EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT MERAH AKIBAT ALGA Cephaleuros sp. PADA PEMBIBITAN
CENGKEH DI WONOSALAM, JOMBANG
oleh
ANA WAUMRINA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS PERTANIAN
MALANG
2017
EFEKTIVITAS KONSORSIUM MIKROBA SEBAGAI PENGENDALI PENYAKIT KARAT MERAH AKIBAT ALGA Cephaleuros sp. PADA PEMBIBITAN
CENGKEH DI WONOSALAM, JOMBANG
OLEH
ANA WAUMRINA
135040201111052
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
MINAT HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
Gelar Sarjana Pertanian Strata Satu (S-1)
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
FAKULTAS PERTANIAN
JURUSAN HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN
MALANG
2017
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa segala pernyataan dalam skripsi ini merupakan
hasil penelitian saya sendiri, dengan bimbingan komisi dosen pembimbing. Skripsi
ini tidak pernah diajukan untuk memperoleh gelar di perguruan tinggi manapun
dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang ditunjukkan rujukannya dalam
naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Malang, Agustus 2017
Ana Waumrina
Skripsi ini aku persembahkan untuk
Kedua orang tuaku tercinta
Juga kakak dan adikku tersayang
i
RINGKASAN
Ana Waumrina (135040201111052): Efektivitas Konsorsium Mikroba Sebagai Pengendali Penyakit Karat Merah Akibat Alga Cephaleuros sp. pada Pembibitan Cengkeh di Wonosalam, Jombang. Dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Abdul Latief Abadi, MS. dan Restu Rizkyta Kusuma, SP, M.Sc.
Penyakit karat merah akibat alga Cephaleuros banyak ditemukan menyerang daun tua pada bibit cengkeh di Kec. Wonosalam, Jombang. Pengendalian penyakit karat merah yang efisien hingga kini belum dilakukan oleh pembibit. Aplikasi mikroba antagonis merupakan solusi pengendalian yang ramah lingkungan dan sudah terbukti efektif untuk mengendalikan berbagai penyakit tanaman. Mikroba dalam bentuk konsorsium merupakan penggabungan beberapa mikroba yang memiliki hubungan sinergisme sehingga dapat menekan perkembangan penyakit lebih efektif. Penelitian terkait penggunaan mikroba antagonis untuk mengendalikan penyakit dan menstimulasi pertumbuhan tanaman perlu dilakukan lebih mendalam karena setiap mikroba antagonis memberikan respon yang berbeda-beda untuk wilayah, waktu, tanaman dan sasaran patogen yang berbeda. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh aplikasi mikroba tunggal dan konsorsium dalam kombinasi Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens dan Trichoderma sp. dalam mengendalikan penyakit karat merah serta pengaruhnya dalam menstimulasi pertumbuhan tanaman cengkeh.
Penelitian dilakukan pada bulan Februari - Juli 2017 di lahan pembibitan cengkeh yang terletak di Dusun Ganten, Desa Wonomerto, Kec. Wonosalam, Jombang untuk mengetahui efektivitas perlakuan pengendalian dan di laboratorium Penyakit Tumbuhan Universitas Brawijaya untuk mengidentifikasi patogen. Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok dengan 6 perlakuan dan 4 ulangan. Parameter yang diamati yaitu: tinggi tanaman, jumlah daun dan intensitas penyakit. Data hasil pengamatan dianalisis menggunakan analisis ragam dan diuji lanjut menggunakan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) taraf 5%. Data parameter pertumbuhan, intensitas penyakit dan faktor cuaca dianalisis menggunakan analisis regresi dan korelasi untuk mengetahui hubungan antar parameter.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi mikroba dalam bentuk tunggal maupun konsorsium tidak signifikan mempengaruhi pertumbuhan vegetatif tanaman, namun mampu menekan perkembangan penyakit karat merah lebih baik dibandingkan kontrol. Intensitas penyakit sebelum aplikasi mikroba antagonis adalah 31,23% – 50,23%. Efektivitas pengendalian oleh mikroba dalam bentuk konsorsium lebih baik daripada mikroba tunggal maupun fungisida tembaga yaitu sebesar 49%. Penyakit karat merah memiliki pengaruh dalam menurunkan jumlah daun sebesar 63,2% dengan koefisien korelasi sebesar -0,805 (korelasi kuat). Peningkatan intensitas penyakit karat merah dipengaruhi oleh cuaca terutama penigkatan curah hujan sebesar 57,4% dengan koefisien korelasi 0,792 (korelasi kuat).
ii
SUMMARY
Ana Waumrina (135040201111052): The Effectiveness of Microbial Consortia as Red Rust Disease Control caused by Cephaleuros sp. on Cloves Seedling in Wonosalam, Jombang. Supervised by Prof. Dr. Ir. Abdul Latief Abadi, MS. and Restu Rizkyta Kusuma, SP., M.Sc.
Red rust is a disease caused by Cephaleuros sp. that was found attack mature leaf of cloves seedling in Wonosalam, Jombang. An eficient control to decrease the intensity of disease are not applied yet by farmers. Application of antagonistic microbes is being considered as an alternative and ecofriendly way to control plant diseases and was evident to control many plant diseases. Microbial consortia is association of many microbes that have sinergism relation to control disease effectively. The research about application antagonistic microbes to control red rust and stimulate plant growth need to do because antagonistic microbes will give different responses when applied on different region, time, plant and pathogen target. The purpose of this reseach is to study any effect of single microbe and consortia on Bacillus subtilis, Pseudomonas fluorescens and Trichoderma sp. combination to control red rust disease and stimulate cloves growth.
This reseach was from February to July 2017 on cloves seedling field in Ganten, Wonomerto, Wonosalam, Jombang to test effectiveness of treatments, and at Plant Diseases laboratory in University of Brawijaya to identification the pathogen. The field was conducted with randomized design block with 6 treatments and 4 replications. Parameters of the observation are high of plant, total leaves and disease intensity. The data was analyzed by analysis of variance, then used advanced test with Least Significant Difference test (LSD) at 5%. The data of plant growth, disease intensity and weather factor were analyzed by regression and correlation analysis to calculate relation between parameters.
The result showed that application both single microbe or consortia can not give the different significant to influence plant vegetative growth, but can decrease red rust disease better than control. The intensity of disease before application of antagonistic microbes was 31,23% – 50,23%. Aplication of consortia was able to suppress the development of algae disease which can reach 49% better than application of single microbe and copper fungicide. Red rust decreased the number of leaves of 63,2%, with strong correlation of -0,805. The increasing disease intensity was influence by weather, especially increasing of rainfall equal to 57,4% with coefficient correlation 0,792 (strong correlation).
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, petunjuk
dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Efektivitas Konsorsium Mikroba Sebagai Pengendali Penyakit Karat Merah Akibat
Alga Cephaleuros sp. pada Pembibitan Cengkeh di Wonosalam, Jombang.”.
Kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini,
penulis mengucapkan terimakasih, terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Abdul Latief Abadi, MS. dan Ibu Restu Rizkyta Kusuma, SP.,
M.Sc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi.
2. Ibu Dr. Ir. Ludji Pantja Astuti, MS. Selaku Ketua Jurusan Hama dan Penyakit
Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
3. Kedua orang tua tercinta Bapak Sudarno dan Ibu Warsinah serta kakak dan
adik (Adi dan Bima) yang selalu memberikan dukungan dan doa.
4. Heni Ambaryanti, Agus Vinasari, Roaita Mustika H. dan Agus Winarko sebagai
sahabat yang selalu memberikan dukungan.
5. Teman-teman mahasiswa Hama dan Penyakit Tumbuhan 2015.
Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan
sumbangan pemikiran untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Malang, Agustus 2017
Ana Waumrina
iv
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kediri pada tanggal 6 Februari 1995 sebagai putri
kedua dari 3 bersaudara dari pasangan Bapak Sudarno dan Ibu Warsinah. Penulis
menempuh pendidikan dasar di SD Negeri Gadungan 1, Puncu, Kediri pada tahun
2001-2007, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri
3 Pare pada tahun 2007-2010. Pada tahun 2010 hingga 2013 penulis menempuh
pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Pare. Pada Tahun 2013 penulis
terdaftar sebagai mahasiswa strata satu di Fakultas Pertanian Universitas
Brawijaya Program studi Agroekoteknologi melalui jalur SNMPTN. Pada tahun
2015 penulis terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan.
Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten praktikum
mata kuliah pemuliaan tanaman pada tahun 2015 dan 2016 dan asisten praktikum
rancangan percobaan pada tahun 2016. Penulis juga terdaftar sebagai anggota
bela diri Merpati Putih Universitas Brawijaya.
v
DAFTAR ISI
Halaman RINGKASAN ......................................................................................... i SUMMARY ............................................................................................ ii KATA PENGANTAR ............................................................................. iii RIWAYAT HIDUP.................................................................................. iv DAFTAR ISI .......................................................................................... v DAFTAR TABEL ................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ............................................................................... vii
I. PENDAHULUAN ................................................................................ 1 1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ...................................................................... 2 1.3 Tujuan ......................................................................................... 2 1.4 Manfaat ....................................................................................... 3 1.5 Hipotesis ..................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 4 2.1 Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) ........................................... 4 2.2 Cephaleuros sp. Penyebab Penyakit Karat Merah ...................... 5 2.3 Pengendalian Penyakit ............................................................... 8 2.4 Pengendalian Hayati ................................................................... 9 2.5 Konsorsium Mikroba ................................................................... 11
III. METODE PENELITIAN .................................................................... 13 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ..................................................... 13 3.2 Alat dan Bahan ........................................................................... 13 3.3 Rancangan Penelitian ................................................................. 13 3.4 Persiapan Penelitian ................................................................... 14 3.5 Pelaksanaan Penelitian ............................................................... 14 3.6 Pengamatan ............................................................................... 15 3.7 Analisis Data ............................................................................... 17
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 18 4.1 Deskripsi Kondisi Wilayah Lahan Percobaan .............................. 18 4.2 Identifikasi Patogen ..................................................................... 18 4.3 Pengaruh Mikroba Antagonis Hayati Terhadap Pertumbuhan ..... 22 4.4 Pengaruh Aplikasi Mikroba AntagonisTerhadap Serangan
Penyakit ..................................................................................... 25 4.5 Hubungan Serangan Penyakit Terhadap Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman ..................................................................................... 28 4.6 Hubungan Faktor Cuaca Terhadap Intensitas Penyakit .............. 29
V. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ 33 5.1 Kesimpulan ................................................................................. 33 5.2 Saran .......................................................................................... 33
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 32 LAMPIRAN ........................................................................................... 35
vi
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman Teks
1 Perlakuan penelitian ................................................................... 13 2 Skala serangan penyakit karat merah ........................................ 16 3 Rata-rata pertambahan tinggi bibit cengkeh ............................... 23 4 Rata-rata jumlah daun bibit cengkeh .......................................... 24 5 Rata-rata intensitas serangan penyakit (IP) ................................ 26 6 Rata-rata efektifitas pengendalian penyakit ................................ 28
Lampiran
1 ANOVA pertambahan tinggi bibit 1 minggu setelah aplikasi ....... 36 2 ANOVA pertambahan tinggi bibit 3 minggu setelah aplikasi ....... 36 3 ANOVA pertambahan tinggi bibit 5 minggu setelah aplikasi ....... 36 4 ANOVA pertambahan tinggi bibit 7 minggu setelah aplikasi ....... 37 5 ANOVA pertambahan tinggi bibit 8 minggu setelah aplikasi ....... 37 6 ANOVA jumlah daun sebelum aplikasi ....................................... 37 7 ANOVA jumlah daun pada 2 minggu setelah aplikasi ................. 37 8 ANOVA jumlah daun pada 4 minggu setelah aplikasi ................. 37 9 ANOVA jumlah daun pada 6 minggu setelah aplikasi ................. 38 10 ANOVA jumlah daun pada 8 minggu setelah aplikasi ................. 38 11 ANOVA IP sebelum aplikasi perlakuan ...................................... 38 12 ANOVA IP pada 2 minggu setelah aplikasi ................................. 38 13 ANOVA IP pada 4 minggu setelah aplikasi ................................. 38 14 ANOVA IP pada 6 minggu setelah aplikasi ................................. 39 15 ANOVA IP pada 8 minggu setelah aplikasi ................................. 39 16 ANOVA efektifitas pengendalian penyakit karat merah .............. 39 17 Rata-rata intensitas penyakit karat merah .................................. 40 18 Hasil analisis regresi IP terhadap jumlah daun ........................... 41 19 Hasil analisis regresi IP terhadap tinggi tanaman ....................... 41 20 Hasil analisis regresi faktor cuaca terhadap IP ........................... 41 21 Hasil analisis regresi curah hujan terhadap IP ............................ 42 22 Hasil analisis korelasi IP, jumlah daun dan tinggi tanaman ........ 43 23 Hasil analisis korelasi IP, suhu, kelembaban dan curah hujan .... 43 24 Interval koefisien korelasi dan kekuatan hubungan (korelasi) ..... 44 25 Data iklim bulan Februari-April ................................................... 44
vii
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman Teks
1 Morfologi bibit tanaman cengkeh ................................................ 5 2 Talus Cephaleuros pada permukaan daun dan penampakan
mikroskopis Cephaleuros sp. ...................................................... 6 3 Gejala serangan Cephaleuros sp. pada daun cengkeh .............. 8 4 Gejala serangan penyakit ........................................................... 19 5 Perkembangan penyakit dari atas permukaan daun ................... 20 6 Perkembangan penyakit dari bawah permukaan daun ............... 21 7 Penampakan mikroskopis alga Cephaleuros sp. ........................ 22 8 Grafik hubungan IP terhadap jumlah daun ................................. 29
Lampiran
1 Skema pengacakan perlakuan ................................................... 35 2 Lahan penelitian pada pembibitan cengkeh ............................... 35 3 Kelompok skoring intensitas serangan penyakit karat merah ..... 36
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Cengkeh merupakan komoditas perkebunan yang banyak dibudidayakan
di Kecamatan Wonosalam, Jombang disamping komoditas durian dan kopi. Bunga
cengkeh merupakan bagian tanaman utama yang dijual dalam bentuk kering
maupun basah, selain itu daun dan ranting juga dimanfaatkan untuk diekstrak
karena mengandung minyak atsiri yang memiliki nilai jual tinggi. Kecamatan
Wonosalam merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Jombang yang memiliki
produktifitas bunga cengkeh paling banyak. Wilayah ini memiliki luas perkebunan
cengkeh sebesar 2.106 ha dari luas keseluruhan yaitu 12.163 ha. Berdasarkan
karakteristik lahan, Kecamatan Wonosalam dapat dikategorikan daerah yang
memiliki kondisi fisiografis yang sesuai dengan syarat tumbuh tanaman cengkeh
(Faizzah dan Budiyanto, 2014).
Upaya peningkatan produksi tanaman cengkeh tidak dapat terlepas dari
serangan organisme pengganggu tanaman yang mampu menyerang tanaman di
pembibitan maupun di kebun, sehingga mampu menurunkan kualitas dan
kuantitas produksi. Menurut Ari (2015) penyakit yang ditemukan menyerang
tanaman cengkeh yaitu penyakit cacar daun cengkeh (Phylosticta syzygii), bakteri
pembuluh kayu cengkeh (Pseudomonas syzygii), dan jamur akar putih
(Rigidoporus lignosus). Mariana (2013) menyebutkan adanya penyakit karat
merah yang disebabkan oleh alga Cephaleuros sp. ditemukan pada semua stadia
umur baik pada pembibitan maupun perkebunan.
Penyakit karat merah sangat menggangu tanaman cengkeh di Kec.
Wonosalam terutama pada fase pembibitan di musim hujan. Menurut Asman
(1988) pada serangan berat penyakit karat merah mengakibatkan daun gugur
meskipun tidak mematikan pohon. Pangarso (2000) menjelaskan bahwa jika
tanaman cengkeh terserang berat penyakit tersebut, maka daun-daunnya akan
gugur secara cepat. Pengendalian yang dilakukan petani pada pembibitan
tanaman cengkeh di daerah tersebut adalah eradikasi pada bibit dengan tingkat
kerusakan yang parah. Bibit-bibit yang terserang dengan tingkat kerusakan yang
rendah dibiarkan berada di area pembibitan, padahal tindakan tersebut dapat
menjadikan inokulum penyakit selalu berada di lahan sehingga memicu infeksi
penyakit berikutnya yang lebih parah.
Pengendalian penyakit menggunakan mikroba antagonis merupakan
solusi untuk menekan serangan penyakit karat merah pada pembibitan cengkeh
2
yang efektif dan ramah lingkungan. Salah satu teknik aplikasi yang dapat
digunakan adalah konsorsium mikroba. Konsorsium mikroba merupakan
penggabungan beberapa mikroba bermanfaat yang terdiri dari jamur atau bakteri
dalam bentuk komunitas. Kemampuan konsorsium mikroba dalam mengendalikan
penyakit tanaman dapat melalui sifat antagonistik, kompetisi, mikoparasit,
menginduksi ketahanan tanaman dan mensistesis fitohormon (Nurhayati, 2011).
Aplikasi mikroba antagonis Pseudomonas fluorescens, Bacillus subtilis,
dan Trichoderma sp. dalam bentuk tunggal efektif menekan perkembangan
penyakit karat merah pada teh sebesar 33,4-44,4% (Ramya et al., 2013).
Penurunan kejadian penyakit karat merah dengan aplikasi mikroba antagonis
dapat terjadi karena adanya efek antagonis mikroba dengan menghambat
pertumbuhan dan reproduksi patogen Cephaleuros parasiticus.
Pada tanaman musiman penggunaan konsorsium mikroba sudah terbukti
lebih efektif dalam menekan berbagai penyakit yang disebabkan oleh jamur
maupun bakteri dibandingkan aplikasi mikroba tunggal. Mikroba antagonis
Pseudomonas, Bacillus dan Trichoderma juga mampu berperan untuk memacu
pertumbuhan tanaman (Husen et al., 2006). Oleh karena itu penelitian tentang
pemanfaatan mikroba antagonis dalam bentuk konsorsium perlu dilakukan lebih
mendalam untuk mengetahui pengaruhnya terhadap penurunan intensitas
penyakit akibat alga dan kemampuannya dalam memicu pertumbuhan tanaman
tahunan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana gejala penyakit karat merah pada pembibitan tanaman cengkeh di
Dusun Ganten, Desa Wonomerto, Wonosalam, Jombang?
2. Apakah aplikasi mikroba dalam bentuk tunggal maupun konsorsium dapat
mengendalikan penyakit karat merah dan memicu pertumbuhan vegetatif
tanaman pada pembibitan cengkeh?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui gejala serangan penyakit karat merah pada pembibitan tanaman
cengkeh di Dusun Ganten, Desa Wonomerto, Wonosalam, Jombang.
2. Mengetahui pengaruh aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal
maupun konsorsium dalam kombinasi B. subtilis, P. fluorescens dan
3
Trichoderma sp. untuk mengendalikan penyakit karat merah pada pembibitan
cengkeh.
3. Mengetaui pengaruh aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal dan
konsorsium terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cengkeh di pembibitan.
1.4 Manfaat
1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang pemanfaatan mikroba
antagonis.
2. Sebagai referensi pengendalian penyakit karat merah pada pembibitan
cengkeh yang efektif dan ramah lingkungan.
3. Sebagai acuan dalam memilih jenis mikroba yang paling efektif dalam
mengendalikan penyakit karat merah dan memicu pertumbuhan vegetatif bibit
cengkeh.
1.5 Hipotesis
1. Aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal maupun konsorsium dapat
menekan penyakit karat merah di pembibitan cengkeh dan mampu memicu
pertumbuhan vegetatif bibit cengkeh.
2. Mikroba dalam bentuk konsorsium lebih efektif dalam menekan penyakit karat
merah dan mampu memicu pertumbuhan vegetatif bibit cengkeh lebih baik
daripada aplikasi mikroba tunggal.
4
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Cengkeh (Syzygium aromaticum L.)
Cengkeh (S. aromaticum L.) tergolong tanaman yang masuk kedalam
divisi: Spermatophyta, subdivisi: Angiospermae, kelas: Dicotyledonae, ordo:
Myrtales, famili: Myrtaceae, genus: Syzygium, spesies: S. aromaticum (L.) Merr. &
Perry (Tjitrosoepomo, 1994).
Tanaman cengkeh tergolong tanaman yang semua bagiannya dapat
dimanfaatkan. Bunga cengkeh adalah salah satu bahan baku pembuatan rokok,
selain itu daun, ranting, dan bunga cengkeh dapat dimanfaatkan menjadi minyak
cengkeh yang digunakan dalam industri parfum, farmasi, makanan, dan minuman.
Produk cengkeh berupa eugenol juga telah dikembangkan menjadi fungisida
nabati, terutama untuk jenis penyakit tanah antara lain Phytophthora capsici
(penyebab busuk pangkal batang pada merica), R. lignosus, Sclerotium sp., dan
Fusarium oxysporum (Wahyuno dan Martini, 2015).
Penanaman bibit cengkeh dapat dilakukan dengan menanam di bedengan
maupun menggunakan polybag. Ciri-ciri bibit cengkeh yang siap tanaman antara
lain: Sehat (tidak terdapat gejala serangan hama dan penyakit), ukuran tinggi bibit
60 cm (1 tahun) dan 90 cm (2 tahun), jumlah percabangannya 6-7 pasang, daun
berwarna hijau tua, mempunyai batang tunggal dan mempunyai akar tunggang
yang lurus (Wahyuno dan Martini, 2015).
Penyakit yang banyak menyerang tanaman cengkeh dipembibitan adalah:
1. Bercak Cylindrocladium (Cylindrocladium quinqueseptatum). 2. Bercak
Botryodiplodia (Botryodiplodia theobromae). 3. Bercak daun Pestalotia (Pestalotia
versicolor). 4. Bercak sooty mold (Capnodium sp. dan Limacinula samoensis). 5.
Bercak antraknose (Colletotrichum gloeosporioides). 6. Bercak Coniella (Coniella
castaneicola). 7. Bercak Cephaleuros (Cephaleuros virescens). 8. Gugur daun
cengkeh (GDC). 9. Mati bujang (Wahyuno dan Martini, 2015).
5
Gambar 1. Morfologi bibit tanaman cengkeh (Wahyuno dan Martini, 2015)
2.2 Cephaleuros sp. Penyebab Penyakit Karat Merah
Cephaleuros merupakan alga yang termasuk dalam kingdom: Plantae,
filum: Chlorophyta, kelas: Ulvophyceae, ordo: Trentepohliales, famili:
Trentepohliaceae, genus: Cephaleuros, spesies: Cephaleuros sp. (Guiry dan
Guiry, 2017).
Cephaleuros sering disalah artikan sebagai jamur karena gejala yang
ditimbulkan mirip seperti jamur. Karat merah bukan termasuk jamur karat
(Uredinales) seperti yang menyebabkan penyakit karat pada umumnya. Tetapi
suatu alga yang termasuk dalam kelas alga hijau (Chlorophyta) yang memiliki zat
warna merah didalam sel-selnya (Semangun, 1988).
Cephaleuros dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya,
meskipun dengan cara itu tidak dapat dibedakan ciri antar spesiesnya (Sunpapao
et al., 2016). Identifikasi spesies Cephaleuros menggunakan ciri morfologi sangat
sulit dilakukan, sehingga untuk menentukan spesies digunakan tanda dari nomor
kromosom (Brooks et al., 2015). Langkah untuk menentukan bahwa Cephaleuros
sp. merupakan patogen tanaman (Postulat koch’s) tidak dapat dilakukan. Hal ini
dimungkinkan karena sulitnya alga memproduksi zoospora untuk diinokulasikan
kembali pada media buatan (Brooks, 2015).
6
Gambar 2. A. Talus Cephaleuros pada permukaan daun (Brooks et al., 2015) B. Penampakan mikroskopis ordo Cephaleuros (Sunpapao et al., 2015)
2.2.1 Bioekologi penyakit
Alga tidak memiliki akar, batang dan daun sejati, sehigga disebut tumbuhan
bertalus. Alga memiliki ciri-ciri khusus, diantaranya memiliki pigmen fotosintesis
seperti klorofil atau karotenoid. Bahan dinding sel alga terdiri dari polisakarida, lipid
dan protein. Sel alga tidak memiliki membran yang memisahkan nukleus,
pembagian nukleus tidak terjadi secara mitosis dan terdapat dinding sel yang
melindungi nukleopeptida tertentu sebagai komponen yang menguatkan sel alga
(Siregar dan Hermana, 2009).
Talus alga akan memproduksi filamen yang seringkali tumbuh diantara
kutikula dan epidermis daun tanamanan inang, namun pada kondisi tertentu
filamen juga dapat tumbuh diantara sel palisade dan mesofil daun. Filamen yang
terbentuk diikuti dengan diproduksinya zoosporangium yang akan menghasilkan
zoospora. Zoospora dapat disebarkan oleh angin, percikan air hujan dan angin
yang membawa hujan. Zoospora dapat menginfeksi daun baru, pucuk dan buah
tanaman.
Berdasarkan pengamatan morfologi Cephaleuros secara mikroskopis
ditemukan struktur yang menyerupai miselium berbentuk silindris hingga tidak
beraturan. Gametangia berbentuk bulat hingga oval yang terbentuk dari ujung sel
miselium, gamet yang dihasilkan akan berubah bentuk menjadi bulat dan
mengeluarkan flagella sebagai struktur istirahat. Alga ini memiliki sporangiofor,
biasanya pada ujung sporangiofor terdapat sel kepala dan membentuk sporangia
tepi yang akan memproduksi spora (Brooks et al. 2015).
Cephaleuros dapat berkembangbiak dengan cara seksual dan aseksual.
Siklus aseksual alga menghasilkan zoospora. Sporangiofor dibentuk di ujung talus
dan menghasilkan sporangia tepi, ketika hujan atau lembab akan dihasilkan
B A
7
zoospora sebagai inokulum utama (Guiry dan Guiry, 2017). Pada beberapa
spesies zoospora memiliki bentuk yang sama seperti gamet. Reproduksi seksual
pada alga melibatkan konjugasi gamet (sel seks) dan dihasilkan zigot. Jika
morfologi gamet yang akan berkonjugasi sama maka disebut dengan isogami,
nemun jika berbeda ukuran disebut heterogami. Ovum yang dimiliki alga
berukuran besar dan tidak bergerak, sedangkan gamet jantan berukuran kecil dan
aktif bergerak. Proses seksual ini dinamakan oogami (Siregar dan Hermana,
2009).
Pada tanaman cengkeh penyakit karat merah ditemukan menyerang pada
semua stadia umur baik di pembibitan maupun di kebun. Intensitas hujan dan
kelembaban yang tinggi mendukung perkembangan dari penyakit ini. Keadaan
tanaman yang kurang nutrisi, drainase tanah yang kurang atau terlalu basah,
kurang pemeliharaan, lahan yang terlalu gelap atau terlalu terik dapat
menyebabkan timbulnya penyakit akibat alga hijau ini (Mariana, 2013). Pada satu
tanaman, Cephaleuros sp. menimbulkan infeksi lebih parah pada daun tua
dibandingkan daun muda. Kejadian dan keparahan penyakit bercak daun
menunjukkan suatu epidemi. Epidemi Cephaleuros sp. didukung oleh kesehatan
tanaman yang rendah. Kesehatan tanaman yang rendah disebabkan oleh
rendahnya kesuburan tanah, kekurangan air, pemanenan yang berlebihan, dan
sanitasi kebun yang buruk (Suwandi, 2007).
2.2.2 Kisaran inang penyakit
Cephaleuros virescens merupakan spesies yang banyak ditemukan
sebagai patogen tanaman (Nelson, 2008), C. virescens dapat menyerang lebih
dari 200 spesies tanaman terutama di daerah tropis. Beberapa tanaman penting
yang terserang penyakit ini adalah tanaman teh, kopi, kakao, lada hitam, jeruk dan
mangga (Agrios, 2005). Menurut Mariana (2013) selain menyerang tanaman
cengkeh, Cephaleuros sp. sering ditemukan menyerang tanaman tropis lain
seperti teh, lada, kopi, kelapa sawit, alpukat, jambu, kelapa, kakao dan beberapa
kultivar jeruk.
2.2.3 Gejala penyakit
Gejala serangan dari penyakit karat merah berupa bercak-bercak nekrosis
kemerahan berbentuk bulat tidak beraturan berukuran 1-3 mm dan tidak dibatasi
oleh tulang daun. Kebanyakan nekrosis yang diakibatkan oleh alga terbatas pada
8
sel epidermis, namun terkadang juga meliputi parenkim dan palisade hingga
permukaan bawah daun. Koloni alga yang menembus jaringan menyebabkan
terbentuknya spora di permukaan bawah daun (Brooks et al., 2015.
Gejala yang ditimbulkan oleh Cephaleuros sp. yaitu tedapat bercak kecil
seperti karat pada permukaan daun. Bercak tersebut berwarna oranye yang akan
berkembang dan berubah warna menjadi hijau. Perkembangan selanjutnya bercak
akan berubah warna menjadi putih, kering dan mengakibatkan daun berlubang
(Ayuwati, 2015). Jika bercak diartikan sebagai nekrosis akibat reaksi tanaman
terhadap serangan penyakit maka bercak alga tersebut disebut dengan gejala,
namun jika bercak diartikan sebagai talus dari alga maka disebut dengan tanda.
Gambar 3. Gejala serangan Cephaleuros sp. pada daun cengkeh: A. Permukaan atas daun. B. Permukaan bawah daun (Mariana, 2013)
2.3 Pengendalian Penyakit
Tindakan yang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit karat merah
adalah memperbaiki kondisi tanaman, cara ini dapat dilakukan dengan
memperbaiki teknik budidaya, untuk meningkatkan vigor tanaman dapat dilakukan
melalui pemberian air dan nutrisi yang tepat, penjarangan untuk memperbaiki
aerasi, teknik panen yang tepat dan pengontrolan hama dan penyakit.
Pengendalian lainnya adalah penggunaan varietas tahan dan aplikasi fungisida
maupun agens hayati (Brooks et al., 2015).
Pengendalian penyakit karat merah alga dapat dilakukan melalui tindakan-
tindakan perbaikan kesehatan tanaman dan sanitasi lingkungan. Upaya
peningkatan kesehatan atau ketahanan tanaman terhadap penyakit, dapat
dilakukan dengan penyemprotan tanaman menggunakan ekstrak kompos yang
mengandung chitosan dan dengan memperbaiki kesuburan tanah melalui
pemberian bahan organik (pupuk kandang atau kompos) dan pemulsaan,
menghindari panen yang berlebihan di musim kemarau serta membakar cabang
sakit dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit ini. Jika penyakit masih tetap
B A
9
menyerang, penyemprotan dengan fungisida tembaga dianjurkan untuk
pengendalian penyakit karat merah akibat alga (Suwandi, 2003).
2.4 Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati adalah suatu bentuk pengendalian yang
memanfaatkan organisme selain tanaman dan patogen untuk mengurangi
kerugian yang diakibatkan oleh patogen pada tanaman inang atau mengurangi
daya tahan patogen (Sastrahidayat, 2011). Pengendalian penyakit hayati oleh
mikroorganisme dapat terjadi melalui satu atau beberapa mekanisme seperti
antibiosis, kompetisi, hiperparasit, induksi resistensi dan memacu pertumbuhan
tanaman (Nurhayati, 2011). Efektivitas pengendalian patogen oleh agens hayati
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain penggunaan mikroba yang spesifik
untuk mengendalikan penyakit tertentu, curah hujan dan konsentrasi antibiotik
yang dihasilkan mikroba yang terlalu rendah atau adanya antibiotik yang terurai
oleh air hujan (Pal et al., 2006).
Pengendalian hayati menggunakan mikroba antagonis dapat menurunkan
kejadian penyakit karat merah pada tanaman teh yang ditunjukkan oleh perlakuan
mikroba antagonis P. fluorescens, B. subtilis, T. atroviride dan T. Harzianum.
Mikroba antagonis dapat mengkolonisasi filamen C. Parasiticus dan juga dapat
melisis dinding sel patogen. Zoosporangium yang mengandung zoospora dari C.
Parasiticus menjadi keriput dan pecah akibat perlakuan mikroba antagonis. Hal ini
membuktikan bahwa mikroba antagonis yang digunakan berpotensi untuk
memparasit patogen. Mikroba antagonis tersebut juga dapat bertahan pada daun
teh sebagai endofit dan efektif untuk mencegah masuknya infeksi patogen baru
(Ramya et al., 2013).
2.4.1 Manfaat Bacillus subtilis
Bakteri B. subtilis dan P. fluorescens merupakan bakteri dari kelompok
PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria) yang berperan dalam memicu
pertumbuhan tanaman. PGPR mampu mensintesis dan mengatur konsentrasi
berbagai zat pengatur tumbuh seperti asam indol asetat (AIA), giberelin, sitokinin,
dan etilen dalam lingkungan akar. PGPR juga berperan sebagai penyedia hara
dengan menambat nitrogen dan melarutkan hara pospor. PGPR mampu
menghasilkan berbagai senyawa metabolit anti patogen seperti siderophore, β-
10
1,3-glukanase, kitinase, antibiotik dan sianida yang berpotensi untuk
mengendalikan patogen (Husen et al., 2006).
B. subtilis memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan
mikroorganisme lain. Kemampuan B. subtilis menghasilkan endospora yang tahan
terhadap kondisi lingkungan ekstrim dan dapat bertahan hidup lama menjadi
keunggulan utama. Bakteri ini juga mudah diformulasi dalam berbagai produk.
Hasil observasi lapang menunjukkan bahwa B. subtilis dapat mengkolonisasi
berbagai spesies tanaman (Suriani dan Muis, 2016). Penyemprotan menggunakan
B. subtilis dapat menurunkan infeksi penyakit daun bergores pada apel oleh
Nectria galligena dan pada anggur oleh Eutypa lata. Penyemprotan pada kacang
tanah atau tembakau dapat menurunkan penyakit bercak Cercospora dan
Alternaria (Agrios, 2005). Secara in vitro, B. subtilis dapat menekan pertumbuhan
Colletotrichum gloeosporioides penyebab bercak pada buah kakao sebesar
52,23% (Aini et al., 2013).
2.4.2 Manfaat Pseudomonas fluorescens
Bakteri P. fluorescens mampu memproduksi zat antibiotik serin yang dapat
menghambat pertumbuhan alga berbahaya di lingkungan laut. Zat antibiotik
tersebut digunakan P. fluorescens dalam mekanisme lisis untuk menghancurkan
sel alga (Kim et al., 2007). Bakteri antagonis diketahui mampu mengendalikan
penyakit dengan cara memproduksi antibiotik, enzim, siderophore, hidrogen
sianida (HCN), katalase, bakteriosin, substrat toksin dan senyawa volatil (Trivedi
et al., 2012).
Juliatra el al. (2015) melaporkan hasil pengamatan yang dilakukan
terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cengkeh seperti tinggi tanaman, jumlah
daun, dan panjang akar dan didapatkan hasil bahwa diantara semua perlakuan
yang diuji coba pada bibit cengkeh menunjukkan bahwa penggunaan bakteri P.
fluorescens mampu meningkatkan pertumbuhan vegetatif dari tanaman cengkeh
dibandingkan dengan perlakuan yang lain.
2.4.3 Manfaat Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan salah satu jamur antagonis yang berpotensi
menekan perkembangan patogen tanaman. Menurut Nurhayati (2011) mekanisme
pengendalian jamur Trichoderma sp. adalah mikoparasit, kompetisi, antibiotik dan
enzimatik, jamur tersebut dapat bersifat antagonis terhadap patogen tanaman
11
yang terdapat di dalam tanah, permukaan inang seperti biji, benih dan didekat
bagian terinfeksi. Agen hayati Trichoderma sp. mampu mendekomposisi lignin,
selulosa, dan kitin dari bahan organik menjadi unsur hara yang dapat diserap
tanaman, sehingga dapat memicu pertumbuhan tanaman (Suryanti et al., 2003).
Potensi jamur untuk mengendalikan penyakit tanaman antara lain seperti
yang dilaporkan Juliatra el al. (2015) bahwa Trichoderma sp. yang diaplikasikan
pada tanaman cengkeh menyebabkan derajat kerusakan sangat ringan
dibandingkan dengan perlakuan yang lain, hal tersebut menunjukkan bahwa
Trichoderma sp. berpengaruh untuk menekan jamur patogen Rigidoporus sp.
penyebab penyakit layu pada tanaman cengkeh. Penyakit tanaman yang sudah
terbukti dapat dikendalikan oleh jamur Trichoderma sp. antara lain Rigidiporus
lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotium rolfsii. Secara in vitro
Thrichoderma sp. dapat menekan perkembangan jamur Colletotrichum
gloeosporioides penyebab bercak pada buah kakao sebesar 83% (Aini et al.,
2013).
2.5 Konsorsium Mikroba
Konsorsium mikroba merupakan kumpulan mikroba bermanfaat yang
terdiri dari jamur maupun bakteri dalam bentuk komunitas yang mempunyai
hubungan kooperatif, komensalisme, dan mutualistik. Tujuan utama dalam
penggunaan mikroba sebagai agens hayati yaitu untuk mengendalikan penyakit
tanaman ataupun sebagai perangsang pertumbuhan tanaman. Kemampuan
konsorsium mikroba dalam mengendalikan penyakit tanaman dapat melalui sifat
antagonistik, kompetisi, mikoparasit dan menginduksi ketahanan tanaman serta
dapat mensistesis fitohormon (Nurhayati, 2011).
Sebagian besar mikroba yang dikombinasikan dalam bentuk konsorsium
dipilih berdasarkan kemampuan mikroba tunggal dalam meningkatkan
pertumbuhan tanaman dan menekan perkembangan penyakit. Diasumsikan
dengan mencampur mikroba tunggal yang sudah terbukti mampu menurunkan
penyakit akan lebih efektif dalam mengendalikan penyakit. Pemilihan mikroba
yang tepat tidak hanya dapat melindungi tanaman dari patogen namun juga
memicu pertumbuhan tanaman lebih baik (Sarma et al., 2015).
Pengendalian menggunakan mikroba antagonis tunggal untuk
mengendalikan penyakit tertentu dilaporkan memiliki kinerja yang tidak konsisten.
Hal ini diakibatkan karena agens hayati tunggal tidak mungkin aktif dalam semua
12
lingkungan tanah atau terhadap semua patogen berbeda-beda yang menyerang
tanaman. Penggunaan konsorsium saat ini dirancang untuk pengelolaan tanaman
karena keberhasilan konsorsium dalam mengendaliakan penyakit yang lebih baik
dibandingkan agens hayati tunggal. Namun demikian penggunaan konsorsium
harus memperhatikan kompleksitas interaksi antar mikroba yang digunakan
(Rajasekhar et al. 2016).
Mikroba dalam bentuk konsorsium dapat berkejasama dengan cara yang
kompleks dan bersinergi. Penggunaan PGPR dalam bentuk konsorsium dapat
menurunkan penggunaan pupuk sintesis dan tetap mampu memaksimalkan
pertumbuhan tanaman. Dampak positif penggunaan mikroba tunggal untuk
memicu pertumbuhan tanaman pada tanah dengan kesuburan rendah dapat
ditingkatkan dengan pencampuran mikroba. Penggunaan konsorsium mikroba
lebih efektif daripada penggunaan mikroba tunggal karena beragamnya
kemampuan metabolisme mikroba (Sundhari et al., 2014).
Aplikasi konsorsium mikroba terbukti efektif mengendalikan berbagai
penyakit terutama pada tanaman hortikultura. Konsorsium mikroba antagonis
secara nyata menekan presentase kejadian penyakit rebah semai pada
persemaian tanaman kedelai. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan
terbaik untuk menekan kejadian penyakit rebah kecambah pada tanaman kedelai
adalah konsorsium mikroba antagonis Bacillus sp., Pseudomonas sp., serta
Trichoderma sp. (Silaban et al., 2015).
III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari - Juni 2017 di lahan
pembibitan tanaman cengkeh di Dusun Ganten, Desa Wonomerto, Kecamatan
Wonosalam, Jombang untuk pengujian efektivitas perlakuan mikroba antagonis
pada bibit cengkeh dan pengamatan perkembangan penyakit. Identifikasi
penampakan mikroskopis patogen dilakukan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan,
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mikroskop, objek dan
cover glass, pipet, gunting, jarum Ose, selotip, sprayer, gelas ukur, penggaris dan
alat tulis.
Bahan yang digunakan yaitu: biakan mikroba antagonis berupa bakteri B.
subtilis dan P. fluorescens dengan kerapatan 108 cfu/ml, serta jamur Trichoderma
sp. dengan kerapatan 108 spora/ml, bibit tanaman cengkeh varietas lokal
Wonosalam dengan umur tanam 1 tahun setelah tanam yang terserang penyakit
karat merah, air, aquades dan sampel daun yang terserang penyakit karat merah.
3.3 Rancangan Penelitian
Penelitian dilakukan di lahan pembibitan tanaman cengkeh tanpa naungan.
Rancangan penelitian yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)
dengan 6 perlakuan dan 4 kali ulangan, setiap satuan percobaan digunakan 5
tanaman sampel. Perlakuan penelitian yang digunakan disajikan pada tabel 1.
Tabel 1. Perlakuan penelitian
Perlakuan Waktu Aplikasi
P1 B. subtilis 1 x / 2 minggu
P2 P. fluorescens 1 x / 2 minggu
P3 Trichoderma sp. 1 x / 2 minggu
P4 Konsorsium (B. Subtilis, P. fluorescens,
dan Trichoderma sp.) 1 x / 2 minggu
P5 Kontrol positif (Nordox 56 WP) 1 x / 2 minggu
P6 Kontrol negatif (tanpa aplikasi)
14
3.4 Persiapan Penelitian
3.4.1 Persiapan mikroba antagonis
Jenis mikroba antagonis yang digunakan adalah bakteri B. subtilis dan P.
fluorescens dengan kerapatan 108 cfu/ml, serta jamur Trichoderma sp. dengan
kerapatan 108 spora/ml yang berasal dari Laboratorium Jurusan Hama dan
Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya.
3.4.2 Pengadaan bibit cengkeh sebagai tanaman uji
Bibit tanaman cengkeh yang digunakan adalah bibit lokal Wonosalam yang
berumur lebih kurang satu tahun dan terinfeksi penyakit karat merah. Bibit
didapatkan dari hasil pembibitan tanaman cengkeh oleh pembibit di Dusun
Ganten, Desa Wonomerto, Wonosalam, Jombang.
3.4.3 Persiapan lahan percobaan
Persiapan lahan percobaan yang dilakukan adalah pembersihan gulma
pada lahan dan polybag bibit serta penyusunan bibit sesuai dengan rancangan
yang digunakan.
3.4.4 Pengadaan data cuaca
Data faktor cuaca yang digunakan adalah data suhu (oC), kelembaban
udara (%) dan curah hujan harian (mm) wilayah Wonosalam, Jombang pada bulan
Februari hingga April 2017. Data tersebut didapatkan dari database BMKG yang
diakses secara online.
3.5 Pelaksanaan Penelitian
3.5.1 Pengamatan parameter sebelum aplikasi perlakuan
Pengamatan sebelum aplikasi perlakuan pada parameter tinggi tanaman,
jumlah daun dan intensitas penyakit dilakukan karena pengamatan dimulai pada
bibit yang berumur satu tahun sehingga memiliki nilai tinggi tanaman, jumlah daun
dan intensitas serangan awal atau tidak dimulai dari nol. Data awal yang
didapatkan kemudian dibandingkan dengan data setelah aplikasi perlakuan, untuk
mengetahui pengaruh perlakuan terhadap parameter yang diamati.
3.5.2 Aplikasi mikroba antagonis
Mikroba antagonis diaplikasikan dengan cara disemprotkan ke seluruh
permukaan daun tanaman uji secara merata, dan diupayakan tidak menetes ke
15
tanah. Mikroba antagonis diaplikasikan 1 kali dalam 2 minggu selama 2 bulan.
Aplikasi dilakukan pada pagi hari saat kondisi lingkungan masih lembab sehingga
mikroba yang diaplikasikan dapat berkembang dengan baik.
Sebelum mikroba antagonis diaplikasikan, dilakukan kalibrasi untuk
mengetahui volume semprot per tanaman, dengan cara menyemprotkan mikroba
antagonis pada 30 bibit cengkeh dan didapatkan volume semprot yang dibutuhkan
adalah 4 ml/tanaman. Konsorsium diaplikasikan dengan mengkombinasikan B.
subtilis, P. fluorescens dan Trichoderma sp. dengan perbandingan 1:1:1.
Konsentrasi fungisida kontak Nordox 56 WP sebagai kontrol positif diaplikasikan
sesuai anjuran yaitu 5 gram Nordox 56 WP yang dilarutkan dalam 1 liter air dengan
volume semprot 4 ml/tanaman.
3.5.3 Pemeliharaan tanaman
Pemeliharaan bibit meliputi penyiraman yang dilakukan satu kali dalam
satu hari atau disesuaikan dengan intensitas hujan. Pemeliharaan tanaman yang
lain adalah penyiangan gulma yang dilakukan 2-3 kali dalam satu bulan atau
disesuaikan dengan pertumbuhan gulma.
3.5.4 Identifikasi patogen penyebab penyakit karat merah
Penyakit karat merah yang ditemukan menyerang daun tanaman cengkeh
diidentifikasi secara makroskopis dan mikroskopis. Identifikasi secara
makroskopis dilakukan dengan mengamati gejala dan tanda yang di tunjukkan
mulai awal keluar tanda atau ciri khas gejala dan perkembangan gejala hingga
gejala terparah dari penyakit karat merah di lahan.
Identifikasi secara mikroskopis dilakukan dengan cara mengidentifikasi
talus yang didapatkan dari daun bergejala. Talus diambil dengan cara diselotip
kemudian diletakkan di objek glass dan ditetesi aquades dan diinkubasi selama 5
menit untuk mengetahui struktur talus dan zoospora alga. Pengamatan morfologi
alga dilakukan menggunakan mikroskop. Hasil yang didapatkan kemudian
dibandingkan dengan literatur.
3.6 Pengamatan
Variabel yang diamati adalah persentase intensitas serangan penyakit
karat merah serta tinggi dan jumlah daun bibit cengkeh. Pengamatan dilakukan 1
minggu 1 kali selama 2 bulan.
16
3.6.1 Intensitas Penyakit (IP)
Penghitungan IP dilakukan dengan menggunakan skoring dengan cara
menghitung jumlah daun yang terserang penyakit pada skala tertentu (Tabel 2)
dan memberikan nilai (skoring) berdasarkan persentase luas permukaan atas
daun yang tertutupi talus alga, pengelompokan skoring daun bergejala yang
digunakan berdasarkan Brooks (2015).
Tabel 2. Skala serangan penyakit
Skor Keterangan Derajat Kerusakan
0 Tidak ditemukan talus Sehat
1 Permukaan atas daun tertutupi talus < 5 % Ringan
2 Permukaan atas daun tertutupi talus 6-25 % Sedang
3 Permukaan atas daun tertutupi talus > 25 % Berat
Hasil skoring kemudian dihitung menggunakan rumus persentase
serangan penyakit:
I = Σ (n x V)
N x Z 𝑥 100%
Keterangan :
I = Intensitas serangan
n = Jumlah daun yang terserang dengan skala kerusakan tertentu
v = Nilai skala kerusakan
N = Jumlah daun yang diamati
Z = Nilai skala tertinggi
Perhitungan efektivitas pengendalian oleh mikroba antagonis dilakukan
untuk mengetahui besar kemampuan mikroba antagonis dalam menekan penyakit
karat merah. Perhitungan dilakukan setelah didapatkan data intensitas penyakit
pada minggu ke-1 hingga minggu ke-8. Efektivitas pengendalian oleh mikroba
antagonis dihitung menggunakan rumus :
EI = 𝐶𝑎 − 𝑇𝑎
𝐶𝑎 𝑥 100%
Keterangan :
EI = Efektivitas pengendalian oleh mikroba antagonis
Ca = Intensitas penyakit pada tanaman kontrol
Ta = Intensitas penyakit pada tanaman non kontrol
17
3.6.2 Pengamatan tinggi tanaman dan jumlah daun
Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang hingga titik tumbuh tertinggi
bibit cengkeh menggunakan penggaris, sedangkan jumlah daun dihitung dari
banyaknya daun yang telah membuka sempurna.
3.7 Analisis Data
Data yang diperoleh dari hasil pengamatan kemudian dianalisis
menggunakan analisis ragam (ANOVA) pada taraf 5%, jika hasil analisis ragam
data jumlah daun, tinggi tanaman dan intensitas penyakit menunjukkan berbeda
nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) pada taraf 5%. Uji
lanjut data efektivitas pengendalian oleh agens hayati menggunakan uji lanjut BNJ
(Beda Nyata Jujur) taraf 5%. Pada penelitian ini juga dilakuakan uji regresi dan
kolerasi untuk mengetahui hubungan antar parameter, uji dilakukan menggunakan
SPSS ver. 21.
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Deskripsi Kondisi Wilayah Lahan Percobaan
Wonosalam merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Jombang
yang memiliki luas lahan 2.105,65 ha untuk perkebunan cengkeh. Lokasi
penelitian berada di lahan pembibitan cengkeh di dusun Ganten, desa Wonomerto,
Wonosalam, Jombang. Berdasarkan letak geografisnya Wonomerto berada lebih
kurang 500 m dpl dengan curah hujan rata-rata perbulan adalah 187,7 mm (BPS,
2015).
Pada lahan pembibitan tersebut juga dibudidayakan bibit lain yaitu: durian
dan sengon. Batas lahan percobaan sebelah barat: rumah, utara: tempat
penyulingan cengkeh, timur: lahan pembibitan sengon dan durian, dan selatan:
lahan pembibitan cengkeh. Menurut petani cengkeh setempat, di daerah tersebut
terdapat beberapa penyakit penting dan merugikan yang hingga kini belum
ditemukan solusi pengendaliannya, misalnya penyakit pada tanaman di
perkebunan adalah Bakteri Pembuluh Kayu Cengkeh (BPKC) dan jamur akar
putih, sementara penyakit yang banyak ditemukan pada pembibitan adalah bercak
daun yang disebabkan oleh alga Cephaleuos sp. Berdasarkan pengamatan petani,
penyakit ini banyak menyerang daun pada pembibitan di musim hujan, meskipun
tetap ditemukan gejala penyakit karat merah pada musim kemarau.
4.2 Identifikasi Patogen
4.2.1 Gejala serangan penyakit
Gejala penyakit karat merah yang ditemukan menyerang daun cengkeh
pada lahan pembibitan adalah nekrosis pada bagian yang terdapat talus alga
diatasnya, talus tersebut diameter 0,5-1,5 cm, tinggi 0,5 – 2 mm dan berwarna
oranye. Talus akan berkembang dan mengakibatkan matinya sel daun (nekrosis)
yang diiringi dengan mengeringnya daun dibawah talus. Daun tanaman yang
terserang penyakit karat merah akan menguning dan lebih cepat gugur
dibandingkan daun sehat. Pada satu tanaman, serangan penyakit karat merah
lebih banyak ditemukan pada daun tua dibandingkan dengan daun muda (Gambar
4) dan tidak ditemukan menyerang batang dan ranting bibit.
Gejala yang tampak di lapang sesuai dengan pernyataan Suwandi (2003)
bahwa pada daun bergejala penyakit karat merah ditemukan bintik-bintik kecil
berwarna cokelat kemerahan, seiring dengan bertambahnya umur daun, bintik-
19
bintik berkembang menjadi bercak-bercak tidak beraturan berukuran 1-3 mm yang
pusatnya berwarna cokelat kemerahan. Pada serangan parah, bercak-bercak
tersebut dapat menyatu sehingga mengakibatkan nekrosis pada daun. Daun yang
terserang parah penyaki karat merah akan gugur sebelum waktunya.
Brooks et al. (2015) mengungkapkan bahwa tanda dari penyakit ini adalah
adanya talus berwarna kuning kehijauan hingga kemerahan. Talus ini memiliki
struktur yang lebih tinggi dibandingkan permukaan daun, warna kemerahan
ditunjukkan baik pada sporangiofor maupun miselium steril yang tumbuh pada
kutikula daun.
Gambar 4. Gejala serangan penyakit: Serangan penyakit lebih banyak ditemukan pada daun tua dibandingkan daun muda (A) Gejala penyakit karat merah (B)
4.2.2 Perkembangan gejala penyakit
Perkembangan gejala penyakit karat merah yang disebabkan oleh alga
Cephaleuros sp. dapat diamati dari permukaan atas dan bawah daun cengkeh.
Tanda dari penyakit ini adalah adanya becak beludru yang merupakan talus alga
berwarna oranye. Pada awal kemunculannya talus berwarna oranye segar
(Gambar 5a) dengan diameter 0,5-1,5 cm dan tidak ditemukan pada permukaan
bawah daun (Gambar 6a) lama-kelamaan talus akan melebar dan berwarna
oranye pudar (Gambar 5b). Bercak beludru ini timbul mulai dari atas permukaan
daun dan berkembang hingga bawah permukaan daun yang diikuti dengan gejala
nekrosis berwarna cokelat kemerahan pada permukaan daun yang diatasnya
terdapat talus alga (Gambar 6b).
Perkembangan penyakit selanjutnya adalah perubahan ukuran talus yang
semakin melebar dan warna berubah menjadi oranye pucat (Gambar 5c). Bagian
tengah bercak terdapat titik nekrosis yang merupakan awal mula daun berlubang,
A B
20
adanya titik tersebut diikuti dengan mengeringnya alga pada permukaan atas
daun, sedangkan pada permukaan bawah terlihat nekrosis yang lebih parah
dibandingkan nekrosis sebelumnya.
Perkembangan selanjutnya adalah adanya nekrosis pada permukaan atas
hingga permukaan bawah daun. Pada permukaan atas daun, talus semakin
menyempit dan mengering, sebaliknya, pada permukaan bawah daun talus
berkembang dan meluas dengan warna kuning kehijauan. Nekrosis pada daun
akan semakin berkembang dan mengakibatkan daun berlubang.
Menurut Brooks et al. (2015) gejala serangan alga Cephaleuros sp. adalah
nekrosis yang terjadi di bawah talus. Talus pada kebanyakan inang akan
mengering dan menunjukkan adanya nekrosis. Kebanyakan nekrosis hanya
terbatas pada sel epidermis, namun pada kondisi tertentu dapat berkembang
hingga sel parenkim dan permukaan bawah daun.
Berdasarkan hasil pengamatan, pada awalnya talus hanya terdapat pada
permukaan atas daun, kemudian talus berkembang dan mengakibatkan nekrosis
hingga permukaan bawah daun. Pada tanaman inang di Jepang ditemukan C.
japonicus yang mengakibatkan nekrosis berwarna cokelat kemerahan dibawah
talus pada permukaan daun atas dan ditemukan nekrosis berwarna kuning pada
permukaan daun bagian bawah.
Gambar 5. Perkembangan penyakit tampak dari atas permukaan daun
a b
B
c
d
e
21
Gambar 6. Perkembangan penyakit tampak dari bawah permukaan daun
4.2.3 Penampakan mikroskopis alga Cephaleuros sp.
Hasil pengamatan mikroskopis talus alga penyebab penyakit karat merah
pada pembibitan cengkeh menunjukkan struktur berwarna kecokelatan (Gambar
6). Penampakan mikroskopis yang diperlihatkan sesuai dengan literatur yang
dikemukakan oleh Brooks et al. (2015) yang menunjukkan morfologi alga
penyebab penyakit karat merah termasuk kedalam genus Cephaleuros.
Menurut Sunpapao et al. (2015) bagian-bagian dari struktur alga tersebut
antara lain sporangiofor, sel kepala (head cell) dan sporangium. Sporangiofor
berkembang dari talus yang terletak diatas permukaan daun, pada ujung
sporangiofor terdapat sel kepala yang akan memproduksi sporangium.
Cephaleuros dapat diidentifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologinya,
meskipun dengan cara itu tidak dapat dibedakan ciri antar spesiesnya (Sunpapao
et al., 2016). Menurut Brooks et al. (2015) identifikasi spesies Cephaleuros
menggungakan ciri morfologinya sangat sulit karena strukturnya dipengaruhi oleh
lingkungan, sehingga untuk menentukan spesies digunakan tanda dari nomor
kromosom.
a b
c
d
e
22
Gambar 7. Penampakan mikroskopis alga Cephaleuros sp.: Sporangiofor, Sel kepala, Sporangium
4.3 Pengaruh Aplikasi Mikroba Antagonis Terhadap Pertumbuhan Bibit Cengkeh
4.3.1 Tinggi Tanaman
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap tinggi bibit cengkeh
didapatkan hasil yang tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh antar
perlakuan. Pemberian B. subtilis, P. fluorescens, Trichoderma sp., dalam bentuk
tunggal dan konsorsium memberikan pengaruh yang sama dengan pemberian
fungisida tembaga 50% dan kontrol terhadap tinggi tanaman. Hal ini menunjukkan
bahwa aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal maupun konsorsium tidak
dapat mempengaruhi tinggi bibit cengkeh.
Pertambahan tinggi bibit diukur dengan menentukan selisih antara tinggi
tanaman sebelum dan sesudah diaplikasikan agens hayati, sehingga pada
pengamatan ke-0 tinggi tanaman adalah 0 cm, pada pengamatan sesudah aplikasi
mikroba antagonis dihitung selisih pengamatan ke-n dengan pengamatan ke-0
sehingga didapatkan pertambahan tinggi bibit pada masing-masing perlakuan.
Rata-rata pertambahan tinggi bibit cengkeh paling baik yang dapat dilihat dari
pengamatan ke-1 hingga ke-8 berturut-turut adalah aplikasi Trichoderma sp., P.
fluorescens, konsorsium mikroba, B. subtilis, kontrol dan fungisida tembaga.
Pertambahan tinggi bibit cengkeh pada masing-masing perlakuan disajikan dalam
tabel 3.
Sporangiofor
Sel
Kepal
a
Sporangium
23
Tabel 3. Pertambahan tinggi bibit cengkeh yang diperlakukan menggunakan mikroba antagonis
Perlakuan
Pertambahan tinggi bibit cengkeh (cm) pada pengamatan minggu ke-
0 2 4 6 8
P1 0 1,16 ± 0,646 2,07 ± 1,069 3,09 ± 1,244 4,00 ± 1,426
P2 0 1,30 ± 0,240 2,21 ± 0,455 3,24 ± 1,214 4,25 ± 1,316
P3 0 1,09 ± 0,294 2,06 ± 0,623 2,98 ± 0,902 3,94 ± 1,046
P4 0 1,45 ± 0,316 2,60 ± 0,451 3,60 ± 0,475 4,43 ± 0,726
P5 0 1,07 ± 0,190 1,76 ± 0,220 2,53 ± 0,592 3,02 ± 0,707
P6 0 1,62 ± 0,767 2,68 ± 0,803 3,80 ± 0,779 4,64 ± 0,847
tn tn tn tn
4.3.2 Jumlah daun
Aplikasi 3 jenis mikroba antagonis tunggal dan aplikasi konsorsium
menunjukkan hasil yang sama dengan kontrol. Berdasarkan analisis yang
dilakukan, masing-masing perlakuan tidak dapat menunjukkan perbedaan dalam
mempengaruhi jumlah daun bibit cengkeh. Berdasarkan data jumlah daun yang
diperoleh dari pengamatan ke-1 hingga ke-8 dapat diketahui bahwa aplikasi
perlakuan mikroba antagonis memberikan pengaruh yang fluktuatif, namun
demikian aplikasi mikroba dalam bentuk konsorsium dapat memicu pertumbuhan
jumlah daun lebih banyak dibanding aplikasi mikroba tunggal. Jumlah daun
terbanyak berikutnya terjadi pada bibit yang diaplikasikan Trichoderma sp. dan
fungisida tembaga yang menunjukkan rata-rata jumlah daun yang sama,
sedangkan kontrol menunjukkan rata-rata jumlah daun paling rendah sejak awal
pengamatan. Rata-rata jumlah daun bibit cengkeh pada semua perlakuan
disajikan pada tabel 4.
Keterangan : Notasi “tn” menunjukkan bahwa nilai F hitung tidak berbeda nyata dengan nilai F tabel 5%.
P1: Aplikasi B. subtilis, P2: Aplikasi P. fluorescens, P3: Aplikasi Trichoderma sp., P4: Aplikasi Konsorsium, P5: Aplikasi Fungisida tembaga 50%, P6: Kontrol (tanpa aplikasi).
24
Tabel 4. Rata-rata jumlah daun bibit cengkeh yang diperlakukan menggunakan mikroba antagonis
Perlakuan Jumlah daun (helai) pada pengamatan minggu ke-
0 2 4 6 8
P1 20 ± 5,013 21 ± 5,867 22 ± 7,349 23 ± 7,595 22 ± 8,456
P2 19 ± 3,065 20 ± 3,689 20 ± 3,607 21 ± 4,920 21 ± 4,597
P3 20 ± 4,846 24 ± 6,579 25 ± 7,019 27 ± 7,885 28 ± 8,470
P4 23 ± 5,348 24 ± 6,485 26 ± 6,627 28 ± 6,190 28 ± 5,549
P5 22 ± 4,069 23 ± 5,507 25 ± 5,470 27 ± 7,907 28 ± 8,230
P6 14 ± 3,083 15 ± 4,559 15 ± 4,932 15 ± 5,890 17 ± 6,236
tn tn tn tn tn
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa
aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal dan konsorsium tidak dapat
memicu pertumbuhan vegetatif bibit cengkeh. Tanaman cengkeh merupakan
tanaman tahunan, dengan pertumbuhan yang lebih lambat jika dibandingkan
tanaman musiman. Menurut Runtunuwu et al. (2011) pertambahan rata-rata tinggi
bibit cengkeh selama 4 bulan lebih kurang adalah 21,13 cm, sehingga dalam 1
minggu bibit cengkeh hanya mengalami pertambahan tinggi lebih kurang 1,32 cm.
Faktor lain yang diduga mempengaruhi ketidakmampuan mikroba dalam memicu
pertumbuhan vegetatif tanaman adalah lambatnya pertumbuhan bibit secara
normal, tinggi tanaman rata-rata yang diperoleh selama penelitian adalah 36 cm,
sedangkan menurut Wahyuno dan Martini (2015) salah satu kriteria bibit cengkeh
yang baik adalah ukuran tinggi bibit lebih kurang 60 cm pada umur 1 tahun.
Efektivitas mikroba antagonis sebagai pemicu pertumbuhan tanaman
diduga memiliki respon yang berbeda-beda pada tanaman dan lingkungan yang
berbeda. Keberhasilan mikroba untuk menstimulasi pertumbuhan tanaman diduga
tergantung pada cara aplikasi, konsentrasi dan ketersediaan hormon
pertumbuhan. Husen et al., 2006 juga menjelaskan bahwa mikroba memiliki
respon yang relatif berbeda untuk tiap rentang kondisi lingkungan yang berbeda.
Berdasarkan hasil yang didapatkan, diduga cara aplikasi dengan penyiraman
mikroba antagonis ke daerah perakaran dapat memicu pertumbuhan tanaman
lebih baik, karena mikroba dapat berkembang lebih optimal di daerah perakaran
dibandingkan di permukaan daun. Menurut Husen et al. (2006) PGPR merupakan
Keterangan : Notasi “tn” menunjukkan bahwa nilai F hitung tidak berbeda nyata dengan nilai F tabel 5%.
P1: Aplikasi B. subtilis, P2: Aplikasi P. fluorescens, P3: Aplikasi Trichoderma sp., P4: Aplikasi Konsorsium, P5: Aplikasi Fungisida tembaga 50%, P6: Kontrol (tanpa aplikasi).
25
kelompok bakteri menguntungkan yang agresif mengkolonisasi rizosfir,
kemampuan mikroba dalam membentuk hormon pertumbuhan juga dipengaruhi
oleh bahan organik tanah. Selain itu kemungkinan hormon pertumbuhan pada
mikroba tercuci oleh air hujan lebih rendah jika diaplikasikan ke tanah
dibandingkan dengan disemprotkan ke permukaan daun.
Ketidaksesuaiam kerapatan mikroba antagonis yang digunakan diduga
dapat mengakibatkan tidak efektifnya mikroba dalam memicu pertumbuhan
vegetatif tanaman. Kerapatan yang digunakan merupakan kerapatan yang banyak
digunakan terutama jika aplikasi mikroba antagonis dilakukan dengan cara
penyiraman, dengan konsentrasi yang sama, kemampuan mikroba diduga
berbeda ketika disemprotkan ke permukaan daun.
Mikroba yang digunakan merupakan mikroba yang didalamnya terkandung
hormon pertumbuhan. Namun demikian, diduga tidak tersedianya atau tersedia
dalam konsentrasi rendah hormon-hormon pertumbuhan yang terkandung
didalam mikroba sehingga tidak mampu memicu pertumbuhan tanaman. Menurut
Husen et al. (2006) didalam Bacillus, Pseudomonas, dan Trichoderma terkandung
beberapa hormon pertumbuhan diantaranya hormon auksin dengan bentuk aktif
AIA (Asam Indol Asetat), pengaruh peningkatan pertumbuhan tanaman juga terkait
dengan kemampuan mikroba dalam menghasilkan hormon AIA. Demikian pula
ketersediaan hormon etilen, yang juga dipengaruhi oleh kemampuan mikroba
dalam membentuk hormon AIA. Efektivitas pemicu pertumbuhan oleh hormon
auksin yang dihasilkan oleh PGPR sangat tergantung pada konsentrasinya,
senyawa ini dapat meningkatkan dan menghambat pertumbuhan tanaman.
4.4 Pengaruh Aplikasi Mikroba Antagonis Terhadap Serangan Penyakit Pada Bibit Cengkeh
4.4.1 Intensitas Penyakit
Aplikasi mikroba antagonis dalam bentuk tunggal maupun konsorsium
serta penyemprotan fungisida berbahan aktif tembaga 50% dapat mengendalikan
penyakit karat merah pada bibit cengkeh. Berdasarkan pengamatan yang
dilakukan hingga minggu ke-8 aplikasi konsorsium mikroba memberikan pengaruh
paling baik dalam mengendalikan penyakit karat merah. Penurunan intensitas
penyakit paling baik selanjutnya berturut-turut adalah aplikasi Trichoderma sp. B.
subtilis, fungisida tembaga dan P. fluorescens. Penurunan intensitas penyakit
pada tanaman kontrol diduga diakibatkan oleh gugurnya daun yang bergejala,
26
terutama daun yang memiliki skor tinggi. Rata-rata intensitas penyakit karat merah
yang menyerang tanaman cengkeh disajikan dalam tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata intensitas penyakit (IP) bibit cengkeh yang diperlakukan menggunakan mikroba antagonis
Perl.
IP (%) pada pengamatan minggu ke-
0 2 4 6 8
P1 38,75 ± 9,176 35,97 ± 8,952 a 33,19 ± 9,619 a 29,93 ± 12,76 a 30,00 ± 11,84 a
P2 38,29 ± 6,584 39,85 ± 7,272 a 37,69 ± 7,970 a 32,46 ± 10,28 a 33,00 ± 10,90 a
P3 35,37 ± 7,346 33,13 ± 9,647 a 32,62 ± 5,424 a 28,60 ± 3,932 a 29,24 ± 9,007 a
P4 31,23 ± 7,772 29,35 ± 7,724 a 29,21 ± 7,558 a 22,86 ± 6,860 a 22,02 ± 4,394 a
P5 34,82 ± 8,355 37,43 ± 9,093 a 34,97 ± 7,205 a 32,27 ± 7,564 a 29,34 ± 6,260 a
P6 50,23 ± 10,71 53,38 ± 9,878 b 52,90 ± 6,694 b 49,92 ± 6,769 b 46,85 ± 8,374 b
BNT tn 7,74 7,31 8,37 7,95
Mikroba antagonis yang diaplikasikan memiliki potensi untuk
mengendalikan penyakit karat merah pada bibit cengkeh. Intensitas penyakit karat
merah sebelum aplikasi mikroba antagonis berkisar 31,23% – 50,23%. Meskipun
mikroba antagonis yang diaplikasikan merupakan jenis PGPR yang aktif
berkembang ditanah, namun diduga mikroba tersebut memiliki kemampuan
antagonis terhadap penyakit karat merah. Mekanisme antagonis yang terjadi pada
Cephaleuros sp. akibat aplikasi mikroba antagonis menurut Ramya et al. (2013)
adalah kolonisasi sel dan melisis dinding sel alga. Selain itu, sporangium yang
mengandung zoospora menjadi keriput dan pecah sebagai efek penghambatan
dari mikroba antagonis B. subtilis, P. fluorescens dan Trichoderma sp.
Mikroba dalam bentuk konsorsium memiliki kemampuan mengendalikan
penyakit paling baik. Hal ini diakibatkan karena semua mikroba yang terkandung
dapat bersinergi, sehingga memberikan pengaruh yang positif terhadap
penekanan penyakit karat merah. Ariswanto et al. (2016) menjelaskan bahwa sifat
dan karakteristik konsorsium mikroba yang saling bersinergi membuat mikroba
dalam bentuk konsorsium dapat menjalankan fungsinya masing-masing.
Keterangan : Data ditransformasi menggunakan transformasi arc sin untuk keperluan analisis statistik
Huruf yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda signifikan pada uji BNT 5%
tn : tidak nyata
P1: Aplikasi B. subtilis, P2: Aplikasi P. fluorescens, P3: Aplikasi Trichoderma sp., P4: Aplikasi Konsorsium, P5: Aplikasi Fungisida tembaga 50%, P6: Kontrol (tanpa aplikasi)
27
Penggunaan fungisida tembaga sebagai kontrol positif tidak dapat
mengendalikan penyakit karat lebih baik dibandingkan dengan konsorsium.
Fungisisda yang digunakan merupakan fungisida kontak yang didalamnya
mengandung 50% tembaga. Menurut Sumardiyono (2008) fungisida kontak
berperan sebagai protektan untuk melindungi tanaman dari serangan patogen
pada tempat aplikasi (permukaan tanaman). Fungisida kontak berbahan aktif
tembaga (Cu) bekerja dengan cara denaturasi protein yang menyebabkan
kematian sel pada jamur.
Fungisida tembaga dalam penelitian ini kurang efektif untuk mengendalikan
penyakit akibat alga, diduga alga memiliki mekanisme ketahanan yang berbeda
dengan jamur. Menurut Mann dan Hutchinson, 1907 (dalam Brooks et al., 2015)
zoospora alga akan berkecambah dipermukaan daun dan membentuk talus primer
yang kemudian menembus kutikula daun. Kebanyakan talus yang berada pada
permukaan daun akan mati dan hanya spora yang pecah dalam kutikula dan spora
yang berkembang dibawah talus alga yang dapat hidup, sehingga dimungkinkan
fungisida kontak kurang efektif dalam mengendalikan zoospora alga yang
berkembang di dalam kutikula daun. Sumardiyono (2008) mengungkapkan bahwa
struktur sel dan kekuatan membran sel juga mempengaruhi ketahanan patogen
terhadap fungisida.
Menurut Pal et al. (2006) pengendalian menggunakan agens hayati dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kondisi lingkungan. Kondisi
lingkungan yang baik adalah lingkungan yang terkontrol sehingga agens hayati
secara preemptif dapat berkembang di area terinfeksi patogen. Penggunaan
mikroba antagonis tertentu untuk mengendalikan penyakit spesifik juga
mempengaruhi efektivitas pengendalian. Cook dan Baker (1974) juga menyatakan
bahwa keberhasilan pengendalian hayati sangat ditentukan oleh jenis dan
inokulum antagonis yang diberikan, jenis patogen yang akan dikendalikan, faktor
lingkungan yang mempengaruhi dan cara aplikasinya.
Penyakit karat merah merupakan penyakit monosiklik, Pal et al. (2006)
menjelaskan bahwa pengendalian penyakit monosiklik menggunakan agens
hayati lebih efektif jika diaplikasikan sebagai bioprotektan yang berfungsi untuk
mencegah infeksi penyakit. Aplikasi mikroba antagonis sebelum terjadi penyakit
karat merah diduga lebih efektif dalam menekan perkembangan penyakit
dibanding aplikasi setelah terserang penyakit. Aplikasi mikroba antagonis juga
dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman sehingga perkembangan penyakit
28
dapat dihambat. Suwandi (2003) menduga bahwa epidemi penyakit karat merah
pada tanaman gambir disebabkan oleh rendahnya kesehatan tanaman. Menurut
Ramya et al., (2013) kemampuan saprofit dari Bacillus, Pseudomonas dan
Trichoderma yang dapat bertahan pada daun dapat berfungsi secara efektif
sebagai penghalang inokulasi patogen yang baru.
4.4.2 Efektivitas Pengendalian
Efektivitas pengendalian (%) menunjukkan besar kemampuan mikroba
antagonis dalam mengendalikan penyakit karat merah pada bibit cengkeh.
Mikroba antagonis yang diaplikasikan dalam bentuk konsorsium terbukti mampu
mengendalikan penyakit karat merah lebih baik dibandingkan dengan aplikasi
mikroba tunggal. Secara berturut-turut mikroba antagonis yang paling efektif dalam
mengendalikan penyakit karat merah adalah aplikasi konsorsium mikroba,
Trichoderma sp., B. subtilis, Fungisida tembaga dan P. fluorescens. Rata-rata
efektivitas pengendalian penyakit karat merah oleh agens hayati disajikan dalam
Tabel 6.
Aplikasi konsorsium diduga memiliki dampak yang dikombinasikan dan
disempurnakan dari masing-masing mikroba yang digunakan dalam penekanan
penyakit. Penggunaan spesies mikroba yang berbeda dalam bentuk kombinasi
memiliki keuntungan dapat meningkatkan kemampuan biokontrol karena memiliki
relung yang berbeda dengan membatasi persaingan antar mikroba yang
digunakan. Keragaman yang ditimbulkan dapat membantu dalam meningkatkan
penekanan penyakit. Penerapan konsorsium yang terdiri dari mikroba-mikroba
unggul lebih baik daripada mikroba tunggal dalam mengelola penyakit tanaman
(Sarma et al., 2015).
Tabel 6. Rata-rata efektivitas pengendalian penyakit karat merah akibat perlakuan mikroba antagonis
Perlakuan Efektivitas Pengendalian (%)
B. subtilis 36,44 bc P. fluorescens 29,48 a Trichoderma sp. 39,15 c Konsorsium 49,00 d Fungisida tembaga 33,86 b Kontrol 00,00
Keterangan : Data ditransformasi menggunakan transformasi arc sin untuk keperluan analisis statistik
Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda signifikan pada uji BNJ 5%
29
4.5 Hubungan Serangan Penyakit Terhadap Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman
Hasil analisis kolerasi dan regresi antara intensitas serangan penyakit
akibat alga dengan parameter vegetatif tanaman yaitu tinggi tanaman dan jumlah
daun memiliki hubungan yang berbeda. Penyakit karat merah memiliki pengaruh
yang besar dalam menurunkan jumlah daun sebesar 63,2% (Tabel Lampiran 18),
namun tidak signifikan mempengaruhi tinggi tanaman. Berdasarkan hasil analisis,
regresi menunjukkan koefisien negatif yang berarti semakin tinggi nilai intensitas
penyakit (x) maka jumlah daun dan tinggi tanaman (y) akan menurun. Berdasarkan
analisis korelasi jumlah daun dan intensitas serangan penyakit memiliki hubungan
yang erat yaitu 0,805 (-) (Tabel Lampiran 22).
Gambar 8. Grafik hubungan regresi IP terhadap jumlah daun
Gejala penyakit karat merah adalah bercak nekrosis yang menyerang
daun, menurut Asman (1988) pada serangan berat daun bisa gugur tetapi tidak
mematikan pohon. Pangarso (2000) menjelaskan bahwa jika tanaman cengkeh
terserang berat penyakit tersebut, maka daun-daunnya akan gugur secara cepat.
Menurut Sunpapao et al. (2016) penyakit karat merah dapat menurunkan produksi
jika serangannya mampu menurunkan proses fotosintesis atau memicu penuaan
dini pada daun.
4.6 Hubungan Faktor Cuaca Terhadap Intensitas Penyakit
Cuaca merupakan salah satu aspek lingkungan yang erat kaitannya
dengan perkembangan penyakit tanaman. Menurut Semangun (1979) dalam
Sastrahidayat (2015) diketahui bahwa di alam terjadi interaksi tiga komponen,
yaitu: patogen, faktor luar (cuaca) dan tumbuhan atau hospes (host) untuk
terjadinya wabah penyakit.
y = 53,12 – 0,853 x
30
Data cuaca harian yang diperoleh dari BMKG pada tahun 2017
menunjukkan suhu harian rata-rata di daerah percobaan pada bulan Februari
hingga April adalah 24,1 oC, curah hujan rata-rata 11,7 mm/hari dan kelembaban
udara rata-rata 82,47 %. Hubungan faktor cuaca dengan intensitas penyakit (IP)
dianalisis menggunakan analisis regresi dan korelasi. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa faktor cuaca signifikan mempengaruhi intensitas serangan
penyakit sebesar 45,5 %, (Tabel Lampiran 20) namun demikian faktor cuaca yang
paling berpengaruh terhadap perkembangan IP adalah curah hujan yaitu sebesar
57,4 % (Tabel Lampiran 21).
Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui kekuatan hubungan antara
variabel bebas (curah hujan) dengan variabel terikat (IP), berdasarkan analisis
korelasi didapatkan nilai 0,792 (+) (Tabel Lampiran 23) nilai korelasi tergolong
korelasi kuat dengan tanda positif yang menunjukkan korelasi positif yang berarti
semakin tinggi curah hujan maka terjadi peningkatan IP.
Menurut Wiyono (2007) pengaruh faktor iklim terhadap patogen bisa
terhadap siklus hidup patogen, virulensi (daya infeksi), penularan dan reproduksi
patogen. Berdasarkan keterangan petani yang melakukan pembibitan cengkeh,
penyakit karat merah akan muncul dengan intensitas yang tinggi pada musim
hujan meskipun tetap ditemukan adanya gejala penyakit pada musim kemarau.
Brooks et al. (2016) juga menjelaskan bahwa serangan penyakit karat merah
diperparah dengan lingkungan yang lembab dan panjangnya periode hujan.
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Gejala serangan penyakit karat merah akibat alga Cephaleuros adalah nekrosis
dibawah permukaan daun yang tertutupi talus alga, perkembangan nekrosis
dimulai dari permukaan atas daun dan meluas hingga terlihat pada permukaan
bawah daun, nekrosis yang terjadi akan mengakibatkan daun berlubang dan
gugur lebih cepat daripada daun sehat.
2. Mikroba antagonis dalam bentuk tunggal dan konsorsium dapat mengendalikan
penyakit karat merah pada pembibitan cengkeh, efektivitas pengendalian paling
baik oleh mikroba dalam bentuk konsorsium sebesar 49%.
3. Berdasarkan parameter pertumbuhan vegetatif, aplikasi mikroba antagonis
dalam bentuk tunggal maupun konsorsium tidak dapat mempengaruhi jumlah
daun dan tinggi bibit cengkeh.
5.2 Saran
1. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa mikroba antagonis dalam bentuk
konsorsium dalam kombinasi B. subtilis, P. fluorescens dan Trichoderma sp.
terbukti lebih baik dalam menekan perkembangan penyakit karat merah
daripada fungisida tembaga 50%, oleh karena itu disarankan untuk
menggunkan mikroba antagonis dalam bentuk konsorsium untuk
mengendalikan penyakit karat merah pada bibit cengkeh.
2. Saran teknis untuk pelaksanaan penelitian tentang perhitungan intensitas
penyakit karat merah akibat alga adalah menghitung jumlah daun secara
kumulatif termasuk jumlah daun yang gugur, untuk meminimalisir penurunan
intensitas penyakit akibat gugurnya daun sakit terutama daun sakit dengan skor
tinggi.
32
DAFTAR PUSTAKA
Agrios G.N. 2005. Plant Pathology Fifth Edition. Elsevier Academic Press. San Diego, California.
Aini, F.N., S. Sukamto, D. Wahyuni, R.G. Suhesti, dan Q. Ayunin. 2013. Penghambatan Pertumbuhan Colletotrichum gloeosporioides oleh Trichoderma harzianum, Trichoderma koningii, Bacillus subtilis dan Pseudomonas fluorescens. Jurnal Pelita Perkebunan 29 (1): 44-52.
Ari, V. 2015. Fluktuasi OPT Tanaman Cengkeh [Online] Ditjenbun.pertanian.go.id. Diunduh tanggal 21 Desember 2016.
Ariswanto, J., A.L. Abadi dan R.R. Kusuma. 2016. Efektivitas Aplikasi Teknologi Konsorsium Mikroba Sebagai Stimulator Pertumbuhan dan Pengendali Penyakit Akibat Jamur Patogen Pada Cabai Besar (Capsicum annum L.) di Dataran Rendah. Skripsi Hama dan Penyakit Tumbuhan Universitas Brawijaya.
Asman, A. 1988. Perkembangan penelitian penyakit tanaman cengkeh. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat 4 (2): 48-54.
Ayuwati, P.B. 2015. Teknik Pembibitan dan Organisme Pengganggu Bibit Durian Menoreh Kuning Di Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo. Skripsi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor.
Badan Pusat Statisik. 2016. Kecamatan Wonosalam dalam Angka [Online] https://jombangkab.bps.go.id/. Diunduh tanggal 29 April 2017.
Baker, K.F. dan R.J. Cook. 1974. Biological Control of Plant Pathogens. Freeman and Company. San Fransisco.
Brooks, F. 2015. Plant Parasitic Algae (Trentepohliales, Chlorophyta) In America Samoa. Pacific Science 58 (3) :419-428.
Brooks, F., F. Rindi, Y. Suto, S. Ohtani, dan M. Green. 2015. The Trentepohliales (Ulvophyceae, Chlorophyta): An Unusual Alga Order and its Novel Plant Pathogen, Cephaleuros. The American Phytopathological Society. Plat Disease 99 (6): 740-751.
Faizzah, N. dan E. Budiyanto. 2015. Pemanfaatan Sistem Informasi Geografis dan Data Penginderaan Jauh Untuk Kajian Kondisi Tanaman Cengkeh Berdasarkan Nilai Ndvi Di Kecamatan Wonosalam Kabupaten Jombang. E-Journal UNESA 2 (2): 25-33.
Guiry, M.D. dan G.M. Guiry. 2017. AlgaeBase. World-wide electronic publication, National University of Ireland [Online] http://www.algaebase.org. Diunduh tanggal 2 Juni 2017.
Husen, E., R. Saraswati dan R.D. Hastuti. 2006. Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan [Online] http://balittanah.go.id. Diunduh tanggal 9 Juni 2017.
Juliatra, I.K., M. Sudana dan W. Adiartayasa. 2015. Pengendalian Jamur Akar Putih (Rigidoporus sp.) Penyebab Penyakit Layu Pada Tanaman Cengkeh (Syzygium aromaticum L.) secara Hayati dan Nabati di Rumah Kaca. E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika 4 (2): 93-99.
33
Kim, J.D., Kim, dan B., Lee C.G. 2007. Alga lytic activity of Pseudomonas fluorescens against the red tide causing marine alga Heterosigma akashiwo. Science direct 41 (3): 296-303.
Mariana, L. 2013. Hama dan Penyakit Cengkeh di Wilayah Kabupaten Kediri Jawa Timur. Skripsi Departemen Proteksi Tanaman Institut Pertanian Bogor.
Nelson, S. 2008. Cephaleuros Species, the Plant-Parasitic Green Algae. College of Tropical Agriculture and Human Resources University of Hawai’i at Manoa.
Nurhayati. 2011. Penggunaan Jamur dan Bakteri dalam Pengendalian Penyakit Tanaman Secara Hayati yang Ramah Lingkungan. Dalam Prosiding Semirata Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian BKS-PTN Wilayah Barat Tahun 2011.
Nuryanti. 2015. Sejarah dan Manfaat Cengkeh. BBPPTP Surabaya [Online] http://ditjenbun.pertanian.go.id/. Diunduh tanggal 17 Januari 2017.
Pal, K.K. dan B.M. Gardener. 2006. Biological Control of Plant Pathogens. The Plant Health Instructor.
Pangarso, N. 2000. Hama dan Penyakit pada Tanaman Cengkeh. PD Nasional. Sidoarjo.
Putro, N.S., L.Q. Aini, dan A.L. Abadi. 2014. Pengujian Konsorsium Mikroba Antagonis Untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa Pada Cabai Merah Besar (Capsicum Annuum L.). Jurnal HPT 2 (4): 44-53.
Rajasekhar., S. K. Sain, dan Divya. 2016. Evaluation Of Microbial Consortium For Plant Health Management of Pigeon Pea. IJPAES 6: 107-109.
Ramya, M., P. Ponmurugan dan D. Savanan. 2013. Management of Cephaleuros parasiticaus Karst (Trentepohliales: Trentepohliaceae), an algal pathogen of tea plant, Camellia sinsensis (L) (O. Kuntze). Crop Protection 44: 66-74.
Runtunuwu, S.D., R. Mamarimbing, P. Tumewu dan T. Sondakh. 2011. Konsentrasi Paclobutrazol dan Pertumbuhan Tinggi Bibit Cengkeh (Syzygium aromaticum (L.) Merryl & Perry). Eugenia 17 (2): 138-139.
Sarma, B.K., S.K. Yadav, S. Singh dan H.B. Singh. 2015. Microbial consortium-mediated plant defense against phytopathogens: Readdressing for enhancing efficacy. Science direct 87: 25-33.
Sastrahidayat, I.R. 2011. Fitopatologi (Ilmu Penyakit Tumbuhan). Malang. UB Press.
Semangun, H. 1988. Penyakit-penyakit Tanaman Perkebunan di Indonesia. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.
Silaban, I.C., L.Q. Aini dan M.A. Syib’li. 2015. Pengujian Konsorsium Mikroba Antagonis Untuk Mengendalikan Jamur Sclerotium rolfsii penyebab Penyakit Rebah Semai Pada Kedelai (Glycine Max L.). Jurnal HPT 3 (2): 135.
Siregar, B.I.T. dan J. Hermana . 2009. Identifikasi Dominasi Genus Alga pada Air Boezem Morokembrangan sebagai Sistem High Rate Algae Pond (HRAP). Paper Jurusan Teknik Lingkungan Institut Teknologi Sepuluh Nopember.
34
Sumardiyono, C. 2008. Ketahanan Jamur Terhadap Fungisida di Indonesia. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 14 (1): 1-5.
Sundhari, R., M.K. Shivaprakash dan M.K.Prabhavathi. 2014. Role of Consortia of Biocontrol Agents And PGPR S in The Production of Cabbage Under Nursery Condition. Int.J.Curr.Microbiol.App.Sci 3 (6): 1055-1064.
Sunpapao, A. dan M.K. Pitaloka. 2015. Short Communication: A New Record of Plant Parasitic Green Algae, Cephaleuros diffusus (Trentepohliaceae, Chlorophyta), on Acacia auriculiformis host in Thailand. Biodiversitas 16 (2): 116-120.
Sunpapao, A., M.K. Pitaloka dan S. Arikit. 2016. Algal leaf spot associated with Cephaleuros virescens (Trentepohliales, Ulvophyceae) on Nephelium lappaceum in Thailand. Biodiversitas 17 (32): 31-35.
Suriani dan A. Muis. 2016. Prospek Bacillus subtilis Sebagai Agen Pengendali Hayati Patogen Tular Tanah Pada Tanaman Jagung. Jurnal Litbang 35 (1): 37-45.
Suryanti, T. Martoedjo, A.H. Tjokrosoedarmono dan E. Sulistyaningsih. 2003. Pengendalian Penyakit Akar Merah Anggur pada Teh dengan Trichoderma spp. Prosiding Kongres Nasional XVII dan Seminar Nasional FPI.
Suwandi. 2007. Peledakan penyakit karat merah alga pada tanaman gambir (Uncaria gambi) Di Babat Tomat, Sumatera Selatan. Pet Tropical Journal 1 (1): 6-10.
Tjitrosoepomo, G. 1994. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Trivedi, P., A. Pandey dan L.M.S. Palni. 2012. Bacterial Inoculants for Field Applications Under Mountain Ecosystem: Present Initiatives and Future Prospects.
Wahyuno, D., dan E. Martini. 2015. Budidaya Cengkeh di Kebuh Campur. Balai Penelitian Tanaman Rempah Dan Obat (Balittro, Badan Litbang Pertanian) Bekerja Sama Dengan Agfor Sulawesi.
Wiyuno, S. 2007. Perubahan Iklim dan Ledakan Hama dan Penyakit Tanaman. Makalah Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.