JENIS RAGAM DAN KARAKTERISTIK RAGAM TUTURAN
GURU DAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA KELAS VIII A
SMP PANGUDI LUHUR I KALIBAWANG
TAHUN AJARAN 2017/2018
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Chresensia Apriliana Endang Purwaningrum
NIM: 131224096
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
i
JENIS RAGAM DAN KARAKTERISTIK RAGAM TUTURAN
GURU DAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA KELAS VIII A
SMP PANGUDI LUHUR I KALIBAWANG
TAHUN AJARAN 2017/2018
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia
Oleh:
Chresensia Apriliana Endang Purwaningrum
NIM: 131224096
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Allah Bapa, Yesus Kristus, dan Bunda Maria
Orang tua tercinta, Risma Situmorang dan Michael Purwanto
Kedua adik, Florentina Betti Ria Wardani dan Fransiskus Asisi Welly
Riskartiawanto
Keempat sahabat, Dhian, Anis, Izmi, dan Rizky
Yang Terkasih, Felix Parama Dwityandra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
MOTTO
Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh
kepercayaan, kamu akan menerimanya.
(Matius, 21: 22)
Barang siapa mau bersabar, ia akan mendapatkan lebih. Lebih tak
melulu soal jumlah, tapi juga ketenangan batin.
(Chresensia Apriliana E. P.)
Cita-cita tidak harus realistis, sebab ketidakrealistisanlah seni
dalam bercita-cita. Kalau cita-cita selalu realistis, pesawat terbang
dan kapal selam tidak pernah ada.
(Chresensia Apriliana E. P.)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Purwaningrum, Chresensia Apriliana Endang. 2018. Jenis Ragam dan
Karakteristik Ragam Tuturan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang
Tahun Ajaran 2017/2018. Skripsi. Yogyakarta: PBSI, FKIP,
Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji jenis ragam dan karakteristik ragam tuturan guru
dan siswa. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis ragam bahasa
Indonesia yang muncul pada kegiatan awal pembelajaran, inti pembelajaran, dan
akhir pembelajaran. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Data
penelitian berupa tuturan guru dan siswa yang berwujud kata, kalimat, atau
rangkaian kalimat. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
simak. Metode simak yang digunakan adalah metode simak dengan teknik dasar
sadap. Penyadapan dilakukan melalui proses perekaman dan pencatatan. Teknik
sadap yang digunakan merupakan lanjutan dari teknik sadap yaitu teknik Simak
Bebas Libat Cakap (SBLC). Teknik analisis data dilakukan melalui tahap
transkripsi, klasifikasi, koding, identifikasi, penyajian, dan menarik simpulan.
Dari hasil analisis data diambil dua simpulan. Pertama, jenis ragam yang
ditemukan yaitu, ragam resmi, ragam santai, dan ragam akrab. Dari ketiga ragam
tersebut, ragam santai paling banyak ditemukan dalam tuturan guru kepada siswa,
tuturan siswa kepada guru, dan tuturan sesama siswa. Ragam santai paling
banyak digunakan karena ragam ini dapat membangun suasana pembicaraan yang
santai sehingga proses komunikasi tidak berlangsung kaku dan pesan yang
disampaikan dapat lebih mudah dipahami. Kedua, dari semua data yang dianalisis
ditemukan 10 karakteristik ragam resmi, 12 karakteristik ragam santai, dan 4
karakteristik ragam akrab. Jumlah karakteristik yang ditemukan dalam setiap data
bervariasi. Karakteristik ketiga ragam memiliki perbedaan yang dilihat dari segi
diksi, struktur, dan tujuan. Adapun hal yang menjadi dasar pembedaan semua
jenis ragam adalah situasi pemakaian.
Berdasarkan hasil penelitian, peneliti mengajukan saran untuk bidang
pembelajaran khususnya bagi guru mata pelajaran Bahasa Indonesia. Hendaknya
guru memberikan pemahaman, contoh konkret, dan melakukan pembiasaan pada
siswa terkait penggunaan ragam bahasa resmi. Bagi pengembang bidang
sosiolinguistik, hendaknya berusaha mengkaji ragam bahasa Indonesia di bidang
yang lain dalam kehidupan masyarakat. Bagi peneliti selanjutnya, diharapkan
dapat menindaklanjuti penelitian ini secara lebih luas karena penelitian ini baru
menjangkau penggunaan ragam bahasa di satu kelas saja. Peneliti lain dapat
melakukan penelitian dalam proses pembelajaran di beberapa kelas atau di jenjang
yang lebih tinggi misalnya, di SMA atau universitas.
Kata Kunci: ragam, karakteristik ragam, pembelajaran bahasa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Purwaningrum, Chresensia Apriliana Endang. 2018. Types and Characteristic of
Variations of The Teacher and Grade VIII A Students Utterance in
Indonesian Language Learning of Pangudi Luhur I Kalibawang Junior
High School in 2017/2018 Academic Year. Thesis. Yogyakarta: PBSI,
FKIP, Universitas Sanata Dharma.
This study examines the types and characteristics of variations of the
teacher and students. The purpose of this research is to describe the types of
Indonesian language that appear in the early activities of learning, the core of
learning, and the end of learning. This research is a qualitative descriptive study.
Research data in the form of teacher and student speech that tangible words,
sentences, or sentence sequences. Data collection is done by using the method
refer. The method used is the method refer to the basic technique called tapping
technique. Tapping is done through the recording and recording process. The
tapping technique used is a continuation of the tapping technique that is Simak
Bebas Libat Cakap (SBLC) Technique. Data analysis technique is done through
transcription, classification, coding, identification, presentation, and drawing
conclusion.
From the analysis taken two conclusions. First, the kind of variety found is
the formal style, casual style, and the intimate style. Of the three varieties, the
most casual variety found in teacher speech to students, student speech to
teachers, and fellow students. Casual variety is most widely used because this
variety can build a relaxed atmosphere of conversation so that the communication
process does not run rigid and the messages conveyed can be more easily
understood. Secondly, of all the analyzed data found 10 formal style
characteristics, 12 casual style characteristics, and 4 intimate style caracteristics.
The number of characteristics found in each data varies. The third characteristic
variation has differences seen in terms of diction, structure, and purpose.
However, the basis for differentiating all types of diversity is the usage situation.
Based on the results of the research, researchers put forward suggestions
for the field of learning, especially for teachers of Indonesian subjects. Teachers
should provide understanding, concrete examples, and familiarize students with
the use of official language variants. For developers in the field of
sociolinguistics, should try to study the variety of Indonesian language in other
fields in public life. For the next researcher, it is expected to follow up this
research more widely because this research only reaches the use of language
variety in one class only. Other researchers can do research in the learning process
in some classes or at higher levels for example, in high school or university.
Keywords: variation, characteristic of variation, Indonesian language learning.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa atas berkat dan cinta kasih-
Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Jenis Ragam
dan Karakteristik Ragam Tuturan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang Tahun Ajaran
2017/2018” dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.
Peneliti menyadari bahwa banyak pihak yang turut mendukung peneliti
dalam menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, secara khusus peneliti mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dr. Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
2. Rishe Purnama Dewi, S.Pd., M.Hum., selaku Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma.
3. Dr. B. Widharyanto, M.Pd., selaku dosen pembimbing.
4. Danang Satria Nugraha, S.S., M.A., selaku dosen triangulator.
5. Seluruh Dosen dan sekretariat Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra
Indonesia.
6. Lembaga Kesejahteraan Mahasiswa yang telah menyalurkan Bidikmisi kepada
peneliti selama empat tahun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN .......................................................................... iv
MOTTO ................................................................................................................. v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................................. vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............. vii
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
ABSTRACT ........................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR .......................................................................................... x
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiv
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 5
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 6
1.5 Batasan Istilah ............................................................................................... 7
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................................. 7
1.7 Sistematika Penulisan .................................................................................... 8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 10
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan ............................................................. 10
2.2 Landasan Teori ............................................................................................ 13
2.2.1 Sosiolinguistik ....................................................................................... 13
2.2.2 Konteks ................................................................................................. 46
2.2.3 Pembelajaran Bahasa Indonesia ……………………………………... 56
2.3 Kerangka Berpikir ……………………………………………………..… 58
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
3.1 Jenis Penelitian ............................................................................................ 61
3.2 Data dan Sumber Data ................................................................................. 62
3.3 Instrumen Penelitian .................................................................................... 62
3.4 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 62
3.5 Teknik Analisis Data ................................................................................... 64
3.6 Teknik Penyajian Data ................................................................................ 65
3.7 Triangulasi Data .......................................................................................... 67
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 68
4.1 Deskripsi Data ............................................................................................. 68
4.2 Analisis Data ............................................................................................... 73
4.2.1 Ragam Resmi ........................................................................................ 74
4.2.2 Ragam Santai ........................................................................................ 78
4.2.3 Ragam Akrab ........................................................................................ 88
4.3 Pembahasan ................................................................................................. 91
4.3.1 Jenis Ragam Tuturan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang .......................... 97
4.3.3 Perbedaan Karakteristik Ragam Resmi
dengan Ragam Tidak Resmi ........................................................................ 100
4.3.4 Implementasi Ragam Bahasa Indonesia
melalui Model Pembelajaran ...................................................................... 102
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 107
5.1 Simpulan .................................................................................................... 109
5.2 Saran .......................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 111
LAMPIRAN ................................................................................................... ... 113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Tabel 3.3 ……………………………………………………….. 57
Tabel 2: Tabel 4.1 ……………………………………………………….. 68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Triangulasi Data ………………………………………...……. 101
Lampiran 2: Surat Permohonan Izin Penelitian ……..……………………... 245
Lampiran 3: Daftar Hadir Siswa .…………………………………………... 246
Lampiran 3: Surat Keterangan Penelitian ………………………………….. 247
Lampiran 4: Surat Permohonan Triangulasi ….……………………….…… 248
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
Bab I merupakan bab pendahuluan. Pendahuluan berisi pembahasan
mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitan, batasan istilah, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penelitian.
1.1 Latar Belakang Masalah
Keanekaragaman bahasa di Indonesia merupakan konsekuensi dari letak
geografis Indonesia. Indonesia memiliki wilayah perairan yang sangat luas dan
ribuan pulau yang membentang dari Sabang sampai Merauke. Kondisi ini
mengakibatkan bangsa Indonesia memiliki banyak suku dan setiap suku
mempunyai bahasa daerahnya masing-masing. Sejalan dengan Sumarsono (2017:
67) yang menyatakan bahwa bahasa dikatakan sebagai alat identitas etnik: bahasa
daerah adalah alat identitas suku. Sebagai contoh, bahasa daerah suku Betawi
adalah bahasa Betawi. Bahasa daerah suku Batak adalah bahasa Batak.
Bahasa dan masyarakat tidak dapat dipisahkan. Pemakaian bahasa sudah
menjadi bagian dari masyarakat. Masyarakat memerlukan bahasa untuk
berkomunikasi. Penggunaan bahasa oleh masyarakat sangat memungkinkan
munculnya penggunaan ragam bahasa. Sama halnya dengan bahasa Indonesia
yang memiliki bahasa baku sebagai ragam tinggi dan bahasa tidak baku sebagai
ragam rendah, masyarakat bahasa juga memiliki ukuran kebakuan untuk bahasa
daerahnya masing-masing. Sebagai contoh, masyarakat Jawa mengenal bahasa
Krama Inggil sebagai ragam tinggi dan bahasa Ngoko sebagai ragam rendah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Di luar faktor geografis, munculnya ragam bahasa juga disebabkan oleh
faktor sosial. Faktor sosial ini mencakup status sosial, usia, jenis kelamin,
pendidikan, nilai dan norma, serta pekerjaan. Hal ini sejalan dengan pandangan
Chaer dan Agustina (2004: 62) mengenai ragam bahasa. Pertama, ragam atau
variasi bahasa dilihat sebagai akibat adanya keberagaman sosial penutur bahasa
dan keberagaman fungsi bahasa. Kedua, ragam atau variasi bahasa sudah ada
untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang
beranekaragam. Sebagai contoh, seorang presiden menggunakan ragam bahasa
Indonesia baku saat membawakan pidato kenegaraan sementara ketika
mengunjungi masyarakat di daerah perkampungan, presiden menggunakan ragam
tidak baku untuk berinteraksi dengan warga.
Istilah ragam bahasa dikenal pula sebagai variasi bahasa. Sejalan dengan
Nababan (1986: 12) yang menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa,
baik variasi bentuk ataupun maknanya. Variasi bahasa adalah keanekaragaman
bahasa yang disebabkan oleh faktor tertentu (Soeparno, 2013: 49). Utorodewo
(2010: 3) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa yang terjadi
karena pemakaian bahasa. Dengan demikian, disimpulkan bahwa istilah ragam
bahasa disebut juga sebagai variasi bahasa.
Penelitian ini menggunakan teori Martin Joos untuk menganalisis jenis
ragam. Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45) membedakan ragam bahasa
menjadi lima jenis yaitu, ragam beku (frozen style), ragam resmi (formal style),
ragam usaha (consultative style), ragam santai (casual style), dan ragam akrab
(intimate style). Sementara itu, untuk menganalisis karakteristik ragam, peneliti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
menggabungkan teori milik Martin Joos (dalam Alwasilah 1990), Utorodewo
(2010), Chaer & Agustina (2004), Pateda (1990), Supardi (1988), dan Nababan
(1984). Pendapat para ahli ini dikolaborasikan untuk menemukan teori yang
relevan dan memadai dalam proses analisis data.
Salah satu sarana untuk memperkenalkan ragam bahasa adalah melalui
pembelajaran Bahasa Indonesia. Pembelajaran Bahasa Indonesia memiliki andil
besar dalam membekali peserta didik dengan keterampilan berbahasa. Melalui
pembelajaran Bahasa Indonesia, peserta didik memahami bagaimana berbahasa
Indonesia yang baik dan benar. Pembelajaran bahasa Indonesia sudah semestinya
menjadi perantara yang efektif untuk memperkenalkan ragam bahasa Indonesia
sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan.
Masyarakat berpandangan bahwa kaum cendekia memiliki prestise yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kalangan tidak terpelajar atau berpendidikan
rendah. Oleh karena itu, masyarakat menganggap bahwa kaum cendekia adalah
kalangan yang mampu menggunakan ragam baku secara fasih. Namun, pada
kenyataannya sekolah sebagai sarana untuk mengajarkan bahasa Indonesia yang
baik dan benar justru kurang konsisten dalam menerapkan penggunaan bahasa
baku sebagai ragam tinggi. Sebagai contoh konkret, penggunaan ragam bahasa
baku dalam kegiatan pembelajaran di kelas seringkali diabaikan bahkan pada saat
berlangsungnya pembelajaran bahasa Indonesia. Guru dan siswa terbiasa
menggunakan ragam tidak baku untuk berkomunikasi di kelas. Penggunaan ragam
baku dianggap sulit dan terlalu kaku. Guru dan siswa cenderung memilih ragam
tidak baku seperti ragam santai atau ragam akrab yang dirasa lebih efektif untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
menyampaikan pesan. Sebagai contoh konkret, masalah ini ditemukan oleh
peneliti pada saat melakukan penelitian di kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I
Kalibawang. Data awal yang diperoleh peneliti menunjukkan bahwa penggunaan
ragam santai lebih dominan dibandingkan penggunaan ragam resmi.
Di luar kenyataan yang ditemukan peneliti di kelas VIII A SMP Pangudi
Luhur I Kalibawang, masih ada kemungkinan ditemukannya penggunaan ragam
bahasa Indonesia resmi secara konsisten dalam mata pelajaran lain. Baik di
sekolah yang sama maupun di sekolah yang lain. Penelitian ini penting untuk
memberikan gambaran terhadap pihak-pihak yang memerlukan deskripsi
mengenai jenis ragam dan karakteristik ragam dalam kegiatan pembelajaran di
sekolah. Melalui deskripsi terkait penggunaan ragam bahasa, pihak-pihak yang
terkait dengan kajian ragam bahasa dapat mengetahui fakta di lapangan mengenai
penggunaan ragam bahasa dalam proses pembelajaran di sekolah. Dengan
demikian, setiap pihak terkait dapat mengetahui kekurangan yang muncul dalam
hal kebahasaan secara khusus dalam penggunaan ragam bahasa di sekolah, serta
mencari upaya untuk memperbaikinya.
Penelitian ini mendeskripsikan jenis ragam dan karakteristik ragam yang
muncul pada saat berlangsungnya pembelajaran bahasa Indonesia di kelas VIII A
SMP Pangudi Luhur I Kalibawang, tahun pelajaran 2017/2018. Adapun data yang
diolah peneliti adalah data yang berupa tuturan guru dengan siswa, siswa dengan
guru, dan siswa dengan siswa. Oleh karena itu, peneliti merumuskan judul “Jenis
Ragam dan Karakteristik Ragam Tuturan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Bahasa Indonesia Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang Tahun Ajaran
2017/2018”.
1.2 Rumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti terkait penggunaan ragam bahasa Indonesia di
kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang. Secara rinci masalah tersebut
diuraikan sebagai berikut.
1. Apa sajakah jenis ragam bahasa Indonesia yang muncul pada kegiatan
awal, inti, dan akhir pembelajaran bahasa Indonesia di kelas VIII A SMP
Pangudi Luhur I Kalibawang?
2. Bagaimanakah karakteristik ragam bahasa Indonesia yang digunakan oleh
guru dan siswa kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang?
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, tujuan penelitian yang ingin dicapai
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan jenis ragam bahasa Indonesia yang muncul pada kegiatan
awal, inti, dan akhir pembelajaran bahasa Indonesia di kelas VIII A SMP
Pangudi Luhur I Kalibawang.
2. Mendeskripsikan karakteristik ragam bahasa Indonesia yang digunakan
oleh guru dan siswa kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi kajian linguistik Indonesia
pada umumnya dan sosiolinguistik khususnya. Selain itu, penelitian ini
diharapkan dapat bermanfaat untuk kepentingan pembelajaran bahasa Indonesia.
Manfaat penelitian ini secara teoritis dan praktis adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya
pengetahuan di bidang linguistik khususnya sosiolinguistik mengenai
ragam bahasa.
2. Manfaat Praktis
Bagi guru Bahasa Indonesia, khususnya guru di SMP Pangudi
Luhur I Kalibawang, penelitian ini diharapkan dapat membantu guru untuk
melihat permasalahan kebahasaan pada pengajaran bahasa Indonesia dan
dijadikan sebagai bahan evaluasi untuk meningkatkan kemampuan
berbahasa pada siswa.
Bagi siswa, khususnya siswa Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I
Kalibawang, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan siswa
mengenai ragam bahasa dan meningkatkan keterampilan siswa dalam
berbahasa Indonesia.
Bagi sekolah, khususnya SMP Pangudi Luhur I Kalibawang,
penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan oleh sekolah dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran bahasa Indonesia khususnya dalam
hal penggunaan ragam bahasa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
manfaat dan gambaran bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian
sejenis yang relevan.
1.5 Batasan Istilah
Batasan istilah merupakan definisi istilah. Batasan istilah dimaksudkan
agar pembahasan dalam penelitian ini tidak terlampau luas dan melebar. Selain
itu, batasan istilah berfungsi untuk menghindari salah pengertian ataupun salah
tafsir istilah-istilah yang ada. Berikut ini batasan istilah tersebut.
1. Ragam Bahasa
Ragam bahasa adalah variasi bahasa yang muncul karena adanya
perbedaan tingkat keresmian bahasa yang dipengaruhi oleh siapa orang yang
bertutur, situasi tutur, dan tujuan pembicaraan. Dalam hal ini ragam bahasa
merupakan kajian sosiolinguistik.
2. Karakteristik Ragam
Karakteristik ragam adalah sifat khas yang dimiliki oleh jenis ragam
tertentu yang membedakannya dengan jenis ragam lain.
3. Kegiatan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran adalah kegiatan yang mencakup kegiatan awal atau
pembukaan, kegiatan inti atau dan penutup (Mulyasa, 2014: 125).
4. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Aktivitas belajar yang terdiri dari tahap awal, tahap inti, dan tahap penutup
yang dilakukan oleh siswa dengan bimbingan guru untuk mencapai empat
keterampilan berbahasa yaitu membaca, menyimak, berbicara, dan menulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti mengkaji penggunaan ragam bahasa dalam
tuturan guru dan siswa yang terjadi pada saat berlangsungnya pembelajaran
Bahasa Indonesia di kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang.
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan bab pendahuluan
yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, batasan istilah, ruang lingkup penelitian, dan sistematika penulisan.
Latar belakang berisi alasan peneliti melakukan penelitian dan permasalahan yang
ditemukan. Rumusan masalah mencakup uraian permasalahan yang berupa
kalimat tanya. Tujuan penelitian berisi tujuan dilakukannya penelitian yang
sejalan dengan rumusan masalah. Manfaat penelitian berisi manfaat atau dampak
dari hasil penelitian. Batasan istilah disertakan untuk membatasi istilah-istilah
yang ada agar tidak terlampau luas. Ruang lingkup penelitian berisi batasan-
batasan penelititan. Dalam sistematika penulisan, peneliti menguraikan alur
penulisan agar tercipta kesistematisan penulisan.
Bab II merupakan landasan teori, berisi penelitian terdahulu yang relevan
dan kajian teori. Penelitian yang relevan menunjukkan posisi tulisan sehingga
tidak dimungkinkan pengulangan karya ilmiah dan peneliti dapat membahas
masalah dengan tajam dan kritis. Kajian teori menunjukkan ketajaman dan
kedalaman alat analisis. Pisau analisis yang berupa dasar teori digunakan sebagai
alat pembedah data dalam penyusunan karya ilmiah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Bab III merupakan metodologi penelitian. Bab ini meliputi jenis
penelitian, data dan sumber data, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data,
teknik analisis data, dan teknik penyajian data. Jenis penelitian ini merupakan
pengkategorian menurut data yang diperoleh. Data adalah bahan yang dijadikan
dasar kajian. Sumber data merupakan subjek dari mana data diperoleh. Instrumen
penelitian berisi alat pengumpulan data utama. Teknik pengumpulan data adalah
langkah-langkah untuk mendapatkan data. Teknik analisis data merupakan
langkah lanjutan setelah data dikumpulkan. Teknik penyajian data merupakan
bentuk penyajian data.
Bab IV merupakan bab yang berisi hasil penelitian dan pembahasan. Bab
ini merupakan inti dan jantung karya ilmiah. Pada bagian pembahasan, masalah
yang dirumuskan pada bagian latar belakang dan rumusan masalah dibahas dan
dibedah sesuai teori yang diacu.
Bab V merupakan penutup. Bab ini berisi simpulan dan saran bagi peneliti
selanjutnya. Simpulan berisi pokok-pokok dari hasil pembahasan dan berkaitan
dengan rumusan masalah. Saran merupakan imbauan kepada peneliti selanjutnya
jika ingin melakukan penelitian yang serupa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Bab II berisi pembahasan mengenai (1) penelitian terdahulu yang relevan,
(2) landasan teori, dan (3) kerangka berpikir. Ketiga hal tersebut diuraikan ke
dalam subbab yang berkaitan dengan jenis ragam dan karakteristik ragam berikut
ini.
2.1 Penelitian Terdahulu yang Relevan
Penelitian terdahulu yang relevan menampilkan penelitian-penelitian
serupa yang pernah dilakukan oleh peneliti lain. Selain itu, penelitian yang relevan
juga digunakan sebagai referensi untuk melengkapi teori-teori para ahli. Dalam
subbab ini juga diuraikan persamaan dan perbedaan penelitian ini dengan
penelitian yang relevan.
Ada dua penelitian terdahulu yang relevan dan berkaitan dengan analisis
penggunaan ragam bahasa. Pertama, skripsi milik Y. B. Dion Rikayakto (2007)
yang berjudul Ragam Bahasa Indonesia Pemandu Wisata Studi Kasus di PT.
Surya Satjati Wisata Yogyakarta Periode Maret-Mei 2005. Kedua, skripsi milik
Dhany Nugrahani A. (2012) yang berjudul Variasi Bahasa Guru dalam Interaksi
Pembelajaran pada Siswa Tunagrahita di SLB Negeri Pembina Yogyakarta.
Skripsi Y. B. Dion Rikayakto (2007) mendeskripsikan jenis ragam dan
karakteristik ragam bahasa Indonesia yang dipakai oleh seorang pemandu wisata.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dan
penelitian kasus. Subjek penelitian ini adalah seorang pemandu wisata dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
negeri agen tour dan travel PT. Surya Satjati Wisata bernama Yakobus Didi
Setiawan, S.Pd., usia 26 tahun. Data penelitian ini adalah tuturan pemandu wisata.
Metode analisis data penelitian ini adalah metode analitik yang diawali dengan
mencari data kemudian mengidentifikasi dan menganalisis data. Hasil penelitian
Y. B. Dion Rikayakto (2007) menunjukkan ada lima jenis ragam bahasa Indonesia
yang digunakan oleh pemandu wisata. Kelima ragam yang dimaksud adalah
ragam bahasa Indonesia dengan campur kode dialek Jawa, ragam bahasa cendekia
dilihat dari statusnya, ragam bahasa yang menggunakan kata-kata dalam bidang
wisata, ragam bahasa yang menggunakan media kelisanan, dan ragam bahasa
yang menggunakan kata-kata nonstandar yang berindikasi pada pemakaian bahasa
santai. Ciri-ciri ragam yang digunakan oleh pemandu wisata PT. Surya Sadjati
terlihat pada penggunaan aspek afiksasi, semantik, campur kode, diksi, unsur
serapan, tujuan, topik, isi, bentuk, dan pengucapan. Implikasi dari hasil penelitian
ini dapat diterapkan bagi bidang sosiolinguistik, pembelajaran Bahasa Indonesia
di SMA, penelitian selanjutnya, dan perusahaan yang bergerak di bidang
pariwisata. Penelitian Y. B. Dion Rikayakto (2007) relevan dengan penelitian ini
karena sama-sama berpusat pada proses komunikasi secara khusus dalam hal
penggunaan ragam bahasa. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian Y.
B. Dion Rikayakto (2007) terlihat pada subjek penelitian. Subjek penelitian
Rikayakto adalah pemandu wisata sedangkan subjek penelitian ini adalah guru
dan siswa SMP.
Penelitian kedua dilakukan oleh Dhany Nugrahani A. (2012) dalam skripsi
yang berjudul Variasi Bahasa Guru dalam Interaksi Pembelajaran pada Siswa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Tunagrahita di SLB Negeri Pembina Yogyakarta. Jenis penelitian Nugrahani
adalah penelitian deskriptif kualitatif. Data penelitian ini adalah wacana
percakapan, situasi percakapan, dan informasi latar percakapan. Subjek penelitian
ini adalah tuturan yang digunakan oleh guru-guru di SLB Negeri Pembina
Yogyakarta. Metode analisis data yang digunakan oleh Dhany Nugrahani A.
(2012) adalah metode agih (distribusional) dan metode padan. Metode agih
digunakan untuk menganalisis bentuk variasi atau ragam bahasa pada tuturan guru
dalam kegiatan belajar-mengajar. Metode padan digunakan untuk meneliti faktor-
faktor yang menyebabkan penggunaan variasi atau ragam bahasa oleh guru pada
proses belajar mengajar. Penelitian Dhany Nugrahani A. (2012) bertujuan untuk
mendeskripsikan bentuk-bentuk variasi bahasa, mendeskripsikan faktor-faktor
yang memengaruhi penggunaan bentuk-bentuk variasi bahasa, dan
mendeskripsikan fungsi bahasa yang digunakan oleh guru dalam interaksi
pembelajaran.
Hasil penelitian Dhany Nugrahani A. (2012) adalah: (1) bentuk ragam
bahasa yang digunakan guru dalam interaksi belajar mengajar adalah ragam resmi,
ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab. Dari keempat ragam tersebut, ragam
usaha merupakan ragam yang paling dominan karena merupakan ragam yang
operasional. Ragam santai menjadi pilihan kedua karena digunakan untuk
menciptakan suasana belajar yang komunikatif dan akrab; (2) faktor-faktor yang
memengaruhi penggunaan bentuk bahasa adalah situasi, topik pembicaraan, dan
maksud; (3) fungsi bahasa yang digunakan dalam interaksi pembelajaran pada
siswa tunagrahita adalah fungsi instrumental, representasional, interaksional,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
personal, heuristik dan imajinatif. Fungsi bahasa yang paling sering digunakan
adalah fungsi instrumental yang selaras dengan metode komunikasi yang
cenderung bersifat tanya jawab.
Relevansi penelitian Dhany Nugrahani A. (2012) dengan penelitian ini
adalah sama-sama meneliti penggunaan ragam bahasa Indonesia dalam proses
pembelajaran. Sementara itu, perbedaan penelitian ini dengan penelitian
Nugrahani tampak dari subjek penelitian. Subjek penelitian ini adalah guru dan
siswa SMP sementara subjek penelitian Nugrahani adalah guru SLB tunagrahita.
2.2 Landasan Teori
Penelitian ini menggunakan beberapa teori sebagai kerangka berpikir
untuk menganalisis data-data yang telah terkumpul. Teori-teori yang akan
digunakan adalah: (1) sosiolinguistik, (2) konteks, dan (3) pembelajaran bahasa
Indonesia. Teori sosiolinguistik yang digunakan pada subbab 2.2.1 adalah konsep
dasar tentang bahasa dan ragam bahasa.
2.2.1 Sosiolinguistik
Menurut Sumarsono (2017: 1), sosiolinguistik adalah kajian tentang
bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan (dipelajari oleh ilmu-ilmu
sosial khususnya sosiologi). Sejalan dengan Wardhaugh (2010: 12) yang
menyatakan bahwa sosiolinguistik berkaitan dengan penyelidikan hubungan
antara bahasa dan masyarakat dengan tujuan memberi pemahaman yang lebih
baik tentang struktur bahasa dan bagaimana bahasa berfungsi dalam komunikasi.
Pernyataan kedua ahli tersebut menunjukkan bahwa bahasa dan masyarakat saling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
berhubungan. Bahasa adalah bagian dari masyarakat dan masyarakat
membutuhkan bahasa untuk dapat berkomunikasi.
Pemakaian bahasa oleh masyarakat mencerminkan kondisi sosial
masyarakat. Fishman dalam Sumarsono (2017: 2) menjelaskan bahwa
sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan
organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja,
melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakai bahasa.
Jadi, dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik beranjak dari permasalahan
kebahasaan yang muncul dalam suatu kelompok masyarakat dengan kondisi sosial
tertentu. Kondisi sosial ini berpengaruh pada pemakaian bahasa oleh masyarakat.
Nababan dalam Sumarsono (2017: 4) menyatakan bahwa sosiolinguistik
adalah kajian atau pembahasan bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu
sebagai anggota masyarakat. Dengan demikian, penutur bahasa terikat dengan
nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tempat penutur bahasa tinggal.
Sumarsono (2017: 5) menyatakan bahwa nilai selalu terkait dengan apa yang baik
(apa yang boleh) dan apa yang tidak baik (tidak diizinkan), dan ini diwujudkan
dalam kaidah-kaidah yang sebagian besar tidak tertulis tetapi dipatuhi oleh warga
masyarakat. Berdasarkan uraian-uraian diatas, disimpulkan bahwa sosiolinguistik
adalah studi yang mengkaji hubungan antara bahasa dengan masyarakat.
Sosiolinguistik memiliki peran penting terhadap keberlangsungan
interaksi dalam masyarakat. Sosiolinguistik bukan hanya melihat bahasa dari segi
pemakaiannya saja, tetapi juga melihat hubungan antara bahasa dengan
masyarakat. Sosiolinguistik menaruh perhatian pada nilai dan norma yang berlaku
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
dalam suatu masyarakat tutur, siapa yang saling bertutur, dan pada situasi apa
ragam tertentu digunakan.
Sumarsono (2017: 17) menyebutkan bahwa salah satu konsep dasar di
dalam sosiolinguistik yang harus dipahami adalah gagasan tentang bahasa dan
ragam (variasi) bahasa. Penelitian ini menggunakan dua konsep dasar dalam
sosiolinguistik yaitu teori tentang bahasa dan teori ragam bahasa yang dijelaskan
pada subbab berikut ini.
2.2.1.1 Bahasa
Kridalaksana (1983) dalam buku Linguistik Umum karya Abdul Chaer
(2012: 32) mendefinisikan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang arbitrer dan
digunakan oleh para kelompok sosial untuk bekerjasama, berkomunikasi, dan
mengidentifikasikan diri. Dalam artian bahwa semua hal yang digunakan oleh
manusia itu merupakan suatu bahasa yang bertujuan untuk memberi pesan.
Pendapat tersebut didukung oleh Bloch dan Trager dalam Lubis (2011: 1) yang
menyatakan bahwa bahasa adalah sebuah sistem lambang-lambang vokal yang
bersifat arbitrer (language is a system of arbitrary vocalysymbol).
Saphir (1921) dalam Alwasilah (1990) mengungkapkan batasan bahasa
demikian, “A purely human and noninstinctive method of communicating ideas,
emotions, and desires, by means of a system of voluntarily produced symbol”. Inti
dari pernyataan tersebut yaitu, bahasa bersifat manusiawi, dipelajari, sistem,
arbitrer dan simbolik. Berikut ini penjelasan mengenai sifat-sifat tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
a) Manusiawi
Manusia memiliki sistem simbol untuk berkomunikasi, hewan memiliki
sistem bunyi untuk berkomunikasi, tetapi sistem itu bukanlah kata-kata. Dengan
demikian, binatang tidak memiliki bahasa. Manusia telah berbahasa sejak dini.
Sejarah, dan perkembangan bahasa inilah yang membedakan manusia dari
makhluk lain sehingga mampu berpikir dan berbahasa.
b) Dipelajari
Manusia ketika dilahirkan tidak memiliki kemampuan berbicara.
Manusia harus sedikit demi sedikit belajar berbahasa. Bahasa diperoleh untuk
kebutuhan berkomunikasi, mengaktualisasikan diri, dan berinteraksi dengan
lingkungan sekitar. Dalam pengertian ini bahasa yang dipergunakan oleh manusia
tidak dapat lepas dari peran serta orang lain dan bahasa tidak dengan sendirinya
muncul sehingga ditegaskan bahwa bahasa itu perlu dipelajari.
c) Sistem
Bahasa memiliki seperangkat aturan yang dikenal para penuturnya.
Perangkat inilah yang menentukan struktur bahasa atau sering disebut grammar.
Bagaimanapun primitifnya suatu masyarakat penutur bahasa, masyarakat itu
memiliki aturan-aturan kebahasaan yang harus ditaati. Pernyataan mengenai
aturan berbahasa menegaskan bahwa bahasa sebagai sistem yang memiliki
persoalan pemakaian dan kebiasaan (usage) bukan ditentukan oleh panitia atau
lembaga perumus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
d) Arbitrer
Manusia mempergunakan bunyi-bunyi tertentu dan disusun dalam cara
tertentu pula, keadaan semacam ini merupakan kebetulan saja. Orang
menggunakan satu kata untuk melambangkan satu benda. Contoh yang
mendukung dari pernyataan arbitrer adalah kata “candi” ditujukan untuk
bangunan peninggalan sejarah karena berdasarkan konvensi orang mengatakan
seperti itu.
e) Simbolik
Bahasa terdiri atas rentetan simbol arbitrer yang memiliki arti sehingga
simbol-simbol ini bisa dipergunakan untuk berkomunikasi sesama manusia,
karena manusia sama-sama memiliki perasaan, gagasan, dan keinginan.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, diketahui bahwa bahasa dan
masyarakat memiliki hubungan yang erat. Bahasa memiliki peran yang penting
bagi masyarakat untuk berkomunikasi. Tanpa bahasa, manusia kesulitan untuk
menyampaikan gagasan-gagasannya.
2.2.1.2 Ragam Bahasa
Nababan (1986: 12) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi
bahasa, baik variasi bentuk ataupun maknanya. Variasi bahasa adalah
keanekaragaman bahasa yang disebabkan oleh faktor tertentu (Soeparno, 2013:
49). Utorodewo (2010: 3) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa
yang terjadi karena pemakaian bahasa. Dengan demikian, disimpulkan bahwa
variasi bahasa disebut juga ragam bahasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
Definisi ragam bahasa berindikasi pada faktor-faktor yang memengaruhi
munculnya berbagai ragam bahasa. Faktor-faktor yang mendukung munculnya
ragam bahasa antara lain faktor geografis, kedudukan sosial, situasi berbahasa,
waktu, gaya, kultural, dan individual. Ragam bahasa karena faktor geografis atau
regional disebut ragam geografis atau ragam regional. Wujud pemakaian
bahasanya disebut dialek. Dialek adalah suatu ragam bahasa yang memiliki
bentuk dengan penggunaan khas karena latar belakang penuturnya yang khas pula
(Poedjosoedarmo, 1983: 35 via Atmawati, 2003). Dari pendapat tersebut,
diketahui bahwa ada kekhasan yang membedakan dialek suatu kelompok dengan
kelompok lainnya. Kekhasan tersebut diperoleh dari kesamaan pengalaman suatu
kelompok tutur. Hal ini sejalan dengan (Poedjosoedarmo, 1983: 43-44 via
Atmawati, 2003) yang menyatakan bahwa dialek dapat terbentuk karena adanya
kebersamaan yang dialami oleh masyarakat penuturnya. Kebersamaan itu dapat
terjadi karena pengalaman di dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari,
penghayatan status sosial, kebersamaan di dalam aspirasi hidup, ideologi, dan
lain-lain.
