1 Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Liberalisme Institusionalisme Liberalisme dalam Hubungan Internasional muncul sekitar abad ke-17, dipelopori oleh John Locke yang melihat potensi yang besar bagi kemajuan manusia dalam civil society dan perekonomian kapitalis, keduanya dapat berkembang di negara-negara yang menjamin kebebasan individu (Jackson & Sorensen, 1999). Setelah Perang Dunia II berakhir, liberalisme terbagi ke dalam empat aliran, yaitu: liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi, liberalisme institusional, dan liberalisme republikan (Nye, Jr., 1988; Keohane, 1989a; Zacher dan Matthew, 1995). Akan tetapi peneliti hanya akan membahas liberalisme institusional yang mana dipakai sebagai landasan teori dari penelitian ini. Liberalisme institusional mengambil pemikiran terdahulu mengenai manfaat dari institusi internasional. Mantan Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson memiliki visi untuk mengubah hubungan internasional dari ‘hutan’ politik kekuasaan yang kacau ke ‘kebun binatang’ yang diatur dan damai. Perubahan ini dapat dicapai dengan membentuk organisasi internasional dan yang paling penting adalah LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Menurut liberalisme institusional, institusi internasional dipercaya dapat membuat kerjasama lebih mudah. Institusi internasional lebih dari sekedar ciptaan negara kuat. Mereka merupakan kepentingan yang independen dan dapat memajukan kerjasama antarnegara (Keohane 1989a; Acharya dan Johnston, 2007). Institusi internasional bagi kaum liberalisme institusional merupakan organisasi internasional atau seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara dalam bidang tertentu. Institusi dibentuk dengan tujuan untuk mengelola negara yang tergabung di dalamnya agar taat pada aturan yang dibuat bersama demi kepentingan bersama. Melalui institusi, segala kepentingan setiap negara dapat dikoordinasikan untuk membentuk aturan bersama yang disepakati. Adapun asumsi pokok dari liberalisme institusional adalah sebagai berikut: 1. Negara merupakan aktor kunci dalam hubungan internasional, namun bukan satu- satunya aktor yang paling berpengaruh. Negara merupakan aktor yang rasional dan selalu berusaha untuk memaksimalkan kepentingan mereka di berbagai sektor.
21
Embed
Bab II Tinjauan Pustaka - UKSW · 2020. 1. 22. · 1 Bab II Tinjauan Pustaka . 2.1 Kerangka Teori . 2.1.1 Liberalisme Institusionalisme . Liberalisme dalam Hubungan Internasional
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
Bab II
Tinjauan Pustaka
2.1 Kerangka Teori
2.1.1 Liberalisme Institusionalisme
Liberalisme dalam Hubungan Internasional muncul sekitar abad ke-17, dipelopori oleh
John Locke yang melihat potensi yang besar bagi kemajuan manusia dalam civil society dan
perekonomian kapitalis, keduanya dapat berkembang di negara-negara yang menjamin
kebebasan individu (Jackson & Sorensen, 1999). Setelah Perang Dunia II berakhir, liberalisme
terbagi ke dalam empat aliran, yaitu: liberalisme sosiologis, liberalisme interdependensi,
liberalisme institusional, dan liberalisme republikan (Nye, Jr., 1988; Keohane, 1989a; Zacher dan
Matthew, 1995). Akan tetapi peneliti hanya akan membahas liberalisme institusional yang mana
dipakai sebagai landasan teori dari penelitian ini.
Liberalisme institusional mengambil pemikiran terdahulu mengenai manfaat dari institusi
internasional. Mantan Presiden Amerika Serikat, Woodrow Wilson memiliki visi untuk
mengubah hubungan internasional dari ‘hutan’ politik kekuasaan yang kacau ke ‘kebun
binatang’ yang diatur dan damai. Perubahan ini dapat dicapai dengan membentuk organisasi
internasional dan yang paling penting adalah LBB (Liga Bangsa-Bangsa). Menurut liberalisme
institusional, institusi internasional dipercaya dapat membuat kerjasama lebih mudah. Institusi
internasional lebih dari sekedar ciptaan negara kuat. Mereka merupakan kepentingan yang
independen dan dapat memajukan kerjasama antarnegara (Keohane 1989a; Acharya dan
Johnston, 2007). Institusi internasional bagi kaum liberalisme institusional merupakan organisasi
internasional atau seperangkat aturan yang mengatur tindakan negara dalam bidang tertentu.
Institusi dibentuk dengan tujuan untuk mengelola negara yang tergabung di dalamnya agar taat
pada aturan yang dibuat bersama demi kepentingan bersama. Melalui institusi, segala
kepentingan setiap negara dapat dikoordinasikan untuk membentuk aturan bersama yang
disepakati. Adapun asumsi pokok dari liberalisme institusional adalah sebagai berikut:
1. Negara merupakan aktor kunci dalam hubungan internasional, namun bukan satu-
satunya aktor yang paling berpengaruh. Negara merupakan aktor yang rasional dan
selalu berusaha untuk memaksimalkan kepentingan mereka di berbagai sektor.
2
2. Di dalam situasi yang kompetitif, negara berusaha untuk mendapatkan keuntungan
absolut melalui kerjasama. Tindakan yang rasional mengarahkan negara untuk
melihat nilai yang ada dalam kerjasama.
3. Hambatan terbesar dalam kerjasama adalah ketidakjujuran yang dilakukan oleh
negara lain.
4. Kerjasama tidak terlepas dari perselisihan, tetapi negara akan memberikan kesetiaan
dan sumber dayanya kepada institusi jika hal itu dilihat menguntungkan satu sama
lain dan menjadi peluang bagi negara untuk mengamankan kepentingan mereka.
(Lamy, 2011)
Institusi internasional yang diyakini dapat memajukan kerjasama antar negara dapat
dilihat melalui pendekatan ilmiah, behavioralistik. Langkah empiris perluasan institusionalisasi
antar negara dapat dipakai karena perluasan tersebut membantu untuk meningkatkan kerjasama.
Perluasan yang dimaksud dapat diukur dengan dua dimensi, yaitu ruang lingkup dan kedalaman.
Menurut Keohane, peran institusi adalah:
1. Menyediakan aliran informasi dan kesempatan bernegosiasi.
2. Meningkatkan kemampuan pemerintah dalam memonitor kekuatan lain dan
mengimplementasikan komitmennya sendiri – oleh karena itu kemampuannya
membuat komitmen yang dapat dipercaya berada di urutan pertama.
3. Memperkuat harapan yang muncul tentang kesolidan dari kesepakatan internasional.
Bagi liberalis institusionalis, hubungan dalam ranah internasional yang dilembagakan
memberikan pengaruh terhadap perilaku pemerintahan dimana pola kerjasama dan perselisihan
dapat dipahami dalam konteks institusi yang membantu menjelaskan arti pentingnya tindakan
yang diambil oleh negara. Pemerintah dapat mengambil tindakan sesuai dengan peraturan
institusi. Institusi dapat membantu negara-negara di dalamnya untuk saling mendapatkan
keuntungan.
Teori liberalisme institusional membantu peneliti untuk menganalisis implementasi AGSI
dalam pendidikan anak sekolah dasar di Mataram pada tahun 2014-2016 yang di dalamnya
terdapat peran KNIU lalu dihubungkan pada korelasi antara kepentingan Indonesia yang dalam
hal ini adalah pendidikan dan rezim internasional UNESCO. Dikatakan demikian karena KNIU
akan menyelaraskan dan mengkoordinasikan kepentingan bersama baik dari Indonesia maupun
3
UNESCO. KNIU membantu menjembatani UNESCO dengan pemerintah Indonesia untuk
implementasi program-program UNESCO, khususnya di Bidang Pendidikan. Peneliti akan
melihat bagaimana KNIU memainkan perannya dalam AGSI yang merupakan program turunan
dari ESD sebagai upaya untuk mendorong perkembangan pendidikan anak di Indonesia.
2.2 Kerangka Konsep
2.2.1 Pilar-pilar Pendidikan UNESCO
UNESCO memiliki empat pilar yang menjadi prinsip dasar dalam pendidikan, yaitu:
1) Learning to know: adalah proses pembelajaran yang dibutuhkan agar para peserta didik dapat
lebih memahami dunia dan kompleksitasnya (UNESCO, 2017). Proses ini memungkinkan
para peserta didik merasakan, dan menetapkan bagaimana cara memperoleh pengetahuan.
Proses ini dapat memungkinkan tertanamnya sikap ilmiah, yaitu sikap ingin tahu sehingga
menimbulkan rasa mampu untuk mencari jawaban atas masalah yang dihadapi secara ilmiah
(Kunandar, 2007). Dalam learning to know terkandung beberapa prinsip, yaitu diarahkan
untuk mampu mengembangkan ilmu, memanfaatkan berbagai sumber pembelajaran, dan
jaringan masyarakat.
2) Learning to do: merupakan proses yang memberikan keterampilan yang memungkinkan
peserta didik untuk berpartisipasi secara efektif dalam ekonomi global dan masyarakat
(UNESCO, 2017). Proses pembelajaran ini merupakan hasil dari learning to know, yaitu
action in thinking, dan learning by doing. Para peserta didik akan berusaha untuk terus
belajar agar dapat memperbaiki dan mengembangkan keterampilan serta mengembangkan
konsep intelektualitasnya (Ma’arif, 2005).
3) Learning to be: merupakan proses pembelajaran yang memberikan keterampilan analitis dan
keahlian sosial agar memungkinkan peserta didik untuk mengembangkan potensi psiko-
sosial mereka sepenuhnya, baik secara afektif maupun secara fisik (UNESCO, 2017). Dalam
proses ini, pendidikan harus berhubungan dengan setiap aspek dari potensi pribadi seperti
mengingat, keterampilan berkomunikasi, kemampuan fisik, rasa estetis, dan menalar
(Mudyahardjo, 1998). Para peserta didik akan diarahkan melalui learning to be agar mereka
menjadi ilmuwan sehingga mereka mampu menggali dan menentukan nilai kehidupannya
sendiri dalam hidup bermasyarakat sebagai hasil belajarnya.
4
4) Learning to live together: untuk menunjukkan nilai-nilai yang tersirat dalam hak asasi
manusia, prinsip-prinsip demokrasi, pemahaman dan rasa hormat antar budaya dan
perdamaian di semua lapisan masyarakat agar memungkinkan para peserta didik dan
masyarakat dapat hidup dalam damai dan harmonis (UNESCO, 2017). Proses ini
mengarahkan individu untuk hidup bermasyarakat dan menjadi orang berpendidikan yang
bermanfaat bagi diri sendiri dan masyarakat (Ma’arif, 2005).
2.2.2 UNESCO dan KNIU
UNESCO merupakan sebuah organisasi khusus yang menjadi bagian dari PBB.
UNESCO telah berdiri sejak tahun 1945 dan bertujuan agar dapat berkontribusi dalam keamanan
dan perdamaian melalui kerjasama antar negara-negara anggota dalam bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan komunikasi sebagai tindakan untuk menghormati keadilan dan
hukum bagi hak asasi manusia dan kebebasan bagi seluruh masyarakat di dunia secara inklusif.
UNESCO bermarkas besar di UNESCO House, Place de Fontenoy, Paris, Prancis dan memiliki
195 negara anggota (Blanchfield & Browne, 2013). Visi UNESCO tertuang dalam Konstitusi
UNESCO: “Since wars begin in the mind of men, it is in the minds of men that the defenses of
peace must be constructed” (Oleh karena perang diawali dari pikiran manusia, maka dalam
pikiran manusialah upaya menjaga perdamaian harus dibangun) (KNIU, 2008). Kemudian misi
UNESCO adalah menciptakan perdamaian melalui pengetahuan, dengan melaksanakan strategi
yang berdasarkan pada:
1. Promosi prinsip dan norma universal yang didasarkan atas shared values dalam
kompetensi UNESCO sebagai upaya untuk melindungi dan mempertahankan
common values.
2. Promosi keragaman dengan menghormati hak asasi manusia.
3. Pemberdayaan dan penguatan partisipasi dalam lingkungan masyarakat intelektual
melalui pemerataan, peningkatan, dan penyebaran penggunaan ilmu pengetahuan.
(KNIU, 2016)
Perang Dunia II yang pada saat itu terjadi telah menimbulkan berbagai tekanan dan
bahaya. Selain itu, dampak dari Perang Dunia II adalah timbulnya berbagai ketidaktahuan
terhadap bagaimana cara pandang masyarakat tentang hidup, adat atau kebiasaan, serta sejarah
kemanusiaan. Oleh karena itu dibutuhkan kesamaan pemikiran bahwa dengan menyebarluaskan
5
hal-hal tentang kebudayaan serta pendidikan mengenai kemanusiaan untuk keadilan dan
kebebasan serta perdamaian merupakan sebuah hal mendasar yang diperlukan. Dengan hal ini,
setiap negara akan memiliki semangat untuk saling membantu dan memperhatikan (Huxley,
1946). Pemerintahan di Eropa kemudian mengadakan sebuah pertemuan di Inggris dan
menghadiri konferensi para menteri yang saling beraliansi yang pada saat itu membahas tentang
aspek pendidikan. Pada konferensi tersebut terdapat sebuah usulan agar membentuk sebuah
organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan budaya perdamaian, membentuk solidaritas
intelektual dan juga moral umat manusia serta mencegah terjadinya kembali perang dunia.
UNESCO resmi berdiri dengan ditandatanganinya Konstitusi UNESCO di London pada tanggal
16 November 1945.
Pada tanggal 27 Mei 1950 Indonesia resmi menjadi anggota UNESCO. Selanjutnya pada
tanggal 20 Oktober 1952 dibentuklah Panitia Nasional Indonesia untuk UNESCO. Kemudian
pada tanggal 17 Februari 1956 Panitia Nasional Indonesia untuk UNESCO berubah nama
menjadi Lembaga Nasional Indonesia. Sidang Umum UNESCO ke-14 menghasilkan resolusi
tentang perluasan tugas dari Komite Nasional, yakni sebagai badan penasehat, penghubung,
informasi dan pelaksana. Pada tanggal 15 April 1967 Lembaga Nasional Indonesia bersama
dengan UNESCO menandatangani pendirian UNESCO Regional Bureau of Science di Jakarta.
Pada tanggal 27 April 1972 KWRI (Kantor Wilayah RI) UNESCO berdiri dan bertempat di
Gedung Miollis UNESCO Paris. Selanjutnya pada tanggal 11 Juli 1977 Lembaga Nasional
Indonesia untuk UNESCO berubah menjadi KNIU sampai dengan sekarang dan mengangkat
Drs. Soepojo Padmodipoetro, M.A sebagai Duta Besar RI untuk UNESCO juga sebagai Ketua
Harian KNIU yang pertama. Pada era 1980-an, tepatnya tanggal 10 Maret 1984 disusunlah
perincian tugas, dan tata kerja Komisi Pleno, Komisi Harian, dan Sekretariat KNIU. KNIU
bertugas untuk melancarkan usaha dan mengkoordinasikan kegiatan di bidang pendidikan, ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan komunikasi dalam rangka program pemerintah dan program
UNESCO (KNIU, 2016). KNIU merupakan badan pemerintah non-struktural yang berada di
lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menghubungkan UNESCO dan
Pemerintah Republik Indonesia. Dari seluruh organisasi PBB yang ada, UNESCO merupakan
satu-satunya yang memandatkan negara anggotanya untuk membentuk Komisi Nasional
sebagaimana ketentuan yang tertuang dalam Piagam Komisi Nasional untuk UNESCO. Kegiatan
UNESCO di Indonesia direalisasikan oleh beberapa kementerian dan lembaga. Koordinasi atas
6
seluruh kegiatan tersebut menjadi tanggung jawab KNIU. KNIU terdiri atas: Komisi Pleno,
Komisi Harian, Empat Program dan beberapa Komite Khusus, serta sebuah Sekretariat. Komisi
Pleno mencakup pejabat eselon satu dari 18 kementerian serta Ketua dan Ketua Harian KNIU.
Adapun dua Koordinator Nasional di KNIU, yaitu Koordinator Nasional Education for
Sustainable Development (ESD) dan Koordinator Nasional Associated Schools Project Network
(ASPnet). Selain itu terdapat Sekretariat yang mencakup empat seksi dengan anggaran yang
disediakan oleh Kemdikbud, sementara anggaran untuk pelaksanaan program UNESCO
disediakan oleh kementerian terkait. Fungsi Komisi Nasional menurut Piagam Komisi Nasional
untuk UNESCO adalah terlibat dalam kegiatan UNESCO, badan-badan, lembaga-lembaga,
organisasi dan individu yang bekerja untuk kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan, budaya dan
informasi sehingga setiap negara anggota dapat berkontribusi dalam perdamaian, keamanan, dan
kesejahteraan umat manusia. Selain itu, negara anggota juga dapat berperan dalam meningkatkan
dan merumuskan program-program UNESCO. Untuk mencapai tujuan tersebut, Komisi Nasional
bekerjasama, mendorong partisipasi, menyebarluaskan informasi tentang tujuan program dan
kegiatan UNESCO dengan pemerintah maupun lembaga non-pemerintah. Mandat ini sejalan
dengan penjelasan tugas KNIU yang diamanatkan oleh Keputusan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia No. 0257/P/1977 Pasal 2 yaitu melancarkan usaha dan
mengkoordinasikan kegiatan di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan
komunikasi dalam rangka program pemerintah dan program UNESCO. Di dunia ini terdapat dua
model Komisi Nasional untuk UNESCO, yakni sebagai berikut:
1. Komisi Nasional untuk UNESCO yang berada di bawah naungan kementerian. Pada
model ini terbagi lagi dalam empat macam (tergantung dengan kebijakan masing-masing
negara anggota):
a. Komisi Nasional untuk UNESCO yang dinaungi oleh Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan.
b. Komisi Nasional untuk UNESCO yang dinaungi oleh Kementerian Pendidikan
c. Komisi Nasional untuk UNESCO yang dinaungi oleh Kementerian Kebudayaan
d. Komisi Nasional untuk UNESCO yang dinaungi oleh Kementerian Luar Negeri.
2. Komisi Nasional untuk UNESCO yang berdiri sendiri, tidak terikat dengan pemerintah
atau dapat disebut independen.
7
Di Indonesia, Komisi Nasional untuk UNESCO tidak berdiri secara independen melainkan
berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
UNESCO percaya bahwa melalui pendidikan tranformasi kehidupan dapat tercapai dan
oleh karena itu menjadi tujuan utama dari misi UNESCO dalam membangun perdamaian,
memberantas kemiskinan, dan mendorong pembangunan berkelanjutan. UNESCO menilai
bahwa pendidikan merupakan hak asasi manusia sepanjang hidup sehingga sudah semestinya
agar semua orang dapat mengakses pendidikan khususnya anak-anak. Sebagai koordinator
Agenda Pendidikan 2030, UNESCO sangat menjunjung tinggi upaya pencapaian TPB (Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan), khususnya TPB ke-4 yang mana menjamin kualitas pendidikan
yang inklusif dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua.
Pada aspek pendidikan, UNESCO memiliki salah satu program yaitu Pendidikan untuk
Pembangunan Berkelanjutan atau ESD. ESD merupakan proses pembelajaran atau pendekatan
terhadap pengajaran yang didasarkan pada prinsip-prinsip keberlanjutan dengan memusatkan
perhatian pada semua tingkat dan jenis pembelajaran dalam rangka memberikan pendidikan yang
berkualitas dan meningkatkan pengembangan pembangunan manusia yang berkelanjutan. ESD
pertama kali dijelaskan pada Bab 36 Agenda 21 yang dihasilkan dalam Deklarasi Lingkungan
Hidup Konferensi Tingkat Tinggi di Rio de Janeiro 1992. Ada empat prioritas dalam