HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN BULETIN ISSN : 1693 - 3265 Volume 8, Nomor 3, September 2010 Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH) Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ? Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010 Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010
77
Embed
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN - bi.go.id · Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo ... prinsip akuntabilitas kepada publik dalam menetapkan ... hal apa saja bantuan kredit
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN
BULETIN ISSN : 1693 - 3265Volume 8, Nomor 3, September 2010
Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan
dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan
Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan
Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan
Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan
Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan
Resensi Buku: Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH)
Cakrawala Hukum: Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010
Volume 8, Nomor 3, September 2010
BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALANDirektorat Hukum Bank Indonesia
PelindungDeputi Gubernur Bidang Hukum Bank Indonesia
Penanggung JawabAhmad Fuad, Heru Pranoto, Agus Santoso
Pemimpin RedaksiAgus Santoso
Sekretaris RedaksiDyah Pratiwi
Dewan RedaksiZulkarnain Sitompul, Wahyudi Santoso, Sudarmaji, Bambang Djauhari, Herminingsih,
Rosalia Suci, Suprianto, Hari Sugeng Raharjo, Umi Widji. R.
Redaksi PelaksanaArief. R. Permana, Gufron Baehaki, Hilman Tisnawan,
Teddy Yusuf, Anton Purba, Kuwat Wijayanto
Mitra BestariProf. Dr. Erman Radjagukguk, SH, LLM
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLMProf. Dr. Huala Adolf, SH, LLMDr. Inosentius Samsul, SH, LLMDr. Lastuti Abubakar, SH, MH
Penanggung Jawab Pelaksana dan DistribusiTim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,
Direktorat Hukum Bank Indonesia
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan ini diterbitkan oleh Direktorat Hukum Bank Indonesia. Isi dan hasil penelitiandalam tulisan-tulisan dalam buletin ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Bank Indonesia.
Buletin ini pada awal tahun penerbitan, tahun 2003, diterbitkan 6 (enam) bulan sekali, yaitu pada bulan Juli dan Desember.Mulai tahun 2004 buletin ini terbit secara berkala pada bulan April, Agustus dan Desember, dan mulai tahun 2009, buletinditerbitkan pada bulan Januari, Mei, dan September. Peminat buletin ini dapat menghubungi Bagian Administrasi DirektoratStatistik Ekonomi dan Moneter, Gedung B Lt. 16, Jl. M.H. Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 8629, facsimile (021) 350 1931, email: [email protected]
Redaksi menerima sumbangan tulisan berupa artikel ilmiah atau semi ilmiah serta resensi buku berkenaan dengan hukumperbankan dan kebanksentralan. Tulisan tersebut dapat disampaikan kepada Tim Perundang-undangan dan Pengkajian Hukum,Direktorat Hukum Bank Indonesia, Gedung Tipikal Lt 9 Jl M.H Thamrin No. 2 Jakarta 10350, telepon (021) 381 7346, facsimile(021) 380 1430. Atas dimuatnya artikel dan resensi buku dimaksud, Redaksi memberikan uang jasa penulisan.
“Buletin ini dapat diakses melalui website Bank Indonesia di http://www.bi.go.id, pilih links riset, survey dan
publikasi, kemudian pilih publikasi”
Halaman ini sengaja dikosongkan
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Volume 8 Nomor 3, Edisi September 2010 kembali hadir dan menyapa
pembaca sekalian.
Pembentukan Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) sebagai amanat Pasal 34 UU Bank Indonesia harus dilakukan
untuk membangun industri jasa keuangan yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi guna mewujudkan
perekonomian yang mampu tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas
Jasa Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus dilihat
apakah dapat meningkatkan fungsi administratif kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa keuangan agar kebijakan
yang telah ditetapkan dilaksanakan secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan bebas dari berbagai penyimpangan
atau penyelewengan dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU berkaitan LPJK tidak boleh dilihat terpisah dari
UU lain yang terkait. Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU mengenai LPJK hendaknya secara sungguh mempertimbangkan
best practice dan dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan.
Menyoroti hal tersebut, dalam edisi kali ini Buletin akan khusus menghadirkan artikel berkaitan dengan rencana
pembentukan OJK, yaitu: Implikasi Landasan Hukum, Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian
Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral, yang ditulis oleh Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM;
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peran dan Fungsi Bank Indonesia di
Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Sistem Keuangan, yang ditulis oleh Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM;
Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan, Oleh Dr. Wimboh Santoso, Kepala Biro Stabilitas Sistem
Keuangan Bank Indonesia; Independensi Bank Indonesia dan Peran Baru Dalam Stabilitas Sistem Keuangan, oleh Drs. Ec.
Abdul Mongid, MA; serta Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan, oleh Oka Mahendra, SH;
Sementara itu, dalam rubrik Cakrawala Hukum, redaksi menampilkan pula seminar yang diselenggarakan oleh Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia: RUU OJK, Adakah Solusi ?
Selanjutnya sebagai referensi, redaksi juga telah menyediakan resensi buku: Konstitusi Ekonomi.
Akhirnya, guna memberikan pengkinian informasi produk perundang-undangan Bank Indonesia, buletin ini akan
memuat daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan Surat Edaran (SE) Ekstern Bank Indonesia dari bulan Mei sampai dengan
Oktober 2010, yang dilengkapi dengan Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, dengan harapan agar semakin mempermudah
pembaca dalam menelusuri dan mencari regulasi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia.
Selamat membaca.
Jakarta, September 2010
Redaksi
Dari Meja Redaksi
i
Halaman ini sengaja dikosongkan
Halaman
Dari Meja Redaksi............................................................................................................................................ i
Daftar Isi.......................................................................................................................................................... iii
Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan
dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RI....................................................................... 1 - 9
Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan
Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas Keuangan................................... 11 - 16
Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM
Peran Bank Sentral Dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan........................................................................ 17 - 22
Dr. Wimboh Santoso
(Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan, Bank Indonesia)
Bank Indonesia: Independensi, Pengawasan Bank dan Stabilitas Sistem Keuangan........................................... 23 - 36
Drs. Ec. Abdul Mongid, MA
Beberapa Catatan Terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan................................................................................. 37 - 43
Oka Mahendra, SH
Resensi Buku:
Konstitusi Ekonomi (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH).......................................................................................... 45 - 46
Veri Dhyatmika Adhiraharja
Cakrawala Hukum:
Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?................ 47 - 49
Redaksi
Daftar Peraturan Bank Indonesia dan Surat Edaran Ekstern Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010...................... 51 -53
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia, Mei - Oktober 2010................................................................................ 55 - 70
Tim Informasi Hukum
(Direktorat Hukum Bank Indonesia)
Buletin Hukum Perbankan dan KebanksentralanVolume 8, Nomor 3, September 2010
iii
Halaman ini sengaja dikosongkan
A. LANDASAN DAN STATUS BANK INDONESIA
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Bank
Indonesia (UUBI), Bank Indonesia adalah Lembaga
Negara yang independen. Sebagai Lembaga Negara
yang independen, Pemerintah dan/atau pihak-pihak
lainnya dilarang melakukan campur tangan terhadap
pelaksanaan tugas dan wewenang Bank Indonesia (BI).
Bahkan ditegaskan di dalam UUBI, BI wajib menolak
dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan
dari pihak-pihak yang disebutkan di muka.
Pelanggaran terhadap larangan campur tangan maupun
terhadap kewajiban untuk menolak campur tangan,
diancam penjara minimal 2 (dua) tahun, maksimal 5 (lima)
tahun serta denda minimal Rp 2 miliar, maksimal Rp 5
miliar. Demikian terangkum dalam Pasal 67 dan 68 UUBI.
B. INDEPENDENSI BI
Sebagai Lembaga Negara yang indepedenden, BI adalah
badan hukum yang status badan hukumnya diperoleh
melalui penetapan Undang-Undang (UU). BI adalah
badan hukum publik, dengan kriteria: cara pendiriannya
dilakukan penguasa negara berdasarkan UU, pelaksanaan
tugasnya berhubungan dengan publik, diberi wewenang
membuat peraturan sendiri yang mengikat masyarakat.
Saat ini produk peraturan tersebut dituangkan dalam
Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Adapun wewenang yang diberikan oleh UU kepada BI
antara lain wewenang mengelola kekayaan sendiri
terlepas dari APBN. Independensi BI memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada BI dengan
harapan akan dapat lebih besar meningkatkan efektivitas
pelaksanaan tugasnya. Namun di sisi lain, independensi
menuntut tanggung jawab yang lebih besar. Dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, posisi BI tampaknya
masih merupakan bagian dari Eksekutif. Konsekuensinya
Bank Indonesia dituntut transaparan dan memenuhi
prinsip akuntabilitas kepada publik dalam menetapkan
kebijakannya serta terbuka bagi pengawasan oleh
masyarakat.
Apakah sebenarnya hakekat independen itu, apakah
independen berarti BI steril sama sekali dari segala bentuk
intervensi?. Adakah batas-batas toleransinya?. Secara
teoritis, pada hakekatnya terminologi “independensi“
itu mempunyai cakupan yang sangat luas.
Independence: “the state or condition of being free from
dependence, subjection or control. Political independence
is the attribute of a nation or state which is enterely
autonomous and not subject to government, control or
dictation of any exterior power“. Independence: “not
depending on autority, self governing, not depend on
something for validity or efficiency, not supported by
public fund (for institution), unwilling to be under
obligation to others, independent of any political aprty
(for politician) (Riyanto Sastroadmodjo, 1999).
Jika dikaitkan dengan Independensi Bank Sentral, maka
independensi Bank Sentral seperti BI terkait hal-hal
sebagai berikut: Suatu Bank Sentral yang efektif harus
kuat dengan cakupan ekonomi yang luas dalam
operasinya dan terlepas dari campur tangan partisan
serta tekanan partai politik. Sebagai lembaga independen
di lingkungan pemerintahan suatu Negara, Bank Sentral
seharusnya memiliki kemampuan atau otoritas atau
kewenangan judgment dalam kaitannya dengan
persoalan kebijakan moneter suatu negara, namun tidak
dalam arti berada dalam posisi isolasi terhadap seluruh
kebijakan perekonomian suatu negara (Paul A Volcker,
Ex Chairman Board of Governors FRS US 79-87).
Itulah kualifikasi dan persyaratan suatu Bank Sentral
yang independence. Dalam praktek negara maju,
1
Implikasi Landasan Hukum Independensi dan Posisi Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pencapaian Tujuan dan Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia Sebagai Bank Sentral RIOleh: Prof. Dr. Nindyo Pramono, SH, LLM
kualifikasi dan persyaratan itu biasanya melekat dan
tercermin di dalam UU yang mengaturnya. Independen
diperlukan untuk pengembangan institusi dan
mempertahankan jati dirinya secara bertanggung jawab.
Independen sering terkait dengan prinsip politik yang
dianut suatu pemerintah, secara historical maupun
tradisional, terutama terletak pada masalah keuangan
pemerintah.
Di Amerika Serikat (United State/US ) pemberian status
independen Federal Reserve ( FDR ) atau Bank Sentral
UU BI merupakan derivatif dari ketentuan pasal 23 UUD
1945.
Artinya kedudukan Bank Sentral dalam struktur
ketatanegaraan terpatri atau memperoleh mandat dari
konstitusi yang sekaligus memberikan jaminan dari konstitusi
untuk Bank Sentral yang independen.
Apabila diperhatikan secara mendalam, maka penafsiran
bahwa Bank Sentral ditentukan dalam pasal 23D UUD 1945
adalah Bank Indonesia, sebagaimana telah pula ditentukan
dalam pasal 4 ayat (1) UU BI. Berdasarkan hukum Bank
Indonesia telah ditentukan sebagai Bank Sentral dan
kedudukannya diakui oleh konstitusi.
Untuk itu dapat dipahami berbagai pendapat yang mengkaji
kedudukan bank sentral yang independen dalam konstitusi.
Seperti dikatakan oleh Arend Lijhart, bahwa “A central
bank can be made particularly strong if us independence
is enshrined not just a central bank charter but in the
constitution”. Sementara itu, John Elster menyatakan pula,
bahwa “…they cannot be change through the ordinary
legislative pocess but require a more stringent procedure".3
Konstitusi itulah yang menjadi desain utama dan pokok
dari keseluruhan sistem aturan yang berlaku sebagai
pegangan bersama dalam kehidupan warga Negara dalam
suatu Negara, yang keseluruhannya membentuk suatu
kesatuan sistem hukum. Karena itu, hukum dan konstitusi
disuatu Negara itu haruslah menjadi sesuatu yang hidup
dalam praktek kehidupan bernegara sehari-hari. Dari sinilah
kita dapat meyakini “the rule of law” atau prinsip supremasi
hukum (supremacy of law) dapat benar-benar diwujudkan
dalam kenyataan. Jika tidak, niscaya prinsip “the rule of
law” dan “supremacy of law” itu hanya menjadi jargon
atau slogan kosong belaka.4
11
Implementasi Pasal 34 Undang-Undang Tentang Bank Indonesia dan Dampaknya Pada Peranan dan Fungsi Bank Indonesia Di Bidang Moneter, Sistem Pembayaran dan Stabilitas KeuanganOleh: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, LLM**
** Mendapat Sarjana Hukum dari USU (1983), Magister Hukum dari Universitas Indonesia (1994), Doktor dari Universitas Indonesia (2001), Guru Besar Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU (2004), Dosen Fakultas Hukum USU Medan, tahun 1987-sekarang, Dosen Pascasarjana Hukum USU Medan, tahun 1999-sekarang, Dosen Magister Manajemen Pascasarjana USU Medan, tahun 2002, Dosen Magister Kenotariatan Pascasarjana USU Medan, tahun 2002-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Pancasila Jakarta, tahun 2001-sekarang, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Univ. Krisnadwipayana Jakarta, tahun 2001–2002, Dosen Magister Hukum Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM), Jakarta, tahun 2003-sekarang. Magister Hukum Pascasarjana Universitas Islam, Jakarta, tahun 2004-sekarang. Dosen Magister Hukum Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, 2005. Dosen Penguji dan Pembimbing Disertasi Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Indonesia, tahun 2002-sekarang. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Ketua Program Doktor Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, Tahun 2006-sekarang.
1 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1982), hal. 224-225.
3 Arend Lijphart dan jon Elster dalam Maqdir Ismail, “Independensi, Akuntabilitas, dan Transparansi Bank Indonesia sebagai Bank Sentral: Studi Perbandingan Undang Undang Bank Indonesia”, Disertasi pada Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia (2005), hal.263.
4 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar Pilar Demokrasi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hal.79.
Dalam konteks kedudukan Bank Sentral dalam konstitusi
memberikan penjelasan bahwa tata urutan atau susunan
hierarkis tatanan hukum berkenaan dengan kegiatan
perbankan, termasuk pengawasan bank, harus bertitik
tolak kepada ketentuan yang mengatur tentang Bank
Sentral sebagaimana telah ditentukan dalam konstitusi.
Sebab apabila dipostulasikan dengan norma dasar, konstitusi
menempati urutan tertinggi dalam hukum nasional.
Konstitusi tidak hanya menentukan organ-organ dan
prosedur pembentukan undang undang, tetapi juga sampai
derajat tertentu, isi dari hukum yang akan datang. Konstitusi
menentukan secara negatif bahwa hukum tidak boleh
memuat isi tertentu, misalnya bahwa parlemen tidak boleh
mengesahkan (rancangan) undang undang yang
bertentangan dengan konstitusi.5
Dengan demikian, peranan dan tugas Bank Indonesia yang
independen sebagai Bank Sentral sebagaimana ditentukan
dalam konstitusi, harus dipertahankan kedudukannya,
termasuk tidak ada undang-undang yang akan datang yang
dapat mencabut fungsi dan tugas bank Indonesia. Mengingat
peranan dan tugas bank Indonesia sangat penting dan
berpengaruh sangat besar terhadap kehidupan berbangsa
dan bernegara, terutama yang berhubungan dengan masalah
ekonomi, perbankan dan keuangan. Selanjutnya
independensi Bank Indonesia harus dipahami juga sebagai
suatu hal yang penting untuk menjamin demokrasi.6
Kedudukan Independensi Bank Indonesia
Independensi merupakan salah satu isu penting dalam
membahas peran Bank Sentral. Memiliki suatu bank sentral
yang independen mungkin merupakan elemen proses
reformasi moneter yang memicu perdebatan sengit dan
dianggap sangat kontroversial pada dekade yang lalu. Secara
alamiah para politisi merasa tidak nyaman memberikan
independensi kepada bank sentral karena mengurangi
kewenangan dalam bidang-bidang penting yang selama ini
mereka miliki. Namun demikian keprihatinan para politisi
memberikan independen kepada bank sentral sebenarnya
tidak berdasar. Independensi tidak berarti bank sentral bebas
menjalankan kebijakan moneter yang mereka inginkan.
Independen berarti bank sentral dapat menggunakan
instrumen yang dimilikinya untuk mencapai tujuan yang
telah ditetapkan oleh sistem politik tanpa adanya campur
tangan dari pihak diluar bank sentral. Ini yang disebut
dengan ”instrument independence” bukan ”goal
independence”. Konsekwensi independen bagi bank sentral
adalah harus lebih akuntabel untuk tindakan yang dilakukan
dan kebijakan moneter yang dilakukan secara transparan.
Menarik untuk dicermati bahwa meskipun pada awalnya
ada keraguan dalam memberikan independensi kepada
bank sentral pada akhirnya masyarakat sangat puas terhadap
independensi bank sentral. Tidak ada satu negara pun yang
menyesal telah memberikan independensi kepada bank
sentralnya.7 Terdapat kesepakatan diantara para ahli bahwa
bank sentral independen yang bebas dari campur tangan
pemerintah dapat mencapai tujuan menjaga stabilitas harga
dengan lebih baik. Untuk mencapai kestabilan harga
dibutuhkan waktu lebih panjang dan komitmen tinggi
terhadap pengawasan moneter.
Alan S. Blinder menyatakan bahwa independensi bank
sentral dapat berarti dua hal. Pertama, bank sentral memiliki
kebebasan untuk menentukan bagaimana untuk mencapai
tujuannya, dan kedua, keputusan-keputusan yang diambil
olehnya sulit untuk dibatalkan oleh cabang-cabang atau
lembaga pemerintahan lainnya.8 Kebebasan dalam
menentukan bagaimana untuk mencapai tujuannya bukan
berarti bahwa bank sentral dapat menentukan sendiri
tujuannya, karena tujuan bank sentral secara umum tentu
saja ditetapkan melalui legislasi yang disepakati bersama
melalui suatu sistem demokrasi. Tapi yang dimaksud adalah
bahwa bank sentral memiliki diskresi yang luas mengenai
bagaimana menggunakan instrumen-instrumennya untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui undang-
undang.9
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
12
5 Bandingkan. Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, (Bandung, penerbit Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 180-181.
inilah yang harus diatasi yang menurut Rogoff (1985)
dengan mendelegasikan kebijakan moneter kepada
bank sentral yang independen tetapi juga banker bank
sentral yang konservatif.
Pandangan ini akhirnya memberi jalan pada
perkembangan studi model ekonomi politik baru bank
sentral dengan memperhitungkan tujuan fungsional
bank sentral sebagai kompromi antara tujuan
menciptakan stablitas harga dan menciptkan
kesempatan kerja sebagaimana dinyatakan oleh
Cukierman, Kiguel and Liviatan (1992). Dalam model
ini independensi bank sentral cukup mampu mendorong
inflasi rendah walaupun studi lebih lanjut menunjukan
variasi regional yang signifikan.
Kajian mengenai ekonomi politik terkait peran bank
sentral dan kebijakan moneter menyimpulkan pentingnya
aspek politik dan kelembagaan dalam penentuan
kebijakan moneter baik di negara maju dan berkembang.
Secara umum disimpulkan bahwa peran kelompok-
kelompok sosial dan politik, bank sentral yang independen
dan preferensi sektor swasta sangat penting dalam
menentukan kebijakan bank sentral (Cukierman, Kiguel
and Liviatan : 1992). Dalam sebuah makalahnya Epstein
(2005) berpendapat bahwa bank sentral secara historis
memainkan peran aktif sebagai agen pembangunan
ekonomi karena itu nilai baru independensi bank sentral,
demokrasi, transparansi dan akuntabilitas (harus menjadi
nilai baru bank sentral dimanapun saja.
Di banyak negara, aspek politik yang kondusif mendukung
pencapaian inflasi yang rendah. Makanya Epstein (1992)
mengembangkan model ekonomi politik dari bank sentral
yang memperhitungkan berbagai kepentingan yang
saling bersaing dalam perekonomian dan efeknya pada
fungsi dan tujuan bank sentral. Kesimpulanya adalah
politik menentukan kebijakan dan disain kelembagaan
bank sentral. Dalam studi lain terkait hubungan politik
dan kebijakan moneter, Henning (1994), menunjukkan
bahwa preferensi sektor swasta memainkan peran penting
dalam formulasi kebijakan moneter dan manajemen nilai
tukar. Preferensi sektor swasta merupakan hasil hubungan
struktural antara perbankan dan industri.
Gutiérrez (2003) menyatakan bahwa rendahnya
hubungan antara independensi bank sentral secara
hukum dan inflasi mungkin tergantung pada apakah
independensi itu dijalankan secara benar atau tidak.
Artinya apakah independensi secara legal itu diterapkan
secara benar sebagaimana di Negara maju meruakan
masalah tersendiri. Karena itu memperhatikan dokumen
hokum saja tidak mencukupi. Dvorsky (2000) mengukur
derajad independensi bank sentral di Negara transisi
eropa timur meliputi Czech, Hungaria, Polandia, Slovakia
dan Slovenia menggunkan pendekatan Cukierman,
Kiguel and Liviatan menyimpulkan independensi bank
sentral tidak memadai untuk inflasi rendah tetapi perlu
reformasi ekonomi dan koordinasi antara sector moneter
dan fiscal. Sturm and de Haan (2001) menemukan
bahwa bank sentral perlu bekerjasama dengan dengan
lembaga lain untuk inflasi yang rendah dan independensi
saja tidak cukup. Hanya negara yang inflasinya sangat
tinggi saja independensi sangat efektif dalam jangka
pendek.
25
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Hasil empiris itu menimbulkan pertanyaan apakah
independensi bank sentral masih relevan bagi negara
sedang berkembang? Jawabnya Ya. Dari berbagai
macam literature akademis tercipta konsesnus bahwa
independensi bank sentral diperlukan walaupun semua
sepakat bahwa independensi secara legal saja tidak
cukup. Perlu ada kewenangan lain untuk mengatasi
tekanan inflasi. Harus ada perangkat kelembagaan lain
yang berfungsi mendukung peran ini.
Karena itu definisi independensi perlu dijelaskan lebih
detail antara independensi secara legal dan aktual.
Secara legal independensi adalah jaminan secara
konsitusional tentang fungsi bank sentral dan khususnya
terkait dengan hubungannya dengan pemerintah.
Aktual dimaksudkan sebagai independensi dari sisi
otonomi dalam hubungannya dengan pemerintah.
Cukierman, Kiguel and Liviatan (2007) menggunakan
istilah yang serupa yaitu independensi de jure dan de
facto. De Jure adalah independensi dari sisi legalitas
dalam undang undang dan ini digunakan sebagai proksi
untuk independensi de facto.
Grilli, Masciandaro, dan Tabellini (1991) menfokuskan
pada dua dimensi penting yaitu independensi politis dan
independensi ekonomi. Sementara Debelle dan Fisher
(1994) mengkategorikan independensi dari sisi Tujuan
(goal) dan Perangkat (instrument). Tujuan dimaksudkan
sebagai kemampuan menentukan tujuan tanpa campur
tangan langsung dari pemerintah. Independensi
instrumen dimaksudkan sebagai kemampuan bank
sentral dalam memilih kebijakan yang ingin dilakukan.
Dalam kontek Indonesia, status kelembagaan BI yang
independen yang tercantum pada pasal 4 UU No. 23
Tahun 1999. Independensi artinya bebas dari campur
tangan pemerintah dan pihak-pihak luar lainnya dalam
melakukan kebijakan moneter. Dengan UU yang baru
ini, pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur
tangan terhadap pelaksanaan tugas BI. BI dalam
melaksanakan tugasnya wajib menolak dan mengabaikan
segala bentuk campur tangan terhadap tugas BI, maupun
dewan gubernur dan pejabat BI yang tidak menolak
campur tangan pihak lain, dikenai ancaman pidana berat
dan denda yang besar. Pertimbangan mendasar BI dalam
menjalankan kebijakan moneter adalah untuk tujuan
menstabilkan nilai rupiah.
C. Pengawasan Bank
Seperti diketahui amanat membuat lembaga pengawas
bank yang baru ada sejak diundangkannya UU bank
sentral nomor 23 tahun 1999. Pembentukan lembaga
pengawas yang baru ini selain memang mengikuti
trend pemisahan pengawasan bank di negara maju
seperti Inggris dan Australia, juga didorong oleh krisis
perbankan 1998. Krisis yang membuat pemerintah
mengeluarkan dana rekapitalisasi perbankan sebesar
Rp 420 triliun dipandang sebagai bukti kegagalan BI
dalam melakukan fungsi pegawasan.
26
Tabel I. Sistem Pengawasan Bank
Institusional
Functional
Integrasi
Twin Peaks
Bentuk Ciri-Ciri Umum
Menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah status badan hukum dari perusahaan tersebut baik dalam hal safety dan soundness serta pelaksanaan bisnis
Menentukan regulator mana yang akan mengawasi sebuah institusi adalah transaksi bisnis yang dilakukan oleh perusahaan, tanpa mempedulikan status hukum dari perusahaan tersebut. Masing-masing lini bisnis diawasi oleh regulator masing-masing
Terdapat sebuah regulator tunggal yang melaksanakan pengawasan dalam hal safety dan soundness, begitu juga conduct of business, untuk seluruh lembaga yang berada di sektor keuangan
Bentuk regulation by objective, yaitu pemisahan antara fungsi regulatory menjadi dua (2) regulator: salah menjalankan fungsi supervisi safety dan soundness, sementara yang lainnya fokus pada conduct of business
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
27
Setelah UU BI diamandemen melalui UU No. 3 tahun
2004, pemikiran pembentukan OJK masih ada.
Berdasarkan Pasal 34 dinyatakan tugas mengawasi bank
nantinya akan dilakukan oleh lembaga pengawasan
sektor jasa keuangan yang independen dan dibentuk
dengan UU. Lembaga pengawas ini selambat-lambatnya
31 Desember 2010. Sebelumnya berdasar UU 23 tahun
1999, OJK dibentuk paling lambat akhir tahun 2004.
Tapi kemudian pemerintah bersama DPR sepakat merevisi
UU 23 Tahun 1999 tentang BI menjadi UU 3/2004.
Di dunia saat ini sebenanrya ada empat sistem
pengawasan lembaga keuangan yang dapat ditemui
di dunia. Pertama, sistem pengawasan institutisional
yaitu sistem pengawasan dimana lembaga pengawas
didasarkan pada status badan hukum lembaga tersebut.
Secara umum ini sistem yang mayoritas dengan bank
sentral sebagai pengawas mendominasi diatas 70%.
Kedua, sistem pengawaan fungsional, dimana
pengawasan lembaga keuangan dilakukan oleh berbagai
lembaga yang berbeda sesuai fungsi bisnis lembaga itu.
Contohnya asuransi akan diawasi lembaga pengawas
asuransi. Jika bank menjalankan bisnis asuransi, maka
bank akan diawasi lembaga pengawas asuransi juga.
Jadi sebuah lembaga keuangan akan diawasi oleh
banyak pengawas tergantung aktifitas bisnisnya.
Ketiga, sistem pengawasan terintegrasi yaitu semua
lembaga keuangan diawasi oleh lembaga pengawasan
yang tunggal dengan cakupan pengawasan yang luas
baik untuk aspek mikroprudensial, makroprudensial
dan praktek bisnisnya. Konsep ini diterapkan di Inggris,
Australia dan Belanda. Model pengawasan demikian
inilah yang sedang kita gagas dengan OJK. Terakhir,
twin peak yaitu sistem pengawassan berbasis pada
tujuan dimana ada pemisahan antara fungsi supervisi
safety dan soundness di satu sisi dengan fungsi pada
praktek bisnis.
Keempat sistem itu adalah selalu punya untung dan
rugi. Artinya apakah pengawasan lembaga keuangan
yang terpisah dari bank sentral atau menyatu dalam
bank sentral adalah sama baiknya asal semuanya berfugsi
dan menjalankan fungsinya dengan baik. Pengawasan
lembaga keuangan oleh OJK akan sangat efektif ketika
lembaga keuangan saling terkait seperti ketika bank
memiliki produk yang terkait dengan pasar modal. Ada
semacam efisiensi pengawasan yang akan dapat
dinikmati karena pengawasan bank, pasar modal dan
lembaga keuangan lain ada dalam satu pengendalian.
Selain itu akan terhindar dari conflict of interest antara
macroprudential dan microprudential supervision.
Mengacu pada kasus Century Artaboga, konsolidasi
pengawasan produk bank dan non-bank menjadi lebih
efektif karena tergabung dalam satu institusi.
Sementara kalau pengawasan bank dibawah bank
sentral, koordinasi kebijakan antara sektor moneter
dan perbankan yang lebih lancar. Demikian juga dengan
akses informasi kondisi perbankan sebelum bank sentral
mengambil keputusan terkait kebijakan moneter. Dari
sisi sistem pembayaran, akan meningkatkan reliabilitas
sistem pembayaran karena BI juga merupakan
penyelenggara sistem pembayaran nasional. Terkait
dengan krisis likuiditas, keberadaan BI sebagai pengawas
akan menjamin tersedianya likuiditas bagi perbankan
ketika terjadi liquidity shortage sehingga diharapkan
mengurangi risiko sistemik karena kecepatan
pengambilan keputusan (crisis prevention).
Namun bagi negara berkembang dimana perbankan
adalah lembaga keuangan utama dalam sistem
keuangan, manfaat efisiensi pengawasan sepertinya
tidak akan diperoleh. Makanya literatur ekonomi
(Goodhard dll) menyatakan sebaiknya Negara
berkembang tidak menyatukan pengawasan perbankan
ke dalam OJK. Sayangnya pandangan pentingya bank
sentral tetap sebagai pengawas bank kurang terdengar
akhir akhir ini.
Apakah sistem keuangan kita sudah membutuhkan
pengawasan terkonsolidasi semua lembaga keuangan
dalam satu lembaga? Rasanya itu belum mendesak
karena produk keuangan kita saat ini relative sederhana.
Bahkan perbankan menguasai porsi pembiayaan lebih
dari 80%. Demikian juga dengan integrasi perbankan
dengan pasar modal sangat rendah karena pasar modal
belum cukup berkembang.
Kita menyadari masalah otoritas dan pengawasan jasa
keuangan bukan sekedar masalah efisiensi ekonomi saja
tetapi lebih banyak nuansa politis. Jabaran teori ekonomi
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
politiknya adalah pemerintah sebagai lembaga politis
sebenarnya tidak rela bank sentral, yang notabene adalah
profesional terlalu menguasai keputusan ekonomi. Ingat
profesional memperoleh kekuasaan karena keahlian.
Sementara politisi memperoleh kekuasaan karena mereka
berjuang dengan kampanye dan perjuangan politis.
Politisi memiliki pendukung yang harus dipuaskan.
Sehingga kewenangan bank sentral yang besar membuat
ruang gerak politisi/pemerintah makin terbatas. Makanya
independensi diberikan tetapi pengawasan diambil
politisi.
Pengalaman membuktikan apapun struktur
pengawasannya, bank sentral atau OJK, hampir tidak
ada pengaruhnya terhadap kinerja pengawasan.
Kegagalan Nothern Rock Bank di Inggris buktinya. Studi
empiris membuktikan yang lebih penting dan lebih
menentukan kinerja pengawasan adalah suprastruktur
dan lingkungan operasional pengawas seperti
independensi operasional, akuntabilitas dan transparansi
pengawas bank dalam menjalankan tugasnya. Bukan
struktur kelembagaanya. Makanya kalau partai
Konservatif di Inggris menang dalam pemilu kedepan,
pengawassan bank akan dikembalikan ke Bank Of
England kembali.
Secara tradisional tujuan pengaturan dan pengawasan
bank adalah untuk mencapai dan menjaga agar lembaga
keuangan menjadi sehat dan aman. Artinya agar
lembaga keuangan beroperasi dengan mengindahkan
prinsip pengelolaan lembaga keuangan yang sehat dan
berhati hati. Ini untuk menjamin kepentingan nasabah
baik deposan maupun debitur. Fungsi otoritas dalam
hal ini adalah mewakili kepentingan nasabah (delegated
monitor) dengan mengawasi prilaku lembaga keuangan.
Sekarang ini terjadi pergeseran yaitu pengawasan
lembaga keuangan juga diarahkan untuk mencegah
jangan sampai lembaga keuangan menjadi sumber dari
krisis ekonomi (systemic risk). Tujuan ini sering disebut
sebagai mencapai stabilitas sistem keuangan. Seperti
diketahui krisis ekonomi merupakan situasi yang sangat
merugikan karena krisis mampu menghancurkan sendi-
sendi ekonomi yang lama dibangun suatu negara.
Ongkos penyelesaian dan dampak krisis sangat mahal
dan dapat menyeret ekonomi suatu negara mundur
sepuluh tahun kebelakang. Dari berbagai krisis ekonomi,
ternyata sumbernya beragam baik dari sisi perbankan,
nilai tukar, hutang luar negeri dan lainnya. Namun
kalau diperhatikan, mayoritas krisis berasal dari lembaga
keuangan atau ketika lembaga keuangan tidak sehat,
mereka menjadi pemicu maupun pemacu (accelerator)
krisis.
D. Peran Bank Sentral dalam Stabilitas Sistem
Keuangan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
Indonesia mengatur tentang peran dan tugas Bank
Indonesia sebagai sebagai otoritas moneter. Dalam
perkembanganya peran sebagai otorita moneter
dirasakan kurang memadai karena cakupan otoritas
moneter hanya terbatas pada aspek stabilitas harga.
Dalam perkembngan ekonomi modern yang makin
komplek seperti saat ini peran bank sentral dalam
stabilitas sistem keuangan makin diperlukan.
Konsep stabilitas sistem keuangan atau stabilitas
keuangan jauh lebih luas dari stabilitas moneter. Stabilitas
moneter hanya mengacu pada stabilitas harga (price
stability). Artinya merupakan salah satu konsep kestabilan
yang skopnya lebih kecil tetapi punya peranan penting
adalah stabilitas moneter. Stabilitas moneter (monetary
stability) didefiniskan sebagai stabilitas harga dimana
perekonomian mengalami inflasi dalam jumlah yang
relatif kecil yaitu 1-2% setahun. Deflasi juga ancaman
terhadap stabilitas moneter namun karena isu deflasi
sangat jarang terjadi maka kurang menjadi perhatian.
Kalau melihat UU No 23/99 tentang Tugas Bank
Indonesia yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah maka
secara singkat merupakan upaya mengurangi inflasi
menjadi dasar bagi pertumbuhan ekonomi jangka
panjang yang berkelanjutan (sustainable economic
growth). Pertumbuhan ekonomi menjadi isu global
dan nasional saat ini secara politik penentu selalu
menjalankan pertumbuhan ekonomi sebagai bukti
keberhasilan dalam pembangunan.
Sementara stabilitas sistem keuangan memiliki cakupan
yang luas walaupun definisi baku stabilitas sistem
keuangan (SSK) belum disepakati. Ada banyak definisi
kestabilan sistem keuangan diantaranya:
28
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
John Chant (2003) menyatakan instabilitas adalah
keadaan pasar yang merugikan perekonomian yang
mengancam kinerja ekonomi sehingga melumpuhkan
kondisi keuangan rumah tangga, perusahaan dan
pemerintah dan membuat arus dana terbatas. Keadaan
a. Proses pengisian anggota Dewan Komisioner sebagaimana diatur dalam Pasal 5 RUU sebagian besar diisi secara ex
officio (5 diantara 7 anggota Dewan Komisioner),yaitu 1 dari Bank Indonesia, 1 dari Kementerian Keuangan, dan 3 dari
unsur Otoritas Jasa Keuangan.
b. Karena ex officio maka masa jabatan Dewan Komisioner tersebut tergantung kepada masa jabatan pada instansi asalnya.
c. Tidak ada kesetaraan dalam proses rekrutmen. Ada yang perlu mendapat konfirmasi DPR, ada yang diusulkan melalui
Menteri Keuangan kepada Presiden dan ada yang langsung kepada Presiden, yaitu yang berasal dari Kementerian
Keuangan (periksa Pasal 6 RUU)
d. Sebagai konsekuensi proses rekrutmen seperti tersebut di atas terdapat kecenderungan bahwa anggota Dewan Komisioner
dari instansi tertentu terpengaruh oleh kebijakan instansinya.
Sehubungan dengan itu proses rekrutmen anggota Dewan Komisioner perlu diperbaiki. Ada beberpa pola yang dapat diacu,
yaitu pola rekrutmen KPK, Hakim Konstitusi, Hakim Agung, atau Komisi Yudisial.
8. Jumlah Dewan Komisioner perlu dipertimbangkan untuk merampingkan agar lebih efektif dan efisien. Kiranya Dewan
Komisione cukup 5 orang. Struktur organisasi Otoritas Jasa Keuangan perlu dipertimbangkan kembali agar tidak ada kesan
Otoritas Jasa Keuangan dalam Otoritas Jasa Keuangan. Pasal 5 ayat (4) yunto Pasal 20, dan Pasal 21, Kepala Eksekutif
mempunyai kewenangan yang luas baik dalam menetapkan kebijakan operasional pengawasan, menetapkan aturan,
melakukan pengawasan, maupun menetapkan sanksi administratif. Tiga kewenangan menumpuk di tangan Kepala Eksekutif
tanpa mekanisme kontrol yang jelas. Pasal 13 ayat (2) huruf c dan ayat (3) huruf f RUU secara sumir menentukan bahwa
Dewan Komisioner mempunyai fungsi dan wewenang untuk mengawasi pelaksanaan tugas pengawasan yang dilaksanakan
oleh Kepala Eksekutif. Perlu dicatat bahwa Kepala Eksekutif adalah juga anggota Dewan Komisioner. Selain itu ketentuan
pidana yang diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan, menambah perkasa Kepala Eksekutif.
Sebab setiap orang yang sengaja mengabaikan, tidak memenuhi atau menghambat pelaksanaan kewenangan Kepala
Eksekutif, diancam dengan pidana. Penumpukan kewenangan disatu jabatan dalam organisasi tidak sejalan dengan prinsip
pemisahan kekuasaan dengan mekanisme checks and balances yang jelas. Sifat kolektif Dewan Komisioner sebagaimana
diatur Pasal 5 ayat (2) kehilangan maknanya.
9. Kedudukan Otoritas Jasa Keuangan di luar pemerintah. Ada beberapa alternatif yang dapat dipilih selain seperti yang diatur
dalam RUU. Pilihannya antara lain kedudukannya sebagai bagian dari lembaga independen atau badan hukum publik yang
mandiri. Bila ditempatkan sebagai bagian dari lembaga independen, tentunya lembaga yang bergerak di bidang pengawasan
jasa keuangan, untuk keterpaduan pengawasan seperti yang ditentukan dalam Pasal 4 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa
Keuangan dan untuk efisiensi.
10. Tugas Otoritas Jasa Keuangan
Pasal 4 ayat (1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan tugas Otoritas Jasa Keuangan melakukan pengaturan
dan pengawasan secara terpadu, independen, dan akuntabel terhadap:
a. kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan;
b. ..……..
c. ……….
40
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
41
Menurut Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia menentukan tugas mengawasi bank akan dilakukan oleh lembaga
pengawasan sektor jasa keuangan yang independen. Dalam penjelasannya dikemukakan bahwa lembaga tersebut fungsinya
antara lain melakukan pengawasan terhadap bank …. dan seterusnya. Lembaga tersebut yang ditekankan sebagai supervisory
body dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dengan koordinasi
dengan Bank Indonesia. Apakah yang dimaksud dengan tugas pengawasan terhadap bank dalam ketentuan ini? Bila
merujuk kepada UU tentang Bank Indonesia tugas pengawasan dimaksud meliputi hal-hal yang diatur dalam Pasal 27 s/d
Pasal 33 UU tentang Bank Indonesia sebagai berikut:
a. Pengawasan langsung dan tidak langsung (Pasal 27).
b. Mewajibkan bank menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan (Pasal
28 ayat (1)).
b. Pemeriksaan berkala maupun setiap waktu (Pasal 29 ayat (1)).
c. Memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan tertentu (Pasal 31).
d. Mengatur dan mengembangkan sistem informasi antar bank (Pasal 32).
e. Melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terkait perbankan yang berlaku dalam
hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkuta
dan atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian
nasional (Pasal 33).
Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (1) antara lain dikemukakan bahwa Lembaga pengawasan ini dapat mengeluarkan ketentuan
yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank dngan koordinasi dengan Bank Indonesia dan meminta
penjelasan dari Bank Indonesia keterangan dan data makro yang diperlukan.
Sehubungan dengan itu rumusan Pasal 4 ayat (1)dan ayat (3) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu disesuaikan dengan
ketentuan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia dan penjelasannya, serta pasal yang terkait. Demikian pula Penjelasan
Umum RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan yang beberapa kali mengulang pernyataan yang kurang tepat bahwa Pasal
34 UU tentang Bank Indonesia “memberikan otoritas pengaturan dan pengawasan kepada lembaga pengawasan sektor
jasa keuangan” atau untuk ”menyelenggarakan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di
bidang Perbankan, Pasar Modal, dan IKNB”.
11.Secara teknis perundang-undangan apakah UU tentang Otoritas Jasa Keuangan dapat mewajibkan atau membolehkan
instansi lain untuk melaksanakan tugas atau kegiatan tertentu? Periksa Pasal 37, Pasal 46 ayat (2), Pasal 48, Pasal 49 ayat
(1) dan Pasal 50 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan. Seharusnya subyek yang diatur UU tentang Otoritas Jasa Keuangan
adalah Otoritas Jasa Keuangan. Karena itu formulasi pasal-pasal tersebut perlu disempunakan agar tidak terkesan mengatur
instansi atau lembaga lain yang tunduk kepada Undang-undang tersendiri yang menjadi dasar hukum pembentukannya
atau yang memberi kewenangan untuk melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenang tertentu.
12.Pasal 37 ayat (2) UU tentang Otoritas Jasa Keuangan menentukan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia dapat
berkoordinasi dan bekerjasama dalam pengawasan bersama atas kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan. Pertanyaannya
ialah apakah pengawasan disini berupa pengawasan makro atau mikro atau keduanya? Perlu dikemukakan bahwa
kewenangan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan merupakan bagian dari fungsi Bank Indonesia sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 8 UU tentang Bank Indonesia.
13.Pasal 37 ayat (4) menentukan “dalam pengawasan bersama Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan langsung
dan/atau tidak langsung terhadap bank”. Ayat ini mengatur kembali apa yang sebetulnya merupakan kewenangan Bank
Indonesia. Bukankah kewenangan Bank Indonesia tersebut telah diatur dalam UU tentang Bank Indonesia?
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
14.Jenis-jenis peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Ada 3 jenis peraturan Otoritas Jasa Keuangan, yaitu:
a. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang mengikat secara umum (Pasal 1 angka 2).
b. Peraturan Dewan Komisioner yang mengikat dilingkungan internal Otoritas Jasa Keuangan (Pasal 1 angka 3).
c. Peraturan Kepala Eksekutif sebagai aturan teknis dalam rangka pelaksanaan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan dan/atau
Peraturan Dewan Komisioner dan mengikat secara umum (Pasal 1 angka 4).
Sesuai dengan UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penjelasan Pasal 7 ayat (4)
memang dikenal adanya jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh lembaga yang pembentukannya
berdasarkan Undang-undang. Tetapi jenis peraturan seperti itu hanya diakui dan mengikat bila diperintahkan pembentukannya
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Jadi dalam hal ini tidak dikenal adanya atribusi kewenangan
pengaturan seperti ditentukan dalam UU tentang Otoritas Jasa Keuangan. Seharusnya hanya ada satu jenis peraturan yang
dapat dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan, yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan yang jelas-jelas didelegasikan
pembentukannya oleh UU tentang Otoritas Jasa Keuangan.
15.Pasal 30 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan memberi kewenangan kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk menetapkan
dan memungut biaya yang wajib dibayar oleh industri jasa keuangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terhadap pasal ini, yaitu:
a. Ketentuan peraturan perundang-undangan mana yang mewajibkan industri jasa keuangan untuk membayar biaya
tertentu kepada Otoritas Jasa Keuangan? Biaya apa yang dimaksud?
b. Apakah biaya tersebut termasuk PNBP atau bukan?
c. Besaran biaya apakah ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan atau oleh instansi lain? Apa dasarnya?
d. Perlu dicek apakah peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang telah member kewenangan kepada instansi
lain untuk memungut biaya dimaksud?
Bila hal tersebut tidak jelas pengaturannya, dikawatirkan terjadi tumpang tindih/duplikasi pemungutan biaya yang akan
memberatkan industri jasa keuangan dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
16.Pelaporan dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 36 RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu disesuaikan
dengan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU tentang Bank Indonesia yang menentukan Otoritas Jasa Keuangan menyampaikan
laporan kepada BPK dan DPR.
17.PPNS sebagaimana diatur dalam Pasal 41 apakah dapat diangkat dari Pegawai Negeri yang dipekerjakan pada Otoritas Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (3) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan? Ketentuan tentang PPNS
tersebut perlu diharmonisasikan dengan KUHAP dan UU tentang Kepegawaian.
18.Ketentuan peralihan terutama yang berkaitan dengan pengalihan status kepegawaian pegawai Bank Indonesia yang
melaksanakan tugas dan wewenang di bidang pengawasan bank, pengaliahan infrastruktur dan kekayaan negara pada
Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan di bidang perbankan, untuk
digunakan sementara oleh Otoritas Jasa Keuangan agar dipertimbangkan dengan seksama. Jangan jangan tidak ada lagi
yang tersisa di Bank Indonesia karena semua hal tersebut merupakan infrastruktur dan kekayaan yang diguakan untuk
mendukung tugas pengaturan dan pengawasan Bank Indonesia terhadap perbankan. Selain itu ketentuan Pasal 46 ayat
(1) RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan perlu ditelaah dengan seksama terutama mengenai:
a. Apakah yang dialihkan dari Bank Indonesia tugas dan wewenang pengaturan dan pengawasan atau tugas yang secara
ekplisit ditentukan dalam Pasal 34 ayat (1)
UU tentang Bank Indonesia?
42
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
b. Apakah waktu 3 tahun cukup dan bagaimana agendanya secara rinci sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal
34 ayat (2) UU tentang Bank Indonesia?
c. Dalam Penjelasan Pasal 34 ayat (2) UU tentang Bank Indonesia dikemukakan penyerahan bertahap tersebut dilaporkan
kepada DPR, tetapi RUU tidak menyinggung hal tersebut.
Satu hal yang perlu dipertimbangkan yaitu perkembangan model pengawasan finansial dan regulasi dan peran bank central
dalam pengawasan prudential di dunia perlu dijadikan pertimbangan. Masahiro Kawai and Michael Pomerleano (ADB
Institute No. 189, January 2010, halaman 10 antara lain mengemukakan ”Of the 84 countries listed in the table, 30 have
an integrated prudential supervisor, 20 have supervisory agencies in charge of two types of financial intermediaries, and
34 have multiple sectoral supervision. The central bank of 48 countries (57% of the total) have the authority of banking
supervision, and of these 48 countries 39 (81%) are developing and emerging economies. It is informative to note that in
countries with multiple sectoral supervisors, central bank almost always have this supervisory authority.”
Sebagai catatan akhir dapat dikemukakan satu pertanyaan yang perlu dijawab pembentuk Undang-undang, yaitu siapakah
yang mengawasi Otoritas Jasa Keuangan yang memiliki kewenangan cukup besar dalam mengawasi industri jasa keuangan
yang menjadi urat nadi perekonomian nasional?
43
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
Sejenak setelah membaca judul buku terbaru karya Prof.
Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, tak banyak dari pembaca yang
bertanya-tanya, apa sebenarnya maksud dari ‘konstitusi
ekonomi’. Hal ini sangat wajar karena literatur/referensi
mengenai ekonomi maupun hukum yang membahas materi
‘konstitusi ekonomi (economic constitution) masih sangat
jarang baik di Indonesia maupun di dunia. Wacana tentang
konstitusi ekonomi itu sendiri dapat dikatakan memang
masih baru. Namun, usaha untuk mengaitkan konstitusi
dengan perekonomian di berbagai negara sebenarnya
sudah dimulai sejak lama. Sejak tahun 1918, Soviet-Rusia
yang bersifat komunis telah mencantumkan pasal-pasal
perekonomian dalam undang-undangnya. Sedangkan di
Jerman yang menganut paham liberal, sejak Konstitusi
Weimar 1919 telah mengadopsi ide pengaturan prinsip-
prinsip kebijakan ekonomi dalam undang-undang dasar.
Tradisi tersebut juga dikembangkan secara lebih luas oleh
Irlandia dalam Konstitusi tahun 1937 dengan memperkenalkan
konsep Directive Principles of Social Policy (DPSP) yang
kemudian ditiru oleh banyak Negara non-komunis.
Pengertian dan Pentingnya
Prof. Jimly dalam bukunya tersebut menguraikan pengertian
dan pentingnya konstitusi ekonomi di suatu Negara.Suatu
konstitusi disebut sebagai Konstitusi Ekonomi jika memuat
kebijakan ekonomi. Kebijakan-kebijakan itulah yang akan
memayungi dan memberi arahan bagi perkembangan
kegiatan ekonomi suatu negara. Pengaturannya dapat
bersifat rinci dan eksplisit maupun bersifat fleksibel atau
bahkan hanya memuat rambu-rambu filosofis yang bersifat
implisit (misalnya di Amerika Serikat, Kanada, Australia,
dan Jepang). Kebijakan-kebijakan ekonomi yang dituangkan
dalam konstitusi suatu Negara tersebut bersifat mutlak
dan tidak boleh dilanggar oleh penentu kebijakan ekonomi
yang bersifat operasional. Jika kebijakan-kebijakan ekonomi
tersebut bertentangan dengan UUD, maka tidak lagi
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Di negara-negara demokrasi konstitusional selalu terdapat
mekanisme peradilan untuk membatalkan atau menyatakan
bahwa undang-undang atau sebagian materi undang-
undang yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan
hukum yang mengikat, hal inilah yang biasa disebut judicial
review, di Indonesia fungsi ini dilaksanakan oleh Mahkamah
Konstitusi.
Pada buku Prof.Jimly sebelumnya yang berjudul Green
Constitution: Nuansa Hijau Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (2009), beliau menguraikan
kecenderungan menuangkan kebijakan lingkungan hidup
dalam bentuk undang-undang yang dapat dipaksakan
berlakukanya secara imperatif. Namun, karena ternyata
hanya diatur dengan undang-undang saja, daya paksa
kebijakan lingkungan itu tidak cukup kuat dan efektif
menghadapi persaingan dengan kepentingan lain. Mirip
dengan hal tersebut, berbagai kebijakan ekonomi yang biasa
dituangkan dalam bentuk undang-undang sering disusun
tanpa rambu-rambu hukum yang dapat dijadikan acuan
yang mengikat. Sehingga berkembang kebutuhan untuk
menuangkan dasar-dasar kebijakan ekonomi itu dalam
konstitusi yang dapat dijadikan pegangan oleh legislatif
sebagai penentu kebijakan Negara dan pemerintahan (policy
maker) dalam menyusun suatu undang-undang di bidang
perekonomian.
Secara umum, buku karya Prof Jimly ini memusatkan
perhatian pada fenomena konstitusi ekonomi dengan
45
Resensi Buku
Judul : Konstitusi EkonomiPenulis : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SHPenerbit : Penerbit Buku Kompas, Januari 2010 (ISBN: 978-979-709-465-2)Halaman : xvi + 440 halamanOleh : Veri D. Adhiraharja
menguraikan aspek-aspek UUD 1945 sebagai konstitusi
ekonomi. Isi buku terdiri atas delapan bab, yaitu (1)
Kedudukan Konstitusi dalam Penyelenggaraan Negara, (2)
Wacana Konstitusi Ekonomi, (3) Konstitusi Ekonomi Pelbagai
Negara, (4) Konstitusi Ekonomi Indonesia Sebelum
Reformasi, (5) Konstitusi Ekonomi Indonesia Pascareformasi,
(6) Mahkamah Konstitusi dan UU tentang Perekonomian,
(7) Realisme dan Konstitusionalisme Kebijakan Ekonomi,
dan (8) Simpulan dan Penutup.
Tipe Konstitusi Ekonomi
Dari sejumlah konstitusi yang diperbandingkan dalam buku
ini, secara umum terdapat empat tipe konstitusi ekonomi,
yaitu Pertama, konstitusi Liberal-Kapitalis, seperti Amerika,
Kanada, Inggris dan Australia. Pada tipe ini memandang
bahwa soal-soal perekonomian biasa dilihat sebagai
persoalan yang timbul dan dapat diselesaikan sendiri dalam
masyarakat sesuai mekanisme pasar. Sehingga dalam
perumusan materi terkait dengan ekonomi dan keuangan
dalam konstitusinya hanya yang berhubungan dengan
moneter, fiskal dan anggaran.
Kedua, Konstitusi Ekonomi Negara komunis, seperti China,
Soviet-Rusia, Vietnam dan Korea Utara. Pada dasarnya pada
konstitusi ekonomi negara yang termasuk dalam tipe kedua
ini, menyebutkan bahwa semua sarana dan prasarana
produksi dimiliki oleh negara, organisasi masyarakat dan
koperasi. Kekayaan milik negara merupakan hak milik seluruh
masyarakat. Sehingga pemerintah mempunyai peranan utama
dalam kegiatan ekonomi di negara-negara berpaham komunis.
Tipe konstitusi ekonomi yang ketiga, Konstitusi Ekonomi
Negara-negara eks komunis, seperti Polandia, Hongaria dan
Polandia. Setelah runtuhnya komunisme, pada kelompok
ini telah mengalami pergeseran yang sangat mendasar ke
arah liberalisme.
Keempat, adalah Konstitusi Ekonomi negara-negara non
komunis, seperti Perancis, Brasil, Spanyol, Filipina, dan
India. Pada tipe ini secara umum mencantumkan materi
perekonomian lebih lengkap dalam konstitusinya. Bahkan
pada konstitusi di beberapa negara memberikan
kewenangan kepada lembaga/badan independen tertentu
untuk berperan dalam pengembangan ekonomi di
negaranya, misalnya Dewan Ekonomi dan Sosial di Perancis
dan Badan Perencanaan Ekonomi di Filipina.
Namun demikian pada dasarnya semua konstitusi ekonomi
di dunia selalu mengatur sekurang-kurangnya (i) tentang
penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam
sebagai warisan kehidupan, (ii) tentang konsepsi hak milik
perorangan, dan (iii) mengenai peranan negara dan
perusahaan negara dalam kegiatan usaha. Bahkan, banyak
juga konstitusi yang mengatur kebijakan ekonomi itu secara
lebih luas dan terperinci.
UUD 1945: Konstitusi Ekonomi Indonesia
Melihat keempat tipe konstitusi ekonomi sebagaimana
disebutkan di atas, Indonesia lebih pas masuk dalam kategori
Konstitusi Ekonomi nonkomunis.Hal ini terlihat dengan jelas
setelah reformasi konstitusi di Indonesia berhasil diselesaikan
tahun 2002, rumusan baru pasal-pasal perekonomian dalam
UUD 1945 mencakup lingkup materi yang cukup luas dan
memepertegas konsepsi dasar di bidang perekonomian
dan kesejahteraan rakyat. Butir-butir ketentuan tersebut
mencakup (i) prinsip-prinsip dasar hak atas ekonomi dan
konsepsi mengenai hak milik, (ii) kebijakan dasar di bidang
perekonomian untuk kesejahteraan social, (iii) kebijakan
dasar di bidang kesejahteraan social, (iv) hal keuangan
Negara yang menyangkut kebijakan anggaran dan
perpajakan, (v) mata uang dan bank sentral, (vi) pemeriksaan
keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan. Keenam hal
tersebut dibahas secara mendalam pada buku ini.
Penutup
Sebagai pendiri dan ketua pertama Mahkah Konstitusi
(2003-2008) serta sebagai penggerak wacana literatur
yang membahas konstitusi ekonomi, Prof. Jimly menjadikan
buku ini sebagai referensi utama untuk mengkaji konstitusi
ekonomi. Paparan Prof. Jimly pada buku ini disampaikan
secara deskriptif dan tak sedikit bersifat evaluatif, juga
mengupas tuntas sejarah konstitusi ekonomi di dunia.
Sedikit masukan kepada buku ini dari peresensi, khususnya
mengenai penjelasan konstitusi di berbagai negara terdapat
pengulangan pembahasan mengenai pemuatan kebijakan
lingkungan hidup pada konstitusi di suatu negara.
Akhirnya, peresensi juga merekomendasikan bahwa buku
ini sangat tepat dibaca oleh ahli dan praktisi hukum, pejabat
negara penentu kebijakan, civitas akademika dan masyarakat
umum.
46
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Pada tanggal 17 Juni 2010, Ikatan Sarjana Ekonomi
Indonesia (ISEI) mengadakan seminar dengan Judul “RUU
OJK, Adakah Solusi Alternatif” di Hotel Borobudur. Seminar
diselenggarakan dalam rangka memberikan masukan
terhadap RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang saat ini
sedang disusun oleh Pemerintah. Pembicara seminar adalah
AA. Oka Mahendra, Dr. Dradjad H. Wibowo, Drs Sigid
Pramono, MBA (Ketua Perbanas) dan Aviliani, SE, MSi.
Dalam pandangannya, pembicara berpendapat bahwa RUU
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang disusun oleh Pemerintah
berdasarkan amanat Pasal 34 UU BI, dilakukan dengan
pertimbangan untuk membangun industri jasa keuangan
yang sehat, teratur dan mempunyai daya saing yang tinggi
guna mewujudkan perekonomian yang mampu tumbuh
secara berkelanjutan dan stabil.
Namun demikian, pembentukan Lembaga Pengawas Jasa
Keuangan (LPJK) harus dicermati dari berbagai aspek. Dari
aspek filosofis, pembentukan UU mengenai LPJK harus
dilihat apakah dapat meningkatkan fungsi administratif
kontrol dan manajerial kontrol terhadap otoritas jasa
keuangan agar kebijakan yang telah ditetapkan dilaksanakan
secara taat asas sesuai peraturan perundang-undangan
bebas dari berbagai penyimpangan atau penyelewengan
dalam rangka pencapaian tujuan. Dari aspek yuridis, RUU
OJK tidak boleh dilihat terpisah dari UU lain yang terkait.
Dari aspek sosiologis, penyusunan RUU OJK hendaknya
secara sungguh mempertimbangkan best practice dan
dinamika perkembangan di sektor jasa keuangan. Oleh
karena itu, dalam penyusunan RUU OJK perlu diperhatikan
perkembangan model pengawasan finansial dan regulasi
dan peran bank sentral dalam pengawasan prudensial.
Pada dasarnya, Pasal 34 UU BI memuat janji karena baik
pada ayat (1) dan ayat (2) menggunakan kata “akan”
bukan “mewajibkan”atau “mengharuskan”. Dari ketentuan
Pasal 34 dan penjelasannya dapat diperoleh informasi
bahwa:
1. Pembentukan lembaga pengawasan sektor jasa
keuangan (LPJK) dibentuk dengan UU.
2. Lembaga tersebut harus bersifat independen dalam
menjalankan tugasnya dan kedudukannya berada di
luar pemerintah dan berkewajiban menyampaikan
laporan kepada BPK dan DPR.
3. Dalam melaksanakan tugasnya, lembaga tersebut
melakukan koordinasi dan kerja sama dengan BI.
Koordinasi dan kerja sama tersebut diatur dalam undang-
undang pembentukan lembaga pengawasan dimaksud.
4. Lembaga tersebut dapat mengeluarkan ketentuan yang
berkaitan dengan pelaksanaan tugas pengawasan bank
dengan koordinasi BI dan meminta penjelasan dari BI,
keterangan dan data mikro yang diperlukan.
Pembentukan lembaga pengawasan jasa keuangan harus
mendukung peran BI sebagai Bank Sentral, serta tidak boleh
memperluas atau mempersempit tugas, fungsi, dan
kewenangan LPJK, khususnya berkaitan dengan pengawasan
bank. Terhadap hal-hal yang secara tegas telah ditentukan
dalam UU BI menjadi fungsi, tugas dan wewenang lembaga
pengawasan dimaksud tidak terbuka untuk ditafsirkan lain,
hanya hal-hal yang belum jelas arahan pengaturannya
terbuka untuk ditafsirkan dengan menggunkan metode
peafsiran sesuai dengan doktrin hukum.
Dalam kesempatan tersebut, salah satu pembicara yaitu
Bp. AA Oka Mahendra secara tegas mengusulkan alternatif
solusi Pasal 34 UU BI, yaitu:
1. Dibandingkan “Otoritas”, nama yang lebih tepat
diusulkan adalah Lembaga Pengawasan Jasa Keuangan.
Otoritas Jasa Keuangan seperti usulan Pemerintah
memiliki makna yang sangat luas, sebagai kekuasaan,
wewenang, hak melakukan tindakan atau hak untuk
membuat peraturan untuk memerintahkan orang lain
(Kamus Besar Bahasa Indonesia)
47
Cakrawala Hukum:Seminar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia, RUU Otoritas Jasa Keuangan, Adakah Solusi Alternatif ?
2. Sifat kelembagaan independen, dengan status diluar
pemerintah.
3. Fungsi: melakukan pengawasan terhadap bank dan
perusahaan sektor jasa keuangan lainnya yang meliputi
asuransi, dana pensiun, sekuritas, modal ventura, dan
perusahaan pembiayaan serta badan lain yang
menyelenggarakan pengelolaan dana masyarakat.
4. Tugas dan wewenang :
a. Mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan,
keterangan dan penjelasan sesuai dengan tata cara
yang ditetapkan (Pasal 28 UU BI)
b. Melakukan pemeriksaan (Pasal 29 UU BI)
c. Memerintahkan bank untuk menghentikan sebagian
atau seluruh transaksi tertentu apabila menurut
penilaian lembaga terhadap transaksi patut diduga
merupakan tindak pidana perbankan (Pasal 31 UU
BI)
d. Dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan
dengan pelaksanaan tugas pengawasan Bank
dengan koordinasi BI dan meminta penjelasan BI
mengenai keterangan dan data makro yang
dibutuhkan (Penjelasan Pasal 34 ayat (1) UU BI)
5. Pimpinan: Dewan Gubernur/Dewan Komisioner/Dewan
Komisioner dan kepala Eksekutif/Dewan Direktur/Chief
Executif Officer (CEO).
6. Rekrutmen pimpinan: pemilihan oleh panitia seleksi
independen, diajukan oleh Pemerintah atau lembaga
Negara dengan rekomendasi atau persetujuan DPR.
7. Jumlah pimpinan 5-9 orang sesuai kebutuhan organisasi
agar tugas dapat dijalankan secara efektif dan efisien.
8. Pembiayaan: APBN dengan kewenangan pengelolaan
mandiri/biaya sendiri dari fee/sumber pembiayaan lain
yang sah.
Sementara itu Drajad Wibowo mengemukakan bahwa
kelahiran Pasal 34 UU BI merupakan kompromi politis dan
melahirkan pengaturan yang bersifat abu-abu. Dalam hal
ini Drajad menilai bahwa terdapat pertentangan antara
Pasal 8 dan Pasal 34 UU BI. Pasal 8 UU BI belum dicabut
dan bersifat definitif dan direktif, sementara itu sifat Pasal
34 UU BI adalah rencana, sebagaimana frasa “akan
dilakukan”. Berkaitan dengan amanat tersebut, yang
direncanakan (bukan diperintahkan) oleh Pasal 34 ayat (1)
UU BI adalah pembentukan LPJK. Batang tubuh Pasal 34
menyebutkan kata “pengawasan” bukan Otoritas.
Selanjutnya disebutkan bahwa lembaga pengawasan ini
dapat mengeluarkan ketentuan yang berkaitan dengan
pelaksanaan tugas pengawasan Bank dengan koordinasi
Bank Indonesia. Ketentuan ini tidak secara otomatis
memberikan kekuasaan “pengaturan” tetapi hanya berupa
“dapat mengeluarkan ketentuan” yang bisa ditafsirkan
sebagai penjabaran peraturan.
Dari sisi ketentuan perundang-undangan, Drajad melihat
bahwa rencana pembentukan OJK bukan perintah UU BI.
Pasal 34 hanya merencanakan pembentukan LPJK, dengan
Pasal 8 butir c menyebutkan tugas BI adalah mengatur dan
mengawasi bank. Lebih lanjut Drajad mengemukakan bahwa
pengawasan Bank merupakan titik terlemah BI yang
membuat modal politik BI negatif. Kelemahan tersebut tidak
terletak pada investigasi, penemuan dan diagnosis masalah
oleh jajaran di bawah Dewan Gubernur, namun terletak
pada pengambilan keputusan oleh Dewan Gubernur BI.
Keberadaan lembaga pengawas keuangan yang bersifat
“integrated supervision” ataupun pengawasan oleh bank
sentral bukan merupakan sesuatu yang superior/mutlak.
Pengawasan bank yang terpisah dari bank sentralnya,
seperi FSA yang terpisah dengan Bank of England tidak
menjamin selamanya bahwa sistem perbankan akan aman.
Amerika Serikat dengan pengawasan oleh The Fed juga
mengalami kebobolan, malah menjadi sumber krisis
keuangan dunia pada tahun 2008 akibat kegagalan
mengawasi perilaku spekulatif bank dan inovasi produk
derivative berbasis subprime mortgage.
Berkaitan dengan krisis perbankan yang terjadi di Inggris,
karena dianggap tidak dapat melakukan koordinasi, maka
pengawasan bank yang semula dilakukan oleh FSA
dikembalikan kepada bank sentralnya (Bank of England).
Dari pertimbangan praktis, berdasarkan survey yang
dilakukan oleh perbanas, diketahui bahwa hampir 90%
bank masih menginginkan pengawasan dilakukan oleh
Bank Indonesia. Dalam hal ini Bank sebagai pelaku bisnis
selalu mempertimbangkan cost dan efisiensi dalam
48
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
mengelola bisnisnya, sehingga sangat menghindari adanya
premi yang dibebankan kepada industri. Bank menganggap
pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia sudah
baik dan sangat ketat. Sementara itu dari pandangan
ekonom, Aviliani mengemukakan bahwa faktor koordinasi
dan integrasi pengawasan menjadi isu yang penting dalam
rangka antisipasi dan penanganan krisis, sehingga tidak
terlalu material apakah pengawasan bank ada di Bank
Sentral ataukah pada pembaga khusus yang akan dibentuk.
Dari pandangan pakar tersebut, dapat disimpulkan bahwa
tidak ada yang dapat menjamin suatu negara terluput dari
krisis apabila pengawasan bank dilakukan oleh bank sentral
maupun oleh lembaga di luar bank sentral. Namun
demikian, dalam rangka antisipasi krisis maka isu terpenting
adalah adanya koordinasi pengawasan yang dilakukan
terhadap institusi bank dan non bank.
49
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
51
Daftar Peraturan Bank Indonesia (PBI)Mei - Oktober 2010
12/8/PBI/2010
12/9/PBI/2010
12/10/PBI/2010
12/11/PBI/2010
12/12/PBI/2010
12/13/PBI/2010
12/14/PBI/2010
12/15/PBI/2010
12/16/PBI/2010
12/17/PBI/2010
12/18/PBI/2010
12/19/PBI/2010
12/20/PBI/2010
12/21/PBI/2010
Tanggal Satker Perihal LN & TLNPeraturan
3-6-2010
29-6-2010
1-7-2010
2-7-2010
4-8-2010
4-8-2010
13-8-2010
23-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
4-10-2010
4-10-2010
19-10-2010
DPU
DPNP
DPD
DPM
DASP
DASP
DPU
DInt
DPD
DPM
DPM
DPNP/DKM
DKBU/DPbS
DPNP/DPbS
Perubahan Kedua atas PBI No.7/40/PBI/2005 tentang Pengeluaran dan Pengedaran Uang Kertas Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005
Prinsip Kehati-hatian Dalam Melaksanakan Aktivitas Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum
Perubahan Ketiga Atas PBI No. 5/13/PBI/2003 tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum
Operasi Moneter
Perubahan atas PBI No.10/2/PBI/2008 tentang Bank Indonesia - Scripless Securities Settlement System
Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991
Perubahan atas PBI No.10/34/PBI/2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka oleh Bank Indonesia
Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah
Perubahan atas PBI No.10/36/PBI/2008 tentang Operasi Moneter Syariah
Perubahan atas PBI No.10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah dan Valuta Asing
Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme bagi Bank Perkreditan Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Rencana Bisnis Bank
LN 71
LN 82 TLN 5139
LN 83 TLN 5140
LN 84 TLN 5141
LN 93 TLN 5146
LN 94 TLN 5147
LN 96
LN 97
LN 106 TLN 5153
LN 107
LN 108
LN 115 TLN 5158
LN 116 TLN 5159
LN 120 TLN 5161
Halaman ini sengaja dikosongkan
12/14/DKBU
12/15/DKBU
12/16/DPM
12/17/DPM
12/18/DPM
12/19/DInt
12/20/DPM
12/22/DPM
12/23/DPM
12/24/DPM
12/25/DPM
12/26/DPM
12/27/DPNP
Tanggal Satker PerihalPeraturan
1-6-2010
11-6-2010
6-7-2010
6-7-2010
7-7-2010
22-7-2010
2-8-2010
2-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
30-8-2010
25-10-2010
DKBU
DKBU
DPM
DPM
DPM
DInt
DPM
DPM
DPM
DPM
DPM
DPM
DPNP
Pelaksanaan Pedoman Akuntansi BPR
Perubahan Kedua atas SE No.8/7/DPBPR tanggal 23 Februari 2006 perihal Laporan Bulanan Bank Perkreditan Rakyat
Kriteria dan Persyaratan Surat Berharga, Peserta dan Lembaga Perantara dalam Operasi Moneter
Koridor Suku Bunga (Standing Facilities)
Operasi Pasar Terbuka
Kewajiban Pelaporan Utang Luar Negeri
Perubahan atas SE BI No.5/29/DPD tnggal 18 November 2003 perihal Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing
Perubahan atas SE BI No.12/12/DPD tanggal 8 April 2010 perihal Transaksi Repurchase Agreement Chinese Yuan terhadap Surat Berharga Rupiah Bank kepada Bank Indonesia
Perubahan atas SE BI No.11/8/DPM tanggal 27 Maret 2009 perihal Tata Cara Transaksi Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah dalam Rupiah (FASBIS)
Perubahan atas SE BI No.10/44/DPM tanggal 10 Desember 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repurchase Agreement (Repo) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) dengan Bank Indonesia
Perubahan Kedua atas SE BI No.10/16/DPM tanggal 31 Maret 2008 perihal Tata Cara Penerbitan Sertifikat Bank Indonesia Syariah Melalui Lelang
Perubahan atas SE BI No.10/17/DPM tanggal 31 Maret 2008 perihal Tata Cara Transaksi Repo Sertifikat Bank Indonesia Syariah dengan Bank Indonesia
Rencana Bisnis Bank Umum
53
Daftar Surat Edaran Ekstern (SE) Bank Indonesia Mei - Oktober 2010
Halaman ini sengaja dikosongkan
Ringkasan Peraturan Bank Indonesia (PBI)Mei - Oktober 2010
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/8/PBI/2010 tentang Pengeluaran dan Pengedaran uang Kertas
Rupiah Pecahan 10.000 (Sepuluh Ribu) Tahun Emisi 2005.
Ringkasan :
1. Seiring dengan meningkatnya kegiatan ekonomi di masyarakat perlu didukung dengan ketersediaan uang rupiah yang
memadai dan mudah dikenali ciri-ciri keasliannya sehingga diharapkan dapat memperlancar kegiatan transaksi ekonomi
di masyarakat. Sehubungan dengan itu, selanjutnya dipandang perlu untuk lebih mengoptimalkan fungsi elemen pada
desain uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 sebagai alat paembayaran yang sah (legal
tender) di Negara Kesatuan Republik Indonesia, melalui penyempurnaan desain uang rupiah antara lain dengan perubahan
warna dan unsure pengamanan.
2. Materi pokok yang tercantum dalam ketentuan ini meliputi :
a. Uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 terbuat dari bahan serat kapas;
b. Harga uang rupiah mempunyai nilai nominal sebesar Rp. 10.000 (Sepuluh Ribu rupiah);
c. Ciri uang kertas rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) tahun emisi 2005 untuk tahun pencetakan sampai dengan
tahun pencetakan mulai tahun 2010, baik dari segi warna, gambar dan bahan;
d. UK rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebelum berlakunya Peraturan Bank
Indonesia ini, masih tetap berlaku sepanjang belum dicabut dan ditarik dari peredaran.
3. Ciri uang rupiah pecahan 10.000 (sepuluh ribu) untuk tahun pencetakan mulai tahun 2010 antara lain sebagai berikut:
a. Terbuat dari serat kapas dengan ukuran panjang 145 mm dan lebar 65 mm;
b. Bagian muka dan bagian belakang uang dicetak dengan warna dominan ungu kebiruan.
c. Tanda air berupa gambar Pahlawan Nasional Sultan Mahmud Baharuddin II dan electrotype berupa logo BI dan
ornamen daerah Palembang;
d. Benang pengamanan yang tertanan di dalam kertas uang yang membuat tulisan “ BI10000” berulang-ulang dan
akan memendar berwarna merah di bawah sinar ultra violet.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/9/PBI/2010 tentang Prinsip Kehati-hatian Dalam Melakukan Aktivitas
Keagenan Produk Keuangan Luar Negeri Oleh Bank Umum
Ringkasan :
Latar belakang diterbitkannya ketentuan ini
Dalam rangka meningkatkan kegiatan usaha bank dan mempertahankan nasabah bank, bank dituntut untuk meningkatkan
operasional pelayanannya kepada nasabahnya dan mengubah strategi bisnis perbankan sehingga lebih banyak memanfaatkan
kemajuan Teknologi Informasi.
Pembelian produk keuangan luar negeri oleh nasabah merupakan hal yang dipandang perlu dilayani oleh bank untuk
meningkatkan daya saing bank dan perolehan pendapatan dari fee based transactions. Penerapan Teknologi Informasi telah
55
meningkatkan kemampuan bank dalam kegiatan operasional serta pengelolaan data bank yang bersifat mendunia seperti
melakukan penawaran, setelmen, dan pemberian informasi atas produk keuangan luar negeri kepada nasabah secara lebih
akurat dan cepat.
Disamping berbagai manfaat dan keunggulan yang diperoleh dari aktivitas keagenan produk keuangan luar negeri, terdapat
pula risiko yang dapat merugikan bank serta nasabah seperti risiko hukum, risiko reputasi, dan risiko penyelesaian transaksi.
Untuk mengatasi risiko yang dihadapi bank dan dalam rangka memberikan perlindungan kepada nasabah, maka bank wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam pelaksanaan kegiatan operasional yang terkait penjualan produk keuangan luar
negeri kepada nasabah termasuk penerapan manajemen risiko.
Dalam hubungan dengan aktivitas terkait Produk Keuangan Luar Negeri, Bank juga wajib memperhatikan ketentuan dan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan Peraturan Bank Indonesia ini, antara lain Undang-Undang No.8
Tahun 1995 tentang Pasar Modal, Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ketentuan Bank
Indonesia yang mengatur tentang Transaksi Derivatif, Transaksi Valuta Asing Terhadap Rupiah, Transparansi Informasi Produk
Perbankan dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah, Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Terorisme Bagi
Bank Umum, Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing, dan Penyelesaian Pengaduan Nasabah.
Pokok-pokok pengaturan
1. Bank di Indonesia dapat melakukan keagenan Produk Keuangan Luar Negeri yaitu instrumen investasi yang diterbitkan
oleh penerbit asing di luar negeri yang mencakup Instrumen Investasi Asing Efek dan Instrumen Investasi Asing Selain
Efek (berupa Structured Product)
2. Aktivitas keagenan tersebut dapat dilakukan sepanjang memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh otoritas yang
berwenang. Aktivitas Keagenan mencakup:
a. Menindak lanjuti permintaan nasabah Bank di DN atas Produk Keuangan LN.
b. Menawarkan Produk Keuangan LN kepada nasabah/calon nasabah baik melalui penawaran secara tatap muka maupun
melalui cara-cara penawaran lainnya.
3. Prinsip dasar pengaturan keagenan Produk Keuangan LN:
a. Manajemen Risiko
b. Kehati-hatian
c. Perlindungan Nasabah
4. Manajemen Risiko: bank wajib menerapkan manajemen risiko dalam melakukan aktivitas keagenan produk keuangan
LN yang minimal mencakup:
a. Pengawasan aktif Dewan Komisaris dan Direksi;
b. Kecukupan kebijakan dan prosedur;
c. Kecukupan proses identifikasi, pengukuran, pemantauan dan pengendalian risiko yang timbul dari aktivitas keagenan
produk keuangan LN; dan
d. Sistem pengendalian intern atas aktivitas keagenan produk keuangan LN.
5. Perlindungan Nasabah:
a. Bank wajib melakukan analisis mengenai Produk Keuangan LN yang akan ditawarkan.
b. Bank wajib memberikan informasi yang transparan kepada nasabah sesuai ketentuan yang berlaku seperti:
• penerbit, nama, jenis, spesifikasi, karakteristik, dan fitur produk;
• fungsi dan kesesuaian produk terhadap kebutuhan nasabah;
56
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
• perhitungan pendapatan atau imbal hasil (return) dari produk;
• risiko produk yang ditawarkan termasuk kemungkinan kerugian nilai investasi Nasabah akibat fluktuasi nilai
investasi sesuai kondisi pasar (market risk), kualitas aset yang mendasari (credit risk), dan risiko operasional terutama
settlement risk;
• perhitungan perkiraan kerugian terburuk yang mungkin dapat terjadi;
• syarat dan kondisi produk yang meliputi biaya-biaya, jangka waktu, cooling off period, prosedur setelmen, penghentian
sebelum jatuh waktu (early termination); dan
• mekanisme penyelesaian sengketa.
c. Bank wajib menatausahakan dokumen penawaran produk keuangan LN secara tertulis dan berbahasa Indonesia.
d. Bank wajib menyampaikan informasi kinerja investasi kepada nasabah secara transparan termasuk memberitahukan
kepada nasabah media/sarana untuk penyampaian informasi tersebut.
6. Prinsip Kehatian-hatian:
a. Bank dilarang melakukan tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan nasabah
menganggap produk keuangan LN adalah produk bank;
b. Bank wajib menerapkan prinsip mengenal nasabah (KYC) sesuai ketentuan yang berlaku; dan
c. Bank Indonesia dapat sewaktu-waktu menghentikan aktivitas keagenan produk keuangan LN tertentu apabila kegiatan
tersebut tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku dan/atau memiliki potensi risiko yang dapat membahayakan bank.
7. Bank yang dapat mengajukan permohonan persetujuan untuk melakukan keagenan Produk Keuangan LN harus memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Bank Devisa.
b. Mencantumkan rencana aktivitas keagenan produk keuangan LN dalam Rencana Bisnis bank (RBB).
c. Memiliki sistem operasi dan prosedur yang didukung oleh teknologi informasi yang memadai untuk dapat menjalankan
manajemen risiko atas aktivitas keagenan produk keuangan LN.
8. Kriteria Produk Keuangan LN yang dapat diageni oleh Bank di Indonesia paling kurang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. Telah terdaftar dan/atau memenuhi ketentuan dari otoritas berwenang di negara asal penerbit.
b. Telah dilaporkan kepada Bank Indonesia.
Untuk produk keuangan LN berupa Instrumen Investasi Asing Selain Efek wajib memenuhi persyaratan berikut ini:
c. Diterbitkan oleh bank di LN yang memiliki kantor cabang di Indonesia
d. Dikaitkan dengan variabel dasar berupa nilai tukar dan/atau suku bunga.
e. Bukan merupakan kombinasi berbagai instrumen dengan transaksi derivatif valas terhadap rupiah.
9. Kriteria Penerbit produk keuangan LN yang dapat dijadikan mitra kerjasama dengan Bank dalam aktivitas keagenan
produk keuangan LN wajib memenuhi kriteria berikut ini:
a. Terdaftar dan memiliki ijin usaha dari otoritas berwenang di negara asal tempat penerbit berkedudukan.
b. Merupakan badan yang menjadi objek pengawasan dari otoritas berwenang di negara asal.
10.Kriteria Nasabah —> Bank hanya dapat menawarkan produk keuangan LN kepada nasabah non retail sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
11. Pelaporan —> Bank wajib melaporkan kepada Bank Indonesia:
a. Setiap jenis produk keuangan LN yang akan diageni.
b. Realisasi bulanan aktivitas keagenan produk keuangan LN.
57
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
12.Ketentuan Peralihan —> Bank yang telah menjalankan keagenan produk keuangan LN sebelum ketentuan ini berlaku
wajib:
a. mengajukan permohonan ijin untuk melakukan aktivitas keagenan produk keuangan LN.
b. Melaporkan setiap produk keuangan LN yang diageni.
c. Menyesuaikan penyelenggaraan aktivitas keagenan produk keuangan LN dengan pengaturan pada regulasi ini paling
lambat 3 bulan setelah diterbitkannya ketentuan ini. Bank yang tidak menyampaikan laporan produk keuangan LN
dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan dikenakan sanksi.
d. Bank yang telah mengageni instrumen Investasi Asing Efek yang telah dipasarkan namun belum mendapat ijin dari
otoritas terkait di dalam negeri wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh otoritas yang berwenang di bidang
pasar modal di Indonesia.
e. Bank yang pada saat Peraturan Bank Indonesia ini dikeluarkan masih menata usahakan Produk Keuangan Luar Negeri
Nasabah yang tidak sesuai dengan ketentuan pada Peraturan Bank Indonesia ini, dapat melakukan penatausahaan
Produk Keuangan Luar Negeri sampai jatuh tempo. Dalam hal produk tersebut tidak mempunyai jatuh tempo, Bank
dapat melakukan early termination atas dasar kesepakatan dengan Nasabah.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/10/PBI/2010 tentang Perubahan Ketiga PBI No. 5/13/PBI/2003 tentang
Posisi Devisa Neto Bank Umum
Ringkasan :
Latar Belakang dan Tujuan
Dinamika perekonomian dewasa ini dan ke depan memunculkan sejumlah tantangan yang membutuhkan kestabilan moneter
dan sistem keuangan yang kokoh guna menjaga kesinambungan pertumbuhan ekonomi dalam jangka menengah dan jangka
panjang. Salah satu upaya untuk memperkokoh stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan adalah pendalaman pasar
keuangan, termasuk pendalaman pasar valuta asing domestik yang memungkinkan perbankan memiliki ruang gerak yang
memadai dalam pengelolaan eksposur valuta asing dengan tetap berpegang pada prinsip kehatian-hatian.
Sehubungan dengan hal tersebut, Bank Indonesia melakukan penyempurnaan atas ketentuan mengenai Posisi Devisa Neto
Bank Umum dalam bentuk Perubahan Ketiga Atas PBI No.5/13/PBI/2003 Tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum.
Materi Pengaturan
1. Penghapusan pengaturan tentang Posisi Devisa Neto untuk Neraca Bank
2. Penyempurnaan pengaturan tentang Posisi Devisa Neto setiap saat dengan memberikan tenggang waktu 30 menit dan
batasan paling tinggi sebesar 20% dari modal bank.
a. PDN setiap 30 (tiga puluh) menit adalah penjumlahan antara PDN secara keseluruhan akhir hari kerja sebelumnya
dengan posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit.
b. PDN setiap 30 menit tersebut dihitung sejak sistem tresuri dibuka sampai dengan sistem tresuri ditutup.
Contoh :
• Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal
20% Modal setiap akhir jangka waktu 30 menit dihitung sejak pukul 08.00 WIB dengan tenggang waktu 30
menit yaitu:
i. Pukul 08.30 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
ii. Pukul 09.00 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
iii. Pukul 09.30 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal; dan seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.
58
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
• Bank B memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 07.45 WIB. Posisi Devisa Neto dengan batas maksimal
20% Modal setiap akhir jangka waktu 30 menit dihitung sejak pukul 07.45 WIB dengan tenggang waktu 30
menit yaitu:
i. Pukul 08.15 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
ii. Pukul 08.45 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal
iii. Pukul 09.15 WIB : PDN paling tinggi 20% Modal; dan seterusnya hingga sistem tresuri ditutup.
• Posisi terbuka tresuri pada setiap akhir jangka waktu 30 (tiga puluh) menit merupakan selisih bersih antara transaksi
beli dan jual valuta asing yang terkait dengan kegiatan tresuri Bank pada posisi akhir 30 (tiga puluh) menit yang
bersangkutan.
• Perhitungan posisi terbuka tresuri tersebut termasuk transaksi valuta asing yang telah dilakukan (deal done) namun
belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri.
Contoh :
Bank A memiliki waktu pembukaan sistem tresuri pada pukul 08.00 WIB. Apabila terjadi transaksi valuta asing
pada pukul 08.20 WIB namun belum dimasukkan ke dalam sistem tresuri sampai dengan pukul 08.30 WIB, maka
transaksi dimaksud termasuk dalam perhitungan PDN setiap 30 (tiga puluh) menit pada pukul 08.30 WIB.
3. Penyempurnaan mengenai sanksi kewajiban membayar atas pelanggaran ketentuan PDN sebesar Rp250 juta per hari
pelanggaran dengan batas paling banyak sebesar Rp5 miliar per tahun kalender.
4. Kewajiban bagi bank untuk melaporkan (self declare) atas terjadinya pelanggaran PDN, baik untuk PDN secara keseluruhan
maupun PDN setiap 30 menit secara harian.
a. Dalam hal terjadi pelanggaran kewajiban pengelolaan dan pemeliharaan atas PDN pada akhir hari dan PDN setiap
30 (tiga puluh) menit, Bank wajib menyampaikan laporan pelanggaran dimaksud kepada Bank Indonesia.
b. Laporan pelanggaran tersebut disampaikan paling lambat pukul 16.00 WIB pada 2 (dua) hari kerja setelah terjadinya
pelanggaran dan ditandatangani paling kurang oleh pejabat eksekutif Bank.
5. Pengaturan Pengenaan Sanksi
a. Pelanggaran atas ketentuan PDN akan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar
Rp250 juta per hari pelanggaran dengan batas paling banyak sebesar Rp5 miliar per tahun kalender.
b. Selain bentuk sanksi di atas, terhadap jenis pelanggaran tertentu akan dikenakan tambahan berupa dilakukan proses
fit & proper test dan/atau penilaian tingkat kesehatan bank.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/11/PBI/2010 tentang Operasi Moneter
Ringkasan :
1. Pertimbangan Penerbitan Ketentuan:
Untuk meningkatkan efektivitas Operasi Moneter dalam rangka mendukung pencapaian tujuan Bank Indonesia dalam
mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.
2. Pokok-Pokok Ketentuan
a. Operasi Moneter dilakukan dalam bentuk Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facilities.
b. OPT dapat diikuti oleh Bank dan/atau pihak lain yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, sementara Standing Facilities
hanya dapat diikuti oleh Bank.
59
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
c. Kegiatan OPT meliputi:
1. Penerbitan SBI.
Terkait dengan perdagangan SBI, pemilik SBI dilarang melakukan transaksi atas SBI yang dimilikinya dengan pihak
lain selama jangka waktu tertentu sejak memiliki SBI kecuali untuk transaksi SBI oleh Peserta Operasi Moneter
dengan Bank Indonesia.
2. Transaksi repurchase agreement (repo) dan reverse repo surat berharga.
Dalam melakukan transasi repo dan reverse repo, Bank Indonesia dapat menggunakan surat berharga milik pihak
lain yang ditetapkan Bank Indonesia berdasarkan pada suatu perjanjian antara Bank Indonesia dan pemilik surat
berharga.
3. Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright.
Transaksi pembelian dan penjualan surat berharga secara outright dilakukan terhadap SBN (SUN & SBSN) dan surat
berharga lain yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
4. Penempatan berjangka (term deposit) di Bank Indonesia.
Term deposit adalah penempatan dana rupiah milik peserta Operasi Moneter secara berjangka di Bank Indonesia.
Term deposit dapat dicairkan sebelum jatuh waktu (early redemption) sepanjang memenuhi persyaratan tertentu
dan atas pencairan tersebut dikenakan biaya.
5. Jual beli valuta asing terhadap rupiah, yang antara lain dilakukan dalam bentuk spot, forward atau swap.
d. Kegiatan standing facilities meliputi:
1. Lending Facility
Lending facility dilakukan melalui mekanisme repo SBI, SBN, dan surat berharga lain yang berkualitas tinggi dan
mudah dicairkan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
2. Deposit facility
Deposit facility dilakukan tanpa penerbitan surat berharga.
3. Ketentuan Peralihan
Transaksi atas SBI yang dilakukan setelah berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini yang merupakan bagian dari transaksi
yang telah dilakukan sebelum Peraturan Bank Indonesia ini diberlakukan, dikecualikan dari ketentuan minimum 1 month
holding period sampai dengan transaksi yang bersangkutan jatuh waktu.
4. Dengan diberlakukannya Peraturan Bank Indonesia ini, maka ketentuan dibawah ini dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
yaitu:
a. PBI No.4/9/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
b. PBI No.6/4/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/9/PBI/2002
tentang Operasi Pasar Terbuka;
c. PBI No.6/33/PBI/2004 tanggal 31 Desember 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
d. PBI No.7/30/PBI/2005 tanggal 13 September 2005 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
e. PBI No.10/14/PBI/2008 tanggal 23 September 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Bank Indonesia
Nomor 4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
f. PBI No.10/21/PBI/2008 tanggal 15 Oktober 2008 tentang Perubahan Kelima Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor
4/9/PBI/2002 tentang Operasi Pasar Terbuka;
g. PBI No.4/10/PBI/2002 tanggal 18 November 2002 tentang Sertifikat Bank Indonesia; dan
h. PBI No.6/5/PBI/2004 tanggal 16 Februari 2004 tentang Perubahan Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 4/10/PBI/2002
tentang Sertifikat Bank Indonesia.
60
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/12/PBI/2010 tentang Perubahan atas PBI No. 10/2/PBI/2008 tentang
Bank Indonesia Scripless Securuties Settlement System
Ringkasan :
1. Materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup:
a. penyesuaian beberapa definisi antara lain: bank, operasi moneter, koridor suku bunga, fasilitas pendanaan, dan surat
berharga;
b. penambahan pialang pasar modal sebagai peserta BI-SSSS;
c. penyesuaian terhadap istilah ‘broker’.
2. Beberapa penyesuaian definisi yang dilakukan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut:
a. Bank adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 termasuk kantor cabang bank asing di
Indonesia dan Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah.
b. Operasi Moneter adalah pelaksanaan kebijakan moneter oleh Bank Indonesia dalam rangka pengendalian moneter
melalui Operasi Pasar Terbuka dan Koridor Suku Bunga (Standing Facilities). Operasi Pasar Terbuka yang selanjutnya
disebut OPT adalah kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan Bank dan/atau pihak
lain dalam rangka Operasi Moneter.
c. Koridor Suku Bunga (Standing Facilities) yang selanjutnya disebut Standing Facilities adalah kegiatan penyediaan dana
rupiah (lending facility) dari Bank Indonesia kepada peserta Standing Facilities dan penyediaan penempatan dana
rupiah (deposit facility) oleh peserta Standing Facilities di Bank Indonesia dalam rangka Operasi Moneter.
d. Instrumen Operasi Moneter adalah instrumen yang digunakan dalam rangka OPT dan Koridor Suku Bunga (Standing
Facilities) serta ditatausahakan pada Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
e. Fasilitas Pendanaan adalah penyediaan dana yang dapat berupa pemberian kredit atau pembiayaan dari Bank Indonesia
kepada Bank yang penatausahaannya dilakukan melalui Bank Indonesia-Scripless Securities Settlement System.
f. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam
mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik
Indonesia, sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
g. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
h. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
3. Pihak-pihak yang dapat menjadi Peserta BI-SSSS adalah :
a. Bank Indonesia.
b. Kementerian Keuangan.
c. Bank.
d. Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian.
e. Perusahaan Pialang Pasar Uang Rupiah dan Valuta Asing.
f. Perusahaan Efek.
g. Pialang pasar modal.
h. Lembaga lain yang disetujui oleh Bank Indonesia.
4. Dalam rangka menjaga kelancaran penyelenggaraan BI-SSSS, Penyelenggara antara lain menyediakan aplikasi BI–SSSS,
Help Desk terkait dengan operasional BI–SSSS; dan sistem layanan informasi, serta ketentuan dan prosedur baik dalam
keadaan normal, keadaaan tidak normal maupun keadaan darurat.
61
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
5. Penyelenggara melakukan pendebetan Rekening Giro Peserta, Rekening Giro Bank yang ditunjuk oleh Peserta dan/atau
Rekening Surat Berharga Peserta untuk transaksi antara lain sebagai berikut:
a. setelmen Transaksi Dengan Bank Indonesia;
b. setelmen transaksi Surat Berharga antar Peserta;
c. pembayaran kewajiban kupon (bunga) atau imbalan dan nilai pokok/nominal Surat Berharga yang jatuh waktu;
d. pembebanan biaya penggunaan BI-SSSS;
e. sanksi kewajiban membayar terkait ketentuan operasi moneter;
f. kewajiban pelunasan Fasilitas Pendanaan;
g. eksekusi agunan/jaminan sesuai ketentuan yang berlaku mengenai Fasilitas Pendanaan dan/atau fasilitas pemerintah
kepada Peserta; dan/atau
h. biaya lainnya.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/13/PBI/2010 tentang Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah
Ringkasan :
1. Materi perubahan yang dimuat dalam Peraturan Bank Indonesia ini antara lain mencakup:
a. Penyesuaian beberapa definisi seperti: surat utang negara, surat berharga negara dan surat berharga syariah negara;
b. Persyaratan bagi bank umum yang dapat menggunakan FLI.
2. Beberapa definisi yang disesuaikan dalam Peraturan Bank Indonesia ini adalah sebagai berikut:
a. Surat Utang Negara yang selanjutnya disebut SUN adalah surat berharga yang berupa surat pengakuan utang dalam
mata uang rupiah maupun valuta asing yang dijamin pembayaran bunga dan pokoknya oleh Negara Republik Indonesia,
sesuai dengan masa berlakunya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
b. Surat Berharga Syariah Negara yang selanjutnya disebut SBSN, atau dapat disebut Sukuk Negara, adalah SBN yang
diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas penyertaan terhadap aset SBSN, baik dalam mata uang
rupiah maupun valuta asing, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang berlaku.
c. Surat Berharga Negara yang selanjutnya disebut SBN adalah Surat Utang Negara dan Surat Berharga Syariah Negara.
3. Persyaratan agar Bank dapat menggunakan FLI disesuaikan sebagai berikut:
a. memiliki surat berharga yang dapat direpokan kepada Bank Indonesia berupa SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya
yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
b. tidak sedang dikenakan sanksi penangguhan sebagai Bank peserta BI-RTGS dan/atau penghentian sebagai Bank
peserta kliring; dan
c. berstatus aktif sebagai peserta BI-SSSS.
4. Perhitungan nilai SBI, SBN dan/atau surat berharga lainnya yang digunakan Bank dalam rangka FLI ditetapkan oleh Bank
Indonesia.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/14/PBI/2010 tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran
Uang Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991
Ringkasan :
1. Uang logam (UL) pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 dicabut dan ditarik dari peredaran dengan
pertimbangan sebagai berikut:
a. UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah sudah tidak banyak dipergunakan oleh masyarakat dalam melakukan pembayaran;
62
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
b. Nilai intrinsik dan biaya pencetakan UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 saat ini telah lebih besar
dari nilai nominalnya.
2. Materi pokok yang tercantum dalam Peraturan Bank Indonesia tentang Pencabutan dan Penarikan dari Peredaran Uang
Logam Pecahan 25 (Dua Puluh Lima) Rupiah Tahun Emisi 1991 meliputi:
a. Bank Indonesia mencabut dan menarik dari peredaran UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991;
b. UL pecahan 25 (dua puluh lima) rupiah tahun emisi 1991 yang dicabut dan ditarik dari peredaran dinyatakan tidak
berlaku lagi sebagai alat pembayaran yang sah sejak tanggal 31 Agustus 2010;
c. UL rupiah yang dicabut dan ditarik dari peredaran dapat ditukarkan di Bank Indonesia dan/atau Bank Umum dalam
jangka waktu tertentu;
d. Jangka waktu dan tempat penukaran ditetapkan sebagai berikut:
1. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2010 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2015 penukaran dilakukan di Bank
Indonesia dan/atau Bank Umum;
2. Terhitung sejak tanggal 31 Agustus 2015 sampai dengan tanggal 30 Agustus 2020 penukaran hanya dapat dilakukan
di Bank Indonesia.
e. Hak untuk menuntut penukaran uang logam rupiah yang telah dicabut dan ditarik dari peredaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 tidak berlaku lagi setelah 10 (sepuluh) tahun terhitung sejak tanggal pencabutan atau tanggal 31 Agustus
2020.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/15/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/34/PBI/2008 Tentang
Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh Bank Indonesia
Ringkasan :
I. Latar Belakang Pengaturan:
Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/15/PBI/2010 tanggal 23 Agustus 2010 ini merupakan perubahan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 10/34/PBI/2008 tanggal 5 Desember 2008 tentang Transaksi Pembelian Wesel Ekspor Berjangka Oleh
Bank Indonesia. Perubahan PBI dilakukan karena adanya penyempurnaan organisasi di Bank Indonesia membawa
konsekuensi pada perubahan satuan kerja yang bertugas melakukan transaksi pembelian wesel ekspor berjangka.
II. Pokok-Pokok Pengaturan:
Materi perubahan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia ini hanya menyangkut satuan kerja pelaksana transaksi
pembelian Wesel Ekspor Berjangka (WEB) oleh Bank Indonesia dari semula Bank Indonesia cq. Direktorat Pengeloaan Devisa-
Biro Manjemen Devisa dan Nilai Tukar menjadi Bank Indonesia cq. Direktorat Pengelolaan Moneter-Biro Operasi Moneter.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/16/PBI/2010 tentang Sistem Monitering Transaksi Valuta Asing
Terhadap Rupiah
Ringkasan :
Latar Belakang dan Tujuan
Integrasi pasar keuangan domestik dengan pasar keuangan global yang berjalan cukup cepat dewasa ini memunculkan sejumlah
tantangan dan risiko bagi para pelaku pasar. Bank Indonesia selaku otoritas moneter berupaya untuk memitigasi segala risiko
tersebut dengan memberikan respon kebijakan nilai tukar yang antisipatif dan responsif sesuai dengan perkembangan pasar
valuta asing domestik.
63
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Dalam kerangka tersebut, Bank Indonesia menerbitkan ketentuan mengenai Sistem Monitoring Transaksi Valuta Asing Terhadap
Rupiah (SISMONTAVAR) yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan mekanisme monitoring kegiatan di pasar valuta asing
domestik, dimana informasi tentang transaksi valuta asing antarbank diperoleh melalui suatu sistem jaringan on-line. Langkah
kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi positif terhadap tugas Bank Indonesia dalam rangka menjaga
stabilitas moneter.
Materi Pengaturan
SISMONTAVAR diterapkan kepada Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing. Ruang lingkup
SISMONTAVAR tersebut meliputi transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan antarbank.
Kewajiban Bank Devisa dalam SISMONTAVAR meliputi:
Bank Devisa wajib memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat Bank melakukan transaksi valuta asing
terhadap rupiah.
Bank Devisa wajib melakukan Prosedur Konfirmasi pada Sistem Transaksi Valuta Asing yang terhubung dengan aplikasi
SISMONTAVAR segera setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan (deal is done). Kewajiban tersebut berlaku
pula untuk transaksi valuta asing terhadap rupiah yang dilakukan dengan menggunakan jasa Pialang Pasar Uang.
Dalam hal terdapat kesalahan dalam informasi transaksi setelah Prosedur Konfirmasi dilakukan, Bank Devisa menyampaikan
kepada Bank Indonesia koreksi atas informasi transaksi segera setelah diketahui adanya kesalahan. Koreksi transaksi yang
disampaikan kepada Bank Indonesia tersebut dapat dilakukan melalui media faksimile.
Pengaturan Pengenaan Sanksi
Bank Devisa yang tidak memelihara aplikasi SISMONTAVAR dalam kondisi on-line pada saat melakukan transaksi valuta asing
terhadap rupiah dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Bank Devisa yang tidak segera melakukan Prosedur Konfirmasi setelah transaksi valuta asing terhadap rupiah selesai dilakukan
dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.
Pengecualian terhadap sanksi di atas berlaku dalam kondisi:
a. aplikasi SISMONTAVAR terkendala;
b. jaringan data terganggu;
c. kegagalan Sistem Transaksi Valuta Asing; dan/atau
d. kejadian luar biasa (force majeure).
Ketentuan Peralihan
Ketentuan SISMONTAVAR tidak berlaku bagi Bank Devisa yang telah menggunakan Sistem Transaksi Valuta Asing namun pada
saat berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini aplikasi SISMONTAVAR belum terpasang. Kewajiban mulai berlaku pada saat
aplikasi SISMONTAVAR terpasang.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/17/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/36/PBI/2008 tentang
Operasi Moneter Syariah
Ringkasan :
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian
moneter berdasarkan prinsip syariah serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Operasi Moneter Syariah
(OMS) khususnya Pasal 18 ayat (1) huruf b mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi operasi moneter syariah yang
dinyatakan batal.
64
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
2. Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada Peserta OMS terhadap setiap Transaksi OMS yang dinyatakan batal berupa:
1). teguran tertulis; dan
2). kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai nominal transaksi Operasi Moneter Syariah
yang batal, paling sedikit sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). Selain dikenakan sanksi tersebut di atas, Peserta OMS yang melakukan transaksi OMS yang
dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan juga dikenakan sanksi berupa penghentian
sementara untuk mengikuti kegiatan OMS selama 5 (lima) hari kerja berturut-turut.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 2010.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/18/PBI/2010 tentang Perubahan Atas PBI No.10/11/PBI/2008 Tentang
Sertifikat Bank Indonesia Syariah
Ringkasan :
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI) dilakukan dalam rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan pengendalian
moneter berdasarkan prinsip syariah serta dalam rangka penyempurnaan ketentuan mengenai Sertifikat Bank Indonesia
Syariah (SBIS) khususnya Pasal 14 ayat (2) huruf b dan ayat (3) mengenai pengenaan sanksi terhadap transaksi SBIS yang
dinyatakan batal.
2. Bank Indonesia mengenakan sanksi kepada BUS atau UUS atas Transaksi SBIS yang dinyatakan batal berupa:
1). teguran tertulis; dan
2). kewajiban membayar sebesar 0,01% (satu per sepuluh ribu) dari nilai Transaksi SBIS yang dinyatakan batal, paling sedikit
sebesar Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) untuk
setiap Transaksi SBIS yang dinyatakan batal.
Dengan tidak mengurangi sanksi tersebut diatas, dalam hal BUS atau UUS melakukan Transaksi SBIS dan/atau transaksi
operasi moneter syariah lainnya sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Bank Indonesia yang mengatur mengenai
operasi moneter syariah, yang dinyatakan batal sebanyak tiga kali dalam kurun waktu 6 (enam) bulan, maka BUS
atau UUS dikenakan sanksi berupa penghentian sementara untuk mengikuti kegiatan operasi moneter syariah selama
5 (lima) hari kerja berturut-turut.
3. Peraturan Bank Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal 30 Agustus 2010.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/19/PBI/2010 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank
Indonesia Dalam Rupiah dan Valuta Asing
Ringkasan :
Latar Belakang Pengaturan :
1. Tekanan inflasi serta kondisi ekses likuiditas perbankan yang tinggi dan persisten perlu dikendalikan agar tidak berdampak
pada peningkatan ekspektasi inflasi yang dapat berpengaruh pada stabilitas moneter. Selain itu, stabilitas sektor keuangan
perlu terus didukung oleh penguatan kondisi sektor perbankan dalam menghadapi berbagai risiko dan pengoptimalan
fungsi intermediasi perbankan.
2. Guna mendukung stabilitas moneter dan sektor keuangan perlu dilakukan pengelolaan ekses likuiditas perbankan secara
optimal, antara lain melalui kebijakan giro wajib minimum dengan memperhatikan kondisi likuiditas perbankan serta peran
bank dalam menjalankan fungsi intermediasi.
65
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
Substansi Pengaturan :
1. Bank wajib memenuhi GWM dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing.
2. GWM dalam rupiah yang wajib dipenuhi terdiri dari:
a. GWM Primer dalam rupiah sebesar 8% (delapan persen) dari DPK dalam rupiah;
b. GWM Sekunder dalam rupiah sebesar 2,5% (dua koma lima persen) dari DPK dalam rupiah; dan
c. GWM LDR sebesar perhitungan antara Parameter Disinsentif Bawah atau Parameter Disinsentif Atas dengan selisih
antara LDR Bank dan LDR Target dengan memperhatikan selisih antara KPMM Bank dan KPMM Insentif.
3. Ketentuan mengenai GWM Sekunder dalam rupiah dan GWM dalam valuta asing tidak mengalami perubahan.
4. GWM Primer dalam rupiah, GWM LDR dan GWM dalam valuta asing dipenuhi dalam bentuk saldo Rekening Giro Bank
pada Bank Indonesia, sedangkan GWM Sekunder dalam rupiah dipenuhi dalam bentuk SBI, SUN, SBSN, dan/atau Excess
Reserve.
5. Perhitungan GWM LDR dilakukan sebagai berikut:
a. Batas bawah LDR Target sebesar 78% dan batas atas LDR Target sebesar 100%.
b. Bank yang memiliki LDR di dalam kisaran LDR target memiliki GWM LDR sebesar 0%.
c. Bank yang memiliki LDR kurang dari batas bawah LDR Target diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter
Disinsentif Bawah (saat ini sebesar 0,1) dengan selisih LDR bank dari batas bawah LDR target.
d. Bank yang LDR-nya lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM lebih kecil dari KPMM Insentif (saat ini 14%)
akan diberikan disinsentif GWM LDR sebesar perkalian Parameter Disinsentif Atas (saat ini sebesar 0,2) dengan selisih
LDR bank dari batas atas LDR target.
e. Bank yang memiliki LDR lebih dari batas atas LDR Target dan memiliki KPMM sama atau lebih besar dari KPMM insentif
(saat ini sebesar 14%), maka kewajiban pemenuhan GWM LDR sebesar 0%
f. Besaran dan parameter LDR Target, KPMM Insentif, Parameter Disinsentif Bawah, dan Parameter Disinsentif Atas akan
dievaluasi sewaktu-waktu apabila diperlukan.
6. Bank Indonesia memberikan jasa giro setiap hari kerja dengan tingkat bunga sebesar 2,5% (dua koma lima persen) per
tahun terhadap bagian tertentu dari pemenuhan kewajiban GWM Primer dalam rupiah.
7. Bagian tertentu sebagaimana dimaksud dalam angka 6 ditetapkan sebesar 3% (tiga persen) dari DPK dalam rupiah.
8. Jasa giro diberikan apabila Bank telah memenuhi seluruh kewajiban GWM dalam rupiah.
9. Bank yang mendapatkan insentif dalam rangka konsolidasi perbankan memperoleh kelonggaran pemenuhan GWM dalam
rupiah sebesar 1% bagi pemenuhan GWM Primer dalam rupiah.
10.Terhadap Bank yang sedang dikenakan Cease and Desist Order (CDO) terkait dengan penyaluran kredit dan penghimpunan
dana, dalam rangka supervisory action Bank Indonesia berwenang melakukan perhitungan yang berbeda dari ketentuan
GWM LDR sebagaimana diatur dalam PBI ini.
11.PBI ini mencabut PBI No. 10/19/PBI/2008 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum pada Bank Indonesia dalam Rupiah
dan Valuta Asing sebagaimana telah diubah terakhir dengan PBI No. 10/25/PBI/2008, namun peraturan pelaksanaan dari
PBI dimaksud tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PBI ini.
66
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
12.Ketentuan mengenai GWM LDR beserta sanksi terhadap pelanggaran GWM LDR mulai berlaku pada 1 Maret 2011.
13.PBI ini mulai berlaku pada tanggal 1 November 2010.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/20/PBI/2010 tentang Pendanaan Terorisme Bagi Bank Perkreditan
Rakyat dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah
Ringkasan :
Latar belakang
1. Semakin berkembangnya industri BPR dan BPRS disertai dengan perkembangan produk serta pelayanan BPR/BPRS terutama
yang berbasis teknologi informasi, maka risiko pemanfaatan BPR dan BPRS dalam pencucian uang dan pendanaan
terorisme semakin tinggi.
2. Ketentuan tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/KYC) bagi BPR dan BPRS yang
berlaku selama ini perlu untuk disempurnakan dengan mengacu pada prinsip-prinsip umum yang berlaku secara
internasional dalam mendukung upaya pencegahan tindak pidana pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
Materi Pengaturan
1. BPR dan BPRS wajib menerapkan program Program Anti Pencucian Uang (APU) dan Pencegahan Pendanaan Terorisme
(PPT).
2. Penggunaan istilah baru terkait dengan penerapan program APU dan PPT sebagai berikut:
a. Customer Due Diligence (CDD) adalah kegiatan berupa identifikasi, verifikasi, dan pemantauan yang dilakukan BPR
dan BPRS untuk memastikan bahwa transaksi dilakukan sesuai dengan profil pengguna jasa bank.
b. Enhanced Due Diligence (EDD) adalah CDD dan kegiatan lain yang dilakukan oleh BPR/BPRS untuk mendalami profil
calon Nasabah, Nasabah atau Beneficial Owner yang tergolong berisiko tinggi termasuk PEP terhadap kemungkinan
pencucian uang dan pendanaan terorisme.
c. Politically Exposed Person (PEP) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan untuk memiliki kewenangan publik
diantaranya adalah Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai Penyelenggara Negara, dan/atau orang yang tercatat sebagai anggota partai politik yang memiliki
pengaruh terhadap kebijakan dan operasional partai politik
d. Beneficial Owner adalah setiap orang yang memiliki dana, yang mengendalikan transaksi nasabah atau WIC, yang
memberikan kuasa atas terjadinya suatu transaksi dan/atau yang melakukan pengendalian melalui badan hukum atau
perjanjian
e. Walk in Customer adalah pengguna jasa BPR/BPRS yang tidak memiliki rekening pada BPR/BPRS tersebut, tidak termasuk
pihak yang mendapatkan perintah atau penugaasan dari Nasabah untuk melakukan transaksi atas kepentingan Nasabah
tersebut.
3. Pengaturan dalam rangka pelaksanaan pengawasan aktif Direksi dan Dewan Komisaris.
4. BPR dan BPRS wajib membentuk unit kerja khusus dan/atau menunjuk pegawai BPR dan BPRS yang bertanggung jawab
atas penerapan program APU dan PPT dan bertanggung jawab terhadap Direktur.
5. Pelaksanaan Customer Due Diligence (CDD) kepada calon Nasabah, Nasabah, dan WIC yang terdiri dari:
67
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
a. Permintaan informasi dan dokumen kepada calon nasabah perorangan, perusahaan berbentuk bank dan non bank
termasuk nasabah berupa yayasan, perkumpulan serta Lembaga Negara. Pengaturan termasuk untuk nasabah usaha
mikro dan kecil yang lebih sederhana.
b. Permintaan informasi dan dokumen kepada WIC baik yang melakukan transaksi di atas Rp100 juta maupun untuk
WIC yang melakukan transaksi di bawah Rp100 juta.
c. Pelaksanaan verifikasi dokumen dalam rangka meneliti dan meyakini kebenaran dokumen termasuk pelaksanaan
wawancara.
d. Pemantauan dan pengkinian data
6. BPR dan BPRS wajib memelihara Daftar Teroris berdasarkan data yang diterima dari Bank Indonesia setiap 6 bulan
berdasarkan data yang dipublikasikan oleh PBB.
7. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pencatatan dan memelihara profil Nasabah.
8. BPR dan BRPS wajib menatausahakan data Nasabah dan WIC dengan jangka waktu paling kurang 5 (lima) tahun sejak
berakhirnya hubungan usaha atau transaksi dengan nasabah atau WIC atau sejak ditemukanannya ketidak sesuaian
transaksi dengan tujuan ekonomis dan/atau tujuan usaha serta wajib memelihara dokumen Nasabah dan WIC dengan
jangka waktu sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Dokumen Perusahaan.
9. Pengaturan mengenai pemindahan dana.
10.Kewajiban BPR dan BPRs untuk menolak transaksi, membatalkan transaksi dan atau menutup hubungan usaha dengan
Nasabah dalam hal: tidak memenuhi kelengkapan informasi dan dokumen, diketahui menggunakan identitas dan/atau
memberikan informasi yang tidak benar, BPR dan BPRS ragu terhadap kebenaran informasi Nasabah atau penggunaan
rekening tidak sesuai dengan profil Nasabah.
11.Pengaturan mengenai Beneficial Owner perorangan, perusahaan, yayasan atau perkumpulan.
12.Pelaksanaan EDD untuk calon Nasabah, Nasabah dan Beneficial Owner yang memenuhi kriteria berisiko tinggi atau PEP.
Direksi BPR/BPRS atau Pejabat Eksekutif bertanggung jawab atas pelaksanaan hubungan usaha dengan calon nasabah
yang tergolong PEP tersebut.
13.Pengaturan mengenai CDD yang lebih sederhana dapat dilakukan terhadap calon Nasabah yang tingkat risiko terjadinya
pencucian uang atau pendanaan terorisme tergolong rendah.
14. BPR dan BPRS dapat menggunakan hasil CDD yang telah dilakukan oleh pihak ketiga terhadap calon Nasabah yang telah
menjadi nasabah pada pihak ketiga tersebut. Namun demikian BPR dan BPRS wajib memastikan kecukupan identifikasi
& verifikasi atas hasil CDD yang dilakukan oleh pihak ketiga dan bertanggung jawab untuk melaksanakan penatausahaan
dokumen.
15. BPR dan BPRS wajib memiliki sistem pengendalian intern yang efektif yang dibuktikan dengan adanya batasan wewenang
dan tanggung jawab yang jelas untuk unit kerja atau pegawai yang terkait dengan penerapan program APU dan PPT
serta pemisahan fungsi antara pelaksana penerapan program APU dan PPT dengan pegawai yang ditunjuk untuk
mengawasi efektivitas penerapan program tersebut.
68
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
16.BPR dan BPRS wajib melakukan penyaringan (screening) dalam rangka penerimaan pegawai baru, serta melaksanakan
pelatihan mengenai program APU dan PPT kepada SDM BPR dan BPRS.
17.BPR wajib menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Program APU dan PPT yang telah mendapatkan persetujuan Dewan
Komisaris paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak diberlakukannya PBI ini dan wajib menyampaikan perubahan Pedoman
Pelaksanaan Program APU dan PPT paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak perubahan tersebut kepada BI.
18.BPR dan BPRS wajib menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan, laporan transaksi keuangan tunai dan
laporan lain kepada PPATK sebagaimana diatur dalam UU yang mengatur mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang.
19.Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan wajib disampaikan 3 (tiga) hari kerja setelah BPR dan BPRS mengetahui
adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan yaitu sejak Direktur yang berwenang menyetujui transaksi tersebut
sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan.
20.Sanksi keuangan diberikan kepada BPR yang terlambat menyampaikan atau tidak menyampaikan Pedoman Pelaksanaan
APU dan PPT serta BPR dan BPRS yang terlambat menyampaikan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
21.Peraturan ini mencabut PBI No.5/23/PBI/2003 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer
Principles/KYC) bagi BPR tanggal 23 Oktober 2003.
Peraturan : Peraturan Bank Indonesia No. 12/21/PBI/2010 tentang Rencana Bisnis Bank
Ringkasan :
1. Tujuan pengaturan ini adalah :
a. Agar Bank memiliki Rencana bisnis yang disusun secara matang dan realistis berdasarkan prinsip kehati-hatian dan
penerapan manajemen risiko, dengan cakupan yang komprehensif.
b. Sebagai sarana bank dalam mengendalikan risiko strategik dengan memperhatikan faktor eksternal dan faktor internal
untuk mengarahkan kegiatan operasional bank sesuai visi dan misinya.
c. Selain itu rencana bisnis bank yang realistis diperlukan juga bagi otoritas moneter sebagai pertimbangan dalam
menetapkan kebijakan dan melakukan pengawasan macro prudential dan
d. Menjadi salah satu acuan bagi pengawas bank dalam menyusun rencana pengawasan berdasarkan risiko yang optimal
dan efektif.
2. Bank wajib menyusun Rencana Bisnis setiap tahun. Bagi Bank Umum yang memiliki Unit Usaha Syariah (UUS), Rencana
Bisnis wajib pula memuat Rencana Bisnis khusus untuk UUS yang merupakan satu kesatuan dengan Rencana Bisnis Bank
Umum.
3. Cakupan Rencana Bisnis paling kurang meliputi:
a. Ringkasan eksekutif;
b. Kebijakan dan strategi manajemen;
c. Penerapan manajemen risiko dan kinerja Bank saat ini;
d. Proyeksi laporan keuangan beserta asumsi yang digunakan;
e. Proyeksi rasio-rasio dan pos-pos tertentu lainnya;
f. Rencana pendanaan;
g. Rencana penanaman dana;
69
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010
h. Rencana permodalan;
i. Rencana pengembangan organisasi dan sumber daya manusia (SDM);
j. Rencana penerbitan produk dan/atau pelaksanaan aktivitas baru;
k. Rencana pengembangan dan/atau perubahan jaringan kantor;
l. Informasi lainnya.
4. Rencana Bisnis wajib disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat pada akhir bulan November sebelum tahun
Rencana Bisnis dimulai. Bank Indonesia dapat meminta Bank untuk melakukan penyesuaian dalam hal Rencana Bisnis
yang disampaikan belum sepenuhnya memenuhi ketentuan ini.
5. Bank hanya dapat melakukan perubahan terhadap Rencana Bisnis apabila:
a. Terdapat faktor eksternal dan internal yang secara signifikan mempengaruhi operasional Bank. Perubahan ini hanya
dapat dilakukan 1 kali, paling lambat pada akhir bulan Juni tahun berjalan; dan/atau
b. Terdapat faktor yang secara signifikan mempengaruhi kinerja Bank, berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia.
6. Bank wajib menyampaikan Laporan Realisasi Rencana Bisnis secara triwulanan dan Laporan Pengawasan Rencana Bisnis
secara semesteran kepada Bank Indonesia.
7. Pemberian masa transisi sebagai berikut:
a. Khusus untuk Rencana Bisnis tahun 2011, Bank wajib menyampaikan Rencana Bisnis kepada Bank Indonesia paling
lambat pada akhir bulan Desember 2010.
b. Khusus untuk Bank yang menyampaikan Rencana Bisnis tahun 2011, namun melewati akhir Desember 2010:
1). Tidak dikenakan sanksi kewajiban membayar, apabila disampaikan paling lambat akhir Januari 2011; atau
2). Dikenakan sanksi kewajiban membayar sebesar Rp50 juta, apabila disampaikan setelah akhir Januari 2011.
70
Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan • Volume 8, Nomor 3, September 2010