IDEALITAS KARAKTER DAI MODERN PERSPEKTIF
AL-QUR’ᾹN
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan Guna
Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
As’ad Nurshodiqin
1113034000170
JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
i
ii
iii
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman pada buku Pedoman
Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2015.
1. Konsonan
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak di Lambangkan ا
B Be ب
T Te ث
Ts Te dan Es ث
J Je ج
H H dengan garis di bawah ح
Kh Ka dan Ha خ
D De د
Dz De dan Zet ذ
R Er ر
Z Zet ز
S Es س
Sy Es dan Ye ش
S Es dengan garis di bawah ص
ḏ De dengan garis di bawah ض
ṯ Te dengan garis di bawah ط
ẕ Zet dengan garis di bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan ‘ ع
Gh Ge dan Ha غ
F Ef ف
Q Ki ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrof ` ء
Y Ye ي
v
2. Vokal Tunggal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal tunggal
atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal alih aksaranya
adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fathah
I Kasrah
U ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
AI A dan I ي
AU A dan U و
3. Vokal panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā A dengan garis di atas ا
Ī I dengan daris di atas ي
Ū U dengan garis di atas و
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf, yaitu alif
dan lam, dialih aksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiyyah maupun
qamariyyah. Contoh: al-syamsiyyah bukan asy-syamsiyyah, al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Tasydīd
Huruf yang ber-tasydīd ditulis dengan dua huruf serupa secara berturut-turut, seperti
نت .al-sunnah = الس
vi
6. Ta marbūṯah
Jika ta marbūṯah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialih-
aksarakan menjadi huruf /h/, seperti أبو ه ريرة = Abū Hurairah.
7. Huruf Kapital
Huruf kapital digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang
Disempurnakan (EYD). Jika nama didahulukan oleh kata sandang, maka yang ditulis
dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata
sandangnya, seperti البخاري = al-Bukharī.
vii
KATA PENGANTAR
بسم هللا الر حمن الرحيم
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam yang telah mencurahkan kasih
sayang, kesehatan dan ridha-Nya serta memberikan istiqomah, keikhlasan dan kesabaran
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul : Idealitas Karakter Da’i
Modern Perspektif Al- Qur’ȃn.
Shalawat dan salam kepada nabi Muhammad Saw junjungan para umat yang berpikir,
dimana mencari sebuah kebenaran dalam sebuah konsep ketuhanan yang telah dikonsep
secara rapih dan sistematis untuk umatnya hingga akhir zaman.
Penulis sangat bersyukur atas selesainya tugas akhir untuk jenjang pendidikan Strata
Satu (S1) yang penulis tempuh. Penulis yakin di dalam penulisan skripsi ini pasti banyak
kekurangan di dalam menyelesaikannya. Maka dari itu penulis menyadari dan mempunyai
kewajiban untuk menghaturkan permintaan maaf kepada pembaca atas ketidak sempurnaan
yang memang itu telah kodrat bagi manusia itu sendiri.
Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini tidaklah mungkin dapat tercapai tanpa
dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Maka dari itu sebagai ungkapan rasa hormat,
penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Ibu Prof. Dr. Amany Lubis, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
dan Segenap Civitas Akademika Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Bapak Dr.Yusuf Rahman, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin, Ibu Dr. Lilik
Ummi Kultsum, MA. Selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan Ibu Dra.
Banun Binaningrum, M.Pd. selaku Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur`an dan Tafsir dan
Segenap Civitas Akademika Fakultas Ushuluddin Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir.
3. Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA selaku dosen pembimbing penulis yang telah
memberikan arahan, saran dan dukungan kepada penulis, sehingga skripsi dapat
terselesaikan. Mohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama proses bimbingan
penulis banyak merepotkan. Semoga bapak selalu sehat dan diberikan kelancaran
dalam segala urusannya. Amin.
viii
4. Bapak Dr. Muhammad Zuhdi, MA selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing penulis dari semester satu hingga selesai. Dan seluruh Dosen Fakultas
Ushuluddin khususnya di Program Studi Ilmu al-Qur`an dan Tafsir atas segala
motivasi, ilmu pengetahuan, bimbingan wawasan dan pengalaman yang telah
diberikan. Kepada seluruh Civitas Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Pimpinan dan segenap karyawan Perpustakaan Umum, dan Perpustakaan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat saya cintai dan sayangi ayahanda
alm. H. Sholahuddin, yang semoga Allah ampuni segala kesalahan dan Allah
tempatkan disurganya. dan ibunda tercinta Hj. Masropah yang selalu memberikan
masukan kepada saya untuk selalu semangat dan sabar dalam menyelesaikan skripsi
ini dan tidak lupa mereka selalu mendoakan saya agar selalu diberikan kesehatan
dan waktu luang agar dapat mengerjakan skripsi ini dengan baik dan benar.
7. Kepada Nur Azmi Fadhillah, dialah seorang wanita yang selalu menemani dari awal
kuliah hingga selesainya skripsi ini, besar harapan saya kepada Allah semoga dialah
jodoh saya hingga akhir hayat. Amiin
8. Kepada seluruh teman-teman Jurusan Tafsir Hadis angkatan 2013. Seperti Salman
yang sudah memberikan fasilitas kosan serta memeberikan arahan pada skripsi ini.
Seperti Ibad yang juga sudah memberikan fasilitas kosan untuk mengerjakan skripsi
ini.
9. Kepada teman-teman seperjuangan yakni Kaum Jenggot (Haikal, Aristo, Feby,
Fauzan, dan Fauzi) yang telah membantu serta menjadi penghibur disaat penulis
sedang pusing dalam penelitian ini semoga kalian selalu dirahmati Allah. Amiin.
10. Kepada teman-teman Pondok Pesantren At-Taqwa telah memberikan
semangat serta masukan-masukan, semoga kita selalu menjaga silaturrahim dan juga
semoga Allah memeberikan kesehatan kepada kita semua.
11. Teman-Teman KKN 104: kebersamaan dengan kalian selama kurang lebih
sebulan banyak memberi saya pelajaran yang sangat berharga, serta memberi banyak
masukan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
12. Kepada para sahabat Front Market, yang sudah mensupport dan menghibur
dan selalu menemani dari kecil hingga sekarang. Semoga kita semua diberi
kesehatan dan kemudahan untuk mencapai segala sesuatu. Amiin
ix
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT. Sungguh
hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang berlipat
ganda.
Jakarta, April 2019
As’ad Nurshodiq
x
ABSTRAK
As’ad Nurshodiqin
Idealitas Karakter Dai Modern Perspektif Al-Qur’an
Skripsi ini membahas tentang Idealitas Karakter Dai Modern Perspektif
Al-Qur’ān dengan menggunakan metode Mauḏu’i (tematik). Pengankatan tema
ini berangkat dari realitas banyaknya aktivis dakwah yang menyepelekan soal
berdakwah (mudahnya dalam berdakwah). Sehingga yang terjadi pada saat ini,
keberhasilan dakwah itu sulit untuk ditempuh melainkan kemunduran yang di
hasilkan. Kemunduran itu disebabkan karena kurangnya kualifikasi yang
ditempuh oleh para aktivis dakwah.
Dengan demikian, karena banyak sekali ayat yang membahas tentang
Idealitas Karakter Dai Modern Perspektif Al-Qur’ān, maka penulis membatasi
hanya pada beberapa kualifikasi, di antaranya yaitu : 1. Keilmuan dan Wawasan
Seorang Dai, 2. Sinkronisasi Antara Ilmu dan Akhlak, 3. Metode Penyampaian ;
a. Dakwah dengan Cara Lemah Lembut, dan b. Dakwah Kepada Kerabat dan
Sekitar, c. Dakwah dengan Cara Hikmah, Mau’izah dan Diskusi. Kemudian,
dalam memaparkan penafsiran ayat-ayat tersebut, penulis menggunakan Tafsir Al-
Misbah karangan Quraish Shihab dan Tafsir Al-Jamī’Li Ahkām Al-Qur’ān
karangan Imam Al-Qurṯubī dan lain sebagainya.
Hasil dari penelitian ini penulis berkesimpulan bahwa di antara faktor-
faktor penyebab kurangnya berhasil mencapai tujuan dalam dakwahnya antara
lain : kurangnya kompetensi seorang dai dalam keilmuan dan wawasan, seringnya
ketidak sinkronan antara prilaku dan ucapan seorang dai, dan kurangnya
menguasai metode penyampaian dalam dakwanya, sehingga tidak bisa
membedakan sasaran dakwahnya.
Kata kunci : Dai Modern, Karakter dan Amar Ma’rūf Nahi Munkar
xi
DAFTAR ISI
PEDOMAN TRANSLITERASI ................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
ABSTRAK ...................................................................................................... x
DAFTAR ISI ................................................................................................... xi
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................... 10
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................. 11
D. Tujuan Masalah .............................................................................. 11
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 12
F. Metodologi Penelitian .................................................................... 13
G. Sistematika Penulisan .................................................................... 14
BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG DAI
A. Pengertian Dai ................................................................................ 16
B. Tujuan Dai Dalam Berdakwah ....................................................... 19
C. Motivasi Dai Dalam Berdakwah .................................................... 25
D. Sasaran Dakwah Para Dai .............................................................. 27
E. Metode Yang Diserukan Dai Dalam Dakwah ............................... 32
BAB III : WACANA DAN KRITIK KARAKTER DAI INDONESIA
A. Dai dan Dakwah di Indonesia ........................................................ 49
xii
B. Pergeseran Karakter Dai di Indonesia ............................................ 61
C. Kritik Intelektual Dai di Masa Modern .......................................... 66
BAB IV : KRITERIA DAI IDEAL DALAM AL-QUR’AN
A. Keilmuan dan Wawasan Seorang Dai ............................................ 73
B. Sinkronisasi Antara Ilmu dan Amal ............................................... 86
C. Akhlak dalam Berdakwah Bagi Seorang Dai................................. 95
D. Metode Penyampaian Dai .............................................................. 100
1. Dakwah Dengan Cara Lemah Lembut ..................................... 100
2. Dakwah Kepada Kerabat Terdekat dan Sekitar ....................... 108
3. Dakwah Dengan Cara Hikmah, Mau’izhah dan Diskusi ......... 111
4. Tujuan Dalam Penyampaian Dai ............................................. 116
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 120
B. Saran ............................................................................................... 121
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 122
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata Dai berasal dari bahasa Arab bentuk mudzakar (laki-laki) yang berarti
orang yang mengajak, sedangkan bentuk muannas (perempuan) di sebut Daiyah.1
Dai adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan, tulisan ataupun
perbuatan dan baik secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau
lembaga. Kata dai ini sering di sebut dengan sebutan muballigh (orang yang
menyempurnakan ajaran islam) namun, sebenernya sebutan ini konotasinya
sangat sempit karena masyarakat umum cenderung mengartikan sebagai orang
yang menyampaikan ajaran Islam melalui lisan seperti penceramah agama, khatib
(orang yang berkhutbah), dan sebagainya.
Menurut Muriah, dai di bagi menjadi dua kriteria yaitu umum dan khusus.
Secara umum adalah setiap muslim dan muslimat yang berdakwah sebagai
kewajiban yang melekat tidak terpisahkan dari misinya dari sebagai penganut
Islam sesuai dengan perintah ولو اية" "بلغو عنى . Sedangkan secara khusus adalah
mereka yang mengambil keahlian khusus dalam bidang dakwah Islam dengan
kesungguhan dan Qudwah Hasasah.2 Dakwah sebagai sarana usaha bagi para dai
untuk terwujudnya ajaran Islam pada semua segi kehidupan manusia, dakwah
1Enjang As dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan Praktis
(Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 73. 2Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Mitra Pusaka, 2000), h. 23.
2
merupakan kewajiban bagi setiap muslim.3 Dakwah yang dilakukan oleh setiap
muslim harus berkesinambungan, yang bertujuan mengubah perilaku manusia
berdasarkan pengetahuan dan sikap yang benar, yakni untuk membawa manusia
mengabdi kepada Allah secara total.
Landasan yang mendasar untuk menjadi seorang dai atau muballigh yaitu
amar ma‟ruf nahi munkar yang berarti syarat mutlak bagi seorang dai untuk
kesempurnaan dan keselamatan hidup masyarakat. Ini merupakan kewajiban fitrah
manusia sebagai makhluk sosial (makhluk ijtima‟i).4 Untuk mencapai tujuan ini,
perlu direnungkan betapa pentingnya dakwah dalam kehidupan seorang muslim.
Oleh karena itu, tidak tepat jika ada asumsi bahwa dakwah ditujukan hanya
kepada orang non muslim, sedangkan orang muslim sejak lahir hidup dalam
keluarga muslim, tidak lagi membutuhkan dakwah. Pengertian di atas bersifat
ungkapan amar ma‟ruf nahyi munkar seperti dalam firman Allah SWT dalam QS.
Ali Imrān, {5}:104.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Ungkapan ini sangat relevan dengan kegiatan dakwah. Dakwah pada
awalnya hanyalah merupakan tugas sederhana yakni kewajiban untuk
menyampaikan apa yang di terima dari Rasulullah SAW. Oleh karena itu
3Muhammad Abu Zahra, Al-Dakwah Ila Al-Islam (Dar al-Fiqry al-Araby) h. 129. Dedy
Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi Masyarakat Kontemporer (Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 1999). Cet. 1, h. 54. 4Muhammad Nastsir, Fiqhud Dakwah (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiah Indonesia.
1977), h. 26.
3
Rasulullah SAW menganjurkan tiap-tiap manusia untuk berdakwah sebagaimana
yang ditegaskan oleh hadits Rasulullah SAW :
اىد الغائب ف رب مب لغ اوع ى من سامع فال ت رجعوا قال النبي صلى اهلل عليو وسلم اللهم اشهد ف ليب لغ الش (۱٦۲٥)رواه بخارى : ب عضكم رقاب ب عض ب عدى كفارا يضرب
Rasulullah SAW bersabda : Ya Allah, saksikanlah. Maka hendaklah
yang menyaksikan menyampaikannya kepada yang tidak hadir, karena
betapa banyak orang yang disampaikan dapat lebih mengerti dari pada
orang yang mendengar. Dan janganlah kalian menjadi kafir sepeninggalku,
kalian saling memukul tengkuk kalian satu sama lain (saling membunuh).
(HR. Bukhȃrī: 1625).5
Kata فليبلغ pada hadis tersebut Inilah yang membuat kegiatan atau aktivitas
dakwah boleh dan harus dilakukan oleh siapa saja yang mempunyai rasa
keterpanggilan untuk menyebarkan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu aktivitas
dakwah memang harus berangkat dari kesadaran pribadi yang dilakukan oleh
orang-perorang dengan kemampuan minimal dari siapa saja yang dapat
melakukan dakwah.
Dakwah di ranah publik bukanlah aktivitas yang remeh. Sedangkan melihat
dari realitanya sekarang ini dakwah di anggap hal yang remeh, Seperti penulis
temukan pada salah satu media stasiun televisi di mana seorang ustazah sedang
berdakwah namun pada kajian dakwah tersebut terdapat beberapa kesalahan. Oleh
sebab itu ketika seseorang masuk dalam bidang dakwah yang di butuhkan
sekarang ini bukanlah dai yang pandai dalam beretorika saja melainkan seorang
dai harus memperhatikan kapasitas keilmuan dan pengetahuan dalam agama islam
yang dimilikinya. Oleh karena itu sebelum menjadi seorang dai alangkah baik
5HR. Bukhȃrī, Kitab Hajji – Khutbah Pada Hari-Hari Mina, Hadis No. 1625
4
mempelajari terlebih dahulu ilmu agama, sebagaimana Allah SWT telah
menjelaskan di dalam QS. At-Taubah, {9}:122, sebagai berikut :
Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke
medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan diantara mereka
tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk
memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar
mereka dapat menjaga dirinya.
Tidak seharusnya semua orang-orang mukmin itu mendatangi
Rasulullah apabila keadaan tidak menuntut itu. Tetapi hendaknya ada satu
golongan yang memenuhi seruan Rasulullah untuk memperdalam
pengetahuan agama dan berdakwah dengan memberi peringatan dan kabar
gembira kepada kaum mereka saat kembali, agar kaum mereka itu tetap
dalam kebenaran dan menjaga diri dari kebatilan dan kesesatan. Yang perlu di pahami bahwa dakwah harus di mulai dari diri sendiri
sebelum berdakwah kepada orang lain. Oleh karena itu, berdakwah secara
berkesinambungan, bukan pekerjaan yang mudah. Dakwah merupakan sesuatu
yang sangat penting demi tercapainya tujuan dakwah Islam. Dalam hubungan ini,
seorang dai harus benar-benar memiliki akhlak yang terpuji sehingga dapat
menjadi panutan bagi orang-orang yang di dakwahinya. Sebagaimana Allah Azza
Wa Jalla mewahyukan kepada Nabi Allah Isa A.s “Yang pertama, bimbinglah
dirimu menuju keridhaan-Nya. Kalau sudah tunduk, barulah engkau menasihati
orang lain. Sebab kalau tidak demikian, malulah engkau kepada-Ku dalam
menasihati orang lain.”6 Nasihat ini bukan haya ditujukan kepada Nabi Isa A.s.
dalam arti statusnya sebagai Rasul-Nya. Akan tetapi nasihat tersebut juga
mencakup seluruh para Rasul dan setiap orang yang bergerak di bidang dakwah.
6Lihat lebih lanjut penjelasannya dalam kitab Al-Risalah (Karya Imam Al-Qusyairi), h.
216. Juga dalam kitab Ihya „Ulumiddin (Karya Imam Al-Ghazali), jilid. 1, h. 78.
5
Sedangkan dengan para dai yang bertolak belakang antara perbuatan dan ucapan.
Kalian akan mendapati mereka menyesatkan hanya orang yang megekor kepada
apa yang mereka sampaikan, sehingga semuanya terjatuh kedalam lembah yang
sama, yaitu kebinasaan.
Muncul sebuah kritik dari seorang psikiater kondang menulis sebuah artikel,
ini di maksudkan untuk menasehati dan mengkritisi para dai yang berprilaku
kesehariannya bertentangan dengan materi dakwah yang ia sampaikan. Sebagai
sebuah nasehat semoga Allah SWT telah memberikan pahala kepada beliau.
Namun fenomena dai pada masa berikutnya justru kian bermunculan, bahkan
lebih parah lagi daripada tahun sebelumnya. Seperti kasusnya ustadz yang sempat
viral pada saat itu, di mana dai tersebut melakukan kekerasan pada salah satu
bagian akomodasi pada saat acara tabligh berlangsung. Sehingga dai tersebut
harus berurusan dengan penegak hukum atas kesalahan yang dialaminya. Dalam
masalah ini dakwah itu tidak cukup dilakukan dengan lidah, tetapi juga harus
sinkron antara perkataan dengan perbuatan. Sebagaimana Allah SWT berfirman
dalam QS. Al-Baqarah, {2}:44, sebagai berikut:
Mengapa engkau menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan
engkau melupakan kewajibanmu sendiri, padahal engkau membaca Al-
Kitab (Taurat)? Maka tidaklah engkau berpikir?.
Berdasarkan ayat tersebut beberapa ulama berpendapat bahwa apakah
kalian meminta orang lain untuk selalu berbuat kebajikan dan tetap dalam
ketaatan serta menghindari kemaksiatan, sedangkan kalian tidak melaksanakan
apa yang kalian katakan dan tidak berpegang teguh kepada apa yang kalian minta?
6
sebenernya hal ini merupakan penyia-nyiaan terhadap diri sendiri. Kalian seakan-
akan melupakan diri sendiri. Padahal, kalian sudah membaca Taurat yang memuat
ancaman, seandainya perkataan bertentangan dengan perbuatan. Bukankah kalian
memiliki akal yang membentengi kalian dari perilaku yang hina itu?.
Selain melihat dari kapasitas ilmu pengetahuan dan kepribadian seorang dai,
seorang dai juga dituntut harus pandai melihat kondisi keadaan. Di mana jika
terdapat suatu keadaan yang konflik disitulah peran dai di butuhkan untuk
memberi soulusi yang baik terhadap konflik. Namun yang ada sekarang ini
realitasnya masih banyak dai yang seharusnya perannya sebagai pemberi solusi
tetapi melainkan menjadi provokator. Seperti salah satu masalah adanya seruan di
suatu masjid di daerah Setia Budi, Jakarta Selatan. Di mana seruan tersebut
“Menolak Menshalati Jenazah Orang Munafik”. Sehingga seruan yang
kontroversi ini menyulut rencana ketetapan kemenag dalam Standarisasi Dai.
Dalam masalah ini apabila seorang dai melihat adanya suatu masalah, seharusnya
menyelesaikan masalah tersebut dengan cara yang baik sesuai dengan tuntunan
Nabi SAW. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nahl, {16}:125.
Serulah (manusia) kepada jalan tuhanmu dengan hikmah dan
pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang
baik. Sesungguhnya tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang
sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk.
Wahai Nabi, ajaklah manusia meniti jalan kebenaran yang di
perintahkan oleh tuhanmu. Pilihlah jalan dakwah terbaik yang sesuai dengan
kondisi manusia. Ajaklah kaum cendikiawan yang memiliki pengetahuan
7
tinggi untuk berdialog dengan kata-kata bijak, sesuai dengan tingkat
kepandaian mereka. Terhadap kaum awam, ajaklah mereka dengan
memberikan nasihat dan perumpamaan yang sesuai dengan taraf mereka
sehingga mereka sampai kepada kebenaran melalui jalan terdekat yang
paling cocok untuk mereka. Debatlah Ahl-Kitab yang menganut agama-
agama terdahulu dengan logika dan retorika yang halus, melalui perdebatan
yang baik, lepat dari kekerasan dan umpatan agar mereka puas dan
menerima dengan lapang dada. Itulah metode dakwah yang benar kepada
agama Allah sesuai dengan kecenderungan setiap manusi. Tempuhlah cara
itu dalam menghadapi mereka. Sesudah itu serahkan urusan pada Allah
yang Maha Mengetahui siapa yang larut dalam kesesatan dan menjauhkan
diri dari jalan keselamatan, dan siapa yang sehat jiwanya lalu mendapat
petunjuk dan beriman dengan apa yang kamu bawa.
Demikian pula yang ada saat ini, jalan dan tantangannya sama seperti dulu,
hanya saja teradapat sedikit perbedaan polanya. Sebagaimana pola dakwah para
Nabi dan para Shalihin terdahulu. Setiap gerak dan langkahnya mereka menuntun
manusia ke jalan Allah SWT. Mereka telah menyampaikan dan menerapkan misi
yang mereka bawa secara simultan. Sedangkan pola dakwah sekarang ini jika ada
seorang dai yang ikhlas dan kuat imannya dalam berdakwah menyebarkan ajaran
Islam, langsung mendapat sambutan yang begitu hangat dari banyak kalangan.
Adapun yang sukses dalam berdakwah adalah gerakan yang terpancar dari
keimanan, dan jauh dari unsur campur tangan kepentingan pribadi yang
mengandalkan bentuk atau tampilan luarnya saja.
Di zaman seakarang ini, khususnya di Indonesia seiring dengan
perkembangan zaman kinerja seorang dai sangat dituntut untuk membangun
mental serta spiritual mad‟u, namun problema pun juga mengiringi tuntutan
tersebut.7 Persoalan yang di hadapi sekarang adalah tantangan dakwah yang
semakin hebat, baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tantangan itu
muncul dalam berbagai bentuk kegiatan masyarakat modern, seperti perilaku
7Abu Muhammad Al-Misri, Bolehkah Ustadz Menerima Amplop (Jakarta: Pustaka Inner, 1992)
8
dalam mendapatkan hiburan (entertainment), kepariwisataan dan dunia internet,
yang semakin membuka peluang munculnya kerawanan moral dan etika.8
Terjadinya ledakan informasi dan kemajuan teknologi dalam berbagai
bidang tidak boleh dibiarkan lewat begitu saja. Oleh sebab itu umat Islam harus
berusaha mencegah dan mengantisipasi dengan memperkuat aqidah yang
berpadukan ilmu dan teknologi. Tidak sedikit umat Islam yang telah menjadi
korban dari efek globalisasi informasi yang membuat identitas keislamannya
mengalami pengaburan dan masa depan generasi muda semakin suram. Jika umat
Islam terlena oleh kemewahan hidup dengan berbagai fasilitasnya, maka secara
perlahan akan meninggalkan ajaran agama. Dengan demikian akan terjadi
kehampaan rohani yang justru merusak kepribadian setiap umat Islam. Di samping
itu kelemahan dan ketertinggalan umat Islam dalam mengakses informasi dari
waktu ke waktu, pada gilirannya juga akan membuat langkah-langkah dakwah
kita semakin tertinggal. Melihat dari fenomena-fenomena perkembangan zaman
sekarang ini seorang dai memang sudah seharusnya untuk mengikuti zaman, di
mana seorang dai harus mengubah atau menambah setrategi dakwah demi
menyebarkan agama Islam Rahmat Lil‟Alamin yang mimiliki nilai kehidupan
sepanjang zaman dan berlaku untuk setiap generasi dan tempat. Sebagaimana para
ulama berpendapat bahwa hukum islam atau nilai-nilai Islam itu memiliki
8Dewasa ini, fenomena sosial di berbagai daerah di Indonesia mengindikasikan
kerawanan, kesenjangan, keresahan dan ketidakstabilan. Banyak orang dengan mudah terpancing
untuk melakukan tindakan yang melawan hukum. Tindak kekerasan dan penyimpangan
memperlihatkan intensitas yang tinggi. Banyak orang seperti kehilangan akal sehat, jauh dari nila-
nilai luhur yang bersumber dari ajaran agama. Sikap materialisme, konsumerisme dan hedonisme
di kalangan masyarakat, munculnya berbagai macam patologi sosial adalah sejumlah
permasalahan umat Islam sebagai dampak dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Abdul Basit, Wacana Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: STAIN Purwokerto dan Pustaka
Pelajar, 2006), h. 61.
9
karakter, antara lain: Universal yang berlaku untuk seluruh umat manusia di mana
dan kapan saja.9 Pada hal ini tertuang dalam QS. As-Saba‟, {34}:28.
Dan kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada
semua umat manusia sebagai pembawa berita dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Dalam kaitannya dengan ayat tersebut, Syaikh Sayid Sabiq, dalam
bukunya Fiqh al-Sunnah menjelaskan bahwa tujuan syari‟at Islam itu di bangun
untuk mengembangkan kemashlahatan manusia. Dalam Islam, menurutnya
terdapat dua ketentuan: Pertama, Ketentuan khusus dan Kedua, Ketentuan umum.
Ketentuan khusus adalah ketentuan yang menyangkut persoalan akidah dan
ibadah yang tidak berubah, dan tidak boleh dirubah serta dengan jelas dan
terperinci. Sedangkan ketentuan umum yang berkaitan dengan duniawi, politik,
perang dan sebaginya, diungkap secara mujmal (global) untuk menangkap
persoalan yang berkembang guna kemashlahatan hidup manusia sepanjang masa,
dan dari generasi ke generasi. Agar hal ini dapat di jadikan sebagai burhan
(petunjuk) para penguasa untuk menegakkan kebenaran dan keadlian.10
Dalam
kontek mujmal (global) inilah hukum dalam Islam sangat kondisional dan tidak
harga mati.11
Pandangan penulis, kajian tentang dakwah ini relevan untuk di kaji dalam
kondisi sekarang, khususnya bagi bangsa Indonesia dewasa ini sedang berada di
9Yusan Asmuni, Dirasah Islamiyah, Pengantar Studi Sejarah kebudayaan Islam dan
Pemikiran (Jakarta: Grafindo Persada, 1996) h. 43. 10
Sayyid Sabiq, Fiqh Al-Sunnah (Beirut: Dar al-Fik, 1996), Jilid. 1, h. 9. 11
Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-„Arabi), h. 364-467.
10
era modernisasi. Melihat dari pemaparan di atas berdakwah berdasarkan hadis
yang penulis paparkan sebelumnya memang diharuskan. Tetapi soal dakwah
bukan hal yang remeh, gampang dan mudah untuk dilakukakan. Karena perlunya
pemahaman yang matang dalam agama dan perlunya sinkronisasi dalam
kehidupan dengan apa yang disampaikan ketika berdakwah, untuk menjadi
panutan masyarakat dan menjunjung tinggi Islam Rahmatan Lil „Alamin. Oleh
karena itu pelaksanaan dakwah yang diusung dengan cara yang baik pasti akan
ada efek baik pula kedepannya begitupun juga sebaliknya.
Berdasarkan deskripsi di atas, maka penulis akan mengambil judul
penelitian ini “IDEALITAS KARAKTER DAI MODERN PERSPEKTIF AL-
QUR’ĀN”.
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan tadi, penulis mengidentifikasi
adanya beberapa permasalahan yang relevan dengan penulis angkat diantaranya:
1. Kewajiban dalam berdakwah secara perorangan.
2. Komparasi bentuk dakwah klasik dan kontemporer.
3. Dakwah modernisasi.
4. Aturan dan Tata Cara dalam berdakwah.
5. Praktik Rasulullah dalam berdakwah.
6. Ayat-ayat dakwah dalam Al-Qur‟ān
11
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berdasarkan pada identifikasi masalah yang telah penulis sebutkan di atas,
maka untuk menghindari pembahasan yang berbelit-belit dan tidak mengarah
kepada maksud dan tujuan penulisan, sekiranya perlu dibuat pembatasan dan
perumusan masalah. Dalam penulisan skripsi ini penulis hanya membatasi pada
ayat-ayat Al-Qur‟ān tentang hal-hal yang di perhatikan ketika berdakwah dan
penulis membatasi pada penggunaan tafsir Imam Al-Qurṭubi dan Quraish Shihab.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan
hal yang akan menjadi pertanyaan besar dalam penulisan skripsi ini adalah
Bagaimana Kriteria Dai Modern yang Ideal menurut Al-Qur’ān ?.
D. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penelitian ini yang paling utama adalah untuk mengkaji
Ayat-ayat Al-Qur‟ān tentang hal-hal yang harus di perhatikan ketika berdakwah.
Adapun manfaat yang di dapat dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk memenuhi tugas akhir perkuliahan untuk mencapai gelar
kesarjanaan Strata Satu (S-1) Sarjana Agama (S.Ag) pada jurusan Tafsir
Hadis Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
12
2. Untuk sebuah institusi yaitu memperkaya keilmuan Fakultas Ushuluddin
dengan mengungkapkan konsekuensi dalam menyelaraskan isi dakwah
dan prilaku kesehariannya.
3. Mengajak kepada aktivis dakwah untuk lebih di perhatikan kembali etika
dan keilmuan sebelum melaksanakan berdakwah kepada publik.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi ini
dengan skripsi lain, terlebih dahulu penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah
dilakukan atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan
menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi atau pendekatan yang
sama, sehingga diharapkan kajian yang penulis lakukan tidak plagiat dari kajian
yang telah ada.
Berdasarkan pengamatan dan pencarian yang penulis lakukan melalui Google
Cendekia, Google Schoolar dan UIN Repository, dan lainnya penulis belum
menemukan skripsi yang secara khusus membahas tentang Idealitas Karakter Dai
Modern Perspektif Al-Qur‟ān. Namun pada pencarian di atas, penulis menemukan
beberapa tulisan seperti journal yaitu Dakwah Cerdas di Era Modern Karya
Abdul Basit. Melihat dari judul skripsi penulis dengan journal ini tidak terdapat
kesamaan pembahasan. Namun di sini penulis pastikan bahwa kajian skripsi
penulis berbeda dengan journal ini, karena isi journal ini lebih condong
menjelaskan terhadap seorang dai akan metodologi dakwah di era modern.
Sedangkan skripsi penulis tidak hanya terpacu pada satu term saja melainkan
mencakup seluruh kepribadian seorang dai baiknya seperti apa berdasarkan apa
yang di jelaskan dalam alqur‟an. Begitu juga pada journal tentang Konsep
13
Dakwah Dalam Islam karya Nurwahidin Alimuddin. Melihat dari isi journal ini
yang sangat sedikit yaitu hanya enam lembar, sudah penulis pastikan bahwa
journal ini kurangnya pembahasan mengenai konsep dakwah. Selain itu melihat
dari beberapa pembahasan tentang konsep dakwah yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu maka dari itu penulis tegaskan bahwa penulisan pada skripsi
ini penulis tidak terfokus membahas tentang konsep dakwah, melainkan penulis
tekankan pada sikap atau profil seorang dai agar untuk lebih hati-hati lagi dalam
menyampaikan ditambah dengan kondisi yang seperti ini yang sensitif mengenai
tentang pesoalan agama.
F. Metode Penelitian
Sebagai karya-karya ilmiah pada sebuah di siplin ilmu, setiap pembahasan
masalah tentunya mesti menggunakan metodologi untuk menganalisa
permasalahan. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan berpijak dalam
mengelaborasinya sehingga dapat di jelaskan secara mendetail dan dapat di
pahami.
Dalam penelitian ini, penulis hanya melakukakn penelitian dengan jenis
penilitian kualitatif melalui metode kepustakaan (Library Research) sebagai
landasan dalam mengumpulkan data yaitu penelitian yang menggunakan buku-
buku yang berkaitan erat dengan judul yang penulis ambil.
14
Adapun teknik pembahasan pada skripsi ini adalah tematik (maudhu‟ī).
Langkah-langkah atau cara kerja metode Maudhu‟ī di jelaskan oleh tim penyusun
Kementrian Agama RI12
, sebagai berikut :
a. Menentukan topik atau tema yang akan dibahas
b. menghimpun ayat-ayat al-Qur‟ān menyangkut topik yang akan dibahas
c. Menyusun urutan ayat-ayat tersebut secara runtut menurut kronologis
masa turunnya
d. Memahami korelasi (munāsabah) antar ayat
e. Memperhatikan Asbābun Nuzūl untuk memahami konteks ayat
f. Melengkapi penjelasan ayat dengan hadits-hadits nabi dan pendapat para
ulama
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara mendalam
h. Menganalisa ayat-ayat secara utuh dan komprehensif dengan jalan
mengkompromikan antara ayat yang umum (ām) dan khusus (khās),
mutlak dan terkait (muqayyad) dan lain sebaginya
i. Membuat kesimpulan dari masalah yang dibahas.
Adapun teknis penulisan skripsi ini, penulisan berpedoman pada buku
“Pedoman Akademik Program Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2013/2014”.
12
Tim penyusun berpedoman pada beberapa langkah yang telah di rumuskan oleh para ulama, dan di sepakati dalam musyawarah para ulama al-Qur’ān di Ciloto, 14-16 Desember 2006. Lihat, Kementrian Agama Ri, Tafsir Al-Qur’ān Tematik: Jihad, Makna dan Implementasinya (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’ān, 2013), jilid. 1, h. Xxix.
15
G. Sistematika Penulisan
Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam
skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan.
Secara garis besar skripsi ini terdiri dari lima bab, setiap bab di bagi menjadi
sub bab, dan setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang antara
satu dan lainnya saling berkaitan.
Bab I, berisi pendahuluan yang menguraikan argumentasi signifikansi studi
ini. Bagian ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan
masalah, tinjauan pustaka, tujuan masalah, metode penelitian, dan sistematika
penulisan.
Bab II, berisi tentang Tinjauan Umum Tentang Dai yang di dalam penulisan
bab ini meliputi : Pengertian Dai, Tujuan Dai dalam Berdakwah, Motivasi Dai
Dalam Berdakwah, Sasaran Dakwah Para Nabi, Metode Penyampaian Dakwah.
Bab III, berisi tentang Wacana dan Kritik Karakter Dai Indonesia, yang di
dalam penulisan bab ini meliputi : Dai dan Dakwah di Indonesia, Pergeseran
Karakter Dai di Indonesia, Kritik Intelektual Dai di Masa Modern.
Bab IV, berisi tentang Kriteria Dai Ideal dalam Al-Qur‟ān, yang di dalam
penulisan bab ini meliputi : Keilmuan dan Wawasan Seorang Dai, Sinkronisasi
Antara Ilmu dan Akhlak dan Metode Penyampaian Dai.
Terakhir, merupakan penutup yang berisi meliputi kesimpulan dari
keseluruhan pembahasan yang dibuat oleh penulis, serta saran-saran yang insya
allah mendapat manfaatnya.
16
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DAI
A. Pengertian Dai
Dai menurut etimologis berasal dari bahasa arab yang berarti orang yang
mengajak. Dengan kata lain Dai adalah bentuk mudzakar (laki-laki) yang berarti
orang yang mengajak, sedangkan muannas(perempuan) di sebut Daiyah.1 Dalam
ilmu komunikasi yakni mempunyai arti yang sama dengan komunikator.
Sedangkan secara terminologi dai adalah orang yang mengajak kepada orang lain
baik secara langsung atau tidak langsung, melalui lisan, tulisan atau perbuatan
untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam atau menyebarluaskan ajaran Islam,
melakukan upaya perubahan kearah kondisi yang lebih baik menurut Islam.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Dai adalah orang yang
kerjanya berdakwah, pendakwah: melalui kegiatan dakwah, para
menyebarluaskan ajaran agama. Dengan kata lain2. Kata dai ini sering di sebut
dengan sebutan muballigh (orang yang menyempurnakan ajaran Islam) namun,
sebenarnya sebutan ini konotasinya sangat sempit karena masyarakat umum
cenderung mengartikan sebagai orang yang menyampaikan ajaran Islam melalui
lisan seperti penceramah agama, khatib (orang yang berkhutbah), dan sebagainya.
Menurut Muriah dai di bagi menjadi dua kriteria yaitu umum dan khusus.
Secara umum adalah setiap muslim dan muslimat yang berdakwah sebagai
kewajiban yang melekat tidak terpisahkan dari misinya dari sebagai penganut
1Enjang AS dan Aliyudin, Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan Praktis
(Bandung: Widya Padjadjaran, 2009), h. 73. 2DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 231.
17
Islam sesuai dengan perintah بهغو عنى ونو اية. Sedangkan secara khusus adalah
mereka yang mengambil keahlian khusus dalam bidang dakwah Islam dengan
kesungguhan dan Qudwah Hasanah.3 Dai adalah pelaku sejarah, penerus tugas
para nabi untuk menyampaikan risalah atau amanah Allah SWT bagi umat
manusia.4 Seorang dai pada hakekatnya adalah pemberi, karenanya ia harus kaya
ilmu dari pengetahuan.5
Pada dasarnya semua pribadi Muslim itu berperan secara otomatis sebagai dai,
dalam bahasa komunikasi di sebut komunikator untuk itu dalam komunikasi
dakwah yang berperan sebagai dai adalah:
1. Secara umum adalah setiam Muslim atau Muslimat yang Mukhallaf
(dewasa) di mana bagi mereka berkewajiban untuk berdakwah.
2. Secara khusus adalah mereka yang mengambil keahlian khusus
(muthakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan sebutan
ulama/kiyai/dai6.
Menurut Quraish Shihab, agaknya lebih tepat dai di definisikan sebagai pelaku
dakwah atau pemberi dakwah7. Dai adalah orang yang melaksanakan dakwah baik
lisan maupun tulisan (bil al-Qolam) ataupun perbuatan (bil al-Hal) dan baik
secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi maupun lembaga8.
Seorang dai mempunyai peran penting dalam proses pelaksanaan dakwah.
Kepandaian atau kepiawaian seorang dai akan menjadi daya tarik tersendiri bagi
3Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 23.
4Ali Gharisah, Kami Dai Bukan Teroris (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1992), cet. 4, h. 7.
5Yusuf Qarḏawī, Kritik dan Saran Untuk Para Dai (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h. 6.
6Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), cet. 1, h. 79.
7Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ān (Bandung: Mizan, 1992), h. 193.
8Nurul Baddruttamam, Dakwah Kolaboratif (Jakarta: Grafindo, 2005), h. 101.
18
para obyek dakwah (mad‟u). Karena setiap dai mempunyai ciri khas masing-
masing. Mengingat perkembangan perubahan kebutuhan masyarakat yang begitu
pesat maka seorang dai memiliki tugas sebagai central of change dalam suatu
masyarakat yakni tergantung dari wacana keilmuan, latar belakang
pendidikannya, dan pengalaman kehidupannya.
Dakwah sebagai sarana usaha bagi para dai bentuk terwujudnya ajaran Islam
pada semua segi kehidupan manusia, dakwah merupakan kewajiban bagi setiap
muslim.9 Dakwah yang di lakukan oleh setiap muslim harus berkesinambungan
yang bertujuan mengubah perilaku manusia berdasarkan pengetahuan dan sikap
yang benar yakni untuk mengubah manusia mengabdi kepada Allah secara total.
Mengajak manusia untuk menuruti jalan Allah SWT adalah tugas para Rasul dan
Nabi, yang merupakan hamba-hamba pilihan-Nya guna menjadi duta untuk semua
manusia dan makhluk. Tugas ini bukan hanya monopoli para Rasul itu semata,
tetapi juga menjadi kewajiban para khalifah dan ulama-ulama yang sadar akan
fungsinya sebagai pewaris dan penerus dakwah nabi-nabi.10
Mengajak manusia
untuk mentaati ajaran Allah SWT merupakan manifestasi atau pengejawantahan
yang paling utama dari pada iman yang di miliki seseorang sebab dakwah itu
tidak lain kecuali menujukkan jalan yang hak kepada segenap insan, menanamkan
rasa cinta kepada kebaikan dan kebencian kebathilan serta kejahatan, dan
membawanya keluar dari kebodohan serta kekalutan.11
9Dedy Mulyana, Nuansa-Nuansa Komunikasi Masyarakat Kontemporer (Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 1999), cet. 1, h. 54. 10
Yusuf Qarḏawī, Kritik dan Saran Untuk Para Dai (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h. 1 11
Yusuf Qaḏrawī, Kritik dan Saran Untuk Para Dai (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h. 2.
19
B. Tujuan Dai dalam Berdakwah
Dai sebagai komunikator sudah barang tentu usahanya tidak hanya terbatas
pada usaha menyampaikan pesan (statement of fact)semata-mata, tetapi dai harus
juga concern terhadap kelanjutan efek komunikasinya terhadap komunikan,
apakah pesan-pesan dakwah tersebut sudah cukup membangkitkan
rangsangan/dorongan bagi komunikan tertentu sesuai dengan apa yang di
harapkan, ataukah komunikan tetap pasif (mendengar tapi tidak mau
melaksanakan) atau bahkan menolak serta antipati dan apatis terhadap pesan
tersebut12
. Komunitas dai yang memiliki Visi Etis, Profektif, dan Transformatif
dan syarat dengan muatan dinamik, dihadapkan kepada pemikiran-pemikiran yang
solutif terhadap permasalahan realitas umat yang beragama termasuk di dalamnya
bagaimana materi dakwah yang di sampaikan maupun mengambil posisi sebagai
stimulator yang dapat memotivasir menuju tingkah laku atau sikap yang sesuai
dengan pesan-pesan dakwah.
Di dalam Al-Qur‟ān surah al-Ahzāb, {33}:70.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
Katakanlah Perkataan yang benar.
Allah SWT berfirman memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya
yang beriman untuk bertakwa dan beribada kepada-Nya, suatu ibadah yang
seakan dia melihat-Nya serta mengatakan )ا ”.perkataan yang benar“ )قوال سذيذ
Yaitu yang lurus, tidak bengkok dan tidak menyimpang. Allah menjajikan
mereka, jika mereka melakukan demikian, Allah akan membalas mereka
dengan di perbaikinya amal-amal mereka, yaitu dengan di berinya taufiq
12
Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2003),
cet. 1, h. 161.
20
untuk beramal shalih, diampuni dosa-dosanya yang lalu, serta apa yang akan
terjadi pada mereka di masa yang akan datang.13
Perlbagai pesona dai saja tidak cukup untuk mengantarkan pada peluang
keberhasilan dakwah, manakala apa yang di sampaikan oleh dai tidak dengan
perkataan yang benar sesuai dengan ajaran Islam. selain itu juga, keberhasilan
dakwah harus di barengi keahlian dalam mengemas pesan dakwah menjadi
menarik dan dapat di pahami oleh mad‟u. Lebih tepatnya dai selaku komunikator
harus mampu melogikakan pesan dakwah dengan bahasa yang mudah di pahami
sehingga mempunyai daya panggil yang sangat berwibawa terhadap seseorang.14
Tujuan dai dalam berdakwah demikian nampak sesuai dengan definisi
komunikasi persuasif, yakni perubahan situasi orang lain. Perubahan di maksud
bukan hanya sekedar perubahan yang bersifat sementara melaikan perubahan yang
mendasar berdasarkan kesadaran dan keyakinan. Sebagaimana di ketahui bahwa
komunikasi persuasif adalah proses komunikasi untuk mempengaruhi pendapat,
sikap dan tindakan orang dengan menggunakan manipulasi psikologis sehingga
orang tersebut bertindak seperti atas kehendaknya sendiri15
.
Tujuan dakwah adalah suatu faktor yang menjadi pedoman arah proses yang
dikendalikan secara sistematis dan konsisten, kemudian dalam kegiatan dakwah
selalu terjadi interaksi antara dai dan mad‟u yang akan membawa perubahan sikap
sesuai dengan tujuan dakwah yang mencapai kebahagian dunia dan akhirat.
13
Abdullāh bin Muhammad bin Abdurrahmān bin Ishāq Al-Syeikh, Lubābut Tafsīr Min
Ibni Katsīr, di terjemahkan oleh M. Abdul Ghofar, dan Abu Ihsan Al-Atsari, Tafsir Ibnu Katsi
(Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2004), Jilid. 6, Cet. 1, h. 542-543. 14
Munzier Suparta, dan Harjani Hefni, Metode Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2003),
cet. 1, h. 162. 15
Jepph A. Devito, Human Communication: The Basic Course (New York: Harper
Collins Publisher Fifth Edition, 1991), h. 5.
21
Dalam hal ini tujuan dakwah Asmuni Syukir membagi tujuan dakwah
kedalam dua bagian yaitu tujuan umum dan tujuan khusus16
:
1. Tujuan Umum (mayor objektive)
Tujuan umum dakwah adalah mengajak umat manusia meliputi orang
mukmin maupun orang kafir atau musyrik kepada jalan yang benar dan
diridhoi Allah SWT. Agar mau menerima agama Islam dan
mengamalkannya dalam dataran kenyataan kehidupan sehari-hari, baik
yang bersangkutan dengan masalah pribadi, maupun sosial
kemasyarakatan agar mendapat kehidupan di dunia dan di akhirat.
2. Tujuan Khusus (minor objektive)
Tujuan khusus dakwah merupakan perumusan tujuan sebagai perincian
dari tujuan umum dakwah. Tujuan ini di maksudkan agar dalam
pelaksanaan aktifitas dakwah dapat di ketahui arahnya secara jelas,
maupun jenis kegiatan apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa dakwah
dan media apa yang dipergunakan agar tidak terjadi miss komunikasi
antara pelaksanaan dakwah dengan audience (penerima dakwah) yang
hanya disebabkan karena masih umumnya tujuan yang hendak di capai.
Olehnya itu tujuan umum masih perlu di terjemahkan atau di klasifikasi
lagi menjadi tujuan khusus, sehingga lebih memperjelas maksud
kandungan tujuan khusus tersebut adalah:
a. Mengajak umat manusia yang sudah memeluk agama Islam untuk selalu
meningkatkan taqwanya kepada Allah SWT.
16
Asmuni Syukir, Dasar-Dasae Strategi Dakwah Islam (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), h. 51
22
b. Membina mental agama Islam bagi mereka yang masih mengkhawatirkan
tentang keIslaman dan keimanannya (orang mukallaf), seperti yang
terdapat dalam Q.S al-Baqarah, {2}:286.
c. Mengajar dan mendidik anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.17
Tujuan ini di dasarkan pada Al-Qur‟ān surat ar-Rūm, {30}:30.
Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada
perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui.
Allah SAW berfirman, maka perkokohlah padanganmu dan istiqamahlah di
atas agama yang di syari‟atkan Allah kepadamu, berupa kesucian inilah Ibrāhīm
AS yang Allah bimbing kamu kepadanya dan di sempurnakan Allah agama itu
untukmu dengan sangat sempurna. Di samping itu hendaknya engkau konsekuen
terhadap fitrah lurusmu yang di fitrahkan Allah atas makhluk-Nya.18
Karena Allah
SWT telah memfitrahkan makhluknya untuk mengenal dan mengesakan-Nya
yang tidak ada Ilah (yang haq) selain-Nya, sebagaimana penjelasan yang lalu
dalam firman-Nya.19
17
Gafi Ashari, Pemahaman dan Pengalaman Dakwah (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), h. 87. 18
Abdullāh bin Muhammad bin Abdurrahmān bin Ishāq Al-Syeikh, Lubābut Tafsīr Min
Ibni Katsīr, di terjemahkan oleh M. Abdul Ghofar, dan Abu Ihsan Al-Atsari, Tafsir Ibnu Katsir
(Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2004), Jilid. 6, Cet. 1, h. 371.
19
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak
cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka
(seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau
23
Sebagian Ulama berpendapat mengenai Firman Allah ta‟la ال تبذيم نخهق للا“tidak
ada perubahan pada fitrah Allah”, bahwa “kalimat itu menjadi kabar pada
kalimat sebenarnya. Maknanya bahwa Allah SWT menyamakan seluruh makhluk-
Nya dengan fitrah dalam tabi‟at yang lurus, di mana tidak ada satupun yang lahir
kecuali berada dalam kondisi demikian serta tidak ada tingkat perbedaan manusia
dalam masalah tersebut”.20
Dengan lahirnya manusia dalam keadaan yang fitrah sebagaimana firman
Allah SWT terangkan sebelumnya, oleh karena itu penyampaian pesan dakwah
dengan metode mengajar dan mendidik yang di gunakan oleh para Dai itu
bertujuan untuk mengambalikan fitrah manusia yang telah rusak, sehingga
mengubah fitrah manusia yang telah rusak itu kembali ke jalan yang benar (yang
hak) berdasarkan fitrahnya yang Allah SWT berikan.
Pada dasarnya dakwah di maksudkan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan
bagi umat manusia baik dalam kehidupan mereka di dunia maupun di akhirat.
Adapun yang di maksud dengan tujuan dakwah, M.Syafaat Habib merinci sebagai
berikut :
a. Membentuk masyarakat yang konstruktif.
b. Mengadakan koreksi terhadap situasi atau tindakan yang menyimpang dari
ajaran agama.
c. Menembus hati nurani seseorang sebagai sarana untuk membentuk
mayarakat yang di ridhai Allah SWT.
Tuhan Kami), kami bersaksi. (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari Kiamat kamu
tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini. 20
Abdullāh bin Muhammad bin Abdurrahmān bin Ishāq Al-Syeikh, Lubābut Tafsīr Min
Ibni Katsīr, di terjemahkan oleh M. Abdul Ghofar, dan Abu Ihsan Al-Atsari, Tafsir Ibnu Katsi
(Bogor: Pustaka Imam Syafi‟i, 2004), Jilid. 6, Cet. 1, h. 372.
24
d. Menjauhkan manusia dari segala bentuk frustasi, kejahilan, dan kekatan
fikiran21
.
Di samping itu, tujuan dai dalam berdakwah itu adalah mendapat kebaikan
dunia dan akhirat serta bebas dari azab neraka. Sebagaimana firman Allah dalam
surah Al-Baqarah, {2}:202.
Mereka itulah orang-orang yang mendapatkan bagian dari apa yang
mereka usahakan dan Allah sangat cepat perhitungannya.
Dan jika di lihat dari sasaran aktivitasnya, tujuan dakwah dapat di klasifikasi
menjadi:
a. Mengajak orang yang belum masuk Islam untuk menerima Islam, hal ini
dapat di pahami dalam firman Allah SWT.
b. Amar ma‟rūf, perbaikan dan pembangunan masyarakat. amr ma‟rūf di sini,
di artikan sebagai usaha dorongan dan mengeratkan umat manusia agar
menerima dan melaksanakan ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari.
c. Nahi Munkar, muatan dakwah yang berarti usaha dorongan dan
menggerakan umat manusia untuk menolak dan meninggalkan hal-hal
yang munkar22
.
Meskipun definisi tentang tujuan dakwah bervariasi, namun pada hakekatnya
tujuan dawkah Islam merupakan aktualisasi imani di manifestasikan dalam suatu
kegiatan sistem manusia beriman, dalam bidang kemasyarakatan yang di
21
M. Syafaat Habib, Pedoman Dakwah (Jakarta: Wijaya, 1982), h. 130. 22
Muhammad Munir & Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah (Jakarta: Prenada Media,
2006), h. 88-89.
25
laksanakan secara teratur, untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir bersikap dan
bertindak manusia pada dataran kenyataan individual serta kultural dalam rangka
kehidupan manusia, dengan menggunakan cara tertentu. Dengan demikian, dari
semua tujuan-tujuan tersebut di atas, merupakan penunjang dari pada tujuan akhir
aktifitas dakwah. Tujuan akhir ini aktifitas dakwah adalah terwujudnya
kebahagiaan dan kesejahteran manusia lahir dan batin di dunia dan di akhirat
nanti.
C. Motivasi Dai dalam Berdakwah
Motivasi dai dalam berdakwah adalah dorongan dalam diri seseorang dalam
usahanya untuk memenuhi keinginan, maksud dan tujuan dalam mengajak
manusia dengan cara yang bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan
perintah Allah SWT untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan
juga di akhirat.
Dalam sejarah, memang dai pada awalnya menjadi cultural brokeri atau
makelar budaya (Clifford Geertz). Bahkan, berdasarkan penelitiannya di Garut,
Hiroko Horikhosi23
memberikan penegasan bahwa peran kyai sekaligus sebagai
dai tidak sekedar sebagai makelar budaya, tetapi sebagai kekuatan perantara
(intermediary forces), sekaligus sebagai agen yang mampu menyeleksi dan
mengarahkan nilai-nilai budaya yang akan memberdayakan masyarakat. fungsi
mediator ini dapat juga diperankan untuk membentengi titik-titik rawan dalam
jalinan yang menghubungkan sistem lokal dengan keseluruhan sistem yang lebih
luas, dan sering bertindak sebagai penyangga atau penengah antara kelompok-
23
Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987), h. 3.
26
kelompok yang saling bertentangan menjaga terpeliharanya daya pedorong
dinamika masyarakat yang di perlukan.24
Berdasarkan fungsi ini, para dai memiliki basis yang kuat untuk memerankan
sebagai mediasi bagi perubahan sosial melalui aktifitas pemberdayaan (umat).25
Ini adalah bentuk peran dai sebagai agen perubahan sosial.
Para dai merupakan umat yang di harapkan dapat memerangi kebodohan,
kesesatan, kebobrokan dan keburukan-keburukan lainnya. Untuk itulah mereka
harus memiliki perlengkapan dan persenjataan yang di perlukan bagi kemenangan
tersebut. Mereka harus memiliki kemampuan menyerang, sebagaimana juga
kemampuan bertahan.26
Kemampuan berdakwah bukanlah semata-mata suatu ilmu yang di ajarkan
atau seni yang di pelajari. Tetapi lebih dari itu, kecakapan berdakwah merupakan
anugrah dan karunia yang di berikan Allah SWT kepada orang-orang yang Dia
kehendaki.27
Dakwah bukan saja menjadi kewajiban umat Islam, baik secara individual
maupun secara kelompok, tetapi juga merupak keperluan umat manusia. Dakwah
pada tingakat pertama kelihatan sebagai keperluan rohani, tetapi pada hakikatnya
ia juga merupakan keperluan jasmani. Rohani yang sehat akan membawa
24
Abdullah Cholis Hafidz, Ahmad Syariful Wafa, dkk, Dakwah Transformatif (Jakarta:
PP Lakspedam NU, 2006), Cet. 1, h. 3, 25
Abdullah Cholis Hafidz, Ahmad Syariful Wafa, dkk, Dakwah Transformatif, h. 3. 26
Yusuf Qarḏawī, Kritik dan saran Untuk Para Dai (Jakarta: Media Dakwah, 1988), h. 4. 27
Ali Gharisah, Kami Dai Bukan Teroris (Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1992), h. 45.
27
pengaruh yang sehat pula pada jasmani. Dakwah juga bukan saja merupakan
keperluan untuk hidup ukhrawi, melainkan untuk keperluan hidup duniawi.28
D. Sasaran Dakwah Para Dai
Ditinjau dari segi etimologi sasaran dakwah (mad‟u) adalah bahasa arab dari
isim maf‟ul dari fi‟il madhi yaitu menyeru, dalam ensiklopedi Islam di artikan
“ajakan kepada Islam”.29
Sedangkan menurut Wahidin Saputra bahwa mad‟u
adalah sekelompok/orang yang lazim di sebut dengan jama‟ah yang sedang
menuntut agama dari seorang dai, baik itu mad‟u dekat ataupun jauh. Seorang dai
akan menjadikan mad‟u sebagai sasaran transformasi keilmuwan yang di
milikinya.30
Pada dasarnya sumber utama yang menjadi dasar bagi pendefinisian sasaran
dakwah adalah yang di terangkan dalam firman Allah QS. Saba‟, {34}:28, sebagai
berikut:
Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad), melainkan kepada semua
umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Dari ayat itu dapat di ketahui bahwa sasaran dakwah merupakan objek tujuan
Nabi Muhammad di utus atau dakwah Nabi Muhammad. Lebih jelasnya, yang di
28
Anwar Harjono, Dakwah dan Masalah Sosial Kemasyarakatan (Jakarta: Media
Dakwah, 1987), h. 16. 29
TIM Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Djambatan, 1992),
h. 208. 30
Wahidin Saputra, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: Praja Grafindo Persada, 2011),
jilid. 1, h. 23.
28
maksud pengertian sasaran dakwah, umat manusia yang menjadi sasaran risalah
Nabi Muhammad SAW.
Meskipun Al-Qur‟ān secara simple memberikan pengertian tentang sasaran
dakwah, namun dalam beberapa ayatnya, Al-Qur‟ān juga memberikan istilah-
istilah sasaran dakwah yang lebih khusus. Muhammad Abdul al-Fath al-Bayyuni
dalam Madkhal Ila „Ilmi al-Dakwah menyebutkan beberapa istilah khusus sasaran
dakwah Islamiyah berdasarkan Al-Qur‟ān. Di antaranya, istilah berdasarkan sudut
pandang iman terhadap al-Quran, terdiri dari dua kelompok sasaran dakwah,
dakwah kedalam kalangan umat Islam (Internalisasi Dakwah) dan dakwah
kekalangan non-Muslim. Selanjutnya masyarakat muslim mendapatkan istilah
Ummah (al-Istijābah). Dalam sudut pandang yang lebih sempit, ruang lingkup
Ummah terbagi lagi berdasarkan kualitas–kualitas keimanan mereka. Al-Qur‟ān
menyebutkan bagian-bagian tersebut dengan istilah-istilah tertentu seperti fasik,
fajir, shalih, taqwa dan sebagainya. Sedangkan kalangan non-muslim mendapat
sebutan dengan istilah kafir. Keduanya masuk dalam satu cakupan dakwah yang
di sebut dengan ummat al-da‟wah (masyarakat sasaran dakwah).
Dari pandangan di atas dapat di pahami bahwa sasaran dakwah (mad‟u) dalam
istilah-istilah Al-Qur‟ān merupakan tingkat keimanan manusia terhadap ajaran
Islam, dengan lingkup utamanya umat dakwah. Jadi dakwah meliputi tingkatan-
tingkatan keimanan yang rendah sampai yang tertinggi. Begitu juga dari tingkatan
pengingkaran terendah sampai pada tingkatan yang sama sekali anti ajaran Tuhan.
29
Peristilahan di atas juga menandakan bahwa sudut pandang utama hakikat sasaran
dakwah adalah berpijak pada Al-Qur‟ān sebagai dasarnya.31
Di dalam buku Manajemen Dakwah karangan Munir dan Wahyu Ilahi, yang
mana di terangkan bahwa di dalam Al-Qur‟ān menjelaskan tiga tipe sasaran
dakwah, yaitu :
1. Mukmin.
2. Kafir.
3. Munafik.32
Dari ketiga klasifikasi tersebut sasaran dakwah kemudian di kelompokkan lagi
berbagai macam pengelompokkan antara lain: Orang mukmin di bagi menjadi
tiga, Dzālim Linafsī, Muqtashid, dan Sabiqūn bil Khairāt. Kafir di bagi menjadi
dua, Kafir Zimmi dan Kafir Harbi. Mad‟u itu terbagi dalam berbagai macam
golongan, sehingga menggolongkan sasaran dakwah sama dengan
menggolongkan manusia itu sendiri dari aspek profesi ekonomi, dan seterusnya.
Oleh karena itu ulama Muhammad Abduh membagi sasaran dakwah (mad‟u)
menjadi tiga golongan, yaitu :
a. Golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran, dapat berfikir secara
kritis, dan cepat dapat menangkap persoalan.
b. Golongan awam, yaiitu orang kebanyakan yang belum dapat berfikir
secara kritis dan mendalam, serta belum dapat menangkap pengertian-
pengertian yang tinggi.
31
Ridho Syabibi, Metodologi Ilmu Dakwah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 83-85. 32
Munir & Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah (Jakarta: Prenada Media, 2006), h. 23.
