MAKALAH FARMAKOTERAPI TERAPAN
PENGGUNAAN AMIODARON PADA TERAPI ARITMIA
Oleh:
Kelompok 2
Dewi Septiyaningrum (051315153015)
Iski Weni Pebriarti (051315153020)
Ratna Nisa’ Anggraini (051315153022)
Nevada Darari Farahiyah (051315153028)
MAGISTER FAMASI KLINIK
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Amiodaron telah dikembangkan secara orisinil sebagai suatu agen antiangina
di Belgium (Labaz Inc.) pada tahun 1962. Kemudian kemampuan amiodaron
sebagai antiaritmia diobservasi. Pada awalnya investigasi penggunaan amiodaron
sebagai antiangina dan antiaritmia dapat diterima secara luas di Eropa dan
Amerika Selatan. Sediaan oral (200 mg/tablet) diterima baik oleh FDA (Food and
Drug Administration) untuk pengunaan di USA pada tahun 1985, dan
diindikasikan sebagai terapi untuk pasien dewasa dengan ventrikular aritmia di
mana terapi lain tidak efektif atau tidak ditoleransi dengan baik. Amiodaron
intravena disetujui oleh FDA pada tahun 1995 untuk indikasi yang sama
(Herendael and Dorian, 2010). Meskipun penggunaan amiodaron telah disetujui
oleh FDA sebagai salah satu terapi dari aritmia, amiodarone memiliki beberapa
macam efek simpang termasuk diantaranya adalah fotosensitivitas, hipotiroid dan
hipertiroid, toksisitas pulmoner, dan lain-lain (Vasallo and Trohman, 2007).
Ilmuan Argentina mulai menggunakan amiodaron untuk mengatasi aritmia
yang resisten sekitar tahun 1970. Meskipun indikasi amiodaron terbatas,
amiodaron adalah salah satu obat yang seringkali banyak diresepkan khusus
sebagai obat antiaritmia di Amerika Serikat (Vasallo and Trohman, 2007).
Amiodaron telah banyak digunakan dalam manajemen aritmia supraventrikular
dan ventrikular dan telah menjadi salah satu obat yang paling sering digunakan
sebagai obat antiaritmia dalam praktik klinik (Herendael and Dorian, 2010).
Amiodaron merupakan obat antiaritmia dengan beberapa aksi menguntungkan
yang cukup potensial dan telah ditunjukkan dalam beberapa penelitian skala kecil.
Tinjauan evaluasi dan terapi diperlukan pada pasien aritmia berdasarkan
penelitian-penelitian yang mengarah pada penggunaan amiodaron terhadap pasien
aritmia sehingga diperoleh informasi tentang kondisi farmakologi klinik pasien
dan kejadian tertentu yang dialami pasien yang menunjang penggunaan
amiodaron baik sebagai terapi pengobatan maupun pencegahan beberapa jenis
aritmia.
1.2 Tujuan
• Mengetahui definisi, penyebab dari aritmia beserta manajemen terapinya
secara umum.
• Mengetahui penggunaan amiodaron terhadap jenis aritmia dan kondisi
tertentu berdasarkan evidence base.
• Mengetahui indikasi, kontraindikasi, mekanisme dan farmakodinamik-
farmakokinetik dari amiodaron secara umum dan berdasarkan evidence
base.
• Mengetahui efek simpang amiodaron dan interaksinya dengan obat lain
atau makanan tertentu.
BAB 2
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI ARITMIA
2.1 Aritmia Jantung
2.1.1 Definisi Aritmia Jantung
Fungsi jantung dilatarbelakangi oleh kegiatan mekanik maupun listrik di
mana aktivitas mekanis jantung (kontraksi atrium dan ventrikel) terjadi sebagai
akibat dari aktivitas listrik jantung. Kontraksi miokard secara normal tidak bisa
terjadi tanpa adanya fungsi yang tepat dan normal dari sistem konduksi listrik
jantung. Depolarisasi listrik dari atrium menghasilkan kontraksi atrium, dan
depolarisasi ventrikel diikuti oleh kontraksi ventrikel. Malfungsi sistem konduksi
listrik jantung dapat mengakibatkan disfungsional kontraksi atrium dan/atau
ventrikel (Tisdale, 2008).
Aritmia adalah kelainan laju denyut jantung atau irama jantung yang
disebabkan oleh gangguan pembentukan (abnormal automaticity, triggered
automaticity) atau konduksi impuls (re-entry) atau kombinasinya (Aaronson &
Ward, 2007).
2.1.2 Penyebab Aritmia Jantung
Secara umum, aritmia jantung disebabkan oleh beberapa kondisi berikut:
a. Gangguan Induksi Impuls Otomatisasi Abnormal
Semua bagian dari sistem pengonduksi jantung menunjukkan
depolarisasi fase 4 spontan (otomatisasi), sehingga merupakan suatu
pacemaker laten atau potensial. Karena pacemaker pada SA node
memiliki denyut yang sangat tinggi (70-80 kali/menit) makan SA node
menyebabkan supresi yang berlebihan yang menghasilkan letupan
impuls pada AV node dan serabut Purkinje. Bila terjadi iskemia,
hipokalemia, pelepasan ketokolamin dapat mengakibatkan peningkatan
otomatisasi pada pacemaker laten ini sehingga menyebabkan dominasi
dari SA node yang mengakibatkan aritmia. Selain itu, sel – sel otot
jantung yang dalam keadaan normal bukan merupakan pacemaker laten,
bila potensial membran mengalami depolarisasi yang sesuai maka akan
terjadi pembentukan inisiasi impuls relatif dan aritmia (Aaronson &
Ward, 2007; Loscarzo, 2010).
Phases 0–4 are the rapid upstroke, early repolarization, plateau, late repolarization, and diastole respectively.A ventricular action potential with a schematic of the ionic currents flowing during the phases of the action potential. Potassium current (IK1) is the principal current during phase 4 and determines the resting membrane potential of the myocyte. Sodium current generates the upstroke of the action potential (phase 0), activation of Ito with inactivation of the Na current inscribes early repolarization (phase 1). The plateau phase (2) is generated by a balance of repolarizing potassium currents and depolarizingcalciumcurrent. Inactivation of the calcium current with persistent activation of potassium currents (predominantly Ikr and IKs) cause phase 3 repolarization.
Gambar 2.1.1 Ventrikular aksi potensiasi (Loscarzo, 2010)
b. Gangguan Induksi Impuls: Otomatisasi yang Terpicu (Triggered
Automaticity)
Triggered automaticity dapat terjadi karena after depolarization yaitu
osilasi pada potensial membran yang terjadi selama atau setelah
tepolarisasi. Osilasi yang cukup besar dan mencapai ambang batas
potensial aksi dapat menginisiasi denyut jantung, bila berulang akan
menyebabkan aritmia secara langsung atau memicu re-entry.
After depolarization terdapat dua macam yaitu early after
depolarization (EAD) dan delayed after depolarization (DAD). EAD
terjadi selama fase plateu terminal atau repolarisasi potensial aksi,
dimana EAD lebih mudah timbul pada serabut purkinje di miosit
ventrikel atau atrium. Sedangkan DAD terjadi setelah repolarisasi
komplit dan disebabkan oleh peningkatan CA2+ selular yang berlebihan
sehingga menyebabkan aritmia (Aaronson & Ward, 2007; Loscarzo,
2010).
Gambar 2.1.2 Skema EAD dan DAD (Loscarzo, 2010)
c. Konduksi Impuls: Re-entry
Re-entry terjadi bila impuls yang ditunda pada regio miokardium
mengeksitasi kembali area miokardium disekitarnya lebih dari satu kali.
Re-entry membutuhkan kondisi :
a) Harus terdapat siklus anatomis dimana impuls dapat bersirkulasi
mengelilinginya. Siklus ini dapat menggunakan konduksi paralel
antara 2 cabang serabut purkinje atau AV node dan konduksi
atrioventrikular aksesoris
b) Konduksi impuls pada suatu titik dalam sirkulasi harus cukup
lambat untuk meningkatkan regio di depan impuls pulih dari
keadaan refrakter (regio ini disebut excitable gap)
c) Sirkuit juga harus mencangkup suatu zona blokade satu arah, yaitu
konduksi diblokade pada satu arah sedangkan sisi lain tidak
diblokade.
(Aaronson & Ward, 2007; Loscarzo, 2010).
Gambar 2.1.3. Diagram mekanisme re-entry (Loscarzo, 2010)
2.1.3 Terapi Aritmia Jantung
2.1.3.1 Kalsifikasi Obat Antiaritmia
Klasifikasi obat antiaritmia berdasarkan Vaughan - Williams,
pertama kali dijelaskan pada tahun 1970 dan yang kemudian diaplikasikan
secara meluas. Klasifikasi ini didasarkan pada efek obat tertentu pada
kecepatan konduksi ventrikel, repolarisasi/refractoriness dan otomatisitas.
Obat kelas I, adalah agen yang memblokir saluran natrium, terutama bekerja
menghambat otomatisitas ventrikel dan memperlambat kecepatan konduksi.
Namun, karena perbedaan potensi obat untuk memperlambat kecepatan
konduksi, obat golongan I dibagi lagi menjadi kelas IA, IB, dan IC. Obat-
obatan kelas IC memiliki potensi terbesar untuk memperlambat konduksi
ventrikel, obat kelas IA memiliki potensi menengah, dan obat kelas IB
memiliki potensi terendah, namun efeknya minimal terhadap kecepatan
konduksi. kelas II merupakan obat adrenergik inhibitor reseptor β (β-
blocker), obat kelas III adalah obat yang menghambat repolarisasi ventrikel
atau memperpanjang refractoriness, dan obat-obatan kelas IV adalah
Calcium Channel Blockers (CCB), diltiazem dan verapamil.
Klasifikasi obat antiaritmia Vaughan - Williams (Tabel 2.3.1)
memperoleh kritik karena sejumlah alasan. Klasifikasi didasarkan pada efek
obat pada kondisi normal, bukan pada kondisi sakit, miokardium. Selain itu,
banyak dari obat tersebut dapat ditempatkan ke dalam lebih dari satu kelas.
Misalnya obat kelas IA, memperpanjang repolarisasi/refractoriness baik
melalui bahan aktif obat maupun bentuk metabolit aktif, dan karena itu juga
dapat ditempatkan di kelas III. Sotalol juga β-blocker, dan oleh karena itu
juga sesuai bila ditempatkan pada kelas II. Amiodarone menghambat
saluran sodium dan kalium, adalah inhibitor non-kompetitif reseptor β, dan
menghambat saluran kalsium, dan karenanya dapat ditempatkan ke beberapa
kelas. Namun, meskipun telah diupayakan untuk mengembangkan
klasifikasi obat berbasis mekanisme yang lebih baik dalam membedakan
tindakan obat antiaritmia, klasifikasi Vaughan–Williams terus digunakan
secara luas karena kesederhanaan dan fakta bahwa klasifikasi tersebut relatif
mudah diingat dan dipahami.
Tabel 2.3.1 Klasifikasi Vaughan Williams dari Obat Antiaritmia
Kelas
Obat Kecepatan Konduksi
Repolarisasi/ Refractoriness
Automatisitas
IA Quinidine ↓ ↑ ↓ProcainamideDisopyramide
IB Lidocaine 0/↓ ↓/0 ↓MexiletineTocainide
IC Flecainide ↓↓ 0 ↓MoricizinePropafenon
II β-blockersa 0 0 0AcebutololAtenololBetaxololBisoprololCarteololCarvedilolb
EsmololLabetalolMetoprololNadololPenbutololPindololPropanololTimolol
III Amiodaronec 0 ↑ 0Dofetilide
IbutilideSotalol
IV CCBa 0 0 0DiltiazemVerapamil
2.1.3.2 Terapi Obat Berdasarkan Jenis Aritmia
Secara umum, aritmia jantung diklasifikasikan ke dalam dua
kategori besar, yaitu supraventrikular (yang terjadi di atas ventrikel) dan
ventrikel (yang terjadi dalam ventrikel). Nama-nama dari jenis aritmia
tertentu umumnya terdiri dari dua kata. Kata pertama menunjukkan lokasi
kelainan elektropsikologi yang mengakibatkan aritmia (sinus, AV node,
atrium, atau ventrikel), dan kata kedua menjelaskan aritmia dalam batasan
denyut jantung lambat (bradikardi) atau cepat (takikardi), ataupu jenis
aritmia (blok, fibrilasi, atau flutter).
• Aritmia Supraventrikular
a. Sinus Bradycardia
Sinus bradikardi adalah aritmia yang berasal dari SA node, ditentukan
oleh kecepatan denyut kurang dari 60 denyut per menit (bpm).
Pengobatan sinus bradikardi hanya diberikan pada pasien yang
mengalami gejala. Jika pasien mendapat obat yang dapat menyebabkan
sinus bradikardi, obat harus dihentikan bila memungkinkan. Jika pasien
tetap sinus bradikardi setelah penghentian obat dan setelah lima kali
waktu paruh obat berlalu, maka obat biasanya dapat ditetapkan bukanlah
sebagai etiologi aritmia. Dalam keadaan tertentu, penghentian obat
mungkin tidak diinginkan, sekalipun mungkin menjadi penyebab sinus
bradikardia simptomatik. Sebagai contoh, jika pasien memiliki riwayat
infark miokard atau HF, penghentian dari β-blocker tidak diinginkan,
↑, peningakatan/perpanjangan; ↓, penurunan; 0/↓, tidak ada perubahan atau mungkin terjadi penurunan; ↓/0, penurunan atau tidak ada perubahan*Adenosine dan digoxin adalah agen yang digunakan untuk manajemen aritmia yang tidak sesuai dengan klasifikasi Vaugan WilliamsaMemperlambat konduksi, perpanjangan periode refraktori, menurunkan automatsisitas pada jaringan SA node dan AV node, tetapi tidak pada ventrikelbKombinasi α dan β blokercAmiodarone memperlambat kecepatan konduksi dan menghambat automatisasi
karena β–blocker telah terbukti mengurangi angka kematian dan
memperpanjang hidup pasien tersebut, dan manfaat dari terapi dengan β-
blocker lebih besar daripada risiko yang terkait dengan sinus bradikardi.
Pada pasien ini, alat pacu jantung permanen mungkin digunakan untuk
memungkinkan kondisi pasien dalam mempertahankan terapi dengan β-
blocker.
Pengobatan akut pada pasien dengan simptom terutama terdiri dari
administrasi obat antikolinergik atropin, yang dapat diberikan dalam
dosis 0,5 mg intravena (IV) setiap 3 sampai 5 menit. Total dosis
maksimum atropin yang dianjurkan adalah 3 mg, namun dosis total ini
tidak boleh diberikan kepada pasien dengan sinus bradikardi, melainkan
lebih ditujukan untuk pasien dengan cardiac arrest karena asystole,
sebagai inhibisi vagal lengkap total dosis 3 mg dapat meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard dan iskemia endapan atau takiaritmia pada
pasien dengan Coronary Artery Disease (CAD) sebagai kondisi yang
mendasarinya. Oleh karena itu, untuk pengelolaan sinus bradikardi, dosis
maksimum atropin harus sekitar 2 mg. Pada pasien dengan hemodinamik
tidak stabil atau sinus bradikardi simptomatik berat yang tidak responsif
terhadap atropin dan yang sering kambuh atau transvenous tidak tersedia
atau tidak efektif, epinefrin (2 sampai 10 mcg/menit, titrasi berdasarkan
respon) dan/atau dopamin (2 sampai 10 mcg/kg/menit) dapat diberikan.
Kedua obat tersebut merangsang reseptor α dan β adrenergik. Pada
pasien dengan sinus bradikardi yang disebabkan karena gangguan yang
mendasar (seperti kelainan elektrolit atau hipotiroidisme), manajemen
terapi dilakukan dengan cara memperbaiki gangguan tersebut.
b. AV Nodal Blockade
Insiden dari blokade AV node tidak diketahui. Blokade AV node mungkin
disebabkan oleh perubahan degeneratif di AV node. Pengobatan blokade
AV node tingkat/derajat pertama jarang diperlukan, karena gejala jarang
terjadi. Namun, EKG dari pasien dengan blokade AV node derajat
pertama harus dipantau untuk menilai kemungkinan perkembangan
blokade AV node derajat pertama menjadi derajat kedua ataupun ketiga.
Blokade AV node derajat ketiga membutuhkan perawatan, karena
bradikardi biasanya memunculkan gejala. Jika pasien mendapat obat
yang dapat menyebabkan sinus bradikardi, obat harus dihentikan bila
memungkinkan. Jika pasien tetap sinus bradikardi setelah penghentian
obat dan setelah lima kali waktu paruh obat berlalu, maka obat biasanya
dapat ditetapkan bukanlah sebagai etiologi aritmia. Dalam keadaan
tertentu, penghentian obat mungkin tidak diinginkan, sekalipun mungkin
menjadi penyebab sinus bradikardia simptomatik.. Sebagai contoh, jika
pasien memiliki riwayat infark miokard atau HF, penghentian dari β-
blocker tidak diinginkan, karena β–blocker telah terbukti mengurangi
angka kematian dan memperpanjang hidup pasien tersebut, dan manfaat
dari terapi dengan β-blocker lebih besar daripada risiko yang terkait
dengan sinus bradikardi. Pada pasien ini, alat pacu jantung permanen
mungkin digunakan untuk memungkinkan kondisi pasien dalam
mempertahankan terapi dengan β-blocker.
Pengobatan akut pada pasien yang mengalami blokade AV node dengan
derajat kedua atau ketiga terutama terdiri dari administrasi atropin, yang
dapat diberikan dalam dosis yang sama seperti yang direkomendasikan
untuk pengelolaan sinus bradikardi. Pada pasien dengan hemodinamik
tidak stabil atau blokade AV node dengan simptomatik berat yang tidak
responsif terhadap atropin dan yang sering kambuh atau transvenous
tidak tersedia atau tidak responsif, epinefrin (2 sampai 10 mcg/menit,
titrasi berdasarkan respon) dan/atau dopamin (2 sampai 10
mcg/kg/menit) dapat diberikan. Kedua obat tersebut merangsang reseptor
α dan β adrenergik. Pada pasien blokade AV node dengan derajat kedua
atau ketiga yang disebabkan karena gangguan yang mendasar (seperti
kelainan elektrolit atau hipotiroidisme), manajemen terapi dilakukan
dengan cara memperbaiki gangguan tersebut.
c. Atrial Fibrillation
Fibrilasi atrium (AF) adalah aritmia yang paling umum ditemui dalam
praktek klinis. Hal ini penting bagi dokter untuk memahami AF, karena
terkait dengan substansial morbiditas dan mortalitas serta karena
banyaknya strategi untuk terapi obat yang tersedia. Obat yang digunakan
untuk mengobati AF seringkali memiliki indeks terapeutik sempit dan
profil efek samping yang luas.
Atrial fibrilasi diklasifikasikan sebagai AF paroksismal, persistent, atau
permanen (Gambar 2.3.1). Pasien dengan AF paroksismal memiliki
episode yang dimulai dengan tiba-tiba dan secara spontan, beberapa
menit hingga jam, atau selama 7 hari (jarang), dan berakhir juga secara
tiba-tiba dan spontan. Beberapa pasien dengan AF paroksismal memiliki
episode yang tidak berhenti secara spontan namun memerlukan
intervensi, dan ini dikenal sebagai AF persisten. Kira-kira sepertiga dari
pasien AF selanjutnya akan mengalami perkembangan menjadi AF
permanen, pasien ini seringkali berada pada kondisi ritme sinus yang
tidak normal, cenderung selalu mengalami AF.
Atrial fibrilasi dikaitkan dengan substansial morbiditas dan mortalitas.
Atrial fibrilasi dikaitkan dengan risiko stroke iskemik sekitar 5% per
tahun. Risiko stroke meningkat dua sampai tujuh kali lipat pada pasien
dengan AF dibandingkan dengan pasien tanpa aritmia jenis ini. Atrial
fibrilasi merupakan penyebab kira-kira satu dari setiap kejadian enam
Deteksi Awal
Paroksismal 1,4
(berhenti spontan)Menetap/Persistent 2,4
(tidak berhenti spontan)
Permanen 3
Gambar 2.3.1 Klasifikasi fibrilasi atrial1 Kejadian umumnya kurang dari atau sama dengan 7 hari (kebanyakan kurang dari 24 jam)2 Kejadian yang biasanya lebih lama dari 7 hari3 Kegagalan kardioversi atau tidak dilakukan4 Baik AF paroksismal atau menetap dapat mengalami kekambuhan
stroke. Selama AF, kontraksi atrium tidak ada. Oleh sebab itu, karena
kontraksi atrium bertanggungjawab dalam mengisi ventrikel kiri sekitar
30%, darah yang tidak dikeluarkan dari atrium kiri ke ventrikel kiri akan
memenuhi atrium, khususnya di atrium kiri. Darah yang terkumpul
tersebut akan memfasilitasi pembentukan trombus yang selanjutnya dapat
beredar melalui katup mitral ke kiri ventrikel dan dapat dikeluarkan
selama kontraksi ventrikel. Trombus kemudian dapat bergerak melalui
arteri carotid menuju otak, mengakibatkan stroke iskemik. Fibrilasi
atrium menyebabkan perkembangan HF, akibatnya takikardi akan
menginduksi kardiomiopati. Fibrilasi atrium meningkatkan risiko
kematian sekitar dua kali lipat dibandingkan dengan pasien tanpa AF,
penyebab kematian cenderung stroke atau HF.
1. Hemodynamically Unstable AF
Pasien dengan AF yang tidak stabil secara hemodinamik, perlu
menggunakan Direct Current Cardioversion (DCC) untuk konversi
ke irama sinus dengan segera. Ketidakstabilan hemodinamik dapat
didefinisikan sebagai keberadaan setiap salah satu dari berikut: (1)
pasien telah mengalami perubahan status mental, (2) hipotensi
(tekanan darah sistolik kurang dari 90 mm Hg) atau tanda-tanda syok
yang lain, (3) ventricular rate lebih besar dari 150 bpm, dan/atau (4)
pasien mengalami nyeri dada yang dirasakan sebagai iskemia
miokard. Direct Current Cardioversion adalah proses pemberian
kejut listrik yang disinkronisasi ke dada. Tujuan DCC adalah untuk
mendepolarisasi secara bersamaan semua sel miokard,
mengakibatkan gangguan dan pemutusan beberapa sirkuit reentrant
dan pengembalian ritme sinus normal. Tingkat energi awal kejut
listrik adalah 100 Joule (J); jika tidak berhasil, upaya kardioversi
dapat dilakukan pada 200, 300, dan 360 J. Pengiriman kejut listrik
disinkronkan dengan EKG oleh mesin cardioverter, sehingga muatan
listrik tidak disampaikan pada bagian akhir gelombang T (yaitu,
periode refrakter relatif), untuk menghindari pengiriman impuls
listrik yang mungkin dikonduksi secara abnormal, yang dapat
membahayakan aritmia ventrikel.
2. Hemodynamically Stable AF
a) Ventricular Rate Control
Mengontrol ventricular rate dicapai dengan menghambat
proporsi impuls listrik yang dilakukan dari atrium ke ventrikel
melalui AV node. Oleh karena itu, obat-obatan yang efektif
untuk mengontrol ventricular rate adalah obat yang
menghambat konduksi impuls AV node: β-blocker, diltiazem,
verapamil, dan digoxin (Tabel 2.3.2). Amiodarone juga
menghambat konduksi AV node, namun tidak disukai untuk
mengontrol ventricular rate pada AF karena profil efek samping
obat yang tidak menguntungkan.
Pada pasien yang terdeteksi mengalami AF untuk kali pertama,
atau bagi pasien yang mengalami AF persisten, kontrol
ventricular rate awalnya biasa dicapai dengan menggunakan
obat intravena. Sebuah algoritma keputusan dalam memilih obat
tertentu untuk kontrol ventricular rate akut disajikan pada
Gambar 2.3.2. Secara umum, diltiazem IV adalah obat pilihan
untuk mengontrol ventricular rate pada pasien dengan fungsi
ventrikel kiri normal dan sering dapat dicapai dalam beberapa
menit. Pada pasien dengan HF karena disfungsi LV, digoxin
mungkin lebih disukai karena diltiazem dikaitkan dengan efek
inotropik negatif dan mungkin memperburuk HF. Namun, pada
pasien HF dengan gejala yang substansial sehingga tidak
diinginkan untuk menunggu efek digoksin yang baru terjadi
setelah 4 sampai 6 jam, diltiazem IV mungkin digunakan sampai
24 jam tanpa menginduksi terjadinya eksaserbasi HF pada
kebanyakan pasien.
Tabel 2.3.2 Obat untuk Mengendalikan Venticular Rate pada AF
Sebuah strategi keputusan untuk pengendalian laju jangka
Gambar 2.3.2 Algoritma Keputusan untuk Mengontrol Ventricular Rate Menggunakan Terapi Obat Intravena untuk Pasien yang Kali Pertama Mengalami AF atau AF Menetap dengan Hemodinamik Stabil*Diltiazem umumnya lebih dipilih daripada verapamil karena resiko yang lebih rendah terhadap hipotensi berat**Diltiazem intravena dapat digunakan dengan hati-hati hingga 24 jam pada pasien non DHF
panjang pada pasien dengan paroksismal atau permanen AF
disajikan pada Gambar 2.3.3. Secara umum, digoxin efektif
untuk pengendalian ventricular rate pada saat pasien istirahat,
tetapi kurang efektif bila dibandingkan CCB atau β–blocker
untuk mengontrol ventricular rate pada pasien yang menjalani
aktivitas fisik, termasuk aktivitas sehari-hari. Hal ini mungkin
karena aktivasi sistem saraf simpatik selama latihan dan
aktivitas fisik akan menutupi efek stimulasi dari digoxin
terhadap sistem saraf parasimpatis. Oleh karena itu, pada pasien
dengan fungsi LV yang normal, CCB atau β-blocker lebih
disukai untuk mengontrol ventricular rate jangka panjang.
Diltiazem mungkin lebih dipilih daripada verapamil pada pasien
yang lebih tua karena insiden dari konstipasi yang lebih rendah.
Namun, pada pasien dengan HF, diltiazem oral dan verapamil
merupakan kontraindikasi akibat aktivitas inotropik negatif yang
dimilikinya dan cenderung memperburuk HF. Oleh karena itu,
obat yang disarankan pada populasi ini adalah β-blocker atau
digoxin. Mayoritas pasien HF menerima terapi β-blocker oral
dengan tujuan untuk mencapai penurunan angka kematian. Pada
pasien dengan HF yang mengalami perkembangan cepat
menjadi AF saat menerima terapi β-blocker, terapi dengan
digoxin harus diberikan dengan tujuan untuk mengontrol
ventricular rate. Untungnya, penelitian telah menemukan
kombinasi digoxin dan β-blocker efektif untuk pengendalian
ventricular rate, dimungkin karena akibat dari penekanan efek
penghambatan dari sistem saraf simpatik pada efikasi dari
digoxin.
Gambar 2.3.3 Algoritma Keputusan untuk Mengendalikan Ventricular Rate Jangka Panjang dengan Terapi Obat Oral pada Pasien dengan AF paroksismal atau permanen.
b) Conversion to Sinus Rhytm
Conversion to Sinus Rhythm Termination dari AF pada pasien
yang stabil secara hemodinamik dapat dilakukan dengan
menggunakan terapi obat antiaritmia atau DCC elektif. Obat-
obatan yang dapat digunakan untuk konversi ke irama sinus
disajikan pada Tabel 2.3.3; agen ini memperlambat kecepatan
konduksi atrium dan/atau memperpanjang refrakter,
memfasilitasi gangguan sirkuit reentrant dan memulihkan irama
sinus. DCC umumnya lebih efektif daripada terapi obat yang
digunakan untuk konversi AF ke irama sinus. Namun, pasien
yang menjalani DCC elektif harus disedasi dan/atau dianestesi
untuk menghindari ketidaknyamanan yang terkait dengan
penghamtaran listrik 100-360 J ke dada. Oleh karena itu, penting
bahwa pasien dijadwalkan untuk menjalani DCC elektif
berpuasa dalam waktu kurang lebih 8 sampai 12 jam sebelum
pelaksanaan untuk menghindari aspirasi isi perut selama periode
sedasi/anestesi. Hal ini sering kali menjadi faktor pertimbangan
dalam membuat keputusan antara menggunakan DCC elektif
atau terapi obat untuk konversi AF ke sinus ritme. Jika pasien
datang dengan AF yang membutuhkan konversi ke sinus ritme,
dan pasien telah makan pada hari itu, maka metode
farmakologis harus digunakan untuk kardioversi pada itu hari,
atau DCC harus ditunda ke hari berikutnya untuk
memungkinkan untuk jangka waktu berpuasa sebelum prosedur.
Tabel 2.3.3 Obat yang Digunakan untuk Konversi AF Menuju Ritme Normal Sinus
Strategi keputusan konversi AF ke irama sinus ditampilkan
dalam Gambar 2.3.4. Strategi keputusan kardioversi sangat
tergantung pada durasi AF. Jika permulaan terjadinya AF dalam
waktu 48 jam, konversi ke irama sinus aman dan dapat dicoba
dengan DCC elektif atau terapi obat tertentu (Gambar 2.3.4).
Namun, jika durasi kejadian AF lebih lama dari 48 jam atau jika
ada ketidakpastian mengenai durasi kejadian, dua strategi untuk
konversi dapat dipertimbangkan. Karena data menunjukkan
bahwa thrombus dapat terbentuk di atrium kiri pada kejadian AF
dalam kurun waktu 48 jam atau lebih, konversi harus ditunda
kecuali diketahui bahwa trombus atrium tidak terbentuk. Pada
masa lalu, praktik secara umum terhadap pasien AF dengan
durasi lebih dari 48 jam adalah penggunaan obat antikoagulasi
dengan warfarin untuk mempertahankan International
Normalized Ratio (INR) selama 3 minggu, kemudian setelahnya
kardioversi akan dilakukan. Pasien menerima terapi
antikoagulan selama 4 minggu selama pemulihan ritme sinus.
Pada masa kini, daripada pasien AF menerima terpai
antikoagulan selama 3 minggu dirumahnya, kini telah menjadi
praktik standar di berbagai institusi untuk melakukan
Transesophageal Echocardiogram (TEE) untuk menentukan
apakah terjadi trombus pada atrium, jika trombus tidak terjadi,
DCC atau kardioversi farmakologis dapat dilakukan dalam
waktu 24 jam. Jika strategi ini dipilih, pasien harus menjalani
antikoagulasi dengan heparin IV unfractionated, dengan dosis
yang ditargetkan untuk mencapai Partial Thromboplastin Time
(PTT) 60 detik (kisaran 50 sampai 70 detik), atau terapi warfarin
(target INR 2,5; kisaran 2 sampai 3) selama beberapa hari
sebelum pelaksanaan TEE dan kardioversi. Jika tidak terbentuk
trombus selama TEE dan kardioversi berhasil, pasien harus
menjalani antikoagulan dengan warfarin (target INR 2,5; kisaran
2 sampai 3) setidaknya selama 4 minggu. Jika trombus terbentuk
selama TEE, maka kardioversi harus ditunda dan antikoagulan
harus dilanjutkan hingga batas waktu yang tidak ditetapkan.
TEE lain harus dilakukan sebelum selanjutnya dilakukan upaya
kardioversi.
Konversi AF ke ritme sinus biasanya dilakukan pada pasien
yang pertama kali mengalami AF atau pada pasien dengan
peristiwa AF persisten. Pada pasien dengan permanen AF,
konversi ke ritme sinus biasanya tidak dilakukan karena
kardioversi tidak mungkin berhasil, dan pada pasien tersebut
yang ritme sinusnya dapat dipulihkan, biasanya AF berulang
segera sesudahnya.
c) Maintenance of Sinus Rhytm/Reduction in the Frequency of
Episodes of Paroxysmal AF
Pada kebanyakan pasien, pemeliharaan permanen dari ritme
sinus yang menyertai kardioversi adalah tujuan yang tidak
realistis. Banyak di antara mereka, meski tidak sebagian besar,
pasien mengalami kekambuhan AF setelah kardioversi. Oleh
Gambar 2.3.4 Algoritma Keputusan untuk konversi AF ke dalam Ritme Normal Sinus
karena itu, tujuan yang lebih realistis bagi kebanyakan pasien
bukanlah pemeliharaan permanen irama sinus, tetapi lebih
kepada pengurangan frekuensi terjadinya peristiwa AF
paroksismal.
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak penelitian telah
dilakukan untuk menentukan apakah terapi obat untuk
pemeliharaan ritme sinus lebih disukai daripada terapi obat yang
digunakan untuk mengontrol ventricular rate. Dalam studi ini,
pasien secara acak menerima terapi berupa obat untuk
mengontrol ventricular rate atau obat untuk mengontrol ritme
(Tabel 2.3.4). Studi ini tidak menunjukkan perbedaan yang
signifikan dalam mortalitas pasien yang menerima terapi kontrol
ritme dibandingkan mereka yang menerima terapi kontrol
ventricular rate. Namun, pasien yang menerima terapi untuk
kontrol ritme lebih mungkin dirawat di rumah sakit dan lebih
mungkin mengalami efek samping terkait dengan penggunaan
terapi obat. Oleh karena itu, terapi obat untuk tujuan memelihara
ritme sinus atau mengurangi frekuensi episode AF harus dimulai
hanya pada pasien dengan AF paroksismal yang terus
mengalami gejala meskipun telah menerima terapi obat untuk
mengontrol ventricular rate dalam dosis maksimal yang masih
dapat ditoleransi.
Tabel 2.3.4 Obat yang Digunakan untuk Mempertahankan Ritme Sinus/ Mengurangi Frekuensi Kejadian AF
Strategi keputusan untuk terapi pemeliharaan ritme sinus
disajikan pada Gambar 2.3.5. Terapi obat untuk pemeliharaan
ritme sinus dan/atau pengurangan frekuensi kejadian AF
paroksismal tidak boleh dimulai pada pasien dengan kondisi
pemeriksaan tertentu yang mendasari penyebab AF, seperti
hipertiroidisme, melainkan, penyebab yang mendasari aritmia
harus diperbaiki.
d) Stroke Prevention
Semua pasien dengan AF paroksismal, persisten, atau permanen
harus menerima terapi untuk pencegahan stroke, kecuali
terdapat kontraindikasi berupa keberadaan kondisi yang
menyertai pasien. Sebuah strategi keputusan untuk pencegahan
stroke pada AF disajikan pada Gambar 2.3.6. Pada umumnya,
kebanyakan pasien memerlukan terapi dengan warfarin,
beberapa pasien tanpa faktor risiko tambahan untuk stroke,
penggunaan aspirin mungkin diterima. Bagi beberapa pasien,
pertimbangan serius dari manfaat warfarin bila diperbandingkan
dengan risiko perdarahan yang berhubungan dengan terapi
warfarin sangat diperlukan. Potensi risiko pendarahan yang
terkait dengan warfarin bisa melebihi manfaat pemakaian
warfarin pada pasien dengan INR pretreatment lebih besar dari
2,0, alkoholisme, antisipasi dari kurangnya kepatuhan pasien,
riwayat jatuh, atau saat terjadinya perdarahan diatesis. Dalam
situasi ini, risiko pendarahan pasien yang berhubungan dengan
Gambar 2.3.5 Algoritma Keputusan untuk Mempertahankan Ritme Sinus/Mengurangi Frekuensi Kejadian AF
warfarin dinilai parah, termasuk risiko perdarahan intraserebral,
yang mungkin dikaitkan dengan sebagaimana serius
konsekuensi yang terkait dengan stroke trombotik.
d. Paroxysmal Supraventricular Tachycardia
Paroxysmal supraventricular tachycardia (PSVT) adalah istilah
yang mengacu pada sejumlah aritmia yang terjadi di atas ventrikel dan
yang memerlukan jaringan atrium atau AV node untuk inisiasi dan
pemeliharaan. Yang paling umum dari aritmia ini dikenal sebagai
atrioventricular reciprocating tachycardia, di mana aritmia disebabkan
oleh sirkuit reentrant yang melibatkan AV node atau jaringan yang
berdekatan dengan AV node. Jenis lain dari PSVT yang termasuk relatif
jarang yaitu sindrom Wolff-Parkinson-White, yang disebabkan oleh
reentry melalui jalur tambahan (aksesori) ekstra-AV node. Pada
pembahasan ini, istilah PSVT akan mengacu AV nodal reentrant
tachycardia. Sebagaimana PSVT dapat dikaitkan dengan iskemia
miokard atau infark, maka hal ini sering terjadi pada individu yang relatif
muda dengan tidak ada riwayat penyakit jantung.
PSVT dengan hemodinamik tidak stabil harus ditangani segera
menggunakan DCC dengan tingkat energi awal 50 J, jika upaya DCC
tidak berhasil, kardioversi berturut-turut dilakukan pada 100, 200, 300,
Gambar 2.3.6 Algoritma Keputusan untuk Mencegah Stroke dalam AF*Faktor resiko sroke: prior transient ischemic attack atau stroke; HF; rheumatic heart valve disease; prosthetic heart valve.·¶Target INR=2,5 (rentang 2-3)
dan 360 J. Metode utama penanganan PSVT dengan hemodinamik stabil
adalah penghambatan konduksi impuls dan perpanjangan periode
refraktori dalam AV node. Sejak PSVT berkembang menyebar melalui
sirkuit reentrant melibatkan AV node, penghambatan konduksi dalam
nodus AV mengacaukan/mengganggu dan mengakhiri sirkuit reentrant.
Sebelum memulai terapi obat untuk penghentian PSVT dengan
hemodinamik stabil, beberapa metode nonfarmakologi sederhana yang
dikenal sebagai vagal maneuvers dapat dicoba. Vagal maneuvers
merangsang aktivitas sistem saraf parasimpatis, yang menghambat
konduksi AV node, memfasilitasi penghentian aritmia. Vagal maneuvers
yang paling sederhana dan diharapkan adalah batuk, yang merangsang
saraf vagus. Menginstruksikan pasien untuk batuk dua atau tiga kali
mungkin dapat berhasil mengakhiri PSVT tersebut. Vagal maneuvers lain
yang dapat dicoba adalah pijat sinus karotis, salah satu karotid sinus
terletak di leher di sekitar arteri karotis, pemijatan secara lembut
merangsang aktivitas vagal. Pijat sinus karotis tidak boleh dilakukan
pada pasien dengan riwayat stroke atau transient ischemic attack, atau
pada pasien yang bising karotid dapat terdengar pada auskultasi. Valsava
maneuver, di mana pasien berusaha keras melawan glotis yang tertutup,
juga dapat dicoba.
Jika usaha vagal maneuvers tidak berhasil, terapi obat intravena harus
dimulai. Obat-obatan yang dapat digunakan untuk mengatasi PSVT
dengan hemodinamik stabil disajikan pada Tabel 2.3.5.
Tabel 2.3.5 Obat-obatan yang Digunakan untuk Menghentikan Paroxysmal Superraventricular Tachycardia
Strategi keputusan farmakologis untuk mengatasi PSVT dengan
hemodinamik stabil disajikan pada Gambar 2.3.7. Adenosine adalah obat
farmakologis pilihan untuk penghentian PSVT dan berhasil pada 90%
sampai 95% pasien. Obat ini dikaitkan dengan efek samping termasuk
flushing, sinus bradikardi atau blokade AV node, dan bronkospasme pada
pasien yang rentan. Selain itu, adenosin dapat menyebabkan nyeri dada
yang menyerupai ketidaknyamanan pada iskemia miokard, tetapi
sebenarnya tidak terkait dengan iskemia. Waktu paruh dari adenosin
adalah sekitar 10 detik, berdasarkan reaksi deaminasi dalam darah. Oleh
karena itu, dalam sebagian besar pasien, efek samping berupa durasi
pendek. Jika terapi adenosin tidak berhasil untuk penghentian PSVT,
pilihan terapi berikutnya tergantung pada apakah pasien memiliki HF
dan/atau depresi Left Ventricular Ejection Fraction (LVEF).
• Ventrikular Aritmia
a. Ventricular Premature Depolarizations
Ventricular Premature Depolarizations (VPDs) adalah impuls
listrik ektopik yang berasal dari jaringan ventrikel, menghasilkan
pelebaran, kecacatan, dan komplek QRS menjadi tidak normal.
Ventricular Premature Depolarizations juga biasa dikenal dengan istilah
lain, Premature Ventricular Contractions (PVCs), Ventricular Premature
Beats (VPBs), dan Ventricular Premature Contractions (VPCs).
Ventricular Premature Depolarizations terjadi dengan frekuensi
yang variabel, tergantung pada kondisi komorbiditas. Prevalensi VPDs
adalah sekitar 33% dan 12% masing-masing pada pria dengan dan tanpa
CAD, sedangkan pada perempuan, prevalensi VPDs adalah 26% dan
12% masing-masing pada wanita dengan dan tanpa CAD. Ventricular
Premature Depolarizations terjadi lebih umum pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik, riwayat miokard infark, dan HF karena
disfungsi LV. Mungkin terjadi juga sebagai akibat dari hipoksia, anemia,
dan bedah jantung.
Ventricular Premature Depolarizations terjadi sebagai akibat dari
otomatisitas ventrikel abnormal, sebagai akibat dari peningkatan aktivitas
sistem saraf simpatik dan perubahan karakter elektropsikologi dari hati
selama miokard iskemia dan setelah miokard infark. Pada pasien dengan
Gambar 2.3.7 Algoritma Keputusan untuk Menghentikan Takikardi Supraventrikular Paroksismal
latar belakang CAD atau riwayat miokard infark, kejadian VPDs adalah
terkait dengan peningkatan risiko kematian akibat kematian jantung
mendadak.
VPDs asimtomatik sebaiknya tidak diobati dengan terapi obat
antiaritmia. Berdasarkan pengetahuan, VPDs (complex atau frequent)
meningkatkan risiko kematian jantung mendadak pada pasien dengan
riwayat infark miokard, Cardiac Arrhythmia Suppression Trials (CAST I
dan II) menguji hipotesis bahwa terapi farmakologi pada VPDs
asimtomatik dengan flecainide, encainide, atau moricizine pada pasien
dengan sejarah infark miokard akan menyebabkan pengurangan insiden
kematian. Hasil uji coba menunjukkan bahwa tidak hanya kerja dari agen
antiaritmia yang tidak mengurangi risiko kematian jantung mendadak,
namun pasien yang menerima terapi encainide atau flecainide mengalami
peningkatan risiko kematian yang signifikan bila dibandingkan dengan
mereka yang menerima plasebo. Selama penelitian dengan moricizine
diteruskan, ditemukan kecenderungan terhadap peningkatan insiden
kematian pada pasien yang memperoleh obat antiaritmia tersebut. Sebuah
studi meta-analisis berikutnya, obat kelas I lainnya dari Vaughan-
Williams, termasuk quinidine, procainamide, dan disopyramide,
menunjukkan bahwa pasien dengan VPDs komplek yang memperoleh
obat tersebut disertai infark miokard juga mengalami peningkatan risiko
kematian. Oleh karena itu, semua bukti yang tersedia menunjukkan
bahwa pasien dengan VPDs komplek yang disertai infark miokard tidak
mendapat manfaat dari terapi dengan agen antiaritmia dan kebanyakan
dari obat tersebut meningkatkan risiko kematian. Oleh karena itu, VPDs
tanpa gejala sebaiknya tidak diobati.
Pasien dengan gejala VPDs sebaiknya diterapi dengan β-blocker,
sebagaimana kebanyakan pasien dengan gejala VPDs yang memiliki latar
belakang CAD. Penggunaan β-blocker telah menunjukkan penurunan
kematian dari populasi dan telah ditunjuk sebagai supresi VPD yang
efektif.
b. Ventricular Tachycardia
Ventricular tachycardia adalah serangkaian tiga atau lebih VPDs
secara berturut-turut pada tingkat yang lebih besar dari 100 bpm.
Ventricular tachycardia didefinisikan sebagai non-sustained (tak
berkelanjutan) jika berlangsung kurang dari 30 detik dan berakhir secara
spontan, VT berkelanjutan berlangsung lebih lama dari 30 detik dan tidak
berakhir secara spontan, melainkan memerlukan intervensi terapetik
untuk penghentian.
Ventricular tachycardia biasanya diawali oleh VPD yang terjadi
selama periode refrakter relatif, yang memprovokasi reentry dalam
jaringan ventrikel. VT berkelanjutan memerlukan intervensi segera,
karena jika tidak diobati, ritme dapat menyebabkan kematian jantung
mendadak melalui ketidakstabilan hemodinamik dan terjadinya pulseless
VT atau melalui degenerasi dari VT ke VF.
Ventricular tachycardia dengan hemodinamik tidak stabil harus
segera diakhiri menggunakan DCC dengan 100 J dan meningkatkannya
menjadi 200, 300, dan 360 J. Pada kejadian VT di mana pasien tidak
memiliki denyut (sehingga tidak ada tekanan darah), asynchronous
defibrillation harus dilakukan, dimulai dengan 200 J dan meningkatkan
menjadi 300 dan 360 J.
Obat yang digunakan untuk mengatasi VT dengan hemodinamik
stabil disajikan pada Tabel 2.3.6. Pemberian obat intravena diperlukan.
Sebuah algoritma keputusan dalam memanajemen VT dengan
hemodinamik stabil disajikan pada Gambar 2.3.8. Amiodarone dianggap
sebagai pilihan lini pertama agen antiaritmia untuk manajemen VT,
terlepas dari pasien yang memiliki latar belakang fungsi LV. Pada pasien
dengan fungsi LV normal yang tidak merespon amiodaron, procainamide
IV dapat diberikan. Data menunjukkan efikasi yang cukup besar dari
procainamide bila dibandingkan dengan lidokain. Namun, pada pasien
dengan HF karena disfungsi LV, procainamide harus dihindari, sebab
adanya peningkatan risiko hipotensi dan merupakan obat yang dapat
menginduksi torsades de pointes serta akibat aktivitas inotropik negatif.
Tabel 2.3.6 Obat-obatan yang digunakan untuk Mengatasi Takikardi Ventrikular
c. Ventricular Fibrillation
Fibrilasi ventrikel yang tidak teratur, tidak terorganisir, dan
aktivitas listrik yang kacau pada ventrikel mengakibatkan adanya
ventrikel depolarisasi, akibatnya denyut, cardiac output, dan tekanan
darah menurun.
Fibrilasi ventrikel didefinisikan sebagai fibriliasi ventrikel
hemodinamik tidak stabil adalah berdasarkan tidak adanya denyut nadi
dan tekanan darah. Manajemen awal mencakup perbekalan/perlengkapan
dasar yang menunjang kehidupan, termasuk sarana panggilan bantuan
Gambar 2.3.8 Algoritma Keputusan untuk Mengatasi Takikardi Ventrikular dengan Hemodinamik Stabil
dan inisiasi Cardiopulmonary Resuscitation (CPR). Oksigen harus
diberikan segera setelah disiapkan. Terutama, defibrilasi harus dilakukan
sesegera mungkin. Hal ini penting untuk memahami bahwa satu-satunya
cara yang berhasil untuk mengakhiri VF dan mengembalikan irama sinus
adalah defibrilasi listrik. Defibrilasi harus dicoba menggunakan 200 J,
setelah itu CPR harus dilanjutkan segera ketika defibrilator diisi, jika
kejutan pertama tidak berhasil, defibrilasi berikutnya sebaiknya 360 J.
Jika VF menetap setelah satu atau dua kejutan defibrilasi, terapi
obat dapat diberikan. Tujuan administrasi obat dalam terapi VF adalah
untuk memfasilitasi kesuksesan defibrilasi. Terapi obat saja tidak akan
mengakibatkan penghentian VF. Obat yang digunakan untuk
memfasilitasi defibrilasi pada pasien dengan VF tercantum pada Tabel
2.3.7. Pemberian obat sebaiknya teselama CPR, sebelum atau setelah
penghantaran kejut defibrilasi. Agen vasopresor epinefrin atau vasopresin
diberikan pada awal, karena telah bahwa bahwa faktor penting dalam
keberhasilan defibrilasi adalah pemeliharaan tekanan perfusi koroner
yang dapat dicapai melalui efek vasokonstriksi dari obat tersebut. Sebuah
algoritma keputusan untuk pengobatan VF disajikan pada Gambar 2.3.9.
Epinephrine dan vasopressin sama efektifnya untuk memfasilitasi
kesuksesan defibrilasi yang memberikan harapan hidup bagi pasien yang
masuk rumah sakit dan keluar dari rumah sakit dengan kondisi cardiac
arrest karena VF.
Amiodarone lebih efektif dibandingkan lidokain untuk
memfasilitasi defibrilasi yang mengarah harapan hidup pasien yang
masuk rumah sakit dengan kondisi VF, hal ini merupakan alasan bahwa
administrasi amiodarone dianjurkan lebih awal dari administrasi lidokain
dalam algoritma keputusan. Perhatikan bahwa dosis amiodaron yang
dianjurkan untuk administrasi selama upaya resusitasi untuk VF (Tabel
2.3.7) berbeda dari dosis yang direkomendasikan untuk administrasi
penghentian VT (Tabel 2.3.6).
Tabel 2.3.7 Obat-obatan yang Memfasilitasi Defibrilasi pada Pasien dengan Fibrilasi Ventrikular
d. Torsades de Pointes
Gambar 2.3.9 Algoritma Keputusan untuk Resusitasi Fibrilasi Ventrikular
Torsades de pointes adalah VT polimorfik spesifik yang terkait
dengan perpanjangan interval QT pada ketukan sinus yang mendahului
aritmia.
Pada pasien dengan faktor risiko torsades de pointes, obat yang
meniliki potensi menyebabkan perpanjangan interval QT dan torsades de
pointes harus dihindari atau digunakan dengan hati-hati, dan monitoring
interval QT harus sering dilakukan.
Manajemen yang dimaksud dari obat yang menginduksi torsades
de pointes termasuk juga penghentian pemakaian agen yang berpotensi
menjadi penyebab. Pasien torsades de pointes dengan hemodinamik tidak
stabil harus menjalani DCC langsung. Pada pasien torsades de pointes
dengan hemodinamik stabil, kelainan elektrolit seperti hipokalemia dan
hipomagnesemia harus diperbaiki. Torsades de pointes dengan
hemodinamik stabil sering diterapi dengan magnesium intravena, terlepas
apakah pasien hipomagnesemia atau tidak. Magnesium telah dibuktikan
berguna untuk mengakhiri torsades de pointes pada pasien
normomagnesemia. Magnesium intravena mungkin diberikan dalam
dosis 1 sampai 2 g, diencerkan dalam 50 sampai 100 mL D5W, diberikan
selama 5 sampai 10 menit, dosis dapat diulang dengan total 12 g.
Alternatif lain berupa infus magnesium kontinu dapat dimulai
setelah bolus pertama, dengan kecepatan 0,5 sampai 1 g/jam. Alternatif
treatment meliputi insersi transvena dari alat temporari pacemaker untuk
menambah kecepatan denyut, yang memperpendek interval QT dan dapat
mengakhiri torsades de pointes, isoproterenol intravena 2 sampai 10
mcg/menit, untuk meningkatkan denyut jantung dan mempersingkat
interval QT, lidokain intravena yang dapat mempersingkat durasi dari
repolarisasi ventrikel, atau fenitoin intravena, yang juga dapat
mempersingkat durasi repolarisasi ventrikel, diberikan dengan dosis 10
sampai 15 mg/kg, diinfuskan dengan kecepatan 25 sampai 50 mg/menit.
BAB 3
PENGGUNAAN AMIODARONE BERDASARKAN EVIDENCE BASE
3.1 Aritmia Ventrikular
Aritmia ventrikular adalah kondisi yang banyak dijumpai di mana-mana dan
merupakan gabungan dari Premature Ventricular Complexes (PVCs) tunggal yang
mengarah pada kejadian Sudden Cardiac Death (SCD) akibat aritmia ventrikular
dan fibrilasi ventrikular. Tujuan terapi pada pasien aritmia ventrikular adalah
untuk menekan gejala dan mencegah kejadian fatal (Cannom and Prystowsky,
1999). Algoritma terapi pada pasien dengan aritmia ventrikular berdasarkan salah
satu penelitian jenis RCT ditampilkan dalam Gambar 2.2.1.1.
Tinjauan evidence base berdasarkan indikasi klinik dalam peresepan amiodaron
sebagai terapi aritmia ventrikular adalah sebagai berikut:
α. Aritmia ventrikular yang disertai dengan infark miokardia
Pasien dengan ektopi ventrikular kompleks yang disertai infark miokardia
beresiko untuk Sudden Cardiac Death (SCD).
1) Basel Antiarrhythmic Study of Infarct Survival (BASIS) menunjukkan
penurunan total kematian dan SCD dengan amiodaron sebagai
profilaksis. Pasien menjalani follow-up hanya selama 1 tahun dan
Gambar 2.2.1.1 Algoritma Terapi Berdasarkan Salah Satu Penelitian RCT untuk Pasien dengan Aritmia Ventrikular (Cannom and Prystowsky, 1999).
penggunaan β-blocker dibatasi.
1. Canadian Amiodarone Myocardial Infarction Arrhythmia Trial
(CAMIAT) dan European Myocardial Infarction Amiodarone Trial
(EMIAT) keduanya menunjukkan penurunan kematian aritmia dengan
penggunaan amiodaron.
Tabel 2.2.1.1 Penggunaan Amiodaron pada Pasien AV yang Disertai MISumber Jumlah
PartisipanPopulasi Randomisasi Keluaran
BASIS, 1990 312 Mengalami MI; sering kali asimptomatik atau aritmia ventrikular berulang
Terapi obat tunggal vs amiodaron vs placebo
• Penurunan kematian total amiodaron dibandingkan dengan plasebo
• Penurunan terhadap kejadian aritmia dengan penggunaan amiodaron
• Penurunan kematian tidak signifikan dengan terapi obat antiaritmia tunggal
CAMIAT, 1997 1202 Mengalami MI; ≥ 10 PVCs/jam atau NSVT
Amiodaron vs placebo
Penurunan pada VF resusitasi atau kematian akibat aritmia
EMIAT, 1997 1486 Mengalami MI; LVEF ≤ 40%
Amiodaron vs placebo
• Tidak ada penurunan pada kematian total
• Signifikan (35%) menurunkan risiko pada kematian akibat aritmia
β. Aritmia Ventrikular dan CHF
Percobaan Grupo de Estudio de la Sobrenda en la Insuficiencia Cardiaca en
Argentina (GESICA) adalah suatu percobaan acak skala besar terhadap
amiodaron sebagai profilaksis (300 mg/hari) pada pasien dengan CHF
(NYHA kelas II hingga IV). Terjadi penurunan SCD secara signifikan,
penurunan kematian seiring perkembangan CHF, dan penurunan kematian
secara umum.
χ. Pencegahan Primer dari SCD pada Iskemia Kardiomiopati dan Non-Iskemia
Kardiomiopati
Tabel 2.2.1.2 Penggunaan Amiodaron pada Pasien Pencegahan Primer SCD pada
Iskemia dan Non-Iskemia KardiomiopatiSumber Jumlah
PartisipanPopulasi Randomisasi Keluaran
Iskemia Kardiomiopati
MADIT, 1996 196 Mengalami MI; LVEF ≤ 35%; NSVT asimptomatik; NYHA kelas I-III; inducible VT refractory terhadap intravena procainamid pada studi elektrofisiologi
Terapi antiaritmia (74% amiodaron) vs ICD
Penurunan dalam kematian total degan terapi ICD
MUSTT, 1999 704 CAD; LVEF ≤ 40%; NSVT; inducible VT pada studi elektrofisiologi
Terapi pengendali elektrofisiologi (antiaritmia atau ICD) vs terapi konvensional
• Penurunan kematian total dengan terapi tunggal pengendali elektrofisiologi menggunakan ICD
• Amiodaron digunakan 10% dari pasien kelompok antiaritmia
MADIT II, 2002 1232 Mengalami MI; LVEF ≤ 30% Terapi konvensional vs ICD (bukan kelompok obat antiaritmia)
Penurunan kematian total dengan terapi ICD
SCD-HeFT, 2005 2521 NYHA kelas II/III CHF (iskemi dan non-iskemi)
Terapi konvensional vs amiodaron vs ICD
• Penurunan kematian dengan terapi ICD pada pasien dengan iskemia kardiomiopati
• Amiodaron memiliki efek netral terhadap kematian
Non Iskemia Kardiomiopati
CAT, 2002 104 NYHA kelas II/III; perluasan kardiomiopati non-iskemia; LVEF ≤ 30%; NSVT asimptomatik
Terapi konvensional vs ICD (bukan kelompok obat antiaritmia)
Tidak ada penurunan kematian total dalam terapi menggunakan ICD
AMIOVIRT, 2003
103 NYHA kelas I-III; perluasan kardiomiopati non-iskemia; LVEF ≤ 35%; NSVT asimptomatik
Amiodaron vs ICD Tidak ada penurunan kematian total dalam terapi menggunakan ICDPola yang mengarah pada perbaikan aritmia free survival dengan penggunaan amiodaron
DEFINITE, 2004 458 NYHA kelas I-III; perluasan kardiomiopati non-iskemia; LVEF ≤ 36%; ≥ 10 PVCs/jam atau NSVT
Terapi konvensional vs ICD (bukan kelompok obat antiaritmia)
• Penurunan kematian total tidak signifikan dengan terapi ICD
• Penurunan signifikan pada kematian dari aritmia dengan terapi ICD
SCD-HeFT, 2005 2521 NYHA kelas II/III CHF (iskemi dan non-iskemi); LVEF ≤ 35%
Terapi konvensional vs ICD
• Penurunan kematian dengan terapi ICD pada pasien dengan non iskemia kardiomiopati
• Amiodaron memiliki efek netral terhadap kematian
δ. Pencegahan Sekunder pada SCD
Tabel 2.2.1.3 Penggunaan Amiodaron pada Pasien Pencegahan Sekunder SCDSumber Jumlah
PartisipanPopulasi Randomisasi Keluaran
CASCADE, 1993
228 KRS dengan selamat VF arrest; ≥ 10 PVCs/jam atau inducible VT/VF inducible pada studi elektrofisiologi
Amiodaron empiris vs pengendali elektrofisiologi/obat antiaritmia konvensional pengendali Holter
• Amiodaron lebih efektif daripada obat antiaritmia konvensional dalam mencegah cardiac death dan kejadian aritmia
• Amiodaron punya efek simpang yang signifikan
AVID, 1997 1016 Pasien yang selamat dari VT/VF/ cardiac arrest; VT dengan sinkop; VT dengan LVEF ≤ 40%
Obat antiaritmia (97% amiodaron, 3% sotalol) vs ICD
Penurunan kematian total dengan terapi ICD
CASH, 2000 288 Pasien yang selamat dari VT/VF/ cardiac arrest
Obat antiaritmia: metoprolol atau amiodaron vs ICD
• Penurunan kematian total tidak signifikan dengan terapi ICD
• Amiodaron memiliki efikasi yang sama dengan metoprolol
CIDS, 2000 659 Pasien yang selamat dari VT/VF/ cardiac arrest; VT dengan sinkop; simptomatik VT (≥ 150/menit) dengan LVEF ≤ 35%
Amiodaron vs ICD • Penurunan kematian total tidak signifikan dengan terapi ICD
• Penurunan arrhytmic death tidak signifikan dengan terapi ICD
ε. Tambahan pada Terapi ICD
Pasien yang menerima terapi ICD mungkin akan sering kali mengalami
aritmia yang membawa pada kondisi shock. Penggunaan amiodaron bersama
β-blocker lebih efektif daripada sotalol atau β-blocker yang digunakan
sebagai terapi tunggal dalam mencegah shock. Amiodaron berpeluang dalam
memperlambat laju takikardi ventrikular.
φ. HCM dan Aritmia Ventrikular
Pasien dengan hypertrophic cardiomyopathy (HCM) dan aritmia ventrikular
memiliki peningkatan risiko terhadap SCD. Pasien dengan 1 atau lebih faktor
risiko mayor sebaiknya disarankan untuk profilaksis ICD. ICD diindikasikan
untuk pencegahan sekunder pada pasien dengan HCM. Berdasarkan
penggunaan ICD, beberapa percobaan non acak skala kecil menyatakan
bahwa amiodaron profilaksis dapat menurunkan SCD, walaupun penggunaan
rutin amiodaron profilaksis tidak direkomendasikan. Amiodaron adalah
alternatif yang dapat diterima pada pasien dengan HCM yang menolak terapi
ICD.
γ. Takikardi Ventrikular dengan Hemodinamik Stabil
Amiodaron intravena sangat bermanfaat dalam terapi manajemen akut dari
VT dengan hemodinamik yang stabil. VT yang stabil bukanlah suatu hal yang
dianggap tidak berbahaya pada pasien dengan penyakit jantung struktural.
AVID registry (4595 pasien) memperlihatkan bukti percobaannya bahwa
terdapat pola yang mengarah pada peningkatan kematian pada VT stabil bila
dibandingkan dengan VT unstable. Petugas klinis disarankan untuk
mempertimbangkan ablasi kateter, terapi ICD atau keduanya saat aritmia akut
dalam kondisi stabil.
η. Cardiac Arrest dan Electrical Storm
Electrical Storm didefinisikan sebagai VT atau VF yang terjadi sebanyak 2
kali atau lebih dalam jangka waktu 24 jam, biasanya memerlukan kardiovensi
elektrik atau defibrilasi. Percobaan non acak skala kecil menyatakan bahwa
amiodaron merupakan terapi yang aman dan efektif untuk kambuhan yang
menetap pada aritmia ventrikular. Amiodaron intravena lebih efektif daripada
lidokain untuk pasien KRS dengan resisten VT terhadap shock dan
epinefrin.Pasien dengan kondisi electrical storm yang disertai MI yang
diterapi dengan kombinasi oral amiodaron dan β-blocker memiliki luaran
yang paling baik.
ι. Perioperative
Suatu meta analisis dari amiodaron profilaksis perioperative menunjukkan
adanya penurunan AF/flutter, takiaritmia ventrikular, stroke, dan
mempersingkat lama tinggal di RS setelah bedah kardiak. Studi Prophylactic
Oral Amiodarone for the Prevention of Arrhythmias That Begin Early After
Revascularization (PAPABEAR), yaitu RCT skala besar, membandingkan
perioperative amiodaron (10 mg/kg/hari dimulai 6 hari sebelum dan
diteruskan selama 6 hari setelah bedah) dengan plasebo. Hasilnya adalah
penurunan yang signifikan pada takiaritmia atrial poatoperative. Toksisital
terbatasi karena amiodaron digunakan dalam durasi pendek.
Tinjauan evidence base berdasarkan dosis penggunaan amiodaron sebagai terapi
aritmia ventrikular adalah sebagai berikut:
a. Dosis Selama Kejadian VT/VF
Efikasi amiodaron dalam penghentian ventricular aritmia telah diuji
dalam praktek klinis. Dua RCT (Randomized Control Trial) telah
mengevaluasi pemberian amiodaron secara iv pada kejadian cardiac arrest
saat keluar rumah sakit. The Amiodarone in out-of-hospital Resuscitation of
refractory Sustained Ventricular Tachycardia (ARREST), yaitu suatu studi
yang membandingkan pemberian amiodaron secara iv (300 mg) dengan
placebo, secara blinded, randomized trial pada pasien dengan shock-
refractory ventricular fibrillation saat keluar rumah sakit pulseless VT; 44%
pasien yang menerima amiodaron dan 34% pasien menerima plasebo
bertahan sampai di rumah sakit (p=0,03). Amiodaron vs lidokain dalam studi
Prehospital Ventricular Fibrillation Evaluation (ALIVE), membandingkan
amiodaron (5 mg/kg) dengan lidokain (1,5 mg/kg) dalam blinded,
randomized trial dalam pasien secara blinded, randomized trial yang keluar
rumah sakit, resisten terhadap tiga guncangan, injeksi intravena epinefrin dan
syok yang lebih jauh, VF berulang setelah pemberian defibrilasi yang
berhasil; 22,8% pasien yang diterapi amiodaron bertahan dan tidak masuk
rumah sakit dan 12% pasien yang diterapi dengan lidokain yang tidak masuk
rumah sakit. Tidak ada plasebo-controlled trials yang menunjukkan
keefektifan amiodaron dalam menghentikan secara hemodinamis takikardi
ventricular monomorfik (mVT).
Suatu kelompok peneliti multisenter amiodaron intravena mengevaluasi
efek amiodaron intravena secara hemodinamis dalam destabilisasi refraktori
venticular aritmia dibandingkan dengan lidokain, procainamid, dan bretilium
pada pasien yang MRS yang memiliki kelainan pada struktur jantung dan
ketiadaan perpanjangan QT atau kejadian yang disebabkan oleh obat. Dua
range dosis obat dipilih, pasien dipilih secara acak dibagi ke dalam kelompok
yang berbeda regimen dosisnya : 125,500 atau 2000 mg amiodaron IV/24
jam, dan 500, 1000, atau 2000 mg amiodaron IV/24 jam. Infus supplemen
(150 mg) amiodaron diberikan untuk mengatasi ventrikular aritmia untuk
mencegah penghentian pada kelompok dosis rendah, tetapi secara potensial
terjadi pada efek obat dengan dosis yang lebih tinggi dengan kejadian VT/VF
berulang. Secara statistik peningkatan signifikan terkait dosis ditemukan pada
saat terjadi aritmia berulang antara kelompok dosis 125 mg dan 1000 mg
pada studi pertama dan antara 500 mg dan kombinasi kelompok dosis 1000
mg dan 2000 mg pada 12 jam pertama dalam studi kedua (4.8 jam dan > 12
jam). Dalam kedua studi, rata-rata jumlah suplemen infus menurun secara
signifikan dengan meningkatnya dosis amiodaron. Frekuensi terjadinya efek
samping sama di semua kelompok dosis pada kedua studi.
Dalam studi ketiga pada kelompok yang sama, pasien secara random
diberi 125 mg atau 1000 mg amiodaron IV/24 jam atau bretilium 2500 mg/24
jam. Dalam studi ini, dosis tinggi amiodaron lebih efektif daripada bretilium
dalam pencegahan kejadian berulang aritmia, selama 0-6 jam. Kejadian
hipotensi tertinggi ada pada kelompok bretilium.
Pada pola kejadian berulang VT/VF dibutuhkan waktu 12-24 jam untuk
amiodaron iv mencapai efikasi penuh. Kejadian berulang terjadi sesaat
setelah amiodaron diberikan, dengan kata lain kejadian berulang pada 12-24
jam pertama tidak menunjukkan bahwa obat tidak efektif (Herendael and
Dorian, 2010).
b. Dosis Pencegahan VT/VF
Suatu penelitian Randomized Clinical Trial telah menetapkan superioritas
transvenous ICD lebih dari obat anti aritmia untuk terapi pencegahan pada
pasien dengan resiko tinggi ventricular aritmia, baik pencegahan primer
maupun sekunder. ICD menjadi terapi terpilih pada pasien dengan resiko
aritmia tersebut. Meskipun efikasi amiodaron dalam pencegahan pada sudden
cardiac death telah dikembangkan sebelum era ICD.
Pada suatu studi meta analisis, randomized trial menunjukkan amiodaron
mengurangi angka kematian 10-19%. Resiko pengurangan sama pada
pencegahan primer setelah infark miokardialatau pada pasien dengan CHF
atau pencegahan sekunder setelah cardiac arrest. Pada suatu data dari 2 RCT,
European Amiodaron Myocardial Infarction Trial (EMIAT) dan Canadian
Amiodaron Myocardial Infarction Trial (CAMIAT), mengevaluasi
penggunaan amiodaron untuk pencegahan primer pada pasien yang recovery
dari miokardial infark, cardiac death, dan resuscitated cardiac arrest, secara
signifikan lebih rendah pada pasien yang menerima amiodaron dibandingkan
dengan plasebo, jika mereka juga menerima terapi beta bloker.
Sebaliknya, tidak ada ketentuan untuk terapi amiodaron tanpa diiringi
ICD pada pasien dengan stable chronic low LVEF, pada pencegahan primer
dan sekunder. Pada pencegahan sekunder, terapi dengan amiodaron (jika
menggunakan beta bloker) mungkin dapat sebagai alternatif untuk ICD pada
pasien dengan LVEF > 35%, minimal penggunaan jangka pendek.
Pada penerima ICD, amiodaron serta terapi ablasi, mungkin memainkan
peranan penting dalam pengurangan penggunaan alat terapi. Suatu studi RCT,
Optimal Pharmalogical Therapy in Cardioverter Defibrillator Patients
(OPTIC) membandingkan amiodaron (200 mg) plus beta bloker dengan
sotalol saja (240 mg, diadjust sesuai fungsi ginjal) atau beta bloker saja
(bisoprolol 10 mg atau ekivalen) pada 412 pasien yang menerima dual-
chamber ICD untuk VT terrinduksi maupun spontan atau ventricular
fibrillation (VF) dan LVEF ≤ 40% atau syncope. Semua ICD dioptimasi
untuk menghindari syok. Selama satu tahun follow up, syok terjadi pada 41
pasien (38,5%) pada pengguna betabloker saja; 26 pasien (24,3%) pada
pengguna sotalol saja; dan 12 pasien (10,3%) pada pengguna amiodaron plus
betabloker. Amiopdaron plus beta bloker secara signifikan menurunkan resiko
syok dibandingkan dengan beta bloker saja dan sotalol saja. Terdapat
kecenderungan pada sotalol untuk menurunkan resiko syok dibandingkan
dengan beta bloker saja.
Tidak ada studi RCT yang telah diterbitkan yang membandingkan
profilaksi ablasi dengan obat antiaritmia untuk pengurangan alat terapi ICD
pada pasien penerima ICD. Rekomendasi terapi ICD pada pasien dengan
penyakit perubahan struktur jantung dengan beta bloker pada saat ICD
implan. Jika pasien mengalami kejadian VT atau VF berulang dengan gejala
syok, penambahan amiodaron dengan dosis maintenance 200 mg sekali sehari
dan beta bloker perlu dipertimbangkan. Meskipun hasil uji ablasi
menjanjikan, tidak jelas apakah hasil ablasi akan sama untuk pasien non
iskemik atau yang tidak pernah mengalami sebelumnya. Dapat disimpulkan,
ablasi merupakan first line terapi yang direkomendasikan (Herendael and
Dorian, 2010).
3.2 Pengendalian Laju Ventrikel
Amiodarone memperlambat laju ventrikel di AF, bahkan ketika sinus irama
tidak dikembalikan normal, Penurunan laju terjadi segera setelah administrasi
intravena. Administrasi intravena amiodaron mengontrol laju ventrikel
sebagaimana keefektifan dari diltiazem pada pasien dengan kondisi yang kritis,
dengan sedikit kejadian hipotensi. Sebaliknya, agen kelas I dapat meningkatkan
laju ventrikel. ACC/AHA/ESC menetapkan amiodarone intravena sebagai
rekomendasi kelas IIa untuk mengendalikan laju secara akut pada pasien dengan
AF saat tindakan lain tidak berhasil atau kontraindikasi (level evidence C).
Amiodaron oral tidak tepat sebagai terapi lini pertama untuk mengendalikan
laju ventrikel secara kronis. jika β-blocker, calcium channel blockers, atau digoxin
(tunggal atau kombinasi) tidak efektif, ablasi AV junction dan implantasi alat pacu
jantung mungkin lebih baik daripada penggunaan kronis amiodaron. Amiodaron
oral dalam pengaturan non akut ditetapkan oleh ACC/AHA/ESC sebagai
rekomendasi kelas IIb (level evidence C). Karena kardioversi atau embolisasi
dapat terjadi, maka antikoagulasi (3 minggu terapi warfarin atau intravena heparin
ditambah transesophageal echocardiography tanpa trombus) adalah penting
sebelum memulai terapi dengan amiodarone pada AF yang terjadi selama lebih
dari 48 jam. Warfarin harus dilanjutkan selama 4 minggu post konversi.
3.3 Konversi Atrial Fibrillation (AF) ke Ritme Sinus Normal
Amiodaron merupakan salah satu obat yang dapat digunakan untuk konversi
ke ritme sinus. Terapi untuk konversi ini dengan memperlambat kecepatan
konduksi atrial dan atau memperpanjang refractory (waktu dimana sel dan fiber
tidak mengalami depolarisasi), memfasilitasi penghambatan reentrant circuits dan
perbaikan ritme sinus. Konversi AF ke ritme sinus biasanya dilakukan pada pasien
yang terdeteksi AF atau pada pasien yang mengalami AF persisten (Tisdale,
2008).
Efektivitas penggunaan amiodarone dalam konversi AF ke ritme sinus diuji oleh
sebuah studi meta analisis (Letelier, 2003). Penelitian ini bertujuan meninjau
efektivitas amiodarone dalam konversi AF ke ritme sinus selama periode 4
minggu. Metode yang dilakukan adalah dua reviewer melakukan pencarian secara
sistematis, randomized trial pada database, dilengkapi oleh hand searches dan
menghubungi para ahli. Penelitian ini membandingkan amiodarone dengan
placebo, digoksin, atau Ca channel blocker untuk konversi AF ke ritme sinus,
yang dievaluasi metodologi dan ringkasan data dari masing-masing studi terpilih.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini, antara lain:
Pasien dengan AF dengan beberapa sebab dan durasi.
Intervensi yang dilakukan adalah dengan pemberian amiodarone
dikombinasikan dengan placebo, digoksin, CCB atau tanpa perlakuan (grup
kontrol).
Outcome utama terdiri dari konversi ke ritme sinud selama periode 4 minggu
atau kurang.
Desain penelitian meliputi randomized atau quasi randomized clinical trial.
Dari identifikasi 382 citation, dilakukan proses seleksi hingga didapat 21 yang
memenuhi kriteria inklusi. Berikut diagram proses seleksi hingga didapat 21 studi:
Berikut ini karakteristik 21 studi yang digunakan:
Berikut ini diagram hasil penelitian:
Hasil studi tersebut, amiodarone efektif untuk konversi atrial fibrillation ke
ritme sinus.
BAB 4
AMIODARONE
Amiodarone hydrochloride berbentuk serbuk kristal putih, sangat sedikit larut
dalam air, larut sebagian dalam alkohol (Sweetman, 2009).
4.1 Indikasi
Amiodarone digunakan pada aritmia jenis atrial fibrillation melalui
pengendalian laju ventrikular dan konversi ke ritme sinus dan untuk aritmia jenis
ventricular aritmia, baik pada ventrikular takikardi maupun ventrikular fibrilasi
(Cannom, 1999; Herendael, 2010, Letelier, 2003; Tisdale, 2011; Vasallo, 2007).
4.2 Mekanisme Kerja
Amiodarone merupakan antiaritmia kelas III yang menghambat stimulasi
adrenergik (sebagai inhibitor nonkompetitif reseptor alfa dan beta adrenergik),
mempengaruhi sodium, potassium, calcium channel, memperpanjang durasi
potensial aksi dan refractory period pada sel jantung (miokard), menurunkan AV
conduction dan fungsi sinus node (Lacy, 2009; Tatro, 2003).
4.3 Dosis
Loading dose dan maintenance dose yang lebih rendah lebih dipilih pada
wanita dan pasien dengan berat badan rendah.
Dosis Oral
Indikasi DosisLoading Dose Maintenance Dose
AnakAntiaritmia 10-20mg/kgBB/hari dalam
1-2 dosis selama 4-14 hari, atau sampai didapat dosis adekuat atau munculnya efek samping.
Pengurangan dosis sampai 5 mg/kgBB/hari untuk beberapa minggu atau 200-400 mg/1,73m2/hari diberikan sekali sehari. Jika tak terjadi aritmia berulang, dosis diturunkan menjadi 2,5 mg/kgBB/hari, 5-7 hari perminggu.
DewasaVentricular arrhyithmia
800-1600 mg/hari dalam 1-2 dosis selama 1-3 minggu, saat dosis adekuat dicapai, dosis diturunkan menjadi 600-800 mg/hari dalam 1-2 dosis selama 1 bulan.
400 mg/hari.
(dosis lebih rendah direkomendasikan untuk supraventricular arrhythmia)
Atrial Fibrillation
1,2 – 1,8 g/hari dalam dosis terbagi hingga total 10 g
200 – 400 mg/hari
Atau400 mg sehari 3 kali selama 5 - 7 hari, dilanjutkan 400 mg/hari selama 1 bulan, selanjutnya 200 mg/hari.atau10 mg/kgB/hari selama 14 hari, dilanjutkan 300 mg/hari selama 4 minggu, dilanjutkan maintenance dose 100 – 200 mg/hari.
Dosis Intravena (IV)
Indikasi DosisLoading Dose Maintenance Dose
AnakAntiaritmia 5 mg/kgBB selama 30 menit,
dapat diulang 3 kali jika tak ada respon.
2 – 20 mg/kgBB/hari (5 – 15 mcg/kgBB/menit) dengan continuous infusion.
Pulseless VF atau VT
5 mg/kgBB (maksimum 300 mg/dosis) rapid IV bolus atau IO, diulang untuk dosis maksimum sehari 15 mg/kgBB.
Perfusing tachycardia
5 mg/kg (maksimum 300 mg/dosis) IV selama 20 – 60 menit atau IO, dapat diulang sampai dosis maksimum 15 mg/kgBB/hari.
DewasaAtrial fibrillation
5-7 mg/kgBB selama 30-60 menit (sebagai loading dose), selanjutnya 1,2-1,8 g/hari infus continuous atau dosis oral terbagi sampai total 10 g.
200 – 400 mg/hari
atau 5 mg/kgBB selama 30 menit, infusion 1 mg/menit selama 6 jam, dilanjutkan 0,5 mg/menit.
Ventricular arrhythmia
• Breakthrough VF atau VT: dosis tambahan 150 mg dalam 100 mL
D5W selama 10 menit. (loading dose IV untuk VT dan untuk fasilitas defibrilasi pada VF via IV juga mungkin diberikan, tapi yang utama 300 mg IV dilarutkan dalam 20-30 mL D5W).
• Pulseless VF atau VT: IV push, awal 300 mg dalam 20-30 mL NS
atau D5W, jika VF atau VT terulang, dosis tambahan 150 mg dilanjutkan dengan infus 1 mg/menit selama 6 jam, (maintenance dose untuk VT. 0,5 mg/menit selama 18 jam), selanjutnya 0,5 mg/menit (maksimum dosis sehari 2,1 g).
• Stable VT atau SVT: 24 jam pertama 1050 mg , dilanjutkan
regimen:Step 1: 150 mg (100 mL) selama 10 menit pertama (3 mL dalam 100 mL D5W).Step 2: 360 mg (200 mL) selama 6 jam selanjutnya (18 mL dalam 500 mL D5W), 1 mg/menit.Step 3: 540 mg (300 mL) selama 18 jam selanjutnya, 0,5 mg/menit.Setelah 24 jam pertama, 0,5 mg/menit dengan konsentrasi 1-6 mg/mL.
Penggantian dari terapi IV ke oral:
Lama Terapi IV Infusion Dosis Oral yang Digunakan untuk Terapi
Lanjutan< 1 minggu 800 – 1600 mg/hari1 – 3 minggu 600 – 800 mg/hari> 3 minggu 400 mg/hari
Selama pemakaian terapi amiodarone (≥ 4 bulan), t ½ eliminasi metabolit aktif
amiodarone adalah 61 hari. Penggantian terapi tidak diperlukan pada pasien
tersebut jika terapi oral tidak dilanjutkan selama < 2 minggu karena perubahan
konsentrasi amiodarone dalam serum tidak signifikan.
Untuk pasien lansia: tidak ada guideline khusus. Pemilihan dosis harus secara
hati-hati, dengan dosis rendah dan perlu dilakukan titrasi secara perlahan untuk
mengevaluasi respons pasien.
Untuk pasien yang menjalani hemodialisis: obat tidak terdialisis (0% - 5%), dosis
tambahan tidak diperlukan.
Gangguan hepar: penyesuaian dosis diperlukan jika terdapat gangguan hepar,
tidak ada guideline khusus, jika enzim pada hepar meningkat 2-3 kali dari normal,
maka dilakukan penurunan dosis atau tidak melanjutkan terapi amiodarone.
(Lacy, 2009; Tatro, 2003; Tisdale, 2008; Tisdale, 2011).
Cara pemberian:
• Oral: diminum bersama makan, jika dosis tinggi sekali sehari menimbulkan
ketidaknyamanan di GI tract atau intoleransi GI, maka obat diberikan dalam
dosis terbagi.
• IV: jika IV infusion > 1 jam, gunakan konsentrasi ≤ 2 mg/mL.
(Lacy, 2009)
Intravena Formulasi
Beberapa kesulitan praktis muncul ketika formulasi terakhir amiodaron
intravena harus diberikan dalam kondisi darurat. Dengan formulasi ini amiodaron
harus disedot dari ampul kaca (karena adsorpi untuk plastik dan karet), kemudian
disaring dan diencerkan sebelum digunakan. Ketika terburu-buru atau disedot
terlalu cepat obat mungkin membentuk busa yang dapat mengganggu dosis yang
tepat. Arus formulasi ini juga kompatibel dengan larutan elektrolit selain
dekstrosa dalam air. Selanjutnya, kosolven yang mungkin sebagian besar
bertanggung jawab atas efek yang mungkin merugikan dari hipotensi.
Pertimbangan praktis dapat menyebabkan cukup keterlambatan dalam
pemberian obat dan mencegah bolus mendorong obat. Karena pemberian obat
yang cepat telah terbukti penting, upaya telah difokuskan pada pengembangan
formulasi alternatif amiodaron, termasuk emulsi dengan tokoferol, suspensi
amiodaron dalam buffer laktat, amiodaron dilarutkan dalam metoksi poli (etilena
oksida)-blok-poli (ester) micell dan amiodaron dilarutkan dalam sulfobutylether-
7-beta-siklodekstrin (Captisol (R)). Pada bulan Desember 2008, formulasi yyang
terakhir ini bermerek Nexteron (R), telah disetujui oleh FDA, dengan indikasi
label yang sama sebagai formulasi disetujui sebelumnya, yang hemodinamik dan
secara electrophysiologis lembam, dan ditoleransi, namun tidak diketahui
toksisitas organ dalam manusia. Formulasi ini kompatibel dengan solusi ionik
selain dekstrosa dalam air, tidak menyerap ke plastik dan dapat dikemas dalam
jarum suntik yang telah terisi (pre-filled syringes) yang dapat memberikan
dorongan intravena segera setelah terdapat akses intravena (Herendael and
Dorian, 2010).
4.4 Farmakokinetik-Farmakodinamik
Aspek Farmakokinetik-
Farmakodinamik
Keterangan
Mula kerja (onset of action) Oral: 2 hari sampai 3 minggu
IV: dapat lebih cepatPeak effect 1 minggu sampai 5 bulan, setelah pemberian
injeksi IV, efek maksimum dicapai 1-30 menit
dan bertahan selam 1-3 jam.Lama efek setelah terapi
dihentikan
7 hari sampai 50 hari (pada anak lebih singkat
dibandingkan dewasa).Volume distribusi Vd: 66 L/kg (range: 18-148 L/kg)
dapat menembus plasenta, konsentrasi pada ASI
lebih tinggi daripada konsentrasi pada plasma
maternal.Protein binding 96%Metabolisme di hepar, oleh CYP2C8 dan CYP3A4,
metabolitnya N-desethylamiodarone bersifat
aktif, dapat mengalami resirkulasi enterohepatik. Bioavailabilitas Oral ~ 50%, kecepatan absorpsi meningkat
dengan adanya makanan.t 1/2 eliminasi terminal 40 - 55 hari (range 26 – 107 hari), pada
anak lebih cepatEkskresi feses, urin (< 1% sebagai unchanged drug)
(Lacy, 2009; Sweetman, 2009)
4.5 Kontraindikasi
Hipersensitivitas terhadap amiodarone, iodine dan komponen lain dalam
formulasi.
Disfungsi tiroid.
Severe sinus node dysfunction.
Second and third degree heart block, bradycardia causing syncope (kecuali
pada pasien dengan functioning pacemaker artificial).
Hindari penggunaan IV pada severe respiratory failure, circulatory collapse,
atau severe arterial hypotension. Hindari penggunaan injeksi bolus pada
congestive heart failure atau kardiomiopati.
Syok kardiogenik.
Kehamilan (kategori D).
Menyusui (terekskresi di ASI).
(Joint National Committee, 2009; Lacy, 2009).
4.6 Efek Samping
Efek Samping yang umum pada amidaron, banyak berhubungan dengan dosis
dan reversible dengan pengurangan dosis. Namun karena waktu paruh dari
amiodaron cukup panjang dan efek samping dapat berkembang setelah
pengobatan dihentikan. Efek samping kardiovaskular yang terkait dengan
amiodaron termasuk bradikardi yang parah, sinus arrest, dan gangguan konduksi.
Hipotensi berat dapat mengikuti infus intravena, khususnya (meskipun tidak
secara khusus) pada laju infus yang cepat (Sweetman, 2009).
Amiodaron mungkin juga menghasilkan takiaritmia ventrikel, torsade de
pointes (suatu bentuk umum dan khas takikardia ventrikel polimorfik (VT)
ditandai dengan perubahan bertahap dalam amplitudo dan memutar dari kompleks
QRS di sekitar garis isoelektrik) telah dilaporkan tetapi tampaknya sedikit terjadi
pada amiodaron dibandingkan dengan antiaritmia yang lain. Jarang terjadi gagal
jantung dapat dipercepat atau diperburuk. Amiodaron mengurangi transformasi
perifer tiroksin (T4) untuk tri-iodothyroninn (T3) dan meningkatkan pembentukan
reverse T3. Hal ini dapat mempengaruhi fungsi tiroid dan dapat menyebabkan
hipo atau hipertiroidisme. Terdapat laporan toksisitas paru yang parah termasuk
fibrosis paru dan pneumonitis interstitial. Efek ini biasanya reversibel pada
penarikan amiodaron tetapi berpotensi fatal. Amiodaron dapat mempengaruhi hati
tes faal hati yang mungkin menjadi abnormal dan resiko sirosis atau hepatitis, dan
kematian akibat penyakit ini telah dilaporkan.
Penggunaan jangka panjang dari amiodaron menyebabkan perkembangan
jinak microdeposits dan kornea menjadi coklat kekuningan pada mayoritas pasien,
kadang-kadang dikaitkan dengan halo berwarna terang, gejala ini bersifat
reversible jika terapi dihentikan. Reaksi fotosensitivitas juga umum terjadi dan
yang lebih jarang perubahan warna kulit menjadi biru-kelabu. Dampak merugikan
lainnya termasuk benign intracranial hypertension, hemolitik atau anemia
aplastik, neuropati perifer, paraesthesia, miopati, ataksia, tremor, mual, muntah,
rasa logam, mimpi buruk, sakit kepala, sulit tidur, kelelahan dan epididimitis.
Tromboflebitis dapat terjadi jika amiodaron disuntikkan teratur atau melalui infus
untuk periode berkepanjangan lewat vena perifer. Injeksi intravena yang cepat
telah berhubungan dengan syok anafilaksis, hot flushes, berkeringat dan mual.
Telah dikemukakan amiodarone yang meningkatkan fosfolipidosis dapat
menjelaskan beberapa efek sampingnya. Kandungan yodium pada amiodarone
memberikan kontribusi terhadap toksisitasnya.
4.6.1 Efek Samping pada Keseimbangan Elektrolit
Hiponatremia terkait dengan sindrom sekresi yang tidak normal hormon
antidiuretik telah dilaporkan pada pasien yang memakai amiodarone. Dalam
setiap kasus, hiponatremia membaik ketika dosis amiodaron dikurangi atau
dihentikan.
Monitoring : Data Lab Elektrolit
4.6.2 Efek Samping pada Mata
Pemeriksaan celah lampu menunjukkan kelainan kornea pada 103 dari 105
pasien yang diobati dengan amiodaron selama 3 bulan sampai 7 tahun. Kelainan
pada tingkat lanjut terdiri dari pola whorled dengan kekeruhan granular yang
sama. Deposit kornea menjadi lebih padat jika dosis amiodaron ditingkatkan dan
mengalami regresi jika dosis diturunkan. Gejala okular dilaporkan hanya pada 12
pasien. Fotofobia dilaporkan pada 3 pasien, sementara 2 memiliki haloes (suatu
lingkaran cahaya) visual, 1 pasien dengan pandangan kabur, dan 6 lainnya
mengalami iritasi pada kelopak mata. Namun iritasi pada kelopak mata dianggap
sebagai reaksi kulit fotosensitif dan penglihatan kabur bukan karena disebakan
oleh amiodaron. Pada 16 pasien amiodaron ditarik dengan penjernihan lengkap
pada kelainan kornea dalam waktu 7 bulan dan pemantauan rutin oftalmologi
dianggap tidak perlu pada pasien tanpa gejala okular (Sweetman, 2009). Sebuah
efek yang lebih serius amiodaron pada mata adalah optik neuropati. Neuropati
optik dan neuritis dengan gangguan penglihatan telah dilaporkan dengan
amiodaron dan UK licensed product information telah merekomendasikan bahwa
pemeriksaan mata tahunan harus dilakukan. Patologi neuropati optik yang
diakibatkan oleh deposisi lipid, seperti dengan bentuk lain dari efek samping
amiodaron (Aronson, 2005).
Monitoring : Kondisi mata pada pasien
4.6.3 Efek Samping pada Genitalia
Pembengkakan dan nyeri skrotum epididimis telah dilaporkan dengan
amiodaron. Waktu onset bervariasi antara 7-71 bulan setelah memulai pengobatan
dan resolusi terjadi dalam waktu 10 minggu meskipun kelanjutan dari terapi
amiodaron pada beberapa pasien. Mekanisme reaksi tidak diketahui, tetapi dalam
1-2 pasien konsentrasi desetilamiodaron dalam sperma 5 kali lipat dalam serum.
4.6.4 Efek Samping pada Jantung
Amiodaron memiliki potensi untuk memicu aritmia, memperpanjang
interval QT dan ada laporan torsade de pointes. Namun review dari literatur
menunjukkan bahwa frekuensi kejadian proaritmik rendah. Resiko torsade de
pointes juga tampaknya menjadi lebih rendah dengan amiodaron dibandingkan
dengan antiaritmia yang lain, kemungkinan disebabkan oleh adanya terapi
tambahan seperti Ca Channel Bloker.
• Disaritmia ventrikel
Amiodaron dapat memperpanjang interval QT, dan ini terkait dengan torsade
de pointes, meskipun hal ini jarang terjadi. Efek ini dipicu oleh hipokalemi.
Disaritmia ventrikel karena obat dapat eithermonomorfik atau polimorfik.
Obat-obatan kelas Ia sangat mungkin menyebabkan disritmia polimorfik,
seperti amiodaron (meskipun pada tingkat rendah). Sebaliknya obat kelas Ic
lebih memungkinkan menyebabkan disaritmia monomorfik (.
• Disaritmia atrial
Amiodaron telah dilaporkan menyebabkan atrial flutter pada 10 pasien yang
telah diberikan untuk mengatasi paroxysmal atrial fibrilasi. Pada 9 orang yang
mengalami atrial flutter berhasil diterapi dengan ablasi kateter. Namun selama
8 bulan pada masa follow-up setelah ablasi, atrium fibrilasi terjadi pada dua
pasien yang terus diterapi amiodaron, ini adalah tingkat yang lebih rendah
kekambuhannya dibandingkan pada pasien yang atrial flutter tidak dikaitkan
dengan amiodaron. Oleh karena itu, penulis menyarankan bahwa pasien
dengan atrial flutter sekunder akibat amiodarone diberikan untuk fibrilasi
atrium, ablasi kateter memungkinkan kelanjutan terapi amiodaron.
Amiodarone kadang-kadang dapat menyebabkan atrial flutter bahkan untuk
mengobatinya telah menjadi laporan tujuh kasus (enam pria dan satu wanita
berusia 34-75 tahun) 1:1 atrial flutter dengan amiodaron per oral. Empat dari
mereka mendasari atrial flutter, tidak ada yang memiliki hipertiroidisme.
Disritmia awal 2 : 1 atrial flutter (n=4), 1 : 1 atrial flutter (n=2), atau atrial
fibrilasi (n=1). Satu pasien mendapat 200 mg/per hari dan satu mendapat 400
mg/hari ditambah carvedilol. Kelima pasien menerima dosis loading 9200 (sd
2400) mg lebih dari 10 mg (sd 4) hari). Ada faktor trigger pemicu adrenergik
(eksersi, demam, stimulasi esofageal atau suatu beta-adrenoreseptor agonis
aerosol) pada lima pasien.
Dalam semua kasus ablasi frekuensi radio efektif. Tidak jelas sampai sejauh
mana kasus atrial fibrilasi dipicu oleh obat-obatan, meskipun frekuensi dari
atrial flutter pada penelitian sebelumnya dengan propafon terjadi kasus serupa.
• Bradikardia
Bradikardia telah dilaporkan terjadi pada sekitar 5% dari pasien yang
memakai amiodaron. Dari 2559 pasien dirawat di unit perawatan jantung
intensif lebih dari 3 tahun, 64 dengan masalah jantung utama iatrogenik
ditinjau. Dari mereka, 58 mengalami disritmia, terutama bradydysritmia,
sekunder untuk amiodaron, beta bloker, sekunder untuk amiodaron, beta
bloker, kalsium channel bloker, ketidakseimbangan elektrolit, dan gabungan
dari bebereapa gejala tersebut. Amiodaron menjadi penyebab dalam 19 kasus,
dibandingkan dengan 44 kasus disebabkan beta bloker dan 28 untuk ca
channel bloker. Dari 56 pasien dengan sinus bradikardia, 10 orang mendapat
kombinasi amiodaron dan beta-bloker, 6 mengonsumsi amiodaron dan 3 orang
memakai amiodaron ditambah Ca channel bloker.
• Blok Jantung
Pada seorang wanita 66-tahun mengkonsumsi amiodarone 1200 mg/minggu
ada ditandai perpanjangan interval QT, untuk 680 ms, gelombang P berikutnya
jatuh dalam refraktori sebelumnya mendahului dan tidak mampu untuk
memulai konduksi. Hal ini mengakibatkan blok atrioventrikular. Amiodaron
dihentikan dan interval QT dinormalisasi dengan time-course konsisten
dengan panjang waktu paruh amiodaron. Sebuah terapi berikutnya dengan
amiodaron intravena menyebabkan perpanjangan lebih lanjut interval QT.
4.6.5 Efek Samping pada Metabolisme Lemak
Amiodaron meningkatkan konsentrasi fosfolipid dalam jaringan dan ini
mungkin menjadi penyebab beberapa efek merugikan. Meskipun hiperlipidemia
dapat berakibat pada hipotiroidisme, amiodaron juga dapat meningkatkan kadar
kolesterol secara independen dari efek tiroid. Efek pada konsentrasi trigliserida
tidak jelas.
4.6.6 Efek Samping pada Liver
Amiodaron sering menyebabkan peningkatan aktivitas serum aspartat
transaminase dan laktat dehidrogenase sekitar dua kali normal, tanpa perubahan
alkali fosfatase (ALP) atau bilirubin dan tanpa bukti klinis disfungsi liver.
Perubahan semacam ini awalnya dilaporkan sementara dan berhubungan dengan
dosis, kondisi akan kembali ke normal bila dosis dikurangi. Namun amiodaron
juga dapat menyebabkan kerusakan hati, yang biasanya berupa hepatitis terkait
dengan hepatitis alkoholik, dalam beberapa kasus ada perkembangan sirosis.
Resiko kerusakan hati pada pasien yang memakai amiodaron tidak diketahui,
tetapi kerusakan yang relatif berat dapat terjadi bahkan tanpa gejala dan terkait
dengan perubahan dalam tes faal hati.
4.6.7 Efek Samping pada Paru-paru
Toksisitas paru adalah salah satu efek samping yang parah yang
berhubungan dengan terapi amiodaron. Beberapa literatur telah menyarankan
bahwa mungkin terjadi pada hingga 10% pasien. Resiko toksisitas paru-paru
adalah sekitar 5-6% dan terbesar selama 12 bulan terapi dan antara pasien berusia
40 tahun ke atas dengan tingkat kematian sekitar 9%. Amiodarone menyebabkan
kerusakan paru-paru baik oleh deposisi langsung fosfolipid dalam jaringan paru-
paru atau oleh jaringan paru-paru atau oleh beberapa imunologis reaksi
termediasi. Mekanisme lain termasuk kerusakan media oksidan, efek deterjen
langsung dan efek toksik langsung iodida. Aktivitas serum laktat dehodrogenase
(LDH) mungkin terkait dengan terjadinya amiodaron-induced pneumonitis.
Aktivitas LDH di cairan lavage bronchoalveolar juga meningkat, mekanismenya
antara lain kebocorna laktat dehidrogenase dari sel interstitial paru ke dalam
darah. Tentu saja, kenaikan dalam aktivitas serum LDH sangat non spesfifik, dan
tidak jelas apakah hal itu juga timbul dalam cairan lavage bronchoalveolar jika
dalam kondisi lain.
4.6.8 Efek Samping pada Sistem Saraf
Toksisitas neurologis merupakan efek samping amiodaron. Sebuah studi dari
10 pasien diobati dengan amiodaron selama lebih dari dari 2 tahun menemukan
bahwa ada korelas antara dosis tinggi dengan konsentrasi serum yang tinggi dari
amiodaron. Efek lainnya lainnya yang telah dilaporkan termasuk delirium,
parkinsonian tremor dan psueotumor cerebri. Pada pasien dengan rentang usia 54-
80 tahun terjadi kondisi delirium, dalam sekitar 4-17 hari pemakaian terapi
amiodaron. Kondisi ini meningkat jika penggunaan amiodaron dihentikan
(withdrawal). Neuropati perifer kemungkinan disebabkan lipidosis intraseluler.
4.6.9 Efek Samping pada Kulit dan Rambut
Efek samping pada kulit yang umum terjadi adalah reaksi fotosensitif.
Pasien yang terkena disarankan untuk memakai pakaian pelindung dan
menghindari papara sinar matahari. Sediaan sunblock topikal yang mengandung
Zn atau titanium oksida, dapat mengurangi resiko dan pengurangan dosis
amiodaron juga mungkin berguna. Fotosensitifitas mungkin akan berlanjut selama
beberapa minggu setelah penghentian terapi amiodaron karena distribusi yang
luas. Blue grey dan golden-brown pigmentation akibat kulit terpapar cahaya telah
dilaporkan selama penggunaan long-term terapi amiodaron. Pigmentasi biasanya
berjalan lambat dan bersifat reversibel jika terapi dihentikan, tetapi mungkin tidak
sepenuhnya hilang. Konsentrasi rata-rata amiodaron dan metabolit desetilnya pada
pigmen kulit yang terpapar ditemukan 10 kali lipat konsentrasi pada kulit yang
tidak terpapar. Perubahan warna pada cairan semen dan keringat juga telah dicatat.
Vasculitis kulit, dermatitis exfoliatif dan necrolisis epidermal toksiisitas juga
dilaporkan sebagai efek samping amiodaron. Alopecia juga dilaporkan sebagai
efek samping amiodaron, namun efek menumbuhkan rambut juga dilaporkan
dimiliki oleh amiodaron dengan mekanisme aktifitas vasodilator. Ekstravasasi
akibat injeksi amiodaron juga dapat menyebabkan necrosis kulit yang parah.
4.6.10 Efek Samping pada Fungsi Tiroid
Amiodaron memiliki efek kompleks pada fungsi tiroid, dimana pasien
euthyroid tetap menerima terapi amiodaron, hipotiroid dan hipertiroid dapat
terjadi. Amiodaron mempunyai efek langsung pada kelenjar tiroid, tetapi juga
mengubah konsentrasi serum pada hormon tiroid, yang dapat mempersulit
interpretasi hasil lab tes fungsi tungsi tiroid. Penggunaan amiodaron menghasilkan
suatu penurunan pada konversi tiroksin periferal (T4) menjadi T3 dan suatu
peningkatan pada reverse konsentrasi T3.
Basal serum konsentrasi TSH meningkat awalnya tetapi cenderung kembali
normal setelah sekitasr 3 bulan pengobatan. Prevalensi klinis hipo- dan
hipertiroidisme tampaknya berkorelasi dengan asupan diet yodium, dengan
kejadian hipotiroidisme lebih umum pada area yanng cukup intak yodiumnya dan
hipertiroidisme di area dengan asupan yodium rendah. Meskipun mekanisme
toksisitas yang tepat belum diketahui, amiodaron memiliki kandungan yodium
yang tinggi (sekitar 75 mg yodiun dalam setiap tablet 200 mg) dan kandungan
yodium yang tinggi dapat mempengaruhi tiroid terutama pada pasien dengan
underlying subclinical thyroid defect. Mekanisme autoimun mungkin juga
berkontribusi dan antitiroid antibodi dapat terdeteksi selama pemakaian
amiodaron. Loading yodium tinggi nampaknya merupakan mekanisme utama dari
hipotiroid, tetapi untuk hipertiroid ada 2 mekanisme.Type I amiodaron-induced
tirotoksikosis nampaknya mempresipitasi loading yodium, sedangkan tipe II
amiodaron-induced tirotoksikosis akibat destruksi tiroiditis yang disebabkan oleh
efek samping langsung pada kelenjar tiroid. Penilaian fungsi tiroid dianjurkan
pada pasien sebelum memulai terapi amiodaron dan dilakukan rutin secara berkala
selama terapi. Konsentrasi TSH harus diukur bersamaan dengan T3 dan T4.
Amiodaron-induced hipertiroid adalah masalah yang lebih kompleks dan
mungkin sulit untuk didiagnosa dan dimanage. Gejala umumnya antara lain
takikardi, tremor, penurunan berat badan, gugup, lekas marah, namun dalam kasus
lain munculnya kembali angina atau emmburuknya aritmia mungkin merupakan
suatu indikasi. Amiodarone biasanya dihentikan jika hipertiroid klinis
berkembang, tetapi dapat diperpanjang jika diperlukan. Pengobatan tipe I
biasanya dengan obat carbimazole, thiamazole atau propylthiouracil. Dalam kasus
resiten kalium perklorat, dapat digunakan tiourea untuk m. engurangi loading
yodium tiroid. Lithium karbonat juga telah digunakan sebagai alternatif, namun
fungsiny belum established. Pada tipe II tirotoksikosis, pengobatan biasanya
dengan kortikosteroid, dan mereka juga dapat digunakan dengan tiourea. Media
oral cholecystografik kontras seperti seperti iopanoic acid juga digunakan tetapi
nampaknya kurang efektif. Radio-iodin dapat digunakan tetapi mungkin tidak
efektif jika uptake radio iodin oleh tiroid rendah akibat loading iodin dari
amiodaron. Radio-iodin juga telah digunakan untuk memungkinkan restart
pemberian terapi pada pasien dengan riwayat amiodaron-induced hipertiroidisme.
Tiroidektomi mungkin juga memiliki peran dalam pengobatan pada resistensi
amiodaron-induced hipertiroidisme.
4.7 Interaksi Obat dan Makanan
Amiodaron harus digunakan hati-hati dengan obat yang lain yang dapat
menginduksi bradikardi, seperti beta bloker, Ca Channel bloker dan dengan anti
aritmia yang lain. Obat digunakan dengan obat aritmogenik terutama yang dapat
memperpanjang interval QT seperti antipsikotik fenotiazin, anti depresan trisiklik,
halofantrine dan terfenadin, juga harus dihindari obat yang menyebabkan
hipokalemi atau hipomagnesemia yang juga bisa meningkatkan resiko aritmia
dengan amiodaron.
Amiodaron dimetabolisme oleh sitokrom isoenzim P450 CYP3A4 dan
CYP2C8 dan interaksi mungkin terjadi dengan inhibitor enzim ini, terutama
dengan inhibitor CYP3A4 seperti HIV-protease inhibitor, cimetidin dan grapefruit
juice. Inducer enzim seperti rifampisin dan fenitoin dapat mengurangi konsentrasi
amiodaron. Selain itu amiodaron adalah inhibitor sitokrom P450 beberapa
isoenzim, termasuk CYP3A4 dan CYP2D6, sehingga dalam konsentrasi plasma
yang lebih tinggi dari obat lain dimetabolisme oleh enzim ini, contohnya antara
lain termasuk siklosporin, clonazepam, digoxin, flecainid, fenitoin, procainamid,
quinidin, simvastatin, dan warfarin. Amiodarone juga menghambat P-glikoprotein
dan dapat mempengaruhi obat yang merupakan P-glikoprotein substrat. Berikut
ini interaksi amiodaron dengan beberapa obat dan makanan (Baxter, 2010):
11 Amiodaron + Betabloker
• Efek Samping : Hipotensi, bradikardi, fibrilasi ventrikel dan asistole
muncul pada pasien yang diterapi amiodaron dengan propranolol,
metoprolol atau sotalol.
• Mekanisme : Amiodaron meningkatkan kadar metoprolol yang dapat
meningkatkan efek terapi. Meskipun analisis studi klinis menyarankan
bahwa kombinasi amiodaron dan beta bloker dapat menguntungkan, efek
samping potensial harus tetap diwaspadai.
11 Amiodaron + Kalsium Channel Bloker
• Efek Samping : Peningkatan efek kardiak depresan
• Mekanisme : Potensiasi dari negatif chronotropics, jika pemberian
amiodaron bersamaan dengan pemberian diltiazem maupun verapamil
11 Amiodaron + Siklosporin
• Efek Samping : nefrotoksisitas
• Monitoring : dosis
11 Amiodaron + Digoxin
• Efek samping : toksisitas digitalis, interaksi terjadi pada kebanyakan
pasien, dan akan jelas terlihat setelah beberapa hari
• Monitoring : dosis
11 Amiodaron + disopiramid
• Efek samping : Peningkatan efek prolong dari Interval QT, menyebabkan
resiko aditif, mengarah ke perkembangan torsade de pointesdan berpotensi
mengancam nyawa
• Monitoring : Dosis, dosis harus dikurangi 30-50% beberapa hari setelah
memulai terapi amiodaron. Kebutuhan terapi disopiramid harus dipantau,
dan dihentikan jika memungkinkan. Dosis awal disopiramid harus sekitar
setengah dari dosis normal yang dianjurkan
11 Amiodaron + diuretik
• Efek samping : resiko hiperkalemi
• Mekanisme : ringan-moderat inhibitor CYP3A4 diperkirakan
meningkatkan kadar eplerenon, yang dapat meningkatkan resiko
hiperkalemi
11 Amiodaron + flecainid
• Efek samping : Kadar flecainid meningkat 50% oleh amiodaron, suatu
penelitian melaporkan kejadian torsade de pointes pada pasien menerima
terapi amiodaron dan flecainid
• Monitoring : mengurangi dosis sepertiga hingga setengah jika
ditambahkan terapi amiodaron, dan monitoring efek samping flecainid.
Interaksi mungkin terjadi 2 minggu atau lebih.
11 Amiodaron + grapefruit juice
• Efek samping : Meningkatkan konsentrasi amiodaron
• Mekanisme : inhibisi metabolisme amiodaron menjadi metabolitnya,
meningkatkan kadar AUC amiodaron 50% dan meningkatkan kadar serum
84%, yang dapat memicu toksisitas
11 Amiodaron + H2Bloker
• Efek samping : peningkatan sedang kadar amiodaron pada beberapa pasien
111 Amiodaron + levotiroksin
• Efek samping : peningkatan kadar TSH dan juga menyebabkan
hipotiroidisme
• Monitoring : Tes fungsi tiroid pada semua pasien sebelum memulai terapi
amiodaron
111 Amiodaron + lidocain
• Efek samping : suatu laporan menunjukkan kejadian kejang pada seorang
pasien yang menerima terapi lidokain, 2 hari setelah amiodaron dan
sinoatrial arrest pada pasien lain dengan sick sinus syndrome pada pasien
yang menerima 2 obat tersebut bersamaan.
• Monitoring : kondisi klinis pasien
111 Amiodaron + fenitoin
• Efek samping : Kadar serum fenitoin dapat meningkat dengan amiodaron,
ditandai pada beberapa individual (berdasarkan laporan, terjadi 4 kali
peningkatan). Kadar serum amiodaron berkurang dengan adanya fenitoin.
• Monitoring : Pengurangan dosis 25-30% pada fenitoin telah
direkomendasi pada pasien yang mendapat 2-4 mg/kg perhari, tetapi harus
diingat bahwa perubahan pada dosis fenitoin mungkin dapat menyebabkan
pada kadar fenitoin, karena kinetik fenitoin merupakan kinetik non-linear.
Efek klinis dari efek amiodaron, tidak begitu jelas.
111 Amiodaron + warfarin dan antikoagulan oral lainnya
• Efek samping : Efek antikoagulan warfarin, phenprocoumon dan
acenocoumarol meningkat karena amiodarone pada kebanyakan pasien
dan pendarahan mungkin terjadi. Interaksi obat ini lambat (sampai 2
minggu).
• Dosis : Dosis warfarin dan phenprocoumon harus dikurangi dengan
sepertiga sampai dua pertiga jika amiodaron ditambahkan. Dosis
acenocoumarol harus berkurang antara 30% - 50%. Namun, pengurangan
dosis yang disarankan hanya secara general untuk tiap individu pasien
mungkin perlu lebih atau kurang. INR.
• Monitoring : INR (International Normalised Ratio) (waktu protrombin
time) seharusnya dimonitor selama pemberian terapi. Satu studi
menyarankan pemantauan mingguan pada 4 minggu pertama.
111 Amiodaron + Statin
• Efek samping : Ada beberapa bukti tingginya insiden miopati ketika
amiodaron diberikan dengan dosis tinggi simvastatin, namun, kasus
miopati dan rhabdomyolysis jarang dilaporkan pada pasien yang memakai
kombinasi ini. Lovastatin memiliki interaksi yang sama dengan
amiodaron.
• Monitoring : Hal ini umumnya direkomendasikan bahwa dosis simvastatin
tidak boleh melebihi 20 mg per hari pada pasien yang menerima terapi
amiodaron, kecuali manfaat klinis yang cebderung lebih besar daripada
peningkatan resiko miopati dan rhabdomyolisis. Namun salah satu
produsen obat di Inggris, melabelkan kontraindikasi pada obat golongan
statin. Para produsen lovastatin menunjukkan dosis maksimum 40 mg
sehari pada penggunaan bersamaan dengan amiodaron.
4.8 Precaution dan Monitoring
Amiodaron tidak boleh diberikan kepada pasien dengan kondisi bradikardi,
blok sino-atrial, AV blok atau gangguan konduksi parah lainnya (kecuali pasien
memiliki alat pacu jantung), hipotensi berat, atau gagal napas. Amiodaron dapat
digunakan tetapi dengan hati-hati pada pasien dengan gagal jantung. Gangguan
elektrolit harus diperbaiki sebelum memulai pengobatan. Penggunaan amiodaron
harus dihindari pada pasien dengan sensitivitas yodium, atau terbukti memilik
gangguan tiroid. Pasien yang menerima terapi amiodaron harus menghindari
paparan sinar matahari. Fungsi tiroid harus dipantau secara teratur untuk
mendeteksi amiodaron-induced hiper- atau hipotiroidisme. Konsentrasi tiroksin,
tri-iodotironin dan tirotropin (TSH) harus diukur, penilaian klinis penting namun
tidak dapat diandalkan begitu saja. Tes fungsi hati dan paru juga harus dilakukan
secara teratur pada pasien pada terapi jangka panjang. Pemeriksaan optalmologik
seharusnya juga dilakukan rutin setiap tahun. Meskipun ekskresi urin bukan rute
utama eliminasi amiodaron dan metabolitnya, ada kemungkinan adanya akumulasi
yodium pada gangguan renal. Injeksi intravena amiodaron harus diberikan secara
perlahan. Jika infus diperpanjang atau berulang dibutuhkan untuk terapi,
penggunaan kateter vena sentral harus dipertimbangkan. Beberapa kontra indikasi
untuk amiodaron mungkin tidak terjadi bila pemberian secara intravena dalam
kondisi darurat (emergency) (Sweetman, 2009).
4.9 Stabilitas
Amiodarone hydrochloride disimpan pada suhu kamar dan terlindung dari
cahaya, dan suhu yang terlalu tinggi.
Amiodarone direkonstitusi dengan D5W hingga didapat 1-6 mg/mL,
campuran stabil pada suhu kamar selama 24 jam pada polyolefin atau kaca,
atau selama 2 jam dalam PVC. Infus > 2 jam harus ditempatkan pada kaca
atau botol polyolefin. Jangan menggunakan evacuated glass container. Buffer
dapat menyebabkan presipitasi
(Lacy, 2009; Trissel, 2009).
DAFTAR PUSTAKA
1. Aaronson, Philip I. dan Ward, Jeremy P.T. 2007. At a Glance Sistem
Kardiovaskular edisi 3. Jakarta : Erlangga
2. Aronson, JK. 2005. Meyler’s Side Effects of Drugs, The International
Encyclopedia of Adverse Drug Reaction and Interactions 15th Edition.
Oslo. p. 148-173
3. Baxter, Karen. 2010. Stockley’s drug Interaction, 9th ed. London:
Pharmaceutical press. P. 41-45.
4. Cannom, D.S., and Prystowsky, E.N., 1999. Clinical Cardiology Management
of Ventricular Arrhythmias: Detection, Drugs and Devices. American
Medical Association. Vol. 281, No.2.
5. Harris, L., McKenna, WJ., Rowland, E., Holt, DW., et al., 1983. Side Effects
of Long-Term Amiodarone Therapy. Dallas. American Heart Association,
Inc. p.1-8.
6. Herendael, H.V., and Dorian, P., 2010. Vascular Health and Risk Management:
Review Amiodarone for the Treatment and Prevention of Ventricular
Fibrillation and Ventricular Tachycardia. Dove Medical Press Ltd., Vol. 6, p.
465-472.
7. Joint National Committee, 2009. British National Formulary, 58th Ed.
London: BMJ Group and RPS Publishing.
8. Lacy, C.F., Amstrong, L.L., Goldman, M.P., Lance, L.L., 2009. Drug
Information Handbook, 18th Ed., United States: Lexi Comp Inc.
9. Letelier, L.M., Udol, K., Ena, J., Weaver, B., Guyatt, G.H., 2003.
Effectiveness of Amiodarone for Conversion of Atrial Fibrillation to Sinus
Rhythm. Arch Intern Med, Vol.163, p.777-785.
10. Loscarzo, Joseph. 2010. Harrison’s : Cardiovascular Medicine. New York :
Mc Graw Hill
11. Sweetman S.C., 2009. Martindale The Complete Drug Reference. 36th Ed.
London: The Pharmaceutical Press.
12. Tatro, David S., 2003. A to Z Drug Facts. Facts and Comparisons.
13. Tisdale, J.E., 2008. Arrhythmias. In: Burns, M.A.C., Wells, B.G.,
Schwinghammer, T.L., Malone, P.M., Kolesar, J.M., Rotschafer, J.C., Dipiro,
J.T., Pharmacotherapy Principles and Practice, The McGraw-Hill
Companies, Inc..
14. Tisdale, J.E., 2011. Arrhythmias. In: Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C.,
Matzke, G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., Pharmacotherapy, A
Pathophysiologic Approach, The McGraw-Hill Companies, Inc..
15. Trissel, L.A., 2009. Handbook of Injectable Drug, 15th Ed. Maryland:
American Society of Health-System Pharmacists, Inc.
16. Vassalo, P, and Trohman, R.G., 2007. Clinical Review: Prescribing
Amiodarone: An Evidence Based Review of Clinical Indications. Journal
American Medical Association, Vol. 298, No. 11.