BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Hansen atau
Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai penyakit kusta
atau lepra adalah sebuah penyakit infeksi kronis yang sebelumnya,
diketahui hanya disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae,
hingga ditemukan bakteri Mycobacterium lepromatosis oleh
Universitas Texas pada tahun 2008, yang menyebabkan endemik sejenis
kusta di Meksiko dan Karibia, yang dikenal lebih khusus dengan
sebutan diffuse lepromatous leprosy. Sedangkan bakteri
Mycobacterium leprae ditemukan oleh seorang ilmuwan Norwegia
bernama Gerhard Henrik Armauer Hansen pada tahun 1873 sebagai
patogen yang menyebabkan penyakit yang telah lama dikenal sebagai
lepra. Saat ini penyakit lepra lebih disebut sebagai penyakit
Hansen, bukan hanya untuk menghargai jerih payah penemunya,
melainkan juga karena kata leprosy dan leper mempunyai konotasi
yang begitu negatif, sehingga penamaan yang netral lebih diterapkan
untuk mengurangi stigma sosial yang tak seharusnya diderita oleh
pasien kusta. Konon, kusta telah menyerang manusia sejak 300 SM,
dan telah dikenal oleh peradaban Tiongkok kuna, Mesir kuna, dan
India. Pada 1995, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan
terdapat dua hingga tiga juta jiwa yang cacat permanen karena
kusta. Walaupun pengisolasian atau pemisahan penderita dengan
masyarakat dirasakan kurang perlu dan tidak etis, beberapa kelompok
penderita masih dapat ditemukan di berbagai belahan dunia, seperti
India dan Vietnam. Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta
ditemukan pada akir 1940an dengan diperkenalkannya dapson dan
derivatnya. Bagaimanapun juga, bakteri penyebab lepra secara
bertahap menjadi kebal terhadap dapson dan menjadi kian menyebar.
Hal ini terjadi hingga ditemukannya pengobatan multiobat pada awal
1980-an dan penyakit ini pun mampu ditangani kembali. Permasalahan
penyakit kusta ini bila dikaji secara mendalam merupakan
permasalahan yang sangat kompleks dan merupakan permasalahan
kemanusiaan
1
seutuhnya. Masalah yang dihadapi pada penderita bukan hanya dari
medis saja tetapi juga adanya masalah psikososial sebagai akibat
penyakitnya. Dalam keadaan ini warga masyarakat berupaya
menghindari penderita. Sebagai akibat dari masalah-masalah tersebut
akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap kehidupan bangsa dan
negara, karena masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan
penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna karya dan ada
kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau gangguan di
lingkungan masyarakat. Program pemberantasan penyakit menular
bertujuan untuk mencegah terjadinya penyakit, menurunkan angka
kesakitan dan angka kematian serta mencegah akibat buruk lebih
lanjut sehingga memungkinkan tidak lagi menjadi masalah kesehatan
masyarakat. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang
masih merupakan masalah nasional kesehatan masyarakat, dimana
beberapa daerah di Indonesia prevalens rate masih tinggi dan
permasalahan yang ditimbulkan sangat komplek. Masalah yang dimaksud
bukan saja dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial
ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan sosial. 1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian,etiologi dan patofisiologi dari kusta ? 2.
Bagaimana epidemiologi dari kusta ? 3. Bagaimana pengkajian
keperawatan pada pasien kusta ? 1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui
pengertian,etiologi dan patofisiologi dari kusta. 2. Untuk
mengetahui epidemiologi dari kusta. 3. Untuk mengetahui pengkajian
keperawatan pada pasien kusta.
BAB II TINJAUAN TEORI
2
2.1
Pengertian Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni
Kushta yang berarti
kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut
juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kusta yaitu
Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1872 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen (Zulkifli, 2003). Penyakit Hansen adalah
sebuah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae. Penyakit ini adalah tipe penyakit
granulomatosa pada saraf tepi dan mukosa dari saluran pernapasan
atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa diamati dari luar.
Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif, menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata. Tidak
seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit
tzaraath yang digambarkan dan sering disamakan dengan kusta.
Umumnya penyakit kusta terdapat di negara yang sedang berkembang,
dan sebagian besar penderitanya adalah dari golongan ekonomi lemah.
Penyakit ini sering kali menimbulkan masalah yang sangat kompleks.
Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas
sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan ketahanan
nasional. Penyakit kusta bukan penyakit keturunan atau kutukan
Tuhan. Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah
yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk
ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua
dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia
di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di
Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia
diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang
India yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan
berdagang. Penyakit kusta adalah penyakit menular yang menahun yang
menyerang saraf perifer, kulit dan jaringan tubuh lainnya. Lepra :
Morbus hansen, Hamseniasis Reaksi : Episode akut yang terjadi pada
penderita kusta yang masih aktif disebabkan suatu interaksi antara
bagian-bagian dari kuman kusta yang telah mati dengan zat yang
telah tertimbun di dalam darah penderita dan cairan penderita.
3
Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang
susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa
(mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo
endotelial, mata,otot, tulang, dan testis. Penyakit Kusta adalah
penyakit infeksi yang berlangsung dalam waktu lama, penyebab
penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini dapat
menyebabkan gangguan kulit, saraf tepi, dan jaringan lain. Adapun
penularan penyakit kusta selama ini hanya diketahui melalui kontak
langsung dengan penderita penyakit kusta terutama yang sudah
menahun. Penyakit kusta terkenal sebagai penyakit yang paling
ditakuti karena dapat menyebabkan pemendekan jari-jari atau cacat
tubuh sehingga menimbulkan masalah sosial, psikologis dan ekonomis.
Penderita penyakit kusta bukan menderita karena penyakitnya saja,
tetapi juga karena masyarakatnya. Meski penyakit kusta tidak
menyebabkan kematian, namun penderitanya bisa mati karena sanksi
sosial berupa tindakan diskrimanasi pengucilan dari masyarakat.
Indonesia menduduki peringkat ketiga dunia sebagai penyumbang
penderita kusta terbanyak. Bahaya penyakit kusta adalah menyebabkan
cacat permanen pada anggota tubuh. 2.2 Etiologi Penyebab kusta
adalah kuman Mycobacterium leprae. Dimana
mikrobacterium ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membran sel lilin yang merupakan
ciri dari spesies Mycobacterium, berukuran panjang 1 8 micro, lebar
0,2 0,5 micro biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,
hidup dalam sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif,
tidak mudah diwarnai namun jika diwarnai akan tahan terhadap
dekolorisasi oleh asam atau alkohol sehingga oleh karena itu
dinamakan sebagai basil tahan asam. Selain banyak membentuk
safrifit, terdapat juga golongan organisme patogen (misalnya
Mycrobacterium Tuberculosis, Mycrobakterium Leprae) yang
menyebabkan penyakit menahun dengan menimbulkan lesi jenis
granuloma infeksion. Mycobacterium leprae belum dapat dikultur pada
laboratorium.
4
(Gambar 2.2 Mycobacterium leprae) Mekanisme penularan yang tepat
belum diketahui. Beberapa hipotesis telah dikemukakan seperti
adanya kontak dekat dan penularan dari udara. Dan diduga faktor
genetika juga ikut berperan, setelah melalui penelitian dan
pengamatan pada kelompok penyakit kusta di keluarga tertentu. Belum
diketahui pula mengapa dapat terjadi tipe kusta yang berbeda pada
setiap individu. Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat
dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya.
Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu,
berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi
maksimum dilaporkan selama 30 tahun. Hal ini dilaporan berdasarkan
pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah
endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Secara umum,
telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah
3-5 tahun.
2.3
Epidemiologi
5
Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan
jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak atau hubungan
dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam
penularan kusta. Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini
masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar
kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung.
Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah :
1. Sekret hidung, basil yang berasal dari sekret hidung penderita
yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2-7 x 24 jam (2-7
hari) 2. Kontak kulit dengan kulit. Syaratnya dibawah umur 25 tahun
karena anak-anak lebih peka daripada orang dewasa, keduanya harus
ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak
yang lama dan berulang. 3. Kontak dekat dan penularan dari udara
(droplet). 4. Faktor tidak cukup gizi. 5. Kontak antara orang yang
terinfeksi dan orang yang sehat dalam jangka waktu yang lama. 6.
Lewat luka. 7. Saluran pernafasan atau inhalasi. 8. Air susu ibu
(kuman kusta dapat ditemukan di kulit, folikel rambut, kelenjar
keringat dan air susu).
6
Timbulnya penyakit kusta bagi seseorang tidak mudah dan tidak
perlu ditakuti tergantung dari beberapa faktor antara lain : 1)
Faktor Kuman Kusta Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman
kusta yang masih utuh (solid) bentuknya, lebih besar kemungkinan
menyebabkan penularan daripada kuman yang tidak utuh lagi.
Mycobacterium leprae bersifat tahan asam, berbentuk batang dengan
panjang 1-8 mikron dan lebar 0,20,5 mikron, biasanya berkelompok
dan ada yang tersebar satu-satu, hidup dalam sel terutama jaringan
yang bersuhu dingin. Kuman kusta dapat hidup di luar tubuh manusia
antara 1 sampai 9 hari tergantung suhu atau cuaca dan diketahui
hanya kuman kusta yang utuh (solid) saja dapat menimbulkan
penularan (Depkes RI, 2002). 2) Faktor Imunitas Sebagian manusia
kebal terhadap penyakit kusta (95%). Dari hasil penelitian
menunjukan bahwa dari 100 orang yang terpapar, 95 orang yang tidak
menjadi sakit, 3 orang sembuh sendiri tanpa obat dan 2 orang
menjadi sakit. Hal ini belum lagi mempertimbangkan pengaruh
pengobatan (Depkes RI, 2002). 3) Keadaan Lingkungan Keadaan rumah
yang berjejal yang biasanya berkaitan dengan kemiskinan, merupakan
faktor penyebab tingginya angka kusta. Sebaliknya dengan
meningkatnya taraf hidup dan perbaikan imunitas merupakan faktor
utama mencegah munculnya kusta. 4) Faktor Umur Penyakit kusta
jarang ditemukan pada bayi. Incidence Rate penyakit ini meningkat
sesuai umur dengan puncak pada umur 10 sampai 20 tahun dan kemudian
menurun. Prevalensinya juga meningkat sesuai dengan umur dengan
puncak umur 30 sampai 50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan
menurun. 5) Faktor Jenis Kelamin Insiden maupun prevalensi pada
laki-laki lebih banyak daripada wanita, kecuali di Afrika dimana
wanita lebih banyak daripada laki-laki. Faktor
7
fisiologis seperti pubertas, menopause, kehamilan, infeksi dan
malnutrisi akan mengakibatkan perubahan klinis penyakit kusta. 2.4
Tanda dan Gejala Tanda-tanda penyakit kusta bermacam-macam
tergantung dari tingkat atau tipe dari penyakit tersebut. Secara
umum tanda-tanda itu adalah :
Adanya bercak tipis seperti panu pada badan atau tubuh manusia.
Pada bercak putih ini pertamanya hanya sedikit, tetapi lama-lama
semakin melebar dan banyak. Adanya pelebaran syaraf terutama pada
syaraf ulnaris, medianus, aulicularis magnus serta peroneus.
Kelenjar keringat kurang kerja sehingga kulit menjadi tipis dan
mengkilat. Adanya bintil-bintil kemerahan (leproma, nodul) yang
tersebar pada kulit. Alis rambut rontok. Muka berbenjol-benjol dan
tegang yang disebut facies leomina (muka singa).
