BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Saat ini di Indonesia, hukum waris yang berlakusecara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3(tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima olehmasyarakat Indonesia, yakni hulum waris yangberdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum PerdataEropa (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yangdibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk HindiaBelanda dahulu.
Kita sebagai negara yang telah lama merdeka danberdaulat sudah tentu mendambakan adanya hukum warissendiri yang berlaku secara nasional (seperti halnyahukum perkawinan dengan UU Nomor 2 Tahun1974), yangsesuai dengan bangsa Indonesia yang berfalsafahPancasila dan sessuai pula dengan aspirasi yang benar-benar hidup di masyarakat.
Karena itu menginggat bangsa Indonesia yangmayoritas beragama islam yang tentunya mengharapkanberlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukumwarisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudahselayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nantidapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum warisIslam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pulapola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yangbersangkutan
Menyadari pentingnya posisi hukum islam dalamkehidupan sehari-hari, seperti yang dikatakan JosephSchacht “Hukum islam menempati posisi sentral danmenjadi inti serta jantung dari agama islam itusendiri”. Karena wajar islam seringkali disebut sebagaiagama hukum. Dan dimakalah ini kami akan menguraikansedikit yang bisa kami pahami tentang hukum waris.Hukum kewarisan islam merupakan persoalan penting dalam
Islam, dan merupakan tiang diantara tiang-tiang hukumyang secara mendasar tercermin langsung dari teks-tekssuci yang telah disepakti keberadaannya. Satu hal yangtidak dapat dipungkiri, keberadaan hukum kewarisanislam dipresentasikan dalam teks-teks yang rinci,sistematis, konkrit, dan realistis.
Pemaparan tentang kewarisan sampai berimplikasipada keyakinan ulama tradisionalis bahwa hukumkewarisan islam tidak dapat berubah dan menolak segalaide pembaharuan. Hal ini terlihat dari teks kitab-kitabfikih klasik yang menyebut hukum kewarisan islam denganilmu “faraidh”.
Kata faraidh merupakan jamak dari fa-ri-dla yangberarti ketentuan, sehingga ilmu faraidh diartikandengan ilmu bagian yang pasti. Di negara indonesia jugaterdapat hukum positif yang diberlakukan untukmasyarakat. Dalam hukum positif di indonesia,keberlakuan hukum kewarisan telah dengan jelasditunjukan oleh Undang-Undang nomor 7 tahun 1989tentang peradilan agama. Dan ada yang menetapkanketentuan kewarisan hukum islam yang tertuang dalamKeputusan Presiden nomor 1 tahun 1991 tentang kompilasihukum kewarisan islam.1
1 Muhammad salim. hukum waris. (online). http://serbamakalah.blogspot.com/2013/11/hukum-waris_2890.html, diakses tanggal 30 Mei 2014
2. Rumusan Masalah
1. Apa Ketentuan Umum Hukum Waris Islam berdasarkan
Al Faraidh?
2. Bagaimana Hubungan Hukum Waris Islam dengan Hukum
Nasional?
3. Bagaimana Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam?
4. Bagaimana Pengaruh Undang-Undang No 7 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama sebagai produk unifikasi
hukum terhadap Hukum Waris Positif di Indonesia?
5. Apa Contoh Kasus Hukum Waris di indonesia?
3. Tujuan
1. Mengetahui Ketentuan Umum Hukum Waris Islam
berdasarkan Al Faraidh
2. Mengetahui Hubungan Hukum Waris Islam dengan Hukum
Nasional
3. Mengetahui Hukum Waris dalam Kompilasi Hukum Islam
4. Mengetahui Pengaruh Undang-Undang No 7 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama sebagai produk unifikasi
hukum terhadap Hukum Waris Positif di Indonesia
5. Mengetahui Contoh Kasus Hukum Waris di indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
1. KETENTUAN UMUM HUKUM WARIS ISLAM
A. Pengertian Hukum Waris Islam
Hukum Waris Islam adalah suatu hukum yang mengatur
pembagian harta peninggalan seseorang yang
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Terdapat beberapa
pendapat mengenai definisi hukum waris yang dikemukakan
oleh beberapa fuqaha (ahli hukum fiqh) yaitu :
Hasbi Ash-Shiddieqy, hukum kewarisan adalah suatu
ilmu yang dengan dialah dapat kita ketahui orang yang
menerima pusaka, orang yang tidak menerima pusaka,
serta kadar yang diterima tiap-tiap waris dan cara
membaginya.
Abdullah Malik Kamal Bin As-Sayyid Salim, Ilmu
fara’id ialah Ilmu yang mempelajari kaidah-kaidah
fikih dan ilmu hitung yang berkaitan dengan harta
warisan dan orang-orang yang berhak yang
mendapatkannya agar masing-masing orang yang berhak
mendapatkan bagian harta warisan yang menjadi haknya.
Ahmad Zahari, Hukum kewarisan Islam yaitu hukum yang
mengatur tentang peralihan hak milik atas harta
warisan dari pewaris kepada orang-orang yang berhak
menerimanya (ahli waris), barapa besar bagiannya
masingmasing, kapan dan bagaimana cara peralihannya
sesuai ketentuan dan petunjuk Al-Qur’an, hadist dan
ijtihad para ahli.
Dari pendapat di atas, dapat dipahami bahwa hukum
waris islam itu merupakan hukum yang mengatur tentang
pemindahan dan pembagian harta peninggalan dari
seseorang yang meninggal dunia kepada orang-orang yang
masih hidup, baik mengenai harta yang ditinggalkan,
orang-orang yang berhak menerimanya (ahli waris),
bagian masing-masing ahli waris maupun cara
penyelesaian pembagiannya.2
B. Sumber Hukum Waris Islam
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber pokok hukum islam.
Karena itu, kendatipun sumber hukum kewarisan ada tiga,
tetapi kedua hukum sesudah Al-Qur’an (Sunnah Rasul dan
Ijtihad) harus tetap mengacu pada Al-Qur’an. Pertama
kelompok ayat kewarisan inti, yaitu ayat-ayat yang
langsung menjelaskan pembagian waris dan bagian-
bagiannya yang telah ditentukan jumlahnya. beberapa
ayat-ayat tersebut adalah:
a. Surat An-Nisa’ ayat 7
Artinya: “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalanibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula)
2 ibid.
dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataubanyak menurut bagian yang telah diterapkan”. (Q. S. An-Nisa’;7).
b. Surat An-Nisa’ ayat 12
Artinya: “Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yangditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat hartayang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat atausudah dibayar hutang. Para istri memperoleh seperempat harta yangditinggalkan kamu jika kamu tidak mempunyai anak, jika kamumempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari hartayang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat (dan)atau sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki atau perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidakmempunyai anak, tetapi mempunyai saudara laki-laki (seibu saja), makabagi masing-masing kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jikasaudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutudalam sepertiga sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (dan) atausesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi madharat (kepadaahli waris). Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yangbenar-benar dari Allah. Dan Allah Maha Mengtahui lagi MahaPenyantun”. (Q. S. An-Nisa’; 12).
2. Sunnah Rasul
Sebagai sumber legislasi yang kedua setelah Al-
Qur’an, sunnah memiliki fungsi sebagai penafsir atau
pemberi bentuk konkrit terhadap Al-Qur’an, pada
akhirnya hadist juga dapat membentuk hukum yang tidak
disebut dalam Al-Qur’an.
Bentuk nyata dari fungsi hadist sebagai
konkrotisasi Al-Qur’an dalam bidang kewarisan, misalnya
hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas r.a.
Artinya: “Berilah orang yang mempunyai bagian tetap sesuai dengan
bagiannya masing-masing, sedangkan kelebihannya diberikan kepada
ashobah yang lebih dekat, yaitu orang laki-laki yang lebih utama.” (HR.
Bukhori-Muslim).
Fungsi sunnah yang lain adalah sebagai pembentuk
hukum yang tidak disebut dalam Al-Qur’an, salah satu
contoh dari fungsi tersebut adalah hadist
tentang wala’ ( warisan bekas budak yang tidak
meninggalkan ahli waris), dalam kasus demikian maka
ahli warisnya adalah orang yang memerdekakannya (HR.
Bukhori Muslim), sedangkan harta orang yang meninggal
tanpa mempunyai ahli waris adalah milik Baitul al-Mal
(HR. Ahmad dan Abu Daud).
3. Ijtihad
Sebagian kecil dari ijma’ para ahli, dan beberapa
masalah yang diambil dari ijtihad para sahabat. Ijma’
dan ijtihad sahabat, imam madzhab, dan para mujtahid
dapat digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah
mawaris yang belum dijelaskan oleh nash yang sharih.
Misalnya: “Status cucu yang ayahnya lebih dahulu
meninggal dari pada kakek yang bakal diwarisi yang
mewarisi bersama-sama dengan saudara-saudara ayahnya.
Menurut ketentuan mereka, cucu tersebut tidak mendapat
bagian apa-apa karena terhijab oleh saudara ayahnya,
tetapi menurut kitab undang-undang hukum wasiat mesir
yang meng-istinbat-kan dari ijtihad para ulama
muqoddimin, mereka diberi bagian berdasarkan wasiat
wajibah”.3
C. Unsur-unsur Hukum Waris Islam
Dalam hukum waris Islam, terdapat 3 unsur yaitu : 1. Pewaris (Muwarit)
Pewaris adalah seseorang yang telah meninggal danmeninggalkan sesuatu yang dapat beralih kepadakeluarganya yang masih hidup.
2. Ahli Waris (Warits)Ahli Waris adalah orang yang berhak mendapat warisankarena mempunyai hubungan dengan pewaris, berupahubungan kekerabatan, perkawinan atau hubunganlainnya.
3. Warisan (Mauruts) Warisan adalah sesuatu yang ditinggalkan olehorang yang meninggal dunia, baik berupa bendabergerak maupun benda tak bergerak.4
D. Syarat-syarat Hukum Waris Islam
1. Meninggalnya pewaris
3 irsan ismail. hukum unmer malang. (online). http://echtheid-irsan.blogspot.com/2012/04/hukum-islam-waris-islam.html, diakses tanggal 31 Mei 2014
4 ibid.
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris baiksecara hakiki ataupun secara hukum ialah bahwaseseorang telah meninggal dan diketahui oleh seluruhahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonisyang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidakdiketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orangyang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secarapasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yangtelah meninggal.Hal ini harus diketahui secara pasti, karenabagaimanapun keadaannya, manusia yang masih hidup tetapdianggap mampu untuk mengendalikan seluruh hartamiliknya. Hak kepemilikannya tidak dapat diganggu gugatoleh siapa pun, kecuali setelah ia meninggal.
2. Adanya ahli waris yang masih hidupMaksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris
harus kepada ahli waris yang secara syariat benar-benarmasih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memilikihak untuk mewarisi.Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golonganyang berhak saling mewarisi meninggal dalam satuperistiwa --atau dalam keadaan yang berlainan tetapitidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- makadi antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yangmereka miliki ketika masih hidup. Hal seperti ini olehkalangan fuqaha digambarkan seperti orang yang sama-sama meninggal dalam suatu kecelakaan kendaraan,tertimpa puing, atau tenggelam. Para fuqaha menyatakan,mereka adalah golongan orang yang tidak dapat salingmewarisi.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pastiDalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah
diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat,dan sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan
pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaanjauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yangditerima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakanbahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akantetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudarakandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Merekamasing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhakmenerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yangkarena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidakmendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidakterhalang.
E. Hal-hal yang Dapat Menggugurkan Warisan
Dalam Hukum Islam, terdapat hal-hal yang dapat
membuat seseorang tidak dapat atau tidak boleh menerima
warisan, yaitu :
1. Budak
Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak
mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari
saudaranya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak,
secara langsung menjadi milik tuannya. Baik budak itu
sebagai qinnun (budak murni), mudabbar (budak yang
telah dinyatakan merdeka jika tuannya meninggal),
atau mukatab (budak yang telah menjalankan perjanjian
pembebasan dengan tuannya, dengan persyaratan yang
disepakati kedua belah pihak). Alhasil, semua jenis
budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak
untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak
milik.
2. Pembunuhan
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap
pewaris menjadi penghalang baginya untuk menerima
warisan dari pewaris. Hal ini sesuai dengan Hadist
Rasulullah yakni hadits riwayat Ahmad yang artinya :
“Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidak dapat
mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selain
dirinya sendiri,(begitu juga) walaupun korban itu adalah orang tuanya
atau anaknya sendiri, maka bagi pembunuh tidak berhak menerima
warisan”.
Pada dasarnya pembunuhan adalah kejahatan, namun
demikian ada juga pembunuhan yang dilakukan dalam
keadaan tertentu sehingga pembunuhan bukan menjadi
suatu kejahatan, untuk itu pembunuhan dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu :
Pembunuhan secara hak dan tidak melawan hukum , yaitu
pembunuhan yang pelakunya tidak dinyatakan sebagai
pelaku kejahatan atau dosa, dapat dikategori dalam
hal ini; pembunuhan musuh dalam perang, pembunuhan
dalam pelaksanaan hukuman mati, dan pembunuhan dalam
membela jiwa, harta dan kehormatan.
Pembunuhan secara tidak hak dan melawan hukum , yaitu
pembunuhan yang dilarang oleh agama dan terhadap
pelakunya dikenakan sanksi dunia dan/atau akhirat,
yang termasuk dalam kategori ini adalah; pembunuhan
sengaja dan berencana, pembunuhan tersalah,
pembunuhan seperti sengaja, dan pembunuhan seperti
tersalah.
