BAB 2 LATAR BELAKANG BERDIRINYA ASURANSI SYARI’AH Pengertian Banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pada istilah asuransi, di mana secara sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena mereka dalam mendefinisikannya disesuaikan dengan sudut pandang yang mereka gunakan dalam memandang asuransi. Kata asuransi berasal dari bahasa belanda assurantie yang dalam hukum Belanda disebut verzekring yang artinya pertanggungan. Dari istilah assurantie tersebut kemudian timbul istilah assuradeur bagi penanggung dan geassureerde bagi tertanggung (Yafie 1994, hal. 205-206). Secara istilah, Robert I. Mehr mendefinisikan asuransi sebagai suatu alat untuk mengurangi resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar kerugian individu secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian dibagi dan didistribusikan secara proposional di antara semua unit-unit dalam gabungan tersebut (Sula 2004, hal. 26). Sementara C Arthur Williams Jr. dan Richard M. Heins (1987, hal. 214-215) melihat asuransi dari dua sudut pandang. Pertama, asuransi adalah perlindungan terhadap resiko finansial oleh penanggung. Kedua, asuransi adalah alat yang mana resiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan melalui kontribusi premi yang pasti atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk membayar klaim. 1
36
Embed
BAB 2 LATAR BELAKANG BERDIRINYA ASURANSI SYARI’AH …repository.radenfatah.ac.id/6585/2/Bab 2.pdf · Banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pada istilah asuransi,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 2
LATAR BELAKANG BERDIRINYA ASURANSI SYARI’AH
Pengertian
Banyak definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pada istilah asuransi, di mana
secara sepintas tidak ada kesamaan antara definisi yang satu dengan yang lainnya. Hal
ini bisa dimaklumi, karena mereka dalam mendefinisikannya disesuaikan dengan sudut
pandang yang mereka gunakan dalam memandang asuransi. Kata asuransi berasal dari
bahasa belanda assurantie yang dalam hukum Belanda disebut verzekring yang artinya
pertanggungan. Dari istilah assurantie tersebut kemudian timbul istilah assuradeur bagi
penanggung dan geassureerde bagi tertanggung (Yafie 1994, hal. 205-206). Secara
istilah, Robert I. Mehr mendefinisikan asuransi sebagai suatu alat untuk mengurangi
resiko dengan menggabungkan sejumlah unit-unit yang beresiko agar kerugian individu
secara kolektif dapat diprediksi. Kerugian yang dapat diprediksi tersebut kemudian
dibagi dan didistribusikan secara proposional di antara semua unit-unit dalam gabungan
tersebut (Sula 2004, hal. 26). Sementara C Arthur Williams Jr. dan Richard M. Heins
(1987, hal. 214-215) melihat asuransi dari dua sudut pandang. Pertama, asuransi adalah
perlindungan terhadap resiko finansial oleh penanggung. Kedua, asuransi adalah alat
yang mana resiko dua orang atau lebih atau perusahaan-perusahaan digabungkan melalui
kontribusi premi yang pasti atau yang ditentukan sebagai dana yang dipakai untuk
membayar klaim.
1
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dalam asuransi terdapat empat unsur,
yaitu: pertama, perjanjian yang mendasari terbentuknya perikatan antara dua pihak yang
sekaligus terjalin hubungan keperdataan; kedua, peremi berupa sejumlah uang yang
sanggup dibayarkan oleh tertanggung kepada penanggung; ketiga, adanya ganti rugi dari
penanggung kepada tertanggung jika terjadi kalim atau masa perjanjian selesai; dan
keempat, adanya suatu peristiwa yang tidak tertentu yang adanya suatu resiko yang
memungkinkan datang atau tidak ada resiko (Djazuli dan Yadi Jawari 2002, hal. 119).
Dari definisi tersebut, tampak ada dua pihak yang terlibat dalam asuransi, yaitu:
Pertama, pihak yang mempunyai kesanggupan untuk menanggung atau menjamin yang
disebut dengan ”penanggung”; dan kedua, pihak yang akan mendapatkan ganti rugi jika
menderita suatu musibah sebagai akibat dari suatu peristiwa yang belum atau akan
terjadi yang disebut ”tertanggung”. Pihak pertama bisa berupa perseorangan atau badan
hukum atau lembaga seperti perusahaan, sedangkan pihak kedua adalah masyarakat luas.
Jadi, hakikat asuransi adalah ”Perjanjian Peruntungan”. Peruntungan yang dimaksud
adalah peristiwa yang akan terjadi tersebut belum menentu dan belum diketahui secara
pasti, baik oleh perusahaan maupun peserta asuransi. Jika peristiwa itu sudah diketahui
sebelumnya atau sudah direncanakan, khususnya oleh pserta, maka perusahaan asuransi
tidak berkewajiban menunaikan kewajibannya (Djazuli dan Yadi Jawari 2002, hal. 120).
Dengan demikian, asuransi adalah suatu alat untuk mengurangi risiko yang melekat pada
perekonomian, dengan cara manggabungkan sejumlah unit-unit yang terkena risiko yang
sama atau hampir sama, dalam jumlah yang cukup besar, agar probabilitas kerugiannya
2
dapat diramalkan dan bila kerugian yang diramalkan terjadi akan dibagi secara
proposional oleh semua pihak dalam gabungan itu.
Usaha asuransi merupakan usaha jasa keuangan yang menghimpun dana
masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi untuk memberikan perlindungan
kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya
kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya
seseorang. Sedangkan usaha penunjang usaha asuransi adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa keperantaraan, penilaian kerugian asuransi dan jasa akturia
(pasal 2 pasal 2 UU No 2 Tahun 1992).
Dalam menerjemahkan makna asuransi kedalam kontek ajaran Islam terdapat
beberapa istilah yang semakna dengan asuransi, antara lain: takāful, ta’min dan Islamic
insurance. Istilah-istilah tersebut pada dasarnya tidak berbeda satu sama lain yaitu
mengandung makna pertanggungan atau saling menanggung. Namun, istilah yang paling
populer dipergunakan sebagai istilah lain dari asuransi adalah takāful. Istilah takāful
pertama kali dipergunakan oleh Daru Al-Māl Al-Islāmi, sebuah perusahaan asuransi
Islam di Genewa yang berdiri pada tahun 1983 (Dewi 2005, hlm. 122).
Secara bahasa, takāful (تكافل) berasal dari akar kata kafala-yakfulu-takāfala-
yatakāfalu-takāful yang artinya saling menanggung atau menanggung bersama. Dalam
Al-Qur'an tidak dijumpai kata takāful, namun ada sejumlah kata yang seakar dengan
kata takāful (Landasan Syari’ah Asuransi Syari’ah dalam http://takaful.com/ diakses 20
Mei 2009). seperti dalam disebutkan dalam surat Thoha (20) ayat 40:
"(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia berkata kepada(keluarga Fir'aun): 'Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akanmemeliharanya?"
”Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperolehbahagian (pahala) dari padanya. dan Barangsiapa memberi syafa'at yang buruk,niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atassegala sesuatu”.
Apabila pengertian takāful dimasukkan kedalam pengertian mu’amālah, maka
takāful mengandung arti saling memikul resiko, sehingga antara satu dengan yang
lainnya menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan
atas dasar saling tolong menolong dalam kebaikan dengan cara, setiap orang
mengeluarkan dana kebajikan (baca: tabarru') yang ditujukan untuk menanggung resiko
tersebut (Dewi 2005, hlm. 122). Takāful dengan pengertian seperti ini sesuai dengan
"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, danjangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran, dan bertakwalahkamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Di samping istilah takāful, dalam Islam asuransi juga disebut at-ta’min ( yang ( التأمين
berasal dari kata ( أمن ) yang memiliki arti memberi perlindungan, ketenangan, rasa aman
dan bebas dari rasa takut. Hal ini dapat dipahami karena asuransi memberikan
perlindungan terhadap anggotanya yang terkena musibah, sehingga mereka merasa aman
dan tenang dari kerugian yang ditimbulkan dari musibah tersebut.
4
Mustafa Ahmad Zarqa dalam al-Ikhtishādi al-Islāmiyah (1968) menjelaskan bahwa
asuransi adalah cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko
(ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan
kegiatan hidupnya atau dalam aktivitas ekonominya. Sementara Husain Hamid Hisan
(1996, hal. 2) menjelaskan bahwa asuransi adalah sikap ta’āwun yang telah diatur
dengan sistem yang sangat rapi antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap
mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mereka mengalami peristiwa tersebut,
maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit
pemberian (derma) yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian
tersebut mereka dapat menutupi kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpa
musibah. Dengan demikian asuransi merupakan ta’āwun yang terpuji, yaitu saling
tolong-menolong dalam berbuat kebajikan dan takwa.
Menurut az-Zarqa sebagaimana dikutip Hisan (1996. hal. 3) sistem asuransi yang
dipahami oleh ulama syari’ah adalah sebuat sistem ta’āwun dan tadhāmun yang
bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah.
Jadi, asuransi Syariah (Ta’min, Takāful atau Tadhāmun) adalah usaha saling
melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang/ pihak melalui investasi dalam
bentuk aset dan/ atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi
resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang sesuai
dengan syariah adalah yang tidak mengandung gharār (penipuan), maysir (perjudian),
riba, dzulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat.
5
Asuransi syari'ah disebut juga dengan asuransi ta'āwun yang artinya tolong
menolong atau saling membantu. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Asuransi
ta'āwun prinsip dasarnya adalah dasar syari’at yang saling toleran terhadap sesama
manusia untuk menjalin kebersamaan dalam meringankan bencana yang dialami peserta.
Prinsip ini sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Al Maidah ayat 2:
"Dan saling tolong menolonglah dalam kebaikan dan ketaqwaan dan jangan salingtolong menolong dalam dosa dan permusuhan"
Jadi, asuransi syari’ah merupakan sebuah sistem di mana para
partisipan/anggota/ peserta mendonasikan/ menghibahkan sebagian atau seluruh
kontribusi yang akan digunakan untuk membayar klaim, jika terjadi musibah yang
dialami oleh sebagian partisipan/anggota/peserta. Peranan perusahaan dalam asuransi
syari’ah hanya sebatas pengelolaan operasional perusahaan asuransi serta investasi dari
dana-dana/kontribusi yang diterima/dilimpahkan kepada perusahaan.
Sejarah Asuransi Syari’ah
Dalam literature fiqh klasik terdapat beberapa konsep yang mirip kepada konsep
asuransi, yang menurut sebagian ulama dapat dijadikan dasar dalam mengakomodir
konsep asuransi yang didasarkan pada syari’at Islam, diantaranya adalah:
1. Al-’Āqilah
Menurut Thoman Patrick dalam bukunya Dictionnary of Islam (2001. hal. 4),
al-’āqilah sudah menjadi kebiasaan suku Arab. Sejak zaman dulu, jika ada salah satu
6
anggota suku yang terbunuh oleh anggota dari suku yang lain, pewaris korban akan
dibayar sejumlah uang darah/diyat sebagai kompensasi oleh saudara terdekat dari
pembunuh. Saudara terdekat dari pembunuh tersebut disebut al-’āqilah yang harus
membayar uang darah atas nama pembunuh (Dewi 2005, hlm. 123).
Kata al-’āqilah bermakna ashābah yang menunjukkan hubungan ayah dengan
pembunuh. Dalam konsep al-’āqilah suku Arab zaman dulu harus siap untuk
melakukan kontribusi finansial atas nama pembunuh untuk membayar pewaris
korban. Menurut Muhammad Syakir Sula (2004. hal. 31) kesiapan untuk membayar
kontribusi keuangan sama dengan premi dalam praktek asuransi.
Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam
Fathul Bāri (1981. hal. 296) sistem al-’āqilah ini diterima oleh Rasulullah SAW dan
menjadi bagian dari hukum Islam. Hal ini terlihat dari hadits yang menceritakan
pertengkaran antara dua wanita dari suku Huzail, di mana salah seorang dari mereka
memukul yang lainnya dengan batu hingga mengakibatkan kematian wanita tersebut
dan juga bayi yang sedang dikandungnya. Pewaris korban membawa permasalahan
tersebut ke Pengadilan. Rasulullah SAW memberikan keputusan bahwa konpensasi
bagi pembunuh anak bayi adalah membebaskan budak, baik laki-laki maupun
wanita. Sedangkan konpensasi atas membunuh wanita adalah uang darah (diyat)
yang harus dibayar oleh al-’āqilah (saudara pihak ayah) dari yang tertuduh.
2. Al-Muwālat
Al-Muwālat adalah perjanjian jaminan, di mana seorang penjamin menjamin
seseorang yang tidak memiliki waris dan tidak dikeketahui ahli warisnya. Penjamin
7
setuju untuk menanggung bayaran dia, jika orang yang dijamin tersebut melakukan
jināyah. Apabila orang yang dijamin meninggal, maka penjamin boleh mewarisi
hartanya sepanjang tidak ada ahli warisnya (Az-Zarqa’ 1962, hal. 23).
3. Al-Qasāmah
Konsep perjanjian al-qasamah adalah perjanjian yang berhubungan dengan jiwa
manusia. Sistem ini melibatkan usaha pengumpulan dana dalam sebuah tabungan
atau pengumpulan uang iuran dari peserta atau majelis. Manfaatnya akan dibayar
kepada ahli waris yang dibunuh jika kasus pembunuhan itu tidak diketahui siapa
pembunuhnya atau ada keterangan saksi yang layak untuk bener-bener secara pasti
siapa pembunuhnya. (Yusof 1996, hal. 8-9).
4. At-Tanāhud
Al-Tanāhud adalah makanan yang dikumpulkan dari peserta safar kemudian
dicampur menjadi satu. Makanan tersebut dibagikan pada saatnya kepada mereka,
walaupun mereka mendapatkan porsi yang berbeda. Dalam sistem ini makanan yang
diserahkan bisa jadi sama kadarnya atau berbeda-beda. Demikian juga dengan
makanan yang akan mereka terima nantinya, bisa jadi sama porsinya dan bisa juga
berbeda. Dalam Shahih Bukhari hadits 1076 disebutkan bahwa Rasulullah bersabda
”Marga Asy’ari (asy’ariyin) ketika keluarganya mengetahui kekurangan bahan
makanan, maka mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu
kumpulan. Kemudian dibagi diantara mereka secara merata. Mereka adalah bagian
dari kami dan kami adalah bagian dari mereka”.
8
Walaupun bentuk-bentuk akad di atas memiliki kemiripan dengan asuransi, namun
beberapa diantaranya memiliki perbedaan dengan praktek asuransi yang berkembang
saat ini. Seperti pada al-’āqilah, ”pembayar premi” justru tidak mendapatkan 'manfaat'
dari preminya tersebut, karena diperuntukkan bagi orang lain. Hal ini menunjukkan
terdapat perbedaan antara asuransi dengan al-’āqilah. Hal serupa juga terjadi pada akad
al-dhamānu khatru tariqi, di mana penjamin memberikan jaminannya secara sukarela,
dan tidak berdasarkan 'premi' yang dibayar oleh terjamin. Namun demikian, tetap harus
diakui bahwa masalah asuransi merupakan masalah yang baru dalam dunia Islam,
walaupun telah ada sebelumnya praktek-peraktek yang sejenis dengan asuransi di zaman
permulaan Islam.
Bentuk-bentuk mu’āmālah di atas (Al-’Āqilah, Al-Muwālah dan At-Tanāhud)
karena memiliki kemiripan dengan prinsip-prinsip asuransi Islam, oleh sebagian ulama
dianggap sebagai embrio dan acuan operasional asuransi Islam yang dikelola secara
profesional. Bedanya, sistem mu’āmalah tersebut didasari atas ’amāl tathāwwu’ dan
tabarru’ yang tidak berorientasi pada profit.
Pada abad kedua hijriah para pedagang muslim yang kebanyakan menggunakan
lalu lintas laut telah melaksanakan sistem kerjasama atau tolong-menolong untuk
mengatasi berbagai kejadian dalam menopang usaha mereka, layaknya seperti
mekanisme asuransi. Kerjasama itu mereka lakukan untuk membantu mengatasi
kerugian perdagangan yang diakibatkan musibah seperti tabrakan, tenggelam, terbakar
datau akibat serangan penyamun. Kemudian sistem ini diadopsi oleh para pelaut Eropa
dengan mengadakan investasi atau mengumpulkan uang bersama dengan sistem
9
membungakan uang. Dunia Islam ber-ta’aruf dengan suransi sekitar abad Ke-19 M
melalui penjajahan dunia Barat atas beberapa bagian Dunia Islam (Sula 2004. hal. 84-
85). Oleh karenanya, sesungguhnya asuransi merupakan sesuatu yang baru dan asing di
kalangan muslim. Secara karakter, asuransi sangat kental dengan karakteristik negeri
tumbuh dan berkembangnya yang tentunya sangat berbeda dengan karakter mu’āmālah
Islāmiyah.
Ibnu Abidin (1784–1836 M) dianggap sebagai orang pertama di kalangan fuqāha
yang mendiskusikan masalah asuransi. Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab
Hanafi, yang mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu
al-Hasyiyah Ibn al-’Abidin, Bab Jihād, Fashlu Isti'man Al-Kāfir. Dalam bukunya
tersebut beliau menulis:
"Telah menjadi kebiasaan bila para pedagang menyewa kapal dari seorang harby,mereka membayar upah pengangkutannya. Ia juga membayar sejumlah uang untukseorang harby yang berada di negeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagaisukārah (premi asuransi) dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapalyang disewanya itu, apabila musnah karena kebakaran, tenggelam, dibajak atausebagainya, maka penerima uang premi asuransi itu menjadi penanggung sebagaiimbalan uang yang diambil dari pedagang itu. Apabila barang-barang merekaterkena masalah yang disebutkan di atas, maka si wakillah yang membayar kepadapara pedagang itu sebagai uang pengganti sebesar junlah uang yang pernahditerimanya” (Az-Zuhaili 2002, III, hal. 441).
Adapun perkembangan industri asuransi syariah di Indonesia, diawali dengan
kelahiran asuransi syariah pertama Indonesia pada 1994. Saat itu, PT Syarikat Takaful
Indonesia (STI) berdiri pada tanggal 24 Februari 1994 yang digerakkan oleh Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) melalui Yayasan Abdi Bangsa, Bank Muamalat
Indonesia, PT Asuransi Jiwa Tugu Mandiri, Departemen Keuangan RI, serta beberapa
pengusaha Muslim Indonesia. Saat itu para wakil dari tiga lembaga ini membentuk Tim
10
Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia atau TEPATI, yang dipimpin oleh direktur
utama PT STI, Rahmat Saleh (Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia, dalam
http://www.ipin4u.esmartstudent.com/asuransi.htm diakses 20 Mei 2009).
Sebagai langkah awal, lima orang anggota TEPATI melakukan studi banding ke
Malaysia pada September 1993. Malaysia merupakan negara ASEAN pertama yang
menerapkan asuransi dengan prinsip syariah sejak tahun 1985. Di negara jiran ini,
asuransi syariah dikelola oleh Syarikat Takafu Malaysia Sdn. Bhd. Setelah berbagai
persiapan dilakukan, STI mendirikan PT Asuransi Takaful Keluarga dan PT Asuransi
Takaful Umum. Secara resmi, PT Asuransi Takaful Keluarga didirikan pada 25 Agustus
1994, dengan modal disetor sebesar Rp 5 miliar. Sementara PT Asuransi Takaful Umum
secara resmi didirikan pada 2 Juni 1995.
Setelah Asuransi Takaful dibuka, berbagai perusahaan asuransi pun menyadari
cukup besarnya potensi bisnis asuransi syariah di Indonesia. Hal ini kemudian
mendorong berbagai perusahaan ramai-ramai masuk bisnis asuransi syariah, di
antaranya dilakukan dengan langsung mendirikan perusahaan asuransi syariah penuh
maupun membuka divisi atau cabang asuransi syariah. Sejumlah lembaga yang
kemudian ikut mendirikan asuransi syariah adalah Asuransi Syariah Mubarakah,
Asuransi Jiwa Asih Great Eastern, MAA Life Insurance, Asuransi Bringin Jiwa
Sejahtera, dan pada akhir 2002 didirikan cabang syariah Asuransi Tri Pakarta. Pada
Maret tahun 2003 AJB Bumiputera 1912 juga mengembangkan asuransi syariah
(Sejarah Asuransi Syariah di Indonesia, dalam http://www.ipin4u.esmartstudent.com/
Ayat tersebut menjelaskan bahwa tujuan utama penciptaan manusia adalah untuk
beribadah kepada Allah SWT, oleh karena itu aktivitas apa pun yang dilakukan oleh
manusia di dunia ini termasuk berasuransi harus ditujukan untuk beribadah kepada
Allah SWT dan tidak boleh melanggar syari’at yang telah ditetapkan Allah SWT.
2. Prinsip Keadilan
Prinsip kedua yang menjadi nilai-nilai dalam mengimplementasikan asuransi
syari’ah adalah prinsip keadilan. Artinya, asuransi syari’ah harus benar-benar
bersikap adil, khususnya dalam membuat pola hubungan antara nasabah dengan
nasabah, maupun antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah, terkait dengan
hak dan kewajiban masing-masing. Asuransi syari’ah tidak boleh mendzalimi
nasabah dengan hal-hal yang dapat menyulitkan atau merugikan nasabah.
Ditinjau dari sisi asuransi sebagai sebuah perusahaan, potensi untuk melakukan
ketidakadilan sangatlah besar. Seperti adanya unsur dana hangus (pada saving
produk), dimana nasabah yang sudah ikut asuransi (misalnya asuransi pendidikan)
pada periode tertentu, namun karena suatu hal ia berhenti menjadi peserta asuransi di
tengah jalan, maka premi yang telah dibayarkan pada perusahaan asuransi menjadi
hangus. Oleh karena itu pada asuransi syariah, dana saving nasabah yang telah
dibayarkan melalui premi harus dikembalikan kepada nasabah bersangkutan, berikut
hasil investasinya, termasuk ketika nasabah berhenti ditenggah jalan. Landasan
prinsip keadilan dalam berasuransi adalah firman Allah SWT :
هداء امين لله شششش ياأيهشششا الذين ءامنشششوا كونشششوا قشششو تعششدلوا نآن قششوم على ألا ط ولا يجششرمنكم ششش بالقسشش
22
اعدلوا هو أقششرب للتقششوى واتقششوا الله إن الله خبششيربما تعملون
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yangselalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Danjanganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untukberlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Danbertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yangkamu kerjakan. (QS. Al-Maidah/ 5 : 08)
Ayat tersebut menegaskan bahwa setiap mukmin harus berupaya menegakkan
kebenaran dan keadilan karena Allah SWT dalam segala bidang kehidupan termasuk
dalam berasuransi. Sistem asuransi yang dijalankan harus bertujuan untuk saling
melindungi dari berbagaimacam kezaliman dengan tidak memakan harta sesama
dengan jalan yang batil. Hal ini didasarkan pada firman Allah:
øøøø»ø6ø9øøø/ ø øø) øø& øøø ø3ø? ø ø øø»øø øø `øø <ø#øøø? øøø3øøøø 4 … ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamudengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukasama suka di antara kamu…’ (QS. 4 ayat 29)
3. Prinsip Tolong Menolong
Semangat tolong menolong merupakan aspek yang sangat penting dalam operasional
asuransi syari’ah. Karena pada hekekatnya, konsep asuransi syariah didasarkan pada
prinsip ini, di mana sesama peserta ber-tabarru’ atau berderma untuk kepentingan
nasabah lainnya yang tertimpa musibah. Nasabah tidaklah berderma kepada
perusahaan asuransi syari’ah, peserta berderma hanya kepada sesama peserta saja.
Perusahaan asuransi syariah bertindak sebagai pengelola saja. Konsekwensinya,
perusahaan tidak berhak mengklaim atau mengambil dana tabarru’ nasabah.
Perusahaan hanya mendapatkan dari ujrah (fee) atas pengelolaan dana tabarru’
23
tersebut, yang dibayarkan oleh nasabah bersamaan dengan pembayaran kontribusi
(premi). Perusahaan asuransi syariah mengelola dana tabarru’ tersebut, untuk
diinvestasikan (secara syari’ah) lalu kemudia dialokasikan pada nasabah lainnya
yang tertimpa musibah. Dengan konsep ini, berarti antara sesama nasabah telah
mengimplementasikan saling tolong menolong, kendatipun antara mereka tidak
saling bertatap muka. Allah SWT berfirman :
والعدوان الإثم على تعاونوا ولا والتقوى البر على وتعاونوا
“Dan bertolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, danjanganlah kalian bertolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”(QS. Al-Maidah : 2).
4. Prinsip Kerjasama
Antara nasabah dengan perusahaan asuransi syariah terjalin kerjasama, tergantung
dari akad apa yang digunakannya. Dengan akad mudharābah atau musytarākah
(nanti akan terjalin kerjasama dimana nasabah bertindak sebagai shahibul maal
(pemilik modal) sedangkan perusahaan asuransi syariah sebagai mudhārib
(pengelola/ pengusaha). Apabila dari investasi dana tersebut terdapat keuntungan,
maka akan dibagi berdasarkan nisbah yang telah disepakati, misalnya 40% untuk
perusahaan asuransi syariah dan 60% untuk nasabah. Ketika kerjasama terjalin
dengan baik, nasabah menunaikan hak dan kewajibannya, demikian juga perusahaan
asuransi syariah menunaikan hak dan kewajibannya secara baik, maka akan terjalin
pola hubungan kerjasama yang baik pula, yang insya Allah akan membawa
keberkahan pada kedua belah pihak.
24
5. Prinsip Amanah
Amanah juga merupakan prinsip yang sangat penting dalam asuransi syariah. Karena
pada hakekatnya kehidupan ini adalah amanah yang kelak harus dipertanggung
jawabkan dihadapan Allah SWT. Perusahaan dituntut untuk amanah dalam
mengelola dana premi nasabah. Demikian juga nasabah, perlu amanah dalam aspek
resiko yang menimpanya. Jangan sampai nasabah tidak amanah dalam artian
mengada-ada sesuatu sehingga yang seharusnya tidak klaim menjadi klaim yang
tentunya akan berakibat pada ruginya para peserta yang lainnya. Perusahaan pun
juga demikian, tidak boleh semena-mena dalam mengambil keuntungan, yang
berdampak pada ruginya nasabah. Dan transaksi yang amanah, akan membawa
pelakunya mendapatkan surga. Rasulullah SAW bersabda :
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi
kedua belah pihak). Karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak
bertujuan untuk mendapat imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan
tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jama’ah (seluruh peserta asuransi
atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syari’ah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan
dan aturan-aturan diambil menurut izin jama’ah, seperti halnya dalam asuransi
takaful.
4. Akad asuransi syari’ah bersih dari gharār dan riba’.
5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.
Beda Asuransi Syari’ah dan Asuransi Konvensional
Pada perinsipnya asuransi syari’ah dan asuransi konvensional mempunyai tujuan yang
sama, yaitu: pengelolaan atau penanggulangan risiko. Perbedaan mendasar antara
keduanya adalah cara pengelolaan risikonya, yaitu: pada asuransi konvensional
penanggulangan risiko dilakukan dengan cara transfer risiko dari para peserta kepada
perusahaan asuransi (risk transfer), sedangkan pada asuransi syari’ah penanggulangan
risiko dilakukan dengan azas saling tolong menolong dengan membagi risiko di antara
peserta asuransi (risk sharing).
Selain perbedaan cara pengelolaan risiko, ada juga perbedaan mendasar lainnya
antara asuransi syari’ah dan asuransi konvensional, yaitu: mengenai cara mengelola
unsur tabungan produk asuransi. Pengelolaan dana pada asuransi syari’ah menganut
sistem investasi syari’ah yang terbebas dari unsur riba, perjudian dan segala sesuatu
29
yang dilarang syara’. Sementara pengelolaan dana tabungan pada asuransi konvensional
diinvestasikan secara bebas termasuk dengan mekanisme bunga.
Secara rinci perbedaan antara asuransi syari’ah dan asuransi konvensional dapat
dilihat pada uraian berikut :
1. Kontrak atau Akad
Kejelasan kontrak atau akad dalam praktek mu’āmālah menjadi prinsip karena akan
menentukan sah atau tidaknya suatu akad secara syari’ah. Demikian juga dengan
kontrak antara peserta dengan perusahaan asuransi.
Pada asuransi konvensional diterapkan kontrak yang dalam syari’ah disebut
kontrak jual beli (tabaduli). Dalam hal ini, kontrak harus memenuhi syarat-syarat
kontrak jual-beli. Pada asuransi konvensional terdapat ketidakjelasaan pada besarnya
premi yang harus dibayarkan, karena bergantung terhadap usia peserta, yang dalam
pandangan Islam hanya Allah yang tahu kapan kita meninggal. Hal ini
mengakibatkan asuransi konvensional mengandung apa yang disebut gharār —
ketidakjelasaan pada kontrak sehingga mengakibatkan akad pertukaran harta benda
dalam asuransi konvensional dalam praktiknya menjadi cacat secara hukum (Hisan
1996, hal. 18).
Oleh karena itu, dalam asuransi syari’ah kontrak yang digunakan bukan kontrak
jual beli melainkan kontrak tolong menolong (takāfuli). Di mana dalam sistem ini,
nasabah yang satu menolong nasabah yang lain ketika nasabah tersebut sedang
mengalami kesulitan. Jadi, asuransi syari’ah menggunakan apa yang disebut sebagai
kontrak tabarru’ yang dapat diartikan sebagai derma atau sumbangan. Kontrak ini
30
adalah alternatif uang sah dan dibenarkan dalam melepaskan diri dari praktek yang
diharamkan pada asuransi konvensional (Mengenal Konsep Dasar Asuransi Syariah
dalam http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/).
Tujuan dari dana tabarru’ ini adalah memberikan dana kebajikan dengan niat
ikhlas untuk tujuan saling membantu satu antara sesama peserta asuransi syari’ah
apabila diantaranya ada yang terkena musibah. Oleh karenanya, dana tabarru’
tersebut disimpan dalam satu rekening khsusus, dimana bila terjadi risiko, dana
klaim yang diberikan adalah dari rekening dana tabarru’ yang sudah diniatkan oleh
semua peserta untuk kepentingan tolong menolong.
2. Sistem Pengelolaan Dana
Dana yang terkumpul dari nasabah perusahaan asuransi konvensional (premi)
diinvestasikan pada sembarang sektor dan dengan menggunakan sistem bunga.
Sedangkan dana yang terkumpul dari nasabah pada perusahaan asuransi syari’ah
(premi) diinvestasikan berdasarkan syari’ah dengan sistem bagi hasil
(mudharabah).2 Dalam hal ini, pola investasi bagi hasil adalah cirinya di mana
perusahaan asuransi hanyalah pengelola dana yang terkumpul dari para peserta (Sula
2004, hal. 304).
Dengan sistem mudhārābah ini, keuntungan usaha yang didapat oleh pihak
asuransi akan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak,
sedangkan apabila terjadi kerugian, maka kerugian tersebut akan ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian dipengelola. Namun,
2 Secara teknis, al-mudhārābah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100 persen) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola.