Page 1
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU S (73 TAHUN)
DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK
DI WISMA CEMPAKA PANTI SOSIAL TRESNA
WERDHA BUDI MULIA 1 CIPAYUNG
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
DESTIANA PUSPASARI
0906564076
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2014
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 2
ii
UNIVERSITAS INDONESIA
ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN
MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU S (73 TAHUN)
DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK
DI WISMA CEMPAKA PANTI SOSIAL TRESNA
WERDHA BUDI MULIA 1 CIPAYUNG
KARYA ILMIAH AKHIR NERS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners
DESTIANA PUSPASARI
0906564076
FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN
DEPOK
JULI 2014
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 3
iii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri,
dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar.
Nama : Destiana Puspasari
NPM : 0906564076
Tanda Tangan :
Tanggal : 10 Juli 2014
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 4
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Destiana Puspasari
NPM : 0906564076
Program Studi : Profesi Keperawatan
Judul KIA-Ners : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan
Masyarakat Perkotaan pada Ibu S (73 Tahun) dengan
Masalah Hambatan Mobilitas Fisik di Wisma Cempaka,
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima
sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners
pada Program Studi Profesi Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan,
Universitas Indonesia
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati, S.Kep., M.N.( )
Penguji : Ns. Ibnu Abbas, S. Kep. ( )
Ditetapkan di : Depok
Tanggal : 10 Juli 2014
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 5
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners dengan judul
“Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
pada Ibu S (73 Tahun) dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik di Wisma
Cempaka Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung” ini tepat pada
waktunya. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan
dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah
akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih, penghormatan, dan
penghargaan setinggi-tingginya kepada:
1. Ibu Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati, S.Kep., M.N. selaku
pembimbing dalam pembuatan karya ilmiah akhir. Terima kasih banyak
atas bimbingan, arahan, dukungan, dan motivasi dari Ibu selama
menyelesaikan karya ilmiah akhir;
2. Bapak Ns. Ibnu Abas, S. Kep selaku dosen penguji yang telah memberikan
saran, masukan, dan arahan untuk menyempurnakan tugas akhir ini;
3. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia (FIK UI);
4. Ibu Fajar Tri Waluyanti, S.Kp., M. Kep, selaku koordinator mata ajar
Karya Ilmiah Akhir Ners dan selaku Ketua Program Studi Profesi
Keperawatan;
5. Ibu Happy Hayati, S.Kp., M.Kep, selaku pembimbing akademik;
6. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ilmu Keperawatan
Universitas Indonesia atas bantuan dan bimbingan selama masa
perkuliahan dan penyusunan karya ilmiah akhir ini;
7. Pihak PSTW Budi Mulia 1 Cipayung atas kesediaan dan dukungan yang
diberikan dalam penelitian ini;
8. Teristimewa kepada Bapak Pudji Leksono dan Ibu Mumun Munawaroh
sebagai ayah dan ibu tersayang, serta Febryan Destyanto, Kartika Retno
Sari, Santika Indah Oktavia, Mayang Sari Dewi, dan Dwi Nardi Irfan,
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 6
vi
sebagai kakak dan adik tercinta yang telah memberikan dukungan secara
penuh, baik dukungan moral, nasehat, doa, dan materi selama penyusunan
karya ilmiah akhir ini;
9. Sahabat-sahabat sebagai keluarga penulis yang kedua, Yayun Patma Sari,
Ratih Tien Seratri, Nina Asterina, Anggi Pratiwi, Isnaeni Nur Zakiyah,
Verra Widhi Astuti, Desty Hersiana M., Utami Rachmawati, teman-teman
satu bimbingan ,dan teman-teman FIK UI angkatan 2009, terima kasih atas
dukungan dan doa yang diberikan, yang saling menyemangati satu sama
lain;
10. Serta pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu tanpa
mengurangi rasa terima kasih dan hormat penulis.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penyusunan karya
ilmiah akhir masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk karya ilmiah
akhir. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala
kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga penelitian ini dapat
bermanfaat tidak hanya bagi penulis, namun juga bagi masyarakat.
Depok, 10 Juli 2014
Penulis
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 7
vii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Destiana Puspasari
NPM : 0906564076
Program Studi : Profesi Keperawatan
Fakultas : Ilmu Keperawatan
Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-
Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:
Analisis Praktik Keperawatan Klinik Kesehatan Masyarakat Perkotaan
pada Ibu S (73 Tahun) dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik di Wisma
Cempaka Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung
beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalti
nonekslusif ini Universitas Indonesia bebas menyimpan, mengalihmedia/
formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan
mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap dicantumkan nama saya sebagai
penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok
Pada tanggal : 10 Juli 2014 2012
Yang Menyatakan
( Destiana Puspasari )
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 8
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. i
HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ................................................................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................................... vii
ABSTRAK ..................................................................................................................... viii
ABSTRACT .................................................................................................................... ix
DAFTAR ISI .................................................................................................................. x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xiii
1. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah ............................................................................................. 7
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 7
1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................................... 8
2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 10
2.1 Teori Penuaan ...................................................................................................... 10
2.2 Mobilitas Fisik Lansia ......................................................................................... 12
2.2.1 Perubahan terkait mobilisasi yang terjadi selama penuaan..................... 12
2.2.2 Faktor–faktor yang mempengaruhi masalah mobilitas lansia ................ 15
2.3 Hambatan Mobilitas Fisik .................................................................................. 19
2.3.1 Pengertian hambatan mobilitas fisik ........................................................ 19
2.3.2 Etiologi dan faktor presipitasi hambatan mobilitas fisik ......................... 20
2.4 Penggunaan Alat Bantu Jalan (Walker) ............................................................... 20
2.5 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ................................ 26
2.6 Pelayanan Kesehatan pada Lanjut Usia ............................................................... 27
3. ANALISIS KASUS .................................................................................................. 34
3.1 Pengkajian ........................................................................................................... 34
3.1.1 Riwayat kesehatan .................................................................................. 35
3.1.2 Kebiasaan sehari-hari .............................................................................. 36
3.1.3 Pemeriksaan fisik .................................................................................... 40
3.2 Analisa Data ........................................................................................................ 44
3.3 Rencana Asuhan Keperawatan ............................................................................ 47
3.4 Implementasi ....................................................................................................... 49
3.5 Evaluasi ............................................................................................................... 51
4. ANALISIS SITUASI ................................................................................................ 57
4.1 Analisis Profil Panti Sosial Tresna Werdha ....................................................... 57
4.2 Analisis Diagnosa Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik pada Ibu S ............. 61
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 9
xi
4.3 Analisis Penggunaan Alat Bantu Jalan Walker pada Ibu S dengan
Hambatan Mobilitas Fisik .................................................................................. 64
4.4 Alternatif pemecahan yang dapat dilakukan ....................................................... 67
5. PENUTUP .............................................................................................................. 69
5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 69
5.2 Saran ................................................................................................................ 71
DAFTAR REFERENSI ............................................................................................... 74
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 10
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Standard Walker ...................................................................................... 32
Gambar 2.2 4-Wheel Rollator Walker ......................................................................... 33
Gambar 2.3 3-Wheel Rollator Walker ......................................................................... 55
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 11
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Pengkajian Individu
Lampiran 2: Analisa Data
Lampiran 3: Rencana Asuhan Keperawatan Individu
Lampiran 4: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Mini Mental Status Exam
(MMSE)
Lampiran 5: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Berg Balance Test (BBT)
sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan
Lampiran 6: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Berg Balance Test (BBT)
setelah dilakukan Intervensi Keperawatan
Lampiran 7: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen False Morse Scale (FMS)
sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan
Lampiran 8: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen False Morse Scale (FMS)
setelah dilakukan Intervensi Keperawatan
Lampiran 9: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Barthel Index Scoring
Form sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan
Lampiran 10: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Barthel Index Scoring
Form setelah dilakukan Intervensi Keperawatan
Lampiran 11: Daftar Riwayat Hidup
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 12
1 Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masa lanjut usia (lansia) merupakan tahap paling akhir dari tumbuh kembang
manusia. World Health Association (WHO) (2012) mendefinisikan masa lansia
merupakan masa yang dimulai pada usia 65 tahun. Menurut Roach (2001), lansia
adalah seorang individu yang berusia 65 tahun atau lebih dimana pada usia 65
tahun tersebut, seorang individu dikatakan telah memulai periode ‘old age’. Sama
halnya dengan O’neill (2002), individu lansia adalah seseorang yang berusia di
atas 65 tahun dengan klasifikasi sebagai berikut: 65 sampai 75 tahun termasuk
periode ‘young old’, 75 sampai 85 tahun termasuk periode ‘middle old’ dan di atas
85 tahun termasuk periode ‘oldest old’. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 13
Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan bahwa lanjut usia adalah
seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (Departemen Sosial RI, 2006).
Populasi lansia mengalami pertumbuhan yang pesat baik di Indonesia maupun di
dunia.
Jumlah penduduk lansia di seluruh dunia mengalami peningkatan yang sangat
cepat. Di dunia, antara tahun 2000 hingga tahun 2050, proporsi penduduk berusia
lebih dari 60 tahun meningkat dua kali lipat, yaitu dari 605 juta atau 11% total
populasi menjadi 2 miliar atau 22% total populasi. Di Indonesia, pada tahun 2000
jumlah lansia sekitar 5,3 juta atau 7,4% dari total polulasi. Adapun pada tahun
2010 jumlah lansia meningkat yaitu sekitar 24 juta atau 9,77% dari total populasi.
Pada tahun 2050 diperkirakan populasi lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun
2013. Badan kesehatan dunia WHO menyebutkan bahwa penduduk lansia di
Indonesia pada tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai 28,8 juta orang atau
11,34% dari total populasi. Jumlah tersebut menjadikan jumlah penduduk lansia
di Indonesia menjadi terbesar di dunia (Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia, 2013). Peningkatan jumlah penduduk lansia menyebabkan perubahan
pada berbagai aspek.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 13
2
Universitas Indonesia
Salah satu perubahan yang disebabkan oleh meningkatkanya jumlah lansia yaitu
peningkatan angka ketergantungan lansia. Rasio ketergantungan penduduk tua
(old dependency ratio) yaitu angka yang menunjukkan tingkat ketergantungan
penduduk tua terhadap penduduk usia produktif. Hasil dari data Susenas
menunjukkan bahwa angka rasio ketergantungan penduduk lansia pada tahun
2012 adalah sebesar 11,90. Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap 100 orang
penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 12 orang penduduk lansia
(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Data tersebut menunjukkan
bahwa ketergantungan lansia perlu menjadi perhatian. Semakin tinggi tingkat
ketergantungan lansia menunjukkan semakin rendah kemandirian dan
produktivitas lansia. Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk
meningkatkan kemandirian sehingga lansia dapat menjadi lebih produktif. Akan
tetapi, salah satu hal yang perlu menjadi perhatian yaitu bahwa kemandirian lansia
salah satunya dipengaruhi oleh suatu proses yang normal dialami oleh lansia,
yaitu proses penuaan.
Masa lansia sebagai tahap akhir tumbuh kembang manusia menjadi masa dimana
manusia mengalami proses menua. Menua adalah suatu proses menghilangnya
kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri serta
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Proses ini merupakan kondisi
fisiologis yang berlangsung terus-menerus sepanjang hidup seseorang. Penuaan
bersifat kompleks dan multidimensional yang berbeda pada setiap individu.
Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor herediter,
lingkungan, dan faktor-faktor lainya. Selanjutnya, faktor-faktor tersebut dapat
mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual individu.
Salah satu aspek biologis yang mengalami perubahan akibat proses penuaan yaitu
perubahan pada sistem tubuh, terutama sistem muskuloskeletal dan neurologis
yang mempengaruhi aktivitas dan mobilitas fisik lansia. Perubahan pada aktivitas
dan mobilitas fisik tersebut dapat mempengaruhi kemandirian dan produktivitas
lansia. Peningkatan usia menyebabkan terjadinya perubahan baik anatomis
maupun fisiologis pada semua sistem tubuh, salah satunya perubahan pada sistem
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 14
3
Universitas Indonesia
muskuloskeletal dan neurologis. Proses penuaan mengakibatkan lansia mengalami
penurunan kekuatan otot lansia (Stanley & Beare, 2007). Selain itu, proses
penuaan juga mengakibatkan hilangnya massa total tulang dan perubahan postur
tubuh pada lansia. Sistem neurologis pada lansia juga mengalami penurunan yang
mengakibatkan perubahan refleks tendon (Stanley & Beare, 2007). Perubahan dan
penurunan fungsi ketiga sistem tersebut merupakan perubahan fisiologis yang
normal terjadi pada lansia. Akan tetapi, perubahan tersebut memungkinkan lansia
mengalami keterbatasan dalam aktivitas dan mobilitas mengingat ketiga sistem
tersebut memiliki peran penting terhadap kemampuan mobilitas fisik lansia. Hal
ini diperkuat dengan beberapa peneliti yang melakukan penelitian terkait kondisi
tersebut.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan fisiologis pada sistem tubuh
akibat proses penuaan mempengaruhi kemampuan mobilitas fisik lansia.
Penelitian yang dilakukan oleh Oliveira, Santana, dan Bachion (2002) pada 60
lansia di Portugal menunjukkan bahwa 100% lansia yang diteliti mengalami
hambatan mobilitas fisik. Adapun hambatan mobilitas fisik tersebut berhubungan
dengan kelemahan sistem muskuloskeletal (76,7%), penurunan kekuatan dan
resistensi otot (61,7%), kelemahan neuromuskular (55%), dan kerusakan persepsi
atau kognitif (53,3%). Selain itu, Rantakokko, Manty, dan Rantanen (2013)
menyebutkan faktor predisposisi penurunan mobilitas pada lansia meliputi nyeri
dan obesitas, penurunan kekuatan otot, kerusakan sensori, dan hambatan mobilitas
karena kondisi medis tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa lansia rentan
mengalami hambatan mobilitas fisik karena berbagai perubahan yang terjadi
selama proses penuaan.
Mobilitas diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan perpindahan
secara mandiri dari satu tempat ke tempat lain. Dalam hal ini, mobilitas menjadi
salah satu komponen utama yang dapat digunakan untuk mempertahankan
kemandirian lansia (Rantakokko, Manty, & Rantanen, 2013). Penurunan mobilitas
meningkat seiring proses penuaan dan sering menjadi tanda awal dari penurunan
fungsional yang lebih jauh. Hambatan mobilitas fisik menghambat kemampuan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 15
4
Universitas Indonesia
untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari yang dapat menyebabkan meningkatnya
ketergantungan dan peningkatan risiko kecacatan pada lansia. Selain itu,
hambatan mobilitas fisik juga dapat meningkatkan risiko jatuh pada lansia
(Barker, Nitz, Choy, & Haines, 2012). Hirvensalo, Rantanen, dan Heikkinen
(2000) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hambatan mobilitas fisik
merupakan faktor predisposisi kematian dan peningkatan ketergantungan lansia.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penurunan atau hambatan mobilitas fisik
dapat menimbulkan dampak buruk jika terjadi berkelanjutan dan tidak diatasi
dengan tepat.
Lansia di perkotaan memiliki risiko mengalami hambatan mobilitas fisik. Hal ini
dikarenakan rendahnya aktivitas dan produktivitas lansia di perkotaan. Profil
Penduduk Lanjut Usia tahun 2009 yang menunjukkan bahwa hanya sebesar
7,08% penduduk lansia yang melakukan kegiatan olahraga selama seminggu
terakhir. Adapun penduduk lansia yang melakukan kegiatan olahraga di daerah
perkotaan sebesar 12,9% (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Selain itu, gaya
hidup masyarakat perkotaan yang kurang sehat seperti diet dan kurangnya
aktivitas menyebabkan lansia di perkotaan memiliki keluhan kesehatan dan angka
kesakitan yang lebih tinggi.
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung merupakan salah satu
pelayanan untuk lansia yang terdapat di daerah perkotaan. Lansia yang tinggal di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung tidak hanya berasal dari
daerah perkotaaan namun juga lansia yang tidak berasal dari daerah perkotaan
namun sudah lama tinggal di daerah perkotaan. Hasil observasi selama 7 minggu
praktik di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung didapatkan data
terkait hambatan mobilitas fisik, khususnya pada lansia di Wisma Cempaka.
Sebagian besar lansia di wisma Cempaka memiliki tingkat ketergantungan partial
care. Hal ini menyebabkan lansia tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara
mandiri. WBS di Wisma Cempaka sebagian besar dapat melakukan aktivitas
sehari-hari seperti mandi, makan, berjalan atau mobilisasi, dan eliminasi secara
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 16
5
Universitas Indonesia
mandiri, namun membutuhkan pengawasan dan pengarahan dari perawat ataupun
care giver yang ada di PSTW Budi Mulya 01 Cipayung. Selain karena kondisi
fisik, tingkat ketergantungan lansia juga disebabkan oleh kerusakan kognitif yang
dialami. Hal ini ditunjukkan dengan hasil dari MMSE, yaitu sebanyak 53,1%
WBS mengalami gangguan kognitif ringan hingga sedang.
Hasil pengkajian kelompok juga didapatkan data terkait penggunaan alat bantu
jalan dan risiko jatuh. Data menunjukkan sebanyak 77,4% lansia tidak
menggunakan alat bantu jalan, sedangkan 22,6% lansia memiliki gangguan
berjalan yang menggunakan alat bantu berjalan berupa kursi roda, tongkat, dan
walker. WBS yang dapat berjalan tanpa alat bantu saat berjalan terlihat sangat
perlahan dan hati-hati serta berpegangan pada barang-barang yang ada di
sekitarnya saat berjalan. Kondisi tersebut menyebabkan lansia memiliki risiko
jatuh yang tinggi. Hasil pengkajian menggunakan angket didapatkan data
sebanyak 38,7% lansia menunjukkan BBT risiko tinggi jatuh. Hasil tersebut
menunjukkan bahwa lansia di wisma Cempaka telah mengalami penurunan
keseimbangan tubuh. Adapun berdasarkan pengkajian FMS kelompok, 48,4%
lansia memiliki risiko tinggi jatuh. Kondisi tersebut menunjukkan sebagian besar
lansia membutuhkan pengawasan dan bantuan dalam aktivitas sehari-hari.
Pengawasan dan bantuan dalam aktivitas sehari-hari lansia di Wisma Cempaka
dilakukan oleh perawat dan care giver. Adapun hasil wawancara didapatkan data
bahwa terdapat 1 orang perawat dan 2 care giver yang bertanggung jawab
terhadap 33 orang WBS yang ada di wisma Cempaka. Hal ini menunjukkan
bahwa pengawasan dan bantuan tidak dapat dilakukan secara maksimal karena
keterbatasan SDM. Oleh karena itu, tindakan memandirikan WBS yang
mengalami hambatan mobilitas fisik perlu dilakukan, salah satunya yaitu
penggunaan alat bantu jalan. Selain untuk memandirikan WBS, penggunaan alat
bantu jalan juga bertujuan untuk menurunkan risiko jatuh pada lansia. Salah satu
lansia di Wisma Cempaka yang mengalami masalah hambatan mobilitas fisik dan
membutuhkan intervensi keperawatan yang tepat yaitu Ibu S.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 17
6
Universitas Indonesia
Ibu S (73 tahun), salah satu lansia di wisma Cempaka, mengeluhkan tubuh terasa
lemah dan kaku. Selain itu, tulang tibialits klien tepatnya di area 1/3 distal tibia
sinistra klien mengalami deformitas dan area deformitas terkadang terasa nyeri
saat digunakan untuk berjalan. Selain itu, terdapat penurunan kekuatan otot
ekstremitas bawah kiri dan kanan berdasarkan hasil pengkajian kekuatan otot.
Klien juga mengalami penurunan rentang gerak sendi terutama sendi di
ekstremitas bawah. Tampak gaya berjalan klien lambat, sedikit menyeret kaki,
dan tidak seimbang. Klien juga tampak kesulitan dalam beberapa gerakan seperti
duduk ke berdiri, berdiri ke duduk, naik dan turun dari tempat tidur. Hasil
pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT) didapatkan data
Ibu S memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti
tongkat, kruk, dan walker. Akan tetapi, hasil pengkajian menunjukkan bahwa
motivasi Ibu S untuk menggunakan alat bantu jalan jenis walker masih kurang.
Selain itu, cara Ibu S menggunakan walker masih belum tepat. Oleh karena itu,
intervensi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah hambatan mobilitas
fisik Ibu S yaitu terkait penggunaan alat bantu jalan walker.
Walker merupakan sebuah alat untuk berjalan dengan kerangka yang terbuat dari
bahan logam. Alat ini dilengkapi dengan dua gagang yang berfungsi sebagai
tempat untuk berpegangan serta dilengkapi dengan empat kaki sebagai
penumpunya. Walker dapat memperbaiki keseimbangan dengan meningkatkan
area dasar penunjang berat badan dan meningkatkan keseimbangan. Hernandez
(2012) menyebutkan bahwa risiko jatuh dapat diturunkan jika jenis walker yang
digunakan sesuai dan lansia diajarkan cara menggunakan walker dengan tepat.
Hal ini menunjukkan bahwa latihan menggunakan alat bantu jalan penting untuk
diterapkan pada Ibu S.
Penggunaan alat bantu jalan memfasilitasi peningkatan mobilitas fisik Ibu S.
Dengan terjadinya peningkatan mobilitas fisik, maka kemampuan dalam
melakukan aktivitas dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dapat meningkat
sehingga kemandirian dapat ditingkatkan. Adanya manfaat penggunaan alat bantu
jalan walker untuk meningkatkan mobilitas fisik dan fasilitas yang disediakan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 18
7
Universitas Indonesia
oleh PSTW membuat penulis merasa penting untuk menerapkan latihan
penggunaan alat bantu jalan walker pada asuhan keperawatan Ibu S dengan
menggunakan teori dan konsep keperawatan gerontik sebagai sumber dan acuan
untuk mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik Ibu S.
1.2 Perumusan Masalah
Lansia mengalami proses penuaan yang berakibat pada menurunnya fungsi sistem
tubuh. Beberapa sistem tubuh lansia yang mengalami penurunan yaitu sistem
muskuloskeletal dan sistem neurologis. Perubahan pada kedua sistem tersebut
mengakibatkan lansia mengalami penurunan dalam aktivitas mobilisasi atau
mengalami hambatan mobilitas fisik. Adapun hambatan mobilitas fisik yang
dialami oleh lansia tidak hanya disebabkan oleh faktor penuaan, namun juga
karena berbagai faktor lain. Hal ini menunjukkan bahwa hambatan mobilitas fisik
pada lansia penting untuk diperhatikan. Masalah hambatan mobilitas fisik pada
lansia dan dampak negatif hambatan mobilitas fisik akan meningkat pada jika
masalah ini tidak ditangani khususnya pada lansia yang tinggal di perkotaan.
Masalah kesehatan pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung sebagian besar
karena gaya hidup lansia saat ini yang jarang melakukan aktivitas sehingga
muncul masalah hambatan mobilitas fisik. Hal ini menyebabkan tingkat
ketergantungan lansia meningkat sehingga kemandirian lansia dalam melakukan
aktivitas sehari-hari menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan
memandirikan lansia penting untuk dilakukan, salah satunya yaitu memfasilitasi
penggunakan alat bantu jalan secara tepat untuk meningkatkan kemandirian
lansia. Oleh karena itu, dalam laporan ini penulis ingin menganalisis intervensi
yang dapat dilakukan dalam asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah
hambatan mobilitas fisik di Wisma Cempaka Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 1 Cipayung.
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis asuhan keperawatan
kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu S (73 tahun) dengan masalah hambatan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 19
8
Universitas Indonesia
mobilitas fisik selama 7 minggu praktik di Wisma Cempaka Panti Sosial Tresna
Werdha Budi Mulia 1 Cipayung.
1.3.2 Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:
1.3.2.1 Menggambarkan profil pelayanan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Budi Mulia 1 Cipayung
1.3.2.2 Menggambarkan hasil pengkajian pada Ibu S dengan masalah hambatan
mobilitas fisik di Wisma Cempaka Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia
1 Cipayung
1.3.2.3 Menggambarkan perencanaan asuhan keperawatan (analisis data, diagnosa
keperawatan, rencana asuhan keperawatan) yang diberikan pada lansia
dengan masalah hambatan mobilitas fisik
1.3.2.4 Menggambarkan implementasi keperawatan pada Ibu S dengan masalah
hambatan mobilitas fisik
1.3.2.5 Menggambarkan analisis dampak intervensi penggunaan alat bantu jalan
walker pada Ibu S dengan masalah hambatan mobilitas fisik
1.4 Manfaat Penulisan
Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengatasi
masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia, antara lain:
1.4.1 Bagi pelayanan keperawatan dan kesehatan lansia
Hasil penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang salah
satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah hambatan
mobilitas fisik pada lansia, yaitu dengan memfasilitasi dan melatih kemampuan
lansia untuk menggunakan alat bantu jalan dengan tepat. Selain itu, laporan ini
juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi bidang keperawatan dan
pelayanan kesehatan terkait pentingnya kebutuhan alat bantu jalan lansia dan
tentang pentingnya meningkatkan keterampilan perawat atau care giver terkait
prosedur penggunaan alat bantu jalan pada lansia. Selain itu, laporan ini juga
diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pelayanan keperawatan dan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 20
9
Universitas Indonesia
kesehatan lansia terkait cara atau intervensi lain yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia.
1.4.2 Bagi keilmuan
Hasil penulisan laporan ini ini diharapkan dapat menjadi data atau masukan bagi
institusi pendidikan khususnya bidang keperawatan gerontik terkait mobilitas
fisik, masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia, dan intervensi yang
dilakukan, terutama intervensi penggunaan alat bantu jalan. Selain itu, laporan ini
juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi institusi pendidikan terkait
efektivitas penggunaan alat bantu jalan walker pada lansia untuk mengatasi
masalah hambatan mobilitas fisik. Laporan ini juga diharapkan dapat menjadi
bahan pertimbangan bagi institusi pendidikan terkait penambahan bobot materi
atau pembahasan terkait hambatan mobilitas fisik dan penggunaan alat bantu
jalan pada lansia dalam materi perkuliahan.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 21
10 Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Teori Penuaan
Penuaan merupakan suatu proses yang normal dialami oleh manusia namun
berbeda pada setiap individu. Perbedaan tersebut dikarenakan penuaan bersifat
kompleks dan multidimensional serta dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.
Penuaan menyebabkan individu mengalami perubahan yang kemudian dapat
mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan individu, baik aspek biologis,
psikologis, sosial, maupun aspek spiritual individu. Dalam hal ini, perubahan
akibat proses penuaan salah satunya berdampak pada aktivitas dan mobilitas fisik
individu. Perubahan tersebut kemudian dapat mempengaruhi kemandirian dan
produktivitas lansia.
Proses penuaan yang berkaitan dengan perubahan pada sistem biologis dapat
dijelaskan dengan pendekatan melalui teori-teori yang sudah ada. Teori-teori yang
ada menjelaskan proses yang terjadi selama penuaan yang selanjutnya dapat
digunakan untuk menganalisa implikasi yang dapat ditimbulkan akibat proses
penuaan. Beberapa teori yang dapat menjelaskan penuaan dan berkaitan dengan
kemampuan mobilitas fisik dan aktivitas yaitu teori pemakaian dan pengrusakan
atau teori wear and tear,teori cross linkage, teori aktivitas, dan teori kontinuitas.
Salah satu teori biologis yang dapat menjelaskan tentang penuaan yaitu teori
pemakaian dan pengrusakan atau teori wear and tear. Teori ini dikenalkan oleh
Weisman (1891). Teori pemakaian dan pengrusakan ini terjadi karena kelebihan
usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh yang terus menerus dipakai
menjadi lelah. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan jumlah kolagen
dalam tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit, dan
kekurangan gizi (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, 2008).
Miller (2004) dalam bukunya mengatakan bahwa manusia diibaratkan seperti
mesin yang memerlukan perawatan, sedangkan penuaan merupakan hasil dari
penggunaan. Dalam teori ini, juga dinyatakan bahwa sel-sel tetap ada sepanjang
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 22
11
Universitas Indonesia
hidup walaupun sel-sel tersebut digunakan secara terus-menerus. Dalam teori ini,
Hayflick menyatakan bahwa kematian merupakan akibat dari tidak digunakannya
sel-sel karena dianggap tidak diperlukan lagi dan tidak dapat diperbaharui secara
mandiri. Teori tersebut dapat menjelaskan bahwa sistem tubuh seperti sistem
muskuloskeletal dan neurologis yang digunakan terus menerus akan mengalami
penurunan fungsi. Selain itu, dari teori tersebut juga dapat dilihat bahwa jika
sistem muskuloskeletal dan neurologis tidak digunakan, seperti digunakan untuk
beraktivitas, maka sistem akan mengalami kematian atau kerusakan serta tidak
dapat diperbaharui kembali.
Teori selanjutnya yang berhubungan dengan aktivitas dan mobilisasi lansia yaitu
teori cross linkage. Teori ini diperkenalkan oleh Bjorksten pada tahun 1942. Teori
cross linkage mengatakan bahwa struktur molekul yang biasanya dipisahkan,
terikat bersama melalui reaksi kimia. Menurut teori ini, agen cross linkage
menempel pada untai tunggal dari molekul DNA dan bersifat
merusak. Mekanisme pertahanan biasanya dengan memperbaiki kerusakan, tetapi
seiring bertambahnya usia, mekanisme pertahanan tersebut lemah, yang
memungkinkan proses cross-linkage dilanjutkan sampai kerusakan tidak dapat
diperbaiki. Kerusakan permanen pada sel yang membentuk kolagen akhirnya
menyebabkan kegagalan jaringan dan organ karena sistem protein menjadi tidak
elastis dan tidak efektif (Miller, 2004). Kondisi tersebut juga dapat terjadi pada
sistem muskuloskeletal dan neurologis lansia. Kerusakan atau penurunan pada
sistem tersebut akan terus menerus terjadi sementara mekanisme pemulihan
berkurang. Kondisi tersebut dapat berimplikasi pada penurunan kemampuan
lansia melakukan aktivitas dan mobilisasi.
Teori selanjutnya yang berhubungan dengan aktivitas dan mobilisasi lansia yaitu
teori aktivitas. Teori ini diperkenalkan oleh Havigurst dan Albretch pada tahun
1953. Teori ini menyebutkan bahwa penuaan yang sukses ialah dengan cara tetap
aktif. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menguji teori ini dan didapatkan
hubungan yang positif antara aktivitas serta kesejahteraan fisik dan mental orang
tersebut. Pengembangan penelitian teori ini juga menunjukkan bahwa aktivitas
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 23
12
Universitas Indonesia
mental dan fisik mempengaruhi pemeliharaan kesehatan sepanjang kehidupan
manusia (Miller, 2004).
Teori kontinuitas juga berhubungan dengan kemampuan dan motivasi klien
melakukan aktivitas dan mobilisasi. Teori ini diperkenalkan oleh Neugarten pada
tahun 1968. Teori ini menjelaskan pengaruh kepribadian dengan kebutuhan lansia
untuk tetap aktif ataupun menarik diri untuk mencapai kebahagiaan saat usia
lanjut. Seseorang yang memiliki kehidupan sosial yang aktif akan terus menikmati
gaya hidupnya sampai usia lanjut. Sebaliknya, orang yang lebih menikmati
kesendiriaan dan memiliki jumlah aktivitas sosial yang terbatas kemungkinan
akan meneruskan gaya hidupnya sepeti itu hingga lansia. Dengan kata lain, teori
ini mengemukakan bahwa kepribadiaan dan gaya hidup yang telah dinikmati
sebelumnya akan dilanjutkan hingga seseorang berusia lanjut. Namun beberapa
hal dapat juga menyebabkan seseorang berubah, masalah-masalah seperti
ekonomi, sosial, dan pengalaman hidup lainya memungkinkan seseorang untuk
berubah (Miller, 2004).
2.2 Mobilitas Fisik Lansia
2.2.1 Perubahan terkait mobilisasi yang terjadi selama penuaan
Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomis dan fisiologis sistem
tubuh yang mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh lansia. Perubahan fungsi
fisiologis tubuh tersebut mempengaruhi pemenuhan kebutuhan fisiologis,
termasuk kebutuhan mobilisasi. Mobilitas adalah kemampuan untuk melakukan
aktivitas dan perpindahan tanpa keterbatasan yang meliputi berjalan, berlari,
duduk, berdiri, mengangkat, mendorong, dan melakukan aktivitas sehari-hari
(DeLaune & Ladner, 2011). Mobilitas merupakan salah satu aspek terpenting dari
fungsi fisiologis karena menggambarkan kemandirian lansia (Miller, 2004).
Mobilitas berkaitan dengan aktivitas seseorang sepanjang kehidupannya. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan pada mobilitas lansia yang dipengaruhi oleh
perubahan sistem tubuh akibat penuaan mempengaruhi kemandirian lansia.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 24
13
Universitas Indonesia
Sistem pertama yang mengalami perubahan yaitu sistem tulang atau rangka.
Pertumbuhan tulang mencapai puncaknya pada tahap dewasa awal, namun proses
remodelling akan berlangsusng terus menerus selama rentang kehidupan manusia.
Perubahan yang terjadi pada usia lanjut meliputi peningkatan resorpsi tulang,
berkurangnya penyerapan kalsium, peningkatan serum hormon paratiroid,
terganggunya pengaturan akitivitas osteoblas, terganggunya pembentukan tulang
akibat penurunan produksi osteoblastis dalam matriks tulang serta penurunan
jumlah sumsum tulang dan tergantikan oleh sel lemak (Miller, 2004).
Selain beberapa perubahan tersebut, terdapat faktor lain yang mempengaruhi
proses remodeling tulang. Faktor tersebut adalah hipertiroidisme, PPOK,
kurangnya asupan vitamin D dan kalsium, konsumsi obat jenis glukokortikoid dan
anti-konvulsan, serta minimnnya aktivitas (Miller, 2004). Perubahan ini berlaku
untuk pria maupun wanita, mengingat aktivitas hormon estrogen dan testosterone
juga berperan. Faktor-faktor ini saling mempengaruhi sehingga menimbulkan
perubahan terhadap fungsi pembentukan kembali. Sehingga secara umum, lansia
akan mengalami penurunan pada massa tulang. Lansia akan terlihat mengalami
penurunan tinggi badan, penyempitan diskus intervertebral dan penekanan
kolumna spinalis, serta bahu yang melebar.
Perubahan normal sistem muskuloskeletal pada masa penuaan melibatkan
beberapa bagian sistem muskuloskeletal yang kemudian menimbulkan berbagai
implikasi klinis. Adapun perubahan tersebut, meliputi perubahan tinggi progresif
akibat penyempitan diskus intervertebral dan kekakuan tulang dada untuk
mengembang. Selain itu juga terjadi penurunan produksi tulang kortikal dan
trabekular. Penuaan juga menyebabkan penurunan massa otot akibat kehilangan
lemak subkutan. waktu kontraksi-relaksasi muskular juga memanjang selama
proses penuaan. Implikasi klinis dari perubahan-perubahan tersebut, meliputi
postur tubuh bungkuk dengan penampilan barrel-chest, peningkatan risiko jatuh,
fraktur, dan cedera. Selain itu, implikasi klinis perubahan muskuloskeletal yaitu
kontur tubuh yang tajam dan kekuatan otot menurun (Stanley, Blair, & Beare,
2005).
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 25
14
Universitas Indonesia
Perubahan selanjutnya adalah perubahan pada sistem muskular. Beberapa
perubahan yang terjadi pada sistem otot yaitu penurunan massa otot akibat
penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, deteriorasi serabut otot akibat
pergantian jaringan ikat menjadi jaringan lemak, serta penurunan jumlah cairan
dan kalsium (Miller, 2004). Penurunan massa otot ini mengakibatkan penurunan
kekuatan seseorang untuk melakukan aktivitas (Faulkner, Larkin, Claflin, &
Brooks, 2007). Selain itu perubahan yang terjadi pada sistem otot dipengaruhi
pula oleh sistem saraf. Hal ini dikarenakan sistem saraf merupakan sistem yang
menggerakkan sistem otot. Keterlambatan gerak yang terjadi selama penuaan
disebabkan oleh semakin memanjangnya waktu antara kontraksi-relaksasi otot
(Stanley, Blair, & Beare, 2005). Hal inilah yang menyebabkan lansia terlihat
berjalan dan melakukan segala aktivitas dengan lambat.
Perubahan selanjutnya yang akan dijelaskan yaitu perubahan pada jaringan ikat
dan persendian. Secara umum, terdapat penurunan kartilago sendi terutama pada
bagian yang menahan beban berat (Stanley, Blair, & Beare, 2005). Komponen
kapsul sendi akan pecah dan kolagen meningkat. Hal ini menimbulkan inflamasi,
nyeri, penurunan mobilitas sendi, serta deformitas (Stanley, Blair, & Beare, 2005).
Berbeda dengan rangka dan otot yang membutuhkan latihan rutin untuk menjaga
keadaan normalnya, persendian pada lansia rawan mengalami kerusakan apabila
sering digunakan untuk beraktivitas. Beberapa perubahan yang terjadi pada
persendian dan jaringan ikat menyebabkan gangguan pergerakan fleksi-ekstensi,
penurunan elastisitas, penurunan perlindungan akan gerakan yang tiba-tiba, erosi
tulang, serta penurunan daya regang jaringan ikat (Miller, 2004).
Miller (2004) menyebutkan beberapa beberapa perubahan terkait penuaan yang
terjadi pada persendian. Adapun perubahan tersebut yaitu penurunan kepekatan
cairan synovial sendi dan penurunan sel elastin. Pemecahan struktur serabut otot
pada jaringan ikat juga merupakan salah satu perubahan yang terjadi selama masa
penuaan. Selain itu, penuaan menyebabkan pertumbuhan kalitaginous semakin
pesat dan terjadi perubahan pada asterial kartilago. Perubahan lain yang terjadi
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 26
15
Universitas Indonesia
yaitu terjadi pertumbuhan jaringan skar dan kalsifikasi pada kapsul sendi dan
jaringan ikat.
Perubahan terakhir yang akan dibahas yaitu perubahan pada sistem syaraf.
Perubahan yang terjadi pada sistem syaraf mempengaruhi keamanan mobilisasi.
Hal ini mengingat sistem persyarafan menngontrol semua indera yang
berhubungan dengam proses mobilisasi seseorang. Perubahan yang terjadi
diantaranya adalah penurunan refleks, penurunan proprioception, serta penurunan
sensasi bergetar dan posisi pada ektremitas bawah (Miller, 2004). Pada lansia,
akan sering ditemukan tubuh yang tampak limbung saat berjalan. Hal ini
dikarenakan kemampuan mengontrol badan dalam keadaan tegak semakin
berkurang. Sehingga risiko jatuh akan semakin meningkat.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa perubahan mobilisasi pada lansia
dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada sistem geraknya. Sistem yang
menyokong pergarakan tersebut mencakup sistem rangka, otot, persendian, dan
saraf. Pada lansia, otot dan rangka akan mengalami penurunan ukuran dan massa
sehingga mempengaruhi kekuatan untuk melakukan aktivitas. Sedangkan
perubahan yang terjadi pada persendian dan persyarafan mempengaruhi refleks
lansia untuk melakukan aktivitas. Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi
pada mobilisasi menyebabkan lansia risiko jatuh dan cedera pada lansia semakin.
Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang perubahan yang terjadi dan
bagaimana intervensi yang tepat pada masalah yang disebabkan oleh penurunan
mobilisasi.
2.2.2 Faktor–faktor yang mempengaruhi masalah mobilitas lansia
Mobilitas lansia merupakan hal yang penting untuk dipertahankan secara optimal
karena mempengaruhi kesehatan mental dan fisik lansia (Annete, 2000). Akan
tetapi, lansia memiliki keterbatasan mobilisasi yang disebabkan oleh faktor-faktor
tertentu (Stanley & Beare, 2002). Hal tersebut meliputi faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri lansia,
sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang timbul oleh lingkungan sekitar.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 27
16
Universitas Indonesia
Penjabaran di bawah ini akan menjelaskan secara lebih rinci faktor-faktor yang
mempengaruhi mobilisasi lansia.
2.1.2.1 Faktor-faktor internal
Mobilitas yang kurang optimal atau hambatan mobilitas fisik sering terjadi pada
lansia. Faktor-faktor internal yang timbul disebabkan oleh beberapa hal, seperti
penurunan fungsi muskuloskeletal, perubahan fungsi neurologis, nyeri, dan aspek
psikologis (Stanley & Beare, 2002). Selain disebabkan oleh perubahan normal
akibat penuaan, perubahan patologis pada sistem muskuloskeletal dan neurologis
juga mempengaruhi mobilisasi. Permasalahan pada sistem muskuloskeletal
meliputi atrofi, distrofi, dan cedera pada otot. Selain pada otot, permasalahan
fungsi muskuloskeletal juga terjadi pada tulang yaitu oleh adanya fraktur, tumor,
ostereoporosis, dan osteomalasia serta atrisis dan tumor pada sendi. Permasalahan
muskuloskeletal juga disebabkan oleh gabungan keduanya yaitu otot dan tulang
seperti kanker dan permasalahan obat-obatan.
Perubahan fungsi neurologis, nyeri, dan aspek psikologis juga mempengaruhi
mobilisasi lansia. Permasalahan pada sistem persyarafan, seperti stroke dan
penyakit Parkinson. Penyakit gangguan metabolik seperti hipoglikemi dan
gangguan nutrisi juga mempengaruhi mobilisasi lansia. Selain itu, nyeri yang
berhubungan dengan penyebab dari berbagai macam penyakit yang diderita oleh
lansia berdampak pada trauma sehingga menimbulkan sikap atau respon
penurunan mobilisasi (Annete, 2002). Aspek psikologis yang menyebabkan
perubahan dalam mobilisasi berhubungan dengan adanya faktor aktual seperti
kehilangan pasangan, pindah jauh dari keluarga atau kerabat serta perubahan pola
pikir sehingga berdampak pada depresi.
2.1.2.2 Faktor-faktor eksternal
Faktor eksternal juga merupakan faktor yang menjadi penyebab masalah
mobilisasi pada lansia. Faktor tersebut meliputi program terapeutik, karakteristik
tempat tinggal dan staff, sistem pemberian asuhan keperawatan, hambatan-
hambatan, dan kebijakan-kebijakan institusional (Stanley & Beare, 2000).
Program terapeutik berkaitan dengan penanganan medis yang sedang diberikan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 28
17
Universitas Indonesia
terhadap lansia. Penanganan medis tersebut akan memiliki pengaruh terhadap
kualitas dan kuantitas pergerakan lansia. Adapun penanganan program teraupeutik
seperti faktor mekanis yaitu penggunaan alat eksternal yang akan mencegah atau
menghambat pergerakan bagian tubuh saat menggunakannya. Alat eksternal
meliputi penggunaan gibs, traksi, hingga alat yang dipasangkan kedalam ubuh
lansia seperti pemberian cairan IV, kateter urine hingga penggunaan masker
oksigen.
Program rehabilitasi, obat-obatan, serta restrain juga mempengaruhi masalah
mobilisasi pada lansia. Adapun program rehabilitasi serta penggunaan obat-obatan
atau kemoterapi pada lansia yang dimaksud adalah yang dapat membuat lansia
mengalami penurunan kesadaran atau yang menganjurkan lansia untuk bedrest
(Annete, 2000). Selain itu, pengaman tempat tidur atau restrain fisik umum
digunakan oleh pihak rumah sakit. Akan tetapi, penggunaan alat tempat tidur
biasanya dimaksudkan untuk memberikan pembatasan mobilisasi pada lansia
yang sedang mengalami perawatan atau program terapeutik. Walaupun bersifat
terapeutik, tindakan tersebut dapat menurunkan aktivitas mobilisasi individu.
Karakteristik penghuni institusi juga mempengaruhi masalah mobilisasi pada
lansia. Lansia yang tinggal di panti werdha tentunya akan memiliki lingkungan
yang akan berpengaruh terhadap pola kebiasaan lansia. Tingkat mobilitas dan pola
perilaku teman sebaya dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perilaku lansia.
Hal ini akan berpengaruh terhadap aktivitas lansia yang akan berdampak pada
mobilsasi yang disebabkan oleh pola kegiatan lansia yang tidak banyak dilakukan
di panti. Lansia memang cenderung pasif karena faktor usia dan keterbatasan
dalam melalukan berbagai hal. Aktifitas seperti senam pagi dapat membantu
meningkatkan mobilitas. Kurangnya jumlah staf juga membuat lansia yang
memiliki keterbatasan bergerak untuk membantu bergerak terutama klien yang
menggunakan alat bantu gerak atau yang sedang mengalami program terapeutik
(Stanley & Beare, 2000).
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 29
18
Universitas Indonesia
Karakteristik staf juga mempengaruhi masalah mobilisasi pada lansia. Hal ini
berkaitan dengan kemampuan staf panti atau perawat dalam memberikan pogram
mobilisasi. Setiap staf dan perawat seharusnya memiliki 3 komponen ini, yaitu
pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dalam hal ini ialah pemahaman
tentang konsekuensi fisiologis dari kurangnya aktivitas mobilisasi dan tindakan
keperawatan untuk mencegah masalah mobilisasi yang akan muncul. Komitmen
dalam hal ini ialah kesetiaan staf dan perawat untuk selalu care terhadap lansia.
Jumlah perawat dalam hal ini untuk mengoptimalkan penanganan pada tiap lansia
(Stanley & Beare, 2000). Dengan terpenuhinya ketiga komponen tersebut,
program mobilisasi dapat dijalankan dengan optimal.
Hal lain yang juga mempengaruhi masalah mobilisasi lansia yaitu sistem
pemberian asuhan keperawatan dan kebijakan institusi. Sistem pemberi asuhan
keperawatan berkaitan dengan perhatian terhadap lansia di institusi seperti rumah
sakit maupun panti yang merawat lansia. Dalam hal ini perlu dilakukannya alokasi
asuhan keperawatan oleh staf dan perawat terhadap lansia untuk memenuhi
kebutuhan mobilisasi selain tugas yang lain seperti mandi, pemberian makanan,
obat-obatan dan lainnya. Adapun kebijakan institusi berkaitan dengan kebijakan
dari panti untuk melalukan prosedur keperawatan. Semakin ketatnya pengawasan
terhadap tiap prosedur-prosedur dan kebijakan keperawatan, maka dampak
terhadap kesejahteraan lansia akan semakin baik (Stanley & Beare, 2000).
Berbagai macam hambatan baik hambatan fisik maupun arsitektur juga
mempengaruhi masalah mobilisasi. Hambatan yang timbul dalam pemberian
mobilisasi pada lansia berkaitan dengan hambatan fisik dan arsitektur yang dapat
mengganggu mobilitas. Hambatan fisik seperti pengetahuan dalam penggunaan
alat bantu untuk mobilitas yang tidak adekuat, lantai yang licin. Arsitektur rumah
sakit dan panti tidak dilengkapi tempat yang memudahkan lansia untuk
beraktifitas seperti pegangan di tiap koridor rumah sakit, koridor yang terlalu
sempit, tidak adanya aula, hingga stuasi yang memungkinkan lansia terjatuh
seperti banyak perabotan (Stanley & Beare, 2000).
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 30
19
Universitas Indonesia
2.3 Hambatan Mobilitas Fisik
2.2.1. Pengertian hambatan mobilitas fisik
Beberapa sumber atau referensi mengartikan hambatan mobilitas fisik ke dalam
berbagai definisi. Holloway (2004) mendefinisikan hambatan mobilitas fisik
sebagai suatu kondisi dimana individu memiliki keterbatasan kemampuan untuk
melakukan perpindahan atau gerakan fisik secara mandiri. Selain itu, Carpenito
(2008) juga mendefinisikan hambatan mobilitas fisik sebagai suatu kondisi
dimana seseorang mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan perpindahan
fisik tetapi tidak imobil. Pengertiaan tersebut menunjukkan bahwa kondisi imobil
tidak dapat dikatakan sebagai hambatan mobilitas fisik.
Hambatan mobilitas fisik juga didefinisikan sebagai keterbatasan dalam
kemandirian, perpindahan atau gerakan fisik yang bertujuan pada tubuh atau salah
satu atau lebih ekstremitas (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2008; NANDA
International, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa hambatan mobilitas fisik dapat
melibatkan salah satu ekstremitas atau semua ekstremitas pada tubuh individu.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hambatan mobilitas
fisik adalah suatu kondisi dimana individu mengalami keterbatasan kemampuan
untuk melakukan perpindahan atau gerakan fisik secara mandiri pada tubuh atau
salah satu atau lebih ekstremitas tetapi tidak imobil.
NANDA International (2012) menyebutkan beberapa batasan karakteristik dari
hambatan mobilitas fisik yang dapat mendukung definisi. Adapun batasan
karakteristik hambatan mobilitas fisik meliputi penurunan waktu reaksi, kesulitan
membolak balik posisi, melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan,
dispnea saat beraktivitas, dan perubahan gaya berjalan. Batasan karakteristik
lainnya yaitu gerakan bergetar, keterbatasan keterampilan melakukan
keterampilan motorik halus dan kasar, keterbatasan rentang pergerakan sendi, dan
tremor akibat pergerakan. Ketidakstabilan postur, pergerakan lambat, dan
pergerakan tidak terkoordinasi juga merupakan batasan karakteristik dari
hambatan mobilitas fisik (NANDA International, 2012).
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 31
20
Universitas Indonesia
2.2.2. Etiologi dan faktor presipitasi hambatan mobilitas fisik
Beberapa kondisi menjadi etiologi dan faktor presipitasi hambatan mobilitas fisik.
Cedera yang mencegah individu menahan berat badan seperti trauma
menyebabkan hambatan mobilitas fisik. Selain itu, kondisi penyakit yang
menyebabkan intoleransi aktivitas seperti penyakit kardiovaskular, cedera akut
yang menyebabkan paralisis atau paresis seperti stroke, dan kondisi
ketidakmampuan yang kronis dan akut seperti artritis juga menjadi penyebab
terhambatnya mobilitas fisik individu. Gangguan persepsi sensori, pembatasan
terapeutik, dan keengganan untuk mencoba gerakan atau mobilisasi juga menjadi
faktor presipitasi hambatan mobilitas fisik (Holloway, 2004). Adapun faktor yang
biasa ditemukan pada lansia meliputi artritis, depresi, nyeri kronis, fraktur
panggul, dan penyakit neurologis seperti demensia atau penyakit Parkinson
(Miller, 2009).
NANDA International (2012) menyebutkan beberapa faktor yang berhubungan
dengan hambatan mobilitas fisik. Adapun faktor yang berhubungan meliputi
intoleran aktivitas, perubahan metabolisme seluler, ansietas, indeks massa tubuh
di atas presentil 75 sesuai usia, gangguan kognitif, dan kontraktur. Faktor lain
yang juga berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik yaitu kepercayaan
budaya tentang aktivitas sesuai usia, fisik tidak bugar, penurunan ketahanan
tubuh, penurunan kendali, massa, dan kekuatan otot, serta kurang pengetahuan
tentang nilai aktivitas fisik. Selain itu, keadaan mood depresi, keterlambatan
perkembangan, ketidaknyamanan, disuse, dan kaku sendi juga merupakan faktor
yang berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik. Faktor lain yang juga
berhubungan yaitu kurang dukungan sosial, keterbatasan ketahanan
kardiovaskular, dan kerusakan integritas struktur tulang.
2.4 Penggunaan Alat Bantu Jalan (Walker)
Walker merupakan salah satu jenis alat bantu jalan yang dapat membantu lansia
melakukan mobilisasi dan beraktivitas secara mandiri. Bateni, Brian, dan Maki
(2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa berdasarkan evaluasi klinis dan
biomedik dapat dibuktikan bahwa penggunaan walker dapat meningkatkan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 32
21
Universitas Indonesia
keseimbangan dan mobilitas. Walker dapat menyangga 50% berat badan lansia.
Walker membutuhkan kekuatan tubuh bagian atas untuk mengangkat dan
memindahkan walker, serta memajukan walker saat berjalan. Beberapa walker
memiliki dua roda yang dapat mempermudah penggunanya. Beberapa alasan
tipikal untuk memilih walker yaitu individu yang mengalami artritis, terutama
yang menyerang kaki dan panggul, gangguan keseimbangan sedang, dan
kelemahan umum panggul dan kaki.
Indikasi lain dari penggunaan walker juga perlu diperhatikan. Uustal dan Baerga
(2004) menyebutkan bahwa indikasi penggunaan walker meliputi kelemahan
bilateral atau inkoordinasi tungkai bawah atau seluruh tubuh, seperti pada
penderita penyakit multiple sclerosis atau penyakit parkinson, ketika penggunaan
alat bantu yang sesuai dapat meningkatkan keseimbangan. Selain itu, walker juga
diindikasikan untuk meringankan seluruh atau sebagian beban pada ekstremitas
bawah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan walker memungkinkan
ekstremitas atas untuk mentransfer berat badan ke lantai. Indikasi lain penggunaan
walker yaitu pada individu dengan kelemahan unilateral atau amputasi ekstremitas
bawah, seperti osteoartritis atau fraktur femur, di mana kelemahan umum
membuat tubuh membutuhkan dukungan atau sokongan yang lebih besar. Selain
itu, walker juga diindikasikan pada individu yang memerlukan dukungan untuk
membantu melakukan mobilitas atau meningkatkan kemampuan mobilitas seperti
pada individu yang menjalani bedrest dalam jangka waktu lama dan pada lansia
yang sakit.
Walker terdiri dari beberapa jenis. Miller (2011) menyebutkan bahwa walker
terdiri dari tiga jenis, yaitu standard walker, 4-wheel rollator, dan 3-wheel
rollator. Jenis walker yang pertama yaitu standar walker. Standar walker
memperikan dukungan keseimbangan dan stabilitas ketika berjalan. Penggunaan
standar walker yaitu dengan memindahkan walker ke depan terlebih dahulu
sebelum melangkah. Walker jenis ini memiliki tingkat keseimbangan yang tinggi
karena memiliki empat titik yang bersentuhan langsung dengan lantai.selain itu,
walker jenis ini juga membuat individu atau pengguna merasa aman saat berjalan.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 33
22
Universitas Indonesia
Walker ini juga biasanya ringan dan mudah digunakan. Akan tetapi, jenis walker
ini juga memiliki kelemahan yaitu desain walker yang lebar tidak dapat digunakan
atau sulit digunakan pada area yang sempit seperti melewati pintu, dan tidak aman
jika digunakan untuk menaiki atau menuruni tangga (O’Sullivan, Schmit, & Fulk,
2014).
Gambar 2.1 Standard Walker
Sumber Miller (2011)
Jenis walker dengan dua roda dilengkapi dengan dua roda di depan sehingga
individu tidak perlu mengangkat walker ketika berjalan. Jenis berikutnya yaitu 4-
wheel rollator atau walker dengan 4 roda digunakan pada individu yang
membutuhkan sokongan tetapi masih memiliki kekuatan kaki. Penambahan roda
pada walker ditujukan untuk meningkatkan fungsi ambulasi individu yang tidak
dapat mengangkat beban atau tidak dapat menggunakan walker jenis standar
(O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014). Beberapa walker beroda empat dilengkapi
dengan tempat duduk yang memungkinkan individu istirahat saat menggunakan
walker (Miller, 2011).
Gambar 2.2 4-Wheel Rollator Walker
Sumber Miller (2011)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 34
23
Universitas Indonesia
Jenis walker yang terakhir yaitu 3-wheel rollator atau walker beroda tiga. Jenis
walker ini lebih ringan dan lebih kecil namun memberikan stabilitas yang lebih
kecil (Miller, 2011). Selain itu, keuntungan penggunaan walker jenis ini yaitu
memudahkan individu dalam mengarahkan walker dan lebih mudah saat berbelok
atau mengubah arah (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).
Gambar 2.3 3-Wheel Rollator Walker
Sumber Miller (2011)
Beberapa hal perlu diperhatikan saat akan menggunakan walker. Salah satu hal
yang perlu diperhatikan yaitu cara memilih pegangan pada walker. Pada
umumnya, pegangan walker terbuat dari plastik, akan tetapi banyak pilihan yang
lebih baik. Klien harus mempertimbangkan pegangan walker yang berlapis busa,
khususnya jika tangan klien walker cenderung mudah berkeringat. Jika klien
memiliki masalah pada jari-jari, seperti penderita arthritis, masalah nyeri pada
persendian, dan masalah pada saraf, klien harus memilih pegangan yang lebih
besar. Memilih pegangan yang tepat akan mengurangi masalah pada persendian
dan membantu dalam mencegah kelainan bentuk pada persendian. Pegangan
manapun yang klien pilih, yakinkan bahwa pegangan tersebut aman untuk
digunakan sehingga klien walker tidak akan tergelincir saat menggunakan walker.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu cara menyesuaikan walker yang akan
digunakan. Walker yang akan digunakan harus disesuaikan terlebih dahulu
sehingga klien merasa nyaman saat menggunakan walker. Hal ini akan
mengurangi masalah pada bahu dan tulang belakang klien saat memakai walker.
Untuk memastikan tinggi walker sudah nyaman untuk digunakan, klien dapat
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 35
24
Universitas Indonesia
mencoba untuk melangkahkan kaki dengan menggunakan walker. Setelah itu,
periksa siku klien dan letakkan tangan klien pada pegangan walker hingga
membentuk sudut 150o. Selanjutnya, periksa tinggi pergelangan tangan. Pegang
pegangan walker dan rilekskan tangan klien di sisi tubuh. Selain itu, pengukuran
juga dilakukan saat individu memegang walker, sudut fleksi siku yang tepat yaitu
kira-kira 20o hingga 30
o (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014; Miller, 2011).
Sebagian besar walker memiliki tombol kecil di masing-masing sisi yang dapat
ditekan lalu disesuaikan ukuran atau ketinggian walker hingga panjang walker
sesuai (Miller, 2011)
Prosedur penggunaan walker dimulai setelah jenis walker yang sesuai dan
pengaturan walker telah tepat. Selanjutnya, beberapa hal perlu diperhatikan dan
disampaikan pada individu atau pengguna sebelum menggunakan walker. Hal
pertama yang harus diperhatikan yaitu walker harus diletakkan dengan semua
sudut atau kaki walker menyentuh lantai untuk mencapai stabilitas maksimal.
Selain itu, saat menggunakan walker, postur tubuh harus dalam kondisi yang baik
atau dalam posisi tegap dan wajah menghadap ke arah depan.Individu juga perlu
diingatkan untuk tidak melangkah terlalu mendekati garis atau batas depan walker
karena dapat mengakibatkan jatuh (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).
Hal selanjutnya yang dilakukan yaitu melatih klien cara melakukan langkah
pertama ketika menggunakan walker. Jika klien membutuhkan tempat yang lebar
atau luas untuk berpindah saat menggunakan walker, langkah pertama dimulai
dengan mendorong walker ke arah depan. Selanjutnya, punggung klien harus
dijaga agar tetap nyaman saat menggunakan walker. Setelah itu, satu kaki klien
diletakkan pada sisi walker dan minta klien untuk melangkah. Kaki walker
dilangkahkan sesuai dengan langkah kaki klien. Setelah itu, gerakan melangkah
dilanjutkan pada satu kaki lainnya (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).
Latihan melangkah dengan kaki yang lain dilakukan dengan terlebih dahulu
menempatkan kaki lain di dalam walker. Selanjutnya, langkah tersebut diulangi
dengan memindahkan walker ke depan dan melangkah satu kaki ke dalamnya
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 36
25
Universitas Indonesia
dalam satu waktu. Jika klien menggunakan walker hanya untuk keseimbangan,
klien dapat berdiri di dalam walker dan berjalan dengan normal. Postur jalan
normal adalah kepala tegak, vertebra servikal, thorakal, lumbal sejajar, pinggul
dan lutut berada dalam keadaan fleksi yang sesuai, dan lengan bebas mengayun
bersama dengan kaki. Ketika klien menggunakan walker, perawat penting untuk
memperhatikan klien agar tetap berdiri tegak. Hal ini akan membantu melindungi
punggung klien. Adapun aspek keamanan yang harus diperhatikan untuk
mencegah jatuh adalah walker tidak diperbolehkan untuk didorong terlalu jauh di
depan klien atau menset pegangan terlalu tinggi. Selain itu, klien diinformasikan
untuk tidak mempercepat atau mengambil langkah yang lebar saat berjalan
dengan menggunakan walker (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).
Perawat membutuhkan persiapan saat membantu klien berjalan menggunakan alat
bantu jalan. Perawat mengkaji toleransi aktivitas, kekuatan , nyeri, koordinasi, dan
keseimbangan klien untuk menentukan jumlah bantuan yang diperlukan. Perawat
juga harus memperhatikan serta menguasai mekanika tubuh manusia sehingga
dapat mengetahui posisi yang baik dan buruk pada klien lansia yang
menggunakan walker. Perawat menjelaskan seberapa jauh klien mencoba
berjalan, siapa yang akan membantu, kapan dilakukan kegiatan berjalan, dan
mengapa berjalan itu penting. Selain itu perawat dan klien menentukan berapa
banyak kemandirian klien dapat berikan dan menentukan posisi yang tepat saat
mendampingi individu menggunakan walker (Johansson & Chinworth, 2012;
O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).
Perawat juga memeriksa lingkungan yang digunakan untuk latihan berjalan.
Perawat memastikan tidak ada rintangan di jalan klien (O’Sullivan, Schmitz, &
Fulk, 2014). Kursi, penutup meja tempat tidur, kursi roda disingkirkan dari jalan
sehingga klien memiliki ruangan yang luas untuk berjalan. Sebelum memulai,
perawat menentukan tempat berisitirahat dengan perkiraan klien kurang toleransi
aktivitas atau klien menjadi pusing. Misalnya, jika diperlukan kursi dapat di
tempatkan diruangan yang dapat digunakan klien untuk beristirahat.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 37
26
Universitas Indonesia
2.5 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan
Perawatan kesehatan masyarakat adalah suatu upaya pelayanan keperawatan yang
dilaksanakan oleh perawat dengan mengikutsertakan tim kesehatan lain dan
masyarakat untuk memperoleh tingkat kesehatan yang lebih tinggi (Depkes RI,
1996). Perawatan kesehatan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan
yang optimal yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan
resosialitatif. Keperawatan kesehatan komunitas mencakup masyarakat perkotaan
atau urban community yang merupakan komunitas yang tinggal di daerah
perkotaan dengan semua keadaan dan kondisi yang ada di lingkungan kota.
Keperawatan masyarakat perkotaan memiliki 8 karakteristik dan merupakan hal
yang penting dalam melakukan praktik (Allender, 2001). Adapun karakteristik
tersebut yaitu keperawatan masyarakat perkotaan merupakan lahan keperawatan,
kombinasi antara keperawatan publik dan keperawatan klinik, serta berfokus pada
populasi. Selain itu, keperawatan masyarakat perkotaan menekankan terhadap
pencegahan akan penyakit serta adanya promosi kesehatan dan kesejahteraan diri.
Karakeristik selanjutnya yaitu keperawatan masyarakat perkotaan
mempromosikan tanggung jawab klien dan self care, menggunakan pengesahan
atau pengukuran dan analisa, menggunakan prinsip teori organisasi, serta
melibatkan kolaborasi interprofesional.
Keperawatan kesehatan masyarakat memiliki beberapa teori dan model
keperawatan kesehatan. Adapun teori keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan meliputi teori lingkungan atau Nightingale’s theory of environment dan
teori keperawatan Virginia Handerson. Pada teori lingkungan, lingkungan yang
lemah dan buruk merupakan hal yang buruk bagi kesehatan. Kesehatan dapat
ditingkatkan dengan menyediakan ventilasi, air bersih, kehangatan, pencahayaan
serta kebersihan yang cukup (Allender, 2001). Adapun teori Handerson
mendeskripsikan keperawatan sebagai suatu fungsi yang unik dari perawat untuk
memberikan pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kemampuan, kekuatan,
pengetahuan dan kemandirian pasien. Adapun model keperawatan kesehatan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 38
27
Universitas Indonesia
masyarakat perkotaan meliputi model self-care atau Orem’s self-care model,
model adaptasi atau Roy’s adaptation model, dan model dan konsep keperawatan
Neuman atau Neuman’s health care systems model.
Model self-care atau Orem’s self-care model menjelaskan bahwa tujuan dari
tindakan keperawatan adalah untuk membantu seseorang mengenal kebutuhan dan
keterbatasan self-care serta meningkatkan kemampuan self-care klien. Perawat
bertugas memfasilitasi pemenuhan kebutuhan self-care klien sampai mereka
mampu melakukannya sendiri. Adapun model adaptasi Roy menggambarkan
model adaptasi dalam keperawatan yaitu individu adalah makhluk biospikososial
sebagai satu kesatuan yang utuh yang menggunakan koping untuk beradaptasi dan
berespon terhadap kebutuhan tubuh. Adapun model dan konsep keperawatan
Neuman mendefenisikan keperawatan sebagai suatu profesi yang unik dengan
memperhatikan seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi respon individu
terhadap penyebab stress, tekanan intra, inter dan ekstra personal (Neuman, 1995).
2.6 Pelayanan Kesehatan pada Lanjut Usia
Kesehatan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan untuk meningkatkan
kesejahteraan lansia. Jumlah populasi lansia yang semakin meningkat
menunjukkan peningkatan kebutuhan kesehatan pada lansia, termasuk
ketersediaan pelayanan kesehatan lanjut usia untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan lansia. Adapun beberapa jenis pelayanan kesehatan yang tersedia bagi
lansia, meliputi acute care, long term care setting, home care, dan community
setting (Miller, 2004; Stanley, Blaire, & Beare, 2005). Adapun masing-masing
jenis pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kondisi lansia. Masing-masing
jenis pelayanan kesehatan lansia tersebut akan dijelaskan secara lebih rinci pada
penjelasan di bawah ini.
2.6.1 Acute Care
Jenis pelayanan kesehatan acute care memberikan fasilitas dan pelayanan bagi
lansia yang membutuhkan perawatan akut termasuk unit gawat darurat (UGD),
ruang operasi, unit perawatan kritis, dan unit keperawatan medikal bedah. Banyak
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 39
28
Universitas Indonesia
rumah sakit yang memenuhi kebutuhan perawatan akut dengan menyediakan unit
geriatri yang terpisah, atau sering disebut sebagai unit acute care for elder (ACE),
dan dikelola oleh tim multidisiplin yang terlatih secara khusus. Alasan
dibentuknya unit ini adalah lansia memiliki kebutuhan yang unik yang dapat
diantisipasi dan ditangani untuk mencegah penurunan fungsional selama rawat
inap berlangsung. Fokus dari program ACE yaitu untuk membantu lansia yang
memiliki masalah kompleks untuk tetap berapa pada tingkat fungsional tertinggi
yang dimiliki. Adapun lemen kunci dari unit ACE meliputi adanya lingkungan
yang disesuaikan secara khusus; sebuah pendekatan tim multidisiplin; perawatan
berpusat pada klien, termasuk rencana perawatan untuk rehabilitasi dan
pencegahan kecacatan; kajian intensif perawatan untuk meminimalkan dampak
buruk dari obat-obatan dan prosedur; dan perencanaan pulang dengan tujuan agar
klien dapat kembali lagi ke rumah (Miller, 2004).
