PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN
TERSANGKA DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA
PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN
TERSANGKA DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA
ES/ BOBOH TIPQIBO UPSOBEP-T/I/-N/I/-N/LO/
EDITOR:
DR. ABDUL HALIM BARKATULLAH, S.H., M.Hum.
Katalog Dalam Terbitan (KTD) PRAPERADILAN: Sarana Perlindungan Tersangka Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia © Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.; Editor: Dr. Abdul Halim Barkatullah, S.H., M.Hum.
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. All rights Reserved Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit
Badung: 2018 viii+ 159 hal.; 160 mm ISBN: 978-602-72748-9-1
Cetakan I: September 2018
Diterbitkan oleh Penerbit Nusa Media PO BOX 137 Ujungberung, Bandung
Disain cover: Tata Letak: Nusamed Studio
KATA PENGANTAR
Maha Puji Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga buku
“PRAPERADILAN: SARANA PERLINDUNGAN TERSANGKA DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA” ini bisa diselesaikan sesuai dengan target
yang telah ditentukan. Selain itu tak lupa bacaan salawat patut diucapkan
untuk Nabi Muhammad SAW sebagai manusia yang berpengaruh besar pada
peradaban manusia hingga menjadi sekarang ini.
Buku ini hanyalah salah satu dari sekian banyak buku tentang
praperadilan untuk membantu mahasiswa agar lebih mudah memahami
materi di samping kuliah dan buku-buku wajib lainnya karena, belajar
dari satu buku saja tidaklah cukup.
Penulis yakin bahwa buku ini banyak kekurangannya, maka oleh karena
itu setiap kritik yang bermaksud untuk menyempurnakan buku ini disambut
dengan gembira.
Semoga buku ini bermanfaat bagi para mahasiswa Fakultas Hukum pada
khususnya dan dunia hukum pada umumnya.
Banjarmasin, 7 Agustus 2018
Penulis
Dr. Anang Shophan Tornado, S.H., M.H., M.Kn.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA
INDONESIA
A. Makna Filosofis, Historis, Yuridis dan Sosiologis Lembaga Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia —17
B. Eksistensi Lembaga Pra Peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/
PUU-XII/2014 —60
C. Urgensi Pemberian Kewenangan Bagi Lembaga Praperadilan Dalam Menentukan
Batas Penyidikan Terhadap Tersangka Korupsi —63
BAB III
JANGKA WAKTU PENYIDIKAN OLEH KPK BERDASARKAN PUTUSAN
PRAPERADILAN DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
A. Pengaturan Tentang Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia —87
B. Pengaturan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan Pasca Penetapan Tersangka Berdasarkan Putusan Pra Peradilan —97
C. Kedudukan Tersangka dalam Hukum Acara Pidana —112
D. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tersangka Dalam Perspektif Hukum Acara
Pidana —113
E. Landasan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan oleh KPK Setelah Penetapan Tersangka
Berdasarkan Putusan Praperadilan Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia —121
BAB IV PENGATURAN MASA YANG AKAN DATANG TERKAIT
KEWENANGAN LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM MEMBERIKAN
BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA
PUTUSAN PRAPERADILAN
A. Pengaturan Lembaga Pra Peradilan Dalam Ius Constituendum —145
B. Pengaturan Penyidikan dalam Ius Constituendum —149
C. Konsep Baru Pengaturan Batas Waktu Penyidikan KPK Dalam Lembaga
Praperadilan —151
BAB V
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
BIOGRAFI PENUILIS
BAB I
PENDAHULUAN
Hampir setiap hari kita disuguhkan episode-episode baru tindakan
korupsi yang dilakukan oleh para pemangku kebijakan ini dengan modus
yang beragam. Masyarakat semakin hari semakin resah akan kasus korupsi
ini. Ironis melihat tindak pidana korupsi saat ini bukan menjadi kejahatan
terselubung, namun sudah menjadi tindak pidana yang dilakukan secara
terang-terangan. Para pelaku melakukannya tak lagi secara sembunyi-
sembunyi dan cenderung dilakukan secara berjamaah serta dengan modus
operandi yang bermacam-macam demi berjalannya praktek haram korupsi.
Perkembangan praktik korupsi di Indonesia sangat pesat dan sistemik.
Praktik haram korupsi sebagai tindakan yang melanggar hukum sekarang
sudah dianggap biasa bahkan sudah menjadi budaya. Ada selentingan
bahwa tidak melakukan korupsi dianggap sebagai pejabat yang “munafik”.
Inilah pikiran-pikiran yang harus dimusnahkan, terlebih sebagai pejabat
negara melayani warga negara. Praktik korupsi sejatinya merusak sistem
pembangunan negara indonesia yang sudah berpuluh-puluh tahun dirancang
oleh Founding Father kita dan hingga kini belum terihat signifikan, akibat
perilaku menyimpang para pejabat negara yang korupsi baik itu di ranah
Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif.
Tindak pidana korupsi sejatinya dapat merusak tatanan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Korupsi juga mampu merusak stabilitas keamanan
nasional, menghambat cita-cita pembangunan, dan mengganggu kehidupan
sosial ekonomi bangsa indonesia. Perilaku korup membuat kerugian negara
yang sedemikian besar, membuat program pembangunan bangsa terhambat.
Hingga ada akhirnya, harus disadari tindak pidana korupsi merupakan
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Sesungguhnya reformasi hukum terkait dengan pemberantasan tindak
pidana korupsi sekarang sudah dilaksanakan. Reformasi dari perangkat
2 BAB I
hukum, seperti aturan-aturan dan para aparat penegak hukum dilakukan
secara besar-besaran. Menjadi langkah nyata ketika lahir Undang-undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana dirubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Dengan
diberlakukannya Undang-undang ini, memberi harapan besar agar praktik
korupsi menjadi berkurang dan memberi efek jera bagi koruptor. Inilah
memang fenomena yang terjadi, Korupsi sudah menjadi kebiasaan bahkan
membudaya hampir di seluruh elemen pemerintahan dan aparatur penegak
hukum. Lihatlah sekarang, para bekas menteri, gubernur, walikota, polisi,
hakim, jaksa bahkan pengusaha juga terjerat korupsi. Semakin ketat aturan
dan tegasnya aparat hukum, ternyata tidak membuat korupsi berkurang.
Wewenang penyidikan sebagaimana dalam Peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan kepolisian sebagai suatu subsistem
peradilan pidana adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002
tentang Pertahanan Negara, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Tugas kepolisian yang
terkait dengan sebagai subsistem peradilan pidana adalah fungsi penyelidikan
(pasal 1 ayat 4 KUHAP), Pasal 14 ayat 1 huruf a KUHAP dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002.
Di samping itu juga dalam fungsi penyidikan Kepolisian mempunyai
wewenang secara umum dalam tindak pidana apapun (Pasal 1 ayat 1 KUHAP
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002). Dalam hal ini negara Indonesia
merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, yang mengatur segala aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Hukum di sini mempunyai arti yang sangat penting dalam aspek kehidupan
sebagai pedoman tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan
manusia lainnya.1
Seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana sesuai dengan
bukti permulaan yang cukup dapat dilakukan penangkapan. Dalam
Pasal 17 KUHAP. Setelah adanya penangkapan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh polisi adalah melakukan penyidikan, dan hal ini tentunya
polisi juga melakukan perbuatan hukum kembali dengan cara melakukan
penahanan kepada seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana,
penahanan yang dilakukan oleh penyidik terbatas waktunya misalnya untuk
penahanan tahap awal polisi dapat melakukan penahanan atau dengan
cara mengeluarkan Surat Perintah Penahanan (model Serse; A,6) selama 20
hari (Pasal 20, 21, 24 KUHAP) dan apabila pemeriksaan penyidikan belum
1 Sidik Sunaryo, System Peradilan Pidana, (Universitas Muhammadiyah: Malang, 2005), hlm. 227.
Pendahuluan 3
selesai maka penahanan tersebut ditambah kembali oleh jaksa selama 40
hari (Pasal 24 KUHAP). Karena dalam pasal 24 ayat (2) KUHAP menggunakan
kalimat “paling lama 40 hari” berarti secara umum yuridis memberikan
perpanjangan penahanan.2
Dikecualikan apabila ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal
24 KUHAP, maka jangka waktu penahanan dalam tingkat pemeriksaan
penyidikan dapat ditambah lagi oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 30 hari
+ 30 hari menjadi 60 hari sesuai dengan Pasal 29 KUHAP.
“Tersangka atau Terdakwa yang menderita gangguan fisik atau mental yang berat dibuktikan dengan cara surat keterangan dokter atau Perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 tahun atau lebih”.
KUHAP belum mengatur tentang batas waktu penyidikan terutama batas
penyidikan terhadap tersangka korupsi. Selain itu penyidikan yang dilakukan
oleh polisi yang berlarut-larut tanpa adanya jangka waktu bisa berbulan-
bulan dan bertahun-tahun.
Dalam menyelesaikan tindak pidana korupsi adalah proses penyidikan
karena merupakan tahap awal dalam proses peradilan pidana, oleh karena
itu proses penyidikan ini menjadi sentral dan merupakan tahap kunci dalam
upaya penegakkan aturan-aturan hukum pidana terhadap berbagai peristiwa
yang terjadi.
Belum adanya kepastian hukum dalam proses penyidikan terkait dengan
limitasi jangka waktu penyidikan mengakibatkan posisi seseorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana statusnya terkatung-katung dan
prosesnya biasanya berbulan-bulan. Meskipun tidak jarang proses penyidikan
ini sangat cepat tapi untuk kasus yang tidak jelas pula. Artinya tidak ada
standar yang jelas dalam KUHAP mengenai waktu masa penyidikan.3
Sebagai negara yang menganut sistem due process model sudah menjadi
kewajiban bagi Indonesia untuk mengedepankan hak-hak yang dimiliki oleh
tersangkanya dalam proses beracara pidana. Hak adalah merupakan sesuatu
yang diberikan kepada seseorang tersangka, terdakwa dan terpidana. Apabila
hak ini dilanggar, maka hak asasi tersangka, terdakwa dan terpidana atau
terhukum telah dilanggar atau tidak dihormati.4 Kepada tersangka telah
difasilitasi dalam pemenuhan haknya misalnya saja hak untuk pemeriksaan
dengan segera mungkin, hak memberi keterangan secara bebas maupun hak
2 H. M.A Kuffal, S.H, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2005), hlm. 81.
3 Zenes Saut P S, Tindakan Hukum Yang Dapat Dilakukan Oleh KPK Dalam Hal Penyidikan Tindak Pidana Korupsi, Universitas Padjajaran Bandung.
4 Andi Sofyan dan Abd. Asis, Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar, (Jakarta: Kencana, 2014), hlm. 54.
4 BAB I
untuk mendapatkan bantuan hukum. Hak-hak tersebut diberikan kepada
tersangka disamping untuk tegaknya kepastian hukum, dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan terhadap hak asasi dan harkat martabatnya.5
Dalam upaya menjamin tegaknya hak-hak tersangka perihal tersebut
telah diatur dalam sebuah peraturan perundang-undangan yaitu Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya
akan disebut sebagai KUHAP). Hak-hak tersebut diantaranya terdapat dalam
ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 156 KUHAP yang utamanya mengatur
perihal proses pemeriksaan tersangka. Hak-hak tersebut pada dasarnya tidak
boleh disimpangi dan harus dijunjung tinggi sebagaimana mestinya. Tetapi
seringkali dalam upaya memperoleh kebenaran suatu perkara pihak aparat
penegak hukum (penyidik) dalam melakukan tindakan yang melanggar
hak-hak tersebut terutama apabila dalam peraturan perundang-undangan
terdapat adanya celah untuk melakukan hal tersebut. Pada prinsipnya
keterangan tersangka yang diberikan merupakan keterangan terdakwa
yang diberikan diluar sidang dan dapat dipergunakan untuk membantu
menemukan bukti disidang dengan didukung suatu alat bukti sah lainnya,
dalam praktik peradilan lazimnya terhadap keterangan tersangka/terdakwa
ketika diperiksa penyidik kemudian keterangan tersebut dicatat dalam berita
acara penyidikan ditandatangani oleh penyidik dan tersangka/terdakwa.6
Tata cara penyidikan telah diatur dalam KUHAP maupun kewenangan
dari penyidik sendiri.7 Pendekatan KUHAP mengenai dasar pemberian
wewenang kepada penyidik bukan didasarkan atas kekuasaan, melainkan
berdasarkan pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya,
kepada masing-masing pejabat tersebut diberikan kewenangan yang
disesuaikan/diselaraskan dengan berat-ringannya kewajiban dan
tanggung jawab masing-masing serta kedudukan, tingkat kepangkatan
dan pengetahuannya.8
Mengenai penempatan tersebut dimaksudkan agar terdakwa terlebih
dahulu mendengar, melihat alat bukti yang lain, dan telah diperlihatkannya
barang bukti. Dengan demkian diharapkan terdakwa benar-benar dapat
merenungi, menyadari apa yang didakwakan, meskipun bukan berarti
terdakwa harus membenarkan atau mengiyakan setiap alat bukti yang
5 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 338.
6 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan permasalahannya, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 103.
7 Waluyadi, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju, 1999), hlm. 43.
8 Djoko Prakoso, Peranan Psikologi dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 44.
Pendahuluan 5
dikemukakan dalam sidang.9 Namun untuk mengupayakan agar tersangka
memberi keterangan dengan jelas dalam pemeriksaan penyidik sering
melanggar hak-hak mereka sebagai tersangka.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perbuatan yang sedemikian
rupa akan berakibat suatu kondisi yang tidak seimbang antara aparat penegak
hukum dengan tersangka. Hal ini bertentangan dengan asas keseimbangan
yang dianut dalam KUHAP dimana dalam setiap penegakan hukum harus
berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia dengan perlindungan terhadap
kepentingan dan ketertiban masyarakat.10
Dalam proses pemeriksaan sebelum persidangan sampai tahap
penuntutan sangat rentan terjadi pelanggaran yang pada ujungnya akan
merugikan tersangka yang pada akhirnya dalam tahap persidangan. Pada
kenyataannya, sejarah membuktikan bahwa kenaifan hukum seperti ini
diberlakukan dengan bangga oleh manusia selama berabad-abad lamanya.
Bahkan, digunakan pada zaman orang sudah mengenal hukum yang rasional
sejak masa kejayaan Romawi di Eropa Barat. Ini menjadi bukti kuat bahwa
berbagai teori dan praktik hukum tidak selamanya berjalan seiring dengan
perkembangan rasio manusia.11
Pada masa itu banyak masyarakat tidak memandang keadaan tersebut
sebagai suatu hal yang salah. Untuk timbulnya suatu keadaan hukum, maka
harus ada suatu tindakan sosial yang oleh masyarakat dianggap sebagai yang
salah, sedemikian salahnya sehingga selalu tidak diadakan sesuatu tindakan,
maka pranata yang dijunjung tinggi dalam masyarakat akan terinjak.12
Pada hakikatnya kualitas penegakan hukum tidak dapat dilepaskan
dari tujuan meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat dan kualitas
pembangunan yang berkelanjutan (“sustainable development/sustainable
society”).13 Sementara hukum sendiri bertujuan untuk mengadakan
keselamatan, bahagia dan tata tertib dalam masyarakat itu.14
Praperadilan merupakan hal yang baru dalam dunia peradilan Indonesia.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan
9 Hendar Soetarna, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 2011), hlm. 79.
10 M. Yahya Harahap, Op.Cit. hlm. 38. 11 Munir Fuady,Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2006), hlm. 22. 12 T,O,Ihromi, Antropologi dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1984),
hlm. 47. 13 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet, 3, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 2013), hlm. 249. 14 Wirjono Prodjodikoro, Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut
Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju, 2000), hlm. 3.
6 BAB I
KUHAP dalam lingkungan penegak hukum. Dalam Pasal 1 butir (10) KUHAP
menyatakan:
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”15
Praperadilan tidak diatur dalam ketentuan Herzien Inlandsch
Reglement yang selanjutnya disebut (HIR). Keberadaan praperadilan dalam
KUHAP merupakan hal yang baru dan digunakan untuk melindungi hak-
hak tersangka dalam proses penyidikan. Sehinga ada ruang keadilan bagi
tersangka untuk mencari keadilan, dalam masa kolonial Belanda praperadilan
tidak diatur. Hal ini dapat dimengerti, bahwa perbedaan tersebut dapat
terjadi oleh karena HIR diciptakan dalam suasana zaman kolonial Belanda,
yang pada dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya
dibentuk sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa
dalam hal ini pihak penjajah.16 Sehingga penting keberadaan praperadilan
dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia.
Dalam rangka memberikan perlindungan terhadap tegaknya hak-hak
yang dimiliki tersangka KUHAP mengatur tentang lembaga Praperadilan.
Pengaturan lembaga Praperadilan dalam KUHAP, merupakan adopsi atas
lembaga habeas corpus dari sistem peradilan pidana Anglo-Saxon. Namun
wewenang yang diberikan kepada hakim dalam proses peradilan jauh lebih
terbatas dibandingkan dengan wewenang hakim komisaris di negara-
negara dengan tradisi civil law di Eropa daratan (rechter-commissaris, jugde
d’instruction, juez de intruciœn, juiz intruçœo dan sebagainya).17 Praperadilan
berawal dari gagasan Adnan Buyung Nasution bersama beberapa pakar
hukum antara lain Gregory Churchill, lawyer Amerika Serikat (yang sedang
menjadi dosen di Universitas Indonesia), Adnan Buyung Nsution kemudian
merumuskannya menjadi praperadilan yang dikenal dalam KUHAP.18
Praperadilan sebagai salah satu bentuk upaya perlindungan hak-hak asasi
15 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, (Bandung: Mandar Maju, 2003), hlm. 6.
16 Ibid, hlm. 8. 17 Andi Hamzah dan RM Surachman, Pre-Trial Justice Discretionary Justice dalam
KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 106. 18 Ibid, hlm. 106-107.
Pendahuluan 7
manusia sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28A sampai 28J kepada KUHAP
khususnya ketentuan Pasal 28D. Dengan adanya lembaga praperadilan,
diharapkan dapat menjadi sarana kontrol bagi aparat penegak hukum
dalam menjalankan kewenangannya. Praperadilan sebagai satu kesatuan
tidak terlepas dari struktur dan administrasi yudisial Pengadilan Negeri.
Segala sesuatu yang menyangkut administrasi dan pelaksanaan tugas
praperadilan, berada dibawah ruang lingkup kebijaksanaan dan tata laksana
Ketua Pengadilan Negeri.19
Praperadilan memberikan keuntungan kepada tersangka dari
kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam melakukan proses
penyidikan. Untuk memberikan perlindungan kepada orang yang diduga
sebagai tersangka dari kewenangan aparat penegak hukum. KUHAP telah
menyediakan lembaga praperadilan memiliki tugas untuk menjaga ketertiban
pemeriksaan pendahuluan dalam rangka melindungi seseorang yang diduga
tersangka terhadap tindakan-tindakan penyidik dan/atau penuntut yang
melanggar hukum dan merugikan tersangka.20 Perlindungan terhadap hak-
hak tersangka bisa diperjuangkan dalam proses praperadilan, sehingga proses
yang dijalankan lebih transparan dan adil.
Upaya paksa yang dilakukan dalam penyidikan maupun tahap
penuntutan oleh lembaga yang berwenang dapat dilakukan kontrol melalui
lembaga praperadilan. Tujuan dibentuknya lembaga praperadilan agar hak-
hak tersangka dapat dilindungi terutama dalam hal penangkapan maupun
penahanan yang tidak sah serta adanya penghentian penyidikan maupun
penuntutan. Walaupun lembaga tersebut telah diatur dalam KUHAP,
namun dalam aplikasinya masih terdapat beberapa kelemahan baik dalam
formulasinya maupun dalam penerapannya di pengadilan, sehingga tidak
memberikan perlindungan maksimal terhadap hak asasi manusia tersangka.
Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum merupakan
faktor utama dalam memaksimalkan keberadaan lembaga praperadilan.
Ketidaktahuan masyarakat disebabkan tidak jalannya informasi dari
pemerintah. Terbatasnya pengetahuan publik tentang mekanisme
praperadilan merupakan indikasi adanya suatu penyimpangan dari asas
transparansi dan akuntabilitas publik, dimana pemerintah seharusnya
melancarkan kebebasan aliran informasi mengenai mekanisme
permintaan praperadilan.
19 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 12.
20 S. Tanusubroto, Peranan PraPeradilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm.10.
8 BAB I
Pengaturan praperadilan diatur dalam ketentuan Pasal 77 sampai dengan
Pasal 83 KUHAP. Mengenai wewenang praperadilan dalam Ketentuan Pasal
77 KUHAP dinyatakan: Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini
tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kemudian pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/XII-PUU/2014
ketentuan mengenai syarat-syarat permohonan praperadilan ditambah
dengan penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan sebagai obyek
praperadilan. Mengenai alasan disetujuinya penambahan syarat praperadilan
dapat diambil dari pertimbangan hakim anggota Anwar Usman yang tertuang
dalam risalah sidang perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan:
“Bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Upaya paksa pada masa itu secara konvensional dimaknai sebatas pada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan, namun pada masa sekarang bentuk upaya paksa telah mengalami berbagai perkembangan atau modifikasi yang salah satu bentuknya adalah „penetapan tersangka oleh penyidik‟ yang dilakukan oleh negara dalam bentuk pemberian atau status tersangka pada seseorang tanpa adanya batas waktu yang jelas, sehingga seseorang tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa tersedianya kesempatan baginya untuk melakukan upaya hukum untuk menguji legalitas dan kemurnian tujuan dari penetapan tersangka tersebut. Padahal hukum harus mengadopsi tujuan keadilan dan kemanfaatan secara bersamaan sehingga jika kehidupan sosial semakin kompleks maka hukum perlu lebih dikonkretkan secara ilmiah dengan menggunakan bahasa yang lebih baik dan sempurna. Dengan kata lain, prinsip kehati-hatian haruslah dipegang teguh oleh penegak hukum dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka.”21
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga merubah konstruksi dari
praperadilan itu sendiri. Pasca putusan Mahkamah Konstitusi konstruksi
dari praperadilan awalnya hanya berwenang memeriksa dan memutus
sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan, sah atau tidaknya
penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, serta permintaan
ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh putusan a quo kewenangannya diperluas
dengan menambahkan pengujian mengenai sah tidaknya penggeledahan,
21 Pendapat tersebut dikutip oleh Hakim Anggota Anwar Usman dari pendapat Shidarta, 2013, hlm. 207-214.
Pendahuluan 9
sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya penetapan tersangka. Meskipun
putusan a quo dinilai melebihi kewenangan Mahkamah Konstitusi karena
dinilai telah membuat norma baru, namun putusan a quo tetap bersifat final
dan mengikat sehingga harus dianggap sebagai hukum pelengkap KUHAP.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memperluas kewenangan materi
uji dalam praperadilan.
Selain itu Mahkamah Konstitusi mengubah Pasal 1 angka 14, 17 dan
Pasal 21 ayat (1) dengan menambakan frase “minimal dua alat bukti” dalam
proses penetapan tersangka dan penyidikan. Hulu pertimbangan putusan
ini adalah contoh pengujian terhadap keabsahan perolehan alat bukti atau
(illegal secured evidence) yang menjadi pengaturan dari exclusionary rules,
yaitu dari kasus Dominique Khan yang disangkakan melakukan perkosaan
terhadap Nafissatou Diallo tahun 2011 di Magistrates Court New York, karena
perolehan alat bukti penegak hukum dianggap melanggar Rights of Protection
by the State, Disciplining the Police dan The Legitimacy of the Verdict.22 Selain itu
mengenai ketentuan dua alat bukti ini juga diambil dari ketentuan dalam
Pasal 44 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah lahir sebelum penambahan
dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Peraturan dalam Undang-
Undang Komisi Pemberantasan Korupsi dapat diasumsikan sebagai tanda
awal perubahan norma dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Beberapa kasus korupsi di Indonesia telah mempergunakan lembaga
praperadilan dalam hal penetapan tersangka. Berikut adalah kasus-kasus
yang mengajukan praperadilan terhadap status tersangka:23
NO KASUS KETERANGAN
1 Miryam Haryani di Kasus Keterangan Palsu
Miryam Haryani mengajukan gugatan praperadilan dengan permohonan agar status tersangka dugaan pemberian keterangan palsu dicabut. Miryam menyebut KPK tidak berwenang mengadili perkara yang disangkakan padanya. Hakim tunggal Asiadi Sembiring akhirnya menolak gugatan praperadilan yang diajukan Miryam S Haryani. Majelis hakim menyatakan penetapan status tersangka Miryam di KPK tetap sah. Hakim menegaskan, langkah KPK menetapkan Miryam sebagai tersangka pemberian keterangan tidak benar dalam persidangan dugaan korupsi e-KTP sudah memenuhi dua alat bukti. Penetapan tersangka dinyatakan hakim sesuai dengan prosedur.
22 Indriyanto Seno Adji, Pra Peradilan dan KUHAP (Catatan Mendatang), (Jakarta: Diadit Media, 2015), hlm. 4-5.
23 https://news.detik.com/berita/3509949/kpk-vs-tersangka-korupsi-di-5- praperadilan-terakhir. diakses pada 28 September 2017 Pukul 13.00 Wib
10 BAB I
NO KASUS KETERANGAN
2 Rohadi di Kasus Suap dan Gratiftkasi
status tersangka suap dan gratifikasi digugat oleh keluarga Rohadi melalui praperadilan sebanyak 2 kali. Pertama ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Pada November 2016, anak bungsu Rohadi, Reyhan Satria Hanggara, mengajukan gugatan praperadilan ketiga terkait status tersangka Rohadi di kasus pencucian uang. Gugatan diajukan melalui pengacara Tonin Singarimbun. Lagi- lagi gugatan itu dimentahkan hakim. Gugatan tak dapat diterima dengan alasan kasus Rohadi yang lain, yakni terkait suap dan gratifikasi, telah disidangkan di Pengadilan Tipikor.
3 Bupati Nganjuk Tauftqurrahman di Pembangunan Jembatan Hingga Perbaikan Jalan
Bupati Nganjuk Taufiqurrahman memenangkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel). Ia mengajukan gugatan praperadilan terkait kasus 5 proyek yang terjadi pada 2009.
4 Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun di Kasus Suap Akil Mochtar
Hampir semua pertimbangan KPK dilihat oleh hakim. Dengan putusan ini, proses penyelidikan perkara korupsi terus berjalan di KPK.
5 Mantan Ketua DPD Irman Gusman di Kasus Suap Kuota Gula Impor
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) memvonis gugur gugatan praperadilan mantan Irman Gusman melawan KPK. Sebab perkara yang dimaksud sudah dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor Jakarta untuk segera diadili.
Terkait penetapan tersangka di Indonesia masih memiliki permasalahan
diantaranya mengenai batas waktu atau limitasinya terhadap seseorang.
Seseorang berdasarkan ketentuan Pasal 109 ayat (2) KUHAP baru bisa berhenti
menyandang statusnya sebagai tersangka apabila terhadap perkaranya
dilakukan penghentian penyidikan. Sementara penghentian penyidikan
sendiri menurut Pasal 76 ayat (1) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia No 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
baru dapat dilakukan apabila:
a. Tidak terdapat cukup bukti;
b. Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan
c. Demi hukum, karena:
1. Tersangka meninggal dunia;
2. Perkara telah kadaluarsa;
3. Pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan
4. Tindak Pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).
Tidak adanya limitasi terkait dengan status tersangka, merupakan
kerugian oleh seseorang yang telah ditetapkan tersangka. Walau demikian
Pendahuluan 11
tersangka memiliki hak-hak yang telah diatur dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2
KUHAP yang menyatakan:
Ayat 1 tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Ayat 2 tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum .
Hak-hak tersangka ini merupakan upaya untuk memberikan keadilan
bagi tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan oleh penyidik yang
berwenang. Namun dalam hak-hak tersangka ini belum sempurna, karena
tidak ada batasan yang jelas untuk segera mendapatkan pemeriksaan. Dengan
demikian status tersangka ini bisa dikatakan merugikan seseorang yang diduga
melakukan pelanggaran tindak pidana, karena tidak adanya limitasi yang jelas.
Status tersangka yang terkatung-katung (tanpa batas waktu) dapat dilihat
dari kasus yang ditangani KPK menahan Andi Zulkarnaen Mallarangeng
alias Choel Mallarangeng sebagai tersangka dugaan korupsi Pusat Pelatihan,
Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) di Hambalang, Jawa
Barat, tahun anggaran 2010-2012. KPK menetapkan Choel sebagai tersangka
pada 16 Desember 2015 dan baru ditahan di rumah tahan KPK cabang Pomdam
Jaya Guntur untuk 20 hari kedepan sampai dengan 25 Pebruari 2017.24
Penetapan tersangka oleh KPK kepada Choel Mallarangeng sudah
dilakukan tertanggal 16 Desember 2015 dan baru ditahan 25 Februari 2017,
dengan demikian sudah 22 bulan tidak memiliki kejelasan dalam melakukan
pembelaan terkait dengan status tersangka. Ketidak jelasan ini merupakan
dampak tidak adanya sebuah peraturan yang jelas terkait dengan batasan
atau limitasi tentang status tersangka. Dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2 KUHAP
yang mengatur tentang hak-hak tersangka, juga tidak mengatur tentang
limitasi status tersangka, sehingga permasalahan ini merugikan seseorang
yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
Status tersangka Choel Mallarangeng karena dugaan korupsi Pusat
Pelatihan, Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P2SON) merupakan
salah bentuk kelemahan dari sistem hukum pidana Indonesia. Sudah lebih
dari 22 bulan Choel Mallarangeng tidak mendapat kepastian hukum. Sebagai
tersangka Choel Mallarangeng memiliki hak-hak seperti yang telah diatur
dalam Pasal 50 Ayat 1 dan 2 KUHAP. Hak-hak tersangka yang dimaksud
tentang, berhak untuk mendapatkan pemeriksaan dengan segera oleh
penyidik sehingga bisa dilanjutkan ke penuntut umum dan perkaranya
berhak untuk segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum. Proses
tersebut merupakan upaya dalam memberikan kepastian hukum kepada
24 http: www. Covesia.com. terkatung-katung selama lima tahun, akhirnya Choel Mallarangeng Ditahan KPK. Diakses tanggal 29 Mei 2017.
12 BAB I
tersangka dalam melakukan langkah hukum atau pembelaan dalam upaya
mencari keadilan. Hak-hak tersangka seperti yang ada dalam Pasal 50 KUHAP
tersebut belum berjalan efektif. Penyebab ketidak efektifan pasal tersebut
adalah tidak adanya sebuah aturan yang jelas dalam menentukan batasan
atau limitasi status tersangka.
Mekanisme pelaksanaan praperadilan dalam Pasal 79 KUHAP yang
menyatakan, “Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu
penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau
kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya.”
Dari ketentuan tersebut mekanisme praperadilan, mengandung suatu norma
yang sifatnya wajib agar setelah melakukan pengajuan permohonan gugatan
praperadilan. Indonesia sebagai penganut due process model (mendapat
perlindungan atau pembelaan diri sebagai hak), dalam sistem peradilan
pidana tentunya mengharuskan jalannya proses peradilan pidana yang benar
dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata
lain tanpa adanya suatu pengajuan permohonan atas gugatan praperadilan
oleh tersangka maka tidak dapat pula diproses keberatan tersangka atau
pihak yang berkepentingan atas perbuatan aparat penegak hukum dalam
proses pemeriksaan dari penentuan tersangka hingga menuju penuntutan.
Dengan formulasi permohonan dalam mekanisme pengajuan gugatan
praperadilan, terhadap pihak tersangka dan keluarga yang awam dengan
hukum dan tidak didampingi oleh kuasa hukum akan menimbulkan suatu
ketidakadilan terhadap posisi mereka dengan aparat penegak hukum. Dengan
adanya persyaratan permohonan tersebut kesempatan untuk mengajukan
praperadilan hampir tidak secara merata ada pada tiap masyarakat,
melainkan bagi mereka yang mengenal hukum saja. Jika dibandingkan
dengan pengajuan gugatan praperadilan oleh pihak penyidik dan Jaksa
Penuntut Umum tentunya tidak terdapat keadilan karena pihak tersebut
memiliki pengetahuan lebih dalam bidang hukum.
Namun dari sudut pandang lain dalam permohonan gugatan praperadilan
oleh pihak keluarga tersangka dapat dikategorikan sebagai ketidakadilan dari
pihak aparat penegak hukum. Karena yang mengetahui dan mengalami
dengan pasti terjadinya pelanggaran adalah pihak tersangka dan aparat
penegak hukum saja, pihak keluarga tidak dapat memastikan. Fokus yang
tidak kalah penting mengenai praperadilan mengenai limitasi waktu status
tersangka. Tidak diaturnya limitasi ini mengakibatkan terkatung-katungnya
status tersangka seseorang karena memang secara tegas tidak diatur dalam
sistem peradilan pidana di Indonesia.
Keberadaan praperadilan di Indonesia masih banyak dilakukan evaluasi
karena masih banyaknya kelemahan dalam praktiknya. Tentu hal tersebut
Pendahuluan 13
sangat berbeda dengan beberapa negara yang memeliki lembaga yang
berfungsi seperti praperadilan di Indonesia. Seperti di Belanda, Amerika
sebagai negara penganut sistem Anglo Saxon dalam proses perkaranya
memiliki lembaga praperadilan sendiri.
Lembaga praperadilan Indonesia seyogyanya dapat mengakomodasi
sistem lembaga praperadilan di AS dimana aparat penegak hukum setelah
melakukan penangkapan atau penahanan dalam jangka waktu tertentu harus
menghadirkan tersangka untuk pelaksanaan praperadilan yang meniadakan
aspek permohonan dan menggantikan mekanismenya menuju ke arah yang
otomatis. Perlu dibentuk suatu lembaga baru yang mengadopsi lembaga
hakim Komisaris di Belanda yang berperan sebagai pengawas atau sarana
kontrol praperadilan dengan tetap memperhatikan nilai-nilai Pancasila
khususnya kemanusiaan yang dianut oleh Indonesia.
Sifat hukum acara pidana ini harus dipandang dari dua optik
kepentingan yang fundamental sifatnya. Pertama, dari optik kepentingan
masyarakat itu sendiri dalam artian bahwa kepentingan masyarakat harus
dilindungi yang mana hal ini merupakan sifat hukum acara pidana sebagai
bagian dari hukum publik (public law). Kedua, dari aspek kepentingan
orang yang dituntut dalam artian hak-hak dari orang yang dituntut
dipenuhi secara wajar sesuai ketentuan hukum positif dalam konteks
negara hukum (rechtstaat).25
Ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia lembaga praperadilan sekarang
ini masih belum mencerminkan suatu perlindungan HAM yang kokoh bagi
pihak tersangka. Selama tidak ada permohonan pengajuan praperadilan maka
tidak ada pula perlindungan dari lembaga praperadilan atas kesewenangan
pihak penyidik. Penegakkan HAM tidak hanya perlu dilakukan oleh yang
bersangkutan saja tetapi pihak lain juga memiliki peranan didalamnya.
Hal ini bertentangan dengan tujuan dari kebijakan hukum pidana
yang idealnya harus memperhatikan fungsi dan tujuan dari hukum
pidana itu sendiri, yaitu mengatur dan melindungi kepentingan hukum
anggota masyarakat dalam pergaulan sehari-hari sebagai warga negara
dari masyarakat lainnya, tindakan dari anggota atau kelompok atau dari
penguasa. Ketentuan mengenai lembaga praperadilan saat ini dirasa penulis
masih belum mencerminkan hal sedemikian rupa dengan sistem pengajuan
melalui permohonan.
Karena sifat Praperadilan yang mengedepankan pengetahuan hukum,
maka untuk melindungi hak-hak yang dimiliki oleh tersangka diperlukan
peran dari penasehat hukum. Akan tetapi, tidak semua orang dapat
25 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm. 11.
14 BAB I
menghadirkan penasehat hukum dalam proses berperkara mengingat biaya
jasa yang cukup tinggi.
Dengan tidak adanya batasan limitasi jangka waktu status tersangka,
maka hal tersebut bertentangan dengan asas kepastian hukum dan
Presumption of Innocence (asas praduga tak bersalah). Dalam prinsip kepastian
hukum terdapat suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan
cara yang baik atau tepat. Kepastian pada intinya merpakan tujuan utama dari
hukum. Jika hukum tidak ada kepastian maka hukum akan kehilangan jati
diri serta maknanya. Jika hukum tidak memiliki jati diri maka hukum tidak
lagi digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian hukum
merupakan suatu konsep untuk memastikan bahwa hukum dijalankan
dengan baik sehingga tidak menimbulkan kerugian bagi siapapun, hukum
harus bisa menjadi pedoman, mengayomi dan melindungi masyarakat dari
berbagai tindak kejahatan atau pelecehan pada individu ataupun kelompok.
Asas kepastian hukum harus mencerminkan pula suatu falsafah keadilan
bagi masyarakat. Konsep untuk menentukan kepastian hukum tersebut
dijalankan melalui pengaturan hukum dalam suatu perundang-undangan
yang ditetapkan oleh pemerintah. Kepastian hukum akan mengarahkan
masyarakat untuk bersikap positif pada hukum negara yang telah ditentukan.
Penetapan tersangka yang berlarut-larut tanpa adanya jangka waktu yang
pasti, telah mencerderai konsep kepastian hukum bagi individu, selain
itu dengan berlarut-larutnya penetapan tersangka tanpa adanya jangka
waktu (limitasi) bertentangan dengan asas Presumption of Innocence
(praduga tak bersalah). Penetapan bersalah atau tidaknya seseorang ada
ditangan hakim, selama hakim belum memutuskan bahwasanya seseorang
bersalah, seharusnya hukum memberikan perlindungan terhadapnya dengan
tidak melakukan pelabelan sebagai tersangka pada diri individu tersebut.
Penetapan tersangka telah mengurangi hak-hak dari seorang individu, dan
tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
Asas praduga tidak bersalah secara internasional tertuang dalam Pasal 11
Deklarasi Hak Asasi Manusia yang sifatnya fundamental untuk melindungi
hak asasi manusia dari proses pidana yang sewenang-wenang.26 Dalam
perundang-undangan di Indonesia, asas ini diletakkan dalam Pasal 8
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman yang digantikan oleh Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Penetapan tersangka yang menjadi objek praperadilan setelah keluarnya
putusan MK No 21/PUU-XII/2014, ternyata juga tidak mengakomodir
26 Eddy O,S, Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2014), hlm. 75.
Pendahuluan 15
pembatasan jangka waktu terhadap penetapan tersangka tersebut, putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut hanya mengatur tentang limitasi syarat
penetapan tersangka, sehingga putusan praperadilan yang seharusnya
dianggap sebagai suatu sarana mencari keadilan belum mampu untuk
mewujudkannya.
16 BAB I
BAB II
LEMBAGA PRAPERADILAN DALAM SISTEM
PERADILAN PIDANA INDONESIA
A. Makna Filosofis, Historis, Yuridis dan Sosiologis Lembaga Praperadilan
dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia
1. Makna Filosofis
Keberadaan praperadilan sangat penting dalam memberikan
kepastian dalam proses penyidikan dan penentuan tersangka, yang
terdapat dalam hukum acara pidana. Sementara itu tujuan dari hukum
acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat untuk mencari siapa pelaku
dari suatu tindak pidana dan selanjutnya melakukan pemeriksaan di
pengadilan untuk menentukan apakah terbukti bersalah atau tidak, juga
mengatur pokok-pokok cara pelaksanaan dan pengawasan terhadap
putusan yang telah dijatuhkan. Keberadaan praperadilan bisa dikatakan
sebagai media untuk tersangka dalam mencarikejelasan yang terkait
dengan proses pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik baik kepolisian
atau kejaksaan atau oleh lembaga yang diberikan kewenangan.
Badan Pembinaan Hukum Nasional menjelaskan mengenai sejarah
dan landasan filosofis dari adanya proses praperadilan.1 Sejarah hukum
acara pidana di Indonesia, pada masa prakemerdekaan, terdapat dua
hukum acara yang berlaku di Indonesia, yaitu Strafverordering (Sv) yang 1 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di
Indonesia, http://www.bphn.go.id/data/documents/pk-2011-2.pdf, diakses pada tanggal 26 April 2015
18 BAB II
berlaku bagi masyarakat eropa yang berada di Indonesia dan Inlands
Reglement (IR), yang diganti dengan Herziene Indische Reglement (HIR)
dengan Staatsblad Nomor 44 Tahun 1941, untuk golongan pribumi.
Terselenggaranya peradilan yang adil menjadi kewajiban penyelenggara
negara dan menjadi hak dasar bagi tersangka atau terdakwa yang
harus dipenuhi oleh negara. Pemenuhan hak dasar bagi tersangka atau
terdakwa tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan asas dasar dalam
penyelenggaraan hukum pidana, baik dalam hukum pidana materiil
maupun hukum pidana formil.
Proses pengajuan praperadilan yang dilakukan oleh tersangka
merupakan hak dalam mendapatkan keadilan sangat wajar mengingat
adanya pembatasan terhadap hak kebebasannya. Segala bentuk tindakan
hukum terhadap tersangka atau terdakwa yang berakibat terampasnya
hak tersangka atau terdakwa harus berdasarkan undang-undang dan
undang-undang harus memberikan syarat yang harus dipenuhi dan
menjadi dasar hukum dalam melakukan tindakan hukum terhadap
tersangka atau terdakwa tersebut agar wewenang yang diberikan oleh
undang-undang kepada aparat penegak hukum tidak dipergunakan
sewenang-wenang.
Keadilan dan hukum tidak dapat dipisahkan, termasuk praperadilan
sebagai wadah dalam mencari keadilan bagi tersangka. John Rawls
yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of social justice”,
berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya
institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi
seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat
rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan.
Khususnya masyarakat lemah pencari keadilan.2
Rawls mengemukakan bahwa kesukarelaan segenap anggota
masyarakat untuk menerima dan mematuhi ketentuan-ketentuan sosial
yang ada hanya dimungkinkan jika masyarakatnya tertata baik dimana
keadilan sebagai fairness menjadi dasar bagi prinsip-prinsip pengaturan
institusi-institusi yang ada didalamnya.3 Keadilan bisa tercapai bukan
hanya dengan pengaturan institusi-institusi, meliankan juga kepada
masyarakat yang memegang teguh prinsip-prinsip keadilan dalam
menjalankan fungsi yang ada di institusi.
Rawls memandang bahwa kesepakatan yang fair hanya bisa dicapai
dengan adanya prosedur yang tidak memihak. Mereka yang meyakini
konsep keadilan yang berbeda bisa tetap sepakat bahwa institusi-
2 Pan Mohamad Faiz, Op, cit., hlm. 135. 3 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op cit., hlm. 5.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 19
institusi adalah adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang
antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban dan ketika aturan
menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling
berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial.4 Keadilan sebagai
fairness diungkapkan oleh Rawls dalam gagasannya sebagai prinsip-
prinsip keadilan yang disepakati dalam situasi yang fair.5 Salah satu
bentuk keadilan sebagai fairness yaitu memandang berbagai pihak dalam
situasi awal sebagai rasional dan sama-sama netral.6
Pada pokoknya pandangan keadilan ini sebagai suatu pemberian
hak persamaan tapi bukan persamarataan. Aristoteles membedakan
hak persamaannya sesuai dengan hak proporsional. Kesamaan hak
dipandangan manusia sebagai suatu unit atau wadah yang sama. Inilah
yang dapat dipahami bahwa semua orang atau setiap warga negara
dihadapan hukum sama. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa
yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuan dan prestasi yang telah
dilakukannya.7 Menurut Rawls, Aristoteles jelas-jelas mengasumsikan
penilaian tentang apa yang layak menjadi milik seseorang dan apa yang
berkaitan dengannya.8
Lebih lanjut, keadilan menurut pandangan Aristoteles terbagi ke
dalam dua bentuk, keadilan “distributief” dan keadilan ”commutatief”.
Keadilan distributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap orang
porsi menurut prestasinya. Keadilan commutatief memberikan sama
prestasinya dalam hal ini berkaitan dengan peranan tukar menukar
barang dan jasa.9
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam
masyarakat. Dengan apa yang ada di benak Aristoteles ialah distribusi
kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku di
kalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan ditribusi yang
sesuai dengan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.10
Lembaga peradilan sebagai tempat untuk mencari keadilan bagi setiap
warga negara. Lembaga peradilan merupakan badan yang berdiri sendiri
(independent). Dalam kamus Bahasa Indonesia, peradilan adalah segala
4 Ibid, hlm. 6. 5 Ibid, hlm. 14. 6 Ibid, hlm. 15. 7 Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 75-76. 8 Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Op.Cit. hlm. 11. 9 L,J, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita 1996),
hlm. 11-12. 10 Marwan Effendy, Op.cit, hlm. 76.
20 BAB II
sesuatu mengenai perkara peradilan.11 Peradilan juga dapat diartikan suatu
proses pemberian keadilan di suatu lembaga.12 Dalam kamus Bahasa Arab
disebut dengan Istilah qadha yang berarti menetapkan, memutuskan,
menyelesaikan, mendamaikan. Qadha menurut istilah adalah penyelesaian
sengketa antara dua orang yang bersengketa, yang mana penyelesaiannya
diselesaikan menurut ketetapan-ketetapan (hukum) dari Allah dan Rasul.
Sedangkan pengadilan adalah badan atau organisasi yang diadakan oleh
negara untuk mengurus atau mengadili perselisihan-perselisihan hukum13.
Terkait aparat kepolisian yang melakukan tindakan-tindakan
yang kurang sesuai dengan UU tidak sedikit terjadi di masyarakat.
Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat Kepolisian yang
sengaja memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindakan-
tindakan yang tidak semestinya baik itu masih dalam melaksanakan
tugas dan kewajibannya maupun diluar tugasnya sebagai pelindung
masyarakat. Entah itu semua benar atau tidak namun dari segala apa
yang berkembang dalam masyarakat mari fokuskan permasalahan pada
masalah kesalahan penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian
penyidikan dan penuntutan yang dilakukan penyidik yang didalamnya
termasuk juga aparat Kepolisian yang semua ini berujung pada lahirnya
lembaga Praperadilan sebagai suatu kontrol pada tindakan penyidik
menyangkut perbuatan-perbuatan yang diatur dalam Praperadilan itu.
Keberadaan lembaga peradilan sangat penting untuk menyelesaikan
perkara yang ada dalam masyarakat, tetapi yang tidak kalah pentingnya
adalah adanya pengadil dalam lembaga peradilan adalah atau yang biasa
disebut hakim. Hakim mempunyai peran yang besar dalam memberikan
keadilan kepada setiap orang yang berperkara di persidangan. Sehingga
diharapkan seorang hakim dalam memeriksa, menyelesaikan, dan
memutus suatu perkara juga harus bebas dari pengaruh apa atau
siapapun untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya kepada setiap
orang yang berperkara di pengadilan.
Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang
bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi
tersangka. Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga
praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran
dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa. Demi untuk
terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, Undang-undang 11 Cik Hasan Basri, Peradilan Agama Di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2003), hlm. 2. 12 Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan tata Hukum Islam di Indonesia,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 2005), hlm. 278. 13 Cik Hasan Basri, op.cit, hlm. 3.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 21
memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk
melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan,
penyitaan dan sebagainya. Setiap upaya paksa yang dilakukan penyidik
penuntut umum terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan
perlakuan yang bersifat:
Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan
pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.
Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-
undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan
perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan
terhadap hak asasi tersangka.
Hakim dalam memutus sebuah sengketa harus adil dan tidak bisa
memihak salah satu pihak. Proses tersebut dilakukan dalam persidangan
dengan cara, para pihak yang bersengketa mengajukan dalil-dalil yang
saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil
manakah yang benar dan dalil-dalil manakah yang tidak benar. Dalam
melakukan pemeriksaan ini, hakim harus mengindahkan aturan-aturan
tentang pembuktian yang merupakan hukum pembuktian.
Karena upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum
merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi
tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut
ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due process of law).
Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan
Undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka.
Setiap tindakan perkosaan yang ditimpakan kepada tersangka
adalah tindakan yang tidak sah, karena bertentangan dengan hukum
dan undang-undang (illegal). Akan tetapi, bagaimana mengawasi dan
menguji tindakan paksa yang dianggap bertentangan dengan hukum.
Untuk itu perlu diadakan suatu lembaga yang diberi wewenang untuk
menentukan sah atau tidaknya tindakan paksa yang dilakukan oleh
petugas dalam mencari atau mengumpulkan bukti dan informasi.
Dalam proses praperadilan, hakim dalam memutus sebuah
sengketa harus adil dan tidak bisa memihak salah satu pihak. Proses
tersebut dilakukan dalam persidangan dengan cara, para pihak yang
bersengketa mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim
harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan
dalil-dalil manakah yang tidak benar. Dalam melakukan pemeriksaan
ini, hakim harus mengindahkan aturan-aturan tentang pembuktian yang
merupakan hukum pembuktian.
22 BAB II
Pada hakekatnya yang harus dibuktikan adalah peristiwanya dan
bukan hukumnya. Oleh karena itu yang wajib membuktikan peristiwanya
atau mengajukan alat bukti adalah para pihak, sedangkan hakim harus
menentukan hukumnya terhadap peristiwa yang telah terbukti tersebut.
Jadi hakim dalam proses perkara harus menetapkan dan menemukan
kebenaran peristiwa atau hubungan hukumnya terhadap peristiwa yang
telah ditetapkan itu.14 Sehingga dalam memutus sebuah perkara hakim
harus melihat peristiwa hukum yang sudah terjadi. Sehingga putusan
yang dibuat bisa adil dan tidak merugikan salah satu pihak.
Filosofi keadilan dan kepastian hukum dalam praperadilan sudah
tercermin sejak awal pendirian lembaga praperadilan ini. Sehingga
semangat utama berdasarkan keadilan dan kepastian. Setiap hal yang
baru, tentu mempunyai suatu maksud dan tujuan atau motivasi tertentu.
Pasti ada yang hendak dituju dan dicapai. Tidak ada sesuatu yang ingin
diciptakan tanpa didorong oleh maksud dan tujuan. Demikian pula
halnya dengan pelembagaan praperadilan. Ada maksud dan tujuan yang
hendak ditegakkan dan dilindungi.15
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia, terutama mereka yang
terlibat dalam perkara pidana, khususnya pada tahap penyidikan
dan penuntutan.
b. Alat kontrol terhadap penyidik atau penuntut umum terhadap
penyalahgunaan wewenang olehnya.
Menjunjung tinggi hak asasi manusia dan alat kontrol dilakukan
sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukan berarti terhadap seseorang
yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana
diberikan haknya sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak
tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan
tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa
telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-
tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa
yang telah ditentukan undang-undang.
Tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak hukum
merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi
tersangka, tindakan itu harus dilakukan secara bertanggung jawab
menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku (due
14 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta, Liberti, 2002), hlm. 106.
15 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika,2012), hlm. 3.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 23
process of law). Prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud
dan tujuan guna melakukan tindakan pengawasan horizontal untuk
mencegah tindakan hukum upaya paksa yang berlawanan dengan
undang-undang.16 Oleh karena itu dasar dari adanya lembaga
praperadilan ini adalah merupakan suatu cerminan pelaksanaan dari
asas praduga tidak bersalah (presumption of innocent) sehingga tiap
orang yang diajukan sebagai terdakwa telah melalui proses awal yang
wajar dan mendapat perlindungan harkat manusianya dan merupakan
suatu lembaga yang melakukan pengawasan horizontal atas tindakan
upaya paksa yang dilakukan terhadap tersangka selama ia berada dalam
pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan
itu tidak bertentangan dengan undang-undang.
Pada umumnya pemeriksaan di sidang Pengadilan dalam hukum
acara pidana merupakan pemeriksaan mengenai perkara pokok dalam
artian pemeriksaan untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum.
Kalau kita teliti istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”praperadilan”
maka maksud dan artinya secara harfiah berbeda. Pra artinya sebelum,
atau mendahului, berarti ”praperadilan” sama dengan sebelum
pemeriksaan di sidang Pengadilan (sebelum memeriksa pokok dakwaan
Penuntut Umum).
2. Makna Historis
Lembaga praperadilan lahir dari inspirasi yang bersumber dari
adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon,
yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia
khususnya hak kemerdekaan Habeas Corpus Act memberikan hak pada
seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut
(menantang) pejabat yang melakukan penahanan atas dirinya (polisi
ataupun jaksa) membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah
tidak melanggar hukum (ilegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.17 Hal ini untuk menjamin
bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdekaan terhadap
seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi
ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hak
asasi manusia.
16 R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dalam KUHAP, Bandung: Mandar Maju, 2003, hlm. 16.
17 Adnan Buyung Nasution, PraperadilanVS Hakim Komisaris: Beberapa Pemikiran Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs -hakim–komisaris – beberapa – pemikiran – mengenai – keberadaan - keduanya, diakses tanggal 15 Juni 2017.
24 BAB II
Surat perintah pengadilan yang berisikan hak Habeas Corpus
tersebut tidak hanya ditujukan untuk kepada penahanan yang terkait
dalam proses peradilan pidana saja, namun juga terhadap segala bentuk
penahanan yang dianggap telah melanggar hak kemerdekaan pribadi
seseorang yang telah dijamin oleh konstitusi.18 Dalam perkembangannya
surat perintah Habeas Corpus menjadi salah satu alat pengawasan serta
perbaikan terhadap proses pidana baik di tingkat federal maupun di
negara bagian di Amerika Serikat.
Prinsip dasar Habeas Corpus ini menciptakan suatu forum yang
memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang
menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk
mengadukan nasibnya sekaligus menguji kebenaran dan ketetapan
dari tindakan kekuasaan berupa penggunaan upaya paksa (dwang
middelen), baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan
maupun pembukaan surat-surat yang diberlakukan oleh pihak kepolisian
ataupun kejaksaan ataupula kekuasaan lainnya. Prinsip dasar Habeas
Corpus memunculkan gagasan lembaga praperadilan yang memberikan
perlindungan kepada terdakwa/tersangka terhadap upaya paksa yang
dilakukan aparat penegak hukum.
Keberadaan Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini
melindungi hak-hak masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat
penegak hukum serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum
aparat penegak hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya
dalam bentuk ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-
wenangan dalam menggunakan kekuasaanya. Maksud dan tujuan luhur
dari Praperadilan tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.
Lembaga Praperadilan diperuntukan demi mendapatkan rasa keadilan
dan penegakan hukum serta agar tindakan hukum dari para penegak
hukum tidak semena-mena terhadap masyarakat kecil, maka tindakan dari
Aparat Penegak Hukum yang ada di daerah, agar tindakannya betul-betul
berdasarkan hukum yang berlaku dan tidak berdasarkan kewenangan saja
selagi memangku jabatannya atau selaku aparat.
Sejarah keberadaan lembaga praperadilan merupakan betukan baru
yang tertuang dalam KUHAP. Sementara itu dalam masa kolonial Belanda
yang menggunakan Het Herziene Indonesisch yang selanjutnya ditulis
(HIR) belum mengatur tentang praperadilan.
HIR diciptakan dalam suasana kolonial Belanda, yang pada
dasarnya produk hukum serta perangkat-perangkat sarananya dibentuk
18 Indira Putiet, Perbandingan Praperadilan, Habeas Corpus dan rechter Commisarie, http://one.indoskripsi.com/node/10432, diakses tanggal 10 Agustus 2010.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 25
sedemikian rupa sehingga menguntungkan pihak yang berkuasa, dalam
hal ini penjajah. Berhubungan dengan perkembangan dan kemajuan
zaman yang semakin moderen serta didasari pada perkembangan era
kemerdekaan negara Republik Indonesia, sistem yang dianut HIR
dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan cita-cita
hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara
pidana baru yang mempunyai ciri kodifikasi dan unifikasi berdasarkan
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.19
Lembaga Praperadilan pertama kali diperkenalkan di Indonesia sejak
diberlakukannya KUHAP, tujuan Praperadilan adalah upaya ”pengawasan
horisontal” atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka
selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar
benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum
dan undang-undang. Upaya paksa (dwang meddelen) dalam hal ini adalah
baik penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, ataupun
pemeriksaan surat-surat yang dilakukan Penyidik ataupun Penuntut Umum.
Upaya kontrol (pengawasan) tersebut dilakukan dalam rangka penegakkan
hukum (law enforcement), sehingga tercipta kepastian hukum yang adil.
Lembaga praperadilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakan
hukum dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri.
Serta bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai
wewenang memberi putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga
praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:20
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap
pengadilan negeri, dimana praperadilan ini hanya dijumpai pada
tingkat pengadilan negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah
dari dan dengan pengadilan yang bersangkutan.
b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada diluar atau disamping
maupun sejajar dengan pengadilan negeri.
c. Administratif yustisial, personal teknis, peralatan dan finansialnya
takluk dan bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah
pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan.
d. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi
yustisial pengadilan negeri itu sendiri.
19 P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 7.
20 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali) Jilid II, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 1.
26 BAB II
Dengan demikian, eksistensi atau keberadaan dan kehadiran
praperadilan bukan merupakan lembaga peradilan tersendiri tetapi
hanya merupakan pemberian wewenang baru dan fungsi baru yang
dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang
dan fungsi tambahan terhadap wewenang dan fungsi pengadilan
negeri yang telah ada selama ini. Kalau selama ini wewenang dan
fungsi pengadilan negeri mengadili dan memutus perkara pidana
dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap tugas pokok
tadi ditambahkan tugas sampingan untuk menilai sah atau tidaknya
penahanan, penyitaan atau penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum, yang
wewenang pemeriksaannya diberikan kepada praperadilan.
3. Makna Yuridis
Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
menyebutkan bahwa21 “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur undang-
undang ini tentang (a) sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau
penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain
atas kuasa tersangka; (b) sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan
keadilan; (c) permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan. Dengan demikian Praperadilan hanyalah
menguji dan menilai tentang kebenaran atau ketepatan tindakan upaya
paksa yang dilakukan penyidik atau penuntut umum dalam hal yang
menyangkut penangkapan dan penahanan, penghentian penyidikan
dan penuntutan, serta hal ganti rugi dan rehabilitasi”. Akan tetapi
meskipun lembaga tersebut telah diatur dalam hukum positif (UU No.
18 tahun 1981) namun dalam aplikasinya masih terdapat kelemahan-
kelamahan baik dalam formulasinya maupun dalam penerapannya di
Pengadilan sehingga masih minimnya perlindungan Hak Asasi Manusia
bagi Tersangka.
Sebagaimana dalam penjelasan Pasal 80 KUHAP, bahwa Praperadilan
merupakan suatu bentuk upaya hukum yang dimaksudkan untuk
menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran melalui sarana pengawasan
secara horizontal22, dalam hal ini berarti, praperadilan merupakan salah
satu sarana yang dikenal dalam hukum acara pidana untuk memberikan
21 Pasal 1 butir 10 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). 22 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 190.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 27
perlindungan hukum, keadilan dan kepastian hukum bagi para pencari
keadilan yang berhadapan dengan aparat penegak hukum, khususnya
terkait dengan Pencari Keadilan yang perkara pidananya sengaja tidak
ditindaklanjuti dengan alasan yang tidak jelas di tingkat penyidikan,
yang mana tindakan penyidik yang tidak menindaklanjuti suatu perkara
pidana di tingkat penyidikan tersebut juga termasuk dalam proses
penyidikan dan juga merupakan bagian dari Sistem Peradilan Pidana,
sekaligus merupakan fungsi pengawasan suatu lembaga peradilan
terhadap proses penyidikan dan dalam pelaksanaannya.
Lembaga Praperadilan (Pengadilan Negeri) yang berwenang
melakukan fungsi kontrol terhadap tindakan upaya paksa, ternyata
tidak semua tindakan upaya paksa dapat dikontrol, Pasal 77 KUHAP
membatasi kewenangan Pengadilan hanya terbatas pada pengujian
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan; serta permohonan ganti kerugian dan/
atau rehabilitasi bagi Tersangka yang perkara pidananya dihentikan
pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Sedangkan untuk tindakan
penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan surat-surat tidak
dijelaskan dalam KUHAP, siapa yang berwenang memeriksa apabila
terjadi pelanggaran dalam tindakan tersebut.
Lembaga Praperadilan dikenal dalam KUHAP merupakan mekanisme
kontrol yang berfungsi dan berwenang untuk melakukan pengawasan
bagaimana aparat penegak hukum menjalankan tugas dalam peradilan
pidana dan berwenang untuk memutus23:
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan;
c) Apakah benda yang disita tidak termasuk alat pembuktian;
d) Menetapkan ganti kerugian atau rehabilitasi.
Keberadaan lembaga praperadilan memberikan dampak positif
bagi setiap tersangka dalam mempertanyakan proses penyidikan, serta
melindungi tersangka dari kesewenang-wenangan penyidik dalam
proses penyidikan.
Selain itu mengenai kewenangan Praperadilan yang ternyata bersifat
pasif, karena Praperadilan tidak dapat menjalankan kewenangannya
selama tidak ada permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak
lain atas kuasa Tersangka untuk dilakukan pengujian. Sehingga apabila
permintaan tersebut tidak ada, walaupun tindakan penangkapan atau
23 Ratna Nurul Afiah, Op.Cit, hlm. vii
28 BAB II
penahanan menyimpang atau melanggar ketentuan yang berlaku, maka
sidang Praperadilan tidak dapat diadakan.
Lembaga Praperadilan bukan merupakan lembaga tersendiri, tetapi
merupakan suatu wewenang tambahan dari Pengadilan Negeri.
Sebagaimana pengertian Praperadilan telah diatur dalam Pasal 1 angka
10 jo Pasal 77 KUHAP, yaitu bahwa Praperadilan adalah wewenang
suatu Pengadilan Nagari untuk memeriksa dan memutus sesuai
dangan cara yang telah diatur dalam Undang-undang ini, yaitu
tentang:
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan/atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarga atau pihak lain atau kuasa
tersangka;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
panuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c) Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi olah tarsangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke Pengadilan.
Menyangkut Praperadilan banyak sekali hal-hal atau tuduhan
miring kontroversial menyangkut pelaksanaannya. Tuduhan-tuduhan
tersebut menyangkut antara lain seperti masalah gugurnya permohonan
Praperadilan, dugaan adanya konspirasi terselubung antara pihak Hakim
dengan termohon Praperadilan, hingga masalah pada ganti kerugian
yang dianggap tidak sebesar kerugian yang sesuai dengan realitas yang
diderita pemohon, hingga begitu rumitnya birokrasi mendapatkan ganti
kerugian. Tidak jarang banyak orang menilai butuk terkait dengan praktik
yang terjadi di lembaga praperadilan.
Kehadiran Lembaga Praperadilan memberi peringatan24:
1. Agar penegak hukum harus berhati-hati dalam melakukan tindakan
hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan kepada
ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan
diri serta menjauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang;
2. Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi
warganegara yang diduga melakukan kejahatan, yang ternyata tanpa
didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari
sikap dan perlakuan penegak hukum yang tidak mengindahkan
prinsip hak-hak asasi manusia.
24 S. Tanusubroto, Peranan Pra Peradilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung:
Alumni, 1983), hlm. 2.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 29
Pihak yang dapat mengajukan permohonan pengujian melalui
Lembaga Praperadilan disebut sebagai Pemohon Praperadilan. Keberadaan
Lembaga Praperadilan dianggap bahwa lembaga ini melindungi hak-hak
masyarakat yang hak asasinya dilanggar oleh aparat penegak hukum
serta melalui lembaga ini juga dapat membawa oknum aparat penegak
hukum tersebut untuk dimintai pertanggungjawabannya dalam bentuk
ganti kerugian dan rehabilitasi atas dugaan kesewenang-wenangan dalam
menggunakan kekuasaaanya. Maksud dan tujuan luhur dari Praperadilan
tersebut teryata penerapannya belum berjalan maksimal.
1. Dalam KUHAP telah disebutkan dalam beberapa pasal, pihak-pihak
yang dapat mengajukan permohonan pemeriksaan melalui lembaga
praperadilan, diantaranya:
2. Pasal 79 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan olah
tersangka, keluarga atau kuasanya kepada Ketua Pengadilan Negeri
dengan menyebutkan alasannya.
3. Pasal 80 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan untuk memeriksa
sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak
ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan
menyebutkan alasannya.
4. Pasal 81 KUHAP, yang isinya bahwa permintaan ganti kerugian dan
atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan
atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan
diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan
kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan menyebut alasannya.
5. Pasal 95 ayat (2) KUHAP, yang isinya bahwa tuntutan ganti kerugian
oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan
serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan pada Undang-
undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan sebagaimana di maksud dalam ayat (1), yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus disidang praperadilan
sebagaimana di maksud dalam Pasal 77.
6. Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yang isinya permintaan rehabilitasi oleh
tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana di maksud dalam
Pasal 95 ayat (1), yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan
negeri, diputus oleh hakim praperadilan sebagaimana yang di
maksud dalam Pasal 77.
30 BAB II
Berdasarkan pada pasal 80 KUHAP, menunjukkan bahwa selain dapat
diajukan oleh Penyidik atau Penuntut Umum, permohonan praperadilan
untuk memeriksa sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan
juga dapat diajukan oleh “pihak ketiga yang berkepentingan”. Yang di
maksud pihak ketiga yang berkepentingan di sini adalah pihak-pihak yang
mempunyai kepentingan atas dihentikannya suatu penyidikan, dalam hal
ini, bisa Korban Tindak Pidana, Pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau
organisasi kemasyarakatan maupun masyarakat umum.25
Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan tersangka atau
terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya merupakan
suatu forum yang terbuka dan dipimpin seorang hakim atau lebih
untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum yang telah
melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan tindakannya
dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar beralasan dan
berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui sidang terbuka
ini, maka tersangka atau terdakwa dijamin hak asasinya berupa hak
dan upaya hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan
kemerdekaan yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik
ataupun penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut
umum wajib membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar
hukum. Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun
penuntut umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-
syarat hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun
materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan,
adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh
bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan
alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau menggulangi kejahatannya.
Menurut Darwan Prinst, yang dimaksud sebagai pihak ketiga yang
berkepentingan dalam Pasal 81 KUHAPidana, adalah26:
1. Tersangka / Terdakwa;
2. Keluarga dari Tersangka / Terdakwa;
3. Kuasa dari Tersangka / Terdakwa;
4. Pelapor yang dirugikan dengan dilakukannya itu atau yang dapat
kuasa dari dirinya.
25 Pendapat Ketua Majelis Mahkamah Konstitusi, M. Akil Mochtar dalam http://m. hukumonline.com/berita/baca/lt519b604ebe2e3/mk-tegaskan-lsm-bisa-ajukan- praperadilan diakses tanggal 25 Juli 2016, pukul 10.00
26 Darwan Prinst, Hukum Acara Pidana Dalam Praktik, (Jakarta: Djambatan, 1984), hlm. 51.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 31
Permintaan pemeriksaan praperadilan diajukan kepada Ketua
Pengadilan Negeri yang berwenang. Dalam surat permohonan
tersebut, Pemohon menyebutkan selaku apakah dia bertindak dalam
permintaan pemeriksaan praperadilan yang diajukannya, menceritakan
duduk perkaranya secara terperinci dan jelas serta menyebutkan
hal yang menjadi alasan pemohon untuk mengajukan permintaan
pemeriksaan praperadilan itu, serta mencantumkan putusan apakah
yang dimohonkan.27
Kelemahan lain dalam ketentuan KUHAP adalah hanya menentukan
batas waktu penentuan hari sidang dan lama pemeriksaan persidangan.
KUHAP tidak mengatur berapa lama batas waktu dimulainya sidang
(sidang pertama) praperadilan sejak permintaan pengujian praperadilan
didaftarkan. Lamanya waktu yang dibutuhkan pada tahap administrasi
pengadilan sebelum sidang demikian bertolak belakang dengan
semangat pemeriksaa praperadilan yang dilakukan secara cepat.
Dalam praktek pemeriksaan praperadilan, hakim juga lebih banyak
memperhatikan perihal dipenuhi tidaknya syarat-syarat formil semata-
mata dari suatu penangkapan atau penahanan, seperti misalnya ada
atau tidak adanya surat perintah penangkapan (Pasal 18 KUHAP), atau
ada tidaknya surat perintah penahanan (Pasal 21 ayat (2) KUHAP), tetapi
sama sekali tidak menguji dan menilai syarat materiilnya, seperti
adanya “dugaan keras” telah melakukan tindak pidana berdasarkan
“bukti permulaan yang cukup”. Ada tidaknya bukti permulaan yang
cukup ini dalam praktek tidak pernah dipermasalahkan oleh Hakim,
karena umumnya hakim praperadilan mengganggap bahwa hal itu
bukan menjadi tugas dan wewenangnya, melainkan sudah memasuki
materi pemeriksaan perkara.
Oleh karena dalam prakteknya lembaga Praperadilan belum berjalan
sebagaimana mestinya dan masih banyak kelemahan, maka kemudian
dalam Rancangan KUHAP ditentukan lembaga baru untuk menggantikan
lembaga Praperadilan saat ini yaitu lembaga Hakim Komisaris. Lembaga
ini pada dasarnya merupakan lembaga yang terletak antara Penyidik dan
Penuntut Umum disatu pihak dan Hakim dilain pihak. Wewenang Hakim
Komisaris dalam Rancangan KUHAP lebih luas dibandingkan lembaga
Praperadilan. Akan tetapi timbul pertanyaan lain, apakah keberadaan
lembaga Hakim Komisaris kelak akan lebih baik daripada lembaga
Praperadilan yang telah ada saat ini? Dan Apakah akan membawa
perubahan dan pengaruh yang cukup besar pada praktek pengadilan.
27 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hlm. 84.
32 BAB II
Alat penegak hukum (kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga
pemasyarakatan dan advokat) dalam menjalankan tugasnya dibidang
peradilan pidana diberi kewenangan untuk melakukan tindakan-
tindakan yang merupakan pengurangan hak asasi tersangka atau
terdakwa sebagai manusia. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia28 yang menyatakan
bahwa polisi merupakan institusi negara yang diberikan tugas, fungsi
dan kewenangan tertentu, untuk menjaga keamanan, ketertiban dan
mengayomi masyarakat.
Harus diingat pula, bahwa aparat penegak hukum adalah manusia
biasa, yang tidak terlepas dari perbuatan khilaf dan salah. Penangkapan
atau penahanan yang sebetulnya dilakukan dengan tujuan untuk
kepentingan pemeriksaan demi tegaknya keadilan dan ketertiban
dalam masyarakat ternyata kadang-kadang dilakukan terhadap orang
yang tidak bersalah atau kadang-kadang dilakukan melampaui batas
waktu yang ditentukan, sehingga tersangka atau terdakwa menderita
lahir batin akibat sikap aparat penegak hukum. Untuk menjamin hak
asasi manusia dan agar aparat penegak hukum menjalankan tugasnya
secara konsekuen, maka KUHAP membentuk suatu lembaga yang
dinamakan praperadilan.
Pasal 1 butir 10 KUHAP menyatakan praperadilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk yang pertama memeriksa dan memutuskan
tentang sah atau tidaknya suatu penagkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas tersangka,
yang kedua sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan, dan
yang ketiga permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka
atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Putusan praperadilan menjadi ramai semenjak permohonan
praperadilan oleh Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka
yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah
dikabulkan sebagian oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Di
satu sisi menghormati putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
sebagai bentuk penghormatan kebebasan hakim sebagaimana yang
dimuat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman
merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 33
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, serta dalam Pasal
10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyatakan bahwa Pengadilan dilarang menolak
untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu perkara yang
diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal
ini pengadilan wajib untuk mengadili dan memeriksa hal tersebut
yang membuat Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menerima
praperadilan Komjen Pol Budi Gunawan atas penetapan tersangka.
Disisi lain objek praperadilan atas penetapan tersangka Komjen Pol Budi
Gunawan yang alasannya tidak tercantum dalam Pasal 77 KUHAP sudah
dijelaskan kewenangan hakim praperadilan untuk memeriksa dan
memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan, serta hakim praperadilan
juga berwenang untuk memeriksa dan memutus permintaan ganti
kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka yang perkaranya tidak di
ajukan ke pengadilan.
Sebelum membahas lebih jauh tetang putusan praperadilan,
membahas terlebih dahulu pengertian putusan pada umumnya.
Berdasarkan Pasal 1 Angka 11 KUHAP meyatakan bahwa: “Putusan
Pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang
pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanan atau bebas atau lepas
dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang di atur
dalam undang-undang”. Putusan pengadilan disampaikan oleh hakim
diakhir persidangan setelah dilakukan proses pemeriksaan.
Berdasarkan pengertian putusan dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP maka
putusan dapat dibagi menjadi tiga yaitu:
a. Putusan pemidanaan atau penjatuhan pidana
Dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana
yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan pidana”.
b. Putusan bebas (vrijspraak)
Pasal 191 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan
berpendapat bahwa hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa
atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
c. Putusan lepas dari segala tuntutan
Pasal 191 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa: “jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakannya kepada
terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum.
34 BAB II
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 KUHAP menyatakan Praperadilan
adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan.
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan.
Pasal 77 KUHAP menentukan bahwa pengadilan berwenang untuk
memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Dalam Pasal 82 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa putusan hakim
dalam acara pemeriksaan praperadilan harus memuat dengan jelas dasar
dan alasannya. Pasal 82 ayat (3) KUHAP menyatakan bahwa isi putusan
selain memuat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga
memuat hal sebagai berikut:
a. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penangkapan
atau penahanan tidak sah, maka penyidik atau jaksa penuntut
umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus segera
membebaskan tersangka;
b. Dalam hal putusan menetapkan bahwa sesuatu penghentian
penyidikan atau penuntutan tidak sah, penyidik atau penuntut
terhadap tersangka wajib dilanjutkan;
c. Dalam hal putusan menetapkan bahwa suatu penangkapan atau
penahanan tidak sah, maka dalam putusan dicantumkan jumlah
besarnya ganti kerugian dan rehabilitasi yang diberikan, sedangkan
dalam hal suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
adalah sah dan tersangkanya tidak ditahan, maka dalam putusan
dicantumkan rehabilitasinya;
d. Dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 35
bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka
atau dari siapa benda itu disita.
Isi putusan praperadilan sebelum memuat bunyi amar putusannya,
terlebih dahulu menyebutkan pertimbangan hakim mengenai faktor-faktor
hukum yang dijadikan dasar dan alasan dalam menjatuhkan putusan
praperadilan. Putusan praperadilan memuat ketentuan yang sifatnya
memerintahkan kepada pihak yang dikalahkan untuk berbuat sesuatu.
Proses pengambilan putusan dalam perkara praperadilan berdasarkan
Pasal 78 ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa: “Praperadilan dipimpin oleh
hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu
oleh seorang panitera”. Acara pemeriksaan praperadilan dilakukan dalam
waktu tiga hari setelah diterimanya permohonan praperadilan, hakim
yang sudah ditunjuk menetapkan hari persidangan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 penetapan adalah suatu penetapan yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat tata usaha negara berdasakan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final yang
menimbulkan akibat hukum bagi seseorang dan badan hukum perdata.
Unsur-unsurnya yaitu:
a. Penetapan tertulis
b. Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara
c. Berisi tindakan hukum tata negara
d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
e. Bersifat konkrit, individual, dan final
Berdasarkan Pasal 1 Angka 14 KUHAP menyatakan bahwa: “tersangka
adalah seorang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti
permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”.
Proses penetapan terjadinya tindak pidana dan tersangka didasarkan
dua alat bukti dan keyakinan penyidik bahwa telah terjadi tindak pidana
atau perbuatan pidana. Proses atau tahap-tahap pemeriksaan tersangka
yang dilakukan oleh penyidik harus memuat hal-hal sebagai berikut:
a. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas tentang apa
yang disangkakan kepadanya.
b. Tersangka berhak didampingi penasehat hukum.
c. Tersangka berhak mengajukan saksi yang menguntungkannya.
d. Tersangka memberikan keterangan tanpa tekanan siapa pun.
e. Keterangan tersangka dicatat sedetil-detilnya oleh penyidik dalam
berita acara.
36 BAB II
Proses penetapan status seseorang sebagai tersangka oleh penyidik
yang tidak didasarkan bukti permulaan merupakan tindakan sewenang-
wenang. Dalam perkembangan wewenang praperadilan tidak hanya
dalam Pasal 77 KUHAP tetapi penetapan seseorang menjadi tersangka
oleh penyidik yang tidak didasarkan bukti permulaan dapat diajukan
permohonan praperadilan.
Putusan praperadilan yang berkaitan dengan penetapan seseorang
menjadi tersangka pengajuan praperadilan terhadap penetapan
seseorang menjadi tersangka jika dilihat dalam Pasal 77 KUHAP tidak
dapat dibenarkan karena penetapan seseorang menjadi tersangka tidak
termasuk dalam ruang lingkup pemeriksaan praperadilan.
Adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014
menyatakan Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai
termasuk penetapan tersangka, pengeledahan dan penyitaan. Putusan
tersebut diartikan bahwa Makhamah Konstitusi mengubah ketentuan
Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Mahkamah konstitusi
menambah penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan
termasuk sebagai obyek praperadilan yang berarti membenarkan
pengajuan praperadilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka.
Ada beberapa pendapat hakim tentang pengajuan praperadilan atas
penetapan seseorang menjadi tersangka diantaranya pendapat yang
menerima dan ada yang menolak mengenai pengajuan praperadilan
atas penetapan seseorang menjadi tersangka. Pendapat hakim yang
menerima pengajuan praperadilan atas penetapan seseorang menjadi
tersangka yaitu Hakim Sarpin yang mengabulkan permohonan
praperadilan penetapan tersangka yang diajukan oleh Komjen Pol
Budi Gunawan. Alasannya karena pengadilan dilarang menolak untuk
memeriksa, mengadili dan memutuskan suatu yang diajukan dengan
alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal ini pengadilan wajib
untuk mengadili dan memeriksa (Pasal 10 ayat (1) Undang- Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim Sarpin
memutuskan bahwa penetapan tersangka Budi Gunawan tidak sah dan
tidak berdasarkan hukum.
Sedangkan pendapat hakim yang menolak mengenai pengajuan
praperadilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka yaitu Hakim
Tatik Hadiyanti yang memutuskan menolak seluruh permohonan
praperadilan yang diajukan mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali.
Hakim berpendapat bahwa gugatan mantan menteri tersebut tidak
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 37
masuk dalam ranah praperadilan berdasarkan pertimbangan yang
mengacu pada Pasal 1 butir 10 KUHAP, Pasal 77 KUHAP serta Pasal 82
KUHAP yang mengatur mengenai praperadilan. Hakim menyebut proses
penyidikan dan penetapan tersangka belum merupakan upaya paksa,
tetapi merupakan awal upaya paksa.
Pengajuan praperadilan atas penetapan seseorang menjadi tersangka
secara yuridis saat ini dapat dibenarkan berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut menambah penetapan tersangka,
penggeledahan dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.29
Alasan hakim yang menerima pengajuan praperadilan atas
penetapan seseorang menjadi tersangka adalah karena pengadilan
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
yang diajukan dengan alasan bahwa hukum nya tidak ada, dalam hal
ini pengadilan wajib untuk mengadili dan memeriksa Pasal 10 ayat (1)30
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Alasan hakim yang menolak mengenai pengajuan praperadilan atas
penetapan seseorang menjadi tersangka adalah penetapan seseorang
sebagai tersangka tidak masuk dalam ranah praperadilan berdasarkan
pertimbangan yang mengacu pada Pasal 1 butir 10 KUHAP, Pasal 77
KUHAP serta Pasal 82 KUHAP yang mengatur mengenai praperadilan.
Hakim menyebut proses penyidikan dan penetapan tersangka belum
merupakan upaya paksa, tetapi merupakan awal upaya paksa.
Di Eropa dikenal lembaga semacam itu, tetapi fungsinya memang
benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi, fungsi hakim
komisaris (Recter Commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction
di Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain
menentukan sah tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga
melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara.
Perkembangan praperadilan di Indonesia merupakan hal baru
dibandingakan dengan negara lain. Contohnya, perbedaan antara
praperadilan dengan Preliminary Hearings yang dimiliki oleh Amerika.
Secara harfiah pengertian Praperadilan dan preliminary hearings
(pemeriksaan pendahuluan) memiliki kesamaan sebagai proses
pemeriksaan sebelum perkara dilimpahkan ke persidangan. Walaupun
sebenarnya Praperadilan adalah proses pemeriksaan yang dapat dilakukan
sebelum persidangan atau bahkan selama proses persidangan masih
29 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan.
30 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
38 BAB II
Tabel: Persamaan antara Praperadilan dan Preliminary hearings
No Keterangan Praperadilan KUHAP
Preliminary hearings (USA’s Criminal
Prosedure Code)
Pengertian Jika diperbandingkan secara harfiah maka, istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”Praperadilan”. Pra artinya sebelum, atau mendahului. Berarti ”Praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan.
Preliminary hearings merupakan prosedur proses pidana sebelum dilaksanakan persidangan secara penuh (full scale trial)
yang melibatkan dewan juri.
Tujuan Untuk menegakkan asas presumption of innonce sebagai jantung dari sistem akusatur yang dianut oleh KUHAP. Pada prinsipnya tujuan utama pelembagaan Praperadilan dalam KUHAP, untuk melakukan pengawasan secara horizontal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan terhadap tersangka selama ia berada di dalam pemeriksaan penyidikan atau penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang- undang
Untuk memastikan bahwa tersangka didakwa bukan dengan alasan yang tidak berdasar, yang merupakan prinsip dari sistem akusatur yang dianut oleh Amerika Serikat
Dipimpin oleh seorang hakim tunggal. Dipimpin oleh seorang hakim tunggal (magistrate) atau dewan juri.
Praperadilan berperan mengawasi Preliminary hearings kedua instansi hukum yang lain berperan sebagai yakni kepolisian dan kejaksaan dalam penyaring terhadap
menjalankan proses hukum. kasus-kasus yang dianggap ringan dan juga
sebagai tempat untuk memastikan bahwa jaksa bertindak benar dalam menjalankan tugasnya.
berlangsung. Persamaannya dengan preliminary hearings, wewenang
Praperadilan dan sistem pembuktian yang digunakan lebih terbatas
daripada preliminary hearings.31 Wewenang dari Praperadilan hanya
sebatas untuk memutuskan, apakah penangkapan atau penahanan sah
ataukah tidak, apakah penghentian penyidikan atau penuntutan sah atau
tidak. Namun tidak disebutkan mengenai ketentuan apakah penyitaan
sah atau tidak. Hal ini menjadi penting karena merupakan perampasan
31 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sapta Arta Jaya, 1996), hlm. 1.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 39
Tabel: Perbedaan Praperadilan dan Preliminary Hearings
No Keterangan Praperadilan (KUHAP) Preliminary hearings (USA’s Criminal Prosedure Code)
1 Latar Belakang Sistem Hukum
Indonesia adalah negara bekas jajahan koloni Belanda selama kurang lebih 350 tahun, sehingga sistem hukum yang dianut oleh Indonesia berkiblat pada Belanda. Indonesia menganut sistem hukum Eropa Continental.
Amerika serikat merupakan bekas koloni dari Inggris, sehingga sistem hukum yang dianut berkiblat pada negara Inggris tersebut. Amerika Serikat menganut sistem hukum common law
2 Kewenangan Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya upaya paksa. Memeriksa sah atau tidaknya penghentianpenyidikan atau penghentian penuntutan. Berwenang memeriksa tuntutan ganti rugi
Memeriksa dan memutus apakah perkara yang diajukan masuk dalm yurisdiksi pengadilan. Memeriksa apakah ada penyebab terjadinya suatu kejahatan. Menghentikan dakwaan dan melepaskan terdakwa (jika dakwaannya dianggap tidak sah). Menurunkan perkara menjadi kejahatan ringan. Memutuskan bahwa negara menganggap perkaranya sah sehingga layak dilanjutkan ke sidang penuh (full scale trial).
3 Proses beracara
Praperadilan terselenggara jika diminta oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan. Asas pembuktian yakni satu saksi bukan saksi dan testimony de auditum tetap berlaku sehingga tidak dapat dijadikan suatu barang bukti
Preliminary hearings ada karena menjadi satu kesatuan tahapan yang saling berkaitan dalam proses peradilan pidana. Segala bentuk bukti baik hanya sekedar kabar angin dan satu saksi tetap diterima sebagai barang bukti
hak individu atas hak milik, sedangkan Pengadilan belum menjatuhkan
putusan yang in kracht atas status hak milik tersebut. Tindakan upaya
paksa berupa penyitaan sangat merugikan hak asasi tersangka, namun
tidak terdapat sarana controlling akan hal tersebut.
Permasalahan sejauh mana wewenang dari hakim yang memegang
perkara tentunya bervariasi antara satu negara dengan negara yang
lain. Hakim tunggal (magistrate) di Amerika Serikat, memiliki fungsi
baik sebagai investigating judge maupun examinating judge. Sedangkan
apabila kita perbandingkan dengan Praperadilan yang terdapat di dalam
KUHAP, maka hakim Praperadilan berfungsi hanya sebagai examinating
judge, karena Praperadilan hanya memeriksa sah atau tidaknya suatu
40 BAB II
penangkapan serta sah tidaknya suatu penahanan. Dan Praperadilan
sebagai examinating judge juga secara formil hanya terbatas pada
sebagian dari upaya paksa saja, yakni penangkapan dan penahanan
saja, sedangkan perihal upaya paksa lainnya tidak secara jelas didapati
didalam pengaturan Praperadilan dalam KUHAP. Sedangkan mengenai
sistem pembuktian yang berlaku, preliminary hearings lebih bersifat
fleksibel dan menerima semua petunjuk serta keterangan sebagai bukti
yang mengikat hakim, yang tentu saja hal ini bertolak belakang dengan
sistem pembuktian yang dianut dalam Praperadilan.
Kewenangan hakim praperadilan yang terbatas, hadirnya lembaga
Praperadilan sudah menunjukkan adanya hakim yang telah berperan
aktif di dalam fase pemeriksanaan pendahuluan. Sebagai negara yang
menjunjung tinggi hukum dan penghormatan atas hak asasi manusia,
keberadaan Praperadilan patut untuk diapresiasi sebagai wujud
kontrol atas tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh kepolisian dan
kejaksaan. Jadi dalam hal ini dapat pula diartikan bahwa dengan adanya
Praperadilan, maka dalam sistem peradilan pidana kita dianut suatu
pengawasan secara vertikal di samping pengawasan secara horisontal
sebagai wujud perlindungan terhadap hak asasi manusia yang dirugikan
atas tindakan upaya paksa.
Sistem preliminary hearings Hakim bertugas untuk memastikan
bahwa jaksa dalam membuat tuduhan sesuai dengan fakta yang
ada, dan hakim harus menemukan penyebab terjadinya kejahatan,
sebelum perkara tersebut di teruskan ke Persidangan yang lebih tinggi
tingkatannya. Menurut KUHAP, hakim Praperadilan tidak memiliki
kewenangan untuk memutuskan perkara, apakah suatu perkara cukup
alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada
Jaksa Penuntut Umum.
Bahan perbandingan yang patut untuk dijadikan evaluasi adalah
tidak adanya kewenangan Hakim Praperadilan untuk menilai sah atau
tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh Jaksa
dan Penyidik. Kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak
sah merupakan pelanggaran terhadap hak milik orang. Keseluruhan
persamaan dan perbedaan pada praperadilan dan preliminary hearings
tidak terlepas dari perbedaan yang mendasar dari sistem hukum yang
dianut oleh kedua negara tersebut.
Pengajuan model mekanisme dan arus gelombang Pra Peradilan
merupakan cara baru dalam proses penegakan hukum yang memiliki
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 41
dampak dua sisi. Disatu sisi sebagai kontrol dan intropeksi atas
penyimpangan tindakan upaya hukum paksa penegakan hukum, namun
disisi lain pengajuan melalui proses pra peradilan adalah upaya tersangka
menghindari pemeriksaan pokoknya.32
Upaya paksa yang dilakukan dalam Penyidikan maupun Penuntutan
oleh lembaga yang berwenang dapat dikontrol melalui Lembaga
Praperadilan. Tujuan lembaga ini dibentuk agar hak-hak tersangka dapat
dilindungi terutama dalam hal penangkapan maupun penahanan yang
tidak sah serta adanya penghentian penyidikan maupun penuntutan.
Walaupun lembaga tersebut telah diatur dalam hukum positif (Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1981) namun dalam aplikasinya masih terdapat
kelemahan-kelemahan baik dalam formulasinya maupun dalam
penerapannya di Pengadilan sehingga tidak adanya perlindungan hak
asasi manusia bagi tersangka.
Pengaturan lembaga praperadilan dalam hukum positif Indonesia
terdapat dalam Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal
83 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Dalam penerapannya masih terdapat permasalahan terutama mengenai
gugurnya permohonan praperadilan yang disebabkan oleh mulainya
pemeriksaan perkara pidana di sidang pengadilan. Dengan alasan
tersebut, obyek permohonan praperadilan tidak diperiksa secara tuntas
melalui suatu putusan praperadilan yang mempertimbangkan sah atau
tidaknya permohonan dimaksud. Diperlukan adanya pembaharuan
hukum (Kebijakan) terhadap aturan Lembaga Praperadilan secara ideal
dengan menitik beratkan perlindungan terhadap hak asasi manusia
baik terhadap tersangka maupun korban. Pembaharuan hukum
lembaga praperadilan dari segi substansi maupun struktur dengan jalan
mengganti yang telah ada bukan merupakan jalan terbaik, namun yang
lebih terpenting adalah pembaharuan dari segi budaya hukum, etika
moral hukum dan ilmu pendidikan hukum.
Pada dasarnya secara global, representative, dan tradisional
berdasarkan pembagian hukum menurut isinya maka dikenal adanya
ketentuan hukum publik (public law) dan hukum privat (private law).
Menurut pandangan para doktrina, disebutkan bahwa hukum publik
merupakan ketentuan hukum yang mengatur kepentingan umum
(algemene belangen) sehingga sifatnya apriori telah memaksa, sedangkan
ketentuan hukum privat prinsipnya mengatur kepentingan perorangan
(bijzondere belangen) dan sifatnya apriori tidak memaksa.
32 Indriyanto Seno Adji, Pra Peradilan & KUHAP (catatan mendatang), (Jakarta: Diaditmedia, 2015), hlm. 12.
42 BAB II
Selanjutnya apabila ditilik lebih intens, detail dan terperinci
berdasarkan pembagian hukum menurut fungsinya, hukum publik dapat
dibagi diantaranya Hukum Administrasi Negara, Hukum Tata Negara dan
Hukum Pidana. Salah satu dimensi dari ketentuan hukum publik dalam
hal ini hukum pidana dapatlah dibagi lagi menjadi hukum pidana materiil
(materieele strafrecht) dan hukum pidana formal/hukum acara pidana atau
dalam terminologi rumpun Belanda lazim disebut dengan istilah formeel
strafrecht atau strafprocesrecht dan hukum pelaksanaan pidana.
Dari pembagian hukum menurut fungsinya itu tampaklah bahwa
antara hukum pidana meteriil dan hukum acara pidana, sama-sama
merupakan rumpun hukum publik (public law). Oleh karena itu,
dapatlah disebutkan secara fundamental bahwasanya antara hukum
pidana materiil dan hukum pidana formal/hukum acara pidana terjalin
hubungan yang erat dan tidak terpisahkan. Antara Hukum Pidana Materiil
dan Hukum Pidana Formil (Hukum Acara Pidana) saling menunjang
karena hukum pidana materiil tanpa adanya dukungan hukum acara
pidana akan menjadi “tidak berdaya”. Begitu pula sebaliknya apabila
hukum acara pidana tanpa dukungan hukum pidana materiil, akan
menjadi “tidak berdasar” penerapannya. Untuk itu, guna memberikan
deskripsi lebih memadai terhadap hubungan tersebut dapatlah diajukan
dengan contoh sebagai berikut: Berdasarkan ketentuan Pasal 338 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menentukan: “Barang siapa
dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain karena salah telah
melakukan pembunuhan, dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya lima belas tahun.” Ketentuan Pasal 338 KUHP ini merupakan
ruang lingkup hukum pidana materiil, ketentuan tersebut menentukan
tentang perbuatan yang dipidana (sengaja menghilangkan nyawa orang
lain = pembunuhan), subjek/pelaku yang dapat dijatuhi pidana (barang
siapa = siapa saja yang melakukan pembunuhan), dan lamanya pidana
(sentencing/straftoemeting) yang dapat dijatuhkan (pidana penjara
selama-lamanya lima belas tahun). Apabila (A) (tersangka/terdakwa)
disangka ataupun didakwa melakukan perbuatan sebagaimana
ketentuan Pasal 338 KUHP kemudian kepadanya dilakukan penyidikan,
penuntutan, pengadilan, dan pengeksekusian, disinilah eksistensi dari
hukum acara pidana. Kongkritnya hukum pidana materiil (Pasal 338
KUHP) belumlah cukup apabila tanpa ditindaklanjuti lebih jauh berupa
tahapan-tahapan:
Pelakunya (A) haruslah disidik, dituntut, diadili, dan dieksekusi.
Dari konteks ini tampak bahwasanya hukum pidana materiil haruslah
mendapat dukungan penuh dari hukum acara pidana dan jika tidak
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 43
didukung seperti itu, akan menjadi “tidak berdaya”. Demikian pula
sebaliknya, jika hukum acara pidana tersebut diterapkan tanpa adanya
hukum pidana materiil, akan menjadi “tidak berdasar” penerapannya.
Bertolak dari adanya hubungan sesuai konteks tersebut diatas, menurut
Lilik Mulyadi, pada asasnya pengertian hukum acara pidana
itu merupakan:
1. Peraturan hukum yang mengatur, menyelenggarakan, dan
mempertahankan Eksistensi Ketentuan Hukum Pidana Materiil
(Materieel Strafrecht) guna mencari, menemukan, dan mendapatkan
kebenaran materiil atau yang sesungguhnya;
2. Peraturan hukum yang mengatur bagaimana cara dan proses
pengambilan putusan oleh Hakim;
3. Peraturan hukum yang mengatur tahap pelaksanaan daripada
putusan yang telah diambil.33
Hukum Acara Pidana menentukan suatu tatanan beracara untuk
seluruh proses perkara pidana yang dirumuskan dalam undang-undang
atau peraturan lainnya. Tatanan tersebut menjadi aturan bekerjanya alat
perlengkapan negara yang berwenang berhadapan dengan segala hak
untuk membela bagi tersangka atau orang lain, apabila timbul dugaan
terjadi perbuatan pidana dan untuk menetapkan keputusan hukum yang
tidak bertentangan dengan hak asasi manusia.34
Apabila kita perhatikan secara lebih saksama maka mengenai
tujuan Hukum Acara Pidana ini ditegaskan dalam Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memberi penjelasan
bahwa: “Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah mencari dan
mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran material,
ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana
dengan menerapkan ketentuan Hukum Acara Pidana secara jujur
dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapa pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan
apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Barda Nawawi Arief berpendapat Sistem Peradilan Pidana (SPP)
pada hakekatnya identik dengan sistem penegakan hukum pidana.
33 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 4–6.
34 Bambang Poernomo, Seri Hukum Acara Pidana Pandangan terhadap Asas- Asas Umum Hukum Acara Pidana,(Yogyakarta: Liberty, 1982) hlm. 5.
44 BAB II
Sistem penegakan hukum pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan/
kewenangan menegakkan hukum. Kekuasaan/kewenangan menegakkan
hukum ini dapat diidentikkan dengan istilah kekuasaan kehakiman.35
Karena SPP pada hakekatnya juga diidentikkan dengan sistem kekuasaan
kehakiman di bidang hukum pidana yang diimplementasikan/
diwujudkan dalam empat sub sistem yaitu:
1. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik.
2. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum.
3. Kekuasaan mengadili / menjatuhkan putusan oleh badan peradilan
dan,
4. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana
eksekusi.
Keempat sub sistem itu merupakan satu kesatuan sistem penegakan
hukum pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah Sistem
Peradilan Pidana atau SPP terpadu atau integrated criminal justice
system. Dengan demikian kekuasaan kehakiman (dibidang hukum
pidana) dilaksanakan oleh empat badan/lembaga seperti tersebut di
atas. Keempat badan itulah yang dapat disebut sebagai badan-badan
kehakiman menurut istilah yang disebut dalam Pasal 24 UUD NKRI 1945
(sebelum amandemen ke-3). Jadi badan-badan kehakiman yang disebut
oleh UUD NKRI 1945 tidak dapat diidentikkan dengan badan-badan
peradilan yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
yang mengalami perubahan berdasarkan Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999 kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Kalau ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana dimuat
dalam KUHAP, maka Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang terdiri
dari komponen Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum, setiap komponen dari
sistem tersebut seharusnya secara konsisten menjaga agar sistem dapat
berjalan secara terpadu.
Seperti yang sudah diketahui, demi untuk terlaksananya kepentingan
pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberikan kewenangan
kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya
paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya.
Setiap upaya paksa yang dilakukan pejabat penyidik atau penuntut umum
terhadap tersangka, pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:
35 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu,(Semarang: BP Universitas Diponegoro, 2007), hlm. 19, 20, 26.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 45
1. Tindakan paksa yang dibenarkan undang-undang demi kepentingan
pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka;
2. Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan undang-
undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan
perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan
terhadap hak asasi manusia.
Karena tindakan upaya paksa yang dikenakan instansi penegak
hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan
hak asasi tersangka, tindakan ini harus dilakukan secara bertanggung
jawab menurut ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku
(due process of law). Sesuai dengan konteks ini maka tindakan-
tindakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan
haruslah dilakukan secara yuridis formil dengan bentuk tertulis sesuai
kewenangan yang diberikan undang-undang. Oleh karena itu terhadap
tindakan-tindakan tersebut di atas tidaklah diperkenankan secara lisan
dan apabila dilakukan demikian menjadi ”batal demi hukum”. Jika
dijabarkan lebih intens terhadap asas ini mengandung pula pengertian
bahwa tindakan-tindakan pejabat yang diberi wewenang oleh undang-
undang tersebut menimbulkan adanya asas kepastian di dalamnya, yaitu
kepastian terhadap ruang lingkup penangkapan dan kewenangannya
(Pasal 16, Pasal 17, Pasal 18 dan Pasal 19 KUHAP), kepastian terhadap
pejabat, macam-macam jangka waktu penahanan dan penangguhannya
(Pasal 19 sampai dengan Pasal 31 KUHAP), kepastian terhadap macam-
macam pejabat dan kewenangannya untuk melakukan penggeledahan
(Pasal 32 sampai dengan Pasal 37 KUHAP) dan kepastian adanya pejabat
dan kewenangannya untuk melakukan penyitaan, serta jenis-jenis
penyitaan dan kelanjutan terhadap barang-barang sitaan (Pasal 38
sampai dengan Pasal 46 KUHAP).36
Sebagaimana telah diutarakan diatas, maka maksud diadakan lembaga
praperadilan ini merupakan kontrol/pengawasan atas jalannya hukum
acara pidana dalam rangka melindungi hak-hak tersangka/terdakwa.
Kontrol tersebut dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:37
a. Kontrol vertikal, yakni kontrol dari atas kebawah.
b. Kontrol horizontal, yakni kontrol kesamping, antara penyidik, penuntut
umum timbal balik dan tersangka, keluarganya atau pihak ketiga.
36 Lilik Mulyadi, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 8.
37 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 322.
46 BAB II
Menurut Loebby Loqman, dijelaskan bahwa fungsi pengawasan
horizontal terhadap proses pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan
oleh lembaga praperadilan tersebut juga merupakan bagian dari kerangka
sistem peradilan pidana terpadu.38 Dengan adanya lembaga praperadilan
dijamin bahwa seseorang tidak ditangkap atau ditahan tanpa alasan yang
sah. Penangkapan hanya dilakukan atas dasar dugaan yang kuat dengan
landasan bukti permulaan yang cukup. Sedangkan ketentuan bukti
permulaan ini diserahkan penilaiannya kepada penyidik. Hal ini membuka
kemungkinan sebagai alasan pengajuan pemeriksaan praperadilan.
Berikut beberapa dasar yang digunakan sebagai permohonan dalam
mengajukan praperadilan, baik dari penangkapan dan penahanan:
1. Penangkapan
Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian
maka keabsahan penangkapan ada pada syarat materiil dan syarat
formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan
syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup
bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah
adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya.
a. Syarat formil:
1. Penangkapan dilakukan dengan Surat tugas serta
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan
yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan
alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan
yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa, tidak salah
mengenai orangnya.
2. Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa
surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus
segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada.
( Tertangkap tangan tetapi ada Surat Perintah Penangkapan ).
3. Tembusan surat perintah penangkapan harus diberikan
kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.
4. Penangkapan sebagaimana dimaksud dapat dilakukan
untuk paling lama satu hari, Apabila dalam waktu lebih
dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat
perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka
berhak untuk segera dilepaskan.
5. Terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan
penangkapan kecuali dalam hal ia telah dipanggil secara 38 Loebby Loqman, Pra-Peradilan Di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1987).
Hlm. 20.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 47
sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu
tanpa alasan yang sah.
b. Syarat materiil:
1. Perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang
diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup seperti seminimnya 2 alat bukti,
ada tidaknya tindak pidananya, sehingga ditujukan kepada
mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
1. Penahanan
a. Syarat Subyektif
Dinamakan syarat subyektif karena hanya tergantung pada
orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah syarat itu
ada atau tidak. Syarat subyektif ini terdapat dalam Pasal 21 Ayat
(1), yaitu:
1. Tersangka/terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana.
2. Berdasarkan bukti yang cukup.
3. Dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka/terdakwa:
a. Akan melarikan diri.
b. Merusak atau menghilangkan barang bukti.
c. Mengulangi tindak pidana.
b. Syarat Obyektif.
Dinamakan syarat obyektif karena syarat tersebut dapat diuji
ada atau tidak oleh orang lain. Syarat obyektif ini diatur dalam
Pasal 21 Ayat (4) KUHAP yaitu:
1) Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima
tahun atau lebih;
2) Tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari
lima tahun, tetapi ditentukan dalam:
a) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1) , Pasal 351
ayat (1), Pasal 353 ayat (1). Pasal 372, Pasal 378, Pasal
379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal
480, Pasal 506;
b) Pelanggaran terhadap Ordonantie Bea dan Cukai;
c) Pasal 1, 2 dan 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992
(Tindak Pidana Imigrasi) antara lain: tidak punya
dokumen imigrasi yang sah, atau orang yang memberikan
pemondokan atau bantuan kepada orang asing yang tidak
mempunyai dokumen imigrasi yang sah;
48 BAB II
d) Tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2009 tentang Narkotika.
Berdasarkan uraian kedua syarat tersebut yang terpenting
adalah syarat obyektif sebab penahanan hanya dapat dilakukan
apabila syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 21 Ayat
(4) KUHAP itu dipenuhi. Sedangkan syarat yang terkandung
dalam Pasal 21 Ayat (1) KUAHP biasanya dipergunakan untuk
memperkuat syarat yang terkandung dalam Pasal 21 Ayat (4)
KUHAP dan dalam hal-hal sebagai alasan mengapa tersangka
dikenakan perpanjangan penahanan atau tetap ditahan sampai
penahanan itu habis. Dalam melaksanakan penahanan terhadap
tersangka/ terdakwa, maka pejabat yang berwenang menahan
harus dilengkapi dengan Surat perintah penahanan dari Penyidik,
Surat perintah penahanan dari Jaksa Penuntut Umum atau Surat
penetapan dari Hakim yang memerintahkan penahanan itu.
Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah
penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas
Tersangka/Terdakwa, Alasan Penahanan, Uraian Singkat perkara
kejahatan yang dipersangkakan atau didakwakan, dan Tempat
dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah
Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu,
harus diberikan kepada keluarga Tersangka/Terdakwa dengan
didukung bukti penerimaan (Ekspedisi). Tidak didukung dengan
bukti yang cukup, melebihi limit waktu penahanan, penahanan
bukan untuk kepentingan pengadilan (perkara sudah P.21 tetapi
perpanjangan penahanan masih dilakukan.
Mengenai syarat tentang pengajuan pemeriksaan
praperadilan ini dapat kita jumpai dalam Pasal 79 KUHAP yang
berbunyi: Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya
suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka,
keluarga dan kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
Sementara alasan untuk mengajukan tuntutan praperadilan
diatur di dalam Pasal 77 KUHAP yaitu mengenai:
1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.
2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang
perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 49
Dari Pasal 77 KUHAP diatas maka yang menjadi alasan untuk
mengajukan suatu perkara sebagai perkara praperadilan yaitu:39
1. Mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan
sebagaimana diatur dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal
31 KUHAP.
2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Dalam hal ini penghentian penyidikan atau penuntutan
terdiri dari:
a. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
“demi kepentingan umum” yang artinya penghentian itu
dilakukan berturut-turut oleh penyidik atau penuntut
umum karena masih perlu menemukan bukti lain.
b. Penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
demi hukum yang dapat terjadi karena untuk perkara
yang bersangkutan:
3. karena telah daluarsa.
4. karena tidak ada pengaduan pada delik aduan atau
pengaduannya dicabut.
5. karena tersangka/terdakwa meninggal dunia.
6. karena keliru orangnya (error in persona).
7. Karena ne bis in idem.
8. karena bukan perkara pidana.
9. Peraturan perundangan yang menjadi dasar hukum telah
dicabut.
2. Tindakan lain
Yang dimaksud dengan tindakan lain disini yaitu tindakan-
tindakan upaya hukum (dwang middel) lainnya seperti pemasukan
rumah, penggeledahan, penyitaan barang bukti, surat-surat yang
dilakukan secara melawan hukum dan menimbulkan kerugian
materiil. Tindakan lain ini dimasukkan dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP
secara rinci dapat dilihat dalam penjelasannya yang menyatakan
kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan
dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan
tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana
yang dijatuhkan.
3. Ganti kerugian
Mengenai ganti kerugian diatur dalam Pasal 1 butir 22 KUHAP
yaitu:
39 Moch. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana DalamTeori Dan Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 2001), hlm. 323.
50 BAB II
“Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat
pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imbalan sejumlah uang
karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini”
Begitu pula penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran
serius terhadap hak milik orang. Praperadilan merupakan salah
satu lembaga baru yang diperkenalkan sejak adanya Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di tengah-tengah kehidupan
penegakan hukum. Praperadilan dalam Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditempatkan dalam Bab X, Bagian
Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang
mengadili bagi Pengadilan Negeri, Ditinjau dari segi struktur dan
susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang
berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang
mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus
peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri
dan eksistensinya:
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan
Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada
tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak
terpisah dari Pengadilan Negeri,
b. Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun
sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi
dari Pengadilan Negeri,
c. Administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu
dengan Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta
pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri,
d. Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi
yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri.
Dari gambaran diatas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan
bukan merupakan lembaga tersendiri. Tetapi hanya merupakan
pemberian wewenang dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP
kepada setiap pengadilan negeri, sebagai wewenang dan fungsi
tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada selama ini.
Selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili
dan memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas
pokok, maka terhadap tugas pokok tadi diberi tugas tambahan
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 51
untuk menilai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang wewenang
pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan.
Hal tersebut terlihat dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang
menegaskan: Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri
untuk memeriksa dan memutus:
a. sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan,
b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan,
c. permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya
tidak diajukan ke pengadilan.
Adapun maksud dan tujuan yang hendak diwujudkan dari
lembaga Praperadilan adalah demi tegak dan dilindunginya hukum
serta perlindungan hak asasi tersangka dalam tingkat pemeriksaan
penyidikan dan penuntutan. Dengan demikian dilihat sebagai bagian
dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti,
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan yang baik. Atau suatu ilmu sekaligus seni
yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian yang dimaksud
dengan “peraturan hukum positif” adalah peraturan perundang-
undangan hukum pidana. Istilah “penal policy” menurut Marc Ancel
adalah sama dengan istilah:kebijakan atau politik hukum pidana”.
Apabila kita telaah proses penyelesaian perkara pidana
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,
akan tampak pentahapan sebagai berikut:
Tahap pertama: proses penyelesaian perkara pidana dimulai
dengan suatu penyelidikan oleh penyelidik. Karena kewajibannya,
penyelidik mempunyai wewenang:
a. menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang
adanya tindak pidana;
b. mencari keterangan dan barang bukti;
c. menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan
serta memeriksa tanda pengenal diri;
d. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab. Dalam penjelasan resmi Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4
KUHAP menerangkan sebagai berikut: yang dimaksud dengan
52 BAB II
“tindakan lain” adalah tindakan penyelidik untuk kepentingan
penyelidikan dengan syarat:
1. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
2. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan
dilakukannya tindakan jabatan;
3. tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk
dalam lingkungan jabatannya;
4. atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan
memaksa;
5. menghormati hak asasi manusia;40
Yang berwenang melakukan penyelidikan adalah setiap pejabat
polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 4 KUHAP). Berdasarkan
ketentuan Pasal 5 ayat (1) huruf b KUHAP memperluas kewenangan
pejabat Polisi Republik Indonesia meliputi kewenangan:
a. penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan
dan penyitaan;
b. pemeriksaan dan penyitaan surat;
c. mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
d. membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik;
Bunyi pasal tersebut diatas sesungguhnya merupakan proses
lanjutan dan sebagai konsekuensi logis dari dilaksanakannya
kewenangan yang ada pada pejabat Polisi Republik Indonesia,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a KUHAP. Pada
tahap ini pembentuk undang-undang tampaknya menganggap
masih belum diperlukan kehadiran seorang penasihat hukum untuk
mendampingi tersangka. Sedangkan jika mengikuti kewenangan
yang dimiliki oleh seorang penyelidik seperti tersebut diatas, sudah
mulai menyentuh kemerdekaan pribadi seseorang. Akan tetapi
dalam ketentuan KUHAP baik dalam Bab VI tentang Tersangka dan
Terdakwa maupun Bab VII tentang Bantuan Hukum, tidak nampak
sama sekali hak seorang tersangka untuk menolak atau membela
kepentingannya, misalnya menolak menjawab pertanyaan pejabat
penyelidik sebelum didampingi penasihat hukum. Sebaiknya aturan
tentang “kapan” seorang pejabat polisi dapat memberhentikan
seseorang dan menanyai segala sesuatu yang bertalian dengan
tindak pidana yang telah terjadi dengan usaha prevensi kejahatan,
hendaknya dicantumkan secara lengkap. Walaupun telah disiapkan
40 Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), hlm. 35.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 53
suatu lembaga praperadilan, namun lembaga dimaksud hanya
berwenang memutus masalah kepentingan seseorang tersangka
sejak ia ditangkap, tidak menjangkau sejak tahap penyelidikan.
Tahap Kedua: dalam proses penyelesaian perkara pidana adalah
penangkapan (Bab V bagian Kesatu). Pasal 16 sampai dengan Pasal
19 KUHAP tentang penangkapan mengatur tentang:
a. laporan dan lamanya penangkapan dapat dilakukan;
b. siapa yang berhak menangkap;
c. apa isi surat perintah penangkapan;
d. bila penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah
penangkapan;
Mengenai kapan penangkapan dapat dilakukan, KUHAP
menetapkan sebagai berikut:
a. bila telah ada bukti permulaan yang cukup (Pasal 17);
b. bila kepentingan penyelidikan dan penyidikan menghendaki
atau memerlukannya (Pasal 16);
c. bila orang, terhadap siapa penangkapan akan dilakukan, diduga
keras melakukan kejahatan (Pasal 17).
Secara keseluruhan, butir 1 sampai dengan 3 menunjukkan
motivasi dilakukannya penangkapan tehadap seseorang oleh
Pejabat Polisi Negara. Tanpa motivasi dimaksud penangkapan tidak
boleh dilakukan. Sedangkan alasan penangkapan tidak ditegaskan
dalam KUHAP. Hanya dalam Pasal 18 antara lain menyebutkan isi
surat perintah penangkapan harus menyebutkan alasannya, serta
uraian singkat kejahatan yang dipersangkakan. Sebaiknya alasan
umum penangkapan diatur pula dalam KUHAP, sebagai pelengkap
terhadap alasan khusus yang mungkin akan timbul sesuai dengan
sifat kejahatan yang telah dilakukan dan dipersangkakan terhadap
seseorang dan situasi kondisi dari perkara kejahatan dimaksud.
Umumnya penangkapan yang diperbolehkan adalah 1 (satu)
hari. Penangkapan hanya dapat dilakukan dengan surat perintah
penangkapan kecuali dalam hal tertangkap tangan (Pasal 18 ayat (2)).
Dalam Pasal 1 butir 20 KUHAP diatur pengertian penangkapan
yang berbunyi: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik
berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan
atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini”.
54 BAB II
Secara sederhana dapat dikatakan penangkapan adalah tindakan
pemerintah (polisi) yang membatasi kemerdekaan bergerak seseorang
demi kepentingan penyelidikan atau penyidikan atas suatu perkara
kejahatan ditujukan terhadap seseorang yang diduga keras telah
melakukan kejahatan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.41
Tahap Ketiga: dari proses penyelesaian perkara pidana adalah
penahanan (Bab V Bagian Kedua, Pasal 20 sampai dengan 31).
Tampaknya pembentuk undang-undang memberikan perhatian
khusus terhadap masalah penahanan ini, terbukti dengan jumlah
Pasal yang mengaturnya yaitu terdiri dari 12 Pasal dan 43 ayat. Pasal
20 mengatur kewenangan melakukan penahanan pada setiap tingkat
pemeriksaan. Pasal 21 mengatur penahanan lanjutan yang merupakan
kewenangan penuntut umum, dan alasan penahanan lanjutan bila
penahanan dimaksud dapat dilakukan. Pasal 22 mengatur jenis
penahanan. Pasal 23 mengatur pengalihan jenis penahanan. Pasal
24 sampai dengan Pasal 28 mengatur lamanya penahanan dapat
dilakukan. Pasal 29 mengatur perpanjangan jangka waktu penahanan
karena alasan khusus. Pasal 30 mengatur hak tersangka atau terdakwa
untuk meminta ganti rugi karena penahanan yang tidak sah. Pasal 31
mengatur penangguhan penahanan dengan jaminan uang atau orang
atau tanpa jaminan tersebut.
Berdasarkan keseluruhan ketentuan tentang penahanan,
pembentuk undang-undang memberikan perhatian pada empat hal:
a. lamanya waktu penahanan yang dapat dilakukan;
b. aparat penegak hukum yang berwenang melakukan penahanan;
c. batas perpanjangan waktu penahanan dan perkecualiannya;
d. hal yang dapat menangguhkan penahanan;
Dari keempat hal tersebut diatas (dan sekaligus dapat dianggap
sebagai kerangka berfikir pembentuk undang-undang) dapat dilihat
bahwa cita-cita perlindungan atas harkat dan martabat tersangka
atau terdakwa secara formal telah terpenuhi. Tampaknya jalan
yang harus ditempuh masih cukup jauh untuk dapat tercapainya
cita-cita perlindungan dimaksud dalam pelaksanaannya. Hal ini
disebabkan perubahan suatu peraturan perundang-undangan
tidaklah dengan seketika dapat membawa akibat perubahan cara
berfikir dan bertindak dari para aparat pelaksananya. Sehubungan
dengan Pasal 21 ayat (4) KUHAP, Andi Hamzah pernah mengajukan
41 Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta, 1983), hlm. 20.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 55
pertanyaan apakah penahanan dapat dilakukan demi kepentingan
keamanan tersangka sendiri.42
Menurutnya dalam praktek memang banyak terjadi yang
demikian. Delik-delik yang menyangkut kesusilaan sering
tersangkanya ditahan misalnya mukah (overspal), padahal ancaman
pidana dalam pasal itu dibawah lima tahun dan pasal 284 KUHP
tidak disebut dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Jika tersangka berada
di luar tahanan dikhawatirkan keselamatan jiwanya.
Dengan melihat dan menerapkan teori atau syarat penahanan
terdapat syarat subyektif di dalam melakukan penahanan yang
tergantung pada orang yang memerintahkan penahanan tadi, apakah
syarat itu ada atau tidak syarat subyektif, yaitu karena syarat tersebut
diuji ada atau tidak oleh orang lain.
Apabila dihubungkan antara dua syarat tersebut dengan syarat
penahanan yang tercantum dalam KUHAP, maka yang merupakan
syarat subyektif adalah Pasal 21 ayat (1) KUHAP yakni:
a. tersangka atau terdakwa diduga keras melakukan tindak pidana;
b. berdasarkan bukti yang cukup;
c. dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka atau terdakwa:
1. akan melarikan diri,
2. merusak atau menghilangkan barang bukti, dan
3. mengulangi tindak pidana;43
Sedangkan yang merupakan syarat obyektif adalah syarat
penahanan yang tercantum dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Sebelum
memasuki tahap keempat proses penyelesaian perkara pidana,
terlebih dahulu perlu dikemukakan adanya suatu lembaga baru
dalam sejarah sistem peradilan pidana Indonesia, hal mana tidak
dikenal semasa HIR, yaitu praperadilan. Praperadilan ini merupakan
kewenangan Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus
sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam ketentuan undang-
undang ini tentang: (a) sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; (b) ganti
kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77
42 Andi Hamzah, Pengantar Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 131.
43 Nanda Agung Dewantara, Masalah Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat di dalam Proses Acara Pidana,(Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm. 92.
56 BAB II
KUHAP). Berlainan dengan pemeriksaan di muka sidang pengadilan
pada umumnya, praperadilan dilakukan oleh hakim tunggal.
Apabila melihat kedudukan praperadilan ini dalam struktur
mekanisme peradilan pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP,
lembaga ini bersifat “accidental” dalam arti baru ada jika ada
permintaan dari tersangka, keluarganya, atau kuasanya kepada Ketua
Pengadilan Negeri (Pasal 79 KUHAP). Dan itupun jika permohonan
yang bersangkutan tidak ditolak oleh Ketua Pengadilan Negeri.
Praperadilan ini benar-benar merupakan suatu proses pemeriksaan
singkat, oleh karena sejak diterimanya permulaan sidang
praperadilan oleh Pengadilan Negeri, selambat-lambatnya dalam
waktu sepuluh hari, hakim harus sudah menjatuhkan putusannya.
Dari mekanisme kerja lembaga praperadilan ini, tampak
bahwa lembaga tersebut merupakan alat penyaring terakhir bagi
proses penyidikan, penangkapan dan penahanan atas seorang
tersangka sebelum meningkat pada tingkat pemeriksaan di muka
sidang pengadilan. Tahap Keempat: dari proses pemeriksaan
perkara pidana berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
adalah pemeriksaan di muka sidang pengadilan. Pemeriksaan ini
diawali dengan pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan
yang dilakukan secara sah menurut undang-undang. Setelah
surat pemberitahuan tersebut disampaikan kepada tersangka,
dan pihak penuntut umum telah melimpahkan perkaranya ke
Pengadilan Negeri menurut undang-undang yang berlaku. Dari
paparan tersebut di atas dapatlah ditarik benang merah bahwa
pemeriksaan perkara pidana berdasarkan KUHAP dimulai dari
pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan oleh Penyidik dan
Penuntut Umum, pemeriksaan di sidang pengadilan dan pembi-
naan melalui lembaga pemasyarakatan.
4. Makna Sosiologis
Menangkap dan menahan berkaitan dengan menghilangkan
kemerdekaan. Menggeledah berkaitan dengan hak pribadi (privacy),
menyita berkaitan dengan perampasan hak milik. Hak atas kemerdekaan,
privacy dan milik merupakan hak asasi utama yang harus dilindungi
dan dihormati. Karena itu setiap tindakan termasuk tindakan hukum
yang menghilangkan hak-hak tersebut harus diatur secara rinci untuk
mencegah kesewenang-wenangan.
Disamping itu ada upaya yang dapat dilakukan untuk mengeliminir
pelaksanaan penahanan yang bertentangan dengan ketentuan hukum
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 57
yang berlaku dan yang sangat merugikan pihak tersangka/terdakwa atau
keluarganya. Upaya-upaya tersebut sebagian besar terdapat dan diatur
dalam KUHAP, memang kenyataan ini cukup menggembirakan dengan
demikian diharapkan akan dapat memberikan jaminan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat
manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Salah
satu upaya tersebut adalah Praperadilan.44
Tetapi masalah yang timbul disini sejauh mana lembaga Praperadilan
ini menentukan sah atau tidaknya suatu penahanan, apakah itu dalam
batas-batas sah tidaknya secara formil atau sampai sah tidaknya secara
materiil. Hal ini perlu dipertegas, karena kalau hak untuk memeriksa
dan memutus sah tidaknya suatu penahanan secara materiil akan
menimbulkan suatu permasalahan dalam praktek pelaksanaannya nanti.
Oleh karena itu lembaga Praperadilan harus diartikan bahwa Pengadilan
Negeri dalam melaksanakan tugas sebagai lembaga Praperadilan dalam
batas-batas secara formil saja.45
Mencermati hal tersebut diatas apabila seseorang yang ditangkap
ataupun ditahan disidik, atau dituntut tidak sesuai dengan peraturan
hukum yang berlaku ada suatu lembaga di bidang penegakan hukum
pidana yang mempunyai fungsi mengkoreksi atas tindakan yang
dilakukan oleh pejabat baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan
yang sering kita sebut dengan istilah lembaga Praperadilan.
Dalam praktek peradilan khususnya dalam permasalahan
Praperadilan ada beberapa kasus yang dapat dijadikan pedoman di dalam
memahami Praperadilan diantaranya:
a. Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor 01/Pid.Pra/2009/
PN.Kdl tanggal 27 Januari 2009, dengan putusannya Menyatakan
Permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Para Pemohon
“gugur” dengan pertimbangan perkara pokok atas tindak pidana
yang didakwakan kepada Para Pemohon telah mulai diperiksa di
sidang Pengadilan.
b. Putusan Pengadilan Negeri Kendal Nomor 02 / Pid.Pra / 2009 / PN.Kdl
tertanggal 27 Januari 2009, dengan Putusannya Menolak Permohonan
Praperadilan dari Para Pemohon dengan alasan tindakan yang
dilakukan Termohon terhadap Para Pemohon telah sesuai dengan
prosedur hukum.
44 Sudibyo Triatmojo, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan Yang Ada dalam
KUHAP, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 54. 45 Ibid, hlm 56.
58 BAB II
Dari kedua kasus yang dipaparkan tersebut diatas, walaupun tujuan
KUHAP dalam hal ini Praperadilan sebagai sarana kontrol dan untuk
melindungi hak asasi manusia ternyata dalam prakteknya rasa keadilan
dan kepastian hukum tidaklah mutlak dapat dirasakan oleh Pemohon
Praperadilan. Hal ini terlihat dalam Kasus Pertama tersebut di atas,
bahwa Pemeriksaan Perkara Permohonan Praperadilan telah seketika
dinyatakan gugur tanpa melalui pembuktian terlebih dahulu terhadap
masalah pokok Praperadilan itu. Pernyataan Gugur tersebut didasarkan
atas pertimbangan perkara pidana pokok yang didakwakan kepada
Pemohon telah mulai diperiksa di sidang pengadilan.
Apabila ditelaah secara teliti isi ketentuan sebagaimana dimuat dalam
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981, maka “criminal justice system” di
Indonesia terdiri dari komponen kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri
dan lembaga pemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum. Keempat
aparat tersebut memiliki hubungan yang sangat erat satu sama lainnya.
Bahkan dapat dikatakan saling menentukan. Pelaksanaan penegakan
hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 merupakan
suatu usaha yang sistematis. Buckley memberikan batasan tentang
system sebagai berikut:
…… (a) system ….. may be discribed generally as a complex of elements
or components directly or indirectly related in a casual networ, such that each
component is related to at least some others in a more or less stable way
within any particular period of time …. The particular kinds of more or less
stable interrelationships components that become established of any time
constituted the partucular structural of the system at the time, thus achieving
a kind of “whole” with some degree of countinuity and boundary.46
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 dapat juga dikatakan merupakan
landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-
benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan
perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, atau terdakwa
sebagai manusia. Dalam konteks inilah kita berbicara tentang mekanisme
peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut “criminal justice process”.
“Criminal justice process” dimulai dari proses penangkapan,
penggeledahan, penahanan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan; serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga
pemasyarakatan.47
46 Buckley,Sociology and Modern System Theory, (Englewood Cliffs, N.J. Prentice Hall.1967)
47 Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 59
Menurut Adnan Buyung Nasution, terdapat beberapa kelebihan
yang berkenaan dengan keberadaan lembaga praperadilan ini, yaitu:48
Pertama, Sidang praperadilan yang diadakan atas permintaan
tersangka atau terdakwa ataupun keluarganya atau pula atas kuasanya
merupakan suatu forum yang terbuka. Yang dipimpin seorang hakim
atau lebih untuk memanggil pihak penyidik atau jaksa penuntut umum
yang telah melakukan upaya paksa agar mempertanggungjawabkan
tindakannya dimuka forum yang bersangkutan, apakah benar-benar
beralasan dan berlandaskan hukum. Dengan sistem pengujian melalui
sidang terbuka ini, maka tersangka atau terdakwa seperti halnya
dalam Habeas Corpus Art, dijamin hak asasinya berupa hak dan upaya
hukum untuk melawan perampasan atau pembatasan kemerdekaan
yang dilakukan secara sewenang-wenang oleh penyidik ataupun
penuntut umum. Dalam forum itu penyidik atau penuntut umum wajib
membuktikan bahwa tindakannya sah dan tidak melanggar hukum.
Untuk keperluan tersebut tentu saja pihak penyidik ataupun penuntut
umum harus membuktikan bahwa dia memiliki semua syarat-syarat
hukum yang diperlukan, baik berupa syarat-syarat formal maupun
materiil, seperti misalnya surat perintah penangkapan atau penahanan,
adanya dugaan keras telah melakukan tindak pidana yang didukung oleh
bukti permulaan yang cukup, ataupun dalam hal penahanan dengan
alasan yang nyata dan konkrit bahwa si pelaku akan melarikan diri,
menghilangkan barang bukti atau menggulangi kejahatannya.
Kedua, melalui forum praperadilan ini juga dipenuhi syarat
keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas publik (public
accountability) yang merupakan syarat-syarat tegaknya sistem
peradilan yang bebas dan tidak memihak serta menjunjung tinggi hak
asasi manusia. Dengan adanya transparansi dan akuntabilitas publik ini
maka dapat dicegah timbulnya praktek-praktek birokrasi yang tertutup
dan sewenang-wenang dalam menahan orang atau memperpanjang
penahanan juga dapat dicegah terjadinya praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN) dalam proses membebaskan penahanan. Melalui
forum terbuka ini masyarakat dapat ikut mengontrol jalannya proses
pemeriksaan dan pengujian kebenaran dan ketepatan tindakan
penyidik maupun penuntut umum dalam menahan seseorang ataupun
Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982) hlm. 70. 48 Adnan Buyung Nasution, Praperadilan VS Hakim Komisaris: Beberapa Pemikiran
Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs -hakim –komisaris – beberapa – pemikiran – mengenai – keberadaan - keduanya, diakses tanggal
60 BAB II
dalam hal pembebasan, mengontrol alasan-alasan dan dasar hukum
hakim praperadilan yang memerdekakannya.
Dengan demikian, keberadaan lembaga praperadilan didalam KUHAP
ini bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia
yang sekaligus berfungsi sebagai sarana pengawasan secara horizontal,
atau dengan kata lain, praperadilan mempunyai maksud sebagai sarana
pengawasan horizontal dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap
hak asasi manusia terutama hak asasi tersangka dan terdakwa. Perlindungan
dan jaminan terhadap hak asasi manusia tersebut sudah merupakan hal
yang bersifat universal dalam setiap negara hukum. Karena pengakuan,
jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia adalah salah satu
essensi pokok yang menjadi dasar legalitas suatu negara hukum.
Penegakan perlindungan hak asasi manusia bisa dikatakan sebagai
pondasi dalam upaya membangun dan memberikan hukum yang baik
kepada masyarakat. Keberadaan praperadilan bukan hanya sebagai
wadah kepada tersangka dalam memperjuangkan keadilan dan
kejelasan tentang kepastiannya, tetapi juga untuk melindungi dan
menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Praperadilan sangat
penting dalam memberikan peran untuk melakukan perlindungan hak-
hak tersangka sesuai dengan aturan hukum agar tidak dijadikan korban
kesewenang-wenangan.
B. Eksistensi Lembaga Pra Peradilan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 21/PUU-XII/2014
Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
yang dibentuk berdasarkan Pasal 24C Undang-Undang Dasar 1945 perubahan
ketiga. Pembentukannya dikukuhkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum, serta wajib memberikan putusan
atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh
Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.
Di dalam amar putusannya Mahkamah Komstitusi memperluas objek
praperadilan, salah satunya adalah Penetapan tersangka, selain itu adapula
penggeledahan dan penyitaan. Salah satu Pertimbangan hakim dalam
putusan ini bahwa Indonesia adalah negara hukum. dalam negara hukum,
asas due process model sebagai salah satu perwujudan pengakuan hak asasi
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 61
manusia dalam proses peradilan pidana menjadi asas yang harus dijunjung
tinggi oleh semua pihak terutama bagi lembaga penegak hukum. Perwujudan
penghargaan hak asasi tersebut terlaksana dengan memberikan posisi yang
seimbang berdasarkan kaidah hukum yang berlaku, termasuk dalam proses
peradilan pidana, khsususnya bagi tersangka, terdakwa maupun terpidana
dalam mempertahankan haknya secara seimbang.
KUHAP dipandang hakim belum memiliki check and balances system
atas tindakan penetapan tersangka oleh penyidik karena KUHAP tidak
mengenal mekanisme pengujian atas keabsahan perolehan alat bukti dan
tidak menerapkan prinsip pengecualian (exclusionary) atas alat bukti yang
diperoleh secara tidak sah. Isu krusial KUHAP saat ini berkaitan dengan
penetapan tersangka oleh penyidik yang diberikan label atau status tersangka
kepada seseorang tanpa adannya batas waktu yang jelas sehingga seeeorang
tersebut dipaksa oleh negara untuk menerima status tersangka tanpa
tersedianya kesempatan baginya melakukan upaya hukum untuk menguji
legalitas dan kemurnian dari penetapan tersangka tersebut.
Permohonan pemohonan salah satunya penetapan tersangka dalam
objek pra peradilan dan dikabulkan oleh Mahkamah, sebagai langkah MK
untuk memperkuat tekad MK untuk mengakui, menghormati, menjamin
dan melindungi terhadap HAM yang berkaitan dengan khususnya tentang
mekanisme dan proses terhadap seseorang ditetapkan sebagai tersangka.
Adapun pendapat berbeda salah satunya yakni Hakim I Dewa
Palguna menyampaikan bahwa pra peradilan bertujuan melindungi
2 (dua) kepentingan, yakni individu dan publik atau masyarakat. dari
perspektif kepentingan individu (tersangka/terdakwa), pra peradilan sebagai
“pengimbang” terhadap kewenangan yang diberikan kepada penyidik dan
penuntut umum untuk menggunakan upaya paksa dalam pemeriksaan
tindak pidana. oleh karena itu, tindakan menetapkan tersangka bukanlah
upaya paksa dan karena itu secara otomatis bukan termasuk dalam ruang
lingkup pra peradilan. jika dalam proses penetapan seseorang sebagai
tersangka timbul keberatan atau keraguan, jalan yang ditempuh bukan
melalui praperadilan, melainkan dapat melalui penghentian penyidikan.49
Mahkamah Konstitusi dalam putusannya ini memunculkan atau
menambahkan norma baru yang sebelumnya belum diatur dalam KUHAP, 49 Selanjutnya apabila penuntut umum atau pihak ketiga menganggap penghentian
penyidikan yang dllakukan oleh penyidik tidak sah, mereka dapat mengajukan permohonan pra peradilan untuk memeriksa keabsahan tindakan penyidikan tersebut. begitu pula sebaliknya, apabila penyidik atau pihak ketiga menganggap penghentian penuntutan yang dilakukan penuntut umum tidak sah, mereka ini pun dapat mengajukan permohonan pra peradilan untuk memeriksa keabsahan tindakan penuntut umum itu. Dengan cara demikian, keseimbangan perlindungan yang diberikan terhadap kepentingan individu (tersangka, terdakwa) dan kepentingan publik (masyarakat) tetap terjaga.
62 BAB II
yakni menambahkan penetapan Tersangka sebagai salah satu objek pra
peradilan. pada hakikatnya putusan MK dalam melakukan pengujian Undang-
Undang terhadap UUD NRI 1945 memuat 3 hal50, yakni permohonan tidak dapat
diterima, permohonan dikabulkan, dan permohonan ditolak. Tindakan MK ini
dapat dikatakan sebagai positive legislator yang berarti memiliki kewenangan
seperti Parlemen yakni aktif dalam membuat undang-undang.
MK telah masuk ke dalam ranah legislatif karena membentuk suautu
norma baru, bukan menafsirkan aturan tersebut. pada suatu kondisi tertentu
Hakim tentunya mengalami kendala dalam memutuskan suatu perkara karena
terkadang suatu perkara yang ditangani belum ada aturan yang mengatur
perbuatan tersebut dan ada aturannya namun masih diperlukan penafsiran
oleh Hakim. Tindakan sebagai penafsir UU inilah yang disebut Negatif Legislator
oleh Hans Kelsen51, sebagai pembeda antara MK dan lembaga legislatif.
Menurut Hans Kelsen,52pembentukan Mahkamah Konstitusi dimaksudkan
untuk memiliki kewenangan sebagai negative legislator. Artinya, Mahkamah
Konstitusi hanya dapat membatalkan undang-undang dan tidak dapat
mengambil kewenangan Parlemen dalam membuat undang-undang atau
peraturan. Sebaliknya, Parlemen disebutnya sebagai positive legislator karena
memiliki kewenangan aktif untuk membuat undang-undang.
Doktrin ini kemudian berkembang dan terus-menerus digunakan sebagai
salah satu teori pendukung dalam konteks pemisahan kekuasaan negara
di Indonesia, khususnya antara Mahkamah Konstitusi (MK) dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR). Dengan kata lain, kewenangan MK ditafsirkan
hanya terbatas membatalkan undang-undang, dan tidak untuk membuat
undang-undang atau ketentuan lain. Benarkan doktrin negative legislator
50 Lihat Pasal 56 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU MK).
51 Hans Kelsen,1973, General Theory of Law and State, Russel & Russel, New York, hal. 268. Diakses dari https://www.saldiisra.web.id/index.php/21-makalah/maka- lah1/302-negative-legislator.html. Lebih lanjut Hans Kelsen menegaskan, lembaga peradilan berwenang membatatalkan suatu undang-undang atau menyatakan suatu undang-undang tidak mengikat secara hukum. Dalam menjalankan fungsi ini, peme- gang kekuasaan kehakiman bertindak sebagai negative legislator.[2] Ditambahkan Hans Kelsen sebagai berikut: “The power to examine the laws as to their constitutionality and to invalidate unconstitu- tional laws may be conferred, as a more or less exclusive function, on a special constitu- tional court... The possibility of a law issued by legislative organ being annulled by another organ constitutes a remarkable restriction of the former’s power. Such a possibility means that there is, besides the positive, a negative legislator. An organ which may be composed according to a totally different principle from that of the parliament elected by the people”
52 https://panmohamadfaiz.com/2016/03/17/relevansi-doktrin-negative- legislator/. Diakses pada 24 Juli 2017 Pukul 13.00 Wib
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 63
dalam sistem ketetanegaraan di Indonesia berjalan sesuai dengan apa yang
dicita-citakan oleh Kelsen.
MK sebagai negative legislator sehingga dalam setiap amar putusannya
dilarang untuk memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat mengatur dengan
membuat rumusan norma yang bersifat mengatur.
C. Urgensi Pemberian Kewenangan Bagi Lembaga Praperadilan Dalam
Menentukan Batas Penyidikan Terhadap Tersangka Korupsi
Praperadilan apabila kita tinjau kembali masih jauh dalam memberikan
keadilan bagi para pihak terutama pihak tersangka. Disini terdapat suatu
kedudukan yang tidak seimbang antara tersangka dengan aparat penyidik
dimana penyidik lebih mengetahui baik mengenai pengaturan maupun
tata cara peradilan sedangkan tersangka khususnya masyarakat awam tidak
diuntungkan dalam segi pengetahuannya, mereka berdua tidak dalam posisi
asal yang sama. Kedudukan yang tidak seimbang ini merupakan dampak
dari keweangan yang diberikan sehingga bisa mengakibatkan ketidakadilan
dalam proses pemeriksaan. Keberadaan lembaga praperadilan merupakan
jalan tengah dalam menjembatani kedudukan yang tidak seimbang tersebut.
Lembaga praperadilan diperkenalkan KUHAP dalam penegakan hukum
dan bukan sebagai lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Serta bukan pula
sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi
putusan akhir atas suatu perkara pidana. Lembaga praperadilan hanya suatu
lembaga baru yang ciri dan eksistensinya:
a. Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada setiap pengadilan
negeri, dimana praperadilan ini hanya dijumpai pada tingkat pengadilan
negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari dan dengan
pengadilan yang bersangkutan.
b. Dengan demikian, praperadilan bukan berada di luar atau disamping
maupun sejajar dengan pengadilan negeri.
c. Administratif yustisial, personal teknis, peralatan dan finansialnya
takluk dan bersatu dengan pengadilan negeri, dan berada di bawah
pimpinan serta pengawasan dan pembinaan ketua pengadilan negeri
yang bersangkutan.
d. Tatalaksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial
pengadilan negeri itu sendiri.
Fungsi dan peranan praperadilan didalam KUHAP merupakan ikon
pembaharuan hukum acara pidana model Het Herziene Inlandsch Reglement
(HIR). HIR tidak mengatur bagaimana seseorang tersangka seharusnya
dilindungi dari proses pemeriksaan penyidik ketika ditetapkan sebagai
64 BAB II
tersangka. Penyidik menurut HIR harus dapat memperoleh pengakuan dari
tersangka mengenai peristiwa yang melibatkan dirinya, dimana pengakuan
tersangka merupakan salah satu alat bukti utama dari alat bukti lainnya
sehingga terbukti sering terjadi perlakuan yang sewenang-wenang dan
penyalahgunaan wewenag pemeriksa dalam beberapa kasus tindak pidana.
Keberadaan praperadilan bukan hanya sebagai wadah dalam
memperjuangkan keadilan bagi korban tetapi juga memberikan kepastian serta
kejelasan terkait proses pemeriksaan yang sedang berlangsung. Kejelasan akan
proses pemeriksaan kasus kepada tersangka sesuai dengan norma hukum yang
berlaku, agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang. Menurut Kelsen, hukum
adalah sebuah sistem norma. Norma adalah pernyataan yang menekankan
aspek “seharusnya” atau das sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan
tentang apa yang harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi
manusia yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun dalam
hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap individu.
Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersebut menimbulkan kepastian
hukum.53Kepatuhan terhadap hukum bukan hanya untuk masyarakat tetapi
juga sangat penting bagi penegak hukum.
Dahsyatnya praperadilan sesungguhnya bukan hanya terjadi pasca
putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel)
Sarpin Rizaldi yang mengabulkan permohonan praperadilan Komjen Budi
Gunawan (BG) dengan metode metode rechtsvinding (penemuan hukum).
Sebelumnya penerobosan hukum Pasal 77 KUHAP (Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana) ini mulai dilakukan oleh hakim PN Jaksel Suko Waluyo
yang mengabulkan praperadilan Bachtiar Abdul Fatah pada 2 Desember
2012. Bachtiar menggugat penetapan tersangka oleh Kejaksaan Agung
(Kejagung). Namun, putusan tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung
(MA) karena dianggap menabrak ketentuan Pasal 77 KUHAP dan hakim Suko
Waluyo didemonasi ke Maluku. Di bawah ini adalah beberapa pengajuan
praperadilan terkait kasus korupsi yang diproses oleh KPK dan kejaksaan
pasca praperadilan Komjen Budi Gunawan (BG):54
53 Op. cit.Hans Kelsen, hlm. 41. 54 Indonesia Corruption Watch , diakses pada http://www.antikorupsi.org/id/content/
praperadilan-mengancam-pemberantasan-korupsi 29 Juli 2017 Pukul 23.00 wib
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 65
No Terpidana
Korupsi Instansi Yang
Menangani Keterangan
1. Suryadharma Ali
KPK Mantan Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK terkait dengan dugaan kasus korupsi penyelenggaraan haji di Kemenang tahun 2012-2013. Pada 23 Februari 2015, kuasa hukum SDA melayangkan permohonan praperadilan ke PN Jaksel untuk menuntut ganti rugi sebesar Rp 1 triliun kepada KPK.
2. Sutan Bhatoegana
KPK Mantan Ketua Komisi VII DPR RI Sutan Bhatoegana, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN) di Kementerian ESDM 2013. Penetapan Sutan merupakan hasil pengembangan kasus suap SKK Migas yang menjerat mantan Kepala SKK Migas Rudi Rubiandini. 26 Februari 2015, Sutan menggugat KPK atas penetapannya sebagai tersangka ke PN Jaksel.
3. Suroso Atmo Martoyo
KPK Mantan Dirut Pengolahan Pertamina Suroso Atmo Martoyo ditahan KPK pada 24 April 2014 bersama Dirut PT Soegih Interjaya Willy Sebastian Liem karena terkait kasus suap terhadap staf dan pejabat Pertamina dalam pembelian tetra ethyl lead (TEL) dari perusahaan asal Inggris Innospec 2004-2005. Pihak Suroso melayangkan praperadilan dengan dalil penetapan tersangka oleh KPK tidak sah dan layak dibatalkan demi hukum.
4. Arief Sirajuddin
KPK Mantan Walikota Makassar Ilham Arief Sirajuddin ditetapkan menjadi tersangka kasus korupsi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Makassar 2006-2012 pada 7 Mei 2014, dengan kerugian negara sebesar Rp 38, 1 miliar. Ilham mengajukan praperadilan terkait status tersangkanya.
5. Siti Tarwiyah KPK Gugatan praperdilan uang dilayangkan oleh seorang saksi di kasus TPPU Fuad Amin yaitu Siti Tarwiyah. Dirinya menggugat penyidik KPK terkait materi pemeriksaan.
6. Udar Pristono Kejagung Mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Udar Pristono ditetapkan menjadi tersangka korupsi dalam dugaan pengadaan bus transjakarta yang dilaporkan oleh Enam pihak antara lain Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Badan Pemeriksaan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Direktur Utama PT Transjakarta, Direktur
Utama PT Industri Kereta Api (Inka), Direktur Utama PT Sapta Guna Daya Prima, dan
66 BAB II
No Terpidana
Korupsi Instansi Yang
Menangani Keterangan
Gubernur DKI Jakarta. Udar melayangkan gugatan ke Praperdilan ke PN Jakpus terkait permohonan gugatan berupa pengembalian sita barang bukti senilai RP 1, 07 triliun.
Kasus diatas merupakan beberapa kasus Tersangka korupsi yang
mengajukan gugatan praperadilan terkait penetapan status tersangka. Berikut
beberapa kasus yang dalam tahap penyidikan terkatung-katung:
No Kasus Lama Penyidikan
Jero Wacik55 KPK telah mengeluarkan surat perintah
penyidikan nomor sprin.dik-41/01/09/2014 atas nama Jero Wacik dan dilanjutkan pengumuman sebagai tersangka pada 3 September 2014. Lalu KPK melakukan pemeriksaan pada Jero untuk pertama kalinya sebagai tersangka pada 9 Oktober 2014.
2. Andi Zulkarnain Mallarangeng alias Choel Mallarangeng56
proses sudah terkatung-katung sejak 5 tahun lalu tepatnya pada tahun 2012 dan baru pada 6 februari 2017 dilanjutkan ke persidangan
3. Ratu Atut57 tiga tahun terkatung-katung tanpa ada penjelasan
kepada publik dugaan korupsi pengadaan Alat Kesehatan (Alkes)
Friedmann XE “Friedmann” mengungkapkan dasar-dasar esensial dari
pemikiran Kelsen sebagai berikut:
1. Tujuan teori hukum, seperti tiap ilmu pengetahuan, adalah untuk
mengurangi kekacauan dan kemajemukan menjadi kesatuan.
2. Teori hukum adalah ilmu pengetahuan mengenai hukum yang berlaku,
bukan mengenai hukum yang seharusnya.
3. Hukum adalah ilmu pengetahuan normatif, bukan ilmu alam.
4. Teori hukum sebagai teori tentang norma-norma, tidak ada hubungannya
dengan daya kerja norma-norma hukum.
5. Teori hukum adalah formal, suatu teori tentang cara menata, mengubah
isi dengan cara yang khusus. Hubungan antara teori hukum dan sistem
yang khas dari hukum positif ialah hubungan apa yang mungkin dengan
hukum yang nyata.
55 http://news.detik.com/berita/d-2892614/ini-alasan-kpk-bikin-jero-wacik- terkatung-
katung-7-bulan-sejak-jadi-tersangka diakses pada 29 Juli 2017 pukul 22.00 wib 56
http://news.detik.com/berita/d-3414978/resmi-ditahan-kpk-choel-mallarangeng- alhamdulillah diakses pada 29 Juli 2017 pukul 22.00 wib
57 http://www.mejahijau.net/2017/01/maki-caci-kpk-menjemur-kasus-korupsi.html diakses pada 29 Juli 2017 pukul 22.00 wib.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 67
Kepastian hukum ini, sangat penting dalam proses praperadilan Karena
dalam pemeriksaan di pengadilan akan memriksa terkait dengan semua
proses penyelidikan oleh penyidik. Peran kepastian hukum disini digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara praperadilan.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum(rechtmatigheid). Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit). Asas ini meninjau dari sudut filosofis,
dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan
pengadilan
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid atau doelmatigheid atau
utility).58
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada kepastian
hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan kemanfaatan
hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa
injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras
dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian
kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan
tetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.
Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang
berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu: Pertama, bahwa
hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-
undangan. Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya
didasarkan pada kenyataan. Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan
cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan,
disamping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak boleh
mudah diubah. Keempat hal dasar terkait dengan kepastian hukum
merupakan rumusan dalam memberikan kejelasan terhadap tersangka,
jika dalam pelaksanaannya tepat dan sesuai dengan aturan hukum yang
berlaku. Menurut Utrecht, kepastian hukum mengandung dua pengertian,
yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat individu
mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan, dan
kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari kesewenangan
pemerintah karena dengan adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh
Negara terhadap individu.
58 Op cit Bernard L. Tanya, hlm. 117.
68 BAB II
Menurut aliran normatif-dogmatik yang dianut oleh John Austin dan
Van Kan, menganggap bahwa pada asasnya hukum adalah semata-mata
untuk menciptakan kepastian hukum. Bahwa hukum sebagai sesuatu
yang otonom atau hukum dalam bentuk peraturan tertulis. Artinya,
karena hukum itu otonom sehingga tujuan hukum semata-mata untuk
kepastian hukum dalam melegalkan kepastian hak dan kewajiban
seseorang.59 Sifat umum dari aturan-aturan hukum membuktikan bahwa
hukum tidak bertujuan untuk mewujudkan keadilan atau kemanfaatan,
melainkan semata-mata untuk kepastian.60 Kepastian hukum sangat
diperlukan untuk menjamin ketentraman dan ketertiban dalam
masyarakat karena kepastian hukum (peraturan/ketentuan umum)
mempunyai sifat sebagai berikut:
1) Adanya paksaan dari luar (sanksi) dari penguasa yang bertugas
mempertahankan dan membina tata tertib masyarakat dengan peran
alat-alatnya;
2) Sifat Undang-Undang yang berlaku bagi siapa saja.61
Kepastian hukum dalam the concept of law karya H.L.A. Hart
mengomentari kepastian hukum dalam undang-undang. Beliau berpendapat
bahwa kadang-kadang kata dalam sebuah undang-undang dan apa yang
diperintahkan undang-undang tersebut dalam suatu kasus tertentu bisa
jadi jelas sekali, namun terkadang mungkin ada keraguan terkait dengan
penerapannya. Keraguan itu terkadang dapat diselesaikan melalui interpretasi
atas peraturan hukum lainnya. Hal inilah menurut H.L.A Hart salah satu
contoh ketidakpastian (legal uncertainty) hukum.62
Dalam suatu undang-undang, kepastian hukum (certainty) meliputi
dua hal pertama, kepastian hukum dalam perumusan norma dan prinsip
hukum yang tidak bertentangan antara satu dengan yang lainnya baik dari
pasal-pasal dan undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya
dengan pasal-pasal lainnya yang berada di luar undang-undang tersebut.
Kedua, kepastian hukum juga berlaku dalam melaksanakan norma-norma
dan prinsip-prinsip hukum undang-undang tersebut. Dalam pelaksanaan
penyidikan tersangka memiliki hak untuk diperlaukan sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku. Sehingga dalam pelaksanaanya tidak ada pihak yang
59 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004), hlm. 74. 60 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum (suatu kajian filosofis dan sosiologis), (Jakarta:
Gunung Agung, 2002), hlm 82-83. 61 Fernando M. Manullang. Menggapai Hukum Berkeadilan Tinjauan Hukum Kodrat
dan Antitomi Nilai, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2007), hlm. 94-95. 62 H.L.A. Hart, The Concept of Law,(NewYork: Clarendon Press-Oxford) diterjemahkan
oleh M. Khozim, Konsep Hukum (Bandung: Penerbit Nusamedia, 2013), hlm. 230.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 69
dirugikan terlabih tersangka, serta tidak ada penyalahgunaan wewenang
oleh oknum tertentu dalam memutus seseorang untuk menjadi tersangka.
Kepastian hukum pada negara hukum (rechtstaat) dalam sistem eropa
kontinental (civil law) positivistik hukum merupakan prioritas utama
meskipun dirasakan sangat tidak adil, namun setidaknya menimbulkan
kepastian hukum dalam arti law in the books. Apakah kepastian hukum
dalam arti law in the books tersebut akan pasti dilaksanakan secara substantif,
maka dalam hal ini bergantung pada aparatur penegak hukum itu sendiri.
Walaupun law in the books mencerminkan suatu kepastian hukum, namun
jika aparatur penegak hukum itu sendiri tidak menjalankan tugas dan
fungsinya sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, tetap saja dikatakan
tidak ada kepastian hukum.
Bila kepastian hukum menjadi primadona dalam penegakan hukum,
di lain sisi tidak pula mampu menimbulkan keadilan, karena kepastian
hukum dapat menimbulkan seolah-olah hukum tidak berpihak kepada orang
yang butuh perlindungan hukum. Munculnya hukum moral (morality law)
sebagai bukti bahwa kepastian hukum harus diubah dengan paradigma baru
bilamana harus dipertimbangkan secara naluri dan hati nurani hakim-hakim
pengadilan. Para hakim akan dikatakan tidak adil bila hanya bersandar pada
apa yang dituliskan di dalam undang-undang belaka, tanpa mampu menggali
nilai-nilai keadilan di dalam undang-undang. Hakim dalam melihat undang-
undang bukan lah seperti kuda pakai kaca mata yang hanya boleh melihat
ke depan tanpa boleh melihat ke lain sisi untuk mempertimbangkan hukum
berdasarkan hati nurani.
Hukum yang di tegakkan oleh instansi penegak hukum yang diserahi
tugas untuk itu, harus menjamin “kepastian hukum” demi tegaknya
ketertiban dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Ketidakpastian
hukum, akan menimbulkan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, dan
akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak main hakim sendiri.
Keadaan seperti ini menjadikan kehidupan berada dalam suasana social
disorganization atau kekacauan sosial.
Kepastian hukum adalah “sicherkeit des Rechts selbst” (kepastian tentang
hukum itu sendiri). Ada empat hal yang berhubungan dengan makna
kepastian hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia
adalah perundang-undangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum itu
didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian
yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti “kemauan baik”,
”kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang
jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga
mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh
70 BAB II
sering diubah-ubah. Perubahan yang dilakukan akan merugikan bagi
semua pihak, terlebih dalam praktenya pemeriksaan didasarkan oleh
ketidakpastian dan keadilann
Kepastian hukum tidak bisa terpisahkan dalam kehidupan masyarakat,
terlebih untuk penegak hukum. Fungsi kepastian hukum untuk masyarakat
adalah untuk memberikan kejelasan terkait dengan tuntutan hukum yang
menjerat secara pribadi. Keberadaan praperadilan sangat berpengaruh dalam
memberikan peluang kepada tersangka untuk mendapatkan kejelasan terkait
proses penyidikan yang sedang berlangsung. Proses praperadilan ini akan
membuktikan fakta-fakta hukum yang berhubungan dengan penyidikan
oleh pihak yang berwenang.
Di Eropa dikenal lembaga semacam ini, tetapi fungsinya memang benar-
benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi fungsi Hakim Komisaris
(Rechter commisaris) di negeri Belanda dan Judge d’Instruction di Prancis
benar-benar dapat disebut Praperadilan, karena selain menentukan sah
tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan
pendahuluan atas suatu perkara. Misalnya penuntut umum di Belanda dapat
meminta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu
pantas dikesampingkan dengan transaksi (misalnya perkara tidak diteruskan
ke persidangan dengan mengganti kerugian antara korban dengan pelaku
tindak pidana) ataukah tidak.
Di Amerika Serikat, istilah praperadilan lebih dikenal dengan istilah pre
trial. Namun terdapat perbedaan antara lembaga praperadilan dengan
lembaga pre trial yaitu dimana lembaga pre trial memiliki kewenangan untuk
meneliti ada atau tidak adanya dasar hukum yang cukup untuk mengajukan
suatu perkara pidana didepan pengadilan. Sedangkan praperadilan, ruang
lingkup kewenangannya bersifat limitatif sebagaimana yang telah ditentukan
dalam Pasal 77 huruf a dan b KUHAP dan Pasal 95 KUHAP, yaitu:63
1. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan;
2. Memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan;
3. Memeriksa dan memutus ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi
seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan;
4. Memeriksa dan memutus terhadap tuntutan ganti kerugian yang diajukan
oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan
serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau
karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan;
63 S. Tanubroto, Peranan Praperadilan Dalam Hukum Acara Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 74.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 71
5. Memeriksa dan memutus permintaan rehabilitasi yang diajukan oleh
tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan berdasarkan
undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang
diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri.
Wewenang praperadilan seperti yang telah dikemukakan terdahulu
dilaksanakan oleh pengadilan negeri (Pasal 78 KUHAP), hal ini dinyatakan
secara tegas juga didalam Pasal 1 butir 10 KUHAP bahwa praperadilan adalah
semata-mata wewenang pengadilan negeri. Akan tetapi kalau kita kaitkan
dengan bunyi Pasal 83 ayat (2) ternyata ada wewenang pengadilan lain yaitu
pengadilan tinggi yang dapat memberi putusan akhir atas putusan praperadilan
yang menyatakan tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun
wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutus apakah
penangkapan atau penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian
penyidikan atau penuntutan sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah
penyitaan sah ataukah tidak.
Fungsi hakim komisaris di Negara Belanda dan Judge d’Instruction di
Prancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan
sak tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan
pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara. Menurut Oemar Seno Adji,
Lembaga ”rechter commisaris” (hakim yang memimpin pemeriksaan
pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, di Eropa Tengah
mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani
upaya paksa (dwang middelen),penahanan, penyitaan, penggeledahan badan,
rumah, dan pemeriksaan surat-surat.64
Keberadaan hakim komisaris dimaksudkan untuk memberi jaminan
perlindungan terhadap hak seseorang yang menjadi tersangka atau terdakwa
dalam proses peradilan pidana. Jaminan perlindungan terhadap hak
tersangka atau terdakwa pada tahapan pemeriksaan pendahuluan adalah
sebagai perwujudan dari fungsi hukum acara pidana yaitu menyelenggarakan
peradilan yang adil (fair trial) dalam rangka untuk menemukan kebenaran
materiil atau kebenaran yang hakiki.
Terselenggaranya peradilan yang adil menjadi kewajiban penyelenggara
negara dan menjadi hak dasar bagi tersangka atau terdakwa yang harus dipenuhi
oleh negara. Pemenuhan hak dasar bagi tersangka atau terdakwa tersebut sebagai
bagian dari pelaksanaan asas dasar dalam penyelenggaraan hukum pidana, baik
dalam hukum pidana materil maupun hukum pidana formil.
64 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta ,1996 hlm 192, yang dikutip dari Oemar Seno Adji, Hukum Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980 hlm 88.
72 BAB II
Segala bentuk tindakan hukum terhadap tersangka atau terdakwa yang
berakibat terampasnya hak tersangka atau terdakwa harus berdasarkan undang-
undang dan undang-undang harus memberikan syarat yang harus dipenuhi dan
menjadi dasar hukum dalam melakukan tindakan hukum terhadap tersangka
atau terdakwa tersebut agar wewenang yang diberikan oleh undang-undang
kepada aparat penegak hukum tidak dipergunakan sewenang-wenang.
Tidak adanya konsep hakim komisaris dalam Herziene Indische Reglement
seperti pada Strafverordering mencetuskan untuk membentuk lembaga
pengawas pada pemeriksaan pendahuluan dalam penegakan hukum
pidana. Kemudian diajukanlah gagasan tentang lembaga praperadilan yang
terinspirasi dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo
Saxon (yang dianut oleh negara seperti Amerika Serikat dan Inggris), yang
memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya
hak kemerdekaan.
Pada dasarnya, hakim komisaris dan lembaga pra peradilan memiliki
perbedaan, tetapi memiliki maksud dan tujuan yang sama yaitu melakukan
kontrol terhadap penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan oleh penyidik dan penuntut umum. Hal ini
mengingat tersangka atau terdakwa sesuai dengan asas praduga tidak
bersalah (presumption of innocent) dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Mengacu pada penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa pada
dasarnya praperadilan dibentuk sebagai mekanisme kontrol terhadap
penggunaan wewenang dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan, supaya penggunaan wewenang tersebut tidak bertentangan
dengan hukum yang berlaku dan tidak dilakukan secara sewenang-wenang.
Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang
seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah
tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau
tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Selain itu kalau Hakim
Komisaris di negeri Belanda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal yang sama terhadap pelaksanaan
tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap
kedua instansi tersebut.
Begitu juga judge d’ Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang
luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 73
dan alat-alat bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan
rumah, dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan,
dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan
yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu perkara cukup
alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau cukup alasan
ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang
disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan dia akan
membebaskan tersangka dengan ordonace de non lieu.
Hakim komisaris di Belanda dapat selalu minta agar terdakwa dihadapkan
kepadanya walaupun terdakwa berada di luar tahanan. Jika perlu untuk
kepentingan pemeriksaan yang mendesak meminta dalam waktu satu
kali dua puluh empat jam dapat pula memeriksa saksi-saksi dan ahli-ahli.
Menurut KUHAP tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan
pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak
melakukan penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan
pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan
ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan
diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut
umum. Bahkan tidak ada kewenangan hakim praperadilan untuk menilai sah
tidaknya suatu penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh jaksa dan
penyidik. Padahal kedua hal itu sangat penting dan merupakan salah satu asas
dasar hak asasi manusia. Penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran
terhadap ketentraman rumah tempat kediaman seseorang.
Apabila kita cermati diatas, bahwa kewenangan hakim dalam
prapedadilan di Indonesia tidak sama dengan yang ada di Belanda, Prancis
dan Amerika, yang memiliki kewenangan seperti hakim komisaris. Proses
praperadilan hanya dapat dimintakan terhadap upaya paksa penangkapan
dan penahanan, tetapi dalam Pasal 82 (3) huruf d65 dapat dilihat bahwa
melalui praperadilan dapat ditetapkan bahwa “benda yang disita ada yang
tidak termasuk alat pembuktian” karena “benda tersebut harus segera
dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita”. Dengan
demikian apabila ditelaah maka praperadilan tidak hanya terbatas pada
sah tidaknya penangkapan dan penahanan saja tetapi juga mengenai sah
tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian.
Usaha dan kebijakan untuk membuat peraturan hukum pidana yang baik
pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari tujuan penanggulangan kejahatan.
65 Pasal 82 (3) huruf d KUHAP: dalam hal putusan menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada tersangka atau dari siapa benda itu disita.
74 BAB II
Jadi kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian dari politik
kriminal. Dengan perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, maka
politik hukum pidana identik dengan pengertian “kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan hukum pidana”. Usaha penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan
hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula
dikatakan bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula
dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy).
Menurut pendapat Barda Nawawi Arief, Penggunaan sarana penal atau
hukum pidana dalam suatu kebijakan kriminal memang bukan merupakan
posisi strategis dan memang banyak menimbulkan pesoalan. Namun
sebaliknya bukan pula suatu langkah kebijakan yang bisa disederhanakan
dengan mengambil sikap ekstrim untuk menghapuskan saja hukum pidana
itu sama sekali. Persoalannya tidak terletak pada masalah “eksistensi” nya,
tetapi terletak pada masalah kebijakan penggunaannya.66
Sebagai suatu masalah kebijakan sudah barang tentu penggunaannya
pun tidak dapat dilakukan secara absolut karena memang pada hakekatnya
tidak ada absolutisme dalam bidang kebijakan. Disamping itu usaha
penanggulangan kejahatan lewat pembuatan undang-undang (hukum)
pidana pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari usaha
perlindungan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu wajar pulalah
apabila kebijakan atau politik hukum pidana juga merupakan bagian integral
dari kebijakan atau politik sosial (social policy).
Kebijakan sosial (social policy) dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat. Jadi di dalam pengertian “social policy” sekaligus
tercakup di dalamnya “social walfare policy” dan “social defence policy”. Dilihat
dalam arti luas, kebijakan hukum pidana dapat mencakup ruang lingkup
kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana formal,
dan di bidang hukum pelaksanaan pidana. Pembaharuan hukum pidana
di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia
yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pasal II aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan:
“Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”
Diadakannya aturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya
kekosongan hukum, yang berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada
pada zaman penjajahan masih tetap berlaku dimana pemberlakuan
66 Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013), hlm. 67.
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 75
peraturan-peraturan zaman Belanda itu disesuaikan dengan kedudukan
Republik Indonesia sebagai negara merdeka. Dengan demikian telah tiba
saatnya merombak tata hukum pidana dan hukum pidana yang masih
berpijak pada asas-asas dan dasar-dasar yang berasal dari zaman kolonial
dan menggantikannya dengan tata hukum pidana Indonesia, yang asas-
asas dan dasar-dasar pokoknya berdasarkan dan berlandaskan Pancasila.
Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan
para penyelenggara negara untuk menggantikan badan dan peraturan yang
berlaku sekarang yang merupakan peninggalan penjajah Belanda.
Salah satu bentuk pembaharuan substansi hukum pidana khususnya
hukum pidana formal dan untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia,
menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan maka perlu diupayakan pembangunan hukum nasional dalam
rangka menciptakan supremasi hukum dengan mengadakan pembaharuan
hukum acara pidana menuju sistem peradilan pidana terpadu dengan
menempatkan para penegak hukum pada fungsi, tugas dan wewenangnya.
Makna dan hakikat pembaharuan hukum pidana berkaitan erat dengan
latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana itu
sendiri. Latar belakang dan urgensi diadakannya pembaharuan hukum pidana
dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural atau dari
berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal
dan kebijakan penegakan hukum). Ini berarti bahwa makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana juga berkaitan erat dengan berbagai aspek itu.
Artinya, pembaharuan hukum pidana juga pada hakekatnya harus merupakan
perwujudan dari perubahan dan pembaharuan terhadap berbagai aspek dan
kebijakan yang melatar belakanginya itu. Dengan demikian pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk
melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-
nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia
yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal dan kebijakan penegakan
hukum di Indonesia. Secara singkat dapatlah dikatakan, bahwa pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang
berorientasi kepada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus
pendekatan yang berorientasi pada nilai (“valueoriented approach”).
Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan
kebijakan, karena memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari
suatu langkah kebijakan atau “policy” (bagian dari politik hukum/penegakan
hukum, politik hukum pidana, politik kriminal, dan politik sosial). Didalam
setiap kebijakan terkandung pula pertimbangan nilai. Oleh karena itu
pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.
76 BAB II
Dengan uraian di atas, dapatlah disimpulkan makna dan hakikat
pembaharuan hukum pidana sebagai berikut:
1. Dilihat dari sudut pendekatan kebijakan:
a. Sebagai bagian dari kebijakan sosial, pembaharuan hukum pidana
pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya untuk mengatasi
masalah-masalah sosial (termasuk masalah kemanusiaan) dalam
rangka mencapai atau menunjang tujuan nasional (kesejahteraan
masyarakat dan sebagainya).
b. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pembaharuan hukum
pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya perlindungan
masyarakat (khususnya upaya penanggulangan kejahatan).
c. Sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum, pembaharuan
hukum pidana pada hakikatnya merupakan bagian dari upaya
memperbaharui substansi hukum (legal substance) dalam rangka
lebih mengefektifkan penegakan hukum.
2. Dilihat dari sudut pendekatan nilai
Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya
melakukan peninjauan dan penilaian kembali (“reorientasi dan reevaluasi”)
nilai-nilai sosiopolitik, sosiofilosofis dan sosiokultural yang melandasi dan
memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang
dicita-citakan. Bukanlah pembaharuan (reformasi) hukum pidana apabila
orientasi nilai dari hukum pidana yang dicita-citakan (misalnya KUHP Baru)
sama saja dengan orientasi nilai dari hukum pidana lama warisan penjajah
(KUHP lama atau WvS).
Bahwa upaya pembaharuan hukum pidana di Indonesia tidak dapat
dilakukan hanya dengan mengajukan Konsep atau rancangan Undang-
Undang KUHP (Hukum Pidana Materiil), tetapi juga harus disertai dengan
konsep / Rancangan Undang-Undang mengenai Hukum Acara Pidana.
Pembahasan HAM terbatas dalam konteks sistem peradilan pidana (criminal
justice system) yang berada dalam kerangka jaringan sistem peradilan yang
mendayagunakan hukum pidana (hukum pidana materiil, hukum pidana
formil dan hukum pelaksanaan pidana) kiranya tidak akan memperoleh
gambaran menyeluruh dan sistemik, sehingga perlu dikaji secara utuh
mencakup administrasi peradilan pidana (administration of criminal justice)
yang memiliki daya jangkau lebih luas mulai dari kebijakan peradilan
pidana (criminal justice policy), hak dan kewajiban serta etika penguasa
dalam memperlakukan pelaku tindak pidana, saksi dan korban, berbagai
pembatasan terhadap kekuasaan negara sebagai usaha menciptakan
keseimbangan terhadap efisiensi dalam pencegahan dan penanggulangan
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 77
kejahatan dengan jaminan terhadap hak-hak individual, tata cara
mengajukan keberatan sampai dengan perlunya kerjasama internasional
dalam penanggulangan kejahatan yang kwalitas dan kwantitasnya semakin
meningkat, bahkan cenderung bersifat transnasional.
Diskursus tentang HAM dalam kaitannya dengan sistem peradilan pidana
dan administrasi peradilan pidana, tidak akan lepas dari pembicaraan tentang
hubungan antara HAM, supremasi hukum dan demokrasi. Salah satu aspek
kemanusiaan yang sangat mendasar ialah hak untuk hidup dan hak untuk
melangsungkan kehidupannya itu. Hak ini sangat asasi karena diberikan
langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Oleh karena itu setiap orang
berhak untuk mempertahankan/membela diri terhadap setiap ancaman atau
serangan yang tertuju pada keselamatan jiwanya. Karena hak hidup merupakan
hak asasi manusia, maka perampasan nyawa oleh orang lain atau oleh negara
pada hakikatnya merupakan pelanggaran HAM apabila dilakukan sewenang-
wenang atau tanpa dasar pembenaran yang sah menurut hukum yang berlaku.
Apabila kita meneliti UUD NKRI 1945 dari sudut pandang kebebasan-
kebebasan sipil dan hak asasi manusia, kita akan menemukan lebih banyak
di dalamnya dari pada banyak orang menduga bahwa ia tak mengandung
hak asasi manusia. Diantaranya terlihat dalam alenia pertama Pembukaan
dengan adanya pengakuan “freedom to be free“ yang dirumuskan dengan
kata-kata “............... , maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak
sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan“. Pengakuan pada peri
kemanusiaan adalah inti sari dari hak-hak asasi manusia dan peri keadilan
adalah intisari pula dari negara hukum yang merupakan salah satu dari
sistem pemerintahan negara kita.
Hak-hak asasi manusia tidak hanya mencakup hak-hak politik dan
sipil seperti kebebasan berbicara dan kebebasan dari penyiksaan hak-hak
tertentu meliputi hak-hak sosial, ekonomi dan budaya seperti hak-hak untuk
mendapatkan pendidikan dan kesehatan tetapi juga hak pembangunan (the
right to development). Beberapa hak juga berlaku untuk individual (perorangan)
seperti hak untuk mendapatkan pengadilan yang adil. Aspek kemanusiaan
yang sangat mendasar dilihat dari sudut hukum pidana ialah bahwa:
a. Seseorang harus dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan yang berkekuatan tetap mengenai kesalahannya; dan
b. Seorang tidak dapat dipidana tanpa kesalahan;
Yang pertama dikenal dengan asas “presumption of innocence” dan yang
kedua dikenal dengan asas culpabilitas (“nulla peona sine culva” atau “no
punishment without guilt/fault”). Jiwa kedua asas tersebut terdapat dalam
Pasal 8 dan 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.
78 BAB II
Penentuan kesalahan juga tidak boleh sewenang-wenang. Oleh karena
itu untuk seseorang dinyatakan bersalah oleh badan pengadilan, maka setiap
orang berhak untuk:
a. Memperoleh peradilan yang bebas, jujur dan tidak berpihak (independent
judiciary and fair trial); dan
b. Memperoleh bantuan dari profesi hukum yang bebas (independent legal
profession);
Untuk menjamin agar proses peradilan tidak bertindak sewenang-
wenang di dalam menentukan kesalahan seseorang, maka jalannya
pemeriksaan harus terbuka untuk umum. Asas ”keterbukaan” untuk
umum atau asas “publicitas” ini merupakan asas yang sangat mendasar
untuk menjamin atau mengontrol adanya “fair trial”. Jadi pada dasarnya
setiap orang, dan bahkan masyarakat sendiri, berhak untuk memperoleh
peradilan yang bersifat terbuka. Dalam hal-hal tertentu demi perlindungan
kepentingan hukum tertentu berdasarkan undang-undang, dapat saja
diadakan penyimpangan terhadap asas publisitas ini. Namun demikian
sifat atau hakikat “keterbukaan” itu harus tetap ada walaupun pemeriksaan
dilakukan secara tertutup.
Sisi lain dari asas “tiada pidana tanpa kesalahan” ialah bahwa
pertanggungjawaban pidana bersifat personal (dikenal dengan “asas
personalitas”). Pertanggungjawaban pidana hanya dikenakan kepada si
pelaku yang bersalah. Jadi asas personalitas inipun dimaksudkan untuk
melindungi hak asasi orang lain yang tidak bersalah. Ini berarti tidak ada
“pertanggungjawaban warisan” di dalam hukum pidana.
Agar hak asasi manusia berlaku secara efektif, maka hak itu harus dapat
dipertahankan dan dilindungi. Sebagai konsekuensi bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum, maka usaha untuk mempertahankan dan melindungi
hak asasi manusia itu adalah menjadikan HAM tersebut sebagai bagian dari
hukum nasional. Cara pemantauan pelaksanaan HAM harus memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. Menjadikan HAM bagian dari hukum Indonesia;
b. Terdapat prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM;
c. Terdapat pengadilan yang bebas (an independent judiciary); dan
d. Adanya profesi hukum yang bebas (an independent legal profession).
Dalam rangka penghormatan, perlindungan, dan mempertahankan
HAM di Indonesia, telah dibentuk “Komisi Nasional Hak Asasi Manusia“
(Komnas HAM) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 Tahun 1993 yang
mempunyai tugas:
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 79
a. Menyebarluaskan wawasan nasional dan internasional mengenai HAM,
baik kepada masyarakat Indonesia maupun masyarakat internasional;
b. Mengkaji berbagai instrumen PBB tentang HAM dengan memberikan
saran tentang kemungkinan aksesi dan ratifikasi;
c. Memantau dan menyelidiki pelaksanaan HAM serta memberikan
pendapat, pertimbangan, dan saran kepada instansi pemerintah tentang
pelaksanaan HAM, dan;
d. Mengadakan kerja sama regional dan internasional di bidang HAM;
Pengalokasian kewenangan seperti yang telah diuraikan tersebut di
atas terutama dalam sub sistem kepolisian dan kejaksaan dimungkinkan
adanya perbuatan yang berkaitan dengan pembatasan Hak Asasi Manusia
diantaranya dilakukannya tindakan Penangkapan ataupun Penahanan oleh
kedua sub sistem tersebut. Upaya kontrol yang diperlukan dalam hal adanya
pembatasan Hak Asasi dimaksud telah disediakan dalam KUHAP melalui
Lembaga Praperadilan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak adanya
kekurangan-kekurangan yang menyebabkan belum terlindunginya Hak
Asasi Manusia.
Perlindungan Hak Asasi Manusia yang masih kurang memadai dalam
proses Praperadilan terlihat dalam Ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP
yang berbunyi sebagai berikut:
Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri,
sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum
selesai, maka permintaan tersebut gugur. Dengan memperhatikan ketentuan
Pasal 82 ayat (1) huruf d tersebut dihubungkan dengan rasa keadilan dan
perlindungan Hak Asasi Manusia, telah terjadi pengabaian hak-hak asasi
manusia sehingga diperlukan adanya pembaharuan hukum terkait dalam hal
praperadilan, baik dari sudut struktural maupun substansial yang nantinya
diharapkan dengan adanya pembaharuan dimaksud, tolok ukurnya lebih
menitik beratkan pada hal keadilan dalam masyarakat dan perlindungan
hak asasi manusia.
Rangkaian proses kebijakan hukum pidana dalam upaya menanggulangi
kejahatan terdiri dari tahapan kebijakan formulatif, kemudian tahapan
aplikatif dan tahapan eksekutif. Kebijakan formulasi merupakan kebijakan
menetapkan dan merumuskan sesuatu dalam peraturan perundang-
undangan. Kebijakan ini dapat dilakukan dengan membuat atau
merumuskan suatu perundang-undangan yang efektif untuk mencegah
tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum sehingga adanya
perlindungan terhadap hak asasi manusia. Kebijakan formulasi mengenai
praperadilan dan penerapan hukumnya hendaknya memperhatikan pula
faktor-faktor pendukung yang berperan penting. Pembahasan dan pengkajian
80 BAB II
difokuskan pada masalah yang terkait dengan kebijakan formulasi lembaga
praperadilan meliputi:
a. Perumusan Lembaga Praperadilan dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
b. Peranan lembaga praperadilan ditinjau dari perlindungan hak asasi
manusia.
Pengaturan Lembaga Praperadilan di dalam Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP)
tercantum dalam Pasal 1 angka 10, Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai
dengan Pasal 83. Dalam Pasal 1 butir 10 menyebutkan: Praperadilan adalah
wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:
a. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas
permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa
tersangka;
b. Sah atau tidaknya penghentian penyelidikan atau penghentian
penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak
diajukan ke pengadilan;
Apa yang dirumuskan dalam Pasal pasal 1 butir 10 KUHAP dipertegas
dalam Pasal 77 KUHAP yang menyebutkan: Pengadilan Negeri berwenang
untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
undang-undang ini tentang:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan,
b. ganti rugi dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Mengenai rumusan ini, dalam Penjelasan KUHAP disebutkan Penjelasan
Pasal 77 huruf a KUHAP:
“Penghentian penuntutan bukanlah penyampingan perkara
demikepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung”
Pasal 80 KUHAP menyebutkan:
“Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum
atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada Ketua Pengadilan Negeri dengan
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 81
menyebutkan alasannya”. Pertimbangan ini adalah suatu sarana pengawasan
secara horisontal demi menegakkan hukum, keadilan dan kebenaran. Pendapat
yang wajar dalam masalah ini adalah bahwa penuntut umum perlu berusaha
menghindarkan diri dari terjadinya praperadilan yang diselenggarakan menurut
Pasal 80 KUHAP ini. Saling kerjasama dalam menuntun pihak penyidik
melakukan tugas kewenangannya dengan baik, lancar dan sempurna untuk
kurun waktu sementara ini, adalah juga merupakan upaya agar pihak penuntut
umum tidak terjerembab ke dalam pemeriksaan praperadilan.
Tugas praperadilan di Indonesia terbatas. Dalam Pasal 78 KUHAP yang
berhubungan dengan Pasal 77 KUHAP dikatakan bahwa yang melaksanakan
wewenang pengadilan negeri memeriksa dan memutus tentang berikut
a. sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;
Praperadilan dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang panitera; Dalam penjelasan
undang-undang hanya Pasal 80 yang diberi komentar, bahwa pasal ini
bermaksud untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui
sarana pengawasan secara horisontal. Praperadilan itu tidak merupakan
badan tersendiri tetapi merupakan suatu wewenang saja dari Pengadilan.
Praperadilan sebagaimana ditentukan dalam KUHAP adalah wewenang
Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut tata cara yang
diatur dalam Undang-Undang ini yaitu tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampingan perkara
untuk kepentingan umum oleh Jaksa Agung) (pasal 77);
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan (Pasal 77).
c. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian (Pasal 82
ayat (1) ayat (3)).
d. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas
penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang
berdasarkan Undang-Undang atau karena kekeliruan mengenai
orang atau karena kekeliruan mengenai hukum yang diterapkan yang
perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan Negeri (Pasal 95 ayat 2).
e. Permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan
tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai
82 BAB II
orang atau hukum yang diterapkan yang perkaranya tidak diajukan
ke Pengadilan Negeri (Pasal 97 ayat 3). Wewenang pengadilan untuk
mengadili dalam praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana dijadikan alasan bagi tersangka,
terdakwa atau terpidana untuk menuntut ganti kerugian selain dari
pada adanya penangkapan, penahanan, penuntutan, diadilinya orang
tersebut, juga apabila dikenakan “tindakan-tindakan lain” yang secara
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya.
Tindakan-tindakan lain yang dimaksud disini adalah tindakan-tindakan
upaya hukum (dwangmiddel) lainnya seperti:
a. Pemasukan rumah;
b. Penggeledahan;
c. Penyitaan barang bukti, surat-surat yang dilakukan secara melawan
hukum dan menimbulkan kerugian materiil.
Hal-hal ini dimasukkan dalam Pasal 95, karena dipandang perlu bahwa
hak-hak terhadap harta benda dan hak-hak atas privacy tersebut perlu
dilindungi terhadap tindakan-tindakan yang melawan hukum. Sesuai
dengan tujuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang lebih
baik yang memberi perlindungan kepada hak-hak asasi manusia dalam
keseimbangannya dengan kepentingan umum, maka dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana terdapat perbedaan yang fundamental dengan
pengaturan Hukum Acara Pidana sebelumnya (HIR), terutama mengenai
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Sistem yang dianut
HIR dirasakan telah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan cita-cita
hukum nasional, seiring dengan tuntutan kebutuhan yang asasi dari setiap
negara yang lebih maju, termasuk tuntutan pada dasar-dasar pemikiran
pada beberapa lembaga hukum tertentu dalam Hukum Acara Pidana yang
dikaitkan dengan kebutuhan perlindungan hak asasi manusia dalam
pergaulan masyarakat.
Perlindungan Hak Asasi Manusia merupakan istilah yang sangat luas
maknanya. Undang-Undang HAM tidak memberikan penafsiran yang lengkap
terhadap istilah perlindungan tersebut. Penjelasan Undang- Undang tentang
HAM, khususnya penjelasan Pasal 8 hanya menyatakan yang dimaksud
dengan “perlindungan” adalah termasuk pembelaan HAM.
Sudah tentu pada era sistem KUHAP ini, telah pula dipikirkan bagaimana
pokok pikiran yang didasari pada pikiran perlindungan HAM itu dapat
diterapkan dan dilaksanakan di negara kita, berdasarkan pada jangkauan
keseluruhan sistem peradilan pidana, sehingga aturan atau ketentuan yang
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 83
dimuat dalam KUHAP dapat mencapai sasaran dan tujuannya, serta dapat
mewujudkan suatu penyelesaian yang baik dan luhur bagi kepentingan
masyarakat Indonesia, sebagai salah satu usaha guna menciptakan tata
tertib, keamanan, ketenteraman dalam keseluruhan dari sistem peradilan
pidana sebagai suatu rangkaian yang terpadu.
Apabila KUHAP secara tegas dan prinsipil, telah menentukan adanya
pembagian fungsi, tugas dan wewenang dari masing-masing instansi
penegak hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga
Pemasyarakatan, maka dalam pelaksanaannya diisyaratkan pula adanya
keserasian hubungan serta koordinasi antara instansi penegak hukum. Atas
dasar itu dalam pelaksanaannya diperlukan adanya konsepsi “integrated
criminal justice system” yang memandang proses penyelesaian perkara pidana
sebagai satu rangkaian kesatuan, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan,
pemutus perkara sampai pada penyelesaian di Lembaga Pemasyarakatan.
Meskipun dalam konkritnya kadang-kadang terjadi kesulitan sehingga
menimbulkan masalah-masalah hukum, dalam arti bagaimana suatu
ketentuan dalam KUHAP itu harus dilaksanakan kemudian terdapat
adanya pihak-pihak yang merasa hak-hak dan kepentingannya dilanggar,
kemudian terdapat permasalahan disertai dengan adanya persepsi dan
penafsiran yang berbeda satu dengan yang lain, maka guna menjaga
dan melindunginya itu, telah dibuka kesempatan adanya suatu lembaga
hukum di dalam KUHAP yaitu melakukan penuntutan (permintaan)
melalui proses praperadilan.
Maksud dan tujuan diadakannya lembaga praperadilan adalah secara
umum sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya KUHAP karena
dipandang bahwa HIR sudah ketinggalan zaman, tidak sesuai lagi dengan
kemajuan dan perkembangan masyarakat yang semakin maju dan modern.
Serta bertujuan demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan perlindungan
hak asasi tersangka, sebab menurut sistem KUHAP setiap tindakan upaya
paksa haruslah diturut sesuai dengan ketentuan-ketentuan KUHAP. Sebab
setiap tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penyitaan,
penahanan, penuntutan dan sebagainya yang dilakukan bertentangan
dengan hukum dan perundang-undangan adalah suatu tindakan perkosaan
atau perampasan hak asasi manusia.
Tujuan diadakan lembaga Praperadilan dalam dunia penegakan
hukum di negara kita adalah untuk memantapkan pengawasan terhadap
pemeriksaan pendahuluan perkara pidana, khususnya pemeriksaan pada
tingkat penyidikan dan penuntutan. Dengan adanya Praperadilan ini
diharapkan pemeriksaan perkara pidana akan berjalan dengan sebaik-
baiknya, sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku. Penangkapan,
84 BAB II
Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, Penyidikan, Penuntutan, Penghentian
Penyidikan dan Penuntutan dan sebagainya tidak bisa dilakukan dengan
semena-mena. Kesemuanya ini untuk mewujudkan perlindungan terhadap
hak-hak asasi manusia agar jangan sampai diperkosa.
Penegakan hukum atau law enforcement adalah rangkaian kegiatan dalam
usaha pelaksanaan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku baik yang
bersifat penindakan maupun pencegahan mencakup keseluruhan kegiatan
baik teknis maupun administratif yang dilaksanakan oleh aparat penegak
hukum, sehingga dapat melahirkan suasana aman, damai dan tertib demi
pemantapan kepastian hukum dalam masyarakat.
Kepastian hukum menjadi salah satu pokok pemikiran aliran yuridis
dogmatis. Kepastian hukum dapat diwujudkan dengan penerapan hukum
yang dirumuskan dalam undang-undang. Akan tetapi penerapan hukum
seringkali terhambat, oleh karena undang-undang tidak sempurna.
Adakalanya undang-undang tidak lengkap dan atau tidak jelas. Menurut
Soerjono Soekanto penegakan hukum merupakan pasangan nilai-nilai yang
harus diserasikan dalam wujud yang lebih kongkrit, yang kemudian
menjadi pedoman bagi perilaku atau sikap tindakan yang dianggap pantas
atau yang seharusnya. Oleh karena itu dapat dikatakan penegakan hukum
bukan semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun
kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement
begitu terkenal, tetapi lebih jauh dari itu, masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Faktor-faktor tersebut meliputi:
a. Faktor hukum itu sendiri (dalam hal ini adalah undang-undang).
b. Faktor penegak hukum, yaitu pihak yang membentuk atau menerapkan
hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung.
d. Faktor masyarakat, tempat hukum diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia.
Muladi menambahkan penegakan hukum merupakan proses penyerasian
antara nilai-nilai, kaidah-kaidah dan pola perilaku nyata yang bertujuan
untuk mencapai kedamaian. Oleh karena itu tugas utama penegakan hukum
adalah mencapai keadilan.
Penegakan hukum pidana merupakan suatu rangkaian proses
yang terdiri dari pentahapan-pentahapan yaitu (1) tahapan perumusan
perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, yang menjadi wewenang
lembaga legislatif, (2) tahapan penerapan/aplikatif yang menjadi wewenang
Lembaga Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia 85
lembaga yudikatif, dan (3) tahapan pelaksanaan/administratif yang menjadi
wewenang lembaga eksekutif.
Penegakan hukum disini diartikan secara luas tidak hanya menerapkan
hukum pidana tetapi dimaknai lebih dari sekedar penerapan hukum pidana
positif yaitu tidak hanya mengatur perbuatan warga masyarakat pada
umumnya namun juga mengatur kewenangan /kekuasaan aparat penegak
hukum. Selanjutnya menurut Muladi, dalam realitasnya penegakan hukum
secara menyeluruh (total enforcement) tidak mungkin terlaksana, karena
adanya non-enforcement area, dimana tindakan aparat penegak hukum
dibatasi oleh ketentuan-ketentuan hukum materiil (misalnya syarat harus
ada pengaduan) maupun ketentuan hukum formil (misalnya syarat-syarat
penangkapan, penahanan, penyitaan dsb). Selanjutnya yang ada hanyalah
ruang lingkup penegakan hukum secara penuh (area of full enforcement).
Pada lingkup ini penegakan hukum diharapkan menegakkan hukum secara
maksimal. Namun penegakan hukum secara penuh ini merupakan harapan
yang tidak realitis karena banyaknya kendala dalam pelaksanaannya seperti
keterbatasan waktu, personil, alat-alat investigasi, dsb. Dengan demikian
yang tersisa hanyalah ”actual enforcement”, yaitu penegakan hukum yang
kongkrit. Ruang lingkup penegakan ini senyatanya berlangsung. Demikian
pula pengaruh kekuatan-kekuatan sosial yang dirasakan juga dalam bidang
penerapan hukum.
Gustav Radbruch mengemukakan adanya tiga nilai dasar yang ingin
dikejar dan perlu mendapat perhatian serius dari para pelaksana hukum
yaitu nilai keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Terutama nilai dasar
kemanfaatan ini akan mengarahkan hukum pada pertimbangan kebutuhan
masyarakat pada suatu saat tertentu, sehingga hukum itu benar-benar
mempunyai peranan yang nyata bagi masyarakatnya.67
Oleh karena itu, prinsip yang terkandung pada praperadilan bermaksud
dan bertujuan guna melakukan tindakan pengawasan horisontal untuk
mencegah tindakan hukum upaya paksa yang berlawanan dengan
undang-undang. Sifat dan atau fungsi praperadilan yang khas, spesifik dan
karakteristik tersebut akan menjembatani pada usaha pencegahan tindakan
upaya paksa sebelum seorang diputus oleh pengadilan, pencegahan tindakan
yang merampas hak kemerdekaan setiap warga negara, pencegahan atas
tindakan yang melanggar hak-hak asasi tersangka/terdakwa, agar segala
sesuatunya berjalan atau berlangsung sesuai dengan hukum dan perundang-
undangan yang berlaku dan sesuai dengan aturan main.
Fungsi kontrol itu akan lebih nampak dan efektif manakala setiap
tindakan/peristiwa yang menyimpang dari ketentuan undang-undang
67 Bernard L. Tanya. Op. cit.
86 BAB II
tersebut dapat segera dicegah atau dilakukan tindakan hukum guna
meluruskan kembali sesuai dengan ketentuan-ketentuan perundang-
undangan yang berlaku demi tegaknya hukum dan keadilan serta kepastian
hukum. Juga fungsi kontrol yang menjadi bagian wewenang Pengadilan
Negeri tersebut atas praperadilan, akan mengkaji ulang, apakah tindakan/
peristiwa yang telah dilakukan pejabat penegak hukum itu telah sesuai dan
proporsional, dalam kaitan tindakan/peristiwa hukum yang telah ditempuh
oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim telah sesuai dengan prosedur
menurut ketentuan perundang-undangan ataukah tidak.
Sekalipun wewenang praperadilan tersebut belum pernah ada pada era
HIR, namun wewenang preperadilan yang terdapat di dalam KUHAP tersebut
tidak menjadi masalah ataupun hambatan bagi Pengadilan Negeri, sebab
dapat dikatakan, karena KUHAP sendiri memang dibentuk dalam situasi
dan kondisi bagi kepentingan keserasian hubungan dan koordinasi atas
dasar pandangan bahwa proses penyelesaian perkara pidana itu sebagai
satu rangkaian kesatuan atas dasar sistem peradilan pidana yang terpadu.
Sehingga tidaklah dimaksud bahwa dengan adanya praperadilan kemudian
Pengadilan Negeri akan memutuskan ulang atau semacam peradilan yang
mengadili dalam tingkatan banding, sebab sistem semacam itu tidak
dikenal dalam KUHAP. Oleh sebab itu, tidak dapat dikatakan pula instansi
penegak hukum satu dengan lainnya saling mengawasi dalam arti vertikal
ataupun hubungan sub-ordinasi, tetapi semata-mata guna saling mengisi,
koordinatif, sinkronisasi dan keterpaduan (integral) dalam hal penanganan
dan penyelesaian suatu perkara sesuai dengan fungsi, kewenangan dan
tugasnya masing-masing bagi penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
peradilan, sebab berdasarkan sistem KUHAP sebagai hukum acara pidana
telah menegaskan secara prinsipil adanya pembagian fungsi, tugas dan
wewenang masing-masing instansi penegak hukum, sehingga di dalam
pelaksanaannya diisyaratkan mutlak adanya peningkatan keserasian
hubungan kerja dan koordinasi instansi penegak hukum. Syarat mutlak yang
melekat pada konsepsi “sistem peradilan pidana terpadu” yang memandang
proses penyelesaian perkara pidana sebagai satu rangkaian kesatuan sejak
dari penyidikan, penuntutan, pemutusan perkara hingga ke penyelesaian di
tingkat (lembaga) pemasyarakatan.
BAB III
JANGKA WAKTU PENYIDIKAN OLEH KPK
BERDASARKAN PUTUSAN PRAPERADILAN
DALAM PERSPEKTIF HAK ASASI MANUSIA
A. Pengaturan Tentang Kewenangan Penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia
1. Penyidikan Dalam Kuhap
Pada Pasal 7 KUHAP, diberikan kewenangan-kewenangan
melaksanakan kewajiban penyidik, yakni:
a. “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a,
karena kewajibannya mempunyai wewenang”:
b. Menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
c. Melakukan tindakan pertama pada saaat di tempat kejadian;
d. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal dari tersangka;
e. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeladahan dan
penyitaan;
f. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
g. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
h. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
i. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
j. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab
88 BAB III
Tugas dan wewenang untuk melakukan penyidikan, juga telah
secara khusus dalam Undang-Undang POLRI, sebagaimana dalam Pasal
14 ayat 1 huruf f, yaitu bahwa POLRI mempunyai tugas untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundangundangan lainnya.
Tahap Penyidikan merupakan tahap awal dari proses pemeriksaan
perkara pidana, dengan kata lain sebagai awal bekerjanya mekanisme
sistem peradilan pidana. Kedudukan dan peran dari tahap penyidikan
sangat penting guna menentukan keberhasilan dari suatu proses
pemeriksaan perkara pidana selanjutnya dalam rangka penegakan
hukum, sehingga dengan terlaksananya tahap penyidikan yang baik akan
berdampak pada keberhasilan Jaksa Penuntut Umum untuk melakukan
penuntutan serta memberikan kemudahan bagi Hakim untuk menemukan
kebenaran materiil dalam memeriksa dan mengadili di depan persidangan.1
Penyidikan merupakan pemeriksaan tahap pendahuluan/ awal
(vooronderzoek) yang menitikberatkan pada pencarian dan pengumpulan
“bukti faktual” dengan melakukan penangkapan dan penggeledahan,
bahkan apabila diperlukan juga dilakukan penahanan terhadap tersangka
serta penyitaan terhadap barang yang diduga berkaitan dengan adanya
suatu tindak pidana yang terjadi.2
Penyidikan adalah segala tindakan atas nama hukum yang dilakukan
oleh Penyidik Polri, mulai dari pemanggilan, pemeriksaan, penangkapan,
penahanan, penyitaan dan tindakan-tindakan lain yang diatur dalam
ketentuan hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai
dengan proses penyidikan itu dinyatakan selesai.3
Penyidikan dapat mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat
Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) oleh pejabat yang berwenang
dalam instansi penyidik. Berdasarkan pada surat perintah tersebut,
penyidik dapat melakukan tugas dan wewenangnya sesuai dengan
ketentuan dalam KUHAP tentang penyidikan, sehingga proses
penyidikan dapat berjalan dengan lancar serta menemukan bukti-
bukti yang diperlukan. Dengan dimulainya proses penyidikan, maka
penyidik berkewajiban untuk sesegera mungkin memberitahukan telah
dimulainya penyidikan tersebut kepada penuntut umum.4 Dalam hal
1 Zulkarnaen Koto, Terobosan Hukum dalam Penyederhanaan Proses Peradilan Pidana, Jurnal Studi Kepolisian, (Jakarta: STIK, 2011), hlm. 150.
2 Ali Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana (Proses Persidangan Perkara Pidana), (Jakarta: PT Galaxy Puspa Mega, 2002), hlm. 15.
3 Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana melalui Pendekatan Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 116.
4 Ibid
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 89
penyidik telah melakukan penyidikan sesuatu peristiwa yang merupakan
tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada Penuntut
Umum (sehari-hari dikenal dengan nama SPDP/surat pemberitahuan
dimulainya penyidikan sesuai dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP. Setelah
bukti-bukti dikumpulkan dan yang diduga tersangka telah ditemukan,
maka penyidik menilai dengan cermat, apakah cukup bukti untuk
dilimpahkan kepada Penuntut Umum (Kejaksaan) atau ternyata bukan
merupakan tindak pidana.
Ada 4 kemungkinan Penyelidik atau Penyidik memulai tindakan
penyelidikan dan penyidikan, yaitu5:
1. Tertangkap Tangan;
2. Laporan;
3. Pengaduan;
4. Mengetahui sendiri atau dengan cara lain.
Jika penyidik berpendapat bahwa peristiwa tersebut bukan
merupakan tindak pidana maka penyidikan dihentikan demi hukum.
“pemberhentian penyidikan” ini diberitahukan kepada Penuntut Umum
dan kepada tersangka/keluarganya. KUHAP tidak memberikan definisi
secara jelas dan terperinci tentang penghentian penyidikan, namun
demikian, sebagaimana dalam Pasal 109 ayat 2 KUHAP, penghentian
penyidikan dapat dilakukan dengan alasan apabila tidak terdapat cukup
alat bukti, atau peristiwa tersebut bukan tindak pidana atau penyidikan
dihentikan demi hukum.
Selain dalam KUHAP, alasan penghentian penyidikan juga diatur
dalam Pasal 76 ayat 1 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor: 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Perkara
Pidana, bahwa penghentian penyidikan sebagaimana di maksud dalam
Pasal 15 huruf i, dilakukan apabila:
a. tidak terdapat cukup bukti (Pasal 183 KUHAP),
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, dan
c. demi hukum, karena:
i. tersangka meninggal dunia (Pasal 77 KUHP),
ii. perkara telah kadaluarsa (Pasal 78 KUHP),
iii. pengaduan dicabut (khusus delik aduan) (Pasal 75 KUHP)
iv. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem) (Pasal 76
KUHP).
5 Ratna Nurul Afiah, Praperadilan Dan Ruang Lingkupnya, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1986), hlm. 18
90 BAB III
Adapun pengaturan lain mengenai penghentian pemeriksaan
perkara pidana untuk sementara waktu atau penangguhan pemeriksaan
perkara pidana dapat dilakukan oleh penyidik, apabila dalam perkara
pidana tersebut terdapat suatu hal yang bersifat keperdataan atas suatu
benda atau hubungan hukum antara para pihak sebagaimana diatur
dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 19566, yang berarti
bilamana perkara perdata atas suatu benda maupun hubungan hukum
para pihak telah diputus, maka perkara pidananya dapat dilanjutkan.
Undang-undang memberi wewenang penghentian penyidikan
kepada penyidik, yaitu penyidik berwenang bertindak menghentikan
penyidikan yang telah dimulainya.7 Dalam hal putusan menetapkan
bahwa sesuatu penghentian penyidikan atau penuntutan tidak sah,
penyidik atau penuntut terhadap tersangka wajib dilanjutkan.8
Istilah Surat Perintah Penghentian Penyidikan (atau dikenal secara
singkat dengan SP3), memang tidak diatur secara eksplisit dalam KUHAP
yang berlaku di Indonesia. KUHAP hanya mengatur bahwa dengan
dihentikannya penyidikan, Penyidik wajib memberitahukan kepada
Penuntut Umum, Tersangka atau keluarganya, hal tersebut sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 109 ayat 2, yang isinya,
“dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya”.
Sama halnya dalam Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia
Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana (yang
selanjutnya disingkat PerKap Nomor 14 Tahun 2012) sebagaimana ketentuan
dalam Pasal 76 ayat 3 tentang Penghentian penyidikanyang berbunyi:
“Dalam hal dilakukan penghentian penyidikan, penyidik wajib mengirimkan surat pemberitahuan penghentian Penyidikan kepada Pelapor, Jaksa Penuntut Umum, dan Tersangka atau Penasihat Hukumnya.”
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) merupakan surat
pemberitahuan dari penyidik kepada penuntut umum yang isinya
menerangkan bahwa suatu perkara pidana dihentikan penyidikannya.
6 Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1956, yang isinya “apabila pemeriksaan perkara pidana harus diputuskan hal adanya suatu hal perdata atas suatu barang atau tentang suatu hubungan hukum antara dua pihak tertentu, maka pemeriksaan perkara pidana dapat dipertangguhkan untuk menunggu suatu putusan Pengadilan dalam pemeriksaan perkara perdata tentang adanya atau tidak adanya hak perdata itu.
7 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 150.
8 Ibid, hlm. 92.
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 91
SP3 menggunakan formulir yang telah ditentukan dalam Keputusan
Jaksa Agung Nomor: 518/A/J.A/11/2001, tanggal 1 Nopember 2001 tentang
Perubahan Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: 132/
JA/11/1994 tentang Administrasi Perkara Tindak Pidana.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan, semata-mata tidak
diterbitkan begitu saja oleh Penyidik, melainkan terhadap suatu
perkara pidana yang sudah ada Laporan Polisi9/Pengaduan, yang
selanjutnya menjadi dasar bagi Penyidik untuk melakukan proses
penyidikan terhadap suatu tindak pidana. Selain itu, sebagaimana
diatur dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen
Penyidikan Tindak Pidana, bahwa pada saat, Penyidik memulai
tindakan penyidikan, maka yang menjadi dasar dilakukannya
penyidikan adalah SPDP10, sehingga kepadanya dibebani kewajiban
untuk memberitahukan hal dimulainya penyidikan tersebut kepada
Penuntut Umum, namun, kewajiban melakukan pemberitahuan
itu bukun hanya pada permulaan tindakan penyidikan, melainkan
juga pada tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh
Penyidik, karenanya, setiap penghentian penyidikan yang dilakukan
9 Berdasarkan Ketentuan Umumdalam Pasal 1 ayat 17 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Perkara Pidana, Laporan Polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh petugas Polri tentang adanya suatu peristiwa yang diduga terdapat pidananya baik yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana dalam Pasal 5, ayat 1, diuraikan, model Laporan Polisi yang terdiri dari 2 (dua), yaitu:
a. Laporan Polisi Model A; dan b. Laporan Polisi Model B.
Selanjutnya dijabarkan dalam ayat 2, bahwa Laporan Polisi Model A sebagaimana di maksud pada ayat 1 huruf a adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri yang mengalami, mengetahui atau menemukan langsung peristiwa yang terjadi.
Sedangkan dalam ayat 3, bahwa Laporan Polisi Model B sebagaimana di maksud pada ayat (1) huruf b adalah Laporan Polisi yang dibuat oleh anggota Polri atas laporan/ pengaduan yang diterima dari masyarakat.
10 Berdasarkan Ketentuan Umum dalam Pasal 1 ayat 17 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Perkara Pidana, Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan yang selanjutnya disingkat SPDP adalah surat pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polri. SPDP, yang di maksud tersebut di atas, sekurang- kurangnya memuat (Pasal 25 tentang SPDP dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia):
a. Dasar penyidikan berupa laporan polisi dan surat perintah penyidikan; b. Waktu dimulainya penyidikan; c. Jenis perkara, pasal yang dipersangkakan dan uraian singkat tindak pidana yang
disidik; d. Identitas tersangka (apabila identitas tersangka sudah diketahui); dan e. Identitas pejabat yang menandatangani SPDP.
92 BAB III
pihak Penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu Surat Perintah
Penghentian Penyidikan (SP3).11
Atas “penghentian penyidikan” tersebut, jika penuntut umum atau
pihak ketiga (lain) yang berkepentingan, dapat mengajukan praperadilan
kepada Pengadilan Negeri. Dalam proses penghentian penyidikan,
keberlakuan KUHAP sebenarnya merupakan realisasi dan unifikasi serta
kodifikasi dalam bidang hukum acara pidana. Tujuannya agar masyarakat
dapat menghayati kewajiban dan haknya dan pembinaan sikap para
penegak hukum sesuai fungsi dan wewenangnya.12
2. Penyidikan Dalam Undang-Undang Kpk Dan Beberapa Peraturan Perundang-Undangan
Kewenangan yang dimiliki ole KPK dalam melakukan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan masih bersumber dalam KUHAP, akan tetapi
dalam penerapannya proses tersebut diberikan kepada wakil ketua
komisi pembrantasan korupsi. Dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor
30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
KPK memiliki tugas, wewenang dan kewajiban sebagai berikut:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
b. Supervise terhadap instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan tindak pidana korupsi.
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi.
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi.
e. Melakukan monitor terhadap penyelenggara pemerintahan negara.
Adapun Wewenang yang dimiliki oleh KPK berdasarkan UU KPK
antara lain:
a. Mengoordinasikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak
pidana korupsi.
b. Menetapkan sistem pelaporan dalam kegiatan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
c. Meminta informasi tentang kegiatan pemberantasan tindak pidana
korupsi kepada instansi yang terkait.
d. Melakasanakan dengar pendapat atau pertemuan dengan instansi
yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. 11 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana Normatif, Teoritis, Praktik dan
Permasalahannya, (Bandung: PT Alumni, 2007), hlm. 54. 12 Djoko Prakoso, Penyidik, Penuntut Umum, Hakim Dalam Proses Hukum Acara
Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1987), hlm. 5.
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 93
e. Meminta laporan instnasi terkait mengenai pencegahan tindak
pidana korupsi (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002).
f. Wewenang lainnya bisa dilihat dalam pasal 12, 13, dan 14 Undang-
Undang Nomor 30 tahun 2002.13
KPK mengambil alih penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau
kejaksaan wajib menyerahkan tersangka dan seluruh berkas berkas
perkara beserta alat bukti atau dokumen lain yang diperlukan dalam
waktu paling lama 14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal
diterimanya permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.14 Dijelaskan
dalam penjelasan Pasal 8 ayat (3) bahwa ketentuan ini bukan diartikan
penyerahan fisik melainkan penyerahan wewenang, sehingga jika
tersangka telah ditahan oleh kepolisian atau kejaksaan maka tersangka
tersebut tetap dapat ditempatkan dalam tahanan kepolisian atau
tahanana kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi meminta
bantuan kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menempatkan
tersangka di Rumah Tahanan tersebut.
Selain itu dalam penjelasan pasal 12 huruf I bahwa permintaan
bantuan dalam ketentuan ini, misalnya dalam hal Komisi Pemberantasan
Korupsi melakukan penahanan seseorang yang diduga melakukan
tindak pidana korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan
kepada Kepala Rumah Tahanan Negara untuk menerima penempatan
Tahanan tersebut dalam Rumah Tahanan. Mekanisme penyerahan
sebagaimana dimaksud pasal 8 ayat (3) dilakukan dengan membuat dan
menandatangani berita acara penyerahan sehingga segala tugas dan
kewenangan kepolisian dan kejaksaan pada saat penyerahan tersebut
beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengambilalihan
penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8,
dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan yang
termaktub dalam pasal 9 UU KPK.
Pengambilalihan penyidikan yang dilakukan KPK dari kepolisian
atau kejaksaan diartikan sebagai penyerahan wewenang kepada KPK.
Dalam setiap muatan Pasal 9 tersebut tidak ada penjelasan yang
mengatakan KPK boleh melakukan pengambil alihan perkara yang
terjadi sebelum adanya UU KPK tersebut. Sedangkan jika kita lihat
banyak perkara yang belum bisa ditangani secara tuntas akibat ditindak
lanjuti atau terbengkalai selama masih ditangani oleh kepolisian dan
kejaksaan. Sehingga permaslahan ini menimbulkan berbagai tasir terkait
13 Ibid, hlm 71 14 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Cet. II (Jakarta: Sinar
Grafika, 2009), hlm.184.
94 BAB III
penuntasan tindak pidana korupsi yang belum terselesaikan sebelum
adanya KPK sebagai lembaga khusus yang berwenang dalam penuntasan
tindak pidana korupsi.
Kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komisi Pemberantasan
Korupsi sebagaimana diamanatkan di dalam Pasal 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13,
dan 14 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002, sebagai pendukung
pelaksanaan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.15 Salah satu kewenangan KPK
yang terdapat dalam UU KPK adalah mengambil alih wewenang Polisi
dan Kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan yang
termaktub dalam Pasal 8 UU KPK yang berbunyi sebagai berikut ini:
1. Dalam melaksanakan tugas supervisi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 huruf b, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang
melakukan pengawasan, penelitian, atau penelaahan terhadap
instansi yang menjalankan tugas dan wewenangnya yang berkaitan
dengan pemberantasan tindak pidana korupsi, dan instansi yang
dalam melaksanakan pelayanan publik.
2. Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang juga mengambil alih
penyidikan atau penuntutan terhadap pelaku tindak pidana korupsi
yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau kejaksaan.
3. Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih
penyidikan atau penuntutan, kepolisian atau kejaksaan wajib
menyerahkan tersangka dan seluruh berkas perkara beserta alat
bukti dan dokumen lain yang diperlukan dalam waktu paling lama
14 (empat belas) hari kerja, terhitung sejak tanggal diterimanya
permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi.
4. Penyerahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan dengan
membuat dan menandatangani berita acara penyerahan sehingga
segala tugas dan kewenangan kepolisian atau kejaksaan pada saat
penyerahan tersebut beralih kepada Komisi Pemberantasan Korupsi
Dalam menjalankan tugasnya KPK dapat melakukan koordinasi dan
supervisi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan
tindak pidana korupsi serta melakukan penyidikan dan penuntutan.
Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) tersebut dijelaskan bahwa kewenangan KPK
adalah mengambil alih penyidikan dan penututan yang sudah menjadi
kewenangan kepolisian dan kejaksaan.Maksud dari pasal tersebut bahwa
KPK dapat melakukan
15 Op, Cit Ermansjah Djaja, hlm191.
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 95
Pengambilalihan wewenang lembaga lain. Dalam menjalankan
tugasnya tersebut, maka KPK juga perlu diberikan batasan ataupun
alasan yang jelas untuk mengambil alih kewenangan Lembaga Negara
lain. Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 9 UU KPK yang berbunyi:
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi
dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak
ditindaklanjuti.
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau
tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi
pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya.
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi.
e. hambatan penanganan tindak pidana korupsi karena campur tangan
dari eksekutif, yudikatif, atau legislatif.
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan,
penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik
dan dapat dipertanggungjawabkan.
Ketentuan dalam Pasal 9 tersebut dijelaskan bahwa KPK berhak
mengambil alih wewenang penyidikan dan penuntutan jika ada laporan
masyarakat yang tidak ditindaklanjuti oleh Polisi ataupun Kejaksaan.
Selain itu dalam Pasal ini juga disebutkan bahwa proses penanganan
korupsi yang berlarut-larut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan diambil alih penanganannya oleh KPK
dan seterusnya.
Berdasarkan bunyi Pasal tersebut jelas bahwa KPK berhak melakukan
penyidikan dan penuntutan dengan alasan yang diberikan oleh UU KPK
Pasal 9. Dengan adanya ketentuan dalam Pasal 9 tersebut tentunya ada
beberapa hambatan yang menyebabkan pengambil alihan wewenang
dari Kepolisian dan Kejaksaan ke KPK. Hal ini menunjukkan bahwa ada
masalah yang tidak dapat ditangani dengan baik oleh Kepolisian dan
Kejaksaan sehingga kewenangan mereka diberikan kepada KPK. Oleh
karena itu peran KPK disini sangat dibutuhkan untuk menindaklanjuti
tindak pidana korupsi yang belum bisa ditangani oleh aparat penegak
hukum. Adapun beberapa pokok masalah yang penting terhambatnya
penanganan korupsi selama ini yang ditangani oleh Kejaksaan maupun
Kepolisian, adalah:16
16 Wacana pengambilalihan kasus-kasus korupsi yang macet, tgl.27 Juli 2017, www.
96 BAB III
1. banyaknya laporan dari masyarakat tentang terjadinya tindak
pidana korupsi yang tidak direspon oleh institusi kejaksaan ataupun
kepilisian baik itu ditingkat pusat maupun daerah, hal ini diperburuk
dengan tindakan institusi kejaksaan atau kepolisian yang tidak
pernah memberikan penjelasan mengenai alasan mengapa laporan
korupsi tersebut tidak ditindak-lanjuti.
2. Hampir sebagaian besar permasalahan yang terjadi dalam
penanganan kasus korupsi berlarut-larut. Banyak ditemui
penanganan yang dilakukan hanya sebatas formalitas seperti
pemeriksaan saksi-saksi dan selanjutnya tidak jelas penanganannya.
3. Dihentikan penyidikan atau penuntutan oleh instansi kepolisian
atau kejaksaan, padahal kenyataanya, padahal perbuatan tersangka
tersebut telah merugikan uang Negara.
4. Hanya menjerat sebagian pelaku, kerap kali kasus penanganan
korupsi tidak menjerat pelaku utamanya, namun hanya menyentuh
pada level pelaku lapangan saja.
5. Tidak dilakukan eksekusi meskipun sudah divonis bersalah oleh
pengadilan, hal ini disebabkan karena putusan bersalah tersebut
tidak diikuti dengan perintah hakim untuk segera memasukkan
terdakwa ke dalam penjara.
6. Adanya ancaman dan kriminalisasi dari orang tertentu dalam
pelapor kasus korupsi menerima ancaman berupa intimidasi dan
kekeasan terhadap pelaku korupsi
Selain dalam Undang-Undang KPK, beberapa Undang-Undang diluar
KUHAP juga diberi kewenangan dalam hal penyidikan. berikut UU yang
mengatur tentang penyidikan sebagai berikut:
No Undang-Undang Kelembagaan Penegak
Hukum Bentuk Koordinasi
1.
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Penyidik Polri, Penyidik Pegawai Negeri Sipil
Menangkap dan menahan, meminta petunjuk dan bantuan penyidikan polri (koordinasi) pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyerahan hasil penyidikan kepada PU (tanpa koordinasi dengan Penyidik Polri)
UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas
Pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil
Pemberitahunan dimulainya penyidikan
3.
UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi
Pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil
Pemberitahuan dimulainya penyidikan
legalitas.com.
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 97
No Undang-Undang Kelembagaan Penegak
Hukum Bentuk Koordinasi
4.
UU No. 7 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil
Kepolisian Negara RI, Penyidik pegawai negeri sipil
pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyampaian hasil penyidikan ke PU melalui penyidik kepolisian
5.
UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran
Pejabat polisi, pejabat pegawai Negeri Sipil, Penyidik lain seperti Perwira TNI AL
Penyampaian hasil penyidikan kepada PU melalui pejabat polisi
6.
UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan, Mineral dan Batu bara
Pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil
pemberitahuan dimulainya penyidikan, penyampaian hasil penyidikan ke PU melalui penyidik kepolisian
7.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pejabat polisi, pejabat pegawai negeri sipil
Dimulainya penyidikan, penangkapan dan penahanan, pemberitahuan melakukan penyidikan (pemberitahuan bukan dimulainya penyidikan melainkan mempertegas wujud koordinasi antara PPNS dan penyidik Polri)
8.
UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Pejabat penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira TNI AL, dan/atau Polri
Masing-masing instansi memberitahukan dan menyerahkan hasil penyidikan kepada penuntut umum.
B. Pengaturan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan Pasca Penetapan Tersangka
Berdasarkan Putusan Pra Peradilan
1. Konsep Limitasi Jangka Waktu Dalam Hukum Pidana
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), limitasi adalah
Pembatasan.17 sementara pengertian Waktu atau masa menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia (1997) adalah seluruh rangkaian saat ketika
proses, perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. Dalam hal
ini, skala waktu merupakan interval antara dua buah keadaan/kejadian,
atau bisa merupakan lama berlangsungnya suatu kejadian.18 Oleh karena
itu, limitasi jangka waktu dapat diartikan sebagai pembatasan terhadap
suatu proses atau lama berlangsungnya terhadap suatu hal tertentu.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun KUHAP tidak
ada memberi batasan apa yang disebut dengan waktu, namun demikian
dalam KUHP terdapat rumusan pengertian “sehari” dan “ sebulan” serta
17 http://kbbi.co.id/arti-kata/limitasi, diakses pada 17 Juni 2017 pukul 16.30 18 https://id.wikipedia.org/wiki/Waktu, diakses pada 17 Juni 2017 pukul 16.45
98 BAB III
“malam”, yaitu:Ketentuan Pasal 97 KUHP: Yang dikatakan sehari yaitu masa
yang lamanya dua puluh empat jam. Ketentuan Pasal 97 KUHP: Sebulan
yaitu masa yang lamanya tiga puluh hari. Pasal 98 KUHP: yang dikatakan
malam yaitu masa diantara matahari terbenam dan matahari terbit.19
2. Pengaturan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan
Mengenai berapa lama seseorang menjadi tersangka, ini bergantung dari
berapa lama proses penyidikan tersebut. Karena selama proses penyidikan
tersebut berlangsung, orang tersebut masih berstatus sebagai tersangka.
Sedangkan jika penyidikan telah selesai dan berkas perkara tersebut telah
disidangkan di pengadilan, maka status orang tersebut berubah menjadi
terdakwa. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan
diadili di sidang pengadilan (Pasal 1 angka 15 KUHAP). Selain itu, seseorang
juga bisa tidak lagi menyandang statusnya sebagai tersangka, jika terhadap
perkaranya dilakukan penghentian penyidikan (Pasal 109 ayat (2) KUHAP).
Batas waktu penyidikan sebenarnya diatur dalam Perkapolri Nomor
12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan
Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia20
19 Soesilo, R.,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar- Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Cetakan Ulang, (Bogor: Politeia, 1994)., hlm. 103-104.
20 Lihat Perkapolri Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republiki Indonesia Pasal 31 (1) Batas waktu penyelesaian perkara ditentukan berdasarkan kriteria tingkat kesulitan
atas penyidikan: a. sangat sulit b. sulit; c. sedang; atau d. mudah.
(2) Batas waktu penyelesaian perkara dihitung mulai diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan meliputi: a. 120 (seratus dua puluh) hari untuk penyidikan perkara sangat sulit; b. 90 (sembilan puluh) hari untuk penyidikan perkara sulit; c. 60 (enam puluh) hari untuk penyidikan perkara sedang; atau d. 30 (tiga puluh) hari untuk penyidikan perkara mudah;
(3) Dalam hal menentukan tingkat kesulitan penyidikan, ditentukan oleh pejabat yang berwenang menerbitkan surat perintah penyidikan.
(4) Penentuan tingkat kesulitan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) selambat-lambatnya 3 (tiga) hari setelah diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan.
Pasal 32 (1) Dalam hal batas waktu penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat
(1) penyidikan belum dapat diselesaikan oleh penyidik maka dapat mengajukan permohonan perpanjangan waktu penyidikan kepada pejabat yang memberi perintah melalui Pengawas Penyidik.
(2) Perpanjangan waktu penyidikan dapat diberikan oleh pejabat yang berwenang setelah memperhatikan saran dan pertimbangan dari Pengawas Penyidik.
(3) Dalam hal diberikan perpanjangan waktu penyidikan maka diterbitkan surat perintah dengan mencantumkan waktu perpanjangan
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 99
di dalam aturan ini dibagi dalam beberapa kriteria diukur dari tingkat
kesulitan suatu perkara. Penentuan tingkat kesulitan ditentukan oleh
pejabat yang memiliki wewenang dalam menerbitkan surat perintah
penyidikan. Pembagian kriteria tersebut yakni sangat sulit, sulit,
sedang, atau mudah. Setiap kriteria tersebut kemudian ditentukan
batas waktunya untuk memberi kepastian hukum terkait batas waktu
penyidikan. Adapun batasan waktu tersebut adalah:
a. Perkara yang sangat sulit dengan batas waktu 120 hari
b. Perkara sulit dengan batas waktu 90 hari
c. Perkara sedang dengan batas waktu 60 hari
d. Perkara mudah dengan batas waktu 30 hari
Batasan waktu yang telah ditentukan tersebut dapat dilakukan
perpanjangan jika perkara tersebut belum diselesaikan oleh Penyidik
dengan memohonkan perpanjangan melalui Pengawas Penyidik.
Pada waktu Kapolri dijabat oleh TIMOR PRADOPO, menerbitkam
Perkap RI No 14 Tahun 2012 tentang manajemen penyidikan tindak
pidana yang merubah Perkapolri Nomor 12 Tahun 2009 Tentang
Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dalam Perkap
tersebut ini terjadi perubahan yang krusial yakni dihapuskannya
jangka waktu penyidikan, dapat melihat perbedaan tersebut dalam
Pasal 32 yang berbunyi:
(1) Dalam hal tersangka yang tidak ditahan dan diperkirakan akan
melarikan diri dari wilayah Negara Indonesia, dapat dikenakan
tindakan pencegahan.
(2) Dalam hal setiap orang yang berada di luar negeri dan diduga akan
melakukan tindak pidana di Indonesia, dapat dikenakan tindakan
penangkalan.
(3) Dalam keadaan mendesak atau mendadak, untuk kepentingan
penyidikan, penyidik dapat mengajukan permintaan secara
langsung kepada pejabat imigrasi untuk mencegah dan/atau
menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.
(4) Pejabat yang berwenang mengajukan surat permintaan pencegahan
dan/atau penangkalan sesuai tingkatan daerah hukum penyidikan
sebagai berikut:
a. Direktur/wakil Direktur pada Bareskrim Polri;
b. Direktur/wakil Direktur Reskrim Polda;
c. Kapolres; dan
d. Kapolsek.
100 BAB III
(5) Pejabat yang mengajukan surat permintaan pencegahan dan/atau
penangkalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib melaporkan
kepada Kapolri paling lambat 20 (dua puluh) hari untuk mendapat
pengukuhan melalui Keputusan Kapolri.
(6) Keputusan Kapolri sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dapat
didelegasikan kepada pejabat yang ditunjuk.
Pasal 33
(1) Penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf b,
dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap orang
yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti
permulaan yang cukup.
(2) Penyidik atau penyidik pembantu yang melakukan penangkapan
wajib dilengkapi dengan surat perintah penangkapan yang
ditandatangani oleh atasan penyidik selaku penyidik.
(3) Surat perintah penangkapan yang ditandatangani oleh pejabat
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tembusannya wajib
disampaikan kepada keluarga tersangka dan/atau penasihat hukum
setelah tersangka ditangkap.
(4) Prosedur dan teknis penangkapan dilaksanakan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Penghentian penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
huruf i, dilakukan apabila: (lihat Pasal 76 ayat (1) Perkapolri 14/2012)
a. tidak terdapat cukup bukti;
b. peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; dan
c. demi hukum, karena:
1. tersangka meninggal dunia;
2. perkara telah kadaluarsa;
3. pengaduan dicabut (khusus delik aduan); dan
4. tindak pidana tersebut telah memperoleh putusan hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap (nebis in idem).
Beberapa pendapat ahli berkaitan dengan pemenuhan hak-hak
tersangka dalam penanganan perkara pidana, seperti: Menurut M.
Sofyan Lubis yang pada pokoknya menyatakan: pelanggaran terhadap
hak tersangka untuk mendapat bantuan hukum sebagaimana diatur
dalam ketentuan Pasal 56 ayat (1) KUHAP pada tahap penyidikan akan
mengakibatkan hasil penyidikan menjadi tidak sah dan apabila berkas
hasil penyidikan yang demikian itu dijadikan dasar untuk melakukan
penuntutan maka penuntutan yang dilakukan oleh penuntut umum
menjadi tidak dapat diterima atau surat dakwaan penuntut umum
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 101
menjadi batal demi hukum karena didasarkan atas berita acara yang
tidak sah.
Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik maka
ada dua hal yang perlu diperhatikan mengenai status tersangka yakni
Pertama status tersangka dalam proses penyidikan yang dilakukan upaya
penahanan. Tersangka yang ditahan mendapat kepastian hukum kapan
berakhirnya status tersangka karena secara limitatif telah diatur dalam
KUHAP. Bila masa tahanan telah habis namun penyidikan belum juga
selesai maka tersangka dapat dikeluarkan dari tahanan. Kedua, pada
tahap penyidikan tersangka yang tidak dilakukan upaya penahanan. Hal
nomor kedua ini yang membuat ketidakpastian hukum kapan status
tersangka tersebut berakhir apakah lanjut dilimpahkan ke pengadilan
atau dibebaskan.
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut ataupun
diadili dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal ini dikenal sebagai salah satu
asas dalam hukum acara pidana yakni asas praduga tidak bersalah.
Hakikat asas ini cukup fundamental dalam hukum acara pidana.
ketentuan asas praduga tidak bersalah eksistensinya tampak pada Pasal
8 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan penjelasan umum angka
3 huruf c KUHAP.
Dikaji dari perspektif praktik peradilan manifestasi asas ini dapat
dijabarkan bahwa selama proses peradilan masih berjalan, baik di
tingkat yudex factie (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi) maupun
di tingkat yudex yuris (Mahkamah Agung RI) dan belum memperoleh
kekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjsde), terdakwa belum dapat
dikategorisasikan bersalah sebagai pelaku tindak pidana sehingga
selama proses peradilan pidana tersebut haruslah mendapatkan hak-
haknya sebagaimana diatur undang-undang, yaitu hak untuk segera
mendapatkan pemeriksaan dalam tahap penyidikan, hak segera
mendapatkan pemeriksaan oleh Pengadilan dan mendapatkan putusan
seadil-adilnya, hak mendapatkan juru bahasa, hak untuk memperoleh
bantuan hukum, dan sebagainya.21
Pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam KUHAP, merupakan
salah satu upaya untuk melindungi hak-hak tersangka dari tindakan
sewenang-wenang dari aparat hukum. Namun menurut Rohmini,
pengaturan asas praduga tidak bersalah dalam Penjelasan Umum
Butir 3c KUHAP, dapat menjadi kendala dalam pelaksanaannya, karena
21 Hal 9
102 BAB III
ketentuan tersebut tidak diatur dalam batang tubuh tetapi hanya dalam
penjelasan.22
Pada dasarnya, problematik penerapan asas praduga tak bersalah
dalam perkara pidana ini, berkaitan dengan kedudukan yang tidak
seimbang antara tersangka/terdakwa dengan aparat hukum yang
berkepentingan, sehingga dikuatirkan terjadi tindakan sewenang-
wenang dari aparat hukum. Hukum pidana, sebagai hukum publik,
mengatur kepentingan umum, sehingga berhubungan dengan negara
dalam melindungi kepentingan umum, sedangkan hukum perdata
yang merupakan hukum privat pada umumnya mengatur kepentingan
pribadi, lebih diserahkan kepada pihak-pihak yang berkepentingan
dalam menuntut kepentingannya yang dilanggar sesuai dengan asas
point d’interet point d’action.23
Kedudukan tidak seimbang dalam perkara pidana memungkinkan
terjadinya perlakuan sewenang-wenang dari aparat hukum terhadap
tersangka/terdakwa yang dianggap telah melanggar kepentingan
umum dalam proses pemidanaan sebagai orang yang bertanggung
jawab atas terjadinya ketidakseimbangan tatanan dalam masyarakat
akibat adanya pelanggaran hukum. Tersangka /terdakwa dalam proses
penegakan hukum, dihadapkan dengan negara atau penguasa, maka
secara umum, kedudukan si terdakwa tidak mungkin disamakan
dengan penyidik dan penuntut umum dalam proses pemidanaan.
Meskipun sifat akuisator yang dianut dalam perkara pidana saat ini,
terdapat kecenderungan proses peradilan pidana yang mengarah
kepada adversary system.24
Undang-undang sudah memberikan hak-hak bagi Tersangka
sebagaimana diatur dalam Bab VI, pasal 50 sampai pasal 68 KUHAP.
Hal penting yang ditemukan oleh penulis adalah belum adanya batas
waktu kapan seseorang menyandang status tersangka. Pada pasal 50
KUHAP memuat kata “segera” namun undang-undang tidak memberi
penjelasan. Kata “segera” ini membuat multitafsir bagi aparat penegak
hukum sehingga meimbulkan ketidakpastian hukum sampai kapan
tersangka menyandang statusnya sebagai tersangka.
“Segera” secara pengertian bahasa bisa diartikan “secepat
mungkin” atau “sekarang juga” tanpa menunggu lebih lama. Motivasi
22 E. Nurhaini Butarbutar, Asas Praduga Tidak Bersalah: Penerapan dan Pengaturannya Dalam Hukum Acara Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, Vol 11 No. 3 September 2011, Hal 456, http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/ JDHvol112011/VOL11S2011%20E%20NURHAINI%20BUTARBUTAR.pdf
23 ibid 24 ibid
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 103
pemberian hak agar segera diperiksa bisa dibaca pada penjelasan pasal
50:25
a. untuk menjauhkan kemungkinan terkatung-katung nasib orang
yang disangka
b. jangan sampai lama tidak mendapat pemeriksaan, sehingga
dirasakan tidak ada kepastian hukum, terjadinya perlakuan
sewenang-wenang dan ketidak wajaran
c. demi mewujudkan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.
Pada masa HIR jarak antara kepolisian, kejaksaan dan pengadilan
terkadang hampir tak mampu dijangkau oleh masyarakat yang mencari
keadilan. Dengan jauhnya antar instansi satu dengan yang lain sehingga
harus ditempuh dengan waktu yang lama dan membuat tersangka
merasa lelah karena tidak ada kepastian kapan pemeriksaan dirinya
atau status tersangkanya berakhir.
Ketiadaan limitasi status tersangka merupakan implikasi dari
kekosongan hukum pengaturan batas waktu penyidikan oleh penyidik
dalam KUHAP yang merupakan pedoman bagi aparat penegak hukum
dalam menjalankan tugasnya menegakan hukum pidana materiil,
khususnya bagi para Penyidik.
Tidak ada Pembatasan jangka waktu penyidikan, atau lebih tepatnya
jangka waktu penyidikan setelah ditetapkannya tersangka, tentu
berpotensi memunculkan kesewenangan yang dapat melanggar hak
asasi manusia, terlebih dalam penyidikan dapat terjadi upaya paksa.
Apakah misalnya seorang yang telah ditetapkan sebagai tersangka
kemudian berkas perkaranya tidak juga dilakukan penuntutan dengan
dilimpahkan ke pengadilan dapat mengajukan gugatan praperadilan
dengan alasan penghentian penyidikan misalnya. Pengadilan juga tidak
mudah menentukan, karena memang batasan waktu untuk itu tidak
ditentukan dalam hukum acara (baik KUHAP maupun UU KPK).
Dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, alat ukur untuk
dapat ditetapkannya seseorang sebagai tersangka adalah bukti permulaan
yang cukup, lebih lanjut dijelaskan sebagai alat bukti untuk menduga
adanya suatu tindak pidana adalah mensyaratkan minimal satu laporan
polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur
dalam Pasal 184 KUHAP. Hanya untuk dapat menilai apakah penetapan
tersangka tersebut telah memenuhi bukti permulaan yang cukup tidak
dapat diuji dan mutlak kewenangan dari penyidik. Berbeda dengan
tindakan penyidik seperti penangkapan, penahanan atau upaya paksa
25 M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 85.
104 BAB III
lainnya, meski dalam perkembangannya penetapan tersangka membawa
konsekuensi yang tidak ringan bagi penyandang status tersangka.
Lembaga praperadilan yang diberi kewenangan untuk itu ternyata tidak
mengakomodir pengujian apakah penetapan tersangka telah memenuhi
bukti permulaan yang cukup tersebut.26
Adalah tepat sekali ucapan Del Vasechio, manusia adalah ius
iuridicus (manusia hukum), oleh karena hukum dan manusia sepanjang
hidupnya tidak akan pernah dapat dipisahkan, kalau manusia ingin
hidup aman, tenteram, damai, adil dan makmur. Kalau kita melihat isi
hukum dalam suatu negara/masyarakat tentunya terkait dengan faktor
sosio-kulturalnya. Dengan demikian setiap orang yang bergerak dalam
bidang hukum, harus mempunyai pengetahuan pula tentang sistem
politik, sosial, budaya yang ada. Kiranya wajar pula di dalam meminta/
mengajukan bagaimana pelaksanaan keadilan sebagai salah satu
refleksi pelaksanaan hak asasi manusia tertuju kepada pemerintah. Hak
asasi pada tahap pelaksanaannya masuk persoalan hukum dan harus
diatur melalui hukum, artinya landasan hukum yang ada dan memuat/
mengatur hak asasi manusia harus tetap dijaga oleh pemerintah.
Keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial, sebagaimana
kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan
ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika tidak benar, demikian juga
hukum dan institusi, tidak perduli betapapun efisien dan rapinya, harus
direformasi atau dihapuskan apabila tidak adil.27
Salah satu asas terpenting dalam Hukum Acara Pidana ialah asas
praduga tak bersalah. Bersumber pada asas ini maka jelas dan sewajarnya
bahwa tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana wajib
mendapat hak-haknya. Ini berarti bahwa setiap orang yang disangka,
ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan
wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
Dalam KUHAP, asas praduga tak bersalah dijelaskan dalam
Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c yaitu:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Sedangkan dalam UU Kehakiman, asas praduga tak bersalah diatur
dalam Pasal 8 ayat (1), yang berbunyi:
26 ibid 27 John Rawls, Op.Cit. hlm. 3-4.
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 105
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”
M. Yahya Harahap mengenai penerapan asas praduga tak bersalah,
Yahya Harahap menulis sebagai berikut:28
“Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki
hakikat martabat. Dia harus dinilai sebagai subjek, bukan objek. Yang diperiksa bukan manusia tersangka. Perbuatan tindak pidana yang dilakukannyalah yang menjadi objek pemeriksaan. Ke arah kesalahan tindak pidana yang dilakukan pemeriksaan ditujukan. Tersangka harus dianggap tidak bersalah, sesuai dengan asas praduga tak bersalah sampai diperoleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap.”
Herbert L. Packer dalam bukunya yang terkenal The Limits of the Criminal
Sanction, mengemukakan bahwa ada dua model dalam Sistem Peradilan
Pidana, yaitu Crime Control Model (CCM), dan Due Process Model (DPM).
Dalam praktiknya, pertama, crime control model lebih mengutamakan
profesionalisme pada aparat penegak hukum untuk menyingkap, mencari
dan menemukan pelaku tindak pidana. Profesional yang merupakan
sifatnya, maka peraturan yang bersifat formal sering dilanggar dan
kadang-kadang untuk mendapatkan barang bukti, para profesionalis ini
memaksakan cara-cara ilegal untuk tujuan cepat dan effisiensi. Sehingga
untuk menghindari hambatan dari proses pidana itu maka kewenangan
kebijakan dari penegak hukum itu seringkali diperluas. Dan dalam
kenyataannya bahwa Crime Control Model ini sering dipertentangkan sebagai
kurang manusiawi dan tidak menghormati Hak Asasi Manusia.29
Kemudian model yang kedua yakni due process model dengan ciri-ciri
selalu menganggap penting adanya refresif kejahatan, yaitu tahap ajudicatif
(dalam sidang pengadilan harus ditentukan salah tidaknya tersangka), atas
dasar legal guilt dan selalu mengadakan chek and recheck (obstacle couse) dan
hal ini harus diuji menurut peraturan. Ciri berikutnya adalah menghormati
undang-undang. Kemudian menempatkan kedudukan yang sama bagi
setiap orang di depan hukum (quality control). Sehingga model ini dikatakan
orang lebih manusiawi dan menghormati Hak Asasi Manusia.30
Dapat dikatakan dari sinilah, model sistem peradilan, due proces
model, due proces of law ada implementasi unsur Hak Asasi Manusia
dalam Hukum Acara Pidana. Dan memang asas praduga tak bersalah
28 Yahya Harahap, Op.Cit,hal:34 29 http://www.negarahukum.com/hukum/asas-praduga-tak-bersalah.html, diakses
pada 10 Juli 2017 Pukul 13.00 Wib 30 ibid
106 BAB III
oleh berbagai penulis seperti Harahap (2002), dan Hamzah (2006)
mencantumkan serta menguraikan prinsip-prinsip KUHAP sebagai salah
satu penghormatan hak asasi, mesti ada prinsip praduga tak bersalah
pada orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana.Asas hukum
praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum
Common Law, khususnya di Inggris, dalam Bill of Rights (1648). Asas
hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik-liberalistik
yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini. Hak
seseorang tersangka untuk tidak dianggap bersalah sampai ada putusan
pengadilan yang menyatakan sebaliknya (praduga tak bersalah)
sesungguhnya juga bukan hak yang bersifat absolut, baik dari sisi formil
maupun sisi materiel, karena hak ini tidak termasuk non-derogable rights
seperti halnya hak untuk hidup atau hak untuk tidak dituntut dengan
hukum yang berlaku surut (non-retroaktif).31
Bahkan UUD 1945 dan Perubahannya, sama sekali tidak memuat hak,
praduga tak bersalah, asas ini hanya dimuat dalam Pasal 8 UU Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan di dalam Penjelasan
Umum UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP. Rumusan kalimat dalam
Pasal 8 UU Kekuasaan Kehakiman (2004), dan Penjelasan Umum KUHAP
adalah ”Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/
atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah
sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya, dan
telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Rumusan kalimat tersebut di
atas, berbeda maknanya secara signifikan dengan rumusan asas praduga
tak bersalah di dalam Pasal 14 Pasal 2, Konvenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Hak Politik (1966), yang dirumuskan dengan kalimat
singkat: ”Everyone charged with criminal offence shall have the right to
be presumed innocent until proved guilty according to law”.
Sebagai seorang yang belum dinyatakan bersalah, maka ia mendapat
hak-hak seperti hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan dalam tahap
penyidikan, hak segera mendapatkan pemeriksaan oleh Pengadilan dan
mendapat putusan seadil-adilnya, hak untuk diberi tahu tentang apa yang
disangkakan/didakwakan kepadanya dengan bahasa yang dimengerti
olehnya, hak untuk menyiapkan pembelaannya, hak untuk mendapatkan
bantuan hukum dan hak untuk mendapatkan kunjungan keluarganya.
Secara garis besar dapat ditarik satu pemikiran bahwa implikasi
ketika status tersangka tidak diberikan limitasi waktu, maka akan
terjadi kesewenang-wenang yang menimpa diri tersangka, terzoliminya
hak tersangka akan berdampak buruk secara umum terhadap sistem
31 ibid
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 107
peradilan pidana, sebagai sebuah sistem maka sistem peradilan pidana
dianggap tidak taat asas yakni asas check dan balance. Dari sisi sosiologis
juga muncul stigma negatif bagi tersangka yang terkatung-katung
nasibnya dalam arti perkaranya tidak segera disidangkan ke pengadilan,
karena masyarakat awam meliat bahwa tersangka itu adalah benar
pelaku kejahatan tersebut, walaupun sejatinya tersangka dilindungi asas
praduga tidak bersalah.
3. Ketentuan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan Oleh Penyidik KPK
Undang-Undang KPK memberi amanat kepada KPK sebagai lembaga
Negara yang dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat
independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.32 Dasar
kewenangan KPK dalam melaksanakan kewajiban, kewenangan dan
tugasnya tetap berpedoman pada KUHAP dan Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
telah ditambah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
KPK memiliki wewenang dalam penyelidikan dan penyidikan seperti
Polri namun terkhusus kepada tindak pidana korupsi.33 namun bedanya
adalah KPK memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan. Untuk
mekanisme penyelidikan dan penyidikan masih bersandar kepada KUHAP.
32 Lihat Pasal 3 UU No 30 tahun 2002 33 Dijelaskan dalam pasal 6 UU KPK bahwa tugas dari KPK adalah:
a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi;
b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan Pemberantasan tindak pidana korupsi;
c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap Tindak pidana korupsi;
d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; e. Melakukan monitor terhadap pelanggaran pemerintahan negara. f. KPK bertugas menetapkan status kepemilikan gratifikasi Sebagaimana dimaksud
pada Pasal 17 ayat (1) dengan Keputusan Pimpinan KPK (Pasal 17 ayat (3) UU KPK); g. Menyerahkan gratifikasi yang menjadi milik negara kepada Menteri Keuangan (Pasal
17 ayat (6) UU KPK); h. KPK bertugas membentuk panitia seleksi untuk memilih Tim Penasihat KPK (Pasal 22
ayat (2) UU KPK); i. KPK bertugas membuat keputusan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan
pegawai KPK (Pasal 24 ayat (3) UU KPK); j. KPK juga bertugas sebagaimana diatur dalam Pasal 25 UU KPK, yaitu antara lain: k. Menetapkan kebijakan dan tata cara organisasi mengenai Pelaksanaan tugas dan
wewenang KPK; l. Mengangkat dan memberhentikan Kepala Bidang, Kepala Sekretariat, Kepala
Subbidang, dan pegawai yang bertugas pada KPK; m. Menentukan kriteria penanganan tindak pidana korupsi.
108 BAB III
Tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi
dalam UU KPK adalah:
1. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi.
2. Berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
tindak pidana korupsi yang:
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara
negara;
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau;
c. Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah);
Ketiga syarat tersebut merupakan syarat yang bersifat alternatif,
bukan limitatif ataupun kumulatif. Dalam melaksankan tugas
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, KPK berwenang:
a. Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
b. Memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang
seseorang bepergian ke luar negeri;
c. Meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya
tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang
diperiksa;
d. Memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk
memblokir rekening yang diduga hasil korupsi milik tersangka,
terdakwa, atau pihak lain yang terkait;
e. Memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk
memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
f. Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka, atau
terdakwa kepada instansi yang terkait;
g. Menghentikan sementara suatu transaksi perdagangan, dan
perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perijinan, lisensi
serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki tersangka atau terdakwa
yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya
dengan tindak pidana korupsi yang diperiksa;
h. Meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum
negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan
penyitaan barang bukti ke luar negeri;
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 109
i. Meminta bantuan Kepolisian dan Instansi lain yang terkait untuk
melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan
penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang
ditangani.
4. Penafsiran Kata “Segera” Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013
a. Posisi Kasus
Irmania Bachtiar alias Mama Nio merupakan istri dari
pemohon Hendry Batoarung Ma‟dika alias Papa Nio ditangkap oleh
Kepolisian Resort Tana Toraja pada 28 September 2012 karena diduga
mengedarkan narkoba. Pada saat penggeledahan, polisi menemukan
satu plastik kosong bekas menyimpan sabu-sabu.
Pihak keluarga baru mengetahui Mama Nio ditetapkan menjadi
tersangka dan telah ditahan pada 22 Oktober 2012 (24 hari setelah
ditangkap). Dengan alasan keterlambatan pemberitahuan itulah
upaya praperadilan yang diajukan oleh keluarga tersangka kemudian
ditolak oleh Pengadilan Negeri Makale, Sulawesi Selatan.
b. Pertimbangan Hakim
Dalam pertimbangan Hakim menjelaskan bahwa frasa “segera”
pada pasal a quo dapat diartikan bahwa dalam hukum acara pidana,
setelah dilakukan penangkapan terhadap tersangka, pemberitahuan
kepada keluarga tersangka harus disampaikan dalam waktu yang
singkat agar tersangka dapat segera mendapatkan hak-haknya.
Apabila pemberitahuan tersebut tidak segera disampaikan maka
berpotensi menimbulkan pelanggaran terhadap hak tersangka,
karena keberadaan dan status hukum dari yang bersangkutan tidak
segera diketahui oleh keluarga. Menurut Mahkamah, tidak adanya
rumusan yang pasti mengenai lamanya waktu yang dimaksud
dengan kata “segera” dalam pasal a quo dapat menyebabkan pihak
penyidik menafsirkan berbeda untuk setiap kasus yang ditangani.
Hal seperti ini dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan
berpotensi menimbulkan ketidakadilan oleh pihak penyidik;
Menurut hukum acara pidana segala upaya paksa yang
dilakukan dalam penyidikan maupun penuntutan oleh lembaga
yang berwenang dapat dikontrol melalui lembaga praperadilan.
Hal ini diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.
Dalam ketentuan tersebut, tersangka memiliki hak untuk
mengajukan praperadilan terhadap pelanggaran tertentu yang
dilakukan oleh pihak penyidik dalam proses penyidikan, yang
di dalamnya termasuk penangkapan dan penahanan. Apabila
110 BAB III
ketentuan yang dipermasalahkan tidak memiliki rumusan yang
jelas maka hal tersebut menjadi permasalahan norma, bukan lagi
hanya permasalahan pelanggaran dalam implementasi norma.
Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 18 ayat (3)
KUHAP tidak memenuhi asas kepastian hukum yang adil karena
dalam pelaksanaan menimbulkan penafsiran yang berbeda.
Penafsiran yang berbeda oleh para penegak hukum selanjutnya
dapat menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka,
sehingga menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon
beralasan menurut hukum, namun demikian, apabila ketentuan
Pasal 18 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum yang mengikat maka justru dapat menghilangkan
kewajiban penyidik untuk menyampaikan salinan surat perintah
penangkapan tersebut, sehingga justru menimbulkan pelanggaran
terhadap asas perlindungan hukum dan kepastian hukum. Oleh
karena itu, demi kepastian hukum yang adil, Mahkamah perlu
menafsirkan mengenai frasa “segera” pada ketentuan Pasal 18 ayat
(3) KUHAP;
Kemudian menurut Mahkamah pula, dengan mempertimbangkan
perkembangan dalam sarana dan prasarana telekomunikasi
serta surat menyurat, jangka waktu yang patut bagi penyidik
untuk menyampaikan salinan surat perintah penangkapan
kepada keluarga tersangka adalah tidak lebih dari 3 x 24 jam sejak
diterbitkan surat penangkapan tersebut. Walaupun demikian,
dengan mempertimbangkan pula perbedaan jarak, cakupan dan
kondisi geografis dari masing-masing wilayah di seluruh Indonesia,
terdapat kemungkinan dibutuhkan jangka waktu yang lebih dari 3
x 24 jam untuk penyampaian salinan surat perintah penangkapan
kepada para keluarga tersangka yang berada di wilayah administratif
yang berbeda, atau berada di kota/kabupaten atau provinsi yang
berbeda dengan tempat tersangka tersebut ditangkap dan/atau
ditahan, oleh karena itu dibutuhkan penafsiran yang dapat
diterapkan secara umum untuk mengakomodasi perbedaan
kondisi tersebut dengan tetap mengutamakan kepastian hukum.
Dalam hal ini, waktu 7 (tujuh) hari merupakan tenggat waktu yang
patut untuk menyampaikan salinan surat perintah penahanan
tersebut. Berdasarkan pertimbangan hukum di atas maka sesuai
dengan asas kepatutan dan kepastian hukum, frasa “segera” dalam
rumusan Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang menyatakan, “Tembusan
surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 111
harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan
dilakukan.” haruslah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945
sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”.
c. Amar Putusan
Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yakni
Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor
3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak
lebih dari 7 (tujuh) hari”; dan Frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor
76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “segera dan
tidak lebih dari 7 (tujuh) hari”
d. Implikasi Putusan MK terhadap Limitasi Jangka Waktu Penyidikan
oleh KPK
Mahkamah berpendapat frasa „segera‟ di dalam Pasal 18 ayat (3)
KUHAP bisa diartikan setelah tersangka ditangkap, pemberitahuan
kepada keluarga tersangka harus disampaikan dalam waktu singkat
agar tersangka segera mendapat hak-haknya. Apabila pemberitahuan
itu tak segera disampaikan berpotensi menimbulkan pelanggaran
hak tersangka karena keberadaan dan status hukum tidak segera
diketahui keluarganya. Penafsiran frasa “segera” dari Putusan MK
ini ternyata tidak berpengaruh terhadap batas dari penyidikan yang
selama ini membuat status tersangka seseorang menjadi terkatung-
katung dan tidak jelas.
Menurut Mahkamah ketiadaan rumusan pasti mengenai lamanya
waktu kata „segera‟ dalam pasal itu dapat menyebabkan pihak penyidik
menafsirkan berbeda-beda dalam setiap kasus yang ditangani.
Perbedaan semacam itu dapat menimbulkan ketidakpastian hukum
dan berpotensi menimbulkan ketidakadilan oleh pihak penyidik.
“Pasal 18 ayat (3) KUHAP tidak memenuhi asas kepastian
hukum yang adil karena dalam pelaksanaan menimbulkan
penafsiran yang berbeda. Penafsiran yang berbeda ini dapat
menimbulkan perlakuan diskriminatif terhadap tersangka,
sehingga menurut Mahkamah, dalil permohonan Pemohon
beralasan menurut hukum,” kata Hakim Konstitusi Maria Farida
Indrati saat membacakan pertimbangan hukumnya.
112 BAB III
Namun, apabila Pasal 18 ayat (3) KUHAP dinyatakan tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat justru dapat menghilangkan
kewajiban penyidik menyampaikan salinan surat perintah
penangkapan itu yang menimbulkan pelanggaran terhadap asas
perlindungan hukum dan kepastian hukum. Karena itu, demi
kepastian hukum yang adil, Mahkamah perlu menafsirkan mengenai
frasa „segera‟ pada Pasal 18 ayat (3) KUHAP.
Dalam hal ini, waktu 7 (tujuh) hari merupakan tenggat waktu
yang patut untuk menyampaikan salinan surat perintah penahanan
tersebut. Karenanya, sesuai dengan asas kepatutan dan kepastian
hukum, frasa „segera‟ dalam rumusan Pasal 18 ayat (3) KUHAP yang
menyatakan, “Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera
setelah penangkapan dilakukan.” haruslah dinyatakan bertentangan
dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai “segera dan tidak lebih
dari 7 (tujuh) hari.”
C. Kedudukan Tersangka dalam Hukum Acara Pidana
Kehadiran hukum acara pidana sebagai hukum pidana formil dimaksudkan
untuk memberi keadilan bagi seluruh manusia tanpa terkecuali karena dalam
hukum acara pidanalah diatur mekanisme untuk menegakan hukum pidana
materiil. Fungsi terpenting dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan
menemukan kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran materiil,
kebenaran yang selengkap-lengkapnya atau setidaknya mendekati kebenaran
dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana
secara jujur dan tepat dengan tujuan mencari siapakah pelaku yang dapat
didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya dimintakan
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwaitu dapat dipersalahkan.34
Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan
atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil ialah kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari
siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran
hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan
guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan
dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.35
34 Tolib Effendy, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana (Malang: Setara Press, 2014), Hlm. 5 35 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, Hal 7-8),
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 113
Sebelum mencari siapa yang bertanggungjawab atas suatu tindak
pidana di persidangan, maka diawali terlebih dahulu tindakan penyelidikan
dan penyidikan di tingkat kepolisian. Penyelidikan dilakukan sebelum
penyidikan yakni sasaran yang dituju adalah “mencari” dan “menemukan”
tersebut adalah “suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. setelah
penyelidikan dilanjutkan kepada penyidikan untuk kemudian dalam tahap ini
ditemukanlah Tersangkanya. Ketika seseorang ditetapkan sebagai tersangka,
dia memiliki hak-hak dalam menjalani proses pemeriksaan, salah satunya
adalah berhak segala diproses perkaranya yakni pada tingkat penyidikan,
tingkat penuntutan maupun tingkat persidangan.
Subjek dalam tahap penyidikan adalah tersangka. Dari tersangka pula
kemudian diperoleh keterangan terkait peristiwa pidana yang diperiksa. Oleh
karena itu seorang Tersangka harus dijunjung tinggi martabatnya dan tidak
diperlakukan semena-mena karena yang diperiksa adalah kesalahan atas
perbuatan dari diri tersangkalah yang menjadi objek pemeriksaan penyidik.
Dalam pemeriksaan tersangka harus pula memperhatikan prinsip hukum
“praduga tidak bersalah” (presumption of innocent) yakni tersangka harus
dianggap tidak bersalah hingga diperoleh putusan pengadilan yang telah
berkekuatan tetap.
Mengenai definisi tersangka yakni seorang berdasarkan pada bukti permulaan
kemudian patut diduga sebagai pelaku tindak pidana akibat dari perbuatannya
atau keadaannya.36 yang dimaksud dengan bukti permulaan adalah alat bukti
berupa Laporan Polisi dan 1 (satu) alat bukti yang sah, yang digunakan untuk
menduga bahwa seseorang telah melakukan tindak pidana sebagai dasar untuk
dapat dilakukan penangkapan (Pasal 1 angka 21 Perkapolri 14/2012).
Menurut Leden Marpaung, rumusan definisi tersangka dalam KUHAP
belum lengkap mengingat yang dapat ditetapkan sebagai Tersangka bukan
saja dia sebagai “Pelaku Tindak Pidana” saja, tetapi bisa pula “orang yang
menyuruh”, “orang yang membantu dan “orang yang membujuk”.
D. Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Tersangka Dalam Perspektif Hukum
Acara Pidana
1. Hak Asasi Tersangka dalam perspektif Hukum Internasional dan Hukum Positif Indonesia
Isu tentang Hak Asasi Manusia sebenarnya bukan ”barang” yang baru,
karena sesungguhnya masalah Hak Asasi Manusia sudah disinggung oleh
Hlm. 7-8. 36 Pasal 1 butir 14 KUHAP berbunyi:”tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana;
114 BAB III
para ”founding father” Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit
yakni di dalam alinea 1 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang isinya
menyatakan ”Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu dan oleh sebab
itu penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan
perikemanusiaan dan peri keadilan”. Dengan adanya penghargaan terhadap
HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat
disebut sebagai negara yang berdasar atas hukum. Rasionya bahwa dalam
negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut:
1. Asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,
2. Asas legalitas,
3. Asas pembagian kekuasaan,
4. Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak dan,
5. Asas kedaulatan rakyat.
Bahwa kemerdekaan dan kebebasan seseorang mencakup
pengertian, ruang lingkup dan aspek yang sangat luas. Salah satu aspek
yang sangat mendasar ialah kemerdekaan dan kebebasan seseorang
untuk bergerak, bepergian ke mana saja atau untuk berhubungan
dan berkomunikasi dengan siapa saja. Oleh karena itu perampasan
dan pembatasan kemerdekaan bergerak seseorang (yang dilihat dari
sudut hukum pidana dapat berupa tindakan penangkapan, penahanan
dan pidana perampasan kemerdekaan) hanya dibenarkan apabila
berdasarkan peraturan yang berlaku. Perampasan dan pembatasan
kemerdekaan berdasarkan peraturan yang berlaku mengandung arti
bahwa ada hak orang yang ditangkap, ditahan atau dijatuhi pidana
perampasan kemerdekaan:
1. untuk mengetahui dasar-dasar alasan penangkapan, penahanan
atau penjatuhan pidana atas dirinya.
2. untuk memperoleh rehabilitasi atau konpensasi, apabila penangkapan
penahanan atau penjatuhan pidana itu tidak berdasarkan hukum
yang berlaku.
3. untuk mendapatkan perlakuan dan hak-hak sesuai dengan
peraturan yang berlaku selama masa penangkapan, penahanan atau
pemidanaan atas dirinya.
Permulaan pelaksanaan hak asasi manusia dengan baik dari segi
hukum dibuktikan dengan kelengkapan hukum positif aplikatifnya.
Tanpa ini asas atau pokok hak asasi manusia di dalam Undang-Undang
Dasar 1945 masih tetap sesuatu yang di atas. Sehubungan dengan hal
tersebut kalau kita mengaitkan dengan ketentuan hukum Indonesia,
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 115
asas perlindungan hak asasi manusia antara lain telah tertuang dalam
KUHAP, yaitu beberapa asas antara lain:
1. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan
tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
2. Penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya
dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi
wewenang oleh undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan
cara yang diatur dengan undang-undang.
3. Setiap orang yang disangka, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan
dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Kepada seorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena
kekeliruan mengenai orangnya ataupun hukum yang diterapkan
wajib diberi ganti kerugian atau rehabilitasi sejak tingkat penyidikan
dan para pejabat penegak hukum yang dengan sengaja atau karena
kelalaiannya menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut,
dipidana dan atau dikenakan hukuman administrasi.
5. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
6. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan atas dirinya.
7. Kepada seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selalu wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasihat hukum.
8. Pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
9. Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali
dalam hal yang diatur dalam undang-undang.
10. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan.
Berbagai asas Hak Asasi Tersangka baik secara hukum acara
pidana nasional terdapat persamaan antara ketentuan ICCPR, UDHR
dan ketentuan lain yang dianut dalam hukum pidana materiil maupun
hukum pidana formal Indonesia:37
37 O.C Kaligis, Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan
116 BAB III
HAM UDHCR/ICCPR/Konvensi Hukum
Internasional lainnya KUHAP/Luar KUHAP
Hak atas peradilan yang fair, independen dan tidak memihak
Pasal 10 UDHR Pasal 14 ayat (1) ICCPR Pasal 7 ayat (3) Convention againts
torture and other cruel, inhuman or degrading treatment or punishment Pasal 6 ayat (1) convention for the
protection of human rights and fundamental freedoms
Pasal 8 ayat (1) american convention on human rights
Tidak secara nyata dipandang sebagai hak tersangka/terdakwa/ terpidana, tetapi diakui sebagai prinsip dasar peradilan. Misalnya ketentuan Pasal 5 UU No. 4/2004 tentang kekuasaan kehakiman
Hak atas persumption of
innocence
Pasal 11 UDHR Pasal 14 ayat (2) ICCPR Pasal 6 ayat (2) convention for the
protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 40 ayat (2) huruf b (i) convention on the rights of the child
Pasal 75 ayat (2) huruf d protocol additional to the geneva conventions of victims of internationals armed conflict Pasal 17 ayat (2) huruf c (i) african charter on the rights and welfare of the child Pasal 8 ayat (2) american convention on human rights Pasal XXVI american declaration of the rights and duties of man Pasal 39 magna carta
Pasal 8 UU No. 4/2004 tentang kekuasaan kehakiman
Hak atas peradilan yang terbuka untuk umum
Pasal 10 UDHR Pasal 14 ayat (1) ICCPR
Pasal 153 ayat (3) Pasal 19 ayat (1) No. 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Persamaan kedudukan di depan hukum
Pasal 14 ayat (1) ICCPR Pasal 5 huruf a internatinal convention
on the elimination of all forms of racial discrimination Pasal 16 ayat (2) convention relating to the status of Refugees
Pasal 3 genewa conventio n of 12 august 1949 Pasal 16 piagam madinah tahun 622 M
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945
Hak untuk diberitahukan tentang sangkaan/ dakwaaan terhadapnya
Pasal 14 ayat (3) huruf a ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (i) convention for the protection of human rights and fundamental freedoms
Pasal 40 ayat (2) huruf b (ii) convention on the rights of the child
Pasal 51 KUHAP
Terdakwa, (Bandung: Alumni, 2013), hal 107
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 117
HAM UDHCR/ICCPR/Konvensi Hukum
Internasional lainnya KUHAP/Luar KUHAP
Pasal 75 ayat (1) dan (2) huruf a protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict Pasal 17 ayat (2) huruf c (ii) african charter on the rights and welfare of the child
Hak untuk menunjuk penasihat hukum dan hak atas waktu yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan
Pasal 14 ayat (3) huruf b ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (b) dan (c) convention for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 17 ayat (2) huruf c (iii) african charter on the rights and welfare of the child
Pasal 55 dan 56 KUHAP mengenai penunjukan penasihat hukum, namun belum ada ketentuan mengenai hak atas waktu yang cukup untuk menyusun pembelaan
Hak untuk diadili secepatnya
Pasal 14 ayat (3) huruf c ICCPR Pasal 40 ayat (2) huruf b (ii) convention on the rights of the child Pasal 17 ayat (2) huruf c (iv) african charter on the rights and welfare of the child Pasal 40 magna carta 1215
Tidak secara nyata dipandang sebagai hak tersangka/ terdakwa/ terpidana tetapi tetap diakui sebagai prinsip dasar peradilan. Misalnya ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU No. 4 /2004 tentang kekuasaan kehakiman Pasal 50 ayat (2)
Hak untuk membela diri secara langsung atau lewat penasihat hukum atas biaya sendiri atau biaya negara
Pasal 14 ayat (3) huruf d ICCPR Pasal 40 ayat (2) huruf b (ii) convention on the rights of the child Pasal 8 ayat (2) huruf d american convention on human rights
Pasal 56 ayat (2) KUHAP Secara implisit dalam Pasal 60-63 KUHAP
Hak untuk diadili dengan kehadirannya
Pasal 14 ayat (3) huruf d ICCPR Pasal 75 ayat (2) huruf e protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict
Pasal 154 ayat (2), (3) dan (4) KUHAP
Hak untuk menguji pernyataan saksi a charge di hadapan sidang
Pasal 14 ayat (3) huruf d ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (d) convention
for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 75 ayat (2) huruf g protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict
Pasal 8 ayat (2) huruf f american convention on human rights
Pasal 164 ayat (2) KUHAP
118 BAB III
HAM UDHCR/ICCPR/Konvensi Hukum
Internasional lainnya KUHAP/Luar KUHAP
Hak untuk menghadirkan saksi a charge di hadapan sidang
Pasal 14 ayat (3) huruf e ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (d) convention
for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 75 ayat (2) huruf g protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict
Pasal 116 ayat (3) KUHAP
Hak untuk meminta penerjemah
Pasal 14 ayat (3) huruf f ICCPR Pasal 6 ayat (3) huruf (e) convention
for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 40 ayat (2) huruf b (vi) convention on the rights of the child Pasal 8 ayat (2) huruf a american convention on human rights
Pasal 53 ayat (1) KUHAP
Hak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian yang memberatkan dirinya atau mengaku bersalah
Pasal 14 ayat (3) huruf g ICCPR Pasal 40 ayat (2) huruf b (iv) convention on the rights of the child Pasal 75 ayat (2) huruf F protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict
Secara implisit termasuk dalam Pasal 52 KUHAP
Hak atas upaya hukum ke pengadilan yang lebih tinggi
Pasal 14 ayat (5) huruf g ICCPR Pasal 2 protokol ke-7 dari convention for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 40 ayat (2) huruf b (iv) convention on the rights of the child Pasal 8 ayat (2) huruf h american convention on human rights
Bab XVII dan XVIII KUHAP Pasal 66 UU No. 5/2004 tentang Mahkamah Agung
Hak untuk ganti rugi apabila terjadi kesalahan penerapan peradilan
Pasal 14 ayat (6) huruf g ICCPR Pasal 3 protokol ke-7 dan Pasal 13 dari convention for the protection of human rights and fundamental freedoms individuals, groups and organs of society to promote an protect universally recognized human rights and fundamental freedoms
Pasal 68 ayat KUHAP, namun dalam praktik belum pernah dilaksanakan
Hak untuk tidak diadili atas perbuatan yang substansi materinya sama
Pasal 14 ayat (7) huruf g ICCPR Pasal 4 protokol ke-7 dari convention for the protection of human rights and fundamental freedoms Pasal 75 ayat (2) huruf h protocol additional to the geneva conventions of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international armed conflict
Pasal 63 ayat (1) KUHP
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 119
HAM UDHCR/ICCPR/Konvensi Hukum
Internasional lainnya KUHAP/Luar KUHAP
Hak atas non- retroaktif
Pasal 15 ayat (2) huruf g ICCPR Pasal 24 rome statute of the international criminal court
Pasal 28 huruf (i) UUD 1945 Pasal 1 ayat (1) KUHP
Hak atas Pasal 15 ayat (1) huruf g ICCPR Pasal 1 ayat (2) KUHP keringanan Pasal 7 ayat (1) convention for the hanya sebelum suatu hukuman protection of human rights and putusan berkekuatan manakala terjadi fundamental freedoms hukum tetap. mengenai perubahan Pasal 75 ayat (2) huruf c protocol ketentuan keringanan peraturan yang additional to the geneva conventions hukuman karena
meringankan of 12 august 1949 and relating to the protection of victims of international
perubahan peraturan terjadi sesudah putusan
armed conflict pemidanaan, belum diatur.
2. Hak Tersangka Dalam KUHAP
Hukum sebagai sarana penting dalam perlindungan terhadap Hak
Asasi Tersangka. Tersangka biasanya adalah merupakan pihak yang diambil
sebagian kemerdekaan pribadinya, misalnya dia ditangkap, ditahan, disita
barangnya dan sebagainya. Padahal hak-hak seperti itu merupakan hak yang
penting bagi seseorang. Oleh karena itu hukum perlu benar-benar menjamin
dan mengawasi agar pengambilan hak tersangka tersebut tidak dilakukan
secara sewenang-wenang atau secara berlebih-lebihan.38 Dalam KUHAP
diatur tentang hak-hak tersangka yakni dalam proses penyidikan yakni:
a. Hak untuk segera mendapat pemeriksaan. Tersangka berhak segera
mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik yang selanjutnya dapat
diajukan kepada penuntut umum, dan tersangka berhak perkaranya
segera dimajukan oleh pengadilan ke penuntut umum (Pasal 50 ayat
1 dan ayat 2).
b. Tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa
yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya
pada waktu pemeriksaan dimulai (Pasal 51)
c. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik.
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara
bebas kepada penyidik atau hakim (Pasal 52 KUHAP).
d. Hak untuk mendapatkan juru bahasa dalam setiap pemeriksaan.
Dalam pemeriksaan pada tingkat penyidikan dan pengadilan,
tersangka atau terdakwa berhak untuk setiap waktu mendapat juru
bahasa (Pasal 53 ayat 1, lihat juga Pasal 177).
38 Munir Fuаdi dаn Sylviа Lаurа L. Fuаdy, Hаk-Hаk АsаsiTersаngkа Pidаnа, (Jаkаrtа: Kencаnа, 2015), Hlm. 7.
120 BAB III
e. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat
pemeriksaan. Guna kepentingan pembelaan, tersangka atau
terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih
penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat
pemeriksaan, menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang/
KUHAP (Pasal 54)
f. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum. Untuk mendapatkan
penasihat hukum tersangka atau terdakwa berhak memilih sendiri
penasihat hukumnya (Pasal 55).
g. Hak untuk berubah menjadi wajib untuk mendapat bantuan hukum.
Wajib bagi tersangka mendapat bantuan hukum bagi tersangka
dalam semua tingkat pemeriksaan jika sangkaan yang disangkakan
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana minimal 15 tahun
atau lebih (Pasal 56).
h. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi penasihat hukumnya sesuai dengan ketentuan dalam
KUHAP (Pasal 57).
i. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
menghubungi atau menerima kunjungan dokter pribadinya untuk
kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses
perkara maupun tidak (Pasal 58).
j. Tersangka atau terdakwa yang dikenakan penahanan berhak
diberitahukan tentang penahanan atas dirinya oleh pejabat yang
berwenang, pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses
peradilan, kepada keluarga atau orang lain yang serumah dengan
tersangka atau terdakwa ataupun orang lain yang bantuannya
dibutuhkan oleh tersangka atau terdakwa untuk mendapatkan
bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhannya (Pasal 59).
k. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari pihak yang mempunyai hubungan kekeluargaan atau
lainnya dengan tersangka atau terdakwa guna mendapatkan jaminan
bagi penangguhan penahanan ataupun untuk usaha mendapatakan
bantuan hukum (Pasal 60).
l. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan
perantaraan penasihat hukumnya menghubungi dan menerima
kunjungan sanak keluraganya dalam hal yang tidak ada hubungannya
dengan perkara tersangka atau terdakwa untuk kepentingan
pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).
m. Tersangka atau terdakwa berhak secara langsung atau dengan
perantaraan penasihat hukumnya dan menerima surat dari penasihat
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 121
hukumnya dan sanak keluragan setiap kali yang diperlukan olehnya,
untuk keperluan itu bagi tersangka atau terdakwa disediakan alat
tulis-menulis (Pasal 62).
n. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima
kunjungan dari rohaniawan (pasal 63).
o. Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka
untuk umum (Pasal 64).
p. Tersangka atau terdakwa berhak untuk mengusahakan dan mengajukan
saksi dan atau seorang yang mempunyai keahlian khusus guna
memberikan keterangan yang menguntungkan bagi dirinya (Pasal 65).
q. Tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian
(Pasal 66).
r. Tersangka atau terdakwa berhak menuntut ganti kerugian dan
rehabilitasi (Pasal 68. Lihat juga Pasal 95)
E. Landasan Limitasi Jangka Waktu Penyidikan oleh KPK Setelah Penetapan
Tersangka Berdasarkan Putusan Praperadilan Dalam Perspektif Hak Asasi
Manusia
1. Landasan Ontologis
Ontologi mempermasalahkan apakah sesungguhnya hakikat
realitas yang ada kini, apakah realitas ini terbentuk dari satu unsur
(monisme), dua unsur (dualisme) ataukah lebih dari dua unsur
(pluralisme)? Paham ontologi ini yang ada pada akhirnya akan
menentukan pendapat bahkan “keyakinan: kita masing-masing
mengenai apa dan bagaimana (yang) yang ada“ sebagaimana
manifestasi yang kita cari
Menurut Soetandyo Wigonosoebroto, aspek ontologis dalam hukum
dapat dibagi menjadi 5 bagian yakni:
a. Asas-asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan berlaku
universal
b. Norma-norma positif dalam sistem perundang-undangan suatu
negara
c. Putusan hakim in concreto, yang tersistematisasi sebagai judge
made law
d. Pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai variabel
sosial yang empirik.
e. Manifestasi makna-makna simbolik para pelaku sosial sebagaimana
tampak dalam interaksi di antara mereka.
122 BAB III
Disiplin ilmu hukum dalam mengarahkan sasaran studinya terhadap
kaidah atau norma (norm wissenschaft), maka akan dapat dibedakan
antara kaidah dalam arti yang luas dengan asas-asas hukum dan norma
(nilai) yang merupakan kaidah dalam arti yang sempit, serta peraturan
hukum kongkrit. Kaidah dalam arti yang luas adalah rumusan pandangan
masyarakat pada umumnya (bukan rumusan pandangan kelompok atau
individu) tentang apa yang baik yang seharusnya diperbuat dan apa
yang buruk yang seharusnya tidak diperbuat, sehingga berisi rumusan
pandangan yang merupakan amar makruf nahi mungkar.
Asas-asas hukum merupakan peraturan atau pedoman yang bersifat
mendasar tentang bagaimana seharusnya orang berperilaku dan pedoman
tersebut berupa pikiran dasar yang tersirat, berlaku umum, abstrak,
mengenal pengecualian-pengecualian dan merupakan persangkaan
(presumption) serta bersifat ideal mengingat manusia akan menemukan
cita-citanya dengan asas hukum rersebut dan bersifat dinamis. Norma
atau kaidah dalam arti yang sempit adalah nilai yang dapat kita gali atau
temukan dari peraturan hukum kongkrit, sedangkan peraturan hukum
kongkrit sendiri berupa pasal-pasal suatu peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan hal diatas maka landasan ontologis dalam pemberian
kewenangan bagi lembaga praperadilan dalam memutuskan jangka
waktu penyidikan penulis gambarkan dalam bagan sebagai berikut:
2. Landasan Epistimologi
Epistemologi menunjukan proses mendapatkan materi pengetahuan
(ilmiah), strukturnya, metodenya dan validitasnya dan menyusunnya
menjadi batang tubuh pengetahuan (body of knowledge).39
Epistimologi ditinjau dari aspek etimologi adalah sebuah kata yang
berasal dari bahasa yunani, gabungan dari kata episteme artinya
39 Jujun S. Suriа Sumаntri, Op. Cit
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 123
pengetahuan dan logos biasanya untuk menunjukan adanya pengetahuan
sistematik. Jika digabungkan dapat diartikan sebagai pengetahuan
sistematik mengenai pengetahuan.
Jangka waktu penyidikan yang belum diatur kapan berakhirnya
membuat ketidakpastian hukum bagi tersangka. Hal ini melanggar hak-
hak asasi tersangka yakni untuk segera diadili.
Asas penting dalam hukum acara pidana salah satunya adalah asas
praduga tidak bersalah, yang menyatakan bahwa seseorang tidak boleh
dinyatakan bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap. oleh karena itu, saat seseorang ditetapkan sebagai
tersangka harus diperhatikan hak-haknya untuk menghindari perlakuan
semenan-mena dari penguasa dan stigma negatif di masyarakat.
Penangkapan, penahanan, penyitaan dan lain sebagainya yang
bersifat mengurangi dan membatasi kemerdekaan dan hak asasi tersangka.
Karenanya, tak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga praperadilan
ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran dan perampasan hak
asasi tersangka atau terdakwa. Demi untuk terlaksananya kepentingan
pemeriksaan tindak pidana, Undang-undang memberi kewenangan
kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya
paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Setiap
upaya paksa yang dilakukan penyidik penuntut umum terhadap tersangka,
pada hakikatnya merupakan perlakuan yang bersifat:
Tindakan paksa yang dibenarkan Undang-undang demi kepentingan
pemeriksaan tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka.
Sebagai tindakan paksa yang dibenarkan hukum dan Undang-
undang, setiap tindakan paksa dengan sendirinya merupakan
perampasan kemerdekaan dan kebebasan serta pembatasan
terhadap hak asasi tersangka.
3. Landasan Aksiologis
Aksiologis menunjukan manfaat ilmu atau nilai ilmu untuk
kemaslahatan manusia, sebagai sarana untuk meningkatkan taraf hidup
dengan memperhatikan kodrat dan martabat manusia serta kelestarian
alam.
Konkritnya, dari aspek tersebut Aksiologi Ilmu Hukum akan
berkoleratif terhadap kegunaan dari Ilmu Hukum itu sendiri.
Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya Ilmu Hukum bersifat
dinamis dalam artian mempunyai pengaruh dan fungsih yang khas
dibanding dengan bidang-bidang hukum yang lain. Apabila dijabarkan
secara intens, detail dan terperinci maka peran/pengaruh Ilmu Hukum
124 BAB III
tersebut dari aspek Axiologi Ilmu adalah sebagai berikut:
Pertama, dalam proses pembentukan hukum Ilmu Hukum melalui
hasil-hasil penelitian, kajian teroritik dari para doktrina sebagai bahan
masukan yang penting dalam rangka menjadi masukan untuk menyusun
RUU (Rancangan Undang-Undang) sehingga diharapkan nantinya
Undang-Undang yang diterapkan dapat berfungsi maksimal karena telah
memenuhi analisis, filosofis, yuridis dan sosiologis;
Kedua, dalam praktek hukum lazim pada proses peradilan oleh
hakim, jaksa/Penuntut Umum, Penasehat Hukum dipergunakan
pendapat para doktrina untuk menyusun putusan, tuntutan dan
pembelaan. Dari aspek ini merupakan perpaduan antara dunia teori
dan dunia praktek;
Ketiga, Ilmu hukum juga dapat berpengaruh untuk pendidikan
hukum baik yang bersifat formal dan informal serta untuk jangka panjang
akan berpengaruh kepada mutu pendidikan hukum dan lulusannya dan;
Keempat, bahwa dengan pesat dan majunya Ilmu Hukum akan
menarik, memacu dan berpengaruh kepada perkembangan bidang-
bidang lainnya diluar hukum. Peranan Ilmu Hukum disini nampak
kepada bidang-bidang yang memerlukan suatu kejelasan dan
pengaturan dimana suatu sistem hukum berusaha mengatur bidang
yang bersifat progresif dan interventif; Sedangkan fungsi Ilmu Hukum
dari aspek Axiologi Ilmu Nampak dalam: Pertama, bahwa Ilmu hukum
berusaha mensistemasi bahan-bahan hukum yang terpisah-pisah
secara komprehensif dalam suatu buku hukum seperti: Kondefikasi,
Unifikasi dan lain-lain; Kedua, Bahwa adanya fungsi Ilmu Hukum yang
mendeskripsikan pertimbangan-pertimbangan dan diperlukan oleh
bidang-bidang lain serta sehingga sebagai pencerahan guna mengatasi
kesulitan dan kebuntuan yang meluas dalam dunia hukum khususnya
terhadap Ilmu Hukum yang bersifat legaliti.
Menjunjung tinggi hak asasi manusia dan alat kontrol dilakukan
sesuai dengan aturan yang berlaku. Bukan berarti terhadap seseorang
yang disangka ataupun didakwa telah melakukan suatu tindak pidana
diberikan haknya sedemikian rupa seperti halnya seseorang yang tidak
tersangkut suatu tindak pidana, akan tetapi meskipun akan dilaksanakan
tindakan-tindakan tertentu bagi mereka yang disangka maupun didakwa
telah melakukan tindak pidana, hendaknya pelaksanaan tindakan-
tindakan tersebut tidak sewenang-wenang, akan tetapi menuruti apa
yang telah ditentukan undang-undang.
Jangka Waktu Penyidikan Oleh KPK 125
Bagan landasan aksiologis limitasi jangka waktu penyidikan
126 BAB III
BAB IV
PENGATURAN MASA YANG AKAN DATANG
TERKAIT KEWENANGAN LEMBAGA
PRAPERADILAN DALAM MEMBERIKAN BATAS
WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PASCA PUTUSAN PRAPERADILAN
Hasil dari penelitian sebagaimana telah dibahas di bab sebelumnya
belum menemukan limitasi jangka waktu penyidikan kasus korupsi pasca
putusan pra peradilan. Keadaan ini tentu membuat para tersangka korupsi
yang sudah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan putusan Praperadilan
menjadi terkatung-katung dan tidak jelas sehingga berimplikasi kepada
pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah dan hak-hak tersangka
yakni untuk secepatnya diadili guna menyelesaikan permasalah ini harus
ditempuh langkah nyata dalam mengatasi ketiadaan aturan dalam limitasi
jangka waktu penyidikan ini.
Kehadiran KUHAP awalnya diposisikan untuk menggeser kedudukan
Hukum Acara Pidana peninggalan kolonial yang sudah lama bercokol dan
menghadirkan kondisi dishumanistik. Sebagai hukum positif berlakunya
KUHAP berarti secara yuridis normatif telah menamatkan riwayat dan
wilayah kerja HIR (Hukum Acara Pidana yang lama). Cukup wajar jika
sebagian ahli kita berasumsi dan menempatkan KUHAP sebagai mahakarya
sebagai karya agung bangsa Indonesia sebab selain dianggap lahir dari watak,
adat, istiadat dan kultur bangsa Indonesia sendiri yang sudah diantisipasi
secara selektif, juga pasal-pasal yang diintegrasikan dalam KUHAP dapat
mewakili dan memproteksi kepentingan masyarakat. Kehadiran KUHAP
merupakan bentuk modernisasi hukum acara pasa HIR.1
1 Naskah Akademik Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Badan
128 BAB IV
Pada saat suatu undang-undang dibahas dan dibicarakan oleh legislatif,
semua berpendapat sudah baik dan sempurna. Akan tetapi, pada saat
diundangkan, undang-undang tersebut langsung berhadapan dengan seribu
macam masalah konkreto yang tidak terjangkau dan terpikirkan pada saat
pembahasan dan perumusan. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak
dapat dibantah. Karena kenyataan teresbut disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya:2
1. Keterbatasan manusia diprediksi secara akurat apa yang terjadi di masa
yang akan datang.
2. Kehidupan masyarakat manusia baik sebagai kelompok dan bangsa
(nasional, regional dan internasional) mengalami perubahan masyarakat
(social change)
3. Pada saat undang-undang diundangkan langsung “konservatif”
Jika diamati secara teliti barangkali pada setiap undang-undang
yang dipengaruhi faktor-faktor tersebut akan ditemukan permasalahan-
permasalahan sebagai berikut:3
1. Sering ditemukan perumusan yang bersifat elipsis. Misalnya rumusan
pasal-pasalnya sering mengulang kata-kata atau membuang kata-kata
supaya terpenuhi bentuk susunan kalimat berdasarkan pramasastra.
Akibat dari perumusan yang bersifat Elipsis, sering memunculkan pasal-
pasal yang perumusannya mengandung:
a. Ill-defined; tidak jelas definis atau maknanya;
b. Unclear-outlined; tidak jelas penggarisannya;
c. Unclear-meaning; tidak jelas artinya;
d. Elusive-term; tidak tertangkap maksudnya;
e. Unexpressed-word; tidak dingkapkan kata-katanya karena dianggap
sudah tercakup (implied) dalam kalimat sebelumnya;
f. Ambiguity; pengertiannya ambiguitas atau “mendua”
2. Mengandung Rumusan Broad Term
Sedemikian luanya terminus atau rumusannya, menimbulkan
permasalahan dalam praktik. Pada hakikatnya, setiap perumusan
maupun “peristilahan luas” bisa mengandung pengertian yang bersifat:
a. Vague-outlined; kabur penggarisan dan standarnya;
b. Uncertainty; tidak pasti artinya. Sehingga menimbulkan ketidak
pastian dalam penerapan;
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Hukum dan HAM RI Tahun 2007. 2 Yahya Harahap dalam Budi Suhariyanto, Tindak Pidana Teknologi Informasi,
(Jakarta:Rajagrafindo Persada, 2012), Hlm. 157-158. 3 Ibid.
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 129
c. Atau perumusannya dapat berubah-ubah dan tujuannya sesuai
dengan perubahan lintasan waktu (statutory expression may change
with the passage of time)
3. Perumusan bercorak Political Uncertainty
Produk dan rumusan undang-undang positif, tidak terlepas dari latar
belakang politik. Akibatnya, penerapan dalam praktik, sering dihadapkan
kepada perumusan undang-undang yang bersifat:
a. Ambigious-words atau ambiguity; kata-kata yang bersifat
“ambiguitas” atau “mendua”;
b. Atau perumusannya mengandung “tujuan politik” atau provission
is politically contention;
c. Bisa juga rumusannya merupakan kehendak pemerintah untuk
“meminimalkan” risiko perubahan hukum (the government wish to
minimize the risk of legal changes)
4. Bisa juga rumusannya Unforsable Developments
Seperti yang sudah dikatakan, bagaimanapun keinginan dan daya upaya
manusia, tidak mungkin mencipta dan memproduk undang-undang yang
lengkap dan sempurna. Kalau begitu sejak suatu undang-undang siap dan
diundangkan, harus disadari bahwa undang-undang yang bersangkutan
tidak mampu “menangkap” dan “meliput” denyut dan isyarat perkemban-
gan konkreto yang luas dan menyeluruh di masa yang akan datang. Oleh
karena itu, rumusan dan standarnya tidak mungkin menutup lubang-lubang
kosong dalam perjalanan perkembangan dan perubahan masyarakat.
5. Perumusan yang mengandung Error
Meskipun pada saat undang-undang dibuat rumusannya sudah diteliti
berulang-ulang, sering terdapat undang-undang yang mengandung
error. Jika yang terjadi hanya printing error (kesalahan percetakan), tidak
menjadi masalah serius. Akan tetapi, ada error yang sangat rumit dan
kontroversial, antara lain:
a. Ill-inconcidered; pada saat merumuskan keliru pertimbangan atau
tidak mendalam membahasa landasan pemikiran dan dirumuskan
tergesa-gesa. Rumusan yang tidak saksama dipertimbangkan pada
saat undang-undang dibuat, bisa bersifat defective meaning, artinya
landasan pertimbangannya tidak rasional dan matang sehingga
makna yang terkandung di dalam “cacat”. Jika diterapkan sesuai
dengan rumusan, bisa menimbulkan akibat yang “melenceng” atau
bertentangan dengan tujuan yang dikehendaki pembuat undang-
undang dan kepentingan masyarakat.
b. Bisa juga terjadi perumusan yang mengandung konflik atau
kontroversi antara undang-undang yang satu dengan undang-
130 BAB IV
undang terkandung error yang bercorak kontroversi atau konflik
yang disebut conflict between different statutory.
c. Bahkan bisa terjadi konflik atau kontroversi antara satu pasal dengan
pasal lain dalam undang-undang yang bersangkutan yang disebut
conflict within the statutory.
Pembaharuan hukum pidana yang menyeluruh harus meliputi
pembaharuan hukum pidana materiil (hukum pidana substantif), hukum
pidana formil (hukum acara pidana) dan hukum pelaksanaan pidana
(strafvollstrckingsgesetz). Ketiga bidang hukum pidana itu harus bersama-
sama diperbaharui, kalau salah satu bidang saja yang diperbaharui, sedang
lainnya tidak, maka akan timbul kesulitan dalam pelaksanaannya dan tujuan
dari pembaharuan itu tidak akan tercapai seluruhnya. Adapun tujuan dari
pembaharuan itu tidak akan tercapai seluruhnya. Adapun tujuan utama dari
pembaharuan itu adalah penanggulangan kejahatan.4
Harus diakui memang, bahwa Undang-Undang (hukum) relatif jauh
tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in action). Akan tetapi,
hal ini bukanlah berarti an sich kita harus mengganti KUHAP dengan
pembaharuan melalui RUU KUHAP secara menyeluruh.5
KPK6 selama ini seolah-olah memberi kebebasan kepada tersangka agar
tetap dapat menikmati cengkarama bersama keluarga, handai taulan, dan
beraktivitas layaknya manusia yang tak bermasalah dengan hukum. Perlu
diketahui bahwa penetapan status tersangka tanpa penahanan sesungguhnya
berimplikasi persepsi publik yang negatif. Persepsi publik yang dapat
membunuh “kepercayaan diri” tersangka korupsi dalam menjalani aktivitas
sehari-harinya. Kemana dan apapun aktivitas tersangka korupsi, apalagi
jika mengharuskan baginya bertemu muka dengan publik, maka selalu ada
rasa sensitif membayangi pikirannya bahwa pasti publik mencibirnya atau
mengumpatnya. Mungkin saja “cibiran itu” dilakukan dalam hati mereka
masing-masing (baca: publik), tapi toh itu terasa bagi seorang yang telah
dinyatakan tersangka oleh KPK.
Jika demikian, status tersangka tanpa penahanan yang dapat menyiksa
bathin dan jiwa seseorang bila melihat atau bertemu dengan publik. Rasanya
tentu akan lebih baik dan tenang jika ditahan di penjara karena sudah
4 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 60.
5 Lilik Mulyadi,RUU KUHAP dari perspetif seorang Hakim, Disampaikan Dalam Diskusi Panel “QUO VADIS RUU KUHAP: Catatan Kritis atas RUU KUHAP” Merayakan 60 Tahun Denny Kailimang, S.H., M.H. pada tanggal 26 Nopember 2008 di Hotel Shangri-la, https://komitekuhap.files.wordpress.com/2012/03/134_ruu_kuhap_dari_ perspektif_seorang_hakim.pdf, diakses pada 9 April 2017 Pukul 10.50 Wib
6 https://www.kpk.go.id/id
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 131
terhindar dari phobia publik. Tampaknya maxim hukum “presumption of
innocence” tak mampu menangkis persepsi negatif masyarakat dengan status
tersangka. Hal ini tentu tidak berlaku bagi tersangka korupsi yang “tebal
muka” dan “tuli sosial” akibat sudah sering menipu publik. Maka dari itu
“legal issue” dalam tulisan ini, apakah penetapan tersangka tanpa penahanan
yang terlalu lama dan tidak segera di limpahkan berkas perkaranya ke
pengadilan tidak melanggar hak-hak tersangka korupsi.
Status sebagai tersangka perbuatan pidana extra ordinary crime yang
bernama korupsi tidaklah mencabut hak-haknya yang dilindungi oleh
hukum. Pijakan hukum yang berkaitan dengan isu ini dapat dipedomani
berdasarkan Pasal 50 KUHAP yang menegaskan: (1) Tersangka berhak
“segera” mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat
diajukan kepada penuntut umum; (2) Tersangka berhak perkaranya “segera”
dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; (3) Terdakwa berhak “segera”
diadili oleh pengadilan.
Menelaah ketentuan diatas, sangat gamblang dititahkan bahwa proses
pemeriksaan seseorang baik di tingkat penyidikan, penuntutan dan di
pengadilan harus di “segera”kan. Hanya saja, dalam KUHAP tidak dijelaskan
secara detail apa makna “segera” jika disubtitusi menjadi “waktu.” Kelemahan
inilah yang dapat “menggantung” hak-hak tersangka dalam ketidakpastian
akan proses hukum dirinya. In casu, SDA dan IAS hampir setahun dibiarkan
“berkeliaran” dengan status tersangka menghadang persepsi negatif publik.
Padahal keduanya pun yakin jika dirinya tidak bersalah dan tidak melakukan
perbuatan korupsi.
Secara tegas, nyatanya Undang-Undang memberikan “hak” kepada SDA
dan IAS untuk disegerakan pelimpahan perkaranya ke pengadilan. Namun,
karena belum ada tafsir waktu frasa “segera” dalam Pasal 50 KUHAP tersebut,
maka dalam hemat Penulis mengusulkan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan
setelah ditetapkan sebagai tersangka, berkas perkara tersangka sudah harus
dilimpahkan ke pengadilan, mengingat makna “segera” tanpa tafsir batas
waktu berpotensi inkonstitusional.
Yakni, melanggar hak konstitusional tersangka yang dilindungi oleh
konstitusi. Hal ini dengan mengaca pada Putusan MK No 03/ PUU-XI/20137
yang pernah memberikan tafsir waktu frasa “segera” dalam Pasal 18 ayat 3
KUHAP mengenai ihwal tembusan surat penangkapan “segera” diberikan
kepada keluarga. Dengan demikian, bersandar pada putusan MK tersebut
maka frasa “segera” dalam Pasal 50 KUHAP jika tidak ditafsir limitasi
7 Tinjauan Kritis terhadap Putusan MK No. 3/PUU-XI/2013 tafsir ‘segera’ dalam KUHAP,http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:http://kuhap.or.id/ tinjauan-kritis terhadap-putusan-mk-no-3puu-xi2013-tafsir-segera-dalam-kuhap/
132 BAB IV
waktunya, maka berpotensi inkonstitusional sebab melanggar asas kepastian
hukum yang terdapat dalam konstitusi itu sendiri.
Atas terkatung katungnya nasib tersangka korupsi, KPK selalu
berdalih bahwa berkas perkaranya dalam proses perampungan. KPK dapat
menetapkan tersangka meskipun proses perampungannya baru 50 % sampai
60%. Seharusnya Jika KPK belum merampungkan proses administrasi
dan dokumentasi alat bukti sampai 80% jangan menetapkan seseorang
menjadi tersangka. Kedepan, harus diperjelas makna “segera” oleh KPK atau
penegak hukum lainnya dalam bentuk Standar Operasional Prosedur (SOP)
penanganan perkara. Untuk jangka panjang, RUU KUHAP harus menjawab
tafsir frasa ”segera” ini. Selain Pasal 50 KUHAP ini, ada beberapa ihwal yang
memang harus dipertegas limitasi waktunya seperti proses penyidikan,
pelimpahan berkas perkara ke penuntutan dan ke pengadilan.
Terkait dengan itu, ada beberapa keuntungan pula jika KPK tidak
menggantung para tersangka korupsi dalam jangka waktu yang lama.
Pertama, serangan para tersangka melalui praperadilan dapat dibendung
jika para tersangka segera dilimpahkan ke pengadilan, karena pelimpahan
tersebut akan menggugurkan praperadilan. Kedua, secara sosial, pelimpahan
perkara tersangka ke pengadilan dengan segera setelah ditetapkan sebagai
tersangka akan meniadakan asumsi publik bahwa penetapan tersebut
adalah “pesanan” atau beraroma politik. Ketiga, bagain dari pemenuhan hak
tersangka untuk segera diadili.
Kebencian terhadap korupsi bukanlah alasan untuk berbuat tidak adil
kepada para tersangka korupsi, yaitu dengan cara mengabaikan hak-haknya
yang dilindungi oleh Undang-Undang bahkan konstitusi. Bukankah para
filsuf hukum dari dulu selalu mengamanatkan “justice delayed, justice denied
keadilan yang tertunda adalah keadilan yang ditolak” Maka “segerakanlah”
perkara tersangka untuk diadili dari dugaan korupsi yang menimpanya,
agar tak ada lagi keadilan tertunda terhadap hak-hak yang melekat dalam
diri tersangka itu.8
Persoalan penetapan tersangka sepertinya lebih menarik perhatian
setelah putusan pra peradilan tersebut. Dalam hukum acara pidana yang
masih berlaku sampai saat ini, penyelidikan dan penyidikan adalah proses
mencari dan mengumpulkan bukti sehingga dugaan tindak pidana menjadi
terang dan kemudian untuk menemukan dan menetapkan tersangka.
Penyidik dalam melaksanakan tugasnya oleh hukum acara diwajibkan
untuk memberitahukannya kepada Penuntut Umum, karena penyidik diberi
kewenangan untuk melakukan upaya paksa, seperti pemanggilan pro yustitia,
8 http://www.negarahukum.com/hukum/tersangka-korupsi-segeralah limpahkan.html
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 133
penetapan tersangka, penangkapan, penahanan dan upaya paksa lainnya.
Pemberitahuan telah dimulainya penyidikkan dari penyidik kepada penuntut
umum tersebut adalah sebagai mekanisme kontrol jalannya proses hukum
agar tidak menimbulkan kesewenangan aparat penegak hukum. Hal ini tentu
tidak terlepas dari adanya kewenangan untuk melakukan upaya paksa yang
tentu saja dapat membatasi hak asasi dari setiap warga negara. Pra peradilan
adalah mekanisme yang diberikan oleh hukum terhadap pelanggaran dalam
proses penyidikan tersebut.
Kewenangan untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka ada pada
penyidik. Sedangkan ukuran yang digunakan untuk dapat menetapkan
tersangka menurut hukum acara pidana adalah berdasarkan bukti permulaan
patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Meskipun asas praduga tak
bersalah, menentukan bahwa seseorang harus dianggap tidak bersalah sampai
ada putusan pengadilan (beberapa menyebutkan yang telah berkekuatan
hukum tetap) yang menyatakan kesalahan orang tersebut, sehingga penetapan
seseorang menjadi tersangka juga harus dibaca dalam kerangka asas tersebut,
dalam kenyataan, ternyata tidak sesederhana itu, penetapan seorang menjadi
tersangka, disadari atau tidak, telah menempatkan seorang tersangka telah
„dihakimi‟ sebagai pelaku tindak pidana. Bahkan dalam jabatan-jabatan
tertentu, status tersangka dapat menghalangi yang bersangkutan untuk tetap
memegang jabatan tertentu tersebut.
Bukti permulaan, patut diduga sebagai pelaku tindak pidana adalah
kata „seksi‟ untuk menentukan seseorang menjadi tersangka. Tidak mudah
mencari penjelasan akan apa yang dimaksud bukti permulaan. Selama ini
yang dipakai oleh penyidik dalam menjelaskan bukti permulaan yang cukup
merupakan alat bukti untuk menduga adanya suatu tindak pidana dengan
mensyaratkan minimal satu laporan polisi ditambah dengan satu alat bukti
yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP.
Apakah hanya penyidik yang berwenang menetapkan tersangka,
sehingga mekanisme praperadilan dapat digunakan sebagai mekanisme
kontrol horizontal terhadap penyalahgunaan wewenang yang ada
terutama terkait dengan kewenangan melakukan upaya paksa. Dalam
KUHAP sendiri ternyata dalam salah satu Pasalnya yaitu Pasal 174 ayat (2)
KUHAP menentukan bahwa hakim ketua sidang karena jabatannya atau
atas permintaan penuntut umum atau terdakwa dapat memberi perintah
supaya saksi ditahan selanjutnya dituntut perkara dengan dakwaan sumpah
palsu. Meski tidak secara eksplisit menyebutkan kewenangan menetapkan
tersangka, tetapi dari rangkaian kalimat dalam pasal tersebut menunjukkan
bahwa yang dimaksud adalah adanya kewenangan dari majelis hakim untuk
menetapkan seseorang menjadi tersangka dugaan tindak pidana sumpah
134 BAB IV
palsu. Bukankah penahanan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang
yang telah sebelumnya ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam salah satu Pasal Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dalam Pasal 36
menyebutkan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penuntut umum atau
hakim berwenang. menetapkan seseorang sebagai tersangka dan dimasukkan
dalam daftar pencarian orang. Atas dasar pasal tersebut, kemudian majelis
hakim salah satu pengadilan negeri dalam putusannya menetapkan seseorang
sebagai tersangka dan dimasukkan dalam daftar pencarian orang. Penetapan
tersebut muncul dalam salah satu amar putusan. Menarik sebenarnya hanya
saja kalah menarik dalam pemberitaan dengan putusan praperadilan diatas.
Jika dalam KUHAP tidak secara eksplisit menyebutkan adanya kewenangan
hakim untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka dalam
undang-undang tersebut secara eksplisit menyebutkan adanya kewenangan
menetapkan seseorang menjadi tersangka dalam perkara kehutanan.
Dari adanya „pergeseran‟ kewenangan penetapan tersangka yang semula
„hanya‟ ada pada penyidik, kemudian ternyata baik „tidak secara eksplisit
maupun secara implisit‟ juga ada pada hakim. Tentu akan menjadi persoalan
ketika terhadap „penetapan‟ tersangka yang dilakukan oleh hakim tersebut
juga diperkenankan untuk dapat „diuji‟ oleh hakim melakukan mekanisme
praperadilan yang berlaku selama ini.
Tersangka memiliki hak terkait dengan proses hukum yang harus
dijalaninya, salah satu hak yang disebutkan adalah hak untuk segera mendapat
pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dilakukan penuntutan oleh
penuntut umum, kemudian berhak pula untuk segera diajukan perkaranya di
pengadilan dan berhak pula untuk segera diadili pengadilan. Hak ini sejalan
dengan proses peradilan yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan.
Dalam kenyataan, ternyata sejak penetapan seseorang menjadi
tersangka dugaan tindak pidana (termasuk korupsi yang ditangani oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi) dalam proses penyidikan tidak ditentukan
jangka waktunya agar dapat meningkat menjadi penuntutan. Dalam perkara
korupsi yang ditangani oleh KPK ketentuan mengenai penyelidikan yang
menyebutkan dalam waktu 7 (tujuh) hari penyelidik harus melaporkan ke KPK
tentang hasil penyelidikannya (Pasal 44 UU KPK) ataupun Penuntut Umum
dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja harus melimpahkan ke pengadilan
berkas yang diterimanya (Pasal 52 UUKPK). Ketiadaan pembatasan jangka
waktu penyidikan, atau lebih tepatnya jangka waktu penyidikan setelah
ditetapkannya tersangka, tentu berpotensi memunculkan kesewenangan
yang dapat melanggar hak asasi manusia, terlebih dalam penyidikan dapat
terjadi upaya paksa. Apakah misalnya seorang yang telah ditetapkan sebagai
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 135
tersangka kemudian berkas perkaranya tidak juga dilakukan penuntutan
dengan dilimpahkan ke pengadilan dapat mengajukan gugatan praperadilan
dengan alasan penghentian penyidikan misalnya. Pengadilan juga tidak
mudah menentukan, karena memang batasan waktu untuk itu tidak
ditentukan dalam hukum acara (baik KUHAP maupun UU KPK).
Dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, alat ukur untuk
dapat ditetapkannya seseorang sebagai tersangka adalah bukti permulaan
yang cukup, lebih lanjut dijelaskan sebagai alat bukti untuk menduga
adanya suatu tindak pidana adalah mensyaratkan minimal satu laporan
polisi ditambah dengan satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam
Pasal 184 KUHAP. Hanya untuk dapat menilai apakah penetapan tersangka
tersebut telah memenuhi bukti permulaan yang cukup tidak dapat diuji
dan mutlak kewenangan dari penyidik. Berbeda dengan tindakan penyidik
seperti penangkapan, penahanan atau upaya paksa lainnya, meski dalam
perkembangannya penetapan tersangka membawa konsekuensi yang tidak
ringan bagi penyandang status tersangka. Lembaga praperadilan yang diberi
kewenangan untuk itu ternyata tidak mengakomodir pengujian apakah
penetapan tersangka telah memenuhi bukti permulaan yang cukup tersebut.
Dalam hukum acara pidana yang berlaku saat ini, tersangka dan/
atau terdakwa memiliki hak untuk segera diperiksa oleh penyidik, segera
dimajukan ke persidangan dan segera diadili oleh pengadilan. Ternyata
dalam praktek kata segera tersebut tidak terdapat batasan jangka waktu
yang jelas, sebagaimana penahanan misalnya. Sepintas, batasan waktu
penyidikan memang akan bertentangan dengan piihan sistem peradilan
pidana yang dianut negara ini, sistem due process of law karena akan
mengarah pada sistem peradilan pidana yang dianut adalah crime control
model yang mengutamakan efisiensi, kecepatan dan asas praduga bersalah.
Akan tetapi, apabila melihat kenyataan dalam praktek, banyak seseorang
yang sudah ditetapkan menjadi tersangka tidak juga dilakukan penuntutan
dengan melimpahkanya ke pengadilan dengan alasan melengkapi berkas
penyidikan, tanpa adanya batasan waktu tentu dapat saja terjadi seorang
menjadi tersangka selamanya, bahkan seumur hidupnya menyandang
status tersangka, tentu hal tersebut justru bertentangan hak tersangka untuk
mendapat proses hukum yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan.
Dalam rancangan hukum acara pidana, ternyata permasalahan mengenai
batasan jangka waktu penyidikan mendapat perhatian. Hak tersangka untuk
diperiksa penyidik, dimajukan dan diadili di persidangan yang dalam hukum
acara saat ini hanya berupa kata segera, maka dalam rancangan hukum
acara pidana diatur lebih limitatif, segera diperiksa penyidik adalah satu
hari setelah ditangkap/ditahan. Untuk segera diserahkan penuntut umum
136 BAB IV
adalah enam puluh hari (jika ditahan) dan sembilan puluh hari (jika tidak
ditahan). Sedangkan hak untuk segera diadili di persidangan adalah empat
belas hari dan dapat diperpanjang empat belas hari.
Dalam rancangan hukum acara pidana adalah munculnya lembaga
Hakim Pemeriksaan Pendahuluan yang menggantikan lembaga Praperadilan.
Dengan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan meski tidak secara eksplisit
menyebutkan adanya kewenangan menguji kewenangan penyidik untuk
menetapkan seorang tersangka, tetapi dari beberapa kewenangan tambahan,
seperti menguji apakah keterangan terdakwa dibuat dengan melanggar hak,
ataupun perolehan alat-alat bukti yang menjadi dasar penetapan tersangka
(bukti permulaan yang cukup) bahkan lebih jauh adalah menguji apakah
penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah.
Dengan berbagai kewenangan Hakim Pemeriksaan Pendahuluan
tersebut, maka secara implisit kewenangan penetapan tersangka akan dapat
diuji. Pengujian terhadap perolehan alat bukti langsung tidak langsung
akan mempengaruhi bukti permulaan yang cukup sebagai dasar penetapan
seseorang menjadi tersangka. Adanya batasan waktu penyidikan dan Hakim
Pemeriksaan Pendahuluan dengan berbagai kewenangan yang melekat
padanya, menuntut penegak hukum (terutama penyidik) dalam melakukan
penyidikan harus mencari alat bukti tidak saja yang memenuhi syarat materiil
(terkait dengan pembuktian perkara) akan tetapi juga harus memenuhi syarat
formil (tata cara perolehannya) dalam mencari bukti permulaan yang cukup.
Penetapan tersangka menurut penulis hendaknya adalah bagian akhir dari
sebuah proses penyidikan. Dengan demikian, seharusnya proses setelah
penetapan tersangka tersebut tidak memerlukan waktu yang lama untuk dapat
ditingkatkan menjadi penuntutan dan selanjutnya untuk diadili di persidangan.
Beberapa ketentuan dalam rancangan hukum acara pidana, terutama
adanya penegasan kata segera sebagai hak tersangka untuk diperiksa oleh
penyidik, dituntut oleh penuntut umum dan diadili oleh pengadilan (baca
hakim) menjadi batasan waktu yang limitatif merupakan penguatan hak-
hak tersangka. Selain itu perluasan kewenangan lembaga praperadilan yang
menjadi Hakim Pemeriksaan Pendahuluan meski tidak secara eksplisit diberi
kewenangan menguji penetapan tersangka, ketentuan dalam rancangan
hukum acara pidana menuntut penegak hukum (terutama penyidik) dalam
melakukan penyidikan harus mencari alat bukti tidak saja yang memenuhi
syarat materiil (terkait dengan pembuktian perkara) akan tetapi juga
harus memenuhi syarat formil (tata cara perolehannya) dalam mencari
bukti permulaan yang cukup sebelum menetapkan tersangka. Kedua hal
tersebut, kiranya dapat meminimalisir diajukannya pengujian penetapan
tersangka ke pengadilan, terlebih dengan adanya perluasan kewenangan
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 137
penetapkan tersangka yang ternyata pengadilan (baca: hakim). Tentu tidak
lagi sejalan dengan maksud adanya lembaga praperadilan ketika terhadap
penetapan (tersangka oleh) hakim kemudian diajukan pengujian kepada
hakim juga. Hiruk pikuk setelah putusan praperadilan yang mengabulkan
pengujian terhadap penetapan tersangka kiranya tidak berhenti sebatas
hanya berkomentar (baik mendukung ataupun menolak) tetapi hendaknya
membawa perbaikan dalam hukum acara pidana ke depan, terutama terkait
dengan tindakan hukum penetapan tersangka.
Proses Hukum harus dilakukan dengan cara-cara yang taat hukum,
begitu cepatnya Penetapan ulang seseorang sebagai Tersangka sangat
menghawatirkan para pencari keadilan, karena pada dasarnya seseorang
baru bisa dinyatakan bersalah hanya oleh sebuah Putusan Pengadilan yang
telah berkekuatan Hukum tetap,hal ini berpotensi seseorang bisa ditetapkan
sebagai seorang tersangka berkali-kali bahkan seumur hidup mengingat
dalam UU No 8 Tahun 1981 yang saat ini masih dikakukan Uji Materi sesuai
Perkara No 123/PUU-XII/2015, tidak ada batas waktu akhir penetapan
seseorang sebagai Tersangka dan ini berpotensi menjadi seorang Tersangka
seumur hidup, harapan pada RUU KUHAP yang baru sebagai pengganti
KUHAP yang telah berumur 35 tahun dan banyak dilakukan perubahan
dari hasil Judicial Review di MK, Pada pasal 88 Ayat (1), Ayat (2) dan Ayat (3)
RUU KUHAP dinyatakan bahka berkas pemeriksaan seseorang yang telah
ditetapkan sebagai Tersangka harus diserahkan kepada Jaksa Penuntut paling
lama 60 (enam puluh) hari untuk Tersangka yang telah dilakukan penahanan
dan 90 (sembilan puluh) hari apabila tidak dilakukan penahanan, penetapan
seseorang sebagai Tersangka mutlak harus dilakukan secara cermat mengacu
bukti yang ada dan bukan atas dasar permasalahan di luar koridor penegakan
hukum, Proses Hukum harus dilakukan sesuai dengan UU No 8 Tahun 1981
dan aturan lainnya yang terkait untuk menjamin kepastian dan perlindungan
hukum baik untuk Pelapor maupun Terlapor,Prinsip Geen Starf Zonder Schuld
menyatakan “Tidak ada Tindak Pidana kalau tidak ada kesalahan”, sedangkan
kesalahan itu sendiri meliputi 2 unsur, yaitu:
1. Actus Reus atau perbuatan lahiriah tindak pidana, dan
2. Mens Rea atau sikap bathin, kemampuan bertanggung jawab dan niat
jahat.
Penetapan seseorang sebagai Tersangka beberapa kali terbukti juga
menjadikan Pengurus Kadin Jawa Timur yang sudah menjalani masa
pidana 1 tahun 2 bulan dan mengembalikan kerugian Negara sebesar Rp
5,3 Miliar berinisial DKP yang kemudian disebut sebagai Kasus Kadin Jilid 1
mengajukan Pra-Peradilan atas Sprindik kedua Kejaksaan Tinggi Jatim yang
138 BAB IV
kemudian kembali menetapkan LNMM sebagai Tersangka untuk kasus Dana
Hibah yang dipergunakan untuk membeli Saham Bank Jatim, Semoga hal
ini menjadikan masing-masing pihak menyikapi dengan cara-cara yang
elegant, jaksa tugasnya yang memeriksa dan yang dijadikan tersangka harus
membuktikan dia tidak bersalah. Tentunya ini bisa tercapai apabila semua
dilakukan secara fair berdasarkan aturan main yang ada.
KUHAP memang memberikan implikasi akan adanya batasan waktu
penetapan seseorang sebagai tersangka namun belum diatur secarra tegas.
Perlu diatur secara tegas terkait dengan aturan pembatasan waktu penyidikan
Sehingga untuk mencegah terkatung-katungnya status seseorang sebagai
tersangka dan pada fungsinya dapat menjalankan asas peradilan yang cepat
dan menghormati hak asasi tersangka.
Diperlukan adanya kebijakan dibidang sistem peradilan pidana, apabila
diajukan permohonan praperadilan oleh pihak yang merasa dirugikan
akibat dari tindakan pejabat baik penyidikan maupun penuntutan,
dimana kebijakan tersebut dapat berupa amandemen KUHAP dengan
jalan menambah ketentuan apabila dilakukan permohonan praperadilan,
seharusnya perkara pokok tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri sebelum
diputuskan permohonan praperadilan ini.
Hal ini bertujuan memberikan perlindungan hukum dan kepastian
hukum terhadap tersangka yang dikenai tindakan penangkapan dan/ atau
penahanan oleh pejabat yang berwenang dimana tindakan pejabat tersebut
akan dinilai atau dikontrol oleh lembaga Praperadilan melalui putusannya
yang mempertimbangkan keabsahan dari tindakan pejabat dimaksud.
Sehingga nantinya tidak ada putusan Praperadilan yang serta merta
dinyatakan gugur akibat mulai diperiksanya perkara pidana pokok
terhadap tersangka.
Masalah kepastian hukum menyangkut masalah bentuk dari hukum.
Bentuk hukum yang tertulis disebut hukum undang-undang dan bentuk
hukum yang tidak tertulis disebut hukum adat dan hukum kebiasaan.
Bahwa hukum undang-undang yang karena bentuknya tertulis lebih banyak
memberikan kepastian hukum. Kepastian hukum mempunyai dua segi:
1. Dapat ditentukannya hukum dalam hal-hal yang kongkrit.
2. Kepastian hukum berarti keamanan hukum artinya perlindungan bagi
para pihak terhadap kesewenang-wenangan.
Baik dalam undang-undang lama ataupun undang-undang baru,
praperadilan termasuk yang tidak dapat dimohonkan kasasi. Tetapi dalam
beberapa putusan Mahkamah Agung yang menerima permohonan kasasi
praperadilan baik dari sudut “begrip” putusan hakim maupun tujuan atau
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 139
fungsi praperadilan memang secara doktriner harus ada pembatasan upaya
hukum praperadilan. Tetapi hukum atau pranata hukum bukan sekedar
pengertian, apalagi pengertian normatif. Hukum harus diuji dengan tujuan
umum dan manfaat umum. Pembatasan upaya hukum praperadilan harus
diterobos apabila:
1. Praperadilan tersebut sedang digunakan untuk menghambat suatu
proses peradilan;
2. Praperadilan sedang digunakan untuk mencegah atau menghindari
terwujudnya rasa keadilan;
3. Praperadilan sedang dimanfaatkan oleh Majelis sebagai tempat
persembunyian keberpihakan;
Penolakan yang semata-mata karena alasan normatif dapat menurunkan
citra Mahkamah Agung yang tidak responsif terhadap tuntutan obyektif
masyarakat. Dari uraian di atas ingin ditegaskan bahwa reformasi hukum
tidak hanya berupa pembaharuan Undang-Undang atau substansi hukum
tetapi juga pembaharuan struktur hukum dan pembaharuan budaya hukum
yang termasuk di dalamnya juga pembaharuan etika hukum dan ilmu/
pendidikan hukum. Bahkan dalam situasi krisis saat ini yang terpenting justru
pembaharuan aspek immateriil dari hukum yaitu pembaharuan budaya
hukum, etika moral hukum dan ilmu pendidikan hukum. Aspek immateriil
dari pembaharuan hukum inilah yang seyogyanya lebih diutamakan
apabila sasaran utamanya adalah penegakan keadilan. Terlebih hakekat
pembaharuan/pembangunan hukum bukan terletak pada aspek formal dan
lahiriah (seperti terbentuk Undang-Undang baru, struktur kelembagaan dan
mekanisme/prosedur baru, bertambahnya bangunan dan sarana/prasarana
lainnya yang serba baru) melainkan justru terletak pada aspek immateriil ini,
yakni membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dari hukum.
Kwalitas penegakan hukum yang dituntut masyarakat saat ini bukan
sekedar kualitas formal, tetapi terutama kualitas penegakan hukum secara
materiil / substansial seperti terungkap dalam beberapa isu sentral yang
dituntut masyarakat. antara lain:
1. adanya perlindungan HAM (Hak Asasi Manusia);
2. tegaknya nilai kebenaran;
3. tidak adanya penyalahgunaan kekuasaan/kewenangan;
4. bersih dari praktik ”favoritisme” (pilih kasih), KKN dan mafia peradilan;
5. terwujudnya kekuasaan kehakiman/penegakan hukum yang merdeka,
dan tegaknya kode etik/kode profesi;
6. adanya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa;
140 BAB IV
Kwalitas substansi yang terungkap dalam berbagai isu sentral diatas,
jelas lebih menekankan pada aspek immateriil/non fisik dari pembangunan
masyarakat/nasional. Pembangunan nasional tidak hanya bertujuan
meningkatkan kwalitas masyarakat (lingkungan hidup dan kehidupan) secara
materiil, tetapi juga secara immateriil. Kehidupan makmur dan berkecukupan
secara materiil saja bukanlah jaminan untuk adanya lingkungan kehidupan
yang menyenangkan dan berkwalitas. Apabila di dalam masyarakat tidak ada
rasa aman akan perlindungan hak-hak asasinya, tidak ada jaminan perlakuan
yang adil, tidak ada saling kepercayaan dan kasih sayang antar sesama,
banyak ketidakjujuran, ketidak benaran dan penyalahgunaan kekuasaan
di berbagai bidang kehidupan (politik, sosial, ekonomi dan sebagainya)
maka kondisi masyarakat demikian jelas bukan kondisi masyarakat yang
berkwalitas menyenangkan.9
Saat ini selaku hukum positif (ius constitutum) hukum acara pidana
yang diterapkan pada kebijakan aplikasi adalah bertitik tolak kepada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Undang-undang tersebut berdasarkan
ketentuan Pasal 285 disebut sebagai ”Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana” atau dalam praktik peradilan lazim disebut dengan terminologi
KUHAP. Semenjak pengundangannya, banyak kalangan ”memuji” KUHAP
dengan menyebutkan sebagai sebuah ”karya agung” bangsa Indonesia,
tetapi ada juga yang berpendapat UU dinamai ”kitab”. Mestinya kodifikasinya
yang diberi nama kitab. Jadi mestinya ”Kodifikasi ini dinamai Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana.” Bukan Undang-Undang yang dinamai ”kitab”
tetapi kodifikasinya.10
Akan tetapi seiring dengan berjalannya waktu, terlepas dari konteks
diatas ternyata ada sebuah pemikiran baru tentang perlunya perubahan
dan pembaharuan KUHAP. Pertanyaan kritis dari aspek ini adalah apakah
memang diperlukan perubahan dan pembaharuan KUHAP, sehingga
diperlukan pembahasan tentang RUU-KUHAP untuk masa mendatang (ius
constituendum). Kemudian pertanyaan yang timbul berikut apakah dengan
adanya RUU-KUHAP, yang nantinya apabila disetujui menjadi undang-
undang selaku hukum positif, apakah dapat memberikan sebuah garansi
bahwa undang-undang yang dihasilkan tersebut akan menjadi relatif lebih
baik dari aspek substansi, redaksional dan akhirnya akan memberi pengaruh
yang besar terhadap penerapan pasal-pasal tersebut pada praktek pengadilan.
Harus diakui memang, bahwa undang-undang (hukum) relatif jauh
tertinggal dengan perkembangan masyarakat (law in action). Akan tetapi, hal
9 Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah… Ibid. Hlm. 19. 10 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, (Sinar Grafika,
Jakarta, 2000), hlm. 1.
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 141
ini bukanlah berarti an sich kita harus mengganti KUHAP dengan pembaharuan
melalui RUU-KUHAP secara menyeluruh. Penerapan KUHAP memang banyak
aspek positif dapat dipetik. Akan tetapi disisi lainnya memang harus diakui
bahwa KUHAP dalam penerapannya banyak kekurangan di sana sini. Oleh
karena itu dengan dimensi yang demikian bahwa penggantian KUHAP yang
telah berjalan dalam praktik selama kurang lebih 28 tahun, dengan RUU-
KUHAP tidak bersifat gradual dan menyeluruh, tetapi hendaknya bersifat
parsial di mana dari sisi kebijakan formulatif dan aplikasi yang terjadi dalam
praktik dianggap penerapannya kurang maksimal dan akomodatif, hendaknya
diperbaharui dan dirumuskan kembali sehingga menjadi lebih bersifat
aspiratif. Sebelum disahkan dan diberlakukan Undang-Undang RI Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, telah menjadi diskusi diantara para
pakar hukum anggota tim nasional maupun para anggota DPR RI tentang
rumusan lembaga praperadilan dengan lembaga Hakim Komisaris yang sangat
memerlukan waktu. Tetapi putusan akhir telah ditetapkan bahwa lembaga
praperadilan untuk dirumuskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981
tersebut. Dengan pertimbangan lebih transparan dan terbuka sebagai kontrol
masyarakat terhadap tindakan upaya paksa dari penyidik dan penuntut umum
terutama terhadap penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan/
penuntutan. Sedangkan lembaga Hakim Komisaris hanya bersifat sepihak
dengan tidak ada kesempatan yang terbuka kepada korban, pelapor, saksi
dan tersangka/terdakwa secara seimbang. Lembaga Hakim Komisaris bukan
merupakan lembaga kontrol masyarakat dengan putusan hakim komisaris
tidak dilakukan dalam sidang pengadilan secara umum dan terbuka tanpa
diketahui oleh masyarakat terutama korban, pelapor dan saksi.
Dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) sampai saat ini telah berlangsung selama
36 tahun, maka lembaga praperadilan sebagai sarana kontrol masyarakat/
sosial terhadap tindakan upaya paksa oleh penyidik/penuntut umum dalam
melakukan penangkapan, penahanan dan penghentian penyidikan serta
penghentian penuntutan, sebagai berikut:
1. Telah membudaya sampai saat ini baik bagi para pihak yang berperkara,
Polri selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum, hakim dan
pengadilan maupun penasehat hukum.
2. Efisiensi, karena penunjukan pada setiap ada kasus (tidak permanen) dan
hakim yang ditunjuk adalah hakim yang bertugas pada pengadilan negeri
setempat, pemerintah tidak perlu mengeluarkan gaji, sarana prasarana,
operasional cost lagi. Karena program anggaran telah dimasukkan pada
pengadilan negeri setempat dan pemerintah tidak perlu menyusun
142 BAB IV
program anggaran tersendiri yang terpisah dari program anggaran
pengadilan negeri.
3. Kecil sekali terjadi kolusi dan korupsi karena hakim yang ditunjuk
tidak permanen atau penunjukan hakim bila ada kasus untuk menjadi
hakim praperadilan.
Kelemahannya adalah:
1. Tidak diberikan kesempatan kepada korban, pelapor dan saksi bila
penyidik/penuntut umum tidak menangkap dan menahan tersangka/
terdakwa untuk mengajukan praperadilan. Karena tersangka/terdakwa
bila tidak ditangkap/ditahan sangat membahayakan keamanan,
keselamatan jiwa, tubuh, harta milik dan teror ancaman kepada korban,
pelapor, saksi beserta keluarga dalam rangka menghilangkan bukti-bukti
materiil agar tersangka/terdakwa bebas dari tuntutan hukum.
2. Dalam penghentian penyidikan/penuntutan kepada korban, pelapor
dan saksi tidak diberikan hak untuk banding, bila putusan hakim
memutuskan bahwa penghentian penyidikan/penghentian penuntutan
adalah sah, maka korban, pelapor dan saksi telah tertutup upaya hukum
untuk mencari keadilan.
3. Dalam pembuktian, hakim tidak dapat menerapkan pembuktian formal
dalam perkara-perkara pidana. Karena korban, pelapor dan saksi
tidak memiliki wewenang penyidikan dan penuntutan, maka hasil
penyidikan baik dari penyidik/penuntut yang asli berada di tangan
penyidik/penuntut umum bukan berada pada korban, pelapor dan saksi
yang diminta bukti hasil penyidikan kepada korban, pelapor dan saksi
oleh Hakim. Sedang penyidik/penuntut umum dapat dengan mudah
mendapatkan bukti formal asli yang diminta oleh hakim, karena memang
penyidik/penuntut umum yang diberikan wewenang untuk melakukan
penyidikan/penuntutan dan sangat mudah mendapatkan bukti formal
asli walaupun hasil penyidikan/penuntutan direkayasa secara sepihak
yang tidak sesuai dengan kenyataan bukti materiil. Sedangkan korban,
pelapor dan saksi tidak membuat bukti formal apalagi untuk merekayasa
bukti formal asli yang diminta oleh hakim.
Untuk itu agar hakim dalam sidang praperadilan harus menemukan dan
mencari bukti-bukti materiil hasil penyidikan yang asli, apakah penyidik telah
melakukan penyidikan sesuai dengan alat-alat bukti yang harus diterapkan
konsisten, yaitu hasil pemeriksaan keterangan korban, pelapor, saksi,
tersangka di atas berita acara, bukti-bukti yang didapat di TKP telah disita
dan dibuat berita acara. Bila masih belum apa alasannya diminta kepada
penyidik/penuntut umum. Bila alasan tidak relevan sesuai dengan alat-
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 143
alat bukti yang ditetapkan oleh undang-undang, maka ditolak. Bila hakim
memutuskan bahwa penghentian penyidikan/penuntutan tersebut adalah
sah, agar dalam putusan hakim tersebut juga harus dicantumkan klausul,
bila terdapat bukti-bukti baru, maka penyidikan/penuntutan harus dibuka
lagi untuk melakukan penyidikan/penuntutan lanjutan.
Secara filosofis bekerja dan bergeraknya aparat penegak hukum karena
adanya laporan dan keterangan korban, pelapor dan saksi mengenai terjadinya
tindak pidana bahkan lebih ekstrim lagi bahwa aparat penegak hukum
bekerja karena adanya korban, pelapor, saksi dan tersangka/terdakwa. Tetapi
mengapa aparat penegak hukum selalu menutup diri dan tidak transparan
kepada korban, pelapor dan saksi yang telah banyak mengorbankan materi,
waktu maupun psikologis dalam upaya untuk memberikan keterangan.
Dengan pengorbanan korban, pelapor dan saksi tersebut tidak diimbangi
dengan akses untuk mendapatkan turunan laporan polisi, berita acara
pemeriksaan saksi, informasi kemajuan penyidikan/penuntutan dari aparat
penegak hukum.
Dengan alasan bahwa korban, pelapor dan saksi tidak memiliki hak untuk
mendapatkan akses tersebut dalam ketentuan KUHAP, hanya tersangka/
terdakwa saja yang mendapatkan akses tersebut sesuai KUHAP. Seharusnya
aparat penegak hukum memberikan akses tersebut kepada korban, pelapor
dan saksi untuk lebih berani dalam memberikan informasi dan bukti-bukti
tentang terjadinya tindak pidana serta memberitahukan identitas tersangka/
terdakwa yang melakukan tindak pidana, sesuai dengan normatif dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan
korban. Aparat penegak hukum harus memberikan perlindungan hukum
dan hak mendapatkan informasi baik lisan maupun tertulis mengenai
perkembangan yang ditangani11. Untuk itu korban, pelapor dan saksi harus
diberikan akses yang lebih luas untuk mendapatkan semua tuntutan
laporan polisi dan berita acara pemeriksaan serta mendapatkan informasi
perkembangan penyidikan baik diminta maupun tidak diminta, baik tertulis
maupun tidak tertulis yang diatur secara normatif dalam Rancangan KUHAP
dalam rangka korban, pelapor dan saksi mendapatkan jaminan kepastian
hukum dan keadilan.
Berdasarkan hasil penelitian kepustakaan terdapat dua model peran
korban, pelapor dan saksi dengan keuntungan dan kerugian sebagai berikut:12
1. Model pertama dikenal dengan model prosedural (victim prosedural)
a. Keuntungan-keuntungan yaitu:
11 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban 12 H.R. Abdussalam, Tanggapan Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum
Acara Pidana, (Jakarta:Penerbit Restu Agung, 2008), hlm. 35.
144 BAB IV
1) Hak-hak korban, pelapor dan saksi secara aktif ikut dalam proses
penegak hukum.
2) Informasi-informasi perkembangan proses penegakan hukum
selalu didapat oleh korban, pelapor dan saksi.
3) Keamanan korban, pelapor dan saksi selalu diberikan oleh
aparat penegak hukum. Karena jangan sampai korban, pelapor
dan saksi beserta keluarga diteror, diancam maupun dibeli oleh
pihak tersangka/terdakwa yang selalu ingin bebas dari tuntutan
hukum. Bahkan pejabat aparat penegak hukum sendiri dibeli
oleh tersangka/terdakwa untuk melakukan teror atau ancaman
kepada korban, pelapor dan saksi.
b. Kerugian-kerugiannya yaitu:
1) Menimbulkan konflik antara kepentingan umum dengan
kepentingan individu, korban, pelapor dan saksi.
2) Menambah beban administrasi peradilan.
3) Kwalitas pendidikan korban, pelapor dan saksi tidak mendukung
dalam proses peradilan pidana.
2. Model Kedua dikenal dengan Victim Service:
a. Keuntungan-keuntungan yaitu:
1) Sebagai sarana pengembalian dalam kerangka persfektif
komunal.
2) Korban, pelapor dan saksi dapat dijamin kepentingan karena
dilindungi oleh aparat penegak hukum.
3) Hemat dalam pembiayaan.
b. Kerugian-kerugiannya yaitu:
1) Kewajiban korban, pelapor dan saksi dibebankan kepada aparat
penegak hukum.
2) Terjadinya penyalahgunaan dari pejabat aparat penegak hukum
untuk kepentingan pribadi dengan mengorbankan kepentingan
korban, pelapor dan saksi.
Korban (victim) adalah orang-orang yang baik secara individual maupun
kolektif telah menderita kerugian, termasuk kerugian fisik atau mental,
emosional, ekonomi atau gangguan substansial terhadap hakhaknya yang
fundamental, melalui perbuatan atau omisi yang melanggar hukum pidana
di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.13
Dengan adanya dua model peran korban pelapor dan saksi serta
keuntungan dan kerugian dalam proses penegakan hukum maka peran
13 Muladi, Ham dalam persfektif Sistem Peradilan Pidana, dalam Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan Masyarakat, (Bandung:Refika Aditama, 2007), hlm. 108.
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 145
korban, pelapor dan saksi yang tepat untuk diatur dalam normatif rancangan
KUHAP harus dirumuskan dengan substansi kombinasi dua model tersebut
diatas yaitu dengan memberikan akses kepada korban, pelapor dan saksi
dalam rangka proses penegakan hukum.
Dengan adanya kelemahan-kelemahan dimaksud sudah barang tentu
diperlukan pembaharuan mengenai hal-hal dimaksud, solusinya pada pasal-
pasal praperadilan yang terdapat dalam Pasal 77 sampai dengan 83 KUHAP,
substansi pasal-pasal tersebut harus diamandemen dengan memberikan
penjelasan secara kongkret dan rinci untuk korban, pelapor, saksi dan
tersangka secara seimbang.14
A. Pengaturan Lembaga Pra Peradilan Dalam Ius Constituendum
Rumusan substansi lembaga hakim komisaris sebagai pengganti lembaga
praperadilan yang dirumuskan oleh tim nasional yang dibentuk oleh
Departemen Hukum dan Ham R.I tahun 2007 dalam Rancangan Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) yang dicantumkan dalam
Pasal 73 sampai dengan Pasal 81 adalah sebagai berikut:
Pasal 73 Rancangan KUHAP menyebutkan:
1. Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan,
penyitaan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan
yang tidak berdasarkan asas oportunitas;
b. Penahanan atas permintaan penuntut umum;
c. Ganti kerugian dan / atau rehabilitasi bagi seorang yang ditangkap
atau ditahan secara tidak sah;
d. Dapat atau tidaknya dilakukan pemeriksaan pada tahap penyidikan
dan penuntutan tanpa didampingi oleh penasihat hukum;
e. Menangguhkan penahanan; dan
f. Suatu perkara layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan
ke pengadilan.
2. Hakim Komisaris memberi putusan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d berdasarkan permohonan
tersangka atau korban, serta huruf e dan huruf f berdasarkan permintaan
penuntut umum.
3. Hakim Komisaris memberikan penetapan penangkapan, penahanan,
penyitaan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan
yang tidak berdasarkan atas asas oportunitas, atas perkara sendiri,
setelah menerima tembusan surat penangkapan, penahanan, penyitaan,
14 H.R. Abdussalam, 2008, Op. Cit, hlm. 28
146 BAB IV
penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan yang tidak
berdasarkan atas asas oportunitas.
4. Hakim Komisaris dapat memerintahkan pemeriksaan atas orang saksi
yang mungkin tidak dapat hadir pada saat persidangan, berdasarkan
permohonan tersangka, terdakwa atau penuntut umum.
5. Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan dihadapan
tersangka atau terdakwa dan penuntut umum agar pemeriksaan sidang
dapat dilakukan.
Pasal 80 RKUHAP menyebutkan:
1. Hakim komisaris berkantor di atau dekat rumah tahanan negara,
2. Hakim komisaris menerapkan hakim tunggal, memeriksa, menetapkan
atau memutus karena jabatannya seorang diri,
3. Dalam menjalankan tugasnya hakim komisaris dibantu oleh seorang
panitera beberapa orang staf sekretaris.
Bahwa setelah mendapat tanggapan dari berbagai pihak selanjutnya
terdapat perubahan dalam ketentuan Pasal tersebut diatasyaitu:
Pasal 73 menyatakan sebagai berikut:
Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai
dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
a. Tidak ditangkap dan ditahan tersangka/terdakwa yang mengancam dan
membahayakan keamanan korban, pelapor dan saksi.
b. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan
atau penghentian penuntutan.
c. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang berperkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Pasal 74 menyebutkan:
a. Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 adalah praperadilan.
b. Praperadilan dipimpin oleh Hakim tunggal yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Negeri dan dibantu oleh seorang Panitera.
Dengan substansi Pasal 80 KUHAP tersebut diatas, bila lembaga hakim
komisaris disahkan dan diberlakukan akan menimbulkan kerugian-kerugian
sebagai berikut:
1. Menjadi beban yang sangat berat bagi pemerintah RI untuk:
a. Penyediaan pembiayaan baik untuk gaji operasional cost maupun
pendidikan dan pelatihan;
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 147
b. Penyediaan sarana prasarana perkantoran, perumahan dinas dan
transportasi.
2. Semakin permanen terbentuk kolusi dan korupsi yang sulit untuk
disentuh oleh hukum dengan mengedepankan presumption of innoncent,
indepedensi dan impartial judge, dengan mengorbankan hak korban,
pelapor dan saksi.
3. Tidak mengutamakan kepentingan hak korban, pelapor, atau saksi yang
lebih dominan kepentingan aparat penegak hukum.
4. Tidak efektif dalam memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan
kepada para pihak berperkara.
Kritik selalu dilontarkan sehubungan dengan terlalu banyaknya
instrumen HAM yang memfokuskan pada perlindungan pelaku tindak
pidana, sedangkan perhatian terhadap korban yang seharusnya dilakukan
atas dasar belas kasian dan hormat atas martabat korban (compassion
and respect for their dignity) seolah-olah dilupakan, atau paling tidak
kurang diperhatikan.
Dengan adanya perubahan Rancangan KUHAP setelah mendapat
tanggapan dari berbagai pihak, juga terdapat perubahan mengenai
keberadaan Hakim Komisaris yang diganti dengan mengaktifkan kembali
lembaga praperedilan dengan berbagai perubahan ataupun perluasan
wewenangnya. Disamping perluasan wewenang tersebut hal yang lebih
penting adanya perlindungan hak asasi terhadap tersangka/terdakwa dan
korban, pelapor, maupun saksi secara seimbang.
Dengan kerugian-kerugian tersebut diharapkan negara Indonesia tidak
perlu meniru bentuk lembaga hakim komisaris. Yang paling utama adalah
moralitas manusia yang ditunjuk sebagai pejabat dalam sistem peradilan
pidana yang telah ditetapkan. Untuk itu lembaga praperadilan tetap
diterapkan dalam rancangan undang-undang tentang hukum acara pidana
dengan rumusan lebih kongkretkan dan lebih mengutamakan kepentingan
tersangka/terdakwa dan korban, pelapor, serta secara seimbang, agar jangan
sampai hak korban, pelapor dan saksi dikorbankan.
Dari uraian tersebut diatas berdasarkan hasil penelitian maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa untuk masa mendatang diperlukan suatu
lembaga yang dapat melakukan upaya kontrol terhadap tindakan aparat
penegak hukum khususnya dalam tahap pemeriksaan pendahuluan. Upaya
kontrol tersebut lebih menekankan pada asas keseimbangan perlindungan
hak asasi manusia antara terdakwa dengan korban. Untuk menciptakan
lembaga dimaksud perlu diadakan pembaharuan/kebijakan di bidang hukum
pidana yang meliputi:
148 BAB IV
1. Pembaharuan dari segi substansi dapat dilihat dari kebijakan formulasi
lembaga praperadilan dalam hal ini menjadi Hakim Komisaris15 yang
memperluas ataupun menambah kewenangan lembaga tersebut
dibandingkan sebelumnya berupa kewenangan menetapkan atau
memutuskan:
a. Dapat tidaknya dilakukan pemeriksaan pada tahap penyidikan dan
penuntutan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum;
b. Menangguhkan penahanan; dan
c. Suatu perkara layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan
ke Pengadilan;
2. Pembaharuan dari segi struktur dapat dilihat dengan mengganti lembaga
Praperadilan menjadi Hakim Komisaris yang berdiri sendiri dan terpisah
dari Kantor Pengadilan Negeri;
3. Pembaharuan dari segi budaya hukum dapat berupa memberikan
pemahaman ataupun pendidikan hukum kepada masyarakat (pencari
keadilan) mengenai peranan praperadilan sebagai sarana kontrol dari
aparat penegak hukum (Penyidik maupun Penuntut Umum) untuk
menjamin perlindungan hukum. Praperadilan dimasa mendatang
dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia. Sejalan dengan perkembangan
zaman, KUHAP yang telah diberlakukan selama kurang lebih 36 tahun
ternyata masih ada kekurangan-kekurangan dalam penerapannya,
khususnya dalam hal lembaga praperadilan yang masih mengabaikan
hak-hak asasi dari korban, pelapor dan saksi. Dengan kekurangan itu
diperlukan pembaharuan terhadap lembaga dimaksud. Pembaharuan
tidak hanya dilihat dari segi substansi ataupun struktur, namun yang
terpenting pembaharuan dari segi budaya/kultural mendapat perhatian
yang sangat serius, mengingat pembaharuan dari segi kultural akan
membangun budaya dan nilai-nilai kejiwaan dari hukum.
Pembaharuan dari segi substansi dapat dilihat dari kebijakan formulasi
lembaga praperadilan dalam hal ini menjadi Hakim Komisaris yang
memperluas ataupun menambah kewenangan lembaga tersebut dibandingkan
sebelumnya berupa kewenangan menetapkan atau memutuskan:
1. Dapat tidaknya dilakukan pemeriksaan pada tahap penyidikan dan
penuntutan tanpa didampingi oleh Penasihat Hukum;
2. Menangguhkan penahanan; dan
3. Suatu perkara layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke
Pengadilan;
15 http://www.dilmilbanjarmasin.go.id/index.php?content=mod_berita&id=54
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 149
Pembaharuan dari segi struktur dapat dilihat dengan mengganti lembaga
Praperadilan menjadi Hakim Komisaris yang berdiri sendiri dan terpisah
dari Kantor Pengadilan Negeri; Pembaharuan dari segi budaya hukum dapat
berupa memberikan pemahaman ataupun pendidikan hukum kepada
masyarakat (pencari keadilan) mengenai peranan praperadilan sebagai sarana
kontrol dari aparat penegak hukum (Penyidik maupun Penuntut Umum)
untuk menjamin perlindungan hukum.
Ide mengganti lembaga praperadilan dengan Hakim Komisaris
ternyata menjadi pertimbangan terhadap masing-masing kelebihan dan
kekurangannya. Namun dengan pertimbangan perlindungan hak asasi
manusia ternyata lembaga praperadilan yang diharapkan untuk masa
mendatang adalah praperadilan yang lebih menekankan ide keseimbangan
antara perlindungan hak asasi dari tersangka dengan hak asasi korban,
pelapor serta saksi. Bahwa peranan praperadilan sangat penting dalam
melakukan upaya kontrol terhadap upaya paksa yang dilakukan oleh aparat
penegak hukum terhadap tersangka, namun yang lebih penting lagi etika,
moral dari aparat tersebut secara bertanggung jawab dalam melaksanakan
wewenangnya yang diberikan oleh undang-undang sehingga apa yang
telah diberikan oleh undang-undang tidak menimbulkan permasalahan
hukum lain terhadap tersangka khususnya dalam hal perlindungan hak-
hak dari tersangka. Untuk menghindari terjadinya putusan praperadilan
yang menyatakan gugurnya permohonan praperadilan, disarankan kepada
aparat penegak hukum (penyidik atau penuntut umum) agar tidak secara
tergesa-gesa melakukan pelimpahan perkara ke pengadilan. Sehingga
pemeriksaan permohonan praperadilan dapat diakhiri dengan putusan yang
mempertimbangkan obyek praperadilan secara tuntas.
Pelimpahan perkara merupakan hak dari penuntut umum akan
tetapi diharapkan dengan hak dimaksud tidak menimbulkan terabainya
perlindungan hak asasi dari pemohon praperadilan. Pembaharuan hukum
merupakan salah satu jalan untuk melengkapi kekurangan-kekurangan
undang-undang yang telah ada. Namun walaupun demikian pembaharuan
hukum dari segi substansi maupun struktur dengan jalan mengganti yang
telah ada bukan merupakan jalan terbaik, yang lebih penting adalah
pembaharuan dari segi budaya hukum, etika moral hukum dan ilmu
pendidikan hukum. Pembaharuan ini berlaku juga terhadap lembaga
praperadilan yang diharapkan untuk masa mendatang.
B. Pengaturan Penyidikan dalam Ius Constituendum
Hukum dibuat bukan untuk membebani, menyusahkan, memperdaya,
menginferiorismekan, menestapakan dan meresahkan masyarakat, baik dari
150 BAB IV
aspek fisik, material maupun psikologis sehingga (KUHAP) ditujukan guna
melindungi masyarakat atas kesewenang-wenangan penguasa, artinya bahwa
prosedur untuk penanganan tindak pidana didalam KUHAP ini ditujukan untuk
melindungi masyarakat dari kesewenang-wenangan penguasa.
Salah satu tahap dalam menangani perkara hukum pidana material
itu adalah penyidikan. pejabat yang sudah didaulat menanganinya adalah
penyidik. Pada “wilayah hukum” ini penyidik dituntut kompentensinya
untuk melaksanakan penyidikan dengan memperhatikan HAM, dalam hal
ini adalah hak tersangka, yang oleh KUHAP diakui sebagai sosok manusia
yang belum “dihargai” bersalah.
Kedudukan seseorang yang terlibat perkara hukum dengan masih
berstatus tersangka berarti harus diperlakukan sebagai pribadi yang bebas
dari stigmatisasi menjadi pelaku atas suatu tindak kriminal. Tersangka
meruakan subjek hukum yang menguji tingkat dan kualitas profesionalisme
penegak hukum (penyidik) dalam menjalankan tugasnya. Human rights dari
tersangka “haram” dilecehkan oleh praktik pemberdayaan yang bersumber
dari kekuasaan dan modus dramatisasi perkara.
Sayangnya realitas empiris dalam “daerah kerja” penidikan belum sejalan
dengan idealisme yang diformulasikan oleh KUHAP. Masih seringkali kita
dengar dan baca dalam mass media mengenai praktik pelecehan terhadap
idealisme KUHAP, artinya proses penyidikan belum dipandu secara mutlak
normatif oleh aturan penyidikan yang benar dan adil.
Seperti kasus-kasus yang sudah dibahas penulis pada bab sebelumnya,
status tersangka korupsi yang terkatung-katung setelah putusan praperadilan
yang menyatakan sahnya sebagai tersangka. Tidak jelas kapan berkas tersangka
dilimpahkan ke pengadilan agar secepatnya diadili. Hal ini berimplikasi
kepada tergerusnya hak asasi manusia tersangka seperti stigma negatif dari
masyarakat bahkan keluarganya pun ikut tercitra negatif, pencegahan ke luar
negeri, kehilangan hak menjadi pejabat publik dan lain sebagainya.
Dalam Pasal 8 ayat (3) b KUHAP menyatakan bahwa. “dalam hal
penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik menyerahkan tanggung
jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut umum”. Jo pasal
108, 109, 110. Kapan dimulai, berapa lama dan selesainya proses penyidikan
oleh polisi hal ini tidak diterangkan secara sepesifik mengenai masa
waktunya, selesainya penyidikan hanya berpedoman bahwa seluruh
bukti materiil sudah dipenuhi maka penyidikan pun dianggap selesai
dan kemudian dilimpahkan kepada penentut umum. Bahwa hal ini
jelas-jelas KUHAP tidak mempunyai roh bahwa pelaksanaan penegakan
hukum bersifat cepat dan menjamin hak-hak seseorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana.
Pengaturan Masa yang Akan Datang Terkait Kewenangan Lembaga Praperadilan 151
C. Konsep Baru Pengaturan Batas Waktu Penyidikan KPK Dalam Lembaga
Praperadilan
Sebagaimana diuraikan diatas bahwa dalam RKUHAP, ketentuan
baru terkait Praperadilan belum memberi wewenang terhadap Lembaga
Pra Peradilan dalam memutuskan batas waktu penyidikan namun diatur
tersendiri di bab penyidikan, bahwa penyidikan dibatasi. Sah atau tidaknya
Penghentian penyidikan merupakan salah satu objek pemeriksaan dari
praperadilan yang Permintaan pengajuannya sebatas hanya oleh penyidik,
penuntut umum atau pihak ketiga dalam hal ini adalah saksi korban/pelapor
saja. Tidak ada ruang bagi tersangka untuk meminta atau mengajukan
penghentian penyidikan jika proses penyidikan yang berlarut-larut apalagi
sampai 5 tahun ke atas dan ini merugikan hak tersangka.
Untuk pembaharuan hukum kedepan, penulis mengusulkan bahwa
tersangka berhak mengajukan praperadilan terkait penghentian penyidikan
apabila proses penyidikannya berlarut-larut. Hal ini berpijak dari batas waktu
penyidikan sebaiknya dilakukan oleh Hakim Praperadilan karena lembaga
pra peradilan lah pasca putusan MK dapat membatalkan penetapan status
tersangka seseorang. Hal ini dalam rangka lebih mendayagunakan lembaga
praperadilan sebagai lembaga kontrol dalam penegakan hukum. Dalam KUHAP
saat ini berakhirnya status tersangka yakni dengan penghentian penyidikan.
Adapun konsep baru dari penulis adalah sebagai berikut:
Merevisi KUHAP dengan menambahkan hak Tersangka untuk
mengajukan permohonan praperadilan untuk menetapkan menghentikan
penyidikan, baik itu untuk perkara pidana umum maupun yang khusus
(misalnya Tindak Pidana Korupsi). Rumusan pasalnya adalah sebagai berikut:
Pasal x
Seseorang yang ditetapkan penyidik sebagai Tersangka dalam suatu tindak
pidana tidak segera untuk diadili, berhak mengajukan permohonan pra
peradilan untuk meminta penetapan penghentian penyidikan.
Pasal xx
Tersangka yang meminta penetapan penghentian penyidikan
sebagaimana dimaksud dalam pasal x hanya untuk perkara minimal 5
Tahun sejak ditetapkannya Tersangka.
152 BAB IV
BAB V
KESIMPULAN
Makna Lembaga Praperadilan dalam hukum acara pidana bahwa
pada hakekatnya bukan hanya untuk mengadili terkait dengan perbuatan
masyarakat yang merugikan, tetapi juga kesewenang-wenangan aparatur
pemerintah, penegak hukum dan lainnya. Praperadilan memiliki peran
penting dalam melakukan pengawasan dan kontrol terkait proses penyidikan
yang dilakukan oleh penyidik. Konsep dari praperadilan setelah putusan MK
No. 21/PUU-XII/2014 yang konstruksi awalnya hanya berwenang memeriksa
dan memutus sah atau tidaknya suatu penangkapan dan penahanan,
sah atau tidaknya penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan,
serta permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi, oleh putusan a quo
kewenangannya diperluas dengan menambahkan pengujian mengenai
sah tidaknya penggeledahan, sah tidaknya penyitaan, serta sah tidaknya
penetapan tersangka. Dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut
praperadilan memiliki peran baru dalam memberikan perlindungan kepada
masyarakat terlebih yang diberikan status tersangka.
Secara normatif belum ada pengaturan mengenai batas waktu (limitasi)
penyidikan KUHAP, namun hanya mengatur batas waktu penahanan.
Sementara Status tersangka hanya akan berhenti atau telah selesai apabila
adanya penghentian penyidikan dengan dikeluarkannya Surat Perintah
Penghentian Penyidikan atau berkas dinyatakan lengkap dan kemudian
dilimpahkan ke penuntut umum untuk kemudian diadili di persidangan.
Penyidikan yang tanpa ada batas waktu ini mengakibatkan ketidakjelasan
sampai kapan orang tersebut harus menyandang status tersangka, sehinga
menimbulkan kerugian bagi tersangka.Implikasi kerugian yang ditimbulkan
adalah dari perspektif Hak asasi Manusia, keadaan tersebut mencederai
prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia, terutama aspek kepastian hukum dan
peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
154 BAB V
Selama ini gugurnya status tersangka hanya diberikan lewat penetapan
dari penyidik yaitu Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) dan putusan
pengadilan praperadilan terkait dengan penetapan tersangka. Hapusnya
status tersangka hanya bisa dilakukan karena kewenangan dari penyidik
atau putusan pengadilan. Ketidak pastian ini merupakan kerugian bagi
setiap orang yang telah ditetapkan menjadi tersangka dan kasusnya tidak
cepat untuk di proses. Belum adanya pengaturan terkait pembatasan waktu
penyidikan melanggar prinsip Hak Asasi Manusia sehingga diperlukan suatu
produk hukum yang harapan pada RUU KUHAP yang baru sebagai pengganti
UU No 8 Tahun 1981 yang telah berumur 35 tahun. Penulis mengusulkan
bahwa Tersangka berhak mengajukan praperadilan terkait penghentian
penyidikan apabila proses penyidikannya berlarut-larut. Hal ini berpijak
dari batas waktu penyidikan sebaiknya dilakukan oleh Hakim Praperadilan
karena lembaga pra peradilan lah pasca putusan MK No. 21/PUU-XII/2014
dapat membatalkan penetapan status Tersangka seseorang. Hal ini dalam
rangka lebih mendayagunakan lembaga praperadilan sebagai lembaga kontrol
dalam penegakan hukum. Dalam KUHAP saat ini berakhirnya status tersangka
yakni dengan penghentian penyidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Revisi, Sinar Grafika,
Jakarta, 2000
---------- 1985, Pengantar Hukum Acara Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia
---------- 2014, Asas-Asas Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta).
Andi Hamzah dan RM Surachman, 2015, Pre-Trial Justice Discretionary Justice dalam KUHAP Berbagai Negara, (Jakarta: Sinar Grafika).
Abdul Manan, “Hak Asasi Manusia dalam Universal Declaration of Human Rights (Studi Perbandingan HAM dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan Islam)”, Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XX No, 240. September 2005
Anthon F, Susanto, 2011, Penelitian Hukum Transformatif-Partisipatoris Fondasi Penelitian Kolaboratif dan Aplikasi Mix Method dalam Penelitian Hukum, (Bandung: Logoz Publishing)
Andi Sofyan dan Abd. Asis. 2014. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta: Kencana.
Bambang Poernomo, 1982, Seri Hukum Acara Pidana Pandangan terhadap Asas-Asas Umum Hukum Acara Pidana, Yogyakarta: Liberty
Barda Nawawi Arief, 2007, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: BP Universitas Diponegoro
----------- 2013, Kapita Selekta Hukum Pidana, Cet, 3. (Bandung: Citra Aditya Bakti), hlm. 249.
Baharuddin Lopa, 1996, Al Qur‟an dan Hak Asasi Manusia, (Jakarta: PT, Dana Bakti Prima Yasa)
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, (Jakarta: Ind Hill,Co)
156
---------- 2006, Konvensi Ketatanegaraan, (Yogyakarta: FH UI Press)
Bernard L. Tanya, 2010, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Yogyakarta: Genta Publishing)
Buckley, 1967, Sociology and Modern System Theory, Englewood Cliffs, N.J. Prentice Hall
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, (Bandung: Nuansa dan Nusamedia)
Chairul Huda, 2015, Dari ”Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” Menuju Kepada “Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan”: Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Kencana).
Djoko Prakoso, 1986, Peranan Psikologi dalam Pemeriksaan Tersangka Pada Tahap Penyidikan, (Jakarta: Ghalia Indonesia).
Eddy O,S, Hiariej, 2014, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya
Faried Ali, et all¸ 2012, Studi Sistem Hukum Indonesia Untuk Kompetensi Bidang Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan dalam Payung Pancasila, (Bandung: Refika Aditama)
Hendar Soetarna, 2011, Hukum Pembuktian dalam Acara Pidana, (Bandung: Alumni
H.R. Abdussalam, Tanggapan Atas Rancangan Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana, Penerbit Restu Agung, Jakarta, 2008
Hermann Mannheim, 1946, Criminal Justice and Social Reconstruction, (New York: Oxford University Press)
Indriyanto Seno Adji, 2015, Pra Peradilan dan KUHAP (Catatan Mendatang), Jakarta: Diadit Media
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Jakarta:PT,Rajagrafindo, 2013, hal 285), mengutip pada Micheael T,Molan, Constitutional law:machinery of government, 4th edition, (london: old Bailey Press,2003)
John Locke, 1993, Teo Treaties of Government, New Edition, (London: Everyman)
Johny Ibrahim,teori dan metodologi Hukum Normatif, malang.2007,Bayu Media Publising
Lilik Mulyadi, Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHAP Tahun 2008 dari Perspektif Seorang Hakim, Varia Peradilan, Tahun XXIV, No. 279, Pebruari 2009
-------- , Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan dan Permasalahannya), Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007
--------- 2002, Hukum Acara Pidana (Suatu Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan), Bandung: PT Citra Aditya Bakti
Daftar Pustaka 157
---------, 2007, Hukum Acara Pidana Suatu Tinjauan Khusus Terhadap: Surat Dakwaan, Eksepsi, dan Putusan Peradilan, Bandung: Citra Aditya Bakti.
---------, 2007. Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan permasalahannya. Bandung: Citra Aditya Bakti
Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, 2016, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti)
Lalu Husni, 2009, Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta:Gramedia
L,J, Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita)
Mardjono Reksodiputro, 1993, Menuju Pada Suatu Kebajikan Kriminal dalam HAM dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Pusat Pelayanan Hukum dan Keadilan)
Muladi, Ham dalam persfektif Sistem Peradilan Pidana, dalam Hak AsasiManusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Persfektif Hukum dan Masyarakat,Refika Aditama, Bandung, 2007
M. Nasihan, (Trans), H.L.A. Hart, 2011, Konsep Hukum, (Jakarta: Cynthia Press), hlm. 9.
Bruggink, 1999. Terjemahan Rechsrelecties, grondbegrippen uit de rechtstheorie, (Citra Aditya Bakti)
M, Khozim, (Trans), H.L.A. Hart, 2013, Konsep Hukum, (Bandung: Nusa Media)
Marwan Effendy, 2014, Teori Hukum Perspektif Perkembangan, Perbandingan dan Harmonisasi Hukum Pidana, Jakarta: Gaung Persada Press Group
M. Yahya Harahap, 2015, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika)
------------, 2009. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Munir Fuady, 2006, Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata), (Bandung: Citra Aditya Bakti)
Nanda Agung Dewantara, 1987, Masalah Penangkapan, Penahanan, Penggeledahan, Penyitaan, dan Pemeriksaan Surat di dalam Proses Acara Pidana, Jakarta: Penerbit Aksara Persada Indonesia
P,A,F, Lamintang, 2013, Dasar-Dasar untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di indonesia, Cet, 5. (Bandung: Citra Aditya Bakti)
Philipus M. Hadjon, 2005, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, (Yogyakarta, Gadjahmada University Pers)
------------, 1997, Tentang Wewenang, Yuridika, Nomor 5&6 Tahun XII, September-Desember.
Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, Dalam Jurnal Konstitusi, Volume
158
6 Nomor 1 (April 2009)
R. Soeparmono, Praperadilan dan Penggabungan Perkara Gugatan Ganti Kerugian dalam KUHAP, Penerbit Mandar Maju, 2003.
Romli Atmasasmita, 1983, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung: Binacipta
------------, 1996, Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bandung: Binacipta
------------, 1982, Strategi Pembinaan Pelanggaran Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: Alumni
Ruslan Renggong, 2014, Hukum Acara Pidana, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana)
-----------, 2014, Hukum Acara Pidana Memahami Perlindungan HAM dalam Proses Penahanan di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Kencana)
Raisul Muttaqien, (Trans), Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar ilmu Hukum Normatif, (Bandung: Nusamedia & Nuansa)
Rhona K, M, Smith, et.al, Hukum Hak Asasi Manusia, (Yogyakarta: PUSHAM-UII)
Ramdhon Naning, 1983, Citra dan Citra Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia)
Sudibyo Triatmojo, 1982, Pelaksanaan Penahanan dan Kemungkinan Yang Ada dalam KUHAP, Bandung: Alumni
Sudikno Mertokusumo,2014, Teori Hukum Edisi Revisi, (Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka)
Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni: Bandung, hlm. 113 (lihat juga, Hukum dan Hukum Pidana, 1981
Sudikno Mertokusumo, 2007, Mengenal Hukum (Sebuah Pengantar), Edisi Kelima, (Yogyakarta: Liberty)
Scott Davidson, 1994, Hak Asasi Manusia, Sejarah, Teori dan Praktek dalam Pergaulan Internasional, (Jakarta: Grafiti)
Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2003
Todung Mulya Lubis, 1993, In Search of Human Rights Legal-Political Dilemmas of Indonnesia’s New Order 1966-1990, Jakarta
Theo Huijabers, 1995, Filsafat Hukum dalam lintasan Sejarah, Cet, 8. (Yogyakarta: Kanisius)
T,O,Ihromi, 1984, Antropologi dan Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).
Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Trans), John Rawls, 2011, Teori Keadilan Dasar-Dasar Filsafat Politik Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset).
Daftar Pustaka 159
Wirjono Prodjodikoro, 2000. Perbuatan Melanggar Hukum Dipandang Dari Sudut Hukum Perdata, (Bandung: Mandar Maju).
Waluyadi, 1999, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana (Sebuah Catatan Khusus), (Bandung: Mandar Maju).
Artikel I,K, Rai Setiabudhi, Terkait Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Disampaikan dalam acara dengar pendapat dengan DPR RI Terkait dengan RUU KUHP dan KUHAP di Kantor Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Provinsi Bali, 20 Juni 2013
Miko Susanto Ginting. 05.13.2016. PSHK. Kala status Tersangka Bisa Seumur Hidup
Websites http://www.negarahukum.com/hukum/tersangka-korupsi-segeralah-
limpahkan.html
http://www.damang.web.id/2011/07/implementasi-hak-hak-tersangka- sebagai.html
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16774/ketentuan-ham-dalam- uud-dikunci-oleh-pasal-28j. Diakses tanggal 01/03/2017
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15621/praktik-penerapan- kuhap-dan-perlindungan-ham
http://law-firm-websites-templates.seotoaster.com/media/all/original/book.jpg
https://swarakepri.com/dilimpahkan-ke-kejaksaan-korban-tewas-tetap- tersangka/. Diakses tanggal 01/03/2017
BIOGRAFI PENUILIS
Anang Shophan Tornado, dia lahir di kota Banjarmasin pada tanggal 2
Oktober tahun 1979, anak kedua dari pasangan bapak Anang Muchyar dan Ibu
Astiannor tumbuh besar di kota seribu sungai, Banjarmasin, kalimantan Selatan.
Pendidikan SD ia tempuh di SD Negeri 5 Banjarmasin lulus tahun 1992,
kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 5 Banjarmasin lulus pada tahun
1995, melengkapi perjalanan pendidikannya di SMAN 6 Banjarmasin lulus
tahun 1998. menyelesaikan S1 jurusan Ilmu Hukum Pada Universitas Lambung
Mangkurat Banjarmasin pada tahun 2004 ,kemudian menyelesaikan S2
Magister Hukum di PMIH Univeristas Lambung Mangkurat pada tahun 2010
,S2 Magister Kenotariatan di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2012 dan S3
Program Doktoral Ilmu Hukum (PDIH) di Universitas Brawijaya Malang lulus
pada tahun 2018.
Pada jam kerja beliau bisa dijumpai di Fakultas Hukum Universitas
Lambung Mangkurang Banjarmasin (ULM) yang beralamatkan di Jl. Brigjen
H. Hasan Basri No.3, RW.02, Pangeran, Banjarmasin Utara, Kota Banjarmasin,
Kalimantan Selatan 70124. Sebagai sekretaris Akademik Regular B sekaligus
mengajar beberapa mata pelajaran, selain itu beliau juga menjabat sebagai
sekretaris di Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) di Universitas
Lambung Mangkurang (ULM) sampai saat ini.
Untuk komunikasi lebih lanjut bisa via telepon, SMS atau WA di 0811504788
dan akun facebook: Anang Shophan Tornado serta via email anangtornado@
gmail.com. Untuk karya tulisnya yang lain seperti; makalah, opini, artikel, karya
tulis populer dan lainnya bisa diakses website beliau: www.anangtornado.com