HUKUM KETAATAN KEPADA PENGUASA DZALIM
MENURUT IBNU TAIMIYAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
LULUK HUSNAWATI
1110045200022
KONSENTRASI KETATANEGARAAN ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1436 H/2015
i
ABSTRAK
Luluk Husnawati. NIM 1110045200022. Hukum Ketaatan Kepada
Penguasa Dzalim Menurut Ibnu Taimiyah. Konsentrasi Ketatanegaraan Islam
Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) syarif Hidayatullah Jakarta 1435 H / 2015 M. Ix + 63 halaman.
Mengikuti perkembangan dari zaman ke zaman, maka pemikiran Ibnu
Taimiyah ini masih sangat relevan apabila dikaji dan diterapkan pada masa
sekarang ini. Karena kezaliaman tidak pernah akan habis dan berhenti selama
masih adanya pemimpin yang zalim.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian dengan jenis penelitian
kepustakaan (Library research) , dan menggunakan sumber data dalam rangka
penyempurnaan kajian ilmiah yaitu sumber data primer dan sumber data
sekunder. Dalam memakai analisa data dapat di ambil data secara deskriptif
analitis dan metode hermeneutika.
Konsepsi Ibnu Taimiyah tentang pemimpin zalim meliputi: dasar
pemikiran Ibnu Taimiyah tentang pemimpin zalim, sikap Ibnu Taimiyah terhadap
pemimpin zalim dan hukum melawan pemimpin zalim. Al-Qur’an sebagai prinsip
dasar masyarakat Islam dijadikan oleh Ibnu Taimiyah sebagai rujukan untuk
menegakkan kebenaran dan keadilan. Dalam hal ini pula Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa pemimpin yang dapat mengendalikan rakyat adalah kewajiban
yang asasi dalam agama. Bahkan tegaknya tidak mungkin direalisasikan, kecuali
dengan adanya “Kepemimpinan”. Dari sinilah ada sebuah riwayat yang
mengatakan enam puluh tahun dari kehidupan seorang pemimpin yang zalim itu
lebih baik daripada satu malam tanpa adanya kepemimpinan.
Selanjutnya Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa masyarakat dilarang
untuk memberontak (perang) sehingga terjadinya pembunuhan. Karena
menurutnya bisa menimbulkan kehancuran dan akan menimbulkan kezaliman
yang lebih besar dan juga untuk menghindari akan terjadinya kekosongan
kekuasaan. Untuk menghindari itu, Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa kepala
negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik dari pada kepala negara yang
tidak adil meskipun Islam, dengan menyetujui ungkapan bahwa Allah mendukung
negara yang adil meskipun kafir, dan bahwa Allah tidak mendukung negara tidak
adil sekalipun Islam.
Kata kunci : Hukum Ketaatan Kepada Penguasa Dzalim Menurut Ibnu
Taimiyah
Pembimbing : Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., M.A., M,M
Daftar Pustaka : Tahun 1953 s.d Tahun 2009
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT penulis panjatkan atas
segala rahmat, hidayah dan inayah-Nya yang telah diberikan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Shalawat serta
salam semoga tetap tercurahka kepada Nabi Muhammad SAW, Rasul yang
berjasa besar kepada kita semua dalam membuka gerbang ilmu pengetahuan.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Sugeng Ali dan Ibunda Hj.
Muntasiroh yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, dan doa
tanpa kenal lelah. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih
sayang-Nya kepada mereka.
Penulis sadari bahwa tidak akan sanggup menghadapi dan mengatasi
berbagai macam hambatan dan rintangan yang mengganggu lancarnya penulis
skripsi ini, tanpa adanya bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan yang berharga ini perkenankan penulis untuk
menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Maskufah, MA, Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan
kepada Ibu Rosdiana, MA, Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah
yang telah membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan
skripsi ini.
iii
3. Prof. Dr. Zaitunah Subhan, sebagai Pembimbing Akademik yang juga
senantiasa mengingatkan penulis semasa mengikuti perkuliahan hingga
penulis menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak, Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA., M.M sebagai
Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, pikiran,
perhatiannya kepada penulis dan memberikan pengarahannya.
5. Segenap Bapak/Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan.
6. Untuk ibunda dan ayahanda tercinta (H. Sugeng Ali dan Hj.
Muntasiroh) yang tak pernah lelah setiap waktunya selalu
mendoakan,dan kasih sayangnya yang tidak pernah berkurang kepada
penulis dan selalu memberikan semangat serta motivasinya.
7. Kepada kakak-kakak saya Evi Hamidah dan cak Ali Mansur yang
senantiasa memberikan semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi, Lilik Hidayati dan Mas Dodik Eko Siswanto
yang selalu memberikan semangat, kasih sayang bahkan bantuan
dalam membiayai perkuliahan.
8. Kepada sahabat-sahabat terbaikku Izzah Muhammad, Siti Nurlaela,
Eli Rinawati, Vicky Imelsya Fauzi, Sholiyah, Nining Lutfiah HAB,
Siti Nurhilaliyah, Ade Hikmatul Fauziah, Hafiz yang selalu
mengingatkan, selalu sabar mendengarkan keluhan dan memberikan
solusi dalam pembuatan skripsi.
iv
9. Kepada sahabat seperjuangan SS Angkatan 2010 yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, terima kasih atas kebaikan kalian, yang selalu
memberikan semangat, motivasi, dan do’anya kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada sahabat-sahabat KKN Sinergy dan sahabat-sahabat IMAGER
(Ikatan Mahasiswa Gresik) yang selalu memberikan motivasi, arahan,
selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
11. Seseorang yang juga telah memberikan semangat dan dukungan selalu,
MJ warid, thanksfor being present in my life.
12. Kepada sahabat-sahabat THTQ (Tiada Hari Tanpa Al-Qur’an) yang
selalu memberikan motivasi dan gurau canda selama penulis
mengerjakan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang
berlipat ganda. Sungguh, hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan
mereka dengan kebaikan yang berlipat ganda pula. Penulis berharap skripsi ini
dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis
harapkan untuk kesempurnaan skripsi ini.
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...................................................................................................... i
KATA PENGANTAR .................................................................................... ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah .................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 9
D. Tinjauan Pustaka .................................................................... 9
E. Metode Penelitian................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan............................................................. 12
BAB II Makna dan Pengertian Penguasa Dzalim
A. Makna dan Pengertian Penguasa Dzalim ............................... 13
B. Macam-macam dan Kriteria Dzalim ...................................... 17
C. Urgensi Ketaatan Kepada Penguasa Dzalim .......................... 20
BAB III Biografi Ibnu Taimiyah
A. Biografi Singkat Ibnu Taimiyah............................................. 27
B. Pendidikan Ibnu Taimiyah ..................................................... 30
C. Kondisi Sosial Politik Ibnu Taimiyah .................................... 33
D. Karya-karya Ibnu Taimiyah ................................................... 36
vi
BAB IV Konsep Ketaatan Kepada Penguasa
A. Pengertian Penguasa Dzalim Menurut Para Ulama ............... 42
B. Kriteria Penguasa Dzalim Menurut Ibnu Taimiyah ............... 47
C. Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Penguasa Dzalim........... 52
BAB V PENUTUP
D. Kesimpulan ............................................................................ 58
E. Saran – Saran.......................................................................... 59
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur'an adalah kitab suci yang memuat prinsip-prinsip dan seruan-
seruan moral, bukan hanya sebuah dokumen hukum. Meskipun demikian ia
juga mengandung beberapa pernyataan-pernyataan hukum yang penting
seperti masalah minuman keras, zina, pencurian dan lain-lain. Bagi umat
Islam, syari‟ah mencakup semuaaspek hukum publik dan perorangan,
kesehatan, bahkan kesopanan dan akhlak, bahwa sejatinya hukum syari‟ah
bukanlah hukum yang mengandung prinsip khusus dan aturan rinciannya
langsung diwahyukan kepada Allah kepada Nabi Muhammad Saw.1
Manusia adalah makhluk yang paling dimuliakan Allah. Allah SWT
menciptakannya dengan tangan (kekuasaan)-Nya sendiri, meniup ruh dari-
Nya kepadanya, memerintahkan sujud semua malaikat kepadanya,
menundukkan semua apa yang ada di langit dan bumi kepadanya,
menjadikannya sebagai khalifah-Nya di bumi, dan membekalinya dengan
kekuatan serta bakat agar iadapat menguasai bumi ini, dan supaya ia dapat
meraih dengan semaksimal kemampuannya akan kesejahteraan kehidupan
materil dan spiritualnya.
Akan tetapi seringkali antara manusia dengan sesamanya mempunyai
kepentingan yang berbeda, sehingga tidak jarang sering terjadi benturan
1M. Harir Murzaki, “Reinterprestasi Hukum Pidana Islam” dalam Cendikia Jurnal
Kependudukan dan Kemasyarakatan, (Ponorogo: STAIN Ponorogo, 2005), hal.93-94
2
antara beberapa kepentingan tersebut. Ketidak sepadanan kepentingan ini jika
dibiarkan akan menimbulkan perselisihan di dalam masyarakat, dimana yang
kuat menindas yang lemah, oleh karenanya dalam kehidupan dalam konsep
Islam beda kepentingan itu diatur menjadi suatu rahmat.
Dimana Islam adalah agama sekaligus ideologi. Adapun pemerintahan
dan Negara bagian yang tidak dapat di pisahkan dari eksistensisnya.
Perbedaan pendapat tentang Negara dan pemerintahan dikalangan pemikir
muslim, juga disebabkan oleh perbedaan perspektif mereka tentang esensi
kedua konsep tersebut. Sebagian memandang bahwa keduanya Negara dan
pemerintah berbeda secara konseptual, pemerintah adalah corak
kepemimpinan dalam mengatur kepentingan orang banyak (berhubungan
dengan metode atau strategi politik).2
Sedangkan negara dipahami sebagai lembaga politik yang merupakan
manifestasi dari kebersamaan dan keberserikatan sekelompok untuk
mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan bersama. Eksistensi Negara, dalam
hal ini meniscayakan adanya perpaduan antara kebebasan subyektif
(subjective liberty), yaitu kesadaran dan kehendak individual untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu dan kebebasan obyektif (objective liberty), yaitu
kehendak umum bersifat mendasar.3
2 Inu Kencana Syafie, “Al Qur‟an dan Politik”, (Jakarta: Rineka Cipta, Cet.ke-1,1996),
hal.135
3 M. Din Syamsuddin, “Etika Agama Dalam Masyarakat Madani”, (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2002), hal. 57.
3
Sebagaimana telah tercantum bahwa Islam menjamin politik yang
adil, dan telah mendefinisikan politik yang adil berjalan berdasarkan keadilan
Allah dan Rasulnya dan mewujudkan kemaslahatan manusia, maka
sesungguhnya di antara politik itu juga ada namanya “politik yang Dzalim”
syariah telah mengharamkan itu.4
Ulil-Amri ialah orang yang mempunyai wewenang dan kompetensi
dalam suatu urusan. Mereka menyuruh manusia kepada yang ma‟ruf dan
mencegah mereka dari yang munkar. Termasuk ulil amri ialah, pemerintahan,
ulama atau ilmuwan. Bila mereka baik, baiklah semua manusia, bila mereka
rusak, rusaklah semua manusia. Tercakup ke dalam ulil amri ialah raja-raja,
sesepuh, guru dan orang yang menguasai kitab-kitab dan hukum serta orang-
orang yang mempunyai pengikut, semua mereka ini harus menyuruh kepada
apa yang disuruhkan oleh Allah dan mencegah dari apa yang dilarang Nya.
Setiap orang yang berada dibawah wewenang Ulil Amri harus taat kepada
nya dalam hal-hal ketaatan kepada Allah, dan dilarang taat dalam hal-hal
kemaksiatan terhadap Allah.5
Harus diketahui, bahwa memimpin dan mengendalikan rakyat adalah
kewajiban yang asasi dalam agama. Bahkan tegaknya tidak mungkin
direalisasikan, kecuali adanya “Kepemimpinan”. Sedangkan seluruh anak
adam,mustahil akan mencapai kemaslahatan optimal kalau tidak ada
4 Farid Abdul Khalik, Fikih Politik Islam, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1998) hal.211
5Ibnu Taimiyyah, Munuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988) hal.115-116
4
perkumpulan yang mengikat dan memecahkan kebutuahan mereka.
Perkumpulan ini pasti butuh seseorang pemimpin yang mengadilkan.6
Menurut Muhammad Tholhah Hasan bahwa pemimpin adalah orang
yang mempunyai wewenang dan hak untuk mempengaruhi orang lain,
sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana yang di kehendaki
oleh pemimpin tersebut melalui kepemimpinannya.7
Kepemimpinan otoriter adalah kepemimpinan yang biasanya
memaksakan kehendaknya sendiri, agar dituruti dan ditaati semua
kehendaknya wajib dituruti. Dia berada di mata dan bersultan di hati. Untuk
melaksanakan maksudnya ini utuk menyingkirkan orang yang dianggapnya
lawan atau penghalang, dia dapat melakukan apa aja, tanpa memperhitungkan
apakah tindakan itu halal atau haram.
Jika perlu dia melakukan untuk membuangkan orang yang kritis atau
melakukan pembunuhan untuk menyingkirkan orang yang dicurigai atau
dianggap penghalang sekalipun adalah teman dekatnya, agar tidak ada orang
lain yang dikhawatiri akan menjadi saingannya.
Bagi dia kekuasaan atau kelanggengan kekuasaan adalah di atas
segalanya. Untuk mendapatkan atau untuk mempertahankan kekuasaan itu
semua cara adalah di atas segala-galanya. Untuk mendapatkan atau untuk
mempertahankan kekuasaan semua caraadalah halal demi tujuan kekuasaan
6 Ibnu Taimiyah, “Al-Siyasah Al-syar‟iyyah Fi Islahir Raa‟i War Ra‟iyyah”,Terj.Rofi‟
Munawwar,” Siyasah Syari‟ah Etika Politik Islam”, (Surabaya:Risalah Gusti,Cet.ke-1,1995),hal.
119
7 Muhammad Tholhah Hasan, “Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia”
(Jakarta:Penerbit Lantabara Press,2005), hal. 247
5
atau untuk mempertahankan kekuasaan itu semua cara adalah halal demi
tujuan kekuasaan atau untuk mempertahankan kekuasaan baginya.
Di dalam iklim kekuasaan di bawah kepemimpinan yang demikian,
maka masyarakat akan menjadi beku, tidak berkembang secara sehat,
masyarakat selalu merasa takut, dan akhirnya menjadi apatis, dan akan
berjiwa budak. Dan inilah yang dikehendaki oleh penguasa otoriter, karena
dengan masyarakat apatis, yang patuh, menurut saja apa kata penguasa,
masyarakat demikian mudah dikendalikan, tidak akan berani memprotes dan
akhirnya diharapkan kekuasaan yang tirani, penguasa otoriter itu akan
berjalan lama.
Wajib taat ini hanya pada perbuatan yang makruf saja dan jika
perbuatan itu maksiat, bathil, dzalim tidak wajib umat mentaatinya,
sebaliknya wajib menegur, mengoreksi. Mengoreksinya harus dengan cara
sopan menurut harkat kepemimpinannya itu, karena setiap orang itu dapat
saja keliru, salah, atau lupa. Di dalam hal ini pemimpin haruslah
menerimanya secara wajar saja, tidak boleh marah atau keras hati.8
Pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin walaupun hanya
terhadap diri kita sendiri dan mempunyai kewajiban untuk memerangi
kedzaliman dan kemungkaran walaupun hal itu dianggap memberontak yang
dilakukan oleh setiap orang yang ada di muka bumi ini karena setiap kita
adalah pemimpin. Yang mempunyai kewajiban untuk menegakkan keadilan
dan perdamaian demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Tindakan
8 Mochtar effendy, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, (Palembang: Al-Mukhtar,
1997) hal. 188
6
seperti itu, dalam bahasa politik dapat dikatakan sebagai suatu tindakan
pemberontakan terhadap pemimpin. Pemberontakan atau makar dalam hal ini
adalah bertujuan untuk menegakkan suatu kebenaran dan keadilan atau upaya
menghilangkan kedzaliman pemimpin.9
Ibnu Taimiyah adalah tokoh besar bermazhab Hambali. Begitu
ayahnya meninggal, ia menggantikan kedudukannya baik sebagai pendidik
maupun mufti. Ia tokoh puncak dalam keilmuan dunia keilmuan, amaliyah,
kezuhudan, keberanian, kemuliaan, kerendahan hati, kesabaran, kewibawaan,
keagungan, keikhlasan, dan keteguhannya dalam mempedomani hadis-hadis
Nabi Saw. Ibnu Taimiyah dianggap bagai pedang yang terhunus dihadapan
para penentang agama dan menggetarkan nyali para ahli bid‟ah.10
Nama lengkap Ibnu Taimiyyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd
Al-Halim bin Abd Salam Abdullah bun Muhammad bin Taimiyyah. Dia lahir
di Haran dekat Damaskus, Suria, pada tahun 661 H atau 1263 M, lima tahun
setelah jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tatar yang berarti pula
berakhirnya dinasti Abbasyiah. Pada usia enam tahun dia mengikuti ayahnya
pindah ke Damaskus demi menghindar dari kerajaan Tatar. Ayahnya yang
bernama Abu Al-Masin Abd Al-Halim adalah salah seorang ulama terkemuka
dari madzab Hambali. Bahkan kakeknya Syeh Al-Islam Abu Albarakat Abd
Al-Salam bin Abdullah juga salah seorang ahli Fiqh Hambali, yang juga Ahli
9 Muahammad Fu‟ad Abdul Baqi, “Al-Lu‟lu‟ Wal-Marjan”, (Terjm, H. Salim Bahreisy),
(Surabaya: Bina Ilmu, 1996), hal. 709
10 M. Arskal Salim, “Etika Intervensi Negara Perspektif politik Ibnu Taimiyah”, (Jakarta:
Logos, Cet ke-1, 1999), hal. 3
7
Hadist dan Tafsir. Di Damaskus semula dia belajar dari ayahnya sendiri,
kemudian berguru kepada Ali Zain Al-Din Al-Muqaddasi, Najm Al-Din bin
Asakir, Zainab Binti Maki. Pada usia dua puluh tahun ketika ayahnya tutup
usia, dia mulai memperlihatkan perhatian besar untuk mempelajari Fiqh
Hambali, disamping mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu Al-Qur‟an,
Hadist, Teologi.11
Mengambil kepemimpinan wajib bertujuan demi kepentingan agama
dan taqarrubannya dalam memegang kepemimpinan dengan mentaatinya dan
Rosul-Nya itu termasuk lebih afdalnya taqurrub.Dan kebanyakan umat
manusia menemui kemafsadatan karena diminati demi jabatan dan harta.12
Fungsi kontrol terhadap kepala negara sejak awal tidak masuk dalam
tugas Ahl hall wa Al-Aqd, karena fungsi ini merupakan kewajiban setiap
individu sebagai aktualisasi dari doktrin amar ma‟ruf nahi munkar. Meskipun
demikian kontrol kontrol terhadap khalifah ini jarang terjadi, baik secara lisan
maupun tulisan, karena dalam Fiqh atau teori politik Islam pra modern rakyat
harus taat kepada khalifah atau pemerintahan dan barang siapa yang
membangkang, mereka diancam hukuman mati sebagai bughat.13
Tanggung jawab seorang pemimpin merupakan dasar kepemimpinan
ketiga dalam pemerintahan Islam. Selama imam atau pemimpin negara
lainnya berpegang pada perintah Allah, dia juga memimpin dengan dasar
11
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta:UI Press, 1990) Hal. 79
12
Ibnu Taimiyah, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir Al-Zahidi,
(Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) hal. 159
13
Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami, (Kairo: Maktabah Darr Arubba,
1960) hal. 673
8
keadilan, melaksanakan segala hukuman-hukuman yang ada, dan
berkonsekuensi terhadap hukum dalam pelaksanaannya, serta selalu menjaga
amanah kepemimpinannya. Dia memenuhi segala persyaratan yang diberikan
kepada seorang pemimpin ketika diangkat menjadi pemimpin. Yang
demikian itu adalah imam yang adil, karena itu diwajibkan terhadap
rakyatnya untuk taat dan mendukung perbuatannya.
Dari sini kemudian penulis berpandangan bahwa agar lebih
meyakinkan bagi penulis tentang mengetahui adanya bagaimana Ketaatan
kepada Penguasa Dzalim Menurut Ibnu Taimiyah, maka penulis akan
melakukan penelitian ilmiah dalam bentuk skripsi. Dengan demikan penulis
memberikan judul skripsi:
“Hukum Ketaatan Kepada Penguasa Dzalim Menurut Konsep
Ibnu Taimiyyah”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka penulis hanya
membatasi penulisan ini mengenai Ketaatan kepada Penguasa dzalim
menurut Ibnu Taimiyah. Mengacu kepada pembatasan masalah di atas, maka
permasalahan yang akan menjadi objek penelitan, penulis merumuskannya
sebagai berikut :
1. Bagaimana pendapat ulama tentang ketaatan kepada penguasa dzalim?
2. Bagaimana kriteria penguasa dzalim menurut Ibnu Taimiyah?
3. Bagaimana pandangan Ibnu Taimiyah tentang penguasa dzalim?
9
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
Tujuan Penelitian, sesuai dengan perumusan masalah, maka
penulisan ini bertujuan untuk :
1) Untuk mengetahui dan menjelaskan tentang pendapat Ibnu Taimiyah
tentang penguasa dzalim.
2) Untuk menjelaskan kriteria penguasa dzalim menurut Ibnu Taimiyah.
3) Untuk menjelaskan pandangan Ibnu Taimiyah tentang penguasa dzalim.
Manfaat Penelitian, Adapun manfaat penelitian ini akan dijelaskan
sebagai berikut :
a) Bagi penulis, penulisan ini akan berguna dalam menambah wawasan
tentang ketaatan kepada pengusa dzalim menurut Ibnu Taimiyah.
b) Hasil penelitian ini diharapkan punya nilai signifikan dalam
pencarian ketaatan kepada penguasa dzalim.
c) Hasil penelitian ini dihadirkan untuk ilmu pengetahuan dan
penambahan wawasan yaitu sebagai sumbangsih terhadap dunia ilmu
pengetahuan politik Islam. Dan secara khusus adalah untuk
pengembangan pengetahuan bagi penulis dan mahasiswa Siyasah
Syar‟iyyah.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian pemikiran Ibnu Taimiyah bukanlah hal yang baru. Kajian
dan eksplorasi terhadap figur ulama ini telah berlangsung sejak lama. Apa
lagi penelitian dengan mengambil sebagian pemikiran darinya, beberapa tema
10
yang mempunyai intesitas rasional dengan karakteristik pemikirannya sudah
banyak dilakukan. Mengingat beliau adalah seorang ahli teologi.
Dalam dunia akademis ditemukan juga beberapa karya ilmiah yang
mengkaji pemikirannya baik dalam bentuk makalah, laporan penelitian,
skripsi, maupun disertasi. Dalam bentuk buku misalnya Qomaruddin Khan
menulis The Political Thought of Ibn Taimiyyah.14
Buku ini secara umum
membahas pemikiran Ibnu Taimiyah tentang konsep negara.
Khalid Ibrahim Jindan menulis buku berjudul Teori Politik Islam:
Telaah Kritis IbnuTaimiyah Tentang Pemerintahan Islam. Dalam buku ini,
Jindan membahas luar seputar pemikiran Ibnu Taimiyah tentang konsep
pemerintahan Islam.
Di dalam buku Ibnu Taimiyah yang berjudul Pedoman Islam
Bernegara yang membahas tentang Kezdaliman yang terdapat dikalangan
pemerintah dan rakyat.15
Ketiga buku tersebut di jadikan sumber pendukung data untuk
penelitian penulis.
Dalam bentuk penelitian skripsi, salah satu karya adalah Ari Yanto di
Program Studi Pemikran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
tahun 2006 yang berjudul Kekuasaan Politik Dalam Pemerintahan
14
Buku ini telah diterjemahkan oleh Anas Mahyudin ke dalam bahasa Indonesia dengan
judul Pemikiran Politik Ibnu Taimiyyah (Bandung: Pustaka, 1995)
15
Ibnu Taimiyah, Pedoman Islam Bernegara, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989)
11
Islam(Studi Perbandingan Antara Konsep Kekuasaan IbnuTaimiyah Dan Abu
AL-A‟la Al-Maududi16).
Seperti terlihat dari judulnya, skripsi ini lebih memfokuskan kepada
persoalan tanggung jawab penguasa terhadap rakyatnya. Sedangkan penulis
membahas Ketaatan Kepada Penguas Dzalim Menurut Ibnu Taimiyah.
E. Metode Penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan metode kualitatif, sedangkan
jenis penelitian ini documenter dan objek penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan (library research). Yakni, penelitian yang data-datanya di ambil
dari bahan-bahan pustaka berupa buku-buku, majalah, dan jurnal, dokumen-
dokumen, artikel-artikel dan data internet yang penulis anggap relevan
dengan pokok-pokok pembahasan sebagai bahan rujukan. Yakni
menghimpun semua data kepustakaan tersebut untuk kemudian di analisis
guna memperoleh gambaran menyeluruh tentang objek permasalahan
penelitian ini.
Sumber data yang di gunakan ada dua: pertama, data primer yaitu data
yang di butuhkan kemudian di kumpulkan dari sumber-sumber yang
berkaitan langsung dengan pemikiran Ibnu Taimiyah. Data primer ini
16
Ari Yanto, Kekuasaan Politik Dalam Pemerintahan Islam (Studi Perbandingan Antara
Konsep Kekuasaan Politik Ibnu Taimiyah dan Abu Al-A‟la Al-Maududi), skripsi fak Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, diterbitkan, 2006
12
dikhususkan pada karya Ibnu Taimiyah. Sumber-sumber primer ini antara
lain Asy-Syariyyah fi Ishlah ar-Ra‟i wa ar-Ra‟yah.17
F. Sistematika Pembahasan
Penulisan skripsi ini akan dibangun secara sistematis, yang terdiri dari
lima bab termasuk di dalamnya pendahuluan. Adapun sistematika penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I Pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang masalah,
perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan
sistematika pembahasan.
BAB II Menjelaskan tentang makna dan pengertian penguasa
dzalim, Macam-macam dan kriteria Dzalim, serta urgensi-
urgensinya.
BAB III Menjelaskan tentang biografi singkat IbnuTaimiyah,
Pendidikan IbnuTaimiyah, Kondisi Sosial Politik
IbnuTaimiyah, serta karya IbnuTaimiyah.
BAB IV membahas tentang pengertian penguasa dzalim menurut Para
Ulama, kriteria-kriteria penguasa dzalim menurut Ibnu
Taimiyah dan pandangan penguas dzalim menurut Ibnu
Taimiyah.
BAB V Penutup yang meliputi, kesimpulan dan saran.
17
Dalam hal ini penulis menggunakan edisi terjemahannya Kebijaksanaan Politik Nabi
SAW, ter. Muhammad Munawir Az-Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997)
13
BAB II
MAKNA DAN PENGERTIAN PENGUASA DZALIM
A. Makna dan Pengertian Pemimpin Dzalim
Istilah kepemimpinan berasal dari kata dasar "pimpin" yang artinya
"bimbing" atau "tuntun". Kemudian dari kata "pimpin" lahirlah kata kerja
"memimpin" yang artinya suatu kegiatan membimbing, menunjukkan jalan
atau menuntun, dan bentuk kata bendanya adalah "pemimpin" yaitu orang
yang melaksanakan memimpin, menunjukkan jalan atau orang yang
membimbing. Perkataan lain yang disamakan pengertiannya adalah
mengetuai, mengepalai, memandu, menguasai, dan melatih.18
Definisi tentang pemimpin memiliki banyak variasi dan banyak yang
mencoba untuk mendefinisikan tentang konsep pemimpin ini. Pemimpin
adalah orang yang memiliki segala kelebihan dari orang-orang lain.
Pemimpin dalam pandangan orang kuno adalah mereka yang dianggap paling
pandai tentang berbagai hal yang ada hubungannya kepada kelompok dan
pemimipn harus pandai melakukannya (pandai memburu, cakap dan
pemberani berperang).19
Sedangkan kepemimpinan itu sendiri artinya kemampuan
menggerakkan dan mengarahkan orang-orang. Menggerakkan dan
mengarahkan orang, berarti telah berlangsungnya hubungan manusia (human
18
Purwadarna, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” , (Jakarta: Balai Pustaka , 1982), hal.
769
19 Ngalim Purwanto dkk, “Administrasi Pendidikan”, (Jakarta: Mutiara, 1984), hal. 38
13
14
relation), yaitu menggerakkan dan mengerahkan (si pemimpin) dengan yang
digerakkan dan diarahkan (yang dipimpin), sehingga dalam banyak hal si
pemimpin sifatnya mengajak dan mempengaruhi yang di pimpin dengan suka
rela dan ikhlas untuk mencapai tujuan bersama.20
Kata pemimpin dan kepemimpinan merupakan satu kesatuan kata
yang tidak dapat dipisahkan baik secara struktur maupun fungsinya. Artinya,
kata pemimpin dan kepemimpinan adalah satu kesatuan kata yang
mempunyai keterkaitan, baik dari segi kata maupun makna. Pembahasan
tentang masalah kepemimpinanan, sebenarnya sudah banyak diulas dalam
buku-buku dan tulisan-tulisan yang membahas tentang kepribadian dan sifat
seorang pemimpin mulai dari zaman nabi hingga saat ini.21
Dalam bahasa Inggris pemimpin disebut leader, kegiatannya disebut
kepemimpinan atau leadership. Perkataan khalifah yang telah banyak
disinggung dalam uraian-uraian terdahulu pada dasarnya berarti pengganti
atau wakil. Pemakaian perkataan khalifah setelah Rasulullah Saw wafat,
terutama bagi keempat orang Khalifathur-Rasyidin, menyentuh juga maksud
yang terkandung di dalam perkataan “Amir” yang jamak nya umara disebut
juga penguasa. Oleh karena itu kedua perkataan tersebut dalam Bahasa
Indonesia disebut pemimpin, yang cenderung berkontasi sebagai pemimpin
formal. Konotasi tersebut terlihat pada bidang yang dijelajahi di dalam tugas
pokoknya, yang menyentuh tidak sajamaspek-aspek keagamaan dalam
20
3 Pamudji, “Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia”, cet. Ke-7, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), hal. 60
21Mar‟at, “Pemimpin dan Kepemimpinan”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hal. 7
15
kehidupan bermasyarakat, tetapi juga aspek-espek pemerintahan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.22
Oleh karena itu secara spiritual kepemimpinan harus diartikan sebagai
kemampuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah Swt,
baik secara bersama-sama maupun perseorangan. Dengan kata lain
kepemimpinan adalah kemampuan mewujudkan semua kehendak Allah Swt
yang telah diberitahukan-Nya melalui Rasul-Nya yang terakhir Muhammad
Saw. Kepemimpinan dalam arti spiritual tiada lain daripada ketaatan atau
kemampuan mentaati perintah dan larangan Allah Swt dan Rasulullah Saw
dalam semua aspek kehidupan.
Adapun pengertian pemimpin menurut empiris adalah kegiatan
manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam sejarah kehidupan manusia
sudah sangat banyak pengalaman kepemimpinan yang dapat dipelajarinya.
Pengalaman itu perlu dianalisis, untuk mendapatkan bukti-bukti yang
berharga dan dapat dimanfaatkan, dalam usaha mewujudkan kepemimpinan
yang efektif dan diredhai Allah Swt pada masa sekarang dan masa datang.
Pengertian seperti itulah yang dimaksudkan sebagai pengertian
kepemimpinan yang bersifat empiris.
Untuk memahami pengerian kepemimpinan secara empiris tersebut,
maka akan dimulai dari segi terminologi. Kepemimpinan secara etimologi
(asal kata) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, berasal dari kata dasar
“pemimpin”. Dengan mendapat awalan Me menjadi “memimpin” maka
22
Hadari Nawawi, “Kepemimpinan Menurut Islam”, (Yogyakarta: Gajah Mada University
Press, 1993), hal. 16-18
16
berarti menuntun, menunjukan jalan dan membimbing. Adapun perkataan
lain yang disamakan pengertiannya adalah “mengetahui atau mengepalai,
memandu dan melatih dalam arti mendidik atau mengajari supaya dapat
mengajarkan sendiri.”perkataan memimpin bermakna sebagai kegiatan,
sedang yang melaksanakan disebut pemimpin. Dengan kata lain pemimpin
atau penguasa adalah orang yang memimpin, mengetahui dan mengepalai.23
Menurut Muhammad Tholhah Hasan bahwa pemimpin adalah orang
yang mempunyai wewenang dan hak untuk mempengaruhi orang lain,
sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaiman yang di kehendaki
oleh pemimpin tersebut melalui kepemimpinannya.24
Jika kepemimpinan lebih memiliki arti luas, pemimpin merupakan
spesifikasi dari kepemimpinan tersebut. Dengan demikian, pemimpin bias
diartikan sebagai individu yang menduduki suatu status tertentu di atas
individu yang lain di dalam kelompok, dapat dianggap seorang pimpinan atau
pemimpin. Hal ini memungkinkan bahwa dalam menduduki posisinya
melalui pemberian atribut-atribut secara formal atau tertentu. Menurut
Veithzal Rifai, Pemimpin yang efektif adalah yang (1) bersikap luwes, (2)
sadar mengenai diri, kelompok dan situasi, (3) memberi tahu bawahan
tentang setiap persoalan dan bagaimana pemimpin pandai dan bijak
menggunakan wewenangnya, (4) mahir menggunakan pengawaasan umum di
23
Muhammad Tholhah Hasan, “Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia”,
(Jakarta:Penerbit Lantabara Press,2005), hal. 247
24Murthada munthahari, “Imamah dan Khilafah”, Terj, Satrio pinandito,” Imamah dan
Khilafah”, (Jakarta:CV.Firdaus, 1991), hal. 8
17
mana bawahan tersebut mampu dan mampu menyelesaikan pekerjaan dalam
batas waktu yang ditentutukan.25
Untuk dapat memenuhi seseorang dijadikan sebagai pemimpin
dibutuhkan tiga hal penting: Pertama, kekuasaan yang dimaksud adalah
kekuatan, otoritas, dan legalitas yang memberi wewenang kepada pemimpin
guna mempengaruhi dan menggerakkan bawahan untuk berbuat sesuatu.
Kedua, kewibawaan adalah kelebihan, keunggulan, keutamaan sehingga
seorang pemimpin mampu mengatur orang lain dan orang tersebut patuh pada
orang yang memimpin dan bersedia melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
Ketiga, kemampuan yaitu seorang pemimpin mempunyai segala daya,
kesanggupan, kekuatan dan kecakapan atau ketrampilan teknis maupun sosial
atas perintahnya yang dianggap melebihi dari kemampuan orang biasa.26
B. Macam-Macam dan Kriteria Dzalim
Kedudukan pemimpin sebagai penerus tugas rasul untuk menegakkan
hukum Islam merupakan hal yang sangat penting, terlebih pemimpin yang
mengurus masalah pemerintahan. Karena kepala negara adalah seorang yang
ditunjuk untuk memikul tugas dan tanggung jawab atas masyarakat yang
dipimpinnya, juga mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya, baik di
bidang struktur pemerintahan, politik, sosial, kesejahteraan, keamanan,
pendidikan, dan lain sebagainya. Seorang kepala negara juga harus bisa
25
Veithzal Rivai, “Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi”, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2003), hal. 8
26 Kartini Kartono, “Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal Itu?”,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 28
18
memberikan contoh terbaik (teladan), karena Ia sebagai tumpuan pandangan
dan sumber harapan bagi anggota masyarakatnya agar negaranya menjadi
lebih baik. Maka terhadap orang yang akan menduduki jabatan penting itu
ditetapkan syarat-syarat berat, baik syarat yang berdasarkan dalil yang
berlandaskan nash-nash yang pasti (dalil naqli, al Qur‟an dan Hadis), maupun
yang berdasarkan dengan dalil-dalil „aqli. Sehingga para juris Sunni mencita-
citakan terwujudnya pelaksanaan syari‟at Islam, keadilan, dan kesejahteraan
rakyat melalui kekuasaan politik dalam pemerintahan, hal ini tercermin dalam
syarat-syarat yang mereka kemukakan.
Pentingnya posisi dan kedudukan pemimpin, mendorong para ulama
menetapkan beberapa kriteria (syarat-syarat) seorang pemimpin tanpa
memandang siapa dan dari golongan mana ia berasal, asalkan ia mampu
menjalankan kepemimpinannya, maka ia bisa maju tampil untuk menjadi
pemimpin, dengan catatan ia memiliki profesionalisme, sifat adil, jujur,
mempunyai kepekaan sosial yang tinggi terhadap yang dipimpinnya,
mempunyai kewibawaan serta kemampuan untuk memimpin.27
Adapun istilah Pemimpin adalah orang yang mempunyai wewenang
dan hak untuk mempengaruhi orang lain, sehingga orang lain tersebut
bertingkah laku sebagaiman yang dikehendaki oleh pemimpin tersebut
melalui kepemimpinannya.28
27
Imam al Mawardi, “Al-Ahkaamus Sulthaniyyah Wal Wilaayaatud Diniyah”, Terj, Abd
Hayyie al Kattani, “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam”, (Jakarta,
Gema Insani Press. 2000), hal. 6
28Muhammad Tholhah Hasan, “Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia”
(Jakarta:Penerbit Lantabara Press, 2005), hal. 247
19
Sedangkan zalim adalah Tidak meletakan sesuatu pada tempatnya.
Zalim adalah setiap orang yang tidak adil kepada diri sendiri atau kepada
orang lain. Dalam kriteria (syarat-syarat) Kepala Negara di atas terdapat enam
macam kreteria pemimpin zalim yaitu :
1. Kezaliman (al-dhulma) yang memenuhi semua kreteria yaitu suatu
perbuatan yang merugikan orang lain atau menempatkan sesuatu bukan
pada tempatnya. Perbuatan zalim itu sangat dibenci Allah Swt. Karena
akibatnya merugikan manusia dan Allah telah memuliakan manusia
antara satu dengan lainnya. Sehingga seseorang tidak boleh berbuat
aniaya terhadap orang lain.
2. Bodoh (jahil) yaitu kurangnya ilmu pengetahuan yang membuatnya tidak
dapat melakukan ijtihad untuk menghadapi kejadian-kejadian yang
timbul dalam kebijakan hukum.
3. Fasiq (berdosa) yaitu suatu perbuatan yang melanggar perintah dan
larangan Allah Saw.
4. Cacat pancaindra, dari pendengaran, penglihatan, lidah dan sebagainya.
Sehingga ia tidak dapat menagkap dengan benar dan tepat apa yang
ditangkap oleh indranya itu.
5. Ia mempunyai rasa takut dan bimbang dalam mengambil kepuntusan,
sehingga dapat menimbulkan kebijakan pemerintah yang kacau dan
niscaya akan timbul kelemahan-kelemahan pada segi-segi tertentu.
6. Memiliki sikap lemah yang membuat pertahanan rakyat atau stabilitas
Negara berantakan. Dalam lingkup kepemimpinan perang, tentu saja
20
penguasa lebih diprioritaskan seorang pemimpin yang mempunyai sikap
pemberani dan kuat dalm fisik, dan sekalipun kualitas dalam beragama
tidak terlalu tinggi, daripada orang yang berfisik lemah sekalipun dia
saleh. Karena kelemahanya akan berdampak luas bagi umat muslimin.29
C. Urgensi Ketaatan Kepada Penguasa Dzalim
Pemimpin negara adalah orang yang paling berat memikul amanah
karena besarnya jumlah orang yang dibawah pimpinanya. Maka akan
dipertanyakan di akhirat kelak, pemimpin negara juga lebih mudah membuat
kedzaliman disebabkan kuasa ada padanya, seperti ciri-cirinya orang
munafik; apabila berbicara dia berdusta, apabila berjanji mengingkari dan
apabila dipercaya berkhianat. Maka hendaklah para pemimpin bertaqwa
kepada Allah dan bertaubat atas perbuatan dzalim yang pernah dilakukan.
Pertama, pemimpin yang tidak memenuhi syarat keahlian. Syarat
pemimpin yang disepakati para ulama adalah Islam, baligh, berakal, lelaki,
mampu, kafah, merdeka, bukan budak asing, sehat panca indera dan anggota
badannya. Pemimpin yang tidak memiliki syarat keahlian pasti tidak amanah,
karena ia memimpin hanya untuk memenuhi hawa nafsu duniawi, bukan
dengan niat tulus untuk beribadah kepada Allah Jika pemimpinnya bodoh dan
tidak mampu memimpin, pasti tidak amanah, karena ia tidak tahu apa harus
dilakukannya. Ia akan diperalat oleh orang lain, sehingga kebijakannya bukan
untuk kesejahteraan rakyatnya. Itu sebabnya RasulullahSAW. bersabda,
29
Imam al Mawardi, “Al-Ahkaamus Sulthaniyyah Wal Wilaayaatud Diniyah”, Terj, Abd
Hayyie al Kattani, “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam takaran Islam”, (Jakarta,
Gema Insani Press. 2000), hal.
21
“Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kebenaran dengan kalimat
yang benar kepada penguasa yang dzalim,” (HR Ibnu Majah).
Kedua, mementingkan diri sendiri, keluarga, dan kelompoknya.
Pemimpin yang amanah berarti melaksanakan segala kepemimpinannya
untuk memenuhi semua amanah rakyat dan bangsanya. Menegakkan keadilan
bagi seluruh rakyatnya. Mengembangkan kekayaan negera semata untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya, bukan untuk kepentingan diri sendiri
dan kelompoknya, sebagaimana Fir‟aun, Haman, dan Karun.
Ketiga dzalim, Pemimpin yang tidak amanah pasti berkhianat dan
dzalim kepada pemberi amanah, yaitu Allah, Rasulullah, dan rakyatnya.
Karena kepemimpinannya diperoleh dengan cara dzalim dan hanya untuk
menguasai segala kekayaan negara secara dzalim, maka yang dipikirkannya
juga hanya kemewahan kekuasaan yang diraihnya secara dzalim itu, sehingga
ia tak peduli kepada apa dan bagaimana penderitaan rakyatnya akibat
kedzalimannya.
Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya akan datang di tengah-
tengah kalian para pemimpin sesudahku, mereka menasihati orang di forum-
forum dengan penuh hikmah, tetapi begitu turun dari mimbar mereka berlaku
culas, hati mereka lebih busuk daripada bangkai. Barangsiapa yang
membenarkan kebohongan mereka dan membantu kesewenang-wenangan
mereka, maka aku bukan lagi golongan mereka dan mereka bukan
golonganku dan tidak akan dapat masuk telagaku. Barangsiapa yang tidak
membenarkan kebohongan mereka dantidak membantu kesewenang-
22
wenangan mereka, maka ia adalah termasuk golonganku dan aku termasuk
golongan mereka, dan mereka akan datang ke telagaku,” (HR. at-Thabrani).
Keempat, menyesatkan umat. Pemimpin yang tidak amanah akan
melakukan apa saja untuk menyesatkan umat. Mereka membeli media masa
untuk menayangkan kebohongan, dusta, narsis, kemewahan, dan berbagai
peristiwa bobrok yang menyesatkan, merusak kebenaran dan keadilan.
Pemimpin yang seperti ini adalah pemimpin yang berbahaya, bahkan lebih
berbahaya dari Dajjal laknatullah. Rasulullãh bersabda, “Selain Dajjal ada
yang lebih aku takuti atas umatku, yaitu para pemimpin yang sesat,” (HR
Ahmad).
Kelima, kehancuran dan kerusakan seluruh tatanan sosial masyarakat.
Pemimpin yang tidak amanah akan mengakibatkan kiamat. Kiamat berarti
merajalelanya segala bentuk kemaksiatan dan kedzaliman, seperti korupsi,
manipulasi, mafia anggaran, mafia pengadilan, kemiskinan dan ke-musyrik-
an, perdukunan, pornografi, minuman keras dan narkoba, perampokan,
pembunuhan, dan berbagai tindak kekerasan yang merusak akidah-akhlak-
moral agama. Itu sebabnya, Allah sangat membenci dan sangat keras siksanya
kepada pemimpin yang dzalim dan khianat.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak mungkin dapat hidup seorang
diri. Kebutuhan hidupnya yang beraneka ragam akan menuntutnya senantiasa
berinteraksi dengan manusia lain. Perbedaan pendapat, ambisi, dan
kepentingan masing-masing pihak yang muncul dalam proses interaksi
tersebut tidak menutup kemungkinan akan memicu lahirnya konflik,
23
pertikaian, penindasan, peperangan dan pembunuhan atau pertumpahan
darah, yang pada giliranya nanti bisa berimplikasi pada terjadinya kehancuran
total dalam berbagai dimensi kehidupan umat manusia itu sendiri.
Mengangkat kepala negara yang akan mengelola negara,
memimpinnya, dan mengurus segala permasalahan rakyatnya menurut Ibn
Abi Rabi, sangat urgen dilakukan. Tidak mungkin suatu negara berdiri tanpa
penguasa yang akan melindungin warga-warganya dari gangguan dan bahaya
baik yang timbul di antara merekasendiriataupun yang datang dari luar.30
Dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah paling sedikit ditemukan beberapa
syarat kepala negara Islam. Pertama, harus beragama Islam, syarat ini sangat
penting dipenuhi kepala negara Islam karena tugas utama adalah menerapkan
syariat Islam dan bila tugas ini diserahkan pada non muslim yang tidak
berkeyakinan atau tidak percaya kepada syariat Islam maka negara itu tidak
layak disebut negara Islam. Kedua, harus seorang laki-laki. Syarat ini dapat
ditemukan dalam ayat 34 surat al-Nissa yang berbunyi sebagai berikut:
“ Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita....” (Q.S. 4:
al-Nisa: 34)
Ada empat alasan mengapa wanita tidak bisa menjadi kepala negara,
Pertama, wanita dianggap tidak mampu memainkan peran politik seperti
mengatur negara atau menjadi kepala negara. Kedua, wanita dianggap tidak
sanggup bersaing dengan laki-laki. Ketiga, wanita memiliki kekurangan akal
30
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim Di Negara Muslim, hal. 15
24
dan agama. Keempat, wanita diciptakan lebih rendah dari laki-laki. Jadi
Kekuasaan dan pemerintahan dibutuhkam untuk mewujudkan
terselenggarakannya kewajiban-kewajiban keagamaan. Dengan demikian,
penegakan negara bukanlah merupakan tujuan tetapi tak lebih sebagai sekedar
instrumen untuk merealisasikan ajaran-ajaran Islam. Lebih lanjut, Ibnu
Taimiyah menjelaskan bahwa jika kekuasaan dan kekayaan dijadikan sarana
mendekatkan diri kepada Tuhan, sudah barang tentu antara kehidupan
duniawi akan tercipta keserasian. Sebaliknya, jika kekuasaan memisahkan
diri dari agama, atau agama mengabaikan kekuasaan, maka yang akan terjadi
kerusakan dan malapetaka bagi umat manusia. Karena itulah sangat wajar jika
kita berkesimpualan bahwa hubungan agama dan negara dalam pandanngan
Ibnu Taimiyah, sesungguhnya bersifat fungsional dan bukan organik.
Implikasinya, negara bukan hanya berada di bawah supremasi agama
(Syariah), tetapi negara berikut penyelenggaranya juga bukanlah institusi
yang sakral, sehingga karenanya tak mempunyai keistimewaan relegius
apapun. Itu sebabnya, dalam pandangan IbnuTaimiyah, ketaatan kepada
pemeritah penyelenggara negara hanya dapat diberikan sepanjang perintah
mereka tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama. Kendati begitu, harus
segera dicatat bahwa eksistensi negara tidak dapat dipandang remeh, karena
tanpa kehadirannya suatu tata tertin sosial yang berlandaskan Al-Quran dan
Sunnah kiranya akan sulit diwujutkan.31
31
M. Arskal Salim, Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah,
(Jakarta: Logos, 1999) hal. 52
25
Sesungguhnya khalifah atau imam atau kepala negara menjalankan
admintrasi (negara) yang mengarah pada pelaksanaan dua tijuan tersebut.
Jadi, ia menunaikan seluruh tugas-tugas negara sesuai dengan pengertian
Islam. Dengan meminta bantuan kepada orang-orang yang telah ditunjuk
sebagai pembantu kepala negara. Seperti para menteri, gubernur, pekerja
(pegawai dan pemerintah), hakim dan lainnya kita mungkindapat meringkas
tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban ini; melindungi agama dan dakwahnya,
baik di dalam maupun di luar (negeri), dan mencegah setiap penyelewekan
dan penyimpangan bahkan pelecehan.
Begitu juga menunaikan hukum-hukum dan syariat-syariat Nya,
dengan menegakkan keadilan dan mencegah kedzaliman, menghukum orang-
orang yang berbuat kejahatan serta melanggar hak-hak Allah dan manusia,
menjamin orang-orang miskin, mengangkat orang-orang yang akan
melaksanakan seluruh aktivitas pembelanjaan (negara), keilmuan, kehakiman,
keuangan, dan administrasi.32
Mengurusi umat manusia itu tergolong kewajiban agama yang bernilai
besar. Bahkan agama tidak bisa mencapai kesejahteraan dengan sempurna
kecuali dengan bersosialisasi karena di antara mereka saling
membutuhkan.33
Bagi Ibnu Taimiyah sangat penting kalau pemerintahan
digunakan sebagai maksud dari pencapaian tujuan agama dan mendekatkan
32
Muhammad Al-Mubarak, Sisterm Pemerintahan Dalam Perspektif Isla, terj. Firman
Harianto, ( Solo, CV. Pustaka Mantiq, 1995) hal. 70
33 Ibnu Taimiyah, Kebijaksanaan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir al-
Zahidi, (Surabaya: Dunia Ilmu, 1997) hal. 158
26
diri pada Tuhan. Inilah cara terbaik untuk lebih dekat pada Tuhan, karena
pada saat yang sama juga akan dapat memperbaiki dan mengubah keadaan
orang.34
34
Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Dalam Islam, terj. Aam Fahmia, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2000) hal. 235
27
BAB III
BIOGRAFI IBNU TAIMIYAH
A. Biografi Singkat Ibnu Taimiyah
Pada saat agama Islam menghadapi gejolak yang luar biasa, baik yang
disebabkan karena perpecahan intern umat Islam sendiri atau karena
permusuhan dengan barat (Nasrani) lahirlah seorang bayi yang kelak
ditakdirkan Allah menjadi seorang intelektual muslim terkemuka dan oleh
banyak orang disebutsebut sebagai seorang mujaddid (pembaharu). Nama
lengkap Ibnu Taimiyyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd Al-Halim bin
Abd Salam Abdullah bin Muhammad bin Taimiyyah. Gelarannya adalah
Taqiyyudin, Abul Abbas, Ibnu Taimiyah.35
Ia lahir di Harran, sebuah kota
kecil beberapa kilometer dari kota Damaskus pada hari Senin, 10 Rabi‟ul
Awwal, 661 Hijriah (12 Januari 1263 Miladiah). Dan wafat di Damaskus
pada tahun 728 H.tujuh tahun ketika Harran diserang oleh pasukan
Mongol,beserta kedua orang tuanya ia terpaksa mengungsi ke Damaskus
karena kepanikan yang melanda Siriah Selatan tersebut mereka sangat banyak
mengalami penderitaan dan kesulitan di dalam pengungsian mereka.
Peristiwa tragis ini sangat membekas di dalam hati Ahmad yang masih sangat
muda dan sensitif, dan tak dapat di lupakannya.
Para sejarawan berbeda pendapat tentang ibunya. Sebagian
mengatakanbahwa ibunya adalah orang Arab, sedang pendapat lain
35
Shaib Abdul Hamid, Ibnu Taimiyah Rekam Jejak Sang Pembaharu (Jakarta:Citra,
2009) Hal. 17
27
28
mengatakan bahwa ibunya adalah orang Kurdi, ia sangat berperan dalam
mendidik dan mengembangkan dirinya.
Kakeknya yang bernama Majuddin Abi Al-Barakat Abdus Salam bin
Abdullah (590-620 H), oleh Al-Syaukani (1172-1250 H) dinyatakan sebagai
seorang mujtahid mutlak. Ia juga seorang alim terkenal ahli tafsir (mufassir),
ahlial-hadis (muhaddis), ahli ushul al-fiqh (ushuli), ahli fiqh (al-faqih ), Ahli
Nahwu (an-nahwiyy), dan beliau juga seorang pengarang (mushannif). Al-
khatib Fakhruddin paman Ibnu Taimiyah dari pihak bapak adalah seorang
cendekiawan muslim populer dan seorang pengarang yang produktif pada
masanya. Dan Syarafuddin Abdullah bin Abdul Halim (692- 727 H), adik
laki-laki Ibnu Taimiyah yang juga ternyata dikenal sebagai ilmuwan muslim
yang ahli dalam bidang ilmu kewarisan Islam (faraidh), ilmu-ilmu al-hadis
(ulum al-hadis), danilmu pasti ( al-riyadiyah).36
Semenjak kecil Ibnu Taimiyah dikenal sebagai seorang anak yang
mempunyai kecerdasan yang luar biasa, tinggi kemauan dalam studi, tekun
dancermat dalam memecahkan masalah, tegas dan teguh dalam menyatakan
dan mempertahankan pendapat (pendirian), ikhlas dan rajin dalam beramal
shaleh, rela berjuang dan berkorban untuk jalan kebenaran.37
Semakin bertambah usianya semakin besar kebenciannya kepada
orang-orang Mongol. IbnuTaimiyah merupakan tokoh pemersatu pasukan
36
bnu Taimiyah, “Tafsir Al-Kabir”, Jilid 1, Beirut-Lebanon : Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
t,th, hlm 37, lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-Mazahib Al-Islamiyah, Juz 2, (Beirut-
Lebanon :Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1987), hal. 601
37 Munawir Sjadzali, “Islam and Govermental Sistem”, (Jakarta: INIS, Th, 1991), hal. 56
29
tempur yang besaruntuk memerangi orang-orang Mongol walaupun orang-
orang Mongol ini telah memeluk agama Islam. Sedemikian banyak kejahatan
dan kedzaliman mereka yang telah disaksikannya sehingga ia berpendapat
bahwa walaupun orang-orang Mongol tersebut telah menganut Islam, pada
dasarnya mereka tetap pemberontak dan memerangi mereka merupakan
sebuah kewajiban agamawi.38
Pada usia enam tahun dia mengikuti ayahnya pindah ke Damaskus
demi menghindar dari kerajaan Tatar. Ayahnya yang bernama Abu Al-Masin
Abdu Al-Halima adalah salah seorang ulama terkemuka dari madzab
Hambali. Bahkan kakeknya Syeh Al-Islam Abu Albarakat Abd Al-Salam bin
Abdullah juga salah seorang ahli Fiqh Hambali, yang juga Ahli Hadist dan
Tafsir. Di Damaskus semula dia belajar dari ayahnya sendiri, kemudian
berguru kepada Ali Zain Al-Din Al-Muqaddasi, Najm Al-Din bin Asakir,
Zainab Binti Maki. Pada usia dua puluh tahun, ketika ayahnya tutup usia, dia
mulai memperlihatkan perhatian besar untuk mempelajari Fiqh Hambali, di
samping mempelajari atau mendalami ilmu-ilmu Al-Qur‟an, Hadist,
Teologi.39
Ia terkenal sebagai seseorang yang sangat kuat hafalannya.
Diriwayatkan bahwa tak satu huruf pun al-Qur‟an dan hadis yang telah
dihafalnya lupa. Dari kecil dia terkenal rajin menghadiri diskusi-diskusi
ilmiah. Berkat keuletan dan ketekunannya , dalam usia tujuh tahun ia sudah
38
Qamaruddin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, (Bandung:Pustaka, 1971) Hal.10
39 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta:UI Press, 1990) Hal. 79
30
menghafal al-Qur‟an dengan amat baik dan lancar. Selain itu, penguasaannya
yang prima terhadap berbagai ilmu yang diperluakan untuk memahami al-
Qur‟an menyebabkan ia tampil sebagai ahli tafsir, disamping juga ahli al-
hadis. Keahliannya dalam bidang alhadis ini tampak terlihat sejak masa kecil.
Suatu ketika, salah seorang gurunya mendiktekan 11 matan al-hadis
kepadanya, ketika ia disuruh mengulangi al-hadis tersebut, ia telah
menghafalnya. Ia juga mempelajari berbagai kitab al-hadis Al-Jami‟ Bain as-
Shahihain, karya Imam Al-Hamidi, merupakan kitab al-hadist pertama yang
dihafalnya. Selanjutnya ia mempelajari berbagai kitab-kitab alhadis
termasyhur seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Jami‟ Al- Tirmizi,
Sunan Abi Daud, Sunan Ibnu Majah, Sunan An-Nasa‟i, dan Musnad Al-Imam
Ahmad Ibn Hanbal.40
B. Pendidikan Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah belajar dari orang tuanya sendiri apa saja yang dapat
dipelajarinya dari ilmu-ilmu agama, juga dari banyak guru yang lain,
diantaranya konon adalah guru wanit, karena memiliki kapasitas intelektual
yang sangat besar, sejak kecil IbnuTaimiyah telah menunjukkan berbagai
kemampuan yang luar biasa, sehingga dalam umur belasan tahun ia sudah
dipercayai untuk sesekali menggantikan ayahnya memberi kuliah di
Universitas Masjid tersebut.41
40
Abdul Azis Dahlan, “Ensiklopedia Hukum Islam”, Jilid 6, (Jakarta : PT. Intermasa,
1997), Cet ke-1, hal. 624
41 Nurcholis madjid, kontroversi sekitar ketokohan IbnuTaimiyah (Jakarta: Paramadinah,
1993). Hal. 2
31
Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi dalam
bidang Fiqh, Tafsir, Hadist dan Bahasa Arab pada ayahnya pula, kemudian ia
melanjutkan belajar Hadist pada Al-Hasan Al-Jumayyizi, seorang pakar ilmu
Hadist, sehingga ia mampu menghafal ratusan serta mengetahui kekuatan dan
kelemahannya. Mengenai Ilmi Fiqih di samping ia mempelajari dari ayahnya
juga diperolehnya dari Izzuddin bin Abd.Salam, tokoh Madzab Syafi‟i, juga
mempelajari atau memperdalam Bahasa Arab pada Syarifuddin al-Mursyi
seorang pakar bahasa Arab.42
Pendidikan IbnuTaimiyah dimulai dengan belajar al-qur‟an dan hadits
pada ayahnya sendiri, di usia yang relatif muda, yaitu pada sekitar tujuh tahun
IbnuTaimiyah telah berhasil menghafal al-Qur‟an dengan lancar.43
Di samping itu, disebutkan bahwa IbnuTaimiyah sejak masa remaja
sampai masa tuanya dikenal sebagai orang yang selalu berusaha untuk
mengamalkan nilai-nilai yang ada dalam al-Qur‟an, sudah barang tentu dia
sangat gemar membaca Al-Qur‟an. Kegemaran ini terus berlanjut sampai
ketika ia harus mendekam di penjara. Pada masa-masa sulit itu (di penjara ia
masih sempat menghatamkan bacaann al-Qur‟an kurang lebih sebanyak
delapan puluh kali.44
42
Muhammad Ali Hassan, Perbandingan Madzab (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002)
hal.286
43 Abdullah Mustafa al-Maragi, Al-Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Usuliyyin, (Bairut:
Muhammad Amin Rawaj wa Syurakauh, 1974), hal. 130
44Muhammad Abu Zahra, Ibn Taimiyah: Hayatuh wa Asaru Ara‟ih wa Fiqhih, (Bairut:
Dar al-Fikr, 2003), hal. 22
32
Kemudian ia memasuki sekolah di Damaskus, mempelajari berbagai
ilmu keIslaman. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan dan kejeniusannya.
Dalam usia sepuluh tahun ia telah mempelajari buku-buku hadits utama,
seperti kitab Musnad Ahmad (kitab hadits yang menghimpun hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hambal), al-Kutub As-Sittah (enam
kitab hadits), Mu‟jam at-Tabari (kamus yang dikarang oleh at-Tabari).
Disamping itu, ia juga belajar khat(menulis indah), ilmu hitung, menghafal
al-Qur‟an, dan mendalami bahasa Arab dari Ibnu Abdul Qawi.
Sebagian dari ilmu-ilmu itu dapat dikuasainya dengan baik sehingga
mengundang kekaguman penduduk Damaskus. Ia kemudian tertarik untuk
mendalaman ilmu kalam dan filsafat, dan menjadi ahli di bidang keduanya.
Karena ketekunannya dan kejeniusannya yang luar biasa itu ia berhasil
menyelesaikan seluruh pendidikannya pada usia dua puluh tahun. Setahun
kemudian dia diangkat menjadi guru besar hukum Madzhab Hambali
menggantikan kedudukan ayahnya yang wafat. Dengan demikian, Ibnu
Taimiyah tumbuh menjadi seorang ulama terkemuka yang berpandangan luas,
berfikiran rasional dan filosofis. Ia dikenal sebagai ahli hadits, ahli kalam,
fiqih, mufasir (ahli tafsir), filsuf, dan sufi. keulamaannya mencakup seluruh
kajian keIslaman sehingga pantas mendapat gelar Syaikhul Islam. Pada usia
tiga puluh tahun, usia yang relatif masih muda, IbnuTaimiyah sudah diakui
kefasihannya sebagai ulama besar, menandingi banyak ulama besar pada
zamannya. Ibnu Taimiyah kuat berpegang pada ajaran salaf.45
45
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ikhtiar Baru
van Hoeve, 1994). Hal. 169
33
C. Kondisi Sosial Politik Ibnu Taimiyah
Sejarah hidup Ibnu Taimiyah (1263-13280) ditandai dengan
terjadinya pergolakan politik dan sosial. Sekitar lima tahun sejak ia lahir,
Dinasti Abbasiyah yang telah berusia beberapa abad, dihancurkan oleh
pasukan Mongol. Dan hanya tiga tahun sebelum lahir, pasukan Tartar
memasuki Damaskus dan Aleppo, sebagai penahluk. Pasukan Tartar
menyerang dan menjarah Harran. Kelahiran Ibnu Taimiyah, ketika dia baru
berumur tujuh tahun. Banyak penduduk setempat kemudian meninggalkan
wilayah itu, mengungsi ke Suriah dan Mesir. Keluarga IbnuTaimiyah
mengungsi ke Damaskus. Sejak itu banyak belajar tentang masyarakat dan
berusaha mengejar ilmu pengetahuan akademik.46
Kelebihan-kelebihan moral dan intelektual IbnuTaimiyah juga
dipertajam dengan visi kehidupannya yang penuh arti, yakni keterlibatannya
dalam berbagai jabatan penting. Ia tidak sekedar guru dan hakim sebagaimana
layaknya tradisi sang kakek dan ayah, namun perkembangan politik
memaksanya untuk memimpin perlawanan militer terhadap bangsa Mongol
demi membela tanah air Syiria. Dalam berbagai kesempatan, ia juga sering
melontarkan ide yang lebih sering bertentangan dengan pendapat para
penguasa ataupun sebagian besar masyarakat kebanyakan. Meskipun sikap itu
membuatnya dalam suasana terpojok dan sulit, tetapi ia tidak pernah goyah
dari pendiriannya.
46
Ishlahi, Konsepsi Ekonomi Ibnu Taimiyah, terj, Anshari Thayib, (Surabaya: PT Bina
Ilmu, 1997),hal 15
34
Ibnu Taimiyah semakin di kenal oleh umat Islam. Hal ini di sebabkan
keterlibatannnya dengan persoalan politik. Pada mulanya, didasari rasa tidak
puasnya terhadap penyelesaian kasus Assaf al-Nasrani, seorang beragama
Kristen yang telah menghina Nabi Muhammad dan umat Islam setempat.
Ketidak puasan itu di picu oleh sikap gubernur yang memberikan opsi kepada
Assaf, hukuman mati atau memeluk Islam. Dengan adanya opsi itu, Assaf itu
memilih memeluk Islam.47
Ibnu Taimiyah pertama kali berontak dengan penguasa Mamluk pada
tahun 1294 M, tatkala berusia 32 tahun dan memimpin demo di Damaskus
menentang Katib Kristen yang dituduh menghina Nabi Muhammad SAW.
Sekalipun katib itu di tahan dan dihukum, Ibnu Taimiyah tak urung juga ikut
tertawan lantaran dianggap menghasut rakyat.
Kerenggangan dengan hubungan negara bermula dari berbagai
pendapatnya dalam masalah-masalah teologis tertentu pada tahun 1298, ia
mengemukakan pendapatnya tentang sifat-sifat Allah yang dianggap
bertentangan dengan keyakinan ulama pemerintah Damaskus dan Kairo.
Pemerintah kemudian mengempulkan wakil-wakil rakyat didua kota itu
dengan di pimpin para ulama dan utusan-utusan pemerintah Mamluk yang
terpandang untuk membahas pendapat IbnuTaimiyah yang kontroversial itu.
tahun 1305 M, ia dibawah ke Kairo untuk dipenjarakan, sementara penguasa
setempat menyebarkan pengumuman yang berisi ancaman hukuman mati
bagi siapapun yang mebela pendapat Ibnu Taimiyah.
47
Tomas Michael SJ, Ibnu Taimiyah: Alam Pikirannya dan Pengaruhnya di Dunia Islam
(Orientasi, Th. XV No. 235, 1953), hal. 175
35
Ia memulai kehidupan penjara itu selama satu setengah tahun sebelum
di bebaskan kembali karena intervensi salah seorang pejabat tinggi Syiria.
Akan tetapi, kemerdekaannya kembali pupus setahun kemudian ketika tokoh-
tokoh sufi Kairo menggugat kutukan Ibnu Taimiyah terhadap” ijtihad para
Sufi Kairo” (para Sufi yang menganut ajaran ijtihad dengan Allah). Peristiwa
ini kembali dalam kehidupan penjara yang ketiga kali. Ia di tahan disebuah
istanah di Alexandria selama dua tahun sampai di bebaskan oleh Sultan al-
Malikan an-nasir. Usai tiga tahun mengenyam kebebasan di Kairo, yang
dijalaninya dengan kegiatan mengajar dan menulis, IbnuTaimiyah kembali ke
Syria pada tahun 1312 M.
Di negeri itu ia memimpin masyarakat untuk tidak mengecam
pemerintah sampai tahun 1318 M, ketika al-Malik an-Nasir mengeluarkan
larangan baginya untuk menyampaikan fatwa tentang masalah perceraian
(talak). Para anggota dewan dikumpulkan dan memutuskan menjebloskan
kembali Ibnu Taimiyah ke penjara karena tidak mematuhi pemerintah
penguasa. Meskipun enam bulan kemudian ia di bebaskan, masalah tersebut
belum juga reda karena para anggota dewan yang lain menebar fitnah yang
menghasilkan tambhan hukuman penjara lima bulan pada tahun 1320 M.
Ia dipenjarakan kembali setelah lima tahun mereguk kebebasan
dengan kegiatan mengajar dan menulis. Penyebab utamanya adalah fatwa-
fatwanya tantangan larangan berziarah kubur. Dewan hakim (para qadi)
diminta bersidang oleh sultan. Keputusan mereka adalah memenjaran Ibnu
36
Taimiyah, yang kemudian wafat dalam penjara pada tanggal 26 September
1328 M. (usia 67 Tahun).
Ibnu Taimiyah wafat dan disambut dengan derai air mata ratusan ribu
para pendukungnya. Mereka yang mengantar jenazahnya kepemakaman,
bahkan menyajikan berbagai ragam tanda kehormatan yang sebenarnya
perbuatan itu di tentang oleh Ibnu Taimiyah karena dianggap bid‟ah.48
D. Karya-karya Ibnu Taimiyah
Di kalangan Para peneliti tidak mencapai kata sepakat mengenai
jumlah karya ilmiah yang pernah ditulis oleh Ibnu Taimiyah, namun
perkiraan mereka menebutkan kurang lebih berkisar antara 300-500 buah
dalam ukuran besar dan kecil atau tebal dan tipis. Meskipun tidak semua
karya tokoh tajdid dapat diselamatkan, berkat kerja keras „Abd ar-Rahman
ibn Muhammad Ibn Qasim dengan bantuan putranya (Muhammad Ibn Abd
al-Rahman) sebagai karya Ibnu Taimiyah kini telah terhimpun dalam Majmu‟
Fatawa Ibnu Taimiyah yang berjumlah 37 jilid. Itu masih belum termasuk
karangan-karangannya yang tergolong besar seperti Minhaj as-Sunnah.49
Karya-karya Ibnu Taimiyah meliputi berbagai bidang keilmuan,seperti
tafsir, ilmu tafsir, Hadits, ilmu Hadist, fiqh, ushul al-Fiqh, tasawuf, mantiq
(logika), filsafat, politik, pemerintahan, tauhid (ilmu kalam). Sebagian dari
buah penanya, seperti kitab Al-Radd‟ala al-Mantiqiyyin, Ma‟aarij al-Wusul,
48
Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam, Telaah Kritis IbnuTaimiyah Tentang
Pemerintahan Islam. Terj. Masrohin. (Surabaya: Risalah Gusti. 1995), hal. 45-46
49 Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Fikih Islam, (Jakarta: INIS,
1991), hal. 51
37
Minhaj as-Sunnah, dan kitab Bugyah al-Murtad, tampak bersifat polemis dan
bernada panas. Itu bisa dimengerti karena kitab-kitab tersebut dan lail-lain
karyanya yang sejenis, ia ditulis sebagai kereksi dan kritiknya terhadap
berbagai teori keagamaan yang menurut penilaiannya tidak benar.
Sebagian dari karya Ibnu Taimiyah yang seluruhnya berbahasa Arab
itu kini telah cukup banyak yang diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa
lain seperti Urdu Indonesia, dan Inggris. Dan kalau kita memandang dunia
Islam sekarang tersebut, saat ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Urdu,
Indonesia, Inggris.
Karya-karya Ibnu Taimiyah yang jumlahnya tidak sedikit itu hingga
dewasa ini masih dan akan terus dipelajari oleh ratusan ribu bahkan mungkin
jutaan kaum terpelajar du berbagai negara.50
Diantara sekian banyak tokoh pemikir Islam klasik yang menjadi
rujukan kaum muslim di zaman modern ini, Ibnu Taimiyah adalah salah
seorang yang sangat menonjol. Dengan kepribadian yang menurut sebagian
orang sangat kontroversial, Ibnu Taimiyah adalah seorang penulis yang
sangat subur, dengan warisan karya tulis yang berjumlah ratusan. Tulisan-
tulisan itu biasanya dibuat dengan bahasa yang tegas, keras, sehingga banyak
menarik sikap-sikap pro dan kontra yang juga keras dimasyarakat.
Untuk para pengikutnya, reaksi menolak Ibnu Taimiyah datang dari
kalangan kaum pembuat bid‟ah atau sekurangnya dari kaum jumud.
Sebaliknya, untuk para penentangnya, justru IbnuTaimiyah adalah pembuat
50
Muhammad Amin Suma, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Fikih Islam, (Jakarta: INIS, 1991),
hal. 52
38
bid‟ah yang kasar. Tokoh itu mengaku sebagai pejuang untuk faham salaf
yang shaleh, tetapi justru dalam paandangan para penentangnya, Ibnu
Taimiyah bukanlah seorang salafi.
Diantara karaya-karya Ibnu Taimiyah yang menyinggung tema-tema
sentral yang biasa diangkat para sufi, diantaranya adalah:
a) Al-Furqan baina Auliya‟ al-Rahman wa Auliya‟ al-Syaithan
Kitab ini membahas masalah wali Allah, didalamnya
dibahas siapa yang disebut wali Allah. Dalam kitab ini juga Ibnu
Taimiyah membedakan antara wali Allah dengan wali Syaitan.
b) Al-Tuhfah al-‟Iraqiyah fi A‟mal al-Qulub
Kitab ini menjelaskan tentang kehidupan rohani atau ajaran
tentang dimensi batin (pekerjaan-pekerjaan hati).
c) Al-„Ubudiyyah
Kitab ini menjelaskan hubungan manusia dengan Tuhannya.
d) Darajat al-Yakin
e) Ar-Risalah al-Tadmuriyah
f) Risalah fi al-Sama‟ wa al-Raqsh
Secara umum, sikap Ibnu Taimiyah yang tertuang dalam karya-
karyanya itu terpusat pada upaya meletakkan landasan pandangan tasawuf
yang ia yakini, lalu mengapresiasi apa yang ia sebut dengan “tasawuf yang
sesuai dengan syariat” dan mengkritisi apa yang ia sebut sebagai “tasawuf
39
yang menyimpang”. Dan berikut ini akan diuraikan pokok-pokok
pandangannya terhadap tasawuf.51
Disamping itu karya-karya yang dihasilkan Ibnu Taimiyah adalah:
1) Jam‟u Kalimat al-Muslimin
2) Aqidah Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah
3) Iqtidha ash-Shirat al-Mustaqim Mukhalafatu alh al-Jahin
4) Ar-Risalah al-Madaniyah fi al-Majaz wa al-Haqiqah fi Sifatillahi
Ta‟ala
5) Arsy al-Rahman wa Ma Warada fihi min al-Ayat wa al-Hadits
6) An-Nubuwwat
7) Al-Jawab ash-Shahih liman Baddala din al-Masih
8) Al-Washiah al-Jami‟ah li Khair ad-Dunya wa al-Akhirah
9) Idhah al-Dalalah fi „Umm al-Risalah
10) Al-„Aqidah al-Wasathiyah
Kitab ini menjelaskan masalah aqidah dan masalah yang
membuat aqidah kita menjadi rusak, dalam kitab ini juga
dijelaskan secara rinci masalah tawasul, ziarah kubur.
11) Al-Iman
Kitab ini membahas secara jelas tentang masalah iman.
Seperti perbedaan antara Islam dan Iman, bertambah dan
berkurangnya iman dan hal-hal yang dapat merusak iman. Dalam
51
Ismail Asy-Syarafa, Ensiklopedi Filsafat, terj. Sofiyullah Mukhlas (Jakarta: Khalifah,
2002) hal.5
40
kitab ini juga Ibnu Taimiyah mengkritik aliran-aliran seperti
Murji‟ah, Mu‟tazilah yang berkaitan dengan konsep iman.
12) Al-Amr bi al-Ma‟ruf wa al-Nahy „an al-Munkar
Kitab ini membahas tentang kewajiban menjalankan amar
ma‟ruf nahi munkar, dan bagaimana cara menjalankan amar
ma‟ruf nahi munkar sesuai dengan petunjak al-Qur‟an dan al-
Sunnah.
13) Al-Furqan Baina al-Haq wa al-Bathil.
Kitab ini menjelaskan dan membedakan secara rinci
masalah haq dan bathil.
14) Minhaj al-Sunnah
Kitab ini merupakan kritikan IbnuTaimiyah terhadap
teologi Syi‟ah.
15) Huquq ahl al-Bait
Kitab ini membahas tentang ahl al-bait (keluarga Nabi
SAW) dan kemuliaan serta keutamaan ahl al-bait.
16) Risalah al-Taubat
Kitab ini membahas masalah taubat, bagaimana seorang
hamba taubat kepada Allah SWT.
17) Al-Radd „Ala al-Manthiqiyyin
Kitab ini membahas masalah yang berkenaan dengan kritik
yang dilontarkan Ibnu Taimiyah terhadap filsafat dan logika
Aristoteles.
41
18) Majmu‟ al-Fatawa
Kitab ini merupakan karya monumental Ibnu Taimiyah,
yang menhimpun fatwa-fatwa Ibnu Taimiyah dalam seluruh
kajian atau disiplin ilmu ke Islaman.
19) Ulum al-Tafsir
Kitab ini membahas tentang ulum al-qur‟an
20) Syarh Hadits Jibril al-Islam wa al-Iman
Kitab ini menjelaskan makna hadits tentang Rasulullah
SAW, ketika ditanya oleh malaikat Jibril yang kala itu Jibril
menyamar menjadi manusia, hadits ini menjelaskan tentang
Islam, Iman dan Ihsan.
21) Risalah fi Aqidah al-Asy‟ariah wa Aqidah al-Maturidiah
Kitab ini menjelaskan ajaran aqidah Asy‟ari dan Matudi.
22) Manasik al-Hajj
Kitab ini membahas petunjuk praktis yang berkenaan
dengan masalah haji.
23) Bayan al-Thalaq al-Mubah wa al-Haram
Kitab ini membahas masalah perceraian.
24) Al-Hasan wa al-Sayyiah
Kitab ini membahas masalah kebaikan dan keburukan.
25) Risalah al-Aqidah al-Isfahaniah
Kitab ini membahas masalah tauhid khususnya masalah
keimanan dan pendapat al-Isfahaniah tentang makna Iman.
42
BAB IV
KONSEP KETAATAN KEPADA PENGUASA
A. Pengertian Penguasa Dzalim Menurut Para Ulama
Dalam ensiklopedi Islam bahwa pengertian ulama adalah “Orang-
orang yang sangat tahu” dan “Orang-orang yang banyak ilmunya”, demikan
menurut arti lugawi. Sedangkan dalm pengertian istilah yang berkembang
dikalangan pemahaman umat Islam, “Ulama” diartikan sebagai orang yang
ahli dalam ilmu agama Islam dan ia mempunya integritas kepribadian yang
tinggi dan mulia sertaberakhlakul karimahdan ia sangat berpengaruh
ditengah-tengah masyarakat.52
Dari pengertian ulama di atas maka dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Ulama adalah orang yang mendalami ilmu pengetahuan, baik
ilmu pengetahuan yang bersumber dari Allah Swt yang kemudian
disebut “Ulumudin” maupun ilmu pengetahuan yang bersumber
dari hasil penggunaan potensi akal indra manusia dalam
memahami ayat kauniah yang kemudian disebut “Ulumul
Insaniah” atau “al-Ulum” (sain).
b. Ulama sebagai pewaris para nabi yang mengemban tugas
meneruskan perjuangannya dan penerima tantangan seperti yang
dialami oleh yang mewariskannya.
52
Departemen Agama RI, “Ensiklopedi Islam”, (Jakarta: CV. Anda Utama), hal. 1249
42
43
Sejak kelahiran Islam sampai dewasa ini, eksitensi Ulama tetap
diakui. Namun demikian, pengertian ulama yang baku belum ditemukan.
Akibatnya penggunaan kata ulama yang tidak sesuai dengan Al qur‟an dan
As sunnah masih sering ditemukan ditengah masyarakat.53
Adapun pendapat ulama yang mendasari untuk memerangi pemimpin
Dzalim adalah:
Imam Abu Hanifah berkata :
“Apabila kita temukan seseorang pemimpin yang sudah tidak
taat dengan perintah Allah, maka kita boleh melakukan
pemberontakan terhadapnya, bahkanjauh dari itu Imam Hanifah
mengatakan bahwa Kepemimpinan orang dzalim ituadalah batal.”
As-syahid Imam Hassan Al-Banna berkata:
“Apabila ia (pimpinan) abai, maka hendaklah dinasihatinya
dan ditunjukinya, seterusnya digulingkan dan disingkirkan, tidak ada
ketaatan bagi makhluk dalam penderhakaan kepada Allah”
An-Nawawi berkata:
“Berkata Al-Qodli „Iyadl; para ulama‟ berijma‟ bahwasanya
kepemimpinan itu tidak boleh diberikan kepada orang kafir. Dan jika
seorang pemimpin itu kafir, ia dipecat sampai perkataannya jika
pemimpin itu kafir, atau mengganti syari‟at atau dia berbuat bid‟ah,
maka gugurlah kekuasaannya dan gugur pula kewajiban taat
kepadanya. Dan kaum muslimin wajib untuk mencopot kekuasaannya
53
Badruddin Hsubky, “Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman”, (Jakarta: PT Gema
Insani Press, 1995), hal. 81
44
lalu menggantinya dengan imam yang „adil jika hal itu
memungkinkan”.54
Pendapat para ulama diatas sebagaiman seseorang muslim di haruskan
mempunyai keberanian dalam melakukan kritikan ataupun cara-cara lain
yang ditujukan terhadap pemimpin dzalim dan kita di haruskan memerangi
suatu kedzaliman karena mengucapakan kata yang benar (haq) atau
melakukan kritikandengan cara lain dengan tujuan untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan didepan pemimpin yang berbuat dzalim adalah
merupakan suatu tindakan jihad yang sangat disukai oleh Allah SWT.
Mengatakan kebenaran atau melakukan perlawanan didepan pemimpin yang
dzalim memang suatu risiko yang sangat besar, karena hal itu dapat
mendatangkan bahaya bagi orang yang melakukannya.
Dan bahwa semua adalah pemimpin walaupun hanya terhadap diri
sendiridan mempunyai kewajiban untuk memerangi kedzaliman dan
kemungkaran walaupun hal itu dianggap memberontak yang dilakukan oleh
setiap orang yang ada di muka bumi ini karena setiap manusia adalah
pemimpin. Yang mempunyai kewajiban untuk menegakkan keadilan dan
perdamaian demi terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa.
Adapun pendapat ulama yang mendasari untuk tidak memerangi
pemimpin dzalim adalah:
54
M.Yusuf Musa, “Politik dan Negara dalam Islam”, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka SLI,
1991), hal. 336
45
Al`Aini berkata:
“Tidak harus menggulingkannya (penguasa) dari kekuasaan
disebabkan itu (fasiq dan dzalim).”55
Al-Kirmani berkata:
“Para fuqaha telah berijma‟ bahwa pemimpin mutaghallib
(yang merampas kuasa dan dilantik bukan dari perlantikan rakyat),
wajib mentaatinya selama mana dia mendirikan solat berjamaah dan
jihad, kecuali jika berlak kekufuran yang sohih. Pada ketika itu, tidak
wajib mentaatinya, bahkan wajib bermujahadah terhadapnya bagi
yang mampu”
Asy-Syaukani berkata:
“Tidak harus melawan para pemimpin dengan pedang, selama
mana mereka mendirikan sholat.”
Pendapat para ulama di atas berdasarkan juga pada larangan ke atas
umat Islam untuk saling berperang antara satu sama lain. Jumhur para ulama
mengatakan bahwa pemimpin tidak dicopot atau digulingkan karena fasiq,
dzalim dan tidak menunaikan hak-hak, dan ia tidak diturunkan dari
jabatannya dan tidak boleh keluar memberontak ke atasnya dengan hal-hal
itu, akan tetapi wajib menasihatinya dan menakut-nakutinya berdasarkan
hadits yang ada dalam masalah itu.
Walaupun sebahagian ulama mengatakan bahwa penentangan boleh
dibuatjika pemimpin melakukan kekufuran yang tsabit dengan dalil yang
nyata, namunjelas dari pandangan mereka bahwa tentangan bersenjata adalah
55
Artikel diambil pada tanggal 24 Februari 2015. dari
Http://sauqiy.wordpress.com/2007/11/20/kapan-kewajiban-memerangi-penguasa-murtad
46
suatu yangtidak digalakkan sama sekali kerana ia sering mengakibatkan
pertumpahan darah, kerusakan dan mudharat yang lebih besar.
Tidak dinafikan terdapat pandangan beberapa ulama yang
mengharuskan penentangan bersenjata bahkan menjadi wajib dalam keadaan
tertentu. Namun pandangan jumhur yang dinyatakan di atas lebih kuat dan
dekat pada kebenaran.
Imam Syafi‟i berkata
“bahwa seorang imam dapat berhenti jika dia melakukan
kefasikan atau melakukan ke dzaliman, begitu juga bagi seluruh qadhi
dan para gubernur (panglima perang)”
Al-Mawardi berkata
“Selama dia tidak berubah, dia mempunyai dua hak atas
rakyatnya. Adapun jika keadaannya berubah, ada dua hal yang akan
mengeluarkannya dari status kepemimpinannya. Salah satunya
apabila status keadilannya tercemar dan yang kedua ada cacat dalam
salah satu anggota tubuhnya. Adapun yang disebut tercemarnya
status keadilan adalah kefasikan, yang mempunyai dua jenis, yaitu
yang mengikuti syahwat dan yang mengikuti hal yang syubhat. Pada
bagian yang pertama ada yang berkaitan dengan perbuatan anggota
tubuh, yaitu mengerjakan hal yang dilarang ataupun bersikeras
melakukan kemungkaran, hanya karena mengikuti hawa nafsu belaka.
Itulah bentuk kefasikan yang menghalangi dilakukannya kontrak ke
imamahan berikut dengan kesinambungannya. Jika hal yang seperti
itu terjadi terhadap seseorang yang memegang tanggung jawab ke
imamahan, berarti dia telah keluar dari statusnya”.
47
Ar-Razi berkata
“Orang-orang yang berlaku dzalim tidak dapat menjaga
amanat yang telah diperintahkan tuhan, dan tidak dapat diikuti dalam
menjalankan ketentuan tuhan. Orang-orang tersebut tidak pantas
menjadi pemimpin agama. Sehingga ayat-ayat diatas
mengindikasikan batalnya kepemimpinan seorang fasik”.
Al-Ghazali berkata
“seorang sultan yang dzalim harus dilihat lagi keabsahan
kekuasaanya. Baik itu diberhentikan atau harus berhenti sendiri,
orang yang mempunyai sifat seperti ini sejatinya bukanlah seorang
sultan.”56
B. Kriteria Penguasa Dzalim Menurut Ibnu Taimiyah
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa menyelesaikan perkara yang
timbul diantara orang banyak, wajib diselesaikan menurut hukum dengan cara
yang adil sebagaimana diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.57
Hukuman
(had) merupakan perangkat pengancam yang ditetapkan oleh Allah Swt agar
orang tidak mengerjakan sesuatu yang dilarang-Nya atau meninggalkan
sesuatu yang diperintahkan-Nya.58
Berhukum diantara manusia ini maksudnya adalah menegakkan
hukum-hukum dan hak-hak mereka. Dalam hal ini terdapat dua kategori.
56
Dhiauddin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal. 278
57 J. Suyuthi Pulungan. “Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran”, cet, ke- 1,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994, hlm 274
58
Muhammad Ashif, “Pemikiran Ibnu Taimiyyah Tentang Pemerintahan Islam (studi
analisis kewajiban mendirikan pemerintahan dalam kitab As-Siyasah Asy-Syari'ah)”, Skipsi
Sarjana Syari‟ah, Semarang : Perpustakaan Fakultas syari‟ah IAIN Walisongo, 2007, hlm 67-68
48
Pertama adalah sanksi hukum dan hak-hak yang terkait kepada individu-
individu tertentu, akan manfaat dan tujuan penegakannya itu bagi sekalian
kaum muslimin atau segolongan mereka. Artinya semua berkepentingan agar
sanksi hukum dan hak hak ini ditegakkan. Kreteria pertama itu dinamakan
sebagai sanksi hukum dan hak-hak dari Allah Swt, Seperti hukuman yang
dijatuhkan terhadap perampok dijalanan, pencuri dan sejenisnya. Juga seperi
hukum atas kekayaan Negara, tanah /wakaf, wasiat umum dan lainnya. Kedua
adalah macam cara itu masing- masing mempunyai ketentuan-ketentuan
hukum sendiri.
Ibnu Taimiyah membuat perbedaan antara pengingkaran dan
pemberontakan. Kita boleh mengingkari perintah yang tidak baik dari seorang
imam dan akan menderita hukum karenanya, tetapi kita tidak boleh
mengangkat senjata untuk melawan nya selama ia melakukan shalat.
Mungkin saja seorang imam baik atau jahat, tetapi betapapun demikian
seseorang tidak diperbolehkan mengangkat senjata untuk menggulingkan nya.
Bahkan seorang imam yang berkulit hitam dan berwajah buruk sekalipun
harus ditaati.59
Semua ini mengacu dari sabda Rasulullah Saw bersada, “Shalat itu
adalah tiang agama.” Karena apabila seorang pajabat mau menegakan tiang
agama, maka salatnya itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.60
59 Qomarudin Khan, “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah”, Bandung: Pustaka
Salam, ITB, 1983, hlm. 148
60 Ibnu Taimiyah, “minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah”, Maktabah al-Riyad al-Hadist Jilid
IV,hlm. 20
49
Dalam kitab Ibnu Taimiyah Majmu Fatawa, ditemukan bahwa suatu
perbuatan itu dapat dikatakan pemberontakan bila memenuhi beberapa
kreteria-kriteria sebagai berikut :
1. Keluar dari Imam
Keluar dari imam (penguasa) disini maksudnya adalah
menentang imam atau menentang segala yang telah diwajibkan
bagi diri mereka (orang-orang) yang keluar dari imam.
2. Ingin menumbangkan Imam
Yang dimaksud dengan keluar inggin menumbangkan imam
(penguasa) itu adalah orang-orang yang keluar dari imam yang
berniat untuk menggulingkan kepemimpinannya dengan segala
kekuatan yang telah dipersiapkan dan disusun dengan matang,
namun apabila orang-orang tersebut tanpa adanya kekuatan yang
tersusun secara matang dan teratur, maka perbuatan tersebut
belumlah dapat dikatakan tindakan pemberontakan.
3. Bermaksud melanggar ketentuan Imam
Bermaksud melanggar ketentuan Imam ini adalah
disyaratkan bahwa perbuatan itu dilaksanakan beramai-ramai
dengan tujuan yang sama yaitu untuk mengadakan
pemberontakan dan mereka mengingikan terjadinya
pemberontakan secara umum. Namun apabila keluarnya orang
beramai-ramai itu dengan tidak ada maksud dan tujuan
50
(memberontak) tidaklah perbuatan tersebut dianggap sebagai
pemberontakan.61
Namun apabila kreteria-kreteria tersebut diatas tidak ditemukan pada
suatu tindakan, maka perbuatan itu belum dapat diklasifikasikan kepada
tindakan pemberontakan. Dalam masalah menyikapi penguasa zalim Ibnu
Taimiyah menegaskan bahwa pemberontakan dengan senjata (gerakan
militer) terhadap penguasa zalim tidak pernah dibenarkan oleh agama
sekalipun dilakukan sebagai reaksi terhadap penguasa zalim atau kejahatan
sebagian oknumnya.62
Bahkan ia juga menganjurkan juga agar umat Islam mengikuti
pimpinan yang tidak adil dan licik jika suasana menghendaki nya demikian
sebagai satu-satunya figur yang mampu mempertahankan persatuan dan
kenyamanan dalam keberagaman masyarakat.63
Allah Swt telah mengutus Rasul-Nya untuk menyuruh manusia supaya
melakukan kebaikan dan meninggalkan kejahatan. Di dalam perbuatan
manusia terkandung kebaikan dan kejahatan dan sesuatu perbuatan dianggap
baik apabila lebih banyak mengandung kebaikan dan dianggap jahat apabila
banyak mengandung kejahatan. Maka seorang khalifah seperti Yazid Abdul
61
Ibnu Taimiyah, ”Majmul Fatawa”, Bairut: Dar al-Kitab al-Ilmiah, Th 1987 jilid III,
hlm. 443
62 Ibnu Taimiyah, “minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah”, Maktabah al-Riyad al-Hadist Jilid
IV, hlm. 87
63 Khalid Ibrahim Jidan, The Islamic Theory Of Goverment according To Ibnu Taimiyah,
Terj. Rineka Cipta “ Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah “, Jakarta : Rineka Cipta,
1994. Hal.124
51
Maliki al - Mansur atau yang lain-lain naik ke atas takhta, maka hal itu dapat
diterima atau ditentang, tetapi orang-orang menyangka bahwa menentang itu
adalah harus dilakukan dengan pedang, sesungguhnya mereka mempunyai
pendapat yang salah karena di dalam pertentangan yang seperti itu lebih
banyak terkandungkejahatan dari pada kebaikannya, lagi pula jarang terjadi
pemberontakan menimbulkan lebih banyak kebaikan dari pada kejahatan.
Demikianlah yang dialami oleh orang-orang yang memberontak
Abdul Malik si Iraq, oleh Ibnu al-Muhallab yang memberontak melawan
ayahnya di Khurasan, oleh Abu Muslim yang memberontak melawan
pemerintah Umaiyah di Khurasan juga dan oleh orang-orang yang
memberontak melawan al-Manshur di Madinah dan Basrah.64
Walaupun
seandainya para pemberontak ini adalah manusia-manusia yang saleh, paling
lurus dan dapat dikatakan ahli-ahli surga, namun dosa mereka karena
pemberontakan itu tidak dapat dihapuskan. Sejarah telah membuktikan
kebenarannya bahwa tidak ada kebaikan yang ditimbulkan oleh
pemberontakan itu baik untuk agama maupun untuk dunia.
Kejujuran seorang imam tidak perlu melebihi seorang saksi biasa
(yang menurut hukum Islam harus memenuhi beberapa syarat yang ketat).
Seorang saksi memberikan informasi mengenai sesuatu hal yang tidak
diketahui dan apabila ia tidak jujur maka kebenaran informasi nya tidak dapat
diuji, tetapi apabila seorang imam memberikan perintah, dengan gampang
kita dapat melihat apakah perintahnya itu mentaati atau mengingkari Allah
64
Qomarudin Khan, “Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah”, Bandung: Pustaka Salam, ITB,
1983, hlm. 287
52
Swt. Dengan alasan seperti inilah, Allah Swt berfirman: “Apakah seorang
yang aniaya (zalim) menyampaikan berita kepada kamu maka telitilah berita
itu dengan sejelas- jelasnya”. Jadi perbuatan seorang imam dapat di kritik
namun otoritas nya tidak dapat ditentang.
Pelaksanaan sebuah fungsi sosial tidak perlu dikaitkan dengan
kebaikan-kebaikan batin atau moral pejabat yang bersangkutan. Dengan
demikian ia mengemukakan perbedaan penting diantara kehidupan pribadi
seorang imam dengan akibat-akibat yang akan dipikulnya sendiri, dan sikap-
sikap imam terhadap masyarakat dimana ia bertanggung jawab untuk
melaksanakan hukum di dalam masyarakat dan yang mempengaruhi
kehidupan masyarakat. 65
C. Pandangan Ibnu Taimiyah Tentang Penguasa Dzalim
Pemikiran politik Ibnu Taimiyah bertumpu pada dua hal, yakni al-
amanah (kejujuran) dan al quwwah (kekuatan) sebagai syarat mutlak kepala
negara pandangan Ibnu Taimiyah yang mensyaratkan al- amanah dan al-
quwwah disebabkan oleh kondisi pada zamannya ketika dunia Islam hancur
oleh kekuatan tentara Mongol.66
Dari sinilah ada sebuah riwayat Ibnu
Taimiyah yang mengatakan : “Enam puluh tahun dari kehidupan seorang
pemimpin yang zalim itu lebih baik daripada satu malam tanpa adanya
kepemimpinan.”
65
Ibnu Taimiyah, “minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah”, Maktabah al-Riyad al-Hadist Jilid
IV, hlm. 214
66 Mujar Ibnu Syarif dan Khamami Zada, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik
Islam, (Jakarta: Erlangga, 2008), hal. 36
53
Yang dimaksudkan Ibnu Taimiyah dalam riwayat di atas adalah
kekuasaan pemimpin yang dipimpin pemimpin zalim selama enam puluh
tahun lebih baik dari pada semalam (sesaat) tanpa adanya seorang pemimpin.
Yakni adanya kemaslahatan dalam sebuah pemerintahan yang dipimpin oleh
pemimpin zalim selama enam puluh tahun dibandingkan semalam tanpa
adanya sebuah pemerintahan. Oleh karena itu manusia bila dibiarkan tanpa
pemimpin akan menghasilkan kemudlaratan dan kemusnahan bagi manusia.
Menolak kemudlaratan yang diperkirakan akan timbul dalam suatu hal yang
diwajibkan menurut agama.
Kemudlaratan-kemudlaratan itu tidak akan dapat dihindari, melainkan
dengan adanya seseorang kepala Negara meskipun zalim Maka betapa
penting adanya kepala Negara adalah suatu hal yang diharuskan
(diwajibkan).67
Pemimpin dzalim menurut Ibnu Taimiyah adalah pemimpin yang
melakukan sebagian dosa, namun bukan menolak hukum Allah SWT, serta
tidak bermaksud menggantikan hukum Allah SWT tersebut.
Adapun Bentuk kedzaliman itu dalam pandangan Ibnu Taimiyah
terbagi kedalam tiga bagian, Pertama, dzalim terhadap sesama manusia
seperti mengambil harta orang lain, dengki dan lain-lain. Kedua, dzalim
terhadap diri sendiri seperti minum khamer, berzina itupun jika dampaknya
tidak meluas ke masyarakat lainnya. Ketiga, mencakup kedua-duanya, seperti
kejahatan kekuasaan, untuk kepentingan minum khamer dan berzina.
67
Imam Bukhori, “Shahih Bukhori”, jilid IV, Bairut: Dar Al fikr, tt hal, 234
54
Dalam penyataan Ibnu Taimiyah di atas bahwa pemimpin yang zalim
adalah pemimpin yang melakukan sebagian dosa yang karenanya berhak
secara mutlak disebut zalim seperti minum khamer, berzina atau mendera
orang muslim tanpa adanya alasan yang benar dan jelas atau mengabaikan
penetapan hukum yang berdasarkan syari‟at Islam dalam suatu kejadian
namun bukan menolak hukum Allah Swt. Sedangkan dalam hal-hal tertentu
ia masih mempergunakan hukum yang diturunkan Allah Swt, di tengah-
tengah manusia.
Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemerintahan yang adil meskipun
kafir adalah lebih baik dari pada sebuah pemerintahan muslim berlaku zalim,
dengan kata-katanya Ibnu Taimiyah mengungkapkan “sesungguhnya Tuhan
menolong pemerintahan yang adil meskipun kafir, tetapi tidak menolong
pemerintahan yang zalim walaupun muslim. Maka keadilan walaupun dengan
kekafiran memungkinkan kehidupan dunia yang terus berkesinambungan,
akan tetapi kezaliman sungguhpun dengan keislaman tak akan mampun
melestarikan kehidupan di dunia ini.68
Dalam pandangan Ibnu Taimiyah, bahwa pemimpin dan
mengendalikan rakyat adalah kewajiban yang asasi dalam agama. Bahkan
tegaknya tidak mungkin direalisasikan, kecuali dengan adanya
“kepemimpinan”. Sedangkan seluruh anak Adam, mustahil akan mencapai
kemaslahatan optimal kalau tidak ada perkumpulan yang mengikat dan
68
M. Arskal Salim, Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah,
(Jakarta: Logos, 1999), hal. 53
55
memecahkan kebutuhan mereka. Perkumpulan ini sudah pasti butuh
seseorang pemimpin untuk mengendalikan.
Pernyataan diatas menunjukkan bahwa penting adanya pemerintahan
karena Allah, memerintahkan kepada manusia untuk beramar ma‟ruf dan nahi
munkar misi atau tugas itu tidak mungkin terlaksana tanpa adanya kekuasaan
dan pemerintahan yang mempunyai kemampuan untuk mempertahankan itu.
Ia juga berpendapat bahwa keberadaan dan kewajiban kepala negara itu
diperlukan tidakhanya sekedar menjamin keselamatan jiwa dan hak milik
(harta rakyat) dan lebih jauh dari itu juga untuk menjamin hukum Allah di
muka bumi ini (khalifatullah) di muka bumi ini, bahkan ia lebih jauh
berpendirian keberadaan kepala negara meskipun dzalim lebih baik bagi
rakyat dari pada kalau mereka harus hidup tanpa kepala negara.69
Ibnu Taimiyah menganggap bahwa sultan atau kepala negara adalah
bayangan Allah di bumi, dengan arti bahwa dia adalah wakil Tuhan di
bumi.21 (“Inna al-Sultan zhill Allah Fi al-Ard”) Di bagian lain Ibnu Taimiyah
menyebutkan bahwa seorang pemimpin merupakan duta Tuhan atas
hambahamba-Nya, tetapi di saat yang sam pemimpin juga adalah wakil para
hamba (“al wulad Nuwwah Allah ala Ibadih wa wukala‟ al- Iba „ala
Nufusihim” ) Sehingga Ia menganggap bahwa kekuasaan yang diembannya
adalah atas kehendak Tuhan dan Tuhan pula yang yang memberi kekuasaan
kepadanya. Dalam ilmu tata Negara bahwa penguasa yang mengklaim dirinya
bahwa kedaulatan berasal dari Tuhan dan atas kehendak Tuhan, dan Tuhan
69
Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: UI Press, 1990) Hal. 89
56
pula yang memberi kekuasaan kepadanya , teori ini disebut dengan teori
ketuhanan.70
Adapun Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa pemerintahan yang adil
meskipun kafir adalah lebih baik dari pada sebuah pemerintahan muslim
berlaku zalim, dengan kata-katanya Ibnu Taimiyah mengungkapkan
“sesungguhnya Tahun menolong pemerintahan yang adil meskipun kafir,
tetapi tidak menolong pemerintahan yang zalim walaupun muslim. Maka
keadilan walaupun dengan kekafiran memungkinkan kehidupan dunia yang
terus berkesinambungan, akan tetapi kezaliman sungguhpun dengan
keislaman tak akan mampun melestarikan kehidupan di dunia ini.71
Pernyataan diatas merupakan pencerminan dari kekhawatiran Ibnu
Taimiyah terhadap kemungkinan terjadinya gangguan dan kekacauan
terhadap stabilitas politik di negara tempat ia hidup yang masih sarat dengan
kerawanan dan kekacauan.
Oleh karena itu apabila terjadi pengingkaran atau pemberontakan
sekalipun dilakukan terhadap penguasa yang dzalim, tentu akan
mengakibatkan kekosongan pemerintahan yang akibatnya amar ma‟ruf dan
nahi munkar susah untuk dapat dilaksanakan dengan semestinya. Agaknya
pendapat Ibnu Taimiyah ini sangat aktual sekali jika dikaji ulang pada saat
sekarang dalam rangka menciptakan danmemelihara stabilitas negara.
70
Soehino, “Ilmu Negara”,Yogyakarta: Liberty, 1986, hlm. 152-153.
71 M. Arskal Salim, Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik Ibnu Taimiyah,
(Jakarta: Logos, 1999), hal. 53
57
Nabi SAW menyuruh bersabar atas perbuatan dzalim para pemimpin
(penguasa, dan melarang memerangi mereka selama mereka menegakkan
shalat). Ajaran dasar Ahlussunnah Wal-jama‟ah adalah memelihara kesatuan
dan persatuan, tidak memerangi para pemimpin dan tidak berperang dalam
fitnah. Adapun Ahlul Ahwat (pengikut nafsu) seperti golongan mu‟tazilah
memandang memerangi pemimpin termasuk salah satu ajaran dasar dalam
keyakinan agama. Ada lima ajaran yang dipandang sebagai dasar dan pokok
agama mereka: at-tauhid merupaka peniadaan terhadap sifat-sifat tuhan, al-
„adlu (keadilan), pengingkaran atas qadar, al-manzilah bain al-manzilah
latain, melaksanakan janji dan ancaman amar ma‟ruf nahi munkar, termasuk
didalamnya, memerangi pemimpin.72
72
Ibnu Taimiyah, Menuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Munkar, (Jakarta: Pustaka Panjimas,
1988), hal. 59
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dan analisis dari beberapa bab terdahulu,
maka dapatlah disimpulkan jawaban terhadap berbagai pokok-pokok
permasalahan sebagai berikut :
1. Menurut Ibnu Taimiyah kriteria penguasa dzalim adalah: Keluar
dari Imam, Ingin menumbangkan Imam, Bermaksud melanggar
ketentuan Imam. Dari uraian yang telah diungkapkan di atas,
penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa pemimpin yang
dzalim menurut Ibnu Taimiyah itu adalah penguasa yang
melakukan sebagian dosa yang karenanya berhak secara mutlak
disebut dzalim seperti minum khamer, berzina atau mendera orang
muslim tanpa adanya alasan yang benar dan jelas atau
mengabaikan penetapan hukum yang berdasarkan syari‟at Islam
dalam suatu kejadian namun bukan menolak hukum Allah SWT.
Sedangkan dalam hal-hal tertentu ia masih mempergunakan hokum
yang diturunkan Allah SWT, di tengah-tengah manusia.
2. Ibnu Taimiyah menggambarkan bahwa pemimpin yang dzalim
diharuskan kepada rakyat agar bersabar menghadapi kepala negara
yang dzalim dan tidak memerangi selama ia masih tetap
melaksanakan sholat. Dalam sikap Ibnu Taimiyah berpendapat
58
59
bahwa pemerintahan yang adil meskipun kafir adalah lebih baik
dari pada sebuah pemerintahan muslim berlaku dzalim, pada
dasarnya sikap yang di lakukankan Ibnu Taimiyah mengambarkan
kebijakan seorang pemimpin bukan melainkan sosok ataufigur.
3. Mengenai relevansi pemikiran Ibnu Taimiyah tentang penguasa
dzalim dengan konsep siyasah Islam menunjukan kenyataan
adanya ajaran-ajaran politik yang terkandung dalam al-Qur‟an
adalah menciptakan manusia untuk beramar ma‟ruf dan nahi
munkar. oleh karena itu agama dan negara akan terjalin dengan
baik dengan adanya pemerintahan. Karena kita ketahui manusia
adalah makhluk sosial oleh karena itu butuh bantuan orang lain dan
dengan hal itu harus adanya pemerintahan.
B. Saran-Saran
Berdasarkan uraian-uraian yang telah penulis kemukakan diatas,
makapenulis ingin mengemukakan saran-saran sebagai bahan pertimbangan
bagikita semua selaku umat Islam, antara lain :
1. Dalam menggali studi analisis pendapat Ibnu Taimiyah terhadap
penguasa dzalim yang memfokuskan pada kewajiban mendirikan
pemerintah walaupun penguasa dzalim.
2. Dalam menghadapi penguasa zalim maka kaum muslimin diharapkan
tetap sabar dalam menghadapi penguasa yang zalim dalam kondisi
dan keadaan bagaimanapun juga.
60
3. Bagi para pembaca hendaknya didalam menjalankan syari‟at Islam
harus berhati-hati agar tidak dengan mudah dan cepat mengambil
keputusan-keputusan yang cenderung tidak imbang yang kadang-
kadang banyak menimbulkan kerugiann terhadap orang banyak,
hendaknya kita sebagai orang Islam dalam memandang
segalasesuatu yang didasarkan pada syari‟at Islam dan jangan
dipandangdari satu sisi aja yaitu “sisi buruk atau sisi baiknya saja”
61
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maragi, Abdullah Mustafa, Al-Fath al-Mubin fi Tabaqat al-Usuliyyin, Bairut:
Muhammad Amin Rawaj wa Syurakauh, 1974
Al-Mawardi, Imam, “Al-Ahkaamus Sulthaniyyah Wal Wilaayaatud Diniyah”,
Terj, Abd Hayyie al Kattani, “Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan
dalam takaran Islam”, Jakarta: Gema Insani Press, 2000
Al-Mubarak, Muhammad, Sistrm Pemerintahan Dalam Perspektif Isla, terj.
Firman Harianto, Solo: CV. Pustaka Mantiq, 1995
Asy-Syarafa, Ismail, Ensiklopedi Filsafat, terj. Sofiyullah Mukhlas,Jakarta:
Khalifah, 2002.
Audah, Abdul Qadir, Al-Tasyri‟ Al-Jina‟i Al-Islami, Kairo: Maktabah Darr
Arubba, 1960
Departemen Agama RI, “Ensiklopedi Islam”, Jakarta: CV. Anda Utama, 1999
Effendy, Mochtar, Kepemimpinan Menurut Ajaran Islam, PaleAbdul Rosyid.
Aqidah Akhlak , Semarang: PT. Toha Putra, 2003
Hamid, Shaib Abdul, IbnuTaimiyah Rekam Jejak Sang Pembaharu, Jakarta:Citra,
2009
Hassan, Muhammad Ali, Perbandingan Madzab, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2002
Hsubky, Badruddin, “Dilema Ulama dalam Perubahan Zaman”, Jakarta: PT
Gema Insani Press, 1995
Http://sauqiy.wordpress.com/2007/11/20/kapan-kewajiban-memerangi-penguasa-
murtad
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2007
Ishlahi, Konsepsi Ekonomi IbnuTaimiyah, terj, Anshari Thayib, Surabaya: PT
Bina Ilmu, 1997.
Jindan, Khalid Ibrahim, Teori Politik Islam, Telaah Kritis IbnuTaimiyah Tentang
Pemerintahan Islam. Terj. Masrohin.Surabaya: Risalah Gusti. 1995..
Khalik, Farid Abdul, Fikih Politik Islam, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 1998
61
62
Khan, Qamaruddin, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, Bandung: Pustaka, 1971
Madjid Nurcholis, kontroversi sekitar ketokohan IbnuTaimiyah, Jakarta:
Paramadinah, 1993.
Michael SJ, Tomas, Ibnu Taimiyah: Alam Pikirannya dan Pengaruhnya di Dunia
IslamOrientasi, Th. XV No. 235, 1953.
Muthahari, Murtadho, “Imamah dan Khilafah”, Terj, Satrio pinandito,”Imamah
dan Khilafah”, Jakarta: CV. Firdaus, 1991
Musawi Lari, Sayid Mujtaba, Imam Penerus Nabi Muhammad SAW Tinjaun
Historis Teologis dan Filosofis, Jakarta: Lentera, 2004.
Musa, M.Yusuf, “Politik dan Negara dalam Islam”, Yogyakarta: Penerbit
Pustaka SLI, 1991.
Mar‟at, “Pemimpin dan Kepemimpinan”, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984
Nawawi, Hadi, “Kepemimpinan Menurut Islam”, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 1993
Pamudji, “Kepemimpinan Pemerintah di Indonesia”, cet. Ke-7, Jakarta: Bumi
Aksara, 1995
Penyusun Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ikhtiar
Baru van Hoeve, 1994.
Purwadarna, “Kamus Besar Bahasa Indonesia” , Jakarta: Balai Pustaka , 1982
Purwanto, Ngalim, dkk, “Administrasi Pendidikan”, Jakarta: Mutiara, 1984
Rahman, Fazlur, Gelombang Perubahan Dalam Islam, terj. Aam Fahmia, Jakarta:
PT Grafindo Persada, 2000
Rais, Dhiauddin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2001
Rosyid, Abdul. Aqidah Akhlak , Semarang, PT. Toha Putra, 2003
Salim, M. Arskal, Etika Intervensi Negara Perspektif Etika Politik IbnuTaimiyah,
Jakarta: Logos, 1999.
Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran,
Jakarta: Penerbit UI Press, 1993
Sjadzali, Munawir, “Islam and Govermental Sistem”, Jakarta: INIS, Th, 1991, hal. 56
63
Suma, Muhammad Amin, Ijtihad Ibn Taimiyah dalam Fikih Islam,Jakarta: INIS,
1991.
Syarif, Mujar Ibnu, Presiden Non Muslim Di Negara Muslim, Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan, 2006
Taimiyyah, Ibnu, Munuju Umat Amar Ma‟ruf Nahi Mungkar, Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988
Taimiyah, Ibnu, Kebijakan Politik Nabi SAW, terj. Muhammad Munawwir Al-
Zahidi, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997
Taimiyah, Ibnu, Al-Amrbi Al-ma‟ruf wa Al-Nahyu „an Al-Mungkar, Beirut: Dar
Kitab Jadid,1984
Taimiyah ,Ibnu, “Tafsir Al-Kabir”, Jilid 1, Beirut-Lebanon : Dar Al-Kutub Al-
Ilmiyah, t,th, hlm 37, lihat juga Muhammad Abu Zahrah, Tarikh Al-
Mazahib Al-Islamiyah, Juz 2, Beirut- Lebanon :Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
1987
Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1989
Zada, Khamami dan Mujar Ibnu Syarif, Fiqh Siyasah Doktrin dan Pemikiran
Politik Islam, Jakarta: Erlangga, 2008.
Zahra, Muhammad Abu, Ibn Taimiyah: Hayatuh wa Asaru Ara‟ih wa Fiqhih,
Bairut: Dar al-Fikr. 2003