30
c. Golongan yang berbeda dengan kedua golongan tersebut yang di mana
mereka senang membahas sesuatu tetapi hanya dalam batasan tertentu
saja, dan tidak mampu membahasnya secara mendalam.
Ketiga golongan tersebut yang di mana secara garis besar kita dapat
mengetahui sasaran dakwah (mad‟u) itu dapat digolongkan berbagai macam
golongan dalam memahami mad‟u atau seseorang yang menjadi sasaran kita
dalam dakwah.33
Manusia yang menjadi audiens yang akan di ajak ke dalam Islam secara
kaffah. Mereka bersifat heterogen, baik dari sudut ideologi, misalnya atheis,
animis, musyrik, munafik, bahkan ada juga yang muslim tetapi fisiknya
penyandang dosa dan maksiat. Dari sudut lain juga berbeda baik intelektualitas,
status social, kesehatan, pendidikan, dan seharusnya ada atasan ada bawahan, ada
yang berpendidikan ada yang buta huruf, ada yang kaya ada juga yang miskin,
dan sebagainya.
Sehubungan dengan kenyataan-kenyataan di atas, maka dalam pelaksanaan
program kegiatan dakwah perlu mendapatkan konsiderasi yang tepat, yaitu
meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Sasaran yang menyangkut kelompok masyarakat di lihat dari segi
sosiologis, berupa masyarakat terasing, pedesaan, kota besar dan kecil
serta masyarakat di daerah marjinal dari kota besar.
b. Sasaran yang menyangkut golongan masyarakat di lihat dari segi struktur
kelembagaan, berupa masyarakat desa, pemerintah dan keluarga.
33
Moh. Ali dan Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), h. 91.
31
c. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat di lihat dari
tingkat usia, berupa golongan anak-anak, remaja dan orang tua.
d. Sasaran yang di lihat dari tigkat hidup social-ekonomis berupa golongan
orang kaya, menengah, miskin dan seterusnya.
e. Sasaran yang berupa kelompok-kelompok masyarakat di lihat dari segi
social cultural berupa golongan priyayi, abangan, santri (klasifikasi ini
terutama terdapat dalam masyarakat jawa).34
f. Sasaran yang berhubungan dengan golongan masyarakat di lihat dari segi
okuposional (profesi atau pekerjaan), berupa golongan petani, pedagang,
seniman, buruh, pegawai negri dan sebagainya.35
Bila di lihat dari kehidupan psikologis, masing-masing golongan masyarakat
tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda, sesuai dengan kondisi dan
kontekstualitas lingkungannya. Sehingga hal tersebut menuntut kepada system
dan metode pendekatan dakwah yang efektif dan efisien. Mengingat dakwah
adalah penyampaian ajaran agama sebagai pedoman hidup yang universal,
rasional dan dinamis. Kita dapati bahwa Al-Qur‟ān mengarahkan dakwah kepada
semua pihak, semua golongan dan siapa saja, sesuai dengan misi dakwah Nabi
sebagai Rahmatan Lil „Alamin.
Beranjak dari heterogenitas objek dakwah seperti gambaran di atas, maka
seorang dai di samping di tuntut memahami keberagaman audiens tersebut, juga
perlu menerapkan strategi dengan berbagai metode dalam berdakwah. Banyak
metode yang memungkinkan diterapkan seperti bi al-lisan, bi al-hāl, bi al-amal
34
Arifin, Psikologi Dakwah (Suatu Pengantar Studi) (Jakarta: Bumi Aksara, 1994), h. 3. 35
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta:Mitra Pustaka, 2000), h. 32-34.
32
dan sebagainya, sesuai sabda Nabi “Khotibu al-Nāsa „Ala Qadri „Uqūlihim”
(Berbicaralah dengan mereka (manusia) sesuai dengan kemampuannya).36
Objek dakwah adalah manusia, baik seorang atau lebih, yaitu masyarakat.
Pemahaman mengenai masyarakat itu bias beragam, tergantung dari cara
memandangnya. Di pandang dari bidang sosiologi, masyarakat itu mempunyai
struktur dan mengalami perubahan-perubahan. Di dalam masyarakat terjadi
interaksi antara satu orang dengan orang lain, antara satu kelompok dengan
kelompok lain, individu dengan kelompok. Di dalam masyarakat terdapat
kelompok-kelompok, lapisan-lapisan, lembaga-lembaga, nilai-nilai, norma-norma,
kekuasaan, proses perubahan. Itulah pandangan sosiologi terhadap masyarakat.
pandangan psikologi lain lagi, demikian pula pandangan dari bidang antropologi,
sejarah, ekonimi, agama dan sebagainya.37
E. Metode Yang Diserukan Dai dalam Dakwah
Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu “meta” (melalui) dan
“hodos” (jalan, cara).38
Dengan demikian kita dapat artikan bahwa metode adalah
cara atau jalan yang harus dilalui untuk mencapai suatu tujuan. Sumber yang lain
menyebutkan bahwa metode berasal dari bahasa jerman methodica artinya ajaran
tentang metode. Dalam bahasa Yunani metode berasal dari kata metodhos artinya
jalan, yang dalam bahasa arab di sebut thāriq.39
Apabila kita artikan secara bebas
metode adalah cara yang telah di atur dan melalui proses pemikiran untuk
mencapai suatu maksud.
36
Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h. 32-34. 37
Wardi Bachtiar, Metodologi Peneliti Dakwah (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 35-36. 38
M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Askara, 1991) cet. 1, h. 61. 39
H. Hasanuddin, Hukum Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), Cet. 1, h. 35.
33
Sedangkan arti dakwah menurut pandangan beberapa ilmuwan adalah sebagai
berikut:
1. Pendapat Bakhial Khaulā, dakwah adalah suatu proses menghidupkan
peraturan-peraturan Islam dengan maksud memindahkan umat dari satu
keadaan kepada keadaan lain.40
2. Pendapat Syekh Alī Mahfūdz untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti
petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan
jelek agar mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.41
Pendapat
ini juga selaras dengan pendapat al-Ghazalī42
bahwa amar ma‟rūf nahi munkar
adalah inti gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika masyarakat Islam.
Dari pengertiaan di atas dapat di ambil bahwa, metode dakwah adalah cara-
cara tertentu yang di lakukan oleh seorang dai (komunikator) kepada mad‟u untuk
mencapai suatu tujuan atas dasar hikmah dan kasih sayang.43
Hal ini mengandung
arti bahwa pendekatan dakwah harus bertumpu pada suatu pandangan human
oriented menempatkan penghargaan yang mulia atas diri manusia.
Metode dakwah ialah cara dakwah yang teratur dan terprogram secara baik
agar maksud mengajak melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam dengan baik dan
sempurna. Al-Qur‟ān telah meletakkan dasar-dasar metode dakwah dalam sebuah
ayat yang berbunyi:
40
Ghazali Darussalam, Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah (Malaysia: Nur Niaga SDN.
BHD, 1996), Cet. 1, h. 5. 41
Abdul Kadīr Sayid Abd. Raūf, Dirasah Fī al-Dakwah al-Islamiyah (Kairo: Dar El-
Tiba‟ah al-Mahmadiyah, 1987), Cet. 1, h. 10. 42
Beliau adalah seorang ulama besar, pemikir muslim zaman klasik, hidup sampai awal
abad ke-12, pendapatnya dituangkan dalam kitabnya yang sangat terkenal yaitu Ihya Ulūmuddīn. 43
Toto Tasmara, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), Cet. 1, h. 43.
34
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik,
dan berdiskusilah dengan mereka menurut cara yang terbaik. Sesungguhnya
Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya, dan lebih
mengetahui siapa orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. An-Nahl
{16}:125).
Ayat tersebut memberikan gambaran tentang tata cara berdakwah dengan
memperhatikan tiga hal yaitu :
1. Hikmah (انحكمة)
Metode dakwah yang pertama adalah dengan hikmah. Kata tersebut sesuai
dengan penggalan dari Q. S an-Nahl, {16}:125.
أدع الى سبيل ربك بالحكمة ...
Awal mula kata انحكم berarti mencegah kezaliman.44
Kata tersebut juga
dapat berarti mencegah untuk kemaslahatan, maka انحكم بانشيئ berarti
menetapkan suatu perkara untuk kemaslahatan umat.
Kata انحكمة menurut para etimolog mengandung arti yang banyak sekali,
yaitu dapat berarti keadilan, kesabaran dan ketabahan, kenabian. Hikmah
adalah sesuatu yang dapat mencegah seseorang dari kerusakan dan
kehancuran, setiap perkataan yang sesuai dengan kebenaran, meletakkan
sesuatu pada tempatnya, kebenaran perkara, dan mengetahui perkara-
perkaranya yang paling utama dengan yang paling utama.45
Dari arti yang di sampaikan oleh para etimolog tersebut, menurut
Muhammad Husain Fadhlullāh, yang paling sesuai berarti meletakkan sesuatu
44
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), h. 581-582. 45
Muhammad Husain Fadhlullāh, Ushlub al-Da‟wah Fī Al-Qur‟ān, di terjemahkan oleh
Ahmad Qasim, Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur‟ān (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 40.
35
pada tempatnya, atau kebenaran. Dari sini di temukan bahwa sifat al-hikmah
merupakan perpaduan dari unsur-unsur pengetahuan, latihan, dan
pengalaman. Orang yang di bekali dengan pengetahuan, latihan, dan
pengalaman sebagai orang yang bijaksana. Sebab, dengan pengalaman, ilmu
atau keahlian, dan latihan, seseorang dapat terbantu untuk mengeluarkan
pendapat yang benar dan memfokuskan langkah-langkah dan perbuatannya
tidak menyimpang dan tidak goyah dan meletakkan pada proporsi yang
tepat.46
Senada dengan Prof. DR. Toha Yahya Umar, MA, mengartikan hikmah
yaitu meletakkan sesuatu pada tempatnya dengan berpikir, berusaha
menyusun dan mengatur dengan cara yang sesuai keadaan zaman dengan
tidak bertentangan dengan larangan Allah.47
Sayyid Qutb menjelaskan, ada tiga faktor yang harus diperhatikan agar
dakwah dengan metode hikmah bisa terwujud :
a. Kondisi dan situasi mad‟u (obyek dakwah).
b. Kadar materi dakwah yang di sampaikan tidak memberatkan
mad‟u.
c. Penyampaian materi dakwah harus variatif sesuai dengan
kondisi yang di hadapi.48
Dalam hal ini Hamka menjelaskan bahwa hikmah ialah kebijaksanaan,
kebijaksanaan timbul dari budi pekerti yang halus dan bersopan santun.
46
Muhammad Husain Fadhlullāh, Ushlub al-Da‟wah Fi Al-Qur‟ān, di terjemahkan oleh
Ahmad Qasim, Metodologi Dakwah Dalam Al-Qur‟ān (Jakarta: Lentera Basritama, 1997), h. 42. 47
Hasanuddin, Hukum Dakwa, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35. 48
Ali Mustafa Yaqub, Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka firdaus,
2000), Cet. 2, h. 122
36
Orang yang menyampaikan suatu dakwah dengan budi pekerti yang kasar
tidak akan berhasil. Seorang dai hendaklah berusaha dengan segala
kebijaksanaan yang ada padanya, sehingga dapat membuka perhatian orang
yang di dakwahinya, akhirnya segala fikiran yang tertutup menjadi terbuka.49
Jadi hikmah adalah meletakkan suatu pada tempatnya, atau pada
kebenaran dengan bijaksana, „alim, sabar, tabah, dan adil, serta budi pekerti
yang halus dan sopan santun.50
2. Mau‟izhah Hasanah انموعظة انحسنة( )
Kata انموعظة انحسنة merupakan kelanjutan dari QS. An-Nahl, {16}:125. Kata
berakar kata dari huruf Waw, „Ain, Zha yang berarti وعظ berasal dari kata انموعظة
menakut-nakuti.51
Kata انوعظ berarti melarang yang berhubungan dengan hal yang
menakutkan. Al-Khalīl berpendapat bahwa kata tersebut kemudian berarti
mengingatkan pada kebaikan dengan hati yang lemah lembut.
Selanjutnya kata انحسنة berakar kata dari huruf Ha‟, Sin,dan Nun lawan kata
dari انقبح berarti sesuatu yang tidak sesuai dengan pandangan mata dan perbuatan-
perbuatan maupun hal ihwal yang tidak sesuai dengan hati nurani.52
Dengan
demikian kata انحسنة berarti segala sesuatu yang sesuai dengan pandangan mata,
49
Hamka, Prinsip dan Kebijkasanaan Dakwah dalam Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1990), h. 56. 50
Perlu di sampaikan bahwa berdakwah ini waktu sekarang dan yang akan datang harus
mengikuti perkembangan ilmi dan pengetahuan teknologi, yaitu menggunakan berbagai strategi
dan media teknologi yang beragam, misalnya media televisi, surat kabar, majalah, internet,
fascimile, dan SMS. Pelaksanaan dakwah dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi akan mampu memberikan manfaat yang cukup strategis bagi keberlangsungan
dakwah. Dan hal ini menunjukkan salah satu dakwah yang bijaksana, yang selalu mengikuti
zaman. Journal Budiharjo, Konsep Dakwah Dalam Islam (Salatiga: STAIN Salatiga) h. 104. 51
Ahmad bin Faris Zakariyā, Mu‟jam Maqayis Lughah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), Juz. VI,
h. 126. 52
Ahmad bin Faris Zakariya, Mu‟jam Maqayis Lughah (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), Juz. II, h.
58.
37
dan perbuatan-perbuatan maupun hal ihwal yang sesuai dengan hati nurani.
Dalam kamus al-Munawwir di artikan dengan bagus, baik, cantik, elok, dan
indah.53
Sebab dengan kata-kata tersebut sesuatu yang menyenangkan dan
menggembirakan serta sesuai dengan pandangan mata dan hati nurani.
Secara bahasa, mau‟izhah hasanah terdiri dari dua kata mau‟izhah dan
hasanah. Kata mau‟izhah berasal dari kata wa‟adza - ya‟idzu – wa‟dzan – „idzatan
yang berarti nasihat, bimbingan pendidikan dan peringatan.54
Sementara hasanah
merupakan kebalikan dari sayyi‟ah yang artinya kebaikan lawannya kejelekkan.
Adapun pengertian secara istilah, ada beberapa pendapat antara lain :
a. Menurut Imam Abdullāh bin Ahmad al-Nasafī yang dikutip oleh H.
Hasanuddin adalah :
فعهم ها او با القران "والموعظة الحسنة" وهي التى ال يخفى عليهم انك ت ناصحهم بها وت قصد ما ي ن في al-Mau‟idzah al-Hasanah” adalah (perkataan-perkataan) yang tidak
tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau memberikan nasihat dan
menghendaki manfaat kepada mereka atau dengan Al-Qur‟ān.55
b. Menurut Abd. Hamīd al-Bilalī, al-Mau‟izhah al-Hasanah merupakan salah
satu manhaj (metode) dalam dakwah untuk mengajak ke jalan Allah
dengan memberikan nasihat atau membimbing dengan lemah lembut agar
mereka mau berbuat baik.56
Mau‟izhah Hasanah ialah menasihati seseorang dengan tujuan tercapainya
suatu manfaat atau maslahat baginya atau cara berdakwah yang di senangi;
mendekatkan manusia kepadanya dan tidak menjerakan mereka, memudahkan
53
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Pondok Pesantrren al-
Munawwir, 1984), h. 285. 54
Lois Ma‟luf, Munjid Fī al-Lughah Wa A‟lam (Beitrut: Dār al-Fikr, 1986), h. 907 dan
Ibnu Mandzur, Lisān al-„Arabī (Beirut: Dār Fikr, 1990), jilid. VI, h. 466. 55
Hasanuddin, Hukum Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 37.. 56
Abdul Hamid al-Bilalī, Fiqih al-Dakwah Fī Inkar al-Munkar (Kuwait: Dār al-Dakwah,
1989), h. 260.
38
dan tidak menyulitkan, sehingga dakwahnya dapat masuk ke dalam kalbu dengan
penuh kasih sayang dan ke dalam perasaaan dengan penuh kelembutan; tidak
berupa larangan pada sesuatu yang tidak harus di larang; tidak menjelek-jelekkan
atau membongkar kesalahan.
Mau‟izhah hasanah dapat di artikan sebagai ungkapan yang mengandung
unsur bimbingan, pendidikan, pengajaran, kisah-kisah, berita gembira, peringatan,
pesan-pesan positif (wasiat) yang bisa di jadikan pedoman dalam kehidupan agar
mendapatkannya keselamatan dunia dan akhirat.
Dari beberapa definisi di atas, mau‟izhah hasanah tersebut bisa di
klarifikasikan dalam beberapa bentuk :
a. Nasihat atau petuah57
b. Bimbingan, pengajaran (pendidikan)58
c. Kisah-kisah
d. Kabar gembira dan peringatan (al-Basyīr dan al-Nadzīr)
e. Wasiat (pesan-pesan positif).
Jadi, kalau kita telusuri kesimpulan dari mau‟izhah hasanah akan
mengandung arti kata-kata yang masuk kedalam Qalbu (hati) dengan penuh kasih
sayang dan kedalam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar atau
membeberkan kesalahan orang lain sebab kelemah-lembutan dalam menasihati
57
Nasihat biasanya di lakukan oleh orang yang levelnya lebih tinggi kepada yang lebih
rendah, baik tingkatan umur maupun pengaruh, misalnya nasihat orang tua kepada anaknya,
perhatikan QS. Lukman {31}:13, yang artinya : “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, yaitu memberikan mau‟izhah (nasihat) kepadanya: hai anakku, janganlah kamu
memepersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukkan Allah adalah kedzaliman yang amat
besar. 58
Mau‟izhah hasanah dalam bentuk bimbingan, pendidikan dan pengajaran ini seringkali
di gunakan dalam bentuk kelembagaan (institusi) formal dan non formal, misalnya: mau‟izhah
Nabi kepada umatnya, guru kepada muridnya, kiyai kepada santrinya, mursyid kepada
pengikutnya, dan lain sebagainya.
39
seringkali dapat meluluhkan hati yang keras dan menjinakkan Qalbu (hati) yang
liar, ia lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.
3. Berdiskusi atau Tukar Fikiran dengan Cara Yang Baik (دنة باانتى هي اانمج
احسن(
Berkenaan dengan bagian ketiga, yang berarti “Dan berdiskusilah atau
debatlah mereka dengan cara terbaik.” Mujādalah adalah pintu kekuatan sesuatu
dalam menguraikan yang ada di dalamnya, dan terulurnya permusuhan dan saling
memberikan argumentasi.59
Al-Raghīb al-Ashfahānī menjelaskan bahwa maksud
Mujādalah adalah perundingan atau percakapan dengan jalan berbantah-bantahan
dan adu argumentasi untuk memenangkannya.60
Penjelasan arti tersebut menunjukkan bahwa metode tersebut seakan-akan
adanya metode konfrontasi antara juru dakwah dengan reaksi sasaran dakwah
terhadap dakwah yang di sampaikannya dan seakan-akan yang di dakwahi itu
sebagai musuh atau lawan, namun jika di cermati dengan kata sesudahnya adalah
kata احسن berarti mengajak lawan yang di ajak berdiskusi atau berbantahan itu
dengan segala sesuatu yang sesuai dengan pandangan mata dan sesuatu perbuatn-
perbuatan maupun hal ihwal yang sesuai dengan hati nurani. Jadi ada dialogis
yang terbaik, sehingga mengena pada pemandangan dan hati nurani yang di ajak
bicara.
Dari segi etimologi lafazh mujādalah di ambil dati kata جذل yang bermakna
memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang mengikuti wazan
59
Ahmad bin Faris Zakariya, Mu‟jam Maqayis Lughah (Beirut: Dār al-Fikr, t.t), juz. II, h.
433. 60
Al-Raghīb Al-Asfhānī, Mu‟jam Mufradat al-Fādh Al-Qur‟ān (Beirut: Dār al-Fikr, tth),
h. 189.
40
Fa‟ala “jā dala” dapat bermakna berdebat, dan “mujādalah” artinya
“perdebatan”.61
Kata “Jadala” dapat bermakna menarik tali dan mengikatnya guna
menguatkan sesuatu. Orang yang berdebat bagaikan menarik dengan ucapan
untuk meyakinkan lawannya dengan menguatkan pendapatnya melalui
argumentasi yang di sampaikan.62
Menurut Ali al-Jarisyah dalam kitabnya Adab al-Hiwār Wa al-Mudharah,
mengartikan bahwa “al-jidāl” secara bahasa dapat bermakna pula “Datang untuk
memilih kebenaran” dan apabila berbentuk isim “al-jadlu” maka berarti
“Pertentangan atau perseteruan yang tajam”,63
bahkan al-Jarisyah menambahkan
bahwa lafazh “al-jadlu” musytaq dari lafadz “al-Qotlu” yang berarti sama-sama
terjadi pertentangan, seperti halnya terjadinya perseteruan antara dua orang yang
saling bertentangan sehingga saling melawan/menyerang dan salah satu menjadi
kalah.
Dari segi terminologi terdapat beberapa pengertian al-Mujādalah (al-Hiwār)
dari segi istilah. Al-Mujādalah (al-Hiwār) berarti upaya tukar pendapat yang di
lakukan oleh dua belah pihak secara sinergis, tanpa adanya suasana yang
mengharuskan lahirnya permusuhan di antara keduanya.64
Sedangkan menurut
DR. Sayyid Muhammad Thantawī ialah, suatu upaya yang bertujuan untuk
61
Ahmad Warson al-Munawwir, Al-Munawwir (Jakarta: Pustaka Progresif, 1997), Cet.
14, h. 175, hal ini juga dapat di lihat pada Kamus al-Bisri (Karangan KH. Adib Bisri dan KH.
Munawwir AF, (Jakarta: Pustaka Progresif, 2000), h. 67 dan ini berarti sama pula dengan lafazh
al-Hiwār yang berarti jawaban, al-Muhāwaroh : Tanya jawab, perdebatan. Lebih jelas lihat Kamus
al-Bisri, h. 140. 62
M. Quraish Shihab, Tafsīr al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2000), Cet. 1, h. 553. 63
Ali al-Jarisyah, Adab al-Hiwār Wa al-Mudharah (Al-Munawarah: Dār al-Wifa, 1989),
Cet. 1, h. 19. 64
World Assembly of Muslim Youth (WAMY), Fī Ushūl al-Hiwār, (Mesir: Maktabah
Wahbah Cairo), di terjemahkan oleh Abdus Salam M. dan Muhil Dhafir, dengan judul terjemahan
Etika Diskusi, (Jakarta: Era Inter Media, 2001), Cet. 2, h. 21
41
mengalahkan pendapat lawan dengan cara menyajikan argumentasi dan bukti
yang kuat.65
Metode diskusi dengan cara yang terbaik, harus memperhatikan hal-hal
berikut :
a. Tidak merendahkan pihak lawan, sehingga ia merasa yakin bahwa tujuan
diskusi itu bukanlah mencari kemenganan, melainkan menundukkannya
agar ia sampai kepada kebenaran.
b. Tujuan diskusi hanyalah semata-mata menunjukkan kebenaran sesuai
dengan ajaran Allah, bukan yang lain.
c. Tetap menghormati pihak lawan, sebab jiwa manusia tetap memiliki harga
diri. Ia tidak boleh merasa kalah dalam diskusi, karenanya harus di
upayakan agar ia tetap merasa di hargai dan di hormarti.66
Yang di maksud dengan cara yang terbaik di sini adalah berdiskusi tanpa
menekan dan menghina penentang, sehingga mereka memahami bahwa berdiskusi
bukan ditunjukkan untuk mengalahkan mereka, tetapi untuk memberikan
peringatan serta menemukan kebenaran. Al-Qur‟ān menggunakan lafazh al-
mujādalah tidaklah menunjukkan harus terjadi debat (saling membantah).67
Biasanya, dalam perdebatan seringkali muncul perseteruan, meski hanya sebatas
perseteruan lisan. Perdebatan senantiasa bermuara pada permusuhan yang di
warnai oleh fanatisme terhadap pendapatnya masing-masing pihak dengan
merendahkan pendapat pihak lain.
65
Sayyid Muhammad Ṯantawī, Adab al-Khiwar Fī al-Islam, (Mesir: Dār al-Naḏah), di
terjemahkan oleh Zuhaeri Misrawi dan Zamroni Kamal, (Jakarta: Azan, 2001), Cet. 1. 66
Muhammad Said Ramadhan al-Būthī, Fiqh al-Sirah (Beirut: Dār al-Fikr, 1980), h. 95. 67
Debat pada hakikatnya adalah saling adu argumentasi antar pribadi atau antar kelompok
manusia, dengan tujuan mencapai kemenangan untuk satu pihak. Dalam debat, setiap pribadai atau
kelompok mencoba menjatuhkan lawannya, supaya pihaknya berada pada posisi yang benar. Dori
Wuwur Hendrikus, Retorika Terampil Berpidato, Berdiskusi, Beragumentasi, Bernegosiasi
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 120.
42
Dari pengertian di atas dapatlah di ambil kesimpulan bahwa, al-Mujādalah
merupakan tukar pendapat yang di lakukan oleh dua belah pihak secara sinergis,
yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan menerima pendapat
yang di ajukan dengan memberikan argumentasi dan bukti yang kuat. Namun,
dakwah dengan menggunakan metode diskusi ini menuntut adanya keahlian
(profesionalisme) dari para dai. Mereka harus memiliki kemampuan keilmuan
yang cukup, bukan hanya kemampuan berbicara yang tidak dapat di
pertanggungjawabkan secara ilmiah
4. Kisah ()قصص
Kata قصص berasal dari fi‟il قص yang berakar dari huruf qaf, dan shad
menunjukkan untuk mengikuti sesuatu atau mengikuti jejak sesuatu, selangkah
demi selangkah, atau menyampaikan berita, menceriterakan sesuatu kepada
seseorang.68
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kisah berarti cerita tentang
kejadian (riwayat) dikehidupan seseorang.69
Apabila kisah ini di kaitkan dengan Al-Qur„ân, maka dapat di berikan
pengertian bahwa kisah Al-Qur„ân adalah suatu cerita yang dapat di ikuti jejaknya
yang menyampaikan kejadian umat-umat terdahulu, nabi-nabi atau Rasul, serta
kejadian-kejadian lain yang benar terjadi di masa kini maupun yang akan datang.
Metode kisah berarti suatu metode dakwah dengan mengutarakan atau
menyampaikan kisah atau cerita seseorang di masa lampau maupun kejadian yang
akan datang dalam Al-Qur„ân.
68
Chadijah Nasution, Bercerita Sebagai Metode Dakwah (Jakarta: Bulan Bintang, 1978),
h. 6. 69
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta:
Balai Pustaka, 1990), h. 443-444.
43
Metode kisah ini cukup penting, karena di dalam Al-Qur„ân sendiri banyak
ayat-ayat yang berisi tentang kisah orang-orang dahulu. Sebagai contoh adalah
dalam QS. Al-A‟rāf {7}:176-177.
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan
(derajat)-nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan
menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti
anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu
membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah
perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka
ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat
buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami
dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim. Ayat tersebut menjelaskan bahwa Kami (Allah SWT) akan
mengangkat orang Yahudi dan meninggikan dengan tanda-tanda
kekuasaan Kami ke derajat yang sempurna, namun ia (orang Yahudi) itu
tindakannya berlawanan dengan ketentuan Kami.70
Sehingga sulit bagi
orang yang mendustakan agama itu akan menjadi tinggi derajatnya. Hal itu
dikisahkan agar manusia mau berfikir dan tidak mengikuti orang-rang
yang mendustakan agama, sebab akibatnya justru akan menganiaya diri
sendiri.
Manfaat paling utama dan pelajaran yang paling penting yang bisa di
ambil dari kisah seperti itu adalah adanya peringatan tentang berlakunya hukum
Allah dalam kehidupan sosial serta pengaruh baik dan buruk dalam kehidupan
manusia. Kisah-kisah dalam Al-Qur‟ān merupakan petikan-petikan sejarah
70
Ahmad Mustafa Al-Maraghī, Tafsīr al-Maraghī, (Mesir: Dār al-Fikr, 1972), juz. IX, h. 107.
44
sebagai pelajaran bagi umat manusia dan bagaimana mestinya kita menarik
manfaat dari peristiwa-peristiwa sejarah.71
Di lihat dari segi mad‟u yang di hadapi, maka secara umum metode
dakwah bisa di klarifikasikan kepada :
1. Metode individual, metode ini pada prakteknya di laksanakan secara
individu dari pribadi ke pribadai (face to face), atau sering di sebut dengan
cara personalapproach, yakni pendekatan secara pribadi. Meskipun
seandainya mad‟u yang di hadapi berjumlah banyak, tetapi cara
menghadapinya adalah salah satu.
2. Metode kelompok, kemungkinan mad‟u yang di hadapi merupakan
kelompok yang banyak, dan cara menghadapinya dengan sekaligus.
Semua dakwah yang menggunakan media komunikasi massa, dapat di
pastikan menggunakan metode ini, sebab pembaca koran, penonton
televisi atau pendengar radio adalah umum, yang harus di hadapi oleh Dai
secara umum pula.72
Sedangkan bila di lihat dari sifatnya, maka metode dakwah terbagi pada
beberapa macam, antara lain :73
1. Metode Ceramah, yaitu penerangan secara lisan oleh dai kepada
mad‟u, atau oleh komunikator kepada komunikan. Metode ini sangat
tepat apabila komunikan (mad‟u) yang di hadapi merupakan kelompok
yang berjumlah besar dan di perlukan menghadapinya secara
71
Ahman bin al-Syirbashī, Tārīkh Tafsīr al-Qur‟ān, di terjemahkan oleh Pustaka Fordaus,
Sejarah Tafsir Al-Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), h. 60. 72
H.A Sumianto, Metode Dakwah (Bagi Suku Baduy di Banten), Diktat, Fakultas
Ushuluddin (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1975), h. 3. 73
Rubiyanah, dan Ade Masturi, Pengantar Ilmu Dakwah (Jakarta: Lembaga Penelitian,
2010), h. 96-100.
45
sekaligus. Kelemahan metode ini, yaitu sulit mengetahui sampai di
mana dakwah yang di sampaikan itu dapat di pahami oleh masing-
masing individu mad‟u. Sedangkan kesan yang ada pada pendengar,
belum tentu serasi dengan pesan yang di sampaikan oleh pembicara,
karena pendengar mempunyai latar belakang yang berbeda-beda.
Menurut Prof. Dr. H. Husnul Aqib Suminto, kelemahan tersebut bisa
di kurangi dengan cara sebagai berikut :
a. Mengusahakan agar dakwah yang di sampaikan itu menarik.
Dalam hal ini, dai perlu memerhatikan beberapa unsur
menyangkut pemilihan bahan yang di sampaikan, sistematika
penyusunan bahan tersebut, dan penyajiannya, termasuk bahasa
serta variasinya.
b. Menggunakan alat bantu yang di perlukan, di samping
menghindarkan hal-hal yang bisa menggangu berlangsungnya
komunikasi.
2. Metode Tanya Jawab.74
Metode tanya jawab ini yang di maksudkan
adalah suatu metode bentuk pertanyaan yang di sampaikan oleh umat
74
Tanya jawab ialah proses dialog antara orang yang mencari informasi dengan orang
yang memberikan informasi. Pemberi informasi adalah seorang ahli, yang menjadi spesialis dalam
suatu bidang tertentu, atau yang dianggap mengenal dan mengetahui suatu masalah secara baik.
Penanya mengharapkan informasi yang luas atas apa yang di tanyakan. Dalam proses komunikasi
ini, penanya mengemukakan pertanyaan sedemikian rupa, sehingga orang yang di tanya
memberikan informasi atau jawaban. Jumlah orang yang bertanya bisa hanya satu orang atau lebih,
bahkan tidak terbatas jumlahnya. Jawaban yang di berikan oleh informan (pemberi informasi),
dapat hanya tertuju kepada satu orang, kepada sekelompok orang atau tertuju kepada semua orang.
Semakin tenang penampilan orang yang di tanya, semakin besar efek komunikasi dengan mereka
yang bertanya. Ada tiga bentuk Tanya Jawab, yaitu interview, komperensi pers dan tanya jawab
pengadilan. Interview adalah tanya jawab antara wartawan dan seorang pejabat (politik) atau tanya
pendapat dengan orang-perorangan dalam hubungan dengan penelitian ilmiah. Komperensi pers
adalah pertemuan informatif dengan seorang pejabat sesudah ceramah, perundingan atau
kenperensi. Tanya jawab pengadilan (interogasi) adalah dialog penyelidikan antara petugas dan
terdakwa, atau orang yang bersalah. Dori Wuwur Hendrikus, Retorika Terampil Berpidato,
Berdiskusi, Beragumentasi, Bernegosiasi (Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 113-14.
46
tentang sesuatu masalah, kemudian ayat selanjutnya memberikan
jawaban atas pertanyaan yang di sampaikan itu. Jadi dalam metode ini
umat menyampaikan pertanyaan pada hal-hal yang belum di ketahui
kepada seseorang yang dianggap lebih tahu yang akhirnya dapat
memberikan jawaban yang memuaskan hatinya.75
Metode ini hampir sama dengan metode ceramah, yakni dalam hal
sama-sama menggunakan lisan. Hanya bedanya, dalam metode
ceramah peran aktif berada ditangan dai. Sedangkan dalam metode
tanya jawab, perannya bisa timbal balik. Keunggulan metode tanya
jawab antara lain :
a. Dakwah berlangsung lebih hidup, sebagai dai dan mad‟u sama-
sama aktif.
b. Memberikan kesempatan kepada mad‟u untuk menggunakan hal-
hal yang di rasakan kurang jelas, sehingga ibarat dokter dai dapat
memberikan obat sesuai dengan penyakit yang dikeluhkan oleh
pasien.
c. Bisa di ketahui adanya perbedaan pendapat antara dai dan mad‟u,
sehingga dapat di bawa kearah diskusi. Adapun kelemahannya,
metode ini bisa menyebabkan penyampaian dakwah menyimpang
dari pokok persoalan. Pertanyaan yang di ajukan oleh mad‟u bisa
membawa kepada jwaban yang teerpaksa menyimpang kepersoalan
yang baru. Di samping itu, metode Tanya Jawab ini tidak dapat di
gunakan menghadapi mad‟u yang berjumlah banyak secara berdiri
75
Journal, Budiharjo, Konsep Dawkah Dalam Islam (Salatiga: IAIN Salatiga), h. 110.
47
sendri. Usaha untuk mengatasinya kelemahan tersebut, yaitu
dengan mengadakan kontrol yang ketat dalam mengendalikan
jawaban.
Metode tanya jawab ini pada masa Rasulullah SAW. banyak sekali
bentuknya, yaitu para sahabat bertanya mengenai berbagai masalah
atau persoalan yang mereka temui kepada baginda Rasul. Dalam
berbagai pertanyaan dari para sahabat ini Rasulullah dalam
menjawabnya melalui wahyu atau Hadīts.
3. Metode Sinetron/Film, yakni mendramatiskan masalah-masalah sosial
dengan maksud memindahkan ide (isi dakwah) dari penulis skenario
(dai) kepada komunikan (mad‟u). Unsur hiburan inilah yang
menempatkan metode sinetron/film menjadi metode yang baik sebagai
selingan bagi metode-metode lain. Saat ini, masyarakat banyak yang
merespon positif degan adanya tayangan sinetron-sinetron dan film
religi, karena tidak hanya bersifat tontonan, melainkan juga terdapat
nilai tuntunan. Misalnya tayangan sinetron walisongo, sungguh sangat
bermanfaat bagi penonton, sebab isi dari tayangan tersebut
mengandung pesan-pesan dakwah yang mudah di cerna dan di contoh.
Demikian pula film-film layar lebar, seperti : Ayat-Ayat Cinta, Ketika
Cinta Bertasbih, Wanita Berkalung Sorban, Do‟a Yang Mengancam,
Emak Ingin Naik Haji, Sang Pencerah dan sebagainya mendapat
sambutan baik dari hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk
kalangan ulama. Bahkan MUI menganjurkannya kepada umat Islam
untuk menonton film itu. Padahal, film layar lebar di kalangan para
48
ulama, sering kali di nilai negatif. Ini menunjukkan bahwa yang
terpenting adalah isi atau pesan yang di tayangkan. Film-film layar
lebar yang biasanya hanya menanyakan pola hidup yang sekuler,
hedonis dan pornografi memicu para ulama serta ormas-ormas Islam
Antipati. Namun ketika film-film layar lebar, menyampaikan pesan-
pesan moral yang Islami, maka mayoritas masyarakat muslim
mendukungnya.
Dari beberapa metode dakwah di atas, dapat di jadikan bahan acuan bagi
para dai untuk di aplikasikan dalam merealisasikan dakwah sesuai dengan
kebutuhan, metode mana yang di pandang relevan dengan situasi dan kondisi
yang di hadapi, dengan berpijak kepada apa yang telah di lakukan Rasulullah
SAW sebagai dai yang sukses melaksanakan dakwah. Thomas W. Arnold
mengatakan, “studi tentang pendiri Islam dan peletak dasar dakwah, akan dapat
memberi gambaran mengenai hakikat serta watak dari dakwah”.76
76
Thomas W. Arnold, Sejarah Dakwah Islam (Jakarta: Widjaya, 1995), Cet. 3, h. 10.
49
BAB III
WACANA DAN KRITIK KARAKTER DAI INDONESIA
A. Dai dan Dakwah di Indonesia
Sampai dengan abad ke-8 H/14 M, belum ada peng-Islaman penduduk
pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H/15 M, penduduk
pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa
masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut
disebabkan pada saat itu kaum muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang
berarti. Yaitu, di tandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam,
seperti kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa
kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra-Islam
dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara
lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan
hindu atau Budha, seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam
The Preaching of Islam mengatakan bahwa, kedatangan Islam bukanlah sebagai
penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia
Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut
kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar
menunjukkannya sebagai Rahmatan Lil „Alamin.1
Dalam literatur yang beredar dan menjadi arus besar sejarah, masuknya Islam
ke Indonesia selalu di identifikasikan dengan penyebaran agama oleh orang Arab,
1Wahyu Ilaihi, dan Harjani Efni, Pengantar SejarahDakwah, (Jakarta : Kencana, 2007),
Cet. 1, h. 171, mengutip dari Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam.
50
Persia ataupun Gujarat. Namun ada penemuan lain di mana yang di tulis oleh
Slamet Mulyana ini berhasil memberikan satu warna lain, yaitu bahwa Islam di
Nusantara tidak hanya berasal dari wilayah India dan Timur Tengah, akan tetapi
juga dari Cina, tepatnya Yunan. Dipaparkan bermula dalam pergaulan dagang
antara muslim Yunan dengan penduduk Nusantara. Pada kesempatan itu terjadilah
asimilasi budaya lokal dan agama Islam yang salah satunya berasal dari daratan
Cina. Diawali saat armada Tiongkok Dinasti Ming yang pertama kali masuk
Nusantara melalui Palembang tahun 1407. Saat itu mereka mengusir perompak-
perompak dari Hokkian Cina yang telah lama bersarang di sana. Kemudian
Laksamana Cheng Ho membentuk kerajaan Islam di Palembang. Kendati kerajaan
Islam di Palembang terbentuk lebih dahulu, namun dalam perjalanannya sejarah
kerajaan Islam Demaklah yang lebih di kenal.2
Sementara itu, dalam sejarah penyebaran agama Islam terutama di Pulau Jawa
banyak di temukan Literatur bahwa pada masa awal, dai sebagai penyebar Islam
banyak dipegang peranannya oleh para “Wali Sembilan” yang lebih di kenal
dengan “Walisongo”. Kata wali berasal dari Al-Qur‟ān yang banyak memiliki arti
antara lain: penolong, yang berhak, yang berkuasa. Wali juga memiliki arti
pengawal, kekasih, ahli waris, dan pengurus. Walisongo di sini diartikan sebagai
2Sejarah masuknya Islam yang disebabkan oleh muslim Tionghoa dari Yunan tidaklah
berbeda dengan sejarah masyarakat dunia yang mengembara untuk mendapatkan kekayaan,
penyebaran agama, dan kemuliaan (Gold, Gospel dan Glory). Hanya orang-orang Tionghoa dari
Yunan datang tidak langsung secara besar-besaran dengan kekuatan Militer, tetapi bergelombang
sebagai pedagang. Awalnya yang datang pertama kali hanyalah rombongan laki-laki yang
kemudian menikah dengan wanita setempat. Dari sinilah kemudian terbentuk komunitas Tionghoa,
kemudian muncul pemimpin di antara mereka, hingga merasa perlu untuk membangun kekuatan
pasukan. Wahyu Ilaihi, S.Ag, M.A, Harjani Efni, Lc, M.A, Pengantar SejarahDakwah (Jakarta:
Kencana, 2007), Cet. 1, h. 172, mengutip dari Slamet Mulyana, Runtuhnja Keradjaan Hindu Jawa
dan Timbulnja Negara-negara Islam di Nusantara (Jakarta: Bhrata, 1968).
51
sekumpulan orang (semacam dewan dakwah) yang di anggap memiliki hak untuk
mengajarkan Islam kepada masyarakat Islam di bumi Nusantara pada zamannya.3
Walisongo di percaya sebagai peletak batu pertama Islam di Pulau Jawa.
Kiprah Walisongo dalam peta dakwah Islam di Indonesia pada umumnya dan di
Pulau Jawa khususnya memang merupakan fakta sejarah yang tidak terbantahkan.
Oleh sebab itu, wajar jika H.J. Vanden Berg pun tanpa ada rasa keraguan
mengatakan, “Adapun yang memimpin penyebaran Islam ini adalah para Wali,
merekalah yang memimpin pengembangan agama Islam di seluruh Jawa”.4
Dalam menetapkan sasaran mad‟u (mitra dakwah) para walisongo terlebih
dahulu melakukan perencanaan dan perhitungan yang akurat di imbangi dengan
pertimbangan yang rasional dan strategis yakni dengan mempertombangkan
faktor geostrategis dan metode yang telah tetapkan. Maka itu proses Islamisasi di
Pulau Jawa berada dalam kerangka proses akulturasi budaya.5
Dalam melaksanakan misinya terjadi pembagian kerja yang sangat senergis
walaupun mereka tidak hidup dalam satu zaman. Hal ini dapat di lihat dari
pembagian kerja dengan mengambil resening formasi 5:3:1, yakni lima di Jawa
Timur, tiga di Jawa Tengah, dan satu di Jawa Barat. Dan pembagian tersebut
didasarkan atas kondisi yang terjadi pada mad‟u pada saat itu.6 Pertimbangan
orientasi kegiatan dakwah di arahkan pada pusat-pusat kekuasaan politik. Ini
3Asep Muhyiddin, Agus Ahmad Safe‟i, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung : CV
Pustaka Setia, 2002), h. 124. 4Van Den Berg, Dari Panggung Sejarah, Terjemahan Koreskamp dan I.P. Simanjutak
(Bandung: W. Van Hoeve Ltd, 1959), h. 393. 5Wahyu Ilaihi, Harjani Efni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.
1, h. 172. 6Asep Muhyiddin, Agus Ahmad Safe‟i, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2002), h. 124.
52
dapat di lihat di mana wilayah yang dijadikan basis teritorial kegiatan dakwah
wali di Jawa Timur ternyata memiliki bandar atau Kota Pelabuhan.7
Di samping daerah perdagangan, Jawa Timur mendapat perhatian besar dari
para wali, dengan ditempatkannya lima wali dengan wilayah dakwah yang
berbeda-beda, karena Jawa Timur pada saat itu merupakan pusat kekuasaan
politik, yakni Kerajaan Kediri, dan Majapahit. Maulana Malik Ibrahim sebagai
perintis mengambil perannya di daerah Gresik. Setelah beliau wafat wilayah ini di
kuasai oleh Sunan Giri. Kemudian Sunan Ampel mengambil posisinya di daerah
Surabaya. Dan Sunan Bonang sedikit di Utara yaitu Tuban. Sementara Sunan
Drajat di Sedayu.8
Di Jawa Tengah para wali lebih terlihat sebagai penyebar Islam yang
berprofesi sebagai pedagang. Dengan mengambil posisi di Demak, Kudus, dan
Muria. Di Jawa Tegah pusat kekuasaan politik agama Hindu dan Buddha dapat di
katakan sudah tidak berperan lagi, namun realitasnya masyarakat masih
terpengaruh oleh budaya yang ajarannya bersumber dari ajaran Buddha dan
Hindu. Penempata ketiga wali di Jawa Tengah juga sekaligus berfungsi sebagai
pusat pelayanan penyebaran agama Islam di Indonesia Tengah, karena pada saat
itu pusat kegiatan politik dan ekonomi beralih ke daerah tersebut, dengan
runtuhnya Kerajaan Majapahit dan munculnya Kesultanan Demak.
7Hal tersebut sesuai dengan ciri Islam sebagai ajaran yang didakwahkan para Dainya
yang rata-rata berprofesi pedagang. Dengan berada ada pusat-pusat perdagangan dan pelabuhan
penyebaran agama Islam akan lebih efektif. Di mana daerah tersebut merupakan jalur komunikasi,
interaksi, dan sosialisasi ajaran melalui hubungan ekonomi atau perdagangan yang merupakan cara
yang efektif dan efisien. 8Wahyu Ilaihi, Harjani Efni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007), Cet.
1, h. 173.
53
Sedangkan di Jawa Barat proses penyebaran Islam hanya di lakukan oleh
seorang wali karena penyebaran agama Islam di Indonesia Barat sudah lebih baik,
terutama di Sumatra dapat di katakan merata bila di bandingkan dengan kondisi di
Indonesia Timur.
Sedangkan metode yang di kembangkan oleh para wali dalam gerakan
dakwahnya adalah lebih banyak melalui media kesenian budaya setempat di
samping melalui jalur sosial-ekonimi. Atau lebih tepatnya peng-Islaman kultur
atau mengkulturkan Islam. Sebagai contoh adalah dengan media kesenian wayang
dan tembang-tembang Jawa yang di modifikasi dan di sesuaikan oleh para wali
dengan konteks dakwah. Dan sebagai gambaran spesifiknya dakwah yang di
kembang oleh masing-masing para wali sembilan tersebut dapat kita analisis
sebagai berikut:9
1. Maulana Malik Ibrahim
Nama lain dari Maulana Malik Ibrahim adalaha Maulana Maghribi, dan
Maulana Ibrahim. Terjadi perbedaan mengenai asal muasal dari Maulana Ibrahim
ini. Menurut tradisi atau Babad Jawa beliau adalah seorang ulama dari tanah
Arab, keturunan Zainal Abidin, cicit Nabi Muhammad.10
Sementara itu, Hamka
menulis bahwa beliau ini berasal dari Kasyan, Persia, dan seorang bangsa Arab
keturunan Rasulullah yang datang ke Jawa sebagai penyebar agama Islam.11
9Wahyu Ilaihi, dan Harjani Efni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007),
Cet. 1, h. 174. 10
Hoesain Djadjadiningrat, Tinjauan Kritis tentang Sejarah Banten (Jakarta: Djambatan,
1983), h. 274. 11
Wahyu Ilaihi, dan Harjani Efni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007),
Cet. 1, h. 174, mengutip dari Hamka, Sejarah Umat Islam IV (Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
54
Pola dakwah Islam yang berhasil beliau kembangkan adalah sebagai berikut :
a. Bergaul dengan para remaja. Dengan bergaul dan berinteraksi dengan
remaja inilah Maulana Malik Ibrahim akan lebih mudah dalam
menyebarkan dakwahnya. Karena dengan begitu dapat mengerti karakter
dari mad‟u sehingga dapat menentukan metode yang tepat dalam
menyampaikan ajaran Islamnya.
b. Membuka pendidikan pesantren. Anak-anak yang ingin belajar ilmu
agama ditampung dalam sebuah pesantren. Mereka di perkenalkan secara
langsung cara melaksanakan ajaran Islam. Dan dari sinilah kemudian
muncul para kader-kader dai yang profesional yang pada gilirannya
berperan sebagai guru dalam masyarakatnya. Dan di antara mereka
kemudian ada yang mendirikan pondok-pondok pesantren sebagai sarana
mengamalkan dan mengabdikan ilmunya pada masyarakat. Dari pesantren
yang telah di dirikan selanjutnya lahir para dai yang memiliki kemampuan
yang tinggi dalam memperjuangkan dakwah Islam selajutnya.
2. Sunan Ampel
Gelar Sunan Ampel adalah Raden Rahmat, sedangkan nama mudanya adalah
Ahmad Rahmatullah. Beliau adalah putra dari Ibrahīm Asmorokandi seorang
ulama Kamboja yang kemudian menikah dengan putri Majapahit.
Beberapa pola dakwah yang di kembangkan oleh Sunan Ampel adalah :
a. Menyerukan dan melanjutkan perjuangan yang telah di lakukan wali
sebelumnya, yaitu Maulana Malik Ibrahim. Dengan mengadakan
55
pendidikan bagi masyarakat, khususunya para kader bangsa dan para
mubhaligh.
b. Menyiapkan dan melatih generasi-generasi Islam yang dapat di andalkan.
Untuk itu dipilih pemuda-pemuda yang cerdas dan tangkas yang kemudian
di persipakan sebagai kade dai inti, seperti Sunan Giri, Raden Fatah,
Maulana Ishak, dan lain sebagainya.
c. Membangun hubungan silaturrahmi dan persaudaraan dengan putra
pertiwi (pribumi). Yaitu, dengan menikahkan putri daerah setempat.
d. Melebarkan wilayah dakwahnya, yaitu dengan mengutus para
kepercayaannya untuk berdakwah ke wilayah lain. Seperti dengan
mengutus Maulana Ishak untuk berdakwah di daerah Blambangan.
3. Sunan Giri
Nama lain dari Sunan Giri adalah Joko Samudro, Raden Paku, Prabu Satmata.
Selain nama tersebut beliau juga memiliki gelar, yaitu Sultan Abdul Faqih karena
sangat yakin dan mendalam ilmu fiqihnya. Beliau adalah putra dari Maulana
Ishak.12
Sunan Giri adalah seorang dai sekaligus ulama ulung yang di bekali
pengetahuan agama yang cukup memadai. Dalam syiar dakwah yang pertama kali
di lakukannya adalah dengan mendirikan masjid. Dan kemudian beliau
mendirikan beberapa pondok pesantren dan mengajarkan ilmu-ilmu agama,
seperti ilmu fiqih, ilmu hadis, serta nahwu dan shorof kepada anak didiknya.
12
Umar Hasyim, Sunan Giri (Kudus: Menara Kudus, 1979), h. 17.
56
Namun, secara keseluruhan pola dakwah yang telah di kembangkan beliau
adalah :
a. Membina kader dai inti, yaitu mereka yang dididik di diperguruan Giri.
b. Mengembangkan Islam ke jalur Jawa. Pola dakwah yang di
kembangkannya dan tidak di lakukan wali-wali sebelumnya adalah
usahanya mengirim anak muridnya ke plosok-plosok Indonesia untuk
menyiarkan Islam, misalnya Pulau Madura, Bawean, Kangean, bahkan
sampai ke Ternate dan Huraku yakni kepulauan Maluku.
c. Menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat secara luas, yaitu dengan
mewujudkan gamelan sekatan,13
kesenian wayang kulit yang sarat
berisikan ajaran Islam, merintis permainan-permainan anak yang berisikan
ajaran Islam,14
serta mengarang lagu-lagu Jawa yang di sisipi dengan
ajaran Islam.
4. Sunan Kudus
Nama lain dari Sunan Kudus adalah Ja‟far Shadiq, Raden Udung atau Raden
Utung, dan Raden Amir Haji. Sunan Kudus terkenal sebagai ulama besar yang
menguasai ilmu hadis, ilmu tafsir Al-Qur‟ān, ilmu sastra, mantik, dan terutama
sekali ilmu fiqih. Dengan ketinggian ilmunya itulah, maka kemudian beliau di
juluki “Waliyul „Ilmi” yang artinya wali yang menjadi gudang ilmu.15
Di samping
13
Gamelan dipasang di serambi dan hanya dibunyikan pada peringatan Maulid Nabi.
Orang-orang yang ingin menyaksikan harus datang ke masjid. Dan sebagi orang ongkosnya
mereka harus mengikuti ketentuan, seperti berwudhu terlebh dahulu. Setelah itu mereka harus
memasuki gapura masjid yang artinya mereka mendapat ampunan (ghofur). Kemudian membaca
syahadat, yang dengan sendirinya mereka telah masuk Islam. 14
Main-mainan tersebut ternyata tetap populer dan eksis sampai sekarang di antaranya
yang di kenal dengan permaina, jamuran, jalungan, gula ganti, dan sebagainya. 15
Muhammad Syamsu as, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya (Jakarta:
Lentera, 1999), h. 55.
57
itu, beliau juga merupakan seorang pujangga besar daengan daya kreativitasnya
berinisiatif mengarang dongeng-dongeng pondok yang bersifat dan berjiwa seni
Islam.
Pola dakwah yang di kembangkannya banyak bercorak pada bidang kesenian.
Salah satu karya ciptanya yang terkenal adalah Gending Maskumambang dan
Mijil. Dalam menarik simpati masa, beliau meleburkan diri dengan budaya
setempat, sehingga lebih menarik dan merakyat. Seperti yang di lakukan pada
peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, banyak warga yang berduyun-duyun
datang untuk menyaksikannya. Dan inilah yang di manfaatkan untuk syiar Islam.
Di gapura masjid semua orang harus membaca dua kalimat syahadat terlebih
dahulu sebelum memasukinya. Dan inilah yang kemudian di sebut dengan
syahadatain suatu ucapan dalam dakwah Islam. Yang di Jawa Tengah dan Jawa
Timur terkenal dengan upacara sekaten (dari asal syahadatain).
5. Sunan Bonang
Jika Sunan Giri mendapat gelar Prabu Satmata, maka Sunan Bonang
mendapat julukan nama Prabu Nyokrokusumo.16
Namun ketika remja Sunan
Bonang memiliki nama Maulana Makhdum Ibrahim. Beliau adalah putra Sunan
Ampel dan Nyai Ageng Manila.17
Di masa hidupnya sunan bonang adalah termasuk penyokong dari Kerajaan
Demak dan ikut pula membantu pendirian Masjid Agung di kota Bintaro Demak.
Program dakwah yang di kembangnya adalah :
16
Tamar Djaya, Pusaka Indonesia-Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air
(Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 147. 17
Wahyu Ilaihi, dan Harjani Efni, Pengantar Sejarah Dakwah (Jakarta: Kencana, 2007),
Cet. 1, h. 177, mengutip dari Salihin Salam, Sekitar Walisanga (Kudus: Menara Kudus, 1982)
58
a. Pemberdayaan dan peningkatan jumlah dan mutu kader dai, yaitu dengan
mendirikan pendidikan dan dakwah Islam.
b. Memasukkan pengaruh Islam kedalam kalangan bangsawan keraton
Majapahit. Sunan Bonang lah yang memberikan didikan Islam kepada
Raden Fatah, Sultan Demak pertama, dan putra bangsawan lainnya.
c. Terjun langsung ke tengah-tengah masyarakat. dalam berinteraksi dengan
masyarakat tersebut beliau menciptakan gending-gending atau tembang-
tembang Jawa yang sarat dengan misi pendidikan dan dakwah Islam,
seperti Simon, Dandang Gulo, Pangkur, dan lain-lain. Selain itu juga,
mengganti nama-nama hari naas menurut kepercayaan Hindu dan nama-
nama dewa Hindu dengan nama-nama malaikat dan nabi-nabi menurut
Islam.18
d. Melakukan kodifikasi atau pembukuan dakwah. Kodifiasi pesan dakwh
atau ajarannya di lakukan oleh murid-muridnya. Kitab itu ada yang
berbentuk puisi maupun prosa. Kitab inilah yang kemudian di kenal
dengan Suluk Sunan Bonang.
6. Sunan Drajat
Nama asli dari Sunan Drajat adalah Syaifuddin Hasyim, merupakan putra dari
Sunan Ampel. Dalam kehidupan beliau sehari-harinya beliau di kenal sebagai
waliyullah yang bersifat sosial, di mana dalam menjalankan aktivitas dakwahnya
beliau tidak segan-segan untuk menolong masyarakat bawah serta memperbaiki
kehidupan sosialnya.
18
Tamar Djaya, Pusaka Indonesia-Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air
(Jakarta: Bulan Bintang, 1965), h. 147.
59
Adapun pola dakwah yang telah di kembangkannya adalah :
a. Mendirikan pusat-pusat atau pos-pos bantuan yang di atur sedemikian
rupa, sehingga memudahkan dalam pengaturan dan penyaluran bagi
masyarakat yang membutuhkannya.
b. Membuat kampung-kampung percontohan. Kampung-kampung
percontohan ini di pilih di tengah-tengah dengan tujuan agar menjadi pusat
rujukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari mereka dalam segala hal.
c. Menanamkan ajaran kolektivisme, yaitu ajaran untuk bergotong-royong di
mana yang kuat menolong yang lemah, dan yang kaya menolong yang
miskin.
d. Dibidang kesenian beliau menciptakan tembang-tembang Jawa, yaitu
Pangkur.
7. Sunan Gunung Jati
Sunan Gunung Jati atau nama lengkapnya adalah Syarif Hidayatullah putra
dari Syarif Abdullah dan Nyai Larasantang. Sunan Gunung Jati atau Fatahillah
selain seorang dai juga di kenal sebagai pahlawan bangsa yang gigih melawan
penjajahan. Dalam mempertahankan daerah teritorialnya adalah dengan
mengintegrasikan dari ancaman penjajah. Beliau berhasil mematahkan kekuasaan
Portugis pada tanggal 22 Juni 1527, yang kemudian menggatikan Sunda Kelapa
dengan Jayakarta (kemenangan yang paripurna).
Strategi metode pengembangan dakwah yang di lakukan Sunan Gunung Jati
lebih terfokus pada job description atau pembagian tugas di antaranya adalah
dengan melakukan :
60
a. Melakukan pembinaan intern kesultanan dan rakyat yang masuk dalam
wilayah Demak di tangan wali senior. Dengan program utamanya adalah
masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah harus segera di Islamkan sebab
mereka merupakan kekuatan pokok. Sunan Gunung Jati mengorientasikan
dakwahnya pertahanan di Jawa bagian Barat dan ekspansi Asing.
b. Melakukan pembinaan terhadap luar daerah dengan menyerahkan
tanggung-jawabnya kepada para pemuda.
8. Sunan Kalijaga
Sunan Kalijaga memiliki nama lain Muhammad Said atau Joko Said. Putra
dari Raden Tumenggung Wilotileto merupakan seorang Bupati Tuban. Sunan
Kalijaga merupakan wali yang sangat dekat dengan masyarakat muslim Tanah
Jawa melebihi yang lainnya, sehingga banyak dongen-dongeng yang
menyelimutinya pada masa kehidupannya. Kelebihan lain yang beliau miliki
adalah kemampuannya memasukkan pengaruh Islam kepada kebiasaan adat
istiadat masyarakat Jawa.
Pola dakwah yang telah di kembangkannya adalah :
a. Mendirikan pusat pendidikan di Kadilangu
b. Berdakwah lewat kesenian. Di antaranya adalah tradisi selamatan peninggalan
agama Hindu dan Buddha didekati dengan cara tahlil
c. Memasukkan hikayat-hikayat Islam ke dalam permainan wayang. Dan beliau
ini merupakan pencipta wayang kulit dan pengarang buku-buku wayang yang
mengandung cerita dramatis dan berjiwa Islam.19
19
Hamka, Sejarah Umat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 288.
61
9. Sunan Muria
Nama lain dari Sunan Muria adalah Raden Prawoto, Raden Umar Syahid.
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dan Dewi Saroh.20
Dalam kesehariannya
beliau mencerminkan pribadi yang menempatkan rasa cinta kepada Allah SWT.
Maka tak heran beliau merupakan seorang sufi atau ahli tasawuf.
Seperti dengan wali-wali sebelumnya pola dakwah yang beliau kembangkan
yang syarat dengan ajaran Islam yang berbentuk seni. Adapun pola dakwah yang
di kembangkan oleh Sunan Muria adalah :
a. Menjadikan daerah-daerah pelosok pegunungan sebagai pusat kegiatan
dakwah
b. Berdakwah melalui jalur kesenian. Dengan menciptakan geding Sinom,
Kinanti, dan sebagainya.
B. Pergeseran Karakter Dai di Era Modern
Untuk memahami konsep modern akan lebih mudah kalau di lacak dari akar
katanya. Secara etimologis term modern berasal dari bahasa Latin “moderna”
yang berarti sekarang, baru, atau saat ini. Atas dasar itu, manusia di katakan
modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya. Dalam bahasa Indonesia
istilah modern sendiri adalah adjektive (kata sifat), di mana dalam gramatikal
Indonesia sebuah adjektive apabila di tambahi dengan “isasi” berarti mempunyai
makna proses, jadi modernisasi merupakan sebuah proses modern. Kata sifat ini
akan mempunyai arti lain lagi, bila di bubuhi dengan “isme”. Karena
20
Abdul Rozaq, Kisah Keteladanan Wali Songo, Penyebar Agama Islam di Tanah Jawa
(Surabaya: CV Surabaya, tt). h. 83.
62
menunjukkan paham, kredo, atau aliran, maka modernisme mempunyai makna
paham tentang modernitas.21
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam,
terutama sesudah pembukaan abad ke-19, yang dalam sejarah Islam di pandang
sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat selanjutnya
membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme, nasionalisme,
demokrasi, dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-persoalan baru,
dan pemimpin-pemimpin Islam pun mulai memikirkan cara mengatasi persoalan-
persoalan baru itu.22
Di dalam kemajuan teknologi dan cepatnya arus informasi,
cara dakwah bisa di katakan sangat “meriah”. Dakwah kian merambah ke
kelompok-kelompok yang sebelumnya atau dahulu tidak terbayangkan untuk di
sentuh.
Islam memandang kemajuan adalah sebuah perubahan yang sesuai dengan
tujuan dakwahnya. Dr. A. Ilyas Ismail, MA mengutip dari berbagai pandangan
Ulama Islam dan analisis Barat, mengatakan bahwa inti dari dakwah adalah
perbaikan (islah), yang berarti the improvment and development of society.23
Sedangkan al-„Alamah Ṯabāṯaba‟ī berpendapat: “manusia pada hakikatnya
senantiasa ingin sampai pada tujuanya dengan perantaraan jalan yang lebih dekat
dan mudah. Sedangkan manusia di berbagai tempat, kebutuhan akan alat dan
sarana berubah-ubah sejalan dengan temuan-temuan barunya.24
Oleh sebab itu
21
Zulkarnaini, “Dakwah Islam Di Era Modern,” Vol.26, No.3, (September 2015): h. 151-
158. 22
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta:
Bulan Bintang, 1975), cet. 1, h. 11. 23
A Ilyas Ismail, Paradigma Dakwah Sayyid Qutb (Penamadani, 2006), cet. 1, h. 8-9. 24
Murtadha Mutahhari, Islam dan Tantangan Zaman (Bandung : Pustaka Hidayah, 1996),
h. 137.
63
negara-negara Muslim menyambut dengan baik datangnya ideologi modern.
Karena dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW adalah seorang yang mampu
menciptakan perubahan jahiliyah menuju peradaban Islam modern. Nabi
Muhammad SAW bersama sahabat-sahabatnya dapat mengubah demoralisasi
ekonomi, politik, dan budaya pada masa itu.
Kini agama berada di pojok gerbang abad modernitas. Sebuah zaman yang di
tandai dengan sangat intensnya perubahan yang melanda ranah kehidupan sosial
lantaran dipicu temuan-temuan baru dibidang teknologi dan industri.25
Seiring perkembangan kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi),
perubahan sosial di anggap sebuah fenomena yang bersifat problematik sampai
sekarang. Perubahan sosial yang di tuju dalam aktivitas dakwah adalah perubahan
yang terencana (planned changed). Dampak dari perubahan sosial yang terjadi
membuat pola pikir masyarakat semakin kritis terutama bagi golongan masyarakat
terpelajar. Mereka biasanya tidak tertarik pada ceramah-ceramah, atau pengajian-
pengajian yang bersifat umum yang cenderung klise, monoton, tidak rasional dan
berulang-ulang, bersifat indoktrinasi dan menggurui. Bahkan terkadang mereka
mengkritik atau menentang penjelasan-penjelasan tentang ajaran agama yang
dalam anggapan mereka tidak secara rasional atau ilmiah.
Perubahan masyarakat yang berlangsung pada erea kontemporer, maka para
dai perlu mengembangkan kredibilitasnya dan strategi dakwahnya sehingga dapat
melahirkan pemikiran-pemikiran atau metode dakwah yang kreatif dan inovatif,
sehingga dapat mengubah kemapanan pemahaman agama Islam di kalangan
25
Abdul Qasim al-Khu‟i, Menuju Islam Rasional, Sebuah Pilihan Memahami Islam
(Jakarta: PT. Hawra, 2003), h. IX
64
masyarakat terpelajar maupun yang masih tertutup. Oleh karena itu, untuk
mendukung keberhasilan dakwah yang optimal pada era kontemporer, maka aspek
dasar yang harus di lakukan dari gerakan dakwah yaitu pengembangan pola dan
strategi dakwah para dai harus relevan dengan perubahan-perubahan sosial yang
selalu terjadi.26
Dengan demikian, pelbagai usaha untuk keberhasilan menyebarkan dakwah
Islam sangat terkait dengan perubahan-perubahan yang di alami manusia, tidak
dapat di pisahkan dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah
membuat manusia dapat menguasai, mengelola dan memanfaatkan alam untuk
kesejahteraan umat manusia, sehingga dakwah Islam dapat di terima oleh seluruh
alam.27
Untuk mencapai keberhasilan dalam berdakwah, perlunya langkah
seorang dai dalam dakwahnya mulai dari awal hingga akhir di iringi dengan ilmu
dan pengetahuan. Jika tidak, berarti dia dan petunjuk serta keberhasilan
dakwahnya akan tertahan. Pernyataan ini telah di sepakati oleh orang-orang yang
berpengetahuan.28
Oleh karena itu sebagai seorang dai sebelum masuk dakwah ke
ranah dunia modern hal yang harus di perhatikan pada aspek keilmuan dan
pengetahuan untuk keberhasilan dakwah pada masyarakat yang kritis.
Pada era kontemporer, ruang lingkup dakwah Islam menurut penulis seorang
dai juga harus mampu mendialogkan antara realitas dan pengajaran agama dengan
mengikutiperkembangan budaya modern dan secara aktif mengisinya dengan
nuansa-nuansa Islami dengan cara yang baik. Mendialogkan antara realitas dan
26
Thohir Yuli Kuswanto, Gerakan Dakwah di Kampus Riwayatmu Kini (Semarang:
Lemabaga Penelitian IAIN Walisongo, 2012), h. 39. 27
Muhammad Jakfar Puteh, Dakwah Dalam Kehidupan Modern (Yogyakarta: AK Group,
2006), h. 131. 28
Syaikh Sa‟id bin Ali bin Wahf Al-Qahthani, Menjadi Dai Yang Sukses (Jakarta: Qisthi
Press, 2005), h. 10.
65
pengajaran agama dalam penyampaian dakwah Islami tidak harus di mimbar,
masjid, majlis maupun lingkungan masyarakat. Sebagaimana yang di lakukan
walisongo, metode yang di lakukannya cenderung klasik atau tradisional. Bukan
berarti karena masuknya era kontemporer metode dakwah yang di gunakan para
walisongo tersebut ditinggalkan begitu saja, akan tetapi metode tersebut tetap di
gunakan, hanya saja ada penambahan metode baru yang sesuai dengan
perkembangan dunia modern seperti dakwah di media-media : baik televisi, media
sosial dan lain sebagainya.
Perkembangan dunia modernisasi saat ini sudah banyak di salah artikan.
Kemajuan IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) yang menjadi ciri utama
modernisasi hanya menjadi sarana untuk mendapatkan kepuasan duniawi.
Sebagaimana yang kita lihat sekarang, saat ini tidak hanya kalangan artis saja
yang ingin masuk televisi, bahkan para dai pun juga banyak yang
menginginkannya, dan sekarang mulai menjamur di mana-mana. Menurut penulis
ketika seorang dai yang berdakwah di media televisi bertujuan untuk menegakkan
ajaran Islam, dan menyampaikan syari‟atnya itu sangat bagus, patut didukung dan
diapresiasi.
Namun realitasnya sebagian para dai yang dalam dakwahnya mengikuti
perkembangan dunia modern, seperti melalui media televisi. Saat ini tidak lagi
melihat sebuah makna atau menghayati makna mengajak, menyeru, mengundang
dan arti keikhlasan dalam menegakkan ajaran Islam. Akan tetapi yang di lihat
oleh dai televisi hanya sebuah mata pencaharian keuntungan pribadi baginya
dalam berdakwah. Sehingga esensi dakwah dalam artian mengajak kebaikan
tersebut hilang.
66
Dengan demikian tujuan dakwah saat ini berbeda dengan tujuan dakwah
zaman dulu. Di mana tujuan dakwah zaman dahulu yang di bawakan oleh para
walisongo itu tidak sedikitpun memikirkan akan keuntungan duniawi, melainkan
pada saat itu para walisongo dalam dakwahnya hanya memikirkan visi misi
keberhasilan dakwahnya saja, sehingga mudahnya di terima dakwahnya di
kalangan oleh orang awam. Sedangkan sebagian dai saat ini hanya sekedar
menyampaikan ajaran Islam tanpa melakukakn evaluasi dan memikirkan
bagaimana keberhasilannya. Dengan kata lain, dai yang seperti ini lepas dari
tanggung-jawab akan keberhasilan dakwah yang di lakukan. Padahal berdakwah
tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban, tetapi perlu juga perencanaan yang
matang agar dakwah yang di lakukan dapat membuahkan hasil yang maksimal.
Jadi dai saat ini lebih mementingkan keuntungan dalam masalah materialnya
dibadingkan daripada keberhasilan dakwahnya, apalagi saat ini sebagian dai yang
seperti itu lebih cenderung pandai retorika dan berguyon atau bercanda saja
sehingga pesan penting dalam dakwahnya itu tidak ada, hanya menghibur
audiens/mad‟u saja, di bandingkan mementingkan keberhasilan dakwahnya.
C. Kritik Intelektual Dai di Masa Modern
Saat ini para Dai tidak lagi melakukan aktifitas dakwahnya dengan cara
Offline saja. Trend dakwah Online melalui media digital semakin di minati para
Dai „Zaman Now‟. Bahkan ada penceremah/muballigh yang belum sampai pada
tahap kualifikasi kajian keagamaan yang cukup, tapi sosoknya sudah “viral” dan
semakin terkenal.
67
Ini sebenarnya yang menjadi penyebab turunnya martabat Dai di kalangan
para Dai Indonesia. Di mana banyak dari para dai yang berfokus hanya pada
aspek “rethoric” saja dalam berdakwah. Misalnya, humor yang berlebihan dan
mahir bercerita tetapi tidak melihat keilmuan dalam wawasan ke Islaman,
sehingga isi dari ceramah tersebut tidak memberika pesan penting dalam nilai ke-
agamaan melainkan hanyalah humor saja yang di dapat pada masyarakat.
Terkadang karena seringnya humor dan hanya menggunakan aspek “rethoric”
saja dalam berdakwah, pesan substansial dari ceramah agama yang di sampaikan
tidak bisa di pahami atau bisa jadi tidak di terima oleh masyarakat luas, sehingga
isi pesan tersebut menyebabkan kontroversial di mana-mana.
Beberapa waktu lalu masyarakat kita mengalami kehebohan luar biasa. Tiba-
tiba saja mereka sangat antusias memperdebatkan kata tertentu dalam Al-Qur‟ān,
tentang “Pendukung Pemimpin non-Muslim” pada pilgub DKI Jakarta lalu.
Sehingga menghasilkan perdebatan yang sangat seru. Sebagaimana Firman Allah
SWT pada ayat Al-Qur‟ān yang diperdebatkan pada saat itu :
Dan janganlah engkau (Muhammad) melaksanakan shalat untuk seseorang yang
mati di antara mereka (orang-orang munafik), selama-lamanya dan janganlah engkau
berdiri (mendoakan) di atas kuburnya. Sesungguhnya mereka ingkar kepada Allah
dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik. (QS.At-Taubah {9}:84)
Ayat ini menunjukkan sebuah larangan untuk menshalatkan jenazah orang
munafik. Kemudian terjadilah saling menghujat, masyarakat yang mendukung Ca-
Gub DKI non-Muslim berpendapat bahwa ayat itu tidak di maksudkan untuk
68
pendukung orang kafir. Namun masyarakat masjid tersebut, meyakini bahwa
siapapun yang mendukung calon pemimpin gubernur Non-Muslim adalah orang
munafik. Sehingga membuat masyarakat masjid setempat berujung pada sarkasme
dan kata-kata kasar. Yang paling mutakhir dibuatlah suatu banner dengan
bertuliskan “Masjid ini tidak menerima menshalatkan jenazah orang munafik”
dengan tujuan kepada pendukung Ca-Gub DKI Non-Muslim.
Menurut penulis, seharusnya di sinilah peran penting bagi para dai untuk
menjelaskan maksud dari ayat tersebut, sehingga mencegah umat Islam untuk
tidak gampang mengeluarkan kata kafir dan munafik kepada orang yang berbeda
pandangan politik.
Namun realitanya, peran dai pada saat itu tidak ada, layaknya tidak ada
masalah pada pandangan masyarakat tersebut. Sehingga tersulutnya pemerintah
untuk membuat suatu peraturan bagi para dai yaitu “Standarisasi untuk Para Dai
di Indonesia” dengan begitu pemerintah mengharuskan para dai/mubaligh untuk
mendaftarkan diri ke pemerintah hanya untuk mendapatkan “Sertifikat
Dai/Mubaligh Legal”.
Belakangan ini, masyarakat kita khususnya masyarakat awam mudah sekali
terpearangai akan suatu ajakan dai yang menurut penulis kurang berkompeten.
Dengan jargonnya kembali kepada Al-Qur‟ān dan kembali kepada Sunnah atau
Hadis yang membuat masyarakat awam mudah mau mengikutinya. Sehingga
membuat pola pikir masyarakat menjadi jumud (beku), tidak memberikan ruang
pada pendapat yang berbeda.
69
Pada beberapa hari yang lalu, masyarakat kritis atau terpelajar di hebohkan
dengan dakwahnya salah seorang ustadz muda, ustadz muda tersebut di juluki
“ustadz gapleh” (gaul tapi sholeh) oleh sebagian kelompok Islam kalangan anak
muda setempat. Ustadz tersebut belum lama melakukan aktifitasnya dakwahnya di
kalangan anak muda daerah tersebut, isi dari pesan ustadz tersebut menuai banyak
kontroversi. Pada isi dakwahnya ustadz tersebut mengutip firman Allah dalam
ayat Al-Qur‟ān:
Dan dia mendapatimu sebagai orang yang sesat (bingung), lalu dia
memberikan petunjuk. (QS. Adh-Dhuha {93}:7)
Pada ayat tersebut ustadz muda yang di juluki Gapleh itu menjelaskan maksud
dari firman Allah Ta‟ala ضاال yang berarti sesat, ia menjelaskan makna sesat di sini
pada dasarnya manusia itu awalnya dalam ke adaan sesat, termasuk Nabi
Muhammad. Menurut dia nabi ketika lahir itu dalam keadaan sesat, dan siapapun
yang merayakan kelahiran Nabi (Maulid Nabi) menurut dia sama saja merayakan
kesesatan Nabi Muhammad. Dengan demikian, penjelasan ustadz tersebut
menjadi Viral di jagad maya Indonesia sehingga menimbulkan kontroversial pada
isi dakwah tersebut.
Kaum konservatif menganggap bahwa isi pesan ceramah yang di sampaikan
ustadz tersebut adalah membuat keributan antara kalangan selaku pecinta maulid
dan kalangan yang non maulid. Bagi kaum pencinta maulid isi pesan ustadz
tersebut sangat menyinggung perasaan kalangannya, di mana suatu kebiasaan
maulid yang di lakukan oleh kalangan pencinta maulid di nilai ustadz tersebut
sifatnya kurang baik, karena menilai perayaan maulid nabi itu memperingati
70
sesatnya nabi Muhammad. Atas fenomena tersebut mengundang komentar dari
salah satu penDai yang sangat populer di kalangan masyarakat, yaitu UAS. Pada
narasi ceramah UAS, dia menjelaskan bahwa makna dari kata ضاال فهدى yaitu
sebelumnya engkau (Muhammad SAW) tahu makna hakikat Allah maka setelah
turun jibril membawa wahyu engkau (Muhammad SAW) pun menjadi tahu. Akan
tetapi, bagi kaum antipati terhadap maulid menilai isi pesan ustadz Gapleh
tersebut menurutnya sangatlah rasional dan di terima di kalangan tersebut.
Menurut penulis, perbedaan pemahaman sebenarnya perkara hal yang lumrah
dan wajar-wajar saja. Perbedaan memahami Al-Qur‟ān dan Hadis telah terjadi
sejak zaman Nabi Muhammad SAW dalam sebuah riwayat, di sebutkan tentang
toleransi yang di tunjukkan/di praktikkan oleh Nabi Muhammad SAW ketika
menghadapi para sahabatnya dalam memahami perintah beliau.29
Adapun narasi video ceramah ustadz tersebut yang semakin viral itu menurut
penulis, banyak memuat pesan-pesan yang sifatnya penalaran sendiri saja tanpa di
dasari oleh kajian mendalam terhadap persaolan agama seperti merujuk pada
kitab-kitab yang populer dan terpercaya. Dengan demikian, menurut penulis
sebagai dai itu tidak serta-merta hanya menyamapaikan saja, apalagi
penyampaiannya itu tidak di imbangi dengan ilmu. Oleh karena itu sebelum
melakukan aktivitas dakwah, perlunya menguasai keilmuan agama terlebih.
29
Abdul Karim Munthe, dkk., Meluruskan Pemahaman Hadis Kaum Jihadis (Tangerang:
Yayasan Pengkajian el-Bukhori), h. xi.
71
BAB IV
KRITERIA DAI IDEAL DALAM AL-QUR’ĀN
Nabi Muhammad SAW di utus oleh Allah SWT selain untuk memperbaiki
kerusakan akhlak juga memperbaiki aqidah umat manusia. Kini estafet perjuangan
Nabi diteruskan oleh umatnya. Penerus tugas para Nabi untuk menyampaikan
risalah atau amanah Allah SWT bagi umat manusia.1 Dai adalah pengambilan kata
dari penerus tugas Nabi, yang artinya dai di definisikan sebagai pelaku dakwah
atau meminjam istilah Quraish Shihab, yakni “pemberi dakwah”.2 Landasan dasar
untuk menjadi dai yaitu mengingatkan “amar ma‟ruf nahi munkar” yang berarti
syarat mutlak bagi seorang dai untuk kesempurnaan dan keselamatan hidup
masyarakat. ini merupakan kewajiban fitrah manusia sebagai makhluk sosisal
(makhluk ijtima‟i).3
Namun, menjadi dai adalah bukan tugas yang mudah untuk di lakukan bagi
setiap manusia. Sebagaimana Rasulullah SAW ketika di tanya oleh seorang
sahabatnya, seperti yang di riwayatkan oleh Ibnu Abbas ra, “Apakah ayat yang
paling berat bagi engkau, ya Rasulullah?”. Lantas Rasulullah SAW membaca
surah al-Maidah {5} : 67.4
1Al Gharisah, Kami Dai Bukan Teroris (Solo: CV Pustaka Mantiq, 1992), cet. 4, h. 7.
2Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟ān (Bandung: Mizan, 1992), h. 193.
3Muhammad Natsir, Fiqhhud Dakwah (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiah Indonesia, 1977),
h. 26. 4Atabik Luthfi, Tafsir Da‟awi Tadabbur Ayat-Ayat Dakwah Untuk Para Dai (Jakarta: Al-
I‟tishom Cahaya Umat, 2011), cet. 1, h. 38.
72
Hai Rasul, sampaikanlah (semua) apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang di perintahkan itu, berarti)
kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari
(gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang yang kafir.
Meskipun ayat ini di tunjukkan kepada Rasulullah SAW, selaku muballigh
pertama dakwah Islam, namun kaidah “Amrun Lil-Rasul Amrun Li Ummatihi”,
bahwa perintah untuk Rasul adalah perintah juga untuk umatnya.5 Maka manhaj
dakwah dalam ayat ini berlaku untuk semua dai pasca Rasulullah SAW wafat.
Sehingga dalam konteks manhaj dakwah, ayat ini secara konseptual menunjukkan
manhaj dakwah Rasulullah yang asasi yaitu dakwah yang bersifat terbuka, umum,
terang-terangan dan komprehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan
manusia yang mengacu kepada totalitas agama Islam itu sendiri.
Dengan demikian, untuk mencapai keberhasilan misi dan tugas yang mulia
ini, tentu kualifikasi dan syarat kelayakan terutama dalam bentuk sifat-sifat terpuji
bagi para dai mutlak harus di penuhi, karena para dai adalah pencitra dakwah. Jika
mereka baik, maka dakwah akan di citrakan baik, begitupun juga sebaliknya “Ad-
Da‟watu Muhjabatun Bi ad-Du‟at” begitulah kemuliaan dakwah seringkali
tertutup dan tidak di rasakan oleh umat, justru karena perilaku dai sendiri yang
bertolak belakang dengan citra dakwah. Oleh karena itu, untuk mencegah hal yang
seperti ini, pada pembahasan bab ini, hal-hal yang harus di perhatikan untuk para
Dai sebelum berdakwah di sini penulis membagi pada empat sub. Di antara empat
sub yang penulis akan bahas, yaitu:
5Atabik Luthfi, Tafsir Da‟awi Tadabbur Ayat-Ayat Dakwah Untuk Para Dai, (Jakarta:
Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2011), cet-1, h.39.
73
A. Keilmuan dan Wawasan Bagi Seorang Dai
Bagi seorang dai dalam menunaikan tugas dakwahnya itu sangat di perlukan
persiapan yang matang agar dalam penyampaian dakwah tersebut berhasil. Di
antara persiapan-persiapan itu ialah seorang dai harus memiliki ilmu pengetahuan
dan wawasan yang luas, sebagaimana Allah SWT berfirman dalam surah At-
Taubah {9}:122, sebagai berikut:
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi
semuanya (ke-medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan
di antara mereka beberapa orang untuk memperdalampengetahuan mereka
tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga
dirinya.
Di tinjau dari asbābun nuzūl, di mana Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dari
„Ikrimah bahwa ketika turun ayat, “Jika kamu tidak berangkat (untuk berperang),
niscaya Allah akan menghukum kamu dengan azab yang pedih...” (Qs. At-Taubah
{9}:39) Padahal waktu itu sejumlah orang tidak ikut pergi berperang karena
sedang berada di padang pasir untuk mengejar agama kepada kaum mereka, maka
orang-orang munafik mengatakan, “Ada beberapa orang di padang pasir tinggal
(tidak berangkat perang). Celakalah orang-orang padang pasir itu.” Maka turunlah
ayat, “Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke-medan
perang)...”6
6Ibnu katsīr (2/528) menulis bahwa mujāhid mengatakan, “Ayat ini turun tentang beberapa
orang sahabat Rasulullahyang pergi ke padang pasir, lalu mereka mendapat perlakuan yang baik
dari pendukungnya, dan mereka memanfaatkan kesuburan daerah itu, serta mendakwahi orang-
74
Ibnu Abī Hātim juga mengambil pendapat yang di riwayatkan oleh Abdullāh
bin „Ubaid bin „Umair, katanya; “Karena amat bersemangat untuk berjihad,
apabila Rasulullah mengirim suatu pasukan, kaum Muslimin biasanya ikut
bergabung ke dalamnya dan meninggalkan Nabi SAW. Di Madinah bersama
sejumlah kecil warga. Maka turunlah ayat ini.”
Menurut Quraish Shihab, ayat ini menuntun kaum Muslimin untuk
membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-
orang mukmin yang selama ini di anjurkan agar bergegas menuju medan
perang pergi semua ke medan perang sehingga tidak tersisa lagi yang
melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika memang tidak ada panggilan yang
bersifat mobolisasi ini maka mengapa tidak pergi dari setiap golongan, yakni
kelompok besar di antara mereka beberapa orang dari golongan itu untuk
bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga
mereka dapat memperoleh manfaat untuk diri mereka dan untuk orang lain
dan juga untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang menjadi
anggota pasukan yang di tugaskan Rasulullah SAW itu apabila nanti setelah
selesainya tugas, mereka yakni anggota pasukan itu telah kembali kepada
mereka yang memperdalam pengetahuan itu, supaya mereka yang jauh dari
Rasulullah SAW karena tugasnya dapat berhati-hati dan menjaga diri
mereka.7
Kata فق di sini bukan terbatas pada apa yang di istilahkan dalam disiplin ilmu
agama dengan ilmu fiqh, yakni pengetahuan tentang hukum-hukum agama Islam
yang bersifat praktis dan yang di peroleh melalui penalaran terhadap dalil-dalil
terperinci. Pengertian dengan agama, agaknya (pendalaman pengetahuan itu) تفق
untuk menggarisbawahi tujuan pendalaman itu, bukan dalam arti pengetahuan
orang yang mereka temui. Penduduk setempat berkata kepada mereka, „Kami lihat kalian telah
meninggalkan para sahabat kalian dan kalian mendatangi kami.‟ Kami itu mendatangkan rasa tidak
enak dalam hati mereka. Lalu mereka semuanya meninggalkan daerah padang pasir untuk
menghadap Rasulullah. Maka Allah menurunkan firman-Nya (وفز ال ,Jalaluddin Asy-Syuyuṯi .(في
Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟ān, Terjemahan Lubābun Nuqūl Fī Asbābin Nuzūl (Jakarta: Gema
Insani, 2008), cet. 1, h. 309. 7M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 5, h. 288.
75
tentang ilmu agama. Al-Qur‟ān tidak membedakan ilmu. Ia tidak mengenal istilah
ilmu agama dan ilmu umum karena semua bersumber dari Allah SWT.8
Menurut penulis ayat ini menggarisbawahi pentingnya memperdalam ilmu
dan menyebarluaskan informasi yang benar. Ia tidak kurang penting dari upaya
mempertahankan wilayah. Bahkan, pertahanan wilayah erat dengan kemampuan
informasi serta kehandalan ilmu pengetahuan atau sumber daya manusia.
Menurut pendapat mayoritas ulama, yang di maksud dengan orang yang
memperdalam pengetahuan demikian juga yang memberi peringatan adalah
mereka yang tinggal bersama Rasulullah SAW. Dan tidak mendapat tugas sebagai
anggota pasukan, sedangkan mereka yang di beri peringatan adalah anggota
pasukan yang keluar melaksanakan tugas yang di bebankan Rasulullah SAW.9
Ayat ini juga sebuah anjuruan bagi kita semua sebagaimana makhluk yang di
beri akal untuk menuntut ilmu, sebagaimana yang di kemukakan oleh Imam Al-
Qurṯubī, yakni ayat ini mengandung kewajiban untuk mendalami kitab (Al-
Qur‟ȃn) dan Sunah, dan kewajiban ini hanya sebatas fardhu kifayah, bukan fardhu
„ain. Oleh karena itu, sebaiknya ada satu kelompok pergi berjihad dan kelompok
lain menetap untuk mendalam ilmu agama serta menjaga kaum wanita. Dengan
demikian, apabila kelompok yang pergi berjihad kembali dari medan laga, maka
kelompok penuntut ilmu mengajarkan kepada mereka hukum-hukum syari‟at.10
8M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 5, h. 289. 9M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟ān, h. 290.
10Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 1, h. 732.
76
Menurut Imam Al-Qurṯubī juga, ayat ini adalah perintah untuk menuntut ilmu
dalam batas ajakan (Sunnah), bukan suatu keharusan, karena bukan itu yang di
maksud oleh ayat. Kendati demikian, ayat ini merupakan asal-muasal perintah
menuntut ilmu. Sedangkan kewajiban menuntu ilmu tersebut berdasarkan dalil-
dalilnya tersendiri. Oleh karena itu, Imam Al-Qurṯubī membagi dua dalam hal
hukum menuntut ilmu, yaitu11
: Pertama, Fardhu „ain, seperti shalat, zakat, dan
puasa. Dalam konteks ini, Imam Al-Qurṯubī mengambil dalil hadis berikut ini :
طلب العلم فريضة ان
Artinya : “Seseungguhnya menuntut ilmu adalah sesuatu yang di wajibkan.”
Kemudian dalil ini di perkuat dengan dalil hadis lainnya, yaitu :
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya : “Menuntut ilmu adalah suatu keharusan bagi setiap Muslim.”
Kedua, Fardhu Kifayah, seperti memperoleh hak-hak, menegakkan (hukum)
hudud, dan melerai dua orang yang bertengkar. Hal-hal demikian tidak harus di
pelajari oleh setiap individu, karena hanya akan mengurangi hal-hal lain yang
lebih penting dalam hidupnya. Oleh karena itu, perlu pembagian dalam
menangani hal-hal tersebut sesuai dengan kemampuan yang di berikan Allah
kepadanya.
Oleh karena itu sudah seyogyanya bagi orang yang tidak mengetahui untuk
bertanya kepada orang yang lebih mengetahui, sebagai firman Allah dalam surah
An-Nahl {16}:43, sebagai berikut:
11
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 1, h. 734.
77
Dan kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad) melainkan
orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Maka bertanyalah
kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang musyrik Makkah yang
mengingkari ke Nabi-an Muhammad SAW dan mereka berkata, “Allah Maha
Agung jika utusannya hanya seorang manusia. Apakah dia tidak mengutus
seorang malaikat kepada kami?.”12
Ayat ini menegaskan bahwa: Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu
kepada umat manusia kapan dan di manapun, kecuali orang-orang lelaki
yakni jenis manusia pilihan, bukan malaikat yang Kami beri wahyu kepada
mereka antara lain melalui malaikat Jibril; maka wahai orang-orang yang
ragu atau tidak tahu bertanyalah kepada ahl-Dzikr yakni orang-orang yang
berpengetahuan jika kamu tidak mengetahui.13
Kata مز اىذ و pada ayat ini di pahami oleh banyak ulama dalam arti para أ
pemuka agama yakni Yahudi dan Nasrani. Mereka adalah orang-orang yang dapat
memberi informasi tentang kemanusiaan para rasul yang di utus Allah. Mereka
wajar di tanyai karena mereka tidak dapat di tuduh berpihak pada informasi Al-
Qur‟ān sebab mereka juga termasuk yang tidak mempercayainya, kendati
demikian persoalan kemanusiaan para rasul, mereka akui. Ada juga yang
memahami istilah ini dalam arti sejarawan, baik Muslim ataupun non-Muslim.
Perintah untuk bertanya kepada ahl al-kitab yang dalam ayat ini mereka di
gelari ahl-Dzikr menyangkut apa yang tidak di ketahui, selama mereka di nilai
12
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 10, h. 269. 13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 6, h. 589.
