1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi terbaru telah menghasilkan berbagai teknik
dan prosedur pencitraan yang kompleks dan membingungkan. Namun
demikian, prinsip dasar pencitraan adalah tetap, yaitu memberikan
gambaran anatomi bagian tubuh tertentu dan kelainan-kelainan yang
berhubungan, dengan modalitas utama pencitraan salah satunya yaitu sinar-
X. (3)
Agen kontras merupakan zat yang membantu visualisasi beberapa
struktur anatomi, bekerja berdasarkan prinsip dasar sinar-X, sehingga
mencegah pengiriman sinar tersebut pada pasien. Zat kontras yang paling
banyak digunakan adalah barium sulfat yang dapat memperlihatkan bentuk
saluran pencernaan, dan sediaan iodin organik, yang banyak digunkan
secara intravena pada CT untuk memperjelas gambaran vaskular dari
berbagai organ. (3)
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa
aganglionik usus, mulai dari sfingter ani interna kearah proksimal dengan
panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya
sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus
fungsional. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung
tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui
secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. (2)
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan
disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan
meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Penyakit
Hirscsprung adalah penyakit obstruksi usus bagian bawah yang paing sering
pada neonatus, dengan insidensi keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki-
2
laki lebih banyak dibanding perempuan (4:1), dan ada kenaikan insidens
keluarga pada penyakit segmen panjang. Penyakit Hircshsprung mungkin
disertai dengan cacat bawaan lain termasuk sindrom Down, sindrom
Laurence-Moon-Bardet-Biedl, dan sindrom Waardenburg serta kelainan
kardiovaskuler. (8)
I.2. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka referat ini mempunyai tujuan
yang ingin dicapai, antara lain:
I.2.1. Tujuan Umum
Untuk menambah wawasan mengenai penyakit Megakolon
Aganglionik (Hirschsprung Disease).
I.2.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi saluran pencernaan bagian
bawah
2. Untuk penegakan diagnostik dari Hirschsprung Disease.
3. Untuk mengetahui gambaran Radiologi dari Hirschsprung Disease.
4. Untuk mengetahui tatalaksana dan prognosa dari Hirschsprung
Disease.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Sejarah
Ruysch (1961) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus
yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa
megakolon. Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886)
melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu
diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia
ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11
bulan yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori
yang berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf
sebagai penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi
obat-obatan dan simpatektomi. (6)
Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang
signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan adanya kelainan
patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion parasimpatis
pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu
pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade
kemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan bahwa
megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan
peristaltikusus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion. (6)
Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas
tentang defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit
Hirschsprung, hingga Swenson dalam laporannya menerangkan tentang
penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak
terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Swenson melakukan operasi
pengangkatan segmen yang aganglionik dengan hasil yang memuaskan.
Laporan Swenson ini merupakan laporan pertama yang secara meyakinkan
4
menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek ganglion dengan
gejala klinis yang terjadi. (6)
Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan
merupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik
ekstrinsik, melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat
ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan
simpatektomi. Keterangan inilah yang mendorong Swenson melakukan
pengangkatan segmen aganglionik dengan preservasi spinkter ani. Okamoto
dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi
akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran
cerna atas ke distal mengikuti serabut-serabut vagal pada suatu tempat
tertentu yang tidak mencapai rektum. (1)
II.2. Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. (5)
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dikelilingi oleh
spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial
dan depan. (5)
5
Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal (4)
Gambar 2. Spinkter ani eksternal laki-laki (4)
6
Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan
medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti
oleh a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior.
Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis
interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan
daerah anus. (5)
Gambar 3. Pendarahan anorektal (4)
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.
Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan
muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis
mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak
mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh
7
n.splanknikus (parasimpatis). Alhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi
oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (syaraf parasimpatis). (5)
Gambar 4. Innervasi daerah perineum laki-laki (4)
Sistem syaraf autonomik intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus :
1. Pleksus Auerbach : terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal
2. Pleksus Henle : terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler
3. Pleksus Meissner : terletak di sub-mukosa.
Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion pada
ke-3 pleksus tersebut. (5)
8
Gambar 5. Skema syaraf autonom intrinsik usus (4)
II.3. Fisiologi
Pubo-rectal sling dan tonus sfingter ani eksterna bertanggung jawab
atas penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat,
akan menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Untuk menghambat
gerakan peristaltik tersebut ( seperti mencegah flatus ) maka diperlukan
kontraksi spinkter eksterna dan sling yang kuat secara sadar. Sleeve and
sling dapat membedakan antara gas, benda padat, benda cair, maupun
gabungan, serta dapat mengeluarkan salah satu tanpa mengeluarkan yang
lain. Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.
Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada
wakru dan tempat yang diinginkan. (7)
9
Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks, namun dapat
dikelompokkan atas 4 tahapan: (7)
1. Tahap I. Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih
proksimal ke rektum, seiring dengan frekuensi peristaltik kolon dan
sigmoid (2-3 kali/hari) serta refleks gastrokolik.
2. Tahap II. Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory
reflex, yakni upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi
spinkter ani interna secara involunter.
3. Tahap III. Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara
involunter. Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan
relaksasi akibat kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.
4. Tahap IV. Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal
secara volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut,
hingga defekasi dapat terjadi
II.4. Epidemiologi
Insidensi penyakit Hirschsprung tidak diketahui secara pasti, tetapi
berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Dengan jumlah penduduk
Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka diprediksikan
setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit Hirschsprung. Kartono
mencatat 20-40 pasien penyakit Hirschprung yang dirujuk setiap tahunnya
ke RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta. (2)
Menurut catatan Swenson, 81,1 % dari 880 kasus yang diteliti adalah
laki-laki. Sedangkan Richardson dan Brown menemukan tendensi faktor
keturunan pada penyakit ini (ditemukan 57 kasus dalam 24 keluarga).
Beberapa kelainan kongenital dapat ditemukan bersamaan dengan penyakit
Hirschsprung, namun hanya 2 kelainan yang memiliki angka yang cukup
signifikan yakni Down Syndrome (5-10 %) dan kelainan urologi (3%).
Hanya saja dengan adanya fekaloma, maka dijumpai gangguan urologi
seperti refluks vesikoureter, hydronephrosis dan gangguan vesica urinaria
(mencapai 1/3 kasus). (6)
10
II.5. Diagnosa
Penyakit Hirschsprung adalah akibat tidak adanya sel ganglion pada
dinding usus, meluas ke proksimal dan berlanjut mulai dari anus sampai
panjang yang bervariasi. Tidak adanya inervasi saraf adalah akibat dari
kegagalan perpindahan neuroblas dari usus proksimal ke distal. Segmen
yang aganglionik terbatas pada rektosigmoid pada 75% penderita; pada
10%, seluruh kolon tanpa sel-sel ganglion. Bertambah banyaknya ujung-
ujung saraf pada usus yang aganglionik menyebabkan kadar
asetilkolinesterase tinggi. Secara histologi, tidak didapatkan pleksus
Meissner dan Auerbach dan ditemukan bekas-bekas saraf yang hipertrofi
dengan konsentrasi asetilkolinesterase yang tinggi di antara lapisan-lapisan
otot dan pada submukosa. Gangguan ini dapat direproduksi pada binatang
percobaan dengan merusak reseptor endothelin B. (8)
Pada penyakit Hirschsprung, terdapat segmen kolon aganglionik
disertai defisiensi atau tidak adanya pleksus mienterikus, sehingga
menghasilkan suatu bagian yang tidak dapat melebar dan bagian usus besar
di proksimalnya melebar dan bahkan menimbulkan megakolon. Kadang-
kadang agangliosis dapat mengenai seluruh usus besar. Diagnosis
dilakuksan dengan melakukan biopsi rektal. Komplikasi yang dapat terjadi
antara lain enterokolitis dan perforasi caecal yang terjadi sekunder akibat
distensi dan iskemia. (3)
II.5.1. Gambaran klinis
Gejala-gejala klinis penyakit Hirschsprung biasanya mulai pada saat
lahir dengan terlambatnya pengeluaran mekonium. Sembilan puluh
sembilan persen bayi lahir cukup bulan mengeluarkan mekonium dalam
waktu 48 jam setelah lahir. Penyakit Hirschsprung harus dicurigai apabila
seorang bayi cukup bulan (penyakit ini tidak bisa terjadi pada bayi kurang
bulan) yang terlambat mengeluarkan tinja. Beberapa bayi akan
mengeluarkan mekonium secara normal, tetapi selanjutnya
memperlihatkan konstipasi kronis. Gagal tumbuh dengan hiperproteinemia
karena enteropati pembuang-protein sekarang adalah tanda yang kurang
11
sering karena penyakit Hirschsprung biasanya sudah dikenali pada awal
perjalanan penyakit. Bayi yang minum ASI tidak dapat menampakkan
gejala separah bayi yang minum susu formula. (8)
Kegagalan mengeluarkan tinja menyebabkan dilatasi bagian
proksimal usus besar dan perut menjadi kembung. Karena usus besar
melebar, tekanan didalam lumen meningkat, mengakibatkan aliran darah
menurun dan perintang mukosa terganggu. Statis memungkinkan
proliferasi bakteri, sehingga dapat menyebabkan enterokolitis (Clostridium
difficile, Staphylococcus aureus, anaerob, koliformis) dengan disertai
sepsis dan tanda-tanda obstruksi usus besar. Pengenalan dini penyakit
Hirschsprung sebelum serangan enterokolitis sangat penting untuk
menurunkan morbiditas dan mortalitas. (8)
Gagal untuk mengeluarkan mekonium dalam 24 jam, disertai tanda
obstruksi usus (distensi abdomen dan muntah) dan konstipasi sejak lahir
(gejala dapat terjadi saat bayi atau kemudian hari) merupakan gejala dari
penyakit Hirschsprung. (3)
Penyakit Hirschsprung pada penderita yang lebih tua harus
dibedakan dari penyebab perut kembung lain dan konstipasi kronis.
Riwayat seringkali menunjukan kesukaran mengeluarkan tinja yang
semakin berat, yang mulai pada umur minggu-minggu pertama. Massa
tinja besar dapat diraba pada sisi kiri perut, tetapi pada pemeriksaan
rektum biasanya tidak ada tinja. Tinja ini, jika keluar, mungkin akan
berupa butir-butir kecil, seperti pita, atau berkonsistensi cair; tidak ada
tinja yang besar dan bekonsistensi seperti tanah pada penderita dengan
konstipasi fungsional. Pada penyakit Hirschsprung masa bayi harus
dibedakan dengan sindrom sumbat mekonium, ileus mekonium, dan
atresia intestinal. (8)
Pemeriksaan rektum menunjukan tonus anus normal dan biasanya
disertai dengan semprotan tinja dan gas yang berbau busuk. Serangan
intermitten obstruksi intestinum akibat tinja yang tertahan mungkin
disertai dengan nyeri dan demam. (8)
12
Gambar 6. Foto pasien penderita Hirschsprung
Gambar 7. Foto pasien normal dan penderita Hirschsprung
II.5.2. Pemeriksaan Radiologi
13
Gambaran radiologis penyakit Hirschsprung berdasarkan film polos
abdomen memperlihatkan kolon yang sangat melebar yang terisi sisa feses.
Pada pemeriksaan barium enema, segmen yang terlihat biasanya memiliki
diameter yang normal (zona transisional) namun tampak menyempit,
karena terdapat pelebaran kolon di atasnya. Retensi barium hingga 48 jam
setelah pemeriksaan merupakan gambaran yang khas. (3)
Gambar 8. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan,dilatasi sigmoid dan daerah
transisi yang melebar.
Diagnosis dengan foto rontgen pada penyakit Hirschsprung
didasarkan pada adanya daerah peralihan antara kolon proksimal yang
melebar normal dan kolon distal tersumbat dengan diameter yang lebih
kecil karena usus besar yang tanpa ganglion tidak berelaksasi. Daerah
peralihan ini biasanya tidak ada sebelum umur bayi 1 sampai 2 minggu
dan pada gambaran roentgen ada daerah usus berbentuk corong antara
14
kolon proksimal yang melebar dan usus distal yang konstriksi.
Pemeriksaan radiologis harus dilakukan tanpa persiapan untuk
menghindari pelebaran sementara segmen yang tanpa ganglion. Foto-foto
tunda dalam 24 jam banyak membantu. Jika sejumlah barium masih
tertinggal di dalam kolon, barium ini meningkatkan kecurigaan penyakit
Hirschsprung walaupun daerah peralihan tidak didapatkan. Pemeriksaan
enema barium berguna dalam menentukan luasnya aganglionosis sebelum
pembedahan dan dalam mengevaluasi penyakit lain yang ada bersama
dengan obstruksi usus besar pada neonatus. Biopsi seluruh lapisan rektum
dapat dilakukan pada saat operasi untuk memastikan dignosis dan derajat
keterlibatan. (8)
Gambar 9. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
15
Gambar 10. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
Gambar 11. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
16
Gambar 12. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
Gambar 13. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
17
Gambar 14. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
Gambar 15. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
18
Gambar 16. Terlihat gambar barium enema penderita Hirschsprung.
Tampak rektum yang mengalami penyempitan, dilatasi sigmoid dan
daerah transisi yang melebar.
II.5.3. Pemeriksaan Patologi Anatomi
Biopsi-isap rektum hendaknya tidak dilakukan kurang dari 2 cm dari
linea dentata untuk menghindar daerah normal hipoganglionosis di pinggir
anus. Biopsi harus mengandung cukup sampel submukosa untuk
mengevaluasi adanya sel ganglion. Biopsi dapat diwarnai untuk
asetilkolinesterase, untuk mempermudah interpretasi. Penderita dengan
aganglionosis menunjukan banyak sekali berkas saraf hipertrofi yang
terwarnai positif untuk asetilkolinesterase dan tidak ada sel ganglion. (8)
19
II.5.4. Manometri Anorektal
Manometri dan biopsi-isapan rektum merupakan indikator penyakit
Hirschsprung yang paling mudah dan paling dapat dipercaya. Manometri
anorektal mengukur tekanan sfingter ani interna saat balon dikembangkan
di rektum. Pada individu normal, pengembungan rektum mengawali
refleks penurunan tekanan sfingter ani interna. Pada penderita penyakit
Hirschsprung, tekanan gagal menurun, atau ada kenaikan tekanan paradoks
karena rektum dikembungkan. Ketepatan uji diagnostik ini lebih dari 90%,
tetapi secara teknis sulit pada bayi muda. Respons normal pada evaluasi
manometri ini menyingkirkan diagnostik penyakit Hirschsprung; hasil
meragukan atau respons sebaliknya membutuhkan biopsi rektum. (8)
II.6. Pengobatan
Bila diagnosis sudah ditegakan, pengobatan definitif adalah operasi.
Pilihan-pilihan operasi adalah melakukan prosedur definitif sesegera
mungkin setelah diagnosis ditegakan atau melakukan kolostomi sementara
dan menunggu sampai bayi berumur 6-12 bulan untuk melakukan operasi
definitif. Ada tiga dasar pilihan operasi. Prosedur bedah pertama yang
berhasil, yang diuraikan oleh Swenson, adalah memotong segmen yang
tidak berganglion dan melakukan anastomosis usus besar proksimal yang
normal dengan rektum 1-2 cm diatas garis batas. Operasi ini secara teknis
sulit dan mengarah pada pengembangan dua prosedur lain. Duhamel
mengeluarkan prosedur untuk menciptakan rektum baru, dengan menarik
turun usus besar yang berinervasi normal ke belakang rektum yang tidak
berganglion. Rektum baru yang dibuat pada prosedur ini mempunyai
setengah aganglionik anterior dengan sensasi normal dan setengah
ganglionik posterior dengan propulsi normal. Prosedur “endorectal
pullthrough” yang diuraikan oleh Boley meliputi pengupasan mukosa
rektum yang tidak berganglion dan membawa kolon yang berinervasi
normal ke lapisan otot yang terkelupas tersebut, dengan demikian meminta
usus yang abnormal dari sebelah dalam. (8)
20
Pada penyakit Hirschsprung segmental yang ultra-pendek, segmen
yang tanpa ganglion hanya terbatas pada sfingter ani interna. Gejala-gejala
klinisnya sama dengan gelaja-gejala pada anak konstipasi fungsional. Sel
ganglion mungkin terdapat pada biopsi isap rektum, tetapi motilitas rektum
akan tidak normal. Eksisi pengupasan mukosa otot rektum, termasuk
sfingter ani interna, merupakan tindakan diagnostik dan terapeutik. (8)
Penyakit Hirschsprung segmen-panjang yang melibatkan seluruh
kolon dan sebagian usus halus merupakan masalah yang sult. Pemeriksaan
motilitas rektum dan biopsi-isap rektum akan menunjukan adanya tanda-
tanda penyakit Hirschsprung, tetapi pemeriksaan radiologis akan sulit
diinterpretasi karena tidak ditemukan daerah peralihan. Luasnya daerah
anganglionis dapat ditentukan secara akurat dengan biopsi pada saat
laparotomi. (8)
Bila seluruh kolon aganglionik, sering bersama dengan panjang ileum
terminal, anastomosis ileum-anus merupakan terapi pilihan, dengan masih
mempertahakan bagian kolon yang tidak berganglion untuk mempermudah
penyerapan air, sehingga membantu tinja menjadi keras. Operasi Duhamel
adalah yang terbaik untuk aganglionis kolon total. Kolon kiri tetap
ditinggalkan sebagai reservoir, dan tidak perlu menganastomosis kolon kiri
ini pada usus halus. (8)
Prognosis penyakit Hirschsprung yang diterapi dengan bedah
umumnya memuaskan; sebagian penderita berhasil mengeluarkan tinja
(kontinensia). Masalah pascabedah meliputi enterokolitis berulang, striktur,
prolaps, abses perianal, dan pengotoran tinja. (8)
21
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
III.1. Simpulan
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal
canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke
bagian usus yang lebih proksimal; dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal
dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum kedunia luar.
Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan depan. (5)
Pubo-rectal sling dan tonus sfingter ani eksterna bertanggung jawab
atas penutupan saluran anal ketika istirahat. Jika ada peristaltik yang kuat,
akan menimbulkan regangan pada sleeve and sling. Pada penyakit
Hirschsprung, terdapat segmen kolon aganglionik disertai defisiensi atau
tidak adanya pleksus mienterikus, sehingga menghasilkan suatu bagian yang
tidak dapat melebar dan bagian usus besar di proksimalnya melebar dan
bahkan menimbulkan megakolon. Kadang-kadang agangliosis dapat
mengenai seluruh usus besar. Diagnosis dilakuksan dengan melakukan
biopsi rektal. Komplikasi yang dapat terjadi antara lain enterokolitis dan
perforasi caecal yang terjadi sekunder akibat distensi dan iskemia. (3)
III.2. Saran
Berdasarkan simpulan diatas, semoga pembaca dapat memahami
materi mengenai Hirschsprung disease dari mulai penyebab hingga
tatalaksana. Sehingga dengan adanya referat ini diharapkan para pembaca
khususnya petugas kesehatan bisa menerapkan ilmu tersebut ketika nanti
bertemu kasus serupa di lapangan.
22
DAFTAR PUSTAKA
(1) Fonkalsrud. 1997. Hirschsprung’s disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,
editors. Maingot’s Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall intl.inc. p.2097-105.
(2) Kartono D. 1993. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI.
(3) Patel, Pradip R. 2007. Lecture Notes Radiologi Edisi Kedua. Erlangga:Jakarta.
(4) Putz Reinhard, Pabst Reinhard. 2006. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 2 Edisi 22. EGC:Jakarta.
(5) Shafik A. 2000. Surgical anatomy of the anal canal.In: Neto JA,editor. New trends in coloproctology. Rio de Jainero;Livraria. p.3-18.
(6) Swenson O, Raffensperger JG. 1990. Hirschsprung’s disease. In: Raffensperger
JG,editor. Swenson’s pediatric surgery. 5th ed. Connecticut:Appleton & Lange. p.555-77.
(7) Wexner SD, Jorge JM. 2000. Evaluation of functional studies on anorectal disease. In: New trends in coloproctology. Rio de Jainero;Livraria. p.23-38.
(8) Wyllie, Robert. 2000. Gangguan Motilitas dan Penyakit Hirschsprung. Dalam buku: Behrman R E, Kliegman R M, Arvin A M, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol 2. EGC:Jakarta.