8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Fraktur
2.1.1. Pengertian Fraktur.
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang
rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Sjamsuhidajat & Jong,
2011).
Fraktur atau patah tulang adalah suatu kondisi dimana kontinuitas
jaringan tulang dan/atau tulang rawan terputus secara sempurna atau
sebagian yang pada disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis
(Smeltzer & Bare, 2013). Fraktur dapat terjadi akibat peristiwa trauma
langsung, tekanan yang berulang-ulang, dan kelemahan abnormal pada
tulang (Muttaqien, 2008). Fraktur diartikan secara ringkas dan umum
sebagai patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik, dan
bisa terjadi akibat adanya tekanan yang berlebihan dibandingkan
kemampuan tulang dalam menahan tekanan (Helmi, 2012). Akibat tulang
tidak mampu menahan tekanan yang berlebihan menyebabkan fungsi dan
struktur tulang menjadi rusak. Kelemahan tulang yang terjadi secara
abnormal disebut juga fraktur patalogis (Solomon, 2010).
9
2.1.2. Klasifikasi
Klasifikasi Fraktur Fraktur dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka
dan tertutup tergantung pada luka yang menghubungkan fraktur dengan
lingkungan luar. Fraktur terbuka ditunjukkan dengan fraktur yang
terhubung dengan lingkungan luar, kulit yang sobek, tulang yang terlihat,
dan menyebabkan cidera jaringan lunak sedangkan fraktur 16 tertutup
ditandai dengan fraktur yang tidak terhubung denganlingkungan luar,
kulit yang tetap utuh atau tidak sobek namun tetap terjadi pergeseran
tulang didalamnya (Smeltzer & Bare, 2013)
Fraktur juga dapat diklasifikasikan sebagai fraktur complete dan
incomplete (Lewis, 2011).
2.1.2.1. Fraktur complete berarti fraktur yang mengenai seluruh tulang
2.1.2.2. fraktur incomplete adalah fraktur yang patahan tulangnya
hanya sebagian tetapi tulang masih tetap utuh
Berdasarkan bentuk patahan tulang atau garis patah tulang, fraktur dapat
diklasifikasikan menjadi linear, oblik, transversal, longitudinal, dan spiral
(Lewis, 2011).
Fraktur juga diklasifikasikan kedalam fraktur displaced dan non
displaced. Fraktur displaced ditandai dengan ujung tulang yang patah
terpisah satu sama lain dan keluar dari posisi normal misalnya fraktur
comminuted dan oblik. Fraktur non displaced ditandai dengan periosteum
10
tetap utuh dan tulang masih dalam posisi normal atau masih sejalan
misalnya transversal, greenstick, dan spiral (Lewis, 2011).
2.1.3. Etiologi Fraktur.
Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan
puntir mendadak dan kontraksi otot yang ekstrim. Patah tulang
mempengaruhi jaringan sekitarnya mengakibatkan oedema jaringan
lunak, perdarahan otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon,
kerusakan saraf dan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami
cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau gerakan fragmen
tulang (Smeltzer & Bare, 2010).
2.1.4. Faktor - faktor yang mempengaruhi terjadinya fraktur menurut
Helmi (2012)
21.4.1. Faktor ekstrinsik yaitu meliputi kecepatan dan durasi trauma yang
mengenai tulang, arah serta kekuatan tulang.
21.4.2. Faktor intrinsik yaitu meliputi kapasitas tulang mengabsorpsi
energi trauma, kelenturan, densitas serta kekuatan tulang.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti
kecelakan mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah
tulang dipengaruhi oleh arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang
11
melawan tulang, usia penderita dan kelenturan tulang. Tulang yang rapuh
karena osteoporosis dapat mengalami patah tulang
2.1.5. Tipe fraktur ekstrimitas bawah.
Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya
disebabkan oleh kondisi trauma (Helmi, 2012).
2.1.5.1. Fraktur collum femur.
2.1.5.2. Fraktur femur.
2.1.5.3. Fraktur supra kondiler femur.
2.1.5.4. Fraktur patella.
2.1.5.5. Fraktur plateu tibia.
2.1.5.6. Fraktur cruris.
2.1.5.7. Fraktur ankle.
2.1.5.8. Fraktur metatarsal.
2.1.5.9. Fraktur phalang proksimal, medial dan distal.
2.1.6. Manifestasi klinis fraktur
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan .
warna (Suzanne.C.Smeltzer, 2010).
2.1.6.1. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang
diimobilisasi.
12
2.1.6.2. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang
bisa diketahui dengan membandingkan dengan bagian yang
normal.
2.1.6.3. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang
melekat diatas maupun dibawah tempat fraktur.
2.1.6.4. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat
gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
2.1.6.5. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan
sinar X. Setelah mengalami cedera, pasien akan mengalami kebingungan
dan tidak menyadari adanya fraktur, serta berusaha berjalan dengan
tungkai yang patah (Suzanne.C.Smeltzer, 2010). Nyeri berhubungan
dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan menghindari
gerakan antar fragmen tulang dan sendi disekitar fraktur.
13
2.1.7. Pathway fraktur
Pathway fraktur. pathway fraktur (Surangga, 2013)
2.1.8. Tahap penyembuhan fraktur.
Fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak, tanpa suatu mekanisme
alami untuk menyatu. Namun tidak benar bila dianggap bahwa penyatuan
akan terjadi jika suatu fraktur dibiarkan tetap bergerak bebas. Sebagian
14
besar fraktur dibebat, tidak untuk memastikan penyatuan, tetapi untuk
meringankan nyeri, memastikan bahwa penyatuan terjadi pada posisi
yang baik dan untuk melakukan gerakan lebih awal dan mengembalikan
fungsi (Smeltzer & Bare, 2010).
Proses penyembuhan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang
terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Sjamsuhidayat (2011),
penyembuhan dimulai dengan lima tahap, yaitu sebagai berikut :
2.1.8.1. Tahap kerusakan jaringan dan pembentukan hematom (1-3 hari).
Pada tahap ini dimulai dengan robeknya pembuluh darah dan
terbentuk hematoma di sekitar dan di dalam fraktur. Tulang pada
permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah, akan
mati sepanjang satu atau dua milimeter. Hematom ini kemudian
akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan fibrosis dan
vaskuler sehingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis
dengan kapiler di dalamnya
2.1.8.2. Tahap radang dan proliferasi seluler (3hari–2minggu).
Setelah pembentukan hematoma terdapat reaksi radang akut
disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran
medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan
sel yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang
membeku perlahan-lahan diabsorbsi dan kapiler baru yang halus
berkembang ke dalam daerah tersebut.
15
2.1.8.3. Fase Pembentukan Kalus, pertumbuhan jaringan berlanjut dan
lingkaran pada tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai
celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang bergabung
dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur.
Waktu yang diperlukan agar fragmen tulang tergabung adalah 3-
4 minggu (Smeltzer & Bare, 2013).
2.1.8.4. Fase Penulangan Kalus/Osifikasi, yaitu proses pembentukan
kalus mulai mengalami penulangan dalam waktu 2-3 minggu
melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus
ditimbun sampai tulang benar-benar saling menyatu hingga
keras. Pada orang dewasa normal, kasus fraktur panjang
memerlukan waktu 3-4 bulan dalam proses penulangan
(Smeltzer & Bare, 2013).
2.1.8.5. Fase Remodelling/Konsolidasi, yaitu tahap akhir pada proses
penyembuhan fraktur. Tahap ini terjadi perbaikan fraktur yang
meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru
ke susunan struktural sebelum terjadinya patah tulang.
Remodelling memerlukan waktu berbulan-bulan hingga
bertahuntahun (Smeltzer & Bare, 2013).
2.1.8.6. Remodeling (6-12 bulan)
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.
Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan
16
kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorpsi dan pembentukan
tulang akan memperoleh bentuk 14 yang mirip bentuk
normalnya.
2.1.9. Komplikasi fraktur
2.1.9.1. Komplikasi awal (dini) Komplikasi ini terjadi segera setelah
terjadinya fraktur seperti syok hipovolemik, kompartemen
sindrom, emboli lemak yang dapat mengganggu fungsi
ekstremitas permanen jika tidak segera ditangani (Smeltzer &
Bare, 2013).
2.1.9.2. Komplikasi lanjut Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun setelah terjadinya fraktur pada pasien yang telah menjalani
proses pembedahan. Menurut kutipan dari Smeltzer dan Bare
(2013), komplikasi ini dapat berupa:
2.1.9.2.1. Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang
menetap dan penyakit degeneratif sendi pasca trauma.
2.1.9.2.2. Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur
yang tidak normal (delayed union, mal union, non
union), osteomielitis, osteoporosis, dan refraktur.
2.1.9.2.3. Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan ruptur
tendon lanjut.
17
2.1.9.2.4. Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu
saraf menebal akibat adanya fibrosis intraneural.
2.1.10. Penatalaksanaan fraktur
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (Joyce
M.Black, 2014).
2.1.10.1. Reduksi.
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada
kesejajaran dan rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara
tertutup, terbuka dan traksi tergantung pada sifat fraktur namun
prinsip yang mendasarinya tetap sama. Reduksi tertutup
dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang kembali
keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual.
Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan
pendekatan bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna
dalam bentuk pin, kawat, plat sekrew digunakan untuk
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan solid terjadi. Traksi digunakan untuk reduksi dan
imobilisasi. Menurut Joyce M Black (2014), traksi adalah
pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk
meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta
18
mengurangi deformitas. Traksi meliputi traksi kulit dan traksi
skeletal.
2.1.10.2. Immobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar
sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan
fiksasi interna atau eksterna. Fiksasi eksterna dapat
menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin dan
teknik gips. Fiksator interna dengan implant logam (ORIF).
2.1.10.3. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi (Rehabilitasi).
Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan
meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktifitas
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi
dan harga diri. Mobilisiasi pasien sedini mungkin pasca operasi
mempercepat proses pemulihan dan penyembuhan pasien
(Dudut, 2017).
2.2. Reduction Internal Fixation (ORIF).
2.2.1. Pengertian ORIF.
Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis operasi
dengan pemasangan internal fiksasi yang dilakukan ketika fraktur tersebut
tidak dapat direduksi secara cukup dengan close reduction, untuk
19
mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur (Potter & Perry,
2008). Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah prosedur
bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka untuk
mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah tulang,
fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk
mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Suzanne.C.Smeltzer,
2010).
Gambar 2.1 : ORIF tulang tibia dan fibula
20
2.2.2. Fungsi ORIF
Fungsi ORIF untuk mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap
menyatu dan tidak mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra
medullary nail, biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan
tipe fraktur transvers (Potter & Perry, 2008).
2.2.3. Indikasi dan Kontraindikasi ORIF.
Berikut adalah indikasi dan kontraindikasi ORIF menurut (Potter & Perry,
2008).
2.2.3.1. Indikasi
Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani
dengan metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang
memuaskan. Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal,
dan fraktur intraartikular disertai pergeseran. Fraktur avulsi
mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada struktur otot
tendon.
2.2.3.2. Kontra indikasi.
Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implan, jaringan
lunak diatasnya berkualitas buruk, terdapat infeksi adanya
fraktur comminuted yang parah yang menghambat rekonstruksi,
pasien dengan penurunan kesadaran, pasien dengan fraktur yang
21
parah dan belum ada penyatuan tulang pasien yang mengalami
kelemahan (malaise).
2.2.4. Keuntungan dan kerugian ORIF.
Berikut adalah keuntungan dan kerugian ORIF menurut Helmi (2012) :
2.2.4.1. Keuntungan.
Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar, ketelitian reposisi fragmen-
fragmen fraktur, kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah
dan saraf di sekitarnya, stabilitas fiksasi yang cukup memadai
dapat dicapai, perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus
tanpa komplikasi, potensi untuk mempertahankan fungsi sendi
yang mendekati normal serta kekuatan otot selama perawatan
fraktur.
2.2.4.2. Kerugian.
Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi
bahkan kematian akibat dari tindakan tersebut, penanganan
operatif memperbesar kemungkinan infeksi dibandingkan
pemasangan gips atau traksi, penggunaan stabilisasi logam
interna memungkinkan kegagalan alat itu sendiri, pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak, dan struktur
yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin akan terpotong
atau mengalami kerusakan selama tindakan operasi.
22
2.2.5. Perawatan post ORIF.
Perawatan dilakukan utnuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan
pada bagian yang sakit. Berikut ini merupakan perawatan pasien post
ORIF menurut Dudut (2017) :
2.2.5.1. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.
2.2.5.2. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan
pembengkak.
2.2.5.3. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat
kecemasannya tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan)
2.2.5.4. Latihan otot, pergerakan harus tetap dilakukan selama masa
imobilisasi tulang, tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar
dari pengecilan massa otot akibat latihan yang kurang.
2.2.5.5. motivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan
menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan
kepada klien.
2.3. Range Of Motion (ROM).
2.3.1. Pengertian.
Latihan Range of Motion (ROM) adalah latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan
menggerakan persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan
massa otot dan tonus otot (Potter & Perry, 2005). Range of motion adalah
23
gerakan dalam keadaan normal dapat dilakukan oleh sendi yang
bersangkutan (Suratun, 2008). Latihan Range of Motion (ROM)
merupakan istilah baku untuk menyatakan batas atau batasan gerakan
sendi yang normal dan sebagai dasar untuk menetapkan adanya
kelainanataupun untuk menyatakan batas gerakan sendi yang abnormal
(Arif, 2008).
2.3.2. Tujuan ROM.
Menurut Suratun (2008), tujuan dilakukan ROM yaitu untuk
meningkatkan atau mempertahankan fleksibilitas dan kekuatan otot,
mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan, mencegah kontraktur
dan kekakuan pada sendi.
2.3.3. Manfaat ROM.
Manfaat melakukan ROM yaitu dapat menentukan nilai kemampuan
sendi tulang dan otot dalam melakukan pergerakan, memperbaiki tonus
otot, memperbaiki tolernsi otot 10 untuk latihan, mencegah terjadinya
kekakuan sendi, memperlancar sirkulasi darah (Arif, 2008).
Prinsip pelaksanaan ROM.
Adapun prinsip latihan ROM menurut Kadek (2012), yaitu :
2.3.3.1. ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal 2 kali
sehari.
24
2.3.3.2. ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak
melelahkan pasien.
2.3.3.3. Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur
pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring.
2.3.3.4. Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM adalah
leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan kaki.
2.3.3.5. ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada
bagian-bagian yang di curigai mengalami proses penyakit.
2.3.3.6. Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah
mandi atau perawatan rutin telah di lakukan.
2.3.4. Jenis-jenis ROM.
Menurut Suratun (2008), terdapat 2 jenis ROM secara umum yaitu :
2.3.4.1. ROM Pasif.
Latihan ROM yang dilakukan pasien dengan bantuan perawat di
setiap gerakan. Perawat melakukan gerakan pers endianklien
sesuai dengan rentang gerak yang normal (klien pasif). Kekuatan
otot 50% Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan
tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi, pasien
dengan tirah baring total. Pada ROM pasif sendi yang digerakan
yaitu seluruh persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang
25
terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara
mandiri.
2.3.4.2. ROM aktif.
Perawat memberikan motivasi, dan membimbing klien dalam
melaksanakan pergerakan sendi secara mandiri sesuai dengan
rentang gerak sendi normal ( klien aktif ). Kekuatan otot 75 %.
Pada ROM aktif sendi yang digerakan adalah seluruh tubuh dari
kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendiri secara aktif.
2.3.5. Jenis-jenis gerakan dalam ROM.
Jenis-jenis gerakan dalam latihan Range of Motion (ROM) menurut Arif
(2008), yaitu :
2.3.5.1. Fleksi adalah gerakan melipat sendi dari keadaan lurus seperti
flexi lengan bawah dan flexi jari.
2.3.5.2. Ekstensi adalah gerakan meluruskan sendi dari keadaan terlipat,
keadaan lurus ini mengakibatkan ukuran lengan atas tungkai
menjadi lebih panjang dibanding dari keadaan terlipat. Duplikasi
terjadi untuk gerakan sendi kaki antara dorso flexi dan plantar
flexi, mana yang flexi mana yang extensi atau keduanya flexi.
Boleh digunakan istilah dorso flexi, plantar flexi atau flexi kaki =
dorso flexi atau extensi kaki = plantar flexi, karena dengan
26
extensi dimaksud disini ukuran seluruh tungkai menjadi lebih
panjang.
2.3.5.3. Hiperekstensi adalah gerakan yng melebihi rentang gerakan
ekstensi.
2.3.5.4. Rotasi adalah gerak putar pada sumbu panjang seluruh tungkai
kearah luar.
2.3.5.5. Supinasi adalah gerakan putar kearah luar dari lengan bawah dan
tangan sehingga telapak tangan kembali menghadap ke depan.
2.3.5.6. Pronasi adalah gerakan putar kearah dalam dari lengan bawah
dan tangan sehingga telapak tangan menghadap ke belakang.
2.3.5.7. Abduksi adalah gerakan pada bidang frontal untuk “membuka
sudut” terhadap garis tengah seperti gerakan merentangkan
lengan, merentangkan tungkai dan merentangkan jari-jari tangan.
2.3.5.8. Aduksi adalah gerakan pada bidang frental untuk menutup sudut
terhadap garis tengah. Gerakan ini merupakan gerakan yang
sebaliknya dari gerakan abduksi
27
Gambar 2.2 : Gerakan ROM 1
Gambar 2.3 : Gerakan ROM 2
28
Gambar 2.2 : Gerakan ROM 3
2.3.6. Tata cara pelaksanaan ROM.
Berikut merupakan tata cara pelaksanaan ROM menurut Suratun (2008),
yaitu :
2.3.6.1. Flexi dan Extensi Pergelangan tangan.
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
Atur posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi tubuh dan
siku menekuk dengan lengan.
Pegang tangan pasien dengan satu tangan dan tangan yang
lain memegang pergelangan tangan pasien.
Tekuk tangan pasien ke depan sejauh mungkin.
Catat perubahan yang terjadi.
29
2.3.6.2. Flexi dan extensi Siku.
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
Atur posisi lengan pasien dengan menjauhi sisi tubuh
dengan telapak tangan mengarah ke tubuhnya.
Letakkan tangan diatas siku pasien dan pegang tangannya
dengan tangan lainnya.
Tekuk siku pasien sehingga tangannya mendekat bahu.
Lakukan dan kembalikan ke posisi sebelumnya.
Catat perubahan yang terjadi.
2.3.6.3. Pronasi dan Supinasi lengan bawah.
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
Atur posisi lengan bawah menjauhi tubuh pasien dengan
siku menekuk.
Letakan satu tangan perawat pada pergelangan pasien dan
pegang tangan pasien dengan tangan lainnya.
Putar lengan bawah pasien sehingga telapaknya
menjauhinya.
Kembalikan keposisi semula.
Abduksi dan Adduksi.
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
Atur posisi lengan pasien disamping badannya.
30
Letakan satu tangan perawat di atas pasien dan pegang
tangan pasien dengan tangan lainnya.
Gerakan lengan pasien menjauh dari tubuhnya kearah
perawat.
Kembalikan ke posisi semula.
Catat perubahan yang terjadi.
2.3.6.4. Flexi dan Extensi Jari – Jari
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
Pegang jari – jari kaki pasien dengan satu tangan sementara
tangan lain memegang kaki.
Bengkokkan ( tekuk ) jari – jari kebawah.
Luruskan jari – jari kaki ke belakang.
Kembalikan ke posisi semula.
Catat perubahan yang terjadi.
Flexi dan Extensi pergelangan kaki siku.
Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
Letakan satu tangan perawat pada pergelangan kaki dan satu
tangan yang lain diatas lutut.
Putar kaki menjauhi perawat.
Putar kaki karah terawat.
Kembalikkan keposisi semula.
Catat perubahan yang terjadi.
31
2.4. Ambulasi Dini
2.4.1. Pengertian ambulasi dini.
Ambulasi merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak bebas,
mudah, teratur, mempunyai tujuan memenuhi kebutuhan hidup sehat, dan
penting untuk kemandirian (Barbara, 2006). ambulasi Dini adalah
kebijakan untuk selekas mungkin membimbing penderita keluar dari
tempat tidurnya dan membimbingnya selekas mungkin berjalan
(Soelaiman, dan Efendi, 2008).
Ambulasi Dini yaitu proses aktivitas yang dilakukan post operasi dimulai
dari latihan ringan di atas tempat tidur (latihan latihan pernafasan, latihan
batuk afektif dan menggerakkan tungkai) sampai dengan pasien bisa turun
dari tempat tidur, berjalan ke kamar mandi dan berjalan keluar kamar
(Smeltzer, 2005). Menurut Carpenito (2000), mobilisasi dini merupakan
suatu aspek yang terpenting pada fungsi fosiologis karena hal itu esensial
untuk mempertahankan kemandirian.
2.4.2. Tujuan Ambulasi Dini.
Menurut Asmadi (2008) manfaat Ambulasi adalah:
2.4.2.1. Mencegah dampak Immobilisasi pasca operasi meliputi :
2.4.2.1.1. Sistem Integumen : kerusakan integritas kulit seperti
Abrasi, sirkulasi yang terlambat yang menyebabkan
terjadinya Atropi akut dan perubahan turgor kulit.
32
2.4.2.1.2. Sistem Kardiovaskuler : Penurunan Kardiak reserve,
peningkatan beban kerja jantung, hipotensi ortostatic,
phlebotrombosis.
2.4.2.1.3. Sistem Respirasi : Penurunan kapasitas vital,
Penurunan ventilasi volunter maksimal, penurunan
ventilasi/perfusi setempat, mekanisme batuk yang
menurun
2.4.2.1.4. Sistem Pencernaan : Anoreksi-Konstipasi, Penurunan
Metabolisme.
2.4.2.1.5. Sistem Perkemihan : Menyebabkan perubahan pada
Eliminasi Urine, infeksi saluran kemih, hiperkalsiuria
2.4.2.1.6. Sistem Muskulo Skeletal : Penurunan masa otot,
osteoporosis, pemendekan serat otot.
2.4.2.1.7. Sistem Neurosensoris : Kerusakan jaringan,
menimbulkan gangguan syaraf pada bagian distal,
nyeri yang hebat.
Manfaat ambulasi adalah untuk memperbaiki sirkulasi, mencegah
flebotrombosis (thrombosis vena profunda/DVT). Mengurangi
komplikasi immobilisasi pasca operasi, mempercepat pemulihan
peristaltic usus, mempercepat pasien pasca operasi.
33
Ambulasi sangat penting dilakukan pada pasien pasca operasi karena jika
pasien membatasi pergerakannya di tempat tidur dan sama sekali tidak
melakukan ambulasi pasien akan semakin sulit untuk memulai berjalan
(Kozier, 2010).
2.4.3. Manfaat ambulasi dini.
Menurut Rambai (2008) yang dikutif dalam Suparyanto (2011) manfaat
mobilisasi dini adalah :
2.4.3.1. Melancarkan sirkulasi darah.
2.4.3.2. Membantu proses pemulihan lebih cepat.
2.4.3.3. Mencegah terjadinya infeksi yang timbul karna gangguan
pembuluh darah balik (Deep vein thrombosisi) serta menjaga
perdarahan lebih lanjut.
2.4.3.4. Mencegah terjadinya kekakuan tonus otot, sendi dan tulang.
2.4.3.5. Mencegah terjadinya atrofi otot.
2.4.3.6. Mencegah terjadi resiko emboli paru.
2.4.3.7. Mencegah terjadinya gangguan sistem pencernaan (sembelit).
2.4.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi ambulasi dini.
Menurut Dudut (2017), adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
pelaksanaan mobilisasi dini pasca poperasi adalah sebagai berikut:
34
2.4.4.1. Rendahnya Pengetahuan.
Tingkat pengetahuan merupakan faktor yang berperan penting
dalam mewujudkan pelaksanaan mobilisasi dini pasca operasi.
Jika tingkat pengetahuan seseorang rendah terhadap manfaat dari
mobilisasi maka hal itu akan sangat mempengaruhi pada tingkat
pelaksanaannya.
2.4.4.2. Ketidakmampuan atau kelemahan.
2.4.4.3. Tidak jarang setelah seseorang dilakukan tindakan operasi
memilih tidur dan istirahat di tempat tidur daripada melakukan
pergerakn secara bertahap karena faktor kelemahan.
Nyeri atau rasa tidak nyaman.Rasa nyeri setelah operasi
membuat pasien enggan untuk mulai belajar melakukan
pergerakan dan akan lebih memilih berbaring terus, di atas
tempat tidur, dan pelaksanaan mobilisasi tentu saja akan
terhambat.
2.4.4.4. Kecemasan.
Kecemasan pasien terhadap ketidakmampuan dalam melakukan
mobilisasi sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan saat
melakukan pergerakan. Pasien harus mempunyai keyakinan
untuk dapat melakukan mobilisasi dengan cepat dan tepat.
Mobilisasi/ambulasi yang dilakukan sesegera mungkin dengan
35
cara yang benar dan bertahap mempercepat proses pemulihan
kondisi tubuh secara umum.
2.4.5. Tahap-tahap mobilisasi dini.
Menurut Carpenito (2000), tahap-tahap dalam mobilisasi dini terdapat
tiga rentang gerak yaitu:
2.4.5.1. Rentang gerak pasif Rentang gerak pasif ini berguna untuk
menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan
menggerakkan otot orang lain secara pasif, misalnya perawat
mengangkat dan menggerakkan kaki pasien.
2.4.5.2. Rentang gerak aktif Hal ini melatih kelenturan dan kekuatan otot
serta sendi dengan menggunakan otot-ototnya secara aktif
misalnya, berbaring pasien menggerakkan kakinya.
2.4.5.3. Rentang gerak fungsional berguna untuk memperkuat otot-otot
dan sendi dengan melakukan aktivitas yang diperlukan.
2.4.6. Pelaksanaan tindakan Ambulasi
Pelaksanaan ambulasi dini terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut, tidur
telentang dulu selama 12 jam post operasi (jika anastesi spinal atau
general), kemudian boleh miring-miring, duduk, berdiri dan berjalan-
jalan. Sebelum mobilisasi dini dapat membantu tubuh melakukan adaptasi
dewngan baik sehingga tidak menimbulkan keluhan lain yang tidak
diharapkan (dudut, 2017).
36
2.4.6.1. Miring ke kiri-kanan.
Memiringkan badan ke kiri dan ke kanan merupakan mobilisasi
paling ringan dan yang paling baik dilakukan pertama kali. Di
samping dapat 9 mempercepat proses penyembuhan, gerakan ini
juga mempercepat proses kembalinya fungsi usus dan kandung
kemih secara normal.
2.4.6.2. Menggerakkan kaki.
2.4.6.3. Setelah mengembalikan badan ke kanan dan kekiri, mulai
gerakan kedua belah kaki.
2.4.6.4. Duduk menjuntaikan kaki.
2.4.6.5. Hari pertama setelah operasi setelah merasa lebih ringan cobalah
untuk duduk di tempat tidur dengan menjuntaikan kaki. Bila
merasa tidak nyaman dipaksakan lakukan perlahan-lahan sampai
terasa nyaman
2.4.6.6. Berdiri dan belajar berjalan dengan alat bantu.
Jika duduk tidak menyebabkan rasa pusing, teruskanlaah dengan
mencoba turun dari tempat tidur dan berdiri kemudian belajar
berjalan dengan alat bantu jalan seperti crutch atau alker. Bila
terasa sakit atau ada keluhan, sebaiknya hentikan dulu dan
dicoba lagi setelah kondisi terasa lebih nyaman.
37
2.4.7. Macam-macam alat bantu jalan.
Alat bantu jalan pasien adalah alat bantu jalan yang digunakan pada
penderita/pasien yang mengalami penurunan kekuatan otot dan patah
tulang pada anggota gerak bawah serta gangguan keseimbangan (Barbara,
2009). Alat bantu jalan seperti kruk axila, tongkat, walker, kruk, dan kursi
roda.
2.4.8. SOP ambulasi
Tabel 2.1 SOP ambulasi
NO Standar Operasional Prosedur (SOP) Ambulasi
Definisi Ambulasi dini adalah tahapan kegiatan yang
dilakukan segera pada pasien pasca operasi
dimulai dari bangun dan duduk sampai pasien
turun dari tempattidur dan mulai berjalan
dengan bantuan alat sesuai dengan kondisi
pasien(Dudut, 2017)
Prosedur
ROM/kebugaran
Hari pertama pasca
operasi atau 6 jam
sampai 12 jam dg
Latihan Terstruktur bertujuan untuk
mengurangi kelelahan dan kemampuan
beraktivitas selama dirawat di rumah
sakit. Latihan ini dilakukan dengan
melatih kekuatan otot dan pergerakan
38
spinal anestesi dan
24 jam 48 jam dg
anestesi umum
sendi lengan maupun tungkai yang akan
dipergunakan untuk berjalan.perawat akan
mengajarkan anda bagaimana cara
melakukan latihan ROM. Latihan ROM
dilakukan dengan frekuensi 2 kali
perhari,setiap gerakan sebanyak 4 kali
setiap set.
Langkah –langkah latihan ROM
a. Gerakan pertama, mengangkat kedua
bahu, kemudian menurunkan kembali.
b. Gerakan kedua, mengangkat kedua
tangan keatas secara bergantian.
c. Gerakan ketiga, mengangkat tangan
keatas seperti gerakan memetik buah
dan lakukan secara bergantian.
d. Gerakan keempat, melakukan gerakan
kedua tangan mendorong kedepan.
e. Gerakan kelima, mengangkat kedua
tangan sejajar dengan bahu kemudian
turunkan keatas tempat tidur dan
berikan sedikit tekanan pada tempat
39
tidur.
f. Gerakan keenam, mengepalkan tangan
dan melakukan gerakan seperti
mengangkat beban . gerakan
mengepal dilakukan sambil
mengencangkan otot selama 10 detik.
g. Gerakan ketujuh, pasien duduk
ditempat tidur, letakan kedua telapak
tangan disisi badan lalu angkat
bokong dengan beban tertumpu
ditelapak tangan. Gerakan ini
dilakukan selama 10 detik.
h. Gerakan kedelapan, mengangkat kaki
yg sehat keatas kemudian turunkan
secara perlahan.
i. Gerakan kesembilan, letakan bantalan
dibawah lutut, dengan menggunakan
otot paha berikan tekanan pada
bantalan selama 10 detik.
j. Gerakan kesepuluh, arahkan telapak
kaki kedepan dan kebelakang secara
40
bergantian.
Prosedur Latihan
Ambulasi Dini
Hari ke 2 pasca
operasi
1. Pasien duduk disamping tempat tidur.
cara kerja:
a. Pastika posisi anda bergeser kesamping
tempat tidure.
b. Dari posisi berbaring lalu duduk dengan
tegak.
c. Arahkan badan dan kaki anda bergeser
dan berputar 90 ˚ menuju samping
tempat tidur.
d. Perawat akan membantu mengangkat
kaki yang dioperasi dan menurunkannya
secara perlahan.
e. Kemudian, duduk disamping tempat
tidur dengan kaki menjuntai kelantai.
2. Pasien berejalan menggunakan tongkat
( jarak +/- 4,5 meter).
a. Sebelumnya perawat akan mengukur
tongkat sesuai dengan kebutuhan
41
anda.
b. Selanjutnya, perawat akan
mengajarkan anda bagaimana cara
menggunakan alat bantu jalan
(tongkat).
c. Perawat akan membantu anda dari
posisi duduk menuju posisi berdiri.
Jika anda merasa pusing, jantung
berdebar, atau kelelahan segera
beritahu perawat.
d. Selanjutnya perawat memberi tongkat
kepada anda.
e. Anda akan dibimbing perawat selama
berjalan, pastiakan kaki yang dioperasi
tidak menyentuh lantai saat berjalan
sesuai anjuran petugas.
Cara menggunakan tongkat :
a. Letakan jari 2 jari dibawah ketiak.
b. Tangan menggengam pegangan tongkat
dengan siku membentuk sudut 15-30˚
c. Posisi ujung bawah tongkat berada sekitar
42
15cm kesamping bagian depan kaki.
d. Berdiri dalam posisi tegak, dengan kaki
tidak menapak ( pada kaki yang sakit)
e. Jika ingin berjalan, gerakan tongkat
kedepan diikuti kaki yang dioperasi,
selanjutnya anda melangkah.
2.5. Iowa Level Of Assistance Scale (ILOA).
2.5.1. Pengertian ILOA.
Iowa Level Of Assistance Scale (ILOA) adalah instrument yang
digunakan untuk mengukur kemampuan mobilisasi dini pada pasien post
operasi (ORIF ekstrimitas bawah) (Kimmel, 2016).
2.5.2. Tugas penilaian.
2.5.3. Adapun tugas yang dinilai dalam penerapan ILOA menururt Benedetti
(2014) ada 5 yaitu :
2.5.3.1. Posisi tidur menuju duduk di samping tempat tidur.
2.5.3.2. Duduk di samping tempat tidurmenuju berdiri.
2.5.3.3. Berjalan 4,5 m.
2.5.3.4. Naik dan turun tiga anak tangga.
2.5.3.5. Kecepatan berjalan dengan jarak 13,4 m.
43
2.5.4. Skala ordinal dan definisi tingkat bantuan.
Tabel 2.2 : Tabel skala dan definisi tingkat bantuan.
0 Mandiri Tidak ada bantuan atau supervise yang diperlukan
untuk melakukan aktivitas dengan aman atau
tanpa menggunakan alat bantu, atau alat
modifikasi.
1 Waspada Supervisi diperlukan untuk melakukan aktivitas
dengan aman, tidak ada kontak yang diperlukan.
2 Minimal Satu titik kontak diperlukan untuk melakukan
aktivitas dengan aman, termasuk membantu
menggunakan alat bantu berjalan, mengatur
tungkai dan menstabilkan alat berjalan.
3 Sedang Dua titik kontak diperlukan (oleh satu atau dua
orangg ) untuk melakukan aktivitas dengan aman.
4 Maksimal Dukungan bermakna diperlukan pada tiga atau
lebih titik kontak (oleh satu orang atau lebih).
5 Gagal Mencoba aktivitas, tapi gagal meski dengan
bantuan maksimal.
6 Tidak
diuji
Karena alasan medis atau alasan keamanan uji
tidak dilakukan.
44
2.5.5. Rentang skor.
2.5.5.1. Skor minimal yaitu jika pasien mandiri melakukan seluruh
aktivitas (tingkat ketergantungan =0) untuk melakukan tugas,
skor total 5x0=0.
2.5.5.2. Skor maksimal yaitu jika pasien tidak mampu melakukan seluruh
aktivitas karena alasan medic atau alasan keamanan (tingkat
bantuan=6) maka skor total 5x6=30