BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh kuman M. leprae. Berdasarkan penemu kuman M. leprae yaitu Armauer Gerald Hansen, kusta juga disebut dengan Morbus Hansen. Infeksi oleh M. leprae berlangsung secara perlahan dan progresif, secara primer menyerang saraf tepi, dan secara sekunder menyerang kulit. Konsentrasi kuman yang tinggi dalam tubuh dapat melibatkan organ dalam lainnya seperti otot, mukosa saluran pernafasan atas, sistem retikuloendothelial, saluran pencernaan, mata, tulang, dan testis (Kumar dan Dogra, 2010). 2.1.2 Epidemiologi kusta Prevalensi kusta di dunia menurut WHO, berdasarkan data dari 121 negara yang dikelompokkan dalam 5 wilayah sejumlah 213.899 kasus pada tahun 2014, mengalami peningkatan dari 215.656 kasus pada tahun 2013. Sejumlah 154.834 kasus terdapat di wilayah Asia Tenggara, India menempati posisi kasus kusta terbanyak sejumlah 125.785 kasus, disusul oleh Brazil sejumlah 31.064 kasus, dan Indonesia menempati posisi ketiga (WHO, 2015). Departemen Keseha tan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan jumlah penderita kusta di Indonesia meningkat dari tahun 2013 sejumlah 16.856 kasus menjadi 17.025 8
21
Embed
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta II tesis ut… · BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kusta 2.1.1 Definisi kusta Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kusta
2.1.1 Definisi kusta
Penyakit kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan
oleh kuman M. leprae. Berdasarkan penemu kuman M. leprae yaitu Armauer
Gerald Hansen, kusta juga disebut dengan Morbus Hansen. Infeksi oleh M. leprae
berlangsung secara perlahan dan progresif, secara primer menyerang saraf tepi,
dan secara sekunder menyerang kulit. Konsentrasi kuman yang tinggi dalam
tubuh dapat melibatkan organ dalam lainnya seperti otot, mukosa saluran
pernafasan atas, sistem retikuloendothelial, saluran pencernaan, mata, tulang, dan
testis (Kumar dan Dogra, 2010).
2.1.2 Epidemiologi kusta
Prevalensi kusta di dunia menurut WHO, berdasarkan data dari 121
negara yang dikelompokkan dalam 5 wilayah sejumlah 213.899 kasus pada tahun
2014, mengalami peningkatan dari 215.656 kasus pada tahun 2013. Sejumlah
154.834 kasus terdapat di wilayah Asia Tenggara, India menempati posisi kasus
kusta terbanyak sejumlah 125.785 kasus, disusul oleh Brazil sejumlah 31.064
kasus, dan Indonesia menempati posisi ketiga (WHO, 2015). Departemen Keseha
tan Republik Indonesia pada tahun 2013 melaporkan jumlah penderita kusta di
Indonesia meningkat dari tahun 2013 sejumlah 16.856 kasus menjadi 17.025
8
9
kasus. Jawa Timur menempati posisi dengan jumlah kasus kusta baru terbanyak
sejumlah 4.132 kasus dari total 16.856 kasus pada tahun 2013 (Infodatin, 2015).
Diantara negara-negara di Asia, Indonesia juga menempati jumlah kasus
kusta tipe MB terbanyak yaitu sebesar 83,4% diantara kasus baru yang terdeteksi,
serta jumlah kasus kusta baru pada anak yang terbanyak yaitu sebesar 11,3%
(Depkes, 2013). Keadaan ini memberi kesan bahwa MDT berhasil menurunkan
prevalensi namun tidak dapat mencegah timbulnya kasus kusta baru di
masyarakat. Kondisi ini dihubungkan dengan fenomena gunung es dimana MDT
hanya membasmi kusta yang sudah bermanifestasi, namun kusta subklinis sebagai
kandidat kasus kusta baru tidak terjamah (Desikan et al, 2003).
Data epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit kusta dapat terjadi pada
semua usia, namun yang terbanyak pada usia muda dan produktif. Berdasarkan
jenis kelamin penyakit kusta dapat mengenai laki-laki dan perempuan, namun
laporan di beberapa negara menemukan angka kejadian yang lebih sering pada
laki-laki dibandingkan perempuan. Penyakit kusta juga dipengaruhi oleh sosial
ekonomi, dimana penyakit kusta lebih jarang ditemukan pada tingkat sosial
ekonomi yang tinggi (Hando et al, 2011).
