BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ARTHRITIS GOUT
Arthritis pirai (gout) adalah penyakit yang seing ditemukan dan tersebar
diseluruh dunia. Arthritis pirai merupakan kelmopok penyakit heterogen sebagai akibat
deposit Kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat di
dalam cairan ekstraseluler. Manifestasi klinik deposisi urat meliputi arthritis gout akut,
akumulasi Kristal pada jaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yang
jarang adalah kegagalan ginjal (gout nefropati). Gangguan metabolism yang
mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat
lebih dari 7,0 mg/dl pada laki – laki dan 6,0 mg/dl pada perempuan.
Asam urat adalah asam yang berbentuk kristal-kristal yang merupakan hasil
akhir darimetabolisme purin (bentuk turunan nukleoprotein), yaitu salah satukomponen
asam nukleat yang terdapat pada inti sel-sel tubuh. Secara alamiah, purin terdapat dalam
tubuh kita dan dijumpai pada semua makanan dari sel hidup, yakni makanan dari tanaman
(sayur, buah, kacang-kacangan) atau pun hewan (daging, jeroan, ikan sarden). Jadi asam
urat merupakan hasil metabolisme di dalam tubuh yang kadarnya tidak boleh
berlebih, kelebihan asam urat akan dibuang melalui urin.
Penyakit hiperurisemia lebih sering menyerang laki-laki diatas umur 40 tahun,
karena kadar asam urat pada pria cenderung meningkat dengan bertambahnya usia. Pada
usia ini, pria mengalami penurunan kemampuan yaitu tak seenergik pria yang berusia 20
tahun karena mempunyai masalah dengan otot atau persendian .Jika penyakit ini
menyerang wanita, maka pada umunya wanita yang menderita adalah wanita yang sudah
menopause. Pada wanita yang belum menopause, memiliki kadar hormon estrogen yang
cukup tinggi. Hormon ini membantu mengeluarkan asam urat darah melalui kencing.
Laki-laki tidak memiliki hormone estrogen yang tinggi, sehingga asam urat sulit
dikeluarkan melalui kencing dan resikonya adalah kadar asam urat bisa menjadi tinggi
(hiperurisemia). Pada anak-anak jarang menderita hiperurisemia, jika anak-anak terserang
hiperurisemia, kemungkinan ada penyakit lain yang menyebabkan kadar asam urat tinggi,
seperti gangguan hormon, penyakit ginjal, kanker darah ataupun faktor keturunan.
26
Arthtitis Gout adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan secara total, yang
berarti sekali terjerat penyakit ini, seseorang harus memperhatikannya seumur hidup.
Kadang-kadang kombinasi obat yang disarankan harus dikonsumsi dalam jangka panjang,
dalam hitungan bulan atau tahun. Bahkan ada kalanya penderita disarankan
mengkonsumsi obat penurun asam urat tersebut seumur hidup apabila tingkat
serangan sampai pada tahap yang berat. Hal ini misalnya terjadi pada penderita batu
ginjal asam urat ataupun telah terjadi pengendapan asam urat pada persendiaan.
2.1.1 PATOGENESIS ARTRITIS GOUT
Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam
urat serum, meninggi ataupun menurun. Pada kadar asam urat yang stabil, jarang
mendapatkan serangan. Pengobatan dini dengan allopurinol yang menurunkan kadar urat
serum dapat mempresipitasi serang gout akut. Pemakaian alcohol berat oleh pasien gout
dapat menimbulkan fluktuasi kadar urat serum. Penurunan urat serum dapat mencetuskan
pelepasan Kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals sheeding). Pada
beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia asimptomatik Kristal urat
ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya tidak pernah
mendapat serangan akut. Dengan demikian gout, seperti juga pseudogout, dapat timbul
pada keadaan asimptomatik. Pada penelitian yang dilakukan oleh Edward Stefanus T,
didapat 21% pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperature, PH
dan kelrutan urat untuk menimbulkan serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium
urat pada temperature lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat
menjelaskan mengapa Kristal MSU diendapkan pada kedua tempat tersebut. Predileksi
untuk pengendapan Kristal MSU pada metatarsofalangeal- 1 (MTP-1) berhubungan juga
dengan trauma ringan yang berulang ulang pada daerah tersebut. Penelitian Simkin
didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya
setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam cairan sendi seperti
MTP -1 menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari.selanjutnya bila
cairan sendi diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar urat lokal.
Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan (onset) gout akut pada malam hari
pada sendi yang bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat in vitro
melalui pembentukan dari protonated solid phases. Walaupun kelarutan sodium urat
bertentangan terhadap asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada penurunan pH
dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH serta kapasitas buffer pada sendi dengan gout,
27
gagal untuk menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH
secara akut tidak signifikan mempengaruhi pembentukan Kristal MSU sendi.
Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada arthritis gout
terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk
menghindari kerusakan jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses inflamasi
adalah:
Menetralisir dan menghancurkan agen penyebab
Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang lebih luas.
Perdangan pada arthritis gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu
Kristal monosodium urat pada sendi. Mekanisme perdngan ini belum diketahui secara
pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai
mediator peradangan akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antara lain aktivitas
komplemen (C) dan selular.
28
Proses inflamasi melalui beberapa cara:
Kristal bersifat mengaktifkan sistem komplemen terutama C3a dan C5a.
Komplemen ini bersifat kemotaktik dan akan merekrut neutrofil ke jaringan (sendi
dan membransinovium). Fagositosis terhadap kristal memicu pengeluaran radikal
bebas toksik danleukotrien, terutama leukotrien B. Kematian neutrofil menyebabkan
keluarnya enzimlisosom yang destruktif.
Makrofag yang juga terekrut pada pengendapan kristal urat dalam sendi akan
melakukanaktivitas fagositosis, dan juga mengeluarkan berbagai mediator
proinflamasi seperti IL-1,IL-6, IL-8, dan TNF. Mediator-mediator ini akan
memperkuat respons peradangan, disamping itu mengaktifkan sel sinovium dan sel
tulang rawan untuk menghasilkan protease. Protease ini akan menyebabkan cedera
jaringan
Penimbunan kristal urat dan serangan yang berulang akan menyebabkan
terbentuknya endapan seperti kapur putih yang disebut tofi/tofus (tophus) di tulang
rawan dan kapsul sendi. Di tempat tersebut endapan akan memicu reaksi peradangan
granulomatosa, yang ditandai dengan massa urat amorf (kristal) dikelilingi oleh
makrofag, limfosit, fibroblas, dan sel raksasa benda asing. Peradangan kronis yang
persisten dapat menyebabkan fibrosis sinovium, erosi tulang rawan, dan dapat
diikuti oleh fusi sendi (ankilosis). Tofus dapat terbentuk di tempat lain (misalnya
tendon, bursa, jaringan lunak). Pengendapan kristal asam urat dalam tubulus ginjal
dapat mengakibatkan penyumbatan dan nefropati gout
2.1.2 MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik gout terdiri dari arthritis gout akut , interkritikal gout dan gout
menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat
deposisi yang progresif Kristal urat.
a. Stadium Artritis Gout Akut
29
Pada waktu serangan artritis sendi yang terkena berupa rasa sakit yang sangat
disertai warna kemerahan dan pembengkakan sendi yang terkena karena adanya
endapan kristal monosodium urat monohidrat pada sendi. Umumnya mengenai sendi
engkel kaki, lutut kadangkala ekstremitas bagian atas atau ibu jari kaki bagian dalam
yang dikenal sebagai podagra ,walaupun sering juga pada beberapa kasus disertai
dengan faktor pencetus berupa: makan-makanan yang mengandung tinggi purin, obat
diuretika, alkohol dan lain-lain. Pemeriksaan laborat bila dilakukan pengambilan
cairan sendi yang terkena dan dilihat dibawah mikroskop akan ditemukan kristal asam
urat berbentuk seperti jarum maka diagnosis artritis gout menjadi pasti.Pada
pemerikisaan asam urat darah umumnya meninggi walaupun tidak selalu kadang –
kadang asam urat darah seringkali normal, sedangkan pemeriksaan radiologik tak
begitu khas.
b. Stadium Interkritikal
Pada kasus ini penderita pernah beberapa kali mendapat serangan akut artritis
gout diselingi periode asimptomatik, pada beberapa kasus serangan akan terjadi dalam
periode 6 bulan sampai 2 tahun. Tindakan yang diperlukan ialah dengan diet rendah
purin dan minum banyak lebih kurang dua liter perhari serta bila kadar asam urat
darah lebih dari normal dapat diberikan alopurinol tergantung tinggi rendahnya asam
urat darah dari penderita tersebut. Fase asimptomatik murni sangat jarang terjadi pada
kelainan sendi lainnya, kecuali pada kasus artritis akibat kristal, karenanya fase ini
pun menjadi kriteria diagnosis artritis gout.
c. Stadium Kronis (Menahun)
Pada artritis gout kronik yang mana penderita tidak lagi bebas serangan akut
disertai dengan kelainan sendi dan adanya tophus atau tophi (jamak ) di beberapa
tempat, kadang-kadang disertai ada batu pada ginjalnya (renal kalkuli ). Fase ini
terjadi sekitar 10 tahun setelah serangan akut intermitten sehingga merupakan tahap
paling buruk, tahap interkritikalnya sudah tidak lagi murni asimptomatik, sudah ada
merah dan pembengkakan yang terus memburuk. Ditemukan pula deposit tofus akibat
kristalisasi monosodium urat.
2.1.3 DIAGNOSIS
Diagnosis pasti arthritis gout bila kita dapat mengambil cairan sendi ( aspirasi ) dan
didapatkan cairan seperti susu dalam tofi dan bila dilakukan pemeriksaan dengan
mikroskop akan didapatkan kristal berbentuk seperti jarum. Akan tetapi tidak semua
pasien mempunyai tofi sehingga pemeriksaan ini kurang sensitif. Oleh karena itu
30
kombinasi dari penemuan – penemuan di bawah ini dapat dipakai untuk menegakkan
diagnosis
Riwayat inflamasi klasik arthritis monoartikuler khusus pada sendi MTP – 1.
Diikuti oleh stadium interkritik dimana bebas symptom.
Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin.
Sedangkan menurut American College of. Rheumatology (ACR) 1977:
A. Adanya kristal urat yang khas dalam cairan sendi, atau
B. Thopus terbukti mengandung kristal urat berdasarkan pemeriksaan kimiawi dan
mikroskopik dengan sinar terpolarisasi, atau
C. 1) Inflamasi maksimal pada hari pertama
2) Serangan arthritis gout lebih dari satu kali.
3) Artritis monoartikulair
4) Kemerahan di sekitar sendi yang meradang
5) Sendi metatarsophalangeal pertama (ibu jari kaki) terasa sakit atau membengkak
6) Serangan unilateral (satu sisi) pada sendi metatarsophalangeal pertama
7) Serangan unilateral pada sendi tarsal (jari kaki)
8) Tophus (deposit besar dan tidak teratur dari natrium urat) di kartilago artikular
(tulang rawan sendi) dan kapsula sendi
9) Hiperuricemia (kadar asam urat dalam darah lebih dari 7,5 mg/dL)
10) Pembengkakan sendi asimetris pada gambaran radiologic.
11) Kista subkortikal tanpa erosi pada gambaran radiologic
12 ) kultur bakteri cairan sendi negatif
Diagnosis gout ditetapkan ketika didapatkan kriteria A dan/atau kriteria B dan/atau 6 hal
atau lebih dari kriteria C.
Diagnogsis banding Beberapa penyakit reumatik yang lain yang mirip dengan artritis
gout ialah artritis infektif, atipikal reumatoid artritis, dan pseudo gout. Untuk
membedakankannya ialah pada artritis infektif bila ditemukan kuman baik lewat kultur cairan
sendi atau pengecatan gram, sedangkan pseudo gout agak sulit tergantung bentuk kristal yang
dapat ditemukan dari cairan sendi, sedangkan untuk membedakan dengan artritis reumatoid
cukup sulit bila gejala-gejala yang lain belum tampak.
2.1.4 PENATALAKSANAAN ARTRITIS GOUT
31
Secara umum penanganan artritis gout adalah pemberian edukasi, pengaturan diet,
istirahat sendi dan pengobatan. Pengobatan dilakukan secara dini agar tidak terjadi
kerusakan sendi atau komplikasi lain, seperti pada ginjal. Pengobatan atritis gout akut
bertujuan untuk menghilangkan keluhan nyeri dan peradangan dengan kolkisin, OAINS,
kortikosteroid, atau hormon ACTH. Obat penurun asam urat sepertiallopurinol atau obat
urikosurik tidak boleh diberikan pada stadium akut, namun pada pasien yang telah rutin
mendapat obat penurun asam urat sebaiknya tetap diberikan.
Tujuan pengobatan arthritis gout:
a. Mengobati dan mencegah serangan akut artritis gout.
b. Menurunkan kadar asam urat darah sehingga mencegah terjadinya flare up.
c. Menekan kerusakan sendi serta mencegah terjadinya batu ginjal.
Pengobatan hiperurisemia asimptomatik Dikatakan suatu hiperuresemia bila kadar
asam urat darah > 8 mg/dl pada laki-laki, sedangkan pada wanita bila > 7 mg /dl.
Pengobatan hiperurisemia asimptomatik umumnya dengan diet rendah purin dan
pemberian alopurinol tergantung tinggi dan rendah asam urat darah pada penderita
tersebut disertai dengan minum air putih paling sedikit sebanyak dua liter.
a. Pengobatan Artritis gout akut
Diet rendah purin
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS ) dapat digunakan, tidak ada satupun OAINS
yang paling superior untuk mengatasi serangan akut artritis gout, semua obat dapat
dipakai, hanya pertimbangan pemilihan obat berdasarkan adanya tidaknya
kemungkinan efek samping pada penderita seperti ada tidaknya risiko pada
gastrointestinal, ginjal dll. Misal OAINS yang dapat digunakan antara lain :
indometasin 3x 50 mg, sulindac 2x 400 mg,naproxen 2 x 500 mg atau ibuprofen 3x
400 mg/hari atau obat anti inflamasi non steroid yang lain.
c. Kolkisin digunakan pada serangan akut:yaitu dengan dosis maksimum 7-8 mg /hari
dengan efek sampingnya adalah mual–mual sampai diare kemudian diturunkan
dosisnya bila keluhannya mereda. Kolkisin dapat diteruskan untuk mencegah
serangan selama sampai beberapa bulan dengan dosis yang minimal. Pada penyakit
pirai kolkisin tidak meningkatkan ekskresi, sintesis, atau kadar asam urat dalam darah.
Obat ini berikatan dengan protein mikrotubular dengan menyebabkan depolimerasi
dan menghilangnya mikrotubul fibrilar granulosit dan sel bergerak lainnya. Hal ini
menyebabkan peghambatan migrasi ganulosit ke tempat radang sehingga penglepasan
mediator inflamasi juga dihambat dan respon inflamasi ditekan.
32
Allopurinol tidak diberikan pada serangan akut, alopurinol baru diberikan bila
serangan akut telah mereda dosisnya tergantung tinggi –rendahnya asam urat darah.
Steroid injeksi bisa diberikan pada keadaan tertentu misalnya prednison 20-40 mg
perhari sampai 3 hari dan injeksi lokal dapat diberikan pada keadaan tertentu.
b. Pengobatan artritis gout interkritikal
Pada kasus ini penderita pernah beberapa kali mendapat serangan akut artritis gout
diselingi periode asimptomatik, pada beberapa kasus serangan akan terjadi dalam periode
6 bulan sampai 2 tahun. Tindakan yang diperlukan ialah dengan diet rendah purin dan
minum banyak lebih kurang dua liter perhari serta bila kadar asam urat darah lebih dari
normal dapat diberikan alopurinol tergantung tinggi rendahnya asam urat darah dari
penderita tersebut.
c. Pengobatan artritis gout kronik
Pada artritis gout kronik yang mana penderita tidak lagi bebas serangan akut disertai
dengan kelainan sendi dan adanya tophus atau tophi (jamak ) di beberapa tempat, kadang-
kadang disertai ada batu pada ginjalnya (renal kalkuli ). Beberapa hal yang harus
dilakukan penderita antara lain:
a. Edukasi pasien tentang pentingnya modifikasi sikap hidup seperti menjaga berat badan
diusahakan normoweight ,diet rendah purin dan usahakan minum banyak 2 liter
perhari,mengurangi atau berhenti konsumsi minuman berakohol dan menghentikan
minum obat aspirin dosis rendah yang kemungkinan dapat meninggikan asam urat
darah.
b. Tujuan terapi pada artritis gout kronik ialah mencegah kerusakan parenkim ginjal dan
pembentukan batu ginjal serta mencegah flare up dengan diberikan kolkisin 0,5-1
mg/hari selama 6 bulan sampai setahun kolkisin dapat dihentikan bila dievaluasi selama
6 bulan sudah bebas serangan akut.Apabla terdapat gangguan fungsi ginjal sebaiknya
kolkisin dihindari atau dosisnya dikurangi sambil monitoring ketat kadar ureum dan
kreatinin darah.
c. Pemberian alopurinol untuk menurunkan asam urat darah minimal menjadi 5-6 mg /dl.
Indikasi pemberian alopurinol:
Hiperekresi asam urat urin per 24 jam ( >600 mg/ hari )\
Riwayat batu ginjal
Adanya tophus/tophi
Gangguan faal ginjal (renal insuffiency )
Sebelum pengobatan sitostatika karena kanker
33
Terjadinya serangan akut gout yang refrakter walaupun sudah mendapat
kolkisin dan obat urikosurik.
d.Indikasi pemberian urikosurik:
1) Hiposekresi atau normal ekskresi asam urat urin/24 jam (< 600 mg/hari )
2) Fungsi ginjal normal
3) Tidak adanya tophus atau tophi
4) Tidak ada batu pada ginjal
e. Obat anti inflamasi non steroid serta steroid dapat diberikan secara dosis kecil dalam
waktu pendek 3-5 hari atau dapat diberikan injeksi pada sendi yang sakit bila serangan
akut tidak mereda dengan obat-obat yang lain.
f. Pencegahan terhadap nefrolitiasis .Pada pasien dengan batu ginjal ialah dengan cara
alkalisasi urin bila pH urin asam atau kurang 6,0 dengan pemberian bikarbonat natrikus
dan minum air sebanyak 2 liter perhari.
g. Tindakan bedah pada tophi dapat dilakukan bila terjadi infeksi atau mengganggu fungsi
sendi.
2.2 ANEMIA
2.2.1 DEFINISI ANEMIA
34
1. Anemia ialah keadaaan dimana massa eritrosit dan atau massa hemoglobin yang
beredar tidak dapat memenuhi fungsinya untuk menyediakan oksigen bagi
jaringan tubuh.
2. Secara laboratorik dijabarkan sebagai penurunan di bawah normal kadar
hemoglobin, hitung eritrosit dan hematokrit (packed red cell)
Dinyatakan anemia bila :26,27
Laki – laki dewasa : Hb < 13 g/dl
Perempuan dewasa tak hamil : Hb < 12 g/dl
Perempuan hamil : Hb < 11 g/dl
Anak umur 6-14 tahun : Hb < 12 g/dl
Anak umur 6 bulan – 6 bulan :Hb < 11 g/dl
Derajat anemia antara lain ditentukan oleh kadar hemoglobin. Klasifikasi derajat
anemia :
o Ringan sekali : Hb 10 g/ dl – cut off point
o Ringan : Hb 8 g/dl - Hb 9,9 g/dl
o Sedang : Hb 6 g/dl – Hb 7,9 g/dl
o Berat : Hb < g/dl
2.2.2 KLASIFIKASI ANEMIA BERDASARKAN MORFOLOGI ERITROSIT
A. Anemia hipokromik mikrositer (MCV < 80fl; MCH < 27 pg)
1. Anemia defisiensi besi
2. Thalassemia
3. Anemia akibat penyakit kronik
4. Anemia sideroblastik
B. Anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl; MCH 27-34 pg)
1. Anemia pascaperdarahan akut
2. Anemia aplastik – hipoplastik
3. Anemia hemolitik – terutama bentuk yang didapat
4. Anemia akibat penyakit kronik
5. Anemia mieloptisik
6. Anemia pada gagal ginjal kronik
7. Anemia pada mieolofibrosis
8. Anemia pada sindrom mielodisplastik
35
9. Anemia pada leukemia akut
C. Anemia makrositer (MCV > 95)
1. Megaloblastik
a. Anemia defisiensi folat
b. Anemia defisiensi vitamin B12
2. Nonmegaloblastik
a. Anemia pada penyakit hati kronik
b. Anemia pada hipotiroid
c. Anemia pada sindroma mielodisplastik
2.2.3 PATOFISIOLOGI ANEMIA
Anemia timbul karena :
a. Anoksia organ target, karena berkurangnya jumlah oksigen yang dapat dibawa
oleh darah ke jaringan menimbulkan gejala pada organ yang terkena.
b. Mekanisme kompesasi tubuh terhadap anemia:
- Penurunan afinitas Hb terhadap oksigen dengan meningkat enzim 2,3 DPG
(2,3 diphospho glycerate)
- Meningkatkan curah jantung
- Redistribusi aliran darah
- Menurunkan tekanan oksigen darah
Eritrosit/hemoglobin menurun
Kapasitas angkut oksigen menurun
Anoksia organ target Mekanisme kompensasi tubuh
Gejala anemia
2.2.4 DIAGNOSIS ANEMIA
Langkah – langkah untuk menegakkan diagnosis anemia :26,27
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
36
Warna kulit : pucat, plethora, sianosis, ikterus, kulit telapak tangan kuning seperti
jerami
Purpura : petechia dan echymosis
Kuku : koilonychias (kuku sendok)
Mata : ikterus, kunjungtiva pucat, perubahan fundus
Mulut : ulserasi, hipertrofi gusi, perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis dan
stomatitis angularis
Limfadenopati, splenomegali dan hepatomegali.
3. Pemeriksaan laboraturium hematologik
Tes penyaring : kadar Hb, indeks eritrosit (MCV, MCH, MCHC), apusan
darah tepi
Pemeriksaan rutin : LED, hitung diferensial, hitung retikulosit
Pemeriksaan sumsum tulang
Pemeriksaan atas indikasi khusus
- Anemia defisiensi besi : serum iron, TIBC, saturasi tranferin dan feritin
serum
- Anemia megaloblastik : asam folat darah/eritrosit, vitamin B12
- Anemia hemolitik hitung retikulosit, tes Coombs, elektroforsis Hb
- Anemia pada leukemia akut : pemeriksaan sitokimia
Pemeriksaan laboratorium nonhematologik : faal ginjal, faal endokrin, asam
urat, faal hati, biakan kuman, dll
Pemeriksaan penunjang lain :
- Biopsi kelenjar yang dilanjutkan dengan pemeriksaan histopatologi
- Radiologi : toraks, bone survey, USG, skening, limfangiografi
- Pemeriksaan sistogenetik
- Pemeriksaan biologi molekuler (PCR, FISH)
37
2.3 SINDROM METABOLIK
2.3.1 DEFINISI SINDROM METABOLIK
Sindrom metabolic (sindrom X, sindrom resistensi insulin) pertama kali
diidentifikasi pada tahun 1923 saat Kylin mengobservasi bahwa hipertensi, hiperglikemia,
dan gout cenderung mengelompok. Saat ini, sindrom ini meliputi obesitas, hipertensi,
diabetes, dan hiperlipidemia, pertama kali dideskripsikan pada 1960 sebagai sindrom
38
metabolik. Tahun 1988 Reaven dan Ferraninni menyebutkan bahwa penyebab yang
mendasarinya adalah resistensi insulin, sehingga Ferraninni menyebutnya sindrom
resistensi insulin sementara Reaven menyebutnya sindrom X. Sindrom metabolik meliputi
sekelompok komponen yang menunjukkan overnutrisi, gaya hidup sedenter, dengan
adiposa yang berlebih. Sindrom metabolik meliputi obesitas abdominal, resistensi insulin,
dislipidemia, dan peningkatan tekanan darah serta berhubungan dengan komorbiditas lain
meliputi keadaan protrombotik, proinflamasi, non alcoholic fatty liver disease, dan
gangguan reproduktif.
2.3.2 EPIDEMIOLOGI SINDROM METABOLIK
Prevalensi sindroma metabolic bervariasi di seluruh dunia, menggambarkan umur
dan etnisitas populasi yang dipelajari dan kriteria diagnostik yang digunakan. Prevalensi
paling tinggi adalah pada Native Americans, hampir 60% wanita berusia 45-49 dan 45%
pria berusia 45-49. Industrialisasi di seluruh dunia berhubungan dengan meningkatnya
kejadian obesitas, yang diantisipasi akan meningkatkan prevalensi sindrom metabolic
secara dramatis. Terlebih lagi, prevalensi dan keparahan yang meningkat dari obesitas
pada anak-anak menginisiasi timbulnya sindrom metabolic pada populasi yang lebih muda
.
2.3.3 FAKTOR RISIKO SINDROM METABOLIK
a. Overweight/obesitas
Adipositas sentral merupakan kunci dari sindrom metabolic, menggambarkan fakta
bahwa prevalensi sindrom tersebut didorong oleh hubungan yang kuat antara lingkar
pinggang dan meningkatnya adipositas.
b. Gaya hidup sendentari
Inaktifitas fisik adalah predictor dari kejadian CVD dan peningkatan mortalitas.
Banyak komponen dari sindrom metabolic berhubungan dengan gaya hidup sedentari,
termasuk peningkatan jaringan adipose (terutama sentral), berkurangnya kolesterol HDL, dan
kecenderungan peningkatan trigliserida, tekanan darah yang tinggi, dan glukosa darah yang
tinggi.
c. Penuaan
Sindrom metabolic didapatkan pada 44% dari populasi AS yang lebih tua dari 50
tahun. Persentase yang lebih besar pada wanita berusia lebih dari 50 tahun menderita sindrom
ini dibandingkan pada pria.
d. Diabetes melitus
39
Diperkirakan bahwa sebagian besar (~75%) pasien dengan DM tipe 2 atau IGT
memiliki sindroma metabolic. Adanya sindrom metabolic pada pasien-pasien ini
berhubungan dengan prevalensi CVD yang lebih tinggi.(18)
e. Coronary heart disease
Perkiraan prevalensi dari sindrom metabolic pada pasien dengan CHD adalah 50%.
Dengan rehabilitasi yang sesuai dan perubahan gaya hidup (nutrisi, aktivitas fisik, penurunan
berat badan), prevalensi dari sindrom ini dapat dikurangi.(18)
2.3.4 DIAGNOSIS SINDROM METABOLIK
Tabel. Kriteria Diagnosis Sindrom Metabolik
Faktor Risiko ATP III/NECP WHO IDF
Obesitas WCF>102 cm (L) atau >88 cm (P)
BMI ≥30 kg/m2 dan/atau WHR >0,9 (L), >0,85 (P)
Obesitas sentralWC (etnik spesifik)
Tekanan darah ≥130/≥85 mmHg ≥140/≥90 mmHg ≥130/≥85 mmHg
Glukosa puasa ≥110 mg/dl IGT atau diabetes ≥100 mg/dl
Mikroalbuminuria - AER 20g/dl -
Trigliserida ≥150 mg/dl ≥150 mg/dl ≥150 mg/dl
Kolesterol HDL <40 mg/dl (L)<50 mg/dl (P)
<35 mg/dl (L)<39 mg/dl (P)
<40 mg/dl (L)<50 mg/dl (P)
Kriteria 3 dari 5 kriteria terpenuhi
TGT/T2DM/HOMA-R/IR hanya butuh 2 kriteria terpenuhi
Obesitas sentral (etnik spesifik) ditambah 2 dari 4
2.3.5 HIPERTENSI
Hipertensi merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan suatu kondisi
peningkatan tekanan darah dari normal. Kriteria seseorang dikatakan hipertensi mengacu
pada sistem klasifikasi yang ada saat ini yaitu JNC 7. Klasifikasi hipertensi penting adanya
untuk penentuan diagnosis dan kebijakan praktisi dalam penanganan tekanan darah tinggi
yang optimal mengingat komplikasi yang ditimbulkan.
Menurut JNC 7, tekanan darah dibagi dalam 4 klasifikasi yakni normal, pre-
hipertensi, ,hipertensi stage 1, dan hipertensi stage 2. Klasifikasi ini berdasarkan pada nilai
rata-rata dari dua atau lebih pengukuran tekanan darah yang baik, yang pemeriksaannya
dilakukan pada posisi duduk dalam setiap kunjungan berobat.
40
Tabel. Klasifikasi dan Penanganan Tekanan Darah Tinggi pada Orang Dewasa
Klasifikasi Tekanan Darah
Tekanan Darah Sistolik (mmhg)
Tekanan Darah Diastolik (mmhg)
Modifikasi Gaya Hidup
Obat Awal
Tanpa indikasi Dengan Indikasi
Normal <120 < 80 Anjuran Tidak perlu menggunakan obat anti hipertensi
Gunakan obat yang spesifik dengan indikasi (risiko)
Pre Hipertensi 120 – 139 80 – 89 Ya
Hipertensi Stage I
140 – 159 90 – 99 Ya Untuk semua kasus gunakan diuretik jenis thiazide dengan pertimbangan ACEi, ARB, BB, CCB, atau kombinasikan
Gunakan obat yang spesifik dengan indikasi (risiko). Kemudian tambahkan dengan obat anti hipertensi (diuretik, ACEi, ARB, BB, CCB) seperti yang dibutuhkan
Hipertensi Stage II
≥ 160 ≥ 100 Ya Gunakan kombinasi 2 obat ( biasanya diuretik jenis thiazide) dan ACEi/ARB/BB/CCB
Pasien dengan pre-hipertensi memiliki resiko dua kali lipat untuk berkembang menjadi
hipertensi. Dimana berdasarkan dari tabel tersebut, diakui perlu adanya peningkatan edukasi
pada tenaga kesehatan dan masyarakat mengenai modifikasi gaya hidup dalam rangka
menurunkan dan mencegah perkembangan tekanan darah ke arah hipertensi. Modifikasi
gayahidup merupakan salah satu strategi dalam pencapaian tekanan darah target, mengingat
hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang disebabkan oleh perilaku gaya
hidup yang salah.
2.3.5.1 FAKTOR RISIKO HIPERTENSI
Faktor risiko terjadinya hipertensi yaitu, sebagai berikut :
Usia
Risiko terjadinya hipertensi meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Pada usia
pertengahan tahun, laki – laki lebih berisiko untuk mengalami hipertensi sedangkan
wanita lebih berisiko untuk mengalami hipertensi setelah menopause.
Ras
Hipertensi lebih sering terjadi pada ras hitam, seringkali terjadi pada usia muda jika
dibandingkan dengan ras kulit putih putih. Komplikasi serius, seperti stroke dan
serangan jantung, lebih sering terjadi pada ras kulit hitam.
Riwayat keluarga
41
Overweight atau obesitas
Individu dengan overweight dan obesitas memiliki risiko untuk mengalami hipertensi.
Semakin tinggi berat badan seseorang, semakin besar pasokan darah yang diperlukan
untuk mencukupi kebutuhan oksigen dan nutrisi jaringan. Seiring dengan peningkatan
volume yang melalui pembuluh darah, maka tekanan pada dinding kapiler pun
meningkat.
Kurang aktif bergerak.
Merokok
Merokok tidak hanya akan meningkatkan tekanan darah sementara tetapi zat kimia
yang terkandung di dalamnya akan merusak permukaan dinding arteri, hal ini akan
menyebabkan arteri akan menyempit, dan tekanan darah akan meningkat.
Diet tinggi garam ( sodium)
Diet kurang potasium
Diet kurang vitamin D
Alkohol
Stres
Penyakit kronik
Individu yang menderita kolesterol, diabetes, penyakit ginjal kronik dan sleep apneu
berisiko untuk mengalami hipertensi
2.3.5.2 PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Patogenesis hipertensi esensial multifaktorial dan sangat kompleks. Berbagai faktor
mempengaruhi tekanan darah dalam tubuh dalam rangka mempertahankan perfusi jaringan,
termasuk di dalamnya mediator humoral, reaktivitas vaskular, volume darah yang
bersirkulasi, diameter pembuluh darah, viskositas darah, cardiac output, elastisitas pembuluh
darah dan stimulasi neural.Proses terjadinya hipertensi esensial dimulai dari suatu proses
peningkatan tekanan darah yang asimptomatik yang berkembang menjadi hipertensi persisten
dimana terjadi kerusakan pada aorta dan arteri – arteri kecil, jantung, ginjal, retina dan sistem
saraf pusat. Progresivitas dimulai dari suatu kondisi prehipertensi pada individu sekitar usia
10 – 30 tahun yang berkembang menjadi awal hipertensi di usia 20 – 40 tahun, menjadi
hipertensi yang nyata pada usia 30 – 40 tahun dan mulai muncul komplikasi pada usia 40 –
60 tahun.
2.3.5.3 PENATALAKSANAAN HIPERTENSI
42
Modifikasi gaya hidup
Target tekanan darah tidak terpenuhi (<140/90 mmHg) atau (<130/80 mmHg pad pasien DM, penyakit ginjal kronik, ≥ 3 faktor risiko atau adanya penyakit
penyerta tertentu)
Obat antihipertensi inisial
Dengan indikasi khusus Tanpa indikasi khusus
Obat-obatan untuk indikasi khusus tersebut ditambah
obat antihipertensi (diuretik ACEi, BB, CCB)
Hipertensi stage I(sistolik 140-159 mmHg
atau diastolik 90-99 mmHg)
Diuretik golongan Tiazide. Dapat
dipertimbangkan pemberian ACEi, BB, CCB atau kombinasi)
Hipertensi stage II(sistolik 160 mmHg atau diastolik >100
mmHg)Kombinasi dua obat.
Biasanya diuretik dengan ACEi atau BB
atau CCB
Target tekanan darah tidak terpenuhi
Optimalkan dosis obat atau berikan tambahan obat antihipertensi lain. Pertimbangkan untuk konsultasi
dengan dokter spesialis.
43
a. Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup yang sehat oleh semua pasien hipertensi merupakan suatu cara
pencegahan tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang tidak terabaikan dalam
penanganan pasien tersebut. Modifikasi gaya hidup memperlihatkan dapat menurunkan
tekanan darah yang meliputi penurunan berat badan pada pasien dengan overweight
atauobesitas. Berdasarkan pada DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension),
perencanaan diet yang dilakukan berupa makanan yang tinggi kalium dan kalsium, rendah
natrium, olahraga, dan mengurangi konsumsi alkohol. Modifikasi gaya hidup dapat
menurunkan tekanan darah, mempertinggi khasiat obat anti hipertensi, dan menurunkan
resiko penyakit kardiovaskuler. Sebagai contohnya adalah konsumsi 1600 mg natrium
memiliki efek yang sama dengan pengobatan tunggal. Kombinasi dua atau lebih
modifikasi gaya hidup dapat memberikan hasil yang lebih baik. Berikut adalah uraian
modifikasi gaya hidup dalam rangka penanganan hipertensi.
Tabel . Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi Rekomendasi Perkiraan Penurunan Tekanan
Darah Sistolik (Skala)
Menurunkan Berat Badan
Memelihara Berat Badan Normal ( Indeks Massa Tubuh 18.5 – 24.9 kg/m2)
5 – 20 mmhg/ 10 kg penurunan berat badan
Melakukan pola diet berdasarkan DASH
Mengkonsumsi makanan yang kaya dengan buah – buahan, sayuran, produk makanan yang rendah lemak, dengan kadar lemak total dan saturasi yang rendah
8 – 14 mmhg
Diet rendah natrium Menurunkan intake Garam sebesar 2 – 8 mmhg tidak lebih dari 100 mmol per hari (2.4 gram Na atau 6 gram garam)
2 – 8 mmhg
Olahraga Melakukan kegiatan aerobik fisik secara teratur, seperti jalan cepat ( paling tidak 30
4 – 9 mmhg
44
menit per hari, setiap hari dalam seminggu)Membatasi Penggunaan alcohol
Membatasi konsumsi alkohol tidak lebih dari 2 gelas ( 1 oz atau 30 ml ethanol ; misalnya 24 oz bir, 10 oz anggur atau 3 oz 80 whiski) per hari pada sebagian besar laki – laki dan tidak lebih dari 1 gelas per hari pada wanita dan laki – laki yang lebih kurus
2 – 4 mmhg
b. Terapi Farmakologi
Terdapat beberapa data hasil percobaan klinik yang membuktikan bahwa semua kelas
obat antihipertensi, seperti angiotensin converting enzim inhibitor (ACEI), angiotensin
reseptor bloker (ARB), beta-bloker (BB), kalsium chanel bloker (CCB), dan diuretik
jenistiazide, dapat menurunkan komplikasi hipertensi yang berupa kerusakan organ target.
Diuretik jenis tiazide telah menjadi dasar pengobatan antihipertensi pada hampir semua
hasil percobaan. Percobaan-percobaan tersebut sesuai dengan percobaan yang telah
dipublikasikan baru-baru ini oleh ALLHAT (Anti hipertensive and Lipid Lowering
Treatment to Prevent Heart Attack Trial), yang juga memperlihatkan bahwa diuretik tidak
dapat dibandingkan dengan kelas antihipertensi lainnya dalam pencegahan komplikasi
kardiovaskuler. Selain itu, diuretik meningkatkan khasiat penggunaan regimen obat
antihipertensi kombinasi, yang dapat digunakan dalam mencapai tekanan darah target, dan
lebih bermanfaat jika dibandingkan dengan agen obat antihipertensi lainnya. Meskipun
demikian, sebuah pengecualian didapatkan pada percobaan yang telah dilakukan oleh
Second Australian National Blood Pressure yang melaporkan hasil penggunaan obat awal
ACEI sedikit lebih baik pada laki-laki berkulit putih dibandingkan pada pasien yang
memulaipengobatannya dengan diuretik.Obat diuretik jenis tiazide harus digunakan sebagai
pengobatan awal pada semua pasiendengan hipertensi, baik penggunaan secara tunggal
maupun secara kombinasi dengan satukelas antihipertensi lainnya (ACEI, ARB, BB, CCB)
yang memperlihatkan manfaat penggunaannya pada hasil percobaan random terkontrol.
Jika salah satu obat tidak dapat ditoleransi atau kontraindikasi, sedangkan kelas
lainnya memperlihatkan khasiat dapat menurunkan resiko kardiovaskuler, obat yang
ditoleransi tersebut harus diganti dengan jenis obat dari kelas berkhasiat tersebut. Sebagian
besar pasien yang mengidap hipertensi akan membutuhkan dua atau lebih obat
antihipertensi untuk mendapatkan sasaran tekanan darah yang seharusnya. Penambahan
obat kedua dari kelas yang berbeda harus dilakukan ketika penggunaan obat tunggal dengan
dosis adekuat gagal mencapai tekanan darah target. Ketika tekanan darah lebih dari
45
20/10mmHg di atas tekanan darah target, harus dipertimbangkan pemberian terapi dengan
duakelas obat, keduanya bisa dengan resep yang berbeda atau dalam dosis kombinasi yang
telahdisatukan (tabel 3). Pemberian obat dengan lebih dari satu kelas obat dapat
meningkatkan kemungkinan pencapaian tekanan darah target pada beberapa waktu yang
tepat, namun harustetap memperhatikan resiko hipotensi ortostatik utamanya pada pasien
dengan diabetes,disfungsi autonom, dan pada beberapa orang yang berumur lebih tua.
Penggunaan obat-obat generik harus dipertimbangkan untuk mengurangi biaya pengobatan.
Kombinasi obat yang direkomendasikan adalah :
Diuretik dan β blocker
Diuretik dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonist
Calcium antagonist dan diuretik
Calcium antagonist dan B Blocker
Calcium antagonis dan ACE inhibitor atau angiotensin receptor antagonis
α blocker dan β blocker
Kombinasi lain : obat efek sentral demham ACE inhibitor dan angiotensin receptor
antagonist
2.3.5.4. KOMPLIKASI
Hipertensi merupakan penyakit primer yang memerlukan penanganan yang tepat
sebelum berkomplikasi ke penyakit lainnya seperti gagal jantung, infark miokard,
penyakit jantung koroner, dan penyakit ginjal yang akhirnya dapat berakhir pada kerusakan
organ. Keadaan hipertensi yang disertai dengan penyakit penyerta ini membutuhkan obat
antihipertensi yang tepat yang berdasarkan pada beragam hasil percobaan klinis.
Penanganan dengan kombinasi obat kemungkinan dibutuhkan. Penentuannya disesuaikan
dengan penilaian pengobatan sebelumnya, tolerabilitas obat serta tekanan darah target yang
harus dicapai.
2.3.6. DIABETES MELITUS DAN TOLERANSI GLUKOSA TERGANGGU
Diagnosis diabetes melitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan konsentrasi
glukosa darah. Dalam menetukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang
diambil daan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis dengan cara enzimatik dengan
bahan dasar plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksan glukosa darah
seyogyanya dilakukan di laboratorium klinik yang terpercaya. Walaupun demikian sesuai
dengan kondisi setepat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena dan kapiler
46
dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh
WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.
Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik
DM dilakukan pada mereka yang menunjukan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala yang mempunyai
risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil
pemeriksaan penyaringannya positif untuk memastikan diagnosis definitif. PERKENI
membagi alur diagnosis DM menjadi dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas
DM. Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun tanpa
sebab yang jelas. Sedangkan gejala tidak khas DM diantaranya lemas, keseutan, luka yang
sulit sembuh, gatal, mata kabur, difungsi ereksi pada laki-laki dan pruritus vagina pada
wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah sekali saja sudah
dapat menegakkan diagnosis DM namun apabila tidak ditemukan gejala khas DM maka
diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM dapat ditegakkan
melalui cara pada berikut:
Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥ 200 mg/dl (11,1 mmol/l).
Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari
memperhatikan waktu makan terakhir
Atau gejala klasik DM + glukosa plasma puasa ≥ 126mg/dl (7,0 mmol/l). Puasa
diartkikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8jam
Glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥ 200mg/dl (11,1 mmol/l). TTGO dilakukan
dengan standar WHO menggunakan beban glukosa yang setara dengan 75 gra
glukosa anhidrus yang dilarutkan dalan air.
Cara pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) berdasarkan WHO 1994:
3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti biasa sehari-hari (dengan karbohidrat
cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa
Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaaan, minum air
putih tanpa air gula tetap diperbolehkan
Diperiksa konsentrasi glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gr (orang dewasa) atau 1,75gram/kgbb (anak-anak) dilarutkan
dalam air 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah
minum larutan glukosa selesai
Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
47
Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan dibagi menjadi 3,yaitu:
<140mg/dl normal
140 – 199 mg/dl toleransi glukosa terganggu
≥200 mg/dl diabetes
Pemeriksaan penyaringan dikerjakan pada semua individu dengan IMT ≥ 25 kg/m2 dengan
faktor risiko lain, antara lain:
Aktivitas fisik kurang
Riwayat keluarga mengidap DM pada turunan pertama (first degree relative)
Masuk kelompok etnik risiko tinggi (african, american, latino, native american, asia
american, pacific islander)
Wanita dengan riwayat melahirkan bayi dengan BBL ≥4000gram atau riwayat dibetes
melitus gestasional
Hipertensi (≥140/90 mmHg atau sedang dalam terapi obat anti hipertensi)
Kolesterol HDL < 35mg/dl dan trigliserida ≥ 250 mg/dl
Wanita dengan sindro polikistik ovarium
Riwayat toleransi glukosa terganggu (TGT) atau glukosa darah puasa terganggu
(GDTP)
Keadaan lain yang berhubungan dengan resistansi insulin (obesitas, akantosis
nigrikans)
Riwayat penyakit kardiovaskuler
Pada penapisan dapat dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa atau sewaktu atau
TTGO. Untuk kelommpok risiko tinggi yang haasil pemeriksaan penyaringannya negatif,
pemeriksaan penyaringan ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia
>45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaringan dapat dilakukan setiap 3 tahun atau
lebih cepat tergantung dari klinis masing-masing pasien.
Pemeriksaan penyaringan yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya
(mass screening) tidak dianjurkan karena disamping biaya yang mahal rencana tindak lanjut
bagi mereka yang positif belum ada. Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien
DM, toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu, sehingga dapat
ditentukan langkah yang tepat untuk penangannya. Pasien dengan TGT atau GDPT
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5 – 10 tahun kemudian 1/3 kelompok
TGT akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya
TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya
48
arterioklerosis lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok normal. TGT sering berkaitan
dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola
kesehatan diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin.Pemeriksaan
penyaring dapat dilakukan elalui pemeriksaan konsentrasi glukosa darah sewaktu atau
konsentrasi glukosa darah puasa, kemudian diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO)
standar.
Tabel. Konsentrasi GDS dan GDP sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum Pasti DM DM
Konsentrasi GDS (mg/dl) Plasma Vena
Darah kapiler
<100
<9
100-199
90-199
≥200
≥200
Konsentrasi GDP (mg/dl) Plasma vena
Darah kapiler
<100
<90
100-125
90-99
≥126
≥100
Kriteria diagnostik diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa, antara lain:
1. Konsentrasi GDS (plasma vena) ≥ 200mg/dl
2. konsentrasi GDP > 126 mg/dl atau
3. Konsentrasi glukosa darah > 200mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gramm
pada TTGO.
2.4 AZOTEMIA
Azotemia adalah peningkatan nitrogenurea darah(BUN) (referensi kisaran,8-20mg
/dL)dan serumkreatinin (nilai normal, 0,7-1,4mg /dL), seperti digambarkan dalam grafik
berikut.
Setiap ginjal manusia mengandung sekitar 1juta unit fungsional,yang disebut nefron,
yang terutama terlibat dalam pembentukan urin. Pembentukan urin menghilangkan produk
49
akhir dari aktivitas metabolik dan kelebihan air dalam upaya untuk mempertahankan
homeostasis.
Pembentukan urin oleh nefron melibatkan 3 proses utama, yaitu: penyaringan di
tingkat glomerular, reabsorpsi selektif,dan sekresi oleh sel-sel tubulus. Gangguan dari salah
satu proses akan merusak fungsi ekskresi ginjal, sehingga terjadi azotemia.Jumlahfiltrat
glomerulus yang diproduksi setiap menit oleh semua nefron di kedua ginjal disebut sebagai
laju filtrasi glomerulus (GFR). Rata-rata GFR sekitar 125 ml / menit (10% lebih rendah untuk
wanita) atau 180L/ hari.Sekitar 99% (178L /hari) diserap, dan sisanya (2L/ hari)
diekskresikan.
Ada 3 patofisiologi azotemia: azotemia prerenal, intrarenal, dan azotemia postrenal.
a. Azotemia Prerenal
Prerenal azotemia mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena masalah
penurunan sirkulasi yang mengalir ke ginjal. Dalam azotemia prerenal, penurunan aliran
ginjal merangsang retensi garam dan air untuk mengembalikan volume dan tekanan. Ketika
volume atau tekanan menurun, refleks baroreseptor yang terletak di arkus aorta dan sinus
karotid diaktifkan. Hal ini menyebabkan aktivasi saraf simpatik, menghasilkan vasokonstriksi
arteriol aferen ginjal dan sekresi renin melalui reseptor β-1. Konstriksi arteriol aferen
menyebabkan penurunan tekanan intraglomerular, mengurangi GFR secara proporsional.
Renin mengubah angiotensin I menjadi angiotensin II, yang pada gilirannya menstimulasi
pelepasan aldosteron. Kadar aldosteron menyebabkan penyerapan garam dan air meningkat
pada tubulus colectivus distal.
Penurunan volume atau tekanan adalah stimulus nonosmotik untuk produksi hormon
antidiuretik di hipotalamus, yang memberikan efeknya di ductus colectivs bagian medula
untuk reabsorpsiair. Melalui mekanisme yang tidak diketahui, aktivasi sistem saraf simpatik
menyebabkan reabsorpsi tubulus proksimal \ garam dan air, serta BUN, kreatinin, kalsium,
asam urat, dan bikarbonat. Hasil bersih dari 4 mekanisme retensi garam dan air menurun
output dan penurunan ekskresi natrium (<20 mEq / L).
b. AzotemiaIntrarenal
Azotemia intrarenal, juga dikenal sebagai gagal ginjal akut (GGA) dan cedera ginjal
akut (AKI), mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena masalah dalam ginjal
itu sendiri. Ada beberapa definisi, termasuk peningkatan kadar kreatinin serum sekitar 30%
dari baseline atau penurunan volume urin secara tiba-tiba hingga di bawah 500 ml / hari. Jika
output yang dipertahankan, dinamakanGGAnonoliguric. Jika output turun di bawah 500 ml /
50
hari, dinamakanGGAoliguria. Beberapa jenisGGA yang parah menimbulkan anuria (<100 ml
/ hari).
Penyebab paling umum dari GGA nonoliguric adalah nekrosis tubular akut (ATN),
nefrotoksisitas aminoglikosida, toksisitas litium, atau nefrotoksisitas cisplatin. Kerusakan
tubular lebih sedikit daripada di GGA oliguria. Output normal dalam GGA nonoliguric tidak
mencerminkan GFR normal. Pasien masih dapat berkemih 1440 mL / hari bahkan ketika
GFR turun menjadi sekitar 1 mL / menit karena penurunan reabsorpsi tubular.
Beberapa studi menunjukkan bahwa bentuk-bentuk GGA nonoliguric berhubungan
dengan morbiditas dan mortalitas yang lebih rendah dibandingkan denganGGA oliguria.
Studi yang lain menunjukkan bahwa ekspansi volume, agen diuretik kuat, dan vasodilator
ginjal dapat mengkonversi oliguria untuk GGA nonoliguric jika diberikan lebih awal.
Patofisiologi oliguria akut atau GGA nonoliguric tergantung pada lokasi anatomis dari
cedera. Di ATN, kerusakan epitel menyebabkan penurunan fungsional dalam kemampuan
tubulus untuk menyerap kembali garam, air, dan elektrolit lain. Ekskresi asam dan potasium
juga terganggu. Dalam ATN yang lebih berat, lumen tubular diisi dengan gips epitel,
menyebabkan obstruksi intraluminal, mengakibatkan penurunan GFR.
Nefritis interstisial akut ditandai oleh peradangan dan edema, mengakibatkan
azotemia, hematuria, piuria steril, silinder sel putih dengan eosinophiluria variabel,
proteinuria, dan silinder hialin. Efek net adalah hilangnya kemampuan berkonsentrasi kemih,
dengan osmolalitas rendah (biasanya <500 mOsm / L), berat jenis rendah (<1,015), natrium
urin tinggi (> 40 mEq / L), dan kadang-kadang, hiperkalemia dan asidosis tubulus ginjal .
Namun, dalam adanya azotemia prerenal ditumpangkan, berat jenis, osmolalitas, dan sodium
dapat menyesatkan.
Glomerulonefritis atau vaskulitis disarankan oleh adanya hematuria, sel darah merah,
sel darah putih, silinder granular dan selular, dan tingkat variabel proteinuria. Sindrom
nefrotik biasanya tidak terkait dengan peradangan aktif dan sering muncul sebagai proteinuria
lebih dari 3,5 g/24 jam.
Penyakit glomerular dapat mengurangi GFR karena perubahan permeabilitas
membran basal dan karena stimulasi dari sumbu renin-aldosteron. Penyakit glomerulus sering
memanifestasikan sebagai sindrom nefrotik atau nephric. Pada sindrom nefrotik, endapan
kemih tidak aktif, dan ada proteinuria bruto (> 3,5 g / hari), hipoalbuminemia, hiperlipidemia,
dan edema. Azotemia dan hipertensi jarang terjadi awalnya, tapi kehadiran mereka dapat
menunjukkan penyakit lanjut. Beberapa pasien dengan sindrom nefrotik dapat hadir dengan
ARF. Penurunan sirkulasi kapiler dalam ginjal karena edema (nephrosarca) dan obstruksi
51
tubular dari gips protein telah diusulkan sebagai mekanisme potensial untuk pengembangan
GGA pada pasien dengan sindrom nefrotik.
Pada sindrom nefritik, endapan kemih aktif dengan sel gips putih atau merah, gips
granular, dan azotemia. Proteinuria kurang jelas, tetapi meningkatkan retensi garam dan air di
glomerulonefritis dapat menyebabkan hipertensi, pembentukan edema, penurunan output,
ekskresi urin rendah natrium, dan peningkatan berat jenis.
Penyakit pembuluh darah akut termasuk sindrom vaskulitis, hipertensi ganas, krisis
skleroderma ginjal, dan penyakit tromboemboli, yang semuanya menyebabkan hipoperfusi
ginjal dan iskemia yang menyebabkan azotemia. Penyakit pembuluh darah kronis karena
nephrosclerosis hipertensi jinak, yang belum secara meyakinkan terkait dengan stadium akhir
penyakit ginjal dan penyakit ginjal iskemik dari stenosis arteri bilateral ginjal. Pada stenosis
arteri bilateral ginjal, pemeliharaan tekanan intraglomerular memadai untuk penyaringan
sangat tergantung pada vasokonstriksi arteriol eferen. Azotemia merasuk ketika angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor atau jenis angiotensin receptor blockers 2 menyebabkan
dilatasi arteriol eferen, sehingga mengurangi tekanan intraglomerular dan filtrasi. Oleh karena
itu, penghambat enzim konversi dan penghambat reseptor dikontraindikasikan pada stenosis
arteri ginjal bilateral.
Selain akumulasi kreatinin urea dan produk-produk limbah lain, besarnya penurunan
pada GFR dalam hasil CKD penurunan produksi eritropoietin (menyebabkan anemia) dan
vitamin D-3 (menyebabkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder, hiperfosfatemia, dan
osteodistrofi ginjal), pengurangan asam, kalium, garam, dan air ekskresi (menyebabkan
asidosis, hiperkalemia, hipertensi, dan edema), dan disfungsi trombosit, yang menyebabkan
kecenderungan perdarahan meningkat. Sindrom yang terkait dengan tanda dan gejala
akumulasi produk-produk limbah toksik (racun uremik) disebut uremia dan sering terjadi
pada GFR sekitar 10 mL / menit. Beberapa racun uremik (yaitu, urea, kreatinin, fenol,
guanidines) telah diidentifikasi, tetapi tidak ada yang ditemukan bertanggung jawab atas
semua manifestasi dari uremia.
c. Azotemia Postrenal
Azotemia Postrenal mengacu pada elevasi di tingkat BUN dan kreatinin karena
obstruksi dalam sistem pengumpul. Obstruksi bilateral progresif menyebabkan hidronefrosis
dengan peningkatan tekanan hidrostatik kapsula Bowman dan penyumbatan tubulus yang
mengakibatkan penurunan dan penghentian filtrasi glomerulus secara progresif, azotemia,
asidosis, kelebihan cairan, dan hiperkalemia.
52
Obstruksi sepihak jarang menyebabkan azotemia. Dengan bantuan dari obstruksi
saluran kemih lengkap dalam waktu 48 jam, ada bukti bahwa pemulihan GFR yang relatif
lengkap dapat dicapai dalam waktu seminggu, sementara pemulihan lebih sedikit atau tidak
terjadi setelah 12 minggu. Obstruksi parsial atau lengkap yang berkepanjangan dapat
menyebabkan atrofi tubulus dan fibrosis ginjal ireversibel. Hidronefrosis mungkin tidak ada
jika obstruksi ringan atau akut atau jika sistem pengumpulan terbungkus oleh tumor atau
fibrosis retroperitoneal.
2.5 SKIZOFRENIA
2.5.1 DEFINISI SKIZOFRENIA
Skizofrenia adalah gangguan psikotik yang bersifat kronis dan progresif yang ditandai
dengan terdapatnya perpecahan (schism) atara pikiran, emosi dan perilaku pasien yang
terkena. Perpecahan pada passien digambarkan dengan adanya gangguan fundamental
spesifik yaitu gangguan pikiran yang ditandai dengan gangguan asosiasi, khususnya
kelonggaran afektif, autisme dan ambivalensi. Sedangkan gejala sekundernya adalah waham
dan halusinasi.
Pedoman diagnostik skizofrenia menurut PPDGJ III antara lain:
Harus memenuhi sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas dan biasanya dua
gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas
a. - Thought of echo isi pikirannya sendiri yang berulang dan bergema dalam
kepalanya (tidak keras) dan isi pikiran ulangan walaupun isinya sama namun kualitas
berbeda
- Thought of insertion or withdrawal isi pikiran yang asing dari luar yang menyisip
atau masuk ke pikiran (insertion) atau isi pikirannya tertarik keluar oleh sesuatu dari
luar dirinya (withdrawal)
- Thought of broadcasting isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau
umum mengetahuinya
b. - Delusion of control waham tentang dirinya dikendalikn oleh sesuatu kekuatan
tertentu dari luar
- Delusion of influence waham tentang dirinya dipengaruhi oleh sesuatu kekuatan
tertentu dari luar
- Delusion of passivity waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap
kekuatan dari luar
53
- Delusion of perception pengalaman inderawi yang tak wajar yang bermakna
sangat khas bagi dirinya biasanya bersifat mistik atau mukjizat
c. Halusinasi auditorik:
Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku
pasien, atau
Mendiskusikan perihal pasien diantara mereka sendiri (diantara berbagai suara
yang berbicara)atau
Jenis halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh
d. Waham – waham yang menetap jenis lainnya yang menurut budaya setempat
dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama
atau politik tertentu atau kekuatan atau kemampuan diatas manusia biasa (misalnya
mampu mengendaikan cuaca atau berkomunikasi dengan mahluk asing dari dunia
lain)
Atau paling sedikit dua gejala dibawah ini yang harus selalu ada secara jelas
a. Halusinasi yang menetap dari panca indera apasaaja apabila disertai waha yang
mengambang maupun yang setengah berbentukk tanpa kandungan afektif yang
jelas ataupun disertai ide-ide berlebihan (over valued ideas) yang menetap atau
apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus
menerus
b. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation)
yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau
neologisme
c. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah, posisi tubuh tertentu
(posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme dan stupor
d. Gejala-gejala negatif seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang dan respon
emosinal yang menumpul atau tidak wajar biasanya yang mengakibatkan
penarikan diri dari pergaulan sosial yang mengakibatkan menurunkan kinerja
sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi
atau medikasi neuroleptika.
Adanya gejala-gejala yang khas teersebut diatas harus berlangsung selama satu bulan
atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal)
Harus ada perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari
beberapa aspek perilaku pribadi, bermanifestasi sebagai hilangnya minat hidup tak
54
bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri dan penarikan diri secara
sosial
2.5.2 KLASIFIKASI SKIZOFRENIA
Menurut PPDGJ III skizofrenia diklasifikasikan menjadi:
a. Skizofrenia Paranoid
Disebut skizofrenia paranoid jika:
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Sebagai tambahan
o Halusinasi dan atau waham yang menonjol
Suara halusinasi yang mengancam atau memberi perintah atau halusinasi
auditorik tanpa verbal berupa bunyi peluit, mendengung atau bunyi tawa
Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa atau bersifat seksual atau lain-
lain perasaan tubuh, halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol
Waham dapat berupa hampir setiap jenis tetapi waham dikendalikan ,
dipengaruhi atau passivity yang beraneka ragam yang paling khas
o Gangguan afektif , dorongan kehendak dan pembicaraan serrta gejala
katatonik secara relatif tidak terlalu menonjol
b. Skizofrenia Hebefrenik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Diagnosis hebefrenik pertamakali hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa
muda (onset biasanya 15-25 tahun)
Kepribadian peremorbid menunjuk ciri khas: pemalu dan senang menyediri,
namun tidak harus demekian untuk menentukan diagnosis
Untuk diagnosis hebefrenia yang menyakinkan umumnya memerlukan
pengamatan 2 hingga 3 bulan, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas
berikut ini memang benar bertahan:
o Perilaku tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan. Ada
kecenderungan untuk selalu menyendiri dan menunjukan hampa tujuan
dan hampa perasaan.
o Afek pasien dangkal dan tidak wajar serta disertai dengan giggling, atau
persaan puas diri, self absorbed smiling, atau sikap tinggi hati, grimaces,
55
mannerisme, mengibuli serta bersendaugurau, keluha hipokondrial dan
ungkapan kata yang diulang-ulang
o Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu
(rambling) serta inkoheren.
Gangguan afektif dan dorongan kehendak serta gangguan proses pikir umumnya
menonjol. Halusinasi dan waham mungkin ada tetapi tidak menonjol (fleeting and
fragmentary delution and hallucination). Dorongan kehendak dan yang bertujuan
hilang serta sasaran ditinggalkan sehingga perilaku pasien memperlihatkan ciri
khas yaitu perilaku tanpa tujuan, dan tanpa maksud. Adanya preokupasi yang
dangkal dan bersifat dibuat-buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak
lainnya, makin mempersulit orang memahai jalan pikiran pasien.
c. Skizofrenia Katatonik
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Satu atau lebih dari perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya:
o Stupor
o Gaduh gelisah
o Menampilkan posisi tubuh tertentu yang tidak wajar
o Negativisme
o Rigiditas
o Fleksibilatas cerea / wavy flexibility
o Gejala lain seperti comand autoatism dan pengulangan kata-kata atau
kalimat-kalimat
Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku gangguan
katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti
yang memadai tentang adanya gejal-gejala lain.
d. Skizofrenia tak terinci
Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia
Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
atau katatonik
Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca
skizofrenia
56
BAB III
PEMBAHASAN
Seorang laki- laki berusia 37 tahun didiagnosis dengan artrhritis gout
menahun dengan osteomyelitis akut digiti II pedis dextra dan digiti I pedis sinistra, anemia
mikrositik hipokromik, hipertensi stage 1, toleransi glukosa terganggu, dislipidemia
azotemia, dan skizofrenia hebefrenik.
Dasar diagnosis dari arthrtitis gout menahun adalah dari anamesis didapatkan
pasien datang ke RSDK dengan keluhan nyeri pada luka di jempol jari kaki kiri. ± 5 tahun
SMRS saat bangun tidur pasien mengeluh jempol kaki kirinya bengkak dan terasa nyeri.
Nyeri betambah jika digunakan menapak atau berjalan. Bengkak di jempol kaki kiri teraba
hangat dan terlihat memerah. Demam (+), menggigil (-).Pasien tidak berobat ke pelayanan
kesehatan. Bengkak di jempol kaki lama-lama tidak terasa nyeri dan membentuk benjolan.
Benjolan oleh pasien pernah beberapakali ditusuk dengan jarum dan mengeluarkan cairan
berwarna putih kental namun setelah itu akan timbul benjolan baru ditempat yang sama. ±
2 hari SMRS (Tgl 6 Januari 2013) pasien mengeluh benjolan di jempol kaki kiri pecah
secara tiba-tiba dan terasa nyeri. Nyeri terasa terus menerus dan terasa senut senut, jempol
kaki bertambah nyeri ketika ditekan ataupun digunakan untuk berjalan, pasien
menggunakan tumit kaki untuk menapak sehingga mengganggu aktivitas sehari – hari.
Pasien merasakan kaku-kaku di persedian tangan dan kaki, dan timbul demam (+) hilang
timbul. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tofus pada ekstermitas kanan dan kiri baik
ekstremitas inferior dan superior. Didapatkan ulkus pedis pada digiti II pedis dextra. Pada
pemeriksaan rheumatologi, pada pedis sinistra didapatkan tofus (+) pada persendian digiti
I sampai V dan yang terbesar pada sendi MTP I. Deformitas (+) pada digiti I,III,IV dan V.
Tampak luka mengering pada digiti I dengan nyeri tekan (-). Pergerakan jari-jari kaki
terbatas. Pada pemeriksaan pedis dextra didaptkan tofus pada persendian digiti III,IV dan
V. Tampak deformitas pada digiti I,II,IV dan V. Gerak sendi jari-jari kaki terbatas. Pada
pemeriksaan manus dextra dan sinistra didapatkan tofus pada interphalang digiti I,II,dan
III. Tampak deformitas pada kelima jari baik pada tangan kanan dan kiri. Gerak jari-jari
tangan kanan dan kiri sangat minimal, terdapat kekakuan pada sendi interphalang digiti
I,II,II, IV dan V manus dextra dan sinistra. Dari pemeriksaan kimia klinik tanggal 9
Januari 2013 didaptkan peningkatan asam urat (10,5mg/dl), pada pemeriksaan
mikroskopis dari sampel pus dari aspirasi ulkus pedis dextra didapatkan kristal
57
monosodium urat (+) dan tidak ditemukan adanya bakteri. Pada pemeriksaan X foto pedis
dextra sinistra pada tanggal 8 Januari 2013 didaptkan tampak penyempitan sela sendi
intertarsalis, tarso metatarsal, interphalang disertai erosi marginal sendi
metatarsophalangeal digiti 1,4, dan 5, tampak multipel osteofit pada os.Naviculer,
Os.Cuneiformis, kaput metatarsal 1 kanan-kiri, tampak soft tissue swelling regio
metatarsophalangeal digiti 1 kiri, tampak soft tissue swelling regio phalang proksimal
digiti 2 kanan, disertai multipel lesi titik dan sklerotik, tampak multipel lusensi pada soft
tissue regio pedis kanan, deviasi sendi metatarsophalangeal digiti 5 kiri lateral. Dari
pemeriksaan X Foto manus tanggal 8 Januari 2013 didapatkan tampak penyempitan sela
sendi interphalangeal kanan dan kiri disertai periartriculer osteoporotik dan erosi marginal.
Dari pemeriksaan USG abdomen pada tanggal 14 jauari 2013 didapatkan gambaran
ekogenitas parenkim kedua ginjal meningkat (BrenBridge1) disertai nefrokalsinosis kedua
ginjal dan soliter simple cyst pada interpole ginjal kiri sesuai gambaran proses kronis
pada ginjal. Pada pasien ini riwayat arthritis gout telah berada pada fase kronik, dimana
telah didapatkan tophi di sendi tangan dan kaki. Osteomyelitis akut pada digiti II pedis
dextra dan digiti I pedis sinistra ditegakkan dengan anamesis ditemukan luka pada
benjolan di jari kaki yang pecah tiba-tiba terasa nyeri dan disertai dengan demam yang
hilang timbul. Didapatkan juga leukositosis 11,7 ribu/mmk dan peningkatan CRP
kuantitatif meningkat (3,98 mg/dl) menandakan adanya inflamasi akut. Penatalaksanaan
yang diberikan adalah pemberian diet rendah purin yaitu dengan 1700 kkal, 75 gr protein
dan 250 gr karbohidrat. Diberikan juga alopurinol 2x 100 mg yang berguna untuk
meghambat pembentukan asam urat. Pasien juga diberikan paracetamol 3x500 mg jika
suhu tubuh lebih dari 38oC dan antibiotik profilaksis untuk ulkus pada digiti 2 pedis
dextra dan digiti 1 pedis sinistra yaitu injeksi ceftriaxon 1x2gr yang memiliki spektrum
luas untuk kuman gram positif dan negatif dan clindamycin 3x300mg untuk kuman
anaerob serta mengedukasi pasien agar menghindari makanan yang mengandung purin,
konsumsi alkohol, obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar asam urat.
Diagnosis anemia mikrositik hipokromik didapatkan dari pemeriksaan fisik
didaptkan knjungtiva palpebra anemis (+/+), dari pemeriksaan hematologi rutin tanggal 8
Januari didapatkan kesan anemia mikrositik hipokromik (Hb 8,89gr%, MCH 22,65pg,
MCV 70,85 fL). Terdapat penurunan kadar Fe (39 mg/dl) dan peningkatan ferritin
(436mg/ml) dan TIBC normal dimana sesuai dengan algoritma anemia mikrositik
hipokrom yang disebabkan karena penyakit kronis. Penatalaksaan yang diberikan dengan
58
pemberian diet dan pemantauan kadar Hb seminggu sekali serta mengedukasi pasien untuk
menghabiskan diet yang diberikan RS.
Diagnosis hipertensi stage 1 ditegakkan dengan pemeriksaan tekanan darah
didapatkan sistole 140 mmHg dan diastole 90 mmHg. Terapi yang diberikan adalah
captopril 3x 25g dan mengedukasi pasien agar menghindari makanan yang mengadung
banyak garam, menjaga pola hidup sehat dan rutin meminum obat.
Diagnosis TGT didapatkan dari pemeriksaan laboratorium tanggal 8 januari
2013 didapatkan GDS 232 g/dl, telah dilakukan pemeriksaan HbAIC didaptkan hasil 5%
dimana belum memenuhi kriteria DM yaitu >6,5% dan pemeriksaan gula darah puasa
normal dan glukosa PP 2jam 161,0mg/dl belum memenuhi kriteria DM. Dari anamesis
tidak didaptkan tanda khas DM yaitu poliuri, polidipsi, polifagi dan penurunan berat badan
yang tidak diketahui sebabnya. Dari pemeriksaan GDS pada tanggal 12 januari didapatkan
hasil 78 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan antara lain pemberian diet DM yaitu 1700
kkal, 75 gr protein dan 250 mg karbohidrat dan mengedukasi pasien agar menghindari
makanan manis, dan menjaga pola hidup sehat
Diagnosis Dislipidemia didaptakan dari pemeriksaan profil lipid terdapat
penurunan kadar HDL-C yaitu16mg/dl meski trigliserid dan kolesterol masih dalam
ambang normal.Penatalaksanaan yang diberikan antara lain pemberian diet yaitu 1700
kkal, 75 gr protein dan 250 mg karbohidrat. Pasien diedukasi untuk menghabiskan diet
yang diberikan, menghindari makanan yang mengandung lemak jenuh, dan setelah keluar
RS untuk rutin berolahraga dan menjaga berata badan ideal.
Dasar diagnosis azotemia didapatkan dengan adanya kenaikan kadar ureum
60mg/dl dan creatinin 2,10 mg/dl. Penatalaksanaan yang diberikan adalah pemberian diet
dan monitoring balance cairan dan pemeriksaan ureum kreatinin ulang 1 minggu lagi.
Diagnosis skizofrenia hebefrenik didapatkan dari anamesis didapat bahwa
pasien memiliki riwayat skizofrenia hebefrenik telah dirawat di panti rehab selama 2 tahun
dan mendapat terapi haloperidol 2x5mg, chlorpermazide 1x100mg, dan trihexipenidyl
2x5mg. Untuk penatalaksaannya dikonsulkan ke bagian psikiatri dan usul rawat bersama.
59
TINJAUAN PUSTAKA
1. Mansjoer, Arif, et al. 2001. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ketiga. Jilid 1. Jakarta :
Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI
2. Putra TR. Hiperurisemia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: 2550-5
3. Tehupelory ES, Artritis Pirai ( Artritis Gout). Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009: 2556-60
4. Hadi S.Gambaran Klinis Dan Diagnosis Gout. Dalam: Kumpulan Makalah Temu
Ilmiah Reumatologi 2010.Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta, 2010:94-6
5. Tahupelory ES. Advances In The Treatment Of Gout And Hyperuricemia. Dalam:
Kumpulan Makalah Temu Ilmiah Reumatologi 2010.Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, Jakarta, 2010:98-9
6. Bhakta M. Hematologi klinik ringkas. Jakarta: EGC, 2006.
7. Bhakta M. Pendekatan terhadap pasien anemia Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
8. Chobanian AV, et al. The seventh report of the Joint National Committee on
Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. 2004
9. Riaz K. Hypertension. 2012 [cited : November 24, 2012]. Available at
http://emedicine.medscape.com/article/241381-overview10. Indonesian Society of Hypertension. Konsensus Penanggulangan Krisis hipertensi.
2008.
11. Mayo Clinic. Hypertension. 2011 [ cited : November 24, 2012]. Available at :
http://www.mayoclinic.com/health/high-blood-pressure/ds00100/dsection=risk-factors
12. Riaz,K. Hypertensive Heart Disease. 2012 [cited : November 24, 2012]. Available at :
http://emedicine.medscape.com/article/162449-overview
13. Panggabean M. Penyakit Jantung Hipertensi. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. 5 th ed. Jakarta:
Interna Publishing; 2009.
60
14. Purnamasari D. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta:
Interna Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009:1880-3
15. Suwitra Ketut. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II Edisi V. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S. Jakarta: Interna Publishing
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009.
16. Djokomoeljanto R. Introduction of metabolic syndrome. In: Djokomoeljanto R,
Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Nugroho KH, editors. Naskah Lengkap the
3rd Workshop on "Semarang Metabolic Syndrome" 2010. Semarang: Balai Penerbit
Universitas Diponegoro; 2010.
17. Eckel RH. The metabolic syndrome. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson JL, Fauci
AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th
ed. New York: The McGraw-Hill Companies 2012.
18. Djokomoeljanto R. The role of central obesity in metabolic syndrome. In:
Djokomoeljanto R, Darmono, Suhartono T, Pemayun TGD, Nugroho KH, editors.
Naskah Lengkap the 3rd Workshop on "Semarang Metabolic Syndrome" 2010.
Semarang: Balai Penerbit Universitas Diponegoro; 2010.
19. Maslim R.2001. Diagnosis Gangguan Jiwa:Rujukan Ringkas PPDGJ III. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.
61