BAB 2
LATAR BELAKANG BERDIRINYA ASURANSI SYARI’AH
Pengertian
Banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pada istilah asuransi, di mana
secara sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal
ini bisa dimaklumi, karena mereka dalam mendefinisikannya disesuaikan dengan sudut
pandang yang mereka gunakan dalam memandang asuransi. Kata asuransi berasal dari
bahasa belanda assurantie yang dalam hukum Belanda disebut verzekring yang artinya
pertanggungan. Dari istilah assurantie tersebut kemudian timbul istilah assuradeur bagi
penanggung dan geassureerde bagi tertanggung (Yafie 1994, hal. 205-206). Secara
istilah, Robert I. Mehr mendefinisikan asuransi sebagai suatu alat untuk mengurangi
resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar kerugian individu
secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian
dibagi dan didistribusikan secara proposional di antara semua unit-unit dalam gabungan
tersebut (Sula 2004, hal. 26). Sementara C Arthur Williams Jr. dan Richard M. Heins
(1987, hal. 214-215) melihat asuransi dari dua sudut pandang. Pertama, asuransi adalah
perlindungan terhadap resiko finansial oleh penanggung. Kedua, asuransi adalah alat
yang mana resiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan melalui
kontribusi premi yang pasti atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk
membayar klaim.
1
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam asuransi terdapat empat unsur,
yaitu: pertama, perjanjian yang mendasari terbentuknya perikatan antara dua pihak yang
sekaligus terjalin hubungan keperdataan; kedua, peremi berupa sejumlah uang yang
sanggup dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung; ketiga, adanya ganti rugi dari
penanggung kepada tertanggung jika terjadi kalim atau masa perjanjian selesai; dan
keempat, adanya suatu peristiwa yang tidak tertentu yang adanya suatu resiko yang
memungkinkan datang atau tidak ada resiko (Djazuli dan Yadi Jawari 2002, hal. 119).
Dari definisi tersebut, tampak ada dua pihak yang terlibat dalam asuransi, yaitu:
Pertama, pihak yang mempunyai kesanggupan untuk menanggung atau menjamin yang
disebut dengan ”penanggung”; dan kedua, pihak yang akan mendapatkan ganti rugi jika
menderita suatu musibah sebagai akibat dari suatu peristiwa yang belum atau akan
terjadi yang disebut ”tertanggung”. Pihak pertama bisa berupa perseorangan atau badan
hukum atau lembaga seperti perusahaan, sedangkan pihak kedua adalah masyarakat luas.
Jadi, hakikat asuransi adalah ”Perjanjian Peruntungan”. Peruntungan yang dimaksud
adalah peristiwa yang akan terjadi tersebut belum menentu dan belum diketahui secara
pasti, baik oleh perusahaan maupun peserta asuransi. Jika peristiwa itu sudah diketahui
sebelumnya atau sudah direncanakan, khususnya oleh pserta, maka perusahaan asuransi
tidak berkewajiban menunaikan kewajibannya (Djazuli dan Yadi Jawari 2002, hal. 120).
Dengan demikian, asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada
perekonomian, dengan cara manggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena risiko yang
sama atau hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar, agar probabilitas kerugiannya
2
dapat diramalkan dan bila kerugian yang diramalkan terjadi akan dibagi secara
proposional oleh semua pihak dalam gabungan itu.
Usaha asuransi merupakan usaha jasa keuangan yang menghimpun dana
masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi untuk memberikan perlindungan
kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya
kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya
seseorang. Sedangkan usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa akturia
(pasal 2 pasal 2 UU No 2 Tahun 1992).
Dalam menerjemahkan makna asuransi kedalam kontek ajaran Islam terdapat
beberapa istilah yang semakna dengan asuransi, antara lain: takāful, ta’min dan Islamic
insurance. Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yaitu
mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun, istilah yang paling
populer dipergunakan sebagai istilah lain dari asuransi adalah takāful. Istilah takāful
pertama kali dipergunakan oleh Daru Al-Māl Al-Islāmi, sebuah perusahaan asuransi
Islam di Genewa yang berdiri pada tahun 1983 (Dewi 2005, hlm. 122).
Secara bahasa, takāful (تكافل) berasal dari akar kata kafala-yakfulu-takāfala-
yatakāfalu-takāful yang artinya saling menanggung atau menanggung bersama. Dalam
Al-Qur'an tidak dijumpai kata takāful, namun ada sejumlah kata yang seakar dengan
kata takāful (Landasan Syari’ah Asuransi Syari’ah dalam http://takaful.com/ diakses 20
Mei 2009). seperti dalam disebutkan dalam surat Thoha (20) ayat 40:
øøø) øøø´øøø? øøøø÷øø& øøøø)øøøø øøøø ø/ø3ø9øøø& 4øø?øø `øø øø&ø#øøø3ø� (
3
"(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada(keluarga Fir'aun): 'Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akanmemeliharanya?"
dalam surat An-Nisa (04) ayat 85 Allah SWT berfirman`¨ø øø ø øø±ø ø ø ø øø»øøø© ø øø ø |ø øø `ø3øø øø&©! ø=øøø øø ø ø ø÷]øø ø ( `øøøø
øøøøø±øø øøøø»øøø© øøø¥øø øøø `ø3øø øø&©! ×øøøø. øøø÷ø øøø 3 øø%ø.øø ø !ø# 4øø?øøøøøø. &øø øø« øø ø øø )øø øøøø
”Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperolehbahagian (pahala) dari padanya. dan Barangsiapa memberi syafa'at yang buruk,niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atassegala sesuatu”.
Apabila pengertian takāful dimasukkan kedalam pengertian mu’amālah, maka
takāful mengandung arti saling memikul resiko, sehingga antara satu dengan yang
lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan
atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang
mengeluarkan dana kebajikan (baca: tabarru') yang ditujukan untuk menanggung resiko
tersebut (Dewi 2005, hlm. 122). Takāful dengan pengertian seperti ini sesuai dengan
firman Allah SWT QS. Al-Maidah/ 5 : 2 :
(#øøøøøøøøø?øø… øø?øø øøøø9ø9ø# 3øøøø)ø9ø#øø ( øø øø (#øøøøøøøøø? øø?øø øø øø ø }ø#øøøøøøøøøø9ø#øø 4 (#øø)¨?ø#øø ©!ø# ( ¨øø) ©!ø# øøøøøø© ø>øø)øøø9ø# øøø
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, danjangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalahkamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Di samping istilah takāful, dalam Islam asuransi juga disebut at-ta’min ( yang ( التأمين
berasal dari kata ( أمن ) yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman
dan bebas dari rasa takut. Hal ini dapat dipahami karena asuransi memberikan
perlindungan terhadap anggotanya yang terkena musibah, sehingga mereka merasa aman
dan tenang dari kerugian yang ditimbulkan dari musibah tersebut.
4
Mustafa Ahmad Zarqa dalam al-Ikhtishādi al-Islāmiyah (1968) menjelaskan bahwa
asuransi adalah cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko
(ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan
kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya. Sementara Husain Hamid Hisan
(1996, hal. 2) menjelaskan bahwa asuransi adalah sikap ta’āwun yang telah diatur
dengan sistem yang sangat rapi antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap
mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut,
maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit
pemberian (derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian
tersebut mereka dapat menutupi kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa
musibah. Dengan demikian asuransi merupakan ta’āwun yang terpuji, yaitu saling
tolong-menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa.
Menurut az-Zarqa sebagaimana dikutip Hisan (1996. hal. 3) sistem asuransi yang
dipahami oleh ulama syari’ah adalah sebuat sistem ta’āwun dan tadhāmun yang
bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah.
Jadi, asuransi Syariah (Ta’min, Takāful atau Tadhāmun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang sesuai
dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharār (penipuan), maysir (perjudian),
riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
5
Asuransi syari'ah disebut juga dengan asuransi ta'āwun yang artinya tolong
menolong atau saling membantu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi
ta'āwun prinsip dasarnya adalah dasar syari’at yang saling toleran terhadap sesama
manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta.
Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2:
#øøøøøøøøø?øø… øø?øø øøøø9ø9ø# 3øøøø)ø9ø#øø ( øøøø (#øøøøøøøøø? øø?øø øøøøø}ø#øøøøøøøøøø9ø#øø
"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan salingtolong menolong dalam dosa dan permusuhan"
Jadi, asuransi syari’ah merupakan sebuah sistem di mana para
partisipan/anggota/ peserta mendonasikan/ menghibahkan sebagian atau seluruh
kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang
dialami oleh sebagian partisipan/anggota/peserta. Peranan perusahaan dalam asuransi
syari’ah hanya sebatas pengelolaan operasional perusahaan asuransi serta investasi dari
dana-dana/kontribusi yang diterima/dilimpahkan kepada perusahaan.
Sejarah Asuransi Syari’ah
Dalam literature fiqh klasik terdapat beberapa konsep yang mirip kepada konsep
asuransi, yang menurut sebagian ulama dapat dijadikan dasar dalam mengakomodir
konsep asuransi yang didasarkan pada syari’at Islam, diantaranya adalah:
1. Al-’Āqilah
Menurut Thoman Patrick dalam bukunya Dictionnary of Islam (2001. hal. 4),
al-’āqilah sudah menjadi kebiasaan suku Arab. Sejak zaman dulu, jika ada salah satu
6
anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku yang lain, pewaris korban akan
dibayar sejumlah uang darah/diyat sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari
pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh tersebut disebut al-’āqilah yang harus
membayar uang darah atas nama pembunuh (Dewi 2005, hlm. 123).
Kata al-’āqilah bermakna ashābah yang menunjukkan hubungan ayah dengan
pembunuh. Dalam konsep al-’āqilah suku Arab zaman dulu harus siap untuk
melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris
korban. Menurut Muhammad Syakir Sula (2004. hal. 31) kesiapan untuk membayar
kontribusi keuangan sama dengan premi dalam praktek asuransi.
Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
Fathul Bāri (1981. hal. 296) sistem al-’āqilah ini diterima oleh Rasulullah SAW dan
menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini terlihat dari hadits yang menceritakan
pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail, di mana salah seorang dari mereka
memukul yang lainnya dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita tersebut
dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Pewaris korban membawa permasalahan
tersebut ke Pengadilan. Rasulullah SAW memberikan keputusan bahwa konpensasi
bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan budak, baik laki-laki maupun
wanita. Sedangkan konpensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat)
yang harus dibayar oleh al-’āqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.
2. Al-Muwālat
Al-Muwālat adalah perjanjian jaminan, di mana seorang penjamin menjamin
seseorang yang tidak memiliki waris dan tidak dikeketahui ahli warisnya. Penjamin
7
setuju untuk menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan
jināyah. Apabila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh mewarisi
hartanya sepanjang tidak ada ahli warisnya (Az-Zarqa’ 1962, hal. 23).
3. Al-Qasāmah
Konsep perjanjian al-qasamah adalah perjanjian yang berhubungan dengan jiwa
manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan
atau pengumpulan uang iuran dari peserta atau majelis. Manfaatnya akan dibayar
kepada ahli waris yang dibunuh jika kasus pembunuhan itu tidak diketahui siapa
pembunuhnya atau ada keterangan saksi yang layak untuk bener-bener secara pasti
siapa pembunuhnya. (Yusof 1996, hal. 8-9).
4. At-Tanāhud
Al-Tanāhud adalah makanan yang dikumpulkan dari peserta safar kemudian
dicampur menjadi satu. Makanan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka,
walaupun mereka mendapatkan porsi yang berbeda. Dalam sistem ini makanan yang
diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Demikian juga dengan
makanan yang akan mereka terima nantinya, bisa jadi sama porsinya dan bisa juga
berbeda. Dalam Shahih Bukhari hadits 1076 disebutkan bahwa Rasulullah bersabda
”Marga Asy’ari (asy’ariyin) ketika keluarganya mengetahui kekurangan bahan
makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu
kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian
dari kami dan kami adalah bagian dari mereka”.
8
Walaupun bentuk-bentuk akad di atas memiliki kemiripan dengan asuransi, namun
beberapa diantaranya memiliki perbedaan dengan praktek asuransi yang berkembang
saat ini. Seperti pada al-’āqilah, ”pembayar premi” justru tidak mendapatkan 'manfaat'
dari preminya tersebut, karena diperuntukkan bagi orang lain. Hal ini menunjukkan
terdapat perbedaan antara asuransi dengan al-’āqilah. Hal serupa juga terjadi pada akad
al-dhamānu khatru tariqi, di mana penjamin memberikan jaminannya secara sukarela,
dan tidak berdasarkan 'premi' yang dibayar oleh terjamin. Namun demikian, tetap harus
diakui bahwa masalah asuransi merupakan masalah yang baru dalam dunia Islam,
walaupun telah ada sebelumnya praktek-peraktek yang sejenis dengan asuransi di zaman
permulaan Islam.
Bentuk-bentuk mu’āmālah di atas (Al-’Āqilah, Al-Muwālah dan At-Tanāhud)
karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama
dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara
profesional. Bedanya, sistem mu’āmalah tersebut didasari atas ’amāl tathāwwu’ dan
tabarru’ yang tidak berorientasi pada profit.
Pada abad kedua hijriah para pedagang muslim yang kebanyakan menggunakan
lalu lintas laut telah melaksanakan sistem kerjasama atau tolong-menolong untuk
mengatasi berbagai kejadian dalam menopang usaha mereka, layaknya seperti
mekanisme asuransi. Kerjasama itu mereka lakukan untuk membantu mengatasi
kerugian perdagangan yang diakibatkan musibah seperti tabrakan, tenggelam, terbakar
datau akibat serangan penyamun. Kemudian sistem ini diadopsi oleh para pelaut Eropa
dengan mengadakan investasi atau mengumpulkan uang bersama dengan sistem
9
membungakan uang. Dunia Islam ber-ta’aruf dengan suransi sekitar abad Ke-19 M
melalui penjajahan dunia Barat atas beberapa bagian Dunia Islam (Sula 2004. hal. 84-
85). Oleh karenanya, sesungguhnya asuransi merupakan sesuatu yang baru dan asing di
kalangan muslim. Secara karakter, asuransi sangat kental dengan karakteristik negeri
tumbuh dan berkembangnya yang tentunya sangat berbeda dengan karakter mu’āmālah
Islāmiyah.
Ibnu Abidin (1784–1836 M) dianggap sebagai orang pertama di kalangan fuqāha
yang mendiskusikan masalah asuransi. Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab
Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu
al-Hasyiyah Ibn al-’Abidin, Bab Jihād, Fashlu Isti'man Al-Kāfir. Dalam bukunya
tersebut beliau menulis:
"Telah menjadi kebiasaan bila para pedagang menyewa kapal dari seorang harby,mereka membayar upah pengangkutannya. Ia juga membayar sejumlah uang untukseorang harby yang berada di negeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagaisukārah (premi asuransi) dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapalyang disewanya itu, apabila musnah karena kebakaran, tenggelam, dibajak atausebagainya, maka penerima uang premi asuransi itu menjadi penanggung sebagaiimbalan uang yang diambil dari pedagang itu. Apabila barang-barang merekaterkena masalah yang disebutkan di atas, maka si wakillah yang membayar kepadapara pedagang itu sebagai uang pengganti sebesar junlah uang yang pernahditerimanya” (Az-Zuhaili 2002, III, hal. 441).
Adapun perkembangan industri asuransi syariah di Indonesia, diawali dengan
kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful
Indonesia (STI) berdiri pada tanggal 24 Februari 1994 yang digerakkan oleh Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat
Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa
pengusaha Muslim Indonesia. Saat itu para wakil dari tiga lembaga ini membentuk Tim
10
Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia atau TEPATI, yang dipimpin oleh direktur
utama PT STI, Rahmat Saleh (Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia, dalam
http://www.ipin4u.esmartstudent.com/asuransi.htm diakses 20 Mei 2009).
Sebagai langkah awal, lima orang anggota TEPATI melakukan studi banding ke
Malaysia pada September 1993. Malaysia merupakan negara ASEAN pertama yang
menerapkan asuransi dengan prinsip syariah sejak tahun 1985. Di negara jiran ini,
asuransi syariah dikelola oleh Syarikat Takafu Malaysia Sdn. Bhd. Setelah berbagai
persiapan dilakukan, STI mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi
Takaful Umum. Secara resmi, PT Asuransi Takaful Keluarga didirikan pada 25 Agustus
1994, dengan modal disetor sebesar Rp 5 miliar. Sementara PT Asuransi Takaful Umum
secara resmi didirikan pada 2 Juni 1995.
Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari
cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Hal ini kemudian
mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di
antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh
maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah. Sejumlah lembaga yang
kemudian ikut mendirikan asuransi syariah adalah Asuransi Syariah Mubarakah,
Asuransi Jiwa Asih Great Eastern, MAA Life Insurance, Asuransi Bringin Jiwa
Sejahtera, dan pada akhir 2002 didirikan cabang syariah Asuransi Tri Pakarta. Pada
Maret tahun 2003 AJB Bumiputera 1912 juga mengembangkan asuransi syariah
(Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia, dalam http://www.ipin4u.esmartstudent.com/
asuransi.htm diakses 20 Mei 2009).
11
Dengan terbentuknya asuransi takaful di Indonesia, tentu dapat memperkuat
keberadaan lembaga perbankan syari’ah yang terlebih dahulu sudah ada, yakni Bank
Muamalat karena pada perinsipnya Bank Muamalat tentu membutuhkan lembaga
asuransi yang dijalankan dengan prinsip syari’ah.
Tahun 2003, telah berdiri 11 perusahaan asuransi yang menjalankan prinsip-prinsip
syari’ah. Pada tahun 2006, perusahaan asuransi syariah telah meningkat menjadi 30
perusahaan dan membukukan pertumbuhan premi sebesar 73% dengan nilai total Rp 475
miliar. Kemudian tahun 2007, asuransi syari’ah berkembang menjadi 38 perusahaan
asuransi syariah dengan rincian 2 perusahaan asuransi syariah, 1 asuransi umum, 12
asuransi jiwa syariah, 20 asuransi umum syariah, dan 3 asuransi syariah. Akhir tahun
2007, diperkirakan pertumbuhan premi asuransi syari’ah bisa mencapai Rp 700 miliar
(Perkembangan Asuransi Syariah 2008 dalam http://www.asuransisyariah.net/).
Walaupun pada di tahun 2007 asuransi syari’ah mengalami pertumbuhan yang
pesat, namun kontribusi terhadap total industri baru mencapai 1,11% per 2006 dan
diperkirakan meningkat ke posisi 1.33% tahun 2007. Hal itu tidak terlepas dari jumlah
pelaku industri asuransi syari’ah yang masih terbatas dan baru menunjukkan
peningkatan dalam dua tahun terakhir. Menurut Muhaimin Iqbal (Ketua Umum Asosiasi
Syariah Indonesia) hingga awal tahun 2008, di Indonesia sudah ada 3 perusahaan yang
full asuransi syariah, 32 cabang asuransi syariah, dan 3 cabang reasuransi syariah
(Perkembangan Asuransi Syariah 2008 dalam http://www.asuransisyariah.net/).
Praktik usaha perasuransian yang mendasarkan pada prinsip syariah di Indonesia,
saat ini berpedoman pada Undang-undang No. 2 tahun 1992 tentang perasuransian, PP
12
No. 39 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 73
Tahun 1992 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian, Fatwa Dewan Syariah
Nasional (DSN-MUI) dan secara teknis pengaturannya diatur dalam beberapa Keputusan
Menteri Keuangan (KMK) yang di samping berlaku bagi usaha perasuransian
konvensional, juga berlaku bagi usaha perasuransian usaha perasuransian berdasarkan
prinsip syariah. Adapun beberapa KMK dimaksud adalah KMK No. 422/KMK.06/2003
tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, KMK
No. 424/KMK.06/2003 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Reasuransi, serta KMK No. 426/KMK.06/2003 tentang Perizinan Usaha dan
Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi.
Asuransi dalam Pandangan Ulama
Konsep dan perjanjian asuransi merupakan persoalan baru yang menimbulkan
perdebatan dikalangan ulama tentang status hukumnya menurut syari’at Islam. Di antara
mereka ada yang membolehkan dan menghalalkan asuransi, ada juga yang melarang dan
mengharamkannya dan adapula kelompok yang mengharamkan asuransi hanya pada
sebagian macamnya saja atau jenis-jenis asuransi tertentu.
Untuk itu dalam kesempatan ini akan dibicarakan beberapa pendapat ulama dari
berbagai mazhab sebagai bahan rujukan dalam mengkaji persoalan asuransi dari sudut
pandang Islam. Ada beberapa pandangan atau pendapat mengenai asuransi ditinjau dari
fiqh Islam. Yang paling mengemuka perbedaan tersebut terbagi tiga, yaitu:
a. Pendapat pertama adalah pendapat ulama yang mengharamkan asuransi
13
Ulama yang mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya
diantaranya adalah:
1) Syaikh Ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi adalah orang yang pertama kali
berbicara tentang asuransi dikalangan ahli fiqh. Terkait dengan persoalan
asuransi ini beliau berpendapat bahwa “yang jelas menurut saya, tidak boleh
(tidak halal) bagi si pedagang itu mengambil uang pengganti dari barang-
barangnya yang telah musnah, karena yang demikian itu iltizāmu mā lam yalzam
(mewajibkan sesuatu yang tidak lazim/wajib)” (Al-Jamal 1996, hal. 359).
2) Syaikh Muhammad Bakhit Almuthi’ie (Mufti Besar Mesir 1854-1935). Sebagian
ulama penduduk kota Slanik (Semenanjung Balkan) pernah bertanya kepada
beliau sekitar seorang muslim yang menempatkan harta bendanya di bawah
penjaminan suatu perusahaan dengan membayar sejumlah uang kepada
perusahaan itu. Menanggapi pertanyaan itu beliau menjawab menurut hokum
syara’ jaminan atas harta benda adakalanya dengan tanggungan/kafalah atau
dengan jalan ta’āddy/itlaf. Jaminan dengan jalan kafalah dalam persoalan ini
tidaklah terjadi, karena persyaratan kafalah yaitu adanya al-makfulu bihi tidak
terpenuhi maka tidak terjadilah ‘aqadu al-kafālah. Adapun penjaminan dengan
ta’āddy/itlaf (perusakan), perusahaan tidak melakukan ta’āddy/itlaf atas harta
benda orang tersebut, bahkan harta benda tersebut musnah disebabkan takdir
semata, maka dari jalan ini penjaminan perusahaan ini tidak tepat (Yafie 1994,
hal. 211-212).
14
3) Syaikh Muhammad al-Ghazali, ulama dan tokoh haraki dari Mesir. Beliau
menyatakan bahwa asuransi itu mengandung unsur riba.
4) Syaikh Yusuf al-Qardhawi (Guru Besar Universitas Qatar). Beliau menyatakan
bahwa asuransi dalam praktek sekarang ini bertentangan dengan prinsip-prinsip
syari’at Islam, misalnya pada sursnasi kecelakaan: seorang anggota membayar
sejumlah uang setiap tahunnya kepada perusahaan asuransi, dan apabila ia lolos
dari kecelakaan maka uang jaminan itu hilang/hangus. Menurut Yusuf Qardhawi,
usaha semacam ini jauh dari watak perdagangan dan solideritas bersyarikat (Sula
2004, hal. 62).
5) Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, ulama fiqh, Guru Besar Universitas Damaskus
Syiria. Menurut beliau pada hakekatnya akad asuransi termasuk dalam ‘aqad
gharār yaitu akad yang tidak jelas tentang ada tidaknya sesuatu yang diakadkan.
Jika diqiyaskan kepadanya akad pertukaran harta, maka akad asuransi memberi
kesan gharar seperti gharār yang terdapat dalam akad jual beli (Muslehuddin
1995, hal. 145-146).
Jadi, pada perinsipnya alasan-alasan yang dijadikan dasar oleh sebagian ulama untuk
mengharamkan asuransi adalah:
• Asuransi sama dengan judi
• Asuransi mengandung ungur-unsur tidak pasti.
• Asuransi mengandung unsur riba/renten.
15
• Asuransi mengandung unsur pemerasan, karena pemegang polis, apabila tidak
bisa melanjutkan pembayaran preminya, akan hilang premi yang sudah dibayar
atau di kurangi.
• Premi-premi yang sudah dibayar akan diputar dalam praktek-praktek riba.
• Asuransi termasuk jual beli atau tukar menukar mata uang tidak tunai.
• Hidup dan mati manusia dijadikan objek bisnis, dan sama halnya dengan
mendahului takdir Allah.
b. Pendapat Kedua adalah Membolehkan
Ulama yang membolehkan praktek asuransi dalam segala macam dan bentuknya
diantaranya adalah:
1. Syaikh Abdur Rahman Isa adalah seorang Guru Besar Universitas Al-Azhar.
Beliau berpendapat bahwa asuransi merupakan praktek muamalah gaya baru
yang belum dijumapai imam-imam terdahulu, demikian juga para sahabat Nabi
SAW. Pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Ulama
telah menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hokum syara’
patut diamalkan. Dengan demikian karena asuransi menyangkut kepentingan
umum, maka halal menurut syara’. Perjanjian asuransi adalah sama dengan
perjanjian ji’alah/ ‘memberi janji upah’. Asuransi mewajibkan perusahaan untuk
membayar sejumlah uang ganti kerugian, apabila pihak peserta asuransi telah
membayar uang premi kepada pusahaan. Menurut Syaikh Abdur Rahman Isa
sesungguhnya peeusahaan asuransi dengan nasabahnya saling mengikat dalam
perbuatan tersebut atas dasar saling meridhai (Sula 2004, hal. 71).
16
2. Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (guru besar Hukum Isalm pada Universitas
Cairo Mesir). Beliau mengatakan bahwa asuransi bagaimanapun bentuknya
merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa
menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntungkan perusahaan
pengelola asuransi. Sepanjang praktek asuransi dilakukan bersih dari unsure riba,
maka asuransi hukumnya boleh. Dengan ketentuan apabila nasabah masih hidup
menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dibolehkan dia minta
pembayaran kembali sebesar premi yang sudah dibayar tanpa tambahan. Namun
jika sang nasabah telah meninggal, maka ahli warisnya berhak menerima nilai
asuransi yang tercantum dalam polis dan ini halal menurut syara’ (Sula 2004,
hal. 72).
3. Syaikh Abdul Wahab Khalaf/ Guru Besar Universitas Islam Kairo. Menurut
beliau asuransi itu boleh, sebab termasuk dalam akad mudharabah. Dalam
asuransi orang yang berkongsi/nasabah, memberikan hartanya dengan jalam
membayar premi, sementara perusahaan mengelola harta tersebut hingga dapat
menghasilkan keuntungan timbal balik, baik bagi nasabah maupun perusahaan
sesuai dengan perjanjian. Dalam majalah Hiwaul Islam No 11 tahun VII beliau
menyimpulkan bahwa prikatan asuransi jiwa adalah akad yang sah, berguna bagi
para anggota/nasabahnya.
4. Dr. Muhammad Nejatullah Siddiq, ulama berkebangsaan India, Pengajar
Universitas King Abdul Aziz. Beliau menganalogikan asurasni dengan kafālah
atau ganti rugi. Menurutnya, dalam asuransi nasabah justru mencari perlindungan
17
dari resiko yang tak terelakkan, misalnya kematian. Namun demikian
menganalogikan asuransi dengan kafalah ditentang oleh ulama sejak abad ke IX
Masehi misalnya oleh Imam Al-Razi dalam tafsir Al-Kabir Jilid V (Siddiq 1987,
hal. 9-12).
5. Prof Mustafa Ahmad Zarqa/ Guru Besar Universitas Syiria. Menurut beliau jika
ada anggota asuransi sebelum preminya selesai diangsur terkena musibah, maka
kepadanya dibayar penuh oleh persahan sebesar uang yang telah diperjanjikan.
Asuransi semacam ini tidak mengandung tipuan bagi kedua belah pihak, sehinga
dibolehkan oleh syara’. Menurut az-Zarqa, sistem asuransi pensiuan dalam
bentuknya yang umum, menjadi bukti bolehnya praktek asuransi dalam syari’at
Islam. Jika sisitem pension diterima, mengapa sistem perikatan lainnya yang
serupa dan diperlukan dalam kehidupan manusia tidak diperbolehkan.
Jadi, pada perinsipnya alasan-alasan yang dijadikan dasar oleh sebagian ulama untuk
membolehkan asuransi adalah:
• Ada kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.
• Saling menguntungkan kedua belah pihak.
• dapat menanggulangi kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul
dapat di investasikan untuk proyek-proyek yang produktif dan pembangunan.
• Asuransi termasuk akad mudhārābah (bagi hasil)
• Asuransi termasuk koperasi (Syirkah Ta’āwuniyah).
• Asuransi di analogikan (qiyaskan) dengan sistem pensiun seperti taspen.
18
c. Pendapat Ketiga adalah membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan
mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Pendapat ketiga ini
dianut antara lain oleh Muhammad Abu Zahrah (Guru Besar Hukum Islam pada
Universitas Cairo). Abu Zahro menyimpulkan bahwa asuransi soasial adalah halal
dan merupakan perkara alami yang perlu dilakukan. Sedangkan asuransi yang
semata-mata bersifat komersil hukumnya haram (Yafie 1994, hal. 216-217). Dalam
hal ini dapat disimpulkan:
1. Asuransi yang bersifat perkumpulan dengan tujuan sosial adalah halal dan tidak
ada syubhat didalamnya.
2. Tidak menyetujui akad-akad asuransi yang tidak bersifat perkumpulan dengan
alasan ada syubhatu qimar dan gharār di dalamnya, sehingga gharār itu menjadi
penyebab tidak sahnya semua akad.
3. Ada riba’ didalamnya karena adanya bunga yang diperhitungkan. Ini satu pihak,
sementara di pihak lain ia memberika sejumlah kecil uang, lalu menerima lebih
banyak jumlahnya.
4. Merupakan ‘aqd al-sharf persetujunan jual beli uang, dan ‘aqd al-sharf itu tidak
sah bila tidak tunai.
5. Tidak ada keadaan memaksa/dharurah dalam bidang prekonomian yang
mewajibkannya (Sula 2004, hal. 62).
Walaupun ulama berbeda pendapat dalam memandang asuransi dari sudut Islam,
namun pada perinsipnya pandangan mereka bermuara pada dua hal, yaitu: pertama
mereka setuju dengan praktek asuransi jika didasarkan atas kerelaan kedua belah pihak,
19
berdasarkan asas saling tolong menolong dan saling menguntungkan kedua belah pihak
serta didasarkan pada aturan-aturan yang ditetapkan syara’; dan kedua, ulama
mengharamkan semua praktek asuransi yang mengandung unsur gharār, riba’, maysir,
pemerasan dan yang bersifat komersil karena bertentangan dengan aturan-aturan yang
ditetapkan syara’. Dengan demikian, jika praktek asuransi yang dikembangkan adalah
praktek asuransi yang didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, maka bisa dipastikan
mereka setuju dan sepakat, karena tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Hal ini
disebabkan karena asuransi telah menjadi kebutuhan umat untuk saling tolong menolong
dalam meminimalkan kerugian jika terjadi bencana atau musibah yang tidak diduga.
Prinsip-prinsip Asuransi Syari’ah
Keharaman praktik asuransi konvensional dalam syari’at Islam disebabkan karena
adanya beberapa unsur yang terdapat dalam sistem asuransi konvensional yang
bertentangan dengan syari’at Islam, yaitu: unsur gharār yang terlihat dari unsur
ketidakpastian tentang sumber dana yang digunakan untuk menutupi klaim dan hak
pemegang polis, unsur mayssir yaitu unsur judi yang digambarkan dengan kemungkinan
adanya pihak yang dirugikan di atas keuntungan pihak yang lain, dan unsur riba’ karena
praktik asuransi konvensional mengembangkan modalnya dengan menggunakan sistem
bunga. Dengan demikian, untuk menghalalkan sistem asuransi, maka unsur-unsur yang
bertentangan dengan syari’at Islam tersebut harus dihilangkan dan diganti dengan unsur-
unsur yang dibolehkan oleh syari’at Islam.
20
Jadi, asuransi yang diperbolehkan secara syar’i adalah asuransi yang tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang terdapat dalam syari’at Islam.
Berikut adalah 10 nilai mendasar dalam pengelolaan asuransi syari’ah1, yaitu :
1. Prinsip Tauhid
Tauhid merupakan prinsip dasar dalam asuransi syari’ah, karena pada haekekatnya
setiap muslim harus melandasi dirinya dengan ajaran tauhid dalam menjalankan
segala aktivitas dalam kehidupannya termasuk. Artinya ketika seseorang berniat
hendak berasuransi, maka ia harus berlandaskan pada prinsip tauhid dan
mengharapkan keridhaan Allah SWT. Dengan demikian, dari sisi perusahaan, asas
yang digunakan dalam berasuransi syari’ah tidak hanya didasarkan keinginan untuk
meraih keuntungan, atau menangkap peluang pasar yang sedang cenderung pada
syari’ah. Lebih dari itu, niat awalnya adalah untuk mengimplementasikan nilai-nilai
syari’ah dalam dunia asuransi. Sedangkan dari sisi nasabah, berasuransi syari’ah
adalah bertujuan untuk melakukan transaksi saling tolong-menolong dalam
menghadapi musibah yang mungkin terjadi berlandaskan atas prinsip-prinsip
syari’ah. Dalam konsep ini nilai tauhid terimplementasikan pada industri asuransi
syari’ah, karena dalam konsep asuransi syari’ah para nasaba saling tolong-menolong
dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman :
ليعبدون وما خلقت الجن والإنس إلا
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya merekamenyembah-Ku” (QS. 51 : 56).
1 Rikza Maulan, 2009, Nilai-Nilai Dalam Pengelolaan Asuransi Syariah dalam http://74.125.153.132/search?q=cache:GoXquW5-8RUJ:asuransisyariah.myblogrepublika.com
21
Ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT, oleh karena itu aktivitas apa pun yang dilakukan oleh
manusia di dunia ini termasuk berasuransi harus ditujukan untuk beribadah kepada
Allah SWT dan tidak boleh melanggar syari’at yang telah ditetapkan Allah SWT.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam mengimplementasikan asuransi
syari’ah adalah prinsip keadilan. Artinya, asuransi syari’ah harus benar-benar
bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan
nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah, terkait dengan
hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syari’ah tidak boleh mendzalimi
nasabah dengan hal-hal yang dapat menyulitkan atau merugikan nasabah.
Ditinjau dari sisi asuransi sebagai sebuah perusahaan, potensi untuk melakukan
ketidakadilan sangatlah besar. Seperti adanya unsur dana hangus (pada saving
produk), dimana nasabah yang sudah ikut asuransi (misalnya asuransi pendidikan)
pada periode tertentu, namun karena suatu hal ia berhenti menjadi peserta asuransi di
tengah jalan, maka premi yang telah dibayarkan pada perusahaan asuransi menjadi
hangus. Oleh karena itu pada asuransi syariah, dana saving nasabah yang telah
dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut
hasil investasinya, termasuk ketika nasabah berhenti ditenggah jalan. Landasan
prinsip keadilan dalam berasuransi adalah firman Allah SWT :
هداء امين لله شششش ياأيهشششا الذين ءامنشششوا كونشششوا قشششو تعششدلوا نآن قششوم على ألا ط ولا يجششرمنكم ششش بالقسشش
22
اعدلوا هو أقششرب للتقششوى واتقششوا الله إن الله خبششيربما تعملون
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yangselalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Danjanganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untukberlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Danbertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yangkamu kerjakan. (QS. Al-Maidah/ 5 : 08)
Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap mukmin harus berupaya menegakkan
kebenaran dan keadilan karena Allah SWT dalam segala bidang kehidupan termasuk
dalam berasuransi. Sistem asuransi yang dijalankan harus bertujuan untuk saling
melindungi dari berbagaimacam kezaliman dengan tidak memakan harta sesama
dengan jalan yang batil. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
$øøøøøø ¯»øø øøø ø%©!ø# (#øøøøø#øø øø (#ø øø=ø2ø øø? ø ø3ø9øøøøøø& ø ø6øø÷øø/
øøøø»ø6ø9øøø/ ø øø) øø& øøø ø3ø? ø ø øø»øø øø `øø <ø#øøø? øøø3øøøø 4 … ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamudengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukasama suka di antara kamu…’ (QS. 4 ayat 29)
3. Prinsip Tolong Menolong
Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional
asuransi syari’ah. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi syariah didasarkan pada
prinsip ini, di mana sesama peserta ber-tabarru’ atau berderma untuk kepentingan
nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada
perusahaan asuransi syari’ah, peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja.
Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai pengelola saja. Konsekwensinya,
perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah.
Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’
23
tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi
(premi). Perusahaan asuransi syariah mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk
diinvestasikan (secara syari’ah) lalu kemudia dialokasikan pada nasabah lainnya
yang tertimpa musibah. Dengan konsep ini, berarti antara sesama nasabah telah
mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak
saling bertatap muka. Allah SWT berfirman :
والعدوان الإثم على تعاونوا ولا والتقوى البر على وتعاونوا
“Dan bertolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, danjanganlah kalian bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”(QS. Al-Maidah : 2).
4. Prinsip Kerjasama
Antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama, tergantung
dari akad apa yang digunakannya. Dengan akad mudharābah atau musytarākah
(nanti akan terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai shahibul maal
(pemilik modal) sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai mudhārib
(pengelola/ pengusaha). Apabila dari investasi dana tersebut terdapat keuntungan,
maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya 40% untuk
perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama terjalin
dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, demikian juga perusahaan
asuransi syariah menunaikan hak dan kewajibannya secara baik, maka akan terjalin
pola hubungan kerjasama yang baik pula, yang insya Allah akan membawa
keberkahan pada kedua belah pihak.
24
5. Prinsip Amanah
Amanah juga merupakan prinsip yang sangat penting dalam asuransi syariah. Karena
pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam
mengelola dana premi nasabah. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek
resiko yang menimpanya. Jangan sampai nasabah tidak amanah dalam artian
mengada-ada sesuatu sehingga yang seharusnya tidak klaim menjadi klaim yang
tentunya akan berakibat pada ruginya para peserta yang lainnya. Perusahaan pun
juga demikian, tidak boleh semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang
berdampak pada ruginya nasabah. Dan transaksi yang amanah, akan membawa
pelakunya mendapatkan surga. Rasulullah SAW bersabda :
هدا ديقين والششش دوق الأمين مع النبيين والصشش التاجر الص) رواه الترمذي(ء
“Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah, (kelak akan dikumpulkan di akhirat)bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada’”. (HR. Turmudzi)
6. Prinsip Saling Ridha (’An Tarādhin)
Dalam transaksi apapun, aspek an tarādhin atau saling me-ridha-i harus selalu
menyertai. Nasabah ridha dananya dikelola oleh perusahaan asuransi syariah yang
amanah dan profesional. Begitu juga perusahaan asuransi syariah ridha terhadap
amanah yang diberikan nasabah dalam mengelola kontribusi (premi) mereka.
Demikian juga nasabah ridha dananya dialokasikan untuk nasbah-nasabah lainnya
yang tertimpa musibah, untuk meringankan beban penderitaan mereka. Dengan
25
prinsip inilah, asuransi syariah menjadikan saling tolong menolong memiliki arti
yang luas dan mendalam, karena semuanya menolong dengan ikhlas dan ridha,
bekerjasama dengan ikhlas dan ridha, serta bertransaksi dengan ikhlas dan ridha
pula.
7. Prinsip Menghindari Riba
Riba merupakan bentuk transaksi yang harus dihindari oleh setiap muslim termasuk
dalam berasuransi. Karena riba’ merupakan transaksi muamalah yang batil.
Kontribusi (premi) yang dibayarkan nasabah, harus diinvestasikan pada investasi
yang sesuai dengan syariah dan sudah jelas kehalalannya. Demikian juga dengan
sistem operasional asuransi syariah juga harus menerapakan konsep sharing of risk
yang bertumpu pada akad tabarru’, sehingga menghilangkan unsur riba pada
pemberian manfaat asuransi syariah (klaim) kepada nasabah (Konsep Operasional
Takaful dalam http://masridwan.co.cc/?p=257).
8. Prinsip Menghindari Maisyir.
Asuransi jika dikelola secara konvensional akan memunculkan unsur maisyir.
Karena seorang nasabah bisa jadi membayar premi hingga belasan kali namun tidak
pernah terjadi klaim. Di sisi yang lain, terdapat nasabah yang baru satu kali
membayar premi lalu terjadi klaim. Hal ini terjadi, karena konsep dasar yang
digunakan dalam asuransi konvensional adalah konsep transfer of risk. Di mana
perusahaan asuransi konvensional ketika menerima premi, otomatis premi tersebut
menjadi milik perusahaan, dan ketika membayar klaim pun adalah dari rekening
perusahaan. Sehingga perusahaan bisa untung besar (ketika premi banyak sedangkan
26
klaim sedikit), atau bisa rugi (ketika premi sedikit dan klaimnya banyak) (Siddiq
1987, hal. 26-27).
9. Prinsip Menghindari Gharār
Gharar adalah ketidakjelasan. Berbicara mengenai resiko atau musibah, adalah
berbicara tentang ketidakjelasan. Karena resiko atau musibah bisa terjadi dan bisa
tidak. Dalam syariat Islam, kita tidak diperbolehkan bertransaksi yang menyangkut
aspek ketidakjelasan. Dalam asuransi (konvensional), peserta tidak mengetahui
apakah ia mendapatkan klaim atau tidak? Karena klaim sangat bergantung pada
resiko yang menimpanya. Jika ada resiko, maka ia akan dapat klaim, namun jika
tidak ada resko maka nasabah tidak mendapakan klaim. Hal seperti ini menjadi
gharār, karena akad atau konsep yang digunakan adalah transfer of risk. Sedangkan
jika menggunakan aspek sharing of risk, ketidakjelasan tadi tidak menjadi gharār.
Namun berbeda dari asuransi konvensional, dalam asuransi syari’ah apabila salah
sati nasabah mendapatkan musibah, maka sesama nasabah akan saling bantu
membantu dari dana tabarru’ yang dikelola oleh perusahaan asuransi syari’ah
(Siddiq 1987, hal. 33-34).
10. Prinsip Menghindari Risywah
Dalam menjalankan bisnisnya, baik pihak asuransi syariah maupun pihak nasabah
harus menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari aspek risywah (sogok menyogok atau
suap menyuap). Karena apapun dalihnya, risywah pasti akan menguntungkan satu
pihak, dan pasti akan ada pihak lain yang dirugikan. Nasabah umpamanya tidak
boleh menyogok oknum asuransi supaya bisa mendapatkan manfaaat (klaim). Atau
27
sebaliknya perusahaan tidak perlu menyogok supaya mendapatkan premi
(kontribusi) asuransi. Namun semua harus dilakukan secara baik, transparan, adil
dan dilandasi dengan ukhuwah islamiyah (Konsep Operasional Takaful dalam http://
masridwan.co.cc/?p=257) .
Inilah sepuluh prinsip dasar dalam mekanisme pengelolaan asuransi syari’ah. Jadi,
asuransi dalam pandangan Islam adalah suatu upaya untuk saling tolong menolong
antara sesama anggota dalam meminimalkan kerugian jika terjadi bencana atau musibah
yang tidak diduga. Secara umum perihal asuransi syari’ah ini mempunyai dua fungsi
yaitu fungsi bisnis (tijārah) dan fungsi sosial (tabarru’). Untuk fungsi tijārah, maka para
pihak dapat menerapkan akad mudhārābah musytarākah dan akad wakālah bil ujrah,
sedangkan untuk fungsi tabarru’ para pihak dapat menerapkan akad akad tabarru’ yang
merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi. Adapun pengertian
tabarru’ sendiri adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah dengan tujuan
kebajikan dan tolong menolong antar peserta, bukan untuk tujuan komersial an sich.
Dengan demikian ciri-ciri asuransi syari’ah adalah
1. Akad asuransi syari’ah adalah bersifat tabarru’, sehingga sumbangan yang
diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika tidak tabarru’, maka andil yang
dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau
akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan
tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah kentungan hasil dari
mudhārābah bukan riba’.
28
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi
kedua belah pihak). Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak
bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan
tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi
atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan
dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah, seperti halnya dalam asuransi
takaful.
4. Akad asuransi syari’ah bersih dari gharār dan riba’.
5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Beda Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Pada perinsipnya asuransi syari’ah dan asuransi konvensional mempunyai tujuan yang
sama, yaitu: pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara
keduanya adalah cara pengelolaan risikonya, yaitu: pada asuransi konvensional
penanggulangan risiko dilakukan dengan cara transfer risiko dari para peserta kepada
perusahaan asuransi (risk transfer), sedangkan pada asuransi syari’ah penanggulangan
risiko dilakukan dengan azas saling tolong menolong dengan membagi risiko di antara
peserta asuransi (risk sharing).
Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada juga perbedaan mendasar lainnya
antara asuransi syari’ah dan asuransi konvensional, yaitu: mengenai cara mengelola
unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi syari’ah menganut
sistem investasi syari’ah yang terbebas dari unsur riba, perjudian dan segala sesuatu
29
yang dilarang syara’. Sementara pengelolaan dana tabungan pada asuransi konvensional
diinvestasikan secara bebas termasuk dengan mekanisme bunga.
Secara rinci perbedaan antara asuransi syari’ah dan asuransi konvensional dapat
dilihat pada uraian berikut :
1. Kontrak atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktek mu’āmālah menjadi prinsip karena akan
menentukan sah atau tidaknya suatu akad secara syari’ah. Demikian juga dengan
kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi.
Pada asuransi konvensional diterapkan kontrak yang dalam syari’ah disebut
kontrak jual beli (tabaduli). Dalam hal ini, kontrak harus memenuhi syarat-syarat
kontrak jual-beli. Pada asuransi konvensional terdapat ketidakjelasaan pada besarnya
premi yang harus dibayarkan, karena bergantung terhadap usia peserta, yang dalam
pandangan Islam hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Hal ini
mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut gharār —
ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda
dalam asuransi konvensional dalam praktiknya menjadi cacat secara hukum (Hisan
1996, hal. 18).
Oleh karena itu, dalam asuransi syari’ah kontrak yang digunakan bukan kontrak
jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takāfuli). Di mana dalam sistem ini,
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain ketika nasabah tersebut sedang
mengalami kesulitan. Jadi, asuransi syari’ah menggunakan apa yang disebut sebagai
kontrak tabarru’ yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini
30
adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktek yang
diharamkan pada asuransi konvensional (Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syariah
dalam http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/).
Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat
ikhlas untuk tujuan saling membantu satu antara sesama peserta asuransi syari’ah
apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya, dana tabarru’
tersebut disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana
klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh
semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.
2. Sistem Pengelolaan Dana
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi konvensional (premi)
diinvestasikan pada sembarang sektor dan dengan menggunakan sistem bunga.
Sedangkan dana yang terkumpul dari nasabah pada perusahaan asuransi syari’ah
(premi) diinvestasikan berdasarkan syari’ah dengan sistem bagi hasil
(mudharabah).2 Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya di mana
perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta (Sula
2004, hal. 304).
Dengan sistem mudhārābah ini, keuntungan usaha yang didapat oleh pihak
asuransi akan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian dipengelola. Namun,
2 Secara teknis, al-mudhārābah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.
31
jika kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalian si pengelola, maka
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut (Mengenal Konsep Dasar
Asuransi Syariah dalam http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/ diakses 20 Maret
2009).
Kontrak bagi hasil pada asuransi syari’ah disepkati di awal kontrak, sehingga bila
terdapat keuntungan, maka pembagiannya akan mengikuti kontrak bagi hasil
tersebut. Misalkan kontrak bagi hasilnya adalah 60: 40, dimana peserta mendapatkan
60 persen dari keuntungan sedang perusahaan asuransi mendapat 40 persen dari
keuntungan.
3. Pada asuransi syari’ah, ada dana yang dihibahkan oleh peserta asuransi atau yang
disebut dengan dana Tabarru’ untuk Ta’āwun peserta lainnya. Sehingga pada
asuransi syari’ah terjadi tindakan saling tanggung-menanggung antara sesama
peserta.
Pada asuransi syari’ah, premi yang terkumpul diperlakukan tetapi sebagai dana
milik nasabah. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya.
Sedangkan pada asuransi konvensional, premi menjadi milik perusahaan dan
perusahaan-lah yang memiliki otoritas penuh untuk menetapkan kebijakan
pengelolaan dana tersebut.
4. Pada asuransi syari’ah, bila ada peserta yang terkena musibah, maka untuk
pembayaran klaim nasabah dana diambilkan dari rekening tabarru’ (dana sosial)
seluruh peserta yang sudah diikhlaskan untuk keperluan tolong-menolong.
32
Sedangkan dalam asuransi konvensional, dana pembayaran klaim diambil dari
rekening milik perusahaan.
5. Pada asuransi syari’ah, investasi dana dari peserta hanya dibenarkan melalui
instrument yang menggunakan akad yang sesuai dengan syari’at Islam. Investasi
yang boleh dilakukan oleh asuransi syari’ah hanya investasi pada yang dihalalkan
oleh ajaran Islam. Keuntungan investasi dibagi dua antara nasabah selaku pemilik
dana dengan perusahaan selaku pengelola, dengan prinsip bagi hasil. Sedangkan
dalam asuransi konvensional, tidak dikenal adanya akad antara pihak asuransi
dengan peserta. Dalam asuransi konvensional, investasi hanya diwajibkan pada jenis
investasi yang aman, menguntungkan serta memiliki likuiditas yang sesuai dengan
kewajiban yang harus dipenuhi. Dalam asuransi konvensional, keuntungan
sepenuhnya menjadi milik perusahaan. Jika tak ada klaim, nasabah tak memperoleh
apa-apa (Sula 2004, hal. 306-307).
6. Pada operasional juga terlihat perbedaan, dalam asuransi syariah pengawasan
dilakukan oleh Dewan Syariah, karena perusahaan hanya sebagai pemegang amanah
dari nasabah untuk dikelola. Sedangkan di konvensional tidak ada pengawasan
terhadap penggunaan dana nasabah karena dana premi dinilai milik perusahaan.
Adanya Dewan Pengawas Syariah dalam perusahaan asuransi syari’ah yang
merupakan suatu keharusan. Dewan ini berperan dalam mengawasi manajemen,
produk serta kebijakan investasi supaya senantiasa sejalan dengan syariat Islam.
Adapun dalam asuransi konvensional, maka hal itu tidak mendapat perhatian.
33
7. Dana Hangus
Pada asuransi konvensional dikenal dana hangus. Jika peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi atau ingin mengundurkan diri sebagai peserta
asuransi sebelum masa jatuh tempo, maka premi yang telah dibayarkan kepada pihak
asuransi dianggap hangus. Demikian juga pada asuransi jiwa konvensional non-
saving (tidak mengandung unsur tabungan) atau asuransi kerugian, jika habis msa
kontrak dan tidak terjadi klaim, maka premi asuransi yang sudah dibayarkan akan
hangus atau menjadi keuntungan pihak perusahaan asuransi (Mengenal Konsep
Dasar Asuransi Syariah dalam http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/).
Dalam konsep asuransi syari’ah, tidak dikenal mekanisme dana hangus. Peserta
yang baru masuk sekalipun, karena satu dan lain hal ingin mengundurkan diri, maka
dana atau premi yang sebelumnya sudah dibayarkan dapat diambil kembali, kecuali
sebagian kecil saja yang sudah diniatkan untuk dana tabarru’ yang tidak dapat
diambil.
Begitu pula dengan asuransi syariah umum, jika habis masa kontrak dan tidak
terjadi klaim, maka pihak perusahaan akan mengembalikan sebagian dari premi
tersebut dengan pola bagi hasil, misalkan 60:40 atau 70:30 sesuai dengan
kesepakatan kontrak di muka. Dalam hal ini maka sangat mungkin premi yang
dibayarkan di awal tahun dapat diambil kembali dan jumlahnya sangat bergantung
dengan tingkat investasi pada tahun tersebut (Mengenal Konsep Dasar Asuransi
Syariah dalam http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/ diakses 20 Maret 2009).
34
Dengan demikian, ada tujuh prinsip yang membedakan asuransi syariah dengan
asuransi konvensional, yaitu : Pertama, Keberadaan Dewan Pengawas Syariah (DPS),
yang bertugas mengawasi produk yang dipasarkan dan produk yang ada dalam
pengelolaan investasi dana. DPS ditemukan pada asuransi syariah tapi tidak pada
asuransi konvensional. Kedua, Akad yang akan dilaksanakan. Akad yang dilaksanakan
pada asuransi syariah berdasarkan prinsip tolong menolong (takaful), sedangkan pada
asuransi konvensional berdasarkan akad jual beli (tadabbuli). Ketiga, Prinsip
perhitungan investasi dana. Pada asuransi syariah, dasar perhitungan investasi dana
berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah). Pada asuransi konvensional dasar
perhitungan investasi dana berdasarkan riba. Keempat, Kepemilikan dana. Pada asuransi
syariah dana investasi yang terkumpul dari peserta (premi) merupakan milik peserta
seutuhnya sementara perusahaan asuransi hanya merupakan pemegang amanah atau
sebagai pengelola dana (mudharib). Pada asuransi konvensional, dana investasi yang
terkumpul dari peserta (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas
menentukan alokasi investasi penggunaan dana. Kelima, Pembayaran klaim.
Pembayaran klaim yang dilakukan oleh asuransi syariah diambil dari rekening tabarru’
(dana kebajikan) seluruh peserta. Sejak awal menyimpan dana investasinya, peserta
sudah diminta keikhlasannya bahwa akan ada penyisihan dana yang akan digunakan
untuk menolong peserta lain jika terkena musibah. Sedangkan pada asuransi
konvensional pembayaran klaim diambil dari dana milik perusahaan.
Keenam, Keuntungan yang diperoleh perusahaan asuransi. Pada asuransi syariah,
keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan dari investasi dana peserta akan dibagi
35
antara perusahaan dengan peserta sesuai dengan prinsip bagi hasil, dengan proporsi yang
telah disepakati bersama di awal. Sedangkan pada asuransi konvensional keuntungan
yang diperoleh perusahaan menjadi milik perusahaan seutuhnya. Dan ketujuh,
Kemungkinan adanya dana yang hangus. Pada asuransi syari’ah tidak mengenal adanya
dana hangus meskipun peserta menyatakan akan mengundurkan diri karena sesuatu dan
lain hal. Dana yang telah disetorkan tetap dapat diambil kecuali dana yang sejak awal
telah diikhlaskan masuk ke dalam rekening tabarru’ (dana kebajikan). Sedangkan pada
asuransi konvensional dikenal adanya dana yang hangus jika peserta tidak dapat
melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum jatuh tempo (Apa
Itu Asuransi Syari’ah? …dalam http://ekonomisyariah.blog.gunadarma.ac.id/ diakses 20
Maret 2009).
36