1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi terbaru telah menghasilkan berbagai teknik dan prosedur pencitraan yang kompleks dan membingungkan. Namun demikian, prinsip dasar pencitraan adalah tetap, yaitu memberikan gambaran anatomi bagian tubuh tertentu dan kelainan-kelainan yang berhubungan, dengan modalitas utama pencitraan salah satunya yaitu sinar-X. (3) Agen kontras merupakan zat yang membantu visualisasi beberapa struktur anatomi, bekerja berdasarkan prinsip dasar sinar-X, sehingga mencegah pengiriman sinar tersebut pada pasien. Zat kontras yang paling banyak digunakan adalah barium sulfat yang dapat memperlihatkan bentuk saluran pencernaan, dan sediaan iodin organik, yang banyak digunkan secara intravena pada CT untuk memperjelas gambaran vaskular dari berbagai organ. (3) Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari sfingter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum dengan gejala
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Perkembangan teknologi terbaru telah menghasilkan berbagai teknik
dan prosedur pencitraan yang kompleks dan membingungkan. Namun
demikian, prinsip dasar pencitraan adalah tetap, yaitu memberikan
gambaran anatomi bagian tubuh tertentu dan kelainan-kelainan yang
berhubungan, dengan modalitas utama pencitraan salah satunya yaitu sinar-
X. (3)
Agen kontras merupakan zat yang membantu visualisasi beberapa
struktur anatomi, bekerja berdasarkan prinsip dasar sinar-X, sehingga
mencegah pengiriman sinar tersebut pada pasien. Zat kontras yang paling
banyak digunakan adalah barium sulfat yang dapat memperlihatkan bentuk
saluran pencernaan, dan sediaan iodin organik, yang banyak digunkan
secara intravena pada CT untuk memperjelas gambaran vaskular dari
berbagai organ. (3)
Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa
aganglionik usus, mulai dari sfingter ani interna kearah proksimal dengan
panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya
sebagian rektum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus
fungsional. Penyakit ini pertama kali ditemukan oleh Herald Hirschsprung
tahun 1886, namun patofisiologi terjadinya penyakit ini tidak diketahui
secara jelas hingga tahun 1938, dimana Robertson dan Kernohan
menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan ini disebabkan
oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus akibat defisiensi ganglion. (2)
Penyakit Hirschsprung atau megakolon aganglionik bawaan
disebabkan oleh kelainan inervasi usus, mulai pada sfingter ani interna dan
meluas ke proksimal, melibatkan panjang usus yang bervariasi. Penyakit
Hirscsprung adalah penyakit obstruksi usus bagian bawah yang paing sering
pada neonatus, dengan insidensi keseluruhan 1 : 5000 kelahiran hidup. Laki-
2
laki lebih banyak dibanding perempuan (4:1), dan ada kenaikan insidens
keluarga pada penyakit segmen panjang. Penyakit Hircshsprung mungkin
disertai dengan cacat bawaan lain termasuk sindrom Down, sindrom
Laurence-Moon-Bardet-Biedl, dan sindrom Waardenburg serta kelainan
kardiovaskuler. (8)
I.2. Tujuan
Berdasarkan latar belakang diatas, maka referat ini mempunyai tujuan
yang ingin dicapai, antara lain:
I.2.1. Tujuan Umum
Untuk menambah wawasan mengenai penyakit Megakolon
Aganglionik (Hirschsprung Disease).
I.2.2. Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi saluran pencernaan bagian
bawah
2. Untuk penegakan diagnostik dari Hirschsprung Disease.
3. Untuk mengetahui gambaran Radiologi dari Hirschsprung Disease.
4. Untuk mengetahui tatalaksana dan prognosa dari Hirschsprung
Disease.
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Sejarah
Ruysch (1961) pertama kali melaporkan hasil autopsi adanya usus
yang aganglionik pada seorang anak usia 5 tahun dengan manifestasi berupa
megakolon. Namun baru 2 abad kemudian Harald Hirschsprung (1886)
melaporkan secara jelas gambaran klinis penyakit ini, yang pada saat itu
diyakininya sebagai suatu megakolon kongenital. Dokter bedah asal Swedia
ini melaporkan kematian 2 orang pasiennya masing-masing usia 8 dan 11
bulan yang menderita konstipasi kronis, malnutrisi dan enterokolitis. Teori
yang berkembang saat itu adalah diyakininya faktor keseimbangan syaraf
sebagai penyebab kelainan ini, sehingga pengobatan diarahkan pada terapi
obat-obatan dan simpatektomi. (6)
Namun kedua jenis pengobatan ini tidak memberikan perbaikan yang
signifikan. Valle (1920) sebenarnya telah menemukan adanya kelainan
patologi anatomi pada penyakit ini berupa absennya ganglion parasimpatis
pada pleksus mienterik dan pleksus sub-mukosa, namun saat itu
pendapatnya tidak mendapat dukungan para ahli. Barulah 2 dekade
kemudian, Robertson dan Kernohan (1938) mengemukakan bahwa
megakolon pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh gangguan
peristaltikusus mayoritas bagian distal akibat defisiensi ganglion. (6)
Sebelum tahun 1948 sebenarnya belum terdapat bukti yang jelas
tentang defek ganglion pada kolon distal sebagai akibat penyakit
Hirschsprung, hingga Swenson dalam laporannya menerangkan tentang
penyempitan kolon distal yang terlihat dalam barium enema dan tidak
terdapatnya peristaltik dalam kolon distal. Swenson melakukan operasi
pengangkatan segmen yang aganglionik dengan hasil yang memuaskan.
Laporan Swenson ini merupakan laporan pertama yang secara meyakinkan
4
menyebutkan hubungan yang sangat erat antara defek ganglion dengan
gejala klinis yang terjadi. (6)
Bodian dkk. Melaporkan bahwa segmen usus yang aganglionik bukan
merupakan akibat kegagalan perkembangan inervasi parasimpatik
ekstrinsik, melainkan oleh karena lesi primer sehingga terdapat
ketidakseimbangan autonomik yang tidak dapat dikoreksi dengan
simpatektomi. Keterangan inilah yang mendorong Swenson melakukan
pengangkatan segmen aganglionik dengan preservasi spinkter ani. Okamoto
dan Ueda lebuh lanjut menyebutkan bahwa penyakit Hirschsprung terjadi
akibat terhentinya proses migrasi sel neuroblas dari krista neuralis saluran
cerna atas ke distal mengikuti serabut-serabut vagal pada suatu tempat
tertentu yang tidak mencapai rektum. (1)
II.2. Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan
inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir,
sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif
mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana
bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. (5)
Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dikelilingi oleh
spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial
dan depan. (5)
5
Gambar 1. Diagram rektum dan saluran anal (4)
Gambar 2. Spinkter ani eksternal laki-laki (4)
6
Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan
medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti
oleh a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior.
Sedangkan arteri hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis
interna, berasal dari a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan
daerah anus. (5)
Gambar 3. Pendarahan anorektal (4)
Persyarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf
simpatis (n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut
syaraf parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus.
Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan
muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis
mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis. Syaraf simpatis tidak
mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh
(7) Wexner SD, Jorge JM. 2000. Evaluation of functional studies on anorectal disease. In: New trends in coloproctology. Rio de Jainero;Livraria. p.23-38.
(8) Wyllie, Robert. 2000. Gangguan Motilitas dan Penyakit Hirschsprung. Dalam buku: Behrman R E, Kliegman R M, Arvin A M, Nelson Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15 Vol 2. EGC:Jakarta.