8 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Status dan Luas Kawasan Secara geografis letak kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) pada posisi antara kawasan Zoogoegrafis Asia dan Zoogeografis Australia. TNBNW terletak pada garis lintang antara 0 o .20’ – 0 o .51’ Lintang Utara(LU) dan 123 o .06’ – 124 o .18’ Bujur Timur (BT). Secara administratif kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berada pada dua wilayah provinsi dan dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo (Gambar 2) sedangkan peta zonasi TNBNW dapat dilihat pada Gambar 3. Skala 1 : 2.500.000 http://www.dephut.go.id/INFORMASI/TN%20INDO-ENGLISH/tn_Bogani.htm Gambar 2. Lokasi Penelitian di Sulawesi Utara Adapun batas-batas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan hutan lindung di wilayah Kecamatan Sangtombolang (Kabupaten Bolaang Mongondow) Kec. Atinggola
167
Embed
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN - repository.ipb.ac.id · Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Bone Bolango Provinsi Gorontalo (Gambar 2) sedangkan peta zonasi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
8
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Status dan Luas Kawasan
Secara geografis letak kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone
(TNBNW) pada posisi antara kawasan Zoogoegrafis Asia dan Zoogeografis
Australia. TNBNW terletak pada garis lintang antara 0o.20’ – 0o.51’ Lintang
Utara(LU) dan 123 o.06’ – 124 o.18’ Bujur Timur (BT).
Secara administratif kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
berada pada dua wilayah provinsi dan dua wilayah kabupaten yaitu Kabupaten
Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara dan Kabupaten Bone Bolango
Provinsi Gorontalo (Gambar 2) sedangkan peta zonasi TNBNW dapat dilihat
Adapun batas-batas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan hutan lindung di wilayah
Kecamatan Sangtombolang (Kabupaten Bolaang Mongondow) Kec. Atinggola
9
Provinsi Gorontalo; sebelah Timur berbatasan dengan Kec. Dumoga dan
Lolayan (Kab.Bol.Mongondow); sebelah Selatan berbatasan dengan Kec.
Pinolosian dan Bolaang Uki (Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi
Utara); sebelah Barat berbatasan dengan Kec.Tibawa, Suwawa, Tapa, dan
Kabila Provinsi Gorontalo.
PETA ZONASI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONEPETA ZONASI TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE
ZonaZona IntiInti : 188.927 Ha: 188.927 HaZonaZona RimbaRimba : 77.250 Ha : 77.250 Ha ZonaZona PemanfaatanPemanfaatan : 20.678 Ha : 20.678 Ha ZonaZona PemanfaatanPemanfaatan : : TradisionalTradisional 260 Ha260 Ha
CA
E
B
D
Gambar 3. Peta Zonasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
Skala 1 : 2.500.000
Luas kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone seluruhnya
287.115 hektar, dengan perbandingan 177,115 hektar (61,68%) berada di
wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow di bagian timur dan 110.000 hektar
(38,32%) masuk dalam wilayah Kabupaten Bone Bolango di bagian barat. Luas
keliling TNBNW adalah 726 km dan sudah ditata batas. Tata batas di lapangan
dilakukan dengan pemasangan pal batas sebanyak 4990 buah. Berdasarkan
zonasi kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone yang telah ditetapkan
dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam
10
(PHPA) nomor 191/Kpts/Dj-VI/197 tanggal 24 Desember 1997, luas kawasan
tersebut adalah sebagai berikut :
Zona inti 188,927 hektar (65,80 %)
Zona rimba 77,250 hektar (26,91 %)
Zona pemanfaatan 20.678 hektar (7,20%)
Zona pemanfaatan Tradisional 260 hektar (0,90 %)
Topografi dan Iklim
Keadaan topografi di kawasan Taman nasional Bogani Nani Wartabone
sangat beragam mulai dari datar, bergelombang ringan sampai berat maupun
berbukit terjal dengan ketinggian berkisar antara 50 sampai dengan 1.970 meter
di atas permukaan laut (dpl). Bentang alam kawasan Taman nasional Bogani
Nani Wartabone mulai dari dataran hingga pegunungan memiliki klasifikasi
sebagai berikut :
• Bentang alam datar, dengan kemiringan lereng 0 – 8 %, terdapat di
beberapa tempat yaitu di sekitar hutan Sampaka, kemudian membentang
ke arah Selatan kawasan hutan Matayangan, di sekitar hutan Pinogu, di
sekitar G.Kabila dan G.Tawango.
• Bentang alam berombak, kemiringan 8 – 15 %, terdapat di beberapa
tempat yaitu di sekitar hulu Sungai Kosinggolan, S. Toraut, S. Ilanga, di
sebelah barat hutan enclave Pinogu dan hutan Tulabolo, dan sepanjang
S. Bone.
• Bentang bergelombang, kemiringan 15 – 25 %, terdapat di beberapa
tempat yaitu di hulu S. Mauk membentang ke arah barat hingga di hulu
S.Tumpa dan di sebelah utara hulu S. Lolak dan ke arah barat hulu S.
Ayong kemudian di sebelah selatan G. Ali yaitu di sekitar S.Tombolilato.
• Bentang alam berbukit, kemiringan 25 – 45 %, terdapat di sekitar G.
Mogogonipa,dan di sekitar enclave G. Pinogu menuju arah timur laut.
• Bentang alam bergunung, kemiringan > 45 % terdapat pada beberapa
tempat yaitu di pegunungan Bulawa, puncak G. Kabila membujur ke arah
barat, hulu S. Ayung dan S.Tumpa. Pegunungan Pinutus dengan puncak
G. Pondang membujur ke arah barat sampai di sebelah barat G.
Mogonipa. Pegunungan Sinombayuga dengan puncak G. Poniki ke arah
barat sampai G. Sinombayuga. Pegunungan Bulawa dengan puncak G.
11
Sula, pegunungan Bone dengan puncak G. Pinolobatu. Pegunungan
Parantanaan yaitu di sebelah barat G. Ponimposa membujur ke arah
barat dengan melintasi G. Gambuta dengan Pau-pau. Pegunungan Tilong
Kabila yaitu terletak di sebelah utara Tilamuta membujur ke arah barat
Kondisi topografi kawasan berhutan yang bergelombang yaitu berbukit
berlembah serta memiliki kelerdengan lebih dari 45 % menjadikan fungsi
kawasan taman nasional sebagai daerah pengatur tata air (fungsi hidrologis)
serta menjadi sumber air lahan pertanian seluas ± 10.815 ha di sekitarnya dan
sebagai penahan terjadinya bencana banjir pada daerah hilir.
Di bagian tengah kawasan ini terletak Gunung Sinombayuga yang
merupakan puncak tertinggi (± 1.970 m) membujur dari arah utara – selatan yang
sekaligus membelah jaringan Daerah aliran sungai (DAS) Bone dan Dumoga.
Gunung-gunung yang lain adalah G.Pau-Pau (± 1.921 m) dan G.Gambuta (±
1.954 m) dan G.Sulo (± 1.750 m) membelah jaringan wilayah Bone dan Sangkup
serta G.Ali (± 1.495 m) antara Bone dan Bone Pantai. Beberapa gunung yang
lerengnya mengarah ke Sungai Kosinggolan di Kabupaten Bolaang Mongondow
yaitu G.Sinombayuga (± 1.970 m), G.Poniki (± 1.817 m), G.Padang (± 1.370 m).
bagian kawasan yang terendah pada Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
terdapat di wilayah Lolak dengan ketinggian ± 50 meter di atas permukaan laut.
Keadaan iklim di wilayah kawasan Taman nasional Bogani Nani
Wartabone menurut Schmidt dan Verguson termasuk dalam tipe A, B, dan C.
Curah hujan umumnya tersebar merata sepanjang tahun dengan periode relatif
basah antara bulan November – Januari dan Maret – Mei. Masa kering bulan
Agustus – September (Tabel 1). Arah angin dan topografi yang bergunung di
wilayah ini sering mempengaruhi curah hujan lokal terutama jumlah total hujan
meskipun dalam jarak dekat. Sebagai contoh di wilayah bagian tengah dan utara
(Dumara dan Toraut) curah hujannya tinggi karena pengaruh angin timur laut
sedangkan di wilayah Doloduo dan Kosinggolan relatif lebih kering karena
pengaruh angin barat daya. Secara umum di lembah Dumoga curah hujan rata-
rata antara 1.700 – 2.200 mm per tahun, sedangkan di wilayah Gorontalo rata-
rata 1.200 mm per tahun. Adapun suhu udara rata-rata 20 o – 28 C o.
Sesuai dengan lokasi dan kondisi topografinya kawasan TNBNW,
sebagaian besar merupakan hulu sungai yang mengalir ke arah utara, selatan,
ke barat maupun ke timur. Beberapa daerah aliran sungai di TNBNW yaitu :
12
DAS Ongkag – Dumoga dan DAS Mongondow yang sebagaian besar wilayahnya
terdapat di Kabupaten Bolaang Mongondow. Sungai-sungai yang mengalir ke
arah timur yaitu : S.Toraut, S. Tumpa, S. Kosinggolan dan S. Binuanga di wilayah
Bolaang Mongondow. Sungai-sungai yang mengalir ke arah selatan yaitu:
S.Pinolosian, S. Sulango, S.Toludaa di wilayah Bolaang Mongondow serta S.
Tombolilato, S. Bilunggala di wilayah Gorontalo. Sungai-sungai yang mengalir ke
arah barat yaitu : S. Bone, S. Palanggua, dan S. Lolio di wilayah Gorontalo.
Tabel 1. Rata-rata Curah Hujan Bulanan di sekitar TNBNW (Tahun 1996 -2003)
Tahun (mm) Bulan
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
November
Desember
123
203
305
241
195
326
284
559
558
641
820
164
341
751
305
315
827
267
348
352
199
139
222
262
47
54
92
14
66
3
24
-
-
14
40
61
17
16
62
89
132
171
20
85
77
46
137
116
304
157
610
332
621
315
295
165
91
152
201
185
809
1.018,5
1.132,5
2.594
1.091,8
625,4
721,5
829,5
609
1.524,5
1.027
943,5
1.766
2.250
819
842
648,5
1.451
557
514,5
751
424,5
3.377
3.519
579
19
72,6
42,4
35,3
144
7,16
2,16
0,73
38,93
-
-
Sumber : Bolaang Mongondow dalam angka 2003
Saat ini di beberapa sungai telah dibangun bendungan yang digunakan
untuk irigasi. Bendungan-bendungan tersebut yaitu bendungan Kosinggolan dan
Toraut di wilayah kecamatan Dumoga, bendungan Lolak di kecamatan Labuan
Uki yang ketiganya berada di Kabupaten Bolaang Mongondow. Sedangkan di
sungai Bone Kabupaten Gorontalo masih dalam perencanaan untuk dibangun
jaringan irigasi. Adanya bendungan Kosinggolan dan Toraut, kecamatan Dumoga
pada saat ini merupakan lumbung beras andalan Provinsi Sulawesi Utara, dan
merupakan daerah sentral ekonomi yang penting bagi Kabupaten Bolaang
Mongondow.
13
Keadaan Tanah
Tanah dalam kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berasal
dari bahan vulkanis seperti dijumpai di bagian timur dan tengah dan sebagaian
asam seperti di daerah Bone. Tanah berasal dari bahan sedimen dijumpai di
bagian utara dan selatan Dumoga. Formasi kaolin yang merupakan bahan
keramik dapat dijumpai di daerah Molibagu. Jenis tanah yang terdapat di
kawasan ini antara lain latosol, podsolik, renzina, alluvial dan andosol. Formasi
batuan vulkanis terdapat di sebelah timur dan selatan lembah Dumoga
membentuk rangkaian pegunungan ke pantai utara di Labuan Uki. Sedang di
bagian selatan di Gunung Mogogonipa membentuk gunung-gunung kecil yang
terdiri dari batuan lava, konglomerat dan breccia.
Potensi Kawasan TNBNW
Kawasan TNBNW memiliki keanekaragaman ekosistem yang menarik
dan mempunyai tingkat keendemikan flora dan fauna yang tinggi. Hal ini
disebabkan oleh kisaran ketinggian tempat yang beragam mulai dari 50 – 1970 m
dpl. Hampir seluruh kawasan TNBNW ditutupi oleh hutan dataran rendah dan
hutan pegunungan bawah, namun dengan tingkat kelerengan yang tinggi
ditunjang dengan kondisi tanah subur yang tipis, membuat kanopi atau tegakan
tampak rendah dan sedikit terbuka. Pada kawasan TNBNW ditemukan 4(empat)
tipe ekosistem yang utama, yaitu hutan sekunder, hutan hujan dataran rendah
(hutan pamah), hutan hujan pegunungan rendah, dan hutan lumut.
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat
Keberadaan penduduk yang berada di sekitar taman nasional mempunyai
peranan penting terhadap keberadaan taman nasional. Hal ini disebabkan
karena salah satu fungsi taman nasional sebagai pengatur hidrologis dan
penyangga sistem kehidupan. Masyarakat yang berada di sektar taman nasional
hampir seluruhnya tinggal di desa-desa yang memiliki sarana dan prasarana
yang terbatas. Jarak antara desa ke ibukota kabupaten berjarak 30 – 80 km.
Data tahun 2003 menyebutkan jumlah penduduk yang ada di sekitar taman
nasional, keseluruhan berjumlah 326.545 orang, terdiri dari 168.221 laki-laki dan
158.324 perempuan dengan laju pertumbuhan per tahun 1,4% (BPS, 2003).
14
ANALISIS VEGETASI DI KAWASAN TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE
ABSTRAK
Sebagai salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone yang ditetapkan pada tahun 1991 dengan luas 287.115 hektar mempunyai tiga fungsi utama, yaitu fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, fungsi pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan alam dan satwa liar, serta fungsi pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Tujuan penelitian untuk mengetahui struktur vegetasi, komposisi dan keanekaragaman floristik di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Manfaat penelitian, sebagai bahan masukan bagi pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah (PEMDA) setempat dalam penyusunan pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, dan dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di Indonesia. Berdasarkan inventarisasi pada petak-petak di 5 lokasi TNBNW tercatat sebanyak 307 jenis flora yang tergolong kedalam 288 marga dan 165 suku. Komposisi floristik hutan Doloduo, G.Kabila, Torout, Matayangan dan Tumokang di TNBNW menunjukkan banyak kesamaan, dengan keanekaragaman yang cukup tinggi. Lokasi Gunung Kabila mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi (3,98) untuk tingkat semai atau tumbuhan bawah, dan tingkat sapihan (3,82) sedangkan untuk tingkat tiang dan flora tingkat pohon, lokasi hutan Tumokang mempunyai indeks keanekaragaman tertinggi yaitu (3,73) dan (3,81).
ABSTRACT As one of natural conservation area, Bogani Nani Wartabone National
Park that established in 1991, is 287.115 hectare in width and has three major functions that are living buffer sistem protection, diversity preservation for plant and wild animal, and sustainable use of natural resources and the ecosistem. The objectives of research are to study vegetation structure, composition and floristik diversity in Bogani Nani Wartabone National Park. The research was expected useful as input for the government, particularly Forestry Departemen and lokal government in order to make a management plan for Bogani Nani Wartabone National Park, and for biodiversity conservation activities in Indonesia. According to stocktaking on plots for 5 locations, TNBNW has 307 kind of flora that classified into 288 genus and 165 families. Forest floristik composition for Doloduo,M. Kabila, Torout, Matayangan and Tumokang in TNBNW high degree of similarities, with sufficient high of diversity. Kabila mountain shows the highest diversity index (3,98) for seedling level or low plant, and sapling level (3,82) while for pole level and tree level, Tumokang forest has the highest diversity index namely 3,73 and 3,81.
Key word : Vegetation analysis, Flora, Bogani Nani Wartabone National Park
15
PENDAHULUAN
Indonesia dengan kekayaan sumberdaya alamnya yang melimpah
termasuk keanekaragaman jenis flora dan faunanya sudah selayaknya disebut
sebagai negara “Mega biodiversity” .Keanekaragaman hayatinya terbesar ketiga
di dunia setelah Brazil dan Colombia (McNeely,1990). Satari (1994)
mengemukakan bahwa Indonesia memiliki hutan tropik seluas 120 juta hektar
yang dikenal sebagai komunitas yang paling kaya akan keanekaragaman flora
dan fauna serta merupakan gudang plasma nutfah endemik yang dapat
dimanfaatkan untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Zuhud (1994), mengatakan bahwa di dalam hutan Indonesia terdapat
25.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut baru 20 % atau 5000 jenis yang
sudah dimanfaatkan dalam berbagai pemanfaatan termasuk 1260 jenis yang
dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat. Selanjutnya Direktorat Tanaman
Sayuran, Hias, Aneka Tanaman (2002) mengemukakan bahwa hutan tropika
Indonesia memiliki kekayaan jenis palem (Arecaceaee) terbesar di dunia,
memiliki 400 spsies anggota famili Dipterocarpaceae, primadona kayu tropika.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa hutan tropis Indonesia merupakan
sumberdaya alam bahan kimia yang masih menunggu untuk dievaluasi guna
menemukan bahan-bahan kimia baru yang potensial untuk bio-industri farmasi,
pertanian, dan sebagainya.
Sebagai konsekwensinya, Indonesia mendapat tantanggan yang sangat
berat untuk memelihara kekayaan sumberdaya hayati tersebut dan
mengembangkan peranannya bagi pembangunan. Sampai saat ini untuk
keperluan pembangunan, Indonesia masih bertumpu kepada pemanfaatan
sumberdaya alam yang ada.
Untuk mengelola keanekaragaman hayati secara optimal, diperlukan
strategi yang disusun berdasarkan pada potensi keanekaragaman hayati dan
permasalahan yang dihadapinya. Strategi yang dapat dikembangkan mencakup
tiga aspek yang saling berhubungan, yaitu : mengamankan (save it), mempelajari
(study it) dan memanfaatkan (use it) (Alikodra,1992).
Taman Nasional Bogani-Nani Wartabone (TNBNW) yang merupakan
salah satu kawasan hutan tropis Indonesia telah sejak lama menjadi pusat
perhatian para ahli botani maupun Zoologi dari seluruh dunia atas keunikan dan
16
kekhasan flora dan faunanya karena kawasan tersebut merupakan peralihan
antara Zona Malaysia dan Australia yang dikenal dengan "Wallacceae Area".
Sebagai salah satu bentuk kawasan pelestarian alam, Taman nasional
Bogani Nani Wartabone yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan No.1068/Kpts-II/1992 tanggal 18 november 1992 dengan luas
kawasan 287.115 hektar. Secara geografis terletak antara 0025’ – 0044’ LU dan
16024’ – 16040’ BT. Sedangkan secara administrative pemerintahan terletak di
dua wilayah yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow dan Provinsi Gorontalo.
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone mempunyai tiga fungsi utama,
yaitu fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, fungsi pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan alam dan satwa liar, serta fungsi pemanfaatan
secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone merupakan habitat
dari 127 jenis mamalia Sulawesi, 79 (62%) di antaranya merupakan jenis
endemik, juga terdapat 235 jenis burung darat, 84 jenis (36%) di antaranya unik;
dan dari 104 jenis reptilia, 29 (28%) di antaranya endemik Sulawesi; 17 dari 38
(45%) jenis tikus asli; 20 dari 24 (83%) jenis kelelawar buah. Inilah yang
membuat kawasan ini merupakan salah satu kawasan konservasi terpenting di
dunia secara umum dan khusus Sulawesi bagi keanekaragaman biologi atau
keanekaragaman hayati (Lee R.J. et al. 2001 ).
Penelitian di kawasan ini telah banyak dilakukan namun lebih banyak
terfokus pada fauna dibanding floranya, sehingga data mengenai floranya masih
terbatas. Padahal menurut Whitmore (1989) di kawasan Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone terdapat sekitar 27 suku,40 marga dan 76 jenis pohon endemik.
Sedangkan dalam Kinnaird(1995) dikatakan bahwa di kawasan ini juga terdapat
5000 jenis tumbuhan yang belum diketahui secara pasti penyebaran dan
kelimpahannya.
Melihat kekayaan dan potensi yang tersimpan di dalam kawasan
TNBNW, sudah seharusnya dilakukan upaya bioprospeksi. Bioprospeksi pada
prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian, pengumpulan, ekstraksi, dan
pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan tradisional untuk mendapatkan
materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai ekonomi tinggi.
Kegiatan ini penting untuk mendokumentasi sumberdaya genetik
keanekaragaman hayati sebelum ada pihak lain yang tidak bertanggung jawab
mengeksploitasi habis kekayaan tersebut, sekaligus mencari sumber bagi
17
keuntungan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu keanekaragaman, struktur
dan komposisi vegetasi sebagai komponen utama habitat perlu dikaji dan
dianalisa.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dilakukan penelitian untuk
mengetahui struktur vegetasi, komposisi dan keanekaragaman flora dI sekitar
kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur vegetasi, komposisi
dan keanekaragaman floristik guna pengelolaan tingkat ekosistem, spesies dan
gen di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone .
Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi
pemerintah, khususnya Departemen Kehutanan dan Pemerintah Daerah
(PEMDA) setempat dalam penyusunan pengelolaan Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone,dan dalam kegiatan konservasi keanekaragaman hayati di
Indonesia.
Hipotesis
Penelitian ini dilandasi hipotesis, bahwa Taman Nasional Bogani
Nani Wartabone memiliki keanekaragaman flora yang tinggi.
18
TINJAUAN PUSTAKA
Flora merupakan kumpulan jenis tumbuhan yang terdapat dalam suatu
daerah tertentu, sedangkan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang terdiri atas
individu-individu jenis atau kumpulan populasi jenis disebut vegetasi (Samingan
1989). Menurut Kusmana (1989), bentuk suatu vegetasi merupakan pencerminan
dari iklim, tanah, topografi, dan ketinggian yang saling berinteraksi. Setiap jenis
tumbuhan membutuhkan kondisi lingkungan yang spesifik untuk dapat tumbuh
dan berkembang dengan baik. Perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu
akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi jenis tumbuhan terutama
dari segi kelimpahan, pola penyebaran, asosiasi dengan jenis lain serta kondisi
pertumbuhan yang berbeda dengan jenis lainnya. Interaksi dari faktor-faktor
lingkungan tersebut dapat digunakan sebagai indikator penduga sifat lingkungan
yang bersangkutan (Setiadi et al., 2001).
Aspek penting dalam analisis vegetasi adalah struktur dan komposisi
tumbuhan pada suatu wilayah penelitian. Dalam mengungkapkan struktur dan
komposisi vegetasi, metode sampling yang paling popular digunakan adalah
metode kuadrat atau metode plot atau petak ukur karena dianggap lebih
representatif dibandingkan dengan metode lain. Dalam penerapan metode
kuadrat, ukuran dan jumlah kuadrat merupakan faktor penting yang
mempengaruhi tingkat kepercayaan hasil analisis vegetasi tersebut. Ukuran
kuadrat minimal menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974) khusus untuk
zona temperate adalah 200 – 500 m2. Menurut Richards (1964), untuk kawasan
hutan hujan tropika penerapan petak ukur tunggal telah dapat dilakukan dengan
hasil yang representatif jika luasnya hanya mencapai 1,5 ha, bahkan menurut
Soerianegara dan Indrawan (1984) petak ukur seluas 0,6 ha sudah cukup
mewakili kawasan hutan hujan tropika yang diteliti. Ukuran kuadrat minimal pada
ekosistem yang berbeda-beda harus disesuaikan dengan kondisi lingkungannya.
Struktur dan komposisi komunitas merupakan salah satu aspek penting untuk
mengungkapkan bagaimana kondisi suatu komunitas tersebut dalam sistem
kehidupan terutama organisasi populasi dan interaksinya masing-masing.
Struktur tumbuhan merupakan organisasi dimana individu-individu membentuk
suatu tegakan atau perluasan suatu tipe tegakan membentuk asosiasi secara
keseluruhan. Elemen penting dalam struktur tumbuhan adalah bentuk
pertumbuhan (Growth form), stratifikasi dan penutupan tajuk (coverage) (Mueller-
19
Dombois dan Ellenberg ,1974). Lebih lanjut Kershaw (1964) membedakan tiga
komponen struktur vegetasi yaitu : (1) struktur vertikal (stratifikasi ke dalam
lapisan-lapisan menurut ketinggian), (2) struktur horizontal yaitu distribusi ruang
areal populasi dan masing-masing individu, (3) jumlah struktur yaitu kelimpahan
masing-masing jenis dalam komunitasnya.
Secara umum hutan hujan tropika memiliki ciri yang hampir sama yaitu :
(1) iklimnya selalu basah, (2) tanahnya kering dengan berbagai jenis tanah (3)
berlokasi di daerah pedalaman dataran rendah atau berbukit ( <1000 m dpl) atau
pada dataran tinggi sampai dengan 4000 m dpl, (4) secara umum dapat
dibedakan menjadi tiga zona menurut ketinggian tempatnya yaitu : hutan hujan
bawah (2 – 1000 m dpl) ; hutan hujan tengah (1000 – 3000 m dpl) dan hutan
hujan atas (3000 – 4000 m dpl), (5) Pada hutan hujan bawah, jenis yang
dominan adalah yang tergolong marga shorea, Hopea, Dipterocarpus , Vatica,
jenis pohon sebesar 3,99 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,96.
6. Hutan Matayangan ditemukan 39 jenis pohon dengan jenis dominan
Canarium hirtusum (INP=32,06). Indeks diversitas jenis pohon sebesar 3,99
sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,96.
7. Lokasi Gunung Kabila terdiri dari 35 jenis pohon dengan jenis dominan
Dracontomelon dao (INP = 27,81). Indeks diversitas jenis pohon sebesar
3,98 sedangkan indeks kemerataan sebesar 0,95.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian unit-unit sampling di lokasi lain (kawasan
konservasi I) meliputi struktur dan penyebaran tumbuhan di TNBNW.
2. Khusus untuk pengelolaan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone agar
dilakukan sesuai dengan tujuan pengelolaannya.
45
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN OBAT DAN PEMANFAATANNYA OLEH MASYARAKAT
DI SEKITAR TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE
ABSTRAK HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Keanekaragaman Tumbuhan Obat dan Pemanfaatannya oleh Masyarakat Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Dibimbing oleh DEDE SETIADI. LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI.
Seiring dengan berkembangnya trend kembali ke alam atau “Back to nature” penggunaan obat tradisional terutama yang berasal dari tumbuh-tumbuhan juga terus meningkat. Pada dasarnya pemanfaatan obat tradisional mempunyai tujuan untuk menjaga kondisi tubuh (promotif), mencegah penyakit (preventif), maupun untuk menyembuhkan suatu penyakit (usaha kuratif) dan untuk memulihkan kondisi tubuh (usaha rehabilitasi). Tujuan Penelitian ini untuk menggali informasi bagaimana masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memanfaatkan keanekaragaman spesies tumbuhan hutan untuk pengobatan penyakit. Manfaat penelitian ini yaitu mengungkapkan pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai obat tradisional dalam rangka melestarikan warisan nilai-nilai budaya leluhur, meningkatkan kemampuan masyarakat untuk ikut berperan serta dalam pembangunan kesehatan., menjadi rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 121 jenis tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat oleh masyarakat di TNBNW, terdiri atas 57 suku. Jenis tumbuhan yang paling banyak digunakan tergolong pada suku Euphorbiaceae, Labiatae, Verbenaceae, Araceae, dan Asteraceae.
ABSTRACT HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Medicine plant diversity and the use by community in Bogani Nani Wartabone National Park. Under the direction of DEDE SETIADI, LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI.
Following trend to back to the nature, the use of tradistional medicine particularly from plant sources has increasing. Basically, the objectives in using traditional medicine is to maintain the body condition (supportive), to prevent disease(preventive), and to cure a disease (curative) and also to recover body condition (rehabilitation efforts). The research’s objectives are to explore information concerning how the lokal community of Bogani Nani Wartabone National Park uses forest plant species diversity to cure any diseases. The research was expected useful to describe community knoeledge concerning plant use as traditional medicine in terms to conserve traditional culture value heritage, increasing community ability to contribute in health development and as recommendation for further research. The research shows that there are 121 kind of plant that uses as medicine plant by community around TNBNWB, including 57 sub family. The most abundance plant was claafied as sub family of Euphorbiaceae, Labiatae, Verbenaceae, Araceae, and Asteraceae. Key words : Medicine plant diversity, utilization, community, Bogani Nani
Wartabone National Park.
46
PENDAHULUAN
Bumi Indonesia merupakan salah satu “Mega Center” keanekaragaman
hayati dunia, terdapat 25.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut baru 20
% atau 5000 jenis yang sudah dimanfaatkan dalam berbagai pemanfaatan
termasuk 1260 jenis yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat (Rosoedarso,et
al. 1990; Zuhud, 1994). Selanjutnya Zuhud et al., pada tahun 2000 mencatat
bahwa tidak kurang dari 1845 jenis tumbuhan obat telah berhasil diidentifikasi
yang tersebar di berbagai formasi hutan dan ekosistem alam lainnya, 180 jenis di
antaranya merupakan tumbuhan obat yang saat ini digunakan dalam jumlah
besar sebagai bahan baku industri obat tradisional Indonesia.
Akarele (1991) menyatakan bahwa 74% dari 121 bahan senyawa aktif
yang telah menjadi obat-obat moderen yang penting di USA seperti digitoxin,
reserpin, tubercurarine dan ephedrine berasal dari pengetahuan obat radisional
di kawasan-kawasan hutan tropika.
Masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan hutan
dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional
yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat. Setiap kawasan hutan alam
sesungguhnya telah menyediakan keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan
yang dapat mendukung kehidupan masyarakat sekitarnya dan menyediakan
materi biologi untuk bermacam ragam manfaat, antara lain berupa
keanekaragaman jenis tumbuhan obat untuk mengobati berbagai penyakit,
keanekaragaman bahan untuk pangan, dan lain-lain. Sebaliknya sudah banyak
diketahui bahwa setiap etnis memiliki pengetahuan tradisional dalam
pemanfaatan keanekaragaman hayati, antara lain dalam penggunaan
keanekaragaman tumbuhan obat untuk mengobati berbagai penyakit yang
mereka derita.
Kearifan tradisional masyarakat adat menyimpan kekuatan upaya
konservasi sumberdaya hayati. Salah satu faktor penghambat usaha
perlindungankeanekaragaman hayati adalah miskinnya data tentang sumberdaya
hayati Indonesia. Bagi Indonesia, sumberdaya dan keanekaragaman hayati
sangat penting dan strategis artinya bagi keberlangsungan hidupnya sebagai
bangsa. Bukan hanya karena posisinya sebagai negara pemilik keanekaragaman
hayati terbesar di dunia tetapi juga karena keterkaitannya yang erat dengan
keanekaragaman budaya lokal yang telah lama berkembang di negeri ini.
47
Pengetahuan tradisional dari masyarakat Indonesia ini merupakan aset
dalam pengelolaan adatif pelestarian pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan obat
asli Indonesia di masing-masing wilayah, sesuai karakteristik sumberdaya
tumbuhan obat dan masyarakat di masing-masing wilayah Indonesia.
Obat tradisional sejak lama telah dimanfaatkan oleh masyarakat
Indonesia pada umumnya, namun sebagaian besar pemanfaatan tersebut hanya
bersifat empiris berdasarkan tradisi dan kepercayaan. Adanya kepercayaan
masyarakat bahwa obat tradisional yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan relatif
aman, walaupun data ilmiah yang mendukung efektivitas dan keamanannya
belum lengkap, hal ini karena khasiat yang diberikan oleh obat tradisional
merupakan resultan dari berbagai campuran kompleks zat kimia alami di
dalamnya, bahan aktif yang satu dapat bekerja sinergis dengan yang lain, namun
ada pula yang bersifat antagonis yang menyeimbangkannya, sehingga relatif
tidak akan menimbulkan efek samping yang besar dibandingkan obat-obatan
modern.
Pemakaian obat tradisional mempunyai banyak keuntungannya antara
lain (1) efek samping tanaman obat tidak ada jika penggunaanya sesuai anjuran
(2) efektif untuk penyembuhan penyakit tertentu yang sulit disembuhkan dengan
obat-obat kimia seperti kanker, tumor, darah tinggi, diabetes, dan lain-lain (3)
murah, karena umumnya dapat diperoleh di pekarangan atau tumbuh liar di
kebun di sekitar kita (4) pengobatan umumnya dapat dilakukan oleh anggota
keluarga.
Obat tradisional yang merupakan warisan budaya dan telah menjadi
bagian integral dari kehidupan bangsa Indonesia, diinginkan untuk dapat dipakai
dalam sistem pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu harus sesuai dengan kaidah
pelayanan kesehatan yaitu secara medis dapat dipertanggungjawabkan. Guna
mencapai hal itu perlu dilakukan pengujian ilmiah tentang khasiat, keamanan dan
standard kualitasnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, dirasa perlu untuk melakukan
inventarisasi tumbuhan obat, meliputi identifikasi jenis, populasi, penyebaran,
deskripsi; khasiat dan penggunaan secara tradisional, serta melakukan
konservasi agar jenis yang sudah langka dan endemik dapat dilestarikan.
48
Tujuan Penelitian 1. Mempelajari bagaimana masyarakat sekitar Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone memanfaatkan keanekaragaman jenis tumbuhan hutan untuk
pengobatan penyakit.
2. Menguji jenis tumbuhan obat yang paling berpotensi untuk dikembangkan
lebih lanjut.
Hipotesis Penelitian Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki beranekaragam tumbuhan
yang berpotensi untuk tumbuhan obat.
Manfaat Penelitian 1. Mengungkapkan pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan
sebagai obat tradisional dalam rangka melestarikan warisan nilai-nilai
budaya leluhur.
2. Menjadi rekomendasi bagi penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan
masalah dalam penelitian ini
49
TINJAUAN PUSTAKA
Keanekaragaman Tumbuhan Obat
Bumi Indonesia kaya akan sumberdaya alam hayati, termasuk bahan
obat-obatan alami yang dapat dipergunakan untuk pengobatan secara
tradisional. Terutama di daerah pedesaan yang memiliki fasilitas pengobatan
modern sangat terbatas, sehingga upaya pemeliharaan kesehatan melalui
pengobatan tradisional memegang peranan penting dan bahkan merupakan
porsi dominan (Simbala,1997).
Menurut Zuhud dan Siswoyo (2001), di hutan tropika Indonesia terdapat
sekitar 30.000 – 40.000 jenis tumbuhan berbunga, jauh melebihi jumlahnya di
daerah-daerah di Amerika Selatan dan Afrika Barat. Selanjutnya dikemukakan
bahwa, jumlah jenis tumbuhan di setiap formasi hutan sangat bervariasi.
Misalnya pada hutan dataran rendah Dipterocarpaceae di Kalimantan dijumpai
239 jenis pohon per 1,5 hektar dengan diameter > 10 cm dan 28 jenis pohon per
hektar pada hutan kerangas yang tumbuh pada tanah pasir putih atau tanah
podsol . Jumlah ini belum termasuk bentuk kehidupan lainnya, seperti herba,
semak, liana, paku-pakuan, epifit, cendawan dan jasad renik lainnya. Keaadaan
tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu gudang keanekaragaman
hayati penting di dunia. Keanekaragaman tumbuhan obat yang terhimpun
dalam berbagai formasi hutan Indonesia merupakan aset nasional yang tak
terhingga nilainya bagi kesejahteraan umat manusia.
Sampai saat ini, tidak ada catatan yang pasti mengenai jumlah tumbuhan
yang telah dimanfaatkan sebagai obat di Indonesia. Berdasarkan catatan WHO,
lebih dari 20.000 jenis tumbuhan obat yang digunakan oleh seluruh penduduk
dunia. Burkill 1965, diacu dalam Zuhud et al. 2001, mencatat bahwa tidak
kurang dari 1650 jenis tumbuhan di Semenanjung Malaya yang dinyatakan
mempunyai khasiat sebagai obat. Seandainya 11 % total keanekaragaman di
dunia terdapat di Indonesia, maka paling sedikit terdapat 2200 jenis tumbuhan
obat terdapat di Indonesia. Menurut catatan Kooders (1911) diacu dalam Zuhud
(1994), hutan di Indonesia memiliki jumlah jenis tumbuhan obat tidak kurang dari
9606 jenis. Sedangkan menurut PT. Eisai Indonesia telah menghimpun data
berupa indeks tumbuh-tumbuhan obat Indonesia sebanyak 3689 jenis. Namun
50
demikian dalam studi itu hanya dikemukakan 1260 jenis tumbuhan obat yang
secara pasti diketahui berasal dari hutan tropika Indonesia.
Berdasarkan hasil kajian yang pernah dilakukan sampai tahun 2000
ditemukan tidak kurang dari 1.845 jenis tumbuhan obat yang sudah diidentifikasi
(Zuhud, et al 2001; Anonim 2002). Kekayaan jenis tumbuhan obat yang terdapat
di hutan tropis Indonesia berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan yang telah
berhasil diidentifikasi dan diinventarisasi oleh Program Penelitian Tumbuhan
Obat Hutan Indonesia FAHUTAN IPB tidak kurang dari 1800 jenis tumbuhan
obat, di antaranya lebih dari 250 jenis saat ini dieksploitasi dari hutan untuk
bahan baku industri obat tradisional di Indonesia. Diperkirakan pula tidak kurang
dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan
dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional
yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat.
Pemanfaatan tumbuhan obat oleh masyarakat di sekitar Taman Nasional
Bogani Nani Wartabone telah dilakukan sejak tahun 1992. Hasil inventarisasi
Pangemanan-D (1992), di Kabupaten Bolaang Mongondow terdapat 169 jenis
tumbuhan obat, 20 % di antaranya berasal dari kawasan TNBNW . Selanjutnya
Zuhud (1994) mencatatat bahwa terdapat 99 jenis tumbuhan obat yang
dimafaatkan sebagai obat, tapi hanya 11 jenis yang berasal dari hutan TNBNW.
Setahun kemudian Nasution (1995) berhasil menginventarisasi 51 jenis
tumbuhan obat di kawasan Kotamobagu yang terletak di sebelah Timur kawasan
TNBNW. Pada tahun 2004 Simbala dan kawan-kawan mencatat 65 jenis
tumbuhan obat yang digunakan oleh masyarakat Suku Bogani Kabupaten
Bolaang Mongondow. Dari hasil penelitian terdahulu, terlihat bahwa kajian aspek
ekologi maupun etnobotani di kawasan TNBNW masih sangat terbatas bahkan
belum ada yang mengungkapkan kajian dari dua sudut pandang kajian ekologi
dan etnobotani secara bersamaan.
Setiap kawasan alam sesungguhnya telah menyediakan
keanekaragaman hayati tumbuhan dan hewan yang mendukung kehidupan
masyarakat sekitarnya dalam menyediakan materi biologi untuk bermacam
ragam manfaat, antara lain keanekaragaman tumbuhan obat untuk mengobati
berbagai macam penyakit, keanekaragaman bahan pangan, dan lain-lain
(Simbala, 1998). Menurut Achmad (2003), berbagai bahan obat yang berasal
dari tumbuhan hutan tropis, terutama yang berhasiat untuk pengobatan penyakit
degeneratif seperti rematik. jantung/ hipertensi dan antifertilitas yang bermanfaat
51
telah ditemukan dan diuji bioaktifitasnya. Bahan kimia yang bersumber dari
tumbuhan yang telah digunakan untuk antihipertensi di antaranya resinamin dan
reserpin dari Rauwolfia serpentina Benth, dan deserpidin dari R. tetraphylla L.
(Apocynaceae); untuk terapi penyakit jantung dipakai bahan kimia seperti
kuabain dari Strophanthus gratus Baill. (Apocynaecae); dan untuk terapi diuretic
dan vasodilator dipakai teobromin dari Theobroma cacao L. termasuk suku
Sterculiaceae. Sedangkan bahan kimia asal tumbuhan yang dapat dipakai
sebagai antifertilitas telah banyak dikaji di antaranya Levo gossypol sebagai agen
antifertilitas pada pria berasal dari Gossypium jenis (Malvaceae). Ekstrak etanol
dari Artemisia absinthium, dan Schubertia multiflora sebagai antifertilitas, dan
Ruta graveolus dapat menyebabkan keguguran (Rao, 1988); dan sebaliknya
Phenylethanoid glycosides dari herba Cistanchis dipakai untuk pergobatan bagi
impotensi dan fungsi vital ginjal (Tu, et al, 1997).
Senyawa kristalin yang diketahui sebagai daucosterol, cumanbrin-A,
acacetin, glyceryl-1- monobehenate dan asam palmitik (chrysanthemol) yang
diisolasi dari bunga-bunga Chrysanthemum indicum, chrysanthemol anti
inflamasi pada tikus (Yu, et al, 1987); dan thalicsiline dari Thalictrum sessile (Wu
et al, 1988).
Pemanfaatan Tumbuhan Obat dan Pelestariannya
Tumbuhan obat menurut Zuhud (1994) adalah seluruh jenis tumbuhan
obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat, yang
dikelompokkan menjadi: (1) tumbuhan obat tradisional, yaitu jenis tumbuhan
yang diketahui mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan
baku obat tradisional. (2) tumbuhan obat modern , yaitu jenis tumbuhan yang
secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa/bahan bioaktif yang
berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara
medis dan (3) tumbuhan obat potensial, yaitu jenis tumbuhan yang diduga
mengandung senyawa/bahan bioaktif yang berkhasiat obat, tetapi belum
dibuktikan secara ilmiah-medis atau penggunaannya sebagai bahan obat
tradisional masih ditelusuri. Tumbuhan Obat adalah tumbuhan yang berkhasiat
obat yaitu menghilangkan rasa sakit, meningkatkan daya tahan tubuh,
membunuh bibit penyakit dan memperbaiki organ yang rusak serta menghambat
pertumbuhan tidak norma seperti tumor dan kanker (Anonim, 2003) .
52
Tumbuhan obat dapat berupa tumbuhan liar seperti semak, belukar dan
tumbuhan, hutan, tanaman perkebunan, tanaman hias maupun tanaman
hortikultura tetapi sebagaian besar merupakan tumbuhan liar di hutan primer
maupun sekuder (Simbala, 2000),.
Penggunaan tumbuhan obat sudah dilakukan dari generasi ke generasi
selama ribuan tahun sehingga tumbuhan obat dikenal sebagai obat nenek
moyang. Berdasarkan kenyataan ini maka penggunaan tumbuhan obat sudah
merupakan bagian dari tradisi masyarakat tradisional kita (Simbala, 1999).
Catatan sejarah menunjukkan bahwa di wilayah nusantara dari abad ke 5 sampai
dengan abad ke 19, tanaman obat merupakan sarana paling utama bagi
masyarakat tradisional kita untuk pengobatan penyakit dan pemeliharaan
kesehatan (Ahmad ZA, et al. 2002).
Menurut Winarto (2002), Kerajaan Sriwijaya, Majapahit dan Mataram
mencapai puncak kejayaannya dan menyisakan banyak peninggalan yang
dikagumi dunia, yaitu produk masyarakat tradisional yang mengandalkan
pemeliharaan kesehatan dari tumbuhan obat. Tetapi dengan masuknya
pengobatan modern di Indonesia, yang ditandai dengan didirikannya Sekolah
Dokter Jawa (Stovia) di Jakarta tahun 1904, maka secara bertahap dan
sistematis penggunaan tumbuhan obat ditinggalkan. Sejalan dengan masuknya
modernisasi maka pola hidup tradisional tererosi.
Selanjutnya dikemukakan bahwa masuknya pengobatan modern
membuat masyarakat beralih dari memanfaatkan tumbuhan obat menjadi
menggantungkan diri pada obat kimia modern. Penggunaan tumbuhan obat
dianggap kuno, terbelakang dan berbahaya. Tumbuhan yang telah digunakan
secara turun temurun itupun ditinggalkan, bahkan tumbuhan obat yang telah
didomestikasi diterlantarkan. Akibatnya masyarakat umumnya tidak mengenal
tumbuhan obat dan penggunaannya karena umumnya pengetahuan tentang
tumbuhan obat hanya diketahui oleh masyarakat yang telah lanjut usia dan
umumnya tidak diturunkan ke generasi muda.
Berbeda dengan negara Indonesia, hal serupa tidak terjadi di Negara-
negara tetangga seperti RRC, Jepang, Taiwan, Hongkong, Korea dan Negara
timur lainnya. Di negara-negara tersebut pengobatan modern diterima dan
dikembangkan sedangkan pengobatan tradisional dipelihara dan dikembangkan
sangat efektif. Obat tradisional diresepkan oleh dokter dan digunakan di banyak
53
rumah sakit, sehingga pasien dapat memilih untuk menggunakan obat kimia atau
obat tradisional tumbuhan obat atau gabungan keduanya (Anonim ,2003)
Menurut Pramono (2002), dekade terakhir abad ke 20 terdapat
kecenderungan global kembali ke alam. Hal ini berarti kembali ke obat radisional.
Kecenderungan ini sangat kuat di negara-negara maju dan hal ini berpengaruh
besar di negara-negara berkembang. Saat ini obat herbal telah digunakan di
Klinik Pengobatan Tradisional RS Dr. Sutomo Surabaya dan beberapa
Puskesmas di Jombang dan Jember. Beberapa rumah sakit di Jakarta juga
sudah menyediakan obat herbal.
Kecenderungan di seluruh dunia untuk kembali ke alam, termasuk di
bidang obat-obatan. Menurut Winarto (2002), terdapat beberapa alasan
mengapa kecenderungan kembali ke obat radisional tanaman obat yaitu: adanya
kelebihan pemakaian Obat Tradisional dan kelemahan obat modern/kimia.
Kelebihan obat tradisional (1) penggunaan bahan alam kurang drastis
aktivitasnya bila dibandingkan dengan zat murni yang diisolasi dari bahan alam
yang bersangkutan. Sebagai contoh pemakaian tanin untuk diare, akan lebih
drastis dari pemakaian bahan alam yang mengandung tanin dari jambu biji (Psidii
folium), kulit batang jambolang (Syzygii cartex) dan lain sebagainya. Bahan obat
tersebut akan melepaskan tanin ke dalam saluran pencernaan secara berangsur-
angsur pula. (2) bahan obat alam mempunyai khasiat lebih lengkap apabila
dibandingkan dengan zat aktif tunggal yang dapat diisolasi dari bahan alam obat
tersebut, misalnya kulit batang kina akan lebih lengkap apabila dibandingkan
dengan alkaloid kinina saja. Hal ini disebabkan adanya zat aktif lainnya di dalam
kulit batang kina yaitu kinidia, sinkodina, sinkonidina dan sebagainya, yang
masing-masing mempunyai efek farmakologi sendiri-sendiri. Khasiat bahan alam
tersebut merupakan resultan (gabungan) khasiat dari zat-zat yang dikandungnya.
(3) bahan obat alam memberi efek samping yang sangat kecil atau dapat
dikatakan tanpa efek samping bila dibandingkan dengan zat aktif tunggal yang
didapat dari hasil isolasi dan dimurnikan dari bahan alam yang bersangkutan. Hal
ini disebabkan adanya faktor yang ada dalam bahan itu yang dapat menetralisir
efek samping yang ditimbulkan zat aktif yang dikandung dalam bahan tersebut.
Kelemahan obat tradisional yaitu bentuk sediaannya yang tidak praktis, karena
belum dalam bentuk tabelt atau kapsul yang siap diminum.
Adapun kelemahan obat modern/obat kimia yaitu (1) efek samping
langsung atau terakumulasi, ini terjadi karena obat modern terdiri dari bahan
54
kimia yang murni, baik tunggal maupun campuran. Bahan kimia bersifat tidak
organis dan murni sehingga bersifat tajam dan reaktif (mudah bereaksi)
sedangkan tubuh bersifat organis dan kompleks sehingga dengan demikian
bahan kimia bukan merupakan bahan yang benar-benar cocok untuk tubuh;
bahan kimia bukan makanan dan minuman. Konsumsi bahan kimia untuk tubuh
terpaksa dilakukan dengan berbagai batasan dan dengan pemahaman masih
dapat diterima atau ditoleransi oleh tubuh. Penggunaan bahan kimia sebagai
obat sekarang ini diakui memberi efek samping langsung atau terakumulasi. (2)
sering kurang efektif untuk penyakit tertentu, banyak penyakit yang belum
ditemukan obatnya, sehingga obat yang digunakan lebih banyak bersifat
simptomatis dan digunakan terus menerus sesuai gejalanya. Beberapa penyakit
bahkan belum diketahui penyebabnya. Sering pasien harus berulangkali berobat
tapi tidak mengalami kemajuan bahkan memburuk keadaannya. (3) harganya
mahal karena adanya faktor impor, hampir seluruh obat kimia dan bahan baku
obat kimia yang kita gunakan merupakan barang impor. Hal ini terjadi karena
untuk meproduksi obat dibutuhkan teknologi canggih, biaya dan waktu pengujian
yang cukup lama. Hal lain yang cukup signifikan yang berpengaruh pada impor
yaitu bahwa produksi obat membutuhkan kepercayaan dan sampai saat ini
kepercayaan itu sudah dikuasai oleh negara-negara tertentu yang dikenal
sebagai produsen obat.
Sejak zaman dahulu rakyat Indonesia telah mengenal berbagai jenis
tumbuhan obat dan memanfaatkannya untuk menjaga kesehatan dan
pengobatan penyakit. Pemanfaatan obat tersebut diperoleh berdasarkan
pengetahuan secara empirik dan kemudian dipraktekkan secara turun temurun
serta menjadi tradisi yang khas di setiap daerah dan suku di Indonesia. Ratusan
etnis atau suku bangsa yang terdapat di Indonesia masih hidup secara
tradisional. Kehidupan mereka sangat erat dengan alam, khususnya
pemanfaatan tumbuhan obat dari ekosistem hutan alam. Kekhasan ini selain
disebabkan oleh kondisi geografis daerah terutama vegetasi dari masing-masing
wilayah, juga disebabkan oleh perbedaan budayanya (Simbala, 1998).
Aspek-aspek yang harus diperhatikan dalam mengungkap sistem
pengetahuan masyarakat adalah pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan
kearifan, kepercayaan, persepsi, dan pengetahuan (Purwanto, 2003). Menurut
Toledo (1992), terdapat dua hal dalam mempelajari sistem pengetahuan yang
ideal, yaitu ilmu pengetahuan (science) dan kearifan (wisdom). Ilmu
55
pengetahuan lebih mengutamakan justifikasi, sedangkan kearifan berdasarkan
pada pengalaman pribadi. Ilmu pengetahuan memandang sebagai konfirmasi,
sedangkan kearifan memandang pengetahuan pribadi sebagai petunjuk untuk
memperoleh pengalaman pribadi.
Pengertian tentang kepercayaan memegang peranan penting dalam
melakukan pendekatan secara integratif dalam mempelajari pola pikir (corpus).
Kepercayaan suatu masyarakat mencapai bentuk yang paling sistematis terdapat
pada sebuah mitos. Hal yang sama terjadi pada pengertian pengetahuan, seperti
konsep pemikiran teori ekologis mengenai proses produksi berkelanjutan yang
hanya dapat dicapai apabila keseimbangan ekosistem terpelihara dengan baik.
Oleh karena itu untuk menganalisis corpus dari pemikiran para informan, harus
dilakukan pengabungan antara sistem kepercayaan dan persepsi masyarakat
(Purwanto, 2003).
Sistem kognitif atau kesadaran, merupakan komponen terakhir yang
harus diperhatikan dalam mempelajari korpus. Sistem ini mempunyai kontribusi
penting untuk memahami dimensi korpus. Oleh karena itu seorang etnoekolog
harus mampu menggali informasi sistem pengetahuan lokal terhadap
sumberdaya alam dan lingkungannya (Purwanto, 2003).
Menurut Zuhud (1994), pengobatan tradisional adalah salah satu upaya
pelayanan kesehatan yang dapat membantu meringankan beban pemerintah.
Selanjutnya dikemukakan bahwa dalam upaya mencapai kemampuan hidup
yang sehat bagi setiap penduduk, pemerintah menyelenggarakan berbagai
upaya kesehatan dengan peran aktif masyarakat. Masyarakat diharapkan
mampu menolong diri dan keluarganya dengan pengobatan tradisional melalui
pemanfaatan berbagai tumbuhan obat sebelum mendapatkan pelayanan dari
puskesmas atau rumah sakit. Pengobatan tradisional secara langsung atau tidak
langsung mempunyai ikatan dengan upaya pelestarian pemanfaatan
sumberdaya alam hayati, khususnya tumbuhan obat. Kaitan tersebut dapat
dilihat dari nilai-nilai yang terkandung dalam pengobatan tradisional, serta aturan
adat dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati, yang dapat dijumpai pada
masyarakat asli seperti di Kepulauan Tanimbar Key, Maluku .
Susi dan Rodani (1995) menyatakan bahwa tradisi pengobatan suatu
masyarakat tidak terlepas dari kaitan budaya setempat. Pemanfaatan
sumberdaya tumbuhan obat yang ditemukan, banyak berasal dari tumbuhan
hutan atau daerah sekitarnya yang masih tumbuh liar. Selanjutnya Nur dan
56
Iskandar (1995) mengatakan bahwa tumbuhan sebagai obat-obatan tradisional
merupakan tumbuhan yang dipercaya masyarakat mempunyai khasiat obat dan
telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. Potensi ini merupakan
aset nasional yang bernilai sangat strategis dan sangat tinggi untuk
mengembangkan manfaat baru dari berbagai hasil tumbuhan untuk kepentingan
manusia di dunia obat-obatan.
Endang (2002), mengemukakan bahwa 74 % dari 121 bahan senyawa
aktif yang telah mnejadi obat-obat modern yang penting di USA seperti digitoxin,
reserpin, tubocurarine dan ephedrin berasal dari pengetahuan obat tradisional
dari kawasan hutan tropika. Tetapi ironisnya sampai saat ini tidak satupun
masyarakat tradisional di kawasan hutan tropika memperoleh imbalan dari hasil
pengembangan dan komersialisasi pengetahuan obat tradisional mereka.
Selanjutnya menurut Zuhud (1994) masyarakat tradisional dan modern
hingga saat ini masih banyak yang menggunakan obat tradisional yang
bersumber dari alam dan sebagaian dari tumbuhan tersebut merupakan
tumbuhan obat potensial. Namun lebih lanjut dikatakan bahwa meskipun
berdasarkan penggunaannya diketahui bahwa potensi jenis tumbuhan obat
sangat tinggi, namun setiap lokasi penyebaran belum diketahui status
populasinya di alam.