Kridalaksana (1984: 38-39) memaparkan bahwa dialek terbagi menjadi
tiga, yaitu dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Dialek regional
adalah ragam bahasa yang dipakai oleh kelompok bahasawan di tempat tertentu.
Ciri dialek ini dibatasi oleh tempat, contoh yang mendukung dari ragam regional
yaitu dialek Solo, dialek Malang, dan lain-lain. Dialek sosial adalah ragam bahasa
yang dipakai oleh golongan atau kelompok sosial tertentu dari suatu kelompok
bahasawan. Dialek sosial tampak pada pemakaian bahasa Melayu oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
bangsawan. Dialek temporal adalah ragam bahasa yang digunakan oleh
bahasawan yang hidup dalam masa tertentu. Fakta yang menunjukkan adanya
dialek temporal, yaitu adanya bahasa Jawa Kuno. Dari pendapat tersebut
disimpulkan bahwa dialek suatu kelompok berbeda dengan dialek kelompok lain.
Faktor kedudukan sosial dalam masyarakat turut memengaruhi tingkah
laku berbahasa. Hal ini terlihat pada penutur bahasa Jawa, Sunda, Bali, dan lain-
lain. Perbedaan status sosial telah menyebabkan munculnya ragam bahasa. Wujud
pemakaian bahasanya disebut sosiolek (Atmawati, 2003: 6). Contoh dari pengaruh
faktor kedudukan sosial tampak pada masyarakat Jawa. Penggunaan bahasa Jawa
Krama Inggil sebagai ragam tinggi dan penggunaan bahasa Jawa Ngoko sebagai
ragam rendah. Di lingkungan kraton, golongan darah biru berbahasa Jawa Ngoko
ketika berkomunikasi dengan abdi dalem (bawahan) sementara abdi dalem
berbahasa Krama Inggil ketika berkomunikasi dengan raja atau atasannya.
Faktor situasi berbahasa dapat mendorong munculnya ragam lain yang
dinamakan fungsiolek karena hanya berfungsi dalam situasi tertentu. Ragam
fungsional digunakan dalam pokok pembicaraan khusus dengan cara tertentu dan
memiliki tujuan tertentu pula (Halliday, 1992: 62 via Atmawati, 2003).
Faktor berlalunya waktu telah menyebabkan munculnya ragam bahasa,
yang dikenal dengan ragam kronologis. Wujud pemakaian bahasanya disebut
kronolek. Perubahan maupun perbedaan karena faktor waktu dapat terjadi pada
ejaan, kata, kata serapan, maupun gaya berbahasa (Ohoiwutun, 1997: 49-60 via
Atmawati 2003).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
Faktor gaya (style) adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa seseorang
dalam bertutur atau menulis; pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek-
efek tertentu (Kridalaksana, 1984: 57). Adapun variasi gaya merupakan ragam
bahasa seseorang baik secara terencana maupun tidak.
Menurut Holmes (2001: 223), “Language varies according to it’s uses
as well as it’s user, according to where it is used and to whom, as well as
according to who is using it”. Kutipan ini diartikan bahwa ragam bahasa berubah-
ubah menurut kegunaan dan penggunaannya, tempat di mana digunakan, siapa
mitra tuturnya serta siapa penutur yang menggunakan bahasa tersebut. Pendapat
ini didukung oleh Pateda (1990: 52) yang menyatakan bahwa dalam variasi
bahasa ada pola-pola bahasa yang sama; pola-pola bahasa itu dapat dianalisis
secara deskriptif; pola-pola yang dibatasi oleh makna tersebut dipergunakan oleh
penuturnya untuk berkomunikasi.
Berdasarkan uraian di atas, ada berbagai pendapat mengenai ragam
bahasa. Para ahli memiliki definisinya masing-masing mengenai ragam bahasa.
Definisi mengenai ragam bahasa berindikasi pada munculnya karakteristik ragam.
Berikut ini uraian mengenai jenis dan karakteristik ragam menurut para ahli.
Utorodewo (2010: 3) membagi ragam bahasa menjadi dua kelompok,
yaitu ragam bahasa berdasarkan media pengantarnya dan ragam bahasa
berdasarkan situasi pemakaiannya. Pemaparan kedua kelompok ragam bahasa
tersebut sebagai berikut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
a. Ragam Bahasa Berdasarkan Media Pengantarnya
Penggunaan bahasa berdasarkan media pengantarnya atau sarananya
terbagi menjadi ragam lisan dan ragam tulis. Ragam lisan adalah bahasa yang
diujarkan oleh pemakai bahasa.
Ragam tulis adalah bahasa yang tertulis dan tercetak. Ragam lisan dan
tulis dapat ditemukan dalam bentuk formal dan nonformal. Ada pula ragam tulis
dan lisan yang semiformal. Artinya, tidak terlalu formal, namun tidak pula terlalu
nonformal.
b. Ragam Bahasa Berdasarkan Situasi Pemakaiannya
Ragam bahasa berdasarkan situasi pemakaiannya dikelompokkan
menjadi ragam formal, ragam nonformal, dan ragam semiformal. Bahasa ragam
formal memiliki sifat kemantapan berupa kaidah dan aturan tetap. Akan tetapi,
kemantapan itu tidak bersifat kaku. Ragam formal tetap luwes sehingga
memungkinkan perubahan di bidang kosakata, peristilahan, serta mengizinkan
perkembangan berbagai jenis laras yang diperlukan dalam kehidupan modern
(Alwi, dkk., 1998: 14 via Utorodewo, 2010). Pateda (1990, 52-76) membedakan
jenis ragam bahasa berdasarkan tempat, waktu, pemakai, situasi, dialek yang
dihubungkan dengan sapaan, status, dan pemakaian (ragam) yang dijelaskan
sebagai berikut.
Berdasarkan pendapat kedua ahli di atas, diketahui bahwa dasar
pembedaan ragam formal, nonformal, dan semiformal adalah situasi pemakaian.
Sejalan dengan penelitian ini yang menganalisis jenis dan karakteristik ragam
berdasarkan situasi pemakaian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
a. Ragam Bahasa Dilihat dari Segi Tempat
Menurut Pateda (1990, 52-70), tempat dapat mengakibatkan variasi
bahasa. Variasi ini menghasilkan apa yang disebut dialek. Dialek adalah
seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri
umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk
ujaran dari bahasa lain yang sama dan dialek tidak harus mengambil semua
bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Di Indonesia misalnya, dikenal bahasa
Indonesia dialek Jakarta, dialek Manado, dialek Ambon, dialek Banjarmasin,
sedangkan bahasa Gorontalo mengenal dialek Tilamuta dan dialek Suwawa.
Bagaimana melukiskan hubungan-hubungan dalam dialek disebut
geografis dialek. Dalam hubungan ini dikenal dua bentuk, yaitu lento dan alegro.
Bentuk lento adalah bentuk bahasa yang utuh, biasanya dipakai dalam bahasa tulis
atau bahasa yang digunakan dalam situasi resmi. Bentuk alegro merupakan
kependekan misalnya, dulu kependekan dari dahulu. Tak kependekan dari tidak.
Tapi kependekan dari tetapi.
Di samping tempat, bahasa daerah juga memengaruhi variasi bahasa.
Bahasa daerah adalah bahasa yang dipakai oleh penutur bahasa yang tinggal di
daerah tertentu, misalnya bahasa Jawa, bahasa Gorontalo, Kaili. Bahasa daerah
sering dihubungkan dengan suku bangsa (ethnic group). Berikutnya adalah
kolokial. Kolokial turut mempengaruhi munculnya variasi bahasa. Kolokial
(colloquial) adalah bahasa yang dipakai sehari-hari, bahasa percakapan, dan
kadang-kadang disebut bahasa pasar. Terakhir adalah vernakular. Vernakular
adalah bahasa lisan yang berlaku sekarang pada daerah atau wilayah tertentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
b. Ragam Bahasa Dilihat dari Segi Waktu
Variasi bahasa secara diakronik disebut dialek temporal. Dialek
temporal adalah dialek yang berlaku pada kurun waktu tertentu. Misalnya, bahasa
Melayu zaman Sriwijaya berbeda dengan bahasa Melayu sebelum tahun 1922.
Perbedaan waktu menyebabkan perbedaan makna untuk kata-kata
tertentu. Misalnya, kata juara dahulu bermakna „kepala penyabung ayam‟,
sekarang bermakna „orang yang memperoleh kemenangan dalam perlombaan atau
pertandingan‟. Hal ini terjadi karena bahasa mengikuti garis perkembangan
masyarakat pemakai bahasa. Makna, bunyi (lafal), bahkan bentuk kata dapat
berubah karena bahasa bersifat dinamis, tidak statis.
c. Ragam Bahasa Dilihat dari Segi Pemakai
Istilah pemakai yang dimaksud ialah orang atau penutur bahasa yang
bersangkutan. Variasi bahasa dilihat dari segi pemakai bahasa dapat dirinci
menjadi glosalia, idiolek, jenis kelamin, monolingual, rol, status sosial, dan umur.
Glosalia adalah ujaran yang dituturkan ketika orang kesurupan. Idiolek
adalah cara pembicara (penutur) mengujarkan tuturan, baik yang berhubungan
dengan aksen, intonasi, dan sebagainya. Jenis kelamin turut menimbulkan variasi
bahasa. Suasana pembicaraan, topik pembicaraan, dan pemilihan kata antara laki-
laki dengan perempuan tidaklah sama. Monolingual adalah penutur bahasa yang
hanya mempergunakan satu bahasa saja. Rol adalah peranan yang dimainkan
seorang pembicara dalam interaksi sosial. Berikutnya adalah status sosial. Status
sosial pemakai bahasa yaitu kedudukannya yang dihubungkan dengan tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
pendidikan dan jenis pekerjaan. Terakhir adalah faktor umur. Faktor umur
mempengaruhi bahasa yang digunakan seseorang.
d. Ragam Bahasa Dilihat dari Segi Pemakaiannya
Menurut pemakaiannya, ragam bahasa dibagi menjadi diglosia, kreol,
lisan, nonstandard, pijin, register, repertories, reputations, standar, tulis, bahasa
tutur sapa, dan jargon. Diglosia adalah penggunaan dua atau lebih bahasa
maupun ragam bahasa dalam situasi yang berbeda. Kreol merupakan akibat
kontak pemakaian bahasa. Bahasa lisan merupakan yang paling penting dalam
kehidupan berbahasa sehari-hari. Pijin merupakan bahasa yang timbul akibat
kontak bahasa yang berbeda. Register merupakan pemakaian bahasa yang
digunakan dalam pekerjaan. Repertories merupakan peralihan bahasa yang
dipakai karena pertimbangan terhadap mitra tutur. Reputations merupakan
pemilihan bahasa karena faktor penilaian terhadap suatu bahasa. Bahasa standar
merupakan bahasa resmi. Bahasa tulis merupakan bahasa yang tertulis dalam
sebuah media tulis. Bahasa tutur sapa merupakan ungkapan yang dipakai dalam
sistem kata sapaan, dan merupakan jenis slang tetapi sengaja dibuat untuk
merahasiakan sesuatu kepada kelompok lain, sementara jargon merupakan
pemakaian bahasa dalam setiap bidang kehidupan.
e. Ragam Bahasa Dilihat dari Segi Situasi
Dilihat dari segi situasinya, ragam bahasa dibedakan menjadi dua, yaitu
bahasa dalam situasi resmi dan bahasa yang tidak dipakai dalam situasi resmi.
Berikut ini penjelasan kedua jenis ragam tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
1) Bahasa dalam Situasi Resmi
Bahasa resmi adalah bahasa yang secara yuridis diakui sebagai bahasa
resmi dalam suatu negara. Bahasa resmi sesuai dengan keresmiannya mempunyai
fungsi sebagai bahasa resmi negara, bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga
pendidikan, sebagai bahasa resmi dalam perhubungan tingkat nasional untuk
kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintahan dan
sebagai bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan serta teknologi modern (hasil perumusan Seminar Politik Bahasa
Nasional, 1975 via Pateda, 1990: 75-76).
Bahasa dalam situasi resmi juga memiliki bentuk lain, yaitu ragam beku
(frozen). Disebut ragam beku karena ungkapan dan istilah yang dipakai
sedemikian tetap dan tidak memungkinkan adanya perubahan satu kata pun.
Bahkan, tekanan pelafalannya pun tidak boleh berubah sama sekali. Hal ini
terlihat dalam ungkapan yang dipakai oleh hakim, jaksa, dan pembela di dalam
suatu sidang panggilan (Suhardi, 20013: 64).
2) Bahasa dalam Situasi Tidak Resmi
Bahasa dalam situasi tidak resmi biasanya menggunakan bahasa tidak
standar. Bahasa dalam situasi tidak resmi biasanya ditandai oleh keintiman. Pada
situasi tidak resmi berlaku “asal orang yang diajak bicara mengerti”. Bahasa
yang dipakai pada situasi tidak resmi tampak pada bahasa yang dipakai orang
berjualan di terminal, situasi keluarga, dan lain-lain (Pateda, 1990: 70-71).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
f. Ragam Bahasa Dilihat dari Segi Statusnya
Dilihat dari segi statusnya bahasa dibagi menjadi lima. Kelima
pembagian itu adalah bahasa ibu, bahasa negara, bahasa nasional, bahasa
pengantar, dan bahasa resmi.
Chaer dan Agustina (2004: 62-73) membagi ragam bahasa dari segi
penutur, pemakaian, keformalan, dan sarana. Berikut penjelasan mengenai ragam
bahasa menurut Chaer dan Agustina.
a. Ragam Bahasa dari Segi Penutur
Ragam bahasa dari segi penutur antara lain adalah idiolek. Idiolek
merupakan variasi bahasa yang bersifat perseorangan. Ragam idiolek berkenaan
dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, serta susunan kalimat. Ragam
kedua adalah dialek. Dialek adalah ragam bahasa dari sekelompok penutur dan
jumlahnya relatif berbeda pada setiap tempat, wilayah, atau area tertentu. Ragam
ketiga adalah kronolek atau dialek temporal, yaitu ragam bahasa yang digunakan
oleh kelompok sosial pada masa tertentu. Ragam keempat sosiolek atau dialek
sosial, yakni bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial
para penuturnya.
b. Ragam Bahasa dari Segi Pemakaian
Ragam bahasa berkenaan dengan pemakaiannya, penggunaannya, atau
fungsinya disebut fungsiolek, ragam, atau register. Ragam ini biasanya
dibicarakan berdasarkan bidang penggunaan, gaya, tingkat keformalan, dan saran
penggunaan. Ragam bahasa sastra biasanya menekankan penggunaan bahasa dari
segi estetis, sehingga dipilihlah dan digunakanlah kosakata yang estetis, memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
eufoni, serta daya ungkap yang paling tepat. Ragam bahasa jurnalistik memiliki
ciri tertentu, yaitu bersifat sederhana, komunikatif, dan ringkas. Sederhana karena
harus bisa dipahami dengan mudah; komunikatif karena jurnalistik harus
menyampaikan berita secara tepat dan ringkas oleh karena keterbatasan ruang
(dalam media cetak) dan keterbatasan waktu (dalam media elektronika). Ragam
bahasa militer dikenal dengan cirinya yang ringkas dan tegas, sesuai dengan
kehidupan militer yang disiplin dan penuh instruksi. Ragam bahasa ilmiah juga
dikenal dengan cirinya yang tegas, jelas, dan bebas dari keambiguan, serta segala
macam metafora dan idiom. Bebas dari segala keambiguan karena bahasa ilmiah
harus memberikan informasi keilmuan secara jelas, tanpa keraguan makna, dan
terbebas dari kemungkinan tafsiran makna yang berbeda.
c. Ragam dari Segi Keformalan
Chaer dan Agustina (2004: 62-73) melihat jenis ragam dari segi
keformalan sejalan dengan pendapat Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45).
Uraian mengenai jenis ragam dan karakteristik ragam ini akan dipaparkan pada
poin berikutnya.
d. Ragam dari Segi Sarana
Dari segi sarana terdapat ragam lisan dan ragam tulis. Bahasa tulis lebih
menaruh perhatian pada susunan kalimat agar dapat dipahami dengan baik.
Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45) membagi variasi bahasa
berdasarkan tingkat keformalan, yaitu ragam beku, ragam resmi, ragam usaha,
ragam santai, dan ragam akrab.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
a. Ragam Beku (Frozen Style)
Ragam beku/frozen style adalah variasi bahasa yang paling formal,
pembentukannya tidak pernah berubah dari masa ke masa oleh siapapun
penuturnya. Contohnya, bahasa dalam pewayangan/suluk, doa, mantra, dan klise
dalam bahasa Melayu.
Ciri-ciri ragam beku yakni, (1) gaya yang digunakan dalam prosa tertulis
dan gaya orang yang tidak kita kenal, (2) tidak ada variasi pendengar yang
membuatnya mengubah gaya ujaran, (3) kaidah polanya sudah ditetapkan secara
mantap dan tidak boleh diubah, (4) susunan kalimat dalam ragam beku biasanya
panjang, biasanya kaku, kata-katanya bersifat lengkap, (5) penutur dan pendengar
ragam beku dituntut keseriusan dan perhatian penuh.
Sejalan dengan teori Joos tentang ragam beku, Chaer dan Agustina
(2004: 70) memaparkan ciri-ciri ragam beku yakni, (1) struktur gramatikalnya
tidak berubah, (2) bentuk kalimatnya bersifat lebih kaku, kata-katanya lengkap,
dan struktur kalimatnya panjang, (3) kosakata yang biasa digunakan untuk
mengawali sebuah kalimat ataupun paragraf antara lain: bahwa, hatta,
sesungguhnya, dan lain sebagainya, dan (4) menuntut sikap yang serius dari
penutur dan pendengarnya.
Nababan (1986: 23) mencontohkan penggunaan ragam beku seperti pada
alinea 1 pembukaan UUD 1945 berikut:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh
sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai
dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
b. Ragam Resmi (Formal Style)
Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45) mengartikan ragam resmi
(formal style) adalah ragam tutur yang digunakan dalam suasana tutur yang resmi.
Contohnya penggunaan ragam resmi dalam buku pelajaran dan surat-menyurat
resmi. Ciri-ciri ragam resmi adalah (1) topik pembicaraan bersifat resmi dan
serius, (2) antarorang yang berbicara saling menghormati, (3) bentuk kebahasaan
yang digunakan mentaati kaidah, (4) struktur fungtor lengkap, dan (5) tingkat
tutur sesuai dengan strata orang yang diajak bicara. Dari pendapat Joos tersebut,
diketahui bahwa bentuk kebahasaan sangat diperhatikan dalam ragam resmi
mengingat resminya topik pembicaraan.
Ragam resmi pada dasarnya sama dengan ragam baku atau standar yang
hanya digunakan dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi
(Chaer dan Agustina, 2004: 70). Supardi (1988: 38-39) juga memaparkan ciri-ciri
ragam resmi yang membedakan dengan ragam lainnya sebagai berikut: (1) kata
atau istilah yang dipakai bersifat baku atau sudah dibakukan misalnya, lelah dan
hanya, bukan capai dan cuman; (2) pemakaian afiks secara eksplisit dan konsisten
misalnya, mencari, berjalan-jalan, dikatakan, bukan nyari, jalan-jalan, dikata; (3)
pemakaian kata tugas secara eksplisit dan konsisten misalnya, beberapa hari yang
lalu, sayang kepada anak, berjumpa dengan temannya, bukan beberapa hari lalu,
sayang anak, berjumpa temannya; (4) lafal yang dipakai bersifat baku, artinya
bukan lafal bahasa daerah atau yang tidak dibakukan misalnya, melaksanakan dan
mengembangkan, bukan melaksanaken, dan mengembangken; (5) pemakaian
fungsi-fungsi gramatikal secara eksplisit dan konsisten misalnya, “Mereka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
mencatat keterangan dari kepala sekolah.” bukan “Mereka mencatat keterangan
daripada kepala sekolah.”; (6) memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat baik
pada tataran kalimat maupun kata misalnya, “Akan pergi kemanakah, Ibu? Dia
tidak perlu diajak.”, bukan “Kemana? Dia ndak usah diajak saja.”; (7) memakai
kata ganti resmi misalnya, “Saya dan Anda sudah setuju, tetapi dia belum
setuju.”, bukan “Sini dan situ setuju, tetapi sana belum setuju”.
Nurgiyantoro (dalam Astuti 2000: 25) membedakan baku atau tidaknya
bahasa dengan ciri-ciri khusus yang dijadikan acuan. Adapun ciri-ciri tersebut
yaitu, (1) menunjukkan adanya kelengkapan fungtor-fungtornya, khususnya
fungtor subjek dan predikat, (2) terhindar dari pengaruh struktur bahasa lain
(daerah dan asing), (3) penggunaan pola aspek modal+pelaku+kata kerja pangkal
pada bentuk pasif berlaku, (4) penggunaan afiksasi pada unsur bentukan kata
(morfologis) secara tepat, eksplisit dan konsisten bila diperlukan, (5)
penghindaran kata-kata tidak baku seperti gimana, gini, gitu, ndak, nggak, bikin,
dan lain-lain, dan (6) penghindaran penggunaan kata-kata dari bahasa daerah yang
jelas-jelas tidak ada kata Indonesianya. Adapun ciri-ciri bahasa tidak baku adalah:
(1) penggunaan unsur-unsur daerah atau dialek yang belum berterima; (2)
penggunaan afiks yang tidak eksplisit dan konsisten; (3) penggunaan kata tugas
yang tidak eksplisit dan konsisten; (4) penggunaan pola frasa verbal aspek
+pelaku+kata kerja yang tidak konsisten; (5) penggunaan fungsi-fungsi gramatikal
yang tidak eksplisit dan konsisten; serta (6) penggunaan bentuk yang tidak
lengkap atau disingkat baik pada tataran kata maupun kalimat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
c. Ragam Usaha (Consultative Style)
Ragam Usaha/Consultative Style adalah variasi bahasa yang digunakan
dalam pembicaraan di sekolah, rapat-rapat, atau pembicaraan yang berorientasi
pada hasil atau produksi. Ciri-ciri ragam usaha adalah (1) tidak perlu ada
perencanaan yang ekstensif tentang apa yang diungkapkan, dan sebenarnya
memang tidak mungkin direncanakan, (2) pembicara sering membuat kesalahan
dalam pembicaraannya, pengulangan kata yang tidak perlu, salah pemilihan
kosakata, atau terlalu banyak menggunakan istilah atau kata tertentu.
Chaer dan Agustina (2004: 71) menyatakan bahwa wujud ragam usaha
berada di antara ragam formal dan ragam informal atau santai. Adapun ciri-ciri
ragam usaha menurut Chaer dan Agustina antara lain: (1) dipergunakan dalam
situasi setengah resmi; (2) dipergunakan untuk mengkonsultasikan suatu masalah;
(3) unsur dialek kedaerahan sudah tidak tampak, namun unsur idiolek kadang-
kadang masih muncul; (4) kadang-kadang tidak menggunakan struktur morfologi
dan sintaksis yang normatif.
Nababan (1986: 12) menambahkan ciri-ciri lain ragam usaha yaitu: (1)
kalimat dan kata hanya berbentuk sekadar cukup supaya jelas dimengerti orang;
(2) bentuk-bentuk pendek tetapi tidak ada unsur-unsur penting yang dihilangkan.
d. Ragam Santai (Casual Style)
Ragam santai adalah variasi bahasa yang digunakan dalam situasi tidak
resmi untuk berbincang-bincang dengan keluarga atau teman karib, pembicaraan
di warung kopi, di tempat-tempat rekreasi, di pinggir jalan, dan pembicaraan
santai lainnya. Ciri-ciri ragam santai adalah (1) digunakan dalam pembicaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
santai, akrab antara penutur dan mitra tutur, (2) bentuk kebahasaan relatif bebas
jika dibanding ragam resmi, (3) struktur kalimat sering menyelipkan fungtor
kalimat, kata-kata, dan suku kata, (4) sering menggunakan kata-kata yang
dipenggal sebagian silabelnya, (5) sering terjadi pengulangan-pengulangan, (6)
sopan santun tidak berlaku secara ketat, (7) sering digunakan interjeksi, (8)
penggunaan tingkat tutur kadangkala terabaikan dari status hubungan penutur dan
mitra tutur, (9) sering beralih kode, dan (10) topik pembicaraan tidak terarah
secara mantap atau urutan tidak runtut.
Chaer dan Agustina (2004: 71) menambahkan ciri-ciri ragam santai
sebagai berikut: (1) digunakan dalam situasi tidak resmi; (2) banyak
menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk kata frasa, kalimat atau ujaran yang
dipendekkan; (3) kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur
bahasa daerah; (4) seringkali tidak menggunakan struktur morfologi dan sintaksis
yang normatif. Karakteristik ragam santai menurut Chaer dan Agustina ini tidak
jauh berbeda dengan karakteristik ragam santai menurut Joos.
e. Ragam Akrab (Intimate Style)
Ragam akrab adalah variasi bahasa yang digunakan penutur yang
hubungannya sudah amat akrab, seperti seorang ibu dengan anak kecilnya dan
antarteman yang sudah karib. Ciri-ciri ragam akrab adalah (1) ragam ujaran tidak
pernah mengambil bahasa itu sendiri sebagai topik ujaran, (2) membicarakan
grammar (misalnya), otomatis akan memporak-porandakan ujaran gaya intim ini,
(3) ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan
dengan artikulasi yang sering tidak jelas, (4) pemakaian bentuk alegronya sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
keterlaluan sehingga tidak mungkin dimengerti oleh orang lain tanpa mengetahui
situasinya. Chaer dan Agustina (2004: 71) menambahkan ciri-ciri yang menandai
ragam akrab sebagai berikut: (1) biasa digunakan oleh penutur sudah akrab; (2)
ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan
dengan artikulasi yang sering kali tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara
partisipan sudah ada saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama; (3)
tanpa mengetahui situasi dan latar belakang pembicaraan, orang lain yang
mendengar tidak akan mengerti maksudnya. Hal ini disebabkan dalam tingkat ini
banyak digunakan bentuk dan istilah-istilah yang khas.
Ditambahkan dari Utorodewo (2010: 4) bahwa ada lima ciri yang dapat
dengan mudah digunakan untuk membedakan ragam formal dari ragam
nonformal. Berikut ini uraian kelima ciri tersebut.
1). Penggunaan Kata Sapaan dan Kata Ganti
Penggunaan kata sapaan dan kata ganti merupakan ciri pembeda ragam
formal dan ragam nonformal yang sangat menonjol. Kepada orang yang dihormati
seseorang cenderung menyapa dengan menggunakan kata Bapak, Ibu, Saudara,
Anda, atau menyertakan penyebutan jabatan, gelar, atau pangkat.
Sementara itu, untuk menyapa teman atau rekan sejawat, cukup
menyebut nama atau menggunakan bahasa daerah. Sama halnya dengan
penggunaan kata saya dalam ragam formal, aku dalam ragam semiformal, dan gue
atau ogut dalam nonformal.
2). Penggunaan Kata Tertentu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
Penggunaan kata tertentu merupakan ciri lain yang sangat menandai
perbedaan ragam formal dan nonformal. Dalam ragam nonformal akan sering
muncul kata nggak, bakal, gede, udahan, kegedean, cewek, bokap, ortu.
Di samping itu, dalam ragam nonformal sering muncul bentuk penekan,
seperti sih, kok, deh, lho. Dalam ragam formal, bentuk-bentuk itu tidak akan
digunakan.
3). Penggunaan Imbuhan
Ciri ketiga adalah penggunaan imbuhan. Dalam ragam formal, imbuhan
harus digunakan jelas dan teliti. Hanya pada kalimat perintah imbuhan dapat
dihilangkan dalam kata kerjanya (verba).
Dalam ragam nonformal, imbuhan seringkali ditanggalkan. Misalnya,
pake untuk memakai, nurunin untuk menurunkan.
4). Penggunaan Kata Sambung (Konjungsi) dan Kata Depan (Preposisi)
Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi)
merupakan ciri pembeda lain. Dalam ragam nonformal, seringkali kata sambung
dan kata depan dihilangkan.
Kadangkala, kenyataan itu mengganggu kejelasan kalimat. Dalam laras
jurnalistik kedua kelompok tersebut sering dihilangkan. Hal itu menunjukkan
bahwa laras jurnalistik termasuk ragam semiformal.
5). Kelengkapan Fungsi
Kelengkapan berkaitan dengan adanya bagian dalam kalimat yang
dihilangkan karea situasi sudah dianggap cukup mendukung pengertian. Dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
kalimat-kalimat yang nonformal, predikat kalimat sering dihilangkan. Seringkali
pelepasan fungsi terjadi saat menjawab pertanyaan orang lain.
Sejalan dengan Joos, Nababan (1986: 22-23) membagi ragam bahasa
menjadi lima jenis sebagai berikut.
a. Ragam Beku (Frozen Style)
Merupakan ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam
situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi. Dalam bentuk tertulis
ragam beku ini terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti undang-
undang dasar dan dokumen-dokumen penting lainnya.
b. Ragam Resmi (Formal Style)
Merupakan ragam bahasa yang dipakai dalam pidato-pidato resmi, rapat
dinas, atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
c. Ragam Usaha (Consultative Style)
Adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan-pembicaraan
biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang berorientasi kepada hasil
atau produksi; dengan kata lain, ragam ini berada pada tingkat yang paling
operasional.
d. Ragam Santai (Casual Style)
Adalah ragam bahasa santai antarteman dalam berbincang-bincang,
rekreasi, berolah raga, dan sebagainya.
e. Ragam Akrab (Intimate Style)
Adalah ragam bahasa antaranggota yang akrab dalam keluarga atau
teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
terang, tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek. Hal ini disebabkan oleh
adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat inilah
banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu
keluarga atau sekelompok teman akrab.
Setiap ahli memiliki pendapatnya masing-masing mengenai jenis dan
karakteristik ragam bahasa. Utorodewo membagi ragam bahasa menjadi tiga jenis,
yaitu ragam formal, nonformal, dan semiformal, sementara Pateda membagi
ragam bahasa menjadi dua jenis, yaitu ragam resmi dan tidak resmi. Martin Joos
(1967) dalam Alwasilah (1990) membagi ragam bahasa menjadi lima jenis, yaitu
ragam beku (frozen), ragam resmi (formal), ragam usaha (consultative), ragam
santai (casual), dan ragam akrab (intimate). Tiga dari kelima ragam tersebut, yaitu
ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab diklasifikasikan ke dalam ragam
bahasa tidak resmi dan dua diantaranya merupakan situasi resmi, yaitu ragam
beku dan ragam resmi.
Menurut Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990), ragam resmi disebut juga
sebagai ragam formal. Sementara itu, ragam resmi disebut juga ragam baku
sejalan dengan Chaer dan Agustina (2004: 70) yang menyatakan bahwa ragam
resmi pada dasarnya sama dengan ragam baku atau standar yang hanya digunakan
dalam situasi resmi, dan tidak dalam situasi yang tidak resmi. Dapat disimpulkan
bahwa ragam resmi disebut juga ragam baku atau ragam resmi.
Di luar pendapat ketiga ahli di atas, Chaer dan Agustina (2004) serta
Nababan (1984) mendukung pendapat Joos mengenai jenis ragam. Keduanya
setuju bahwa ragam bahasa dibagi menjadi lima jenis yaitu, ragam beku (frozen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
style), ragam resmi (formal style), ragam usaha (consultative style), ragam santai
(casual style), dan ragam akrab (intimate style). Penelitian ini menggunakan teori
jenis ragam menurut Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45). Teori ini dipilih
oleh peneliti karena teori ini membedakan jenis-jenis ragam secara spesifik
dibandingkan teori lainnya. Sementara itu, untuk menganalisis karakteristik
ragam, peneliti menggabungkan pendapat para ahli yang relevan. Berikut ini
karakteristik ragam bahasa yang ditemukan oleh peneliti setelah menggabungkan
teori para ahli mengenai karakteristik ragam.
a. Ragam Beku (Frozen Style)
Ragam beku merupakan bentuk lain dari ragam bahasa. Suhardi, (2013:
64), bahasa dalam situasi resmi juga memiliki bentuk lain, yaitu ragam beku
(frozen). Disebut ragam beku karena ungkapan dan istilah yang dipakai
sedemikian tetap dan tidak memungkinkan adanya perubahan satu kata pun.
Bahkan, tekanan pelafalannya pun tidak boleh berubah sama sekali. Hal ini
terlihat dalam ungkapan yang dipakai oleh hakim, jaksa, dan pembela di dalam
suatu sidang panggilan.
Utorodewo (2010: 3) menyatakan bahwa karakteristik ragam beku
antara lain, (1) gaya yang digunakan dalam prosa tertulis dan gaya orang yang
tidak kita kenal; (2) tidak ada variasi pendengar yang membuatnya mengubah
gaya ujaran; (3) kaidah polanya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak boleh
diubah; (4) susunan kalimat dalam ragam beku biasanya panjang, biasanya kaku,
kata-katanya bersifat lengkap; (5) penutur dan pendengar ragam beku dituntut
keseriusan dan perhatian penuh; dan (6) penggunaan kata sambung (konjungsi)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
dan kata depan (preposisi). Dari karakteristik tersebut, ragam beku adalah ragam
yang sama sekali tidak dapat diubah dari segi manapun karena memiliki sifat
kemutlakan. Sebagai contoh, ragam beku dapat ditemukan dalam UUD 1945,
Pancasila, dan doa-doa yang bentuk kebahasaannya tidak akan mengalami
perubahan sampai kapanpun.
Chaer dan Agustina (2004: 70) berpendapat bahwa karakteristik ragam
beku yakni, (1) struktur gramatikalnya tidak berubah; (2) bentuk kalimatnya
bersifat lebih kaku, kata-katanya lengkap, dan struktur kalimatnya panjang, (3)
kosakata yang biasa digunakan untuk mengawali sebuah kalimat ataupun paragraf
antara lain: bahwa, hatta, sesungguhnya, dan lain sebagainya, dan (4) menuntut
sikap yang serius dari penutur dan pendengarnya. Pendapat Utorodewo (2010) dan
Chaer (2004) ini, menunjukkan relevansi. Kedua pendapat tersebut mempunyai
kemiripan. Secara garis besar, kedua ahli mendeskripsikan sifat ragam beku yang
kaku. Peneliti menggabungkan pendapat kedua ahli dengan melihat kesamaan,
kemiripan, serta perbedaan keduanya untuk menemukan teori yang memadai dan
relevan dalam proses analisis data. Karakteristik ragam beku yang ditemukan
peneliti setelah menggabungkan pendapat-pendapat para ahli yakni, (1) gaya yang
digunakan dalam prosa tertulis dan gaya orang yang tidak kita kenal, (2) struktur
gramatikalnya tidak berubah, (3) kaidah polanya sudah ditetapkan secara mantap
dan tidak boleh diubah, (4) susunan kalimat bersifat kaku, kata-katanya bersifat
lengkap, dan struktur kalimatnya panjang, (5) penutur dan pendengar ragam beku
dituntut keseriusan dan perhatian penuh, dan (6) kosakata yang biasa digunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
untuk mengawali sebuah kalimat ataupun paragraf antara lain: bahwa, hatta,
sesungguhnya, dan lain sebagainya.
b. Ragam Formal (Formal Style)
Ragam formal disebut juga ragam resmi. Hal ini sejalan dengan Joos
dalam Nababan (1984: 22-23) yang menyatakan bahwa ragam resmi disebut juga
ragam formal. Selain itu, ragam formal atau ragam resmi disebut juga ragam baku.
Chaer dan Agustina (2004: 70) menyatakan bahwa ragam resmi pada dasarnya
sama dengan ragam baku atau standar yang hanya digunakan dalam situasi resmi,
dan tidak dalam situasi yang tidak resmi.
Utorodewo (2010: 3) berpendapat bahwa karakteristik ragam resmi
yaitu, (1) penggunaan kata sapaan dan kata ganti Bapak, Ibu, Saudara, Anda, atau
menyertakan jabatan, gelar, maupun pangkat untuk orang yang dihormati dan
penggunaan kata saya untuk menyebut diri sendiri, (2) menghindari penggunaan
bentuk kata nonformal, (3) penggunaan imbuhan secara jelas dan teliti, (4) hanya
pada kalimat perintah imbuhan dapat ditanggalkan dalam kata kerja (verba), (5)
penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi), dan (6)
kelengkapan fungsi dalam kalimat. Berdasarkan karakteristik tersebut, ragam
resmi dapat ditemukan dalam situasi yang resmi. Sebagai contoh dapat ditemukan
pada saat rapat kerja di kantor, seminar ilmiah, dan presentasi tugas di sekolah.
Chaer dan Agustina (2004) berpendapat bahwa karakteristik ragam
resmi yaitu, (1) topik pembicaraan bersifat resmi dan serius, (2) antarorang yang
berbicara saling menghormati, (3) bentuk kebahasaan yang digunakan mentaati
kaidah, (4) struktur fungtor lengkap, dan (5) tingkat tutur sesuai dengan strata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
orang yang diajak bicara. Karakteristik ini relevan dengan karakteristik milik
Utorodewo. Keduanya memiliki kesamaan pada beberapa karakteristiknya.
