7
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Perikanan
Perikanan merupakan semua kegiatan yang berkaitan dengan ikan, termasuk
memproduksi ikan, baik melalui penangkapan (perikanan tangkap) maupun budidaya
(perikanan budidaya), atau mengolahnya untuk memenuhi kebutuhan manusia akan
pangan sebagai sumber protein dan non pangan (pariwisata dan ikan hias). Ruang
lingkup kegiatan usaha perikanan tidak hanya memproduksi ikan saja (on farm),
tetapi juga mencakup kegiatan off farm, seperti pengadaan sarana dan prasarana
produksi, pengolahan, pemasaran, pemodalan, riset dan pengembangan, perundang-
undangan, serta faktor usaha pendukung lainnya. Jenis usaha perikanan dibagi
menjadi tiga antara lain usaha melalui penangkapan, usaha melalui budidaya, dan
usaha pengolahan ikan (Wiadnya, 2012).
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal (1) ayat (1) Undang-Undang No. 31
Tahun 2004, perikanan dikatakan sebagai semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan, mulai dari
pra-produksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan
dalam suatu sistem bisnis perikanan. Aktifitas perikanan sangat beragam dan berbeda
antara satu lokasi dengan lokasi lainnya. Sebagai aktifitas primer, perikanan
dibedakan ke dalam aktifitas penangkapan (capture fisheries) dan budidaya (culture
fisheries atau aquaculture) (Wiadnya, 2012).
8
2.2 Perikanan Budidaya
Perikanan budidaya adalah kegiatan untuk memproduksi biota (organisme)
akuatik di lingkungan terkontrol dalam rangka mendapat keuntungan (profit).
Organisme akuatik yang diproduksi mencakup kelompok ikan, udang, hewan
bercangkang (moluska), ekinodermata, dan alga. Perikanan budidaya juga dapat
didefinisikan sebagai campur tangan (upaya-upaya) manusia untuk meningkatkan
produktivitas perairan melalui kegiatan budidaya. Kegiatan budidaya yang dimaksud
adalah kegiatan pemeliharaan untuk memperbanyak (produksi), menumbuhkan
(perbesaran), dan meningkatkan mutu biota akuatik sehingga diperoleh keuntungan
(Effendi, 2004 dalam Kesuma, 2006).
2.3 Perikanan Tangkap
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 menyebutkan definisi penangkapan
ikan ialah kegiatan memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau dengan cara apapun, melainkan kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan mengawetkan. Perikanan tangkap merupakan kegiatan
ekonomi dalam penangkapan atau pengumpulan binatang dan tanaman air, baik di
laut maupun perairan umum secara bebas.
Klasifikasi perikanan tangkap di Indonesia dapat digolongkan menjadi empat
kategori sebagai berikut.
9
1. Berdasarkan spesies target : perikanan cakalang, perikanan udang, cumi-cumi,
dan perikanan kekerangan.
2. Berdasarkan tingkat teknologi : tradisional dan modern.
3. Berdasarkan skala usaha : komersial (industri dan artisanal) dan subsistem.
4. Berdasarkan habitatnya : perikanan demersal, perikanan karang, dan perikanan
pelagis (Sihombing, 2015).
2.3.1 Perikanan demersal
Ikan demersal adalah jenis ikan yang habitatnya berada di bagian dasar
perairan, dapat dikatakan juga bahwa ikan demersal adalah ikan yang tertangkap
dengan alat tangkap ikan dasar seperti trawl dasar (bottom trawl), jaring insang dasar
(bottom gillnet), rawai dasar (bottom long line), dan bubu (Wijayanti, 2013). Ciri
utama sumberdaya ikan demersal antara lain memiliki aktifitas rendah, gerak ruang
yang tidak terlalu jauh dan membentuk gerombolan tidak terlalu besar, sehingga
penyebarannya relatif merata dibandingkan dengan ikan pelagis.
Ikan demersal sangat dipengaruhi oleh faktor oseanografi seperti suhu,
salinitas, arus, dan bentuk dasar perairan. Jenis ikan ini pada umumnya menyenangi
dasar perairan bersubstrat lumpur atau lumpur berpasir (Dwiponggo et al., 1989
dalam Wijayanti, 2013). Perikanan demersal Indonesia menghasilkan berbagai jenis
ikan (multi species) yang dieksploitasi dengan menggunakan berbagai alat tangkap
(multi gear). Hasil tangkapan ikan demersal pada umumnya terdiri atas berbagai jenis
yang jumlah masing-masing jenis tersebut tidak terlalu besar. Ikan tersebut antara lain
kakap merah atau bambangan (Lutjanus spp), peperek (Leiognatus spp), manyung
10
(Arius spp), kurisi (Nemipterus spp), kuniran (Upeneus spp), tiga waja (Epinephelus
spp), dan bawal (Pampus spp).
2.3.2 Perikanan karang
Ikan karang merupakan ikan yang terdapat hidup dari masa juvenil hingga
dewasa di terumbu karang (Sale,1991 dalam Ahmad, 2013). Keberadaan ikan karang
di terumbu memiliki keterkaitan yang erat dengan kondisi fisik terumbu karang
tersebut. Perbedaan pada kondisi tutupan karang akan mempengaruhi kelimpahan
ikan karang, terutama yang memiliki keterkaitan kuat dengan karang hidup
(Chabanet et al., 1997 dalam Ahmad, 2013).
Pengelompokan ikan karang berdasarkan periode aktif mencari makan adalah
ikan noktural (aktif ketika malam hari), ikan diurnal (aktif ketika siang hari), dan ikan
crepuscular (aktif di antara). Menurut Dartnall dan Jones, (1986 dalam Ahmad,
2013), ikan karang dapat juga dikelompokkan dalam 3 kelompok berdasarkan tujuan
pengelolaan, yaitu kelompok ikan target (ekonomis atau konsumsi), ikan indikator,
dan ikan mayor (berperan dalam rantai makanan).
2.3.3 Perikanan pelagis
Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan
hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu
membentuk gerombolan (schooling) dan melakukan migrasi untuk berbagai
kebutuhan hidupnya. Perbedaan ikan pelagis dengan ikan demersal adalah ikan-ikan
yang berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan, dimana umumnya
hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya. Pada umumnya ikan pelagis
11
berenang mendekati permukaan perairan hingga kedalaman 200 m. Ikan pelagis
umumnya berenang berkelompok dalam jumlah yang sangat besar.
Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
ikan pelagis besar seperti kelompok Tuna (Thunidae), kelompok Marlin (Makaira
sp), dan Tenggiri (Scomberomorus spp). Jenis ikan pelagis kecil seperti Cakalang
(Katsuwonus pelamis), kelompok Tongkol (Euthynnus spp), Ikan Bandeng (Chanos
chanos), Ikan Teri (Thryssa setirostris), Ikan Kembung lelaki (Rastrelliger
kanagurta), Ikan Bawal hitam (Parastromateus niger), Ikan Ekor kuning (Caesio
cuning), Ikan Japuh (Dussumieria acuta), Ikan Kwee (Caranx melampygus), Ikan
Layang (Decapterus russelli), Ikan Lemuru (Sardinella lemuru), dan Ikan Selanget
(Anodontostoma chacunda). Penggolongan ini lebih dimaksudkan untuk
memudahkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan, karena karakter aktivitas yang
berbeda kedua kelompok jenis ikan tersebut (Nelwan, 2004).
2.4 Proses Pengolahan Ikan Pelagis Beku
Proses pengolahan ikan pelagis beku merupakan salah satu cara untuk
mengawetkan makanan karena dengan menurunkan suhu, semua reaksi kimia, dan
aktivitas enzim dapat dicegah serta pertumbuhan mikroorganisme terhambat, namun
cara ini tidak dapat mensterilkan makanan. Meskipun pembekuan efektif
menghambat kerusakan oleh mikrobial, kemunduran mutu seperti perubahan flavor,
tekstur, dan warna tetap terjadi saat penyimpanan beku. Proses pembekuan
menyebabkan perubahan jaringan daging, yaitu dengan formasi dan pembentukan
12
kristal es, dehidrasi, dan peningkatan padatan (pembekuan menghilangkan kadar air
ikan pelagis). Pembekuan dan thawing menyebabkan kerusakan sel jaringan, lepasnya
enzim dari mitokondria ke sarkoplasma. Daging thawing memiliki daya potong lebih
rendah dari daging yang tidak mengalami pembekuan. Kekerasan daging ikan pelagis
meningkat berhubungan dengan kerusakan protein myosin sama dengan penyatuan
protein myofibril. Penyatuan dan kerusakan jaringan protein ada hubungannya dengan
formasi ikatan disulfida (Strike et al., 2007 dalam Saulina, 2009).
Proses pengolahan ikan pelagis beku pada suhu -18°C merupakan standar
suhu yang ditetapkan dalam perusahaan. Penyimpanan beku berarti meletakkan
produk yang sudah beku di dalam ruangan dengan suhu yang dipertahankan sama dan
telah ditentukan sebelumnya (yaitu -25°C). Adapun tahap-tahap penurunan suhu
selama proses pembekuan sebagai berikut.
1. Suhu produk diturunkan sampai titik beku, yaitu pemindahan sensible heat di atas
proses pembekuan.
2. Kandungan air dalam produk berubah dari bentuk cair kebentuk padat, sedangkan
suhunya tetap.
3. Suhu produk diturunkan sampai titik beku, yang ideal adalah sampai
penyimpanan menjadi beku.
Metode pengolahan ikan pelagis beku yang digunakan pada umumnya adalah
sebagai berikut (Saulina, 2009).
13
(1) Air Blast Freezing (ABF)
Metode pembekuan ini dilakukan dengan cara menempatkan produk pada rak-rak
pembeku di dalam ruang pembekuan, kemudian udara bersuhu rendah
dihembuskan ke sekitar produk yang disimpan pada rak-rak pembekuan tersebut.
Prinsip dari teknik ini adalah pembekuan dilakukan dengan menghembuskan
udara dingin melewati pipa-pipa pendingin ke permukaan produk dengan
kecepatan yang tinggi. Keuntungan dari ABF adalah cara ini dapat membekukan
segala macam produk dan pengoperasiannya mudah. Kerugiaannya adalah
memerlukan jumlah udara dalam jumlah yang besar, waktu pembekuan relatif
lama, ruang lebih besar, tenaga besar, dan adanya beban panas tambahan.
(2) Brine Freezer (BF)
Prinsip teknik pembekuan ini adalah pembekuan dengan media air garam
merupakan suatu bak berisi air garam pekat yang didinginkan dengan pipa
evaporator, sehingga air garam suhunya jauh di bawah titik beku air murni dan
akibatnya produk yang berada didalamnya akan membeku. Kelebihan metode
Brine freezer yaitu bisa membekukan segala jenis, bentuk, dan ukuran produk.
Kekurangan metode ini yaitu adanya risiko tercemarnya produk oleh air garam
dan caranya kurang praktis karena air dalam bak harus diganti dan ditambah
secara teratur. Produk yang dibekukan dengan metode ini diantaranya ikan utuh
dan sejenisnya.
Tahapan proses pengolahan ikan pelagis beku menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI) Nomor 01-4110.3 tahun 2006 yaitu sebagai berikut.
14
a. Penerimaan bahan baku
Bahan baku yang diterima di unit pengolahan diuji secara organoleptik, untuk
mengetahui mutunya. Bahan baku kemudian ditangani secara hati-hati, cepat,
cermat, dan saniter dengan suhu pusat produk maksimal 5oC. Tujuan dari proses
ini adalah untuk mendapatkan bahan baku yang bebas bakteri, patogen, dan
memenuhi persyaratan mutu.
b. Sortasi
Pada tahap ini ikan dipisahkan berdasarkan mutu, jenis, dan ukuran. Sortasi mutu
dilakukan secara organoleptik, sortasi jenis dilakukan untuk memisahkan jenis
yang tidak dikehendaki dan sortasi ukuran dilakukan dengan cara penimbangan.
Sortasi dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan
mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5oC. Tujuan dari proses ini adalah
untuk mendapatkan mutu, jenis, dan ukuran yang sesuai, serta bebas dari
kontaminasi bakteri patogen.
c. Penyiangan atau tanpa penyiangan
Apabila ikan yang diterima masih dalam keadaan utuh, ikan disiangi dengan cara
membuang kepala dan isi perut. Penyiangan dilakukan secara cepat, cermat, dan
saniter sehingga tidak menyebabkan pencemaran pada tahap berikutnya dengan
suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuannya yaitu mendapatkan ikan yang
bersih, tanpa kepala dan isi perut, serta mereduksi kontaminasi bakteri patogen.
15
d. Pencucian
Ikan dicuci dengan hati-hati menggunakan air bersih dingin yang mengalir secara
cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat produk maksimal
5°C. Tujuan dari proses ini adalah menghilangkan sisa kotoran dan darah yang
menempel di tubuh ikan.
e. Penimbangan
Agar ikan berukuran besar ditimbang satu per satu, sedangkan untuk ikan
berukuran kecil ditimbang sesuai berat yang ditentukan, menggunakan timbangan
yang telah dikalibrasi. Penimbangan dilakukan secara hati-hati, cepat, cermat,
saniter, dan mempertahankan suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari
proses ini adalah mendapatkan berat ikan yang sesuai dengan ukuran yang telah
ditentukan dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
f. Penyusunan
Agar ikan berukuran besar disusun secara individu, sedangkan untuk ikan
berukuran kecil disusun secara berlapis sesuai yang ditentukan. Penyusunan
dilakukan dengan hati-hati, cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan
suhu pusat produk maksimal 5°C. Tujuan dari proses ini adalah mendapatkan
bentuk susunan ikan yang sesuai dan bebas dari kontaminasi bakteri patogen.
g. Pembekuan
Ikan dibekukan dalam alat pembeku (freezer) hingga suhu pusat ikan mencapai
maksimal -18°C dalam waktu maksimal 10 s.d. 12 jam. Tujuan dari proses ini
16
adalah membekukan produk hingga mencapai suhu pusat maksimal -18°C secara
cepat dan tidak mengakibatkan pengeringan terhadap produk.
h. Penggelasan atau tanpa penggelasan
Ikan yang telah dibekukan disemprot dengan air dingin. Proses penggelasan
dilakukan secara cepat, cermat, dan saniter dengan mempertahankan suhu pusat
ikan maksimal –18°C. Tujuan dari proses ini adalah melapisi ikan dengan air es
agar tidak mudah terjadi pengeringan pada saat penyimpanan.
i. Pengepakan
Ikan beku yang telah mengalami proses penggelasan segera dikemas dalam
plastik dan dimasukkan dalam master karton secara cepat, cermat, dan saniter
dengan mempertahankan suhu pusat ikan maksimal –18°C. Tujuannya yaitu
melindungi produk dari kontaminasi dan kerusakan fisik selama penyimpanan
dan transportasi.
2.4.1 Pengemasan ikan pelagis beku
Pengemasan adalah suatu cara untuk melindungi dan mengawetkan produk
pangan maupun non pangan, pengemasan juga merupakan penunjang untuk
transportasi, distribusi, dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi
persaingan dalam pemasaran (Hambali dan Nasution, 1990 dalam Saulina, 2009).
Kemasan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu sebagai berikut (Soekarto, 1990 dalam
Saulina, 2009).
1. Kemasan primer yaitu kemasan yang langsung membungkus bahan pangan.
2. Kemasan sekunder yaitu kemasan yang berfungsi melindungi kemasan primer.
17
3. Kemasan tersier yaitu kemasan setelah kemasan primer dan sekunder bila
diperlukan sebagai pelindung selama pengangkutan.
Dalam keadaan beku produk dapat mengalami perubahan, untuk mencegah
pengeringan, oksidasi, dan diskolorisasi maka produk harus dilindungi antara lain
dengan cara sebagai berikut.
(1) Penggelasan (glassing) dengan cara melapisi produk beku dengan es yang
menyelubungi produk.
(2) Mengepak produk dengan bahan-bahan kedap air (water proof), kedap oksigen
(oksigen proof), dan tidak menghimpun lemak atau mengepak vakum
(vacuum packaging).
Pengemasan bahan pangan harus memperlihatkan lima fungsi utama, yaitu
sebagai berikut (Buckle et al.,1985 dalam Saulina, 2009).
a. Mempertahankan produk agar tetap bersih dan memberikan perlindungan dari
kotoran dan pencemaran lainnya.
b. Memberikan perlindungan pada bahan pangan dari kerusakan fisik, air, oksigen,
dan sinar matahari.
c. Berfungsi secara benar, efisien, dan ekonomis dalam proses pengolahan.
d. Mudah untuk dibentuk menurut rancangan, memberikan kemudahan kepada
konsumen, misalnya dalam membuka kembali wadah tersebut. Selanjutnya,
memudahkan dalam pengelolaan di gudang dan selama distribusi terutama untuk
mempertimbangkan ukuran, bentuk, dan berat dari unit pengepakan.
18
2.5 Kerusakan sebagai Salah Satu Penyebab Penurunan Mutu Ikan
Ikan merupakan sumber pangan yang mudah rusak karena sangat cocok untuk
pertumbuhan mikroba baik patogen maupun non patogen. Kerusakan ikan terjadi
segera setelah ikan keluar dari air. Kerusakan dapat disebabkan oleh faktor internal
(isi perut) dan eksternal (lingkungan) maupun cara penanganan di atas kapal, di
tempat pendaratan atau di tempat pengolahan (Djaafar, 2007 dalam Milo, 2013).
Kerusakan ditandai dengan adanya lendir di permukaan ikan, insang memudar (tidak
merah), mata tidak bening, berbau busuk, dan sisik mudah terkelupas (Djaafar, 2007
dalam Milo, 2013). Segera setelah ikan mati, akan mengalami perubahan-perubahan
yang mengarah pada pembusukan yang disebabkan oleh aktivitas bakteri, perubahan
kimiawi yang ditimbulkan oleh enzim-enzim, serta proses oksidasi lemak ikan oleh
udara (Ilyas, 1983 dalam Milo, 2013).
Kesegaran ikan dapat dicapai bila dilakukan penanganan yang baik terhadap
ikan tersebut. Ikan dapat dikatakan masih segar apabila perubahan-perubahan
biokimiawi, maupun fisika, dan semua yang terjadi belum menyebabkan kerusakan
berat pada ikan. Beberapa ciri yang menandakan telah terjadinya kerusakan pada ikan
dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut (Winarno, 1993 dalam Milo, 2013).
Tabel 2.1
Perbedaan Fisik Ikan Segar dan Ikan Busuk
Ikan Segar Ikan Busuk
Daging kenyal Daging keras
Tidak empuk Empuk
Badan kaku Badan tidak kaku
Sisik rapi dan rapat Sisik mudah lepas
Bau : segar, pada bagian luar insang Bau : busuk atau asam terutama pada bagian
insang
19
Lanjutan Tabel 2.1
Ikan Segar Ikan Busuk
Sedikit berlendir pada kulit Kulit berlendir
Insang berwarna merah Insang tidak lagi berwarna merah
Ikan tenggelam bila dimasukkan dalam air Ikan terapung jika sudah sangat busuk
Sumber : Winarno, (1993 dalam Milo, 2013)
2.5.1 Penurunan mutu secara fisik
Penurunan mutu secara fisik adalah kerusakan pada bagian luar tubuh ikan
yang terjadi akibat penanganan dan perlakuan yang tidak cepat dan tepat dapat
mempengaruhi mutu. Penanganan awal ikan saat ditangkap diberikan perlakuan suhu
dingin dengan ditambahkan es, sehingga memperpanjang masa simpan dan akan
sangat berpengaruh terhadap kualitas mutu yang dihasilkan.
Perubahan fisik ikan yang terjadi pada proses kematian ikan karena diangkat
dari air dapat dijelaskan sebagai berikut (Kushardiyanto, 2010 dalam Putra, 2013).
1. Lendir yang berada dipermukaan ikan akan keluar secara berlebih pada saat
ketika ikan mati dan ikan akan menggelepar mengenai benda disekelilingnya.
Ikan yang terkena benturan benda yang keras, kemungkinan besar tubuh ikan
akan menjadi memar dan luka-luka.
2. Ikan mati akan mengalami kekakuan tubuh (rigormortis) yang diawali dari ujung
ekor menjalar ke arah bagian kepalanya. Lama kekakuan tergantung dari tingkat
kelelahan ikan pada saat kematiannya. Kerusakan ikan akan mulai terlihat yaitu
berupa perubahan-perubahan seperti berkurangnya kekenyalan perut dan daging
ikan, berubahnya warna insang, berubahnya kecembungan dan warna mata ikan,
sisik lebih mudah lepas dan kehilangan kecemerlangan warna ikan, serta
berubahnya bau dari segar menjadi asam.
20
3. Perubahan tersebut akan meningkat intensitasnya sesuai dengan bertambahnya
tingkat penurunan mutu ikan, sehingga ikan menjadi tidak layak untuk
dikonsumsi atau busuk.
Kesegaran ikan dapat dinilai dengan mudah menggunakan metode inderawi
atau organoleptik dengan mengamati bagian tubuh ikan yang sensitif terhadap
perubahan mutu dagingnya. Perubahan mutu tersebut seperti warna, rasa, kekenyalan
dan kekompakan daging, kondisi mata, kondisi insang, dinding perut, dan bau.
2.5.2 Penurunan mutu secara kimia
Hadiwiyoto, (1993 dalam Putra, 2013) menyatakan penurunan mutu secara
kimia adalah penurunan mutu yang berhubungan dengan komposisi kimia dan
susunan tubuhnya. Penurunan mutu secara kimia terdiri atas penurunan mutu secara
autolisis dan oksidasi.
1. Penurunan mutu secara autolisis
Autolisis adalah proses perombakan sendiri yaitu proses perombakan jaringan
oleh enzim yang berasal dari produk perikanan. Menurut Ilyas, (1983 dalam
Putra, 2013) enzim yang berperan dalam autolisis yaitu enzim proteolisis (pengurai
protein) dan enzim liposis (pengurai lemak). Penurunan mutu ditandai dengan rasa,
warna, tekstur, dan kenampakan yang berubah. Penurunan mutu secara autolisis
berlangsung sebagai aksi kegiatan enzim yang merupakan proses penguraian pertama
setelah ikan mati. Penurunan secara autolisis bisa terlihat ikan yang memiliki tekstur
daging yang tidak elastis, sehingga apabila daging ikan ditekan dengan jari akan
membutuhkan waktu relatif lama untuk kembali keadaan semula. Kecepatan autolisis
21
tergantung pada suhu dan tidak dapat dihentikan pada suhu 00C, tetapi berlangsung
lebih lambat. Kegiatan enzim dapat direduksi dan dikontrol dengan cara pendinginan,
penggaraman, pengeringan, dan pengasaman, atau dapat dihentikan dengan cara
pemasakan ikan tersebut (Ilyas, 1983 dalam Putra, 2013).
2. Penurunan mutu secara oksidasi
Oksidasi adalah reaksi antara suatu zat dengan oksigen atau bisa diartikan
juga suatu pelepasan elektron oleh sebuah molekul, atom, atau ion. Ikan termasuk
salah satu produk perikanan yang mengandung asam lemak tidak jenuh. Selama
penyimpanan ikan, asam lemak tidak jenuh akan mengalami proses oksidasi reduksi
asam lemak yang menyebabkan bau tengik (rancid) pada tubuh ikan (Junizal, 1976
dalam Putra, 2013).
2.5.3 Penurunan mutu secara bakteriologis
Penurunan mutu secara bakteriologis yaitu suatu proses penurunan mutu yang
terjadi karena adanya kegiatan bakteri yang berasal dari selaput lendir dari permukaan
tubuh, insang, dan saluran pencernaan (Junianto, 2003 dalam Putra, 2013). Bakteri
yang terdapat pada bagian kulit (lendir), insang, dan pada makanan di dalam perutnya
ini tidak berpengaruh buruk terhadap ikan. Tetapi setelah ikan mati, ditunjang oleh
kenaikan suhu, bakteri mulai berkembang biak dengan sangat pesat dan menyerang
tubuh ikan. Hal ini disebabkan oleh karena ikan tidak lagi mempunyai daya tahan
terhadap bakteri. Bakteri menjadikan daging ikan sebagai makanan dan tempat
hidupnya. Sasaran utamanya adalah protein ataupun hasil-hasil penguraiannya dalam
proses autolisis, dan substansi-substansi non nitrogen. Penguraian yang dilakukan
22
oleh bakteri ini (disebut bacterial decomposition) menghasilkan pecahan-pecahan
protein yang sederhana dan berbau busuk, seperti CO2, H2S, amoniak, indol, skatol,
dan sebagainya (Murniyati dan Sunarman, 2000 dalam Putra, 2013).
2.5.4 Histamin
Histidin merupakan salah satu asam amino bebas yang terdapat pada daging
ikan merah segar, seperti tuna, cakalang, dan sardin. Secara umum, kandungan
histidin pada protein daging antara 3% dan 5%, tetapi ikan jenis horse mackerel,
Japanese pilchard, mackerel, dan Pacific saury mengandung antara 4% dan 6%
histidin. Ikan cakalang, yellowtail, madidihang, bluefin tuna mengandung histidin
antara 8% dan 9% (Alasalvar et al., 2011 dalam Putra, 2013). Kandungan histidin
bebas pada jaringan ikan tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya,
sehingga meningkatkan potensi peningkatan kadar histamin, khususnya jika
penyimpanan dan penanganan salah (Wahyuni, 2011 dalam Putra, 2013).
Hadiwiyoto, (1993 dalam Putra, 2013) menyatakan bahwa degradasi histidin menjadi
histamin dikatalis oleh enzim histidine dekarboksilase. Senyawa histamin mungkin
tidak berbau busuk, tetapi keberadaannya dalam daging ikan menjadi berbahaya,
karena senyawa histamin bersifat racun.
2.5.5 Faktor-faktor kerusakan yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan
Proses kemunduran mutu ikan akan terus berlangsung jika tidak dihambat.
Cepat lambatnya proses tersebut sangat dipengaruhi oleh banyak hal, baik faktor
internal yang lebih banyak berkaitan dengan sifat ikan itu sendiri maupun eksternal
yang berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Menurut Junianto, (2003
23
dalam Djafar, 2014) faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan yaitu
sebagai berikut.
1. Jenis ikan. Jenis ikan pelagis cenderung lebih cepat mengalami kemunduran mutu
dibanding ikan demersal, selain itu ikan air tawar cenderung lebih cepat mencapai
kemunduran mutu dibanding ikan air laut.
2. Umur dan ukuran ikan. Ikan dewasa dengan ukuran yang besar lebih lama
mengalami kemunduran mutu dari pada ikan kecil.
3. Kandungan lemak. Ikan yang mengandung lemak tinggi cenderung lebih cepat
mengalami kemunduran mutu dibanding ikan-ikan berlemak rendah.
4. Kondisi fisikal ikan. Kondisi fisik yang lemah sebelum ditangkap karena kurang
bergizi makanannya, baru menelurkan, dan sebagainya akan berpengaruh
terhadap waktu memasuki tahap rigor (kaku).
5. Karakteristik kulit dan bentuk tubuh. Ikan yang memiliki kulit yang tebal akan
cenderung lebih lama laju kemunduran mutunya dibanding ikan yang memiliki
kulit yang tipis, begitu juga dengan ikan yang bentuk tubuhnya bulat lebih lama
kemunduran mutunya dibanding ikan yang bentuknya pipih.
Faktor-faktor eksternal yang paling berpengaruh terhadap kemunduran mutu
ikan adalah sebagai berikut.
1. Penggunaan alat tangkap. Jenis dan teknik penangkapan akan berpengaruh pada
derajat keletihan ikan. Ikan yang berjuang keras lama menghadapi kematiannya
dalam jaring sebelum ditarik ke kapal akan kehabisan banyak cadangan tenaga
sehingga lebih cepat memasuki masa rigor. Alat tangkap yang baik adalah yang
24
dapat menekan tingkat stres pada ikan dan mengurangi gerakan ikan (meronta-
ronta) sebelum mati.
2. Penanganan pascapanen yang dilakukan oleh para nelayan. Memperoleh ikan
yang bermutu dan daya awet panjang, pokok utama dalam menangani ikan adalah
bekerja cepat, cermat, bersih, dan pada suhu rendah.
3. Musim. Daya simpan ikan pada musim panas yang hangat sering lebih pendek.
Daya awet ikan berfluktuasi secara musiman menurut suhu.
4. Wilayah penangkapan. Perbedaan dalam wilayah penangkapan dapat juga
berpengaruh terhadap daya awet.
5. Suhu air saat ikan ditangkap. Air yang bersuhu tinggi dan ikan agak lama tinggal
dalam air sebelum diangkat dapat mempercepat proses penurunan mutunya.
2.6 Pengertian Mutu
Mutu merupakan suatu produk atau jasa yang memenuhi syarat atau keinginan
pelanggan, dimana pelanggan dapat menggunakan atau menikmati produk atau jasa
tersebut dengan sangat puas dan mereka menjadi pelanggan tetap (Feigenbaum, 1991
dalam Saragih, 2013). Dalam perusahaan pabrik, istilah mutu diartikan sebagai
faktor-faktor yang terdapat dalam suatu barang atau hasil tersebut sesuai dengan
tujuan untuk apa barang atau hasil itu dimaksudkan atau dibutuhkan (Assuari, 1999
dalam Hutapea, 2010).
Mutu suatu produk adalah keadaan fisik, fungsi, dan sifat suatu produk
bersangkutan yang dapat memenuhi selera dan memuaskan kebutuhan konsumen
25
sesuai dengan nilai uang yang telah dikeluarkan (Prawirosentono, 2001 dalam
Hutapea, 2010). Dari pihak konsumen, mutu suatu barang ditentukan oleh harapan
konsumen atas biaya-biaya yang harus ditanggung oleh konsumen apabila dia
membeli barang tersebut di satu pihak dengan harga barang tersebut di lain pihak.
Dalam hal ini konsumen membandingkan antara harga barang dibeli, kebutuhan
diinginkan, serta biaya-biaya pemakaian barang tersebut.
Keseimbangan antara tiga hal tersebut menentukan pilihan konsumen atas
mutu barang yang dipilihnya untuk dibeli atau dimilikinya (Gitosudarmo, 1998 dalam
Hutapea, 2010). Oleh karena itu, produk yang dihasilkan oleh perusahaan hendaknya
memperhatikan persyaratan mutu, baik persyaratan nasional maupun luar negeri.
Mengetahui persyaratan mutu dan keamanan pangan pada hasil perikanan beku dapat
dilihat pada Tabel 2.2 berikut.
Tabel 2.2
Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan Ikan Beku
Parameter Satuan Persyaratan
1. Sensori - Min. 7 (Skor 1-9)
2. Kimiaa
- Histaminc
- TVB
mg/kg
mgN%
Maks. 100
Maks. 20
3. Fisika
- Suhu pusat
0C
Maks. -18
4. Cemaran mikroba
- ALT
- Escherichia coli
- Salmonella
- Vibrio choleraa
- Vibrio parahaemolythusa
- Listeria monocytogenesa,f
koloni/g
APM/g
per 25 g
per 25 g
APM/g
per 25 g
Maks. 5,0 x 105
<3
Negatif
Negatif
<3
Negatif
5. Cemaran logama
- Arsen (As)
- Kadmium (Cd)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks. 1,0
Maks. 0,1
Maks. 0,5b
Maks. 0,05d
26
Lanjutan Tabel 2.2
Parameter Satuan Persyaratan
- Merkuri (Hg)
- Timah (Sn)
- Timbal (Pb)
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks. 0,5
Maks. 1,0b
Maks. 40,0
Maks. 0,3
Maks. 0,4b
Maks. 0,2d
6. Cemaran fisika
0
7. Racun hayatia
- Ciguatoksin
Negatif
Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2014 Catatan :
a bila diperlukan b untuk ikan predator
c untuk ikan scombroid, clupeidae, scombresocidae, pomatomidae, coryphaenedae
d untuk ikan yang dibudidayakan
e untuk ikan karang
f untuk ikan salmonidae
Performansi mutu dapat ditentukan dan diukur berdasarkan karakteristik mutu
yang terdiri atas beberapa sifat atau dimensi sebagai berikut (Gaspersz, 1998 dalam
Mentari, 2011).
1. Fisik : panjang, berat, dan diameter.
2. Sensory (berkaitan dengan panca indera) : rasa, penampilan, warna, bentuk, model,
dan lain-lainnya.
3. Orientasi waktu : keandalan, kemampuan pelayanan, kemudahan pemeliharaan,
dan ketepatan waktu penyerahan produk.
4. Orientasi biaya : berkaitan dengan dimensi biaya yang menggambarkan harga atau
ongkos dari suatu produk yang harus dibayarkan oleh konsumen.
27
2.7 Pengendalian Mutu
Ismiatun (2013) menyatakan bahwa pengendalian adalah apabila dalam
pengawasan ternyata ditemukan adanya penyimpangan atau hambatan maka segera
diambil tindakan koreksi. Perbedaan pengendalian dan pengawasan yaitu pengawasan
tidak disertai tindak lanjut, tetapi cukup melaporkan, sedangkan pengendalian disertai
tindak lanjut. Selanjutnya menurut Montgomery, (1996 dalam Saulina, 2009)
pengendalian mutu adalah suatu aktivitas keteknikan dan manajemen, sehingga ciri-
ciri kualitas (mutu) dapat diukur dan dibandingkan dengan spesifikasinya. Kemudian
dapat diambil tindakan perbaikan yang sesuai apabila terdapat perbedaan atau
penyimpangan antara penampilan yang sebenarnya dengan yang standar Tujuan
utama pengendalian mutu adalah menjaga kepuasan pelanggan. Tujuan pengendalian
mutu lainnya sebagai berikut (Ahyari, 2000 dalam Sutrisno, 2014).
1. Mengusahakan agar penggunaan biaya serendah mungkin.
2. Agar dapat memproduksi selesai tepat pada waktunya.
3. Meningkatkan kepuasan konsumen.
Langkah-langkah pengendalian mutu adalah sebagai berikut (Bounds, 1994 dalam
Sutrisno, 2014).
(1) Menilai kinerja kualitas aktual.
(2) Membandingkan kinerja dengan tujuan.
(3) Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan tujuan.
Keuntungan dari pengendalian mutu sebagai berikut (Feingenbaum, 1989 dalam
Mentari, 2011).
28
a. Meningkatkan mutu, desain produk, dan aliran produksi.
b. Meningkatkan moral tenaga kerja dan kesadaran mengenai mutu.
c. Meningkatkan pelayanan produk dan memperluas pangsa pasar.
Dalam menjalankan aktivitas, pengendalian mutu merupakan salah satu teknik
yang perlu dilakukan mulai dari sebelum proses produksi berjalan, pada saat proses
produksi, hingga proses produksi berakhir dengan menghasilkan produk akhir.
Pengendalian mutu dilakukan agar dapat menghasilkan produk berupa barang atau
jasa yang sesuai dengan standar yang diinginkan dan direncanakan, serta
memperbaiki mutu produk yang belum sesuai dengan standar yang telah ditetapkan
dan sedapat mungkin mempertahankan mutu yang telah sesuai.
Pengendalian mutu tidak dapat dilepaskan dari pengendalian produksi, karena
pengendalian mutu merupakan bagian dari pengendalian produksi. Pengendalian
produksi baik secara kualitas maupun kuantitas merupakan kegiatan yang sangat
penting dalam suatu perusahaan. Hal ini disebabkan karena semua kegiatan produksi
yang dilaksanakan akan dikendalikan, supaya barang dan jasa yang dihasilkan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan, dimana penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi diusahakan serendah-rendahnya (Assauri, 1998 dalam Fakhri, 2010).
2.7.1 Faktor-faktor pengendalian mutu
Menurut Montgomery, (2001 dalam Fakhri, 2010) dan berdasarkan beberapa
literatur lain menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pengendalian
mutu yang dilakukan perusahaan sebagai berikut.
29
1. Kemampuan proses
Batas-batas yang ingin dicapai haruslah disesuaikan dengan kemampuan proses
yang ada. Tidak ada gunanya mengendalikan suatu proses dalam batas-batas yang
melebihi kemampuan atau kesanggupan proses yang ada.
2. Spesifikasi yang berlaku
Spesifikasi hasil produksi yang ingin dicapai harus dapat berlaku, bila ditinjau
dari segi kemampuan proses dan keinginan atau kebutuhan konsumen yang ingin
dicapai dari hasil produksi tersebut. Dalam hal ini haruslah dapat dipastikan
dahulu apakah spesifikasi tersebut dapat berlaku dari kedua segi yang telah
disebutkan di atas sebelum pengendalian mutu pada proses dapat dimulai.
3. Tingkat ketidaksesuaian yang dapat diterima
Tujuan dilakukan pengendalian suatu proses adalah dapat mengurangi produk
yang berada di bawah standar seminimal mungkin. Tingkat pengendalian yang
diberlakukan tergantung pada banyaknya produk yang berada di bawah standar
yang dapat diterima.
2.7.2 Tahapan pengendalian mutu
Memperoleh hasil pengendalian mutu yang efektif, maka pengendalian
terhadap mutu suatu produk dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik-teknik
pengendalian mutu, karena tidak semua hasil produksi sesuai dengan standar yang
telah ditetapkan. Menurut Prawirosentono, (2007 dalam Fakhri, 2010), terdapat
beberapa standar mutu yang bisa ditentukan oleh perusahaan dalam upaya menjaga
output barang hasil produksi sebagai berikut.
30
1. Standar mutu bahan baku yang akan digunakan.
2. Standar mutu proses produksi (mesin dan tenaga kerja yang melaksanakannya).
3. Standar mutu barang setengah jadi.
4. Standar mutu barang jadi.
5. Standar administrasi, pengepakan, dan pengiriman produk akhir tersebut sampai
ke tangan konsumen.
Dikarenakan kegiatan pengendalian mutu sangatlah luas, untuk itu semua
pengaruh terhadap mutu harus dimasukkan dan diperhatikan. Secara umum menurut
Prawirosentono, (2007 dalam Fakhri, 2010) menyatakan bahwa pengendalian atau
pengawasan akan mutu di suatu perusahaan dilakukan secara bertahap yang meliputi
hal-hal sebagai berikut.
(1) Pemeriksaan dan pengawasan mutu bahan mentah (bahan baku atau bahan baku
penolong), mutu bahan dalam proses, dan mutu produk jadi. Demikian pula
standar jumlah dan komposisinya.
(2) Pemeriksaan atas produk sebagai hasil proses pembuatan. Hal ini berlaku untuk
barang setengah jadi maupun barang jadi. Pemeriksaan yang dilakukan tersebut
memberi gambaran apakah proses produksi berjalan seperti yang telah ditetapkan
atau tidak.
(3) Pemeriksaan cara pengepakan dan pengiriman barang ke konsumen. Melakukan
analisis fakta untuk mengetahui penyimpangan yang mungkin terjadi.
(4) Mesin, tenaga kerja, dan fasilitas lainnya yang dipakai dalam proses produksi
harus juga diawasi sesuai dengan standar kebutuhan. Apabila terjadi
31
penyimpangan, harus segera dilakukan koreksi agar produk yang dihasilkan
memenuhi standar yang direncanakan.
Tahapan pengendalian atau pengawasan mutu terdiri atas dua tingkatan
sebagai berikut (Assauri, 1998 dalam Fakhri, 2010).
a. Pengawasan selama pengolahan (proses)
Yaitu dengan mengambil contoh atau sampel produk pada jarak waktu yang
sama, dan dilanjutkan dengan pengecekan statistik untuk melihat apakah proses
dimulai dengan baik atau tidak. Apabila mulainya salah, maka keterangan
kesalahan ini dapat diteruskan kepada pelaksana semula untuk penyesuaian
kembali. Pengawasan yang dilakukan hanya terhadap sebagian dari proses,
mungkin tidak ada artinya bila tidak diikuti dengan pengawasan pada bagian lain.
Pengawasan terhadap proses ini termasuk pengawasan atas bahan-bahan yang
akan digunakan untuk proses.
b. Pengawasan atas barang hasil yang telah diselesaikan
Walaupun telah diadakan pengawasan mutu dalam tingkat-tingkat proses, tetapi
hal ini tidak dapat menjamin bahwa tidak ada hasil yang rusak atau kurang baik
ataupun tercampur dengan hasil yang baik. Dalam menjaga supaya hasil barang
yang cukup baik atau paling sedikit rusaknya, tidak keluar atau lolos dari pabrik
sampai ke konsumen atau pembeli, maka diperlukan adanya pengawasan atas
produk akhir.
32
2.8 Statistical Quality Control (SQC)
Statistik merupakan teknik pengambilan keputusan pada suatu analisis
informasi yang terkandung dalam suatu sampel dari populasi. Metode statistik
memegang peranan penting dalam jaminan mutu. Metode statistik memberikan cara-
cara pokok dalam pengambilan sampel produk, pengujian serta evaluasi, dan
informasi didalam data yang digunakan untuk mengendalikan dan meningkatkan
proses pembuatan.
Pengendalian mutu atau kualitas merupakan aktivitas teknik dan manajemen
dimana mengukur karakteristik mutu atau kualitas dari produk atau jasa, kemudian
membandingkan hasil pengukuran itu dengan spesifikasi produk yang diinginkan
serta mengambil tindakan peningkatan yang tepat apabila ditemukan perbedaan
kinerja aktual dan standar (Bakhtiar, Tahir, dan Hasni, 2013).
Statistic quality control (SQC) atau pengendalian kualitas statistik merupakan
teknik penyelesaian masalah yang digunakan untuk memonitor, mengendalikan,
menganalisis, mengelola, memperbaiki produk, dan proses menggunakan metode-
metode statistik. Pengendalian mutu atau kualitas statistik (statistic quality control
atau SQC) sering disebut sebagai pengendalian proses statistik (statistical process
control atau SPC). Pengendalian mutu atau kualitas statistik dan pengendalian proses
statistik memang merupakan dua istilah yang saling dipertukarkan, yang apabila
dilakukan bersama-sama maka pengguna akan melihat gambaran kinerja proses masa
kini dan masa mendatang (Cawuley dan Harrold, 1999 dalam Nadiah, 2013).
33
Statistical quality control (SQC) mempunyai tiga penggunaan umum yaitu (1)
untuk mengawasi pelaksanaan kerja sebagai operasi-operasi individual selama
pekerjaan sedang dilakukan, (2) untuk memutuskan apakah menerima atau menolak
sejumlah produk yang telah diproduksi (baik dibeli atau dibuat dalam perusahaan),
dan (3) untuk melengkapi manajemen dengan audit kualitas produk-produk
perusahaan (Handoko, 1984 dalam Nadiah, 2013). Pada suatu perusahaan, statistical
quality control (SQC) sangat bermanfaat sebagai alat pengendali mutu. Pengendalian
mutu juga meliputi pengawasan pemakaian bahan-bahan, berarti secara tidak
langsung statistical quality control (SQC) bermanfaat pula mengawasi tingkat
efisiensi. Dengan demikian, statistical quality control (SQC) dapat digunakan sebagai
alat untuk mencegah kerusakan dengan cara menolak (reject) dan menerima (accept)
berbagai produk yang dihasilkan, sekaligus upaya efisiensi dalam penggunaan biaya
pada pengendalian mutu produk (Prawirosentono, 2004 dalam Nadiah, 2013).
2.9 Metode Statistical Quality Control (SQC)
2.9.1 Peta kendali (control chart)
Reksohadiprojo, (1995 dalam Sutrisno, 2014) menyatakan bahwa peta kendali
(control chart) merupakan alat analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan
penyimpangan, batas atas, dan batas bawah pengendalian mutu suatu produk. Peta
kendali (control chart) adalah suatu alat yang secara grafis digunakan untuk
memonitor dan mengevaluasi apakah suatu aktivitas atau proses berada dalam
pengendalian mutu secara statistika atau tidak, sehingga dapat memecahkan masalah
34
dan menghasilkan perbaikan mutu. Peta kendali menunjukkan adanya perubahan data
dari waktu ke waktu, tetapi tidak menunjukkan penyebab penyimpangan meskipun
penyimpangan itu akan terlihat pada peta kendali. Manfaat dari peta kendali adalah
sebagai berikut.
1. Memberikan informasi apakah suatu proses produksi masih berada di dalam
batas-batas kendali mutu atau tidak terkendali.
2. Memantau proses produksi secara terus-menerus agar tetap stabil.
3. Menentukan kemampuan proses (capability process).
4. Mengevaluasi performance pelaksanaan dan kebijaksanaan pelaksanaan dalam
proses produksi.
5. Membantu menentukan kriteria batas penerimaan mutu produk sebelum produk
akan dipasarkan.
Peta kendali digunakan untuk membantu mendeteksi adanya penyimpangan
dengan cara menetapkan batas-batas kendali. Peta kendali yang sering digunakan
adalah peta kendali model Andrew Shewhart yang pada dasarnya memiliki ciri-ciri
sebagai berikut.
(1) Upper control limit atau batas kendali atas (UCL)
Merupakan garis batas atas untuk suatu penyimpangan yang masih diijinkan.
Dapat dinotasikan sebagai batas penyimpangan paling tinggi dari nilai baku.
35
(2) Central line atau garis pusat atau tengah (CL)
Merupakan garis yang melambangkan tidak adanya penyimpangan dari
karakteristik sampel. Nilai baku yang akan menjadi pangkalan perhitungan
terjadinya penyimpangan hasil pengamatan pada tiap sampel.
(3) Lower control limit atau batas kendali bawah (LCL)
Merupakan garis batas bawah untuk suatu penyimpangan dari karakteristik
sampel. Dapat dinotasikan sebagai batas penyimpangan terendah yang masih
berada dalam batas-batas pengendalian.
Pengendalian mutu akan berjalan baik jika kerusakan produk masih dalam
batas normal yaitu terletak antara batasan pengawasan atas (UCL) dan batasan
pengawasan bawah (LCL). Apabila kerusakan produk di atas garis UCL, maka
perusahaan akan mengalami kerugian yang dikarenakan jumlah kerusakan produk
tinggi dan jika jumlah kerusakan produk di bawah garis LCL, maka perusahaan akan
memperoleh keuntungan atau laba besar yang dikarenakan jumlah kerusakan
produknya sedikit. Bentuk grafik peta kendali berdasarkan model Andrew Shewhart
dapat ditunjukkan seperti Gambar 2.1 berikut.
Gambar 2.1
Grafik Peta Kendali Model Andrew Shewhart
Periode (bulan)
Persentase kerusakan (%)
UCL
CL
LCL
36
Menurut Reksohadiprojo, (1995 dalam Sutrisno, 2014) metode control chart
merupakan analisis untuk mengetahui rata-rata kerusakan penyimpangan, batas atas,
dan batas bawah pengawasan mutu dengan menggunakan rumus sebagai berikut.
a. Mencari rata-rata kerusakan
...................................................................... (1)
Keterangan:
P = persentase kerusakan produk (%/tahun)
X = jumlah produk rusak (kg/tahun)
n = jumlah produksi selama periode (kg/tahun)
b. Menentukan standar deviasi atau penyimpangan
√ -
....................................................................... (2)
Keterangan:
P = persentase kerusakan produk (%/tahun)
Sp = standar deviasi atau penyimpangan (kg/tahun)
n = rata-rata produksi selama periode (kg/tahun)
c. Menentukan batas pengawasan
(a) Batasan pengawasan atas (Upper Control Limit = UCL)
.................................................................... (3)
(b) Batas pengawasan bawah (Lower Control Limit = LCL)
- ..................................................................... (4)
Keterangan:
UCL = batas pengawasan atas (upper control line) (%/tahun)
LCL = batas pengawasan bawah (lower control line) (%/tahun)
Sp = standar deviasi atau penyimpangan (kg/tahun)
37
2.9.2 Biaya mutu (quality cost)
Gitosudarmo, (1993 dalam Sutrisno, 2014) menyatakan bahwa biaya mutu
(quality control) merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui jumlah
produk rusak yang optimal yaitu jumlah produk rusak dengan biaya mutu yang
efisien. Biaya-biaya yang diperhitungkan tersebut sebagai berikut.
1. Biaya pengawasan mutu (quality control cost)
Biaya pengawasan mutu (QCC) merupakan biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan dalam melakukan pengawasan mutu produknya. Adapun biaya-biaya
yang merupakan biaya pengawasan mutu (quality control cost) sebagai berikut.
(1) Biaya kerusakan ikan karena kurangnya pengawasan pada waktu penyimpanan
ikan di palkah pada saat di kapal atau di perusahaan dan kurang stabilnya mutu
ikan, sehingga waktu ikan akan diproses mutunya mengalami penyusutan, biaya
uji mutu ikan, dan biaya penyusutan peralatan untuk proses pengendalian mutu.
(2) Biaya tenaga kerja yang terlibat dalam pengawasan mutu. Biaya ini merupakan
biaya tambahan karena perusahaan sering mengadakan kerja lembur untuk
pemeriksaan mutu. Besarnya biaya pengawasan mutu dipengaruhi oleh ketat
tidaknya intensitas pengawasan mutu produk. Hal tersebut dapat diketahui dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
....................................................................... (5)
Keterangan:
QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun)
R = jumlah produksi selama periode (kg/tahun)
o = biaya pengetesan (Rp/tahun)
q = jumlah ikan rusak selama periode (kg/tahun)
38
2. Biaya jaminan mutu (quality assurance cost)
Biaya jaminan mutu (QAC) dikeluarkan perusahaan diakibatkan karena
kerusakan produk selama perjalanan dari perusahaan ke distributor atau ke
konsumen bahkan masih di dalam perusahaan. Biaya jaminan mutu (quality
assurance cost) ini meliputi sebagai berikut.
(1) Biaya perbaikan atau reparasi produk yang rusak.
(2) Biaya penggantian produk rusak dan cacat.
(3) Biaya atas ditanggungnya risiko menyebabkan berkurangnya volume penjualan
karena biaya produk yang rusak atau cacat telah dibeli oleh konsumen. Besarnya
biaya jaminan mutu (QAC) dapat dicari menggunakan rumus sebagai berikut.
.............................................................. (6)
Keterangan:
QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun)
c = biaya jaminan mutu tiap kilogram (Rp/kg)
q = jumlah produk rusak selama periode (kg/tahun)
3. Total biaya atas mutu (total quality cost)
Total biaya atas mutu (TQC) merupakan biaya yang harus ditanggung oleh
perusahaan, dimana besarnya merupakan penjumlahan dari biaya pengawasan
mutu (QCC) dengan biaya jaminan mutu (QAC), secara matematis total biaya
atas mutu (TQC) dirumuskan sebagai berikut.
.............................................................. (7)
Keterangan:
TQC = total biaya atas mutu (Rp/tahun)
QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun)
QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun)
39
4. Dari kedua biaya tersebut yaitu biaya pengawasan mutu (QCC) dan biaya jaminan
mutu (QAC), maka dapat dicari titik temu antara kedua biaya tersebut dan
menemukan jumlah ikan rusak yang menanggung total biaya mutu yang rendah.
Caranya adalah dengan menyamakan persamaan garis dari kedua biaya tersebut.
Titik temu itu dapat ditentukan dengan rumus berikut.
√
.................................................................. (8)
Keterangan:
q* = jumlah produk rusak optimum (kg/tahun)
R = jumlah produksi selama periode (kg/tahun)
o = biaya pengetesan (Rp/tahun)
c = biaya jaminan mutu tiap kilogram (Rp/kg)
a. q* untuk mengetahui jumlah produk rusak yang menanggung biaya terendah.
b. Intensitas pengawasan kualitas sudah berjalan baik jika ikan rusak yang benar-
benar terjadi (q) lebih kecil dari ikan rusak yang dikehendaki (q*).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan semakin besar biaya
pengawasan mutu (QCC) dikeluarkan, mencerminkan semakin ketat pengawasan
mutu yang dilaksanakan. Jumlah produk yang rusak semakin kecil, sehingga biaya
total atas mutu (TQC) akan semakin kecil juga dan demikian pula sebaliknya.
Semakin kecil biaya pengawasan mutu (QCC) yang dikeluarkan, mencerminkan
semakin tidak ketat pengawasan mutu yang dilaksanakan dan jumlah produk rusak
semakin besar, sehingga biaya total atas mutu (TQC) akan semakin besar. Bentuk
grafik total biaya mutu (quality cost) ini, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2
sebagai berikut.
40
Biaya (Rp) TQC (Total biaya atas mutu)
C1
C2
QAC
(Biaya jaminan mutu)
A QCC
(Biaya pengawasan mutu)
Jumlah produk
q1 q* q2 rusak (kg)
Gambar 2.2
Grafik Biaya Mutu (quality cost)
Sumber : Gitosudarmo, (1998 dalam Hutapea, 2010)
Keterangan:
TQC = total biaya atas mutu (Rp/tahun)
QCC = total biaya pengawasan mutu (Rp/tahun)
QAC = total biaya jaminan mutu (Rp/tahun)
q* = jumlah produk rusak optimum (kg/tahun)
C* = total biaya mutu kerusakan optimum (Rp/tahun)
Gambar 2.2 menjelaskan bahwa grafik total biaya mutu (TQC) memiliki titik
rendah yaitu pada saat jumlah kerusakan produk optimal sebesar q*, maka total biaya
mutunya terendah yaitu sebesar C*. Apabila intensitas pengawasan mutu dilakukan
semakin ketat, maka jumlah produk yang rusak akan semakin kecil menjadi sebesar
q1. Hal ini mengakibatkan semakin besar total biaya yang dikeluarkan yaitu sebesar
C1 dan biaya jaminan mutu akan semakin kecil. Sebaliknya apabila pengawasan mutu
dilakukan terlalu longgar, maka jumlah produk yang rusak semakin meningkat
C*min
41
sebesar q2, sehingga biaya jaminan mutu akan naik dan total biaya mutu juga akan
meningkat menjadi sebesar C2.
Titik terendah dari total biaya mutu akan mencapai pada saat perpotongan
garis-garis biaya pengawasan mutu dengan biaya jaminan mutu. Pada perpotongan
tersebut juga akan dilihat jumlah kerusakan produk optimum sebesar q*.
2.10 Penelitian Terdahulu
Penelitian mengenai pengendalian atau pengawasan mutu sebelumnya yang
sudah pernah dilakukan oleh beberapa penulis, dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Made Agus Prianggawan (2008) meneliti tentang pengawasan mutu produksi
indico red wine pada PT Prasida Lanturmaju. Berdasarkan hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa pelaksanaan pengawasan mutu yang dilaksanakan pada
periode Januari s.d. Desember 2007 sudah sesuai dengan standar perusahaan.
