Top Banner
1 RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU W arga Jakarta menginginkan perubahan. Hal itu sudah ditegaskan berbagai survei dalam setahun terakhir ini yang mengatakan antara 60-65 persen warga tidak puas dengan kinerja pemerintah provinsi DKI. Hal itu seperti terkonfirmasi oleh hasil perolehan suara 11 Juli lalu. Gubernur incumbent Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi hanya memperoleh 34,05 persen suara sementara Jokowi-Basuki yang mengusung konsep ‘Jakarta Baru’ memperoleh 42,60 persen. Padahal jika dilihat dari sumber daya, tenaga, kesempatan dan juga biaya yang digunakan selama kampanye, perbandingan di antara keduanya bak bumi dan langit. Fauzi-Nachrowi sama mengaku sebagai putra Betawi. Fauzi Bowo sudah lebih dari 25 tahun bekerja di lingkungan Pemda DKI, lima tahun sebagai wakil gubernur di masa Sutiyoso dan lima tahun sebagai gubernur. Nachrowi Ramli sementara itu adalah Ketua DPD Partai Demokrat di DKI, partai yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum 2004 dan 2009 di Jakarta. Ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Bamus Kemenangan Jokowi-Basuki Kemenangan Warga Jakarta Betawi dan Ketua Dewan Penasehat Forkabi. Keduanya bermukim di Jakarta sehingga mudah bersinggungan dengan para pemilih. Laporan media mengatakan dana kampanye pasangan calon ini mencapai Rp 70 milyar. Jokowi-Basuki sementara itu sering disebut sebagai ‘pendatang’. Jokowi adalah walikota Solo yang punya pengalaman mengelola kota tersebut selama tujuh tahun dan pencapaiannya diakui di seluruh dunia. Ia pernah tinggal di Jakarta sebagai tukang kayu di kawasan Klender untuk beberapa tahun. Basuki Purnama sementara itu adalah mantan bupati Belitung Timur yang juga membina karir politiknya jauh dari Jakarta. Adalah rekam jejak serta profil keduanya yang membuat mereka bisa unggul pada putaran pertama. Dana untuk pemilukada pun sangat terbatas, sekitar Rp 9 milyar, yang sebagian cukup besar digunakan untuk membiayai para saksi di TPS. Jika dilihat di lapangan memang perbedaan itu sangat terasa. Stiker, bendera dan spanduk pasangan Jokowi- Basuki jauh dari mentereng. Di beberapa kelurahan bahkan warga membuat kreasinya sendiri dengan biaya Edisi Agustus 2012
7

Warta Jakarta Baru

Mar 09, 2016

Download

Documents

Bulettin yang disusun oleh Relawan Penggerak Jakarta Baru -- Simpul Condet
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Warta Jakarta Baru

1RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Warga Jakarta menginginkan perubahan. Hal itu sudah ditegaskan berbagai survei dalam setahun terakhir ini yang mengatakan antara 60-65 persen warga

tidak puas dengan kinerja pemerintah provinsi DKI. Hal itu seperti terkonfirmasi oleh hasil perolehan suara 11 Juli lalu. Gubernur incumbent Fauzi Bowo yang berpasangan dengan Nachrowi hanya memperoleh 34,05 persen suara sementara Jokowi-Basuki yang mengusung konsep ‘Jakarta Baru’ memperoleh 42,60 persen. Padahal jika dilihat dari sumber daya, tenaga, kesempatan dan juga biaya yang digunakan selama kampanye, perbandingan di antara keduanya bak bumi dan langit.

Fauzi-Nachrowi sama mengaku sebagai putra Betawi. Fauzi Bowo sudah lebih dari 25 tahun bekerja di lingkungan Pemda DKI, lima tahun sebagai wakil gubernur di masa Sutiyoso dan lima tahun sebagai gubernur. Nachrowi Ramli sementara itu adalah Ketua DPD Partai Demokrat di DKI, partai yang meraih suara terbanyak dalam pemilihan umum 2004 dan 2009 di Jakarta. Ia juga menjabat sebagai Ketua Umum Bamus

Kemenangan Jokowi-BasukiKemenangan Warga Jakarta

Betawi dan Ketua Dewan Penasehat Forkabi. Keduanya bermukim di Jakarta sehingga mudah bersinggungan dengan para pemilih. Laporan media mengatakan dana kampanye pasangan calon ini mencapai Rp 70 milyar.

Jokowi-Basuki sementara itu sering disebut sebagai ‘pendatang’. Jokowi adalah walikota Solo yang punya pengalaman mengelola kota tersebut selama tujuh tahun dan pencapaiannya diakui di seluruh dunia. Ia pernah tinggal di Jakarta sebagai tukang kayu di kawasan Klender untuk beberapa tahun. Basuki Purnama sementara itu adalah mantan bupati Belitung Timur yang juga membina karir politiknya jauh dari Jakarta. Adalah rekam jejak serta profil keduanya yang membuat mereka bisa unggul pada putaran pertama. Dana untuk pemilukada pun sangat terbatas, sekitar Rp 9 milyar, yang sebagian cukup besar digunakan untuk membiayai para saksi di TPS.

Jika dilihat di lapangan memang perbedaan itu sangat terasa. Stiker, bendera dan spanduk pasangan Jokowi-Basuki jauh dari mentereng. Di beberapa kelurahan bahkan warga membuat kreasinya sendiri dengan biaya

Edisi Agustus 2012

Page 2: Warta Jakarta Baru

2 RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 3RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

berlangsung dua putaran di mana Fauzi-Nachrowi akan berhadapan dengan Jokowi-Basuki. Pertanyaannya kemudian terarah pada lembaga survei sendiri. Apakah memang bermaksud menghadirkan realitas yang obyektif atau sebenarnya sedang berkampanye untuk calon tertentu tapi menggunakan kedok ‘survei’?

Kemenangan WargaSebelum pencoblosan lembaga survei dan para pengamat juga sibuk membuat analisis tentang daerah yang dianggap ‘basis’ incumbent dan para penantangnya. Disebutkan misalnya bahwa Jokowi-Basuki akan kuat di wilayah Jakarta Utara tapi lemah di Jakarta Selatan. Fauzi-Nachrowi diklaim akan menang di Jakarta Timur. Dan begitu seterusnya. Tapi lagi semua analisis itu gugur ketika Jokowi-Basuki menang di semua wilayah kota, tanpa terkecuali. Hanya di Kepulauan Seribu saja pasangan ini menempati urutan ketiga setelah Fauzi-Nachrowi dan Alex-Nono. Tidak terlalu sulit menduga penyebab kekalahan itu jika melihat perbandingannya dengan wilayah lain.

Jika dibedah ke tiap wilayah kota, kecamatan dan bahkan kelurahan (lihat artikel ‘Bergulat di Condet’) maka jelas bahwa klaim tentang ‘basis politik’ dari partai politik patut dipertanyakan kembali. Ada perbedaan besar antara perolehan suara partai politik dengan suara calon yang didukungnya dalam pemilukada DKI 2012. Mesin partai di sini berperan untuk menghimpun suara warga yang memang sudah condong pada Jokowi-Basuki. Tentu tidak dapat dilupakan peran para relawan yang tanpa kenal lelah memperkenalkan sosok Jokowi-Basuki melalui berbagai saluran, mulai dari media sosial di Internet sampai pada pertemuan tatap muka di tingkat RT.

Tak lama setelah penghitungan cepat diumumkan Jokowi mengatakan kunci keberhasilan ada kerjasama baik antara partai pendukung, para relawan dan masyarakat yang memilih (VIVANews, 11/7). Ia mengaku tidak pernah punya strategi besar karena itu akan memerlukan sumber daya yang besar. Ia lebih memilih strategi kecil di mana semua elemen bergerak. Dan gerak ini akan semakin menguat pada putaran kedua. n

sendiri pula. Baju kotak-kotak yang menjadi trademark Jokowi-Basuki ini tidak dibagikan secara gratis seperti calon lain. Baju itu dijual dengan harga bervariasi sesuai dengan kemampuan pendukung. “Saya beli dari teman di DPP (PDI Perjuangan) seharga Rp 60.000 lalu dijual lagi Rp 80.000. Selisihnya disumbangkan untuk kampanye,” jelas Agung Putri dari DPP PDI Perjuangan.

Survei atau Kampanye?Lembaga survei dan para pengamat pun sampai hari pencoblosan masih optimis bahwa Fauzi-Nachrowi akan memenangi putaran pertama. Lingkaran Survei Indonesia yang dipimpin Denny JA bahkan mengklaim bahwa Fauzi-Nachrowi bisa menang satu putaran saja. Walau belum mencapai angka 50 persen, menurut survei itu, potensi kemenangan itu sangat besar karena Jokowi-Basuki jauh tertinggal dengan hanya 14,4 persen suara.

Jaringan Suara Indonesia (JSI) prediksinya bahkan lebih heboh lagi. Berdasarkan data yang dikumpulkan antara 28 Juni dan 2 Juli, pasangan Fauzi-Bowo disebut meraih dukungan 49,6 persen. Peluang incumbent untuk menang satu putaran terbuka lebar karena cukup banyak pemilih yang belum menentukan pilihan dan juga karena mayoritas warga ingin pemilukada berlangsung satu putaran saja.

Semua prediksi itu terbukti tidak benar. Penghitungan cepat yang dilakukan banyak lembaga menunjukkan hasil sebaliknya. Lalu bagaimana LSI dan JSI menjelaskan prediksi mereka yang keliru? “Ini adalah anomali,” kata Direktur Riset JSI Eka Kusmayadi seperti dikutip VIVANews (12/7). Menurutnya para responden cenderung menutupi pilihan mereka sesungguhnya mendukung calon yang bukan incumbent. Denny JA dari LSI berpendapat lain. Ia mengatakan masalahnya ada pada dinamika selama seminggu sebelum pencoblosan. Dinamika terjadi di media sosial seperti facebook dan twitter.

Tidak semua lembaga survei berpendapat sama. Sebuah survei yang dikerjakan bersama oleh LP3ES, jurnal Prisma dan MNC Riset menyimpulkan bahwa pemilukada akan

besar Haji Darip di Klender yang tegas berpihak pada Jokowi-Basuki. Dengan kata lain orientasi politik dari kelompok etnik tidak selalu homogen. Ada banyak variasi dan kemungkinan. Kalau melihat hasil perolehan suara bahkan bisa disimpulkan bahwa politik identitas yang sempat menguat sejak 1998 sekarang mulai melemah lagi.

Dalam situasi itu kampanye yang mengeksploitasi perbedaan SARA sama sekali tidak efektif dan cenderung malah memukul balik. Alih-alih bisa mempengaruhi orang kampanye semacam itu justru membuat jengkel. Warga Jakarta ingin pemerintahan yang bersih, berwibawa dan dapat bekerja dengan baik. Warga semakin kritis pada politik jalan pintas yang cuma mengeksploitasi perbedaan identitas untuk kepentingan sesaat. n

Ada saja cara orang menghibur diri setelah menelan kekalahan. Ketua Fraksi Partai Demokrat Nurhayati Assegaf misalnya menjelaskan kekalahan jagonya, Fauzi-

Nachrowi, karena banyak orang yang pergi berlibur pada 11 Juli lalu. Mereka yang berlibur ini adalah pendukung setia Fauzi-Nachrowi yang mengira bahwa pasangan calon itu akan menang telak dan karena itu memutuskan untuk berlibur saja. Entah benar atau tidak, yang pasti sampai saat ini belum ada pendukung setia Fauzi-Nachrowi yang mengaku menyesal karena tidak ikut memilih.

Lain lagi Melani Leimena dari Dewan Pembina Partai Demokrat. Ia mengatakan kekalahan Fauzi-Nachrowi karena jumlah orang Jawa di Jakarta sudah melampaui jumlah orang Betawi. Logikanya tentu bahwa mayoritas orang Jawa akan mendukung Jokowi-Basuki, sementara orang Betawi akan mendukung Fauzi-Nachrowi. Tapi nyatanya dari exit poll yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) ternyata hanya 55,9 persen orang Jawa yang memilih Jokowi-Basuki. Sebaliknya Fauzi-Nachrowi hanya mendapat dukungan dari 48,3 persen orang Betawi.

Berdasarkan exit poll yang sama LSI mengklaim bahwa 100 persen orang Tionghoa memilih Jokowi-Basuki sementara kita tahu ada tokoh Tionghoa seperti pengusaha Murdaya Poo yang tegas mendukung Fauzi-Nachrowi. Sebaliknya ada tokoh Betawi seperti keluarga

Goyahnya Politik Identitas

Page 3: Warta Jakarta Baru

4 RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 5RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

pula penduduknya di kecamatan Kramat Jati. Sebagian yang cukup besar dari wilayahnya berbatasan dengan Jalan Raya Condet yang dipadati oleh toko dan rumah makan. Wilayah pemukiman hanya sekitar 62 persen dari total luas tanah, yang terletak di sebelah barat jalan raya sampai ke bantaran kali Ciliwung di sebelah timur. Di masa Orde Baru kelurahan ini dikenal sebagai basis Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Tapi setelah Orde Baru jatuh para pemilih PPP beralih ke Partai Keadilan (PK) yang juga mengusung simbol Islam.

Pada pemilu legislatif 2004 kelurahan ini dikenal sebagai basis Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang meraih total 35,5 persen suara. Di tempat kedua adalah Partai Demokrat dengan 15,4 persen disusul oleh PPP dengan 12,10 persen. PDI Perjuangan sementara itu hanya meraih 6,98 persen suara. “Balekambang di kalangan kami memang dikenal sebagai zona merah karena sulit ditembus,” ujar Wilson Panjaitan. Karena itu hasil pemilukada 2012 cukup mengejutkan dan menggoyahkan berbagai asumsi dan klaim yang dibuat selama ini. Fauzi-Nachrowi memang unggul dengan 5.473 suara atau 41,3 persen dari total jumlah pemilih. Tapi angka ini jauh lebih rendah dari perolehan suara Fauzi Bowo pada pemilihan gubernur 2007 di kelurahan itu yang mencapai 61,3 persen.

Calon yang didukung PKS, Hidayat-Didik, juga tidak dapat mempertahankan perolehan suara yang dicapai PKS pada pemilu legislatif 2004 maupun pemilihan gubernur 2007 ketika calon yang mereka dukung memperoleh 38,9 persen suara. Dalam pemilukada ini Hidayat-Didik harus puas di tempat ketiga dengan 2.022 suara atau 15,2 persen dari total pemilih di Balekambang. Mereka bahkan jauh berada di bawah Jokowi-Basuki yang memperoleh 4.044 suara atau 30,2 persen dari total pemilih. Tentu ini pencapaian luar biasa mengingat peroleh suara PDI Perjuangan tidak pernah melebihi 10 persen dari total pemilih dalam dua kali pemilihan legislatif.

Jika dilihat sebaran secara geografis pasangan Fauzi-Nachrowi menang telak di RW 01 (Eretan dan Rawa Elok) dan RW04 (Munggang dan Datuk Ibrahim), sementara bersaing cukup ketat di RW 02, 03 dan 05. “Di daerah itu memang Jokowi-Basuki masih kurang dikenal,” jelas Ibu Gunaryo dari Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB). Sewaktu masa sosialisasi dan kampanye Jokowi hanya sempat mampir ke RW 03. “Untuk ke depan kita akan bikin acara lagi agar warga lebih mengenal Pak Jokowi,” katanya.

Batu AmparKelurahan ini adalah yang paling luas di kecamatan Kramat Jati, yang diapit Jalan Raya Condet di sebelah barat dan Jalan Raya Bogor di sebelah timur. Seperti di Balekambang sebagian wilayahnya dipadati pertokoan

dan perkantoran dan hanya sekitar 65 persen adalah daerah pemukiman. Di beberapa RW ada pemukiman elite seperti Condet Baru dan juga rumah besar milik pejabat pemerintah, termasuk calon wakil gubernur Nachrowi Ramli.

Dalam pemilu legislatif 2004 PKS juga unggul di kelurahan ini dengan 29,4 persen suara, sementara PPP yang memperoleh 11,1 persen. Itu sebabnya cukup mengherankan bahwa pasangan Hidayat- Didik hanya mendapat 2.845 suara atau 12,6 persen dari total pemilih. Partai Demokrat dalam pemilu 2004 memperoleh 21,7 persen suara. Jika dikombinasi dengan jumlah perolehan suara Fauzi-Prijanto dalam pemilihan gubernur 2007 yang mencapai 60,4 persen maka tentu bisa diduga bahwa pasangan Fauzi-Nachrowi akan menang telak di kelurahan ini. Apalagi mengingat Nachrowi yang menjadi Ketua DPD Partai Demokrat di DKI juga bermukim di sini. Tapi ternyata di sini pun Fauzi-Nachrowi bersaing cukup ketat dengan Jokowi-Basuki.

Hal yang menarik di Batu Ampar adalah variasi suara di tiap TPS. Di beberapa TPS Fauzi-Nachrowi menang telak sementara di beberapa TPS lain justru kemenangan telak ada di tangan Jokowi-Basuki. Persaingan yang ketat justru terjadi di TPS yang bersebelahan, artinya sudah sampai ke tingkat RT, sehingga tidak mungkin misalnya mengklaim bahwa RW tertentu adalah ‘basis’ dari pasangan calon tertentu. Ambil contoh di TPS 07 yang mencakup wilayah RT04 dan RT14 di RW02, Jl Batu Ampar I, pasangan Fauzi-Nachrowi menang telak dengan 151 suara, sementara Jokowi-Basuki hanya mendapat 103 suara. Tapi di TPS 08 yang mencakup wilayah RT05/RW02 Jokowi-Basuki justru menang telak atas Fauzi-Nachrowi dengan 122 suara dibanding 70 suara.

“Bahwa kita bisa meraih 7.808 suara itu adalah prestasi luar biasa,” ujar seorang pengurus ranting PDI Perjuangan. “Itu artinya bahwa saksi dan guraklih (regu penggerak pemilih) beserta relawan bekerja keras. Ke depan kita harus bekerja lebih keras lagi,” ujarnya. Ia menyampaikan pihaknya sudah menyiapkan strategi khusus dengan mendata kembali para pemilih yang belum menggunakan haknya pada 11 Juli lalu dan mendorong mereka untuk memilih.

Kampung TengahDari semua kelurahan di Kramat Jati, Kampung Tengah ini adalah yang paling padat penduduknya. Maklum dibandingkan dengan kelurahan lain yang berbatasan dengan jalan raya sehingga banyak dipadati pertokoan, kelurahan ini hampir seluruhnya adalah pemukiman, termasuk kompleks militer. RW05 adalah KPAD Bulak Rantai sementara RW06 adalah kompleks perumahan Paspampres. Secara sosial mayoritas penduduknya berasal dari kalangan menengah bawah. Kondisi jalan

Penghitungan suara masih berlanjut tapi hasil akhirnya sudah bisa ditebak. Pasangan Fauzi-Nacrowi sudah jauh melampaui pasangan calon yang lain. Para pendukung incumbent

di TPS 029 Batu Ampar pun bersalaman merayakan kemenangan. Tapi kemenangan itu tidak menghapus senyum dari wajah saksi dan relawan pendukung Jokowi-Basuki. Mereka mengikuti berita hitung cepat dari berbagai media: Jokowi-Basuki menang di seluruh Jakarta! Seorang pria berpakaian hitam menggerutu, “mestinya menang satu putaran ini!” Ya, pada 11 Juli 2012 pasangan Fauzi-Nachrowi dipaksa menelan ludah sendiri. Mereka kalah di semua wilayah Jakarta, dan bahkan masih harus bergulat keras di daerah yang selama ini diklaim sebagai ‘basis pendukungnya’.

TPS 029 Batu Ampar adalah tempat Nachrowi Ramli mencoblos. Di TPS itu ia menang cukup telak dengan 122 suara, sementara Jokowi-Basuki meraih 87 suara. Di Batu Ampar yang dibagi ke dalam 72 TPS pasangan Fauzi-Nachrowi menang cukup telak dengan 9.523 suara, sementara Jokowi-Basuki di urutan kedua dengan

7.808 suara. Di tiga kelurahan yang kerap disebut Condet – Batu Ampar, Balekambang dan Kampung Tengah – Fauzi-Nachrowi memang masih unggul. Di kecamatan Kramat Jati yang terdiri atas tujuh kelurahan – termasuk tiga kelurahan tadi – Jokowi-Basuki kalah tipis dengan selisih 693 suara.

“Bagi kami ini adalah kemenangan,” kata Wilson Panjaitan, ketua PAC PDI Perjuangan Kramat Jati saat memberi sambutan dalam syukuran menyambut kemenangan Jokowi di Balekambang Senin (23/7). Wilayah Condet memang diklaim sebagai ‘basis’ oleh pasangan Fauzi-Nachrowi. Semasa kampanye ada baliho besar di jalan-jalan dengan pesan jelas, “Condet sudah rapat tidak bisa ditembus.” Tapi nyatanya di cukup banyak TPS Jokowi-Basuki justru menang. Berikut laporan tim Warta Jakarta Baru tentang hasil pemilihan di tiga kelurahan tersebut.

BalekambangKita mulai dengan Balekambang yang merupakan kelurahan paling kecil luas wilayahnya dan paling sedikit

Bergulat di Condet

Page 4: Warta Jakarta Baru

6 RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 7RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

dan transportasi juga tidak baik, hanya sedikit kendaraan umum yang sampai ke bagian dalam.

Secara politik kelurahan ini dikenal sebagai basis PDI Perjuangan di masa lalu. Pada pemilihan umum 1999 partai itu menang cukup besar di kelurahan ini, tapi kemudian terus merosot. Pada pemilu legislatif 2004 suaranya turun menjadi 16,2 persen sementara PKS mengambilalih tempat pertama dengan 24,5 persen disusul oleh Partai Demokrat dengan 20,4 persen. Partai Golkar yang agak lemah di Balekambang dan Batu Ampar masih punya gigi di sini dengan 10,5 persen suara. Saat pemilihan gubernur 2007 Fauzi Bowo menang dengan 57,5 persen suara.

Dalam pemilukada 2012 peta suara ini kembali berubah. Jokowi-Basuki di sini menempati urutan pertama dengan 8.113 suara atau 39,6 persen dari total pemilih. Fauzi-Nachrowi di urutan kedua dengan 6.905 suara atau 33,7 persen. Hidayat-Didik di urutan ketiga dengan 2.839 suara atau 13,8 persen. Seperti di Batu Ampar persaingan ketat terjadi di tingkat TPS atau RT. Di TPS 067 yang mencakup wilayah RT04/RW10 misalnya Fauzi-Nachrowi menang telak dengan selisih 110 suara, sementara di TPS 066 yang bersebelahan Jokowi-Basuki menang dengan selisih 88 suara.

Menghadapi Putaran KeduaKedua pasangan calon yang lolos ke putaran kedua kini menyiapkan diri untuk meraih suara lebih banyak. Jokowi seperti halnya waktu putaran pertama menghadapi kendala jarak. Karena masih bertugas sebagai walikota Solo ia tidak bisa meninggalkan kotanya untuk waktu lama, dan hanya akhir pekan bisa ke Jakarta untuk menemui warga. “Tapi Pak Jokowi sudah koordinasi dengan kami dan akan menyiapkan strategi khusus,” ujar Soesilo dari RPJB simpul Condet. Ada kerjasama baik antara relawan, struktur partai dan juga para saksi yang tergabung dalam regu penggerak pemilih (guraklih) di tiga kelurahan. “Strategi ini adalah kejutan yang sangat menyenangkan. Lihat saja nanti!” n

Pengalaman sehari-hari seseorang kerap menjadi acuan tindakannya. Demikian pula yang terjadi pada seorang anggota Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) di Condet.

Ibu Gunaryo termasuk salah satu relawan yang tak kenal lelah mendatangi satu persatu calon pemilih di seputaran kelurahan Balekambang, Kramat Jati, Jakarta Timur. Ia tergerak mengumpulkan pendukung bagi calon gubernur Jokowi di wilayah Condet karena realitas yang ditemuinya sehari-hari.

Salah seorang tetangganya ketika itu sakit parah dan harus beberapa kali cuci darah dalam seminggu. Karena tak ada jaminan kesehatan atau pun asuransi, keluarga si sakit harus menanggung biaya besar untuk pengobatannya. Singkat kata, si sakit tak mau lagi pergi ke rumah sakit dan hanya tergolek di rumah. Melihat kondisi tetangganya itu, ia teringat berita tentang jaminan kesehatan bagi warga kota Solo yang pernah ditayangkan oleh salah satu stasiun televisi. Ia lalu mendatangi tetangga yang sakit itu dan membisikkan ajakan pergi ke Solo untuk tetirah sambil mengupayakan pengobatan di sana. Di kota Solo sendiri, ia memiliki sejumlah kerabat yang diharapkan bisa membantunya. Namun, keinginan membawa si sakit berobat ke Solo tak pernah kesampaian karena sang tetangga keburu meninggal.

Pengalaman ini terus melekat. Ia berpikir seharusnya warga miskin Jakarta tak perlu khawatir soal biaya kesehatan jika sakit. Angan-angan ini seperti memperoleh jalan untuk diwujudkan ketika ia dan beberapa kawannya di organisasi Suara Ibu Peduli sepakat untuk bergabung dengan RPJB simpul Condet. Bersama anggota RPJB lainnya, ia bekerja keras menyebarluaskan informasi kepada kerabat, tetangga dan teman-temannya tentang apa yang telah dilakukan calon gubernur Jakarta, Joko Widodo selama menjabat Walikota Solo.

Menurut ceritanya, sebagai ibu rumah tangga ia memulai pendekatan dengan para ibu dan perempuan di sekitar rumahnya. Tempat yang paling cocok untuk mengawali langkahnya adalah pojok tukang sayur di pagi hari di mana para ibu biasanya berbelanja kebutuhan memasak. Di situ ia membuka pembicaraan tentang calon gubernur Jakarta yang akan datang. Tak dinyana ternyata para ibu cukup responsif. Maka pembicaraan tentang berbagai hal terkait calon pemimpin Jakarta dan masalah-masalah yang harus mereka hadapi sehari-hari terus bergulir.

Ia juga menyambangi rumah beberapa ibu di sekitar rumahnya. Dalam beberapa kesempatan, ia berhasil menemui suami dari ibu-ibu tersebut dan

Gerak Para Ibu untuk Jakarta Baru

Kemenangan Jokowi-Basuki dalam putaran pertama rupanya membuat gerah beberapa

pihak. Sekarang bermacam cara dicoba untuk mencegah kemenangan pada putaran kedua. Setelah gagal menuduh Jokowi-Basuki melakukan politik uang, isu SARA pun dimainkan. Tapi isu ini pun kandas. Maka sekarang beredar kabar bahwa ada ‘pendukung gadungan’ yang juga memakai baju kotak-kotak tapi dengan tujuan untuk mendiskreditkan Jokowi-Basuki.

Para ‘pendukung gadungan’ ini konon akan menyebar mengenakan baju kotak-kotak dan mengaku relawan, tapi lalu membagikan uang atau melakukan kampanye hitam. Tujuannya tidak lain agar warga kemudian melapor kepada Panwaslu sehingga tim suskes atau relawan pendukung sejati Jokowi-Basuki yang jadi sasaran. “Kami sudah dapat laporan dari orang yang ditawari melakukan perbuatan itu tapi menolak,” ujar Agung Putri, Ketua Departemen HAM DPP PDI Perjuangan.

Tim Kampanye Jokowi-Basuki juga sudah memberikan tanggapan resmi atas gejala ini. Ketua Tim Boy Bernadi Sadikin, dalam rilis media pada 22 Juli 2012 mengatakan, “berharap warga tidak terhasut oleh janji-janji oknum berbaju kotak-kotak yang menjanjikan atau mengimingi-imingi akan memberikan uang dan sembako,” dan mendesak aparat untuk menangkap para oknum yang bersangkutan. Para relawan juga dihimbau untuk merapatkan barisan dan tidak memberi ruang pada penyusup yang mau memancing di air keruh. n

Awas, Kotak-Kotak Gadungan!

Page 5: Warta Jakarta Baru

8 RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 9RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

membicarakan hal yang sama. Masalah yang paling sering dibincangkan adalah biaya kesehatan dan pendidikan. “Itu kan persoalan yang paling nyata dialami para ibu,” jelasnya.

Dari dua-tiga orang ibu di lingkungan terdekat rumahnya, berkembang menjadi belasan dan puluhan perempuan dan laki-laki di RT dan RW yang berbeda dengan tempat tinggalnya. Ia bersilaturahmi di acara-acara keagamaan, baik agama Kristen maupun Islam. Menurutnya, para ibu di pengajian tak keberatan ia datangi meskipun ia sendiri beragama Katholik. Dalam jangka waktu beberapa minggu, Ibu Gunaryo berhasil mengumpulkan lebih dari seratus nama yang menyatakan mendukung Jokowi.

Meskipun demikian, ia mengakui kesulitan memberi penjelasan ketika para pendukung itu menanyakan kaos atau pun baju kotak-kotak Jokowi. “Mereka kan melihat sendiri bagaimana kubu lainnya itu bagi-bagi kaos atau barang dengan mudahnya,” ceritanya. Satu-satunya jalan adalah ia tak henti menerangkan bahwa Jokowi memang tidak membagi uang atau barang apa pun karena ingin pemilihnya menggunakan hak pilih untuk perubahan. Sehingga ketika nantinya Jokowi terpilih, rakyat berhak menagih perubahan itu.

Kerja keras Ibu Gun berbuah manis. Pada 11 Juli 2012, hasil pemungutan suara di TPS tempatnya mencoblos menunjukkan perolehan suara Jokowi dan Fauzi Bowo imbang sementara kandidat lainnya jauh di bawah kedua pasangan cagub tersebut. Ini merupakan prestasi tersendiri karena wilayah itu dikenal sebagai basis PKS, Golkar dan tentunya Fauzi Bowo. Dalam sejarah Pemilu pun, partai pengusung Jokowi, PDI Perjuangan, tak

pernah memenangkan suara di sana sehingga disebut sebagai ‘zona merah’.

Kiprah Ibu Gunaryo itu rupanya tak berhenti di situ. Pengalaman berkeliling dan menyambangi orang-orang sambil memperkenalkan Jokowi, membuatnya mengenal lingkungan kelurahan Balekambang. Suatu ketika Ibu Gunaryo datang ke Posko RPJB sambil menyerahkan fotocopy KTP dan surat keterangan tidak mampu salah seorang warga Balekambang yang sedang sakit. “Ini bagaimana caranya agar kita bisa membantunya berobat. Saya jadi tahu ternyata banyak sekali warga miskin di Balekambang yang perlu dibantu, terutama soal biaya kesehatan,” paparnya.

Kerja keras Ibu Gunaryo dan relawan lainnya di RPJB telah melampaui motivasi memenangkan pasangan cagub Jokowi-Basuki. Upaya mereka menggerakkan pemilih untuk mencoblos nomor urut 3 dilandasi oleh keinginan mengubah keadaan yakni mewujudkan Jakarta Baru yang lebih adil dan menyejahterakan. Oleh karena itu, mereka marah ketika kubu Fauzi Bowo menuduh Jokowi-Basuki melakukan politik uang. “Gimana mau politik uang, wong dapet kaos aja susah. Saya berani mengajak para pemilih Jokowi bersama-sama pergi ke KPUD untuk menunjukkan bahwa kerja-kerja kami selama ini tanpa bayaran,” jelas Ibu Gunaryo berapi-api.

Kemenangan Jokowi-Basuki pada putaran pertama pilkada Jakarta telah digenggam. Benar sekali apa yang dikatakan Jokowi , “kemenangan ini adalah kemenangan rakyat.” Sebab di dalam kemenangan itu terdapat keringat para ibu menggerakkan pemilih ke TPS untuk mewujudkan cita-cita perubahan. n

Pada hari pencoblosan ada insiden di beberapa TPS. Panitia pemilihan melarang saksi Jokowi-Basuki mengenakan baju kotak-kotak yang menjadi simbol pasangan tersebut. Relawan

di Batu Ampar sempat bersitegang dengan KPPS yang bersikeras tidak memberikan izin. “Ada surat edaran dari KPUD bahwa saksi boleh mengenakan baju kotak-kotak,” tegas relawan. “Mana suratnya?” tantang anggota KPPS. “Lho, yang panitia kan Anda. Mestinya Anda yang punya surat, bukan kami.” Perdebatan berakhir saat petugas dari kelurahan datang dan mengklarifikasi masalah. Akhirnya saksi diizinkan memakai baju kotak-kotak, walau waktu pemilihan sudah hampir berakhir.

Selama proses pilkada DKI 2012 motif kotak-kotak mendapat arti khusus. Ide awalnya datang dari Jokowi sendiri. Menjelang pendaftaran minta dicarikan baju kotak-kotak yang sederhana tapi unik sekaligus. Setelah melihat beberapa motif berbeda akhirnya pilihan jatuh ke motif yang kemudian dikenal sebagai ‘kotak-kotak Jokowi’. Sewaktu pendaftaran di KPU keduanya langsung menarik perhatian karena ‘seragam’ yang unik. Sementara pasangan cagub-cawagub lain mengenakan sejenis ‘pakaian kebesaran’ yang niatnya mewakili warna lokal, Jokowi-Basuki malah mengenakan motif yang sangat sehari-hari. Media pun mengangkat peristiwa itu dan dengan cepat demam kotak-kotak mulai melanda Jakarta.

Kotak-kotak yang Menghentak

Ide ini kemudian ditangkap oleh beberapa pihak. Mindo Sianipar, anggota DPR-RI dari PDI Perjuangan mendorong momentum itu dengan memproduksi baju kotak-kotak secara massal. “Baju kotak-kotak ini tidak dipatenkan sebagai atribut partai atau kontestan pilkada,” katanya. “Tapi sebaliknya agar warga bisa merasa dekat.” Motif yang dipilih memang sengaja yang mudah diingat dan mudah diakses oleh orang. Produksi massal pun dimulai. Di Solo seorang pengusaha garmen menyatakan sanggup memproduksi baju dengan motif tersebut dalam jumlah

massal dengan harga Rp 40.000. Untuk baju dengan bahan yang lebih baik harganya Rp 50.000.

Berbeda dengan pasangan cagub-cawagub yang dikenal karena sering membagi kaos gratis, Jokowi-Basuki justru menggunakan baju kotak-kotak sebagai sarana mengumpulkan dana. Baju yang ongkos produksinya Rp 40.000 dijual dengan harga Rp 60.000 kepada pengurus partai atau tim sukses, yang lalu menjualnya lagi dengan harga Rp 80.000 sampai Rp 100.000. Selisihnya kemudian dipakai untuk mengongkosi kampanye di berbagai tingkat. Walau tentu tidak dapat menutupi keseluruhan biaya kampanye, tapi dana yang berhasil dihimpun dengan sistem ini cukup signifikan. Mindo Sianipar sendiri mengaku berhasil mengumpulkan Rp 200 juta dari penjualan itu untuk disumbangkan kepada tim kampanye.

Tentu demam baju kotak-kotak ini juga cepat ditangkap oleh pedagang pasar. Selama Mei-Juni bahkan sampai hari pencoblosan banyak toko pakaian memajang baju kotak-kotak. Mulai dari pedagang kodian di Tanah Abang sampai toko pakaian bermerek di mal meraup untung dari demam itu. Kampanye pilkada yang biasanya identik dengan penghamburan uang sekarang malah bisa mendatangkan keuntungan dan ikut menggerakkan roda perekonomian. Sebuah ide sederhana yang punya daya hentak besar. n

Page 6: Warta Jakarta Baru

10 RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 11RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Menjaring orang memilih Jokowi bukan perkara mudah. Yang diajak langsung bertanya, “dikasih apa?” Repot, kalau bilang dikasih Jakarta Baru, tidak terjangkau oleh

daya pikir tetangga. Maka dengan kapasitas saya sebagai ibu rumah tangga, saya mencari cara supaya tidak kehilangan momen gembira menarik massa untuk menjadikan Jakarta lebih baik.

Saya mengawali dengan mengirim sms pada teman-teman yang ada di hp saya. Lupa bahwa tidak semua teman tinggal di Jakarta. Jawabannya, “kampanye nih ye! Lo lupa gue di Tangerang?” Ah! Ada beberapa jawaban pendek saja, “ok, yes, semangat!” Jawaban yang singkat itu yang kalau di hari biasa menyebalkan kali ini jadi menyenangkan. Beberapa menjadi percakapan yang lanjut, menjadikan Jokowi topik obrolan yang lucu.

Ada teman komentar tentang sengketa Jokowi dan Bibit Waluyo. “Ibarat ayam, ini pasti jenis ayam nekad,” katanya. Lalu saya jawab, “kalau orang nekad dan berhasil (Jokowi menjadi salah satu walikota terbaik di dunia), pasti ada ‘kegilaan’ yang bisa dilihat.” Lalu media ramai meliput wong ndeso dari Solo itu datang ke Jakarta mengunjungi

kaum pinggiran. Ia tidak banyak bicara besar dan sepertinya tahu bahwa kaum urban Jakarta hampir tidak tersentuh oleh program pemerintah. Tepat sasaran. Teman saya pun berkomentar, “jagoan lo hebat juga, ya!”

Seorang teman menelpon mengatakan suka mendapat sms saya dan tertarik pada sosok Jokowi. Saya menawarinya buku

Duet Wong Ndeso Memimpin Jakarta. Dia setuju. Buku dikirim dan segera dibaca tuntas. Setelah itu masih ditambah browsing tentang Jokowi di internet. Entah berita mana yang dibacanya, tapi tiba-tiba ia bertanya. “Siapa Mak Epon?” Lho kok tahu Mak Epon segala, batin saya. “Kenapa memangnya?” saya balik tanya. “Terkenal di dunia maya,” katanya. Rupanya ada berita tentang Mak Epon, warga Propojenk, kelurahan Tengah, yang gigih membela Jokowi di kampungnya. Saya tertawa. “Tiap malam kalau rapat aku duduk di sebelahnya,” saya menjawab. “Masa!?”

Waktu berjalan dan saat kampanye tiba teman saya mengganti profile picture di BBnya dengan foto Jokowi dan Ahok. “Ayo pasang!” ajaknya. Wah, kok jadi dia yang lebih semangat dari saya. “Belum lima menit aku pasang sudah lebih dari sepuluh teman yang ikutan,” katanya. Kebetulan teman saya ini arsitek yang sedang membangun gedung dengan ratusan pekerja. Ah, terbayang ratusan orang bicara tentang Jokowi dan Ahok sembari bekerja.

Saya juga sempatkan mampir ke facebook. Saya pasang foto Jokowi waktu berkunjung ke Condet di laman saya. Macam-macam pertanyaan muncul mulai dari bagaimana

Menyapa Pemilih di Dunia Maya

caranya mendatangkan Jokowi sampai ke bajunya yang seperti tak pernah ganti. Ada teman menelepon. “Waktu berdiri dekat dia nggak bau? Bajunya kan nggak ganti-ganti,” selorohnya. Lalu saya kirim foto Jokowi yang sedang menyemir sepatunya sendiri. Kalau seorang begitu teliti dengan sepatunya, pasti lebih teliti lagi pada bajunya.

Adik saya dari Brest, Prancis, pun berkomentar. “Lo terjun ke politik? Go, Ir, go!” Hah, terjun ke politik? Jauh panggang dari api. Ini bukan soal politik tapi soal keinginan kalau bangun tidur kita bisa lepas dari cerita Jakarta yang ruwet. Soal kemiskinan yang melilit dan tak diurus pemerintah. Anak-anak sekolah katanya gratis tapi tetap banyak pungutan. Busway dengan penunggu yang

baris mengular. Orang-orang yang habis sebagian besar waktunya di jalan karenamacet, kekerasan antar agama dan para algojo yang atas nama agama merasa lebih kuasa dari polisi, soal Satpol PP yang tak punya hati, biaya berobat yang mahal, soal pinggir jalan yang digali-uruk berulangkali karena tidak ada perencanaan yang jelas.

“Nggak lagi mimpi kan?” tanya adik saya. “Nggak, ini lagi berjalan ke arah sana,” Lalu ia mengambil foto Jokowi yang kemudian dipasang di halamannya. Sebelum hari pencoblosan ia menulis status: “Besok pada milih, saya jauh jadi nggak bisa milih. Tapi milihlah pakai hati.” Saya jawab: “Pilihlah Jokowi.” Jawabnya lagi: “Begitu maksudnya.” n

Kamis 2 Agustus 2012 malam, Posko Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) simpul Condet, Jakarta Timur,

menggelar percakapan jarak jauh (teleconference) dengan Jokowi yang berada di Solo. Percakapan yang berlangsung sekitar 30 menit ini pun terbilang berjalan lancar.

Sama sekali tak ada suasana tegang ketika kami menunggu dimulainya percakapan dengan calon pemimpin Jakarta 2012-2017 ini. Tentu saja ini tak lepas dari pengalaman kami sebelumnya saat sempat berjumpa langsung dengan Jokowi. Sikapnya luwes dan ramah alamiah. Tak seperti banyak pejabat lainnya yang ketika berhadapan dengan warga masyarakat selalu ingin menampilkan citra buatan, lewat perilaku terprogram dan kedok senyuman.

Saat Jokowi akhirnya muncul di ‘layar monitor darurat’ (bagian belakang lembaran besar peta Jakarta) kami semua bersorak gembira. Selain relawan, di Posko hadir pula para Pengurus Anak Cabang PDI Perjuangan, Kecamatan Kramatjati, Jakarta Timur. Malam itu, Jokowi mengenakan baju koko warna putih serta berpeci hitam. Ia baru saja selesai menjalankan shalat tarawih.

Berbagai hal diperbincangkan dalam kesempatan ini. Salah seorang relawan bercerita tentang kondisi Pak Yusuf, warga Balekambang, Condet yang semakin membaik kesehatannya kini. Waktu keliling Condet awal Juni lalu, Jokowi sempat menjenguk Pak Yusuf yang kala itu didera sakit parah. Relawan yang lain lagi menceritakan derasnya aliran uang

dari kubu lawan yang terus merasuk ke kantung-kantung pemukiman di Jakarta.

Tak ketinggalan kami pun menanyakan kondisi Pak Jokowi sepulang dari Tanah Suci beribadah umroh.

“Kondisi saya alhamdulilah sehat dan baik-baik saja,” kata Jokowi dengan senyum lebar.

Seorang perempuan relawan lalu menanyakan kepada Jokowi bagaimana sebaiknya menanggapi serangan isu SARA yang belakangan ini ditiupkan oleh beberapa kalangan termasuk oleh orang-orang yang dikenal sebagai pemuka agama.

Dengan ringan Jokowi menjawab: “Ya ndak usah ditanggapai Bu…. Lha wong saya saja tidak menanggapi isu itu.” Kami semua tertawa lepas mendengar ucapannya itu. Di media massa, Jokowi pernah menyatakan bahwa ia tak terlalu ambil pusing dengan isu SARA yang menerpa dirinya dan Ahok. Ia menyerahkan sepenuhnya kepada warga Jakarta yang menurutnya telah mampu berpikir rasional, cerdas dan tidak mudah terbawa emosi. “Nanti masyarakat sendiri yang akan menilai,” demikian tuturnya.

Lalu Jokowi melanjutkan sambil tetap tersenyum: “Tapi kalau ada yang bertanya, bolehlah Anda semua menjelaskan bahwa saya telah jadi haji sejak dua belas tahun lalu.”

Kami pun menimpali: “Oleh-oleh naik hajinya mana Pak?”

“Lha, saya naik haji 12 tahun lalu. Kok tanya oleh-olehnya sekarang?”

Tawa yang hadir di Posko pun makin riuh rendah. Salah seorang dari kami lantas meluruskan pertanyaan yang dimaksud: “Bukan Pak. Maksudnya oleh-oleh dari umroh kemarin.”

“O itu…Ya ada oleh-oleh sedikit. Tapi sudah habis dibagi-bagi di sini (Solo),” kata Jokowi lagi sambil tersenyum.

Perbincangan jarak jauh dengan Jokowi akan kami laksanakan lagi di wilayah lain dalam lingkungan Condet. Beberapa komunitas pendukung Jokowi di tempat lain di Jakarta pun telah siap melakukan hal yang sama. Salam Jakarta Baru! n

Percakapan Jarak Jauh dengan Jokowi

Page 7: Warta Jakarta Baru

12 RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Didukung :

RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

ALAMAT REDAKSI: Gang Mede, Jl. SMP 126, Rt 05/03, No. 105, Kelurahan Tengah - Condet, Jakarta Timur

Email: [email protected] q Telpon : 0812.8711737, 0811.156306

SIMPUL-SIMPUL RPJB: u Kebon Jeruk - 0812.18998400 (JAK-BAR) u Kampung Melayu-0816.1467441, Condet, Prumpung - 0816.1464207 (JAKTIM),

u Manggarai - 0857.11784006, Manggarai Selatan - 021.97159328 u Pejaten Timur - 081399868617 (JAK-SEL)