Gejala-gejala umum pada kusta atau lepra, reaksi :
Panas dari derajat yang rendah sampai dengan menggigil.
Anoreksia. Nausea kadang-kadang disertai vomitus. Cephalgia.
Kadang-kadang disertai iritasi, Orchitis dan Pleuritis.
Kadang-kadang Neuritis. disertai dengan Nephrosia, Nepritis dan
Hepatospleenomegali.
Bakteri penyebab kusta memiliki kemampuan yang lambat dalam
menginkubasi, maka gejala tidak akan muncul pada 1 tahun setelah
seseorang terinfeksi bakteri ini. Rata-rata gejala akan muncul pada
kurun waktu 5 th 7 th (www.leprosytoday.org, 2008). Gejala-gejala
dari penyakit kusta antara lain:
8
1. Lesi di Kulit Warna kulit lebih terang dari yang normal
seperti panu. 2. Mati Rasa Kulit yang berada di sekitar lesi
menjadi kaku dan mati rasa yang disebabkan karena kerusakan saraf
tepi. 3. Kaku Otot Disebabkan oleh infeksi bakteri yang menyerang
otot, sehingga menyebabkan otot kaku. 4. Ada bagian tubuh yang
tidak berkeringat. 5. Rasa kesemutan pada anggota badan atau bagian
raut muka (www.medicalencyclopedia/leprosy/healthtopics, 2008).
Gejala dan tanda dari penyakit kusta berbeda-beda pada tiap
tipenya, namun pada umumnya kelainan kulit dimulai dari bercak
putih bersisik halus pada bagian tubuh ialah awal penyakit kusta.
Faktor resiko antara lain : Kelompok yang berisiko tinggi terkena
kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang
buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak
bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain
seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat
terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita. 2.5 Patogenesis
Penyakit Kusta
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh manusia masa sampai
timbulnya gejala dan tanda adalah sangat lama dan bahkan
bertahuntahun, masa inkubasinya bisa 3-20 tahun. Sering kali
penderita tidak menyadari adanya proses penyakit di dalam tubuhnya.
Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis mudah terinfeksi,
namun banyak orang punya kekebalan alamiah dan tidak menjadi
penderita kusta (Agusni, 2001).
Mycobacterium leprae seterusnya bersarang di sel schwann yang
terletak di perineum, karena basil kusta suka daerah yang dingin
yang dekat dengan
9
dengan kulit dengan suhu sekitar 27-300C. Mycobacterium leprae
mempunyai kapsul yang dibentuk dari protein 21 KD, yang mampu
berikatan dengan reseptor yang -2 G receptor sejenis dipunyai sel
schwann yaitu laminin-dystroglycam. Kemampuan adesi tersebut
merupakan cara invasi basil kusta pada perineum, sel schwnn sendiri
merupakan sejenis fagosit yang bisa menangkap antigen seperti
Mycobacterium leprae, tetapi tidak dapat menghancurkannya karena
sel tersebut tidak mempunyai MHC klas II yang mampu berikatan
dengan SD4 limfosit, akibatnya basil kusta dapat berkembang biak di
sel schwann (Agusni, 2003).
Sel schwann seterusnya mengalami kematian dan pecah, lalu basil
kusta dikenali oleh sistem imunitas tubuh host, tubuh melakukan
proteksi melalui 2 (dua) aspek yaitu imunitas non-sepesifik dan
spesifik, makrofag menjadi aktif memfagosit dan membersihkan dari
semua yang tidak dikenali (non-self). Peran Cell Mediated Immunity
sebagai proteksi kedua tubuh mulai mengenali DNA mengidentifikasi
antigen dari M. leprae. Ternyata makrofag mampu menelan M. leprae
tetapi tidak mampu mencernanya. Limfosit akan membantu makrofag
untuk menghasilkan enzim dan juices agar proses pencernaan dan
pelumatan berhasil.
Keterkaitan Humoral Immunity dan Cell Mediated Immunity dalam
membunuh basil kusta dapat memunculkan rentangan spektrum gambaran
klinik penyakit kusta seperti tipe Tuberkuloid Tuberkuloid (TT),
tipe Borderline Tuberkuloid (BT), tipe Borgerline Borderline (BB),
tipe Borderline Lepromatous (BL) dan tipe Lepromatous Lepromatous
(LL) (Jopling, 2003).
2.6 Pathways Penyakit Kusta Kontak
Terinfeksi
Tidak Terinfeksi
10
Subklinis
95 % Sembuh
Indaterminate(1) 30% Determinate
70%
I
TT
BT
BB
BL
LL
Keterangan: I TT BT BB BL LL 2.7 = inderterminate = tuberkuloid
= borderline tuberculoid = mid boderline = boderline lepromartous =
lepromatosa
Klasifikasi dan Gambaran Klinis Tipe Kusta Penyakit kusta
terdiri dari bermacam-macam tipe, berikut klasifikasi kusta
menurut Ridley Jopling berdasarkan gambaran klinis,
bakteriologik, histo patologik, dan status imun penderita menjadi :
(Dirjen PPM & PLP, 1998) 1. Tipe Tuberkoloid (TT) : Lesi berupa
makula hipo pigmantasi/eutematosa dengan permukaan kering dan
kadang dengan skuama di atasnya. Jumlah biasanya yang satudenga
yang besar bervariasi. Gejala berupa gangguan sensasibilitas,
pertumbuhan langsung dan sekresi kelenjar keringat. BTA ( - ) dan
uji lepramin ( + ) kuat.
Mengenai kulit dan saraf. Lesi bisa satu atau kurang, dapat
berupa makula atau plakat, batas jelas, regresi, atau, kontrol
healing ( + ).
11
Permukaan lesi bersisik dengan tepi meninggi, bahkan hampir sama
dengan psoriasis atau tinea sirsirata. Terdapat penebalan saraf
perifer yang teraba, kelemahan otot, sedikit rasa gatal.
Infiltrasi Tuberkoloid ( + ), tidak adanya kuman merupakan tanda
adanya respon imun pejamu yang adekuat terhadap basil kusta.
2. Tipe Borderline Tuberkoloid (BT) : Lesi berupa
makula/infiltrat eritematosa dengan permukaan kering bengan jumlah
1-4 buah, gangguan sensibilitas ( + ).
Hampir sama dengan tipe tuberkoloid Gambar Hipopigmentasi,
kekeringan kulit atau skauma tidak sejelas tipe TT. Gangguan saraf
tidak sejelas tipe TT. Biasanya asimetris. Lesi satelit ( + ),
terletak dekat saraf perifer menebal.
3. Tipe Mid Boderline (BB) : Lesi berupa mamakula/infiltrat
eritematosa permukaan agak mengkilat. Gambaran khas lesi punched
out dengan infiltrat eritematosa batas tegas pada tepi sebelah
dalam dan tidak begitu jelas pada tepi luarnya. Gangguan
sensibilitas sedikit, BTA ( + ) pada sediaan apus kerokan jaringan
kulit dan uji lepromin ( - ).
Tipe paling tidak stabil, jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk
macula infiltrate. Permukaan lesi dapat berkilat, batas lesi kurang
jelas, jumlah lesi melebihi tipe BT, cenderung simetris. Lesi
sangat bervariasi baik ukuran bentuk maupun distribusinya. Bisa
didapatkan lesi punched out, yaitu hipopigmentasi berbentuk
oralpada bagian tengah dengan batas jelas yang merupaan ciri khas
tipe ini.
12
4. Borderline Lepromatous (BL) : Lesi infiltrat eritematosa
dalam jumlah banyak, ukuran bervariasi, bilateral tapi asimetris,
gangguan sensibilitas sedikit/( - ), BTA ( + ) banyak, uji Lepromin
( - ). Dimulai makula, awalnya sedikit lalu menjadi cepat menyebar
ke seluruh tubuh. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya, beberapa nodus melekuk bagian tengah, beberapa plag
tampak seperti punched out. Tanda khas saraf berupa hilangnya
sensasi, hipopigmentasi, berkurangnya keringat dan gugurnya rambut
lebih cepat muncil daripada tipe LL dengan penebalan saraf yang
dapat teraba pada tempat prediteksi. 5. Lepromatous-Lepromatous
(LL) : Lesi infiltrat eritematosa dengan permukaan mengkilat,
ukuran kecil, jumlah sangat banyak dan simetris. BTA ( + ) sangat
banyak pada kerokan jaringan kulit dan mukosa hidung, uji Lepromin
( - ).
Lesi sangat banya, simetris, permukaan halus, lebih eritoma,
berkilap, batas tidak tegas atau tidak ditemuka anestesi dan
anhidrosis pada stadium dini.
Distribusi lesi khas :o o
Wajah : dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Badan : bahian
belakang, lengan punggung tangan, ekstensor tingkat bawah.
Stadium lanjutan :o o o
Penebalan kulit progresif Cuping telinga menebal Garis muka
kasar dan cekung membentuk fasies leonine, dapat disertai
madarosis, intis dan keratitis.
Lebih lanjuto o o o o
Deformitas hidung Pembesaran kelenjar limfe, orkitis atrofi,
testis Kerusakan saraf luas gejala stocking dan glouses anestesi.
Penyakit progresif, makula dan popul baru. Tombul lesi lama terjadi
plakat dan nodus.
13
Stadium lanjut Serabut saraf perifer mengalami degenerasi
hialin/fibrosis menyebabkan anestasi dan pengecilan tangan dan
kaki.
6. Tipe Interminate ( tipe yang tidak termasuk dalam klasifikasi
Redley & Jopling)
Beberapa macula hipopigmentasi, sedikit sisik dan kulit sekitar
normal. Lokasi bahian ekstensor ekstremitas, bokong dan muka,
kadangkadang dapat ditemukan makula hipestesi dan sedikit penebalan
saraf. Merupakan tanda interminate pada 20%-80% kasus kusta.
Sebagian sembuh spontan.
Gambaran klinis organ lain, yaitu :
Mata : iritis, iridosiklitis, gangguan visus sampai kebutaan
Tulang rawan : epistaksis, hidung pelana Tulang dan sendi :
absorbsi, mutilasi, artritis Lidah : ulkus, nodus Laring : suara
parau Testis : ginekomastia, epididimitis akut, orkitis, atrofi
Kelenjar limfe : limfadenitis Rambut : alopesia, madarosis Ginjal :
glomerulonefritis, amilodosis ginjal, pielonefritis, nefritis
interstitial.
WHO membagi menjadi dua kelompok, yaitu : 1. Pansi Basiler (PB)
: I, TT, BT 2. Multi Basiler (MB) : BB, BL, LL 2.8 Bentuk-Bentuk
Penyakit Kusta Penyakit kusta terdapat dalam bermacam-macam bentuk,
yakni :
14
a. Bentuk Leproma mempunyai kelainan kulit yang tersebar secara
simetris pada tubuh. Untuk ini menular karena kelainan kulitnya
mengandung banyak kuman. b. Bentuk Tuberkoloid mempunyai kelainan
pada jaringan syaraf, yang mengakibatkan cacat pada tubuh. Bentuk
ini tidak menular karena kelainan kulitnya mengandung sedikit
kuman. Diantara bentuk leproma dan tuberkoloid ada bentuk peralihan
yang bersifat tidak stabil dan mudah berubah-ubah. 2.9 Pengobatan
Pengobatan yang efektif terhadap penyakit kusta ditemukan pada akir
1940an dengan diperkenalkannya dapson dan derivatnya. Bagaimanapun
juga, bakteri penyebab lepra secara bertahap menjadi kebal terhadap
dapson dan menjadi kian menyebar. Hal ini terjadi hingga
ditemukannya pengobatan multiobat pada awal 1980-an dan penyakit
ini pun mampu ditangani kembali. Pada 1985, kusta masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada Pertemuan
Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, disetujui resolusi
untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan masyarakat pada
tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1 kasus per 100.000.
WHO diberikan mandat untuk mengembangkan strategi penghapusan
kusta. Kelompok Kerja WHO melaporkan Kemoterapi Kusta pada 1993 dan
merekomendasikan dua tipe terapi multiobat standar. Yang pertama
adalah pengobatan selama 24 bulan untuk kusta lepromatosa dengan
rifampisin, klofazimin, dan dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6
bulan untuk kusta tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson. Obat
terapi multiobat kusta.Sejak 1995, WHO memberikan paket obat terapi
kusta secara gratis pada negara endemik, melalui Kementrian
Kesehatan. Strategi ini akan bejalan hingga akhir 2010. Pengobatan
multiobat masih efektif dan pasien tidak lagi terinfeksi pada
pemakaian bulan pertama. Cara ini aman dan mudah. Jangka waktu
pemakaian telah tercantum pada kemasan obat. Hingga saat ini tidak
ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian
dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih
besar
15
kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak
utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat
dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah.(berbagai sumber/Ijs)
Sampai pengembangan dapson, rifampin, dan klofazimin pada 1940-an,
tidak ada pengobatan yang efektif untuk kusta. Namun, dapson
hanyalah obat bakterisidal (pembasmi bakteri) yang lemah terhadap
M. leprae. Penggunaan tunggal dapson menyebabkan populasi bakteri
menjadi kebal. {ada 1960-an, dapson tidak digunakan lagi. Pencarian
terhadap obat anti kusta yang lebih baik dari dapson, akhirnya
menemukan klofazimin dan rifampisin pada 1960-an dan 1970-an.
Kemudian, Shantaram Yawalkar dan rekannya merumuskan terapi
kombinasi dengan rifampisin dan dapson, untuk mengakali kekebalan
bakteri. Terapi multi obat dan kombinasi tiga obat di atas pertama
kali direkomendasi oleh Panitia Ahli WHO pada 1981. Cara ini
menjadi standar pengobatan multi obat. Tiga obat ini tidak
digunakan sebagai obat tunggal untuk mencegah kekebalan atau
resistensi bakteri. Terapi di atas lumayan mahal, maka dari itu
cukup sulit untuk masuk ke negara yang endemik. Pada 1985, kusta
masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di 122 negara. Pada
Pertemuan Kesehatan Dunia (WHA) ke-44 di Jenewa, 1991, menelurkan
sebuah resolusi untuk menghapus kusta sebagai masalah kesehatan
masyarakat pada tahun 2000, dan berusaha untuk ditekan menjadi 1
kasus per 100.000. WHO diberikan mandat untuk mengembangkan
strategi penghapusan kusta. Kelompok Kerja WHO melaporkan
Kemoterapi Kusta pada 1993 dan merekomendasikan dua tipe terapi
multi obat standar.[29] Yang pertama adalah pengobatan selama 24
bulan untuk kusta lepromatosa dengan rifampisin, klofazimin, dan
dapson. Yang kedua adalah pengobatan 6 bulan untuk kusta
tuberkuloid dengan rifampisin dan dapson. Sejak 1995, WHO
memberikan paket obat terapi kusta secara gratis pada negara
endemik, melalui Kementrian Kesehatan. Strategi ini akan bejalan
hingga akhir 2010. Pengobatan multi obat masih efektif dan pasien
tidak lagi terinfeksi pada pemakaian bulan pertama. Cara ini aman
dan mudah. jangka waktu pemakaian telah tercantum pada kemasan
obat.
16
Pengobatan penyakit kusta dilakukan dengan Dapson sejak tahun
1952 di Indonesia, memperhatikan hasil yang cukup memuaskan, hanya
saja pengobatan mono terapi ini sering mengakibatkan timbul masalah
resistensi, hal ini disebabkan oleh karena : 1. Dosis rendah
pengobatan yang tidak teratur dan terputus akibat dari lepra
reaksi. 2. Waktu makan obat sangat lama sehingga membosankan,
akibatnya penderita makan obat tidak teratur. Selain penggunaan
Dapson (DDS), pengobatan penderita kusta dapat menggunakan Lamprine
(B663), Rifanficin, Prednison, Sulfat Feros dan vitamin A (untuk
menyehatkan kulit yarlg bersisik). Setelah penderita menyelesaikan
pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan RFT
(Relasif From Treatment), yang berarti tidak perlu lagi makan obat
MDT dan dianggap sudah sembuh. Sebelum penderita dinyatakan RFT,
petugas kesehatan harus : a. Mengisi dan menggambarkan dengan jelas
pada lembaran tambahan RFT secara teliti. * Semua bercak masih
nampak. * Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak
kaki dan tangan * Semua syaraf yang masih tebal * Semua cacat yang
masih ada. b. Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil
maka penderita Langsung dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil
skin semar). 3. Mencatat data tingkat cacat dan hasil pemeriksaan
skin semar dibuku register. Pada waktu menyatakan RFT kepada
penderita, petugas harus memberi penjelasan tentang arti dan maksud
RFT, yaitu : a. b. c. Pengobatan telah selesai. Penderita harus
memelihara tangan dan kaki dengan baik agar jangan sampai luka.
Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera datang untuk
pemeriksaan ulang. Diagnosa
17
Menyatakan (mendiagnosa seseorang menderita penyakit kusta
menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun
masyarakat disekitarnya). Bila ada keragu-raguan sedikit saja pada
diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan hingga timbul
gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa penyakit itu
benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat
secara menyeluruh dari segi : a. Klinis b. Bakteriologis c.
Immunologis d. Hispatologis Namun untuk diagnosa kusta di lapangan
cukup dengan anamnese dan pemeriksaan klinis. Bila ada keraguan dan
fasilitas memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan
bakteriologis. Kerokan dengan pisau skalpel dari kulit, selaput
lendir hidung bawah atau dari biopsi kuping telinga, dibuat sediaan
mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan teknis Ziehl
Neelsen. Biopsi kulit atau saraf yang menebal memberikan gambaran
histologis yang khas. Tes-tes serologik bukan treponema untuk
sifilis sering menghasilkan positif palsu pada lepra. 2.10
Pengkajian Keperawatan Pada pengkajian klien penderita kusta dapat
ditemukan gejala-gejala sebagai berikut: A. Aktivitas atau
istirahat. Tanda : - Penurunan kekuatan otot - Gangguan massa otot
- Perubahan tonus otot B. Sirkulasi Tanda : - Penurunan nadi
perifer - Vasokontriksi perifer C. Integritas ego
18
Gejala : - Masalah tentang keluarga, pekerjaan, keuangan,
kecacatan. Tanda : - Ansietas - Menyangkal - Menarik diri - Makanan
atau cairan - Anoreksia D. Neurosensori. Gejala : - Kerusakan saraf
terutama saraf tepi, penekanan saraf tepi. Tanda : - Perubahan
perilaku, penurunan refleks tendon. E. Nyeri Kenyamanan Gejala :
Tidak sensitive terhadap sentuhan, suhu, dan tidak merasakan nyeri.
F. Pernapasan Gejala : Ventilasi tidak adekuat, takipnea. G.
Keamanan Tanda : Lesi kulit dapat tunggal/multiple, biasanya
hipopigmentasi tetapi kadang-kadang lesi kemerahan atau berwarna
tembaga, lesi dapat berpariasi tetapi umumnya berupa macula, papula
dan nodul. Pemeriksaan Klinis 1. Inspeksi Pasien diminta
memejamakan mata, menggerakkan mulut, bersiul, dan tertawa untuk
mengetahui fungsi saraf wajah semua kelainan kulit diseluruh tubuh
diperhatikan, seperti adanya macula, nodul, jaringan parut, kulit
yang keriput, penebalan kulit, dan kehilangan rambut tubuh
(alopesia dan madarosis). 2. Pemeriksaan Sensibilitas
19
Pada lesi kulit dengan menggunakan kapas (rasa raba), jarum
pentul yang tajam dan tumpul (rasa nyeri, serta air panas dan
dingin dalam tabung reaksi (rasa suhu). 3. Pemeriksaan Saraf Tepi
dan Fungsinya Dilakukan pada : nervus Auricularis magnus, Nervus
ulnaris, Nervus radialis, Nervus medianus, nervus peroneus dan
nervus tibialis posterior. Hasil pemeriksaan yang perlu dicatat
adalah pembesaran, konsistensi, penebalan, dan adanya nyeri tekan.
Perhatikan raut muka pasien apakah ia kesakitan atau tidak
saraf-saraf diraba. 4. Pemeriksaan Fungsi Saraf Otonom Memeriksa
ada tidaknya kekeringan pada lesi akibat tidak berfungsinya
kelenjar keringat dengan menggunakan pensil tinta (uji gunawan).
Diagnosa Keperawatan 1. Kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan perubahan fungsi barier kulit. 2. Gangguan rasa nyaman gatal
berhubungan dengan lesi kulit. 3. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan priritus 4. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan
penampakan kulit yang tidak baik. 5. Resiko terjadi infeksi
berhubungan dengan kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh
menurunun. 6. Gangguan interaksi sosial berhubungan dengan persepsi
penampilan. 7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya
informasi terhadap perawatan kulit. 8. Ansietas berhubungan dengan
perubahan status kesehatan. Intervensi Keperawatan 1. Kerusakan
integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit.
Tujuan: Untuk memelihara integritas kulit/ mencapai penyembuhan
tepat waktu. Intervensi: - Kaji kulit setiap hari. Catat warna,
turgor, sirkulasi dan sensasi. Gambarkan lesi dan amati perubahan.
Rasional : Menentukan garis dasar dimana perubahan pada status
dapat dibandikan dan lakukan intervensi yang tepat. -
Pertahankan/intruksikan dalam hygiene kulit, misalnya membasuh
kemudian mengerinkannya dengan berhati-hati dan melakukan masase
dengan menggunakan
20
losion atau krim. Rasional : Masase meningkatkan sirkulasi kulit
dan meningkatkan kenyamanan. - Gunting kuku secara teratur Rasional
: Kuku yang panjang/kasar, meningkatkan resiko kerusakan dermal. -
Dapatkan kultur dari lesi kulit terbuka. Rasional : Dapat
mengidentifikasi bakteri patogen dan pilihan perawatan yang sesuai.
- Gunakan/berikan obat topical atau sistemik sesuai indikasi.
Rasional : Digunakan pada perawatan lesi kulit. - Lindungi lesi
dengan salep antibiotic sesuai petunjuk. Rasional : Melindungi area
lesi dari kontaminasi bakteri dan meningkatkan penyembuhan. 2.
Gangguan rasa nyaman gatal berhubungan dengan lesi kulit. Tujuan:
Untuk mengurangi rasa gatal sehingga tercapai kenyamanan pasien.
Intervensi : - Upayakan untuk menemukan penyebab gangguan rasa
nyaman. Rasional : Membantu mengidentifikasi tindakan yang tepat
untuk memberikan kenyamanan . - Mencapai hasil-hasil observasi
secara rinci dengan memakai terminology deskriftif. Rasional :
Deskrifsi yang akurat tentang erupsi kulit diperlukan diagnosis dan
pengobatan. Banyak kondisi tampak serupa tapi mempunyai etiologi
yang berbeda. - Mengantisipasi reaksi alergi yang mungkin terjadi.
Rasional : Lesi yang menyeluru terutama dengan awitan yang mendadak
dapat menunjukkan reaksi alergi terhadap obat. - Pertahankan
kelembaban kira-kira 60%. Gunakanlah alat pelembab. Rasional :
Dengan kelembaban yang rendah kulit akan kehilangan air. -
Pertahankan lingkungan dingin . Rasional : Kesejukan mengurangi
gatal. - Gunakan sabun ringan (dove) atau sabun yang dibuat untuk
kulit sensitive
21
(Neutrogena, aveno ). Rasional : Upaya ini mencakup tidak adanya
larutan detergen, zat pewarna atau bahan pengeras. - Lepaskan
kelebihan pakaianatau peralatan ditempat tidur. Rasional :
Meningkatkan lingkungan yang sejuk. - Cuci linen tempat tidur dan
pakaian dengan sabun ringan Rasional : Sabun yang keras dapat
menimbulkan iritasi kulit. - Hentikan pemajanan berulang terhadap
detergen ,pembersih dan pelarut. Rasional : Setiap substansi yang
menghilangkan air, lipid atau protein dari epidermis akan mengubah
fungsi barier kulit. - Membantu pasien menerima terapi yang lama
yang diperlukan pada tahap penyembuhan. Rasional : Tindakan koping
biasanya akan meningkatkan kenyamanan. - Menasehati pasien untuk
menghindari pemakaian salep atau lotion yang diberi tampa resep
dokter. Rasional : Masalah pasien dapat disebabkan oleh iritasi
atau sensitisasi karena pengobatan sendiri. 3. Gangguan pola tidur
yang berhubungan dengan pruritus. Tujuan: Untuk mencapai istirahat
tidur yang cukup. Intervensi : - Menasehati pasien untuk menjaga
kamar tidur agar tetap memiliki ventilasi dan kelembaban yang baik.
Rasional : Udara yang kering menimbulkan rasa gatal. Lingkungan
yang nyaman meningkatkan relaksasi. - Menjaga agar kulit agar
selalu lembab. Rasional : Tindakan ini mencegah kehilangan air.
Kulit yang kering dan gatal biasanya tidak dapat dikendalikan
tetapi dapat disaembuhkan. - Menjaga jadwal tidur yang
teratur.Pergi tidur pada saat yang sama dan bangun pada saat yang
sama. Rasional : Dengan jadwal tidur yang teratur akan terpenuhi
kebutuhan tidur klien.
22
- Menghindari minuman yang mengandung kafein menjelang tidur
malam hari. Rasional : Kafein memiliki efek puncak 2-4 jam sesudah
dikomsumsi. - Melaksanakan gerak badan secara teratur . Rasional :
Gerak badan memberikan efek yang menguntungkan untuk tidur jika
dilaksanakan pada malam hari. - Mengerjakan hal-hal yang ritual dan
rutin menjelang tidur. Rasional : Tindakan ini memudahkan peralihan
dari keadaan terjaga menjadi keadaan tertidur. 4. Gangguan citra
tubuh berhubungan dengan penampakan kuilit yang tidak baik. Tujuan
: Klien dapat mengembangkan peningkatan penerimaan diri Intervensi
: - Kaji adanya gangguan pada citra diri pasien menghindari kontak
mata, ucapan yang merendahkan diri sendiri, ekspresi perasaan muak
terhadap kondisi kulitnya. Rasional : Gangguan citra diri akan
menyertai setiap penyakit atau keadaan yang tampak nyata bagi
pasien. Kesan seseorang terhadap dirinya sendiri akan berpengaruh
pada konsep diri. - Identifikasi stadium psikososial tahap
perkembangan. Rasional : Terdapat hubungan antara stadium
perkenmbangan, citra diri dan reaksi serta pemahaman pasioen
terhadap kondisi kulitnya. - Berikan kesempatan untuk pengungkapan.
Dengarkan (dengan cara yang terbuka, tidak menghakimi) untuk
mengespresikan berduka atau anseitas tentang perubahan citra tubuh.
Rasional : Pasien membutuhkan pengalaman didengarkan dan dipahami.
Mendukung upaya pasien untuk memperbaiki citra diri. - Bersikap
realistic selama pengobatan, pada penyuluhan kesehatan. Rasional :
Meningkatkan kepercayaan dan mengadakan hubungan antara pasien dan
perawat. - Berikan harapan dalam parameter situasiss individu:
jangan memberikan keyakinan yang salah. Rasional : Meningkatkan
perilaku positif dan memberikan kesempatan untuk
23
menyusun tujuan dan rencana untuk masa depan berdasarkan
realita. - Dorong interaksi keluarga dan dengan tim rehabilitasi.
Rasional : Mempertahankan pola komunikasi dan memberikan dukungan
terus menerus pada pasien dan keluarga. 5. Resiko terjadi infeksi
berhubungan dengan kerusakan pada kulit, pertahanan tubuh menurun.
Tujuan : Mencapai penyembuhan tepat waktu, tanpa komplikasi
Intervensi : - Ukur tanda-tanda vital termasuk suhu Rasional :
Memberikan imformasi data dasar, peningkatan suhu secara
berulangulang dari demam yang terjadi untuk menujukkan bahwa tubuh
bereaksi pada proses infeksi yang baru, dimana obat tidak lagi
secara efektive mengontrol infeksi yang tidak dapat disembuhkan. -
Tekankan pentingnya tekhnik cuci tanganyang baik untuk semua
individu yang datang kontak dengan pasien Rasional : Mengcegah
kontaminasi silang; menurungkan resiko infeksi. - Gunakan
saputangan , masker dan tekniik aseptik selama perawatan dan
berikan pakaian yang steril atau baru Rasional : Mengcegah terpajan
pada organisme infeksius. - Observasi lesi secara periodic Rasional
: Untuk mengetahui perubahan respon terhadap terapi. - Berikan
lingkungan yang bersih dan berventilasi yang baik. Periksa
pengunjung atau staf terhadap tanda infeksi dan pertahankan
kewaspadaan sesuai indikasi. Rasional : Mengurangi patogen pada
system integument dan mengrangi kemungkinan pasien mengalami
infeksi nosokomial. - Berikan preparat antibiotic yang diresepkan
dokter. Rasional : Membunuh atau mencegah pertumbuhan
mikroorganisme penyebab infeksi. 6. Kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurangnya imformasi terhadap
24
perawatan kulit. Tujuan : Klien mendapatkan imformasi yang
adekuat tentang perawatan kulit. Intervensi : - Tentukan apakah
pasien mengetahui (memahami dan salah mengerti) tentang kondisi
dirinya. Rasional : Memberikan data dasar untuk mengembangkan
rencana penyuluhan. - Jaga agar pasien mendapatkan informasi yang
benar, memperbaiki kesalahan persepsi /informasi. Rasional : Pasien
harus memiliki perasaan bahwa ada sesuatu yang dapat mereka
perbuat. Kebanyakan pasien merasakan mamfaat dan merasa lebih. -
Berikan imformasi yang spesifik dalam bentuk tulisan misalnya
jadwal dalam minum obat. Rasional : Imformasi tertulis dapat
membantu mengingatkan pasien. - Jelaskan penatalaksanaan minum
obat: dosis, frekuensi, tindakan, dan perlunya terapi dalam jangka
waktu lama. Rasional : Meningkatkan partisipasi klien, mematuhi
aturan terapi dan mencegah putus obat. - Berikan nasehat pada
pasien untuk menjaga agar kulit tetap lembab dan fleksibel dengan
tindakan hidrasi serta lotion kulit. Rasional : Stratum korneum
memerlukan air agar fleksibilitas kulit btetap terjaga.. pemberian
lotion untuk melembabkan kulit akan mencegah agar kulit tidak
menjadi kering, kasar, retak dan bersisik. - Dorong pasien agar
mendapat status nutrisi yang sehat. Rasional : Penampakan kulit
mencerminkan kesehatan umum seseorang.perubahan pada kulit dapat
mendakan status nutrisi yang abnormal. Nutrisi yang optimal
meningkatkan regenerasi jaringan dan penyembuhan umum kesehatan. -
Tekankan perlunya atau pentingnya mengevaluasi perawatan atau
rehabilitasi. Rasional : Dukungan jangka panjang dengan evaluasi
ulang kontinu dan perubahan terapi dibutuhkan untuk penyembuhan
optimal.
25
7. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
Tujuan: Pasien dapat menunjukkan penurunan ansietas sehingga dapat
menerimah perubahan status kesehatannya dengan cara sehat.
Intervensi : - Berikan penjelasan yang sering dan imformasi tentang
prosedur perawatan. Rasional : Pengetahuan diharapkan menurunkan
ketakutan dan ancietas, memperjelas kesalahan konsep dan
meningkatkan kerjasama. - Libatkan pasien atau orang terdekat dalam
proses pengambilan keputusan. Rasional : Meningkatkan rasa control
dan kerjasama, menurunkan perasaan tak berdaya atau putuis asa. -
Kaji status mental terhadap penyakit Rasional : Pada awalnya pasien
dapat men ggunakan penyangkalan untuk menurungkan dan menyaring
imformasi secara keseluruhan. - Berikan orientasi konstan dan
konsisten. Rasional : Membantu pasien tetap berhubungan dengan
lingkungan dan realitas. - Dorong pasien untuk bicara tentang
penyakitnya. Rasional : Pasien perlu membicarakan apa yang terjadi
terus menerus untuk membuat beberapa rasa terhadap situasi apa yang
menakutkan. - Jelaskan pada pasien apa yanga terjadi. Berikan
kesempatan untuk bertanya dan berikan jawaban terbuka atau jujur.
Rasional : Pernyataan kompensasi menunjukkan realitas situasi yang
dapat membantu pasien atau orang terdekat menerima realitas dan
mulai menerima apa yang terjadi. - Identifikasi metode koping atau
penanganan stuasi stress sebelumnya. Rasional : Perilaku masalalu
yang berhasil dapat digunakan untuk membantu situasi saat ini. -
Dorong keluarga atau orang terdekat mengunjungi dan mendiskusikan
yang terjadi pada keluarga. Mengingatkan pasien kejadian masa lalu
dan akan datang. Rasional : Mempertahankan kontak dengan realitas
keluarga, membuat rasa kedekatan dan kesinambungan hidup. - Berikan
sedative ringan sesuai indikasi.
26
Rasional : Obat ansietas diperlukan untuk periode singkat sampai
pasien lebih stabil secara psikis.
BAB III PENUTUP 3.1 KesimpulanKusta adalah penyakit infeksi yang
kronik, penyebabnya adalah mycobacterium leprae yang intraselular
obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat menyebar
ke organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat. Kusta merupakan
penyakit yang menyeramkan dan ditakuti oleh masyarakat karena
adanya ulserasi, mutilasi, dan deformitas yang disebabkannya,
sehingga merupakan masalah sosial, psikologis, dan ekonomis.
Penderita kusta menderita bukan
27
karena penyakitnya saja, tetapi juga karena masyarakat yang
pasti akan menjauhi si penderita karena takut tertular dan tampilan
yang menyeramkan. Berapa jumlah penderita di dunia belum dapat
diketahui pasti, diperkirakan sebanyak 15 juta. Terutama pada
daerah tropis dan sutropis serta pada wilayah yang status
kesehatannya rendah dan status sosial ekonominya rendah. Karena
Mycobacterium Leprae dapat berkembang dengan cepat pada daerah dan
wilayah tersebut.
28