8
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Status dan Luas Kawasan
Secara geografis letak kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone
(TNBNW) pada posisi antara kawasan Zoogoegrafis Asia dan Zoogeografis
Australia. TNBNW terletak pada garis lintang antara 0o.20’ – 0o.51’ Lintang
Utara(LU) dan 123 o.06’ – 124 o.18’ Bujur Timur (BT).
Secara administratif kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
berada pada dua wilayah provinsi dan dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten
Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Bone Bolango
Provinsi Gorontalo (Gambar 2) sedangkan peta zonasi TNBNW dapat dilihat
pada Gambar 3.
Skala 1 : 2.500.000
http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_Bogani.htm
Gambar 2. Lokasi Penelitian di Sulawesi Utara
Adapun batas-batas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan hutan lindung di wilayah
Kecamatan Sangtombolang (Kabupaten Bolaang Mongondow) Kec. Atinggola
9
Provinsi Gorontalo; sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Dumoga dan
Lolayan (Kab.Bol.Mongondow); sebelah Selatan berbatasan dengan Kec.
Pinolosian dan Bolaang Uki (Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi
Utara); sebelah Barat berbatasan dengan Kec.Tibawa, Suwawa, Tapa, dan
Kabila Provinsi Gorontalo.
PETA ZONASI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONEPETA ZONASI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE
ZonaZona IntiInti : 188.927 Ha: 188.927 HaZonaZona RimbaRimba : 77.250 Ha : 77.250 Ha ZonaZona PemanfaatanPemanfaatan : 20.678 Ha : 20.678 Ha ZonaZona PemanfaatanPemanfaatan : : TradisionalTradisional 260 Ha260 Ha
CA
E
B
D
Gambar 3. Peta Zonasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Skala 1 : 2.500.000
Luas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone seluruhnya
287.115 hektar, dengan perbandingan 177,115 hektar (61,68%) berada di
wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow di bagian timur dan 110.000 hektar
(38,32%) masuk dalam wilayah Kabupaten Bone Bolango di bagian barat. Luas
keliling TNBNW adalah 726 km dan sudah ditata batas. Tata batas di lapangan
dilakukan dengan pemasangan pal batas sebanyak 4990 buah. Berdasarkan
zonasi kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang telah ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
10
(PHPA) nomor 191/Kpts/Dj-VI/197 tanggal 24 Desember 1997, luas kawasan
tersebut adalah sebagai berikut :
Zona inti 188,927 hektar (65,80 %)
Zona rimba 77,250 hektar (26,91 %)
Zona pemanfaatan 20.678 hektar (7,20%)
Zona pemanfaatan Tradisional 260 hektar (0,90 %)
Topografi dan Iklim
Keadaan topografi di kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone
sangat beragam mulai dari datar, bergelombang ringan sampai berat maupun
berbukit terjal dengan ketinggian berkisar antara 50 sampai dengan 1.970 meter
di atas permukaan laut (dpl). Bentang alam kawasan Taman nasional Bogani
Nani Wartabone mulai dari dataran hingga pegunungan memiliki klasifikasi
sebagai berikut :
• Bentang alam datar, dengan kemiringan lereng 0 – 8 %, terdapat di
beberapa tempat yaitu di sekitar hutan Sampaka, kemudian membentang
ke arah Selatan kawasan hutan Matayangan, di sekitar hutan Pinogu, di
sekitar G.Kabila dan G.Tawango.
• Bentang alam berombak, kemiringan 8 – 15 %, terdapat di beberapa
tempat yaitu di sekitar hulu Sungai Kosinggolan, S. Toraut, S. Ilanga, di
sebelah barat hutan enclave Pinogu dan hutan Tulabolo, dan sepanjang
S. Bone.
• Bentang bergelombang, kemiringan 15 – 25 %, terdapat di beberapa
tempat yaitu di hulu S. Mauk membentang ke arah barat hingga di hulu
S.Tumpa dan di sebelah utara hulu S. Lolak dan ke arah barat hulu S.
Ayong kemudian di sebelah selatan G. Ali yaitu di sekitar S.Tombolilato.
• Bentang alam berbukit, kemiringan 25 – 45 %, terdapat di sekitar G.
Mogogonipa,dan di sekitar enclave G. Pinogu menuju arah timur laut.
• Bentang alam bergunung, kemiringan > 45 % terdapat pada beberapa
tempat yaitu di pegunungan Bulawa, puncak G. Kabila membujur ke arah
barat, hulu S. Ayung dan S.Tumpa. Pegunungan Pinutus dengan puncak
G. Pondang membujur ke arah barat sampai di sebelah barat G.
Mogonipa. Pegunungan Sinombayuga dengan puncak G. Poniki ke arah
barat sampai G. Sinombayuga. Pegunungan Bulawa dengan puncak G.
11
Sula, pegunungan Bone dengan puncak G. Pinolobatu. Pegunungan
Parantanaan yaitu di sebelah barat G. Ponimposa membujur ke arah
barat dengan melintasi G. Gambuta dengan Pau-pau. Pegunungan Tilong
Kabila yaitu terletak di sebelah utara Tilamuta membujur ke arah barat
Kondisi topografi kawasan berhutan yang bergelombang yaitu berbukit
berlembah serta memiliki kelerdengan lebih dari 45 % menjadikan fungsi
kawasan taman nasional sebagai daerah pengatur tata air (fungsi hidrologis)
serta menjadi sumber air lahan pertanian seluas ± 10.815 ha di sekitarnya dan
sebagai penahan terjadinya bencana banjir pada daerah hilir.
Di bagian tengah kawasan ini terletak Gunung Sinombayuga yang
merupakan puncak tertinggi (± 1.970 m) membujur dari arah utara – selatan yang
sekaligus membelah jaringan Daerah aliran sungai (DAS) Bone dan Dumoga.
Gunung-gunung yang lain adalah G.Pau-Pau (± 1.921 m) dan G.Gambuta (±
1.954 m) dan G.Sulo (± 1.750 m) membelah jaringan wilayah Bone dan Sangkup
serta G.Ali (± 1.495 m) antara Bone dan Bone Pantai. Beberapa gunung yang
lerengnya mengarah ke Sungai Kosinggolan di Kabupaten Bolaang Mongondow
yaitu G.Sinombayuga (± 1.970 m), G.Poniki (± 1.817 m), G.Padang (± 1.370 m).
bagian kawasan yang terendah pada Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
terdapat di wilayah Lolak dengan ketinggian ± 50 meter di atas permukaan laut.
Keadaan iklim di wilayah kawasan Taman nasional Bogani Nani
Wartabone menurut Schmidt dan Verguson termasuk dalam tipe A, B, dan C.
Curah hujan umumnya tersebar merata sepanjang tahun dengan periode relatif
basah antara bulan November – Januari dan Maret – Mei. Masa kering bulan
Agustus – September (Tabel 1). Arah angin dan topografi yang bergunung di
wilayah ini sering mempengaruhi curah hujan lokal terutama jumlah total hujan
meskipun dalam jarak dekat. Sebagai contoh di wilayah bagian tengah dan utara
(Dumara dan Toraut) curah hujannya tinggi karena pengaruh angin timur laut
sedangkan di wilayah Doloduo dan Kosinggolan relatif lebih kering karena
pengaruh angin barat daya. Secara umum di lembah Dumoga curah hujan rata-
rata antara 1.700 – 2.200 mm per tahun, sedangkan di wilayah Gorontalo rata-
rata 1.200 mm per tahun. Adapun suhu udara rata-rata 20 o – 28 C o.
Sesuai dengan lokasi dan kondisi topografinya kawasan TNBNW,
sebagaian besar merupakan hulu sungai yang mengalir ke arah utara, selatan,
ke barat maupun ke timur. Beberapa daerah aliran sungai di TNBNW yaitu :
12
DAS Ongkag – Dumoga dan DAS Mongondow yang sebagaian besar wilayahnya
terdapat di Kabupaten Bolaang Mongondow. Sungai-sungai yang mengalir ke
arah timur yaitu : S.Toraut, S. Tumpa, S. Kosinggolan dan S. Binuanga di wilayah
Bolaang Mongondow. Sungai-sungai yang mengalir ke arah selatan yaitu:
S.Pinolosian, S. Sulango, S.Toludaa di wilayah Bolaang Mongondow serta S.
Tombolilato, S. Bilunggala di wilayah Gorontalo. Sungai-sungai yang mengalir ke
arah barat yaitu : S. Bone, S. Palanggua, dan S. Lolio di wilayah Gorontalo.
Tabel 1. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di sekitar TNBNW (Tahun 1996 -2003)
Tahun (mm) Bulan
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
123
203
305
241
195
326
284
559
558
641
820
164
341
751
305
315
827
267
348
352
199
139
222
262
47
54
92
14
66
3
24
-
-
14
40
61
17
16
62
89
132
171
20
85
77
46
137
116
304
157
610
332
621
315
295
165
91
152
201
185
809
1.018,5
1.132,5
2.594
1.091,8
625,4
721,5
829,5
609
1.524,5
1.027
943,5
1.766
2.250
819
842
648,5
1.451
557
514,5
751
424,5
3.377
3.519
579
19
72,6
42,4
35,3
144
7,16
2,16
0,73
38,93
-
-
Sumber : Bolaang Mongondow dalam angka 2003
Saat ini di beberapa sungai telah dibangun bendungan yang digunakan
untuk irigasi. Bendungan-bendungan tersebut yaitu bendungan Kosinggolan dan
Toraut di wilayah kecamatan Dumoga, bendungan Lolak di kecamatan Labuan
Uki yang ketiganya berada di Kabupaten Bolaang Mongondow. Sedangkan di
sungai Bone Kabupaten Gorontalo masih dalam perencanaan untuk dibangun
jaringan irigasi. Adanya bendungan Kosinggolan dan Toraut, kecamatan Dumoga
pada saat ini merupakan lumbung beras andalan Provinsi Sulawesi Utara, dan
merupakan daerah sentral ekonomi yang penting bagi Kabupaten Bolaang
Mongondow.
13
Keadaan Tanah
Tanah dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berasal
dari bahan vulkanis seperti dijumpai di bagian timur dan tengah dan sebagaian
asam seperti di daerah Bone. Tanah berasal dari bahan sedimen dijumpai di
bagian utara dan selatan Dumoga. Formasi kaolin yang merupakan bahan
keramik dapat dijumpai di daerah Molibagu. Jenis tanah yang terdapat di
kawasan ini antara lain latosol, podsolik, renzina, alluvial dan andosol. Formasi
batuan vulkanis terdapat di sebelah timur dan selatan lembah Dumoga
membentuk rangkaian pegunungan ke pantai utara di Labuan Uki. Sedang di
bagian selatan di Gunung Mogogonipa membentuk gunung-gunung kecil yang
terdiri dari batuan lava, konglomerat dan breccia.
Potensi Kawasan TNBNW
Kawasan TNBNW memiliki keanekaragaman ekosistem yang menarik
dan mempunyai tingkat keendemikan flora dan fauna yang tinggi. Hal ini
disebabkan oleh kisaran ketinggian tempat yang beragam mulai dari 50 – 1970 m
dpl. Hampir seluruh kawasan TNBNW ditutupi oleh hutan dataran rendah dan
hutan pegunungan bawah, namun dengan tingkat kelerengan yang tinggi
ditunjang dengan kondisi tanah subur yang tipis, membuat kanopi atau tegakan
tampak rendah dan sedikit terbuka. Pada kawasan TNBNW ditemukan 4(empat)
tipe ekosistem yang utama, yaitu hutan sekunder, hutan hujan dataran rendah
(hutan pamah), hutan hujan pegunungan rendah, dan hutan lumut.
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Keberadaan penduduk yang berada di sekitar taman nasional mempunyai
peranan penting terhadap keberadaan taman nasional. Hal ini disebabkan
karena salah satu fungsi taman nasional sebagai pengatur hidrologis dan
penyangga sistem kehidupan. Masyarakat yang berada di sektar taman nasional
hampir seluruhnya tinggal di desa-desa yang memiliki sarana dan prasarana
yang terbatas. Jarak antara desa ke ibukota kabupaten berjarak 30 – 80 km.
Data tahun 2003 menyebutkan jumlah penduduk yang ada di sekitar taman
nasional, keseluruhan berjumlah 326.545 orang, terdiri dari 168.221 laki-laki dan
158.324 perempuan dengan laju pertumbuhan per tahun 1,4% (BPS, 2003).
14
ANALISIS VEGETASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE
ABSTRAK
Sebagai salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone yang ditetapkan pada tahun 1991 dengan luas 287.115 hektar mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, fungsi pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan alam dan satwa liar, serta fungsi pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui struktur vegetasi, komposisi dan keanekaragaman floristik di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Manfaat penelitian, sebagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah (PEMDA) setempat dalam penyusunan pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, dan dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Berdasarkan inventarisasi pada petak-petak di 5 lokasi TNBNW tercatat sebanyak 307 jenis flora yang tergolong kedalam 288 marga dan 165 suku. Komposisi floristik hutan Doloduo, G.Kabila, Torout, Matayangan dan Tumokang di TNBNW menunjukkan banyak kesamaan, dengan keanekaragaman yang cukup tinggi. Lokasi Gunung Kabila mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,98) untuk tingkat semai atau tumbuhan bawah, dan tingkat sapihan (3,82) sedangkan untuk tingkat tiang dan flora tingkat pohon, lokasi hutan Tumokang mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi yaitu (3,73) dan (3,81).
ABSTRACT As one of natural conservation area, Bogani Nani Wartabone National
Park that established in 1991, is 287.115 hectare in width and has three major functions that are living buffer sistem protection, diversity preservation for plant and wild animal, and sustainable use of natural resources and the ecosistem. The objectives of research are to study vegetation structure, composition and floristik diversity in Bogani Nani Wartabone National Park. The research was expected useful as input for the government, particularly Forestry Departemen and lokal government in order to make a management plan for Bogani Nani Wartabone National Park, and for biodiversity conservation activities in Indonesia. According to stocktaking on plots for 5 locations, TNBNW has 307 kind of flora that classified into 288 genus and 165 families. Forest floristik composition for Doloduo,M. Kabila, Torout, Matayangan and Tumokang in TNBNW high degree of similarities, with sufficient high of diversity. Kabila mountain shows the highest diversity index (3,98) for seedling level or low plant, and sapling level (3,82) while for pole level and tree level, Tumokang forest has the highest diversity index namely 3,73 and 3,81.
Key word : Vegetation analysis, Flora, Bogani Nani Wartabone National Park
15
PENDAHULUAN
Indonesia dengan kekayaan sumberdaya alamnya yang melimpah
termasuk keanekaragaman jenis flora dan faunanya sudah selayaknya disebut
sebagai negara “Mega biodiversity” .Keanekaragaman hayatinya terbesar ketiga
di dunia setelah Brazil dan Colombia (McNeely,1990). Satari (1994)
mengemukakan bahwa Indonesia memiliki hutan tropik seluas 120 juta hektar
yang dikenal sebagai komunitas yang paling kaya akan keanekaragaman flora
dan fauna serta merupakan gudang plasma nutfah endemik yang dapat
dimanfaatkan untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Zuhud (1994), mengatakan bahwa di dalam hutan Indonesia terdapat
25.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut baru 20 % atau 5000 jenis yang
sudah dimanfaatkan dalam berbagai pemanfaatan termasuk 1260 jenis yang
dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Selanjutnya Direktorat Tanaman
Sayuran, Hias, Aneka Tanaman (2002) mengemukakan bahwa hutan tropika
Indonesia memiliki kekayaan jenis palem (Arecaceaee) terbesar di dunia,
memiliki 400 spsies anggota famili Dipterocarpaceae, primadona kayu tropika.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa hutan tropis Indonesia merupakan
sumberdaya alam bahan kimia yang masih menunggu untuk dievaluasi guna
menemukan bahan-bahan kimia baru yang potensial untuk bio-industri farmasi,
pertanian, dan sebagainya.
Sebagai konsekwensinya, Indonesia mendapat tantanggan yang sangat
berat untuk memelihara kekayaan sumberdaya hayati tersebut dan
mengembangkan peranannya bagi pembangunan. Sampai saat ini untuk
keperluan pembangunan, Indonesia masih bertumpu kepada pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada.
Untuk mengelola keanekaragaman hayati secara optimal, diperlukan
strategi yang disusun berdasarkan pada potensi keanekaragaman hayati dan
permasalahan yang dihadapinya. Strategi yang dapat dikembangkan mencakup
tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu : mengamankan (save it), mempelajari
(study it) dan memanfaatkan (use it) (Alikodra,1992).
Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone (TNBNW) yang merupakan
salah satu kawasan hutan tropis Indonesia telah sejak lama menjadi pusat
perhatian para ahli botani maupun Zoologi dari seluruh dunia atas keunikan dan
16
kekhasan flora dan faunanya karena kawasan tersebut merupakan peralihan
antara Zona Malaysia dan Australia yang dikenal dengan "Wallacceae Area".
Sebagai salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, Taman nasional
Bogani Nani Wartabone yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No.1068/Kpts-II/1992 tanggal 18 november 1992 dengan luas
kawasan 287.115 hektar. Secara geografis terletak antara 0025’ – 0044’ LU dan
16024’ – 16040’ BT. Sedangkan secara administrative pemerintahan terletak di
dua wilayah yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow dan Provinsi Gorontalo.
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, fungsi pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan alam dan satwa liar, serta fungsi pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone merupakan habitat
dari 127 jenis mamalia Sulawesi, 79 (62%) di antaranya merupakan jenis
endemik, juga terdapat 235 jenis burung darat, 84 jenis (36%) di antaranya unik;
dan dari 104 jenis reptilia, 29 (28%) di antaranya endemik Sulawesi; 17 dari 38
(45%) jenis tikus asli; 20 dari 24 (83%) jenis kelelawar buah. Inilah yang
membuat kawasan ini merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di
dunia secara umum dan khusus Sulawesi bagi keanekaragaman biologi atau
keanekaragaman hayati (Lee R.J. et al. 2001 ).
Penelitian di kawasan ini telah banyak dilakukan namun lebih banyak
terfokus pada fauna dibanding floranya, sehingga data mengenai floranya masih
terbatas. Padahal menurut Whitmore (1989) di kawasan Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone terdapat sekitar 27 suku,40 marga dan 76 jenis pohon endemik.
Sedangkan dalam Kinnaird(1995) dikatakan bahwa di kawasan ini juga terdapat
5000 jenis tumbuhan yang belum diketahui secara pasti penyebaran dan
kelimpahannya.
Melihat kekayaan dan potensi yang tersimpan di dalam kawasan
TNBNW, sudah seharusnya dilakukan upaya bioprospeksi. Bioprospeksi pada
prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi, dan
pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan
materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi.
Kegiatan ini penting untuk mendokumentasi sumberdaya genetik
keanekaragaman hayati sebelum ada pihak lain yang tidak bertanggung jawab
mengeksploitasi habis kekayaan tersebut, sekaligus mencari sumber bagi
17
keuntungan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu keanekaragaman, struktur
dan komposisi vegetasi sebagai komponen utama habitat perlu dikaji dan
dianalisa.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dilakukan penelitian untuk
mengetahui struktur vegetasi, komposisi dan keanekaragaman flora dI sekitar
kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur vegetasi, komposisi
dan keanekaragaman floristik guna pengelolaan tingkat ekosistem, spesies dan
gen di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone .
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi
pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah
(PEMDA) setempat dalam penyusunan pengelolaan Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone,dan dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di
Indonesia.
Hipotesis
Penelitian ini dilandasi hipotesis, bahwa Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone memiliki keanekaragaman flora yang tinggi.
18
TINJAUAN PUSTAKA
Flora merupakan kumpulan jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu
daerah tertentu, sedangkan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas
individu-individu jenis atau kumpulan populasi jenis disebut vegetasi (Samingan
1989). Menurut Kusmana (1989), bentuk suatu vegetasi merupakan pencerminan
dari iklim, tanah, topografi, dan ketinggian yang saling berinteraksi. Setiap jenis
tumbuhan membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik untuk dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu
akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi jenis tumbuhan terutama
dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan jenis lain serta kondisi
pertumbuhan yang berbeda dengan jenis lainnya. Interaksi dari faktor-faktor
lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator penduga sifat lingkungan
yang bersangkutan (Setiadi et al., 2001).
Aspek penting dalam analisis vegetasi adalah struktur dan komposisi
tumbuhan pada suatu wilayah penelitian. Dalam mengungkapkan struktur dan
komposisi vegetasi, metode sampling yang paling popular digunakan adalah
metode kuadrat atau metode plot atau petak ukur karena dianggap lebih
representatif dibandingkan dengan metode lain. Dalam penerapan metode
kuadrat, ukuran dan jumlah kuadrat merupakan faktor penting yang
mempengaruhi tingkat kepercayaan hasil analisis vegetasi tersebut. Ukuran
kuadrat minimal menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) khusus untuk
zona temperate adalah 200 – 500 m2. Menurut Richards (1964), untuk kawasan
hutan hujan tropika penerapan petak ukur tunggal telah dapat dilakukan dengan
hasil yang representatif jika luasnya hanya mencapai 1,5 ha, bahkan menurut
Soerianegara dan Indrawan (1984) petak ukur seluas 0,6 ha sudah cukup
mewakili kawasan hutan hujan tropika yang diteliti. Ukuran kuadrat minimal pada
ekosistem yang berbeda-beda harus disesuaikan dengan kondisi lingkungannya.
Struktur dan komposisi komunitas merupakan salah satu aspek penting untuk
mengungkapkan bagaimana kondisi suatu komunitas tersebut dalam sistem
kehidupan terutama organisasi populasi dan interaksinya masing-masing.
Struktur tumbuhan merupakan organisasi dimana individu-individu membentuk
suatu tegakan atau perluasan suatu tipe tegakan membentuk asosiasi secara
keseluruhan. Elemen penting dalam struktur tumbuhan adalah bentuk
pertumbuhan (Growth form), stratifikasi dan penutupan tajuk (coverage) (Mueller-
19
Dombois dan Ellenberg ,1974). Lebih lanjut Kershaw (1964) membedakan tiga
komponen struktur vegetasi yaitu : (1) struktur vertikal (stratifikasi ke dalam
lapisan-lapisan menurut ketinggian), (2) struktur horizontal yaitu distribusi ruang
areal populasi dan masing-masing individu, (3) jumlah struktur yaitu kelimpahan
masing-masing jenis dalam komunitasnya.
Secara umum hutan hujan tropika memiliki ciri yang hampir sama yaitu :
(1) iklimnya selalu basah, (2) tanahnya kering dengan berbagai jenis tanah (3)
berlokasi di daerah pedalaman dataran rendah atau berbukit ( <1000 m dpl) atau
pada dataran tinggi sampai dengan 4000 m dpl, (4) secara umum dapat
dibedakan menjadi tiga zona menurut ketinggian tempatnya yaitu : hutan hujan
bawah (2 – 1000 m dpl) ; hutan hujan tengah (1000 – 3000 m dpl) dan hutan
hujan atas (3000 – 4000 m dpl), (5) Pada hutan hujan bawah, jenis yang
dominan adalah yang tergolong marga shorea, Hopea, Dipterocarpus , Vatica,
Dryobalanops, Agathis, Altingia, Dialicum, Duabanga, Dyera, Goosampium,
Kooompassia, dan Octomeles. Pada hutan hujan tengah, jenis pohon yang
umum ditemukan adalah anggota suku Lauraceae, Fagaceae, Magnoliaceae,
Hammalidaceae, Ericaceae dan sebagainya. Khusus untuk hutan hujan atas,
keragaman jenisnya rendah tetapi kerapatan jenisnya makin tinggi dan
pertumbuhannya terhambat sehingga menjadi kerdil.
Tipe hutan hujan dataran Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
ditemukan pada ketinggian mulai dari 300 – 1000 m dpl, dan umumnya terdapat
batuan vulkanis. Keragaman vegetasi sangat tinggi sehingga sulit ditemukan
jenis-jenis yang dominan. Jenis tumbuhan berkayu yang menonjol dalam
kawasan yaitu, kayu hitam (Diospyros celebica), kayu batu (Koordersidendron
pinatum), kayu Linggua (Pterocarpus indicus), dan kayu cempaka (Elmerillia
ovalis). Jenis tumbuhan bawah yang menutupi permukaan tanah antara lain jenis
pandan, palma, rotan, dan jenis-jenis tumbuhan merambat dan pemanjat lainnya.
Pada vegetasi hutan hujan dataran rendah ini juga ditemukan tumbuhan dari
suku Lauraceae (seperti Garcinus sp), anggota suku Myristicaceae, suku
Anacardiaceae (seperti Dracontomelon dao, Swintonia sp, Spondias sp), suku
Sapotaceae (misalnya, jenis Palagium sp), serta suku Sterculiaceae (seperti
Scepium sp., Pterospermum sp, dan Heritria sp. (Lee, 2001).
Tipe vegetasi yang umum ditemukan pada ketinggian antara 1000 – 1600
m dpl, adalah vegetasi yang mempunyai kanopi yang rendah dan sedikit terbuka,
umumnya ditumbuhi jenis Nibong (Livistonya rotundivolia), Palem berduri
20
(Pigafeta ciliaris). Khusus vegetasi bawah banyak ditumbuhi oleh berbagai jenis
tumbuhan lainnya seperti jenis rotan, pandan, dan paku-pakuan. Sedangkan
hutan lumut umumnya ditemukan pada ketinggian di atas 1600 m dpl, dan
terletak di daerah pegunungan. Penyebarannya merata, hampir terdapat di
semua pegunungan tinggi yang ada dalam kawasan TNBNW.
Beberapa Daerah Aliran Sungai di TNBNW yaitu : DAS Ongkag –
Dumoga dan DAS Mongondow yang sebagaian besar wilayahnya terdapat di
Kabupaten Bolaang Mongondow. Sungai-sungai yang mengalir ke arah timur
yaitu : S.Toraut, S.tumpa, S.Kosinggolan dan S.Binuanga di wilayah Bolaang
Mongondow. Sungai-sungai yang mengalir ke arah selatan yaitu : S. Pinolosian,
S. Sulango, S.Toludaa di wilayah Bolaang Mongondow serta S. Tombolilato, S.
Bilunggala di wilayah Gorontalo. Sungai-sungai yang mengalir ke arah barat
yaitu : S. Bone, S. Palanggua, dan S.Lolio di wilayah Gorontalo.Saat ini di
beberapa sungai telah dibangun bendungan yang digunakan untuk irigasi.
Bendungan-bendungan tersebut yaitu bendungan Kosinggolan dan Toraut di
wilayah kecamatan Dumoga, bendungan Lolak di kecamatan Labuan Uki yang
ketiganya berada di Kabupaten Bolaang Mongondow. Sedangkan di sungai
Bone Kabupaten Gorontalo masih dalam perencanaan untuk dibangun jaringan
irigasi. Adanya bendungan Kosinggolan dan Toraut, kecamatan Dumoga pada
saat ini merupakan lumbung beras andalan Provinsi Sulawesi Utara, dan
merupakan daerah sentral ekonomi yang penting bagi Kabupaten Bolaang
Mongondow.
21
METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian : Penelitian dilaksanakan pada lima lokasi (Gambar 4) yang dipilih
berdasarkan observasi lapangan dengan pertimbangan tertentu yaitu lokasi yang
berada dalam kawasan TNBNW. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli
2005 sampai dengan Agustus 2006.
Gambar 4. Lokasi Pengambilan Sampel di TNBNW
Bahan Penelitian
Peralatan yang digunakan yaitu (1) untuk inventarisasi,seperti : kompas,
teropong, pita ukur, alat pengukur tinggi pohon (haga meter). Altimeter,
clinometer, parang dan tali; (2) Peralatan pembuatan herbarium jenis flora ,
seperti : alkohol, kantong plastik, label, sasak bambu dan kertas karton. (3)
Daftar questioner responden; (4) Peralatan dokumentasi, seperti : kamera dan
negatif film; (5) Alat Tulis Kantor (ATK)
Pengumpulan Data Komposisi Flora
Data flora diperoleh dengan cara analisis vegetasi dengan metode
analisis strip sampling (jalur berpetak) dengan skema pada Gambar 5.
C A D
B
E
Keterangan: A. Doloduo, B. Torout, C. Tumokang, D. Matayangan, E. G.Kabila
22
C
B dst
B
C
Gambar 5. Jalur dan petak ukur
Dalam setiap petak dilakukan identifikasi flora tingkat semai atau tumbuhan
bawah, sapling, tiang dan pohon dengan menggunakan kategori pengelompokan yang
disarankan Wyatt dan Smith (1963) yaitu :
a. Petak ukur 20 m x 20 m untuk tumbuhan tingkat pohon, liana dan epifit.
b. Petak ukur 10 m x 10 m untuk tingkat tiang.
c. Petak ukur 5 m x 5 m untuk tumbuhan tingkat pancang dan semak.
d. Petak ukur 2 m x 2 m untuk tumbuhan tingkat semai dan herba.
Pohon adalah tumbuhan berkayu yang berdiameter setinggi dada(dbh CФ) >35
cm, tiang berdiameter 10 – 35 cm, sapihan berdiameter < 10 cm dan tingginya >1,50 m,
sedangkan semai atau tumbuhan bawah tingginya <1,50 m (Wyatt dan Smith, 1963).
Tingkat sapihan, tiang, dan pohon dihitung jumlah, kerapatan, frekwensi, tingginya dan
diameter. Sedangkan untuk tingkat semai atau tumbuhan bawah dicatat jenis dan
jumlahnya. Identifikasi jenis flora yang tidak diketahui nama ilmiahnya, dilakukan
pembuatan herbarium dan selanjutnya dilakukan identifikasi di Herbarium Bogoriense,
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi LIPI Bogor.
Analisis Data
Parameter ekologi yang diukur pada lokasi penelitian antara lain kerapatan,
frekwensi, dominansi dan indeks nilai penting pada masing-masing tumbuhan, indeks
diversitas dan indeks kemerataan.
Pengukuran kerapatan mutlak dilakukan. Nilai kerapatan mutlak dan kerapatan relatif
masing-masing jenis ditentukan dengan menggunakan rumus :
AA
23
phn/ha)(contohplot luas
jenisper pohon Jumlah (KMi) i jenismutlak Kerapatan =
100% x jeniskerapatan Jumlah jenismutlak Kerapatan (KRi) i jenis relatifKerapatan =
Pengukuran nilai frekwensi mutlak dan frekwensi relatif masing-masing jenis ditentukan
dengan menggunakan rumus :
100% x jenisseluruh plot Jumlah
i jenis diduduki yangplot Jumlah (FMi) i jenismutlak Frekwensi =
100% x jenis jenisseluruh Frekwensi Total
i jenismutlak Frekwensi (FRi) i jenis relatif Frekwensi =
Pengukuran nilai dominansi mutlak dan dominansi relatif masing-masing jenis
ditentukan dengan menggunakan rumus :
100% x contohplot Luas
jenisdasar bidang Luas (DMi) i jenismutlak Dominansi =
100% x jenisseluruh Dominansi Total
i jenismutlak Dominansi (DRi) i jenis relatif Dominansi =
Menghitung INP masing-masing jenis dengan cara menjumlahkan nilai kerapatan relatif,
frekwensi relatif dan dominansi relatif masing-masing jenis. Rumus yang digunakan
adalah :
INPa = KRa + FRa + DRa
Dimana :
INP = Indeks Nilai Penting jenis tertentu
KR = Nilai kerapatan relatif jenis tertentu
FR = Nilai frekwensi relatif jenis tertentu
DR = Nilai dominansi relatif jenis tertentu
Perhitungan indeks diversitas dilakukan dengan menggunakan persamaan untuk
menentukan indeks Shannon – Wienner sebagai berikut :
pipiHe∑
=
=s
1ilog - '
Dimana :
H’ = nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
pi = proporsi anatara individu jenis
Loge = logaritme alami pi
s = Jumlah jenis dalam komunitas
24
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Komposisi floristik
Berdasarkan inventarisasi pada petak-petak di lima wilayah Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone, tercatat 301 jenis flora yang tergolong
kedalam 46 suku dan 114 marga. Vegetasi berhabitus semai 142 jenis, sapihan
144 jenis, tiang 110 jenis dan pohon 131 jenis. Rincian komposisi floristik dapat
dilihat pada Tabel Lampiran 1.
Komposisi jenis flora pada setiap lokasi cukup bervariasi. Tingkat semai
dan tumbuhan bawah, kekayaan jenis tertinggi adalah hutan Tumokang dan
terendah adalah hutan Torout. Tingkat sapihan, kekayaan jenis tertinggi adalah
Di hutan Tumokang dan terendah adalah hutan Doloduo. Sedangkan untuk
tingkat tiang, kekayaan jenis tertinggi adalah hutan Doloduo dan terendah adalah
hutan G.Kabila. Tingkat pohon, kekayaan jenis tertinggi adalah hutan Tumokang
dan terendah adalah hutan Doloduo. Hutan Doloduo merupakan wilayah yang
memiliki kekayaan jenis terendah. Komposisi dan struktur tumbuhan nilainya
bervariasi pada setiap jenis karena adanya perbedaan karakter masing-masing
pohon. Kimmins (1987) mengemukakan bahwa variasi struktur dan komposisi
tumbuhan dalam suatu komunitas dipengaruhi antara lain oleh fenologi
tumbuhan, dispersal dan natalitas. Selanjutnya dikemukakan bahwa
keberhasilan menjadi individu baru dipengaruhi oleh fertilitas yang berbeda dari
setiap spesies sehingga terdapat perbedaan struktur dan komposisi masing-
masing spesies . Adapun rincian komposisi jenis menurut tingkatan flora dapat
dilihat pada Tabel Lampiran 2 - 21.
Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dari suatu komunitas. Perbedaan
jumlah jenis pada setiap tipe ekosistem pada dasarnya disebabkan oleh dua hal
utama yaitu faktor cahaya dan ketinggian tempat dari permukaan laut.
Berdasarkan kebutuhan dan adatasi tumbuhan terhadap radiasi matahari, pada
dasarnya tumbuhan dibagi dalam dua kelompok yaitu (1) sciophytes/shade
jenis/shade loving, yaitu jenis tumbuhan yang tumbuh baik pada tempat yang
ternaungi dengan intensitas cahaya matahari rendah; (2) heliophytes/sun
jenis/sun loving, yaitu jenis tumbuhan yang tumbuh baik pada intensitas cahaya
matahari penuh. Tumbuhan ini tidak dapat tumbuh baik pada tempat yang
ternaungi (Sugito, 1994).
25
Menurut Whitmore (1986) stratifikasi hutan terdiri atas lima strata, yaitu
Stratum A yang ditempati oleh jenis pohon besar dengan tajuk yang mencuat
(emergence), stratum B ditempati oleh pohon-pohon dengan tajuk yang lebih
rendah, stratum D ditempati oleh anakan pohon, dan stratum E ditempati oleh
tumbuhan herba dan semai yang menutupi lantai hutan. Loveles (1989)
menyatakan vegetasi yang paling lebat hanya akan ditemukan di tempat-tempat
yang kelembaan tanahnya tinggi dengan drainase yang cukup baik.
Penyederhanaan dalam struktur komunitas akan mulai tampak dalam vegetasi,
bila kelembaban tidak memadai untuk pertumbuhan optimal sepanjang tahun.
Lebih lanjut Richards (1964) mengemukakan bahwa secara umum komposisi
jenis hutan tropik adalah campuran, dengan asosiasi tanpa dominansi tunggal.
Jumlah populasi dominan berkisar antara satu sampai enam jenis. Jumlah ini
berbeda antara satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Profil ekologi mengikuti ketinggian tempat dari atas permukaan laut.
Perbedaan ketinggian tempat dari permukaan laut akan berpengaruh terhadap
faktor-faktor iklim lainnya, seperti suhu, kelembaban, penyinaran maupun curah
hujan. Perbedaan komponen iklim ini akan berpengaruh terhadap lingkungan
hidup suatu jenis tumbuhan (Sitompul dan Guritno, 1995). Pada lapisan atmosfir
bumi, suhu makin rendah dengan bertambahnya ketinggian tempat. Hal ini
karena udara merupakan penyimpan panas terburuk, sehingga suhu udara
sangat dipengaruhi oleh permukaan bumi tempat persentuhan antara udara
dengan daratan dan lautan. Akibatnya suhu udara akan turun menurut ketinggian
baik di atas lautan maupun daratan. Rata-rata penurunan suhu udara di
Indonesia sekitar 5–6 0C setiap kenaikan 100m di atas permukaan laut (Handoko
1995). Di samping itu perbedaan ketinggian tempat di atas permukaan laut (dpl)
dapat menimbulkan perbedaan cuaca dan iklim secara keseluruhan pada tempat
tersebut, terutama suhu, kelembaban, dan curah hujan. Unsur-unsur tersebut
banyak dikendalikan oleh letak lintang ketinggian, jarak dari laut , topografi, jenis
tanah dan vegetasi (Miller 1976). Bertambahnya ketinggian tempat dari
permukaan laut menyebabkan tekanan udara menjadi berkurang (Threwartha
1968) yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pergerakan udara (angin).
Kecepatan angin akan meningkat dengan bertambahnya ketinggian. Dataran
tinggi selain berpengaruh terhadap tekanan udara dan suhu, juga berpengaruh
terhadap curah hujan. Umumnya dataran tinggi memiliki frekwensi, penyebaran
serta jumlah curah hujan yang lebih besar serta berbeda nyata bila dibandingkan
26
0
10
20
30
40
50
60
70
80
Doloduo G.Kabila Torout Matayangan Tumokang
PohonTiangSapihanSemai
dengan dataran rendah (Barry dan Chorley 1976). Perbedaan komponen-
komponen iklim tersebut yang menyebabkan terjadi perbedaan jumlahjenis
tumbuhan pada setiap tipe iklim ekosistem yang diamati.
Keanekaragaman jenis yang tinggi merupakan indikator dari kemantapan
atau kestabilan dari suatu lingkungan pertumbuhan. Menurut Odum (1993)
Kestabilan yang tinggi menunjukkan tingkat kompleksitas yang tinggi, hal ini
disebabkan terjadinya interaksi yang tinggi pula sehingga akan mempunyai
kemampuan lebih tinggi dalam menghadapi gangguan terhadap komponen-
komponennya. Selanjutnya Walter (1971) menyatakan bahwa di dalam
lingkungan yang tidak menunjukkan adanya faktor khusus, maka komunitas yang
menduduki lingkungan yang bersangkutan akan menunjukkan tingkat
keanekaragaman jenis yang tinggi.
Berdasarkan hasil pengamatan pada ke lima lokasi penelitian, analisis
terhadap jumlah jenis yang ada dalam berbagai tingkat flora, terlihat bahwa
secara umum jumlah jenis tingkat semai dan tumbuhan bawah di kelima wilayah
mempunyai jumlah jenis yang paling tinggi, selanjutnya jumlah jenis tersebut
berkurang untuk tingkat sapihan, tiang dan tingkat pohon. Keadaan tersebut
terlihat pada Gambar 6. Hal ini menunjukkan pola umum vegetasi hutan tropik
yang senantiasa mengalami proses dinamika. Hal ini memunjukkan bahwa flora
TNBNW masih mencerminkan struktur hutan tropik, seperti yang diungkapkan
(Ogawa et al., 1965; Yamada, 1975).
Gambar 6. Komposisi Floristik di TNBNW
27
Hasil tersebut sejalan pandangan Ludwig dan Reynold (1988) bahwa pola
penyebaran tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi dan disebabkan karena
beberapa faktor yang saling berinteraksi anatara lain: (1) faktor vektorial
(intrinsic) yaitu faktor lingkungan internal seperti angin, ketersediaan air, dan
intensitas cahaya, (2) faktor kemampuan reproduksi, (3) faktor sosial yang
menyangkut fenologi tumbuhan, (4) faktor koaktif yang merupakan dampak
interaksi intrasoesifik dan (5) faktor stokhastik yang merupkan hasil variasi
random beberapa faktor yang berpengaruh.
Penyebaran tumbuhan di kawasan TNBNW untuk tingkat pertumbuhan
bawah dan pohon relatif kurang merata dibandingkan dengan tingkat sapihan
dan tingkat tiang. Hal ini disebabkan karena tumbuhan tingkat bawah jenis
tertentu penyebarannya lebih terkonsentrasi pada tempat (ekosistem) tertentu
saja. Sedangkan untuk tingkat pohon lebih dipengaruhi oleh tingkat kerusakan
akibat penebangan oleh masyarakat di sekitar kawasan. Kawasan hutan yang
letaknya berdekatan dengan pemukiman seperti Doloduo, Torout, dan
Matayangan tingkat kerusakan akibat penebangan pohon lebih tinggi
dibadingkan daerah lain. Tumbuhan tingkat sapihan dan tingkat tiang
penyebarannya relatif merata karena pemanfaatan tumbuhan pada fase ini jaran
terjadi. Menurut Barbour et al. (1987), agihan individu setiap jenis disebut dengan
kemerataan jenis atau ekuibilitas jenis. Kemerataan menjadi maksimum bila
suatu jenis mempunyai jumlah individu yang sama. Kemerataan dan kekayaan
jenis merupakan hal yang berbeda, meskipun keduanya sering berkorelasi
positif. Namun gradient lingkungan dapat menurunkan kekayaan jenis disertai
peningkatan keanekaragaman.
Jenis tertentu dengan pola penyebaran berkelompok disebabkan karena
pada umumnya biji dari setiap tumbuhan pada umumnya akan jatuh sekitar
pohon induknya sehingga jika kondisi lain menunjang maka regenerasi berupa
tumbuhnya anakan baru akan terjadi di sekitar pohon induknya. Jenis yang
mengelompok seperti ini umumnya agen dispersalnya berupa angin sehingga
jika ukuran buah/biji relatif besar, tidak dapat menyebar dalam radius yang lebih
jauh. Jenis pohon yang pola distribusi spasialnya regular umumnya menyebar
dengan bantuan hewan (Zoochori) atau manusia (anthropochori) sehingga dapat
menyebar dengan pola regular pada lokasi penelitian.
28
Nilai kerapatan setiap jenis pada setiap lokasi penelitian (Tabel 2)
menunjukkan variasi yang mencolok. Nilai kerapatan merupakan gambaran
jumlah individu spesies bersangkutan pada satuan luas tertentu. Meskipun
demikian nilai kerapatan belum dapat menggambarkan tentang bagaimana
distribusi dan pola penyebaran tumbuhan yang bersangkutan pada lokasi
penelitian. Gambaran distribusi individu pada pada suatu jenis tertentu dapat
dilihat pada nilai frekwensinya sedangkan pola penyebaran dapat ditentukan
dengan membandingkan nilai tengah spesies tertentu dengan variasi populasi
secara keseluruhan. Nilai besaran yang menyatakan derajat penyebaran jenis di
dalam komuniasnya disebut frekwensi. Nilai frekwensi diperoleh dengan melihat
perbandingan jumlah dari petak-petak yang diduduki suatu jenis terhadap
keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh dalam analisis vegetasi.
Nilai kerapatan, frekwensi, dan dominansi untuk jenis-jenis tertentu diekspresikan
mutlak atau relatif yang menunjukkan persentase bahwa nilai jenis individu
merupakan total untuk semua jenis (Tabel 3).
Nilai kerapatan relatif (KR) dan frekwensi relatif (FR) penting artinya
dalam analisis vegetasi karena saling terkait satu dengan yang lainnya. Nilai
frekwensi suatu jenis dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan pola
distribusinya. Walaupun memberikan informasi yang penting, nilai distribusi
hanya dapat memberikan informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam
suatu plot dan belum dapat memberikan gambaran tentang jumlah individu pada
masing-masing plot (Greig-Smith,1983).
Tabel 2. Perbandingan Nilai Kerapatan Relatif (KR) Jenis Tumbuhan di TNBNW
Lokasi Jenis Kerapatan Relatif (%)
Tinggi Rendah
Doloduo Eboni / Diospyros celebica Rengas / Gluta renghas
18,08 1,06
Torout Maumar / Nauclea celebica Lewo / Talauma ovalis
10,28 0,93
Tumokang Cempaka / Elmerrillia ovalis Mawiyau / Hermandi ovigera
6,43 0,42
Matayangan Pala hutan / Knema celebica Marengis / Homalium celebicum
12,00 0,67
G. Kabila Rao / Dracontomelon dao Kayu torout / Vitex glabrata
8,81 0,64
29
Tabel 3. Perbandingan Nilai Frekwesi Relatif Jenis Tumbuhan di TNBNW
Lokasi Jenis Frekwensi Relatif (%)
Tinggi Rendah
Doloduo Eboni / Diospyros celebica Rengas / Gluta renghas
17,04 1,14
Torout Maumar / Nauclea celebica Lewo / Talauma ovalis
10,30 1,03
Tumokang Sumeding / Pangium edule Kedondong/Chrysophyllum lanceolatum
8,65 0,40
Matayangan Pala hutan / Knema celebica Marengis / Homalium celebicum
9,60 0,82
G. Kabila Kayu batu / Maranthes corymbosa Kayu torout / Vitex glabrata
11,02 0,85
Berdasarkan hasil yang diperoleh, terdapat 3 lokasi (Doloduo, Torout,
Matayangan) yang memiliki jenis tumbuhan tertentu dengan nilai kerapatan relatif
dan frekwensi relatif tertinggi. Hal ini berarti jenis-jenis tersebut dianggap sebagai
jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir seluruh wilayah ke 3 lokasi
yang diteliti (Tabel 4). Pada lokasi hutan Tumokang dan G.Kabila, frekwensi
relatif tertinggi terdapat pada Cempaka /Elmerrillia ovalis (8,65) dan Maranthes
corymbosa (11,02).
Tabel 4. Nilai Kerapatan Relatif dan Frekwensi Relatif Tertinggi
Lokasi Jenis Kerapatan Relatif (%)
Frekwensi Relatif (%)
Doloduo Eboni / Diospyros celebica 18,08 17,04
Torout Maumar / Nauclea celebica 10,28 10,3
Tumokang Cempaka /Elmerrillia ovalis 6,43 1,62
Matayangan Pala hutan / Knema celebica
12,00 9,60
G. Kabila Rao / Dracontomelon dao 8,81 5,93
Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi
lingkungan dalam arti luas. Beberapa jenis dalam hutan tropika beradatasi
dengan kondisi di bawah kanopi, di bagian tengah, dan di atas kanopi yang
intensitas cahayanya berbeda-beda (Balakhrisnan (1994). Sedangkan menurut
Krebs (1994), keberhasilan setiap jenis pada suatu area dipengaruhi oleh
kemampuannya beradatasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan
30
fisik (temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban, dan sebagainya, faktor
biotik (interaksi antar spesies, kompetisi, parasitisme, dan sebagainya, dan faktor
kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan
sebagainya yang saling berinteraksi
Berdasarkan indeks nilai penting (INP) seluruh jenis selanjutnya dihitung
indeks diversitas (H’) Shannon-Wiener. Indeks keanekaragaman flora untuk
masing-masing lokasi beragam, berkisar antara 3,28 – 3,98 (Tabel 5). Gunung
Kabila mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,98) untuk flora tingkat
semai atau tumbuhan bawah dan flora tingkat sapihan (3,82). Sedangkan untuk
Indeks keanekaragaman tertinggi flora tingkat tiang (3,73) dan flora tingkat
pohon (3,81) terdapat pada lokasi hutan Tumokang. Keanekaragaman yang
tinggi tersebut tercermin dari kelimpahan dan persebaran frekwensi masing-
masing jenis yang umumnya relatif rendah. Keadaan ini menunjukkan tipe
vegetasi hutan tropik yang ditandai oleh tidak pernah dijumpai jenis tunggal
dengan frekwensi tinggi dan merajai dalam suatu wilayah hutan (Kartawinata et
al., 1983). Jika menggunakan kriteria Barbour et al. (1987) maka indeks
diversiats jenis sebesar 3,37 – 3,98 tersebut termasuk dalam kategori tinggi.
Nilai indeks diversitas tersebut menggambarkan kekayaan jenis pohon yang
berada pada daerah penelitian. Kondisi seperti ini menggambarkan bahwa
ekosistem di lokasi penelitian merupakan ekosistem yang stabil dan mendekati
klimaks.
Tabel 5. Indeks Keanekaragaman Flora TNBNW
Tingkatan Flora Lokasi
Semai Sapihan Tiang Pohon
Hutan Doloduo 3,76 3,43 3.59 3.28
Hutan Gunung Kabila 3,98 3.82 3,69 3,37
Hutan Matayangan 3,46 3,79 3,54 3,42
Hutan Torout 3,42 3,48 3,41 3,49
Hutan Tumokang 3,99 3,85 3,56 3,76
Berdasarkan nilai keanekaragaman jenis tersebut, selanjutnya dapat
ditentukan nilai kemerataan jenis dalam komunitas tersebut. Nilai kemerataan
31
untuk masing-masing lokasi berbeda-beda. Untuk lokasi hutan Doloduo, nilai
kemerataannya sebesar 0,92 hutan Torout 0,91 hutan Tumokang 0,94 hutan
Matayangan 0,96 dan G.Kabila 0,95. Perbedaan nilai kemerataan tersebut
disebabkan karena nilai INP masing-masing jenis pada kelima lokasi juga
bervariasi. Nilai kemerataan suatu jenis ditentukan oleh distribusi setiap jenis
pada masing-masing plot secara merata. Makin merata suatu jenis dalam seluruh
lokasi penelitian, maka makin tinggi nilai kemerataannya. Demikian juga
sebaliknya jika beberapa jenis tertentu dominan sementara jenis lainnya tidak
dominan atau densitasnya lebih rendah, maka nilai kemerataan komunitas yang
bersangkutan akan lebih rendah. Nilai kemerataan pada masing-masing lokasi
berbeda-beda. Perbedaan nilai kemerataan tersebut disebabkan karena nilai INP
masing-masing jenis disetiap lokasi juga bervariasi seperti tersebut pada
lampiran.
Walaupun terjadi variasi dalam keanekaragaman, tetapi jika dilihat indeks
kesamaannya, ke lima wilayah tersebut dapat dikatakan merupakan suatu
komunitas yang sama. Untuk memperjelas kesamaan komunitas tersebut terlihat
dari dendrogram untuk masing-masing tingkat flora pada Gambar 7.
MatayanganTumokang
ToroutG.Kabila
Doloduo0.30
0.35
0.40
0.45
0.50
0.55
0.60
0.65
Jara
k hu
bung
an
Gambar 7. Dendrogram Kesamaan Komunitas Flora TNBNW
Gambar 7 memperlihat bahwa komunitas flora tingkat semai Torout mempunyai
keeratan kesamaan komunitas dengan Doloduo dan G.Kabila. Sedangkan Tumokang
memiliki kesamaan komunitasnya dengan Matayangan Komunitas flora tingkat sapihan
32
untuk Gunung Kabila memiliki kesamaan yang tinggi dengan komunitas Doloduo.
Matayangan, memiliki kesamaan yang tinggi dengan Tumokang. Komunitas flora tingkat
tiang untuk Gunung Kabila memiliki kesamaan yang tinggi dengan komunitas Doloduo.
Selanjutnya Matayangan, memiliki kesamaan yang tinggi dengan Tumokang. Komunitas
flora tingkat pohon untuk Gunung Kabila memiliki kesamaan yang tinggi dengan
komunitas Doloduo. Selanjutnya Matayangan, memiliki kesamaan yang tinggi dengan
Tumokang. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dari suatu komunias. Setiap jenis tidak
mungkin mempunyai jumlah individu yang sama (Kebs 1978). Perbedaan jumlah jenis
pada setiap tipe ekosistem pada dasarnya disebabkan oleh dua hal utama, yaitu akibat
dari adanya pengaruh faktor cahaya dan ketinggian tempat dari permukaan laut.
Uraian komposisi floristik untuk masing-masing wilayah di lima lokasi Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone adalah sebagai berikut :
Komposisi Flora di Hutan Doloduo
Hasil inventarisasi flora untuk semua tingkatan di lokasi penelitian hutan
Doloduo secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Doloduo
Jumlah Tingkatan Flora
Jenis Marga Suku
Semai dan Tumbuhan Bawah
Sapihan
Tiang
Pohon
61
57
52
39
47
45
42
34
31
24
32
26
Tingkat semai didominasi oleh lima jenis yaitu Koodersiodendron
pinnatum (INP=11,73), Knema celebica (INP=11.32%), Tingkat sapihan
didominasi oleh Koodersiodendron pinnatum (INP=37,41), Knema celebica
(INP=13,24%), Crateva religiosa (INP=12,40%), Celtis philippensis
(INP=11,78%), Tingkat tiang didominasi oleh Knema celebica (INP=32,85),
Canarium hirsutum (INP=28,13), Canangium balsamiferum (INP=16,95), Celtis
philippensis (INP=15,45), Diospyros hiernii (INP=12,05), Palaquium obtusifolium
33
(INP=12,05). Tingkat Pohon Diospyros celebica (INP=52,45), Cassia fistula
(INP=29,41), Elmerrillia ovalis (INP=21,23), Ochrosia acuminata (INP=12,69
),Mimusops sp (INP=11,77), Calophyllum sp. (INP=11,08), Cynometra ramiflora
(INP=10,8) .
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi ini terdapat 39 jenis pohon.
Jenis-jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan Doloduo, kerapatan relatif,
frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada Lampiran 2-
5. Nilai kerapatan relatif tertinggi 18,08 % pada jenis Diospyros celebica
sedangkan kerapatan relatif terendah 1,06 % pada jenis Rengas (Gluta renghas).
Jenis kayu eboni (Diospyros celebica) merupakan jenis tumbuhan yang
memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif tertinggi artinya jenis ini
dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada hampir seluruh lokasi
hutan Doloduo. Jenis lain yang juga memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi
relatif yang tinggi adalah jenis kayu raja (Cassia fistula) dengan nilai KR=11,7 %
dan FR=10,23 %.
Nilai dominansi relatif masing-masing jenis juga bervariasi dari yang
terendah sebesar 0,5 % untuk jenis Gluta renghas sampai dengan dominansi
relatif tertinggi Diospyros celebica dengan nilai 17,32 %. Nilai dominansi jenis
dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga
besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata
diameter batang. Jenis Eboni memiliki nilai dominansi tertinggi karena nilai
kerapatannya paling tinggi dan ukuran batangnya cukup besar. Jenis kayu raja
(Cassia fistula) juga memiliki nilai dominansi yang tertinggi kedua karena nilai
kerapatannya lebih rendah dari Eboni, walaupun rata-rata diameter batang
setinggi dada jenis Kayu raja lebih besar dibanding dengan Eboni.
Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari ketiga parameter
(kerapatan, frekwensi, dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga
nilainya juga bervariasi. Lokasi Doloduo, Nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis
Diospyros celebica (INP=52,45). Selain jenis eboni, beberapa jenis yang
memiliki nilai INP tertinggi lainnya yang memiliki INP yang tinggi yaitu lebih dari
10 % adalah jenis kayu raja (Cassia fistula) INP=29,41; cempaka (Emerrellia
ovalis) INP=21,23; Sangkongan (Ochrosia acuminata) dengan INP=12.69;
tanjung (Mimusops sp) dengan INP=11.77; Kapuraca (Callophyllum inophyllum)
dengan INP=11,08, Nantu (Cynometra ramiflora) dengan INP=10,8.
34
2. Hutan Torout
Hasil inventarisasi flora di hutan Torout untuk semua tingkatan
pertumbuhan secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan hasil
kerapatan, frekwensi, dominansi, dan indeks nilai penting tingkat pohon Jenis-
jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan Torout, kerapatan relatif, frekwensi
relatif, dominasi relatif dan indeks nilai penting terdapat pada Lampiran 6-9.
Tingkat semai didominasi oleh Diospyros ebenum (INP=22,12),
Koorsidendron pinnatum (INP=17,57), Livistonya rotundifolia (INP=13,75),
Calamus sp. (INP=13,67). Tingkat sapihan didominasi oleh Planchonia
valida(INP=39,73),Garcinia sp.(INP=16.04), Palaquium obtusifolium (INP=14,34),
Nephelium lappaceum(INP=12,92), Celtis philippensis(INP=12,53). Tingkat tiang
didominasi oleh Cryptocarya sp.,(INP=18,45), Eugenia aquea (INP=16,17),
Gosampinus heptaphylla (INP=14,51), Ficus variegata (INP=13,33), Ficus rostata
(INP=12,47), Psychotroya malayana (INP=12,17). Tingkat Pohon Nauclea
celebica (INP=32,54), Ficus benjamina (INP=26,92), Cedrela celebica
(INP=14,34), Octomeles sumatrana (INP=13,78), Celtis philippensis,(INP=12,19).
Tabel 7. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Torout
Jumlah Tingkatan Flora
Jenis Marga Suku
Semai dan Tumbuhan Bawah
Sapihan
Tiang
Pohon
54
47
46
45
47
45
42
34
31
32
26
24
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi ini terdapat 45 jenis pohon.
Nilai kerapatan relatif tertinggi 10,28 % pada jenis Maumar/Nauclea celebica
sedangkan kerapatan relatif terendah 0,93 % pada jenis Lewo/Talauma ovalis.
Nilai kerapatan merupakan gambaran mengenai jumlah jenis tersebut pada
lokasi penelitian karena nilai kerapatan suatu jenis menunjukkan jumlah individu
jenis bersangkutan pada satuan luas tertentu. Meskipun demikian nilai kerapatan
belum dapat menggambarkan tentang bagaimana distribusi dan pola penyebaran
tumbuhan yang bersangkutan pada lokasi penelitian.
35
Besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis dan ukuran
rata-rata diameter batang. Nilai dominansi relatif masing-masing jenis bervariasi
dari yang terendah sebesar 0,30 % untuk jenis Fragrea truncate sampai dengan
dominansi relatif tertinggi Ficus benjamina dengan nilai 17,10 %. Jenis Ficus
benjamina memiliki nilai dominansi tertinggi karena ukuran batangnya cukup
besar dibanding maumar.
Jenis Nauclea celebica/maumar merupakan jenis yang memiliki indeks
nilai penting tertinggi (32,54). Selain jenis maumar, beberapa jenis yang memiliki
nilai INP tertinggi lainnya (lebih dari 10 %) adalah jenis Ficus
benjamina/beringin dengan INP=26,93, Cedrela celebica/dolipoga dengan
INP=14.34, Octomeles sumatrana/binuang dengan INP=13.79, Celtis
philippensis dengan INP=12.20, Diospyros ebenum/buniok dengan INP=10.97.
Jenis maumar dan beringin merupakan dua jenis yang mendominansi
lokasi hutan Torout karena memiliki nilai INP tertinggi. Besarnya indeks nilai
penting menunjukkan peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya.
Kemampuan kedua jenis tersebut dalam menempati sebagaian besar hutan
Torout menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk beradatasi
dengan kondisi lingkungan setempat.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa indeks diversitas jenis pada hutan
Torout adalah 3,49. Jika menggunakan kriteria Barbour et al. (1987) maka
indeks diversiats jenis sebesar 3,49 tersebut termasuk dalam kategori tinggi.
Nilai indeks diversitas tersebut menggambarkan kekayaan jenis pohon yang
berada pada daerah hutan Torout.
Nilai kemerataan suatu jenis ditentukan oleh distribusi setiap jenis pada
masing-masing plot secara merata. Makin merata suatu jenis dalam seluruh
lokasi penelitian, maka makin tinggi nilai kemerataannya. Sebaliknya jika
beberapa jenis tertentu dominan sementara jenis lainnya tidak dominan atau
densitasnya lebih rendah, maka nilai kemerataan komunitas yang bersangkutan
akan lebih rendah. Hasil perhitungan kemerataan di hutan Torout menunjukkan
bahwa nilai kemerataan adalah 0,91.
36
3. Hutan Tumokang
Hasil inventarisasi flora untuk semua tingkatan secara lengkap pada
petak penelitian di hutan Tumokang dapat dilihat pada Tabel 8. Jenis-jenis flora
yang ditemukan di kompleks hutan Tumokang, kerapatan relatif,frekwensi
relatif,dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada berbagai tingkatan
dapat dilihat pada Lampiran 10 – 13. Tingkat semai didominasi oleh Areca
vestiaria (INP=11.26), Canarium hirtusum(INP=10.05), Knema sp.(INP=8.74),
Dysoxylum amooroides(INP=7.84).Tingkat sapihan didominasi oleh Areca
vestiaria ( INP=23.86), Livistonya rotundifolia (INP=16.07). Pometia pinnata( INP
=15.84), Mimusop elengi (INP=13.43), Ochrosia acuminata(INP=13.14).
Tingkat tiang didominasi Gosampinus heptaphylla (INP=24.64),
Diospyros ebenum(INP=22.16), Palaquium obovatum(INP=20.52),
Koordersidendron pinnatum (INP=18.45), (INP =16.1 Xylopia sp), Gluta
renghas (INP=15). Tingkat Pohon Pangium edule (INP=14.69), Nephelium
lappaceum (INP=14.30), Baccaurea javanica (INP=13.70), Macaranga sp,
(INP=13.15) Caryota sp,(INP= 12.93).
Tabel 8. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Tumokang
Jumlah Tingkatan Flora
Jenis Marga Suku
Semai dan Tumbuhan Bawah
Sapihan
Tiang
Pohon
73
61
50
51
51
42
48
43
35
30
32
29
Hasil penelitian menunjukkan bahwa di lokasi hutan Tumokang terdapat
51 jenis pohon. Nilai kerapatan relatif tertinggi 6,43 % pada jenis
cempaka/Elmerrillia ovalis sedangkan kerapatan relatif terendah 0,42% pada
37
jenis Hernandia ovigera. Cempaka/Elmerrillia ovalis merupakan jenis tumbuhan
yang memiliki nilai kerapatan relatif tertinggi artinya jenis ini dianggap sebagai
jenis yang rapat pada lokasi hutan Tumokang. Jenis lain yang juga memiliki nilai
kerapatan yang tinggi adalah jenis Caryota sp./tanoyan dengan nilai KR=5,46 %.
Frekwensi merupakan nilai besaran yang menyatakan derajat
penyebaran jenis di dalam komuniasnya. Angka frekwensi diperoleh dengan
melihat perbandingan jumlah dari petak-petak yang diduduki suatu jenis terhadap
keseluruhan petak yang diambil sebagai petak contoh dalam melakukan analisis
vegetasi. Jenis sumeding/Pangium edule merupakan jenis dengan nilai
frekwensi tertinggi di hutan Tumokang (8,65%), sedangkan frekwensi terendah
pada jenis kayu toraut / Vitex celebica.
Dominasi merupakan besaran yang digunakan untk menyatakan derajat
penguasaan ruang atau tempat tumbuh, berapa luas area yang ditumbuhi oleh
sejenis tumbuhan atau kemampuan suatu jenis tumbuhan untuk bersaing
terhadap jenis lainnya. Nilai dominasi diekspresikan mutlak atau relatif yang
menunjukkan persentase bahwa nilai spesies individu merupakan total untuk
semua spesies. Nilai dominansi relatif masing-masing jenis di hutan Tumokang
bervariasi dari yang terendah sebesar 0,23 % untuk jenis kedondong /
Chrysophyllum lanceolatum sampai dengan dominansi relatif tertinggi pada jenis
Macaranga sp. dengan nilai 8,51 %. Nilai dominansi jenis dihitung berdasarkan
besarnya nilai diameter batang setinggi dada sehingga besarnya nilai dominansi
ditentukan oleh kerapatan jenis dan ukuran rata-rata diameter batang. Jenis
Macaranga memiliki nilai dominansi tertinggi karena ukuran batangnya cukup
besar.
Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari ketiga parameter
(kerapatan, frekwensi, dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga
nilainya juga bervariasi. Nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis sumeding/
Pangium edule (INP=14,69). Selain jenis sumeding, beberapa jenis yang
memiliki nilai INP tertinggi lainnya (INP>10%) adalah jenis Nephellium
lapaceum/bolangat INP=14,30; Baccaurea javanica INP=13,70; Macaranga sp.
dengan INP=13.15, Caryota sp. dengan INP=12.93. Besarnya indeks nilai
penting menunjukkan peranan jenis yang bersangkutan dalam komunitasnya.
Jenis eboni dan cempaka merupakan dua jenis yang mendominasi lokasi hutan
Tumokang karena memiliki nilai INP tertinggi. Kemampuan kedua jenis tersebut
38
dalam menempati sebagaian besar hutan Tumokang menunjukkan bahwa
keduanya memiliki kemampuan untuk beradatasi dengan kondisi lingkungan
setempat. Jenis sumeding yang memiliki diameter yang lebih besar diperkirakan
lebih dahulu tumbuh pada lokasi ini. Berdasarkan INP seluruh jenis selanjutnya
dihitung indeks diversitas (H’) Shannon-Wiener.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa indeks diversitas jenis adalah
3,76. Nilai indeks diversitas tersebut menggambarkan kekayaan jenis pohon
yang berada pada daerah hutan Tumokang. Berdasarkan nilai keanekaragaman
jenis tersebut, selanjutnya dapat ditentukan nilai kemerataan jenis dalam
komunitas tersebut.
Nilai kemerataan pada masing-masing lokasi berbeda-beda. Perbedaan
nilai kemerataan tersebut disebabkan karena nilai INP masing-masing jenis
disetiap lokasi juga bervariasi. Hasil perhitungan kemerataan menunjukkan nilai
0,96. Nilai kemerataan suatu jenis ditentukan oleh distribusi setiap jenis pada
masing-masing plot secara merata. Makin merata suatu jenis dalam seluruh
lokasi penelitian, maka makin tinggi nilai kemerataannya. Demikian juga
sebaliknya jika beberapa jenis tertentu dominan sementara jenis lainnya tidak
dominan atau densitasnya lebih rendah, maka nilai kemerataan komunitas yang
bersangkutan akan lebih rendah.
4. Hutan Matayangan
Hasil inventarisasi flora untuk semua tingkatan secara lengkap pada
petak penelitian di hutan Matayangan dapat dilihat pada Tabel 9. Jenis-jenis flora
yang ditemukan di kompleks hutan Matayangan, kerapatan relatif, frekwensi
relatif, dominansi relatif dan indeks nilai penting flora pada berbagai tingkatan
dapat dilihat pada Lampiran 14 – 17. Tingkat semai didominasi oleh Diospyros
ebenum (INP=22,12); Areca vestiaria (INP=17,57), Knema celebica
(INP=14,70); Livistonya rotundifolia (INP=13,75); Calamus sp. (INP=13,67).
Tingkat sapihan didominasi oleh Homalium celebicum (INP=13,43), Dacryodes
rostata (INP=19,11), Areca vestiaria (INP=17,17), Canarium hirtusum
(INP=14,13); Celtis philippensis (INP=13,80); Knema tomentela (INP=13,03),
Palaquium obovatum (INP=11,69), Gnetum gnemon (INP=11,10),
Pterospermum celebicum (INP=10,34). Tingkat tiang didominasi oleh Nauclea
39
celebica (INP=36,28), Celtis philippensis (INP=27,86), Ficus benjamina
(INP=20,41), Pterocarpus indica (INP =12,12), Ochrosia acuminnata (INP
=10,70), Pometia sp. (INP =10,64), Tingkat Pohon Canarium hirtusum
(INP=32,06); Canarium balsamiferum (INP=25,01), Celtis philippensis
(INP=16,78); Palaquium obtusifolium (INP=14,82), Diospyros celebica
(INP=13,21), Garcinia sp. (INP=12,28), Dacryodes rostata (INP=11,01).
Tabel 9. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Matayangan
Jumlah Tingkatan Flora
Jenis Marga Suku
Semai dan Tumbuhan Bawah
Sapihan
Tiang
Pohon
57
61
52
39
44
47
41
35
31
32
29
28
Jenis-jenis flora tingkat pohon yang ditemukan di komplek hutan
Matayangan, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai
penting flora pada Lampiran 13-16. Nilai kerapatan relatif tertinggi 12,00 % pada
jenis pala hutan (Knema celebica ) sedangkan kerapatan relatif terendah 0,67 %
pada jenis karengis (Homalium celebicum). Pala hutan (Knema celebica )
merupakan jenis tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi
relatif tertinggi artinya jenis ini dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar
luas pada hampir seluruh lokasi hutan Matayangan. Jenis lain yang juga memiliki
nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif yang tinggi adalah jenis Canarium
hirtusum / papako dengan nilai KR= 10,67 % dan FR = 8,59 %. Kedua nilai ini
penting artinya dalam analisis vegetasi karena saling terkait satu dengan yang
lainnya. Bahkan menurut Greig-Smith (1983) nilai frekwensi suatu jenis
dipengaruhi secara langsung oleh densitas dan pola distribusinya. Meskipun
memberikan informasi yang penting, nilai distribusi hanya dapat memberikan
informasi tentang kehadiran tumbuhan tertentu dalam suatu plot dan belum dapat
memberikan gambaran tentang jumlah individu pada masing-masing plot.
Jenis pala hutan dan papako memiliki nilai kerapatan dan frekwensi
tertinggi oleh sebab itu kedua jenis termasuk kategori jenis yang memiliki
kemampuan adatasi yang baik terhadap kondisi lingkungan setempat. Kershaw
(1979) dan Crawley (1986) mengemukakan bahwa frekwensi suatu jenis dalam
40
komunitas tertentu besarnya ditentukan oleh metode sampling, ukuran kuadrat,
ukuran tumbuhan dan distribusinya.
Nilai dominansi jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang
setinggi dada sehingga besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis
dan ukuran rata-rata diameter batang. Nilai dominansi relatif masing-masing
jenis bervariasi dari yang terendah sebesar 2,51 % untuk jenis karengis
(Homalium celebicum) sampai dengan dominansi relatif tertinggi yaitu Knema
celebica / pala hutan dengan nilai 11,47 %. Jenis pala hutan memiliki nilai
dominansi tertinggi karena nilai kerapatannya paling tinggi dan ukuran batangnya
cukup besar. Jenis papako Canarium hirtusum juga memiliki nilai dominansi
yang tertinggi kedua (8,87%) karena nilai kerapatannya lebih rendah dari pala
hutan, walaupun rata-rata diameter batang setinggi dada jenis kayu papako lebih
besar dibanding dengan pala hutan
Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari ketiga parameter
(kerapatan, frekwensi, dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga
nilainya juga bervariasi. Nilai INP tertinggi di hutan Matayangan ditemukan pada
jenis pala hutan Knema celebica (INP = 33,07). Selain jenis pala hutan ,
beberapa jenis yang memiliki nilai INP tertinggi lainnya yang memiliki INP yang
tinggi yaitu lebih dari 10 % adalah jenis Canarium hirtusum / papako INP=28,13;
C. balsamiferum/ Ta’re INP=16,95, Celtis phillipinensis dengan NP=15.67,
Palaquium obtusifolium/Nantu dengan INP=12.23 ; Dyospyros hiernii /kayu eboni
hitam (INP = 12,06).
Besarnya indeks nilai penting menunjukkan peranan jenis yang
bersangkutan dalam komunitasnya . Jenis pala hutan dan papako merupakan
dua jenis yang mendominansi lokasi hutan Matayangan karena memiliki nilai INP
tertinggi. Kemampuan kedua jenis tersebut dalam menempati sebagaian besar
hutan Matayangan menunjukkan bahwa keduanya memiliki kemampuan untuk
beradatasi dengan kondisi lingkungan setempat.Jenis cempaka yang memiliki
diameter yang lebih besar diperkirakan lebih dahulu tumbuh pada lokasi ini.
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa indeks diversitas jenis di hutan
Matayangan adalah 3,42. Nilai ini menggambarkan kekayaan jenis pohon yang
berada pada daerah hutan setempat. Berdasarkan nilai keanekaragaman jenis
tersebut, selanjutnya dapat ditentukan nilai kemerataan jenis. Nilai kemerataan
jenis di hutan Matayangan adalah 0,93. Nilai kemerataan ini berbeda dengan
41
lokasi lainnya. Perbedaan nilai kemerataan tersebut disebabkan karena nilai INP
masing-masing jenis disetiap lokasi juga bervariasi.
5. Hutan Gunung Kabila
Komposisi dan struktur tumbuhan bervariasi pada setiap jenis karena
adanya perbedaan karakter masing-masing pohon. Hasil inventarisasi flora untuk
semua tingkatan secara lengkap pada petak penelitian di hutan Gunung Kabila
dapat dilihat pada Tabel 10. Jenis-jenis flora yang ditemukan di kompleks hutan
G.Kabila, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai
penting flora pada berbagai tingkatan dapat dilihat pada Lampiran 18 – 21.
Tingkat semai dan tumbuhan bawah hutan G. Kabila didominasi oleh
Areca vestiaria (INP=11,18), Palaquium obovatum (INP=7,72), Eugenia sp. (INP
=7,50), Dysoxylum euphlebium (INP=7,22), Cassia fistula (INP=7,06). Tingkat
sapihan didominasi oleh Maranthes corymbosa ( INP=19,76) Areca vestiaria (
INP=16,32), Palaquium obstusifolium (INP=12.69). Heritiera sp. ( INP=12,26),
Pinanga caesia (INP=12,14), Dracontomelon dao(INP=10,54). Tingkat tiang
didominasi oleh Pangium edule (INP=19,48), Sysygium sp.(INP=15,07),
Koorsidendron pinnatum (INP=14,29), Palaquium obovatum(INP =13,31),
Maranthes corymbosa (INP=12,14), Canarium acutifolium (INP=11,93), Pinanga
caesia (INP=11,03). Tingkat Pohon Dracontomelon dao (INP=27,81), Maranthes
corymbosa (INP=20,00), Palaquium obtusifolium (INP=19,37), Elmerrillia ovalis
(INP=15,94), Polialthia rumphii (INP=12,82), Dyospyros hiernii (INP=12,66),
Elmerrillia celebica (INP=12,65), Pterospermum celebicum (INP=12,17), Knema
celebica (INP=11,36).
Tabel 10. Kekayaan Jenis, Marga dan Suku Hutan Gunung Kabila
Jumlah Tingkatan Flora
Jenis Marga Suku
Semai dan Tumbuhan Bawah
Sapihan
Tiang
Pohon
62
54
48
35
51
44
41
31
34
26
25
23
Jenis-jenis flora tingkat pohon yang ditemukan di kompleks hutan G.
Kabila, kerapatan relatif, frekwensi relatif, dominansi relatif dan indeks nilai
42
penting flora pada Lampiran 18-21. Nilai kerapatan relatif tertinggi 8,81 % pada
jenis rao (Dracontomelon dao) sedangkan kerapatan relatif terendah 0,64 %
pada jenis kayu torout (Vitex glabrata). Rao (Dracontomelon dao) merupakan
jenis tumbuhan yang memiliki nilai kerapatan relatif dan frekwensi relatif tertinggi
artinya jenis ini dianggap sebagai jenis yang rapat serta tersebar luas pada
hampir seluruh lokasi hutan G. Kabila. Jenis lain yang juga memiliki nilai
kerapatan relatif yang tinggi adalah jenis nantu Palaquium obtusum dengan nilai
KR= 7,64 %.
Nilai frekwensi relatif bervariasi dari yang tertinggi pada jenis kayu batu
(Maranthes corymbosa) dengan nilai FR = 11,02 %, dan terendah pada jenis
kayu torout (Vitex glabrata) dengan nilai FR = 0,85. Berkaitan dengan nilai
frekwensi suatu jenis, Kershaw (1979) dan Crawley (1986) mengemukakan
bahwa frekwensi suatu jenis dalam komunitas tertentu besarnya ditentukan oleh
metode sampling, ukuran kuadrat, ukuran tumbuhan dan distribusinya. Nilai
kerapatan dan frekwensi penting artinya dalam analisis vegetasi karena saling
terkait satu dengan yang lainnya. Oleh sebab itu jenis yang memiliki nilai
kerapatan dan frekwensi tertinggi (jenis rao, kayu batu dan nantu) termasuk
kategori jenis yang memiliki kemampuan adatasi yang baik terhadap kondisi
lingkungan.
Distribusi tumbuhan pada suatu komunitas tertentu dibatasi oleh kondisi
lingkungan. Keberhasilan setiap jenis dipengaruhi oleh kemampuannya
beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik ( temperatur,
cahaya, struktur tanah, kelembaban, dan sebagainya, faktor biotik (interaksi antar
jenis, kompetisi, parasitisme, dan sebagainya, dan faktor kimia yang meliputi
ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan sebagainya yang saling
berinteraksi (Balakhrisnan 1994; Krebs, 1994).
Nilai dominansi relatif masing-masing jenis juga bervariasi dari yang
terendah sebesar 0,42 % untuk jenis torout (Vitex glabrata) sampai dengan
dominansi relatif tertinggi Dracontomelon dao/rao dengan nilai 13,07 %. Nilai
dominansi jenis dihitung berdasarkan besarnya nilai diameter batang setinggi
dada sehingga besarnya nilai dominansi ditentukan oleh kerapatan jenis dan
ukuran rata-rata diameter batang. Jenis rao memiliki nilai dominansi tertinggi
karena nilai kerapatannya paling tinggi dan ukuran batangnya cukup besar.
Jenis cempaka Elmerillia ovalis juga memiliki nilai dominansi yang tertinggi
43
kedua (6,76%) karena nilai kerapatannya lebih rendah dari jenis rao, walaupun
rata-rata diameter batang setinggi dada jenis kayu cempaka lebih besar
dibanding dengan jenis rao.
Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan dari ketiga parameter
(kerapatan, frekwensi, dominansi) yang telah diukur sebelumnya, sehingga
nilainya juga bervariasi. Nilai INP tertinggi ditemukan pada jenis Dracontomelon
dao/Rao (INP = 33,07). Selain jenis kayu rao , beberapa jenis yang memiliki
nilai INP tertinggi lainnya yang memiliki INP lebih dari 10 % adalah jenis kayu
batu (Maranthes corymbosa) INP=20,00; kayu nantu Palaquium obtusifolium
INP=19,37, jenis cempaka Elmerillia ovalis dengan INP=15.94, Nauclea celebica/
maumar dengan INP=13.27; Pomosion Polyalthia rumphii dengan INP=12,82,
Dyospyros hiernii/kayu eboni hitam (INP=12,66), kayu wasian/Elmerillia celebica
dengan INP=12,65, Nunuk Ficus benjamina dengan INP=12,17, pala/Knema
tomentela dengan INP=11,36, kayu aliwowos/Homalium foetidum dengan
INP=10,61.
Jenis rao dan kayu batu merupakan dua jenis yang mendominansi lokasi
hutan G. Kabila karena memiliki nilai INP tertinggi. Kemampuan kedua jenis
tersebut dalam menempati sebagaian besar hutan G.Kabila menunjukkan bahwa
keduanya memiliki kemampuan untuk beradatasi dengan kondisi lingkungan
setempat. Jenis kayu batu yang memiliki diameter yang lebih besar diperkirakan
lebih dahulu tumbuh pada lokasi ini.
44
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Berdasarkan inventarisasi pada petak-petak di 5 lokasi TNBNW tercatat
sebanyak 301 jenis flora yang tergolong kedalam 114 marga dan 45 suku.
2. Vegetasi yang berhabitus semai 142 jenis, sapihan 144 jenis, tiang 110 jenis
dan pohon 131 jenis
3. Vegetasi yang berhabitus pohon lokasi Doloduo terdiri dari 39 jenis dengan
jenis dominan eboni (Diospyros celebica) INP = 32,85 dan kayu raja (Cassia
fistula). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,59 sedangkan indeks
kemerataan sebesar 0,92.
4. Hutan Torout ditemukan 39 jenis pohon dengan jenis dominan Nauclea
celebica (INP = 32,54). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,49
sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,91.
5. Hutan Tumokang ditemukan 50 jenis pohon dengan jenis dominan Pangium
edule (INP =14.69), Nephelium lappaceum (INP =14.30). Indeks diversitas
jenis pohon sebesar 3,99 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,96.
6. Hutan Matayangan ditemukan 39 jenis pohon dengan jenis dominan
Canarium hirtusum (INP=32,06). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,99
sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,96.
7. Lokasi Gunung Kabila terdiri dari 35 jenis pohon dengan jenis dominan
Dracontomelon dao (INP = 27,81). Indeks diversitas jenis pohon sebesar
3,98 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,95.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian unit-unit sampling di lokasi lain (kawasan
konservasi I) meliputi struktur dan penyebaran tumbuhan di TNBNW.
2. Khusus untuk pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone agar
dilakukan sesuai dengan tujuan pengelolaannya.
45
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT
DI SEKITAR TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE
ABSTRAK HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Keanekaragaman Tumbuhan Obat dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Dibimbing oleh DEDE SETIADI. LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI.
Seiring dengan berkembangnya trend kembali ke alam atau “Back to nature” penggunaan obat tradisional terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan juga terus meningkat. Pada dasarnya pemanfaatan obat tradisional mempunyai tujuan untuk menjaga kondisi tubuh (promotif), mencegah penyakit (preventif), maupun untuk menyembuhkan suatu penyakit (usaha kuratif) dan untuk memulihkan kondisi tubuh (usaha rehabilitasi). Tujuan Penelitian ini untuk menggali informasi bagaimana masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memanfaatkan keanekaragaman spesies tumbuhan hutan untuk pengobatan penyakit. Manfaat penelitian ini yaitu mengungkapkan pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional dalam rangka melestarikan warisan nilai-nilai budaya leluhur, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut berperan serta dalam pembangunan kesehatan., menjadi rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 121 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat di TNBNW, terdiri atas 57 suku. Jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan tergolong pada suku Euphorbiaceae, Labiatae, Verbenaceae, Araceae, dan Asteraceae.
ABSTRACT HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Medicine plant diversity and the use by community in Bogani Nani Wartabone National Park. Under the direction of DEDE SETIADI, LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI.
Following trend to back to the nature, the use of tradistional medicine particularly from plant sources has increasing. Basically, the objectives in using traditional medicine is to maintain the body condition (supportive), to prevent disease(preventive), and to cure a disease (curative) and also to recover body condition (rehabilitation efforts). The research’s objectives are to explore information concerning how the lokal community of Bogani Nani Wartabone National Park uses forest plant species diversity to cure any diseases. The research was expected useful to describe community knoeledge concerning plant use as traditional medicine in terms to conserve traditional culture value heritage, increasing community ability to contribute in health development and as recommendation for further research. The research shows that there are 121 kind of plant that uses as medicine plant by community around TNBNWB, including 57 sub family. The most abundance plant was claafied as sub family of Euphorbiaceae, Labiatae, Verbenaceae, Araceae, and Asteraceae. Key words : Medicine plant diversity, utilization, community, Bogani Nani
Wartabone National Park.
46
PENDAHULUAN
Bumi Indonesia merupakan salah satu “Mega Center” keanekaragaman
hayati dunia, terdapat 25.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut baru 20
% atau 5000 jenis yang sudah dimanfaatkan dalam berbagai pemanfaatan
termasuk 1260 jenis yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat (Rosoedarso,et
al. 1990; Zuhud, 1994). Selanjutnya Zuhud et al., pada tahun 2000 mencatat
bahwa tidak kurang dari 1845 jenis tumbuhan obat telah berhasil diidentifikasi
yang tersebar di berbagai formasi hutan dan ekosistem alam lainnya, 180 jenis di
antaranya merupakan tumbuhan obat yang saat ini digunakan dalam jumlah
besar sebagai bahan baku industri obat tradisional Indonesia.
Akarele (1991) menyatakan bahwa 74% dari 121 bahan senyawa aktif
yang telah menjadi obat-obat moderen yang penting di USA seperti digitoxin,
reserpin, tubercurarine dan ephedrine berasal dari pengetahuan obat radisional
di kawasan-kawasan hutan tropika.
Masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan
dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional
yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat. Setiap kawasan hutan alam
sesungguhnya telah menyediakan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan
yang dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya dan menyediakan
materi biologi untuk bermacam ragam manfaat, antara lain berupa
keanekaragaman jenis tumbuhan obat untuk mengobati berbagai penyakit,
keanekaragaman bahan untuk pangan, dan lain-lain. Sebaliknya sudah banyak
diketahui bahwa setiap etnis memiliki pengetahuan tradisional dalam
pemanfaatan keanekaragaman hayati, antara lain dalam penggunaan
keanekaragaman tumbuhan obat untuk mengobati berbagai penyakit yang
mereka derita.
Kearifan tradisional masyarakat adat menyimpan kekuatan upaya
konservasi sumberdaya hayati. Salah satu faktor penghambat usaha
perlindungankeanekaragaman hayati adalah miskinnya data tentang sumberdaya
hayati Indonesia. Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati
sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan hidupnya sebagai
bangsa. Bukan hanya karena posisinya sebagai negara pemilik keanekaragaman
hayati terbesar di dunia tetapi juga karena keterkaitannya yang erat dengan
keanekaragaman budaya lokal yang telah lama berkembang di negeri ini.
47
Pengetahuan tradisional dari masyarakat Indonesia ini merupakan aset
dalam pengelolaan adatif pelestarian pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan obat
asli Indonesia di masing-masing wilayah, sesuai karakteristik sumberdaya
tumbuhan obat dan masyarakat di masing-masing wilayah Indonesia.
Obat tradisional sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya, namun sebagaian besar pemanfaatan tersebut hanya
bersifat empiris berdasarkan tradisi dan kepercayaan. Adanya kepercayaan
masyarakat bahwa obat tradisional yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan relatif
aman, walaupun data ilmiah yang mendukung efektivitas dan keamanannya
belum lengkap, hal ini karena khasiat yang diberikan oleh obat tradisional
merupakan resultan dari berbagai campuran kompleks zat kimia alami di
dalamnya, bahan aktif yang satu dapat bekerja sinergis dengan yang lain, namun
ada pula yang bersifat antagonis yang menyeimbangkannya, sehingga relatif
tidak akan menimbulkan efek samping yang besar dibandingkan obat-obatan
modern.
Pemakaian obat tradisional mempunyai banyak keuntungannya antara
lain (1) efek samping tanaman obat tidak ada jika penggunaanya sesuai anjuran
(2) efektif untuk penyembuhan penyakit tertentu yang sulit disembuhkan dengan
obat-obat kimia seperti kanker, tumor, darah tinggi, diabetes, dan lain-lain (3)
murah, karena umumnya dapat diperoleh di pekarangan atau tumbuh liar di
kebun di sekitar kita (4) pengobatan umumnya dapat dilakukan oleh anggota
keluarga.
Obat tradisional yang merupakan warisan budaya dan telah menjadi
bagian integral dari kehidupan bangsa Indonesia, diinginkan untuk dapat dipakai
dalam sistem pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu harus sesuai dengan kaidah
pelayanan kesehatan yaitu secara medis dapat dipertanggungjawabkan. Guna
mencapai hal itu perlu dilakukan pengujian ilmiah tentang khasiat, keamanan dan
standard kualitasnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dirasa perlu untuk melakukan
inventarisasi tumbuhan obat, meliputi identifikasi jenis, populasi, penyebaran,
deskripsi; khasiat dan penggunaan secara tradisional, serta melakukan
konservasi agar jenis yang sudah langka dan endemik dapat dilestarikan.
48
Tujuan Penelitian 1. Mempelajari bagaimana masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone memanfaatkan keanekaragaman jenis tumbuhan hutan untuk
pengobatan penyakit.
2. Menguji jenis tumbuhan obat yang paling berpotensi untuk dikembangkan
lebih lanjut.
Hipotesis Penelitian Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki beranekaragam tumbuhan
yang berpotensi untuk tumbuhan obat.
Manfaat Penelitian 1. Mengungkapkan pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan
sebagai obat tradisional dalam rangka melestarikan warisan nilai-nilai
budaya leluhur.
2. Menjadi rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan
masalah dalam penelitian ini
49
TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman Tumbuhan Obat
Bumi Indonesia kaya akan sumberdaya alam hayati, termasuk bahan
obat-obatan alami yang dapat dipergunakan untuk pengobatan secara
tradisional. Terutama di daerah pedesaan yang memiliki fasilitas pengobatan
modern sangat terbatas, sehingga upaya pemeliharaan kesehatan melalui
pengobatan tradisional memegang peranan penting dan bahkan merupakan
porsi dominan (Simbala,1997).
Menurut Zuhud dan Siswoyo (2001), di hutan tropika Indonesia terdapat
sekitar 30.000 – 40.000 jenis tumbuhan berbunga, jauh melebihi jumlahnya di
daerah-daerah di Amerika Selatan dan Afrika Barat. Selanjutnya dikemukakan
bahwa, jumlah jenis tumbuhan di setiap formasi hutan sangat bervariasi.
Misalnya pada hutan dataran rendah Dipterocarpaceae di Kalimantan dijumpai
239 jenis pohon per 1,5 hektar dengan diameter > 10 cm dan 28 jenis pohon per
hektar pada hutan kerangas yang tumbuh pada tanah pasir putih atau tanah
podsol . Jumlah ini belum termasuk bentuk kehidupan lainnya, seperti herba,
semak, liana, paku-pakuan, epifit, cendawan dan jasad renik lainnya. Keaadaan
tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu gudang keanekaragaman
hayati penting di dunia. Keanekaragaman tumbuhan obat yang terhimpun
dalam berbagai formasi hutan Indonesia merupakan aset nasional yang tak
terhingga nilainya bagi kesejahteraan umat manusia.
Sampai saat ini, tidak ada catatan yang pasti mengenai jumlah tumbuhan
yang telah dimanfaatkan sebagai obat di Indonesia. Berdasarkan catatan WHO,
lebih dari 20.000 jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh seluruh penduduk
dunia. Burkill 1965, diacu dalam Zuhud et al. 2001, mencatat bahwa tidak
kurang dari 1650 jenis tumbuhan di Semenanjung Malaya yang dinyatakan
mempunyai khasiat sebagai obat. Seandainya 11 % total keanekaragaman di
dunia terdapat di Indonesia, maka paling sedikit terdapat 2200 jenis tumbuhan
obat terdapat di Indonesia. Menurut catatan Kooders (1911) diacu dalam Zuhud
(1994), hutan di Indonesia memiliki jumlah jenis tumbuhan obat tidak kurang dari
9606 jenis. Sedangkan menurut PT. Eisai Indonesia telah menghimpun data
berupa indeks tumbuh-tumbuhan obat Indonesia sebanyak 3689 jenis. Namun
50
demikian dalam studi itu hanya dikemukakan 1260 jenis tumbuhan obat yang
secara pasti diketahui berasal dari hutan tropika Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian yang pernah dilakukan sampai tahun 2000
ditemukan tidak kurang dari 1.845 jenis tumbuhan obat yang sudah diidentifikasi
(Zuhud, et al 2001; Anonim 2002). Kekayaan jenis tumbuhan obat yang terdapat
di hutan tropis Indonesia berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan yang telah
berhasil diidentifikasi dan diinventarisasi oleh Program Penelitian Tumbuhan
Obat Hutan Indonesia FAHUTAN IPB tidak kurang dari 1800 jenis tumbuhan
obat, di antaranya lebih dari 250 jenis saat ini dieksploitasi dari hutan untuk
bahan baku industri obat tradisional di Indonesia. Diperkirakan pula tidak kurang
dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan
dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional
yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat.
Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone telah dilakukan sejak tahun 1992. Hasil inventarisasi
Pangemanan-D (1992), di Kabupaten Bolaang Mongondow terdapat 169 jenis
tumbuhan obat, 20 % di antaranya berasal dari kawasan TNBNW . Selanjutnya
Zuhud (1994) mencatatat bahwa terdapat 99 jenis tumbuhan obat yang
dimafaatkan sebagai obat, tapi hanya 11 jenis yang berasal dari hutan TNBNW.
Setahun kemudian Nasution (1995) berhasil menginventarisasi 51 jenis
tumbuhan obat di kawasan Kotamobagu yang terletak di sebelah Timur kawasan
TNBNW. Pada tahun 2004 Simbala dan kawan-kawan mencatat 65 jenis
tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat Suku Bogani Kabupaten
Bolaang Mongondow. Dari hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa kajian aspek
ekologi maupun etnobotani di kawasan TNBNW masih sangat terbatas bahkan
belum ada yang mengungkapkan kajian dari dua sudut pandang kajian ekologi
dan etnobotani secara bersamaan.
Setiap kawasan alam sesungguhnya telah menyediakan
keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan yang mendukung kehidupan
masyarakat sekitarnya dalam menyediakan materi biologi untuk bermacam
ragam manfaat, antara lain keanekaragaman tumbuhan obat untuk mengobati
berbagai macam penyakit, keanekaragaman bahan pangan, dan lain-lain
(Simbala, 1998). Menurut Achmad (2003), berbagai bahan obat yang berasal
dari tumbuhan hutan tropis, terutama yang berhasiat untuk pengobatan penyakit
degeneratif seperti rematik. jantung/ hipertensi dan antifertilitas yang bermanfaat
51
telah ditemukan dan diuji bioaktifitasnya. Bahan kimia yang bersumber dari
tumbuhan yang telah digunakan untuk antihipertensi di antaranya resinamin dan
reserpin dari Rauwolfia serpentina Benth, dan deserpidin dari R. tetraphylla L.
(Apocynaceae); untuk terapi penyakit jantung dipakai bahan kimia seperti
kuabain dari Strophanthus gratus Baill. (Apocynaecae); dan untuk terapi diuretic
dan vasodilator dipakai teobromin dari Theobroma cacao L. termasuk suku
Sterculiaceae. Sedangkan bahan kimia asal tumbuhan yang dapat dipakai
sebagai antifertilitas telah banyak dikaji di antaranya Levo gossypol sebagai agen
antifertilitas pada pria berasal dari Gossypium jenis (Malvaceae). Ekstrak etanol
dari Artemisia absinthium, dan Schubertia multiflora sebagai antifertilitas, dan
Ruta graveolus dapat menyebabkan keguguran (Rao, 1988); dan sebaliknya
Phenylethanoid glycosides dari herba Cistanchis dipakai untuk pergobatan bagi
impotensi dan fungsi vital ginjal (Tu, et al, 1997).
Senyawa kristalin yang diketahui sebagai daucosterol, cumanbrin-A,
acacetin, glyceryl-1- monobehenate dan asam palmitik (chrysanthemol) yang
diisolasi dari bunga-bunga Chrysanthemum indicum, chrysanthemol anti
inflamasi pada tikus (Yu, et al, 1987); dan thalicsiline dari Thalictrum sessile (Wu
et al, 1988).
Pemanfaatan Tumbuhan Obat dan Pelestariannya
Tumbuhan obat menurut Zuhud (1994) adalah seluruh jenis tumbuhan
obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat, yang
dikelompokkan menjadi: (1) tumbuhan obat tradisional, yaitu jenis tumbuhan
yang diketahui mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan
baku obat tradisional. (2) tumbuhan obat modern , yaitu jenis tumbuhan yang
secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang
berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara
medis dan (3) tumbuhan obat potensial, yaitu jenis tumbuhan yang diduga
mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum
dibuktikan secara ilmiah-medis atau penggunaannya sebagai bahan obat
tradisional masih ditelusuri. Tumbuhan Obat adalah tumbuhan yang berkhasiat
obat yaitu menghilangkan rasa sakit, meningkatkan daya tahan tubuh,
membunuh bibit penyakit dan memperbaiki organ yang rusak serta menghambat
pertumbuhan tidak norma seperti tumor dan kanker (Anonim, 2003) .
52
Tumbuhan obat dapat berupa tumbuhan liar seperti semak, belukar dan
tumbuhan, hutan, tanaman perkebunan, tanaman hias maupun tanaman
hortikultura tetapi sebagaian besar merupakan tumbuhan liar di hutan primer
maupun sekuder (Simbala, 2000),.
Penggunaan tumbuhan obat sudah dilakukan dari generasi ke generasi
selama ribuan tahun sehingga tumbuhan obat dikenal sebagai obat nenek
moyang. Berdasarkan kenyataan ini maka penggunaan tumbuhan obat sudah
merupakan bagian dari tradisi masyarakat tradisional kita (Simbala, 1999).
Catatan sejarah menunjukkan bahwa di wilayah nusantara dari abad ke 5 sampai
dengan abad ke 19, tanaman obat merupakan sarana paling utama bagi
masyarakat tradisional kita untuk pengobatan penyakit dan pemeliharaan
kesehatan (Ahmad ZA, et al. 2002).
Menurut Winarto (2002), Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram
mencapai puncak kejayaannya dan menyisakan banyak peninggalan yang
dikagumi dunia, yaitu produk masyarakat tradisional yang mengandalkan
pemeliharaan kesehatan dari tumbuhan obat. Tetapi dengan masuknya
pengobatan modern di Indonesia, yang ditandai dengan didirikannya Sekolah
Dokter Jawa (Stovia) di Jakarta tahun 1904, maka secara bertahap dan
sistematis penggunaan tumbuhan obat ditinggalkan. Sejalan dengan masuknya
modernisasi maka pola hidup tradisional tererosi.
Selanjutnya dikemukakan bahwa masuknya pengobatan modern
membuat masyarakat beralih dari memanfaatkan tumbuhan obat menjadi
menggantungkan diri pada obat kimia modern. Penggunaan tumbuhan obat
dianggap kuno, terbelakang dan berbahaya. Tumbuhan yang telah digunakan
secara turun temurun itupun ditinggalkan, bahkan tumbuhan obat yang telah
didomestikasi diterlantarkan. Akibatnya masyarakat umumnya tidak mengenal
tumbuhan obat dan penggunaannya karena umumnya pengetahuan tentang
tumbuhan obat hanya diketahui oleh masyarakat yang telah lanjut usia dan
umumnya tidak diturunkan ke generasi muda.
Berbeda dengan negara Indonesia, hal serupa tidak terjadi di Negara-
negara tetangga seperti RRC, Jepang, Taiwan, Hongkong, Korea dan Negara
timur lainnya. Di negara-negara tersebut pengobatan modern diterima dan
dikembangkan sedangkan pengobatan tradisional dipelihara dan dikembangkan
sangat efektif. Obat tradisional diresepkan oleh dokter dan digunakan di banyak
53
rumah sakit, sehingga pasien dapat memilih untuk menggunakan obat kimia atau
obat tradisional tumbuhan obat atau gabungan keduanya (Anonim ,2003)
Menurut Pramono (2002), dekade terakhir abad ke 20 terdapat
kecenderungan global kembali ke alam. Hal ini berarti kembali ke obat radisional.
Kecenderungan ini sangat kuat di negara-negara maju dan hal ini berpengaruh
besar di negara-negara berkembang. Saat ini obat herbal telah digunakan di
Klinik Pengobatan Tradisional RS Dr. Sutomo Surabaya dan beberapa
Puskesmas di Jombang dan Jember. Beberapa rumah sakit di Jakarta juga
sudah menyediakan obat herbal.
Kecenderungan di seluruh dunia untuk kembali ke alam, termasuk di
bidang obat-obatan. Menurut Winarto (2002), terdapat beberapa alasan
mengapa kecenderungan kembali ke obat radisional tanaman obat yaitu: adanya
kelebihan pemakaian Obat Tradisional dan kelemahan obat modern/kimia.
Kelebihan obat tradisional (1) penggunaan bahan alam kurang drastis
aktivitasnya bila dibandingkan dengan zat murni yang diisolasi dari bahan alam
yang bersangkutan. Sebagai contoh pemakaian tanin untuk diare, akan lebih
drastis dari pemakaian bahan alam yang mengandung tanin dari jambu biji (Psidii
folium), kulit batang jambolang (Syzygii cartex) dan lain sebagainya. Bahan obat
tersebut akan melepaskan tanin ke dalam saluran pencernaan secara berangsur-
angsur pula. (2) bahan obat alam mempunyai khasiat lebih lengkap apabila
dibandingkan dengan zat aktif tunggal yang dapat diisolasi dari bahan alam obat
tersebut, misalnya kulit batang kina akan lebih lengkap apabila dibandingkan
dengan alkaloid kinina saja. Hal ini disebabkan adanya zat aktif lainnya di dalam
kulit batang kina yaitu kinidia, sinkodina, sinkonidina dan sebagainya, yang
masing-masing mempunyai efek farmakologi sendiri-sendiri. Khasiat bahan alam
tersebut merupakan resultan (gabungan) khasiat dari zat-zat yang dikandungnya.
(3) bahan obat alam memberi efek samping yang sangat kecil atau dapat
dikatakan tanpa efek samping bila dibandingkan dengan zat aktif tunggal yang
didapat dari hasil isolasi dan dimurnikan dari bahan alam yang bersangkutan. Hal
ini disebabkan adanya faktor yang ada dalam bahan itu yang dapat menetralisir
efek samping yang ditimbulkan zat aktif yang dikandung dalam bahan tersebut.
Kelemahan obat tradisional yaitu bentuk sediaannya yang tidak praktis, karena
belum dalam bentuk tabelt atau kapsul yang siap diminum.
Adapun kelemahan obat modern/obat kimia yaitu (1) efek samping
langsung atau terakumulasi, ini terjadi karena obat modern terdiri dari bahan
54
kimia yang murni, baik tunggal maupun campuran. Bahan kimia bersifat tidak
organis dan murni sehingga bersifat tajam dan reaktif (mudah bereaksi)
sedangkan tubuh bersifat organis dan kompleks sehingga dengan demikian
bahan kimia bukan merupakan bahan yang benar-benar cocok untuk tubuh;
bahan kimia bukan makanan dan minuman. Konsumsi bahan kimia untuk tubuh
terpaksa dilakukan dengan berbagai batasan dan dengan pemahaman masih
dapat diterima atau ditoleransi oleh tubuh. Penggunaan bahan kimia sebagai
obat sekarang ini diakui memberi efek samping langsung atau terakumulasi. (2)
sering kurang efektif untuk penyakit tertentu, banyak penyakit yang belum
ditemukan obatnya, sehingga obat yang digunakan lebih banyak bersifat
simptomatis dan digunakan terus menerus sesuai gejalanya. Beberapa penyakit
bahkan belum diketahui penyebabnya. Sering pasien harus berulangkali berobat
tapi tidak mengalami kemajuan bahkan memburuk keadaannya. (3) harganya
mahal karena adanya faktor impor, hampir seluruh obat kimia dan bahan baku
obat kimia yang kita gunakan merupakan barang impor. Hal ini terjadi karena
untuk meproduksi obat dibutuhkan teknologi canggih, biaya dan waktu pengujian
yang cukup lama. Hal lain yang cukup signifikan yang berpengaruh pada impor
yaitu bahwa produksi obat membutuhkan kepercayaan dan sampai saat ini
kepercayaan itu sudah dikuasai oleh negara-negara tertentu yang dikenal
sebagai produsen obat.
Sejak zaman dahulu rakyat Indonesia telah mengenal berbagai jenis
tumbuhan obat dan memanfaatkannya untuk menjaga kesehatan dan
pengobatan penyakit. Pemanfaatan obat tersebut diperoleh berdasarkan
pengetahuan secara empirik dan kemudian dipraktekkan secara turun temurun
serta menjadi tradisi yang khas di setiap daerah dan suku di Indonesia. Ratusan
etnis atau suku bangsa yang terdapat di Indonesia masih hidup secara
tradisional. Kehidupan mereka sangat erat dengan alam, khususnya
pemanfaatan tumbuhan obat dari ekosistem hutan alam. Kekhasan ini selain
disebabkan oleh kondisi geografis daerah terutama vegetasi dari masing-masing
wilayah, juga disebabkan oleh perbedaan budayanya (Simbala, 1998).
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengungkap sistem
pengetahuan masyarakat adalah pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan
kearifan, kepercayaan, persepsi, dan pengetahuan (Purwanto, 2003). Menurut
Toledo (1992), terdapat dua hal dalam mempelajari sistem pengetahuan yang
ideal, yaitu ilmu pengetahuan (science) dan kearifan (wisdom). Ilmu
55
pengetahuan lebih mengutamakan justifikasi, sedangkan kearifan berdasarkan
pada pengalaman pribadi. Ilmu pengetahuan memandang sebagai konfirmasi,
sedangkan kearifan memandang pengetahuan pribadi sebagai petunjuk untuk
memperoleh pengalaman pribadi.
Pengertian tentang kepercayaan memegang peranan penting dalam
melakukan pendekatan secara integratif dalam mempelajari pola pikir (corpus).
Kepercayaan suatu masyarakat mencapai bentuk yang paling sistematis terdapat
pada sebuah mitos. Hal yang sama terjadi pada pengertian pengetahuan, seperti
konsep pemikiran teori ekologis mengenai proses produksi berkelanjutan yang
hanya dapat dicapai apabila keseimbangan ekosistem terpelihara dengan baik.
Oleh karena itu untuk menganalisis corpus dari pemikiran para informan, harus
dilakukan pengabungan antara sistem kepercayaan dan persepsi masyarakat
(Purwanto, 2003).
Sistem kognitif atau kesadaran, merupakan komponen terakhir yang
harus diperhatikan dalam mempelajari korpus. Sistem ini mempunyai kontribusi
penting untuk memahami dimensi korpus. Oleh karena itu seorang etnoekolog
harus mampu menggali informasi sistem pengetahuan lokal terhadap
sumberdaya alam dan lingkungannya (Purwanto, 2003).
Menurut Zuhud (1994), pengobatan tradisional adalah salah satu upaya
pelayanan kesehatan yang dapat membantu meringankan beban pemerintah.
Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam upaya mencapai kemampuan hidup
yang sehat bagi setiap penduduk, pemerintah menyelenggarakan berbagai
upaya kesehatan dengan peran aktif masyarakat. Masyarakat diharapkan
mampu menolong diri dan keluarganya dengan pengobatan tradisional melalui
pemanfaatan berbagai tumbuhan obat sebelum mendapatkan pelayanan dari
puskesmas atau rumah sakit. Pengobatan tradisional secara langsung atau tidak
langsung mempunyai ikatan dengan upaya pelestarian pemanfaatan
sumberdaya alam hayati, khususnya tumbuhan obat. Kaitan tersebut dapat
dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam pengobatan tradisional, serta aturan
adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati, yang dapat dijumpai pada
masyarakat asli seperti di Kepulauan Tanimbar Key, Maluku .
Susi dan Rodani (1995) menyatakan bahwa tradisi pengobatan suatu
masyarakat tidak terlepas dari kaitan budaya setempat. Pemanfaatan
sumberdaya tumbuhan obat yang ditemukan, banyak berasal dari tumbuhan
hutan atau daerah sekitarnya yang masih tumbuh liar. Selanjutnya Nur dan
56
Iskandar (1995) mengatakan bahwa tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional
merupakan tumbuhan yang dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan
telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Potensi ini merupakan
aset nasional yang bernilai sangat strategis dan sangat tinggi untuk
mengembangkan manfaat baru dari berbagai hasil tumbuhan untuk kepentingan
manusia di dunia obat-obatan.
Endang (2002), mengemukakan bahwa 74 % dari 121 bahan senyawa
aktif yang telah mnejadi obat-obat modern yang penting di USA seperti digitoxin,
reserpin, tubocurarine dan ephedrin berasal dari pengetahuan obat tradisional
dari kawasan hutan tropika. Tetapi ironisnya sampai saat ini tidak satupun
masyarakat tradisional di kawasan hutan tropika memperoleh imbalan dari hasil
pengembangan dan komersialisasi pengetahuan obat tradisional mereka.
Selanjutnya menurut Zuhud (1994) masyarakat tradisional dan modern
hingga saat ini masih banyak yang menggunakan obat tradisional yang
bersumber dari alam dan sebagaian dari tumbuhan tersebut merupakan
tumbuhan obat potensial. Namun lebih lanjut dikatakan bahwa meskipun
berdasarkan penggunaannya diketahui bahwa potensi jenis tumbuhan obat
sangat tinggi, namun setiap lokasi penyebaran belum diketahui status
populasinya di alam.
Disisi lain laju kerusakan hutan (deforestasi) yang cenderung meningkat
dari tahun ke tahun dikhawatirkan akan mdengancam kelestarian jenis-jenis
tumbuhan obat di dalamnya. Ancaman punahnya pengetahuan obat tradisional
masyarakat, karena banyak yang tidak diturunkan lagi kepada generasi penerus
dan belum sempat didata (Zuhud et al., 2002).
Pengetahuan, seni, dan keterampilan tentang cara-cara pengelolaan dan
pemanfaatan tumbuhan obat tradisional bervariasi antara suku . Biasanya tidak
semua penduduk dapat memahami cara pengelolaan dan pemanfaatannya tetapi
hanya oleh segelintir masyarakat yang bisa dikenal sebagai dukun kampung.
Dukun tidak sembarangan mengajarkan atau menurunkan pengetahuan, seni
dan ketrampilannya kepada orang lain kecuali kepada keluarga. Sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini generasi muda
sekarang mulai meninggalkan seni dan pengetahuan penggunaan pengobatan
tradisional ini karena mereka menganggap sudah kuno. Akibatnya sulit
mendapatkan pewaris dukun (pengobat tradisional) yang professional. Hal ini
akan sangat memprihatinkan sebab kalau tidak segera dicatat dan
57
didokumentasikan, seni dan pengetahuan pemanfaatan tumbuhan hutan untuk
memelihara kesehatan akan lenyap (Simbala, 1998).
Menurut Zuhud et al., (2002), pelestarian pemanfaatan keanekaragaman
tumbuhan obat hutan tropika Indonesia merupakan suatu kegiatan terpadu,
melibatkan banyak institusi, berbagai disiplin ilmu dan mempunyai 3 tujuan yang
saling terkait yaitu: (1) pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable utilization)
keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia; (2) melestarikan
potensi keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia; (3)
mempelajari keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia.
Konservasi sangat penting untuk bioprospeksi di samping
pemanfaatannya yang berkelanjutan. Apabila peningkatan kemampuan serta
berbagai keuntungan diperoleh digunakan untuk konservasi dan pembangunan
yang berkesinambungan, berarti membuka sumber pendapatan baru untuk
peningkatan nilai keanekaragaman hayati yang akan memberikan keuntungan
bagi masyarakat (Kehati, 2001).
Keanekaragaman tumbuhan selain mempunyai fungsi ekonomi bagi
kehidupan manusia, juga sangat erat hubungannya dengan fungsi ekosistem.
Dalam pengawetan suatu jenis, ekosistem berperan dalam sistem hidrologi.
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan lebih ditekankan terhadap jenis asli
dibandingkan introduksi, karena jenis asli merupakan kunci kontribusi terhadap
fungsi ekosistem (Krebs, 2001).
Keanekaragaman kultural masyarakat merupakan bagian dari eksistensi
keanekaragaman hayati yang bersifat saling menopang yang dimanifestasikan
dalam bahasa, kepercayaan , struktur sosial, seleksi tanaman, manajemen lahan
serta sejumlah simbol kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu keanekaragaman
kultural tersebut merupakan satu komponen utama dalam kajian strategi
konservasi keanekaragaman hayati (Zuhud et al., 2002).
Menurut Tjakrarini (2002) keberhasilan pembangunan konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terukur dari keberhasilan
pencapaian tiga sasaran konservasi yaitu : (1) perlindungan sistem penyangga
kehidupan yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis di sekitarnya yang
menjamin kelangsungan kehidupan mahluk yang menunjang sistem penyangga
kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; (2).
Pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya
keanekaragaman sumberdaya genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga
58
mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang mengunakan sumberdaya
alam hayati bagi kesejahteraan; (3) pemanfaatan secara lestari, yaitu dengan
mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga
terjamin kelestariannya.
59
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian untuk pengumpulan data tumbuhan obat dan
pemanfaatannya dilakukan pada lokasi yang ditentukan secara purposive
dengan pertimbangan bahwa lokasi desa tersebut berada atau berbatasan
langsung dengan kawasan hutan TNBNW dan masyarakatnya mempunyai akses
langsung dalam memanfaatkan tumbuhan yang ada dikawasan hutan. Lokasi
yang dipilih sebagai sampel terdiri atas 3 kecamatan yaitu Dumoga utara,
Dumoga barat dan Dumoga timur. Sedangkan desa yang dipilih terdiri atas 6
desa yaitu desa Doloduo, Torout, Matayangan, Tumokang, Siniung, Kembang
Mertha. Desa Siniung dan Kembang Mertha berada di lereng G. Kabila.
Masyarakat yang tinggal di lokasi penelitian merupakan masyarakat dari
berbagai etnis/suku seperti Suku Bogani Kabupaten Bolaang Mongondow,
Gorontalo, Minahasa, Bugis, Jawa, dan Bali. Waktu pelaksanaan penelitian
dimulai bulan Agustus 2005 sampai dengan April 2006.
Bahan Penelitian dan alat penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan pembuatan
herbarium jenis flora, seperti : alkohol, kantong plastik, label, sasak bambu dan kertas
karton; daftar kuesioner responden; peralatan dokumentasi, seperti : kamera dan negatif
film; Alat Tulis Kantor (ATK).
Metode Penelitian
Proses pengumpulan data tumbuhan obat mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:
• Pelaksanaan penelitian diawali dengan persiapan instrumen penelitian,
perizinan ke Balai Taman Nasional BNW, dan PEMDA setempat
termasuk Tokoh Adat, tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama.
• Observasi lapangan mencakup ekotipe hutan, ketinggian dari
permukaan laut, kelompok suku/etnik, keamanan, transportasi,
ketersediaan sarana termasuk petunjuk jalan, dukun, dll.
• Inventarisasi jenis tumbuhan dan etnobotani untuk mendapatkan koleksi
tumbuhan, akan dilakukan koleksi pada tiap lokasi yang ditentukan
secara acak (purposive random sampling).
60
• Pada masing-masing lokasi dikoleksi semua tumbuhan obat yang
ditemukan, dicatat karakteristik sampel, lokasi tempat sampel dikoleksi
(tinggi tempat di atas laut, suhu, kelembaban, keadaan tanah dan
vegetasi lain). Populasi ditentukan dan dicatat penyebarannya.
Spesimen yang dikoleksi, jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
(baik ranting/daun, kulit batang, akar, bunga dan buah).
• Sebagaian dari spesimen dilapang disiapkan untuk pembuatan
herbarium, dimasukkan kedalam kantung plastik yang sesuai diberi
etanol (70%) untuk pengawetan dan diberi label, kemudian spesimen
dibawa ke laboratorium dikeringkan dengan oven 65o C sampai kering
selanjutnya dimounting
• Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan berdasarkan nama lokal yang
diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat
setempat, dari hasil tersebut kemudian diidentifikasi nama ilmiahnya.
Jenis tumbuhan yang belum diketahui nama ilmiahnya, dilakukan
pembuatan Herbarium dan selanjutnya diidentifikasi bekerjasama
dengan Herbarium Bogoriense Bogor.
Data Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ethno-
directed sampling yaitu pengumpulan data material tumbuhan obat didasarkan
pada pengetahuan suatu masyarakat atau etnik. Menurut Friedberg (1993) diacu
dalam Purwanto (2002), salah satu cara pendekatan yang dianggap lebih dapat
mengungkapkan sistem pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan obat, cara
pengobatan, tehnik peramuan dan aspek lain yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat adalah dengan pendekatan etnosain. Selanjutnya dikemukakan oleh
Purwanto (2002), bahwa metode ethno-directed sampling memiliki beberapa
keunggulan dalam penelitian tumbuhan obat. Cara pendekatan ini sangat cocok
diaplikasikan di Indonesia, mengingat bahwa negara kita memiliki kekayaan
keanekaragaman hayati dan budaya yang cukup tinggi.
Guna memahami lebih mendalam tentang pengetahuan masyarakat
sekitar kawasan TNBNW akan pemanfaatan tumbuhan sebagai obat, dilakukan
analisa kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat mengungkapkan aspek-aspek
pengetahuan tradisonal masyarakat di kawasan TNBNW tentang pemanfaatan
61
tumbuhan sebagai obat. Diharapkan dengan penggabungan kedua metode
pendekatan tersebut akan diperoleh data yang lebih lengkap dan akurat terutama
dalam penelitian etnobotani tumbuhan obat di kawasan TNBNW. Penggunaan
kombinasi kedua metode tersebut akan mempermudah analisa dan diskusi
dalam membahas hubungan timbal balik antara manusia dengan sumber daya
alam yang mencakup berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi, botani, ekologis
dan aspek lainnya.
Menurut Nasution(1988), penelitian kualitatif pada hakekatnya mengamati
orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha
memahami tentang dunia di sekitarnya. Sedangkan pengumpulan data secara
kwantitatif merupakan upaya melengkapi data kwalitatif sehingga analisis
interaksi antara manusia dengan dunia alam tumbuhan dan lingkungannya lebih
mendalam dan dapat memberikan suatu keluaran yang digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan sistem pengelolaan sumberdaya alam tumbuhan serta
lingkungannya. Dari sistem pengelolaan sumberdaya alam yang benar akan
diperoleh suatu hasil yang menguntungkan bagi manusia dan juga bagi
kelestarian sumber daya alam tumbuhan tersebut. Metode kwantitaif juga
berguna untuk lebih menjawab permasalahan yang dihadapi sehubungan
dengan hubungan masyarakat dengan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
lingkungannya.
Metode kwantitatif selain dapat melengkapi data kualitatif, juga dapat
mempertajam analisis “emik” yaitu suatu kerangka sistem pengetahuan lokal,
dengan analisis “etik” yaitu suatu analisis yang mengacu pada kerangka teoritis
ilmiah. Sehingga dengan kombinasi analisis emik dan etik akan diperoleh suatu
hasil yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam mengembangkan atau
membangun kelompok masyarakat atau suatu etnik di kawasan yang dipelajari.
Selain itu akan terungkap sistim pengetahuan lokal yang mungkin bermanfaat
bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu salah satu cara
yang sering digunakan para peneliti etnoilmiah dalam kuantifikasi data yang
berhubungan dengan budaya atau sistem pengetahuan lokal dengan membuat
skor atau ranking yang didasarkan pada pernyataan atau pendapat masyarakat.
Selain itu dengan kombinasi “emik dan etik”, maka data yang diperoleh dapat
dideskripsikan dan dimengerti secara mendalam.
62
Moleong (1990) mengemukakan bahwa jika seseorang menggunakan
pendekatan etik, maka ia melakukan generalisasi yaitu (a) mengelompokkan
secara sistematis seluruh data yang dapat perbandingkan ke dalam sistem
tunggal; (b) menyediakan seperangkat kriteria untuk mengklasifikasikan setiap
unsur data; (c) mengorganisasikan data yang telah diklassifikasi ke dalam tipe-
tipe; (d) mempelajari, menemukan, dan menguraikan setiap data baru yang
ditemukan ke dalam kerangka sistem yang telah dibuatnya. Sebaliknya
pendekatan emik merupakan esensi yang sahih untuk satu kebudayaan pada
satu waktu tertentu.
Secara umum sudut pandang emik meliputi persepsi, sistem penamaan
(nomenclature), klasifikasi, pengetahuan, kepercayaan, peraturan dan etika
terhadap dunia tumbuhan oleh masyarakat lokal atau kelompok etnik.
Pengetahuan emik membolehkan masyarakat lokal secara individu berkelakuan
di dalam adatnya secara pantas dalam kondisi Cultural yang berbeda.
Sedangkan perspektif etik , berarti kategori yang konseptual dan organisasi
lingkungan etnobotani menurut peneliti, atau yang sering terjadi adalah jalinan
antara budaya lokal dan kaidah ilmu pengetahuan. Tujuan dari pada penelitian
emik adalah untuk mengetahui budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat yang unik. Pendekatan emik di dalam studi etnobiologi, dan
klassifikasi tumbuhan dan hewan hanya dapat dipahami pada kondisi sosial
masyarakat lokal (Purwanto, 2003).
Perbedaan antara emik dan etik dari pengetahuan tentang tumbuhan
secara sistematik telah dilakukan oleh Berlin (1973). Penemuan terpenting dalam
penelitiannya bahwa terdapat tingkatan yang tinggi hubungan antara emik (folk)
generik taxa biologi dengan taxa ilmiah (etik) jenis biologi. Generik lokal (folk
generic) dibedakan berdasarkan persepsi pengklassifikasian karakter morfologi
dan perilaku, sedangkan jenis-jenis tumbuhan hasil klassifikasi ilmiah secara
teoritik, selain didasarkan pada morfologi, anatomi, juga berdasarkan kriteria
biologi reproduksi, evolusi dan bahkan sekarang dengan analisis biokimia dan
biomolekuler. Sistem pengetahuan emik masyarakat lokal merupakan sumber
yang potensial bagi pengetahuan etik sedangkan hal yang paling penting dalam
penelitian etik adalah menterjemahkan pengetahuan emik yang diperoleh peneliti
selama melakukan observasi.
63
Tehnik pengumpulan data yang dilakukan melalui 3 (tiga) yaitu (1)
observasi (2) wawacara, dan (3) studi dokumentasi/kepustakaan. Tehnik
observasi boleh dikatakan merupakan keharusan dalam pelaksanaan penelitian
kualitatif. Menurut Bungin (2003) temuan-temuan dalam studi kualitatif lebih
menjawab persoalan daripada sekedar angka-angka. Hal ini disebabkan karena
banyaknya fenomena sosial yang sulit terungkap bilamana hanya digali melalui
wawancara atau metode lain. Observasi dilakukan untuk memperoleh data
mengenai situasi dan kondisi daerah penelitian, situasi dan kondisi responden,
serta situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Tehnik wawancara merupakan tehnik yang essensial bagi peneliti
etnobotani karena dapat mengungkap berbagai informasi tentang
keanekaragaman jenis tumbuhan yang berguna, cara pemanfaatannya, aspek
ekologis masyarakat di suatu kawasan, data tersebut sangat diperlukan oleh
para perencana program konservasi. Pelaksanaan wawancara menggunaan dua
tehnik. Tehnik pertama adalah dengan menggunakan pedoman wawancara dan
kedua dilakukan dengan bebas dan terbuka (open interview). Untuk memahami
fenomena sosial yang lebih dalam, memerlukan tehnik wawancara mendalam ( in
depth interview), dalam hal ini peneliti merupakan instrumen penelitian. Oleh
sebab itu dalam penelitian ini kegiatan observasi dan wawancara berlangsung
secara bersamaan, karena merupakan suatu kesatuan kegiatan yang tak bisa
dipisahkan.
Studi dokumen/kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan data
mengenai gambaran umum maupun yang spesifik dengan topik penelitian. Studi
kepustakaan dimaksudkan juga untuk mendapatkan konsep, teori dan asumsi
ilmiah tentang sistem pengobatan tradisional oleh masyarakat. Kajian pustaka
juga dimaksudkan untuk menelaah dan menelusuri studi-studi atau penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan fenomena atau masalah yang diteliti.
Dalam penelitian empirik, sampling diartikan sebagai proses pemilihan
atau penentuan sampel (contoh). Karena penelitian ini merupakan penelitian
kwalitatif, maka prosedur sampling yang terpenting adalah bagaimana
menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang sarat
informasi sesuai dengan fokus penelitian. Tehnik pemilihan sampel secara acak
dengan sendirinya tidak relevan. Untuk memilih sampel dalam hal ini informan
kunci, lebih tepat dilakukan secara sengaja (purposive sampling) (Nasution,
1988; Moleong 1990).
64
Menurut Bungin (2003), responden kunci ditentukan dengan cara
memilih orang-orang yang diperkirakan dapat menjawab pertanyaan yang
diperlukan fokus penelitian yaitu ahli pengobat tradisional (dukun), dan warga
masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan dan akses terhadap tumbuhan
obat yang ada di sekitarnya.
Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan obat diperoleh
dari wawancara dengan responden yang berdomisili di sekitar kawasan yang
memiliki pengetahuan ekologi empiris dan budaya lokal. Pengambilan data
diawali dengan data tentang terminologi lokal mengenai segala aspek yang
diamati meliputi penamaan jenis–jenis tumbuhan dan seluruh obyek yang ada
kaitannya dengan tehnik pengobatan, macam penyakit, cara peramuan dan cara
pemanfaatannya.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di kawasan
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Walaupun penduduk memiliki sistem
pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat, namun yang mengetahui
secara mendalam hal –hal yang berhubungan dengan ruang lingkup penelitian
hanya orang-orang tertentu saja.
Pengambilan sampel untuk melakukan wawancara dilakukan dengan
masyarakat desa yang berdomisisli di sekitar kawasan yang memiliki
pengetahuan ekologi empiris dan budaya mereka sendiri. Sebelum wawancara
dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan survey pendahuluan untuk mengetahui
variasi pola hidup masyarakat di sekitar taman nasional.
Pemilihan responden didasarkan atas pertimbangan peubah-peubah
demografi penduduk setempat dan hasil wawancara penduduk lokal di setiap
lokasi desa yang dipilih. Desa terpilih ditentukan secara purposive sampling pada
desa-desa yang berada di dalam atau yang berbatasan dengan kawasan taman
nasional, dengan asumsi bahwa semakin dekat dengan kawasan maka interaksi
masyarakat dengan kawasan hutan semakin meningkat.
Peubah demografi yang dipilih adalah peubah yang berkaitan langsung
dengan sistem pengetahuannya terhadap dunia tumbuhan di lingkungannya
(seperti jenis pekerjaan, perbedaan kelamin (laki-laki dan perempuan) faktor
usia, kaya atau miskin, urban atau rural) dari proporsi heterogenitas jumlah total
populasi mereka. Peubah demografi yang dipilih dalam penelitian ini adalah
faktor usia. Peubah usia penduduk dalam pemilihan responden dimaksudkan
65
untuk menghidari terjadinya bias kepada kelompok tertentu saja misalnya berusia
muda saja atau usia tua saja (Nazir 1988), dan juga untuk mengetahui tingkat
degradasi pengetahuan tentang lingkungan antar generasi. Responden dipilih
berdasarkan usia penduduk dengan rentangan usia 15 tahun sampai di atas 60
tahun untuk menjadi responden. Pemilihan usia terendah ≤ 15 tahun dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa usia 15 tahun adalah usia sekolah dasar(SD)
dan sekolah menengah pertama (SMP). Penduduk yang berusia ≤ 15 tahun
masih dipandang belum banyak mendapat kesempatan menerima nilai sosial
dan budaya dalam hubungan dengan pemanfaatan tumbuhan dalam lingkungan
mereka. Sedangkan usia di atas 60 tahun merupakan usia yang paling tahu
atau sudah banyak menerima nilai-nilai sosial dan budaya di lingkungannya.
Perbedaan jenis kelamin dalam pemilihan responden didasarkan pada
kenyataan bahwa wanita pedesaan di kawasan TNBNW ikut berperan dalam
kehidupan sosial keluarga, mulai dari mengerjakan kebun atau ladang,
memlihara ternak, pemungutan hasil, pengolahan hasil sampai pada pemasaran
hasil. Jadi peubah perbedaan jenis kelamin penduduk di kawasan TNBNW
menjadi salah satu pertimbangan penting dalam pemilihan nara sumber. Bagi
penduduk yang bukan asli suku Bogani Kabupaten Bolaang Mongondow namun
tinggal, bekerja dan telah menikah di daerah ini, diberi syarat masa mukim
minimal 10 tahun untuk dapat dipilih sebagai nara sumber. Masa mukim 10
tahun bagi penduduk pendatang diharapkan mereka sudah menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai dari budaya kelompok penduduk asli (lokal).
Penentuan jumlah responden laki-laki dan perempuan pada setiap kelas
usia berdasakan perhitungan menurut Banilodu (1988), yaitu :
xnP
l ∑= l xl
l l ∑∑= lu
u
xnP
p p ∑= xp
p p ∑∑
=pu
u
Dimana :
l = laki-laki, p = perempuan, lu = laki-laki ke u, pu = perempuan ke u,
P= populasi
N= jumlah sampel keseluruhan
66
Berdasarkan pada data penduduk di setiap desa sampel, peneliti menarik
masing-masing 30 penduduk untuk menjadi nara sumber. Selanjutnya untuk
mengetahui sistem pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan di sekitar
taman nasional dilakukan analisis tingkat pemanfaatan tumbuhan bagi
masyarakat yaitu dengan cara mengukur Index of Cultural Significance (ICS).
Indeks kepentingan budaya (Index of Cultural Significance) adalah merupakan
hasil analisis etnobotani kuantitatif yang menunjukkan nilai kepentingan tiap-tiap
jenis tumbuhan berguna yang didasarkan pada keperluan masyarakat.
Salah satu cara yang sering digunakan oleh para peneliti etnobotani
dalam kuantifikasi data yang berhubungan dengan budaya atau sistem lokal
masyarakat, adalah dengan membuat skor atau ranking yang didasarkan pada
pernyataan atau pendapat mayarakat. Angka (skor) hasil penghitungan ICS
menunjukkan pemanfaatan setiap jenis tumbuhan berguna oleh masyarakat.
Untuk menghitung Index of Cultural Significance dilakukan dengan rumus seperti
berikut :
ICS = ( )∑=
××n
1nieiq
i
Sehubungan dengan setiap jenis tumbuhan mempunyai beberapa kegunaan,
maka rumus perhitungannya adalah sebagai berikut :
ICS = ( ) ( ) ( )n21 nnnnn222
n
1in111 eiq.........eiqeiq ××++××+××∑
=
Keterangan :
ICS = Index of Cultural Significance
q = nilai kualitas (quality value)
i = nilai intensitas (intensity value)
e = nilai eksklusivitas (exclusivity value).
Kategori nilai pemanfaatan dari setiap jenis tumbuhan untuk obat tradisional di
sekitar taman nasional didasarkan pada cara perhitungan yang ditemukan oleh
Turner 1988 diacu dalam Purwanto, 2002, dapat dilihat pada Tabel 11-13.
Berdasarkan hasil deskripsi keanekaragaman jenis tumbuhan obat di
sekitar kawasan TNBNW, dilakukan penentuan jenis tumbuhan obat berpotensi
untuk penelitian lebih lanjut. Penentuan jenis tumbuhan berpotensi diperoleh
dengan cara memilih 10 jenis tumbuhan berdasarkan peringkat indeks nilai
67
budaya (ICS), indeks nilai penting (INP), nilai ekologi, nilai ekonomi, pemasaran,
nilai tambah, syarat tumbuh, budidaya, pengembangan. Selanjutnya dengan
metode perbandingan eksponensial dapat ditentukan satu jenis tumbuhan yang
paling berpotensi.
Metode perbandingan eksponensial (MPE) adalah metode untuk
menentukan urutan prioritas alternatif keputusan kriteria jamak. Menggunaan
MPE mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi
dalam analisis, karena nilai skor akan menjadi besar dengan adanya fungsi
eksponensial sehingga perbedaan skor lebih nyata. Tahapan dalam penggunaan
MPE untuk menentukan jenis tumbuhan yang paling berpotensi adalah
menyusun alternatif, menentukan kriteria, menentukan tingkat kepentingan
kriteria, melakukan penilaian terhadap alternatif untuk setiap kriteria, menghitung
skor atau nilai total alternatif, dan menentukan prioritas alernatif (Marimin 2004).
Kriteria yang digunakan dalam perhitungan MPE adalah nilai penting
jenis, ICS, nilai ekonomi, pemasaran, dampak nilai tambah jenis kepada
masyarakat, syarat tumbuh yang sesuai, ketersediaan teknologi budidaya yang
memadai, dan potensi pengembangan jenis tersebut.
Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif untuk menentukan nilai
dalam Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) menurut Marimin 2004
sebagai berikut :
TNi = ∑ RKij TKKj J=1
Dimana :
TNi = Total nilai alternatif ke-i
RKij = Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan ke-i
TKKj= Derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j;TKKj>0;bulat
n = Jumlah pilihan keputusan
m = Jumlah kriteria keputusan
68
Tabel 11. Nilai Kualitas Suatu Jenis Tumbuhan Obat menurut kategori
etnobotani
No Khasiat Kegunaan
Nilai Guna
1 Bahan obat untuk mengobati Sakit Kepala,pusing,migrain 5 2 Bahan obat pencernaan Sakit Perut,diare,disentri 5 3 Bahan obat untuk batuk dan influenza 5 4 Penurun Panas/demam, dan Malaria 5 5 Bahan obat untuk penyakit Maag 5 6 Obat-obatan khusus wanita, obstetric/ginekologi 5 7 Obat-obatan untuk asam urat,reumatik,nyeri sendi 5 8 Bahan obat untuk Sariawan dan panas dalam 5 9 Bahan obat untuk penyakit Campak 4
10 Bahan obat untuk penyakit TBC 4 11 Bahan obat khusus untuk anak-anak 4 12 Bahan obat untuk masalah pernapasan / asma 4 13 Bahan obat untuk penyakit kanker dan Tumor 4 14 Bahan obat muntah ular 4 15 Bahan obat untuk penyakit hati 4 16 Bahan obat untuk penyakit Cacingan 4 17 Bahan obat untuk Diabetes 4 18 Bahan obat untuk ginjal,sakit pinggang 4 19 Bahan obat untuk tekanan Darah tinggi 4 20 Bahan untuk penyakit infeksi telinga 4 21 Bahan untuk Kontrasepsi 4 22 Bahan untuk penyakit kulit (Panu,kudis,kurap,bisul) 4 23 Bahan obat untuk Pegal-pegal,kecapean 3 24 Bahan obat untuk penyakit dalam 3 25 Bahan obat untuk Penambah darah 3 26 Bahan untuk penyakit Sakit mata 3 27 Bahan obat untuk sakit gigi 3 29 Bahan obat untuk Penawar racun 3 30 Bahan untuk Penyubur rambut dan kosmetik 3 31 Bahan untuk meningkatkan napsu makan 2 32 Bahan tumbuhan untuk upacara adat 2 33 Bahan untuk penyakit hewan 2 34 Tumbuhan yang berharga atau memiliki nilai 1 35 Tumbuhan untuk keperluan simbol-simbol tertentu 1
69
Tabel 12. Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan
jenis tumbuhan obat.
Nilai Deskripsi
5 Tumbuhan obat yang sangat tinggi intensitas penggunaanya, yaitu
jenis yang digunakan setiap hari
4 Tumbuhan obat yang tinggi intensitas penggunaanya, yaitu
digunakan secara regular harian, musiman, atau berkala
3 intensitas penggunaanya sedang, yaitu yang digunakan secara
regular tetapi dalam waktu tertentu, biasanya jenis-jenis yang
diekstrak atau bila hasilnya berlebihan bisa dijual.
2 Jenis-jenis tumbuhan obat rendah intensitas penggunaanya, meliputi
yang jarang digunakan .
1 intensitas penggunaanya sangat jarang (minimal).
Tabel 13. Kategori yang menggambarkan tingkat eksklusivitas atau tingkat
kesukaan.
Nilai Deskripsi
2 Jenis tumbuhan obat yang paling disukai yang mempunyai nilai guna
tidak tergantikan oleh jenis lain.
1 Meliputi jenis tumbuhan obat yang disukai tetapi terdapat jenis lain
apabila jenis tersebut tidak ada.
0,5 Jenis tumbuhan obat yang hanya sebagai sumberdaya sekunder.
70
6
24
34
27
1821
25
105
10152025303540
Akar Batang Daun Bunga Buah Seluruhbagian
Kulitbatang
Umbi Pucuk Airdalambatang
Bagian yang digunakan
Jum
lah
jeni
s
Jumlah jenis
60
1115 17
18
0
10
20
30
40
50
60
70
Pohon Herba Semak Perdu Bambu Liana
Habitus
Jum
lah
jeni
s
Jumlah jenis
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat Berdasarkan hasil inventarisasi keanekaragaman jenis tumbuhan obat di
lima lokasi di kawasan TNBNW, tercatat 121 jenis tumbuhan yang digunakan
oleh masyarakat setempat sebagai ramuan obat. Pemanfaatan keanekaragaman
jenis tumbuhan obat di TNBNW meliputi nama ilmiah, famili, bagian yang
digunakan, dan manfaatnya dapat dilihat pada Tabel 14. Dilihat dari segi
habitusnya, jenis-jenis tumbuhan obat dikelompokkan dalam 6 macam, yaitu
habitus herba, liana, perdu, pohon, semak, dan bambu (Gambar 8).
Gambar 8. Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan habitusnya
Berdasarkan bagian tumbuhan yang digunakannya, jenis-jenis tumbuhan
obat dikelompokkan kedalam 10 macam yaitu daun, akar, batang, kulit batang,
bunga, getah, pucuk daun, umbi, buah, dan semua bagian tanaman (Gambar 9).
Gambar 9. Bagian tumbuhan yang digunakan tumbuhan obat.
71
Tabel 14. Jenis-jenis Tumbuhan Obat Berdasarkan Nama Lokal, Nama ilmiah, Suku, bagian yang digunakan, dan jenis penyakit
Nomor Nama Lokal Nama ilmiah Suku Bagian Yang Digunakan Kegunaan
1 Alikokop Dischidia nythesiana Asclepiadaceae Kulit Batang, daun Kanker, sakit gigi 2 Amok Cananga odorata Annonaceae Kulit Batang Sakit Mata 3 Atul Mallotus moluccana Hernandiaceae pucuk daun Rematik&Pegal 4 Badag Hemigraphis sp. Achantaceae kulit Batang Ginjal, diabetes, Hypertensi 5 Bambeletan Cassia alata Leguminoceae Daun Kulit, Kosmetik 6 Bayur Pterospermum celebicum Sterculiaceae Kulit Batang Kanker, rematik 7 Benalu Loranthus sp Loranthaceae Batang Rematik&Pegal 8 Bintanag Kleinhovia hospita Sterculiaceae Daun Pencernaan 9 Binuang Octomeles sumatrana Datiscaceae Daun Penyakit khusus wanita
10 Bitaui Calophyllum soulattri Guttiferae Kulit batang Kulit 11 Kapuraca Ochocarpus ovalifolium Guttiferae Kulit batang Rematik&Pegal 12 Bobang Canarium hirtusum Annonaceae Kulit batang Penawar racun, rematik, Malaria 13 Bogu Melia azedarch Meliaceae Kulit batang Pernapasan 14 Aren Arenga pinnata Arecaceae Kapas pada batang Penyakit wanita, TBC, Kulit, Demam,Sakit Kepala 15 Bolangat Nephelium sp. Sapindaceae Kulit batang Malaria 16 Bonata Clerodendron buchananii Verbenaceae Kulit batang TBC 17 Bongale Zingiber sp Zingeberaceae Kulit dan batang Kulit 18 Bongkodu Morinda citrifolia Rubiaceae Kulit dan batang Liver , Tonikum 19 Bonok Eleucine indica Poaceae Kulit dan batang Tonikum 20 Bonok Passiflora foetida Passifloraceae Kulit dan batang Tonikum 21 Bonok macan Andropogon zizanoides Poaceae Getah Penawar racun,Pencernaan 22 Bonok tagapis Scopariadulcis Scorphulariaceae Daun Kanker 23 Bonokpiper Peperomia pellcida Piperaceae Daun Hypertensi, Kosmetik 24 Boyokia Pittosporum ferrugineum Pittosporaceae Kulit batang Pencernaan 25 Bulu tikus Bambusa sp. Poaceae Seluruh tanaman Mitologi 26 Buto butong Dyospiros buxifolia Ebenaceae Seluruh tanaman Demam dan sakit kepala,Tonikum 27 Dalit Harpulia cupanoides Sapindaceae Seluruh bagian Kulit,TBC,Tonikum
72
28 Damar babi Dacryodes rostrata Magnoliaceae Akar Malaria,Tonikum 29 Diat Andropogon zizanioides Poaceae Serat Penyakit khusus wanita, Ginjal 30 Doit-doit Drymoglossum sp. Polypodiaceae Batang Kanker, Penawar racun 31 Dondolipon Xanthosoma violaceum Araceae Buah demam & sakit kepala 32 Dondoyuta Hyptis suaveolens Lamiaceae Daun Kulit 33 Dumpagon Ficus minahassae Moraceae Batang Mitologi, ginjal 34 Eboni Dyospyros celebica Ebenaceae buah Hypertensi, Liver,Ginjal, Diabetes 35 Ganceng Piper caninum Piperaceae Daun Pencernaan dan kulit 36 Gedi merah Abelmoschus sp. Malvaceae pucuk daun Penyakit khusus wanita, batuk 37 Kapuk hutan Gozampinus heptaphylla Bombacaceae Kulit Batang Rematik&Pegal 38 Kayu batu Koordersiodendron pinnatum Annacardiaceae pucuk daun Penyakit khusus wanita 39 Kayu burung Barleria prionitis Acanthaceae Batang,Daun Kulit 41 Kayu dondo Vitex negundo Verbenaceae Buah Hypertensi, Liver,Ginjal, Diabetes 42 Kayu kambing Garuga floribunda Burseraceae Seluruh tanama TBC 43 Kayu Keng Bischovia javanica Euphorbiaceae Batang Penyakit wanita, TBC, Kulit, Demam ,Sakit Kepala 44 Kayu lawang Cinamomum koodersii Lauraceae Daun demam & sakit kepala,Pencernaan, Kulit, dan KB 45 Kayu maumar Nauclea celebica Rubiaceae Akar Kulit, pegal,tonikum 46 Kayu susu Alstonia scholaris Apocynaceae Daun Kanker 47 Keladi merah Alocasia sp. Araceae Batang dan daun Kulit,KB 48 Kemiri Aleurites moluccana Euphorbiaceae Akar Kanker 49 Kolintama Alocasia cucculata Araceae Daun Kulit,KB 50 Kolot Blumea riparia Asteraceae Seluruh tanaman Jantung 51 Kopuling Alocasia sp. Araceae Seluruh tanaman Pernapasan 52 Koruntungan Solanum sp. Solanaceae Seluruh tanaman Tonikum 53 Koyondom Pogostemon heyneanus Lamiaceae Daun Pernapasan 54 Kuyanga Coechorus acutangulus Tiliaceae Daun Pencernaan 55 Kapunggi Alsphila glauca Cyatheaceae Batang Pencernaan 56 Lantat Lansium domesticum Meliaceae Daun Pencernaan, sakit kepala dan demam 57 Lidoyok Lantana camara Verbenaceae Daun Pencernaan dan Pernapasan, batuk 58 Linggua Pterocymbium sp. Sterculiaceae Daun Ginjal 59 Linggua Pterocarpus indica Fabaceae Daun Diabetes
73
60 Lingkobung Macaranga gigantea Euphorbiaceae Daun Diabets 61 Liod Bantong Bauhenia purpurea Caesalpiniaceae Seluruh tanaman kehamilan dan persalinan 62 Lompiat Averrhoa carambolla Oxalidaceae Batang dan daun Pencernaan, Pernapasan 63 Lumbugon Acalypha caturus Euphorbiaceae pucuk daun Ginjal 64 Lunkab Palquium sp Sapotaceae Akar Kulit 65 Mangga hutan Mangifera sp Anacaediaceae Daun Malaria 66 Manggis hutan Mangostana indica Guttiferae Batang Pencernaan, demam dan sakit kepala 67 Matoa Pometia pinnata Sapindaseae Kulit batang Kulit dan pencernaan 68 Menggosian Clerodendron inerme Verbenaceae Daun Liver,hypertensi, Diabetes, Ginjal 69 Mongkudu Morinda bracteata Rubiaceae Buah Malaria, hypertensi 70 Nunuk Ficus benyamina Moraceae Seluruh tanaman kehamilan dan persalinan 71 Obuyu mamaan Piper betle Piperaceae Daun Pernapasan 72 Obuyu Piper aduncum Piperaceae Daun kehamilan dan persalinan 73 Ogusip Litsea sp. Lauraceae Bunga dan daun Pernapasan,demam dan sakit kepala 74 Olunan Celtis philippensis Ulmaceae Buah demam dan sakit kepala 75 Ongkolan Eucalyptus deglupta Myrtaceae Batang Pernapasan 76 Onunang Cordia dichotoma Borrangiaceae Pangkal tangkai daun Kulit 77 Opolat Ficus amplas Moraceae Tunas Pencernaan 78 Oyobung adi Selaginella tamariscina Selaginellaceae Seluruh tanaman Hypertensi,Ginjal,penyakit khusus wanita 79 Padang Imperata cylindrica Poaceae pucuk daun Demam dan sakit kepala,asam urat 80 Pala hutan Myristica sp. Myristicaceae Empulur batang sakit kepala,malaria,Kanker,penyakit wanita, tonikum 81 Pandan hutan Pandanus sp. Pandanaceae Buah demam dan sakit kepala,ginjal,Hypertensi 82 Pangi Pangium edule Flacourtiaceae Akar,buah Ginjal, Hypertensi, Liver,sesak napas 83 Patuku Cycas rumphii Cycadaceae Daun dan biji Pencernaan, muntah darah 84 Pidai Poikilospermum suaveolens Moraceae seluruh tanaman Penyakit khusus wanita 85 Pikit Ocinum basilicum Labiatae Buah Hypertensi, Diabetes, Ginjal 86 Pinang hitam Pinanga caesia Arecaceae Biji Mitologi, religi 87 Pinang yaki Areca vestiaria Arecaceae Bunga,daun, dan buah KB,diabetes, Obat cacing,Mitologi, Ritual,kosmetik 88 Pisang goroho Musa sp. Musaceae Daun Pernapasan,Kulit, ginjal 89 Pisang hutan Musa acuminata Musaceae Daun Kulit,obat cacing 90 Pisek Algaia elliptica Meliaceae Kulit batang Kanker, kulit
74
91 Pondang Pandanus sp. Pandanaceae Daun Penawar racun,obat cacing,Liver,Hypertensi,ginjal,Kanker 92 Polaguyon Syzigium spicatum Myrtaceae Batang Demam dan sakit kepala, Kulit 93 Pombosion dn kecil Polyalthia sp. Annonaceae seluruh tanaman Penawar racun,Kulit 94 Pomia insumbu Gossypium herbaceum Malvaceae Batang Pernapasan 95 Pudutan Palquium obovatum Sapotaceae Batang Kulit dan ginjal 96 Rambutan hutan Nephelium sp. Sapindaceae Daun Malaria,mitologi 97 Rotan Calamus sp. Arecaceae Daun Ginjal, Kulit,mitologi 98 Seho Arenga pinnata Arecaceae Daun Sakit kepala,,Malaria,TBC, mitologi 99 Sesewanua Clerodendron serratum Verbenaceae Daun Kulit,demam,pencernaan
100 Siangga Impatiens semen Balsaminaceae Seluruh tanaman Kulit, mitologi 101 Sirsak hutan Xylopia sp. Annonaceae Kulit batang Malaria 102 Sombar Erythrina variegata Papilionaceae Kulit batang Malaria,sakit kepala 103 Sosoro Laportea deamana Urticaceae Kulit batang Malaria 104 Susuan Phaleria capitata Thymelaeaceae Buah Sakit gigi 105 Tagalolo Ficus septica Moraceae Kulit batang Malaria 106 Talas Remusatia vivipara Araceae Umbi Kanker 107 Talas Schismatoglottis calypatra Araceae daun Kulit
Tanoyan Oncosperma sp Arecaceae Akar Malaria 109 Tobaang Cordyline fructicosa Liliaceae Batang Pencernaan,TBC 110 Togop Artocarpus elasticus Moraceae Batang Pencernaan 111 Tolutu Pterocymbium tinktorium Sterculiaceae Batang Rematik&Pegal 112 Tomilow bobai Aneleima malabaricum Commelinaceae Seluruh tanaman Demam dan sakit kepala, Ritual 113 Tongit Ageratum conyzoides Compositae Batang Kulit 114 Tontuatoi Costus megalobrachtea Zingiberaceae Batang Pernapasan, Pencernaan,KB 115 Torosik Casearia grewiaefolia Flacourtiaceae Batang Pencernaan 116 Tuis Hornstedia sp Zingeberaceae Seluruh tanaman Kulit,Ritual 117 Tukadan Jatropha gossypifolia Euphorbiaceae Seluruh tanaman TBC,Ritual 118 Tuyat Derris elliptica Papilionaceae Seluruh tanaman TBC,RITUAL 119 Udun Ficus variegata Moraceae Daun Penyakit khusus wanita 120 Uing/Kayu arang Cratoxylon celebicum Hypericaceae batang Penyakit khusus wanita 121 Ulibat Spondias pinnata Anacardiaceae Umbi Penyakit khusus wanita, Malaria
75
No Nama Lokal Nama Latin Famili Bagian Yang Digunakan Kegunaan
1 Alikokop Dischidia nythesiana Asclepiadaceae Kulit Batang, daun Kanker, sakit gigi 2 Amok Cananga Odorata Annonaceae Kulit Batang Sakit Mata 3 Atul Mallotus moluccana Hernandiaceae pucuk daun Rematik&Pegal 4 Badag Hemigraphis Achantaceae kulit Batang Ginjal, diabetes, Hypertensi 5 Bambeletan Cassia alata Leguminoceae Daun Kulit, Kosmetik 6 Bayur Pterospermum celebicum Sterculiaceae Kulit Batang Kanker, rematik 7 Benalu Loranthus sp Loranthaceae Batang Rematik&Pegal 8 Bintanag Kleinhovia hospita Sterculiaceae Daun Pencernaan 9 Binuang Octomeles sumatrana Datiscaceae Daun Penyakit khusus wanita 10 Bitaui Calophyllum soulattri Guttiferaceae Kulit batang Kulit 11 Kapuraca Ochocarpus ovalifolium Guttiferae Kulit batang Rematik&Pegal 12 Bobang Canarium hirtusum Annonaceae Kulit batang Penawar racun, rematik, Malaria 13 Bogu Melia azedarch Meliaceae Kulit batang Pernapasan 14 Aren Arenga pinnata Arecaceae Kapas pada batang Penyakit wanita, TBC, Kulit, Demam,Sakit Kepala 15 Bolangat Nephelium sp. Sapindaceae Kulit batang Malaria 16 Bonata Clerodendron buchananii Verbenaceae Kulit batang TBC 17 Bongale Zingiber sp Zingeberaceae Kulit dan batang Kulit 18 Bongkodu Morinda citrifolia Rubiaceae Kulit dan batang Liver , Tonikum 19 Bonok Eleucine indica Poaceae Kulit dan batang Tonikum 20 Bonok Passiflora foetida Passifloraceae Kulit dan batang Tonikum
21 Bonok macan Andropogon zizanoides Poaceae Getah Penawar racun,Pencernaan
22 Bonok tagapis Scopariadulcis Scorphulariaceae Daun Kanker
23 Bonokpiper Peperomia pellcida Piperaceae Daun Hypertensi, Kosmetik 24 Boyokia Pittosporum ferrugineum Pittosporaceae Kulit batang Pencernaan 25 Bulu tikus Bambusa sp. Bambusaceae Seluruh tanaman Mitologi
76
26 Buto butong Dyospiros buxifolia Ebenaceae Seluruh tanaman Demam dan sakit kepala,Tonikum 27 Dalit Harpulia cupanoides Sapindaceae Seluruh bagian Kulit,TBC,Tonikum 28 Damar babi Dacryodes rostrata Magnoliaceae Akar Malaria,Tonikum 29 Diat Andropogon zizanioides Poaceae Serat Penyakit khusus wanita, Ginjal 30 Doit-doit Drymoglossum Polypodiaceae Batang Kanker, Penawar racun 31 Dondolipon Xanthosoma violaceum Araceae Buah demam & sakit kepala 32 Dondoyuta Hyptis suaveolens Lamiaceae Daun Kulit 33 Dumpagon Ficus minahassae Moraceae Batang Mitologi, ginjal 34 Eboni Dyospyros celebica Ebenaceae buah Hypertensi, Liver,Ginjal, Diabetes 35 Ganceng Piper caninum Piperaceae Daun Pencernaan dan kulit 36 Gedi merah Abelmoschus sp. Malvaceae pucuk daun Penyakit khusus wanita, batuk 37 Kapuk hutan Gozampinus heptaphylla Bombacaceae Kulit Batang Rematik&Pegal
38 Kayu batu Koorsidersiodendron pinnatum Annacardiaceae pucuk daun Penyakit khusus wanita
39 Kayu burung Barleria prionitis Acanthaceae Batang,Daun Kulit 41 Kayu dondo Vitex negundo Rubiaceae Buah Hypertensi, Liver,Ginjal, Diabetes
42 Kayu kambing Garuga floribunda Burseraceae Seluruh tanama TBC
43 Kayu Keng Bischovia javanica Euphorbiaceae Batang Penyakit wanita, TBC, Kulit, Demam ,Sakit Kepala 44 Kayu lawang Cinamomum koodesii Lauraceae Daun demam & sakit kepala,Pencernaan, Kulit, dan KB
45 Kayu maumar Nauclea celebica Rubiaceae Akar Kulit, pegal,tonikum
46 Kayu susu Alstonia scholaris Apocynaceae Daun Kanker
47 Keladi merah Alocasia sp. Araceae Batang dan daun Kulit,KB
48 Kemiri Eleurites moluccana Euphorbiaceae Akar Kanker 49 Kolintama Alocasia cucculata Araceae Daun Kulit,KB 50 Kolot Blumea riparia Asteraceae Seluruh tanaman Jantung 51 Kopuling Alocasia sp. Araceae Seluruh tanaman Pernapasan 52 Koruntungan Solanum sp. Solanaceae Seluruh tanaman Tonikum 53 Koyondom Pogostemon heyneanus Lamiaceae Daun Pernapasan
77
54 Kuyanga binangoan Coechorus acutangulus Tiliaceae Daun Pencernaan
55 Kuyanga kapunggi Alsphila glauca Cyatheaceae Batang Pencernaan
56 Lantat Lansium domesticum Meliaceae Daun Pencernaan, sakit kepala dan demam 57 Lidoyok Lantana camara Verbenaceae Daun Pencernaan dan Pernapasan, batuk 58 Linggua Pterocymbium Sp. Caesalpiniaceae Daun Ginjal 59 Linggua Pterocarpus indica Caesalpiniaceae Daun Diabetes 60 Lingkobung Macaranga gigantea Euphorbiaceae Daun Diabets
61 Liod Bantong Bauhenia purpurea Caesalpiniaceae Seluruh tanaman kehamilan dan persalinan
62 Lompiat Everrhoa sp. Oxalidaceae Batang dan daun Pencernaan, Pernapasan 63 Lumbugon Acalypha caturus Euphorbiaceae pucuk daun Ginjal 64 Lunkab Palquium sp Sapotaceae Akar Kulit
65 Mangga hutan Mangifera sp Anacaediaceae Daun Malaria
66 Manggis hutan Mangostana indica Guttiferae Batang Pencernaan, demam dan sakit kepala
67 Matoa Pometia pinnata Sapindaseae Kulit batang Kulit dan pencernaan 68 Menggosian Clerodendron inerme Verbenaceae Daun Liver,hypertensi, Diabetes, Ginjal 69 Mongkudu Morinda bracteata Rubiaceae Buah Malaria, hypertensi 70 Nunuk Ficus benyamina Moraceae Seluruh tanaman kehamilan dan persalinan 71 Obuyu Piper betle Piperaceae Daun Pernapasan 72 Obuyu Piper aduncum Piperaceae Daun kehamilan dan persalinan 73 Ogusip Litsea sp. Lauraceae Bunga dan daun Pernapasan,demam dan sakit kepala 74 Olunan Celtis philippensis Ulmaceae Buah demam dan sakit kepala 75 Ongkolan Eucalyptus deqlupta Myrtaceae Batang Pernapasan 76 Onunang Cordia dichotoma Borrangiaceae Pangkal tangkai daun Kulit 77 Opolat Ficus amplas Moraceae Tunas Pencernaan 78 Oyobung adi Selaginella tamariscina Selaginellaceae Seluruh tanaman Hypertensi,Ginjal,penyakit khusus wanita 79 Padang Imperata cylindrica Poaceae pucuk daun Demam dan sakit kepala,asam urat 80 Pala hutan Myristica sp. Myristicaceae Empulur batang sakit kepala,malaria,Kanker,penyakit wanita, tonikum
78
81 Pandan hutan Pandanus sp. Pandanaceae Buah demam dan sakit kepala,ginjal,Hypertensi
82 Pangi Pangium edule Flacourtiaceae Akar,buah Ginjal, Hypertensi, Liver,sesak napas 83 Patuku Cycas rumphii Cycadaceae Daun dan biji Pencernaan, muntah darah
84 Pidai Poikilospermum suaveolens Moraceae seluruh tanaman Penyakit khusus wanita
85 Pikit Ocinum basilicum Labiatae Buah Hypertensi, Diabetes, Ginjal
86 Pinang hitam Pinanga caesia Arecaceae Biji Mitologi, religi
87 Pinang yaki Areca vestiaria Arecaceae Bunga,daun, dan buah KB,diabetes, Obat cacing,Mitologi, Ritual,kosmetik
88 Pisang goroho Musa sp. Musaceae Daun Pernapasan,Kulit, ginjal
89 Pisang hutan Musa acuminata Musaceae Daun Kulit,obat cacing
90 Pisek Algaia elliptica Meliaceae Kulit batang Kanker, kulit
91
Seluruh tanaman pondang Pandanus sp. Pandanaceae Daun Penawar racun,obat cacing,Liver,Hypertensi,ginjal,Kanker
92 Polaguyon Syzigium spicatum Myrtaceae Batang Demam dan sakit kepala, Kulit
93 Pombosion dn kecil Polyalthia sp. Annonaceae seluruh tanaman Penawar racun,Kulit
94 Pomia insumbu Gossypium herbaceum Malvaceae Batang Pernapasan
95 Pudutan Palquium obovatum Sapotaceae Batang Kulit dan ginjal
96 Rambutan hutan Nephelium sp. Sapindaceae Daun Malaria,mitologi
97 Rotan Calamus sp. Arecaceae Daun Ginjal, Kulit,mitologi 98 Seho Arenga sp. Arecaceae Daun Sakit kepala,,Malaria,TBC, mitologi 99 Sesewanua Clerodendron serratum Verbenaceae Daun Kulit,demam,pencernaan
100 Siangga Impatiens semen Balsaminaceae Seluruh tanaman Kulit, mitologi 101 Sirsak hutan Xylopia sp. Annonaceae Kulit batang Malaria 102 Sombar Erythrina variegata Papilionaceae Kulit batang Malaria,sakit kepala
79
103 Sosoro Laportea deamana Urticaceae Kulit batang Malaria 104 Susuan Phaleria capitata Thymelaeaceae Buah Sakit gigi 105 Tagalolo Ficus septica Moraceae Kulit batang Malaria 106 Talas Remusatia vivipara Araceae Umbi Kanker
107 Talas Schismatoglottis calypatra Araceae daun Kulit
Tanoyan Oncosperma sp Arecaceae Akar Malaria 109 Tobaang Cordyline fructicosa Liliaceae Batang Pencernaan,TBC 110 Togop Artocarpus elasticus Moraceae Batang Pencernaan 111 Tolutu Pterocymbium tinktorium Sterculiaceae Batang Rematik&Pegal
112 Tomilow bobai Aneleima malabaricum Commelinaceae Seluruh tanaman Demam dan sakit kepala, Ritual
113 Tongit Ageratum conyzoides Compositae Batang Kulit 114 Tontuatoi Costus megalobrachtea Zingiberaceae Batang Pernapasan, Pencernaan,KB 115 Torosik Casearia grewiaefolia Flacourtiaceae Batang Pencernaan 116 Tuis Hornstedia sp Zingeberaceae Seluruh tanaman Kulit,Ritual 117 Tukadan Jatropha gossypifolia Euphorbiaceae Seluruh tanaman TBC,Ritual 118 Tuyat Derris elliptica Papilionaceae Seluruh tanaman TBC,RITUAL 119 Udun Ficus variegata Moraceae Daun Penyakit khusus wanita
120 Uing/Kayu arang Cratoxylon celebicum Hypericaceae batang Penyakit khusus wanita
121 Ulibat Spondias pinnata Anacardiaceae Umbi Penyakit khusus wanita, Malaria
75
2018
15
19
14
9
13
911
86
26
8
4
12
3 42
68
0
5
10
15
20
25
30
Perna
pasan
Pence
rnaa
n
Demam
Khusu
s wan
ita
Malaria
Kanke
rGinj
al
Diabetes
Hipertens
iLiv
er KBKuli
t
Asam ur
atmata
Ritual
Obat c
acing
kosm
etik
Terna
k
Anti to
ksik
toniku
m
Jenis penyakit
Jum
lah
Jeni
s
Jumlah jenis
Berdasarkan informasi masyarakat, jenis-jenis tumbuhan obat yang ada
dapat dikelompokkan ke dalam 20 kelompok penyakit/penggunaan. Dilihat dari
jumlah jenis tumbuhan obatnya, kelompok penyakit/penggunaan tertinggi yaitu
penyakit kulit (26 Jenis) dan terendah yaitu kelompok penyakit untuk hewan
ternak (2 jenis). Pemanfaatan jenis tumbuhan obat oleh masyarakat di sekitar
TNBNW untuk mengobati berbagai penyakit secara lengkap dapat dilihat pada
Gambar 10 berikut.
Gambar 10. Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan jenis penyakit
Berdasarkan identifikasi 121 jenis tumbuhan obat, tercatat 26 jenis
sebagai obat penyakit kulit (gatal-gatal, panu, kudis, eksim, bisul, luka), 20 jenis
untuk obat penyakit yang berhubungan dengan pernapasan (batuk, asma dan
TBC), 19 jenis untuk penyakit khusus wanita (seperti penyakit kelamin,
kehamilan dan pasca persalinan), 18 jenis untuk penyakit yang berhubungan
dengan pencernaan (seperti sakit perut, diare, maag, disentri, dan perut
kembung), 15 jenis untuk demam atau penurun panas, 14 jenis untuk malaria, 9
jenis untuk kanker (seperti kanker rahim, payudara, tumor), 13 jenis untuk ginjal
atau sakit pinggangl 9 jenis untuk diabetes atau kencing manis, 11 jenis untuk
menormalkan tekanan darah tinggi, 8 jenis untuk penyakit liver (masyarakat
menyebutnya sakit kuning yang ditandai dengan mata dan kulit berwarna
kuning), 6 jenis digunakan sebagai obat untuk mencegah kehamilan pada wanita
tetapi ada juga jenis yang dipakai sebagai alat kontrasepsi pria, 8 jenis untuk
76
asam urat (termasuk rematik dan pegal linu), 4 jenis untuk mengobat sakit mata,
3 jenis sebagai obat cacing, 4 jenis sebagai kosmetik (digunakan sebagai bedak,
pewarna bibir, dan penyubur rambut), 2 jenis untuk penyakit hewan ternak (obat
cacing dan kudis pada ternak), 8 jenis digunakan sebagai tonikum (di masyarakat
dikenal sebagai obat kuat karena kelelahan bekerja maupun obat kuat untuk
menambah kemampuan sex seorang pria), 6 jenis sebagai penawar racun (racun
karena digigit serangga atau hewan berbisa dan juga karena makanan), 12 jenis
digunakan untuk ritual (seperti dipakai pada waktu upacara adat, upacara
penolak bencana, ataupun untuk penyembuhan penyakit, pengusir setan dan
juga beberapa jenis tumbuhan seperti jenis cemara dan palem yang digunakan
untuk upacara keagamaan).
Ditinjau dari cara penggunaan, terdapat 2 cara yaitu sebagai obat luar
(dioleskan atau di temple) tercatat 31 jenis dan obat dalam (dimakan atau
diminum) tercatat 190 jenis. Cara penggunaannya dapat berupa ramuan tunggal
(satu jenis saja) dan ramuan yang terdiri dari lebih dari satu jenis tumbuhan.
Menurut masyarakat , pengobatan yang berasal dari peramuan dua atau lebih
jenis tumbuhan memiliki khasiat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
ramuan dari jenis tunggal. Menurut pemahaman mereka, peramuan obat yang
bahannya terdiri dari berbagai jenis dianggap setiap jenis dapat memberikan
fungsinya masing-masing. Selain itu dengan kombinasi beberapa jenis tersebut
dapat memberikan khasiat berlipat ganda. Anggapan tersebut kemungkinan
berkaitan dengan adanya komponen aktif yang terdapat dalam tumbuhan
tersebut yang saling menunjang atau saling melengkapi khasiat satu dengan
yang lainnya. Untuk membuktikannya diperlukan studi khusus mengenai khasiat
serta kandungan fitokimianya (merupakan bab tersendiri dalam disertasi ini).
Berdasarkan hasil deskripsi keanekaragaman jenis tumbuhan obat di
sekitar kawasan TNBNW, dilakukan penentuan jenis tumbuhan obat berpotensi
untuk penelitian lebih lanjut. Penentuan jenis tumbuhan berpotensi diperoleh
dengan cara memilih 10 jenis tumbuhan berdasarkan peringkat indeks nilai
budaya (ICS), indeks nilai penting (INP), nilai ekologi, nilai ekonomi, pemasaran,
nilai tambah, syarat tumbuh, budidaya, pengembangan. Selanjutnya dengan
metode perbandingan eksponensial dapat ditentukan satu jenis tumbuhan yang
paling berpotensi. Sepuluh jenis tumbuhan obat yang dimaksud adalah
Diospyros celebica/eboni/k.hitam, Knema celebica/pala hutan, Areca
vestiaria/pinang yaki, Calamus sp. /rotan, Arenga pinnata /seho, Mangostana
77
indica/manggis hutan, Ficus minahassae/dumpagon, Aglaia minahassae/pisek,
Pandanus sp. /pondang, Remusativa vivipara/talas (Gambar 11).
Diospyros celebica Knema celebica Areca vestiaria
Calamus Sp. Arenga pinnata Ficus minahassae Pandanus sp
Mangostana indica Remusativa vivipara Aglaia minahassae
Gambar 11. Sepuluh peringkat teratas jenis tumbuhan obat berdasarkan nilai
budaya (ICS) dan nilai penting (INP)
78
Berdasarkan hasil perhitungan nilai pemanfaatan (ICS) dan nilai penting
(INP) maka jenis tumbuhan yang termasuk kategori tumbuhan obat pada 10
peringkat tertinggi adalah sebagai berikut :
Tabel 14. Sepuluh peringkat teratas tumbuhan obat berdasarkan INP dan ICS
No. Jenis ICS INP (%)
1 Diospyros celebica /eboni/k.hitam 63 52,45
2 Knema celebica/pala hutan 109 33,07
3 Areca vestiaria/pinang yaki 115 23,86
4 Calamus sativus /rotan 82 13,67
5 Arenga pinnata/seho 41 9,75
6 Mangostana indica/manggis hutan 60 9,10
7 Ficus minahassae/dumpagon 30 8,88
8 Aglaia minahassae/pisek 54 8,74
9 Pandanus sarasinorum /pondang 48 5,47
10 Remusativa vivipara/talas 72 4,47
Besarnya indeks nilai penting menunjukkan peranan jenis yang
bersangkutan dalam komunitasnya. Jenis Diospyros celebica (eboni)
mendominansi lokasi hutan Doloduo dan Torout karena memiliki nilai INP
tertinggi. Knema celebica (pala hutan) mendominansi hutan Matayangan
sedangkan Areca vestiaria mendominasi hutan Tumokang dan kawasan hutan
Gunung Kabila. Kemampuan jenis-jenis tersebut dalam menempati sebagaian
besar hutan di kawasan TNBNW menunjukkan bahwa jenis-jenis tersebut
memiliki kemampuan untuk beradatasi dengan kondisi setempat.
Jenis-jenis tumbuhan di atas merupakan jenis tumbuhan yang
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan taman nasional untuk kebutuhan
sehari-hari termasuk sebagai obat tradisional. Keberadaan atau ketersediaan
jenis-jenis tumbuhan tersebut di atas untuk sementara masih cukup melimpah
terutama di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, Diospyros celebica/eboni Pinang
Yaki (Areca vestiaria) Pala hutan (Knema celebica), Ficus minahassae, dan
Aglaia minahassae merupakan jenis tumbuhan endemik Sulawesi ( Lee et al,
79
2001; Whitmore, 1989; Yuzammi dan Hidayat, 2002 ; Mogea, 2002 ). Diospyros
celebica / eboni merupakan jenis tumbuhan yang banyak dicari orang secara
legal maupun illegal. Jenis kayu yang sudah terkenal di dalam dunia
perdagangan kayu internasional karena berkualitas tinggi untuk indusri rumah,
kerajinan tangan termasuk kerajinan patung Bali menggunakan bahan kayu
hitam ini (Yuzammi, 2002). Diospyros celebica merupakan suku Ebenaceae,
status langka karena sering diburu untuk kayunya. Ficus minahasae merupakan
maskot flora Sulawesi utara, di kawasan TNBNW merupakan habitat kuskus,
buahnya merupakan makanan satwa hutan. Sedangkan Areca vestiaria / pinang
yaki merupakan habitat monyet hitam yang juga merupakan salah satu satwa
endemik Sulawesi. Buah pinang yaki merupakan makanan bagi monyet hitam
dan satwa hutan lainnya.
Nilai Ekologi : Pada umumnya jenis-jenis pohon yang endemik Sulawesi merupakan
salah satu komponen mata rantai ekosistem karena merupakan habitat dan
sumber makanan pokok bagi satwa yang juga khas/endemik Sulawesi seperti
Macaca nigra(yaki/monyet), anoa(Anoa quarlesi), kus-kus, tarsius(tarsius
spectrum) dan aneka jenis burung. Selain itu juga jenis-jenis pohon endemik
Sulawesi (beberapa jenis kayu seperi kayu hitam/eboni(Diospyros celebica),
kayu besi(Intisia bijuga), kayu linggua, meranti ,dan cempaka(Emmerillia ovalis),
Knema celebica, Ficus minahassae (dumpagon), Cinnamomum celebicum; hasil
non kayu seperti rotan, damar(Agathis celebica), berbagai jenis bambu, anggrek
khas seperti Vanda celebica, Cymbidium finlaysonianum, Grammatophyllum
speciosum, Dendrobium indivisum, Phalaenopsis amabilis, Dendrobium
macrophyllum yang merupakan salah satu anggrek langka yang dilindungi
Undang-Undang, serta jenis palem endemik seperti Areca vestiaria, Pigafeta
elata/wanga, Livistonya rotundifoli/woka, Pinanga caesia/palem hitam, Arenga
pinnata/aren )memiliki mutu yang tinggi sehingga bernilai ekonomi yang tinggi
pula baik di pasar lokal maupun internasional. Ficus minahasae digunakan
sebagai maskot flora Sulawesi utara, bersama-sama dengan Areca
vestiaria,kedua jenis ini di kawasan TNBNW merupakan habitat kuskus,
monyet/yaki,dan buahnya merupakan makanan satwa hutan (Yuzami & Hidayat,
2002; Mogea, 2002).
80
Nilai Ekonomi : Komoditi menjadi salah satu daya tarik bagi petani untuk
memproduksinya. Komoditi dengan nilai ekonomi tinggi, apabila diikuti dengan
kebutuhan teknologi produksi sederhana dan mudah diaplikasikan, akan lebih
disukai masyarakat. Kawasan TNBNW memiliki kekayaan tumbuhan yang
berpotensi sebagai komoditi unggulan karena merupakan flora yang khas yaitu
berbagai jenis kayu dan non kayu yang berkualitas, juga terdapat beberapa jenis
tumbuhan yang berpotensi seperti tumbuhan penghasil getah, buah,
bunga/tanaman hias, untuk bahan makanan dan sebagai bahan obat yang dapat
dikembangkan lebih lanjut untuk berbagai industri. Selain itu juga tumbuhan
sebagai aset sumberdaya lingkungan yang memiliki nilai ekonomi yang besar
nilainya bagi kehidupan manusia.
Prospek pemasaran Prospek pemasaran menentukan tingkat permintaan komoditi dan
keberlanjutan sistem usaha taninya. Komoditi yang mempunyai prospek jual lebih
banyak akan lebih mudah terserap oleh pasar. Komoditi yang unggul dari segi
pasokan, tetapi tidak mempunyai prospek pasar hanya akan menjadi komoditi
potensial semata. Oleh sebab itu komoditi yang potensial seharusnya memiliki
sistem produk dan prospek pasar yang baik.
Nilai tambah Kriteria dampak nilai tambah komoditi terhadap masyarakat menjadi
sangat penting karena upaya pemanfaatan komoditi unggulan haruslah
memberikan manfaat dan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat
setempat. Kondisi biofisik wilayah TNBNW yang merupakan kawasan yang
terbentuk dari gabungan dua lempeng yang berasal dari dua benua yang
berbeda, maka akan memberikan karakteristik wilayah yang berbeda dengan
wilayah lainnya dan membentuk sumberdaya alam/ekonomi dengan karakteristik
yang khas dan tertentu pula.
Syarat tumbuh Pemilihan komoditi unggulan yang memenuhi kriteria agroekosistem dan
biofisik wilayah diharapkan dapat menjamin kesinambungan produksinya dengan
karakteristik yang unggul.
81
Budidaya
Budidaya tumbuhan dimaksudkan untuk menilai apakah dalam usaha
pengembangan tumbuhan tersebut tersedia teknologi aplikatif dan sesuai dengan
kemampuan sumberdaya manusia yang ada. Kriteria ini berkaitan dengan
kemudahan dalam usaha pembudidayaan tumbuhan (domestikasi) untuk
meperoleh hasil yang diharapkan.
Potensi sumberdaya tumbuhan menunjukkan kemungkinan
pengembangan produksi komoditi unggulan di masa yang akan datang. Apabila
pengembangan komoditi tinggi, maka diharapkan volume produksi akan semakin
meningkat dan kontinyuitas pasokan komoditi akan lebih baik.
Berdasarkan hasil perhitungan indeks nilai penting (INP) dan Index of
Cultural Significance (ICS) serta hasil perhitungan metode perbandingan
eksponensial (MPE) maka jenis tumbuhan yang termasuk kategori tumbuhan
obat prioritas, pada 10 peringkat tertinggi dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Sepuluh Peringkat Tertinggi Tumbuhan Obat Berdasarkan
INP, ICS, dan MPE.
Jenis tumbuhan terpilih No Kriteria 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Nilai ekologi 25 14 33 17 18 10 16 17 20 10
2 Nilai ekonomi 11 9 15 9 15 8 8 11 10 8
3 Pemasaran 10 8 9 8 10 8 8 8 8 8
4 Nilai Tambah 50 43 60 41 60 40 46 40 40 30
5 Syarat tumbuh 8 9 10 7 10 8 8 10 10 8
6 Budidaya 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50
7 Pengembangan 8 8 15 8 15 8 7 9 10 8
8 ICS 63 109 115 82 41 50 30 54 48 72
9 INP 52,45 33,07 23,86 13,67 9,75 9,10 8,88 8,74 5,47 4,47
Jumlah MPE 277,45 283,07 340,86 235,67 227,75 191,10 181,88 207,74 201,47 198,47
Peringkat 3 2 1 4 9 7 10 8 6 5
Keterangan : 1.Diospyros celebica / eboni ; 2.Knema celebica /pala hutan;
3.Areca vestiaria / pinang yaki; 4.Calamus sp./rotan 5.Arenga
pinnata; 6.Mangostana indica/manggis hutan; 7.Ficus
minahassae/dumpagon; 8.Aglaia minahassae/pisek;
9.Pandanus sarasinorum. /pondang.; 10.Remusativa
vivipara/Talas.
82
050
100150200250300350400
Diospyro
s cele
bica
Knema c
elebica
Areca v
estia
ria
Calamus
sp.
Arenga
pinn
ata
Mangos
tana in
dica
Ficus m
inahas
sae
Aglaia
minaha
ssae
Panda
nus s
p.
Remusativ
a vivip
ara
Nama jenis
Nila
i MPE
Hasil perhitungan metode perbandingan eksponesial (MPE) terhadap
kesepuluh tumbuhan berdasarkan kriteria tingkat nilai penting jenis (INP), nilai
pemanfaatan jenis tumbuhan (ICS), nilai ekologi, nilai ekonomi, pemasaran,
dampak nilai tambah jenis kepada masyarakat, syarat tumbuh yang sesuai,
ketersediaan teknologi budidaya yang memadai, dan potensi pengembangan
jenis pada tabel 18, jenis tumbuhan yang mencapai jumlah tertinggi adalah .
Areca vestiaria (pinang yaki), diikuti Knema celebica (pala hutan), Diospyros
celebica (eboni), Calamus sp.(rotan), Remusativa vivipara (talas), Pandanus
sarasinorum (pondang), Mangostana indica (manggis hutan), Aglaia minahassae
(pisek), Ficus minahassae (dumpagon). Dengan demikian maka jenis tumbuhan
obat paling berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut adalah Areca vestiaria
(pinang yaki). Histogram jumlah nilai MPE dan jenis tumbuhan obat terpilih dapat
dilihat pada Gambar 12 berikut.
Berdasarkan hasil deskripsi kegunaan jenis-jenis tumbuhan obat tersebut,
terdapat jenis-jenis tanaman obat yang memiliki beberapa khasiat. Areca
vestiaria / pinang yaki digunakan sebagai obat untuk penyakit diabetes dan juga
dipakai sebagai obat kontrasepsi untuk pria. Caranya biji dibelah, diambil
dagingnya kemudian direbus dengan 1 gelas air, setelah mendidih didinginkan
lalu diminum. Kulit buahnya digunakan sebagai alat kosmetik untuk pemerah
bibir. Sebagai masyarakat yang masih percaya dengan alam magis, masyarakat
menggunakan tanaman ini sebagai pengusir setan dengan cara menanam
tanaman ini di depan pintu pagar halaman atau di setiap sudut batas tanah di
Gambar 12. Nilai MPE untuk setiap jenis tumbuhan obat
83
halaman rumah ataupun di kebun. Selain itu, pinang yaki juga dipakai
masyarakat sebagai obat cacing pada hewan peliharaan seperti sapi dan
kambing.
Areca vestiaria bersama-sama dengan Ficus minahassae, kedua jenis
tumbuhan ini di kawasan TNBNW merupakan habitat kuskus, monyet/yaki, dan
buahnya merupakan makanan satwa hutan (Yuzami & Hidayat, 2002; Mogea,
2002). Pinang yaki ini oleh Suku Bolaang Mongondow yang tinggal di kawasan
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Diospyros celebica / eboni merupakan jenis tumbuhan endemik Sulawesi
yang banyak dicari orang secara legal maupun illegal. Jenis kayu yang sudah
terkenal di dalam dunia perdagangan kayu internasional karena berkualitas tinggi
untuk indusri rumah, kerajinan tangan termasuk kerajinan patung Bali
menggunakan bahan kayu hitam ini. Selain kayunya digunakan sebagai bahan
bangunan, buahnya digunakan oleh masyarakat sekitar TNBNW untuk
mengobati beberapa penyakit yaitu hypertensi, liver,ginjal, dan diabetes dan
tonikum dengan cara buahya dicuci bersih, disayat lalu dikeringkan,kemudian
3,5,7 sayatan buah kering direbus degan 3 gelas air,didinginkan lalu diminum 3
kali sehari.
Pala hutan (Knema celebica) yang digunakan masyarakat sekitar
kawasan untuk mengobati berbagai penyakit seperti sakit kepala, malaria,
kanker, penyakit khusus wanita yaitu untuk mengobati berbagai penyakit wanita
seperti penyakit kelamin (keputihan, sipilis), dan pendarahan pasca melahirkan,
dan sebagai tonikum.
Selain sebagai tumbuhan obat, ada beberapa jenis tumbuhan obat yang
memiliki multi manfaat. Pandanus sarasinorum (pohon pandan) digunakan
sebagai obat cacing, liver, darah tinggi dan sebagai obat penawar racun. Selain
itu juga daun tanaman ini juga dipakai untuk membuat kerajinan rumah tangga
seperti tikar, keranjang dan sebagainya. Jenis rotan (Calamus sativus), air dalam
batang digunakan untuk mengobati penyakit ginjal, batangnya untuk mengobati
penyakit kulit, dan tanaman ini juga dipercaya oleh masyarakat sekitar kawasan,
dapat digunakan sebagai pengusir roh jahat. Selain sebagai tanaman obat,
tanaman ini lebih banyak digunakan untuk keperluan rumah tangga (aneka
meubel), dan kerajinan tangan (keranjang, tas, dan sebagainya). Di kawasan
TNBNW terdapat 5 jenis rotan sebagai bahan baku pembuatan kursi rotan
diantaranya rotan batang/gotia nanga (Calamus zollingeri), tohiti (Calamus
84
inops), gotia merah (Corthalsia celebica), doti (Calamus leiocaulis) dan umbul
(Calamus simphysipus)(Mogea et al.,1998). Rotan-rotan ini kurang lebih 15 tahun
yang lalu masih dapat diambil dari hutan di sekitarnya yang tidak jauh dari
perkampungan, namun sekarang jenis-jenis rotan tersebut sudah jarang
ditemukan di hutan yang dekat.
Seho (Arenga pinnata) tidak saja digunakan sebagai obat tetapi juga
memiliki berbagai manfaat yaitu sebagai bahan bangunan, kerajinan, bahan
pangan (saguer, gula merah dan cap tikus). Arenga pinnata atau biasa dikenal
dengan banyak nama lokal yaitu seho/enau/aren merupakan bahan baku
pembuatan gula merah.
Proses pembuatan gula merah mengikuti tahapan sebagai berikut :
Saguer/nira diambil dari bunga yang paling bawah, diambil niranya 2 kali sehari
pagi dan sore dengan cara air saguer di tampung pada bambu dengan ukuran
panjang 1m dan diameter 10 cm. Satu pohon nira dapat menghasilkan 1 bambu.
Biasanya dalam sekali pemasakan, dibutuhkan saguer dar 5 pohon enau. Saguer
yang diambil segera dipanaskan sampai mendidih, sebab jika tidak segera
dipanaskan, saguer akan menjadi asam dan tidak dapat dibuat gula merah.
Pemasakan saguer hingga menjadi gula mera membutuhkan waktu ± 7 jam.
Pada saat saguer mulai mengental, ditambahkan minyak kelapa 1 – 2
sendok makan, untuk memudahkan mengambil gula dari cetakannya. Setelah
mengental, saguer di cetak pakai tempurung kelapa, bagian yang berlubang
ditutup dengan daun ubi (Manihot utilisima). Satu kali pemasakan dapat
menghasilkan 14 – 18 batok gula merah. Sebagai pembungkus gula merah,
digunakan daun pisang (Musa paradisiacal) atau daun woka kecil (Licuala
grandis) yang sudah dikeringkan. Gula merah di jual di tempat dengan harga
Rp.2000.- per batok, sedangkan harga di pasar Rp.3000.- per batok.
Saguer, selain sebagai bahan baku untuk membuat gula merah, saguer
dapat juga dibuat “cap tikus” dengan cara penyulingan saguer. Proses
pembuatan cap tikus adalah sebagai berikut: (1) pengambilan saguer dimulai dari
bunga paling atas dan berturut-turut sampai bunga paling bawah, (2) saguer di
tampung dalam bamboo sepanjang 1 m dengan diameter 10 cm, setelah selesai
penampungan saguer dari pohon, saguer yang terkumpul dimasukkan dalam
drum kemudian dilakukan pemasakan dengan kayu bakar, (3) proses
penyulingan berlangsung selama ± 5 jam sampai menghasilkan alkohol. Jika
drum terisi penuh dengan saguer, maka akan menghasilakan alkohol 1 galon
85
plastik (25 liter). Cap tikus yang sudah jadi, dijual dengan harga Rp.40.000,-
/gallon. Cap tikus biasanya di pasarkan ke Kotamobagu, Manado bahkan ke luar
Sulawesi utara (Maluku dan Papua).
Pengetahuan Masyarakat
Seperti halnya masyarakat pedalaman lainnya di Indonesia, masyarakat
di sekitar TNBNW juga memiliki sistem pengetahuan tentang pengelolaan
keanekaragaman sumber daya alam tumbuhan dan lingkungan yang ada di
sekitarnya. Bagi masyarakat yang ada di sekitar TNBNW, tumbuhan obat adalah
semua tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan ramuan obat baik secara
tunggal maupun campuran yang dianggap dan dipercaya dapat menyembuhkan
suatu penyakit atau dapat memberikan pengaruh bagi kesehatan.
Sampai saat ini, walaupun sistem pengobatan modern telah maju, sistem
pengobatan tradisional masih berlaku pada sebagaian besar masyarakat. Ada
kecenderungan masyarakat modern untuk kembali ke alam (back to nature)
dengan cara-cara tradisional semakin populer, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri. Masyarakat di kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone
sebagaian besar masih bergantung pada alam sekitarnya untuk pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan terutama dari tumbuhan yang sejak dahulu sudah
dimanfaatkan oleh nenek moyang mereka dan mereka hanya akan pergi ke
dokter kalau keadaan terpaksa karena lokasi tempat dokter berada jauh di ibu
kota kabupaten.
Walaupun penduduk memiliki sistem pengetahuan tradisional tentang
tumbuhan obat, namun yang mengetahui secara mendalam hal –hal yang
berhubungan dengan ruang lingkup penelitian hanya orang-orang tertentu saja.
Pengambilan sampel untuk melakukan wawancara dilakukan dengan masyarakat
desa yang berdomisisli di sekitar kawasan yang memiliki pengetahuan ekologi
empiris dan budaya mereka sendiri.
Pemilihan responden didasarkan atas pertimbangan peubah-peubah
demografi penduduk setempat dan hasil wawancara penduduk lokal di setiap
lokasi desa yang dipilih. Peubah demografi yang dipilih adalah faktor usia.
Menurut Nazir 1988, peubah usia penduduk dalam pemilihan responden
dimaksudkan untuk menghidari terjadinya bias kepada kelompok tertentu saja
misalnya berusia muda saja atau usia tua saja, dan juga untuk mengetahui
tingkat degradasi pengetahuan antar generasi. Responden dipilih berdasarkan
usia penduduk dengan rentangan usia 15 tahun sampai di atas 60 tahun.
86
Hasil perhitungan jumlah responden laki-laki dan perempuan
berdasarkan kelas usia pada setiap lokasi pengamatan dapat dilihat pada Tabel
16 berikut.
Tabel 16. Jumlah responden laki-laki dan perempuan berdasarkan kelas usia
Desa
Doloduo Torout Matayangan Tumokang Siniung K.Mertha
Kelas
Usia
L P L P L P L P L P L P
Jumlah
15-29 7 6 5 5 6 7 7 6 6 5 6 6 75
30-44 4 4 5 5 4 6 5 5 5 6 5 4 58
45-59 4 2 4 2 3 2 2 3 3 2 3 2 33
>60 2 1 2 2 1 1 1 1 2 1 2 2 18
Jumlah 17 13 16 14 14 16 15 15 16 14 16 14
Total 30 30 30 30 30 30 180
Keterangan : l=laki-laki, p=perempuan
Hasil survey tentang pengetahuan masyarakat terhadap jumlah jenis
tumbuhan obat tradisionalnya berdasarkan kelas usia dan jenis kelamin dapat
dilihat pada Tabel 13 berikut .
Tabel 17. Pemanfaatan jenis tumbuhan obat berdasarkan kelas usia dan jenis
kelamin
Pengetahuan
Kelas Usia Jumlah responden
Jumlah jenis
15-29 57 15.250 30-44 56 22.370 45-59 54 29.754 >60 13 43.615
Jenis kelamin Laki-laki 115 24.696 Perempuan 65 22.846
Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan obat
berdasarkan kelas usia, masing-masing tertinggi dimiliki oleh kelas usia >60
tahun, diikuti kelas usia 45 - 59 tahun, kelas usia 30 - 44 tahun, dan terendah 15
– 29 tahun. Sedangkan berdasarkan jenis kelamin, pengetahuan kelompok laki-
laki lebih tinggi dibandingkan kelompok perempuan. Semakin bertambahnya
87
0
510
1520
25
3035
4045
50
15-29 30-44 45-59 >60
Kelas Usia
Jum
lah
Jeni
s
usia, semakin meningkat pengetahuan masyarakat terhadap jumlah jenis dan
pemanfaatan tumbuhan obat dan sebaliknya semakin rendah usia seseorang
makin sedikit pengetahuaannya terhadap jumlah jenis tumbuhan obat dan
pemanfaatannya.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan terhadap 180 responden
menunjukkan bahwa kelas usia >60 tahun paling banyak mengetahui jenis
maupun pemanfaatan jenis tumbuhan obat dan hal ini semakin berkurang
dengan semakin mudanya usia (Gambar 13).
Gambar 13. Hubungan pemanfaatan jenis tumbuhan terhadap kelas usia
Pengetahuan tentang sumberdaya tumbuhan merupakan pengetahuan
yang sangat penting bagi manusia demi kelangsungan hidupnya (Wardah et al,
2002). Selanjutnya Maikhuri (2002) mengemukakan bahwa perubahan
pengetahuan suatu kelompok masyarakat dapat disebabkan antara lain oleh
dimensi ekonomi, sosial dan politik. Apabila ditinjau dari sejarah perkembangan
perekonomian Indonesia, maka merupakan suatu hal yang wajar bahwa
penduduk yang berusia 60 tahun keatas yang tinggal di kawasan TNBNW
mempunyai pengetahuan yang lebih tinggi tentang jenis tumbuhan dan
pemanfaatannya dibandingkan dengan generasi yang lebih muda usia.
Pergantian generasi yang diikuti oleh perubahan budaya tradisional
menjadi modern juga merubah sikap masyarakat terhadap penggunaan
tumbuhan obat. Sebagai contoh penggunaan ramuan obat tradisional tumbuhan
menjadi berkurang sebagai akibat tersedianya obat-obatan modern dengan
harga terjangkau (Zuhud et al, 1994). Peningkatan generasi muda dalam
88
pendidikan formal mengurangi intensitas kontak mereka dengan pengetahuan
tradisionalnya. Menurut Ulluwishewa (1997) terdesaknya pendidikan informal
oleh pendidikan formal berdampak terhadap pengetahuan tradisional generasi
mudanya. Lebih lanjut Caballero (1992) menyatakan bahwa perubahan nilai
guna tumbuhan dapat mencerminkan dinamika pemanfaatannya. Dinamika
pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat modern merupakan kombinasi antara
nilai kultural dan ekonomi sebagai elemen penting dari kehidupan subsisten
masyarakat tradisional.
Pemahaman masyarakat terhadap lingkungan pada umumnya dan usaha
konservasi khususnya mengalami degradasi dari generasi ke generasi. Hal ini
terjadi sebagai akibat dari beberapa hal, diantaranya semakin berkurangnya
ketergantungan kehidupan sehari-hari mereka terhadap sumberdaya alam hayati
yang tersedia di sekitarnya. Disamping itu sasaran penyuluhan tentang
lingkungan yang sering dilakukan baik oleh pemerintah maupun lembaga-
lembaga non pemerintah hanya diberikan kepada kelompok tertentu saja, seperti
tokoh agama, tokoh masyarakat, maupun ketua-ketua organisasi sosial.
Informasi dari para penyuluh ini diharapkan dapat disebar luaskan kepada
masyarakat luas yang ada disekitarnya. Namun kenyataannya kegiatan ini hanya
bersifat wacana, tidak ditindak lanjuti dengan aplikasi di lapangan. Oleh karena
itu pemerintah, organisasi non pemerintah, perguruan tinggi, atau pihak-pihak
lain yang berkepentingan perlu memikirkan cara yang lebih efektif dan efisien
agar apa yang menjadi tujuan dalam usaha pelestarian dapat dicapai.
Kelas usia diatas 60 tahun lebih banyak mengetahui tentang kelestarian
lingkungan dibadingkan dengan kelas usia yang lain. Hal ini disebabkan karena
pada setiap kali penyuluhan para peserta ini yang sering diundang sehubungan
dengan status mereka sebagai tokoh masyarakat, tokoh agama maupun tokoh
adat. Hal ini terbukti dari hasil wawancara, bahwa sebagian besar responden
kelas usia diatas 60 tahun telah banyak mengikuti kegiatan penyuluhan
dibandingkan kelas usia dibawahnya. Oleh sebab itu pengetahuan tentang
kelestarian yang meliputi tentang pengertian, langkah-langkah serta tujuan
pelestarian lebih banyak diketahui oleh kelas usia diatas 60 tahun. Sampai saat
ini masih banyak ditemukan sikap dan tindakan masyarakat yang tidak peduli
terhadap kelestarian lengkungan. Hal ini disebabkan karena kurangnya
pengetahuan mereka terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan untuk
kelangsungan hidup manusia. Oleh sebab itu diperlukan langkah-langkah konkrit
89
dengan mengikutsertakan masyarakat dalam menjaga lingkungan. Menurut
Kamil (1995) langkah yang harus diambil oleh pemerintah dalam rangka
mengikut sertakan masyarakat dalam menjaga lingkungan adalah menerapkan
mekanisme yang dapat menjamin kesinambungan arus informasi bagi
masyarakat. Mekanisme yang jelas dalam pengelolaan kelestarian lingkungan
dapat mendorong masyarakat ikut berperan serta dalam menjaga kelestarian
lingkungan.
Pengetahuan masyarakat tentang jenis dan pemanfaatan tumbuhan obat
dapat disebabkan oleh perbedaan jarak dari masing-masing desa dengan
kawasan hutan dan perbedaan tingkat sosial, ekonomi, budaya. Apabila ditinjau
dari letak pemukiman, desa Tumokang dan Matayangan merupakan desa yang
paling dekat dengan kawasan hutan, dengan demikian masyarakat di kedua
desa ini lebih sering mengadakan kontak langsung dengan hutan disekitarnya.
Transportasi dari kedua desa tersebut untuk berhungan dengan daerah
perkotaan lebih sulit dibandingkan dengan desa yang lain. Kondisisi ini
berdampak terhadap ketergantungan masyarakat akan sumberdaya hayati
tumbuhan lebih besar sehingga hal ini juga berdampak pada pengetahuan
mereka terhadap pemanfaatan tumbuhan dan lingkungannya. Pengetahuan
masyarakat tentang konservasi sumberdaya alam lingkungan sangat
berhubungan erat dengan tingkat pendidikan masyarakat dan jarak lokasi desa
dengan hutan lindung. Desa Doloduo, Torout, Kembang Mertha, penduduknya
rata-rata berpendidikan tamat sekolah lanjutan pertama sampai perguruan tinggi
lebih banyak dibandingkan dengan desa yang lain, sehingga pengetahuan
mereka tentang perlunya konservasi tumbuhan yang mereka peroleh melaui
penyuluhan secara langsung dari instansi terkait, membaca brosur, maupun
media elektronik lebih banyak dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di
desa lainnya.
Pengetahuan, seni, dan keterampilan tentang cara-cara pengelolaan dan
pemanfaatan tumbuhan obat tradisional bervariasi antara suku-suku yang ada di
Indonesia seperti suku Bogani di Kabupaten Bolaang Mongondow. Biasanya
tidak semua penduduk dapat memahami cara pengelolaan dan pemanfaatannya
tetapi hanya oleh segelintir masyarakat yang bisa dikenal sebagai dukun
kampung. Pengobat tradisional (dukun) tidak sembarangan mengajarkan atau
menurunkan pengetahuan, seni dan ketrampilannya kepada orang lain kecuali
90
kepada keluarganya, dan itupun ada persyaratan tertentu, bahkan ada yang
hanya lewat mimpi sang dukun.
Seperti halnya yang ada di Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang
Mongondow ada beberapa dukun yang memperoleh cara pengobatan tradisional
dari mimpi mereka, dan sampai sekarang sudah banyak masyarakat yang
mengandalkan jasa Dukun tersebut dan ternyata sembuh padahal banyak di
antara penderita yang sudah berobat ke Dokter tapi tidak sembuh. Lain halnya
dengan dukun yang ada di Kecamatan Modayag yaitu daerah yang berada di
kawasan antara Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Cagar Alam
Gunung Ambang, pengetahuan obat tradisional diwariskan secara turun temurun
dari orang tua kepada anak atau cucunya akan tetapi juga harus melalui
beberapa persyaratan tertentu yaitu anak yang diwariskan harus mendampingi
sang ayah selama pengobatan penderita dan saat mencari dan mengumpulkan
ramuan obat tersebut dari kebun terdekat atau bahkan dari dalam hutan yang
jaraknya jauh dari tempat pemukiman penduduk
Dalam mengobati penderita/pasien, ada beberapa persyaratan yang
tidak boleh dilanggar oleh sang Dukun seperti tidak boleh menerima pemberian
uang atau barang dari penderita. Hal ini jika dilanggar maka akan mengurangi
khasiat dari ramuan yang dibuat oleh sang Dukun sehingga penyakit tidak
sembuh.
Di antara jenis-jenis tumbuhan yang berasal dari hutan meliputi : Pisang
hutan ( Musa Sp.), Areca avestiaria, Pandanus Sp., Xanthosoma violaceum,
Poikilospermum suaveolens, Bischovia javanica, Ficus minahassae, Erthrina
variegata, Drymoglossum piloselloides, Clerodendrum buchanii, Syzigium
spicatum, ada dua jenis yang tergolong endemik yaitu Areca vestiaria dan Ficus
minahassae. Karena kedua jenis tumbuhan tersebut tergolong endemik dan dari
hasil pengamatan di lokasi keberadaan kedua tumbuhan tersebut sudah sulit
ditemukan (hanya terdapat pada lokasi tertentu misalnya di hutan Tumokang dan
hutan G.Kabila) maka sangat perlu dilakukan upaya konservasi baik insitu
maupun eksitu. Hal yang dilakukan oleh masyarakat setempat adalah menjaga
agar kedua tumbuhan tersebut tidak ditebang oleh orang-orang yang tidak
bertanggung jawab dan khusus untuk Areca vestiaria sudah dibudidayakan di
kebun dekat tempat pemukiman penduduk. Sedangkan Ficus minahassae tetap
dibiarkan tumbuh di hutan dan penduduk hanya akan mengambil jika diperlukan.
91
Namun demikian banyak juga di antara tumbuhan obat tersebut berasal
dari luar yaitu berupa tumbuhan pendatang. Misalnya Abelmoschus moschatus,
sejenis sayuran dari India dan Afrika Barat. Sayuran ini selain digunakan
sebagai tumbuhan obat untuk penyakit radang paru-paru atau TBC, juga
merupakan makanan khas setempat yang dikenal dengan nama “ yondok “ yang
di masak dengan santan kelapa. Di Kabupaten Minahasa, sayuran ini merupakan
salah satu bahan sayuran untuk membuat masakan bubur Manado atau dikenal
dengan nama “ Tinutuan “.
Di daerah ini juga terdapat banyak jenis tumbuhan obat yang juga
digunakan oleh daerah lain sebagai tumbuhan obat. Misalnya Costus
megalobractea, Imperata cyllindrica, Eleucina indica, Melastoma candidum,
Orthosiphon spicatus, Ageratum conyzoides, Centella asiatica, Jatropha curcas,
Piper betle, Canna edulis, dan Physallis peruviana. Namun demikian ada
perbedaan pemanfaatan tanaman yang sama untuk penyakit yang berbeda.
Misalnya Piper aduncum di suku Sunda digunakan untuk mengobati penyakit
bisul dan obat luka baru(berdasarkan buku inventarisasi tumbuhan obat oleh
Hutanpea dkk. 2001 jilid 2) yang diterbitkan oleh Departemen Kesehatan Jakarta,
sedangkan oleh suku Bogani yang mendiami kawasan sekitar Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone, digunakan untuk mengobati penyakit diabetes
dan ginjal dengan cara mengambil seluruh bagian tanaman kemudian direbus
dengan 3 gelas air,diminum 3 kali sehari.Demikian pula dengan Physallis
peruviana, di daerah lain digunakan untuk mengobati penyakit bronkhitis
sedangkan oleh suku Bogani digunakan untuk mengobati penyakit diabetes dan
ginjal. Peperomia pelleida, di daerah lain digunakan untuk sakit ginjal dan sakit
perut sedangkan oleh masyarakat setempat digunkan untuk mengobati penyakit
tekanan darah tinggi dengan cara mengambil 3,5,7,9 daun, direbus dengan 1
gelas air yang diberi gula aren secukupnya lalu diminum 3 kali sehari. Demikian
pula dengan tumbuhan Sellaginela tamariscina yang digunakan sebagai obat
penyakit kanker di daerah lain (Djauharia dan Hernani, 2004) ,sedangkan
masyarakat di sekitar kawasan menggunakannya untuk mengobati penyakit
liver,ginjal, dan tekanan darah tinggi, dengan cara mengambil 3 rumpun tanaman
ini lalu dicuci bersih kemudian direbus dengan 3 gelas air, diminum 3 kali sehari.
Masyarakat telah secara turun temurun atau secara tradisional
menggunakan tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya termasuk untuk
mengobati berbagai penyakit. Kehidupan masyarakat sangat erat dengan
92
alam,khususnya dengan pemanfaatan tumbuhan obat dari ekosistem hutan
alam.
Pengetahuan tradisional masyarakat ini merupakan aset bangsa dalam
pengelolaan adatif pelestarian pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan obat untuk
pengembangan obat asli Indonesia di masing-masing wilayah, sesuai dengan
karakteristik sumberdaya tumbuhan obat dan masyarakat di masing-masing
wilayah Indonesia. Potensi ini merupakan aset nasional yang bernilai sangat
strategis dan sangat tinggi untuk mengembangkan manfaat baru dari berbagai
hasil tumbuhan untuk kepentingan manusia di dunia obat-obatan.
Aspek Konservasi Tumbuhan Obat Masyarakat di kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone
sebagaian besar masih bergantung pada alam sekitarnya untuk pemeliharaan
kesehatan dan pengobatan terutama dari tumbuhan yang sejak dahulu sudah
dimanfaatkan oleh nenek moyang mereka dan mereka hanya akan pergi ke
dokter kalau keadaan terpaksa karena lokasi tempat dokter berada jauh di ibu
kota kabupaten.
Sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, akhir-
akhir ini generasi muda di daerah mulai meninggalkan seni dan pengetahuan
penggunaan pengobatan tradisional ini karena mereka menganggap itu sudah
kuno. Akibatnya sulit mendapatkan pewaris dukun yang professional. Hal ini
akan sangat memprihatinkan sebab kalau tidak segera dicatat dan
didokumentasikan, seni dan pengetahuan pemanfaatan tumbuhan hutan untuk
memelihara kesehatan akan lenyap. Di samping itu dengan menyatunya
keberadaan sumber daya alam dengan budaya masyarakat, habitatnya akan
terancam oleh ulah maysarakat itu sendiri dalam mengeksploitasi sumber daya
alam tersebut dengan tidak bertanggung jawab. Dalam hal ini masyarakat perlu
membudidayakan tumbuh-tumbuhan obat tersebut yang pada gilirannya akan
mendukung kelestarian lingkungan hidup dan mempertahankan
keanekaragaman jenis tumbuhan obat tersebut. Jika tidak demikian akan akan
terjadi kepunahan keragaman jenis tumbuh-tumbuhan tersebut.
Untuk kepentingan pengobatan tradisional, baik untuk keluarga maupun
untuk umum, masyarakat suku Bogani telah melakukan penanaman dan
pemeliharaan tanaman yang berkhasiat obat, tanaman tersebut sudah
dibudidayakan dipekarangan rumah dan di kebun dekat pemukiman penduduk.
93
Namun demikian ada beberapa jenis tumbuhan obat yang tergolong endemik
yang harus diprioritaskan untuk segera dibudidayakan karena tumbuhan tersebut
semakin sulit dijumpai keberadaanya seperti Areca vestiaria, Musa sp, Ficus
minahassae. Tumbuhan tersebut hampir punah sehingga diperlukan alternatif
yang tepat untuk pelestariannya.
Kegiatan pelestarian sangat penting artinya dalam melindungi populasi
jenis tumbuhan dan satwa untuk tetap hidup bebas pada habitat aslinya.
Pengelolaan suatu kawasan pelestarian alam yang luas merupakan suatu proses
yang kompleks dan banyak ancaman dari luar, sehingga menjamin kelestarian
habitat, harus dijaga kelangsungan hubungan yang ada di dalam kawasan
seperti dengan masyarakat lokal.
Benteng terakhir ekosistem hutan alam tropika Indonesia sebagai tempat
penyimpanan kekayaan keanekaragaman hayati tumbuhan obat adalah
dikawasan pelestarian alam dimana salah satu kegiatan pelestarian alam adalah
insitu seperti di Taman Nasional, Cagar alam, Taman Hutan raya dan Taman
Suaka alam.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Pemerintah untuk pengelolaan
kawasan pelestarian harus mencakup :
1. Mengidentifikasi kawasan pelestarian untuk pelestarian tumbuhan obat,
masyarakat lokal/tradisional, termasuk pengetahuan tradisionalnya.
2. Tehnik pendataan dan monitoring tumbuhan obat dalam kawasan
pelestarian.
3. Tehnik dan prosedur untuk pengkoleksian dari tumbuhan obat dalam
kawasan pelestarian.
4. Mekanisme legal untuk menjamin masyarakat lokal mendapatkan
keuntungan ekonomi.
5. Mengadakan pelatihan untuk pengelola kawasan mengenai tumbuhan
obat dan penggunaanya.
Kawasan pelestarian merupakan habitat bagi berbagai jenis tumbuhan
obat yang tumbuh secara liar dan juga merupakan laboratorium lapangan untuk
program penelitian tumbuhan obat. Jenis tumbuhan obat yang langka atau
endemik harus diberkan prioritas dalam perencanaan pengelolaan habitatnya.
Oleh sebab itu perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Mengetahui penyebaran jenis tumbuhan obat dalam kawasan
94
2. Mengetahui karakteristik ekologi dan morfologi jenis dan
3. Status dan keberadaan kawasan termasuk ancaman dari luar.
Pengelola kawasan hendaknya dapat mengizinkan masyarakat lokal
untuk memanen tumbuhan obat secara terbatas dalam wilayah perlindungan.
Hal ini dapat merubah citra kawasan pelestarian dan bisa mengurangi kegiatan
illegal dan kegiatan pengrusakan hutan, sebaiknya pendapatan atau keuntungan
dari tumbuhan obat hendaknya dikembalikan untuk pengeloaan kawasan yang
dilindungi.
Idealnya semua tumbuhan obat harus dilestarikan meliputi semua
populasi di alam (pelestarian insitu) dan penangkaran di luar habitatnya
(pelestarian exsitu). Tujuan pelestarian exsitu adalah (a) untuk diintroduksikan
kembali ke habitat aslinya, (b) untuk pemuliaan tumbuhan, (c) untuk penelitian
dan pendidikan.
Kerugian pelestarian exsitu adalah jenis tumbuhan yang dilestarikan
memiliki variasi genetik yang lebih sempit dibandingkan genetik aslinya di alam.
Jenis yang di lestarikan exsitu dapat mengalami erosi genetik dan sangat
tergantung pada perawatan kontinyu dari manusia. Prioritas pelestarian exsitu
diberikan untuk jenis yang habitatnya telah rusak atau digunakan untuk
meningkatkan jenis lokal yang hampir punah sehingga menjadi tersedia kembali
dialam.
95
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan obat oleh masyarakat
suku Bogani terdiri atas 121 jenis tumbuhan, yang terdiri atas 57 suku.
Jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan tergolong pada suku
Eupohorbiaceae, Labiatae,Verbenaceae, Araceae, dan Asteraceae.
2. Berdasarkan hasil perhitungan nilai pemanfaatan (ICS) dan nilai penting
(INP) maka jenis tumbuhan yang termasuk kategori tumbuhan obat pada
10 peringkat tertinggi adalah Diospyros celebica /eboni/k.hitam, Knema
celebica/pala hutan, Areca vestiaria/pinang yaki, Calamus sp. /rotan,
Arenga pinnata /seho, Mangostana indica/manggis hutan, Ficus
minahassae/dumpagon, Aglaia minahassae/pisek, Pandanus sp.
/pondang, Remusativa vivipara/talas.
3. Terdapat indikasi akan punahnya pengetahuan obat tradisional ini jika
tidak segera di inventarisasi karena banyak yang tidak diturunkan lagi
kepada generasi muda (para dukun umumnya sudah lanjut usia).
SARAN
1. Perlu penelitian lanjut untuk mengetahui senyawa bioaktif yang
terkandung dalam tumbuhan obat khususnya yang mengobati beberapa
jenis penyakit.
2. Perlu penelitian lanjutan khusus untuk tanaman obat yang tergolong
langka dan endemik sebagai langkah awal pelestariannya.
3. Penelitian tentang pengetahuan obat tradisional perlu segera di
tindaklanjuti karena umumnya tidak diwariskan lagi.
96
ABSTRACT
HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Ethno-botany, Bioprospecting of Pinang Yaki ( Areca vestiaria Giseke). Under the direction of DEDE SETIADI, LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI. Pinang yaki ( areca vestiaria) is the kind of beautiful bias palm that originated from Sulawesi. The plant is widely distributed in Lore Lindu National Park, Bogani Nani Wartabone National Park, Mount Ambang Natural Conservation, slope of Mount Mahawu. The palm is also growing in Province of Maluku, particalary in Halmahera and Seram island, and widely known as “Pinang Merah” (Mogea, 2002). The research’s objectives are to study how the community around Bogani Nani Wartabone National Park use Pinang yaki to cure a disease and to determine chemical contend that use by local community as medicine plant by phyto-chemical analysis, and to study how far the toxicity level of Pinang yaki fruits extract.
The result shows that Pinang yaki (Areca vestiaria Giseke) is an endemic palm in Sulawesi with unique characteristics and one of important component in tropical rain forest ecosystem. The fruits is also become food sourches for black monkey (Macac nigra) that also as endemic animal in Sulawesi. The result of phyto-chemical analysis shows that the contend of Pinang yaki are tannin, flavonoid, hydroquinone, triterpenoid and saponin. While the proximate Analysis shows that fruits of pinang yaki has 6.10% water content, ash content 0,70%, water residual 5,75% and organic solvent residual 16,46%. Toxicity test on Artemia salina leach larva shows 334.988 ppm value. The LC50 value under 1000 ppm, shows that pinang yaki seed is potential for bio active. Key word : Ethno-botany, phyto-chemical, Toxicity, Areca vestiaria
97
PENDAHULUAN
Studi yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat
primitif atau penduduk asli yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat
dikenal dengan istilah etnobotani. Harshberger (1896) dalam Wickens (1989),
mengemukakan bahwa etnobotani dapat menjelaskan beberapa hal antara lain : (1) keadaan kebudayaan suatu bangsa yang memanfaatkan tumbuh-tumbuhan (2) membuktikan penyebaran tumbuh-tumbuhan pada masa lalu (3) membuktikan jalur perdagangan (4) berguna dalam menerangkan nilai yang
didapat dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang diambil dari alam.
Etnobotani sebagai suatu konsep pendekatan permasalahan dari segi
etnologi dan botani. Etnologi menjelaskan hubungan yang erat antara kehidupan
suatu kelompok masyarakat dengan sumberdaya alam tumbuhan yang ada
dilingkungannya, termasuk didalamnya uraian tentang sejarah pemanfaatannya
dan penyebaran jenis-jenis tumbuhan tersebut. Segi botani lebih menekankan
pada konsepsi masyarakat itu terhadap dunia tumbuhan yang dikenal, terutama
perannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai sumber pangan, perumahan,
bahan obat, bahan rempah, maupun untuk ritual (Wardah et al, 2002).
Berbagai jenis biodiversitas mempunyai potensi kandungan bahan-bahan
kimia dan sumberdaya genetika. Potensi ini merupakan keunggulan komperatif
karena pada saat ini terjadi peningkatan industri terhadap sumber-sumber bahan
kimia untuk memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna,
bahan pengawet makanan dan lain-lain (Sumarja 1998).
Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian,
pengumpulan, ekstraksi, dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan
tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai
ekonomi tinggi. Kegiatan ini penting untuk mendokumentasi sumberdaya genetik
keanekaragaman hayati sebelum ada pihak lain yang tidak bertanggung jawab
mengeksploitasi habis kekayaan tersebut, sekaligus mencari sumber bagi
keuntungan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu keanekaragaman, struktur
dan komposisi vegetasi sebagai komponen utama habitat perlu dikaji dan
dianalisa. Demikian pula pemanfaatan keanekaragaman flora oleh masyarakat
sekitar taman nasional terutama pemanfaatannya sebagai bahan obat-obatan
tradisional.
98
Perlombaan pencarian obat baru seiring dengan munculnya penyakit-
penyakit baru. Berbagai hasil kajian, tanaman dan tumbuhan di wilayah tropis,
khususnya Indonesia, menjadi incaran. Sumberdaya alam hayati menjadi sangat
berharga, khususnya sebagai sumber gen (plasma nutfah) dan sebagai sumber
bahan kimia. Oleh karena itu ekstrak yang diperoleh dari sumberdaya hayati ini
sangat mahal sekalipun dalam jumlah yang amat sedikit (mikro-liter) nilainya
dapat mencapai puluhan ribu dollar. Ekstrak ini digunakan sebagai bahan baku
industri gen dan industri obat modern (Dennin, 2000 ; Kusuma,2002 ).
Berdasarkan hasil penelitian keanekaragaman tumbuhan obat yang
digunakan oleh masyarakat di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone (merupakan pokok bahasan tersendiri dalam disertasi ini dan telah
dibahas pada bab sebelumnya), ditemukan 121 jenis tumbuhan obat. Dari hasil
analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), pinang yaki (Areca vestiaria
Giseke) merupakan tumbuhan yang paling berpotensi untuk dikembangkan.
Untuk itu pengkajian terhadap aspek ekologi, fenologi, dan pemanfaatan
tumbuhan pinang yaki (Areca vestiaria Giseke) perlu dilakukan.
Penelitian ini akan membawa terobosan baru dalam penemuan senyawa-
senyawa bioaktif unggulan khas tropis, khususnya Daerah Sulawesi Utara yang
merupakan kawasan peralihan antara Zona Malaysia dan Australia yang dikenal
dengan "Wallaceae Area" yang memiliki beranekaragam karakteristik dan
keunikan jenis tumbuhan.
Pada prinsipnya penelitian ini melanjutkan eksplorasi potensi
keanekaragaman hayati tumbuhan obat antifertilitas yang sudah dilakukan
(Simbala, 2006). Dari hasil penelitian Bioekologi yang sudah dilakukan, Pinang
yaki (Areca vestiaria) merupakan jenis palem endemik Sulawesi yang memiliki
karakteristik yang unik dan merupakan salah satu komponen penting dalam
ekosistem hutan hujan tropis dimana buahnya sebagai salah satu sumber
makanan bagi monyet hitam (Macaca nigra) yang juga merupakan satwa
endemik Sulawesi.
Tumbuhan dikenal sebagai pabrik industri kimia yang merupakan bahan
baku obat yang telah diketahui sejak lama dengan menggunakan obat
tradisional. Mengingat sekarang ditemukannya penyakit yang beraneka ragam
seperti kanker, AIDS, flu burung dan lai-lain, diperlukan pencarian senyawa kimia
yang aktif dari tumbuhan.
99
Menurut Achmad (2003), bahan kimia yang bersumber dari tumbuhan yang
telah digunakan untuk antihipertensi di antaranya resinamin dan reserpin dari
Rauwolfia serpentina Benth, dan deserpidin dari R. tetraphylla L. (Apocynaceae);
untuk terapi penyakit jantung dipakai bahan kimia seperti kuabain dari
Strophanthus gratus Baill. (Apocynaecae); dan untuk terapi diuretik dan
vasodilator dipakai teobromin dari Theobroma cacao L. termasuk suku
Sterculiaceae. Senyawa kristalin yang diketahui sebagai daucosterol, cumanbrin-
A, acacetin, glyceryl-1- monobehenate dan asam palmitik (chrysanthemol) yang
diisolasi dari bunga-bunga Chrysanthemum indicum L., chrysanthemol
antiinflamasi pada tikus (Yu, et al, 1987); dan thalicsiline dari Thalictrum sessile
(Wu et al, 1988).
Bahan kimia asal tumbuhan yang dapat dipakai sebagai antifertilitas telah
banyak dikaji di antaranya Levo gossypol sebagai agen antifertilitas pada pria
berasal dari Gossypium (Malvaceae). Ekstrak etanol dari Artemisia absinthium,
dan Schubertia multiflora sebagai antifertilitas, dan Ruta graveolus dapat
menyebabkan keguguran (Rao, 1988); dan sebaliknya Phenylethanoid
glycosides dari herba Cistanchis dipakai untuk pergobatan bagi impotensi dan
fungsi vital ginjal (Tu, et al, 1997).
Tujuan Penelitian
MMeemmppeellaajjaarrii bbaaggaaiimmaannaa mmaassyyaarraakkaatt ddii sseekkiittaarr TTNNBBNNWW mmeemmaannffaaaattkkaann ppiinnaanngg
yyaakkii uunnttuukk ppeennggoobbaattaann ppeennyyaakkiitt,, mmeenngguujjii kkaanndduunnggaann kkiimmiiaa ttuummbbuuhhaann ppiinnaanngg yyaakkii
yyaanngg ddiigguunnaakkaann oolleehh mmaassyyaarraakkaatt sseetteemmppaatt mmeellaalluuii aannaalliissiiss ffiittookkiimmiiaa,, mmengetahui
sejauhmana tingkat toksisitas ekstrak buah pinang yaki.
3. Hipotesis Penelitian
• Pinang yaki ( Areca vestiaria ) menghasilkan senyawa metabolit sekunder
( alkaloid, flavanoid, triterpenoid, steroid dan tanin ) yang memiliki
aktivitas biologis .
100
TINJAUAN PUSTAKA
Etnobotani Etnobotani merupakan suatu studi yang mempelajari tentang
pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh masyarakat primitif atau penduduk asli
yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat. Heiser (1985) mendefinisikan
etnobotani sebagai suatu studi tentang tumbuh-tumbuhan yang berkaitan dengan
masyarakat yang memanfaatkannya. Selanjutnya Plotkin (1991) mendefinisikan
bahwa etnobotani adalah hubungan secara total antara masyarakat dengan
tumbuhan, kemudian etnobotani menjadi subjek dari ilmu ekonomi tumbuhan
yang menekankan pada kegunaan tumbuhan dan potensialnya bagi kehidupan
masyarakat. Dengan demikian etnobotani saat ini mencakup pemanfaatan
tumbuh-tumbuhan oleh masyarakat primitif dan masyarakat yang telah maju.
Sedangkan Schultes (1992), etnobotani diartikan sebagai pencatatan secara
menyeluruh tentang pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh penduduk asli.
Umumnya penduduk yang memanfaatkan tumbuhan tersebut telah mengenal
tumbuhan yang dimanfaatkan. Selain itu telah mengetahui bentuk-bentuk
pengolahan secara tradisional.
Harshberger (1896) diacu dalam Wickens ( 1989), mengemukakan
bahwa etnobotani dapat menjelaskan beberapa hal antara lain :
• Keadaan kebudayaan suatu bangsa yang memanfaatkan tumbuh-
tumbuhan
• Membuktikan penyebaran tumbuh-tumbuhan pada masa lalu
• Membuktikan jalur perdagangan
• Berguna dalam menerangkan nilai yang didapat dari pemanfaatan
tumbuhan dan satwa liar yang diambil dari alam.
Alikodra (1987), mengemukakan bahwa sejak awal peradaban manusia,
antara hutan dan manusia telah terjadi hubungan saling ketergantungan, karena
hutan merupakan sumber bahan kehidupan dasar yang diperlukan oleh manusia
seperti: air, energi, makanan, protein, udara bersih dan perlindungan.
Selanjutnya hubungan ketergantungan secara tradisional ini berlangsung di
berbagai taman nasional, sesuai peningkatan laju pertumbuhan penduduk di
sekitar taman nasional.
101
Menurut Hidalgo (1992), pemanfaatan tumbuh-tumbuhan oleh kelompok
masyarakat yang berada di sekitar hutan hujan tropika dapat memberikan
keseimbangan hubungan antara manusia dan alam. Bentuk pengelolaan
tersebut dapat berupa pembuatan pekarangan pribadi dan hutan rakyat.
Pekarangan pribadi terletak di sekitar hutan dan berupa perpaduan antara usaha
pertanian, hutan dan pemeliharaan jenis-jenis yang sangat bermanfaat,
khususnya tanaman pertanian. Sedangkan hutan rakyat pada prinsipnya adalah
penanaman jenis-jenis tumbuhan yang ada di hutan dan pemanfaatannya.
Pemanfaatan yang dilakukan adalah pengambilan produk jenis komersil seperti
kayu, karet, minyak dan perburuan satwa liar secara terbatas.
Pengetahuan tradisional (Indigenous knowledge) asli masyarakat lokal
merupakan sesuatu yang unik dalam suatu kultur yang bisanya disebut
pengetahuan asli, pengetahuan lokal, nilai-nilai tradisional atau ilmu tradisional.
Masyarakat lokal telah memiliki berbagai pengetahuan yang luas tentang
ekosistem tempat mereka hidup dan beraktivitas. Pengetahuan bagaimana cara
mereka memanfaatkan sumberdaya alam secara berkelanjutan yang ada di
lingkungan mereka dengan karakteristik kehidupan sosial masyarakatnya
(Anonim 1997).
Menurut Nababan (2001) prinsip-prinsip kearifan tradisional antara lain :
(1) ketergantungan manusia dengan alam mensyaratkan keselarasan hubungan
dan keseimbangan yang harus dijaga; (2) penguasaan atas wilayah adat tertentu
bersifat eksklusif sebagai hak penguasaan kepemilikan komunitas (communal
property resources), selanjutnya dikenal sebagai wilayah adat yang mengikat
semua warga untuk menjaga dan mengelolanya bagi keadilan dan kesejahteraan
bersama sekaligus mengamankan dari eksploitasi pihak luar; (3) sistem
pengetahuan dan struktur pengaturan adat memberikan kemampuan
memecahkan masalah yang mereka hadapi dalam pemanfaatan sumberdaya
hutan; (d) sistem alokasi dan penegakan hukum adat, mengamankan
sumberdaya milik bersama dari penggunaan berlebihan baik oleh masyarakat
sendiri maupun pihak luar; (e) mekanisme penerapan distribusi hasil panen
sumberdaya alam milik bersama, dapat meredam kecemburuan sosial ditengah-
tengah masyarakat.
Purwanto (2003) mengemukakan bahwa, pengelolaan lingkungan suatu
kawasan tidak mungkin berhasil tanpa melibatkan keberadaan masyarakat
102
setempat. Peran masyarakat lokal merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kondisi lingkungan, terutama melalui aktivitasnya.
Pengetahuan tradisional masyarakat atau kearifan lokal berbeda satu
sama lain tergantung budaya dan tipe ekosistem setempat. Pada umumnya
berupa sistem pengetahuan dan pengelolaan sumberdaya lokal yang diwariskan
turun temurun. Misalnya: masyarakat adat ekosistem rawa bagian selatan pulau
Kimaam Kabupaten Merauke, Papua yang berhasil mengembangkan 144
kultivar ubi (Nababan 2001).
BIOPROSPEKSI
Sumberdaya alam hayati menjadi semakin menarik ketika mendapat
pengakuan masyarakat dan dunia sebagai bahan baku obat-obat tradisional.
Melalui lompatan kemajuan dalam bidang ilmu biologi modern (bioteknologi),
telah dibuktikan bahwa tumbuhan sebagai sumberdaya hayati merupakan
sumber pustaka kimia yang sangat potensial dalam upaya pencarian obat baru
(bioprospecting). Sumberdaya alam ini juga identik dengan pustaka gen yang
amat dibutuhkan untuk pengembangan industri dan pembaharuan di bidang
kesehatan (Kusuma, 2002).
Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian,
pengumpulan, ekstraksi, dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan
tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai
ekonomi tinggi. Kegiatan ini penting untuk mendokumentasi sumberdaya genetik
keanekaragaman hayati sebelum ada pihak lain yang tidak bertanggung jawab
mengeksploitasi habis kekayaan tersebut, sekaligus mencari sumber bagi
keuntungan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu keanekaragaman, struktur
dan komposisi vegetasi sebagai komponen utama habitat perlu dikaji dan
dianalisa. Demikian pula pemanfaatan keanekaragaman flora oleh masyarakat
sekitar taman nasional terutama pemanfaatannya sebagai bahan obat-obatan
tradisional (Kehati, 2001).
Menurut Dennin (2000), berbagai spesies keanekaragaman hayati
mempunyai potensi yang sangat berharga, khususnya sebagai sumber gen
(plasma nutfah) dan sebagai sumber bahan kimia. Pengertian dan pemahaman
baru bahwa setiap helai daun tumbuhan, dan setiap bagian tumbuhan lainnya
(ranting,akar, daun, buah, dan lain sebagainya) adalah pustaka kimia dan
sumber gen yang luar bisa kayanya. Oleh karena itu ekstrak yang diperoleh dari
103
sumberdaya hayati ini sangat mahal sekalipun dalam jumlah yang amat
sedikit(mikro-liter) nilainya dapat mencapai puluhan ribu dollar. Ekstrak ini
digunakan sebagai bahan baku industri gen dan industri obat modern.
Selanjutnya Kusuma (2002 ), mengemukakan bahwa melalui pemberian nilai
tambah keanekaragaman hayati tersebut akan diperoleh keuntungan secara
ekonomis. Hal tersebut merupakan insentif yang dapat memotifasi eksploitasi
sumberdaya hayati secara berkelanjutan.
Kartodihardjo(1999) dan Endang (2002) sependapat bahwa persiapan-
persiapan ke arah pemanfaatan sumberdaya alam hayati bagi negara Indonesia
sangat beralasan karena negara kita adalah pemilik keanekaragaman hayati
terbesar di dunia. Berbagai pengobatan tradisional dengan menggunakan bahan
dasar bahan tumbuhan asli Indonesia diakui ampuh. Pembuktian ini telah
membuka mata dunia untuk mempelajari sumber daya alam hayati Indonesia.
Hal ini harus diantisipasi, karena dengan menggunakan teknologi supra modern
yang saat ini pihak barat telah mampu mengembangkan metoda penapisan
dalam upaya menciptakan obat-obat baru yang amat dibutuhkan dunia.
Pemanfaatan sumberdaya alam oleh pihak barat melalui akses kepada
sumberdaya alam lokal yang harus menjamin adanya kompensasi dan
keuntungan bagi masyarakat dan bangsa Indonesia serta adanya jaminan
kelestariannya sebagai wujud pertanggungjawaban kepada generasi mendatang.
Sebenarnya, bangsa Indonesia memiliki aset abadi berupa sinar matahari
dan laut. Bangsa Indonesia memiliki hutan tropis dengan keanekaragaman
sumberdaya alam hayati yang luar bisa. Dengan modal tersebut di atas,
sebetulnya Indonesia layak menjadi gudang pangan dan obat-obatan dunia,
tujuan wisata dan paru-paru dunia. Dengan VISI ini, Indonesia sebenarnya
mempunyai peluang untuk segera keluar dari himpitan krisis sekaligus
mengembalikan hakikat martabat dan harga diri bangsa dalam pergaulan dunia
(Ranareksa, 2000).
Menurut Sidik (1994), berkembangnya ilmu kedokteran dan farmasi
maupun ilmu lainnya yang terkait maka bahan-bahan yang dipakai dalam ilmu
kedokteran saat ini pada dasarnya merupakan perkembangan dari bahan-bahan
alam tersebut.
104
Didalam perkembangan teknologi akhir-akhir ini, banyak obat-obat dibuat
secara sintesis, namun penghasil obat seperti antibiotika misalnya penisilin,
streptomisin, khloromisetin dan lain-lain, semuanya dihasilkan dari tumbuhan
(Dzulkarnain, et al, 1996). Para ahli meyakini bahwa masih banyak jenis
tumbuhan yang sampai sekarang belum dikenal berkhasiat sebagai obat.
Menurut Achmad SA (2002), ditinjau dari banyaknya tumbuhan yang
bahannya dipakai dalam obat tradisional oleh masyarakat, dapat dipakai
sebagai petunjuk untuk mengadakan penyelidikan secara ilmiah tentang zat yang
berkhasiat sebagai tumbuhan obat, dengan demikian menunjang perkembangan
farmakologi dan pengobatan modern. Dilain pihak untuk meningkatkan
kesehatan masyarakat dan mengantisipasi laju perkembangan penyakit yang
sering melampaui laju perkembangan bidang teknologi pengobatan modern
maka pemanfaatan tumbuhan obat merupakan suatu alternatif yang dapat
ditempuh (Hargono dan Djoko 1997).
Selanjutnya dikemukakan bahwa perkembangan dalam penelitian
tumbuh-tumbuhan obat mengalami kemajuan yang semakin cepat dengan
ditemukannya tehnik-tehnik pemisahan kromatografi dan penentuan struktur
molekul secara spektroskopi pada pertengahan abad ke 20. Dalam hal ini perlu
dicatat beberapa temuan senyawa bioaktif farmakologis yang sangat berarti,
seperti alkaloid bis-indol vinblastin dan vinbastin dari tanaman Catharanthus
roseus G.Don (Apocynaceae), yang kemudian dikembangkan menjadi komersil
untuk mengobati penyakit kanker. Selanjutnya Endang, 2002, penemuan
diterpenoid taksol dari tumbuhan Taxus brevifolia Nutt.(Taxaceae) yang
kemudian diperdagangkan sebagai obat kanker payudara dan kanker kandungan
Segera, perusahaan-perusahaan farmasi yang besar menaruh perhatian yang
sangat antusias terhadap tumbuh-tumbuhan sebagai sumber yang sangat
potensial untuk digunakan sebagai bahan baku obat modern.
Pada hakekatnya tumbuh-tumbuhan obat juga dapat digunakan menurut
dua cara yang berbeda, pertama, sebagai campuran yang kompleks yang
mengandung berbagai senyawa kimia, misalnya seduhan dan minyak atsiri.
Ramuan fitofarmaka ini sangat populer di negara-negara yang mempunyai tradisi
yang kuat dalam obat herbal. Cara kedua, ialah dalam bentuk senyawa kimia
murni bioaktif yang terdefinisi secara kimia dengan jelas (Syamsul dkk., 2002),.
Selanjutnya dikemukakan bahwa proses untuk menghasilkan senyawa kimia
murni diawali dengan pemilihan tumbuhan.Untuk menghasilkan senyawa kimia
105
murni yang aktif farmakologis memerlukan kerjasama multidisiplin antara ahli-ahli
biologi, kimia, farmakologi, dan toksikologi. Pemilihan jenis tumbuhan tertentu
merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan bagi keberhasilan
penelitian. Kecuali pemilihan yang bersifat acak, terdapat pula pemilihan yang
bersifat lebih terarah, berlandaskan pengetahuan kemotaksonomi yang
dikombinasikan dengan informasi etnobotani. Tumbuh-tumbuhan yang
digunakan dalam pengobatan tradisional merupakan petunjuk bagi ditemukannya
senyawa-senyawa aktif farmakologis.
ANALISIS FITOKIMIA BUAH PINANG YAKI
Analisis fitokimia merupakan uji pendahuluan untuk mengetahui keberadaan
senyawa kimia spesifik seperti alkaloid, flavonoid, steroid, saponin, tannin, dan
triterpenoid. Uji ini sangat bermanfaat untuk memberikan informasi senyawa
kimia yang terdapat pada tumbuhan. Analisa ini merupakan tahapan awal dalam
isolasi senyawa bahan alam selanjutnya (Harbone, 1996).
Fitokimia merupakan cabang kimia organik yang berada di antara kimia
organik bahan alam dan biokimia tumbuhan, serta berkaitan erat dengan
keduanya. Bidang perhatian dari kimia tumbuhan atau fitokimia adalah
keanekaragaman senyawa organik yang dibentuk dan ditimbun oleh tumbuhan
yang meliputi struktur kimia, biosintesis, perubahan serta metabolismenya,
penyebaran secara ilmiah dan fungsi hayati. Kimia tumbuhan ini banyak
berkaitan dengan bidang pertanian, baik untuk meningkatkan kualitas hasil
pertanian tanaman pangan ataupun tanaman lainnya (Suradikusumah, 1989).
Menurut Latifah (2003), dikenal dua sistem metabolisme dalam tumbuhan
yaitu metabolisme primer dan sekunder. Proses metabolisme primer melibatkan
senyawa-senyawa yang disebut metabolit primer yaitu protein, karbohidrat, lipida,
dan asam nukleat. Sedangkan proses metaboliisme sekunder menghasilkan
produk berupa metabolit sekunder di antaranya alkaloida, terpenoid, flavonoid,
tannin, dan saponin. Pada dasarnya jalur biosintesis primer terdapat pada
seluruh sistem organisme, sedangkan keberadaan jalur metabolisme sekunder
akan tergantung kepada organismenya, kondisi biokimiawi serta tingkat fisiologis
tumbuhannya. Metabolit sekunder dalam suatu tumbuhan dapat bervariasi
karena kondisi lingkungannya, jenisnya (dapat juga varietasnya), kondisi
fisiologisnya (tua, muda) dan juga sifat kimianya. Oleh karena itu dalam
pengolahan tumbuhan obat perlu diketahui darimana asalnya, bagaimana
106
budidayanya, pascapanennya, dan bagaimana proses untuk mendapatkan
produknya.
Pengaruh fisiologis dan farmakologis dari tumbuhan disebabkan oleh
kandungan senyawa kimia aktif yang umumnya merupakan hasil metabolisme
sekunder dari tumbuhan. Metabolisme sekunder itu antara lain menghasilkan
senyawa golongan fenol dan asam fenolat, fenilprofanoid, tanin, flavonoid dan
flavonol, senyawa golongan triterpenoid, steroid, saponin, dan senyawa golongan
nitrogen seperti alkaloid.
Alkaloid Alkaloid merupakan senyawa kimia bersifat basa yang mengandung satu
atau lebih atom nitrogen, umumnya tidak berwarna, dan berwarna jika jika
mempunyai struktur kompleks dan bercincin aromatik. Alkaloid sering kali
beracun bagi manusia dan banyak mempunyai kegiatan fisiologis yang menonjol,
jadi digunakan secara luas dalam pengobatan. Dapat bersifat optis aktif dan
dalam proses ekstraksi dapat mengakibatkan isomerisasi sehingga alkaloid yang
diperoleh berupa campuran resemik.
Alkaloid merupakan golongan terbesar senyawa metabolit sekunder pada
tumbuhan. Telah diketahui sekitar 5500 senyawa alkaloid yang terbesar di
berbagai famili Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan
seperti biji, daun, ranting dan kulit kayu (Surahadikusuma,1989). Alkaloid
ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi maupun tingkat rendah, juga dapat
ditemukan pada hewan (Harbone, 1996).
Tanin
Tanin merupakan senyawa polifenol yang terdapat secara alami. Sifat
utamanya berkaitan dengan protein dan polimer lainnnya seperti selllulosa,
hemisellulosa, pektin yang dapat membentuk senyawa yang stabil . Tanin adalah
suatu grup yang penting dalam unsur-unsur sekunder tanaman. Tanin
merupakan fenol yang larut dalam air dengan berat molekul 500-3000,
merupakan bagian dari fraksi fenol dan mempunyai kemampuan untuk mengikat
alkaloid gelatin dan protein. Selanjutnya Manitto (1992) mengemukakan bahwa
senyawa tanin merupakan penghambat enzim yang kuat bila terikat pada
protein. Senyawa tanin termasuk golongan senyawa yang berasal dari
tumbuhan, yang sejak dahulu kala digunakan untuk merubah kulit hewan menjadi
107
kedap air, awet. Dalam buah, tingkat polimerisasi dari tanin bertambah bila buah
makin masak, sehingga kemampuan untuk mengikat protein menjadi berkurang
(Tangendjaya et al., 1992).
Secara umum tanin dibagi ke dalam dua bagian besar yakni tanin
terkondensasi dan tanin terhidrolisis. Tanin terkondensasi tersusun dari polimer
tidak mengalami hidrolisis dalam asam basa. Tanin terkondensasi dikenal juga
sebagai proantosianidin tidak mudah dihidrolisis dan terdapat dalam bentuk yang
sangat kompleks (Hagerman, 1992).
Terpenoid
Terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan, berasal dari
molekul isoprena CH2 = C(Ch3)-CH=CH2 dan kerangka karbonnya dibangun
oleh penyambungan dua atau lebih satuan C5. Terpenoid terdiri dari beberapa
senyawa terdiri dari komponen minyak atsiri yaitu didasarkan pada banyaknya
unit isoprenonoid sebagai senyawa penyusunnya. Monoterpenoid memiliki dua
satuan isoprenoid seperti pada minyak atsiri, seskuiterpenoid memiliki tiga unit
isoprenoid, diterpenoid memiliki empat unit dan triterpenoid memiliki enam unit
isoterpenoid (Harbone, 1996)..
Minyak atsiri merupakan suatu senyawa yang bagian utamanya terpenoid
yang terdapat pada fraksi atsiri yang tersuling uap. Zat inilah yang menyebabkan
wangi, harum, atau bau yang khas pada banyak tumbuhan. Triterpenoid sendiri
digolongkan menjadi beberapa golongan senyawa di antaranya sterol dan
saponin. Sterol adalah triterpen yang kerangka dasarnya sistem cincin
siklopentana, bisanya berperan sebagai hormon, misalnya skualen dan
ergosterol (Robinson,1995)..
Saponin
Saponin adalah glikosida triterpen dan merupakan senyawa aktif
permukaan yang kuat, bersifat seperti sabun serta dapat dideteki berdasarkan
kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Beberapa
saponin bekerja sebagai antimikroba (Robinson,1995). Selanjutnya dikemukakan
bahwa saponin memiliki gugus glikosil yang bersifat polar dan gugus steroid dan
triterpenoid yang bersifat nonpolar. Senyawa yang bersifat polar dan nonpolar
bersifat aktif permukaan sehingga saat dikocok dengan air saponin dapat
108
membentuk micell. Keadaan inilah yang tampak seperti busa, karena itu dalam
analisis ini dilihat kemampuan sampel dalam membentuk busa.
Saponin juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri pada produksi
hormon sex. Sumber utama saponin adalah berasal dari tumbuhan tinggi,
terutama dari famili Lithiaceae, Solanaceae dan Scrophulariceae (Manitto P,
1992). Saponin juga mempunyai kemampuan untuk mengikat kolesterol
sehingga turut berperan dalam mengurangi resiko arterosklerosis (Arcuri P.B.
2004). Menurut Lacaille dan Wagner (1996) , saponin memiliki aktivitas spesifik
yang berhubungan dengan kanker seperti sitotoksik, antitumor, antiperadangan,
antialergi, antivirus,antihepatotoksik, antidiabetes dan antifungal.
Flavonoid
Semua flavonoid, menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk
flavon yang terdapat berupa tepung putih pada tumbuhan dan senyawanya
mempunyai sejumlah sifat yang sama. Flavonoid berupa senyawa fenol karena
itu, akan berubah warna jika ditambah basa atau amonia. Flavonoid hampir
terdapat pada semua jenis tumbuhan, terikat pada gula sebagai glikosida dan
aglikon flavonoid (Harbone, 1996).
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali
dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Di samping itu,
sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas.
Flavonoid ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi, tetapi tidak dalam
mikroorganisme (Suradikusumah, 1989).
Analisis Kadar sari Buah Pinang yaki :
Analisis kadar sari dimaksudkan untuk mengetahui kualitas ekstrak yang
didasarkan pada zat berkhasiat hasil uji fitokimia. Kualitas ekstrak ditetapkan
berdasarkan parameter kualitas standard yang dikeluarkan oleh Direktprat
Pengawasan Obat tradisional yaitu antara lain persentase rendemen air, kadar
air, kadar abu, dan rendemen pelarut organik.
Uji Toksisitas Buah Pinang yaki
Uji toksisitas merupakan uji pendahuluan untuk mengamati aktivitas
farmakologi suatu senyawa. Farmakologi pada dasarnya adalah toksikologi pada
109
dosis rendah sedangkan toksikologi adalah farmakologi pada dosis tinggi
(Hamburger & Hostettmann, 1991).
Senyawa bioaktif merupakan senyawa yang bersifat toksik dalam dosis
tinggi. Penapisan senyawa bioaktif dari jaringan tumbuhan memerlukan metode
yang tepat, sederhana dan cepat. Prinsip dalam uji toksisitas adalah komponen
bioaktif selalu bersifat toksik jika diberikan dalam dosis tinggi dan obat adalah
racun dari suatu bioaktif pada dosis rendah. Senyawa aktif yang dikandung
ekstrak kasar tumbuhan akan menghasilkan tingkat kematian yang tinggi.
Pemeriksaan toksisitas diperlukan untuk sifat sediaan tersebut, apakah
bersifat toksik atau tidak. Tingkat konsentrasi yang dapat menyebabkan
keracunan ditentukan dengan letal konsentrasi 50(LC50). LC50 adalah konsentrasi
dari suatu bahan yang menyebabkan 50% kematian dalam suatu populasi. LC50
dapat digunakan untuk menentukan toksisitas dari suatu zat. Data mortalitas
hewan uji yang diperoleh dapat diolah untuk mendapatkan nilai LC50 dengan
selang kepercayaan 95% dengan menggunakan probit analysis method yang
dikemukakan oleh Finney (1971). Uji Toksisitas dalam penelitian ini
menggunakan Larva Udang (A.salina Leach) dengan Metode BSLT (Brine
Shrimp Lethality Test).
BAHAN DAN METODE
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan di kawasan TNBNW Kabupaten Bolaang
Mongondow Sulawesi Utara yaitu di Hutan Doloduo, Torout, Matayangan,
tumokang, dan Gunung Kabila (1.753 m) Penelitian dilaksanakan mulai bulan
Juli 2005 sampai dengan Oktober 2006. Uji fitokimia dan uji toksisitas
dilaksanakan di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka Institut Pertanian Bogor
Bahan, Alat dan Cara Penelitian
Bahan dan alat yang digunakan terdiri atas tumbuhan berupa koleksi pinang
yaki (Areca vestiaria Giseke ) yang diambil dari kawasan G.Kabila TNBNW. Proses pengumpulan data tumbuhan pinang yaki mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut: (1) observasi lapangan (2) inventarisasi jenis tumbuhan dan
etnobotani, karakteristik sampel, lokasi sampel dikoleksi (tinggi tempat di atas
110
laut, suhu, kelembaban, keadaan tanah dan vegetasi lain); (3) populasi
ditentukan dan dicatat penyebarannya; (4) spesimen yang dikoleksi, jumlahnya
disesuaikan dengan kebutuhan (ranting/daun, kulit batang, akar, bunga dan
buah); (5) sebagaian dari spesimen dilapang disiapkan untuk pembuatan
herbarium, untuk diidentifikasi dilaksanakan di Herbarium Bogoriensis Bogor.
Data ekologi (lngkungan) yang mempengaruhi penyebaran tumbuhan
pinang yaki seperti bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme hidup dan
waktu (Setiadi dan Muhadiono, 2001) diperoleh dengan pengamatan langsung
dilapangan dan dari informasi masyarakat maupun instansi terkait. Pemanfaatan
tumbuhan diketahui dengan cara wawancara dengan masyarakat setempat.
Bahan dan metode analisis fitokimia
1. Analisis Kadar sari Bahan dan alat yang digunakan terdiri atas biji pinang yaki yang diambil
dari kawasan G.Kabila di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone; pinggan
porselin, oven, timbangan, evaporator, dan bahan kimia yang diperlukan
sesuai kebutuhan analisis. Proses analisis kadar sari meliputi penetapan
kadar air, kadar abu, penetapan rendemen air, dan rendemen pelarut
organik.
Penetapan Kadar Air
Kadar air merupakan salah satu parameter penting yang perlu diketahui
pada analisis kadar sari. Dasar penetapan kadar air ada dua cara yaitu
berdasarkan berat basah (wet based) dan berdasarkan berat kering (dry based).
Dalam analisis ini menggunakan dasar berat basah. Besarnya crude extract dan
bioaktivitasnya dari senyawa sangat ditentukan oleh kadar air awal dari simplisia.
Penetapan kadar air dilakukan dengan mengeringkan pinggan porselin
pada suhu 1050C selama 1 jam. Setelah didinginkan di dalam eksivator
kemudian ditimbang bobotnya. Serbuk biji sebanyak 3 gram dimasukkan ke
dalam pinggan porselin kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C
selama 1 jam. Kadar air diukur dengan cara berikut :
100% x serbukBobot
n dikeringkasetelah serbuk bobot -serbuk Bobot (%)air Kadar =
111
Penetapan Kadar Abu
Cawan porselin kosong dipanaskan di atas api kemudian dimasukkan
dalam tanur bersuhu 6000C, proses pengabuan dilakukan selama 2 jam,
kemudian contoh didinginkan dalam eksivator dan ditimbang.
100% x awal(gr)contoh Bobot
akhir(gr)contoh Bobot (%)abu Kadar =
Penetapan Rendemen Air
Penetapan rendemen crude extract diperlukan untuk mengetahui dan
membandingkan jumlah senyawa yang dapat terambil dengan menggunakan
berbagai macam pelarut. Sampel dengan jumlah 3 gram direndam dengan air
selama 24 jam kemudian disaring. Filtrat yang diperoleh diuapkan dengan rotari
evaporator hingga kering. Hasil ekstrak yang dihasilkan kemudian ditimbang.
100% x awal Sampel
ekstrak Bobot (%)air Rendemen =
Penetapan Rendemen Pelarut Organik Sampel dengan jumlah 3 gram direndam dalam pelarut organik selama
24 jam kemudian disaring. Filtrat yang dihasilkan diuapkan dengan rotari
evaporator hingga kering. Hasil ekstrak yang dihasilkan kemudian ditimbang.
100% x awal Sampel
ekstrak Bobot (%)organik pelarut Rendemen =
2. Uji Fitokimia a. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan adalah biji pinang yaki (Areca vestiaria)
yang diambil dari habitat aslinya yaitu Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone di Sulawesi Utara.Bahan kimia yang digunakan yaitu H2 SO4 2M,
HCl, Mg, FeCl3 1%, Na OH 10%, pelarut-pelarut tehnis antara lain alkohol
80%, heksana, kloroform, etil asetat, serta aquades, pereaksi Wagner,
Meyers, Dragendorf.
112
b. Peralatan Alat yang digunakan antara lain cawan porselein, erlenmeyer, corong
pisah, pipet,gelas ukur, gelas piala, botol-botol,gelas pengaduk, neraca
analitik, alat refluks dan maserator.
c. Prosedur Kerja
• Penyiapan sampel Biji pinang yaki dijemur di bawah sinar matahari, dan setelah kering
bahan digiling halus,ditimbang dan diekstraksi dengan pelarut sesuai
keperluan analisis.
• Pembuatan Pereaksi
Pereaksi Mayer : Sebanyak 1,36 g HgCL2 dilautkan dalam 60 ml aquades.
Pada bagian lain dilarutkan pula 5 g KI dalam 10 ml aquades. Kedua
larutan ini kemudian dicampurkan dan diencerkan dengan aquades sampai
menjadi 100 ml. Pereaksi ini disimpan dalam botol berwarna gelap.
Pereaksi Dragendorf : Sebanyak 8 gr KI dilarutkan dalam 20 ml aquades,
sedangkan pada bagian lain 0,85 g bismut sub nitrat dilarutkan dalam 10 ml
asam asetat glasial dan 40 ml aquades. Kedua larutan tersebut dicampur
dan disimpan dalam botol berwarna gelap. Untuk penggunaannya, satu
bagian larutan ini diencerkan dengan 2/3 bagian larutan 20 ml asam asetat
glasial dalam 100 ml aquades.
Pereaksi Wagner : Sebanyak 1,27 g iod dan 2 g KI dilarutkan dalam 5 ml
aquades. Kemudian larutan ini diencerkan menjadi 100 ml dengan
aquades. Jika terjadi endapan, dilakukan penyaringan dan disimpan dalam
botol berwarna gelap.
Pengujian Golongan Alkaloid :
Sebanyak 4 g sampel tumbuhan yang telah dihaluskan ditambah
kloroform secukupnya, dan penghancuran dilanjutkan lagi. Kemudian
ditambah 10 ml amoniak. Fraksi kloroform dipisahkan dan diasamkan
dengan H2 SO4 2M.Fraksi H2 SO4 diambil, kemudian ditambahkan
pereaksi Mayer, Dragendorf dan Wagner. Jika terbentuk endapan putih
dengan pereaksi Mayer, dengan pereaksi Dragendorf memberikan
endapan jingga dan dengan pereaksi Wagner memberikan endapan
coklat, maka uji dinyatakan positif terhadap alkaloid.
113
Pengujian Golongan Triterpenoid dan Steroid :
Sebanyak 50 – 100 mg sampel ditambahkan etanol lalu
dipanaskan dan disaring. Filtratnya diuapkan dan ditambahkan eter.
Lapisan eter dipipet dan diuji dengan pereaksi Lieberman Buchard.
Adanya warna merah ungu menunjukkan positif terhadap triterpenoid dan
warna hijau menunjukkan positif mengandung steroid.
Pengujian Golongan Flavanoid :
Sebanyak 200 mg sampel yang telah dihaluskan, diekstrak
dengan 5 ml etanol dan dipanaskan selama 5 menit dalam tabung reaksi.
Hasil ekstrak dipipet dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lain.
Selanjutnya ditambahkan beberapa tetes HCl pekat. Kemudian
ditambahkan 0,2 g serbuk Mg. Adanya flavonoid ditunjukkan oleh
timbulnya warna merah coklat dalam waktu tiga menit.
Pengujian Golongan Tanin Sebanyak 20 mg sampel yang telah dihaluskan dimasukkan
kedalam tabung reaksi, ditambahkan 2 ml air lalu dipanaskan, kemudian
ditambahkan FeCl3 . Terbentuknya warna biru kehitaman atau hijau
kehitaman menunjukkan adanya tanin.
Pengujian Golongan Saponin :
Sebanyak 20 mg sampel dimasukkan kedalam tabung reaksi,
ditambahkan aquades sampai seluruhnya terendam air, kemudian
dipanaskan selama 5 menit. Didinginkan dan dikocok kuat-kuat sampai
berbusa. Timbulnya busa yang stabil selama 5 – 10 menit menunjukkan
adanya saponin.
Pengujian Golongan Kuinon :
Sampel ditambahkan metanol lalu dipanaskan. Kemudian
ditambahkan Na OH 1%. Adanya kuinon ditandai dengan timbulnya
warna merah.
3. Pengujian Toksisitas
114
a. Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan adalah ekstrak kering biji pinang yaki,
garam laut, aquades, dan kista A.salina Leach. Alat yang digunakan
yaitu botol uji (vial), pipet tetes, pipet ukur, neraca analitik ,alat
penetasan, kacamata pembesar, aerator, dan lampu TL.
b. Prosedur Kerja 1. Penyiapan sampel
Larutan ekstrak dibuat dengan konsentrasi 1000 ppm, 800 ppm, 600
ppm, dan 400 ppm. Keempat konsentrasi larutan sampel ini
digunakan untuk perlakuan terhadap A. salina yang sudah menetas.
2. Penetasan Kista A.salina Leach Kista Artemia salina ditimbang sebanyak 50 mg kemudian
dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air laut yang sudah disaring.
Setelah diaerasi kista dibiarkan selama 48 jam di bawah
pencahayaan lampu agar menentas sempurna. Larva yang sudah
menetas diambil untuk digunakan dalam uji toksisitas.
3. Pengujian Terhadap Larva Pada penelitian ini konsentrasi ekstrak bahan pinang yaki
yang digunakan dalan uji toksisitas yaitu 400, 600, 800, 1000 ppm
dalam tabung yang berisi 10 ml air laut dan 15 ekor larva dengan tiga
kali ulangan, menggunakan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality
Test), dan pengamatan setelah 24 jam. Hasil analisis uji ini berupa
LC50 (Lethal Conentration 50) yang merupakan konsentrasi fraksi
dalam skala ppm yang dibutuhkan untuk mematikan setengah dari
populasi larva udang. Data mortalitas larva A. salina Leach terhadap
eksrak selanjutnya diproses melalui program komputer Probit Analysis
Method untuk memperoleh nilai (LC50) dengan tingkat kepercayaan
sebesar 95% (Finney, 1971) .
115
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Daerah penyebaran Pinang yaki (Areca vestiaria Giseke)
Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa pinang yaki (Areca vestiaria
Giseke) dapat ditemukan di empat lokasi penelitian yaitu di hutan Doloduo,
Tumokang, Matayangan, dan Gunung Kabila, kecuali di hutan Torout. Habitat
tumbuh pinang yaki terutama dikawasan hutan yang agak terbuka, tersebar pada
ketinggian 300 – 1200 m dpl.
Jenis tumbuhan ini (Areca vestiaria Giseke) merupakan jenis tumbuhan
pada tingkat pertumbuhan sapihan yang mendominansi kawasan hutan
Tumokang dan G.Kabila dengan nilai dominansi relatif tertinggi dengan nilai
sebesar 8.08 % dan 2.19 %. Nilai dominansi dari setiap jenis dipengaruhi oleh
jumlah jenis yang bersangkutan pada lokasi penelitian. Jenis pinang yaki juga
memiliki Nilai INP tertinggi tingkat pertumbuhan sapihan dan tingkat semai di
Lokasi hutan Tumokang yaitu sebesar 23,86 % dan lokasi hutan G.Kabila
sebesar 16,32% untuk tingkat sapihan, dan untuk tingkat semai nilai INP sebesar
11,26% (Tumokang) dan 11,18 % (G.Kabila). Kedua lokasi (hutan Tumokang
dan G.Kabila) tersebut di dominasi oleh jenis yang sama untuk tingkat
pertumbuhan sapihan dan tingkat semai, meskipun dengan nilai INP yang
berbeda. Hal ini memberikan gambaran bahwa pinang yaki memegang peranan
penting dalam komunitasnya. Dengan demikian berarti pinang yaki merupakan
jenis yang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan di
lokasi hutan Tumokang dan G.Kabila terutama pada rentang 300 m – 1200 m
dpl.
Hasil tersebut sejalan dengan pandangan Ludwig & Reynold (1988) bahwa
pola penyebaran tumbuhan dalam suatu komunitas bervariasi dan disebabkan
karena beberapa faktor yang saling berinteraksi antara lain (1) faktor lingkungan
internal seperti angin, ketersediaan air, dan intensitas cahaya (2) faktor
kemampuan reproduksi organisme (3) faktor sosial yang menyangkut fenologi
tumbuhan, (4) faktor koaktif yan merupakan dampak interaksi intraspesifik dan
(5) faktor stochastik yang merupakan hasil variasi random beberapa faktor yang
berpengaruh.
Jenis tertentu dengan pola penyebaran mengelompok disebabkan karena
pada umumnya biji atau propagule dari setiap tumbuhan pada umumnya akan
116
jatuh di sekitar pohon induknya sehingga jika kondisi lain menunjang maka
regenerasi berupa tumbuhnya anakan baru akan terjadi di sekitar pohon
induknya.
Peta lokasi penyebaran pinang yaki berdasarkan lokasi hutan dan
ekosistem pengamatan dapat dilihat pada Gambar 14.
xxxx
xxxx xxxx xxx xxxx
Keterangan : x x x x = lokasi penelitian Gambar 14. Peta lokasi penyebaran pinang yaki di TNBNW
Hasil pengamatan secara langsung di lapangan, habitat tumbuhnya
cukup memberikan gambaran bahwa tumbuhan pinang yaki dapat di
budidayakan (didomestikasi) seperti tanaman komersial lainnya, asalkan
persyaratan tumbuhnya dipenuhi. Secara umum syarat lingkungan tumbuh
pinang yaki tidak berbeda dengan kondisi lingkungan yang ada di sekitar Taman
Nasional Bogani Nani Wartabone.
Menurut Clement dalam Weaver dan Frederik (1978), bahwa keberadaan
jenis dapat dipergunakan sebagai salah satu indikator dan alat analisis kondisi
lingkungan. Lebih lanjut Setiadi et al.,(1989), mengemukakan bahwa data
ekologi (lingkungan) seperti bahan induk, topografi, tanah, iklim, organisme hidup
dan waktu sangat mempengaruhi penyebaran tumbuhan. Sitompul dan Guritno
(1995), lingkungan yang yang bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, dan
kebutuhan tumbuhan akan keadaan lingkungan yang khusus mengakibatkan
117
keragaman jenis tumbuhan yang berkembang dapat terjadi menurut perbedaan
tempat dan waktu. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan jenis tumbuhan yang
berkembang dengan perbedaan tinggi tempat atau perbedaan musim.
Hasil pengamatan terhadap komponen iklim (curah hujan, suhu dan
kelembaban) bahwa arah angin dan topografi yang bergunung di wilayah ini
sering mempengaruhi curah hujan lokal. Sebagai contoh di wilayah bagian
tengah dan utara (Dumara dan Toraut) curah hujannya tinggi karena pengaruh
angin timur laut sedangkan di wilayah Doloduo dan Kosinggolan relatif lebih
kering karena pengaruh angin barat daya. Secara umum curah hujan rata-rata
antara 1.700 – 2.200 mm per tahun, adapun suhu udara rata-rata 20 o – 28 C o.
Keadaan iklim di wilayah kawasan Taman nasional Bogani Nani
Wartabone menurut Schmidt dan Verguson termasuk dalam tipe B. Curah hujan
umumnya tersebar merata sepanjang tahun dengan periode relatif basah antara
bulan November sampai dengan bulan Januari dan bulan Maret sampai dengan
bulan Mei. Masa kering antara bulan Juni sampai Oktober. Keadaan curah hujan
antara 1.200 mm – 2.200 mm per tahun (Tabel 1).
Keadaan tanah dalam kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone
terutama berasal dari bahan vulkanis. Tanahnya berasal dari kapur dengan
penyebaran hampir di semua formasi geologi. Tanah berasal dari bahan sedimen
dijumpai di bagian utara dan selatan Dumoga. Formasi kaolin yang merupakan
bahan keramik dapat dijumpai di daerah Molibagu. Jenis tanah yang terdapat di
kawasan ini antara lain latosol, podsolik, renzina, alluvial dan andosol. Menurut Balakrishnan et al., 1994, setiap jenis tumbuhan dalam
lingkungannya mempunyai kemampuan hidup untuk menduduki lingkungan
tersebut dengan kemampuan yang bervariasi. Selanjutnya Krebs, (1994)
mengemukakan bahwa keberhasilan setiap jenis untuk mengokupasi suatu area
dipengaruhi oleh kemampuannya beradaptasi secara optimal terhadap seluruh
faktor lingkungan fisik (temperatur, cahaya,struktur tanah, kelembaban dan
sebagainya) dan faktor biotik (interaksi antar jenis, kompetisi, dan sebagainya)
serta faktor kimia meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan
sebagainya yang saling berinteraksi .
Selain tumbuh di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone bahwa
pinang yaki (Areca vestiaria Giseke) juga tumbuh di Cagar alam Gunung
Ambang Kabupaten Bolaang Mongondow, C.A.Gunung Tangkoko dua saudara,
di lereng G. Soputan dan G. Mahawu (Kabupaten Minahasa) (Simbala, 2006) .
118
Sedangkan menurut Yuzami et al, (2002), pinang yaki juga tersebar di Taman
nasional Lore Lindu Sulawesi Tengah, palem ini merupakan tumbuhan endemik
Indonesia karena ditemukan di Sulawesi, tumbuhan ini juga bertumbuh di
Provinsi Maluku, tersebar terutama di Pulau Halmahera, Buru dan Seram
(Mogea, 2002 ).
B. Fenologi Pinang yaki
Di daerah asalnya Sulawesi utara, pinang ini juga disebut pinang yaki
(monyet) karena memang monyet khas Sulawesi yakni Macaca nigra senang
berdiam di batang pinang ini untuk makan buahnya. Jenis ini memiliki habitat di
wilayah gunung berapi di Sulawesi Utara, terutama Gunung Ambang, G.Soputan,
G.Mahawu, sekitar Danau Tondano dan di kawasan hutan Taman nasional
Bogani Nani Wartabone. Sedangkan di Provinsi Maluku Utara, terutama di Pulau
Halmahera dan Seram (Mogea, 2002 ).
Untuk mendapatkan warna-warna menarik, sebaiknya pohon ini ditanam
pada ketinggian antara 600-1200 meter. Jika berada di bawah ketinggian itu
maka warna yang muncul hanya kecoklatan pada tangkainya serta hijau
kekuningan pada dahan dan batangnya. Semakin rendah daerah di mana
mereka tumbuh, makin kecil pula variasi warna yang dimilikinya.
Bagi orang Indonesia, “pinang merah” merupakan nama yang umum untuk
semua jenis palem yang menyerupai Areca atau Pinanga dan mahkota daun,
batang atau buahnya kelihatan merah, merah muda, jingga atau kuning
keemasan. Dengan nama apapun Areca vestiaria sudah dikenal, palem liar ini
merupakan palem yang paling cantik dan indah. Pinang merah ini sebelumnya
lebih dikenal dengan berbagai nama seperti Areca langloisiana, A.leptopeltata, A.
heinrici, A. paniculata, Ptychosperma paniculatum, P. vestiarius, Mischophloeus
paniculatus, Pinanga sylvestris,dan Seaforthia vestiaria (Bischoff et al.,2003)
Sebagai tanaman hias, pinang yaki atau pinang merah cukup menarik.
Selain berdahan rindang, batangnya memiliki warna menarik, yaitu merah
menyala. Tak heran di mancanegara pohon berasal dari Sulawesi Utara ini
populer dengan julukan palm red tree. Sebagaian orang juga menamainya
sebagai orange crownshaft karena dahannya menyerupai mahkota yang mekar
dan berwarna oranye (Yuzammi dan Hidayat, 2002) .
119
Menurut Bischoff et al., (2003) sistematika pinang yaki adalah sebagai
berikut :
Dunia Tumbuhan : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Klas : Monokotiledoneae
Bangsa : Arecales
Suku : Arecaceae atau Palmae
Marga : Areca
Jenis : Areca vestiaria Giseke
Nama daerah : Pinang yaki (Sulawesi Utara); Mamaan(Bolaang
Mongondow) Pinang merah (Halmahera).
Deskripsi pinang yaki Areca vestiaria dikenal dengan nama pinang yaki atau pinang merah,
habitat tumbuh di tanah vulkanik yang berdrainase baik, di kawasan hutan yang
agak terbuka, tersebar pada ketinggian 300 – 1200 m dpl. Karakteristik morfologi
pinang yaki, memiliki batang tunggal atau berumpun, tinggi 5 - 10 m dengan tajuk
pelepah berwarna kuning sampai merah jingga (Gambar 17). Warnanya makin
terang dengan bertambahnya ketinggian tempat . Warna pelepah dahannya
bervariasi, mulai dari merah, jingga menyala hingga kecoklatan. Garis tengah
batangnya rata-rata 10 cm, tetapi dapat juga lebih tergantung pada umur serta
kesuburan pertumbuhannya. Pohon yang termasuk besar ini, tingginya bisa
mencapai 10 meter, memang seolah ditakdirkan untuk menjadi tanaman
ornamen liar. Berbagai cara orang berusaha menanamnya di wilayah perkotaan,
tetapi warna yang muncul tidak seindah jika tanaman ini tumbuh di habitat
aslinya.
Daun pinang yaki terdiri atas pelepah, tangkai daun, tulang daun, dan helai
daun yang berwarna kuning. Daunnya menyirip agak melengkung, panjang daun
kurang lebih 80 cm dan pelepahnya berupa seludang.
Pembungaan tumbuh pada batang di bawah pelepah. Bunga pinang merah
saat mekar berbentuk mirip dengan mahkota. Untuk bisa mekar, bunga ini
memerlukan waktu selama 15 hari. Dalam satu pohon pinang merah memiliki
dua jenis bunga sekaligus yakni jantan dan betina. Keduanya mekar bersamaan
untuk melakukan proses penyerbukan. Bunga jantan mempunyai kelopak lebih
besar dibanding yang betina.
120
Buah berbentuk bulat dan berbentuk lonjong (Gambar 15 a&b) akan tetapi
dari hasil pengamatan dilapangan, bentuk buah ada yang berbentuk bulat dan
lonjong dalam 1 pohon (Gambar 15c), diameter buah 2 cm, berwarna hijau waktu
muda setelah matang berwarna jingga, dan setelah masak berwarna merah
(gambar 16), daging buah berserat dan berbiji satu. (Simbala,2006). Menurut
Witono (1998) palem ini mulai berbuah setelah berumur 5-6 tahun dan menjadi
mandul setelah berumur 60 tahun. Produksi awal relatif sedikit tetapi akan
semakin banyak sesuai pertambahan umur tanaman. Masa produksinya dapat
berlangsung selama 15 tahun dan setelah itu produksinya akan menurun.
Pemanenan buah pinang yaki dapat dilakukan dengan cara dipetik langsung
maupun dengan menggunakan bambu atau kayu yang diberi pisau pada
ujungnya. Buahnya sendiri selalu berubah warna seiring dengan bertambahnya
usia dan sesuai ketinggian tempat tumbuh. Semakin rendah daerah tempat
mereka tumbuh, makin kecil pula variasi warna yang dimilikinya. Warna-warna
menarik dari pinang yaki akan muncul jika ditanam sesuai habitat aslinya .
Sebaiknya pohon ini ditanam pada ketinggian antara 600-1.200 meter agar
warna jingga kemerahan akan muncul. Jika berada di bawah ketinggian itu maka
warna yang muncul hanya kecoklatan pada tangkainya dan hijau kekuningan
pada dahan dan batangnya. Setiap pohon dapat ditumbuhi 28 sampai 300 buah
yang muncul secara bergerombol (Gambar 18). Adapun gambaran morfologi
Pinang yaki dapat dilihat pada Gambar 15 - 19 .
Gambar 15. Akar Pinang yaki
121
Gambar 16. Biji dan Benih Pinang yaki (3 dan 5 bulan)
Gambar 17. Batang dan daun pinang yaki di habitat aslinya kawasan TNBNW
a. Buah bulat b. Buah lonjong c. Buah bulat dan lonjong
Gambar 18. Bentuk buah bulat dan lonjong pinang yaki
122
Gambar 19. Perkembangan buah pinang yaki ( Sumber : Simbala, 2006).
Buah pinang yaki cukup menarik karena variasi warnanya yang cerah.
Untuk menjadikannya tanaman ornamen atau hiasan, para ahli mancanegara
”merekayasa” tanah tempat jenis ini ditanam. Tanah tersebut di rekayasa sesuai
syarat tumbuh pinang yaki di habitat aslinya. Biasanya tanah tersebut dicampur
dengan sejenis pupuk atau dengan tanah yang berasal dari daerah gunung
berapi. Tapi tampaknya cara ini tetap saja kurang berhasil sebab pinang merah
yang tumbuh di habitat aslinya jauh lebih menarik.
Syarat tumbuh pinang yaki
Pinang yaki (Areca vestiaria) merupakan sejenis palem asli Sulawesi
tersebar di Taman Nasional Lore Lindu, Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone, Cagar Alam G. Ambang, lereng G. Soputan dan G. Mahawu. Palem
ini juga bertumbuh di Propinsi Maluku, tersebar terutama di Pulau Halmahera
dan Seram, dan dikenal dengan nama “Pinang Merah” (Mogea, 2002 ).
Syarat tumbuh pinang yaki secara spesifik berdasarkan hasil pengamatan
terhadap komponen tanah di daerah penyebaran pinang yaki (Lampiran 26)
menunjukkan bahwa pH tanah yang dibutuhkan agak asam, yaitu berkisar
antara 4.70 – 6.20, bahan organik tanah 1.74 – 4.03 %, N total 0,16 – 0,33 % , P
123
5.90 – 10.50 (ppm), basa yang dapat ditukar masing-masing dalam satuan
me/100g : Ca 5.54 – 19.70 (me/100g), Mg 1.42 – 5.43 (me/100g), K 0,18 – 1,08
(me/100g), Na 0,26 – 1,56 (me/100g),; KTK 21.30 – 25.85 (me/100g), KB32.06 –
100 %, Al (tr), H 0,04 – 0.08 (me/100g), Fe 2,16 – 5.56 (me/100g), Cu 0,68 –
1,60 (me/100g), Zn 2.72 – 4.60 (me/100g), Mn 8.76 – 36.68 (me/100g), pasir
6.73 – 30.34 %, debu 38.27 – 45.72 %, liat 26,76 – 47.55 % (hasil analisis
Laboratorium Kimia Tanah IPB Bogor). Sebagai perbandingan hasil pengamatan
terhadap komponen tanah juga dilakukan di habitat pinang yaki di G.Mahawu
Kabupaten Minahasa (Lampiran 15) yang menunjukkan bahwa pH tanah di
bawah netral, yaitu berkisar antara 4.60 - 5,70 , bahan organik tanah 5.09 %, N
total 0,42 % , P 6.40 (ppm), basa yang dapat ditukar masing-masing dalam
satuan me/100g : Ca 10.28 (me/100g), Mg 2.45 (me/100g), K 0,51 (me/100g),
Na 1,04 (me/100g), KTK 19.43 (me/100g), KB 73.49 %, Al (tr), H 0,04 (me/100g),
Fe 2,32 (me/100g), Cu 0,68 (me/100g), Zn 2.44 (me/100g), Mn 13.96 (me/100g),
pasir 49.74 %, debu 37.71 %, liat 12.55 % (Hasil analisis Laboratorium Kimia
Tanah IPB Bogor).
Budidaya pinang yaki
Menurut Wiono (1998), budidaya pinang yaki diawali dengan pemilihan
bibit yang baik. Selama ini perbanyakan pinang yaki umumnya masih dlakukan
dengan cara tradisional yaitu dengan mencabut bibit-bibit yang tumbuh liar dari
biji-biji yang jatuh di sekitar pohon induk. Upaya perbanyakan bibit pinang yaki
umumnya dilakukan dari penyemaian biji. Biji merupakan material perbanyakan
yang paling umum digunakan. Banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari
perbanyakan dengan biji. Biji dapat disimpan dalam waktu relatif lama sebelum
disemaikan. Secara normal, biji yang disimpan secara kering atau dingin akan
tetap memiliki daya hidup yang baik sejak dari panen hingga masa tanam
berikutnya. Biji yang baik diambil dari buah yang telah masak. Pada umumnya
biji pinang yaki berkecambah dalam jangka waktu lama. Hal ini disebabkan
karena 2 faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam terjadi karena
embryo belum masak, sehingga memerlukan waktu yang cukup lama untuk
berkecambah. Faktor luar pada umumnya terjadi karena kulit yang keras
sehingga menghalangi terjadinya penyerapan air dan udara oleh biji. Lamanya
perkecambahan biji yang disebabkan karena factor luar yang dapat diatasi
dengan perlakuan mekanis, seperti mengikir, menggosok kulit biji dengan
124
ampelas atau kawat kassa, melubangi kulit biji dengan pisau, atau menguncang-
guncangkan biji; perlakuan kimia dengan perendaman dengan air. Biji
dikecambahkan dalam media pasir atau campuran pasir dengan kompos dengan
perbandingan 1:1. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perkecambahan biji
adalah menjaga agar media senantiasa lembab dan hangat. Setelah biji pinang
yaki menghasilkan 3 helai daun atau lebih, dipindahkan ke polibag dengan
komposisi media tanah, kompos atau pupuk kandang, dan pasir dengan
perbandingan 1:1:1. Selain dikecambahkan dalam media pasir, dapat pula
dilakukan pada lahan yang agak kecil agar mudah diawasi dan dipelihara. Agar
terhindar dari sengatan matahari, lahan pembibitan perlu diberi naungan (dengan
tinggi ± 2 m). Kegiatan perawatan meliputi penyiraman, penyiangan gulma,
pemupukan, pencegahan hama penyakit dan seleksi bibit.
Perbanyakan dengan tunas atau anakan sebaiknya diambil dari rumpun
yang sudah memiliki tunas yang cukup banyak (minimal 6 anakan). Pemisahan
anakan dilakukan pada saat akar anakan masih berada di dalam tanah dengan
menancapkan pisau tepat pada bagian akar yang akan dipotong. Anakan tidak
dapat langsung dipindahkan, tetapi dibiarkan sampai anakan mempunyai akar
sendiri (kurang lebih 5 bulan). Setelah itu pemindahan dilakukan dengan
menggali anakan secara melingkar. Penggalian harus cukup dalam agar tanah
di sekitar perakaran ikut terangkat dan tidak rusak. Perbanyakan tanaman pinang
yaki tidak jauh berbeda dengan pinang sirih yang umumnya dilakukan dalam 2
tahap . Tahap pertama dilakukan 0 – 5 bulan atau jika tanaman tersebut telah
memiliki 3 helai daun, sedangkan tahap kedua dilakukan sejak 5 bulan sampai
tanaman berumur 1 tahun.
Witono et al., (2000), Tehnik penanaman dan pemeliharan pinang yaki
dibedakan berdasarkan tempat pemeliharaannya. Umumnya pinang yaki ditanam
di luar ruangan sebagai tanaman hias. Penanaman di awali dengan pembuatan
lubang tanaman. Ukuran lubang tanaman untuk pinang yaki berukuran 40 x 40 x
40 cm. Penggalian dilakukan dengan memisahkan lapisan tanah atas (top soil)
dan lapisan bawah (sub soil). Pada bagian dasar lubang tanaman bisanya
tanahnya padat, untuk itu perlu digemburkan terlebih dahulu. Lubang tanam
dibiarkan terbuka sehingga terkena sinar matahari selama 2 minggu, supaya
keasaman tanah berkurang, oksigen banyak diserap oleh tanah, dan bibit
penyakit yang ada di dalam tanah mati. Selanjutnya pinang diangkat, dilepas
pembungkus akarnya jika berasal dari bibit puteran atau jika dari tanaman pot
125
dilepas dengan hati-hati atau dipecahkan potnya. Tanaman dimasukkan ke
dalam lobang tanam, kemudian ditimbun dengan tanah atas (top soil), kompos
atau pupuk kandang. Usahakan supaya leher akar (bagian di antara akar dan
batang) tertimbun. Timbunan tanah diinjak-injak agar memadat dan memenuhi
lubang tanam. Pinang yang baru ditanam mudah roboh atau goyah oleh sebab
itu tanaman pelu ditopang dengan tiang penyangga dari kayu atau bambu. Jika
timbunan tanah menyusut, perlu ditambah tanah sampai padat agar tanaman
menjadi lebih kuat. Setelah 2 – 3 bulan, tiang penyangga dikeluarkan.
Pemeliharaan meliputi penyiraman, pemupukan, penyiangan, dan
pengendalian hama dan penyakit. Penyiraman dilakukan sesuai keadaan,
bisanya dilakukan hanya pada musim kemarau pagi atau sore hari. Pemupukan
dengan pupuk kandang atau kompos dilakukan setiap 6 bulan sekali dan pupuk
buatan (NPK) setiap 3 bulan sekali dengan dosis yang rendah. Pemupukan
dilakukan dengan menggali lubang di sekeliling tajuk dan ditimbun kembali.
Penyiangan dilakukan berdasarkan kondisi di lapangan tergantung kebutuhan
(bisanya 4 – 6 bulan sekali). Hama yang menyerang bisanya belalang dan
bekicot. Pengendalian yang paling baik adalah dengan cara mekanis (membunuh
secara langsung) jika populasinya kecil, tetapi jika serangannya telah parah
dapat dilakukan dengan pestisida yang ramah lingkungan.
Witono et al., (2000), ada dua tehnik penanaman pinang yaitu
penanaman dengan sistem monokultur dan sistem tumpangsari. Penanaman
sistem monokultur artinya tanaman yang ditanam dalam satu areal hanya satu
jenis saja. Penanaman sebaiknya dilakukan pada awal musim penghujan dan
dilakukan secara serentak pada hari yang sama.
Penanaman sistem tumpangsari yaitu lahan dapat dimanfaatkan secara
optimal dan akan diperoleh total produksi yang tinggi jika dibandingkan dengan
sistem monokultur. Keuntungan lainnya adalah adanya variasi produksi dan
dapat terhindar dari kegagalan total usaha tani bila terjadi serangan hama hama
dan penyakit. Bisanya tanaman yang dapat ditumpangsarikan dengan tanaman
pinang di antaranya pisang, kelapa, duku, nenas, coklat, lada, sirih, ubi jalar dan
jahe. Sehingga selama tanaman pinang belum berproduksi (± 4-5 tahun), petani
dapat penghasilan dari komoditi lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa tanaman
pinang juga bisanya ditanam di sepanjang parit karena tanaman pinang mampu
menahan erosi dan mencegah tanah longsor di sekitar kebun.
126
Khasiat dan cara penggunaan pinang yaki
Tanaman pinang yaki ini oleh Suku Bolaang Mongondow yang tinggal
dikawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone digunakan sebagai obat
untuk penyakit diabetes dan juga dipakai sebagai obat kontrasepsi. Caranya biji
dibelah, diambil dagingnya kemudian direbus dengan 1 gelas air, setelah
mendidih didinginkan lalu diminum. Selain itu, pinang yaki juga dipakai
masyarakat sebagai obat cacing pada hewan peliharaan seperti sapi dan
kambing (Simbala, 2004). Di Pulau Seram dan Pulau Buru, buah pinang yaki
dipakai sebagai tonikum dengan cara buah pinang direbus dengan 2 gelas air
sampai mendidih kemudian didinginkan lalu diminum(Zuhud, 2004). Sedangkan
di Sulawesi tengah, buah pinang yaki dipakai sebagai pengganti buah pinang
sirih (Wiriadinata, 2002).
Uji Fitokimia Pinang yaki
Penapisan fitokimia dengan uji kualitatif untuk mengetahui senyawa kimia
yang terdapat dalam biji pinang yaki dilakukan pada setiap fraksi yaitu, fraksi
heksana, fraksi khloroform, fraksi etil asetat dan fraksi alkohol 50 %. Penapisan
yang dilakukan ini hanya menguji beberapa senyawa yang dapat terekstrak
kedalam fraksi pelarut sesuai dengan sifat kepolarannya. Fraksi heksana
merupakan fraksi pelarut yang bersifat non polar sehingga senyawa yang
diujinya berupa senyawa non polar seperti terpenoid, minyak atsiri,lemak dan
asam lemak. Pengujian pada fraksi khloroform adalah senyawa golongan
alkaloid dan terpenoid. Khloroform biasanya sering mengekstrak senyawa
golongan alkaloid dan terpenoid (Harborne, 1987). Fraksi etil asetat, senyawa
yang diuji berupa senyawa tingkat kepolaran yang lebih tinggi dari fraksi
sebelumnya. Senyawa yang diuji adalah flavonoid dan terpenoid.
Pada uji kualitatif ini, senyawa-senyawa kimia ditentukan golongannya
dengan melihat ada tidaknya perubahan warna sesuai dengan pereaksi yang
digunakan, timbulnya endapan dan terbentuknya busa seperti pada identifikasi
saponin. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 18.
Pada fraksi khloroform, menunjukkan bahwa biji pinang yaki tidak
teridentifikasi adanya senyawa alkaloid. Pemeriksaan alkaloid ini dilakukan
dengan menambahkan pereaksi alkaloid. Pereaksi yang digunakan dalam
pemeriksaan ini adalah pereaksi Mayer dan Dragendorf. Kedua pereaksi ini
bereaksi jika terdapat alkaloid dan memberikan warna yang khas. Pereaksi
127
Mayer akan bereaksi dengan alkaloid dan membentuk endapan berwarna putih
sedangkan dengan pereaksi Dragendorf membentuk endapan berwarna jingga.
Uji terpenoid mendapatkan hasil positif dengan terbentuknya warna hijau- biru
pada larutan. Dalam Harborne, 1987 uji Lieberman – Buchard yang
menghasilkan terbentuknya warna hijau – biru menunjukkan fraksi tersebut
mengandung triterpenoid dan sterol.
Tabel 18. Hasil Analisis Fitokimia Pinang yaki
Kode Sampel Parameter Uji Hasil Keterangan
Alkaloida - Tidak menghasilkan warna endapan
putih, coklat dan jingga setelah
ditambahkan pereaksi Mayer,Wagner dan
Dragendrof
Flavonoid +++ Menghasilkan warna jingga pada lapisan
amilalkohol
Steroida - Tidak menghasilkan warna biru muda
setelah ditambahkan asam asetat anhidrat
dan asam sulfat pekat
Triterpenoida +++ Menghasilkan warna merah setelah
ditambahkan asam asetat anhidrat dan
asam sulfat pekat
Tanin +++ Menghasilkan warna hitam kehijauan
setelah ditetesi FeCl3 1%
Hidro kuinon ++ Menghasilkan warna merah setelah
ditetesi NaOH 10%
Pinang Yaki
Saponin +++ Menghasilkan busa yang stabil setelah
dikocok
Keterangan :
+ sedikit ++ Banyak +++ Sangat Banyak -Tidak ada
Tabel 18 menunjukkan bahwa pada ekstrak kasar diperoleh hasil positif
untuk uji tanin. Tanin banyak terdapat dalam jaringan tumbuhan dan mempunyai
rasa pahit dan kelat. Hal ini menyebabkan sebagaian besar tumbuhan yang
mengandung tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan. Uji tanin ini
128
diperlukan mengingat biji pinang yaki digunakan sebagai obat cacing pada
hewan ternak. Identifikasi tanin dilakukan dengan menggunakan larutan FeCl3
1% dan akan memberikan warna biru kehitaman atau hijau kehitaman. Reaksi
tanin dengan FeCl3 sebagai berikut :
Tanin + FeCl3 Tanin-Fe (biru- kehitaman atau hijau kehitaman)
Fraksi khloroform mengandung senyawa golongan terpenoid khususnya
triterpenoid dengan terbentuknya warna hijau – biru tua dengan pereaksi
Lieberman-Buchard. Pada fraksi etil asetat, dua senyawa yang diuji memberikan
hasil yang positif. Hasil tersebut adalah triterpenoid dan flavonoid. Adanya
flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah setelah penambahan
setelah penambahan magnesium dan HCl pekat.
Senyawa saponin menghasilkan uji positif pada fraksi alkohol 50%.
Saponin ini diambil dari kata sapo (sabun) yang menggambarkan tumbuhan yang
mengandung saponin seperti pada Saponaria officinalis (Caryophylaceae) untuk
detergen (Harbone 1996). Robinson (1995) mendefinisikan saponin sebagai
senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa bila dikocok dalam
air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah
merah. Senyawa ini dapat terdeteksi berdasarkan kemampuannya membentuk
busa yang stabil (minimal selama 15 menit). Menurut Wen dan Nowicke (1999)
diacu dalam American Journal of Botany (1999), senyawa saponin berfungsi
sebagai aprodisiaca (obat kuat). Saponin merupakan senyawa turunan steroid
yang berperan sebagai hormon seks (Robinson 1995; Harbone 1984).
Sedangkan Kayun (2003) membuktikan bahwa saponin merupakan senyawa
aktif untuk pengobatan hepatitis. Selain saponin, pengujian pada fraksi alkohol
50 % ini juga dilakukan untuk senyawa golongan terpenoid khususnya
triterpenoid .
Bila dilihat dari hasil uji fitokimia, biji pinang yaki mengandung senyawa
tanin, triterpenoida, flavonoid, dan saponin yang kemungkinan besar
mengandung senyawa potensi bioaktif.
Menurut Ramanthan et al., 1992 tanin dan flavonoid memiliki aktifitas
dalam menghambat HeLa dan Raji Lymphoma cell. Flavonoid juga merupakan
senyawa aktif sebagai antitumor, antialergi, antihepatotoksik, kardiovascular dan
antioksidan( Markham KR, 1988).
129
Golongan triterpenoid bisa digunakan sebagai anti bakteri (Waterman,
1990), antikanker, dan untuk mengobati luka dan peradangan (Cai et al., 1992).
Menurut Robinson (1995), triterpenoida merupakan senyawa yang aktif terhadap
patukan ular, diabetes, kerusakan hati, gangguan kulit dan antifungi.
Analisis Karakter ekstrak
Analisis krakter ekstrak diperlukan untuk pengkajian bagian tanaman
berpotensi. Pengukuran kadar air diperlukan karena memiliki relevansi terhadap
mutu simplisia biji pinang yaki secara kualitatif dan kuantitatif. Mutu kualitatif
berkaitan dengan bioaktifitas yang diperoleh pada proses ekstraksi sedangkan
mutu kuantitatif berkaitan erat dengan perolehan senyawa target yang
diharapkan dalam proses ekstraksi.
Penetapan kadar air diperlukan untuk bahan simplisia nabati yang
berhubungan dengan hilangnya H2O dari suatu bahan pada suhu 105OC. Kadar
air yang tinggi berpeluang sebagai tempat hidup dan berkembangnya
mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan simplisia. Pada Tabel tersebut di
atas memperlihatkan kadar air kurang dari 10% yang merupakan prasyarat untuk
simplisia nabati (Anonim , 1985).
Pada penelitian, jumlah rendemen yang diperoleh juga dijadikan
parameter untuk menentukan untuk penelitian selanjutnya. Menurut Houghton
dan Raman (1998) dengan mengetahui sifat senyawa yang akan diekstrak maka
dengan mudah dapat ditentukan pelarut dan metode ekstrak yang sesuai. Hasil
analisis kadar sari biji pinang yaki dapat dilihat pada Tabel 19 berikut :
Tabel 19. Hasil Analisis Kadar sari Buah Pinang yaki
Parameter
Hasil (%)
Rendemen air
Rendemen Pelarut Organik Kadar Air
Kadar Abu
5,78
16,46 6,10 0,70
130
Uji Toksisitas dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
Pada penelitian ini konsentrasi ekstrak bahan pinang yaki yang digunakan
dalan uji toksisitas yaitu 400, 600, 800, 1000 ppm dalam tabung yang berisi 10
ml air laut dan 15 ekor larva dengan tiga kali ulangan, menggunakan Metode
BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), dan pengamatan setelah 24 jam. Hasil
analisis uji ini berupa LC50 (Lethal Conentration 50) yang merupakan konsentrasi
fraksi dalam skala ppm yang dibutuhkan untuk mematikan setengah dari populasi
larva udang. Data mortalitas larva A. salina Leach terhadap eksrak selanjutnya
diproses melalui program komputer Probit Analysis Method untuk memperoleh
nilai (LC50) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% (Finney, 1971) .
Hasil analisis probit menunjukkan ekstrak biji pinang yaki memiliki potensi
bioaktif, dalam hal ini berada pada nilai LC50 sebesar 334.99 ppm, berarti pada
konsenrasi tersebut menyebabkan kematian 50% hewan uji (Artemia salina L).
Nilai tersebut menunjukkan bahwa secara farmakologis bersifat toksik terhadap
hewan uji. Menurut Meyer et al. 1982, Solis et al. 1983 penelitian National Centre
Institut (NCl) Amerika Serikat, suatu ekstrak atau fraksi dari suatu tanaman
dianggap mempunyai potensi bioaktif terhadap kematian larva udang jika dinilai
LC50 < 1000 ppm, hanya spektrum keaktifannya masih sangat luas, semakin kecil
nilai LC50nya, maka ekstrak tadi akan semakin toksik.
131
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa pinang yaki (Areca vestiaria
Giseke) dapat ditemukan di lima lokasi penelitian yaitu di hutan Doloduo,
Tumokang, Matayangan , dan Gunung Kabila, dan Torout.
2. Areca vestiaria Giseke merupakan jenis tumbuhan yang mendominansi
kawasan hutan Tumokang dan G.Kabila pada tingkat sapihan dengan
nilai dominansi relatif tertinggi sebesar 8.08 % dan 2.19 % .
3. Jenis pinang yaki memiliki Indeks nilai penting (INP) tertinggi tingkat
sapihan di lokasi hutan Tumokang sebesar 24,53 % dan tingkat semai
sebesar 11,26%, sedangkan lokasi hutan G.Kabila sebesar 16,32%
untuk tingkat sapihan, dan untuk tingkat semai sebesar 11,18 % .
4. Tanaman pinang yaki ini oleh Suku Bolaang Mongondow yang tinggal
dikawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone digunakan sebagai
obat untuk penyakit diabetes, obat cacing untuk hewan ternak dan juga
dipakai sebagai obat kontrasepsi.
5. Hasil analisis kadar sari (kadar sari) buah pinang yaki menunjukkan
dalam air = 5,78 %, etanol = 16,46 %, kadar air = 6,10 %, kadar abu =
0,70 %.
6. Hasil uji fitokimia menunjukkan biji pinang yaki mengandung tanin,
triterpenoid, flavonoid, saponin dan hidrokuinon.
7. Uji toksisitas terhadap larva udang A.salina Leach diperoleh nilai 334,99
ppm. Nilai LC50 di bawah 1000 ppm, ini menunjukkan bahwa biji pinang
yaki memiliki potensi bioaktif.
Saran
Perlu dilakukan penelitian kandungan senyawa aktif pinang yaki
berdasarkan lokasi pengambilan sampel, waktu pengambilan sampel, dan
umur buah (pentil, matang, dan buah masak)
132
ABSTRACT
HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Effect of Pinang Yaki (Areca vestiaria Giseke) extract application on Spermatozoa quality of male mouse. Under the direction of DEDE SETIADI, LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI. One ideal alternative for male contraception is using natural substance namely plant according to laws no.23, 1992, concerning about traditional medicine. As an archipelago country, Indonesia has wet tropical seasons that rich with flora species. In other hand in searching ideal contraception for male, should meet with criteria including prevent fertilization, safety, reversible, responsive, simple to use, and heving no side effect. Pinang yaki (Areca vestiaria Giseke) are used to cure diabetes diseses and contraception by community around Bogani Nani Wartabone National Park. The methods is as follows: the seed is broken, pick the meat, than boiled with a glass of water, and after cooling than immediately to drink.
The research’s objectives are to make preclinical testing as anti fertility on pinang yaki (Areca vestiaria Giseke), to study effect of pinang yaki seed extract application on spermatozoa quality of white male mouse vas deferens,Sprague-Dawley wistar, and to study effective dosage that decreasig spermatozoa quality of the mouse. The research was expected useful to make a new invention to support WHO program, that is found a new methods for male contraception that meet with criteria such as safety, effective, reversible having no side effect. From the result, it was concluded that application of pinang yaki seed extract on male mouse is able to decrease motility, normal shape of spermatozoa, and the spermatozoa number, but not significant to body and testis weight. Key word : Pinang yaki extract, Spermatozoa, Male Mouse
133
PENDAHULUAN
Latar belakang Hampir seluruh negara di dunia merasa kuatir terhadap peningkatan
jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang tidak terkontrol akan menimbulkan
dampak negatif terhadap pola prilaku penduduk sehingga sulit mencapai
kesejahteraan.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat
di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia
tahun 2000 mencapai 203,4 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk
kurang lebih 4 % per tahun maka jumlah penduduk akan menjadi 400 juta jiwa
pada tahun 2050. Untuk itu laju pertumbuhan masih harus terus ditekan,
sehingga sumber daya dapat lebih diprioritaskan pada pembinaan potensi dan
kualitas penduduk.
Bagi Pemerintah Indonesia, masalah penduduk sangatlah penting karena
berhubungan langsung dengan kesejahteraan hidup yang sehat dan layak.
Keadaan ekonomi yang kurang memadai dengan jumlah keluarga yang banyak
akan membuat orang harus bekerja keras membanting tulang untuk dapat hidup
dengan tenang.
Dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk, Pemerintah
Indonesia mengambil suatu kebijakan melalui Program Keluarga Berencana
(KB). Menurut survey Kesehatan dan Demokrasi Indonesia yang dikeluarkan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana nasional di tahun 2003, dari 27 juta
akseptor KB di Indonesia, 90 % adalah wanita, partisipasi pria sangat kecil,
hanya berkisar 1,3%. Padahal di Malaysia, partisipasi pria dalam menjalani
program KB sudah mencapai angka 15 %. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa
keterlibatan pria secara aktif dalam program KB, masih sangat rendah dan
terbatas hanya dengan menggunakan alat KB kondom 1,11% serta vasektomi
1,35%. Meskipun kegagalan kedua alat ini sangat kecil (Raven dan Johnson,
186), namun masih terdapat masalah yang cukup kompleks. Kondom
mempunyai efek psikis karena berkurangnya daya sensivitas (Sutiyarso, 1992).
Vasektomi dapat menimbulkan infeksi, sehingga terjadi pembengkakan, rasa
sakit dan kegagalan rekanalisasi vas deverens sehingga dapat menyebabkan
sterilitas (Anonim,1983; Moeloek, 1985; Vernom et al.1991). Selain itu cara ini
134
memerlukan tenaga ahli dan fasilitas yang biayanya cukup tinggi sehingga
mengurangi niat sipemakai.
Rendahnya partisipasi pria dalam program KB, disebabkan terbatasnya
pilihan kontrasepsi pria. Agar lebih mendorong kaum pria untuk berperan aktif
dalam mengikuti program KB, maka sangatlah tepat untuk lebih banyak
menyediakan jenis kontrasepsi untuk pria, sehingga kaum pria memiliki berbagai
alternatif yang sesuai pilihannnya.
Usaha pengembangan cara pengendalian kesuburan pria lebih sulit dari
wanita, karena seorang pria setiap hari dapat memproduksi jutaan sperma,
sedangkan seorang wanita hanya melepaskan sebuah sel telur setiap bulan. Pil
atau suntikan KB untuk pria harus dapat mengendalikan produksi jutaan sperma,
tanpa penurunan libido dan efek samping yang membahayakan.
Salah satu alternatif kontrasepsi pria yang paling ideal adalah
penggunaan bahan alam yaitu tanaman, yang sejalan dengan Undang-Undang
no.23 tahun 1992 tentang pengobatan tradisional. Hal ini sesuai dengan kondisi
negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan iklim tropika basah
yang kaya dengan jenis flora. Dalam mencari bahan kontrasepsi yang ideal
bagi pria, selain harus mencegah terjadinya pembuahan, juga harus memenuhi
kriteria aman, reversibel, cepat kerjanya, mudah digunakan, dan tanpa efek
samping yang berarti bagi pemakainya, terutama potensi seks dan libido.
Satari (1994) mengemukakan bahwa Indonesia memiliki hutan tropik
seluas 120 juta hektar yang dikenal sebagai komunitas yang paling kaya akan
keanekaragaman flora serta merupakan gudang plasma nutfah endemik yang
dapat dimanfaatkan untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Menurut Rosoedarso,et al (1990), sebagaian besar keanekaragaman
hayati berada di dalam hutan. Sedangkan Zuhud(1994) mengatakan bahwa di
dalam hutan Indonesia terdapat 25.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut
baru 20 % atau 5000 jenis yang sudah dimanfaatkan dalam berbagai
pemanfaatan termasuk 1260 jenis yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat.
Oleh karena itu hutan tropis Indonesia adalah sumberdaya bahan kimia yang
masih menunggu untuk dievaluasi guna menemukan bahan-bahan kimia baru
yang potensial dalam bio-industri farmasi, pertanian, dan umumnya.
Jumlah jenis tumbuhan obat yang telah diidentifikasi tidak kurang dari
1845 jenis tumbuhan obat liar yang saat ini dieksploitasi dalam jumlah besar dari
hutan maupun dari lahan liar lainnya sebagai bahan baku industri obat tradisional
135
di Indonesia. Dari 1845 jenis tumbuhan obat tersebut, terdapat 18 jenis
diantaranya merupakan tanaman obat yang berpotensi menurunkan kesuburan
atau sebagai antifertilitas bagi pria (Agoes, 2006). Salah satu di antaranya adalah
pinang yaki (Areca avestiaria) yang digunakan oleh masyarakat di sekitar
kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sebagai alat kontrasepsi pria.
Caranya biji dibelah, diambil dagingnya kemudian direbus dengan 1 gelas air,
setelah mendidih dinginkan lalu diminum.
Areca vestiaria atau pinang yaki merupakan salah satu marga Areca
dengan ciri-ciri umum yaitu tumbuh tunggal atau berumpun, batang ramping dan
bercincin, terdapat tajuk pelepah, pelepah daun panjang atau pendek, helaian
daun memanjang tersusun teratur, pembungaan tumbuh pada ruas batang di
bawah tajuk pelepah. Berumah satu, Buah bulat telur, berwarna jingga sampai
merah dan berbiji satu (Witono, 1998).
Hasil analisis Fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak buah pinang yaki
mengandung tanin, flavonoid,hidro kuinon, triterpenoid dan saponin. Sedangkan
dari hasil analisis karakter ekstrak, buah pinang yaki mengandung kadar air 6.10
%, kadar abu 0,70 %,rendemen air 5,78 % dan rendemen pelarut organik 16,46
%.
Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ekstrak buah pinang yaki (Areca
vestiaria) sebagai antifertilitas untuk menunjang program pemerintah
dalam menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia
Menunjang program Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2006 guna
menemukan metode baru KB Pria yang aman, efektif, reversibel dan
tanpa efek samping yang berarti bagi kesehatan pemakainya. Tujuan Khusus :
Melakukan uji preklinik sebagai antifertilitas (Areca vestiaria), untuk
mengetahui pengaruh pemberian ekstrak biji pinang yaki terhadap kualitas
spermatozoa vas deferens tikus putih jantan strain Sprague-Dawley dan untuk
mengetahui berapa besar dosis efektif yang dapat menurunkan kualitas
spermatozoa vas deferens tikus putih jantan .
136
Hipotesis Penelitian
Buah pinang yaki (Areca vestiaria) memiliki komponen bioaktif sebagai
antifertilitas, terhadap kualitas spermatozoa vas deferens Tikus putih jantan.
Hasil yang diharapkan
Penelitian ini diharapkan akan memberi terobosan baru dalam penemuan
senyawa-senyawa bioaktif unggulan khas tropis yang mempunyai aktifitas
sebagai antifertilitas. Di samping itu akan diperoleh temuan baru untuk
menunjang program Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) guna menemukan
metode baru KB Pria yang aman, efektif, reversibel dan tanpa efek samping
137
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman yang digunakan sebagai antifertilitas
Berbagai bahan obat yang berasal dari tumbuhan hutan tropis, terutama
yang berhasiat untuk pengobatan penyakit telah ditemukan dan diuji
bioaktifitasnya. Bahan kimia yang bersumber dari tumbuhan yang telah
digunakan untuk antihipertensi di antaranya resinamin dan reserpin dari
Rauwolfia serpentina Benth. dan deserpidin dari R. tetraphylla L. (Apocynaceae);
untuk terapi penyakit jantung dipakai bahan kimia seperti kuabain dari
Strophanthus gratus Baill. (Apocynaecae); dan untuk terapi diuretic dan
vasodilator dipakai teobromin dari Theobroma cacao L. (Sterculiaceae) (Achmad,
2003).
Sampai saat ini, obat kontrasepsi oral yang efektif dan banyak
digunakan, berasal dari golongan steroids. Hampir semua jenis obat tersebut
merupakan hasil sintetis di laboratorium, dan berpotensi mengundang efek
samping yang merugikan. Pada beberapa orang, efek itu tampak nyata
semacam berat badan tidak terkendali, alergi, mual-mual, gangguan siklus haid,
hilangnya gairah kerja, dan lain-lain. Berdasarkan pada kenyataan ini,
masyarakat mulai menengok kembali ramuan tradisional yang relatif lebih aman
(Anonim 1988).
Populasi masyarakat di Tibet yang tidak mengalami perkembangan
signifikan selama lebih dari 200 jiwa. Para peneliti di sana tak pernah direpotkan
persoalan kependudukan selama kurang lebih dua abad. Beberapa penelitian
membuktikan, dalam menu makanan warga Tibet, hampir selalu hadir kacang
ercis (Pisum sativum), atau motor dalam bahasa Tibet. Orang Indonesia
mengenal kacang ini dengan sebutan garnet, kacang kapri, atau kacang polong.
Penelitian intensif di laboratorium akhimya menghasilkan temuan bahwa
senyawa penghambat lonjakan angka kelahiran di Tibet adalah senyawa kimia
m-xilohidroksiquinon. Ini merupakan senyawa utama minyak kacang ercis. Hasil
pengujian terhadap hewan dan manusia menunjukkan, senyawa ini sangat efektif
dalam menghalangi aktivitas spermatozoa. M-xilohidroksiquinon digolongkan ke
dalam senyawa antifertilitas nonsteroida. Senyawa dalam ercis sama sekali tidak
berpotensi toksik (racun) bagi wanita. Di dalam tubuh, aktivitas senyawa ini
berlawanan dengan vitamin E yang konon merupakan vitamin penyubur (
http://www.kompas.com/kesehatan/news/002/19/053719.htm) .
138
India merupakan negara yang memiliki kearifan tradisional dan
menemukan sekitar 148 jenis tanaman sebagai obat antifertilitas. Salah satunya
adalah dringo atau jeringau (Acorus calamus). Tanaman tahunan ini selain
sebagai obat tidur, manjur juga sebagai kontrasepsi dengan meminum air
rebusan rimpang secukupnya dicampur susu. Wanita India bisa meminumnya
setelah datang bulan. Cara lain adalah mengkonsumsi biji jarak (Ricinus
communis) sehari setelah melahirkan. Jalan lainnya, mencampur makanan
sehari-hari dengan tepung biji saga manis (Abrus precatorius). Beberapa
tanaman bisa digunakan dengan meminum air rebusannya, seperti daun dan
buah kecubung (Datura metel), akar ki encok (Plumbago zeylanica), buah dan biji
labu air atau waluh bodas (Langinria sicerarid)
(http://www.kompas.com/ver1/Kesehatan/0610/04/114741.htm3).
Amerika Latin (Puerto Riko, Kuba, Republik Dominika, dan Santa Lucia)
juga punya kearifan tradisional seperti India. Secara umum, masyarakat di sana
sudah menyadari potensi obat berjenis-jenis tumbuhan, termasuk juga dalam
menekan jumlah kelahiran. Untuk keperluan ini, warga Amerika Latin kerap
menggunakan daun dan batang defenbahia (Dieffenbachia seguine), sejenis
tumbuhan talas-talasan. Sedangkan di Kepulauan Solomon, warganya
memanfaatkan kulit akar palas (Licuala sp.), tumbuhan sejenis palem untuk
menggagalkan pembuahan di dalam rahim. Pria maupun wanita biasanya
mengunyah bagian tumbuhan ini.
Umumnya, yang menggunakan obat antikehamilan secara oral adalah
wanita. Tapi, di negara berpenduduk padat, Cina, terungkap fakta para lelaki di
sana memakan obat kontrasepsi yang terkandung dalam biji kapas (Gossypium
sp.). Biji kapas yang diolah menjadi minyak dan digunakan untuk memasak di
negeri tirai bambu ini mengandung senyawa gosipol. Senyawa inilah yang
berperan menurunkan kesuburan sperma (Kosela, 1999)..
Di balik anggunnya penampilan kembang sepatu (Hibiscus rosasinensis),
ternyata tersimpan juga potensi pencegah kehamilan, dan bisa dimanfaatkan
baik pria maupun wanita. Ekstrak kembang bergetah ini memiliki sifat
antiestrogenik, yakni mengganggu aktivitas hormon reproduksi pada kaum ibu
maupun kelompok bapak. Akibat lanjutannya, kehadiran adik baru pun bisa
dicegah. Pada pria, air rebusan bunga kembang sepatu selain mengganggu
keseimbangan hormon reproduksi (progesteron), juga memberikan efek
menghambat produksi sperma, mengganggu fungsi endokrin, dan memperkecil
139
ukuran testis. Tapi, pengaruh itu hanya timbul selama pemberian ekstrak
berlangsung. Kalau dihentikan, organ reproduksi akan normal kembali.
Areuy kacembang (Embelia ribes) atau akar kelimpar pun bisa jadi pilihan
sebagai antifertilitas . Tumbuhan merambat yang mengandung senyawa embelin
cukup baik untuk mencegah kehamilan selain jua dikenal sebagai obat cacing.
Dosis yang sudah diujicobakan adalah dengan mencampur sebanyak 7 gram
areuy kacembang, 7 gram lada panjang (Piper longum), diminum selama 22 hari.
Selama itu pula, peserta 'KB areuy kacembang' tidak melakukan hubungan
suami-istri. Setelah masa 'puasa' berlalu, hubungan intim bisa dilakukan seperti
biasa. Dengan teknik kontrasepsi semacam ini, kesuburan kaum ibu bisa hilang
selama setahun.
Senyawa rottlerin yang terdapat pada ki meyong (Mallotus phillippensis)
juga bersifat antifertilitas. Penggunaan senyawa ini dengan dosis 10 mg/kg berat
badan, 100% efektif dalam menggagalkan pembuahan selama sepuluh hari, dan
sekira 84% dalam 20 hari. Tapi, jika dosisnya mencapai 20 mg/kg berat badan,
pembuahan akan terhenti total selama sebulan. Sedangkan dalam pengobatan
formal, senyawa alami sparteina yang berasal dari tumbuhan telah digunakan
sebagai obat kontrasepsi oleh banyak dokter. Senyawa ini banyak dijumpai pada
tumbuhan dari famili Fabaceae atau polong-polongan, terutama marga
Ammodendron, Baptisia, Cytisus, Gjenista, Gobelia, Lupinus, Retama,
Sarothammus, Templetonia, dan Thermopsis. Sayangnya, tumbuhan tersebut
bukanlah tanaman asli Indonesia.
Luffa aegyptiaca (blustru) merupakan tanaman antifertilitas dari famili
Cucurbitaceae. Berdt (1982) menyebutkan bahwa Luffa aegyptiaca
mengandung Stigmasterol yang dapat disintesis menjadi progesteron,
selanjutnya Partodiharjo (1980) mengemukakan bahwa hormon progesteron
mampu mencegah perkembangan folikel ovarium yang baru dan dapat
mencegah terjadinya ovulasi. Anisimov et al (1978) menyatakan, bahwa aktivitas
saponin triterpenoid dapat menggagu kebuntingan. Franswort et al (1975)
menyebutkan, bahwa ekstrak seluruh bagian tanaman Luffa aegyptiaca yang
diberikan pada tikus ternyata mampu mengurangi jumlah anak yang dilahirkan.
Dian Bhagawati et al (1998) mengemukakan bahwa pemberian ekstrak biji
blustru dapat menghambat laju kebuntingan tikus (antifertilitas).
Meski berasal dari alam, penggunaan obat-obatan dari tumbuhan tetaplah
harus hati-hati dan bijak. Pasalnya, ada literatur kuno yang menyatakan,
140
tanaman ki urat (Plantago major) bisa berfungsi sebagai afrosidiak atau
pembangkit gairah seksual. Namun, literatur yang sama juga menyebutkan,
tumbuhan itu bisa mengakibatkan sterilitas atau ketidakmampuan membuahi
pada sperma pria. Beberapa jenis tanaman bersifat mendua, baik antifertilitas
tapi juga dapat menyebabkan terjadinya keguguran (abortifacient). Parsley
(Petroselinum sativum) yang bisa terdapat pada menu ala Eropa mengandung
suatu senyawa yang disebut apiol. Dalam dosis tinggi, senyawa ini dapat
menyebabkan keguguran. Begitu juga dengan minyak inggu (Ruta graveolens),
tansy (Tanacetum vulgare), pennyroyal (Hedeoma pulegioides), dan minyak
savin (Junioerus sabind).
Dalam konsentrasi tinggi, keempat jenis minyak ini dapat menyebabkan
kontraksi yang berlebihan pada rahim. Sedangkan minyak castor dapat
menyebabkan iritasi pada rahim. Buah pala (Myristica fragrans) yang
mengandung senyawa miristisin, elemisin, dan safrol, bisa pula mengakibatkan
keguguran jika dikonsumsi berlebihan (lebih dari tujuh buah sehari). Bahkan, jika
dikonsumsi lebih dari sembilan buah bisa membahayakan kelangsungan hidup
sang ibu.
Pengujian efek antifertilitas ekstrak kering kulit batang Kayu Kasai
(Tristania Sumatrana Miq, Myrtaceae) terhadap tikus albino betina strain wistar
menyebabkan pengurangan jumlah implantasi yang bermakna pada P<0,01.
Sedangkan sebagai aktivitas anti-implantasi hanya dosis 1200 mg per kg bobot
badan yang menghasilkan sebesar 60% serta dosis 300 mg dan 1200 mg per kg
bobot badan menghasilkan anti-implantasi masing-masing 0% dan 20%.
Pemberian ekstrak tidak menyebabkan pengurangan nafsu makan dan tidak
mengganggu kesehatan dari induk tikus tidak menyebabkan adanya cacat fisik
pada anak-anak tikus yang diamati sampai berumur satu bulan.
(http://digilip.itb.ac.id/go.php?id=jbptitbb-gdl-S2-1987-1734 ) tanggal 3 Maret
2006.
Tikus Putih sebagai hewan percobaan
Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus putih.
Tikus putih merupakan hewan percobaan yang banyak dipakai dalam penelitian.
Kelebihan hewan percobaan ini antara lain penanganan dan pemeliharaan yang
mudah karena tubuhnya yang kecil, relatif sehat dan cukup bersih, tidak
memerlukan biaya yang mahal untuk pemeliharaan dan kemampuan reproduksi
141
yang tinggi dengan masa kehamilan yang cukup singkat (Malole dan Pramono,
1989).
Taksonomi Tikus Putih
Taksonomi tikus putih (Rattus sp.) menurut Robinson 1979 adalah
sebagai berikut:
Kingdom : Animal
Filum : Chordata
Sub.filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Ordo : Rodentia
Famili : Muridae
Genus : Rattus
Jenis : Rattus sp
Galur : Spraque - Dawley
Beberapa galur atau varietas tikus yang banyak digunakan dalam
penelitian antara lain : Sprague Dawley, Wistar, Long Evans, dan Holtzman
(Kohn dan Barthold, 1984). Galur yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Sprague Dawley dengan ciri-ciri berwarna albino putih, berkepala kecil, dan
ekornya lebih panjang dari badannya (Malole dan Pramono, 1989),
pertumbuhannnya cepat, dan temperamennya baik, serta kemampuan laktasinya
tinggi sehingga sering digunakan dalam penelitian yang berhubungan dengan
reproduksi (Baker et al.,1979). Sedangkan Wistar mempunyai kepala yang lebih
lebar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long-Evans mempunyai bulu yang
lebih gelap pada bagian atas kepala dan anterior tubuhnya (Smith dan
Mangkoewidjoyo,1987).
Biologi Reproduksi Tikus Putih
Tikus merupakan hewan yang bersifat politokus dengan jumlah anak
antara 6 – 12 ekor setiap kali melahirkan (Harkness and Wakner, 1989). Tikus
laboratorium bisa hidup 2 – 3 tahun, mencapai usia dewasa antara 40 – 60 hari
dan biasanya akan melakukan perkawinan pertama saat mencapai usia 10
minggu (Smith dan Mangkoewidjoyo, 1987). Masa pubertas (dewasa kelamin)
dicapai pada umur 50 – 60 hari. Tikus siap dikawinkan pada saat umur 65 – 110
142
hari dimana tikus betina dan jantan masing-masing sudah mencapai bobot 250 –
300 gram. Lama tikus estrus (birahi) sekitar 4-5 hari. Siklus estrusnya
dikelompokkan pada dalam 4 kelompok yaitu 1) proestrus (sekitar 12 jam); 2)
estrus (sekitar 12jam); 3) metestrus I(15jam); metestrus II (6 jam) dan 4) diestrus
(57jam) (Baker, 1979). Tikus dapat menjalani perkawinan lagi (remating) 24 jam
setelah melahirkan (Smith dan Mangkoewidjoyo,1987). Berdasarkan
pertimbangan bahwa siklus reproduksi tikus cukup pendek dan mudah
pemeliharaannnya maka tikus putih sangat tepat untuk digunakan sebagai
hewan model dalam penelitian reproduksi.
Testis
a. Anatomi Testis
Pada seekor hewan terdapat sepasang testis yang berbentuk seperti telur
atau peluru (Sigit, 1980). Testis terdapat dalam scrotum, yaitu suatu kantong
yang terdiri dari kulit dan tunika dartos yang membungkus testis dan sebagaian
funiculus spermaticus. Dengan adanya scrotum menyebabkan suhu testis rata-
rata 2,20C lebih rendah dari suhu badan (abdomen). Scrotum bereaksi terhadap
rangsangan seksual dengan cara vasokongesti dan kontraksi serabut-serabut
otot polos dari tunika dartos, sehingga menyebabkan scrotum menjadi tebal dan
mengencang (Effendi, 1981). Testis terletak di daerah prepubis dan digantung
oleh funiculus spermaticus yang mengandung unsur-unsur yang terbawa oleh
testes dalam perpindahannya dari cavum abdominalis melalui canalis inguinalis
ke dalam scrotum (Toelihere, 1985).
Bidang luar berbentuk convex dan licin. Bagian testis yang terletak di
ujung proksimal disebut ekstremitas capitata yang berhadapan dengan caput
epididymis. Ekstremitas caudata berhadapan dengan cauda epiddymis. Bagian
pinggir yang berhadapan dengan corpus epiddymis disebut margo epiddymis,
dan bagian yang bebas dari testis disebut margo liber (Sigit, 1980).
Testis terbungkus oleh tunica vaginalis propria yang akan membugkus
ductus epiddymis dan ductus deferens. Di bagian profundal tunika ini terdapat
tunica alBunginea yaitu suatu jaringan ikat padat berwarna putih yang
mengandung serabut fibreus dan serabut-serabut otot licin. Tunica albugenia
berhubungan dengan suatu jaringan ikat yang menbagi testis menjadi lobuli testis
yang disebut septula testis. Septula testis akan menuju ke mediastinum testis
yang terletak disentral. Lobuli testis mengandung tubuli seminiferi contorti yaitu
143
suatu saluran yang dibentuk oleh sel-sel spermatogonia dan sel-sel sertoli. Sel-
sel spermatogonia merupakan sel-sel yang akan menjadi spermatozoa dan sel-
sel sertoli adalah sel-sel yang berfungsi memberi nutrisi pada spermatogonia. Di
antara tubulli ini terdapat sel-sel Leydig yang menghasilkan hormon kelamin
jantan yaitu testosteron. Tubuli seminiferi contorti dari satu lobulus akan berjalan
menuju ke tubulus seminiferus rectus yang akan membentuk rete testis. Rete
testis terletak di dalam mediastinum testis, berfungsi menyalurkan spermatozoa
ke ductus epididymis (Sigit, 1980).
Testis terikat oleh ligamentum scroti di bagian distal. Ligamentum ini
merupakan sisa dari gubemaculum testis yang terdapat pada festus dan dibentuk
oleh dua ligamenta yaitu sebagai berikut :
1. Ligamentum testis proprium, bertaut dari cauda epididymis ke
ekstremitas caudata testis.
2. Ligamentum caudata epididymis/ Ligamentum inguinale testis, bertaut
dari ekstremitas caudata testis ke fascia scrotalis (Sigit, 1980).
c. Fungsi Testis
Fungsi alamiah esensial seekor hewan jantan adalah sebagai penghasil
spermatozoa yang hidup, aktif dan potensial fertil dan meletakkannya ke dalam
saluran kelamin betina (Toelihere, 1985).
Testis mempunyai dua fungsi utama yaitu menghasilkan sel mani oleh
tubuli seminiferi dan sekresi hormon testosteron oleh sel-sel Leydig (Effendi,
1981). Secara fungsional testis merupakan kelenjar ganda karena bersifat
eksokrin dan endokrin. Bersifat eksokrin karena menghasilkan sel kelamin (sel
benih) dan bersifat endokrin karena menghasilkan sekrel internal yang
dilepaskan oleh sel-sel khusus (Tambayong dan Wonodirekso, 1996).
Menurut Toelihere (1985), testes sebagai organ kelamin primer
mempunyai dua fungsi yaitu menghasilkan spermatozoa atau sel-sel kelamin
jantan dan mensekresikan hormon kelamin jantan, testosteron. Spermatozoa
dihasilkan di dalam tubuli seminiferi atas pengaruh FSH (Follide Stimulating
Hormon), sedangkan testosteron diproduksi oleh sel-sel interstial dari Leydig atas
pengaruh ICSH (Interstisial Cell Stimulating Hormon).
Fungsi eksokrin testis tergantung pada banyak faktor. Hormon penggiat
folikel, FSH (Follide Stimulating Hormon) dari lobulus anteror hiposis
merangsang spermatogenesis. FSH mempengaruhi sel sertoli untuk merangsang
144
sintesis suatu reseptor yaitu protein pengikat androgen, yang akan berikatan
dengan testosteron dan disekresikan ke dalam lumen tubulus seminiferus.
Keberadaan testosteron di dalam ruang abdominal dibutuhkan untuk memelihara
spermatogenesis. Sel sertoli juga dianggap mensintesis hormon testis yang lain
yaitu inhibin yang masuk ke dalam aliran darah serta akan menghambat sekresi
FSH oleh hipofisis lobus anterior (Tambayong dan Wonodirekso, 1996).
Sekresi endokrin yang utama adalah testosteron. Hormon ini dihasilkan
oleh sel interstisial yang merupakan kelenjar endokrin yang khas karena
berkembang bukan dari permukaan epitel seperti kebanyakan kelenjar lainnya,
tapi berasal dari stroma mesenkim testis. Di dalam stroma yang banyak
mengandung kapiler, hasil sekresi sel-sel interstisial dengan mudah masuk ke
dalam sistem vaskular. Produksi testosteron tergantung pada rangsangan
Luteinizing Hormon (LH) dari lobus anterior hipofisis. Organ sasarannya adalah
sel-sel interstisial maka Luteinizing Hormon (LH) sering disebut sebagai
Interstisial Cell Stimulating Hormon (ICSH). Testosteron selain berpengaruh
terhadap spermatogenesis juga mengatur sifat-sifat seks sekunder, merangsang
seks dan perkembangan serta pemeliharaan saluran kelamin dan kelenjar
kelamin tambahan (Tambayong dan Wirodeksonon, 1996).
Saluran tubuli seminiferi dalam testis merupakan komponen terbesar,
yaitu 90% pada tikus, sedangkan pada kuda dan kangguru 60%. Ukuran
diameter tubuli seminiferi beragam untuk setiap jenis, umumnya berkisar antara
200-400 µ. Dalam tubuli seminiferi terdapat 2 sel somatik yaitu sel myoid dan
sertoli, serta terdapat 5 macam tipe sel kelamin yaitu sel spermatogonia,
spermatosit primer dan sekunder, spermatid dan spermatozoa (Austin dan Short,
1982). Letak sel kelamin tersebut dalam tubuli seminiferi sangat berhubungan
dengan tingkat perkembangannya. Makin dewasa tingkat perkembangannya
semakin dekat letaknya ke lumen, sebaliknya semakin muda sel kelamin
semakin dekat pada membran basal. Perkembangan sel kelamin tikus
disepanjang tubuli seminiferi mulai dari tingkat awal sampai terbentuknya
spermatozoa dalam proses spermatogenesis dapat dilihat pada Gambar 20.
Sel spermatogenia mempunyai inti yang oval dan mengandung granula
kromatin. Berdasarkan sebaran bentuk kromatin dalam inti, spermatogonia
dapat dibedakan menjadi spermatogonia A, spermatogonia In (intermediat), dan
spermatogonia B. Sebaran kromatin spermatogonia A umumnya halus dan
homogen sedangkan spermatogonia B kromatinnya agak kasar, lebih gelap dan
145
sebagaian kromatinnya melekat pada inti. Perkembangan sel spermatogonia B
akan mengalami beberapa fase pembelahan mitosis dan miosis, sehingga
mengalami transformasi bentuk dan akhirnya menjadi spermatozoa yang utuh.
Gambar 20. Perkembangan sel kelamin tikus jantan selama spermatogenesis
(Clermont, 1962).
Sel myoid merupakan bagian yang penting sebagai sel jaringan ikat di
sepanjang dinding tubuli seminiferi, yang berdampingan dengan material bukan
sel. Sel myoid kemungkinan besar bertanggungjawab atas respon gerakan
peristaltik tubulus dan juga berkaitan dalam menstimulasi sel-sel sertoli (Austin
dan Short, 1982).
146
Sel Sertoli terletak di sepanjang membran basal yang dapat dibedakan
dengan sel kelamin, karena berbentuk torak, inti oval, nukleoplasmanya
homogen dan anak intinya jelas. Sel ini sangat resisiten terhadap zat-zat yang
merusak sel kelamin (Oakberg, 1959). Populasi sel sertoli pada setiap kuda
yang berumur 4 – 20 tahun memiliki sekitar 6,8 – 9,4 milyar (Johnson et al,
1991).
Sel sertoli mempunyai fungsi yang sangat erat kaitannya dengan kelangsungan
hidup sel kelamin, antara lain :
1. Menghasilkan substansi untuk menjamin berlangsungnya fungsi
spermatogenik (Garner dan Hafez, 1987).
2. Menghasilkan protein pengikat Androgen Binding Protein = ABP) yang
berperan sebagai alat transit androgen ke sel-sel kelamin (French dan
Retzen, 1973) dan ke caput epididimis (Hanson et al., 1976), dan juga
sebagai sumber sekresi cairan untuk transfer spermatozoa meninggalkan
testis (Garner dan Hafez, 1987).
3. Bersifat sebagai fagositosis terhadap sel-sel kelamin yang mengalami
degenerasi atau rusak dan sisa protoplasma sperma dewasa (residual
bodies) yang banyak terdapat dalam tubuli seminiferi (Car et al. 1968).
4. Berfungsi sebagai penghalang darah testis (blood-testis barier), karena
cabang sitoplasma sel sertoli yang berdekatan akan saling bertaut erat
sekali sehingga akan menghambat keluar masukknya zat asing pada
tubuli seminiferi, terutama ditujukan bagi darah di luar tubuli agar tidak
masuk. Pertautan cabang sel-sel Sertoli yang berdekatan disebut “
Sertoli cell Junction” (Dym dan Fawcett, 1970 ; Garder dan Hafez, 1987).
d. Spermatogenesis
Pengertian spermatogenesis adalah suatu rangkaian proses
perkembangan sel induk spermatogonia dari epitel tubuli seminiferus yang
mengadakan proliferasi dan diferensiasi, sehingga terbentuk spermatozoa yang
normal dan bebas. Proses spermatogenesis secara garis besar dapat dibedakan
menjadi tiga tahap seperti :
• Tahap pertama, terjadi proses pembelahan mitosis dari sel
spermatogonia sehingga menghasilkan spermatosit dan sel
spermatogonia yang baru. Pembaharuan sel induk spermatogonia yang
147
baru dimaksudkan untuk mempertahankan kehadirannya dalam tubuli
seminiferi.
• Tahap kedua, terjadi pembelahan miosis sel spermatosit primer dan
sekunder yang menghasilkan spermatid berkromosom haploid. Kedua
tahap di atas disebut dengan Spermatogenesis.
• Tahap ketiga, terjadi proses perkembangan spermatid menjadi
spematozoa melalui proses metamorfosa, yang panjang dan komplek, hal
ini disebut proses spermiogenesis (Clermont, 1972; Garner dan Hafez,
1987).
Menurut Austin dan Short (1982), ada dua model teori proses proliferasi dan
pembaharuan sel induk spermatogonia mamalia. Pertama, menurut teori yang
diajukan oleh Clermont dan Bustos- Obregon, (1968), bahwa proses proliferasi
sel induk spermatogonia A0 secara mitosis yang pada awalnya menjadi satu
spermatogonia A0 cadangan dan satu lagi menjadi spermatogonia A1,yang
kemudian membelah lagi menjadi spermatogonia A2, A3 , dan A4 . Berarti dari satu
spermatogonia A1 menjadi 4 spermatogonia A4 dan satu di antara spermatogonia
A4 akan menjadi bakal spermatogoniaA1 untuk spermatogenesis berikutnya.
Sedangkan spermatogonia A0 sebagai cadangan dan akan memacu
pembelahan bila terjadi situasi yang tidak menguntungkan bagi spermatogonia
A1, A2, A3 , dan A4 untuk bertahan hidup lagi misalnya terkena radiasi sinar X dan
bahan kimia lainnya. Kedua, menurut teori Huckins dan Oacberg (1978) yaitu
sel induk spermatogonia AS (sama dengan A0) selalu melakukan pembelahan
secara bertahap dan tidak terkoordinasi sehingga membelah menjadi
spematogonia A1, A2, A3 , dan A4 . Dalam teorinya spermatogonia A4 tidak ada
yang menjadi bakal sel induk spermatogonia A1dalam spermatogenesis
berikutnya. Dengan demikian terjadi perbedaan jumlah spematozoa yang
terbentuk. Menurut Clermont dan Bustos-Obregon, (1968) jumlah spermatozoa
yang terbentuk dari satu spermatogonia A1 adalah 12 spermatogonia, karena
satu di antara spermatogonia A4 akan menjadi spermatogonia A1 kembali.
Sedangkan menurut Huckins dan Oakberg (1978) jumlah spermatogonia A4 yang
akan terbentuk dari satu spermatogonia A1 akan menjadi 16 spermatogonia.
Hasil pembelahan spermatogonia A1 menjadi empat spermatogonia A4,
selanjutnya masing-masing spermatogonia akan membelah menjadi spermatosit
In dan akan membelah lagi menjadi spermatosit B Setiap spermatosit B akan
148
membelah lagi membentuk spermatosit primer. Sebelum terbentuknya
spermatosit primer terlebih dahulu diawali dengan pembentukan stadium
preleptoten, zigoten, pakiten diploten dan diakenesis. Stadium itu berlangsung
agak lama sehingga disebut sebagai stadium profase miosis I. Di antara stadium
di atas, Burgos et al. (1970) menyatakan stadium pakiten memerlukan waktu
yang paling panjang dibandingkan dengan stadium lainnnya, karena itu disebut
stadium stabil.
Terbentuknya spermatosit sekunder terjadi pada saat setelah stadium
profase Miosis I berakhir. Pada umumnya spermatosit sekunder jarang dijumpai,
karena akan segera mengalami miosis II menjadi spermatid yang haploid.
Kemudian spermatid akan mengalami metamorfosis yang cukup lama menjadi
spermatozoa yang utuh (Clermont, 1962), proses tersebut dikenal sebagai
spermiogenesis.
e. Spermiogenesis
Spermatid yang terbentuk dari pembelahan reduksi akan mengalami
serangkaian perubahan morfologi yang kompleks sehingga menjadi
spermatozoa, proses ini disebut spermiogenesis. Prose spermiogenesis pada
mamalia dapat dibagi menjadi empat fase dan tiap fase terdiri atas beberapa
tahap perkembangan spermatid. Pada tikus terdapat 19 tahap perkembangan
spermatid sebelum menjadi spermatozoa dewasa. Keempat fase spermiosis
tersebut yaitu : fase golgi (tahap 1-3), fase tudung(tahap 4 -7), fase akrosom
(Tahap 8 -14) dan fase maturasi (tahap 15 – 19).
Dalam fase spermiogenesis ada beberapa ciri khas yang perlu diperhatikan
yaitu:
a. Fase golgi; pada fase ini terdapat tiga tahap perkembangan yaitu tahap 1 – 3.
Fase ini ditandai adanya iodosom yang mengandung 1 sampai 4 granula
proakrosom. Selanjutnya granula proakrosom bergabung menjadi sebuah
granula inti spermatid, tetapi tetap masih berada dalam iodosom.
b. Fase tudung; fase ini disebut juga cap phase yang terdiri dari tahap 4 – 7.
Dalam fase ini granula akrosom melebar di atas inti sehingga menutupi
sepertiga bagian inti spermatid. Perluasan granula akrosom ini bentuknya
seperti tudung kepala (head cap). Pada fase ini iodosom mulai memisah dari
granula akrosom, bersamaam dengan itu kutub inti berlawanan letak dengan
sentriol dan dibentuk flagel.
149
c. Fase akrosom; dalam fase ini terdapat 7 tahap perkembangan spermatid
yaitu tahap 8 - 14. Di sini terjadi orientasi tudung granula akrosom ke arah
membran basalis. Saat itu sitoplasma spermatid menggeser ke salah satu
kutub inti yang semula bulat berubah memanjang. Bagian kaudal ujung inti
yang menghadap membran basalis mulai membengkok, selanjutnya diikuti
pula oleh tudung inti yang disebut akrosom. Akhirnya inti makin memanjang
sehingga inti makin membelok menyerupai sperma dewasa.
d. Fase maturasi/pematanggan; dalam fase ini terdapat 5 tahap perkembangan
spermatid (tahap 15-19). Pada fase ini hanya terjadi perubahan karena
struktur dasar dari spermatozoa telah terbentuk pada akhir fase akrosom.
Sebagaian sitoplasma yang masih melekat pada flagel terlepas dan disebut
sebagai badan residu (residual bodies). Akhirnya spermatozoa yang telah
matang segera dilepas kan ke dalam lumen tubili.
e. Patologi Testis
Beberapa kejadian patologis yang dapat ditemukan pada organ testis menurut
Ressang (1984) adalah sebagai berikut :
• Hipoplasi testis
Hipoplasi ditandai dengan keadaan di mana kedua testis lebih kecil dari pada
ukuran normal dan terasa lebih empuk. Secara mikroskopis terlihat adanya
gangguan pertumbuhan tubuli seminiferi yang disertai aspermatogenesis. Tubuli
seminiferi dilapisi oleh beberapa lapisan epitel lembaga, spermatozoa tidak
terbentuk dan berubah menjadi sel-sel datia. Libido hewan masih ada atau hilang
sama sekali tergantung dari derajat hipoplasi. Keadaan ini bersifat menurun dan
dapat menyebabkan terjadinya kemajiran.
• Orkhitis
Peradangan testis yang ditandai dengan terlipatnya kedua testis walaupun
radang hanya terjadi pada satu testis. Testis membengkak dengan konsistensi
sedikit padat karena sel-sel dan cairan radang. Umumnya di sekitar testis
terdapat edema, fibrin dan pendarahan karena perorkhitis. Radang pada testis
dikelompokkan menjadi dua yaitu yang bersifat akut dan yang menahun. Secara
mikroskopis terlihat terjadinya nekrosa dan hemoragi. Nekrosa terlihat sebagai
150
sarang-sarang soliter dan sarang berkonfluasi dan berwarna suram, kelabu dan
merah. Bila orkhitis sudah menahun maka pendarahan akan hilang dan jelas
terlihat adanya nekrosa koagulasi atau perkejuan. Keadaan ini kausanya tidak
selamanya jelas dan dapat terjadi pada semua jenis hewan.
• Tumor
Tumor testis hampir seluruhnya ganas dan termasuk yang derajatnya
tinggi. Tumor testis berasal dari epitel germinativum dan dibagi atas 5 golongan
yaitu seminoma, embryonal carcinoma, teratoma, teratoma carcinoma,
Choriocarcinoma.
Seminoma adalah tumor testis yang berdiferensiasi baik, berasal dari
epitel germinativum atau epitel tubuli seminiferi. Secara mkroskopis terdiri atas 2
unsur yaitu sel-sel yang uniform dan stroma jaringan ikat dengan ploriferasi
limfosit.
Embryonal carcinoma merupakan tumor yang lebih ganas dari seminoma
dan dapat berubah menjadi teratoma dan choriocarcinoma. Teratoma adalah
tumor yang telah berdiferensiasi ke arah alat-alat tubuh tertentu dan menyerupai
alat-alat tubuh tersebut, misalnya otot, tulang rawan, epitel gepeng berlapis,
jaringan tyroid dan sebagainya tanpa tanda ganas. Bila ada tanda ganas, tumor
ini disebut teratocarcinoma.Tanda ganas ini kadang menyerupai seminoma,
embryonal carcinoma atau menyerupai suatu sarcoma. Pada penampang
tampak kista-kista yang kadang-kadang menyerupai sarang lebah dengan
bagian-bagian yang agak keras seperti tulang rawan dan jarang terdapat
nekrosis dan pendarahan.
Croriocarcinoma ialah tumor yang derajat keganasannya tertinggi dan
cepat menimbulkan anak sebar. Secara mikroskopis selain terdapat
perdarahan, nekrosis dan sel-sel radang juga terdapat syncytiotrophoblast,
cytotropoblast ataupun kedua jenis sel tersebut jelas tersusun sebagai papil atau
villus. Syncytiotrophoblast adalah sel dengan inti pleomorfik, banyak yang
membentuk sel datia dengan khromatin inti jelas serta sitoplasma bervakuol-
vakuol. Sedangkan cytotropoblast merupakan sel berbentuk kuboid dengan inti
bulat di tengah-tengah dan khromatin inti padat.
• Radang
151
Radang yang terjadi pada testis berupa gonorrhoea, parotis epidemica
(mumps), tuberculosis dan sifilis. Selain itu testis juga dapat terinfeksi lepra,
thypus abdominalis, brucellosis, actinomycosis dan blastomycosis. Pada
umumnya radang ini merupakan komplikasi radang pada alat urogenital lain yang
menyebar melalui vas defferens atau melalui saluran getah bening.
• Intoksikasi Testis
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan apabila terjadi keracunan
(intoksikasi) ditentukan oleh dosis dan cara pemberian. Paracelsus pada tahun
1964 menyatakan bahwa dosis menentukan apakah suatu zat kimia adalah
racun (dosis sola facit venenum). Hal ini digunakan sebagai dasar penilaian
toksikologis suatu zat kimia.
Menurut Ganiswara (1995), gejala keracunan (intoksisitas) dan tindakan
untuk mengatasinya berbeda-beda tergantung pada jenis obat yang
menyebabkan keracunan (intoksikasi), target organ yang mengalami keracunan,
dosis obat yang diberikan, cara pemberian obat, waktu/lamanya pemberian obat.
Keracunan pada suatu organ tubuh cenderung dipengaruhi oleh banyak macam
obat dan sebaliknya jarang terdapat obat yang hanya mengenai satu organ.
Testis mempunyai sistem dua enzim yang dapat mengakibatkan dan
mendetoksikasi. Sistem enzim ini akan meningkatkan dan menurunkan toksisitas
bahan kimia. Selain itu mutasi dapat diinduksi oleh zat-zat elektrofilik dengan
adanya suatu sistem perbaikan DNA yang efesien dalam spermatogenik
prameiosis, tetapi tidak ada dalam spermatid maupun spermatozoa (Lu, 1995).
Menurut Lu (1995), beberapa zat kimia dapat mengganggu sistem reproduksi
hewan jantan melalui mekanisme yang berbeda-beda di antaranya sebagai
berikut :
- Gangguan pada proses spermatogenesis
Beberapa toksikan dapat menyebabkan gangguan pada proses
spermatogenesis di antaranya dapat menyebabkan spermatozoa cacat, tidak
aktif atau bahkan mati. Contoh toksikan yang dapat menyebabkan mutasi
letal pada sperma adalah metilmetan sulfonat (MMS) dan Busulfan. Selain itu
MMS juga mempengaruhi spermatid dan spermatozoa sedangkan busulfan
mempengaruhi sel prespermiogenik. Toksikan juga dapat menyebabkan
gangguan pada spermatozoa sewaktu spermatozoa disimpan dalam
152
epididymis. Zat antifertilitas jantan seperti α- klorohidrin dapat menghambat
kapasitasi dan fertilisasi spermatozoa.
- Atropi testis
Gangguan hormonal pada testis yang disebabkan oleh toksikan yang masuk
melalui kelenjar-kelenjar endokrin di testis. Sebagai contoh
dibromocloropropan dan fumigan yang dapat menyebabkan terjadinya atropi
testis sehingga terjadi azoospermia dan oligospermia.
- Kemandulan reversible
Perubahan perilaku seksual dan ganguan ejakulasi pada tikus jantan
yang menyebabkan terjadinya kemandulan reversibel disebabkan oleh
adanya intoksikasi dari obat hipotensif losulazin yang bekerja mengosongkan
norepineprin. Selain itu guanitidin yang merupakan obat hipotensif dapat
menyebabkan kemandulan dengan mengganggu pemancaran mani.
153
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
1. Lokasi Pengambilan Sampel
Sampel tanaman diambil di Gunung Kabila Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone, Kabupaten Bolaang Mongondow Sulawesi Utara. Pengambilan
sampel diambil pada waktu pagi hari antara pukul 07.00 – 09.00. Waktu panen
sangat erat hubungannya dengan pembentukan senyawa aktif (metabolit
sekunder) dalam tanaman yang dipanen. Oleh sebab itu sebaiknya panen
dilakukan pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif dalam
jumlah terbesar.
2. Ekstraksi : Sebelum melakukan uji preklinik untuk mendapatkan bahan baku ekstrak
yang akan diberikan pada hewan coba, terlebih dahulu dilakukan ekstraksi yang
disesuaikan dengan jenis pelarut dan jenis senyawa target yang diduga efektif
sebagai antifertilitas.
Pelarut yang digunakan pada proses ekstraksi adalah etanol dan air.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, rendemen tertinggi berada pada penggunaan
pelarut dengan air. Hal ini sesuai kebutuhan untuk penelitian dengan hewan uji
karena pada pemanfaatan oleh masyarakat menggunakan air untuk rebusan
pinang yaki. Proses ekstraksi biji pinang yaki dapat dilihat pada Gambar 21.
b. Alat Penelitian Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu
dengan ukuran 32 x 22 x 12 cm yang terbuat dari plastik dan ditutup dengan
kawat (gambar 21). Kandang dilengkapi dengan serbuk gergaji yang diteburkan
pada alas kandang, jika sudah basah diganti yang baru. Setiap kandang diberi
label sesuai perlakuan.
Untuk menentukan berat badan tikus digunakan timbangan “Triple Beam
Balance” (Max.Cap.2610 gr), buatan Ohous, USA. Sedangkan untuk
menentukan berat testis akibat perlakuan digunakan timbangan “Prection
Balance” (Cap.500 mg), Roller Smith Betlehem PA, USA No. 702677.
154
Gambar 21. Proses ekstraksi biji pinang yaki
155
Gambar 22. Proses Uji Khasiat Ekstrak Pinang yaki
• Mikrotom, mikroskop cahaya, micrometer okuler dan objek,serta counter :
Mikrotom digunakan untuk memotong preparat testis setebal 5 mikron.
Sedangkan untuk mengukur diameter sel-sel spermatogenia, spermatosit, dan
spematid digunakan micrometer okuler dan objek, di bawah mikroskop cahaya
156
dengan pembesaran 400 kali, sedangkan untuk mengukur diameter tubulus
semeniferus diukur dengan pembesaran 100 kali. Counter digunakan untuk
menghitung sel-sel kelamin tersebut.
Perlakuan : Dalam penelitian ini digunakan 72 ekor tikus jantan strain Spraqque
Dawley sebagai hewan coba dan dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan
perbedaan lama pencekokkan (H) dan dosis (D). Setiap kelompok terdiri dari 3
perlakuan dan 1 kontrol sebagai berikut :
Kelompok pertama terdiri dari 4 kelompok yang dicekok selama 10 hari dengan
rancangan sebagai berikut :
- H1 merupakan kelompok yang dicekok selama 10 hari
- H2 merupakan kelompok yang dicekok selama 20 hari
- H3 merupakan kelompok yang dicekok selama 30 hari
- H4 sebagai control
- D1 merupakan kelompok yang diberikan dosis A
- D2 merupakan kelompok yang diberikan dosis B
- D3 merupakan kelompok yang diberikan dosis C
- D4 merupakan kelompok kontrol (D)
Demikian pula untuk kelompok kedua yang dicekok selama 20 hari dan
kelompok ketiga yang dicekok selama 30 hari, dan kelompok keempat sebagai
kontrol. Denah perlakuan tikus dapat dilihat pada Gambar 32 . Setiap perlakuan
menggunakan tikus jantan sebanyak 3 ekor sehingga tikus yang digunakan
berjumlah 72 ekor. Setelah perlakuan, tikus jantan ditimbang berat badannya dan
kemudian dimatikan untuk diambil vas deferensnya.Kemudian dibedah lalu
diambil testisnya dan ditimbang. Dari vas deferensnya diambil semennya,
diencerkan dengan larutan garam fisiologis, lalu dihitung jumlahnya, motilitasnya,
dan bentuk normal spermatozoanya. Proses pembuatan preparat dapat dilihat
pada Gambar 31. Data kuantitatif tersebut diuji secara statistik menggunakan
anova dua.
157
Percobaan 1. Pengaruh Pemberian Ekstrak Selama10 Hari
JUMLAH TIKUS
ANALISA
DOSIS A mg/kgBB
C mg/kgBB
3 ekor 3 ekor 3 ekor3 ekor
Berat Badan
Berat Testis
Jumlah Spermatozoa
Motilitas Spermatozoa
Bentuk Normal Spermatozoa
B mg/kgBB
D
KONTROL
Gambar 23. Denah perlakuan
Pembuatan preparat
Gambar 24. Proses Pembuatan Preparat
TESTIS
Fiksasi dengan Bouin
Dehidrasi dengan alkohol bertingkat
Clearing dengan xylol
Inflitrasi dengan parafin
Embedding
Penyayatan
Pewarnaan (PAS)
Pengamatan
158
0,00
50,00
100,00
150,00
200,00
250,00
300,00
Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3 Dosis 4
Perlakuan
Bera
t (gr
)
Hari ke 10 Hari ke 20 Hari ke 30
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Berat badan Penimbangan berat badan tikus untuk mengetahui pengaruh pemberian
ekstrak pinang yaki dilakukan pada akhir perlakuan 10, 20, dan 30 hari. Hasil
pengamatan terhadap berat badan tikus yang diberi ekstrak pinang yaki sebagai
obat antifertilitas dapat dilihat pada Gambar 25.
Gambar 25. Pengaruh ekstrak pinang yaki terhadap berat badan tikus
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perkembangan berat badan
akibat perlakuan pemberian ekstrak biji pinang yaki selama 10, 20, 30 hari tetap
bertambah secara normal (P<0.01). Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa
perlakuan pemberian ekstrak biji pinang yaki tidak berpengaruh terhadap
pertumbuhan berat badan tikus (P>0.05). McDonald (1990) mengemukakan
bahwa, bila kadar plasma testosteron normal dalam tubuh maka daya retensi
nitrogen sebagai protein tetap berjalan, sehinga proses pembentukan jaringan
tetap berjalan dalam tubuh.
2. Berat Testis
Testis merupakan tempat memproduksi sel-sel spermatozoa secara terus
menerus dalam jumlah yang banyak. Testis merupakan bagian yang paling
menentukan saat pembuatan sperma. Sperma diproduksi oleh organ testis yang
aman tersimpan dalam kantung zakar. Posisi ini menyebabkan testis terasa lebih
159
dingin dibandingkan dengan organ tubuh lainnya. Pembentukan sperma berjalan
lambat pada suhu normal, tapi terus terjadi pada suhu yang lebih rendah dalam
kantung zakar.
Rataan berat testis setelah perlakuan pemberian ekstrak buah pinang
yaki selama perlakuan 10, 20, 30 hari dapat dilihat pada Gambar 26, sedangkan
ratio berat testis terhadap berat badan dapat dilihat pada Gambar 27.
2,742,45 2,35
2,492,562,76
2,54 2,64
1,90
2,702,52 2,57
0,00
0,50
1,00
1,50
2,00
2,50
3,00
Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3 Dosis 4
Perlakuan
Bera
t (gr
)
Hari ke 10 Hari ke 20 Hari ke 30
Gambar 26. Histogram rataan berat testis setelah diberi perlakuan pemberian
ekstrak buah pinang yaki
Hasil analisis menunjukkan perkembangan berat testis setelah perlakuan
10, 20, 30 hari tetap bertambah secara normal (P<0.01). Peningkatan berat
testis terjadi karena tikus yang digunakan berumur 3 – 4 bulan masih dalam
tahap pertumbuhan. Menurut Kerr (1988), tikus setelah berumur 3 bulan masih
terjadi peningkatan berat testis.
Hasil analisis menunjukkan bahwa meningkatnya dosis pemberian
ekstrak biji pinang yaki, tidak berpengaruh terhadap perkembangan berat testis
(P>0.05). Hal ini mungkin disebabkan karena waktu pemberian ekstrak sangat
pendek (30 hari) dan dosis yang diberikan masih sangat kecil sehingga tidak
memberikan pengaruh terhadap berat testis. Terjadinya kecenderungan
penurunan dan peningkatan berat testis setelah perlakuan selama 10, 20, dan 30
hari mungkin disebabkan sifat sitotoksik belum berpengaruh terhadap sel-sel
atau jaringan testis, sehingga fungsi sel Leydig dalam menghasilkan androgen
tetap berjalan normal. Selain itu ada pula kemungkinan fungsi enzim yang
berperanan dalam biosintesa sel jaringan tetap berjalan stabil. Menurut Turner
dan Bagnara (1976) bahwa hormon testosteron dapat menginduksi peningkatan
160
anabolisme protein pada jaringan sel tubuh. Dijelaskan pula oleh Donald (1980)
bila plasma testosteron cukup dalam tubuh maka daya retensi nitrogen sebagai
protein tetap berlangsung dengan demikian memungkinkan terjadi peningkatan
berat organ tubuh.
1,301,15 1,17 1,151,15 1,20 1,20 1,18
0,75
0,94
1,241,12
0,00
0,20
0,40
0,60
0,80
1,00
1,20
1,40
Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3 Dosis 4
Perlakuan
Rat
io B
B-B
erat
Tes
tis (%
)
Hari ke 10 Hari ke 20 Hari ke 30
Gambar 27. Histogram rasio berat badan - berat testis setelah diberi perlakuan pemberian ekstrak buah pinang yaki
3. Jumlah spermatozoa Organ reproduksi pria dirancang untuk dapat menghasilkan, menyimpan
dan mengirimkan sperma. Sperma tersimpan salam cairan yang terlindung dan
bergizi, yaitu air mani. Bagian yang paling menentukan saat pembuatan sperma
adalah testis. Sperma yang matang memiliki kepala dengan bentuk lonjong dan
datar, dan memiliki ekor keriting yang berguna mendorong sperma memasuki air
mani. Tiap sperma mempunyai ekor panjang untuk mempermudah gerakan maju
kedepan.
Jumlah rata-rata spermatozoa vas deferen (juta/ml) setelah pemberian
berbagai dosis ekstrak biji pinang yaki (D) dan perlakuan waktu pemberian
ekstrak (H) dapat dilihat pada Gambar 28. Hasil analisis statistik menunjukkan
bahwa perlakuan pemberian ekstrak buah pinang yaki selama 10, 20 dan 30 hari,
berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa (P<0.01) (Tabel 28). Sehubungan
dengan adanya penurunan jumlah spermatozoa, hal ini terkait dengan proses
pembentukan spermatozoa. Proses pembetukan spermatozoa dipengaruhi oleh
161
hormone androgen (testosterone yang dihasilkan oleh sel Leydig). Kecepatan
pembentukan testosterone oleh sel Leydig ditentukan oleh kadar LH dalam
darah. Sebaliknya sekresi oleh hipofisis dikendalikan oleh pengaruh kadar
testosterone terhadap hipofisis dan hipotalamus serta pengaruh dan sifat bifasik
testosterone. Penurunan testosteron mengakibatkan proses spermatogenesis
terganggu, sehingga terjadi penurunan jumlah spermatozoa
980880
780
990920
820740
940
260
120 100
940
0
200
400
600
800
1.000
1.200
Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3 Dosis 4
Perlakuan
Kons
entra
si (j
uta/
ml)
Hari ke 10 Hari ke 20 Hari ke 30
Gambar 28. Jumlah Spermatozoa setelah diberi ekstrak biji pinang yaki
Tabel 28. Uji signifikan jumlah Sperma tikus
Dari uji statistik jumlah spermatozoa ternyata perlakuan dosis dan lama
pemberian ekstrak biji pinang yaki berpengaruh terhadap jumlah spermatozoa
(P<0.01). Demikian pula interaksi (H – D) memberikan pengaruh yang nyata
terhadap spermatozoa (P<0.01). Penurunan jumlah spermatozoa dapat
disebabkan oleh zat aktif yang terkandung dalam buah pinang yaki yang bersifat
toksik. Buah pinang yaki mengandung senyawa aktif triterpen, flavonoid, saponin,
dan tanin yang dapat menurunkan daya hidup sperma, akibatnya sperma tidak
dapat mencapai sel telur dan pembuahan dapat tercegah. Menurut WHO (1988) ,
pada manusia yang dianggap fertil apabila, ejakulasinya memiliki ± 20 juta
sperma/ml.
SS Degr. of MS F p Intercept 5250208 1 5250208 113,5426 0,000000
hr 2177798 2 1088899 23,5489 0,000001 ds 46348 3 15449 0,3341 0,800738
Error 1387200 30 46240
162
4. Motilitas sperma Rata-rata motilitas spermatozoa (juta/ml) setelah pemberian berbagai
dosis ekstrak biji pinang yaki (D) dan perlakuan waktu pemberian ekstrak (H)
dapat dilihat pada Gambar 29. Hasil uji statistik, motilitas spermatozoa (Tabel
29), ternyata perlakuan dosis dan lama pemberian ekstrak biji pinang yaki
berpengaruh nyata terhadap jumlah spermatozoa (P<0.01). Demikian pula
perlakuan interaksi (H – D) memberikan pengaruh yang nyata terhadap motilitas
spermatozoa (P<0.01). Penurunan motilitas (kemampuan gerak) dapat
disebabkan oleh zat aktif yang terkandung dalam buah pinang yaki yang bersifat
toksik. Buah pinang yaki mengandung senyawa aktif triterpen, flavonoid, saponin,
dan tannin. Golongan terpen , bekerjanya tidak pada proses spermatogenesis,
tetapi pada proses transportasi sperma, yaitu dapat menggumpalkan sperma
sehingga menurunkan motilitas dan daya hidup sperma, akibatnya sperma tidak
dapat mencapai sel telur dan pembuahan dapat dicegah. Sedangkan Tanin
kerjanya hampir sama yaitu menggumpalkan semen. Kedua zat aktif tersebut
untuk kontrasepsi sangat menguntungkan karena mencegah kehamilan bukan
menggugurkan sehingga sangat sesuai dengan program keluarga berencana.
Terjadinya pembuahan membutuhkan sperma yang sehat. Definisi
sperma yang sehat adalah bentuk sempurna, lincah dan mempunyai gerakan
cepat. Jika gerakan sperma (motilitas) pelan atau berenang menuju arah yang
salah, maka akan terjadi kesulitan dan kegagalan dalam pembuahan (WHO,
1988). Penurunan motilitas dapat disebabkan oleh terganggunya permeabilitas
membran sperma pada bagian tengah ekor, sehingga akan mengganggu
transport zat-zat nutrisi yang diperlukan oleh sperma untuk pergerakan maupun
daya tahan hidupnya.
Tabel 29. Uji signifikan Motilitas Sperma tikus
SS Degr. of MS F p
Intercept 117534.7 1 117534.7 877.3519 0.000000 Hari 2649.4 2 1324.7 9.8883 0.000737
dosis 3644.4 3 1214.8 9.0679 0.000341 hari*dosis 2787.9 6 464.6 3.4684 0.013035
Error 3215.2 24 134.0
163
91,7584,45 81,24 83,84
92,5494,5590,2783,63
89,16
59,89
85,7287,66
0,0010,0020,0030,0040,0050,0060,0070,0080,0090,00
100,00
Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3 Dosis 4
Perlakuan
Sper
ma
tdk
norm
al (%
)
Hari ke 10 Hari ke 20 Hari ke 30
8376
6052
75
54
7065
5665
60 63
0102030405060708090
Dosis 1 Dosis 2 Dosis 3 Dosis 4
Perlakuan
Kons
entr
asi (
juta
/ml)
Hari ke 10 Hari ke 20 Hari ke 30
Gambar 29. Jumlah rata-rata motilitas spermatozoa (juta/ml) setelah
pemberian ekstrak biji pinang yaki
5. Bentuk tidak normal spermatozoa Jumlah rata-rata bentuk tidak normal spermatozoa (%) setelah pemberian
berbagai dosis ekstrak total biji pinang yaki (D) dan waktu pemberian (H) dapat
dilihat pada Gambar 39.
Gambar 30. Jumlah rata-rata abnormal spermatozoa (juta/ml) setelah
pemberian ekstrak biji pinang yaki
Hasil penelitian pemberian ekstrak biji pinang yaki, ternyata ekstrak biji
pinang yaki mempengaruhi abnormalitas spermatozoa. Hal ini mungkin
disebabkan adanya golongan senyawa saponin yang terdapat dalam ekstrak biji
Pinang yaki. Sedangkan bentuk normal dan abnormal sperma dapat dilhat pada
164
Gambar 31 – 43. Secara umum standarisasi klasifikasi normal semen/airmani
menurut WHO (2001), sperma yang normal memiliki jumlah lebih besar dari 20
juta sperma/ml dimana 50% dari jumlah tersebut harus mampu bergerak bebas.
Bentuk kepala sperma oval dengan ekor yang langsing seperti cemeti (Gambar
40) Sedangkan bentuk sperma yang tidak normal (infertil) jika < 13,5 juta
sperma/ml, < 32% bergerak bebas, < 9% bentuknya normal, bentuk kepala
sperma bulat, melebar dengan ekor pendek atau terlipat, gerakan sperma lambat
(Gambar 31 - 34.)
a b
c d
Gambar 31. Bentuk normal Spermatozoa
a b
Gambar 32. Bentuk Sperma dengan Ekor Terputus (a) dan Tanpa Kepala (b)
165
Gambar 33. Bentuk Tidak Normal Sperma dengan Kepala Kembar 3
a b
Gambar 34. Bentuk Tidak Normal Sperma (Cacat) a & b
Hasil pengamatan secara mikroskopis sel-sel kelamin jantan pada tikus
kelompok yang diberi perlakuan terlihat adanya dominansi sel-sel spermatozoa
tikus yang tidak normal yaitu tidak adanya ekor atau kepala dari sel spermatozoa.
Hal ini berkaitan dengan pemberian ekstrak biji pinang yaki. Menurut Resang
(1994), hal tersebut menunjukkan bahwa sel-sel tersebut mengalami degenerasi.
Degenerasi merupakan perubahan-perubahan morfologik akibat jejas-jejas yang
nonfatal di mana perubahan tersebut bersifat reversibel atau dapat pulih kembali
( Dalimarta, 1998; Himawan, 1998).
Perubahan patologis yang terjadi pada sel-sel kelamin jantan tikus-tikus
tersebut secara mikroskopis terlihat menyebabkan bentuk-bentuk yang tidak
normal bentuk-bentuk abnormalitas sperma menurut Hafez (2000), terdiri atas
beberapa kategori yaitu kelainan kepala sperma, kerusakan pada ekor sperma
dan gangguan pada struktur dan ukuran sel, antara lain kerusakan pada kepala
sperma yaitu terlalu besar,pendek, atau mempunyai dua kepala, droplet pada
leher atau putusnya kepala sel (Gambar 32). Sedangkan kerusakan pada ekor
166
yaitu berupa hilangnya ekor, putusnya ekor pada bagian leher atau bagian
tengah sehingga ekor menggulung, serta bentuk kembar dan kombinasi
kerusakan pada kepala atau ekor sel (Gambar 32 - 34).
Penurunan tingkat fertilitas tikus karena menurunnya kualitas sperma.
Tingkat fertilitas tikus jantan menurun karena adanya penurunan motilitas dan
peningkatan jumlah sperma yang abnormal . Pada tikus, motilitas sperma sangat
mempengaruhi keberhasilan fertilisasi. Itulah sebabnya menurunnya motilitas
sperma ditambah dengan adanya peningkatan jumlah sperma abnormal. Selain
itu juga penurunan kualitas sperma disebabkan oleh gangguan hormonal.
Menurut Sri Nita (2003), perilaku kawin pada hewan mamalia jantan non-primata
sangat tergantung pada hormone testosterone, sehingga menurunnya fertilitas
dapat terjadi karena penurunan sintetis hormone testosterone. Menurunnya
konsentrasi testosterone ini karena terjadi penghambatan terhadap fungsi
hipofisis. Penurunan sintesis testosterone dapat juga disebabkan oleh aktivitas
biologis senyawa aktif yang terkandung pada tanaman seperti alkaloid, flavonoid,
steroid, terpen, tannin, dan saponin. Seperti diketahui, pinang yaki mengandung
senyawa aktif antara lain saponin..
Risnawati (2002), mengemukakan bahwa saponin yang tergolong dalam
kelompok steroid bersifat menghambat spermatogenesis, menurunkan kualitas
spermatozoa yaitu morfologi, jumlah dan motilitas tetapi tidak menurunkan berat
badan. Selanjutnya hasil penelitian Sutyarso (1992), ternyata bahwa buah pare
yang juga mengandung saponin dari golongan glikosida triterpen, dapat
menghambat pertumbuhan sel germinal pada tingkat awal in vivo. Saponin
merupakan senyawa yang dapat menurunkan tegangan permukaan, bersifat
seperti sabun yang mampu merenggangkan membran sel dengan
menghemolisis sel darah merah
Setiap zat kimia pada dasarnya bersifat racun dan keracunan ditentukan
oleh dosis dan cara pemberian. Dosis menentukan apakah suatu zat kimia
adalah racun. Hal ini digunakan sebagai dasar penilaian toksikologis suatu zat
kimia (Indriyati, 2004).
Menurut Lu (1995), beberapa zat kimia dapat menggangu sistim
reproduksi hewan jantan melalui mekanisme yang berbeda-beda di antaranya
menyebabkan gangguan pada proses spermatogenesis yaitu spermatozoa cacat,
tidak aktif bahkan mati (Gambar 43). Selanjutnya Nita (2002) menyatakan bahwa
bahan aktif yang mempengaruhi fertilitas umumnya mempunyai sifat
167
menghambat spermatogenesis dengan cara merusak sel spermatogenik ataupun
prekursornya sehingga akan menyebabkan spermatozoa yang diproduksi testis
menjadi berkurang. Sifat lainnya adalah mengganggu aktivitas hormon dan
mengganggu maturasi spema yang terjadi di epididimis. Tingginya konsentrasi
testosterone akan berefek umpan balik negative ke hipofisis yaitu tidak
melepaskan FSH atau LH, sehingga akan menghambat spermatogenesis.
Penurunan tingkat fertilitas tikus karena menurunnya kualitas sperma.
Tingkat fertilitas tikus jantan menurun karena adanya penurunan motilitas dan
peningkatan jumlah sperma yang abnormal . Pada tikus, motilitas sperma sangat
mempengaruhi keberhasilan sterilisasi. Itulah sebabnya menurunnya motilitas
sperma ditambah dengan adanya peningkatan jumlah sperma abnormal. Selain
itu juga penurunan kualitas sperma kemungkinan disebabkan oleh gangguan
hormonal. Menurut Sri Nita (2003), fertilitas pada hewan mamalia jantan non-
primata sangat tergantung pada hormone testosterone, sehingga menurunnya
fertilitas dapat terjadi karena penurunan sintetis hormon testosteron. Menurunnya
konsentrasi testosterone ini karena terjadi penghambatan terhadap fungsi
hipofisa. Penurunan sintesis testosterone dapat juga disebabkan oleh aktivitas
biologis senyawa aktif yang terkandung pada tanaman.
Secara umum, usaha untuk mendapatkan bahan kontrasepsi adalah
usaha untuk mencegah kehamilan, sedangkan secara biologis adalah usaha
pencegahan terjadinya fertilisasi sel telur oleh spermatozoa. Obat kontrasepsi
mempengaruhi pada tiga bagian proses reproduksi pria yaitu proses maturasi
sperma dan transportasi sperma. Sedangkan kontrasepsi yang mempengaruhi
proses reproduksi wanita antara lain menghambat ovulasi, dan penghambat
penetrasi sperma. Fertilisasi dapat dicegah jika spermatozoa tidak ada, menurun
kualitasnya, atau dihambat potensinya.
Belum diketahui secara pasti tentang pengaruh ekstrak biji pinang yaki
terhadap fertilitas tikus jantan, tetapi tampaknya penurunan kualitas spermatozoa
sebagai akibat dari senyawa-senyawa kimia yang terdapat dalam ekstrak biji
pinang yaki. Hal ini erat kaitannya dengan menurunnya jumlah, motilitas, serta
bentuk normal spermatozoa. Ditinjau dari zat aktif yang dikandungnya (alkaloid,
flavonoid,saponin, tannin, steroid) pinang yaki dapat digunakan untuk
mendukung penggunaan tanaman sebagai kontrasepsi. Namun senyawa-
senyawa aktif tersebut di atas perlu diteliti lebih lanjut karena khasiatnya sering
tidak sesuai dengan senyawa yang dikandungnya, terutama pada tanaman lain
168
dengan kandungan yang sama. Penggunaan kontrasepsi asal tanaman perlu
diperhatikan sifat merusak atau pengaruhnya terhadap sistem reproduksi pria
maupun wanita. Sebaiknya digunakan tanaman-tanaman yang pengaruhnya
terhadap sistem reproduksi yang sifatnya sementara (reversible) yaitu bila obat
tidak digunakan lagi, sistem reproduksinya normal kembali, sehingga tidak terjadi
kemandulan.
169
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa Pemberian
ekstrak biji pinang yaki pada tikus jantan menurunkan jumlah spermatozoa,
motilitas, serta mempengaruhi bentuk normal spermatozoa tetapi tidak
berpengaruh terhadap berat badan dan berat testis tikus jantan strain Spraque –
Dawley (SD)
SARAN
Perlu penelitian lebih lanjut untuk mencari dosis efektif yang menyebabkan
infertilitas pada tikus jantan strain Spraque – Dawley (SD).