Supardi (1988: 38-39) menyatakan bahwa karakteristik ragam resmi
yakni, (1) kata atau istilah yang dipakai bersifat baku atau sudah dibakukan
misalnya, lelah dan hanya, bukan capai dan cuman, (2) pemakaian afiks secara
eksplisit dan konsisten misalnya, mencari, berjalan-jalan, dikatakan, bukan nyari,
jalan-jalan, dikata, (3) pemakaian kata tugas secara eksplisit dan konsisten
misalnya, beberapa hari yang lalu, sayang kepada anak, berjumpa dengan
temannya, bukan beberapa hari lalu, sayang anak, berjumpa temannya, (4) lafal
yang dipakai bersifat baku, artinya bukan lafal bahasa daerah atau yang tidak
dibakukan misalnya, melaksanakan dan mengembangkan, bukan melaksanaken,
dan mengembangken, (5) pemakaian fungsi-fungsi gramatikal secara eksplisit dan
konsisten misalnya, “Mereka mencatat keterangan dari kepala sekolah” bukan
“Mereka mencatat keterangan daripada kepala sekolah”, (6) memakai bentuk
lengkap dan tidak disingkat baik pada tataran kalimat maupun kata misalnya,
“Akan pergi kemanakah, Ibu? Dia tidak perlu diajak.”, bukan “Kemana? Dia
ndak usah diajak saja?”, dan (7) memakai kata ganti resmi misalnya, “Saya dan
Anda sudah setuju, tetapi dia belum setuju.”, bukan “Sini dan situ setuju, tetapi
sana belum setuju”.
Menurut Nurgiyantoro (dalam Astuti 2000: 25) karakteristik ragam
resmi yakni, (1) menunjukkan adanya kelengkapan fungtor-fungtornya, khususnya
fungtor subjek dan predikat, (2) terhindar dari pengaruh struktur bahasa lain
(daerah dan asing), (3) penggunaan pola aspek modal+pelaku+kata kerja pangkal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
pada bentuk pasif berlaku, (4) penggunaan afiksasi pada unsur bentukan kata
(morfologis) secara tepat, eksplisit dan konsisten bila diperlukan, (5)
menghindaran kata-kata tidak baku seperti gimana, gini, gitu, ndak, nggak, bikin,
dan lain-lain, dan (6) menghindari penggunaan kata-kata dari bahasa daerah yang
jelas-jelas tidak ada kata Indonesianya. Pendapat ini juga tidak berbeda jauh
dengan pendapat para ahli yang telah diuraikan di atas.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, karakteristik ragam resmi
menurut masing-masing ahli menunjukkan relevansi. Secara garis besar, para ahli
berpendapat bahwa karakteristik ragam resmi tidak dapat lepas dari kaidah-kaidah
kebahasaan. Peneliti mengkolaborasikan pendapat para ahli di atas untuk
menemukan teori yang memadai dalam proses analisis data. Karakteristik ragam
resmi yang ditemukan peneliti setelah menggabungkan pendapat para ahli sebagai
berikut: (1) topik pembicaraan bersifat resmi dan serius, (2) antarorang yang
berbicara saling menghormati, (3) memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat
baik pada tataran kalimat maupun kata, (4) struktur fungtor lengkap, khususnya
fungtor subjek dan predikat, (5) tingkat tutur sesuai dengan strata orang yang
diajak bicara, (6) penggunaan kata sapaan dan kata ganti Bapak, Ibu, Saudara,
Anda, atau menyertakan jabatan, gelar, maupun pangkat untuk orang yang
dihormati dan penggunaan kata Saya untuk menyebut diri sendiri, (7) kata atau
istilah yang dipakai bersifat baku atau sudah dibakukan, (8) penggunaan imbuhan
secara jelas dan teliti. Hanya pada kalimat perintah imbuhan dapat ditanggalkan
dalam kata kerja (verba), (9) penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
depan (preposisi), dan (10) terhindar dari pengaruh unsur asing, bahasa daerah
atau bahasa yang tidak dibakukan.
c. Ragam Usaha (Consultative Style)
Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45) berpendapat bahwa
karakteristik ragam usaha mencakup: (1) tidak perlu ada perencanaan yang
ekstensif tentang apa yang diungkapkan, dan sebenarnya memang tidak mungkin
direncanakan, (2) pembicara sering membuat kesalahan dalam pembicaraannya,
mungkin pengulangan kata yang tidak perlu, salah pemilihan kosakata, atau
terlalu banyak menggunakan istilah atau kata tertentu, dan (3) kadang-kadang
tidak menggunakan struktur morfologi dan sintaksis yang normatif.
Chaer dan Agustina (2004: 71) berpendapat bahwa karakteristik ragam
usaha mencakup (1) dipergunakan dalam situasi setengah resmi, (2) dipergunakan
untuk mengkonsultasikan suatu masalah, dan (3) unsur dialek kedaerahan sudah
tidak tampak, namun unsur idiolek kadang-kadang masih muncul. Nababan
(1986: 22-23) berpendapat bahwa karakteristik ragam usaha yakni, (1) kalimat
dan kata hanya berbentuk sekadar cukup supaya jelas dimengerti orang dan (2)
bentuk kalimat pendek tetapi tidak ada unsur-unsur penting yang dihilangkan.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, terlihat kemiripan karakteristik
ragam usaha menurut masing-masing ahli. Secara garis besar, para ahli
berpendapat bahwa karakteristik ragam usaha tidak mempermasalahkan kaidah
kebahasaan selama pesan yang disampaikan dapat dipahami maksudnya. Peneliti
menggabungkan pendapat para ahli dengan membandingkan kemiripan,
kesamaan, dan perbedaannya untuk menemukan teori yang memadai dan relevan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
dalam proses analisis data. Karakteristik ragam usaha/consultative yang
ditemukan peneliti setelah menggabungkan pendapat-pendapat di atas yakni, (1)
tidak perlu ada perencanaan yang ekstensif tentang apa yang diungkapkan, (2)
pembicara sering membuat kesalahan dalam pembicaraannya, mungkin
pengulangan kata yang tidak perlu, salah pemilihan kosakata, atau terlalu banyak
menggunakan istilah atau kata tertentu, (3) dipergunakan dalam situasi setengah
resmi, (4) dipergunakan untuk mengkonsultasikan suatu masalah, (5) unsur dialek
kedaerahan sudah tidak tampak, namun unsur idiolek kadang-kadang masih
muncul, (6) kadang-kadang tidak menggunakan struktur morfologi dan sintaksis
yang normatif, (7) kalimat dan kata hanya berbentuk sekadar cukup supaya jelas
dimengerti orang, dan (8)bentuk kalimat pendek tetapi tidak ada unsur-unsur
penting yang dihilangkan.
d. Ragam Santai (Casual Style)
Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45) berpendapat bahwa
karakteristik ragam santai yakni, (1) digunakan dalam pembicaraan santai, akrab
antara penutur dan mitra tutur, (2) bentuk kebahasaan relatif bebas jika dibanding
ragam resmi, (3) struktur kalimat sering menyelipkan fungtor kalimat, kata-kata,
dan suku kata, (4) sering menggunakan kata-kata yang dipenggal sebagian
silabelnya, (5) sering terjadi pengulangan-pengulangan, (6) sopan santun tidak
berlaku secara ketat, (7) sering digunakan interjeksi, (8) penggunaan tingkat tutur
kadangkala terabaikan dari status hubungan penutur dan mitra tutur, (9) sering
beralih kode, dan (10) topik pembicaraan tidak terarah secara mantap atau urutan
tidak runtut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Chaer dan Agustina (2004: 71) berpendapat bahwa karakteristik ragam
santai yakni, (1) digunakan dalam situasi tidak resmi, (2) banyak menggunakan
bentuk alegro, yaitu bentuk kata frasa, kalimat atau ujaran yang dipendekkan, (3)
kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah, dan
(4) seringkali tidak menggunakan struktur morfologi dan sintaksis yang normatif.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, terlihat kemiripan karakteristik
ragam santai menurut masing-masing ahli. Secara garis besar, para ahli
berpendapat bahwa ragam santai menggunakan bentuk kebahasaan yang lebih
bebas dan berlangsung dalam situasi pembicaraan yang santai. Peneliti
mengkolaborasikan pendapat para ahli untuk menemukan teori yang memadai
dalam proses analisis data. Karakteristik ragam santai yang ditemukan peneliti
setelah menggabungkan pendapat-pendapat di atas adalah: (1) digunakan dalam
pembicaraan santai, akrab antara penutur dan mitra tutur, (2) bentuk kebahasaan
relatif bebas jika dibanding ragam resmi, (3) fungtor kalimat tidak lengkap, (4)
sering menggunakan kata-kata yang dipenggal sebagian silabelnya, (5) sering
terjadi pengulangan-pengulangan, (6) sopan santun tidak berlaku secara ketat., (7)
sering digunakan interjeksi, (8) penggunaan tingkat tutur kadangkala terabaikan
dari status hubungan penutur dan mitra tutur, (9) sering beralih kode, (10) topik
pembicaraan tidak terarah secara mantap atau urutan tidak runtut, (11)
kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah, dan
(12) banyak menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk kata frasa, kalimat atau
ujaran yang dipendekkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
e. Ragam Akrab (Intimate Style)
Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45) berpendapat bahwa
karakteristik ragam akrab mencakup: (1) ragam ujaran tidak pernah mengambil
bahasa itu sendiri sebagai topik ujaran, (2) membicarakan grammar (misalnya),
otomatis akan memporak-porandakan ujaran gaya intim ini, (3) ditandai dengan
penggunaan bahasa yang lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang
sering tidak jelas, dan (4) pemakaian bentuk alegronya sudah keterlaluan
sehingga tidak mungkin dimengerti oleh orang lain tanpa mengetahui situasinya.
Chaer dan Agustina (2004: 71) berpendapat bahwa karakteristik ragam
akrab yakni, (1) biasa digunakan oleh penutur sudah akrab, (2) ditandai dengan
penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan atikulasi
yang sering kali tidak jelas. Hal ini terjadi karena di antara partisipan sudah ada
saling pengertian dan memiliki pengetahuan yang sama, dan (3) tanpa mengetahui
situasi dan latar belakang pembicaraan, orang lain yang mendengar tidak akan
mengerti maksudnya. Hal ini disebabkan dalam tingkat ini banyak digunakan
bentuk dan istilah-istilah yang khas.
Nababan (1986: 22-23) berpendapat bahwa karakteristik ragam akrab
mencakup (1) tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang,
tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek. Hal ini disebabkan oleh adanya
saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain dan (2) banyak dipergunakan
bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau
sekelompok teman akrab.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, terlihat kemiripan karakteristik
ragam akrab menurut masing-masing ahli. Secara garis besar, para ahli
berpendapat bahwa dalam ragam akrab sering digunakan istilah-istilah khas yang
hanya dimengerti oleh kelompok yang bertutur dan mengetahui konteks
pembicaraan. Peneliti membandingkan kemiripan, kesamaan, dan perbedaan
pendapat para ahli untuk menemukan teori yang memadai dan relevan untuk
proses analisis data. Karakteristik ragam akrab yang ditemukan peneliti setelah
menggabungkan pendapat-pendapat para ahli adalah: (1) biasa digunakan oleh
penutur yang sudah akrab, (2) ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak
lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang sering tidak jelas, (3) maksud
pembicaraan tidak dapat dimengerti oleh orang lain tanpa mengetahui situasinya,
dan (4) banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas
bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.
2.2.2 Konteks
Mey (dalam Nadar 2009: 3) menyatakan bahwa konteks adalah situasi
lingkungan dalam arti luas yang memungkinkan peserta tutur untuk dapat
berinteraksi dan dapat membuat ujaran mereka dapat dipahami. Adapun konteks
yang dimaksud oleh Mey bahwa konteks merupakan situasi yang berada di luar
kerangka kebahasaan seperti lingkungan yang mendukung. Melalui situasi
lingkungan yang mendukung, proses pemahaman ujaran antara penutur dan mitra
tutur akan lebih mudah.
Cumings (2007: 5) memaparkan bahwa gagasan tentang konteks berada di
luar pengejawantahan yang jelas seperti latar fisik tempat dihasilkannya suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
ujaran yang mencakup faktor-faktor linguistik, sosial, dan epistemis. Konteks
yang dimaksud Cumings (2007: 5) adalah proses ujaran atau komunikasi berada
di luar studi tata bahasa tetapi mencakup konteks yang melatarbelakanginya dan
mewadahinya. Jadi, faktor-faktor yang berada di luar ujaran akan mendukung
keberhasilan suatu proses komunikasi.
Uraian mengenai konteks dipaparkan secara lebih rinci oleh Dell Hymes
(1974) dalam jurnal berjudul Konteks dan Jembatan Komunikasi milik Annisa dan
Handayani (2013). Hymes menyebutkan konteks ini sebagai komponen tutur
(component of speech). Komponen tutur mencakup delapan elemen yang
dirumuskan dalam teori SPEAKING. Teori SPEAKING merumuskan faktor-faktor
penentu peristiwa tutur. Adapun yang dimaksud dengan teori SPEAKING adalah
Setting and scene (S), Participant (P), End (E), Act Sequences (A), Key (K),
Instrumentalities (I), Norms (N), dan Genres (G). Hymes dalam Rahardi (2001:
29-35) menjelaskan konsep SPEAKING berikut ini.
1). Setting and Scene, yaitu latar dan suasana. Latar (setting) bersifat fisik, yaitu
meliputi tempat dan waktu terjadinya tuturan. Sementara Scene adalah latar psikis
yang lebih mengacu pada suasana psikologis yang menyertai peristiwa tutur.
2). Participant, yaitu orang-orang yang terlibat dalam percakapan, baik langsung
maupun tidak langsung. Hal-hal yang berkaitan dengan partisipan seperti usia,
pendidikan, latar sosial, dan sebagainya, juga menjadi perhatian. Pihak pertama
adalah penutur dan pihak kedua adalah mitra tutur. Dalam waktu dan situasi
tertentu dapat juga terjadi bahwa jumlah peserta tutur lebih dari dua, yakni dengan
hadirnya pihak ketiga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
3). End, yaitu hasil atau tanggapan dari suatu pembicaraan yang memang
diharapkan oleh penutur (ends as outcomes), dan tujuan akhir pembicaraan itu
sendiri (end in views goals). Sebuah tuturan mungkin sekali dimaksudkan untuk
menyampaikan informasi atau buah pikiran, tuturan itu dipakai untuk membujuk,
merayu, mendapatkan kesan, dan sebagainya. Sebuah tuturan mungkin juga
ditujukan untuk mengubah perilaku sesorang dalam dalam masyarakat. Tuturan
yang dimaksudkan untuk mengubah perilaku dari seseorang itu sering disebut
tujuan konatif dari penutur.
4). Act sequences (pesan/amanat), terdiri dari bentuk pesan (messages form) dan
isi pesan (messages content).
5). Key, meliputi cara, nada, sikap, atau semangat dalam melakukan percakapan.
6). Instrumentalities (sarana), yaitu sarana percakapan. Maksudnya, dengan media
apa percakapan tersebut disampaikan, misalnya: dengan cara lisan, surat, radio,
dan sebagainya.
7). Norms merujuk pada norma atau aturan yang membatasi percakapan.
Misalnya, apa yang boleh dibicarakan dan tidak, bagaimana cara
membicarakannya: halus, kasar, terbuka, jorok, dan sebagainya.
8). Genres, yaitu jenis tutur menunjuk pada jenis kategori kebahasaan yang
sedang dituturkan. Jenis tutur yang menyangkut kategori wacana, misalnya:
wacana telepon, wacana koran, wacana puisi, ceramah, dan sebagainya.
Poedjosoedarmo (dalam Rahardi 2001: 35-36) memiliki konsep komponen
tutur yang merupakan pengembangan dari konsep Dell Hymes. Menurut
Poedjosudarmo, komponen tutur ada tiga belas, yakni, 1) pribadi si penutur atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
orang pertama, 2) anggapan penutur terhadap kedudukan sosial dan relasinya
dengan orang yang diajak bicara, 3) kehadiran orang ketiga, 4) maksud dan
kehendak si penutur, 5) warna emosi si penutur, 6) nada suasana bicara, 7) pokok
pembicaraan, 8) urutan bicara, 9) bentuk wacana, 10) sarana tutur, 11) adegan
tutur, 12) lingkungan tutur, dan 13) norma kebahasaan lainnya. Berikut ini uraian
mengenai ketigabelas komponen tutur tersebut.
1). Pribadi Si Penutur atau Orang Pertama
Pribadi si penutur atau orang pertama banyak menentukan kuantitas
tuturan yang disampaikan seseorang. Berkenaan dengan hal ini terdapat dua hal
penting yang perlu di sebutkan. Pertama adalah siapakah kejatian atau identitas
orang pertama itu dan yang kedua adalah dari manakah asul-usul penutur itu.
Identitas orang pertama akan ditentukan oleh tiga hal penting yakni, (1) keadaan
fisiknya, (2) keadaan mentalnya, dan (3) kemampuan berbahasanya.
Kedua hal penting yang telah dipaparkan Poedjosudarmo (dalam Rahardi
2001: 37) sangat berpengaruh pada kuantitas tuturan. Sebagai contoh, seorang
balita yang baru bisa berbicara banyak mengeluarkan celoteh. Orang yang
mentalnya terganggu juga sering menuturkan sesuatu namun sangat sulit dipahami
oleh pendengarnya. Seorang warga yang bertemu dengan turis asing di lokasi
wisata dan tidak dapat berbahasa Inggris hanya menggunakan bahasa isyarat
ketika menanggapi ujaran turis yang hanya bisa berbahasa Inggris.
2). Anggapan Penutur terhadap Kedudukan Sosial dan Relasinya dengan Orang
yang Diajak Bicara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Masalah latar belakang penutur, perlu dikaitkan dengan masalah jenis
kelamin, daerah asal, suku, umur, golongan kelas dalam masyarakat, dan agama
atau kepercayaan. Seseorang yang berjenis kelamin wanita tentu akan
menggunakan bahasa yang berbeda dengan pria.
Menurut Wardhaugh, (dalam Rahardi 2001: 37), seorang pria memiliki
kecenderungan untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan olah raga,
politik, dan sebagainya sedangkan wanita cenderung membicarakan masalah
rumah tangga, perhiasan, pakaian, dan semacamnya. Demikian juga masyarakat
golongan atas akan berbicara dengan cara yang berbeda dengan anggota
masyarakat golongan bawah. Orang-orang golongan atas dapat berbicara ihwal
bisnis besar, barang mewah, dan semacamnya sedangkan anggota masyarakat
golongan bawah tidak mungkin melakukan hal yang demikian itu.
3) Kehadiran Orang Ketiga
Kehadiran orang ketiga kadang-kadang dapat juga dipakai sebagai penentu
berubahnya kode yang dipakai seseorang dalam berkomunikasi. Sebagai contoh,
dalam peristiwa tawar-menawar yang berbahasa Jawa dalam tingkat tutur Krama
bercampur dengan Ngoko, mendadak berubah menjadi bahasa Jawa Krama tanpa
dicampuri dengan variasi Ngoko karena datangnya teman pedagang yang
barangkali juga bisa berbahasa Jawa dengan semua langganannya. Kedatangaan
sang teman pedagang dalam peristiwa tutur itu akan menuntutnya menggunakan
bahasa yang sama dengan pedagang itu.
Uraian di atas menunjukkan bahwa kehadiran orang ketiga berpengaruh
pada bahasa yang digunakan. Seringkali penutur harus mengubah kode tuturannya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
supaya orang yang memiliki latar belakang kebahasaan berbeda dapat terlibat
dalam komunikasi.
4) Maksud dan Kehendak Si Penutur
Faktor maksud dapat pula berpengaruh terhadap kode bahasa yang dipilih
seseorang dalam bertutur. Seorang anak yang biasanya berbicara dengan bahasa
Jawa ngoko kepada ibunya, sekejap dapat berubah berbahasa dengan
menggunakan variasi bahasa dalam tingkat krama karena maksud-maksud tertentu
yang penentuan hasilnya adalah pada pihak sang Ibu. Pada saat anak minta
dibelikan pakaian baru oleh ibunya, anak itu akan mengubah kodenya supaya
maksudnya tercapai.
Dari uraian di atas, diketahui bahwa perubahan kode berkaitan pula
dengan maksud tuturan. Supaya maksud tuturan dapat dipahami oleh lawan
bicara, seorang penutur harus menggunakan kode tertentu yang mendukung
maksud.
5) Warna Emosi Si Penutur
Terkait erat dengan faktor maksud dan kehendak dari penutur adalah
warna emosi. Penutur yang sedang gugup barangkali akan menimbulkan tuturan
yang tidak jelas ditangkap oleh mitra tutur. Ketidakjelasan itu mungkin
dikarenakan oleh banyaknya frasa yang terpenggal, banyaknya tuturan yang tidak
lengkap, banyaknya pengulangan tuturan yang bahkan membingungkan, dan
sebagainya.
Dalam bahasa Jawa, hal yang demikian itu dikatakan sebagai tumpang suh
yang artinya tuturan yang tidak memiliki keteraturan urutan. Faktor warna emosi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
ini barangkali menjadi amat jelas manakala orang sedang marah. Orang yang
sedang marah atau dalam keadaan emosi tingkat tinggi dapat dipastikan kesulitan
dalam mengontrol tuturannya. Dengan emosi yang demikian itu si penutur akan
banyak mengeluarkan kata-kata yang terlepas dari pilihan tingkat tutur.
6) Nada Suasana Bicara
Terkait dengan emosi adalah nada suasana bicara. Nada suasana dapat
berpengaruh terhadap perasaan dan emosi penutur dan lawan tutur sehingga
akhirnya akan berpengaruh juga terhadap tuturan.
Sebagai contoh adalah manakala terjadi peristiwa kematian dalam suatu
keluarga. Nada suasana yang ada pada saat itu adalah kesedihan. Suasana yang
demikian sudah barang tentu mewarnai perasaan para anggota keluarga bahkan
anggota masyarakat itu. Apabila mereka bertutur, sudah barang tentu perasaan
sedih itu tidak dapat disembunyikan. Dengan kata lain tuturan mereka pada saat
berkomunikasi dan mengadakan kontak dengan yang lain dipengaruhi oleh nada
suasana yang melingkunginya.
7) Pokok Pembicaraan
Agak dekat dengan masalah nada suasana tutur adalah masalah bidang
atau masalah yang dibicarakan. Membicarakan masalah politik sudah barang tentu
berbeda dengan membicarakan masalah olah raga. Berbicara ihwal politik pasti
disertai dengan unsur keseriusan, kendatipun hanya dalam batas-batas tertentu,
sedangkan berbicara masalah olah raga cenderung untuk bersifat santai dan tidak
menegangkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
Dari uraian di atas, diketahui bahwa pokok pembicaraan juga
memengaruhi situasi pembicaraan. Topik pembicaraan yang serius akan
menciptakan suasana pembicaraan yang serius. Topik pembicaraan yang santai
akan menciptakan suasana pembicaraan yang santai.
8) Urutan Bicara
Masalah urutan dalam bertutur juga sangat berpengaruh terhadap tuturan.
Pada saat terjadi percakapan antara dosen dengan seorang mahasiswa yang sedang
berkonsultasi tentang penulisan tesisnya sudah barang tentu sang dosen itu akan
berbicara dengan lebih leluasa. Di lain pihak mahasiswa akan berbicara dengan
lebih hati-hati dan cenderung hanya menjawab apa yang ditanyakan oleh
dosennya.Artinya bahwa karena urutan bicara sang mahasiswa adalah di belakang
sang dosen, maka urutan yang muncul dari mahasiswa itu pun cenderung terbatas.
Dari uraian di atas diketahui bahwa urutan bicara berkaitan pula dengan
status atau kedudukan sosial. Dosen merupakan orang yang dihormati oleh
mahasiswanya dari segi usia maupun ilmu yang dimilikinya.
9) Bentuk Wacana
Di dalam suatu masyarakat biasanya terdapat tuturan dalam bentuk yang
sudah mapan (established speech form). Bentuk tutur orang berpidato, orang
memberikan sambutan, orang mengundang kenduri (dalam masyarakat Jawa)
mengandung urut-urutan tutur yang sudah hampir pasti dan selalu sama. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa bentuk tuturan dalam wacana-wacana itu sudah
mapan dan orang tidak demikian mudah mengganti urutan bentuk tuturan itu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Uraian di atas menunjukkan perbedaan dengan ragam lisan yang bentuk
kebahasaannya dapat berubah sesuai dengan situasi pemakaian. Sementara
wacana merupakan ragam tulis yang umumnya memiliki ketetapan bentuk dan
urutan.
10) Sarana Tutur
Sarana tutur menunjuk kepada saluran dan media disampaikannya tuturan
itu kepada lawan tutur, juga menentukan tuturan yang muncul dari seseorang.
Orang berbicara dengan berhadapan langsung antara penutur dan lawan tutur tentu
berbeda dengan tuturan orang yang berbicara melalui pesawat telepon. Berbicara
melalui telepon akan cenderung bersifat membatasi tuturan yang harus
disampaikan oleh penutur. Hal demikian disebabkan oleh berbagai faktor seperti
ekonomi, etika, dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa proses komunikasi
menggunakan sarana tertentu berbeda dengan proses komunikasi secara langsung.
Seseorang tentu lebih leluasa mengutarakan maksudnya secara langsung daripada
menggunakan sarana atau media misalnya melalui telepon.
11) Adegan Tutur
Komponen adegan tutur yang menunjuk pada aspek tempat, waktu, dan
peristiwa tutur yang juga banyak berpengaruh terhadap tuturan. Tempat terjadinya
percakapan sudah barang tentu menentukan tuturan yang akan dimunculkan oleh
penutur dan lawan tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Orang di pasar atau di pinggir jalan besar pasti akan bertutur dengan cara
yang berbeda dengan di tempat-tempat keramat misalnya makam, tempat ziarah,
dan sebagainya.
12) Lingkungan Tutur
Komponen lain yang juga ikut menentukan tuturan seseorang adalah
lingkungan di mana tuturan itu terjadi. Sebagai contoh tuturan yang terjadi dalam
sebuah ruangan keluarga yang terdapat sejumlah anggota keluarga menikmati
acara kethoprak dalam televisi pasti akan menentukan tuturan yang muncul.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa lingkungan memengaruhi
penggunaan bahasa. Ragam bahasa yang digunakan seseorang tentunya harus
disesuaikan dengan lingkungan yang melingkupi ujaran.
13) Norma Kebahasaan
Norma kebahasaan masyarakat juga sangat menentukan ujaran anggota
masyarakatnya. Dalam masyarakat Jawa, terdapat semacam norma yang tidak
tertulis bahwa berbicara dengan seseorang yang lebih tua harus pelan-pelan dan
tidak boleh dengan suara yang lantang. Norma dalam masyarakat Jawa ini
kadang-kadang disertai juga dengan hal yang sifatnya paralinguistik, seperti
bungkukan tubuh, pengedepanan kedua tangan, senyuman, dan sebagainya.
Norma yang dimaksud dalam uraian di atas tentunya disesuaikan dengan
norma di mana penutur berada. Norma suatu kelompok masyarakat tentunya
berbeda dengan norma kelompok masyarakat yang lain. Misalnya, norma
kebahasaan masyarakat Jawa berbeda dengan masyarakat Batak. Masyarakat Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
dikenal dengan gaya bahasanya yang lembut sementara masyarakat Batak dikenal
dengan gaya bicaranya yang lantang.
2.2.3 Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menurut Abidin (2013: 3) pembelajaran adalah serangkaian aktivitas yang
dilakukan siswa guna mencapai hasil belajar tertentu dalam bimbingan dan arahan
serta motivasi dari seorang guru, sementara pembelajaran bahasa Indonesia adalah
serangkaian aktivitas yang dilakukan siswa untuk mencapai keterampilan
berbahasa tertentu. Dari pendapat tersebut, dapat dipahami bahwa guru berperan
penting dalam pembelajaran. Namun, di luar kompetensi guru sebagai pengajar,
aktivitas guru dan siswa ini harus difasilitasi dengan prinsip pembelajaran yang
tepat, pendekatan pembelajaran yang relevan, metode dan teknik pembelajaran
yang sesuai tujuan, karakteristik siswa dan konteks sosial masyarakat.
Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, terdapat empat keterampilan
berbahasa yang harus dikuasai siswa yaitu membaca, menyimak, berbicara, dan
menulis. Dari keempat keterampilan tersebut, pembelajaran bahasa Indonesia
memiliki fungsi yang penting sebab kemampuan berbahasa akan menunjang
kemampuan keilmuan yang lain. Hal ini sejalan dengan pendapat Abidin (2013: 3)
bahwa bidang empat keterampilan berbahasa pada dasarnya merupakan bidang
implementasional yang akan digunakan sebagai wadah seluruh bidang lain.
Artinya, baik sastra maupun bahasa yang dipadukan dengan pendidikan dan
konteks keindonesiaan akan disalurkan kepada siswa dalam bentuk keterampilan
berbahasa baik melalui menyimak, berbicara, membaca, ataupun menulis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Di Sekolah Menengah Pertama (SMP), pembelajaran bahasa Indonesia
mendapat alokasi 4 jam per minggu. Pelajaran Bahasa Indonesia memperoleh
porsi yang banyak sebab mata pelajaran ini dianggap penting untuk diajarkan di
sekolah. Pembelajaran bahasa Indonesia diharapkan mampu membantu peserta
didik mengenal dirinya, budayanya, budaya orang lain, mengemukakan gagasan
dan perasaan, berpartisipasi dalam masyarakat yang menggunakan bahasa
tertentu, serta menemukan dan menggunakan kemampuan analitis dan imaginatif
yang ada dalam diri siswa (Sufanti, 2010: 12). Jadi, pembelajaran bahasa
Indonesia bukan semata-mata mempelajari keterampilan-keterampilan berbahasa
melainkan juga mengenal budaya sendiri maupun budaya lain.
Tujuan mata pelajaran Bahasa Indonesia juga relevan dengan penelitian
yang akan dilaksanakan. Adapun tujuan mata pelajaran bahasa Indonesia menurut:
(Sufanti, 2010: 13) yakni, (1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai
dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis, (2) menghargai dan
bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa
negara, (4) memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan
kreatif untuk berbagai tujuan, (5) penggunakan bahasa Indonesia untuk
meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial, (6)
menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan,
memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan kemampuan berbahasa, dan (7)
menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan
intelektual manusia Indonesia. Dari ketujuh tujuan mata pelajaran tersebut,
dibutuhkan komunikasi yang baik antara guru dengan siswa, siswa dengan guru,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
dan siswa dengan siswa. Komunikasi yang baik dapat terwujud apabila pesan
yang disampaikan penutur dapat dipahami oleh mitra tutur sehingga terjadi proses
timbal balik dalam komunikasi. Salah satu hal yang dapat memengaruhi terjadinya
komunikasi yang baik adalah penggunaan ragam yang tepat, sesuai dengan situasi
pembicaraan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
2.1 Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir akan memaparkan alur atau tahapan berpikir. Alur ini
membantu peneliti untuk menemukan jawaban atas rumusan masalah penelitian.
PENDEKATAN SOSIOLINGUISTIK
METODE PENELITIAN KUALITATIF
PENGUMPULAN DATA
TRIANGULASI DATA OLEH PAKAR BAHASA
HASIL PENELITIAN
JENIS RAGAM DAN KARAKTERISTIK RAGAM TUTURAN
GURU DAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN
BAHASA INDONESIA KELAS VIII A SMP PANGUDI LUHUR I
KALIBAWANG TAHUN AJARAN 2017/2018
JENIS & KARAKTERISTIK RAGAM
Utorodewo (2010)
Chaer dan Agustina (2004)
Pateda (1990)
Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990)
Supardi (1988)
Nababan (1984)
(2010: 3)
(
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
Peneliti melakukan kajian pustaka untuk mendapatkan landasan teori.
Landasan teori yang digunakan terkait dengan penggunaan ragam bahasa dan
karakteristik ragam bahasa. Landasan teori ragam bahasa dan karakteristik ragam
bahasa berisi teori-teori terkait konsep ragam bahasa yang digunakan dalam
penelitian. Adapun konsep ragam bahasa yang digunakan adalah kolaborasi
konsep Utorodewo (2010), Chaer dan Agustina (2004), Pateda (1990), Martin
Joos (dalam Alwasilah, 1990), Supardi (1988), dan Nababan (1984).
Berikutnya, analisis jenis ragam dan karakteristik ragam tuturan guru dan
siswa. Tuturan yang dimaksud meliputi tuturan antara guru dengan siswa, siswa
dengan guru, dan antarsiswa. Tuturan ini diperoleh oleh peneliti dengan
melakukan penelitian saat proses pembelajaran bahasa Indonesia berlangsung di
kelas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
BAB III
METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari jenis penelitian, data dan sumber data, instrumen
penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, dan teknik penyajian
data. Keenam hal tersebut akan diuraikan pada subbab berikut ini.
3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif karena penelitian
ini menggunakan kata-kata untuk mendeskripsikan fenomena diglosia pada
tuturan guru dan siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII A di
SMP Pangudi Luhur I Kalibawang. Menurut Arikunto (2013: 3) penelitian
deskriptif kualitatif merupakan penelitian yang benar-benar hanya memaparkan
apa yang terdapat atau apa yang terjadi dalam sebuah kancah, lapangan, atau
wilayah tertentu.
Penelitian ini mendeskripsikan jenis ragam dan karakteristik ragam tuturan
guru dan siswa. Oleh karena itu, hasil penelitian berupa deskripsi data dalam
bentuk kata-kata tertulis mengenai “Jenis Ragam dan Karakteristik Ragam
Tuturan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di Kelas VIII A
SMP Pangudi Luhur I Kalibawang Tahun Ajaran 2017/2018”.
3.2 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini adalah tuturan guru dengan siswa, siswa dengan
guru, dan siswa dengan siswa yang berwujud kata, kalimat, atau rangkaian
kalimat. Sumber data dalam penelitian merupakan subjek dari mana data dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
diperoleh (Arikunto, 2013: 172). Hal ini sejalan dengan Sangadji (2010: 43) yang
menyatakan bahwa sumber data adalah subjek penelitian tempat data menempel.
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII A dan guru mata
pelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang.
3.3 Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian ini adalah peneliti sendiri. Moleong (2006: 9)
menyatakan bahwa instrumen penelitian merupakan alat pengumpulan data utama.
Pendapat ini didukung oleh Sugiyono (2012: 222) yang menyatakan bahwa
peneliti kualitatif sebagai human interest, berfungsi untuk menetapkan fokus
penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data,
menilai kualitas data, menganalisis data, menafsirkan data dan membuat
kesimpulan atas temuannya.
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah-langkah untuk
mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, peneliti tidak
akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang ditetapkan (Sugiyono,
2010: 308). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode
simak. Metode simak digunakan sebagai upaya penyediaan data melalui
penyimakan terhadap tuturan yang muncul dari guru dan siswa dalam proses
pembelajaran di kelas. Metode simak memiliki teknik dasar yang disebut teknik
sadap. Disebut teknik sadap karena pada praktik penelitian sesungguhnya
penyimakan dilakukan dengan cara menyadap pembicaraan (Mahsun, 2007: 242).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Teknik sadap mempunyai dua teknik lanjutan yaitu teknik Simak Bebas
Libat Cakap (SBLC) dan teknik Simak Libat Cakap. Teknik Simak Bebas Libat
Cakap (SBLC) meniadakan peran peneliti untuk turut terlibat dalam peristiwa
tutur. Peneliti hanya berperan sebagai pengamat. Teknik ini menjaga perilaku
berbahasa guru dan siswa sehingga tuturan yang muncul adalah tuturan yang
alami, bukan dibuat-buat. Situasi dan konteks yang tampak adalah situasi dan
konteks yang sesungguhnya sehingga data yang diperoleh adalah data alamiah.
Berikutnya adalah teknik Simak Libat Cakap yaitu, upaya penyadapan peristiwa
tutur dengan cara peneliti turut terlibat dalam peristiwa tutur tersebut. Peneliti
tidak hanya menjadi pengamat tetapi ikut menyatu atau manunggal dengan
partisipan yang hendak disimak (Mahsun, 2007: 243). Teknik ini memungkinkan
adanya stimulus dari peneliti untuk memperoleh data yang diharapkan dari peserta
tutur. Peneliti terlibat dalam tuturan dengan ikut seta menyampaikan tuturan
maupun menanggapi tuturan.
Penelitian ini menggunakan teknik lanjutan dari teknik sadap yaitu teknik
Simak Bebas Libat Cakap (SBLC) karena peneliti hanya berperan sebagai
pengamat dalam proses pengambilan data dan tidak ambil bagian dalam
pembicaraan. Peneliti mengharapkan data yang diperoleh adalah data alamiah
dengan konteks yang sebenarnya. Berikut ini langkah-langkah pengumpulan data
penelitian.
1). Teknik Rekam
Teknik rekam dilaksanakan tanpa mengganggu proses pembelajaran yang
berlangsung sebab kehadiran peneliti sebatas untuk merekam tuturan-tuturan yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
muncul. Hal ini sejalan dengan Sudaryanto, (2015: 205) yang menyatakan bahwa
pelaksanaan teknik rekam harus dilakukan sedemikian rupa supaya tidak
mengganggu kewajaran proses kegiatan pertuturan yang sedang terjadi. Peneliti
menggunakan alat rekam suara (audio) dan video (audiovisual) berupa telepon
genggam (handphone) dan laptop.
Melalui teknik rekam, peneliti menghasilkan data berupa tuturan guru dan
siswa yang berwujud kata, kalimat, atau rangkaian kalimat. Untuk melaksanakan
teknik ini memerlukan beberapa alat perekam. Alat rekam yang digunakan adalah
telepon genggam dan laptop. Hal ini sejalan dengan Sudaryanto (2015: 205) yang
menyatakan bahwa dalam perkembangan teknologi informasi yang semakin
canggih, alat perekam yang dimaksud dapat lebih beraneka dengan hasil yang
saksama, meliputi tindakan omong yang mampu didengarkan maupun tingkah
laku dan perbuatan lain yang mampu dilihat, baik verbal maupun non-verbal;
handycam misalnya.
2). Teknik Catat
Di samping melakukan perekaman, peneliti juga melakukan pencatatan
tuturan-tuturan yang kemungkinan tidak terekam pada kartu data. Kartu data
berisi tuturan-tuturan yang menunjukkan situasi diglosia melalui tuturan yang
muncul, jenis ragam bahasa, dan konteks tuturan.
3.5 Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisis deskriptif kualitatif. Bogdan & Biklen (dalam Moleong, 2014: 248)
mengungkapkan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
dengan jalan bekerja dengan data. Sementara analisis deskriptif bertujuan untuk
menggambarkan situasi diglosia yang muncul pada tuturan guru dan siswa di
kelas VIII A dalam proses pembelajaran Bahasa Indonesia berdasarkan wujud dan
fungsi ragam.
Langkah-langkah analisis data yang digunakan peneliti adalah (1)
mentranskripsi tuturan dari rekaman video sesuai dengan tuturan asli yang
berlangsung, (2) mengklasifikasi data menjadi tiga bagian, yaitu bagian pembuka
pembelajaran, bagian inti, dan bagian penutup pembelajaran, (3) melakukan
reduksi data memilih data-data yang dianggap pokok dan penting dan membuang
data yang dianggap tidak sesuai tujuan penelitian yang akan dicapai, (4) peneliti
melakukan koding dengan menyusun kode 01, 02, 03 dan seterusnya untuk urutan
tuturan, kode G untuk Guru sebagai penutur, kode S1 untuk Siswa 1 sebagai
penutur, kode S2 untuk Siswa 2 sebagai penutur, dan seterusnya, kode I untuk
Ragam Beku, kode II untuk Ragam Resmi, kode III untuk Ragam Usaha, kode IV
untuk Ragam Santai, dan kode V untuk Ragam Akrab, (5) mengidentifikasi data
berdasarkan jenis ragam, karakteristik ragam, fungsi ragam, dan konteks tuturan,
(6) menyajikan hasil analisis dalam tabel analisis data tentang fenomena diglosia
pada tuturan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia kelas VIII A
SMP Pangudi Luhur I Kalibawang dalam bentuk tabel dan uraian, dan (7) menarik
simpulan.
3.6 Teknik Penyajian Data
Salah satu teknik yang digunakan di akhir sebuah penelitian data adalah
teknik penyajian data. Teknik penyajian data bertujuan agar pembaca mudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
memahami hasil penelitian. Pada tahap awal penelitian, peneliti memilih data dan
sumber data, selanjutnya memilih instrumen penelitian, melakukan teknik
pengumpulan data, dan melakukan teknik analisis data. Dalam rangkaian
penelitian deskriptif kualitatif tersebut, peneliti menyajikan data dalam bentuk
kalimat yang memaparkan secara panjang lebar. Hal ini sejalan dengan pendapat
Nurasti (2007: 130) yang memaparkan bahwa analisis dengan merinci dan
menjelaskan secara panjang lebar keterkaitan data penelitian dalam bentuk
kalimat.
Tahap menarik kesimpulan dan memahami hasil penelitan akan
dipermudah dengan penyajian hasil analisis data dalam bentuk tabel. Berikut ini
format tabel yang digunakan.
Tabel 3.6: Format Hasil Analisis Data
Keterangan:
1. NO : Nomor Urut Data
2. RB : Ragam Beku
3. RR : Ragam Resmi
4. RU : Ragam Usaha
5. RS : Ragam Santai
6. RA : Ragam Akrab
NO.
KODE
TUTURAN
KONTEKS
JENIS RAGAM
PENANDA
KARAKTERISTIK
RAGAM
RB RR RU RS RA
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
3.7 Triangulasi Data
Sugiyono (2014: 125) memaparkan bahwa triangulasi data diartikan
sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai
waktu. Triangulasi digunakan sebagai proses memantapkan derajat kepercayaan
(kredibilitas/validitas) dan konsistensi (reabilitas) data, serta sebagai alat bantu
analisis data di lapangan (Gunawan, 2013: 218).
Bertolak dari pendapat para ahli di atas, maka data penelitian tentang
ragam bahasa pada tuturan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia
di kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang tahun ajaran 2017/2018 ini
ditriangulasikan oleh Danang Satria Nugraha, M.A.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini berisi uraian mengenai (1) deskripsi data, (2) analisis data, dan (3)
pembahasan. Deskripsi data berisi gambaran mengenai data-data yang diperoleh
peneliti di lapangan. Pada bagian analisis data peneliti memaparkan proses
peneliti menganalisis data. Pada bagian pembahasan dideskripsikan alasan-alasan
penutur dan mitra tutur memilih ragam bahasa tertentu serta dideskripsikan pula
karakteristiknya.
4.1 Deskripsi Data
Penelitian ini dilaksanakan di SMP Pangudi Luhur I Kalibawang yang
beralamat di Boro, Banjar Asri, Kalibawang, Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Data penelitian ini adalah tuturan guru dan siswa yang berwujud
kata, kalimat, atau rangkaian kalimat. Penelitian dilakukan dalam 3 kali
pertemuan. Pada pertemuan pertama, peneliti melakukan pengamatan terhadap
proses komunikasi di kelas untuk memperoleh gambaran awal penelitian. Pada
pertemuan kedua, peneliti mengambil data awal untuk melihat secara kasar
bagaimana penggunaan ragam bahasa di kelas VIII A. Pada pertemuan ketiga,
peneliti melakukan proses pengambilan data dengan merekam tuturan guru dan
siswa selama pembelajaran berlangsung. Dari rekaman yang ditranskrip, peneliti
menemukan 251 tuturan. Dari 251 tuturan tidak semua tuturan dianalisis karena
ada 12 tuturan yang merupakan ragam tulis sementara penelitian ini berfokus pada
ragam lisan saja.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Di samping 12 ragam tulis yang tidak dianalisis, ada 95 tuturan yang tidak
dapat dianalisis karena tidak memenuhi informasi untuk dianalisis misalnya,
tuturan-tuturan yang muncul saat guru memeriksa daftar hadir siswa. Peneliti
menemukan 54 data tuturan yang memenuhi informasi untuk dianalisis.
Sumber data dalam penelitian ini adalah siswa-siswi kelas VIII A dan guru
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Berikut ini data siswa dan guru.
Data Si swa Kelas VIII A
No.
Nama
Kelamin
Kode
Siswa
Suku
1 AGATA DWI MARWATI Perempuan S1 Jawa
2 AGUSTINUS HERJUNO
HANDIKA PRADINTA
Laki-laki S2 Jawa
3 AGUSTINUS
PRASETYA WIBAWA
Laki-laki S3 Jawa
4 AHMAD MAYSWARA
AMANDA GIRI
Laki-laki S4 Betawi
5 ALUOSIYA GEDRUDA
SEDIK
Perempuan S5 Papua
6 ANA EVANITA DIYAN
PUTRI UTAMI
Perempuan S6 Betawi
7 ANCELMA YONA
YEKTIANI
Perempuan S7 Jawa
8 AURELIA BUNGA
CALISTA
Perempuan S8 Jawa
9 CHRISTIAN INDITO
MURTIAJI
Laki-laki S9 Jawa
10 CHRISTIAN KEVIN Laki-laki S10 Jawa
11 DAVID PURBA JATI Laki-laki S11 Jawa
12 EMANUEL
YOGISVORO
Laki-laki S12 Jawa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
13 EMERENTIA NESZA
KARTIKA
Perempuan S13 Dayak
14 FRANSISA GALIH SRI
WIBAWATI
Perempuan S14 Jawa
15 HERCULANUS
NATANAEL BRILLIANT
DANADYAKSA
Laki-laki S15 Jawa
16 LAURENSIUS FERDIE
SAPUTRA
Laki-laki S16 Jawa
17 MARIA VIVIT
WIDYANING
PANGESTU
Perempuan S17 Jawa
18 MATEUS EKO
PRIHASTANTO
Laki-laki S18 Jawa
19 MONICA MERLYNA
PUSPITASARI
Perempuan S19 Jawa
20 OKTAVIANUS ERWIN
KURNIANTO
Laki-laki S20 Jawa
21 PILIPUS ALDU Laki-laki S21 Dayak
22 SEPTAMA Laki-laki S22 Jawa
23 VERONIKA NIRMALA
MEI ANGGRAENI
Perempuan S23 Sunda
24 VINCENTINE CAROLIN
DARMA DJAJA
Perempuan S24 Dayak
25 YUSUP ELFAND
WICAKSONO
Laki-laki S25 Jawa
Dari data di atas diketahui bahwa jumlah murid kelas VIII A sebanyak 25
siswa yang terdiri dari 11 siswi dan 14 siswa. Peneliti membuat kode siswa yang
mewakili nama siswa mulai dari kode S1 (siswa dengan nomor urut 1) hingga
kode S25 (siswa dengan nomor urut 25) untuk mempermudah proses pengolahan
data. Dilihat dari latar belakang sosialnya, terdapat keanekaragaman suku di kelas
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
VIII A. Mayoritas siswa adalah suku Jawa sementara yang lainnya adalah suku
Betawi, Sunda, Dayak, dan Papua. Selain siswa, sumber data penelitian ini adalah
guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I
Kalibawang, Yosefa Indah Kurniati, usia 55 tahun, dan berlatarbelakang suku
Jawa.
Foto Subjek Penelitian
(Yosefa Indah Kurniati, S.Pd.)
Pengumpulan data dilakukan pada bulan Juli-Agustus 2017. Data
penelitian ini adalah tuturan guru dan siswa yang muncul selama berlangsungnya
proses pembelajaran. Tuturan yang dimaksud adalah tuturan yang muncul dalam
komunikasi guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa.
Tuturan diperoleh dari hasil perekaman tuturan dalam bentuk audio dan
audiovisual.
Berdasarkan observasi diperoleh data seperti yang menjadi pertanyaan
dalam rumusan masalah penelitian ini. Data yang diperoleh adalah data jenis
ragam bahasa Indonesia yang muncul pada kegiatan awal, inti, dan akhir
pembelajaran bahasa Indonesia kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
dan data karakteristik ragam bahasa Indonesia yang digunakan oleh guru dan
siswa kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang. Berikut ini tabel jenis
ragam yang muncul dalam tuturan guru dan siswa.
Tabel 4.1: Temuan Ragam Tuturan
No. Jenis Ragam Jumlah
1. Beku -
2. Resmi 2
3. Usaha -
4. Santai 44
5. Akrab 8
JUMLAH 54
Berdasarkan tabel di atas, ditemukan 54 data tuturan yang terdiri dari 2
tuturan ragam resmi, 44 tuturan ragam santai, dan 8 tuturan ragam akrab. Ragam
beku dan ragam usaha tidak ditemukan. Tabel di atas memperlihatkan bahwa
ragam santai adalah ragam bahasa yang paling banyak digunakan dalam proses
komunikasi di kelas, diikuti oleh ragam akrab kemudian yang paling jarang
digunakan adalah ragam resmi.
Data penelitian ini telah melalui tahap triangulasi. Triangulasi data
dilaksanakan pada 25 April 2018. Triangulasi data dilakukan oleh dosen program
studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta, yaitu Danang Satria Nugraha, M.A. Sebelum triangulasi, data yang
diperoleh peneliti sebanyak 54 tuturan. Setelah triangulasi, data yang disetujui
oleh triangulator sebanyak 50 tuturan dan data yang tidak disetujui oleh
triangulator sebanyak 4 tuturan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Data yang tidak disetujui adalah data nomor 20, nomor 22, nomor 27, dan
nomor 47. Keempat data tersebut tidak disetujui karena triangulator berpendapat
bahwa data-data yang dinyatakan sebagai ragam santai oleh peneliti, merupakan
ragam akrab. Data yang tidak disetujui kemudian ditindaklanjuti oleh peneliti
dengan cara melakukan analisis ulang. Setelah melakukan analisis ulang, peneliti
melakukan pembetulan terhadap analisis yang tidak tepat. Dari hasil analisis ulang
dan meninjau kembali kajian pustaka, peneliti menemukan bahwa 3 dari 4 data
yang tidak disetujui triangulator dan dinyatakan sebagai ragam akrab oleh
triangulator merupakan ragam santai. Data tersebut adalah data nomor 20, nomor
27, dan nomor 47. Ketiga data tersebut memenuhi syarat ragam santai. Sementara
itu, data nomor 22 merupakan ragam akrab karena memenuhi syarat ragam akrab.
4.2 Analisis Data
Bagian analisis data memaparkan data-data yang ditemukan dan
dianalisis sesuai dengan tahap analisis data. Ada tujuh tahap analisis data dalam
penelitian ini yaitu, transkripsi, klasifikasi, reduksi, koding, identifikasi,
penyajian, dan penarikan simpulan.
Pada tahap pertama, peneliti membuat transkipsi data tuturan yang telah
direkam pada proses pengambilan data. Rekaman berupa suara (audio), video
(audiovisual), dan dilengkapi dengan catatan lapangan. Dengan menggunakan
berbagai media perekam, diharapkan data yang diperoleh adalah data yang
autentik.
Pada tahap berikutnya, peneliti mengklasifikasi data menjadi tiga bagian
yaitu, tuturan yang muncul pada tahap awal pembelajaran, tuturan yang muncul
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
pada tahap inti pembelajaran, dan tuturan yang muncul pada tahap penutup
pembelajaran. Pada tahap reduksi, peneliti memilah data-data yang diperlukan.
Data yang diperlukan adalah data yang memenuhi informasi untuk dianalisis.
Tahap keempat adalah koding, peneliti membuat kode atas data-data yang telah
dipilah berdasarkan jenis ragam, penutur, dan urutan tuturan. Berikutnya
dilakukan identifikasi untuk memastikan jenis ragam. Pada tahap ini, dianalisis
pula konteks yang melingkupi masing-masing tuturan serta karakteristik ragam
tiap tuturan. Pada tahap penyajian, analisis data ditampilkan dalam bentuk tabel
analisis. Setelah itu, peneliti melaporkan hasil analisis data dalam bentuk
deskripsi.
Analisis data penelitian ini meliputi analisis jenis ragam bahasa dan
analisis karakteristik ragam bahasa. Berikut ini analisis jenis ragam dan
karakteristik ragam tuturan guru dan siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia
di Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang.
4.2.1 Ragam Resmi
Berdasarkan hasil penelitian dan jumlah data yang diperoleh, peneliti
menemukan tiga tuturan yang merupakan ragam resmi. Ragam resmi muncul pada
bagian inti pembelajaran, tepatnya pada saat berlangsungnya pembahasan tugas.
Berikut beberapa tuturan ragam resmi yang ditemukan dalam penelitian ini.
1. Tuturan Guru dengan Siswa
(1) (G-II167) Apa judul berita yang dibacakan oleh Yona?
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat
berlangsungnya tahap inti pembelajaran. Suasana pembelajaran serius.
Partisipan pembicaraan adalah guru Bahasa Indonesia dan siswa-siswi
kelas VIII A. Guru sebagai penutur dan para siswa sebagai mitra tutur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
Maksud dari pembicaraan ini adalah guru meminta para siswa
menanggapi berita yang baru saja dibacakan oleh salah seorang siswi
bernama Yona. Guru mendorong keaktifan siswa dengan melontarkan
pertanyaan terlebih dulu. Pertanyaan yang dilontarkan terkait dengan
judul berita.
(2) (G-II209) Mengapa peristiwa itu terjadi, Darma Djaja?
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat
berlangsungnya tahap inti pembelajaran. Suasana pembicaraan
berlangsung serius. Partisipan pembicaraan adalah guru bahasa
Indonesia dan Siswa 27 (S27). Guru sebagai pembicara dan Siswa 27
(S27) sebagai lawan bicara. Maksud dari pembicaraan ini adalah guru
menanyakan unsur mengapa.
Data tuturan (1) merupakan bentuk penggunaan ragam resmi oleh guru
dalam proses pembelajaran di kelas. Tuturan tersebut dikategorikan sebagai ragam
resmi karena memenuhi 9 karakteristik dari 10 karakteristik ragam resmi. Adapun
karakteristik yang tidak muncul adalah karakteristik 6 yaitu terkait penggunaan
kata sapaan dan kata ganti Bapak, Ibu, Saudara, Anda, atau menyertakan jabatan,
gelar, atau pangkat untuk orang yang dihormati dan penggunaan kata saya untuk
menyebut diri sendiri.
Sembilan karakteristik yang dimaksud adalah karakteristik 1, topik
pembicaraan dalam tuturan ini bersifat resmi dan serius terkait pembahasan judul
berita yang telah dipresentasikan oleh seorang siswi bernama Yona. Karakteristik
2 adalah antarorang yang berbicara saling menghormati ditandai dengan kata-kata
yang digunakan adalah kata-kata baku atau resmi. Karakterisik 3 ditandai dengan
penggunaan kata dan kalimat yang lengkap dan tidak disingkat. Karakteristik 4
ditandai dengan struktur fungtor yang lengkap, mengandung subjek, predikat, dan
objek. Apabila diuraikan menjadi demikian, Apa judul berita merupakan objek
kalimat, yang dibacakan merupakan predikat, dan oleh Yona menempati fungsi
subjek kalimat. Karakteristik 5 terkait kesesuaian tingkat tutur dengan orang yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
diajak bicara. Kesesuaian tingkat tutur ini ditandai dengan penggunaan kata
sapaan Yona (nama siswa) yang digunakan guru untuk menyebut siswanya.
Menyebut siswa dengan nama dianggap sesuai dengan tingkat tutur karena usia
siswa jauh lebih muda dibandingkan dengan guru dan guru merupakan orang yang
dihormati di kelas. Kata yang dipakai bersifat baku atau sudah dibakukan.
Karakteristik 7 ditandai dengan penggunaan bahasa baku ditandai dengan tidak
tampaknya penggunaan kata tidak baku atau yang belum dibakukan. Karakteristik
8 adalah penggunaan imbuhan secara jelas dan teliti yang tampak pada
penggunaan imbuhan -kan pada kata dibacakan. Karakteristik 9 ditandai dengan
penggunaan kata sambung (konjungsi) yang dan oleh. Karakteristik 10 ditandai
dengan tidak hadirnya pengaruh unsur asing, bahasa daerah atau bahasa yang
tidak dibakukan.
Data tuturan (2) juga merupakan ragam resmi yang dituturkan oleh guru.
Tuturan tersebut memenuhi 6 dari 10 karakteristik ragam resmi. Adapun
karakteristik yang tidak muncul adalah karakteristik 2, karakteristik 6, karateristik
8, dan karakteristik 9.
Data tuturan (2) dikategorikan sebagai ragam resmi karena memenuhi
karakteristik 1 terkait topik pembicaraan. Menurut Martin Joos (dalam Alwasilah,
1990: 45) ciri pertama ragam resmi adalah topik pembicaraan bersifat resmi dan
serius. Data tuturan (2) memenuhi karakteristik tersebut. Topik pembicaraan
dalam tuturan ini bersifat resmi dan serius terkait penyebab terjadinya peristiwa
dalam berita yang dibacakan oleh Siswa 27 yang ditandai dengan bentuk
kebahasaan yang digunakan mentaati kaidah terbukti dengan pemilihan kata-kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
baku (formal). Karakteristik 3 yaitu kata dan kalimat bentuk lengkap ditandai
dengan tidak adanya penggunaan singkatan dalam tataran kata maupun kalimat.
Karakteristik 4 adalah kelengkapan fungtor. Fungtor dikatakan lengkap karena
minimal mengandung subjek dan predikat. Karakteristik 5 ditandai dengan tingkat
tutur yang sesuai dengan orang yang diajak bicara, hal ini tampak dari penyebutan
Darma Djaja (nama siswa) yang digunakan oleh guru untuk memanggil siswanya
secara langsung. Memanggil siswa dengan nama dianggap sesuai dengan tingkat
tutur karena usia siswa lebih muda dari guru dan guru merupakan orang yang
dihormati di kelas. Karakteristik 7 adalah istilah yang dipakai bersifat baku atau
sudah dibakukan. Hal ini ditandai dengan ketidakhadiran bentuk tidak baku atau
tidak resmi. Karakteristik 10 yaitu kalimat terhindar dari pengaruh unsur asing,
bahasa daerah atau bahasa yang tidak dibakukan.
2. Tuturan Siswa dengan Guru
Dalam penelitian ini tidak ditemukan tuturan siswa dengan guru yang
merupakan ragam resmi. Berdasarkan data yang ditemukan peneliti, siswa
cenderung menggunakan ragam santai ketika berkomunikasi dengan guru.
Berdasarkan hasil penelitian, penggunaan ragam resmi oleh siswa ketika
berkomunikasi dengan guru tidak ditemukan. Selama berlangsungnya kegiatan
pembelajaran di kelas, hanya ragam santai yang digunakan oleh siswa kepada
guru. Ragam resmi hanya ditemukan pada ragam tulis sementara penelitian ini
bukan menganalisis ragam tulis melainkan ragam lisan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
3. Tuturan Sesama Siswa
Dalam penelitian ini, sama sekali tidak ditemukan ragam resmi dalam
tuturan sesama siswa. Siswa cenderung menggunakan ragam santai dan ragam
akrab untuk berkomunikasi dengan siswa yang lain.
4.2.2 Ragam Santai
Berdasarkan hasil penelitian dan jumlah data yang diperoleh, peneliti
menemukan 44 tuturan yang merupakan ragam santai. Ragam santai dalam
penelitian ini muncul secara konsisten pada semua tahap pembelajaran baik pada
tahap awal, tahap inti, maupun tahap akhir. Intensitas pemakaian ragam santai
jauh lebih tinggi dibandingkan penggunaan ragam resmi dan ragam akrab. Berikut
ini beberapa tuturan ragam santai yang ditemukan dalam penelitian ini.
1. Tuturan Guru dengan Siswa
Dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya menggunakan ragam resmi
untuk berkomunikasi dengan siswanya. Hal ini dibuktikan dengan temuan data
yang menunjukkan bahwa guru sering memilih ragam santai dibandingkan ragam
resmi. Berikut ini beberapa data tuturan ragam santai yang dituturkan oleh guru
kepada siswa.
(3) (G-IV01) Nah, kemarin dah belajar unsur berita. Nah, pokoknya ini
jangan sampai lupa ya, ada jembatan keledai. Ada berapa unsur?
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada awal
berlangsungnya pembelajaran. Suasana pembicaraan berlangsung
santai. Partisipan pembicaraan adalah guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia dan siswa-siswi kelas VIII A. Guru sebagai penutur dan
siswa-siswi sebagai mitra tutur. Maksud dari pembicaraan ini adalah
guru membuka pelajaran dengan mengingatkan para siswa mengenai
materi pembelajaran pada pertemuan sebelumnya terkait teori unsur
berita. Guru mengingatkan para siswa secara lisan sambil menuliskan
cara jembatan keledai di papan tulis. Jembatan keledai yang dimaksud
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
adalah Adiksimba yang merupakan akronim dari apa, di mana, kapan,
siapa, mengapa, dan bagaimana.
(4) (G-IV03) Nah, tugas untuk hari ini menulis tiga berita yang harus
lengkap dengan enam unsur berita. Nah, nanti penilaiannya seperti
ini ya, setelah kalian menulis berita kalian maju membacakan
beritanya lalu temannya menyimak. Nah, teman yang bisa mengoreksi
kekurangan dari berita yang sudah maju, itu yang akan mendapat
nilai. Dah paham belum?
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat
berlangsungnya tahap inti pembelajaran. Suasana pembicaraan
berlangsung santai. Partisipan pembicaraan adalah guru bahasa
Indonesia dan siswa-siswi kelas VIII A. Guru mata pelajaran Bahasa
Indonesia sebagai pembicara dan siswa-siswi kelas VIII A sebagai
lawan bicara. Maksud dari pembicaraan ini adalah guru memberi
tugas untuk menulis tiga berita. Guru menerangkan secara lisan
dengan intonasi yang agak lambat mengenai kriteria penulisan berita
yang harus memenuhi enam unsur berita serta mengenai sistem
penilaian tugas.
(5) (G-IV05) Nah, misalnya nanti saya panggil Ahmad. Ahmad kamu
membacakan beritanya. Lalu, oh ternyata… Kalian menyimak ta ya?
Beritanya Ahmad kurang unsur “kapan” ya, dihilangkan. Nanti
tunjuk jari ya “Saya, Bu. Saya…”, ya. Jangan disuruh, ya. Ini kurang
unsur “kapan”, ya. Bisa seperti itu? Jadi yang mendapat nilai itu
yang bisa memberi apa? Koreksian, ya. Semua anak nulis tiga berita.
Dimulai dari sekarang waktunya 30 menit, ya. Beritanya bebas ya.
Setiap berita harus lengkap. Harus lengkap keenam unsurnya. Nanti
ingat ya anak-anak, yang perlu adalah kalian menyimak,
mendengarkan, dan memberi masukan pada teman yang sedang maju.
Oke? Siap menulis. Ditulis dalam buku tugas kalian masing-masing.
Sendiri-sendiri ya. Boleh berita apa saja. Ada berita olahraga,
pendidikan, kriminal, ya. Tapi jangan berita yang mengarah ke
pornografi. Ada pertanyaan? Tunjuk jari. Apa?
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat
berlangsungnya tahap inti pembelajaran. Suasana pembicaraan
berlangsung santai. Partisipan pembicaraan adalah guru dan siswa.
Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai pembicara dan siswa-
siswi kelas VIII A sebagai lawan bicara. Maksud dari pembicaraan ini
adalah siswa dapat menangkap dengan jelas sistem penilaian tugas.
(6) (G-IV88) Belum tahu ta ya? Jadi, membuat judulnya pun harus
diperhatikan ya. Kebakaran rumah lalu kebakaran dua rumah di
Sleman. Karena apa? Karena apa peristiwa itu terjadi
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat
berlangsungnya tahap inti pembelajaran. Suasana pembicaraan
berlangsung santai. Partisipan pembicaraan adalah guru Bahasa
Indonesia dan para siswa. Guru sebagai pembicara dan para siswa
sebagai lawan bicara. Maksud dari pembicaraan ini adalah guru
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
mengkonfirmasi tanggapan para siswa atas jawaban Siswa 7 terkait
judul berita. Guru menegaskan bahwa judul Kebakaran di Sleman
kurang mengambarkan isi berita. Kemudian guru mengingatkan para
siswa untuk membuat judul berita dengan jelas. Kemudian guru
melanjutkan pembahasan dengan bertanya pada para siswa terlebih
dulu mengenai penyebab terjadinya peristiwa kebakaran.
Data tuturan (3) merupakan ragam santai. Tuturan ini memenuhi 8 dari 12
karakteristik ragam santai. Adapun karakteristik yang tidak muncul adalah
karakteristik 8, karakteristik 9, karakteristik 10, dan karakteristik 11. Karakteristik
8 terkait dengan penggunaan tingkat tutur. Karakteristik 9 terkait alih kode.
Karakteristik 10 terkait keruntutan topik pembicaraan. Karakteristik 11 adalah
kosakata yang banyak dipenuhi oleh unsur leksikal dialek, unsur bahasa daerah
atau unsur bahasa asing.
Karakteristik yang tepenuhi adalah karakteristik 1 terkait suasana
pembicaraan yang berlangsung santai antara penutur (guru) dengan mitra tutur
(siswa) ditandai dengan munculnya bentuk tidak baku dah yang berasal dari
bentuk baku sudah. Karakteristik 2 ditandai dengan bentuk kebahasaan yang
bebas ditandai dengan bentuk tidak baku dah yang berasal dari bentuk baku sudah
serta hadirnya kalimat tanya “Ada berapa unsur?” yang tidak disertai dengan kata
sapaan. Karakteristik 3 adalah ketidakhadiran subjek dalam kalimat “Nah,
pokoknya ini jangan sampai lupa ya, ada jembatan keledai”. Karakteristik 4 yaitu,
pemenggalan silabel su- yang berasal dari kata sudah menjadi dah. Karakteristik 5
adalah pengulangan interjeksi Nah sebanyak dua kali pada kalimat, “Nah, kemarin
dah belajar unsur berita” dan “Nah, pokoknya ini jangan sampai lupa ya, ada
jembatan keledai”. Karakteristik 6 ditandai dengan sopan santun yang tidak
digunakan secara ketat, terbukti dengan tidak digunakannya kata ganti dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
kalimat tanya, “Ada berapa unsur?”. Karakteristik 7 ditandai dengan munculnya
interjeksi Nah dalam kalimat “Nah, kemarin dah belajar unsur berita” dan “Nah,
pokoknya ini jangan sampai lupa ya, ada jembatan keledai”. Munculnya alegro
dalam bentuk ujaran yang dipendekkan berikut ini: ujaran sudah dipendekkan
menjadi dah serta kalimat pendek, “Ada berapa unsur?”. Karakteristik 12 terkait
alegro dalam bentuk ujaran yang dipendekkan ditandai dengan ujaran sudah
dipendekkan menjadi dah serta kalimat pendek, “Ada berapa unsur?”.
Data tuturan (4) merupakan ragam santai. Tuturan ini memenuhi 9 dari 12
karakteristik ragam santai. Adapun karakteristik yang tidak muncul adalah
karakteristik 6 tentang sopan santun yang tidak berlaku ketat, karakteristik 8
terkait penggunaan tingkat tutur yang kadangkala terabaikan, dan karakteristik 9
tentang alih kode, dan karakteristik 11 terkait penggunaan unsur asing.
Karakteristik yang muncul adalah karakteristik 1 terkait situasi
pembicaraan yang berlangsung santai karena adanya kedekatan relasi antara
penutur (guru) dan mitra tutur (siswa-siswi) ditandai oleh pemakaian kata ganti
kalian oleh guru dalam kalimat “Nah, nanti penilaiannya seperti ini ya, setelah
kalian menulis berita kalian maju membacakan beritanya lalu temannya
menyimak”. Karakteristik 2 terkait bentuk kebahasaan yang bebas ditandai
dengan munculnya kata mubazir dari pada kal imat “Nah, teman yang bisa
mengoreksi kekurangan dari berita yang sudah maju, itu yang akan mendapat
nilai”. Dikatakan mubazir karena pemakaian dari opsional apabila yang
ditonjolkan adalah berita. Karakteristik 3 adalah ketidaklengkapan fungtor
kalimat yang ditandai dengan ketiadaan subjek pada kalimat, “Dah paham
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
belum?”. Karakteristik 4 ditandai oleh pemenggalan silabel su- pada kata sudah
menjadi dah dalam kalimat, “Dah paham belum?”. Karakteristik 5 terkait
pengulangan yang ditandai dengan pengulangan interjeksi Nah sebanyak 3 kali.
Karakteristik 7 ditandai dengan munculnya interjeksi Nah sebanyak tiga kali.
Karakteristik 10 ditandai dengan topik pembicaran yang tidak konsisten. Kalimat
pertama, “Nah, tugas untuk hari ini menulis tiga berita yang harus lengkap dengan
enam unsur berita” menunjukkan bahwa topik kalimat adalah penugasan menulis
berita. Berikutnya pada kalimat, “Nah, nanti penilaiannya seperti ini ya, setelah
kalian menulis berita kalian maju membacakan beritanya lalu temannya
menyimak” topik pembicaraan beralih ke sistem penilaian tugas. Karakteristik 12
ditandai dengan munculnya ujaran yang dipendekkan, yaitu dah yang berasal dari
kata sudah dalam kalimat, “Dah paham belum?”.
Data tuturan (5) merupakan ragam santai. Tuturan tersebut memenuhi 9
dari 12 karakteristik ragam santai. Adapun karakteristik yang tidak muncul adalah
karakteristik 6 terkait sopan santun, karakteristik 8 tentang penggunaan tingkat
tutur yang kadangkala terabaikan, dan karakteristik 9 tentang alih kode.
Karakteristik yang muncul antara lain, karakteristik 1 yang ditandai oleh situasi
pembicaraan berlangsung santai karena adanya kedekatan relasi antara penutur
(guru) dan mitra tutur (siswa-siswi) ditandai oleh pemakaian kata ganti kalian,
kamu, dan anak-anak yang dituturkan oleh guru terhadap siswa. Karakteristik 2
tentang kebahasaan yang bebas ditandai dengan penggunaan kata mubazir dari
dalam kalimat “Dimulai dari sekarang waktunya 30 menit, ya”, dikatakan
mubazir karena dari mendahului penanda kala sekarang. Karakteristik 3 terlihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
dari ketidaklengkapan fungtor kalimat yang ditandai dengan ketiadaan subjek
pada kalimat berikut, “Siap menulis”. Karakteristik 4 ditandai dengan
pemenggalan silabel dari kata tetapi menjadi tapi, menulis menjadi nulis,
diperlukan menjadi perlu. Karakteristik 5 terkait pengulangan kata ya sebanyak
12 kali. Karakteristik 7 ditandai dengan hadirnya interjeksi Nah dalam kalimat
“Nah, misalnya nanti saya panggil Ahmad” dan interjeksi Oh dalam kalimat
“Lalu, oh ternyata…”. Karakteristik 10 tentang alih kode ditandai oleh beralihnya
topik pembicaraan dari perintah untuk segera mengerjakan kemudian beralih ke
topik penjelasan macam-macam berita. Karakteristik 11 ditandai oleh hadirnya
unsur bahasa asing oke yang berasal dari bahasa Inggris Okay yang berarti iya,
baik, atau baiklah dan unsur bahasa Jawa ta yang berarti kan dalam kalimat,
“Kalian menyimak ta ya?”. Karakteristik 12 ditandai oleh munculnya kalimat-
kalimat yang dipendekkan berikut, “Ada pertanyaan?”, “Apa?”, “Beritanya bebas
ya”, “Jangan disuruh, ya”, dan “Koreksian, ya”.
Data tuturan (6) merupakan ragam santai. Tuturan memenuhi 9 dari 12
karakteristik ragam santai. Adapun karakteristik yang tidak muncul adalah
karakteristik 3, karakteristik 8, karakteristik 9. Karakteristik 3 terkait fungtor.
Karakteristik 8 tentang penggunaan tingkat tutur. Karakteristik 9 tentang alih
kode. Adapun karakteristik yang tampak adalah karakteristik 1. Karakteristik 1
tampak dari suasana pembicaraan berlangsung santai ditandai dengan hadirnya
unsur bahasa Jawa ta yang berarti kan dalam kalimat, “Belum tahu ta ya?”.
Karakteristik 2 terlihat dari bentuk kebahasan yang bebas ditandai dengan
hadirnya ragam ta yang berasal dari bahasa Jawa. Karakteristik 4 ditandai oleh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
pemenggalan silabel i- yang berasal dari kata kata iya menjadi ya. Karakteristik 5
ditandai dengan pengulangan unsur kalimat karena apa dalam kalimat, “Karena
apa?” dan kalimat, “Karena apa peristiwa itu terjadi?”. Karakteristik 6 terkait
kesantunan. Kesantunan tuturan masih kurang, ditandai dengan ketiadaan kata
sapaan pada kalimat tanya yang ditujukan oleh penutur kepada mitra tutur dalam
kalimat, “Karena apa?” dan “Karena apa peristiwa itu terjadi?”. Karakteristik 7
ditandai oleh hadirnya interjeksi ta yang dalam bahasa Indonesia berarti kan.
Karakteristik 10 ditandai dengan beralihnya topik tuturan dari topik penulisan
judul berita ke topik pembahasan unsur karena. Karakteristik 11 ditandai dengan
penggunaan unsur daerah ta yang dalam bahasa Indonesia berarti kan dalam
kalimat “Belum tahu ta ya?”. Karakteristik 12 ditandai dengan munculnya kalimat
yang dipendekkan, “Karena apa?”.
2. Tuturan Siswa dengan Guru
Proses komunikasi antara siswa dengan guru didominasi oleh ragam
santai. Dari hasil penelitian, diketahui bahwa seluruh tuturan siswa terhadap guru
adalah tuturan ragam santai. Berikut ini beberapa data ragam santai dalam tuturan
siswa dengan guru.
(7) (S6-IV174) Aku, Bu. Bu, aku. Jembatan kreo.
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat berlangsungnya
tahap inti pembelajaran Bahasa Indonesia. Suasana pembicaraan berlangsung
santai. Partisipan pembicaraan adalah Siswa 6 dan guru Bahasa Indonesia.