3. Perbedaan agama
Berbeda agama berarti agama pewaris berbeda dengan
ahli waris, sehingga tidak saling mewaris, misalnya
pewaris muslim, ahli waris non muslim. Hal ini
didasari oleh Hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Al Bukhari dan Muslim, yang artinya :
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir, dan orang kafirpun tidak dapat mewarisi harta orang Islam “.
F. Asas-asas Hukum Waris Islam
Asas-asas Hukum Kewarisan Islam dapat digali dari
keseluruhan ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-
Qur’an dan penjelasan tambahan dari hadist Nabi
Muhammad SAW. Dalam hal ini dapat dikemukakan lima asas
yaitu :
1. Asas Ijbari
Asas Ijbari adalah peralihan harta dari orang yang
telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup
berlaku dengan sendirinya tanpa tergantung kepada
kehendak pewaris atau ahli waris. Asas Ijbari dalam hukum
kewarisan Islam tidak dalam arti yang memberatkan ahli
waris. Seandainya pewaris mempunyai hutang yang lebih
besar dari warisan yang ditinggalkannya, ahli waris
tidak dibebani untuk membayar hutang tersebut, hutang
yang dibayar hanya sebesar warisan yang ditinggalkan
oleh pewaris.
2. Asas Bilateral
Bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua
belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis
keturunan laki-laki dan pihak kerabat garis keturunan
perempuan.
3. Asas Individual
Bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi untuk
dimiliki secara perorangan. Ini berarti setiap ahli
waris berhak atas bagian yang didapatnya tanpa
tergantung dan terikat dengan ahli waris lainnya.
Keseluruhan harta warisan dinyatakan dalam nilai
tertentu yang mungkin dibagi-bagi, kemudian jumlah
tersebut dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak
menurut kadar masing-masing. Bisa saja harta warisan
tidak dibagi-bagikan asal ini dikehendaki oleh ahli
waris yang bersangkutan, tidak dibagi-baginya harta
warisan itu tidak menghapuskan hak mewaris para ahli
waris yang bersangkutan.
4. Asas Keadilan Berimbang
Asas ini dapat diartikan adanya keseimbangan
antara hak dan kewajiban antara yang diperoleh dengan
keperluan dan kegunaan. Secara dasar dapat dikatakan
bahwa faktor perbedaan jenis kelamin tidak menentukan
dalam hak kewarisan artinya laki-laki mendapat hak
kewarisan begitu pula perempuan mendapat hak kewarisan
sebanding dengan yang didapat oleh laki-laki.
5. Asas Kewarisan Semata Kematian
Bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain
berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal
dunia dan selama yang mempunyai harta masih hidup maka
secara kewarisan harta itu tidak dapat beralih kepada
orang lain.5
G. Golongan Ahli Waris
1. Golongan Dzawul Furuudh
Dzawul furuudh yang dimaksud adalah ahli
waris yang mendapat bagian pasti sebagaimana yang telah
ditentukan dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.Bagian-
bagian yang telah ditentukan dalam waris Islam tersebut
adalah:
a. Setengah (1/2)
b. Seperempat (1/4)
c. Seperdelapan (1/8)
d. Dua pertiga (2/3)
e. Sepertiga (1/3)
f. Seperenam (1/6)5 Irsan Ismail. hukum unmer malang. (online). http://echtheid-irsan.blogspot.com/2012/04/hukum-islam-waris-islam.html, diakses tanggal 31 Mei 2014
2. Golongan Ashabah
Golongan ashabah adalah kelompok ahli waris
yangb menerima bagian sisa,sehingga jumlah bagiannya
tidak tertentu.kelompok ashabah ini kalau mewaris
sendirian,tidak bersama dengan kelompok dzawul
furudh maka bagian warisan diambil semua.Sebaliknya jika
kelompok ini bersama dengan dzawul furuudh dan setelah di
bagi ternyata harta warisan sudah habis,maka
kelompok ashabah ini tidak mendapat apa-apa.
Adapun macam-macam Ashabah adalah : Ashabah
binafsih ,ashabah bil ghair danashabah ma’al gh
a. Ashabah Binafsih
Ashabah binafsih yang dimaksud adalah
ashabah dengan sendirinnya dan bukan karena tertarik
oleh ahli waris yang lain atau bersamaan dengan ahli
waris yang lain,tetapi asalnya memang sudah menjadi
ashabah.
Yang termasuk kelompok ashabah binafsih
antara lain:
1. Anak laki-laki
2. Cucu laki-laki dari anak llaki-laki dan terus
kebawah
3. Ayah
4. Kakek dari pihak ayah dan terus keatas
5. Saudara laki-laki sekandung
6. Saudara laki-laki seayah
7. Anak saudara laki-laki sekandung
8. Anak saudara laki-laki seayah
9. Paman yang sekandung dengan ayah
10. Paman yang seayah dengan ayah
11. Anak laki-laki paman yang sekandung dengan ayah
12. Anak laki-laki paman yang seayah dengan ayah
Apabila orang-orang yang tersebut diatas
semiua ada maka tidak semua mereka di beri bagian,akan
tetapi harus didahulukan orang-orang yang lebih dekat
pertaliannya dengan pewaris,dengan memperhatikan urutan
nomor 1-12 tersebut.
b. Ashabah Bil Ghair
Ashabah bil ghair adalah kelompok ahli
waris yang asalnya sebagai dzawul furuudh,namun mereka
mendapat bagian ashabah karena tertarik oleh ahli waris
llain yang berstatus ashabah.Yang termasuk kelompok
ashabah bil ghair ini adalah:
1. Anak perempuan menjadi ashabah karena ditarik
oleh anak laki-laki
2. Cucu perempuan dari anak laki-laki menjadi
ashabah karena ditarik oleh cucu laki-laki
dari anak laki-laki.
3. Saudara perempuan kandung menjadi ashabah
karena ditarik oleh saudara laki-laki kandung.
4. Saudara perempuan seayah menjadi ashabah karena
ditarik oleh saudara laki-laki seayah.
Dalam pembagian ashabah ini perlu
diperhatikan pembagian antara laki-laki dan perempuan
dua banding satu,seperti dalam surat an-nisa’ ayat 176
c. Ashabah Ma’al Ghair
Ashabaah Ma’al Ghair adalah kelompok ahli
waris yang mendapat bagian ashabah karena mewaris
bersama-sama kelompok dzawul furuudh yang lain.yang
termasuk Ashabah Ma’al Ghair adalah:
1. Saudara perempuan sekandung apabila dia mewaris
bersama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan.
2. Saudara perempuan seayah,apabila dia mewaris
bersama dengan anak perempuan atau cucu
perempuan.
3. Golongan Dzawul Arham
Dzawul arham adalah kelompok yang tidak
disebut dalam dzawul furudh dan ashabah namun mempunyai
hubungan dekat dengan pewaris.Yang termasuk dalam
Dzawul Arham ini adalah:
1. Cucu dari anak perempuan
2. Anak dari saudara perempuan
3. Anak perempuan dari saudara laki-laki
4. Saudara ayah seibu
5. Saudara ibu
6. Saudara perempuan ibu
7. Saudara perempuan ayah
8. Ayahnya ibu
9. Anak perempuan paman
H. Bagian-Bagian Yang Diterima Ahli Waris
Adapun bagian bagian yang diterima ahli waris sebagai
berikut:
1. Bagian Ayah
Mendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan
anak laki-laki atau cucu laki- laki dari anak
laki-laki
Mendapat bagian 1/6 dan ashabah apabila bersama-
sama dengan anak peempuan atau cucu perempuan dan
anak laki-laki
Menjadi ashabah apabila tidak ada anak atau cucu
dari anak laki-laki
2. Bagian Ibu
Mendapat bagian 1/6 apabila bersama-sama dengan
anak atau cucu dari anak laki-laki,atau bersama
dengan dua orang saudara atau lebih,baik saudara
kandung,seayah,atau seibu
Mendapat 1/3 bagian apabila tidak ada anak,atau
cucu dai anak laki-laki,atau tidak dua orang
saudara atau lebih.
Mendapat 1/3 sisa apabila bersama-sama dengan ayah
beserta suami atau istri.
3. Bagian kakek
Bagian kakek sama dengan bagian ayah karena kakek
di mahjub oleh ayah.
4. Bagian Nenek
Mendapat 1/6 apabila tidak ada ayah (jika nenek
dari pihak ayah) dan tidak ada ibu (jika nenek
dari pihak ibu.
Terhalang oleh ayah,bagi nenek yang dari pihak
ayah
Terhalang oleh ibu,bagi nenek yang dari pihak ibu
5. Bagian Suami
Mendapat ¼ bagian apabila bersama-sama anak atau
cucu dari anak laki-laki
Mendapat ½ bagian apabila tidak ada anak/cucu dari
anak laki-laki
6. Bagian Istri
Mendapat 1/8 bagian apabila bersama-sama dengan
anak atau cucu dari anak laki-laki
Mendapat ¼ bagian apabila tidak ada anak atau cucu
dari anak laki-laki
7. Bagian Anak Perempuan
Mendapat ½ bagian apabila hanya seorang dan tidak
ada anak laki-laki
Mendapat 2/3 bagian apabila berjumlah dua orang
/lebih dan tidak ada anak laki-laki
Tertarik menjadi ashabah apabila mewaris bersama
dengan anak laki-laki.
8. Bagian Cucu Perempuan Dari Anak Laki-Laki
Mendapat ½ bagian apabila hanya seorang dan tidak
ada anak,serta tidak ada ahli waris lain yang
menariknya menadi ashabah.
Mendapat 2/3 bagian apabila berjumlah dua orang
atau lebih dan tidak ada anak,serta tidak ada ahli
waris lain yang menariknya menjadi ashabah
Mendapat 1/6 bagian apabila mewaris bersama dengan
seorang anak perempuan,yakni untuk menggenapi
bagian 2/3 bagian
Tertarik menjadi ashabah oleh cucu laki-laki dari
anak laki-laki
Terhalang oleh anak laki-laki,atau dua anak
perempuan atau lebih
9. Bagian Saudara Perempuan Kandung
Mendapat ½ bagian apabila hanya seorang,tidak ada
anak,cucu dan ayah,serta tidak ada ahli waris yng
menariknya menjadi ashabah.
Mendapat 2/3 bagian apabila dua orang atau
lebih,tidak ada anak,cucu dan ayah,serta tidak ada
ahli waris yang menariknya menjadi ashabah
Tertarik menjadi ashabah oleh saudar laki-laki
kandung atau oleh kakek (ashabah bil ghair)
Menjadi ashabah ma’al ghair,karena bersama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-
laki
Terhalang oleh ayah,anak laki-laki,atau cucu laki-
laki dari anak laki-laki
10. Bagian Saudara Perempuan Seayah
Mendapat ½ bagian,apabila hanya seorang,tidak ada
anak,cucu,saudara kandung,ayah,sera tidak ada yang
menariknya menadi ashabah
Mendapat 2/3 bagian,apabila dua orang atau lebih
dengan syarat sebagaimana diatas
Mendapat 1/6 bagian,apabila bersama dengan seorang
saudara perempuan kandung,yaitu untuk menggenapi
2/3 bagian
Tertarik menjadi ashabah oleh saudara laki-laki
seayah atau kakek (ashabah bil ghair)
Menjadi ashabah ma’al ghair,karena bersama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-
laki
11. Bagian Saudara Seibu (laki-laki atau perempuan)
Mendapat 1/6 bagian apabila hanya seorang dan
tidak ada ayah,kakek,anak,atau cucu dari anak
laki-laki
Mendapat 1/3 bagian apabila dua orang atau lebih
dan tidak ada ayah,kakek,anak,atau cucu dari anak
laki-laki.
I. PENGHALANG HAK WARIS
Dalam istilah hukum waris ialam penghalang
hak waris di sebut dengan Hijab yang berarti tabir atau
dinding yang menghalangi ahli waris untuk memperoleh
harta waris baik sebagian maupun secara utuh. Hijab
dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Hijab Nuqshan
Adalah penghalang yang hanya mengurangi
sebagian dari bagian ahli waris,karena adannya ahli
waris lain yang mewaris besamannya.
b.. Hijab Hirman
Yaitu penghalang yang menutup sama sekali
bagian waris seseorang baik krena adannya sifat atau
perbuatan tertentu, atau karena ada ahli waris yang
lebih dkat dengan pewaris.
Hijab hirman ini dibedakan antara bil-washfi dan bis-
shaksi
Bil washfi
Penghalang ahli waris untuk mendapatkan harta
warisan yang disebabkan adannya sifat atau perbuatan
ahli waris itu sendiri.sebab-sebab tersebut antara
lain,pembunuhan dan perbedaan agama.ada cara lain untuk
bisa saling memindahkan hak milik misalnya dengan
wasiat atau hibah.
Bis-Shaksi
Penghalang ahli waris untuk mendapat harta
waris yang disebabkan adannya ahli waris yang lebih
dekat dengan pewaris.
2. HUBUNGAN HUKUM WARIS ISLAM DENGAN HUKUM WARIS
NASIONAL
Di indonesia belum ada suatu ketentuan hukumtentang waris yang dapat ditetapkan untuk seluruh warganegaranya. Oleh karena itu, hukum warisan yangditerapkan bagi seluruh warga negara indonesia masihberbeda-beda mengingat penggolongan warga negara.
1. Bagi warga negara golongan indonesia asli, padaprinsipnya berlaku hukum adat, yang sesuai denganhukum adat yang berlaku masing-masing daerah.
2. Bagi warga negara golongan indonesia asli yangberagama islam di berbagai daerah, berlaku hukumislam yang sangat berpengaruh padanya.
3. Bagi orang arab pada umumnya, berlaku hukum islamsecara keseluruhan.
4. Bagi orang-orang tionghoa dan eropa, berlaku hukumwarisan dari Bugerlijk Wetboek.
Seperti penegasan tentang anak luar kawin dan anakangkat seharusnya juga termasuk dalam bagian ini.Mengenai anak yang lahir diluar perkawinan disebutdalam pasal 186 bahwa ia mempunyai hubungan salingmewarisi dengan ibu dan keluarga pihak ibunya.Sedangkan mengenai anak angkat perlu ada pengesahanbahwa sesuai dengan ketentuan hukum islam anak angkattidak mewarisi orang tua angkatnya. Akan tetapi, anakangkat berhak mendapatkan bagian harta orang tuaangkatnya melalui prosedur lain.6
3. HUKUM WARIS DALAM KOMPILASI HUKUM ISLAM
Pengumpulan sumber-sumber hukum islam yang
kemudian di jadikan satu atau di bukukan dapat
digunakan sebagai acuan hukum islam terutama dalam
bidang mawaris. kompilasi hukum nasional dalam hukum
6 Sigit Budiharto.Perkembangan Politik Hukum Di Indonesia Dan Pengaruhnya Serta Solusinya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif.(oline).http://sigitbudhiarto.blogspot.com/2013/05/perkembangan-politik-hukum-di-indonesia_1089.html. diakses tanggal 30 Mei 2014
waris islam dapat kita lihat dalam hukum kompilasi
islam yang telah sedikit di terangkan di bagian atas
sebagai dasar hukum nasional yang saat ini mulai di
jalankan dan jadikan sebagai hukum negara misalnya saja
dalam bab waris ini,dimana telah telah tertulis dengan
jelas pada kompilasi hukum islam (KHI) seperti Pewaris
bab1Pasal 171c KHI dan ahli waris pasal 171,173,174,175
KHI, Kompilasi Hukum Islam (KHI) disahkan melalui
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 tanggal 10 Juni 1991,KHI memuat tiga buku yaitu:
Buku I HukumPerkawinan (Pasal 1-170),
Buku II Hukum Kewarisan (Pasal 171-214),
Buku III HukumPerwakafan (Pasal 215-229).7
Dalam rumusn Kompilasi Hukum Islam selanjutnya
disebut KHI ahli waris adalah orang yang pada saat
meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak
terhalang karena hukum dengan ahli waris Hukum waris
atau hukum Faroid adalah hukum yang mengatur pemindahan
hak pemilikan harta peninggalan ( tirkah ) pewaris
termasuk siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan
berapa bagiannya masing-masing. ( pasal 171 a KHI ).
Dalam Kompilasi Hukum Islam diatur mengenai masalah-
masalah yang berkaitan dengan:
7 Biyo Toyib.Dasar Hukum Islam. (online). http://biyotoyib.blogspot.com/2012/03/dasar-hukum-waris-islam.html, diakses tanggal 30 Mei 2014
a. Besarnya bagian ahli waris (pasal 176-191)
b. Tentang Aul dan raad(pasal 192-193)
c. Wasiat(pasal 194-209)
d. Ahli waris pengganti ( pasal 185 KHI ).
(1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari
pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh
anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal
173. (terhalang menjadi ahli waris).
(2) Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh
melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat
dengan yang diganti.
e. Perihal anak angkat ( pasal 209 KHI ).
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi
berdasarkan pasal-pasal 176 sampai dengan 193
tersebut diatas, sedangkan terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan
anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta
warisan orang tua angkatnya.
f. Perihal Hibah ( pasal 210 KHI ).
(1) Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya
21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan
dapat menghibahkan sebanyak-banyaknya 1/3 harta
peninggalannya kepada orang lain atau lembaga
dihadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
(2) Harta benda yang dihibahkan harus merupakan
hak dari penghibah.
g. Tentang Aul ( meningkat/bertambah – pasal 192
KHI ).
Apabila dalam pembagian harta warisn diantara para
ahli Dzawil Furud menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih besar dari pada angka penyebut,
maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan
dibagi secara aul menurut angka pembilang.
Biasanya sumber utama Aul adalah asal masalah 6,
12, 14.
h. Tentang Rad ( pasal 193 KHI ).
Apabila dalam pembagian harta warisan diantara
para ahli waris Dzawil Furud menunjukkan bahwa
angka pembilang lebih kecil dari pada angka
penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah,
maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan
secara Rad, yaitu sesuai dengan hak masing-masing
ahli waris, sedang sisanya dibagi secara berimbang
diantara mereka.8
8Anugrahjayautama. Hukum Waris islam.(Online). http://anugrahjayautama.blogspot.com/2012/06/resume-hukum-waris-islam.html, diakses tanggal 30 Mei 2014
Dalam penyusunan Kompilaso Hukum Islam, ada
beberapa hal yang menjadi catatan karena dirasakan
kurang lengkap, misalkan saja, dalam hal waris pesoala
agama menjadi sangat esensial sehingga haris ada
penegasan bahwa perbedaan agama akan menghilangkan hak
waris, namun mengenai hal ini tidak diketemukan dalam
Kompilasi Hukum Islam. KHI hanya menegaskan bahwa ahli
waris beragama islam pada saat meninggalnya pewaris.
Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama
islam, terdapat pada pasal 172. Disamping itu juga
dalam KHI tidak dicantumkan murtad seseorang menjadi
penghalang utama untuk menjadi ahli waris. Adapun porsi
perbandigan pembagian warisan antara bagian wanita dan
laki-laki masih dipertahankan secara ketat perbandingan
dua berbanding satu. ketentuan warisan telah dicatumkan
dalam Kompilasi Hukum Islam, namun keinginan-keinginan
untuk memperbaharui KHI masih tetap ada.
4. PENGARUH UNDANG-UNDANG NO 7 TAHUN 2009 TENTANG
PERADILAN AGAMA SEBAGAI PRODUK UNIFIKASI HUKUM
TERHADAP HUKUM WARIS POSITIF DI INDONESIA
Pada tahun 1989, pemerintah menetapkan UU No. 7
tahun 1989 yakni UU Peradilan Agama (UUPA). Undang-
Undang ini menetapkan wewenang Pengadilan Agama untuk
menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan warisan
atau faraid. UUPA telah diamandemen menjadi UU No. 3
tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama diperluas. Tidak
hanya sebatas mengadili masalah perkawinan, waris,
wasiat, hibah, sedekah, wakaf orang Islam, tetapi juga
bidang usaha ekonomi syari’ah.
Sebelum berlakunya UU tentang Peradilan Agama
Pengadilan Negeri berwenang memeriksa perkara
waris menurut Hukum Waris KUH Perdata/BW, Hukum Waris
Islam dan Hukum Waris Adat. Dan berlakunya Hukum Waris
Islam di sini terjadi karena adanya permohonan dari
para pihak agar perkara mereka diperiksa dan diputus
dengan menggunakan Hukum Waris Islam.
Sesudah berlakunya UU tentang Peradilan Agama
Setelah berlakunya Undang-Undang No 7 tahun 1989
tentang Peradilan Agama peta Hukum Waris Positif di
Indonesia menjadi diinterpretasi menjadi:
Ø Hukum Waris BW berlaku bagi WNI yang beragama non
Islam, baik yang berasal dari keturunan Eropa maupun
yang berasal dari keturunan Tionghoa. Dan Pengadilan
yang diberi kewenangan untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di bidang waris adalah Pengadilan
Negeri.
Ø Hukum Waris Adat berlaku bagi WNI Bumi Putera atau
Indonesia Asli yang beragama non-Islam. Dan Pengadilan
yang diberi kewenangan untuk memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara di bidang waris adalah Pengadilan
Negeri.
Ø Hukum Waris Islam berlaku bagi WNI keturunan Eropa,
keturunan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing lainnya,
Bumi Putera atau Indonesia Asli yang beragama Islam.
Dan Pengadilan yang diberi kewenangan untuk memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di bidang waris
adalah Pengadilan Agama.
Pengadilan Negeri hanya berwenang memeriksa
perkara waris menurut Hukum Waris KUH Perdata/BW bagi
orang yang semula tunduk pada KUH Perdata/BW dan Hukum
Waris Adat.
Sedangkan Pengadilan Agama menjadi berwenang untuk
memeriksa dan memutus perkara waris bagi orang-orang
yang beragama Islam. Sehubungan bagi orang-orang yang
beragama Islam selama ini telah terbiasa dengan Hukum
Waris Adat sebagai kebiasaan mereka selama ini, maka
persoalan yang timbul diberi jalan keluar
dalam Kompilasi Hukum Islam.
UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
disebutkan dalam pasal 49 bahwa: “Pengadilan agama
berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara waris bagi
orang yang beragama Islam.”
Dari bunyi pasal di atas dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa:
1) UU ini berorientasi tidak ada penggolongan rakyat.
2) Siapa yang dimaksud dengan mereka yang beragama
Islam.
3) Dikenalkan opsi hukum / pilihan hukum.
- Adanya hak memilih, jadi pembentuk undang- undang
menitikberatkan pada aspek keadilan bukan pada aspek
kepastian.
- Keadilan dipandang adil oleh yang bersangkutan.
- Implementasi opsi hukum, yaitu memilih hukum dari
waris Islam dan waris adat. Memilih 1 dari 2 opsi
hukum, karena historisnya orang Indonesia dahulu ada
golongan.
4) Argumentasi opsi hukum itu apa.
5) Permasalahan keadilan.
- Masalah yang timbul dari keadilan, antara lain : ahli
waris laki- laki dan perempuan, ahli waris janda dan
anak, ahli waris anak dan anak angkat.
Mengenai opsi hukum / pilihan hukum ini oleh
Mahkamah Agung RI telah mengeluarkan Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA) No 2 tahun 1990 tentang Petunjuk
Pelaksanaan UU No 7 tahun 1989, khususnya pada point
4.2 yang berbunyi: “Perkara-perkara antara orang-orang yang
beragama Islam di bidang kewarisan yang juga berkaitan dengan
masalah hukum, hendaknya diketahui bahwa ketentuan pilihan hukum
merupakan masalah yang terletak di luar badan Peradilan, dan berlaku
bagi mereka atau golongan rakyat yang Hukum Warisnya tunduk pada
Hukum Adat dan/atau Hukum Islam, atau tunduk pada Hukum Perdata
Barat/BW dan/atau Hukum Islam di mana mereka boleh memilih Hukum
Adat atau Hukum Perdata Barat/BW yang menjadi wewenang Pengadilan
Negeri atau memilih Hukum Waris Islam yang menjadi wewenang
Pengadilan Agama.”9
Kewenangan Peradilan agama mengadili perkara kewarisan
suhrawardi K, Lubis, S.H.-Komis Simanjuntak, S.H.,
Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis) Edisi
kedua(Jakarta: Sinar Grafika, 2013). Pada tanggal 29
Desember 1989, disahkan dan diundangkan Undang-undang
tentang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 melalui
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49.
Dengan Lahirnya UU ini sekaligus mempertegas kedidikan
dan kekuasaan bagi Peradilan Agama sebagai kekuasaan
kehakiman sesuai dengan lembaga peradilan lainnya.
Tegasnya kedukakan Peradilan Agama ini jelas
diungkapkan dalam konsideran undang-undang tersebut
seperti dirumuskan dalam huruf c, yang dikemukakan
bahwa salah satu upaya untuk menegakkan keasilan,
kebenaran, dan ketertiban dan kepastian hukum tersebut
adalah melalui Peradilan Agama sebagaimana dimaksud
9 Sigit Budiharto.Perkembangan Politik Hukum Di Indonesia Dan Pengaruhnya Serta Solusinya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif.(oline).http://sigitbudhiarto.blogspot.com/2013/05/perkembangan-politik-hukum-di-indonesia_1089.html. diakses tanggal 30 Mei 2014
dalam Undang-Undagan Nomor 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 10
Sebagaimana yang tercantum didalam Pasal 49 ayat 1
huruf b UU No. 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama,
salah satu bidang hukum tertentu yang dimasukkan ke
dalam kewenangan mengadili lingkungan Peradilan Agama
adalah mengadili perkara warisan. Perlu untuk meneliti
luas jangkauan kewenangan tersebut mengingat berbagai
permasalahan titik singgung perselisihan yurisdiksi
mengenai perkara warisan antara lingkungan Peradilan
Umum dan Peradilan Agama di masa lalu dan di masa
sekarang, berkaitan dengan putusan Pengadilan Agama
yang diteliti. Oleh karena itu, penulisan tesis akan
mencoba menjajaki keluasan jangkauan itu melalui
pendekatan ketentuan yang digariskan dalam Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang No. 3 Tahun
2006 jo. Undang-Undang No. 50 tahun 2009 Tentang
Peradilan Agama.
5. CONTOH KASUS
Kasus 1Pak Ali meninggal dengan para ahli waris sebagaiberikut : seorang istri (bernama Maimunah), seoranganak laki-laki (bernama Budi), dan seorang anak10 Yanels Garsione Damanik. Undang-undang pengadilan agama dan Kompilasi Hukum Islam. (online). http://www.slideshare.net/YanelsGarsione/kewenangan-peradilan-agama-mengadili-perkara-kewarisan#, diakses terakhir tanggal 31 Mei 2014
perempuan (bernama Wati). Harta warisnya senilai Rp 100juta. Berapakah perhitungan bagian ahli waris masing-masing?
Jawab :
Dalam hukum waris Islam, istri merupakan ash-habulfurudh, yaitu ahli waris yang mendapat bagian hartawaris dalam jumlah tertentu. Istri mendapat 1/4(seperempat) jika suami yang meninggal tidak mempunyaianak, dan mendapat 1/8 (seperdelapan) jika mempunyaianak. (Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Risalah filFaraidh, hal. 7).
Dalam kasus ini suami mempunyai anak, maka bagian istriadalah 1/8 (seperdelapan) sesuai dalil Al-Qur`an :
م ت� رك� ا ت�� م لهن� ال�ث�من� م� د ف�� م ول� ك ان� ل� ن� ك� ا% ف��“Jika kamu (suami) mempunyai anak, maka para istri itumemperoleh seperdelapan dari harta yang kamutinggalkan…” (QS An-Nisaa’: 12).
Sedangkan seorang anak laki-laki dan seorang anakperempuan adalah ashabah, yaitu ahli waris yangmendapat bagian harta waris sisanya setelah diberikanlebih dulu kepada ash-habul furudh.
Kedua anak tersebut mendapat harta sebanyak = 7/8(tujuh perdelapan), berasal dari harta asal dikurangibagian ibu mereka (1 – 1/8 = 7/8).
Selanjutnya bagian 7/8 (tujuh perdelapan) itu dibagikepada kedua anak tersebut dengan ketentuan bagian anaklaki-laki adalah dua kali bagian anak perempuan sesuaidalil Al-Qur`an :
ن� ي' ي( ث+ ن�� الأ. ظ1 ل ح� ي� ر م� ك� لد� م ل� ولأدك� ي( ا. م ال�له ف� ك ي( وص� ي�(
“Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian hartawaris untuk) anak-anakmu, yaitu : bagian seorang anaklelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.”(QS An-Nisaa’: 11)
Maka bagian Wati = 1 bagian dan bagian Budi = 2 bagian.Maka harta ashabah tadi (7/8) akan dibagi menjadi 3bagian (dari penjumlahan 1 + 2 ). Atau penyebutnyaadalah 3. Jadi bagian Wati= 1/3 dari 7/8 = 1/3 X 7/8 =7/24 (tujuh perduaempat), dan bagian Budi = 2/3 dari7/8 = 2/3 X 7/8 = 14/24 (empat belas perduaempat).
Berdasarkan perhitungan di atas, maka bagian IbuMaimunah (istri) = 1/8 X Rp 100 juta = Rp 12,5 juta.Bagian Wati = 7/24 x Rp 100 juta = Rp 29,2 juta. Sedangbagian Budi adalah = 14/24 x Rp 100 juta = Rp 58,3juta.
Kasus 2
“Kedudukan Anak Angkat Dalam Faraidh Dan KetentuanMengenai Ahli Waris Yang Membunuh Pewaris” 11
Pada tahun 2009, seorang laki-laki meninggal duniakarena ditusuk oleh salah satu anak laki-lakinyasendiri. Ia meninggalkan tiga orang anak laki-lakikandung, seorang anak perempuan kandung, seorang anaklaki-laki angkat, seorang ibu, seorang nenek, dansaudara laki-laki sekandung. Ketika laki-laki itumeninggal, ia meninggalkan harta sebesar Rp.700.000.000,-. Ternyata sebelum ia meninggal, ia pernahmenyatakan bahwa ia mewasiatkan 1/7 hartanya kepadaanak angkatnya.Bagaimanakah penyelesaian kasusnya?
11 Fitri. Contoh Kasus Perkawinan dan Waris Islam. (online), http://elwildan.wordpress.com/2011/12/13/contoh-kasus-perkawinan-dan-waris-islam/, diakses tanggal 30 Mei 2014)
Dalam hal ini yang menjadi ahli waris adalah :1. ibu2. Dua anak laki-laki 3. Seorang orang anak perempuan Satu orang anak laki-laki tidak bisa menjadi ahli
waris ayahnya karena ia telah terbukti membunuh ayahnyasendiri. Hal ini diatur dalam Bab II pasal 173 sub aKHI, “Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusanhakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukumkarena dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh ataumenganiaya berat para pewaris”.Selain itu, Rasulullah SAW.Bersabda : “Barang siapa membunuh seorang korban, maka ia tidakdapat mewarisinya, walaupun korban tidak mempunyai ahli waris selaindirinya, walaupun korban itu bapaknya maupun anaknya. Makapembunuh tidak berhak mewarisi” (H.R. Ahmad).Anak angkat tidak mendapatkan bagian waris karena dalamislam ada ketentuan bahwa anak angkat bukan merupakanbagian dari ahli waris. Sebagaimana disebutkan dalamal-qur’an surat al-Ahzab ayat 4 : “Tidaklah Allah menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongganyadan tidaklah isteri-isteri kamu yang telah kamu serupakan punggungnyadari kalangan mereka menjadi ibumu dan tidaklab Dia menjadikan anakyang kamu angkat jadi anakmu benar-benar Itu hanyalah ucapanmudengan mulutmu. Dan Allah mengatakan yang benar dan Dia akanmenunjuki jalan”.
Nenek tidak menjadi ahli waris karena iaterhijab/terhalang oleh ibu.
Saudara laki-laki kandung tidak menjadi ahli wariskarena terhijab/terhalang oleh anak laki-laki kandung.
Bagaimanakah proses pembagian harta benda warisannya?
Pertama, harus dipenuhi dulu wasiat sipewaris,sebagaimana diatur dalam Al-Quran Surat Annisa Ayat11 dan diatur dalam Bab V Tentang Wasiat Dari Pasal 175 ayat (1) sub
c, “Kewajiban ahli waris terhadap pewaris adalah menyelesaikan wasiatpewaris.”Dalam hal ini wasiat kepada anak angkat,wasiatnya sah karena tidak melebihi dari 1/3 dariseluruh harta dan tidak diberikan kepada ahli waris,sebagaimana diatur dalam Bab V pasal 195 ayat (2) KHI, “ Wasiathanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisankecuali apabila semua ahli waris menyetujui.”Dalam kasus waris ini, ibu mendapat bagian 1/6 dariharta yang ditinggalkan karena pewaris/yang meninggalmeninggalkan keturunan, diatur dalam pasal 178 ayat (1)KHI,“Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudaraatau lebih…”dan diatur dalam al-qur’an Surat An Nisa Ayat 11.Dua anak laki-laki mendapat bagian ‘asobah binnafsi,dan satu anak perempuan mendapatkan bagian ‘asobah bilghoir karena ada anak laki-laki.
Adapun pembagiannya adalah sebagai berikut :
Harta peninggalan Rp.700.000.000,00-Wasiat 1/7 x Rp.700.000.000,00 = Rp.100.000.000,00Rp.600.000.000,00-Ibu 1/6x Rp.600.000.000,00 = Rp.100.000.000,00Rp.500.000.000,00-*Dua anak (laki-laki) ‘asobah binnafsi Rp.400.000.000,00@ Rp.200.000.000,00Satu anak (perempuan) ‘asobah bil ghair Rp.100.000.000,00
Rp.0,00
Ket. : *bagian anak laki-laki sama dengan dua bagiananak perempuan, sebagaimana diatur dalam Al Quran Surat An-Nisa Ayat 11. “Allah mensyari’atkan kepadamu tentang pembagianwarisan untuk anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua anak perempuan”. Jadi apabila dilihat daricontoh diatas, bagian 3 orang anak itu seolah-olahbagian untuk 5 orang anak, karena 2 anak laki-lakimenjadi 4 bagian ditambah satu bagian anak perempuan.
kasus 3
Ahli Waris Yang Pindah Agama12
Seseorang mengalami kecelakaan berat yangmenyebabkan ia meninggal dunia, namun sebelum iameninggal ia dilarikan ke rumah sakit terlebih dahulu.Sehingga pada saat ia meninggal, pihak rumah sakitmenagih biaya perawatannya selama di rumah sakit. Iameninggalkan seorang isteri, dua orang anak perempuan,seorang ayah, seorang ibu. Namun, ternyata salahseorang anak perempuannya berpindah agama ke dalamagama Kristen. Bagaimanakah pembagian warisannya?
Dalam hal ini, yang menjadi ahli waris adalah :
1. Seorang Isteri2. Seorang anak perempuan3. Seorang ayah4. Seorang ibu
Anak perempuan yang satu lagi tidak menjadi ahli wariskarena ia berlainan agama dengan pewaris. Rasulullah SAW., bersabda :
Isteri mendapat bagian 1/8 dari harta peninggalankarena pewaris meninggalkan keturunan, sebagaimanadiatur dalam pasal 180 KHI yaitu “janda mendapat ¼ bagian bilapewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak
12 Fitri. Contoh Kasus Perkawinan dan Waris Islam. (online), http://elwildan.wordpress.com/2011/12/13/contoh-kasus-perkawinan-dan-waris-islam/, diakses tanggal 30 Mei 2014)
maka janda mendapat seperdelapan bagian.”seorang anakperempuan mendapat bagian ½ dari harta peninggalan,diatur dalam pasal 176 KHI, “Anak perempuan bila hanya seorang iamendapat separoh bagian ….”. ibu mendapat bagian 1/6,diatur dalam pasal 178 KHI,“Ibu mendapat seperenam bagian bilaada anak atau dua saudara atau lebih….” dan ayah mendapatbagian ‘asobah.
Adapun pembagian warisannya adalah sebagai berikut :
Sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris harusdipenuhi dulu hal-hal yang berkaitan dengan pewaris,dalam kasus ini adalah pembayaran rumas sakit pewarissebelum ia meninggal dunia, kain kafan, upah menggalikuburan, dan lain-lain. Sebagaimana hadits RasulullahSAW., “kafanilah olehmu mayat itu dengan kain ihramnya.” Selainitu, diatur juga dalam Bab II pasal 175 sub KHI, “Kewajiban ahliwaris terhadap pewaris adalah:a. mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;b. menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan,termasuk kewajibanpewaris maupun penagih piutang”.
Kemudian setelah semuanya terpenuhi, barulah dibagikanharta warisan itu kepada ahli waris. Dengan rinciansebagai berikut :
(Asal masalahnya : 24)
1 Anak perempuan ½ x 24 = 12
PENUTUP
KESIMPULAN
Di negara kita RI ini, hukum waris yang berlakusecara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3(tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima olehmasyarakat Indonesia, yakni hulum waris yangberdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum PerdataEropa (BW). Hal ini adalah akibat warisan hukum yangdibuat oleh pemerintah kolonial Belanda untuk HindiaBelanda dahulu.
Karena itu menginggat bangsa Indonesia yangmayoritas beragama islam yang tentunya mengharapkanberlakunya hukum Islam di Indonesia, termasuk hukumwarisnya bagi mereka yang beragama Islam, maka sudahselayaknya di dalam menyusun hukum waris nasional nantidapatlah kiranya ketentuan-ketentuan pokok hukum warisIslam dimasukkan ke dalamnya, dengan memperhatikan pulapola budaya atau adat yang hidup di masyarakat yangbersangkutan
Pemaparan tentang kewarisan sampai berimplikasipada keyakinan ulama tradisionalis bahwa hukumkewarisan islam tidak dapat berubah dan menolak segalaide pembaharuan. Hal ini terlihat dari teks kitab-kitabfikih klasik yang menyebut hukum kewarisan islam denganilmu “faraidh”.
Kata faraidh merupakan jamak dari fa-ri-dla yangberarti ketentuan, sehingga ilmu faraidh diartikandengan ilmu bagian yang pasti. Di negara indonesia jugaterdapat hukum positif yang diberlakukan untukmasyarakat. Dalam hukum positif di indonesia, selainKHI keberlakuan hukum kewarisan telah dengan jelasditunjukan oleh Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 jo.Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 jo. Undang-Undang No. 50tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Zahari, 2008, Hukum Kewarisan Islam, FH Untan Press, Pontianak.
Amir Syarifuddin, 1984, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, Gunung Agung, Jakarta.
H.R Otje Salman dan Mustofa Haffas, 2006, Hukum Waris Islam,Refika
Aditama, Bandung.
Muhammad salim. hukum waris. (online). http://serbamakalah.blogspot.com/2013/11/hukum-waris_2890.html, diakses tanggal 30 Mei 2014
Irsan Ismail. hukum unmer malang. (online). http://echtheid-irsan.blogspot.com/2012/04/hukum-islam-waris-islam.html, diakses tanggal 31 Mei 2014.
Sigit Budiharto.Perkembangan Politik Hukum Di Indonesia Dan Pengaruhnya Serta Solusinya Terhadap Berlakunya Hukum Waris Positif
.(oline).http://sigitbudhiarto.blogspot.com/2013/05/perkembangan-politik-hukum-di-indonesia_1089.html. diakses tanggal 30 Mei 2014.
Biyo Toyib.Dasar Hukum Islam. (online). http://biyotoyib.blogspot.com/2012/03/dasar-hukum-waris-islam.html, diakses tanggal 30 Mei 2014.
Anugrahjayautama. Hukum Waris islam.(Online). http://anugrahjayautama.blogspot.com/2012/06/resume-hukum-waris-islam.html, diakses tanggal 30 Mei 2014.
Yanels Garsione Damanik. Undang-undang pengadilan agama dan Kompilasi Hukum Islam. (online). http://www.slideshare.net/YanelsGarsione/kewenangan-peradilan-agama-mengadili-perkara-kewarisan#, diakses terakhir tanggal 31 Mei 2014.
Fitri. Contoh Kasus Perkawinan dan Waris Islam. (online), http://elwildan.wordpress.com/2011/12/13/contoh-kasus-perkawinan-dan-waris-islam/, diakses tanggal 30 Mei 2014)