BAB I PENGERTIAN DASAR SISTEM PENGATURAN
1.1 Pendahuluan Tentang Pendekatan Sistem
Suatu “sistem” dapat dipandang sebagai gugusan elemen-elemen yang saling
berhubungan dan terorganisir ke arah suatu sasaran tertentu atau gugus sasaran. Dalam
problem-problem interdisipliner yang kompleks, "pendekatan sistem" dapat menyediakan
alat bantu bagi penyelesaian masalah dengan metode dan peralatan logis yang
memungkinkannya untuk mengidentifikasikan komponen-komponen (subsistem) yang
saling berinteraksi untuk mencapai beberapa sasaran tertentu. Pengetahuan-pengetahuan
ini memungkinkan seseorang untuk mengambil pilih-an-pilihan rasional di antara
alternatif-alternatif yang tersedia dalam problem-problem yang kritis dan trade-off.
Tiga macam kondisi yang menjadi prasyarat agar supaya aplikasi pen-dekatan
sistem dapat memberikan hasil yang memuaskan adalah:
(1). sasaran sistem didefinisikan secara jelas dan dapat dikenali, meskipun ka-dangkala
tidak dapat dikuantifikasikan.
(2). proses pengambilan keputusan dalam sistem riil dilakukan dengan cara sen-tralisasi
yang logis
(3). skala perencanaannya jangka panjang.
1.2. Prosedur
Pada hakekatnya pengembangan sistem merupakan suatu proses pengam bilan
keputusan degan menggunakan fungsi-struktur, outcomes, evaluasi, dan keputusan. Tahap-
tahap pokok dalam pendekatan sistem ini adalah: (i) evaluasi kelayakan, (ii) pemodelan
abstrak, (iii) disain implementasi, (iv) implementasi sistem, dan (v) operasi sistem.
Seperti yang lazim diikuti, prosedur dari proses tersebut diawali dengan gugus
"kebutuhan" yang harus dipenuhi, menuju kepada suatu sistem operasional yang mampu
memenuhi kebutuhan. Proses-proses tersebut diikuti dengan suatu evaluasi untuk
menentukan apakah outcome dari suatu tahapan memuaskan atau tidak. Proses tersebut
pada kenyataannya bersifat interaktif.
1
1.3. Alat Bantu
Suatu alat bantu yang sangat penting ialah model abstrak yang perilaku esensialnya
mencerminkan perilaku dunia nyata (realita) yang diwakilinya. Model digunakan dalam
banyak cara, dalam mendisain dan mengelola sistem sebagai fungsi analisis. Analisis ini
didefinisikan sebagai determinasi output model, dengan menggunakan input dan struktur
model yang telah diketahui.
Suatu model matematik, terutama model komputer, dapat dengan cepat
menganalisis dan menghitung output dari berbagai alternatif yang sangat penting dalam
proses kreatif pengelolaan sistem dan disain sistem. Pada kenyataannya kebanyakan model
abstrak ini mempunyai struktur internal yang terdiri atas simbol-simbol mate-matik yang
harus dipahami arti dan maknanya. Suatu model disebut analitik apabila model tersebut
mempunyai penyelesaian umum pada berbagai kisaran input sistem dan nilai-nilai
parameter sistem. Model simulasi merupakan model yang menghitung alur-waktu dari
peubah-peubah model untuk seperangkat tertentu input model dan nilai parameter model.
Karena seringkali tidak mungkin untuk menyelesaikan model analitik bagi sistem yang
kompleks, maka model-model simulasi (yang lebih mudah diselesaikan) banyak
digunakan dalam mengkaji dan menganalisis sistem dinamik yang kompleks.
1.4 Simulasi Sistem1.4.1 Operasi
Bagian yang sangat penting dalam analisis sistem adalah penggunaan komputer.
Kemampuan komputasionalnya sangat mempermudah dalam pengo-lahan sejumlah besar
peubah dan interaksi- interaksinya. Simulasi komputer lazimnya berarti bahwa kita mem
punyai suatu program komputer atau model-sistem lainnya dimana kita dapat mencoba
berbagai disain sistem dan strategi pengelolaannya. Dengan menggunakan komputer,
aplikasi simulasi menjadi sangat luas terutama oleh para menejer dan pengambil keputusan
akhir. Teknik simulasi yang dikenal sebagai penciptaan peubah random Montecarlo,
banyak digunakan dalam bidang bisnis dan pertanian.
2
Dalam mengimplementasikan suatu model sistem pada kompu ter maka para
pengguna mempunyai pilihan bahasa pemrograman seperti BASICS, Fortran, atau bahasa
simulasi khusus.
1.4.2 Metodologi
Karena matematika telah dipilih sebagai suatu bahasa dasar, dan karena simulasi
seringkali menjadi alat bantu kita, maka akan diperlukan tahap-tahapan proses untuk
menjabarkan model grafis menjadi model matematika:
(1). Mengisolasikan komponen atau subsistem. Seringkali subsistem-subsistem atau
komponen-komponen tersebut secara fisik berbeda dengan jelas.
(2). Menetapkan peubah-peubah input U(t) untuk setiap sub- sistem. Input stimuli ini akan
menyebabkan perubahan perilaku subsistem. Termasuk di sini adalah input-input
pengelolaan yang dapat digunakan untuk memperbaiki keragaan sistem yang sedang
dikaji.
(3). Menetapkan peubah-peubah internal atau keubah-peubah keadaan X(t). Pada dasarnya
ini merupakan faktor-faktor dalam subsistem yang diperlukan untuk men-cerminkan
sejarah masa lalu dari perilaku subsistem.
(4). Menetapkan peubah-peubah output Y(t). Kuantitas-kuantitas respon yang
menghubungkan subsistem dengan subsistem lain yang merupakan ukuran penting
dari keragaan sistem. Output atau respon seperti ini dapat berfungsi sebagai stimuli
atau input bagi subsistem lain.
(5). Dengan cara observasi, eksperimen atau teori, menentukan hubungan matematika di
antara U(t), X(t), dan Y(t). Dalam suatu model statis, hubungan-hubungan ini
merupakan fungsi aljabar. Kalau melibatkan feno mena laju, penundaan atau
simpanan, maka akan dihasilkan persamaan-persamaan diferensial atau integral, dan
subsistem yang dinamik.
(6). Menjelaskan peubah-peubah input lingkungan eksogenous dalam bentuk matematika.
Ini akan merupakan peubah-peubah stimulus bagi keseluruhan sistem yang sedang
dimodel.
(7). Memperhitungkan interaksi-interaksi di antara subsistem-subsistem dengan metode
agregasi seperti diagram kotak (block diagram), teori jaringan, dan grafik-grafik
linear.
3
(8). Verifikasi model dengan serangkaian uji dan inspeksi. Hal ini biasanya melibatkan
serangkaian revisi dan perbaikan model.
(9). Aplikasi model dalam problematik perencanaan atau pengelolaan dalam dunia nyata.
Sistem Pengaturan adalah Suatu sistem dengan acuan masukan yang dikehendaki
dapat konstan atau berubah perlahan dengan berjalannya waktu untuk menjaga keluaran
sebenarnya berada pada nilai yang diinginkan
Komponen Sistem Pengaturan :
Masukan : Tujuan yang di capai dalam sistem pengaturan
Komponen : Bagian dari sistem pengaturan yang saling berinteraksi
Proses : Operasi yang dikontrol
Keluaran : keadaan sebenarnya hasil dari suatu proses pada saat itu.
Gangguan
Masukan Keluaran
Gambar 1.1. Diagram Blok Sistem Pengaturan
Kontroler : Bagian dari sistem pengaturan yang bertugas sebagai pengatur atau
penguat sinyal kesalahan menuju aktuator untuk mengatur plant sesuai
yang diinginkan
Aktuator : Suatu peralatan yang bertugas untuk melakukan operasi tertentu
Plant : Objek fisik yang diatur
Sensor : Suatu alat yang bertugas untuk mengamati kondisi yang terjadi pada
keluaran kemudian dihubungkan pada masukan
4
Kontroler
Sensor
PlantAktuator+
-
Gangguan : Suatu sinyal yang cenderung mempunyai pengaruh yang merugikan pada
harga keluaran sistem.
Contoh :
1. Saklar listrik :
Gambar 1.2. Sistem saklar listrik
Diagram Blok Saklar Listrik
Lampu “On” Lampu “On”
Gambar 3. Diagram blok sistem saklar listrik
Saklar listrik berfungsi untuk mengatur aliran listrik
Masukan : Mematikan atau menghidupkan lampu
Keluaran : Listrik yang mengalir atau tak mengalir (dua keadaan)
2. Sistem Pengaturan Level Air
air
5
Kontroler (h)
Saklar Lampu
h’ Gambar 1.3 : Sistem pengaturan level air
Diagram blok sistem pengaturan level air
h yg.diinginkan h’ terukur
+
-Gambar 1.4. Diagram blok sistem pengaturan level air
Klasifikasi Sistem Kontrol :
1. Sistem Pengaturan Motor Servo (Servomekanis) adalah : Sistem Pengaturan berumpan
balik yang keluarannya berupa kecepatan, percepatan, dan posisi mekanik
2. Sistem Pengaturan Proses : Sistem regular automatik dengan keluaran seperti
temperatur, tekanan, aliran, tinggi muka cairan
Contoh aplikasi sistem Pengaturan di industri
1. Sistem kontrol gaya pegangan tangan robot :
Titik pengatur
Gaya pegangan
Umpan balik gaya
Umpan balik luncurGambar 1.5. Sistem kontrol gaya pegangan tangan robot
6
Kontroler Kran air
Bak Air
Pelampung
Mikrokomputer
MotorSteper
Gambar 1.5 menunjukkan diagram skematik untuk sistem kontrol gaya pegangan yangf
menggunakan alat alat perasa gaya dan alat perasa luncur. Jika gaya pegangan terlalu kecil,
tangan robot akan melepas objek mekanika tersebut, dan jika terlalu besar, maka tangan
tersebut mungkin menghancurkan objeknya. Pada awal bekerja gaya pegangan dipreset
pada tingkat sedang kemudian ditingkatkan pegangannya setelah menyentuh objeknya .
Fungsi tangan robot ini untuk mengambil dan mengangkat objek dengan gaya pegangan
yang telah di preset . Jika terjadi slip pada saat mengangkat, akan diketahui oleh pihak
perasa luncukdan sinyal akan dikirim kembali ke kontoler dan kemudian meningkatkan
gaya pegangannya.
2. Sistem kontrol suhu ruang penumpang mobil
matahari suhu ruangan
Suhu yang dikehendaki Suhu ruang penumpang
Gambar 1.6. Sistem kontrol suhu ruang penumpang mobil
Suhu ruang penumpang mobil berbeda cukup besar tergantung pada tempat dimana
suhu diukur. Daripada menggunakan banyak sensor untuk pengukuran suhu dan meratakan
nilai yang diukur, adalah lebih ekonomis memasang sedotan penghembus ditempat dimana
penumpang biasanya merasakan suhu. Suhu udara dari sedotan penghembus adalah
petunjuk suhu ruang penumpang dan ditinjau sebagai keluaran sistem.
Kontroler menerima sinyal masukan, sinyal keluaran dan sinyal dari sensor sumber
gangguan . Kontroler mengirimkan sinyal kontrol optimal ke alat pengatur udara (air
conditioner) untuk mengontrol jumlah udara penyejuk sedemikian rupa sehingga suhu
ruang penumpang sama dengan suhu yang dikehendaki.
Masalah yang perlu di diskusikan di dalam kelas :
7
Sensor
Sensor panas radiasi
Pengatur Udaya
Sensor
Kontroler Ruang penumpang
- Apakah masukan dan keluaran dari sistem pengaturan merupakan masukan dan
keluaran dari proses plant ? jelaskan!
- Bilamana pada sistem pengaturan saklar lampu, pada lampunya terjadi gangguan
misalnya mati, apakah sistem pengaturan bisa berjalan dengan baik? Jelaskan!
- Bagaimana dengan sistem pengaturan suhu ruangan dalam mobil ?
Penggolongan Sistem Pengaturan
Sistem Pengaturan digolongkan dalam dua katagori yaitu : Sistem lintasan terbuka dan
sistem lintasan tertutup.
Sistem Lintasan Terbuka adalah : Suatu sistem yang tindakan pengendaliannya bebas dari
keluarannya. Jadi untuk tiap masukan acuan
berhubungan dengan kondisi operasi tertentu, ketetapan
dari sistem tergantung pada kalibrasi
Sistem Lintasan Tertutup adalah : suatu sistem yang tindakan pengendaliannya tergantung
pada keluarannya.
Perbandingan sistem lintasan terbuka dengan sistem lintasan tertutup
Pada sistem lintasan terbuka :
- tidak dapat melaksanakan tugas seperti yang diharapkan
- dapat digunakan hanya jika hubungan masukan dan keluaran diketahui dan tidak
terdapat gangguan internal maupun eksternal
- pada lintasan terbuka tidak menggunakan rangkaian umpan balik artinya kurang peka
terhadap gangguan, jadi komponen-komponen yang dipakai relatif lebih murah
- dari segi kestabilan lebih mudah dibuat karena kestabilan bukan merupakan persoalan
yang utama
Pada lintasan tertutup :
- relatif lebih peka terhadap gangguan dari eksternal maupun dari internal
- komponen-komponen yang digunakan relatif lebih mahal
8
- Kestabilan merupakan persoalan utama dan cenderung terjadi kesalahan akibat koreksi
yang berlebih dapat menimbulkan osilasi pada amplitudo tetap maupun berubah
Contoh pada sistem saklar listrik (gambar 2) juga disebut sebagai sistem lintasan terbuka
karena dari cirinya tanpa adanya umpan balik yang bekerja pada diagram tersebut Sangat
berbeda pada sistem pengaturan level air (gambar 4), adanya umpan balik yang bekerja
pada diagram tersebut membuat tinggi air yang diharapkan bak air akan selalu tetap
walaupun terjadi gangguan misalnya pada bak air terjadi kebocoran.
Tugas diskusi kelompok :
Apakah sistem lintasan terbuka bisa dijadikan sistem yang lintasan tertutup seperti pada
sistem saklar listrik?
Perhatikan gambar berikut :
Sensor (foto sel)
AC 220V
Gambar diatas menunjukkan sistem pengaturan intensitas cahaya ruangan dimana cahaya
dipertahankan pada intensitas tertentu bilamana terjadi gangguan serperti gelap diluar
ruangan maka lampu akan menyala untuk mempertahankan cahaya pada ruangan tersebut.
Berdasarkan pada teori yang sudah dijelaskan diatas apakah sistem tersebut tergolong
dalam sistem lintasan terbuka atau tertutup ? jelaskan !
Tugas mandiri (PR) :
Buatlah satu contoh sistem pengaturan, kemudian jelaskan bagaimana cara kerjanya
tentukan input sistem dan output sistem, apakah sistem tersebut merupakan sistem lintasan
terbuka atau tertutup jelaskan.
9
Ruangan
Lampu
BAB IIPENGANTAR MATEMATIKA
2.1 Konsep Variabel Kompleks
2.1.1 Variabel Kompleks
Suatu variabel kompleks s mempunyai dua komponen : komponen nyata s dan komponen
khayal w. Secara grafis komponen nyata s dinyatakan dengan sumbu s pada arah
horisontal dan komponen khayal diukur sepanjang sumbu vertikal j pada bidang
kompleks s. Gambar 2-1 menggambarkan bidang kompleks s yang pada titik sembarang s
= s1 ditentukan oleh koordinal = 1 dan = 1 atau secara sederhana s1 = 1 + j 1
2.1.2 Fungsi Variabel Kompleks
Fungsi G(s) dikatakan merupakan fungsi variabel kompleks s, jika untuk setiap nilai s
terdapat satu atau lebih nilai G(s). Karena s mempunyai bagian nyata dan khayal, fungsi
G(s) juga dinyatakan dengan bagian nyata dan khayal, yaitu :
G(s) = Re G(s) + j Im G(s) …………………………………………….(2-1)
Dengan Re G(s) menyatakan bagian nyata dan Im G(s) menyatakan bagian khayal dari
G(s) . Pemetaan bilanagn dari bidang G(s) ke bidang s juga merupakan nilai tunggal atau
disebut pemetaan satu-satu. Contoh fungsi pemetaan yang bukan merupakan pemetaan
satu- satu;
…………………………………………………………(2-2)
10
Untuk setiap nilai s, hanya terdapat satu nilai unik G(s), tetapi pemetaan sebaliknya tidak
demikian misalnya titik G(s) = dipetakan pada dua titik pada bidang s, yaitu s = 0 dan s =
-1
Gambar 2.1 bidang Kompleks s
Gambar 2-2 Pemetaan nilai tunggal daribidang s ke bidang G(s)
2.1.3 Fungsi Analitik
Suatu fungsi G(s) dari variabel kompleks s disebut fungsi analitik dalam daerah s
jika fungsi tersebut dan turunannya berada pada daerah tesebut. Misalnya fungsi yang
diberikan oleh persamaan 2-2 analitis pada setiap titik bidang s kecuali pada titik s = 0 dan
11
Bidang s
s = -1. Pada kedua titik ini nilai fungsi tidak berhingga, sebagai contoh lain fugsi G(s) = s +
2 analitis pada setiap titik bidang s.
2.1.4 Kesingularan dan Pole dari Fungsi
Kesingularan dari suatu fungsi adalah titik-titik pada bidang s yang fungsi atau
turunannya tidak ada. Pole merupakan bentuk yang paling umum dari kesingularan dan
mempunyai peran yang sangat penting dalam pembahasan teori kendali klasik. Pengertian
pole adalah penyebut dari persamaan G(s) sehingga ketika s = si fungsi G(s) menjadi tak
terhingga .
Contoh :
……………………………………………………….. (2-3)
Mempunyai pole orde dua pada s = -3 dan pole-pole tunggal pada s = 0 dan s = -1. Dapat
juga dikatakan bahwa fungsi G(s) analitis pada bidang s kecuali pada pole-pole tersebut.
2.1.4 Zero dari suatu Fungsi
Pengertian Zero dari suatu fungsi dapat dinyatakan sebagai suatu berikut:
Pembilang dari persamaan G(s) sehingga ketika s = si fungsi G(s) menjadi nol . seperti
pada persamaan 2-3, zero pada s = -2
2.2 Transformasi Laplace
Overview :
• Persamaan Differensial yang diperoleh dari pemodelan matematik suatu sistem
mewakili proses dinamik dari sistem tersebut dimana responsenya akan bergantung
pada masukannya
• Solusi dari persamaan differensial terdiri dari solusi steady state (didapat jika
semua kondisi awal nol) dan solusi transien (mewakili pengaruh dari kondisi awal).
• Transformasi Laplace merupakan salah satu tools yang digunakan untuk
menyelesaikan persamaan differensial.12
• Transformasi Laplace mengkonversikan persamaan differensial (dalam domain t)
kedalam persamaan aljabar dalam domain s.
• Memungkinkan memanipulasi persamaan aljabar dengan aturan sederhana untuk
menghasilkan solusi dalam domain s.
• Solusi dalam domain t dapat diperoleh dengan melakukan operasi inverse
transformasi Laplace
Definisi :
Fungsi f(t) haruslah real dan kontinyu sepanjang interval waktu yang akan dievaluasi, jika
tidak transformasi Laplace tidak dapat digunakan.
A. Fungsi Step
F(t) = 0 untuk t < 0
= A untuk t > 0
=
=
B. Fungsi Pulse
F(t) = 0 untuk t < 0 & t >T
= A untuk 0 t T
13
A
0t
A
tT
Fungsi Unit Step : f(t) = 1 (t) F(s) = 1/s
C. Fungsi Impulse
untuk 0 < t < to
= 0 untuk t < 0 & to < t
= A
Fungsi Unit-Impulse : f(t) = (t)
F(s) = 1
D. Fungsi Ramp
F(t) = 0 untuk t < 014
= At untuk t 0
E. Fungsi Eksponensiil
F(t) = o untuk t < 0
= A untuk t 0
F(s)
F. Fungsi Sinus
f(t) = A sin t
15
A
t0
G. Fungsi Cosinus
f(t) = A cos t
F(s) = A.
TEOREMA-TEOREMA TRANSFORMASI LAPLACE
1. Teorema Translasi
Bila F(s) = L [ f(t) ],
Maka L [f (t - )] =
Bukti :
L [ f ( t - ) ]
16
2. Teorema Perkalian Dengan
Bila F(s) = L [ f(t) ],
Maka : L [ .f(t) ] = F ( s + )
Bukti :
L [ .f(t) ] =
3. Teorema Diferensiasi
Bila F(s) = L [ f(t) ],
Maka : L [ ] = sF(s) – f(0)
Dimana f(0) adalah harga f(t) untuk t=0
L [ ] = s2F(s) - sf(0) – fI(0)
L [ ] = s3F(s) – s2f(0) – sfI(0) – fii(0)
Bukti :
L [ ] =
17
4. Teorema Integrasi
Bila F(s) = L [ f(t) ],
Maka : L [ ] =
Dimana f-1(0) adalah untuk t = 0
Bukti :
L [ ]
L [ ] =
5. Teorema Harga Awal Dan Harga Akhir
A.
B.
Bukti :
A.
B.
18
karena
Tabel Transformasi Laplace
Penyelesaian Transformasi Laplace dengan MATLAB
L = LAPLACE(F,t) makes L a function of t instead of the default s: LAPLACE(F,t) <=> L(t) = int(F(x)*exp(-t*x),0,inf). L = LAPLACE(F,w,z) makes L a function of z instead of the default s (integration with respect to w). LAPLACE(F,w,z) <=> L(z) = int(F(w)*exp(-z*w),0,inf). Examples: syms a s t w x laplace(t^5) returns 120/s^6 laplace(exp(a*s)) returns 1/(t-a) laplace(sin(w*x),t) returns w/(t^2+w^2) laplace(cos(x*w),w,t) returns t/(t^2+x^2) laplace(x^sym(3/2),t) returns 3/4*pi^(1/2)/t^(5/2) laplace(diff(sym('F(t)'))) returns laplace(F(t),t,s)*s-F(0)
Contoh :>> syms a s t w >> x = cos(w*t);>> laplace(cos(w*t))ans =s/(s^2+w^2)
INVERS LAPLACE
Invers transformasi Laplace dilakukan dengan memanipulasi penyebut (denumerator) dalam fungsi Y(s) kedalam akar-akarnya:
19
Prosedur Solusi pers. Differensial dengan:Transformasi Laplace
1. Transformasi persamaan differensial ke dalam domain s dengan transformasi Laplace menggunakan tabel transformasi Laplace.
2. Manipulasi persamaan aljabar yang telah ditransformasikan untuk mendapatkan variabel outputnya.
3. Lakukan ekspansi pecahan parsial terhadap persamaan aljabar pada langkah 2.4. Lakukan invers transformasi Laplace dengan tabel transformasi Laplace untuk
mendapatkan solusi dalam domain t.
Ekspansi Pecahan Parsial:
20
23
)1(5)]()2[(
5)2(5)]()1[(
25
)2)(1(5)]([
2
2
2
1
2
0
sssssYsC
sssssYsB
ssssssYA
s
s
s
)2)(1(5
)2()1()(
2
sssss
sC
sB
sAsY
Ekpansi dalam pecahan parsial,
Dimana A, B dan C adalah koefisien
)2(23
)1(5
25)(
ssssY
Dengan invers transformasi Laplace (di dapat dari tabel), persamaan dalam domain waktu y(t) menjadi
tt eety 2
235
25)(
Dengan t≥0
• Transformasi Laplace dari suatu persamaan differensial f(t) lazimnya diberikan dalam bentuk:
Jika persamaan karakteristik hanya memiliki M pasangan complex-conjugate, F(s) dapat dituliskan sbb:
Dalam kasus tersebut pecahan parsialnya dapat dituliskan dalam bentuk:
• Kasus 3: Persamaan karakteristik memiliki akar real, tidak sama dan kompleks
21
)()()(
sDsNsF
Bentuk ekspansi pecahan parsial dari F(s) bergantung pada akar-akar persamaan karakteristiknya (denumerator).
Kasus 1: Persamaan karakteristik hanya memiliki akar real dan tidak sama
))...()(()()(
21 NsssssssNsF
Dalam kasus tersebut pecahan parsialnya dapat dituliskan dalam bentuk:
)(...
)()()(
2
2
1
1
N
N
ssK
ssK
ssKsF
• Kasus 2: Persamaan karakteristik hanya memiliki akar kompleks
Dimana Ai dan Bi konstanta yang dicari dengan menyamakan pangkat dalam s
Dalam kasus tersebut pecahan parsialnya dapat dituliskan dalam bentuk:
Ekspansi Pecahan Parsial: dengan software MatLab
22
Fungsi transfer, F(s)=N(s)/D(s):
]...[]...[
01
01
aaadenbbbnum
nn
mm
Ekspansi pecahan parsialnya adalah
]...[]...[
01
01
aaadenbbbnum
nn
mm
)()(
)(...
)2()2(
)1()1(
)()(
sknps
nrps
rps
rsDsN
Dalam MatLab numerator (pembilang), num dan denumerator (penyebut), den dituliskan dalam bentuk vektor baris yang dinyatakan dengan koefisiennya
Perintah
>>[r,p,k]=residue(num,den)
Contoh :
SOAL LATIHAN
1. F(s) = f(t) = … ?
2. F(s) = f(t) = … ?
3. f(t) = A cos (t + ) F(s)= … ?
4. f(t) = 0 untuk t < 0 & t > 2T
-A untuk 0 t < T F(s) = … ?
A untuk T t 2T
5.
F(s) = … ?
23
32 )1(2
)1(0
)1(1
)()(
ssssDsN
1. Dengan menggunakan MatLab, tentukan ekspansi pecahan parsial dari fungsi
transfer berikut:
Solusi dengan MatLab:>>num=[1 2 3];>>den=[1 3 3 1];>>[r,p,k]=residue(num,den)
r = 1.0000 0.0000 2.0000
p = -1.0000 -1.0000 -1.0000
k = []
13332
)()(
23
2
sss
sssDsN
Ekspansi pecahan parsialnya:
T 2T t
A
Penyelesaian Persamaan Differensial
Contoh :
1. Selesaikan persamaan differensial berikut :
Transformasi laplace dari persamaan differential diatas menghasilkan :
s2X(s) – sx(0) - (0) + 3(sX(s) – x(0)) + 6X(s) = 0
s2X(s) – 0 – 3 + 3 (sX(s) – 0) + 6X(s) = 0
X(s) (s2 + 3s + 6) = 3
X(s) =
Untuk mendapatkan x(t) :
X(s) =
=
=
=
x(t) =
2.3 Sistem Linier Tak Ubah Waktu
Sistem linier tak ubah waktu kausal. Pembahasan ini dilakukan dengan mempertimbangkan
banyaknya model linier yang digunakan dalam hampir semua bidang kerekayasaan. 24
Sistem linier mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a) Sifat kehomogenan
Jika input u memberikan keluaran y maka input au akan menghasilkan keluaran ay.
b) Sifat superposisi
Jika input u1 and u2 menghasilkan output y1 and y2, dan untuk l input (u1+u2)
menghasilkan output (y1+y2).
2.3.1. Pendahuluan
Sistem dapat diartikan sebagai hubungan antara input dan output. Pada umumnya input
adalah sebab dan output adalah akibat. Beberapa contoh sistem yang umum kita kenal
adalah:
1) Sebuah rangkaian listrik dengan input tegangan dan / atau arus sumber sedangkan
outputnya yaitu tegangan dan / atau arus yang mengalir pada beberapa titik pada rangkaian
tersebut.
2) Sebuah sistem kanal komunikasi dengan input sebanding dengan sinyal yang
ditransmisi pada kanal tersebut sedangkan outputnya adalah sinyal yang sampai pada
ujung kanal.
3) Sebuah sistem biologi seperti mata manusia dengan input sinyal gambar yang masuk ke
retina mata dan outputnya adalah rangsangan syaraf yang selanjutnya diolah di otak untuk
pengambilan keputusan informasi apa yang masuk.
4) Sebuah manipulator robot dengan input n torsi yang diaplikasikan ke robot tersebut dan
output posisi akhir salah satu lengannya.
5) Proses manufaktur, dengan input bahan mentah yang dimasukkan dan outputnya berupa
jumlah barang yang diproduksinya.
6) Lebih spesifik lagi dalam bidang engineering sistem sering diartikan sebagai model
matematik yang mengubungkan antara masukan atau gaya luar dengan keluaran atau
tanggapan sistem. Sistem dapat diklasifikasikan dalam berbagai kategori.
a) Sistem kausal dan non kausal
Sistem kausal: y(t) = x(t) + 2x(t-1)
Sistem non kausal: y(t) = x(t+1) – x(t) + 3x(t-2)
Sistem kausal memberikan nilai keluaran terhadap masukan yang telah masuk pada sistem.
Semua sistem fisika yang nyata termasuk dalam sistem kausal. Sistem non kausal adalah
25
sistem antisipatif yaitu sistem mampu memberi respon terhadap masukan yang akan
datang. Sistem non kausal sering ditemui dalam aplikasi elektrik modern seperti pada
sistem kendali adaptif.
b) Sistem bermemori dan tanpa memori
Sistem bermemori adalah sistem yang keluarannya merupakan fungsi dari masukan
sekarang dan masukan sebelumnya.
Sistem bermemori: y(t) = -4x(t-1) + 2x(t)
Sistem tanpa memori: y(t) = 2x(t)
2.3.2. Persamaan Diferensial Sistem
Penggambaran sistem waktu kontinyu, selalu berkaitan dengan bentuk representasi
matematik yang mengambarkan sistem tersebut dalam keseluruhan waktu. Dapat pula
secara sederhana dikatakan, bahwa suatu sistem disebut sebagai sistem waktu kontinyu jika
input dan output berupa sinyal waktu kontinyu. Sistem kontinyu dapat dinyatakan dalam
persamaan diferensial sistem. Dengan masukan adalah x(t) dan ouput y(t) maka sistem
linier tak ubah waktu dapat dinyatakan sebagai berikut:
any(n)(t) + an-1y(n-1) (t) + … + a1y’(t)+ a0y(t) = b0x(t) + b1x’(t) + … + an-1x(n-1)(t)+ anxn(t) (2.1)
Suku kanan persamaan tersebut sering digabungkan menjadi:
f(t) = b0x(t) + b1x’(t) + ….. + an-1x(n-1)(t)+ anxn(t)
dengan f(t) disebut fungsi pemaksa. Berikut contoh persamaan diferensial sistem:
Contoh soal 2.1:
Modelkan sistem berikut dalam persamaan Diferensial
Gambar 2.1 Rangkaian RLC untuk contoh 2.1
Penyelesaian:
Dengan hukum Kirchoff tegangan didapatkan:
26
R=2 L=1H
C=0,5 F2A/dt i(t) e(t)
dengan mendiferensialkan kedua suku didapat:
keadaan awal untuk memecahkan persamaan ini adalah:
i(0+)=0
Untuk memecahkan persamaan diferensial disajikan teorema sebagai berikut:
Persamaan diferensial sistem: any(n)(t) + an-1y(n-1) (t) + ….. + a1y’(t)+ a0y(t) mempunyai keadaan
awal: y(0), y’(0),……,yn-1 maka tanggapan lengkap sistem:
y(t) = yho(t) + yf0(t)
dengan:
yho(t) = tanggapan homogen, alami, bebas, dan transient.
yf0(t) = tanggapan paksa, akhir, steady state.
Tanggapan homogen didapatkan dengan menyelesaikan persamaan sistem pada saat
masukan sama dengan nol f(t)=0. Tanggapan ini disebut tanggapan alami sistem
merupakan tanggapan sistem sebelum ada masukan. Tanggapan paksa didapatkan dengan
menerapkan masukan f(t) pada sistem.
Untuk lebih jelas, disajikan contoh berikut.
Contoh soal 2.2:
Selesaikan persamaan diferensial berikut jika diberikan kondisi awal y(0) = 1 dan y’(0) = 2
y’’(t) + 3y’(t) + 2y(t) = e2t
Penyelesaian:
a) Langkah 1. Mencari y ho(t)
Persamaan homogen sistem adalah sebagai berikut:
y’’(t) + 3y’(t) + 2y(t) = 0
Dengan permisalan bahwa yho(t) = Aemt maka didapatkan :
d’’(Aemt)/dt2 + 3d’(Aemt)/dt +2(Aemt) = 0
Aemt(m2 + 3m + 2) = 0
Dari persamaan tersebut terlihat bahwa tidak ada nilai A (selain nol) dan nilai emt (kecuali
m = - ∞) yang membuat nilai suku kiri nol. Nilai A= 0 dan m = - ∞ tidak diinginkan untuk
menyelesaikan persamaan maka nilai m yang memenuhi persamaan diatas adalah:27
(m2 + 3m + 2) = 0
sehingga m = -1 dan m =-2.
Dengan demikian solusi untuk yho(t) adalah:
yho(t) = A1e-t + A2e-2t
b) Langkah 2. Mencari y fo(t)
Menyelesaikan persamaan:
y’’(t) + 3y’(t) + 2y(t) = e2t
Berdasarkan perkiraan keluaraan terhadap masukan yang ada dilakukan permisalan sebagai
berikut:
yfo(t) = Ae2t
Subsitusi ke dalam persamaan sistem menghasilkan:
(4A+6A+2A)e2t = e2t
dari persamaaan tersebut didapatkan :
(4A+6A+2A) = 1
A = 0,083
Dengan demikian :
yfo(t) = 0,083e2t
c) Langkah 3.
Dengan menggabungkan langkah 1 dan langkah 2 maka didapatkan tanggapan lengkap
sistem:
y(t) = A1e-t + A2e-2t + 0,083e2t
d) Langkah 4.
Langkah 4. menerapkan keadaan awal y(0) = 1 dan y’(0) = 2 pada tanggapan lengkap
sistem.
Dengan menerapkan y(0)=1 didapatkan:
y(0) = A1e-1*0 + A2e-2*0 + 0,083e2*0
1 = A1 + A2 + 0,083
A1 + A2 = 0,917
Dengan menerapkan y’(0) = 2 didapatkan:
d(y(t))/dt = d(A1e-t)/dt + d(A2e-2t)/dt + d(0,083e2t)/dt
dengan memasukan nilai keadaan awal:
2 = - A1 - 2A2 + 0,16628
A1 + 2A2 = -1,834
Dengan eliminasi persamaan yang didapatkan dari keadaan 1 dan 2 didapatkan:
A2 = -2,751 dan A1 =3,668
Dengan demikian tanggapan lengkap sistem adalah:
y(t) = 3,668e-t – 2,751e-2t + 0,083e2t
2.3.3 Tanggapan Impuls
Tanggapan impuls h(t)n adalah tanggapan sistem jika mendapat masukan berupa sinyal
impuls. Suatu sistem linier tak ubah waktu:
any(n)(t) + an-1y(n-1) (t) + ….. + a1y’(t)+ a0y(t) = b0x(t) + b1x’(t) + ….. + bmxm(t)
mempunyai tanggapan impuls h(t) dengan rumusan berikut:
x(t) = (t) dan y(t)=0, -∞<t<0
h(t) = y(t)x(t)=(t) (2.3)
Contoh soal 2.4:
Tentukan tanggapan impuls sistem 2y’(t) + 3y(t) = 4 x(t).
Penyelesaian:
Untuk mencari tanggapan implus maka masukan x(t) = (t).
2y’(t) + 3y(t) = 4 (t)
Dengan h(t) = y(t)x(t)=(t) maka persamaan diatas dapat dituliskan sebagai berikut:
2h’(t) + 3h(t) = 4 (t) (1)
Dari penyelesaian persamaan diferensial yang telah dipelajari sebelumnya kita dapat
mengasumsikan penyelesaian untuk h(t):
h(t) = Ae-1,5tu(t) + 0(t)
diasumsikan 0(t) karena pada sistem orde satu ini masukan tidak mempunyai ’(t)
sehingga untuk t>0 (t)=0.
Dengan subsitusi asumsi ke persamaan (1) dihasilkan:
2d/dt[Ae-1,5tu(t)] + 3A e-1,5tu(t) = 4(t)
Dengan mempertimbangkan waktu t=0 didapatkan:
2Ae-1,5tt=0(t) = 4(t)
2A(t) = 4(t)
A=2
Dengan demikian:
29
h(t) = 2 e-1,5tu(t)
Contoh soal 2.5:
Tentukan tanggapan impuls sistem y’’(t) + 3y’(t) + 2y(t) = 3x(t) + 2 x’(t).
Penyelesaian:
Untuk mencari tanggapan implus maka masukan x(t) = (t).
y’’(t) + 3y’(t) + 2y(t) = 3(t) + 2’(t)
dengan persamaan karakteristik:
m2 + 3m +2 =0
dan y(t) tidak mengandung komponen (t) (tidak terdapat ’’(t) diruas kanan) maka dapat
diasumsikan:
y(t)= A1e-t u(t)+ A2e-2t u(t)+0(t)
atau:
y’(t)= -A1e-t u(t) -2A2e-2t u(t)+(A1+A2)(t)
maka dengan mengevaluasi komponen ’(t) didapatkan :
(A1+A2)(t) = 2(t)
A1+A2 = 2 (1)
Dengan mengevaluasi koefisien (t) didapatkan:
3(A1+A2)(t) -A1e-tt=0(t) -2A2e-2tt=0(t) = 3(t)
3(A1+A2) - A1 - 2A2 = 3
2A1+A2 = 3 (2)
Dengan menyelesaikan persamaan (1) dan (2) didapat A1=1 dan A2 = 1
Dengan demikian tanggapan impuls sistem:
h(t) = e-t u(t) + e-2t u(t)
2.4. Konvolusi KontinyuKeluaran sistem dengan tanggapan impuls h(t) dan masukan x(t) dapat direpresentasikan
sebagai:
(2.4)
atau dapat juga dinyatakan:
30
Kedua rumusan diatas dikenal sebagai integral konvolusi. Untuk dua fungsi sembarang x(t)
dan h(t) maka integral konvolusi r(t) dapat dinyatakan sebagai:
r(t) = x(t) * h(t)
Konvolusi kontinyu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a) Komutatif
x(t)*y(t) = y(t)*x(t)
rxy(t) = ryx(t)
b) Distributif
x(t)*[y(t) z(t)] = [x(t)*y(t)] [x(t)*z(t)]
rxy(t) = ryx(t) rxz(t)
c) Asosiatif
x(t)*[y(t)*z(t)] = [x(t)*y(t)]*z(t)
Untuk memperjelas penggunaan integral konvolusi disajikan contoh sebagai berikut:
Contoh soal 2.5:
Dua buah isyarat mempunyai rumusan sebagai berikut:
x(t) = 1 0<t<1
0, t lainnya
dan,
h(t) = 1 1<t<2
0, t lainnya
Carilah sinyal r(t) yang merupakan hasil konvolusi dua isyarat tersebut.
Penyelesaian:
Untuk mencari nilai konvolusi kedua isyarat kontinyu digunakan:
r(t) = x(t) * h(t)
Pada rumus diatas dapat dilihat bahwa untuk mencari nilai r(t) diperlukan sinyal x(p) dan
sinyal h(t-p).
31
x(t) = 1 0<t<1
0, t lainnya
maka,
x(p) = 1 0<p<1
0, p lainnya
sedangkan h(t-p) dapat dicari sebagai berikut:
h(t-p) = 1 1<t-p<2
0, t-p lainnya
yang dibutuhkan adalah fungsi h dalam p maka:
h(t-p) = 1 -2+t<p<-1+t
0, p lainnya
Untuk mempermudah diilustrasikan sebagai berikut:
Gambar 2.2 Sinyal x(p), h(p) dan h(t-p)
Pada gambar diatas sinyal h(t-p) adalah sinyal h(-p) yang tergeser sejauh t. Dari rumusan
integral konvolusi dapat dilihat bahwa sinyal h(-p) dijalankan dari -∞ sampai +∞. Nilai
integral konvolusi dapat dibagi menjadi beberapa kasus penggal waktu t yaitu:
Pada saat t<1
Pada saat 1<t<2
Pada saat 2<t<3
Pada saat t>3
Untuk memperjelas keempat kasus ini x(p) dan h(t-p) digambarkan dalam satu sumbu y(p).
32
1
x(p)
p
1
-1 1
h(p)
p
1
2-1 1
h(t-p)
p
1
t-1t-2
1
h(t-p)
p
1
t-1t-2
y(p)
x(p)
(a)
1
h(t-p)
p
1
t-1t-2
y(p)
x(p)
(b)
1 p
1h(t-p)
t-1t-2
y(p)
x(p)
(c)
1 p
1h(t-p)
t-1t-2
y(p)
x(p)
(d)
Gambar 2.3 (a) Sinyal x(p) dan h(t-p) pada saat t<1(b) Sinyal x(p) dan h(t-p) pada saat 1<t<2(c) Sinyal x(p) dan h(t-p) pada saat 2<t<3(d) Sinyal x(p) dan h(t-p) pada saat t>3
Hasil konvolusi r(t) pada tiap penggal waktu tersebut adalah sebagai berikut
a) Pada saat t<1
Pada periode ini sinyal h(t-p) belum sampai ke titik awal x(p) maka:
r(t) = 0
b) Pada saat 1<t<2
Pada saat 1<t<2 batasan bawah integral konvolusi berdasar Gambar 2.2 (b) adalah 0
dengan batas atas t-1.
r(t) = t-1
c) Pada saat 2<t<3
Pada saat 2<t<3 batasan bawah integral konvolusi berdasar Gambar 2.2 (c) adalah t-2
dengan batas atas 1.
33
r(t) = 1-(t-2)
= 3-t
d) Pada saat t<3
Pada waktu ini h(t-p) sudah meninggalkan batas akhir x(p) sehingga:
r(t) = 0
Dengan demikian hasil konvolusi secara keseluruhan adalah sebagai berikut:
t-1 1<t<2
r(t) = 3-t 2<t<3
0, t lainnya
Gambar 2.4 Sinyal r(t) hasil konvolusi x(t) dan h(t)
BAB IIIMODEL MATEMATIKA SISTEM DINAMIK
3.1. Ruang Lingkup
Konsep dan teknik analisis sistem semula dikembangkan oleh para ahli militer
untuk keperluan mengeksplorasi dan mengkaji keseluruhan implikasi yang diakibatkan
oleh alternatif-alternatif strategi militer. Pendekatan ini merupakan suatu strategi penelitian
yang luas dan sistematik untuk menyelesaikan suatu problem penelitian yang kom-pleks.
Obyek penelitian biasanya merupakan suatu sistem dengan kerumitan-kerumitan yang
34
1 t
1 3-t
32
r(t)
t-1
sangat kompleks sehingga memerlukan pengabstraksian. Dalam hubungan inilah dikenal
istilah "model dan pemodelan".
Istilah pemodelan adalah terjemahan bebas dari istilah "modelling". Untuk
menghindari berbagai pengertian atau penafsiran yang berbeda-beda, maka istilah
"pemodel-an" dapat diartikan sebagai suatu rangkaian aktivitas pem-buatan model.
Sebagai landasan untuk lebih memahami pengertian pemodelan maka diperlukan suatu
penelaahan tentang "model" secara spesifik ditinjau dari pendekatan sistem.
Dalam konteks terminologi penelitian operasional (operation research), secara
umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari suatu obyek atau
situasi aktual. Model melukiskan hubungan-hubungan langsung dan tidak langsung serta
kaitan timbal-balik dalam terminologi sebab akibat. Oleh karena suatu model adalah
abstraksi dari realita, maka pada wujudnya lebih sederhana dibandingkan dengan realita
yang diwakilinya . Model dapat disebut lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek
dari realita yang sedang dikaji.
Salah satu syarat pokok untuk mengembangkan model adalah menemukan peubah-
peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah-peubah ini sangat erat hubungannya
dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat di antara peubah-peubah. Teknik
kuantitatif seperti persamaan re-gresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari
keterkaitan antar peubah dalam sebuah model.
Memang dimungkinkan untuk dapat merancang-bangun dengan baik berbagai
model sistem tanpa matematik, dan /atau mengetahui matematika tanpa analisis sistem.
Namun demikian, perumusan mate-matika yang terpilih dapat mempermudah pengkajian
sistem, yang pada umumnya merupakan suatu kompleksitas. Sifat universalitas dari
matematik dan notasi-notasinya akan memperlancar komunikasi dan transfer metode yang
dikembangkan di suatu negara atau bidang ilmu tertentu ke bidang lainnya.
Kebanyakan para pengguna analisis sistem menjumpai kesukaran untuk
mengimplementasikan notasi-notasi matematika ke dalam format konsepsi disiplin ilmunya
. Mereka kemudian memilih alternatif pembuatan model konsepsi (conceptual model)
yang sifatnya informal karena terasa lebih mudah. Bagaimanapun juga, para ahli sistem
berpendapat bahwa keuntungan lebih besar dibandingkan dengan biaya yang diperlukan
dalam megkaji permasalahan penelitian secara matematis. Hal ini disebabkan adanya daya
guna yang berlipat ganda pada proses rancang bangun dan analisis dalam bentuk bahasa
35
matematika yang sangat penting dalam teori ekonomi, keteknikan, ilmu alam hingga ilmu-
ilmu sosial. Meskipun teknik-tekniknya sangat beragam dan filosofinya masih dipandang
kontraversi namun ide dasarnya adalah sederhana yaitu menjabarkan keterkaitan-
keterkaitan yang ada dalam dunia nyata menjadi operasi-operasi matematis.
3.2. Jenis-Jenis Model
Pengelompokkan model akan mempermudah upaya pemahaman akan makna dan
kepentingannya. Model dapat dikatagorikan menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan, pokok
kajian, atau derajat keabstrakannya. Kategori umum yang sangat praktis adalah jenis
model yang pada dasarnya dapat dikelompokkan menjadi (i) ikonik, (ii) analog, dan (iii)
simbolik.
3.2.1. Model Ikonik (Model Fisik)
Model ikonik pada hakekatnya merupakan perwakilan fisik dari beberapa hal, baik
dalam bentuk ideal maupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik ini mempunyai
karakteristik yang sama dengan hal yang diwakilinya, dan terutama amat sesuai untuk
menerangkan kejadian pada waktu yang spesifik. Model ikonik dapat berdimensi dua
(foto, peta, cetak-biru) atau tiga dimensi (prototipe mesin, alat, dan lainnya). Apabila
model berdimensi lebih dari tiga tidak mungkin lagi dikonstruksi secara fisik sehingga
diperlukan kategori model simbolik.
3.2.2. Model Analog (Model Diagramatik)
Model analog dapat digunakan untuk mewakili situasi dinamik, yaitu keadaan yang
berubah menurut waktu. Model ini lebih sering digunakan daripada model ikonik karena
kemampuannya untuk mengetengahkan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Model
analog sangat sesuai dengan penjabaran hubungan kuantitatif antara sifat dari berbagai
komponen. Dengan melalui transformasi sifat menjadi analognya, maka kemampuan untuk
membuat perubahan dapat ditingkatkan. Contoh dari model analog ini adalah kurva
permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik, dan diagram alir. Model analog
36
digunakan karena kesederhanaannya namun efektif pada situasi yang khas, seperti pada
proses pengendalian mutu dalam industri (operating characteristic curve).
3.2.3. Model Simbolik (Model Matematik)
Pada hakekatnya, ilmu sistem memusatkan perhatian pada model simbolik sebagai
perwakilan dari realita yang dikaji. Format model simbolik dapat berupa bentuk angka,
simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu persamaan
(equation).
Bentuk persamaan adalah tepat, singkat dan mudah dimengerti. Simbol persamaan
tidak saja mudah dimanipulasi didbandingkan dengan kata-kata, namun juga lebih cepat
dapat ditanggap maksudnya. Suatu persamaan adalah bahasa yang universal pada
penelitian operasional dan ilmu sistem, dimana di dalamnya digunakan suatu logika
simbolis.
Dalam mempelajari ilmu sistem diperlukan suatu pengertian yang mendasar
tentang simbol-simbol matematika; karena kalau tidak demikian akan menambah
kompleksitas dari konsep pengkajian itu sendiri. Bagaimanapun juga sebagaimana
mempelajari suatu hal maka kunci dari kelancaran dan pemahamannya adalah frekuensi
latihan aplikasinya. Dengan demikian diharapkan para pengguna dapat secara efisien
menangkap arti dari setiap notasi matematis yang disajikan. Misalnya , notasi ai dapat
diartikan faktor peubah a, dan Aij dapat digambarkan sebagai Tabel matriks peubah A
dengan baris i dan kolom j.
3.3. Karakteristik Model Matematika
Proses pemodelan mencakup pemilihan karakteristik dari perwakilan abstrak yang
paling tepat bagi situasi yang sedang dikaji . Pada umumnya model matematika dapat
diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu model statik dan model dinamik. Model statik
memberikan informasi tentang peubah-peubah model hanya pada titik tunggal dari waktu.
Sedangkan model dinamik mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model.
Model dinamik lebih sulit dan mahal pembuatannya, namun mempunyai kekuatan yang
lebih hebat untuk analisis dunia nyata.
37
Klasifikasi lain tergantung apakah model abstrak tersebut meng-gunakan
pandangan mikro atau makro. Model mikro bertujuan untuk mempernyatakan suatu unit
individu yang ada pada dunia nyata, sebagai contoh sebuah mobil pada aliran transportasi
atau seorang pembeli pada antrian pasar. Pada model makro, unit individu kehilangan
identitasnya karena peubah model secara khas dikaitkan dengan agregat dari unit sistem.
Contoh dari pandangan makro adalah peubah pada aliran listrik, kecepatan aliran mobil
pada jalan raya dan aliran bahan dan pelayanan pada struktur ekonomi.
Ditinjau dari cara klasifikasinya maka model abstrak dapat dikelompokkan
menjadi: (i) mikro-statik, (ii) makro-statik, (iii) mikro-dinamis, dan (iv) makro-dinamis.
Penggunaan model- model ini tergantung pada tujuan pengkajian sistem dan terlihat jelas
pada formulasi permasalahan pada tahap evaluasi kelayakan.
Sifat model juga tergantung pada teknik pemodelan yang digunakan. Model yang
mendasarkan pada teknik peluang dan memperhitungkan adanya ketidak pastian
(uncertainty) disebut model probabilistik atau model stokastik. Pada ilmu sistem model
ini sering digunakan karena masalah yang dikaji pada umumnya megandung keputusan
yang mengandung ketidak-menentuan. Lawan dari model ini adalah model kuantitatif
yang tidak mempertimbangkan peluang kejadian, dikenal sebagai model deterministik.
Contohnya adalah model pada "program linear". Model ini memusatkan penelaahannya
pada faktor-faktor kritis yang diasumsikan mempunyai nilai yang eksak dan tertentu pada
waktu yang spesifik. Sedangkan model probabilistik biasanya mengkaji ulang data atau
informasi yang terdahulu untuk menduga peluang kejadian tersebut pada keadaan sekarang
atau yang akan datang dengan asumsi terdapat relevansi pada jalur waktu.
Dalam hal-hal tertentu, sebuah model dibuat hanya untuk semacam deskripsi
matematik dari kondisi dunia nyata. Model ini disebut model deskriptif dan banyak
dipakai untuk mempermudah penelaahan suatu permasalahan. Model ini dapat
diselesaikan secara eksak serta mampu mengevaluasi hasilnya dari berbagai pilihan data
input. Apabila model digunakan untuk memperbandingkan antar alternatif, maka model
disebut model optimalisasi. Solusi dari model ini merupakan nilai optimum yang
tergantung pada kriteria input yang digunakan. Sebagai teladan adalah "Program Dinamik
dan Goal Programming"; sedangkan model deskriptif yang hanya memper-nyatakan
pilihan peubah adalah persamaan regresi multi-variate.
38
Apabila sistem telah diekspresikan dalam bentuk no-tasi matematika dan format
persamaan, maka timbullah keuntungan yang berasal dari kapasitas manipulatif dari
matematik. Seorang analis dapat memasukkan nilai-nilai yang berbeda-beda ke dalam
model matematika dan kemudian mempelajari perilaku sistem tersebut. Pada pengkajian
ma-salah-masalah tertentu, uji sensitifitas dari sistem dilakukan dengan pengubahan
peubah-peubah sistem itu sendiri.
Bahasa simbolik juga sangat membantu dalam komunikasi karena pernyataannya
yang singkat dan jelas dibandingkan dengan deskripsi lisan. Penggunaan format
matematika membuat penjelasan lebih komprehensif dan seringkali mampu mengung-
kapkan hubungan-hubungan yang tidak dapattercermin pada deskripsi lisan dari suatu
sistem. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemodelan sistem (System Modelling)
adalah pembentukan rangkaian logika untuk menggambarkan karakteristik sistem tersebut
dalam format matematis. Oleh karena itu, proses ini sering disebut juga pemodelan
abstrak (abstract modelling) karena hasilnya adalah gugus persamaan-persamaan yang
saling berkaitan secara fungsional. Pada beberapa jenis sistem, proses pemodelan abstrak
ini lebih mudah pengerjaannya, seperti model biofisik dan keteknikan.
3.4. Tahapan Dalam Pemodelan
Para ahli penelitian operasional dan ilmu sistem te-lah mem-berikan konsepsi dan
teknik pemodelan sistem. Para ahli ini menya rankan untuk mengawali pemodelan dengan
penguraian seluruh komponen yang akan mempengaruhi efektivitas dari operasi sistem.
Setelah daftar komponen tersebut lengkap, langkah selanjutnya adalah penyaringan
komponen mana yang akan dipakai dalam pengkajian tersebut. Hal ini umumnya sulit
karena adanya interaksi antar peubah yang seringkali menyulitkan isolasi suatu peubah.
Peubah yang di-pandang tidak penting ternyata bisa saja mempengaruhi hasil studi setelah
proses pengkajian selesai. Untuk menghindarkan hal ini, diper lukan percobaan pengujian
data guna memilih komponen-komponen yang kritis. Setelah itu dibentuk gugus
persamaan yang dapat dievaluasi dengan merubah-rubah komponen tertentu dalam batas-
batas yang diperkenankan. Salah satu contoh pemodelan seperti ini adalah Program Linear
(Linear Programming) dan Program Dinamik (Dynamic Programming).
Dalam konteks pendekatan sistem, tahap-tahap pemodel-annya lebih kompleks
namun relatif terlalu beragam, baik ditinjau dari jenis sistem ataupun tingkat kecanggihan
39
model. Manetsch dan Park (1984) mengembangkan tahap pemodelan abstrak ini sebagai
bagian dari pendekatan sistem.
Pemodelan abstrak menerima input berupa alternatif sistem yang layak. Proses ini
membentuk dan mengimplementasikan model-model matematika yang dimanfaatkan
untuk merancang program terpilih yang akan dipraktekkan di dunia nyata pada tahap beri-
kutnya. Output utama dari tahap ini adalah deskripsi terinci dari keputusan yang diambil
berupa perencanaan, pengendalian atau kebijakan lainnya.
3.4.1. Tahap Seleksi Konsep
Lazimnya langkah awal dari pemodelan abstrak adalah melakukan seleksi alternatif
hasil dari tahap evaluasi kelayakan. Seleksi ini dilakukan untuk menetukan alternatif-
alternatif mana yang bermanfaat dan bernilai cukup besar untuk dilakukan pemodelan
abstraknya. Hal ini erat kaitannya dengan biaya dan penampakan dari sistem yang
dihasilkan. Interaksi dengan para pengambil keputusan serta pihak lain yang amat terlihat
pada sistem sangat diperlukan dalam tahap seleksi ini.
3.4.2. Tahap Pemodelan
Sebagai langkah awal dari pemodelan adalah menetapkan jenis model abstrak yang
akan digunakan, sejalan dengan tujuan dan karakteristik sistem. Setelah itu, aktivitas
pemodelan terpusat pada pem bentukan model abstrak yang realistik. Dalam hal ini ada
dua cara pendekatan untuk membentuk suatu model abstrak, yaitu:
a. Pendekatan Kotak Hitam (Black box)
Metode ini digunakan untuk melakukan identifikasi model sistem dari data yang
menggambarkan perilaku masa lalu dari sistem (past behavior of the existing system).
Melalui berbagai teknik statistik dan matematik, maka model yang paling cocok (fit)
dengan data operasional dapat diturunkan. Sebagai contoh adalah model ekonometrik pada
pengkajian ilmu-ilmu sosial. Metoda ini tidak banyak berguna pada perancangan sistem
yang kenyataannya belum ada, dimana tujuan sistem masih berupa konsep.
b. Pendekatan Struktural
40
Metode ini dimulai dengan mempelajari secara teliti struktur sistem untuk
menentukan komponen basis sistem serta keterkaitannya. Melalui pemodelan karakteristik
dari komponen sistem serta kendala-kendala yang disebabkan oleh adanya keterkaitan
antara komponen, maka model sitem keseluruhan dapat disusun secara berantai.
Pendekatan struktural ini banyak digunakan dalam rancang-bangun dan pengendalian
sistem fisik dan non fisik.
Dalam beberapa kasus tertentu, kedua pendekatan ini dipakai secara bersama-sama,
misalnya pembuatan model pengendalian industri dimana karakteristik setiap unit industri
dianggap kotak hitam . Dengan demikian penggunaan dua pendekatan tersebut dapat
memberikan informasi lebih baik serta menghasilkan model yang lebih efektif dari pada
memakai hanya salah satu pendekatan saja. Tahap permodelan ini mencakup juga
penelaahan secara teliti tentang :
1. asumsi model
2. konsestensi internal pada struktur model
3. data input untuk pendugaan parameter
4. hubungan fungsional antar peubah kondisi aktual
5. memperbandingkan model dengan kondisi aktual sejauh mungkin .
Hasil dari tahapan ini adalah deskripsi model abstrak yang telah melalui uji
permulaan taraf validitasnya.
3.4.3. Tahap Implementasi KomputerPemakaian komputer sebagai pengolah data, penyimpan data dan komunikasi
informasi tidak dapat diabaikan dalam pendekatan sistem ; model abstrak diwujudkan
dalam berbagai bentuk persamaan, diagram alir dan diagram blok. Tahap ini seolah-olah
membentuk model dari suatu model, yaitu tingkat abstraksi lain yang ditarik dari dunia
nyata. Hal yang penting di sini adalah memilih teknik dan bahasa komputer yang
digunakan untuk implementasi model. Masalah ini akan mempengaruhi :
1. Ketelitian dari hasil komputasi
2. Biaya operasi model
41
3. Kesesuaian dengan komputer yang tersedia
4. Efektifitas dari proses pengambilan keputusan yang akan meng-gunakan hasil
pemodelan tersebut.
Setelah program komputer dibuat dan format input /output telah dirancang secara
memadai, maka sampailah pada tahap pembuktian (verifikasi) bahwa model komputer
tersebut mampu melakukan simulasi dari model abstrak yang dikaji. Pengujian ini
mungkin berbeda dengan uji validitas model itu sendiri.
3.4.4. Tahap Validasi
Validasi model pada hakekatnya merupakan usaha untuk menyimpulkan apakah
model sistem tersebut di atas merupakan perwakilan yang sah dari realitas yang dikaji
sehingga dapat dihasilkan kesimpulan yang meyakinkan. Validasi merupakan proses
iteratif yang berupa pengujian berturut-turut sebagai proses penyempurnaan model .
Umumnya validasi dimulai dengan uji sederhana seperti pengamatan atas:
1. tanda aljabar (sign)
2. kepangkatan dari besaran (order of magnitude)
3. format respon (linear, eksponensial, logaritmik,
4. arah perubahan peubah apabila input atau parameter diganti-ganti
5. nilai batas peubah sesuai dengan nilai batas parameter sistem.
Setelah uji-uji tersebut, dilakukan pengamatan lanjutan sesuai dengan jenis model.
Apabila model mempernyatakan sistem yang sedang berlaku (existing system) maka
dipakai uji statistik untuk mengetahui kemampuan model dalam mereproduksi perilaku
masa-lalu dari sistem. Uji ini dapat menggunakan koefisien determinasi, pembuktian
hipotesis, dan sebagainya. Seringkali dijumpai kesulitan pada tahap ini karena kurangnya
data yang tersedia ataupun sempitnya waktu yang tersedia guna melakukan validasi. Pada
permasalahan yang kompleks dan mendesak, maka disarankan proses validasi parsial,
yaitu tidak dilakukan pengujian keseluruhan model sistem. Hal ini mengakibatkan
rekomendasi untuk pemakaian model yang terbatas (limited application) dan apabila perlu
menyarankan penyempurnaan model pada pengkajian selanjutnya.
42
Validitas model hanya bergantung pada bermacam teori dan asumsi yang
menentukan struktur dari format persamaan pada model serta nilai-nilai yang ditetapkan
pada parameter model. Umumnya disarankan untuk melakukan uji sensitivitas dari
koefisien model melalui iterasi simulasi pada model komputer. Di sini dipelajari dampak
perubahan koefisien model terhadap output sistem. Informasi yang didapat akan digunakan
untuk menentukan prioritas pengumpulan informasi lanjutan, koleksi data, perbaikan
estimasi dari koefisien penting dan penyempurnaan model itu sendiri. Usaha ini akan
berperan banyak dalam menyeimbangkan aktivitas perekayasaan model dan aktivitas
pengumpulan informasi, yang prinsipnya mencari efisien waktu, biaya dan tenaga untuk
studi sistem tersebut. Model yang digunakan untuk perancangan keputusan dan menen-
tukan kebijakan operasional akan mencakup sejumlah asumsi, misalnya asumsi tentang
karakteristik operasional dari komponen serta sifat alamiah dari lingkungan. Asumsi-
asumsi tersebut harus dimengerti betul dan dievaluasi bilamana model digunakan untuk
perancangan atau operasi. Manipulasi dari model dapat menuju pada modifikasi model
untuk mengurangi kesenjangan antara model dengan dunia nyata. Proses validasi ini
mempunyai pola berulang seperti metode ilmiah lainnya. Proses validasi seyogyanya
dilakukan kontinyu sampai kesimpulan bahwa model telah didukung dengan pembuktian
yang memadai melalui pengukuran dan observasi. Suatu model mungkin telah mencapai
status valid (absah) meskipun masih menghasilkan kekurang-beneran output. Di sini
model adalah absah karena konsistensinya, dimana hasilnya tidak bervariasi lagi.
Istilah verifikasi dan validasi sering digunakan secara sinonim dalam kaitannya
dengan model simulasi, meskipun masing- masing mempunyai aplikasi yang berbeda.
Secara literal "to verify" berarti menetapkan kebenaran atau kebaikan atau keabsahan,
sehingga verifikasi model berkenaan dengan penetapan apakah model merupakan
perwakilan yang benar dari suatu realita. Sementara itu, "validasi" tidak terlalu banyak
berhubungan dengan kebenaran suatu model, tetapi lebih berhubungan dengan apakah
model efektif atau sesuai untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian
suatu model divalidasi dalam hubungannya dengan tujuan penyusunannya, sedangkan
model diverifikasi dalam hubungannya dengan kebenaran mutlak.
3.4.5. Analisis Stabilitas
43
Sistem dinamik sudah sering diketahui mempunyai perilaku tidak stabil yang
bersifat destruktif untuk beberapa nilai parameter sistem. Analisis untuk identifikasi batas
kestabilan dari sistem diper-lukan agar parameter tidak diberi nilai yang bisa megarah
pada perilaku tidak stabil apabila terjadi perubahan struktur dan lingkungan sistem.
Perilaku tidak stabil ini dapat berupa fluktuasi random yang tidak dapat mempunyai pola
atau berupa nilai output yang eksplosif sehingga besarannya tidak realistik lagi. Analisis
stabilitas dapat menggunakan studi analitis berdasar teori stabilisasi, atau menggunakan
simulasi secara berulang-kali untuk mempelajari batasan stabilitas sistem.
3.4.6. Aplikasi Model
Para pengambil keputusan merupakan aktor utama dalam tahap ini, dimana model
dioperasikan untuk mempelajari secara mendalam kebijakan yang sedang dikaji . Mereka
berlaku sebagai pengarah dalam proses kreatif-interaktif ini, yang juga melibatkan para
analis sistem serta spesialis dari beragam bidang keilmuan. Apabila tidak terdapat kriteria
keputusan yang khas seperti maksimisasi atau minimisasi, proses interaktif tersebut dapat
menuju kepada suatu pengkajian normatif yang bertalian dengan trade-off antar peubah-
peubah sistem. Lebih jauh, dapat ditetapkan pula kebijakan untuk secara efisien menilai
kombinasi antar beberapa output sistem.
3.5. Dasar-Dasar Diagram Blok/KotakDiagram blok adalah suatu pernyataan gambar yang ringkas, dari gabungan sebab
dan akibat antara masukkan dan keluaran dari suatu system.
Blok/Kotak adalah : Biasanya berisikan uraian dan nama elemennya, atau simbul untuk
operasi matematis yang harus dilakukan pada masukkan unt7uk menghasilkan Keluaran
Tanda anak panah : Menyatakan arah informasi aliran isyarat atau unilateral. Sebagai
contoh sederhana diperlihatkan sbb:
44
ElementPengendali
input
d/dtX Y= dx/dt
output
BLOKinput output
Titik lepas Landas
X
X
X
XX
X
X
Tidak melihat arah
Ciri-ciri operasi penjumlahan dan pengurangan, agar dapat digambarkan secara khusus,
maka bentuk blok seperti distas diubah menjadi sebuah lingkaran kecil yang disebut
dengan titik penjumlahan, dengan tanda plus ( + ) dan atau minus ( - ), yang tetap sesuai
dengan anak-anak panah yang memasuki lingkaran. Sedangakan keluarannya ( Output )
adalah jumlah aljabar dari inputnya. Contoh :
Agar dapat menggunaka isyarat yang sama sebagai suatu mesukan oke lebih satu blok atau
titik penjumlahan digunakan sebuat titik lepas alandas. Hal ini menunjukkan isyarat
tersebut berjalan tanpa berubah sepanjang lintasan-lintasan yang berbeda ke beberapa
tujuan.
Contoh : Gambarkan diagram blok dari persamaan matematik sebagai berikut:
a). X2 = a1 (dx/dt ) disini ada dua operasi yang harus ditentukan yaitu a1 dan d/dt
a).
45
d/dt a1 X2
dx/dtX
2
2
dtd
dtdX1
X2
X3+
+
-
X
Y
X+YY
+
+X
Y
X+Y+ZY
+
+
ZX
Y
X-Y+
-
b).
Pada umumnya system pengendalian praktis terdiri dari banyak komponen. Maka untuk
menyederhanakan dalm menganalisa dipakai blok diagram. Dimana tiap-tiap komponen
digambarkan oleh sebuah kotak yang mempunyai input dan output, sedangkan didalamnya
dituliskan bentuk transferfungtion dari komponennya ( Ingat dalam fungsi S= F(s). dan
kemudian ditunjukkan arah alirannya : ada 2 bagian yang penting :
1. Hubungan iNput dan Output ( Transfer function )
2. Sensing ( Error detector ) suatu gambaran berupa lingkaran kecil dengan gambar
silang didalmnya, atau merupakan simbul (penjumlah dan atau pengurangan),
tergantung dari tandanya. Dengan demikian error detector menghasilkan sinyal,
yang merupakan perbedaan antra input dasar ( referent) dan sinyal Feedback dari
system control/pengaturan kea rah kendali system.
Bentuk Blok Diagram Sistem Tertutup ( Close lop System )
46
G(s)Y(s), C(s), V0(s)X(s), R(s), Vi(s)
+-
B(s)
R(s) E(s)+
-
G(s)
H(s)
R(s) E(s) C(s)
+ -
Dimana :
R(s) adalah Input Laplace transform
C(s) adalah Output Laplace transform
G(s) adalah Transfer function forword element
H(s) adalah TF. Feedback element
E(s) adalah Error sinyal
C(s)/R(s) adalah closed loop Transfer function
E(s)/ R(s) adalah Error Ratio
B(s)/ R(s) adalah Primaery feedback ratio
3.5.1 Penyederhanaan Diagram Blok
Dalam penyederhanaan diagram blok sangat penting untuk diperhatikan, sebab
blok-blok hanya dapat dihubungkan secara seri jika keluaran sutu blok tidak dipengaruhi
oleh blok-blok berikutnya. Tetapi apabila ada pengaruh pembebanan antar komponen
maka, perlu dilakukan penggabungan dari bebrapa komponen menjadi satu blok/kotak saja.
Untuk diagram blok yang yang melibatkan bebrapa loop berumpan balik maju,
maka selangkah demi selangkah dari komponnen-konponennya perlu diperhatikan, dalam
penyederhanaan diagram blok/kotak :
1. Hasil kali fungsi alih (transfer function )pada arah umpan maju harus tetap sama.
2. Hasil kali fungsi alih pada pengelilingan loop harus tetap sama.
Suatu bentuk aturan umum untuk menyederhanakan diagram blok adalah memindahkan
titik cabang dan titik penjumlashan, lalu kemudian menyerhanakan umpan balik
didalamnya.
Contoh Soal :
Carilah fungsi alih ( Transfer function ) dari suatu system yang terdiri dari bentuk gambar
diagram blok/kotak system tertutup sbb:
R(s) = Input Frekuensi
C(s) = Sinyal Output
47
G(s)
H(s)
R(s) E(s) C(s)+ -
F(s)A(s)
G(s) = sebagai pengontrol
H(s) = TF. dari Feedback element
E(s) = Error sinyal
A(s) = TF. dari amplifier
F(s) = TF. dari filter
B(s) = Sinyal feedback
3.6.2 Dasar Sistem Reduksi Diagram Blok-Kotak
1. Bentuk dari Elemen bertinggkat :
Diagram asal Hasil Reduksi
48
G1(s) G2(s)R(s) C(s) G1(s) xG2(s) C(s)R(s)
2. Penambahan dan pengurangan
3. Percabangan
4. Starting Point
5. Sistem Loop
Soal :Ringkaslah diagram blok dibawah kedalam untai terbuka dan tentukan fungsi alih dari
system, apabila R(s) sebagai input dan C(s) sebagai output. Kerjakan dengan cara selangkah
demi selangkah (Step by step )
49
G(s)
H(s)
R(s) E(s) C(s)
+ -)()(1
)(sHsG
sGR(s) C(s)
B(s)
G(s)
R(s) C(s)
+ -B(s)
G(s)
R(s) C(s)+
-
G(s)
R(s)
G1(s)R(s) C(s)+
+/-
G2(s)R(s)G1(s) +/-G2(s) C(s)R(s)
R(s) G(s)
C(s)-
B(s)
R(s) G(s)
C(s)-
B(s)
1/G(s)
Soal 2 :
50
G1(s) G(s) G3(s)G2(s)
H1(s)
H2(s)
-
+ -+C(s)
R(s)
G1(s)xG2(s)xG3(s)
1+H1(s)xG1(s)xG2(s) + H2(s)xG2(s)xG3(s)
C(s)R(s)
G1(s) G(s) G3(s)G2(s)
H1(s)
H2(s)
-
+ C(s)R(s)
-
1/G1(s)
G1(s)xG2(s)1+H1(s)xG1(s)xG2(s)
G3(s)
H2(s)/G1(s)
+ C(s)R(s)
-
G1(s)xG2(s)xG3(s) 1+H1(s)xG1(s)xG2(s) H2(s)xG1(s)xG2(s)xG3(s)1+ 1+H1(s)xG1(s)xG2(s)
C(s)R(s)
Ringkaslah diagram blok dibawah kedalam untai terbuka dan tentukan fungsi alih dari
system, apabila R(s) sebagai input dan C(s) sebagai output. Kerjakan dengan cara selangkah
demi selangkah ( Step by step )
51
G1(s) G(s) G4(s)
G2(s)
H1(s)
G3(s)
-
+
-
+C(s)R(s)
H2(s)
+
G 1(s) G (s) G 4(s)G 2(s)
H 1(s)
G 3(s)
-
+
-
+C (s)R (s)
G 1(s) G 4(s)G 2(s) +G 3(s)
H 1(s)
-
+R (s)
-
C(s)
R (s)
H 2(s)
+
H 2(s)
+
G 1(s) G 4(s) G 2(s) +G 3(s)
1+H1(s) ( (G2(s)+G3(s) )-
+R (s) C(s)
H 2(s)
G 1(s) XG 4(s)x (G 2(s) +G 3(s) )
1+H 1(s) (G 2(s) +G 3(s) )
G 1(s) XG 4(s) x(G 2(s) +G 3(s ))
1 + H 2(s) 1+H 1(s) (G 2(s) +G 3(s ))
C(s)
52
).(..)(1.).(.
)(3)(20(4)(1)(2)(3)(2)(1
)(3)(2)(4)(1
ssssSsSS
ssss
GGGGHGGHGGGG
R(s) C(s)
3.6. Diagram Aliran Sinyal
Dalam penggambaran (Representasi) diagram kotak atau blok adalah “Sangat Baik”
dalam menimbulkan suatu system control, dapat juga sebagai pengganti metode ini yaitu
Dagram Aliran Sinyal atau dapat juga disebut Grafik Aliran Sinyal
Adapun yang disebut grafik aliran sinyal adalah suatu pernyataan gambar dari
persamaan-persamaan serempak yang menguraikan sebuah system secara grafis
memperagakan suatu bentuk transmisi isyarat melalui system seperti yang dilakukan pada
diagram Blok. Tetapi Grafik ini lebih mudah digambarkan atau lebih mudah dimanipulasi
daripada diagram blok atau kotak.
Maka untuk diagram aliran sinyal pada system control dikonstruksi pemakaian
Gain, sehingga akanm menghasilkan semua transfer function. Suatu diagram aliran sinyal
pada sebuah system adalah merupakan jaringan yang terdiri dari titik hubung yang disebut
dengan “Node”(simpul) dan ruas garis lurus yang disebut dengan “Cabang”. Simpul-
simpul itu dihubungkan oleh cabang yang arahnya telah ditentukan.
Contoh: Suatu bentuk sederhana dari grafik aliran sinyal
Jadi Xi = Aij . Xj
Variable- variable Xi dan Xj dapat merupakan fungsi-fungsi dari waktu, frekuensi
komplek atau sembarang besaran lainnya, dapat juga keduanya merupakan tetapan-tetapan
variable dalam pengertian matematis.
Sedangkan Aij adalah merupakan sebuah operator matematik yang meletakkan Xj ke
dalam Xi, dan hal tersebut merupakan bentuk dari “Fungsi transmisi”
Adapun konstruksi diagram aliran sinyal meliputi urutan penyebab-penyebab dan pengarah
dari hubungannya.
53
Xj Xi
Cabang
Aij
X2 tidak ada hubungan dengan yang lain
Misalkan: Bentuk dari diagram aliran sinyal C(s) = G(s) . R(s)
Maka diagram aliran sinyalnya adalah
R G C
Biasanya : C(s), G(s), R(s) dapat ditulis dengan cara menghilangkan tanda (s)
Sehingga dapat ditulis C, G dan R saja
Contoh :
Tinjau bentuk persamaan dibawah ini dari sekumpulan Error persamaan dan transfer
fungtion (TF)
a). X1 = R – H1 . X3
b). X2 = G1 . X1 – H2 . C
c). X3 = G2 . X2
d). C = G3 . X3
Dimana, X1, X2, X3 adalah merupakan node konstruksi diagram, maka diagram aliran
sinyalnya adalah:
54
CabangNodeNode
RX1
X2 X3C
-H1
G21
RX1 X2 X3
1
- H1C
RX1 X2 X3 C1
-H2
G1
RX X2
X3
C
-H1
G2 G31C
-H2
1G1
Keterrangan:
Persamaan a). Dinyatakan bahwa sinyal X1 tergantung atas sinyal R dan X3, Sinyal X3
adalah dikalikan dengan Gain -H1 yang masuk kedalam node X1 Gain -H1 adalah
dinyatakan pada cabang X3 ke X1 Untuk tiga (3) persamaa yang lain dapat diterangakan
seperti diatas, Sehingga untuk memudahkan penggambaran aliran sinyal kita tetapkan
menurut dasar-dasar sebagai berikut:
1. Simpul-simpul (node) direpresentasikan/digambarkan sebagai variable disistem dan
disusun menurut rangkaian [penyebab effect dari system.
2. Sepanjang perjalanan sinyal pada cabang ditentukan arahnya
3. Sinyal yang dikirim sepanjang cabang dikalikan dengan gain dari cabang itu
4. Banyaknya variable yang dikemukakan oleh suatu node/simpul adalah sama dengan
jumlah sinyal yang masuk
5. Banyaknya variable yang dikemukakan oleh suatu node ditransmisikan atau dikirim
pada semua cabang meninggalkan simpul
6. Jalan maju adalah jalan node input ke node output tanpa melalui node yang lain
7. Jalan feedback tak menyinggung atau loop yang tidak mempunyai node bersama55
8. Jalan feedback adalah permulaan jalan dan ahkir jalan dalam node yang sama
9. Gain dari suatu jalan adalah sama dengan hasil dari semua gain pada jalan itu.
Tinjaulah bentuk persamaan sebagai berikut:
X2 = a1.2 . X1 + a3.2 .X3 + a4.2 .X4+ a5.2 . X5
X3 = a23 .X2
X4 = a34 . X3+ a44 . X4
X5 = a35 . X3 + a45. X4
Dimana X1 adalah sebagai input sinyal
X2 adalah sebagai outpuy sinyal
Rumus Penguatan Masson’s
Adapun untuk menentukan hubungan antara variable masukkan dan variable keluaran
dalam grafik aliran sinyal, maka “Rumus Penguatan Masson’s” dapat di[pergunakan, sebab
dapat dipakai dalam penyelesaian bentuk-bentuk kasus praktis. Dimana transmisi antara
simpul masukkan dan simpul keluaran adalah merupakan penguatan keseluruhan, atau
transmisi keseluruhan antara dua buag simpul.
Dimana :
P = Semua gain, biasanya ditulis C(s)/R(s)
Pk= Penguatan atau transmisi lintasan maju ke “k”
∆ = Determinan grafik
Jumlah dari semua penguatan loop yang berbeda
56
kkkkkk P
PP
..1.
Jumlah hasil kali penguatan dari semua, kombinasi yang mungkin dari dua
loop yang tidak bersentuhan.
Jumlah hasil kali penguatan dari semua kombinasi yang mungkin dari
tiga loop yang tidak bersentuhan.
∆k = Kofactor dari determinan lintasan maju ke “k” dengan menghilangkan loop-loop
yang menyentuh lintasan maju ke “k”
Contoh : Tinjaulah system pada gambar diagram blok seperti dibawah, cari fungsi alih
loop tertutup C(s)/R(s). Selesaikan dengan rumus penguatan Masso’n
Penyelesaian:
Jumlah Loop : 3 # Ada satu lintasan maju
K = 1 P1 = G1 . G2 . G3
L1 = G1. G2 . H1
57
G1(s) G(s) G3(s)G2(s)
- H2
H1(s)
H2(s)
+
+
+
-
-+C(s)R(s)
R(s) C(s)G1 G2 G3
+ H1
- 1
1 1X1 X2
X3
X4
C)
X1 X2 X3 X4
G1(s) G(s) G3(s)G2(s)
H1(s)
H2(s)
+
+
+
-
-+C(s)R(s) X1 X2 X3 X4
L2 = - G2 . G3 . H2
L3 = - G1 . G2 . G3
# ∆ = 1 – ( L1 + L2 + L3 )
= 1 - G1. G2 . H1 + G2 . G3 . H2 + G1 . G2 . G3
Maka kofaktor (∆1) dari determinan lintasan maju yang menghubungkan simpul masukkan
dan keluaran diperoleh dengan menghilangkan loop-loop yang menyentuh lintasan, karena
“P1” menyentuh semu loop maka ( ∆1= 1 )
# Untuk mencari Loop Yang tidak berhubungan adalah:
Jumlah Loop : 3 # Ada satu lintasan maju
K = 1 P1 = G1 . G2 . G3
L1 = - G1. H1
L2 = - G2 . H2
L3 = - G3 . H3
58
G1(s) G3(s)G2(s)
- H2
H1(s)
H2(s)
+
+ --
-
+
C(s)R(s)
R(s) C(s)G1 G2 G3
- H1
1 1X1
X2
X3 X4
X1 X2 X3 X4
H3(s)
X5
1
- H3
# ∆ = 1 – ( L1 + L2 + L3 ) + (L1 x L3 )
= 1 – (G1.H1 + G2 .H2 + G3.H3) + (G1. G3.H1.H3)
Maka kofaktor (∆1) dari determinan lintasan maju yang menghubungkan simpul masukkan
dan keluaran diperoleh dengan menghilangkan loop-loop yang menyentuh lintasan, karena
“P1” menyentuh semua loop maka ( ∆1= 1 )
3.7. Model Matematis untuk Sistem Fisik
Untuk memahami sistem kendali yang ruwet, terlebih dahulu mendapat-kan model
matematisnya, yang bersifat kwantitatif. Hal ini dikarenakan oleh hubungan antara variabel
sistem dan model matematis pada sistem kendali keadaannya dapat berbentuk dinamis,
berubah-ubah. Persamaan yang sering digunakan adalah persamaan deferensial, dan dibuat
linier agar penyelesaian nya lebih mudah dengan menggunakan tranformasi laplace. Dalam
prakteknya sistem yang begitu ruwet maka diperlukan asumsi mengenai cara kerja sistem
tersebut.Oleh karena itu, diperlukan pertimbangan suatu sistem fisis dengan membuat
asumsi (pengandaian) dan melinierkan sistem tersebut. Akhirnya dalam penyelesaian
memanfaatkan beberapa peralatan matematis.
Sebagai contoh: Sistem sederhana yang terdiri dari massa pegas dan peredam seperti
gambar di bawah:
59
yGesekan
f
r(t)Gaya
MassaM
Gambar 3.1. Sistem massa-pegas-peredam
Gambar di atas melukiskan oleh hukum Newton kedua untuk gerakan, maka
persamaan dapat dituliskan sebagai berikut:
K adalah tetapan pegas untuk pegas ideal dan f adalah tetapan gesek. Persamaan di atas
berbentuk persamaan diferensial kedua dengan koefisien yang tetap. Penyelesaian
persamaan diferensial yang melukiskan proses tersebut diperoleh dengan cara klasik,
seperti penggunaan faktor integral dan metoda koefisien tak tentu. Sebagai contoh, bila
massa tersebut mula-mula disimpangkan sejarak y(t)=y(0) kemudian dilepas, maka
tanggapan dinamik untuk sistem tersebut adalah kurang teredam (underdamped) yang
diperoleh persamaan sebagai berikut:
y(t)=K1 e-t sin (t + )
Dengan cara lain, suatu rangkaian listrik RLC seperti gambar di bawah dengan
menggunakan hukum Kirchoff, dapat persamaan ditulis sebagai berikut:
Untuk penyelesaian rangkaian RLC di atas mirip dengan sistem mekanik pegas yaitu
sumber mengalirkan arus yang tetap r(t)=I, maka tegangannya diperoleh
v(t)=K e-t cos (t + )
60
d2y(t) dy(t)M + f + Ky(t) = r(t) dt2 dt
v(t) dv(t) 1 + C + intg v(t) dt = r(t) R dt L
R L CR(t)Sumber
Arus
V(t)
Gambar 3.2. Rangkaian Listrik Paraleh RLC
Lengkung tegangan yang merupakan ciri khas suatu rangkaian RLC yang kurang
teredam seperti gambar di bawah:
3.7.1 Pendekatan Linier dari Sistem Fisis
Kebanyakan sistem-sitem fisis bersifat linier dalam batasan harga variabel yang
akhirnya akan tidak linier jika nilai dari batasan dilewati. Sebagai contoh, jika sistem massa
pegas hanya bersifat linier selama massa mengalami simpangan kecil y(t), tetapi bila y(t)
terus menerus bertambah, pegas akan terlalu terentang dan putus. Hal ini, persoalan
kelinieran dari batasan (range) penggunaannya harus diperhitungkan untuk tiap sistem.
Suatu sistem dapat didefinisikan sebagi linier ditinjau dari tanggapan dan
penguatannya. Untuk rangkaian listrik, sebagai penguatannya adalah arus listrik masukkan
r(t), sedangkan sebagai respon adalah tegangan v(t). Jadi kelinieran dari sistem tergantung
dari penguatan x(t) dan respon y(t). Jika sistem pada kondisi awalnya dikuatkan x1(t) maka
akan memberikan respon y2(t), dan jika sistem adalah linier diberikan penguat x1(t)+x2(t)
dan respon yang diterjadi y1(t)+y2(t), hal ini disebut prinsip superposisi.
Untuk sistem yang dicirikan oleh hubungan y=x2 tidaklah linier karena sifat
superposisi dan sifat kebersamaan. Sistem yang digambarkan oleh persamaan y=mx + b
dikatakan tidak linier, tetapi sistem ini dapat dianggap linier sekitar titik kerja x0, y0 untuk
perubahan kecil x dan y. bila x=x0+x, y=y0+ y kita dapatkan
y=mx + b
atau
y0+ y = mx0 + mx + b
61
0
TeganganV(t)
e-t
Waktu (t)
2()
Gambar 3.3. Kurva tegangan dr Rangk. RLC yang kurang teredam
karena y = m x memenuhi syarat maka sistem dikatakan linier.
Contoh. Perhatikan osilator bandul seperti gambar di bawah menghasilkan torsi pada massa
sebesar:
g adalah tetapan gaya tarik bumi, keseimbangan terjadi bila massa 0 = 00 hubungan tak
linier antara T dan ditunjukkan secara grafis turunan pertama yang dihitung pada titik
keseimbangan kelihatan hampir linier.
62
Pendekatan dapat dilakukan ketentuan sebegai berikut:
Transformasi LaplaceUntuk memperoleh pendekatan linier penggunaan transformasi laplace pada sistem
fisik menyederhanakan persamaan deferensial yang dimaksudkan mempermudah dalam
penyelesaian persoalan yang rumit. Penyelesaian respon waktu (fungsi waktu) didapatkan
pada tahapan sebagai berikut:
1. Persamaan diferensial;
2. Transformasi Laplace untuk persamaan diferensial;
3. Menyelesaikan persamaan aljabar yang didapatkan.
Pembahasan singkat keberadaan transformasi Laplace yang sering dijumpai dalam
menggambarkan penurunannya, sebagai contoh:
f(t) = fungsi waktu t sedemikian rupa sehingga f(t)=0 untuk t<0;
s = variabel komplek;
= simbul operator yang menunjukkan bahwa besaran yang ditrans- formasikan
dengan integral Laplace;
F(s) = fungsi waktu t sedemikian rupa sehingga f(t)=0 untuk t<0;
Selanjutnya transformasi laplace dari f(t)
[f(t)] = F(s) = ∫ e-st dt[f(t)] = ∫ f(t) e-st dt
63
- 4 4
- -/2
/2
T
Panjang L
Massa M
Gambar 3.4. Bandul mekanik
Contoh:
1. Fungsi exponensial
f(t) = 0 untuk t<0
= A e-t untuk t 0A dan adalah konstanta. Transformasi Laplace dari f(t) diperoleh sebagai berikut:
[f(t)] = ∫ A e-t e-st dt[f(t)] = A ∫ e-(+s)t dt
A=
S +
Terlihat bahwa fungsi eksponensial menghasilkan satu pole pada bidang kompleks.
Dalam melakukan integrasi ini dianggap bagian nyata dari s lebih besar dari -.
3.7.2 Fungsi Transfer untuk Sistem Linier
Fungsi transfer suatu sistem linier didefinisikan sebagai hasil bagi transformasi
laplace dari variabel keluaran dengan masukan dengan seluruh syarat mula (initial
Condition) dianggap sama dengan nol. Fungsi transfer hanya dapat didefinisikan untuk
sistem linier dan stasioner (berparameter tetap).
Fungsi transfer waktu suatu jaringan RC seperti gambar di bawah dengan
menggunakan hukum Kirchoff akan menghasilkan persamaan sebagai berikut:
Dengan menyelesaikan dua persamaan di atas maka diperoleh:
64
RCV1 V2
Gambar 3.5. Rangk. Listrik RC tanpa beban
Maka fungsi transfer diperoleh sebagai perbandingan V2(s)/V1(s)
adalah tetapan waktu pada jaringan.
Jika diamati rangkaian tersebut di atas merupakan suatu pembagi tegangan:
Contoh: 1. Jika V1(s) sebagai masukkan diberi fungsi denyut (t)=1 maka V2(s) diperoleh:
dengan menggunakan transformasi Laplace diperoleh:
Jika V1(s) sebagai masukkan diberi fungsi Step u (t)=1/s maka V2(s) diperoleh:
dengan menggunakan transformasi Laplace diperoleh:
2. Suatu rangkaian RLC di bawah ini yang terdiri dari suatu induktansi L(henry) tahanan R
(Ohm), dan kapasitansi C (farad) dengan mengguna-kan hukum Kirchoff pada sistem
kita peroleh persamaan:
65
V2(s) Z2(s) = Z1(s)= R; Z2(s)= 1/CsV1(s) Z1(s) + Z2(s)
CRL V2V1
Gambar 3.6. Rangk. Listrik Seri RLC
dengan mencari Transformasi Laplace dari persamaan di atas, dan menganggap syarat
awal nol maka
Jika V1 dianggap sebagai masukan dan V2 sebagai keluaran, maka fungsi alih dari sistem
diperoleh:
Persamaan di atas dari penyebut akan diperoleh dua akar nyata jika R2>4LC, satu akar
nyata jika R2=4LC dan imajiner R2<4LC
3. Tinjau sistem pada gamabar 7, V1 adalah masukan dan V2 keluaran, pada rangkaian
tingkat dua (R2C2) akan berpengaruh pembebanan pada tingkat pertama (R1C1).
66
R1
C1V1 V2
Gambar 3.7. Rangk. Listrik RC dg beban
C2
R2
i1 I2
Dengan mengeliminasi I1(s) dan I2(s) dari persamaan di atas kita peroleh bahwa fungsi
alih antara V1(s) dan V2(s) adalah
Bentuk R1C2s pada penyebut dari fungsi alih menyatakan interaksi dua rangkaian RC
sederhana, jika (R1C1+ R2C2+ R1C2)2 > 4 R1C1R2C2 maka dua akar dari persamaan adalah
nyata
67
Contoh
1.
Jika sumber (Vi ) diberi sinyal 1/S maka diperoleh persamaan:
Dengan menggunakan persamaan Laplace diperoleh
68
VoVi
Gambar 3.8. Rangk. Listrik Seri RC
R1
R2
C
2.
Jika sumber (Vi ) diberi sinyal 1/S2 maka diperoleh persamaan
Jika merupakan variabel kuadrat maka pers. Laplace
Dengan menggunakan persamaan Laplace diperoleh
69
VoVi
Gambar 3.9. Rangk. Listrik Seri LC
L1
L2
C
3.
Jika sumber (Vi ) diberi sinyal 1/S maka diperoleh persamaan
Jika B>4ac akan diperoleh
Dengan menggunakan persamaan Laplace diperoleh
4.
70
VoVi
Gambar 3.10. Rangk. Listrik Seri RLC
R LC1
C2
Jika sumber (Vi ) diberi sinyal 1/S maka diperoleh persamaan
Dengan menggunakan persamaan Laplace diperoleh
Jika sumber (Vi ) diberi sinyal 1/S2 maka diperoleh persamaan
Dengan menggunakan persamaan Laplace diperoleh
71
VoVi
Gambar 3.11. Rangk. Listrik Seri RLC
R
L
C
5.
Jika sumber (Vi ) diberi sinyal 1 maka diperoleh persamaan
Dengan menggunakan persamaan Laplace diperoleh
72
VoVi
Gambar 3.12. Rangk. Listrik Seri RLC
L
C
R2
R1
6.
Jika sumber (Vi ) diberi sinyal 1 maka diperoleh persamaan
73
VoVi
Gambar 3.13. Rangk. Listrik Seri RLC
R
L
C
L
BAB IVANALISIS RESPON TRANSIEN
4.1. Karakteristik Respon
Adalah ciri-ciri khusus perilaku dinamik (spesifikasi performansi) Tanggapan (respon)
output sistem yang muncul akibat diberikannya suatu sinyal masukan tertentu yang khas
bentuknya (disebut sebagai sinyal uji).
4.2. Klasifikasi Respon Sistem
Berdasarkan sinyal bentuk sinyal uji yang digunakan, karakteristik respon sistem dapat
diklasifikasikan atas dua macam, yaitu: Karakteristik Respon Waktu (Time Respons),
adalah karakteristik respon yang spesifikasi performansinya didasarkan pada pengamatan
bentuk respon output sistem terhadap berubahnya waktu. Secara umum spesifikasi
performansi respon
waktu dapat dibagi atas dua tahapan pengamatan, yaitu; Spesifikasi Respon
Transient,adalah spesifikasi responsistem yang diamati mulai saat terjadinya perubahan
sinyalinput/gangguan/beban sampai respon masuk dalamkeadaan steady state. Tolok ukur
yang digunakan untukmengukur kualitas respon transient ini antara lain; rise time,delay
time, peak time, settling time, dan %overshoot.Spesifikasi Respon Steady State, adalah
spesifikasirespon sistem yang diamati mulai saat respon masuk dalam keadaan steady state
sampai waktu tak terbatas (dalampraktek waktu pengamatan dilakukan saat TS £ t £
5TS).Tolok ukur yang digunakan untuk mengukur kualitas responsteady state ini antara
lain; %eror steady state baik untukeror posisi, erorkecepatan maupun eror percepatan.
Karakteristik Respon Frekuensi (Frequency Respons), adalah karakteristik respon yang
spesifikasi performansinya didasarkanpengamatan magnitude dan sudut fase dari
penguatan/gain(output/input) sistem untuk masukan sinyal sinus (A sin wt), padarentang
frekuensi w = 0 s/d w = ¥. Tolok ukur yang digunakan untukmengukur kualitas respon
frekuensi ini antara lain; Frequency GainCross Over, Frequency Phase Cross Over,
Frequency Cut-Off(filter), Frequency Band-Width (filter), Gain Margin, Phase
Margin,Slew-Rate Gain dan lain-lain.
74
4.3. Karakteristik Respon Waktu Sistem Orde I dan Sistem Orde II
Respon output sistem orde I dan orde II, untuk masukan fungsi Impulsa,step, ramp dan
kuadratik memiliki bentuk yang khas sehingga mudahdiukur kualitas responnya
(menggunakan tolok ukur yang ada). Padasistem orde tinggi umumnya memiliki bentuk
respon yang kompleks atautidak memiliki bentuk respon yang khas, sehingga ukuran
kualitas sulit ditentukan.Meskipun demikian, untuk sistem orde tinggi yang ada dalam
praktek(sistem yang ada di industri), umumnya memiliki respon menyerupai ataudapat
didekati dengan respon orde I dan II. Untuk sistem yang demikiandapatlah dipandang
sebagai sistem orde I atau II, sehingga ukuran kualitas sistem dapat diukur dengan tolok
ukur yang ada.
4.3.1. Karakteristik Respon Impulsa (Impuls Respon)
Adalah karakteristik sistem yang didapatkan dari spesifikasi respon output terhadap
masukan impulsa.
Respon Impulsa sistem orde I
Suatu sistem orde I, dapat digambarkan sebagai berikut:
Transfer Function (TF) sistem dapat dituliskan sebagai:
Untuk masukan x(t) = Ad(t) atau X(s) = A, maka respon output sistem dapat dituliskan dan
digambarkan sebagai berikut:
75
R
espon Impulsa sistem orde II
Suatu sistem orde II, dapat digambarkan sebagai berikut: Transfer Function (TF) sistem
dapat dituliskan sebagai:
Untuk masukan x(t) = Ad(t) atau X(s) = A, maka respon output sistem dapat dituliskan dan
digambarkan sebagai berikut:
5.2.2. Karakteristik Respon Step (Step Respon)
Adalah karakteristik sistem yang didapatkan dari spesifikasi respon output terhadap
masukan Step.
76
a. Respon Step Sistem Orde I
Suatu sistem orde I, dapat digambarkan sebagai berikut:Transfer Function (TF) sistem
dapat dituliskan sebagai:
Untuk masukan x(t) = Am(t) atau X(s) =A/S, maka output sistem dalam fungsi s dapat
dituliskan sebagai berikut:
Dengan demikian respon y(t) dapat dituliskan dan digambarkan sebagai berikut:
a.1. Spesifikasi Respon Step Sistem Orde I
Spesifikasi respon step sistem orde I dapat dinyatakan dalam duamacam spesifikasi yaitu:
spesifikasi respon transient (0 £ t £ 5Ts)dan spesifikasi respon steady state (t <= 5Ts) yang
di ukur melalui %eror posisi pada keadaan tunak (steady state). Secara umum respon step
sistem orde I dapat di gambarkan sebagai berikut:
77
a.2. Spesifikasi Respon Transient Sistem Orde I
Terdapat beberapa macam ukuran kualitas respon transient yang lazim digunakan, a.l.:
Time Constan (t) : Ukuran waktu yang menyatakan kecepatan respon, yang di ukur mulai t
= 0 s/d respon mencapai 63,2% (e-1x100%) dari respon steady state.
Rise Time (TR) : Ukuran waktu yang menyatakan keberadaan suatu respon, yang di ukur
mulai respon 5% s/d 95% dari respon steady state (dapat pula 10% s/d 90%). TR = t Ln 19
(5%–95%), atau TR = t Ln 9 (10%-
90%)
Settling Time (TS): Ukuran waktu yang menyatakan respon telah masuk ±5% atau ±2%
atau ±0,5% dari respon steady state. Ts(± 5%) = 3t ; Ts(± 2%) = 4t atau Ts(± 0,5%)= 5t
Delay Time (TD) : Ukuran waktu yang menyatakan faktor keterlambatan respon output
terhadap input, di ukur mulai t = 0 s/d respon mencapai 50% dari respon steady state.TD =
t Ln2Td
a.3. Spesifikasi Respon Steady State Sistem Orde I
Spesifikasi respon steady state di ukur melalui %eror posisi pada
b.
Respon Step Sistem Orde II
Suatu sistem orde II, dapat digambarkan sebagai berikut:Transfer Function (TF) sistem
dapat dituliskan sebagai:
78
Untuk masukan x(t) = Am(t) atau X(s) =A/S, maka output sistem dalam fungsi s dapat
dituliskan sebagai berikut:
Ta
mpak bahwa sifat dua akar karakteristik sistem s2 dan s3tergantung pada harga x, di
mana;Ø jika x>1 kedua akar berharga real dan berbeda, disebut sebagai sistem over-
damped;Ø jika x=1 kedua akar berharga real dan sama, disebutsebagai sistem critically-
damped;Ø jika x<1 kedua akar merupakan konjugasi kompleks,Disebut sebagai sistem
under-damped;
X(s) Y(s)
b.1. Respon Step Sistem Orde II Over-Damped (x>1)
Dengan menggunakan teknik pecahan partial serta inversi transformasi Laplace, y(t) dapat
dituliskan sebagai:
Dengan demikian y(t) dapat digambarkan seperti gambar berikut:
79
1
Kesimpulan,
Tampak bahwa respon sistem menyerupai respon sistemorde satu, oleh karena itu
spesifikasi respon sistem yang Digunakan adalah spesifikasi respon sistem orde satu.Ø
Sistem orde dua dengan koefisien redaman x > 1, dapat Didekati dengan model orde I,
dengan gain over-all K Sama dengan sistem semula dan time constant t* adalahwaktu yang
dicapai respon pada 63,2% dari keadaan steady state. Model pendekatan tersebut disebut
sebagai
Model Reduksi.
Pengembangan dari pengertian di atas, tiap sistem ordetinggi yang memiliki respon
menyerupai atau dapatdidekati dengan respon sistem orde I, model sistem dapat direduksi
menjadi model orde I.
b.2. Respon Step Sistem Orde II Critically-Damped (x=1)
Dengan menggunakan teknik pecahan partial serta inversitransformasi Laplace, y(t) dapat
dituliskan sebagai:
Dengan demikian y(t) dapat digambarkan seperti gambar berikut:
80
Kesimpulan,
Ø Tampak bahwa respon sistem menyerupai respon sistemorde satu, oleh karena itu sama
seperti kesimpulan sebelumnya, sistem orde dua dengan koefesien redaman
x = 1, dapat didekati dengan model reduksi orde I, seperti berikut :
b.3. Respon Step Sistem Orde II Under-Damped (x<1)
Dengan menggunakan teknik pecahan partial serta inversi transformasi Laplace, y(t) dapat
dituliskan dan digambarkan sebagai berikut :
b.
4. Spesifikasi Respon Step Sistem Orde II81
Seperti juga pada sistem orde I, spesifikasi respon step sistem orde II dapat dinyatakan
dalam dua macam spesifikasi yaitu: spesifikasi respon transient dan spesifikasi respon
steady state. Secara umum respon step sistem orde II dapat di gambarkan sebagai berikut:
b.5. Spesifikasi Respon Transient Sistem Orde II
Terdapat beberapa macam ukuran kualitas respon transient yanglazim digunakan, a.l.:
Time Constan (t) : Ukuran waktu yang di ukur melalui responfungsi selubung yaitu mulai t
= 0 s/d responmencapai 63,2% (e-1x100%) dari responsteady state.
Rise Time (TR) : Ukuran waktu yang di ukur mulai respon mulai t= 0 s/d respon
memotong sumbu steady state yang pertama.
Settling Time (TS): Ukuran waktu yang menyatakan respon telah
masuk ± 5% atau ± 2% atau ± 0,5% dari respon steady state.
Delay Time (TD) : Ukuran waktu yang menyatakan faktor
keterlambatan respon output terhadap input, di ukur mulai t = 0 s/d respon mencapai 50%
dari respon steady state.
82
Overshoot (MP) : Nilai relatif yang menyatakan perbandingan harga maksimum respon
yang melampaui harga steady state dibanding dengan nilai
steady state.
Time Peak (TP) : Ukuran waktu diukur mulai t = 0 s/d respon mencapai puncak yang
pertama kali (paling besar).
b.6. Spesifikasi Respon Steady State Sistem Orde II
Seperti juga pada sistem orde I, pada sistem orde II spesifikasi respon steady state di ukur
melalui %eror posisi pada keadaan tunak :
Karakteristik Respon Waktu Sistem Orde Tinggi
Respon output sistem orde tinggi umumnya memiliki bentuk respon yang kompleks atau
tidak memiliki bentuk respon yang khas, sehingga ukuran kualitas sulit ditentukan.
Meskipun demikian, untuk sistem orde tinggi yang ada dalam praktek (sistem yang ada di
industri), umumnya memiliki respon menyerupai atau dapat didekati dengan respon orde I
dan II. Untuk sistem yang demikian dapatlah dipandang sebagai sistem orde I atau II,
sehingga ukuran kualitas sistem dapat diukur dengan tolok ukur yang ada sebagai mana
dilakukan pada sistem orde I dan orde II.
83
4.3 Analisa Transient Sistem Menggunakan Matlab
84
PERCOBAAN I
1.Judul : Analisa Transient Sistem Dengan Menggunakan Matlab
2. Tujuan
(a)Mempelajari penggunaan Matlab untuk melihat response transient dari suatu sistem
(b)Mempelajari dan melihat kinerja transient dari suatu sistem
3. Prinsip Dasar
3.1. Matlab
Matlab adalah suatu program untuk menyelesaikan perhitungan-perhitungan ilmiah
maupun teknik secara numerik. Matlab dibuat oleh Math Work Inc, dan disediakan
dalam berbagai versi untuk berbagai jenis komputer, baik dalam versi DOS, Window,
Unix, dan sebagainya. Selain itu, matlab juga dikendalikan oleh comand-comand
tertentu sehingga dapat diprogram dengan menggunakan teknik-teknik khusus yang
berbasis matrik untuk menyelesaikan suatu persoalan. Olehkarenanya program
didalam matlab tidak sesulit dan serumit program bahasa lainnya, dan solusinya
mirip/sesuai dengan yang dikerjakan secara matematis.
Matlab menyediakan beberapa tool box, salah satunya adalah control system tool box.
Dalam control system tool box ini terdapat lebih dari 40 fungsi untuk menganalisis
teknik control, dan dalam praktikum ini akan digunakan fungsi-fungsi tersebut untuk
melihat response transient suatu sistem.
Karena matlab merupakan teknik pemograman yang berbasis matrik, maka penulisan
datanya dalam bentuk matrik yang dinyatakan dalam tanda [ ]. Untuk vektor baris,
bilangan-bilangannya dipisahkan dengan tanda blank atau koma, sedangkan untuk
vektor kolom, bilangan-bilangannya dipisahkan dengan titik koma.
Contoh :
Penulisan vektor baris :
X=[1 3 4 5] atau X=[1,3,4,5]
Hasilnya adalah :
X=
1 3 4 5
Penulisan vektor kolom :
85
X=[1;3;4;5]
Hasilnya adalah :
X=
1
3
4
5
Penulisan matrik 3x3 :
X=[1 2 3;4 5 6;7 8 9]
Hasilnya adalah :
X=
1 2 3
4 5 6
7 8 9
4.4. Respon Transient dengan Matlab
Suatu sistem yang mendapat masukan, akan mengalami keadaan transient
(peralihan) sebelum mencapai keadaan setimbang yang baru. Pada saat keadaan transient
tersebut, maka sistem berada dalam keadaan yang perlu diwaspadai, karena sistem tersebut
akan mudah jatuh ke keadaan tidak-stabil. Karena itu, keadaan transient merupakan
fenomena yang secara serius diperhatikan bagi pengamat dan perancang sistem kontrol,
apapun jenis sistemnya.Dengan mengamati keadaan transient, maka akan dapat diketahui
duahal,yaitu:
1.Karakteristik sistem atau kinerja peralihan (system performance)
2.Dapat merancang kontroler yang sesuai dengan keadaan peralihan tersebut, apabila
kriteria-kriteria perancangannya dinyatakan dengan jelas secara kwantitatif.
Untuk melihat tanggapan peralihan (response transient) dari suatu sistem, umumnya jenis
masukan (input) yang diberikan kepada sistem ada 2, yaitu :
1. Masukan Tangga Satuan (Unit Step Function)
(t) = 1 (t >0)86
= 0 (t yang lain)
2. Masukan Impulse Satuan (Unit Impulse Function)
= 0 ( t yang lain)
4.4.1. Sistem Orde Satu
Persamaan matematika dari rangkaian listrik pada gambar 1.1 setelah di laplacekan dengan
semua kondisi awal sama dengan nol adalah :
Untuk melihat transient response dari sistem orde satu tersebut dengan menggunakan
matlab jika input-nya (Vi) adalah unit step function, dapat digunakan program matlab
sebagai berikut :
num= 1;
den=[0.02 1];
grid
step(num,den)
xlabel(‘t-det’)
ylabel(‘Vo(t)’)
title(‘unit-step response of H(S)=1/0.02S+1’)
Untuk melihat transient response dari sistem orde satu tersebut dengan menggunakan
matlab jika input-nya (Vi) adalah unit impulse function, dapat digunakan program matlab
sebagai berikut :
num= 1;
den=[0.02 1];
grid
impulse(num,den)
xlabel(‘t-det’)
ylabel(‘Vo(t)’)
title(‘unit-impulse response of H(S)=1/0.02S+1’)
4.4.2. Sistem Orde 2
Jika suatu sistem orde dua mempunyai fungsi alih sebagai berikut:
87
Maka untuk melihat transient response dari sistem orde dua tersebut dengan input unit step
function, dapat digunakan program matlab. Penulisan program untuk melihat response
transientnya dalam matlab adalah sebagai berikut :
num=[25];
den=[1 6 25];
t=0:0.02:2;
c=step(num,den,t);
plot(t,c)
Xlabel(‘t-det’)
Ylabel(‘c(t)’)
Grid
Title(‘unit-step response of H(s)=25/s^2+6s+25’)
Sedangkan jika inputnya adalah unit-impulse function, maka program matlab yang
digunakan sama dengan program matlab diatas, hanya inputnya saja yang digantikan
menjadi :
step(num,den)
Hasil response transient dari sistem orde dua untuk input unit-impulse function adalah
seperti pada gambar 1.5.
4.4.5 KinerjaPeralihan
Untuk mengetahui ukuran kinerja peralihan dari suatu sistem dengan input unit-step
function, maka perlu memperhatikan hal-hal berikut ( response-nya terlihat pada gambar
6.6 ) :
Waktu tunda (Delay time), td
Waktu yang diperlukan oleh response untuk mencapai ½ dari tanggapan akhir
Waktu naik (Rise time), tr
Waktu yang diperlukan oleh response untuk naik dari 10-90 %,5-95 %,
atau 0-100 %.
Waktu puncak (peak time), tp
Waktu yang diperlukan oleh response untuk mencapai puncak lewatan pertama kali
88
(Persen) lewatan maksimum, Mp
harga puncak maksimum dari response yang diukur dari satu. Bila keadaan tunak tidak
sama dengan satu, maka biasanya digunakan persen lewatan maksimum, dengan rumus:
Besarnya % lewatan maksimum secara langsung menunjukkan kestabilan relatif dari suatu
sistem.
Ukuran kinerja peralihan dari sistem orde 2 dengan transient response seperti pada gambar
1.4 adalah sebagai berikut :
- Peak time : 0.791
- Delay time : 0.273
- Settling time : 1.19
- Rise time : 0.371
- Persen overshoot : 9.47 %
4. Alat-alat yang dibutuhkan
Personal Computer : 1
Software Matlab : 1
89
BAB V.AKSI KONTROLER PID
In this tutorial, we will consider the following unity feedback system:
The three-term controllerThe transfer function of the PID controller looks like the following:
where Kp is the proportional gain, Ki is the integral gain, and Kd is the derivative gain.
First, let's take a look at the effect of a PID controller on the closed-loop system using the
schematic above. To begin, the variable e is the tracking error or the difference between the
desired reference value (r) and the actual output (y). The controller takes this error signal
and computes both its derivative and its integral. The signal which is sent to the actuator
(u) is now equal to the proportional gain (Kp) times the magnitude of the error plus the
integral gain (Ki) times the integral of the error plus the derivative gain (Kd) times the
derivative of the error.
Generally speaking, for an open-loop transfer function which has the canonical second-
order form of:
90
a large Kp will have the effect of reducing the rise time and will reduce (but never
eliminate) the steady-state error. Integral control (Ki) will have the effect of eliminating the
steady-state error, but it will make the transient response worse. If integral control is to be
used, a small Ki should always be tried first. Derivative control will have the effect of
increasing the stability of the system, reducing the overshoot, and improving the transient
response. The effects on the closed-loop response of adding to the controller terms Kp, Ki
and Kd are listed in table form below.
CL RESPONSE RISE TIME OVERSHOOT SETTLING TIME S-S ERROR
Kp Decreases Increases No Change Decreases
Ki Decreases Increases Increases Eliminates
Kd No Change Decreases Decreases No Change
Note that these correlations are not exactly accurate, because Kp, Ki, Kd are related to each
other. Changing one of these variables can change the effect of the other two. For this
reason, the table should only be used as a reference when you are determining the values
for Ki, Kp and Kd by trial & error.
Open-loop step response
Many PID controllers are designed by the trial & error selection of the variables Kp, Ki,
and Kd. There are some rules of thumb that you can consult to determine good values to
start from; see your controls book for some explanations of these recommendations.
Suppose we have a second-order plant transfer function:
Let's first view the open-loop step response. To model this system into Matlab, create a
new m-file and add in the following code:
num=1;91
den=[1 10 20];
step(num,den)
The DC gain of the plant transfer function is 1/20, so 0.05 is the final value of the output
for a unit step input. This corresponds to a steady-state error of 0.95, quite large indeed.
Furthermore, the rise time is about one second, and the settling time is about 1.5 seconds.
Most likely, this response will not be adequate. Therefore, we need to add some control.
Proportional control
From the chart above we see that Kp will help us to reduce the steady-state error. Let's first
add a proportional controller into the system, by changing your m-file to look like the
following: num=1;
den=[1 10 20];
Kp=10;
[numCL,denCL]=cloop(Kp*num,den, -1);
t=0:0.01:2;
step(numCL, denCL,t)
The cloop command in Matlab is used to convert the open loop transfer function into a
closed-loop one. Since the cloop command only accepts one transfer function, the plant
and controller transfer functions have to be multiplied together before the loop is closed. It
should also be noted that it is not a good idea to use proportional control to reduce the
steady-state error, because you will never be able to eliminate the error completely. This
fact will become evident below. If you rerun your m-file, you should get the following plot:
92
Now, the rise time has been reduced and the steady-state error is smaller, if we use a
greater Kp, the rise time and steady-state error will become even smaller. Change the Kp
value in the m-file:
Kp=500;
Rerun the m-file and you should get the following plot:
This time we see that the rise time is now about 0.1 second and the steady-state error is
much smaller. But the overshoot has gotten very large. From this example we see a large
proportional gain will reduce the steady-state error but at the same time, worsen the
transient response. If we want a small overshoot and a small steady-state error, a
proportional gain alone is not enough.
93
PD control
The rise time is now probably satisfactory (rise time is about 0.1 second). Now let's add a
derivative controller to the system to see if the overshoot can be reduced. Add another
variable, Kd, to the m-file, set it equal to 10 and rerun the m-file:
Kp=500;
Kd=10;
numc=[Kd Kp];
[numCL, denCL]=cloop(conv(num,numc),den);
step(numCL, denCL,t)
The overshoot is much less then before. It is now only twenty percent instead of almost
forty-five percent. We can now try to improve that even more. Try increasing Kd to 100,
you will see the overshoot eliminated completely.
94
We now have a system with a fast rise time and no overshoot. Unfortunately, there is still
about a 5 percent steady-state error. It would seem that a PD controller is not satisfactory
for this system. Let's try a PI controller instead.
PI control
As we have seen, proportional control will reduce the steady-state error, but at the cost of a
larger overshoot. Furthermore, proportional gain will never completely eliminate the
steady-state error. For that we need to try integral control. Let's implement a PI controller
and start with a small Ki. Go back to the m-file and change it so it looks like the following
(note the t input is removed from the step command so more of the response can be seen):
Kp=500;
Ki=1;
Kd=0;
numc=[Kd Kp Ki];
denc=[1 0];
[numCL, denCL]=cloop(conv(num,numc),conv(den,denc));
step(numCL, denCL)
95
The Ki controller really slows down the response. The settling time becomes more than
500 seconds. To reduce the settling time, we can increase Ki, but by doing this, the
transient response will get worse (e.g. large overshoot). Try Ki=10, by changing the Ki
variable. The plot can be see better if an axis command is added after the step response.
Your m-file should now look like the following:
Kp=500;Ki=10;Kd=0;
numc=[Kd Kp Ki];denc=[1 0];[numCL, denCL]=cloop(conv(num,numc),conv(den,denc));step(numCL, denCL)axis([0 100 0 1.5])
Now we have a large overshoot again, while the settling time is still long. To reduce both
settling time and overshoot, a PI controller by itself is not enough.96
PID control
From the two controllers above, we see that if we want a fast response, small overshoot,
and no steady-state error, neither a PI nor a PD controller will suffice. Let's implement both
controllers and design a PID controller to see if combining the two controllers will yield
the desired response. Recalling that our PD controller gave us a pretty good response,
except for a little steady-state error. Let's start from there, and add a small Ki (1). Change
your m-file to the following to implement the PID controller and plot the closed-loop
response:
KP=500;
KI=1;
KD=100;
numc=[KD KP KI];
denc=[1 0];
[numCL, denCL]=cloop(conv(num,numc),conv(den,denc));
step(numCL, denCL)
The settling time is still very long. Increase Ki to 100.
97
The settling time is much shorter, but still not small enough. Increase Ki to 500 and change
the step command to step(numCL, denCL,t):
Now the settling time reduces to only 1.5 seconds. This is probably an acceptable response
for this system. To design a PID controller, the general rule is to add proportional control to
get the desired rise time, add derivative control to get the desired overshoot, and then add
integral control (if needed) to eliminate the steady-state error. You may have to go back
and readjust all three variables to fine-tune the response.
98
BAB VIANALISIS KESTABILAN
Kestabilan suatu system ditentukan oleh inputnya. Adapun system yang stabil
adalah system yang tetap dalam keadaan diam bila tidak dirangsang oleh sumber dari luar.
Maka untuk mengetahui kestabilan pada suatu system diperlukan suatu syarat agar system
manjadi stabil dengan cara antara lain:
6.1 Stabilitas Routh-Hurwitz
Dalam hal ini memberikan jaawaban atas pearsoalan stabilitas dengan jalan meninjau
persamaan karakteristik system yang dimaksud. Adapun persamaan ini adalah besaran
Laplace, ditulis dalam bentuk persamaan karakteristik.
Dengan kata lain, untuk persamaan tingkat (derajad) “n” akan diperoleh :
q(s) = an. Sn-an ( Jumlah seluruh akar ) Sn-1
+ an ( Jumlah hasil kali 2 akar ) Sn-2
- an ( Jumlah perkalian 3 akar ) Sn-3
+……+ an ( perkalian seluruh akar )
Tolok ukur Routh-Hurwitz adalah syarat yang perlu dan cukup untuk mendapatkan
stabilitas dari system linear. Adapun cara lainnya dikembangkan dengan menggunakan
Determina, tetapi dapat menggunakan persamaan deret yang lebih mudah dan paraktis.
Maka didalam penyesunan dan menderetkan koefisien persamaan karakteristik didasari
bentuk persamaan sebagai berikut:
Dimana an,………a0, merupakan bilangan konstan dan nyata, kemudian dari persamaan
diatas dibuat bentuk deret Routh, kemudian dari kedua lajur teratas saja yang ditentukan
langsung.
99
Bentuk Deret routh
Contoh : 1. Suatu persamaan karakteristik apakah menyatakan system yang stabil ?
q(s)= S3 + 4 S2 + 8S + 12 = 0
Penyelesaian :
100
L
0
1
3
2
1
2
.
.
S
S
S
S
S
S
n
n
n
.
.
.1
1
1
Cbaa
n
n
.
.
.2
2
3
2
Cbaa
n
n
.
.
.3
3
5
4
Cbaa
n
n
7
6
n
n
aa
1
31512
1
21311
1
5412
1
3211
..
..
..
..
bbaab
C
bbaab
C
aaaaa
b
aaaaa
b
nn
nn
n
nnnn
n
nnnn
dapat dihitung sampai S pangkat nol, 0…..1 maka koefisiennya didapat
S3 1 8 0
S2 4 12 0
S 5 0
S0 12
Karena tidak ada perubahan tanda dalam kolom pertama, maka system tersebut Stabil
125
605
04125
5420
412184
xx
xx
Contoh : 2
Jadi tidak ada perubahan tanda pada kolom Pertama, maka system stabil.
6.2 Root Locus
Pendahuluan
Dasar Root Locus
Plot Root Locus
Aturan-Aturan Penggambaran Root Locus
Kasus Khusus
Analisis Sistem Kendali Melalui Root Locus
Root Locus untuk Sistem dengan Transport Lag
101
1 11 18
2 18 0
2 18
0 00
1
2
3
4
S
S
S
S
S
2
'
...
,........
.......
Spersamaan
dianbilSkoefisientmenentukanuntuk
tentutidak
01818112)( 234 SSSSsq
0
1
2
S
S
S
1842
018
6.2.1 Pendahuluan
Karakteristik tanggapan transient system loop tertutup dapat ditentukan dari
lokasi pole-pole (loop tertutupnya).
Bila K berubah, maka letak pole-pole nya juga berubah.
Perlu pemahaman pola perpindahan letak pole-pole dalam bidang s.
Desain sistem kendali melalui gain adjusment: pilih sehingga pole-
pole terletak ditempat yang diinginkan.
Desain system kendali melalui kompensasi: memindahkan letak pole yang tak
diinginkan melalui pole-zero cancellation.
Mencari akar-akar persamaan karakteristik untuk orde tinggi sulit, terlebih
dengan K sebagai variabel. (Alternatif: gunakan MATLAB ?!)
W.R. Evan mengembangkan metoda untuk mencari akar-akar persamaan
orde tinggi : metoda Root Locus.
Root Locus: tempat kedudukan akar-akar persamaan karakterstik dengan K =
0 sampai K = tak hingga.
Melalui Root Locus dapat diduga pergeseran letak pole-pole terhadapperubahan
K, terhadap penambahan pole-pole atau zero-zero loop terbuka.
102
Persamaan Karakteristik: s2
+ 2s + K =0Akar-akar Persamaan Karakteristik :
2 4 4 Ks 2 1 1 K
K s1 s20 0 -21 -1 -12 -1+j1 -1+j1
10 -1+j3 -1+j3101 -1+j10 -1+j10
103
• Root Locus mempunyai sifat simetri terhadap sumbu nyata.
• Root Locus bermula dari pole-pole G(s)H(s) (untuk K=0) dan berakhir di
zero-zero G(s)H(s) (untuk K ) termasuk zero-zero pada titik
takhingga.
• Root Locus cukup bermanfaat dalam desain sistem kendali linear karena
Root Locus dapat menunjukkan pole-pole dan zero-zero loop terbuka
mana yang harus diubah sehingga spesifikasi unjuk kerja sistem dapat
dipenuhi.
• Pendekatan desain melalui Root Locus sangat cocok diterapkan untuk
memperoleh hasil secara cepat.
• Sistem kendali yang membutuhkan lebih dari 1 parameter untuk diatur
masih dapat menggunakan pendekatan Root Locus dengan mengubah hanya
1 parameter pada satu saat.
• Root Locus sangat memudahkan pengamatan pengaruh variasi suatu
parameter (K) terhadap letak pole-pole.
• Sketsa Root Locus secara manual tetap dibutuhkan untuk dapat
memahaminya dan untuk memperoleh idea dasar secara cepat, meskipun
MATLAB dapat melakukannya secara cepat dan akurat.
• Spesifikasi transient (koefisien redaman) dapat ditentukan dengan mengatur
nilai K melalui Root Locus.
6.2.2 Plot Root Locus
Persamaan Karakteristik: 1 + G(s)H(s) = 0Atau:
Sehingga:G(s)H(s) = -1,
G(s)H(s) = 180o(2k+1); (syarat sudut)k = 0, 1, 2, ….
| G(s)H(s)| = 1 (syarat magnitude)
___________
6.2.3 Prosedur Penggambaran Root Locus
1. Letakkan pole-pole dan zero-zero loop terbuka pada bidang s.
2. Tentukan Root Locus pada sumbu nyata.
Syarat Sudut:G(s)H(s) = 1800(2k+1); k = 0, 1, 2, …. Ambil titik
test : bila jumlah total pole dan zero dikanan titik ini ganjil, maka titik tsb terletak di Root Locus.
3. Tentukan asimtot Root Locus:
Banyaknya asimtot = n – m
n = banyaknya pole loop terbuka m=
banyaknya zero loop terbuka
1800
(2k 1)Sudut-sudut asimtot =
n mk=0, 1, 2, …
Titik Potong asimtot-asimtot pada sumbu nyata:
letak pole berhinggas a n
letak zero berhingga m
___________ Teknik Elektro ITB [EYS -
1998]hal 5 -7
4. Tentukan titik-titik break-away dan titik-titik break-in: Untuk
Persamaan Karakteristik:
B(s) + KA(s) = 0,
Maka titik-titik tsb harus berada di Root Locus dan memenuhi persamaan:
dK B' (s) A(s) B(s) A
' (s)
0ds A
2 (s)
5. Tentukan sudut-sudut datang / sudut-sudut berangkat untuk pole-pole / zero-zero kompleks sekawan.Sudut datang (dari suatu pole kompleks) = 180
0 – (jumlah
sudut vektor-vektor dari pole-pole lain ke polekompleks tsb) + ( jumlah sudut vektor-vektor dari zero-zero ke pole kompleks tsb).Sudut pergi (ke suatu zero kompleks) = 180
0 – (jumlah sudut
vektor-vektor dari zero-zero lain ke zerokompleks tsb) + ( jumlah sudut vektor-vektor dari pole- pole ke zero kompleks tsb).
6. Tentukan batas kestabilan mutlak sistem (K):
Melalui Kriteria Routh Hurwitz.
Secara analitis: memotong sumbu imajiner: s = j
7. Sketsa Root Locus secara lebih teliti pada daerah- daerah selain
sumbu nyata dan asimtot.
8. Tentukan letak pole-pole melalui nilai K yang memenuhi syarat
magnitude. Sebalikya, bila letak pole- pole ditentukan (pada Root
Locus), maka nilai K yang memenuhi dapat dihitung secara grafis
atau secara analitis:
Secara grafis:
K perkalian panjang garis - garis dari titik s ke pole - pole perkalian panjang garis - garis dari titik s ke zero - zero
CONTOH :
Gambarkan Root Locus sistem balikan satuan dengan G(s)
s(sK
1)(s 2)
Tentukan juga nilai K agar koefisien redaman pole-pole kompleks sekawan
loop tertutup dominannya bernilai 0,5.
Solusi :
1. Tentukan Root Locus pada sumbu nyata.j
Titik uji 2 Titik uji 1
-2 -1 0
Untuk titik uji 1 :
Syarat sudut :
s (s 1) (s 2) 00 00 0 0 0 0 (tak terpenuhi).
Untuk titik uji 2 :
Syarat sudut : s (s 1) (s 2) 1800 00 0 0 1800 (terpenuhi).
2. Penentuan asimtot Root Locus
Banyaknya asimtot = banyaknya pole (n) – banyaknya zero (m) = 3 - 0 = 3
Sudut asimtot =
1800
(2k 1)3
; (k 0,1, 2)
600 ; 1800
dan600
Titik potong asimtot pada sumbu nyata :
sp z (0
n m
1 2) 0 13 0
3. Penentuan titik pencar diperoleh dari persamaan : dK
0 ds
Persamaan karakteristik sistem adalah
s(sK
1 01)(s 2)
atau K (s 3
3s 2
2s) , sehingga:
dK (3s
2ds
6s 2) 0
Diperoleh s1
0,4226 (memenuhi) dan s 2
1,5774 (tak memenuhi)
4. Penentuan batas kestabilan sistem menggunakan kriteria Routh Hurwitz.
s 3 1 2
s 2 3 K
s1 6 K3
s 0 K
Syarat stabil tercapai bila 0 < K < 6. Bila dihitung, perpotongan Root Locus
dengan sumbu khayal ini terjadi pada : s
j 2 .
Cara lain untuk mengetahui titik potong ini adalah secara analisis: s = j
(pada
sumbu khayal).
5. Tentukan beberapa titik uji dekat titik pencar yang memenuhi syarat sudut Root
Locus agar diperoleh plot Root Locus secara akurat.
6. Gambar Root Locus nya:
7. Penentuan letak pole-pole kompleks sekawan dominan yang memiliki koefisien
redaman 0,5. Anggap pole kompleks sekawan s
n j n 1
2 . Dengan
memperhatikan gambar dibawah ini, maka terlihat bahwa cos . Untuk
0,5, maka 600 . Dengan menggunakan cara analitis akan diperoleh pole-
pole dominan tersebut adalah : s = -0,3337 + j0,5780, dengan nilai K adalah:
K s(s )(s 2) s 0,3337 j 0,5780
1,0383
BEBERAPA CATATAN
Konfigurasi pole-zero yang sedikit bergeser dapat mengubah total bentuk Root Locus.
Orde sistem dapat berkurang akibat pole-pole G(s) di‘hilang’kan (cancelled) oleh zero-
zero H(s)
Teknik Elektro ITB [EYS -1998]
hal 5 -14
Teknik Elektro ITB [EYS -1998]
hal 5 -15__________________________________________________________________________
Teknik Elektro ITB [EYS -1998]
hal 5 -16
6.3. Root Locus Menggunakan Matlab
Root Locus = persamaan karakteristiknya, dalam MATLAB:
1 K num
0 den
num (s z1 )(s z 2 )(s z m )
1s m
(z z 2 z )s
m
1
z1 z 2 z m
m
nn
den (s p1 )(s
s (p1
p 2 )(s
p 2 p
p n )
)s n
1
p1 p
2
p n
Perintah MATLAB untuk menggambar Root Locus (Konsep
Fungsi Alih):
rlocus(num, den)
Untuk konsep ruang waktu:
rlocus (A, B, C, D)
Pada kedua perintah tersebut, penguatan lup terbuka sistem K
secara otomatis ditentukan.
Apabila pole-pole lup tertutup untuk beberapa nilai K ingin dihitung, maka
perintah berikut ini dapat digunakan :
rlocus(num,den,K), atau
rlocus(A,B,C,D,K)
K = vektor yang berisi semua nilai penguatan dimana pole-pole lup tertutup
ingin dihitung.
___________
___________ Teknik Elektro ITB [EYS -
1998]hal 5 -16
Cara lain penggambaran Root Locus adalah dengan
menggunakan arguman berikut ini :
[r,K] = rlocus(num,den) [r,K] =
rlocus(num,den,K) [r,K] =
rlocus(A,B,C,D) [r,K] =
rlocus(A,B,C,D,K)
Pada layar akan tampil matriks r dan vektor penguatan K. Perintah :
r=rlocus(num,den)
plot(r,'o') atau, plot(r,'x')
dapat digunakan untuk menggambar Root Locus dengan tanda
`o atau `x ,
Mengingat vektor penguatan ditentukan secara otomatis,
maka plot Root Locus berikut ini :
G(s)H(s)
K(s 1)
s(s 2)(s 3)
G(s)H(s)
10K(s 1)
s(s 2)(s 3)
G(s)H(s)
200K(s 1)
s(s 2)(s 3)
adalah sama, dengan : num = [ 0
0 1 1 ] den = [ 1 5 6 0
]
Contoh :
Plot Root Locus menggunakan MATLAB suatu sistem kendali balikan satuan:
G(s)s(s
K(s 2
4)(s
2s6)(s 2
4)1,4s 1)
Solusi :
Perintah konvolusi dapat digunakan untuk memperoleh bentuk
polinomial.
Definisikan :
a s(s 4) s 2
b s 64s : a
: b[1 4 0]
[1 6]
c s 2 1.4s 1 : c [1 1.4 1]
Selanjutnya gunakan perintah :
d = conv(a,b);
e = conv(c,d)
Hasil yang diperoleh e = [1 11.4 39 43.6 24 0]
Program MATLAB nya:
%------Root-Locus -------
num = [0 0 0 1 2 4];den = [1 11.4 39 43.6 24 0];rlocus(num,den)
Warning:Divide by zerov = [-10 10 -10 10]; axis(v)gridtitle(‘Root-Locus Plot of G(s) = K(s^2 + 2s +4)/[s(s + 4)(s +6)(s^2 + 1.4s + 1)]’)
Kasus Khusus
Parameter K bukan penguatan loop terbuka.
Umpanbalik positif.
Parameter K bukan Penguatan Loop Terbuka.
Umpan balik Positif.
Modifikasi Aturan
2. Bila jumlah total pole dan zero dikanan titik test, maka titik tsb berada di Root Locus.
k 3600
3. Sudut-sudut asimtot = n m; k=0, 1, 2, …
4. Sudut datang dan sudut pergi : 1800
diganti dengan 00
.
Contoh:
Gambarkan Root Locus untuk sistem umpan-balik positif G(s)H(s).
Solusi:
1. Plot pole-pole lup terbuka (s = -1 + j1, s = -1 - j1, s = -3) dan zero (s = -2)
pada bidang kompleks. Dengan naiknya nilai K dari 0 hingga , pole-pole
lup tertutup akan bergerak dari pole-pole lup terbuka dan berakhir pada
zero-zero lup terbuka (baik zero berhingga maupun tak berhingga),
sebagaimana terjadi pada sistem umpan-balik negatif.
2. Tentukan root locus pada sumbu nyata . Root locus akan berada pada
penggal
garis antara -2 dan + dan antara -3 dan - .
3. Tentukan asimtot-asimtot root locus. Sudut-sudut asimtot = k. 3600 / (3 - 1)
= 1800. (Kedua asimtot terletak pada sumbu nyata.)
4. Tentukan titik-titik pencar dan masuk.
K = [(s + 3)(s2 + 2s + 2)]/(s + 2).
dK/ds = 0, diperoleh: 2s3 + 11 s2 + 20 s + 10 = 0, atau
2(s + 0,8)(s + 2,35 + j0,77)( s + 2,35 - j0,77), sehingga titik masuk s = -0,8
5. Tentukan sudut berangkat root locus dari pole-pole kompleks. Untuk pole pada s
= -1 + j1, sudut berangkatnya adalah: = 0 - 270 - 900 + 450 = -720
6. Tentukan titik-titk uji disekitar sumbu imajiner dan titik asal untuk
menggambarkan root locus pada daerah ini secara lebih teliti.
Sistem tidak stabil untuk K > 3 (Gunakan metoda Root Hurwitz untuk
menghitungnya!). Sistem harus distabilkan dengan umpanbalik negatif diluarnya.
C(s)R(s) (s 3)(s2
K(s2s
2)2) K(s 2)
6.4 ANALISIS SISTEM KENDALI
Ortogonalitas dan locus dengan penguatan konstanSistem stabil kondisionalSistem fasa non-minimum
Ortogonalitas dan Locus dengan PenguatanKonstan
Root locus dan lokus denganpenguatan konstan merupakan pemetaan
konformal lokus G(s)H(s)= 1800(2k+1) dan |G(s)H(s)| =
konstan dalam bidang G(s)H(s)
Sistem Stabil Kondisional
Sistem stabil untuk 0 < K < 14 dan64<K <195
Prakteknya stabil kondisional tak diinginkan, karena sistem mudah menjadi tak stabil.
Stabil kondisional dapat etrjadi pada sisetm dengan lintasan maju tak stabil (karena ada minor loop).
Stabil kondisional dapat dihindari melalui kompensasi yang sesuai (penambahan zero).
Sistem Fasa Non-Minimum(Pergeseran fasa bila diberi input sinus)
Sistem fasa minimum: bila semua pole dan zero sistem loop terbuka terletak disebelah kiri bidang- s.Sistem fasa non-minimum: bila sedikitnya ada satu pole atau zero sistem loop terbuka terletak disebelah kanan bidang-s.
Sehingga:= 1800 (2k+1); k= 0, 1, 2, …
K (T s 1) 0 a 0s(Ts 1)
ROOT LOCUS DENGAN TRANSPORT LAG
Transport lag / Dead Time: keterlambatan pengukuran akibat sifat kelembaman sistem fisis.
Elapse time: T = L/v detik, Sehingga : y(t) = x(t-T) Fungsi Alih:
Contoh:
Mengingat sudut kontribusi dari e-Ts adalah nol untuk =0, maka
sumbu nyata dari -1 hingga - merupakan bagian dari root
locus. Asumsikan suatu nilai 1 untuk , dan hitung
57.3o 1T. Pada titik -1 disumbu nyata negatif, gambar suatu garislurus
yangmembuat sudut 180o - 57.3o
1T terhadap sumbu nyata. Tentukan titik potong garis
ini dengan garis mendatar = 1. Titik potong P ini sebagaimana terlihat
pada gambar kiri memenuhi persamaan root locus, sehingga titik tersebut
berada pada root locus. Dengan mengulangi prosedure diatas, maka akan
diperoleh root locus seperti terlihat pada gambar kanan.
Perlu juga diingat bahwa bila s mendekati - , maka fungsi alih lup terbuka :
K e-Ts
s 1akan mendekati
-Ts
- ,
-Ts
karena
lim K e d ds [K e ]
KTe Ts
s - s 1 d/ds[s 1] s
Dengan demikian, s= - adalah suatu pole lup terbuka. Jadi root
locus bermula dari s = -1 atau s = - dan berakhir pada s = ,
sesuai dengan membesarnya K dari nol hingga tak hingga. Mengingat syarat
sudut fasa untuk root locus memiliki tak terhingga nilai (ingat k = 0, 1, 2, …),
maka akan ada tak terhingga root locus pula.
Untuk k = 1, maka syarat sudut berubah menjadi:
s 1 540057.30 wT (derajat)
3 - wT (radian)
Dead Time menyebabkan ketidakstabilan sistem, sekalipun untuk sistem orde-1
Pendekatan Transport Lag
Bila T kecil sekali dan fungsi f(t) pada elemen tsb kontinyu dan smooth:
Pendekatan Lain:
OUTLINE BAHAN AJAR SISTEM PENGATURAN
Nama Mata Kuliah : Sistem PengaturanKode Mata Kuliah/SKS : TKE 5410Pengasuh : Ir. I Nyoman Budiastra, MErg, MT
Pertemuan Minggu :
No.
Pokok Bahasan
Sub Pokok Bahasan Outline Bahan Ajar
1. Pengantar Sistem Pengaturan
- Konsep Sistem Pengaturan
- Sistem Lintasan terbuka
- Sistem Lintasan tertutup
Pengertian dasar Contoh aplikasi sistem
Pengaturan di indusri Pemahaman unjuk kerja
sistem lintasan terbuka dan lintasan tertutup
Perbandingan sistem Pengaturan lintasan terbuka dan tertutup.
2. Pengantar Sistem Pengaturan
- Transformasi Laplace- Laplace Balik- Penyelesaian
Persamaan PD- Transfer Function
Aplikasi transformasi laplace
Sifat-sifat transformasi laplace
Metode pecah parsial pada laplace balik
Latihan penyelesaian persamaan PD
Pengertian transfer function Aturan penulisan transfer
function
.3. Model
Matematika Sistem Fisik
- Pengantar Model Matematika
- Diagram Blok- Reduksi Diagram
Blok
Pengertian model Sistem linear dan time
invariant Persamaan transfer function
diagram blok Penyusunan diagram blok Metode penyederhanaan
diagram blok
.4. Model
Matematika Sistem Fisik
- Grafik Aliran Sinyal- Pendekatan ruang
Keadaan - Prinsip Dasar Sistem
Pengaturan
Pengertian Sifat-sifat grafik aliran sinyal Sistem linear dan time
invariant Grafik Aliran Sinyal dalam
Sistem Kontrol Pengertian Metode Ruang
Keadaan Analisis dan Disain Sistem
Pengaturan Pendekatan Disain Sistem
Kontrol
.5. Model
Matematika Sistem Fisik
- Model Matematika Sistem Mekanik
- Model Matematika Sistem Listrik
- Model Matematika Sistem Elektronika
Model matematika sistem translasi
Model matematika sistem rotasi
Model matematika pada rangkaian RC
Model matematika pada motor DC
6. Analisis Respon Transien
- Pengantar Respon Transien
- Analisis Respon transien Sistem Orde Satu
- Analisis Respon transien Sistem Orde Dua
- Analisis Respon transien Sistem Orde Tinggi
Pengertian Sinyal Uji, Kestabilan relatif dan kestabilan mutlak
Respon tangga satuan sistem orde Satu
Kesalahan sistem orde Satu Respon tangga satuan sistem
orde Satu Pengaruh redaman terhadap
kestabilan sistem Penggolongan tanggapan
transien Tanggapan transien sistem
orde tinggi7. Analisis
Respon Transien
- Analisis Kesalahan Keadaan Tunak
- Analisis Respon Transien dengan Mathlab
Penggolongan sistem pengaturan
Kesalahan keadaan tunak Simulasi Mathlab
8. Aksi Kontrol Dasar dan Kontrol Automatik di Industri
- Pengantar Aksi Kontrol Dasar
- Mode Kontroller Dua posisi
- Mode Kontroller P, PI dan PID
Klasifikasi kontroller analog di industri
Kontroller automatik, aktuator, dan sensor
Kontroler beroperasi automatik
Aksi Kontroller dua posisi Aksi Kontroller proporsional Aksi Kontroller Proporsional
+ Integrator Aksi Kontroller Proporsional
+ Integrator + Difrensiator9. Aksi Kontrol
Dasar dan - Analisis aksi dasar
kontrol Simulasi Mathlab
Kontrol Automatik di Industri
10. Analisis Kestabilan Sistem Pengaturan
- Pengantar Kestabilan- Analisis Kestabilan
dengan metode Routh-Hurwitz
Analisis kestabilan pada bidang Kompleks
Kriteria kestabilan Routh Penerapan Kriteria Routh
untuk analisis sistem pengaturan
11. Analisis Kestabilan Sistem Pengaturan
- Pengantar Analisis Root Locus
- Contoh ilustrasi Root Locus
Metode tempat kedudukan akar
Diagram tempat kedudukan akar-akar
Contoh-contoh dalam analisis tempat kedudukan akar-akar
12. Analisis Kestabilan Sistem Pengaturan
- Diagram Bode Diagram fasa pada diagram logaritmik
Analisis kestabilan pada diagram logatmik
DAFTAR ISI
BAB I............................................................................................................................1PENGERTIAN DASAR SISTEM PENGATURAN...................................................1
1.1 Pendahuluan Tentang Pendekatan Sistem......................................................11.2. Prosedur.............................................................................................................11.3. Alat Bantu..........................................................................................................21.4 Simulasi Sistem..................................................................................................21.4.1 Operasi.............................................................................................................21.4.2 Metodologi.......................................................................................................3
BAB II........................................................................................................................10PENGANTAR MATEMATIKA................................................................................10
2.1 Konsep Variabel Kompleks..............................................................................102.1.1 Variabel Kompleks........................................................................................102.1.2 Fungsi Variabel Kompleks............................................................................102.1.3 Fungsi Analitik..............................................................................................112.1.4 Kesingularan dan Pole dari Fungsi................................................................112.1.4 Zero dari suatu Fungsi...................................................................................122.2 Transformasi Laplace.......................................................................................122.3 Sistem Linier Tak Ubah Waktu........................................................................262.3.1. Pendahuluan..................................................................................................262.3.2. Persamaan Diferensial Sistem..................................................................272.3.3 Tanggapan Impuls....................................................................................30
BAB III.......................................................................................................................36MODEL MATEMATIKA SISTEM DINAMIK........................................................36
3.1. Ruang Lingkup................................................................................................363.2. Jenis-Jenis Model.............................................................................................373.2.1. Model Ikonik (Model Fisik).........................................................................373.2.2. Model Analog (Model Diagramatik)............................................................383.2.3. Model Simbolik (Model Matematik)............................................................383.3. Karakteristik Model Matematika.....................................................................393.4. Tahapan Dalam Pemodelan.............................................................................403.4.1. Tahap Seleksi Konsep...................................................................................413.4.2. Tahap Pemodelan..........................................................................................413.4.4. Tahap Validasi..............................................................................................433.4.5. Analisis Stabilitas.........................................................................................453.4.6. Aplikasi Model.............................................................................................453.5.1 Penyederhanaan Diagram Blok.....................................................................483.6.2 Dasar Sistem Reduksi Diagram Blok-Kotak.................................................503.6. Diagram Aliran Sinyal....................................................................................543.7. Model Matematis untuk Sistem Fisik..............................................................603.7.1 Pendekatan Linier dari Sistem Fisis..............................................................623.7.2 Fungsi Transfer untuk Sistem Linier.............................................................65
BAB IV.......................................................................................................................75ANALISIS RESPON TRANSIEN.............................................................................75
4.1. Karakteristik Respon....................................................................................75
4.2. Klasifikasi Respon Sistem...............................................................................754.3. Karakteristik Respon Waktu Sistem Orde I dan Sistem Orde II.....................764.4. Respon Transient dengan Matlab....................................................................86
BAB V........................................................................................................................90AKSI KONTROLER PID..........................................................................................90
Open-loop step response.......................................................................................91Proportional control.............................................................................................92PD control..............................................................................................................94PI control...............................................................................................................95PID control............................................................................................................97
BAB VI.......................................................................................................................99ANALISIS KESTABILAN........................................................................................99
6.1 Stabilitas Routh-Hurwitz..................................................................................996.2 Root Locus......................................................................................................1016.2.1 Pendahuluan.................................................................................................1026.2.2 Plot Root Locus...........................................................................................105
DAFTAR PUSTAKA
Benjamin C. Kuo, (1995), Automatic Control Systems, Prentice Hall, USA
Dorf, Richard C,(1984), Modern Control System, Addison Wesley, CaliforniaOgata,(1997), Teknik Kontrol Automatik, Airlangga JakartaTarmukan,(1995), Teknik Pengaturan otomatis, Pusat pengembangan politeknik
BandungWidodo.R.J, (1996), Sistem Kontrol Dasar, Prenhallindo Jakarta
BUKU AJAR
MATA KULIAHSISTEM PENGATURAN
BUKU AJAR
MATA KULIAHSISTEM PENGATURAN