78
berpengetahuan objektif, menunjukkan betapa Islam sangat terbuka dalam
perolehan pengetahuan. Memang seperti sabda Nabi SAW: “Hikmah adalah
sesuatu yang di dambakan seorang mukmin, di manapun dia menemukannya,
maka dia yang lebih wajar mengambilnya.” Demikian juga dengan ungkapan
yang populer di nilai sebagai sabda Nabi SAW walaupun bukan, yaitu: “Tuntutlah
ilmu walaupun di Negri Cina.” Itu semua merupakan landasan untuk menyatakan
bahwa ilmu dalam pandangan Islam bersifat Universal, terbuka, serta manusiawi
dalam arti harus di manfaatkan oleh dan untuk kemashlahatan seluruh manusia.14
Menurut Imam Al-Qurṯubī yang mengambil riwayat Sufyān tentang Firman
Allah SWT مز اىذ و ا Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai“ فسئيا
pengetahuan.” Maksudnya, adalah orang-orang mukmin Ahli Kitab.”15
Sebagian ulama berpendapat, “Artinya, maka bertanyalah kepada ahli
Kitab jika mereka tidak beriman maka mereka mengakui bahwa para rasul
adalah manusia biasa.”16
مز واىذ Secara maknanya, menurut Ibnu „Abbas dan Mujāhid, itu adalah Ahli أ
Al-Qur‟ȃn.”17
Dan sebagian berpendapat, artinya Ahli Ilmu. Keduanya dalam
pandangan Imam Qurṯubī, memiliki makna yang berdekatan.18
Dengan demikian, setelah di anjurkan untuk memperdalam ilmu pengetahuan,
tak lupa Allah SWT memberikan keistimewaan bagi orang-orang yang memiliki
14
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 6, h. 591-592. 15
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 10, h. 269. 16
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 10, h. 269, mengutip dari, Jamī‟ Al-Bayan, Karya
Ath-Thabarī (14/75) dan Ad-Durr Al-Mantsūr (4/118). 17
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h. 269. 18
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h. 269.
79
pengetahuan yakni di angkatnya derajat di sisi Allah SWT bagi orang yang mau
memperdalam ilmu pengetahuan, sebagaimana di terangkan dalam al-Qur‟ān
surah Al-Mujādilah {58}:11, sebagai berikut :
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila di katakan kepadamu,
„Berilah kelapangan majelis-majelis,‟ maka lapangkanlah, niscaya Allah
akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila di katakan „berdirilah
kamu,‟ maka berdirilah, nisacaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-
orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu
beberapa derajat. Dan Allah maha teliti apa yang kamu kerjakan.
Bila di tinjau dari asbābun nuzūl, ayat ini di riwayatkan dari Qatadah yang
berkata, “Suatu saat, di antara sahabat ada yang ketika melihat seorang sahabat
lain datang untuk ikut duduk di dekat mereka, sewaktu menghadiri majlis
Rasulullah (di dalam masjid), mereka lantas tidak mau melapangkan tempat
duduk. Itulah sebabnya, turun ayat ini.”
Ibnu Abī Hātim meriwayatkan dari Muqāṯil bahwa ayat ini turun pada hari
jum‟at. Ketika itu, terlihat beberapa sahabat yang dulunya mengikuti perang
Badar datang ke masjid, sementara tempat duduk yang tersedia sempit. Beberapa
orang (yang lebih dulu duduk di tempat itu) kemudian terlihat enggan untuk
melapangkan tempat bagi mereka sehingga sahabat-sahabat tersebut terpaksa
berdiri, Rasulullah lantas meminta beberapa orang yang tengah duduk itu untuk
berdiri kemudian menyuruh para sahabat tadi duduk di tempat mereka. Hal ini
80
menimbulkan perasaan tidak senang pada diri orang-orang yang disuruh berdiri
tadi. Allah lalu menurunkan ayat ini.19
Ayat di atas tidak menyebut secara tegas bahwa Allah akan meninggikan
derajat orang berilmu. Tetapi menegaskan bahwa mereka memiliki derajat-
derajat yakni lebih tinggi sekedar beriman. Tidak di sebutnya kata
meninggikan itu, sebagai isyarat bahwa sebenarnya ilmu yang di milikinya
itulah yang berperan besar dalam ketinggian derajat yang di perolehnya,
bukan akibat dari faktor di luar ilmu itu.20
Tentu saja yang di maksud dengan اىعيم اتا yang di beri pengetahuan اىذيه
adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka dengan pengetahuan. Ini
berarti ayat di atas membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar, yang
pertama sekedar beriman dan beramal shaleh, dan yang kedua beriman dan
beramal shaleh serta memiliki pengetahuan. Derajat kelompok kedua ini menjadi
lebih tinggi, bukan saja karena nilai ilmu yang di sandangnya, tetapi juga amal
pengajaranya kepada pihak lain secara lisan, atau tulisan maupun dengan
keteladanan21
.
Ilmu yang di maksud di atas bukan hanya ilmu agama tetapi ilmu apapun
yang bermanfaat. Dalam QS. Fathir {35}:27-28.22
Allah menguraikan sekian
19
Jalaluddin Asy-Syuyūṯi, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟ān, Terjemahan Lubābun Nuqūl Fī
Asbābin Nuzūl (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. 1, h. 534. 20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 13, h. 488-489. 21
M. Quraish Shihab, Al-Lubab: Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur‟ān,
(Tangerang: Lentera Hati, 2012), cet. 1, jilid. 4, h. 204
22
“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit dengan air itu Kami hasilkan
buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis
putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat {27} Dan
demikian (pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa dan hewan-hewan ternak
81
banyak makhluk ilahi, dan fenomena alam, lalu ayat tersebut di tutup dengan
menyatakan bahwa: yang takut dan kagum kepada Allah dari hamba-hambanya
hanyalah ulama, ini menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan Al-Qur‟ān bukan
hanyalah ilmu agama. Di sisi lain juga menunjukkan bahwa ilmu haruslah
menghasilkan ة yanki rasa takut dan kagum kepada Allah, yang pada خش
gilirannya mendorong yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya serta
memanfaatkan untuk kepentingan makhluk, Rasulullah seringkali berdo‟a (aku
berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat).23
Pandangan Imam Al-Qurṯubī, pada firman Allah SWT مىنم ا ءامى اىذيه هللا يزفع
تااىعيمدرجت اىذيها “Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
di antaramu dan orang-orang yang di beri ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Yakni dalam pahala di akhirat serta kemuliaan di dunia, maka Allah SWT
meninggikan derajat orang mukmin daripada selainnya, dan meninggikan derajat
orang alim daripada yang bodoh.24
Ibnu Mas‟ūd berpendapat, bahwa “Allah SWT memuji para ulama dalam ayat
ini, maknanya adalah : Bahwasanya Allah SWT meninggikan derajat orang yang
beriman tetapi berilmu, daripada orang yang beriman tetapi tidak memiliki ilmu.”
Ada pula yang berpendapat, bahwa yang di maksud dengan orang yang
menuntut ilmu adalah orang-orang yang membaca Al-Qur‟ȃn.
ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut
kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa dan Maha Pengampun.” 23
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 13, h. 491. 24
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta : Pustaka Azam, 2007), jilid. 18, h. 179.
82
Sedangkan menurut Imam Al-Qurṯubī, makna yang umum dan lebih mengena
dengan maksud dari pembahasan ayat di atas adalah Allah SWT mengangkat
derajat orang yang beriman karena keimanannya, ini yang pertama. Kedua karena
ilmunya.25
Analisis Penulis
Dalam Islam, ilmu pengetahuan sangatlah penting. Penulis sependapat
dengan Qurṯubī dan Quraish Shihab, bahwa menuntut ilmu pengetahuan adalah
Fardhu Kifayah. Karena, dengan ilmu dapat menjadi amal yang mengalir terus
pahalanya bagi orang yang menyamapaikan atau mengajarkan kepada orang lain.
Surah At-Taubah {9}:122, merupakan isyarat tentang pentingnya untuk
mencari ilmu dan menyampaikan kepada orang lain. Baik itu ilmu Agama,
SAINS, maupun Ilmu Teknologi dan Ilmu sebagainya. Pada hakikatnya Al-
Qur‟ān tidak membedakan Ilmu, karena Ilmu itu sumbernya dari Allah SWT.
Ayat ini bukan hanya di tujukan untuk para juru dai saja, melainkan orang lain
pun berkewajiban, sekalipun itu orang non-Muslim. Menurut penulis, berjuang
menggunakan pedang seperti di zaman Nabi saat itu, sudah tidak lagi di anjurkan
jika di terapkan di zaman sekarang ini. Artinya pendalaman ilmu dan wawasan itu
merupakan cara berjuang menggunakan hujjah dan penyampaian bukti-bukti dan
juga merupakan rukun terpenting dalam menyeru kepada Allah dan mengekkan
ajaran Islam. Tujuan utama ayat ini adalah menggambarkan bagaimana
seharusnya tugas-tugas di bagi sehingga tidak semua mengerjakan satu jenis
pekerjaan saja. Karena itu juga, kita tidak dapat berkata bahwa masyarakat Islam
25
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h.180-181
83
kini atau bahkan pada zaman Nabi SAW hanya melakukan dua tugas pokok, yaitu
berperang dan menuntut ilmu agama. Tidak! Sungguh banyak tugas lain dan
setiap masyarakat berkewajiban membagi diri guna memenuhi semua
kebutuhannya.
Senada dengan surah An-Nahl {16}:43, bahwa tujuan ayat ini adalah
pentingnya memperdalam Ilmu itu untuk menyebarluaskan, mengabarkan atau
memberikan informasi dengan benar. Ayat ini juga memberikan sebuah metode
pengajaran, secara eksplisit menjelaskan bahwa yang menjadi subyek pendidikan
bukan hanya pendidik atau guru, melainkan juga anak didik. Karena ayat ini dapat
menjadi dasar bagi pengembangan teori belajar siswa aktif dan metode tanya
jawab dalam proses belajar mengajar.
Oleh karena itu, kenapa menurut penulis sebagai seorang dai itu di haruskan
yang berkompeten dalam ilmu dan wawasan? karena salah satu metode
keberhasilan dakwah yaitu dengan menggunakan sistem tanya jawab pada saat
dakwah berlangsung. Kemudian, jika seorang dai-nya tidak mengetahui jawaban
dari pertanyaan mad‟u nya, alangkah baiknya seorang dai tersebut tidak
memberikan jawaban melalui logikanya sendiri. Artinya seorang dai terlebih
dahulu bertanya kepada orang yang lebih berpengetahuan, sekalipun orang yang
berpengetahuan itu non-Muslim. Oleh sebab itu, di sinilah Islam di nilai sangat
terbuka dalam perolehan pengetahuan.
84
Menurut penulis, ilmu itu bagaikan sebuah barang yang sangat berharga. Di
mana ketika kita ingin mendapatkannya haruslah melalui prosesnya terlebih
dahulu. Sebagaimana sabda Nabi SAW :26
ها قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم : الكلمة الحكمة ضا لة المؤمن فحيث وجدىا ف هو
Hikmah adalah sesuatu barang seorang mukmin yang hilang, di manapun
dia menemukannya, maka dialah yang lebih berhak mengambilnya.
Itu semua merupakan landasan untuk menyatakan bahwa Ilmu dalam
pandangan Islam di nilai bersifat Universal, terbuka, serta manusiawi dalam arti
harus di manfaatkan untuk kemaslahatan seluruh manusia.
Setelah berbicara mengenai masalah kewajiban meunutut ilmu dan
menyamapaikannya. Ayat ini yakni surah Al-Mujādilah {58}:11, justru Allah
memberikan ganjaran dari pentingnya menuntut Ilmu, yaitu di tinggikan
derajatnya orang yang berpengetahuan. Karena di lihat dari penjelasan Quraish
Shihab, ayat ini membagi kaum beriman kepada dua kelompok besar. Yang
pertama, sekedar beriman dan beramal shaleh. Dan yang kedua, beriman dan
beramal shaleh serta memiliki pengetahuan. Dari pembagian dua kelompok
besar ini, di sinilah kelompok yang kedua yang memiliki nilai derajat lebih
tinggi. Bukan berarti orang yang di tinggikan derajatnya karena pengetahuan itu
26
At-Tirmidzi, Al-Jamī‟ (Sunan At-Tirmidzi), Bab Ilmu, Tentang Keutamaan Berilmu Saat
Menunaikan Ibadah,5/51, No.2687. Hadis ini telah di takhrij oleh Umar Mansur Ar-Rahimy :
Kedudukan hadis ini tidak Shahih karena tidak dari Rasulullah SAW maupun dari sahabatnya.
Hadis ini datangnya dari perkataan tabi‟in dan atba‟ tabi‟in. Akan tetapi, makna hadis ini Shahih
karena dari keumuman Nash (Al-Qur‟ān dan Hadits), yaitu bahwasanya kalimat (ucapan) yang
bermanfaat yang tidak bertentangan dengan nash syari‟at lainnya, yang terkadang diucapkan oleh
orang yang bukan ahlinya kemudian di terima oleh ahlinya, maka tidak sepantasnya bagi seorang
mukmin untuk meninggalkannya, bahkan seutamanya ia mengambil manfaat dari ucapan tersebut
dan mengamalkannya tanpa melihat siapa yang menyampaikannya. Lihat : Fatawā Al-Lajnah Ad-
Daimah 26/357. http://umar-arrahimy.blogspot.com/2015/03/takhrij-hadits-himah-milik-
orang.html?m=1
85
mengharapkan kemulian dari orang lain, karena sebagaimana juga di antara
orang yang berpengetahuan pasti ada yang lebih berpengetahuan, sebagaimana
di jelaskan pada firman Allah SWT dalam surah Yusuf {12}:76.
Maka mulailah dia (memeriksa) karung-karung mereka sendiri
sebelum (memeriksa) karung saudaranya sendiri, kemudia dia
mengeluarkan (piala raja) itu dari karung saudaranya. Demikianlah kami
mengatur (rencana) untuk Yusuf. Dia tidak menghukum saudaranya
menurut undang-undang raja, kecuali Allah menghendakinya. Kami
angkat derajat orang yang Kami kehendaki, dan di atas setiap orang yang
berpengetahuan ada yang lebih mengetahui.
Oleh karena itu, jika seseorang di tinggikan derajatnya oleh Allah.
Alngkah baiknya Ilmu yang di sandangnya itu juga di terapkan amal
pengajarannya kepada pihak lain secara lisan atau tulisan maupun dengan
keteladanan. Salah satu amal pengajaran yang baik itu menghormati orang lain,
orang lemah maupun orang non-Muslim. Maka dari itu, ketika seseorang
mendapatkan dari kelompok kedua ini, kiranya penulis seseorang itu selain
memiliki pengetahuan yang luas juga memiliki akhlak yang baik.
Realitasnya, di Indonesia masih banyak juga kedapatan orang yang berilmu,
amalnya baik namun akhlaknya kurang baik. Sebagaimana terjadinya kasus-kasus
penceramah yang kita lihat di media-media, yang menurut penulis mencerminkan
akhlaknya tidak sepadan dengan ilmunya.
86
B. Sinkronisasi Antara Ilmu dan Amal
Dakwah menjadi ujung tombak dari citra Islam. Sebab banyak orang
mendengar ajaran Islam dan interaksi pemberdayaan umat melalui aktivitas dai
baik dakwah secara lisan maupun dakwah yang langsung mengajak masyarakat.
Sedangkan fenomena yang marak di Indonesia masih di dominasi arti dakwah
secara lisan dalam acara-acara formal keagamaan atau tabligh pengajian. Jika
dakwah hanya sebatas di artikan secara lisan saja, dengan begitu semua orang juga
bisa melakukannya sehingga yang di hasilkan bukan kemajuan dalam dakwah
melainkan kemunduran dalam dakwah.
Suatu hal yang amat penting dalam menunjang keberhasilan dakwah adalah
menyatukan/sinkron diri dalam pikiran, ucapan dan tindakan. Sebagaimana ini
dipesankan dalam Al-Qur‟ān Surah Ash-Shāff {61}:2-3, sebagai berikut :
Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa
yang tidak kamu perbuat? {2}Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa
kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan {3}.
Di tinjau dari asbābun nuzūl, sebagaimana Imam At-Tirmidzī dan al-Hākim
yang menilainya shahih, yang mengambil riwayat dari „Abdullāh bin Salām yang
berkata, “Sekiranya saja kita mengetahui amalan yang paling di sukai oleh Allah,
tentu kita akan mengamalkannya. Allah lalu menurunkan ayat, „Apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dialah yang Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. Wahai orang-orang yang beriman ! Mengapa kamu
87
mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?‟ Rasulullah lantas
membacakannya hingga akhir.”27
Dalam pengantar surah ini, Quraish Shihab telah kemukakan riwayat at-
Tirmidzī tentang turunnya surah ini. Dengan demikian, ayat di atas dapat di nilai
sebagai kecaman yang di tunjukan kepada mereka yang berjanji akan berjihad
tetapi ternyata enggan melakukannya. Riwayat lain menyatakan bahwa ayat di
atas turun sebagai kecaman terhadap mereka yang mengatakan: “Kami telah
membunuh (musuh), menikam, memukul, dan telah melakukan ini dan itu”,
padahal mereka tidak melakukannya. Dengan demikian, ayat di atas mengecam
juga orang-orang munafik yang mengucapkan kalimat syahadat dan mengaku
Muslim tanpa melaksanakan secara baik dan benar tuntunan agama Islam.
Kendati demikian, semua riwayat ini dapat di tampung kandungannya oleh
ayat di atas karena memang ulama menggunakan kata sebab nuzul bukan saja
terhadap peristiwa yang terjadi menjelang turunnya ayat, tetapi juga peristiwa-
peristiwa yang dapat di cakup oleh kandungan ayat, baik peristiwa itu terjadi
sebelum maupun sesudah turunnya ayat itu, selama masih dalam usaha turunnya
Al-Qur‟ān.
Firman Allah Ta‟la, ن تفعي مبال ن ى تق ىم ا امى اىذيه ب Wahai orang-orang“ يبي
yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”.
Ayat ini mewajibkan semua orang yang telah mewajibkan dirinya mengerjakan
27
Jalāluddin Asy-Syuyuṯī, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟ān, Terjemahan Lubābun Nuqūl Fī
Asbābin Nuzūl (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet.1, h. 570.
88
sebuah amalan ketaatan, bahwa dia harus memenuhi hal itu.28
Ayat ini juga
merupakan sebuah pertanyaan (istifhām) yang mengandung makna pengingkaran
dan cemoohan. Sebab manusia mengatakan (memerintahkan kebaikan, padahal
dia sendiri tidak mengerjakannya). Jika perkataan itu di tujukan untuk masa yang
telah lalu, maka itu merupakan sebuah kebohongan. Tapi jika perkataan itu
merupakan sebuah penyimpangan. Dan keduanya (kebohongan dan
penyimpangan) merupakan hal yang tercela.29
Kemudian menurut Sufyȃn bin „Uyaynah menakwilkan firman Allah tersebut,
maksud “Kenapakah kalian mengatakan sesuatu yang tidak di perintahkan
kepada kalian, sehingga kalian tidak tahu apakah kalian boleh mengerjakan atau
tidak boleh mengerjakan”. Jika berdasarkan kepada penakwilan ini, maka firman
Allah itu di maknai sesuai dengan zhahirnya, yaitu mengingkari perkataan.30
Menurut pendapat Asy-Syādi‟ī, firman Allah Ta‟ala, امبال ى مجزمقتبعىذهللاانتق
ن Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa“ تفعي
yang tidak kamu kerjakan.” Ayat ini dijadikan dalil tentang di wajibkannya
memenuhi/menepati (apa yang di katakan) dalam keadaan tertekan dan marah.31
28Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 18, h. 414.
29
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h. 420.
30
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h. 420.
31
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h. 420.
89
Menurut satu pendapat, lafadz مقتب itu merupakan hal. Al-Maqt dan al-
Maqātah adalah bentuk mashdar. Di katakan : Rajulun maqitun wa mamqūtun
(orang yang di benci), jika dia di sukai oleh manusia.32
Sedangkan menurut Quraish Shihab, kata مجز berarti besar tetapi yang di
maksud adalah amat keras karena sesuatu yang besar terdiri dari banyak
hal/komponen. Kata ini di gunakan di sini untuk melukiskan sesuatu yang sangat
aneh, yakni mereka mengaku beriman, mereka sendiri yang meminta gara di
jelaskan tentang amalan yang paling di sukai Allah untuk mereka kerjakan, lalu
setelah di jelaskan oleh-Nya, mereka mengingkari janji dan enggan
melaksanakanannya. Sungguh hal tersebut adalah suatu keanehan yang luar biasa
besarnya.
Kata مقتب adalah kebencian yang sangat keras. Dari sini ayat di atas
menggabung dua hal yang keduanya sangat besar sehingga apa yang diuraikan di
sini sungguh sangat mengandung murka Allah. Ini di tambah lagi kalimat عىذهللا
yang menunjukkan bahwa kemurkaan itu jatuh langsung dari Allah SWT.
Menurut al-Qusyairī, sebagaimana di kutip oleh al-Biqā‟ī “Tidak ada
ancaman terhadap satu dosa seperti ancaman yang di kemukakan ayat ini.”33
Ṯabāṯaba‟ī menggarisbawahi perbedaan antara mengatakan sesuatu apa yang
tidak dia kerjakan dan tidak mengerjakan apa yang di katakan. Yang pertama
32Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 18 h. 421. 33
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 14, h. 12.
90
adalah kemunafikan, sedang yang kedua adalah kelemahan tekad. Yang kedua ini
pun merupakan keburukan.
Ayat-ayat di atas merupakan kecaman. Sementara ulama memahaminya
sebagai kecaman kepada orang-orang munafik, bukan orang-orang mukmin,
karena sifat orang-orang mukmin sedemikian tinggi sehingga mereka tidak
perlu di kecam. Pendapat ini menurut Quraish Shihab benar, tetapi kita juga
tidak dapat mengatakan bahwa yang di kecam itu bukan hanya orang-orang
munafik, tetapi juga yang imannya masih lemah, walaupun bukan munafik.
Karena itu ayat di atas menggunakan kata ا امى ن bukan اىذيه Melalui .مؤمى
ayat-ayat inilah mereka dididik sehingga akhirnya mencapai peringkat
keimanan yang tinggi (ن .(مؤمى34
Kemudian, menurut Quraish Shihab, bila
menyuruh orang lain berbuat baik, maka apabila kebaikan itu belum
dikerjakan oleh yang menyuruh. Maka paling sedikit ia harus “menyuruh pula
dirinya” dengan menancapkan niat untuk melakukannya.35
Kemudian ayat Ash-Shaff {61}:2-3 ini juga di perkuat dengan ayat lain,
yakni terdapat pada surah Al-Baqarah {2}:44, sebagai berikut :
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang
kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca al-
Kitab (Taurat). Maka tidakkah kamu berpikir.
Dalam asbābun nuzūl, Al-Wāhidī dan Ats-Tsa‟labī mengutip riwayat al-Kalbī
dari Abū Shāleh dari Ibnu Abbās, dia berkata: “Ayat ini turun pada orang-orang
Yahudi Madinah. Ketika itu salah seorang dari mereka berkata kepada keluarga
menantu, para kerabat, dan orang-orang yang mempunyai hubungan sesusuan
dengannya yang suaminya adalah Muslim. Tetaplah pada agama kalian dan pada
apa yang di perintahkan oleh orang itu (Muhammad) karena apa yang di
perintahkannya adalah benar.” Ketika itu, orang-orang Yahudi memang terbiasa
34
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta :
Lentera Hati, 2002), cet-1, Vol.14, h.12-13 35
M. Quraish Shihab, Al-Lubab : Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-surah Al-Qur‟ān,
(Tangerang : Lentera Hati, 2012), cet.1, jilid.4, h. 251
91
menganjurkan hal itu kepada orang-orang, namun mereka sendiri tidak
melakukannya.36
Firman Allah Ta‟ala, ىجز ثب اىىبس ن مز Mengapa kamu suruh orang lain“ اتأ
(mengerjakan) kebaktian,” ini merupakan Istifham (bentuk pertanyaan) yang
mengandung makna celaan.37
Perlu di ketahui, bahwa celaan tersebut muncul
karena tidak mengerjakan ketaatan dan kebaikan, bukan karena memerintahkan
untuk mengerjakan kebaikan. Oleh karena inilah Allah Ta‟ala melarang dalam
kitab-Nya suatu kaum yang memerintahkan perbuatan bakti namun mereka tidak
melaksanakannya.38
Menurut Quraish Shihab, Apakah kalian, wahai Bani Isrā‟īl atau pemuka-
pemuka agama Yahudi, menyuruh orang lain, yakni kaum musyrikin atau
kelompok lain dari orang-orang Yahudi yang seagama dengan kaum atau
orang lain siapapun dia melakukan aneka kebajikan dan kamu melupakan diri
kamu sendiri, yakni melupakan menyuruh diri kalian melakukan kebajikan itu
atau kalian sendiri tidak mengerjakan kebajikan itu? Tindakan demikian jelas
merupakan perbuatan yang buruk. Kalian melakukan keburukan itu, padahal
kamu membaca kitab suci, yakni Taurat yang mengandung kecaman terhadap
mereka yang pandai menyuruh tanpa mengamalkan. Tidakkah kamu berakal,
yakni tidakkah kalian memiliki kendali yang menghalangi diri kalian
terjerumus dalam dosa dan kesulitan.39
Kata اىجز juga berarti kebajikan dalam segala, hal baik dalam keduniaan atau
akhirat, maupun interaksi. Sementara ulama menyatakan bahwa al-birr mencakup
tiga hal; kebajikan dalam beribadah kepada Allah SWT, kebajikan dalam
melayani keluarga, dan kebajikan dalam melakukan interaksi dengan orang lain.
Demikian Ṯāhir Ibnu „Ᾱsyūr. Apa yang di kemukakan itu belum mencakup semua
36
Jalāluddin Asy-Syuyuṯī, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟ān, Terjemahan Lubābun Nuqūl Fī
Asbābin Nuzūl (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. 1, h. 30-31. 37
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 2, h. 804. 38
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h.808. 39
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta :
Lentera Hati, 2002), cet-1, Vol.1, h.218.
92
kebajikan karena agama menganjurkan hubungan yang serasi dengan Allah,
sesama manusia, lingkungan, serta diri sendiri. Segala sesuatu yang menghasilkan
keserasian dalam ke empat unsur tersebut adalah kebajikan.40
Firman Allah Ta‟ala, ناوفسن تىس م “Sedang kamu melupakan (kewajiban)-mu
sendiri.” Menurut Imam Al-Qurṯubī, yakni membiarkan.
Ayat ini mengandung kecaman kepada setiap penganjur agama yang
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang di anjurkannya. Ada
dua hal yang di sebut oleh ayat ini yang seharusnya menghalangi pemuka-
pemuka agama itu melupakan diri mereka. Pertama, mereka menyuruh orang
lain berbuat baik. Seorang yang memerintahkan sesuatu pastilah dia mengingatnya.
Sungguh aneh bila mereka melupakannya. Kedua, adalah mereka membaca kitab
suci. Bacaan tersebut seharusnya mengingatkan mereka. Tetapi ternyata, keduanya
tidak mereka hiraukan sehingga sungguh wajar mereka di kecam.
Ayat ini berarti bahwa seseorang yang tidak mengerjakan kebajikan yang di
perintahkannya otomatis di kecam Allah. Tidak! Menurut Quraish Shihab, ia baru di
kecam apabila melakukan sesuatu yang bertentangan dengan anjurannya. Ia juga di
kecam kalau tidak mengingatkan dirinya sendiri tentang perlunya melaksanakan apa yang
di perintahkannya itu. Jika ia telah berusaha mengingatkan dirinya, dan ada pula yang
keinginan untuk melaksanakannya, tidaklah wajar ia di kecam, walau seandainya ia
belum melaksanakan tuntunan-tuntunan yang di sampaikannya.41
Analisis Penulis
Dakwah dalam Islam merupakan tugas yang sangat mulia, juga merupakan
tugas para Nabi dan Rasul, dan merupakan tanggung jawab setiap Muslim.
Dakwah bukanlah pekerjaan yang mudah, semudah membalikkan telapak tangan,
juga tidak dapat di lakukan oleh setiap orang. Seorang dai harus mempunyai
40
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 1, h. 218. 41
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 1, h. 219-220.
93
persiapan-persiapan yang matang, selain dari segi keilmuan juga seorang dai
harus memiliki budi pekerti yang baik.
Setelah membicarakan masalah keharusan memiliki pengetahuan yang
luas pada sub sebelumnya, faktor yang kedua untuk mencapai keberhasilan
dakwah tersebut yaitu mengenai masalah kepribadian pada diri seorang dai.
Kriteria kepribadian yang baik sangat menentukan keberhasilan dakwah, karena
pada hakikatnya berdakwah tidak hanya sebatas menyampaikan teori, tetapi juga
harus memberikan suri tauladan bagi umat yang di seru. Menjadi seorang dai itu
nantinya akan menjadi contoh publik figur bagi para mad‟u, dengan begitu para
mad‟u akan memperhatikan kepribadian seorang dai, bahkan jika seorang dai itu
sudah di sukai/gemari oleh para mad‟u, segala apa yang di sampaikan oleh dai
tersebut akan di lakukannya. Berbicara suri tauladan, Nabi SAW bersabda :42
سنة, ف عمل ها عده, كتب لو م قال رسول ثل اجر اهلل صلى اهلل عليو وسلم : من سن فى السالم سنة قص من اجورىم شيئ, ومن سن فى السالم سنة سيئة ف عمل ها عده كتب عليو مثل من عمل ها, ول ي ن
قص من اوزارىم. {172-171 /16}. ( والن ووي ۱.۱٧اخرجو مسلم ) {وزر من عمل ها, ول ي ن
Barangsiapa yang dapat memberikan suri tauladan yang baik dalam
Islam, lalu suri tauladan tersebut dapat diikuti oleh orang-orang
sesudahnya, maka akan dicatat untuknya pahala sebanyak yang di peroleh
orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi sedikitpun pahala yang
mereka peroleh. Seballiknya, barangsiapa memberikan suri tauladan yang
buruk dalam Islam, lalu suri tauladan tersebut diikuti oleh orang-orang
sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa sebanyak yang di peroleh
orang-orang yang mengikutinya taىpa mengurangi dosa yang mereka
peroleh sedikitpun.
Oleh karena itu melihat dari penjelasan surah Ash-Shāf {61}:2-3 dan surah
Al-baqarah {2}:44, menurut penulis ayat ini memiliki kesamaan dalam tujuan
42
Al-Hafidz Dzaqiyyudīn Abdul „Adzīm bin Abdul Qawī Al-Mundzirī, Ringkasan Shahih
Muslim, (Surakarta: Insan Kamil, 2012), Bab Ilmu, Tentang Barangsiapa Dapat Memberikan Suri
Tauladan Yang Baik atau Buruk Dalam Islam, h. 969-970.
94
yakni adalah sebuah peringatan sungguh-sungguh bagi orang yang telah mengaku
beriman agar dia benar-benar menjaga dirinya dari perbuatan dusta. Ayat ini juga
menjelaskan tentang konsistensi dan keterpaduan (sinkronisasi) antara perkataan
dan perbuatan bagi seorang dai maupun orang lain.
Oleh karena itu, dikisahkan dalam Ihya „Ulumi Ad-Dīn, Imam Abī Hamid
Muhammad tentang kisah Allah SWT mewahyukan Nabi Isa As :“Yang
pertaman, bimbinglah dirimu menuju keridhaan-Nya. Kalau sudah tunduk
barulah engkau menasihati orang lain. Sebab kalau tidak demikian, malulah
engkau kepada-Ku dalam menasihati orang lain.”43
Nasihat ini bukan hanya di tujukam kepada Nabi Isa, As. Dalam arti statusnya
sebagai Rasul-Nya. Akan tetapi nasihat tersebut juga mencakup seluruh para
Rasul dan setiap orang yang bergerak di bidang dakwah. Sedangkan dengan para
dai yang bertolak belakang antara perbuatan dan ucapan. Kalian akan mendapati
mereka menyesatkan hanya orang yang mengekor kepada apa yang mereka
sampaikan, sehingga semuanya terjatuh kedalam lembah yang sama, yaitu
kebinasaan.
Selain itu, ayat ini memberikan sebuah sanksi, umumnya bagi orang yang
beriman dan khususnya bagi para aktivis dakwah yang mengatakan apa yang tidak
diperbuat, sehingga sanksi yang didapat dari Allah kepada orang yang
melakukannya adalah kemurkaan Allah SWT. Sebagaimana Nabi SAW bersabda
:44
43
Al-Imam Abī Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazalī, Ihya ‘Ulumi Ad-Dīn (Semarang: Kerabat Putra), Jilid. 1, h. 78.
44HR. Muslim pada pembahasan tentang Zuhud dan Sikap Lemah Lembut, bab : Hukuman
Bagi Orang Yang Memerintahkan Kepada Yang Ma‟ruf Namun Dia Tidak Melakukannya dan
Mencegah Dari Munkar Namun Dia Melakukannya, 4/2291, no. 2989.
95
تم ي ؤتى الرجل ي وم القيامة ف ي لقى في النار ف ت ندل ق تاب طنو ف يدورها كما يدور ى( ف ي االحمار )الر لى قد كنت اليو ىل النار ف ي قولون : يافالن مال هى عن المنكر, ف ي قول : ك لم تكن تأمر المعروف, وت ن
امر المعروف, ول اتيو, و ان هى عن المنكر
Seseorang akan didatangkan pada hari kiamat, lalu dia akan dilemparkan
kedalam neraka, sehingga usus-usus perutnya terburai (di dalam nereaka). Dia
kemudian berputar di dalam neraka seperti keledai yang mengitari alat
penggilingan (gandum). Para penghuni neraka kemudian mendatanginya, lalu
mereka bertanya, „Wahai fulan, ada apa denganmu. Bukankah engkau selalu
memerintahkan yang ma‟ruf dan dari munkar?‟. Dia menjawab, „Benar,
sesungguhnya aku memang memerintahkan kepada yang ma‟ruf namun aku
tidak melakukannya, dan aku memerintahkan agar mencegah dari munkar
namun aku melakukannya.
Oleh karena itu sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat
ilmunya juga mengamalkannya, sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Az-
Zumar {39}:9.
(Apakah orang-orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah
orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena
takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ?.
Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-
orang yang tidak mengetahui?”. Sebenaranya hanya orang-orang yang
berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.
Sebagian ulama berpendapat, “Mereka yang berilmu (yang tahu) adalah
mereka yang bermanfaat ilmunya serta mengamalkannya. Maka orang yang tidak
bermanfaat ilmunya, serta tidak mengamalkannya, mereka di samakan dengan
orang yang tidak berilmu (tidak tahu).45
45
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 15, h. 156.
96
C. Akhlak Dalam Berdakwah Bagi Seorang Dai
Dalam pembahasan ini, kita sebagai manusia yang hidup di era globalisasi di
tuntut agar berhati-hati dalam menerima atau menyampaikan berita apapun yang
sifatnya belum jelas atau valid. Terlebih media atau informasi dari orang lain yang
isinya sarat dengan muatan kebencian kepada pihak lain.
Dalam ajaran Islam, berbohong merupakan perbuatan tercela. Pembuatan
berita hoax merupakan sebuah kejahatan yang bisa menyesatkan kesadaran para
pembaca atau pendengar. Oleh karena itu, sebagai seorang dai hal yang harus di
hindarkan dalam berdakwah yaitu tidak menyampaikan berita bohong,
sebagaimana di jelaskan dalam Firman Allah SWT dalam Surah An-Nur {24}:11.
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golonganmu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk
bagimu bahkan ia adalah baik bagimu. Tipa-tiap seseorang dari mereka
mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya dan siapa di antara mereka
yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu,
baginya adzab yang besar.
Ayat ini menceritakan pada istri Rasulullah yaitu „Ᾱisyah R.a, di mana pada
saat itu Rasulullah dan salah satu istri beliau yakni „Ᾱisyah mengadakan
perjalanan pulang setelah selesai dari peperangan. Kemudian di sebuah
perjalanan, Ᾱisyah merasa kehilangan kalungnya. Namun saat „Ᾱisyah mencari
kalung yang hilang tersebut, pasukan Rasulullah yang mengangkut tandu saya
sudah datang dan mereka pun mengangkatnya. Mereka menaikannya ke untanya.
Mereka mengira „Ᾱisyah berada di dalam tandu bersama mereka. Pada saat itu Ia
97
kebingungan, lalu Ᾱisyah pun tertidur karena mengantuk. Setelah beberapa lama,
kemudian seorang sahabat Rasulullah datang yaitu Ṣafwān Ibnu al-Mu‟aṯṯāl as-
Sulaimī melihat istri Rasulullah tersebut, kemudian Ṣafwān mengucapkan
Innalillahi dan kemudian mengantarkan „Ᾱisyah hingga sampai kepada
rombongan pasukan Rasulullah. Namun, setelah terjadinya peristiwa ini, beberapa
dari umat Islam malah ramai-ramai membicarakan dan menyebarkan berita hoax
(bohong) tentang „Ᾱisyah, di antara yang berperan penting dalam penyebaran
berita hoax itu adalah „Abdullāh bin „Ubay bin Salūl. Sehingga selama sebulan
„Ᾱisyah merasakan ada yang berbeda dari Rasulullah dalam menyikapinya,
bahkan hendak mendiskusikan untuk menceraikan „Ᾱisyah atas hal ini. Kemudian
„Ᾱisyah terus mengeluh dan mengadukan hal ini kepada Allah apa yang telah
terjadi hingga turun QS. An-Nūr {24}:11.46
Menurut Quraish Shihab, kata فل yang di maksud di sini adalah kebohongan اال
besar karena kebohongan adalah pemutarbalikkan fakta.47
Menurut Quraish Shihab, Firman-Nya: خيزىنم اىنمثو شز ي janganlah التحسج
kamu menganggapnya buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu dapat
di pahami dalam arti khusus bagi mereka yang terkena langsung dampak fitnah itu
– dalam hal ini Nabi SAW dan keluarga beliau – karena, dengan peristiwa ini,
Allah menurunkan ayat Al-Qur‟ān yang di baca sepanjang masa menyatakan
tentang kesucian mereka. Ia juga baik untuk masyarakat Muslim secara
keseluruhan karena, dengan di ketahuinya penyebar isu itu, masyarakat akan
46
Shahih, Muttafaq „Alaih. Al-Bukharī (2661) dalam Asy-Syahadāt dan Muslim (2770) dalam
Asy-Syahadāt. Riwayat di atas di sebutkan dalam semua kitab tafsir dengan konteks seperti ini
pada waktu menafsirkan ayat ini. Jalaluddin Asy-Syuyuṯī, Sebab Turunnya Ayat Al-Qur‟ān,
Terjemahan Lubābun Nuqūl Fī Asbābin Nuzūl (Jakarta: Gema Insani, 2008), cet. 1, h. 393-397. 47
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 8, h. 492.
98
berhati-hati dari ulah mereka serta dapat pula mereka meluruskan kesalahan
anggota masyarakat lain yang keliru. Bahkan, umat manusia secara keseluruhan
akan memperoleh manfaat dan kebaikan bila mengikuti tuntunan ayat-ayat yang
turun dalam konteks peristiwa pencemaran nama baik keluarga Nabi Muhammad
SAW itu.48
Ayat itu Allah mengingatkan „Aisyah dan keluarganya serta Ṣafwȃn akan
hal ini. Sebab tujuan pembicaraan yang terdapat dalam ayat tersebut di
tujukan kepada mereka. Sebab manfaat dan kebaikan yang di timbulkan
musibah tersebut lebih banyak atau lebih unggul bila dibandingkan dengan
keburukannya.49
Kemudian firman Allah ثم اال مه امتست ب م امزئ Tiap-tiap seseorang dari“ ىنو
mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya.” Maksud ayat ini
adalah dari berita bohong yang di katakannya.50
Kata مجزي terambil dari kata مجز kibr atau kubr yang di gunakan dalam arti
yang terbanyak dan terbesar. Yang di maksud di sini adalaha yang paling banyak
terlibat dan paling besar perananmya dalam penyebaran isu itu.
Ayat di atas menegaskan adanya siksa yang pedih bagi yang terlibat
langsung dalam penyebaran isu itu, khususnya yang paling berperan. Ulama
berbeda pendapat apakah siksa duniawi berupa pencambukkan delapan puluh
kali di terapkan atas mereka yang terlibat itu atau tidak. Namun demikian,
walaupun mereka tidak terkena sanksi pencambukan, kecaman ayat-ayat ini
serta pandangan negatif yang tertuju kepada merka setelah turunnya ayat-ayat
ini sungguh telah merupakan siksaan batin yang tidak kecil.51
48
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 8,h. 492-493. 49
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 12, h. 507. 50
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h. 510. 51
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, h. 494.
99
Analisis Penulis
Pembahasan pada ayat surah An-Nur {24}:11 ini yaitu seruan yang
menjelaskan kepada orang-orang beriman dan para dai, mereka menerima dan
bagaimana mengolahnya serta menetapkan keharusan klarifikasi sumbernya.
Dalam ayat ini menegaskan kepada dai maupun yang lainnya untuk tidak menebar
berita bohong, apalagi tujuan memberikan berita bohong itu untuk memfitnah
sehingga menimbulkan perpecahan di antara kaum Muslimin.
Di era modern saat ini, istilah berita bohong di sebut sebagai berita “Hoax”.
Perbedaan kondisi inipun juga mempengaruhi perbedaan obyek dakwahnya.
Obyek yang di hadapi dalam penyampaian dakwahnya bukan lagi orang-orang
yang kurang mengetahui dalam pengetahuan “Awam”, melainkan kaum terpelajar
pun akan di hadapi. Jika seorang dai memberikan sebuah berita bohong dan
penyampaian ilmu yang tidak sesuai dengan pengetahuan, niscaya kemunduran
dakwah pun akan di hadapinya.
Melihat seringnya terjadi aktivitas dai yang lebih banyak menggunakan
perkataan, sudah seharusnya apa yang ia katakan itu informasinya harus
benar/valid sumbernya. Karena setiap perkataan yang tidak sesuai dengan
kenyataan adalah dusta yang merupakan dari sifat munafik. Sifat munafik tersebut
termasuk sifat tercela dan sangat berbahaya kepada pribadi pelakunya dan bahkan
berdampak buruk pada orang lain.
Dalam Adab Ad-Dunya Wa Ad-Dīn, Imam Al-Mawardi mengatakan bahwa
pembuat berita bohong/hoax di ibaratkan perbuatan mencuri akal sehat (penerima
pesannya) :
100
ملك, والكذاب يسرق عقلك وقيل في منث ور الحكم : الكذاب لص, لن اللص يسرق
Di katakan dalam Mantsūrul Hikām bahwa pendusta adalah „pencuri‟.
Kalau pencuri itu mengambil hartamu, maka pendusta itu mencuri akalmu.52
Menurut Imam Al-Mawardi, di jelaskan efek negatif dari pemberitaan hoax
adalah hilangnya rasa aman dan rasa tentram. Yang ada kecurigaan, waswas, dan
ketegangan.
D. Metode Penyampaian Dai
Pada pembahasan ini, di sini penulis membagi pembahasan ini dengan beberapa term,
di antara term tersebut yaitu :
1. Dakwah Dengan Cara Lemah Lembut
Sekarang ini, apalagi di tahun politik saat ini realitasnya dai itu jauh dari kata
mengajak. Seringkali penulis menemukan dakwah dai saat ini bukan lagi mengajak dalam
kebaikan melainkan dalam keburukan, yang menyebabkan terjadinya perpecahan antar
umat Muslim sendiri. Sehingga kebenaran yang pada asalnya susah untuk di terima jiwa
apalagi oleh orang Non-Muslim, ketika di sampaikan dengan cara yang buruk, cara yang
kasar, tentunya akan membuat orang semakin lari dari kebeneran. Oleh karena itu,
dakwah pada dasarnya harus di sampaikan dengan cara lemah lembut.
a. Sebagaimana firman Allah Ta‟ala pada surah Thahȃ {20}:44.
Maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah
lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.
Firman Allah Ta‟ala, ىيىب ال ق ى, ال Maka berbicaralah kamu berdua“ فق
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut.” Menurut Imam Al-Qurṯubī,
52
Al-Imam Al-Mawardi, Adab Ad-Dunya Wa Ad-Dīn (Beirut: Dār al-Fikr, 1992 M/1412 H), h. 19.
101
menunjukkan bolehnya amar ma‟ruf dan nahyi munkar, dan bahwa itu di lakukan
dengan kata-kata yang lemah lembut terhadap orang yang mempunyai kekuatan,
dan untuk itu ada jaminan keterpeliharaan. Sebagaimana jaminan yang Allah
berikan dalam lanjutan ayat tersebut, ار اسمع معنمب اوى Janganlah kamu“ التخفب,
berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan
melihat.” (Qs. At-Thȃha {20}: 46), apalagi bagi kita yang lebih utama untuk itu.
Saat itulah bisa di lakukan perintah dan larangan terhadap serta berhasil
mendapatkan yang diharapkan.53
Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang
lemah lembut menjadi dasar prilakunya sikap bijaksana dalam berdakwah
yang antara lain di tandai dengan ucapan-ucapan sopan yang tidak menyakiti
hati sasaran dakwah. Karena Fir‟aun saja yang demikian durhaka, masih juga
harus lemah lembut. Memang dakwah pada dasarnya adalah ajakan hidayah
yang terdiri dari huruf-huruf Ha, Dal, dan Ya, makna yang antara lain adalah
menyampaikan dengan lemah lembut. Dari sini, lahir kata ذاية yang
merupakan menyampaikan Sesutu dengan lemah lembut guna menunjukan
simpati. Ini tentu saja bukan berarti bahwa juru dakwah tidak melakukan
kritik, hanya saja itu pun harus di sampaikan dengan tepat bukan saja kepada
kandungan tetapi juga pada waktu dan tempatnya serta susunan kata-katanya
yakni dengan tidak memaki atau memojokan.54
Kemudian, Maka bicaralah
kamu berdua dengan kata-kata yang lemah lembut, yakni ajaklah ia beriman
kepada Allah dan serulah ia kepada kebenaran dengan cara yang tidak
mengundang anti pati atau amarahnya, mudah-mudahan, yakni agar supaya ia
ingat akan kebesaran Allah akan kelemahan makhluk sehingga ia terus
menerus kagum kepada Allah dan taat secara penuh kepada-Nya atau paling
tidak ia terus-menerus takut kepada-Nya akibat kedurhakaannya kepada
Allah.55
Kata ىيىب terambil dari kata وي yang berarti melemahkan tidak bersegera, atau
tidak memerahatikan.56
53
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 11, h. 535. 54
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 7, h. 594. 55
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, h. 593. 56
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, h. 594.
102
Kata ىيىب yang berarti perkataan lemah lembut adalah perkataan yang tidak
mengandung kekasaran. Bila Nabi Musa saja di perintahkan untuk mengucapkan
perkataan yang lemah lembut kepada Fir‟aun, maka apalagi selainnya, semestinya
lebih berhati-hati, yaitu dengan mengikuti perkataannya.57
Firman-Nya: mudah-mudahan ia ingat atau takut.” Dengan pengertian
yang di kemukakan di atas mengisyaratkan bahwa peringatan dzikir terus-
menerus yang mengantar kepada keridhaan Allah dalam hati dan
kekagumannya kepada-Nya merupakan peringkat yang lebih tinggi daripada
peringkat takut. Ini karena kekaguman menghasilkan cinta dan cinta member
tanpa batas serta menerima apapun yang dicintai, sedang rasa takut
mengasilkan kekaguman, bukan boleh jadi antipati.58
Kata ىعو bisa di terjemahkan mudah-mudahan yang mengandung makna
harapan terjadinya sesuatu. Tentu saja, yang mengharapkan itu bukan Allah
SWT, karena harapan tidak sesuai dengan kebesaran dan keluasan ilmu-Nya. Oleh
sebab itu ada ulama yang memahami kata ini dalam artian agar supaya atau
bahwa harapan yang dikandung oleh kata itu terarah kepada manusia. Dalam
konteks ayat ini adalah Nabi Musa AS yakni, ”Wahai Musa dan Harun
sampaikanlah tuntunan Allah kepada Fir‟aun sambil menanamkan dalam hati
kamu berdua harapan dan optimisme kiranya penyampaianmu bermanfaat
baginya.
Perintah Allah ini menunjukan bahwa manusia hendaknya selalu berusaha
tidak mengandalkan takdir semata-mata. Allah telah mengetahui penolakan
Fir‟aun terhadap ajakan Nabi Musa As, kendati demikan yang Maha kuasa Allah
tidak manjatuhkan sanksi dan ganjaran bedasarkan pengetahuannya yang azali,
tetapi berdasar pengetahuan-Nya serta kenyataan yang terjadi dalam pentas
57
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 11, h. 535. 58
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 7, h. 596.
103
kehidupan dunia ini. Di sisi lain, perintah tersebut bila telah dilaksanakan dan
ditolak maka penolakan itu akan menjadi bukti yang memberatkan sasaran
dakwah karena, jika tidak ada ajakan, boleh jadi di hari kemudian kelak mereka
akan berkata: “Kami tidak mengetahui tuntunan-Mu kerena tidak ada yang pernah
menyampaikan kepada kami”.59
Sedangkan menurut pemuka ahli Nahwu, firman Allah يخش ا ز يتذم ىعي
maknanya : sebagaimana harapan dan keinginan kamu berdua. Jadi harapan ini
kembali kepada pihak manusia.60
b. Kemudian, sebagaimana firman Allah pada Surah Ali Imran {3}: 159.
Maka di sebabkan rahmat Allah-lah, engkau berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya engkau berlaku keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
memohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaralah dengan mereka
dalam urusan (itu). Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, yang
bertawakal kepada-Nya.
Firman-Nya, Maka di sebabkan rahmat Allah engkau berlaku lemah
lembut terhadap mereka, dapat menjadi salah satu bukti bahwa Allah SWT
sendiri yang mendidik dan membetuk kepribadian Nabi Muhammad SAW
sebagaimana sabda beliau : “Aku di didik oleh Tuhanku, maka sungguh baik
hasil pendidikan-Nya.” Kepribadian beliau dibentuk sehingga bukan hanya
pengetahuan yang Allah limpahkan kepada beliau melalui wahyu-wahyu Al-
59
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 7, h. 595. 60
Syaikh Imam Al-Qurthubī, Tafsir Al-Qurthubī terjemahan Tafsir Al-Jamī‟ Li Ahkȃm Al-
Qur‟ȃn (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 11, h. 538.
104
Qur‟ān, tetapi juga kalbu (hati) beliau di sinari, bahkan totalitas wujud beliau
merupakan rahmat bagi seluruh alam.61
Redaksi di atas, yang di susul dengan perintah memberi maaf dan seterusnya,
seakan-akan ayat ini berkata: “Sesungguhnya perangaimu, wahai Muhammad
adalah perangai yang luhur, engkau tidak beresikap keras, tidak juga berhati kasar,
engkau pemaaf dan bersedia mendengar saran dari orang lain. Itu semua di
sebabkan rahmat Allah kepadamu yang telah mendidikmu sehingga faktor yang
dapat memengaruhi kepribadianmu disingkirkan-Nya.62
Menurut Imam Al-Qurṯubī, makna ayat di atas adalah ketika Rasulullah
bersikap lemah lembut dengan orang yang berpaling pada perang Uhud dan tidak
bersikap kasar terhadap mereka maka Allah SWT menjelaskan bahwa beliau
dapat melakukan itu dengan sebab taufik-Nya kepada beliau.63
Firman Allah Ta‟ala, اىقيت مىتفزظبغييظ ى “Sekirangnya engkau bersikap
keras lagi berhati kasar.” Ayat ini mengandung makna bahwa engkau wahai
Muhammad, bukanlah seorang yang berhati keras. Ini di pahami dari kata ى
yang di terjemahkan sekiranya. Kata ini di gunakan untuk menggambarkan
sesuatu yang bersyarat, tetapi syarat tersebut tidak dapat wujud.64
Jika
demikian, ketika ayat ini menyatakan sekiranya engkau bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu, itu
bersikap keras lagi berhati kasar tidak ada wujudnya, dan karena itu tidak ada
wujudnya, maka tentu saja tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu, tidak pernah akan terjadi.65
Firman Allah Ta‟ala, اىقيت Berlaku keras lagi berhati kasar“غييظ
menggambarkan sisi dalam dan sisi luar manusia, berlaku keras menunjukkan sisi
luar manusia dan berhati kasar menunjukkan sisi dalamnya. Kedua ini hal itu
dinafikan dari Rasul SAW. Memang keduanya perlu dinafikan secara bersamaan,
karena boleh jadi ada yang berlaku keras tapi hatinya lembut atau hatinya lembut
tapi tidak mengetahui sopan santun. Karena, yang terbaik adalah yang
61
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, Vol.2, h.
310. 62
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 2 h. 310-311. 63
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 4, h. 619. 64
Seperti jika seorang yang ayahnya telah meninggal kemudian berkata “Sekiranya ayah saya
masih hidup, saya akan menamatkan kuliah.” Karena ayahnya telah wafat, kehidupan yang
diandaikannya pada hakikatnya tidak ada, dan dengan demikian tamat yang diharapkannya pun
tidak mungkin wujud. 65
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, h. 311.
105
menggabungkan keindahan sisi luar dalam perilaku yang sopan, kata-kata yang
indah, sekaligus hati yang luhur, penuh kasih sayang.66
Dalam sifat Nabi SAW di sebutkan bahwa beliau bukan orang yang keras,
bukan orang yang kasar. Kata اىقيتغيظ (keras hati) adalah ungkapan untuk muka
yang sedang masem, tidak peka terhadap segala keinginan dan kurang memiliki
rasa kasih sayang.67
Menurut Imam Al-Qurṯubī, makna ayat ini : “Hai Muhammad, seandainya
bukan karena sikap lemah-lembutmu niscaya enggan dan takut mencegah mereka
untuk mendekat kepadamu setelah berpalingnya dari medan perang.68
Analisis Penulis
Di dalam ayat ini yakni surah Thaha {20}:44, Allah sengaja mengutus
Nabi Musa AS dan Harun AS untuk mendatangi fir‟aun dan mengajaknya kejalan
yang lurus. Seolah-olah firman Allah pada ayat ini mengisyaratkan kepada kita
bahwa sebagian tugas akan berhasil dengan gemilang jika tugas itu di lakukan
secara bersamaan oleh sekelompok orang. Apalagi jika tugas itu di tujukkan
kepada kalangan pembesar yang bersikap sombong seperti Fir‟aun dan para
pembesarnya.
Ayat ini memberikan isyarat bahwa Allah menyuruh Nabi-Nya dan Rasul-Nya
utuk bersikap lemah lembut kepada orang lain ketika ia menyampaikannya.
Menurut penulis, ayat ini bukan hanya di tujukan kepada Nabi dan Rasul saja.
Akan tetapi ayat tersebut juga mencakup seluruh setiap orang yang bergerak di
bidang dakwah.
66
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, h. 312. 67
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 4, h. 620. 68
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h. 621.
106
Selain itu, Ayat ini juga menjadi sebuah dasar perilakunya sikap bijaksana
dalam berdakwah yang antara lain di tandai dengan ucapan-ucapan sopan yang
tidak menyakiti hati sasaran dakwah. Seorang dai yang menggunakan tutur kata
yang lemah lembut, perilaku yang baik dan kemauan yang tinggi, maka
dakwahnya akan memberi rasa tertarik pada kalbu orang-orang yang
mendengarkan dakwahnya. Tetapi jika seorang dai telah menyimpang dari tutur
kata yang lemah lembut dan perilaku yang baik, tentunya ia akan menuai
kegagalan dalam dakwahnya.
Lemah lembut di sini, menurut penulis bukan berarti seorang dai identik
dengan suara yang lembut atau halus. Akan tetapi lemah lembut di sini, di mana
seorang dai ketika menyampaikan dakwahnya itu berusaha mengambil perolehan
kata yang baik, sebagai contoh yang sekarang ini lagi viral yaitu kata Kafir dan
Non-Muslim. Menurut penulis, Esensi kata Kafir dan Non-Muslim itu sama saja
yakni orang yang tidak beriman atas keyakinan adanya Allah SWT. Tetapi, dari
kedua kata ini penulis lebih memilih kata Non-Muslim untuk di lontarkan kepada
orang yang Kafir, bukan berarti penulis menghilangkan kata Kafir dalam Al-
Qur‟ān. Hanya saja di sini penulis berusaha untuk menjaga perasaan hati dan
menjaga tali persaudaraan sebangsa se-Indonesia. Oleh karena itu, bagi seorang
dai yang memiliki suara lantang dan keras, alangkah baiknya untuk
menyampaikan dakwahnya itu mengambil kata-kata yang baik agar dalam
penyampaiannya tidak ada yang tersakiti. Sebagaimana sabda Nabi SAW :69
را و ليصمت من ك قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم : رواه {ان ي ؤمن ا اهلل و الي وم الخر ف لي قل خي : 6018}خري
69
Bukhari, Shahih Bukhari : Adab – Memuliakan dan Melayani, No. 6018.
107
Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir, hendaknya berkata
baik atau diam.
Oleh karena itu, Menurut penulis metode seperti inilah yang sangat efektif
untuk penyampaian dalam tujuan amar ma‟rūf nahī munkar. Selain membawa
kebaikan untuk diri seorang dai di sisi lain juga untuk memudahkan membuka
pintu hidayah bagi para mad‟u. Karena dakwah pada dasarnya adalah ajakan
hidayah. Dalam arti hidayah itu datangnya dari Allah SWT bukan dari manusia
sekalipun Nabi dan Rasul, namun salah satu media untuk mendapatkan hidayah
adalah dengan cara berdakwah.
Ayat ini juga senada dengan Surah Ali Imrān {3}:159 yakni tujuan dakwah di
sini itu penyampaiannya dengan cara yang lemah lembut. Namun, ayat ini
memiliki keistimewaan yang sangat sulit untuk di terapkan bagi para dai yaitu
sebagai seorang dai harus memiliki sifat pemaaf sebagaimana sifat yang di miliki
oleh Nabi Muhammad SAW. Karena pada dasarnya menjadi seorang dai itu ujian
tidaklah sedikit, ujian tersebut bukan saja datangnya dari sasarannya melainkan
dari muballigh lainnya. Realitasnya yang sering terjadi di era modern ini, jika
kedapatan suatu kesalahan pada salah seorang dai dalam penyampaiannya, maka
muballigh lain yang membidik dengan mencari kesalahan dai tersebut langsung
mengomentari yang tidak baik bahkan cacian dan hinaan kepada orang tersebut di
lontarkan. Maka dari itu menjadi seorang dai itu haruslah memiliki sifat pemaaf,
jika tidak memiliki sifat tersebut. Penulis mengkhawatirkan jika terjadi suatu
kesalahan, maka perselisihan pun terjadi sehingga mengakibatkan perpecahan
dalam ukhuwah Islamiah.
108
2. Dakwah Kepada Kerabat Terdekat dan Sekitarnya,
a. QS. Asy-Syu‟ara {26}:214-215.
Dan berilah kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang
mukmin.
Ibnu Jarīr meriwayatkan dari Ibnu juraij bahwa ketika turun ayat, “Dan
berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu (Muhammad) yang terdekat.” Beliau
memulai dari keluarganya dan marganya, sehingga hal itu terasa berat atas kaum
Muslimin. Maka Allah menurunkan ayat 215, “Dan rendahkanlah dirimu terhadap
orang-orang yang beriman yang mengikutimu.”70
Firman Allah Ta‟ala, االقزثيه عشيزتل اوذر “Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat.” Kerabat-kerabat dekat Rasulullah SAW
mendapat perhatian pertama dan utama untuk mendapat peringatan, untuk
mencegah sikap mereka dan orang-orang di luar mereka dalam memusuhi
Rasulullah SAW karena perbuatan syirik mereka. Adapun yang di maksud dengan
kerabat-kerabat dekat tersebut adalah kaum Quraisy.71
Selain itu, ayat ini terdapat
dalil bahwa kekerabatan dan keturunan tidak berkaitan dengan sebab-sebab
70
Ibnu Katsīr (4/62-64) menyebtkan riwayat ini dan melanjutkannya dengan mamaparkan
beberapa jalur yang mencapai delapan hadis. Di kutip dari, Jalaluddin Asy-Syuyuṯī, Sebab
Turunnya Ayat Al-Qur‟ān, Terjemahan Lubābun Nuqūl Fī Asbābin Nuzūl (Jakarta: Gema Insani,
2008), cet. 1, h. 30-31. 71
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 13, h. 385.
109
menjadi seorang hamba, dan terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menjalin
hubungan dengan non-Muslim serta memberinya pengajaran dan nasihat.72
Maksud ayat ini :“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu
yang terdekat tanpa pilih kasih dan rendahkanlah dirimu,” yakni berlaku
lemah lembut dan rendah hati lah, terhadap orang-orag yang sungguh-
sugguh mengikutimu, yaitu orang-orang mukmin, baik kerabatmu maupun
bukan.73
Firman Allah Ta‟ala, اىمؤمىي مه اتجعل ىمه جىبحل اخفض ه “Dan rendahkanlah
dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang
beriman.” Yang di katakan, khafadha janahahu idzan (kalau begitu, dia
merendahkan dirinya), karena ك عص Jika mereka mendurhakaimu,” yakni“ فبن
menyelisihi urusanmu :ب م م ثزء اوي وفقو Maka katakanlah, „sesungguhnya“ تعيم
aku tidak bertanggung jawab terhadap apa yang kamu kerjakan.” Yakni, tidak
bertanggung jawab atas kemaksiatan kamu kepadaku. Sebab kemaksiatan mereka
kepada Rasulullah SAW adalah kemasiatan mereka kepada Allah SWT. Selain
itu, Rasulullah SAW hanya melakukan apa yang di perintahkan-Nya. Jika Rasul
berlepas diri dari seseorang, Allah SWT juga berlepas diri darinya juga.74
Kata اتجعل mengikuti yakni dalam melaksanakan tuntunan agama. Ibnu „Asyūr
hanya memahami kata ini dalam arti “beriman” sedangkan peneyebutan kata
menurutnya adalah untuk menjelaskan kenapa Nabi SAW, di perintahkan اىمؤمىيه
untuk merendah hati kepada mereka seakan-akan ayat ini berkata: “Hadapilah
mereka dengan kerendahan hati karena keimanan mereka.” Demikian Ibn „Asyūr.
72
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 9, h. 383. 73
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misba: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, h. 356. 74
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 13, h. 361.
110
Demikian ayat ini mengajarkan kepada Rasulullah, dan umatnya agar tidak
mengenal pilih kasih atau memberi kemudahan pada keluarga dalam hal
pemberian peringatan. Ini berarti Nabi SAW dan keluarga beliau tidak kebal
hukum, tidak juga terbebaskan dari kewajiban. Mereka tidak memiliki hak
berlebih atas dasar kekerabatan kepada Rasul SAW, karena semua adalah hamba
Allah, tidak ada perbuatan antara keluarga dan orang lain. Bila ada kelebihan yang
berhak mereka peroleh, itu di sebabkan keberhasilan mereka mendekat kepada
Allah dan menghiasi diri dengan ilmu serta akhlak yang mulia.
Analisis Penulis
Ayat ini menjelaskan tentang satu langkah awal bagi dai sebelum
berdakwah kepada masyarakat yaitu memerintahkan atau memberikan keterangan
(ajakan) kepada ajaran Allah SWT untuk kalangan keluarga dan kerabatnya.
Kemudian ayat ini mengajarkan kepada Rasulullah dan umatnya agar tidak
mengenal pilih kasih atau memberi kemudahan kepada keluarga dalam hal
pemberian peringatan, tidak ada kebal hukum, tidak terbebaskan dari kewajiban,
dan tidak memiliki hak berlebih atas dasar kekerabatan karena semua adalah
hamba Allah Ta‟ala.
Denotasi kata kerabat di sini bukan hanya keluarga dan orang terdekat
saja, tetapi juga saudara seiman dan sebangsa. Dengan demikian, untuk mencapai
penyampaian yang sempurna dalam berdakwah yakni Islam Rahmatan Lil
„Alamin. Oleh karena itu ayat ini memberikan sebuah metode, di mana seorang
dai ketika menyampaikan ajakan kepada kerabatnya itu dengan cara merendah
111
hati dan lemah lembut agar yang tidak seiman pun bisa merasakan Islam
Rahmatan Lil „Alamin dan tidak terjadinya timbul pilih kasih.
3. Dakwah Dengan Cara Hikmah, Mau‟izah dan Diskusi
Sekarang ini, dakwah bukan lagi hanya sebatas menyampaikan saja75
melainkan harus mengetahui obyek yang di tuju. Seiring berkembangnya zaman,
sasaran dakwah bukan lagi orang-orang yang tidak berpengetahuan (awam)
melainkan para elit-elit negara pun juga termasuk sasaran dakwah.
Oleh karena itu pada Surah An-Nahl {16}:125 ini, di jelaskan sebuah
beberapa metode dalam dakwah. Sebagai berikut :
Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang
baik dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik. Sesungguhnya
Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-
Nya dan Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Ayat ini turun di Makkah saat di perintahkan agar berdamai dengan Quraisy.
Allah juga memerintahkan beliau agar berdakwah menyeru kepada agama Allah
dan syari‟at-Nya dengan lemah lembut, tidak kasar atau keras. Demikianlah
seharusnya kaum Muslimin memberikan nasihat tentang hari Kiamat. Yang
75
ثاعهثىاسزائيو حذ اية ى اعى سيم:ثيغ عيي هللا صي ههللا أقبهرس ذافييتج متعم مهمذةعيي حز ال
مقعذيمهاىىبر
“Sampaikanlah dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani
Israil dan itu tidak apa {dosa}. Dan siapa yang berdusta atasku dengan sengaja maka bersiap-
siaplah menempati duduknya dineraka.”
112
merupakan hikmah bagi para pelaku kemaksiatan dari kalangan ahli tauhid, dan
menghapus perintah perang terhadap orang-orang kafir.76
Ayat ini menyatakan; Wahai Nabi Muhammad, serulah yakni lanjutkan
usahamu untuk menyeru semua yang engkau sanggup seru, kepada jalan
yang di tunjukkan Tuhanmu yakni ajaran Islam, dengan hikmah dan
pengajaran yang baik dan bantahlah mereka yakni siapapun yang menolak
atau meragukan Islam, dengan cara yang terbaik. Itulah tiga cara berdakwah
yang hendaknya engkau tempuh menghadapi manusia beraneka ragam
peringkat dan kecendrungannya; jangan hiraukan cemoohan, atau tuduhan-
tudahan tidak berdasar kaum musyrikin, dan serahkan urusanmu dan urusan
mereka pada Allah karena sesungguhnya Tuhanmu yang selalu membimbing
dan berbuat baik kepadamu Dia-lah sendiri yang lebih mengetahui dari
siapapun yang menduga tahu tentang siapa yang bejat jiwanya sehingga
tersesat dari jalan-Nya dan Dia-lah saja juga yang lebih mengetahui orang-
orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk.77
Ayat ini di pahami oleh sementara ulama sebagai menjelaskan tiga macam
metode dakwah yang harus di sesuaikan dengan sasaran dakwah :
a. Terhadap cendekiawan yang memiliki pengetahuan tinggi di perintahkan
menyampaikan dakwah dengan hikmah yakni berdialog dengan kata-kata
bijak sesuai dengan tingkat kepandaian mereka.
b. Terhadap kaum awam di perintahkan untuk menerapkan mau‟izhah yakni
memberikan nasihat dan perumpamaan yang menyentuh jiwa sesuai
dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana.
c. Sedang, terhadap Ahl-Kitab dan penganut agama-agama lain yang di
perintahkan adalah jidal/perdebatan dengan cara yang terbaik yaitu
dengan logika dan retorika yang halus, lepas dari kekerasan dan umpatan.
76
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 10, h. 498. 77
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 6, h. 274.
113
Kata حنمة antara lain berarti yang paling utama dari segala sesuatu, baik
pengetahuan maupun perbuatan adalah pengetahuan atau tindakan yang bebas
dari kesalahan atau kekeliruan. Hikmah juga di artikan sebagai sesuatu yang bila
di gunakan/di perhatikan akan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang
besar atau lebih besar serta menghalangi terjadinya mudharat atau kesulitan yang
besar atau lebih besar. Makna ini ditarik dari kata hakamah yang berarti kendali,
karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak
diinginkan atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah
perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang
burukpun di namai hikmah, dan pelakunya di namai hakim (bijaksana). Siapa
yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang wajar
menyandang sifat ini atau dengan kata lain dia yang hakim.78
Kata عظة عظ terambil dari kata اىم yang berarti nasihat. Mau‟izhah adalah
uraian yang menyeru hati yang mengantar kepada kebaikan. Demikian di
kemukakan oleh banyak ulama. Sedang, kata م yang جذاه terambil dari kata جبدى
bermakna diskusi atau bukti-bukti yang mematahkan alasan atau dalih mitra
diskusi dan menjadikannya tidak dapat bertahan, baik yang di paparkan itu di
terima oleh semua orang maupun hanya oleh mitra bicara.
Di temukan di atas bahwa mau‟izhah hendaknya di sampaikan dengan حسىة
baik, sedang perintah berjidal di sifati dengan احسه yang terbaik. Bukan sekedar
yang baik. keduanya berbeda dengan hikmah yang tidak di sifati oleh satu sifat
78
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 6, h. 275.
114
pun. Ini berarti bahwa mau‟izhah ada yang baik dan ada yang tidak baik, sedang
jidal ada tiga macam, yang baik, yang terbaik dan yang buruk.
Hikmah tidak perlu di sifati dengan sesuatu karena dari maknanya telah di
ketahui bahwa ia adalah sesuatu yang mengena kebenaran berdasar ilmu dan akal
seperti tulis ar-Raghīb atau seperti tulis Ibn „Asyūr, ia adalah segala ucapan atau
pengetahuan yang mengarah kepada perbaikan keadaan dan kepercayaa manusia
secara bersinambung. Di sisi lain, hikmah yang di sampaikan itu adalah yang di
miliki oleh seorang حنيم (bijaksana).
Sedang jidal terdiri dari tiga macam, yang buruk adalah yang di sampaikan
dengan kasar, yang mengundang kemarahan lawan, serta yang menggunakan
dalih-dalih yang tidak benar. Yang baik adalah yang di sampaikan dengan sopan
serta menggunakan dalil-dalil atau dalih walau hanya yang diakui oleh lawan,
tetapi yang terbaik adalah yang di sampaikan dengan baik dan dengan argumen
yang benar lagi membungkam lawan.79
Analisis Penulis
Pada pembahasan ini, ayat ini di pahami sebagai menjelaskan prinsip dalam
metode dakwah yakni terdiri dari tiga macam cara menyampaikan kepada sasaran
dakwah yaitu dengan cara hikmah, mau‟izhah dan jidal. Ketiga metode ini di
sesuaikan dengan kemampuan intelektual masyarakat yang di hadapi.
Metode dakwah yang pertama, dakwah dengan menggunakan metode hikmah
yaitu dakwah terhadap cendekiawan atau kalangan terpelajar yang memiliki
79
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 6, h. 275.
115
pengetahuan tinggi. Penggunaan metode hikmah di sini maksudnya sesuatu yang
bila di praktikkan/di gunakan akan mendatangkan kemashlahatan dan kemudahan
yang besar atau lebih besar kepada sasaran. Oleh karena itu, bagi seorang dai
syarat utama untuk menggunakan metode ini harus memiliki pengetahuan dan
wawasan yang luas agar dalam penyampaian dakwahnya jelas disertai dalil yang
dapat mempertegas kebenaran, dan dapat menghilangkan keraguan.
Adapun, metode dakwah yang kedua, yaitu dakwah dengan menggunakan
metode mau‟izhah yaitu dakwah terhadap kaum awam. Penggunaan metode
mau‟izhah di sini ialah dengan tujuan memberikan nasihat dan perumpamaan
yang menyentuh jiwa sesuai dengan taraf pengetahuan mereka yang sederhana.
Oleh karena itu, bagi seorang dai untuk menggunakan metode ini yang di
butuhkan seorang dai yaitu memiliki keteladanan yang baik. Keteladanan yang
baik di sini yaitu sinkronisasi antara perkataan dan perbuatan, selain itu seorang
dai harus pandai dalam beretorika dan pandai menggunakan pengambilan kata
yang baik dalam penyampaian agar dalam penyampaiannya mudah di mengerti
dan tidak menyinggung perasaan sasaran.
Kemudian metode dakwah yang ketiga, yaitu dakwah dengan menggunakan
metode jidal (diskusi). Sasaran metode jidal di sini ialah dakwah terhadap Ahl-
Kitab dan penganut Agama-agama lain bahkan terhadap orang yang Atheis.
Metode penyamapaian di sini yaitu dengan cara yang baik dan lemah lembut,
lepas dari kekerasan dan umpatan. Oleh karena itu, seorang dai dalam
menggunakan metode ini selain syarat utama harus memiliki keilmuan dan
wawasan juga harus memiliki perkataan yang lembut, agar dalam penyampaian
sasaran tersebut dapat di terima dan memberikan kesan yang baik di hati mereka.
116
4. Tujuan Dalam Penyampaian Dakwah
a. QS. Ali Imran {3} : 104.
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang
munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Kata مه pada kalimat مىنم adalah untuk menunjukkan sebagian.80
Artinya,
orang-orang yang memerintahkan yang ma‟ruf haruslah para Ulama. Karena tidak
semua orang itu ulama. Ada juga ulama yang memfungsikan kata نممى adalah
untuk penjelasan sehingga ayat ini merupakan perintah kepada setiap orang
Muslim untuk melaksanakan tugas dakwah, masing-masing sesuai
kemampuannya.81
Al-Qurṯubi dalam tafsirnya berpendapat, bahwa pendapat yang pertama lebih
benar. Kata tersebut menunjukkan bahwa amar ma‟rūf nahī munkar hukumnya
adalah fardhu kifayah.82
Sedangkan Quraish Shihab, mengomentari masalah ayat tersebut. Bagi yang
memahami pada pendapat yang pertama, ayat ini mengandung dua macam
perintah. Perintah pertama, kepada seluruh umat Islam agar membentuk dan
menyiapkan satu kelompok khusus yang bertugas melaksanakan dakwah, dan
perintah yang kedua adalah kepada kelompok khusus itu untuk melaksanakan
80
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān (Jakarta: Pustaka Azam, 2007), jilid. 4, h. 411 dan lihat juga, M. Quraish Shihab, Tafsir
Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 2, h.
209. 81
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan Keserasian Al-Qur‟ān, h. 209. 82
Syaikh Imam Al-Qurṯubī, Tafsīr Al-Qurṯubī terjemahan Tafsīr Al-Jamī‟ Li Ahkām Al-
Qur‟ān, h. 411.
117
dakwah kepada kebajikan dan makruf serta mencegah kemunkaran.83
Kemudian,
jika mereka memahami ayat ini merupakan perintah kepada setiap Muslim untuk
melaksanakan tugas dakwah dengan maksud dakwah yang sempurna, tentu saja
tidak semua orang dapat melakukannya. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat
dewasa ini menyangkut informasi yang benar di tengah arus informasi, bahkan
perang informasi yang demikian pesat dengan sajian nilai-nilai baru yang sering
kali membingungkan, semua itu menuntut adanya kelompok khusus yang
menangani dakwah dan membendung informasi yang menyesatkan. Karena itu,
adalah lebih tepat memahami kata مىنم pada ayat di atas dalam arti sebagian kamu
tanpa menutup kewajiban setiap Muslim untuk saling mengingatkan.84
Sedangkan, di temukan bahwa ayat di atas menggunakan dua kata yang
berbeda dalam rangka perintah dakwah. Pertama adalah kata ن yakni يذع
mengajak, dan kedua adalah ن .yakni memerintahkan يأمز
Menurut Quraish Shihab, tidak ada dua kata yang berbeda walaupun sama
akar katanya, kecuali mengandung pula perbedaan makna. Tanpa mendiskusikan
perlu tidaknya ada kekuatan yang menyuruh kepada kebaikan dan mencegah
kemunkaran. Paling tidak ada dua hal yang perlu di garisbawahi berkaitan dengan
ayat di atas. Pertama, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi di sampaikan
secara persuasif dalam bentuk ajaran yang baik. Kedua, yang perlu di garisbawahi
adalah al-Ma‟ruf yang merupakan kesepakatan umum masyarakat. Ini sewajarnya
83
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan KeserasianAl-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 2, h. 209. 84
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah: Pesan Kesan dan KeserasianAl-Qur‟ān, h. 210.
118
di perintahkan, demikian juga al-Munkar seharusnya dicegah. Baik yang
memerintahkan dan yang mencegah itu pemilik kekuasaan maupun bukan.85
Analisis Penulis
Setelah membahas berbagai macam metode penyampaian pada pembahasan
sebelumnya. Kemudian pada pembahasan di sini adalah tujuan utama dalam
berdakwah yakni Amar Ma‟rūf Nahī Munkar. Tujuan amar ma‟ruf nahi munkar di
sini hukumnya adalah Fardhu Kifayah. Karena realitasnya sekarang ini, banyak
orang yang mengerti dalam suatu larangan namun tidak mau menegur kepada
yang melakukannya, dan banyak juga orang yang mengerti suatu larangan tetapi
tetap melakukannya. Oleh karena itu, di butuhkannya ulama pada zaman sekarang
ini untuk menyadarkan/memerintahkan dari perbuatan yang ma‟ruf dan yang
munkar.
Penjelasan pada ayat di atas, ayat ini menggunakan dua kata yang berbeda
dalam rangka perintah dakwah. Pertama adalah kata ن yakni mengajak, dan يذع
kedua adalah ن yakni memerintahkan. Oleh sebab itu, menurut penulis يأمز
seorang yang bergerak di bidang dakwah, dalam tujuan mengajak dan
memerintahkan harus dengan cara yang baik, tidak disarankan dengan
menggunakan yang kasar sekalipun itu untuk menegakkan nahi munkar.
Namun realitasnya, di zaman modern sekarang ini, yang sering terjadi pada
seorang dai ternyata tujuan menjadi juru dai itu bukan untuk menegakkan amar
ma‟rūf nahī munkar melainkan untuk mencari keuntungan diri sendiri dalam
berdakwah, dalam arti menjadi seorang dai itu seperti pekerjaan yang menjanjikan
85
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan Kesan dan KeserasianAl-Qur‟ān (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet. 1, vol. 2, h. 210-212.
119
akan suatu finansial, di mana menjadi dai adalah ladang mata pencaharian untuk
kehidupan pribadinya, apalagi jika dakwahnya tersebut sudah di management
kepada suatu media televisi. Oleh sebab itu, perbuatan seperti inilah yang menurut
penulis tidak mencerminkan dalam dakwahnya membawa suatu kebaikan.
Menurut penulis, membedakan antara menerima upah dan meminta upah. Pada
konteks menerima upah, seorang dai itu diperbolehkan karena itu sebuah imbalan
dari orang yang di dakwahinya. Sedangkan konteks meminta upah, dalam arti
memasang tarif dalam berdakwah seorang dai itu tidak diperbolehkan. Karena
mengkhawatirkan membebani orang yang di dakwahinya.
120
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pada hakikatnya dakwah itu memiliki satu tujuan utama yaitu amar ma’ruf
nahi munkar. Mengajak seseorang ataupun banyak orang dalam menegakkan
amar ma’ruf nahi munkar itu tidaklah mudah sebagaimana pepatah bilang “tidak
semudah membalikkan telapak tangan”, karena setiap orang memiliki daya
tangkap dan sifat yang berbeda-beda.
Dengan demikian, untuk mencapai keberhasilan dalam dakwahnya. Kiranya
seorang dai harus memiliki beberapa faktor standarisasi yang penulis paparkan :
1. Seorang dai harus memiliki kesiapan ilmu dan wawasan yang matang, karena
obyek yang di hadapi sekarang ini bukan lagi orang awam melainkan
masyarakat terpelajar.
2. Seorang dai harus menguasai metode dakwah, yakni dai harus bisa
membedakan dakwah kepada dakwah kepada orang awam, dakwah kepada
cendekiawan atau kalangan terpelajar dan dakwah kepada orang yang
menutup dari ajaran Islam (atheis dan Non Musim).
3. Seorang dai harus memberikan budi pekerti yang baik, dengan cara
menghindari memberikan berita bohong atau hoax.
4. Seorang dai juga harus menyelaraskan ucapan dan perbuatan dan berlaku
lemah lembut kepada obyek dakwahnya.
121
5. Pada dasarnya Islam itu Rahmatan Lil ‘Alamin, oleh karena itu seorang dai
harus pandai dalam beretorika, pandai memilih pengambilan kata yang baik
dan berlaku bijaksana kepada sasaran dakwah, karena sifat masyarakat yang
didakwahinya itu bervarian type.
B. Saran
Kajian mengenai Idealitas Karakter Dai Modern Menurut Al-Qur’an
sangatlah penting untuk di kaji, sebab hampir sebagian manusia yang melakukan
pekerjaan dakwah, hanya saja jiwanya merasa terpanggil karena suatu hadis بلغو
sehingga yang melakukan berdasarkan hadis tersebut, keseringan tidak عنى ولو اية
perlu lagi melihat faktor-faktor yang harus di tempuh sebelum berdakwah. Oleh
karena itu, penelitian ini belum cukup sampai di sini, untuk itu penulis berharap
para pembaca skripsi bersedia untuk melanjutkan penelitian ini dengan lebih luas
dan lebih baik. Karena penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penulisan ini meskipun ini di tulis dengan semaksimal mungkin, akan tetapi
penulis menyadari kemampuan dan keterbatasan penulis.
Dengan adanya skripsi ini, penulis berharap agar kajian mengenai Idealitas
Karakter Dai Modern Menurut Al-Qur’ān bisa memberikan pemahaman baru
yang merevisi cara penyajian dalam penyampaian dakwahnya. Ᾱmīn
122
DAFTAR PUSTAKA
Arifin. Psikologi Dakwah (Suatu Pengantar Studi). Jakarta: BumiAksara, 1994.
Arifin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1991.
Arnold, Thomas W,Sejarah Dakwah Islam. Jakarta: Widjaya, 1995.
As, Enjang dan Aliyudin. Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan
Praktis. Bandung: Widjaya Padjajaran, 2009.
As, Muhammad Syamsu. Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitarnya.
Jakarta: Lentera, 1999.
Al-Asfhani, Al-Raghib. Mu’jam Mufradat Al-Fāḏ Al-Qur’ān. Beirut: Dār al-Fikr,
1993.
Ashari, Gafi. Pemahaman dan Pengalaman Dakwah. Surabaya: Al-Ikhlas, 1993.
Asmuni, Yusan. Dirasah Islamiyah, Pengantar Studi Sejarah Kebudayaan Islam
dan Pemikiran. Jakarta: Grafindo Persada, 1996.
Aziz, Moh. Ali. Ilmu Dakwah. Jakarta: Kencana, 2004.
Bachtiar, Wardi. Metodelogi Penelitian Dakwah. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1997.
Badruttamam, Nurul. Dakwah Kolaboratif. Jakarta: Grafindo, 2005
Basit, Abdul. Wacana Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: STAIN Purwokerto
dan Pustaka Pelajar, 2006.
Al-Buthi, Muhammad Said Ramadhan. Fiqh Al-Sīrah. Beirut: Dār al-Fikr, 1980.
Berg, Van Den. Dari Panggung Sejarah. Bandung: W. Van Houve, 1959.
Bilali, Abdul Hamid. Fiqhud Dakwah Fī Ingkar Al-Mungkar. Kuwait: Daar Al-
Dakwah, 1989.
Budiharjo. Konsep Dakwah Dalam Islam. Salatiga: STAIN Salatiga.
123
Darussalam, Ghazali. Dinamika Ilmu Dakwah Islamiyah. Malaysia: Nur Niaga
SDN, 1996.
DEPDIKNAS. Kamus Besar Bahsa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 2007.
Devito, Jepph A. Human Communication: The Bassic Course. New York: Happer
Collins Publisher Fifth Edition, 1991.
Djadjadiningrat, Hoesain. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten. Jakarta:
Djambatan, 1983.
Djaya, Tamar. Pusaka Indonesia-Riwayat Hidup Orang-Orang Besar Tanah Air.
Jakarta: Bulan Bintang, 1965.
Al-Ghazali, Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad. Ihya ‘Ulumi Ad-
Dīn. Semarang: Kerabat Putra.
Ghofur, M. Abdul, dan Al-Atsari, Abu Al-Ihsan. Tafsīr Ibnu Katsīr. Bogor:
Pustaka Imam, 2004
Gharisah, Ali. Kami Da’I Bukan Teroris. Solo: CV Pustaka Mantiq, 1992.
Habib, M. Syafaat. Pedoman Dakwah. Jakarta: Widjaya, 1982.
Hafidz, Abdullah Cholis, dkk. Dakwah Transformatif. Jakarta: PP Lakpedam NU,
2006.
Hamka. Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Dalam Islam. Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1990.
______. Sejarah Umat Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Harjono, Anwar. Dakwah dan Masalah Soisal Kemasyaraktan. Jakarta: Media
Dakwah, 1987.
Hasanuddin. Hukum Dakwah. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996.
Hasyim, Umar. Sunan Giri. Kudus: Menara Kudus, 1979.
Hendrikus, Dori Wuwu. Retorika Terampil Berpidato, Berdiskusi,
Berargumentasi, Bernegoisasi. Jakarta: Kanisius, 1991.
Horikoshi, Hiroko. Kyai dan Perubahan Sosial. Jakarta: P3M, 1987.
Ismail, A. Ilyas. Paradigma Dakwah Sayyid Quṯub. Penamadani, 2006.
124
Ilaihi, Wahyu dan Efni, Harjani. Pengantar Sejarah Dakwah. Jakarta: Kencana,
2007.
Al-Jarisyah, Ali. Adab Al-Khiwār Wa Al-Muḏarah. Al-Munawarah: Dār Al-Wifa,
1989.
Al-Khu’i, Abdul Qasim. Menuju Islam Rasional, Sebuah Pilihan Memahami
Islam. Jakarta: PT Hawra, 2003.
Kuswanto, Thohir Yuli. Gerakan dakwah Kampus Riwayantmu Kini. Semarang:
Lembaga Penilitian IAIN Walisongo, 2012.
Luthfi, Atabik. Tafsir Da’awi Tadabbur Ayat-Ayat Dakwah Untuk Para Da’i.
Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat, 2011.
Mandzur, Ibnu. Lisān Al-‘Arab. Beirut: Dār Fikr, 1990.
Ma’luf, Lois. Munjid Fī Al-Lughah Wa A’lam. Beirut: Dār al-Fikr, 1986.
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsīr al-Maraghi. Mesir: Dār al-Fikr, 1972.
Al-Misri, Abu Muhammad. Bolehkah Ustadz Menerima Amplop. Jakarta: Pustaka
Inner, 1992.
Muhyiddin, Asep, dan Agus Ahmad Safe’i. Metode Pengembangan Dakwah.
Bandung: CV Pustaka Setia, 2002.
Mulyana, Dedy. Nuansa-Nuansa Komunikasi Masyarakat Kontemporer.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1999.
Munawir, Ahmad Warson. Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pondok
Pesantren Al-Munawir, 1984.
Al-Mundzirī, Al-Hafidz Dzaqiyuddīn Abdul Adzīm bin Abdul Qawī. Ringkasan
Shahih Muslim. Surakarta: Insan Kamil, 2012
Mulyana, Slamet. Runtuhnya Keradjaan Hindu Jawa dan Timbulnja Negara-
Negara Islam di Nusantara. Jakarta: Bharata, 1968.
Munir, Muhammad dan Ilaihhi, Wahyu. Manajeman Dakwah. Jakarta: Prenada
Media, 2006.
Munthe, abdul Karim, dkk. Meluruskan Pemahaman Kaum Hadit Kaum Jihadis.
Tanggerang: Yayasan Pengkajian El-Bukhori.
Muriah, Siti. Metodelogi Dakwah Kontemporer. Yogyakarta: Mitra Pustaka,
2000.
Mutahhari, Murtadha. Islam dan Tantangan Zaman. Bandung: Pustaka Hidayah,
1996.
125
Natsir, Muhammad. Fiqhud Dakwah. Jakarta: Dewan Dakwah Islamiah
Indonesia, 1997.
Nasution, Chodijah. Bercerita Sebagai Metode Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang,
1978.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Puteh, Muhammad Jakfar. Dakwah Dalam Kehidupan Modern. Yogyakarta: AK
Group, 2006.
Al-Qahthani, Sa’id bin Ali Wahf. Menjadi Da’i Yang Sukses. Jakarta: Qisthi
Press, 2005.
Qardhawi, Yusuf. Kritik dan Saran Para Da’i. Diterjemahkan oleh Nabhan
Husein. Jakarta: Media Dakwah, 1988.
Qasim, Ahmad. Metodelogi Dakwah Dalam Al-Qur’ȃn. Jakarta: Lentera
Basritama, 1997.
Al-Qurṯubi, Syaikh Imam. Tafsīr al-Qurṯubī Terjemahan Tafsīr Al-Jamī’ Li
Ahkām Al-Qur’ān. Jakarta: Pustaka Azam, 2007.
Rauf, Abdul Khadir Sayyid Abdul. Dirasah Fī Ad-Dakwah Al-Islamiyah. Kairo:
Dār Al-Tiba’ah Al-Muhammadiah, 1987.
Rozak, Abdul. Kisah Keteladanan Wali Songo Penyebar Agama Islam Ditanah
Jawa. Surabaya: CV Surabaya.
Rubiyanah, dan Ade Masturi. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: Lembaga
Penelitian, 2010.
Sabik, Sayyid. Fiqih Sunnah. Beirut: Dār Al-Fikr, 1996.
Saputra, Wahidin. Pengantar llmu Dakwah. Jakarta: Praja Grafindo Persada,
2011.
Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an (Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat). Bandung: Mizan, 1992.
___________. Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an).
Jakarta: Lentera Hati, 2002.
___________. Al-Lubāb (Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-surah Al-
Qur’an). Tangerang: Lentera Hati, 2012.
Sumianto, H.A. Metode Dakwah (Bagi Suku Badui di Banten). Jakarta: Diktat,
Fakultas Ushuluddin Syarif Hidayatullah, 1975.
126
Suparta, Munzier, dan Harjani Hefni. Metode Dakwah. Jakarta: Prenada Media,
2003.
Syabibi, Ridho. Metodelogi Ilmu Dakwah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Syirbashi, Ahmad bin. Tarīkh Tafsīr Al-Qur’ān. diterjemahkan oleh Pustaka
Firdaus. Sejarah Tafsir Al-Qur’ān. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Syukir, Asmuni. Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam. Surabaya: Al-Ikhlas, 1983.
Asy-Syuyuti, Jalaludin. Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an, Terjemahan Lubābun
Nuqūl Fī Asbābin Nuzūl. Jakarta: Gema Insani, 2008.
Tasmara, Toto. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya media Pratama, 1997.
TIM Penulis IAIN Syaruf Hidayatullah, Ensiklopedi Islam. Jakarta: Djambatan,
1992
Thantawi, Sayyid Muhammad. Adab Al-Khiwār Fī Islam Dār Al-Naḏah Mesir,
Terjemahkan Zuheiri Misrawi dan Zamroni Kamal. Jakarta: Azan, 2001.
Yaqub, Ali Mustafa. Sejarah Dan Metode Dakwah Nabi. Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000
Zakariya, Ahmad bin Fariz. Mu’jam Maqayis Lughah. Beirut: Dār al-Fikr.
Zahra, Muhammad Abu. Ushul Fiqih. Beirut: Dār Al-Fikr Al-‘Arabi
____________________. Al-Dakwah Ila Al-Islam. Beirut: Dār Al-Fikr Al-Araby.
Zulkarnain. Dakwah Islam Di Era Modern. Risalah, Vol.26, No. 3, 2015.
http://umar-arrahimy.blogspot.com/2015/03/takhrij-hadits-himah-milik-
orang.html?m=1