2.1.3 Etiologi kusta
Mycobacterium leprae merupakan mikobakteri berbentuk batang tahan
asam, gram positif, tidak dapat dikultur pada media buatan, bersifat non motil,
aerob, dan obligat intraseluler. Bakteri ini memiliki ukuran panjang 1 mikron
hingga 8 mikron, diameter 0,3 mikron dengan sisi paralel dan ujung yang
membulat. Seperti mikobakteri yang lain M. leprae membelah secara biner.
10
Tropisme dari bakteri ini adalah sel histiosit dan sel Schwann, namun dapat pula
pada sel otot dan sel vaskuler endotel. Pembelahan terjadi setiap 11 hari hingga
13 hari, dan tumbuh maksimal pada suhu 30o C hingga 33
o C. Pemeriksaan
mikroskopis secara langsung menunjukkan bentukan khas adanya basil
menggerombol seperti ikatan cerutu, sehingga disebut packet of cigars (globi)
yang terletak intraseluler dan ekstraseluler (Rees dan Young, 1994).
Dinding sel M. leprae mengandung peptidoglikan yang berikatan dengan
arabinogalaktan dan mycolic acid. Lipoarabinomanan merupakan target respon
imunitas selular maupun humoral yang ditemukan pada membran sel bagian luar.
Kapsul M. leprae mengandung 2 lipid bakteri utama yaitu pthiocerol
dimycocerosate yang berperan sebagai perlindungan pasif terhadap terhadap
respon imun host, dan PGL-1, merupakan glikolipid spesifik untuk M. leprae
yang aktif secara serologis. Phenolic glycolipid-1 sangat imunogenik, dapat
memicu immunoglobulin kelas imunoglobulin M (IgM) yang ditemukan pada
60% kusta tipe TT dan 90% kusta tipe LL (Mahapatra et al, 2008).
2.1.4 Mekanisme penularan kusta
Mekanisme penularan M. leprae hingga saat ini masih belum diketahui
secara pasti. Penelitian mengenai mekanisme penularan penyakit kusta sulit
dilakukan karena biologi M. leprae yang bersifat unik dan periode inkubasi yang
panjang. Sumber infeksi kusta pada manusia adalah kasus kusta yang tidak
diobati. Kusta tipe MB merupakan sumber infeksi yang paling utama
dibandingkan tipe pausi basiler (PB), namun semua kasus kusta aktif harus
dipertimbangkan sebagai sumber infeksi yang potensial.
Saluran pernafasan
11
terutama mukosa nasal merupakan tempat masuk utama M. leprae, sehingga
inhalasi droplet merupakan mekanisme penularan yang paling penting.
Kemampuan transmisi M. leprae yang bersifat rendah menyebabkan kontak yang
lama (nara kontak) serta penduduk yang padat merupakan salah satu faktor risiko
(Thorat et al, 2010).
Faktor genetik yaitu gen human leucocyte antigen (HLA-DR2) dan gen
non HLA diduga berperan pada kerentanan genetik baik pada kusta secara umum
maupun tipe kusta. Lokus pada kromosom 6q25 tampaknya berperan dalam
mengendalikan kerentanan terhadap kusta. Penelitian lain di India menunjukkan
lokus pada kromosom 10p13 berkaitan dengan peningkatan risiko kusta tipe PB
(Thorat et al, 2010).
Penularan kusta dapat melalui kulit secara langsung dan fomit. Metode
transmisi lain yang masih belum terbukti adalah transmisi in utero dan melalui air
susu ibu (ASI). Transmisi in utero dicurigai berperan pada penularan karena
adanya kasus kusta yang dilaporkan pada bayi usia 3 minggu, sedangkan transmisi
melalui ASI dicurigai karena ditemukannya basil M. leprae pada ASI, namun
hipotesis ini masih memerlukan pembuktian lebih lanjut. Penularan juga
dipengaruhi oleh IB dan tipe kusta pada kontak (Thorat et al, 2010).
2.1.5 Imunopatogenesis kusta
Patogenesis kusta dipengaruhi oleh interaksi kompleks antara faktor