Jenis pelayanan kesehatan lansia selanjutnya yaitu long term care setting atau
perawatan jangka panjang. Perawatan jangka panjang berhubungan dengan
pelayanan perawatan kesehatan yang berkaitan dengan kebutuhan perawatan
kronik lansia (Miller, 2004). Adapun jenis pelayanan long term care setting
meliputi long term home care dan long term care di komunitas. Peran perawat
penting dalam setting long term home care. Tugas perawat dalam pelayanan ini
yaitu memberikan edukasi kepada staff, membantu pengembangan program,
mengembangkan rencana untuk klien dementia, menyediakan kebutuhan
perawatan akut dan kronis, membuat kelompok pendukung untuk klien dan
keluarga, sebagai penasehat klien dan keluarga, dan sebagai konsultan pada
kondisi seperti demensia dan depresi. Adapun secara psikososial, perawat
berperan dalam menyediakan privasi, memberikan promosi kesehatan, model
perlindungan kesehatan, dan menyediakan lingkungan yang menyambut baik akan
mendorong kunjungan dan sosialisasi dengan teman-teman dan keluarga. Secara
fisik, perawat berperan dalam membantu merencanakan dan membuat ruang fisik
yang dapat diakses dan aman bagi lansia.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 40
29
Universitas Indonesia
Long term care di komunitas juga merupakan salah satu jenis long term care
setting. Lansia mennggunakan pelayanan long term care di komunitas disebabkan
oleh faktor tertentu, seperti kehilangan dukungan keuangan, sosial, kesehatan,
kekuatan emosional, dan kehilangan kemampuan fungsional. Menurut lama
perawatannya, penghuni pelayanan ini dibedakan menjadi penghuni jangka
panjang dan jangka pendek. Jangka panjang yang umumnya usia lebih tua sering
tetap tinggal di fasilitas sampai mereka meninggal atau dipindahkan ke fasilitas
yang lain. Sedangkan penghuni jangka pendek yang meninggalkan fasilitas dalam
waktu 3-6 bulan biasanya mempunyai permasalah fisik, dan diterima dari fasilitas
rehabilitasi atau rumah sakit (Miller, 2004). Pelayanan yang paling umum
disediakan oleh pelayanan komunitas antara lain penyedia makanan, asisten
perawat personal, bekerja sama dengan dokter, dan belanja kebutuhan dapur.
2.6.2 Home care
Home care adalah sebuah pelayanan keperawatan dimana perawat mendatangi
rumah lansia. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi lama rawat di rumah sakit,
mengurangi penggunaan emergency room, dan pertimbangan lain meliputi
minimalisasi penggunaan obat dan restrain. Pelayanan home care dibedakan lagi
manjadi dua jenis, yaitu skilled home care dan long term home care (Miller,
2004). Skilled home care disini adalah perawatan di rumah yang membutuhkan
keterampilan keperawatan dengan syarat bahwa lansia tersebut jauh dari rumah,
namun cukup mampu untuk diberikan pendidikan mengenai intervensi dan
pemenuhan kebutuhan sehari-hari oleh perawat. Jadi apabila lansia tersebut cukup
mampu untuk melakukan segala aktivitas sehari-harinya secara mandiri, maka
skilled home care ini tidak berlaku. Yang kedua adalah long term home care. long
term home care biasanya diperuntukkan bagi lansia yang tidak mampu memenuhi
kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Secara integral dipadukan dengan
pelayanan komunitas lain seperti fasilitas transportasi dan penyediaan makanan.
Peran perawat dalam pelayanan home care adalah melayani konsultasi, pemberi
asuhan keperawatan, dan melakukan observasi secara kontinyu (Milone-Nuzzo &
Pike, 2001 dalam Miller, 2004).
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 41
30
Universitas Indonesia
2.6.3 Community setting
Pelayanan komunitas dibedakan menjadi home health, clinics, retirement centers,
dan adults’ day care (Stanley, Blaire, & Beare, 2005). Miller (2004)
menambahkan respite services dan health promotion program ke dalam
pemberian pelayanan di komunitas. Pelayanan home health hampir sama dengan
home care yang menyediakan pengkajian secara menyeluruh dan juga intervensi
seperti halnya di rumah sakit. Pelayanan home helath menyediakan klinik
keperawatan ini menekankan pada perawatan tentang penyakit tertentu misalnya
diabetes, CHF, dan COPD. Diharapkan dengan pendirian klinik ini, memudahkan
lansia untuk mencapai perawatan penyakit akut dan peningkatan kualitas hidup.
Jenis pelayanan community setting selanjutnya yaitu assisted living.
Residential care atau assisted living bagi lansia merupakan fasilitas yang
memberikan pelayanan pada lansia. Residential care memberikan fasilitas seperti
kamar, tempat tinggal, keperluan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga
seperti mencuci baju, mencuci piring, dan bantuan personal untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan perawatan diri, makan, berpakaian, dan
berjalan. Residential care memberikan fasilitas berupa pengawasan pada lansia
yang tidak dapat tinggal secara mandiri, namun tidak membutuhkan pelayanan
perawatan selama 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa residential care
merupakan fasilitas non-medis yang tidak memerlukan perawat, perawat
tersertifikasi, atau dokter sebagai staf (California Advocates for Nursing Home
Reform, 2008).
Pelayanan adults day center juga merupakan salah satu jenis pelayanan
community setting. Adults’ day care menyediakan pelayanan kurang dari 24 jam.
Tidak seperti retirement center yang mengharuskan pelayanan secara
komprehensif dan maksimum, adults’ day care berfokus pada pemberian
pelayanan pada lansia dengan penurunan fungsional dan kognitif. Adults’ day
care biasanya dilengkapi dengan pemberian makanan gizi berimbang, akses
transportasi, dan kegiatan yang mendukung aktivitas sosial namun tetap rekreatif.
Selain itu beberapa adult day center juga memberikan manajemen pengobatan,
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 42
31
Universitas Indonesia
bantuan perawatan diri dan pelayanan kesehatan lainnya serta terapi. Sebagian
besar klien pada pelayanan ini adalah lansia dengan gangguan kognitif, depresi,
dan juga cacat fisik. Tujuan adults’ day care adalah memulihkan kemampuan
fungsional, mencegah perawatan di institusi perawatan akut, serta meningkatkan
kualitas hidup lansia (Miller, 2004). Pelayanan ini umumnya memberikan
perawatan selama 8 jam sehari dengan sekitar 5 jam program formal selama
waktu itu dan 3 lainnya jam yang digunakan untuk interaksi sosial dan kegiatan
tidak terstruktur lainnya.
Jenis pelayanan community setting lainnya yaitu respite service. Respite service
mengacu pada sejumlah pelayanan yang tujuan utamanya adalah secara berkala
untuk meringankan pemberi asuhan dari stres akibat tanggung jawabnya dalam
memberikan pengasuhan. Tujuan dari respite service antara lain adalah
meningkatkan kesejahteraan pengasuh dan mengurangi secara institusional
ketergantungan lansia. Tipe dari respite service diantaranya adalah adult day
center care, overnight dan home care (Miller, 2004). Selain itu, promosi
kesehatan juga menjadi salah satu layanan community setting. Sasaran dari
promosi kesehatan ini adalah lansia yang relatif sehat yang sedikit membutuhkan
perawatan dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Ebersole, Hess, Touhy, &
Jett, 2005).
Beberapa aktivitas promosi kesehatan pada lansia diantaranya adalah program
pemeriksaan tekanan darah, kursus aman mengemudi, kelas penghentian
merokok, pemeriksaan kesehatan, misalnya pemeriksaan pendengaran dan
penglihatan, perhitungan, manajemen dan pendidikan tentang obat-obatan serta
berbagai tipe latihan seperti berjalan, aerobik, akuatik, dan tai chi (Miller, 2004).
Dalam promosi kesehatan ini, rumah sakit dan institusi kesehatan lain turut
berperan. Topik dalam pendidikan kesehatan pada lansia meliputi nutrisi,
manajemen stres, perawatan kesehatan secara umum, dan permasalahan
kesehataan musiman seperti hipotermia, penyakit yang berhubungan dengan
panas, serta kedinginan dan flu.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 43
32
Universitas Indonesia
2.6.4 Panti Sosial Tresna Werdha
Salah satu jenis pelayanan community setting yang terdapat di Indonesia yaitu
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). PSTW merupakan panti sosial yang didanai
oleh pemerintah dan dikhususkan untuk lansia terlantar yang berkaiatan dengan
kondisi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi lansia. Adapun kegiatan PSTW
meliputi program reguler, program subsidi silang, dan program pelayanan harian
lanjut usia (Kemensos, 2012). Program Reguler adalah program pokok
Kementerian Sosial RI, dimana program ini menyelenggarakan pelayanan
kesejahteraan sosial bagi lanjut usia yang berasal dari keluarga tidak mampu tanpa
dipungut biaya. Dan para lanjut usia ini ditampung didalam asrama. Pelayanan
yang diberikan meliputi pelayanan fisik, keagamaan, sosial, keterampilan,
psikologis, kesehatan, pendampingan, rekreasi, dan pelayanan pemakaman.
Program PSTW selanjutnya yaitu program subsidi silang (Kemensos, 2012).
Program subsidi silang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi
para lanjut usia yang berasal dari keluarga mampu dalam arti mampu secara
ekonomi, namun karena sesuatu hal mengalami keterlantaran perawatan dan
pelayanan. Lanjut usia yang memanfaatkan pelayanan ini dikenakan biaya dan
seperti halnya lanjut usia pada program reguler, para klien ditempatkan dalam
asrama. Pungutan biaya tersebut, disamping untuk membiayai klien yang
bersangkutan juga diharapkan dapat mensubsidi klien tidak mampu yang berada
pada program reguler. Pelayanan yang diberikan meliputi pelayanan untuk
memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial.
Program selanjutnya yaitu program pelayanan harian lanjut usia (day care
services) (Kemensos, 2012). Pelayanan ini ditujukan pada lanjut usia dalam
jangka waktu tertentu atau terbatas dalam arti tidak menginap atau hanya
mengikuti kegiatan-kegiatan yang diminati. Program pelayanan harian ini
dimaksudkan dapat membantu keluarga atau masyarakat yang karena sesuatu hal
tidak dapat memberi perawatan dan pelayanan kepada lanjut usia dalam kurun
waktu tertentu, terutama pada siang hari sehingga dengan adanya program
pelayanan ini lanjut usia tidak mengalami keterlantaran, bahkan sebaliknya
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 44
33
Universitas Indonesia
mereka dapat berinteraksi dengan lanjut usia lain dan dapat menyalurkan hobi
serta kemampuannya dengan mengikuti berbagai kegiatan yang ada. Adapun
biaya yang dipungut ditentukan berdasarkan kesepakatan antara lembaga dengan
para lanjut usia atau keluarga. Pelayanan yang diberikan meliputi pelayanan
sosial, psikologis, kerohanian, fisik dan kesehatan, rekreasi dan penyaluran hobi,
rujukan, data dan informasi, serta transportasi.
Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa PSTW merupakan bentuk pelayanan
kesehatan lansia yang disediakan oleh pemerintah untuk lansia terlantar sebagai
dampak urbanisasi dan masalah sosial lain yang terjadi di perkotaan. Pelayanan
ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan lansia dan memfasilitasi lansia
mendapatkan kehidupan sosial yang wajar. Dalam hal ini. PSTW merupakan
pelayanan community setting untuk mengatasi masalah sosial pada lansia di
perkotaan.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 45
34 Universitas Indonesia
BAB 3
ANALISIS KASUS
3.1. Pengkajian
Klien Ibu S, berusia 73 tahun, adalah salah satu WBS di Panti Sosial Tresna Werdha
(PSTW) 1 Cipayung. Klien menganut agama Islam dan saat ini berstatus janda.
Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan data klien tidak sekolah dan sebelumnya
hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan tidak memiliki pekerjaan lain. Klien
masuk ke PSTW Budi Mulia 1 Cipayung untuk mendapatkan pelayanan dan
perawatan pada tanggal 25 September 2007. Klien mengatakan masuk ke panti
dengan diantar oleh petugas untuk dirawat dan tinggal di panti karena sudah tua dan
tidak ada yang merawat. Klien memiliki keluarga di Jakarta namun tidak ingin
merepotkan dan menjadi beban keluarga. Klien bekerja sebagai petugas kebersihan
yang membersihkan jalan raya setelah suami meninggal dunia.
3.1.1 Riwayat Kesehatan
Klien mengatakan pernah mengalami kecelakaan namun tidak mengingat persis pada
tahun berapa kecelakaan tersebut terjadi. Klien memperkirakan kecelakaan terjadi 5
tahun yang lalu. Kecelakaan tersebut mengakibatkan klien mengalami patah tulang
kaki kiri dan menjalani perawatan di rumah sakit. Selain patah tulang, klien tidak
pernah memiliki penyakit parah lain yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Penyakit yang sebelumnya pernah diderita seperti demam, batuk, pilek, diare, dan
mual muntah, namun sangat jarang dan tidak pernah sampai dirawat di rumah sakit
Hasil wawancara juga didapatkan data bahwa klien tidak mengetahui penyakit yang
pernah diderita oleh keluarga dan tidak memiliki penyakit keturunan.
Klien juga mengeluhkan nyeri di area kaki sebelah kiri jika digunakan untuk berjalan
terlalu lama. Nyeri terasa seperti berdenyut di kaki kiri.Jika nyeri muncul, nyeri
masih bisa ditahan, skala nyeri 2, dan dapat hilang jika kaki diistirahatkan. Nyeri
biasanya terasa sekitar 10 menit dan bersifat hilang timbul. Nyeri hanya terasa di
kaki kiri bagian bawah, dekat area kaki yang dulu pernah mengalami patah tulang,
namun nyeri tidak menjalar. Saat ini nyeri jarang dirasakan, namun jika nyeri muncul
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 46
35
Universitas Indonesia
klien mengatakan mengurangi aktivitas berjalan, segera istirahat atau duduk dan
melanjutkan berjalan jika nyeri hilang atau berkurang. Sebelumnya, klien sudah
diajarkan untuk melakukan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri,
namun masih membutuhkan bimbingan.
Data kesehatan dan hasil wawancara dengan perawat yang bertugas di wisma
menunjukkan bahwa klien memiliki masalah psikotik yaitu waham somatik sejak
awal masuk ke panti. Klien mengeluh sulit buang air besar, namun petugas panti
mengatakan klien sebenarnya rutin buang air besar 1 kali sehari. Selain itu, hasil
wawancara juga didapatkan data bahwa klien mengatakan buang air besar 1 kali
sehari dengan feses lunak namun klien selalu merasa sulit buang air besar. Selain itu,
selama tinggal di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung, klien pernah 1 kali jatuh saat
berjalan di lantai yang menanjak dan kejadian jatuh terakhir yaitu pada bulan Mei
tahun 2014.
3.1.2 Kebiasaan sehari-hari
Kebiasaan sehari-hari yang dikaji salah satunya yaitu kebiasaan biologis seperti pola
makan, pola minum, pola tidur, pola eliminasi, aktivitas sehari-hari, dan rekreasi.
Pola makan klien tiga kali sehari sesuai makanan yang disediakan oleh panti. Klien
mengatakan tidak memilih-milih makanan, menyukai sayuran, lauk, dan buah, dan
tidak menghindari atau membatasi makanan tertentu. Klien mengatakan nafsu makan
sempat membaik, naum kembali menurun saat ini sehingga sering tidak
menghabiskan makanan yang disajikan. Klien hanya menghabiskan setengah hingga
tiga per empat porsi dari makanan yang diberikan dan membuang sisa makanan yang
tidak habis dimakan. Klien mengatakan cepat merasa kenyang sehingga makanan
tidak dihabiskan. Hasil observasi didapatkan data bahwa klien masih dapat
mengunyah dan menelan makanan dengan baik. Gigi depan atas dan bawah masih
utuh dan sebagian gigi geraham sudah tanggal akan tetapi kebersihan mulut kurang.
Hasil observasi juga mendapatkan data terkait pola makan atau nutrisi pada klien.
Adapun data tersebut yaitu tidak ada kegiatan makan bersama. Sebagian lansia
makan di depan wisma dan duduk berdampingan dengan WBS lain tanpa melakukan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 47
36
Universitas Indonesia
interaksi dan sebagian besar WBS makan di dalam wisma karena keterbatasan
mobilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa suasana makan kurang mendukung
peningkatan selera makan klien. Selain itu, jumlah care giver dan perawat hanya ada
tiga orang dan masing-masing perawat bertanggung jawab terhadap 33 WBS di
wisma cempaka sehingga perawat atau petugas sulit mengawasi dan memastikan
WBS menghabiskan makanan yang diberikan.
Kebiasaan biologis lain yang dikaji yaitu pola minum dan pola eliminasi klien. Klien
mengatakan minum 3 gelas besar setiap hari (+ 1200cc). Klien mengatakan saat ini
tidak khawatir untuk minum air lebih banyak karrena sudah menggunakan diaper
sehingga tidak terus menerus pergi ke kamar mandi. Adapun terkait pola tidur, klien
mengatakan selalu dapat tidur nyenyak pada malam hari. Klien tidak mengetahui
persis jam berapa tertidur namun tidak lama setelah maghrib klien tertidur dan
terkadang bangun saat sudah terang tanpa terbangun pada malam hari. Klien
menghindari minum sebelum tidur agar tidak terbangun di tengah malam untuk
buang air kecil. Hasil observasi menunjukkan bahwa klien tidur pada siang hari
sekitar 1 hingga 1,5 jam terutama setelah meminum obat. Klien mengatakan sering
merasa mengantuk pada siang hari terutama setelah minum obat.
Pola eliminasi yang meliputi pola BAK dan pola BAB juga merupakan salah satu
aspek kebiasaan biologis yang dikaji. Klien mengatakan BAK 4 sampai 6 kali sehari.
Klien lebih sering.BAK 3 sampai 4 kali di siang hari dan 1 sampai 2 kali sehari di
sore hari Klien jarang BAK pada malam hari atau pada tengah malam. Selain itu,
klien biasanya BAB satu kali sehari dengan feses yang lunak, namum selalu merasa
sulit buang air besar. Klien mengatakan masih dapat merasakan jika ingin BAK atau
BAB. Klien juga masih dapat menahan BAK dan BAB, namun tidak dapat menahan
lama sehingga harus segera ke kamar mandi sebelum BAK atau BAB sudah tidak
tertahankan.
Kebiasaan biologis selanjutnya yang dikaji yaitu aktivitas sehari-hari. Aktivitas klien
setiap hari yaitu setiap pagi, bangun subuh dan mengambil air wudhu lalu shalat
Subuh terlebih dulu. Setelah itu, sekitar pukul 06.00 klien mandi dengan dibantu
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 48
37
Universitas Indonesia
perawat namun terkadang mandi sendiri. Klien mengatakan selalu mandi
menggunakan sabun dan menyikat gigi dan setiap hari selalu mencuci rambut.
Setelah itu, klien duduk di depan wisma untuk menunggu waktu sarapan dan pukul
07.00 klien sarapan pagi bersama. Setelah sarapan, klien biasanya tetap duduk-duduk
di bangku depan wisma sampai agak siang lalu masuk ke dalam wisma dan menuju
tempat tidur jika tidak ada kegiatan.
Aktivitas lain yang dilakukan klien yaitu melakukan rentang pergerakan sendi atau
menggerakkan badan dengan gerakan yang sebelumnya pernah diajarkan oleh
perawat setiap pagi. Klien mengatakan setiap selasa dan jumat ada senam pagi,
namun tidak pernah mengikuti senam pagi karena tidak kuat berjalan jauh dan tidak
ada yang mendampingi klien. Akan tetapi, klien ingin ikut senam pagi jika diajak
oleh perawat dan dibantu jalan atau senam dengan menggunakan kursi roda.
Aktivitas klien di wisma juga terlihat sangat kurang. Klien mengatakan tidak pernah
mencuci pakaian sendiri karena sudah tidak kuat dan takut jatuh. Klien juga tidak
mengikuti kegiatan kesenian dan keterampilan di panti karena sulit berjalan, mudah
lelah, dan tidak memiliki keterampilan dalam bidang seni. Akan tetapi, klien selalu
mengikuti kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa di wisma. Klien juga mengatakan
tidak pernah mengikuti pengajian yang diadakan di mushala panti karena jalan
menuju mushola menanjak dan takut jatuh jika tidak ada yang membantu ke
mushola. Hal ini sesuai dengan data observasi yang menunjukkan bahwa klien tidak
pernah terlibat dan mengikuti aktivitas tersebut. Saat ini, klien mengeluhkan tubuh
lemah ketika digunakan untuk berjalan. Klien mengatakan terkadang sempoyongan
dan terasa akan jatuh saat berjalan. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa klien
berjalan dengan berpegangan pada benda sekitar seperti dinding, tempat tidur, atau
meja.
Klien memiliki alat bantu jalan yaitu walker, namun tidak pernah digunakan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas panti didapatkan data bahwa alat bantu
jalan walker didapatkan sekitar satu setengah tahun yang lalu. Alat bantu jalan
didapatkan dari PSTW. Sebelumnya klien pernah dilatih menggunakan walker oleh
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 49
38
Universitas Indonesia
mahasiswa yang melakukan praktik klinik di PSTW ini, namun klien mengatakan
walker berat dan menyulitkan saat berjalan sehingga walker tidak lagi digunakan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat yang bertugas di panti, klien pernah
mengalami jatuh pada bulan Mei 2014 saat berjalan tanpa menggunakan walker. Hal
tersebut menyebabkan klien membatasi aktivitas seperti aktivitas berjalan ke kamar
mandi atau ke luar wisma. Akan tetapi, klien tetap tidak menggunakan walker saat
berjalan ke luar wisma atau ke kamar mandi. Hasil observasi juga didapatkan bahwa
klien belum menggunakan walker dengan tepat, baik dari cara melangkah, postur
tubuh, maupun pengaturan walker itu sendiri.
Jumlah care giver atau perawat yang bertugas di wisma yang terbatas
memungkinkan klien kurang mendapatkan pengawasan terhadap aktivitas mobilisasi.
Hasil wawancara dengan petugas panti didapatkan data bahwa care giver dan
perawat sudah mendapatkan pelatihan terkait penggunaan alat bantu jalan. Akan
tetapi, jumlah WBS yang membutuhkan pengawasan dan pendampingan penggunaan
alat bantu jalan jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SDM yang tersedia
sehingga pengawasan dan pendampingan penggunaan alat bantu jalan tidak dapat
dilakukan dengan optimal.
Kebiasaan biologis selanjutnya yaitu rekreasi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
panti mengadakan kegiatan rekreasi bagi WBS yang dilakukan dengan pergi
mengunjungi tempat wisata. Akan tetapi, klien mengatakan tidak pernah mengikuti
kegiatan rekreasi karena tubuh sudah tidak kuat atau lemah untuk melakukan
perjalanan jauh. Selain kegiatan rekreasi yang diadakan oleh panti, klien tidak
memiliki aktivitas rekreasi yang lain di dalam wisma.
Kondisi psikologis dan sosial juga merupakan komponen yang dikaji. Terkait
keadaan emosi, emosi klien tampak stabil dan sesuai. Klien tampak bersemangat
ketika menceritakan masa lalu yang menyenangkan, namun tampak sedih ketika
menceritakan kondisi saat ini yang tidak lagi tinggal dengan keluarga. Terkait
dukungan dari keluarga, klien mengatakan masih memiliki keluarga di Jakarta,
namun saat ini sudah tidak pernah mengunjungi keluarga dan keluarga tersebut juga
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 50
39
Universitas Indonesia
tidak lagi berkunjung ke panti. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa klien
memiliki anggota keluarga yang tinggal di wilayah jakarta Utara dan terakhir
mengunjungi keluarga pada tahun 2010.
Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa klien memiliki hubungan yang kurang
baik dengan keluarga dan WBS lain. Klien mengatakan sudah hilang kontak dengan
keluarga karena sudah tidak pernah mengunjungi keluarga lagi dan keluarga tidak
pernah berkunjung ke panti. Akan tetapi, klien mengatakan saat suami masih hidup,
hubungan klien dan suami baik dan saling mendukung. Klien mengatakan
hubungannya dengan orang lain di tempat tinggal sebelumnya yaitu di Jakarta Utara
kurang baik karena klien menganggap orang kota individualis. Selama di panti, klien
mengatakan jarang berinteraksi dengan WBS lain. Hal ini dikarenakan klien merasa
tidak memahami pembicaraan. Klien mengatakan banyak WBS yang jarang
berinteraksi sehingga klien segan untuk memulai interaksi atau pembicaraan. Klien
juga mengatakan lebih sering mengobrol dengan perawat atau mahasiswa. Hasil
observasi juga menunjukkan bahwa klien tampak tidak pernah melakukan interaksi
WBS lain walaupun duduk bersebelahan. Selain itu, klien lebih banyak melakukan
aktivitas di tempat tidur walaupun sering keluar wisma untuk duduk di bangku depan
wisma. Kurangnya interaksi dengan WBS lain menyebabkan klien semakin tidak
termotivasi untuk melakukan aktivitas atau mobilisasi.
Aktivitas spiritual dan kultural klien juga dikaji. Terkait pelaksanaan ibadah, klien
selalu berusaha menunaikan shalat 5 waktu akan tetapi terkadang tidak shalat 5
waktu karena berbagai alasan seperti bangun kesiangan, lupa, atau pusing dan
mengantuk. Klien mengatakan biasanya melakukan ibadah dalam posisi duduk.
Klien tidak pernah mengikuti pengajian di mushola karena jalan menuju mushola
menanjak sehingga kesulitan dan takut jatuh jika tidak ada yang mendampingi.
Selain itu, terkait keyakinan tentang kesehatan, klien percaya bahwa sakit adalah
ujian dari Allah SWT agar orang senantiasa ingat kepada Allah SWT. Selain itu,
klien mengatakan kesehatan itu sangat penting dan harus dijaga.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 51
40
Universitas Indonesia
3.1.3 Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2014 didapatkan hasil
keadaan umum klien tampak kurus serta gaya berjalan dan pergerakan lambat. Selain
itu, klien berjalan dengan berpegangan pada dinding atau benda di sekitar walaupun
memiliki alat bantu walker. Kesadaran compos mentis masih mengingat nama ketiga
anaknya, nama suaminya, masih mengingat orang-orang disekitarnya seperti perawat
dan petugas panti yang sering mengunjungi klien. Orientasi klien terhadap tempat
juga masih baik. Klien mengatakan tidak mengingat tanggal, tahun, dan bulan saat
ini karena jarang melihat tanggalan. Hasil pengukuran tanda tanda vital didapatkan
data tekanan darah klien 130/70 mmHg, suhu tubuh 36,3o C, frekuensi nadi 72 kali
per menit dan frekuensi napas 22 kali per menit. Hasil pengkajian juga didapatkan
berat badan yaitu 39 kg dan tinggi badan 147 cm sehingga didapatkan indeks massa
tubuh 18,05.
Hasil pemeriksaan fisik meliputi pengkajian head to toe atau pengkajian dari area
kepala hingga kaki. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa bentuk kepala bulat,
simetris (normocephalic), tidak terdapat lesi. Selain itu, rambut tampak beruban,
kulit kepala sedikit berketombe dan lembab. Rambut klien tipis, tidak mudah
dicabut, tidak rapuh, serta kulit kepala dan rambut bersih . selain itu, rambut lurus,
tidak bercabang, terdistribusi secara merata pada kulit kepala, dan tidak ada lesi pada
kulit kepala. Pengkajian pada area mata menunjukkan keadaan dan penampilan
umum struktur mata yaitu alis mata kurang simetris, namun mata sejajar, keadaan
konjungtiva dan sklera yaitu konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, dan ekitar
lensa agak putih. Kelopak mata sedikit menutup dan kelopak mata kanan tidak sama
dengan kelopak mata kiri. Mata kanan klien mengalami penurunan atau penglihatan
lebih buram dibandingkan dengan mata kiri. Klien masih dapat melihat dengan jelas
wajah orang-orang yang berada dekat dengan klien, akan tetapi tidak dapat meilhat
jelas orang atau benda yang letaknya jauh atau terlalu dekat. Klien tidak memakai
kaca mata, tidak ada luka atau irirtasi mata dan mata tampak bersih.
Pemeriksaan fisik juga dilakukan pada area hidung, mulut, telinga, dan leher. Hidung
tampak simetris, bersih, tidak ada masa, tidak ada sekret yang menyumbat hidung.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 52
41
Universitas Indonesia
Selain itu, bibir tampak sedikit kering, gigi seri dan taring depan atas dan bawah
masih lengkap, namun beberapa gigi geraham atas dan bawah sudah tanggal. Klien
mengatakan tidak pernah sakit gigi dan gusi tidak berdarah saat menyikat gigi. Klien
juga mengatakan gigi masih dapat digunakan untuk menggigit dan mengunyah.
Tidak ada karies, plak, dan terdapat halitosis. Gigi dan gusi serta rongga mulut
tampak kurang bersih, terdapat sisa makanan. Telinga simetris antara telinga kanan
dan kiri, tidak ada serumen atau pengeluaran cairan, tidak ada nyeri tekan, klien
mengatakan masih dapat mendengar dengan baik. Selanjutnya, pada area leher tidak
ada pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada kesulitan atau gangguan
menelan.
Pemeriksaan fisik pada area dada dan abdomen menunjukkan keadaan umum bentuk
dada dan abdomen simetris. Hasil auskultasi didapatkan BJ I dan BJ II normal, tidak
ada murmur dan gallop, bunyi jantung teratur, suara paru vesikuler, tidak ada suara
paru dan bunyi napas abnormal. Selain itu juga tidak ditemukan adanya retraksi
dinding dada. Pengkajian area abdomen didapatkan data abdomen datar, tidak ada
kemerahan, tidak ada bekas luka atau jaringan parut, dan tidak ada tanda–tanda
infeksi. Selain itu, abdomen teraba lemas dan tidak ada massa, nyeri tekan abdomen
tidak ada, dan tidak ada ascites.
Pemeriksaan juga dilakukan pada area ektremitas dan kondisi lingkungan klien. Dari
hasil pemeriksaan fisik, didapatkan data bahwa terdapat deformitas pada tulang tibia
di area 1/3 distal tibia sinistra. Tidak ada edema dan varises. Hasil palpasi didapatkan
turgor kulit ekstremitas menurun, kembalinya lambat, dan capillary refill time
kurang dari 2 detik. Selain itu, rentang gerak ekstremitas atas dan bawah baik kanan
maupun kiri sudah mengalami penurunan atau mengalami keterbatasan, Klien tidak
dapat melakukan rentang gerak sendi penuh pada gerakan fleksi lateral kanan dan
kiri, rotasi lateral kanan dan kiri leher, fleksi dan ekstensi, abduksi, fleksi dan
ekstensi horisontal bahu, ekstensi siku, ekstensi jari-jari tangan, dorso fleksi, plantar
fleksi, inversi, eversi pergelangan kaki, dan abduksi, adduksi, fleksi serta ekstensi
jari kaki.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 53
42
Universitas Indonesia
Hasil pengkajian kekuatan otot juga menunjukkan bahwa klien telah mengalami
penurunan kekuatan otot pada kedua ekstremitas bawah. Kekuatan otot deltoid, bisep
brachii, trisep trachii, dan otot interossei di kedua ekstremitas atas menunjukkan
kekuatan otot baik, dapat melakukan pergerakan aktif melawan gravitasi dan
melawan tahanan maksimal. Adapun otot hamstring di kedua ekstremitas bawah dan
otot quadrisep ekstremitas kiri bawah mengalami penurunan yaitu dapat melakukan
pergerakan aktif melawan gravitasi tanpa tahanan. Otot quadrisep, otot tibialis
anterior, dan otot trisep surae ekstremitas kanan bawah klien juga mengalami
penurunan yaitu dapat melawan gravitasi dan melawan tahanan sedang. Selain itu,
hasil pengkajian kekuatan otot juga menunjukkan bahwa otot tibialis anterior dan
otot trisep surae ekstremitas kiri bawah mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan
dengan tidak adanya gerakan sendi, namun kontraksi otot dapat dipalpasi. Hal ini
dikarenakan ekstremitas kiri bawah tepatnya di area 1/3 distal tibia telah mengalami
kontraktur.
Data terkait kondisi lingkungan menunjukkan bahwa lantai wisma tidak licin, bersih,
penerangan cukup baik, tidak ada benda-benda yang menghalangi lansia saat
berjalan. Perabotan tertata dengan baik dan rapi. Selain itu, terdapat jendela yang
dapat dibuka. Kamar mandi bersih, lantai kamar mandi kering dan tidak licin. Akan
tetapi, kamar mandi masih menggunakan kloset jongkok. Tempat tidur klien agak
tinggi dan tidak terdapat pengaman (side rail) pada tempat tidur.
Hasil wawancara dengan perawat juga didapatkan data bahwa saat ini diagnosa
medis klien yaitu gangguan psikotik berupa waham. Klien mendapatkan terapi atau
obat-obatan antipsikotik yaitu THP dan Risperidone. Adapun dosis yang diberikan
yaitu klien mengkonsumsi kedua obat tersebut masing-masing 2 kali setengah tablet
sehari. Hasil wawancara tidak menemukan data terkait pemeriksaan laboratorium
karena klien tidak pernah dirujuk ke rumah sakit sebelumnya.
Pengkajian juga dilakukan dengan menggunakan beberapa instrumen pengkajian
berupa kuesioner. Berdasarkan hasil pengkajian menggunakan instrumen False
Morse Scale didapatkan data terkait item riwayat jatuh dalam 3 bulan terakhir klien
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 54
43
Universitas Indonesia
pernah mengalami kejadian jatuh sebanyak 1 kali sehingga didapatkan skor 25.
Adapun terkait item diagnosis sekunder, klien tidak memiliki lebih dari dua
diagnosis medis sehingga skor yang didapatkan yaitu 0. Terkait item bantuan
berjalan, hasil observasi menunjukkan bahwa klien berjalan dengan berpegangan
pada furnitus walaupun memiliki alat bantu jalan sehingga didapatkan skor 30 pada
item tersebut. Gaya juga terlihat lemah sehingga skor item gaya berjalan klien yaitu
10. Adapun terkait item status mental, orientasi terhadap kemampuan masih baik,
sehingga didapatkan skor 0. Dari hasil tersebut, disimbulkan bahwa hasil pengkajian
menggunakan instrumen False Morse Scale (FMS) menghasilkan skor total 65 yang
menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh yang tinggi.
Pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT) juga dilakukan untuk
mengukur keseimbangan dan risiko jatuh klien. Hasil pemeriksaan BBT didapatkan
klien mampu berdiri namun membutuhkan bantuan sehingga didapatkan skor 3.
Selain itu, klien juga mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan sehingga
didapatkan skor 2. Hasil pengkajian juga didapatkan data klien mampu duduk aman
selama dua menit dengan skor 4. Klien mampu duduk dengan menggunakan bantuan
tangan sehingga didapatkan skor 3. Klien juga membutuhkan seseorang untuk
membantu berpindah dan tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap
berdiri dengan aman. Kedua item tersebut selanjutnya diberi skor 1. Klien
mendapatkan skor 0 untuk item berdiri tanpa bantuan dengan kaki rapat karena
membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi mampu
berdiri selama 15 detik. Selain itu, klien mampu meraih ke depan mencapai 25 cm
dengan mengulurkan tangan ketika berdiri sehingga didapatkan skor 4.
Hasil pengkajian juga menunjukkan klien tidak mampu mengambil objek di lantai
dengan posisi berdiri dan memerlukan pengawasan ketika mencoba sehingga
didapatkan skor 1. Klien juga hanya mampu melihat ke samping tetapi masih dapat
menjaga keseimbangan saat diberi instruksi melihat ke belakang melewati bahu
ketika berdiri sehingga didapatkan skor 2. Klien mampu berputar 360 derajat, tetapi
dengan gerakan yang lambat sehingga didapatkan skor 2. Saat pengkajian juga klien
membutuhkan bantuan untuk menempatkan kaki pada pijakan, kehilangan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 55
44
Universitas Indonesia
keseimbangan saat berdiri dengan satu kaki didepan kaki lainnya, dan tidak mampu
mencoba berdiri dengan satu kaki sehingga masing-masing diberi skor 0. Dari hasil
pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT) didapatkan skor total
24 yang menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu
menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk, dan walker.
Skor Barthel Index Scoring menunjukkan skor total 60 yang menginterpretasikan
klien memiliki ketergantungan sedang. Selain itu, hasil pengkajian menggunakan
instrumen Mini Mental Status Exam (MMSE) didapatkan skor total 21 yang
menunjukkan bahwa klien mengalami kerusakan kognitif ringan. Hasil pengkajian
menggunakan angket yaitu The Mini Nutritional Assessment (MNA) didapatkan skor
total 16,5 yang menunjukkan bahwa klien mengalami malnutrisi. Selain itu, hasil
pengkajian menggunakan instrumen Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI)
didapatkan skor total 4 dengan interpretasi kualitas tidur baik.
3.2. Analisa Data
Hasil pengkajian di atas menunjukkan bahwa pada kasus klien ditemukan beberapa
masalah keperawatan, yaitu hambatan mobilitas fisik, ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh, dan hambatan interaksi sosial. Adapun masalah
keperawatan tersebut diangkat berdasarkan data pengkajian terfokus dan disesuaikan
dengan definisi serta batasan karakteristik sesuai ketentuan NANDA Internasional
tahun 2012-2014. Masalah hambatan mobilitas fisik diangkat berdasarkan data
subjektif yang menunjukkan bahwa klien mengeluhkan nyeri di kaki sebelah kiri jika
digunakan untuk berjalan terlalu lama dan saat ini nyeri jarang dirasakan, namun jika
nyeri muncul klien mengatakan mengurangi aktivitas berjalan. Klien juga
mengatakan jarang mengikuti kegiatan panti, seperti senam pagi, pengajian, dan
panggung gembira karena tidak kuat berjalan jauh, takut jatuh jika jalan menanjak
dan tidak ada yang mendampingi. Selain itu, klien mengeluhkan tubuh lemah ketika
digunakan untuk berjalan. Klien juga mengatakan terkadang sempoyongan dan terasa
akan jatuh saat berjalan. Data subjektif lain yang mendukung yaitu klien mengatakan
walker berat dan menyulitkan saat berjalan sehingga tidak lagi menggunakan walker.
Selain itu, klien mengatakan melakukan rentang pergerakan sendi atau
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 56
45
Universitas Indonesia
menggerakkan badan dengan gerakan yang sebelumnya pernah diajarkan oleh
perawat setiap pagi.
Data objektif yang mendukung diangkatnya masalah hambatan mobilitas fisik
didapatkan dari hasil observasi dan pengkajian menggunakan instrumen atau angket.
Klien berusia 73 tahun dan sudah mengalami penurunan kekuatan otot dan
keseimbangan atau pengendalian gerakan akibat proses penuaan Aktivitas klien di
wisma juga terlihat sangat kurang. Selain itu, klien tampak berjalan dengan
berpegangan pada benda sekitar seperti dinding, tempat tidur, atau meja. Hasil
observasi menunjukkan bahwa klien memiliki alat bantu jalan yaitu walker, namun
walker tidak pernah digunakan. Dari hasil pemeriksaan fisik, diapatkan data bahwa
terdapat deformitas pada area 1/3 distal tibia karena riwayat fraktur. Selain itu,
rentang gerak ekstremitas atas dan bawah baik kanan maupun kiri sudah mengalami
penurunan atau mengalami keterbatasan. Hasil pengkajian kekuatan otot juga
menunjukkan bahwa klien telah mengalami penurunan kekuatan otot pada kedua
ekstremitas bawah. Selain itu, klien mendapatkan terapi atau obat-obatan antipsikotik
yaitu THP dan Risperidone dengan efek samping yang dapat mempengaruhi
mobilitas klien seperti pusing, kelemahan otot, penglihatan kabur, dan mengantuk.
Jumlah care giver atau perawat yang bertugas di wisma tempat klien tinggal yang
terbatas memungkinkan klien kurang mendapatkan pengawasan terhadap aktivitas
mobilisasi. Hasil wawancara dengan petugas panti didapatkan data bahwa care giver
dan perawat sudah mendapatkan pelatihan terkait penggunaan alat bantu jalan. Akan
tetapi, jumlah WBS yang membutuhkan pengawasan dan pendampingan penggunaan
alat bantu jalan jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SDM yang tersedia
sehingga pengawasan dan pendampingan penggunaan alat bantu jalan tidak dapat
dilakukan dengan optimal.
Hasil pengkajian menggunakan instrumen atau angket juga menunjukkan data yang
mendukung munculnya masalah hambatan mobilitas fisik klien. Hasil pengkajian
menggunakan instrumen False Morse Scale (FMS) menghasilkan skor total 65 yang
menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh yang tinggi. Adapun hasil
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 57
46
Universitas Indonesia
pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT) didapatkan skor total
24 yang menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu
menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk, dan walker. Skor Barthel Index
Scoring menunjukkan skor total 60 yang menginterpretasikan klien memiliki
ketergantungan sedang. Selain itu, hasil pengkajian menggunakan instrumen Mini
Mental Status Exam (MMSE) didapatkan skor total 21 yang menunjukkan bahwa
klien mengalami kerusakan kognitif ringan. Status mental juga perlu diperhatikan
mengingat status mental merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mobilitas.
Pengkajian yang dilakukan dengan observasi dan wawancara mendapatkan data yang
mendukung masalah ketidakseimbangan nutrisi pada klien. Adapun data subjektif
yang didapatkan yaitu klien mengatakan tidak memilih-milih makanan, menyukai
sayuran, lauk, dan buah, dan tidak menghindari atau membatasi makanan tertentu.
Klien mengatakan nafsu makan sempat membaik, namun kembali menurun saat ini
sehingga klien sering tidak menghabiskan makanan yang disajikan. Selain itu, klien
mengatakan cepat merasa kenyang sehingga makanan tidak dihabiskan.
Data observasi dan hasil pemeriksaan fisik menjadi data objektif yang mendukung
masalah ketidakseimbangan nutrisi pada klien. Hasil observasi didapatkan data
bahwa klien masih dapat mengunyah dan menelan makanan dengan baik. Gigi depan
atas dan bawah masih utuh dan sebagian gigi geraham sudah tanggal akan tetapi
kebersihan mulut kurang. Selain itu, pola makan klien tiga kali sehari sesuai
makanan yang disediakan oleh panti. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa klien
hanya menghabiskan setengah hingga tiga per empat porsi dari makanan yang
diberikan dan membuang sisa makanan yang tidak habis dimakan.
Pemeriksaan fisik dan pengkajian menggunakan angket juga mendapatkan data yang
mendukung masalah nutrisi klien. Hasil pengkajian menunjukkan klien tampak kurus
dengan berat badan klien yaitu 39 kg dan tinggi badan 147 cm sehingga didapatkan
indeks massa tubuh klien 18,05. Indeks massa tubuh klien menunjukkan bahwa gizi
klien kurang. Selain itu, pengukuran LLA didapatkan lingkar lengan atas klien 21cm
dan lingkar betis klien yaitu 27cm. Selain itu, hasil pengkajian menggunakan angket
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 58
47
Universitas Indonesia
yaitu The Mini Nutritional Assessment (MNA) didapatkan skor total 16,5 yang
menunjukkan bahwa klien mengalami malnutrisi.
Hasil observasi juga mendapatkan data yang mendukung terjadinya masalah nutrisi
pada klien. Adapun data tersebut yaitu tidak ada kegiatan makan bersama. Sebagian
lansia makan di depan wisma dan duduk berdampingan dengan WBS lain tanpa
melakukan interaksi dan sebagian besar WBS makan di dalam wisma karena
keterbatasan mobilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa suasana makan kurang
mendukung peningkatan selera makan klien. Selain itu, jumlah care giver dan
perawat hanya ada tiga orang dan masing-masing perawat bertanggung jawab
terhadap 33 WBS di wisma cempaka sehingga perawat atau petugas sulit mengawasi
dan memastikan WBS menghabiskan makanan yang diberikan.
Masalah lain yang juga muncul pada klien yaitu terkait hambatan interaksi sosial.
Adapun data subjektif yang mendukung masalah tersebut yaitu klien mengatakan
jarang berinteraksi dengan WBS lain. Hal ini dikarenakan klien merasa tidak
memahami pembicaraan. Klien juga mengatakan banyak WBS yang jarang
berinteraksi sehingga klien segan untuk memulai interaksi atau pembicaraan. Selain
itu, klien juga mengatakan lebih sering mengobrol dengan perawat atau mahasiswa.
Data objektif didapatkan dari hasil observasi yang menunjukkan bahwa klien tampak
tidak pernah melakukan interaksi dengan WBS lain walaupun duduk bersebelahan.
Selain itu, klien lebih banyak melakukan aktivitas di tempat tidur walaupun sering
keluar wisma untuk duduk di bangku depan wisma. Kurangnya interaksi dengan
WBS lain menyebabkan klien semakin tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas
atau mobilisasi.
3.3. Rencana Asuhan Keperawatan
Rencana asuhan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan klien, yaitu
hambatan mobilitas fisik, ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh,
dan hambatan interaksi sosial. Adapun diagnosa keperawatan prioritas klien yaitu
hambatan mobilitas fisik. Tujuan rencana asuhan keperawatan terkait diagnosa
tersebut yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 15 hari dalam 5
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 59
48
Universitas Indonesia
minggu, klien menunjukkan peningkatan mobilitas fisik. Adapun kriteria evaluasi
dari tujuan tersebut yaitu klien memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar,
meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi, jika diperlukan, melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari secara mandiri dengan alat bantu (walker), menyangga berat
badan, rentang gerak sendi meningkat, melakukan latihan rentang gerak sendi secara
mandiri, dan menunjukkan peningkatan keseimbangan saat berjalan. Rencana
intervensi yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah hambatan mobilitas
fisik yaitu kaji tanda-tanda vital dan kekuatan otot setiap hari untuk menentukan
status perkembangan klien. Intervensi selanjutnya yaitu tingkatkan mobilitas dan
tentukan jenis ROM yang tepat untuk klien (pasif, aktif asistif, aktif), frekuensi
ditentukan oleh kondisi klien. Selanjutnya, lakukan latihan secara perlahan dan
sanggah ekstremitas atas dan bawah sendi saat melakukan ROM setiap hari satu
sampai dua kali.
Rencana intervensi selanjutnya yaitu jelaskan dampak kurangnya aktivitas mobilisasi
dan akibat tidak menggunakan alat bantu jalan. Selanjutnya, ajarkan tindakan
mobilisasi yang lebih progresif, jika kondisi klien memungkinkan. Adapun tindakan
tersebut meliputi motivasi klien untuk meningkatkan aktivitas di luar kamar dengan
tetap menggunakan alat bantu jalan. Selain itu, biarkan klien untuk menjuntai kaki ke
sisi tempat tidur selama beberapa menit sebelum berdiri.
Tindakan selanjutnya yaitu ajarkan klien menggunakan alat bantu walker dengan
cara yang tepat. Sebelum melakukan latihan, evaluasi kemampuan dan motivasi klien
menggunakan alat bantu jalan. Selain itu, perhatikan kondisi klien dan lingkungan
serta alat yang dibutuhkan selama intervensi penggunaan alat bantu jalan. Hal ini
bertujuan untuk meminimalkan faktor yang dapat menghambat atau membahayakan
kien selama latihan berlangsung. Selanjutnya, jelaskan kembali pada klien tujuan
penggunaan alat bantu jalan, dampak jika tidak menggunakan alat bantu jalan, serta
cara penggunaan alat bantu jalan baik cara melangkah, duduk, maupun berdiri
menggunakan alat bantu jalan. Setelah diberi penjelasan, demontstrasikan cara
menggunakan alat bantu jalan walker. Selanjutnya, beri kesempatan klien untuk
mendemostrasikan kembali cara menggunakan walker. Beri motivasi dan bimbing
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 60
49
Universitas Indonesia
serta lakukan pengawasan pada klien saat klien mendemostrasikan penggunaan alat
bantu jalan. Lakukan intervensi ini secara berulang hingga klien benar-benar dapat
menggunakan alat bantu jalan walker dengan tepat dan mandiri.
Intervensi selanjutnya yang dilakukan yaitu lakukan supervisi terhadap usaha
mobilisasi klien, bantu jika diperlukan. Libatkan klien dalam aktivitas olahraga yang
memfasilitasi pergerakan sendi dan kekuatan otot sesuai program yang diadakan di
panti. Selanjutnya, tindakan kolaborasi juga dimasukkan ke dalam rencana
intervensi. Adapun tindakan kolaborasi tersebut yaitu sediakan informasi mengenai
pentingnya klien melakukan mobilisasi kepada orang terdekat klien (penjaga panti
atau tenaga sosial) dipanti, agar mereka berpartisipasi dalam melakukan tindakan
mobilisasi pada klien.
3.4. Implementasi
Implementasi yang dilakukan sesuai dengan rencana asuhan keperawatan klien.
Adapun implementasi yang akan dibahas yaitu implementasi terkait diagnosa
keperawatan prioritas yaitu masalah hambatan mobilitas fisik. Adapun implementasi
dilakukan selama 5 minggu. Minggu pertama, yaitu tepatnya pada tanggal 11 dan 12
Mei 2014 dilakukan pengkajian tanda-tanda vital, rentang gerak sendi, dan kekuatan
otot klien untuk mengevaluasi kondisi klien. Selain itu juga penulis mengevaluasi
kemandirian, keseimbangan dan risiko jatuh klien menggunakan instrumen Barthel
Index Scoring, FMS dan BBT serta instrumen MMSE. Selanjutnya, penulis
memberikan penjelasan pada klien terkait kondisi klien, dampak penuaan terhadap
tulang, saraf, dan otot secara sederhana, pentingnya mobilitas fisik dan dampak yang
dapat terjadi dari kurangnya mobilitas fisik. Selanjutnya, klien diberikan penjelasan
terkait intervensi atau tindakan keperawatan yang akan dilakukan untuk
meningkatkan mobilitas klien. Klien menyetujui kontrak yang telah dibuat.
Implementasi selanjutnya dilakukan pada minggu selanjutnya, yaitu tanggal 14, 16,
dan 18 Mei 2014. Implementasi yang dilakukan pada tanggal 14 Mei 2014 yaitu
mengajarkan klien menggunakan alat bantu jalan walker. Adapun sebelum
mengajarkan klien menggunakan walker dengan tepat, penulis terlebih dahulu
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 61
50
Universitas Indonesia
menyiapkan dan memperhatikan kondisi klien sebelum intervensi, alat yang
dibutuhkan, dan lingkungan yang digunakan untuk latihan. Selanjutnya, penulis
mengevaluasi kembali ketepatan pengukuran ketinggian walker pada klien. Penulis
memeriksa siku klien dan letakkan tangan klien pada pegangan walker hingga
membentuk sudut 150o
atau sudut fleksi siku kira-kira 20o hingga 30
o. Selanjutnya,
penulis juga memeriksa tinggi pergelangan tangan untuk menyesuaikan ketinggian
walker yang nyaman bagi klien. Tindakan selanjutnya yang dilakukan yaitu melatih
klien melangkah menggunakan walker.
Penulis mengevaluasi kemampuan dan motivasi klien menggunakan walker sebelum
latihan. Karena penggunaan walker belum tepat, penulis kembali mengajarkan klien
cara menggunakan alat bantu jalan walker dengan tepat. Penulis mengajarkan cara
melangkah menggunakan walker dengan memindahkan walker ke depan, kemudian
melangkahkan satu kaki diikuti kaki lainnya ke dalam walker. Selama melatih klien
menggunakan walker, penulis juga memotivasi dan membimbing klien untuk
memperhatikan postur tubuh yang baik yaitu dengan kepala tegak, vertebra servikal,
thorakal, lumbal sejajar, pinggul dan lutut berada dalam keadaan fleksi yang sesuai,
dan lengan bebas mengayun bersama dengan kaki. Selain itu, penulis juga
mengingatkan klien untuk tidak mendorong walker terlalu jauh di depan klien atau
melangkahkan kaki terlalu dekat dengan batas depan walker. Selain itu, selama
latihan, klien juga diinformasikan untuk tidak mempercepat atau mengambil langkah
yang lebar saat berjalan menggunakan walker. Intervensi melatih klien melakukan
alat bantu jalan dilakukan 3 kali dalam minggu ini dengan persiapan prosedur yang
sama dan dievaluasi setiap pertemuan atau intervensi yang dilakukan.
Intervensi yang dilakukan pada minggu ketiga yaitu mengevaluasi kemampuan klien
berjalan menggunakan walker dan melatih keterampilan baru yaitu duduk dan berdiri
menggunakan walker. Penulis mendemonstrasikan cara duduk dari posisi berdiri
menggunakan walker dan berdiri dari posisi duduk menggunakan walker.
Selanjutnya penulis memotivasi klien untuk mendemonstasikan cara yang telah
diajarkan. Saat klien mendemonstrasikan, penulis melakukan pengawasan dan
pendampingan serta memberikan motivasi dan bimbingan selama latihan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 62
51
Universitas Indonesia
berlangsung. Penulis juga mengevaluasi respon dan kondisi klien sebelum, selama,
dan setelah intervensi dilakukan. Intervensi ini juga dilakukan sebanyak 3 kali dalam
seminggu.
Intervensi minggu ke empat dan minggu ke lima didifokuskan untuk mengevaluasi
kemampuan klien menggunakan alat bantu jalan, memberikan motivasi,
mendampingi, dan membimbing klien menggunakan alat bantu jalan untuk
melakukan aktivitas di wisma. Selain itu, penulis juga melibatkan petugas panti atau
care giver dalam melakukan pengawasan dan memberikan motivasi pada klien untuk
menggunakan walker. Selain itu, setiap intervensi yang dilakukan penulis
mengupayakan keterlibatan petugas panti atau care giver.
Implementasi dari intervensi keperawatan lain yang berkaitan dengan hambatan
mobilitas fisik juga dilakukan terintegrasi dengan latihan penggunaan alat bantu
jalan. Adaapun implementasi yang dilakukan yaitu mengevaluasi kemampuan dan
membimbing klien melakukan latihan rentang pergerakan sendi. Hal ini dikarenakan
sebelumnya klien pernah diajarkan latihan rentang pergerakan sendi. Implementasi
berikutnya yang dilakukan secara terintegrasi yaitu dengan memotivasi klien untuk
meningkatkan aktivitas di luar kamar dan melakukan supervisi terhadap usaha
mobilisasi klien, serta memberikan bantuan jika diperlukan. Selain itu, klien juga
dilibatkan dalam aktivitas olahraga senam pagi dengan menggunakan alat bantu kursi
roda untuk mobilisasi klien jika memungkinkan. Implementasi lain yang dilakukan
yaitu memfasilitasi care giver atau perawat di wisma untuk mendapatkan informasi
mengenai pentingnya klien melakukan mobilisasi agar turut berpartisipasi dalam
melakukan tindakan mobilisasi pada klien.
3.5. Evaluasi
Evaluasi terhadap implementasi yang telah dilakukan telah didokumentasikan dalam
catatan perkembangan. Hasil evaluasi terhadap implementasi latihan penggunaan alat
bantu jalan walker pada minggu petama yaitu didapatkan data bahwa motivasi klien
menggunakan alat bantu jalan masih kurang. Hal ini dikarenakan klien kurang
memahami manfaat penggunaan alat bantu jalan dan beranggapan bahwa akan lebih
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 63
52
Universitas Indonesia
baik dan mandiri jika tidak menggunakan alat bantu jalan. Selanjutnya, setelah diberi
penjelasan tentang manfaat aktivitas dan penggunaan alat bantu jalan serta dampak
yang mungkin ditimbulkan jika tidak menggunakan alat bantu jalan, klien mampu
menyebutkan kembali dan menyadari bahwa anggapan klien terhadap alat bantu
jalan selama ini tidak tepat. Klien juga mengatakan lupa cara menggunakan alat
bantu jalan walker dan memiliki keinginan untuk melakukan latihan penggunaan alat
bantu jalan.
Adapun hasil evaluasi objektif berdasarkan intervensi yang dilakukan yaitu
mencakup beberapa hal. Terkait aktivitas, aktivitas klien tampak lebih banyak di
tempat tidur, kemandirian kurang, dan klien masih berjalan dengan berpegangan
pada furnitur. Evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa klien masih tampak tidak
seimbang saat berjalan dan cara menggunakan walker belum tepat. Adapun hasil
evaluasi menggunakan instrumen BBT mendapatkan skor total 24, sedangkan
instrumen FMS mendapatkan skor 65. Selain itu, kekuatan otot serta rentang gerak
sendi leher, bahu, lutut, pergelangan kaki, dan jari kaki kanan dan kiri belum
mengalami peningkatan. Adapun skor Barthel Index Scoring menunjukkan skor
meningkat dari skor awal 60 yang menginterpretasikan klien memiliki
ketergantungan sedang. Hasil evaluasi pada minggu pertama menunjukkan bahwa
motivasi klien menggunakan alat bantu jalan masih kurang, keseimbangan, kekuatan
otot, dan rentang gerak sendi klien juga belum mengalami peningkatan. Oleh karena
itu, perencanaan yang ditetapkan penulis untuk intervensi di minggu selanjutnya
yaitu latih penggunaan alat bantu jalan walker.
Evaluasi dari intervensi keperawatan yang dilakukan pada minggu kedua meliputi
evaluasi subjektid dan objektif. Adapun hasil evaluasi subjektif didapatkan hasil
klien mengatakan akan selalu menggunakan walker saat berjalan untuk mencegah
jatuh. Selain itu, setelah diberikan penjelasan terkait tujuan penggunaan alat bantu
jalan dan dampak yang dapat muncul jika tidak menggunakan alat bantu jalan, klien
termotivasi untuk berlatih menggunakan alat bantu jalan walker dengan cara yang
tepat. Klien mengatakan akan selalu menggunakan walker saat berjalan untuk
mencegah jatuh. Klien menyebutkan dampak jika tidak menggunakan walker yaitu
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 64
53
Universitas Indonesia
berisiko jatuh seperti kejadian jatuh yang sebelumnya pernah dialami.Pada
pertemuan pertama tanggal 14, klien mengatakan tubuh terasa lebih seimbang, tidak
sempoyongan jika berjalan menggunakan walker.
Hasil evaluasi objektif pada minggu kedua menunjukkan klien mampu
mendemonstrasikan kembali cara melangkah menggunakan walker dengan tepat,
namun masih membutuhkan bimbingan. Klien juga mulai mampu berjalan
menggunakan alat bantu jalan dengan tepat, namun terkadang masih berjalan dengan
berpegangan pada furnitur. Klien juga belum dapat menggunakan alat bantu jalan
dengan tepat secara mandiri. Pada intervensi minggu kedua, petugas dilibatkan
dalam intervensi baik pelibatan dalam latihan menggunakan walker maupun dalam
pengawasan penggunaan walker klien.
Hasil evaluasi objektif juga menunjukkan aktivitas klien di wisma belum mengalami
peningkatan. Hasil evaluasi subjektif dan objektif menunjukkan bahwa motivasi
klien menggunakan walker mulai terlihat, akan tetapi kemampuan penggunaan
walker belum optimal sehingga perlu dilatih secara rutin. Dari hasil evaluasi tersebut,
penulis menetapkan perencanaan untuk intervensi selanjutnya yaitu latih klien
berjalan menggunakan alat bantu jalan walker secara rutin, latih penggunaan alat
bantu jalan untuk mencapai posisi duduk dari posisi berdiri dan sebaliknya, serta
libatkan petugas dalam intervensi.
Evaluasi dari intervensi keperawatan yang dilakukan pada minggu ketiga didapatkan
hasil evaluasi subjektif dan objektif. Adapun hasil evaluasi subjektif menunjukkan
klien mengatakan akan selalu menggunakan walker saat berjalan untuk mencegah
jatuh. Hasil evaluasi objektif menunjukkan klien mulai mampu berjalan
menggunakan alat bantu jalan dengan tepat, namun belum dapat menggunakan alat
bantu jalan secara mandiri tanpa pengawasan. Klien masih membutuhkan
pengawasan yang tepat. Akan tetapi, pada minggu ketiga tampak motivasi klien
untuk menggunakan alat bantu jalan mulai meningkat. Selain itu, pada minggu ini,
klien juga diajarkan cara duduk dari posisis berdiri dan sebaliknya dengan
menggunakan walker. Latihan dilakukan 3 kali seminggu akan tetapi pengawasan
dan pendampingan terhadap penggunaan alat bantu jalan dilakukan setiap hari. Hasil
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 65
54
Universitas Indonesia
evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa klien mulai mengalami peningkatan
aktivitas berjalan baik di dalam maupun di luar wisma menggunakan walker. Selain
itu, klien dapat melakukan latihan mencapai posisi duduk dari posisi berdiri dengan
aman dan tepat, namun masih membutuhkan arahan dan bimbingan.
Hasil evaluasi objektif dan subjektif pada minggu ketiga menunjukkan bahwa
motivasi klien menggunakan walker meningkat. Selain itu, klien juga menunjukkan
peningkatan aktivitas. Akan tetapi, klien masih memerlukan latihan menggunakan
walker secara rutin. Dari hasil evaluasi tersebut, penulis menetapkan perencanaan
untuk intervensi minggu selanjutnya yaitu latih berjalan menggunakan alat bantu
jalan walker secara rutin, motivasi dan supervisi penggunaan walker pada klien, dan
libatkan petugas dalam intervensi.
Evaluasi dari intervensi keperawatan yang dilakukan pada minggu keempat
didapatkan hasil klien mulai mengalami beberapa peningkatan. Hasil evaluasi
subjektif menunjukkan klien mengatakan memiliki keinginan untuk dapat
menggunakan walker dengan tepat dan nyaman. Klien juga mengatakan berjalan
menggunakan walker lebih aman karena tidak sempoyongan dan tidak takut jatuh.
Selain itu, hasil evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa kemampuan klien
menggunakan alat bantu jalan dengan tepat untuk berjalan. Akan tetapi, klien masih
membutuhkan bantuan dan bimbingan saat ingin mencapai posisi duduk maupun
berdiri menggunakan alat bantu jalan. Hal ini juga dipengaruhi oleh kekuatan otot
dan rentang gerak sendi klien. Intervensi penggunaan alat bantu jalan juga
diintegrasikan dengan latihan rentang gerak sendi dan latihan kekuatan otot.
Hasil evaluasi subjektif dan objektif minggu keempat menunjukkan beberapa
peningkatan. Pada minggu keempat, motivasi klien menggunakan walker meningkat,
klien merasakan manfaat penggunaan walker, menunjukkan peningkatan aktivitas,
namun klien memerlukan latihan menggunakan walker terutama untuk duduk dan
berdiri secara rutin untuk membiasakan dan mengoptimalkan kemampuan klien
menggunakan walker. Dari hasil evaluasi tersebut, penulis menetapkan beberapa
perencanaan untuk intervensi keperawatan minggu selanjutnya, yaitu latih berjalan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 66
55
Universitas Indonesia
menggunakan alat bantu jalan walker secara rutin, motivasi dan supervisi
penggunaan walker pada klien, dan libatkan petugas untuk melakukan pengawasan.
Evaluasi dari intervensi keperawatan yang dilakukan pada minggu kelima didapatkan
hasil klien mulai menunjukkan peningkatan baik peningkatan penggunaan alat bantu
jalan, peningkatan aktivitas, maupun peningkatan skor BBT, kekuatan otot, dan
peningkatan rentang gerak sendi. Hasil evaluasi subjektif menunjukkan klien
mengatakan akan selalu menggunakan walker untuk berjalan. Klien juga mengatakan
setelah dapat menggunakan alat bantu jalan, klien dapat lebih banyak berjalan
sehingga tidak merasa pusing seperti sebelumnya karena terlalu banyak berbaring di
tempat tidur. Klien juga mengatakan bahwa ekstremitas bawah masih terasa lemah,
namun setelah lebih banyak digunakan untuk berjalan, klien merasa tidak selemah
sebelumnya. Klien merasa ekstremitas bawah sudah mulai lebih kuat.
Hasil evaluasi objektif pada minggu kelima juga menunjukkan bahwa mobilitas fisik
klien mengalami peningkatan. Evaluasi objektif menunjukkan kemampuan klien
menggunakan alat bantu jalan dengan tepat untuk berjalan meningkat. Kemampuan
klien untuk mencapai posisi duduk dan berdiri dengan menggunakan walker juga
mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan klien yang mulai dapat
mencapai posisi tersebut dengan langkah yang aman dan tepat serta nyaman bagi
klien. Hasil evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa klien mulai mampu
menggunakan alat bantu jalan dengan mandiri dengan pengawasan yang minimal.
Aktivitas klien di wisma juga meningkat. Hal ini terlihat dari aktivitas klien yang
lebih banyak menghabiskan waktu untuk berjalan di dalam atau ke luar wisma dan
duduk di luar wisma.
Hasil evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa klien mulai menunjukkan
peningkatan kekuatan otot, rentang gerak sendi, skor Index Barthel Scoring, skor
FMS serta skor BBT. Kekuatan otot ekstremitas bawah mengalami peningkatan. Otot
hamstring dan otot quadrisep ekstremitas kiri bawah mengalami peningkatan yaitu
mampu melawan gravitasi dan mampu melawan tahanan dengan kekuatan sedang.
Selain itu, rentang gerak sendi klien juga mengalami peningkatan. Adapun rentang
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 67
56
Universitas Indonesia
gerak sendi yang mengalami peningkatan atau luas rentang gerak maksimal yaitu
rentang gerak rotasi lateral kanan dan kiri leher, fleksi dan ekstensi serta abduksi
sendi bahu, serta ekstensi sendi siku.
Hasil evaluasi menggunakan instrumen BBT, Barthel Index Scoring dan FMS juga
menunjukkan peningkatan. Skor BBT masih menginterpretasikan bahwa klien masih
dalam rentang yang sama, yaitu risiko jatuh sedang, namun skor meningkat menjadi
27. Item yang mengalami peningkatan yaitu kemampuan berpindah, dan berdiri
tanpa bantuan. Hasil pengkajian atau evaluasi menggunakan FMS juga menunjukkan
bahwa skor FMS klien mengalami penurunan yaitu dari skor awal 65 dengan
interpretasi risiko tinggi jatuh menjadi 55 dengan interpretasi risiko jatuh rendah.
Item yang mengalami penurunan skor yaitu item bantuan berjalan, yaitu klien yang
awalnya berjalan berpegangan pada furnitur, skor 30, saat ini sudah mulai berjalan
menggunakan alat bantu jalan, skor 15. Adapun skor Barthel Index Scoring
menunjukkan skor meningkat dari skor awal 60, interpretasi dependen sedang,
meningkat menjadi 70, interpretasi dependen ringan.
Rencana tindak lanjut untuk meningkatkan mobilitas fisik klien yaitu dengan
memberikan reinforcement positif pada klien untuk melakukan latihan ROM setiap
hari, melakukan lebih banyak aktivitas di luar wisma, dan selalu menggunakan
walker ketika berjalan. Selain itu, mahasiswa juga berkolaborasi dengan care giver
dan perawat untuk mengingatkan ika klien lupa atau terlihat tidak menggunakan
walker dan melakukan pengawasan terhadap penggunaan alat bantu jalan.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 68
57 Universitas Indonesia
BAB 4
ANALISIS SITUASI
4.1. Analisis Profil Panti Sosial Tresna Werdha
Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, dan pusat perekonomian
memungkinkan terjadinya arus urbanisasi yang pesat. Hal ini menyebabkan
banyak penduduk dari daerah pedesaan, memilih untuk bertempat tinggal di
perkotaan dengan berbagai latar belakang. Masyarakat urban tidak hanya berasal
dari kelompok usia dewasa atau usia produktif, namun juga kelompok usia lansia.
Lansia bermukim di perkotaan karena beragam latar belakang. Hal ini kemudian
yang menyebabkan jumlah lansia di daerah perkotaan meningkat.
Pertumbuhan pembangunan dan globalisasi yang pesat menjadi ancaman
tersendiri khususnya bagi lansia sebagai masyarakat urban di perkotaan.
Peningkatan jumlah penduduk perkotaan, penurunan lapangan pekerjaan,
penyempitan lahan pemukiman, dan semakin padatnya persaingan kerja
mengancam kesejahteraan lansia termasuk kesejahteraan yang berhubungan
dengan penghasilan dan tempat tinggal. Lansia yang tinggal mandiri tanpa
anggota keluarga yang lain, tanpa penghasilan dan tempat tinggal, pada akhirnya
terlantar dan memilih untuk menjadi pengemis dan gelandangan. Hal tersebut
menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah sehingga pemerintah menyediakan
jaminan sosial bagi lansia yang tidak potensial dan terlantar untuk mendapatkan
pelayanan sosial, salah satunya pelayanan sosial di dalam panti (Kementrian
Sosial, 2012).
Salah satu panti sosial yang menampung dan memberikan pembinaan serta
pelayanan bagi penduduk lanjut usia yaitu Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW)
Budi Mulia 1 Cipayung. PSTW ini merupakan panti sosial milik Negara yang
berada di bawah kepengurusan Departemen Sosial RI. PSTW berfungsi sebagai
suatu tempat atau sarana pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia yang
mengalami masalah sosial yang disebabkan oleh kemiskinan, ketidakmampuan
secara fisik dan ekonomi untuk diberikan pembinaan dan pelayanan sosial serta
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 69
58
Universitas Indonesia
perlindungan agar lansia dapat hidup secara wajar. Hal ini menunjukkan bahwa
PSTW Budi Mulia 1 Cipayung merupakan salah satu wadah bagi lansia,
khususnya lansia terlantar untuk mendapatkan pelayanan sosial.
Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung ini dibangun pada
tahun 1968 dengan luas area 8.883 m2. Awalnya, panti ini diberi nama Panti
Werdha Cipayung yang dikukuhkan oleh SK Gubernur KDKI Jakarta No. Ca.
11/29/1/1972. Selanjutnya, nama panti diubah menjadi PSTW Budi Mulia 1
Cipayung dengan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 736 tanggal 1-5-1996. Adapun
PSTW Budi Mulia 1 Cipayung sebagai sebuah institusi memiliki visi dan misi.
Visi yang diusung PSTW ini yaitu mengangkat harkat dan martabat lansia
terlantar menuju kehidupan layak, sehat, normatif, dan manusiawi. Adapun
beberapa misi yang diangkat, yaitu menyelenggarakan penampungan lanjut usia
terlantar dalam rangka perlindungan sosial; menyelenggarakan pelayanan sosial,
psikologis, perawatan medis, bimbingan fisik, mental spiritual, dan bimbingan
pemanfaatan waktu luang; menyelenggarakan penyaluran bina lanut dan
pemulasaran; menjalin keterpaduan dan kerjasama lintas sosial; dan menggalang
peran serta sosial masyarakat dan dunia usaha.
Tugas dan fungsi PSTW Budi Mulia 1 Cipayung berkaitan denga visi dan misi
yang diangkat. Adapun tugas yang dijalankan yaitu memberikan pelayanan sosial
bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan
bermasyarakat, yang meliputi perawatan, perlindungan dan pembinaan fisik,
spiritual, sosial, dan psikologis. Selanjutnya, fungsi PSTW Budi Mulia 1
Cipayung yaitu sebagai lembaga pemenuhan kebutuhan lansia, lembaga
pelayanan dan pengembangan lansia, serta pusat informasi dan rujukan. Hal ini
menunjukkan bahwa PSTW didirikan untuk memberikan pelayanan bagi lanjut
usia untuk dapat memenuhi kebutuhan biopsikososial dan spiritual.
PSTW Budi Mulia 1 Cipayung memiliki sasaran tertentu. Adapun sasaran PSTW
Budi Mulia 1 Cipayung yaitu penduduk DKI Jakarta yang berusia lanjut dan
terlantar, berusia minimum 60 tahun, tidak memiliki penghasilan atau berdaya
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 70
59
Universitas Indonesia
guna untuk mencari nafkah bagi penghidupannya. Selain itu, sasaran PSTW ini
yaitu lansia yang tidak memiliki keluarga atau orang lain atau lingkungan yang
dapat memberikan bantuan penghidupannya, serta merupakan golongan keluarga
yang benar-benar tidak mampu. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah
menyediakan suatu wadah atau tempat untuk meningkatkan kesejahteraan lansia
terutama lansia yang terlantar.
Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
mengarah pada konsep long term care setting. Miller (2004) menyebutkan bahwa
long term care yang umumnya memberikan pelayanan pada lansia yang tetap
tinggal di fasilitas sampai mereka meninggal atau dipindahkan ke fasilitas yang
lain. Dalam pelayanan long term care, perawat memegang peranan terkait
pemenuhan dan pelayanan serta perawatan kesehatan lansia. Hal ini menunjukkan
bahwa kebutuhan SDM yang berlatar pendidikan perawat dibutuhkan dalam
pelayanan pada konsep tersebut. Dalam hal ini, PSTW telah menyediakan SDM
dengan berlatar belakang pendidikan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan
kesehatan lansia. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mengarah pada
konsep long tem care.
Hasil analisis juga menunjukkan bahwa PSTW Budi Mulia 1 Cipayung
menyediakan fasilitas yang mengarah pada konsep long term care. Hal ini
dibuktikan dengan PSTW yang menyediakan fasilitas seperti penyediaan
makanan, tempat tinggal, pakaian, obat-obatan dan kebutuhan perawatan diri, dan
konsultasi kesehatan. Miller (2004) menyebutkan bahwa Pelayanan yang paling
umum disediakan oleh pelayanan long term care di komunitas antara lain
penyedia makanan, asisten perawat personal, bekerja sama dengan dokter, dan
belanja kebutuhan dapur.
Konsep yang digunakan oleh PSTW Budi Mulia 1 Cipayung tidak mengarah pada
konsep nursing home karena perbedaan karakteristik lansia dan perbedaan
fasilitas yang diberikan. PSTW Budi Mulia 1 Cipayung lebih mengarahkan
kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 71
60
Universitas Indonesia
lansia. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor
186 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa Panti Sosial Tresna Werdha digunakan
untuk memenuhi kesejahteraan sosial lansia (Kemensos, 2012). Hal ini
menunjukkan bahwa fokus pelayanan mengarah pada aspek sosial sehingga tidak
mengarah pada konsep nursing home.
Konsep kebijakan PSTW Budi Mulia 1 Cipayung lebih mengarah ke konsep
residential care atau assisted living. Konsep residential care facilities terlihat dari
pelayanan di PSTW ini yang menyediakan fasilitas berupa kamar, tempat tinggal,
keperluan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti mencuci baju,
mencuci piring, dan bantuan personal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
seperti kebutuhan perawatan diri, makan, berpakaian, dan berjalan. Selain itu,
lansia juga mendapatkan pengawasan namun tidak membutuhkan perawatan 24
jam. California Advocates for Nursing Home Reform (2008) menyebutkan bahwa
residential care merupakan fasilitas non-medis yang tidak memerlukan perawat,
perawat tersertifikasi, atau dokter sebagai staf. Akan tetapi, PSTW Budi Mulia 1
memiliki SDM yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang keperawatan.
Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan PSTW Budi Mulia 1 mulai mengarah pada
pemenuhan kebutuhan kesehatan lansia.
Berbagai fasilitas disediakan di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung unttuk menunjang
kualitas pelayanan. Adapun fasilitas yang disediakan yaitu sarana dan prasarana
fasilitas hunian, klinik, fasilitas penunjang kesehatan lansia dan fasilitas lain yang
mendukung. Fasilitas hunian meliputi wisma yang terdiri dari 7 wisma, yaitu
Wisma Asoka, Bougenvile, Cattleya, Cempaka, Dahlia, Edelweis, dan
Flamboyan. Adapun fasilitas kesehatan dan penunjang kesehatan lansia yaitu
klinik dilengkapi dengan ruang konsultasi, ruang terapi, serta peralatan medis dan
peralatan olahraga. Adapun fasilitas lain yaitu dapur, ruang baca, dan aula atau
ruang serbaguna yang biasanya digunakan untuk kegiatan lansia seperti latihan
angklung, panggung gembira, dan kegiatan lain. Hal ini menunjukkan bahwa
sebagai salah satu pelayanan sosial milik pemerintah, PSTW Budi Mulia 1
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 72
61
Universitas Indonesia
Cipayung tidak hanya memperhatikan kebutuhan sosial saja, namun juga
memperhatikan kebutuhan kesehatan lansia yang mendapatkan pelayanan di panti.
4.2. Analisis Diagnosa Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik pada Ibu S
Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Ibu S (73 tahun) tubuh terutama kedua kaki
lemah ketika digunakan untuk berjalan, terkadang merasa sempoyongan, dan
terasa akan jatuh saat berjalan. Selain itu, hasil pengkajian kekuatan otot juga
menunjukkan bahwa klien telah mengalami penurunan kekuatan otot pada kedua
ekstremitas bawah. Kondisi tersebut merupakan salah satu implikasi klinis dari
perubahan normal pada sistem muskuloskeletal akibat proses penuaan. Proses
penuaan mengakibatkan terjadinya penurunan massa otot yang kemudian
berdampak pada penurunan kekuatan otot (Stanley, Blaire, & Beare, 2005).
Kekuatan otot yang menurun menyebabkan Klien merasa ekstremitas terasa
lemah saat berjalan. Selain itu, perubahan normal sistem neurologis pada proses
penuaan menyebabkan kemampuan lansia mengontrol badan dalam keadaan tegak
semakin menurun (Miller, 2004). Hal ini yang menyebabkan Klien merasa
sempoyongan dan terasa akan jatuh yang saat berjalan.
Aktivitas klien di wisma juga terlihat sangat kurang. Klien lebih banyak berbaring
di tempat tidur atau duduk di atas tempat tidur. Hal ini sejalan dengan pernyataan
National Health Service (NHS) (2013) menyebutkan bahwa lansia berusia 65
tahun ke atas menghabiskan sekitar 10 jam atau lebih untuk duduk atau berbaring.
Aktivitas yang kurang tersebut disebabkan oleh keengganan klien melakukan
kegiatan. Keengganan memulai pergerakan merupakan salah satu faktor yang
berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik (NANDA International, 2012).
Aktivitas yang kurang, terutama aktivitas fisik pada klien menyebabkan kekuatan
otot, tulang, dan sendi tidak terlatih. NHS (2013) menyebutkan bahwa aktivitas
fisik dapat meningkatkan kekuatan otot dan tulang. Kekuatan otot, tulang, dan
sendi yang kurang dapat menghambat mobilitas fisik Klien atau menyebabkan
keterbatasan gerak pada Klien. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung,
aktivitas fisik yang kurang dapat menyebabkan masalah hambatan mobilitas fisik
pada lansia.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 73
62
Universitas Indonesia
Hasil juga observasi menunjukkan bahwa klien memiliki alat bantu jalan yaitu
walker, namun klien tidak pernah menggunakan walker tersebut. Klien tampak
berjalan dengan berpegangan pada benda sekitar seperti dinding, tempat tidur,
atau meja Klien mengatakan tidak menggunakan walker karena klien merasa
walker berat dan menyulitkan saat berjalan sehingga klien tidak lagi
menggunakan walker. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yeh
(2009) yang menemukan bahwa salah satu alasan lansia menolak menggunakan
alat bantu jalan yaitu karena kesulitan dalam penggunaan alat bantu jalan tersebut.
Selain itu, Klien juga mengatakan tidak menggunakan alat bantu jalan karena
ingin belajar berjalan tanpa walker. Hal ini menunjukkan bahwa klien
beranggapan bahwa berjalan tanpa menggunakan alat bantu jalan lebih baik
daripada menggunakan alat bantu. Faktor sosial juga merupakan salah satu hal
yang berhubungan dengan keengganan lansia menggunakan alat bantu jalan.
Lansia lebih memilih melakukan aktivitas secara mandiri tanpa menggunakan alat
bantu jalan atau menggunakan alat bantu jalan hanya jika membutuhkan (Yeh,
2009).
Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data bahwa terdapat deformitas pada tulang
tibia fibula posterior ekstremitas bawah sinistra karena riwayat fraktur. Klien
mengatakan pada area tersebut terkadang masih terasa nyeri jika digunakan untuk
berjalan. Kondisi tersebut menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik. Nyeri
dan kerusakan integritas struktur tulang merupakan etiologi atau faktor yang
berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik (NANDA International, 2012). Hal
ingi menunjukkan bahwa area deformitas yang terkadang terasa nyeri dapat
menghambat mobilitas fisik Klien.
Rentang gerak ekstremitas atas dan bawah baik kanan maupun kiri sudah
mengalami penurunan atau mengalami keterbatasan. Kondisi tersebut
menunjukkan bahwa Klien mengalami keterbatasan dalam pergerakan atau dalam
melakukan rentang gerak sendi. Keterbatasan rentang gerak sendi merupakan
salah satu batasan karakteristik masalah hambatan mobilitas fisik (NANDA
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 74
63
Universitas Indonesia
International, 2012). Keterbatasan rentang gerak sendi yang dialami oleh Klien
disebabkan oleh sendi yang telah mengalami kontraktur dan kekakuan..Kontraktur
dan kaku sendi merupakan salah satu etiologi atau faktor yang berhubungan
dengan hambatan mobiltaas fisik individu (NANDA International, 2012).
Klien juga mendapatkan terapi atau obat-obatan antipsikotik yaitu
Trihexyphenidyl (THP) dan Risperidone dengan efek samping yang dapat
mempengaruhi mobilitas klien seperti pusing, kelemahan otot, penglihatan kabur,
dan mengantuk. Trihexyphenidyl merupakan terapi antikonvulsan, sedatif, dan
hipnotik yang memiliki beberapa efek samping, seperti penglihatan kabur, pusing,
cemas, dan sakit kepala. Adapun Risperidone adalah medikasi yang diindikasikan
untuk individu dengan kondisi psikotik dengan efek samping sakit kepala, lelah,
pusing, dan gangguan daya penglihatan (Pramudianto & Evaria, 2010). Beberapa
efek samping dari kedua medikasi tersebut dapat menyebabkan aktivitas termasuk
mobilitas fisik individu mengalami gangguan atau keterbatasan.
Hasil pengkajian menggunakan instrumen Mini Mental Status Exam (MMSE)
didapatkan skor total 21 yang menunjukkan bahwa klien mengalami kerusakan
kognitif ringan. Status mental juga perlu diperhatikan mengingat status mental
merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mobilitas. NANDA
International (2012) menyebutkan salah satu faktor yang berhubungan dengan
hambatan mobilitas fisik yaitu gangguan kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak hanya aspek fisik saja yang diperhatikan dalam mengkaji hambatan
mobilitas fisik pada lansia, namun juga aspek psikologis perlu diperhatikan. Hal
ini dimaksudkan agar lansia mendapatkan intervensi keperawatan yang tepat.
Perubahan normal pada sistem muskuloskeletal dan neurologis klien membuat
Klien rentan mengalami kejadian jatuh. Hal ini dibuktikan dengan Klien yang
pernah mengalami kejadian jatuh dalam 1 bulan terakhir. Hal ini didukung dengan
hasil pengkajian menggunakan instrumen False Morse Scale (FMS) yang
menghasilkan skor total 65 dan menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh
yang tinggi. Selain itu, hasil pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 75
64
Universitas Indonesia
Test (BBT) didapatkan skor total 24 yang menunjukkan bahwa klien memiliki
risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk,
dan walker. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kejadian jatuh berulang dan
mengantisipasi komplikasi lain akibat hambatan mobilitas fisik, klien perlu
mendapatkan intervensi keperawatan yang tepat. Skor Barthel Index Scoring
menunjukkan skor total 60 yang menginterpretasikan klien memiliki
ketergantungan sedang. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang tepat juga
diharapkan dapat meningkatkan kemandirian klien.
4.3. Analisis Penggunaan Alat Bantu Jalan Walker pada Ibu S dengan
Hambatan Mobilitas Fisik
Masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia disebabkan oleh berbagai faktor,
terutama karena proses penuaan yang menyebabkan perubahan pada sistem
muskuloskeletal dan neuromuskular. Hambatan mobilitas fisik yang dialami oleh
lansia menurunkan partisipasi lansia dalam melakukan berbagai aktivitas. Kondisi
ini kemudian dapat menurunkan kemandirian lansia. Rantakokko, Manty, dan
Rantanen (2013) menyebutkan bahwa mobilitas merupakan komponen utama
untuk mempertahankan kemandirian. Selain itu, selain itu, Hirvensalo, Rantanen,
Heikkinen (2000) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa hambatan
mobilitas fisik merupakan faktor predisposisi dari kematian dan peningkatan
ketergantungan lansia. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan intervensi yang
tepat untuk meningkatkan mobilitas fisik yang dapat mempertahankan atau
meningkatkan kemandirian lansia. Melatih lansia menggunakan alat bantu jalan
yang tepat merupakan salah satu intervensi yang dapat meningkatkan mobilitas
fisik lansia. Dengan meningkatnya mobilitas fisik, maka kemandirian dan
partisipasi lansia terhadap berbagai aktivitas dapat ditingkatkan.
Penggunaan alat bantu jalan yang tepat dapat meningkatkan mobilitas dan
kemandirian lansia, serta dapat menurunkan risiko jatuh. Berbagai pilihan alat
bantu jalan tersedia dan dapat digunakan bagi lansia. Akan tetapi, pemilihan alat
bantu jalan harus disesuaikan dengan kondisi lansia. Jenis alat bantu jalan
memiliki indikasi masing-masing bagi lansia dengan kondisi tertentu. Dalam hal
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 76
65
Universitas Indonesia
ini, penggunaan alat bantu jalan walker merupakan salah satu alat bantu jalan
yang tepat bagi Klien. Hal ini dikarenakan indikasi penggunaan alat bantu jalan
standard walker sesuai dengan kondisi fisik Klien. Adapun indikasi penggunaan
alat bantu jalan walker yaitu kelemahan bilateral atau inkoordinasi tungkai bawah
atau seluruh tubuh dan gangguan keseimbangan sedang (Uustal & Baerga, 2004).
Hal ini sesuai dengan kondisi klien yang mengalami kelemahan dan penurunan
kekuatan otot ekstremitas bawah serta gangguan keseimbangan sedang
berdasarkan interpretasi skor total Berg Balance Test (BBT). Selain itu, alat bantu
jalan walker juga tepat digunakan untuk meningkatkan keseimbangan bagi
individu dengan kerusakan kognitif (Seiler, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa
Klien yang mengalami kerusakan kognitif ringan berdasarkan interpretasi MMSE
dapat menggunakan alat bantu jalan walker.
Alat bantu jalan walker terdiri dari beberapa jenis. Adapun jenis walker yang
sesuai dengan kondisi Klien yaitu jenis standard walker. Standard walker
memberikan dukungan keseimbangan dan stabilitas ketika berjalan (Miller, 2011).
Bateni, Brian, dan Maki (2005) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa
penggunaan walker dapat meningkatkan keseimbangan dan mobilitas. Kriteria
tersebut sesuai dengan kondisi Klien yang mengeluhkan merasa sempoyongan
saat berjalan dan merasa ingin jatuh. Selain itu juga berdasarkan pengukuran
keseimbangan secara objektif menggunakan Berg Balance Test (BBT), terlihat
bahwa Klien mengalami penurunan keseimbangan. Interpretasi dari skor total
Berg Balance Test (BBT) juga menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh
yang sedang dan membutuhkan alat bantu jalan, salah satunya yaitu alat bantu
jalan walker. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Klien dalam menggunakan
alat bantu jalan walker secara tepat perlu ditingkatkan.
Latihan menggunakan alat bantu jalan diimplementasikan dengan memperhatikan
beberapa hal. Setelah menentukan jenis walker yang tepat, penulis
mengklarifikasi alasan klien tidak menggunakan walker. Selanjutnya, penulis
menjelaskan tujuan penggunaan alat bantu jalan walker dan membenarkan
kesalahan persepsi klien terkait penggunaan alat bantu jalan. Goldstein (2010)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 77
66
Universitas Indonesia
yang menyebutkan bahwa pengetahuan, memori, dan ekspektasi dapat
mempengaruhi persepsi individu. Hal ini dibuktikan dengan klien yang saat ini
telah memahami bahwa tujuan penggunaan walker untuk keseimbangan dan
keamanan klien, yaitu untuk mencegah jatuh. Hal ini menunjukkan bahwa
pengetahuan yang kurang dapat menimbulkan persepssi yang salah, sehingga
pemberian informasi atau pengetahuan yang tepat dapat meluruskan persepsi
individu.
Intervensi kemudian dilanjutkan dengan pengukuran walker sesuai dengan
ketentuan yang tepat setelah klien siap melakukan latihan. Pengukuran ketinggian
walker yang sesuai dimaksudkan untuk meningkatkan kenyamanan klien dan
mengurangi masalah pada bahu dan tulang belakang klien (Miller, 2011).
Pengukuran ketinggian walker dilakukan dengan meminta klien menempatkan
tangan pada pegangan walker dan menyesuaikan tinggi walker hingga siku
membentuk sudut kurang lebih 150o. Setelah dilakukan pengukuran, didapatkan
bahwa ukuran ketinggian walker telah sesuai karena siku klien membentuk sudut
kurang lebih 150o.
Intervensi selanjutnya yang dilakukan yaitu dengan melatih cara menggunakan
walker dengan tepat. Cara menggunakan walker yang dilatih meliputi cara
berjalan, melatih cara duduk ke berdiri menggunakan walker, melatih cara berdiri
ke duduk menggunakan walker, dan melangkah naik atau melangkah turun
menggunakan walker. Dengan melatih cara penggunaan walker yang tepat,
diharapkan klien dapat menggunakan walker dengan aman sehingga penggunaan
walker dapat berfungsi optimal untuk meningkatkan aktivitas dan kemandirian
lansia. Adapun skor Barthel Index Scoring menunjukkan skor meningkat dari skor
awal 60, interpretasi dependen sedang, meningkat menjadi 70, interpretasi
dependen ringan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hernandez
(2012) yang menemukan bahwa risiko jatuh dapat diturunkan jika jenis walker
yang digunakan sesuai dan lansia diajarkan cara menggunakan walker dengan
tepat.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 78
67
Universitas Indonesia
Hasil observasi asuhan keperawatan yang diterapkan pada klien selama 5 minggu
menunjukkan bahwa melatih menggunakan alat bantu jalan standard walker pada
klien meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan mobilisasi. Selain itu,
aktivitas klien juga meningkat yang ditunjukkan dengan klien yang mulai lebih
banyak berjalan di luar atau di dalam wisma menggunakan walker dengan tepat.
Klien juga mengatakan lebih seimbang dan tidak sempoyongan saat berjalan
menggunakan walker. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa klien terlihat
lebih seimbang saat berjalan menggunakan walker. Kondisi tersebut sesuai
dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan walker dapat
meningkatkan keseimbangan dan mobilitas ketika berjalan (Bateni, Brian, &
Maki, 2005; Miller, 2011).
4.4. Alternatif pemecahan yang dapat dilakukan
Alternatif pemecahan atau intervensi lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi
masalah hambatan mobilitas fisik selain melatih penggunaan alat bantu jalan yaitu
dapat berupa membantu lansia meningkatkan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang
dapat dilakukan seperti latihan rentang gerak sendi atau Range of Motion (ROM),
latihan kekuatan otot, dan latihan keseimbangan. Ketiga latihan tersebut ditujukan
untuk mempertahankan, mengoptimalkan, dan meningkatkan sistem
muskuloskeletal lansia yang sudah mengalami perubahan akibat penuaan.
Range of Motion (ROM) atau biasa disebut Rentang Pergerakan Sendi (RPS)
merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan fungsi sendi yang
berkurang karena proses kecelakaan, penyakit, atau tidak digunakan dan dapat
dibantu dengan menggunakan alat bantu jalan. Jenis latihan ROM aktif, aktif
resisitif, aktif asisitif, dan latihan isometrik dapat meningkatkan kekuatan otot,
mencegah demineralisasi tulang, dan mempertahankan fungsi otot individu
(Brookside Associates, 2007; Rosdahl & kowalski, 2008). Perawat juga dapat
berkolaborasi dengan fisioterapis untuk perencanaan kebutuhan latihan serta
mempertahankan dan meningkatkan kemampuan gerak lansia (Wilkinson, 2005).
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 79
68
Universitas Indonesia
Latihan kekuatan otot adalah aktivitas yang memperkuat dan menyokong otot dan
jaringan ikat. Latihan dirancang supaya otot mampu membentuk kekuatan untuk
mengerakkan atau menahan beban. Adapun aktivitas yang melawan gravitasi yang
dapat diterapkan untuk menguatkan otot seperti gerakan berdiri dari kursi, ditahan
beberapa detik, lalu dilakukan berulang-ulang. Selain itu, aktivitas lain yaitu
aktivitas dengan tahanan tertentu misalnya latihan dengan tali elastik. Latihan
kekuatan otot dilakukan setidaknya 2 hari dalam seminggu. Pembentukan
kekuatan otot menggunakan tahanan atau beban dapat dicapai dengan intensitas
latihan 10 sampai 12 repetisi untuk masing-masing latihan. Dalam satu set latihan,
diharapkan setiap latihan dapat dilakukan dengan intensitas 10 sampai 15 repetisi.
Jumlah repetisi harus ditingkatkan sebelum beban ditambah. Selain itu, intensitas
latihan meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan individu
(Ambardini, 2011).
Aktivitas fisik atau latihan selanjutnya yaitu latihan keseimbangan (balance
exercise). Latihan keseimbangan adalah latihan khusus yang ditujukan untuk
membantu meningkatkan kekuatan otot pada anggota bawah (kaki) dan untuk
meningkatkan sistem vestibular atau keseimbangan tubuh. Latihan keseimbangan
sangat penting pada lansia (lanjut usia) karena latihan ini sangat membantu
mempertahankan tubuh agar stabil sehingga dapat mencegah jatuh. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Kusnanto, Indrawati dan Mufidah (2007)
mengungkapkan bahwa latihan balance exercise yang dilakukan 3 kali seminggu
selama 3 minggu dapat menimbulkan kontraksi otot pada lansia yang kemudian
dapat mengakibatkan peningkatan serat otot (hipertropi). Serat otot yang
hipertropi ini mengalami peningkatan komponen sistem metabolisme fosfagen,
termasuk ATP dan fosfokreatin sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot pada
lansia.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 80
69 Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Hasil karya ilmiah akhir ini dapat disimpulkan bahwa PSTW Budi Mulia 1
Cipayung merupakan salah satu panti sosial yang menampung dan memberikan
pembinaan serta pelayanan bagi penduduk lanjut usia. PSTW ini merupakan panti
sosial milik Negara yang berada di bawah kepengurusan Departemen Sosial RI.
PSTW berfungsi sebagai suatu tempat atau sarana pelayanan kesejahteraan sosial
bagi lansia yang mengalami masalah sosial yang disebabkan oleh kemiskinan,
ketidakmampuan secara fisik dan ekonomi untuk diberikan pembinaan dan
pelayanan sosial serta perlindungan agar lansia dapat hidup secara wajar.
Kebijakan pada PSTW ini mengarah pada konsep long term care dan community
care.
Salah satu lansia yang tinggal di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung yaitu Ibu S yang
mengalami hambatan mobilitas fisik. Adapun masalah hambatan mobilitas fisik
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor fisik akibat proses penuaan,
fakor lingkungan, maupun medikasi. Masalah hambatan mobilitas fisik lansia
tersebut menurunkan partisipasi lansia terhadap aktivitas dan menurunkan
kemandirian lansia. Pengkajian yang dilakukan pada Ibu S dengan masalah
hambatan mobilitas fisik meliputi pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan fungsi
sistem muskuloskeletal dan neurologis serta pengkajian menggunakan instrumen
seperti Berg Balance Test (BBT), False Morse Scale (FMS), Mini Mental Status
Exam (MMSE), Mini Nutrition Assessment (MNA).
Data yang didapatkan berdasarkan hasil pengkajian mencakup berbagai aspek dan
memunculkan satu masalah prioritas yaitu hambatan mobilitas fisik. Data
pengkajian menunjukkan bahwa klien, Ibu S, mengalami penurunan kekuatan
otot, keseimbangan, dan rentang gerak sendi. Selain itu, klien juga mengalami
keterbatasan mobilisasi yang disebabkan oleh nyeri di area area 1/3 tibialis distal
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 81
70
Universitas Indonesia
sinistra yang mengalami deformitas. Tampak gaya berjalan klien lambat, sedikit
menyeret kaki, dan tidak seimbang. Klien juga tampak kesulitan dalam beberapa
gerakan. Hasil pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT)
didapatkan data klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat
bantu jalan seperti tongkat, kruk, dan walker. Akan tetapi, hasil motivasi klien
untuk menggunakan alat bantu jalan jenis walker masih kurang dan cara
penggunaan walker masih belum tepat.
Data pengkajian menunjukkan bahwa klien mengalami hambatan dalam
melakukan mobilitas fisik. Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil
pengkajian, diagnosa keperawatan yang sesuai dengan NANDA adalah hambatan
mobilitas fisik. Masalah hambatan mobilitas fisik menjadi masalah keperawatan
prioritas pada klien. Rencana asuhan keperawatan yang diberikan pada masalah
hambatan mobilitas fisik yaitu dengan kaji tanda-tanda vital dan kekuatan otot
setiap hari untuk menentukan status perkembangan klien, latih dan motivasi klien
melakukan ROM, ajarkan tindakan mobilisasi yang lebih progresif, ajarkan klien
cara menggunakan alat bantu walker, lakukan supervisi terhadap usaha mobilisasi
klien, bantu jika diperlukan, dan libatkan klien dalam aktivitas di panti. Selain itu,
sediakan informasi mengenai pentingnya klien melakukan mobilisasi kepada
orang terdekat klien. Intervensi yang diunggulkan pada klien yaitu penggunaan
alat bantu jalan walker.
Implementasi melatih penggunaan alat bantu jalan walker dilakukan secara
bertahap selama 5 minggu. Adapun setelah implementasi selama 5 minggu
tersebut, didapatkan hasil klien mengalami peningkatan kemampuan penggunaan
alat bantu jalan, peningkatan mobilisasi, dan penurunan risiko jatuh. Selain itu,
motivasi lansia menggunakan alat bantu jalan dengan tepat juga meningkat. Hal
ini menunjukkan bahwa penggunaan alat bantu jalan dengan tepat memiliki
dampak yang positif bagi lansia, khususnya bagi klien. Dengan kemampuan dan
penggunaan alat bantu jalan yang tepat, partisipasi dan kemandirian klien dalam
berbagai aktivitas meningkat. Hal ini kemudian diharapkan dapat meningkatkan
kesejahteraan lansia.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 82
71
Universitas Indonesia
5.2. Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi, acuan,
atau data baik bagi institusi pelayanan kesehatan lanjut usia, pendidikan, maupun
dinas sosial maupuan dinas kesehatan. Bagi institusi pendidikan, hasil karya
ilmiah ini diharapkan dapat menjadi data dan informasi terkait pentingnya
penambahan kompetensi dan keterampilan mahasiswa terkait prosedur
penggunaan alat bantu jalan bagi lansia. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa
memiliki kompetensi yang memadai untuk mengaplikasikan ilmu atau konsep dan
teori penggunaan alat bantu jalan yang telah dipelajari secara langsung pada
lansia.
Institusi pendidikan juga diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan
keterampilan atau skill mahasiswa dalam melakukan pengkajian fisik terutama
pada sistem yang berkaitan dengan mobilitas fisik lansia yang terintegrasi dengan
konsep penuaan. Pengkajian fisik dan pemeriksaan penunjang lain perlu
diperhatikan terutama pengkajian terkait fungsi sistem muskuloskeletal dan
neurologis. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi masalah hambatan
mobilitas fisik, seperti status mental dan medikasi perlu dipehatikan. Hal ini
dimaksudkan agar lansia mendapatkan intervensi keperawatan yang tepat untuk
mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia. Hal ini dilakukan
mengingat penyebab dari masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia cukup
beragam. Dengan beragamnya penyebab tersebut, diharapkan lansia mendapatkan
intervensi yang dapat mengatasi etiologi atau penyebab masalah serta dapat
mencegah dampak yang mungkin ditimbulkan.
Hasil karya ilmiah ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi
pelayanan kesehatan untuk lebih memperhatikan kebutuhan mobilitas fisik lansia,
khususnya kebutuhan penggunaan alat bantu jalan. Adapun terkait penggunaan
alat bantu jalan, sebaiknya alat bantu jalan yang digunakan disesuaikan dengan
kondisi lansia tersebut. Masing-masing jenis alat bantu jalan memiliki indikasi
tertentu. Indikasi dari masing-masing penggunaan alat bantu jalan menentukan
jenis alat bantu yang sesuai dengan kondisi lansia. Hal ini perlu diperhatikan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 83
72
Universitas Indonesia
karena pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat atau tidak disesuaikan dengan
kondisi lansia dapat menyebabkan dampak buruk, seperti kejadian jatuh. Oleh
karena itu, indikasi penggunaan alat bantu jalan perlu diperhatikan dan
disesuaikan dengan kondisi lansia.
Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu hal-hal yang menyebabkan lansia tidak
menggunakan alat bantu jalan. Banyak hal yang dapat menyebabkan lansia
menolak menggunakan alat bantu jalan. Adapun penyebab-penyebab tersebut
salah satunya yaitu persepsi lansia terkait penggunaan alat bantu jalan itu sendiri.
Oleh karena itu, diperlukan pemberian infiormasi yang tepat tentang tujuan
penggunaan alat bantu jalan pada lansia sehingga perpsepsi lansia dapat diubah.
Dengan berubahnya persepsi, diharapkan motivasi lansia menggunakan alat bantu
jalan dapat meningkat.
Perlunya keterampilan dan pemahaman terkait proses penuaan dan penggunaan
alat bantu jalan pada lansia menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan perlu
memperhatikan keterampilan dan pemahaman care giver terkait hal tersebut.
Karya ilmiah ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan kesehatan tentang
pentingnya pelatihan dan pembekalan terkait proses penuaan dan standar prosedur
penggunaan alat bantu jalan pada lansia. Hal ini dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuan dan pengawasan terhadap kemampuan penggunaan
alat bantu jalan lansia. Selanjutnya, dengan penggunaan alat bantu jalan yang
tepat diharapkan kemandirian lansia dapat meningkat dan menurunkan risiko
jatuh lansia. Kondisi tersebut kemudian secara tidak langsung dapat menurunkan
beban kerja perawat atau care giver.
Hasil karya ilmiah ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi terkait
perlunya disediakan fasilitas konsultasi dan fisioterapi untuk meningkatkan
kemampuan mobilitas fisik lansia. Penyediaan fasilitas konsultasi dan fisioterapi
memungkinkan lansia mendapatkan terapi rutin yang efektif untuk meningkatkan
mobilitas fisik hingga kemandirian lansia dapat meningkat. Karya ilmiah ini juga
diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi kedinasan khususnya bagi dinas
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 84
73
Universitas Indonesia
sosial untuk bekerja sama dengan dinas kesehatan sehingga pelayanan yang
diberikan pada lansia dapat lebih optimal. Hal ini dimaksudkan agar porsi
pelayanan kesehatan lansia dapat ditingkatkan. Peningkatan pelayanan kesehatan
diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan lansia.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 85
74 Universitas Indonesia
DAFTAR REFERENSI
Annete, G. L. (2000). Gerontological Nursing. St. Louis: Mosby
Barker, A. L., Nitz, J. C., Choy, N. L., & Haines, T. P. (2012). Mobility has a
non-linear association with falls risk among people in residential aged care:
an observational study. Journal of Physiotherapy, 58, 117-125. Physiotherapy
Association 2012. http://ajp.physiotherapy.asn.au/AJP/vol_58/2/Barker.pdf.
Bateni, H., Brian E., & Maki. (2005). Assistive devices for balance and mobility:
benefits, demands, and adverse consequences. Archieve of Physsical Medical
Rehabilitation, 86, 134-145 .
http://biochemistry.usuhs.mil/med/geriatrics/AssistiveDevicesforBalanceand
Mobility.pdf
Bookside Associates. (2007). Lesson 5: Active and passive range of motion
exercises. Juli 3, 2014.
http://www.brooksidepress.org/Products/Nursing_Fundamentals_1/lesson_5_
Section_1.htm
California Advocates for Nursing Home Reform. (2008). Residential care /
assisted living: What is residential care for the elderly?. Juni 11, 2014.
http://www.canhr.org/RCFE/rcfe_what.htm
Carpenito, L. J. ( 2008). Nursing diagnosis: Application to clinical practice, 12th
Ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins
DeLaune, S. C. & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: Standards &
practices. 2nd
Ed. USA: Delmar/ Thomson Learning
Departemen Sosial RI. (2012). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Lanjut Usia. Juni, 4.
http://sosialnews.com/wp-content/uploads/2013/03/NSPK-Pelayanan-
LANSIA-PERMENSOS-19-TH-2012.pdf
Doenges, M.E., Moorhouse. M.F., Murr.A.C. (2008). Nursing diagnosis manual:
planning, individualizing, and documenting client care.(2nd
ed).
Philadelphia: Davis Company
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 86
75
Universitas Indonesia
Ebersole, P., Hess, P., Touhy, T., & Jett, K. (2005). Gerontological nursing &
healthy aging. 2nd
ed. St. Louis: Mosby Elsevier
Faulkner, J. A., Larkin, L. M., Claflin, D.R., & Brooks, S.V. Age-related changes
in the structure and function of skeletal muscles. Clinical and Experimental
Pharmagology and Physiology, 34, 1091-1096.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17880359
Goldstein, T. R., Bridge, J. A., & Brent, D. A. (2008). Sleep disturbance
preceding completed suicide in adolescents. Journal of Consulting & Clinical
Psychology, 76, 84-91. DOI: 10.1037/0022-006X.76.1.84
Hernandez, C. R. (2012). Choosing the correct walker. Juni, 22.
https://nursingandhealth.asu.edu/files/ors/aging/provider-sheets/walkers.pdf
Hirvensalo, M., Rantanen, T., & Heikkinen, E. (2000). Mobility difficulties and
physical activity as predictors of mortality and loss of independence in the
community-living older population. Journal of the American Geriatrics
Society, 48, 493-498. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10811541
Holloway, N. M. (2004). Medical-Surgical care planning. 4th
Ed. USA:
Lippincott Williams & Wilkins
Johansson, C. & Chinworth, S. A. (2012). Mobility in context: Principles of
patient care skills. Philadelphia: F. A. Davis Company
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Gambaran keseahatan lanjut
usia di Indonesia. Juni 4, 2014.
www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf
Kementrian sosial RI. (2012). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia
Nomor 186 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis Kementrian Sosial Tahun
2010-2014. Juli 5, 2014.
http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2012/bn91-2012lamp.pdf
Komisi Nasional Lanjut Usia. (2010). Profil penduduk lanjut usia 2009. Juni 4,
2014.http://www.komnaslansia.go.id/d0wnloads/profil/Profil_Penduduk_Lanj
ut_Usia_2009.pdf
Kusnanto, Indrawati R., dan Mufidah, N. (2007). Peningkatan stabilitas postural
pada lansia melalui balance exercise. Jurnal Keperawatan Media Ners, 1, 49-
99. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/medianers/article/download/715/588
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 87
76
Universitas Indonesia
Maryam, R. S., Ekasari, M. F., Rosidawati., Jubaedi, A., & Batubara, I. (2008).
Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.
Miller, C.A. (2004). Nursing for wellness in order adults: Theory and practice. 4th
Ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins
Miller, M. L. (2011). Senior mobility: Use of assistive devices for fall prevention.
http://www.fresno.ucsf.edu/norcal/downloads/14Assistive%20Devices%20fo
r%20Prev%20of%20Falls%20%5Bwith%20cover%20sheet%5D.pdf
NANDA International. (2012). Nursing diagnosis: Definitions and classification
2012 – 2014. UK: Wiley-Blackwell.
National Health Service. (2013). The importance of exercise as you get older. Juli
1, 2014. http://www.nhs.uk/Livewell/fitness/Pages/activities-for-the-
elderly.aspx
O’neill, P. A. (2002). Caring for the older adult: a health promotion perspective.
1st ed. Philadelphia: Saunders
O’Sullivan, S. B., Schmitz, T. J., & Fulk, G. (2014). Physical rehabilitation.
Philadelphia : F. A. Davis Company
Oliveira, L.A., Santana, R.F., & Bachion, M.M. (2002). Impaired physical
mobility in elderly: related factors and defining characteristics. Revista
Brasileira de Enfermagem, 55, 19-25.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12592781
Pramudianto, A. & Evaria. (2010). MIMS Indonesia petunjuk konsultasi. Edisi 10
2010/2011. Jakarta: UBM Medica
Rantakokko, M., Mänty, M., & Rantanen, T. (2013). Mobility decline in old age.
Exercise and Sport Sciences Reviews, 41, 19-25.
http://www.medscape.com/viewarticle/777551_2
Rosdahl, C. B., &, Kowalski, M. T. (2008). Textbook of basic nursing. 9th
Ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Seiler, R. J. (2007). Assistive technology for individuals with cognitive
impairment. Juli 3, 2014.
http://www.idahoat.org/Portals/0/Documents/cognitive_impair.pdf
Stanley, M. & Beare, P. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: EGC.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 88
77
Universitas Indonesia
Kementrian sosial jRI. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. (Juniarti,
N. & Kurnianingsih, S., penerjemah). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Stanley, M., Blair, K. A and Beare, P. G. (2005). Gerontological nursing: A
health promotion/protection approach 3rd
Edition. Philadelphia: F. A Davis
Company
Uustal, H. & Baerga, E. (2004). Assistive devices—Ambulation aids. Juni 22,
2014. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK27318/
WHO. (2012). Definition of an older or elderly person. Juni, 4.
http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/
Yeh, H. C. (2009). Elderly people’s use of and attitudes towards assistive device.
Juli 8, 2014. http://eprints.qut.edu.au/30320/1/Hui-Ching_Yeh_Thesis.pdf
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 89
Lampiran 1: Pengkajian Individu
PENGKAJIAN INDIVIDU
Panti : Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung,
Jakarta
Tanggal Masuk : 25 September 2007
No. Register : 350
I. IDENTITAS
A. Nama : Nenek S
B. Jenis Kelamin : Perempuan
C. Umur : 73 tahun
D. Agama : Islam
E. Status perkawinan : Janda
F. Pendidikan terakhir : Tidak sekolah
G. Pekerjaan : Tidak bekerja
H. Alamat : Kp Sawah, Cilincing, Jakarta Utara
II. ALASAN KUNJUNGAN KE PANTI
Klien mengatakan masuk ke panti karena klien sudah tua dan tidak ada yang
merawat. Klien memiliki keluarga di Jakarta namun tidak ingin merepotkan
dan menjadi beban keluarga. Semenjak suami klien meninggal, klien bekerja
sebagai tukang sapu jalanan. Saat bekerja sebagai tukang sapu jalanan, klien
mengalami kecelakaan yaitu tertabrak mobil dan dibawa ke rumah sakit untuk
menjalani perawatan. Klien mengalami patah tulang dan membutuhkan
perawatan lebih lanjut. Klien mengatakan diantar petugas untuk dirawat dan
tinggal di panti.
III. RIWAYAT KESEHATAN
A. Masalah kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini
Klien mengatakan klien pernah mengalami kecelakaan namun klien tidak
ingat persis pada tahun berapa kecelakaan tersebut terjadi. Kecelakaan
tersebut mengakibatkan klien mengalami patah tulang kaki kiri dan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 90
(lanjutan)
menjalani perawatan di rumah sakit. Klien mengatakan selain patah
tulang, klien tidak pernah memiliki penyakit parah lain yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit. Klien mengatakan penyakit yang
sebelumnya pernah diderita seperti demam, batuk, pilek, diare, dan mual
muntah, namun sangat jarang dan tidak pernah sampai dirawat di rumah
sakit. