13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Upaya Hukum
a. Pengertian Upaya Hukum
Upaya Hukum dijelaskan di dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP, yaitu
“Hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan
pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak
terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal
serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Upaya hukum menurut R.Atang Ranoemihardja, yaitu suatu usaha
melalui saluran hukum dari pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap
keputusan hakim yang dianggapnya kurang adil atau kurang tepat. Dalam
Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
selanjutnya disebut KUHAP, Upaya Hukum diartikan sebagai hak terdakwa
atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan.
Menurut KUHAP ada dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum
biasa yang diatur dalam BAB XVII, dan upaya hukum luar biasa diatur
dalam BAB XVIII.
b. Upaya Hukum Biasa
1) Upaya Hukum Banding
Berdasarkan Pasal 67 KUHAP menyebutkan bahwa “Terdakwa
atau penuntut umum berhak untuk meminta banding terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari
segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya
penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat”.
14
Terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan upaya hukum
banding ke Pengadilan Tinggi atas semua putusan Pengadilan Negerti
tingkat pertama, kecuali :
(1) Putusan bebas;
(2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang
tepatnya penerapan hukum;
(3) Putusan pengadilan dalam acara cepat.
Adapun tujuan dari pengajuan permohonan banding atas putusan
Pengadilan Negeri adalah :
(1) Menguji putusan Pengadilan Negeri (tingkat pertama) tentang
ketepatan atau bersesuaian dengan hukum dan perundang-
undangan yang berlaku;
(2) Pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu.
a) Alasan Permohonan Banding
Alasan dari pengajuan permohonan banding menurut
M.Yahya Harahap antara lain :
(1) Kelalaian Dalam Penerapan Hukum Acara
Kelalaian dalam penerapan hukum acara dapat terjadi apabila
suatu ketentuan itu berupa perintah yang harus dilaksanakan,
teteapi perintah itu tidak dituruti oleh Pengadilan Tingkat
Pertama yang memeriksa perkara, maka pengadilan dalam hal
ini dianggap melakukan kelalaian;
(2) Kekeliruan Penerapan Hukum Acara
Kekeliruan dalam penerapan hukum acara terjadi apabila
terdapat ketentuan yang “melarang” dilakukan atau
ditempuhnya suatu cara tertentu, namun pengadilan melanggar
larangan itu. Dalam hal ini, maka pengadilan dapat dianggap
keliru atau salah menerapkan hukum acara;
(3) Ada Yang Kurang Lengkap
Pengadilan Tinggi menganggap ada hal-hal yang perlu
dilengkap, seperti pemeriksaan terhadap Terdakwa masih
15
kurang lengkap, kekurang-lengkapan keterangan saksi atau
keterangan Terdakwa, atau kekurangan yang berhubungan
dengan pemeriksaan saksi yang belum pernah diperiksa, atau
pemeriksaan ahli (M. Yahya Harahap, 2012:495-497).
b) Putusan Yang Dapat Dibanding
Pada prinsipnya semua putusan akhir Pengadilan Negeri
dapat diajukan permintaan banding. Akan tetapi, terhadap prinsip
ini, ada pengecualian, dan pengecualian tersebut ditegaskan dalam
Pasal 67. Atas pengecualian tersebut tidak semua putusan akhir
pengadilan tingkat pertama dapat diminta banding. Berikut putusan
akhir pengadilan tingkat pertama yang dapat diajukan banding,
sebagai berikut:
(1) Putusan pemidanaan dalam acara biasa
Terhadap setiap putusan pemidanaan dalam acara biasa
sekalipun sifat putusan pemidanaan itu berupa “percobaan” atau
“pidana bersyarat” seperti yang diatur dalam Pasal 14 a KUHP,
terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan
bandung;
(2) Putusan pemidanaan dalam acara singkat
Setiap putusan pemidanaan dalam acara singkat, sekalipun
pidana bersyarat, dapat dimintakan banding baik oleh terdakwa
atau penuntut umum;
(3) Putusan yang menyatakan dakwaan tidak dapt diterima dalam
acara biasa dan singkat;
(4) Putusan yang menyatakan dakwaan batal demi hukum
Terhadap setiap putusan yang dakwaan batal demi hukum baik
dalam acara biasa maupun acara singkat, penuntut umum dapat
mengajukan banding;
(5) Putusan perampasan kemerdekaan dalam acara cepat;
(6) Putusan Praperadilan terhadap penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan (M. Yahya Harahap, 2012:458-459).
16
2) Upaya Hukum Kasasi
Kasasi didasarkan atas pertimbangan bahwa terjadi kesalahan
penerapan hukum atau hakim telah melampaui kekuasaan
kehakimannya, artinya kekuasaan kehakiman telah ditafsirkan secara
luas dan sempit. Jadi penafsiran secara sempit yaitu “jika hakim
memutus sesuatu perkara padahal hakim tidak berwenang menurut
kekuasaan kehakiman; dalam arti luar misalnya jika hakim pengadilan
memutus padahal hakim pertama telah membebaskannya” (Andi
Hamzah, 2011:297-298).
Berdasarkan Pasal 244 KUHAP sebagai dasar dari pengajuan
kasasi menyatakan bahwa “Terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada
Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan
permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali
terhadap putusan bebas”. Menurut Hadari Djenawi Tahir, kasasi
merupakan upaya hukum terhadap putusan banding yang telah
dijatuhkan oleh pengadilan tinggi atau tingkat banding (Hadari Djenwai
Tahir, 2001:17)
Tujuan dari kasasi adalah untuk menciptakan kesatuan
penerapan hukum dengan jalan membatalkan putusan yang
bertentangan dengan undang-undang atau keliru dalam menerapkan
hukum. Berikut tujuan-tujuan dari kasasi menurut M.Yahya Harahap,
antara lain :
(1) Koreksi Terhadap Kesalahan Putusan Pengadilan Bawahan
Salah satu dari tujuan kasasi adalah memperbaiki dan
meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benar-
benar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara
mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan
undang-undang;
17
(2) Menciptakan Dan Membentuk Hukum Baru
Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung
dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu
sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi;
(3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum
Tujuan lain daripada pemeriksaan kasasi, bermaksud
mewujudkan kesadaran “keseragaman” penerapan hukum atau
unified legal frame work dan unified legal opinion. Dengan
adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan
mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan
hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat
terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para
hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan
yang dimilikinya (M. Yahya Harahap, 2012:539-542).
a) Alasan Kasasi
Adapun alasan untuk mengajukan permohonan kasasi yang
diatur dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP, yaitu Pemeriksaan dalam
tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan
para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249
guna menentukan:
1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya;
2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undang;
Maka Mahkamah Agung mencetapkan disertai penunjuk
agar pengadilan yang memutus perkara yang bersangkutan
memeriksanya lagi mengenai bagian yang dibatalkan, atau
berdasarkan alasan tertentu Mahkamah Agung dapat
menetapkan perkara tersebut diperiksa oleh pengadilan
setingkat yang lain.
18
3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya.
Maka Mahkamah Agung menetapkan pengadilan atau hakim
lain mengadili perkara tersebut (Pasal 255 KUHAP).
b) Putusan Yang Dapat Dikasasi
Tidak semua putusan pidana dapat diajukan kasasi. Menurut
ketentuan Pasal 244 KUHAP putusan perkara pidana yang dapat
diajukan permohonan pemeriksaan kasasi adalah semua putusan
perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan,
kecuali terhadap putusan Mahkamah Agung sendiri dan putusan
bebas. Terdapat 3 (tiga) poin dalam penjelasan Pasal 244 KUHAP,
yaitu sebagai berikut:
1) Terhadap Semua Putusan Pengadilan Negeri dalam Tingkat
Pertama dan Tingkat Terakhir
Artinya jenis perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri yang
dalam kedudukannya sekaligus sebagai peradilan tingkat
pertama dan terakhir, yang terhadap putusan tidak dapat
diajukan permohonan banding. Jenis perkara yang diputus
dalam tingkat pertama dan terakhir oleh Pengadilan Negeri ialah
perkara-perkara yang diperiksa dengan acara pemeriksaan cepat.
2) Terhadap Semua Putusan Pengadilan Tinggi yang Diambilnya
pada Tingkat Banding
Artinya terhadap putusan Pengadilan Negeri yang dapat
diajukan permohonan banding, dan terhadap putusan itu
diajukan permohonan banding serta Pengadilan Tinggi telah
mengabil putusan pada tingkat banding, terhadap putusan
banding tersebut dapat diajukan permohonan kasasi.
3) Tentang Putusan Bebas
Putusan bebas yang dapat dimintakan kasasi adalah putusan
bebas tidak murni (niet zuivere vrijspraak) atau sering juga
disebut sebagai putusan pembebasan yang terselubung (verkapte
19
vrijspraak) sedangkan untuk putusan bebas murni tidak dapat
dimintakan kasasi.
Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
114/PUU-X/2012 yang telah menghilangkan frase “kecuali
terhadap putusan bebas“ dalam Pasal 244 KUHAP, mengingat
bahwa ketentuan tersebut sudah dianulir, berarti tidak ada
larangan lagi untuk pengajuan kasasi terhadap putusan bebas.
c) Tata Cara Permohonan Kasasi
Pada kenyataan praktek peradilan, sering ditemukan
hambatan formal yang dialami pencari keadilan. Hambatan formal
yang dimaksud adalah kurang mengertinya kalangan pencari
keadilan tentang tata cara mengajukan permohonan kasasi. Berikut
tata cara permohonan kasasi adalah sebagai berikut:
1) Permohonan Diajukan Kepada Panitera
Pasal 245 ayat (1) KUHAP menegaskan bahwa permohonan
kasasi disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan
yang memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu
14 (empat belas) hari sesudah putusan pengadilan yang
dimintakan kasasi itu diberitahukan kepada terdakwa. Jangka
waktu diatur secara tegas di dalam Undang-Undang.
2) Pihak yang Berhak Mengajukan Permohonan Kasasi
Pasal 244 KUHAP menegaskan bahwa yang berhak mengajukan
permohonan kasasi adalah terdakwa dan atau penuntut umum.
Dan menurut Keputusan Menteri Kehakiman tanggal 10
Desember 1983 No. M. 14-PW.07.03 pada angka 24 lampiran
tersebut menyebutkan bahwa dimungkinkan permintaan kasasi
diajukan oleh seorang kuasa, asal untuk itu terdakwa membuat
“surat kuasa khusus” secara tersendiri yang sengaja dibuat
untuk, memberi kuasa mengajukan permohonan kasasi (M.
Yahya Harahap, 2000: 548).
20
3) Tenggang Waktu Mengajukan Permohonan Kasasi
Tenggang waktu yang dibenarkan Undang-Undang untuk
mengajukan kasasi adalah 14 (empat belas) hari terhitung sejak
tanggal putusan diberitahukan, Pasal 245 ayat (1) KUHAP.
Terlambat dari batas waktu 14 (empat belas) hari mengakibatkan
hak untuk mengajukan permohonan kasasi menjadi gugur
seperti yang ditegaskan dalam Pasal 246 ayat (2) KUHAP.
Menurut hukum apabila permohonan kasasi diajukan terlambat
dari tenggang waktu 14 (empat belas) hari maka dengan
sendirinya hak untuk mengajukan kasasi gugur, terdakwa
dianggap menerima putusan, untuk itu panitera membuat akta
penerimaan putusan.
4) Akta Permohonan Kasasi
Bentuk dan pembuatan akta permohonan kasasi diatur dalam
Pasal 245 ayat (2) KUHAP, istilah dalam Pasal itu adalah “surat
keterangan”. Tidak ada perbedaan arti antara surat keterangan
dengan akta kasasi, hanya saja akta kasasi adalah istilah yang
lazim digunakan. Bentuk dan tata cara pembuatan akta kasasi
menurut Pasal 245 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut :
(1) Panitera menulis permohonan dalam sebuah “Surat
Keterangan”;
(2) Akta kasasi harus ditandatangani panitera dan pemohon;
(3) Akta kasasi dilampirkan dalam “Berkas Perkara”;
5) Permintaan Kasasi Wajib Diberitahukan
Ketentuan Pasal 245 ayat (3) KUHAP, panitera “wajib”
memberitahukan permintaan kasasi yang diterimanya kepada
pihak yang lain. Pihak yang lain disini maksudnya adalah
terdakwa pada satu pihak dan penuntut umum pada pihak yang
lain. Jadi panitera wajib menyampaikan pemberitahuan baik
kepada terdakwa apabila penuntut umum yang mengajukan,
kepada penuntut umum apabila terdakwa yang mengajukan baik
21
kedua-duanya, terdakwa maupun penuntut umum apabila kedua-
duanya sama-sama mengajukan permohonan kasasi.
6) Pemohon Wajib Mengajukan Memori Kasasi
Salah satu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pemohon kasasi
adalah membuat memori kasasi, Pasal 248 ayat (1) KUHAP.
Kewajiban mengajukan memori kasasi bersifat imperatif yaitu
memiliki sanksi yang tegas, kerena tanpa memori kasasi gugur
haknya untuk mengajukan kasasi Pasal 248 ayat (4) KUHAP.
Tenggang waktu mengajukan memori kasasi adalah 14 hari
setelah permohonan kasasi diajukan Pasal 248 ayat (1) KUHAP.
7) Tenggang Waktu Menyerahkan Memori Kasasi
Pada Pasal 248 ayat (1) KUHAP telah ditentukan tenggang
waktu mengajukan memori kasasi yaitu 14 (empat belas) hari
sejak tanggal permohonan kasasi diajukan. Jadi tenggang waktu
tersebut telah diatur secara tegas apabila tidak memenuhi atau
melewati tenggang waktu yang diajukan mengakibatkan gugur
haknya untuk mengajukan kasasi.
8) Tanda Terima Penyerahan Memori
Pada Pasal 248 ayat (1) KUHAP ditegaskan bahwa panitera
menerima penyerahan memori kasasi, panitera memberikan
surat tanda terima. Surat tanda terima tersebut sebagai bukti
penyerahan memori kasasi bagi pemohon.
9) Kewajiban Panitera Memberi Bantuan
Kewajiban panitera memberikan bantuan untuk membuat
memori kasasi ditegaskan dalam Pasal 248 ayat (2) KUHAP. Hal
ini bertujuan untuk membantu terdakwa yang awam tentang
hukum guna membuat memori kasasi.
10) Kontra Memori Kasasi
Pada Pasal 248 ayat (6) KUHAP yang intinya berisi tentang
memberikan hak kepada pihak lain untuk mengajukan “kontra
memori kasasi” atas kasasi yang diajukan oleh pemohon kasasi.
22
Kontra memori kasasi merupakan “hak” dimana “hak” tersebut
bisa digunakan bisa juga tidak. Kontra memori kasasi sebagai
tanggapan terhadap memori kasasi yang diajukan oleh pemohon
kasasi. Dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari panitera
menyampaikan kontra memori kasasi kepada pihak yang
mengajukan memori kasasi Pasal 248 ayat (7) KUHAP (M.
Yahya Harahap, 2012:549-559)
c. Upaya Hukum Luar Biasa
Selain dari upaya hukum biasa, terdapat juga upaya hukum luar
biasa yang telah diatur dalam BAB XVIII Bagian Kesatu dari Pasal 259
sampai dengan Pasal 262 KUHAP tentang kasasi demi kepentingan hukum
dan Bagian Kedua dari Pasal 263 sampai Pasal 269 KUHAP tentang
peninjauan kembali atas putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum
Pemeriksaan kasasi demi pekentingan hukum ini dapat diajukan
terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
tetapi hanya dapat diajukan oleh Jaksa Agung saja berdasarkan
penyampaian dari pejabat kejaksaan yang menurut pendapatnya
perkara ini perlu dimintakan kasasi demi kepentingan hukum. Kasasi
demi kepentingan hukum ini diatur dalam Pasal 259 sampai dengan
Pasal 262 KUHAP.
Pengajuan kasasi demi kepentingan hukum oleh Jaksa Agung ini
dimaksudkan untuk menjaga kepentingan terpidana dan juga membuka
kemungkinan bagi perubahan atas putusan pengadilan di bawah
keputusan Mahkamah Agung yang dirasakan kurang tepat oleh Jaksa
Agung dengan kata lain putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Negeri atau Pengadilan Tinggi (judex factie) terlalu berat yang tidak
sesuai dengan tuntutan penuntut umum.
23
2) Peninjauan Kembali
Peninjauan Kembali atas putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (herziening) berdasarkan Pasal 263
ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa Terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas
atau lepas telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana atau ahli
warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada
Mahkamah Agung.
Berdasarkan 263 ayat (2) KUHAP mengenai syarat-syarat dalam
pengajuan Peninjauan Kembali adalah sebagai berikut :
a) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,
bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas (vrijspraak) atau
putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van alie
rechtsvervolging) atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima (niet ontvvankelijk verklaring) atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah
bertentangan satu dengan yang lain;
c) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
2. Tinjauan tentang Penuntut Umum
a. Pengertian Penuntut Umum
Berdasarkan isi dari Pasal 13 KUHAP yang secara tegas
menyatakan bahwa yang dimaksud Penuntut Umum adalah Jaksa yang
diberi wewenang oleh undang-undang ini melakukan penuntutan dan
melaksanakan penetapan hakim.
24
Adapun menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menjelaskan bahwa :
1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-
undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-
undang ini melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan
hakim.
b. Kewenangan Penuntut Umum
Kewenangan penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 14
KUHAP adalah sebagai berikut :
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
b. mengadakan pra-penuntutan apabia ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketetntuan Pasal 110 ayat (3)
dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan
baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk dating pada
siding yang telah ditentutkan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan umum;
25
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini;
j. melaksanakan penetapan hakim.
Adapun wewenang Jaksa Agung secara khusus yang berkaitan
dengan penuntutan diatur dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2004 tentang Kejaksaan, antara lain :
a. menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegak hukum dan
keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan;
b. mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh
undang-undang;
c. mengesampingkan perkara demi kepentingan umum;
d. mengajukan kasasi demi kepentingan umum kepada Mahkamah
Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara;
e. dapat mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah
Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana;
f. mencegah atau menangkal orang tertentu masuk atau keluar wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam
perkara pidana sesuao dengan peraturan perundang-undangan.
3. Tinjauan tentang Judex Factie dan Judex Juris
a. Judex Factie
Judex Factie merupakan istilah yang berasal dari Bahasa Latin.
Judex yang berarti hakim dan Factie yang berarti fakta. Maksa yang
dimaksud dengan Judex Factie adalah Hakim yang memeriksa duduknya
perkara berdasarkan fakta-fakta hukum yang ditemui di persidangan baik
tingkat pertama Pengadilan Negeri maupun di tingkat banding Pengadilan
Tinggi. Fakta-fakta hukum itu sendiri diperoleh berdasarkan alat-alat bukti
yang diajukan di persidangan.
Tahap pembuktian terhadap pemeriksaan alat bukti, Judex Factie
berwenang untuk menilai kekuatan pembuktian dari seluruh alat bukti yang
diajukan di persidangan. Tujuan Judex Factie memeriksa alat-alat bukti
26
yang diajukan di persidangan adalah untuk menentukan fakta-fakta hukum
dari suatu perkara. Fakta-fakta hukum yang diperoleh di persidangan inilah
yang nantinya dijadikan pertimbangan Judex Factie dalam menjatuhkan
putusan.
b. Judex Juris
Judex Juris merupakan Hakim pada tingkat kasasi yang memeriksa
penerapan hukum dari suatu perkara yang sebelumnya telah diperiksa oleh
Hakim pada pengadilan di tingkat bawahnya. Mahkamah Agung yang
merupakan badan peradilan tertinggi di tingkatannya merupakan Judex
Juris. Hal tersebut dikarenakan Mahkamah Agung hanya memeriksa
mengenai penerapan hukum terhadap fakta yang sudah ditentukan oleh
Judex Factie. Kewenangan dari Mahkamah Agung sendiri adalah untuk
menilai apakah hukum telah diterapkan sebagaimana mestinya dan apakah
cara mengadili telah dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Berdasarkan Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kewenangan Mahkamah Agung
antara lain:
1) mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada
tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan berada
di bawah Mahkamah Agung;
2) menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
terhadap undang-undang; dan
3) kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
4. Tinjauan tentang Pertimbangan Putusan Hakim
a. Pengertian Hakim
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara Hukum.
Sebagai Negara Hukum maka Negara Kesatuan Republik Indonesia harus
dapat melaksanakan serta menegakan Hukum sebagaimana mestinya.
27
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki peranan yang
sangat besar dalam penegakan hukum di Indonesia.
Hakim sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 butir 8 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang selanjutnya disebut KUHAP
adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-
Undang untuk mengadili. Adapun yang dimaksud dengan mengadili
menurut Pasal 1 butir 9 KUHAP adalah serangkaian tindakan hakim untuk
menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di siding pengadilan dalam hal dan menurut
cara yand diatur dalam undang-undang ini.
Sedangkan menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan
hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada
dalam lingkungan peradilan tersebut.
Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam
pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti Pengadilan. Berhakim
artinya minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku sebagai
hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan
pengadilan, ada kalanya istilah hakim dipakai oleh orang budiman, ahli dan
orang bijaksana (Lilik Mulyadi, 2010: 125).
Hakim bertugas menilai apakah perbuatan Terdakwa tersebut
melanggar Hukum Pidana atau tidak. Untuk menetapkan hal tersebut secara
tepat, seorang Hakim harus dapat menentukan Hukum Pidana yang mana
telah dilanggar (Wirjono P, 1974 :26-27).
b. Kewajiban Hakim
Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman memiliki tugas dan
tanggung jawab dalam menyelesaikan suatu perkara. Dalam menyelesaikan
28
suatu perkara, hakim harus mampu memutuskan perkara yang diadilinya
berdasarkan hukum, kebenaranm dan keadilan dengan tiada membeda-
bedakan orang yang dengan berbagai resiko yang dihadapannya. Sesuai
penjelasan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, bahwa kebebasan dalam melaksanakan wewenang
yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Prinsipnya kewajian hakim adalah menjatuhkan putusan yang
menimbulkan akibat hukum bagi pihak lain. Hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan memiliki tugas dan kewajiban pokok dibidang peradilan yang
secara normatif telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban pokok hakim
menurut pandangan beberapa ahli antara lain:
1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat;
2) Hakim wajib memperhatikan sifat -sifat yang baik dan jahat dari
Terdakwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang
akan dijatuhkan;
3) Hakim harus dapat menemukan kembali dan menemukan
pembaharuan hukum (Barda Nawawi, 2010:43).
Hakim dalam menjalankan kewajibannya untuk menyelesaikan
perkara tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara serta mengadili.
Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan
hukummnya atau aturan hukumnya kurang jelas karena hakim itu dianggap
mengetahui hukum sesuai dengan asas Ius Curius Novit. Apabila aturan
hukum tersebut tidak ada, maka seorang hakim harus menggalinya dengan
ilmu pengetahuan hukum dan apabila aturan hukum tersebut tidak jelas,
maka Hakim harus menafsirkannya.
29
c. Tanggung Jawab Hakim
Hukum merupakan seperangkat kaidah atau norma yang tersusun
dalam suatu system yang berisikan petunjuk bertingkah laku, tentang apa
yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan disertai dengan
sanksi. Untuk memastika agar hukum itu dapat dijalankan serta dapat ditaati
dengan baik oleh masyarakat, maka dibutuhkan seseorang yang mengetahui
benar serta memiliki pemahaman yang mendalam terhadap kaidah-kaidah
hukum serta mempunyai integritas yang tinggi untuk diberikan kewenangan
dalam menegakkan hukum, dan orang tersebut adalah hakim.
Mengingat hakim memiliki posisi yang cukup sentral dalam
mewujudkan kehidupan yang harmonis serta berkeadilan, maka seseorang
yang diangkat menjadi hakim mempunyai tanggung jawab yang besar yang
senantiasa dipegang oleh para hakim. Tanggung jawab tersebut antara lain
(Iskandar Kamil, 2006:2):
a. Tanggung Jawab Moral
Seorang hakim harus tunduk dan mematuhi nilai-nilai dan norma
yang berlaku dalam lingkungan kehakiman, seorang hakim harus
mamapu untuk memanifestasikan rasa keadilan yang terdapat dalam
kenyataan normatif (das sollen) ke dalam kenyataan keseharian (das
sein) melalui putusan-putusannya.
b. Tanggung Jawab Hukum
Menjalankan tanggung jawabnya sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman, hakim wajib untuk menjunjung tinggi rambu-rambu
hukum.
c. Tanggung Jawab Teknis Profesi
Tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara
profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang
profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan
khusus dalam lembaganya.
30
d. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan
Peranan hakim dalam menentukan suatu kebenaran melalui proses
peradilan dapat dilihat dari putusannya itu sendiri, artinya ada tidaknya
kebenaran itu ditentukan atau ditetapkan lewat keputusan. Dalam hubungan
tersebut ditegaskan bahwa untuk menjamin kepastian, kebenaran dan
keadilan antara lain akan tampak dalam apa yang dilakukan oleh hakim
dalam persidangan sejak pemeriksaan hingga sampai pada putusan
pengadilan bahkan sampai eksekusinya.
Pertimbangan-pertimbangan hakim untuk sampai pada putusan
harus memperhatikan ketentuan Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan
bahwa dalam Pasal 50 :
1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,
juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili.
2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta
hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
Sedangkan dalam Pasal 53 menyatakan bahwa:
1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab
atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan
dan dasar hukum yang tepat dan benar.
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus
berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, barang bukti, keterangan terdakwa
dan alat bukti surat dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta
unsur-unsur pasal tindak pidana yang disangkakan kepada Terdakwa. Dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi ada 2 (dua), yaitu
pertimbangan yuridis dan non yuridis. Pertimbangan Yuridis, yaitu
31
pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di
dalam Persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal
yang harus dimuat dalam putusan. Ada 2 (dua) kategori untuk memberikan
telaah pada pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Kategori
pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua
adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis, selanjutnya akan dijelaskan
sebagai berikut (Rusli Muhammad, 2007: 212-221):
Pertimbangan yang bersifat yuridis diantaranya:
a) Dakwaan penuntut umum;
b) Tuntutan pidana;
c) Keterangan saksi;
d) Keterangan terdakwa;
e) Barang bukti;
f) Pasal-pasal yang terkait.
Sedangkan dasar-dasar yang digunakan dalam pertimbangan non yuridis,
diantaranya:
a) Latar belakang terdakwa;
b) Akibat perbuatan terdakwa;
c) Kondisi diri terdakwa;
d) Agama terdakwa.
e. Pengertian Putusan Pengadilan
Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah
pernyataan hakim yang diucapkan dalam siding pengadilan terbuka, yang
dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum
dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
Selanjutnya mengenai jenis putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan
hakim telah ditentukan, yaitu:
1) Putusan Bebas menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP adalah jika
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak
32
terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus
bebas.
2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum berdasarkan Pasal 191 ayat
(2) KUHAP adalah jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak
merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala
tuntutan hukum.
3) Putusan Pemidanaan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP
menjelaskan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa
bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka
pengadilan menjatuhkan pidana.
5. Tinjauan tentang Tindak Pidana Illegal Fishing
a. Pengertian Tindak Pidana
Tindak pidana adalah perilaku yang melanggar ketentuan pidana
yang berlaku ketika itu dilakukan baik perilaku tersebut berupa melakukan
perbuatan tertentu yang dilarang oleh ketentuan pidana maupun tidak
melakukan perbuatan tertentu yang diwajibkan oleh ketentuan pidana.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
selanjutnya disebut KUHP, menjelaskan bahwa “Tiada suatu perbuatan
dapat dipidanakan kecuali berdasarkan aturan pidana dalam perundang-
undangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan telah ada”. Ketentuan ini
memberi jaminan bahwa seseorang tidak dapat dituntut berdasarkan
ketentuan undang-undang secara surut.
Menurut ketentuan dalam KUHP, tindak pidana dapat digolongkan
menjadi dua, yaitu:
1) Kejahatan (Misdrijven)
Kejahatan adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman yang
lebih berat daripada pelanggaran. Dalam KUHP yang termasuk dalam
kejahatan antara lain :
1. kejahatan terhadap keamanan negara;
33
2. kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden;
3. kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara
sahabat serta wakilnya;
4. kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan;
5. kejahatan terhadap ketertiban umum;
6. perkelahian tanding;
7. kejahatan yang membahayakan keamanan bagi umum bagi orang
atau barang;
8. kejahatan terhadap penguasa umum;
9. sumpah palsu dan keterangan palsu;
10. pemalsuan mata uang dan uang kertas;
11. pemalsuan materai dan merek;
12. pemalsuan surat;
13. kejahatan terhadap asal-usul perkawinan;
14. kejahatan terhadap kesusilaan;
15. meninggalkan orang yang perlu ditolong;
16. penghinaan;
17. membuka rahasia;
18. kejahatan terhadap kemerdekaan orang;
19. kejahatan terhadap nyawa;
20. penganiayaan;
21. menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan;
22. pencurian;
23. pemerasan dan pengancaman;
24. penggelapan;
25. perbuatan curang(bedrog);
26. perbuatan merugikan pemiutang atau orang yang mempunyai hak;
27. penghancuran atau perusakan barang;
28. kejahatan jabatan;
29. kejahatan pelayaran;
30. penadahan, penerbitan, dan percetakan;
34
31. pengulangan kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai bab.
2) Pelanggaran (Overtredingen)
Pelanggaran adalah tindak pidana yang diancam dengan hukuman yang
lebih ringan daripada kejahatan, yang termasuk jenis pelanggaran
menurut KUHP antara lain (Nunung Mahmudah, 2015:12-14) :
1. pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang atau barang
dan kesehatan umum;
2. pelanggaran ketertiban umum;
3. pelanggaran terhadap penguasa umum;
4. pelanggaran mengenai asal-usul dan perkawinan;
5. pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan;
6. pelanggaran kesusilaan;
7. pelanggaran mengenai tanah, tanaman, dan pekarangan;
8. pelanggaran jabatan;
9. pelanggaran pelayaran.
b. Pengertian Tindak Pidana Illegal Fishing
Peraturan perundang-undangan tentang kelautan, terutama
menyangkut bidang perikanan, kategori tindak pidana dibedakan menjadi
“kejahatan” dan “pelanggaran”. Namun, dalam penjelasan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perbuhan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004 tentang Perikanan tidak memberikan definisi ataupun
penjelasan lebih lanjut tentang apa itu illegal fishing.
Pemberian istilah illegal fishing merajuk pada pengertian yang
dikeluarkan oleh International Planof Action (IPOA) tentang illegal,
unreported, dan unregulated (IUU) fishing yang secara harafiah diartikan
sebagai kegiatan perikanan yang tidak sah, kegiatan perikanan yang tidak
diatur oleh peraturan yang ada, atau aktivitasnya tidak dilaporkan kepada
suatu institusi atau lembaga pengelola perikanan yang tersedia. Hal tersebut
diprakarsai oleh FAO (Food and Agriculture Organization) dalam konteks
35
implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).
Pengertian illegal fishing dijelaskan sebagai berikut :
1) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh suatu negara tertentu
atau kapal asing di perairan yang bukan merupakan yurisdiksinya tanpa
izin dari negara yang memiliki yurisdiksi atau kegiatan penangkapan
ikan tersebut bertentangan dengan hukum dan peraturan negara itu;
2) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan oleh perikanan berbendera
salah satu negara yang tergabung sebagai anggota organisasi
pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries Management
Organization (RFMO), tetapi pengoprasian kapal-kapalnya
bertentangan dengan tindakan-tindakan konservasi dan pengelolaan
perikanan yang telah diadopsi oleh RFMO. Negara RFMO wajib
mengikuti aturan yang ditetapkan itu atau aturan lain yang berkaitan
dengan hukum internasional;
3) Kegiatan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-
undangan suatu negara atau ketentuan internasional, termasuk aturan-
aturan yang ditetapkan negara anggota RFMO (Nunung Mahmudah,
2105:80-81).
Sedangkan yang dimaksud dengan unreforted fishing adalah sebagai
berikut:
1) Kegiatan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan atau sengaja
dilaporkan dengan memberi data yang tidak benar kepada penguasa
otoritas nasional terkait, yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di negeri tersebut; atau
2) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan diwilayah yang menjadu
kompetensi suatu organisasi pengelolaan perikanan regional dan
kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dilaporkan, sehingga
bertentangan dengan prosedur pelaporan organisasi tersebut.
Selanjutnya yang dimaksud dengan unregulated fishing adalah:
1) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan diwilayah yang berada
dibawah pengaturan organisasi pengelolaan perikanan regional, oleh
36
kapal-kapal tanpa kebangsaan, atau oleh kapal-kapal yang mengibarkan
bendera negara yang bukan anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu
entitas perikanan, dengan cara yang tidak sesuai atau bertentangan
dengan ketentuan-ketentuan konvensi dan langkah-langkah pengelolaan
dari organisasi tersebut; atau
2) Kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan diwilayah atau terhadap
stok ikan yang belum memiliki pengaturan tentang pengelolaan dan
konservasinya dan kegiatan tersebut dilaksanakan dengan cara yang
bertentangan dengan tanggungjawab negara berdasarkan ketentuan
hukum internasional mengenai konservasi sumberdaya hayati laut (Yudi
Dharma Putra, 2015:16-17).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perikanan jo.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 mencatumkan definisi atau konsep
“perikanan” yang mengandung pengertian luas. Dalam Pasal 1 ayat (1)
disebutkan, bahwa :
“Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai
dari praporduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang
dilaksakan dalam suatu sistem bisnis perikanan”.
Definisi perikanan tersebut, mengandung arti kegiatan tidak hanya
sekedar penangkapan ikan, tetapi juga termasuk kegiatan yang berhubungan
dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya
mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran.
Setelah konsep illegal fishing yang dibuat oleh lembaga yang
berwenang disinkronkan dengan konsep “perikanan” menurut Undang-
Undang Nomor 45 Tahun 2009, maka dapat diketahui bahwa semua bentuk-
bentuk tindak pidana, baik yang merupakan “kejahatan” maupun
“pelanggaran” dalam undang-undang perikanan dapat disebut sebagai
tindak pidana illegal fishing.
Setiap kegiatan illegal fishing terjadi di wilayah perairan laut atau
perairan Indonesia yang merupakan bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif
37
Indonesia, yang selanjutnya disebut ZEEI, luas dari zona tersebut mencapai
200 mil dari garis dasar pantai. Pengertian dari ZEEI adalah didalam zona
laut tersebut Indonesia sebagai negara pantai diberikan hak atas kekayaan
atau sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, serta diberikan hak
untuk memanfaatkan dan mengeluarkan kebijakan-kebijakan hukum, juga
diberikan kebebasan untuk kegiatan kenavigasian, melakukan aktivitas
penerbangan datas wilayahnya serta melakukan aktivitas penanaman kabel
dan pipa di bawah laut untuk kepentingan bangsa dan negaranya (Yudi
Dharma Putra, 2015:4).
Merujuk pada pengertian illegal fishing tersebut, secara umum dapat
diidentifikasikan menjadi empat golongan yang merupakan illegal fishing
yang umum terjadi di Indonesia, yaitu:
1. Penangkapan ikan tanpa izin;
2. Penangkapan ikan dengan menggunakan izin palsu;
3. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap terlarang;
4. Penangkapan ikan dengan jenis (spesies) yang tidak sesuai dengan izin.
Beberapa modus atau jenis kegiatan illegal fishing yang sering
dilakukan oleh kapal ikan Indonesia maupun kapal asing, yaitu tidak adanya
atau tidak memiliki beberapa dokumen izin dalam usaha perikanan. Berikut
izin-izin yang harus dimiliki dalam usaha di bidang perikanan, diantaranya:
1. Surat Izin Usaha Perikanan, yang selanjutnya disebut SIUP adalah izin
tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan untuk melakukan
usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang tercantum
dalam izin tersebut;
2. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disebut SIPI adalah izin
tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan
penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari SIUP;
3. Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan, yang selanjutnya disebut SIKPI
adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk
melakukan pengumpulan dan pengangkutan ikan (Djoko Tribawono,
2013:255).
38
c. Sanksi Pidana terhadap Pelaku Illegal Fishing
Sanki pidana bagi pelaku illegal fishing diatur dalam Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Perikanan diantara lain:
1. Pasal 92 menyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah
pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan usaha perikanan di
bidang penangkapan, pembudidayaan, pengangkutan, pengolahan, dan
pemasaran ikan, yang tidak memiliki SIUP sebagaimana dimaksud dalam
pasal 26 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan)
tahun dan denda paling banyak Rp.1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus
juta rupiah).
2. Pasal 93 ayat (1) menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan
penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah).
3. Pasal 93 ayat (2) menyatakan bahwa setiap orang yang memiliki dan/atau
mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing melakukan
penangkapan ikan di ZEEI yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling banyak Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).
4. Pada 93 ayat (3) menyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan
perikanan Negara Republik Indonesia, yang tidak membawa SIPI asli
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
39
5. Pasal 93 ayat (4) menyatakan bahwa setiap orang yang mengoperasikan
kapal penangkap ikan berbendera asing di ZEEI, yang tidak membawa SIPI
asli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak
Rp.20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
40
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Penjelasan Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan alur pemikiran penulis dalam
menggambarkan, menjabarkan, dan menemukan jawaban atas permasalahan
hukum ini, yaitu mengenai Pengajuan Kasasi Penuntut Umum Berdasarkan Judex
Factie Salah Menerapkan Sanksi Pidana Dan Pertimbangan Judex Juris
Perkara Illegal Fishing
Putusan PN. Sorong Nomor
234/PID.SUS/2011/PN-SRG
Upaya Hukum Banding oleh
Penuntut Umum
Putusan PT. Jayapura Nomor
34/PID/2012/PT.JPR
Upaya Hukum Kasasi oleh
Penuntut Umum
Pidana Denda
Pidana Penjara dan Pidana
Denda
Pertimbangan Hakim
Mahkamah Agung
Dikabulkan
Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1766 K/PID.SUS/2013
Alasan Permohonan
Kasasi
41
Memutuskan Perkara Illegal Fishing (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor
1766 K/Pid.Sus/2013).
Meninjau perkara illegal fishing yang dilakukan oleh kapal asing di wilayah
perairan Indonesia ini sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung
Nomor 1766 K/Pid.Sus/2013 bahwa telah membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi
Jayapura Nomor 34/PID/2012/PT.JPR dan memperbaiki Putusan Pengadilan
Negeri Sorong Nomor 234/PID.SUS/2011/PN-SRG, Hakim Mahkamah Agung
mengabulkan permohonan dan alasan kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum.
Dalam memori kasasinya, Penuntut Umum menjelaskan bahwa Majelis Hakim
dalam memutuskan perkara tidak menerapkan hukum sebagaimana mestinya dan
tidak memberi efek jera bagi pelaku tindak pidana illegal fishing, Dari uraian
tersebut, dapat diketahui terdapat suatu permasalah hukum yang ada dalam putusan
Mahkamah Agung Nomor 1766 K/Pid.Sus/2013 sehingga penulis memandang
perlu suatu kajian yang lebih mendalam terhadap putusan ini.