Top Banner
Alamat Redaksi: Gang Mede, Jl. SMP 126, Rt 05/03, No. 105, Kelurahan Tengah - Condet, Jakarta Timur Email: [email protected] Simpul-simpul RPJB: Kebon Jeruk (Jak-Bar), Kampung Melayu, Condet, Halim, Kebon Pala, Matraman, Pulo Gadung, Ciracas, Cipayung (Jak-Tim), Manggarai (Jak-Sel). JAKARTA SEHAT, BUKAN MIMPI Wawancara JOKOWI Hlm. 9 Kebakaran! Kebakaran! J umat itu (24/8) terasa seperti mimpi buruk saja. Ke- bakaran terjadi di tujuh tempat berbeda sejak pagi buta. Dimulai dari kelurahan Tegal Alur, Kalideres, Jakarta Barat. Tidak ada korban jiwa atau luka, tapi lima rumah terbakar habis. Memasuki pagi giliran kelurahan Tambora. Ratusan rumah di empat RT terbakar sehingga para penghuni terpaksa mengungsi. Setelah itu beruntun terjadi kebakaran di Pondok Pinang dan Jalan Bangka di Jakarta Selatan, serta Pasar Gaplok di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Sejak pertengahan Juli kasus kebakaran terus seperti tak henti melanda Jakarta. Harian Kompas menurunkan laporan panjang mengenai masalah ini dan menerbitkan peta sebaran kasus kebakaran di seluruh Jakarta. Di me- dia sosial pun beredar dugaan dan analisis yang men- gaitkan peta kebakaran itu dengan peta perolehan suara dalam pilkada DKI. Kebetulan juga kasus kebakaran be- sar pertama terjadi seminggu setelah pengumuman hasil pilkada di Kelurahan Pinangsia, Jakarta Barat. Di kelu- rahan ini Jokowi menang dengan 54,91 persen suara. Kontroversi pun merebak apalagi setelah beredar ber- ita bahwa di beberapa tempat kebakaran berasal dari rumah kontrakan yang penghuninya baru beberapa hari sebelumnya pindah ke sana. Dan setelah kebakaran mereka menghilang tanpa bekas. Ketika perdebatan menghangat Fauzi Bowo langsung menyergah dan mem- inta agar kasus kebakaran tidak dikaitkan dengan pilka- da. “Janganlah kita asosiasikan dengan hal yang macam- macam.” (VIVANews 24/8). Tapi sebenarnya yang pertama kali mengaitkan musibah kebakaran dengan pilkada DKI tidak lain ada- lah Fauzi Bowo sendiri. Saat menjenguk korban keba- karan di Karet Tengsin ia sempat direkam kamera video bertanya kepada seorang ibu, “sekarang lo nyolok siapa? Kalau nyolok Jokowi mah bangun di Solo aja sono!” Kontan saja ucapan itu mengundang kritik di berbagai media karena dianggap arogan, tidak peka terhadap keadaan korban. Tim sukses Fauzi-Nachrowi langsung turun membela dan mengatakan bahwa Fauzi Bowo hanya bercanda. EDISI SEPTEMBER 2012 foto: angkringanwarta.com
16

Warta Jakarta Baru September 2012

Mar 09, 2016

Download

Documents

Warta Jakarta Baru September 2012
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Warta Jakarta Baru September 2012

Alamat Redaksi: Gang Mede, Jl. SMP 126, Rt 05/03, No. 105, Kelurahan Tengah - Condet, Jakarta TimurEmail: [email protected]

Simpul-simpul RPJB: Kebon Jeruk (Jak-Bar), Kampung Melayu, Condet, Halim, Kebon Pala, Matraman, Pulo Gadung, Ciracas, Cipayung (Jak-Tim), Manggarai (Jak-Sel).

JAKARTA

SEHAT, BUKAN

MIMPI

Wawancara JOKOWI

Hlm. 9

Kebakaran! Kebakaran!

Jumat itu (24/8) terasa seperti mimpi buruk saja. Ke-bakaran terjadi di tujuh tempat berbeda sejak pagi buta. Dimulai dari kelurahan Tegal Alur, Kalideres,

Jakarta Barat. Tidak ada korban jiwa atau luka, tapi lima rumah terbakar habis. Memasuki pagi giliran kelurahan Tambora. Ratusan rumah di empat RT terbakar sehingga para penghuni terpaksa mengungsi. Setelah itu beruntun terjadi kebakaran di Pondok Pinang dan Jalan Bangka di Jakarta Selatan, serta Pasar Gaplok di kawasan Senen, Jakarta Pusat.

Sejak pertengahan Juli kasus kebakaran terus seperti tak henti melanda Jakarta. Harian Kompas menurunkan laporan panjang mengenai masalah ini dan menerbitkan peta sebaran kasus kebakaran di seluruh Jakarta. Di me-dia sosial pun beredar dugaan dan analisis yang men-gaitkan peta kebakaran itu dengan peta perolehan suara dalam pilkada DKI. Kebetulan juga kasus kebakaran be-sar pertama terjadi seminggu setelah pengumuman hasil pilkada di Kelurahan Pinangsia, Jakarta Barat. Di kelu-rahan ini Jokowi menang dengan 54,91 persen suara.

Kontroversi pun merebak apalagi setelah beredar ber-ita bahwa di beberapa tempat kebakaran berasal dari rumah kontrakan yang penghuninya baru beberapa hari sebelumnya pindah ke sana. Dan setelah kebakaran mereka menghilang tanpa bekas. Ketika perdebatan menghangat Fauzi Bowo langsung menyergah dan mem-inta agar kasus kebakaran tidak dikaitkan dengan pilka-da. “Janganlah kita asosiasikan dengan hal yang macam-macam.” (VIVANews 24/8).

Tapi sebenarnya yang pertama kali mengaitkan musibah kebakaran dengan pilkada DKI tidak lain ada-lah Fauzi Bowo sendiri. Saat menjenguk korban keba-karan di Karet Tengsin ia sempat direkam kamera video bertanya kepada seorang ibu, “sekarang lo nyolok siapa? Kalau nyolok Jokowi mah bangun di Solo aja sono!” Kontan saja ucapan itu mengundang kritik di berbagai media karena dianggap arogan, tidak peka terhadap keadaan korban.

Tim sukses Fauzi-Nachrowi langsung turun membela dan mengatakan bahwa Fauzi Bowo hanya bercanda.

EDISI SEPTEMBER 2012

foto: angkringanwarta.com

Page 2: Warta Jakarta Baru September 2012

2 WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Anas Urbaningrum, ketua umum Partai Demokrat malah mengatakan bahwa humor dan canda itu bagus. “Itu kan bagus juga biar rakyatnya ketawa-tawa.” (RMOL 11/08). Tapi lain lagi pendapat Habib Salim Alatas, ke-tua FPI Jakarta, yang juga mendukung Fauzi-Nachrowi. “Kita sayangkan pernyataan itu. Foke harus lebih bijak-sana, jangan sombong dan angkuh.” (merdeka.com 9/8).

Kontroversi semakin hangat ketika Dewi Aryani dari PDI Perjuangan dituding oleh sebuah ormas pemuda melakukan kampanye negatif dengan cara menyebar-kan pendapatnya mengenai bencana kebakaran tersebut. Dewi menolak tindakannya itu sebagai kampanye hitam. “Saya tidak pernah menyebut siapa yang salah, hanya menyampaikan fakta memang kebakaran terjadi masif di berbagai lokasi dan turut prihatin. Itu saja,” katanya.

Calon gubernur Jokowi sendiri mengaku bahwa be-nar daerah yang dilanda bencana kebakaran adalah juga kantong perolehan suaranya di putaran pertama. Tapi ia menolak mengikuti berbagai dugaan yang berkembang dan menganggap bahwa masalah itu seharusnya cepat diselesaikan oleh pihak kepolisian. Perhatiannya justru tertuju pada para korban. “Tapi saya malah serba salah. Kalau datang mengunjungi nanti dikira kampanye, kalau tidak datang kok ya tega nggak datang.”

Menurutnya kebakaran di Jakarta yang bisa menca-pai beberapa kasus pada hari yang sama sudah memerlu-kan penanganan khusus. “Ini sudah darurat, karena dua hari ada kebakaran, sehari ada dua kebakaran,” katanya. Memang jika dihitung secara keseluruhan maka keba-karan di Jakarta selama 2012 sudah mencapai 600 kasus lebih, artinya ada dua sampai tiga kebakaran setiap hari di berbagai tempat.

Warga tentu berharap masalah ini bisa ditangani se-cara sistematis. Tapi sejauh ini belum juga ada laporan resmi dari Puslabfor Polri atau Dinas Pemadam Keba-karan DKI yang diumumkan kepada publik. Para pejabat pemerintah maupun polisi hanya memberi jawaban sing-kat secara terpisah dan cenderung menyalahkan warga karena menggunakan listrik tidak sesuai aturan. Padahal jika dilihat secara keseluruhan kekacauan dalam penggu-naan listrik adalah bagian dari tidak bekerjanya sistem.

Politisasi kasus kebakaran memang tidak dapat dibe-narkan, tapi bukan berarti bahwa kebakaran terlepas dari masalah politik. Jelas bahwa kebakaran terjadi ka-rena ada kesalahan dalam sistem pengelolaan tata ruang, fasilitas umum, terutama jaringan listrik. Soal bagaimana sistem itu diatur adalah soal politik. Kegagalan sistem de-ngan sendirinya adalah kegagalan pemimpin, dan warga memiliki hak untuk memilih pemimpin yang tepat untuk mengurus sistem tersebut. Itulah yang akan dilakukan pada putaran kedua 20 September nanti. �

Sentra Industri Mebel Habis Terbakar

Pak Sus tidak menyangka bahwa hasil kerjanya selama duapuluh tahun lebih bisa lenyap dalam sekejap. Saat ditemui Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) ia sedang termangu di reruntuhan tem-pat usahanya. Bengkelnya adalah satu dari sekitar 300 bengkel yang habis dilahap api pada siang hari 21 Agustus 2012 di Jalan Gotong Royong, Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Daerah ini memang dikenal sebagai sentra indus-tri mebel dan kayu. Bengkel yang berukuran kecil dan sedang ini berjejer rapi di atas tanah seluas 9.000 meter persegi yang mereka sewa dari penduduk setempat. Tempat usaha berhimpit dengan rumah sederhana tempat para pengrajin tinggal bersama keluarga mereka.

Penghuninya banyak berasal dari Jawa Tengah, terutama Jepara, Klaten dan Salatiga. “Kami merintis industri di daerah ini sejak 1980an. Waktu itu masih disebut tempat jin buang anak,” katanya mengenang. Secara bertahap mereka membangun usaha di daerah itu. Awalnya hanya sedikit orang tapi rupanya karena keuntungan yang diperoleh cukup menjan-jikan maka semakin banyak orang yang bergabung. Untuk memperkuat kerjasama kemudian dibentuk sebuah koperasi usaha bersama.

Sentra industri mebel di Pondok Bambu ini mungkin salah satu yang paling dinamis di bidang-nya. Omzetnya sekarang ini ada yang mencapai dua milyar rupiah per bulan. Para pengrajin memproduk-si mebel untuk pasar dalam dan luar negeri. Di antara pemesan tetapnya ada Pemda DKI, Bank BNI dan beberapa sekolah di Jakarta. Untuk memamerkan produknya mereka memiliki outlet di beberapa mal.

Semua ini sekarang sudah hangus terbakar dan rata dengan tanah. Api melahap usaha mereka saat sebagian besar sedang pulang kampung ke Jawa Tengah. Tapi bencana itu tidak membuat mereka putus asa. Mereka sudah bertekad akan membangun kembali apa yang musnah dan berharap bahwa pe-merintah DKI ke depan bisa memberi dukungan agar industri mebel kembali bergerak dan menyediakan lapangan kerja cukup bagi warga. Semoga saja. �

Page 3: Warta Jakarta Baru September 2012

WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 3

Tanggung Jawab Siapa?

Jika ada satu-dua kasus kebakaran dalam sebulan maka kita bisa menyebutnya sebagai kecelakaan, tapi jika ada satu-dua kasus kebakaran setiap hari

maka sudah waktunya kita bertanya: apa yang salah? Karena enggan mengambil tanggung jawab para pejabat biasanya menyalahkan warga yang tidak mengerti cara menggunakan peralatan listrik, kompor atau alat rumah tangga lainnya.

Irwan Darwin, Deputi Manajer Komunikasi dan Bina Lingkungan PLN Disjaya misalnya mengatakan bahwa PLB hanya mengawasi dan mengontrol instalasi di luar rumah. Sementara instalasi di dalam rumah menjadi tanggung jawab pemilik rumah. Ia lebih jauh menjelas-kan berbagai kesalahan lain seperti penggunaan kabel yang tidak sesuai standar dan melewati batas bebannya. “Ibaratnya sebuah mobil, bila kapasitasnya diisi tujuh penumpang sekarang diisi 15 penumpang,” katanya (GatraNews 9/8).

Kalau memang begitu halnya patut dipertanyakan juga kebijakan PLN secara menyeluruh. Jika tahu bahwa ada praktek yang membahayakan kepentingan umum seperti itu mengapa tidak melakukan sesuatu untuk mengantisipasinya. Misalnya saja dengan menolak per-mintaan pemasangan instalasi listrik atau memutus sam-bungan listrik jika pengguna tidak mengikuti standar yang ada. Hal semacam itu lazim dilakukan di negara lain dan terkait juga dengan izin mendirikan bangunan yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Masalahnya memang sistem itu secara keseluruhan sangat ruwet. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ban-yak bangunan di Jakarta, terutama rumah tinggal, yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Pasalnya tidak lain karena pemberian izin ini kerap dipersulit atau malah dikomersialkan oleh para pejabat dan pegawai yang berwenang. Tidak jarang juga untuk melindungi diri dari ancaman penggusuran karena tidak memiliki izin para pemilik bangunan ‘liar’ membayar setoran ke-pada pejabat, petugas keamanan atau siapapun yang bisa memberikan perlindungan.

Pihak PLN sementara itu menutup mata terhadap kenyataan itu walau tentu tahu persis keadaan di la-pangan. Mereka bertindak semata sebagai perusahaan layanan jasa padahal sudah jelas bahwa bidang kerja mereka itu menyangkut kesejahteraan dan juga kesela-matan orang banyak. Tapi dengan kebijakan pemerintah yang mendorong layanan publik ditangani pihak swasta yang berorientasi keuntungan aspek keselamatan itu sep-ertinya malah terbengkalai.

Jika pemerintah yang sekarang tidak sanggup menye-lesaikan tumpukan masalah di atas tentu kita boleh ber-harap ada langkah penanganan keadaan darurat. Tapi di sini pun pemerintah terlihat lemah.

Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) DKI sebagai

garda terdepan penanganan bencana kebakaran adalah contohnya. Dari tahun ke tahun ada keluhan bahwa di-nas ini kekurangan personel dan peralatan kerja. Sampai tahun ini Kepala Dinas Damkar DKI Paimin Napitupulu mengaku masih kekurangan tenaga sekitar seribu orang. Peralatan kerja pun masih jauh dari memadai. Lebih dari sepuluh persen mobil pemadam dalam keadaan rusak (ROL 8/8). Setelah lima tahun Fauzi Bowo menjadi gu-bernur baru pada bulan terakhir kepemimpinannya dinas pemadam mendapat motor pemadam yang bisa melalui gang sempit di kampung. Padahal jelas dari data yang ada hampir semua kasus kebakaran terjadi di wilayah semacam itu.

Media selama ini hanya ramai memberitakan prestasi para petugas Damkar DKI di berbagai lomba ketram-pilan tingkat internasional. Dan memang benar mesti di-akui bahwa ketrampilan dan kemampuan para petugas sangat tinggi dan profesional. Masalahnya mereka tidak ditunjang oleh fasilitas dan dana yang cukup. Atau leb-ih tepatnya dana yang terbatas tidak digunakan secara efektif seperti terlihat dari kontroversi di sekitar pembel-ian motor pemadam yang menurut berbagai pihak jauh melebihi harga semestinya.

Jika melihat alokasi anggaran Dinas Damkar DKI ini memang terlihat berbagai kejanggalan. Dana untuk an-tisipasi penanggulangan kebakaran misalnya hanya Rp 750 juta sementara pengadaan pakai olahraga pegawai bisa mencapai Rp 2,09 milyar. Dana peningakatan ke-waspadaan masyarakat terhadap kebakaran hanya Rp 1,40 milyar masih di bawah dana pengadaan pakaian olahraga PTT sebesar Rp 1,71 milyar.

Tidak mengherankan jika Dinas Damkar kemudian tidak bisa efektif melakukan penyuluhan yang sesung-guhnya sangat diperlukan. Kabid Partisipasi Masyarakat Damkar DKI Rimawati mengakui bahwa pihaknya masih kekurangan petugas dan fasilitas sehingga peny-uluhan hanya bisa dilakukan di tingkat kecamatan (ROL 8/8). Tidak heran jika kebakaran orang hanya berdiri menonton ketika terjadi kebakaran. �

Page 4: Warta Jakarta Baru September 2012

4 WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Pawang Geni, Pemadam dari Solo

Siang itu warga di Jalan Bangka panik berhamburan keluar dari rumah mereka. Ada yang menenteng se-peda motor, kasur, alat elektroink, surat berharga,

dan menyambar apa saja yang dapat diselamatkan. Dari arah berlawanan datang warga lainnya membawa em-ber, selang air yang disambungkan ke mushala setempat. Tapi api sudah terlanjur membesar. Di kejauhan terden-gar sirene mobil pemadam kebakaran bersahutan. Sudin Damkar Jakarta Selatan menurunkan sepuluh mobil de-ngan personel terbaiknya. Tapi karena akses jalan yang sempit mobil itu terhenti jauh dari lokasi kebakaran. Api membesar menyambar empat rumah besar dan delapan rumah petak dan baru dapat dipadamkan sejam kemu-dian.

Kesulitan petugas Damkar menjangkau titik keba-karan bukan cerita baru. “Itu sudah jadi masalah me-nahun, tapi sampai sekarang belum ada solusinya dari Pemprov DKI,” kata Dwi Rio Sambodo, anggota DPRD DKI dari PDI Perjuangan (Beritasatu 27/8). Menurutnya teknologi dan peralatan yang digunakan Damkar DKI selama ini lebih berorientasi pada pemukiman yang tidak padat dan akses jalannya lancar. Fauzi Bowo mengklaim Pemda DKI terus melakukan modernisasi perlengkapan pemadam kebakaran setiap tahun. Salah satu ‘terobosan’ terbarunya adalah pembelian motor pemadam atau fire motor dengan biaya Rp 260 juta per unit. Teknologi ter-baru dan mahal. “Ini adalah bagian program pengem-bangan dan peningkatan kualitas aset,” katanya (Kom-pas 27/8).

Tapi apa benar motor pemadam ini adalah solusi yang tepat? Saat kebakaran melanda kelurahan Kalian-yar, Tambora, Jakarta Barat, Dinas Damkar mengerah-kan sepeda motor pemadam yang memang ditempatkan di RW yang mengalami kebakaran. Tapi hasilnya tetap sama. “Kami sudah bawa motor ini ke tempat keba-karan, tapi tidak bisa masuk gang kecilnya,” ujar Ketua RW 7 Atut Karyoto (Media Indonesia 3/9). Setelah mo-bil pemadam datang akhirnya hanya selang dari motor itu yang dipinjam untuk menjangkau sumber api di gang sempit. Walau begitu menurut Atut motor itu tetap pun-ya kegunaan lain. “Kalau kerja bakti kami pakai fire mo-tor untuk siram lumpur di jalan.” Peralatan mahal yang menguras anggaran Damkar, yang konon sangat terbatas itu, akhirnya tidak bisa berfungsi.

Masalahnya memang bukan pada modern tidaknya perlengkapan yang dimiliki tapi tepat tidaknya teknologi yang digunakan. Pengadaan perlengkapan modern yang tidak sesuai dengan lingkungan akhirnya hanya jadi pemborosan anggaran saja. Tugas seorang pemimpin bukan mengikuti trend teknologi terbaru tapi mencari solusi yang tepat untuk lingkungan tempatnya bekerja. Hal itulah yang dilakukan Jokowi ketika kontroversi di sekitar maraknya kebakaran mulai meluas. Walau baru beberapa bulan secara intensif mempelajari keadaan Ja-karta ia sudah memiliki beberapa ide untuk mengatasi wabah kebakaran. Kuncinya adalah teknologi tepat guna dan partisipasi warga.

“Untuk di tempat-tempat yang padat, karena itu tempatnya sempit, jadi harus ada jurus baru. Karena

Jokowi sedang memperhatikan cara pengoperasian Pawang Geni di Manggarai, Jakarta Pusat. (foto.okezone.com)

Page 5: Warta Jakarta Baru September 2012

WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 5

nggak mungkin pemadam itu masuk. Jadi harus ada pemberdayaan masyarakat yang harus fokus pada ke-waspadaan,” katanya. Dan ia tidak perlu jauh mencari teknologi ke luar negeri. Sri Utomo, seorang warga Solo, ternyata sudah membuat alat pemadam kebakaran de-ngan pompa tenaga manusia. Ia tergerak merancang alat itu karena kebakaran yang pernah melanda kampungn-ya beberapa waktu lalu.

Alatnya berupa tong dengan kapasitas tampung 200 liter yang diletakkan di atas landasan besi beroda. Air dalam tong itu kemudian dipompa dengan tenaga ma-nusia melalui selang penyemprot sepanjang 10 meter. “Kalau dipompa dua orang muncratnya air bisa sampai 20 meter,” jelas Sri Utomo (TribunJogja 23/8). Dengan Dengan lebar 80 cm dan tinggi 150 cm alat ini sungguh ideal untuk menjangkau gang sempit yang tidak dapat dilalui oleh motor pemadam sekalipun.

Bagi Jokowi alat ini tepat bagi warga ka-rena bisa ditempatkan di setiap RW dan bah-kan RT yang rawan kebakaran. Tenaga yang diperlukan untuk mengoperasikan han-ya tiga orang dan tidak memerlukan ketrampilan khusus sehingga tidak perlu mengeluarkan dana untuk melatih orang. Dengan sedikit latihan orang dewasa yang mam-pu secara fisik bisa mengoperasi-kan alat tersebut. Jokowi sudah pernah mencoba mengoperasi-kan Pawang Geni di Solo. Ia sen-ang dengan inovasi teknologi yang dilakukan warganya. “Alat ini ba-gus sekali. Ringan, kecil dan sangat bermanfaat,” katanya.

Sering saat kebakaran warga be-rebut menyiramkan air dari ember, slang dan alat apa saja yang terjangkau. Hasilnya tidak efektif dan api gagal dip-adamkan. Dengan Pawang Geni warga bisa mengisi air yang mereka bawa ke dalam tong untuk selanjutnya disemprotkan ke sumber api. Dengan begitu kerjasama warga akan menjadi tena-ga besar yang efektif. Satu bukti lagi bahwa teknologi ini memang ramah dengan lingkungan sosial dan mem-bantu warga kompak dalam situasi genting.

Dari segi harga alat ini juga relatif terjangkau. Lem-baga Pemberdayaan Masyarakat Kota (LPMK) Sudiro-prajan yang memproduksi Pawang G e n i memasarkan alat itu dengan harga Rp 11 juta. Artinya jika alat seperti ini ditempatkan di tingkat RW pun tidak akan jadi beban besar bagi anggaran. Pemerintah tinggal meng-hemat beberapa pengeluaran yang tidak perlu seperti biaya penyusunan

pidato sebesar Rp 1,6 milyar, biaya rapat penyusunan peraturan daerah sebesar Rp 3,7 milyar, atau pembuatan sinetron dan reality show yang bisa mencapai belasan milyar.

Pengadaan barang tentu bukan hal yang sulit jika keputusan sudah dibuat, tapi yang penting untuk diingat bahwa teknologi yang mengandalkan partisipasi warga ini memang memerlukan kerjasama antara pemerintah dan warga. Teknologi itu hanya menjadi tepat guna jika warga sendiri siap dan berdaya. Di samping pelatihan untuk mengoperasikan teknologi ini diperlukan juga pengembangan kesadaran umum bahwa Jakarta adalah kota yang rawan bencana. Badan dan organisasi seperti RT, RW dan Karang Taruna semestinya bisa difungsikan untuk keperluan semacam itu, jika saja kepemimpinan berada di tangan yang tepat. �

Page 6: Warta Jakarta Baru September 2012

6 WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Bisnis KebakaranSelama beberapa minggu terakhir media ramai

memberitakan masalah di sekitar pengadaan motor pemadam kebakaran oleh Pemda DKI. Berita ten-tang pengadaan motor itu pertama kali muncul awal tahun ini ketika Fauzi Bowo berbicara kepada pers bahwa pihaknya akan membeli 110 motor pemadam untuk melengkapi peralatan Dinas Damkar DKI. Waktu itu harga yang disebutkan adalah Rp 260 juta per unit. Masalah muncul ketika di jejaring sosial ber-edar informasi, atau lebih tepatnya iklan, dari sebuah agen penjual motor di Surabaya yang menawarkan motor pemadam dengan harga Rp 24 juta per unit. Warga tercengang karena itu berarti ada selisih harga sampai sepuluh kali lipat!

Kejanggalan ini tentu menarik perhatian banyak pihak. Aktivis Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) ter-masuk yang pertama bersuara. Mustar Bonaventura, jurubicara posko, mengatakan harga motor pem-adam sebesar Rp 260 juta yang diberikan oleh Pemda DKI itu tidak masuk akal, karena itu berarti satu unit motor 200 cc sama harganya dengan satu unit mobil sedan Honda Civic 1800 cc. Taruhlah memang ada peralatan tambahan maka tetap saja harganya tidak akan semahal itu. Karena itu ia meminta KPK agar memeriksa pembelian sepeda motor itu dan melihat apakah ada penyimpangan yang terjadi dalam proses penawaran dan pembelian.

Memang jika foto motor yang dibeli oleh Pemda DKI dan motor yang ditawarkan oleh agen penjual di Surabaya, maka terlihat kemiripan. Badan mo-tornya praktis sama tidak ada perbedaan mencolok sementara bagian tangki air, selang penyemprot dan beberapa peralatan lain berbeda. Jadi masuk akal kalau ada perbedaan harga di antara keduanya. Tapi apa benar perbedaan itu sampai sepuluh kali lipat?

Pihak Pemda DKI sendiri memberikan keterangan simpang-siur. Pemimpin Damkar DKI Paimin Na-pitupulu sewaktu diwawancara oleh pers pada April lalu mengatakan harga motornya (tanpa peralatan) hanya Rp 30 juta (fauzibowo.com 24/4). Tapi sete-lah kontroversi merebak karena agen penjualan di Surabaya itu menyebut angka Rp 24 juta, Paimin pun mengoreksi harga yang disebutnya menjadi Rp 25 juta (VIVANews 30/8). Selisih Rp 5 juta ini jika dika-likan jumlah sepeda motornya sebanyak 110 unit saja sudah Rp 550 juta, dan sejauh ini Paimin tidak menje-laskan mengapa ada perbedaan angka ini.

Dalam kesempatan lain Paimin pun menjelas-kan rincian harga motor pemadam yang dibeli oleh Pemda DKI. Dari laporannya maka komponen terbesar bukanlah peralatan seperti yang diberitakan selama ini tapi justru biaya pelatihan operator motor pemadam yang mencapai Rp 97 juta per motor! Jika dikalikan jumlah sepeda motornya maka total biaya pelatihan ini mencapai Rp 10,6 milyar. Dengan dana sebesar itu bisa dipastikan bahwa teknologi tepat guna akan masuk sampai ke tingkat RW terutama di daerah rawan banjir.

Apapun perhitungan yang mau diberikan, kiranya pantas bagi KPK dan BPK memeriksa secara teliti pembelian peralatan yang menggunakan uang pajak rakyat ini. Jika korupsi maka sudah sepatutnya KPK beraksi dan menahan semua pihak yang terlibat. Tapi jika yang terjadi adalah pemborosan maka BPK yang harus meninjau ulang pernyataan mereka tentang Fauzi Bowo. �

Page 7: Warta Jakarta Baru September 2012

WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 7

SEPUTAR

20 September, Tidak Ada Larangan Pakai Kotak-Kotak

Simpang-siur berita kembali terjadi di sekitar boleh-tidaknya saksi memakai baju kotak-kotak di TPS pada 20 September nanti. Pada pemungutan suara

putaran pertama di banyak TPS panitia pemungutan suara melarang saksi menggunakan baju kotak-kotak padahal tidak ada surat larangan. Saksi dari pasangan calon lain juga kadang memprotes kehadiran warga yang memakai baju kotak-kotak, padahal juga tidak ada lar-angan.

Di putaran kedua masalah ini muncul kembali. Awalnya memang ada puluhan orang yang mengaku tergabung dalam Koalisi Rakyat mendatangi kantor Panwaslu 18 Juli lalu. Mereka mengklaim bahwa baju kotak-kotak adalah atribut kampanye sehingga tidak boleh digunakan saat pemungutan suara. Rombongan yang datang dengan lima mikrolet ini diterima oleh Ke-tua Panwaslu Ramdansyah, yang berjanji akan menyam-paikan aspirasi mereka kepada KPU DKI.

Entah kenapa protes puluhan orang dari ‘organisasi’ yang sekarang pun tidak terdengar lagi sepertinya ter-us saja dibicarakan. Padahal protes dari tim sukses dan kelompok relawan pendukung Jokowi terhadap banyak pelanggaran sepertinya dianggap angin lalu. Pada 31 Agustus di kantor Panwaslu bahkan digelar pertemuan khusus membahas masalah baju kotak-kotak, yang di-hadiri tim sukses, Panwaslu, KPU dan kelompok peman-tau.

Setelah pertemuan Ketua Panwaslu Ramdansyah membuat pernyataan bahwa tim sukses Jokowi-Basuki siap untuk menginstruksikan semua saksi mereka tidak mengenakan baju kotak-kotak (Kompas.com 31/8). Kontan saja oleh beberapa pihak pernyataan ini diang-gap sebagai kesepakatan dari pihak Jokowi-Basuki un-tuk tidak memakai baju kotak-kotak. Bahkan di media sosial beredar klaim bahwa pernyataan itu merupakan larangan resmi.

Protes berdatangan dan menariknya bukan hanya

dari tim sukses dan relawan pendukung Jokowi-Basuki. Koordinator Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indo-nesia (SIGMA) Said Salahuddin menilai pelarangan baju kotak-kotak oleh Panwaslu sungguh tidak masuk akal. “Apa dasarnya itu dilarang. Kotak-kotak atau kumis dan lainnya bukan atribut kampanye melainkan bentuk kre-atifitas. Masa kreatifitas dilarang?” katanya (Skalanews 2/9).

Sikap Jokowi sendiri tegas menghadapi simpang-siur berita ini. “Saya jelas menolak. Pegangan Panwaslu itu apa (untuk melarang),” katanya (okezone.com 2/9). “Masa kita berpikir cerdas nggak boleh? Kecuali kalau di baju ada angka tiga, itu lain soal.” Ia malah memper-silakan calon gubernur lain membuat kostum tandingan untuk menyaingi baju kotak-kota. “Silakan saja. Mau buat baju apapun, (itu) hak yang di sana.”

Panwaslu DKI pun mengoreksi pernyataan sebelum-nya. Ramdansyah mengatakan bahwa pelarangan baju kotak-kotak itu sebenarnya baru wacana karena ada ke-luhan dari masyarakat dan anggota tim sukses pasangan calon yang lain. “Kami Panwaslu siap-siap saja kalau itu dilarang. Kami siap untuk mengawal itu,” katanya (de-tik.com 3/9). Tentu ada perbedaan antara mengawal lar-angan dengan membuat pernyataan yang seolah menjadi larangan itu sendiri.

Sikap Panwaslu ini sempat dipertanyakan karena segala keputusan mengenai aturan main selama pemilu-kada harusnya datang dari KPU. Panwaslu hanya bertin-dak sebagai pengawas. “Kami mengimbau Panwaslu menjalankan tugasnya hanya dengan merujuk peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak membuat penafsiran yang melampaui wewenang dan justru mena-brak undang-undang,” kata Habiburokhman, koordina-tor Tim Advokasi Jakarta Baru.

Pihak KPU DKI pun akhirnya memberi kepastian. Melalui anggota KPU Sumarno, dipastikan bahwa KPU akan tetap mengacu pada peraturan yang sama seperti saat putaran pertama. “Yang tidak diperbolehkan digu-nakan adalah pakaian yang memuat nomor urut pasan-gan calon, nama calon, atau foto kandidat. Di luar itu, pakaian apa pun boleh saja digunakan,” katanya (kom-pas.com 4/9). Artinya saksi, para pemilih dan warga be-bas menggunakan baju kotak-kotak di hari pencoblosan. Mari! �

Page 8: Warta Jakarta Baru September 2012

8 WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Ke Mana Panwaslu?

Kantor Panwas itu terletak di lantai paling atas di kantor kecamatan Kramat Jati yang berlantai em-pat. Hanya ada satu ruangan yang aktif di lantai

itu. Sesudah pukul tiga sore seperti kebanyakan kantor Pemda DKI suasananya sudah lengang seperti tidak ada kegiatan. Tidak ada kesan sibuk padahal di luar sana suasana menjelang putaran kedua 20 September semakin hangat.

Jika melihat begitu banyak masalah yang muncul terkait dengan pemilukada DKI ini maka pemandangan kantor Panwascam ini cukup mengherankan. Apakah memang karena tidak ada laporan yang masuk atau me-mang karena semua orang sudah mengerti proses dan prosedur pemilukada dan mengikuti aturan secara baik sehingga tidak diperlukan pengawasan lagi? Atau karena ada sebab lain?

Untuk mencari tahu WJB berkunjung ke kantor Pan-wascam Kramat Jati. Hari sudah sore dan hanya ada dua orang staf sementara semua anggota Panwascam konon sedang ke lapangan. Saat WJB mengisi buku tamu terli-hat tamu terakhir yang mencatatkan namanya di sana datang pada 9 Juli 2012. Sebelumnya hanya ada satu tamu lain yang berkunjung untuk menyampaikan lapo-ran.

Datang bersama WJB warga yang mau melaporkan kegiatan halal bihalal di kantor kelurahan Batu Ampar yang menurut mereka berbau politik uang. Saat seorang anggota Panwascam akhirnya tiba warga pun menyam-paikan laporannya. Tapi belum lagi keterangannya bulat sudah dipotong oleh anggota Panwascam yang sebenarn-ya bertugas menerima laporan itu.

Salah satu titik perdebatannya adalah di sekitar boleh-tidaknya calon wakil gubernur menyelenggarakan halal bihalal di kantor kelurahan dengan perangkat kelurahan sampai ke ketua RW dan kader Jumantik? Belum lagi mengetahui duduk perkaranya dengan persis anggota Panwascam itu sudah menyergah, “kami tidak bisa mela-rang warga untuk mengandalkan halal bihalal.” Ketika diingatkan bahwa Nachrowi Ramli bukan sembarang warga tapi calon wakil gubernur, jawabannya pun tetap sama saja.

Lalu ketika laporan mencapai intinya yakni pemba-gian ‘uang kehormatan’ bagi para peserta halal bihalal, lagi anggota Panwascam itu memotong, “kalau tidak ada bukti foto kami tidak bisa berbuat apa-apa. Polisi pasti akan minta tiga orang saksi,” katanya. Ia pun merasa pembagian uang kehormatan itu sebagai sesuatu yang normal dan tidak melanggar aturan.

Sepertinya bukan sekali petugas Panwas di tingkat kecamatan atau kelurahan bersikap demikian. Prosedur pelaporannya saja tidak mudah dan sikapnya saat men-erima laporan itu juga sangat tidak akomodatif. Sebagai petugas pengawas semestinya para petugas itu langsung

aktif mencari tahu setelah mendapat laporan warga, dan bukan justru membantah setiap keterangan yang diberi-kan.

Sekalipun misalnya laporan diterima dengan baik tidak ada jaminan bahwa otomatis akan ada tindak-lan-jut. Ada banyak kasus yang sudah dilaporkan ke Panwa-slu DKI tapi kemudian lenyap ditiup angin. Kasus yang paling mutakhir dan masih segar dalam ingatan adalah kampanye negatif menyinggung perbedaan ras yang di-lakukan oleh Rhoma Irama. Setelah mendengarkan lapo-ran, mendengarkan rekaman, dan menonton video, dan melihat bukti-bukti lain yang terkait, Panwascam akh-irnya memutusakn bahwa Rhoma Irama tidak bersalah.

Hal ini tentu membuat jengkel warga karena berharap dengan adanya Panwas sampai tingkat kelurahan maka kualitas pemilukada akan lebih terjamin. Sangat masuk akal jika warga kemudian enggan mendatangi kantor Panwas dan melaporkan apa yang mereka lihat.

“Sayang sekali bahwa sikap seperti itu yang kemu-dian muncul,” ujar Pitono dari Relawan Penggerak Ja-karta Baru (RPJB) simpul Kampung Tengah. “Semestinya warga tetap aktif melapor sekalipun tahu bahwa laporan itu akan menguap nantinya.” Menurutnya ada dua efek penting yang akan terjadi seandainya warga tetap mel-apor kepada pihak berwenang.

Pertama, muncul dan menguatnya semangat melawan dari warga yang hak-haknya dilanggar. Entah pelangga-ran itu berupa pengabaian hak pilih maupun kampanye di luar jadwal dari pihak lawan, semua pelaporan akan memperkuat ikatan dan solidaritas di antara para pe-milih.

Kedua, dengan melaporkan pelanggaran kepada Pan-was baik di kecamatan atau kelurahan para petugas di kantor Panwas tersebut jadi tahu bahwa mereka juga diawasi. Harapannya tentu dengan begitu para petugas akan jadi lebih responsif, terbuka dan memang mau bek-erja keras untuk keberhasilan pemilukada. �

Pelanggaran yang Diabaikan

Saat membagikan santunan berupa uang, per-alatan olah raga dan Al-Quran di Duren Sawit Fauzi Bowo dilaporkan berbisik kepada anak yatim yang menerima santuan: “Ini Al-Quran gubernur. Kalau gubernurnya nggak seiman sama kita, nggak ada itu bisa begini,” katanya. Tidak ada pernyataan apapun dari Panwaslu (tribunnews.com 10/8). �

Page 9: Warta Jakarta Baru September 2012

WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 9

WAWANCARA

Jakarta Sehat, Bukan Mimpi

Pekan lalu redaksi Warta Jakarta Baru dapat kesem-patan berdialog jarak jauh dengan Pak Jokowi melalui jaringan internet. Pak Jokowi yang saat itu sedang ber-istirahat di kediaman resmi walikota di Solo, masih ber-sedia memberi waktu kepada kami. Redaksi mengajukan daftar pertanyaan yang dikumpulkan dari dialog dengan warga Jakarta di berbagai daerah. Untuk edisi ini kami fokus pada masalah kesehatan yang paling sering dita-nyakan oleh warga.

WJB: Kapan dan bagaimana program kesehatan gra-tis itu dimulai di Solo, Pak?

Jokowi: Program kesehatan itu sudah berjalan sejak enam tahun yang lalu. Itu dulu kita selalu didatangi oleh warga, bisa 40 sampai 60 orang datang ke kantor setiap hari. Ada yang anaknya sakit tidak bisa masuk rumah sakit, ada yang bapaknya masuk rumah sakit tidak bisa bisa pulang, karena tidak ada biaya. Kemudian muncul gagasan kesehatan gratis itu. Kan saya nggak mungkin setiap hari bertemu dengan warga untuk urusan rumah sakit. Karena itu dibuat sistem itu.

Jadi itu kebutuhan masyarakat?Ya, kondisi di lapangan menunjukkan ada problem.

Ada sistem yang nggak jalan, sehingga kita memuncul-

kan sistem baru. Begitu.

Bagaimana tanggapan dari birokrasi dan kalangan bisnis yang sudah mapan dengan sistem lama. Apa nggak timbul masalah karena sistemnya baru?

Oh, itu nggak ada masalah. Memang ada resistensi (perlawanan) dari mereka pada tahun pertama. Saat itu, pada tahun pertama, kita merombak urusan KTP. Proses mengurus KTP yang tadinya tiga minggu diubah men-jadi hanya satu jam. Untuk itu saya harus mencopot be-berapa lurah dan camat yang tidak mau ikut sistem baru itu. Kemudian soal izin usaha juga kita ubah sistemnya. Juga ada resistensi. Kita terpaksa mencopot kepala dinas. Tapi untuk kesehatan, karena kita sudah satu tahun di Balaikota, banyak yang sudah mengerti. Jadi tidak ada masalah. Sistem itu memang diperlukan untuk merom-bak tradisi lama birokrasi kita.

Apa tidak mungkin ada orang yang terima tapi ker-janya jadi setengah-setengah?

Ada yang mengerjakan setengah-setengah. Itu saya copot dan ganti dengan yang mau kerja. Kalau saya gampang saja. Kalau rumah sakit negeri yang masih dalam kendali kita melakukan resistensi direkturnya kita copot. Begitu saja. Ganti dengan yang mau melayani masyarakat. Kalau rumah sakit swasta biasanya kita berikan peringatan. Karena kita bayar, bukan gratisan.

Jokowi (foto: thejakartaglobe.com) Seorang ibu tersenyum memegang contoh Kartu Jakarta Sehat (foto: WJB)

Page 10: Warta Jakarta Baru September 2012

10 WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Warga yang pegang kartu ini kan tidak gratisan. Ini diba-yar oleh warga lewat pemerintah.

Nanti di Jakarta bagaimana, Pak?Nanti ada ‘Kartu Jakarta Sehat’ yang bisa dipakai un-

tuk berobat di rumah sakit negeri dan swasta. Nah, yang paling penting kartu ini mendapatkannya mudah. Beda dengan yang sekarang prosesnya lama dan berbelit-belit.

Ada banyak pertanyaan dari warga, kapan persisnya Kartu Jakarta Sehart itu diberlakukan?

Langsung setelah saya dilantik kartu itu mulai dibagi-kan lewat RT/RW. Datanya kan sudah ada. Warga hanya menyiapkan foto saja. Saya kira dalam tiga bulan selesai. Paling nanti menyisir yang belum dapat. Pasti ada yang tidak dapat. Tinggal lapor saja, “Pak, saya belum dapat!” Tinggal kita cek di lapangan lalu diberi kartunya. Simple saja. Kita jangan membuat sesuatu yang sederhana dan mudah menjadi sulit. Kita kan sering terbolak-balik se-perti itu. Yang mudah jadi sulit atau dipersulit.

Jadi semua warga Jakarta akan dapat Kartu Jakarta Sehat? Bukan hanya dari latar belakang tertentu saja?

Tidak, semua dapat. Tapi memang ada pembedaan. Akan ada yang dapat kartu Gold, Silver dan Platinum. Tapi nanti kita hitung. Kalau memang anggarannya cukup tidak perlu pembedaan.

Maksudnya, Pak?Ya semua warga akan diberikan kartu Platinum.

Tergantung pada anggaran yang tersedia. Kalau tidak cukup ya akan ada pembedaan. Tapi itu hanya beda pe-layanan saja. Kalau yang pegang kartu Platinum semua jenis pengobatan dibiayai. Cuci darah, chemotherapy

bagi yang terkena kanker, itu dilayani semua. Kalau yang pegang kartu Gold, tidak dilayani. Itu saja bedanya.

Bagaimana cara menentukan siapa dapat kartu jenis apa?

Yang jelas platinum itu untuk yang memang tidak mampu. Ada beberapa kriteria untuk menentukan klasi-fikasi itu. Mudah saja kok.

Kalau di Jakarta Pak Jokowi lihat ada potensi per-lawanan atau penolakan dari birokrasi terhadap sistem baru ini?

Tidak ada. Itu kan program yang baik, yang me-mang dibutuhkan masyarakat. Kalau ada yang menen-tang masa mau didemo oleh masyarakatnya? (tertawa) Mereka yang tidak mau ikut sistem nanti akan hilang sendiri. Kuncinya di prosedur yang dibuat sederhana dan cepat. Kalau ngurus KTP dulu dua minggu atau tiga min-ggu, kan bisa dibisniskan. Kalau mau dua minggu bayar sekian, kalau seminggu bayar sekian. Tapi kalau satu jam jadi, apa lagi yang mau dibisniskan? Contohnya begitu. Jadi begitulah, kita ini membangun sistem.

Terima kasih, Pak. Semoga program ini nanti bisa ber-jalan lancar di Jakarta.

Begitulah dialog Warta Jakarta Baru dengan Pak Jokowi di sela waktu istirahatnya. Fakta bahwa sistem kesehatan yang melayani warga itu sudah berlangsung enam tahun membesarkan harapan kita semua, bahwa Jakarta Sehat bukanlah mimpi. Tapi harapan yang akan segera menjadi kenyataan. �

Pindah Jabatan Demi Perubahan

“Saya menegaskan bahwa saya berkomitmen bersama Basuki untuk memperbaiki Jakarta dalam lima tahun ini!” tegas Jokowi di hadapan ribuan relawan, Minggu (2/9) di Tennis Indoor Senayan. Penegasan ini sekaligus menjawab kritik berbagai pihak bahwa ia hanya mencari kuasa de-ngan mencalonkan diri sebagai gubernur sementara masa jabatannya sebagai walikota Solo belum lagi habis.

Hidayat Nur Wahid dari Partai Keadilan Sejahtera, calon gubernur yang gagal lolos ke putaran kedua, termasuk yang rajin mengangkat masalah ini. Menurut Hidayat, Jokowi tidak bertanggung jawab dengan maju dalam pilkada DKI karena jika terpilih menjadi gubernur ia akan meninggal-kan warga Solo yang sudah memilihnya menjadi walikota

sampai 2015.Karena alasan itulah PKS menurutnya tidak akan men-

dukung Jokowi dalam putaran kedua. “Kalau melompat-lompat seperti ini tidak bagus untuk pendidikan politik. Bagus kalau menuntaskan misinya. Apalagi Jokowi satu-satunya walikota yang dipilih dengan suara terbanyak. Jadi dituntaskan sajalah dulu tugasnya,” ujar Sekjen DPP PKS Anis Matta.

Sepintas memang argumentasinya masuk akal, tapi jika dilihat dalam kaitannya dengan dukungan PKS yang dialihkan ke Fauzi-Nachrowi maka ceritanya lain lagi. Kritik terhadap Jokowi dan Basuki – yang sudah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai anggota DPR – ternyata hanya bagian dari kampanye untuk mengalihkan dukungan para pemilih PKS kepada Fauzi-Nachrowi.

Masalah ini semakin jelas jika kita melihat kiprah para petinggi PKS sendiri. Sementara Hidayat mengkritik Jokowi yang akan meninggalkan jabatannya sebagai walikota Solo, ia sebenarnya juga siap melakukan hal yang sama. Saat

Page 11: Warta Jakarta Baru September 2012

WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 11

menjadi calon gubernur DKI yang gagal maju ke putaran kedua ia masih menduduki jabatan sebagai anggota DPR. Bahkan berbeda dengan Basuki yang langsung mengun-durkan diri, Hidayat mempertahankan keanggotaannya dan hanya mengajukan cuti untuk berkampanye.

Hidayat juga bukan satu-satunya petinggi PKS yang pin-dah jabatan. Pada 2008 Ahmad Heryawan yang menjabat sebagai anggota DPRD DKI bertarung untuk menjadi guber-nur Jawa Barat dan terpilih. Irwan Prayitno yang belum lagi setahun bertugas sebagai anggota DPR maju dalam pilkada di Sumatera Barat dan terpilih jadi gubernur. Tifatul Sem-biring lebih hebat lagi. Belum lagi sebulan menjadi anggota DPR ia sudah loncat menerima tawaran menjadi menteri di kabinet SBY. Hidayat dengan begitu menjadi tokoh PKS kesekian yang melakukan hal serupa, tapi gagal.

Tentu PKS tidak sendirian dalam praktek semacam ini. Hampir semua partai politik punya kisah serupa. Dalam pilkada Jambi pada 2010 empat calon gubernur dan wakil gubernur saat itu masih menjabat sebagai bupati di empat kabupaten berbeda untuk periode 2006-2011. Di Sulawesi Utara dua orang bupati bahkan baru menjabat selama dua tahun dan sudah mencalonkan diri sebagai gubernur dalam pilkada 2010.

Menepuk air didulang, terpercik kena muka sendiri. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk mereka yang mengkritik Jokowi dan Basuki karena tidak menyelesaikan masa jabatan.

Secara hukum juga pindah jabatan sama sekali bukan kesalahan atau penyelewengan. Dalam UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa seorang kepala daerah yang masih menjabat bisa maju dalam pemilukada di lingkup atau tempat lain. Calon juga diberi kesempatan mengambil cuti agar bisa berkampanye selama masa pe-milihan. Dan inilah yang dilakukan Jokowi beberapa waktu sebelum pemilihan di putaran pertama.

Jika pindah jabatan bukan sebuah pelanggaran, maka di mana masalahnya? Masalah dengan pindah jabatan itu bukan perkara pantas-tidaknya secara hukum atau moral, tapi untuk kepentingan apa seseorang itu pindah jabatan?

Sejak adanya pilkada langsung sudah ada 173 kepala dae-rah mulai dari gubernur, bupati dan walikota yang terjerat kasus korupsi setelah terpilih. Tidak sedikit dari mereka adalah pasangan incumbent yang sudah pernah menjabat.

Dalam kasus Jokowi visi dan misinya menjadi Gubernur DKI jelas. Ia tidak mencari kekayaan karena sudah cukup makmur sebagai pengusaha. Justru setelah menjadi walikota Solo beberapa usahanya terbengkalai sehingga terpaksa ditutup. Ia berniat menjadi gubernur untuk beker-jasama dengan warga mewujudkan Jakarta Baru. Dan un-tuk keperluan itu pindah jabatan sebelum masanya adalah langkah dan resiko yang harus ditempuh demi perubahan.

Lagipula jika melihat kota Solo sekarang, dibanding-kan dengan tujuh tahun lalu sebelum Jokowi menjabat, perubahan yang dilakukan sudah banyak. Ia sudah me-nyediakan infrastruktur dan sistem untuk diteruskan oleh penggantinya. Dan itu berlipat kali lebih baik daripada menduduki jabatan yang sama dan gagal membangun infrastruktur atau sistem bahkan untuk pemerintahannya sendiri.

Klaim bahwa Jokowi mengkhianati kepercayaan warga Solo yang memilih dirinya juga tidak terbukti. Memang betul banyak warga yang berat melepas Jokowi ke Jakarta, tapi bukan berarti mereka tidak mendukung. Mereka bahkan yakin bahwa Jokowi akan menang dalam putaran kedua. “Solo sudah diberi perubahan yang bersama-sama beliau, jadi kasih kesempatan kepada beilau untuk men-calonkan sebagai Gubernur DKI. Saya sangat mendukung dan yakin beliau menang,” ujar seorang warga (liputan6.com 2/8).

Ketika hendak berangkat ke Jakarta untuk mengikuti proses pemilukada Jokowi bahkan sempat berpamitan dengan warga Solo dan menjelaskan kepada mereka men-gapa ia maju sebagai calon Gubernur DKI. Setelah menda-pat penjelasan mereka umumnya menerima keputusan itu. Sejauh ini tak seorang pun dari para pengkritiknya pernah melakukan hal yang sama. Berpikir ke arah sana pun mung-kin tidak. �

Page 12: Warta Jakarta Baru September 2012

12 WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Bertemu Jokowi di Condet dan Kampung Dukuh

Menjelang pemenangan putaran kedua pemili-han gubernur Jakarta, hal yang paling dinanti warga adalah bertemu langsung dengan calon

pemimpin mereka, pasangan Jokowi-Ahok. Warga kelu-rahan Balekambang dan Batu Ampar di Condet mem-persiapkan diri untuk mengundang Jokowi halal bihalal di lingkungan tempat tinggal mereka. Persiapan telah dibuat cukup matang melalui beberapa kali pertemuan warga. Waktu dan tempat, detil acara hingga rute yang akan dilalui Jokowi telah ditentukan. Jumat, 31 Agus-tus 2012 pagi rencananya Jokowi akan hadir menemui warga di Condet.

Namun, kenyataan berbicara lain. Kamis sore, 30 Agustus 2012, di Solo pecah peristiwa penembakan yang mengakibatkan seorang polisi tewas. Kejadian ini merupakan puncak dari rentetan kejadian penembakan sebelumnya yang melukai sejumlah polisi. Peristiwa ini akhirnya berimbas pada rencana kunjungan Jokowi ke Condet. Kamis menjelang tengah malam, Relawan Peng-gerak Jakarta Baru (RPJB) mendapat kepastian Jokowi menunda kedatangannya ke Condet.

Untuk mengobati kekecewaan warga, Jokowi mem-persilakan RPJB merekam pesan permintaan maafnya

untuk warga dua kelurahan itu. Rekaman itu dibuat pada pukul 04.30 pagi, beberapa saat sebelum Jokowi bertolak ke bandara Soekarno-Hatta menuju Solo. Video rekaman pesan-pesan Jokowi itu diputar pada Jumat pagi, 31 Agustus 2012 di hadapan warga Batu Ampar maupun Balekambang.

Pada intinya, Jokowi meminta maaf harus menunda kedatangannya ke Condet karena peristiwa yang menge-jutkan tersebut. “Saya minta maaf karena tidak bisa hadir besok di Balekambang, Batu Ampar dan Dukuh karena tugas mendesak di Solo yang membutuhkan ke-hadiran saya,” pesan Jokowi. Ia meminta warga untuk bersabar dan tetap bekerja seperti biasa karena halan-gan dalam berbuat sesuatu senantiasa ada. Jokowi juga berjanji untuk sesegera mungkin menemui warga di tiga kelurahan itu.

Meski sedikit kecewa, antusiasme warga tak berkurang. Seorang warga Batu Ampar yang duduk di kursi roda sempat menangis mendengar penundaan tersebut. Warga lain menghiburnya dengan mengatakan Jokowi pasti datang ke Condet. Seorang warga, Rohani, menyatakan tidak kecewa. “Tetap semangat dan men-dukung Jokowi. Semoga masalah di Solo cepat kelar agar Jokowi bisa hadir di Condet,” tutur Rohani.

Janji Jokowi pun dipenuhi dengan hadir di Condet dan Kampung Dukuh pada Senin, 3 September 2012. Sejak pagi, warga Batu Ampar telah berkumpul di ling-kungan jalan Batu Ratna, Condet. Ada yang memakai kaos bertuliskan Jokowi-Basuki, kemeja kotak-kotak

Page 13: Warta Jakarta Baru September 2012

WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 13

Jokowi, baju kotak-kotak bebas maupun baju biasa. La-ki-laki, perempuan, tua muda hingga anak-anak memen-uhi jalanan. “Saya tinggal di Cianjur, tapi mendukung Jokowi dan ingin ketemu beliau,” tutur Ibu Nurhayati. Menurutnya, ibu-ibu kelompok pengajian yang diiku-tinya antusias mendukung pasangan Jokowi-Ahok. Saat itu, deretan ibu-ibu dengan kerudung warna-warni telah duduk rapi di sebuah warung menunggu kedatangan Jokowi.

Di Batu Ampar, Jokowi berkeliling seputar pemu-kiman, bersalaman dan berbincang singkat dengan warga di wilayah Rw 05. Meskipun panas terik menye-ngat, warga tetap antusias ingin bersalaman langsung dan melihat dari dekat calon pemimpin mereka. “Enak ya kalo pemimpinnya Jokowi. Kita gak susah mendekat-inya. Kalo pemimpin lainnya, pasti udah didorong oleh pengawalnya kalo mendekat,” tutur seorang warga.

Cara Jokowi memimpin di Solo telah menjadi pem-bicaraan warga Jakarta umumnya dan Condet khususn-ya. Tindakannya untuk lebih banyak berada di lapangan bersama warga Solo membuat warga di Condet mema-hami bahwa seorang pemimpin tak bisa menyelesaikan persoalan sendirian. Ia mencari jalan keluar masalah bersama-sama dengan warga. Dalam kunjungan di Condet pun, warga antusias menceritakan masalah yang mereka hadapi. Mereka berharap beragam masalah di lingkungan Condet bisa satu persatu diselesaikan warga bersama Jokowi.

Di Balekambang, Jokowi berkunjung ke RW 2 yang lokasinya tak jauh dari sungai Ciliwung. Ketika Jokowi tiba, warga mengajaknya berjalan turun menuju pinggir sungai Ciliwung. “Kami ingin Pak Jokowi tahu masalah di Balekambang, terutama tentang sungai Ciliwung. Pe-mimpin Jakarta sudah ganti-ganti tapi masalah Ciliwung bukannya selesai malah tambah parah,” tutur Sri Hary-ati, warga RW 2 Balekambang. Menurutnya, sungai Cili-wung tambah rusak, kotor, menjadi tempat pembuangan sampah warga dan banjir besar melanda Ciliwung pada tahun 2007. Jokowi mendengarkan dengan seksama ce-rita warga. Persoalan Ciliwung merupakan masalah yang akan menantinya sebagai gubernur Jakarta.

Setelah sholat di Masjid Al-Ikhlas Jokowi berjalan turun lagi ke bawah ke rumah Aris Sulistiyono yang rumahnya berjarak sekitar 200 meter dari pinggir Cili-wung. Di situ Jokowi duduk sejenak sambil minum air putih dan makan camilan. Seperti tak mau kehilangan kesempatan bertemu Jokowi, sejumlah ibu dari Bale-kambang memberondongnya dengan pertanyaan ten-tang Kartu Jakarta Pintar dan Kartu Jakarta Sehat.

“Pak, Kartu Pintar dan Sehat itu berlaku tidak di se-kolah swasta dan rumah sakit swasta?,” tanya Ibu Ari dari Suara Ibu Peduli. Jokowi menjawab bahwa di Solo kedua kartu juga berlaku untuk sekolah swasta dan ru-mah sakit swasta yang direkomendasikan pemerintah. Di Jakarta nanti akan dibuatkan sistemnya agar seluruh

warga bisa menikmati fasilitas itu. Sistem itu juga me-mungkinkan warga yang tidak mampu tidak sulit lagi mendapatkan fasilitas kesehatan dan pendidikan.

Seorang ibu lainnya menanyakan mengapa Jokowi tidak pernah mengajak isterinya ke Jakarta. Tawa riuh pun memenuhi ruangan. Sambil bercanda ia menjawab, “wong saya harus lari-lari terus di Jakarta ini, kasihan kalau isteri saya ikut. Dalam sehari, ada 140 – 150 un-dangan. Paling saya hanya bisa memenuhi 15-16 undan-gan selama akhir pekan. Itu dari jam 7 pagi sampai ka-dang jam 12 atau 1 pagi. Makanya saya kurus.” Jokowi lalu memperlihatkan foto isteri dan dua anaknya saat umroh bulan Juli lalu. “Ini foto isteri. Nantilah setelah tanggal 20 (September) saya ajak isteri,” tutur Jokowi sambil tersenyum.

Di Kampung Dukuh, warga telah menanti sejak pukul 12 siang. Meski sosok yang dinanti baru datang menje-lang jam 2 siang, jumlah warga tak berkurang banyak. Selain ibu-ibu yang menggendong anak serta para bapak dan pemuda, Jokowi juga disambut oleh puluhan anak-anak usia SD. Mereka terus mengiringi Jokowi melewati gang-gang kecil dan pemukiman padat.

Selagi ia bersalaman dan melayani foto bersama war-ga, anak-anak menyanyikan lagu “Jokowi siapa yang pu-nya, Jokowi siapa yang punya, Yang punya kita semua”. Lagu itu berhenti sejenak ketika Jokowi sholat di Masjid Al-Bashor dan berkumandang lagi setelah selesai sholat. Khawatir suara itu mengganggu warga, ia pun memberi isyarat kepada anak-anak dengan mengacungkan jari telunjuknya ke arah bibir. Toh, nyanyian itu berkuman-dang lagi.

Di Dukuh, warga mengajak calon gubernur melihat lokasi panti sosial milik Pemda DKI yang sudah terbeng-kalai selama 10 tahun. Sejak dibangun kompleks rumah itu belum pernah dihuni. Deretan rumah-rumah kosong itu kini banyak yang telah rusak, jendela dan pintu lepas di sana-sini serta alang-alang tumbuh meninggi. Terba-yang dana jutaan rupiah yang menguap sia-sia. Padahal masih banyak warga Jakarta yang kesulitan memiliki tempat tinggal layak.

Antusiasme warga untuk bertemu dengan Jokowi ru-panya tak terbatas pada mereka yang mencoblos nomor 3 tanggal 11 Juli lalu. Mereka yang memilih calon lain pun ingin melihat langsung sosok tinggi kurus yang men-dapat predikat Walikota terbaik di Asia. “Saya sih kema-rin nggak pilih dia, tapi pengen liat dan ketemu,” tutur seorang ibu di Dukuh.

Kelurahan Dukuh dikenal sebagai basis PKS dan pada putaran pertama lalu dan perolehan suara Jokowi-Ahok masih di bawah Foke-Nara. Namun, sosok Jokowi ber-hasil menarik perhatian warga Condet dan Dukuh. Per-hatian itu melewati batas-batas jenis kelamin, usia, suku, agama maupun pilihan politik. Seperti bunyi nyanyian anak-anak di atas, Jokowi punya kita semua. �

Page 14: Warta Jakarta Baru September 2012

14 WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

WARTA FOTO

Suasana pasca kebakaran di Pondok Bambu, Jakarta. (foto: WJB) Suasana pasca kebakaran di Pondok Bambu, Jakarta. (foto: WJB)

Suasana Halal Bihalal warga Kebon Jeruk, Jakarta. (foto: WJB) Suasana Halal Bihalal warga Kebon Jeruk, Jakarta. (foto: WJB)

Yang GOLPUT juga ke Jokowi-Basuki. (foto: WJB)

Page 15: Warta Jakarta Baru September 2012

WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU 15

Halal Bihalal Relawan Jakarta Baru

Tanggal 2 September 2012, ribuan relawan berbaju dan beratribut kotak-kotak memenuhi Tenis Indoor Senayan, tempat berlangsungnya acara Halal Bihalal

pasangan Jokowi-Ahok dengan para relawan Jakarta Baru. Hiburan musik, puisi hingga peragaan busana dari rom-bongan Puteri Indonesia tampil menghibur. Sejumlah artis ibukota pun hadir mulai dari Camelia Malik, Ahmad Albar, Ian Antono, Ayu Azhari, band Kotak, Once hingga pengu-saha yang juga pemain gitar Setiawan Djodi.

Menjelang siang, Jokowi pun naik ke panggung bersama Ahok dan menyampaikan beberapa hal penting kepada para relawan. Menurutnya, dari pihak Foke-Nara sudah ada instruksi untuk memenangkan pemilihan gubernur ini dengan segala cara, apa pun yang terjadi. Maka tak meng-herankan jika banyak muncul serangan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan) kepada Jokowi-Ahok. Meskipun demikian, “kita tetap harus menjalankan proses ini dengan cara yang benar. Bukan dengan cara-cara kotor,” tegas Jokowi.

Ia juga menandaskan bahwa Jokowi-Ahok dikepung oleh partai-partai besar. Di atas kertas bisa dikatakan proporsinya 83 persen berbanding 17 persen. Namun,

menurutnya, tak perlu takut dikeroyok oleh gajah-gajah besar. Koalisi dengan Rakyat adalah kekuatan yang mampu menandingi gajah besar tersebut. Oleh karena itu, menu-rutnya, “kita harus tetap waspada, melibatkan warga pendukung untuk mengawasi jalannya pemungutan dan penghitungan suara. Membawa HP dan kamera lebih baik untuk berjaga-jaga.”

Selain itu, menurut Jokowi, dari hasil perbincangan dengan Ketua Umum PDIP, Megawati, sejak hari itu mesin partai sudah digerakkan. Oleh karena itu ia juga berharap mesin relawan bergerak lebih giat lagi bersama-sama dengan mesin partai. “Dengan begitu, mudah-mudahan rakyat pun ikut bergerak lebih kuat lagi supaya, insya Allah tanggal 20 nanti ada kejutan,” jelas Jokowi.

Dalam kesempatan itu pula Jokowi menjawab berita tak berdasar seputar pencalonannya sebagai gubernur Jakarta. “Saya diisukan tak akan menjabat sampai 5 tahun jika terpilih sebagai gubernur Jakarta. Itu tidak benar! Saya dan Pak Basuki akan bekerja penuh selama 5 tahun ke depan jika terpilih. Itu sudah komitmen kami,” tegas Jokowi yang disambut dengan tepuk tangan meriah para relawan.

Halal bihalal itu dimeriahkan oleh penjualan berbagai produk berbahan kotak-kotak, mulai dari baju lengan pan-jang atau pendek, topi, kaos, bandana, rompi, pin hingga boneka Jokowi-Basuki. Pasangan Jokowi-Ahok rupanya telah ikut membangkitkan usaha ekonomi rakyat kecil. �

(foto: WJB)

Page 16: Warta Jakarta Baru September 2012

16 WARTA RELAWAN PENGGERAK JAKARTA BARU

Berita Simpul

Warga Siap Awasi Pemilukada

Menghadapi putaran kedua 20 September Relawan Penggerak Jakarta Baru (RPJB) menggelar pelatihan pengawasan pemilukada di posko Kampung Tengah. Hadir dalam acara itu perwakilan dari Batu Ampar, Balekambang, Klender, Manggarai, Kebon Jeruk, dan Prumpung. Acara itu menghadirkan pembicara dari ICW dan Perludem, dua lembaga independen yang giat mengawasi pelaksanaan pemilukada yang bersih dan jurdil. Pelatihan akan dilanjut-kan dengan pembentukan tim advokasi RPJB yang meneri-ma pengaduan dari warga dan menindaklanjutinya dengan mendatangi Panwaslu. �

Jokowi Urung Datang, Warga Tetap Semangat

Jumat 31 Agustus calon gubernur Jokowi sudah dija-dwalkan berkunjung ke Batu Ampar dan Balekambang. Tapi malam harinya terjadi insiden penembakan yang me-newaskan seorang polisi di Solo. Karena harus menghadiri pertemuan dengan Muspida Solo kunjungan itu diundur. Berita pembatalan baru tiba tengah malam sehingga sem-pat membuat panitia dari RPJB kerepotan. Sebagai bentuk tanggung jawabnya Jokowi menyempatkan diri membuat pesan singkat meminta maaf dan meminta warga terus ber-semangat melalui video. Esok harinya ketika warga sudah berkumpul panitia mengumumkan penundaan kunjungan sambil memutar video tersebut. Mendengar keterangan langsung dari Jokowi warga sangat dapat memahami dan tetap bersemangat. Mereka berdoa agar masalah di Solo dapat segera diselesaikan dan Jokowi dalam keadaan sela-mat selalu. Amin �

Solidaritas Warga untuk Korban Kebakaran

Bencana kebakaran boleh jadi memang tidak terkait pemilukada. Tapi itu tidak menghambat Relawan Peng-gerak Jakarta Baru (RPJB) untuk membantu korban yang mengalami bencana. Setelah kebakaran besar yang meng-hancurkan sekitar 300 rumah dan bengkel kerja di Pondok Bambu, aktivis RPJB langsung merapat ke lokasi. Bantuan materi sebisanya diberikan di samping bantuan untuk mengorganisasi penerimaan dan penyaluran bantuan. Seperti biasa saat terjadi bencana ada banyak pihak yang datang ingin sekadar mengibarkan bendera. RPJB memilih bekerja langsung dengan korban di tingkat basis. Mengikuti

teladan Jokowi sajalah, bekerja sukarela untuk kebaikan bersama. �

Jus Kotak-Kotak Di Palmerah, Jakarta Pusat, ada warung jus ukuran 3,5 x

4 meter yang dikelola oleh Mahfud, yang juga sering dijadi-kan tempat mangkal oleh pendukung Jokowi-Basuki. “Ser-ingnya Jumat malam kami kumpul di sini,” ujarnya. Selain menawarkan jus Mahfud juga menyediakan koran Jakarta Baru dan membagikan video Jakarta Baru: The Movie ke-pada pembeli yang tertarik. Bahkan sebelum pencoblosan 11 Juli 2012 ia membuat program minum jus gratis bagi pendukung Jokowi-Basuki pada hari Rabu. Di depan kiosn-ya terbentang spanduk bertuliskan ‘Kios Jus Kotak-Kotak’ dengan motif kotak-kotak juga. Ia pun memakai kemeja kotak-kotak Jokowi hampir setiap hari. “Iyalah, sebagai pendukung kan harus konsisten.” Setuju! �

Menjajal Pawang Geni di Manggarai

Ada keramaian di RW12 kelurahan Manggarai. Warga mengerumuni Pawang Geni, alat ampuh untuk mengatasi kebakaran. Pak Jokowi sendiri yang datang mengantar dan memperkenalkan alat itu bersama pembuatnya, Sri Utomo dari Solo. Pak Jokowi menjelaskan inisiatif warganya men-ciptakan alat untuk mengatasi kebakaran di daerah pemu-kiman padat. Setelah itu ada pelatihan singkat untuk para relawan. Pak Yanto dari RPJB bersama lima warga lainnya langsung maju menjajal alat tersebut. Bergantian mereka mencoba alat itu dengan arahan dari Sri Utomo, pem-buatnya sendiri. “Alat ini bagus sekali, sangat membantu untuk pertolongan pertama kalau ada kebakaran.” �

Pojok Ciliwung

Sampah selalu menjadi masalah pelik di Condet, khu-susnya di Balekambang. Petugas pengangkut sampah tak ada pilihan lain kecuali membuangnya di tepi Ciliwung yang akhirnya luruh ke kali. Sungai akhirnya cuma jadi bak sampah. Berganti-ganti gubernur datang memimpin Jakarta tapi tak ada yang sungguh-sungguh mengatur masalah ini. Sungai tetap jadi ekor (pantat) masyarakat, tempat segala macam kotoran dibuang dan disembunyi-kan. Kita masih bermimpi sungai bisa menjadi teras di mana kita bisa bercengkerama di tepinya. Apakah Joko-wi bisa? �

(foto

: WJB

)