Dimana jumlah kerusakan yang terjadi yaitu sebesar 265 ltr dengan total biaya
pengawasan mutu yang dikeluarkan perusahaan sebesar Rp 103.816.037,74 dan
untuk kerusakan optimum sebesar 692,8 ltr dengan total biaya pengawasan mutu
yang dikeluarkan perusahaan sebesar Rp 69.281.032,3. Dengan demikian, biaya
yang dapat diefisienkan sebesar Rp 34.534.005,44. Metode analisis data yang
digunakan adalah peta kontrol (control chart), diagram sebab akibat, biaya
pengawasan, dan lembar check sheet.
2. Sri Yulianti Fitriani (2007) meneliti tentang pengawasan mutu produk kecap
produksi PT Korma Jaya Utama, Jakarta Selatan. Hasil penelitiannya
42
menunjukkan bahwa biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan selama tahun
2006 periode Januari s.d. Juli dibagi menjadi biaya pengawasan mutu (QCC)
sebesar Rp 38.974.994,76 dan biaya jaminan mutu (QAC) sebesar
Rp 625.352.000, sehingga total biaya pengawasan mutu yang dikeluarkan selama
proses produksi sebesar Rp 664.326.994,8. Metode analisis data yang digunakan
adalah biaya intensitas pengawasan mutu.
3. Yuniar Astuti Hutapea (2010) meneliti tentang pengawasan mutu produk minyak
kelapa di CV Cahaya Bali, Denpasar. Hasil penelitiannya menunjukkan rata-rata
mutu yang terjadi di perusahaan masih ada yang belum sesuai dengan standar
mutu yang ditetapkan perusahaan, namun proses pengendalian yang diterapkan
masih dapat ditolerir karena persentase rusak atas total produksi berada pada batas
kontrol. Pengawasan mutu yang dilakukan oleh perusahaan belum efisien karena
biaya jaminan mutu riil yang dikeluarkan lebih besar jika dibandingkan dengan
biaya pengawasan mutu optimum. Besarnya kerusakan optimum yang terjadi
sebesar 774.960,38 kg atau 6,96% dari total produksi, dimana biaya pengawasan
mutu yang dikeluarkan perusahaan pada saat kondisi kerusakan optimum terjadi
adalah sebesar Rp 774.960.461,84, biaya jaminan mutu sebesar
Rp 774.960.300,00, dan total biaya optimum atas mutu sebesar
Rp 1.549.920.861,84. Metode analisis data yang digunakan adalah peta kontrol
dan biaya mutu.
Penelitian ini memiliki persamaan maupun perbedaan dengan penelitian
terdahulu. Dimana persamaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah
43
menggunakan metode penelitian atau alat analisis yang sama yaitu dengan
menggunakan peta kendali (control chart) dan biaya mutu (quality cost). Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada objek yang diteliti,
lokasi penelitian, dan waktu penelitian. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada
Tabel 2.3 sebagai berikut.
Tabel 2.3
Persamaan dan Perbedaan Penelitian
Peneliti Judul Penelitian Persamaan Perbedaan
Made Agus
Prianggawan
(2008)
Pengawasan
Mutu Produksi
Indico Red
Wine pada PT
Prasida
Lanturmaju
a. Menggunakan
metode analisis
data peta kontrol
(control chart)
dan biaya
pengawasan
a. Lokasi penelitian
berada di PT Prasida
Lanturmaju
b. Objek yang diteliti
adalah indico red
wine
c. Waktu penelitian
berlangsung selama
bulan Januari s.d.
Desember 2007
d. Tidak menggunakan
metode analisis data
diagram sebab akibat
dan lembar check
sheet
Sri Yulianti
Fitriani
(2007)
Pengawasan
Mutu Produk
Kecap Produksi
PT Korma Jaya
Utama, Jakarta
Selatan
a. Menggunakan
metode analisis
data biaya
intensitas
pengawasan mutu
a. Lokasi penelitian
berada di PT Korma
Jaya Utama, Jakarta
Selatan
b. Objek yang diteliti
adalah kecap
c. Waktu penelitian
berlangsung selama
bulan Januari s.d. Juli
2006
Yuniar
Astuti
Hutapea
(2010)
Pengawasan
Mutu Produk
Minyak Kelapa
di CV Cahaya
Bali, Denpasar
a. Menggunakan
metode analisis
data peta
kontrol dan
biaya mutu
a. Lokasi penelitian
berada di CV Cahaya
Bali
b. Objek yang diteliti
adalah minyak kelapa
44
2.11 Kerangka Pemikiran
Pengendalian mutu secara statistik yaitu sebuah proses yang digunakan untuk
menjaga standar, mengukur, dan melakukan tindakan perbaikan terhadap produk atau
jasa yang diproduksi (Heizer dan Render, 2006 dalam Fakhri, 2010). Pengendalian
mutu secara statistik dapat digunakan untuk menerima atau menolak produk yang
telah diproduksi dan dapat dipergunakan untuk mengawasi proses sekaligus mutu
produk yang sedang dikerjakan.
Kerangka pemikiran yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang
sudah mengikuti standar prosedur perusahaan atau tidak dan untuk menggambarkan
bagaimana sistem pengendalian mutu untuk meminimumkan kerusakan
menggunakan pendekatan statistical quality control (SQC) pada pengolahan ikan
pelagis beku apakah sudah berjalan dengan baik atau belum.
Dengan demikian, dapat bermanfaat dalam menganalisis tingkat kerusakan
produk yang dihasilkan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali
yang melebihi batas toleransi atau tidak menggunakan peta kendali (control chart)
dan menganalisis biaya mutu (quality cost) yang dikeluarkan oleh perusahaan terdiri
atas biaya pengawasan mutu (quality control cost), biaya jaminan mutu (quality
assurance cost), dan total biaya atas mutu (total quality cost) selama tahun 2014
untuk kemudian ditelusuri solusi penyelesaian masalah tersebut sehingga
menghasilkan usulan atau rekomendasi perbaikan mutu produksi dimasa mendatang.
45
Berdasarkan latar belakang dan tinjauan pustaka yang telah dikemukakan,
maka dapat disusun kerangka pemikiran dalam penelitian ini seperti tersaji dalam
Gambar 2.3 sebagai berikut.
Gambar 2.3
Kerangka Pemikiran Analisis Pengendalian Mutu pada Pengolahan Ikan Pelagis Beku
di PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali
PT Perikanan Nusantara
(Persero) cabang Benoa Bali
Hasil
produksi ikan pelagis
Produk rusak Produk baik
Statistical quality
control (SQC)
Analisis
peta kendali
(control chart)
Analisis
biaya mutu
(quality cost)
Simpulan
Rekomendasi
Pelaksanaan pengendalian mutu
pada pengolahan ikan pelagis beku
Pelaksanaan
pengendalian mutu pada
pengolahan ikan pelagis
beku di perusahaan
Proses
selanjutnya
Analisis deskriptif
46
2.12 Hipotesis
Hipotesis merupakan pernyataan ilmiah yang dilandasi oleh kajian teoritik
dan empirik yang merupakan jawaban sementara dari tujuan penelitian yang dapat
diuji kebenarannya secara empirik (Antara, 2014). Dengan demikian, hipotesis yang
dapat diambil penulis pada penelitian ini sebagai berikut.
1. Diduga pelaksanaan pengendalian mutu pada pengolahan ikan pelagis beku yang
dilakukan oleh PT Perikanan Nusantara (Persero) Cabang Benoa Bali telah
mengikuti standar prosedur penetapan perusahaan.
2. Diduga sistem pengendalian mutu untuk meminimumkan kerusakan
menggunakan pendekatan statistical quality control (SQC) pada pengolahan ikan
pelagis beku sudah berjalan dengan baik.