Disisi lain laju kerusakan hutan (deforestasi) yang cenderung meningkat
dari tahun ke tahun dikhawatirkan akan mdengancam kelestarian jenis-jenis
tumbuhan obat di dalamnya. Ancaman punahnya pengetahuan obat tradisional
masyarakat, karena banyak yang tidak diturunkan lagi kepada generasi penerus
dan belum sempat didata (Zuhud et al., 2002).
Pengetahuan, seni, dan keterampilan tentang cara-cara pengelolaan dan
pemanfaatan tumbuhan obat tradisional bervariasi antara suku . Biasanya tidak
semua penduduk dapat memahami cara pengelolaan dan pemanfaatannya tetapi
hanya oleh segelintir masyarakat yang bisa dikenal sebagai dukun kampung.
Dukun tidak sembarangan mengajarkan atau menurunkan pengetahuan, seni
dan ketrampilannya kepada orang lain kecuali kepada keluarga. Sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akhir-akhir ini generasi muda
sekarang mulai meninggalkan seni dan pengetahuan penggunaan pengobatan
tradisional ini karena mereka menganggap sudah kuno. Akibatnya sulit
mendapatkan pewaris dukun (pengobat tradisional) yang professional. Hal ini
akan sangat memprihatinkan sebab kalau tidak segera dicatat dan
57
didokumentasikan, seni dan pengetahuan pemanfaatan tumbuhan hutan untuk
memelihara kesehatan akan lenyap (Simbala, 1998).
Menurut Zuhud et al., (2002), pelestarian pemanfaatan keanekaragaman
tumbuhan obat hutan tropika Indonesia merupakan suatu kegiatan terpadu,
melibatkan banyak institusi, berbagai disiplin ilmu dan mempunyai 3 tujuan yang
saling terkait yaitu: (1) pemanfaatan secara berkelanjutan (sustainable utilization)
keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia; (2) melestarikan
potensi keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia; (3)
mempelajari keanekaragaman tumbuhan obat hutan tropika Indonesia.
Konservasi sangat penting untuk bioprospeksi di samping
pemanfaatannya yang berkelanjutan. Apabila peningkatan kemampuan serta
berbagai keuntungan diperoleh digunakan untuk konservasi dan pembangunan
yang berkesinambungan, berarti membuka sumber pendapatan baru untuk
peningkatan nilai keanekaragaman hayati yang akan memberikan keuntungan
bagi masyarakat (Kehati, 2001).
Keanekaragaman tumbuhan selain mempunyai fungsi ekonomi bagi
kehidupan manusia, juga sangat erat hubungannya dengan fungsi ekosistem.
Dalam pengawetan suatu jenis, ekosistem berperan dalam sistem hidrologi.
Pengawetan keanekaragaman tumbuhan lebih ditekankan terhadap jenis asli
dibandingkan introduksi, karena jenis asli merupakan kunci kontribusi terhadap
fungsi ekosistem (Krebs, 2001).
Keanekaragaman kultural masyarakat merupakan bagian dari eksistensi
keanekaragaman hayati yang bersifat saling menopang yang dimanifestasikan
dalam bahasa, kepercayaan , struktur sosial, seleksi tanaman, manajemen lahan
serta sejumlah simbol kemanusiaan lainnya. Oleh karena itu keanekaragaman
kultural tersebut merupakan satu komponen utama dalam kajian strategi
konservasi keanekaragaman hayati (Zuhud et al., 2002).
Menurut Tjakrarini (2002) keberhasilan pembangunan konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, terukur dari keberhasilan
pencapaian tiga sasaran konservasi yaitu : (1) perlindungan sistem penyangga
kehidupan yaitu menjamin terpeliharanya proses ekologis di sekitarnya yang
menjamin kelangsungan kehidupan mahluk yang menunjang sistem penyangga
kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia; (2).
Pengawetan sumber plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya
keanekaragaman sumberdaya genetik dan tipe-tipe ekosistemnya, sehingga
58
mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang
memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang mengunakan sumberdaya
alam hayati bagi kesejahteraan; (3) pemanfaatan secara lestari, yaitu dengan
mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumberdaya alam hayati sehingga
terjamin kelestariannya.
59
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian Lokasi penelitian untuk pengumpulan data tumbuhan obat dan
pemanfaatannya dilakukan pada lokasi yang ditentukan secara purposive
dengan pertimbangan bahwa lokasi desa tersebut berada atau berbatasan
langsung dengan kawasan hutan TNBNW dan masyarakatnya mempunyai akses
langsung dalam memanfaatkan tumbuhan yang ada dikawasan hutan. Lokasi
yang dipilih sebagai sampel terdiri atas 3 kecamatan yaitu Dumoga utara,
Dumoga barat dan Dumoga timur. Sedangkan desa yang dipilih terdiri atas 6
desa yaitu desa Doloduo, Torout, Matayangan, Tumokang, Siniung, Kembang
Mertha. Desa Siniung dan Kembang Mertha berada di lereng G. Kabila.
Masyarakat yang tinggal di lokasi penelitian merupakan masyarakat dari
berbagai etnis/suku seperti Suku Bogani Kabupaten Bolaang Mongondow,
Gorontalo, Minahasa, Bugis, Jawa, dan Bali. Waktu pelaksanaan penelitian
dimulai bulan Agustus 2005 sampai dengan April 2006.
Bahan Penelitian dan alat penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan pembuatan
herbarium jenis flora, seperti : alkohol, kantong plastik, label, sasak bambu dan kertas
karton; daftar kuesioner responden; peralatan dokumentasi, seperti : kamera dan negatif
film; Alat Tulis Kantor (ATK).
Metode Penelitian
Proses pengumpulan data tumbuhan obat mengikuti langkah-langkah
sebagai berikut:
• Pelaksanaan penelitian diawali dengan persiapan instrumen penelitian,
perizinan ke Balai Taman Nasional BNW, dan PEMDA setempat
termasuk Tokoh Adat, tokoh Masyarakat dan Tokoh Agama.
• Observasi lapangan mencakup ekotipe hutan, ketinggian dari
permukaan laut, kelompok suku/etnik, keamanan, transportasi,
ketersediaan sarana termasuk petunjuk jalan, dukun, dll.
• Inventarisasi jenis tumbuhan dan etnobotani untuk mendapatkan koleksi
tumbuhan, akan dilakukan koleksi pada tiap lokasi yang ditentukan
secara acak (purposive random sampling).
60
• Pada masing-masing lokasi dikoleksi semua tumbuhan obat yang
ditemukan, dicatat karakteristik sampel, lokasi tempat sampel dikoleksi
(tinggi tempat di atas laut, suhu, kelembaban, keadaan tanah dan
vegetasi lain). Populasi ditentukan dan dicatat penyebarannya.
Spesimen yang dikoleksi, jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan
(baik ranting/daun, kulit batang, akar, bunga dan buah).
• Sebagaian dari spesimen dilapang disiapkan untuk pembuatan
herbarium, dimasukkan kedalam kantung plastik yang sesuai diberi
etanol (70%) untuk pengawetan dan diberi label, kemudian spesimen
dibawa ke laboratorium dikeringkan dengan oven 65o C sampai kering
selanjutnya dimounting
• Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan berdasarkan nama lokal yang
diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan masyarakat
setempat, dari hasil tersebut kemudian diidentifikasi nama ilmiahnya.
Jenis tumbuhan yang belum diketahui nama ilmiahnya, dilakukan
pembuatan Herbarium dan selanjutnya diidentifikasi bekerjasama
dengan Herbarium Bogoriense Bogor.
Data Pemanfaatan Tumbuhan Obat oleh Masyarakat
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode ethno-
directed sampling yaitu pengumpulan data material tumbuhan obat didasarkan
pada pengetahuan suatu masyarakat atau etnik. Menurut Friedberg (1993) diacu
dalam Purwanto (2002), salah satu cara pendekatan yang dianggap lebih dapat
mengungkapkan sistem pengetahuan masyarakat tentang tumbuhan obat, cara
pengobatan, tehnik peramuan dan aspek lain yang berkaitan dengan kesehatan
masyarakat adalah dengan pendekatan etnosain. Selanjutnya dikemukakan oleh
Purwanto (2002), bahwa metode ethno-directed sampling memiliki beberapa
keunggulan dalam penelitian tumbuhan obat. Cara pendekatan ini sangat cocok
diaplikasikan di Indonesia, mengingat bahwa negara kita memiliki kekayaan
keanekaragaman hayati dan budaya yang cukup tinggi.
Guna memahami lebih mendalam tentang pengetahuan masyarakat
sekitar kawasan TNBNW akan pemanfaatan tumbuhan sebagai obat, dilakukan
analisa kualitatif dan kuantitatif sehingga dapat mengungkapkan aspek-aspek
pengetahuan tradisonal masyarakat di kawasan TNBNW tentang pemanfaatan
61
tumbuhan sebagai obat. Diharapkan dengan penggabungan kedua metode
pendekatan tersebut akan diperoleh data yang lebih lengkap dan akurat terutama
dalam penelitian etnobotani tumbuhan obat di kawasan TNBNW. Penggunaan
kombinasi kedua metode tersebut akan mempermudah analisa dan diskusi
dalam membahas hubungan timbal balik antara manusia dengan sumber daya
alam yang mencakup berbagai aspek sosial, budaya, ekonomi, botani, ekologis
dan aspek lainnya.
Menurut Nasution(1988), penelitian kualitatif pada hakekatnya mengamati
orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha
memahami tentang dunia di sekitarnya. Sedangkan pengumpulan data secara
kwantitatif merupakan upaya melengkapi data kwalitatif sehingga analisis
interaksi antara manusia dengan dunia alam tumbuhan dan lingkungannya lebih
mendalam dan dapat memberikan suatu keluaran yang digunakan sebagai dasar
pengambilan keputusan sistem pengelolaan sumberdaya alam tumbuhan serta
lingkungannya. Dari sistem pengelolaan sumberdaya alam yang benar akan
diperoleh suatu hasil yang menguntungkan bagi manusia dan juga bagi
kelestarian sumber daya alam tumbuhan tersebut. Metode kwantitaif juga
berguna untuk lebih menjawab permasalahan yang dihadapi sehubungan
dengan hubungan masyarakat dengan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
lingkungannya.
Metode kwantitatif selain dapat melengkapi data kualitatif, juga dapat
mempertajam analisis “emik” yaitu suatu kerangka sistem pengetahuan lokal,
dengan analisis “etik” yaitu suatu analisis yang mengacu pada kerangka teoritis
ilmiah. Sehingga dengan kombinasi analisis emik dan etik akan diperoleh suatu
hasil yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam mengembangkan atau
membangun kelompok masyarakat atau suatu etnik di kawasan yang dipelajari.
Selain itu akan terungkap sistim pengetahuan lokal yang mungkin bermanfaat
bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karena itu salah satu cara
yang sering digunakan para peneliti etnoilmiah dalam kuantifikasi data yang
berhubungan dengan budaya atau sistem pengetahuan lokal dengan membuat
skor atau ranking yang didasarkan pada pernyataan atau pendapat masyarakat.
Selain itu dengan kombinasi “emik dan etik”, maka data yang diperoleh dapat
dideskripsikan dan dimengerti secara mendalam.
62
Moleong (1990) mengemukakan bahwa jika seseorang menggunakan
pendekatan etik, maka ia melakukan generalisasi yaitu (a) mengelompokkan
secara sistematis seluruh data yang dapat perbandingkan ke dalam sistem
tunggal; (b) menyediakan seperangkat kriteria untuk mengklasifikasikan setiap
unsur data; (c) mengorganisasikan data yang telah diklassifikasi ke dalam tipe-
tipe; (d) mempelajari, menemukan, dan menguraikan setiap data baru yang
ditemukan ke dalam kerangka sistem yang telah dibuatnya. Sebaliknya
pendekatan emik merupakan esensi yang sahih untuk satu kebudayaan pada
satu waktu tertentu.
Secara umum sudut pandang emik meliputi persepsi, sistem penamaan
(nomenclature), klasifikasi, pengetahuan, kepercayaan, peraturan dan etika
terhadap dunia tumbuhan oleh masyarakat lokal atau kelompok etnik.
Pengetahuan emik membolehkan masyarakat lokal secara individu berkelakuan
di dalam adatnya secara pantas dalam kondisi Cultural yang berbeda.
Sedangkan perspektif etik , berarti kategori yang konseptual dan organisasi
lingkungan etnobotani menurut peneliti, atau yang sering terjadi adalah jalinan
antara budaya lokal dan kaidah ilmu pengetahuan. Tujuan dari pada penelitian
emik adalah untuk mengetahui budaya yang dimiliki oleh suatu kelompok
masyarakat yang unik. Pendekatan emik di dalam studi etnobiologi, dan
klassifikasi tumbuhan dan hewan hanya dapat dipahami pada kondisi sosial
masyarakat lokal (Purwanto, 2003).
Perbedaan antara emik dan etik dari pengetahuan tentang tumbuhan
secara sistematik telah dilakukan oleh Berlin (1973). Penemuan terpenting dalam
penelitiannya bahwa terdapat tingkatan yang tinggi hubungan antara emik (folk)
generik taxa biologi dengan taxa ilmiah (etik) jenis biologi. Generik lokal (folk
generic) dibedakan berdasarkan persepsi pengklassifikasian karakter morfologi
dan perilaku, sedangkan jenis-jenis tumbuhan hasil klassifikasi ilmiah secara
teoritik, selain didasarkan pada morfologi, anatomi, juga berdasarkan kriteria
biologi reproduksi, evolusi dan bahkan sekarang dengan analisis biokimia dan
biomolekuler. Sistem pengetahuan emik masyarakat lokal merupakan sumber
yang potensial bagi pengetahuan etik sedangkan hal yang paling penting dalam
penelitian etik adalah menterjemahkan pengetahuan emik yang diperoleh peneliti
selama melakukan observasi.
63
Tehnik pengumpulan data yang dilakukan melalui 3 (tiga) yaitu (1)
observasi (2) wawacara, dan (3) studi dokumentasi/kepustakaan. Tehnik
observasi boleh dikatakan merupakan keharusan dalam pelaksanaan penelitian
kualitatif. Menurut Bungin (2003) temuan-temuan dalam studi kualitatif lebih
menjawab persoalan daripada sekedar angka-angka. Hal ini disebabkan karena
banyaknya fenomena sosial yang sulit terungkap bilamana hanya digali melalui
wawancara atau metode lain. Observasi dilakukan untuk memperoleh data
mengenai situasi dan kondisi daerah penelitian, situasi dan kondisi responden,
serta situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Tehnik wawancara merupakan tehnik yang essensial bagi peneliti
etnobotani karena dapat mengungkap berbagai informasi tentang
keanekaragaman jenis tumbuhan yang berguna, cara pemanfaatannya, aspek
ekologis masyarakat di suatu kawasan, data tersebut sangat diperlukan oleh
para perencana program konservasi. Pelaksanaan wawancara menggunaan dua
tehnik. Tehnik pertama adalah dengan menggunakan pedoman wawancara dan
kedua dilakukan dengan bebas dan terbuka (open interview). Untuk memahami
fenomena sosial yang lebih dalam, memerlukan tehnik wawancara mendalam ( in
depth interview), dalam hal ini peneliti merupakan instrumen penelitian. Oleh
sebab itu dalam penelitian ini kegiatan observasi dan wawancara berlangsung
secara bersamaan, karena merupakan suatu kesatuan kegiatan yang tak bisa
dipisahkan.
Studi dokumen/kepustakaan dimaksudkan untuk mendapatkan data
mengenai gambaran umum maupun yang spesifik dengan topik penelitian. Studi
kepustakaan dimaksudkan juga untuk mendapatkan konsep, teori dan asumsi
ilmiah tentang sistem pengobatan tradisional oleh masyarakat. Kajian pustaka
juga dimaksudkan untuk menelaah dan menelusuri studi-studi atau penelitian
terdahulu yang berkaitan dengan fenomena atau masalah yang diteliti.
Dalam penelitian empirik, sampling diartikan sebagai proses pemilihan
atau penentuan sampel (contoh). Karena penelitian ini merupakan penelitian
kwalitatif, maka prosedur sampling yang terpenting adalah bagaimana
menentukan informan kunci (key informan) atau situasi sosial tertentu yang sarat
informasi sesuai dengan fokus penelitian. Tehnik pemilihan sampel secara acak
dengan sendirinya tidak relevan. Untuk memilih sampel dalam hal ini informan
kunci, lebih tepat dilakukan secara sengaja (purposive sampling) (Nasution,
1988; Moleong 1990).
64
Menurut Bungin (2003), responden kunci ditentukan dengan cara
memilih orang-orang yang diperkirakan dapat menjawab pertanyaan yang
diperlukan fokus penelitian yaitu ahli pengobat tradisional (dukun), dan warga
masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan dan akses terhadap tumbuhan
obat yang ada di sekitarnya.
Pengetahuan masyarakat tentang pemanfaatan tumbuhan obat diperoleh
dari wawancara dengan responden yang berdomisili di sekitar kawasan yang
memiliki pengetahuan ekologi empiris dan budaya lokal. Pengambilan data
diawali dengan data tentang terminologi lokal mengenai segala aspek yang
diamati meliputi penamaan jenis–jenis tumbuhan dan seluruh obyek yang ada
kaitannya dengan tehnik pengobatan, macam penyakit, cara peramuan dan cara
pemanfaatannya.
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat yang tinggal di kawasan
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Walaupun penduduk memiliki sistem
pengetahuan tradisional tentang tumbuhan obat, namun yang mengetahui
secara mendalam hal –hal yang berhubungan dengan ruang lingkup penelitian
hanya orang-orang tertentu saja.
Pengambilan sampel untuk melakukan wawancara dilakukan dengan
masyarakat desa yang berdomisisli di sekitar kawasan yang memiliki
pengetahuan ekologi empiris dan budaya mereka sendiri. Sebelum wawancara
dilaksanakan, terlebih dahulu dilakukan survey pendahuluan untuk mengetahui
variasi pola hidup masyarakat di sekitar taman nasional.
Pemilihan responden didasarkan atas pertimbangan peubah-peubah
demografi penduduk setempat dan hasil wawancara penduduk lokal di setiap
lokasi desa yang dipilih. Desa terpilih ditentukan secara purposive sampling pada
desa-desa yang berada di dalam atau yang berbatasan dengan kawasan taman
nasional, dengan asumsi bahwa semakin dekat dengan kawasan maka interaksi
masyarakat dengan kawasan hutan semakin meningkat.
Peubah demografi yang dipilih adalah peubah yang berkaitan langsung
dengan sistem pengetahuannya terhadap dunia tumbuhan di lingkungannya
(seperti jenis pekerjaan, perbedaan kelamin (laki-laki dan perempuan) faktor
usia, kaya atau miskin, urban atau rural) dari proporsi heterogenitas jumlah total
populasi mereka. Peubah demografi yang dipilih dalam penelitian ini adalah
faktor usia. Peubah usia penduduk dalam pemilihan responden dimaksudkan
65
untuk menghidari terjadinya bias kepada kelompok tertentu saja misalnya berusia
muda saja atau usia tua saja (Nazir 1988), dan juga untuk mengetahui tingkat
degradasi pengetahuan tentang lingkungan antar generasi. Responden dipilih
berdasarkan usia penduduk dengan rentangan usia 15 tahun sampai di atas 60
tahun untuk menjadi responden. Pemilihan usia terendah ≤ 15 tahun dilakukan
berdasarkan pertimbangan bahwa usia 15 tahun adalah usia sekolah dasar(SD)
dan sekolah menengah pertama (SMP). Penduduk yang berusia ≤ 15 tahun
masih dipandang belum banyak mendapat kesempatan menerima nilai sosial
dan budaya dalam hubungan dengan pemanfaatan tumbuhan dalam lingkungan
mereka. Sedangkan usia di atas 60 tahun merupakan usia yang paling tahu
atau sudah banyak menerima nilai-nilai sosial dan budaya di lingkungannya.
Perbedaan jenis kelamin dalam pemilihan responden didasarkan pada
kenyataan bahwa wanita pedesaan di kawasan TNBNW ikut berperan dalam
kehidupan sosial keluarga, mulai dari mengerjakan kebun atau ladang,
memlihara ternak, pemungutan hasil, pengolahan hasil sampai pada pemasaran
hasil. Jadi peubah perbedaan jenis kelamin penduduk di kawasan TNBNW
menjadi salah satu pertimbangan penting dalam pemilihan nara sumber. Bagi
penduduk yang bukan asli suku Bogani Kabupaten Bolaang Mongondow namun
tinggal, bekerja dan telah menikah di daerah ini, diberi syarat masa mukim
minimal 10 tahun untuk dapat dipilih sebagai nara sumber. Masa mukim 10
tahun bagi penduduk pendatang diharapkan mereka sudah menghayati dan
mengamalkan nilai-nilai dari budaya kelompok penduduk asli (lokal).
Penentuan jumlah responden laki-laki dan perempuan pada setiap kelas
usia berdasakan perhitungan menurut Banilodu (1988), yaitu :
xnP
l ∑= l xl
l l ∑∑= lu
u
xnP
p p ∑= xp
p p ∑∑
=pu
u
Dimana :
l = laki-laki, p = perempuan, lu = laki-laki ke u, pu = perempuan ke u,
P= populasi
N= jumlah sampel keseluruhan
66
Berdasarkan pada data penduduk di setiap desa sampel, peneliti menarik
masing-masing 30 penduduk untuk menjadi nara sumber. Selanjutnya untuk
mengetahui sistem pemanfaatan keanekaragaman jenis tumbuhan di sekitar
taman nasional dilakukan analisis tingkat pemanfaatan tumbuhan bagi
masyarakat yaitu dengan cara mengukur Index of Cultural Significance (ICS).
Indeks kepentingan budaya (Index of Cultural Significance) adalah merupakan
hasil analisis etnobotani kuantitatif yang menunjukkan nilai kepentingan tiap-tiap
jenis tumbuhan berguna yang didasarkan pada keperluan masyarakat.
Salah satu cara yang sering digunakan oleh para peneliti etnobotani
dalam kuantifikasi data yang berhubungan dengan budaya atau sistem lokal
masyarakat, adalah dengan membuat skor atau ranking yang didasarkan pada
pernyataan atau pendapat mayarakat. Angka (skor) hasil penghitungan ICS
menunjukkan pemanfaatan setiap jenis tumbuhan berguna oleh masyarakat.
Untuk menghitung Index of Cultural Significance dilakukan dengan rumus seperti
berikut :
ICS = ( )∑=
××n
1nieiq
i
Sehubungan dengan setiap jenis tumbuhan mempunyai beberapa kegunaan,
maka rumus perhitungannya adalah sebagai berikut :
ICS = ( ) ( ) ( )n21 nnnnn222
n
1in111 eiq.........eiqeiq ××++××+××∑
=
Keterangan :
ICS = Index of Cultural Significance
q = nilai kualitas (quality value)
i = nilai intensitas (intensity value)
e = nilai eksklusivitas (exclusivity value).
Kategori nilai pemanfaatan dari setiap jenis tumbuhan untuk obat tradisional di
sekitar taman nasional didasarkan pada cara perhitungan yang ditemukan oleh
Turner 1988 diacu dalam Purwanto, 2002, dapat dilihat pada Tabel 11-13.
Berdasarkan hasil deskripsi keanekaragaman jenis tumbuhan obat di
sekitar kawasan TNBNW, dilakukan penentuan jenis tumbuhan obat berpotensi
untuk penelitian lebih lanjut. Penentuan jenis tumbuhan berpotensi diperoleh
dengan cara memilih 10 jenis tumbuhan berdasarkan peringkat indeks nilai
67
budaya (ICS), indeks nilai penting (INP), nilai ekologi, nilai ekonomi, pemasaran,
nilai tambah, syarat tumbuh, budidaya, pengembangan. Selanjutnya dengan
metode perbandingan eksponensial dapat ditentukan satu jenis tumbuhan yang
paling berpotensi.
Metode perbandingan eksponensial (MPE) adalah metode untuk
menentukan urutan prioritas alternatif keputusan kriteria jamak. Menggunaan
MPE mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi
dalam analisis, karena nilai skor akan menjadi besar dengan adanya fungsi
eksponensial sehingga perbedaan skor lebih nyata. Tahapan dalam penggunaan
MPE untuk menentukan jenis tumbuhan yang paling berpotensi adalah
menyusun alternatif, menentukan kriteria, menentukan tingkat kepentingan
kriteria, melakukan penilaian terhadap alternatif untuk setiap kriteria, menghitung
skor atau nilai total alternatif, dan menentukan prioritas alernatif (Marimin 2004).
Kriteria yang digunakan dalam perhitungan MPE adalah nilai penting
jenis, ICS, nilai ekonomi, pemasaran, dampak nilai tambah jenis kepada
masyarakat, syarat tumbuh yang sesuai, ketersediaan teknologi budidaya yang
memadai, dan potensi pengembangan jenis tersebut.
Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif untuk menentukan nilai
dalam Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) menurut Marimin 2004
sebagai berikut :
TNi = ∑ RKij TKKj J=1
Dimana :
TNi = Total nilai alternatif ke-i
RKij = Derajat kepentingan relatif kriteria ke-j pada pilihan keputusan ke-i
TKKj= Derajat kepentingan kriteria keputusan ke-j;TKKj>0;bulat
n = Jumlah pilihan keputusan
m = Jumlah kriteria keputusan
68
Tabel 11. Nilai Kualitas Suatu Jenis Tumbuhan Obat menurut kategori
etnobotani
No Khasiat Kegunaan
Nilai Guna
1 Bahan obat untuk mengobati Sakit Kepala,pusing,migrain 5 2 Bahan obat pencernaan Sakit Perut,diare,disentri 5 3 Bahan obat untuk batuk dan influenza 5 4 Penurun Panas/demam, dan Malaria 5 5 Bahan obat untuk penyakit Maag 5 6 Obat-obatan khusus wanita, obstetric/ginekologi 5 7 Obat-obatan untuk asam urat,reumatik,nyeri sendi 5 8 Bahan obat untuk Sariawan dan panas dalam 5 9 Bahan obat untuk penyakit Campak 4
10 Bahan obat untuk penyakit TBC 4 11 Bahan obat khusus untuk anak-anak 4 12 Bahan obat untuk masalah pernapasan / asma 4 13 Bahan obat untuk penyakit kanker dan Tumor 4 14 Bahan obat muntah ular 4 15 Bahan obat untuk penyakit hati 4 16 Bahan obat untuk penyakit Cacingan 4 17 Bahan obat untuk Diabetes 4 18 Bahan obat untuk ginjal,sakit pinggang 4 19 Bahan obat untuk tekanan Darah tinggi 4 20 Bahan untuk penyakit infeksi telinga 4 21 Bahan untuk Kontrasepsi 4 22 Bahan untuk penyakit kulit (Panu,kudis,kurap,bisul) 4 23 Bahan obat untuk Pegal-pegal,kecapean 3 24 Bahan obat untuk penyakit dalam 3 25 Bahan obat untuk Penambah darah 3 26 Bahan untuk penyakit Sakit mata 3 27 Bahan obat untuk sakit gigi 3 29 Bahan obat untuk Penawar racun 3 30 Bahan untuk Penyubur rambut dan kosmetik 3 31 Bahan untuk meningkatkan napsu makan 2 32 Bahan tumbuhan untuk upacara adat 2 33 Bahan untuk penyakit hewan 2 34 Tumbuhan yang berharga atau memiliki nilai 1 35 Tumbuhan untuk keperluan simbol-simbol tertentu 1
69
Tabel 12. Kategori yang menggambarkan tentang intensitas penggunaan
jenis tumbuhan obat.
Nilai Deskripsi
5 Tumbuhan obat yang sangat tinggi intensitas penggunaanya, yaitu
jenis yang digunakan setiap hari
4 Tumbuhan obat yang tinggi intensitas penggunaanya, yaitu
digunakan secara regular harian, musiman, atau berkala
3 intensitas penggunaanya sedang, yaitu yang digunakan secara
regular tetapi dalam waktu tertentu, biasanya jenis-jenis yang
diekstrak atau bila hasilnya berlebihan bisa dijual.
2 Jenis-jenis tumbuhan obat rendah intensitas penggunaanya, meliputi
yang jarang digunakan .
1 intensitas penggunaanya sangat jarang (minimal).
Tabel 13. Kategori yang menggambarkan tingkat eksklusivitas atau tingkat
kesukaan.
Nilai Deskripsi
2 Jenis tumbuhan obat yang paling disukai yang mempunyai nilai guna
tidak tergantikan oleh jenis lain.
1 Meliputi jenis tumbuhan obat yang disukai tetapi terdapat jenis lain
apabila jenis tersebut tidak ada.
0,5 Jenis tumbuhan obat yang hanya sebagai sumberdaya sekunder.
70
6
24
34
27
1821
25
105
10152025303540
Akar Batang Daun Bunga Buah Seluruhbagian
Kulitbatang
Umbi Pucuk Airdalambatang
Bagian yang digunakan
Jum
lah
jeni
s
Jumlah jenis
60
1115 17
18
0
10
20
30
40
50
60
70
Pohon Herba Semak Perdu Bambu Liana
Habitus
Jum
lah
jeni
s
Jumlah jenis
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Obat Berdasarkan hasil inventarisasi keanekaragaman jenis tumbuhan obat di
lima lokasi di kawasan TNBNW, tercatat 121 jenis tumbuhan yang digunakan
oleh masyarakat setempat sebagai ramuan obat. Pemanfaatan keanekaragaman
jenis tumbuhan obat di TNBNW meliputi nama ilmiah, famili, bagian yang
digunakan, dan manfaatnya dapat dilihat pada Tabel 14. Dilihat dari segi
habitusnya, jenis-jenis tumbuhan obat dikelompokkan dalam 6 macam, yaitu
habitus herba, liana, perdu, pohon, semak, dan bambu (Gambar 8).
Gambar 8. Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan habitusnya
Berdasarkan bagian tumbuhan yang digunakannya, jenis-jenis tumbuhan
obat dikelompokkan kedalam 10 macam yaitu daun, akar, batang, kulit batang,
bunga, getah, pucuk daun, umbi, buah, dan semua bagian tanaman (Gambar 9).
Gambar 9. Bagian tumbuhan yang digunakan tumbuhan obat.
71
Tabel 14. Jenis-jenis Tumbuhan Obat Berdasarkan Nama Lokal, Nama ilmiah, Suku, bagian yang digunakan, dan jenis penyakit
Nomor Nama Lokal Nama ilmiah Suku Bagian Yang Digunakan Kegunaan
1 Alikokop Dischidia nythesiana Asclepiadaceae Kulit Batang, daun Kanker, sakit gigi 2 Amok Cananga odorata Annonaceae Kulit Batang Sakit Mata 3 Atul Mallotus moluccana Hernandiaceae pucuk daun Rematik&Pegal 4 Badag Hemigraphis sp. Achantaceae kulit Batang Ginjal, diabetes, Hypertensi 5 Bambeletan Cassia alata Leguminoceae Daun Kulit, Kosmetik 6 Bayur Pterospermum celebicum Sterculiaceae Kulit Batang Kanker, rematik 7 Benalu Loranthus sp Loranthaceae Batang Rematik&Pegal 8 Bintanag Kleinhovia hospita Sterculiaceae Daun Pencernaan 9 Binuang Octomeles sumatrana Datiscaceae Daun Penyakit khusus wanita
10 Bitaui Calophyllum soulattri Guttiferae Kulit batang Kulit 11 Kapuraca Ochocarpus ovalifolium Guttiferae Kulit batang Rematik&Pegal 12 Bobang Canarium hirtusum Annonaceae Kulit batang Penawar racun, rematik, Malaria 13 Bogu Melia azedarch Meliaceae Kulit batang Pernapasan 14 Aren Arenga pinnata Arecaceae Kapas pada batang Penyakit wanita, TBC, Kulit, Demam,Sakit Kepala 15 Bolangat Nephelium sp. Sapindaceae Kulit batang Malaria 16 Bonata Clerodendron buchananii Verbenaceae Kulit batang TBC 17 Bongale Zingiber sp Zingeberaceae Kulit dan batang Kulit 18 Bongkodu Morinda citrifolia Rubiaceae Kulit dan batang Liver , Tonikum 19 Bonok Eleucine indica Poaceae Kulit dan batang Tonikum 20 Bonok Passiflora foetida Passifloraceae Kulit dan batang Tonikum 21 Bonok macan Andropogon zizanoides Poaceae Getah Penawar racun,Pencernaan 22 Bonok tagapis Scopariadulcis Scorphulariaceae Daun Kanker 23 Bonokpiper Peperomia pellcida Piperaceae Daun Hypertensi, Kosmetik 24 Boyokia Pittosporum ferrugineum Pittosporaceae Kulit batang Pencernaan 25 Bulu tikus Bambusa sp. Poaceae Seluruh tanaman Mitologi 26 Buto butong Dyospiros buxifolia Ebenaceae Seluruh tanaman Demam dan sakit kepala,Tonikum 27 Dalit Harpulia cupanoides Sapindaceae Seluruh bagian Kulit,TBC,Tonikum
72
28 Damar babi Dacryodes rostrata Magnoliaceae Akar Malaria,Tonikum 29 Diat Andropogon zizanioides Poaceae Serat Penyakit khusus wanita, Ginjal 30 Doit-doit Drymoglossum sp. Polypodiaceae Batang Kanker, Penawar racun 31 Dondolipon Xanthosoma violaceum Araceae Buah demam & sakit kepala 32 Dondoyuta Hyptis suaveolens Lamiaceae Daun Kulit 33 Dumpagon Ficus minahassae Moraceae Batang Mitologi, ginjal 34 Eboni Dyospyros celebica Ebenaceae buah Hypertensi, Liver,Ginjal, Diabetes 35 Ganceng Piper caninum Piperaceae Daun Pencernaan dan kulit 36 Gedi merah Abelmoschus sp. Malvaceae pucuk daun Penyakit khusus wanita, batuk 37 Kapuk hutan Gozampinus heptaphylla Bombacaceae Kulit Batang Rematik&Pegal 38 Kayu batu Koordersiodendron pinnatum Annacardiaceae pucuk daun Penyakit khusus wanita 39 Kayu burung Barleria prionitis Acanthaceae Batang,Daun Kulit 41 Kayu dondo Vitex negundo Verbenaceae Buah Hypertensi, Liver,Ginjal, Diabetes 42 Kayu kambing Garuga floribunda Burseraceae Seluruh tanama TBC 43 Kayu Keng Bischovia javanica Euphorbiaceae Batang Penyakit wanita, TBC, Kulit, Demam ,Sakit Kepala 44 Kayu lawang Cinamomum koodersii Lauraceae Daun demam & sakit kepala,Pencernaan, Kulit, dan KB 45 Kayu maumar Nauclea celebica Rubiaceae Akar Kulit, pegal,tonikum 46 Kayu susu Alstonia scholaris Apocynaceae Daun Kanker 47 Keladi merah Alocasia sp. Araceae Batang dan daun Kulit,KB 48 Kemiri Aleurites moluccana Euphorbiaceae Akar Kanker 49 Kolintama Alocasia cucculata Araceae Daun Kulit,KB 50 Kolot Blumea riparia Asteraceae Seluruh tanaman Jantung 51 Kopuling Alocasia sp. Araceae Seluruh tanaman Pernapasan 52 Koruntungan Solanum sp. Solanaceae Seluruh tanaman Tonikum 53 Koyondom Pogostemon heyneanus Lamiaceae Daun Pernapasan 54 Kuyanga Coechorus acutangulus Tiliaceae Daun Pencernaan 55 Kapunggi Alsphila glauca Cyatheaceae Batang Pencernaan 56 Lantat Lansium domesticum Meliaceae Daun Pencernaan, sakit kepala dan demam 57 Lidoyok Lantana camara Verbenaceae Daun Pencernaan dan Pernapasan, batuk 58 Linggua Pterocymbium sp. Sterculiaceae Daun Ginjal 59 Linggua Pterocarpus indica Fabaceae Daun Diabetes
73
60 Lingkobung Macaranga gigantea Euphorbiaceae Daun Diabets 61 Liod Bantong Bauhenia purpurea Caesalpiniaceae Seluruh tanaman kehamilan dan persalinan 62 Lompiat Averrhoa carambolla Oxalidaceae Batang dan daun Pencernaan, Pernapasan 63 Lumbugon Acalypha caturus Euphorbiaceae pucuk daun Ginjal 64 Lunkab Palquium sp Sapotaceae Akar Kulit 65 Mangga hutan Mangifera sp Anacaediaceae Daun Malaria 66 Manggis hutan Mangostana indica Guttiferae Batang Pencernaan, demam dan sakit kepala 67 Matoa Pometia pinnata Sapindaseae Kulit batang Kulit dan pencernaan 68 Menggosian Clerodendron inerme Verbenaceae Daun Liver,hypertensi, Diabetes, Ginjal 69 Mongkudu Morinda bracteata Rubiaceae Buah Malaria, hypertensi 70 Nunuk Ficus benyamina Moraceae Seluruh tanaman kehamilan dan persalinan 71 Obuyu mamaan Piper betle Piperaceae Daun Pernapasan 72 Obuyu Piper aduncum Piperaceae Daun kehamilan dan persalinan 73 Ogusip Litsea sp. Lauraceae Bunga dan daun Pernapasan,demam dan sakit kepala 74 Olunan Celtis philippensis Ulmaceae Buah demam dan sakit kepala 75 Ongkolan Eucalyptus deglupta Myrtaceae Batang Pernapasan 76 Onunang Cordia dichotoma Borrangiaceae Pangkal tangkai daun Kulit 77 Opolat Ficus amplas Moraceae Tunas Pencernaan 78 Oyobung adi Selaginella tamariscina Selaginellaceae Seluruh tanaman Hypertensi,Ginjal,penyakit khusus wanita 79 Padang Imperata cylindrica Poaceae pucuk daun Demam dan sakit kepala,asam urat 80 Pala hutan Myristica sp. Myristicaceae Empulur batang sakit kepala,malaria,Kanker,penyakit wanita, tonikum 81 Pandan hutan Pandanus sp. Pandanaceae Buah demam dan sakit kepala,ginjal,Hypertensi 82 Pangi Pangium edule Flacourtiaceae Akar,buah Ginjal, Hypertensi, Liver,sesak napas 83 Patuku Cycas rumphii Cycadaceae Daun dan biji Pencernaan, muntah darah 84 Pidai Poikilospermum suaveolens Moraceae seluruh tanaman Penyakit khusus wanita 85 Pikit Ocinum basilicum Labiatae Buah Hypertensi, Diabetes, Ginjal 86 Pinang hitam Pinanga caesia Arecaceae Biji Mitologi, religi 87 Pinang yaki Areca vestiaria Arecaceae Bunga,daun, dan buah KB,diabetes, Obat cacing,Mitologi, Ritual,kosmetik 88 Pisang goroho Musa sp. Musaceae Daun Pernapasan,Kulit, ginjal 89 Pisang hutan Musa acuminata Musaceae Daun Kulit,obat cacing 90 Pisek Algaia elliptica Meliaceae Kulit batang Kanker, kulit
74
91 Pondang Pandanus sp. Pandanaceae Daun Penawar racun,obat cacing,Liver,Hypertensi,ginjal,Kanker 92 Polaguyon Syzigium spicatum Myrtaceae Batang Demam dan sakit kepala, Kulit 93 Pombosion dn kecil Polyalthia sp. Annonaceae seluruh tanaman Penawar racun,Kulit 94 Pomia insumbu Gossypium herbaceum Malvaceae Batang Pernapasan 95 Pudutan Palquium obovatum Sapotaceae Batang Kulit dan ginjal 96 Rambutan hutan Nephelium sp. Sapindaceae Daun Malaria,mitologi 97 Rotan Calamus sp. Arecaceae Daun Ginjal, Kulit,mitologi 98 Seho Arenga pinnata Arecaceae Daun Sakit kepala,,Malaria,TBC, mitologi 99 Sesewanua Clerodendron serratum Verbenaceae Daun Kulit,demam,pencernaan
100 Siangga Impatiens semen Balsaminaceae Seluruh tanaman Kulit, mitologi 101 Sirsak hutan Xylopia sp. Annonaceae Kulit batang Malaria 102 Sombar Erythrina variegata Papilionaceae Kulit batang Malaria,sakit kepala 103 Sosoro Laportea deamana Urticaceae Kulit batang Malaria 104 Susuan Phaleria capitata Thymelaeaceae Buah Sakit gigi 105 Tagalolo Ficus septica Moraceae Kulit batang Malaria 106 Talas Remusatia vivipara Araceae Umbi Kanker 107 Talas Schismatoglottis calypatra Araceae daun Kulit
Tanoyan Oncosperma sp Arecaceae Akar Malaria 109 Tobaang Cordyline fructicosa Liliaceae Batang Pencernaan,TBC 110 Togop Artocarpus elasticus Moraceae Batang Pencernaan 111 Tolutu Pterocymbium tinktorium Sterculiaceae Batang Rematik&Pegal 112 Tomilow bobai Aneleima malabaricum Commelinaceae Seluruh tanaman Demam dan sakit kepala, Ritual 113 Tongit Ageratum conyzoides Compositae Batang Kulit 114 Tontuatoi Costus megalobrachtea Zingiberaceae Batang Pernapasan, Pencernaan,KB 115 Torosik Casearia grewiaefolia Flacourtiaceae Batang Pencernaan 116 Tuis Hornstedia sp Zingeberaceae Seluruh tanaman Kulit,Ritual 117 Tukadan Jatropha gossypifolia Euphorbiaceae Seluruh tanaman TBC,Ritual 118 Tuyat Derris elliptica Papilionaceae Seluruh tanaman TBC,RITUAL 119 Udun Ficus variegata Moraceae Daun Penyakit khusus wanita 120 Uing/Kayu arang Cratoxylon celebicum Hypericaceae batang Penyakit khusus wanita 121 Ulibat Spondias pinnata Anacardiaceae Umbi Penyakit khusus wanita, Malaria
75
No Nama Lokal Nama Latin Famili Bagian Yang Digunakan Kegunaan
1 Alikokop Dischidia nythesiana Asclepiadaceae Kulit Batang, daun Kanker, sakit gigi 2 Amok Cananga Odorata Annonaceae Kulit Batang Sakit Mata 3 Atul Mallotus moluccana Hernandiaceae pucuk daun Rematik&Pegal 4 Badag Hemigraphis Achantaceae kulit Batang Ginjal, diabetes, Hypertensi 5 Bambeletan Cassia alata Leguminoceae Daun Kulit, Kosmetik 6 Bayur Pterospermum celebicum Sterculiaceae Kulit Batang Kanker, rematik 7 Benalu Loranthus sp Loranthaceae Batang Rematik&Pegal 8 Bintanag Kleinhovia hospita Sterculiaceae Daun Pencernaan 9 Binuang Octomeles sumatrana Datiscaceae Daun Penyakit khusus wanita 10 Bitaui Calophyllum soulattri Guttiferaceae Kulit batang Kulit 11 Kapuraca Ochocarpus ovalifolium Guttiferae Kulit batang Rematik&Pegal 12 Bobang Canarium hirtusum Annonaceae Kulit batang Penawar racun, rematik, Malaria 13 Bogu Melia azedarch Meliaceae Kulit batang Pernapasan 14 Aren Arenga pinnata Arecaceae Kapas pada batang Penyakit wanita, TBC, Kulit, Demam,Sakit Kepala 15 Bolangat Nephelium sp. Sapindaceae Kulit batang Malaria 16 Bonata Clerodendron buchananii Verbenaceae Kulit batang TBC 17 Bongale Zingiber sp Zingeberaceae Kulit dan batang Kulit 18 Bongkodu Morinda citrifolia Rubiaceae Kulit dan batang Liver , Tonikum 19 Bonok Eleucine indica Poaceae Kulit dan batang Tonikum 20 Bonok Passiflora foetida Passifloraceae Kulit dan batang Tonikum
22 Bonok tagapis Scopariadulcis Scorphulariaceae Daun Kanker
23 Bonokpiper Peperomia pellcida Piperaceae Daun Hypertensi, Kosmetik 24 Boyokia Pittosporum ferrugineum Pittosporaceae Kulit batang Pencernaan 25 Bulu tikus Bambusa sp. Bambusaceae Seluruh tanaman Mitologi
76
26 Buto butong Dyospiros buxifolia Ebenaceae Seluruh tanaman Demam dan sakit kepala,Tonikum 27 Dalit Harpulia cupanoides Sapindaceae Seluruh bagian Kulit,TBC,Tonikum 28 Damar babi Dacryodes rostrata Magnoliaceae Akar Malaria,Tonikum 29 Diat Andropogon zizanioides Poaceae Serat Penyakit khusus wanita, Ginjal 30 Doit-doit Drymoglossum Polypodiaceae Batang Kanker, Penawar racun 31 Dondolipon Xanthosoma violaceum Araceae Buah demam & sakit kepala 32 Dondoyuta Hyptis suaveolens Lamiaceae Daun Kulit 33 Dumpagon Ficus minahassae Moraceae Batang Mitologi, ginjal 34 Eboni Dyospyros celebica Ebenaceae buah Hypertensi, Liver,Ginjal, Diabetes 35 Ganceng Piper caninum Piperaceae Daun Pencernaan dan kulit 36 Gedi merah Abelmoschus sp. Malvaceae pucuk daun Penyakit khusus wanita, batuk 37 Kapuk hutan Gozampinus heptaphylla Bombacaceae Kulit Batang Rematik&Pegal
38 Kayu batu Koorsidersiodendron pinnatum Annacardiaceae pucuk daun Penyakit khusus wanita
39 Kayu burung Barleria prionitis Acanthaceae Batang,Daun Kulit 41 Kayu dondo Vitex negundo Rubiaceae Buah Hypertensi, Liver,Ginjal, Diabetes
42 Kayu kambing Garuga floribunda Burseraceae Seluruh tanama TBC
43 Kayu Keng Bischovia javanica Euphorbiaceae Batang Penyakit wanita, TBC, Kulit, Demam ,Sakit Kepala 44 Kayu lawang Cinamomum koodesii Lauraceae Daun demam & sakit kepala,Pencernaan, Kulit, dan KB
45 Kayu maumar Nauclea celebica Rubiaceae Akar Kulit, pegal,tonikum
46 Kayu susu Alstonia scholaris Apocynaceae Daun Kanker
47 Keladi merah Alocasia sp. Araceae Batang dan daun Kulit,KB
48 Kemiri Eleurites moluccana Euphorbiaceae Akar Kanker 49 Kolintama Alocasia cucculata Araceae Daun Kulit,KB 50 Kolot Blumea riparia Asteraceae Seluruh tanaman Jantung 51 Kopuling Alocasia sp. Araceae Seluruh tanaman Pernapasan 52 Koruntungan Solanum sp. Solanaceae Seluruh tanaman Tonikum 53 Koyondom Pogostemon heyneanus Lamiaceae Daun Pernapasan
77
54 Kuyanga binangoan Coechorus acutangulus Tiliaceae Daun Pencernaan
56 Lantat Lansium domesticum Meliaceae Daun Pencernaan, sakit kepala dan demam 57 Lidoyok Lantana camara Verbenaceae Daun Pencernaan dan Pernapasan, batuk 58 Linggua Pterocymbium Sp. Caesalpiniaceae Daun Ginjal 59 Linggua Pterocarpus indica Caesalpiniaceae Daun Diabetes 60 Lingkobung Macaranga gigantea Euphorbiaceae Daun Diabets
61 Liod Bantong Bauhenia purpurea Caesalpiniaceae Seluruh tanaman kehamilan dan persalinan
62 Lompiat Everrhoa sp. Oxalidaceae Batang dan daun Pencernaan, Pernapasan 63 Lumbugon Acalypha caturus Euphorbiaceae pucuk daun Ginjal 64 Lunkab Palquium sp Sapotaceae Akar Kulit
65 Mangga hutan Mangifera sp Anacaediaceae Daun Malaria
66 Manggis hutan Mangostana indica Guttiferae Batang Pencernaan, demam dan sakit kepala
67 Matoa Pometia pinnata Sapindaseae Kulit batang Kulit dan pencernaan 68 Menggosian Clerodendron inerme Verbenaceae Daun Liver,hypertensi, Diabetes, Ginjal 69 Mongkudu Morinda bracteata Rubiaceae Buah Malaria, hypertensi 70 Nunuk Ficus benyamina Moraceae Seluruh tanaman kehamilan dan persalinan 71 Obuyu Piper betle Piperaceae Daun Pernapasan 72 Obuyu Piper aduncum Piperaceae Daun kehamilan dan persalinan 73 Ogusip Litsea sp. Lauraceae Bunga dan daun Pernapasan,demam dan sakit kepala 74 Olunan Celtis philippensis Ulmaceae Buah demam dan sakit kepala 75 Ongkolan Eucalyptus deqlupta Myrtaceae Batang Pernapasan 76 Onunang Cordia dichotoma Borrangiaceae Pangkal tangkai daun Kulit 77 Opolat Ficus amplas Moraceae Tunas Pencernaan 78 Oyobung adi Selaginella tamariscina Selaginellaceae Seluruh tanaman Hypertensi,Ginjal,penyakit khusus wanita 79 Padang Imperata cylindrica Poaceae pucuk daun Demam dan sakit kepala,asam urat 80 Pala hutan Myristica sp. Myristicaceae Empulur batang sakit kepala,malaria,Kanker,penyakit wanita, tonikum
78
81 Pandan hutan Pandanus sp. Pandanaceae Buah demam dan sakit kepala,ginjal,Hypertensi
82 Pangi Pangium edule Flacourtiaceae Akar,buah Ginjal, Hypertensi, Liver,sesak napas 83 Patuku Cycas rumphii Cycadaceae Daun dan biji Pencernaan, muntah darah
84 Pidai Poikilospermum suaveolens Moraceae seluruh tanaman Penyakit khusus wanita
85 Pikit Ocinum basilicum Labiatae Buah Hypertensi, Diabetes, Ginjal
86 Pinang hitam Pinanga caesia Arecaceae Biji Mitologi, religi
87 Pinang yaki Areca vestiaria Arecaceae Bunga,daun, dan buah KB,diabetes, Obat cacing,Mitologi, Ritual,kosmetik
88 Pisang goroho Musa sp. Musaceae Daun Pernapasan,Kulit, ginjal
89 Pisang hutan Musa acuminata Musaceae Daun Kulit,obat cacing
90 Pisek Algaia elliptica Meliaceae Kulit batang Kanker, kulit
91
Seluruh tanaman pondang Pandanus sp. Pandanaceae Daun Penawar racun,obat cacing,Liver,Hypertensi,ginjal,Kanker
92 Polaguyon Syzigium spicatum Myrtaceae Batang Demam dan sakit kepala, Kulit
93 Pombosion dn kecil Polyalthia sp. Annonaceae seluruh tanaman Penawar racun,Kulit
95 Pudutan Palquium obovatum Sapotaceae Batang Kulit dan ginjal
96 Rambutan hutan Nephelium sp. Sapindaceae Daun Malaria,mitologi
97 Rotan Calamus sp. Arecaceae Daun Ginjal, Kulit,mitologi 98 Seho Arenga sp. Arecaceae Daun Sakit kepala,,Malaria,TBC, mitologi 99 Sesewanua Clerodendron serratum Verbenaceae Daun Kulit,demam,pencernaan
100 Siangga Impatiens semen Balsaminaceae Seluruh tanaman Kulit, mitologi 101 Sirsak hutan Xylopia sp. Annonaceae Kulit batang Malaria 102 Sombar Erythrina variegata Papilionaceae Kulit batang Malaria,sakit kepala
79
103 Sosoro Laportea deamana Urticaceae Kulit batang Malaria 104 Susuan Phaleria capitata Thymelaeaceae Buah Sakit gigi 105 Tagalolo Ficus septica Moraceae Kulit batang Malaria 106 Talas Remusatia vivipara Araceae Umbi Kanker
107 Talas Schismatoglottis calypatra Araceae daun Kulit
112 Tomilow bobai Aneleima malabaricum Commelinaceae Seluruh tanaman Demam dan sakit kepala, Ritual
113 Tongit Ageratum conyzoides Compositae Batang Kulit 114 Tontuatoi Costus megalobrachtea Zingiberaceae Batang Pernapasan, Pencernaan,KB 115 Torosik Casearia grewiaefolia Flacourtiaceae Batang Pencernaan 116 Tuis Hornstedia sp Zingeberaceae Seluruh tanaman Kulit,Ritual 117 Tukadan Jatropha gossypifolia Euphorbiaceae Seluruh tanaman TBC,Ritual 118 Tuyat Derris elliptica Papilionaceae Seluruh tanaman TBC,RITUAL 119 Udun Ficus variegata Moraceae Daun Penyakit khusus wanita
120 Uing/Kayu arang Cratoxylon celebicum Hypericaceae batang Penyakit khusus wanita
121 Ulibat Spondias pinnata Anacardiaceae Umbi Penyakit khusus wanita, Malaria
75
2018
15
19
14
9
13
911
86
26
8
4
12
3 42
68
0
5
10
15
20
25
30
Perna
pasan
Pence
rnaa
n
Demam
Khusu
s wan
ita
Malaria
Kanke
rGinj
al
Diabetes
Hipertens
iLiv
er KBKuli
t
Asam ur
atmata
Ritual
Obat c
acing
kosm
etik
Terna
k
Anti to
ksik
toniku
m
Jenis penyakit
Jum
lah
Jeni
s
Jumlah jenis
Berdasarkan informasi masyarakat, jenis-jenis tumbuhan obat yang ada
dapat dikelompokkan ke dalam 20 kelompok penyakit/penggunaan. Dilihat dari
jumlah jenis tumbuhan obatnya, kelompok penyakit/penggunaan tertinggi yaitu
penyakit kulit (26 Jenis) dan terendah yaitu kelompok penyakit untuk hewan
ternak (2 jenis). Pemanfaatan jenis tumbuhan obat oleh masyarakat di sekitar
TNBNW untuk mengobati berbagai penyakit secara lengkap dapat dilihat pada
Gambar 10 berikut.
Gambar 10. Jumlah jenis tumbuhan obat berdasarkan jenis penyakit
Berdasarkan identifikasi 121 jenis tumbuhan obat, tercatat 26 jenis
sebagai obat penyakit kulit (gatal-gatal, panu, kudis, eksim, bisul, luka), 20 jenis
untuk obat penyakit yang berhubungan dengan pernapasan (batuk, asma dan
TBC), 19 jenis untuk penyakit khusus wanita (seperti penyakit kelamin,
kehamilan dan pasca persalinan), 18 jenis untuk penyakit yang berhubungan
dengan pencernaan (seperti sakit perut, diare, maag, disentri, dan perut
kembung), 15 jenis untuk demam atau penurun panas, 14 jenis untuk malaria, 9
jenis untuk kanker (seperti kanker rahim, payudara, tumor), 13 jenis untuk ginjal
atau sakit pinggangl 9 jenis untuk diabetes atau kencing manis, 11 jenis untuk
menormalkan tekanan darah tinggi, 8 jenis untuk penyakit liver (masyarakat
menyebutnya sakit kuning yang ditandai dengan mata dan kulit berwarna
kuning), 6 jenis digunakan sebagai obat untuk mencegah kehamilan pada wanita
tetapi ada juga jenis yang dipakai sebagai alat kontrasepsi pria, 8 jenis untuk
76
asam urat (termasuk rematik dan pegal linu), 4 jenis untuk mengobat sakit mata,
3 jenis sebagai obat cacing, 4 jenis sebagai kosmetik (digunakan sebagai bedak,
pewarna bibir, dan penyubur rambut), 2 jenis untuk penyakit hewan ternak (obat
cacing dan kudis pada ternak), 8 jenis digunakan sebagai tonikum (di masyarakat
dikenal sebagai obat kuat karena kelelahan bekerja maupun obat kuat untuk
menambah kemampuan sex seorang pria), 6 jenis sebagai penawar racun (racun
karena digigit serangga atau hewan berbisa dan juga karena makanan), 12 jenis
digunakan untuk ritual (seperti dipakai pada waktu upacara adat, upacara
penolak bencana, ataupun untuk penyembuhan penyakit, pengusir setan dan
juga beberapa jenis tumbuhan seperti jenis cemara dan palem yang digunakan
untuk upacara keagamaan).
Ditinjau dari cara penggunaan, terdapat 2 cara yaitu sebagai obat luar
(dioleskan atau di temple) tercatat 31 jenis dan obat dalam (dimakan atau
diminum) tercatat 190 jenis. Cara penggunaannya dapat berupa ramuan tunggal
(satu jenis saja) dan ramuan yang terdiri dari lebih dari satu jenis tumbuhan.
Menurut masyarakat , pengobatan yang berasal dari peramuan dua atau lebih
jenis tumbuhan memiliki khasiat yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan
ramuan dari jenis tunggal. Menurut pemahaman mereka, peramuan obat yang
bahannya terdiri dari berbagai jenis dianggap setiap jenis dapat memberikan
fungsinya masing-masing. Selain itu dengan kombinasi beberapa jenis tersebut
dapat memberikan khasiat berlipat ganda. Anggapan tersebut kemungkinan
berkaitan dengan adanya komponen aktif yang terdapat dalam tumbuhan
tersebut yang saling menunjang atau saling melengkapi khasiat satu dengan
yang lainnya. Untuk membuktikannya diperlukan studi khusus mengenai khasiat
serta kandungan fitokimianya (merupakan bab tersendiri dalam disertasi ini).
Berdasarkan hasil deskripsi keanekaragaman jenis tumbuhan obat di
sekitar kawasan TNBNW, dilakukan penentuan jenis tumbuhan obat berpotensi
untuk penelitian lebih lanjut. Penentuan jenis tumbuhan berpotensi diperoleh
dengan cara memilih 10 jenis tumbuhan berdasarkan peringkat indeks nilai
budaya (ICS), indeks nilai penting (INP), nilai ekologi, nilai ekonomi, pemasaran,
nilai tambah, syarat tumbuh, budidaya, pengembangan. Selanjutnya dengan
metode perbandingan eksponensial dapat ditentukan satu jenis tumbuhan yang
paling berpotensi. Sepuluh jenis tumbuhan obat yang dimaksud adalah
3. Terdapat indikasi akan punahnya pengetahuan obat tradisional ini jika
tidak segera di inventarisasi karena banyak yang tidak diturunkan lagi
kepada generasi muda (para dukun umumnya sudah lanjut usia).
SARAN
1. Perlu penelitian lanjut untuk mengetahui senyawa bioaktif yang
terkandung dalam tumbuhan obat khususnya yang mengobati beberapa
jenis penyakit.
2. Perlu penelitian lanjutan khusus untuk tanaman obat yang tergolong
langka dan endemik sebagai langkah awal pelestariannya.
3. Penelitian tentang pengetahuan obat tradisional perlu segera di
tindaklanjuti karena umumnya tidak diwariskan lagi.
96
ABSTRACT
HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Ethno-botany, Bioprospecting of Pinang Yaki ( Areca vestiaria Giseke). Under the direction of DEDE SETIADI, LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI. Pinang yaki ( areca vestiaria) is the kind of beautiful bias palm that originated from Sulawesi. The plant is widely distributed in Lore Lindu National Park, Bogani Nani Wartabone National Park, Mount Ambang Natural Conservation, slope of Mount Mahawu. The palm is also growing in Province of Maluku, particalary in Halmahera and Seram island, and widely known as “Pinang Merah” (Mogea, 2002). The research’s objectives are to study how the community around Bogani Nani Wartabone National Park use Pinang yaki to cure a disease and to determine chemical contend that use by local community as medicine plant by phyto-chemical analysis, and to study how far the toxicity level of Pinang yaki fruits extract.
The result shows that Pinang yaki (Areca vestiaria Giseke) is an endemic palm in Sulawesi with unique characteristics and one of important component in tropical rain forest ecosystem. The fruits is also become food sourches for black monkey (Macac nigra) that also as endemic animal in Sulawesi. The result of phyto-chemical analysis shows that the contend of Pinang yaki are tannin, flavonoid, hydroquinone, triterpenoid and saponin. While the proximate Analysis shows that fruits of pinang yaki has 6.10% water content, ash content 0,70%, water residual 5,75% and organic solvent residual 16,46%. Toxicity test on Artemia salina leach larva shows 334.988 ppm value. The LC50 value under 1000 ppm, shows that pinang yaki seed is potential for bio active. Key word : Ethno-botany, phyto-chemical, Toxicity, Areca vestiaria
97
PENDAHULUAN
Studi yang mempelajari tentang pemanfaatan tumbuhan oleh masyarakat
primitif atau penduduk asli yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat
dikenal dengan istilah etnobotani. Harshberger (1896) dalam Wickens (1989),
mengemukakan bahwa etnobotani dapat menjelaskan beberapa hal antara lain : (1) keadaan kebudayaan suatu bangsa yang memanfaatkan tumbuh-tumbuhan (2) membuktikan penyebaran tumbuh-tumbuhan pada masa lalu (3) membuktikan jalur perdagangan (4) berguna dalam menerangkan nilai yang
didapat dari pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang diambil dari alam.
Etnobotani sebagai suatu konsep pendekatan permasalahan dari segi
etnologi dan botani. Etnologi menjelaskan hubungan yang erat antara kehidupan
suatu kelompok masyarakat dengan sumberdaya alam tumbuhan yang ada
dilingkungannya, termasuk didalamnya uraian tentang sejarah pemanfaatannya
dan penyebaran jenis-jenis tumbuhan tersebut. Segi botani lebih menekankan
pada konsepsi masyarakat itu terhadap dunia tumbuhan yang dikenal, terutama
perannya dalam kehidupan sehari-hari, sebagai sumber pangan, perumahan,
bahan obat, bahan rempah, maupun untuk ritual (Wardah et al, 2002).
Berbagai jenis biodiversitas mempunyai potensi kandungan bahan-bahan
kimia dan sumberdaya genetika. Potensi ini merupakan keunggulan komperatif
karena pada saat ini terjadi peningkatan industri terhadap sumber-sumber bahan
kimia untuk memproduksi obat-obatan, agrokimia, kosmetika, zat pewarna,
bahan pengawet makanan dan lain-lain (Sumarja 1998).
Bioprospeksi pada prinsipnya adalah upaya pencarian, penelitian,
pengumpulan, ekstraksi, dan pemilihan sumberdaya hayati dan pengetahuan
tradisional untuk mendapatkan materi genetik dan sumber biokimia yang bernilai
ekonomi tinggi. Kegiatan ini penting untuk mendokumentasi sumberdaya genetik
keanekaragaman hayati sebelum ada pihak lain yang tidak bertanggung jawab
mengeksploitasi habis kekayaan tersebut, sekaligus mencari sumber bagi
keuntungan ekonomi di masa depan. Oleh karena itu keanekaragaman, struktur
dan komposisi vegetasi sebagai komponen utama habitat perlu dikaji dan
dianalisa. Demikian pula pemanfaatan keanekaragaman flora oleh masyarakat
sekitar taman nasional terutama pemanfaatannya sebagai bahan obat-obatan
tradisional.
98
Perlombaan pencarian obat baru seiring dengan munculnya penyakit-
penyakit baru. Berbagai hasil kajian, tanaman dan tumbuhan di wilayah tropis,
khususnya Indonesia, menjadi incaran. Sumberdaya alam hayati menjadi sangat
berharga, khususnya sebagai sumber gen (plasma nutfah) dan sebagai sumber
bahan kimia. Oleh karena itu ekstrak yang diperoleh dari sumberdaya hayati ini
sangat mahal sekalipun dalam jumlah yang amat sedikit (mikro-liter) nilainya
dapat mencapai puluhan ribu dollar. Ekstrak ini digunakan sebagai bahan baku
industri gen dan industri obat modern (Dennin, 2000 ; Kusuma,2002 ).
Berdasarkan hasil penelitian keanekaragaman tumbuhan obat yang
digunakan oleh masyarakat di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani
Wartabone (merupakan pokok bahasan tersendiri dalam disertasi ini dan telah
dibahas pada bab sebelumnya), ditemukan 121 jenis tumbuhan obat. Dari hasil
analisis Metode Perbandingan Eksponensial (MPE), pinang yaki (Areca vestiaria
Giseke) merupakan tumbuhan yang paling berpotensi untuk dikembangkan.
Untuk itu pengkajian terhadap aspek ekologi, fenologi, dan pemanfaatan
tumbuhan pinang yaki (Areca vestiaria Giseke) perlu dilakukan.
Penelitian ini akan membawa terobosan baru dalam penemuan senyawa-
senyawa bioaktif unggulan khas tropis, khususnya Daerah Sulawesi Utara yang
merupakan kawasan peralihan antara Zona Malaysia dan Australia yang dikenal
dengan "Wallaceae Area" yang memiliki beranekaragam karakteristik dan
keunikan jenis tumbuhan.
Pada prinsipnya penelitian ini melanjutkan eksplorasi potensi
keanekaragaman hayati tumbuhan obat antifertilitas yang sudah dilakukan
(Simbala, 2006). Dari hasil penelitian Bioekologi yang sudah dilakukan, Pinang
yaki (Areca vestiaria) merupakan jenis palem endemik Sulawesi yang memiliki
karakteristik yang unik dan merupakan salah satu komponen penting dalam
ekosistem hutan hujan tropis dimana buahnya sebagai salah satu sumber
makanan bagi monyet hitam (Macaca nigra) yang juga merupakan satwa
endemik Sulawesi.
Tumbuhan dikenal sebagai pabrik industri kimia yang merupakan bahan
baku obat yang telah diketahui sejak lama dengan menggunakan obat
tradisional. Mengingat sekarang ditemukannya penyakit yang beraneka ragam
seperti kanker, AIDS, flu burung dan lai-lain, diperlukan pencarian senyawa kimia
yang aktif dari tumbuhan.
99
Menurut Achmad (2003), bahan kimia yang bersumber dari tumbuhan yang
telah digunakan untuk antihipertensi di antaranya resinamin dan reserpin dari
Rauwolfia serpentina Benth, dan deserpidin dari R. tetraphylla L. (Apocynaceae);
untuk terapi penyakit jantung dipakai bahan kimia seperti kuabain dari
Strophanthus gratus Baill. (Apocynaecae); dan untuk terapi diuretik dan
vasodilator dipakai teobromin dari Theobroma cacao L. termasuk suku
Sterculiaceae. Senyawa kristalin yang diketahui sebagai daucosterol, cumanbrin-
A, acacetin, glyceryl-1- monobehenate dan asam palmitik (chrysanthemol) yang
diisolasi dari bunga-bunga Chrysanthemum indicum L., chrysanthemol
antiinflamasi pada tikus (Yu, et al, 1987); dan thalicsiline dari Thalictrum sessile
(Wu et al, 1988).
Bahan kimia asal tumbuhan yang dapat dipakai sebagai antifertilitas telah
banyak dikaji di antaranya Levo gossypol sebagai agen antifertilitas pada pria
berasal dari Gossypium (Malvaceae). Ekstrak etanol dari Artemisia absinthium,
dan Schubertia multiflora sebagai antifertilitas, dan Ruta graveolus dapat
menyebabkan keguguran (Rao, 1988); dan sebaliknya Phenylethanoid
glycosides dari herba Cistanchis dipakai untuk pergobatan bagi impotensi dan
yang dilakukan ini hanya menguji beberapa senyawa yang dapat terekstrak
kedalam fraksi pelarut sesuai dengan sifat kepolarannya. Fraksi heksana
merupakan fraksi pelarut yang bersifat non polar sehingga senyawa yang
diujinya berupa senyawa non polar seperti terpenoid, minyak atsiri,lemak dan
asam lemak. Pengujian pada fraksi khloroform adalah senyawa golongan
alkaloid dan terpenoid. Khloroform biasanya sering mengekstrak senyawa
golongan alkaloid dan terpenoid (Harborne, 1987). Fraksi etil asetat, senyawa
yang diuji berupa senyawa tingkat kepolaran yang lebih tinggi dari fraksi
sebelumnya. Senyawa yang diuji adalah flavonoid dan terpenoid.
Pada uji kualitatif ini, senyawa-senyawa kimia ditentukan golongannya
dengan melihat ada tidaknya perubahan warna sesuai dengan pereaksi yang
digunakan, timbulnya endapan dan terbentuknya busa seperti pada identifikasi
saponin. Hasil yang diperoleh dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 18.
Pada fraksi khloroform, menunjukkan bahwa biji pinang yaki tidak
teridentifikasi adanya senyawa alkaloid. Pemeriksaan alkaloid ini dilakukan
dengan menambahkan pereaksi alkaloid. Pereaksi yang digunakan dalam
pemeriksaan ini adalah pereaksi Mayer dan Dragendorf. Kedua pereaksi ini
bereaksi jika terdapat alkaloid dan memberikan warna yang khas. Pereaksi
127
Mayer akan bereaksi dengan alkaloid dan membentuk endapan berwarna putih
sedangkan dengan pereaksi Dragendorf membentuk endapan berwarna jingga.
Uji terpenoid mendapatkan hasil positif dengan terbentuknya warna hijau- biru
pada larutan. Dalam Harborne, 1987 uji Lieberman – Buchard yang
menghasilkan terbentuknya warna hijau – biru menunjukkan fraksi tersebut
mengandung triterpenoid dan sterol.
Tabel 18. Hasil Analisis Fitokimia Pinang yaki
Kode Sampel Parameter Uji Hasil Keterangan
Alkaloida - Tidak menghasilkan warna endapan
putih, coklat dan jingga setelah
ditambahkan pereaksi Mayer,Wagner dan
Dragendrof
Flavonoid +++ Menghasilkan warna jingga pada lapisan
amilalkohol
Steroida - Tidak menghasilkan warna biru muda
setelah ditambahkan asam asetat anhidrat
dan asam sulfat pekat
Triterpenoida +++ Menghasilkan warna merah setelah
ditambahkan asam asetat anhidrat dan
asam sulfat pekat
Tanin +++ Menghasilkan warna hitam kehijauan
setelah ditetesi FeCl3 1%
Hidro kuinon ++ Menghasilkan warna merah setelah
ditetesi NaOH 10%
Pinang Yaki
Saponin +++ Menghasilkan busa yang stabil setelah
dikocok
Keterangan :
+ sedikit ++ Banyak +++ Sangat Banyak -Tidak ada
Tabel 18 menunjukkan bahwa pada ekstrak kasar diperoleh hasil positif
untuk uji tanin. Tanin banyak terdapat dalam jaringan tumbuhan dan mempunyai
rasa pahit dan kelat. Hal ini menyebabkan sebagaian besar tumbuhan yang
mengandung tanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan. Uji tanin ini
128
diperlukan mengingat biji pinang yaki digunakan sebagai obat cacing pada
hewan ternak. Identifikasi tanin dilakukan dengan menggunakan larutan FeCl3
1% dan akan memberikan warna biru kehitaman atau hijau kehitaman. Reaksi
tanin dengan FeCl3 sebagai berikut :
Tanin + FeCl3 Tanin-Fe (biru- kehitaman atau hijau kehitaman)
Fraksi khloroform mengandung senyawa golongan terpenoid khususnya
triterpenoid dengan terbentuknya warna hijau – biru tua dengan pereaksi
Lieberman-Buchard. Pada fraksi etil asetat, dua senyawa yang diuji memberikan
hasil yang positif. Hasil tersebut adalah triterpenoid dan flavonoid. Adanya
flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah setelah penambahan
setelah penambahan magnesium dan HCl pekat.
Senyawa saponin menghasilkan uji positif pada fraksi alkohol 50%.
Saponin ini diambil dari kata sapo (sabun) yang menggambarkan tumbuhan yang
mengandung saponin seperti pada Saponaria officinalis (Caryophylaceae) untuk
detergen (Harbone 1996). Robinson (1995) mendefinisikan saponin sebagai
senyawa aktif permukaan yang kuat dan menimbulkan busa bila dikocok dalam
air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan hemolisis sel darah
merah. Senyawa ini dapat terdeteksi berdasarkan kemampuannya membentuk
busa yang stabil (minimal selama 15 menit). Menurut Wen dan Nowicke (1999)
diacu dalam American Journal of Botany (1999), senyawa saponin berfungsi
sebagai aprodisiaca (obat kuat). Saponin merupakan senyawa turunan steroid
yang berperan sebagai hormon seks (Robinson 1995; Harbone 1984).
Sedangkan Kayun (2003) membuktikan bahwa saponin merupakan senyawa
aktif untuk pengobatan hepatitis. Selain saponin, pengujian pada fraksi alkohol
50 % ini juga dilakukan untuk senyawa golongan terpenoid khususnya
triterpenoid .
Bila dilihat dari hasil uji fitokimia, biji pinang yaki mengandung senyawa
tanin, triterpenoida, flavonoid, dan saponin yang kemungkinan besar
mengandung senyawa potensi bioaktif.
Menurut Ramanthan et al., 1992 tanin dan flavonoid memiliki aktifitas
dalam menghambat HeLa dan Raji Lymphoma cell. Flavonoid juga merupakan
senyawa aktif sebagai antitumor, antialergi, antihepatotoksik, kardiovascular dan
antioksidan( Markham KR, 1988).
129
Golongan triterpenoid bisa digunakan sebagai anti bakteri (Waterman,
1990), antikanker, dan untuk mengobati luka dan peradangan (Cai et al., 1992).
Menurut Robinson (1995), triterpenoida merupakan senyawa yang aktif terhadap
patukan ular, diabetes, kerusakan hati, gangguan kulit dan antifungi.
Analisis Karakter ekstrak
Analisis krakter ekstrak diperlukan untuk pengkajian bagian tanaman
berpotensi. Pengukuran kadar air diperlukan karena memiliki relevansi terhadap
mutu simplisia biji pinang yaki secara kualitatif dan kuantitatif. Mutu kualitatif
berkaitan dengan bioaktifitas yang diperoleh pada proses ekstraksi sedangkan
mutu kuantitatif berkaitan erat dengan perolehan senyawa target yang
diharapkan dalam proses ekstraksi.
Penetapan kadar air diperlukan untuk bahan simplisia nabati yang
berhubungan dengan hilangnya H2O dari suatu bahan pada suhu 105OC. Kadar
air yang tinggi berpeluang sebagai tempat hidup dan berkembangnya
mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan simplisia. Pada Tabel tersebut di
atas memperlihatkan kadar air kurang dari 10% yang merupakan prasyarat untuk
simplisia nabati (Anonim , 1985).
Pada penelitian, jumlah rendemen yang diperoleh juga dijadikan
parameter untuk menentukan untuk penelitian selanjutnya. Menurut Houghton
dan Raman (1998) dengan mengetahui sifat senyawa yang akan diekstrak maka
dengan mudah dapat ditentukan pelarut dan metode ekstrak yang sesuai. Hasil
analisis kadar sari biji pinang yaki dapat dilihat pada Tabel 19 berikut :
Tabel 19. Hasil Analisis Kadar sari Buah Pinang yaki
Parameter
Hasil (%)
Rendemen air
Rendemen Pelarut Organik Kadar Air
Kadar Abu
5,78
16,46 6,10 0,70
130
Uji Toksisitas dengan Metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test)
Pada penelitian ini konsentrasi ekstrak bahan pinang yaki yang digunakan
dalan uji toksisitas yaitu 400, 600, 800, 1000 ppm dalam tabung yang berisi 10
ml air laut dan 15 ekor larva dengan tiga kali ulangan, menggunakan Metode
BSLT (Brine Shrimp Lethality Test), dan pengamatan setelah 24 jam. Hasil
analisis uji ini berupa LC50 (Lethal Conentration 50) yang merupakan konsentrasi
fraksi dalam skala ppm yang dibutuhkan untuk mematikan setengah dari populasi
larva udang. Data mortalitas larva A. salina Leach terhadap eksrak selanjutnya
diproses melalui program komputer Probit Analysis Method untuk memperoleh
nilai (LC50) dengan tingkat kepercayaan sebesar 95% (Finney, 1971) .
Hasil analisis probit menunjukkan ekstrak biji pinang yaki memiliki potensi
bioaktif, dalam hal ini berada pada nilai LC50 sebesar 334.99 ppm, berarti pada
konsenrasi tersebut menyebabkan kematian 50% hewan uji (Artemia salina L).
Nilai tersebut menunjukkan bahwa secara farmakologis bersifat toksik terhadap
hewan uji. Menurut Meyer et al. 1982, Solis et al. 1983 penelitian National Centre
Institut (NCl) Amerika Serikat, suatu ekstrak atau fraksi dari suatu tanaman
dianggap mempunyai potensi bioaktif terhadap kematian larva udang jika dinilai
LC50 < 1000 ppm, hanya spektrum keaktifannya masih sangat luas, semakin kecil
nilai LC50nya, maka ekstrak tadi akan semakin toksik.
131
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa pinang yaki (Areca vestiaria
Giseke) dapat ditemukan di lima lokasi penelitian yaitu di hutan Doloduo,
Tumokang, Matayangan , dan Gunung Kabila, dan Torout.
2. Areca vestiaria Giseke merupakan jenis tumbuhan yang mendominansi
kawasan hutan Tumokang dan G.Kabila pada tingkat sapihan dengan
nilai dominansi relatif tertinggi sebesar 8.08 % dan 2.19 % .
3. Jenis pinang yaki memiliki Indeks nilai penting (INP) tertinggi tingkat
sapihan di lokasi hutan Tumokang sebesar 24,53 % dan tingkat semai
sebesar 11,26%, sedangkan lokasi hutan G.Kabila sebesar 16,32%
untuk tingkat sapihan, dan untuk tingkat semai sebesar 11,18 % .
4. Tanaman pinang yaki ini oleh Suku Bolaang Mongondow yang tinggal
dikawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone digunakan sebagai
obat untuk penyakit diabetes, obat cacing untuk hewan ternak dan juga
dipakai sebagai obat kontrasepsi.
5. Hasil analisis kadar sari (kadar sari) buah pinang yaki menunjukkan
dalam air = 5,78 %, etanol = 16,46 %, kadar air = 6,10 %, kadar abu =
0,70 %.
6. Hasil uji fitokimia menunjukkan biji pinang yaki mengandung tanin,
triterpenoid, flavonoid, saponin dan hidrokuinon.
7. Uji toksisitas terhadap larva udang A.salina Leach diperoleh nilai 334,99
ppm. Nilai LC50 di bawah 1000 ppm, ini menunjukkan bahwa biji pinang
yaki memiliki potensi bioaktif.
Saran
Perlu dilakukan penelitian kandungan senyawa aktif pinang yaki
berdasarkan lokasi pengambilan sampel, waktu pengambilan sampel, dan
umur buah (pentil, matang, dan buah masak)
132
ABSTRACT
HERNY EMMA INONTA SIMBALA. Effect of Pinang Yaki (Areca vestiaria Giseke) extract application on Spermatozoa quality of male mouse. Under the direction of DEDE SETIADI, LATIFAH K-DARUSMAN, IBNUL QAYIM, MIN RAHMINIWATI. One ideal alternative for male contraception is using natural substance namely plant according to laws no.23, 1992, concerning about traditional medicine. As an archipelago country, Indonesia has wet tropical seasons that rich with flora species. In other hand in searching ideal contraception for male, should meet with criteria including prevent fertilization, safety, reversible, responsive, simple to use, and heving no side effect. Pinang yaki (Areca vestiaria Giseke) are used to cure diabetes diseses and contraception by community around Bogani Nani Wartabone National Park. The methods is as follows: the seed is broken, pick the meat, than boiled with a glass of water, and after cooling than immediately to drink.
The research’s objectives are to make preclinical testing as anti fertility on pinang yaki (Areca vestiaria Giseke), to study effect of pinang yaki seed extract application on spermatozoa quality of white male mouse vas deferens,Sprague-Dawley wistar, and to study effective dosage that decreasig spermatozoa quality of the mouse. The research was expected useful to make a new invention to support WHO program, that is found a new methods for male contraception that meet with criteria such as safety, effective, reversible having no side effect. From the result, it was concluded that application of pinang yaki seed extract on male mouse is able to decrease motility, normal shape of spermatozoa, and the spermatozoa number, but not significant to body and testis weight. Key word : Pinang yaki extract, Spermatozoa, Male Mouse
133
PENDAHULUAN
Latar belakang Hampir seluruh negara di dunia merasa kuatir terhadap peningkatan
jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang tidak terkontrol akan menimbulkan
dampak negatif terhadap pola prilaku penduduk sehingga sulit mencapai
kesejahteraan.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat
di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Jumlah penduduk Indonesia
tahun 2000 mencapai 203,4 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan penduduk
kurang lebih 4 % per tahun maka jumlah penduduk akan menjadi 400 juta jiwa
pada tahun 2050. Untuk itu laju pertumbuhan masih harus terus ditekan,
sehingga sumber daya dapat lebih diprioritaskan pada pembinaan potensi dan
kualitas penduduk.
Bagi Pemerintah Indonesia, masalah penduduk sangatlah penting karena
berhubungan langsung dengan kesejahteraan hidup yang sehat dan layak.
Keadaan ekonomi yang kurang memadai dengan jumlah keluarga yang banyak
akan membuat orang harus bekerja keras membanting tulang untuk dapat hidup
dengan tenang.
Dalam upaya menekan laju pertumbuhan penduduk, Pemerintah
Indonesia mengambil suatu kebijakan melalui Program Keluarga Berencana
(KB). Menurut survey Kesehatan dan Demokrasi Indonesia yang dikeluarkan
Badan Koordinasi Keluarga Berencana nasional di tahun 2003, dari 27 juta
akseptor KB di Indonesia, 90 % adalah wanita, partisipasi pria sangat kecil,
hanya berkisar 1,3%. Padahal di Malaysia, partisipasi pria dalam menjalani
program KB sudah mencapai angka 15 %. Selanjutnya dilaporkan pula bahwa
keterlibatan pria secara aktif dalam program KB, masih sangat rendah dan
terbatas hanya dengan menggunakan alat KB kondom 1,11% serta vasektomi
1,35%. Meskipun kegagalan kedua alat ini sangat kecil (Raven dan Johnson,
186), namun masih terdapat masalah yang cukup kompleks. Kondom
mempunyai efek psikis karena berkurangnya daya sensivitas (Sutiyarso, 1992).
Vasektomi dapat menimbulkan infeksi, sehingga terjadi pembengkakan, rasa
sakit dan kegagalan rekanalisasi vas deverens sehingga dapat menyebabkan
sterilitas (Anonim,1983; Moeloek, 1985; Vernom et al.1991). Selain itu cara ini
134
memerlukan tenaga ahli dan fasilitas yang biayanya cukup tinggi sehingga
mengurangi niat sipemakai.
Rendahnya partisipasi pria dalam program KB, disebabkan terbatasnya
pilihan kontrasepsi pria. Agar lebih mendorong kaum pria untuk berperan aktif
dalam mengikuti program KB, maka sangatlah tepat untuk lebih banyak
menyediakan jenis kontrasepsi untuk pria, sehingga kaum pria memiliki berbagai
alternatif yang sesuai pilihannnya.
Usaha pengembangan cara pengendalian kesuburan pria lebih sulit dari
wanita, karena seorang pria setiap hari dapat memproduksi jutaan sperma,
sedangkan seorang wanita hanya melepaskan sebuah sel telur setiap bulan. Pil
atau suntikan KB untuk pria harus dapat mengendalikan produksi jutaan sperma,
tanpa penurunan libido dan efek samping yang membahayakan.
Salah satu alternatif kontrasepsi pria yang paling ideal adalah
penggunaan bahan alam yaitu tanaman, yang sejalan dengan Undang-Undang
no.23 tahun 1992 tentang pengobatan tradisional. Hal ini sesuai dengan kondisi
negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan iklim tropika basah
yang kaya dengan jenis flora. Dalam mencari bahan kontrasepsi yang ideal
bagi pria, selain harus mencegah terjadinya pembuahan, juga harus memenuhi
kriteria aman, reversibel, cepat kerjanya, mudah digunakan, dan tanpa efek
samping yang berarti bagi pemakainya, terutama potensi seks dan libido.
Satari (1994) mengemukakan bahwa Indonesia memiliki hutan tropik
seluas 120 juta hektar yang dikenal sebagai komunitas yang paling kaya akan
keanekaragaman flora serta merupakan gudang plasma nutfah endemik yang
dapat dimanfaatkan untuk masa kini dan masa yang akan datang.
Menurut Rosoedarso,et al (1990), sebagaian besar keanekaragaman
hayati berada di dalam hutan. Sedangkan Zuhud(1994) mengatakan bahwa di
dalam hutan Indonesia terdapat 25.000 jenis tumbuhan, dan dari jumlah tersebut
baru 20 % atau 5000 jenis yang sudah dimanfaatkan dalam berbagai
pemanfaatan termasuk 1260 jenis yang dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat.
Oleh karena itu hutan tropis Indonesia adalah sumberdaya bahan kimia yang
masih menunggu untuk dievaluasi guna menemukan bahan-bahan kimia baru
yang potensial dalam bio-industri farmasi, pertanian, dan umumnya.
Jumlah jenis tumbuhan obat yang telah diidentifikasi tidak kurang dari
1845 jenis tumbuhan obat liar yang saat ini dieksploitasi dalam jumlah besar dari
hutan maupun dari lahan liar lainnya sebagai bahan baku industri obat tradisional
135
di Indonesia. Dari 1845 jenis tumbuhan obat tersebut, terdapat 18 jenis
diantaranya merupakan tanaman obat yang berpotensi menurunkan kesuburan
atau sebagai antifertilitas bagi pria (Agoes, 2006). Salah satu di antaranya adalah
pinang yaki (Areca avestiaria) yang digunakan oleh masyarakat di sekitar
kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone sebagai alat kontrasepsi pria.
Caranya biji dibelah, diambil dagingnya kemudian direbus dengan 1 gelas air,
setelah mendidih dinginkan lalu diminum.
Areca vestiaria atau pinang yaki merupakan salah satu marga Areca
dengan ciri-ciri umum yaitu tumbuh tunggal atau berumpun, batang ramping dan
bercincin, terdapat tajuk pelepah, pelepah daun panjang atau pendek, helaian
daun memanjang tersusun teratur, pembungaan tumbuh pada ruas batang di
bawah tajuk pelepah. Berumah satu, Buah bulat telur, berwarna jingga sampai
merah dan berbiji satu (Witono, 1998).
Hasil analisis Fitokimia menunjukkan bahwa ekstrak buah pinang yaki
mengandung tanin, flavonoid,hidro kuinon, triterpenoid dan saponin. Sedangkan
dari hasil analisis karakter ekstrak, buah pinang yaki mengandung kadar air 6.10
%, kadar abu 0,70 %,rendemen air 5,78 % dan rendemen pelarut organik 16,46
%.
Tujuan Umum :
Penelitian ini bertujuan untuk menguji ekstrak buah pinang yaki (Areca
vestiaria) sebagai antifertilitas untuk menunjang program pemerintah
dalam menekan laju pertumbuhan penduduk Indonesia
Menunjang program Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2006 guna
menemukan metode baru KB Pria yang aman, efektif, reversibel dan
tanpa efek samping yang berarti bagi kesehatan pemakainya. Tujuan Khusus :
Melakukan uji preklinik sebagai antifertilitas (Areca vestiaria), untuk
mengetahui pengaruh pemberian ekstrak biji pinang yaki terhadap kualitas
spermatozoa vas deferens tikus putih jantan strain Sprague-Dawley dan untuk
mengetahui berapa besar dosis efektif yang dapat menurunkan kualitas
spermatozoa vas deferens tikus putih jantan .
136
Hipotesis Penelitian
Buah pinang yaki (Areca vestiaria) memiliki komponen bioaktif sebagai
antifertilitas, terhadap kualitas spermatozoa vas deferens Tikus putih jantan.
Hasil yang diharapkan
Penelitian ini diharapkan akan memberi terobosan baru dalam penemuan
senyawa-senyawa bioaktif unggulan khas tropis yang mempunyai aktifitas
sebagai antifertilitas. Di samping itu akan diperoleh temuan baru untuk
menunjang program Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) guna menemukan
metode baru KB Pria yang aman, efektif, reversibel dan tanpa efek samping
137
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman yang digunakan sebagai antifertilitas
Berbagai bahan obat yang berasal dari tumbuhan hutan tropis, terutama
yang berhasiat untuk pengobatan penyakit telah ditemukan dan diuji
bioaktifitasnya. Bahan kimia yang bersumber dari tumbuhan yang telah
digunakan untuk antihipertensi di antaranya resinamin dan reserpin dari
Rauwolfia serpentina Benth. dan deserpidin dari R. tetraphylla L. (Apocynaceae);
untuk terapi penyakit jantung dipakai bahan kimia seperti kuabain dari
Strophanthus gratus Baill. (Apocynaecae); dan untuk terapi diuretic dan
vasodilator dipakai teobromin dari Theobroma cacao L. (Sterculiaceae) (Achmad,
2003).
Sampai saat ini, obat kontrasepsi oral yang efektif dan banyak
digunakan, berasal dari golongan steroids. Hampir semua jenis obat tersebut
merupakan hasil sintetis di laboratorium, dan berpotensi mengundang efek
samping yang merugikan. Pada beberapa orang, efek itu tampak nyata
semacam berat badan tidak terkendali, alergi, mual-mual, gangguan siklus haid,
hilangnya gairah kerja, dan lain-lain. Berdasarkan pada kenyataan ini,
masyarakat mulai menengok kembali ramuan tradisional yang relatif lebih aman
(Anonim 1988).
Populasi masyarakat di Tibet yang tidak mengalami perkembangan
signifikan selama lebih dari 200 jiwa. Para peneliti di sana tak pernah direpotkan
persoalan kependudukan selama kurang lebih dua abad. Beberapa penelitian
membuktikan, dalam menu makanan warga Tibet, hampir selalu hadir kacang
ercis (Pisum sativum), atau motor dalam bahasa Tibet. Orang Indonesia
mengenal kacang ini dengan sebutan garnet, kacang kapri, atau kacang polong.
Penelitian intensif di laboratorium akhimya menghasilkan temuan bahwa
senyawa penghambat lonjakan angka kelahiran di Tibet adalah senyawa kimia
m-xilohidroksiquinon. Ini merupakan senyawa utama minyak kacang ercis. Hasil
pengujian terhadap hewan dan manusia menunjukkan, senyawa ini sangat efektif
dalam menghalangi aktivitas spermatozoa. M-xilohidroksiquinon digolongkan ke
dalam senyawa antifertilitas nonsteroida. Senyawa dalam ercis sama sekali tidak
berpotensi toksik (racun) bagi wanita. Di dalam tubuh, aktivitas senyawa ini
berlawanan dengan vitamin E yang konon merupakan vitamin penyubur (