papain sebanyak 2%. Dari segi kenampakan kecap ikan dari kelompok E1, E2, E5 dan E6 memiliki penampakan yang agak kental, sedangkan untuk kelompok E3 dan E4 memiliki penampakan yang cair.

2. 3. PEMBAHASAN

Kecap ikan merupakan produk hasil dari hidrolisa ikan yang diperoleh melalui proses fermentasi dengan garam, secara enzimatis maupun kimiawi. Kecap ikan ini berbentuk cair dan berwarna coklat jernih (Astawan & Astawan, 1988). Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), kecap ikan yang diolah melalui proses fermentasi merupakan salah satu produk perikanan tradisional yang sudah sejak lama sangat disukai oleh masyarakat karena memiliki rasa yang gurih dan proses pembuatannya mudah, serta harganya relatif murah. Pembuatan kecap ikan dapat berasal dari sari daging ikan yang merupakan produk sampingan dari proses pengolahan yang lain atau yang memang sengaja dibuat khusus untuk kecap ikan. Kecap ikan sangat terkenal di daerah Asia Tenggara, Asia Selatan dan Eropa, namun kecap ikan lebih banyak ditemukan di negara negara Asia. Di Jepang, tempat dimana kecap ikan yang merupakan produk pangan tradisional yang difermentasikan ini berasal, biasa disebut dengan Shottsuru. Di negara Filiphina kecap ikan disebut Patis, di negara Thailand disebut Nam plaa dan di Korea kecap ikan disebut dengan Jeotgal. Sedangkan di Cina disebut Yuiru dan di Vietnam kecap ikan disebut dengan Nouc mam. Kebanyakan kecap ikan di negara - negara tersebut dibuat dari bermacam-macam jenis ikan dan hewan laut seperti cumi - cumi (Harada, 2007). Untuk negara - negara di Asia Tenggara banyak masyarakatnya yang mengkonsumsi kecap ikan, seperti masyarakat Vietnam dimana sekitar 80% masyarakatnya mengkonsumsi kecap ikan secara teratur (Fidler, 2003).

Karakteristik fisik kecap ikan yaitu rasanya agak asin, warnanya kekuningan sampai coklat muda dan mengandung banyak senyawa nitrogen. Penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi sangat menentukan kualitas dari kecap ikan (Afrianto & Liviawaty, 1989). Menurut Kasmidjo (1990), kecap ikan memiliki komposisi berupa komponen dengan berat molekul yang rendah sehingga kecap mudah dicerna dan diabsorbsi oleh tubuh manusia. Kecap ikan dapat larut air hingga 90% dengan rasio antara nitrogen amino dan nitrogen total yaitu sebesar 45%. Protein yang terdapat dalam kecap umumnya berada dalam bentuk asam - asam amino dan peptida - peptida sederhana. Hadiwiyoto (1993) juga menambahkan bahwa protein pada ikan mempunyai daya cerna yang tinggi yaitu sekitar 98% sehingga protein ikan tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik oleh manusia karena sangat mudah untuk dicerna dan diserap oleh tubuh serta mengandung seluruh asam amino esensial (protein lengkap). Dan salah satu hal lagi yang menjadi nilai positif kecap ikan yaitu pembuatannya yang relatif mudah karena tidak membutuhkan jenis ikan tertentu. Selain itu ikan yang sudah tidak memiliki nilai ekonomis juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan dasar dari kecap ikan. Namun nilai negatifnya, pembuatan kecap ikan membutuhkan waktu yang cukup lama (Moeljanto, 1992). Oleh karena itu, beberapa upaya dilakukan untuk mempercepat proses fermentasi seperti meningkatkan suhu fermentasi, menambah agen antibakteri tanpa garam, serta menggunakan enzim protease seperti bromelin dan papain, tanpa mempengaruhi karakteristik rasa dan kualitas nutrisi kecap ikan (Hariono, et al., 2005).

3.1. Cara Kerja dan Bahan Bahan yang DigunakanDalam praktikum ini, ikan yang kami gunakan sebagai bahan dasar pembuatan kecap asin adalah ikan bawal. Langkah kerjanya, mula mula kepala, tulang - tulang dan ekor ikan bawal dihaluskan atau dihancurkan dengan menggunakan blender dan ditimbang sebanyak 50 gram. Penghancuran bertujuan agar dapat meningkatkan efektivitas dari ekstraksi karena adanya kerusakan sel akan memudahkan senyawa flavor untuk keluar. Perlakuan penghancuran ini sangat penting untuk mengeluarkan senyawa - senyawa pembentuk flavor yang biasanya terdistribusi pada bahan dan sebagian terikat dalam bentuk ikatan dengan protein, lemak, atau air. Selain itu dengan penghancuran maka permukaan bahan akan semakin luas dan menyebabkan semakin tinggi rasio luas permukaan terhadap volume bahan sehingga semakin besar pula kemampuan bahan untuk melepas komponen flavornya (Saleh et al., 1996).

Kemudian tulang - tulang dan ekor ikan yang sudah dihancurkan dimasukkan dalam toples tertutup dan ditambahkan enzim papain. Konsentrasi penambahan enzim papain pada masing - masing kelompok berbeda beda. Kelompok E1 konsentrasi enzim papain yang ditambahkan adalah 0,4% dari berat total sampel. Kelompok E2 menambahkan enzim papain dengan konsentrasi 0,8% dari berat total sampel. Enzim papain dengan konsentrasi 1,2% digunakan oleh kelompok E3. Untuk kelompok E4, konsentrasi enzim papain yang ditambahkan adalah 1,6% dari berat total sampel, kelompok E5 menggunakan enzim papain dengan konsentrasi 2% dari berat total sampel. Sedangkan kelompok E6 menggunakan enzim papain dengan konsentrasi 2,5% dari berat total sampel. Penambahan enzim papain bertujuan untuk mempercepat proses fermentasi kecap ikan dimana fermentasi dengan hanya menggunakan garam membutuhkan waktu yang cukup lama yaitu sekitar 7 bulan lebih. Enzim papain merupakan enzim proteolitik yang mampu menguraikan protein menjadi beberapa komponen seperti pepton, peptida, dan asam amino yang saling berinteraksi menciptakan rasa yang khas. Meskipun kecap ikan yang dihasilkan membutuhkan waktu yang lebih singkat dan memiliki nilai protein yang lebih tinggi tetapi aroma dan cita rasa yang dihasilkan masih kurang disukai oleh masyarakat bila dibandingkan dengan kecap ikan dengan fermentasi garam yang telah terbiasa dikonsumsi (Astawan & Astawan, 1988).

Kemudian setelah ditambah enzim papain lalu diinkubasi 3 hari untuk proses fermentasi. Proses inkubasi selama 3 hari dalam wadah tertutup bertujuan menciptakan kondisi anaerob agar proses fermentasi dapat berjalan lebih cepat serta mencegah terjadinya kontaminasi dari luar. Selama proses fermentasi senyawa - senyawa kompleks yang terdapat di dalam tubuh ikan akan diuraikan menjadi senyawa - senyawa yang lebih sederhana oleh enzim yang berasal dari tubuh ikan itu sendiri atau oleh mikroorganisme, dimana proses penguraian ini berlangsung dalam kondisi lingkungan yang terkontrol (Astawan & Astawan, 1988). Menurut Afrianto & Liviawaty (1989), kualitas kecap ikan dipengaruhi oleh jumlah garam yang digunakan dan lamanya proses fermentasi. Garam dalam fermentasi pembuatan kecap ikan berfungsi dalam penarikan komponen - komponen ikan terutama protein. Dari dalam tubuh ikan akan keluar air yang banyak mengandung komponen gizi seperti protein dan mineral. Astawan & Astawan (1988) mengatakan penambahan garam dalam dosis tinggi dapat melindungi ikan dari pencemaran oleh lalat, pembusukan oleh bakteri, dan serangan belatung.

Tahap selanjutnya, diencerkan dengan air sebanyak 250 ml kemudian disaring dengan kain saring. Penyaringan ini bertujuan untuk memisahkan filtrat dari ampas limbah ikan. Kemudian filtrat yang telah diperoleh dipanaskan sampai mendidih dan ditambahkan bumbu - bumbu seperti gula jawa, garam, dan bawang putih yang telah dihaluskan sebanyak 50 gram. Pemanasan ini bertujuan agar selama pemasakan, larutan dapat mengental dikarenakan adanya proses evaporasi yang menyebabkan sebagian air menjadi teruapkan (Fellows, 1990). Sedangkan penambahan bumbu - bumbu bertujuan untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan, dapat memberikan rasa lembut pada kecap ikan, mempengaruhi cita rasa, aroma, dan warna kecap asin yang dihasilkan (Fachruddin, 1997). Selain itu gula jawa juga dapat berperan sebagai pengawet, memberikan warna coklat karamel dan meningkatkan viskositas dari kecap ikan. Warna kecap asin yang coklat muncul dari karamelisasi gula akibat panas yang dihasilkan selama proses pemasakan (Kasmidjo, 1990). Garam yang ditambahkan bertujuan untuk memberi rasa asin, menurunkan kelarutan oksigen, menguatkan rasa, dan memberi efek pengawet karena dapat menurunkan nilai Aw (Desrosier & Desrosier, 1977). Selain dapat berperan sebagai pengawet, penambahan bawang putih dapat memberikan aroma dan cita rasa pada kecap ikan karena mempunyai sifat antimikrobia yakni mengandung zat allicin yang efektif untuk membunuh bakteri (Fachruddin, 1997). Dan kemudian kecap ikan didinginkan dan diamati secara sensori meliputi warna, rasa, dan aroma, serta diukur salinitasnya.

3.2. Pengaruh Penambahan Enzim Terhadap Hasil AkhirEnzim ditambahkan pada proses pembuatan kecap asin bertujuan untuk mempercepat proses fermentasi kecap ikan. Fermentasi yang berlangsung terlalu cepat dapat menyebabkan enzim yang dihasilkan oleh kapang terlalu sedikit sehingga tidak akan menghasilkan komponen - komponen yang dapat menimbulkan reaksi penting. Sedangkan bila proses fermentasi berlangsung terlalu lama maka enzim yang dihasilkan akan semakin banyak sehingga cita rasa yang dihasilkan menjadi kurang baik (Astawan & Astawan, 1988). Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan pada percobaan pembuatan kecap ikan dilakukan secara enzimatis yakni dengan adanya penambahan enzim papain yang bersifat proteolitik. Enzim papain ini dapat mempercepat penguraian protein sehingga waktu yang dibutuhkan untuk membuatan kecap ikan lebih singkat menjadi beberapa hari. Proses penguraian protein dengan bantuan enzim papain akan menyebabkan terbentuknya senyawa peptida yang berbau kurang sedap dan memiliki rasa pahit. Selain itu hasil pemecahan komponen - komponen gizi oleh enzim papain selama proses fermentasi dapat menghasilkan bagian - bagian yang lebih sederhana seperti amilase, maltase, fosfatase, lipase, proteinase, dan sebagainya yang berpengaruh terhadap cita rasa akhir kecap ikan. Untuk perbandingan antara daging ikan dengan pepaya yang efektif digunakan dalam pembuatan kecap ikan adalah 1: 5. Enzim papain yang diambil dari getah buah pepaya lebih baik untuk digunakan dibandingkan dengan enzim papain yang diambil dari batang atau daunnya karena didalam buah pepaya jumlahnya lebih banyak dan daya enzimatiknya cukup tinggi. Daya memecah molekul protein yang dimiliki papain selain dipengaruhi oleh kualitas getah juga dapat dipengaruhi oleh faktor pH, suhu, kemurnian, dan konsentrasi papain dimana daya untuk memecah molekul protein oleh papain akan berlangsung jika faktor faktor tersebut dalam kondisi yang tepat (Muhidi, 1999). Aktivitas yang dimiliki enzim papain yakni untuk merusak struktur jaringan otot rangka yang tersusun oleh miofibril yang merupakan protein sehingga daging menjadi lebih lunak. Meskipun demikian, daging tetap dalam kondisi utuh dan bentuk tetap karena kolagennya tidak rusak (Lee, 1992). Walaupun waktu yang dibutuhkan lebih singkat dan kecap yang dihasilkan memiliki nilai protein yang lebih tinggi, tetapi aroma dan cita rasa kecap ikan yang dihasilkan masih kurang disukai oleh masyarakat. Hal ini dikarenakan terbentuknya senyawa peptida yang berbau kurang sedap dan memiliki rasa pahit dari proses penguraian protein dengan bantuan enzim papain.

3.3. Hasil Uji Sensoris dan Salinitas Kecap Ikan Tiap Kelompok3.3.1. WarnaBerdasarkan hasil pengamatan yang diperoleh, dapat dilihat bahwa kecap ikan kelompok E1 (enzim papain 0,4%) berwarna sangat coklat gelap, kelompok E3 berwarna agak coklat gelap, kelompok E2, E4 dan E6 memiliki warna kurang coklat gelap, sedangkan kelompok E5 tidak berwarna coklat gelap. Menurut Ibrahim (2010), warna yang dihasilkan dari kecap ikan adalah coklat. Warna tersebut terbentuk karena adanya reaksi antar asam - asam amino dengan gula reduksi. Gula jawa yang digunakan sebagai bumbu menyebabkan warna coklat karamel pada kecap ikan dan viskositasnya meningkat sehingga membuat kekentalan yang spesifik pada kecap tradisional. Kasmidjo (1990) juga menambahkan bahwa adanya reaksi pencoklatan antara beberapa komponen pembentuk citarasa dan gula dapat menyebabkan terjadinya pembentukan warna, dimana pada saat fermentasi warna coklat kurang nampak dan semakin menguat pada proses pemasakan dengan panas yang tinggi. Menurut Lees & Jackson (1973), reaksi yang terjadi antara gugus - gugus asam amino dalam daging ikan dengan gula pereduksi dalam gula jawa merupakan reaksi Maillard yang dapat menyebabkan munculnya warna coklat. Selain itu, menurut Astawan & Astawan (1991), aktivitas enzim proteolitik juga dapat menyebabkan terbentuknya warna coklat. Semakin banyak bubur buah yang ditambahkan (bubur buah = bubur buah pepaya yang banyak mengandung enzim papain), maka aktivitas protease akan semakin tinggi sehingga warna cairan yang dihasilkan dari proses hidrolisa akan semakin gelap. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan, warna kecap ikan semakin gelap. Untuk mempermudah dalam mebandingkan hasil dari tiap kelompok dapat dilihat dalam grafik 1.

Grafik 1. Efek Penambahan Enzim Papain terhadap Warna Kecap Ikan

Keterangan :Warna:1: tidak coklat gelap2: kurang coklat gelap3: agak coklat gelap4: coklat gelap5: sangat coklat gelapE1: Enzim papain 0,4%E2: Enzim papain 0,8%E3: Enzim papain 1,2%E4: Enzim papain 1,6%E5: Enzim papain 2%E6: Enzim papain 2,5%

Dari grafik diatas dapat dilihat hasil pengamatan warna yang diperoleh pada praktikum ini tidak sesuai dengan teori yang telah dipaparkan sebelumnya dimana warna paling coklat (gelap) justru diperoleh oleh enzim papain dengan konsentrasi 0,4% (kelompok E1), seharusnya semakin kecil konsentrasi enzim papain maka semakin terang warna cairan kecap ikan. Kelompok E6 yang menggunakan enzim papain dengan konsentrasi tertinggi yaitu 2,5% justru memperoleh warna kurang coklat gelap. Ketidaksesuian ini dapat dikarenakan praktikan melakukan kesalahan dalam penimbangan gula jawa yang ditambahkan. Selain itu dapat disebabkan karena lama pemasakan dan suhu pemasakan masing masing kelompok berbeda beda. Lamanya pemasakan dan suhu pemasakan mempengaruhi warna coklat yang dihasilkan dari reaksi Maillard. Pemasakan dengan suhu tinggi dan waktu yang lama menyebabkan warna kecap semakin gelap. (Lay, 1994). Pengamatan yang dilakukan secara sensori juga berpengaruh terhadap keakuratan yang dihasilkan karena keterbatasan indera manusia.

3.3.2. RasaHasil pengaruh penambahan enzim papain terhadap rasa kecap ikan ini dapat dilihat dari grafik 2 untuk mempermudah dalam membandingkan hasil antar kelompoknya.

Grafik 2. Efek Penambahan Enzim Papain terhadap Rasa Kecap Ikan

Keterangan :Rasa:1: sangat tidak asin2: kurang asin3: agak asin4: asin5: sangat asinE1: Enzim papain 0,4%E2: Enzim papain 0,8%E3: Enzim papain 1,2%E4: Enzim papain 1,6%E5: Enzim papain 2%E6: Enzim papain 2,5%

Pada hasil pengamatan rasa, dapat diketahui bahwa rasa kecap ikan kelompok E1 (enzim papain 0,4%) yaitu asin; kelompok E2 (enzim papain 0,8%) asin; kelompok E3 (enzim papain 1,2%) sangat asin, E4 (enzim papain 1,6%) asin, E5 (enzim papain 2%) asin; sedangkan kelompok E6 (enzim papain 2,5%) memiliki rasa yang sangat asin. Dari hasil analisa tersebut tidak sesuai dengan teori-teori yang telah ada. Seperti yang dinyatakan oleh Astawan & Astawan (1988), enzim - enzim yang dihasilkan selama proses fermentasi seperti amilase, maltase, fosfatase, lipase, proteinase, berperan dalam pemecahan komponen - komponen gizi menjadi bagian - bagian yang lebih sederhana sehingga dapat berpengaruh terhadap cita rasa akhir dari kecap. Semakin besar jumlah enzim papain yang digunakan maka semakin besar pula kemampuan enzim untuk memecah protein yang ada pada daging ikan. Hal ini akan menyebabkan proses fermentasi berjalan lebih sempurna dan kecap ikan yang dihasilkan memiliki rasa yang kuat karena adanya keberadaan senyawa-senyawa tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin banyak konsentrasi penambahan enzim papain, semakin kuat rasa dari kecap ikan. Namun semakin kuatnya rasa dari kecap ikan yang dihasilkan ini tidak berarti bahwa kecap ikan ini terasa semakin asin, karena menurut Amstrong (1995), semakin tinggi konsentrasi penambahan enzim papain maka rasa yang dihasilkan akan semakin tidak asin. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi enzim yang ditambahkan, maka semakin tinggi pula tingkat hidrolisis protein pada ikan sehingga menyebabkan asam amino (asam glutamat) yang menyumbang rasa asin (flavor) pada kecap ikan menjadi semakin berkurang.

Kelompok E6 telah membuktikan bahwa kelompok tersebut memiliki rasa yang sangat asin dengan penambahan enzim papain tertinggi. Namun berbeda halnya dengan kelompok E3, dengan penambahan enzim papain sebanyak 1,2% kelompok tersebut memiliki rasa yang lebih asin dibandingkan kelompok E4 dan E5 yang diberi perlakuan penambahan enzim papain lebih tinggi. Ketidaksesuaian ini dapat disebabkan oleh keterbatasan indera manusia dalam melakukan uji sensori terhadap rasa kecap ikan. Selain itu dengan penambahan bumbu - bumbu dapat meningkatkan aroma dan cita rasa akhir dari kecap ikan yang dihasilkan. Perbedaan gula merah yang digunakan juga mempengaruhi, penambahan gula jawa akan mempengaruhi cita rasa kecap ikan dengan mengurangi rasa asin yang berlebihan (Fachruddin, 1997). Afrianto & Liviawaty (1989) menambahkan bahwa proses pembuatan kecap ikan dipengaruhi oleh proses penguraian protein yang menyebabkan terbentuknya senyawa peptida tertentu sehingga dapat mempengaruhi rasa kecap ikan yang terbentuk memiliki rasa pahit dan bau yang kurang sedap.

3.3.3. AromaMenurut Astawan & Astawan (1991) aroma dari kecap ikan dikarenakan adanya penambahan berbagai bumbu dan komponen aroma yang dihasilkan dari proses hidrolisis ikan oleh enzim protease. Semakin besar jumlah enzim papain yang ditambahkan maka semakin besar pula kemampuan enzim untuk memecah protein yang ada pada daging ikan menjadi senyawa - senyawa kompleks protein yang jumlahnya semakin banyak. Dengan bantuan enzim protease, proses penguraian protein dapat menghasilkan komponen peptida tertentu, pepton, dan asam amino yang saling berinteraksi menciptakan aroma yang khas pada kecap ikan. Hal ini akan membuat sifat proteolitik enzim menjadi semakin kuat sehingga aroma amis dari ikan akan semakin kuat pula. Jadi dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang digunakan maka semakin tajam aroma yang dihasilkan. Untuk hasil pengamatan efek penambahan enzim terhadap aroma kecap ikan dapat dilihat dalam grafik 3 untuk mempermudah dalam membandingkan hasil antar kelompok.

Grafik 3. Efek Penambahan Enzim Papain terhadap Aroma Kecap Ikan

Keterangan :Aroma:1: sangat tidak tajam2: kurang tajam3: agak tajam4: tajam5: sangat tajamE1: Enzim papain 0,4%E2: Enzim papain 0,8%E3: Enzim papain 1,2%E4: Enzim papain 1,6%E5: Enzim papain 2%E6: Enzim papain 2,5%

Berdasarkan grafik diatas terlihat bahwa kelompok E1 dan E2 dengan kandungan enzim papain yang lebih rendah dari kelompok lainya justru memiliki aroma yang sangat tajam. Hasil pengamatan tersebut kurang sesuai dengan teori Astawan & Astawan (1991) yang telah dipaparkan sebelumnya. Seharusnya aroma kecap ikan yang paling tajam dihasilkan oleh penambahan enzim papain dengan konsentrasi 2,5% dan aroma paling tidak tajam dihasilkan oleh penambahan enzim papain dengan konsentrasi 0,4%. Namun Afrianto & Liviawaty (1989) menyatakan teori yang berbeda, yaitu semakin banyak penambahan enzim papain maka kecap ikan yang dihasilkan semakin beraroma tidak tajam. Keberadaan garam selama proses fermentasi akan mengikat air sehingga dapat menyebabkan berkurangnya kelarutan enzim sebagai protein dan membuat kompleks enzim substrat menjadi sulit terbentuk (Gaman & Sherrington, 1994). Selain itu, pengamatan yang dilakukan secara sensori juga berpengaruh terhadap keakuratan yang dihasilkan karena keterbatasan keterbatasan indera manusia dalam melakukan uji sensori terhadap aroma kecap ikan. Dengan penambahan bumbu pada proses pemasakan dapat mempengaruhi flavor spesifik dari kecap ikan yang dihasilkan (Kasmidjo, 1990).

3.3.4. SalinitasPengujian salinitas kadar garam dalam praktikum ini dilakukan dengan menggunakan alat yaitu hand refractometer. Refraktometer adalah alat yang digunakan untuk mengukur jatuhnya sinar dibiaskan dan menentukan besarnya indeks bias, bila cahaya tersebut bergerak dari udara menuju sebuah sampel cair. Menurut Amstrong (1995), semakin tinggi konsentrasi penambahan enzim papain maka rasa yang dihasilkan akan semakin tidak asin. Hal ini disebabkan karena semakin tinggi konsentrasi enzim yang ditambahkan, maka semakin tinggi pula tingkat hidrolisis protein pada ikan sehingga menyebabkan asam amino (asam glutamat) yang menyumbang rasa asin (flavor) pada kecap ikan menjadi semakin berkurang. Hal ini didukung oleh pernyataan menurut Afrianto & Liviawaty (1989) yang menyatakan bahwa selama proses pembuatan kecap ikan maka akan terjadi penguraian protein yang menyebabkan munculnya senyawa peptide dimana senyawa ini akan mempengaruhi rasa kecap ikan menjadi lebih pahit dan kurang sedap. Hal ini tentunya akan berakibat pada kadar garam yang terkandung didalamnya (berkaitan dengan rasa asin). Dari hasil pengamatan dengan menggunakan hand refractometer, dapat dilihat dalam grafik 4 untuk mempermudah dalam perbandingan antar kelompok.

Grafik 4. Efek Penambahan Enzim Papain terhadap Presentase Salinitas Kecap Ikan

Keterangan :E1: Enzim papain 0,4%E2: Enzim papain 0,8%E3: Enzim papain 1,2%E4: Enzim papain 1,6%E5: Enzim papain 2%E6: Enzim papain 2,5%

Dari grafik diatas kadar garam kecap ikan tertinggi yaitu 4,2% didapatkan oleh kelompok E6 dengan enzim papain 2,5%, sedangkan kadar garam terendah yaitu 3,3% diperoleh kelompok E5 dengan enzim papain 2% Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa hasil pengamatan kelompok E6 kurang sesuai dengan teori Amstrong (1995) diatas. Seharusnya semakin tinggi kandungan enzim papain yang ditambahkan semakin berkurang tingkat keasinan yang dihasilkan oleh kecap ikan tersebut. Kesalahan ini dapat terjadi mungkin karena pada saat penambahan garam praktikan melakukan kesalahan dalam penimbangan. Selain penimbangan garam, kesalahan dalam penimbangan gula jawa juga dapat mempengaruhi hasil analisa mengenai tingkat keasinan dari kecap ikan ini karena penambahan gula jawa akan mempengaruhi cita rasa kecap ikan dengan mengurangi rasa asin yang berlebihan (Fachruddin, 1997).3.3.5. Penampakan

Grafik 5. Efek Penambahan Enzim Papain terhadap Penampakan Kecap Ikan

Keterangan :Penampakan:1: sangat cair2: cair3: agak kental4: kental5: sangat kentalE1: Enzim papain 0,4%E2: Enzim papain 0,8%E3: Enzim papain 1,2%E4: Enzim papain 1,6%E5: Enzim papain 2%E6: Enzim papain 2,5%

Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa kenampakan kecap ikan yang dihasilkan kelompok E1, E2, E5 dan E6 yang agak kental, sedangkan untuk kelompok E3 dan E4 adalah cair. Penampakan kecap ikan ini dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti penambahan gula jawa, penambahan air serta lamanya pemanasan. Karena beberapa faktor tersebut sehingga dapat diperoleh hasil yang berbeda pada saat analisa ini. Semakin lama pemanasan akan mengakibatkan karamelisasi dari gula jawa dan membuat kecap ikan ini lebih kental. Menurut (Kasmidjo, 1990), panas yang diberikan selama pemasakan dapat mengakibatkan terjadinya karamelisasi dari gula sehingga warna menjadi coklat. Petrucci (1992) juga menyatakan bahwa pada suhu yang tinggi, dapat mengakibatkan cairan menjadi semakin pekat dan memiliki warna yang lebih gelap.

3.4. Pembahasan Jurnal Terkait3.4.1. Biochemical Properties and Consumer Acceptance of Pacific Whiting Fish SauceDalam jurnal ini Tungkawachara melakukan analisa mengenai karakteristik biokimia dari kecap ikan yang dibuat dari ikan teri dan seluruh bagian ikan dengan perbandingan (1: 1) dalam jangka waktu fementasi selama 0, 1, 3, dan 9 bulan. Semakin lama proses fermentasi tingkat hidrolisis nitrogen, kandungan amino, dan kandungan hipoksantin akan meningkat, sedangkan kandungan inosin, kelembaban, dan pH akan menurun. Setelah itu dilakukan analisa terhadap konsumen dan hasilnya menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan dalam penerimaan keseluruhan sampel kecap ikan teri dengan kecap ikan komersial yang terdapat dipasaran. Penelitian ini menunjukkan bahwa produk sampingan surimi dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku kecap ikan (Tungkawachara et al., 2008).

3.4.2. Application of Irradiation as Pretreatment Method in the Production of Fermented Fish PasteJurnal ini membahas mengenai kecap ikan yang difermentasi, di Filipina sumber penting protein mudah dijumpai dibeberapa daerah dengan harga yang murah. Beberapa sumber protein tersebut diantaranya adalah Dua spesies ikan yaitu dilis (Stolephrus commersonii) dan galunggong (Decapterus macrosoma) kecap ikan dengan kedua ikan tersebut radiasi dengan pre-treatment 3 dan 10 kGy yang dapat mengakibatkan penurunan jumlah mikroba dalam kecap ikan tersebut. iradiasi dilis mengakibatkan degradasi proteolitik yang lebih tinggi dibandingkan dengan galunggong. Tidak ada perubahan pH yang terjadi tidak begitu signifikan untuk kedua spesies. Iradiasi terhadap ikan sebelum fermentasi akan mengakibatkan perubahan kimia pada protein seperti fragmentasi, cross-linking, agregasi dan oksidasi yang memungkinkan dapat mengubah struktur fisik dari kecap ikan (Mojica et al., 2005)

3.4.3. Effective removal of heavy metal in some fish sauce products by tannin treatment.Dalam jurnal ini, Sasaki dkk menganalisa mengenai kandungan logam berat yang terdapat dalam kecap ikan. Sebagian dari produk kecap ikan banyak dijumpai mengandung sejumlah logam berat tertentu seperti: kadmium (Cd), arsen (As), timbal (Pb), dan merkuri (Hg) meskipun kandungan lomgam berat tersebut masih dalam tingkatan aman dan tidak mengakibatkan efek berbahaya bagi kesehatan. Dalam sebagian analisa ini, asam kuat seperti asam sulfat telah dicoba digunakan untuk menghilangkan logam berat, tetapi asam ini akan mengakibatkan perubahan rasa dalam kecap ikan sehingga tidak dapat diterima untuk pengolahan makanan. Dalam penelitian ini, ditemukan metode murah dan dapat diterima untuk menghilangkan Cd dari produk kecap ikan menggunakan tanin, salah satu aditif makanan disetujui di Jepang. Dalam kasus yang ini, tingkat kandungan Cd menurun dari 0.39 mg / 100 ml menjadi 0,03 mg / 100ml dengan penambahan tanin (Sasaki et al., 2012)

3.4.4. Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilisha melastoma for fish sauce productionDalam jurnal ini menganalisa mengenai efek protease pada ikan dalam proses hidrolisis protein selama produksi kecap ikan. Analisa ini menggunakan Valamugil seheli dan Ilisha Melastoma sebagai substrat fermentasi. Dan hasil dari analisa tersebut menunjukkan bahwa aktivitas protease dan derajat hidrolisis Ilisha Melastoma secara signifikan lebih tinggi dibandingkan Valamugil seheli. Sedangkan untuk nilai pH dari Ilisha Melastoma adalah 5.83 dan semakin lama akan semakin menurun. Sedangkan nilai pH dari Valamugil seheli awalnya 5.68, namun akan semakin meningkat dengan semakin lamanya waktu fermentasi (Afiza et al., 2011)

3.4.5. Fish sauce from Capelin (Mallotus villosus): Contribution of Cathepsin C to the FermentationDalam jurnal ini Raksakulthai dll melakukan analisa terhadap Hepatopancreas Squid yang akan digunakan dalam membantu proses pembuatan kecap ikan. Hasil analisa ini menunjukan bahwa secara signifikan penambahan Hepatopancreas Squid akan meningkatkan derajat hidrolisis proteinserta pembentukan asam amino bebas. Kondisi optimum untuk proses fermentasi tersebut adalah berkisar antara 20-25C dengan presentasi NaCl sebesar 25% dan pH 6. Evaluasi sensori dari kecap ikan tidak dipengaruhi oleh enzim maupun bakteri (Yongsawatdigul et al., 2008).

4. KESIMPULAN

Karakteristik fisik kecap ikan yaitu rasanya agak asin, warnanya kekuningan sampai coklat muda dan mengandung banyak senyawa nitrogen. Penggunaan garam dan lamanya proses fermentasi sangat menentukan kualitas dari kecap ikan. Penghancuran bertujuan agar dapat meningkatkan efektivitas dari ekstraksi karena adanya kerusakan sel akan memudahkan senyawa flavor untuk keluar. Penambahan enzim papain bertujuan untuk mempercepat proses fermentasi kecap ikan. Proses inkubasi selama 3 hari dalam wadah tertutup bertujuan menciptakan kondisi anaerob agar proses fermentasi dapat berjalan lebih cepat serta mencegah terjadinya kontaminasi dari luar. Garam dalam fermentasi pembuatan kecap ikan berfungsi dalam penarikan komponen - komponen ikan terutama protein. Penambahan garam dalam dosis tinggi dapat melindungi ikan dari pencemaran oleh lalat, pembusukan oleh bakteri, dan serangan belatung. Penyaringan bertujuan untuk memisahkan filtrat dari ampas limbah ikan. Pemanasan bertujuan agar larutan dapat mengental dikarenakan adanya proses evaporasi yang menyebabkan sebagian air menjadi teruapkan. Penambahan bumbu - bumbu bertujuan untuk mengurangi rasa asin yang berlebihan, dapat memberikan rasa lembut pada kecap ikan, mempengaruhi cita rasa, aroma, dan warna kecap asin yang dihasilkan. Gula jawa berperan sebagai pengawet, memberikan warna coklat karamel, dan meningkatkan viskositas dari kecap ikan. Warna kecap asin yang coklat muncul dari karamelisasi gula akibat panas yang dihasilkan selama proses pemasakan. Garam yang ditambahkan bertujuan untuk memberi rasa asin, menurunkan kelarutan oksigen, menguatkan rasa, dan memberi efek pengawet karena dapat menurunkan nilai Aw. Bawang putih dapat memberikan aroma dan cita rasa pada kecap ikan karena mempunyai sifat antimikrobia. Aktivitas yang dimiliki enzim papain yakni untuk merusak struktur jaringan otot rangka yang tersusun oleh miofibril yang merupakan protein sehingga daging menjadi lebih lunak. Reaksi yang terjadi antara gugus - gugus asam amino dalam daging ikan dengan gula pereduksi dalam gula jawa merupakan reaksi Maillard yang dapat menyebabkan munculnya warna coklat. Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang ditambahkan, warna kecap ikan semakin gelap. Semakin besar jumlah enzim papain yang digunakan maka semakin besar pula kemampuan enzim untuk memecah protein yang ada pada daging ikan. Semakin tinggi konsentrasi penambahan enzim papain maka rasa yang dihasilkan akan semakin tidak asin. Semakin tinggi konsentrasi enzim papain yang digunakan maka semakin tajam aroma yang dihasilkan.

Semarang, 19 September 2014 Praktikan,Asisten Dosen:Yuni Rusiana Erdina Maya Puspita 12.70.00085. 6. DAFTAR PUSTAKA

Afiza T. S., Lim Y., Muhammad Afif, Rosma A dan Wan Hanidah. (2011). Proteolytic action in Valamugil seheli and Ilsha melastoma for fish sauce. Asian Journal of Food and Agro-Industry. 4 (04) : 247-254

Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.

Amstrong, S.B. (1995). Buku Ajar Biokimia Edisi Ketiga. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.

Astawan, M.W. & M. Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.

Astawan & Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. Cv Akademika Pressindo. Jakarta.

Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.

Fellows, P. (1990). Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis Horwood Limited. New York.

Fidler, Meredith C; Lena Davidsson; Thomas Walczyk; and Richard F Hurrell. (2003). Iron absorption from fish sauce and soy sauce fortified with sodium iron EDTA13. Am J Clin Nutr 2003;78:2748. Printed in USA. 2003 American Society for Clinical Nutrition. http://www.fish-u.ac.jp/kenkyu/sangakukou/kenkyuhoukoku/56/01_11.pdf.

Gaman, P. M. & K. B. Sherrington. (1994). Ilmu Pangan Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Hadiwiyoto, S. (1993). Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Jilid 1. Liberty. Yogyakarta.

Harada et al. (2007). Efficacy of puffer fish sauce in reducing hydroxyl radical damage to DNA assessed using the apurinic / apyrimidinic site method. Int J Mol Med, 20, 309-314.

Hariono I, Yeap S.E, Kok T.N and Ang G.T. (2005). Use of Koji and Protease in Fish Sauce Fermentation. Singapore J Pri Ind 32: 19-29 2005/06.

Ibrahim, Sayed Mekawi. (2010). Utilization of Gambusia (Affinis affinis) For Fish Sauce Production. Turkish Journal of Fisheries and Aquatic Sciences 10: 169-172 (2010).

Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.

Kazuki Harada, Toshimichi Maeda, Masato Honda, Tsuyoshi Kawahara, Miki Tamaru, and Tsuneo Shiba. 2007. Antioxidative Activity of Puffer Fish Sauce. Journal of national Fisheries University. 56 (1) 99 105.

Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Lee, J. M. (1992). Biochemical Engineering. Prentice Hall, Inc. New York.

Lees, R. & E. B. Jackson. (1973). Sugar Confectionery and Chocolate Manufacture. Leonard Hill. Glasgow.

Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Mojica, E. R. E., A. Q. Nato, Maria E. T. A., Chito P. F., Maria L. D. L., & Custer C. D. (2005). Application of Irradiation as Pretreatment Method in the Production of Fermented Fish Paste. Journal of Applied Sciences Research 1(1): 90-94, 2005. INSInet Publication.

Muhidi, D. ( 1999 ). Agroindustri Papain dan Pektin. Penebar Swadaya. Jakarta. Petrucci, R. H. (1992). Kimia Dasar Prinsip dan Terapan Modern. Erlangga. Jakarta.

Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.

Sasaki, T., T. Michihata, S. Nakamura, T. Enomoto, T. Koyanagi, H. Taniguchi, M. Aburatani, M. Koudou, & K. Tokuda. (2008). Effective Removal of Heavy Metal in Some Fish Sauce Products by Tannin Treatment. Industrial Research Institute of Ishikawa, Kanazawa, Japan. Shata Shuzo Co., Ltd.

Tungkawachara, S., J. W. Park, & Y. J. Choi. (2008). Biochemical Properties and Consumer Acceptance of Pacific Whiting Fish Sauce. Food Chemistry and Toxicology.Seafood Laboratory & Dept. of Food Science and Technology, 2008 Marine Drive #253, Astoria, OR 97103.

Yongsawatdigul, T; S. Rodtong; and N. Raksakulthai. (2007). Acceleration of Thai Fish Sauce Fermentation Using Proteinases and Bacterial Starter Cultures. Journal of Food Science. Bangkok, Thailand.

7. LAMPIRAN7.1. PerhitunganRumus :% Salinitas =

Kelompok E1 % Salinitas = = 3,7%Kelompok E2 % Salinitas = = 3,5%Kelompok E3 % Salinitas = = 3,4%Kelompok E4 % Salinitas = = 3,5%Kelompok E5 % Salinitas = = 3,3%Kelompok E6 % Salinitas = = 4,2%7.2. Foto

7.3. Laporan Sementara7.4. Diagram Alir Proses