ISSN : 1693 - 3265 Volume 15, Nomor 1, Januari – Juni 2018 Ketentuan Tindak Pidana Korporasi Dikaitkan Dengan Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Badan Hukum Publik Doharman Sidabalok dan Andi Savanto Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Surat Berharga Komersial Cita Yustisia Serfiyani dan Iswi Hariyani Perkembangan Transaksi Di Sektor Jasa Keuangan dan Kontribusinya Terhadap Pembaharuan Hukum Kontrak Nasional Lastuti Abubakar dan Tri Handayani Implikasi Dari Central Bank Digital Currency Menurut Hukum Indonesia Andi Savanto, Chandra Herwibowo, dan Doharman Sidabalok Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur, Januari - Juni 2018 (Berikut Ringkasan) Departemen Hukum, Bank Indonesia BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN
149
Embed
Volume 15, Nomor 1, BULETIN HUKUM …...i Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
ISSN : 1693 - 3265
Volume 15, Nomor 1,Januari – Juni 2018
Ketentuan Tindak Pidana Korporasi Dikaitkan Dengan Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Badan Hukum PublikDoharman Sidabalok dan Andi Savanto
Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Surat Berharga KomersialCita Yustisia Serfiyani dan Iswi Hariyani
Perkembangan Transaksi Di Sektor Jasa Keuangan dan Kontribusinya Terhadap Pembaharuan Hukum Kontrak NasionalLastuti Abubakar dan Tri Handayani
Implikasi Dari Central Bank Digital Currency Menurut Hukum IndonesiaAndi Savanto, Chandra Herwibowo, dan Doharman Sidabalok
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur, Januari - Juni 2018 (Berikut Ringkasan)Departemen Hukum, Bank Indonesia
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALAN
Volume 15, Nomor 1, Januari – Juni 2018
BULETIN HUKUM KEBANKSENTRALANDepartemen Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabRosalia Suci H., Imam Subarkah, Rika S. Dewi
Pemimpin RedaksiRika S. Dewi
Sekretaris RedaksiRosmarini Arundati
Dewan RedaksiRosmarini Arundati, Bambang Sukardi Putra, Pulih Widayaningrum, Agus Susanto P.,Amsal Chandra Appy, Panji Achmad, Doharman Sidabalok, Dyah Pratiwi, Dieni E. Putri
Mitra BestariProf. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S., Prof. Dr. Marsudi Triatmojo, S.H., LL.M.,
Sri Hariningsih, S.H., M.H., Dr. Lastuti Abubakar, S.H., M.H., Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M.,Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M., Chandra Murniadi, S.H., LL.M., Agus Santoso S.H., LL. M,Dr. Dian Ediana Rae, S.H. LL.M, Wahyudi Santoso, S.H. M.Kn, Iwan Setiawan, S.H., LL.M,
Dr. Safari Kasiyanto S.H., LL.M
Penanggung Jawab PelaksanaDivisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia
Penanggung Jawab DistribusiDivisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia
Buletin Hukum Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia. Isi/materi tulisan dan hasil penelitiandalam Buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan terbit secara berkala setiap 6 (enam) bulan sekali. Peminat Buletin ini dapat menghubungiDivisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum - Bank Indonesia, Gedung D Lt. 7,Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350 e-mail: [email protected].
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah, serta resensi buku berkenaan dengan hukumkebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Divisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum,Gedung D Lt. 7, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, e-mail: [email protected]. Atas dimuatnya artikel dan resensibuku dimaksud, redaksi memberikan uang jasa penulisan.
Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesiadi http://www.bi.go.id, pilih menu publikasi,
kemudian pilih sub menu Buletin Hukum Kebanksentralan
ISSN : 1693 - 3265
i
Dengan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, redaksi Buletin Hukum Kebanksentralan kembali
menerbitkan Buletin Hukum Kebanksentralan Volume 15 Nomor 1 Tahun 2018 pada semester pertama tahun 2018 ini.
Empat artikel dalam volume Buletin Hukum Kebanksentralan kali ini, mencoba mengekplorasi topik kebanksentralan
dari beberapa sudut hukum terkait.
Artikel mengenai Ketentuan Tindak Pidana Korporasi Dikaitkan dengan Kedudukan Bank Indonesia sebagai Badan
Hukum Publik, mencoba mengulas status Bank Indonesia sebagai badan hukum yang secara terminologi masuk dalam
pengertian korporasi sehingga rawan menghadapi tuntutan pidana yang ditujukan kepada Bank Indonesia. Dalam artikel
ini diuraikan bahwa meskipun secara teori Bank Indonesia memenuhi unsur korporasi namun mengingat Bank Indonesia
sebagai badan hukum publik maka Bank Indonesia tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Pasar uang dan pasar modal sebagai unsur pembentuk pasar keuangan menjadi topik yang menarik untuk dibahas
dari sisi hukum kebanksentralan. Transaksi Surat Berharga Komersial di pasar uang melahirkan hubungan antara investor
dan pencari dana. Artikel Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Surat Berharga Komersial mengulas upaya
perlindungan hukum terhadap investor dan penerbit surat berharga, termasuk ketika terjadi sengketa dalam transaksi
surat berharga komersial. Sedangkan artikel Perkembangan Transaksi di Sektor Jasa Keuangan dan Konstribusinya
terhadap Pembaruan Hukum Kontrak Nasional mengulas kontrak-kontrak yang timbul dalam transaksi jasa keuangan
termasuk dalam pasar keuangan yang telah memperkaya keragaman jenis kontrak di Indonesia.
Di era teknologi finansial saat ini topik mengenai penggunaan private digital currency sebagai alat pembayaran
barang dan jasa menjadi concern tersendiri bagi bank sentral untuk mengkajinya. Artikel Implikasi dari Central Bank
Digital Currency (CBDC) Menurut Hukum Indonesia akan membahas beberapa model CBDC yang sedang diuji oleh bank
sentral dan kerangka hukum kemungkinan pemberlakuan CBDC di Indonesia.
Sebagaimana terbitan Buletin sebelumnya, Buletin kali ini juga akan menyajikan ringkasan Peraturan Perundang-
undangan Bank Indonesia yang terbit dari bulan Januari sampai dengan Juni 2018, terdiri atas Peraturan Bank Indonesia
dan Peraturan Anggota Dewan Gubernur.
Selamat membaca.
Jakarta, Juni 2018
Redaksi
DARI MEJA REDAKSI
iii
Halaman
Dari Meja Redaksi...................................................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................................................... iii
Ketentuan Tindak Pidana Korporasi Dikaitkan Dengan Kedudukan Bank Indonesia Sebagai Badan
Hukum Publik............................................................................................................................................ 1 - 28
Doharman Sidabalok dan Andi Savanto
Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Surat Berharga Komersial.............................................. 29 - 48
Cita Yustisia Serfiyani dan Iswi Hariyani
Perkembangan Transaksi Di Sektor Jasa Keuangan dan Kontribusinya Terhadap Pembaharuan Hukum
5 H. Setiyono, Kejahatan Korporasi Analisis Victimologi dan Pertanggung-jawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Edisi Kedua Cetakan Pertama,Malang, Banyumedia Publishing 2003, hlm. 3.
8 A. A. Ngurah Wirajaya, Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan (Asas Kesalahan)Dalam Hubungannya Dengan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi,dalam: http:// www:google.com/url?sa=t&rct=J&q=&esrc=s&source=web&cd=98&cad=rja&ved=oCG QQ JAHOFo&url=http%3A%2F%2Fojs.unud.ac.id%2Findex.php% 2FKerthanegara%2Farticle%2Fdownload%2F5283%2F404o&ei=jwxqUq-8M6jtiAfmxYGw Bw& usg=AFQjCNFVsUuZA-Zlcjxf3Xz17ok6l--yUA&bvm=bv.55123115,d.bmk., hlm. 5.
9 Hasbullah F. Sjawie, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada TindakPidana Korupsi, cetakan ke-2 Januari 2017, Jakarta, hlm. 67.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
anggota badan pengurus atau komisaris
yang ternyata tidak ikut campur melakukan
pelanggaran tersebut.” Memperhatikan
bunyi Pasal 59 KUHP tersebut, apabila
pengurus korporasi melakukan tindakan
dalam rangka mewakili atau dilakukan
untuk dan atas nama korporasi yang
dipimpinnya dan kemudian dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana, maka
pertanggungjawaban atas tindak pidana
dimaksud dibebankan hanya kepada
pengurus yang melakukan tindak pidana
itu. Korporasi tidak dibebani pertanggung-
jawaban pidana. Semangat yang dimuat
dalam Pasal 59 KUHP adalah bahwa tindak
pidana tidak pernah dilakukan oleh korporasi
tetapi dilakukan oleh pengurusnya.
Konsekuensinya, sekalipun pengurus dalam
melakukan perbuatan itu bertindak untuk
dan atas nama korporasi, atau untuk
kepentingan korporasi, atau bertujuan
untuk memberikan manfaat bagi korporasi
dan bukan bagi pribadi pengurusnya,
pengurus itu saja yang dapat dibebani
pertanggungjawaban pidana.
Di luar Pasal 59 KUHP tidak terdapat satu
pasal pun yang menentukan korporasi
sebagai subyek hukum pidana. Dengan kata
lain, tidak terdapat satu pasal pun dalam
KUHP yang menentukan tindak pidana
dapat dilakukan oleh suatu korporasi.
Dalam KUHP, tentang manusia sebagai
pelaku tindak pidana selain dengan
menggunakan istilah "barang siapa" juga
dimunculkan dalam berbagai istilah yang
lain, misalnya "setiap orang" (vide Pasal 2
dan Pasal 4 KUHP), "warga negara
Indonesia" (vide Pasal 5 KUHP), "pejabat"
(atau "pegawai”) (vide Pasal 7 KUHP),
"dokter" (vide Pasal 267 KUHP), "orang
yang telah cukup umur" (atau "orang
dewasa") (vide Pasal 292 KUHP),
"pengusaha" (vide Pasal 392 KUHP),
"pengacara" (vide Pasal 393 bis).
2) Korporasi Sebagai Subyek Hukum Pidana
Pembebanan pertanggungjawaban pidana
kepada korporasi merupakan konsep yang
baru muncul di tahun 1990-an.12 Konsep
pertanggungjawaban pidana tersebut
di Perancis baru muncul pada tahun 1994,
di Belgia muncul pada tahun 1999, di Italia
muncul pada tahun 2001, di Polandia
muncul pada tahun 2003, di Rumania
muncul pada tahun 2006, dan di Luxemburg
serta Spanyol muncul pada tahun 2012.
Sekalipun di Inggris, dimana pertanggung-
jawaban pidana bagi korporasi telah eksis
sejak lama, tetapi tindak pidana yang
dilakukan oleh korporasi baru dituntut pada
beberapa tahun terakhir. Di Belanda, sampai
tahun 1976 hanya tindak pidana pajak saja
yang dapat dibebankan pertanggung-
jawaban pidananya kepada korporasi.13
Dalam perkembangan hukum pidana di
Indonesia, undang-undang pidana di luar
KUHP atau undang-undang pidana khusus
telah memperluas subyek hukum pidana,
yaitu tidak hanya terbatas kepada manusia
saja tetapi juga kepada korporasi.
Perkembangan ini sejalan dengan
perkembangan hukum pidana di negara-
negara lain. Diadopsinya korporasi sebagai
subyek bukum pidana di Indonesia terlihat
dari berbagai undang-undang yang dibuat
akhir-akhir ini.14
6
12 Henry N. Pontell & Gilbert Geis dalam tulisan berjudul lnternationalHandbook of White-Collar and Corporate Crime, antara lain menulisbahwa"Corporate crime is hardly new".
13 Clifford Chance, “Corrporate Liability in Europe,” January 2012.www.cliffordchance.com/content/dam/cliffordchance/PDFs/Corporat_Liability_in_Europe.pdf.
14 Pemikiran bahwa korporasi dapat menjadi subyek hukum pidana untukpertama kali telah dimunculkan pada tahun 1951, yaitu ketika UU DaruratNo. 17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-Barang diberlakukan.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Konsep pertanggungjawaban pidana korporasi
yang diakui di Indonesia melalui pengadopsian
dalam berbagai undang-undang pidana khusus
dipatrikan ke dalam RUU KUHP 2018.15 Dalam
rumusan Pasal 52 RUU KUHP 2018 tersebut
disebutkan:
(1) Korporasi merupakan subjek Tindak Pidana.
(2) Korporasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup badan hukum yang
berbentuk perseroan terbatas, yayasan,
koperasi, badan usaha milik negara/daerah,
atau yang disamakan dengan itu, serta
perkumpulan baik yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum atau badan
usaha yang berbentuk firma, persekutuan
komanditer, atau yang disamakan dengan
itu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Hal tersebut sejalan dengan pendapat
Remmelink bahwa:16
“Meskipun demikian pembuat undang-undang
dalam merumuskan delik sering terpaksa turut
memperhitungkan kenyataan bahwa manusia
melakukan tindakan di dalam atau melalui
organisasi yang, dalam hukum keperdataan
maupun di luarnya (misalnya dalam hukum
administrasi), muncul sebagai satu kesatuan
dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan
sebagai badan hukum/korporasi. Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, pembuat
undang-undang akan merujuk pada pengurus
atau komisaris korporasi jika mereka
berhadapan dengan situasi seperti itu.”
c. Sistem pemidanaan dan jenis sanksi pidana
korporasi
Oleh karena korporasi tidak mempunyai wujud
badan secara lahiriah, maka sanksi pidana
yang bisa diberikan kepadanya bukanlah sanksi
pidana klasik, kecuali sanksi yang berkaitan
dengan denda atau pinalti.17 Pada umumnya
pengenaan denda kepada korporasi ini akan
optimal, mengingat pengeksekusiannya cukup
mudah18 apalagi bila sebelumnya telah dilakukan
penyitaan terhadap harta korporasi yang
dianggap cukup erat bersinggungan dengan
tindak pidana yang terbukti telah dilakukannya.
Selain pengenaan hukuman pokok berupa
denda, kepada korporasi bisa saja diberikan
hukuman tambahan dalam berbagai bentuk,
misalnya pencabutan izin sementara waktu,
atau pelarangan melakukan kegiatan usaha
tertentu dalam waktu tertentu, ataupun
pembubaran korporasi yang bersangkutan.
Di samping pengenaan hukuman pokok
berupa sanksi keuangan atau denda kepada
korporasi yang terbukti melakukan tindak
pidana, yang telah digunakan secara umum
di berbagai negara, dikenal pula apa yang
dinamakan dengan "corporate imprisonment",
antara lain berupa pembatasan bertindak dalam
bidang tertentu bagi korporasinya, termasuk
di dalamnya tindakan pembatasan untuk
memperoleh pekerjaan atau mengikuti tender
pemerintah, ataupun penutupan sementara
terhadap korporasi yang bersangkutan, hingga
sanksi penglikuidasian bagi korporasi itu19.
7
17 Zoltan Andras Nagy, Some Problems of the Criminal Liability of LegalEntity in Criminal Dogmatics, dalam:http://www.law.muni.cz/sbomiky/dpo8/files/pdf/trest/nagy.pdf, hlm. 3.
18 V. S. Khanna, , Corporate Criminal Liability: What Purpose Does It Serve?Dalam: http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=803867.,hlm. 21.
19 Markus Wagner, Corporate Criminal Liability: National and InternationalResponses. Dalam: http://www.icclr.law.ubc.ca/publication/report/corporatecriminal.pdf, hlm. 8-9.
15 Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan, Departemen Hukumdan Hak Asasi Manusia, Rancangan Undang-Undang Republik Indonesiatentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, 2018.
16 Jan Remmelink, Hukum Pidana; Komentar Atas Pasal-Pasal Terpentingdari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannyadalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003, hlm. 97.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
3. Pengertian dan Ruang Lingkup Tindak Pidana
Korporasi
a. Pengertian tindak pidana korporasi
Istilah "tindak pidana korporasi" dalam beberapa
literatur disebut dengan "kejahatan korporasi".20
Tindak pidana korporasi atau kejahatan korporasi
tidak muncul dengan sendirinya melainkan muncul
seiring perkembangan zaman dan perkembangan
di masyarakat. Awal lahirnya istilah tindak pidana
korporasi ini bermula dari pendapat Edwin
Sutherland yang mengemukakan jenis-jenis
kejahatan atau tindak pidana baru yang dikenal
dengan white collar crime (kejahatan kerah putih).
Terkait dengan white collar crime ini, Hazel Croal
menjelaskan bahwa: "white collar crime sering
diasosiasikan dengan berbagai skandal dunia
keuangan dan bisnis (financial and bussines world)
dan penipuan canggih yang dilakukan oleh para
eksekutif senior (the sophisticated frauds of senior
executives) yang di dalamnya termasuk apa yang
secara popular dikenal sebagai tindak pidana atau
kejahatan korporasi (corporate crime).21
Selanjutnya, mengenai corporate crime atau
kejahatan korporasi ini, Steven Box mengemukakan
tipe dan karakteristik tindak pidana yang dilakukan
oleh korporasi yang pada dasarnya berbeda dengan
tindak pidana atau kejahatan konvensional pada
umumnya. Steven Box menyatakan bahwa ruang
lingkup tindak pidana atau kejahatan korporasi
melingkupi 3 (tiga) hal sebagai berikut:22
1) Crimes for Corporation yakni kejahatan atau
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh
korporasi dalam mencapai usaha dan tujuan
tertentu guna memperoleh keuntungan;
2) Criminal Corporation yaitu korporasi yang
bertujuan semata-mata untuk melakukan
kejahatan (dalam hal ini korporasi hanya
sebagai kedok dari suatu organisasi kejahatan);
3) Crimes Against Corporation yaitu kejahatan-
kejahatan yang dilakukan terhadap korporasi
seperti pencurian atau penggelapan barang
milik korporasi. Dengan demikian, dalam hal
ini korporasi bukanlah pihak yang melakukan
tindak pidana melainkan sebagai korban.
Pengertian korban yang lebih spesifik dikemukakan
Muladi yang mendefinisikan korban sebagai:
"seseorang yang telah menderita kerugian sebagai
akibat suatu kejahatan dan atau yang rasa
keadilannya secara langsung telah terganggu
sebagai akibat pengalamannya sebagai target
atau sasaran kejahatan (A victim is a person who
has suffered damage as a result of a crime and/or
whose sense of justice has been directly disturbed
by the experience of having been target of a
crime).23
Menurut Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) dalam "Declaration of Basic Principles of
Justice for Victims of Crime and Abuse of Power"
tahun 1985; korban disebut dengan “victims”.
Dalam deklarasi PBB tersebut ditulis "Victims means
persons who, individually or collectivelly, have
suffered harm, including physical or mental injury
emotional suffering, economic loss or substantial
impairment of their fundamental rights, through
acts or omission of criminal laws operative within
Member States, including those laws Proscribing
criminal abuse of power, ... through acts or
omissions that do not yet constitute violations of
8
20 Pada bagian ini kedua istilah tersebut digunakan secara bergantian sesuaikeperluan pembahasan.
21 Yusuf Shofie, Pelaku Usaha, Konsumen dan Tindak Pidana Korporasi,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm. 44.
22 Lihat juga dalam: Muladi dan Dwija Priyatno, Op. cit., hlm. 29 danbandingkan juga dengan: Hamzah Hatrik, Asas PertanggungjawabanKorporasi dalam Hukum Pidana Indonesia (Strict Liability dan VicariousLiability), PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1995, hlm. 41.
23 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 2007, hlm. 84.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
national criminal laws but of internationally
recognized norms relating to human rights".24
Dari beberapa pengertian korban di atas dapat di
tarik garis besar mengenai definisi korban kejahatan
kehilangan nyawanya, sebagai akibat dari kejahatan
atau percobaan kejahatan yang dilakukan oleh
orang lain baik langsung maupun tidak langsung,
baik sadar maupun tidak sadar termasuk juga
keluarga korban yang ikut mengalami penderitaan
atau kerugian.
b. Faktor yang mendorong korporasi melakukan
tindak pidana (kejahatan)
Steven Box menyatakan setidaknya terdapat 5
(lima) faktor yang mendorong korporasi untuk
melakukan tindak pidana atau kejahatan yaitu:25
(a) persaingan; (b) pemerintah; (c) karyawan;
(d) konsumen; dan (e) publik.
c. Ruang lingkup tindak pidana korporasi
Dalam studi mengenai kejahatan korporasi, Clinard
dan Yeager antara lain mengemukakan jenis
kejahatan yang sering dilakukan korporasi, yaitu
kejahatan korporasi yang berkaitan dengan
administratif, lingkungan, keuangan, tenaga kerja,
dan praktik-praktik perdagangan tidak jujur.
4. Bentuk-Bentuk Kejahatan Korporasi Dalam
Berbagai Konvensi Internasional
Bentuk-bentuk tindak pidana atau kejahatan
korporasi juga dapat ditemukan dalam berbagai
konvensi internasional yang mengatur mengenai
sistem pertanggungjawaban pidana korporasi.
Konvensi internasional dimaksud di antaranya
adalah:
a. Council of Europe Criminal Law Convention
on Corruption;
b. Council of Europe Criminal Law Convention
on Cybercrime;
c. International Telecommunication Union Toolkit
for Cybercrime Legislation;
d. Sixty-Sixth Ordinary Session of The Council of
Ministers - Directive C/Dir. 1/08/11 on Fighting
Cyber Crime Within ECOWAS;
e. Convention on The Protection of The
Environment Through Criminal Law;
f. European Union Action to Fight Enviromental
Crime-Directive 2008/99/Ec on Environmental
Crime and Directive 2009/123/Ec on Ship-
Source Pollution;
g. Council of Europe Committee of Ministers
Recommendation No. R (88) 18 of The
Committee Of Ministers To Member States
Concerning Liability of Enterprises Having Legal
Personality for Offences Committed In The
Exercise Of Their Activities;
h. Convention on Combating Bribery of Foreign
Public Officials in International Business
Transactions;
i. Council of Europe Committee of Ministers
Recommendation No. R (82) 15 of The
Committee of Ministers To Member States on
The Role of Criminal Law in Consumer
Protection;
j. OECD Guidelines for Multinational Enterprises;
k. The United Nations Global Compact (UNGC);
l. Seventh United Nations Congress on The
Prevention of Crime and The Treatment of
Offenders;
9
24 Ibid, hlm. 48. Korban yang dimaksud dalam deklarasi PerserikatanBangsa-Bangsa (PBS) tersebut adalah orang-orang, baik secara individualmaupun kolektif, yang mengalami penderitaan, termasuk penderitaanfisik dan mental, emosi, atau gangguan substansial terhadap hak-haknyayang fundamental, melalui perbuatan atau kelalaian yang melanggarhukum pidana dalam suatu negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.Korban juga diperluas menjadi korban perbuatan atau kelalaian yangwalaupun belum diatur sebagai kejahatan dalam hukum pidana nasional,tetapi dalam dunia internasional merupakan norma yang berhubuingandengan hak asasi manusia.
25 I. S. Susanto, Kejahatan Korporasi, BP UNDIP, Semarang, 1995, hlm. 30,mengutip dari Steven Box, Power Crime and Mystification, TavistockPublications, Limited, 1983, hlm. 212.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
m. The United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC);
n. The United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (UNCATOC);
o. Draft Norms on The Responsibilities of
Transnational Corporations and Other Business
Enterprises With Regard To Human Rights, El
Cn.4/Sub.2/2003/12 (2003);
p. Council of Europe Committee of Ministers
Recommendation No. R (81) 12 of The
Committee of Ministers To Member States on
Economic Crime;
q. Organized and Serious Crimes Ordinance.
C. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
1. Kesalahan dan Pertanggungjawaban Pidana
a. Asas tiada pidana tanpa kesalahan
Salah satu asas penting dalam hukum pidana
adalah “tiada pidana tanpa kesalahan” atau
“geen strafzonder schuld” atau “keine Strafe
ohne Schuld” atau “actus nonfacit reum nisi
mens sir rea”.26 Asas ini memberi pemahaman
bahwa suatu dugaan tindak pidana belum
tentu akan diikuti dengan pemberian hukuman
bagi pelakunya. Selain asas tersebut dalam
hukum dikenal beberapa dasar atau prinsip
dari tanggung jawab hukum, yaitu:27
1) Prinsip tanggung jawab berdasarkan
adanya unsur kesalahan (fault liability,
liability based onfault principle). Prinsip ini
membebankan pada korban untuk
membuktikan bahwa pelaku itu telah
melakukan perbuatan melawan hukum
yang merugikan dirinya.
2) Prinsip tanggung jawab berdasarkan adanya
praduga (rebuttable presumption of liability
principle). Prinsip ini menegaskan bahwa
tanggung jawab si pelaku bisa hilang jika
dapat membuktikan tidak bersalah kepada
korbannya.
3) Prinsip tanggung jawab mutlak (no-fault
liability, absolute atau strict liability principle)
yaitu tanggungjawab tanpa harus
membuktikan kesalahannya.
b. Pertanggungjawaban pidana
Unsur yang mutlak harus ada yang bisa
mengakibatkan pelaku tindak pidana diminta
pertanggungjawaban pidana adalah unsur
perbuatan dan unsur kesalahan yang
terkandung di dalamnya. Unsur kesalahan
harus ditemukan karena sangat terkait dengan
elemen mental dari pembuatnya (mens rea).
Unsur kesalahan ini harus ada bersamaan
dengan perbuatan seseorang dalam melakukan
tindak pidana, yang disebut dengan actus
reus.28
Dalam hukum pidana, kesalahan sangat penting
karena dalam hukum pidana dikenal asas
legalitas yaitu tiada hukuman kalau tak ada
kesalahan atau nullum delictum nulla poena
sige lege.29 Asas ini berlaku universal. Dalam
KUHP Indonesia, asas nullum delictum nulla
poena sige lege ini secara implisit tercantum
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang berbunyi:
"Tiada suatu perbuatan boleh dihukum,
melainkan atas kekuatan ketentuan pidana
dalam undang-undang, yang ada terdahulu
daripada perbuatan itu".
10
26 Lihat, Moelyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta, Rineka Cipta, 1993,hlm. 153.
27 Lengkapnya lihat E. Saefullah Wiradipradja, Tanggung Jawab PengangkutDalam Hukum Pengangkutan Udara Internasional dan Nasional, Yogyakarta,Liberty, 1989, hlm. 19-46.
28 Zoltan Andras Nagy, Op. cit, hlm. 2.
29 Dalam bahasa Lathin asas ini disebut "nullum crimen sine lege stricta",yang bila diterjemahkan berarti bahwa tidak ada delik tanpa ada ketentuanyang tegas sebelumnya. Asas ini juga sekaligus melarang dimungkinkanberlaku surutnya suatu peraturan pidana.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Makna dari asas legalitas ini adalah bahwa
tiada seorang pun dapat dihukum tanpa adanya
suatu peraturan pidana yang mendahului
terjadinya perbuatan itu dan bahwa peraturan
dimaksud harus telah mencantumkan suatu
ancaman hukuman, serta peraturan pidana itu
tidak boleh berlaku surut. Di Indonesia, pada
umumnya ahli hukum memandang bahwa
Pasal 1 ayat (1) KUHP sebagai dasar dari asas
legalitas.30
c. Teori pertanggungjawaban pidana korporasi
Untuk mendalami pemahaman mengenai
kelayakan suatu korporasi dapat diminta
pertanggungjawaban pidana, penulis hukum
pidana mengemukakan beberapa teori yang
mencoba menjelaskan bahwa korporasi dapat
atau pada akhirnya layak diminta
pertanggungjawaban pidana. Beberapa teori
terkait pertanggungjawaban pidana korporasi
dikemukakan oleh beberapa penulis hukum.
Pada awalnya teori-teori yang membahas
mengenai pertanggungjawaban pidana
korporasi berkembang di negara-negara
common law. Teori-teori tersebut kemudian
banyak diikuti oleh negara-negara lainnya dan
bisa dikatakan telah bersifat universal. Di antara
teori dimaksud adalah:31
i. Teori pertanggungjawaban ketat/mutlak
(Strict liability/absolute liability);
ii. Teori pertangggungjawaban pengganti
(Vicarious liability);
iii. Teori identifikasi/pertanggungjawaban
langsung (Identification theory/direct liablity);
iv. Teori pelaku fungsional;
v. Teori agregat.
2. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam
Undang-Undang Pidana Indonesia
a. Awal pengaturan korporasi sebagai subyek
hukum pidana di Indonesia
KUHP Indonesia yang berlaku saat ini hanya
mengakui manusia (natural person) sebagai
subyek hukum pidana (pelaku tindak pidana).
KUHP belum mengakui korporasi, termasuk
badan hukum (legal persons), sebagai subyek
hukum pidana (pelaku tindak pidana).
Adopsi korporasi sebagai subyek hukum pidana
(pelaku tindak pidana) dalam hukum pidana
Indonesia dilakukan tidak dengan cara
menambahkan ketentuan tindak pidana
korporasi dalam KUHP, seperti yang terjadi
di beberapa negara civil law lain. Di Indonesia,
adopsi ketentuan dalam rangka mitigasi tindak
pidana korporasi dilakukan dengan
pengundangan berbagai undang-undang di
luar KUHP yang mengatur tindak pidana khusus.
Korporasi selaku subyek hukum pidana (pelaku
tindak pidana) di Indonesia secara resmi
diperkenalkan untuk pertama kalinya pada
tahun 1951 dengan diundangkannya UU
Darurat No.17 Tahun 1951 tentang Penimbunan
Barang-Barang. Dalam UU Darurat ini antara
lain diatur cara melakukan tuntutan atau
menjatuhkan hukuman terhadap suatu badan
hukum atau korporasi dalam hal melakukan
tindakan penimbunan barang dan siapa atau
pihak mana yang harus tampil di muka
pengadilan apabila badan hukum atau korporasi
didakwa sebagai pelaku tindak pidana.
b. Perkembangan pengaturan korporasi sebagai
sebagai subyek hukum pidana di Indonesia
Perkembangan hukum pidana secara global
menunjukkan bahwa akhir-akhir ini semakin
banyak negara yang mengadopsi konsep
11
30 Lihat misalnya E. Utrecht, Hukum Pidana I, Bandung, Balai LektureMahasiswa, 1990, hlm. 193. Lihat pula H. A. Zainal Abidin Farid, HukumPidana 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 35. Demikian juga, lihat AndiHamzah, Asas-Asas Hukum Pidana., Op. cit., hlm. 39. Lihat pula AndiHamzah, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia,
31 Hasbullah F. Sjawie, Loc. cit. hlm. 24 s.d. 61.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
pertanggungjawaban pidana korporasi. Tidak
dapat dipungkiri, hal tersebut juga menginspirasi
pembuat undang-undang di Indonesia untuk
mengakomodir korporasi sebagai subyek
hukum pidana dalam beberapa undang-
undang yang mengatur tindak pidana khusus
di Indonesia sekalipun KUHP Indonesia yang
berlaku sekarang belum mengatur
pertanggungjawaban pidana korporasi.
Berbagai undang-undang tindak pidana khusus
di Indonesia, setelah diundangkannya UU
Darurat No.17 Tahun 1951 tentang
Penimbunan Barang-Barang, telah menjadikan
korporasi juga sebagai subyek tindak pidana
selain manusia. Dengan kata lain, dalam
beberapa undang-undang yang diterbitkan
setelah berlakunya UU Darurat No. 17 Tahun
1951 telah diatur bahwa korporasi juga dapat
dibebani pertanggungjawaban pidana.
Undang-undang pidana di luar KUHP lainnya
setelah berlakunya UU Darurat No.17 Tahun
1951 tentang Penimbunan Barang-Barang
yang telah menerima konsep pertanggung-
jawaban pidana korporasi antara lain:
1. UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang
Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan
Tindak Pidana Ekonomi;
2. UU No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan UU
No.10 Tahun 1998;
3. UU No.8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal;
4. UU No.10 Tahun 1995 tentang
Kepabeanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No.17 Tahun 2006;
5. UU No.11 Tahun 1995 tentang Cukai
sebagaimana telah diubah dengan UU
No.3 Tahun 2007;
6. UU No.5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
7. UU No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika
sebagaimana telah diubah dengan UU
No.35 Tahun 2009;
8. UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU
No.20 Tahun 2001;
9. UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen;
10. UU No.5 Tahun 1999 tentang Praktik
Monopoli dan Larangan Persaingan Usaha
Tidak Sehat;
11. UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan,
sebagaimana telah diubah dengan UU
No.45 Tahun 2009;
12. UU No.21 Tahun 2007 tentang Tindak
Pidana Perdagangan Orang;
13. UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik;
14. UU No.21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah;
15. UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,
16. UU No.8 Tahun 2010 tentang Tindak
Pidana Pencucian Uang;
17. UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang;
18. UU No.18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan;
19. UU No.3 Tahun 2014 tentang Perindustrian;
20. UU No.28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta;
21. UU No.13 Tahun 2016 tentang Paten;
22. UU No.20 Tahun 2016 tentang Merek dan
Indikasi Geografis.
Dari hasil penelitian terhadap UU Darurat No.
17 Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-
Barang dan 22 (dua puluh dua) Undang-
Undang pidana khusus lainnya dan dikaitkan
dengan teori-teori pertanggungjawaban
pidana, dapat dikemukakan bahwa:
1. Empat undang-undang yaitu (i) UU No.32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup, (ii) UU
No.21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana
Perdagangan Orang, (iii) UU No.11 Tahun
1995 tentang Cukai sebagaimana telah
diubah dengan UU No.3 Tahun 2007, dan
(v) UU No.10 Tahun 1995 tentang
12
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Kepabeanan sebagaimana telah diubah
dengan UU No.17 Tahun 2006
menggunakan pola perumusan
pertanggungjawaban pidana sesuai doktrin
identifikasi (doctrine of identification) dan
doktrin agregasi (doctrine of aggregation).
2. UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU
No.20 Tahun 2001 menggunakan doktrin
vicarious liability yang melihat hubungan
kerja atau hubungan lain antara korporasi/
majikan dengan pelaku (vide Pasal 20).
3. Satu undang-undang yaitu UU No.8 Tahun
2010 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang menggunakan pola perumusan
pertanggungjawaban pidana sesuai doktrin
teori identifikasi (doctrine of identification).
4. Tujuh belas undang-undang lainnya tidak
tegas pola perumusan pertanggungjawaban
pidananya.
c. Perumusan & pembahasan ketentuan korporasi
sebagai subyek hukum pidana di Indonesia
Dalam penyusunan Rancangan KUHP (RKUHP
2018) yang akan menggantikan KUHP yang
berlaku sekarang, konsep pertanggungjawaban
pidana korporasi telah diadopsi. Pada saat kajian
atas topik dalam artikel ini ditulis, Komisi DPR
yang menangani perumusan dan pembahasan
perubahan KUHP sedang dalam proses
membahas RKHUP. Diperoleh informasi bahwa
salah satu isu yang banyak diperdebatkan dan
dibahas oleh DPR adalah mengenai adopsi
korporasi sebagai subyek tindak pidana.
Untuk memastikan perumusan tindak pidana
korporasi dalam RKUHP terkini, penulis meneliti
rumusan ketentuan terkait tindak pidana
korporasi dalam buku ke-1 RKUHP hasil
pembahasan Tim Perumus pada akhir Mei
2018. Dalam RKUHP tersebut dirumuskan hal-
hal sebagai berikut:
(1) Definisi Korporasi
Dalam Pasal 179 disebutkan bahwa:
”Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari
orang dan/atau kekayaan, baik merupakan
badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas, yayasan, perkumpulan, koperasi,
badan usaha milik publik, badan usaha milik
daerah, badan usaha milik desa, atau yang
disamakan dengan itu, atau badan usaha yang
berbentuk firma, persekutuan komanditer,
atau yang disamakan dengan itu.”
(2) Subjek Hukum
Dalam rumusan Pasal 52 ayat (1) disebutkan
bahwa: "Korporasi merupakan subyek tindak
pidana”. Sedangkan pada Pasal 52 ayat (2)
disebutkan bahwa: “Korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) mencakup badan
hukum yang berbentuk perseroan terbatas,
yayasan, koperasi, badan usaha milik negara/
daerah, atau yang disamakan dengan itu, serta
perkumpulan baik yang berbadan hukum
maupun tidak berbadan hukum atau badan
usaha yang berbentuk firma, persekutuan
komanditer, atau yang disamakan dengan itu
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.”
(3) Definisi Tindak Pidana Korporasi
Dalam Pasal 53 RKUHP disebutkan bahwa:
“Tindak Pidana oleh Korporasi adalah Tindak
Pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi Korporasi yang bertindak
untuk dan atas nama Korporasi atau bertindak
demi kepentingan Korporasi, yang berdasarkan
hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain dalam lingkup usaha atau kegiatan
Korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri
maupun secara bersama-sama.”
Selain dapat dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai kedudukan fungsional dalam
struktur organisasi korporasi, dalam RKUHP
13
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
juga dirumuskan bahwa tindak pidana korporasi
juga dapat dilakukan oleh personil pengendali
korporasi dan pemberi perintah di luar struktur
organisasi tetapi dapat mengendalikan
korporasi (konsep rumusan Pasal 54 ayat (1)).
(4) Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Hal penting lain yang dapat berdampak
terhadap badan hukum atau korporasi yang
adalah mengenai pertanggungjawaban dalam
konsep Pasal 55 dan Pasal 56 yang masing-
masing berbunyi sebagai berikut.
Pasal 55 berbunyi:
“Jika Tindak Pidana dilakukan oleh Korporasi,
pertanggungjawaban pidana dikenakan
terhadap Korporasi dan/atau pengurusnya,
pemberi perintah, atau pemegang kendali
Korporasi”.
Selanjutnya, Pasal 56 berbunyi:
“Korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban
secara pidana atas suatu perbuatan yang
dilakukan untuk dan/atau atas nama Korporasi
jika perbuatan tersebut termasuk dalam lingkup
usaha atau kegiatan sebagaimana ditentukan
dalam anggaran dasar atau ketentuan lain yang
berlaku bagi Korporasi yang bersangkutan atau
jika perbuatan tersebut dilakukan di luar lingkup
usaha atau kegiatan yang menguntungkan
atau dilakukan demi kepentingan Korporasi.”
Dengan adanya definisi atau penjelasan dari
istilah “korporasi” dalam Pasal 179 RKUHP
2018 dan rumusan ketentuan cakupan
korporasi dalam Pasal 52 di satu sisi, namun
di sisi lain tidak ada pengecualian yang tegas
dari ketentuan mengenai pertanggungjawaban
tindak pidana korporasi terhadap badan hukum
publik, dapat menimbulkan multitafsir.
Dengan konsep rumusan Pasal 52 ayat (1)
yang berbunyi:
“Korporasi merupakan subyek tindak pidana”,
dan rumusan Pasal 52 ayat (2) yang berbunyi:
“Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) mencakup badan hukum yang berbentuk
perseroran terbatas, yayasan, koprasi, badan
usaha milik negara/daerah, atau yang
disamakan dengan itu, serta perkumpulan
baik yang berbadan hukum maupun tidak
berbadan hukum atau badan usaha yang
berbentuk firma, persekutuan komanditer,
atau yang disamakan dengan itu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan”,
tidak tertutup kemungkinan ada orang yang
berpandangan bahwa badan hukum publik
seperti Bank Indonesia merupakan korporasi.
Pandangan demikian masuk akal karena badan
hukum yang berbentuk perseroan terbatas,
yayasan, koperasi, badan usaha milik
negara/daerah, atau yang disamakan dengan
itu, serta perkumpulan baik yang berbadan
hukum ataupun yang tidak berbadan hukum
atau badan usaha yang berbentuk firma,
persekutuan komanditer, atau yang disamakan
dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan adalah tambahan
cakupan dari korporasi. Di sisi lain, tidak tertutup
kemungkinan orang dapat menganggap
bahwa yang dimaksud dengan korporasi dalam
konsep rumusan Pasal 52 RKUHP adalah hanya
badan hukum yang berbentuk perseroan
terbatas, yayasan, koperasi, badan usaha milik
negara/daerah, atau yang disamakan dengan
itu, serta perkumpulan baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum
atau badan usaha yang berbentuk firma,
persekutuan komanditer, atau yang disamakan
dengan itu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Untuk memastikan bahwa badan hukum publik
seperti Bank Indonesia, Lembaga Penjamin
Simpanan, Otoritas Jasa Keuangan, dan Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
tidak termasuk dalam kategori atau cakupan
dari korporasi sebagaimana dimaksud dalam
14
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
RKUHP 2018, perlu penjelasan yang tegas atau
pengecualian dari pembuat undang-undang.
Adanya penjelasan yang tegas atau
pengecualian mengenai hal tersebut dalam
KUHP akan memberi kepastian bahwa badan
hukum publik tidak akan menghadapi proses
hukum dalam menjalankan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya. Pengecualian ini diperlukan
karena ada kepentingan umum yang besar
yang dipertaruhkan kalau mengenakan sanksi
kepada badan hukum publik seperti ini. Dengan
pengenaan sanksi, baik pidana pokok maupun
tambahan dapat mencoreng reputasi badan
hukum tersebut, bahkan dapat membuat
badan hukum publik tidak dapat melaksanakan
tugasnya dengan baik. Menurut ahli hukum
Belanda, di Belanda Badan Usaha Milik Negara
tidak diperlakukan sama dengan korporasi
swasta biasa. Terhadap BUMN tidak dikenakan
pertanggungjawaban pidana, karena hal itu
hanya memindahkan uang negara dari kantong
kanan ke kantong kiri. Menurut seorang
pejabat The Office of Overseas Prosecutorial
(OPDAT) pada Kedutaan Amerika Serikat di
Jakarta, bahwa di Amerika serikat kalau ada
pejabat publik seperti pejabat partai politik
melakukan pelanggaran, yang dihukum hanya
individunya saja dan badan hukumnya/partai
tidak dipidana. Kita dapat mengambil contoh
misalnya pada sekitar tahun 1972-1974, terjadi
kasus Watergate yaitu pejabat partai Republik
termasuk presiden Nixon melakukan perbuatan
melawan hukum yang merugikan calon Partai
Demokrat George Mc Govern. Pada kasus ini
yang dihukum hanyalah pejabat partai Republik
termasuk upaya impeachment terhadap
Presiden Nixon yang menolak memberikan
rekaman-rekaman pembicaraan yang disadap
secara melawan hukum. Akhirnya pada tanggal
8 Agustus 1974 Presiden. Nixon mengundurkan
diri. Partai Republik tidak dihukum dalam kasus
ini. Pada waktu kasus ini terjadi di sana sudah
dikenal pertanggungjawaban pidana korporasi
yang sudah diterapkan sejak tahun 1909 dalam
kasus NY Central & Hudson River Railroad
Versus United States.
d. Ketentuan undang-undang yang telah
mengadopsi korporasi sebagai subyek hukum
pidana yang banyak mendapat perhatian di
Indonesia
Sejak dimulainya pengadopsian korporasi
sebagai subyek hukum pidana di Indonesia
pada tahun 1951, semakin banyak undang-
undang di Indonesia yang mengatur tindak
pidana korporasi. Dari sekian banyak undang-
undang yang mengatur tindak pidana korporasi
di Indonesia, yang banyak mendapat perhatian
dari instansi pemerintah atau lembaga negara
adalah UU No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana telah diubah dengan UU No.20
Tahun 2001 (UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi).
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
mengadopsi korporasi sebagai subyek tindak
pidana korupsi. Hal tersebut dapat dilihat pada
rumusan Pasal 20 yang berbunyi:
(1) Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan
oleh atau atas nama suatu korporasi, maka
tuntutan dan penjatuhan pidana dapat
dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana korupsi dilakukan oleh
korporasi apabila tindak pidana tersebut
dilakukan oleh orang-orang baik
berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan
terhadap suatu korporasi, maka korporasi
tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dapat diwakili oleh orang lain.
15
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
(5) Hakim dapat memerintahkan supaya
pengurus korporasi menghadap sendiri di
pengadilan dan dapat pula memerintahkan
supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang
pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan
terhadap korporasi, maka panggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat
panggilan tersebut disampaikan kepada
pengurus di tempat tinggal pengurus atau
di tempat pengurus berkantor.
(7) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan
terhadap korporasi hanya pidana dengan
denda, dengan ketentuan maksimum
pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).
Menurut Pasal 7 ayat (1) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan
"korporasi" adalah "kumpulan orang dan/atau
kekayaan yang terorganisasi baik merupakan
badan hukum maupun bukan badan hukum".
Mengacu pada definisi korporasi dalam UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
suatu tindak pidana dapat dibebankan
pertanggungjawaban pidananya kepada
korporasi hanya apabila perbuatan itu
dilakukan oleh orang-orang "yang memiliki
hubungan kerja" maupun "yang hubungan
lain" dengan korporasi yang bersangkutan.
Selain itu, perbuatan itu harus dilakukan
"dalam lingkungan korporasi tersebut".
Sayangnya, undang-undang tersebut tidak
menjelaskan apa yang dimaksud dengan
"orang-orang baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain"
maupun yang dimaksud dengan"bertindak
dalam lingkungan korporasi". Baik di dalam
Pasal 1 maupun dalam Penjelasan Pasal 20
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
tidak terdapat definisi atau penjelasannya.
Dengan demikian, pengertian frasa tersebut
harus diberikan dengan melakukan penafsiran
hukum.
Berdasarkan ajaran pertanggungjawaban
korporasi yang berkembang dan telah diterima
secara global, mereka yang memiliki hubungan
kerja tersebut tidak harus memiliki kewenangan
bertindak untuk dan atas nama korporasi,
seperti pegawai korporasi. Orang-orang yang
tidak memiliki kewenangan untuk bertindak
untuk dan atas nama korporasi juga dapat
diminta pertanggungjawabahn karena mereka
memiliki status sebagai "personel pengendali
korporasi” (directing mind of the corporation).
Berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (2) UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
sepanjang orang atau orang-orang itu memiliki
hubungan kerja atau memiliki hubungan lain
selain hubungan kerja dengan korporasi, seperti
hubungan kuasa, maka tindak pidana korupsi
orang tersebut dapat diatributkan kepada
korporasi sebagai perbuatan korporasi. Hal ini
didasarkan pada doktrin Vicarious Liability
seperti diatur juga dalam Pasal 3 Peraturan
Mahkamah Agung No. 13 Tahun 2016. Doktrin
ini dikenal juga dalam Hukum Perdata
sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 paragraf
3 Kitab Undang-undng Hukum Perdata.
D. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KORPORASI
DIKAITKAN DENGAN KEDUDUKAN BANK
INDONESIA SEBAGAI BADAN HUKUM PUBLIK
1. Bank Indonesia Sebagai Badan Hukum Publik
Status Bank Indonesia sebagai badan hukum di-
tegaskan dalam Pasal 4 ayat (3) UU Bank Indonesia
yang berbunyi:
“Bank Indonesia adalah Badan Hukum berdasarkan
Undang-undang ini.”
Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4 ayat (3) UU
tersebut ditegaskan bahwa:
“Bank Indonesia dinyatakan sebagai badan hukum
dengan Undang-undang ini dan dimaksudkan
agar terdapat kejelasan wewenang Bank Indonesia
dalam mengelola kekayaan sendiri yang terlepas
16
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Selain itu, Bank Indonesia sebagai badan hukum
publik berwenang menetapkan peraturan dan
mengenakan sanksi dalam batas kewenangannya”.
Sifat Bank Indonesia dapat dikatakan cukup unik
(sui generis)32 karena merupakan suatu lembaga
negara, berbadan hukum dan juga bersifat
independen, dimana 3 (tiga) kombinasi sifat
tersebut tidak banyak ditemukan dalam lembaga
negara lainnya. Sifat ini merupakan sifat dasar dari
bank sentral di dunia yang dapat ditemukan pada
kebanyakan bank sentral, seperti Central Bank of
the United Arab Emirates (Bank Sentral Uni Emirat
Arab)33 Monetary Authority of Singapore (Bank
Sentral Singapura)34, dan De Nederlandsche Bank
(Bank Sentral Belanda).
Bank Indonesia, sebagai lembaga negara dan juga
badan hukum publik di Indonesia, menjadi salah
satu badan yang memiliki status yang dapat
diinterpretasikan sebagai 'korporasi'. Hal tersebut
mengacu pada beberapa ciri yang dimiliki seperti
identitasnya sebagai badan hukum.
2. Prinsip Imunitas Dalam Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Dan Penerapan Ketentuan
Imunitas Pada Bank Sentral
Dalam hukum pidana, paling tidak terdapat dua
postulat mengenai imunitas. Pertama, impunitas
continuum affectum tribuit delinquendi yang
berarti imunitas yang dimiliki seseorang membawa
kecenderungan kepada orang tersebut untuk
melakukan kejahatan. Kedua, impunitas semper
ad deteriora invitat yang berarti imunitas
mengundang pelaku untuk melakukan kejahatan
yang lebih besar. Berdasarkan kedua postulat itu,
imunitas dalam hukum pidana pada dasarnya tidak
dikenal.35 Imunitas dalam hukum pidana hanya
diberikan kepada orang tertentu atas tindak pidana
yang dilakukan di luar teritorial negaranya. Seorang
kepala negara memiliki imunitas di luar wilayah
teritorial negaranya. Ini berdasarkan postulat par
in parem non hebet imperium bahwa kepala negara
tidak boleh dihukum dengan menggunakan hukum
negara lain. Postulat ini pun sudah disimpangi
berdasarkan Pasal 27 Statuta Roma yang menurut
Bruce Broomhall merupakan karakteristik hukum
pidana internasional bahwa tanggung jawab
individu dalam hukum pidana tak kenal relevansi
jabatan resmi.
Konsep imunitas telah ada sejak ratusan tahun
lalu yang dirumuskan para ahli hukum pidana.
Karena itu, dalam hukum pidana dikenal alasan
penghapus pidana yang secara garis besar terdiri
dari alasan pembenar dan alasan pemaaf.
KUHP China sejak tahun 1997, secara tegas
menyatakan pertanggungjawaban pidana korporasi
dapat dikenakan pada lembaga-lembaga negara.
Hal ini dapat dilihat pada sistem pertanggung-
jawaban pidana korporasi yang diatur dalam
bagian umum (ketentuan umum) dari KUHP China
khususnya Pasal 30 yang berbunyi sebagai berikut:36
"Companies, enterprises, institutions, state organs
and social organisations when committing acts
endangering the society shall assume criminal
17
32 Disampaikan Sulistiowati sebagai narasumber/ahli hukum perdata dariUGM dalam Focus Group Discussion Tindak Pidana Korporasi yangdiseleggarakan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia pada tanggal9 Nopember 2017. Sui generis merupakan istilah dalam bahasa Latinyang berarti unik atas jenisnya sendiri dan bisa digunakan untukmendeskripsikan suatu bentuk perlindungan hukum yang berbeda denganperlindungan hukum pada umumnya. Lihat: Terjemahan dari Nolo'sPlain English Law Dictionary, diakses dari situs resmi Cornell Law School,United States melalui https://www.law.cornell.edu/wex/sui_generis padatanggal 5 November 2017 pukul 17.00.
33 Pasal 2 dari Union Law of United Arab Emirates No.10 of 1980: Concerningthe Central Bank, the Monetary System and Organization of Banking.
34 Monetary Authority of Singapore Act Chapter 186, Original Enactment:Act 42 of 1970, revised on 30th December 1999.
35 Eddy O. S. Hiariej, Imunitas Dalam Hukum Pidana, Kompas.com - 18Februari 2015.
36 Markus Wagner, Corporate Criminal Liability National and InternationalResponses, International Society for the Reform of Criminal Law 13thInternational Conference Commercial and Financial Fraud: A ComparativePerspective, Malta, 8-12 July 1999, hlm. 6.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
liability when prescribed by law" yang jika
diterjemahkan kurang lebih berarti:
“Perusahaan, perusahaan dagang, lembaga-
lembaga negara dan organisasi sosial ketika
melakukan atau bertindak sesuatu yang
membahayakan masyarakat dapat dipertanggung-
jawabkan secara pidana sebagaimana ditentukan
oleh hukum”.
Di Indonesia, pemberian pengecualian atau imunitas
dari pertanggungjawaban pidana bagi badan
hukum publik belum diatur. Namun demikian
dalam undang-undang yang mengatur mengenai
lembaga atau badan publik tertentu terdapat
pengaturan imunitas. Hal seperti ini dapat dilihat
pada ketentuan yang mengatur mengenai imunitas
Pejabat Bank Indonesia sebagaimana diatur pada
Pasal 45 UU Bank Indonesia yang berbunyi:
“Gubernur, Deputi Gubernur Senior, Deputi
Gubernur, dan/atau pejabat Bank Indonesia tidak
dapat dihukum karena telah mengambil keputusan
atau kebijakan yang sejalan dengan tugas dan
wewenangnya sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini sepanjang dilakukan dengan
itikad baik”.
Dalam tataran praktis, imunitas yang diberikan
secara khusus tidak ada gunanya selama yang
bersangkutan memenuhi unsur-unsur pasal dalam
suatu ketentuan pidana. Seorang mantan Anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia tetap dituntut
Komisi Pemberantasan Korupsi dan dinyatakan
terbukti bersalah di pengadilan dalam permasalahan
dana talangan Bank Century kendati Pasal 45 UU
Bank Indonesia memberi imunitas kepada gubernur,
deputi gubernur senior, dan deputi gubernur
dalam mengambil kebijakan sesuai tugas dan
wewenang menurut undang-undang. Dalam kasus
“Aliran Dana Bank Indonesia” atau kasus “Dana
Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesa”,
Gubernur dan beberapa Deputi Gubernur Bank
Indonesia dihukum pidana karena dianggap
bertanggung jawab di dalam pemberian dana
kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
Contoh dari peraturan mengenai bank sentral
yang secara tegas mengatur bahwa bank sentral
tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban
institusi atau korporasi dapat ditemukan pada
undang-undang di Singapura yang mengatur
mengenai bank sentral Singapura (Monetary
Authority of Singapore). Dalam Pasal 3 ayat (1)
Monetary Authority of Singapore Act Chapter
186, Original Enactment: Act 42 of 1970, revised
on 30 December 1999 diatur bahwa:
“Monetary Authority of Singapore (MAS) adalah
badan hukum dengan keberadaannya
berkelanjutan tanpa batas dan dapat menggugat
serta digugat (di pengadilan)”.
Selanjutnya, dalam Pasal 22 Monetary Authority
of Singapore Act Chapter 186 diatur bahwa:
“Tidak ada gugatan dan proses hukum lainnya
yang dapat dikenakan terhadap Monetary Authority
of Singapore (MAS) atas apa yang dilakukannya
atau tidak dilakukan olehnya (omission) termasuk
atas segala pernyataan yang dibuat olehnya yang
dilakukan atas itikad baik terkait:
(i) Perwujudan atau tindakan yang dimaksudkan
sebagai perwujudan dari segala kekuasaan
(MAS) yang diberikan berdasarkan undang-
undang ini atau berdasarkan sumber hukum
tertulis lainnya;
(ii) Pelaksanaan atau tindakan yang dimaksudkan
sebagai pelaksanaan dari fungsi atau tugas
(MAS) berdasarkan undang-undang ini atau
berdasarkan sumber hukum tertulis lainnya;
atau
(iii) Kepatuhan atau tindakan yang dimaksudkan
sebagai kepatuhan atas undang-undang ini
atau atas sumber hukum tertulis lainnya”.
Dari rumusan pasal di atas dapat diinterpretasikan
bahwa 'proses hukum lainnya' adalah termasuk di
dalamnya tuntutan pidana. Terlihat bahwa hukum
di Singapura telah memberikan perlindungan atas
berbagai jenis proses hukum termasuk tuntutan
pidana terhadap MAS sepanjang tindakan MAS
dilakukan dengan itikad baik.
18
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Tentang imunitas bank sentral di Indonesia,
Sulistiowati37 mengatakan bahwa Bank Indonesia
sebagai lembaga negara dan badan hukum publik
juga memerlukan pengaturan yang secara tegas
mengatur bahwa Bank Indonesia tidak dapat
dibebani tanggung jawab pidana. Menurutnya,
dewasa ini beberapa negara telah memberikan
imunitas kepada pejabat bank sentral dari
kriminalisasi kebijakan dan imunitas pejabat bank
sentral tersebut dihormati oleh penegak hukum.
Mengenai hal tersebut Eddy O.S. Hiariej
berpendapat sama dan menyarankan agar Pasal
45 UU Bank Indonesia yang memberikan imunitas
kepada Pejabat Bank Indonesia hendaknya sinkron
dengan undang-undang pidana khusus, sehingga
pasal tersebut dapat diterapkan efektif.38
Mengenai hak imunitas ini, Yos Yohan Utama
berpendapat bahwa terkait pelaksanaan tugas
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter, Bank
Indonesia dapat mengusulkan adanya imunitas
terhadap lembaga dan Pejabat Bank Indonesia
dari kriminalisasi kebijakan yang dilakukan dengan
itikad baik. Usulan ini sebaiknya diatur lebih tegas
dalam revisi UU Bank Indonesia dan atau perubahan
KUHP. Selanjutnya, disarankan Bank Indonesia
agar memanfaatkan forum pembahasan RKUHP
khususnya yang menyangkut substansi ketentuan
tindak pidana korporasi untuk menyampaikan
concern Bank Indonesia bahwa badan publik
seperti Bank Indonesia dan Pejabat Bank Indonesia
dikecualikan dari tindak pidana korporasi yang
saat ini masih ditunda pembahasannya.39
Mengenai perkembangan pembahasan RKUHP,
Eddy O. S. Hiariej yang merupakan salah satu
anggota Tim Pakar RKUHP menginformasikan
bahwa dalam pertemuan Tim Perumus RKUHP
pada bulan Oktober 2017 salah satu pokok
pembahasannya adalah mengenai rumusan
ketentuan pertanggungjawaban pidana korporasi
khususnya badan hukum publik dan dalam
pembahasan dimaksud telah dicapai kesepahaman
di kalangan anggota Tim Perumus bahwa:
(i) Badan hukum publik akan dikecualikan
terhadap pertanggungjawaban pidana
korporasi. Hal tersebut dilandasi pemikiran
bahwa pidana pada hakikatnya adalah nestapa
yang diberikan oleh negara kepada para
pelakunya. Oleh karena badan hukum publik
adalah milik negara maka negara dianggap
tidak mungkin menghukum dirinya sendiri.
(ii) Korporasi atau badan hukum atau kumpulan
orang yang dapat diminta pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam RKUHP hanya badan
hukum privat seperti PT, CV, Fa, dan Yayasan.
(iii) Jika mengikuti doktrin kekayaan terpisah, maka
BUMN dan BUMD dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidana korporasi.
(iv) Pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi hanya denda.
(v) Jika suatu tindak pidana yang dilakukan badan
hukum publik menimbulkan kerugian keuangan
negara, maka pihak yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban hanya pengurus.
3. Perkara-Perkara Pidana Dimana
Pejabat/Pegawai Bank Indonesia Menjadi
Tersangka/Terdakwa/Terpidana
Dalam pelaksanaan tugas-tugas Bank Indonesia,
tidak tertutup kemungkinan bahwa keputusan
dan/atau kebijakan Bank Indonesia menghadapi
pemeriksaan dan/atau penuntutan dari penegak
hukum karena dianggap telah memenuhi syarat
perbuatan melawan hukum pidana. Jika hal
demikian terjadi, dalam perjalanannya, keputusan
dan/atau kebijakan Bank Indonesia sebagai badan
19
37 Ahli Hukum Perdata UGM, disampaikan dalam Focus Group DiscussionTindak Pidana Korporasi yang dilaksanakan oleh Departemen HukumBank Indonesia di Jakarta pada tanggal 9 Nopember 2017.
38 Eddy O.S. Hiariej adalah Pakar Hukum Pidana di Fakultas Hukum UGM.Pendapat tersebut disampaikan dalam Focus Group Discussion TindakPidana Korporasi yang dilaksanakan oleh Departemen Hukum BankIndonesia di Yogyakarta pada 26 Oktober 2017.
39 Yos Yohan Utama adalah Pakar Hukum Administrasi Negara di FakultasHukum UNDIP. Pendapat tersebut disampaikan dalam Focus GroupDiscussion Tindak Pidana Korporasi yang dilaksanakan oleh DepartemenHukum Bank Indonesia di Yogyakarta pada 26 Oktober 2017.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
hukum dapat dinyatakan salah atau melanggar
ketentuan publik sehingga dapat diminta
pertanggungjawaban dari sisi hukum publik atau
pidana khususnya hukum pidana korupsi.
Hal tersebut dapat dilihat dari fakta bahwa sejak
tahun 1998 beberapa anggota Direksi/Dewan
Gubernur Bank Indonesia menjadi
tersangka/terdakwa/terpidana dan diminta
pertanggungjawaban secara pribadi sebagai
Anggota Direksi/Dewan Gubernur Bank Indonesia
yang ikut dalam mengambil keputusan dan/atau
kebijakan dalam rangka pelaksanaan tugas Bank
Indonesia di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI)
Tiga mantan anggota Direksi Bank Indonesia
ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 1998
dan kemudian menjalani proses persidangan
di pengadilan sampai berkekuatan hukum tetap
berdasarkan putusan Mahkamah Agung di
tingkat kasasi pada bulan Juni 2005. Ketiga
mantan anggota Direksi Bank Indonesia tersebut
dinyatakan bersalah melanggar ketentuan
Pasal 1 ayat (1) sub b jo. Pasal 28 jo. Pasal 34
huruf c UU No. 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal
55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
b. Perkara Yayasan Pengembangan Perbankan
Indonesia (YPPI)
Lima mantan anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan 2 (dua) Pejabat Bank Indonesia
ditetapkan sebagai tersangka pada tahun 2008
dan menjalani proses persidangan di Pengadilan
sampai berkekuatan hukum tetap berdasarkan
putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi
pada bulan Maret tahun 2010.
Kelima anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia dan kedua Pejabat Bank Indonesia
tersebut dinyatakan bersalah melanggar
ketentuan Pasal 3 UU No.31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagaimana diubah dengan UU No.20 Tahun
2001.
c. Perkara Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) Bank Century
Satu mantan anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia ditetapkan sebagai tersangka pada
tahun 2012 dan menjalani proses persidangan
di pengadilan sampai berkekuatan hukum
tetap berdasarkan putusan Mahkamah Agung
di tingkat kasasi pada bulan April tahun 2015.
Perkara yang menyangkut kebijakan Bank Indonesia
tersebut di atas memiliki unsur kesamaan dalam
pertimbangan putusan majelis hakim yang antara
lain menyatakan bahwa:
a. Perbuatan para terdakwa dilakukan secara
bersama-sama dan berlanjut dengan anggota
direksi/anggota dewan gubernur lainnya dalam
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia;
b. Rapat Dewan Direksi/Dewan Gubernur Bank
Indonesia adalah organ pengambil keputusan
tertinggi dan bersifat kolektif kolegial;
c. Kebijakan yang diambil dalam RDG adalah
untuk kepentingan Bank Indonesia.
4. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Dikaitkan Dengan Kedudukan Bank Indonesia
Sebagai Badan Hukum Publik
Dalam pembahasan mengenai pertanggung-
jawaban pidana di atas, disebutkan bahwa ajaran
pertanggunggungjawaban pidana korporasi yang
diterapkan dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dapat dilihat pada Pasal 20 ayat (2) yang
berbunyi:
“Tindak pidana korporasi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri
maupun bersama-sama”.
20
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Dari rumusan Pasal 20 ayat (2) tersebut tampak
bahwa suatu tindak pidana dapat dibebankan
pertanggungjawabannya kepada korporasi
hanyalah apabila perbuatan itu dilakukan oleh
orang-orang "yang memiliki hubungan kerja"
maupun "yang hubungan lain" dengan korporasi
yang bersangkutan. Selain itu, perbuatan itu harus
dilakukan "dalam lingkungan korporasi tersebut".
Yang dimaksud dengan "orang-orang berdasarkan
hubungan kerja" adalah orang-orang yang memiliki
hubungan kerja sebagai pengurus atau sebagai
pegawai atau hubungan berdasarkan perjanjian
kuasa. Dengan demikian, hubungan tersebut
adalah:
1. Berdasarkan Anggaran Dasar dan
perubahannya,
2. Berdasarkan surat keputusan pengangkatan
sebagai pegawai korporasi, atau
3. Berdasarkan perjanjian kerja sebagai pegawai
yang memuat kewenangan dari pegawai yang
dipekerjakan.
4. Berdasarkan surat kuasa untuk dapat bertindak
mewakili korporasi dan batas-batas
kewenangannya.
Dalam putusan perkara BLBI, perkara YPPI dan
perkara FPJP Bank Century khususnya pada bagian
pertimbangan majelis hakim disebutkan bahwa
kebijakan Bank Indonesia yang dipermasalahkan
diambil dalam Rapat Direksi/Dewan Gubernur
Bank Indonesia secara bersama-sama dan bersifat
kolektif kolegial dimana Rapat Direksi/Dewan
Gubernur tersebut merupakan forum pengambil
keputusan tertinggi di Bank Indonesia. Anggota
Direksi/Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia
yang hadir dan ikut mengambil keputusan adalah
Pejabat tertinggi di Bank Indonesia yang masuk
klasifikasi personil pengendali korporasi.
Mencermati pokok pertimbangan majelis hakim
dalam ketiga perkara dimaksud dikaitkan dengan
perkembangan teori pertanggungjawaban
korporasi, maka anggota Direksi/Dewan Gurbernur
Bank Indonesia dianggap sebagai sebagai "personil
pengendali korporasi", sehingga kepada Bank
Indonesia juga dapat dibebankan pertanggung-
jawaban pidana.
Menyitir pendapat Sutan Remy Syahdeini bahwa
“dalam menjalankan peraturan perundang-
undangan publik, Badan Hukum Publik tidak dapat
dituntut melakukan tindak pidana karena dalam
menjalankan fungsinya Badan Hukum Publik
tersebut adalah dalam rangka menjalankan
peraturan perundang-undangan publik yang
bertujuan untuk kepentingan umum, sehingga
dengan demikian perbuatannya itu tidak pernah
bersifat melawan hukum”. Pendapat yang sama
disampaikan oleh Sulistiowati yang mengatakan
bahwa Bank Indonesia pada dasarnya bukan
merupakan korporasi karena menurut Pasal 4 ayat
(2) dan ayat (3) UU Bank Indonesia, Bank Indonesia
adalah lembaga negara dan badan hukum. Karena
Bank Indonesia adalah lembaga negara yang
merupakan bagian dari Negara, maka tidak
mungkin negara menuntut dan menghukum
bagian dari negara.40
Sutan Remy Syahdeini secara khusus memberikan
pendapat terhadap kedudukan Bank Indonesia
sebagai badan hukum publik bahwa “sebaiknya
pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh
personel pengendali (directing mind) Bank
Indonesia, yaitu anggota Dewan Gubernur Bank
Indonesia, pertanggungjawaban pidananya hanya
dibatasi kepada manusia yang menjadi pelaku
tindak pidana itu saja sekalipun tindak pidana itu
43 Kasubdit Peran HAM Direktorat Penuntutan, Jaksa Agung Muda TindakPidana Khusus, Wakil Kejagung dalam penyusunan PERMA No. 13 tahun2016 tanggal 21 Desember 2016 tentang Tata Cara Penanganan TindakPidana Oleh Korporasi dan Narasumber dalam seminar KADIN 2017“Menuju Best Practice dan Clean Practice Sinergi BUMN dan Swasta:Memahami Tindak Pidana Korporasi & Konflik Regulasi Terkait PengelolaanKeuangan BUMN”, 16 November 2017.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Setelah masing-masing perkara tersebut
memperoleh putusan yang berkekuatan hukum
dan hukuman dijalankan, persoalan selanjutnya
adalah bagaimana perhitungan daluwarsa tuntutan
terhadap lembaga jika lembaga atau institusi dari
para pihak yang telah menjalani putusan pidana
dimaksud turut dihukum bertanggung jawab atas
kerugian negara yang diputuskan oleh pengadilan.
Apakah perhitungannya dimulai sejak perkara
pertama kali terjadi atau sejak adanya putusan
yang telah berkekuatan hukum tetap?
Menurut Eddie O. S, Hiariej, daluwarsa penuntutan
terhadap korporasi mengikuti daluwarsa
penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan
pengurus yang dipidana. Artinya adalah daluwarsa
dihitung sejak terjadinya peristiwa pidana yang
menyebabkan dilakukannya penuntutan terhadap
Pejabat Bank Indonesia dalam perkara BLBI, perkara
YPPI dan perkara FPJP Bank Century.
Memperhatikan pendapat Eddie O.S. Hiariej dan
ketentuan Pasal 78 KUHP maka daluwarsa perkara
tersebut adalah sebagai berikut:44
a. Untuk perkara BLBI dimana ancaman pidana
yang dikenakan pada 3 (tiga) mantan Anggota
Direksi Bank Indonesia adalah hukuman penjara
seumur hidup atau penjara selama-lamanya
20 (dua puluh) tahun, maka daluwarsa
penuntutannya adalah sesudah 18 (delapan
belas) tahun sejak munculnya peristiwa pidana.
Bila perbuatan pidana dihitung waktu kejadian
awalnya pada tahun 1997 maka daluwarsanya
adalah pada tahun 2015 (tahun 1997 + 18
tahun).
b. Untuk Perkara YPPI dimana ancaman pidana
yang dikenakan pada 5 (lima) mantan Anggota
Dewan Gubernur Bank Indonesia adalah
hukuman pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, maka
daluwarsa penuntutannya adalah sesudah 18
(delapan belas) tahun sejak munculnya peristiwa
pidana. Bila perbuatan pidana dihitung waktu
kejadian awalnya pada tahun 2002, maka
daluwarsanya adalah pada tahun 2020 (tahun
2002 + 18 tahun).
c. Untuk Perkara FPJP Bank Century dimana
ancaman pidana yang dikenakan pada 1 (satu)
mantan Anggota Dewan Gubernur adalah
hukuman pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, maka
daluwarsa penuntutannya adalah sesudah 18
(delapan belas) tahun sejak munculnya peristiwa
pidana. Bila perbuatan pidana dihitung waktu
kejadian awalnya pada tahun 2008, maka
daluwarsanya adalah pada tahun 2026 (tahun
2008 + 18 tahun).
Pendapat berbeda mengenai daluwarsa
disampaikan oleh Sulistiowati yang mengatakan
bahwa ketentuan daluwarsa penuntutan tidak
dapat diterapkan kepada Bank Indonesia. Daluwarsa
penuntutan kepada Bank Indonesia tidak mungkin
ada jika dari awal tidak ada kewenangan
penuntutan terhadap Bank Indonesia.45
5. Risiko Hukum Penerapan Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi Terhadap Bank Indonesia
Sebagai Badan Hukum Publik Dan Langkah-
Langkah Yang Dapat Dilakukan
a. Risiko hukum pemidanaan terhadap Bank
Indonesia sebagai badan hukum publik
Sehubungan dengan hukuman pokok bagi
korporasi dalam kasus korupsi, pada Pasal 20
ayat (7) UU Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dinyatakan secara tegas bahwa pidana
pokok yang dapat dijatuhkan terhadap
23
44 Disampaikan dalam Focus Group Discussion Tindak Pidana Korporasiyang dilaksanakan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia di Yogyakartatanggal 26 Oktober 2017.
45 Disampaikan dalam Focus Group Discussion Tindak Pidana Korporasiyang dilaksanakan oleh Departemen Hukum Bank Indonesia di Jakartapada tanggal 9 Nopember 2017.
korporasi hanya berupa pidana denda semata
dengan ketentuan bahwa maksimum pidananya
ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)-nya. Untuk
tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
korporasi di Indonesia, selain ketentuan
hukuman tambahan sebagaimana yang diatur
pada Pasal 10 huruf b KUHP, berdasarkan
ketentuan Pasal 18 ayat (1) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi terhadap korporasi juga
dapat dikenakan pidana tambahan lainnya
yang dapat berupa:
1. Perampasan barang bergerak yang
berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan
untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik
terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitu pula dari barang yang
mengantikan barang-barang tersebut;
2. Pembayaran uang pengganti yang
jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari
tindak pidana korupsi;
3. Penutupan seluruh atau sebagian
perusahaan untuk waktu paling lama 1
(satu) tahun;
4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-
hak atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah
atau dapat diberikan oleh Pemerintah
kepada terpidana.
Menurut penjelasan huruf c dari Pasal 18 ayat
(1) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
yang dimaksud dengan penutupan seluruh
atau sebagian perusahaan adalah pencabutan
izin usaha atau penghentian kegiatan untuk
sementara waktu sesuai dengan putusan
pengadilan. Penggunaan istilah "perusahaan"
dalam hal ini dianggap kurang tepat karena
penjelasannya tidak merujuk kepada kata
perusahaan.46
Selanjutnya, Pasal 18 ayat (2) UU Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi menentukan bahwa
jika terpidana tidak membayar uang pengganti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan
sesudah putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan
dilelang untuk menutupi uang pengganti
tersebut.
Bisa dibayangkan apabila pidana pokok dan
atau tambahan dari pertanggungjawaban
pidana korporasi tersebut dikenakan kepada
Bank Indonesia selaku Bank Sentral Republik
Indonesia yang memiliki tugas dan kewenangan
strategis di bidang moneter, sistem pembayaran
dan stabilitas sistem keuangan. Bukan hanya
reputasi Bank Indonesia saja yang dipertaruhkan,
namun risiko finansial yang harus ditanggung
Bank Indonesia dan negara Republik Indonesia
apabila terjadi defisit keuangan Bank Indonesia
untuk menutupi pidana denda, karena apabila
mengacu kepada perkara-perkara yang
melibatkan Bank Indonesia di atas tercantum
angka nominal denda yang sangat besar. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 62 ayat (3) UU Bank
Indonesia, bahwa: “Apabila modal menjadi
kurang dari Rp 2.000.000.000.000,00 (dua
triliun rupiah) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1), Pemerintah wajib menutup
kekurangan tersebut, yang pelaksanaannya
dilakukan setelah mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.”
Oleh karena itu, pendapat Sutan Remy
Syahdeini yang dikutip sebelumnya bahwa:
“sesuai dengan asas dalam hukum pidana,
seyogyanya penjatuhan pidana yang akan
dapat menimbulkan lebih banyak mudharatnya
bagi masyarakat (kepentingan umum) daripada
manfaatnya, harus dihindarkan. Dengan
demikian, sebaiknya proses penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana yang lebih
24
46 Hasbullah F. Sjawie, Op. cit. hlm. 155.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
banyak mudharatnya bagi kepentingan umum
daripada manfaatnya itu tidak dilakukan atau
dihentikan apabila sudah terlanjur diproses.
ltu sebabnya dalam hukum pidana dikenal
asas yang disebut asas oportunitas” menurut
penulis tepat.
Pendapat dari pakar dan akademisi yang pada
pokoknya menyatakan bahwa badan hukum
publik seperti Bank Indonesia tidak dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana
korporasi bukan hal mutlak karena apabila
diminta pendapat dari pakar lainnya, terdapat
kemungkinan perbedaan pendapat sesuai
penafsiran masing-masing. Hal yang sama bisa
terjadi antara akademisi dengan penegak
hukum. Oleh karena itu, Bank Indoensia tetap
perlu mengantisipasi upaya kriminalisasi
terhadap Bank Indonesia sebagai institusi atau
badan hukum publik. Selama aturan
pertanggungjawaban pidana korporasi yang
berlaku saat ini dalam sejumlah undang-undang
pidana khusus maupun KUHP masih belum
secara tegas mengecualikan badan hukum
publik dari pertanggungjawaban pidana, maka
sangat terbuka peluang melakukan proses
hukum terhadap badan hukum publik seperti
Bank Indonesia.
b. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh
Bank Indonesia
Pada pembahasan di atas telah disebutkan
bahwa dalam melaksanakan tugas Bank
Indonesia, tidak tertutup kemungkinan bahwa
keputusan dan/atau kebijakan Bank Indonesia
menghadapi proses hukum (pemeriksaan
dan/atau penuntutan dari penegak hukum)
karena dianggap telah memenuhi syarat
perbuatan melawan hukum pidana. Jika hal
demikian terjadi, dalam perjalanannya,
keputusan dan/atau kebijakan Bank Indonesia
sebagai badan hukum publik dapat dinyatakan
salah atau melanggar ketentuan pidana
sehingga dapat diminta pertanggungjawaban
dari sisi hukum pidana khususnya hukum
pidana korupsi. Menyikapi keadaan seperti itu,
beberapa hal yang dapat dilakukan oleh Bank
Indonesia yaitu:
1) Tindakan pencegahan:
(a) Menerapkan corporate governance yang
baik dan selalu dilakukan updating;
(b) Memperketat fungsi audit internal;
(c) Mengupayakan agar badan hukum atau
korporasi publik seperti Bank Indonesia
dikecualikan dari pertanggungjawaban
pidana korporasi dalam Rancangan
KUHP atau ketentuan undang-undang
pidana khusus lainnya;
(d) Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah
Agung menganut ajaran strict libility
seperti halnya Pasal 7 United Kingdom
Bribery Act. Walaupun demikian Pasal
4 ayat (2) memberikan alasan pemaaf,
apabila korporasi melakukan langkah-
langkah yang diperlukan untuk
melakukan pencegahan, mencegah
dampak yang lebih besar dan
memastikan kepatuhan terhadap
ketentuan hukum yang berlaku guna
menghindari terjadinya tindak pidana.
Sehubungan dengan itu harus memiliki
setidaknya 3 (tiga) hal: good corporate
governance yang baik, risk management
yang efektif, dan program kepatuhan,
yang ketiganya berjalan dengan efektif.
Alasan pemaaf semacam ini juga ada
pada Pasal 7 UK Bribery Act.
2) Tindakan pembelaan hukum
Dengan berlakunya UU No.30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan (UU
Administrasi Pemerintahan) pada tanggal
17 Oktober 2014, juga terjadi diskursus
atau perdebatan tentang gugurnya
kewenangan penyidik dalam menilai suatu
perbuatan apakah termasuk dalam ranah
25
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
penyalahgunaan wewenang karena
berdasarkan UU tersebut kewenangan
menilai ada tidaknya penyalahgunaaan
wewenang perlu diuji terlebih dahulu di
atau oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
Hal tersebut didasarkan pada ketentuan
Pasal 21 ayat (1) UU Administasi
Pemerintahan yang berbunyi: “Pengadilan
berwenang menerima, memeriksa, dan
memutuskan ada atau tidak ada unsur
penyalahgunaan wewenang yang dilakukan
oleh Pejabat Pemerintahan”.
Adapun yang dimaksud dengan pengadilan
pada ayat di atas adalah Pengadilan Tata
Usaha Negara sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 angka 1 UU Administrasi
Pemerintahan yaitu Pengadilan Tata Usaha
Negara. Dengan demikian, walaupun atas
dugaan penyalahgunaan wewenang pada
badan hukum publik, penyidik melakukan
langkah penuntutan berdasarkan Pasal 3
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
namun pihak yang terduga melakukan
kesalahan berdasarkan ketentuan dalam
UU Administrasi Pemerintahan dapat
terlebih dahulu meminta pengujian
mengenai keabsahan penetapan dugaan
penyalahgunaan wewenang yang
disimpulkan dan dilaporkan oleh pihak
auditor kepada Pengadilan Tata Usaha
Negara sebagaimana diatur dalam Pasal
21 ayat (1) UU tersebut.
UU Administrasi Pemerintahan merupakan
salah dasar yang dapat digunakan untuk
mengatasi risiko yang timbul dari dugaan
tindak pidana korporasi yang ditujukan
kepada badan hukum publik seperti Bank
Indonesia. Dengan demikian, Bank
Indonesia diharapkan cermat dan teliti
setiap membaca dan mempelajari laporan
hasil audit/pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan RI (BPK RI) yang dalam laporan
temuannya mengindikasikan adanya
dugaan penyalahgunaan wewenang yang
berindikasi tindak pidana. Dalam hal
Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI tersebut
menyatakan adanya penyalahgunaan
kewenangan, Bank Indonesia dapat segera
menindaklanjutinya dengan mengajukan
gugatan kepada Peradilan Tata Usaha
Negara untuk memastikan ada tidanya
penyalahgunaan kewenangan yang
berindikasi tindak pidana tersebut. Disadari
langkah ini tidak mudah dilakukan.
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
a. Tindak pidana korporasi pada dasarnya adalah
perbuatan yang dilakukan oleh pejabat
tertinggi dan/atau pegawai dari korporasi pada
setiap tingkatan yang menjalankan tugas dan
mewakili korporasi, yang dapat mengakibatkan
tanggung jawab pidana bagi korporasi.
b. Suatu korporasi dapat dimintakan
pertanggungjawaban dan mengenai hal
tersebut di Indonesia secara resmi diperkenalkan
untuk pertama kalinya pada tahun 1951
dengan diundangkannya UU Darurat No.17
Tahun 1951 tentang Penimbunan Barang-
Barang. UU Darurat No. 17 Tahun 1951
tentang Penimbunan Barang-Barang adalah
titik awal pengaturan bahwa di Indonesia
badan hukum atau korporasi secara yuridis
dapat dituntut dan dihukum jika melakukan
tindakan pidana walaupun sifatnya masih
terbatas pada ketentuan penimbunan barang.
c. Pengakuan korporasi sebagai subyek hukum
pidana (pelaku tindak pidana) dalam hukum
pidana Indonesia dilakukan tidak dengan cara
menambahkan ketentuan tindak pidana
korporasi dalam KUHP, seperti yang terjadi
di beberapa negara civil law lain. Adopsi
26
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
ketentuan untuk mitigasi tindak pidana
korporasi dilakukan melalui pengundangan
berbagai undang-undang di luar KUHP yang
mengatur tindak pidana khusus.
d. Dalam perkembangan hukum pidana di
Indonesia, walaupun KUHP yang berlaku
sekarang belum mengenal kejahatan korporasi,
namun konsep pertanggungjawaban pidana
korporasi telah diadopsi dalam berbagai UU
pidana khusus. Dari sekian banyak UU yang
dikeluarkan yang telah mengadopsi kejahatan
korporasi dan pertanggungjawaban pidana
korporasi di dalam pasal-pasalnya, yang paling
perlu mendapat perhatian dari instansi
pemerintah atau lembaga negara (badan
hukum publik atau korporasi) adalah UU No.31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah
dengan UU No.20 Tahun 2001. Hal tersebut
dikarenakan sifat ketentuan dalam UU tersebut
yang bersifat umum yaitu dapat dihadapkan
kepada hampir semua aktivitas/kegiatan pada
intansi pemerintah atau negara.
e. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh dan
untuk suatu korporasi maka penuntutannya
dapat dilakukan dan pidananya dapat
dijatuhkan terhadap korporasi sendiri, atau
korporasi dan pengurusnya, atau pengurusnya
saja.
f. Bank Indonesia sebagai badan hukum publik
termasuk dalam kategori korporasi yang
merupakan subyek hukum pidana sehingga
secara teori yuridis dapat menghadapi proses
hukum pidana berdasarkan ketentuan undang-
undang hukum pidana yang mengatur
mengenai tindak pidana korporasi seperti UU
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
g. Untuk kepastian hukum bahwa Bank Indonesia
sebagai badan hukum publik tidak dapat
dituntut atau diminta pertanggungjawaban
pidana koporasi, perlu ada pengaturan yang
secara tegas mengatur bahwa badan hukum
publik seperti Bank Indonesia tidak termasuk
sebagai korporasi yang dapat diminta
pertanggungjawaban pidana dalam KUHP
yang akan datang atau dikecualikan dari
pertanggungjawaban atas ketentuan tindak
pidana korporasi dalam undang-undang pidana
(KUHP) atau dalam undang-undang pidana
khusus lainnya.
2. Saran
Mengingat pentingnya penegasan pengecualian
dimaksud dituangkan dalam KUHP dan sesuai
informasi yang tercatat dalam konsep RKUHP
2018 bahwa rumusan dari ketentuan mengenai
cakupan korporasi dalam RKUHP masih akan
dibahas dalam Tim Sinkronisasi selanjutnya, kiranya
perlu dilakukan komunikasi atau kordinasi dengan
Tim Perumus dan/atau Tim Sinkronisasi RKUHP.
27
28
DAFTAR PUSTAKA
Amrullah, M. Arief., Ketentuan dan Mekanisme Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.
Hornby AS., Oxford Advance Learner's Dictionary of Current English, 1984.
Jefferson, Michael, Criminal Law 9th. Essex England: Pearson Longman, 2009.
Kristian, Kejahatan Korporasi Di Era Modern Dan Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi - Buku Satu, CetakanKesatu, PT. Refika Aditama. Bandung, Desember 2016.
Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Ditinjau Dari Berbagai Konvensi Internasional - Buku Tiga, CetakanKesatu, PT. Refika Aditama, Bandung. Februari 2017.
Kristian, Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Tinjauan Teoritis Dan Perbandingan Hukum Di Berbagai Negara-Buku Dua, Cetakan Kesatu, PT. Refika Aditama, Bandung, Juni. 2016.
Loqman, Loebby, Kapita Selekta Tindak Pidana Di Bidang Perekonomian, Jakarta, Datacom, 2002.
Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, 2006.
Sjawie, Hasbullah F., Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pada Tindak Pidana Korupsi, Edisi Pertama, Cetakan kedua,Kencana, Jakarta, Januari 2017.
Solomon, Lewis D. Alan R. Palmiter, Corporation (Examples and Explanations), Little-Brown & Company, 1994.
Sudti-autasilp, Bhomtip, Corporate Crime and the Criminal Liability of Corporate Entities in Thailand. dalam:http://www.unafei.or.jp/english/pdf/RS_No76/ No76_11PA.
Abstrak:
Penelitian ini bertujuan mengkaji perlindungan hukum dan penyelesaian sengketa Surat Berharga Komersial (SBK).
Rumusan masalah meliputi tiga hal yaitu: apa bentuk perlindungan hukum penerbitan SBK di Indonesia, apa bentuk
perlindungan konsumen bagi investor pembeli SBK, dan apa bentuk penyelesaian SBK macet sesuai koridor hukum.
Penelitian normatif ini memakai pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Hasil penelitian menunjukan penerbitan
SBK diatur dalam Peraturan Bank Indonesia dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Investor pembeli SBK dilindungi
Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Peraturan Bank Indonesia, dan peraturan terkait lainnya. SBK macet dapat
diselesaikan melalui jalur litigasi dan non-litigasi. Penyelesaian non-litigasi melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS)
dengan cara Negosiasi, Konsultasi, Pendapat Mengikat, Mediasi, Konsiliasi, Adjudikasi dan Arbitrasi, sebaiknya lebih
diutamakan.
Kata kunci: surat berharga komersial, perlindungan hukum, perlindungan konsumen, penyelesaian sengketa
Abstract:
This study aims to examine the legal protection and dispute resolution of Commercial Paper (CP). The problem
formulation includes three areas: what is the form of legal protection for CP issuance in Indonesia, what is the form of
consumer protection for CP buyers, and what is the form of settlement defaulted CP in accordance with the law. This
normative study uses statutory and conceptual approaches. The results show that CP issuance is regulated under Bank
Indonesia Regulation and the Trade Law Code. CP buyer are protected by the Consumer Protection Act, Bank Indonesia
Regulation, and other related regulations. CP defaults can be settled through litigation and non-litigation processes. Non-
litigation settlement through Alternative Dispute Resolution (ADR) such as Negotiation, Consultation, Legal Binding
Opinion, Mediation, Conciliation, Adjudication and Arbitration, should take precedence.
1 Dosen Fakultas Hukum, Universitas Wijaya Kusuma, Surabaya
2 Dosen Fakultas Hukum Universitas Jember
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perusahaan non-bank berskala besar saat ini
semakin didorong oleh Bank Indonesia untuk
menerbitkan Surat Berharga Komersial (SBK) atau
Commercial Paper (CP). Bank Indonesia (BI) telah
menerbitkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Penerbitan
SBK diharapkan dapat meningkatkan volume
transaksi perdagangan di pasar uang, menambah
likuiditas perusahaan penerbit SBK serta
memperluas instrumen investasi perbankan.
SBK merupakan surat berharga bersifat utang yang
diterbitkan Korporasi Non Bank (KNB) berjangka
1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan hingga 12
bulan. KNB yang ingin mencari dana jangka pendek
(kurang dari satu tahun) dapat menerbitkan SBK
minimal Rp10 miliar atau 1 juta dollar AS.
Perbankan dan perusahaan asuransi yang memiliki
kelebihan dana dapat membeli SBK sebagai salah
satu instrumen pasar uang. Tingkat diskonto SBK
relatif lebih besar dibandingkan instrumen pasar
uang lain seperti Sertifikat Deposito, Sertifikat
Bank Indonesia (SBI), Surat Berharga Pasar Uang,
Surat Perbendaharaan Negara, dan lain-lain.
Penerbitan SBK lebih menguntungkan dibandingkan
kredit bank, sebab SBK tidak perlu didukung
jaminan khusus (agunan) seperti kredit bank.
Namun demikian, SBK tetap harus didukung
jaminan umum yaitu seluruh harta milik perusahaan
penerbit berdasarkan ketentuan KUH Perdata.
Penerbitan SBK harus terdaftar di BI dengan
memenuhi persyaratan performa perusahaan
seperti laporan keuangan yang sehat. Instrumen
SBK harus memperoleh rating dari lembaga
pemeringkat yang terdaftar di BI. Penerbitan SBK
juga harus melibatkan pihak arranger berupa bank
atau perusahaan efek yang terdaftar di BI selaku
otoritas pasar uang.
Pengaturan SBK bertujuan mengaktifkan kembali
instrumen SBK untuk pembiayaan jangka pendek
melalui pasar uang oleh perusahaan non-bank.
Pengaturan juga dilakukan untuk meningkatkan
tata kelola penerbitan dan transaksi SBK,
mempercepat pendalaman pasar keuangan serta
mendukung efektivitas transmisi kebijakan
moneter. Penerbitan PBI Nomor 19/9/PBI/2017
diharapkan dapat melengkapi instrumen pasar
uang yang telah ada sehingga pelaku ekonomi
yang membutuhkan pembiayaan jangka pendek
mempunyai alternatif sumber pendanaan selain
kredit perbankan. Setelah pasar SBK terbangun
dan likuiditas pasar telah tercipta dengan baik,
diharapkan pembiayaan dunia usaha akan lebih
efisien sehingga dapat bermanfaat mendukung
pembangunan perekonomian nasional.3
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini meliputi 3
(tiga) hal pokok:
1. Apa bentuk perlindungan hukum penerbitan
SBK di Indonesia ?
2. Apa bentuk perlindungan konsumen bagi
investor pembeli SBK ?
3. Apa bentuk penyelesaian SBK macet sesuai
koridor hukum ?
C. Metode Penelitian
Penelitian hukum ini bersifat normatif yang
mengkaji isu hukum yang terkait dengan aspek
perlindungan hukum penerbitan SBK, perlindungan
konsumen bagi para investor pembeli SBK dan
cara penyelesaian SBK macet sesuai koridor hukum.
Bahan hukum primer yang digunakan meliputi
Undang-Undang, KUH Perdata, KUHD, Peraturan
Pemerintah (PP), Peraturan BI dan Peraturan OJK.
Bahan hukum sekunder yang digunakan meliputi
buku, jurnal ilmiah dan artikel ilmiah di internet.
30
3 Dikutip dari berita “Korporasi Bisa Terbitkan Commercial Paper MulaiRp10 Miliar”, CNN Indonesia.com, Rabu, 26 Juli 2017.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Bahan hukum primer dan sekunder kemudian
dianalisa untuk mencari keterkaitan dan kesesuaian
dengan ketiga rumusan masalah dalam penelitian
ini. Data-data empiris yang dikutip dalam penelitian
ini tidak akan dijadikan bahan analisa hukum,
namun hanya berfungsi untuk menggambarkan
kondisi di lapangan.
Metode penelitian ini meliputi pendekatan undang-
undang (statue approach) dan pendekatan
konseptual (conceptual approach). Pendekatan
undang-undang (statue approach) dilakukan
dengan menelaah semua undang-undang dan
regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani. Pendekatan konseptual
(conceptual approach) beranjak dari pandangan-
pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang
di dalam ilmu hukum.4
II. PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum Penerbitan SBK
di Indonesia
Pasar keuangan dan pasar komoditi memiliki peran
penting mendukung stabilitas makro ekonomi.
Kondisi perekonomian negara dapat dilihat pada
indikator pasar modal (IHSG dan kapitalisasi pasar
modal) serta indikator pasar uang (nilai tukar, inflasi,
cadangan devisa dan likuiditas). Pasar keuangan
(financial market) terdiri dari pasar uang dan pasar
modal. Instrumen yang diperdagangkan di pasar
uang adalah surat berharga berjangka pendek
(kurang dari satu tahun), sedangkan instrumen
yang diperdagangkan di pasar modal adalah surat
berharga berjangka lebih dari satu tahun. Pasar
modal memiliki tempat transaksi yang nyata yaitu
bursa efek, sedangkan pasar uang tidak mempunyai
tempat transaksi yang nyata. Pasar komoditi juga
mempunyai tempat transaksi yang nyata bernama
Bursa Berjangka.
Instrumen surat berharga yang diperdagangkan
di pasar modal ada yang bersifat utang (contoh:
obligasi) dan ada pula yang bersifat ekuitas (contoh:
saham). Surat berharga yang diperdagangkan di
pasar uang semuanya bersifat utang (utang uang)
dan tidak ada yang bersifat ekuitas. Surat berharga
yang diperdagangkan di pasar komoditi tidak ada
yang bersifat ekuitas sehingga semuanya bersifat
utang, baik utang berupa uang maupun barang.
Setiap perusahaan membutuhkan modal yang
bisa didapatkan dengan berbagai cara seperti
mengajukan permohonan kredit bank, meminta
pembiayaan barang modal ke perusahaan sewa
guna usaha, meminta pembiayaan ke perusahaan
modal ventura, mencari utang ke perorangan atau
perusahaan lain, dan lain-lain. Perusahaan yang
sudah besar dapat mencari pinjaman dana publik
dengan cara menerbitkan obligasi di pasar modal
dan SBK di pasar uang.
Kredit bank tidak mudah dialihkan karena bukan
tergolong surat berharga. Pengalihan kredit hanya
bisa dilakukan via cessie dan subrogasi yang butuh
proses panjang. Hal ini berbeda dengan surat utang
berbentuk obligasi dan SBK. Obligasi dan SBK
dapat diperdagangkan di pasar keuangan karena
tergolong surat berharga yang mudah dialihkan
berkali-kali seperti uang. Sifat inilah yang membuat
obligasi dan SBK dapat dijadikan instrumen
investasi. Investor mendapat manfaat bunga dan
margin keuntungan jual-beli surat berharga.
Penerbit mendapat manfaat dana pinjaman publik
berbunga lebih rendah dari bunga kredit bank.
Sistem pengaturan dan pengawasan pasar
keuangan di Indonesia dilakukan berdasarkan
pendekatan kelembagaan (institutional approach)
yang melibatkan banyak otoritas, sehingga
memungkinkan terjadinya potensi tumpang tindih
(overlapping) dalam pelaksanaannya. Misalnya,
penerbitan obligasi harus seijin OJK selaku otoritas
pasar modal, sedangkan penerbitan SBK harus
seijin BI selaku otoritas pasar uang.
31
4 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-12, PenerbitKencana, Jakarta, 2016, hlm. 133-136.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Pasar keuangan di Indonesia diawasi oleh BI dan
OJK. BI berperan mengawasi sektor moneter,
makroprudensial dan sistem pembayaran,
sedangkan OJK mengawasi mikroprudensial yaitu
mengawasi perbankan, pasar modal, asuransi,
dana pensiun, perusahaan pembiayaan (leasing,
modal ventura, perusahaan penjaminan, usaha
kartu kredit), pegadaian dan lembaga keuangan
mikro. Pengawasan pasar komoditi dilakukan oleh
Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi
(Bappebti) di bawah Menteri Perdagangan.
Dalam rangka menjaga sinergi tugas dan
kewenangan otoritas terkait dan dalam rangka
mencegah terjadinya krisis keuangan, maka
diperlukan koordinasi yang baik antar regulator.
Sebagaimana dimanatkan UU 9/2016 tentang
Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem
Keuangan, BI bersama-sama dengan OJK,
Kementerian Keuangan dan Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) yang tergabung dalam Komite
Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) berperan
penting melakukan monitoring dan memelihara
stabilitas sistem keuangan.
Mencari dana publik dengan cara menerbitkan
obligasi dan SBK memiliki kelebihan:
1. bunganya lebih murah dibandingkan bunga
kredit bank.
2. bunganya lebih murah dibandingkan bunga
perusahaan pembiayaan.
3. jumlah dana publik yang dapat dihimpun bisa
lebih besar dibanding kredit bank.
4. obligasi dan SBK tidak butuh agunan (jaminan
khusus) namun dijamin seluruh harta
perusahaan penerbit (jaminan umum).
5. perusahaan penerbit obligasi dan SBK harus
memiliki reputasi yang baik.
Jika perusahaan ingin menerbitkan surat utang
berbentuk obligasi yang berjangka lebih dari satu
tahun, maka harus mendapat ijin OJK selaku
otoritas pasar modal. OJK berwenang mengatur
dan mengawasi calon emiten yang hendak
menerbitkan saham atau obligasi yang akan
diperdagangkan di pasar modal. Mekanisme “go
public” di pasar modal tergolong tidak mudah
dan biayanya mahal sehingga sulit dilakukan
perusahaan UMKM. Pengawasan pasar modal
kini dialihkan dari Bapepam-LK kepada OJK
berdasarkan UU 21/2011.
Perusahaan yang ingin menerbitkan surat utang
berjangka pendek (kurang dari satu tahun) dapat
menerbitkan SBK di pasar uang. Penerbitan SBK
dinilai lebih menguntungkan dibandingkan kredit
bank, sebab SBK tidak perlu agunan (jaminan
khusus) sebagaimana kredit bank. Penerbitan SBK
harus melibatkan pihak bank atau perusahaan
efek selaku arranger dan agen pembayaran serta
harus mendapat ijin BI selaku otoritas pasar uang.
Adapun instrumen surat berharga yang
diperdagangkan di pasar uang, meliputi:
1. Sertifikat Bank Indonesia (SBI),
2. Surat Berharga Pasar Uang (SBPU),
3. Sertifikat Deposito/Certificate of Deposit
4. Surat Sanggup (Promes/Promissory Notes),
5. Surat Berharga Komersial (SBK)/Commercial
Paper (CP),
6. Surat Wesel (Bill of Exchange atau Banker's
Acceptance),
7. Surat Perbendaharaan Negara (Treasury Bill /
T-Bill),
8. Pasar Uang Antar Bank (PUAB)/Inter Bank Call
Money,
9. Repo/Repurchase Agreement,
10. Produk Derivatif Keuangan,
11. Produk Terstruktur (Structured Product).5
Surat Berharga Komersial (SBK) atau Commercial
Paper (CP) sejatinya sama dengan “surat sanggup”
(promissory notes/promes) namun penerbitannya
diatur BI secara ketat. SBK diterbitkan tanpa disertai
32
5 R Serfianto D. Purnomo, Cita Yustisia Serfiyani, dan Iswi Hariyani, 2013,“Buku Pintar Pasar Uang dan Pasar Valas”, Penerbit PT Gramedia PustakaUtama, Jakarta, hal. 85.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
jaminan khusus oleh perusahaan non-bank berskala
besar yang memiliki reputasi baik guna memperoleh
dana jangka pendek. Namun demikian SBK tetap
didukung jaminan umum berupa seluruh harta
perusahaan penerbit. Di samping itu, penerbitan
SBK juga harus memenuhi persyaratan korporasi,
laporan keuangan, manajemen, tidak gagal bayar,
pedoman internal, keterbukaan informasi, dan
lain-lain. Penerbitan SBK harus didasarkan penilaian
dari lembaga pemeringkat utang yang terdaftar
di BI, sebab surat utang ini tidak didukung jaminan
khusus yang mudah dieksekusi jika terjadi utang
macet.
Penerbitan surat berharga bersifat utang (contoh:
SBK) memiliki akibat hukum yang berbeda dengan
penerbitan surat berharga bersifat ekuitas (contoh:
saham). Jika perusahaan penerbit SBK melakukan
wanprestasi, maka para investor pembeli SBK
dapat mengajukan gugatan perdata via Pengadilan
Negeri atau mengajukan permohonan pailit via
Pengadilan Niaga. Sebaliknya, para investor pembeli
saham tidak bisa mengajukan permohonan pailit
manakala perusahaan penerbit melakukan
wanprestasi atau tidak mampu memberikan imbal
hasil.
Kondisi pasar uang dapat mempengaruhi pasar
modal. Pasar uang dan pasar modal sama-sama
dapat dijadikan lahan berinvestasi bagi perorangan
atau perusahaan. Perbedaannya, instrumen pasar
modal berjangka lebih dari satu tahun, sedangkan
instrumen pasar uang berjangka kurang dari satu
tahun. Di pasar uang, ada instrumen bersifat
simpanan seperti tabungan dan deposito. Instrumen
semacam ini tidak dijumpai di pasar modal, sebab
instrumen pasar modal hanya bersifat ekuitas
dan/atau utang. Instrumen simpanan dijamin LPS,
sehingga nasabah tidak akan kehilangan uang
jika bank-nya bangkrut.6
Pasar keuangan dan pasar komoditi sama-sama
mengenal instrumen derivatif (turunan). Di pasar
modal, instrumen derivatif merupakan turunan
efek bersifat ekuitas dan/atau utang. Instrumen
derivatif di pasar uang berasal dari turunan efek
bersifat simpanan dan/atau utang. Di sisi lain,
instrumen derivatif di pasar komoditi semuanya
merupakan turunan efek bersifat utang. Transaksi
di pasar keuangan dan pasar komoditi sudah bisa
dilakukan melalui internet (online trading), tanpa
warkat (scriptless trading) dan dari jarak jauh
(remotre trading).
Pengawasan pasar modal sepenuhnya menjadi
kewenangan OJK. Pengawasan pasar uang
(termasuk pasar valas) dilakukan BI. BI bertugas
mengawasi sistem moneter, stabilitas sistem
keuangan, makroprudensial dan sistem
pembayaran serta pengelolaan uang rupiah,
sedangkan OJK bertugas mengawasi
mikroprudensial seperti mengawasi lembaga
perbankan. BI fokus pada pengelolaan likuiditas
jangka pendek guna mencapai stabilitas nilai tukar.
Transasi keuangan yang dilakukan dalam tenor
pendek (kurang dari setahun) dilakukan di pasar
uang. Dengan demikian sesuai Pasal 10 UU BI, BI
memiliki kewenangan di pasar uang.
BI bertugas menjaga inflasi dan stabilitas nilai
tukar mata uang Rupiah. Dari sisi makroprudensial,
terdapat irisan kewenangan BI terhadap perbankan
untuk memastikan aktivitas perbankan tetap dalam
koridor pencapaian tujuan stabilitas keuangan
nasional yang sehat. BI juga bertanggung jawab
penuh menjaga kelancaran sistem pembayaran
nasional agar semua transaksi di pasar uang dan
pasar modal dapat berjalan lancar.
Penerbitan SBK diatur dalam PBI Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang. Pihak
yang dapat menerbitkan SBK adalah Korporasi
Non-Bank (KNB) yang telah tercatat atau belum
tercatat sebagai emiten di Bursa Efek Indonesia
33
6 Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto D. Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2017,“Capital Market - Top Secret: Ramuan Sukses Bisnis Pasar Modal Indonesia”,Penerbit Andi, Yogyakarta, hal. 33.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
(BEI). KNB yang tercatat sebagai emiten di BEI harus
memenuhi persyaratan pernah menjadi emiten
saham, obligasi atau sukuk di BEI dalam lima
tahun terakhir sampai dengan tanggal pengajuan
permohonan pendaftaran penerbitan SBK.7
Penerbitan SBK juga bisa dilakukan oleh perusahaan
(KNB) yang belum tercatat sebagai emiten di BEI.
Perusahaan jenis ini harus memenuhi persyaratan:
(a) telah beroperasi paling singkat tiga tahun atau
kurang dari tiga tahun sepanjang memiliki
penjaminan atau penanggungan; (b) memiliki
ekuitas paling sedikit Rp 50 miliar; dan
(c) menghasilkan laba bersih untuk satu tahun
terakhir.8 Penjaminan atau penanggungan dapat
dilakukan oleh bank atau korporasi (perusahaan)
yang menjadi induk dari KNB yang akan
menerbitkan SBK.9
Penerbitan SBK diatur dan diawasi oleh BI selaku
otoritas pasar uang, sebab SBK tergolong instrumen
surat utang berjangka pendek. Hal ini diatur dalam
Pasal 70 UU 8/1995 tentang Pasar Modal beserta
penjelasannya. Dalam pasal tersebut diatur SBK
sebagai salah satu bentuk efek yang merupakan
instrumen pasar uang dikecualikan dari kewajiban
penawaran umum dengan pertimbangan
pembinaan, pengaturan dan pengawasan efek
berjangka waktu sampai dengan satu tahun
dilaksanakan oleh instansi lain (dalam hal ini BI,
bukan OJK).
KNB yang akan menerbitkan SBK harus memenuhi
persyaratan: (a) memiliki laporan keuangan yang
memperoleh pendapat “wajar tanpa modifikasian”
(WTM) secara berturut-turut dari akuntan publik
terdaftar di BI untuk periode tiga tahun terakhir
atau sejak KNB beroperasi untuk KNB yang
beroperasi kurang dari tiga tahun; (b) tidak pernah
mengalami kondisi gagal bayar selama tiga tahun
terakhir sampai dengan tanggal pengajuan
permohonan pendaftaran penerbitan SBK atau
tidak pernah mengalami kondisi gagal bayar
untuk KNB yang beroperasi kurang dari tiga
tahun; (c) KNB yang pernah mengalami gagal
bayar dapat menerbitkan SBK paling singkat tiga
tahun setelah tanggal pernyataan penyelesaian
gagal bayar sepanjang penyelesaian dilakukan
secara wajar; (d) memiliki manajemen dengan
rekam jejak yang baik; (e) memiliki pedoman
penerapan prinsip kehati-hatian dan manajemen
risiko; dan (f) memenuhi persyaratan administratif
yang ditetapkan BI.10
SBK harus memenuhi kriteria: (a) diterbitkan dan
ditatausahakan dalam bentuk tanpa warkat
(scripless); (b) dialihkan secara elektronik; (c)
diterbitkan dengan sistem diskonto; (d) diterbitkan
dalam denominasi rupiah atau valuta asing; (e)
nilai setiap penerbitan paling sedikit Rp 10 miliar
atau 1 juta dollar AS atau ekuivalennya dalam
valuta asing lainnya; (f) pembelian SBK oleh investor
paling sedikit Rp 500 juta atau 50 ribu dollar AS
atau ekuivalennya dalam valuta asing lainnya; (g)
memiliki tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan,
atau 12 bulan; dan (h) memiliki peringkat instrumen
yang diterbitkan oleh lembaga pemeringkat yang
terdaftar di BI, dengan batasan minimum tertentu
yang ditetapkan BI.11
SBK harus memenuhi persyaratan “surat sanggup”
sebagaimana diatur Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) kecuali untuk hal yang diatur
tersendiri dalam PBI ini dan peraturan pelaksanaan,
serta ketentuan peraturan perundang-undangan
terkait lainnya.12 Surat Sanggup dapat digunakan
sebagai bukti utang dan alat bayar. Penerbitan surat
34
7 Lihat Pasal 3 ayat 1 huruf a PBI Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitandan Transaksi SBK di Pasar Uang.
8 Lihat Pasal 3 ayat 1 huruf b PBI Nomor 19/9/PBI/2017.
9 Lihat Pasal 3 ayat 3 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.
10 Lihat Pasal 3 ayat 2 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.
11 Lihat Pasal 4 ayat 1 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.
12 Lihat Pasal 4 ayat 2 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
sanggup sesuai Pasal 174 KUHD harus memuat
kesanggupan tanpa syarat untuk membayar uang
dalam jumlah tertentu, penetapan hari dan tempat
pembayaran, nama penerima pembayaran, tanggal
dan tempat penandatanganan, serta tanda tangan
orang penerbit surat sanggup.
Surat Sanggup (Promes) diatur Pasal 174-177
KUHD, namun pengertian surat sanggup tidak
disebutkan secara tegas dalam KUHD, sehingga
para ahli merumuskan definisi surat sanggup dari
syarat formal surat sanggup yang diatur Pasal 174
KUHD. Surat sanggup adalah surat tanda
kesanggupan atau surat persetujuan tanpa syarat
untuk membayar sejumlah uang kepada Pemegang
atau Pengganti pada hari tertentu. Surat Sanggup
dikenal dengan beragam istilah. Dalam bahasa
Indonesia, istilah lain surat sanggup yakni “surat
aksep” dan “surat promes” sedangkan dalam
istilah bahasa Inggris dikenal dengan sebutan
promissory notes. Sementara dalam ilmu akuntansi,
Surat Sanggup disebut juga “nota yang dapat
diuangkan”13
Penerbit SBK harus menggunakan jasa Lembaga
Pendukung Penerbitan SBK yang terdaftar di BI.
Lembaga pendukung tersebut meliputi: (a) Bank
atau Perusahaan Efek yang berfungsi sebagai
arranger atau penata laksana penerbitan;
(b) lembaga pemeringkat; (c) konsultan hukum;
(d) akuntan publik; (e) notaris; dan (f) lembaga
lain yang ditetapkan BI.14
Secara besar dapat disimpulkan bahwa penerbitan
SBK dilindungi oleh peraturan perundang-undangan
yang bersifat umum (seperti KUH Perdata dan
KUHD) dan peraturan perundang-undangan yang
bersifat khusus (seperti UU Bank Indonesia dan
Peraturan Bank Indonesia). Penerbitan SBK saat
ini diatur secara khusus dalam Peraturan BI Nomor
19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.
Perjanjian SBK tidak boleh melanggar “asas
kebebasan berkontrak” dan “syarat sah perjanjian”
sebagaimana diatur dalam KUH Perdata. Asas
Kebebasan Berkontrak dapat dianalisis dari
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang
berbunyi: ”semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Asas Kebebasan Berkontrak
memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. membuat atau tidak membuat perjanjian,
2. mengadakan perjanjian dengan siapapun,
3. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan
persyaratannya,
4. menentukan bentuk perjanjian yaitu tertulis
atau lisan.15
Perjanjian SBK harus memenuhi ketentuan Pasal
1320 KUH Perdata tentang ”Syarat Sahnya
Perjanjian” yang meliputi:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(unsur kesepakatan).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
(unsur kecakapan).
3. Suatu hal tertentu (unsur kejelasan obyek).
4. Suatu sebab yang halal (unsur tidak melanggar
hukum).
Syarat ke-1 dan ke-2 disebut Syarat Subyektif
karena menyangkut subyek perjanjian atau para
pihak yang membuat perjanjian. Syarat ke-3 dan
ke-4 disebut Syarat Obyektif karena menyangkut
obyek perjanjian. Jika Syarat Obyektif tidak
terpenuhi, maka perjanjian otomatis dinyatakan
”batal demi hukum”, artinya perjanjian itu
dianggap tidak pernah ada, sehingga tidak ada
35
13 R Serfianto D. Purnomo, Cita Yustisia Serfiyani, dan Iswi Hariyani, 2013,“Buku Pintar Pasar Uang dan Pasar Valas”, Penerbit PT Gramedia PustakaUtama, Jakarta, hal. 91.
14 Lihat Pasal 23 ayat 1 sampai ayat 3 PBI Nomor 19/9/PBI/2017.15 Salim H.S, 2006, “Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”,
Cetakan 3, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
dasar untuk saling menuntut di pengadilan.
Sebaliknya, jika Syarat Subyektif tidak terpenuhi,
maka perjanjian itu tidak otomatis batal demi
hukum, namun ”dapat dibatalkan” jika salah satu
pihak meminta pembatalan kepada pengadilan.16
Suatu Perjanjian harus mempunyai obyek jelas
yang dapat ditentukan jenisnya, sedangkan
jumlahnya dapat tidak ditentukan pada waktu
dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung
atau ditentukan jumlahnya (Pasal 1333 KUH
Perdata). Hakim akan berusaha mencari tahu obyek
perjanjian agar perjanjian dapat dilaksanakan. Jika
obyek perjanjian tidak dapat ditentukan, maka
perjanjian itu dinyatakan batal demi hukum (tidak
sah).
Suatu perjanjian yang tidak halal atau perjanjian
yang dibuat karena sebab yang palsu atau perjanjian
yang dilarang undang-undang dianggap tidak
mempunyai kekuatan hukum sehingga perjanjian
itu dapat dinyatakan tidak sah atau batal demi
hukum (Pasal 1320 dan Pasal 1335 KUH Perdata).17
Perjanjian SBK juga harus mengikuti “Asas
Perjanjian” yang meliputi:
1. Asas Kebebasan Berkontrak (Pasal 1338 ayat
1 KUH Perdata).
2. Asas Konsensualisme (Pasal 1320 ayat 1 KUH
Perdata).
3. Asas Kepastian Hukum (Pasal 1338 ayat 1 KUH
Perdata).
4. Asas Iktikad Baik (Pasal 1338 ayat 3 KUH
Perdata).
5. Asas Kepribadian (Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUH Perdata).18
Perjanjian SBK antara perusahaan penerbit SBK
dengan para investor pembeli SBK pada prinsipnya
sama dengan perjanjian-piutang atau perjanjian
pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal
1754 hingga Pasal 1769 KUH Perdata. Perusahaan
penerbit SBK bertindak selaku debitor, sedangkan
para investor pembeli SBK bertindak selaku kreditor.
Jika debitor wanprestasi (ingkar janji), maka kreditor
dapat mengajukan gugatan perdata via Pengadilan
Negeri atau permohonan pailit atas debitor via
Pengadilan Niaga.
B. Perlindungan Konsumen bagi Investor Pembeli
SBK
Perlindungan konsumen merupakan aspek penting
dalam kegiatan bisnis SBK. BI harus menjamin
penerbitan SBK dilakukan oleh perusahaan yang
benar-benar sehat secara finansial sehingga
meminimalkan terjadinya kasus gagal-bayar.
Perusahaan jasa pemeringkat utang juga harus
obyektif memberikan penilaian terhadap kondisi
finansial perusahaan penerbit SBK. Jika hal ini
dilakukan dengan benar, maka SBK dapat menjadi
instrumen pasar uang yang layak diperdagangkan,
sehingga memberikan keuntungan bagi perusahaan
penerbit, para investor dan pihak terkait.
Para investor pembeli SBK harus dilindungi agar
tidak menjadi korban praktik bisnis yang tidak
sehat, seperti pembagian keuntungan yang tidak
sesuai kontrak yang dijanjikan. Dana investor SBK
tidak dilindungi LPS sebab dana tersebut bukan
tergolong simpanan di bank. Investasi SBK,
sebagaimana investasi pada umumnya, dapat
berdampak untung atau rugi. Sengketa perdata
yang terjadi antara investor dan penerbit SBK
dapat diselesaikan via jalur litigasi (pengadilan)
atau non-litigasi (di luar pengadilan). Penyelesaian
sengketa non-litigasi via Alternatif Penyelesaian
Sengketa (APS) harus lebih diutamakan sebab
cara ini tergolong sederhana, cepat, murah dan
dapat menghasilkan solusi sama-sama menang.
36
16 Iswi Hariyani, “Perjanjian Kredit & Penyelesaian Piutang Macet”, PenerbitCV. Give Me Colours (GMC), Surabaya, 2018, hal. 34-35.
17 Ibid.
18 Salim H.S., 2006, “Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak”,Cetakan ke-3, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 9.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Perjanjian SBK dapat digolongkan sebagai
perjanjian utang-piutang atau pinjam-meminjam
sebagaimana diatur Pasal 1756 hingga Pasal 1769
KUH Perdata. Perjanjian utang-piutang antara
penerbit SBK (selaku debitor) dengan para investor
pembeli SBK (selaku kreditor) harus dilakukan
sesuai peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Perjanjian SBK pada umumnya berbentuk kontrak
baku (standard contract) yang telah disusun
penerbit SBK. Klausula Baku adalah setiap aturan
atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah
dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara
sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam
suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat
dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Pembuatan
kontrak baku tersebut tidak boleh melanggar UU
8/1999.
Pasal 18 ayat 1 UU 8/1999 tentang Perlindungan
Konsumen menyatakan Pelaku Usaha dalam
menawarkan barang/jasa untuk diperdagangkan
dilarang membuat atau mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila:
1. menyatakan pengalihan tanggung jawab
pelaku usaha;
2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali barang yang
dibeli konsumen;
3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak
menolak penyerahan kembali uang yang
dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang
dibeli oleh konsumen;
4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen
kepada pelaku usaha baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk melakukan
segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan
barang yang dibeli oleh konsumen secara
angsuran;
5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang
dibeli oleh konsumen;
6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk
mengurangi manfaat jasa atau mengurangi
harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek
jual beli jasa;
7. menyatakan tunduknya konsumen kepada
peraturan yang berupa aturan baru, tambahan,
lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa
konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;
8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa
kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak
tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang dibeli oleh konsumen
secara angsuran.
Pasal 18 ayat 2 UU 8/1999 menyatakan pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang
letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat
Konsiliasi, Adjudikasi, Arbitrase dan Penyelesaian
Sengketa Daring (PSD). Penyelesaian sengketa
melalui APS telah memiliki dasar hukum yang kuat
sejak diterbitkan UU 30/1999 tentang Arbitrase
dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pada awal
sengketa, para pihak dianjurkan menempuh
Negosiasi (perundingan/musyawarah) tanpa
melibatkan pihak ketiga. Jika Negosiasi gagal,
para pihak dapat mengundang pihak ketiga untuk
membantu menyelesaikan sengketa. Pihak ketiga
dapat berstatus sebagai konsultan, ahli hukum,
mediator, konsiliator, adjudikator dan arbiter. Pihak
ketiga yang dipilih haruslah netral dan menguasai
masalah.32
Konsultasi mirip dengan Pendapat Mengikat karena
melalui kedua cara APS ini para pihak meminta
pendapat dari ahli hukum dan ahli bisnis terkait.
Perbedaannya, saran dari hasil konsultasi tidak
bersifat mengikat para pihak. Sebaliknya, pendapat
ahli dari hasil Pendapat Mengikat harus dipatuhi
para pihak karena bersifat mengikat. Mediasi mirip
dengan Konsiliasi karena keduanya melibatkan
pihak ketiga sebagai penengah atau pendamai.
Perbedaannya, mediator lebih aktif mengajak para
pihak menemukan titik temu hingga mencapai
kesepakatan perdamaian, sedangkan konsiliator
lebih bersikap pasif dan hanya bertindak sebagai
fasilitator pertemuan. Mediator dan konsiliator
tidak berhak membuat kesepakatan perdamaian,
sebab hal itu adalah hak para pihak yang
bersengketa. Mediator dan konsiliator juga tidak
berhak membuat putusan layaknya hakim atau
arbiter.
42
30 Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani dan R Serfianto Dibyo Purnomo,2018, “Penyelesaian Sengketa Bisnis”, Penerbit PT Gramedia PustakaUtama, Jakarta, hal. 4.
31 Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani, 2016, “Perlindungan Hukumbagi Nasabah Kecil dalam Proses Adjudikasi di Industri Jasa Keuangan”,Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 13 No. 4 Desember 2016, Ditjen PeraturanPerundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, hal. 421
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Adjudikasi mirip dengan Arbitrase karena
adjudikator memiliki wewenang membuat putusan
seperti arbiter. Bedanya, putusan adjudikator harus
ditawarkan lebih dulu kepada Pemohon, dan jika
Pemohon setuju maka putusan boleh diberlakukan.
Adjudikasi ditempuh guna melindungi Pemohon
nasabah kecil agar memiliki posisi setara dengan
lembaga jasa keuangan. Putusan Adjudikasi dan
putusan Arbitrase sama-sama bersifat final dan
mengikat.
Jika sengketa bisnis diselesaikan lewat Arbitrase,
para pihak bebas memilih arbiter, hukum materiil,
hukum acara, tempat beracara dan jangka waktu
penyelesaian sengketa. Jika menggunakan Mediasi,
dan Konsiliasi, para pihak dapat memilih mediator
atau konsiliator dan tata cara penyelesaian sengketa
serta menentukan format perdamaian berdasarkan
kesepakatan para pihak. Arbitrase mirip Pengadilan
sehingga disebut semi-pengadilan (quasi-judicial).
Eksekusi putusan Arbitrase tidak dapat langsung
dilaksanakan karena harus lebih dulu diajukan
permohonan eksekusi ke Ketua Pengadilan Negeri
setempat.
Ada beberapa hal penting dari UU Arbitrase dan
APS (UU 30/1999) diantaranya putusan Arbitrase
dinyatakan sebagai putusan yang telah berkekuatan
hukum tetap dan dapat langsung dimintakan
eksekusi ke Pengadilan Negeri (sesuai Pasal 60 jo
62, UU 30/1999) dan secara eksplisit menetapkan
bahwa Arbitrase memiliki kewenangan mutlak
terhadap kewenangan Peradilan Umum sesuai
Pasal 3 UU 30/1999 yang berbunyi “Pengadilan
Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa
yang memiliki klausula Arbitrase”.33
Arbitrase mirip dengan litigasi di Pengadilan,
namun memiliki beberapa keunggulan antara lain
para pihak dapat memilih arbiter dan memilih
peraturan arbitrasi. Sebagai contoh, pengusaha
nasional yang bermitra dengan pengusaha asing
dapat memilih Lembaga Arbitrase di Indonesia
(contoh BANI) namun dengan prosedur arbitrase
dari Lembaga Arbitrase manca negara. Begitu
pula sebaliknya, para pihak dapat memilih
Lembaga Arbitrase manca negara (contoh SIAC
dari Singapura) tetapi dengan memakai prosedur
arbitrase dari BANI. Hal ini membuktikan bahwa
asas kebebasan berkontrak benar-benar diterapkan
di Arbitrase.
Eksekusi putusan Arbitrase tergolong sederhana
dan cepat. Putusan Arbitrase nasional dapat
dieksekusi setelah didaftarkan ke Pengadilan
Negeri (PN) setempat, sedangkan putusan Arbitrase
asing harus didaftarkan ke PN Jakarta Pusat. Ketua
PN berwenang memeriksa berkas pendaftaran
dan membuat penetapan eksekusi atau menolak
eksekusi. Sebelum ada penetapan eksekusi,
putusan Arbitrase tidak boleh dijalankan. Eksekusi
putusan tidak perlu didaftarkan ke PN jika para
pihak secara sukarela mau melaksanakan putusan.
Ada beberapa sebab yang masih menjadi kendala
eksekusi putusan Arbitrase yaitu: (a) pihak
termohon eksekusi tidak bersedia menjalankan
eksekusi secara sukarela, (b) pihak termohon
eksekusi mengajukan permohonan pembatalan
putusan Arbitrase meski tidak terdapat bukti-bukti
dan alasan yang kuat, (c) pihak termohon eksekusi
mengajukan perlawanan (verzet) atas eksekusi
yang hendak dijalankan oleh Pengadilan, (d) pihak
termohon eksekusi mangkir dari putusan dan
tidak menjalankan putusan secara sukarela, (e)
prosedur eksekusi rumit, lambat dan berbelit-belit,
(f) biaya eksekusi mahal, (g) adanya perlawanan
fisik dari termohon eksekusi atau pihak ketiga atas
suruhan termohon eksekusi.34
43
33 Aria Suyudi, dkk, 2004, “Kepailitan di Negeri Pailit : Analisis HukumKepailitan di Indonesia“, Cetakan ke- 2, Pusat Kajian Hukum & KebijakanIndonesia, Jakarta, hal. 61-62.
34 M. Khoidin, 2017, “Hukum Arbitrase Bidang Perdata - Eksistensi,Pengaturan dan Praktik”, Laksbang Pressindo, Yogyakarta, hal. 189.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Pasal 29 huruf e POJK Nomor 77/POJK.01/2016
mengamanatkan penyelesaian sengketa pengguna
harus dilakukan secara sederhana, cepat dan biaya
terjangkau. Prinsip ini seharusnya dapat pula
digunakan sebagai dasar membentuk Lembaga
APS via internet melalui model Penyelesaian
Sengketa Daring (PSD) atau Online Dispute
Resolution (ODR). Lembaga PSD dapat
menggunakan cara Negosiasi, Pendapat Mengikat,
Mediasi, Adjudikasi dan Arbitrase. Konsiliasi tidak
1996 yaitu Virtual Magistrase Project di Villanova
University. Keputusan yang dihasilkan saat itu
menyatakan iklan yang ditempatkan pada American
On Line (AOL) dalam bentuk email yang dikirimkan
kepada jutaan alamat email dianggap menyalahi
kesepakatan layanan yang diberikan sehingga
iklan tersebut harus dihilangkan dari AOL. Saat
ini PBB selalu mengadaan konferensi ODR tahunan
dan telah membentuk Expert Group on ODR. ODR
semakin diterima sebagai proses penting yang
dapat digunakan menyelesaikan sengketa online.36
Lembaga ODR di bidang mediasi konsumen bisnis
online terkemuka di dunia adalah “SquareTrade”.
Lembaga ini banyak dipakai menyelesaikan
sengketa di eBay dan PayPal. SquareTrade tidak
menangani sengketa pengguna dengan eBay,
melainkan sengketa penjual dan pembeli di eBay,
dengan menawarkan dua tahap penyelesaian
sengketa yaitu Negosiasi dan Mediasi. Dalam
beberapa tahun terakhir, SquareTrade telah berhasil
menyelesaikan jutaan kasus sengketa bisnis online
yang terjadi di 120 negara dalam 5 bahasa yang
berbeda. SquareTrade telah membuktikan proses
negosiasi online atau mediasi online dapat menjadi
alat yang efisien untuk menyelesaikan sengketa
bisnis online.37
Pembentukan Lembaga PSD dimungkinkan
berdasarkan UU ITE karena semua informasi dan
data eletronik dapat dijadikan bukti hukum. Dasar
hukum pembentukan PSD diatur Pasal 41 UU ITE
44
36 Adel Chandra, 2014, “Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik MelaluiOnline Dispute Resolution (ODR) Kaitan dengan UU ITE No. 11 Tahun2008”, Jurnal Ilmu Komputer, Fakultas Ilmu Komputer Universitas EsaUnggul, Edisi September 2014, hal. 82.
37 S. Abernethy, 2003, “Building Large-Scale Online Dispute Resolutionand Trustmark Systems”, Proceeding of the UNECE Forum on ODR 2003,www.odr.info dan Wikipedia.org
35 Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani, “Perlindungan Hukum danPenyelesaian Sengketa Bisnis PM-Tekfin”, Jurnal Legislasi Indonesia,Vol.14, No. 3, September 2017, Ditjen Peraturan Perundang-undangan,Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, hal. 355.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
beserta penjelasannya. Masyarakat dapat berperan
meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi
melalui penggunaan dan penyelenggaraan sistem
elektronik dan transaksi elektronik sesuai UU ITE.
Peran masyarakat dapat diselenggarakan melalui
lembaga ITE yang dibentuk masyarakat yang dapat
memiliki fungsi konsultasi dan mediasi.
PSD juga diatur secara tidak langsung dalam Pasal
18 ayat 4 dan 5 UU ITE. Para pihak memiliki
kewenangan menetapkan forum pengadilan,
arbitrase atau lembaga penyele-saian sengketa
alternatif lainnya yang berwenang menangani
sengketa yang mungkin timbul dari transaksi
elektronik internasional yang dibuatnya. Jika para
pihak tidak melakukan pilihan forum, maka
penetapan kewenangan pengadilan, arbitrase atau
lembaga penyelesaian sengketa alternatif lainnya
didasarkan pada asas Hukum Perdata Internasional.
PSD adalah penyelesaian sengketa alternatif yang
selaras dengan Hukum Perdata Internasional yang
diakui PBB melalui konferensi ODR tahunan dan
pembentukan Expert Group on ODR.
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dihasilkan dari penelitian ini
meliputi:
1. SBK merupakan surat berharga bersifat utang
yang diterbitkan Korporasi Non Bank (KNB)
berdasarkan ijin dari Bank Indonesia. Penerbitan
SBK diatur dalam PBI Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga
Komersial di Pasar Uang. SBK merupakan
bentuk lain dari Surat Sanggup (Promes) yang
juga diatur dalam Pasal 174-177 KUHD. SBK
berjangka waktu kurang dari satu tahun
sehingga dikecualikan dari kewajiban “go
public” sebagaimana diatur dalam Pasal 70
UU Pasar Modal.
2. Perlindungan konsumen bagi para investor
pembeli SBK harus merujuk Pasal 18 UU
Perlindungan Konsumen, Pasal 1338 ayat 1
KUH Perdata tentang Asas Kebebasan
Berkontrak dan Pasal 1320 KUH Perdata
tentang Syarat Sah Perjanjian. Namun BI belum
membuat PBI khusus yang mengatur
perlindungan konsumen SBK dan instrumen
pasar uang lainnya. BI baru mengatur
perlindungan konsumen sistem pembayaran
melalui PBI Nomor 16/1/PBI/2014 tentang
Perlindungan Konsumen Penyelenggara Sistem
Pembayaran. Aspek perlindungan konsumen
SBK hanya diatur secara umum dalam Pasal
33 hingga Pasal 35 PBI Nomor 19/9/PBI/2017
tentang Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang.
3. Perjanjian SBK adalah perjanjian utang-piutang.
Penerbit SBK bertindak selaku penerima utang
(debitor), sedangkan para investor pembeli
SBK bertindak selaku pemberi utang (kreditor).
Jika perusahaan penerbit SBK ingkar janji, para
investor dapat mengajukan gugatan perdata
via Pengadilan Negeri atau permohonan pailit
via Pengadilan Niaga. Pembeli surat utang
(SBK) juga punya hak mengajukan klaim atas
harta pailit debitor. Akibat hukum ini membuat
penerbit SBK harus berhati-hati mengelola
portofolio utangnya. SBK macet pertama kali
dapat diselamatkan melalui upaya Rescheduling,
Reconditioning dan Restrukturisasi. Jika upaya
penyelamatan tidak berhasil maka SBK macet
dapat diselesaikan melalui jalur litigasi
(pengadilan) atau non-litigasi (di luar
pengadilan). Penyelesaian non-litigasi via
Negosiasi dan Mediasi sebaiknya lebih
diutamakan karena cara ini dianggap lebih
mudah, cepat, murah dan bermartabat.
45
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
B. Saran
Saran-saran yang dihasilkan dari penelitian ini
meliputi:
1. BI sebaiknya terus melakukan sosialisasi kepada
para pelaku bisnis agar maumenerbitkan SBK
untuk menambah modal jangka pendek
maupun sebagai instrumen investasi di pasar
uang yang aman dan memiliki imbal hasil
tinggi.
2. BI dan OJK sebaiknya menggalang kerjasama
erat untuk mengawasi pasar SBK karena
penerbitan SBK juga melibatkan perbankan
dan perusahaan efek.
3. BI sebaiknya membuat mekanisme pengaduan
konsumen SBK melalui internet (online) agar
lebih mudah diakses para investor di dalam
negeri dan luar negeri. Cara ini dapat lebih
mempercepat BI untuk mengantisipasi masalah
SBK.
4. BI dan OJK sebaiknya merancang mekanisme
penyelesaian SBK macet melalui Lembaga APS
dengan cara offline maupun online.
Penyelesaian Sengketa Daring (PSD) sebaiknya
segera diwujudkan karena cara ini dianggap
dapat menyelesaikan sengketa lebih cepat,
mudah, murah dan dapat diakses dari mana
saja.
46
47
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Hukum
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 82 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/ 2/ PBI/ 2005 Tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum
Peraturan Bank Indonesia nomor 16/1/PBI/2014 tentang Perlindungan Konsumen Penyelenggara Sistem Pembayaran.
Peraturan Bank Indonesia nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan.
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2014 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor
Jasa Keuangan.
Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2/SEOJK.07/2014 tentang Pelayanan dan Penyelesaian Pengaduan Konsumen
pada Pelaku Usaha Jasa Keuangan.
Keputusan Otoritas Jasa Keuangan Nomor Kep-01/ D.07/ 2016 Tanggal 21 Januari 2016 tentang Pengesahan Lembaga
APS di Sektor Jasa Keuangan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD)
Buku
Aria Suyudi, 2004, Kepailitan di Negeri Pailit : Analisis Hukum Kepailitan di Indonesia, Cetakan ke- 2, Pusat Kajian Hukum
& Kebijakan Indonesia, Jakarta.
Cita Yustisia Serfiyani, R. Serfianto Dibyo Purnomo dan Iswi Hariyani, 2013, Buku Pintar Bisnis Online dan Transaksi
Elektronik, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
48
Cita Yustisia Serfiyani, R Serfianto D. Purnomo, dan Iswi Hariyani, 2017, Capital Market -Top Secret : Ramuan Sukses
Bisnis Pasar Modal Indonesia, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Iswi Hariyani, 2018, Perjanjian Kredit dan Penyelesaian Piutang Macet, Penerbit CV. Give Me Colours Surabaya dan
Penerbit Andi Yogyakarta.
Iswi Hariyani, Cita Yustisia Serfiyani dan R Serfianto Dibyo Purnomo, 2018, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Penerbit PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Iswi Hariyani, 2018, Kekayaan Intelektual Sebagai Jaminan Utang, Penerbit CV Give Me Colours (GMC) Surabaya dan
Penerbit Andi Yogyakarta.
M. Khoidin, 2017, Hukum Arbitrase Bidang Perdata - Eksistensi, Pengaturan dan Praktik, Penerbit Laksbang Pressindo,
Yogyakarta.
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, 2016, Cetakan ke-12, Penerbit Kencana, Jakarta.
Rachmadi Usman, 2001, Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
R. Serfianto D. Purnomo, Cita Yustisia Serfiyani dan Iswi Hariyani, 2013, Buku Pintar Pasar Uang & Pasar Valas, Penerbit
PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jurnal Ilmiah
Adel Chandra, 2014, “Penyelesaian Sengketa Transaksi Elektronik Melalui Online Dispute Resolution (ODR) Kaitan dengan
UU Informasi dan Transaksi Elektronik No. 11 Tahun 2008”, Jurnal Ilmu Komputer, Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Esa Unggul, Jakarta, Edisi September 2014.
Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani, 2016, “Perlindungan Hukum bagi Nasabah Kecil dalam Proses Adjudikasi di
Industri Jasa Keuangan”, Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 4, Desember 2016, Direktorat Jenderal
Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta.
Iswi Hariyani dan Cita Yustisia Serfiyani, 2017, “Perlindungan Hukum dan Penyelesaian Sengketa Bisnis PM-Tekfin”, Jurnal
Legislasi Indonesia, Volume 14, Nomor 3, September 2017, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan,
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta
S. Abernethy, “Building Large-Scale Online Dispute Resolution and Trustmark Systems”, Proceeding of the UNECE Forum
on ODR 2003, www.odr.info dan Wikipedia.org
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Abstrak:
Sektor jasa keuangan banyak mengembangkan jenis-jenis perjanjian baru yang tidak diatur dalam KUHPerdata
atau perjanjian tidak bernama (onbenoemde overeenkomsten). Selain jenis perjanjian tidak bernama, transaksi di sektor
jasa keuangan lazim menggunakan bentuk perjanjian baku dan perjanjian berbasis elektronik (bentuk elektronis) serta
sistem hukum yang berbeda dengan sistem hukum Indonesia. Beberapa isu hukum yang muncul antara lain apakah
perjanjian baku memenuhi asas keseimbangan dan keadilan, kapan kesepakatan dan peralihan aset terjadi dalam transaksi
elektronis, dan bagaimana implementasi sistem hukum yang berlaku di Indonesia lainnya seperti sistem hukum Islam
dalam transaksi di sektor jasa keuangan? Berdasarkan analisis diperoleh hasil bahwa perkembangan transaksi di sektor
jasa keuangan memberikan kontribusi positif dalam pembaruan hukum kontrak nasional; proses pembaruan hukum
perjanjian dapat dilakukan baik melalu proses adopsi (penerimaan secara utuh) maupun proses adopsi (penyesuaian
dengan sistem hukum) untuk mengatasi kendala dalam implementasinya; Hukum perjanjian (kontrak) nasional yang
akan dibentuk harus memperhatikan asas-asas hukum perjanjian, khususnya asas kebebasan berkontrak dan konsensualisme
sebagai syarat untuk memberikan keadilan dan kepastian hukum. Selain itu, pembaruan hukum kontrak nasional perlu
mempertimbangkan pengaturan tentang perjanjian baku (kontrak standar) sebagai salah satu upaya untuk menciptakan
keadilan bagi para pihak sebagai tujuan dibuatnya perjanjian.
Kata kunci: sektor jasa keuangan- pembaruan hukum kontrak nasional
Abstract:
The financial services sector has developed new kinds of agreements that are not set in KUHPerdata or 'untitled
agreements' (onbenoemde overeenkomsten). In addition to this kind of untitled agreements, transactions in the financial
services sector customarily uses a standard set of agreements and electronic based agreements (electronic form), as well
as legal systems different from the Indonesia's legal system.
49
PERKEMBANGAN TRANSAKSI DI SEKTOR JASA KEUANGANDAN KONTRIBUSINYA TERHADAP PEMBARUAN HUKUM
hukum perjanjian itu sendiri, yang membuka peluang
berkembangnya bentuk dan jenis-jenis perjanjian
baru, termasuk di sektor jasa keuangan.4 Ada 2 Pasal
kunci dalam hukum perjanjian yang menjadi landasan
hukum perkembangan perjanjian yaitu Pasal 1338
Ayat (1) KUHPerdata yang memuat asas kebebasan
berkontrak dan Pasal 1319 KUHPerdata yang
mengatur tentang sistem terbuka hukum perjanjian.
Ke dua Pasal ini memberi kebebasan bagi para pihak
untuk membuat perjanjian selain yang telah diatur
dalam KUHPerdata, dengan tetap mengacu pada
Buku III KUHPerdata Tentang Hukum Perikatan sebagai
lex generale. Sektor jasa keuangan secara optimal
menggunakan landasan hukum ini untuk
mengembangkan produk dan layanan jasanya.
Dalam tulisan ini, penulis mencoba menganalisis
perkembangan sistem hukum, jenis- jenis perjanjian
yang digunakan di sektor jasa keuangan, dan
penggunaan bentuk perjanjian baku dan bentuk
perjanjian elektronis dalam aktivitas sektor jasa
keuangan. Lingkup sektor jasa keuangan dalam artikel
ini mengacu pada Pasal 1 Angka (4 ) UU No. 21 Tahun
2011 Tentang Otoritas Jasa Keuangan yang mengatur
bahwa “lembaga Jasa Keuangan adalah lembaga
yang melaksanakan kegiatan di sektor Perbankan,
Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga
Pembiayaan, dan lembaga Jasa Keuangan lainnya.
Berdasarkan Pasal 7 dan Penjelasan Pasal 7 UU No.
21 Tahun 2011 tersebut, pengaturan dan pengawasan
mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-
hatian dan pemeriksaan bank merupakan lingkup
pengaturan dan pengawasan microprudential yang
menjadi tugas dan wewenang OJK, sedangkan
pengaturan dan pengawasan selain hal tersebut,
merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia.
Dalam rangka pengaturan dan pengawasan
moacroprudential, OJK membantu Bank Indonesia
50
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Some of the legal issues that arise such as whether such agreements meets the principles of balance and justice,
when this agreement and the transfer of assets occur in electronic transactions, and how the implementation of other
legal systems within transactions in the financial services sector? Based on the analysis, the obtained result is that the
development of the transactions in the financial services sector contributes positively to the reformation of the national
contract law; the process of reformation of legal agreements can be done through the process of adoption either in the
forms of full acceptance or adjustment to the legal system, to address the obstacles on its implementation; the proposed
amendment of the national contract law shall pay a special attention to the principles of making contracts, in particular
the principle of freedom of contracts and consensualism as a condition for providing justice and legal certainty. In addition,
the reformation of national contract law will need to consider the regulation concerning standard contract as an effort
to create 'justice for the parties' as the purpose of an agreement.
Keywords: financial services sector - contract law reform
2 Penulis menggunakan istilah hukum perjanjian untuk memberikanlingkup yang lebih luas dari istilah hukum kontrak yang lazimditerjemahkan sebagai perjanjian dalam bentuk tertulis.
3 Istilah hukum kontrak nasional digunakan dalam Naskah Akademis RUUKontrak Nasional yang diajukan oleh Tim Badan Pembinaan HukumNasional.
4 Dalam tulisan ini, penulis hanya akan membahas perkembangan perjanjiandi sektor jasa keuangan, walaupun perkembangan bentuk dan jenisperjanjian banyak ditemukan di sektor lainnya.
untuk melakukan himbauan moral (moral suasion)
kepada Perbankan. dengan demikian, perkembangan
perjanjian juga muncul dari regulasi yang diterbitkan
oleh Bank Indonesia. Beberapa perjanjian dalam
perkembangan lahir dari Peraturan Bank Indonesia
(PBI), antara lain dalam PBI No. 20/6/PBI/2018 Tentang
Uang Elektronik. Pasal 1 Angka 6 Huruf a PBI Uang
Elektronik mewajibkan para pihak, yaitu Prinsipal dan
Penerbit/Acquirer untuk menyusun perjanjian kerja
sama secara tertulis. Selain itu, dalam PBI No.
19/9/PBI/2017 Tentang Penerbitan dan Transaksi Surat
Berharga Komersial di Pasar Uang yang memunculkan
perjanjian antara lembaga Pendukung Transaksi Surat
Berharga Komersial dengan investor Surat Berharga.
Pengembangan sistem hukum Islam di sektor jasa
keuangan dipertegas dengan diundangkannya UU
No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, dan
digunakan untuk sektor jasa keuangan lain seperti
efek syariah, asuransi syariah, Reksadana syariah dan
aktivitas ekonomi berbasis syariah lainnya. Berlakunya
sistem hukum Islam (syariah ) ini telah menyebabkan
terjadinya dualisme sistem hukum di sektor jasa
keuangan. Sistem hukum Islam (syariah) yang mengatur
sektor jasa keuangan ini diatur dalam peraturan
perundangan-undangan, baik dengan undang-undang
maupun peraturan yang dikeluarkan oleh regulator
yaitu OJK dan Bank Indonesia, dan bersumber pada
Fatwa yang diterbitkan oleh Dewan Syariah Nasional-
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Sektor jasa keuangan banyak mengembangkan
perjanjian-perjanjian baru yang dalam implementasinya
kadang-kadang memerlukan penafsiran dan
penyesuaian dengan sistem hukum perjanjian
Indonesia. Berdasarkan Pasal 1338 Ayat (1), makna
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi para pihak”, harus
diartikan bahwa kebebasan para pihak untuk
membuat perjanjian digantungkan pada syarat sahnya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.
Dalam perjanjian dalam perkembangan, ke 4 syarat
sah perjanjian ini perlu ditafsirkan secara baik guna
mengikuti perkembangan jenis, bentuk, dan objek
perjanjian, termasuk perkembangan perjanjian di sektor
jasa keuangan. Penggunaan perjanjian baku (kontrak
standar), memunculkan pertanyaan sederhana apakah
bentuk perjanjian baku yang lazim digunakan di sektor
jasa keuangan memenuhi syarat “kesepakatan para
pihak”? Pertanyaan ini muncul karena syarat “adanya
kesepakatan”dimaknai sebagai “adanya kehendak
bebas dari para pihak untuk terikat dalam perjanjian”,
sehingga memenuhi asas keseimbangan.5 Beberapa
pakar berpendapat bahwa perjanjian baku (kontrak
standar) dinilai tidak mencerminkan kedudukan yang
seimbang di antara para pihak. Akibatnya dirasakan
ada perlakuan yang tidak adil bagi salah satu pihak
serta memberikan celah pada pihak yang mempunyai
posisi tawar yang kuat untuk menyalahgunakan
keadaan (misbruik van omstandigheden)6. Persoalan
hukum lainnya berkenaan syarat sahnya perjanjian
adalah syarat “kecakapan bertindak” dalam transaksi
sektor jasa keuangan yang dilakukan dalam bentuk
elektronis, yaitu sulitnya mengidentifikasi secara tepat
dan cepat, apakah para pihak cakap melakukan
perbuatan hukum? Implikasi yuridis lainnya dari bentuk
perjanjian elektronis berkaitan pula dengan saat
terjadinya kesepakatan dan peralihan kepemilikan
atas objek transaksi. Selain penggunaan bentuk
perjanjian baku dan bentuk elektronis, objek perjanjian
di sektor jasa keuangan mengalami perkembangan
yang pesat, khususnya di perbankan dan pasar modal.
Objek transaksi di pasar uang berkembang dengan
adanya surat berharga komersial di pasar uang yang
diatur dalam PBI No. 19/9/PBI/2018 Tentang Penerbitan
dan Transaksi Surat Berharga Komersial. Selain
menambah jenis surat berharga pasar uang, PBI ini
juga mensyaratkan bahwa surat berharga diterbitkan,
ditatausahakan secara scripless dan dialihkan secara
elektronik.
51
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
5 Pasal 1321 KUHPerdata mengatur “tiada sepakat yang sah apabilasepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperolehnya denganpaksaan atau penipuan”.
6 Agus Satori, “Perjanjian Baku dan Perlindungan Konsumen dalamTransaksi Bisnis Sektor Jasa Keuangan: Penerapan dan Implementasinyadi Indonesia”, Padjadjaran Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2, No. 2, 2015, hlm.277.
Pengembangan instrumen derivatif di pasar modal
Indonesia menambah keberagaman surat berharga
sebagai objek transaksi di pasar modal, sekaligus
menerbitkan jenis transaksi baru yang berkembang
di pasar modal, yaitu transaksi derivatif. Transaksi
derivatif ini tidak dapat dilepaskan dari tuntutan pasar
modal untuk memenuhi standar internasional yang
direkomendasikan oleh IOSCO. Keberadaan derivatif
sebagai jenis surat berharga ini pun sudah diamanatkan
dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-undang Nomor: 8
Tahun 1995 Tentang Pasar Modal (UU PM) yang
mengatur:
“efek adalah surat berharga, yaitu surat pengakuan
utang, surat berharga komersial, saham, obligasi,
tanda bukti utang, Unit Penyertaan Kontrak Investasi
Kolektif, Kontrak Berjangka Atas Efek dan setiap
derivatif dari efek”.
Selanjutnya penjelasan pasal 1 Angka 5 UU PM
menjelaskan derivatif sebagai turunan dari efek, baik
efek yang bersifat utang maupun yang bersifat ekuitas
seperti opsi dan waran. Walaupun derivatif sudah
diamanatkan dalam UU PM dan diatur secara khusus
dalam peraturan otoritas pasar modal, pada awalnya
masih ada mispersepsi tentang transaksi derivatif
akibat lemahnya pemahaman sebagian pihak tentang
transaksi derivatif.7 Instrumen derivatif juga digunakan
oleh perbankan sebagai sarana lindung nilai mata
uang (currency hedging) untuk melakukan pendalaman
pasar dalam rangka mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah.8 Berbagai instrumen derivatif
di sektor jasa keuangan seperti option dan futures ,
dan assets backed securities di pasar modal maupun
di pasar uang dengan maraknya sekuritisasi aset
seperti, collateralized debt obligation (CDO) merupakan
pengembangan surat berharga yang menjadi “objek
tertentu” dalam transaksi di sektor jasa keuangan?
Sekuritisasi ini merupakan bagian dari keuangan yang
direkayasa (structured finance) dimana penerbitan
sekuritasnya didukung antara lain oleh sekumpulan
pinjaman, obligasi, piutang atau piutang yang akan
datang.9
Berkenaan dengan syarat “kausa yang halal”, dalam
praktik perbankan masih ada pertanyaan apakah
pedoman perkreditan atau kebijakan perkreditan atau
pembiayaan yang dibuat oleh Bank masuk dalam
lingkup peraturan perundang-undangan, sehingga
perjanjian kredit yang bertentangan dengan kebijakan
perkreditan atau pembiayaan bank dapat
diklasifikasikan sebagai perbuatan yang bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan? Persoalan-
persoalan hukum di atas tidak dapat dilepaskan dari
pentingnya penafsiran sistematis atau metode
penafsiran lainnya untuk memperoleh pemahaman
peraturan perundang-undangan secara tepat, benar
dan sesuai dengan tujuan dibuatnya undang-undang.
Berdasarkan penafsiran sistematis, Penulis tidak ragu
mengatakan bahwa setiap perjanjian kredit atau
pembiayaan yang dibuat oleh perbankan tidak boleh
bertentangan dengan pedoman standar operasional
atau kebijakan perkreditan atau pembiayaan bank,
karena masuk ke dalam lingkup “seluruh peraturan
perundang-undangan yang berlaku“. Hal ini dapat
disimpulkan dari pasal-pasal dalam UU Perbankan,
khususnya Pasal 8 Ayat (2) , Pasal 29 Ayat (3) dan
Pasal 49 Ayat (2.b) UU Perbankan.10 Berdasarkan ke
3 Pasal di atas, UU Perbankan mengatur pelanggaran
terhadap pedoman standar operasional atau kebijakan
kredit/pembiayaan ini harus ditafsirkan sebagai
pelanggaran prinsip kehati-hatian bank (prudential
banking principle) yang diklasifikasikan sebagai tindak
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
52
7 Kasus transaksi derivatif di pasar uang yang terjadi antara Bank Niagadan Surya Duta Makmur Tbk yang diputus oleh Mahkamah Agung RIberdasarkan Putusan Nomor: 2461 K/Pdt/1999 merupakan contohmispersepsi tentang transaksi derivatif.
8 Lastuti Abubakar & Tri Handayani, Transaksi Lindung Nilai (hedging) DalamPraktik Perbankan dan Implikasinya Terhadap Pembaruan Hukum KontrakNasional, Jurnal Rechtidee, Vol. 11, No. 1, 2016, hlm. 85-101,http://journal.trunojoyo.ac.id/rechtidee/article/view/1964/1957
9 Janet M Tavakoli, Collateralized Debt Obligations & Structured Finance-New Developments in Cash & Synthetic Securitization, Wiley, 2003, hlm.14.
10 Ketentuan yang sama di atur dalam Pasal 34 Ayat (2), Pasal 36 dan Pasal64 Undang- Undang Nomor: 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah(UU Perbankan Syariah).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
pidana perbankan.11 Isu-isu hukum strategis di atas
hanya sebagian kecil dari topik diskusi yang
menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dapat menjadi
bahan masukan dalam pembaruan hukum kontrak
nasional, khususnya untuk menentukan asas-asas
yang akan melandasi hukum kontrak nasional yang
akan dibentuk. Berdasarkan hal tersebut, permasalahan
yang akan dianalisis dalam tulisan ini adalah bagaimana
perkembangan transaksi di sektor jasa keuangan dari
perspektif hukum perjanjian dan kontribusi sektor
jasa keuangan terhadap pembaruan hukum kontrak
nasional.
II. PERKEMBANGAN PERJANJIAN DI SEKTOR JASA
KEUANGAN
A. Dualisme hukum perjanjian di sektor jasa
keuangan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
perkembangan perjanjian di sektor jasa keuangan
bergerak cepat dengan digunakannya prinsip
syariah sebagai alternatif lain yang dapat dipilih
oleh masyarakat ketika bertransaksi dengan
lembaga jasa keuangan. Berlakunya Undang-
undang Nomor: 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syariah (UU Perbankan Syariah) dan peraturan-
peraturan yang dikeluarkan oleh otoritas jasa
keuangan untuk mengatur transaksi berdasarkan
prinsip syariah telah mengubah tatanan hukum
sektor jasa keuangan, yaitu terjadi dualisme sistem
hukum, dimana berlakunya lebih dari satu sistem
hukum yang mengatur hal yang sama. Dualisme
sistem hukum ini memunculkan terminologi seperti
perbankan syariah, pasar modal syariah, asuransi
syariah, dan perusahaan pembiayaan syariah
lainnya dengan menggunakan akad syariah sebagai
dasar hubungan hukumnya. Kegiatan berbasis
prinsip syariah ini juga dilakukan di pasar uang
dalam rangka operasi pasar terbuka syariah yang
dilakukan oleh Bank Indonesia dengan pihak lain12
atau transaksi pinjam meminjam atau pendanaan
dengan menggunakan instrumen pasar uang
berdasarkan prinsip syariah.13
Ada perbedaan yang substansial antara perjanjian
dalam KUHPerdata dan perjanjian (akad)
berdasarkan prinsip syariah. Pertama, eksistensi
prinsip syariah harus difatwakan oleh Dewan
Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (MUI),
yang selanjutnya dituangkan dalam Peraturan OJK
atau Peraturan BI. Sebagian besar dasar hukum
transaksi atau aktivitas berdasarkan prinsip syariah
di sektor jasa keuangan dituangkan dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) atau
Peraturan Bank Indonesia dengan merujuk pada
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI sebagai
sumber hukumnya. Berdasarkan data 2018, DSN-
MUI sudah menerbitkan 121 Fatwa DSN,
diantaranya kurang lebih 29 Fatwa di bidang
Perbankan, 17 di bidang Pasar Modal, 11 Fatwa
di bidang industri keuangan syariah, dan selebihnya
Fatwa di bidang bisnis dan umum.14 Ini berarti,
makin banyak kegiatan di sektor jasa keuangan
yang menggunakan prinsip syariah, dan akan
terus meningkat sejalan dengan inovasi produk
dan layanan perbankan dan lembaga keuangan
syariah. Hal ini sejalan dengan politik hukum
pemerintah, yang memasukkan keuangan syariah
ke dalam arus utama strategi nasional untuk
mencapai tujuan pembangunan.15
53
11 Lihat Lastuti Abubakar & Tri Handayani,” Telaah Yuridis TerhadapImplementasi Prinsip Kehati-hatian Bank Dalam Aktivitas PerbankanIndonesia”, Jurnal De Lega Lata, Vol. 2, No. 1, 2017,http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/delegalata/article/view/1157/pdf_14
12 lihat Peraturan Anggota Gubernur No.19/17/PDAG/2017 Tentang Kriteriadan Persyaratan Surat Berharga, Peserta, dan Lembaga Perantara DalamOperasi Moneter Syariah.
13 Lihat Peraturan Bank Indonesia No. 18/11/PBI/2016 Tentang Pasar Uang.
14 Dewan Syariah Nasional- Majelis Ulama Indonesia,https://dsnmui.or.id/info/,diunduh 14 juni 2018.
15 BAPPENAS, Master Plan Arsitektur Kuangan Syariah Indonesia, Juli 2016,hlm. 3.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Ke dua, akad-akad (perjanjian) ini tidak boleh
bertentangan dengan prinsip syariah16, yaitu tidak
mengandung unsur riba, maisir, gharar, haram
dan zalim. Untuk memastikan kepatuhan pada
prinsip syariah, kewenangannya berada pada MUI,
yang direpresentasikan oleh Dewan Pengawas
Syariah (DPS), yang wajib dibentuk oleh masing-
masing Lembaga Jasa Keuangan. Ketentuan umum
tentang kewajiban adanya DPS bagi perseroan
yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah diatur dalam Pasal 109 Undang-
undang Nomor: 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan
Terbatas (UU PT). Dewan Pengawas Syariah ini
bertugas memerikan nasihat dan saran kepada
Direksi serta mengawasi kegiatan perseroan agar
sesuai dengan prinsip syariah.
Implementasi akad syariah dalam produk dan
layanan jasa di sektor jasa keuangan,
memungkinkan adanya penggunaan ketentuan
perundang-undangan konvensional sebagai
pelengkap, sehingga menimbulkan keraguan
apakah pranata tersebut sudah sesuai dengan
prinsip syariah (sharia compliance). Menurut
pendapat penulis, tidak semua peraturan
perundang-undangan yang mengatur sektor jasa
keuangan konvensional tidak dapat digunakan
untuk aktivitas berbasis prinsip syariah, namun
tetap diperlukan kehati-hatian untuk menghindari
potensi bahwa produk atau layanan tersebut tidak
patuh terhadap prinsip syariah. Oleh karena itu,
dualisme hukum di sektor jasa keuangan ini sudah
seharusnya menjadi salah satu pertimbangan
urgensi pembaruan hukum perjanjian atau hukum
kontrak nasional. Bukan hanya hukum kontrak
nasional, aktivitas berdasarkan prinsip syariah ini
memerlukan landasan hukum yang lebih kokoh
sebagai aturan umum yang akan menjadi payung
hukum bagi pengembangan ekonomi syariah
di Indonesia. Selama ini, sebagai besar aktivitas
di sektor jasa keuangan berbasis prinsip syariah
diatur dalam POJK dan PBI yang mengacu pada
Fatwa DSN-MUI. Saat ini, baru sektor perbankan
syariah yang memiliki undang-undang yang terpisah
dari konvensional. Selebihnya, sektor jasa keuangan
syariah lainnya diatur secara bersama-sama
(berdampingan) dengan konvensional dalam satu
undang-undang. Menurut pendapat penulis, tidak
ada yang salah dengan model regulasi menggunakan
POJK atau PBI sebagai dasar hukum, yang menjadi
masalah apabila dalam pelaksanaannya dipaksa
atau terpaksa menggunakan regulasi yang sudah
ada (baca: konvensional) sebagai “cantolan” akibat
ketiadaan undang-undang atau peraturan umum
yang dapat dijadikan dasar hukum. Contoh
sederhana, salah satu produk perbankan syariah
adalah Musyarakah Mutanaqishah (MMQ) sebagai
pembiayaan kepemilikan rumah yang terdiri dari
akad musyarakah/syirkah dan akad jual beli (ba'i).
Musyarakah Mutanaqishah ini mendudukkan para
pihak sebagai mitra (partner), bukan sebagai
kreditur dan debitur.17 Ketika Bank menggunakan
Hak Tanggungan untuk memastikan atau menjamin
bahwa nasabah sebagai mitra akan terus membeli
porsi (hishshah) maka digunakan Hak Tanggungan
sebagai jaminan untuk memberikan perlindungan
hukum bagi bank. Penggunaan Hak Tanggungan
ini ditafsirkan sesuai dengan kebutuhan akad
MMQ nya, sehingga menjadi rancu ketika para
pihak dalam Hak Tanggungan adalah Kreditur dan
Debitur, diterapkan pada para pihak dalam MMQ
yang mendudukkan para pihak sebagai mitra.18
54
17 Lihat Fatwa DSN Nomor: 73/DSN-MUI/XI/2008 Tentang MusyawakahMutanaqishah.
18 Lastuti Abubakar & Tri Handayani, Telaah Yuridis Terhadap pembiayaanPerumahan melalui Akad Musyarakah Mutanaqisah (MMQ) SebagaiAlternatif Pembiayaan Perumahan Dalam Upaya Pengembangan ProdukPerbankan Syariah, Jurnal Hukum Ekonomi Islam, Vol. 1, No. 1, 2017,hlm. 210.
16 Pasal 1 Angka 12 UU Perbankan Syariah mengatur bahwa Prinsip Syariahadalah “prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkanFatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalampenetapan fatwa di bidang syariah.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Banyak contoh lain, yang dalam praktik memerlukan
penafsiran dan kebijakan untuk menghasilkan
tujuan yang baik. Melihat pada permasalahan
yang timbul dalam praktik, akan lebih baik kalau
regulasi atau hukum yang dibuat lebih memberikan
kepastian dan perlindungan hukum bagi
masyarakat, dan pada akhirnya akan menciptakan
keadilan bagi para pihak. Oleh karena itu, dualisme
sistem hukum di sektor jasa keuangan ini seharusnya
masuk ke dalam agenda pembaruan hukum
perdata nasional, atau khususnya ke dalam hukum
benda dan hukum perikatan nasional. Sejatinya,
sistem hukum Islam (prinsip syariah) ini memang
sejak lama diakui sebagai salah satu sumber dalam
pembentukan hukum nasional, termasuk hukum
perjanjian.19 Oleh karena itu, bukan hal yang sulit
untuk menggagas hukum kontrak syariah, hukum
benda syariah atau bahkan hukum perdata syariah
sebagai payung hukum untuk seluruh aktivitas
berdasarkan prinsip syariah. Atau bukan tidak
mungkin menggagas Undang-undang Jasa
Keuangan Syariah sebagai kebutuhan jangka
pendek.20 Gagasan pembentukan undang-undang
di bidang keuangan syariah yang bersifat parsial
ini tidak dapat dihindari mengingat perkembangan
bisnis dan sektor jasa keuangan syariah yang cepat.
Selain itu, kodifikasi parsial sudah menjadi politik
hukum perundang-undangan dalam pembaruan
hukum nasional selama ini.
B. Perjanjian-Perjanjian yang Berkembang
di sektor jasa keuangan
Selain dualisme hukum, sektor jasa keuangan
banyak mengembangkan jenis-jenis perjanjian
tidak bernama (onbenoemde overeenskomsten).
Sebagian besar perjanjian tersebut diadopsi atau
diadaptasi dari jenis-jenis perjanjian yang digunakan
dalam aktivitas keuangan global. Asas kebebasan
berkontrak dan sistem terbuka dalam sistem
hukum perjanjian tidak serta merta membuat
perjanjian-perjanjian tidak bernama ini lancar dalam
implementasinya. Kendala yuridis muncul ketika
perjanjian-perjanjian yang di adopsi atau di adaptasi
ini memuat unsur yang tidak dikenal dalam sistem
hukum perjanjian atau hukum benda dalam
KUHPerdata, sehingga membutuhkan pendefinisian
dan pengaturan kembali serta penyesuaian dengan
sistem hukum perjanjian di Indonesia.
Sebagian besar perjanjian yang berkembang
di sektor jasa keuangan tersebut diatur dalam
peraturan yang tersebar, mulai dari Undang-undang,
Peraturan Pemerintah, Peraturan OJK dan Peraturan
BI. Berikut beberapa jenis perjanjian tidak bernama
yang digunakan dalam praktik jasa keuangan.
Tabel 2.2. Beberapa Perjanjian yang Berkembang
di Sektor Jasa Keuangan
55
19 Sunaryati Hartono, 1991, Politik Hukum Menuju Satu Sistem HukumNasional, Alumni, Bandung, hlm. 57-63.
20 Bandingkan dengan Islamic Financial Services Act 2013 (IFSA 2013)Malaysia yang menandai pembaruan hukum di sektor jasa keuanganMalaysia.
No.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal
dan POJK.
Jenis perjanjian Dasar Pengaturan
1. Perjanjian Perwaliamanatan
Kontrak Investasi Kolektif
Perjanjian Kepialangan/keperantaraan
Transaksi Derivatif ( Kontrak Opsi Saham,
Kontrak Berjangka Indeks Efek)
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Perjanjian-perjanjian di atas digunakan antara lain
karena tuntutan untuk memenuhi standar
internasional dan perkembangan transaksi di sektor
jasa keuangan yang juga dikenal di negara-negara
lain, khususnya negara dengan sistem common
law. Sebagai bagian dari organisasi internasional,
Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia tentu
berkomitmen mematuhi standar atau pedoman
yang disepakati bersama. Dalam praktik, ada
kebijakan atau standar dan pedoman yang dapat
langsung diterapkan dan diberlakukan melalui
POJK dan PBI (proses adopsi), namun ada kalanya
memerlukan penyesuaian dengan kondisi Indonesia
(proses adaptasi). Penulis sependapat dengan
Mochtar Kusumaatmadja, bahwa untuk bidang-
bidang yang netral, termasuk sektor jasa keuangan,
proses adopsi dan adaptasi ini dapat dilakukan.21
Dengan demikian, sektor jasa keuangan dapat
dengan cepat mengikuti perkembangan keuangan
regional dan global. Sebagai ilustrasi, Pasar modal
Indonesia telah mengembangkan pasar derivatif
sejak tahun 2000, ketika Bursa Efek Surabaya
(BES) mengembangkan instrumen baru yaitu
Kontrak Berjangka Indeks Efek (KBIE) yang dikenal
dengan LQ45 Futures. Selanjutnya, diikuti dengan
Kontrak Opsi Saham di Bursa Efek Jakarta pada
tahun 2004. Regulasi dan pengembangan pasar
derivatif di pasar modal merupakan upaya untuk
menciptakan pasar modal yang berstandar
internasional sesuai dengan rekomendasi IOSCO.
Regulasi pasar sekuritas dan derivatif diperlukan
sebagai salah satu dari upaya untuk mencapai 3
tujuan utama IOSCO, yaitu perlindungan investor;
memastikan bahwa pasar berlangsung wajar, efisien,
dan transparan; dan mengurangi risiko sistemik.
Regulasi yang tidak tepat atau tidak kuat akan
membebani pasar sehingga akan menghambat
pertumbuhan dan perkembangan pasar.22
56
21 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan,Alumni, Bandung, 2002, hlm. 24.
No.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,
POJK, PBI.
Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2009 Tentang Lembaga
Pembiayaan, dan POJK.
PBI No. 20/6/PBI/2018 Tentang Uang Elektronik
PBI No. 19/9/PBI/2017 Tentang Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial di Pasar Uang.
KUHPerdata dan UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
Jenis perjanjian Dasar Pengaturan
2.
3.
4.
5.
Transaksi Lindung Nilai
Perjanjian Trust (Kegiatan Penitipan dengan
Pengelolaan)
Perjanjian Perwaliamanatan
Perjanjian Keagenan
Perjanjian Anjak Piutang (Factoring)
Perjanjian Leasing
Perjanjian Anjak Piutang (Factoring)
Perjanjian Modal Ventura
Perjanjian Kerjasama Terkait Uang Elektronik
Perjanjian dalam Penerbitan dan Transaksi
Surat Berharga Komersial
Transaksi berbasis elektronik
Sumber: diolah oleh Penulis
22 International Organization of Securities Commissions, Methodology forAssessing Implementation of The IOSCO Objectives and Principles ofSecurities Regulation, OICV-IOSCO, May, 2017.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Penggunaan jenis perjanjian tidak bernama lainnya
adalah perjanjian tentang kegiatan penitipan
dengan pengelolaan (trust) yang digagas oleh
Bank Indonesia pada tahun 2012 dan dituangkan
dalam PBI No. 14/17/PBI/2012 Tentang Kegiatan
Usaha Bank Berupa Penitipan dengan Pengelolaan
(Trust).23 Perjanjian trust ini merupakan upaya di
bidang hukum perbankan untuk memanfaatkan
peluang dalam pengelolaan aset keuangan yang
selama ini dilakukan oleh trust bank atau trust
company di luar negeri untuk dapat dikelola dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi pembangunan
ekonomi nasional. Penulis berpendapat bahwa
perkembangan perjanjian di sektor jasa keuangan
ini perlu direspon positif, dengan menyiapkan
regulasi yang tepat. Gagasan pembaruan hukum
perjanjian atau hukum kontrak nasional
merupakan upaya memberikan landasan hukum
bagi pengembangan perjanjian dalam berbagai
aktivitas, termasuk sektor jasa keuangan.
III. BEBERAPA ISU HUKUM DALAM TRANSAKSI
DI SEKTOR KEUANGAN
Selain perkembangan jenis atau nama perjanjian di
sektor jasa keuangan, isu hukum lain dalam transaksi
di sektor jasa keuangan adalah penggunaan kontrak
standar dan perkembangan bentuk perjanjian, yaitu
perjanjian berbentuk elektronis, disamping perjanjian
tertulis dan perjanjian lisan. Penggunaan bentuk
perjanjian elektronis ini mendominasi perjanjian-
perjanjian dalam tranksasi sektor jasa keuangan.
A. Penggunaan perjanjian baku (kontrak standar)
dalam transaksi sektor jasa keuangan.
Penggunaan perjanjian baku (kontrak standar)
sudah lazim digunakan oleh lembaga jasa
keuangan. Perbankan, perusahaan pembiayaan
seperti sewa guna usaha (leasing), anjak piutang
(factoring), dan perusahaan modal ventura
menggunakan perjanjian baku sebagai dasar
hubungan hukumnya dengan nasabah. Berbeda
dengan bentuk perjanjian tertulis pada umumnya,
perjanjian baku memuat klausul yang telah terlebih
dahulu ditentukan oleh salah satu pihak, dalam
hal ini lembaga jasa keuangan, sehingga nasabah
tidak mempunyai kesempatan untuk
menegosiasikan klausul-klausul dalam perjanjian.
Nasabah dihadapkan pada pilihan apakah akan
menerima atau tidak menerima perjanjian tersebut,
atau dikenal dengan prinsip take it or leave it. Ciri
dari perjanjian baku ini, antara lain: a) isi ditetapkan
secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya)
kuat; b) masyarakat (debitur) sama sekali tidak
ikut bersama sama menentukan isi perjanjian;
c) terdorong oleh kebutuhannya, debitur terpaksa
menerima perjanjian tersebut; d) bentuknya tertulis;
e) dipersiapkan secara massal dan kolektif.24
Di sektor jasa keuangan, perjanjian baku ini dapat
dilihat dalam perjanjian kredit perbankan, polis
asuransi, perjanjian leasing, dan perjanjian modal
ventura.
Isu hukum pertama dalam penggunaan perjanjian
baku adalah keragu-raguan apakah unsur
kesepakatan sebagai salah satu syarat sah perjanjian
tidak cidera karena dianggap tidak memberikan
kebebasan bagi nasabah debitur? Untuk menjawab
keragu-raguan tersebut mari dikaji kembali latar
belakang mengapa perjanjian baku ini lazim
digunakan dalam transaksi bisnis? Melihat
perjalanan sejarahnya, semula perjanjian di bidang
bisnis semata-mata bertumpu pada asas kebebasan
berkontrak, dan digunakan oleh pelaku usaha
untuk meminimalkan risiko dan membebankan
tanggung jawab pada pihak yang lemah, dengan
57
23 PBI No. 14/17/PBI/2012 Tentang Kegiatan Usaha Bank Berupa Penitipandengan Pengelolaan (Trust) ini dicabut dan dinyatakan tidak berlakuoleh POJK No. 27/POJ.03/2015 Tentang Kegiatan Usaha Bank BerupaPenitipan dengan Pengelolaan (Trust), yang selanjutnya diubah denganPOJK No. 25/POJK.03/2016.
24 Mariam Darus dalam Abdul Munthe, Penggunaan Perjanjian Baku DalamTransaksi Bisnis Menurut Hukum Islam, Jurnal Ahkam, Vol. XV, No. 2,Juli 2015, hlm. 218.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
mengabaikan keadilan. Baru pada abad ke 20,
muncul ajaran hukum fungsional yang melahirkan
paham negara kesejahteraan. Dengan dukungan
teknologi, perkembangan ekonomi menuju
produksi masal, yang akhirnya menimbulkan
perkembangan baru dengan digunakannya
kontrak standar (standard contract atau contract
d'adhesion). Dengan demikian, pranata hukum
kontrak tidak lagi sepenuhnya tunduk pada asas
kebebasan berkontrak dalam hukum perdata,
tetapi sudah banyak dimasuki dan diterobos oleh
unsur kepentingan umum dan hukum administrasi
negara. Itu sebabnya hukum kontrak di bidang
bisnis lebih tepat dikatakan merupakan bagian
hukum ekonomi (droit de l'economie) daripada
hukum perdata.25 Akan sangat tidak efisien bagi
lembaga jasa keuangan seperti perbankan,
perusahaan asuransi, atau perusahaan leasing jika
harus membuat dan menegosiasikan setiap kontrak
dengan nasabah.
Namun demikian, perjanjian baku tetaplah
perjanjian, sehingga berlaku seluruh ketentuan
umum dalam Buku III KUHPerdata, termasuk harus
memenuhi asas- asas hukum dalam hukum
perjanjian. Pertama, semua perjanjian, baik
bernama maupun tidak bernama, apa pun
bentuknya, harus dilaksanakan dengan itikad
baik.26 Itikad baik ini harus dimaknai bahwa
perjanjian harus dilaksanakan secara rasional dan
patut/pantas (rational en bilijk) yang hidup di dalam
masyarakat. Selain itu, itikad baik harus diartikan
secara subjektif, yaitu kejujuran (subjectieve goede
trouw).27 Dengan demikian, itikad baik harus
melekat pada para pihak ketika akan, sedang
melaksanakan maupun mengakhiri perjanjian.
Selain itikad baik, penulis melihat setidaknya ada
2 asas perjanjian yang relevan dan lebih menonjol
dibandingkan dengan asas lainnya dalam
penggunaan perjanjian baku, yaitu asas
keseimbangan dan asas kepatutan.
Asas keseimbangan menghendaki ke dua belah
pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian
itu. Kreditur (lembaga jasa keuangan) mempunyai
kekuatan untuk menuntut prestasi dari debitur
dan jika diperlukan dapat menuntut pemenuhan
prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur
berkewajiban untuk melaksanakan perjanjian
dengan itikad baik, dengan demikian kedudukan
kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya
untuk melaksanakan itikad baik, sehingga
kedudukan kreditur dan debitur seimbang.28
Asas keseimbangan harus diartikan bahwa tujuan
membuat perjanjian adalah untuk memberikan
keadilan bagi ke dua belah pihak, sehingga sudah
seharusnya perjanjian baku tidak digunakan untuk
menguntungkan salah satu pihak.
Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan
mengenai isi perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman
berpendapat bahwa asas ini harus dipertahankan
karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan
ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam
masyarakat.29 Penulis berpendapat, dengan
menggunakan metode penafsiran hukum yang
tepat terhadap aturan, asas dan prinsip-prinsip
yang terkandung dalam ketentuan perundang-
undangan, penggunaan perjanjian baku di sektor
jasa keuangan merupakan hal yang lazim dan
dapat diterima. Namun demikian, untuk
memberikan perlindungan dan kepastian hukum
yang optimal, khususnya kepada masyarakat
terhadap penyalahgunaan perjanjian baku, ada
baiknya perjanjian baku ini ditegaskan dengan
58
25 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,Alumni, 1991, hlm. 120.
26 Pasal 1338 Ayat (3) KUHPerdata mengatur bahwa “Perjanjian-perjanjianharus dilaksanakan dengan itikad baik”.
27 Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH PerdataYurisprudensi, Doktrin serta Penjelasan, Citra Aditya Bakti, 2015, hlm.123.
28 Ibid, hlm. 90.
29 Ibid, hlm. 91.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
memberi rambu-rambu penggunaannya dalam
pembaruan hukum kontrak nasional. Untuk itu,
dapat dilihat pengaturan perjanjian baku dalam
Nieuw Burgerlijk Wetboek (NBW) Belanda sebagai
perbandingan, mengingat sebelumnya Indonesia
memberlakukan BW Belanda berdasarkan asas
konkordansi. Beberapa ketentuan dalam NBW
yang mengatur perjanjian baku dengan ketentuan
sebagai berikut:30
1) Bidang-bidang usaha yang dapat menggunakan
perjanjian baku ditentukan dengan peraturan;
2) Perjanjian baku dapat ditetapkan, diubah, dan
dicabut, jika disetujui oleh Menteri kehakiman
melalui panitia yang ditentukan untuk itu.
Cara menyusun dan cara kerja panitia diatur
dengan undang-undang;
3) Penetapan, perubahan dan pencabutan
perjanjian baku hanya mempunyai kekuatan,
setelah ada persetujuan raja, dan keputusan
raja mengenai itu, diletakkan dalam berita
negara;
4) Perjanjian baku dapat dibatalkan, jika pihak
kreditur mengetahui atau seharusnya
mengetahui pihak debitur tidak akan menerima
perjanjian baku jika ia mengetahui isinya.
Di sektor jasa keuangan, itikad baik dari lembaga
jasa keuangan dalam penggunaan perjanjian baku
ini tidak perlu diragukan, mengingat seluruh
lembaga jasa keuangan wajib menerapkan
prudential principle dalam setiap aktivitasnya,
yang berarti wajib mematuhi seluruh ketentuan
perundang-undangan termasuk KUHPerdata,
yang pelaksanaannya diawasi oleh otoritas jasa
keuangan. Selain itu, untuk menghindari
penyalahgunaan perjanjian baku di sektor jasa
keuangan, POJK No. 1/POJK.07/2013 Tentang
Perlindungan Konsumen Jasa Keuangan, mengatur
tentang upaya perlindungan konsumen dan/atau
masyarakat yang bertujuan untuk: 1) meningkatkan
kepercayaan investor dan konsumen dalam setiap
aktivitas dan kegiatan usaha di sektor jasa keuangan
(market confidence), 2) memberikan peluang dan
kesempatan bagi Pelaku Usaha Jasa Keuangan
secara adil, efisien, dan transparan dan di sisi lain,
Konsumen memiliki pemahaman hak dan kewajiban
dalam berhubungan dengan pelaku Usaha Jasa
Keuangan mengenai karakteristik, layanan, dan
produk (level playing field). Selain itu, Pasal 8 PBI
No.16/1/PBI/2014 Tentang Perlindungan Konsumen
Jasa Sistem Pembayaran melarang Penyelenggara
Jasa Sistem Pembayaran membuat atau
mencantumkan klausula baku pada perjanjian
atau dokumen yang sifatnya:
a. Menyatakan pelepasan/pengalihan tanggung
jawab Penyelenggara kepada Konsumen;
b. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya
pemanfaatan jasa Sistem Pembayaran yang
digunakan oleh Konsumen;
c. Memberi hak kepada Penyelenggara untuk
mengurangi manfaat jasa Sistem Pembayaran
yang digunakan atau mengurangi harta
kekayaan Konsumen yang menjadi objek jual
beli menggunakan jasa Sistem Pembayaran;
dan/atau
d. Menyatakan tunduknya Konsumen kepada
peraturan Penyelenggara yang berupa aturan
baru, aturan tambahan, aturan lanjutan
dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat
secara sepihak oleh Penyelenggara dalam
masa Konsumen memanfaatkan jasa Sistem
Pembayaran dari Penyelenggara.
Selain larangan klausula baku, Pasal 8 Ayat (2)
PBI ini juga melarang pencantuman klausula baku
yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau
tidak dapat dibaca secara jelas atau yang
pengungkapannya sulit dimengerti oleh
Konsumen.
59
30 Wahyu Sasongko dalam Ahmad Jahri, Perlidungan Nasabah Debiturterhadap Perjanjian Baku Yang Mengandung Klausula Eksonerasi PadaBank Umum di Bandar Lampung, Jurnal Fiat Justisia, Vol. 10, No. 1,January - March 2016, hlm. 140-141,http://jurnal.fh.unila.ac.id/index.php/fiat/article/view/651/629
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
B. Bentuk elektronis dalam transaksi di sektor
jasa keuangan.
Selain penggunaan perjanjian baku atau kontrak
standar, sektor jasa keuangan menjadi pelopor
dalam penggunaan bentuk perjanjian elektronis.
Sistem perdagangan tanpa warkat telah menjadi
hal yang umum di dunia perdagangan internasional
yang telah memasuki era e-commerce sebagai
strategi bisnis dengan menggunakan teknologi
seperti internet atau sarana lain, baik untuk
melayani konsumen, antar sesama pebisnis maupun
intern bisnis tertentu. E-commerce ini menyentuh
hampir semua sektor bisnis termasuk perbankan
dan pasar modal.31
Perkembangan transaksi berbasis elektronik sudah
menjadi kebutuhan bagi sektor jasa keuangan
untuk memenuhi standar internasional. Pasar modal
misalnya, menerapkan sistem perdagangan tanpa
warkat (scripless trading system) pada semester
ke 2 tahun 2000, setelah sebelumnya telah
menggunakan Jakarta Automated Trading System
(JATS) yang juga berbasis teknologi informasi dan
merupakan teknologi dasar dalam perdagangan
tanpa warkat. Perbedaannya, pada JATS, fisik efek
masih dicetak dan disimpan, sedangkan dalam
sistem perdagangan tanpa warkat, tidak ada lagi
fisik efek. Seluruh efek yang diperdagangkan di
Bursa Efek dikonversi menjadi bentuk elektronik
(data elektronik).
Sistem perdagangan tanpa warkat ini merupakan
standar yang telah ditetapkan oleh International
Organization of Securities Commissions (IOSCO)
untuk menciptakan perdagangan yang wajar,
teratur, dan efisien, yang telah diakomodasikan
dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor: 8 Tahun
1995 Tentang Pasar Modal (UU PM) bahwa
“Bursa Efek didirikan dengan dengan tujuan
menyelenggarakan pasar modal yang teratur,
wajar dan efisien”.32 Mekanisme perdagangan
tanpa warkat dilakukan dengan penyelesaian
pemindahbukuan (book-entry settlement), sehingga
tidak ada lagi fisik efek dan uang yang beralih.
Penyelesaian transaksi melalui pemindahbukuan
ini sudah diamanatkan dalam Pasal 55 UU PM
bahwa “Penyelesaian Transaksi Bursa dapat
dilaksanakan dengan penyelesaian pembukuan,
penyelesaian fisik, atau cara lain yang ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah. Selanjutnya
penjelasan Pasal 55 mengatur bahwa yang
dimaksud dengan “penyelesaian pembukuan
(book-entry settlement) dalam ayat ini adalah
pemenuhan hak dan kewajiban yang timbul akibat
adanya Transaksi Bursa yang dilaksanakan dengan
cara mengurangi efek dari rekening efek yang
satu dan menambahkan efek dimaksud pada
rekening efek yang lain pada Kustodian, yang
dalam hal ini dapat dilakukan secara elektronik”.
Dengan demikian, eksistensi sistem perdagangan
tanpa warkat sudah memiliki landasan hukum
yang kokoh dalam UU PM.
Peralihan kepemilikan dilakukan dengan mendebit
atau mengkreditkan efek atau dana nasabah.
Manfaat sistem perdagangan tanpa warkat ini
antara lain:33
a. Tidak membutuhkan proses registrasi karena
pemindahan hak dilakukan dengan pemindah-
bukuan (book-entry settlement);
b. Tidak memerlukan pencetakan efek dan
materai;
c. Mengurangi risiko kerugian (akibat efek hilang,
rusak atau palsu);
60
31 Goldberg, Beverly, Sifonis, John G dalam Lastuti Abubakar, Transaksiderivatif-Tinjauan Hukum Tentang Perdagangan Derivatif di Bursa Efek,Books terrace & Library, Bandung, 2009, hlm. 247.
32 Penjelasan Pasal 7 UU PM memaknai perdagangan efek secara teratur,wajar dan efisien adalah suatu perdagangan yang diselenggarakanberdasarkan suatu aturan yang jelas dan dilaksanakan secara konsisten.Dengan demikian, harga yang terjadi mencerminkan mekanisme pasarberdasarkan kekuatan permintaan dan penawaran. Perdagangan efekyang efisien tercermin dalam penyelesaian transaksi yang cepat denganbiaya yang murah.
33 Lastuti Abubakar, Loc.Cit, hlm. 238.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
d. Tidak memerlukan ruang penyimpanan (vault)
untuk menyimpan efek baik di kantor investor,
Bank Kustodian atau Anggota Bursa;
e. Proses penyelesaian transaksi yang sederhana
dan cepat sehingga memungkinkan
penyelesaian transaksi dalam volume besar
secara tepat waktu.
f. Informasi status penyelesaian lebih lengkap,
tepat dan akurat.
Mekanisme scripless trading tidak hanya terkait
dengan transaksi di Bursa, tetapi juga berkaitan
dengan proses kliring dan penjaminan oleh PT
KPEI; dan penyimpanan dan penyelesaian oleh PT
KSEI. Beberapa aspek hukum perjanjian dalam
scripless trading ini antara lain mengenai mekanisme
terjadinya kesepakatan para pihak, penentuan
peralihan kepemilikan atas efek yang ditransaksikan,
bahkan meluas hingga persoalan penjaminan yang
tepat bagi efek yang diperdagangkan melalui
scripless trading system atau saham tanpa warkat.34
Peraturan Perdagangan di Bursa Efek sudah
mengatur secara baik terkait permasalahan aspek
hukum, dan penulis berpendapat tidak ada yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum
perjanjian, hukum kebendaan, dan hukum jaminan
selama penafsiran terhadap peraturan perundang-
undangan dilakukan secara tepat. Kesepakatan
dalam scripless trading system misalnya, terjadi
saat JATS memperjumpakan penawaran jual
dengan penawaran beli secara keseluruhan atau
sebagian berdasarkan price dan time priority.
Selanjutnya transaksi bursa terjadi dan mengikat
pada saat penawaran jual telah dijumpakan
dengan penawaran beli oleh JATS (matched).
Dapat disimpulkan bahwa perjanjian dalam scripless
trading system lahir saat penawaran jual dan
penawaran beli dijumpakan oleh JATS (matched).35
Selanjutnya, peralihan kepemilikan atas objek
transaksi di pasar reguler di Bursa terjadi pada
saat penyelesaian transaksi, yaitu pada hari Bursa
ke-3 setelah terjadi Transaksi Bursa (T+3) melalui
mekanisme pemindahbukuan. Keseluruhan efek
yang diperdagangkan di Bursa selanjutnya disimpan
di PT Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) dalam
bentuk elektronik. Sebelum diberlakukannya
Undang-Undang Nomor: 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE), pasar modal terlebih dahulu mengakui
dokumen elektronik sebagai dokumen hukum dan
alat bukti transaksi di pasar modal. Setelah berlaku
UU ITE, maka pengakuan dokumen elektronik
sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) UU
ITE, yang mengatur bahwa “Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Selanjutnya, pada tahun 2011 pasar modal juga
memperkenalkan shariah online trading system
(SOTS) yaitu sistem perdagangan syariah secara
online yang memenuhi prinsip-prinsip syariah
di pasar modal. Mekanisme SOTS mirip dengan
scripless trading system, yang berbeda adalah
prinsip syariah yang menjadi dasar transaksi.
Shariah Online trading System ini di sertifikasi oleh
DSN-MUI karena merupakan penjabaran dari
Fatwa DSN-MUI No. 80 Tahun 2008 Tentang
Penerapan Prinsip Syariah Dalam Mekanisme
Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas di Pasar Reguler
Bursa Efek. Prinsip syariah dalam SOTS ini tercermin
dalam fitur utama SOTS, yaitu:36
61
34 Perihal Penjaminan Saham Tanpa Warkat ini, Lihat Lastuti Abubakar,Telaah Yuridis Perkembangan Lembaga dan Objek Jaminan (Gagasanpembaruan Hukum Jaminan Nasional), Buletin Hukum Kebansentralan,Vol. 12, No. 1, Januari-Juni 2015, hlm. 1-16.https://www.bi.go.id/id/publikasi/lain/hukum-kebanksentralan/Pages/bhpk_12010106.aspx
35 Lihat Peraturan No.II-A Tentang Perdagangan Efek Bersifat Ekuitas, sebagailampiran Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia No. Kep-00399/BEI/11-2012 yang telah diubah dengan Keputusan Direksi PT Bursa Efek IndonesiaNo. Kep-00071/BEI/11-2013 yang berlaku tanggal 6 Januari 2014.
36 Bursa Efek Indonesia, Transaksi Sesuai Syariah-Shariah Online TradingSystem (SOTS), Senin, 11 Juni 2018, http://www.idx.co.id/idx-syariah/transaksi-sesuai-syariah/
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
a. Hanya saham syariah yang dapat ditransaksikan;
b. Transaksi beli saham syariah hanya dapat
dilakukan secara tunai (cash basis transaction)
sehingga tidak boleh ada transaksi margin
(margin trading);
c. Tidak dapat melakukan transaksi jual saham
syariah yang belum dimiliki (short selling);
d. Laporan kepemilikan saham syariah dipisah
dengan kepemilikan uang sehingga saham
syariah yang dimilik tidak dihitung sebagai
modal (uang).
Mengacu pada fitur SOTS di atas, maka tampak
perbedaan prinsip yang mendasari antara SOTS
dengan scripless trading system. Pertama, SOTS
tidak memperkenankan adanya transaksi marjin.
Sebagaimana diketahui, transaksi marjin adalah
transaksi pembelian efek untuk kepentingan
nasabah yang dibiayai oleh perusahaan efek.37
Transaksi marjin ini merupakan jasa yang diberikan
perusahaan efek kepada nasabahnya berupa
fasilitas pinjaman dana, sehingga nasabah hanya
perlu membayar sejumlah persentase tertentu dari
efek yang dibeli. Untuk itu nasabah diwajibkan
membayar bunga kepada perusahaan efek atas
dana pinjaman tersebut. Jelaslah bahwa transaksi
marjin bertentangan dengan larangan riba. Ke dua,
SOTS juga melarang transaksi short selling, yaitu
transaksi penjualan efek dimana efek dimaksud
tidak dimiliki oleh penjual pada saat transaksi
dilaksanakan. Berdasarkan Fatwa DSN No. 80/DSN-
MUI/III/2011 Tentang penerapan prinsip Syariah
Dalam mekanisme Perdagangan Efek Bersifat
Ekuitas di Pasar Reguler Bursa Efek, Short selling
atau ba'i al ma'dum termasuk tindakan yang
bertentangan dengan prinsip syariah.
Sama halnya dengan pasar modal, perbankan
menyediakan layanan perbankan yang
mengedepankan sistem elektronik yang biasa
disebut dengan e-banking atau digital banking
melalui produk-produk seperti sms banking,
internet banking, phone banking, dan mobile
banking. Demikian juga halnya, dengan laku pandai
(branchless banking) yang mulai beroperasi tahun
2015, yang targetnya adalah perluasan akses dalam
layanan keuangan mengingat masih rendahnya
akses masyarakat pada terhadap layanan jasa
keuangan formal.38
Terkait penggunaan teknologi informasi, berkaitan
dengan tugas mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, Bank Indonesia juga telah
memperkenalkan kepada stakeholder yakni
perbankan nasional apa yang disebut dengan real
time gross settlement (RTGS). BI-RTGS adalah proses
penyelesaian akhir transaksi pembayaran yang
dilakukan per transaksi (individually processed/gross
settlement) dan bersifat real time (electronically
processed). Melalui mekanisme BI-RTGS ini, rekening
peserta dapat didebit dan dikredit berkali-kali sesuai
dengan perintah pembayaran dan penerimaan
pembayaran. Selain untuk menyediakan sarana
transfer dana antar peserta yang lebih cepat,
efisien, andal dan aman, BI-RTGS bertujuan untuk
memberikan kepastian settlement dapat diperoleh
dengan lebih segera (irrevocable dan unconditional);
menyediakan informasi rekening peserta secara
real time dan menyeluruh; meningkatkan disiplin
dan profesionalisme peserta dalam mengelola
likuiditasnya; serta mengurangi risiko-risiko
settlement.39 Perkembangan sistem pembayaran
tidak dapat dilepaskan dari kesiapan infrastruktur,
terutama di era integrasi ekonomi baik regional
maupun global.
Regulasi terbaru di pasar modal terkait transaksi
berbentuk elektronis ini adalah diterbitkannya
62
37 Lihat Pasal I.10 Lampiran Keputusan Direksi Bursa Efek Indonesia No.Kep.00009/BEI.01/2009, diubah dengan Keputusan Direksi Bursa EfekNo.Kep.00023/BEI.02/2017. Peraturan Nomor II-H Tentang Persyaratandan Perdagangan Efek Dalam Transaksi Marjin dan Transaksi Short Selling.
1 Tim Analis pada Divisi Pengembangan Hukum dan Pengelolaan Informasi Hukum - Departemen Hukum Bank Indonesia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi dan model bisnis akhir-
akhir ini telah menghasilkan banyak produk inovatif
dalam sektor pembayaran. Inovasi tersebut dapat
dikelompokkan dalam 4 (empat) kategori yaitu:
(i) wrappers; (ii) mobile money; (iii) credit and local
currency; (iv) digital currency. Inovasi-inovasi
tersebut mendorong terjadinya perubahan besar
dalam lingkungan pembayaran retail, termasuk
semakin berkurangnya penggunaan uang tunai.
Guna dapat menjalankan tugas dalam situasi
lingkungan yang berubah tersebut, bank sentral
perlu memonitor perkembangan terbaru dan
mempelajari implikasinya.2 Dari empat kategori
inovasi tersebut, salah satu yang menarik perhatian
publik akhir-akhir ini adalah digital currency.
Di antara jenis digital currency yang beredar di
masyarkat yang banyak menarik perhatian publik
adalah Bitcoin, Litecoin dan Riple.
Perbedaan utama antara digital currency dengan
mata uang lokal adalah bahwa nilai tukar antara
digital currency dengan mata uang lainnya tidak
tetap. Digital currency saat ini tidak diterima secara
luas sebagai alat tukar. Popularitasnya sebagian
besar timbul dari kegunaannya sebagai suatu aset
(as an asset class). Dengan demikian, keberadaannya
lebih memiliki kesamaan dengan komoditas seperti
emas, dibanding dengan uang.
Generasi uang elektronik terbaru yang sering
disebut digital currency atau virtual currency
memunculkan concern bagi bank sentral, sistem
keuangan dan ekonomi. Contohnya, digital
currencies private, jika diterima secara luas dalam
proses pembayaran, dapat secara substansial
mengurangi permintaan terhadap uang kertas
dan bahkan account deposits pada bank-bank.
Oleh karena itu, menjadi penting bagi bank setral
untuk mencermati akibat dari perkembangan ini
antara lain pada: (i) penghasilan bank (seigniorage)
dan operasi kebijakan moneter; (ii) keamanan dan
efisiensi sistem pembayaran; (iii) kebijakan untuk
stabilitas keuangan. Yang tidak kalah penting, BI
sebagai bank sentral perlu menilai perannya dalam
menyikapi perkembangan ini, termasuk apakah
akan mengatur digital currency atau
mengembangkan digital currency-nya sendiri.3
B. Permasalahan
Saat ini sejumlah bank sentral sedang mengeksplor
kemungkinan penerbitan Central Bank Digital
Currency (CBDC) dengan menggunakan
distributed ledger technology (DLT) yang telah
dimanfaatkan oleh beberapa pihak dalam
menerbitkan dan operasi digital currency. Bank
Indonesia sebagai bank sentral di Indonesia juga
berkepentingan untuk mengkaji apakah penerbitan
dan implementasi CBDC berdasarkan undang-
undang yang berlaku memenuhi syarat untuk
melengkapi macam mata uang Rupiah yang telah
ada dan berlaku di Indonesia yaitu uang Rupiah
kertas dan uang Rupiah logam.
Pokok pertanyaan yang melandasi penulisan artikel
ini adalah jika Bank Indonesia akan menerbitkan
atau mengimplementasikan CBDC, apakah
kerangka hukum yang berlaku saat ini di Indonesia
dapat melegitimasi penerbitan dan implementasi
CBDC di Indonesia? Hal yang dikritisi dalam artikel
ini terutama menyangkut apakah CBDC secara
yuridis dapat dianggap sebagai mata uang sebagai-
mana dimaksud dalam UU Mata Uang dan apakah
ketentuan dalam UU Bank Indonesia dan UU Mata
Uang dapat dianggap sebagai dasar penerbitan
dan pengelolaan CBDC ?
70
2 Ben S. C. Fung and Hanna Halaburda, Central Bank Digital Currencies:A Framework for Assessing Why and How, Staff Discussion Paper/Documend'analyse du personnel 2016-22, Bank Canada, November 2016, hal.1. 3 Ibid.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Di samping mencermati ketentuan dalam UU Bank
Indonesia dan UU Mata Uang, model penerbitan
CBDC juga menjadi obyek pembahasan. Selain
itu, dalam artikel ini juga dibahas kemungkinan
penerbitan penyediaan sistem pembayaran dengan
CBDC dikaitkan dengan ketentuan anti monopoli
dan persaingan usaha, ketentuan perlindungan
konsumen dan ketentuan perpajakan. Hal lainnya
yang diungkap dalam artikel ini adalah apabila
Bank Indonesia melakukan penerbitan CBDC dan
menatausahakan data pemegang rekening CBDC
di Bank Indonesia apakah ketentuan Undang-
Undang No. 8 Tahun 2019 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang (UU PPTPU) berlaku bagi Bank Indonesia ?
II. GAMBARAN UMUM CBDC
A. Pengertian Digital Currency
Uang tradisional yang dinilai dengan mata uang
tertentu, mencakup uang kertas, uang logam dan
berbagai jenis representasi uang elektronik
(e-money), seperti simpanan di bank sentral dan
bank komersial. Meskipun mata uang digital
(digital currency) yang dikeluarkan para
pengembangnya (private digital currency) mungkin
memenuhi konsep umum dari e-money, namun
secara legal private digital currency tidak memenuhi
definisi e-money. Sebagai contoh, untuk dapat
dikategorikan sebagai e-money secara legal nilai
yang disimpan dalam perangkat elektroniknya
dan dapat ditransfer harus memiliki denominasi
mata uang satu negara, sementara sebagian besar
private digital currency tidak didenominasi dalam
mata uang negara, melainkan dalam unit nilai
mereka sendiri.4
Dalam publikasi beberapa lembaga internasional
digital currency atau virtual currency telah
didefinisikan, antara lain sebagai berikut.5
• Menurut European Central Bank (2012): “virtual
currency is a type of unregulated, digital money,
which is issued and usually controlled by its
developers, and used and accepted among
the members of a specific virtual community”.
Dalam perkembangannya European Central
Bank (2015), memberikan pendapat bahwa
“virtual currency can therefore be defined as
a digital representation of value, not issued
by a central bank, credit institution or e-money
institution, which, in some circumstances, can
be used as an alternative to money.”
• The Financial Action Task Force (FATF, 2014)
menulis bahwa “digital currency can mean a
digital representation of either virtual currency
(non-fiat) or e-money (fiat)”.
• CPMI - BIS (2015) menyebutkan karakteristik
digital currency yaitu “typically do have some,
but not all the characteristics of currency, and
have characteristiscs of a commodity or other
asset.” Pada laporan sebelumnya, BIS
menggunakan istilah virtual currency sebagai
“uang” yang digunakan pada komunitas virtual
(BIS, 2014). Dalam artikel berjudul Central
Bank Cryptocurrencies yang dipublikasi BIS
pada bulan September 2017 disebutkan 3
(tiga) karakteristik kunci dari cryptocurrencies
atau digital currencies yaitu: they are electronic,
are not the liability of anyone; and feature
peer-to-peer exchange”. Dari karakteristik dasar
tersebut, karakteristik yang dimiliki uang hanya
karakteristik peer-to-peer exchange.
71
4 Sumber: Farida Peranginangin, dkk., Kajian Awal Central Bank DigitalCurrency dan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia, hal. 15.
5 European Central Bank, Virtual Currency Scheme - A Further Analysis,February 2015.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
• International Monetary Fund mendefinisikan
virtual currency sebagai “digital representation
of value, issued by private developers and
denominated in their own of unit account”.
Selanjutnya disebutkan bahwa “Virutal
Currencies can be obtained, stored, accessed,
and transacted electronically, and can be used
for a variety of purposes, as long as the
transacting parties agree to use them. The
concept of virtual currencies covers a wider
array of “currencies,” ranging from simple IOUs
of issuers (such as Internet or mobile coupons
and airline miles), Virtual currencies backed by
assets such as gold and “cryptocurrencies” such
as Bitcoin.”6
Dari berbagai definisi private digital currency
menurut lembaga internasional tersebut tampak
adanya persamaan yang mempersepsikan digital
currency atau virtual currency sebagai suatu mata
uang digital yang tidak di-back-up oleh fiat atau
sovereign currency karena memiliki standar nilai
sendiri.
Di balik inovasi private digital currency, terdapat
beberapa hal yang meningkatkan perhatian bank
sentral sebagai otoritas penerbit legal tender
terhadap private digital currency, antara lain sebagai
berikut:7
- Private digital currency tidak di back-up
sovereign currency negara manapun, sehingga
memiliki risiko kredit dan ketidakpastian aspek
legalitas bagi anggota masyarakat yang
memilikinya;
- Umumnya private digital currency bersifat
anonymous yang berpotensi dapat
dimanfaatkan untuk tindak pidana pencucian
uang, pendanaan terorisme, pengemplangan
pajak, dan lain-lain; dan
- Perkembangan private digital currency
menyebabkan adanya pengedaran uang di
luar bank sentral dalam jumlah signifikan yang
berpotensi mempengaruhi peran bank sentral
penerbit legal tender, efektivitas kebijakan
moneter, dan stabilitas sistem keuangan.
Inovasi dan karakter tersebut di atas mendorong
beberapa bank sentral untuk mempelajari,
mengekspolari dan bahkan melakukan uji coba
kemungkinan penerbitan dan pemberlakuan digital
currency yang dikembangkan oleh bank sentral
yang kemudian dikenal dengan istilah Central
Bank Digital Currency (CBDC).
B. Konsep CBDC di Berbagai Negara
1. Upaya memperkenalkan dan menerapkan
CBDC oleh Bank of England
Dalam Staf Working Paper yang dipublikasi
Bank of England pada bulan Juli 2016 digital
currency didefinisikan “as any electronic form
of money, or medium of exchange, that
features a distributed ledger and a decentralised
payment system.” Sebagai perbandingan,
disebutkan bahwa “existing electronic payment
systems are tiered and therefore centralised,
with central banks typically at their centre”.
Dalam kajian awal di tahun 2014, Bank of
England telah mencoba mengenali berbagai
aspek private digital currency, terutama
mendalami aspek teknis bitcoin sebagai salah
satu jenis cryptocurrency dan penggunaan
teknologi blockchain/DLT untuk pencatatan
transaksi.
Dari pendalaman awal tersebut, Bank of
England melihat bahwa keberadaan
cryptocurrency atau private digital currency
masih belum signifikan jumlah peredarannya
sehingga risiko terhadap stabilitas sistem
keuangan masih rendah. Dampak yang lebih
signifikan diperkirakan dapat terjadi apabila
72
6 IMF Staff Discussion Note, Virtual Currencies and Beyond : InitialConsideration.
7 Farida Peranginangin, dkk., Kajian Awal Central Bank Digital Currencydan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia, hal. 34, 2016.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
jumlah pemakaian sudah cukup besar sehingga
terdapat risiko terhadap stabilitas moneter dan
juga risiko stabilitas sistem keuangan apabila
terjadi market crash. Bank of England juga
mengantisipasi bahwa DLT merupakan inovasi
teknologi yang memungkinkan sistem
pembayaran berjalan tanpa membutuhkan
adanya central authority (saat ini fungsi tersebut
dilakukan bank dan lembaga pendukung jasa
sistem pembayaran termasuk sistem
pembayaran). Selanjutnya, Bank of England
bekerja sama dengan University College London
untuk mengembangkan Central Bank Digital
Currency (CBDC) dalam format cryptocurrency
oleh bank sentral yang dikenal dengan nama
RSCoin (Danezis & Meiklejohn, n.d).8 Dalam
konsep RSCoin yang dikembangkan, perbedaan
utama dengan cryptocurrencies tradisional
adalah monetary supply yang terpusat, dimana
setiap unit mata uang diterbitkan oleh bank
sentral. Selain itu, RSCoin juga menyediakan
manfaat ledger transaksi yang transparan,
dimana bank sentral mendelegasikan otoritas
untuk memvalidasi transaksi ke sejumlah
institusi yang disebut mintettes.
Tidak seperti private digital currency yang
proses penerbitannya tersebar pada para
anggota komunitasnya, konsep digital currency
yang diuji coba Bank of England menggunakan
DLT tetapi menganut pola terpusat atau
tersentralisasi dalam penerbitannya. Dalam
penelitian yang dilakukan Bank of England,
CBDC dirumuskan sebagai “a universally
accessible and interest-bearing central bank
liability, implemented via distributed ledgers,
that competes with bank deposits as medium
of exchange”. Lebih lanjut ditegaskan bahwa
dengan CBDC, Bank of England mengacu
pada suatu bank sentral yang memberikan
denominasi mata uang nasional yang bersifat
universal, elektronik, dapat digunakan setiap
saat dan yang dapat dicek bunganya pada
neracanya.
2. Upaya memperkenalkan dan menerapkan
CBDC oleh Bank of Canada
Untuk mengetahui implikasi pemanfaatan
fintech dan DLT terhadap tugas Bank of Canada
sebagai bank sentral di bidang moneter,
pengedaran uang dan stabilitas keuangan
serta kemungkinan fintech digunakan untuk
pelaksanaan tugas lain, pada bulan Juni 2016
Payment Canada9 bersama Bank of Canada,
R310 dan beberapa bank komersial di Canada
anggota konsorsium R3 memulai suatu proyek
uji coba yang disebut dengan Proyek Jasper.11
Proyek Jasper adalah sebuah pekerjaan untuk
mengeksplor kemungkinan penerbitan, transfer
dan penyelesaian aset bank sentral dengan
menggunakan jaringan distributed ledger.12
Eksplorasi tersebut difokuskan pada sistem
pembayaran berskala besar (Large Value
73
8 Farida Peranginangin, dkk., Kajian Awal Central Bank Digital Currencydan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia, hal. 18.
9 Payment Canada adalah sebuah lembaga yang mewakili sistem pembayarandi Kanada yang ditunjuk oleh Bank of Canada dan bertanggung jawabatas insfrastruktur kliring dan setelmen, proses dan pokok pengaturandari transaksi sistem pembayaran di Kanada.
10 R3 adalah konsorsium internasional yang bertujuan mengembangkanpenerapan aplikasi DLT terhadap sektor keuangan. Di antara bank-bankdi Kanada dalam konsorsium R3 adalah BMO Bank of Montreal, CanadianImperial Bank of Commerce, HSBC, National Bank of Canada, Royal Bankof Canada, Scotiabank dan TD Canada Trust. Ketujuh lembaga tersebutjuga anggota dari Payments Canada, dan mereka semua merupakanpeserta LVTS (Large Value Transfer System). Lihat: James Chapman, dkk.,Project Jasper: Are Distributed Wholesale Payment System Fasicle Yet?Lihat catatan kaki nomor 7 pada hal. 3.
11 Pada tanggal 11 Mei 2017, Tim Bank Indonesia berdiskusi langsungdengan salah satu pejabat Bank of Canada yang terlibat dalam ProjectJasper yaitu Scott Hendry.
12 Dalam bahan presentasi yang disajikan Scott Hendry pada forum DiskusiTim BI dengan Tim Bank of Canada pada tanggal 11 Mei 2017 ditulisbahwa Project Jasper adalah “An ongoing collabaration initiated byPayments Canada and the Bank of Canada to explore the possibility ofissuing, transferring and settling central bank-issued assets on a distributedledger network”.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Transfer System/LTVS).13 Sistem pembayaran ini
disebut juga sebagai CADcoin atau settlement
coin.14 Tujuan Proyek Jasper pada awalnya
adalah membangun suatu sistem konsep
(proof-of-concept system) tanpa ada maksud
untuk meningkatkannya ke level produksi
(a production-level system) yang menghasilkan
suatu penyelesaian aset yang dikeluarkan dan
dikontrol oleh suatu bank sentral.15
Tim Pelaksana Proyek Jasper di Bank of Canada
menilai bahwa salah satu pelajaran penting
dari proyek tersebut adalah bahwa versi
distributed ledger yang tersedia saat ini tidak
dapat memberikan suatu keuntungan bersih
yang menyeluruh dibanding dengan sistem
pembayaran interbank yang terpusat yang ada
saat ini. Sistem pembayaran skala besar utama
berfungsi cukup efisien. Namun dari segi
efisiensi penghematan rekonsiliasi back-office
dan peningkatan interaksi dengan ekosistem
infrastruktur pasar keuangan, terdapat manfaat
yang lebih besar bagi peserta sistem pembayaran
dan bagi keseluruhan sistem keuangan dari
sebuah sistem pembayaran skala besar berbasis
DLT.16
Pada saat kajian mengenai CBDC ini ditulis,
proyek Jasper sudah melalui 2 (dua) tahap
pelaksanaan. Pada tahap pertama Proyek
Jasper, peserta membangun satu settlement
capability pada suatu platform Ethereum.
Hasilnya menunjukkan suatu kemampuan
untuk mempertukarkan suatu penyelesaian
asset antara para peserta. Uji coba tersebut
kemudian disempurnakan pada tahap kedua
yang berakhir pada bulan Juni 2017. Pada tahap
kedua Proyek Jasper, yang menggunakan pada
platform Corda, dibangun suatu mekanisme
penghematan likuiditas (a liquidity-saving
mechanism/LSM) yang memungkinkan para
peserta mengkoordinasikan pembayaran yang
dilakukan untuk mengurangi kebutuhan
likuiditas. Sebagai bagian dari tahap kedua
Proyek Jasper, para peserta menyiapkan white
paper yang lebih panjang, yang
menggambarkan implikasi teknik dan kebijakan
dari pekerjaan tersebut.17
Proyek Jasper memberikan pemahaman
penting tentang bagaimana satu bank sentral
dan lembaga keuangan yang menggunakan
suatu sistem penyelesaian pembayaran antar
bank pada distributed ledger. Proyek tersebut
juga menawarkan pemahaman tentang cara
memfungsikan sistem pembayaran skala besar
dengan menggunakan plaform DLT yang
berbeda dan bagaimana fitur sistem
pembayaran modern, seperti keadaan antri
(queues) dapat diciptakan untuk meningkatkan
efisiensi dengan mengurangi kebutuhan
jaminan. Akhirnya, pengembangan satu
prototype meningkatkan kesadaran akan
potensi risiko yang dapat terjadi dari sistem
berbasis DLT dan bagaimana risiko tersebut
dapat dikurangi.
74
13 James Chapman, Rodney Garratt, Scott Hendry, Andrew McCormackand Wade McMahon, Project Jasper: Are Distributed Wholesale PaymentSystem Fasicle Yet?, hal. 3 termasuk catatan kaki nomor 7.
14 Carolyn Wilkins, Project Jasper: Lessons From Bank of Canada's FirstBlockchain Project, Published on February 10, 2017, hal. 2. Sumber:http://www.coindesk.com/projec-jasper-lessons-bank-of-canada-bl.
15 James Chapman, dkk., Op. cit., hal. 3.
16 James Chapman, dkk., Op. cit., hal. 4.
Settlement using Settlement using
Project JASPERPhase II
Project JASPERPhase I
Tahapan yang sudah dilalui PROJECT JASPER
17 James Chapman, dkk. , Project Jasper: Are Distributed Wholesale PaymentSystem Feasible Yet?, hal. 3.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
3. Uji coba CBDC (Dinero Electronico) oleh Bank
of Ecuador
Dalam kerangka The National Good Living
Plan 2013-2017 bank sentral Ekuador yaitu
Bank of Ecuador mengembangkan dan
memperkenalkan mekanisme pembayaran
baru yang dikenal dengan sistem pembayaran
dengan menggunakan uang elektronik berbasis
servis yang disebut Sistema de Dinero
Electronico (Dinero Electronico). Dinero
electronico adalah metode pembayaran
elektronik yang diperkenalkan dan ditangani
secara khusus oleh Bank of Ecuador dengan
denominasi dalam dollar Amerika Serikat.
Hal tersebut didasarkan pada ketentuan dalam
Undang-Undang Keuangan dan Moneter Dasar
(Fundamental Monetary and Financial Code).
Uang elektronik tersebut dapat dipertukarkan
melalui peralatan elektronik, telepon seluler,
alat elektromagnetik, kartu pintar, komputer
dan alat lainnya. Hal ini diatur dalam Resolution
No.005-2014-M of the Monetary and Financial
Policy and Regulation Board.18 Sistem ini
memungkinkan pembayaran dalam dolar
Amerika Serikat melalui telepon seluler tanpa
internet atau sebuah rekening pada lembaga
keuangan. Uang elektronik diharapkan bekerja
sebagai sebuah metode atau alat pembayaran
di luar alat pembayaran yang beredar sah dan
digunakan dengan tingkat kepercayaan yang
tinggi dari seluruh warga negara, yang dapat
ditukar menjadi uang tunai setiap saat. Sistem
pembayaran dinero electronico ini
memungkinkan warga Ekuador melakukan
akses pada beberapa layanan jasa keuangan.
Kebijakan Bank of Ecuador memperkenalkan
sistem uang elektronik (dinero electronico) ini
dipicu oleh jatuhnya nilai mata uang Sucre
akibat krisis keuangan dan hiperinflasi yang
tercatat hingga 107.87% pada bulan
September 2000. Saat itu, Pemerintah Ekuador
memutuskan untuk melakukan dolarisasi
(menggunakan dollar Amerika Serikat) dalam
sistem moneternya (H., 2012). Penggunaan
dollar Amerika Serikat sebagai alat pembayaran
yang sah di Ekuador membawa konsekuensi
bahwa Bank of Ecuador menanggung beban
biaya manajemen uang yang besar untuk
mempertahankan persediaan dollar di negara
tersebut dan dalam memperbaharui uang
dollar kertas yang lusuh. Jika Dinero Electronico
semakin luas digunakan dan diterima, beban
manajemen uang tunai Pemerintah akan
berkurang, di sisi lain cadangan devisa Bank
of Ecuador secara potensial akan meningkat.
Beberapa hal penting terkait sistem pembayaran
dinero electronico:19
a. Uang Dinero Electronico tidak
menggantikan penggunaan dollar Amerika
Serikat di Ekuador. Nilainya adalah
merupakan penggantian dari jumlah dollar
yang sama yang disimpan di Bank of
Ecuador yang dapat ditransfer kepada
pengguna lainnya melalui alat elektronik.
Di dalam Pasal 94 Undang-Undang
Moneter Baru Ekuador ditegaskan bahwa
semua transaksi keuangan dan moneter
di Ekuador wajib dilakukan dalam mata
uang dollar Amerika Serikat.
b. Uang Dinero Electronico bukan merupakan
mata uang baru atau yang setara, dan uang
elektronik tidak dapat dibandingkan dengan
mata uang digital yang populer seperti
bitcoin. Dinero electronico lebih tepat
disebut sebagai sebuah sistem pembayaran
75
18 Lihat Website Bank Sentral Ekuador:Https://www.bce.fin.ec/en/index.php/electronic-money-system.
19 Embajada Del Ecuador, Wednesday 3 Mei 2017:http://eeuu.embajada.gob.ec/10-things-to-know-about-ecuadors-electronic-payment-system-s/.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
yang diimplementasikan Bank of Ecuador
yang sama dengan sistem dompet
elektronik yang diterapkan di beberapa
negara di dunia. Dengan pemberlakuan
dinero electronico, tidak ada uang baru
yang diciptakan. Dinero electronico yang
diterapkan lebih merupakan sebuah
metode atau alat baru dan yang lebih
murah untuk menyimpan dan mentransfer
uang yang telah ada dalam bentuk dollar
Amerika Serikat.
c. Sistem pembayaran dinero electronico di-
atur dengan Kitab Organik Keuangan dan
Moneter Ekuador (Ecuador's Monetary and
Financial Organic Code), yang mensyaratkan
uang digital 100% di-backup oleh aset
lancar. Artinya bahwa untuk setiap dollar
digital yang diciptakan harus disertai
dengan keberadaan fisik dollar Amerika
Serikat yang disimpan di Bank of Ecuador.
d. Sistem pembayaran dinero electronico
terbuka bagi seluruh warga Ekudador,
lembaga swasta dan publik. Hal tersebut
sesuai ketentuan yang berlaku di Ekuador
yang menjamin bahwa setiap warga
negara, terlepas dari status ekonomi dan
sosialnya dapat membuka rekening dinero
electronico dan memiliki akses pada layanan
keuangan elektronik. Sistem ini disediakan
untuk pembayaran atau transaksi retail
yang nilainya kecil. Oleh karena itu, sistem
penyelesaian pembayaran bernilai besar
seperti RTGS dan kliring nasional tetap
disediakan.
e. Pembayaran yang dilakukan oleh
pemerintah atau organisasi swasta yang
menggunakan sistem dinero electronico
wajib di-backup dengan jumlah dollar
Amerika Serikat yang sama yang disimpan
di Bank of Ecuador. Dalam praktek, para
pengguna harus menyimpan dollar Amerika
Serikat di Bank of Ecuador yang akan dapat
dibelanjakan oleh para penyimpannya
secara elektronik.
f. Sistem pembayaran dinero electronico
diharapkan dapat mengurangi tingkat
kemiskinan melalui pengurangan biaya
transfer dana dan penyediaan sarana bagi
orang yang belum pernah berhubungan
dengan bank terutama di pelosok, untuk
dapat melakukan akses yang lebih besar
ke pasar tenaga kerja, program Pemerintah,
dan kemampuan dagang yang sustain
dibanding dengan yang telah dimiliki
sebelumnya.
g. Penggunaan sistem pembayaran dinero
electronico di Ekuador diharapkan dapat
mendorong penciptaan jaringan ekonomi
baru antar segmen ekonomi yang sedang
berusaha memperluas pangsa pasar akibat
kurangnya jasa perbankan.
Selain itu, beberapa hal lain yang tidak kalah
penting mengenai penggunaan dinero
electronico diuraikan di bawah ini.
a. Bank of Ecuador dalam menjalankan
tugasnya pada dasarnya tidak menawarkan
jasa atau melakukan kegiatan layanan
perbankan retail. Namun, untuk kepentingan
umum yaitu untuk kepentingan sistem
pembayaran di Ekuador, nasabah dapat
membuka rekening dinero electronico
di Bank of Ecuador. Bank of Ecuador
menjadikan dirinya sebagai satu-satunya
penerbit uang elektronik di Ekuador.
b. Rekening dinero electronico di Bank of
Ecuador dapat dibuka dari jarak jauh
dengan menggunakan layanan perusahaan
telepon seluler dan nomor identitas
nasional. Semua biaya diatur oleh Bank of
Ecuador. Sebuah website yang menjelaskan
76
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
jasa yang ditawarkan, harga, lokasi agen
disediakan bagi nasabah. Penentuan
distribusi uang elektronik merupakan usaha
bersama sektor publik dan swasta. Oleh
karena itu, koperasi keuangan, badan kredit
(credit union), jaringan pembayaran dan
operator media lokal mengadakan
perjanjian dengan Bank of Ecuador untuk
membangun jaringan agen. Dalam
penyelenggaraan sistem dinero electronico,
skema uang elektronik yang diterbitkan
dan diselenggarakan Bank of Ecuador,
sementar a perusahaan telekomunikasi dan
bank komersial berperan sebagai penyedia
jasa lain.
c. Dana di rekening dinero electronico yang
dibuka dan disimpan di Bank of Ecuador
tidak diberi bunga karena pembukaan dan
keberadaan rekening tersebut merupakan
amanat undang-undang.
d. Walaupun dinero electronico diperkenalkan
Bank of Ecuador dan telah diterapkan dalam
proses distribusi tunjangan Pemerintah
kepada masyarakat dan dalam akitivitas
ekonomi sejumlah warga Ekuador telah
memanfaatkannya, banyak warga Ekuador
belum mengetahui dinero electronico.
Menurut pihak Bank of Ecuador, hal tersebut
disebabkan adanya perbedaan kepentingan
ekonomi dan politik beberapa pihak di
pemerintahan dan parlemen Ekuador atas
kebijakan penerapan dinero electronico.
e. Penggunaan dinero electronico tidak dapat
dipaksakan kepada masyarakat karena
berdasarkan undang-undang yang mengatur
mengenai uang elektronik, pembukaan
rekening dalam rangka penggunaan dinero
electronico bersifat sukarela.
f. Dalam rangka pencegahan pencucian uang
dalam penggunaan dinero electronico,
Bank of Ecuador melakukan monitoring
terhadap transaksi yang mencurigakan.
4. The Riksbank's E-Krona Project
Tentang kemungkinan untuk mengeluarkan
CBDC sebagai pelengkap uang kertas dan
uang logam yang diterbitkan bank sentral dan
apakah pelengkap tersebut dapat mendukung
bank sentral tersebut dalam mempromosikan
sistem pembayaran yang aman dan efisien
juga dilakukan Bank Sentral Swedia (Sveriges
Riksbank) baru-baru ini. CBDC yang
dipertimbangkan sebagai pelengkap uang
tunai tersebut dinamakan “E-krona”. Oleh
karena itu, proyek pengkajian dan uji coba
yang dilakukan mengenai hal tersebut
dinamakan Proyek E-krona.
Proyek E-krona diharapkan dapat menjawab
berbagai masalah yang mungkin timbul di
bidang pembayaran pada masa yang akan
datang terkait dengan penggunaan uang tunai
yang semakin menurun di Swedia. Pengkajian
tentang penerbitan dan penggunaan E-krona
ini merupakan respon atas tren digitalisasi
pada masyarakat Swedia yang didorong oleh
sektor swasta, serta dikonsolidasikan di antara
sejumlah kecil peserta komersial, layanan
pembayaran, dan infrastruktur. Dengan sistem
pembayaran menggunakan E-krona, masyarakat
umum/publik Swedia diberi kesempatan untuk
memperoleh, memiliki dan menggunakan
E-krona yang akan diterbitkan dan dijamin
negara atau pemerintah Swedia. Selain itu,
para penyedia layanan sistem pembayaran
juga akan terhubung dengan sistem E-krona.
Namun dalam jangka panjang, konsentrasi ini
dapat menahan daya saing dalam pasar yang
membuat masyarakat menjadi rentan.20
77
20 Presentasi Eva Julin, Project Manager E-Krona Project / Deputy HeadGeneral Secretariat Sveriges Riksbank, dalam forum diskusi dengan DHKpada tanggal 2 November 2017, di Sveriges Riksbank-Stockholm Swedia.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Adapun yang melatarbelakangi proyek E-Krona
yang dilaksanakan Bank Sentral Swedia
(Sveriges Riksbank) adalah bahwa selama abad
ke-21 bank sentral tersebut telah mengamati
dan mencatat bahwa penggunaan uang kartal
di Swedia menurun sangat drastis. Sementara,
pada saat yang bersamaan pembayaran
dengan menggunakan kartu mengalami
peningkatan. Dalam beberapa tahun terakhir,
pembayaran menggunakan SWISH yaitu
layanan pembayaran mobile secara real time
bagi masyarakat Swedia (Swedish real time
mobile payment service) menjadi semakin
meningkat. Proporsi pembayaran tunai di
sektor ritel semakin turun dari hampir 40
persen di tahun 2010 menjadi sekitar 15 persen
di tahun 2016. Menurut survei yang dilakukan
di Swedia, dua pertiga konsumen mengatakan
bahwa mereka dapat mengelola pembayaran
tanpa uang tunai, rata-rata pembayaran non
tunai (menggunakan kartu) dilakukan untuk
pembayaran yang nilainya di bawah SEK 100
(Swedia Krona). Diperkirakan di masa yang
akan datang Swedia akan menjadi negara
di mana uang tunai tidak lagi diterima secara
umum.
E-krona dapat menjadi sebuah sarana
pembayaran yang dijamin pemerintah tanpa
adanya risiko kredit dan tersedia bagi
masyarakat umum dalam bentuk uang digital
sebagai pelengkap uang tunai yang saat ini
masih beredar. Uang digital E-krona juga dapat
dianggap sebagai modernisasi alat pembayaran
yang dikeluarkan Sveriges Riksbank saat
masyarakat tidak memiliki keinginan untuk
menggunakan uang kertas dan logam lagi
dalam melakukan pembayaran barang
dan/atau kegiatan menabung.
E-krona memiliki karakteristik: (a) ditentukan
dalam unit mata uang nasional, Krona Swedia
(SEK); (b) merupakan klaim pada bank sentral
(Riksbank); (c) tersedia dalam bentuk elektronik
secara real-time atau mendekati real-time (24
jam sehari dalam setiap tahun); dan (d) tersedia
untuk masyarakat umum, dimana dalam hal
ini lebih luas cakupannya daripada simpanan
di bank sentral yang hanya dapat dimiliki oleh
bank saja.
Beberapa potensi masalah atas penerbitan dan
penggunaan E-krona dalam sistem pembayaran
di kemudian hari yang diidentifikasi tim proyek
E-krona yaitu:
a) E-krona yang merupakan alat pembayaran
digital, tidak seperti uang tunai yang bersifat
fisik. Masyarakat yang ingin menggunakan
uang tunai mungkin akan terus memilih
uang tunai dibandingkan E-krona di masa
depan. Oleh karena itu, sulit untuk saat ini
melakukan penilaian bagaimana E-krona
dapat memberi dampak terhadap
penggunaan uang tunai di masa depan;
b) Sesuai sifat digitalnya, kecil kemungkinan
E-krona dapat berkontribusi mengurangi
masalah yang dialami beberapa kelompok
konsumen dan perusahaan saat terjadinya
penurunan penggunaan uang tunai. Di sisi
lain, Riksbank dapat menciptakan kondisi
bagi peserta lain untuk mengembangkan
layanan pembayaran yang disesuaikan
dengan kelompok tertentu di masyarakat
atau bahkan mendanai pengembangannya
sampai dengan batas tertentu.
Tugas Bank Sentral Swedia (Sveriges Riksbank)
mengenai pencetakan uang diatur dalam
Sveriges Riksbank Act. Ketentuan mengenai
tugas pencetakan uang yang diatur dalam
Sveriges Riksbank Act dianggap tidak sesuai
lagi dengan kondisi saat ini karena tidak
menyebutkan kewenangan bank sentral
tersebut menerbitkan alat pembayaran digital.
78
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
C. CBDC Versus Legal Tender
1. Memahami status CBDC sebagai legal tender
Legal tender selama ini hanya dipahami secara
umum sebagai alat pembayaran yang sah,
namun mengenai definisi legal tender ini tidak
terdapat keseragaman. Beberapa definisi legal
tender dikemukakan berikut ini.
i. Dalam Black's Law Dictionary, legal tender
adalah uang (kertas dan logam) yang diakui
di suatu negara untuk pembayaran hutang,
pembelian barang, dan pertukaran nilai
lainnya (the money (bills and coins) apporved
in a country for the payment of debts, the
purchase of goods, and other exchanges
for value).21
ii. Menurut Oxford Dictionary, legal tender
berarti koin atau uang kertas yang menurut
hukum tidak dapat ditolak dalam
pembayaran hutang (Coins or banknotes
that must be accepted if offered in payment
of a debt).22
iii. Dalam kamus Merriam Webster legal tender
berarti “money that is legally valid for the
payment of debts and that must be
accepted for that purpose when offered”.23
iv. Dalam Coinage Act of 1965 US ditulis legal
tender adalah “United States coins and
currency (including federal reserve notes
and circulating notes of federal reserve
banks and national banks) are legal tender
for all debts, public charges, taxes and
dues. With respect to private transactions,
this has been construed to apply only to
payment for debts when tendered to a
creditor”24
Rumusan definisi legal tender dapat berbeda
di setiap negara. Di beberapa negara, dengan
legal tender debitur dapat mengajukan "tender"
yang valid - yaitu, mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk menyelesaikan
pembayaran - namun tidak ada kewajiban
pihak kreditur untuk menerima tender tersebut.
Seorang kreditur, bagaimanapun, akan dilarang
memulihkan hutang di pengadilan, jika dia
menolak untuk menerima “tender” yang valid.
Di negara lain, keadaan bisa sebaliknya yaitu
melanggar hukum jika menolak legal tender
dalam pembayaran.
Mengenai definisi legal tender di wilayah Eropa,
Komisi Eropa mengadopsi sebuah rekomendasi
pada tahun 2010 bahwa konsep legal tender
harus memenuhi 3 (tiga) elemen utama25 26:
(i) Adanya kewajiban menerima uang kertas
dan uang logam yang diterbitkan
(mandatory acceptance of banknotes and
coins);
(ii) Dengan nilai nominal penuh atau sama
dengan yang tercatat pada uang kertas dan
uang logam (for their full face value); dan
(iii) Mempunyai kekuatan untuk melunasi
hutang (with a power to discharge debt).
Di Kanada legal tender mencakup banknotes
yang dikeluarkan oleh Bank of Canada dan
uang logam yang dikeluarkan The Royal
Canadian Mint. Undang-undang Bank Sentral
memberikan mandat kepada Bank of Canada
sebagai satu-satunya pihak yang berwenang
mengeluarkan banknotes di Kanada. Istilah
legal tender di Kanada menggambarkan uang
yang disetujui untuk membayar hutang atau
menyelesaikan transaksi komersial. Kondisi ini
79
21 Brian A. Garner, Black's Law Dictionary, New Pocket Edition, hal. 371.
22 https://en.oxforddictionaries.com/definition/legal_tender, diakses tanggal24 Oktober 2017.
23 www.merriam-webster.com, diakses tanggal 10 Agustus 2017.
24 Coinage Act of 1965 (as amended) sections 31 U.S.C 5103, United States,Treasury Of Departement, www.treat.gov/education/faq's/currency.
25 IMF Staff Discussion Note, Virtual Currencies and Beyond: InitialConsiderations, January 2016, hal. 16.
26 European Commision IP/10/331, Commission adopts a recommendationon the scope and effects of legal tender of euro banknotes and coins,Brussels, 22 March 2010.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
tidak memaksa orang untuk menerima uang
tunai sebagai pembayaran. Metode pembayaran
dalam transaksi adalah soal kesepakatan pribadi
antara pembeli dan penjual27.
Di Swedia, pengaturan mengenai legal tender
diatur dalam Sveriges Riksbank Act. Dalam
chapter 5 Art 1 The Sveriges Riksbank Act
disebutkan bahwa “Banknotes and coins issued
by the Riksbank are legal tender”. Hal ini berarti
bahwa "setiap orang wajib menerima uang
kertas dan koin sebagai pembayaran"28
Meskipun dalam Sveriges Riksbank Act diatur
bahwa setiap pihak berkewajiban untuk
menerima uang kertas dan uang logam sebagai
pembayaran, dalam praktik ada sejumlah
pengecualian dari kewajiban ini. Pengecualian
yang sering digunakan adalah melalui
kesepakatan dan kontrak/perjanjian.
Dalam kaitan ini, para pihak dapat membuat
kesepakatan yang mengatur bagaimana
pembeli suatu barang atau layanan tertentu
melakukan pembayaran. Dalam prakteknya,
cukup bagi pengusaha untuk memberi tahu
pelanggan bahwa dia tidak siap menerima
uang tunai sebagai pembayaran atas barang
atau jasanya.29
Di Amerika Serikat legal tender diatur dalam
Coinage Act of 1965 yaitu pada Section 31
US Code 5103 yang berbunyi: “United States
coins and currency (including Federal reserve
notes and circulating notes of Federal reserve
banks and national banks) are legal tender for
all debts, pbulic charges, taxes and dues.”
This statute means that all United States money
as identified above is a valid and legal offer of
payment for debts when tendered to a creditor.
There is, however, no Federal statute mandating
that a private business, a person, or an
organization must accept currency or coins as
payment for goods or services. Private
businesses are free to develop their own policies
on whether to accept cash unless there is a
state law which says otherwise.30
2. Apakah CBDC yang diuji coba di beberapa
negara ditetapkan sebagai legal tender?
Dalam sistem pembayaran dinero electronico
yang diperkenalkan dan dikembangkan Bank
of Ecuador, dinero electronico tidak
menggantikan uang dollar Amerika Serikat
sebagai legal tender di Ekuador.31 Di dalam
Pasal 94 Undang-Undang Moneter Baru
Ekuador antara lain diatur bahwa semua
transaksi keuangan dan moneter di Ekuador
wajib menggunakan mata uang dollar
Amerika.32
Pada sebuah artikel yang dipublikasi Kedutaan
Besar Ekuador di Washington DC disebutkan
bahwa dinero electronico bukan merupakan
atau setara mata uang baru. Dinero electronico
lebih tepat disebut sebagai sebuah sistem
pembayaran yang diperkenalkan dan diterapkan
Bank Sentral Ekuador. Sifatnya sama dengan
sistem dompet elektronik pada beberapa negara
lain di belahan dunia. Dengan pemberlakuan
dinero electronico, tidak ada macam uang baru
yang diciptakan. Dinero electronico merupakan
80
27 Bank of Canada, The Many Faces of Canada's Currency, September2010, hal. 1.
28 Björn Segendorf and Anna Wilbe, Does cash have any future as legaltender?, Sveriges Riksbank, No. 9 2014, hal. 2.
29 Ibid.
30 The Fed - FAQs, Is it legal for a business in the United States to refusecash as a form of payment?
31 Citi, Ecuador Country Profile, hal. 2 & OSEC, Business Network Switzerland,Ecuador Legal Provisions, Compiled by: Embassy of Switzerland, Ecuador,hal. 1.
32 Embajada Del Ecuador, Estados Unidos, 10 Things To Know AbotuEcuador's Electronic Payment System, http://www.ecuador.org/blog/?p=4148 diunduh tanggal 20 September 2017.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
metode pembayaran baru yang lebih murah
untuk menyimpan dan mentransfer uang dalam
dollar Amerika Serikat yang telah disimpan di
bank sentral.
Dalam Proyek Jasper yang dikaji dan diuji coba
di Bank of Canada dan dianggap sebagai uji
coba CBDC oleh Bank of Canada, Tim Peneliti
pada dasarnya menguji coba mekanisme
penyelesaian pembayaran antar bank pada
suatu jaringan distributed ledger yang
difokuskan pada uji coba DLT sebagai sistem
penyelesaian transaksi atau pembayaran atau
bagaimana cara memindahkan nilai (how to
transfer value) antar Financial Market Institution
(FMI) berdasarkan Prinsiples of Financial Market
Institutions (PFMIs). Berdasarkan PFMIs, FMI
diwajibkan menyelesaikan transaksinya dalam
uang bank sentral sedapat mungkin. Untuk
terlaksananya prinsip tersebut, instrumen yang
dipakai adalah digital depository receipt (DDR)
yang merupakan deposit dari bank-bank di
Bank of Canada. DDR atau disebut juga dengan
istilah CAD-Coin adalah sebuah representasi
digital mata uang yang dikeluarkan Bank of
Canada. Hal ini dipandang jadi satu pendekatan
untuk penggunaan uang bank sentral yang
lebih luas di masa depan. DDR dikeluarkan
dalam sistem Bank of Canada dan didukung
satu per satu dengan uang tunai yang
ditempatkan di Bank of Canada oleh peserta.
Pertukaran DDR untuk uang bank sentral berarti
tidak ada kenaikan uang beredar di sistem
perbankan.
Walaupun DDR (CAD-coin) merupakan
representasi digital dari mata uang yang
dikeluarkan Bank of Canada (CBDC), namun
pada berbagai artikel yang membahas proyek
Jasper tidak ada satupun yang menyebutkan
bahwa CAD-coin tersebut merupakan legal
tender. Hal tersebut dapat dimaklumi karena
selain sifatnya masih dalam tahap uji coba, juga
karena DDRs (CAD-coin) tersebut digunakan
oleh para peserta dalam sistem pertukaran
dan penyelesaian pembayaran antar bank.33
Dalam beberapa artikel mengenai proyek CBDC
yang dilakukan Bank Sentral Swedia (Sveriges
Riksbank) yang disebut dengan proyek E-krona
dan diksusi langsung dengan beberapa personil
pelaksana proyek E-krona, belum terdapat
pembahasan mengenai apakah E-krona yang
dikaji akan diberlakukan sebagai legal tender
atau tidak.
Jika CBDC seperti CAD-coin dan E-krona
diterbitkan hanya untuk ditransaksikan antara
bank komersial (tidak berlaku atau tidak wajib
diterima seluruh anggota masyarakat dalam
transaksi yang membutuhkan pembayaran
dengan uang yang berlaku di suatu negara),
secara yuridis status CAD-coin dan E-krona
tidak dapat disebut sebagai legal tender.
Penggunaan suatu benda atau barang bernilai
uang untuk sekelompok atau golongan
tertentu lebih tepat disebut instrumen atau
alat pembayaran. Penerbitan CBDC (mata uang
digital yang dikeluarkan bank sentral) dengan
lingkup yang terbatas (misalnya hanya untuk
bank komersial) akan menimbulkan keraguan
mengenai statusnya sebagai legal tender.
Penerbitan CBDC oleh satu bank sentral dapat
dipandang sebagai perluasan macam uang
uang kertas dan logam. Oleh karena itu, untuk
kesamaan status CBDC yang diterbitkan dengan
uang kertas dan uang logam yang berlaku
untuk seluruh anggota masyarakat, status
CBDC perlu ditegaskan sebagai legal tender
(dapat dimiliki, digunakan dan tidak dapat
ditolak oleh anggota masyarakat).
81
33 Dalam Artikel berjudul: Project Jasper: Are Distributed Wholesale PaymentSystems Fasible Yet?, oleh James Chapman, dkk, ditulis: “The DDRs areused by participantss in the system to exchange and settle interbankpayments. The processing cyle of Project Jasper achieved ultimatesettlement finality on the books of the Bank of Canada after exchangingDDRs with the Bank of Canada for Canadian dollars transferrred intotheir respective settlement accounts. For all intens and purposes, theseDDRs functioned as cash in the system.” Lihat hal. 8.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
D. Model Penerbitan/Distribusi CBDC oleh Bank
Sentral
Dari berbagai literatur34 yang menjadi rujukan
serta diskusi dengan pakar teknologi informasi
dan moneter35, kemungkinan alternatif penerbitan
CBDC oleh bank sentral dapat dibagi menjadi dua
model, yakni:
(1) Direct Access:
Dengan model direct access, CBDC diterbitkan
bank sentral dengan jangkauan sampai ke
penduduk. Jika CBDC diterbitkan dengan
model ini, bank sentral akan menatausahakan
rekening penduduk (G to C) pemilik CBDC.
Hal ini berarti bank sentral harus menyediakan
nomor rekening, kartu ATM atau internet
banking/mobile banking agar pemiliknya dapat
melakukan aktivitas terhadap rekening seperti
mengecek saldo, melakukan transaksi atas
sejumlah dana yang dimilikinya. Selain itu, bank
sentral juga harus menerapkan prinsip anti
pencucian uang. Pola ini dapat menimbulkan
persepsi bahwa bank sentral bersaing dengan
bank komersial dalam penyediaan layanan
sistem pembayaran. Jika hal ini dilakukan,
bank sentral secara alami tidak memiliki insentif
komersial untuk melakukan inovasi dalam
layanan sistem pembayaran dan oleh karena
itu terdapat kecenderungan memberikan
layanan minimal. Memperhatikan hal tersebut,
jika CBDC hendak diterapkan pendekatan direct
access ini kemungkinan tidak akan dilakukan
oleh bank sentral.36 Mengizinkan individu dan
perusahaan swasta memiliki rekening secara
langsung di bank sentral pada dasarnya pernah
dilakukan oleh sejumlah bank sentral pada
masa lalu.37
(2) Indirect Access:
Dengan model indirect access, CBDC diterbitkan
bank sentral dengan pola pendistribusian
melalui lembaga keuangan (bank dan lembaga
selain bank). Jika hal ini jadi pilihan, bank
sentral tidak perlu menatausahakan rekening
penduduk. Kegiatan tersebut akan dilakukan
82
34 Ben Dyson & Graham Hodgson, Digital Cash Why Central Banks ShouldStart Issuing Electronic Money, Positive Money, Januari 2016, hal 16-23.
35 Diskusi dilakukan di Yogjakarta pada tanggal 31 Juli 2017 denganmelibatkan satuan kerja DHK, DRK , DKSP dengan melibatkan pakarekonomi moneter UGM Prof. Dr. Insukindro MA dan ahli ilmu komputerProf. Dr. R. Eko Indrajid MSc.
Hal yang harus disediakan Bank Sentral• Pembukaan rekening dari bank• Sebagai sentral pemprosesan sistem
pembayaran CBDC
Rekening Bank padaBank Sentral
INDIRECT ACCESS TO ACCOUNTS AT CENTRAL BANK
Hal yang harusdisediakan Bank• Costumer Service• Payment Cards• Internat Banking• Mobile Apps
BankBankBank
BS
Hal yang harus disediakan Bank Sentral• Costumer Service• Payment Cards• Internat Banking• Mobile Apps
Jual/Beli atauPembayaran
PerpindahanSejumlah Dana
RekeningIndividu
Masyarakatpada Bank
Sentral
DIRECT ACCESS TO ACCOUNTS AT CENTRAL BANK
BS
36 Ben Dyson & Graham Hodgson, Digital Cash Why Central Banks ShouldStart Issuing Electronic Money, Positive Money, Januari 2016, hal.16-23.
37 Michael Bordo and Andrew Levin, Central Bank Digital Currency andthe future of Monetary Policy, hal. 1.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
bank sentral bekerja sama dengan lembaga
keuangan (G to B). Dengan model indirect
access ini perbankanlah yang akan
menatausahakan rekening CBDC penduduk
sebagaimana mekanisme dan proses yang
selama ini berjalan.
Secara teori penerbitan CBDC dengan model
indirect acces akan memiliki kriteria/sifat antara
lain38.
• Dana CBDC yang dibayarkan/disetorkan
masyarakat kepada bank komersial akan
didata secara elektronik di bank sentral
(tidak menjadi kepemilikan pihak bank
komersial). Konteks ini sangat berbeda
dengan pola penyimpanan dana masyarakat
pada bank, dimana dengan masyarakat
menyimpan dana di bank maka dana
tersebut menjadi milik dari pihak bank.
• Mengingat kepemilikan CBDC tidak beralih
kepada bank komersial maka kondisi ini
mengakibatkan bank tidak dapat berfungsi
sebagai intermediasi perbankan
(memberikan kredit pada pihak ketiga).
• Fungsi bank komersial lebih bersifat
mengadministrasikan CBDC untuk
kepentingan bank sentral.
• Mekanisme distribusi yang lain adalah akses
tidak langsung melalui akun khusus digital
currency pada bank komersial. Dengan
mekanisme ini, bank komersial akan tetap
bertanggung jawab untuk memberikan
layanan sebagaimana halnya yang diberikan
kepada rekening tabungan yang telah ada,
seperti customer service dan pemeliharaan
rekening. Mekanisme ini mirip dengan yang
telah ada sekarang ini berupa rekening
tabungan masyarakat. Hal ini tetap
mendorong adanya kompetisi dari bank
komersial dalam memberikan layanan
terbaik bagi nasabah dan untuk selalu
berinovasi. Selain itu, kerangka pengaturan
yang ada juga telah mendukung mekanisme
ini, dimana bank sentral tidak menata-
usahakan rekening masyarakat sehingga
menghindari konflik kepentingan sebagai
regulator dan pengawas sekaligus juga
penyelenggara. Tidak kalah pentingnya
adalah penyediaan akses ini tidak
menambah beban pengelolaan nasabah
oleh bank sentral.39
III. IMPLIKASI CBDC DALAM PERSPEKTIF HUKUM
INDONESIA
A. Perspektif UU Mata Uang
Di Indonesia, kerangka hukum mengenai status
keadaan mata uang Rupiah sebagai legal tender
dan kewenangan pengedarannya oleh Bank
Indonesia sebagai bank sentral diatur dalam UU
Mata Uang. Di dalam Pasal 2 UU disebutkan:
1) Mata Uang Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah rupiah.
2) Macam Rupiah terdiri atas Rupiah kertas dan
Rupiah logam
3) Rupiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disimbulkan dengan Rp.
Kemudian dalam UU Mata Uang tersebut diatur
pula mengenai kewajiban penggunaan uang rupiah
yaitu pada Pasal 21 UU Mata Uang. Berdasarkan
Pasal 21 ayat (1) UU Mata Uang, Rupiah wajib
digunakan dalam:
a. setiap transaksi yang mempunyai tujuan
pembayaran;
b. penyelesaian kewajiban lainnya yang harus
dipenuhi dengan uang; dan/atau
c. transaksi keuangan lainnya;
yang dilakukan di wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia.
83
39 Farida Peranginangin, dkk, Kajian Awal Central Bank Digital Currencydan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia, hal. 38-39.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Selanjutnya, dalam Pasal 21 ayat (2) UU Mata
Uang diatur mengenai jenis transaksi yang dapat
menggunakan selain Rupiah yaitu:
a. Transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan
anggaran pendapatan dan belanja negara;
b. Penerimaan atau pemberian hibah dari atau
ke luar negeri;
c. Transaksi perdagangan internasional;
d. Simpanan di bank dalam bentuk valuta asing;
atau
e. Transaksi pembiayaan internasional.
Untuk kedaulatan pemberlakuan uang Rupiah,
dalam Pasal 23 UU Mata Uang lebih lanjut diatur
mengenai larangan untuk menolak rupiah yaitu:
1) Setiap orang dilarang menolak untuk menerima
Rupiah yang penyerahannya dimaksudkan
sebagai pembayaran atau untuk menyelesaikan
kewajiban yang harus dipenuhi dengan Rupiah
dan/atau untuk transaksi keuangan lainnya di
wilayah negara kesatuan Republik Indonesia,
kecuali karena terdapat keraguan atas keaslian
Rupiah.
2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dikecualikan untuk pembayaran atau untuk
penyelesaian kewajiban dalam valuta asing
yang telah diperjanjikan secara tertulis.
Oleh karena dalam UU Mata Uang telah dinyatakan
bahwa mata uang negara kesatuan Republik
Indonesia (legal tender) adalah Rupiah, yang terdiri
dari Rupiah logam dan Rupiah kertas, dalam
pembayaran ataupun penyelesaian kewajiban
dalam yurisdiksi Indonesia, setiap orang dilarang
menolak untuk menerima Rupiah. Dalam UU Mata
Uang tidak diatur mengenai penerbitan dan
pemberlakuan macam Rupiah dalam bentuk digital
(CBDC).
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 butir 2 dan Pasal
2 ayat (2) UU Mata Uang, yang dinyatakan sebagai
legal tender di Indonesia hanya uang Rupiah kertas
dan Rupiah logam. Dalam UU tersebut tidak ada
ketentuan yang mengatur mengenai CBDC. Jika
CBDC akan diterbitkan oleh Bank Indonesia dan
akan dikategorikan sebagai macam (jenis) Rupiah
di luar Rupiah kertas dan Rupiah logam, hal
tersebut memerlukan dasar hukum dalam undang-
undang. Hal ini sejalan dengan penjelasan dari
pihak Kementerian Keuangan dalam berbagai
forum/sosialisasi mengenai pelaksanaan UU Mata
Uang yang pada pokoknya menyatakan bahwa
ruang lingkup UU Mata uang terbatas pada
transaksi secara tunai (uang kartal).40
Jika CBDC dimaksudkan sebagai mata uang
tambahan macam (jenis) Rupiah di luar Rupiah
kertas dan Rupiah logam yang diberi status sebagai
legal tender dengan kewenangan penerbitan oleh
Bank Indonesia, hal tersebut juga memerlukan
dasar hukum dalam suatu undang-undang. Untuk
kekuatan memaksa dan menjamin legalitas dari
CBDC sebagai alat pembayaran yang sah sesuai
ketentuan Pasal 1 butir 2 UU Mata Uang yang
berbunyi: “Uang adalah alat pembayaran yang
sah”, maka perlu dilakukan
penyesuaian/amandemen terhadap UU Mata Uang
atau pembuatan undang-undang baru.
Secara substansi pengaturan, hal yang perlu
diperhatikan agar CBDC merupakan legal tender
adalah perlu menyatakan uang digital/CBDC sebagai
macam ketiga di luar Rupiah kertas dan Rupiah
logam dalam UU Mata Uang atau amandemennya.
Merujuk pada UU Mata Uang, jika perubahan pada
UU tersebut hendak dilakukan maka konstruksi
UU Mata uang akan mengalami penyesuaian pada
beberapa materi antara lain sebagai berikut:
84
40 Dalam kaitan hal tersebut di atas, Kementerian Keuangan (Pemerintah)telah menyampaikan pendapatnya dalam berbagai sosialisasi berkaitandengan pelaksanaan UU Mata Uang yang antara lain menyebutkan:
“Penggunaan Rupiah dalam pasal ini hanya terbatas pada transaksi uangsecara fisik (dengan menggunakan uang kartal). Untuk pembayaran,penyelesaian kewajiban lainnya, dan transaksi keuangan di dalam pasalini terbatas pada penggunaan Rupiah kertas dan Rupiah logam sajatidak meliputi pembayaran dengan uang giral (antara lain seperti cek,letter of credit, dan uang modern lainnya). (Kementerian Keuangan,Sosialisasi UU No.7 Tahun 2011 tentang Mata Uang, Direktorat JendralPerbendaharaan, 2012, hal. 5.5.1.(2)).
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
• Perlu ditambahkan macam Rupiah yang akan
terdiri dari Rupiah kertas, Rupiah logam dan
Rupiah digital (vide Pasal 2).
• Perlu dijelaskan ciri uang digital Rupiah yang
diterbitkan agar masyarakat tahu bahwa uang
digital yang diterima adalah uang digital yang
diterbitkan Bank Indonesia/otoritas yang
berwenang. Terkait hal ini perlu ada pengkajian
lebih lanjut dari segi teknologi (vide Pasal 4
sampai Pasal 7).
• Perlu dijelaskan mekanisme pengelolaan Rupiah
digital (mulai perencanaan, pencetakan,
pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan
penarikan sampai dengan pemusnahan) yang
tentu tidak akan sama dengan pengelolaan
rupiah dalam bentuk kartal (vide Pasal 11
sampai Pasal 20).
• Perlu disiapkan ketentuan yang dapat
menjangkau Rupiah digital palsu41 karena
terdapat kemungkinan terjadi Rupiah digital
palsu di kemudian hari (vide Pasal 36).
Jika untuk penerbitan dan implementasi CBDC
oleh bank sentral telah dibuat dibuat kerangka
hukum yang jelas dalam bentuk undang-undang,
maka kekuatiran akan terjadinya praktek monopoli
yang dilarang oleh UU No.5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat menjadi tidak relevan dipersoalkan.
B. Perspektif UU Bank Indonesia
Dalam salah satu konsep CBDC yang sedang dikaji
saat ini yaitu Digital Depository Receipt atau yang
disebut CAD-coin (Proyek Jasper), CBDC diterbitkan
untuk keperluan setelmen pembayaran interbank.
Oleh karena itu, CBDC hanya dipakai untuk
keperluan transaksi antara antara bank sentral
dengan bank komersial atau antar sesama bank
komersial (belum untuk seluruh masyarakat).
Model uang digital seperti itu pada dasarnya sudah
dikenal di Indonesia sebagaimana untuk keperluan
real time gross settlement (RTGS) dan Sistem Kliring
Nasional Bank Indonesia (SKNBI) bank-bank
komersial menempatkan prefund atau cadangan
giro wajib di Bank Indonesia yang penggunaannya
secara elektronik atau digital. Namun peruntukan
prefund atau cadangan giro wajib bank komersial
di Bank Indonesia yang dapat digunakan secara
elektronik atau digital sangat terbatas misalnya
untuk keperluan setelemen RTGS dan SKNBI bank-
bank (tidak berlaku umum).
Dengan terbatasnya keberlakuan dari alat
pembayaran digital seperti DDR dan prefund atau
giro wajib minimum bank pada bank Bank
Indonesia seperti digambarkan di atas dan dengan
ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Mata Uang yang
tidak mencakup Rupiah digital (CBDC), maka perlu
dicari bentuk alat pembayaran yang dapat
mengakomodir kebutuhan masyarakat yang saat
ini banyak menginginkan alat pembayaran digital
yang terpercaya yang dikeluarkan oleh otoritas
yang berwenang seperti Bank Indonesia.
CBDC selain dapat dipandang sebagai tambahan
macam Rupiah/legal tender (vide Pasal 2 ayat (1)
UU Mata Uang, juga dapat dipandang dan
dikeluarkan sebagai tambahan alat atau instrumen
pembayaran yang ada atau tambahan instrumen
pembayaran yang bersifat elektronik. CBDC dalam
bentuk alat atau instrumen pembayaran namun
bukan legal tender diterapkan dalam CBDC yang
diperkenalkan dan diberlakukan Bank of Ecuador
(dinero electronico).
Penambahan alat atau instrumen pembayaran
dapat dilakukan. Hal tersebut didasarkan pada
ketentuan Pasal 8 dan Pasal 15 UU Bank Indonesia.
Pasal 8 UU Bank Indonesia pada pokoknya
mengatur bahwa Bank Indonesia memiliki
kewenangan untuk mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran. Kewenangan Bank
85
41 Dalam diskusi dengan Prof. Dr. R. Eko Indrajit M.Sc, di Jogjakarta tanggal31 Juli 2017, suatu teknologi informasi (misal uang digital bitcoin), padadasarnya akan bisa di “hack” hanya soal waktu saja mengingat teknologiberkembang dengan cepat.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Indonesia di bidang sistem pembayaran merupakan
upaya untuk mendukung efektivitas pelaksanaan
tugas untuk mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah. Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU
Bank Indonesia, Bank Indonesia memiliki
kewenangan antara lain:
• Melaksanakan dan memberikan persetujuan
dan izin untuk penyelenggaraan jasa sistem
pembayaran;
• Mewajibkan penyelenggara jasa sistem
pembayaran untuk menyampaian laporan
tentang kegiatannya;
• Menetapkan penggunaan alat pembayaran.
Di dalam penjelasan Pasal 15 tersebut, alat atau
instrumen pembayaran elektronik seperti: kartu
ATM, kartu debet, kartu kredit, kartu pra bayar
dan uang elektronik dan instrumen pembayaran
non elektronik seperti: bilyet giro, juga ditetapkan
dan diatur Bank Indonesia.
Berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU Bank Indonesia,
jika karena urgensi menyikapi perkembangan
di masyarakat saat ini Bank Indonesia perlu
menetapkan dan menerbitkan (melakukan
pengaturan) CBDC sebagai tambahan instrumen
pembayaran yang bersifat elektronik, hal tersebut
dapat dilakukan Bank Indonesia. Selain didasarkan
pada Pasal tersebut, justifikasi juga didasarkan
pada prinsip kemanfaatan42 yang merupakan
bagian dari Asas-Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik (vide Pasal 8 jo. Pasal 10 UU Administrasi
Pemerintahan).
Jika suatu saat CBDC ditetapkan sebagai alat
pembayaran, maka pengaturan mengenai uang
elektronik yang berlaku saat ini harus diubah karena
Peraturan Bank Indonesia No.11/12/PBI/2009 Tahun
2009 tentang Uang Elektronik sebagaimana telah
diubah dengan PBI No.16/8/PBI/2014 (PBI Uang
Elektronik) berlaku untuk bank atau lembaga selain
bank yang menerbitkan uang elektronik. Adapun
Bank Indonesia tidak masuk dalam kategori penerbit
(berupa bank atau lembaga selain bank) sebagai-
mana dimaksud dalam PBI Uang Elektronik. Terkait
dengan hal ini, Bank Indonesia perlu melakukan:
(i) Mengubah ketentuan dalam PBI Uang Elektronik
agar dapat menjadi landasan operasional dari
penerbitan dan implementasi CBDC; atau
(ii) Membuat ketentuan baru yang mengatur
mengenai penerbitan dan pengimplementasian
CBDC dengan menyelaraskan ketentuan di
dalam PBI Uang Elektronik.
Dari segi ketentuan/formalitas pembentukan
perundang-undangan, kewenangan Bank
Indonesia untuk menetapkan CBDC sebagai alat
pembayaran dimungkinkan dengan adanya
ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU No.12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (2) UU
tersebut, peraturan perundang-undangan diakui
keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan-
perundang-undangan yang lebih tinggi atau
dibentuk berdasarkan kewenangan. Perlu
ditambahkan, bahwa dalam hal CBDC yang akan
dikembangkan adalah alat pembayaran (uang
elektronik) baru, nantinya Bank Indonesia selain
berperan sebagai regulator juga akan berperan
sebagai penerbit CBDC.
Jika Bank Indonesia menerbitkan CBDC sebagai
alat pembayaran yang setara dengan alat
pembayaran yang digunakan masyarakat
berdasarkan ketentuan Pasal 15 UU Bank Indonesia,
maka dengan adanya ketentuan Pasal 2 ayat (1)
UU Mata Uang yang mengatur bahwa saat ini
86
42 Pasal 10 ayat 1 huruf b UU No.30 Tahun 2014 tentang AdminstrasiPemerintahan menyebutkan:
Yang dimaksud dengan “asas kemanfaatan” adalah manfaat yang harusdiperhatikan secara seimbang antara: (1) kepentingan individu yangsatu dengan kepentingan individu yang lain; (2) kepentingan individudengan masyarakat; (3) kepentingan Warga Masyarakat dan masyarakatasing; (4) kepentingan kelompok masyarakat yang satu dan kepentingankelompok masyarakat yang lain; (5) kepentingan pemerintah denganWarga Masyarakat; (6) kepentingan generasi yang sekarang dankepentingan generasi mendatang; (7) kepentingan manusia danekosistemnya; (8) kepentingan pria dan wanita.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
macam uang Rupiah adalah terdiri dari uang
Rupiah kertas dan uang Rupiah logam, status
CBDC tersebut tetap tidak sebagai legal tender.
C. Perspektif UU Terkait Lainnya
a. Hukum persaingan usaha dan larangan praktek
monopoli
Pada pembahasan di atas telah diungkapkan
bahwa CBDC dapat dipandang sebagai legal
tender atau alat pembayaran. Jika bank sentral
menerbitkan CBDC sebagai legal tender
sehingga CBDC menjadi jenis atau macam
mata uang, maka dalam menjalankan tugas
penerbitan sampai pengedaran CBDC bank
sentral bertindak sebagai representasi negara
atau pemerintah. Namun, jika bank sentral
menerbitkan CBDC sebagai alat pembayaran
sebagaimana kegiatan penerbitan uang
elektronik oleh bank komersial, maka
kedudukan bank sentral dalam penerbitan
CBDC dapat dipandang setara dengan bank
komersial yang bertindak sebagai pelaku usaha.
Apabila dihubungkan dengan ketentuan dalam
UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat,
terdapat beberapa pasal yang dapat digunakan
sebagai landasan hukum untuk mengkritisi dan
bahkan menjadi dasar hukum mempersoalkan
penerbitan CBDC. Di dalam Pasal 1 butir f UU
tersebut, “Persaingan Usaha Tidak Sehat”
diartikan sebagai persaingan antar pelaku
usaha dalam menjalankan kegiatan produksi
dan atau pemasaran barang dan atau jasa
yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau
melawan hukum atau menghambat persaingan
usaha. Sebelumnya pada Pasal 1 butir e UU
tersebut, “Pelaku Usaha” dirumuskan sebagai
setiap orang perorangan atau badan usaha,
baik yang berbentuk badan hukum atau badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum
negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi.
Jika rumusan pengertian “Pelaku Usaha” dalam
Pasal 1 butir e di atas dicermati, pada dasarnya
Bank Indonesia tidak termasuk kriteria pelaku
usaha yang melakukan kegiatan usaha ekonomi
karena Bank Indonesia merupakan lembaga
negara yang independen, bebas dari campur
tangan pemerintah dan/atau pihak lainnya,
kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur
dalam Undang-Undang Bank Indonesia,
meskipun Bank Indonesia adalah badan hukum.
Apabila Bank Indonesia melakukan penerbitan
CBDC yang mempunyai karakteristik sama
dengan uang elektronik yang telah diterbitkan
bank komersial, tindakan Bank Indonesia dalam
hal tersebut bukan dalam konteks kegiatan
usaha yang bertujuan mencari profit melainkan
sebagai realisasi kewenangan pada bidang
sistem pembayaran yang diatur dalam Pasal
15 UU Bank Indonesia.
b. CBDC dan perlindungan konsumen
Apabila CBDC diterbitkan Bank Indonesia
dan digunakan masyarakat sebagai alat
pembayaran, masyarakat pengguna CBDC
termasuk dalam kategori konsumen dalam
UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen (UU Perlindungan Konsumen)
sehingga perlu dilindungi berdasarkan UU
tersebut. Sedangkan CBDC yang diterbitkan
dapat digolongkan sebagai “barang/jasa yang
tersedia di masyarakat”. Mengenai kedudukan
Bank Indonesia yang bagi orang awam akan
dianggap sebagai “pelaku usaha” menurut
UU Perlindungan Konsumen tersebut, perlu
dikaitkan dengan ketentuan yang mengatur
kedudukan Bank Indonesia dalam UU lainnya
yaitu UU Bank Indonesia. Jika kedudukan Bank
Indonesia yang diatur dalam UU Bank Indonesia
87
dihadapkan dengan ketentuan mengenai
perlindungan konsumen khususnya mengenai
pelaku usaha dalam UU Perlindungan
Konsumen, maka terdapat beberapa hal dalam
UU Bank Indonesia dan UU Mata Uang yang
membuat perlindungan konsumen tidak dapat
sepenuhnya dilakukan Bank Indonesia
berdasarkan ketentuan UU Perlindungan
Konsumen.
c. CBDC dan penerapan ketentuan perpajakan
Jika CBDC diterbitkan berbasis rekening
simpanan masyarakat pada bank sentral (model
direct access), secara teori CBDC merupakan
dana pihak ketiga pada bank sentral.
Berdasarkan UU No.7 Tahun 1992 tentang
Perbankan sebagaimana telah diubah dengan
UU No.10 Tahun 1998 (UU Perbankan),
simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh
masyarakat kepada bank berdasarkan
perjanjian penyimpanan dana dalam bentuk
giro, deposito sertifikat deposito tabungan
dan atau bentuk lainnya yang dipersamakan
dengan itu (Pasal 1 butir 5 UU Perbankan).
Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.131 Tahun
2000 tentang Pajak Penghasilan Atas Bunga
Deposito dan Tabungan Serta Diskonto Sertifikat
Bank Indonesia diatur menggenai pengenaaan
pajak terhadap bunga deposito, tabungan
maupun diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
Oleh karena itu, dalam hal CBDC ditetapkan
sebagai alat pembayaran yang mempunyai
karakteristik yang sama dengan uang elektronik
berbasis simpanan sekalipun simpanan
ditempatkan di Bank Indonesia, pengenaan
pajak merupakan hal yang mungkin dan lazim
dilakukan. Hal tersebut semakin mungkin,
karena dalam ketentuan PP No.131 Tahun
2000, Bank Indonesia ditunjuk sebagai pihak
yang dapat melakukan pemotongan pajak
bunga serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(vide Pasal 4 ayat 1 PP No. 131 Tahun 2000).
Dalam kaitan ini, apabila terhadap CBDC akan
dikenakan pajak secara operasional tidak akan
terjadi permasalahan.
Dengan memperhatikan konstruksi CBDC dan
ketentuan PP No.131 Tahun 2000 dimana
Sertifikat Bank Indonesia merupakan obyek
pajak, apabila Bank Indonesia akan menerbitkan
CBDC sebagai uang elektronik berbasis rekening
simpanan yang diberikan bunga maka terhadap
bunga rekening simpanan tersebut dapat
dikenakan pajak. Sebaliknya, jika rekening
simpanan CBDC tidak diberikan bunga maka
terhadap simpanan CBDC tersebut tidak dapat
dikenakan pajak.
d. CDBC dan penerapan ketentuan UU
pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang
Jika kepemilikan rekening CBDC yang dipilih
untuk dilaksanakan adalah model direct access'
approach (setiap warga negara diberi
kesempatan memiliki rekening di Bank
Indonesia secara langsung) maka dalam
implementasi CBDC, selain menetapkan
ketentuan pelaporan bagi para pelapor, Bank
Indonesia akan melakukan kegiatan/tindakan
pelaporan sesuai ketentuan dalam UU No.8
Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
(UU PPTPPU). Berdasarkan Pasal 18 ayat (3)
UU tersebut, penerapan prinsip mengenali
pengguna jasa dilakukan pada saat:
a) Melakukan hubungan usaha dengan
pengguna jasa;
b) Terdapat transaksi keuangan dengan mata
uang rupiah dan/atau mata uang asing
yang nilainya paling sedikit atau setara
dengan Rp100.000.000 (seratus juta
rupiah);
c) Terdapat transaksi keuangan mencurigakan
yang terkait tindak pidana pencucian uang
dan tindak pidana pendanaan terorisme;
88
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
d) Pihak pelapor meragukan kebenaran
informasi yang dilaporkan pengguna jasa.
Jika CBDC akan diterbitkan oleh Bank Indonesia
dengan model direct access kepada masyarakat,
pengawasan dapat dilakukan Bank Indonesia.
Untuk governance pengaturan dan
pengawasan, kewenangan untuk kedua hal
tersebut sebaiknya dilakukan oleh departemen
yang berbeda. Hal seperti ini telah diterapkan
oleh Bank of Ecuador.43 Namun demikian,
dalam pengaturan dan implementasinya, Bank
Indonesia perlu memperhatikan kewenangan
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) sebagai otoritas di bidang
PPTPPU.
Jika pola kepemilikan rekening CBDC yang
dipilih untuk dilaksanakan adalah model
indirect access (CBDC didistribusikan melalui
lembaga keuangan/bank), pelaksanaan
pemenuhan ketentuan UU PPTPPU dilakukan
oleh pihak lembaga keuangan. Sesuai model
indirect acces ini, kegiatan dalam rangka
pemenuhan prinsip know your customer (KYC)
dilakukan oleh pihak perbankan bukan oleh
bank sentral. Hal seperti didasarkan pada
ketentuan yang mengatur mengenai kewajiban
untuk melaporkan kegiatan pelaksanaan prinsip
mengenali pengguna jasa dari nasabah (vide
Pasal 17-18 UU PPTPPU). Otoritas yang akan
melakukan pengawasan pelaksanaan prinsip
mengenali pengguna jasa CBDC terhadap
bank adalah Bank Indonesia, mengingat Bank
Indonesia merupakan otoritas pengatur dan
pengawas sistem pembayaran44 di Indonesia.
e. CDBC dikaitkan dengan ketentuan simpanan
dan rahasia bank
UU Bank Indonesia tidak mengatur/melarang
penatausahaan rekening masyarakat/individu
di bank sentral (Bank Indonesia). Di Indonesia,
kegiatan menerima/menyimpan dana dari
masyarakat walaupun tidak berlaku umum
dapat dilakukan berdasarkan ketentuan Pasal
15 UU Bank Indonesia yang pada pokoknya
mengatur kewenangan Bank Indonesia untuk
mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Hal ini lebih dipertegas lagi dalam
penjelasan umum UU Bank Indonesia.45
Dalam Peraturan Bank Indonesia
No.17/24/PBI/2015 tentang Rekening Giro
di Bank Indonesia (PBI Rekening Giro di Bank
Indonesia) diatur bahwa selain Pemerintah,
pihak lain yang menurut UU atau menurut
penilaian Bank Indonesia perlu memiliki
rekening giro di Bank Indonesia dapat memiliki
rekening di Bank Indonesia. Apabila menurut
kajian Bank Indonesia pembukaan rekening
individu dalam rangka CDBC berkorelasi dengan
hal tersebut di atas maka pembukaan rekening
individu atau badan hukum non bank di Bank
Indonesia dapat dilakukan. Memperhatikan
ketentuan Pasal 52 UU Bank Indonesia dan
PBI Rekening Giro Di Bank Indonesia, individu
atau badan hukum dapat memiliki rekening
di Bank Indonesia.
89
43 Penjelasan Tim CBDC Bank of Ecuador dalam diskusi mengenai CBDCi.e. Dinero Electronico pada bulan Mei 2017 di Bank of Ecuador.
44 Dalam diskusi di DHK pada tanggal 15 Oktober 2017, Dr. Paramita, SH,LLM (Ahli Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universias Diponegoro)menyatakan bahwa OJK sebagai otoritas pengaturan dan pengawasanperbankan akan mimiliki keinginan untuk dapat melakukan pengawasanterhadap pelaksanaan CBDC di perbankan.
45 Di dalam penjelasan umum UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesiadisebutkan: Sesuai dengan amanat UUD 1945, BI ditunjuk sebagailembaga yang berwenang untuk mengeluarkan dan mengatur peredaranuang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Berhubung kelancaransistem pembayaran sangat penting bagi pelaksanaan kebijakan moneter,kepada BI diberikan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistempembayran. Agar tugas tersebut dapat dilaksanakan secara efektif,kepada BI perlu diberikan kewenangan dan tanggung jawab yang luasdalam mengatur dan melaksanakan kegiatan kliring dan jasa transferdana, serta penyelesaian akhir transaski pembayaran antar bank. Disamping itu, BI juga diberikan kewenangan dan tanggung jawab yangberkaitan dengan pengawasan jasa sistem pembayaran agar masyarakatluas dapat memperoleh jasa sistem pembayaran yang efisien, cepat,tepat dan aman.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa
pola/model penerbitan CBDC dapat dibagi
dalam dua model yaitu direct access dan
indirect access. Masing-masing pola akan
memiliki konsekuensi yang berbeda terhadap
ketentuan yang berlaku terkait rahasia bank.
Terkait pola direct access (bank sentral
mengadministrasikan rekening CBDC secara
langsung), bank sentral perlu tetap menjaga
rekaman penerbitan CBDC dan bahkan perlu
menjaga transaksi individu guna keperluan
otentifikasi dari transaksi yang pernah dilakukan
dan memberantas risiko cyber dan aktivitas
ilegal. Jika data CBDC, data pemiliknya dan
data transaksi CBDC dianggap sama dengan
data nasabah bank pada umumnya, maka
perlakuan kewajiban menjaga kerahasiaan
data CBDC pada bank sentral dan kewajiban
menjaga data simpanan pada bank komersial
menjadi dapat dianggap sama, yaitu sama-
sama diperlakukan sebagai rahasia bank. Jika
hal tersebut diberlakukan, maka untuk dapat
membuka data CBDC di bank sentral,
pembukaan rahasia bank pada bank sentral
perlu disesuaikan dengan ketentuan yang
berlaku pada bank umum. Untuk tahap awal,
implementasinya mungkin akan sulit karena
saat ini belum ada ketentuan yang mengatur
hal tersebut.
Dalam hal penerbitan CBDC menggunakan
model indirect access, dimana secara
administrasi CBDC dilakukan melalui pihak
perbankan maka pelaksanaan pemenuhan
ketentuan rahasia bank akan relatif lebih
mudah. Pihak perbankan sesuai dengan UU
Perbankan merupakan pihak yang wajib
mengikuti ketentuan kerahasiaan bank. Oleh
karena itu, pelaksanaannya tidak memerlukan
penyesuaian. Yang menjadi pertanyaan
kemudian adalah bagaimana perlakuan
ketentuan rahasia bank tersebut terhadap
Bank Indonesia sebagai bank sentral yang
secara teori/konsep akan mempunyai/memiliki
akses terhadap rekening CBDC (nasabah
individu). Mengenai hal ini, seharusnya
ketentuan kerahasiaan rekening nasabah akan
juga berlaku pada Bank Indonesia sehingga
memiliki perlakuan yang sama dengan pihak
perbankan.
IV. KESIMPULAN & SARAN
A. Kesimpulan
a. Kerangka hukum tentang kemungkinan
melakukan penetapan pemberlakuan dan
penerbitan CBDC di Indonesia dapat merujuk
pada ketentuan UU Mata Uang dan UU Bank
Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU
Mata Uang, yang disebut sebagai uang di
Indonesia adalah uang Rupiah yang terdiri dari
Rupiah kertas dan Rupiah logam. Jika CBDC
hendak ditetapkan dan diterbitkan Bank
Indonesia sebagai tambahan alat pembayaran
yang sah (legal tender), untuk saat ini
penerbitan dan pemberlakuannya tidak
mempunyai dasar hukum.
b. Eksistensi dari Pasal 2 UU Mata Uang yang
mengatur bahwa macam uang Rupiah terdiri
dari Rupiah kertas dan Rupiah logam tidak
berarti bahwa Bank Indonesia tidak dapat
menetapkan dan menerapkan CBDC berupa
alat pembayaran. Penetapan dan penerbitan
CBDC sebagai alat pembayaran dapat dilakukan
oleh Bank Indonesia berdasarkan Pasal 15 UU
Bank Indonesia. Namun, statusnya tidak sama
dengan uang Rupiah kertas dan Rupiah logam
(bukan legal tender).
c. Agar CBDC sebagai alat pembayaran semakin
kuat secara yuridis dan memiliki kekuatan yang
sama dengan legal tender, perlu adanya
penambahan ketentuan dalam UU Bank
Indonesia yang mengatur kewenangan Bank
Indonesia mengeluarkan CBDC sebagai alat
90
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
pembayaran yang memiliki kekuatan sebagai
legal tender.
d. Jika CBDC sebagai alat pembayaran ditetapkan
mempunyai kekuatan sebagai legal tender,
hal tersebut membawa konsekwensi bahwa
UU Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat dan UU Perlindungan
Konsumen tidak dapat dijadikan sebagai
landasan untuk mempersoalkan atau
menggugat penetapan dan pemberlakuan
CBDC.
e. Dalam menetapkan pemberlakuan dan
penerbitan CBDC dengan pola direct access,
Bank Indonesia perlu memperhatikan ketentuan
undang-undang perpajakan, UU PPTPPU dan
ketentuan terkait pemberantasan pendanaan
kejahatan global dan/atau kejahatan lainnya.
Dengan pola pendistribusian CBDC secara
direct access kepada Bank Indonesia berarti
Bank Indonesia selain menjadi pengatur juga
sebagai pihak yang wajib melaksanakan
ketentuan yang terkait untuk itu.
B. Saran
a. Apabila untuk mengakomodir kebutuhan di
masyarakat dipandang perlu untuk menetapkan
dan menerbitkan CBDC sebagai bagian dari
uang Rupiah yang merupakan legal tender di
Indonesia, perlu penambahan CBDC sebagai
tambahan macam (jenis) mata uang yang saat
ini telah diatur dalam UU Mata Uang, sehingga
UU Mata Uang menjadi mencakup macam
(jenis) Uang Rupiah digital selain Rupiah kertas
dan Rupiah logam.
b. Jika CBDC dipandang merupakan instrumen
pembayaran sesuai ketentuan Pasal 15 UU
Bank Indonesia, Bank Indonesia dapat
mengeluarkan kebijakan menetapkan CBDC
sebagai tambahan instrumen pembayaran.
91
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ben Dyson & Graham Hodgson, Digital Cash Why Central Banks Should Start Issuing Electronic Money, Positive Money,
Januari 2016.
Brian A. Garner, Black's Law Dictionary, New Pocket Edition.
Michael Bordo and Andrew Levin, Central Bank Digital Currency and the future of Monetary Policy.
Solikin & Suseno, Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Perannnya Dalam Perekonomian, Seri Kebanksentralan No. 1, Pusat
Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPKSK) Indonesia.
Artikel
Adisda Daniel, Digitacurrency vs Fiatcurrency.
Bank of Canada, The Many Faces of Canada's Currency, September 2010
Ben S. C. Fung and Hanna Halaburda, Central Bank Digital Currencies: A Framework for Assessing Why and How, Staff
Discussion Paper/Documen d'analyse du personnel 2016-22, Bank Canada, November 2016.
Björn Segendorf and Anna Wilbe, Does cash have any future as legal tender?, Sveriges Riksbank, No.9 2014
Carolyn Wilkins, Project Jasper: Lessons From Bank of Canada's First Blockchain Project, 10 Februari 2017
Citi, Ecuador Country Profile & OSEC, Business Network Switzerland, Ecuador Legal Provisions, Compiled by: Embassy
of Switzerland
Embajada Del Ecuador, Estados Unidos, 10 Things To Know Abotu Ecuador's Electronic Payment System, 20 September
2017.
European Central Bank, Virtual Currency Scheme - A Further Analysis, February 2015.
European Commision IP/10/331, Commission adopts a recommendation on the scope and effects of legal tender of euro
banknotes and coins, Brussels, 22 March 2010.
Eva Julin, Project Manager E-Krona Project/Deputy Head General Secretariat Sveriges Riksbank, dalam forum diskusi
dengan DHK di Sveriges Riksbank - Stockholm Swedia tanggal 2 November 2017.
Farida Peranginangin, dkk., Kajian Awal Central Bank Digital Currency dan Distributed Ledger Technology, Bank Indonesia.
92
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
IMF Staff Discussion Note, Virtual Currencies and Beyond: Initial Considerations, January 2016
James Chapman, Rodney Garratt, Scott Hendry, Andrew McCormack and Wade McMahon, Project Jasper: Are Distributed
Wholesale Payment System Fasicle Yet?
James Chapman, dkk. , Project Jasper: Are Distributed Wholesale Payment System Feasible Yet?.
Michael Bordo and Andrew Levin, Central Bank Digital Currency and the future of Monetary Policy
The Fed - FAQs, Is it legal for a business in the United States to refuse cash as a form of payment?
Scott Hendry, “An ongoing collabaration initiated by Payments Canada and the Bank of Canada to explore the possibility
of issuing, transferring and settling central bank-issued assets on a distributed ledger network”, forum Diskusi
Tim BI dengan Tim Bank of Canada pada tanggal 11 Mei 2017.
Peraturan
UU No.23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
UU No.30 Tahun 2014 tentang Adminstrasi Pemerintahan
93
94
I. Latar Belakang
1. Diperlukan adanya penyelarasan ketentuan, terutama sanksi atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA
dengan perkembangan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain aturan kepabeanan dan
peraturan perundangan lainnya mengenai pembawaan uang tunai ke dalam dan ke luar daerah pabean
Indonesia.
2. Meningkatkan efektivitas penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran ketentuan
pembawaan UKA, sehingga dapat meminimalisir adanya aktivitas pembawaan UKA lintas batas dalam
jumlah besar, tanpa underlying yang wajar.
3. Memperkuat sarana monitoring aktivitas pembawaan UKA oleh Bank Indonesia (BI) melalui kewajiban
pelaporan secara berkala Badan Berizin kepada BI.
II. Substansi Perubahan
1. Perubahan sanksi atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA yang semula berupa penegahan menjadi sanksi
kewajiban membayar berupa denda.
95
DAFTAR PERATURAN BANK INDONESIABESERTA RINGKASAN
PERIODE JANUARI - JUNI 2018
Tanggal JudulNomor
Jumlah Dan Nilai Nominal Uang Rupiah Yang
Dimusnahkan Tahun 2017
Berlaku: 30-01-2018
Ditetapkan: 26-01-2018
Diundangkan: 30-01-2018
No. 20/1/PBI/2018
Tanggal JudulNomor
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia
No. 19/7/PBI/2017 tentang Pembawaan Uang
Kertas Asing Ke Dalam dan Ke Luar Daerah Pabean
Indonesia.
Berlaku: 5 Maret 2018
Ditetapkan: 1 Maret 2018
Diundangkan: 5 Maret 2018
No. 20/2/PBI/2018
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
2. Norma pengaturan sanksi denda berdasarkan PBI sebagai berikut:
a. Semua orang yang tidak memiliki izin dan/atau Persetujuan Pembawaan UKA dikenakan sanksi denda
10% dari seluruh UKA yang dibawa, maksimal eq. Rp.300 juta.
b. Badan Berizin yang membawa UKA yang melebihi jumlah UKA yang disetujui BI dikenakan denda
10% dari selisih jumlah antara UKA yang dibawa dengan yang disetujui BI, maksimal eq. Rp.300 juta.
c. Selain dikenakan sanksi denda, Badan Berizin juga dapat dikenakan sanksi administratif dari Bank
Indonesia berupa:
1) Teguran tertulis;
2) Penghentian sementara kegiatan Pembawaan UKA ke dalam dan ke luar daerah pabean Indonesia;
dan/atau
3) Pencabutan Izin Pembawaan UKA.
3. Mekanisme pengenaan denda dilakukan sebagai berikut:
a. diambil langsung dari UKA yang dibawa;
b. dibayarkan dalam mata uang rupiah; dan/atau
c. dibayarkan dalam mata uang asing lainnya yang dapat ditukarkan di Indonesia.
4. Sanksi denda atas pelanggaran PBI Pembawaan UKA akan disetorkan ke dalam kas negara pada akun
pabean lainnya.
5. Kurs yang digunakan terkait dengan PBI Pembawaan UKA adalah sebagai berikut:
a. Kurs yang digunakan terkait dengan penentuan ambang batas (threshold) adalah kurs Kementerian
Keuangan.
b. Kurs konversi yang digunakan terkait dengan pembayaran denda apabila dilakukan dengan rupiah
atau mata uang asing lainnya adalah kurs jual pasar (market price) yang berlaku pada saat itu.
6. Penyesuaian atas jangka waktu berlakunya ketentuan PBI Pembawaan UKA menjadi sebagai berikut:
a. Penyesuaian waktu untuk dimulainya pengajuan izin dan persetujuan pembawaan UKA kepada Bank
Indonesia menjadi tanggal 4 Juni 2018.
b. Penyesuaian waktu berlaku efektifnya pengenaan sanksi terkait PBI Pembawaan UKA menjadi tanggal
3 September 2018.
7. Penambahan kewajiban pelaporan bagi Badan Berizin atas realisasi kegiatan Pembawaan UKA ke dalam
dan ke luar daerah pabean Indonesia. Laporan tersebut disampaikan kepada Bank Indonesia paling
lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak akhir periode Pembawaan UKA.
96
Tanggal JudulNomor
Giro Wajib Minimum Dalam Rupiah Dan Valuta
Asing Bagi Bank Umum Konvensional, Bank Umum
Syariah, Dan Unit Usaha Syariah
Berlaku: 16-07-2018
Ditetapkan: 29-03-2018
Diundangkan: 03-04-2018
No. 20/3/PBI/2018
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
I. Latar Belakang
1. Sebagai kelanjutan dari Reformulasi Kerangka Operasional Kebijakan Moneter yang telah dicanangkan
sejak tahun 2016 dalam rangka meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter, dilakukan langkah
percepatan penguatan manajemen likuiditas bank melalui penyempurnaan pengaturan Giro Wajib
Minimum (GWM) bagi lembaga perbankan konvensional dan syariah. Langkah penguatan tersebut
dilaksanakan dalam bentuk penambahan besaran GWM dalam rupiah bagi Bank Umum Konvensional
(BUK) yang wajib dipenuhi secara rata-rata, pemberlakuan kewajiban pemenuhan dan perhitungan
GWM secara rata-rata untuk GWM dalam valuta asing bagi BUK dan pemberlakuan kewajiban pemenuhan
dan perhitungan GWM secara rata-rata untuk GWM dalam rupiah bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan
Unit Usaha Syariah (UUS).
2. Penguatan ini merupakan upaya meningkatkan fleksibilitas pengelolaan likuiditas perbankan agar menjadi
lebih efisien sehingga dapat mendorong fungsi intermediasi perbankan dan mendukung pendalaman
pasar keuangan selain dapat menopang stabilitas pergerakan suku bunga pasar uang sebagai sasaran
operasional kebijakan moneter.
II. Substansi Pengaturan
1. Penambahan porsi GWM dalam rupiah rata-rata bagi BUK dari 1,5% menjadi 2% dari dana pihak ketiga
(DPK) dalam rupiah BUK.
2. Total kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah bagi BUK tidak berubah yaitu 6,5% dari DPK dalam
rupiah BUK.
3. Pemberlakuan GWM rata-rata dalam kewajiban pemenuhan GWM dalam valas BUK. Kewajiban pemenuhan
GWM dalam valas bagi BUK sebagian diubah dari pemenuhan secara harian menjadi secara rata-rata
sehingga pemenuhan kewajiban GWM dalam valas bagi BUK menjadi sebagai berikut:
a. GWM dalam valas yang wajib dipenuhi secara harian sebesar 6% (enam persen) dari DPK dalam
valas BUK; dan
b. GWM dalam valas yang wajib dipenuhi secara rata-rata sebesar 2% (dua persen) dari DPK dalam
valas BUK
4. Total kewajiban pemenuhan GWM dalam valas BUK tidak berubah yaitu 8% dari DPK dalam valas BUK.
5. Pemberlakuan GWM rata-rata dalam kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah BUS dan UUS. Kewajiban
pemenuhan GWM dalam rupiah BUS dan UUS sebagian diubah dari pemenuhan secara harian menjadi
secara rata-rata sehingga pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah BUS dan UUS menjadi sebagai berikut:
a. GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara harian sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam
rupiah BUS dan UUS; dan
b. GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi secara rata-rata sebesar 2% (dua persen) dari DPK dalam
rupiah BUS dan UUS
6. Total kewajiban pemenuhan GWM dalam rupiah BUS dan UUS tidak berubah yaitu 5% dari DPK dalam
rupiah BUS dan UUS.
97
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
7. Seluruh kewajiban pemenuhan GWM dalam valas BUS dan UUS tetap dipenuhi secara harian sebesar
1% dari DPK dalam rupiah BUS dan UUS.
8. Penyeragaman periode dalam penghitungan pemenuhan GWM. Calculation period, lag period, dan
maintenance period dalam penghitungan pemenuhan GWM Rupiah bagi BUK, GWM valas bagi BUK,
GWM Rupiah dan valas bagi BUS atau UUS menjadi masing-masing 2 minggu, 2 minggu, dan 2 minggu.
9. Pengecualian pemberlakuan GWM rata-rata dalam rupiah BUK yang menerima Pinjaman Likuiditas Jangka
Pendek (PLJP).
10. Pengecualian pemberlakuan GWM rata-rata dalam rupiah BUS yang menerima Pembiayaan Likuiditas
Jangka Pendek Syariah (PLJPS).
11. Perubahan pemberian jasa giro bagi GWM dalam rupiah BUK menjadi 0% (penihilan jasa giro).
12. Penyesuaian ketentuan pengenaan sanksi bagi BUK, yakni terkait pemberlakuan GWM rata-rata bagi
GWM dalam valas BUK menjadi 2 jenis sanksi yaitu sanksi untuk pemenuhan GWM secara harian dan
sanksi untuk pemenuhan GWM secara rata-rata.
13. Penyesuaian ketentuan pengenaan sanksi bagi BUS dan UUS, yakni terkait pemberlakuan GWM rata-
rata bagi GWM dalam rupiah BUS dan UUS menjadi 2 jenis sanksi yaitu sanksi untuk pemenuhan GWM
secara harian dan sanksi untuk pemenuhan GWM secara rata-rata.
14. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 2018.
15. Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam valuta asing bagi BUK secara harian dan rata-rata mulai
berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.
16. Ketentuan pemenuhan kewajiban GWM dalam rupiah secara harian dan rata-rata serta GWM dalam
valuta asing bagi BUS dan UUS mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.
I. Latar Belakang
1. Bank Indonesia memperkenalkan instrumen kebijakan makroprudensial yaitu Rasio Intermediasi
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
5. Pengaturan Giro RIM dan Giro RIM Syariah:
101
Pengaturan RIM (BUK) RIM Syariah (BUS dan UUS)
Besaran dan Parameter
Cakupan Kredit/Pembiayaan dan DPKuntuk perhitunganRIM/RIM Syariah
Sumber Data
Batas atas 92%
Batas bawah 80%
KPMM sebesar 14%
Parameter disinsentif atassebesar 0,2
Parameter disinsentif bawahsebesar 0,1
Kredit: rupiah dan valas
DPK BUK dalam rupiah danvaluta asing yaitu: (i) giro, (ii)tabungan, dan (iii) simpananberjangka/ deposito, tidaktermasuk dana antarbank.
LBBU
Batas atas 92%
Batas bawah 80%
KPMM sebesar 14%Bagi UUS, KPMM mengikuti KPMM BUKyang menjadi induk UUS.
Parameter disinsentif atas sebesar 0,2
Parameter disinsentif bawah sebesar 0,1
Pembiayaan: rupiah dan valas
DPK BUS atau UUS: dalam rupiah danvaluta asing yaitu: (i) dana simpananwadiah dan (ii) dana investasi tidakterikat, tidak termasuk dana antarbank.
LBBUS
Kriteria SB yang Dimiliki
% Surat Berharga yangDimiliki
Dalam bentuk obligasikorporasi dan/atau sukukkorporasi;
Dalam bentuk sukuk korporasi;
Diterbitkan oleh korporasi bukan bank dan oleh penduduk;
Ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering);
Memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat paling rendahsetara dengan peringkat investasi; dan
Ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasapenyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
100%
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
102
Pengaturan RIM (BUK) RIM Syariah (BUS dan UUS)
Kriteria SB yangDiterbitkan
Pelaporan suratberharga
Dalam bentuk MTN, FRN, dan/atau obligasi selain obligasisubordinasi;
Dalam bentuk MTN syariah dan/atausukuk selain sukuk subordinasi;
Cakupan DPK untukpemenuhan GiroRIM/Giro RIM Syariah
Kelonggaran atasPemenuhan GiroRIM/Giro RIM Syariah
BI dapat memberikan kelonggaran atas kewajiban pemenuhan Giro RIMatau Giro RIM Syariah terkait dengan penyaluran kredit/pembiayaan danpenghimpunan dana.
Pemberian kelonggaran tersebut dilakukan atas dasar permintaan BUK,BUS, dan UUS serta mempertimbangkan rekomendasi OJK.
Bagi BUK, BUS, dan UUS yang mendapatkan kelonggaran tersebut makaakan dikecualikan dari pengenaan sanksi.
Dimiliki bukan bank baik penduduk dan bukan penduduk;
Ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum (public offering);
Memiliki peringkat yang diterbitkan lembaga pemeringkat paling rendahsetara dengan peringkat investasi; dan
Ditatausahakan di lembaga yang berwenang memberikan layanan jasapenyimpanan dan penyelesaian transaksi efek.
Mekanisme penyampaian dilakukan secara offline (email).
Rata-rata harian total DPK BUKdalam rupiah pada seluruhkantor BUK di Indonesia, yangmeliputi kewajiban dalamrupiah kepada pihak ketigabukan bank, yang terdiri atas(i) giro, (ii) tabungan, (iii)simpanan berjangka/deposito,dan (iv) kewajiban lainnya.
Rata-rata harian total DPK BUS dalamrupiah atau DPK UUS dalam rupiah padaseluruh kantor BUS dan UUS di Indonesiayang meliputi kewajiban dalam rupiahkepada pihak ketiga bukan bank, baikkepada penduduk maupun bukanpenduduk, yang terdiri atas (i) danainvestasi wadiah, (ii) dana investasi tidakterikat, dan (iii) kewajiban lainnya.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
103
6. Pengaturan PLM dan PLM Syariah:
Pengaturan PLM (BUK, termasuk UUS) PLM Syariah (BUS)
Besaran
Komponen
Pemenuhan
Formula
Perhitungan
Fleksibilitas
Sumber Data
4% dari DPK BUK dalam rupiah
(termasuk DPK UUS).
Surat berharga dalam rupiah yang dimiliki
BUK yang dapat digunakan dalam
operasi moneter (antara lain
SBI/SDBI/SBN); dan surat berharga dalam
rupiah yang dimiliki UUS yang dapat
digunakan dalam operasi moneter syariah
(antara lain SBIS/SBSN).
Persentase kepemilikan surat berharga
dalam rupiah yang dimiliki oleh BUK dari
DPK dalam rupiah.
Dalam kondisi tertentu, surat berharga
yang digunakan untuk memenuhi PLM
dapat digunakan dalam transaksi repo
kepada Bank Indonesia dalam operasi
pasar terbuka, dengan jumlah paling
banyak ditetapkan sebesar 2% (dua
persen) dari DPK BUK dalam rupiah.
DPK BUK dalam rupiah untuk
pemenuhan PLM diperoleh dari LBBU.
DPK BUK dalam rupiah untuk perhitungan
PLM adalah rata-rata harian total DPK
BUK dalam rupiah pada seluruh kantor
BUK di Indonesia.
DPK BUK dalam rupiah meliputi (i) giro,
(ii) tabungan, (iii) simpanan berjangka/
deposito, dan (iv) kewajiban lainnya.
4% dari DPK BUS dalam rupiah.
Surat berharga syariah dalam rupiah yang
dimiliki BUS yang dapat digunakan dalam
operasi moneter syariah (antara lain
SBIS/SBSN).
Persentase kepemilikan surat berharga
syariah dalam rupiah yang dimiliki oleh
BUS dari DPK dalam rupiah.
Dalam kondisi tertentu, surat berharga
yang digunakan untuk memenuhi PLM
Syariah dapat digunakan dalam transaksi
repo kepada Bank Indonesia dalam
operasi pasar terbuka, dengan jumlah
paling banyak ditetapkan sebesar 2%
(dua persen) dari DPK BUS dalam rupiah.
DPK BUS dalam rupiah untuk pemenuhan
PLM Syariah diperoleh dari LBBUS.
DPK BUS dalam rupiah untuk perhitungan
PLM Syariah adalah rata-rata harian total
DPK BUS dalam rupiah pada seluruh
kantor BUS di Indonesia.
DPK BUS dalam rupiah meliputi (i) dana
simpanan wadiah, (ii) dana investasi tidak
terikat, dan (iii) kewajiban lainnya.
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
7. Kewajiban pemenuhan Giro RIM, Giro RIM Syariah, PLM, dan PLM Syariah tetap berlaku bagi:
a. Bank penerima PLJP/PLJP Syariah;
b. BUK/BUS yang melakukan penggabungan atau peleburan;
c. BUK yang melakukan perubahan kegiatan usaha menjadi BUS; dan
d. BUK yang melakukan pemisahan UUS menjadi BUS, dimana khusus untuk kewajiban PLM Syariah
akan berlaku 1 (satu) tahun sejak tanggal efektif pelaksanaan pemisahan UUS menjadi BUS.
8. Pemberlakuan:
a. Kewajiban pemenuhan Giro RIM dan PLM mulai berlaku pada tanggal 16 Juli 2018.
b. Kewajiban pemenuhan Giro RIM Syariah dan PLM Syariah mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 2018.
c. Kewajiban penyampaian laporan surat berharga bagi BUK dalam rangka pemenuhan kewajiban Giro
RIM mulai berlaku untuk laporan posisi bulan Mei 2018.
d. Kewajiban penyampaian laporan surat berharga syariahbagi BUS dan UUS dalam rangka pemenuhan
kewajiban Giro RIM Syariahmulai berlaku untuk laporan posisi bulan Agustus 2018.
I. Latar Belakang dan Tujuan
Dalam rangka mencapai tujuan Bank Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah,
Bank Indonesia melaksanakan pengendalian moneter dengan berdasarkan pada kebijakan moneter yang
terintegrasi dengan kebijakan makroprudensial serta kebijakan sistem pembayaran dan pengelolaan uang
rupiah. Kebijakan moneter tersebut diimplementasikan dalam pelaksanaan Operasi Moneter yang dapat
dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah. Untuk memperkuat efektivitas transmisi
kebijakan moneter, diperlukan upaya reformulasi kerangka kebijakan moneter yang berkesinambungan.
Upaya reformulasi yang dilakukan antara lain dalam bentuk penguatan ketentuan operasi moneter yang
mengatur tentang perizinan kepesertaan dalam operasi moneter.
II. Materi Pengaturan
1. Operasi Moneter bertujuan untuk mendukung pencapaian stabilitas moneter.
2. Operasi Moneter dilaksanakan di pasar uang dan pasar valuta asing secara terintegrasi.
3. Operasi Moneter dapat dilakukan secara konvensional dan berdasarkan prinsip syariah.
104
Tanggal JudulNomor
Operasi MoneterBerlaku: 16 April 2018
Ditetapkan: 12 April 2018
Diundangkan: 16 April 2018
No. 20/5/PBI/2018
Buletin Hukum Kebanksentralan • Volume 15, Nomor 1, Januari - Juni 2018
4. Operasi Moneter dilaksanakan melalui:
a. Operasi Pasar Terbuka (OPT), yang dapat dilaksanakan pada setiap Hari Kerja; dan
b. Standing Facilities, yang dilaksanakan pada setiap Hari Kerja.
5. OPT dapat diikuti oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sedangkan
Standing Facilities hanya dapat diikuti oleh Bank.
6. Operasi Moneter Konvensional (OMK) dilakukan dalam bentuk:
a. OPT Konvensional; dan
b. Standing Facilities Konvensional.
7. OPT Konvensional dilaksanakan dengan cara melakukan:
a. penerbitan SBI, SDBI, dan/atau SBBI Valas;
b. transaksi repurchase agreement (repo) dan/atau reverse repo surat berharga;
c. transaksi pembelian dan/atau penjualan surat berharga secara outright;
d. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam rupiah;
e. penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia dalam valuta asing;
f. jual beli valuta asing terhadap rupiah; dan/atau
g. transaksi lainnya baik di pasar uang rupiah maupun pasar valuta asing.