Siswa 6 sebagai pembicara dan guru sebagai lawan bicara. Maksud dari
pembicaraan ini adalah Siswa 6 ingin menjawab pertan yaan guru terkait
unsur di mana dalam berita yang telah dibacakan oleh Siswa 7. Siswa 6
mencoba mengangkat tangan supaya ditunjuk oleh guru untuk menjawab
pertanyaan. Namun, guru menunjuk siswa lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
(8) (G-IV202) Bu, gak denger Bu.
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat berlangsungnya
tahap inti pembelajaran Bahasa Indonesia. Suasana pembicaraan berlangsung
santai. Partisipan pembicaraan adalah Siswa 7 dan guru Bahasa Indonesia.
Siswa 7 sebagai pembicara dan guru sebagai lawan bicara. Maksud dari
pembicaraan ini adalah Siswa 7 menyampaikan kesulitannya untuk
mendengarkan berita yang sedang dibaca oleh Siswa 9 sebab suara Siswa 9
hanya terdengar lirih.
Data tuturan (7) merupakan ragam santai. Tuturan ini memenuhi 6 dari 12
karakteristik ragam santai. Adapun karakteristik yang tidak muncul adalah
karakteristik 7 terkait interjeksi, karakteristik 9 tentang alih kode, karakteristik 10
terkait topik pembicaraan, karakteristik 11 terkait penggunaan unsur daerah atau
unsur asing, dan karakteristik 12 terkait penggunaan alegro. Adapun karakteristik
yang terpenuhi adalah sebagai berikut.
Karakteristik 1 terkait suasana pembicaraan ditandai dengan suasana
pembicaraan yang berlangsung santai ditandai dengan pemakaian bentuk tidak
resmi aku yang memiliki bentuk resmi saya menandakan adanya relasi yang akrab
antara penutur dengan mitra tutur. Karakteristik 2 terkait bentuk kebahasaan
ditandai dengan bentuk kebahasaan yang bebas ditandai dengan hadirnya bentuk
tidak resmi aku yang berasal dari bentuk resmi saya. Karakteristik 3 terkait
kelengkapan fungtor ditandai dengan ketidakhadiran predikat pada, “Aku, Bu.”
dan “Bu, aku.” serta ketidakhadiran subjek dan predikat pada, “Jembatan Kreo”.
Karakteristik 4 terkait pemenggalan silabel yang ditandai dengan pemenggalan
silabel i- pada kata Bu yang berasal dari kata Ibu. Karakteristik 5 terkait
pengulangan ditandai dengan pengulangan kata aku dan kata Bu. Karakteristik 6
terkait sopan santun ditandai dengan sopan santun tidak digunakan secara ketat,
terbukti dengan penggunaan bentuk tidak resmi aku yang seharusnya tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
muncul pada komunikasi resmi, terlebih mitra tutur adalah guru (orang yang
dihormati).
Data tuturan (8) merupakan ragam santai. Tuturan ini memenuhi 4 dari 12
karakteristik ragam santai. Adapun karakteristik yang tidak muncul adalah
karakteristik 7 terkait interjeksi, karakteristik 9 tentang alih kode, karakteristik 10
terkait topik pembicaraan,dan karakteristik 11 terkait penggunaan unsur daerah
atau unsur asing. Adapun karakteristik yang terpenuhi adalah berikut ini.
Karakteristik 1 terkait suasana pembicaraan yang santai ditandai dengan
adanya kedekatan relasi antara penutur dengan mitra tutur ditandai dengan
penggunaan ragam tidak resmi gak denger yang tidak seharusnya muncul dalam
proses belajar mengajar di kelas terlebih penutur adalah siswa yang semestinya
menggunakan ragam resmi untuk bertutur dengan guru. Karakteristik 2 terkait
bentuk kebahasaan yang bebas ditandai dengan hadirnya bentuk tidak resmi gak
denger. Karakteristik 3 terkait kelengkapan fungtor ditandai dengan
ketidakhadiran subjek kalimat. Karakteristik 4 terkait pemenggalan silabel
ditandai dengan pemenggalan silabel i- pada kata bu yang berasal dari kata Ibu.
Karakteristik 5 terkait pengulangan ditandai dengani dua kali pengulangan kata
Bu. Karakteristik 6 terkait sopan santun yang kurang ketat terbukti dengan
penggunaan bentuk tidak resmi gak denger oleh siswa terhadap guru yang
seharusnya digunakan oleh siswa untuk berbicara kepada teman sebaya dalam
situasi tidak resmi. Karakteristik 8 terkait tingkat tutur ditandai dengan tingkat
tutur yang terabaikan oleh penutur (siswa) yang menggunakan ragam tidak resmi
untuk berbicara dengan orang yang dihormati (guru) dalam situasi pembelajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
yang resmi di kelas. Karakteristik 12 terkait penggunaan bentuk allegro yang
muncul pada ujaran-ujaran yang dipendekkan seperti Ibu menjadi Bu dan tidak
menjadi gak.
9. Tuturan Sesama Siswa
Ragam santai tidak ditemukan dalam tuturan sesama siswa. Siswa
cenderung memilih ragam akrab yang didominasi dengan penggunaan unsur
bahasa Jawa mengingat latar belakang siswa yang mayoritas asli suku Jawa.
Demikian pula para siswa yang berlatar belakang suku lainnya yang sudah
memiliki kemampuan berbahasa Jawa secara pasif dan mulai bisa berkomunikasi
menggunakan bahasa Jawa meskipun tuturan yang diucapkan seringkali tidak
sesuai dengan kaidah bahasa Jawa.
Kemampuan berbahasa Jawa siswa berlatar belakang suku non Jawa ini
diperoleh sejak mereka duduk di bangku sekolah dasar. Siswa yang berasal dari
luar daerah bertempat tinggal di panti asuhan. Para siswa tinggal di Panti Asuhan
Putra Santa Theresia Boro dan para siswi tinggal di Panti Asuhan Putri Brayat
Pinuji Boro yang keduanya terletak tidak jauh dari lingkungan sekolah. Para siswa
ini umumnya mulai tinggal di panti asuhan sejak usia sekolah dasar. Hal inilah
yang melatarbelakangi kemampuan berbahasa siswa kelas VIII A yang bukan
suku Jawa, baik kemampuan berbahasa secara aktif maupun pasif.
Di luar data-data yang telah ditemukan di atas, ragam santai juga
ditemukan pada data nomor G-IV07, G-IV13, G-IV65, G-IV70, G-IV71, S2-
IV72, G-IV73, G-IV74, G-IV78, G-IV84, G-IV90, G-IV92, G-IV95, G-IV104, G-
IV110, G-IV112, G-IV115, G-IV124, G-IV134, G-IV142, G-IV144, G-IV146, G-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
IV150, G-IV152, G-IV154, G-IV159, G-IV177, G-IV181, G-IV183, G-IV186, G-
IV205, G-IV225, G-IV229, G-IV231, G-IV242, S3-IV243, dan G-IV244.
4.2.3 Ragam Akrab
Berdasarkan hasil penelitian dan jumlah data yang diperoleh, peneliti
menemukan 8 tuturan yang merupakan ragam akrab. Ragam akrab dalam
penelitian ini muncul dengan intensitas yang sering dibandingkan dengan ragam
resmi namun dan jumlahnya tidak sebanyaknya ragam santai. Ragam akrab paling
banyak muncul pada saat berlangsungnya bagian penutup pembelajaran yaitu
sebanyak lima kali. Sementara itu, pada tahap awal pembelajaran, ragam ini tidak
muncul. Di tahap inti pembelajaran, ragam akrab muncul tiga kali. Berikut ini
beberapa tuturan ragam akrab yang ditemukan oleh peneliti.
1. Tuturan Guru dengan Siswa
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, tidak ditemukan ragam akrab
dalam tuturan guru kepada siswa. Guru cenderung menggunakan ragam santai dan
ragam resmi dibandingkan ragam lainnya. Ragam akrab tidak dipilih oleh guru
karena tidak sesuai dengan situasi pembelajaran di kelas.
Guru dan siswa memiliki latar belakang pengetahuan yang berbeda. Kode-
kode yang terdapat dalam ragam akrab hanya dimengerti oleh penutur dan mitra
tutur yang memiliki kelompok bergaul yang sama atau yang disebut sebagai
restricted code. Di samping itu, ragam akrab tidak cocok digunakan untuk
menyampaikan materi pembelajaran. Bahasa dalam kegiatan pembelajaran
memiliki bentuk kebahasaan dengan ciri khas formal dan taat pada kaidah ragam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
baku meskipun pada praktiknya tidak jarang guru memilih bentuk ragam tidak
resmi untuk mempermudah proses pemahaman siswa.
2. Tuturan Siswa dengan Guru
Berdasarkan data yang diperoleh peneliti, tidak ditemukan ragam akrab
dalam tuturan siswa kepada guru. Siswa cenderung menggunakan ragam santai
ketika berkomunikasi dengan guru. Ragam akrab paling banyak muncul dalam
tuturan siswa dengan siswa.
Ragam akrab adalah ragam yang di dalamnya sering muncul kode-kode
tertentu yang hanya dimengerti oleh kelompok yang mempunyai latar belakang
pengetahuan yang sama. Siswa dan guru tidak memiliki latar belakang yang sama,
baik dari segi tingkat tutur, usia, maupun pengetahuan. Oleh sebab itu, ragam
akrab lebih tepat digunakan dalam komunikasi sesama siswa.
3. Tuturan Sesama Siswa
Ditemukan 8 data dalam tuturan sesama siswa yang merupakan ragam
akrab. Berikut ini beberapa tuturan yang ditemukan.
(9) (S11-IV66) Wah, kurang pirang menit iki wektune Leh?
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat
berlangsungnya tahap inti pembelajaran Bahasa Indonesia. Suasana
pembicaraan berlangsung akrab. Partisipan pembicaraan adalah Siswa
11 dan Siswa 4. Siswa 11 sebagai pembicara dan Siswa 4 sebagai
lawan bicara. Maksud dari pembicaraan ini yaitu, Siswa 11
menanyakan sisa waktu pengerjaan tugas kepada Siswa 4. Siswa 11
merasa waktu pengerjaan tugas berjalan sangat cepat.
(10) (S7-V247) Kok aku. Aku ketuane pa?
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat
berlangsungnya tahap penutup pembelajaran. Suasana pembicaraan
berlangsung akrab. Partisipan pembicaraan adalah Siswa 7 dan siswa-
siswi yang lain di kelas. Siswa 7 sebagai penutur dan siswa-siswi
lainnya sebagai mitra tutur. Maksud dari tuturan ini adalah Siswa 7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
merasa keberatan untuk mengumpulkan tugas sebab, ia merasa bahwa
dirinya bukan ketua kelas.
(11) (S1-V250) Ferdie, bukune dikumpulke ta?
Konteks: Tuturan terjadi di ruang kelas VIII A pada saat
berlangsungnya tahap penutup pembelajaran. Suasana pembicaraan
berlangsung akrab. Partisipan pembicaraan adalah Siswa 1 dan Siswa
16. Siswa 1 sebagai penutur dan Siswa 16 sebagai mitra tutur.
Maksud dari tuturan ini adalah Siswa 1 memastikan pada ketua kelas
(Siswa 16) apakah buku tugas dikumpulkan.
Data tuturan (9) merupakan ragam akrab. Tuturan tersebut memenuhi
empat karakteristik ragam akrab yaitu, karakteristik 1, karakteristik 2,
karakteristik 3, dan karakteristik 4. Karakteristik 1 terkait keakraban antara
penutur dengan mitra tutur. Keakraban antara penutur dengan mitra tutur dalam
data tuturan (7) ditandai dengan penggunaan bahasa daerah (bahasa Jawa) serta
munculnya istilah Leh yang merupakan istilah tidak baku atau tidak resmi dalam
bahasa Jawa. Penggunaan bahasa Jawa dan istilah Leh ini menunjukkan bahwa
antara penutur dan mitra tutur memiliki relasi yang akrab.
Karakteristik 2 terkait dengan dengan penggunaan bahasa yang tidak
lengkap. Pada tuturan (7) tampak bahwa maksud tuturan tidak dipaparkan secara
jelas. Penutur tidak menjelaskan maksud dari kata wektune (waktunya) secara
jelas. Karakteristik 3 terkait maksud pembicaraan yang tidak dapat dimengerti
oleh orang lain tanpa mengetahui situasinya. Karakteristik ini muncul pada tuturan
(7) yang tidak dapat diketahui maksudnya apabila mitra tutur tidak mengetahui
konteks pembicaraan. Hanya mitra tutur yang mengetahui konteks pembicaraan
yang dapat menangkap bahwa makna wektune (waktunya) yang dimaksud penutur
adalah waktu yang tersisa untuk mengerjakan tugas. Karakteristik 4 terkait
munculnya istilah khas yang hanya dimengerti oleh penutur dan mitra tutur dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
suatu kelompok. Istilah khas yang muncul dalam tuturan sesama siswa ini adalah
istilah Leh yang hanya dimengerti oleh penutur dan mitra tutur. Istilah ini muncul
pada saat bahasa Jawa ragam Ngoko (tidak resmi) digunakan oleh para siswa.
Istilah ini dipakai sebagai kata ganti untuk memanggil atau menyebut satu sama
lain yang seumuran atau sebaya.
Data tuturan (10) merupakan ragam akrab. Data tuturan (7) memenuhi 3
dari 4 karakteristik ragam akrab. Ketiga karakteristik yang dimaksud adalah
karakteristik 1, karakteristik 2, dan karakteristik 3. Karakteristik 1 terkait
kedekatan relasi. Karakteristik ini ditandai dengan penggunaan bahasa daerah
(bahasa Jawa) yang menempati posisi ragam rendah apabila digunakan dalam
proses belajar mengajar dan tidak seharusnya dipakai dalam komunikasi resmi di
kelas. Karakteristik 2 adalah penggunaan bahasa yang pendek-pendek dan tidak
lengkap. Karakteristik ini tampak pada ujaran “Kok aku” dan kata pa (dibaca: po)
pada kalimat “Aku ketuane pa?” yang dalam bahasa Indonesia berarti apa.
Karakteristik 3 terkait maksud pembicaraan yang tidak dapat dimengerti oleh
orang lain tanpa mengetahui situasinya. Tuturan 8 tidak dapat langsung
dimengerti maksud tuturannya apabila orang-orang yang terlibat dalam tuturan
tidak mengetahui konteks pembicaraan. Mitra tutur tidak akan mengerti ketua apa
yang dimaksud dalam kalimat, “Aku ketuane pa?” yang dalam bahasa Indonesia
berartu, “Memang saya ketua?”.
Data tuturan (11) merupakan ragam akrab. Tuturan ini memenuhi 3 dari 4
karakteristik ragam akrab. Adapun karakteristik yang tidak muncul adalah
karakteristik 4 terkait penggunaan istilah-istilah khas. Karakteristik-karakteristik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
yang terpenuhi antara lain, karakteristik 1, karakteristik 2, dan karakteristik 3.
Karakteristik 1 terkait keakraban antara penutur dengan mitra tutur. Hal ini
ditandai dengan penggunaan bahasa daerah (bahasa Jawa) yang menempati posisi
ragam rendah dalam proses komunikasi di di kelas dan semestinya tidak muncul
dalam komunikasi resmi. Penggunaan bahasa daerah menandakan bahwa antara
penutur dan mitra tutur memiliki relasi yang akrab. Karakteristik 2 terkait
penggunaan bahasa yang tidak lengkap atau pendek-pendek. Hal ini dapat dilihat
dari bentuk ujaran yang singkat dan tidak rinci pada kata bukune (bukunya). Kata
ganti –ne pada bukune atau yang dalam bahasa Indonesia adalah kata ganti -nya
pada bukunya tidak jelas ditujukan untuk siapa dan penggunaan kata ganti tersebut
tidak sesuai konteks. Karakteristik 3 terkait maksud pembicaraan. Bentuk ujaran
yang singkat dan tidak rinci mengakibatkan tuturan hanya dapat dipahami oleh
mitra tutur yang mengetahui konteks dan terlibat langsung dalam pembicaraan.
Demikian analisis tuturan ragam akrab yang meliputi komunikasi antara
guru dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan siswa. Di luar analisis
data yang telah diuraikan di atas, ragam akrab juga ditemukan pada data nomor
S3-V165, S3-V178, S1-V246, S5-V248, dan S3-V251.
4.3 Pembahasan
Penelitian yang berjudul “Jenis Ragam dan Karakteristik Ragam Tuturan
Guru dan Siswa Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang Tahun Ajaran
2017/2018” bertujuan untuk mendeskripsikan jenis ragam dan karakteristik
ragam. Peneliti menggunakan konsep dasar sosiolinguistik yang terdiri dari teori
bahasa dan ragam bahasa, teori konteks, dan teori pembelajaran bahasa Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Sasaran penelitian ini adalah tuturan guru dan siswa dalam proses belajar
mengajar di kelas.
Peneliti mengangkat jenis ragam dan karakteristik ragam sebagai topik
penelitian karena sekolah sebagai sarana untuk mengajarkan bahasa Indonesia
yang baik dan benar justru kurang konsisten dalam menerapkan penggunaan
bahasa baku sebagai ragam tinggi. Sebagai contoh konkret, penggunaan ragam
bahasa baku dalam proses belajar-mengajar di kelas seringkali diabaikan. Bahkan,
pada saat berlangsungnya pembelajaran bahasa Indonesia sekalipun. Hal ini juga
terbukti pada saat peneliti melakukan penelitian di kelas VIII A SMP Pangudi
Luhur I Kalibawang.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis ragam dan
karakteristik ragam yang muncul pada tuturan guru dan siswa saat berlangsungnya
proses pembelajaran di kelas. Dalam mencapai tujuan tersebut, peneliti
menggunakan metode simak dan teknik sadap untuk mengumpulkan data.
Penelitian ini menggunakan teknik lanjutan dari teknik sadap yaitu teknik Simak
Bebas Libat Cakap (SBLC) karena peneliti hanya berperan sebagai pengamat
dalam proses pengambilan data. Peneliti mengharapkan data yang diperoleh
adalah data alamiah dengan konteks yang sebenarnya. Metode simak yang
digunakan adalah metode simak dengan teknik dasar yang disebut teknik sadap.
Penyadapan dilakukan melalui proses perekaman dan pencatatan. Teknik tersebut
diharapkan mampu menghasilkan data yang berkualitas dan akurat.
Pada bagian pembahasan, peneliti menjawab keseluruhan rumusan
masalah dengan menghubungkan teori yang menjadi pisau analisis data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
Penelitian ini menggunakan teori jenis ragam menurut Martin Joos (dalam
Alwasilah, 1990: 45). Sementara itu untuk menganalisis karakteristik ragam,
peneliti menggabungkan pendapat beberapa ahli. Peneliti menggabungkan teori
Utorodewo (2010), Chaer dan Agustina (2004), Pateda (1990), Supardi (1988),
Nurgiyantoro (dalam Astuti 2000), Martin Joos (dalam Alwasilah 1990), dan
Nababan (1984). Uraian penjelasan dibahas dalam masing-masing rumusan
masalah berikut ini.
4.3.1 Jenis Ragam Tuturan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa
Indonesia Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode simak serta teknik
rekam dan teknik catat sebagai tahap awal pengumpulan data. Metode simak yang
digunakan peneliti merupakan salah satu metode dimana peneliti menyimak
penggunaan bahasa penutur kepada mitra tutur. Proses menyimak penggunaan
bahasa dapat berupa bahasa tulis maupun bahasa lisan. Peneliti menyimak
penggunaan bahasa lisan, khususnya tuturan guru kepada siswa, siswa kepada
guru, dan antarsiswa saat berlangsungnya pembelajaran di kelas.
Dalam pengumpulan data, peneliti menyimak tuturan yang muncul melalui
teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam merupakan salah satu cara peneliti
untuk mendapatkan data dengan merekam segala tuturan guru dan siswa di kelas
melalui alat perekam. Teknik catat merupakan salah satu cara peneliti untuk
mendapatkan data dengan mencatat tuturan-tuturan yang muncul pada saat
berlangsungnya proses pembelajaran di kelas. Penggunaan dua teknik tersebut
sangat membantu peneliti untuk mengumpulkan dan melengkapi data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Penelitian ini mengkaji penggunaan ragam bahasa di kelas. Nababan
(1986: 12) menyatakan bahwa ragam bahasa adalah variasi bahasa, baik variasi
bentuk ataupun maknanya. Menurut Holmes (2001: 223), “Language varies
according to it’s uses as well as it’s user, as it’s user, according to where it is
used and to whom, as well as according to who is using it”. Kutipan ini diartikan
bahwa ragam bahasa berubah-ubah menurut kegunaan dan penggunaannya,
tempat di mana digunakan, siapa mitra tuturnya serta siapa penutur yang
menggunakan bahasa tersebut. Pernyataan-pernyataan tersebut berindikasi pada
jenis-jenis ragam. Ada banyak pendapat ahli mengenai jenis ragam dan
karakteristik ragam. Masing-masing ahli memiliki kriteria tertentu untuk
menentukan suatu ragam. Penelitian ini menggunakan teori jenis ragam menurut
Martin Joos (dalam Alwasilah, 1990: 45). Teori ini dipilih karena teori ini
memaparkan jenis-jenis ragam secara spesifik dibandingkan teori lainnya.
Sementara itu untuk menganalisis karakteristik ragam, peneliti menggabungkan
pendapat beberapa ahli yaitu, teori Utorodewo (2010), Chaer dan Agustina
(2004), Pateda (1990), Supardi (1988), Nurgiyantoro (dalam Astuti 2000), Martin
Joos (dalam Alwasilah 1990), dan Nababan (1984).
Tuturan guru dan siswa dalam pembelajaran di kelas VIII A SMP
Pangudi Luhur I Kalibawang dianalis menggunakan teori Martin Joos (dalam
Alwasilah 1990) untuk mengetahui jenis ragam yang muncul berdasarkan tingkat
keformalan atau situasi yang melingkupi tuturan. Martin Joos (dalam Alwasilah,
1990: 45) membagi variasi bahasa berdasarkan tingkat keformalan, yaitu ragam
beku, ragam resmi, ragam usaha, ragam santai, dan ragam akrab. Berdasarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
hasil analisis data penelitian ini, peneliti menemukan tiga jenis ragam yang
muncul dalam proses belajar mengajar di kelas. Jenis ragam tersebut antara lain,
ragam resmi, ragam santai, dan ragam akrab. Ragam resmi paling jarang
ditemukan dalam proses belajar mengajar di kelas. Guru dan siswa lebih sering
memakai ragam santai. Sementara itu, ragam akrab lebih sering muncul dalam
tuturan sesama siswa.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa penggunaan ragam tidak resmi
seperti ragam santai dan ragam akrab lebih sering digunakan dalam pembelajaran,
baik oleh guru maupun siswa. Ragam resmi yang seharusnya digunakan dalam
proses pembelajaran terlebih pada saat berlangsungnya pelajaran Bahasa
Indonesia justru jarang muncul. Ragam resmi hanya muncul dua kali dalam
penelitian ini. Ragam resmi ini muncul di bagian inti pembelajaran pada saat guru
dan siswa melakukan pembahasan tugas. Sementara itu, ragam santai muncul
hampir merata di setiap bagian pembelajaran, baik pada bagian awal, inti, maupun
akhir. Penerapan ragam resmi atau formal seringkali dirasa sulit baik oleh guru
maupun siswa. Ragam resmi dirasa terlalu kaku dan dapat menimbulkan jarak
yang jauh antara guru dengan siswa sehingga proses pemahaman siswa dapat
terhambat. Ragam tidak resmi seperti ragam santai dan ragam akrab lebih sering
digunakan supaya pesan guru terhadap peserta didik dapat tersampaikan dengan
baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
4.3.2 Karakteristik Ragam Tuturan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran
Bahasa Indonesia Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang
Peneliti menemukan tiga jenis ragam tuturan dalam pembelajaran di
kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang. Ketiga ragam yang dimaksud
adalah ragam resmi, ragam santai, dan ragam akrab. Setiap ragam yang ditemukan
memiliki karakteristiknya masing-masing.
Ragam resmi memiliki 10 karakteristik. Karakteristik tersebut yaitu, (1)
topik pembicaraan bersifat resmi dan serius, (2) antarorang yang berbicara saling
menghormati, (3) memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat baik pada tataran
kalimat maupun kata, (4) struktur fungtor lengkap, khususnya fungtor subjek dan
predikat, (5) tingkat tutur sesuai dengan strata orang yang diajak bicara, (6)
penggunaan kata sapaan dan kata ganti Bapak, Ibu, Saudara, Anda, atau
menyertakan jabatan, gelar, maupun pangkat untuk orang yang dihormati dan
penggunaan kata saya untuk menyebut diri sendiri, (7) kata atau istilah yang
dipakai bersifat baku atau sudah dibakukan, (8) penggunaan imbuhan secara jelas
dan teliti. Hanya pada kalimat perintah imbuhan dapat ditanggalkan dalam kata
kerja (verba), (9) penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan
(preposisi), dan (10) terhindar dari pengaruh unsur asing, bahasa daerah atau
bahasa yang tidak dibakukan. Dalam penelitian ini ditemukan 2 data tuturan yang
merupakan ragam resmi. Kedua data tersebut memenuhi 9 dan 6 dari 10
karakteristik ragam resmi.
Ragam santai memiliki 12 karakteristik. Karakteristik tersebut yaitu, (1)
digunakan dalam pembicaraan santai, akrab antara penutur dan mitra tutur, (2)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
bentuk kebahasaan relatif bebas jika dibanding ragam resmi, (3) fungtor kalimat
tidak lengkap, (4) sering menggunakan kata-kata yang dipenggal sebagian
silabelnya, (5) sering terjadi pengulangan-pengulangan, (6) sopan santun tidak
berlaku secara ketat, (7) sering digunakan interjeksi, (8) penggunaan tingkat tutur
kadangkala terabaikan dari status hubungan penutur dan mitra tutur, (9) sering
beralih kode, (10) topik pembicaraan tidak terarah secara mantap atau urutan tidak
runtut, (11) kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek, unsur bahasa
daerah atau unsur bahasa asing, dan (12) banyak menggunakan bentuk alegro,
yaitu bentuk kata frasa, kalimat atau ujaran yang dipendekkan. Dalam penelitian
ini ditemukan 44 tuturan yang merupakan ragam santai. Tiap tuturan yang dianalis
minimal memenuhi 9 dari 10 karakteristik ragam santai.
Ragam akrab memiliki 4 karakteristik. Karakteristik tersebut adalah (1)
biasa digunakan oleh penutur yang sudah akrab, (2) ditandai dengan penggunaan
bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang sering
tidak jelas, (3) maksud pembicaraan tidak dapat dimengerti oleh orang lain tanpa
mengetahui situasinya, dan (4) banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-
istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab. Dalam
penelitian ini ditemukan 8 data tuturan yang merupakan ragam akrab. Tiap tuturan
minimal memenuhi 3 dari 4 karakteristik ragam akrab.
Penelitian ini melengkapi penelitian terdahulu yang sama-sama
menganalisis jenis ragam. Meskipun demikian, terdapat beberapa perbedaan
antara penelitian yang dilakukan oleh Y. B. Dion Rikayakto (2007) dan Dhany
Nugrahani A. (2012) dengan penelitian ini. Perbedaan Pertama, sumber data
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
penelitian Y. B. Dion Rikayakto (2007) adalah pemandu wisata PT. Surya Satjati
Wisata Yogyakarta dan sumber data Dhany Nugrahani A. (2012) adalah guru SLB
Negeri Pembina Yogyakarta. Sementara sumber data penelitian ini adalah siswa
kelas VIII A dan guru mata pelajaran Bahasa Indonesia kelas VIII A SMP
Pangudi Luhur I Kalibawang.
Perbedaan kedua, penelitian Y. B. Dion Rikayakto (2007) menggunakan
dua rumusan masalah yaitu mencari: (1) ragam bahasa Indonesia, dan (2) ciri-ciri
ragam bahasa Indonesia. Sementara itu, penelitian Dhany Nugrahani A. (2012)
menggunakan tiga rumusan masalah yaitu mencari: (1) bentuk variasi bahasa, (2)
faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan variasi bahasa, dan (3) fungsi
bahasa dalam penggunaan variasi bahasa.
Perbedaan ketiga, dalam penelitian Y. B. Dion Rikayakto (2007)
ditemukan lima jenis ragam bahasa yaitu, ragam bahasa cendekia dilihat dari
statusnya, ragam bahasa yang menggunakan kata-kata dalam bidang wisata,
ragam bahasa yang menggunakan media kelisanan, dan ragam bahasa yang
menggunakan kata-kata nonstandar yang berindikasi pada pemakaian subragam
bahasa santai. Sementara itu, dalam penelitian Dhany Nugrahani A. (2012)
ditemukan dua jenis ragam tuturan guru dan siswa yakni, ragam santai dan ragam
akrab. Berbeda dengan penelitian ini yang menemukan tiga jenis ragam bahasa
pada tuturan guru dan siswa yaitu, ragam resmi, ragam santai, dan ragam akrab.
Ini artinya, ada perbedaan jenis ragam yang digunakan dalam proses pembelajaran
dengan ragam bahasa yang digunakan dalam bidang pariwisata. Penelitian Dhany
Nugrahani A. (2012) dengan penelitian ini juga menunjukkan perbedaan jenis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
ragam yang ditemukan meskipun sama-sama dilakukan dalam kegiatan
pembelajaran. Dalam penelitian ini, penggunaan ragam santai paling dominan di
antara jenis ragam yang lain sementara pada penelitian Dhany Nugrahani A.
(2012), ragam usaha paling sering digunakan.
Perbedaan keempat, penelitian Dhany Nugrahani A. (2012) berfokus pada
bentuk atau jenis ragam, faktor-faktor penggunaan ragam tertentu, serta fungsi
ragam yang muncul dalam tuturan guru saja. Demikian pula dengan penelitian Y.
B. Dion Rikayakto (2007) hanya berfokus pada tuturan pemandu wisata saja.
Sementara itu, penelitian ini berfokus pada jenis dan karakteristik ragam tuturan
guru maupun siswa.
Berdasarkan perbedaan-perbedaan di atas dapat dilihat bahwa penelitian
ini dengan kedua penelitian di atas tidaklah sama. Baik dari sumber data maupun
analisis data yang dilakukan sehingga jenis dan karakteristik ragam yang
ditemukan juga berbeda. Di samping melengkapi temuan sebelumnya, teori yang
digunakan dalam penelitian ini juga melengkapi teori-teori yang digunakan pada
penelitian sebelumnya. Hal ini terlihat dari beragam pendapat ahli mengenai jenis
dan karakteristik ragam bahasa yang dikolaborasikan oleh peneliti demi
menemukan teori yang memadai untuk proses analisis penggunaan ragam bahasa
dan karakteristik ragam bahasa dalam proses belajar mengajar di kelas.
4.3.3 Perbedaan Karakteristik Ragam Resmi dengan Ragam Tidak Resmi
Salah satu karakteristik yang membedakan ragam resmi dengan ragam
tidak resmi adalah pemilihan diksi. Penggunaan ragam resmi selalu diikuti oleh
penggunaan kata baku atau kata yang sudah dibakukan. Supardi (1988: 38-39)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
memaparkan penggunaan kata baku atau kata yang sudah dibakukan sebagai salah
satu ciri ragam resmi. Sementara dalam situasi tidak resmi, diksi yang digunakan
berasal dari bahasa tidak baku atau nonstandar, sejalan dengan Pateda (1990: 70-
71) yang berpendapat bahwa bahasa dalam situasi tidak resmi biasanya
menggunakan bahasa tidak standar.
Struktur kebahasaan dalam ragam resmi cenderung kaku dibandingkan
dengan struktur kebahasaan dalam ragam tidak resmi. Kata dan kalimat yang
digunakan selalu mentaati kaidah kebahasaan. Hal tersebut ditandai dengan
penggunaan afiks dan kata tugas yang eksplisit dan konsisten. Sementara pada
ragam resmi tidak tampak konsistensi tersebut. Penggunaan unsur-unsur daerah
atau dialek dalam ragam resmi sangat dihindari, sementara pada ragam tidak
resmi penggunaan unsur daerah yang belum berterima sering ditemukan. Pada
ragam resmi, penggunaan bentuk yang tidak lengkap atau disingkat baik pada
tataran kata maupun kalimat sangat dihindari sementara dalam ragam tidak resmi
seringkali digunakan singkatan-singkatan.
Tujuan adalah gabungan atau campuran dari maksud-maksud dalam
suatu pembicaraan. Menurut Ochs dan Winker (1979: 9) via Tarigan (1985: 15-
16) tujuan pembicaraan meliputi memberitahu (to inform), menghibur (to
entertain), dan membujuk (to persuade). Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, tujuan pembicaraan guru adalah memberitahu atau memberi informasi
kepada siswa. Dalam menyampaikan informasi kepada siswa, guru menggunakan
ragam resmi meskipun intensitasnya sangat jarang. Supaya informasi yang
disampaikan kepada siswa dapat diterima dengan baik, guru cenderung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
menggunakan ragam santai untuk menghindari situasi pembelajaran yang kaku.
Penggunaan ragam santai memungkinkan munculnya tujuan menghibur (to
entertain) untuk menciptakan suasana pembicaraan yang nyaman dan akrab, baik
oleh siswa maupun oleh guru. Tujuan pembicaraan membujuk (to persuade) juga
digunakan guru untuk membimbing siswa selama kegiatan pembelajaran
berlangsung disertai dengan penggunaan ragam santai. Di luar tiga perbedaan
yang diuraikan, dasar pembedaan yang utama dari kelima jenis ragam, baik ragam
resmi, ragam santai, ragam akrab, ragam usaha maupun ragam adalah situasi
pemakaian. Situasi pemakaian menentukan penggunaan suatu ragam.
4.3.4 Implementasi Ragam Bahasa Indonesia melalui Model Pembelajaran
Implementasi ragam bahasa Indonesia dalam pembelajaran di kelas perlu
dikaitkan dengan model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Guru harus
menemukan model pembelajaran yang sesuai dengan karakter peserta didiknya
untuk dapat mengajarkan dan mencontohkan penggunaan ragam bahasa sesuai
dengan situasi pemakaian. Penelitian di kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I
Kalibawang menunjukkan penerapan penggunaan ragam bahasa Indonesia di
kelas belum dikaitkan dengan model pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Penggunaan ragam bahasa hanya sebatas siswa mengerti apa yang disampaikan
oleh guru. Akibatnya, ragam tidak resmi menjadi ragam yang paling banyak
ditemukan di kelas.
Salah satu manfaat penelitian ini adalah membantu guru untuk melihat
permasalahan kebahasaan pada proses pengajaran dan menjadi bahan evaluasi
untuk meningkatkan kemampuan berbahasa siswa khususnya dalam hal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
penggunaan ragam. Maka dari itu, peneliti berupaya untuk membantu guru
dengan cara memberikan pandangan yang dapat dijadikan pertimbangan untuk
mengimplementasikan ragam bahasa melalui model pembelajaran. Salah satu
model pembelajaran yang sangat mungkin digunakan oleh guru untuk menerapkan
penggunaan ragam bahasa Indonesia di kelas adalah model pembelajaran aktif,
inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan atau PAIKEM.
Model pembelajaran PAIKEM diuraikan secara lengkap oleh Suprijono
(2009). Unsur yang pertama adalah pembelajaran. Pembelajaran menunjuk pada
proses belajar yang menempatkan peserta didik sebagai center stage performance.
Pembelajaran lebih menekankan bahwa peserta didik sebagai makhluk
berkesadaran memahami arti penting interaksi dirinya dengan lingkungan yang
menghasilkan pengalaman adalah kebutuhan. Kebutuhan baginya
mengembangkan seluruh potensi kemanusiaan yang dimilikinya. Dari uraian
tersebut, interaksi peserta didik dengan diri sendiri dan lingkungannya adalah hal
yang harus digarisbawahi. Penerapan ragam bahasa di kelas relevan dengan
pernyataan ini. Guru perlu membantu siswa untuk menyadari bahwa interaksi
yang baik memerlukan proses komunikasi yang baik pula. Komunikasi yang baik
didapatkan apabila terjadi timbal balik. Hal ini perlu didukung dengan
penggunaan bahasa yang baik, benar, dan santun di mana ragam bahasa sangat
berpengaruh di dalamnya.
Unsur kedua adalah aktif, pembelajaran harus menumbuhkan suasana
sedemikian rupa sehingga peserta didik aktif bertanya, mempertanyakan, dan
mengemukakan gagasan. Belajar memang merupakan proses aktif dari si
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
pembelajar dalam membangun pengetahuannya, bukan proses pasif yang
menerima kucuran ceramah guru tentang pengetahuan. Pembelajaran aktif adalah
proses belajar yang menumbuhkan dinamika belajar bagi peserta didik. Dinamika
untuk mengartikulasikan dunia idenya dengan mengkonfrontir ide itu dengan
dunia realitas yang dihadapinya. Dari uraian ini, peserta didik dituntut untuk aktif
di kelas. Selain itu, guru juga perlu memancing keaktifan kelas. Kelas yang aktif
tentunya memudahkan guru untuk mengajak peserta didiknya bersama-sama
mengenal, memahami, dan menerapkan penggunaan ragam bahasa Indonesia
sesuai dengan situasi pembicaraan.
Unsur ketiga adalah inovatif, pembelajaran merupakan proses pemaknaan
atas realitas yang dipelajari. Makna itu hanya bisa dicapai jika pembelajaran dapat
memfasilitasi kegiatan belajar yang memberi kesempatan kepada peserta didik
melalui aktivitas belajar. Dari uraian ini dipahami bahwa makna pembelajaran
harus didukung oleh fasilitas belajar. Dalam hal penerapan ragam, guru perlu
menggunakan metode pembelajaran yang menarik dan mendukung tercapainya
tujuan pembelajaran. Metode pembelajaran ini juga harus didukung dengan media
pembelajaran. Untuk mewujudkannya, diperlukan fasilitas yang memadai. Dalam
hal ini guru memerlukan dukungan sekolah.
Unsur keempat, adalah kreatif. Pembelajaran harus menumbuhkan
pemikiran kritis, karena dengan pemikiran kritis seperti itulah kreativitas bisa
dikembangkan. Pemikiran kritis adalah pemikiran reflektif dan produktif yang
melibatkan evaluasi bukti. Kreativitas adalah kemampuan berpikir tentang sesuatu
dengan cara baru dan tidak biasa serta menghasilkan solusi unik atas suatu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
problem. Dari uraian ini, guru dan siswa harus memiliki sikap kreatif. Guru harus
mampu merangsang kelas yang kreatif melalui kreativitas yang dimiliki oleh guru.
Unsur kelima adalah efektif. Pembelajaran efektif adalah jantung sekolah
efektif. Efektivitas pembelajaran merujuk pada berdaya dan berhasil guna seluruh
komponen pembelajaran yang diorganisir untuk mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran efektif mencakup keseluruhan tujuan pembelajaran baik yang
berdimensi mental, fisik, maupun sosial. Pembelajaran efektif memudahkan
peserta didik belajar sesuatu yang bermanfaat. Dari uraian ini, pembelajaran yang
efektif harus tercapai dalam semua tujuan pembelajaran. Kreativitas dan
kompetensi guru harus dijalankan seefisien mungkin sesuai dengan tujuan
pembelajaran.
Unsur keenam adalah menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan
adalah pembelajaran dengan suasana socio emotional climate positif. Peserta
didik merasakan bahwa proses belajar yang dialaminya bukan sebuah derita yang
mendera dirinya, melainkan berkah yang harus disyukuri. Belajar bukanlah
tekanan jiwa pada dirinya, namun merupakan panggilan jiwa yang harus
ditunaikan. Pembelajaran menyenangkan menjadikan peserta didik ikhlas
menjalaninya. Dari uraian tersebut, dipahami bahwa kelas yang menyenangkan
akan menumbuhkan motivasi dari dalam diri peserta didik. Motivasi yang tinggi
akan memudahkan peserta didik memahami segala hal yang dipelajarinya
termasuk belajar menerapkan ragam bahasa Indonesia secara tepat. Kondisi
pembelajaran menyenangkan inilah yang harus dibangun oleh guru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Model pembelajaran PAIKEM hanyalah sebagai masukan bagi guru yang
ingin memberikan pemahaman kepada siswa mengenai penggunaan ragam bahasa
Indonesia yang tepat sesuai dengan situasi pembicaraan. Tidak menutup
kemungkinan guru dapat menggunakan model pembelajaran yang lain, sesuai
dengan karakteristik peserta didiknya. Di samping itu, kreativitas guru juga sangat
diperlukan.
Dari analisis data sampai dengan pembahasan di atas disimpulkan bahwa
penelitian ini tetap mendukung penelitian-penelitian terdahulu yang relevan
karena jenis dan karakteristik ragam yang ditemukan dalam penelitian ini juga
relevan dengan penelitian terdahulu. Selain itu, penelitian ini dapat menjawab
rumusan masalah dan tujuan penelitian sehingga dapat memberikan manfaat bagi
pihak-pihak yang bersangkutan yaitu, guru bahasa Indonesia, siswa SMP kelas
VIII, dan peneliti lain.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
BAB V
PENUTUP
Bab penutup berisi simpulan dan saran. Simpulan dan saran diuraikan
dalam dua subbab. Berikut ini paparan mengenai simpulan dan saran.
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis data dan pembahasan dalam penelitian yang berjudul,
Jenis Ragam dan Karakteristik Ragam Tuturan Guru dan Siswa Kelas VIII A
SMP Pangudi Luhur I Kalibawang Tahun Ajaran 2017/2018, peneliti mengambil
simpulan sebagai berikut ini.
a. Jenis Ragam
Jenis ragam yang ditemukan dalam penelitian ini ada tiga yaitu, ragam
resmi, ragam santai, dan ragam akrab. Ragam resmi ditemukan sebanyak 3 tuturan
dan ragam santai ditemukan sebanyak 44 tuturan. Sementara itu, ragam akrab
ditemukan sebanyak 8 tuturan dari total jumlah data tuturan sebanyak 54 data
Jenis ragam yang paling sering muncul dalam proses pembelajaran adalah
ragam santai. Ragam santai muncul secara merata pada tiap tahap pembelajaran
baik pada tahap awal, tahap inti, maupun tahap akhir pembelajaran. Ragam resmi
adalah ragam yang paling jarang muncul sementara ragam akrab muncul dalam
komunikasi sesama siswa. Maka, dapat dikatakan bahwa pemahaman dan
kesadaran siswa dalam menggunakan ragam resmi pada proses pembelajaran
masih sangat kurang. Ragam santai paling sering digunakan karena ragam ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
dapat membangun suasana pembicaraan yang santai sehingga proses komunikasi
tidak berlangsung kaku dan pesan yang disampaikan dapat lebih mudah dipahami.
b. Karakteristik Ragam
Karakteristik yang sering muncul dalam ragam resmi adalah (1) topik
pembicaraan bersifat resmi dan serius, (2) antarorang yang berbicara saling
menghormati, (3) memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat baik pada tataran
kalimat maupun kata, (4) struktur fungtor lengkap, khususnya fungtor subjek dan
predikat, (5) tingkat tutur sesuai dengan strata orang yang diajak bicara, (6) kata
yang dipakai bersifat baku atau sudah dibakukan, (7) penggunaan imbuhan secara
jelas dan teliti, hanya pada kalimat perintah imbuhan dapat ditanggalkan dalam
kata kerja (verba), (8) penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan
(preposisi), dan (9) terhindar dari pengaruh unsur asing, bahasa daerah atau
bahasa yang tidak dibakukan.
Karakteristik yang selalu muncul dalam ragam santai adalah (1)
digunakan dalam pembicaraan santai, akrab antara penutur dan mitra tutur, (2)
bentuk kebahasaan relatif bebas jika dibanding ragam resmi, (3) fungtor kalimat
tidak lengkap, (4) sering menggunakan kata-kata yang dipenggal sebagian
silabelnya, (5) sering terjadi pengulangan-pengulangan, (6) sering digunakan
interjeksi, (7) sering beralih kode, (8) topik pembicaraan tidak terarah secara
mantap atau urutan tidak runtut, (9) kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal
dialek, unsur bahasa daerah atau unsur bahasa asing, dan (10) banyak
menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk kata frasa, kalimat atau ujaran yang
dipendekkan. Karakteristik yang sering muncul dalam ragam akrab adalah (1)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
biasa digunakan oleh penutur yang sudah akrab, (2) ditandai dengan penggunaan
bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek, dan dengan artikulasi yang sering
tidak jelas, (3) maksud pembicaraan tidak dapat dimengerti oleh orang lain tanpa
mengetahui situasinya, dan (4) banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-
istilah (kata-kata) khas bagi suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.
Selain dua simpulan terkait jenis ragam dan karakteristik di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa pemahaman siswa mengenai penggunaan ragam bahasa
Indonesia dalam pembelajaran perlu ditingkatkan. Hal ini penting untuk
membekali peserta didik dengan kemapuan berbahasa yang baik, benar, dan
santun. Salah satu cara yang dapat digunakan adalah mengatasi permasalahan
kebahasaan ini melalui model pembelajaran yang sesuai, salah satunya adalah
model pembelajaran PAIKEM.
5.2 Saran
Berdasarkan simpulan di atas, peneliti memiliki tiga saran yang ditujukan
untuk guru bahasa Indonesia, siswa kelas VIII SMP, dan peneliti lain. Saran yang
dimaksud adalah sebagai berikut.
1. Guru Bahasa Indonesia khususnya di SMP Pangudi Luhur I Kalibawang,
hendaknya memberikan pemahaman dan contoh konkret kepada siswa terkait
penggunaan ragam bahasa resmi dalam proses belajar mengajar di kelas supaya
siswa terbiasa menggunakan ragam resmi pada situasi yang resmi.
2. Siswa kelas VIII khususnya siswa kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I
Kalibawang, hendaknya mau memperkaya pemahaman mengenai ragam bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Indonesia, serta mau membiasakan diri menggunakan ragam resmi pada situasi
yang resmi.
3. Peneliti lain hendaknya menindaklanjuti penelitian ini secara lebih luas karena
penelitian ini baru menjangkau penggunaan ragam bahasa di satu kelas saja.
Peneliti lain dapat melakukan penelitian dalam proses pembelajaran di kelas yang
lebih tinggi atau di jenjang yang lebih tinggi misalnya, di SMA atau universitas.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Yunus. 2012. Pembelajaran Bahasa Berbasis Pendidikan Karakter.
Bandung: PT Rafika Aditama.
Alwasilah, A. Chaedar. 1990. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Annisa dan Handayani. 2013. Konteks sebagai Jembatan Komunikasi. [Online].
Tersedia: lib.ui.ac.id [13 Juli 2018].
Arikunto, Suharsimi. 2013. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Aslinda. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: PT Rafika Aditama.
Astuti, Ani Widya. 2000. “Analisis Kebakuan Penggunaan Bahasa Indonesia pada
Surat Resmi Organisasi Bhayangkari Cabang Kulonprogo”. Skripsi pada
PBSI FBS Universitas Negeri Yogyakarta: tidak diterbitkan.
Atmawati, Dwi. 2003. Variasi Bahasa Indonesia Cermin Pluralisme Budaya.
Semarang: Balai Bahasa.
Chaer, Abdul. 2012. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Chaer dan Agustina. 2004. Sosiolinguistik. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Gunawan, Imam. 2014. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Jakarta:
Bumi Aksara.
Holmes, Janet. 1992. An Introduction to Sosiolinguistics. New York: Long Man.
Ismawati, Esti. 2011. Metode Penelitian Pendidikan Bahasa dan Sastra.
Surakarta: Yuma Pustaka.
Kemdikbud. 2014. Bahasa Indonesia Wahana Pengetahuan. Jakarta: Kemdikbud.
Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT. Gramedia.
Kushartanti, dkk. 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Lubis, A. Hamid Hasan. 2011. Analisis Wacana. Bandung: Angkasa.
Mahsun, M.S. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Manaf, Abdul. 2010. Pengembangan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa
Daerah melalui Penstabilan Diglosia. Jember: Universitas Jember.
Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda Karya.
Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip dan Analisis
Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mulyasa. 2014. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung:
Remaja Rosda.
Nababan, PWJ. 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia Press.
Nadar, FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Jakarta: Lunar Indigo.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Rahardi, R. Kunjana. 2001. Sosiolinguistik, Kode, dan Alih Kode.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Soeparno. 2013. Dasar-dasar Linguistik Umum. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Suandi, I Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta; Sanata
Dharma University Press.
Sufanti. 2010. Strategi Pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Surakarta:
Yuma Pustaka.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi.
Bandung: Alfabeta.
Suhardi. 2013. Pegantar Linguistik Umum. Jakarta: Arr-Ruz Media.
Sumarsono. 2017. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Supardi, Susilo. 1988. Bahasa Indonesia dalam Konteks. Jakarta: Depdikbud.
Surjono, Agus. 2009. Cooperative Learning Teori dan Aplikasi PAIKEM.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tarigan, Henry Guntur. 1985. Berbicara sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa.
Bandung: Angkasa.
Utorodewo. 2010. “Laras Ilmiah dan Ragam Bahasa”. Bahasa Indonesia Sebuah
Pengantar. 1, 1-2.
Wijana dan Rohmadi. 2006. Sosiolinguistik: Kajian Teori dan Analisis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
TRIANGULASI DATA
Berikut ini tabulasi dan triangulasi data dalam proses komunikasi guru dan siswa, dari penelitian yang berjudul Jenis Ragam
dan Karakteristik Ragam Tuturan Guru dan Siswa dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia Kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I
Kalibawang Tahun Ajaran 2017/2018.
Petunjuk pengisian:
1. Triangulator dimohon untuk memberi tanda checklist (√) pada kolom YA, apabila triangulator setuju dengan jenis ragam dan
karakteristik ragam bahasa yang tertera.
2. Triangulator dimohon untuk memberi tanda checklist (√) pada kolom TIDAK, apabila triangulator tidak setuju dengan jenis
ragam dan karakteristik ragam bahasa yang tertera.
3. Triangulator dimohon untuk menuliskan kritik ataupun saran pada kolom keterangan.
Rumusan Masalah:
Rumusan masalah penelian ini adalah:
1) Apa sajakah jenis ragam bahasa Indonesia yang muncul pada kegiatan awal, inti, dan akhir pembelajaran bahasa Indonesia
kelas VIII A SMP Pangudi Luhur I Kalibawang?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
2) Bagaimanakah karakteristik ragam bahasa Indonesia yang digunakan oleh guru dan siswa kelas VIII A SMP Pangudi
Luhur I Kalibawang?
Keterangan:
K1 : Karakteristik 1 G : Guru 01 : Urutan tuturan nomor 01
K2 : Karakteristik 2 S1 : Siswa 1 02 : Urutan tuturan nomor 02
K3 : Karakterik 3 S2 : Siswa 2 03 : Urutan tuturan nomor 03
Dan seterusnya Dan seterusnya Dan seterusnya
Aspek Penentu Jenis Ragam
No. Jenis Ragam Karakteristik Ragam
1. Ragam Beku/Frozen Style K1. Gaya yang digunakan dalam prosa tertulis dan gaya orang yang tidak kita
kenal.
K2. Struktur gramatikalnya tidak berubah.
K3. Kaidah polanya sudah ditetapkan secara mantap dan tidak boleh diubah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
K4. Susunan kalimat bersifat kaku, kata-katanya bersifat lengkap, dan struktur
kalimatnya panjang.
K5. Penutur dan pendengar ragam beku dituntut keseriusan dan perhatian penuh.
K6. Kosakata yang biasa digunakan untuk mengawali sebuah kalimat ataupun
paragraf antara lain: bahwa, hatta, sesungguhnya, dan lain sebagainya.
2. Ragam Resmi/Formal Style K1. Topik pembicaraan bersifat resmi dan serius.
K2. Antarorang yang berbicara saling menghormati.
K3. Memakai bentuk lengkap dan tidak disingkat baik pada tataran kalimat
maupun kata.
K4. Struktur fungtor lengkap, khususnya fungtor subjek dan predikat.
K5. Tingkat tutur sesuai dengan strata orang yang diajak bicara.
K6. Penggunaan kata sapaan dan kata ganti Bapak, Ibu, Saudara, Anda, atau
menyertakan jabatan, gelar, maupun pangkat untuk orang yang dihormati
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
dan penggunaan kata saya untuk menyebut diri sendiri.
K7. Kata atau istilah yang dipakai bersifat baku atau sudah dibakukan.
K8. Penggunaan imbuhan secara jelas dan teliti. Hanya pada kalimat perintah
imbuhan dapat ditanggalkan dalam kata kerja (verba).
K9. Penggunaan kata sambung (konjungsi) dan kata depan (preposisi).
K10. Terhindar dari pengaruh unsur asing, bahasa daerah atau bahasa yang tidak
dibakukan.
3. Ragam Usaha/Consultative
Style
K1. Tidak perlu ada perencanaan yang ekstensif tentang apa yang diungkapkan.
K2. Pembicara sering membuat kesalahan dalam pembicaraannya, mungkin
pengulangan kata yang tidak perlu, salah pemilihan kosakata, atau terlalu
banyak menggunakan istilah atau kata tertentu.
K3. Dipergunakan dalam situasi setengah resmi.
K4. Dipergunakan untuk mengkonsultasikan suatu masalah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
K5. Unsur dialek kedaerahan sudah tidak tampak, namun unsur idiolek kadang-
kadang masih muncul.
K6. Kadang-kadang tidak menggunakan struktur morfologi dan sintaksis yang
normatif.
K7. Kalimat dan kata hanya berbentuk sekadar cukup supaya jelas dimengerti
orang.
K8. Bentuk kalimat pendek tetapi tidak ada unsur-unsur penting yang
dihilangkan.
4. Ragam Santai/Casual Style K1. Digunakan dalam pembicaraan santai, akrab antara penutur dan mitra tutur.
K2. Bentuk kebahasaan relatif bebas jika dibanding ragam resmi.
K3. Fungtor kalimat tidak lengkap.
K4. Sering menggunakan kata-kata yang dipenggal sebagian silabelnya.
K5. Sering terjadi pengulangan-pengulangan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
K6. Sopan santun tidak berlaku secara ketat.
K7. Sering digunakan interjeksi.
K8. Penggunaan tingkat tutur kadangkala terabaikan dari status hubungan
penutur dan mitra tutur.
K9. Sering beralih kode.
K10. Topik pembicaraan tidak terarah secara mantap atau urutan tidak runtut.
K11. Kosakatanya banyak dipenuhi unsur leksikal dialek, unsur bahasa daerah
atau unsur bahasa asing.
K12. Banyak menggunakan bentuk alegro, yaitu bentuk kata frasa, kalimat atau
ujaran yang dipendekkan.
5. Ragam Akrab/Intimate Style K1. Biasa digunakan oleh penutur yang sudah akrab.
K2. Ditandai dengan penggunaan bahasa yang tidak lengkap, pendek-pendek,
dan dengan artikulasi yang sering tidak jelas.
K3. Maksud pembicaraan tidak dapat dimengerti oleh orang lain tanpa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
mengetahui situasinya.
K4. Banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi
suatu keluarga atau sekelompok teman akrab.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
A. Bagian Pembuka Pembelajaran
NO.
KODE
TUTURAN
KONTEKS
JENIS RAGAM
PENANDA
KARAKTERISTIK
RAGAM
TRIANGU
LATOR
KETERANGAN
RB RR RU RS RA S TS
1 G-IV01 - Nah, kemarin
dah belajar
unsur berita.
Nah,
pokoknya ini
jangan
sampai lupa
ya, ada
jembatan
keledai. Ada
berapa
unsur?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada awal
berlangsungnya
pembelajaran Bahasa
Indonesia. Suasana
pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru mata pelajaran
Bahasa Indonesia dan
siswa-siswi kelas VIII
A. Guru sebagai
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai antara
penutur (guru)
dengan mitra
tutur (siswa)
yang ditandai
dengan
munculnya
bentuk tidak
baku dah yang
berasal dari
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
penutur dan siswa-
siswi sebagai mitra
tutur. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru membuka
pelajaran dengan
mengingatkan para
siswa mengenai
materi pembelajaran
pada pertemuan
sebelumnya terkait
teori unsur berita.
Guru mengingatkan
para siswa secara lisan
sambil menuliskan
cara jembatan keledai
di papan tulis.
Jembatan keledai yang
dimaksud adalah
Adiksimba yang
merupakan akronim
dari apa, di mana,
kapan, siapa,
mengapa, dan
bagaimana.
bentuk baku
sudah.
- K2
Penanda: bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai dengan
bentuk tidak
baku dah yang
berasal dari
bentuk baku
sudah serta
hadirnya
kalimat tanya
“Ada berapa
unsur?” yang
tidak disertai
dengan kata kata
sapaan yang
menyertai
kalimat.
- K3
Penanda:
ketidakhadiran
subjek dalam
kalimat “Nah,
pokoknya ini
jangan sampai
lupa ya, ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
jembatan
keledai”.
- K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel su- yang
berasal dari kata
sudah menjadi
dah.
- K5
Penanda:
pengulangan
interjeksi Nah
sebanyak dua
kali pada
kalimat, “Nah,
kemarin dah
belajar unsur
berita” dan
“Nah, pokoknya
ini jangan
sampai lupa ya,
ada jembatan
keledai”.
- K6
Penanda: sopan
santun tidak
digunakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
secara ketat,
terbukti dengan
tidak
digunakannya
kata ganti dalam
kalimat tanya,
“Ada berapa
unsur?”.
- K7
Penanda:
Munculnya
interjeksi Nah
dalam kalimat
“Nah, kemarin
dah belajar
unsur berita”
dan “Nah,
pokoknya ini
jangan sampai
lupa ya, ada
jembatan
keledai”.
- K12
Penanda:
Munculnya
alegro dalam
bentuk ujaran
yang
dipendekkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
berikut ini:
ujaran sudah
dipendekkan
menjadi dah
serta kalimat
pendek, “Ada
berapa unsur?”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
B. Bagian Inti Pembelajaran
NO.
KODE
TUTURAN
KONTEKS
JENIS RAGAM
PENANDA
KARAKTERISTIK
RAGAM
TRIANGU
LATOR
KETERANGAN RB RR RU RS RA
S
TS
2 G-IV03 - Nah, tugas
untuk hari
ini menulis
tiga berita
yang harus
lengkap
dengan
enam unsur
berita. Nah,
nanti
penilaianny
a seperti ini
ya, setelah
kalian
menulis
berita
kalian maju
membacaka
n beritanya
lalu
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru bahasa Indonesia
dan siswa-siswi kelas
VIII A. Guru mata
pelajaran Bahasa
Indonesia sebagai
pembicara dan siswa-
siswi kelas VIII A
sebagai lawan bicara.
√
- K1
Penanda: situasi
pembicaraan
berlangsung
santai karena
adanya
kedekatan relasi
antara penutur
(guru) dan mitra
tutur (siswa-
siswi) ditandai
oleh pemakaian
kata ganti kalian
oleh guru dalam
kalimat “Nah,
nanti
penilaiannya
seperti ini ya,
setelah kalian
menulis berita
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
temannya
menyimak.
Nah, teman
yang bisa
mengoreksi
kekurangan
dari berita
yang sudah
maju, itu
yang akan
mendapat
nilai. Dah
paham
belum?
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru memberi
tugas untuk menulis
tiga berita. Guru
menerangkan secara
lisan dengan intonasi
yang agak lambat
mengenai kriteria
penulisan berita yang
harus memenuhi enam
unsur berita serta
mengenai sistem
penilaian tugas.
kalian maju
membacakan
beritanya lalu
temannya
menyimak”.
- K2
Penanda:
Penggunaan
kata mubazir
dari pada
kalimat “Nah,
teman yang bisa
mengoreksi
kekurangan dari
berita yang
sudah maju, itu
yang akan
mendapat nilai”.
Dikatakan
mubazir karena
pemakaian dari
opsional apabila
yang
ditonjolkan
adalah berita.
- K3
Penanda:
ketidaklengkapa
n fungtor
kalimat yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
ditandai dengan
ketiadaan subjek
pada kalimat,
“Dah paham
belum?”.
- K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel su- pada
kata sudah
menjadi dah
dalam kalimat,
“Dah paham
belum?”.
- K5
Pengulangan
Nah sebanyak 3
kali.
- K7
Penanda:
Muncul
interjeksi Nah
sebanyak tiga
kali.
- K10
Penanda: topik
pembicaran
tidak konsisten.
Kalimat pertama
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
menunjukkan
bahwa topik
kalimat adalah
penugasan
menulis berita.
Namun pada
kalimat kedua
topik
pembicaraan
beralih ke
sistem penilaian
tugas.
- K12
Penanda:
munculnya
ujaran yang
dipendekkan,
yaitu dah yang
berasal dari kata
sudah dalam
kalimat, “Dah
paham belum?”.
3 G-IV05 - Nah,
misalnya
nanti saya
panggil
Ahmad.
Ahmad
kamu
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
√
- K1
Penanda: situasi
pembicaraan
berlangsung
santai karena
adanya
kedekatan relasi
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
membacaka
n beritanya.
Lalu, oh
ternyata…
Kalian
menyimak
ta ya?
Beritanya
Ahmad
kurang
unsur
“kapan” ya,
dihilangkan
. Nanti
tunjuk jari
ya “Saya,
Bu.
Saya…”,
ya. Jangan
disuruh, ya.
Ini kurang
unsur
“kapan”,
ya. Bisa
seperti itu?
Jadi yang
mendapat
nilai itu
yang bisa
memberi
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru dan siswa. Guru
mata pelajaran Bahasa
Indonesia sebagai
pembicara dan siswa-
siswi kelas VIII A
sebagai lawan bicara.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah siswa dapat
menangkap dengan
jelas sistem penilaian
tugas.
antara penutur
(guru) dan mitra
tutur (siswa-
siswi) ditandai
oleh pemakaian
kata ganti
kalian, kamu,
dan anak-anak
yang dituturkan
oleh guru
terhadap siswa.
- K2
Penanda:
Penggunaan
kata mubazir
dari dalam
kalimat
“Dimulai dari
sekarang
waktunya 30
menit, ya”,
dikatakan
mubazir karena
dari mendahului
penanda kala
sekarang.
- K3
Penanda:
ketidaklengkapa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
apa?
Koreksian,
ya. Semua
anak nulis
tiga berita.
Dimulai
dari
sekarang
waktunya
30 menit,
ya.
Beritanya
bebas ya.
Setiap
berita harus
lengkap.
Harus
lengkap
keenam
unsurnya.
Nanti ingat
ya anak-
anak, yang
perlu adalah
kalian
menyimak,
mendengark
an, dan
memberi
masukan
n fungtor
kalimat yang
ditandai dengan
ketiadaan subjek
pada kalimat
berikut, “Siap
menulis”.
- K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel dari kata
tetapi menjadi
tapi, menulis
menjadi nulis,
diperlukan
menjadi perlu.
- K5
Penanda:
pengulangan
kata ya
sebanyak 12
kali.
- K7
Penanda:
Muncul
interjeksi Nah
dalam kalimat
“Nah, misalnya
nanti saya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
pada teman
yang
sedang
maju. Oke?
Siap
menulis.
Ditulis
dalam buku
tugas kalian
masing-
masing.
Sendiri-
sendiri ya.
Boleh berita
apa saja.
Ada berita
olahraga,
pendidikan,
kriminal,
ya. Tapi
jangan
berita yang
mengarah
ke
pornografi.
Ada
pertanyaan?
Tunjuk jari.
Apa?
panggil Ahmad”
dan interjeksi
Oh dalam
kalimat “Lalu,
oh ternyata…”
- K10
Penanda:
beralihnya topik
pembicaraan
dari perintah
untuk segera
mengerjakan
kemudian
beralih ke topik
penjelasan
macam-macam
berita.
- K11
Penanda:
hadirnya unsur
bahasa asing oke
yang berasal
dari bahasa
Inggris Okay
yang berarti iya,
baik, atau
baiklah dan
unsur bahasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
Jawa ta yang
berarti kan
dalam kalimat,
“Kalian
menyimak ta
ya?”.
- K12
Penanda:
munculnya
kalimat-kalimat
yang
dipendekkan
berikut, “Ada
pertanyaan?”,
“Apa?”,
“Beritanya
bebas ya”,
“Jangan
disuruh, ya”,
dan “Koreksian,
ya”.
4 G-IV07 Beritanya
mengarang
karena kita
tidak
mempunyai
berita yang
sesungguhn
ya. Syukur
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
√
- K1
Penanda:
pembicaraan
berlangsung
dalam suasana
santai dan
menggambarkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
bisa
memberitak
an yang
tadi, apa
yang sudah
terjadi di
lapangan,
ya. Itu bisa
ditulis
sebagai
berita, ya
karena kan
kejadian
yang tidak
seperti
biasanya,
ya. Nah,
silakan
mengarang.
Nanti kalau
jadi
wartawan
beritanya
harus
sungguh-
sungguh ya.
Kalau
sekarang,
tadi ada
berita. Ada
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 1. Guru
mata pelajaran Bahasa
Indonesia sebagai
penutur dan siswa 1
sebagai lawan tutur.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru memberi
jawaban atas
pertanyaan siswa
terkait kebenaran isi
berita. Guru
menjawab secara lisan
dengan intonasi yang
agak lambat bahwa
siswa tidak diharuskan
menulis peristiwa
yang benar-benar
terjadi namun, apabila
berita yang ditulis
menceritakan fakta
maka akan lebih baik.
hubungan yang
akrab antara
penutur (guru)
dan mitra tutur
(siswa) ditandai
dengan
penggunaan
bentuk-bentuk
tidak baku kan
dan nulis.
- K2
Penanda: bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai dengan
penggunaan
konjungsi yang
di awal kalimat,
“Yang belum
jelas, ada?”.
- K3
Penanda: tidak
adanya subjek
dalam kalimat,
“Nah, silakan
mengarang” dan
“Silakan
dibuat”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
kejadian
yang bisa
dipakai
untuk
membuat
berita. 30
Menit untuk
tiga berita,
berarti satu
berita 10
menit.
Silakan
dibuat.
Siapa yang
belum jelas
silakan
bertanya.
Yang belum
jelas, ada?
Ada yang
belum jelas
dengan
perintahnya
? Kalau
sudah
silakan
nulis ya.
Sekarang
jam 11
lewat 5
- K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel dari kata
menulis menjadi
nulis.
- K5
Penanda:
munculnya kata
ya sebanyak
tujuh kali.
- K7
Penanda:
Muncul
interjeksi Nah
dalam kalimat
“Nah, silakan
mengarang”.
- K10
Penanda: topik
pembicaraan
yang tidak
runtut. Terlihat
dari topik terkait
penjelasan
kefaktualan
berita kemudian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
nanti jam
11.35 ya.
Jam 11.35
semua siap
maju untuk
membacaka
n beritanya
masing-
masing.
Siapa lagi
yang
bertanya?
beralih ke topik
lamanya waktu
yang disediakan
untuk menulis
berita.
- K12
Penanda:
munculnya
kalimat-kalimat
yang
dipendekkan
berikut, “Siapa
lagi yang
bertanya?”,
“Kalau sudah
silakan nulis
ya”, “Yang
belum jelas,
ada?”, “Silakan
dibuat”.
5 G-
IV13
- Beritanya…
Satu-satu
nanti kalau
satu selesai
baru dua
terus tiga.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
√
- K1
Penanda:
kedekatan
relasi antara
guru dengan
para siswa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
Semua harus
mendapat
tiga ya. Siapa
lagi? Sambil
menulis
sambil Ibu
mengabsen
ya.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru dan Siswa 1.
Guru mata pelajaran
Bahasa Indonesia
sebagai pembicara dan
Siswa 1 sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru memberi
jawaban atas
pertanyaan siswa
mengenai presentasi
hasil kerja. Guru
menjawab secara lisan
dengan intonasi yang
agak lambat bahwa
ketiga berita yang
ditulis akan dibaca
satu per satu. Apabila
waktu memungkinkan
maka ketiga berita
akan dibaca. Setelah
memberi jawaban atas
pertanyaan siswa,
guru mulai
ditandai
dengan
munculnya
kata sapaan
Ibu oleh orang
pertama (guru)
untuk
menyebut
dirinya sendiri.
- K2
Penanda:
munculnya
kata terus yang
merupakan
bentuk
nonformal dari
lalu dalam
kalimat “Satu-
satu nanti
kalau satu
selesai baru
dua terus tiga”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya.
- K5
Penanda:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
mempresensi
kehadiran siswa
sementara siswa
memulai tugasnya
untuk menulis berita.
pengulangan
kata satu, ya,
dan sambil.
- K10
Penanda: topik
pembicaraan
tidak terarah
secara mantap.
Pada awal
pembicaraan,
guru
menjelaskan
bahwa setiap
siswa akan
diminta
membaca satu
berita terlebih
dulu, namun
apabila siswa
berhasil
menyelesaikan
ketiga berita
maka ketiga
berita harus
dibacakan.
Topik ini
terdapat pada
kalimat, “Satu-
satu nanti
kalau satu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
selesai baru
dua terus tiga”,
kemudian pada
kalimat
berikutnya
topik beralih,
guru meminta
siswanya
untuk
membacakan
ketiga berita,
“Semua harus
mendapat tiga
ya”.
- K12
Penanda:
munculnya
kalimat-
kalimat yang
dipendekkan
berikut,
“Semua harus
mendapat tiga
ya”, dan
“Siapa lagi?”.
6 G-
IV65
- Jangan lupa!
Jangan nulis
judul berita
ya! Jangan
lupa!
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
√
- K1
Penanda:
pembicaraan
berlangsung
dalam situasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan para siswa. Guru
sebagai pembicara dan
para siswa sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru
mengingatkan siswa
agar tidak lupa
menulis judul berita.
yang santai
ditandai
dengan
hadirnya
bentuk tidak
resmi nulis
yang berasal
dari bentuk
resmi menulis.
- K2
Penanda:
munculnya
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya kata
kerja nulis
yang berasal
dari bentuk
menulis namun
nelah
mengalami
penanggalan
imbuhan men-.
- K3
Penanda:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
ketidaklengkap
an fungtor
kalimat yang
ditandai
dengan
ketiadaan
subjek pada
setiap kalimat.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel me-
kata menulis
menjadi nulis.
- K5
Penanda:
pengulangan
kalimat
“Jangan lupa”
sebanyak dua
kali.
- K6
Penanda:
sopan santun
tidak berlaku
ketat terlihat
dari tidak
dipakainya
kata sapaan
untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
memperhalus
kalimat
perintah.
- K12
Penanda:
munculnya
kalimat-
kalimat yang
dipendekkan
“Jangan
lupa!” serta
ujaran nulis
yang
dipendekkan
dari bentuk
menulis.
7 S11-
IV66
- *Wah,
kurang
pirang menit
iki wektune
Leh?
*Wah,
kurang
berapa menit
ini
waktunya?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya
tahap inti
pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana
pembicaraan
berlangsung akrab.
Partisipan
pembicaraan
adalah Siswa 11
√
- K1
Penanda:
penutur dan
mitra tutur
memiliki relasi
yang akrab
ditandai
dengan
penggunaan
bahasa daerah
(bahasa Jawa)
serta
munculnya
istilah Leh
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
dan Siswa 4.
Siswa 11 sebagai
pembicara dan
Siswa 4 sebagai
lawan bicara.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah Siswa 11
menanyakan sisa
waktu pengerjaan
tugas kepada
Siswa 4. Siswa 11
merasa waktu
pengerjaan tugas
berjalan sangat
cepat.
yang
merupakan
istilah tidak
baku atau tidak
resmi dalam
bahasa Jawa.
- K2
Penanda:
penggunaan
bahasa yang
tidak lengkap
terlihat pada
tuturan yang
tidak
memaparkan
secara jelas
maksud
tuturan.
Penutur tidak
menjelaskan
waktu apa
yang
dimaksud.
- K3
Penanda: mitra
tutur yang
tidak
mengetahui
konteks
pembicaraan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
tidak dapat
menangkap
bahwa waktu
yang dimaksud
penutur adalah
waktu yang
tersisa untuk
mengerjakan
tugas.
- K4
Penanda:
munculnya
istilah Leh
yang hanya
dimengerti
oleh penutur
dan mitra
tutur. Istilah
ini muncul
pada saat
bahasa Jawa
ragam Ngoko
(tidak resmi)
digunakan oleh
para siswa.
Istilah ini
dipakai untuk
memanggil
atau menyebut
satu sama lain
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
yang seumuran
atau sebaya.
8 G-
IV70
- Satu aja
belum Bu.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya
tahap inti
pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana
pembicaraan
berlangsung
santai. Partisipan
pembicaraan
adalah Siswa 6
dan guru Bahasa
Indonesia. Siswa 6
sebagai pembicara
dan guru sebagai
lawan bicara.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah Siswa 6
merasa keberatan
atas waktu
pengerjaan tugas
yang diberikan
oleh guru sebab,
√
- K1
Penanda:
tuturan terjadi
pada suasana
yang santai,
ditandai
dengan
penggunaan
bentuk tidak
resmi aja yang
merupakan
bentuk
nonformal dari
saja oleh siswa
sebagai
penutur kepada
guru sebagai
mitra tutur.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
yang relatif
bebas ditandai
dengan tidak
tampaknya
penggunaan
ragam resmi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
Siswa 6 belum
menyelesaikan
satu berita pun.
oleh siswa
kepada guru
ditandai
dengan
hadirnya
bentuk tidak
resmi aja.
- K4
Pemenggalan
silabel i- kata
Ibu menjadi
Bu.
- K6
Penanda:
kesantunan
tidak berlaku
ketat ditandai
dengan
penggunaan
bentuk tidak
resmi aja oleh
siswa kepada
guru sebagai
orang yang
dihormati.
- K8
Penanda:
Tingkat tutur
terabaikan oleh
penutur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
(siswa) yang
tampak dalam
penggunaan
bentuk
nonformal
pada kalimat
“Satu aja
belum Bu”
yang
sebenarnya
kurang tepat
apabila
dituturkan oleh
siswa kepada
guru sebagai
orang yang
dihormati.
9 G-
IV71
- Tujuh menit
lagi harus
selesai. Nanti
kalau
waktunya
hanya tepat
satu-satu
maju
membaca
satu-satu
yang lain
nanti
dikumpulkan
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya
tahap inti
pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana
pembicaraan
berlangsung
santai. Partisipan
pembicaraan
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
akrab ditandai
dengan kata
ganti Ibu yang
dituturkan oleh
penutur (guru)
untuk
menyebut
dirinya sendiri.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
ya. Yang dua
nanti Ibu
nilai sendiri
yang satu
bareng-
bareng.
adalah guru
Bahasa Indonesia
dan siswa-siswi
kelas VIII A. Guru
sebagai pembicara
dan siswa-siswi
sebagai lawan
bicara. Maksud
dari pembicaraan
ini adalah Guru
menenangkan
siswa-siswinya
yang mulai gelisah
karena waktu
pengerjaan tugas
sudah hampir
habis. Guru
menenangkan
siswa-siswinya
dengan
mengatakan,
apabila waktu
tidak
memungkinkan
maka berita yang
dibaca hanya satu
saja sedangkan
dua berita lainnya
- K2
Penanda:
penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas,
ditandai
dengan
penggunaan
bentuk tidak
resmi bareng-
bareng yang
berasal dari
bentuk resmi
bersama-sama
serta
penggunaan
konjungsi
yang kurang
tepat di awal
kalimat, “Yang
dua nanti Ibu
nilai sendiri
yang satu
bareng-
bareng”.
- K4
Pemenggalan
silabel i- kata
iya menjadi ya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
akan dikoreksi
langsung oleh
guru.
dalam kalimat
“Nanti kalau
waktunya
hanya tepat
satu-satu maju
membaca satu-
satu yang lain
nanti
dikumpulkan
ya”.
- K5
Penanda:
pengulangan
unsur kalimat
satu-satu
dalam kalimat
“Nanti kalau
waktunya
hanya tepat
satu-satu maju membaca
satu-satu yang
lain nanti
dikumpulkan
ya” dan
pengulangan
kata yang
dalam kalimat
“Yang dua
nanti Ibu nilai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
sendiri yang
satu bareng-
bareng”.
10 S2-
IV72
- Bu, ada
tambahan
waktu
nggak?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya
tahap inti
pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana
pembicaraan
berlangsung
santai. Partisipan
pembicaraan
adalah Siswa 2
dan guru Bahasa
Indonesia. Siswa 2
sebagai pembicara
dan guru sebagai
lawan bicara.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah Siswa 2
bertanya pada
guru apakah ada
tambahan waktu.
√
- K1
Penanda:
penggunaan
bentuk tidak
resmi nggak
oleh siswa
terhadap guru
saat
berlangsungny
a
pembelajaran,
menggambark
an adanya
kedekatan
relasi.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya kata
tidak resmi
nggak yang
berasal dari
bentuk resmi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
tidak.
K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel i- pada
kata Ibu
menjadi Bu.
- K6
Penanda:
munculnya
ragam tidak
resmi nggak
yang kurang
santun jika
dituturkan oleh
siswa terhadap
guru sebagai
orang yang
dihormati.
- K8
Penanda:
penggunaan
ragam resmi
yang
terabaikan
antara siswa
terhadap orang
yang dihormati
(guru) tampak
pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
penggunaan
ragam tidak
resmi nggak.
- K12
Penanda:
penggunaan
ujaran yang
dipendekkan
pada kata
nggak yang
berasal dari
bentuk resmi
tidak.
11 G-
IV73
- Nggak. Tidak
ada tambahan
waktu ya.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya
tahap inti
pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana
pembicaraan
berlangsung
santai. Partisipan
pembicaraan
adalah guru
Bahasa Indonesia
dan Siswa 6. Guru
sebagai penutur
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
munculnya
bentuk tidak
resmi nggak
yang
menggambark
an adanya
kedekatan
relasi antara
guru dengan
siswa.
- K2
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
dan Siswa 6
sebagai mitra
tutur. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru
menjawab
pertanyaan Siswa
6 bahwa tidak ada
tambahan waktu
pengerjaan tugas.
Penanda:
bentuk
kebahasaan
relatif bebas
ditandai
dengan
hadirnya
ragam nggak
yang
merupakan
bentuk tidak
resmi.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya.
- K12
Penanda:
penggunaan
ujaran yang
dipendekkan
pada kata
nggak yang
berasal dari
bentuk resmi
tidak.
12 G- - Ya baik, akan
Ibu panggil
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
√ - K1
Penanda:
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
IV74 supaya maju
ke depan.
Mulai dari
Agatha Dwi
Marwati
bacakan
beritamu.
Temannya
menyimak,
tolong
dikoreksi
kurang apa
ya, berita
milik Dwi
Marwati.
Silakan maju
Agatha Dwi
Marwati.
Nah, yang
keras.
Teman-
temannya
mendengarka
n. Silakan
semua
mendengarka
n dengan
baik.
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 2. Guru
sebagai penutur dan
Siswa 2 sebagai mitra
tutur. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru mengajak
siswa untuk memulai
presentasi dengan
memanggil Siswa 2
untuk membacakan
berita yang telah
dibuatnya. Guru
meminta Siswa 2
membaca dengan
suara keras dan siswa
lainnya diminta untuk
menyimak teman yang
sedang presentasi.
suasana
pembicaraan
berlangsung
akrab ditandai
dengan kata
ganti Ibu yang
dituturkan oleh
penutur (guru)
untuk
menyebut
dirinya sendiri.
- K2
Penanda:
penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya kata
ganti orang
ketiga –nya
pada temannya
dan teman-
temannya yang
tidak sesuai
konteks.
- K4
Penanda:
Pemenggalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya
dalam kalimat
“Ya baik, akan
Ibu panggil
supaya maju
ke depan”.
- K7
Penanda:
munculnya
interjeksi nah
dalam kalimat,
“Nah, yang
keras”.
- K12
Penanda:
munculnya
kalimat yang
dipendekkan
pada “Nah,
yang keras”.
Maksud dari
kalimat ini
adalah guru
meminta siswa
untuk bersuara
dengan keras.
13 G- - Baik masih
tetap di
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
√ - K1
Penanda:
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
IV78 depan. Siapa
yang akan
mengoreksi
pekerjaan
Dwi
Marwati?
Tunjuk jari.
Nilainya
justru berada
di sini. Yok,
tunjuk jari.
Ada yang
mau mencari
nilai?
Teman-
temannya
mendengar
tidak tadi?
pada saat
berlangsungnya
bagian inti
pembelajaran Bahasa
Indonesia. Suasana
pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan para siswa. Guru
sebagai pembicara dan
para siswa sebagai
lawan bicara. Maksud
dari tuturan ini adalah
guru membuka sesi
tanya jawab dengan
meminta para siswa
mengomentari berita
yang telah dibacakan
oleh Dwi Marwati.
Guru memancing para
siswa untuk bertanya
dengan memberi nilai
pada siswa yang aktif
mengomentari berita
yang dibacakan oleh
teman. Guru terus
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
munculnya
bentuk tidak
resmi yok.
- K2
Penanda:
penggunaan
kata yang
mubazir pada
kalimat, “Baik
masih tetap di
depan”. Kata
masih yang
diikuti kata
tetap bersifat
opsional,
apabila kata
masih tidak
dipakai tidak
akan
mengubah
makna.
- K3
Penanda:
ketidakhadiran
subjek dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
memancing siswa
untuk bertanya sebab
belum ada siswa yang
mau bertanya.
kalimat “Baik
masih tetap di
depan”.
14 G-
IV84
- Kebakaran
itu bisa
berbagai
macam ya,
misalnya
kebakaran
pasar,
kebakaran
rumah,
kebakaran
toko. Tadi
judulnya
apa?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 7. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 7 sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru
mengkonfirmasi
jawaban Siswa 7 atas
jawaban Siswa 7
bahwa peristiwa yang
terjadi dalam berita
yang dibacakan Dwi
√
- K1
Penanda:
keakraban
relasi antara
penutur (guru)
terhadap mitra
tutur (siswa)
yang ditandai
dengan
ketiadaan kata
sapaan pada
kalimat tanya,
“Tadi judulnya
apa?”.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
ketidakhadiran
konjungsi dan
untuk
menghubungk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
Marwati adalah
peristiwa kebakaran.
Guru menjelaskan
bahwa jawaban Siswa
7 kurang spesifik
sebab tidak dijelaskan
kebakaran apa yang
terjadi. Selanjutnya
guru melanjutkan
pembahasannya
tentang judul berita
milik Dwi Marwati.
an klausa
kebakaran
pasar,
kebakaran
rumah,
kebakaran
toko dalam
kalimat,
“Kebakaran itu
bisa berbagai
macam ya,
misalnya
kebakaran
pasar,
kebakaran
rumah,
kebakaran
toko”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- kata
iya menjadi ya.
- K5
Penanda:
pengulangan
kata kebakaran
dalam kalimat,
“…kebakaran
pasar,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
kebakaran rumah,
kebakaran toko”.
- K6
Penanda:
sopan santun
tidak
digunakan
secara ketat,
terbukti
dengan tidak
digunakannya
kata sapaan
saudara/sauda
ri/anak-anak
dalam kalimat
tanya, “Tadi
judulnya
apa?”.
- K10
Penanda:
beralihnya
topik dari
topik macam-
macam
kebakaran ke
topik judul
berita.
15 G- - Belum tahu Tuturan terjadi di √ - K1 √
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
IV88 ta ya? Jadi,
membuat
judulnya pun
harus
diperhatikan
ya.
Kebakaran
rumah lalu
kebakaran
dua rumah di
Sleman.
Karena apa?
Karena apa
peristiwa itu
terjadi?
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan para siswa. Guru
sebagai pembicara dan
para siswa sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru
mengkonfirmasi
tanggapan para siswa
atas jawaban Siswa 7
terkait judul berita.
Guru menegaskan
bahwa judul
Kebakaran di Sleman
kurang
mengambarkan isi
berita. Kemudian guru
mengingatkan para
siswa untuk membuat
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
hadirnya unsur
bahasa Jawa ta
yang berarti
kan dalam
kalimat,
“Belum tahu ta
ya?”.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya
ragam ta yang
berasal dari
bahasa Jawa.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- yang
berasal dari
kata kata iya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
judul berita dengan
jelas. Kemudian guru
melanjutkan
pembahasan dengan
bertanya pada para
siswa terlebih dulu
mengenai penyebab
terjadinya peristiwa
kebakaran.
menjadi ya.
- K5
Penanda:
pengulangan
unsur kalimat
karena apa
dalam kalimat,
“Karena apa?”
dan kalimat,
“Karena apa
peristiwa itu
terjadi?”.
- K6
Penanda:
kurangnya
kesantunan
tuturan yang
ditandai
ketiadaan kata
sapaan pada
kalimat tanya
yang ditujukan
oleh penutur
kepada mitra
tutur dalam
kalimat,
“Karena apa?”
dan “Karena
apa peristiwa
itu terjadi?”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
- K7
Penanda
hadirnya
interjeksi ta
yang dalam
bahasa
Indonesia
adalah kan.
- K10
Penanda:
beralihnya
topik tuturan
dari topik
penulisan
judul berita ke
topik
pembahasan
unsur karena.
- K11
Penanda:
penggunaan
unsur daerah
ta yang dalam
bahasa
Indonesia
adalah kan
dalam kalimat
“Belum tahu ta
ya?”.
- K12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
Penanda:
munculnya
kalimat yang
dipendekkan,
“Karena apa?”.
16 G-
IV90
- Ledakan
Tabung Gas.
Di mana
tepatnya
kejadian itu
terjadi?
Peristiwa itu
terjadi di…
Sleman? Kan
Sleman itu
luas. Nah,
temannya
kalau
memperhatik
an pasti bisa
bertanya ya
ta? Di mana
tadi Sleman-
nya?
Misalnya di
Kulon Progo.
Kulon Progo
kan luas
sekali ya?
Berarti ini
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan para siswa. Guru
sebagai pembicara dan
para siswa sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah Guru
mengkonfirmasi unsur
di mana dalam berita
tentang kebakaran.
Guru mengatakan
bahwa informasi
tempat dalam berita
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
hadirnya unsur
bahasa Jawa ta
yang berarti
kan dalam
kalimat, “Nah,
temannya
kalau
memperhatika
n pasti bisa
bertanya ya
ta?”.
- K2
Penanda:
penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
tempatnya
kurang
terperinci.
Lanjut. Siapa
yang
mengalami
peristiwa
tersebut?
tersebut kurang rinci
sebab dalam berita
hanya disebutkan
bahwa berita terjadi di
daerah Sleman
sedangkan wilayah
Sleman sangat luas.
terjadi. Kemudian
guru melanjutkan
pembaasan tentang
unsur siapa dalam
berita tersebut dengan
bertanya pada para
siswa.
dengan
hadirnya kata
ganti orang
ketiga –nya
yang tidak
sesuai konteks
pada temannya
dalam kalimat,
“Nah,
temannya
kalau
memperhatika
n pasti bisa
bertanya ya
ta?”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya.
- K7
Penanda:
Muncul
interjeksi Nah
dan ta dalam
kalimat “Nah,
temannya
kalau
memperhatika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
n pasti bisa
bertanya ya
ta?” serta
interjeksi kan
pada kalimat,
“? Kan Sleman
itu luas”.
- K11
Penanda:
penggunaan
unsur daerah
ta? (kan?)
dalam kalimat
“Nah,
temannya
kalau
memperhatika
n pasti bisa
bertanya ya
ta?”.
- K12
Penanda:
munculnya
ujaran yang
dipendekkan
yaitu, “Lanjut”
serta kalimat
yang
dipendekkan,
“Di mana tadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
Sleman-nya?”.
17 G-
IV92
- Oh, terus
bagaimana
terjadinya
peristiwa
tersebut?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 19. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 19 sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru
melanjutkan
pembahasan berita
tentang unsur
bagaimana. Guru
menanyakan kepada
para siswa bagaimana
kronologis terjadinya
peristiwa kebakaran.
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
penggunaan
bentuk tidak
resmi terus
yang berasal
dari bentuk
resmi
kemudian atau
lalu.
- K2
Penanda:
Penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
hadirnya kata
terus yang
merupakan
bentuk tidak
resmi
kemudian kata
lalu.
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
- K6
Penanda:
ketiadaan kata
sapaan dalam
kalimat tanya,
“Oh, terus
bagaimana
terjadinya
peristiwa
tersebut?”
yang
mengurangi
kesantunan
tuturan.
- K7
Penanda:
Muncul
interjeksi Oh.
18 G-
IV95
- Baik. Silakan
duduk nanti
kita liat.
Temannya
nanti yang
harus
memberi
komentar
bukan Ibu ya.
Ini tadi
belum ada.
Baik,
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru bahasa Indonesia
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai diandai
dengan
penggunaan
kata sapaan
ibu oleh
penutur (guru)
untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
Agustinus
Herjuno.
dan siswa-siswi kelas
VII A. Guru sebagai
pembicara dan para
siswa sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru
mengakhiri
pembahasan terhadap
presentasi yang
dilakukan oleh siswa 3
kemudian guru
menegaskan kembali
supaya para siswa
bersikap lebih proaktif
ketika menanggapi
presentasi temannya.
Berikutnya guru
meminta Siswa 2
(Herjuno) maju untuk
membacakan berita
yang telah dibuat.
menyebut
dirinya sendiri.
- K2
Penanda:
Penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan kata
liat yang
merupakan
bentuk tidak
resmi dari
lihat.
- K3
Penanda:
ketidakhadiran
subjek pada
kalimat,
“Silakan
duduk nanti
kita liat”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya.
- K5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
Penanda:
pengulangan
kata baik.
- K12
Penanda:
munculnya
kalimat yang
dipendekkan
berikut, “Ini
tadi belum
ada”.
19 G-
IV104
- Baik,
temannya ada
yang akan
mengoreksi?
Temannya
mendengarka
n jangan
ribut sendiri.
Agatha
silakan
mendengarka
n supaya
kamu bisa
mengomentar
i apa yang
telah dibaca
oleh teman
kita. Apa
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan siswa-siswi kelas
VIII A. Guru sebagai
pembicara dan para
siswa sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
keleluasaan
penutur untuk
menegur mitra
tutur dalam
kalimat,
“Temannya
mendengarkan
jangan ribut
sendiri”.
- K2
Penanda:
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
yang terjadi?
Sekarang
yang Ibu
tanya yang
mendengarka
n. Apa yang
terjadi?
adalah guru
mempersilakan para
siswa untuk
menanggapi berita
tentang penangkapan
bandar narkoba yang
telah dibacakan oleh
Siswa 3. Guru
meminta siswa untuk
mengoreksi berita
yang telah dibacakan
Siswa 3 namun tidak
ada siswa yang
berkomentar. Guru
pun meminta siswa
untuk memperhatikan
teman yang sedang
presentasi. Guru juga
menegur Siswa 1
(Agatha) yang ribut
sendiri dan tidak
memperhatikan
presentasi. Kemudian
guru mencoba
bertanya pada Nirmala
yang dianggap
memperhatikan
presentasi. Guru
bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan
penggunaan
kata ganti –nya
pada kata
temannya yang
tidak sesuai
konteks dalam
kalimat, “Baik,
temannya ada
yang akan
mengoreksi?”
dan
“Temannya
mendengarkan
jangan ribut
sendiri”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel –kan
pada kata
dibacakan
menjadi
dibaca dalam
kalimat,
“Agatha
silakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
bertanya pada Nirmala
mengenai peristiwa
apa yang terjadi dalam
berita tersebut.
mendengarkan
supaya kamu
bisa
mengomentari
apa yang telah
dibaca oleh
teman kita”.
- K5
Penanda:
pengulangan
kalimat tanya,
“Apa yang
terjadi?”.
- K10
Penanda:
topik
pembicaraan
tidak runtut
ditandai
dengan
beralihnya
topik
pembicaraan
dari topik
pembahasan
tugas
kemudian
beralih pada
teguran dan
nasihat pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
para siswa
supaya
memperhatika
n lalu, berali
lagi ke topik
unsur apa
berita yang
sedang
dibahas.
20 G-
IV110
- Nah, di
sebuah
kontrakan di
Jakarta Utara
ya. Terus
siapa yang
mengalami
peristiwa
tadi? Hana.
Hana...
*Njajal nang
ngarep dewe
ngrungokke
ora. Tadi
pakai inisial
siapa? Ada
yang ingat?
Yang
belakang
*ora
ngalamun
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 6(Hana).
Guru sebagai
pembicara dan Siswa
6 Sebagai lawan
bicara. Maksud dari
tuturan ini adalah guru
mengkonfirmasi
bahwa lokasi
penangkapan bandar
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
digunakannya
unsur bahasa
Jawa “Njajal
nang ngarep
dewe
ngrungokke
ora”, yang
seharusnya
tidak muncul
dalam
komunikasi
resmi di kelas.
- K2
Penanda:
√
Ragam Akrab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
wae.
*Coba di
depan sendiri
mendengarka
n atau tidak.
*…jangan
melamun
saja.
narkoba berada di
wilayah Jakarta Utara.
Kemudian guru
melanjutkan
pembahasan dengan
bertanya pada Siswa 6
terkait unsur siapa
dalam berita tersebut
namun, siswa yang
bersangkutan tidak
menjawab. Akhirnya
guru mengingatkan
kembali supaya para
siswa menyimak
presentasi.
ditanggalkann
ya awalan me-
pada kata
memakai
menjadi pakai.
- K4
Penanda:
hilangnya
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya
dalam kalimat,
“Nah, di
sebuah
kontrakan di
Jakarta Utara
ya”.
- K7
Penanda:
Muncul
interjeksi Nah
dalam kalimat
“Nah, di
sebuah
kontrakan di
Jakarta Utara
ya”.
- K9
Penanda:
munculnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
alih kode ke
dalam bahasa
Jawa ditandai
hadirnya unsur
bahasa Jawa
“Njajal nang
ngarep dewe
ngrungokke
ora”.
- K11
Penanda:
munculnya
unsur bahasa
daerah pada
kalimat, “Yang
belakang ora
ngalamun
wae”.
- K12
Penanda:
ujaran
memakai yang
dipendekkan
menjadi pakai
dalam kalimat,
“Tadi pakai
inisial siapa?”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
21 G-
IV112
- Siapa? “M”.
“M”, ya...
Tidak
disebutkan
namanya tapi
inisialnya
“M”. Baik
silakan
duduk.
Sekarang
dengarkan
semuanya
karena Ibu
akan
bertanya
pada kalian
ya, tidak
pada yang
membuat
berita.
Mmm…
Ahmad.
Yang keras
sehingga
teman yang
di belakang
mendengar.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru bahasa Indonesia
dan para siswa. Guru
sebagai pembicara dan
para siswa sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru
mengkonfirmasi
jawaban siswa terkait
unsur siapa dalam
berita yang dibacakan
Siswa 3 berinisial
“M”. Selanjutnya guru
meminta Siswa 4
(Ahmad) untuk maju
membacakan berita
yang ia buat dengan
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
penggunaan
kata ibu oleh
penutur (guru)
untuk
menyebut
dirinya sendiri,
menandakan
adanya
kedekatan
antara penutur
dengan mitra
tutur.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan
penggunaan
konjungsi
yang di awal
kalimat “Yang
keras sehingga
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
suara yang keras. teman yang di
belakang
mendengar”.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
pada kalimat,
“Baik silakan
duduk”,
ditandai
dengan
ketiadaan
subjek kalimat.
- K4
Penanda:
hilangnya
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya
yang muncul
beberapa kali.
- K7
Penanda:
munculnya
interjeksi
Mmm… dalam kalimat,
“Mmm…
Ahmad. Yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
keras sehingga
teman yang di
belakang
mendengar”.
- K12
Penanda:
bentuk ujaran
yang pendek-
pendek pada,
“Siapa? M. M,
ya...”.
22 S7-
V114
- Hahaha…
Mosok
arwahe
gentayangan.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung akrab.
Penutur tuturan ini
adalah siswa 7.
Tuturan ditujukan
kepada Siswa 3 yang
baru saja membacakan
berita. Di bagian akhir
berita disebutkan
bahwa arwah korban
kecelakaan
bergentayangan.
√
- K1
Penanda:
penutur dan
mitra tutur
saling akrab
ditandai
dengan
penggunaan
bahasa daerah
(bahasa Jawa)
yang
menempati
posisi ragam
rendah dan
tidak
seharusnya
muncul dalam
proses
komunikasi
√
Ragam Akrab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
Siswa resmi di kelas.
- K2
Penanda:
penggunaan
bahasa yang
tidak lengkap
terlihat dari
munculnya
istilah arwahe
(arwahnya)
yang tidak
menjelaskan
maksud
pembicaraan
secara rinci
bahwa -nya
yang dimaksud
dalam
arwahnya
adalah arwah
korban
kecelakaan
yang
meninggal.
- K3
Penanda:
tuturan tidak
menggunakan
bahasa yang
lengkap dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
tidak
menjelaskan
maksud secara
rinci sehingga
hanya mitra
tutur yang
mengetahui
konteks
pembicaraan
yang dapat
memahami
maksud
penutur.
23 G-
IV115
- Ya suka-suka
yang menulis
berita ya.
Apa yang
terjadi dalam
peristiwa
tersebut? Apa
yang terjadi?
Apa yang
terjadi Vivit?
Ada
kecelakaan?
Di?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 6. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 6 sebagai
sebagai lawan bicara.
Maksud dari
√
- K1
Penanda:
kedekatan
relasi antara
penutur
dengan mitra
tutur yang
ditandai
dengan
penyebutan
nama secara
sebagai kata
sapaan dalam
kalimat, “Apa
yang terjadi
Vivit?”.
- K2
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
pembicaraan ini
adalah guru
menanggapi Siswa 6
yang mengomentari
berita yang dibaca
Siswa 4 bahwa arwah
korban kecelakaan
kini bergentayangan.
Guru sambil menahan
tawa berkata pada
Siswa 6 bahwa apapun
berita yang ditulis
adalah kebebasan si
penulis berita
meskipun
sesungguhnya bagian
tersebut memang lucu
atau janggal.
Berikutnya guru
kembali bertanya pada
Siswa 17 terkait unsur
tempat dalam berita
Siswa 4.
Penanda:
penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya
kalimat yang
tidak lengkap
dan pendek-
pendek pada
kalimat-
kalimat
berikut, “Ada
kecelakaan?
Di?”.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
seperti pada
kalimat, “Ada
kecelakaan
di?”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata iya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
menjadi ya
yang muncul
beberapa kali.
- K5
Penanda:
pengulangan
kalimat “Apa
yang terjadi?”
sebanyak dua
kali serta
pengulangan
kata suka.
- K12
Penanda:
bentuk ujaran
yang pendek-
pendek berikut
ini, “Ada
kecelakaan?
Di?”.
24 G-
IV124
- Mengantuk
ya ta? Ya,
silakan
duduk. Tapi
harus lebih
memperhatik
an lagi
supaya kalau
ditanya bisa
menjawab
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
√
- K1
Penanda:
kedekatan/kea
kraban antara
guru dengan
siswa yang
ditandai
dengan
penggunaan
kata ibu oleh
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
tetapi yang di
depan
syaratnya
ngomongnya
juga harus
keras. Karena
ini sekalian
latihan
berbicara ya.
Nah,
selajutnya
Aluosiya.
Perhatikan
betul.
Siapapun
yang Ibu
tunjuk harus
bisa
menjawab.
*Ora omong
wae. Ahmad
dengarkan.
*Jangan
bicara terus.
pembicaraan adalah
guru, Siswa 4, dan
Siswa 5. Guru sebagai
pembicara sedangkan
Siswa 4, para siswa,
dan Siswa 5 sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru
mengonfirmasi bahwa
unsur mengapa dalam
berita yang dibacakan
oleh Siswa 4 adalah
kondisi sopir yang
mengantuk. Setelah
pembahasan unsur-
unsur berita milik
Siswa 4 selesai, guru
mempersilakan Siswa
4 kembali duduk.
Berikutnya guru
kembali mengngatkan
para siswa supaya
memperhatikan teman
yang sedang
presentasi, sementara
teman yang sedang
presentasi juga harus
penutur (guru)
untuk
menyebut
dirinya sendiri
dalam kalimat,
“Ibu tunjuk
harus bisa
menjawab”.
- K2
Penanda:
penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya
bentuk
nonformal
ngomong
diikuti kata
ganti orang
ketiga –nya
yang kurang
tepat pada
ngomongnya
dalam kalimat,
“Tetapi yang
di depan
syaratnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
183
membacakan
beritanya dengan
suara yang keras.
Setelah itu guru
meminta Siswa 5
untuk membacakan
beritanya. Sebelum
Siswa 5 membaca,
guru kembali
mengingatkan siswa
untuk benar-benar
memperhatikan
presentasi agar ketika
ditanya siswa dapat
menjawab. Guru juga
menegur Siswa 4
(Ahmad) yang terus-
menerus mengobrol
dengan temannya.
ngomongnya
juga harus
keras”.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
yang ditandai
dengan
ketiadaan
subjek pada
kalimat, “Ya,
silakan
duduk”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya
yang muncul
beberapa kali
dan
pemenggalan
silabel te- dari
kata tetapi
menjadi tapi
pada kalimat,
“Tetapi yang
di depan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
184
syaratnya
ngomongnya
juga harus
keras”.
- K5
Penanda:
pengulangan
kata ya.
- K7
Penanda:
Muncul
interjeksi Nah
dalam kalimat
“Nah,
selajutnya
Aluosiya”.
- K9
Penanda:
munculnya
alih kode dari
bahasa
Indonesia ke
dalam bahasa
Jawa yang
tampak pada
kalimat “Ora
omong wae”.
- K11
Penanda:
munculnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
185
unsur bahasa
daerah yaitu
bahasa Jawa
pada kalimat,
“Mengantuk
ya ta?” yang
dalam bahasa
Indonesia
berarti,
“Mengantuk,
ya kan?”.
25 G-
IV134
- Oh… Kapan
terjadinya.
Nah, ada
belum kapan
terjadinya
peristiwa itu?
Sudah
belum?
Sudah
belum?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru dan Siswa 5.
Guru sebagai
pembicara dan Siswa
5 sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru
mengonfirmasi
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan kalimat
tanya yang
ditujukan
langsung oleh
penutur kepada
mitra tutur
tanpa
menggunakan
kata sapaan
berikut ini,
“Nah, ada
belum kapan
terjadinya
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
186
tanggapan Siswa 5
dengan menanyakan
kepada siswa lain
apakah benar unsur
kapan atau waktu
terjadinya peristiewa
belum disebutkan
dalam berita milik
Siswa 5.
peristiwa itu?
Sudah belum?
Sudah
belum?”.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan kata
sambung atau
yang
dihilangkan di
antara kata
ada dan belum
dalam kalimat
“Nah, ada
belum kapan
terjadinya
peristiwa itu?”
serta pada
kalimat
“Sudah
belum?”.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
pada masing-
masing
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
187
kalimat.
- K5
Penanda:
terjadi dua kali
pengulangan
kalimat tanya,
“Sudah
belum?”.
- K7
Penanda:
munculnya
interjeksi Oh
dan Nah.
- K12
Penanda:
bentuk kalimat
yang pendek-
pendek berikut
ini, “Oh…
Kapan
terjadinya”
dan “Sudah
belum?”.
26 G-
IV142
- Dah ada.
Coba Ahmad
kamu jawab
bagaimana
peristiwa itu
terjadi?
Coba.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
188
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 8. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 8 sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru
menanyakan unsur
bagaimana dalam
berita yang dibaca
oleh Siswa 5 kepada
Siswa 8.
sapaan yang
langsung
merujuk pada
nama mitra
tutur yaitu
Ahmad dalam
kalimat, “Coba
Ahmad kamu
jawab
bagaimana
peristiwa itu
terjadi?”.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
bebas yang
ditandai
dengan
penggunaan
ragam tidak
resmi dah
yang berasal
dari bentuk
resmi sudah.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
pada kalimat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
189
“Dah ada” dan
“Coba” di
mana kedua
kalimat
tersebut hanya
terdiri satu
unsur yaitu
unsur predikat.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel su-
yang berasal
dari kata sudah
menjadi dah
pada kalimat
“Dah ada”.
- K5
Penanda:
pengulanganka
ta coba
sebanyak dua
kali.
- K6
Penanda:
penggunaan
kata sapaan
kamu yang
merupakan
bentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
190
nonformal dari
saudara,
saudari, dan
anda dalam
kalimat “Coba
Ahmad kamu
jawab
bagaimana
peristiwa itu
terjadi?”
seharusnya
tidak muncul
dalam
komunikasi
resmi,
sehingga akan
mengurangi
kadar
kesopanan
ujaran.
- K12
Penanda:
munculnya
ujaran Dah
yang
dipendekkan
dari kata sudah
serta
munculnya
ujaran pendek
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
191
Coba.
27 G-
IV144
- Nah, kenapa
kok bisa ada
peristiwa di
bawah
mobil? Kan
pasti ada
awal
peristiwanya
ya. *Ora
ujug-ujug wis
nang kana
kui tiba-tiba
di bawah
mobil.
Kenapa?
* Tidak tiba-
tiba sudah
ada di situ”.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan para siswa. Guru
sebagai pembicara dan
para siswa sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru ingin
mengajak para siswa
berpikir lebih kritis
untuk menemukan
unsur bagaimana
sehingga para siswa
dapat menemukan
kronologis terjadinya
peristiwa seorang
anak berada di bawah
mobil. Guru
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
munculnya
ragam bahasa
Jawa dalam
kalimat, “Ora
ujug-ujug wis
nang kana kui
tiba-tiba di
bawah mobil”.
- K2
Penanda:
adanya bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
penggunaan
ragam tidak
resmi kenapa
yang
merupakan
bentuk resmi
mengapa.
√
Ragam Akrab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
192
membantu siswa
untuk berpikir dengan
pertanyaan pancingan
bagaimana seorang
anak dapat berada di
bawah mobil.
- K4
Penanda:
pemenggalan
ilabel i dalam
kata iya
menjadi ya
pada kalimat,
“Kan pasti ada
awal
peristiwanya
ya”.
- K7
Penanda:
pemakaian
interjeksi kan
pada kalimat,
“Kan pasti ada
awal
peristiwanya
ya” dan
interjeksi Nah
dalam kalimat
“Nah, kenapa
kok bisa ada
peristiwa di
bawah
mobil?”.
- K9
Penanda:
munculnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
193
alih kode dari
bahasa
Indonesia ke
dalam bahasa
Jawa pada
kalimat “Kan
pasti ada awal
peristiwanya
ya” beralih ke
kalimat, “Ora
ujug-ujug wis
nang kono
kui”.
- K11
Penanda:
munculnya
unsur bahasa
daerah yaitu
bahasa Jawa
pada kalimat,
Ora ujug-ujug
wis nang kono
kui”.
28 G-
IV146
- Oh, anaknya
menyeberang
. Jadi, ada
peristiwa
terjadi mesti
ada awalnya
ya. Awal
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
√
- K1
Penanda:
Suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
194
peristiwa.
Baik, silakan
duduk. Kita
lanjutkan,
sekarang
yang maju
Ana Evanita!
Wah, coba
sekarang
lebih fokus
supaya bisa
mengoreksi.
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru dan Siswa 8.
Guru bahasa
Indonesia sebagai
pembicara dan Siswa
8 sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru
mengkonfirmasi
jawaban Siswa 8
bahwa kronologis
peristiwa seorang
anak berada di bawah
mobil berawal dari
seorang anak yang
hendak menyeberang
jalan. Guru
memberikan
peneguhan pada siswa
bahwa suau peristiwa
dapat terjadi karena
adanya awal peristiwa.
Selanjutnya guru
mempersilakna Siswa
5 kembali duduk.
sapaan yang
merujuk
langsung pada
nama mitra
tutur yaitu Ana
Evanita dalam
kalimat
perintah, “Kita
lanjutkan,
sekarang yang
maju Ana
Evanita!” yang
memperlihatka
n adanya
kedekatan
relasi antara
penutur
dengan mitra
tutur.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
penggunaan
kata mesti
yang
merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
195
Berikunya guru
meminta Siswa 2
untuk maju
membacakan berita.
bentuk tidak
resmi dari
bentuk resmi
harus pada
kalimat “Jadi,
ada peristiwa
terjadi mesti
ada awalnya”.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
yang ditandai
dengan
ketidakhadiran
subjek dan
objek pada
kalimat, “Baik,
silakan
duduk”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya
yang muncul
dalam kalimat,
“Jadi, ada
peristiwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
196
terjadi mesti
ada awalnya
ya”.
- K7
Penanda:
munculnya
interjeksi oh
pada kalimat
“Oh, anaknya
menyeberang”
dan interjeksi
wah pada
kalimat “Wah,
coba
sekarang lebih
fokus supaya
bisa
mengoreksi”.
29 G-
IV150
- Ana, Ana,
tolong
diperkeras
volume
suaranya.
Tidak
kedengaran
dari
belakang.
Nanti
temanmu gak
bisa
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
√
- K1
Penanda:
keakraban atau
kedekatan
yang ditandai
dengan
pemakaian
kata ganti –mu
pada kata
temanmu dan
pekerjaanmu
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
197
mengoreksi
pekerjaanmu.
Yang keras.
dan Siswa 2. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 2 sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru kembali
meminta Siswa 2
untuk membaca
dengan suara keras
karena suara Siswa 2
tidak terdengar dari
belakang sehingga
dikhawatirkan teman
yang memperhatikan
presentasi akan
kesulitan mengoreksi
berita yang dibacakan
oleh Siswa 2.
yang tidak
resmi dan
seharusnya
tidak dipakai
dalam
komunikasi
resmi
memperlihatka
n bahwa
penutur dan
mitra tutur
memiliki
kedekatan
relasi.
- K2
Penanda:
Penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya kata
gak yang
merupakan
bentuk tidak
resmi dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
198
tidak.
- K3
Penanda:
struktur
kalimat tidak
memiliki
kelengkapan
fungtor,
terlihat dari
kalimat “Tidak
kedengaran
dari
belakang”dan
kalimat, “yang
keras” yang
tidak memiliki
unsur subjek
dan objek.
- K5
Penanda:
pengulangan
kata sapaan
Ana.
- K12
Penanda:
munculnya
ujaran pendek,
“Yang keras”.
30 G- - Ya, baik.
Apa yang
Tuturan terjadi di √ - K1
Penanda:
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
199
IV152 terjadi,
Natanael?
Apa yang
terjadi,
Natanael?
Ya, Natanael.
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 15. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 15 sebagai
lawan bicara.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru
menanyakan unsur
apa dalam berita yang
dibaca oleh Siswa 2
kepada Siswa 15.
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan kata
sapaan yang
langsung
merujuk pada
nama mitra
tutur, yaitu
Natanael yang
menandakan
adanya
kedekatan
relasi antara
penutur
dengan mitra
tutur.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata ya dalam
kalimat “Ya,
baik”dan pada
kalimat “Iya,
Natanael.”
- K5
Penanda:
terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
200
pengulangan
kalimat “Apa
yang terjadi
Natanael?”
sebanyak dua
kali.
31 G-
IV154
- Longsor…
Di mana
terjadi
peristiwa itu
Yusup
Elfand? Di
mana
terjadinya?
Di mana,
Darma
Djaja?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan para siswa. Siswa
15 sebagai pembicara
dan guru sebagai
lawan bicara. Guru
mengkonfirmasi
jawaban Siswa 15
bahwa unsur apa
dalam berita yang
dibacakan oleh 2
adalah peristiwa
longsor.
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
hadirnya kata
sapaan yang
langsung
merujuk pada
nama mitra
tutur yaitu,
Yusuf Elfand
dan Darma
Djaja
menandakan
adanya
kedekatan
relasi antara
penutur
dengan mitra
tutur.
- K2
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
201
Penanda:
bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan
hadirnya dua
kalimat tanya
yang tidak
lengkap, “Di
mana
terjadinya?”
dan “Di mana,
Darma
Djaja?”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel –nya
pada kata
terjadi dalam
kalimat “Di
mana terjadi
peristiwa itu?”.
- K5
Penanda:
terjadi
pengulangan
kata tanya di
mana pada
ketiga kalimat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
202
berikut: Di
mana terjadinya
peristiwa itu
Yusup Elfand?
Di mana terjadinya? Di
mana Darmajaya?
- K12
Penanda:
munculnya
kalimatalimat
pendek
berikut, “Di
mana
terjadinya?”
dan “Di mana,
Darma
Djaja?”.
32 G-
IV159
- Samigaluh.
Ya. Kapan
terjadinya
peristiwa
tanah longsor
tersebut?
Erwin, kapan
terjadinya?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
munculnya
kalimat tanya
dengan sapaan
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
203
pembicaraan adalah
guru bahasa
Indonesia, Siswa 25,
dan Siswa 20. Guru
mengkonfirmasi
jawaban Siswa 25
bahwa unsur apa
dalam berita yang
dibacakan oleh Siswa
6 adalah di Samgaluh.
Selanjutnya guru
melanjutkan
pembahasan unsur
kapan dengan
bertanya pada Siswa
20 kapan terjadinya
peristiwa tanah longor
dalam berita yang
dibacakan oleh Siswa
6.
Erwin yang
ditujukan
langsung
kepada mitra
tutur
menandakan
pula adanya
relasi yang
dekat antara
penutur
dengan mitra
tutur.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
pada kalimat,
“Erwin, kapan
terjadinya?”
yang tidak
memiliki objek
kalimat.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata iya.
- K5
Penanda:
terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
204
pengulangan
kapan
terjadinya
sebanyak dua
kali.
- K12
Penanda:
munculnya
ujaran-ujaran
pendek
berikut,
“Samigaluh.
Ya”.
33 S3-
V165
- *Pertigaan
Kreo ngendi?
* Pertigaan
Kreo mana?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung akrab.
Penutur tuturan ini
adalah siswa 3.
Tuturan ditujukan
kepada Siswa 7 yang
sedang membacakan
judul berita di depan.
Siswa 3 merasa judul
berita yang dibacakan
√
- K1
Penanda:
adanya
hubungan
akrab antara
penutur
dengan mitra
tutur (Siswa 3
dengan Siswa
7) yang
ditandai
dengan
penggunaan
bahasa daerah
(bahasa Jawa)
yang
menempati
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
205
oleh Siswa 7 kurang
jelas sehingga Siswa 3
menanyakan pada
Siswa 7, pertigaan
Kreo manakah yang
dimaksud.
posisi ragam
rendah apabila
muncul saat
berlangsungny
a proses
pembelajaran
di kelas.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
tidak lengkap
yang terlihat
dari tuturan
dalam bentuk
kalimat tanya
yang singkat
dan kurang
terperinci. Hal
ini tampak
apabila ujaran
diartikan
dalam bahasa
Indonesia
maka akan
muncul bentuk
kalimat tanya
pendek,
“Pertigaan
Kreo Mana?”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
206
- K3
Penanda:
bentuk kalimat
tanya yang
singkat dan
tidak rinci
membuat
ujaran hanya
dimengerti
oleh mitra
tutur yang
mengetahui
konteks dan
terlibat
langsung
dalam
pembicaraan.
34 G-
II167
- Apa judul
berita yang
dibacakan
oleh Yona?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembelajaran
serius. Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
√
- K1
Penanda: topik
pembicaran
serius terkait
pembahasan
judul berita
yang telah
dipresentasika
n.
- K2
Penanda: antar
√
.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
207
dan guru. Guru
sebagai penutur dan
para siswa kelas VIII
A sebagai mitra tutur.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah Guru meminta
para siswa
menanggapi berita
yang baru saja
dibacakan oleh salah
seorang siswi bernama
Yona. Guru
memancing keaktifan
siswa dengan
melontarkan
pertanyaan terlebih
dulu. Pertanyaan yang
dilontarkan terkait
dengan judul berita.
orang yang
berbicara
saling
menghormati
ditandai
dengan
penggunaan
kata-kata
baku/resmi.
- K3
Penanda:
bentuk kata
dan kalimat
yang
digunakan
lengkap dan
tidak
disingkat.
- K4
Penanda:
struktur
fungtor
lengkap,
mengandung
subjek,
predikat, dan
objek. Apa
judul berita-
(Objek) yang
dibacakan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
208
(Predikat) oleh
Yona?-
(Subjek)
- K5
Penanda:
tingkat tutur
sesuai dengan
orang yang
diajak bicara,
ditandai
dengan
penggunaan
kata sapaan
Yona (nama
siswa) yang
digunakan
guru untuk
menyebut
siswanya.
Menyebut
siswa dengan
nama dianggap
sesuai dengan
tingkat tutur
guru sebagai
orang yang
dihormati di
kelas.
- K7
Penanda: kata
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
209
yang dipakai
bersifat baku
atau sudah
dibakukan.
- K8
Penanda:
penggunaan
imbuhan -kan
pada kata
dibacakan
secara jelas
dan teliti.
- K9.
Penggunaan
kata sambung
(konjungsi)
yang dan oleh.
- K10
Penanda: tidak
hadirnya
pengaruh
unsur asing,
bahasa daerah
atau bahasa
yang tidak
dibakukan.
35 S6-
IV174
- Aku, Bu. Bu,
aku.
Jembatan
kreo.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
210
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
Siswa 6 dan guru
Bahasa Indonesia.
Siswa 6 sebagai
pembicara dan guru
sebagai lawan bicara.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah Siswa 6 ingin
menjawab pertan yaan
guru terkait unsur di
mana dalam berita
yang telah dibacakan
oleh Siswa 7. Siswa 6
mencoba mengangkat
tangan supaya
ditunjuk oleh guru
untuk menjawab
pertanyaan. Namun,
guru menunjuk siswa
lain.
berlangsung
santai ditandai
dengan
pemakaian
bentuk tidak
resmi aku yang
memiliki
bentuk resmi
saya
menandakan
adanya relasi
yang akrab
antara penutur
dengan mitra
tutur.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan
hadirnya
bentuk tidak
resmi aku yang
berasal dari
bentu resmi
saya.
- K3
Penanda:
ketidakhadiran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
211
predikat pada,
“Aku, Bu” dan
“Bu, aku” serta
ketidakhadiran
subjek dan
predikat pada,
“Jembatan
Kreo”.
- K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel i- pada
kata Bu yang
berasal dari
kata Ibu.
- K5
Penanda:
pengulangan
kata aku dan
kata Bu.
- K6
Penanda:
sopan santun
tidak
digunakan
secara ketat,
terbukti
dengan
penggunaan
bentuk tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
212
resmi aku yang
seharusnya
tidak muncul
pada
komunikasi
resmi, terlebih
mitra tutur
adalah guru
(orang yang
dihormati).
36 G-
IV177
- Oh, di
pertigaan
Jembatan
Kreo. Ya,
silakan
duduk. Nah,
Bunga
bacakan
beritamu.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa
Indonesia, Siswa 22
dan Siswa 3. Guru
sebagai pembicara
sementara Siswa 22
dan Siswa 3 sebagai
lawan bicara. Guru
mengkonfirmasi
jawaban Siswa 22
√
- K1
Penanda:
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
hadirnya kata
sapaan Bunga
yang merujuk
langsung pada
mitra tutur
menandakan
adanya
kedekatan
relasi antara
penutur
dengan mitra
tutur.
- K3
Penanda:
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
213
terkait unsur di mana
dalam berita yang
telah dibacakan oleh
Siswa 7. Guru
membenarkan bahwa
unsur di mana dalam
berita Siswa 7 adalah
di pertigaan jembatan
Kreo. Setelah itu guru
mempersilakan Siswa
22 duduk kembali.
Berikutnya guru
meminta Siswa 3
untuk maju
membacakan berita
yang telah dibuatnya.
ketidaklengkap
an fungtor
yang ditandai
dengan
ketidakhadiran
subjek dan
objek dalam
kalimat, “Ya,
silakan
duduk”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata ya yang
berasal dari
kata iya dalam
kalimat “Ya,
silakan
duduk”.
- K7
Penanda:
penggunaan
interjeksi Oh
pada kalimat
“Oh, di
pertigaan
Jembatan
Kreo” dan
interjeksi Nah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
214
pada kalimat
“Nah, Bunga
bacakan
beritamu”.
37 S3-
V178
- Yon... Yona,
sejak kapan
Sleman nang
Kulon
Progo?
* Yon...
Yona, sejak
kapan
Sleman di
Kulon
Progo?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung akrab.
Penutur tuturan ini
adalah siswa 3.
Tuturan ditujukan
kepada Siswa 22 yang
telah membacakan
judul berita di depan.
Siswa 3 merasa judul
berita yang dibacakan
oleh Siswa 22 tidak
tepat. Siswa 22
mengatakan bahwa
Sleman terletak di
Kulon Progo
sementara
kenyataannya Sleman
dan Kulon Progo
√ - K1
Penanda:
situasi
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
hadirnya unsur
bahasa Jawa
nang.
- K2
Penanda:
Ditandai
dengan bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya
kalimat yang
memiliki unsur
tidak lengkap.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
215
adalah dua kabupaten
yang berlainan di
DIY.
yang tampak
dari
ketidakhadiran
predikat pada
kalimat,
“Yona, sejak
kapan Sleman
di Kulon
Progo?”.
- K11
Penanda:
hadirnya unsur
bahasa Jawa
nang yang
berarti di.
38 G-
IV181
- Dah, yang
lain
memperhatik
an. Bunga
membaca
yang keras.
Agak maju
saja. Agak
maju saja.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru dan Siswa 8.
Guru sebagai
pembicara dan Siswa
8 sebagai lawan
√
- K1
Penanda:
situasi
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
hadirnya
bentuk tidak
resmi dah.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
yang ditandai
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
216
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru meminta
Siswa 8 melanjutkan
pembacaan berita
dengan suara keras
dan siswa yang lain
diminta untuk
memperhatikan
presentasi.
dengan
ketidakhadiran
objek dalam
kalimat,
“Bunga
membaca yang
keras” dan
kalimat, “Dah,
yang lain
memperhatika
n” serta
kalimat yang
hanya terdiri
dari predikat
pada kalimat,
“Agak maju
saja”.
- K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel su-
pada kata dah
yang berasal
dari bentuk
sudah.
- K5
Penanda:
Terjadi
pengulangan
kata agak maju
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
217
saja.
39 G-
IV183
- Baik. Ada
yang mau
koreksi? Apa
yang terjadi,
Galih? Apa
yang terjadi,
Galih?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 14. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 14 sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru meminta
menunjuk Siswa 14
untuk menanggapi
berita yang telah
dibaca oleh Siswa 8.
Guru menanyakan
unsur apa pada Siswa
8.
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan bentuk
kebahasaan
yang bebas.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
relatif bebas
ditandai
dengan kata
tanya apa yang
tidak tepat
digunakan
dalam kalimat
tanya, “Ada
yang mau
koreksi?”.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
yang ditandai
dengan
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
218
ketidakhadiran
objek dalam
kalimat, “Ada
yang mau
koreksi?”
- K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel dari
kata
mengoreksi
menjadi
koreksi.
- K5
Penanda:
Terjadi
pengulangan
kalimat,”Apa
yang terjadi
Galih?”
sebanyak dua
kali.
40 G-
IV186
- 2005. Wah,
berapa tahun
yang lalu ya
itu beritanya?
Tahun 2005.
Gak papa
baru lahir.
Apa berita ini
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
munculnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
219
tadi sudah
lengkap?
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan para siswa. Guru
sebagai pembicara dan
para siswa sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru
mengkonfirmasi
jawaban Siswa 19
bahwa unsur kapan
dalam berita yang
telah dibacakan oleh
Siswa 8 adalah tahun
2005. Guru
mengatakan peristiwa
dalam berita tersebut
sudah berlangsung
bertahun-tahun yang
lalu bahkan sebelum
para siswa lahir.
Kemudian guru
menanyakan pada
para siswa apakah
unsur-nsur dalam
berita yang dibacakan
oleh Siswa 8 sudah
bentuk tidak
resmi gak
papa yang
berasal dari
bentuk resmi
tidak apa-apa.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
yang bebas
terlihat bentuk
kalimat
mubazir
ditandai dari
munculnya
kata tadi
dalam kalimat,
“Apa berita ini
tadi sudah
lengkap?”.
Kata tadi
dikatakan
mubazir sebab
bersifat
opsional,
apabila tidak
kata tadi tidak
hadir maka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
220
lengkap. tidak akan
mengubah
makna
kalimat.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
pada tiap
kalimat.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel –kah
pada kata
apakah
menjadi apa
dalam kalimat,
Apa berita ini
tadi sudah
lengkap?”.
- K7
Penanda:
penggunaan
interjeksi wah
pada kalimat,
“Wah, berapa
tahun yang
lalu ya itu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
221
beritanya?”.
- K10
Penanda: topik
tidak runtut
terlihat dari
tuturan yang
diawali dengan
pembahasan
tentang unsur
kapan (waktu
terjadinya
peristiwa
dalam berita
yang dibaca
siswa)
kemudian pada
kalimat
terakhir beralih
ke topik
kelengkapan
unsur berita.
- K12
Penanda:
bentuk ujaran
yang tidak
lengkap
berikut ini,
“2005”.
41 G- - Bu, gak
denger Bu.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
√ - K1
Penanda:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
222
IV202 pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
Siswa 7 dan guru
Bahasa Indonesia.
Siswa 7 sebagai
pembicara dan guru
sebagai lawan bicara.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah Siswa 7
menyampaikan
kesulitannya untuk
mendengarkan berita
yang sedang dibaca
oleh Siswa 9 sebab
suara Siswa 9 hanya
terdengar lirih.
adanya
kedekatan
relasi antar
penutur
dengan mitra
tutur ditandai
dengan
penggunaan
ragam tidak
resmi gak
denger yang
tidak
seharusnya
muncul dalam
proses belajar
mengajar di
kelas terlebih
penutur adalah
siswa yang
semestinya
menggunakan
ragam resmi
untuk bertutur
dengan guru.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
223
hadirnya
bentuk tidak
resmi gak
denger.
- K3
Penanda:
Ketidaklengka
pan fungtor
yang ditandai
dengan
ketidakhadiran
subjek kalimat.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata bu yang
berasal dari
kata Ibu.
- K5
Penanda:
terjadi dua kali
pengulangan
kata Bu.
- K6
Penanda:
sopan santun
kurang ketat
terbukti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
224
dengan
penggunaan
bentuk tidak
resmi gak
denger oleh
siswa terhadap
guru yang
seharusnya
digunakan oleh
siswa untuk
berbicara
kepada teman
sebaya dalam
situasi tidak
resmi.
- K8
Penanda:
tingkat tutur
terabaikan oleh
penutur
(siswa) yang
menggunakan
ragam tidak
resmi untuk
berbicara
dengan orang
yang dihormati
(guru) dalam
situasi
pembelajaran
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
225
yang resmi di
kelas.
- K12
Penanda:
munculnya
ujaran-ujaran
yang
dipendekkan
seperti Ibu
menjadi Bu
dan tidak
menjadi gak.
42 G-
IV205
- Apa yang
terjadi? Apa
Agatha?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru dan Siswa 1.
Guru sebagai
pembicara dan Siswa
1 sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru bertanya
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
penyebutan
nama Agatha
secara
langsung
dalam kalimat
tanya, “Apa
Agatha?”.
- K3
Penanda:
ketidakhadiran
subjek dalam
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
226
pada Siswa 1 terkait
unsur apa dalam
berita yang telah
dibacakan oleh Siswa
9.
kalimat “Apa
yang terjadi?”.
- K5
Penanda:
pengulangan
kata apa.
- K6
Penanda:
sopan santun
tidak digunaan
secara ketat,
terbukti
dengan tidak
digunakannya
kata sapaan
saudara/sauda
ri/anak-anak
dalam kalimat
“Apa yang
terjadi?”.
- K12
Penanda:
munculnya
kalimat yang
dipendekkan
pada “Apa
Agatha?” yang
telah
menghilangka
n unsur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
227
predikat.
43 G-
II209
- Mengapa
peristiwa itu
terjadi,
Darma
Djaja?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung serius.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru bahasa Indonesia
dan Siswa 27. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 27 sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru
menanyakan unsur
mengapa.
√
- K1
Penanda: topik
pembicaran
serius terkait
penyebab
terjadinya
peristiwa
dalam berita
yang
dibacakan oleh
Siswa 27.
- K3
Penanda:
memakai
bentuk lengkap
ditandai
dengan tidak
adanya
penggunaan
singkatan
dalam tataran
kata.
- K4
Penanda:
struktur
fongtor
lengkap,
minimal
mengandung
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
228
subjek dan
predikat.
- K5
Penanda:
tingkat tutur
sesuai dengan
orang yang
diajak bicara,
ditandai
dengan
penyebutan
Darma Djaja
(nama siswa)
yang
digunakan oleh
guru untuk
menyebut
siswanya.
Menyebut
siswa dengan
nama dianggap
sesuai dengan
tingkat tutur
guru sebagai
orang yang
dihormati di
kelas.
- K7
Penanda: Kata
atau istilah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
229
yang dipakai
bersifat baku
atau sudah
dibakukan.
- K10
Penanda:
terhindar dari
pengaruh
unsur asing,
bahasa daerah
atau bahasa
yang tidak
dibakukan.
44 G-
IV225
- Baik supaya
semua
mengoreksi
tolong
berikan
beritamu kepada teman
di
belakangmu.
Paling
belakang
berikan pada
teman yang
paling depan.
Lalu
dikoreksi.
Diberi nama
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru dan para siswa.
Guru Bahasa
Indonesia sebagai
pembicara dan para
siswa sebagai lawan
bicara. Maksud dari
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
penggunaan
kata ganti
tidak resmi
–mu dan kamu
yang hanya
muncul pada
tuturan yang
ditunjukkan
untuk orang
yang sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
230
pengoreksi
ya. Kalau ada
yang kurang,
belum
lengkap
unsurnya
diberi
catatan.
Nama
pengoreksi di
bawah. Kalau
kurang
ditulisi yang
kurang yang
mana ya,
misalnya
belum ada
tempat,
belum ada
waktu. Yang
sudah
lengkap
ditulisi
lengkap ya.
Yang kurang
ditulisi
kurang apa.
Yang
nilainya
tinggi yang
pembicaraan ini
adalah guru meminta
semua siswa untuk
terlibat dalam
mengoreksi berita
milik teman dengan
cara guru meminta
para siswa untuk
saling tukar hasil
pekerjaan dan
bersama-sama
mengoreksi berita
milik teman. Guru
menyampaikan
rambu-rambu untuk
melakukan koreksi.
Pertama, siswa
diminta untuk
menuliskan namanya
masing-masing di
bawah berita yang
dikoreksi. Kemudian
siswa diminta
menemukan
kekurangan yang ada
dalam berita yang
dikoreksi. Siswa harus
menuliskan unsur apa
dikenal dan
memiliki
kedekatan
relasi.
- K2
Penanda:
penggunaan
bentuk
kebahasaan
yang bebas
ditandai
dengan
hadirnya
konjungsi
yang di awal
kalimat.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
yang ditandai
dengan
ketiadaan
subjek dan
objek pada
kalimat, “Lalu
dikoreksi”.
- K4
Penanda:
pemenggalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
231
dapat
menemukan
kekurangann
ya.
Pengoreksi
yang dapat
menulis
kekurangann
ya mendapat
nilai tinggi.
*Sing ming
nulis
lengkap,
lengkap,
lengkap,
tidak
mendapat
nilai.
Ternyata
ditulisi
lengkap tapi
tidak lengkap
kamu tidak
dapat nilai ya
tapi kalau
memang
lengkap
ditulis
lengkap ya
dapat nilai.
yang belum termuat
dalam berita. Apabila
berita sudah memuat
semua unsur berita
maka berita ditandai
dengan dibubuhi
tulisan lengkap. Guru
juga menyampaikan
sistem penilaian untuk
korektor yaitu, baran
siapa dapat
menemukan
kekurangan dalam
berita yang dikoreksi,
dialah yang mendapat
nilai tinggi.
silabel i- pada
kata iya
menjadi ya
yang muncul
beberapa kali
dan
pemenggalan
silabel te- dari
kata tetapi
menjadi tapi
pada kalimat,
“Tetapi yang
di depan
syaratnya
ngomongnya
juga harus
keras”.
- K5
Penanda:
pengulangan
kata yang
berturut-turut
serta
pengulangan
kata ya.
- K11
Penanda:
munculnya
unsur daerah
(bahasa Jawa)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
232
*Yang hanya
nulis
lengkap,
lengkap,
lengkap,
tidak
mendapat
nilai.
pada kalimat
“Sing ming
nulis lengkap,
lengkap,
lengkap, tidak
mendapat
nilai.”
- K12
Penanda:
munculnya
ujaran pendek,
“Lalu
dikoreksi”.
45 G-
IV229
- Jangan
dikembalikan
dulu. Dah
yang lain
duduk.
Jangan
dikembalikan
dulu. Sudah?
Sekarang
menyimak
lagi ya. Ibu
akan
memanggil
seorang anak
yang akan
membacakan
berita
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru dan para siswa.
Guru sebagai
pembicara dan para
siswa sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
hadirnya
bentuk tidak
resmi kamu
yang memiliki
bentuk resmi
Anda serta
bentuk tidak
resmi dah
yang berasal
dari bentuk
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
233
temannya
lalu nanti
menurut dia
sudah
lengkap
belum,
menurut
kamu sudah
lengkap
belum. Yang
bisa bersuara
keras.
adalah guru meminta
siswa yang sudah
selesai mengoreksi
berita untuk tidak
mengembalikan
pekerjaan temannya
terlebih dahulu sebab
para siswa masih
dimita untuk
memperhatikan guru.
Guru akan memanggil
salah seorang siswa
untuk membacakan
berita milik temannya
lalu si pembaca berita
diminta untuk
menyampaikan
pendapatnya
mengenai
kelengkapan unsur
dalam berita yang
dibacanya.
resmi sudah
memperlihatka
n adanya
kedekatan
ralasi antara
penutur
dengan mitra
tutur.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
yang bebas,
terlihat pada
pemakain
ragam tidak
resmi dah serta
penggunaan
konjungsi
yang letaknya
tidak tepat
yaitu berada di
awal kalimat,
“Yang bisa
bersuara
keras”.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
234
ditandai
dengan
ketiadaan
subjek dan
predikat dalam
kalimat,
“Jangan
dikembalikan
dulu”.
- K4
Penanda:
Pemenggalan
silabel su- kata
sudah menjadi
dah dalam
kalimat, “Dah
yang lain
duduk”.
- K5
Penanda:
pengulangan
kalimat,
“Jangan
dikembalikan
dulu”.
- K6
Penanda:
hadirnya kata
ganti orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
235
ketiga dia
yang
merupakan
bentuk tidak
resmi dari
beliau, bapak,
ibu, saudara,
atau saudari
pada kalimat,
“…lalu nanti
menurut dia
sudah lengkap
belum,
menurut kamu
sudah lengkap
belum”
menandakan
kesantunan
tidak berlaku
ketat.
46 G-
IV231
- Nah, ya ayok
Ferdy
Saputra
silakan
bacakan
berita yang
kamu
koreksi.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
pemakaian
bentuk tidak
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
236
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan Siswa 16. Guru
sebagai pembicara dan
Siswa 16 sebagai
lawan bicara. Maksud
dari pembicaraan ini
adalah guru meminta
Siswa 16 untuk
membacakan berita
milik teman yang
sudah ia koreksi.
resmi kamu
yang berasal
dari bentuk
resmi Anda
menandakan
adanya
kedekatan
relasi antara
penutur
dengan mitra
tutur.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan
penggunaan
bentuk tidak
resmi ayok
yang berasal
dari berasal
dari bentuk
resmi ayo.
- K4
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata ya yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
237
berasal dari
bentuk iya.
- K7
Penanda:
penggunaan
interjeksi nah
di awal
kalimat.
47 G-
IV242
- Kamu tidak
usah
terganggu
sama situasi
di luar. *Ra
sah noleh
noleh njaba
madhep
ngarep
kabeh.
*Tidak usah
menoleh
keluar,
menghadap
ke depan
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan siswa-siswi kelas
VIII A. Guru sebagai
pembicara dan para
siswa sebagai lawan
bicara. Maksud dari
pembicaraan ini
adalah guru meminta
para siswa agar fokus
membacakan berita
dan tidak perlu
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan
munculnya
bentuk tidak
resmi sama
yang berasal
dari bentuk
resmi dengan
dalam kalimat
“Kamu tidak
usah terganggu
sama situasi
di luar” yang
tidak
seharusnya
muncul dalam
komunikasi
√
Ragam Akrab
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
238
semua. menghiraukan situasi
di luar kelas. Guru
juga meminta para
siswa untuk tidak
melihat ke arah luar
dan semua siswa harus
fokus menghadap ke
depan untuk
memperhatikan guru
dan teman yang
sedang membaca
berita.
resmi.
- K2
Penanda:
bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan
hadirnya
bentuk tidak
resmi sama
dan unsur
bahasa daerah
“Ra sah noleh
noleh njaba
madhep
ngarep
kabeh”.
- K5
Penanda:
pengulangan
kalimat dengan
makna yang
sama dalam
bahasa yang
berbeda, yaitu
bahasa
Indonesia
(tidak usah)
dan bahasa
Jawa (ra
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
239
usah).
- K6
Penanda:
munculnya
kata sapaan
nonformal
kamu yang
dituturkan oleh
guru terhadap
siswa sebagai
mitra tutur.
- K9
Penanda:
terjadi alih
kode dari
bahasa
Indonesia yang
tampak pada
kalimat
pertama ke
dalam bahasa
Jawa yang
tampak pada
kalimat kedua.
- K11
Penanda:
hadirnya unsur
bahasa daerah
yaitu, bahasa
Jawa pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
240
tuturan, “Ra
sah noleh
noleh njaba
madhep
ngarep
kabeh”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
241
48 S3-
IV243
- Bu, udah
pulang Bu,
udah pulang.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
inti pembelajaran
Bahasa Indonesia.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
Siswa 3 dan guru
Bahasa Indonesia.
Siswa 3 sebagai
pembicara dan guru
sebagai lawan bicara.
Maksud dari
pembicaraan ini
adalah Siswa 3
mendengar bel tanda
pulang berbunyi
kemudian Siswa 3
menyampaikan pada
guru bahwa waktu
pulang sudah tiba.
√
- K1
Penanda:
suasana
pembicaraan
berlangsung
santai ditandai
dengan kata
sapaan Bu
yang
menandakan
adanya
kedekatan
relasi antara
penutur
dengan mitra
tutur.
- K2
Penanda:
Bentuk
kebahasaan
bebas ditandai
dengan
hadirnya
bentuk tidak
resmi udah
yang berasal
dari bentuk
resmi dari kata
sudah.
- K4
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
242
Penanda:
pemenggalan
silabel i- pada
kata Ibu
menjadi Bu
pada kalimat
pertama dan
kedua.
- K5
Penanda:
Terjadi
pengulangan
kalimat “Bu,
udah pulang”.
- K6
Penanda:
sopan santun
kurang berlaku
ketat ditandai
dengan
penggunaan
bentuk tidak
resmi udah
oleh siswa
kepada guru
sebagai orang
yang
dihormati.
- K8
Penanda:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
243
penutur (Siswa
mengabaikan
penggunaan
ragam formal
untuk
berbicara
kepada orang
yang dihormati
(guru) ditandai
dengan
penggunaan
bentuk
nonformal
udah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
244
C. Bagian Penutup Pembelajaran
NO.
KOD
E
TUTURAN
KONTEKS
JENIS RAGAM
PENANDA
KARAKTERISTIK
RAGAM
TRIANGU
LATOR
KETERANGAN
RB RR RU RS RA S TS
49 G-
IV244
- Oh, iya.
Buku
dikumpulkan
! Buku
dikumpulkan
!
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
penutup pembelajaran.
Suasana pembicaraan
berlangsung santai.
Partisipan
pembicaraan adalah
guru Bahasa Indonesia
dan para Siswa. Guru
sebagai pembicara dan
para siswa sebagai
lawan bicara. Maksud
dari tuturan ini adalah
guru menutup
pembelajaran dengan
meminta para siswa
mengumpulkan buku
tugas mereka masing-
masing.
√
- K1
Penanda:
Munculnya
kalimat
perintah yang
singkat dan
tidak
disertai kata
sapaan.
- K3
Penanda:
ketidaklengkap
an fungtor
kalimat yang
ditandai
dengan
ketiadaan
objek masing-
masing
kalimat.
- K5
Penanda;
terjadi
pengulangan
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
245
kalimat
perintah,
“Buku
dikumpulkan!”
- K6
Penanda:
sopan santun
tidak
digunakan
secara ketat,
terbukti
dengan tidak
digunakannya
kata tolong
atau mohon
untuk
memperhalus
kalimat
perintah.
- K7
Penanda:
penggunaan
interjeksi oh.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
246
50 S1-
V246
- Dikumpulke
nang nggon
Pras.
*Dikumpulkan
pada Pras.
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
penutup pembelajaran.
Suasana pembicaraan
berlangsung akrab.
Partisipan
pembicaraan adalah
Siswa 1 dan para
siswa yang lain di
kelas. Siswa 1 sebagai
penutur dan siswa-
siswi lainnya sebagai
mitra tutur. Maksud
dari tuturan ini adalah
Siswa 1 memberi tahu
siswa-siswi yang lain
bahwa buku tugas
dikumpulkan pada
Pras.
√
- K1
Penanda:
adanya
hubungan
akrab antara
penutur
dengan mitra
tutur (ditandai
dengan
penggunaan
bahasa daerah
(bahasa Jawa)
yang
menempati
posisi ragam
rendah dalam
proses
komunikasi di
di kelas. Dan
tidak
seharusnya
muncul dalam
proses belajar
mengajar yang
resmi.
- K2
Penanda:
bentuk ujaran
pendek dan
tidak jelas
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
247
terlihat dari
kata
dikumpulke
(dikumpulkan)
yang tidak
diikuti dengan
penjelasan
mengenai apa
yang harus
dikumpulkan
serta ujaran
nggon
dipendekkan
dari kata
panggon yang
berarti tempat.
- K3
Penanda:
penggunaan
bahasa yang
pendek dan
tidak rinci
membuat
tuturan hanya
dapat dipahami
maksudnya
oleh mitra
tutur yang
mengetahui
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
248
konteks dan
terlibat
langsung
dalam
percakapan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
249
51 S7-
V247
- Kok aku. Aku
ketuane pa?
*Kok saya.
Memangsaya
ketua?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
penutup pembelajaran.
Suasana pembicaraan
berlangsung akrab.
Partisipan
pembicaraan adalah
Siswa 7 dan siswa-
siswi yang lain di
kelas. Siswa 7 sebagai
penutur dan siswa-
siswi lainnya sebagai
mitra tutur. Maksud
dari tuturan ini adalah
Siswa 7 merasa
keberatan untuk
mengumpulkan tugas
sebab, ia merasa
bahwa dirinya bukan
ketua kelas.
√
- K1
Penanda:
adanya
hubungan
akrab antara
penutur
dengan mitra
tutur ditandai
dengan
penggunaan
bahasa daerah
(bahasa Jawa)
yang
menempati
posisi ragam
rendah apabila
digunakan
dalam proses
belajar
mengajar dan
tidak
seharusnya
dipakai dalam
komunikasi
resmi di kelas.
- K2
Penanda:
penggunaan
bahasa yang
pendek-pendek
K3. Maksud
pembicaraan
tidak dapat
dimengerti
oleh orang
lain tanpa
mengetahui
situasinya.
K4. Banyak
dipergunakan
bentuk-
bentuk dan
istilah-istilah
(kata-kata)
khas bagi
suatu
keluarga atau
sekelompok
teman akrab.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
250
dan tidak
lengkap pada
ujaran “Kok
aku” dan kata
pa pada
kalimat “Aku
ketuane pa?”
yang berasal
dari kata apa
(“opo”) yang
dalam bahasa
Indonesia
berarti apa.
- K3
Penanda:
maksud
pembicaraan
hanya dapat
dimengerti
oleh penutur
yang
mengetahui
konteks
pembicaraan
dan terlibat
langsung
dalam proses
komunikasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
251
52 S5-
V248
- Kumpulke
pa?
*Memang
dikumpulkan
?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
penutup pembelajaran.
Suasana pembicaraan
berlangsung akrab.
Partisipan
pembicaraan adalah
Siswa 5 dan siswa-
siswi yang lain di
kelas. Siswa 5 sebagai
penutur dan siswa-
siswi lainnya sebagai
mitra tutur. Maksud
dari tuturan ini adalah
Siswa 5 bertanya pada
siswa-siswi yang lain
untuk memastikan
apakah buku tugas
benar-benar
dikumpulkan.
√
- K1
Penanda:
adanya
hubungan
akrab antara
penutur
dengan mitra
tutur (Siswa 5
dengan siswa-
siswi yang
lain) ditandai
dengan
penggunaan
bahasa daerah
(bahasa Jawa)
yang
menempati
posisi ragam
rendah dalam
proses
komunikasi di
di kelas.
- K2
Penanda:
penggunaan
kata dalam
bahasa Jawa
yang tidak
lengkap pada
kata pa yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
252
berasal dari
kata apa.
- K3
Penanda:
Maksud
pembicaraan
tidak dapat
dimengerti
oleh orang lain
tanpa
mengetahui
situasinya.
- K4
Penanda:
tuturan hanya
dipahami oleh
mitra tutur
yang
mengetahui
konteks atau
memiliki
pengetahuan
awal yang
sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
253
53 S1-
V250
- Ferdie,
bukune
dikumpulke
ta?
* Ferdie,
bukunya
dikumpulkan
ya?
Tuturan terjadi di
ruang kelas VIII A
pada saat
berlangsungnya tahap
penutup pembelajaran.
Suasana pembicaraan
berlangsung akrab.
Partisipan
pembicaraan adalah
Siswa 1 dan Siswa 16.
Siswa 1 sebagai
penutur dan Siswa 16
sebagai mitra tutur.
Maksud dari tuturan
ini adalah Siswa 1
memastikan pada
ketua kelas (Siswa 16)
apakah buku tugas
dikumpulkan.
√
- K1
Penanda:
adanya
hubungan
akrab antara
penutur
dengan mitra
tutur ditandai
dengan
penggunaan
bahasa daerah
(bahasa Jawa)
yang
menempati
posisi ragam
rendah dalam
proses
komunikasi di
di kelas dan
semestinya
tidak muncul
dalam
komunikasi
resmi.
- K2
Penanda:
bentuk ujaran
yang singkat
dan tidak rinci
terlihat dari
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
254
kata bukune
(bukunya). –ne
atau -nya pada
bukunya tidak
jelas ditujukan
untuk siapa
dan
penggunaan
kata ganti
tersebut tidak
sesuai konteks.
- K3
Penanda:
bentuk ujaran
yang singkat
dan tidak rinci
hanya dapat
dipahami oleh
mitra tutur
yang
mengetahui
konteks dan
terlibat
langsung
dalam
pembicaraan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
255
54 S3-
V251
- Ferdie…
Ferdie… Ayo
cepet ta, Fer.
* Ferdie…
Ferdie… Ayo
cepatlah, Fer.
√
- K1
Penanda:
adanya
hubungan
akrab antara
penutur
dengan mitra
tutur (Siswa 3
dengan siswa-
siswi yang
lain) ditandai
dengan
penggunaan
bahasa daerah
(bahasa Jawa)
yang
menempati
posisi ragam
rendah dalam
proses
komunikasi di
di kelas.
- K2
Penanda:
penggunaan
kalimat yang
pendek-
pendek.
- K3
Penanda:
√
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
256
maksud
pembicaraan
hanya
dimengerti
oleh mitra
tutur yang
mengetahui
konteks.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
257
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
258
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
259
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
260
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
261
BIOGRAFI PENELITI
Chresensia Apriliana Endang Purwaningrum lahir
di Kulon Progo, pada tanggal 3 April 1994, putri
sulung dari pasangan Michael Purwanto dan Risma
Situmorang. Menempuh pendidikan tingkat dasar
di SD Pangudi Luhur I Boro dan tamat pada tahun
2006. Setelah itu melanjutkan pendidikan di SMP
Pangudi Luhur I Kalibawang dan tamat pada tahun
2009. Pada tahun 2013 menamatkan pendidikan di
SMA Negeri 1 Sentolo. Setelah itu melanjutkan
studi di perguruan tinggi S-1 Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Program Studi
Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia pada tahun 2013 dan lulus pada tahun 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI