i TUGAS KHUSUS “PENYAKIT KUSTA” A. Apotek Kimia Farma 143, anggota: 1. Lina Hidayanti Gulo (Universitas Pancasila) 2. Roslan Simbolon (Universitas Pancasila) 3. Abdul Azis (ISTN) B. Apotek Kimia Farma 110, anggota: 1. Hikmat (ISTN) 2. Meisalina (ISTN) 3. Ade Oktavianingsih (ISTN) C. Apotek Kimia Farma 147, anggota: 1. Marisa Juliani (Universitas Pancasila) 2. Putri Aprillia Warmy (Universitas Pancasila) PROGRAM KERJA PROFESI APOTEKER JAKARTA JUNI 2016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
i
TUGAS KHUSUS
“PENYAKIT KUSTA”
A. Apotek Kimia Farma 143, anggota:
1. Lina Hidayanti Gulo (Universitas Pancasila)
2. Roslan Simbolon (Universitas Pancasila)
3. Abdul Azis (ISTN)
B. Apotek Kimia Farma 110, anggota:
1. Hikmat (ISTN)
2. Meisalina (ISTN)
3. Ade Oktavianingsih (ISTN)
C. Apotek Kimia Farma 147, anggota:
1. Marisa Juliani (Universitas Pancasila)
2. Putri Aprillia Warmy (Universitas Pancasila)
PROGRAM KERJA PROFESI APOTEKER
JAKARTA
JUNI 2016
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat
dan karunia-Nya kepada penulis sehingga TUGAS KHUSUS ini dapat terselesaikan. Shalawat
dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya, sahabat-
sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Tugas khusus “Penyakit Kusta” disusun untuk membahas mengenai kusta, jenis-jenis
kusta, terapi untuk masing-masing jenis kusta dan menganalisis resep pada terapi kusta. Penulis
berharap agar pembahasan “Penyakit Kusta” ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa PKPA
khusunya dan bagi praktisi medis pada umumnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini, masih terdapat banyak
kekurangan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritikan yang membangun untuk
perkembangan yang lebih baik.
Jakarta, Juni 2016
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman
Cover..................................................................................................................... i
Kata Pengantar.................................................................................................... ii
Daftar isi............................................................................................................... iii
Bab I Pendahuluan.............................................................................................. 1
A. Latar Belakang.............................................................................................. 1
B. Tujuan........................................................................................................... 2
C. Manfaat......................................................................................................... 2
Bab II Uraian Tentang Penyakit........................................................................ 3
A. Definisi.......................................................................................................... 3
B. Klasifikasi..................................................................................................... 3
C. Etiologi.......................................................................................................... 5
D. Faktor Resiko................................................................................................ 5
E. Patofisiologi.................................................................................................. 8
F. Patogenesis.................................................................................................... 9
G. Manifestasi Klinik......................................................................................... 10
H. Komplikasi.................................................................................................... 10
I. Epidemologi.................................................................................................. 11
J. Diagnosis....................................................................................................... 11
K. Tanda dan Gejala Kusta................................................................................ 12
L. Penanganan (Farmakologi & Non Farmakologi).......................................... 14
Bab III Tinjauan Kasus...................................................................................... 21
A. Skrining Resep.............................................................................................. 22
B. Spesialite Obat.............................................................................................. 23
C. Alur Pelayanan Resep................................................................................... 27
Bab IV Pembahasan............................................................................................ 28
Bab V Kesimpulan dan Saran............................................................................ 31
Daftar Pustaka..................................................................................................... 32
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien. Kegiatan tersebut
mencakup: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD
(Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki) dan rekomendasi perubahan atau alternatif
terapi.
Keberadaan apoteker memiliki peran yang penting dalam mencegah munculnya
masalah terkait obat. Apoteker sebagai bagian dari tim pelayanan kesehatan memiliki
peran penting dalam PTO. Pengetahuan penunjang dalam melakukan PTO adalah
patofisiologi penyakit; farmakoterapi; serta interpretasi hasil pemeriksaan fisik,
laboratorium dan diagnostik. Selain itu, diperlukan keterampilan berkomunikasi,
kemampuan membina hubungan interpersonal, dan menganalisis masalah. Proses PTO
merupakan proses yang komprehensif mulai dari seleksi pasien, pengumpulan data
pasien, identifikasi masalah terkait obat, rekomendasi terapi, rencana pemantauan
sampai dengan tindak lanjut. Proses tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan
sampai tujuan terapi tercapai.
Pada kasus ini dilakukan Pemantauan Terapi obat (PTO) terhadap pasien yang
menerima obat dengan resiko tinggi seperti obat yang bersifat hepatotoksik pada
pengobatan penyakit kusta merupakan prioritas pasien yang perlu dilakukan PTO. Pada
kasus ini dilakukan kegiatan PTO terhadap pasien An. I yang menderita penyakit kusta.
Kegiatan PTO terhadap pasien An. I diharapkan dapat mencegah munculnya masalah
terkait obat atau DRP (Drug Related Problem) dan tercapainya kerasionalan
pengobatan yang optimal.
2
B. Tujuan
Memastikan terapi pengobatan yang aman, efektif dan rasional bagi pasien melalui
kegiatan: pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, ROTD
(Reaksi Obat Yang Tidak Dikehendaki) dan rekomendasi perubahan atau alternatif
terapi.
C. Manfaat
Sebagai salah satu sarana untuk menjalankan penerapan fungsi Apoteker dalam
pelayanan kefarmasian di Apotek.
3
BAB II
URAIAN TENTANG PENYAKIT
A. Definisi
Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium leprae) yang bersifat intraselular obligat. Saraf tepi/perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagian atas, kemudian dapat ke
organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusa. Atas dasar definisi tersebut, maka
untuk mendiagnosis kusta dicari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf
tepi dan kelainan yang tampak pada kulit.
B. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit kusta berdasarkan spektrum klinik, guna menentukan
penatalaksanaan dan penentuan prediksi terjadinya kecacatan, dapat digunakan
klasifikasi sebagai berikut :
1. Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi yang paling sederhana yang ditentukan
atas dasar kriteria klinik, bakteriologik, dan histopatologik. Ini sesuai dengan
rekomendasi Internasional Leprosy Association di Madrid tahun 1953. Klasifikasi
Madrid tersebut memutuskan bahwa penyakit kusta dibagi atas:
a. tipe indeterminate
b. tipe tuberkuloid
c. tipe lepromatosa
d. tipe borderline (dimorphous).
2. Klasifikasi Ridley & Jopling
Klasifikasi penyakit kusta ini lebih dikaitkan dengan spektrum klinik kusta yang
sangat lebar rentangnya. Bisa dari kekebalan paling rendah seorang penderita
sampai pada kekebalan yang tinggi. Maka klasifikasi ini didasarkan gejala klinik,
bakteriologik, histopatologik, dan imunologik. Menurut klasifikasi ini terdapat 5
(lima) tipe klinik penyakit kusta yang erat hubungannya dengan sistem kekebalan
yaitu tipe polat tuberkuloid (TT), tipe borderline tuberkuloid (BT), tipe mid
borderline Lepromatous (BL) dan tipe polar lepromatous (LL).
4
Konsep ini dapat digunakan untuk menentukan keadaan imunitas yang stabil
dan keadaan imunitas yang labil, dimana pada tipe polar tuberkuloid dan polar
lepromatosa merupakan keadaan imunitas yang stabil sedangkan tipe borderline
lepromatosa, mide lepromatosa dan bordeline tuberkuloid merupakan keadaan
imunitas yang lebih.
3. Klasifikasi WHO
Sejak program eliminasi kusta dilaksanakan secara merata di seluruh dunia oleh
WHO dengan memperkenalkan MDT, maka klasifikasi kusta perlu ada standarisasi
dengan lebih disederhanakan, oleh karena itu WHO menyepakati untuk membagi
menjadi 2 (dua) tipe yaitu:
a. Tipe Pause - Basiler (PB)
Tipe PB ini sesuai dengan tipe tuberkuloid pada klasifikasi Madrid atau tipe TT
dan BT pada klasifikasi Ridley & Jopling dengan syarat BTA (-)
b. Tipe Multi – Basiler (MB)
Tipe MB ini sesuai dengan tipe lepromatosa atau borderline pada klasifikasi
Madrid atau tipe BB, BL dan LL pada klasifikasi Ridley & Jopling
Bila salah satu dari tanda utama MB ditemukan, maka pasien diklasifikan sebagai
kusta MB, begitupun sebaliknya. Tanda lain yang dapat dipertimbangkan dalam
penentuan klasifikasi penyakit kusta adalah sebagai berikut:
5
C. Etiologi
Penyakit kusta disebabkan oleh M.leprae yang ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen
tahun 1873 di Norwegia. Basil ini bersifat tahan asam, bentuk pleomorf lurus, batang
ramping dan sisanya berbentuk paralel dengan kedua ujung-ujungnya bulat dengan
ukuran panjang 1-8 um dan diameter 0,25-0,3 um. Basil ini menyerupai kuman
berbentuk batang yang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora. Dengan
pewarnaan Ziehl-Nielsen basil yang hidup dapat berbentuk batang yang utuh, berwarna
merah terang, dengan ujung bulat (solid), sedang basil yang mati bentuknya terpecah-
pecah (fragmented) atau granular. Basil ini hidup dalam sel terutama jaringan yang
bersuhu rendah dan tidak dapat dikultur dalam media buatan (in vitro).
D. Faktor Resiko
1. Sosial Ekonomi
WHO (2003) menyebutkan 90% penderita kusta di dunia menyerang kelompok
dengan sosial ekonomi lemah atau miskin. Hubungan antara kemiskinan dengan
penyakit kusta bersifat timbal balik. Kusta merupakan penyebab kemiskinan dan
karena miskin maka manusia menderita kusta. Kondisi sosial ekonomi itu sendiri,
mungkin tidak hanya berhubungan secara langsung, namun dapat merupakan
penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk, serta perumahan
yang tidak sehat, hygiene sanitasi yang kurang dan akses terhadap pelayanan
kesehatan juga menurun kemampuannya.
Tingkat pekerjaan dan jenis pekerjaan sangat mempengaruhi terjadinya kasus
kusta atau keberhasilan pengobatan, status sosial ekonomi keluarga diukur dari
jenis, keadaan rumah, kepadatan penghuni per kamar, status pekerjaan dan harta
6
kepemilikan. Masyarakat dengan sosial ekonomi yang rendah sering mengalami
kesulitan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik, sehingga penyakit kusta
menjadi ancaman bagi mereka. Penyebab terbesar menurunnya kasus kusta adalah
meningkatnya tingkat sosial ekonomi keluarga tetapi faktor lain akibat sosial
ekonomi adalah pengaruh lingkungan rumah secara fisik baik pada, pencahayaan,
ventilasi, kepadatan rumah, dan pemenuhan kebutuhan gizi dapat terpenuhi.
Faktor sosial ekonomi ini merupakan salah satu karakteristik tentang faktor
orang, perlu mendapat perhatian tersendiri. Status sosial ekonomi sangat erat
hubungannya dengan pekerjaan dan jenis pekerjaan serta besarnya pendapatan
keluarga juga hubungan dengan lokasi tempat tinggal, kebiasaan hidup keluarga,
termasuk kebiasaan makan, jenis rekreasi keluarga, dan lain sebagainya. Status
sosial ekonomi erat pula hubungannya dengan faktor psikologi individu dan
keluarga dalam masyarakat. Status ekonomi sangat sulit dibatasi, hubungan dengan
kesehatan juga kurang nyata, yang jelas bahwa kemiskinan erat hubungannya
dengan penyakit hanya sulit dianalisa managemen sebab, dan yang mana akibat.
Status ekonomi menentukan kwalitas makanan, hunian, kepadatan gizi, taraf
pendidikan, tersediannya fasilitas air bersih, sanitasi kesehatan lainnya, besar kecil
keluarga, dan tehnologi.
2. Umur
Kebanyakan peneliti melaporkan distribusi penyakit kusta menurut umur
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit yang berdasarkan insiden, karena pada saat
timbulnya penyakit sangat sulit diketahui. Dengan kata lain kejadian penyakit
sering terkait umur pada saat ditemukan dari pada saat timbulnya penyakit. Kusta
diketahui terjadi pada semua umur mulai bayi sampai umur tua (3 minggu sampai
lebih dari 70 tahun), namun yang terbanyak adalah pada umur muda dan produktif.
Berdasarkan penelitian di RSK Sitanala Tangerang, dinyatakan bahwa dari 1153
responden diperoleh hasil bahwa kecacatan lebih banyak terjadi pada usia prosuktif
19-55 tahun (76,1%), menyatakan bahwa terjadi kecacatan sekunder pada usia
dibawah 30 tahun. Hal ini disebabkan oleh bahaya yang terpapar pada saat
beraktifitas.
3. Jenis kelamin
Penyakit kusta dapat mengenai dari semua jenis kelamin, baik laki-laki mupun
perempuan. Sebagian besar Negara di dunia kecuali dibeberapa Negara di Afrika
menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terserang kusta dari pada wanita.
7
Rendahnya kejadian kusta pada wanita disebabkan karena beberapa faktor antara
lain faktor lingkungan dan faktor biologis.
Tingkat kecacatan pada laki-laki lebih besar daripada wanita. Hal ini berkaitan
dengan pekerjaan, kebiasaan keluar rumah, dan merokok. Penelitian yang
dilakukan di Nepal 67% wanita mengalami kecacatan sekunder.
4. Pendidikan
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar
dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki semangat spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan akhlak mulia keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang
terdiri dari pendidikan dasar (SD/SMP/Sederajat), pendidikan menengah
(SMA/Sederajat) serta pendidikan tinggi (Diploma/sarjana/magister/spesialis) (UU
No 20 tahun 2003 Tentang Sistem pendidikan Nasional). Status pendidikan
berkaitan denga tindakan pencarian pengobatan penderita kusta. Rendahnya tingkat
pendidikan dapat mengakibatkan lambatnya pencarian pengobatan dan diagnosis
penyakit, hal ini dapat mengakibatkan kecacatan pada penderita kusta semakin
parah.
Telah diperoleh hasil bahwa kelompok tidak terpelajar (64%) lebih banyak
mengalami kecacatan sekunder. Hal ini disebabkan pada kelompok terpelajar lebih
mengerti dan mengikuti instruksi tenaga kesehatan.
5. Pekerjaan
Sebagian besar penderita kusta di dunia berada di negara yang sedang berkembang
termasuk Indonesia, sebagaian besar penduduk Indonesia mencari penghasilan
dengan bercocok tanam atau bertani. Hal ini sangat berpengaruh terhadap terjadinya
cacat pada kusta. Penelitian yang dilakukan di Nepal oleh Ghimire, membagi
responden dalam dua kategori, yaitu mereka yang bekerja secara “manual worker”
dan “non manual worker”. Diperoleh hasil, 64% pada “manual worker”
mengalami kecacatan sekunder, hal ini disebabkan karena Nepal adalah Negara
pertanian, banyak yang bekerja sebagai petani. Selain itu karena pasien-pasien kusta
lebih suka menyendiri sehingga kegiatan sehari-hari juga dilakukan sendiri.
8
E. Patofisiologi
Mekanisme penularan kusta yang tepat belum diketahui. Beberapa hipotesis telah
dikemukakan seperti adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Terdapat bukti
bahwa tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman Mycobacterium leprae menderita
kusta, Iklim (cuaca panas dan lembab) diet, status gizi, status sosial ekonomi dan
genetik Juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan pengamatan pada kelompok
penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe
kusta yang berbeda pada setiap individu. Faktor ketidak cukupan gizi juga diduga
merupakan faktor penyebab.
Penyakit kusta dipercaya bahwa penularannya disebabkan oleh kontak antara
orang yang terinfeksi dengan orang sehat. Dalam penelitian terhadap insiden, tingkat
infeksi untuk kontak lepra lepramatosa beragam dari 6.2 per 1000 per tahun di Cebu,
Philipina hingga 55.8 per 1000 per tahun di India Selatan.
Dua pintu keluar dari Mycrobacterium leprae dari tubuh manusia diperkirakan
adalah kulit dan mukosa hidung. Telah dibuktikan bahwa kasus lepramatosa
menunjukan adanya sejumlah organisme di dermis kulit. Bagaimana masih belum dapat
dibuktikan bahwa organism tersebut dapat berpindah ke permukaan kulit. Walaupun
telah ditemukan bakteri tahan asam di epidermis. Walaupun terdapat laporan bahwa
ditemukan bakteri tahan asam di epitel Deskuamosa di kulit, Weddel et al melaporkan
bahwa mereka tidak menemukan bakteri tahan asam di epidermis. Dalam penelitian
terbaru Job etal menemukan adanya sejumlah Mycobacterium leprae yang besar
dilapisan keratin superficial kulit di penderita kusta lepromatosa. Hal ini menbentuk
sebuah pendugaan bahwa organisme tersebut dapat keluar melalui kelenjar keringat.
Pentingnya mukosa hidung dalam penularan Mycobacterium leprae telah
ditemukan oleh Schaffer pada tahun 1898. Jumlah bakteri dari lesi mukosa hidung pada
kusta lepromatosa, menurut Shepard, antara 10.000 hingga 10.000.000 bakteri. Pedley
melaporkan bahwa sebagian besar pasien lepromatosa memperlihatkan adanya bakteri
di secret hidung penderita. Devey dan Rees mengindikasi bahwa secret hidung dari
pasien lepromatosa dapat memproduksi 10.000.000 organisme per hari.
Pintu masuk dari Mycobacterium leprae ke tubuh manusia masih menjadi tanda
tanya. Saat ini diperkirakan kulit dan pernafasan atas menjadi gerbang masuknya
bakteri. Masa inkubasi kusta belum dapat dikemukakan. beberapa peneliti berusaha
mengukur masa inkubasi kusta, masa inkubasi kusta minimum dilaporkan beberapa
minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi. Masa inkubasi maksimum
9
dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporkan berdasarkan pengamatan pada veteran
perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah
non endemik. Secara umum telah ditetapkan masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah
3-5 tahun.
F. Patogenesis
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai timbulnya gejala
dan tanda adalah sangat lama dan bahkan bertahun-tahun, masa inkubasinya bisa 3-20
tahun. Sering kali penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya.
Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi, namun banyak
orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi penderita kusta.
Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang terletak di
perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin yang dekat dengan dengan kulit
dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae mempunyai kapsul yang dibentuk
dari protein 21 KD, yang mampu berikatan dengan reseptor yang dipunyai sel schwann
yaitu laminin α-2 G receptor sejenis α-dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut
merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri merupakan sejenis
fagosit yang bisa menangkap antigen seperti M. leprae, tetapi tidak dapat
menghancurkannya karena sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu
berikatan dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di sel
schwann.
Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil kusta
dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan proteksi melalui 2 (dua)
aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit
dan membersihkan dari semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated
Immunity sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi
antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae tetapi tidak
mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag untuk menghasilkan enzim
dan juices agar proses pencernaan dan pelumatan berhasil.
Keterkaitan humoral immunity dan Cell Mediated Immunity dalam membunuh
basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran klinik penyakit kusta
seperti tipe Tuberkuloid-Tuberkuloid (TT), tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe
Borgerline-Borderline (BB), tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous-
Lepromatous (LL).
10
G. Manifestasi Klinik
Gambaran klinik yang jelas berupa kekakuan tangan dan kaki, clawing pada jari kaki,
pemendekan jari, bahkan mudah terjadi perdarahan dan adanya makula dengan
hilangnya rasa tusukan. Keadaan tersebut merupakan penderita yang sudah lanjut dan
sudah dipastikan lepra tanpa pelaksanaan diagnostik yang cukup.
Bentuk keluhan bervariasi mulai dari keluhan anestesi di kulit, anesthesi pada
tangan dan kaki. Kelainan pada kulit bisa berupa bercak kulit yaitu macula anaesthetica,
penebalan kulit (papula atau plakat), nodula maupun ulcer. Pada saraf tepi biasanya
timbul penebalan saraf yang disertai peradangan (neuritis).
Umumnya ditemukan dalam 2 (dua) bentuk Pause basiler (PB) dan Multi basiler
(MB) dan menurut WHO untuk menentukan kusta perlu adanya 4 (empat) kriteria yaitu:
1. Ditemukannya lesi kulit yang khas.
2. Adanya gangguan sensasi kulit.
3. Penebalan saraf tepi.
4. BTA positif dari sediaan sayatan kulit.
H. Komplikasi
Kusta dengan komplikasi ialah reaksi kusta yang dapat menyebabkan kerusakan saraf
dan gejala sisa akibat kerusakan saraf tersebut; kehilangan sensibilitas dan kehilangan
kekuatan otot, dengan akibat ulserasi dan deformitas. Terdapat 2 tipe reaksi kusta
dengan komplikasi yang dapat dikenali, yaitu:
1. Reaksi Reversal (RR) Simptom RR dapat berupa lesi lama yang lebih udem dan
eritematosa, dapat muncul lesi baru, pembesaran saraf tepi disertai nyeri dengan
peningkatan gangguan fungsi, dan kadang-kadang disertai pembengkakan akral.
2. Reaksi Eritema Nodosum Leprosum (ENL) mempunyai bentuk karakteristik,
berupa nodul-nodul eritematosa yang terasa sakit, dan timbul mendadak. Pasien
umumnya merasa sakit. Sarafpun dapat nyeri. Kadang-kadang terjadi arthritis,
limfadenitis, orkitis, iridosiklitis dan glaukoma yang dapat diikuti dengan
kebutaan. Keterlibatan berbagai organ tersebut dapat terjadi terpisah atau secara
bersamaan pada kusta dengan komplikasi.
11
I. Epidemiologi
Cara penularan kuman kusta sampai saat ini masih bersifat misterius, yang diketahui
hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh penderita, yakni selaput lendir hidung.
Penularan penyakit kusta tergantung dari 2 (hal):
1. Jumlah dan keganasan Mycobacterium Leprae
2. Daya tahan tubuh penderita
Di samping itu faktor yang berperan dalam hal penularan adalah:
1. Usia
Anak-anak lebih peka di banding dengan orang dewasa perbandingan 3:2
2. Jenis kelamin
Laki-laki lebih banyak di jangkiti oleh penyakit kusta dibanding wanita (karena
kontak lebih banyak pada laki-laki)
3. Ras
Bangsa-bangsa di Asia dan Afrika lebih banyak dijangkiti oleh penyakit kusta
dibanding dengan Eropa
4. Keadaan sosial ekonomi
Umumnya negara-negara endemis kusta adalah negara-negara yang tingkat sosial
ekonominya rendah
5. Lingkungan
Fisik, biologis, sosial yang kurang sehat. Masa tunasnya (inkubasi) penyakit kusta
sangat lama. Umumnya berkisar antara 2 sampai 5 tahun, tetapi bisa mencapai
puluhan tahun.
J. Diagnosis
Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu diacri tanda-tanda utama tau tanda
kardinal (cardinal signs), yaitu :
1. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anestesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi. (neuritis
perifer) kronis. Gangguan fungsi saraf bisa berupa :
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paraselis)
otot
12
c. Gangguan fungsi otonom : Kulit kering dan retak-retak
3. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat suatu dari tanda-
tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis
dengan pemerikasaan klinis. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu
dirujuk kepada wasor atau ahli kusta. Jika masih ragu orang tersebut dianggap
sebagai penderita yang dicurigai (suspek)
K. Tanda dan Gejala Kusta
Menurut (Dep Kes RI. Dirjen PP& PL, 2007). Tanda-tanda utama atau Cardinal Sign
penyakit kusta, yaitu:
1. Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf. Gangguan fungsi
saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis perifer).
Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa:
a. Gangguan fungsi sensori : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris: kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)
c. Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak.
3. Adanya bakteri tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (BTA positif)
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta apabila di temukan satu atau lebih dari
tanda-tanda utama diatas. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat didiagnosis
dengan pemeriksaan klinis. Namun demikian pada penderita yang meragukan dapat
dilakukan pemeriksaan kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua
perlu dirujuk kepada wasor atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap
sebagai penderita yang dicurigai.
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek):
1. Tanda-tanda pada kulit
a. Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh
b. Bercak yang tidak gatal dan Kulit mengkilap
c. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
d. Lepuh tidak nyeri.
13
2. Tanda-tanda pada saraf
a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka
b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka
c. Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh.
3. Derajat Cacat Kusta
Menurut Djuanda, A, 2007 membagi cacat kusta menjadi 2 tingkat kecacatan, yaitu:
a. Cacat pada tangan dan kaki
1) Tingkat 0: tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau
deformitas yang terlihat.
2) Tingkat 1: ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat.
3) Tingkat 2: terdapat kerusakan atau deformitas.
b. Cacat pada mata
1) Tingkat 0: tidak ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan
penglihatan.
2) Tingkat 1: ada gangguan pada mata akibat kusta; tidak ada gangguan yang
berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari
pada jarak 6 meter).
3) Tingkat 2: gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak dapat
menghitung jari pada jarak 6 meter).
4. Jenis-jenis cacat kusta
Jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:
a. Cacat primer
Adalah kelompok cacat yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit,
terutama kerusakan akibat respon jaringan terhadap mycobacterium leprae. Yang
termasuk kedalam cacat primer adalah :
1. Cacat pada fungsi saraf
a) Fungsi saraf sensorik misalnya : anestesi
b) Fungsi saraf motorik misalnya : daw hand, wist drop, fot drop, clow tes,
lagoptalmus
c) Fungsi saraf otonom dapat menyebabkan kulit menjadi kering dan
elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.
2. Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan menyebabkan kulit
berkerut dan berlipat-lipat
14
3. Cacat pada jaringan lain akibat infiltrasi kuman kusta dapat terjadi pada
tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.
b. Cacat sekunder
1. Cacat ini terjadi akibat cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf
sensorik, motorik, dan otonom
2. Kelumpuhan motorik menyebabkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan
berjalan dan mudah terjadinya luka
3. Lagoptalmus menyebabkan kornea menjadi kering dan memudahkan
terjadinya kreatitis
4. Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya
elastisitas akibat kulit mudah retak dan terjadi infeksi skunder.
K. Penanganan (Farmakologi & Non Farmakologi)
a. Farmakologi
Kemoterapi kusta dimulai tahun 1949 dengan DDS sebagai obat tunggal (monoterpi
DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10
tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDS adalah terajadinya
resistensi, timbulnya kuman persisters serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun
1964 ditemukan resistensi terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO
merekomendasikan pengobatan kusta dengan multi drug therapy (MDT) untuk tipe PB
maupun MB.
15
1. Regimen Pengobatan MDT
Multi drug therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah
satunya rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan
obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik.
Berikut ini merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT :
1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT
2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibahwah ini
a) Relaps
b) Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
c) Pindahan (pindah masuk)
d) Ganti klasifikasi/tipe
Regimen pengobatan MDT di indonesia sesuai dengan yang direkomendasikan
oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pasien Pausibasiler (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
- 2 kapsul rifampisisn @300 mg (600mg)
- 1 tablet dapson /DDS 100 mg
Pengobatan harian : Hari ke 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 5 blister yang diminum selama 6-9
bulan.
2) Pasien multibasiler (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (Obat diminum di depan petugas )
- 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)
- 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
- 1 tablet lampren 50 mg
- 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-
18 bulan.
16
3) Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan : Hari pertama (oabat diminum di depan petugas)\
- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 1 tablet dapson /DDS 50 mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
4) Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan : Hari pertama (Obat diminum di depan petugas)
- 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
- 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28
- 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
- 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-
18 bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :
- Rifampisin : 10-15 mg/kgBB
- Dapson : 1-2 mg/kgBB
- Lampren : 1 mg/kgBB
Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta digunkan tabel
sebagai berikut :
17
18
2. Uraian Obat
MDT tersedia dalam bentuk bliser. Ada empat macam blister untuk PB dan MB
dewasa serta PB dan MB anak
a) DDS (dapson)
- Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone
- Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg
- Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta