Makalah fiqih Hadis sebagai sumber hukum ke dua
KATA PENGANTAR
Bismillahir-Rahmanir-Rahim.
Puji dan syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam. Rahmat dan
keselamatan semoga senantiasa dilimpahkan Allah Kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga
dan para sahabatnya, serta para pengikutnya yang setia hingga hari pembalasan kelak. Dan tak
lupa kami bersyukur atas tersusunnya Makalah kami yang berjudul “Hadits Sebagai Sumber
Hukum yang ke dua”.
Tujuan kami menyusun makalah ini adalah tiada lain untuk memperkaya ilmu pengetahuan kita
semua, dan untuk memenuhi tugas fiqih tentang bab Sumber Hukum Islam.
Akhir kata kami mengharapkan adanya kritik dan saran atas kekurangan kami dalam penyusunan
makalah ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat dan berguna khususnya bagi Siswa Siswi
Madrasah Aliyah Negeri Mojokerto dan juga semua pihak.
Mojokerto , 03 Oktober 2013
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah........................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan .................................................................................... 1
1.4 Metode Penulisan .................................................................................... 1
1.5 Sistematika Penulisan............................................................................... 2
Bab II Pembahasan ................................................................................................... 3 - 17
Bab III Penutup
1.6 Kesimpulan .................................................................................... 18
1.7 Saran .................................................................................... 18
1.8 Daftar Pustaka .................................................................................... 19
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-
Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam,
maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi
mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh
dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan
yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits. Namun, kita juga perlu mengetahui sejauh mana
kedudukan hadist sebagai sumber hukum. Untuk lebih jelasnya mengenai kedudukan hadist
sebagai sumber hukum akan dijelaskan pada bab berikutnya.yaitu pada bab pembahasan.
1.2 Rumusan Masalah
1) Bagaimanakah kedudukan hadist sebagai sumber hukum?
2) Apakah semua perbuatan yang dilakukan oleh rasul dapat dijadikan sebagai sumber hukum?
3) Apa sajakah macam – macam as- sunnah itu ?
4) Bagaimana hubungan al hadits dengan al qur’an?
5) Apakah ar- ra’yu itu?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui :
a) Bagaimana Kedudukan Hadist sebagai sumber hukum.
b) Dasar hadits sebagai salah satu sumber hukum.
c) Untuk mengetahui macam – macam as- sunnah.
1.4 Metode penulisan
Untuk mendapatkan data dan informasi yang di perlukan, penyusunan makalah ini menggunakan
metode – metode sebagai berikut:
Mencari materi di internet.
Mencari materi di beberapa buku fiqih di perpustakaan .
1.
Membuat suatu kesimpulan.
Berdiskusi dengan teman.
1.5 Sistematika Penulisan
i. Bagian Awal.
ii. Halaman Kulit/Sampul.
iii. Halaman Jilid.
iv. Kata Pengantar.
v. Daftar Isi.
vi. Pendahuluan.
vii. Pembahasan.
viii. Penutup.
2.
BAB III
PEMBAHASAN.
AS-SUNNAH ATAU HADITS SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM KEDUA
1. Pengertian As-Sunnah atau Hadits
As-sunnah menurut bahasa dapat diartikan sebagai perjalanan, pekerjaan, jalan yang di tempuh
atau cara, kebiasaan yang sering dilakukan, sesuatu yang di lakuakan para sahabat, baik yang
berdasarkan al-qur’an maupun tidak, dan sebagai kebalikan dari kata bid’ah. Sedangkan menurut
istilah sunnah ialah segala hal yang datang dari nabi muhammad saw, baik berupa ucapan,
perbuatan, maupun penetapan.
Sepakat para ulama’ bahwa as sunnah dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum. Kekuatan
hukum berasal dari as sunnah sama dengan kekuatan hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan
menjadi sumber hukum yang wajib dipatuhi. Karena itu, As-Sunnah berfungsi sebagai
penjelasan terhadap maksud ayat-ayat Al-Qur’an yang tidak atau kurang jelas serta penentu dari
beberapa hukum yang tidak terdapat hukum yang di dalam Al-Qur’an.
2. Kedudukan as sunnah/hadits sebagai sumber hukum islam yang kedua
a. Sunnah/hadits sebagai sumber hukum
Kaum muslimin sepakat bahwa as-sunnah menjadi dasar hukum yang kedua setelah Al-Qur’an.
Kesimpulan ini diperoleh berdasarkan dalilyang member petunjuk tentang kedudukan dan fungsi
as-sunnah, baik yang nash, ijma’, ataupun pertimbangan akal yang sehat.
Dasar kehujjahan As-Sunnah sebagai sumber hukum islam adalah Al-Qur’an, hadits, Ijma, dan
Dalil Aqli.
Dalil Al-Qur’an
Banyak ayat al-qur’an yang berkenaan dengan masalah ini, salah satunya yaitu:
يد د وما اتكم الرسولفخذ و ه و ما نهكم عنه فا نتهوا واتقوا هللا إن هللا
العقاب
٧الحشر:
3.
Artinya : apa yang diberikan Rasul kepadamu, terimalah dan apa-apa yang dilarangnya, maka
tinggalkanlah. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya.
(QS. Al-Hasyr (59) : 7)
ومن طع الرسول فقد اطاعاهلل
٠٨النساء :
Artinya : “ barang siapa yang mentaati Rasul itu sesungguhnya dia telah mentaati Allah”. (Q.S.
An-Nisa’:08)
Dari gambaran ayat-ayat seperti ini, maka menunjukkan betapa urgennya kedudukan penetapan
kewajiban taat kepada semua yang disampaikan oleh Rasul SAW. Dengan demikian dapat
diungkapkan bahwa kewajiban taat kepada Rasul Muhammad dan larangan mendurhakainya,
merupakan suatu kesepakatan yang tidak diperselisihkan oleh umat islam.
Dalil Al-Hadits
Rasul bersabda :
نبيه وسنة تركت فيكم أمر ن لن تضلوا ماتمسكتمبهما كتب هللا
Artinya : “aku tinggalkan 2 pusakan untukmu sekalian yang kalian tidak akan tersesat selagi
kamu berpegang teguh pada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (HR. Malik)
Kesepakatan ulama’ (Ijma’)
Seluruh umat islam telah sepakat menjadikan hadits sebagai salah satu dasar hukum Syariat
islam yang wajib diikuti dan diamalkan, karena sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah
SWT. Penerimaan mereka terhadap hadist sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an,
karena keduanya sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum syariat islam.
4.
Adapun peristiwa-peristiwa yang menunjukkan adanya kesepakatan menggunakan hadits sebagai
sumber hukum islampada masa sahabat, antara lain :
a. Pada saat abu bakar ra dibaiat menjadi khalifah, ia dengan tegas berkata “ saya tidak
meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut
menjadi orang, bila meninggalkan perintahnya”.
b. Pada saat Umar bin Khattab ada didepan hajar aswad ia berkata :’saya tahu bahwa
engkau adalah sebuah batu. Seandainya saya sendiri tidak melihat Rasulullah menciummu, maka
saya tidak akan menciummu.
c. Sahabat Rasulullah SAW baik pada waktu beliau masih hidup maupun sesudah wafat,
telah bersepakat wajib mengikuti sunnaah Nabi, tanpa membedakan antara wahyu yang
diturunkan dalam Al-Qur’an dengan ketentuan yang berasal dari Rasulullah SAW.
Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh yang dilakukan para sahabat yang menunjukkan
bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan dan diserukan, niscaya diikuti oleh umatnya, dan apa
yang dilarang, selalu ditinggalkan oleh mereka.
Sesuai dengan petunjuk akal atau dalil Aqli
Dalil aqli sebagian besar ayat Al-Qur’an mengandung hukum yang masih global dan
memerlukan penjelasan secara rinci. Tanpa penjelasan dan keterangan kewajiban-kewajiban itu
serta bagaimana cara melaksanakanya belum dapat diamalkan. Oleh karena itu penjelasan dan
keterangan diperlukan dan penjelasan serta keterangan itu adalah As-sunnah baik berupa
perkataan, perbuatan, maupun penetapan Nabi.
Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul telah diakui dan dibenarkan oleh seluruh umat islam.
Di dalam mengemban misinya itu, kadang-kadang beliau hanya sekedar menyampaikan apa yang
diterima dari Allah. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada dalilyang
menghapuskannya.
Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul
mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dengan uraian diatas, bisa diketahui bahwa Hadits merupakan salah satu sumber hukum dan
sumber ajaran islam dan menduduki urutan kedua setelah Al-Qur’an. Sedangkan bila dilihat dari
segi kehujjaannya, hadits melahirkan hukum dhanny, kecuali hadits yang mutawattir.
5.
ومن طع الرسول فقد اطاعاهلل
٠٨النساء :
Artinya : “barang siapa taat pada rasul , maka sesungguhnya ia telah taat kepada allah.”(Q.S.
AN- NISA :80)
Perhatiakan pula firman Allah SWT :
فان تنازعتم في يي ء فرد و ه الى هللا والرسول
٩٥النساء :
Artinya : “kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,maka kembalikanlah kepada
allah dan rasul-nya.”(Q.S An-NISA:59)
Berdasarkan ayat-ayat diatas , kedudukan as-sunnah menurut imam syafi’i dapat dilihat dari tiga
hal berikut :
a) Menetapkan dan menguatkan hukum yang telah ada dalam al-qur’an.
b) Memperjelas hukum yang ada dalam al-qur’an secara mujmal,membatasi hukum al-
qur’an yang bersifat mutlak , dan mengkhususkan hukum yang bersifat umum.
c) Membuat atau menciptakan dan melengkapi hukum yang tidak ada dalam al-qur’an.
Pada dasarnya , sunnah dapat dibagi kedalam dua macam , yaitu :
a. Sunnah maqbullah atau yang dapat di terima sebagai sumber hukum islam. Sunnah
maqbullah (yang diterima) terbagi dalam tiga macam , yaitu sebagai berikut :
Sunnah mutawatir ialah hadits yang para perawinya tidak terputus , sejak sahabat sebagai
penerima dari nabi , tabi’in,tabit tabi’in sampai kepada perawi yang terakhir,yakni penyusun
hadits seperti imam bukhari,muslim,dan sebagainya.artinya tidak ada rawi yang tidak bertemu
satu sama lainnya,sesuai tingkatan zamannya.
6.
Sunnah ahad ialah hadits yang perawinya tidak mencukupi syarat perawi hadits
mutawatir.dengan kata lain,derajat hadits ahad di bawah hadist mutawatir.
sunnah hasan ialah hadits yang memenuhi syarat hadits sahih.tetapi salah seorang rawinya
tidak kuat ingatannya,sehingga ia tidak mampu mengahafal redaksi hadits sepenuhnya.namun
demikian, hadits hasan ini tetap di terima sebagai sumber hukum.
Sunnah mardudah atau yang di tolak/tidak di terima.
b. Sunnah mardudah hanya ada satu,yaitu hadits dho’if. Di sebut hadits dhaif karena tidak
lengkap syaratnya,sehingga tidak sampai pada derajat hadits sahih atau hasan.
3. Pembagian As-Sunnah atau hadits
a. Sunnah Qauliyah : yaitu perkataan langsung dari Rasulullah SAW.
Contoh :
انما االعمال بالنيات )رواه ا لبخرى ومسلم(
Artinya : sesungguhnya setiap pekerjaanitu tergantung pada niatnya. (HR.Bukhari Muslim)
b. Sunnah Fi’liyah : perbuatan Rasulullah yang dapat disimpulkan sebagai perintah atau
larangan melalui contoh atau teladan beliau.
Contoh : pelaksanaan ibadah shalat, puasa, atau haji.
c. Sunnah Taqriyah : yaitu pengakuan atau penetapan Rasulullah SAW. Membiarkan atau
meemberikan persetujuan terhadap hal-hal yang dilakukan oleh para sahabat, baik perkataan
maupun perbuatan.
Contoh : kisah 2 orang sahabat yang dalam keadaan musafir tidak menemukan air sedangkan
keduanya bermaksud melaksanakan shalat. Kemudian mereka bertayamum dan melakukan
shalat.
d. Sunnah Hamimiyah : suatu amalan yang dikehendaki Nabi SAW. Tetapi belum sampai
beliau kerjakan sudah wafat.
Contoh : puasa tanggal 9 Muharram.
4. Sunnah yang dapat dijadikan Hujjah
a. Sunnah mutawattir : sunnah yang diriwayatkan oleh sanad yang banyak sehingga tidak
dapat ditentukan lagi siapa saja yang meriwayatkannya.
b. Sunnah masyhur : sunnah yang diriwayatkan dengan paling sedikit 3 sanad.
7.
c. Sunnah ahad : sunnah yang diriwayatkan oleh 2 atau 1 sanad saja. Tingkatan ahad inilah
yang terbanyak.
HUBUNGAN AL-HADITS DENGAN AL-QUR’AN
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah,
dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam
hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
1. Bayan Tafsir
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu
kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah
merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan
shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku)
adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
2. Bayan Taqrir
Yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti
hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat
bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-
Baqarah : 185.
3. Bayan Taudhih
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah
tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”,
adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya
sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak
membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada
waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini,
maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
8.
4. Bayan An-Nasakh
Kata An-Nasakh dari segi bahasa adalah al-itbal (membatalkan), Al-ijalah (menghilangkan), atau
at-tahwil (memindahkan). Menurut ulama mutaqoddimin mengartikan bayan an-nasakh ini
adalah dalil syara’ yang dapat menghapuskan ketentuan yang telah ada, karena datangnya
kemudian. Imam Hanafi membatasi fungsi bayan ini hanya terhadap hadits-hadits muawatir dan
masyhur saja. Sedangkan terhadap hadits ahad ia menolaknya.
Salah satu contoh hadits yang biasa diajukan oleh para ulama adalah hadits;
ال وصية لوارث
Yang artinya; “Tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Hadits ini menurut mereka me-nasakh isi Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180:
Artinya:
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut,
jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”(QS:Al-Baqarah:180)[10]
HADIST DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang
tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih
paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah
(keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian
banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati.
Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa
lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika
hendak menetapkan hukum.
9.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya
mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai
bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan
penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah
SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai
dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya.
Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari
tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran,
agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-
Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara
umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak
berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah
soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap
Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena
ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir
daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama
mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-
Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja) Dalam kasus-
kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang
barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang
10.
membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk
berpendapat sama dengan pihak yang pertama.
NABI MUHAMMAD SEBAGAI SANDARAN HADIST
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya
wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. Namun perlu juga
diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang
betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam
kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi
wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram
bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi
Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini
bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:
1. Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah
pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan.
Contohnya antara lain:
1) Berpuasa Wishal
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus
sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau,
sementara umatnya justru haram bila melakukannya.
2) Boleh beristri lebih dari empat wanita
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang
bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya
justru diharamkan bila melakukannya.
11.
Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya
Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh
Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.
3) Shalat Dhuha’
Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.
4) Qiyamullail
Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi
kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.
5) Bersiwak
Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya
hanya Sunnah saja.
6) Bermusyawarah
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya
7) Menyembelih kurban (udhhiyah)
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.
Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya
1) Menerima harta zakat
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga
hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).
2) Makan makanan yang berbau
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang
dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk
membawa wahyu. Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh.
Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh
umat Muhammad SAW.
12.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa
semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW.
SUMBER PELENGKAP
Pada garis besarnya, Al-Qur’an dibedakan atas ayat Muhkamat dan ayat-ayat mustasyabihat.
Ayat muhkammat adalah ayat yang sudah jelas dan terang maksudnya dan hukum yang
dikandungnya sehingga tidak memerlukan penafsiran atau interpretasi. Sedangkan Ayat
Mustasyabihat adalah ayat yang memerlukan penafsiran lebih lanjut, walaupun dalam bunyinya
sudah jelas mempunyai arti, seperti ayat-ayat mengenai gejala alam yang terjadi setiap hari.
Demikian juga dalam Al-Qur’an dijumpai dalil-dalil yang bersifat Qoti’ dan dzonni dan dalil-
dalil yang dzonni ini dibutuhkan penjelasan dan penafsiran, hal demikian bermuara untuk
menggunakan akal untuk memecahkannya dan yang tidak kalah penting munculnya peristiwa
baru yang sebelumnya belum pernah terjadi dan status hukum seperti : bayi tabung, cangkok
mata, donor darah dll,…
1. Latar belakang adanya Ra’yu
Pada waktu Nabi Muhammad saw mengatur jalannya pemerintahan selalu berpedoman kepada
keahlian seseorang untuk mengatasi masalah” yang timbul.
Pilihan nabi jatuh kepada sahabat Mu’adz untuk diangkat menjadi gubernur di yaman. Saat itu,
sahabat Mu’adz memberikan konsep pemikiran dalam penyelesaian masalah-masalah
social keagamaan yang memerlukan hukum akan dipecahkan melalui urutan sumbernya, yakni
Al-Qur’an, As-Sunnah, kemudian ijtihad/berfikir dengan sangat hati-hati. Jadi ijtihad merupakan
berfikir dengan hati-hati (Ra’yu).
Norma dan aturan hukum seperti diatas terus dipertahankan mulai pada masa nabi, masa
khalifaur rasyidin sampai pada masa sekarang.
Dan ternyata apabila dihubungkan dengan isi kandungan Al-Qur’an, akan tampaklah bahwa Al-
Qur’an sebagai sumber dari segala sumber hukum itu yang terdiri dari 6236 ayat, hanya beberapa
ayat saja yang mengatur masalah kemasyarakatan. Menurut penelitian Abdul wahab Khalaf, yat-
ayat ahkamitu berjumlah:5
70 ayat mengenai keperdataan
70 ayat yang mengenai hidup kekeluargaan
30 ayat mengenai pidana
13.
13 ayat mengenai hukum acara
10 ayat mengenai hukum perundang-undangan dan ketatanegaraan
25 ayat mengenai internasional dan hukum perang
10 ayat mengenai hukum kemasyarakatan dan hukum benda
140 ayat mengenai ibadah :shalat, puasa, haji dll,..
Maka Ra’yu dalam pengertian sahabat tidak terbatas pada qiyas saja seperti yang dipahamkan
sebelumnya. Ra’yu pada masa ini melengkapi qiyas, istihsan, barah asliyah, saddudzari’ah
maslahah mursalah. Ra’yu yang dikehendaki sahabat adalah:
Mengambil hukum dari dhahir nash, jika yang diberikan hukum itu dicakup oleh nash.
Mengambil hukum dari Ma’kul/inti nash karena di nashkan ‘illat hukum yang didukung oleh
nash, atau nash itu dapat dipertimbangkan dengan jalan ijtihad, sedang illat didapati pula perkara
yang hendakdiberi hukum. Sementara itu para sahabat tidak bermudah-mudahan dalam soal
ijtihad. Mereka berijtihad dikala diperlukan.
2. Lahirnya dua aliran hukum islam, Ahlul-hadits dan Ahlul Ar-Ra’yu
Perkembangan fiqih periode sahabat kecil dan tabiin bermula pada tahun 40 H-10 H. pada tahun
ini kendali ke khalifaan berpindah dari khulafaur rasyidin yang ke 4 yakni Ali bin Abi Thalib ke
tangan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada periode ini, para pemuka agama islam dalam
menetapkan hukum berpegang teguh kepada : Al-Qur’an, Al-Hadits, Al-Ijma’ dan Ar-Ra’yu atau
qiyas. Akan tetapi prinsip musyawarah dalam menetapkan hukum ini sudah goyah, akhirnya
umat islampada periode III pecah menjadi 3 kelompok, yaitu : Khawarij, Syi’ah dan Jumhur.
Ketiga kelompok tersebut berpegang teguh kepada pendiriannya masing-masing.
Maka lahirlah yang dinamakan Ahlul Hadis yang di sponsori oleh kelompok Jumhur, dan Ahlul-
Ar-Ra’yu yang disponsori oleh kelompok Khawarij dan Syi’ah.
Golongan Ahlul-Hadits menfatwakan suatu hukum menurut nash dan hadits yang mereka
peroleh saja, tidak mau menfatwakan suatu hukum berdasarkan suatu Qiyash. Golongan ini
apabila tidak memperoleh hukum dari Al-Qur’an dan hadits dan memperhatikan pendapat
sahabat dan jika mereka tidak mendapatkan hukumdi dalamnya, barulah mereka mau berijtihad.
Contoh : Said ibn Musayab, Abu Al-Kufi, Asy Sya’by, dll,…
14.
Golongan Ar-Ra’yu
Mahdzab ini berpendapat bahwa hukum-hukum islam dapat diselidiki maknanya dan mempunyai
beberapa dasar yang harus dipegang. Mereka menetapkan hukum berdasarkan Al-Qur’an, Al-
Hadits, An-Nash, Ijtihad dalam masalah-masalah yang belum didapati Nash hukumnyasecara
tegas.
Mereka menyelidiki illat-illat hukum, makosidusyari’at juga tak ketinggalan diselidiki, bahkan
berani menolak hadits-hadits yang berlawanan dengan syari’at.
Contoh : Al Qamah ibnu Qais An nakhai Al-kufi, Ibrahim ibnu Yazid An nakhai, Muhammad
ibnu sulaiman Al-Asy’ari, Muhammad Abduh, dll,..
3. Ar-Ra’yu sebagai dinamika hukum islam
Islam sebagai suatu agama sudah lengkap dan tuntas serta sempurna mengatur segala aspek
kehidupan baik lahir maupun batin, individu dan masyarakat, jasmani dan rohani, termasuk ilmu
pengetahuan maupun tekhnologi.
Sesuai dengan ayat al-Qur’an :
السالم ال وم أكملت لكم د نكم واتممت عليكم نعمتي ورضيت لكم ا
د نا
٣المائدة :
Artinya : Pada hari ini telah aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah aku cukupkan
kepadamu nikmat-ku, dan telah akuridhai islam menjadi agamamu. (QS.Al-Maidah : 3)
Namun, islam sebagai tata kehidupan social masyarakat masih memerlukan alat bantu untuk
mengatasi masalah-masalah yang kontemporer,
Dalam halini Muhammad sudah memberikan kelonggaran dalam menghadapi masalah
keduniawian melalui pemikiran :
م انتم اعل اذاامرتكم من امرد نكم فاتبعوني , واذاامرتكم من امر دنياكم
باموردنياكم.
Artinya : apabila aku perintahkan tentang urusan agamamu, maka ikutilah aku dan apabila aku
perintahkan tentang urusan duniawimu, kamu lebih mengetahui tentang urusan duniawimu.
15.
Penggunaan akal pikiran dalam berbgai masalah di dunia ini masih dilanjutkan dengan
penegasan wahyu kemudiannya. Namun ada beberapa ayat yang Allah tidak memberikan
kelanjutannya, akan tetapi diserahkan kepada akal sehat manusia untuk menilai dan
mengambilkeputusan akhir.
Misalnya :
الاكراه فى الدّ ن قدتبيّن الريدمن الغيّ
Artinya : “tidak ada pemaksaan untuk memeluk agama islam, sungguh telah jelas jalan yang
benar dari pada jalan yang salah”.
Kebijakan–kebijakan pengambilan hukum yang berorientasi penalaran telah dilakukan oleh para
sahabat nabi, dimana kebijakan tersebut tidak tepat dengan bunyi nash atau perbuatan nabi,
contohnya :
Pada masa Usman bin Affan
Pada salat jum’at, Usman bin affan menambah satu adzan lagi, yang pada masa nabi Muhammad
hanya ada satu adzan.
Pada masa Umar bin Khattab
Umar bin khattab melarang/tidak membolehkan laki-laki muslim menikah dengan ahli kitab,
meskipun Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 5 jelas memberikan kelonggaran.
Umar bin khattab juga menerapkan pungutan pajak bumi, yang dulu pada masa nabi, beliau tidak
pernah mensyari’atkan pungutan pajak bumi tersebut.
Dan masih banyak lagi contoh tindakan ataupun kebijakan para ulama’ dan umara’ terdahulu
dalam rangka memahami dan mengamalkan islam yang tidak sesuai benar dengan dhahir nash
nya. Mereka mengadakan kebijakan itu bukan tanpa alasan sama sekali, tapi dengan mencari
asas dan tujuan syariat yang hakiki serta didukung oleh kebutuhan yang perlu penanganan
terdesak. Untuk itu, ulama menyusun beberapa ketentuan dan ajaran islam, khususnya di bidang
tata amaliyah.
Pertumbuhan ilmu alat ijtihad tidaklah muncul dalam satu kurun waktu, tetapi tumbuh dan
berkembang secara evolusi yang telah ditempa dalam berbagai pengalaman,pengkajian dan
evaluasi.
16.
Sejak zaman nabi sudah dikenal dengan yang namanya Qiyas, kemudian dikembangkan pada
masa sahabat dan tabi’in yang dikenal sebagai ra’yu. Pengertian ra’yu berkembang dan
bervariasi, sejak dari tafsir secara lughawi, ta’wil, qiyas, maslahah dan istihsan.
17.
Bab III Penutup
1.7 Kesimpulan
1) Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut
istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan
pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
2) Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan
juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
3) Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti;
bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan
Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan
Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an.
4) Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum,
hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang
syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama
sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
5) Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus
diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
1.8 Saran
Demikian makalah Fiqih Bab Sumber Hukum Islam “ Hadits Sebagai Sumber Hukum
Islam Kedua “ yang telah kami buat.Makalah ini belumlah mencakup semua yang ada pada
materi ini,tetapi kami berharap tetap ada manfaatnya.
Akhirnya tegur sapa dan kritik yang membangun dari para pembaca sangat kami
harapkan demi perbaikan,karena tidak ada manusia yang sempurna.
18.
1.8 Daftar Pustaka
1) Al-Qur’an
2) Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung:
Pustaka
3) Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta:
Bulan Bintang
4) Drs.Mahrus as’ad,M.Ag dan Drs.A.Wahid Sy,M.Ag, 2006, Memahami fiqih untuk
Madrasah Aliyah kelas XII,Semester 1 dan 2 kelas 3, Bandung : penerbit Armico Bandung.
5) Team guru bina PAI Madrasah Aliyah, 2013, FIQIH, Sragen : Akik pustaka.
6) Drs.Moh Rifa’i,1996,FIQIH UNTUK MADRASAH ALIYAH KELAS III , Semarang :
CV.WICAKSANA