Assalamualaikum Wr. Wb
Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas rahmat, karunia, dan
hidayah-Nya kami berhasil menerbitkan Jurnal Psikologi Unsyiah edisi ketujuh. Proses
penerbitan jurnal ini merupakan sebuah proses yang tidak mudah namun dapat kami lalui
dengan baik. Pada penerbitan jurnal kali ini kami masih menghadapi dinamika serupa
dengan penerbitan-penerbitan sebelumnya seperti mengumpulkan tulisan, menyunting
tulisan dan tantangan terbesar adalah mengelola waktu agar tugas ini dapat kami selesaikan
sesuai waktu yang diharapkan. Proses yang kami lalui ini juga menuntut kesabaran,
keteguhan, ketekunan, dan kesungguhan sehingga edisi ketujuh ini memiliki kualitas lebih
baik dari edisi-edisi sebelumnya. Pada prosesnya, kami melalui beberapa perubahan, akan
tetapi perubahan yang kami lakukan ini semata-mata guna meningkatkan mutu dari Jurnal
Psikologi Unsyiah. Selain guna meningkatkan mutu, perubahan tersebut pun terjadi sebagai
bagian dari proses belajar kami untuk menghadapi proses akreditasi.
Keberhasilan kami dalam menerbitkan jurnal ini tentunya tidak luput dari dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, Tim Redaksi dalam kesempatan ini juga menghaturkan
terima kasih sebesar-besarnya kepada para pimpinan yang terus menyemangati kami dalam
bekerja, rekan-rekan sejawat yang giat mengirimkan tulisan, para penyunting ahli yang
memberikan masukan-masukan berarti kepada redaksi, serta kepada penulis dalam edisi
tujuh ini yang tetap bersemangat memoles tulisannya.
Jurnal ini merupakan media untuk mengomunikasikan hasil penelitian ilmiah di
bidang psikologi, dengan demikian kami membuka kesempatan sebesar-besarnya kepada
para staf pengajar, mahasiswa, peneliti dan pemerhati psikologi di seluruh Indonesia untuk
menyumbangkan tulisan ilmiahnya. Tulisan yang dimuat dalam jurnal ini akan menjadi
sumber informasi yang sangat bermanfaat baik secara akademis maupun praktis. Kami
berharap kehadiran Jurnal Psikologi Unsyiah akan memperkaya khasanah kajian ilmu
Psikologi di Indonesia.
Wassalam
Tim Redaksi
Vol 4, No. 7 Juni 2016 ISSN: 2252 - 6048
Jurnal Psikologi Unsyiah
Penanggung Jawab: Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Wakil Penanggung Jawab:
Ketua Prodi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Penyunting Ahli (Penelaah Mitra Bestari): Eko A. Meinarno (Universitas Indonesia) Christiany Suwartono (Unika Atmajaya)
Josetta M. R. Tuapattinaja (Universitas Sumatera Utara)
Ketua Pelaksana: Maya Khairani
Wakil Ketua Pelaksana:
Kartika Sari
Penyunting Pelaksana: Mirza
Risana Rachmatan
Alamat Redaksi dan Tata Usaha: Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
Jl. Teungku Tanoh Abee Darussalam – Banda Aceh 23111 Telp. 0651 – 7555182
Email : [email protected]
DAFTAR ISI
ARTIKEL
HALAMAN
HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA PANTI ASUHAN KOTA BANDA ACEH Bella Anugrah Fitri; Zaujatul Amna
1 – 11
HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN KECENDERUNGAN KECANDUAN INTERNET PADA MAHASISWA Rahmalia Putri; Nucke Yulandari
12 – 26
HUBUNGAN ANTARA MODAL PSIKOLOGIS DAN KESIAPAN KARYAWAN UNTUK BERUBAH: PENINGKATAN MODAL PSIKOLOGIS MELALUI INTERVENSI MIKRO MODAL PSIKOLOGIS Tri Sakti Aria Yudisthira, Siti Farida Haryoko Boru Tobing, dan Arum Etikariena
27 – 43
STUDI KORELASIONAL ANTARA ORIENTASI TUJUAN PERFORMADAN KECEMASAN TERHADAP PERPUSTAKAAN PADA MAHASISWA TAHUN PERTAMA Dwieta Puspa Damayanti, Anita Listiara
44 – 56
PERBEDAAN KEBAHAGIAAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN DI BANDA ACEH DITINJAU DARI JENIS KELAMIN Fathur Rahmi AR; Dahlia
57- 71
GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA PADA PEGAWAI RS X BANDA ACEH Rony Rinaldi; Eka Dian Aprilia
72 – 85
1
HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA PANTI ASUHAN
KOTA BANDA ACEH
Bella Anugrah Fitri; Zaujatul Amna Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
[email protected]; [email protected]
Abstrak
Kehidupan remaja di panti asuhan akan memengaruhi kondisi hidupya, salah stau diantaranya adalah psychological well-being. Salah satu hal yang dapat memengaruhi Psychological well-being remaja yaitu penerimaan diri. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara penerimaan diri dengan psychological well-being pada remaja panti asuhan kota Banda Aceh. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Sampel penelitian ini berjumlah 43 remaja yang terdiri dari 33 remaja laki-laki dan 10 remaja perempuan berusia 14-18 tahun yang tinggal di panti asuhan kota Banda Aceh. Alat ukur yang digunakan adalah Skala Penerimaan Diri yang disusun berdasarkan teori Berger dan adaptasi Skala Psychological well-being Ryff. Hasil analisis data menggunakan teknik korelasi Pearson menunjukkan koefisien korelasi (r)= 0,564 dengan nilai p = 0,000 (ρ<0,05) yang menunjukkan hipotesis diterima, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara penerimaan diri dengan psychological well-being pada remaja panti asuhan Kota Banda Aceh. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi penerimaan diri pada remaja panti asuhan maka semakin tinggi pula tingkat psychological well-being remaja tersebut ataupun sebaliknya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa remaja panti asuhan Kota Banda Aceh berada pada kategori tinggi untuk variabel penerimaan diri (100%) maupun psychological well-being (95,3%). Kata kunci : Penerimaan Diri, Psychological well-being, Remaja, Panti Asuhan
Abstract
Life in the orphanage can affect adolescents' living conditions, such as the influence it may have on their self-acceptance. Self-acceptance will affect to the psychological well-being. This study determined the relationship between self-acceptance and psychological well-being on adolescents at orphanages in Banda Aceh city. The sampling technique used was purposive sampling. The participants were 43 adolescents (33 males and 10 females), with the aged range between 14-18 years who lived in the orphanages in Banda Aceh city. The data collected by using; Self-Acceptance Scale based on Berger theory and Ryff’s Psychological well-being Scale revisited. The results of data analysis using Pearson correlation technique showed a correlation with coefficient value (r) = 0,564 and significant value (ρ) = 0,000 (ρ< 0,05), which means the hypothesis of this study was accepted. The study showed that there was the positive and significant correlation between self-acceptance and psychological well-being of adolescents orphanages in Banda Aceh city. The higher level of self-acceptance, the higher level of psychological well-being, and vice versa. The study showed there were adolescents of orphanages with a high category for self-acceptance (100%) and psychological well-being (95,3%). Keyword : Self-Acceptance, Psychological well-being, Adolescent, Orphanage
2
PENDAHULUAN
Keberadaan panti asuhan sebagai
tempat tinggal sementara bagi anak dan
remaja terlantar memiliki persepsi negatif
dari masyarakat. Hal tersebut didukung
oleh pernyataan Mazaya dan Supradewi
(2011) yang menyatakan bahwa panti
asuhan masih diberi label negatif oleh
masyarakat karena panti asuhan seolah
menjadi tempat rengekan belas kasihan
anak-anak terlantar dan kekurangan.
Loman, Wilk, dan Frenn (2009)
menjelaskan bahwa anak panti asuhan
cenderung mengalami depersi, gangguan
perilaku seperti berperilaku agresif, tidak
mau menurut dan suka bertengkar. Hal
selaras juga diungkapkan Gandaputra
(2009) yang mengungkapkan bahwa anak
dan remaja panti asuhan cenderung
mempunyai kepribadian inferior, apatis,
pasif, menarik diri, mudah putus asa,
penuh dengan ketakutan sehingga anak
dan remaja panti asuhan akan sulit
membangun hubungan sosial dengan
orang lain.
Label negatif dari masyarakat dan
kondisi latar belakang remaja yang tinggal
di panti asuhan membuat remaja panti
asuhan menjadi pribadi yang pemalu dan
rendah diri. Oleh karena itu, remaja yang
tinggal di panti asuhan harus dapat
melakukan penerimaan diri. Rachmayanti
dan Anita (2007) menyatakan bahwa
peneriman diri merupakan dasar bagi
setiap orang untuk dapat menerima
kenyataan hidup, baik itu pengalaman
baik maupun buruk. Pengalaman tersebut
akan membentuk pola pikir individu
terhadap suatu kejadian yang dialaminya.
Pengalaman yang tidak menyenangkan
saat harus tinggal di panti asuhan dapat
dijadikan pengalaman hidup yang
berharga ketika individu dapat melakukan
penerimaan diri dengan baik.
Penerimaan diri yang dialami oleh
remaja panti asuhan secara tidak
langsung melibatkan lingkungan sosial
yang dapat memengaruhi kesejaheraan
psikologis (Barnett & Gareis, 2006).
Menurut Ryff (2013), pengalaman hidup
seseorang dapat memengaruhi kondisi
psychological well-being. Lebih lanjut Ryff
menyatakan bahwa psychological well-
being adalah kesejahteraan psikologis
individu yang mampu menerima diri apa
adanya dan selalu memiliki tujuan hidup
yang dipengaruhi oleh perkembangan
pribadi yang sehat dan penyesuaian
sosial.
Aini dan Aisyah (2013) menyatakan
bahwa psychological well-being pada
remaja yang tinggal di panti asuhan
dilihat dari kemampuan remaja yang
mampu menerima dirinya secara
3
keseluruhan baik pada masa kini dan
masa lalunya. Remaja panti asuhan yang
menilai positif diri sendiri adalah individu
yang memahami dan menerima berbagai
aspek diri termasuk di dalamnya kualitas
baik maupun buruk, dapat
mengaktualisasikan diri, berfungsi
optimal dan bersikap positif terhadap
kehidupan yang dijalaninya. Sebaliknya,
remaja panti asuhan yang menilai negatif
diri sendiri menunjukkan adanya
ketidakpuasan terhadap kondisi dirinya,
merasa kecewa dengan apa yang telah
terjadi pada kehidupan masa lalu,
bermasalah dengan kualitas personalnya
dan ingin menjadi orang yang berbeda
dari diri sendiri atau tidak menerima diri
apa adanya. Penilaian terhadap
pengalaman hidup tersebut merupakan
bagian dari proses penerimaan diri
individu.
Berdasarkan pemaparan di atas,
maka peneliti tertarik untuk meneliti
hubungan antara penerimaan diri dengan
psychological well-being pada remaja
panti asuhan kota Banda Aceh, dengan
mengajukan hipotesis penelitian, yaitu
terdapat hubungan antara penerimaan
diri dengan psychological well-being pada
remaja panti asuhan kota Banda Aceh.
TINJAUAN TEORI
Penerimaan Diri
Penerimaan diri merupakan suatu
penilaian dalam diri individu yang
berkaitan dengan keyakinan menjalani
hidup, bertanggung jawab, mampu
menerima kritik dan saran secara objektif,
tidak menyalahkan diri atas perasaannya
terhadap orang lain, menganggap diri
sama seperti orang lain, tidak merasa
ditolak, tidak menganggap berbeda dari
orang lain, dan tidak malu serta merasa
rendah diri. Penerimaan diri terdiri dari
sembilan kriteria yaitu; individu tidak
mengandalkan diri pada tekanan eksternal
melainkan berdasarkan standar-standar
internal sebagai panduan dalam
berperilaku, memiliki keyakinan diri
dalam menjalani hidup, bertanggung
jawab dan menerima konsekuensi atas
perilakunya, menerima pujian dan kritikan
secara objektif, individu tidak berusaha
untuk menolak dan mengingkari perasaan,
motif, keterbatasan dan kemampuan yang
dimiliki, merasa berharga dan sederajat
dengan orang lain, individu tidak merasa
bahwa orang lain akan menolaknya,
individu tidak menganggap dirinya aneh,
abnormal dan berbeda dengan orang lain,
serta individu tidak merasa malu atau self-
conscious terhadap orang lain (Berger,
1952).
4
Psychological Well-being
Psychological well-being
merupakan suatu keadaan pencapaian
penuh dari potensi psikologis seseorang,
individu mampu menjadi pribadi yang
mandiri dari tekanan sosial, mampu
mengendalikan lingkungan eksternal,
mampu merealisasikan potensi diri secara
terus-menerus, mengembangkan relasi
yang positif dengan orang lain, dan
mampu memaknai kehidupannya dengan
tujuan hidup yang jelas, serta dapat
menerima kekuatan dan kelemahan diri.
Psychological well-being memiliki enam
dimensi antara lain; otonomi (autonomy),
penguasaan terhadap lingkungan
(environmental mastery), pertumbuhan
pribadi (personal growth), hubungan
positif dengan orang lain (positive relation
with others), tujuan hidup (purpose in life),
dan penerimaan diri (self acceptance).
Adapun faktor-faktor yang memengaruhi
psychological well-being, antara lain; usia,
jenis kelamin, status sosial ekonomi,
dukungan sosial, religiusitas, dan
kepribadian (Ryff, 2013; Ryff 1989).
Remaja
Remaja merupakan individu yang
berada pada periode yang dimulai dari
usia 13 tahun hingga 16 tahun dan akhir
masa remaja dimulai dari usia 16 tahun
hingga 18 tahun, serta memiliki ciri-ciri di
antaranya adalah; masa remaja sebagai
periode penting, masa remaja sebagai
periode peralihan, masa remaja sebagai
periode perubahan, masaremaja sebagai
masa mencari identitas, masa remaja
sebagai usia yang menimbulkan
ketakutan, masaremaja sebagai masa
yang tidak realistik, dan masa remaja
sebagai ambang masa dewasa (Hurlock,
2009). Lusiana (2014) menyatakan
bahwa pada masa peralihan ini remaja
umumnya memiliki rasa ingin tahu yang
tinggi sehingga seringkali ingin mencoba
hal baru, menghayal, merasa gelisah,
serta berani melakukan pertentangan jika
dirinya merasa disepelekan atau tidak
dianggap.
Hubungan Antara Penerimaan Diri dengan
Psychological Well-being pada Remaja
Panti Asuhan
Remaja penghuni panti asuhan
memiliki kemungkinan besar mengalami
persoalan kejiwaan dan sosial di masa
depan. Hal ini disebabkan oleh label
negatif dari masyarakat yang cenderung
menolak keberadaan mereka. Kondisi
tersebut juga menyebabkan remaja panti
asuhan tumbuh menjadi pribadi yang
pemalu dan rendah diri (Teja, 2014). Hal
tersebut dapat menghambat remaja
5
untuk bersosialisasi dan berhubungan
interpersonal dengan orang lain yang
lebih luas dan lebih baik. Untuk
mengantisipasi munculnya hal tersebut,
maka remaja yang tinggal di panti asuhan
harus mampu menerima kondisi dirinya
yang penuh dengan keterbatasan
(Surbakti, 2009).
Ceyhan dan Ceyhan (2011)
menyatakan bahwa individu yang
menerima keadaan dirinya dapat
menghormati diri mereka sendiri, dapat
menyadari sisi negatif dalam dirinya,
mengetahui bagaimana untuk hidup
bahagia dengan sisi negatif yang
dimilikinya, serta memiliki kepribadian
yang sehat dan kuat. Proses penerimaan
diri terbentuk berdasarkan pengalaman-
pengalaman yang dilalui oleh individu.
Hal tersebut didukung dengan hasil
penelitian tentang penerimaan diri yang
dilakukan oleh Rachmayanti dan Anita
(2007) yang menunjukkan pengalaman
hidup akan membentuk pola pikir
individu terhadap suatu kejadian yang
dialaminya. Begitu juga yang terjadi pada
remaja yang tinggal di panti asuhan.
Pengalaman yang tidak
menyenangkan saat harus tinggal di panti
asuhan dapat dijadikan pengalaman
hidup yang berharga ketika individu dapat
melakukan penerimaan diri dengan baik.
Proses penerimaan diri yang menjadi
bagian pengalaman hidup remaja yang
hidup dan tinggal di panti asuhan dapat
memengaruhi psychological well-being
remaja itu sendiri. Ryff (2013)
menyatakan bahwa pengalaman hidup
adalah salah satu faktor yang dapat
memengaruhi psychological well-being
individu. Hasil penelitian Werdyaningrum
(2013) menunjukkan bahwa penerimaan
diri terhadap suatu kondisi yang dialami
oleh individu akan memengaruhi kondisi
psychological well-being. Hal serupa juga
dapat dialami pada remaja yang tinggal di
panti asuhan. Kondisi yang dialami remaja
yang tinggal di panti asuhan membuat
para remaja di panti asuhan harus
mampu menerima keadaan dirinya yang
mana hal tersebut akan memengaruhi
keadaan psychological well-being remaja
itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan jenis
penelitian korelasi. Adapun populasi
penelitian yaitu seluruh remaja panti
asuhan kota Banda Aceh. Pengambilan
sampel menggunakan teknik purposive
sampling. Sampel penelitian berjumlah 43
remaja dengan kriteria sebagai berikut :
(1) remaja laki-laki dan perempuan yang
6
berusia 13-18 tahun, (2) masuk ke panti
asuhan pada saat usia remaja (minimal 13
tahun), (3) tinggal di salah satu
panti asuhan kota Banda Aceh minimal 1
tahun, (4) bukan remaja penghuni panti
asuhan penyandang cacat atau dayah, (5)
bersedia mengisi skala penelitian ini.
Berdasarkan kriteria tersebut, jumlah
sampel penelitian ini adalah 43 remaja
panti asuhan yang terdiri dari 33 remaja
laki-laki dan 10 remaja perempuan.
Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data
menggunakan dua skala psikologi yaitu,
Skala Penerimaan Diri dan Skala
Psychological well-being. Skala
Penerimaan Diri terdiri dari 25 butir
pernyataan yang dirancang dan disusun
oleh peneliti berdasarkan kriteria-kriteria
penerimaan diri yang dikembangkan oleh
Berger (1952), dengan menggunakan skor
penilaian modifikasi skala likert yang
terdiri dari empat pilihan jawaban yang
terdiri dari pernyataan favorable dan
unfavorable. Perolehan skor yang
semakin tinggi pada skala ini
menunjukkan penerimaan diri individu
semakin tinggi. Sebaliknya, perolehan
skor yang semakin rendah menunjukkan
penerimaan diri individu semakin rendah.
Skala Psychological well-being yang
digunakan dalam penelitian ini
merupakan skala adaptasi dari Ryff’s
Psychological well-being Scale versi 42
butir pernyataan. Skala ini menggunakan
skor penilaian modifikasi skala likert yang
terdiri dari enam pilihan jawaban yang
terdiri dari pernyataan favorable dan
unfavorable. Perolehan skor yang
semakin tinggi pada skala ini
menunjukkan psychological well-being
individu semakin tinggi. Sebaliknya,
perolehan skor yang semakin rendah
menunjukkan psychological well-being
individu semakin rendah.Berdasarkan
pengujian oleh Ryff (2013), psychological
well-being memiliki koefisien reliabilitas
sebesar 0,830. Pengujian yang dilakukan
peneliti di Banda Aceh diperoleh koefisien
reliabilitas sebesar 0,869.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang
digunakan yaitu teknik analisis
menggunakan teknik korelasi Pearson
dengan menggunakan program statistik
komputer. Hasil dari uji hipotesis ini
dapat dilihat pada nilai signifikansi ρ <
0,05 maka hipotesisnya diterima, dan
sebaliknya.
7
HASIL PENELITIAN
Deskripsi Data
Jumlah sampel yang diperoleh
adalah sebanyak 43 remaja panti
asuhanyang terdiri dari 33remaja laki-laki
dan 10remaja perempuan. Hal tersebut
menunjukkan bahwad bahwa jumlah
sampel penelitian yang berjenis kelamin
laki-laki lebih banyak yaitu 76,7%
daripada jumlah sampel penelitian
perempuan yaitu sebanyak 23,3 %.
Selanjutnya, dari segi usia, remaja awal
dengan usia 13 sampai 15 tahun lebih
banyak daripada remaja akhir yang
berusia 16 sampai 18 tahun dengan
persentase 67,4% remaja awal dan 32,6%
remaja akhir. Hasil penelitian juga
memperlihatkan waktu lamanya tinggal
sampel penelitian di panti asuhan.
Lamanya waktu tinggal di panti asuhan
dibagi menjadi lima kategori dengan
persentase paling banyak pada kategori
lamanya tinggal selama satu tahun di
panti asuhan, yaitu 58,1%. Persentase
kategori lainnya yaitu 25,6% kategori
lama tinggal selama dua tahun, 6,9%
kategori lama tinggal selama tiga tahun,
4,7% untuk masing-masing kategori lama
tinggal selama empat tahun dan lima
tahun.
Pembagian kategori sampel yang
digunakan oleh peneliti adalah dengan
metode kategorisasi berdasar signifikansi
perbedaan karena jumlah individu dalam
kelompok yang diteliti jumlahnya tidak
begitu besar (Azwar, 2013). Cara
pengkategorian ini akan diperoleh dengan
menetapkan suatu interval skor yang
mencakup kategori sedang. Hasil
pengkategorian menunjukkan bahwa
100% remaja panti asuhan berada pada
kategori tinggi pada penerimaan diri dan
95,3% kategori tinggi dan 4,7% kategori
sedang pada psychological well-being.
Uji Hipotesis
Hasil uji asumsi menunjukkan
bahwa data berdistribusi normal dan
linier. Hal tersebut dilihat dari hasil
analisis variabel penerimaan diri K-S Z =
0,864 ρ = 0,444 > 0,05 dan variabel
psychological well-being dengan nilai K-S
Z = 0,868 ρ = 0,438 > 0,05. Hasil uji
lineiritas menunjukkan nilai signifikansi(p)
= 0,000 < 0,05). Hasil uji hipotesis
menunjukkan nilai signifikansi ρ = 0,000
(p < 0,05). Hal tersebut menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara
penerimaan diri dengan psychological
well-being pada remaja panti asuhan kota
Banda Aceh.
8
DISKUSI
Hasil analisis korelasi yang
menunjukkan nilai signifikansi sebesar
0,000 (p < 0,05) dan korelasi positif yaitu
rhitung = 0,564. Hal tersebut
menunjukkan bahwa terdapat hubungan
positif dan signifikan antara penerimaan
diri dengan psychological well-being pada
remaja panti asuhan Kota Banda Aceh,
sehingga dapat dikatakan bahwa
hipotesis penelitian ini diterima.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, menunjukkan bahwa
psychological well-being yang tinggi yang
dimiliki oleh remaja panti asuhan
dibangun oleh penerimaan diri yang
dimiliki remaja panti asuhan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Savitri, Kiswantomo
dan Ratnawati (2012) pada Remaja SOS
Desa Taruna Kinderdorf Bandung yang
juga menunjukkan bahwa pada dimensi
penerimaan diri, sebanyak 57,9% remaja
Kinderdorf memiliki penerimaan diri yang
tinggi. Lebih lanjut Savitri, Kiswantomo
dan Ratnawati menjelaskan bahwa
penerimaan diri tersebut muncul
dikarenakan adanya dukungan sosial dari
orang-orang yang berarti bagi remaja
sehingga membantu remaja untuk dapat
menerima dirinya apa adanya, serta
berkaitan juga dengan penghayatan dan
rasa syukur menjadi anak asuh di
Kinderdorf.
Hasil dari penelitian ini
menunjukkan skor penerimaan diri
berada pada kategori tinggi (100%). Hal
tersebut dapat terjadi karena adanya
proses penyesuaian diri remaja panti
asuhan dan peran kawom remaja
tersebut. Artha dan Supriyadi (2013) yang
menyatakan bahwa berinteraksi dengan
lingkungan sekitar dan orang lain sebagai
bentuk penyesuaian diri akan
memengaruhi individu menerima
keadaan diri. Penerimaan diri sebagai
remaja yang tinggal di panti asuhan akan
muncul seiring berjalannya waktu ketika
individu mencoba menyesuaikan diri
untuk tinggal di panti asuhan.
Faktor lainnya yang dapat
memengaruhi penerimaan diri pada
remaja panti asuhan di kota Banda Aceh
adalah adanya peran kawom atau dikenal
dengan istilah pengasuhan berbasis
kawom yang merupakan bagian dari
unsur budaya di Aceh. Salah satu yang
mengkaitkan peran kawom terhadap
remaja panti asuha, yaitu penelitian yang
dilakukan oleh Octiva pada tahun 2013
terhadap remaja panti asuhan pasca
tsunami Aceh, dijelaskan bahwa kawom
adalah keluarga besar dari anak, baik dari
pihak bapak beserta seluruh saudaranya
9
maupun pihak ibu dengan keseluruhan
saudaranya yang memiliki tanggung
jawab dalam memberikan pengasuhan
terhadap anak yang kehilangan
pengasuhan orang tuanya. Walaupun
anak harus tinggal di panti asuhan,
namun kawom juga berperan dalam
kehidupan anak. Selain peran kawom
yang memengaruhi penerimaan diri
remaja panti asuhan, pemerintah dan
masyarakat Aceh juga turut berperan
dalam kehidupan anak dan remaja panti
asuhan. Pemerintah Aceh mengatur
aturan tentang perlindungan anak yang
tertulis dalam Qanun Aceh Nomor 11
Tahun 2008 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 3 dalam Qanun tersebut
menjelaskan bahwa perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya
hak-hak anak untuk hidup, tumbuh,
berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai dengan harkat dan
martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari eksploitasi, kekerasan
dan diskriminasi, demi terwujudnya anak
yang berkualitas, berakhlak mulia dan
sejahtera.
Lebih lanjut dijabarkan pada pasal
9, pasal 13 sampai dengan pasal 18
bahwa masyarakat dapat menjadi orang
tua asuh terhadap anak-anak terlantar,
anak miskin dan anak yatim atau piatu
dan pengasuhan anak dalam institusi
dilakukan oleh lembaga pengasuhan anak
dan dilaksanakan apabila fungsi dan
peran orang tua atau wali tidak dapat
memenuhi kebutuhan dasar anak dimana
lembaga pengasuhan anak yang
dimaksud memiliki tugas dan fungsi untuk
mengasuh, memberikan kebutuhan dasar
anak, meningkatkan kulitas sumber daya
manusia dan memberikan perlindungan
normatif, fisik, mental dan sosial sesuai
dengan agama yang dianut oleh anak.
Berdasarkan Qanun tersebut, terlihat
bahwa pemerintah dan masyarakat Aceh
turut berperan dalam pengasuhan anak-
anak terlantar dan anak-anak yang hidup
di lembaga pengasuhan yang akan
memengaruhi proses penerimaan diri
anak dan remaja tersebut.
Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa 95,3% remaja panti
asuhan berada pada kategori
psychological well-being tinggi dan 4,7%
berada pada kategori psychological well-
being sedang. Hal ini bisa terjadi karena
adanya penerimaan diri yang baik dan
sikap yang baik pada diri remaja panti
asuhan sehingga berdampak pada
psychological well-being. Ryff dan Singer
(2008) menyatakan bahwa individu yang
memiliki psychological well-being
tergolong tinggi seperti pada remaja panti
10
asuhan dalam penelitian ini menunjukkan
bahwa remaja panti asuhan memiliki
penilaian yang positif terhadap
pengalaman dan kualitas hidupnya yang
dilihat dari keenam dimensi psychological
well-being, yaitu kemandirian,
penguasaan lingkungan, pertumbuhan
pribadi, hubungan positif dengan orang
lain, tujuan hidup, dan penerimaan diri.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat hubungan positif dan
signifikan antara penerimaan diri dengan
psychological well-being pada remaja
panti asuhan Kota Banda Aceh. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa semakin
tinggi penerimaan diri maka semakin
tinggi pula psychological well-being
ataupun sebaliknya. Hal ini terjadi karena
penerimaan diri terhadap suatu kondisi
yang dialami oleh remaja panti asuhan
akan memengaruhi psychological well-
being remaja tersebut. Selanjutnya, hasil
penelitian ini menunjukkan bahwa
umumnya remaja panti asuhan Kota
Banda Aceh berada pada kategori tinggi
untuk penerimaan diri dan psychological
well-being.
SARAN
Saran bagi peneliti selanjutnya
yang yang berminat melakukan penelitian
dengan variabel yang sama, maka dapat
diteliti dengan menggunakan metode
kualitatif melalui observasi dan
wawancara secara mendalam untuk
memperdalam hasil variabel penelitian,
terutama berkaitan dengan dinamika atau
gambaran psychological well-being pada
remaja panti asuhan.
DAFTAR PUSTAKA Aini, S. N., & Aisyah, S. N. (2013).
Psychological well-being penyandang gagal ginjal. Jurnal Penelitian Psikologi,04(01), 35-45.
Amwidyati, S. A., & Utami, M. S. (2007).
Religiusitas dan psychological well‐being pada korban gempa. Jurnal Psikologi, 34(2), 164-176.
Artha, N. M. W. I., & Supriyadi. (2013).
Hubungan antara kecerdasan emosi dan self efficacy dalam pemecahan masalah penyesuaian diri remaja awal. Jurnal Psikologi Udayana, 1(1), 190-202.
Azwar, S. (2013). Penyusunan skala
psikologi (Ed. 2). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barnett, R. C., & Gareis, K. C. (2006).
Parental after-school stress and psychological well-being. Journal of Marriage and Family, 68, 101-108. doi: 10.1111/j.1741-3737.2006.00236.x
11
Berger, E. M. (1952). The relation between expressed acceptance of self and expressed acceptance of others. The Journal of Abnormal and Social Psychology, 47(4), 778-782. doi:10.1037/h0061311
Calhoun, J. F., & Acocella, J. R. (1990).
Psychology of adjustment and human relationship. Terjemahan: R. S. Satmoko. New York: McGrawHill.
Gandaputra, A. (2009). Gambaran self-
esteem remaja yang tinggal di panti asuhan. Jurnal Psikologi, 7(2), 52-70.
Hurlock, E. B. (2009). Psikologi
perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan (Ed. 5). Terjemahan: Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Loman, M. M., Wilk, K. L., & Frenn, K. A.
(2009). Ponstitutionalized children’s development growth, cognitive, and language outcomes. Journal Development Behavior Pediatrics, 30(5), 426-434.
Lusiana, I. (2014). Interaksi sosial antara
remaja yang tinggal bersama orang tua dan remaja yang tinggal di panti asuhan. Jurnal Online Psikologi, 2(1), 81-92.
Mazaya, K. N., & Supradewi, R. (2011).
Konsep diri dan kebermaknaan hidup pada remaja di panti asuhan. Proyeksi, 6(2), 103-112.
Octiva, S. (2013). Book of abstracts; the
4th international conference on center on aceh and indian ocean studies in mahdi; perbedaan
proporsi gangguan mental pada remaja yang tinggal di panti asuhan dan tinggal dengan kawom paska tsunami. Aceh: ICAIOS.
Rachmayanti, S., & Anita, Z. (2007).
Penerimaan diri orang tua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme. Jurnal Psikologi, 1(1).
Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything,
or is it? exploration on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6), 1069-1081.
Ryff, C. D. (2013). Psychological well-being
revisited: advances in the science and practice of eudaimonia. Psychotherapy and Psychosomatics, 83, 10-28. doi: 10.1159/000353263
Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The
stucture of psychological well-being revisited. Journal of Personality and Social Psychology, 69(4), 719-727.
Ryff, C. D., & Singer. (2008). Know thyself
and become what you are: a eudaimonic approach psychological well-being. Journal of Happiness Studies, 9, 13-39. doi: 10.1007/s10902-006-9019-0
Savitri, J., Kiswantomo, H., & Ratnawati. (2012). Studi deskriptif mengenai psychological well-being pada remaja SOS desa taruna kinderdorf Bandung. Zenit, 1(1), 1-11.
Teja, M. (2014). Pelindungan terhadap
anak telantar di panti asuhan. Jurnal Pusat Pengkajian Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR RI, VI(05), 9-12.
12
HUBUNGAN ANTARA KESEPIAN DENGAN KECENDERUNGAN KECANDUAN INTERNET PADA MAHASISWA
Rahmalia Putri; Nucke Yulandari
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala [email protected]; [email protected]
Abstrak
Kecenderungan kecanduan internet adalah perilaku yang muncul akibat berinteraksi dengan dunia maya yang tidak terkontrol. Kesepian dianggap menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kecanduan internet. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kesepian dengan kecenderungan kecanduan internet pada mahasiswa S1 Unsyiah. Hipotesis dalam penelitian ini terdapat hubungan antara kesepian dengan kecenderungan kecanduan internet pada mahasiswa Unsyiah. Sampel dalam penelitian ini adalah mahasiswa aktif S1 Unsyiah yang berjumlah 377 orang, berusia 20-25 tahun (masa dewasa awal) dengan menggunakan teknik proportional stratified random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan Skala Kesepian yang diadaptasi dari skala kesepian University California of Los Angeles Loneliness Scale-Ver 3 dan Skala Kecanduan Internet yang diadaptasi dari Internet Addiction Scale. Hasil analisis data dengan teknik korelasi Pearson Product Moment mendapatkan koefisien korelasi r(df) = 0,20, p < atau > .01 atau .05. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara kesepian dengan kecenderungan kecanduan internet pada mahasiswa S1 Unsyiah. Kata kunci: kesepian, kecanduan internet, mahasiswa, pearson product moment, UCLA loneliness
scale, internet addiction scale
Abstract
The relationship between loneliness and internet addiction tendency to the undergraduate student. Internet addiction tendency is a behavior that will arise as a result of interaction with the uncontrolled virtual world. Loneliness is considered one of the factors that influence internet addiction. The aimed of this study is to determine the relationship between loneliness and internet addiction tendency to undergraduate students of Unsyiah. The study hypothesized if there is a relationship between loneliness and internet addiction tendency to undergraduate students of Unsyiah. The samples of this study are 377 active undergraduate students of Unsyiah, aged 20-15 years old. The sampling technique used is proportional stratified random sampling. The data was collected using a loneliness scale that was adapted from University California of Los Angeles Loneliness Loneliness Scale-Ver and internet addiction scale was adapted from Internet Addiction Scale. The data was analyzed using Pearson Product Moment correlation technique with correlation coefficient r(df) = 0,20, p < or > .01 or .05. It showed that there is a positive correlation between loneliness and internet addiction tendency to undergraduate students of Unsyiah. Keywords: loneliness, internet addiction, undergraduate students,pearson product moment, UCLA
loneliness scale, internet addiction scale
13
PENDAHULUAN
Pengguna internet semakin
meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan
data dari Internet World Stats (2012)
diketahui bahwa pengguna internet dunia
tahun 2012 berjumlah 2,4 milyar orang
dengan pengguna terbanyak berasal dari
benua Asia sebesar 44,8% atau sekitar
1,07 milyar orang. Berdasarkan hasil
survey yang dilakukan Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(APJII, 2014) diketahui bahwa jumlah
pengguna internet di Indonesia tahun
2014 mencapai 34,9% atau sekitar 88 juta
orang dari total penduduk Indonesia yaitu
252,4 juta orang dimana 0,027% atau 2,4
juta orang pengguna internet berada di
Aceh.
Hasil survey Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia
(2014) diketahui internet digunakan oleh
seluruh lapisan usia dan pengguna
internet paling dominan adalah usia
dewasa awal yaitu usia 18 sampai 25
tahun sebesar 49% atau sekitar 43 juta
penduduk Indonesia. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan
Ceyhan dan Gurcan (2007), bahwa
individu yang paling banyak
menggunakan internet adalah individu
dewasa awal yaitu mahasiswa.
Terlepas dari banyaknya manfaat
yang diberikan internet, internet juga
memiliki dampak buruk. Dampak buruk
dari penggunaan internet yang
berlebihan dapat mengakibatkan
kecanduan internet. Kecanduan internet
adalah pemakaian internet yang tidak
terkontrol dan memiliki dampak yang
buruk bagi mahasiswa, diantaranya
muncul masalah dalam keluarga,
hubungan orang tua dan anak, hubungan
teman dekat menjadi terganggu secara
serius, juga muncul masalah akademik,
seperti menolak untuk belajar,
mengalami penurunan prestasi belajar,
dan mendapat hukuman karena
penggunaan internet yang berlebihan
(Young, 1999).
Berdasarkan hasil penelitian
Caplan (2007) ditemukan bahwa kesepian
menjadi salah satu prediktor dalam
masalah penggunaan internet yang
berlebihan, karena secara teoritis
kesepian menjadi faktor utama yang
memiliki ciri-ciri seperti persepsi yang
negatif mengenai keterampilan sosial dan
kemampuan komunikasi yang buruk.
Morahan-Martin dan Schumacher (2003)
menyatakan seseorang yang memiliki ciri
persepsi yang negatif mengenai
keterampilan sosial dan kemampuan
komunikasi yang buruk lebih cenderung
14
menggunakan internet secara berlebihan
karena mereka menggunakan internet
untuk menghindari interaksi sosial secara
langsung.
Berdasarkan teori psikososial
Erikson (dalam Papalia, Olds & Feldman,
2008), individu yang berada pada masa
dewasa awal, yaitu mahasiswa, akan
menghadapi tugas perkembangan untuk
membentuk hubungan intimasi dengan
orang lain (intimacy). Ketika hubungan
intimasi tidak berhasil dibentuk, maka
akan terjadi isolasi (intimacy vs isolate).
Weiss menyebutkan efek psikologis yang
ditimbulkan dari isolasi adalah kesepian
(dalam Santrock, 2003).
Kesepian adalah reaksi emosional
dan kognitif terhadap hubungan yang
lebih sedikit dan lebih tidak memuaskan
daripada yang diinginkan oleh orang
tersebut, Peplau & Perlman (dalam
Santrock, 2003). Weiss mengungkapkan
bahwa kesepian tidak hanya disebabkan
karena kesendirian, tetapi karena tidak
adanya hubungan tertentu yang
diharapkan.Kesepian selalu muncul
sebagai sebuah respon terhadap
ketidakadaan suatu hubungan yang
diharapkan (dalam Weiten & Llyod,
2006).
Selain masalah dengan hubungan
intimasi, kesepian pada mahasiswa juga
dapat disebabkan oleh faktor lain yaitu
tugas perkembangan untuk menjalin
hubungan dekat dengan lawan jenis.
Ketidakmampuan membina hubungan
dengan lawan jenis dengan baik akan
menimbulkan rasa kesepian (Hurlock,
2009).
Menurut McKenna (dalam Kim,
LaRose, & Peng, 2009) kesepian secara
langsung memengaruhi individu untuk
interaksi online, karena individu yang
kesepian merasa bahwa mereka dapat
berinteraksi dengan orang lain dan
mengekspresikan diri lebih baik saat
online daripada saat mereka
melakukannya secara langsung.
Seseorang yang merasa kesepian
akan menjadi pemalu dan memiliki
kepercayaan diri yang rendah (Santrock,
2003 & Lake dalam Eriany, 1997).
Seseorang yang memiliki kepercayaan diri
yang rendah cenderung menjadi
kecanduan internet karena internet
menjadi tempat pelarian dari perasaan
tidak nyaman untuk berinteraksi secara
langsung dengan lingkungan (Andreou &
Svoli, 2013). Cacioppo, Hawkley,
Crawford, Budesson dan Kowalewski
(2002) menyatakan apabila individu
memiliki skor kesepian yang tinggi, maka
akan mempunyai skor depresi tinggi dan
berdasarkan penelitian yang dilakukan
15
Young dan Rodgers (1998) diketahui
bahwa depresi berkaitan dengan
peningkatan penggunaan internet. Oleh
karena itu, penelitian ini memiliki tujuan
untuk mengetahui hubungan antara
kesepian dengan kecenderungan
kecanduan internet pada mahasiswa.
TINJAUAN TEORI
Kesepian
Definisi kesepian menurut Peplau
dan Perlman (1982) adalah keadaan yang
tidak menyenangkan yang terjadi ketika
hubungan sosial seseorang kurang
sempurna, baik secara kuantitatif
maupun kualitatif. Menurut Russell
(1996), kesepian merupakan kesatuan
dari kepribadian dinamis dalam individu
dari sistem-sistem psikofisik yang
menentukan karakteristik perilaku dan
berfikir, kemudian keinginan individu
pada kehidupan sosial dan kehidupan
dilingkungannya, dan juga depresi yang
ditandai dengan perasaan sedih, murung,
tidak bersemangat, merasa tidak
berharga dan berpusat pada kegagalan.
Aspek kesepian yang dijelaskan
oleh McWhirter (1990) berdasarkan Skala
Internet Addiction Scale terdiri dari tiga
aspek, yaitu: Loneliness related to
intimate others, yaitu memiliki kualitas
dan kuantitas yang rendah dalam
hubungan intimasi dengan orang lain,
Loneliness related to social others, yaitu
kekurangan hubungan sosial yang
mungkin dapat menjadi hubungan
pertemanan, dan Loneliness related to
affiliative environment, yaitu dimana
individu merasa jauh dengan kelompok
atau orang-orang terdekatnya.
Kecenderungan Kecanduan Internet
Suler (2004) menyebut kecanduan
internet dengan istilah cyberspace
addiction yang artinya ketagihan dengan
dunia maya yang dibentuk melalui
interaksi dengan komputer dan
menghabiskan banyak waktu disana.
Young (2009) menyebutkan kecanduan
internet adalah pemakaian internet yang
tidak terkontrol dan merugikan dan
ditandai dengan meningkatnya waktu
yang digunakan, uang, dan usaha untuk
kegiatan yang berkaitan dengan internet,
merasa cemas, sedih, dan gelisah jika
tidak dapat mengakses internet dan
menyangkal adanya masalah perilaku.
Menurut Goldberg (dalam Dewi, 2011)
kecanduan internet adalah pola
penggunaan internet yang maladaptif
yang menghasilkan pengrusakan diri.
Menurut Widyanto dan McMurran
(2004) terdapat enam aspek
kecenderungan kecanduan internet,
16
diantaranya: Salience, yaitu perilaku
khusus yang muncul ketika sedang
mengakses internet seperti mengumpat
ketika diganggu saat mengakses internet,
Excessive use, yaitu penggunaan internet
yang berlebihan seperti jam penggunaan
yang melebihi batas yang direncanakan,
Neglect work, yaitu terganggunya jam
dan kualitas pekerjaan akibat
menggunakan internet, Anticipation,
yaitu selalu menunggu waktu untuk
mengakses internet, Lack of control, yaitu
ketidakmampuan mengontrol
penggunaan internet, Neglect social life,
yaitu meninggalkan kehidupan sosialnya
dan lebih memilih mengakses internet.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kuantitatif. Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh
mahasiswa S1 Unsyiah sebanyak 22.213
orang. Pengambilan sampel dilakukan
dengan cara probability sampling yaitu
teknik proportional stratified random
sampling. Sampel dalam penelitian ini
diambil menggunakan pedoman tabel
Krejcie dan Morgan (1970) dengan tingkat
kesalahan 5% dan tingkat kepercayaan
95%. Menurut tabel Krejcie dan Morgan
jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah sebanyak 377 orang. Berikut
jumlah besar populasi dan sampel per
fakultas.
Tabel 1. Jumlah populasi per fakultas
Fakultas Jumlah Mahasiswa
Presentase Besar Sampel
Fakultas Ekonomi
1941 orang 8.74% 32 orang
Fakultas Kedokteran Hewan
650 orang 2.93% 12 orang
Fakultas Hukum
1790 orang 8.06% 30 orang
Fakultas Teknik
2861 orang 12.87% 48 orang
Fakultas Pertanian
1917 orang 8.64% 32 orang
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan
7249 orang 32.63% 124 orang
Fakultas Kedokteran
2434 orang 10.95% 42 orang
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
1090 orang 4.92% 18 orang
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
1682 orang 7.57% 28 orang
Koord. Kelautan dan Perikanan
599 orang 2.69% 11 orang
Total 22.213 orang
100% 377 orang
Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan skala
psikologi untuk mengukur kedua variabel,
yaitu skala Kesepian UCLA (University
California of Los Angeles Loneliness Scale-
17
Ver 3) dan Skala Kecanduan Internet IAS
(Internet Addiction Scale) yang diadopsi
dari skala baku. Skala Kesepian UCLA
disusun oleh Russell (1996) terdiri dari 20
aitem dan dijabarkan aspek-aspeknya
oleh McWhirter (1990) yang terdiri dari
aspek loneliness related to intimate
others, loneliness related to social others,
dan loneliness related to affiliative
environment. Skala Kesepian UCLA
tersebut disusun dalam model Skala
Likert yang terdiri dari empat alternatif
jawaban, yaitu Selalu, Kadang-kadang,
Jarang, dan Tidak Pernah.
Skala Kecanduan Internet IAS
disusun oleh Young (1998a) terdiri dari 20
aitem dan aspek kecanduan internet
berdasarkan skala kecanduan internet IAS
yang dijabarkan oleh Widyanto &
McMurran (2004) yaitu salience,
excessive use, neglect work, anticipation,
lack of control, dan neglect social life.
Skala kecanduan internet IAS tersebut
disusun dalam model Skala Likert yang
terdiri dari empat alternatif jawaban,
yaitu Selalu, Kadang-kadang, Jarang, dan
Tidak Pernah.
Teknik Analisa Data
Analisa data dalam penelitian ini
menggunakan korelasi parametrik
Product Moment Pearson dengan
bantuan piranti lunak SPSS (Statistical
Packages for Social Sciences) versi 16.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi Data Penelitian
Gambaran umum mengenai data
penelitian secara singkat dapat dilihat
pada tabel 1 berikut:
Tabel 2. Deskripsi data penelitian
Variabel Data Hipotetik Data Empirik
Xmaks Xmin Mean SD Xmaks Xmin Mean SD
Kesepian 80 20 50 10 64 20 41,78 7,851
Kecanduan Internet
100 20 60 13,3
3 95 20 48,45 13,255
Berdasarkan hasil statistik data
penelitian, analisis deskriptif secara
hipotetik Skala Kesepian UCLA
menunjukkan bahwa jawaban minimal
adalah 20, maksimal 80, nilai rerata 50
dan simpangan baku 10. Sementara data
empirik menunjukkan jawaban minimal
adalah 20, maksimal 64, nilai rerata 41,78
18
dan simpangan baku 7,851. Sementara itu
untuk Skala Kecanduan Internet IAS
menunjukkan bahwa jawaban minimal
adalah 20, maksimal 100, nilai rerata 60
dan simpangan baku 13,33. Sementara
data empirik menunjukkan jawaban
minimal adalah 20, maksimal 95, nilai
rerata 48,45 dan simpangan baku 13,255.
Selanjutnya dilakukan kategorisasi
untuk menempatkan subjek ke dalam
kelompok-kelompok berjenjang
berdasarkan variabel yang diukur. Jenjang
kategori yang digunakan adalah rendah,
sedang, dan tinggi. Berikut cara
pengkategorian pada Skala Kesepian:
μ − t(
α
2,n−1)
(S√n
⁄ ) ≤ X ≤ μ + t(
α
2,n−1)
(S√n
⁄ )
50 − (1,96)(7,851√377
⁄ ) ≤ X ≤ 50 + (1,96)(7,851√377
⁄ )
50 − (1,96)(0,40) ≤ X ≤ 50 + (1,96)(0,40)
50 − 0,78 ≤ X ≤ 50 + 0,78
49.22 ≤ X ≤ 50,78
49 ≤ X ≤ 51
Keterangan: µ = Mean hipotetik pada skala
t(α/2,n-1) = Harga t pada α/2 dan derajat kebebasan n-1
s = deviasi standar skor 18mpiric
Setelah memperoleh interval skor
sedang tersebut maka norma kategorisasi
diagnosis berdasarkan skor dan skor tiap
sampel penelitian pada variabel kesepian
tersebut sebagai berikut:
Tabel 3. Kategorisasi Kesepian
Rumus Norma Kategori Kategori Jumlah Persentase
X < 49 Rendah 289 76,6% 49 ≤ X ≤ 51 Sedang 48 12,7%
X > 51 Tinggi 40 10,7%
TOTAL 377 100%
19
Untuk skala Kecanduan internet,
kategorisasi dibuat berdasarkan norma
yang telah ditentukan oleh Young (1998),
yaitu ( 20 ≤ X < 49 ) untuk kategori
pengguna biasa, ( 50 ≤ X ≤ 79 ) untuk
kategori bermasalah karena internet, dan (
80 ≤ X ≤ 100 ) untuk kategori kecanduan
internet.
Tabel 4. Kategorisasi Kecanduan Internet
Rumus Norma Kategori Kategori Jumlah Persentase
( 20 ≤ X < 49 ) Pengguna biasa 213 56,4%
( 50 ≤ X ≤ 79 ) Bermasalah karena
internet 157 41,7%
( 80 ≤ X ≤ 100 ) Kecanduan Internet 7 2%
TOTAL 377 100%
Hasil kategorisasi kesepian yang
dapat dilihat dari tabel di atas
menunjukkan bahwa sampel pada
penelitian ini sebanyak 76,6% memiliki
tingkat kesepian yang rendah, sebanyak
12,7% memiliki tingkat kesepian sedang,
dan sebanyak 10,7% memiliki tingkat
kesepian yang tinggi. Sedangkan hasil
kategorisasi kesepian dapat dilihat dari
tabel diatas menunjukkan bahwa sampel
pada penelitian ini sebanyak 56,4% adalah
pengguna biasa, sebanyak 41,7% memiliki
masalah karena internet, dan sebanyak
2% memiliki kecenderungan kecanduan
internet.
Tabel 5. Kategorisasi Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Variabel Kesepian
Kesepian Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
Rendah 131 orang 158 orang 289 orang
Sedang 28 orang 48 orang 48 orang
Tinggi 14 orang 40 orang 40 orang Total 173 orang 204 orang 377 orang
Berdasarkan tabel diatas terlihat
kesepian dengan tingkat rendah lebih
banyak dialami oleh perempuan dengan
jumlah 158 orang dibandingkan laki-laki
dengan jumlah 131 orang.
20
Tabel 6. Kategorisasi Berdasarkan Jenis Kelamin dengan Variabel Kecanduan Internet
Kecanduan Internet Jenis Kelamin
Total Laki-laki Perempuan
Rendah (Pengguna biasa) 91 orang 122 orang 213 orang
Sedang (Bermasalah karena internet) 78 orang 79 orang 157 orang
Tinggi (Kecanduan internet) 4 orang 3 orang 7 orang
Total 173 orang 204 orang 377 orang
Berdasarkan tabel diatas terlihat
perempuan memiliki tingkat kecanduan
internet yang lebih rendah atau pengguna
biasa dengan jumlah 122 orang
dibandingkan dengan laki-laki dengan
jumlah 91 orang.
Analisa Data Penelitian
Analisa data melalui SPSS
menunjukkan pada variabel kesepian
diperoleh hasil (K-S Z = 1.06, p=0.21 >
0.05) artinya variabel kesepian
berdistribusi normal dengan (p>0. 05).
Hasil uji normalitas variabel kecanduan
internet diketahui bahwa nilai (K-S Z =
1.11, p = 0.16>0.05) artinya variabel
kecenderungan kecanduan internet
berdistribusi normal dengan (p > 0.05),
maka digunakan analisis korelasi
parametrik melalui Product Moment dari
Pearson.
Hasil uji hipotesis menunjukkan
koefisien korelasi sebesar 0.204. Artinya
terdapat hubungan positif antara
kesepian dengan kecenderungan
kecanduan internet. Hubungan tersebut
mengartikan bahwa jika nilai kesepian
semakin tinggi maka akan semakin tinggi
pula kecenderungan kecanduan internet
pada mahasiswa Unsyiah.
Signifikansi hubungan antara kedua
variabel ditunjukkan dengan koefisien
korelasi r(df) = 0.20, p < atau > .01 atau .05.
Hasil analisa data juga menunjukkan r2
sebesar .042 (4.2%) yang artinya kesepian
berkontribusi terhadap kecanduan
internet sebesar 4.2%. Sedangkan 95.8%
diprediksi dipengaruhi oleh variabel yang
lain.
DISKUSI
Berdasarkan perhitungan statistik
yang telah dilakukan, dapat dilihat dari
hasil koefisien korelasi r(df) = 0.20, p < atau
> .01 atau .05 maka dapat dikatakan bahwa
hipotesis penelitian diterima. Hasil ini
menunjukkan bahwa kesepian memiliki
hubungan dengan kecenderungan
kecanduan internet pada mahasiswa.
Semakin tinggi tingkat kesepian seseorang
maka semakin tinggi pula kecenderungan
kecanduan internetnya.
21
Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan Moody (2001)
di Washington, Amerika Serikat yang
menemukan bahwa kesepian memiliki
hubungan yang signifikan dengan
kecanduan internet. Dalam penelitian ini
dijelaskan bahwa individu yang
menghabiskan waktunya untuk
mengakses internet memiliki tingkat
emotional loneliness yang lebih tinggi
dibandingkan tingkat social lonelinessnya.
Hal yang sama juga ditemukan oleh
Kim, LaRose dan Peng (2009) dalam
penelitiannya yang melibatkan 635 orang
mahasiswa dari dua universitas di
Midwestern. Penelitian ini menunjukkan
bahwa kesepian memiliki hubungan
dengan kecanduan internet. Dalam
penelitian ini diketahui bahwa individu
yang merasa kesepian tidak hanya
kesulitan mempertahankan interaksi
sosial di kehidupan nyata, namun juga
sulit mengatur penggunaan internet
mereka. Selain itu, individu tersebut juga
mengandalkan aktivitas internet sebagai
sarana untuk melarikan diri dari masalah
yang menyebabkan mereka semakin
terisolasi dan semakin merasa kesepian.
Jumlah mahasiswa yang berada
pada kategori pengguna biasa berjumlah
192 orang atau 51% dari jumlah sampel
penelitian. Jumlah ini lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah mahasiswa
yang berada pada kategori kecanduan
internet yaitu sebanyak 140 orang atau
37,4% dari jumlah sampel penelitian. Dari
data tersebut dapat disimpulkan bahwa
tingkat kesepian pada mahasiswa Unsyiah
berada pada kategori rendah dan tingkat
kecanduan internet yang juga rendah.
Hal ini dapat diperkirakan terjadi
karena sampel yang digunakan pada
penelitian ini merupakan mahasiswa yang
belum diketahui apakah telah kecanduan
internet atau tidak. Sehingga hasil yang
hasil yang didapat adalah sampel berada
pada kategori pengguna biasa. Selain itu,
sebanyak 66% pengguna internet di
Indonesia mempercayai bahwa internet
lebih banyak memiliki dampak negatif
daripada dampak positif (Mukodim,
Ritandiyono & Sita, 2004)
Variabel kesepian dan
kecenderungan kecanduan internet
berada pada kategori rendah.
Berdasarkan data demografi diketahui
bahwa perempuan memiliki tingkat
kesepian yang lebih rendah yaitu
berjumlah 158 orang dibandingkan laki-
laki yang berjumlah 131 orang dan tingkat
kecanduan internet perempuan yang juga
lebih rendah dengan jumlah 122 orang
dibandingkan laki-laki dengan jumlah 91
orang. Beberapa penelitian menggunakan
22
skala kesepian UCLA Loneliness Scale
mendapatkan hasil bahwa pria memiliki
tingkat kesepian yang lebih tinggi
daripada wanita (Brehm dalam Oktaria,
2009). Hal ini disebabkan laki-laki tidak
menyadari bahwa mereka merasa
kesepian sehingga tidak mampu
mengatasinya. Berbeda dengan
perempuan yang lebih peka dengan rasa
kesepian sehingga mampu mengatasinya.
Hal ini senada dengan pendapat Brehm,
Miller, Perlman & Campbell (2002), yang
mengatakan bahwa laki-laki lebih
kesepian dibandingkan wanita.
Selanjutnya Young (1998b)
menyatakan profil pecandu internet
mempunyai ciri-ciri laki-laki, muda, dan
paham mengenai komputer. Senada
dengan pendapat Busch dan Shotton
(dalam Young, 1996) yang menyatakan
pria lebih unggul dalam menggunakan
teknologi informasi dan merasa lebih
nyaman menggunakannya dibandingkan
wanita. Hal ini dapat menjadi salah satu
faktor penyebab kesepian dan
kecenderungan kecanduan internet pada
sampel penelitian ini berada pada
kategori rendah.
Hasil penelitian ini memiliki r2
sebesar 0,042 (4,2%) yang menunjukkan
bahwa kesepian berkontribusi terhadap
kecanduan internet sebesar 4,2%.
Sedangkan 95,8% diprediksi dipengaruhi
oleh variabel yang lain. Penelitian yang
dilakukan Young dan Rodger (1998)
menyatakan bahwa kecanduan internet
dapat dipengaruhi oleh tingkat depresi
seseorang. Selanjutnya Anggraeni,
Husain, dan Arifin (2014) menyatakan
bahwa kecanduan internet juga dapat
dipengaruhi oleh tipe kepribadian
introvert. Ningtyas (2012); Widiana,
Retnowati, dan Hidayat (2004)
menyatakan bahwa kecanduan internet
juga dapat dipengaruhi oleh kontrol diri.
Chak dan Leung (2004) juga melakukan
penelitian yang mengatakan bahwa
perasaan malu dan locus of control
seseorang dapat memengaruhi
kecanduan internet.
Keterbatasan dalam penelitian ini
adalah keterbatasan metode penelitian.
Penelitian ini menggunakan metode
kuantitatif yang hanya menggunakan
sebagian kecil populasi sebagai sampel
penelitian dan men-generalisasikan
hasilnya terhadap seluruh populasi.
Dengan metode ini juga penelitian hanya
berfokus pada dua variabel yang akan
diukur, sehingga tidak mendapatkan
informasi mengenai variabel lain yang
juga memengaruhi hasil penelitian ini.
23
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat hubungan antara
kesepian dengan kecenderungan
kecanduan internet. Penelitian ini juga
memperlihatkan adanya hubungan positif
antara kesepian dengan kecenderungan
kecanduan internet pada mahasiswa.
Berarti semakin tinggi kesepian
mahasiswa maka semakin tinggi pula
kecanduan internetnya. Begitu juga
sebaliknya, semakin rendah kesepian
mahasiswa maka semakin rendah pula
kecenderungan kecanduan internetnya.
Penelitian ini memperlihatkan bahwa
mahasiswa Unsyiah memiliki tingkat
kesepian yang rendah dan menyebabkan
tingkat kecenderungan kecanduan
internet yang rendah pula.
Bagi peneliti selanjutnya yang ingin
meneliti variabel kecanduan internet agar
terus mencari informasi terkini atau teori
terbaru karena kecanduan internet
merupakan suatu fenomena yang terus
mengalami perkembangan dan dapat
mempertimbangkan variabel lainnya yang
berpengaruh terhadap kecanduan
internet, seperti tingkat depresi
seseorang, tipe kepribadian introvert,
kontrol diri, perasaan malu dan juga locus
of control.
DAFTAR PUSTAKA
Andreou, E. & Svoli, H. (2013). “The association between internet user characteristics and dimension of internet addiction among greek adolescent”. Int J Mental Health Addiction.11, 139-148.
Anggraeni, M., Husain, A. N. & Arifin, S.
(2014). “Hubungan tipe kepribadian introvert dengan kecanduan internet pada siswa kelas x di sman 1 banjarmasin”. Berkala Kedokteran.10(1), 1-8.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet
Indonesia. (2014). Artikel. Profil pengguna internet Indonesia 2014. Diakses pada tanggal 31 Oktober 2016 melalui https://apjii.or.id/downfile/file/PROFILPENGGUNAINTERNETINDONESIA2014.pdf
Azwar, S. (2010a). Metode Penelitian.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brehm,S. S., Miller, R. S., Perlman, D., &
Campbell, S. M. (2002). Intimate Relationship Third Edition. New York: McGraw Hill.
Cacioppo, J. T., Hawkley, L. C., Crawford, L.
E., Ernst, J. M., Burleson, M. H., Kowalewski, R. B., & Berntson, G. G. (2002). Loneliness and health: Potential mechanisms. Psychosomatic Medicine, 64(3), 407-417.
Caplan, S. E. (2007). “Relations among
loneliness, social anxiety, and problematic internet use”.CyberPsychology & Behavior, 10(2), 234-242.
24
Ceyhan, E. & Gurcan, A. (2007). “The validity and reliability of the problematic internet usage scale”. Educational Science: Theory & Practice, 7(1), 411-416.
Chak, K. & Leung, L. (2004). ”Shyness and
locus of control as predictors of internet addicition and internet use”. CyberPsychology & Behavior, 7(5), 559-570.
Davis, R. A., Flett, G. L. & Besser, A. (2002).
“Validation of a new scale for measuring problematic internet use: implication for pre-employment screening”. Cyber Psychology & Behavior,5(4), 331-345.
Dewi, N. (2011). “Hubungan antara
kecanduan internet dan kecemasan dengan insomnia pada mahasiswa s1 fk uns yang sedang skripsi”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Surakarta. Universitas Sebelas Maret.
Eriany, P. (1997). Manusia kesepian
sebagai salah satu dampak psikologi dari kehidupan modern. Artikel. Di akses pada tanggal 24 Oktober melalui http://eprints.unika.ac.id/5345/1/manusia_kesepian.pdf
Hurlock, E. B. (2009). Psikologi
Perkembangan. Jakarta: Erlangga. Internet World Stats. (2012, Juni 30).
World Internet Users and Population Stats [Website]. Diakses pada tanggal 17 Desember 2013 melalui http://www.internetworldstats.com/stats.htm
Kandell, J. J (1998). “Internet addiction on
campus: the vulberability of college
students”. CyberPsychology & Behavior, 1(1), 11-17.
Kim, J., LaRose, R., & Peng, W. (2009).
“Loneliness as the cause and the effect of problematic internet use: the relationship between internet use and psychological well-being”. CyberPsychology &Behavior, 12(4), 451-455
Krejcie, R. V. & Morgan, D. W. (1970).
“Determining sample size for research activities”. Educational and Psychological Measurement, 30, 607-610.
Latucosina, S. L. (2007). “Hubungan antara
pola asuh otoriter orang tua dengan depresi pada remaja”. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Semarang. Universitas Katolik Soegijapranata.
Moody, E. J. (2001). “Internet use and its
relationship to loneliness”. CyberPsychology &Behavior, 4(3), 393-401.
Morahan-Martin, J. & Schumacher, P.
(2003). “Loneliness and social uses of the internet”. Computers in Human Behavior, 19, 659-671.
Mukodim, D., Ritandiyono, & Sita, H. R.
(2004). “Peranan kesepian dan kecenderungan internet addiction disorder terhadap prestasi belajar mahasiswa universitas gunadarma”. Proceedings, Komputer dan Sistem Intelijen, 111-120.
Ningtyas, S. D. Y. (2012). “Hubungan self
control dengan internet addicition pada mahasiswa”. Journal of Social and Industrial Psychology, 1(1), 28-33.
25
Oktaria, R. (2009). Kesepian pada pria usia lanjut yang melajang. Artikel. Diakses pada tanggal 7 Mei 2014 melalui http://gunadarma.org/library/articles/graduate/psychology/2009/Artikel_10504146.pdf
Papalia, D E., Olds, S. W., & Feldman, R.
D.(2008). Human Development; Psikologi Perkembangan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Peplau, L. A., Miceli, M., & Morasch, B.
(1982). Loneliness and self-evaluation. In L. A. Peplau & D. Perlman (Eds.), Loneliness: A sourcebook of current theory, research, and therapy (pp. 135–151). New York: Wiley.
Peplau, L. A. & Perlman, D. (1982).
Loneliness A Sourcebook of Current Theory, Research and Therapy. New York: A Wiley-Interscience Publication.
Russell, D. W. (1996). UCLA Loneliness
Scale (version 3): “Reliability, validity, and factor structure”. Journal of Personality Assessment, 66(1), 20-40.
Santrock, J. W. (2003). Adolescence;
Perkembangan Remaja (terjemahan). Erlangga: Jakarta.
Suler, J. (2004). “Computer and
cyberspace addiction”. International Journal of Applied Psychoanalytic Studies, 1, 359-362.
Weiten, W. & Lloyd, M. (2006). Psychology
Applied to Modern Life: Adjustment in the 21st Century. Edisi Keenam. Canada : Thomson Wadsworth.
Widiana, H. S., Retnowati, S., & Hidayat, R.
(2004). “Kontrol diri dengan
kecanduan internet”. Indonesian Psychological Journal, 1(1), 6-16.
Widyanto, L. & McMurran, M. (2004).
“The psychometric properties of the internet addiction test”. Cyberpsychology & Behavior, 7(4), 443-450.
Yohana. (2013). Hubungan antara pola
asuh otoriter dengan kesepian pada mahasiswa. Artikel. Diakses pada tanggal 4 Juni 2014 melalui http://library.gunadarma.ac.id/repository/view/3757283.
Young, K. S. (1996). “Psychology of
computer use: sddictive use of the internet : a case breaks the stereotype”. PsyshologicalReport. 79. 889-902
Young, K. S. (1998a). Caught in the Net:
How to recognize the signs of Internet addiction and a winning strategy forrecovery. New York: John Wiley.
Young, K. S. (1998b). “Internet addiction:
the emergence of a new clinical disorder”. CyberPsychology & Behavior, 1(3): 237-244.
Young, K. S. (1999). Internet addiction:
symptoms, evaluation, and treatment. In L. Vande Creek & T. Jackson (Eds.) Innovations in Clinical Practice: A Source Book (vol 17; pp. 19‐31). Sarasota, FL: Professional Resource Press.
Young, K. S. (2009). “Internet addiction:
diagnosis and treatment consideration”. Journal Contemporer Psychoterapy, 39, 241-246.
26
Young, K. S. & Rodgers, R. C. (1998). “The relationship between depression and
internet addiction”. CyberPsychology & Behavior, 1(1), 25.
27
HUBUNGAN ANTARA MODAL PSIKOLOGIS DAN KESIAPAN KARYAWAN UNTUK BERUBAH: PENINGKATAN MODAL PSIKOLOGIS MELALUI
INTERVENSI MIKRO MODAL PSIKOLOGIS
Tri Sakti Aria Yudisthira, Siti Farida Haryoko Boru Tobing, Arum Etikariena Magister Profesi Psikologi Industri dan Organisasi, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Modal Psikologis dan Kesiapan untuk Berubah serta efektivitas Intervensi Mikro Modal Psikologi dalam meningkatkan Modal Psikologis. Penelitian ini terdiri dari dua studi dengan dua desain penelitian berbeda yaitu cross-sectional dengan 531 partisipan dan before-and-after study dengan 6 partisipan. Alat ukur yang digunakan adalah kuesioner Modal Psikologis (Luthans, Avey, Smith & Li, 2008) dan kuesioner Kesiapan untuk Berubah (Hanpachern, 1997). Hasil analisis menunjukkan bahwa Modal Psikologis memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan karyawan untuk berubah. Intervensi Mikro Modal Psikologis diberikan kepada 6 partisipan. Hasil analisis Wilcoxon Signed Ranks Test menunjukkan bahwa terdapat peningkatan skor Modal Psikologis yang signifikan antara sebelum dan sesudah dilakukan intervensi. Hal ini berarti, Intervensi Mikro Modal Psikologis efektif untuk meningkatkan Modal Psikologis.
Kata Kunci: Modal Psikologis, Pelatihan Modal Psikologis, Kesiapan untuk Berubah.
Abstract
The purpose of this research is to find out the relationship between Psychological Capital and Employee Readiness for Change, and effectiveness of Micro Psychological Capital Intervention to increase Psychological Capital. The research has two studies which are a cross-sectional study (531 samples) and before-and-after study (6 samples). Measurement instruments are PCQ-12 (Luthans, Avey, Smith & Li, 2008) and Readiness for Change Questionnaire (Hanpachern, 1997). The results showed that Psychological Capital has a significant relationship with employee’s Readiness for Change and the paired Wilcoxon Signed Ranks Test’s results showed that there was a significant difference in Psychological Capital’s score between before and after the intervention. It means that Micro Psychological Capital Intervention is an effective intervention to increase Psychological Capital.
Keywords: Psychological Capital, Psychological Capital Training, Readiness for Change.
28
PENDAHULUAN
Pada lingkungan yang dinamis,
organisasi harus memiliki kemampuan
untuk berubah dan beradaptasi secara
cepat dan proaktif untuk dapat
bertahan (Cumming & Worley, 2015;
Hanpachern, Morgan & Griego, 1998;
Luthans, Youssef & Avolio, 2007).
Meskipun perubahan
diimplementasikan untuk alasan positif
seperti beradaptasi dengan kondisi
eksternal ataupun mempertahankan
keunggulan kompetitif, karyawan sering
kali merespons negatif terhadap
perubahan dan menolak upaya
perubahan (Jones et al, 2007;
Wittenstein, 2008). Berdasarkan survei
yang dilakukan terhadap 3200 eksekutif
oleh Meaney dan Pung (2008),
diketahui bahwa hanya dua per tiga dari
organisasi yang berhasil mencapai
perubahan yang diharapkan. Dengan
demikian, organisasi menghadapi
tantangan besar dalam mengelola
perubahan secara efektif karena
perubahan organisasi yang gagal akan
menimbulkan kerugian finansial yang
sangat besar (Hanpachern, Morgan &
Griego, 1998). Kerugian finansial
tersebut disebabkan oleh penurunan
kepuasan pelanggan dan pendapatan
perusahaan, produktivitas yang
menurun, kehilangan karyawan yang
berharga, dan investasi atau biaya yang
telah dikeluarkan untuk perubahan
organisasi (Cabrey & Haughey, 2014;
‘The case for change management:
Costs and risks of poorly managing
change’, 2012).
Piderit (dalam Wittenstein, 2008)
menyatakan bahwa perubahan
organisasi dapat berhasil jika anggota
organisasi menerima perubahan
tersebut. Dengan demikian, perubahan
organisasi dimediasi oleh perubahan
individu (Schein, dalam Devos, Buelens,
& Bouckenooghe, 2007) sehingga jika
individu tidak berubah maka tidak ada
perubahan organisasi (Schneider, Brief
& Guzzo, 1996). Menurut Armenakis,
Harris, dan Mossholder (1993) salah
satu faktor yang berkontribusi terhadap
keberhasilan perubahan organisasi
adalah kesiapan untuk berubah dari
individu. Kesiapan untuk berubah
adalah kesiapan individu secara mental,
psikologis, dan fisik untuk berpartisipasi
dalam aktivitas perubahan organisasi
khususnya dalam pengembangan
organisasi (Hanpachern, 1997).
Menurut Hanpachern (1997),
perubahan organisasi sering kali gagal
karena kurangnya kesiapan untuk
berubah. Hal ini dikarenakan individu
29
dengan tingkat Kesiapan untuk Berubah
yang tinggi cenderung untuk
berpartisipasi dan berkomitmen
terhadap perubahan organisasi
(Hanpachern, 1997).
Menurut Rafferty, Jimmieson dan
Amenarkis (2013), salah satu anteseden
dari Kesiapan untuk Berubah adalah
karakteristik individu. Oleh karena itu,
faktor individu adalah indikator paling
kritikal dalam kesiapan untuk berubah
(Steward, dalam Hanpachern, 1997).
Hal ini sejalan dengan Wanberg & Banas
(2000) yang menyatakan bahwa
perbedaan individu merupakan salah
satu prediktor utama pada keterbukaan
karyawan terhadap perubahan. Lebih
lanjut, perbedaan individu seperti
Efikasi Diri, (Self-Efficacy), Optimisme
(Optimisme), Harapan (Hope), dan
Resiliensi (Resiliency) memiliki
hubungan dengan keterbukaan dan
Kesiapan untuk Berubah (Avey,
Wernsing & Luthans, 2008; Eby, Adams,
Russel & Gaby, 2000; Luthans, Youssef
& Avolio, 2007; Rafferty, Jimmieson &
Amenarkis, 2013, Wanberg & Banas,
2000).
Pertama, Efikasi Diri adalah
keyakinan individu mengenai
kemampuannya untuk menggerakkan
motivasi, kognitif, dan tujuan untuk
melaksanakan tugas dalam konteks
tertentu (Albert Bandura, dalam
Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Efikasi
diri merupakan salah satu karakteristik
personal yang menjadi anteseden sikap
individu terhadap perubahan (Rafferty,
Jimmieson & Amenarkis, 2013). Efikasi
diri yang tinggi berhubungan dengan
penerimaan, kesiapan, keterlibatan, dan
komitmen dalam perubahan serta
beradaptasi lebih baik dalam perubahan
di organisasi (Vakola, Armenakis, &
Oreg, 2013). Oleh karena itu, individu
dengan Efikasi Diri yang tinggi akan
memiliki keyakinan terhadap
kemampuannya untuk menghadapi
perubahan (Herold, Fedor & Caldwell,
2007).
Kedua, Optimisme adalah gaya
atribusi yang menjelaskan peristiwa
positif sebagai sesuatu yang
memengaruhi diri secara menetap,
personal dan meresap, sedangkan
peristiwa negatif dijelaskan sebagai
sesuatu yang memengaruhi diri secara
sementara, eksternal, dan situasional
(Seligman, dalam Luthan, Youssef &
Avilio, 2007). Individu yang optimis
cenderung untuk memiliki pandangan
yang positif terhadap perubahan
organisasi (Wanberg & Banas, 2000) dan
menerima perubahan, melihat peluang
30
di masa depan, dan fokus dalam
memanfaatkan peluang tersebut
(Luthans, Youssef & Avolio, 2007).
Individu dengan optimisme yang
fleksibel menampilkan sikap yang
mandiri, menerima perubahan, dan
terbuka dengan ide-ide baru dan
perkembangan situasi kerja (Luthans,
Youssef & Avolio, 2007).
Ketiga, Harapan adalah keadaan
motivasi positif yang berasal dari
perasaan sukses yang terdiri ketekunan
dan cara mencapai tujuan (Snyder,
Irving, & Anderson, dalam Luthans,
Youssef & Avolio, 2007). Karyawan
perlu memiliki motivasi, menetapkan
cara mencapai tujuan alternatif
(harapan) saat menghadapi kendala,
membuat atribusi optimis saat terjadi
permasalahan, dan memiliki pandangan
positif untuk masa depan agar berhasil
dalam menghadapi perubahan (Avey,
Wernsing & Luthans, 2008). Menurut
Avey, Wernsing, dan Luthans (2008),
perubahan organisasi menuntut
karyawan untuk menyusun cara
mencapai tujuan yang baru dan
menyusun kembali strategi untuk
mencapai tujuan.
Keempat, Resiliensi adalah
kemampuan untuk bangkit kembali dari
keterpurukan, ataupun peristiwa
menantang dan sangat positif, serta
keinginan untuk mencapai hasil di atas
rata-rata (Luthans, Youssef & Avolio,
2007). Resiliensi memiliki hubungan
positif dalam mendukung karyawan
menghadapi perubahan organisasi
(Gittel, Cameron, Lim & Rivas, 2006).
Individu yang memiliki resiliensi yang
tinggi akan bangkit kembali dari
kekecewaan yang dialami selama
perubahan organisasi (Avey, Wernsing
& Luthans, 2008; Fugate, 2013).
Perubahan di dalam organisasi juga
menuntut karyawan untuk mempelajari
hal-hal baru. Namun, karyawan akan
menolak untuk mempelajari hal-hal
baru dan cenderung hanya mempelajari
hal-hal yang dibutuhkan (Beaudin &
William, 1990; Hanpachern, 1997).
Melalui resiliensi, karyawan
mendedikasikan dirinya untuk
pembelajaran yang berkelanjutan dan
selalu siap untuk mengembangkan diri
mereka untuk mengikuti perubahan
(Luthans, Youssef & Avolio, 2007).
Efikasi Diri, Harapan, Optimisme,
dan Resiliensi merupakan komponen
yang membentuk Modal Psikologis
(Luthans, Youssef & Avolio, 2007).
Luthans, Youssef dan Avolio (2007)
mendifinisikan Modal Psikologis sebagai
perkembangan keadaan psikologis
31
positif yang memiliki karakteristik: (1)
memiliki efikasi diri untuk
menyelesaikan tugas yang menantang,
(2) memiliki atributif positif atau
optimis mengenai kesuksesan di saat ini
dan di masa depan, (3) gigih terhadap
tujuan dan mengarahkan langkah
menuju tujuan agar berhasil, dan (4)
berusaha serta bangkit kembali saat
dilanda masalah untuk mencapai
keberhasilan.
Pengaruh Modal Psikologis
secara keseluruhan lebih besar daripada
pengaruh Modal Psikologis per dimensi
(Luthans, Youssef & Avolio, 2007). Oleh
karena itu, keempat dimensi Modal
Psikologis secara bersama-sama akan
memberikan pengaruh yang lebih besar
terhadap kesiapan untuk berubah.
Modal Psikologis yang positif berperan
penting dalam menghadapi sikap dan
perilaku negatif karyawan terhadap
perubahan organisasi (Avey, Wernsing
& Luthans, 2008). Kesiapan untuk
Berubah karyawan memiliki hubungan
yang positif dengan Modal Psikologis
(Fachruddin & Mangundjaya, 2012;
Mangundjaya, 2014; Lizar,
Mangundjaya & Rachmawan; 2014).
Berdasarkan pembahasan di atas
maka terlihat bahwa Kesiapan untuk
Berubah memiliki peran penting
terhadap keberhasilan perubahan
organisasi dan individu di dalamnya
memiliki peran paling kritikal. Akan
tetapi, penelitian mengenai individu
sebagai komponen penting dalam
proses perubahan organisasi kurang
memperoleh perhatian (Wanous,
Reichers & Austin, 2000). Raffery,
Jimmieson, dan Amenarkis (2013)
menyatakan hanya sebagian kecil
penelitian yang fokus pada anteseden
Kesiapan untuk Berubah pada level
individu. Oleh karena itu, peneliti ingin
mengetahui hubungan antara
karakteristik individu yaitu Modal
Psikologis dengan Kesiapan untuk
Berubah.
Hipotesis Alternatif Pertama (Ha1) :
Terdapat hubungan yang signifikan
antara Modal Psikologis dan Kesiapan
untuk Berubah pada karyawan di PT X.
Lebih lanjut, Vakola (2013)
mengungkapkan bahwa dibutuhkan
penelitian mendalam untuk
menjelaskan disposisi karakteristik
individu terhadap Kesiapan untuk
Berubah, khususnya predisposisi
karakteristik individu yang stabil yang
dapat digunakan sebagai dasar
pelatihan. Menurut Luthans, Youssef
dan Avolio (2007), dimensi-dimensi di
dalam Modal Psikologis dapat
32
dikembangkan melalui Intervensi Mikro
Modal Psikologis (selanjutnya disebut
sebagai pelatihan Modal Psikologis)
yaitu sesi pelatihan yang sangat fokus
dan singkat. Peneliti berasumsi bahwa
peningkatan Modal Psikologis melalui
pelatihan Mikro Modal Psikologis akan
ikut meningkatkan Kesiapan untuk
Berubah.
Hipotesis Alternatif Kedua (Ha2) :
Terdapat peningkatan skor
pengetahuan Modal Psikologis yang
signifikan setelah diberikan pelatihan
Modal Psikologis.
Hipotesis Alternatif Ketiga (Ha3) :
Terdapat peningkatan skor Modal
Psikologis yang signifikan setelah
diberikan pelatihan Modal Psikologis.
METODE PENELITIAN
Pendekatan dan Desain Penelitian
Pendekatan penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kuantitatif. Pendekatan
kuantitatif adalah penelitian yang
menggunakan langkah-langkah
pengukuran formal terhadap perilaku
meliputi kuesioner dan pengamatan
perilaku secara sistematis yang
dirancang untuk diolah menggunakan
analisis statistik (Stangor, 2010). Pada
penelitian ini, pendekatan kuantitatif
digunakan untuk mengetahui gambaran
variabel penelitian melalui analisis
statistik.
Selanjutnya, penelitian ini terdiri
dari dua studi dengandesain penelitian
yan berbeda. Studi pertama
menggunakan cross-sectional design,
yaitu desain yang dilakukan dengan satu
kali pengukuran untuk mengetahui
gambaran umum mengenai sikap, isu,
masalah, atau situasi (Kumar, 2005).
Cross-sectional design digunakan oleh
peneliti untuk mengetahui hubungan
antara variabel Modal Psikologis dan
variabel Kesiapan untuk Berubah. Studi
kedua menggunakan desain penelitian
before-and-after study. Menurut Kumar
(2005) before-and-after study adalah
desain yang mengukur perubahan sikap,
isu, masalah, atau situasi dengan
membandingkan perbedaan variabel
antara sebelum dan sesudah diberikan
intervensi. Pada penelitian ini, before-
and-after study digunakan untuk
melihat efektivitas pemberian
intervensi berupa pelatihan Mikro
Modal Psikologis terhadap peningkatan
Modal Psikologis.
Populasi dan Sampel Penelitian
Responden pada penelitian ini
adalah seluruh karyawan PT X dengan
33
level jabatan di bawah General Manager
yang berjumlah 700 karyawan.
Pemilihan layer jabatan didasarkan pada
karyawan yang terkena dampak dari
perubahan namun tidak ikut serta dalam
pengambilan keputusan terkait
perubahan. Penatapan sampel pada
penelitian ini disesuaikan dengan desain
penelitian yang digunakan.
Dalam desain cross-sectional,
teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah convenience
sampling. Menutur Gravetter dan
Forzano (2012) convenience sampling
adalah teknik sampling dengan cara
memilih partisipan yang mudah didapat
untuk penelitian, yaitu berdasarkan
ketersediaan dan kesediaan partisipan
untuk mengikuti penelitian. Partisipan
pada desain penelitian cross-sectional
dipilih berdasarkan ketersediaan dan
kesediaan karyawan untuk mengisi
kuesioner penelitian. Sampel penelitian
pada desain penelitian cross-sectional
adalah seluruh karyawan PT X yang
berjumlah 700 karyawan dan bersedia
mengisi kuesioner Modal Psikologis dan
Kesiapan untuk Berubah.
Sedangkan dalam desain before-
and-after study, teknik pengambilan
sampel yang digunakan adalah
purposive sample. Purposive sampling
adalah teknik sampling dengan cara
memilih partisipan berdasarkan
penilaian peneliti atau ahli terhadap
partisipan yang mana dapat
memberikan informasi terlengkap untuk
mencapai tujuan penelitian (Kumar,
2005). Menurut Gravetter dan Forzano
(2012) dalam beberapa kondisi yang
sulit dan tidak mungkin untuk merekrut
banyak sampel, seperti ketersediaan
karyawan dan mempertimbangkan
metode intervensi yang digunakan.
Oleh karena itu, peneliti mungkin harus
menetapkan 10 hingga 12 sampel dalam
setiap perlakuan (Gravetter & Forzano,
2012). Jumlah sampel pada desain
penelitian before-and-after study
adalah 6 orang partisipan. Partisipan
dipilih berdasarkan penilaian peneliti
dan pihak perusahaan terhadap
karakteristik karyawan. Karakteristik
karyawan tersebut adalah karyawan
yang telah mengisi kuesioner Modal
Psikologis dan Kesiapan untuk Berubah,
memiliki level jabatan di bawah General
Manager, serta memiliki skor Kesiapan
untuk Berubah dan Modal Psikologis
yang rendah dibandingkan dengan
karyawan lain di dalam kelompoknya.
34
Pengukuran
Variabel Terikat
Untuk mengukur Kesiapan untuk
Berubah, peneliti menggunakan
kuesioner Kesiapan untuk Berubah dari
Hanpachern (1997) yang diadaptasi ke
dalam bahasa Indonesia oleh Parahyanti
(2010). Kuesioner ini terdiri dari 14 item
yang mengukur tiga aspek yaitu aspek
partisipasi sebanyak 6 item, aspek
promosi sebanyak 4 item, dan aspek
resistansi 4 item. Kuesioner Kesiapan
untuk Berubah memiliki nilai α = .702
dengan nilai item-total correlation
berkisar antara 0.371 hingga 0.775.
Norma yang digunakan untuk kuesioner
Kesiapan untuk Berubah adalah norma
kelompok.
Variabel Bebas
Untuk mengukur Modal
Psikologis, peneliti menggunakan
kuesioner kuesioner Modal Psikologis
(PCQ-12) dari Luthans, Avey, Smith, dan
Li (2008). PCQ-12 terdiri dari 3 item
yang mengukur Efikasi Diri, 4 item yang
mengukur Harapan (2 item untuk
willpower dan 2 item untuk pathway), 2
item yang mengukur Optimisme, dan 3
item yang mengukur Resiliensi (Luthans,
Avey, Smith & Li, 2008). Kuesioner PCQ-
12 memiliki nilai α = .810 dengan nilai
item-total correlation berkisar antara
0.290 hingga 0.817.Norma yang
digunakan untuk kuesioner Modal
Psikologis adalah norma kelompok.
HASIL PENELITIAN
Gambaran Responden
Total responden pada penelitian
ini adalah sebanyak 534 responden atau
76.2% dari populasi yang berjumlah 700
karyawan. Terdapat 3 data responden
yang tidak dapat diolah karena terdapat
pernyataan-pernyataan di kuesioner
dengan respons yang tidak lengkap.
Dengan demikian, hanya 531 kuesioner
yang dapat diolah dalam analisis
kuantitatif. Peneliti juga melakukan
analisis statistik antara demografi
karyawan dan Kesiapan untuk berubah.
Hubungan Antara Modal Psikologis dan
Kesiapan untuk Berubah
Peneliti melakukan analisis
regresi berganda untuk mengetahui
interaksi hubungan Modal Psikologis
dan Kesiapan untuk Berubah.
35
Tabel 1. Model Summary Modal Psikologis terhadap Kesiapan untuk Berubah
R R Square Adjusted R Square F Change
Sig.
.522 .273 .267 49.261 .000
Dari hasil perhitungan
menggunakan analisis regresi berganda
pada tabel 1 diperoleh hasil F = 49.261, p <
.05, dan R2 = .273. Koefisien determinan
(R2) sebesar .273 menunjukkan bahwa
keempat dimensi Modal Psikologis yaitu
Efikasi Diri, Harapan, Optimisme, dan
Resiliensi menjelaskan 27.3% variance
yang memprediksi Kesiapan untuk
Berubah sementara 72.7% diprediksi oleh
faktor lain. Dengan demikian, terdapat
hubungan yang signifikan antara Modal
Psikologis dan Kesiapan untuk Berubah
pada karyawan di PT X.
Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Berganda Dimensi Modal Psikologis Terhadap Kesiapan untuk Berubah
Dimensi Modal Psikologis
b Standarized
Coefficient Beta t Sig.
(Constant) -.546 Optimisme 2.004 .347 8.466 .000 Efikasi Diri .829 .261 6.514 .000 Harapan .343 .095 2.140 .033 Resiliensi -.069 -.019 -.446 .656
Berdasarkan tabel 2 terlihat bahwa
nilai b constant sebesar -0.546 yang
merupakan nilai Kesiapan untuk Berubah
tanpa keempat dimensi Modal Psikologis
yaitu Efikasi Diri, Harapan, Optimisme,
dan Resiliensi. Sedangkan nilai b pada
Optimisme sebesar 2.004 menunjukkan
jika Optimisme meningkat sebesar satu
unit maka nilai Kesiapan untuk Berubah
akan meningkat sebesar 2.004. Selain itu,
nilai b pada Efikasi Diri sebesar 0.829
menunjukkan jika Efikasi Diri meningkat
sebesar satu unit maka nilai Kesiapan
untuk Berubah akan meningkat sebesar
0.343. Selanjutnya nilai b pada Harapan
sebesar 0.343 menunjukkan jika Harapan
meningkat sebesar satu unit maka nilai
Kesiapan untuk Berubah akan meningkat
sebesar 0.829. Terakhir, nilai b pada
Resiliensi sebesar -0.069 menunjukkan
apabila Resiliensi meningkat sebesar satu
unit maka nilai Kesiapan untuk Berubah
36
akan menurun sebesar 0.069. Dengan
demikian peningkatan nilai Efikasi Diri,
Harapan, dan Optimisme akan diikuti
dengan peningkatan nilai Kesiapan untuk
Berubah. Namun, jika nilai Resiliensi
meningkat maka nilai nilai Kesiapan untuk
Berubah akan berkurang. Selanjutnya,
pada tabel 4.14 terlihat bahwa Efikasi Diri
(t(196) = 6.514, p < .05), Harapan (t(196)
= 2.140, p < .05), dan Optimisme (t(196) =
8.466, p < .05) merupakan prediktor yang
signifikan terhadap Kesiapan untuk
Berubah. Akan tetapi Resiliensi (t(196) = -
0.446, p > .05) bukan merupakan
prediktor yang signifikan terhadap
Kesiapan untuk Berubah.
Evaluasi Intervensi
Evaluasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah evaluasi pelatihan
dari Kirkpatrick dan Kirkpatrick (2007)
yang terdiri dari empat level yaitu level
reaksi, level pembelajaran (pengetahuan,
keahlian, dan sikap), level perilaku, dan
level hasil. Peneliti hanya mengukur level
reaksi dan level pembelajaran terkait
pengetahuan dan sikap. Hasil evaluasi
reaksi menunjukkan bahwa peserta puas
dengan pelaksanaan, alat bantu yang
digunakan, materi yang disampaikan,
fasilitator, dan pelatihan secara
keseluruhan. Evaluasi terhadap
pembelajaran dilakukan dengan
memberikan sebuah tes pre-post yang
berisi soal mengenai materi pelatihan.
Tes tersebut dilakukan sebelum pelatihan
(pre-test), yakni pukul 09.00 WIB dan
setelah pelatihan (post-test), yakni pukul
18.00 di hari yang sama.
Peneliti melakukan analisis statistik
untuk mengetahui signifikansi perbedaan
skor evaluasi pengetahuan sebelum dan
setelah dilakukan pelatihan dengan
metode Wilcoxon Signed Ranks Test. Di
bawah ini adalah hasil analisis statistik
tersebut.
Tabel 4. Hasil Analisis Wilcoxon Signed Ranks Test terhadap Skor Evaluasi Pembelajaran Pelatihan
Pair Mean Standard Deviation
Z .Sig
(2 tailed)
Skor Pre-Test 3.33 0.82 -2.032 0.042
Skor Post-Test 5.33 1.03
Berdasarkan tabel 4 terlihat bahwa
mean skor post-test lebih besar daripada
mean skor pre-test. Selain itu, terlihat
nilai Z = -2.032 dan p < .05 yang
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
signifikan antara skor pre-test dan skor
post-test pada evaluasi pembelajaran.
Berdasarkan hasil analisis tersebut,
37
terdapat peningkatan skor pengetahuan
Modal Psikologis yang signifikan setelah
diberikan pelatihan Modal Psikologis.
Oleh karena itu, dapat diasumsikan
bahwa proses pembelajaran terkait
pengetahuan pada pelatihan Mikro
Modal Psikologis berjalan efektif
Tabel 5. Hasil Analisis Wilcoxon Signed Ranks Test terhadap Skor Modal Psikologis, Dimensi-dimensi Modal Psikologis, dan Kesiapan untuk Berubah.
Variabel Mean Pre-
Test Mean
Post-Test Z
.Sig (2 tailed)
Modal Psikologis 49.5 56.0 -2.207 0.027 Efikasi Diri 12.0 13.7 -2.401 0.041 Harapan 16.8 19.2 -2.232 0.026 Optimisme 9.2 10.0 -1.289 0.197 Resiliensi 11.5 13.2 -2.060 0.039
Kesiapan untuk Berubah
32.2 37.5 -2.226 0.026
Peneliti melakukan pengukuran
kembali terhadap Modal Psikologis dan
Kesiapan untuk Berubah partisipan untuk
mengetahui efektivitas intervensi yang
dilakukan. Berdasarkan tabel 4 terlihat
Modal Psikologis memiliki nilai Z = -2.207
dan p < .05. Hal tersebut menunjukkan
terdapat perbedaan yang signifikan
antara skor Modal Psikologis sebelum dan
setelah dilakukan intervensi. Dengan
demikian, hipotesis alternatif tiga (Ha3)
diterima yang berarti terdapat
peningkatan skor Modal Psikologis yang
signifikan setelah diberikan pelatihan
Modal Psikologis. Lebih lanjut,
berdasarkan tabel 5 terlihat seluruh
dimensi Modal Psikologis mengalami
peningkatan mean. Selain itu, skor Efikasi
Diri (Z = -2.207, p < .05), Harapan (Z = -
2.401, p < .05), dan Resiliensi ( Z = -2.207,
p < .05) mengalami peningkatan yang
signifikan setelah dilakukan pelatihan
Modal Psikologis. Namun, skor
Optimisme (Z = -1.289, p > .05) tidak
mengalami peningkatan yang signifikan
setelah dilakukan pelatihan Modal
Psikologis. Di sisi lain, berdasarkan tabel 5
terlihat Kesiapan untuk Berubah (Z = -
2.226, p < .05) mengalami peningkatan
yang signifikan setelah dilakukan
pelatihan Modal Psikologis. Dengan
demikian, berdasarkan hasil analisis
tersebut dapat disimpulkan bahwa
Pelatihan Mikro Modal Psikologis efektif
untuk meningkatkan Kesiapan untuk
Berubah.
38
DISKUSI
Semakin banyak peneliti yang
mengakui bahwa karyawan memiliki
peran penting dalam keberhasilan
melaksanakan perubahan organisasi
(Shin, Taylor & Seo, 2012). Namun sampai
saat ini, hanya sedikit penelitian yang
fokus terhadap karyawan (individu)
sebagai determinan keberhasilan
perubahan organisasi (Raffery, Jimmieson
& Amenarkis, 2013; Shin, Taylor & Seo,
2012). Penelitian ini meneliti mengenai
hubungan antara Modal Psikologis
sebagai karakteristik individu dan
Kesiapan untuk Berubah.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa Modal Psikologis memiliki
hubungan positif yang signifikan dengan
Kesiapan untuk Berubah pada karyawan
di PT X. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Fachruddin dan Mangundjaya
(2012), Mangundjaya (2014) dan Lizar,
Mangundjaya, dan Rachmawan (2014)
yang menyatakan bahwa Modal
Psikologis memiliki hubungan yang positif
dengan kesiapan karyawan untuk
berubah. Selain itu, hasil penelitian
menunjukkan bahwa masa kerja, usia,
dan asal divisi karyawan memiliki
hubungan yang signifikan dengan
kesiapan karyawan untuk berubah. Hal ini
tersebut sesuai dengan pernyataan
Hanpachern, Morgan, dan Griego (1998)
yang mana variabel demografi memiliki
hubungan dengan kesiapan karyawan
untuk berubah. Selanjutnya, berdasarkan
hasil analisis ditemukan bahwa Efikasi
Diri, Optimisme, dan Harapan merupakan
prediktor yang signifikan terhadap
Kesiapan untuk Berubah. Menurut
Wanberg dan Banas (2000) individu
dengan Efikasi Diri memiliki keyakinan
terhadap kemampuannya sehingga ia
dapat bekerja dengan baik meskipun
tuntutan pekerjaan berubah. Dengan
demikian, individu dengan Efikasi Diri
memiliki keterbukaan penerimaan
terhadap perubahan yang lebih baik
(Vakola, Armenakis, & Oreg, 2013;
Wanberg & Banas, 2000). Sedangkan,
Individu yang optimis cenderung memiliki
pandangan yang positif terhadap
perubahan organisasi (Wanberg & Banas,
2000) sehingga menampilkan sikap yang
mandiri, menerima perubahan, dan
terbuka dengan ide-ide baru dan
perkembangan situasi kerja (Luthans,
Youssef & Avolio, 2007). Avey, Wernsing,
dan Luthans (2008) menyatakan bahwa
perubahan organisasi menuntut
karyawan untuk menyusun cara mencapai
tujuan yang baru dan menyusun kembali
strategi untuk mencapai tujuan. Dengan
memiliki harapan, karyawan memiliki
39
motivasi dan dapat menetapkan cara
mencapai tujuan alternatif saat
menghadapi kendala sehingga dapat
berhasil dalam menghadapi perubahan
perubahan (Avey, Wernsing & Luthans,
2008).
Di sisi lain, Resiliensi bukanlah
prediktor yang signifikan terhadap
Kesiapan untuk Berubah. Peneliti
berasumsi bahwa hal tersebut disebabkan
karyawan memiliki aset resiliensi yang
rendah dan perubahan PT X dinilai oleh
karyawan bukan untuk kepentingan
mengakomodasi perubahan di tempat
kerja. Luthans, Youssef, dan Avolio (2007)
menyatakan bahwa aset resiliensi yang
terdiri dari dimensi Modal Psikologis
lainnya (Efikasi Diri, Optimisme, dan
Harapan) memengaruhi Resiliensi
individu. Berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa mayoritas karyawan di
PT X memiliki aset resiliensi (Efikasi Diri,
Optimisme, dan Harapan) yang rendah
sehingga memengaruhi skor Resiliensi.
Selain itu, Wanberg dan Banas (2000)
berpendapat bahwa Resiliensi
berhubungan dengan keinginan karyawan
untuk mengakomodasi perubahan di
tempat kerja namun Resiliensi tidak
berhubungan dengan perubahan yang
bertujuan untuk kepentingan organisasi
atau klien. Hal tersebut sejalan dengan
data kualitatif yang menyatakan bahwa
perubahan organisasi di PT X dirasakan
negatif oleh karyawan dan hanya
berfokus pada klien.
Lebih lanjut, hasil penelitian ini
juga menjawab pernyataan Vakola (2013)
yang mengungkapkan bahwa dibutuhkan
penelitian untuk menjelaskan disposisi
karakteristik individu terhadap Kesiapan
untuk Berubah, khususnya untuk
mengetahui predisposisi karakteristik
individu yang dapat digunakan sebagai
dasar pelatihan. Hal tersebut ditunjukkan
oleh hasil penelitian, yaitu (1) hubungan
yang signifikan antara Modal Psikologis
yang merupakan karakteristik individu
dan Kesiapan untuk Berubah, dan (2)
peningkatan Modal Psikologis dan
Kesiapan untuk Berubah yang signifikan
setelah dilakukan pelatihan Modal
Psikologis.
Hasil analisis lebih lanjut
menunjukkan bahwa dimensi Optimisme
tidak mengalami peningkatan skor yang
signifikan setelah dilakukan pelatihan
Modal Psikologi. Menurut Field (2009)
hasil yang tidak signifikan menunjukkan
bahwa pengaruh tersebut tidak cukup
besar namun bukan berarti tidak ada
perbedaan mean atau tidak ada
hubungan antar variabel. Peneliti
berasumsi bahwa hal tersebut
40
diakibatkan oleh beberapa faktor.
Pertama, diperlukan waktu untuk terjadi
perubahan sikap melalui pelatihan
(Kirkpatrick & Kirkpatrick, 2007). Kedua,
mayoritas peserta belum melakukan
rencana tindakan Employee Development
Program sehingga mayoritas karyawan
belum melaksanakan intervensi untuk
meningkatkan optimisme mereka.
Terakhir, Modal Psikologis khususnya
dimensi Optimisme dapat dipengaruhi
oleh faktor-faktor eksternal dari individu
seperti karyawan lainnya ataupun
organisasi (Gaddis & Helton-Fauth, dalam
Raffery, Jimmieson & Amenarkis, 2013;
Hodges, 2010; Luthans, Youssef & Avolio,
2007). Peneliti berasumsi bahwa
lingkungan yang kurang optimis
memengaruhi skor Optimisme dari
partisipan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Terdapat tiga kesimpulan
berdasarkan hasil analisis yang telah
dilakukan, yaitu (1) terdapat hubungan
yang signifikan antara Modal Psikologis
dan Kesiapan untuk Berubah pada
karyawan di PT X, (2) terdapat
peningkatan skor pengetahuan mengenai
Modal Psikologis yang signifikan setelah
dilakukan pelatihan Modal Psikologis, dan
(3) peningkatan skor Modal Psikologis
yang signifikan setelah dilakukan pelatihan
Modal Psikologis.
Berdasarkan uraian di atas, maka
peneliti memberikan beberapa saran
metodologis yang dapat dilakukan untuk
memperbaiki penelitian selanjutnya.
Pertama, penelitian berikutnya
disarankan untuk memperhatikan Ceiling
Effect. Hodges (2010) menyatakan bahwa
skor yang tinggi pada pre-test
menunjukkan kemungkinan Ceiling Effect
yang mana memberikan keterbatasan
dalam signifikansi perbedaan di dalam
kelompok. Kedua, seluruh peserta
intervensi harus memenuhi karakteristik
penelitian yaitu memiliki skor Kesiapan
untuk Berubah dan Modal Psikologis yang
rendah. Ketiga, desain penelitian
berikutnya dapat berbentuk quasi
eksperimen sehingga terdapat kelompok
kontrol untuk dapat membandingkan
mean dari kelompok yang diberikan
intervensi. Dengan demikian, dapat
diketahui pengaruh pelatihan Mikro
Modal Psikologis terhadap peningkatan
Modal Psikologis dan Kesiapan untuk
Berubah. Terakhir, evaluasi level
pembelajaran terkait sikap harus kembali
dilakukan dalam jangka waktu yang lebih
lama. Menurut Kirkpatrick & Kirkpatrick
(2007) evaluasi level pembelajaran dapat
dilakukan sekurang-kurangnya 2 hingga 3
41
bulan atau 6 bulan sejak pelatihan
dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA Armenakis, A. A., Harris, S. G., &
Mossholder, K. W. (1993). Creating readiness for organizational change. Human relations, 46(6), 681-703.
Avey, J. B., Luthans, F., & Mhatre, K. H.
(2008). A call for longitudinal research in positive organizational behavior. Journal of Organizational Behavior, 29(5), 705-711.
Avey, J. B., Reichard, R. J., Luthans F., &
Mhatre, K. H. (2011). Meta-analysis of the impact of positive psychological capital on employee attitudes, behaviors, and performance. Human Resource Development Quarterly, 22, 127-152.
Avey, J. B., Wernsing, T. S., & Luthans, F.
(2008). Can positive employees help positive organizational change? Impact of psychological capital and emotions on relevant attitudes and behaviors. The Journal of Applied Behavioral Science, 44 (1), 48–70.
Beaudin, B,P., & William, R. E. (1990).
Improving human performance: Applying adult learning principles to enhance meeting. Performance & Instruction, 20 (9), 7-11.
Bouckenooghe, D., & Devos, G. (2007).
The role of process, context and individual characteristics in explaining readiness to change: a multilevel analysis (No. 2007-12). Vlerick Leuven Gent Management School.
Cabrey, T. S., & Haughey, A. (2014). Enabling organizational change through strategic initiatives. Project Management Institute, Inc.
Coghlan. D., & Brannick. T. (2005). Doing
action research in your own organization. London: Sage Publication Ltd.
Cohen, R. J., & Swerdlik, M. (2009).
Psychological testing and assessment: An introduction to tests and measurement (7th Edition). United States of America: McGraw-Hill Primis.
Cummings, T. & Worley, C. (2015).
Organization development and change (10th Edition). United States of America: South Western Engage Learning.
Devos, G., Buelens, M., & Bouckenooghe,
D. (2007). Contribution of content, context, and process to understanding openness to organizational change: Two experimental simulation studies. The Journal of Social Psychology, 147 (6), 607-629.
Eby, L. T., Adams, D. M., Russel, J. E. A., &
Gaby, S. H. (2000) Perceptions of organizational readiness for change: Factor related to employees’ reaction to the implementation of team-based selling. Human Relations, 53 (3), 419-442.
Fachruddin, D. F., & Mangundjaya, W. H.
(2012). The impact of workplace well-being and psychological capital, to the individual readiness for changes. Asian Psychological Association. ISBN 978-602-17678-0-1.
42
Field, A. (2009). Discovering statistic using
SPSS (3rd Edition). London: SAGE Publications Ltd.
Fugate, M. (2013). Capturing the positive
experience of change: antecedents, processes and consequences. The Psychology of Organizational Change, 15-40. New York: Cambridge University Press.
Gittell, J. H., Cameron, K., Lim, S., & Rivas,
V. (2006). Relationships, layoffs, and organizational resilience: Airline industry responses to September 11. The Journal of Applied Behavioral Science,42, 300-329.
Gravetter, F. J., & Forzano, L. (2012).
Research Methods for the Behavioral Sciences (4th Edition). Canada: Wadsworth Pub.
Herold, D. M., Fedor, D. B., & Caldwell, S.
D. (2007). Beyond change management: a multilevel investigation of contextual and personal influences on employees' commitment to change. Journal of Applied Psychology, 92(4), 942.
Hanpachern, C. (1997). The Extension of
the theory of margin: A framework for assessing readiness for change. Disertasi. Colorado State University.
Hanpachern. C., Morgan. G.A. & Griego.
O.V. (1998). An Extension of Theory of Margin: A framework for assessing readiness for change. Human Resources Development Quarterly, 9, No. 40.
Hodges, T. D. (2010). An experimental
study of the impact of psychological capital on performance,
engagement, and the contagion effect. Dissertations and Theses from the College of Business Administration, 7.
Kirkpatrick, D.L., & Kirkpatrick, J. D. (2007).
Implementing the four levels: A practical guide for effective evaluation of training program. San Francisco, California: Berrett-Koehler Publishers, Inc.
Kumar, R. (2005). Research methodology:
A step-by-step guide for beginners (2nd Edition). California: Sage Publication Inc.
Lizar. A. A., Mangundjaya. W. L. H., &
Rachmawan. A (2014). The role of psychological capital and psychological empowerment on individual readiness for changes. Proceeding of the Australian Academy of Business and Social Science Conference.
Luthans, F., Avey, J. B., Avolio, B. J.,
Norman, S. M., & Combs, G. M. (2006). Psychological capital development: toward a micro‐intervention. Journal of Organizational Behavior, 27(3), 387-393.
Luthans, F., Avey, J. B., Smith, R. C., & Li,
W. (2008). More evidence on the value of Chinese workers psychological capital: A potentially unlimited competitive resource?. The International Journal of Human Resource Management, 19 (5), 818-827.
Luthans, F., Youssef, C. M., & Avolio, B. J.
(2007). Psychological capital: Developing the human competitive
43
edge. New York: Oxford University Press, Inc.
Mangundjaya, W. L. H. (2014). Is
Workplace Well-Being important to Individual Readiness for Change? Proceedings, The 5th International Asian Association of Indigenous and Cross Cultural Psychology.
McKay, K., Kuntz, J. R., & Naswall, K.
(2013). The effect of affective commitment, communication and participation on resistance to change: the role of change readiness. New Zealand Journal of Psychology, 42(2), 29-40.
Meaney, M., & Pung, C. (2008). McKinsey
global results: Creating organizational transformations. McKinsey Quarterly, August: 1-7.
Neves, P. (2009). Readiness for change:
Contributions for employee's level of individual change and turnover intentions. Journal of Change Management, 9(2), 215-231.
Parahyanti, E. (2010). Dignifying condition
and employee belief as predictors of employee readiness for organizational change. Paper presented at Asian Psychology Conference. Darwin, Australia.
Rafferty, A. E., Jimmieson, N. L., &
Amenarkis, A. A. (2013). Change readiness: A multilevel review. Journal of Management, 39 (1), 110-135.
Schneider B., Brief A.P. and Guzzo, R.A.
(1996). Creating a climate and
culture forsustainable organizational change. Organizational Dynamics, 24, 7-19.
Shin, J., Taylor, M. S., & Seo, M. G. (2012).
Resources for change: The relationships of organizational inducements and psychological resilience to employees' attitudes and behaviors toward organizational change. Academy of Management Journal, 55(3), 72 7-748.
Swanson, R. A., & Holton III, E. F. (2009).
Research in organizations: Foundations and methods of inquiry. California, United States of America: Berret-Koehler Publisher, Inc.
Vakola, M. (2013). Multilevel readiness to
organizational change: a conceptual approach. Journal of Change Management, 13(1), 96-109.
Vakola, M., Armenakis, A., & Oreg, S.
(2013). Reaction to organizational change from an individual differences perspective: a review of empirical research. The Psychology of Organizational Change, 95-122. New York: Cambridge University Press.
Wanberg, C. R., & Banas, J. T. (2000).
Predictors and Outcomes of Openness to Changes in a Reorganizing Workplace. Journal of Applied Pscyhology, 85 (1), 132-142.
Wittenstein, R. D. (2008). Factors
influencing individual readiness for change in a health care environment. ProQuest.
44
STUDI KORELASIONAL ANTARA ORIENTASI TUJUAN PERFORMA DAN KECEMASAN TERHADAP PERPUSTAKAAN PADA MAHASISWA TAHUN
PERTAMA
Dwieta Puspa Damayanti, Anita Listiara
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro [email protected]; [email protected]
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji korelasi antara orientasi tujuan performa dan kecemasan terhadap perpustakaan. Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa tahun pertama dari suatu universitas negeri di Semarang, Jawa Tengah. Partisipan penelitian sebanyak 259 mahasiswa diperoleh dengan menggunakan cluster random sampling. Pengumpulan data menggunakan Skala Orientasi Tujuan Performa yang terdiri dari 27 aitem (indeks daya beda bergerak dari 0.332 hingga 0.638, dengan α= 0.887) dan Skala Kecemasan Terhadap Perpustakaan terdiri dari 33 aitem (indeks daya beda bergerak dari 0.308 hingga 0.546, dengan α= 0.887). Analisis data menggunakan teknik regresi sederhana. Hasilnya menunjukkan ada korelasi positif antara kedua variabel tersebut (rxy= 0.422; p<0,05). Orientasi tujuan performa memberikan kontribusi efektif sebesar 17.8% pada variasi kecemasan terhadap perpustakaan. Kemanfaatan dari penelitian ini selain merupakan penelitian awal tentang kecemasan terhadap perpustakaan, juga menunjukkan bahwa orientasi tujuan performa menjadi salah satu determinan yang penting bagi kecemasan partisipan terhadap perpustakaan.
Kata kunci: orientasi tujuan performa, kecemasan terhadap perpustakaan, mahasiswa tahun pertama
Abstract
The aim of this research is to examine the relationship between performance goal orientation and library anxiety. The participants of this study were 259 first- year undergraduate students from one state university in Semarang, Central Java. Participants included in this research were instructed to fill two questionnaires, that are Library Anxiety Scale (N = 33 items α=0,887) which based on Bostick’s aspects of library anxiety and Performance Goal-Orientation Scale (N = 27 items; α=0,887) which consisted performance goal-orientation characteristics from Pintrich (in Alderman, 2004). The result of this research demonstrates evidence that there is a positive correlation between performance goal orientation and library anxiety (rxy=0,422; p<0,05). means hypothesis accepted which is in first-year undergraduate students. Performance goal orientation effectively contributes 17,8% on library anxiety.
Keywords: Performance goal orientation, library anxiety, first-year undergraduate students.
45
PENDAHULUAN
Nevid, Greene, dan Rathus (2005)
mengemukakan bahwa kecemasan
merupakan suatu keadaan emosional
yang tidak menyenangkan. Perasaan tidak
menyenangkan ini umumnya
menimbulkan gejala-gejala fisiologis,
gejala perilaku, dan gejala-gejala kognitif.
Perasaan-perasaan tertekan dan tidak
berdaya karena merasa cemas akan
muncul apabila individu tidak siap
menghadapi ancaman. Kecemasan dapat
disebabkan oleh berbagai objek di sekitar
individu, contohnya perpustakaan.
Ketidakmampuan dalam memanfaatkan
layanan perpustakaan akan mengikis
kepercayaan diri mahasiswa dan akan
memunculkan kecemasan ketika mereka
berada di perpustakaan (Jiao &
Onwuegbuzie, 1999b).
Perpustakaan perguruan tinggi
bertujuan untuk memenuhi keperluan
pengguna yang berada di lingkungan
perguruan tinggi, menyediakan bahan
rujukan atau referensi, menyediakan
ruang belajar bagi para pengguna
perpustakaan, menyediakan jasa
peminjaman bahan rujukan yang tepat
guna, dan menyediakan jasa informasi
aktif (Alwi, dkk, 2008). Sebagian
mahasiswa mengalami masalah dalam
memanfaatkan fasilitas perpustakaan.
Kondisi tersebut disebabkan karena
mereka tidak memiliki pengalaman atau
tidak terbiasa dalam menggunakan dan
menemukan sumber-sumber serta
layanan yang disediakan perpustakaan
(Chartes & Grimes, 2000). Menurut
penelitian Iskandiningsih dan Khusyairi
(2003) di UPT Perpustakaan suatu
universitas negeri di Surabaya, terdapat
sekitar 63.34 % mahasiswa yang
mengakui bahwa perpustakaan masih
dapat memenuhi 41-80% kebutuhan akan
informasi yang mereka butuhkan.
Mellon (1986) adalah orang yang
pertama kali mencetuskan konsep
kecemasan terhadap perpustakaan. Ia
menjelaskan bahwa dengan mengetahui
kecemasan terhadap perpustakaan dan
latar belakangnya, maka perencanaan
yang tepat untuk meniadakan kecemasan
tersebut dapat dilakukan. Penelitian
mengenai kecemasan terhadap
perpustakaan telah banyak dilakukan di
berbagai negara lain, tetapi masih jarang
dilakukan di Indonesia (Susantri & Anna,
2008). Jiao & Onwuegbuzie (dalam
Cleveland, 2001) mengemukakan bahwa
mahasiswa dengan kecemasan yang
tinggi terhadap perpustakaan akan
kehilangan ketertarikan untuk datang ke
perpustakaan sebanyak 2,5 kali lipat
dibanding mahasiswa lain. Di Iran telah
46
dilakukan penelitian yang menemukan
bahwa 79% mahasiswa di sana
mengalami kecemasan terhadap
perpustakaan (Erfanmanesh, 2011).
Penelitian Lu & Adkins (2012)
membuktikan bahwa mahasiswa
pascasarjana di Universitas Missouri,
Amerika Serikat, juga mengalami
kecemasan terhadap perpustakaan.
Hambatan afektif dan terhadap staf
perpustakaan menjadi dua hambatan
terbesar yang mempengaruhi kecemasan
terhadap perpustakaan.
Mahasiswa dengan kecemasan
yang tinggi terhadap perpustakaan lebih
banyak melakukan kesalahan pada tugas-
tugas mereka dibandingkan dengan
mahasiswa dengan kecemasan yang
rendah (Jiao, Onwuegbuzie & Waytowich,
2008). Selain itu kecemasan terhadap
perpustakaan akan menjadi beban
psikologis bagi mahasiswa yang akan
berdampak pada ketidakoptimalan dalam
menggunakan sistem, pelayanan, dan
sumber pustaka di perpustakaan (Anwar,
Kandari & Al-Qallaf, 2004)
Selama dua dekade terakhir,
psikolog telah menggunakan teori Goal
Orientation (orientasi tujuan) sebagai
dasar untuk menguji hubungan orientasi
tujuan dengan kesuksesan siswa
(Midgley, 2002). Hasil penelitian
Heffernan, Hiromori, Matsumoto &
Nakayama (2012) mengatakan bahwa
tipe orientasi tujuan siswa itu
menentukan kepercayaan, kecemasan,
dan perilaku akademik mereka. Salah satu
orientasi tujuan adalah orientasi tujuan
performa (Midgley, 2002). Orientasi
tujuan performa berfokus pada
mendemonstrasikan kompetensi atau
kemampuannya dan bagaimana
kemampuan tersebut dinilai oleh orang
lain, misalnya dengan melampaui standar
performa normatif, berusaha menjadi
yang lebih baik dari orang lain,
membandingkan diri dengan orang lain,
menghindari penilaian yang kurang dari
orang lain, tidak ingin terlihat bodoh, dan
mencari perhatian orang lain atas
performa yang baik (Schunk, Pintrich, &
Meece, 2008). Penelitian yang dilakukan
Pintrich, Zusho, Schiefele, & Pekrun
(dalam Alderman, 2004) mendapatkan
hasil bahwa individu dengan orientasi
tujuan performa memiliki efikasi diri yang
rendah.
Berdasarkan penelitian Mellon
(1986) dengan menggunakan pendekatan
kualitatif, didapatkan bahwa salah satu
alasan yang mendasari mahasiswa
merasa cemas terhadap perpustakaan
adalah perasaan malu karena merasa
tidak memiliki kemampuan yang lebih
47
baik dibandingkan teman-temannya. Jiao
& Onwuegbuzie (2001) dalam
penelitiannya menemukan bahwa
kebiasaan belajar yang buruk memiliki
efek yang besar akan munculnya
kecemasan terhadap perpustakaan.
Berdasarkan temuan-temuan di
atas dan untuk menambah referensi
penelitian mengenai kecemasan terhadap
perpustakaan di Indonesia, maka
penelitian ini bertujuan untuk menguji
secara empiris kaitan antara orientasi
tujuan performa dan kecemasan
terhadap perpustakaan, khususnya pada
mahasiswa tahun pertama. Kondisi
tersebut didasarkan pada hasil penelitian
dari Heffernan, Hiromori, Matsumoto, &
Nakayama (2012) yang melibatkan
mahasiswa Jepang. Hasilnya
menunjukkan bahwa kecemasan yang
lebih tinggi dirasakan oleh mahasiswa
tingkat pertama dibandingkan mahasiswa
tahun kedua. Penelitian Roebken (2007)
dengan melibatkan mahasiswa tahun
pertama di California juga mendapatkan
hasil bahwa 43% partisipannya berada
pada kelompok yang memiliki orientasi
tujuan performa.
TINJAUAN TEORI
Kecemasan terhadap Perpustakaan
Mellon (1986) dalam penelitiannya
menemukan bahwa mahasiswa
mengalami perasaan takut dan cemas
ketika mereka diharuskan memanfaatkan
perpustakaan. Individu dengan
kecemasan terhadap perpustakaan
melihat kemampuan mereka untuk
menggunakan perpustakaan tidak lebih
memadai dibandingkan kemampuan
orang lain, mereka merasa tidak tahu
bagaimana memulai, dan merasa kondisi-
kondisi tersebut adalah memalukan
(Mellon, 1986). Berdasarkan
penelitiannya Jiao, Onwuegbuzie, &
Lichtenstein (1996) mengartikan
kecemasan terhadap perpustakaan
sebagai perasaan atau emosi tidak
nyaman saat berada dalam perpustakaan
yang memiliki ciri kognitif, afektif,
psikologis, dan perilaku. Dalam penelitian
berikutnya, Jiao, Onwuegbuzie, & Bostick
(2004) menemukan karakteristik bahwa
siswa yang mengalami kecemasan
terhadap perpustakaan biasanya
merasakan ketidaknyamanan secara
emosional dan fisik, ketika menghadapi
tugas yang berkaitan dengan
perpustakaan, mengembalikan buku
perpustakaan, atau hal yang lebih rumit
seperti misalnya harus melakukan
48
pencarian referensi yang lebih mendalam
di perpustakaan. Kecemasan terhadap
perpustakaan dapat dirasakan meningkat
dari rasa tidak percaya diri untuk
melakukan penelitian, jarang
mengunjungi perpustakaan, dan
ketidakmampuan untuk melihat relevansi
antara perpustakaan dengan
ketertarikannya maupun jalur karir (Jiao
dkk, 2004).
Berbeda dari Mellon, Bostick
(1992) adalah orang yang pertama kali
meneliti kecemasan terhadap
perpustakaan dengan pendekatan
kuantitatif. Bostick (1992) mendefinisikan
kecemasan terhadap perpustakaan
sebagai perasaan negatif ketika
menggunakan perpustakaan untuk
kegiatan akademik. Ia membuat Library
Anxiety Scale (Skala Kecemasan terhadap
Perpustakaan) yang terdiri dari 43 aitem
berdasarkan lima dimensi kecemasan
terhadap perpustakaan yaitu hambatan
staf, hambatan afektif, kenyamanan
perpustakaan, pengetahuan tentang
perpustakaan, dan hambatan mekanis.
Orientasi Tujuan Performa
Individu dengan orientasi tujuan
performa yang tinggi percaya bahwa
kemampuan mereka adalah konstan atau
tidak berubah, mengerjakan tugas
dengan keinginan supaya terlihat baik,
cenderung menghindari tugas yang
menantang, dan menolak untuk
menghadapi rintangan (Colquitt &
Simmering, 1998). Selain itu mereka juga
melihat kesalahan sebagai indikasi dari
kurangnya kemampuan (Gonzales,
Dreenwood, & Hsu, 2001). Ames dkk
(dalam Alderman, 2004) menjelaskan
karakteristik individu dengan orientasi
tujuan performa sebagai individu yang
berpikir bahwa pembelajaran bukanlah
tujuan, mereka terfokus untuk terlihat
pintar, tetapi tidak tangguh dalam
menghadapi kesulitan, dan menghindari
mengambil risiko.
Stipek (dalam Woolfolk, 2004)
memberikan daftar perilaku siswa yang
memiliki orientasi tujuan performa yaitu
menyalin makalah teman atau mencari
jalan pintas untuk menyelesaikan tugas,
mencari perhatian untuk mendapatkan
penilaian yang baik, dan hanya bekerja
keras pada tugas yang memiliki nilai tinggi.
Mereka juga mudah kecewa dan
menyembunyikan nilai jelek,
membandingkan nilai dengan teman
sekelas, memilih tugas yang
memungkinkan hasil yang bagus, tidak
nyaman dengan tugas yang tidak jelas
kriteria evaluasinya dan bertanya berulang
kali pada guru mengenai hal tersebut.
49
Schunk dkk (2008) memperjelas
orientasi tujuan performa menjadi dua
fokus. Pertama, approach-focus yaitu
individu berorientasi untuk menjadi
superior, menjadi yang terbaik, menjadi
yang paling pintar, terbaik dalam tugas
dibandingkan orang lain, menggunakan
standar normatif seperti mendapat nilai
terbaik, jadi juara kelas. Kedua, avoidance-
focus yaitu individu terkonsentrasi untuk
menghindari inferioritas, berusaha keras
supaya tidak terlihat bodoh jika
dibandingkan dengan orang lain,
mengunakan standar normatif seperti
misalnya tidak menjadi yang terburuk di
kelas. Penelitian Wahyuningtias (2013)
mendapatkan hasil bahwa siswa dengan
orientasi tujuan performa memiliki tingkat
motivasi berprestasi yang lebih rendah.
Penelitian di atas seakan
menggarisbawahi pendapat Meece,
Blumenfeld, & Hoyle (1988) bahwa
kebanyakan peneliti telah melaporkan
bahwa orientasi tujuan performa
berhubungan negatif dengan penggunaan
strategi-strategi kognitif yang lebih tinggi.
Salah satu alasan yang dikemukakan
oleh Nevid dkk (2005) bahwa yang
menjadi faktor penyebab munculnya
kecemasan adalah faktor kognitif seperti
prediksi berlebihan tentang ketakutan,
keyakinan self-defeating atau irasional,
serta efikasi diri yang rendah. Individu
dengan orientasi tujuan performa yang
tinggi akan mudah berpikir bahwa orang
lain selalu memandang mereka tidak
kompeten dalam menggunakan
perpustakaan. Mereka juga tidak berani
mengambil risiko untuk bertanya kepada
staf perpustakaan (Van Kampen, 2004).
Individu yang merasa cemas dalam
menyikapi kondisi-kondisi yang berkaitan
dengan perpustakaan kemungkinan besar
akan enggan untuk memanfaatkan
perpustakaan sebagai sumber informasi
yang dapat membantu kesuksesan
akademik mereka. Anwar dkk (2004)
menegaskan bahwa kecemasan terhadap
perpustakaan merupakan hambatan
psikologis yang akan mengganggu
kesuksesan akademik seseorang.
Berdasarkan pemaparan di atas,
maka hipotesis yang akan diuji adalah ada
korelasi positif antara orientasi tujuan
performa dan kecemasan terhadap
perpustakaan.
METODE PENELITIAN
Partisipan
Populasi dalam penelitian ini
adalah mahasiswa tingkat pertama dari
suatu universitas negeri di Kota
Semarang, dengan status aktif mengikuti
kegiatan belajar mengajar. Teknik
50
pengambilan sampel yang digunakan
adalah cluster random sampling.
Partisipan yang terlibat sejumlah 259
orang (rerata usia = 18.30 ) yang berasal
dari empat program studi yaitu Teknik
Sipil, Hukum, Keuangan Daerah, dan
Antropologi Sosial.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data menggunakan
dua buah skala psikologi yang disusun
oleh peneliti. Masing-masing skala
tersebut yaitu Skala Kecemasan terhadap
Perpustakaan (N aitem = 33; α = 0.887)
menggunakan aspek-aspek yang
dikemukakan oleh Bostick (dalam
Cleveland, 2001). Sedangkan Skala
Orientasi Tujuan Performa (N aitem = 27;
α = 0.887) disusun berdasarkan
karakteristik orientasi tujuan performa
yang dikemukakan oleh Pintrich (dalam
Alderman, 2004) yang terdiri atas
performance approaching dan
performance avoiding. Kedua skala
menggunakan modifikasi bentuk skala
Likert, yaitu dengan empat alternatif
respon yang bergerak dari Sangat Sesuai
(SS) hingga Sangat Tidak Sesuai (STS).
Untuk skor aitem favorable bergerak dari
skor empat hingga skor satu. Adapun skor
untuk aitem unfavorable berlaku
sebaliknya, yaitu bergerak dari skor satu
hingga skor empat. Pengisian skala atau
kuesioner tersebut dilakukan secara
individual.
HASIL PENELITIAN
Analisis data untuk menguji
hipotesis dilakukan dengan menggunakan
teknik analisis regresi sederhana dalam
program Statistical Package for Social
Science (SPSS) versi 21.0. Hasil analisis
data menunjukkan adanya rxy = 0,422
(p<0,05), artinya ada korelasi positif
antara orientasi tujuan performa dan
kecemasan terhadap perpustakaan, atau
makin tinggi orientasi tujuan performa
individu cenderung akan diikuti
kecemasan terhadap perpustakaan yang
makin tinggi pula. Persamaan garis regresi
yang diketahui adalah y = 49,993 +
0,488x. Adapun kontribusi efektif dari
orientasi tujuan performa adalah sebesar
17,8% yang akan mempengaruhi variasi
kecemasan terhadap perpustakaan
partisipan.
DISKUSI
Berdasarkan temuan dalam
penelitian ini diketahui bahwa orientasi
tujuan performa memiliki korelasi positif
dengan kecemasan terhadap
perpustakaan. Artinya makin tinggi
51
orientasi tujuan performa individu
cenderung akan disertai oleh makin
tingginya kecemasan individu tersebut
terhadap hal-hal atau kondisi yang terkait
dengan perpustakaan.Hasil penelitian ini
mendukung riset Mellon (1986) dan Van
Kampen (2004). Hasil penelitian ini juga
mendukung temuan sebelumnya dari
Meece dkk (1988) yaitu bahwa individu
dengan orientasi tujuan performa
cenderung menunjukkan perilaku-
perilaku yang mencirikan penggunaan
strategi-strategi kognitif yang berkorelasi
negatif dengan orientasi tujuan performa
itu sendiri.
Partisipan yang mengalami
kecemasan tinggi terhadap perpustakaan
pada umumnya merupakan individu yang
enggan mengambil risiko untuk memulai
interaksi dengan staf atau petugas
perpustakaan maupun untuk mencari
buku-buku atau referensi yang
dibutuhkan. Mereka merasa malu jika
hambatan tersebut diketahui oleh orang
lain. Pintrich dkk (dalam Alderman 2004)
menyampaikan bahwa individu dengan
orientasi tujuan performa memiliki efikasi
diri yang rendah, locus of control yang
rendah (Riyadiningsih, 2001) dan regulasi
diri yang rendah pula (Susetyo & Kumara,
2012). Individu dengan orientasi tujuan
performa tinggi akan lebih memikirkan
bagaimana penilaian orang lain terhadap
hasil belajarnya dan lebih memilih untuk
mencontek atau melakukan plagiasi
terhadap karya orang lain sebagai jalan
pintas dalam mencapai nilai atau
memenuhi tuntutan tugas akademiknya.
Ames (1992) menjelaskan bahwa
individu dengan orientasi tujuan
performa yang kuat akan lebih
memikirkan hasil belajarnya dibandingkan
dengan proses belajar yang harus
dijalaninya. Individu tersebut akan
menghindari belajar dan membuat tugas
kecuali tugas tersebut akan berpengaruh
baik bagi citra atau kesan dirinya
dihadapan orang lain. Kemampuan
regulasi diri yang rendah berarti
kemampuan yang rendah pula untuk
menyusun rencana belajar atau
menyiapkan strategi untuk
menyelesaikan tugas. Kondisi tersebut
pada akhirnya mendorong individu untuk
mudah memutuskan mengakui tugas
orang lain sebagai tugasnya, atau mencari
jalan pintas untuk menyelesaikan tugas.
Individu yang memiliki efikasi diri
yang rendah cenderung memiliki
komitmen rendah pada penyelesaian
tugas dan tidak meyakini kemampuan
dirinya sehingga tidak memberikan usaha
yang maksimal untuk mencapai target
yang lebih baik. Mereka akan
52
mengerjakan tugas dengan tujuan untuk
menunjukkan pada orang lain bahwa
mereka juga dapat melakukannya dengan
baik, tetapi mereka cenderung
menghindari tugas yang menantang dan
menolak untuk menghadapi rintangan,
serta memilih-milih tugas (Colquitt &
Simmering, 1998). Kondisi tersebut
kemungkinan besar mendorong individu
untuk menghindari kunjungan ke
perpustakaan maupun berinteraksi
dengan staf perpustakaan. Bagi individu
dengan orientasi tujuan performa yang
tinggi, keinginan untuk menunjukkan
kesan baik di mata orang lain cenderung
memunculkan keengganan untuk
meminta tolong atau bertanya pada staf
perpustakaan. Dalam persepsi mereka
perilaku bertanya dan meminta tolong
kepada orang lain adalah sama saja
dengan menunjukkan kelemahan mereka.
Konsekuensi dari pemikiran negatif
tersebut adalah tendensi untuk
menghindari perpustakaan dan
meningkatnya rasa kurang nyaman jika
harus menyelesaikan tugas dengan
memanfaatkan fasilitas maupun layanan
perpustakaan. Kondisi tersebut sesuai
dengan pendapat Ames dkk (dalam
Alderman, 2004) yaitu bahwa individu
dengan orientasi tujuan performa adalah
individu yang ingin terlihat pintar, tetapi
tidak tangguh dalam menghadapi
kesulitan, dan menghindari mengambil
risiko.
Pada umumnya individu dengan
orientasi tujuan performa tidak meyakini
kemampuan dirinya, memberikan usaha
minimal dalam penyelesaian tugas,
memiliki perilaku belajar yang buruk, dan
cemas akan penilaian orang lain terhadap
dirinya. Hasil penelitian ini juga sesuai
dengan temuan dalam penelitian
Wahyuningtias (2013) bahwa siswa
dengan orientasi tujuan performa
ternyata memiliki motivasi berprestasi
yang lebih rendah. Hal-hal tersebut akan
membuat individu menjadi kurang
antusias dalam belajar. Dalam upayanya
menggunakan cara yang cepat untuk
mendapatkan hasil atau nilai yang
mendatangkan kesan baik tentang
dirinya, maka individu dengan orientasi
tujuan performa yang tinggi akan makin
merasa kurang nyaman jika harus
menggunakan waktu yang cukup lama
untuk menyelesaikan tugas dengan
mencari referensi di perpustakaan.
Dengan jarang memanfaatkan
perpustakaan, maka individu akan makin
kurang familiar dengan penataan buku-
buku atau referensi dan merasa kurang
nyaman untuk bertanya maupun
53
berinteraksi dengan staf perpustakaan itu
sendiri.
Orientasi tujuan performa
menyumbang 17,8% terhadap perubahan
kecemasan terhadap perpustakaan.
Terdapat faktor selain orientasi tujuan
performa yang dapat mempengaruhi
kecemasan terhadap perpustakaan yang
tidak dibahas dalam penelitian ini, yaitu
usia, jenis kelamin, tahun ajaran, bahasa
asal, nilai rata-rata, dan status pekerjaan
(Jiao dkk, 1996), gaya belajar (Jiao &
Onwuegbuzie, 1999a), persepsi diri (Jiao
& Onwuegbuzie, 1999b), dan ras (Jiao
dkk, 2004).
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, maka dapat disimpulkan
beberapa hal berikut ini, yaitu:
1. Terdapat korelasi positif antara
orientasi tujuan performa dan
kecemasan terhadap perpustakaan,
khususnya pada partisipan dalam
penelitian ini yang merupakan
mahasiswa tahun pertama.
2. Mengingat kontribusi efektif dari
orientasi tujuan performa sebesar
17,8 % terhadap variasi kecemasan
terhadap perpustakaan, maka makin
menegaskan bahwa orientasi tujuan
performa bukan merupakan satu-
satunya determinan bagi kecemasan
terhadap perpustakaan.
3. Adanya keterbatasan dalam
penelitian ini yaitu melibatkan
perpustakaan dari berbagai program
studi yang terpilih dalam pengambilan
sampel. Kondisi ini memungkinkan
adanya persepsi yang beragam
mengenai layanan dan keadaan
perpustakaan masing-masing.
Saran yang relevan, dengan
demikian, lebih ditujukan pada peneliti
berikutnya yang ingin mencermati lebih
lanjut mengenai konstruk kecemasan
terhadap perpustakaan. Ada baiknya jika
dapat memanfaatkan satu perpustakaan
yang menjadi fokus penelitian sehingga
variasi persepsi partisipan terhadap
perpustakaan yang dimaksudkan dapat
lebih terkontrol, terutama menyangkut
penataan lemari, desain ruang, dan
layanan petugas perpustakaan itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA Alderman, M. K. (2004). Motivation for
Achievement: Possibilities for teaching & learning (second edition). New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Alwi, H., Sugono, D., Adiwimarta, S. S.,
Lapoliwa, H., Ruskhan, A.G., ....., & Supadi, H. (2008). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi keempat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
54
Ames, C. (1992). Classrooms: Goals,
structures, and student motivation. Journal of Educational Psychology, 84, 261-271.
Anwar, M. A., Kandari, N. M., & Al-Qallaf,
C.L. (2004). Use of Bostick’s library anxiety scale on undergraduate biological science students of Kuwait University. Library and Information Science Research, 26, 266-283.
Bostick, S. l. (1992). The development and
validation of the library anxiety scale. (Disertasi). Michigan: Wayne State University Detroit.
Chartes, M. F., & Grimes, P. W. (2000).
Library use and undergraduates economics student. College Student Journal, 34, 557-569.
Cleveland, A. M. (2001). Reducing library
anxiety in first-year students : computer-assisted instruction vs bibliographic instruction. (Tesis). North Carolina: University of North Carolina.
Colquitt, J. A., & Simmering, M. J. (1998).
Conscientiousness, goal orientation, and motivation to learn during the learning process: A longitudinal study. Journal of Applied Psychology, 83, 654-665.
Erfanmanesh, M. (2011). Use of
multidimensional library anxiety scale on education and psychology students in iran. Library Philosophy & Practice, 9 (1), 1-10. . Diunduh dari http://digitalcommons.unl.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1594&context=libphilprac
Gonzales, A., Dreenwood, G., & Hsu, J. W. (2001). Undergraduates students goal orientation and their relationship to perceived parenting styles. College Student Journal, 35, 182-193.
Heffernan, N., Hiromori, T., Matsumoto,
H., & Nakayama, A. (2012). The influence of goal orientation, past language studies, overseas experiences, and gender differences on japanese efl learners’ beliefs, anxiety, and behaviors. Journal of Applied Language Studies, 6, 19-39.
Iskandiningsih, M. I., & Khusyairi, J.A.
(2003). Kebutuhan informasi ilmiah mahasiswa: Sebuah studi kasus di UPT Perpustakaan Universitas Airlangga. Laporan penelitian. Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.
Jiao, Q.G, Onwuegbuzie, A.J., &
Lichtenstein, A. (1996). Library anxiety: Characteristic of at-risk college student. Library and Information Science Research, 18, 151-163.
Jiao, Q.G., & Onwuegbuzie, A. J. (1999a).
Self-perception and library anxiety: An empirical study. Library Review, 48, 140-147. doi: 10.1108/00242539910270312.
Jiao, Q.G., & Onwuegbuzie, A. J. (1999b).
Is library anxiety important? Library Review, 48, 278-282. doi: 10.1108/00242539910283732.
Jiao, Q.G., & Onwuegbuzie, A. J. (2001).
Library anxiety and characteristic strengths and weaknesses of graduate students’ study habits.
55
Library Review, 50, 73-80. doi: 10.1108/00242530110381118.
.Jiao, Q.G., Onwuegbuzie, A. J., & Bostick,
S. L. (2004). Library Anxiety: Theory, research, application. Maryland: Scarecrow Press Inc.
Jiao, Q.G., Onwuegbuzie, A.J., &
Waytowich, V. L. (2008). The relationship between citation errors and library anxiety: An empirical study of doctoral students in education. Information Processing and Management, 44, 948-956.
Lu, Y. & Adkins, D. (2012). Library anxiety
among international graduate students. Proceedings of the American Society for Information Science and Technology, 49, 28-31. Diunduh dari https://www.asis.org/asist2012/proceedings/Submissions/319.pdf
Meece, J. L., Blumenfeld, P.C., & Hoyle,
R.H. (1988). Students’ goal orientation and cognitive engagement in classroom activities. Journal of Educational Psychology, 80, 514-523.
Mellon, C.A. (1986). Library anxiety: A
grounded theory and its development. College and Research Libraries. 160-165. Diunduh dari https://www.ideals.illinois.edu/bitstream/handle/2142/40906/crl_47_02_160_opt.pdf?sequence=2
Midgley, S. E. (2002). Goals, goal
structures, and patterns of adaptive learning. Mahwah, New Jersey: Lawrence Erlbraum Associates Publisher.
Nevid, J. S., Greene, B., & Rathus, S. A. (2005). Psikologi abnormal. Jilid 1. (edisi kelima). Jakarta: Penerbit Erlangga.
Pintrich, P.R. (2000). Multiple goals,
multiple pathways: The role of goal orientation in learning and achievement. Journal of Educational Psychology, 92, 544-555.
Pintrich, P.R., & Schunk, D. H. (2002).
Motivation in Education: Theory, research, and application (edisi kedua). Upper Saddle River, New Jersey: Merrill/Prentice-Hall.
Riyadiningsih, H. (2001). Hubungan
kemampuan, orientasi tujuan, locus of control, dan motivasi berprestasi dengan self efficacy dan penetapan tujuan dalam rangka memprediksi kinerja individual. (Skripsi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Roebken, H. (2007). The influence of goal
orientation on student satisfaction, academic engagement, and achievement. Electronic Journal of Research in Educational Psychology, 13, 5(3), 679-704.
Schunk, D. H., Pintrich, P. R., & Meece, J. L.
(2008). Motivation in Education: Theory, research, and application. (edisi ketiga). Upper Saddle River, New Jersey: Merrill/Prentice-Hall.
Susantri, T., & Anna, N.E.V. (2008).
Pengaruh kecemasan di perpustakaan (library anxiety) terhadap efektivitas pemanfaatan perpustakaan oleh mahasiswa di perpustakaan pusat Universitas Airlangga. Jurnal Penelitian Dinas Sosial, 7, 160-164.
56
Susetyo, Y. F. & Kumara, A. (2012).
Orientasi tujuan, atribusi penyebab, dan belajar berdasar regulasi diri. Jurnal Psikologi, 39, 95-111.
Van Kampen, D.J. (2004). Development
and validation of the multidimensional library anxiety scale. College and Research Libraries, 65, 28-34. Diunduh dari
http://www.crl.acrl.org/content/65/1/28.full.pdf
Wahyuningtias, I.V. (2013). Hubungan
orientasi tujuan dengan motivasi berprestasi pada mahasiswa. Jurnal Psikologi Universitas Negeri Semarang, 2 (1), 22-29.
Woolfolk, A. (2004). Educational
psychology. (9th edition). Boston: Pearson Educational.
57
PERBEDAAN KEBAHAGIAAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN DI BANDA ACEH DITINJAU DARI JENIS KELAMIN
Fathur Rahmi AR; Dahlia
Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala [email protected]; [email protected]
Abstrak
Perceraian merupakan salah satu peristiwa traumatis bagi anak, hal ini dikarenakan anak adalah korban yang merasa paling tersakiti dalam peristiwa tersebut. Remaja yang memiliki orang tua bercerai secara umum tidak dapat merasakan kebahagiaan karena dampak-dampak negatif yang dirasakan, namun beberapa diantara mereka ada yang dapat merasakan kebahagiaan. Salah satu faktor yang memengaruhi kebahagiaan adalah jenis kelamin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan kebahagiaan remaja korban perceraian di Banda Aceh ditinjau dari jenis kelamin. Desain penelitian ini menggunakan metode penelitian komparasi. Metode pengambilan sampel dilakukan dengan purposive sampling dan quota sampling dengan jumlah sampel penelitian sebanyak 70 orang yang terdiri dari 35 remaja laki-laki dan 35 perempuan berusia 13-18 tahun. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mann-Whitney U. Hasil analisis data menunjukkan hasil signifikansi sebesar -0,000 < 0,05 dan nilai Z sebesar -3,738. Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan kebahagiaan pada remaja korban perceraian ditinjau dari jenis kelamin di Banda Aceh. Remaja perempuan korban perceraian lebih bahagia dibandingkan dengan remaja laki-laki yang juga korban perceraian. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sikap orangtua yang memahami anak, adanya pemahaman anak terhadap perceraian orangtuanya, adanya dukungan emosional yang dirasakan anak dari lingkungan sekitarnya, adanya penerimaan diri dan penyesuaian yang baik serta adanya nilai keagamaan.
Kata kunci: Kebahagiaan, remaja korban perceraian, jenis kelamin.
58
Abstract
A divorce is a traumatic event. When divorce occurs, children are becoming main victims. Adolescents whose parents are going through the divorce often will not be able to feel happiness due to many negative impacts of this event, although some of them are not having trouble to feel happy. One of many contributing factors of happiness is sex. This research aimed to investigate the difference of happiness among adolescents victims of divorce in BandaAceh based on sex. Population in this research was adolescence victims of divorce in BandaAceh. Purposive sampling and quota sampling were used in this research to determine the sampling technique. Samples of this research were 70 adolescences that consisted of 35 males and 35 females with age ranged 13-18 years old. Happiness scale was used to collect the data; the scale was developed by the researcher based on Seligman’s theory of Happiness. Data was analyzed by using Mann-Whitney and showed significance level of 0,000<0,05 and Z-score-3,738. The result revealed that there was a significance difference in happiness between adolescence victims of divorce in BandaAceh based on their sex in which female teenagers were happier than male teenagers.
Keywords: happiness, adolescence victims of divorce,sex.
59
PENDAHULUAN
Kasus perceraian di Indonesia
sudah menjadi fenomena umum di
kalangan masyarakat. Hal ini dibuktikan
dengan bertambahnya jumlah angka
perceraian setiap tahunnya (Nurhayanti,
2010). Jumlah angka perceraian di
Indonesia telah mencapai angka yang
sangat fantastis. Tercatat pada tahun
2007 terdapat 200.000 pasangan di
Indonesia melakukan perceraian.
Meskipun angka perceraian di Indonesia
tidak setinggi di Amerika Serikat dan
Inggris (mencapai 66,6% dan 50% dari
jumlah total perkawinan), namun angka
perceraian di Indonesia ini sudah menjadi
rekor tertinggi di kawasan Asia Pasifik
(Julianto, 2008).
Pada tahun 2008 kasus perceraian
berkisar antara 200.000 kasus, sedangkan
pada tahun 2009 terjadi kenaikan jumlah
angka perceraian di Indonesia yang
mencapai 250.000 kasus (Fauzi, 2011).
Data tahun 2011 dari Pengadilan Agama
Mahkamah Syar’iyah Indonesia juga
menyatakan terdapat 363.470 perkara
yang berakhir dengan perceraian selama
tahun 2011 di seluruh wilayah Indonesia
yang menunjukkan peningkatan dari
tahun 2009. Provinsi Aceh termasuk salah
satu provinsi yang memiliki angka
perceraian yang tinggi (Mahkamah
Syar’iyah, 2011). Tingkat perceraian di
Aceh rata-rata mengalami peningkatan
setiap tahun, dan trend perceraian di kota
Banda Aceh mengalami peningkatan dari
tahun 2009 – 2011, dan terjadi
penurunan pada tahun 2012. Akan tetapi,
angka perceraian ini kembali meningkat
pada tahun 2013. Berdasarkan data dari
Mahkamah Syar’iyah kota Banda Aceh
pada tahun 2013 tercatat 261 kasus
perceraian yang terdiri dari 186 kasus
cerai gugat dan 60 kasus cerai talak
(Mahkamah Syar’iyah, 2013).
Angka perceraian yang terus
meningkat mengakibatkan semakin
banyaknya anak-anak yang menjadi
korban perceraian orangtuanya (Dagun,
2002). Perceraian merupakan peristiwa
yang traumatis dan anak adalah korban
yang merasa paling terpukul dengan
peristiwa tersebut. Anak akan merasa
kehilangan orangtua yang utuh dalam
kehidupannya. Hal itu juga menjadi
pengaruh besar bagi perkembangan
kepribadian anak atau perkembangan
psikologis anak yang menimbulkan stres,
ketakutan, kecemasan sampai dengan
depresi (Setyawan, 2007; Indriyani, 2008).
Ternyata selain dampak negatif,
perceraian juga memiliki dampak yang
positif. Sebagian anak-anak yang memiliki
orangtua yang bercerai mampu
60
mengatasi perubahan kondisi keluarga
setelah terjadi perceraian pada
orangtuanya tersebut dan mampu
bangkit dari permasalahan perceraian
orangtuanya (Karina, 2014). Anak akan
menjadi lebih baik setelah perceraian jika
orangtua yang memiliki hak asuh anak
adalah individu yang hangat, mendukung,
otoritatif, memantau kegiatan anak, tidak
memiliki harapan yang berlebihan kepada
anaknya, serta konflik orangtua mereda
(Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Hal ini
didukung dengan sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Sun (2001) yang
mengungkapkan bahwa perceraian dapat
berdampak positif dan meningkatkan
kebahagiaan anak jika perceraian
tersebut dapat menyelesaikan konflik
yang terjadi pada orangtua sehingga anak
terhindar dari suasana keluarga yang
penuh ketegangan.
Spot (dalam Putra & Nashori,
2008) menjelaskan bahwa kebahagiaan
adalah penghayatan individu terhadap
perasaan emosional yang positif karena
telah terpenuhinya kondisi-kondisi yang
diinginkan, terpenuhinya segala
kebutuhan, lepas dari segala sesuatu yang
menyusahkan, terwujudnya suatu tujuan
yang diinginkan, serta merupakan kondisi
dimana seseorang merasa senang dan
puas secara keseluruhan terhadap
kehidupan yang dijalaninya. Remaja yang
memiliki orangtua bercerai secara umum
tidak dapat merasakan kebahagiaan
karena dampak-dampak negatif yang
dirasakan setelah perceraian
orangtuanya, namun beberapa diantara
mereka ada yang dapat merasakan
kebahagiaan dengan beberapa hal yang
menjadi faktor pendukungnya. Hal ini
dapat dilihat dalam kutipan wawancara
yang dilakukan peneliti dengan remaja
perempuan dan remaja laki-laki yang
menjadi korban perceraian menunjukkan
adanya perbedaan kebahagiaan diantara
mereka.
Hasil wawancara yang telah
dilakukan oleh peneliti dengan dua orang
remaja laki-laki korban perceraian dan dua
remaja perempuan korban perceraian
menunjukkan bahwa responden
perempuan merasa lebih bahagia
dibandingkan dengan responden laki-laki
setelah orangtua berpisah. Kondisi ini
senada dengan pendapat Hurlock (2007)
yang menyatakan bahwa perempuan
merasa lebih bahagia karena memperoleh
kepuasan yang tertinggi dari hubungan
interpersonal, sedangkan anak laki-laki
memperoleh kepuasan dari prestasi.
Menurut Dewi dan Utami (2006) ada
beberapa kondisi-kondisi yang dapat
meningkatkan kebahagiaan anak dari
61
orang tua yang bercerai, antara lain sikap
orangtua yang memahami anak, adanya
pemahaman anak terhadap perceraian
orangtuanya, dan adanya dukungan
emosional yang dirasakan anak dari
lingkungan sekitarnya.
Menurut Seligman (2005) ada
beberapa faktor yang memengaruhi
kebahagiaan, diantaranya adalah uang,
perkawinan, kehidupan sosial, emosi
negatif, usia, kesehatan, pendidikan, iklim,
ras, jenis kelamin, dan agama. Salah satu
faktor yang cukup memengaruhi
kebahagiaan adalah jenis kelamin.
Hoeksema dan Rusting (1999) menyatakan
bahwa perempuan merasakan
kebahagiaan yang lebih besar dan sering
memiliki emosi positif dibandingkan laki-
laki (dalam Easterlin, 2003). Penelitian lain
juga menyebutkan bahwa perempuan
lebih bahagia dibandingkan laki-laki di
sebagian besar wilayah Afrika, 15 negara
Eropa dan negara industri lainnya (Lima,
2011). Adanya perbedaan ini terjadi
karena perempuan tidak memiliki tingkat
emosi negatif dan tingkat depresi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki;
hal ini dapat disebabkan karena
perempuan lebih sering menunjukkan
perasaan dibandingkan laki-laki yang
sering menyembunyikan perasaannya.
Oleh karena itu, peneliti merasa penting
untuk melihat bagaimana remaja laki-laki
dan perempuan menghayati kebahagiaan
setelah perceraian orangtua mereka
sehingga berdasarkan latar belakang dan
fenomena yang telah dikemukakan di atas,
maka peneliti tertarik untuk meneliti
kebahagiaan pada anak korban perceraian
di Banda Aceh yang ditinjau dari jenis
kelamin.
TINJAUAN TEORI
Kebahagiaan
Seligman (2005) mendefinisikan
kebahagiaan sebagai perasaan positif
yang akan mendorong seseorang untuk
melakukan berbagai tindakan yang
positif. Veenhoven (2012) berpendapat
bahwa kebahagiaan merupakan kepuasan
subjektif dari keseluruhan hidup
seseorang dimana kebahagiaan adalah
sesuatu yang individu miliki dalam pikiran
dan hal-hal yang individu miliki dalam
pikiran yang dapat diukur dengan
menggunakan pertanyaan. Snyder dan
Lopez (2007) mendefinisikan kebahagiaan
sebagai kondisi psikologis yang dirasakan
individu secara subjektif. Kebahagiaan
juga dicirikan dengan level emosi positif
yang tinggi dan level emosi negatif yang
rendah.
Menurut Seligman (2005) terdapat
tiga aspek kebahagiaan, yaitu kehidupan
62
yang menyenangkan (pleasant life),
kehidupan yang bermakna (meaningful
life), dan keterlibatan diri (engaged life).
Jenis Kelamin
Cristodoulu (2005) menyatakan
bahwa jenis kelamin adalah karakteristik
biologis antara laki-laki dan perempuan
yang bersifat universal dan tidak dapat
berubah. Karakteristik ini cenderung
digunakan untuk membedakan manusia
sebagai laki-laki dan perempuan.
Menurut Esplen dan Jolly (2006) jenis
kelamin merupakan hal yang menandai
perbedaan antara perempuan dan laki-
laki sebagai akibat dari sifat biologis, fisik,
dan perbedaan genetik diantara
keduanya. Lebih lanjut,Narwoko dan
Suyanto (2010) menjelaskan bahwa
pembagian jenis kelamin ditentukan
secara biologis dan melekat pada jenis
kelamin tertentu. Jenis kelamin
digunakan untuk membedakan laki-laki
dan perempuan berdasarkan unsur
biologis dan anatomi tubuh.
Remaja
Remaja merupakan proses yang
mengarah kepada kematangan seksual
atau fertilitas (kemampuan untuk
bereproduksi). Masa remaja dimulai pada
usia 11-20 tahun. Masa remaja
merupakan masa transisi dari masa
kanak-kanak yang menawarkan peluang
untuk tumbuh bukan hanya dalam
dimensi fisik, tetapi juga dalam
kompetensi kognitif dan sosial (Papalia
dkk, 2008). Hurlock (2007) menyatakan
bahwa masa remaja ditandai dengan ciri-
ciri yang mewujudkan adanya
ketidaktenangan jiwa, karena itu
membuat mereka mengalami
kegoncangan, mudah terpengaruh,
mudah emosional dan sebagainya.
Keadaan yang demikian ini membuat
remaja mengalami gangguan
keseimbangan mental apabila ditambah
dengan seringnya mengalami kegagalan
dalam pemahaman kebutuhan
kebutuhannya. Lebih lanjut, Hurlock
(2007) membagi remaja menjadi dua
bagian, yaitu masa remaja awal yang
berkisar antara usai 13-16 tahun dan
masa remaja akhir yang berkisar antara
usia 17-18 tahun.
Perbedaan kebahagiaan pada remaja
korban perceraian ditinjau dari jenis
kelamin
Perceraian merupakan peristiwa
yang traumatis dan anak adalah korban
yang merasa paling terpukul dengan
peristiwa tersebut. Perceraian selalu saja
menggoreskan luka batin yang dalam bagi
63
anak karena anak akan merasa
kehilangan orangtua yang utuh dalam
kehidupannya. Kondisi ini berpengaruh
besar bagi perkembangan kepribadian
dan psikologi anak yang dapat
menimbulkan stress, ketakutan,
kecemasan sampai depresi (Setyawan,
2007; Indriyani 2008). Meskipun
demikian, perceraian dapat berdampak
positif dan meningkat kebahagiaan anak
jika perceraian tersebut dapat
menyelesaikan konflik yang terjadi pada
orangtua sehingga anak terhindar dari
suasana keluarga yang penuh ketegangan
(Sun, 2001).
Hartati (2012) menjelaskan bahwa
kebahagiaan bagi remaja bersumber dari
orangtua (keluarga).Temuan terhadap
faktor keluarga, terutama orangtua
sebagai sumber kebahagiaan tidak
terlepas perannya dalam kehidupan
remaja. Keluarga merupakan lingkungan
pertama bagi anak, tempat untuk
membimbing anak, dan untuk memenuhi
kebutuhan hidup anak (Rasjidi, dalam
Wati, 2010).
Menurut Seligman (2005), ada
beberapa faktor yang memengaruhi
kebahagiaan, dan salah satunya adalah
faktor jenis kelamin. Brody dan Hall
(1993) menjelaskan bahwa perbedaan
jenis kelamin dalam emosi seperti
kebahagiaan adalah bias secara sadar
atau tidak sadar oleh pengetahuan
individu terhadap streotipe jenis kelamin.
Stereotip jenis kelamin mengarahkan
kepada penilaian bahwa perempuan
mengekspresikan emosi seperti
kesedihan, kegembiraan dan takut lebih
intens daripada laki-laki, sedangkan laki-
laki mengekspresikan emosi marah dan
agresif lebih intens dari pada perempuan.
Strereotip jenis kelamin ini merupakan
self-fullfilling prophesies yang
mengarahkan pada perbedaan jenis
kelamin yang nyata dalam
mengekspesikan emosi, seperti
kebahagiaan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif. Populasi dalam penelitian ini
adalah seluruh remaja korban perceraian
di Banda Aceh. Pengambilan sampel pada
penelitian ini dilakukan dengan purposive
sampling dan quota sampling karena
dalam penelitian ini peneliti tidak
mengetahui pasti jumlah populasi dan
ada beberapa karakteristik penelitian
yang harus dipenuhi. Jumlah sampel pada
penelitian ini adalah sebanyak 70 remaja
korban perceraian yang terdiri dari 35
remaja laki-laki dan 35 remaja
perempuan.
64
Metode Pengumpulan Data
Kebahagiaan dalam penelitian ini
diukur dengan menggunakan skala
kebahagiaan yang disusun oleh peneliti
berdasarkan aspek-aspek kebahagiaan
yang dipaparkan oleh Seligman (2005)
yang mengacu pada tiga aspek
kebahagiaan, yaitu kehidupan yang
menyenangkan (pleasant life), kehidupan
yang bermakna (meaningful life), dan
keterlibatan diri (engaged life). Skala ini
terdiri dari 39 pernyataan menggunakan
model skala modifikasi Likert yang terdiri
dari 4 pilihan jawaban, yaitu Sangat
Sesuai (SS), Sesuai (S), Tidak Sesuai (TS),
Sangat Tidak Sesuai (STS). Pada
pernyataan favourable bobot penilaian
yang digunakan yaitu angka 4 untuk SS, 3
untuk S, 2 untuk TS, dan 1 untuk STS.
Pada pernyataan unfavourable bobot
penilaiannya yaitu 1 untuk SS, 2 untuk S,
3 untuk TS, dan 4 untuk STS.
Teknik Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian
diolah menggunakanteknik analisis one-
sample kolgomorov-smirnov test untuk uji
normalitas, teknik analisis one-way anova
untuk uji homogenitas, dan teknik analisis
Mann Whitney U untuk uji hipotesis.
Keseluruhan analisis statistic terhadap
data penelitian menggunakan SPSS20.0 for
Windows.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi Data
Untuk mendapatkan gambaran
umum mengenai data penelitian secara
singkat dapat dilihat pada tabel 1,
terdapat perbandingan antara hasil
hipotetik (yang mungkin terjadi) dan hasil
penelitian empiris (berdasarkan
kenyataan di lapangan). Deskripsi data
hasil penelitian dapat dilihat melalui tabel
berikut:
Tabel 1 Deskripsi data penelitian
Variabel Data Hipotetik Data Empirik
Xmaks Xmin Mean SD Xmaks Xmin Mean SD
Kebahagiaan
156 39 97,5 19,5 141 75 121,9
7 12,071
Keterangan Rumus Skor Hipotetik : 1. Skor minimal (min) adalah hasil perkalian jumlah butir skala dengan nilai terendah dari pembobotan pilihan
jawaban. 2. Skor maksimal (max) adalah hasil perkalian jumlah butir skala dengan nilai tertinggi dari pembobotan
pilihan jawaban. 3. Mean hipotetik (µ) dengan rumus µ = (skor max + skor min)/2 4. Standar deviasi (σ) hipotetik adalah : σ = (skor max – skor min)/6
65
Berdasarkan hasil statistik data
penelitian, analisis deskriptif secara
hipotetik menunjukkan bahwa jawaban
minimal adalah 39, maksimal 156, nilai
rerata 97,5 dan simpangan baku 19,5.
Sementara data empirik menunjukkan
jawaban minimal (X min) adalah 75,
maksimal (X max)141, nilai rerata 121,97
dan simpangan baku (SD) 12,071.
Deskripsi hasil data penelitian
tersebut dapat dijadikan batasan dalam
pengkategorian sampel penelitian yang
terdiri dari tiga kategori yaitu tinggi,
sedang, dan rendah. Pembagian kategori
sampel menggunakan model distribusi
normal kategori jenjang. Metode ini
digunakan karena estimasi skor subjek
dalam populasinya terdistribusi dengan
normal (Azwar, 2011b).
Cara pengkategorian ini akan
diperoleh dengan menetapkan suatu
kategori normatif skor subjek. Dalam
penelitian ini, peneliti menggolongkan
subjek ke dalam tiga kategori, yaitu
kategori rendah, sedang, dan tinggi.
Pengkategorian ini akan menggunakan
rumusan interval seperti yang ada dalam
tabel berikut:
Tabel 2 Rumus Norma Kategori
Rumusan Interval Kategori
𝑿 < (𝝁 − 𝟏, 𝟎𝝈) Rendah (𝝁 − 𝟏, 𝟎𝝈) ≤ 𝑿 < (𝝁
+ 𝟏, 𝟎𝝈) Sedang
(𝝁 + 𝟏, 𝟎𝝈) ≤ 𝑿 Tinggi
Berdasarkan rumus norma
kategorisasi tersebut, maka diagnosis
norma kategorisasi berdasarkan skor dan
skor tiap sampel penelitian pada variabel
kebahagiaan adalah sebagai berikut:
Tabel 3 Kategorisasi kebahagiaan pada remaja korban perceraian
Rumus Kategori Jumlah Persentase
X < 78 Rendah 1 1,4
78 ≤ X < 117 Sedang 22 31,4 117 ≤ X Tinggi 47 67,1
TOTAL 70 100
Hasil kategorisasi kebahagiaan dapat
dilihat dari tabel 7 yang menunjukkan
bahwa remaja korban perceraian merasa
bahagia, sebanyak 67,1% berada pada
kebahagiaan yang tinggi, 31,4% pada
kebahagiaan yang sedang, dan 1,4%
Keterangan: µ = Mean hipotetik pada skala
𝜎 = Standardeviasipadaskala
66
remaja korban perceraian memiliki
kebahagiaan yang rendah.
Uji Hipotesis
Sebelum dilakukan uji hipotesis,
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
dan homogenitas data yang merupakan
syarat yang harus dipenuhi sebelum
melakukan uji hipotesis.Berdasarkan uji
normalitas yang dilakukan pada 70 sampel
penelitian menunjukkan bahwa variabel
kebahagiaan memiliki sebaran yang
terdistribusi normal dengan skor K-S Z =
0,498 (p > 0,05).
Hasil uji homogenitas melalui
teknik analisis one-way anova
menunjukkan nilai signifikansi sebesar
0,032 (p< 0,05). Karena nilai signifikansi
lebih kecil dari 0,05, maka dapat
disimpulkan bahwa data penelitian ini
mempunyai varian yang tidak sama atau
dengan kata lain varian populasi
(jeniskelamin) bersifat tidak homogen.
Uji hipotesis pada penelitian ini
menggunakan metode statistik non
parametric uji Mann-Whitney U, hal ini
dikarenakan data memiliki sebaran yang
normal namun tidak homogen. Pengujian
hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney
U menunjukkan nilai sebesar 0,000 (p <
0,05), artinya hipotesis dalam penelitian
ini diterima. Hal ini berarti terdapat
perbedaan kebahagiaan yang signifikan
pada remaja korban perceraian di Kota
Banda Aceh ditinjau dari jenis kelamin.
DISKUSI
Hasil penelitian ini menunjukkan
terdapat perbedaan kebahagiaan yang
signifikan pada remaja perempuan dan
remaja laki-laki korban perceraian. Hal ini
didasarkan pada perhitungan statistik
yang telah dilakukan dan dapat dapat
dilihat nilai taraf signifikansi sebesar
0,000 (p < 0,05), sehingga dapat
dikatakan bahwa hipotesis dalam
penelitian ini diterima.
Hasil penelitian ini juga
menunjukkan bahwa remaja perempuan
dan laki-laki korban perceraian di Banda
Aceh memiliki tingkat kebahagiaan yang
berbeda dimana remaja perempuan lebih
bahagia dibandingkan remaja laki-laki. Hal
ini ditunjukkan dengan nilai rata-rata
yang diperoleh kelompok sampel
perempuan sebesar 44,59, sedangkan
kelompok sampel laki-laki sebesar 26,42.
Adanya perbedaan kebahagiaan pada
remaja korban perceraian di Banda Aceh
dapat dikarenakan perempuan memiliki
tingkat emosi negatif yang lebih rendah
dan tingkat depresi yang lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki. Hal
tersebut mungkin terjadi karena
67
perempuan lebih sering menunjukkan
perasaannya dibandingkan laki-laki yang
lebih sering menyembunyikan
perasaannya (Eddington & Shuman,
2005). Hal senada juga diperkuat oleh
penelitian yang dilakukan oleh Nihayah
(2013) yang menemukan bahwa ternyata
ada korelasi yang tinggi antara
pengungkapan perasaan positif serta
pengungkapan perasaan negatif dengan
kebahagiaan. Semakin tinggi
pengungkapan perasaan individu, maka
semakin tinggi pula tingkat kebahagiaan
individu tersebut.
Penelitian lain juga menyebutkan
bahwa laki-laki lebih memaknai
kebahagiaan dari segi konkret, dan tidak
banyak laki-laki yang dapat memaknai
kebahagiaan dari segi eksistensial dan
spiritual. Hal ini disebabkan karena laki-
laki lebih menggunakan logikanya
dibandingkan perasaannya sehingga
pemaknaannya pun lebih cenderung ke
arah dirinya sendiri (personal), sedangkan
pada perempuan, pemaknaan
kebahagiaan lebih dari segi spiritual
karena perempuan lebih bersifat afektif
dalam melakukan serta memaknai segala
hal dibandingkan laki-laki yang lebih
menggunakan logika dalam menanggapi
masalah yang ada sehingga kebahagiaan
bagi perempuan lebih dimaknai sebagai
hal bersifat spiritual yang terkait dengan
relasinya dengan Tuhan (Wirawan, 2010).
Hal ini didukung oleh sebuah penelitian
yang dilakukan Kartasasmita (2010) yang
menyebutkan bahwa laki-laki lebih
memaknai kebahagiaan sebagai hal yang
memuaskan kebutuhan sehingga
mencapai apa yang diinginkan, sedangkan
perempuan lebih dapat memaknai
kebahagiaan dari sudut pandang spiritual.
Hasil dari penelitian ini juga
memerlihatkan bahwa kebahagiaan pada
remaja korban perceraian berada pada
kategori tinggi (67,1%), kategori sedang
(31,4%), dan kategori rendah (1,4%). Hal
ini dapat diartikan bahwa remaja yang
orangtuanya bercerai dapat merasakan
kebahagiaan setelah perceraian
orangtuanya. Menurut Dewi dan Utami
(2006) ada beberapa kondisi‐kondisi yang
dapat meningkatkan kebahagiaan anak
dari orangtua yang bercerai, antara lain
adanya sikap orangtua yang memahami
anak, adanya pemahaman anak terhadap
perceraian orangtuanya, adanya
dukungan emosional yang dirasakan anak
dari lingkungan sekitarnya (hubungan
pertemanan), adanya penerimaan diri
dan penyesuaian diri yang baik, serta
adanya nilai keagamaan.
68
Adanya pemahaman anak
terhadap perceraian orangtua membuat
anak dapat menerima kondisi perceraian
tersebut. Perasaan nyaman yang
dirasakan juga membuat anak dapat
mengendalikan emosinya dalam
menghadapi keadaan perceraian
orangtuanya serta dapat membuat anak
untuk berpikir positif. Hal tersebut di atas
membuat anak mengalami peningkatan
kualitas kebahagiaan (Dewi & Utami,
2006). Selain pemahaman anak terhadap
perceraian, hubungan pertemanan juga
dapat menjadi salah satu faktor yang
membuat anak merasakan kebahagiaan
(Carr, 2004; Seligman, 2005). Seligman
(2005) menyatakan bahwa individu yang
menghabiskan banyak waktu untuk
bersosialisasi cenderung memiliki tingkat
kebahagiaan yang tinggi.
Carr (2004) percaya bahwa
pertemanan yang bersifat terbuka
memiliki kontribusi terhadap
kebahagiaan. Ketika remaja memiliki
penerimaan diri, penyesuaian diri atau
adaptasi yang baik dengan lingkungannya
juga akan membuatnya menjadi nyaman
dengan kondisi dirinya. Gore (dalam
Hikmatunnisa & Takwin, 2007)
menyebutkan bahwa individu dengan
adaptasi yang baik akan dapat
menghadapi kejadian hidup lebih baik
sehingga kebahagiaan pun menjadi lebih
baik.
Nilai keagamaan yang diperoleh
dari lingkungan tempat tinggal subjek,
yaitu lingkungan dengan masyarakat yang
memiliki tingkat religiusitas yang tinggi
juga dapat memberi pengaruh terhadap
kebahagiaan remaja yang ada di Aceh.
Para peneliti menemukan individu yang
tinggal di lingkungan yang masyarakat
atau keluarga memiliki nilai keagamaan
yang baik memiliki skor tinggi dalam
kebahagiaan (Myers, 2003). Ajaran agama
ternyata dianggap sebagai salah satu
jalan untuk memiliki kebahagiaan. Hal ini
diperkuat oleh penelitian Seligman (2002)
yang menemukan bahwa agama
merupakan hal penting dalam mengatasi
berbagai masalah psikologi, yaitu dengan
cara membangun emosi positif.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa ada perbedaaan kebahagiaan
pada remaja korban perceraian di Banda
Aceh ditinjau dari jenis kelamin. Remaja
perempuan lebih bahagia daripada
remaja laki-laki. Hal ini dapat disebabkan
karena perempuan memiliki tingkat
emosi negatif yang lebih rendah
dibandingkan dengan laki-laki. Selain itu,
pemaknaan kebahagiaan pada
69
perempuan lebih pada segi spiritual
karena perempuan lebih bersifat afektif
dalam melakukan serta memaknai segala
hal dibandingkan laki-laki yang lebih
menggunakan logika dalam menanggapi
masalah yang ada. Penelitian ini juga
memperlihatkan bahwa kebahagiaan
remaja korban perceraian di Kota Banda
Aceh berada dalam kategori tinggi yang
dapat disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adanya sikap orangtua yang
memahami anak, adanya pemahaman
anak terhadap perceraian orangtuanya,
adanya dukungan emosional yang
dirasakan anak dari lingkungan sekitarnya
(hubungan pertemanan), adanya
penerimaan diri dan penyesuaian diri
yang baik, serta adanya nilai keagamaan.
Kelemahan dalam penelitian ini
adalah hasil penelitian tidak dapat
digeralisasikan karena varian populasi
sampel penelitian ini tidak sama (tidak
homogen). Selanjutnya peneliti
menyarankan kepada peneliti selanjutnya
yang ingin meneliti variabel kebahagiaan
agar dapat menghubungkan dengan
variabel-variabel lain yang memiliki kaitan
atau hubungan dengan variabel
kebahagiaan, misalnya seperti
penyesuaian diri, dukungan sosial,
pemaafan, depresi, citra tubuh, dan lain
sebagainya sehingga dapat memperkaya
penelitian mengenai kebahagiaan
khususnya di Aceh yang masih belum
banyak penelitian mengenai kebahagiaan.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, S. (2011). Penyusunan Skala
Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Brody, L. R., & Hall, J. A. (1993).Gender
and emotion.In M. Louis & J.M Havland (Eds).Handbook of emotions. New York: Guilford.
Carr, A. (2004). Positive psychology: The
science of happiness and human strengths. New York: Brunner-Routledge.
Cristodoulou, J. (2005). Glossary of
gender-related terms. Mediterranean Institute of Gender Studies. Diakses pada tanggal 20 September 2014 melalui http://www.peacewomen.org/assets/file/AdvocacyEducationTools/genderglossary_migs_aug2005.pdf.
Dagun, S. M (2002). Psikologi keluarga
(Ed. Ke-2). Jakarta: Rineka Cipta. Dewi, P. S., & Utami, M. S. (2006).
Subjective well‐beinganak dari orangtua yang bercerai. Jurnal Psikologi. 35(2), 194-212.
Easterlin, R. A. (2003). Happiness of
women and men in later life: Nature, determinants, and prospects. Advances in Quality-of-Life Theory and Research. The Netherlands: Kluwer Academic Publishers.
70
Eddington, N., & Shuman, R. (2005). Subjective well-being (happiness). Continuing psychology education. San Diego: continuing psychology education: 6 continuing education hours.
Esplen, E., & Jolly, S. (2006). Gender and
sex a sample of definitions. UK: BRIGDE Institute of Development Studies. Diakses pada tanggal 20 Agustus 2014 melaluli http://www.iwtc.org/ideas/15_definitions.pdf.
Fauzi, A. (4 Agustus 2011). Menekan angka
perceraian. DetikNews. Diakses pada tanggal 20 Agutus 2014 melalui http://news.detik.com/read/2011/08/04/141444/1696529/471/menekan-angka-perceraian.
Hartati, N. (2012). Sumber-sumber
kebahagiaan remaja yang tinggal di panti asuhan.Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada
Hikmatunnisa, M.,& Takwin, B. (2007).
Pengaruh perbedaan agama orang tua terhadap psychological well-being dan komitmen beragama anak. Jurnal Psikologi Sosial. 2(13), 157-165.
Hurlock, E. B. (2007). Psikologi
perkembangan, suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan edisi kelima (terjemahan). Jakarta : PT. Erlangga.
Indriyani, F. N. (2008). Dampak psikologis
perceraian orang tua terhadap anak. Skripsi (tidak dipublis). Semarang: Universitas Katholik Soegijapranata.
Julianto, A. (2008). Tingginya tingkat perceraian di Indonesia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Karina, C. (2014). Resiliensi remaja yang
memiliki orang tua bercerai. Jurnal Online Psikologi. 2(1). 152-169.
Kartasasmita, S. (2010). Happiness
description from game online player. Jurnal Psikologi. Jakarta: Universitas Tarumanegara. Diakses pada tanggal 19 januari 2015 melalui http://www.researchgate.net/profile/Sandi_Kartasasmita/publication/264551969_Happiness_Description_from_Game_Online_Player/links/53e5514e0cf2fb7487170140.pdf.
Lima, S. V. (2011). A cross-country
investigation of the determinants of thehappiness gender gap. Journal of Economic Behavior & Organization. Italia:University of Milan-Bicocca, Department of Economics.
Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. (2013).
Perkara CG dan PAW Dominasi Perkara Tahun 2013 di Mahkamah Syari’yah Banda Aceh. Diakses pada 23 Agustus melalui http://www.badilag.net/berita-seputar-peradilan-agama/19563-perkara-cg-dan-paw-dominasi-perkara-tahun-2013-di-ms-banda-aceh--241.html.
Myers, D.G. (2003). Social Psychology.
Boston:McGraw-Hill. Narwoko, J. D., & Suyanto. (2010).
Sosiologi: Teks pengantar dan terapan. Jakarta: Kencana.
Nihayah, Z. (2013). Hubungan asertif
dengan kebahagiaan pada
71
mahasiswa Fakultas Psikologi Angkatan 2013 Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Jurnal Psikologi. Malang: Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim. Diakses pada tanggal 19 januari 2015 melalui http://psikologi.uin-malang.ac.id/publication.
Nurhayanti, L. (2010). Faktor-faktor yang
mempengaruhi angka cerai gugat (studi perkara di pengadilan agama Yogyakarta tahun 2006-2008). Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D.
(2008). Human development (Psikologi perkembangan), Ed. 9. Jakarta: Kencana..
Putra, A A., & Nashori, F. (2008).
Kebahagiaan pada penyandang cacat tubuh (sebuah penelitian kualitatif). Jurnal Psikologi. Yokyakarta: Universitas Islam Indonesia. Diakses pada tanggal 18 September 2014 melalui psychology.uii.ac.id/images/stories//naskah-publikasi-04320228.pdf.
Seligman, M.E.P. (2002). Authentic
Happiness: Using the New Positive Psychology to Realize Your Potential for Lasting Fulfillment. New York: Free Press/Simon and Schuster.
Seligman, M.E.P. (2005). Aunthentic
Happiness: Menciptakan kebahagiaan dengan psikologi positif. Bandung: Mizan Media Utama.
Setyawan, I. (2008). Membangun
pemaafan pada anak korban
perceraian. Dipresentasikan pada Konferensi Nasional I IPK – HIMPSI : Stress Management dalam Berbagai Setting Kehidupan. Diakses pada tanggal 10 september 2014 melalui http://core.kmi.open.ac.uk/download/pdf/11718546.pdf.
Snyder, C. R., & Lopez, S. J. (2007). Positive
psychology: The scientific and practical explorations of human strengths. Thousand Oaks, CA, US: Sage Publications.
Spot, C. A. (2004). Hubungan antara
dukungan sosial dengan kebahagiaan hidup pada wanita karir yang masih lajang. Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia.
Sun, Y. (2001). Family environment and
adolescent`s well‐being before andafter parent`s marital disruption: A longitudinal analysis. Journal ofMarriage and Family. 697‐713.
Veenhoven, R. (2012). Cross-national
differences in happiness: Cultural measurement bias or effect of culture?. International Journal of Wellbeing, 2(4), 333-353. doi:10.5502/ijw.v2.i4.4.
Wati, T. W. (2010). Dampak psikologis
perceraian orangtua pada remaja.Skripsi (tidak diterbitkan). Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata.
72
GAYA KEPEMIMPINAN DAN MOTIVASI KERJA PADA PEGAWAI RS X BANDA ACEH
Rony Rinaldi; Eka Dian Aprilia Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala
[email protected]; [email protected]
Abstrak
Motivasi kerja adalah suatu pendorong yang berasal baik dari dalam maupun luar individu untuk melakukan pekerjaan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan. Motivasi kerja setiap individu tidak terlepas dari gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi karena gaya kepemimpinan dapat mendorong motivasi kerja pegawai untuk mencapai tujuan suatu organisasi. Rumah Sakit X merupakan rumah sakit yang menjadi pusat rujukan tertinggi di Provinsi Aceh dan mempunyai tugas dan fungsi untuk memberikan pelayanan kesehatan yang paripurna dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat Provinsi Aceh.Pegawai yang bekerja dalam lingkup rumah sakit ini diharapkan memiliki motivasi kerja yang tinggi agar fungsi pelayanan kesehatan dapat terpenuhi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan gaya kepemimpinansecara umum dengan motivasi kerja pegawai serta hubungan masing-masing gaya kepemimpinan dengan motivasi kerja di RS X. Subjek penelitian adalah pegawai RS X yang berjumlah 90 orang. Teknik pengumpulan data menggunakan skala gaya kepemimpinan dari teori R. White & R. Lippit (dalam Winardi, 2000) dan skala motivasi kerja dari teori Maslow (dalam Munandar, 2001). Analisisdata menggunakan statistik teknik korelasi pearsondan regresi. Hasil penelitian ini diperoleh koefisien regresi sebesar (R)= 0.820 dan signifikansi p= 0.00 (p<0.01) sehingga menunjukkan terdapat hubungan yang sangat signifikan antara gaya kepemimpinan dengan motivasi kerja. Gaya kepemimpinan secara keseluruhan memberikan kontribusi sebesar 66.2% terhadap motivasi kerja. Gaya kepemimpinan demokratis memberikan kontribusi secara positif terhadap motivasi kerja sebesar 35.1%, sedangkan gaya kepemimpinan otoriter memberikan kontribusi secara negatif terhadap motivasi kerja sebesar 52.8% dan gaya kepemimpinan bebas memberikan kontribusi secara negatif terhadap motivasi kerja sebesar 19.4%. Artinya, gaya kepemimpinan demokratis akan meningkatkan motivasi kerja sedangkan gaya kepemimpinan otoriter dan gaya kepemimpinan bebas menurunkan motivasi kerja pegawai.
Kata kunci : Gaya Kepemimpinan, Motivasi Kerja,Pegawai RS X.
73
Abstract
Motivation is a driving force from both inside and outside the individual to do the work that leads to needs. The motivation of each individual depends on the leadership style that adopted by a leader in an organization because leadership style encourages employee motivation to achieve the goals of an organization. Hospital ‘X’ is a referral hospital in the Aceh Province. It tasks and function are to provide complete affordable health care by all levels of society in Aceh. Hospital employees are expected to have high motivation in providing the best health services and functions. Employee’s work motivation is influenced by hospital directors leadership style used in performing his duties as a top manager. This study aims to examine the relationship between directors leadership style and employees work motivation. Subject for this study is 90 employees of Hospital ‘X’. The method of data collection used in this study is the scale of leadership styles and motivation. Statistical analysis of the data uses Pearson Correlation and Regression techniques, with a regression coefficient (R),=0.820 and significance p=0,000 (p<0.001). The result of this study showed that there was a significant relationship between the leadership style and employee’s motivation. Leadership style as a whole accounted for 66.2% of the work motivation. Democratic Leadership Style contributes positively to the motivation to work at 35.1%, while the authoritarian leadership style and freestyle leadership are contributed negatively to the work motivation respectively 52.8% and 19.4%. Therefore, democratic leadership style will increase the motivation to work while the authoritarian leadership style and freestyle leadership will actually decrease employee motivation.
Kata kunci :Leadership Style, Work Motivation, employee of Hospital ‘X’
74
PENDAHULUAN
Dimas (2008), menyebutkan
bahwa sumber daya manusia (SDM)
merupakan kunci utama dari sekian
banyak sumber potensi yang mendukung
keberhasilan organisasi. SDM yang
dimaksud adalah para pegawai atau
pegawai yang memiliki dorongan yang
kuat untuk maju secara lebih unggul
daripada yang lain dengan
mengungkapkan prinsip kejujuran, tidak
cepat merasa puas, inovatif dan tanpa
frustasi yang berlebihan dalam
menghadapi aneka perubahan situasi
yang berdinamika serta daya
adaptabilitas yang tinggi. Darmawan
(2008) mengatakan bahwa efektifitas
organisasi akan tergantung pada
keinginan bekerja para anggota yang
terikat tugas kelompok, baik pada saat
memecahkan masalah maupun pada saat
kerja sebagai kelompok, untuk itu, para
pegawai perlu diberi dorongan dan
semangat agar tugas-tugasnya dapat
berjalan dengan lancar sesuai dengan apa
yang diharapkan.
Motivasi kerja seseorang tidak
dapat dilihat dari satu dimensi yaitu
kebutuhan fisik saja. Teori modern
menjelaskan bahwa motivasi kerja
seseorang bukanlah karena dorongan
ekonomi saja, namun juga ada faktor
lainnya (Munandar, 2001). Maslow
(dalam Munandar, 2001) mengemukakan
bahwa kondisi manusia yang berada
dalam kondisi mengejar yang
berkesinambungan artinya, jika satu
kebutuhan dipenuhi, maka akan langsung
diganti dengan kebutuhan yang lain.
Untuk memenuhi kebutuhan yang ada,
individu memerlukan dorongan yang
disebut dengan motivasi (Danim, 2004).
Dalam organisasi, motivasi kerja pegawai
sangat berpengaruh terhadap instansi
tempat pegawai bekerja. Motivasi yang
tinggi akan berdampak kepada
peningkatan produktivitas kerja, tingkat
absensi akan menurun, perpindahan
pegawai(turn over) dapat berkurang dan
tuntutan yang sering kali terjadi dapat
diminimalisir. Pegawai dengan motivasi
yang tinggi akan bersemangat dalam
menjalankan tugasnya dan tidak akan
merasa terbebani dengan kewajibannya
dalam menyelesaikan pekerjaan yang
diberikan. Sebaliknya, pegawaidengan
motivasi rendah akan menjadi malas dan
uring-uringan dalam bekerja yang akan
berakibat kepada terhambatnya
pencapaian tujuan instansi.
Berdasarkan hasil pengamatan
yang peneliti lakukan di RS X terdapat
beberapa pegawai yang datang tidak
sesuai dengan jam kerja yang berlaku.
75
Selain itu, peneliti juga mendapati
beberapa pegawai yang duduk di kantin
saat jam kerja berlangsung. Data tersebut
menunjukkan indikasi terjadinyatindak
ketidakdisiplinan pegawai dalam bekerja.
Hasibuan (2006) mengatakan
bahwa motivasi seorang pegawai sangat
bergantung bagaimana cara pemimpin
mendorong gairah kerja pegawai dalam
mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu,
gaya kepemimpinan yang diterapkan oleh
seorang pemimpin akan sangat
menentukan motivasi kerja para
bawahannya. Semueil (2011) menyatakan
bahwa kepemimpinan merupakan
tindakan mempengaruhi, mengajak,
memotivasi individu lain dan
mengkoordinasikan tim, serta menjaga
keutuhan kerja sama anggota organisasi
untuk menuju pada perubahan dan
pengembangan organisasi yang
profesional dalam mencapai tujuan.
Prabu (2005) menyatakan bahwa
seorang pimpinan memainkan peranan
yang sangat penting dalam kehidupan
organisasi dalam usaha pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Pimpinan, baik secara individual maupun
secara kelompok tidak mungkin bekerja
sendirian. Pimpinan membutuhkan
sekolompok orang lain yang dikenal
sebagai bawahan, yang digerakkan
sedemikian rupa sehingga para bawahan
memberikan pengabdian dan
sumbangsihnya kepada organisasi.
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka
pemberian motivasi dikatakan penting
karena pimpinan atau manajer itu tidak
sama dengan pegawai karena seorang
pemimpin tidak dapat melakukan
pekerjaan sendiri. Keberhasilan organisasi
sangat ditentukan oleh hasil kerja yang
dilakukan orang lain (bawahan).
Juniarti (2010) menyebutkan
bahwa setiap gaya kepemimpinan
masing-masing akan memiliki efek bagi
keberlangsungan kerja pegawainya. Gaya
kepemimpinan otoriter akan
menimbulkan dampak keterpaksaan
dalam setiap kegiatan yang akan
dilakukan oleh pegawai. Akibatnya,
semakin dikekang atausemakin dibatasi
aktivitasnya, maka pegawai akan semakin
berani melawan dan bisa mengakibatkan
hilangnya semangat untuk bekerja karena
merasa terpaksa. Gaya kepemimpinan
bebas biasa membentuk pegawai untuk
dapat bertanggung jawab terhadap
kepercayaan pemimpin karena pada gaya
ini seorang pemimpin memberikan
kebijakan penuh kepada bawahan tanpa
mau ikut campur dengan segala aktivitas
kerja bawahannya. Kelemahan dari gaya
ini adalah jika pegawai tidak memiliki
76
kesadaran akan tanggung jawab dan
amanah maka kepercayaan yang telah
diberikan menjadi sia-sia bahkan bisa
mengakibatkan pegawai lepas kontrol
karena adanya keacuhan dari pemimpin.
Gaya kepemimpinan demokratis
cenderung membuat pegawai merasa
dihargai dan diperhatikan dengan sering
meminta pendapat mereka atau bahkan
melibatkan mereka dalam menentukan
kebijakan sehingga akan membuat
semangat kerja pegawai semakin
meningkat.
Berdasarkan beberapa
permasalahan tentang gaya
kepemimpinan dan motivasi kerja
pegawai yang telah dipaparkan di atas,
maka peneliti tertarik untuk mengkaji
serta memahami lebih dalam
terkaithubungan gaya kepemimpinan
secara umum dengan motivasi kerja dan
bagaimana hubungan dari masing-masing
gaya kepemimpinan (otoriter, demokratis
dan bebas) dengan motivasi kerja
pegawai RS X Banda Aceh.
TINJAUAN TEORI
Gaya Kepemimpinan
White dan Lippitt (dalam Winardi,
2000) menyebutkan bahwa gaya
kepemimpinan adalah suatu gaya yang
digunakan oleh pemimpin untuk
mempengaruhi bawahan.Nawawi (2003)
mendefinisikan gaya kepemimpinan
sebagaiperilaku atau cara yang dipilih dan
dipergunakan pemimpin dalam
mempengaruhi pikiran, perasaan, sikap
dan perilaku para anggota organisasi atau
bawahannya dan Fleshman (dalam
Aditama, 2002) menyebutkan bahwa gaya
kepemimpinan adalah usaha
mempengaruhi orang atau perseorangan
(interpersonal), lewat proses komunikasi,
untuk mencapai suatu atau beberapa
tujuan.
Adapun aspek-aspek gaya
kepemimpinan menurut White & Lippitt
(dalam Winardi, 2000) yaitu (a) gaya
kepemimpinan otoriter, yaitugaya
kepemimpinan yang bersifat terpusat
pada pemimpin (sentralistik) sebagai satu-
satunya penentu, penguasa dan
pengendali anggota organisasi dan
kegiatannya dalam usaha mencapai tujuan
organisasi, (b) gaya kepemimpinan
demokratis, yaituGaya kepemimpinan
yang menempatkan manusia sebagai
faktor terpenting dalam kepemimpinan
yang dilakukan berdasarkan dan
mengutamakan orientasi pada hubungan
dengan anggota organisasi, (c) gaya
kepemimpinan bebas, yaituGaya
kepemimpinan yang berpandangan bahwa
anggota organisasinya mampu mandiri
77
dalam membuat keputusan atau mampu
mengurus dirinya masing-masing, dengan
sesedikit mungkin pengarahan atau
pemberian petunjuk dalam merealisasikan
tugas pokok masing-masing sebagai
bagian dari tugas pokok organisasi.
Motivasi kerja
Maslow (dalam Munandar, 2001)
mengemukakan bahwa kondisi manusia
berada dalam kondisi mengejar yang
berkesinambungan. Jika satu kebutuhan
dipenuhi, langsung kebutuhan tersebut
diganti oleh kebutuhan lain. Menurut
Robbin dan Judge (2003), motivasi kerja
adalah kesediaan untuk mengeluarkan
tingkat upaya yang tinggi untuk tujuan
organisasi, yang dikondisikan oleh
kemampuan upaya itu dalam memenuhi
beberapa kebutuhan individual.
Selanjutnya Munandar (2001)
menyebutkan bahwa motivasi kerja
adalah suatu proses kebutuhan-
kebutuhan mendorong seseorang untuk
melakukan serangkaian pekerjaan yang
mengarah kepada tercapainya tujuan
tertentu.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
motivasi kerjamenurut Herzberg (dalam
Munandar, 2001) dibagi menjadi dua
golongan besar yaitu faktor intrinsik dan
faktor ekstrinsik. Faktor intrinsik terdiri
dari (a) tanggung jawab, (b) kemajuan, (c)
pekerjaan itu sendiri, (d) pencapaian dan
(e) pengakuan. Sedangkan faktor
ekstrinsik terdiri dari (a) administrasi dan
kebijakan perusahaan, (b) pengawasan,
(c) gaji, (d) hubungan interpersonal dan
(e) kondisi kerja. Selain Herzberg, teori
motivasi lain yang juga sering digunakan
dalam penelitian adalah teori motivasi
Maslow yang membagi motivasi kedalam
5 aspek yaitu (a) Fisiologis, (b) keamanan,
(c) sosial, (d) penghargaan dan (e)
aktualisasi diri.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan
metode penelitian kuantitatif dengan
jenis penelitian korelasional. Metode
pengambilan sampel yang digunakan
dalam penelitian ini adalah simple
random sampling. Penentuan jumlah
sampel merujuk pada tabel nomogram
Harry King (Sugiono, 2011) dengan taraf
kepercayaan 95%, dari total populasi
sebanyak 127 orang karyawan
administrasi, maka diperoleh jumlah
sampel penelitian yang akan digunakan
adalah sebanyak 90 orang pegawai RS ‘X’
yang terdiri dari 54 orang laki-laki dan 36
orang perempuan. Pemilihan karyawan di
bagian administrasi dengan asumsi
bahwa karyawan di bagian tersebut lebih
78
sering berinteraksi secara langsung
dengan pimpinan (direktur) rumah sakit.
Teknik Pengumpulan Data
Skala yang digunkaan dalam
penelitian ini terdiri dari dua skala yang
dibuat sendiri oleh peneliti. Skala gaya
kepemimpinan disusun berdasarkan
aspek-aspek gaya kepemimpinan dari
White & Lippitt(dalam Winardi, 2000) dan
skala motivasi kerja yang disusun
berdasarkan aspek-aspek motivasi kerja
dari Maslow (dalam Munandar, 2001).
Setiap pernyataan dalam skala
motivasi kerja terdiri dari pernyataan
yang bersifat favorable dan unfavorable.
Setiap pernyataan pada skala motivasi
kerja memiliki empat alternatif jawaban
yaitu Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak
Setuju (TS), dan Sangat Tidak Setuju (STS).
Skala gaya kepemimpinan tidak
memiliki item unfavorabledikarenakan
bentuknya yang merupakan tipologi
sehingga tidak ada aitem yang bernilai
negatif. Masing-masing aspek dalam skala
gaya kepemimpinan terdiri dari 16 butir
aitem sehingga memiliki total 48 item
untuk 3 gaya kepemimpinan. Sedangkan
skala motivasi kerja terdiri 8 aitem untuk
setiap aspeknya dan memiliki total 40
aitem dengan rincian 20 aitem
unfavorabledan 20 aitem favorable.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang
digunakan untuk menguji hipotesis dalam
penelitian ini adalah teknik korelasi
Pearson Product Moment dan regresi
dengan metode entered. Keseluruhan
analisis data dilakukan dengan
menggunakan SPSS 16.0 for Windows.
HASIL PENELITIAN
Deskripsi Data
Untuk mendapatkan gambaran
umum mengenai data penelitian secara
singkat dapat dilihat pada tabel 3,
terdapat perbandingan antara data
hipotetik (yang mungkin terjadi) dan data
empirik (berdasarkan kenyataan di
lapangan).
79
Tabel 1. Data Demografi Sampel Penelitian
Deskripsi Sampel Kategori Jumlah Persentase
(%) Total
Jenis Kelamin Laki-laki 54 60 100%
Perempuan 36 40 Lama Kerja < 10 tahun 50 56 100%
➢ 10 tahun 40 44 Usia 20-29 16 18 100%
30-39 35 38 40-49 ➢ 50
32 7
36 8
Tabel 2. Deskripsi Data Penelitian
Variabel Data Hipotetik Data Empirik
Xmaks Xmin Mean SD Xmaks Xmin Mean SD
Gaya Kepemimpinan (GK) 140 35 87.5 17.5 117 66 90.73 13.33
GK Otoriter 56 14 35 7 49 19 34.39 7.54 GK Demokratis 32 8 20 4 31 13 23.44 3.39 GK Bebas 52 13 32.5 6.5 46 19 32.90 6.68 Motivasi Kerja 124 31 77.5 15.5 124 60 81.81 11.91
Deskripsi hasil data penelitian
tersebut dapat dijadikan batasan dalam
pengkategorian subjek yang terdiri dari
tiga kategori yaitu tinggi, sedang dan
rendah. Tabel normatif untuk
pengkategorian subjek dalam penelitian
ini berdasarkan data empirik pada dua
variabel, yaitu variabel gaya
kepemimpinan dan variabel motivasi
kerja. Tabel normatif kategorisasi dapat
dilihat sebagai berikut:
Tabel 3. Kategorisasi Subjek Penelitian
Kategori Rumus Kategori
Rendah X < (M -1,0SD) Sedang (M -1,0SD) ≤ X <(M +1,0SD) Tinggi (M + 1,0SD) ≤ X
80
Berpedoman pada norma yang telah
disusun tersebut, peneliti melakukan
kategorisasi skor tiap-tiap subjek
penelitian pada masing-masing variable
penelitian. Hasil kategorisasi tersebut
dapat dilihat pada tabel 5, 6, 7 dan 8 di
bawah ini:
Tabel 4. Kategorisasi Gaya Kepemimpinan Otoriter Pada Subjek Penelitian
Kategori Interval Frekuensi Persentase
Rendah X < (34-7) 18 20%
Sedang (34-7) ≤ X <(34+7) 53 58.89%
Tinggi (34+7) ≤ X 19 21.11%
Jumlah 90 100%
Berdasarkan tabel diatas dari 90 subjek
diketahui sebanyak 18 orang (20%)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
otoriter di RS X rendah, 53 orang
(58,89%) menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan otoriter berada pada
kategori sedang, dan 19 orang (21,11%)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
otoriter berada pada kategori tinggi.
Tabel 5. Kategorisasi Gaya Kepemimpinan Demokratis Pada Subjek Penelitian
Kategori Interval Frekuensi Persentase
Rendah X < (23-3) 11 12.22%
Sedang (23-3) ≤ X <(23+3) 55 61.11%
Tinggi (23+3) ≤ X 24 26.67%
Jumlah 90 100%
Berdasarkan tabel diatas dari 90 subjek
diketahui sebanyak 11 orang (12,22%)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
demokratis di RS X rendah, 55 orang
(61,11%) menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan demokratis berada pada
kategori sedang, dan 24 orang (26,67%)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
demokratis berada pada kategori tinggi.
81
Tabel 6. Kategorisasi Gaya Kepemimpinan Bebas Pada Subjek Penelitian
Kategori Interval Frekuensi Persentase
Rendah X < (33-7) 16 17.78%
Sedang (33-7) ≤ X <(33+7) 59 65.55%
Tinggi (33+7) ≤ X 15 16.67%
Jumlah 90 100%
Berdasarkan tabel diatas, dari 90 subjek
diketahui sebanyak 16 orang (17,78%)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
bebas di RS X rendah, 59 orang (65,55%)
menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
bebas berada pada kategori sedang, dan
15 orang (16,67%) menyatakan bahwa
gaya kepemimpinan bebas berada pada
kategori tinggi.
Tabel 7. Kategorisasi Motivasi Kerja Pada Subjek Penelitian
Kategori Interval Frekuensi Persentase
Rendah X < (82-12) 7 7.78%
Sedang (82-12) ≤ X <(82+12) 69 76.67%
Tinggi (82+12) ≤ X 14 15.55%
Jumlah 90 100%
Berdasarkan tabel diatas dari 90
subjek diketahui sebanyak 7 orang
(7,78%) dengan skor pada kategori
rendah, 69 orang (76,67%) dengan skor
pada kategori sedang, dan 14 orang
(15,55%) dengan skor pada kategori
tinggi.
Sebelum dilakukan uji hipotesis,
terlebih dahulu dilakukan uji normalitas
dan linearitas data yang merupakan syarat
yang harus dipenuhi sebelum melakukan
uji hipotesis. Hasil uji normalitas dari 90
sampel penelitian menunjukkan bahwa
variabel gaya kepemimpinan memiliki
sebaran yang normal yaitu K-S Z = 0.768,
dengan p= 0.597 (p > 0.05), sedangkan
variabel motivasi kerja memiliki sebaran
yang tidak normal yang ditunjukkan oleh
nilai K-S Z = 1.944, dengan p=0.001 (p <
0.05). Hasil uji linearitas melalui ANOVA
test of linearity menunjukkan nilai
signifikansi pada deviation from linearity
sebesar F= 71.934 dan nilai signifikansi
deviation from linearity p= 0.000 (p <
0.05), maka dapat disimpulkan bahwa
antara variabel gaya kepemimpinan
dengan motivasi kerja memiliki hubungan
yang linier.
82
DISKUSI
Hasil pengujian hipotesis mayor
menunjukkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara gaya
kepemimpinan dengan motivasi kerja
yang ditunjukkan (R)=0.820 dan p=0.000,
dinyatakan signifikan karena p<0.01. Dari
perhitungan diperoleh hasil bahwa gaya
kepemimpinan memberikan pengaruh
sebesar 66,2% terhadap motivasi kerja
pegawai. Sumbangan tersebut termasuk
dalam kategori cukup besar. Ada 33,8 %
faktor lain yang juga mempengaruhi
motivasi kerja yang tidak terukur dalam
peneltian ini, seperti gaji, tanggung
jawab, pencapaian, kebijakan, kondisi
kerja, dan lainnya. Sedangkan untuk
analisa pada hipotesis minor
menunjukkan hasil bahwa gaya
kepemimpinan otoriter memiliki
sumbangan yang paling besar terhadap
motivasi kerja pegawai yaitu sebesar
52,8%. Gaya kepemimpinan otoriter
memiliki hubungan negative dengan
motivasi kerja, artinya semakin otoriter
gaya kepemimpinan yang diterapkan
maka akan semakin rendah motivasi
pegawai di RS X. Hal yang sama juga
terjadi pada gaya kepemimpinan bebas
yang memiliki korelasi sebesar 19,4%.
Artinya semakin besar kebebasan yang
diberikan oleh seorang pemimpin (nilai
kepemimpinan bebasnya semakin tinggi)
maka akan semakin rendah motivasi kerja
pegawainya. Sedangkan untuk gaya
kepemimpinan demokratis memiliki
korelasi positif sebesar 35,1%. Artinya
semakin tinggi (demokratis) seorang
pemimpin maka akan semakin tinggi
motivasi kerja pegawai di RS X.
Hasil penelitian ini menguatkan
penelitian sebelumnya yang dilakukan
oleh Semueil (2011), yang juga
menyatakan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan antara gaya
kepemimpinan dengan motivasi kerja,
dalam hal ini gaya kepemimpinan
memberikan kontribusi yang cukup kuat
terhadap motivasi kerja. Gaya
kepemimpinan mempunyai hubungan
yang sangat erat dengan motivasi kerja,
Karena keberhasilan seorang atasan
dalam menggerakkan orang lain untuk
mencapai suatu tujuan, tergantung pada
bagaimana atasan tersebut menciptakan
motivasi didalam diri setiap bawahannya
(Rivai, 2003).
Danim (2010) menyebutkan bahwa
pemimpin yang hebat adalah pemimpin
yang memiliki motivasi dan memotivasi
dengan kuat. Herzberg (dalam Danim,
2010) menyatakan bahwa kepemimpinan
83
harus memainkan peran dalam rangka
menyediakan visi yang menarik,
kemampuan mempengaruhi dan
memimpin orang-orang menuju
pencapaian tujuan-tujuan tertentu,
memotivasi, menginspirasi dan
mendukung orang-orang kearah tujuan
organisasi.
Berdasarkan hasil penelitian,
motivasi kerja para pegawai RS X
kebanyakan berada pada kategori
sedang, hal ini terlihat dari persentase
yang dihasilkan sebesar 76,67%,
sedangkan pegawai yang memiliki
motivasi kerja tinggi mencapai 15,55%
dari jumlah sampel dan sebesar 7,78%
pegawai memiliki motivasi kerja rendah.
Menurut asumsi peneliti hal ini terjadi
karena adanya pergantian pimpinan yang
baru pada RS X yang dilakukan oleh
pemerintah daerah.
Hasil kategorisasi aspek gaya
kepemimpinan didapatkan bahwa rata-
rata dari ketiga aspek gaya
kepemimpinan berada pada kategori
sedang. Hal ini terlihat pada lebih dari
50% subjek memilih kategori sedang
dalam ketiga aspek gaya kepemimpinan
tersebut. Hasil ini kemungkinan
disebabkan oleh ketidakpahaman subyek
penelitian tentang gaya kepemimpinan.
Pada gaya kepemimpinan otoriter hanya
21,11% dari subjek yang mengatakan
tinggi, sedangkan pada gaya
kepemimpinan demokratis sebesar
26,67% menyatakan tinggi dan pada gaya
kepemimpinan bebas sebesar 16,67%
menyatakan tinggi. Artinya bahwa gaya
kepemimpinan di RS X tidak monoton dan
terpaku pada satu gaya saja, namun hasil
penelitian menunjukkan bahwa
pemimpin pada RS X menggunakan ketiga
gaya kepemimpinan dalam memimpin
instansi tersebut.
Selain itu, temuan di lapangan
menunjukkan bahwa secara umum,
motivasi kerja tidak terlalu tergantung
pada jenis kelamin maupun usia para
pegawai dengan kata lain tidak terdapat
perbedaan motivasi kerja pada jenis
kelamin maupun usia para pegawai. Hal
ini terlihat dari jumlah sampel pada
penelitian ini, rata-rata motivasi kerja
pegawai berada pada kategori sedang
yaitu sebanyak 69 orang atau sebesar
76,67%. Hal ini senada dengan penelitian
yang dilakukan oleh Yusuf (2006) yang
menyatakan bahwa faktor-faktor seperti
usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan
dan masa kerja tidak memiliki hubungan
yang nyata dengan motivasi kerja
pegawai. Bachtiar dan Cahyaningrum
(2006) juga menyatakan hal yang sama
bahwa motivasi kerja seorang pegawai
84
tidak dapat diukur melalui masa kerjanya.
Seorang pegawai memiliki motivasi kerja
yang tinggi bukan karena masa kerja yang
lama, melainkan karena faktor-faktor lain
yang mendukung motivasi kerja.
Penelitian ini memiliki beberapa
keterbatasan dalam pelaksanaannya
antara lain partisipan penelitian hanya
berasal dari satu bagian saja dari
keseluruhan rumah sakit sehingga
keterwakilan sampel belum terpenuhi,
hal ini dilakukan karena faktor efisiensi
waktu dan keterbatasan tenaga dan
berakibat pada keterbatasan dinamika
penelitian yang dapat diungkapkan. Skala
yang digunakan merupakan buatan
peneliti sendiri sehingga memiliki
keterbatasan dari segi pengetahuan
maupun pemahaman akan teori yang
digunakan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa terdapat hubungan yang positif
dan signifikan antara gaya kepemimpinan
dengan motivasi kerja pegawaiRS X
dengan (R)=0.820 dan p=0.000 (p<0.01).
Berdasarkan hasil analisis menunjukkan
bahwa sumbangan gaya kepemimpinan
dengan motivasi kerja sebesar R-
Square=0.662 atau 66,2%, sedangkan
33,8% lainnya dapat disebabkan oleh
variabel-variabel lain selain gaya
kepemimpinan yang tidak terlibat dalam
penelitian ini.
Penelitian ini juga bertujuan untuk
melihat aspek gaya kepemimpinan mana
yang memberikan kontribusi terhadap
meningkatnya motivasi kerja pegawai RS
X. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
gaya kepemimpinan demokratis
merupakan gaya kepemimpinan yang
memberikan kontribusi terhadap
meningkatnya motivasi kerja pegawai RS
X, sedangkan gaya kepemimpinan otoriter
dan gaya kepemimpinan bebas akan
memberikan kontribusi yang justru akan
menurunkan motivasi kerja para pegawai
RS X.
Saran peneliti bagi pihak rumah
sakit untuk dapat menerapkan gaya
kepemimpinan demokratis dalam
menjalankan kepemimpinan karena gaya
kepemimpinan demokratis dapat
meningkatkan motivasi kerja para
pegawai. Saran bagi peneliti selanjutnya
untuk dapat memertimbangkan variabel
lainnya yang memengaruhi motivasi kerja
seperti gaji, tanggung jawab dan
hubungan interpersonal. Selain itu
peneliti juga menyarankan kepada
peneliti lain untuk mempertimbangkan
karagaman/karakteristik sampel yang
akan digunakan agar variasi hasil
85
penelitian dapat lebih beragam dan
memberikan masukan yang lebih
menyeluruh.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, T. Y. (2002). Manajemen administrasi rumah sakit. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Andi. (2004). 10 Model penelitian dan
pengolahannya dengan spss 10.01. Semarang : Wahana Komputer.
As’ad, M. (2003). Psikologi industri.
Yogjakarta: Liberty Yogjakarta Bachtiar, M., &Cahyaningrum, D.A. (2006).
Perbedaan motivasi kerja pada pegawai kontarak ditinjau masa kerja. Naskah Publikasi. UGM, Yogyakarta.
Danim, S. (2010). Kepemimpinan
pendidikan, kepemimpinan jenius,etika, perilaku motivasional dan mitos. Jakarta: Alfabeta
Darmawan, Z. (2008). Hubungan
transformational leadership dengan semangat kerja dan moralitas pegawai. Skripsi. Unisba, Bandung.
Dimas, A. (2008). Hubungan gaya
kepemimpinan partisipatif dengan motivasi kerja pegawai pada area pelayanan dan jaringan PT. PLN distribusi Banten. Skripsi. Unisba, Bandung.
Hasibuan, M.S.P. (2006). Manajemen
sumber daya manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Munandar. (2001). Psikologi industri dan
organisasi. Jakarta: UI-Press Nawawi, H. (2003). Kepemimpinan
mengefektifkan organisasi.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Prabu, A. (2005). Pengaruh motivasi terhadap
kepuasan kerja pegawai Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional kabupaten Muara Enim. Jurnal Manajemen & Bisnis Sriwijaya, 3(6).
Rivai, V. (2003). Kepemimpinan dan perilaku
organisasi.Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Robbins, Stephen P & Timothy A. Judge
(2003). Perilaku organisasi, PT. Salemba Empat, Jakarta.
Semueil, W. (2011). Hubungan gaya kepemimpinan kepala sekolah dengan motivasi kerja guru SMK Negeri Manado. Jurnal Pendidikan Teknologi dan Kejuruan, 2(2).
Winardi. (2000). Kepemimpinan dalam
manajemen. Jakarta: Rineka Cipta. Yusuf, R. R.C. (2006). Analisis faktor-faktor
yang berhubungan dengan motivasi kerja pegawai(studi kasus divisi produksi bagian spinning, weaving, yarn dyeing dan dyeing finishing PT Unitex Tbk Bogor). Skripsi. Pertanian Bogor, Bogor.