i
ii
EXECUTIVE SUMMARY
Kajian kebijakan persaingan terkait rencana tindakan pengamanan perdagangan (TPP) atau safeguards atas impor produk sirop fruktosa merupakan pendukung dari surat saran
pertimbangan KPPU kepada Pemerintah terkait rencana kebijakan dimaksud. Saran
pertimbangan KPPU disampaikan dalam koridor pertimbangan kepentingan nasional dari
perspektif persaingan usaha sebagaimana sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 84
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan
Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan (PP 34/2011). Analisa dalam kajian ini menggunakan pendekatan Struktur-Perilaku-Kinerja yang telah umum digunakan dalam
analisa organisasi industri.
Proses analisa dilakukan setelah mendapatkan data dan informasi dari berbagai stakeholders terkait. Berikut data dan informasi yang digunakan dalam kajian kebijakan
persaingan usaha terkait rencana safeguards atas impor sirop fruktosa:
1. Peraturan perundang-undangan terkait Perjanjian Perdagangan Bebas Indonesia,
meliputi:
a. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 235 Tahun 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Asean China Free Trade Area;
b. PMK Nomor 117 Tahun 2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Asean China Free Trade Area;
c. PMK Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Asean China Free Trade Area;
d. PMK Nomor 213 Tahun 2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor;
e. PMK Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan
Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor; f. PMK Nomor 109 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua PMK Nomor 229 Tahun
2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Atas Barang Impor
berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional.
2. Dokumen bukti awal permohonan versi tidak rahasia atas produk sirop fruktosa.
3. Data hasil diskusi, wawancara, survey KPPU dari pemohon dan pendukung safeguards impor Sirop Fruktosa.
4. Data Statistik Impor Badan Pusat Statistik (BPS). 5. Jurnal Internasional terkait Kebijakan Export Tax Rebate Republik Rakyat Tiongkok.
6. Data hasil diskusi, wawancara, survey KPPU dan pengumpulan data dari importir
sirop fruktosa dan pengguna Sirop Fruktosa. 7. Pendapat Ahli Pemanis (sweetener) dari Balai Besar Teknologi Pati Lampung Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Berdasarkan hasil analisa yang dilakukan KPPU, maka dapat disimpulkan dan
direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut:
1. Kesimpulan kajian:
a. Selama masa penyelidikan oleh Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia
(KPPI) terkait Lonjakan Impor Produk Sirop Fruktosa, KPPU belum menemukan
indikasi pelanggaran UU No. 5 Tahun 1999 oleh Industri Dalam Negeri (IDN) pemohon safeguards, baik dari laporan masyarakat maupun dari pengumpulan
data dan informasi yang berasal dari importir Sirop Fruktosa dan pengguna
Sirop Fruktosa. Kondisi ini terjadi karena tekanan persaingan di pasar tetap
terjadi. Hal ini antara lain disebabkan oleh struktur industri yang tetap
kompetitif. b. Pemberian safeguards tidak serta merta mendorong terjadinya penguatan
kekuatan pasar pemohon safeguards sebagai akibat dari naiknya harga produk
pesaing. Pesaing, produsen dalam negeri sirop fruktosa, dari pemohon safeguards saat ini dalam posisi siap memenuhi kebutuhan pengguna sirop
iii
fruktosa. Oleh karena itu, tekanan persaingan di pasar sirop fruktosa akan
tetap terjaga. c. Namun terdapat beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan Pemerintah
terkait hubungan afiliasi pemohon safeguards sirop fruktosa dengan pelaku
usaha industri hulu pemanis.
2. Rekomendasi KPPU: KPPU mendukung rencana Pemerintah memberlakukan kebijakan BMTP untuk
produk sirop fruktosa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Namun demikian, KPPU berpendapat bahwa dalam penetapan kebijakan tersebut,
Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan beberapa dampak pemberlakuan dari
kebijakan tersebut, yakni :
a. Terjadinya peningkatan kekuatan pasar pemohon safeguards, yang terintegrasi
secara vertikal dengan afiliasinya dalam industri pemanis. KPPU akan
melakukan pengawasan terhadap industri pemanis selama pemberlakuan safeguards impor sirop fruktosa untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan
integrasi vertikal tersebut.
b. Terhalangnya industri pengguna sirop fruktosa untuk mendapatkan sirop
fruktosa dengan harga yang kompetitif, yang mengakibatkan kenaikan biaya,
sementara industri pengguna sirop fruktosa terbesar, yaitu industri makanan
dan minuman juga menghadapi tekanan persaingan dari produk impor. c. Terjadinya distorsi pasar, karena kekuatan pasar yang tercermin dari pangsa
pasar semestinya didapatkan melalui proses persaingan dengan peningkatan
inovasi produk atau efisiensi usaha, bukan melalui kebijakan pemerintah.
KPPU juga menyarankan agar Pemerintah secara ketat mengawasi pelaksanaan
rencana penyesuaian struktural yang menjadi komitmen pemohon safeguards.
Perencanaan harus didetailkan, sehingga komitmen pelaku usaha bisa terukur dan
pemenuhan komitmen bisa diawasi dengan mudah. Hal ini agar perlindungan
mencapai tujuannya, terutama untuk meningkatkan daya saing produk lokal
sehingga mendorong peningkatan utilisasi kapasitas terpasangnya, yang dalam
gilirannya akan mendorong multiplier effect yang positif untuk beberapa bidang
ekonomi yang terkait dengan peningkatan utilisasi tersebut.
iv
DAFTAR ISI
Cover ......................................................................................................................... i Executive Summary .................................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................................... iv
Daftar Tabel ............................................................................................................... v Daftar Gambar ........................................................................................................... vi
A. PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
B. DOKUMEN DAN DATA YANG DIANALISA ............................................................... 4
C. FAKTA YANG DITEMUKAN .................................................................................... 5
1. Peraturan perundang-undangan ....................................................................... 5
2. Dokumen bukti awal permohonan Safeguards Impor Sirop Fruktosa ................. 8
3. Data hasil diskusi, wawancara, survey KPPU dari pemohon dan pendukung
safeguards impor Sirop Fruktosa ............................................................................ 10
4. Data Statistik Impor Badan Pusat Statistik (BPS) ............................................... 13
5. Jurnal Internasional terkait Kebijakan Export Tax Rebate
Republik Rakyat Tiongkok ................................................................................. 14
6. Data Direktori Importir Indonesia 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) .................. 24
7. Data hasil diskusi, wawancara, survey KPPU dan pengumpulan data
dari importir sirop fruktosa dan pengguna Sirop Fruktosa ................................. 25
8. Pendapat Ahli pemanis (sweetener) dari Balai Besar Teknologi Pati
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Lampung ............................... 27
D. ANALISA PERSAINGAN USAHA .............................................................................. 29
1. Analisa Pasar Bersangkutan .............................................................................. 30
2. Analisa Perilaku Pelaku Usaha di Pasar Sirop Fruktosa ..................................... 32
3. Analisa Penyebab Lonjakan Impor ..................................................................... 34
4. Model Determinan Impor Sirop Fruktosa ........................................................... 35
5. Analisa Kinerja Pasar ........................................................................................ 39
6. Analisa Komitmen Penyesuaian Struktural ........................................................ 40
E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ....................................................................... 42
1. Kesimpulan ....................................................................................................... 42
2. Rekomendasi .................................................................................................... 42
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 44
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Uraian ketentuan peraturan perundang-undangan terkait perjanjian
perdagangan bebas Indonesia ..................................................................... 5
Tabel 2. Pangsa Impor Sirop Fruktosa Indonesia 2015-2018 ..................................... 9
Tabel 3. Lonjakan Impor Sirop Fruktosa Indonesia 2015-2018 .................................. 9
Tabel 4. Perkembangan Impor Sirop Fruktosa Indonesia 2012-2019 ......................... 13
Tabel 5. Pangsa Impor Sirop Fruktosa berdasarkan Statistik Impor BPS 2018-2019 .. 14
Tabel 6. Perhitungan Elastisitas ................................................................................ 37
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur Pembuatan Pemanis turunan Pati ..................................................... 27
Gambar 2. Pangsa pasar Sirop Fruktosa di Indonesia tahun 2018 .............................. 31
Gambar 3. Pohon Industri Pemanis ............................................................................ 33
Gambar 4. Perkembangan Impor Sirop Fruktosa Indonesia 2008-2019 ...................... 35
1
Kajian Kebijakan KPPU
terkait Rencana Tindakan Pengamanan Perdagangan (TPP)
atas Impor Produk Sirop Fruktosa
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Pada tanggal 13 November 2019, Komite Pengamanan Perdagangan
Indonesia (KPPI) mengumumkan dimulainya penyelidikan tindakan
pengamanan perdagangan terhadap impor produk sirop fruktosa.
Penyelidikan ini dilakukan atas permohonan PT. Associated British Budi
(PT ABB) pada tanggal 28 Oktober 2019. Deputi Kajian dan Advokasi
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk pertama kalinya
diundang menghadiri Dengar Pendapat (Public Hearing) terkait
penyelidikan di atas pada tanggal 10 Desember 2019. Diundangnya
KPPU dalam proses penyusunan kebijakan trade remedies di tahap
awal, mengindikasikan kebutuhan analisa persaingan usaha dalam
penyusunan rencana kebijakan pengamanan perdagangan terhadap
impor sirop fruktosa.
Jika membahas peran KPPU, kebijakan pengamanan perdagangan
terkait dengan ketentuan Pasal 70 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor
34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan
Tindakan Pengamanan Perdagangan (PP 34 Tahun 2011) yang
menyatakan tindakan pengamanan perdagangan dapat berupa
pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan/atau Kuota.
Kedua jenis implementasi kebijakan ini berpotensi menjadi hambatan
masuk ke dalam pasar. Analisa mengenai hambatan pasar ini menjadi
bagian yang dikontribusikan KPPU sebagai pertimbangan dalam rapat
pertimbangan kepentingan nasional di Kementerian Perdagangan
sebelum pemerintah memberikan keputusan final.
Persyaratan pemohon tindakan pengamanan (safeguards)1, yaitu
mewakili proporsi besar dari total produksi juga menjadi indikasi bahwa
1 Article 4 point 1 (c) Agreement of Safeguards menyatakan“(c) in determining injury or threat thereof, a
“domestic industry”shall be understood to mean the producers as a whole of the like or directly competitive product operating within the territory of a Member, or those whose collective output of the like or directly competitive products constitutes a major proportionof the total domestic production of those products.”
2
akan terjadi penguatan pangsa pasar dari pemohon jika kebijakan ini
diberlakukan. Konsekuensi dari penguatan pasar ini memerlukan kajian
dari sisi persaingan usaha. Penguatan pasar dikhawatirkan akan
menyebabkan terjadinya praktek monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat yang tidak diinginkan sebagai implikasi dari kebijakan safeguards
ini.
Dalam dokumen bukti awal permohonan2, PT ABB mengklaim mewakili
proporsi produksi sebesar 54 persen dari total produksi sirop fruktosa di
Indonesia. Masih dalam dokumen yang sama, PT ABB menyampaikan
bahwa3:
“karena pengaruh dari persaingan global, perusahaan terpaksa hanya memproduksi berdasarkan pesanan (by order) yang secara prinsip, proses produksi tetap berjalan dan dilakukan berdasarkan estimasi (minimum) terhadap pesanan pelanggan”
Informasi ini menguatkan dugaan potensi terjadinya penguatan pasar
lantaran kebijakan pengamanan perdagangan diambil oleh Pemerintah
akan menyebabkan penguatan pangsa pasar (market power) dari
pemohon safeguards, yaitu PT. ABB. Oleh karena itu, diperlukan kajian
kebijakan persaingan yang akan menjadi dasar pertimbangan KPPU
dalam Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional4.
2. Pokok Permasalahan
Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang kebijakan safeguards
berdasarkan ketentuan PP 34 Tahun 2011 dapat berupa pengenaan
tambahan tarif bea masuk tindakan pengamanan atau kuota impor.
Kedua jenis implementasi kebijakan safeguards ini beririsan langsung
dengan prinsip-prinsip persaingan usaha yang sehat. Pengenaan BMTP
Impor menyebabkan importir sirop fruktosa yang merupakan pesaing
langsung produsen dalam negeri, mengalami peningkatan biaya impor.
2Bukti Awal Permohonan Versi Tidak Rahasia atas Produk Sirop Fruktosa. Hal. 3. (dokumen diunggah 8 Januari
2020 dari http://kppi.kemendag.go.id/asset/direktori/produk/Bukti%20Awal%20Permohonan%20Versi %20Tidak%20Rahasia%20atas%20Produk%20Sirop%20Fruktosa.pdf) 3 Ibid. Hal 11.
4 Tim Pertimbangan Kepentingan Nasional (Tim PKN) adalah terminologi yang dikembangkan dari ketentuan
Pasal 84 ayat (1) PP No. 34 Tahun 2011, yang menyatakan: untuk memperoleh pertimbangan dalam rangka kepentingan nasional, Menteri Perdagangan menyampaikan rekomendasi KPPI kepada Menteri dan/atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang terkait dengan Barang yang diselidiki. KPPU termasuk ke dalam Anggota Tim PKN melalui SK Mendag No. 773/M-Dag/Kep/6/2017.
3
Peningkatan biaya ini dapat disikapi dengan penurunan kuantitas
penjualan atau peningkatan harga jual sirop fruktosa oleh Importir.
Kedua kemungkinan respon ini, merunut teori permintaan akan
menurunkan pangsa pasar importir. Jika mengasumsikan permintaan
tetap, maka produsen dalam negeri akan mendapat limpahan konsumen
yang berpindah pemasok.
Sedangkan kebijakan kuota akan serta merta mengurangi ketersediaan
barang impor di dalam negeri. Dengan asumsi permintaan tetap,
konsumen sirop fruktosa akan beralih membeli dari produsen dalam
negeri. Dengan demikian produsen dalam negeri akan mendapatkan
keuntungan berupa penguatan pangsa pasar sebagai akibat dari
kebijakan pengamanan perdagangan (safeguards). Penguatan pangsa
pasar, yang idealnya tercipta karena efisiensi atau inovasi dari pelaku
usaha, menjadi terdistorsi karena kebijakan safeguards.
Argumentasi kebijakan safeguards dapat diakomodasi oleh Pemerintah
berkenaan dengan ketidakseimbangan pasar antara produk dalam
negeri dengan produk impor. Ketidakseimbangan pasar dapat terjadi
antara lain karena skala produksi, sumber bahan baku, biaya tenaga
kerja, dan biaya birokrasi di Negara asal produk impor yang lebih baik
dibandingkan di dalam negeri. Konsekuensinya, harga produk impor
jauh lebih murah dibandingkan produk dalam negeri. Pada kondisi
seperti ini, kebijakan safeguards diperlukan untuk menyeimbangkan
persaingan dan menyelamatkan produsen dalam negeri.
Dengan demikian, pokok permasalahan dalam kajian persaingan usaha
kebijakan safeguards ini adalah potensi penguatan pangsa pasar
pemohon safeguards. Penguatan pangsa pasar yang idealnya tercipta
melalui proses persaingan usaha yang sehat, terdistorsi oleh kebijakan
safeguards. Untuk itu kajian persaingan usaha akan ditekankan
terhadap potensi penyalahgunaan kekuatan pasar dari pemohon
safeguards berdasarkan history implementasi hubungan bisnis antara
pemohon safeguards dengan konsumennya, pengguna sirop fruktosa.
Penyalahgunaan kekuatan pasar bersinggungan dengan beberapa
ketentuan larangan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
(UU No. 5 Tahun 1999). Ketentuan tersebut antara lain:
4
a. Ketentuan Pasal 17 tentang Monopoli;
b. Ketentuan Pasal 19 dan 20 tentang Penguasaan Pasar; dan
c. Ketentuan Pasal 25 tentang Penyalahgunaan Posisi Dominan.
B. DOKUMEN DAN DATA YANG DIANALISA
Beberapa dokumen, data dan informasi yang berhasil dikumpulkan dan
selanjutnya dianalisa adalah sebagai berikut:
1. Peraturan Perundang-undangan
Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait dengan
rencana tindakan pengamanan perdagangan (TPP) impor produk sirop
fruktosa, yaitu:
a. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 235 Tahun 2008
tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Asean China
Free Trade Area;
b. PMK Nomor 117 Tahun 2012 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk
dalam rangka Asean China Free Trade Area;
c. PMK Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk
dalam rangka Asean China Free Trade Area;
d. PMK Nomor 213 Tahun 2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi
Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor;
e. PMK Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi
Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor; dan
f. PMK Nomor 109 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua PMK
Nomor 229 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea
Masuk Atas Barang Impor berdasarkan Perjanjian atau
Kesepakatan Internasional.
2. Dokumen bukti awal permohonan versi tidak rahasia atas produk sirop
fruktosa.
3. Data hasil diskusi, wawancara, survey KPPU dari pemohon dan
pendukung safeguards impor sirop fruktosa.
4. Data Statistik Impor Badan Pusat Statistik (BPS).
5. Jurnal Internasional terkait Kebijakan Export Tax Rebate Republik
Rakyat Tiongkok.
6. Data hasil diskusi, wawancara, survey KPPU dan pengumpulan data
dari importir sirop fruktosa dan pengguna sirop fruktosa.
5
7. Pendapat Ahli Pemanis (sweetener) dari Balai Besar Teknologi Pati
Lampung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
C. FAKTA YANG DITEMUKAN
1. Peraturan Perundang-undangan
Dalam kaitannya dengan lonjakan impor sirop fruktosa, ditemukan
fakta mengenai kebijakan pemerintah terkait perjanjian-perjanjian
perdagangan bebas Indonesia. Berikut rangkuman data-data yang
didapatkan dari peraturan perundang-undangan terkait perjanjian
perdagangan bebas Indonesia:
Tabel 1. Uraian ketentuan peraturan perundang-undangan terkait
perjanjian perdagangan bebas Indonesia No Peraturan Keterangan
1 PMK Nomor 235
Tahun 2008 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Asean China Free Trade
1. Mengatur penetapan tarif bea masuk impor barang dari China dan
Negara-negara Asean untuk tahun 2009-2012. Lampirannya mengatur besar tarif terhadap lebih dari 8700 HS Code yang tarifnya berlaku per tanggal 1 Januari setiap tahunnya (mengikuti kolom tahun dalam lampiran tsb)
2. Untuk barang impor Negara anggota termasuk China berlaku tarif yang diatur dalam kolom (5), (6), (7) dan (8). Namun apabila terdapat pengaturan tarif bea masuk pada kolom (9), maka barang impor dari China mengikuti tarif kolom (9).
3. Importir wajib melakukan pemberitahuan Pabean Impor dengan menyerahkan Surat Keterangan Asal (Form E) lembar asli dan lembar ketiga dan mencantumka HS Code Preferens Tariff kepada Kepala Kantor Pabean pelabuhan pemasukan.
4. Apabia tarif bea masuk lebih besar atau sama dengan tarif bea masuk yang berlaku umum, maka importir tidak memerlukan Surat Keterangan Asal (Form E).
5. Peraturan sebelumnya PMK Nomor 53 Tahun 2007 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. 6. Pada PMK Nomor 53 Tahun 2007 belum mengatur tarif bea masuk impor
sirop fruktosa. Pada PMK Nomor 235 Tahun 2008 baru mengatur tarif bea masuk impor sirop fruktosa dengan Kode HS 1702.60.20.00 sebesar
0persen
2 PMK Nomor 117 Tahun 2012 tentang
Penetapan Tarif Bea Masuk dalam rangka Asean China Free Trade Area
1. Mengatur penetapan tarif bea masuk impor barang dari China dan Negara-negara Asean untuk pertengahan tahun 2012 hingga 2017.
Lampirannya mengatur besaran tarif yang berlaku bagi lebih dari 10.000 HS Code.
2. Pada lampiran, Kolom (5) menunjukkan tarif yang berlaku sejak tanggal 10 Juli 2012 hingga 31 Desember 2014. Sedangkan kolom (6)
menunjukkan tarif yang berlaku pertanggal 1 Januari 2015 sampai dengan tanggal 28 Februari 2017.
3. Kolom (7) menunjukkan besar tarif yang berlaku untuk barang impor dari China. Sehingga apabila terdapat pengaturan tarif pada kolom (7), maka
barang impor dari China mengikuti tarif kolom (7). 4. Tarif yang lebih rendah dari tarif bea masuk umum wajib dilengkapi Surat
Keterangan Asal (Form E). 5. Importir wajib melakukan pemberitahuan impor barang dengan
menyerahkan SKA (Form E) Asli dan nomor referensi kepada Kantor Pabean pelabuhan masukan.
6. Dalam hal tarif bea masuk umum lebih rendah dari tarif bea masuk ACFTA, maka tarif yang berlaku adalah tarif bea masuk yang berlaku
secara umum. 7. Peraturan sebelumnya PMK Nomor 235 Tahun 2008 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
3 PMK Nomor 26 Tahun 2017 tentang
1. Mengatur penetapan bea tarif impor barang dari China dan Negara-negara Asean untuk bulan Maret 2017 hingga 2018. Lampirannya mengatur
6
Penetapan Tarif Bea Masuk Dalam rangka Asean China Free Trade Area
besaran tarif yang berlaku bagi lebih dari 10.800 HS Code. 2. Pada lampiran, Kolom (5) menunjukkan tarif yang berlaku sejak tanggal
1 Maret 2017 sampai 3 Desember 2017. Sedangkan kolom (6) menunjukkan tarif yang berlaku pertanggal 1 Januari 2018 sampai seterusnya(sampai saat ini belum ada peraturan terbaru).
3. Kolom (7) menunjukkan besar tarif yang berlaku untuk barang impor dari
China, sehingga apabila terdapat pengaturan tarif pada kolom (7), maka barang impor dari China mengikuti tarif kolom (7).
4. Apabila tarif bea masuk ACFTA yang lebih rendah dari tarif bea masuk umum wajib dilengkapi Surat Keterangan Asal (Form E).
5. Importir wajib melakukan pemberitahuan impor dengan mecantumkan nomor referensi, tanggal surat SKA (Form E) dan SKA (Form E) Asli saat pengajuan dokumen pemberitahuan kepada Kantor Pabean pelabuhan masukan.
6. Pengusaha tempat penimbunan berikat wajib melakukan pemberitahuan impor dengan mecantumkan nomor referensi, tanggal surat SKA (Form E) dan SKA (Form E) Asli paling lambat 3 hari kerja sejak tanggal Surat
Persetujuan Pengeluaran Barang Pemberitahuan Impor Barang untuk ditimbun di tempat penimbunan berikat, diberikan kepada pejabat bea cukai di Kantor Pabean yang melakukan penelitian dokumen.
7. Pengusaha pusat logistik berikat, wajib melakukan pemberitahuan impor
dengan mencantumkan nomor referensi, tanggal surat SKA (Form E) dan SKA (Form E) Asli paling lambat 3 hari sejak tanggal Surat Persetujuan Pengeluaran Barang Pemberitahuan Impor Barang untuk ditimbun di pusat logistik berikat, kepada Pejabat Bea dan Cukai Kantor Pabean yang
meneliti dokumen. 8. Dalam hal tarif bea masuk umum lebih rendah dari tarif bea masuk
ACFTA, maka tarif yang berlaku adalah tarif bea masuk yang berlaku secara umum.
9. Ketentuan ini berlaku terhadap barang impor yang dokumen pemberitahuan pabean impornya telah mendapat nomor dan tanggal pendaftaran dari Kantor Pabean penerima.
10. Peraturan sebelumnya PMK Nomor 117 Tahun 2012 dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
4 PMK Nomor 213
Tahun 2011 tentang Pentapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan
Tarif Bea Masuk atas Barang Impor
1. Mengatur tentang pemberlakukan HS Code dan pembagian klasifikasi
untuk produk dengan HS Code yang terdiri dari catatan bagian, catatan bab dan catatan subpos (Lampiran I dan II) seta mengatur pembebanan tarif bea masuk (Lampiran III).
2. Struktur penomoran HS Code adalah sebagai berikut:
a. Kode 4 digit dan 6 digit merupakan HS Code yang diterbitkan World Custom Organization (WCO);
b. Kode 8 digit merupakan terbitan Asean Harmonised Tarif Nomenclature (AHTN);
c. Kode 10 digit merupakan pos tarif nasional d. HS Code pada Lampiran III Bab 98 seluruhnya merupakan pos
tarif nasional. 3. Ketentuan ini berlaku terhadap barang impor yang dokumen
pemberitahuan impornya telah mendapat nomor dan tanggal pedaftaran dari Kantor Pabean.
4. Ketentuan klasifikasi barang dalam peraturan ini berlaku secara mutatis mutandis yang digunakan dalam bidang tarif dan non-tarif, termasuk
bisang kepabeanan, cukai, perpanjakan, fiskal, perdagangan, industri dan investasi.
5. PMK Nomor 110 Tahun 2006 berikut seluruh perubahannya, PMK Nomor 93 Tahun 2007, PMK Nomor 197 Tahun 2007, PMK Nomor 70 Tahun
2008, PMK Nomor 128 Tahun 2008, PMK Nomor 07 Tahun 2009, PMK Nomor 19 Tahun 2009, PMK Nomor 101 Tahun 2009, PMK Nomor 150 Tahun 2009 dan PMK Nomor 82 Tahun 2010 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
6. Perubahan PMK Nomor 23 Tahun 2011 hanya mengatur terkait keberlakuan tarif bea masuk pada setiap tahunnya.
5 PMK Nomor 6 Tahun
2017 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan
Tarif Bea Masuk atas Barang Impor
1. Peraturan berlaku sejak tanggal 1 Maret 2017
2. Sistem klasifikasi penomoran HS Code adalah sebagai berikut: a. Kode 4 digit dan 6 digit merupakan HS Code yang diterbitkan
World Custom Organization (WCO); b. Kode 8 digit merupakan terbitan Asean Harmonised Tarif
Nomenclature (AHTN) dan merupakan pos tarif nasional; c. HS Code pada Bab 98 Lampiran III tentang struktur klasifikasi
barang, seluruhnya merupakan ketentuan nasional. 3. Ketentuan klasifikasi barang dalam peraturan ini berlaku secara mutatis
mutandis yang digunakan dalam bidang tarif dan non-tarif, termasuk bisang kepabeanan, cukai, perpanjakan, fiscal, perdagangan, industri dan investasi. Penyesuaian penggunaan sistem klasifikasi pada ketentuan ini
7
dilaksanakan paling labat 2 tahun terhitung sejk peraturan ini berlaku. 4. PMK Nomor 23 Tahun 2011 dengan segala perubahannya dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. 5. Segala perubahan terhadap PMK Nomor 23 Tahun 2011 hanya mengatur
keberlakuan tarif bea masuk barang yang diperbarui setiap tahunnya.
6 PMK Nomor 109 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua PMK Nomor 229
Tahun 2017 tentang Tata Cara Pengenaan Tarif Bea Masuk Atas Barang
Impor berdasarkan Perjanjian atau Kesepakatan Internasional
1. Terdapat pengesahan Perpres Nomor 11 Tahun 2019 tentang Pengesahan IC-CEPA antara Indonesia dan Chile, sehingga pemberlakuan tarif bea masuk juga berlaku untuk IC-CEPA.
2. Barang impor dapat dikenakan Tarif Preferensi yang berbeda dengan tarif
bea masuk umum (MFN) terhadap barang impor yang termasuk dalam (penambahan IC-CEPA yang masuk kedalam peraturan tarif bea masuk) :
a. ATIGA b. ACFTA
c. AKFTA d. IJEPA e. AIFTA f. AANZFTA
g. IPPTA h. AJCEP i. MoU The Republic of Indonesia and The State of Palestine on Trade
Facilitation for Certain Products Originating from Palestina
Territories. j. IC-CEPA
3. Tarif yang berbeda pada poin 1 dikenakan terhadap: a. barang impor yang menggunakan pemberitahuan pabean impor
berupa Pemberitahuan Impor Barang (PIB); b. barang impor menggunakan PIB dari Tempat Penimbunan Berikat
(TPB) yang saat barang masuk telah mendapat persetujuan menggunakan tarif preferensi;
c. barang impor menggunakan PIB dari Pusat Logistik Berikat (PLB) yang saat barang masuk telah mendapat persetujua untuk menggunkan tarif preferensi;
d. barang hasil produksi dari kawasan bebas ke tempat lain dalam daerah pabean (TLDDP) sepanjang merupakan bahan baku berasal dari luar daerah pabean, telah mendapat persetujuan tarif presensi dan dilakukan oleh pengusaha kawasan bebas yang telah
memenuhi syarat mengguakan tarif preferensi.
4. Syarat pemberian ijin tarif preferensi adalah barang impor harus memenuhi Ketentuan Asal Barang yang memuat kriteria asal barang,
kriteria pengiriman dan ketentuan prosedur. Pengaturan lebih lanjut terkait pemenuhan Kententun Asal barang mengikuti skema yang diatur dalam (penambahan IC-CEPA yang masuk kedalam peraturan tarif bea masuk) :
a. ATIGA Lampiran I huruf A b. ACFTA Lampiran I huruf B c. AKFTA Lampiran I huruf C d. IJEPA Lampiran I huruf D
e. AIFTA Lampiran I huruf E f. AANZFTA Lampiran I huruf F g. IPPTA Lampiran I huruf G h. AJCEP Lampiran I huruf H
i. MoU The Republic of Indonesia and The State of Palestine on Trade Facilitation for Certain Products Originating from Palestina Territories, Lampiran I huruf I
j. IC-CEPA Lampiran I huruf J
5. Pada saat perubahan kedua ini berlaku, SKA yang diterbitkan sampai dengan tanggal 4 Agustus 2019 dengan menggunakan format sesuai PMK Nomor 11 Tahun 2019 dinyatakan masih tetap berlaku.
6. Mengubah Lampiran I PMK Nomor 229 Tahun 2017 menjadi sebagaimana
yang tercantum dalam Lampiran peraturan ini.
Dari uraian di atas, didapatkan informasi terkait diberlakukannya tarif
bea masuk nol persen bagi produk-produk yang berasal dari Negara-
negara yang telah mempunyai perjanjian perdagangan bebas dengan
Indonesia. Konsekuensi dari kebijakan pemberlakuan bea masuk nol
8
persen berarti produk impor bersaing secara langsung dengan produk
dalam negeri tidak terkecuali produk sirop fruktosa.
Informasi ini akan dijelaskan selanjutnya dalam fakta statistik impor
BPS dan uraian mengenai jurnal terkait export tax rebate. Statistik
Impor BPS untuk produk sirop fruktosa menunjukkan permulaan
terjadinya lonjakan impor. Jurnal-jurnal terkait dampak export tax
rebate RRT menjelaskan salah satu strategi Pemerintah RRT untuk
meningkatkan ekspor negaranya.
Secara umum, peraturan perundang-undangan terkait perjanjian
perdagangan bebas justru menyebabkan munculnya persaingan usaha
yang sehat. Namun pada beberapa kondisi, perdagangan bebas yang
tercermin dari bea masuk nol persen menyebabkan persaingan usaha
tidak sebanding antara produk impor dengan produk dalam negeri
terkait skala produksi dan insentif usaha di negara asal.
2. Dokumen bukti awal permohonan Safeguards Impor Sirop
Fruktosa
Dokumen ini bisa diakses dari situs kppi.kemendag.go.id. Dari dokumen
ini diketahui, permohonan safeguards impor sirop fruktosa disampaikan
oleh PT Associated British Budi (PT ABB) pada 28 Oktober 2019. Dalam
dokumen PT ABB mengklaim mewakili 54 persen produksi sirop
fruktosa nasional. Dokumen ini juga menyebutkan bahwa sejak tahun
2017 hingga saat ini hanya PT ABB dan 1 (satu) produsen lain yang
masih berupaya memproduksi sirop fruktosa, namun telah mengalami
kerugian serius atau ancaman kerugian serius akibat serbuan barang
impor sejenis.
Dalam dokumen ini juga dijelaskan bahwa pangsa impor Sirop Fruktosa
ke Indonesia dikuasai oleh produk China. Produk Sirop Fruktosa China
sejak tahun 2016 menguasai lebih dari 90 persen pangsa impor
Indonesia. Bahkan hanya Filipina sejak 2018 yang mampu
mengimbangi pangsa impor China dengan mencatatkan pangsa impor
sebesar 5,2 persen.
9
Tabel 2. Pangsa Impor Sirop Fruktosa Indonesia 2015-2018
Sumber: Dokumen bukti awal permohonan safeguards sirop fruktosa, 2019. Hal. 9
Dalam dokumen disebutkan lonjakan impor sirop fruktosa selama
periode 2015-2018 tumbuh dengan tren rata-rata sebesar 18,99 persen.
Dengan catatan bahwa tren pertumbuhan impor tahun 2017-2018
menunjukkan nilai negatif sebesar 20,9 persen.
Tabel 3. Lonjakan Impor Sirop Fruktosa Indonesia 2015-2018
URAIAN
Data Impor HS 1702.60.20
2015 2016 2017 2018
Volume (Ton) 67.244 106.566 138.997 109.884
Perubahan (persen) 58,5 30,4 -20,9
Tren (15-18) persen 18,99
Sumber: Dokumen bukti awal permohonan safeguards sirop fruktosa, 2019. Hal. 7
3. Data hasil diskusi, wawancara, survey KPPU dari pemohon dan
pendukung safeguards impor Sirop Fruktosa
Diskusi dengan PT ABB dilangsungkan pada 3 Februari 2020 sedang
survey atau kunjungan ke pabrik PT ABB dilangsungkan pada 28
Februari 2020. Dalam diskusi PT ABB menyerahkan dokumen
presentasi dan menyampaikan data dan informasi yang tercatat. Berikut
beberapa data dan informasi dari hasil diskusi dan survey yang
dilakukan:
a. Dari dokumen presentasi, diketahui bahwa PT ABB adalah anak
usaha dari PT Budi Starch Sweetener, Tbk. yang berdiri sejak 1996
dan beroperasi sejak 2004. Dalam dokumen presentasi ini, PT Budi
Starch Sweetener mengklaim sebagai produsen produk berbahan
dasar tepung tapioka terbesar di dunia.
NEGARA PENGEKSPOR
PANGSA IMPOR
2015 2016 2017 2018
CHINA 70,2 91,7 98,1 94
PHILIPPINES 1,4 0,2 0 5,2
NEGARA LAINNYA (<3persen) 28,4 8,1 1,9 0,8
TOTAL 100 100 100 100
10
b. Dokumen presentasi PT ABB menyebutkan kapasitas produksi
sirop fruktosa perusahaannya sebesar 45.000 ton per tahun.
c. Adapun produk yang dihasilkan PT ABB berdasarkan dokumen
presentasi PT ABB adalah Tepung dan Cairan Sorbitol,
Maltodextrin, Dextrose MH, Maltitol, Sirop Glukosa, Pati (starch)
dan Sirop Fruktosa.
d. Dalam dokumen presentasi PT ABB menyampaikan data produsen
sirop fruktosa dalam negeri yang secara total berjumlah 17
perusahaan dengan kapasitas terpasang nasional sebesar 454.600
ton sirop fruktosa per tahun. Dalam dokumen ini juga
disampaikan sebagian besar produsen sirop fruktosa saat ini
sudah berhenti beroperasi dan beralih menjadi importir trader
sirop fruktosa.
e. Dalam dokumen presentasi diuraikan produksi dan konsumsi
nasional sirop fruktosa 2015-2018, namun untuk kepentingan
menjaga kerahasiaan data, dapat disampaikan dalam laporan ini
secara rata-rata produksi sirop fruktosa nasional 2015-2018, lebih
dari 32.000 ton sirop fruktosa per tahun. Sedangkan rata-rata
konsumsi sirop fruktosa nasional 2015-2018, lebih dari 130.000
ton sirop fruktosa per tahun.
f. Berdasarkan data penjualan PT ABB dan konsumsi nasional, PT
ABB mengklaim hanya menguasai 10,5 persen pangsa pasar sirop
fruktosa nasional.
g. Dokumen presentasi PT ABB juga menguraikan indikator-indikator
kinerja, yang menunjukkan penurunan, yaitu penjualan domestik,
produksi, produktivitas tenaga kerja, kapasitas terpakai,
keuntungan dan jumlah tenaga kerja.
h. PT ABB dalam dokumen presentasi ini menyampaikan
mengusulkan safeguards berupa pengenaan BMTP impor lebih dari
50 persen.
Sementara catatan diskusi menyebutkan beberapa informasi penting
sebagai berikut:
11
a. Bahan baku yang dapat diolah untuk menjadi fruktosa antara lain
jagung, tepung tapioka dan singkong. Dalam memproduksi
fruktosa, PT ABB menggunakan singkong sebagai bahan
utamanya.
b. Fruktosa yang diproduksi oleh PT ABB dapat diaplikasikan untuk
bahan campuran pada makanan dan minuman yang fungsinya
sebagai bahan pemanis. Tak terbatas hanya pada penggunaan di
dalam makanan dan/atau minuman, fruktosa juga dapat
digunakan sebagai bahan campuran rokok bahkan bahan
campuran untuk semen dengan fungsi agar adukan semen dapat
kering lebih cepat.
c. Bahwa PT ABB tergabung dalam asosiasi produsen fruktosa
bernama Perkumpulan Produsen Pemanis Indonesia (PPPI).
Kapasitas penjualan dari Anggota PPPI adalah lebih dari 238.000
ton/tahun.
d. Bahwa dibentuknya PT ABB awalnya adalah sebagai supporting
untuk produk pemanis bagi Coca-Cola di pasar Indonesia.
e. Fruktosa memiliki beberapa jenis yang berbeda tergantung tingkat
kemanisan dan kekantalannya. Jenisnya ada 4 (empat) yakni
Fruktosa 49, Fruktosa 55, Fruktosa 75 dan Fruktosa 96. Semakin
tinggi angka pada jenis Fruktosa maka tingkat kemanisan akan
semakin manis dan tingkat kekentalan juga akan semakin
mengental. Biasanya semakin kental fruktosa maka harga jualnya
akan semakin mahal. Untuk produk fruktosa yang sudah jadi dan
siap pakai, akan sulit untuk mengidentifikasi bahan baku yang
digunakan apakah singkong atau jagung atau tepung tapioka.
Untuk mengidentifikasi hal tersebut perlu dilakukan tes lanjutan
untuk dapat melihat kandungan bahan bakunya.
f. Bahwa harga jual produk fruktosa dari PT ABB adalah Rp6.500 –
Rp7.000/kilogram dan harga tersebut sudah termasuk biaya
pengiriman.
Catatan hasil survey/kunjungan lapangan ke pabrik PT ABB
mengkonfirmasi beberapa data dan informasi sebagai berikut:
12
a. Kondisi pabrik PT ABB tidak ada aktivitas yang menunjukkan
proses produksi. Aktivitas produksi hanya ada di lini mesin
evaporasi yang digunakan untuk proses reproduksi sirop fruktosa
yang diimpor oleh PT ABB.
b. Gudang bahan baku, yaitu tepung tapioka kosong. Truk-truk
logistik terparkir di pabrik. Demikian halnya tenaga kerja hanya
terlihat di lini evaporasi.
c. Berdasarkan informasi dari warga sekitar, diketahui bahwa kondisi
ini sudah berlangsung sejak tahun 2017.
4. Data Statistik Impor Badan Pusat Statistik (BPS)
Data statistik impor BPS didownload melalui BPS App. Data kemudian
diolah untuk dilakukan konfirmasi terhadap data yang disampaikan
pemohon safeguards dan laporan akhir KPPI. Data juga digunakan
untuk membangun model determinan impor sirop fruktosa. Berikut data
statistik impor sirop fruktosa BPS yang telah diolah untuk kepentingan
penyajian dalam laporan ini.
Tabel 4. Perkembangan Impor Sirop Fruktosa Indonesia 2012-2019
Keterangan 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019
Volume Impor (MT)
30.678 50.861
71.111
67.244
106.566
138.997
109.884
50.818
Nilai Impor (USD)
17.512.791 27.681.099
32.882.258
33.692.846
43.161.040
46.026.786
35.507.426
18.426.251
Unit of Value (USD/ton) 571 544 462 501 405 331 323 363
Sumber: Statistik Impor BPS-data mikro dinamis (diolah)
Data Statistik Impor BPS di atas mengonfirmasi terjadinya lonjakan
impor pada 2016 dan 2017. Sementara pada dua tahun terakhir, data
menunjukkan lonjakan penurunan impor.
Negara importir sirop fruktosa Indonesia terbesar berdasarkan statistik
impor BPS selama dua tahun terakhir adalah China dengan pangsa
impor lebih dari 90 persen.
13
Tabel 5. Pangsa Impor Sirop Fruktosa berdasarkan Statistik Impor BPS
Negara 2018 2019 Totals
CHINA 103.299.762 54.280.436 157.580.198
94persen 95persen 94persen
KOREA, REPUBLIC OF
530.001 642.719 1.172.720
0persen 1persen 1persen
MALAYSIA 116.951 116.951
0persen 0persen 0persen
MEXICO 4.080 8.160 12.240
0persen 0persen 0persen
PHILIPPINES 5.738.640 5.738.640
5persen 0persen 3persen
SINGAPORE 19 19
0persen 0persen 0persen
TAIWAN 6.741 3.136 9.877
0persen 0persen 0persen
THAILAND 104.110 1.965.776 2.069.886
0persen 3persen 1persen
UNITED STATES 83.620 83.620
0persen 0persen 0persen
VIET NAM 2 2
0persen 0persen 0persen
Totals 109.883.926 56.900.227 166.784.153
Sumber : https://www.bps.go.id di akses pada 2020_06_08T08_55_31_525Z
Data pangsa impor ini juga mengkonfirmasi data pangsa impor yang
menunjukkan pangsa impor sirop fruktosa Indonesia dikuasai produk
China dengan pangsa impor lebih dari 90 persen.
5. Jurnal Internasional terkait Kebijakan Export Tax Rebate
Republik Rakyat Tiongkok
Kebijakan Export Tax Rebate (ETR) Pemerintah Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) seringkali dituduh sebagai penyebab lonjakan impor
produk ke Indonesia. Pemohon safeguards, PT ABB juga berdalih
dengan kebijakan ETR RRT untuk menjelaskan fenomena lonjakan
impor sirop fruktosa ke Indonesia. Untuk itu dilakukan penelaahan
14
jurnal ekonomi internasional terkait dampak kebijakan export tax rebate
(ETR) RRT terhadap ekspor RRT. Dua jurnal ekonomi internasional
memaparkan hasil penelitian sebagai berikut:
a. “Regional Effects of Export Tax Rebate on Exporting Firms: Evidence
From China” oleh Yong Tan, Liwei An dan Cui Hu5 dari Nanjing
University dan Central University of Finance and Economics
Penelitian ini mengembangkan model analisa dampak penerapan
kebijakan export tax rebate (ETR) secara tidak langsung pada
volume ekspor dan upah buruh. Peneliti mengklaim penelitian-
penelitian sebelumnya hanya menganalisa dampak langsung
kebijakan ETR terhadap volume ekspor. Penelitian juga
menyatakan bahwa kebijakan ETR sejalan dengan visi World Trade
Organization (WTO) untuk memperlancar perdagangan dan
membebaskan hambatan tarif perdagangan. Peneliti menyebut
pemerintah RRT secara berkala terus menyesuaikan kebijakan tax
rebate export untuk menyokong volume ekspornya.
Di RRT, perusahaan eskportir menghadapi dua rezim perdagangan.
Pertama, rezim “ekspor biasa”, yaitu perdagangan sebagaimana
umumnya perdagangan internasional di Negara lain. Kedua, rezim
“ekspor barang olahan”. Rezim kedua ini yang menjadi dasar
asumsi penelitian ini. Pada rezim “ekspor barang olahan”, eksportir
bahan baku tidak menerima manfaat Kebijakan ETR. Telah
menjadi pengetahuan umum, bahwa tekanan fiskal sering menjadi
pertimbangan utama perubahan kebijakan ETR di RRT. Peneliti
berharap eksportir barang olahan lebih banyak porsinya sehingga
tidak mendapat pengurangan manfaat dari kebijakan ETR. Dengan
asumsi ini, data porsi eksportir barang olahan tidak terkait dengan
pertumbuhan ekspor, yang berarti secara cross section kebijakan
ETR berpengaruh terhadap volume ekspor di level perusahaan.
Peneliti mengutip teori dari Feldstein dan Krugman (1990)6, yang
menyatakan secara teori ETR meningkatkan pertumbuhan ekspor.
5 Yong Tan, Liwei An dan Cui Hu. 2015. Regional Effects of Export Tax Rebate on Exporting Firms: Evidence
From China.Jurnal Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper No. 65188 posted 24 Jun 2015 6 Feldstein, M., Krugman, P., 1990. International Trade Effects of Value-added Tax., University of Chicago Press.
263-282.
15
Faktanya, penerimaan ekspor merupakan komponen penting bagi
PDB RRT. Pada tahun 2006, penerimaan ekspor mencapai 37
persen PDB RRT. Fakta ini disikapi pemerintah RRT dengan
menyiapkan paket kebijakan untuk menstimulasi ekspor.
Pada 2006, ETR diimplementasikan bervariasi antar sektor industri
dengan kisaran 0 sampai dengan 17 persen. Sepanjang tahun
2002-2012, lebih dari 80 persen barang ekspor yang masuk dalam
4 digit kode HS mengalami setidaknya sekali perubahan ETR.
Kebijakan ETR terbukti efektif meningkatkan ekspor RRT.
Penelitian Gourdon dkk (2011)7 menunjukkan setiap kenaikan ETR
1 persen pada satu sektor industri akan meningkatkan volume
eskpor sebesar 6 persen pada sektor industri tersebut.
Pemerintah RRT telah beberapa kali menaikkan ETR dalam rangka
menghadapi krisis ekonomi 1997 di Asia Timur. Kebijakan ini
mempertahankan volume ekspor dan perekonomian RRT. Setelah
1999, RRT menerapkan 4 paket ETR system (17 persen, 15 persen,
13 persen dan 5 persen) dengan rata-rata 15 persen. Pada Oktober
2003, Pemerintah RRT menurunkan ETR sehingga secara rata-rata
menjadi kisaran 12,11 persen sampai dengan 15,11 persen selama
masa tekanan fiskal. Sejak Januari 2004, kebijakan 5 paket sistem
ETR diimplementasikan (17 persen, 13 persen, 11 persen, 8 persen
dan 5 persen).
Dengan menggunakan data penerimaan ETR per perusahaan dan
ETR tertimbang didapatkan pengaruh langsung dan tidak
langsung. Penelitian ini menemukan bahwa kenaikan 1 persen
penerimaan tax rebate ekspor akan menaikkan volume ekspor
sebesar 0,5 persen di level perusahaan. Sedangkan menggunakan
data rata-rata tertimbang penerimaan tax rebate ekspor justru
menurunkan volume ekspor sebesar 0,2 persen. Selanjutnya
setelah menggunakan instrumen variabel dan kontrol untuk
memilah secara mandiri eksportir bahan baku dan bahan olahan
didapatkan temuan kenaikan 1 persen tingkat tax rebate ekspor
akan menaikan 0,2 persen volume ekspor di level perusahaan,
7 Gourdon, J., Monjon, S., Poncet, S. 2011. Imcomplete VAT rebates to exporters: How do they affect China’s
esport performance?. Working Paper.
16
sedangkan kenaikan 1 persen rata-rata tertimbang tax rebate
ekspor regional justru menurunkan 0,02 persen volume ekspor di
level perusahaan. Temuan ini mengkonfirmasi masalah dalam
estimasi model dengan metode Ordinary Least Square (OLS).
Masalah endogenitas tidak boleh diabaikan dalam menginvestigasi
dampak ETR (Export Tax Rebate) terhadap volume ekspor
berkelanjutan. Model estimasi dampak tidak langsung ETR
terhadap volume ekspor menunjukkan hasil yang negatif dan
signifikan. Hal mana sesuai dengan hipotesis penelitian. Hasil ini
mengindikasikan dampak langsung ETR terhadap volume ekspor
akan diimbangi dengan dampak tidak langsung yang disebabkan
oleh kenaikan upah buruh.
b. “Effect of Export Tax Rebate on Export Volume: Evidence from China”
oleh: Xie Liang8 dari Ritsumeikan Asia Pacific University
Xie Liang (2014) memaparkan evolusi kebijakan Export Tax Rebate
(ETR) RRT dalam penelitiannya sebagai berikut:
Periode 1949-1984
Selama periode ini, kebijakan ekonomi RRT direncanakan secara
terpusat. Sistem perpajakan modern belum terbangun. Meskipun
ada istilah ETR selama periode ini, Xie Liang (2014) menjelaskan
bahwa kebijakan ETR pada periode ini sebenarnya merupakan
subsidi ekspor.
Periode 1985-1993
Kebijan ETR pertama kali diperkenalkan pada April 1985
bersamaan dengan pengenaan Pajak Impor. Waktu itu, kebijakan
ETR meliputi Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Barang, Pajak Tidak
Langsung dan Pajak Konsumsi. Karena kebijakan perencanaan
terpusat sebelumnya, implementasi kebijakan ETR pada periode ini
sedikit kacau dan sering dilakukan perubahan kebijakan di level
daerah. Pada tahun 1988, prinsip pengembalian penuh sudah
mapan, yang berarti pengembalian pembayaran pajak sudah
8 Xie Liang, 2014. Effect of Export Tax Rebate on Export Volume: Evidence from China. Ritsumeikan Asia Pacific
University.
17
berjalan. Sejak dimulainya kebijakan ETR 1988, pemerintah pusat
RRT membiayai seluruh pengembalian pajak ETR. Kemudian
karena beban fiskal yang berat, disusun pembagian pembiayaan
dengan pemerintah daerah dengan porsi 90:10, dimana Pemerintah
Pusat masih menanggung beban pembiayaan terbesar. Setahun
berikutnya, 1989, Porsi diubah menjadi 80:20. Pada 1992 dan
1993, diperkenalkan sistem tiga rebat, yaitu 3 persen, 10 persen
dan 14 persen, yang berlaku berdasarkan kategori barang. Dalam
implementasinya sistem 3 rebat menghasilkan rerata pengembalian
pajak karena ekspor sebesar 11,2 persen (Zhang Q., 2010)9
Periode 1994-1997
Pada tahun 1994, Pemerintah RRT mengimplementasikan
reformasi sistem perpajakan. Kontribusi besar reformasi sistem
perpajakan ini adalah dihapuskannya pajak standar komersial dan
industri dan diperkenalkannya pajak pertambahan nilai baru.
Reformasi ini juga melahirkan sistem pendelegasian pajak pada
pemerintah daerah. Reformasi sistem perpajakan ini menandai
terbentuknya sistem perpajakan modern di RRT. Regulasi PPN
dalam reformasi menetapkan pajak 0persen untuk barang ekspor.
Sementara regulasi pajak konsumsi menetapkan pengecualian
pengenaan pajak konsumsi untuk barang konsumsi bertujuan
ekspor (Chen, Mai dan Yu, 2006)10. Pemerintah RRT menyusun
rancangan Peraturan Pemerintah tentang Export Tax Rebate (ETR)
yang mengatur pengecualian Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Konsumsi barang ekspor serta menetapkan sejumlah
pengembalian pajak yang telah terbayar. Pengembalian pajak
berdasarkan rancangan peraturan pemerintah ini meningkat
menjadi 17 persen dan 13 persen, yang berarti sejumlah besar
pungutan pajak dari industri dan logistik dalam negeri
dikembalikan dalam bentuk rebate. Rerata rebate akibat peraturan
pemerintah ini meningkat menjadi 16,13 persen. Kebijakan ini
menyebabkan kenaikan drastis pertumbuhan ekspor dari 91,74
Milyar USD pada tahun 1993 menjadi 121,01 Milyar USD di tahun
9 Zhang Q., 2010. Study on the problems and countermeasures of export rebate in processing trade.
10 Chen, C.H., Mai, C.-C.,&Yu, H. –C. 2006. The Effect of Export Tax Rebate on Export Performance. China
Economic Review, 17, pp. 226-235.
18
1994. Total pembayaran ETR mencapai 45 milyar Yen dan
menyebabkan pembengkakan defisit anggaran RRT.
Konsekuensinya pada kuartal pertama 1995, ada tambahan
penangguhan pembayaran ETR senilai 30 milyar Yen. Beban
pembayaran ETR terlalu besar untuk dapat dipenuhi oleh
Pemerintah Pusat RRT. Untuk itu, Pemerintah RRT menurunkan
tingkat ETR. ETR yang baru menjadi 14 persen untuk barang
ekspor yang menerima rebate 17 persen PPN, dan ETR 10 persen
untuk barang ekspor yang mendapatkan rebate 13 persen PPN.
Rerata ETR menurun sebesar 3,7 persen menjadi 12,90 persen
selama masa penyesuaian ini. Meskipun telah diturunkan,
Pemerintah Pusat pada tahun 1995 tetap tidak mampu
membayarkan ETR sebesar 50 milyar Yen dari total permintaan
ETR sebesar 90 milyar Yen. Oleh sebab itu, dewan legislatif daerah
menurunkan ETR pada Januari 1996. Sebenarnya sejak Juli 1995,
barang ekspor hanya menerima ETR sebesar 9 persen untuk
penerima rebate PPN 14 persen dan hanya 6 persen bagi penerima
rebate PPN 10 persen. Sedangkan ETR untuk barang ekspor
pertanian dan batu bara tetap tidak berubah sebesar 3 persen.
Setelah penyesuaian ini, rerata pembayaran ETR menjadi 8,29
persen atau 4,6 persen lebih kecil dibandingkan periode
sebelumnya. Penurunan pembayaran ETR berhasil menurunkan
beban fiskal pemerintah pusat, namun menyebabkan dampak
penurunan ekspor RRT. Pada 1996, pertumbuhan volume ekspor
RRT hanya sebesar 1,5 persen, padahal rerata pertumbuhan
ekspor RRT periode 1985 sampai dengan 2012 adalah sebesar 17
persen. Pada 1997, berkenaan dampak krisis keuangan Asia,
pertumbuhan ekspor RRT hanya sebesar 0,5 persen, atau yang
terendah sejak 1985.
Periode 1998-2003
Menghadapi tekanan krisis finansial di beberapa Negara tetangga,
Pemerintah RRT mendepresiasi nilai tukar Reminbi. Selama
periode 1998-1999, Pemerintah RRT tercatat melakukan
peningkatan pembayaran ETR sebanyak sembilan kali untuk
beberapa barang. Sistem 4 tarif ETR dimulai pada 1 Juli 1999
19
untuk sejumlah barang. Sistem 4 tarif ETR meliputi ETR 17
persen, 15 persen, 13 persen dan 5 persen. Rerata ETR pada 1999
melonjak dari periode sebelumnya menjadi 15,11 persen. Pada saat
yang bersamaan, Kantor Urusan Pajak meningkatkan anggaran
ETR dari 57 milyar Yen menjadi 63,6 milyar Yen pada 1999.
Dampak kebijakan ini terasa pada tahun 2000, dimana RRT
mengalami pertumbuhan ekspor sebesar 27,8 persen. Secara rata-
rata pertumbuhan ekspor dari 2000 sampai dengan 2003
mencapai 20 persen per tahunnya, yang diklaim sebagai efektivitas
kebijakan ETR. Sepanjang tahun 1998 sampai dengan 2002, rerata
pertumbuhan ETR sebesar 27 persen per tahun melebihi rerata
penerimaan anggaran yang hanya 17 persen per tahunnya. Selama
periode ini pembayaran ETR diambil alih oleh Pemerintah Pusat
RRT, sehingga Pemerintah RRT menanggung beban defisit
anggaran yang besar kembali. Pemerintah RRT mencatat total ETR
yang telah disetujui namun tidak terbayar sejumlah 144 milyar
Yen pada 2001, 200 milyar Yen pada 2002, dan 277 milyar Yen
pada 2003. Total defisit anggaran Pemerintah RRT pada 2002
mencapai 309,687 milyar Yen.
Periode 2004-2007
Kebijakan ETR baru dimulai sejak awal 2004. Diantaranya berupa
penyesuaian struktur ETR, pengaturan mekanisme pembagian
porsi pembayaran ETR antara Pusat dan Daerah, jaminan
pengembalian dana tepat waktu dan penyesuaian struktur ekspor.
Dari penjelasan ini, tampak jelas Pemerintah RRT memulai untuk
mendayagunakan kebijakan ETR untuk mengoptimalkan struktur
Ekspor negaranya. Dikarenakan beban pembayaran ETR terlalu
besar untuk dipenuhi, pemerintah RRT mengimplementasikan
penurunan rerata ETR sebesar 3 persen, dari 15,11 persen menjadi
12,11 persen pada 2014. Walaupun secara umum ETR menurun,
namun untuk beberapa produk teknologi tinggi dan punya nilai
tambah besar untuk PDB, ETRnya justru meningkat. Kebijakan ini
sangat berguna untuk mengubah struktur ekspor. Setelah periode
penyesuaian ini, sistem ETR 5, yaitu 17 persen, 13 persen, 11
persen, 8 persen dan 5 persen diberlakukan pada 2004. Di saat
20
yang sama, mekanisme pembagian porsi pembayaran ETR antara
pemerintah pusat dan daerah dibangun. Sejak 2004, untuk
pembayaran ETR 2003, porsi pembayaran ETR ditetapkan 75:25,
yang setahun kemudian pada 2005 diubah menjadi 92,5:7,5 (State
Administration RRT of Taxation, 2012). Dampak dari penurunan
ETR ini jelas. Sepanjang 2004 sampai dengan 2006, pertumbuhan
ekspor meningkat dengan rerata 25 persen per tahunnya jika
dibandingkan periode 2000 sampai dengan 2003 yang mencatat
rerata pertumbuhan 20 persen per tahunnya. Kemudian pada
2007, Pemerintah RRT mengimplementasikan penyesuaian baru
ETR. Untuk menahan laju surplus neraca perdagangan dan
menekan penguatan mata uang Reminbi, Pemerintah RRT
membatalkan beberapa bagian pembayaran ETR untuk 10 jenis
barang yang dikategorikan sebagai industri yang menggunakan
terlalu banyak bahan bakar, menyebabkan pencemaran
lingkungan dan menggunakan terlalu banyak sumber daya alam.
Pada saat yang sama, Pemerintah RRT menurunkan ETR dari 13
persen menjadi 5 persen.
Periode 2008-2009
Dalam keadaan krisis finansial dunia 2008, yang diduga
merupakan yang paling serius dalam beberapa dekade, Ekspor
RRT menderita pada periode musim dingin 2008. Ekspor RRT
bertahan sebesar 21,9p ersen pada semester pertama 2008.
Kemudian mulai menurun pada Juni 2008 dan akhirnya pada
November 2008 menurun sampai 2,2 persen. Sejumlah besar
perusahaan berorientasi ekspor terpaksa menutup pabriknya
karena penurunan permintaan dari luar negeri pada semester
kedua 2008. Karena ketergantungan yang tinggi pada ekspor,
ekonomi RRT mulai menurun. Pada kwartal pertama 2008,
pertumbuhan ekonomi RRT tumbuh 11,3 persen namun setahun
kemudian jatuh menjadi 6,6 persen (Beijing Review, 2013). Dari
Agustus 2008 sampai dengan 2010, Pemerintah RRT terus
meningkatkan ETR sebanyak tujuh kali. Terutama, ETR untuk
industri padat karya, seperti garmen yang ETRnya meningkat
menjadi 16 persen. Juni 2009, sistem 6 ETR diimplementasikan,
21
yaitu 5 persen, 9 persen, 13 persen, 15 persen, 16 persen dan 17
persen. Rerata pembayaran ETR meningkat menjadi 13,55 persen.
Meskipun, pemerintah RRT telah meningkatkan ETR secara drastis
tetap tidak bisa menghentikan laju penurunan pertumbuhan
ekspor RRT yang turun hingga mencapai 16 persen pada 2009.
Periode 2010 - 2012
Pada periode ini, penyesuaian kebijakan ETR kerap terjadi dalam
hitungan menit. Pada 2010, dampak krisis finansial global
melemah dan ekspor RRT telah kembali ke posisi sebelum krisis.
Pemerintah RRT merespon peningkatan ini dengan membatalkan
dan mengurangi ETR pada sejumlah kecil produk ekspor.
Xie Liang (2014) juga memaparkan beberapa manfaat dari
kebijakan ETR Pemerintah RRT sebagai berikut:
1) Memperluas Pasar Ekspor dan Mempercepat Pertumbuhan
Ekonomi
2) Memperoleh cadangan devisa
3) Mengoptimalkan struktur industri
Selain itu Xie Liang (2014) juga mengungkapkan 3 masalah dalam
kebijakan ETR Pemerintah RRT, yaitu:
1. Inkonsistensi kebijakan
2. Mengurangi alokasi anggaran untuk kesejahteraan sosial
3. Rawan penyalahgunaan oleh oknum pemerintah dan pelaku
usaha
Hasil temuan Xie Liang (2014)
Xie Liang (2014) menemukan bahwa kebijakan ETR merupakan
faktor paling penting yang memengaruhi volume ekspor RRT.
Dampak kebijakan ETR dalam jangka panjang lebih efektif
dibandingkan dalam jangka pendek. Kebijakan ini menjelaskan
keunggulan terbesar produk ekspor RRT terletak pada harga yang
rendah dibandingkan Negara lain, yang secara tidak langsung
dipengaruhi oleh kebijakan ETR. Perusahaan eksportir menjual
barangnya dengan harga murah disbanding biaya produksinya dan
mendapatkan keuntungan dari pembayaran ETR. Perusahaan
22
eksportir amat bergantung pada bantuan kebijakan pemerintah.
Dengan kata lain, jika pembayaran ETR dibatalkan oleh
pemerintah RRT karena alasan tertentu, Volume Ekspor RRT akan
hancur. Penelitian ini juga mencatat pertumbuhan upah buruh
dan penguatan mata uang Renminbi akan menyebabkan biaya
produksi meningkat. Suatu saat, pengembalian ETR tidak dapat
mengatasi kenaikan biaya dan keunggulan harga produk RRT.
Untuk mempertahankan pertumbuhan ekspor seperti beberapa
dekade terakhir, pemerintah RRT dituntut untuk mengubah
struktur ekspor dan memperkuat daya saing pada aspek lain,
seperti teknologi, inovasi dan lain-lain.
6. Data Direktori Importir Indonesia 2018 Badan Pusat Statistik
(BPS)11
Buku Direktori Importir Indonesia 2018 BPS terdiri dari dua buku.
Setiap buku mencerminkan katalog 10 importir berdasarkan produk
impor per kode harmonization system (HS). Sirop fruktosa yang
termasuk dalam kode HS 1702.60.20 masuk dalam buku satu Direktori
Importir Indonesia 2018. Berikut 10 nama importir terbesar sirop
fruktosa berdasarkan Direktori Importir Indonesia 2018:
a. PT Cargill Trading Indonesia
b. PT Puncak Gunung Mas
c. PT Associated British Budi
d. PT ADM Indonesia Trading and Logistics
e. PT CS2 Pola Sehat
f. PT Mayora Indah, Tbk.
g. PT Alam Manis Indonesia
h. PT Harum Manis Selaras
i. PT Budi Starch & Sweetener, Tbk.
j. PT Sanya Indo Pasifik
Data ini mengonfirmasi bahwa PT ABB selaku pemohon safeguards
sirop fruktosa juga merupakan importir terbesar ketiga. Holding usaha
11
Direktori Importir Indonesia 2018. Badan Pusat Statistik (BPS). Hal. 148
23
dari PT ABB, yaitu PT Budi Starch & Sweetener, Tbk. juga merupakan
importir sirop fruktosa.
7. Data hasil diskusi, wawancara, survey KPPU dan pengumpulan
data dari importir sirop fruktosa dan pengguna sirop fruktosa
Sebelum pemberlakuan masa pandemi covid-19, KPPU telah
mengumpulkan data dan wawancara dengan Asosiasi Gabungan
Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI). Kemudian
KPPU juga meminta data dan informasi secara tertulis kepada 9 importir
terbesar sirop fruktosa berdasarkan data direktori importir 2018 BPS.
Dari 9 importir sirop fruktosa yang dimintai data dan informasi tertulis,
satu importir telah berpindah alamat, sedangkan dari delapan importir
lainnya, hanya empat yang memberikan jawaban tertulis dan satu
perusahaan hanya memberikan konfirmasi melalui telepon.
Berikut rangkuman data dan informasi yang terkait dengan isu
persaingan usaha yang disampaikan dalam diskusi, jawaban tertulis
dan catatan diskusi:
Catatan Diskusi dengan GAPMMI
a. Saat ini telah terjadi perubahan pola konsumsi pada makanan dan
minuman. Konsumen saat ini cenderung mengurangi konsumsi
makanan dan minuman manis serta yang siap saji dengan alas an
perubahan gaya hidup menuju lebih sehat. Hal ini juga berdampak
pada penjualan produk anggota GAPMMI yang semakin menurun.
b. Pada tahun 2019 tercatat penjualan minuman pertumbuhannya
minus 5,6 persen. Penurunan ini adalah dampak dari perubahan
pola hidup konsumen dan bertumbuhnya produsen makanan
minuman yang pembuatannya disajikan secara langsung,
contohnya boba, teh tarik dan kopi.
c. Menurut GAPMMI, data perbandingan harga antara sirop fruktosa
impor dan sirop fruktosa yang dibeli melalui produsen dalam
negeri adalah untuk harga perolehan dari impor sebesar
Rp5.000/kg dan untuk harga jual dari produsen adalah sebesar
Rp6.600/kg.
24
d. Bagi GAPMMI, pengajuan safeguard sebesar 50 persen oleh pemohon
safeguards dalam hal ini adalah PT ABB merupakan angka prosentase yang
sangat besar. Nantinya jika memang permohonan ini diterima, para
pengusaha makanan dan minuman secara tidak langsung akan kesulitan
mendapatkan harga kompetitif dari komoditi sirop fruktosa. Secara tidak
langsung nantinya para pengusaha makanan dan minuman dalam negeri
akan memberikan keuntungan berlebih kepada para produsen dalam
negeri. Dengan tidak adanya persaingan harga ini tentunya juga akan
merugikan pengusaha makanan dan minuman dalam negeri, sebab mau
tidak mau biaya produksi akan bertambah.
e. Dengan diterimanya pengajuan safeguards, pertambahan biaya produksi
sudah pasti akan terjadi namun tidak dibarengi dengan kepastian
pertumbuhan penjualan produk dari para pengusaha. Hal ini tentunya
merugikan pelaku usaha yang notabene jumlahnya jauh lebih banyak
daripada jumlah produsen sirop fruktosa dalam negeri.
8. Pendapat Ahli Pemanis (sweetener) dari Balai Besar Teknologi Pati
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Lampung
Ahli yang dimintai keterangan adalah Bapak Ir. Bambang Triwiyono, Msi
selaku Ahli dari Balai Besar Teknologi Pati – BPPT Bandar Lampung, pada
tanggal 20 Mei 2020. Berikut pandangan Ahli mengenai produk sirop
fruktosa dan perkembangan industri sirop fruktosa di Indonesia dan dunia:
a) High Fructose Syrup (selanjutnya disebut Sirop Fruktosa) adalah cairan
kental yang dimurnikan, memiliki fungsi sebagai pemanis,
mengandung nutrisi sakharida yang dihasilkan dari pati pangan.
Bahan baku yang digunakan untuk membuat sirop fruktosa adalah
sari pati pangan diantaranya adalah jagung, tepung tapioka, tepung
sagu, tepung maizena dan ubi kayu. Pemakaian sirop fruktosa yang
digunakan pada produk makanan dan minuman akan meningkatkan
tingkat kemanisan produk, menambah volume produksi, memperbaiki
tekstur produk hingga membuat masa penyimpanan produk lebih
lama.
25
b) Berikut proses alur pembuatan Pemanis Turunan Pati :
Gambar 1. Alur Pembuatan Pemanis turunan Pati
Sumber: Dokumen presentasi Bapak Bambang Triwiyono (2020)
Dilihat dari alur produksi di atas, alurnya telah menerapkan sistem
produksi terintegrasi dengan bahan baku yang digunakan. Dengan
banyaknya pilihan bahan baku, proses produksi sari pati yang paling
efektif adalah bahan baku jagung.
Proses produksi sirop fruktosa akan lebih efisien jika alat dan bahan
serta mesin fasilitatornya digunakan dengan baik dan terintegrasi
dengan sistem ekstraksi pati dari bahan bakunya. Dari beberapa
bahan baku sari pati, sistem produksi yang belum efisien adalah
menggunakan bahan baku ubi kayu.
c) Produsen Sirup Fruktosa pada pasar internasional adalah Archer
Daniels Midlannd, Cargill, Ingredion, Tate & Lyle, Roquette dan Showa
Sangyo. Perusahan-perusahaan tersebut memiliki pabrik yang masing-
masing tersebar di seluruh dunia.
d) Untuk memproduksi sirop fruktosa wajib menambahkan cairan enzim
sebagai salah satu bahan baku campuran. Menurut Ahli, perusahaan
penghasil enzim tersebut adalah PT Novo Einzie berasal dari Denmark
yang mana memiliki kualitas enzim yang baik. Namun belum diketahui
apakah perusahaan penghasil sirup fruktosa secara keseluruhan
membeli enzim pada PT Novo Einzie atau tidak. Perusahaan lain yang
26
memproduksi enzim untuk pemanis adalah DuPont Nutrition and
Biosciences dari Amerika Serikat.
e) BPPT pernah melakukan analisa dan kajian tentang industri fruktosa
di Indonesia. Dalam analisanya, industri fruktosa tidak dapat
berkembang karena adanya penguasaan oleh satu kelompok pelaku
usaha yang melakukan impor barang jadi yang didatangkan dari
Thailand. Hasil analisa tersebut juga menyebutkan bahwa kelompok
yang melakukan importasi dengan volume sangat besar adalah Sungai
Budi Group. Harga barang jadi dari Thailand yang sangat terjangkau
dan jauh lebih murah dibandingkan harga produk dalam negeri
membuat industri dalam negeri tidak dapat tumbuh sebab tidak laku
di pasar, karena pasar mendapatkan alternatif pilihan harga lebih
rendah yang berasal dari barang impor.
f) Sungai Budi Group atau PT Sungai Budi yang produknya dikenal
dengan merek “Rosebrand” memiliki afiliasi dengan beberapa
perusahaan, diantaranya adalah PT Associated British Budi dan PT
Budi Stratch Sweetener. Sungai Budi Group memiliki banyak pabrik
dengan kapasitas produksi yang besar dan tersebar di Indonesia.
Adanya hubungan afiliasi dan kapasitas produksi yang besar ini dapat
memberikan kesempatan bagi Sungai Budi Group untuk menentukan
jumlah produksi, alur distribusi dan penentuan harga. Sungai Budi
Group juga menguasai alur distribusi dari hulu ke hilir.
g) Sungai Budi Group memiliki pengaruh yang kuat di pasar industri
pemanis di Indonesia. Sungai Budi Group menguasai 3 (tiga) peran
sekaligus, yakni menjadi produsen, importir dan distributor serta
dapat berperan menentukan harga. Hal ini terlihat jelas bahwa Sungai
Budi Group ingin menguasai dan memonopoli alur distribusi dan pasar
industri pemanis di Indonesia.
D. ANALISIS PERSAINGAN USAHA
Kebijakan safeguards merupakan upaya Pemerintah untuk menyeimbangkan
persaingan usaha antara importir yang mempunyai keunggulan dari sisi
skala produksi, upah tenaga kerja atau bantuan dari Pemerintah Negara asal
dengan industri dalam negeri (IDN) yang tidak memiliki keunggulan yang
sama. Namun, kebijakan safeguards tidak dimaksudkan untuk memberikan
27
perlindungan terhadap pelaku usaha yang inefisien. Tantangan yang
dihadapi perumus kebijakan safeguards adalah menyeimbangkan
kepentingan pasar terhadap produk yang kompetitif dengan
mempertahankan tekanan persaingan bagi industri dalam negeri, agar
efisiensi dan upaya inovasi tetap terjaga.
1. Analisa Pasar Bersangkutan
Analisa persaingan usaha menguraikan dampak kebijakan safeguards
bagi iklim persaingan usaha pada pasar yang terdampak. Dalam hal ini
pasar sirop fruktosa di Indonesia. Pasar sirop fruktosa dalam
pendefinisian pasar bersangkutan adalah seluruh penjualan sirop
fruktosa di wilayah Indonesia. Kesimpulan ini diambil meskipun ada
pelaku usaha pengguna sirop fruktosa di wilayah Jawa Timur yang
menyampaikan pemisahan pasar antara kawasan barat pulau Jawa
dengan wilayah Jawa Timur. Namun mengingat produsen sirop fruktosa
juga tersebar di wilayah Jawa Timur, salah satunya perusahaan afiliasi
pemohon safeguards, PT Budi Starch Sweetener, maka pasar sirop
fruktosa pada hakikatnya tidak tersekat berdasarkan wilayah geografis.
Berdasarkan definisi produk, meskipun bahan baku fruktosa
menentukan perbedaan struktur biaya yang mencolok. Antara bahan
baku jagung dengan ubi kayu (singkong), namun sumber bahan baku
saat telah menjadi produk akhir sirop fruktosa tidak lagi dapat
dibedakan. Lebih jauh, tidak ada hambatan bagi seluruh produsen dan
penyedia sirop fruktosa di Indonesia untuk mengubah bahan baku sirop
fruktosa yang dijualnya. Oleh karena itu, pasar produk yang terdampak
kebijakan safeguards meliputi seluruh produk sirop fruktosa berbahan
baku jagung atau singkong dengan berbagai varian kekentalan dan
kemanisan, baik yang berasal dari impor maupun yang diproduksi oleh
produsen dalam negeri.
Dari definisi pasar geografis dan pasar produk seperti diuraikan di atas,
didapatkan penguasaan pasar terbesar adalah importir. Sedangkan
pemohon safeguards berdasarkan perhitungan pangsa pasar menguasai
kurang lebih 11 persen penyediaan sirop fruktosa di Indonesia. Satu hal
yang menjadi catatan, dalam perhitungan pangsa pasar ini, mengenai
28
perusahaan afiliasi pemohon safeguards dan pemohon safeguards
sendiri dalam kegiatan impor.
Gambar 2. Pangsa pasar Sirop Fruktosa di Indonesia tahun 2018 Sumber: Dokumen presentasi PT ABB, Statistik Impor BPS 2018, Dokumen Jawaban tertulis
dari importir dan pengguna sirop fruktosa (diolah)
Dalam perhitungan pangsa pasar, impor yang dilakukan oleh pemohon
safeguards dan perusahaan afiliasinya dikeluarkan dari perhitungan
penjualan sirop fruktosa. Sebagaimana dijelaskan oleh PT ABB, impor
sirop fruktosa yang dilakukan untuk diproses kembali menjadi sirop
fruktosa dengan kekentalan dan kemanisan sesuai permintaan
konsumennya. Demikian halnya impor yang dilakukan oleh grup usaha
ADM meliputi impor ADM Indonesia dan Holdingnya.
Konsep perhitungan ini dikenal dengan konsep single economy entity
(SEE). Udin Silalahi (2018)12 menyatakan:
“Kriteria sebuah perusahaan dapat dikatakan menjadi satu entitas ekonomi dengan perusahaan yang lain (sebagai single economic entity) pertama adalah adanya kepemilikan saham suatu pelaku usaha pada perusahaan yang lain. Pengembangan suatu perusahaan dapat melalui pendirian anak-anak perusahaan sehingga terbentuk sebuah kelompok usaha antara induk perusahaan dengan anak-anak
12
Udin Silalahi. 2018. Single Economic Entity: Kajian Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 9 No. 1 Tahun 2018.
29
perusahaan atau melalui akuisisi saham perusahaan yang lain baik secara horizontal, vertikal maupun secara diagonal. Penguasaan saham oleh satu perusahaan dibeberapa perusahaan mengakibatkan adanya kontrol atas perusahaan-perusahaan tersebut. Namun, ketika perusahaan kelompok tersebut bertumbuh dengan tidak terkendali dapat menimbulkan terjadinya praktik monopoli dalam persaingan usaha yang ada. Induk perusahaan atau biasa disebut juga dengan holding company memiliki tujuan untuk memiliki saham dalam satu atau lebih perusahaan lain dan atau mengatur satu atau lebih perusahaan lain tersebut. Perusahaan induk biasanya memiliki anak-anak perusahaan yang bergerak dalam bidang bisnis yang berbeda-beda.”
2. Analisa Perilaku Pelaku Usaha di Pasar Sirop Fruktosa
Berdasarkan definisi ini, pasar terdampak kebijakan safeguards impor
sirop fruktosa menjadi meliputi semua pasar yang terdapat dalam
pohon industri pemanis. Mulai dari pasar bahan baku jagung atau ubi
kayu, pasar pati pemanis, pasar glukosa serta pasar makanan dan
minuman. Analisa ini dikaitkan dengan keberadaan grup usaha
pemohon safeguards yang menguasai industri hulu dan menengah
dalam pohon industri pemanis. Serta kelompok baku lapangan usaha
Indonesia (KBLI) yang mengelompokkan industri pemanis dalam satu
kelompok usaha dengan kode 10723, yang didefinisikan sebagai industri
sirop usaha pengolahan gula menjadi sirop, seperti industri sirup gula
dan produksi sirup dan gula maple. Kegiatan pembuatan sirop yang
tergabung dengan pabrik gula dan tidak dapat dipisahkan tersendiri.13
Gambar 3. Pohon Industri Pemanis
13
Lampiran Perka BPS No. 19 Tahun 2017 hal. 78.
30
Penentuan pasar terdampak kebijakan merupakan tahap awal dalam
analisa persaingan usaha dengan menggunakan analisa Structure-
Conduct-Performance (SCP). Secara struktur, pasar sirop fruktosa
Indonesia saat ini tidak dikuasai secara dominan oleh satu pelaku
usaha. Bahkan pemohon safeguards sirop fruktosa dan grup usahanya
hanya menguasai ± 11 persen pangsa pasar. Kondisi ini cukup ideal dan
sebenarnya tidak memerlukan intervensi di dalam pasar. Tekanan
persaingan terjaga, sehingga melahirkan efisiensi usaha dan inovasi.
Inovasi tersebut antara lain dengan melakukan pemrosesan kembali di
pabriknya terhadap sirop fruktosa yang diimpor. Hal ini merupakan
adaptasi agar dapat bertahan di dalam pasar.
Namun, kebijakan safeguards terikat oleh perjanjian internasional
Agreement of Safeguards (AoS) dan Peraturan Pemerintah Nomor 34
Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping, Tindakan Imbalan dan
Tindakan Pengamanan Perdagangan. Permohonan safeguards tidak
dapat serta merta diabaikan atas dasar kondisi pasar. Demikian,
otoritas penyelidikan safeguards, Komite Pengamanan Perdagangan
Indonesia (KPPI) telah pula membuktikan terjadinya kerugian industri
dalam negeri yang diakibatkan oleh lonjakan impor. Analisa perilaku
pelaku usaha di dalam pasar serta identifikasi penyebab lonjakan impor
sirop fruktosa menjadi fokus pertimbangan kepentingan nasional dari
sisi persaingan usaha.
Berdasarkan hasil diskusi, wawancara, survey, pengumpulan data dan
informasi kepada importir dan pengguna sirop fruktosa didapatkan
informasi bahwa pemohon safeguards Sirop Fruktosa tidak pernah
melakukan tindakan-tindakan yang berpotensi menyebabkan
persaingan usaha tidak sehat. Namun informasi mengenai grup usaha
pemohon safeguards dalam pasar pemanis di Indonesia
mengungkapkan potensi penguatan posisi integrasi vertikal dari
pemohon safeguards sirop fruktosa.
3. Analisa Penyebab Lonjakan Impor
Penguatan posisi integrasi vertikal pemohon safeguards sirop fruktosa
jika kebijakan safeguards diimplementasikan, bagi KPPU merupakan
sinyal untuk dilakukan pengawasan. KPPU berkomitmen untuk
31
mengawasi industri pemanis jika pemerintah memutuskan kebijakan
safeguards sirop fruktosa.
Selanjutnya KPPU memberikan catatan berkenaan dengan penyebab
lonjakan impor sirop fruktosa. Penelaahan terhadap jurnal ekonomi
internasional mengungkapkan kebijakan export tax rebate (ETR)
pemerintah RRT, yang seringkali dijadikan dalih terjadinya lonjakan
impor kurang relevan dengan kondisi pasar sirop fruktosa. Kebijakan
ETR Pemerintah RRT telah dilakukan sejak tahun 1985 dan efektif
diberlakukan pada 1988. Kebijakan ini juga, berdasarkan penelitian Xie
Liang (2014), tidak serta merta didapatkan oleh eksportir di RRT.
Bahkan pada periode 2001-2003, tercatat lebih dari 100 milyar Yen,
pengembalian pajak eksportir yang tidak terbayar oleh pemerintah RRT.
Jika meneliti lebih lanjut data impor sirop fruktosa sepanjang periode
2008-2019, diketahui lonjakan impor sirop fruktosa mulai terjadi pada
periode 2009. Sebagaimana dijelaskan dalam uraian fakta terkait
peraturan perundang-undangan dalam kajian ini, tahun 2009
merupakan tahun dimulainya perdagangan bebas ASEAN-China dalam
koridor China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) yang ditetapkan
berdasarkan PMK Nomor 235 Tahun 2008 tentang Penetapan Tarif Bea
Masuk dalam Rangka Asean China Free Trade. Konsekuensinya bea
masuk barang sebagaimana tertuang dalam PMK Nomor 235 Tahun
2008 dikenakan bea masuk nol persen.
Gambar 4. Perkembangan Impor Sirop Fruktosa Indonesia 2008-2019
Sumber: Statistik Impor BPS (diolah)
32
4. Model Determinan Impor Sirop Fruktosa
Selanjutnya KPPU membangun model determinan impor sirop fruktosa
Indonesia dengan mengadopsi model yang lebih dahulu dibangun oleh
Imam dan Santosa (2017)14 serta Hanifah dan Kartiasih (2018)15. Kedua
penelitian ini membangun model dengan menjelaskan variabel kurs,
inflasi, cadangan devisa, pertumbuhan ekonomi, populasi, permintaan,
ekspor barang jadi dan shock exogenous economy (pertumbuhan
ekonomi di bawah 5 persen) sebagai determinan impor. Atas dasar
penelitian ini, dengan mengadaptasi keterbatasan data, dibangun model
determinan impor sirop fruktosa sebagai berikut:
IMPOR = α + β1 REER + β2 HARGAIMPOR + β3 HARGADOMESTIK + ε
Dimana:
IMPOR = Volume Impor Sirop Fruktosa
REER = Real Effective Exchange Rate (yang dihitung
berdasarkan penggunaan USD dalam
perdagangan antara Indonesia dan RRT,
dengan memasukkan bobot faktor Indeks
harga konsumen masing-masing Negara)
HARGA IMPOR = Unit of Value Impor Sirop Fruktosa Indonesia
(Hasil bagi antara nilai impor sirop fruktosa
dibagi volume)
HARGA DOMESTIK = Unit of Value penjualan PT ABB (Hasil bagi
nilai penjualan PT ABB dibagi volume
penjualan)
ε = Residu model
α, β1, β2, β3 = Parameter model.
Adapun pengolahan data terbaik menghasilkan model sebagai berikut:
14
Imam, Muhammad Kholisul dan Santosa, Dwi Budi. 2017. Determinants of Indonesia Import 1981-2014. Journal of Economics and Policy (JEJAK) Vol. 10. September 2017. Universitas Negeri Semarang. 15
Hanifah, Nidaúl dan Kartiasih, Fitri. 2018. Determinan Impor Serat Kapas di Indonesia Tahun 1975-2014. Media Statistika 2018. Hal. 119-134.
33
Dependent Variable: IMPOR
Method: Least Squares
Date: 04/04/20 Time: 15:06
Sample: 2012M01 2019M11
Included observations: 95 Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob. C 23195450 5360785. 4.326875 0.0000
REER -2245.835 932.3466 -2.408798 0.0180
HARGA IMPOR -4.10E+09 6.36E+08 -6.441466 0.0000
HARGA DOMESTIK 9.10E+08 9.04E+08 1.006458 0.3169 R-squared 0.529254 Mean dependent var 6591157.
Adjusted R-squared 0.513735 S.D. dependent var 3389074.
S.E. of regression 2363293. Akaike info criterion 32.23020
Sum squared resid 5.08E+14 Schwarz criterion 32.33773
Log likelihood -1526.935 Hannan-Quinn criter. 32.27365
F-statistic 34.10345 Durbin-Watson stat 1.199470
Prob(F-statistic) 0.000000
Model Ekonometrika ini menunjukkan bahwa model mampu
menjelaskan 51 persen fenomena impor fruktosa di Indonesia. Sisanya
sebanyak 49 persen dijelaskan oleh variabel lain. Nilai adjusted R-
squared 51 persen juga mengindikasikan model ini tidak berlebihan dan
model tidak mengarah pada regresi lancung (spurious regression)
sebagaimana dipersyaratkan Insukindro (2001).
Nilai F Statistik yang mengindikasikan valid secara statistik
mengindikasikan model fit untuk menjelaskan fenomena yang diamati.
Penjelasan per variabel :
Impor sirop fruktosa selama masa pengamatan (Januari 2012 sampai
dengan November 2019) mampu dijelaskan oleh variabel kurs riil efektif,
harga produk impor dan harga produk dalam negeri.
Elastisitas kurs terhadap Impor dicari dengan menggunakan
perhitungan:
Elastisitas = 23195450 x = -0,82
Elastisitas harga impor dan harga dalam negeri menggunakan rumus
yang sama didapatkan nilai elastisitas sebagai berikut:
34
Tabel 6. Perhitungan Elastisitas
Variabel Elastisitas
kurs -0,82
Harga Impor -274
Harga Domestik 76
Dari data ini dapat diketahui elastisitas harga impor merupakan yang
terbesar, yang menandakan diantara 3 (tiga) variabel kontrol, variabel
harga impor memiliki kecenderungan terbesar yang mempengaruhi
jumlah impor sirop fruktosa ke Indonesia.
Arah dari masing-masing koefisien juga sudah sesuai dengan teori.
Kenaikan nilai tukar akan menurunkan impor, demikian halnya dengan
kenaikan harga impor yang menurut teori permintaan akan
menurunkan jumlah impor. Sedangkan harga dalam negeri koefisiennya
menunjukkan tanda positif yang berarti kenaikan harga di dalam negeri
akan meningkatkan jumlah impor fruktosa, yang mana sesuai dengan
teori harga subtitusi.
Koefisien REER terkonfirmasi berpengaruh signifikan secara statistik
terhadap Impor Fruktosa. Nilai koefisien sebesar minus 2.245,
menandakan kenaikan 1 satuan nilai tukar riil efektif akan
menurunkan impor sirop fruktosa sebesar 2.245 kilogram/2,2 ton. Nilai
ini logis dengan rerata impor sebanyak 6.500 ton per bulan sejak 2012.
Nilai ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa nilai tukar bukan merupakan
pertimbangan utama dalam keputusan impor sirop fruktosa.
Koefisien harga impor terkonfirmasi berpengaruh signifikan secara
statistik terhadap impor fruktosa. Nilai koefisien sebesar minus 4,1
milyar menandakan setiap kenaikan 1 dollar riil akan menurunkan
impor sirup fruktosa sebesar 4,1 milyar kg atau 4,1 juta ton. Sepintas
perhitungan ini janggal, namun perlu diingat harga fruktosa dalam
kilogram kurang dari 1 USD riil. Jika meninjau nilai elastisitas maka 1
persen kenakan harga impor riil akan menurunkan impor sirop fruktosa
secara signifikan sebanyak 274 persen.
Koefisien harga domestik tidak berpengaruh signifikan secara statistik.
Angka probabilitas menunjukkan nilai alpha (α) 31 persen. Nilai yang
35
menurut beberapa ahli statistik sosial tidak dapat digunakan sebagai
rujukan dalam menjelaskan fenomena secara parsial. Secara statistik
probabilitas di atas 5 persen disamakan dengan koefisien nol. Artinya
perubahan besaran harga riil sirop fruktosa di dalam negeri tidak
memberikan pengaruh terhadap jumlah impor sirop fruktosa. Kondisi
ini relevan dengan penggunaan harga pemohon safeguards, yaitu PT
ABB, sebagai proksi harga dalam negeri. PT ABB juga melakukan impor
sirop fruktosa. Direktori Impor BPS menunjukkan bahwa PT ABB
merupakan importir ketiga terbesar untuk Sirop Fruktosa, sehingga
wajar, jika harga PT ABB tidak memberikan pengaruh terhadap impor.
Importir akan tetap melakukan impor sirop fruktosa tanpa
mempertimbangkan harga di dalam negeri.
5. Analisa Kinerja Pasar
Berdasarkan analisa struktur, analisa perilaku, analisa penyebab
lonjakan impor dan model determinan impor sirop fruktosa,
diperkirakan bahwa kinerja pasar sirop fruktosa jika safeguards sirop
fruktosa diimplementasikan akan meningkatkan penjualan produk sirop
fruktosa produsen dalam negeri. Kondisi ini terjadi sebagai respon dari
pengalihan pembelian pengguna sirop fruktosa dari produk impor pada
produk dalam negeri. Kondisi industri dalam negeri (IDN) produsen sirop
fruktosa yang siap memenuhi kebutuhan nasional akan menimbulkan
tekanan persaingan yang tetap memadai.
Keunggulan komparatif bagi pemohon safeguards sirop fruktosa terletak
pada hubungan integrasi vertikalnya dengan pelaku usaha di industri
hulu pemanis. Penguatan hubungan integrasi vertikal berpotensi terjadi
jika pasar pati jagung tertutup, yang memungkinkan terjadinya potensi
diskriminasi perlakuan terhadap pelaku usaha yang membutuhkan Pati
Pemanis untuk memproduksi sirop fruktosa. Sementara pemohon
safeguards akan menguasai pasar sirop fruktosa karena bantuan dari
perusahaan afiliasinya di hulu pati pemanis.
Untuk mencegah terjadinya persaingan usaha tidak sehat di pasar
pemanis, hendaknya Pemerintah menjaga pasar pati jagung dari
hambatan masuk. KPPU akan melakukan pengawasan terhadap usaha
36
terintegrasi di pasar pemanis untuk mencegah terjadinya persaingan
usaha tidak sehat.
Usulan safeguards berupa pengenaan BMTP Impor Sirop Fruktosa
sebesar 24 persen, 22 persen dan 20 persen selama 3 (tiga) tahun
berdasarkan model determinan impor sirop fruktosa akan mengalihkan
pembelian dari produk impor menjadi produk dalam negeri. Oleh karena
itu komitmen penyesuaian struktural menjadi penting untuk
diperhatikan agar setelah masa pengenaan safeguards selama 3 tahun,
kinerja industri sirop fruktosa kembali stabil. Dengan demikian
kebijakan safeguards menjadi tepat sasaran, yaitu menyeimbangkan
persaingan usaha antara pelaku usaha dalam negeri dengan importir.
6. Analisa Komitmen Penyesuaian Struktural
KPPU memberikan perhatian pada komitmen penyesuaian struktural
yang diajukan pemohon safeguards. Implementasi komitmen ini, akan
menjamin bahwa kinerja industri dalam negeri produsen sirop fruktosa
akan kembali stabil dan sejajar dengan importir, sehingga intervensi
pasar berupa kebijakan safeguards tidak dilanjutkan kembali setelah
masa pengenaan selama 3 (tiga) tahun.
Mengenai hal tersebut KPPU memberikan pertimbangan sebagai berikut:
a. Rencana pengembangan teknologi berupa pengembangan
evaporator selama masa pengenaan safeguards. Pemohon masih
berfokus pada reproses sirop fruktosa yang diimpor oleh pemohon.
Kondisi ini dinilai belum akan memperbaiki kinerja pemohon.
Komitmen pengembangan teknologi hendaknya diarahkan pada
efisiensi biaya bahan baku yang terkait dengan grup usaha
pemohon.
b. Rencana target penjualan domestik melalui seminar lokal,
penambahan armada angkutan dan peningkatan kunjungan ke
konsumen. Rencana ini perlu dibarengi dengan kegiatan promosi
yang masif dari pemohon safeguards.
c. Rencana perluasan pemasaran ekspor dan dalam negeri. Rencana
ekspansi pasar ekspor perlu dirincikan Negara tujuannya
berdasarkan pertimbangan konsumsi nasional di Negara
dimaksud. Sementara untuk ekspansi pasar dalam negeri
37
khususnya di wilayah timur Indonesia, perlu dipertimbangkan
skala penjualan untuk tetap mempertahankan kinerja keuangan
pemohon safeguards.
d. Rencana efisiensi produksi, belum mencerminkan trade off dari
manfaat kebijakan terhadap proyeksi keuntungan pemohon
safeguards. Dengan bahan baku dari grup usaha terafiliasi,
sebaiknya efisiensi produksi yang diusulkan turut
mempertimbangkan efisiensi biaya bahan baku dari grup usaha
pemohon safeguards.
e. Rencana peningkatan kapasitas terpasang. Rencana peningkatan
kapasitas terpasang yang melibatkan grup usaha terafiliasi
pemohon safeguards akan menyebabkan biaya tambahan yang
berpengaruh terhadap kinerja pemohon. Rencana ini sebaiknya
dipertimbangkan mengingat secara nasional kapasitas terpasang
telah mencukupi kebutuhan nasional jika dioperasionalkan secara
optimal.
f. Rencana peningkatan kualitas produk melalui penambahan staf
Quality Control and Assurance, perlu ditambahkan dengan
penjelasan mengenai penambahan kegiatan inspeksi produk
sebelum dijual kepada konsumen. Penjelasan mengenai
penanganan komplain (handling complaint) perlu disertakan di
dalam rencana peningkatan kualitas produk.
g. Rencana penambahan tenaga kerja. Sebagai salah satu aspek yang
diperhatikan dalam kinerja pemohon, hendaknya manfaat dari
kebijakan safeguards terhadap keuntungan pemohon dapat
dialokasikan secara optimal untuk penambahan tenaga kerja,
sehingga dari aspek tenaga kerja setelah berakhirnya safeguards,
aspek tenaga kerja tidak lagi menjadi aspek yang kinerjanya
menurun.
38
E. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. Kesimpulan
Berdasarkan temuan fakta dan analisa dalam kajian ini, KPPU
menyimpulkan pertimbangan sebagai berikut:
a. Bahwa selama masa penyelidikan oleh Komite Pengamanan
Perdagangan Indonesia (KPPI) terkait lonjakan impor produk sirop
fruktosa, KPPU belum menemukan indikasi pelanggaran UU No. 5
Tahun 1999 oleh Industri Dalam Negeri (IDN) pemohon safeguards,
baik dari laporan masyarakat maupun dari pengumpulan data dan
informasi yang berasal dari importir sirop fruktosa dan pengguna
sirop fruktosa.
b. Tekanan persaingan di pasar, tetap terjadi sampai dengan saat ini,
karena struktur industri yang tetap kompetitif. Pemberian
safeguards tidak serta merta mendorong terjadinya penguatan
kekuatan pasar pemohon safeguards sebagai akibat dari naiknya
harga produk pesaing. Pesaing, produsen dalam negeri sirop
fruktosa, dari pemohon safeguards saat ini dalam posisi siap
memenuhi kebutuhan pengguna sirop fruktosa. Oleh karena itu,
tekanan persaingan di pasar sirop fruktosa akan tetap terjaga.
c. Namun terdapat beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan
Pemerintah terkait hubungan afiliasi pemohon safeguards sirop
fruktosa dengan pelaku usaha industri hulu pemanis.
2. Rekomendasi
Memperhatikan hal tersebut, KPPU mendukung rencana Pemerintah
memberlakukan kebijakan BMTP untuk produk sirop fruktosa sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun
demikian, KPPU berpendapat bahwa dalam penetapan kebijakan
tersebut, Pemerintah sebaiknya mempertimbangkan beberapa dampak
pemberlakuan dari kebijakan tersebut, yakni :
a. Terjadinya penguatan kekuatan pasar pemohon safeguards, yang
terintegrasi secara vertikal dengan afiliasinya di industri pemanis.
KPPU akan melakukan pengawasan terhadap industri pemanis
39
selama pemberlakuan safeguards impor sirop fruktosa untuk
menghindari terjadinya penyalahgunaan integrasi vertikal tersebut.
b. Terhalangnya industri pengguna sirop fruktosa untuk
mendapatkan sirop fruktosa dengan harga yang kompetitif, yang
mengakibatkan kenaikan biaya, sementara industri pengguna sirop
fruktosa terbesar, yaitu industri makanan dan minuman juga
menghadapi tekanan persaingan dari produk impor.
c. Terjadinya distorsi pasar, karena kekuatan pasar yang tercermin
dari pangsa pasar semestinya didapatkan melalui proses
persaingan dengan peningkatan inovasi produk atau efisiensi
usaha, bukan melalui kebijakan pemerintah.
d. KPPU juga menyarankan agar Pemerintah secara ketat mengawasi
pelaksanaan rencana penyesuaian struktural yang menjadi
komitmen pemohon safeguards. Perencanaan harus didetailkan,
sehingga komitmen pelaku usaha bisa terukur dan pemenuhan
komitmen bisa diawasi dengan mudah. Hal ini agar perlindungan
mencapai tujuannya, terutama untuk meningkatkan daya saing
produk lokal sehingga mendorong peningkatan utilisasi kapasitas
terpasangnya, yang dalam gilirannya akan mendorong multiplier
effect yang positif untuk beberapa bidang ekonomi yang terkait
dengan peningkatan utilisasi tersebut.
40
DAFTAR PUSTAKA
Bukti Awal Permohonan Versi Tidak Rahasia atas Produk Sirop Fruktosa. 2019. diunggah
8 Januari 2020 http://kppi.kemendag.go.id/asset/direktori/produk/
Buktipersen20Awalpersen20Permohonanpersen20Versi persen20Tidakpersen20Rahasiapersen20ataspersen20Produkpersen
20Siroppersen20Fruktosa.pdf)
Chen, C.H., Mai, C.-C.,&Yu, H. –C. 2006. The Effect of Export Tax Rebate on Export
Performance. China Economic Review.
Direktori Importir Indonesia 2018. Badan Pusat Statistik (BPS)
Feldstein, M., Krugman, P., 1990. International Trade Effects of Value-added Tax.,
University of Chicago Press.
Gourdon, J., Monjon, S., Poncet, S. 2011. Imcomplete VAT rebates to exporters: How do
they affect China’s esport performance?. Working Paper.
Hanifah, Nidaúl dan Kartiasih, Fitri. 2018. Determinan Impor Serat Kapas di Indonesia
Tahun 1975-2014. Media Statistika 2018.
Imam, Muhammad Kholisul dan Santosa, Dwi Budi. 2017. Determinants of Indonesia
Import 1981-2014. Journal of Economics and Policy (JEJAK) Vol. 10. September
2017. Universitas Negeri Semarang.
Udin Silalahi. 2018. Single Economic Entity: Kajian Hukum Persaingan Usaha di
Indonesia. Jurisdictie: Jurnal Hukum dan Syariah Vol. 9 No. 1 Tahun 2018.
Xie Liang, 2014. Effect of Export Tax Rebate on Export Volume: Evidence from China.
Ritsumeikan Asia Pacific University.
Yong Tan, Liwei An dan Cui Hu. 2015. Regional Effects of Export Tax Rebate on Exporting
Firms: Evidence From China. Jurnal Munich Personal RePEc Archive (MPRA) Paper
No. 65188 posted 24 Jun 2015.
Zhang Q., 2010. Study on the problems and countermeasures of export rebate in processing trade.