1
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Liberalisme Institusionalisme
Liberalisme dalam Hubungan Internasional muncul sekitar abad ke-17, dipelopori oleh
John Locke yang melihat potensi yang besar bagi kemajuan manusia dalam civil society dan
perekonomian kapitalis, keduanya dapat berkembang di negara-negara yang menjamin
kebebasan individu (Jackson & Sorensen, 1999). Setelah Perang Dunia II berakhir, liberalisme
terbagi ke dalam empat aliran, yaitu: liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi,
liberalisme institusional, dan liberalisme republikan (Nye, Jr., 1988; Keohane, 1989a; Zacher dan
Matthew, 1995). Akan tetapi peneliti hanya akan membahas liberalisme institusional yang mana
dipakai sebagai landasan teori dari penelitian ini.
Liberalisme institusional mengambil pemikiran terdahulu mengenai manfaat dari institusi
internasional. Mantan Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson memiliki visi untuk
mengubah hubungan internasional dari ‘hutan’ politik kekuasaan yang kacau ke ‘kebun
binatang’ yang diatur dan damai. Perubahan ini dapat dicapai dengan membentuk organisasi
internasional dan yang paling penting adalah LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Menurut liberalisme
institusional, institusi internasional dipercaya dapat membuat kerjasama lebih mudah. Institusi
internasional lebih dari sekedar ciptaan negara kuat. Mereka merupakan kepentingan yang
independen dan dapat memajukan kerjasama antarnegara (Keohane 1989a; Acharya dan
Johnston, 2007). Institusi internasional bagi kaum liberalisme institusional merupakan organisasi
internasional atau seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara dalam bidang tertentu.
Institusi dibentuk dengan tujuan untuk mengelola negara yang tergabung di dalamnya agar taat
pada aturan yang dibuat bersama demi kepentingan bersama. Melalui institusi, segala
kepentingan setiap negara dapat dikoordinasikan untuk membentuk aturan bersama yang
disepakati. Adapun asumsi pokok dari liberalisme institusional adalah sebagai berikut:
1. Negara merupakan aktor kunci dalam hubungan internasional, namun bukan satu-
satunya aktor yang paling berpengaruh. Negara merupakan aktor yang rasional dan
selalu berusaha untuk memaksimalkan kepentingan mereka di berbagai sektor.
2
2. Di dalam situasi yang kompetitif, negara berusaha untuk mendapatkan keuntungan
absolut melalui kerjasama. Tindakan yang rasional mengarahkan negara untuk
melihat nilai yang ada dalam kerjasama.
3. Hambatan terbesar dalam kerjasama adalah ketidakjujuran yang dilakukan oleh
negara lain.
4. Kerjasama tidak terlepas dari perselisihan, tetapi negara akan memberikan kesetiaan
dan sumber dayanya kepada institusi jika hal itu dilihat menguntungkan satu sama
lain dan menjadi peluang bagi negara untuk mengamankan kepentingan mereka.
(Lamy, 2011)
Institusi internasional yang diyakini dapat memajukan kerjasama antar negara dapat
dilihat melalui pendekatan ilmiah, behavioralistik. Langkah empiris perluasan institusionalisasi
antar negara dapat dipakai karena perluasan tersebut membantu untuk meningkatkan kerjasama.
Perluasan yang dimaksud dapat diukur dengan dua dimensi, yaitu ruang lingkup dan kedalaman.
Menurut Keohane, peran institusi adalah:
1. Menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi.
2. Meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memonitor kekuatan lain dan
mengimplementasikan komitmennya sendiri – oleh karena itu kemampuannya
membuat komitmen yang dapat dipercaya berada di urutan pertama.
3. Memperkuat harapan yang muncul tentang kesolidan dari kesepakatan internasional.
Bagi liberalis institusionalis, hubungan dalam ranah internasional yang dilembagakan
memberikan pengaruh terhadap perilaku pemerintahan dimana pola kerjasama dan perselisihan
dapat dipahami dalam konteks institusi yang membantu menjelaskan arti pentingnya tindakan
yang diambil oleh negara. Pemerintah dapat mengambil tindakan sesuai dengan peraturan
institusi. Institusi dapat membantu negara-negara di dalamnya untuk saling mendapatkan
keuntungan.
Teori liberalisme institusional membantu peneliti untuk menganalisis implementasi AGSI
dalam pendidikan anak sekolah dasar di Mataram pada tahun 2014-2016 yang di dalamnya
terdapat peran KNIU lalu dihubungkan pada korelasi antara kepentingan Indonesia yang dalam
hal ini adalah pendidikan dan rezim internasional UNESCO. Dikatakan demikian karena KNIU
akan menyelaraskan dan mengkoordinasikan kepentingan bersama baik dari Indonesia maupun
3
UNESCO. KNIU membantu menjembatani UNESCO dengan pemerintah Indonesia untuk
implementasi program-program UNESCO, khususnya di Bidang Pendidikan. Peneliti akan
melihat bagaimana KNIU memainkan perannya dalam AGSI yang merupakan program turunan
dari ESD sebagai upaya untuk mendorong perkembangan pendidikan anak di Indonesia.
2.2 Kerangka Konsep
2.2.1 Pilar-pilar Pendidikan UNESCO
UNESCO memiliki empat pilar yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan, yaitu:
1) Learning to know: adalah proses pembelajaran yang dibutuhkan agar para peserta didik dapat
lebih memahami dunia dan kompleksitasnya (UNESCO, 2017). Proses ini memungkinkan
para peserta didik merasakan, dan menetapkan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.
Proses ini dapat memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu sehingga
menimbulkan rasa mampu untuk mencari jawaban atas masalah yang dihadapi secara ilmiah
(Kunandar, 2007). Dalam learning to know terkandung beberapa prinsip, yaitu diarahkan
untuk mampu mengembangkan ilmu, memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran, dan
jaringan masyarakat.
2) Learning to do: merupakan proses yang memberikan keterampilan yang memungkinkan
peserta didik untuk berpartisipasi secara efektif dalam ekonomi global dan masyarakat
(UNESCO, 2017). Proses pembelajaran ini merupakan hasil dari learning to know, yaitu
action in thinking, dan learning by doing. Para peserta didik akan berusaha untuk terus
belajar agar dapat memperbaiki dan mengembangkan keterampilan serta mengembangkan
konsep intelektualitasnya (Ma’arif, 2005).
3) Learning to be: merupakan proses pembelajaran yang memberikan keterampilan analitis dan
keahlian sosial agar memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan potensi psiko-
sosial mereka sepenuhnya, baik secara afektif maupun secara fisik (UNESCO, 2017). Dalam
proses ini, pendidikan harus berhubungan dengan setiap aspek dari potensi pribadi seperti
mengingat, keterampilan berkomunikasi, kemampuan fisik, rasa estetis, dan menalar
(Mudyahardjo, 1998). Para peserta didik akan diarahkan melalui learning to be agar mereka
menjadi ilmuwan sehingga mereka mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya
sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4
4) Learning to live together: untuk menunjukkan nilai-nilai yang tersirat dalam hak asasi
manusia, prinsip-prinsip demokrasi, pemahaman dan rasa hormat antar budaya dan
perdamaian di semua lapisan masyarakat agar memungkinkan para peserta didik dan
masyarakat dapat hidup dalam damai dan harmonis (UNESCO, 2017). Proses ini
mengarahkan individu untuk hidup bermasyarakat dan menjadi orang berpendidikan yang
bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat (Ma’arif, 2005).
2.2.2 UNESCO dan KNIU
UNESCO merupakan sebuah organisasi khusus yang menjadi bagian dari PBB.
UNESCO telah berdiri sejak tahun 1945 dan bertujuan agar dapat berkontribusi dalam keamanan
dan perdamaian melalui kerjasama antar negara-negara anggota dalam bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan komunikasi sebagai tindakan untuk menghormati keadilan dan
hukum bagi hak asasi manusia dan kebebasan bagi seluruh masyarakat di dunia secara inklusif.
UNESCO bermarkas besar di UNESCO House, Place de Fontenoy, Paris, Prancis dan memiliki
195 negara anggota (Blanchfield & Browne, 2013). Visi UNESCO tertuang dalam Konstitusi
UNESCO: “Since wars begin in the mind of men, it is in the minds of men that the defenses of
peace must be constructed” (Oleh karena perang diawali dari pikiran manusia, maka dalam
pikiran manusialah upaya menjaga perdamaian harus dibangun) (KNIU, 2008). Kemudian misi
UNESCO adalah menciptakan perdamaian melalui pengetahuan, dengan melaksanakan strategi
yang berdasarkan pada:
1. Promosi prinsip dan norma universal yang didasarkan atas shared values dalam
kompetensi UNESCO sebagai upaya untuk melindungi dan mempertahankan
common values.
2. Promosi keragaman dengan menghormati hak asasi manusia.
3. Pemberdayaan dan penguatan partisipasi dalam lingkungan masyarakat intelektual
melalui pemerataan, peningkatan, dan penyebaran penggunaan ilmu pengetahuan.
(KNIU, 2016)
Perang Dunia II yang pada saat itu terjadi telah menimbulkan berbagai tekanan dan
bahaya. Selain itu, dampak dari Perang Dunia II adalah timbulnya berbagai ketidaktahuan
terhadap bagaimana cara pandang masyarakat tentang hidup, adat atau kebiasaan, serta sejarah
kemanusiaan. Oleh karena itu dibutuhkan kesamaan pemikiran bahwa dengan menyebarluaskan
5
hal-hal tentang kebudayaan serta pendidikan mengenai kemanusiaan untuk keadilan dan
kebebasan serta perdamaian merupakan sebuah hal mendasar yang diperlukan. Dengan hal ini,
setiap negara akan memiliki semangat untuk saling membantu dan memperhatikan (Huxley,
1946). Pemerintahan di Eropa kemudian mengadakan sebuah pertemuan di Inggris dan
menghadiri konferensi para menteri yang saling beraliansi yang pada saat itu membahas tentang
aspek pendidikan. Pada konferensi tersebut terdapat sebuah usulan agar membentuk sebuah
organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan budaya perdamaian, membentuk solidaritas
intelektual dan juga moral umat manusia serta mencegah terjadinya kembali perang dunia.
UNESCO resmi berdiri dengan ditandatanganinya Konstitusi UNESCO di London pada tanggal
16 November 1945.
Pada tanggal 27 Mei 1950 Indonesia resmi menjadi anggota UNESCO. Selanjutnya pada
tanggal 20 Oktober 1952 dibentuklah Panitia Nasional Indonesia untuk UNESCO. Kemudian
pada tanggal 17 Februari 1956 Panitia Nasional Indonesia untuk UNESCO berubah nama
menjadi Lembaga Nasional Indonesia. Sidang Umum UNESCO ke-14 menghasilkan resolusi
tentang perluasan tugas dari Komite Nasional, yakni sebagai badan penasehat, penghubung,
informasi dan pelaksana. Pada tanggal 15 April 1967 Lembaga Nasional Indonesia bersama
dengan UNESCO menandatangani pendirian UNESCO Regional Bureau of Science di Jakarta.
Pada tanggal 27 April 1972 KWRI (Kantor Wilayah RI) UNESCO berdiri dan bertempat di
Gedung Miollis UNESCO Paris. Selanjutnya pada tanggal 11 Juli 1977 Lembaga Nasional
Indonesia untuk UNESCO berubah menjadi KNIU sampai dengan sekarang dan mengangkat
Drs. Soepojo Padmodipoetro, M.A sebagai Duta Besar RI untuk UNESCO juga sebagai Ketua
Harian KNIU yang pertama. Pada era 1980-an, tepatnya tanggal 10 Maret 1984 disusunlah
perincian tugas, dan tata kerja Komisi Pleno, Komisi Harian, dan Sekretariat KNIU. KNIU
bertugas untuk melancarkan usaha dan mengkoordinasikan kegiatan di bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan komunikasi dalam rangka program pemerintah dan program
UNESCO (KNIU, 2016). KNIU merupakan badan pemerintah non-struktural yang berada di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menghubungkan UNESCO dan
Pemerintah Republik Indonesia. Dari seluruh organisasi PBB yang ada, UNESCO merupakan
satu-satunya yang memandatkan negara anggotanya untuk membentuk Komisi Nasional
sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam Piagam Komisi Nasional untuk UNESCO. Kegiatan
UNESCO di Indonesia direalisasikan oleh beberapa kementerian dan lembaga. Koordinasi atas
6
seluruh kegiatan tersebut menjadi tanggung jawab KNIU. KNIU terdiri atas: Komisi Pleno,
Komisi Harian, Empat Program dan beberapa Komite Khusus, serta sebuah Sekretariat. Komisi
Pleno mencakup pejabat eselon satu dari 18 kementerian serta Ketua dan Ketua Harian KNIU.
Adapun dua Koordinator Nasional di KNIU, yaitu Koordinator Nasional Education for
Sustainable Development (ESD) dan Koordinator Nasional Associated Schools Project Network
(ASPnet). Selain itu terdapat Sekretariat yang mencakup empat seksi dengan anggaran yang
disediakan oleh Kemdikbud, sementara anggaran untuk pelaksanaan program UNESCO
disediakan oleh kementerian terkait. Fungsi Komisi Nasional menurut Piagam Komisi Nasional
untuk UNESCO adalah terlibat dalam kegiatan UNESCO, badan-badan, lembaga-lembaga,
organisasi dan individu yang bekerja untuk kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan, budaya dan
informasi sehingga setiap negara anggota dapat berkontribusi dalam perdamaian, keamanan, dan
kesejahteraan umat manusia. Selain itu, negara anggota juga dapat berperan dalam meningkatkan
dan merumuskan program-program UNESCO. Untuk mencapai tujuan tersebut, Komisi Nasional
bekerjasama, mendorong partisipasi, menyebarluaskan informasi tentang tujuan program dan
kegiatan UNESCO dengan pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Mandat ini sejalan
dengan penjelasan tugas KNIU yang diamanatkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia No. 0257/P/1977 Pasal 2 yaitu melancarkan usaha dan
mengkoordinasikan kegiatan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
komunikasi dalam rangka program pemerintah dan program UNESCO. Di dunia ini terdapat dua
model Komisi Nasional untuk UNESCO, yakni sebagai berikut:
1. Komisi Nasional untuk UNESCO yang berada di bawah naungan kementerian. Pada
model ini terbagi lagi dalam empat macam (tergantung dengan kebijakan masing-masing
negara anggota):
a. Komisi Nasional untuk UNESCO yang dinaungi oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
b. Komisi Nasional untuk UNESCO yang dinaungi oleh Kementerian Pendidikan
c. Komisi Nasional untuk UNESCO yang dinaungi oleh Kementerian Kebudayaan
d. Komisi Nasional untuk UNESCO yang dinaungi oleh Kementerian Luar Negeri.
2. Komisi Nasional untuk UNESCO yang berdiri sendiri, tidak terikat dengan pemerintah
atau dapat disebut independen.
7
Di Indonesia, Komisi Nasional untuk UNESCO tidak berdiri secara independen melainkan
berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
UNESCO percaya bahwa melalui pendidikan tranformasi kehidupan dapat tercapai dan
oleh karena itu menjadi tujuan utama dari misi UNESCO dalam membangun perdamaian,
memberantas kemiskinan, dan mendorong pembangunan berkelanjutan. UNESCO menilai
bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia sepanjang hidup sehingga sudah semestinya
agar semua orang dapat mengakses pendidikan khususnya anak-anak. Sebagai koordinator
Agenda Pendidikan 2030, UNESCO sangat menjunjung tinggi upaya pencapaian TPB (Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan), khususnya TPB ke-4 yang mana menjamin kualitas pendidikan
yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
Pada aspek pendidikan, UNESCO memiliki salah satu program yaitu Pendidikan untuk
Pembangunan Berkelanjutan atau ESD. ESD merupakan proses pembelajaran atau pendekatan
terhadap pengajaran yang didasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan dengan memusatkan
perhatian pada semua tingkat dan jenis pembelajaran dalam rangka memberikan pendidikan yang
berkualitas dan meningkatkan pengembangan pembangunan manusia yang berkelanjutan. ESD
pertama kali dijelaskan pada Bab 36 Agenda 21 yang dihasilkan dalam Deklarasi Lingkungan
Hidup Konferensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro 1992. Ada empat prioritas dalam
mengimplementasikan ESD, yaitu: 1) peningkatan dan perbaikan kualitas pendidikan; 2) re-
orientasi pendidikan pada semua jenjang untuk pembangunan berkelanjutan; 3) peningkatan
kesadaran masyarakat tentang konsep pembangunan berkelanjutan; dan 4) pelatihan sumber daya
manusia (KNIU, 2014). Ada tujuh kriteria ESD, yaitu fokus pada peserta didik, pendidikan yang
interdisiplin dan holistic, pendidikan yang menggunakan pendekatan beragam metode,
pendidikan berbasis pada pendekatan berpikir yang mendalam, pendidikan yang memunculkan
nilai, pendekatan yang mengedepankan kultur lokal, isu lokal di samping isu global dan
menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh semua pihak, serta belajar sepanjang hayat.
Peran UNESCO dalam implementasi ESD adalah mendorong kemitraan dengan sektor swasta,
media, dan pemuda, mendorong untuk program riset yang berwawasan ESD, meningkatkan
pengawasan dan evaluasi, berbagi praktek yang berhasil dari ESD, membuat forum untuk
mempertemukan semua pemangku kepentingan untuk ESD, dan mendorong negara anggota
UNESCO untuk melaksanakan empat prioritas ESD.
8
Sebagai upaya untuk mendorong perkembangan pendidikan anak di Indonesia, KNIU
menyerap ESD ke dalam sebuah program baru yaitu AGSI (Adiwiyata Green School of
Indonesia) yang lahir dari kerjasama antara KNIU dan KLHK. Program AGSI merupakan model
pendidikan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dimana internalisasi isu pembangunan
berkelanjutan diintegrasikan ke dalam semua proses pembelajaran dan pengelolaan sekolah
sesuai dengan delapan SNP (Standar Nasional Pendidikan).1 Sekolah AGSI merupakan sekolah
yang bermutu tinggi sebagai tempat yang ideal untuk belajar, memperoleh pengetahuan, norma,
dan etika yang dapat membentuk seseorang untuk memiliki pengetahuan, keterampilan, sikap,
serta mental yang merasa memiliki tanggung jawab terwujudnya pembangunan berkelanjutan di
Indonesia. Sekolah AGSI akan membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan peserta didik
sedemikian rupa hingga memiliki tanggung jawab menjalankan pembangunan berkelanjutan.
Ketiga kompetensi (sikap, pengetahuan, dan keterampilan) siswa dibentuk melalui kegiatan
intrakurikuler dalam proses pembelajaran sehari-hari melalui pendekatan tematik dan pendekatan
saintifik, kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan kesiswaan yang lain.
Program AGSI didanai oleh pemerintah Indonesia melalui IFIT (Indonesia Funds-In-
Trust). IFIT merupakan bentuk kontribusi Indonesia terhadap pengembangan pendidikan, ilmu
pengetahuan, dan kebudayaan melalui UNESCO. Pada tanggal 2 Maret 2012, Pemerintah
Indonesia melalui Kementarian Pendidikan dan Kebudayaan merealisasikan komitmen untuk
mendukung pengembangan pendidikan, ilmu pengetahuan, komunikasi dan informasi, dan
kebudayaan melalui UNESCO dengan memberikan sumbangan sebanyak US $10 juta.
Sumbangan tersebut diberikan dalam dua bentuk, yaitu:
1. Sebanyak US $6 juta ditujukan untuk kepentingan emergency fund.
2. Sebanyak US $4 juta disalurkan melalui kesepakatan IFIT untuk mendukung program
dan kegiatan UNESCO di Indonesia
(Kemdikbud, 2017)
Pemerintah Indonesia dan UNESCO menandatangani perjanjian atas dana IFIT untuk
mendukung pengembangan bidang-bidang yang telah disebutkan di atas. Implementasi
perjanjian Indonesia dan UNESCO adalah melalui delapan program. Salah satu dari kedelapan
1 Delapan Standar Nasional Pendidikan (SNP) antara lain: standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses,
standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar sarana dan prasarana.
9
program yang dilaksanakan di Indonesia adalah program AGSI yang berlangsung selama dua
tahun. Tujuan program ini untuk meningkatkan sumber daya dan keahlian dari guru, tenaga
kependidikan dan masyarakat dalam rangka membangun kapasitas sekolah, guru, tenaga
kependidikan dan masyarakat terkait pengetahuan dan keterampilan dalam ESD. Proyek ini
dilaksanakan sebagai salah satu upaya mengurangi dampak perubahan iklim dan mencapai
pembangunan berkelanjutan dalam konteks masyarakat lokal. Program AGSI berkontribusi
terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 2030 sebagai berikut:
1. Tujuan 4: menjamin pendidikan berkualitas yang layak dan inklusif serta mendorong
kesempatan belajar seumur hidup bagi semua.
2. Tujuan 11: Kota dan masyarakat yang berkelanjutan.
3. Tujuan 13: Aksi perubahan iklim.
(Kemdikbud, 2017)
Selain itu, AGSI juga turut berkontribusi terhadap program Global UNESCO dengan
berkontribusi dalam peningkatan kapasitas para pemangku kepentingan pendidikan di Indonesia
agar ESD dapat diintegrasikan ke dalam pendidikan dan pembelajaran yang disesuaikan dengan
konteks lokal serta memperkuat ESD dalam agenda kebijakan internasional sehingga negara-
negara semakin sadar akan pentingnya kebijakan yang berbasis pada ESD.
Pemerintah Indonesia meminta kerjasama UNESCO untuk lebih memperkuat kapasitas
dalam mengintegrasikan ESD pada pendidikan dan pembelajaran sehingga dapat meningkatkan
kesadaran, pengetahuan, serta mengubah sikap yang mengarah pada tindakan yang relevan
terhadap integrasi pendekatan holistik ESD ke dalam kurikulum dan rencana aksi masyarakat
dengan fokus pada perubahan iklim, pengurangan risiko bencana, dan kenakeragaman hayati.
UNESCO Jakarta dan lembaga mitranya, KNIU, mendukung Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemdikbud) untuk mengembangkan dan menguji coba program untuk
mempromosikan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang mendukung pembangunan
berkelanjutan di sekolah. Kerangka kerjasama untuk implementasi proyek telah dirincikan dalam
Implementation Partners Agreement (IPA) yang ditandatangani oleh KNIU. AGSI ditargetkan
pada pendidikan formal melalui sekolah dasar yang tujuannya untuk mengembangkan dan
merintis pendekatan sekolah yang berbasis pendidikan lingkungan dan berkelanjutan. AGSI di
lima sekolah dasar di Mataram dibentuk berdasarkan Memorandum of Understanding (MoU)
10
yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan UNESCO Jakarta pada bulan Agustus 2014
(UNESCO Jakarta Office, 2016).
Strategi implementasi yang berasal dari visi UN DESD (United Nations Decade of
Education for Sustainable Development) dan Kebijakan Pendidikan Nasional Indonesia
mendasari pendidikan lingkungan yang termasuk dalam kerangka ESD yang lebih luas. Bagan di
bawah ini menggambarkan kerangka kerja implementasi AGSI.
Bagan 2.2.2
Visi:
UN DESD
Kebijakan Pendidikan Nasional Indonesia
Tujuan:
Sistem pendidikan sekolah yang berdasarkan ESD
Hasil:
AGSI (Adiwiyata Green School of Indonesia)
Strategi:
Riset, materi pembelajaran, FGD (Focus Group Discussion), pelatihan
dan workshop, rapat mengenai studi banding
Hasil yang diharapkan:
Riset, materi pembelajaran (buku pedoman, indikator, dan materi
untuk pelatihan)
Sekolah yang terpilih untuk implementasi AGSI
11
Sumber: Project Adiwiyata-Green Schools and Empowering Low Income Communities for the Sustainable Future
of Indonesia (2016)
Dalam kerangka kerja ESD, bidang pendidikan di UNESCO Jakarta
mengimplementasikan AGSI yang menargetkan pendidikan formal melalui sekolah dasar untuk
mengembangkan sekolah yang didasarkan pada pendekatan lingkungan atau pendidikan
berkelanjutan. Secara sederhana, dasar pemikiran AGSI dapat dilihat pada bagan di bawah ini.
Bagan 2.2.2
Sumber: Project Adiwiyata-Green Schools and Empowering Low Income Communities for the Sustainable Future
of Indonesia (2016)
AGSI
ESD (Education
for Sustainable
Development)
Sekolah
Adiwiyata
Sekolah Hijau Sekolah Sehat
Kurikulum
2013
8 Standar
Nasional
Pendidikan
Kondisi kualitas pendidikan di
Indonesia
Isu lokal/nasional/global
12
Pengelolaan sekolah di Indonesia didasarkan pada 8 SNP yang ramah lingkungan dan
ramah anak. Adapun kedelapan standar tersebut adalah standar kompetensi lulusan, standar isi,
standar proses, standar penilaian, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar
pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar sarana dan prasarana. Pendidikan untuk
pembangunan berkelanjutan yang dalam hal ini diaktualisasikan ke dalam program AGSI sangat
relevan dengan prinsip dasar pendidikan di Indonesia yang tertuang dalam Undang-undang No.
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Prinsip penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia diatur pada Bab II Pasal 4 yang diuraikan sebagai berikut:
1. Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif
dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai kegamaan, nilai kultural, dan
kemajemukan bangsa.
2. Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka
dan multimakna.
3. Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
4. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun kemauan, dan
mengembangan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.
5. Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca, menulis dan
berhitung bagi segenap warga masyarakat.
6. Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat
melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
(Kemristekdikti, 2016)
Standar kompetensi lulusan meliputi dimensi sikap, pengetahuan dan keterampilan. Pada
sekolah dasar dimensi tersebut dapat dijelaskan seperti di bawah ini:
Sikap: Memiliki perilaku yang mencerminkan sikap orang beriman, berakhlak mulia,
berilmu, percaya diri, dan bertanggung jawab dalam berinteraksi secara efektif dengan
lingkungan sosial dan alam di lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
Pengetahuan: Memiliki pengetahuan faktual dan konseptual berdasarkan rasa ingin
tahunya tentang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya dalam wawasan
kemanusiaan, kebangsaan, kenegaraan, dan peradaban terkait fenomena dan kejadian di
lingkungan rumah, sekolah, dan tempat bermain.
13
Keterampilan: Memiliki kemampuan pikir dan tindak yang produktif dan kreatif dalam
ranah abstrak dan konkrit sesuai dengan yang ditugaskan kepadanya.
(Kemdikbud, 2013)
Pada dasarnya terdapat tiga hal yang ditekankan dalam Kurikulum 2013, yaitu:
1. Standar Kompetensi Lulusan (SKL) yang terdiri atas sikap, pengetahuan dan
keterampilan
2. Proses Pembelajaran yang fokusnya adalah kepada siswa dengan menggunakan
pendekatan saintifik. Kegiatan yang dapat dilakukan untuk mendukung kegiatan ini
adalah seperti mengamati, melakukan percobaan, menganalisis/menalar, aktif bertanya
dan mampu mengomunikasikan hasilnya
3. Pada jenjang sekolah dasar menggunakan materi pembelajaran diubah dengan
menggunakan pendekatan tematik
Oleh karena itu ketercapaian proses pembelajaran pada Kurikulum 2013 dapat dilihat melalui
kompetensi siswa yang mana tolak ukurnya adalah melalui penilaian otentik terhadap sikap,
pengetahuan, dan keterampilan melalui ulangan harian, UTS (Ulangan Tengah Semester), UAS
(Ulangan Akhir Semester), serta penilaian proyek yang dinilai dari portofolio dan proyek itu
sendiri.
Pendekatan tematik dan saintifik diperlukan karena hal tersebut sesuai dengan paradigma
pendidikan saat ini maupun pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan di abad ke-21 ini.
Permasalahan atau isu mengenai pembangunan berkelanjutan akan dapat diperkenalkan melalui
pendekatan tematik dan saintifik.
Jika diintegrasikan dengan model pembelajaran sesuai dengan Kurikulum 2013, maka
pembelajaran yang membentuk sikap perilaku siswa, pengetahuan dan keterampilan untuk
mengelola lingkungan dan melaksanakan pembangunan berkelanjutan dari berbagai jenis
program sekolah hijau tersebut akan lebih mudah dimplementasikan secara luas karena
kurikulum 2013 secara bertahap akan diberlakukan di seluruh Indonesia. Internalisasi tentang
aspek lingkungan dan pembangunan berkelanjutan akan terjadi di tiap kegiatan pembelajaran
melalui pendekatan tematik dan saintifik. Hal inilah yang menjadikan program AGSI sesuai
dengan Kurikulum 2013.
Keberhasilan program AGSI di Indonesia akan dipengaruhi oleh (KNIU, 2015):
14
1. Dukungan pemerintah pusat dalam bentuk kebijakan nasional di bidang pendidikan yaitu
mengintegrasikan aspek lingkungan dan pembangunan berkelanjutan dalam seluruh
kegiatan belajar.
2. Dukungan pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) dalam bentuk kebijakan di
bidang pendidikan yaitu mengangkat isu lokal terkait dengan lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan dalamimplementasi kegiatan belajar.
3. Kebijakan sekolah yang dinyatakan dalam bentuk visi, misi, strategi dan program dalam
menyelenggarakan pengelolaan sekolah dan pembelajaran yang berbasis lingkungan dan
pembangunan berkelanjutan.
Oleh karena itu indikator keberhasilan program AGSI diukur melalui tiga komponen penentu
keberhasilan tersebut.
1) Indikator AGSI Untuk Level Sekolah
Pada level sekolah, terdapat 5 indikator yang digunakan dalam mengukur
keberhasilan pengimplementasian program AGSI, yaitu:
a. Manajemen sekolah
Manajemen Sekolah AGSI berlandaskan pada filosofi dan nilai-nilai pembangunan
berkelanjutan, yaitu:
Memiliki visi dan misi sekolah yang berbasis pembangunan berkelanjutan.
Memiliki kebijakan terkait dengan peningkatan kualitas guru yang mampu menjalankan
pembelajaran bermutu sesuai SNP.
Memiliki kebijakan pengelolaan sumberdaya di sekolah yang sesuai dengan nilai-nilai
pembangunan berkelanjutan, misalnya penghematan energi, air, pengelolaan lingkungan,
dan kesehatan.
Memiliki kebijakan keuangan yang mendukung kegiatan peningkatan keterampilan
anggota sekolah terkait dengan 3 pilar pembangunan berkelanjutan.
Memiliki kebijakan sekolah terkait dengan pembentukan budi pekerti dan karakter
seluruh anggota sekolah misalnya dengan menegakkan disiplin, sopan santun, jujur, dan
saling menghargai.
b. Pembelajaran
Pengembangan pembelajaran yang dimaksud adalah dalam hal materi maupun proses
yang didasarkan pada prinsip pendidikan yang sesuai dengan kurikulum di Indonesia untuk
15
pembangunan berkelanjutan. Isu lingkungan, sosial/budaya dan ekonomi baik lokal, regional dan
global perlu untuk diintegrasikan ke dalam materi pembelajaran melalui pendekatan tematik.
c. Kegiatan Ekstrakurikuler Berbasis Lingkungan
Kegiatan ekstrakurikuler yang berkaitan dengan lingkungan berbasis partisipatif perlu
dikembangkan. Hal ini akan mendukung pengembangan pendidikan lingkungan hidup dan para
peserta didik pun akan berpartisipasi aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler yang dilaksanakan
oleh pihak luar sekolah. Melalui kegiatan ekstrakurikuler, sekolah juga dapat membangun
kerjasama yang baik dengan pemerintah, swasta maupun NGO dalam hal pengembangan
pendidikan lingkungan hidup.
d. Pengembangan Sumber Daya Manusia
Pengembangan SDM melalui pelatihan, workshop, kuliah umum yang diselenggarakan
oleh sekolah sendiri atau mengikuti berbagai program yang diselenggarakan institusi lain yang
dapat meningkatkan sikap, pengetahuan dan keterampilan dalam pengelolaan dan pelestarian
lingkungan.
e. Pengembangan Pengelolaan Sekolah yang Ramah Lingkungan
Pengembangan sarana pendukung sekolah yang ramah lingkungan diantaranya adalah
pengembangan fungsi kualitas sarana pendukung sekolah yang ada untuk pendidikan lingkungan
hidup, peningkatan kualitas pengelolaan lingkungan di dalam dan di luar kawasan sekolah,
termasuk fasilitas sanitasi dan kantin sekolah, peningkatan upaya penghematan energi, air, alat
tulis dan sebagainya, pengembangan sistem pengelolaan sampah dan pengembangan apotik
hidup, taman sekolah dan lain sebagainya.
2) Indikator AGSI Untuk Level Pemerintah
Pada level pemerintah, terdapat 5 indikator yang digunakan dalam mengukur
keberhasilan pelaksanaan Program AGSI yaitu:
a. Kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menciptakan sekolah
berwawasan lingkungan, yaitu sekolah yang memiliki visi, misi dankebijakan yang
mengintegrasikan seluruh proses pengelolaan sekolah dan pembelajaran dengan
lingkungan dan pembangunan berkelanjutan.
b. Promosi program AGSI ke seluruh wilayah dan sekolah.
c. Kebijakan pendanaan dan pembinaan sekolah yang menjalankan program AGSI.
d. Target capaian jumlah sekolah yang menjalankan program AGSI per tahun.
16
e. Adanya monitoring dan evaluasi yang dilakukan pemerintah terhadap sekolah yang
menjalankan program AGSI.
Pengembangan AGSI tentunya akan memberikan keuntungan yang tidak hanya dirasakan
oleh sekolah dan pemerintah, namun juga oleh masyarakat. Adapun keuntungan yang dimaksud
adalah sebagai berikut (KNIU, 2015):
1) Keuntungan Bagi Sekolah
1. Unsur lingkungan dan pembangunan berkelanjutan yang dimasukkan ke dalam
seluruh proses pembelajaran akan memperkaya substansi pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan tematik dan saintifik.
2. Menciptakan kebersamaan warga sekolah dan kondisi belajar mengajar yang lebih
nyaman dan kondusif.
3. Menjadi tempat pembelajaran tentang nilai-nilai pemeliharaan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang baik dan benar bagi warga sekolah dan masyarakat sekitar.
4. Meningkatkan kemampuan pengelolaan sekolah terutama dalam hal peningkatan
efisiensi penggunaan dana operasional sekolah melalui penghematan dan
pengurangan konsumsi dari berbagai sumber daya dan energi.
2) Keuntungan Bagi Pemerintah
1. Mendukung pencapaian standar kompetensi/ kompetensi dasar dan kompetensi
lulusan (SKL) pendidikan dasar secara nasional.
2. Meningkatkan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup melalui
kegiatan pengendalian pencemaran, kerusakan dan pelestarian fungsi lingkungan di
sekitar sekolah.
3. Sikap/perilaku, pengetahuan dan keterampilan pengelolaan dan pelestarian
lingkungan yang terbentuk akan menjamin keberlangsungan pembangunan di
Indonesia.
3) Keuntungan Bagi Masyarakat
1. Program Sekolah AGSI akan membentuk sikap, pengetahuan dan keterampilan siswa
dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan oleh karena itu pengelolaan dan
pelestarian lingkungan di level masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat akan
lebih mudah dilakukan.
17
2. Pogram AGSI dijalankan dengan konsep partisipatif dimana seluruh pemangku
kepentingan sekolah terlibat maka lingkungan tempat tinggal yang berada di sekitar
sekolah akan lebih terjaga dan terkelola dengan lebih baik.
Pengimplementasian AGSI dilakukan oleh seluruh anggota sekolah, yaitu kepala sekolah,
guru, tenaga kependidikan sesuai dengan tugas masing-masing, siswa dan pemangku
kepentingan lainnya. Bentuk struktur organisasi pengelola AGSI dapat dilihat pada bagan di
bawah ini:
Bagan 2.2.2
Sumber: Guideline Adiwiyata Green School Indonesia (2015)
1. Penanggung Jawab AGSI
Kepala Sekolah merupakan pihak yang bertanggung jawab dalam keseluruhan
program. Perannya adalah sebagai pengambil kebijakan dan keputusan sekaligus
sebagai pembina atau penasehat. Penanggung jawab juga bertugas
mengkoordinasikan program AGSI dengan seluruh stakeholder yang terlibat, baik
dalam internal sekolah maupun eksternal seperti instansi/ dinas terkait dan pihak
swasta.
2. Koordinator Pelaksana AGSI
Koordinator pelaksana AGSI adalah guru yang ditunjuk dan diberi tugas sebagai
koordinator seluruh kegiatan mulai dari perencanaan dan pelaksana program
termasuk kegiatan ekstrakurikuler yang terkait dengan AGSI serta melakukan
PENANGGUNGJAWAB
KEPALA SEKOLAH
PELAKSANA
PEMBELAJARAN
GURU
KOORDINATOR
PELAKSANA AGSI
GURU TERPILIH
ADMINISTRATOR
TENAGA KEPENDIDIKAN
SISWA PENGGERAK
18
evaluasi terhadap pelaksanaan AGSI. Koordinator Pelaksanan AGSI bertugas
menggerakkan seluruh anggota sekolah untuk terlibat secara aktif dalam pelaksanaan
program AGSI.Koordinator Pelaksana AGSI dipilih oleh warga sekolah melalui rapat
sekolah.
3. Pelaksana Pembelajaran
Pelaksana proses pembelajaran adalah tenaga pendidik/ guru bertugas
mengimplementasikan integrasi AGSI dalam proses pembelajaran. Dalam
pelaksanaannya guru harus membuat perencanaan RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran), melaksanakan proses pembelajaran sesuai dengan RPP yang telah
dibuat dan melaksanakan evaluasi terhadap proses pembelajaran. Guru juga bertugas
mendampingi siswa melaksanakan kegiatan AGSI dalam kegiatan sehari-hari di
sekolah. Peran guru adalah memastikan jika integrasi isu pembangunan berkelanjutan
ke dalam proses pembelajaran cukup efektif membentuk pemahaman siswa,
keterampilan dan sikap siwa yang mendukung pembangunan berkelanjutan.
4. Siswa Penggerak
Siswa adalah komponen utama yang akan menjalankan program AGSI dibawah
pengawasan guru dan penanggung jawab. Untuk menggerakkan seluruh siswa
dibutuhkan keberadaan kelompok siswa aktif atau siswa penggerak yang bertanggung
jawab secara langsung dalam pelaksanaan program AGSI. Siswa penggerak tersebut
bertugas mensosialisasikan program AGSI yang sedang dijalankan sekolah kepada
seluruh siswa dan mengkoordinir teman-temannya untuk turut berpartisipasi secara
aktif menjalankan program AGSI.
5. Tenaga Kependidikan (Karyawan/staf)
Selain proses implementasi program, juga diperlukan penyelesaian secara
administratif untuk kelancaran program. Dalam hal ini partisipasi aktif tenaga
kependidikan sangat diperlukan. Seluruh siswa memiliki kewajiban untuk
menjalankan program lingkungan yang diberlakukan sekolah.
Prinsip pembelajaran AGSI dikembangkan berdasarkan Kurikulum 2013 untuk
sekolah dasar yaitu (KNIU, 2015):
1. Berpusat pada peserta didik dimana pengembangan kompetensi peserta didik
disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan
19
peserta didik serta tuntutan lingkungan. Siswa diberi kebebasan dalam
mengkonstruksikan pemikiran, pengembangan konsep dan temuan. Siswa
dibiasakan mengatur dirinya untuk mendapatkan fakta-fakta yang terjadi.
Guru hanya sebagai fasilitator, waktu belajar didominasi oleh siswa, guru
mendorong siswa untuk aktif, bertanggung jawab dalam proses-proses
penemuan pembelajaran mereka sendiri.
2. Pendidikan yang interdisiplin dan holistik, pendidikan pembangunan
berkelanjutan ada di berbagai mata pelajaran, tidak hanya ada di satu subjek.
Program AGSI di sekolah dapat didekati dalam berbagai disiplin ilmu atau
dipandang sebagai suatu disiplin ilmu tersendiri, sehingga dalam pelaksanaan
di sekolah, baik dipandang sebagai multidisiplin maupun monodisiplin ilmu,
metode dan pendekatan yang digunakan dapat bersifat integratif atau
monolitik.
3. Pendidikan yang menggunakan pendekatan beragam metode demokratis;
beragam metode demokratis seperti seni drama, debat, brainstorming, FGD
dan beragam metode lainnya. Fasilitator dan peserta didik bekerja dan
bermain bersama untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran.
4. Berpikir mendalam (reflection) melalui mendengarkan, berbicara, menulis,
dan kreativitas seni yang merupakan alat penting dalam proses berpikir
mendalam.
5. Pendidikan dalam beragam perspektif yang berbeda, yaitu perspektif etis,
historis dan internasional. Beragam cara pandang tersebut dapat saling
bertentangan atau saling melengkapi.
6. Pendidikan yang mengedepankan pendekatan kultur lokal, isu lokal di
samping isu global dan menggunakan bahasa yang dapat dimengerti oleh
semua pihak.
7. Pendidikan lingkungan hidup dalam program AGSI dengan pendekatan
integratif. Dalam pendekatan ini, materi yang dipelajari oleh peserta didik
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran yang relevan pada kurikulum yang
berlaku. Dengan pendekatan ini, maka diperlukan dukungan strategis maupun
20
dukungan teknis dari lembaga terkait baik pada tingkat penyusun kebijakan
maupun pada tingkat pelaksana.
2.3 Kerangka Berpikir
2.4 Penelitian Terdahulu
Pembahasan mengenai implementasi sebuah program tentunya bukan hal baru karena
telah ada penelitian terdahulu yang ditulis oleh beberapa orang.
Pada penelitian skripsi milik Pradita tahun 2016, mahasiswi Fakultas Ilmu Pendidikan,
Universitas Negeri Yogyakarta, ia membahas “Implementasi Program Sekolah Sehat di SD N
Tegalrejo 1 Yogyakarta”. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif
dan menggunakan data primer dan sekunder yang kemudian dianalisis dengan teori implementasi
kebijakan. Hasilnya adalah program Sekolah Sehat di SD N Tegalrejo 1 Yogyakarta merupakan
kebijakan dari UKS (Usaha Kesehatan Sekolah), dalam pembinaan dan pengembangan UKS di
Sekolah SD N Tegalrejo 1 berpedoman pada Trias UKS yaitu Pendidikan Kesehatan, Pelayanan
Kesehatan dan Pembinaan Lingkungan. Pelaksanaan program telah didukung dengan komunikasi
UNESCO Indonesia
KNIU
AGSI
Implementasi AGSI pada
lima sekolah dasar di
Mataram tahun 2014-2016
- Teori Liberalisme
Institusional
- Pilar-pilar pendidikan
UNESCO
21
dari komponen internal dan eksternal, sumber daya manusia yang sejalan dengan program,
sumber keuangan yang berasal dari berbagai sumber, komitmen dari seluruh pihak dan struktur
birokrasi yang sudah baku sesuai dengan TPU UKS. Faktor pendukung dalam hal ini adalah
komitmen dan dukungan dari seluruh pihak. Sedangkan faktor penghambatnya adalah kesadaran
orang tua/masyarakat tentang peraturan tata tertib sekolah masih kurang, kesadaran siswa tentang
makanan sehat masih kurang, serta adanya keterbatasan waktu dari petugas puskesmas untuk
mensosialisasikan/membimbing siswa tentang pendidikan kesehatan.
Penelitian kedua diambil dari artikel pada sebuah jurnal yang ditulis oleh Rahmah,
Indradi, dan Riyanto pada tahun 2014. Ketiganya merupakan mahasiswa Fakultas Ilmu
Administrasi, Universitas Brawijaya yang membahas “Implementasi Program Sekolah
Adiwiyata (Studi Pada SDN Manukan Kulon III/540 Kota Surabaya)”. Jenis penelitian yang
digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif dan menggunakan data primer dan sekunder
yang dianalisis dengan konsep administrasi pendidikan dan kebijakan publik, dan teori
implementasi kebijakan. Hasilnya adalah kebijakan tentang perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang dibuat pemerintah melalui pendidikan akan terlaksana dengan baik dan
mencapai penghargaan Adiwiyata. Akan tetapi dalam penerapan program sekolah Adiwiyata
SDN Manukan Kulon III/540 mengalami hambatan yang mana kurang kompak antar guru dalam
menjalankan kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup serta adanya tahap
renovasi yang merusak sebagian hasil dari kegiatan pengelolaan dan perlindungan lingkungan
hidup.
Penelitian yang akan peneliti lakukan memiliki kesamaan dengan dua penelitian di atas,
yakni dalam hal jenis penelitian dan jenis data. Akan tetapi dari segi pembahasan tentunya
berbeda karena peneliti akan membahas “Implementasi AGSI (Adiwiyata Green School of
Indonesia) dalam Pendidikan Anak Sekolah Dasar di Mataram Pada Tahun 2014-2016”. Adapun
perbedaan lainnya adalah batasan wilayah serta penggunaan teori. Implementasi AGSI yang
tidak lepas dari peran KNIU di dalamnya akan dianalisis menggunakan teori liberalisme
institusional. Selanjutnya, pilar-pilar pendidikan UNESCO akan digunakan untuk menjelaskan
dampak dan efektivitas AGSI.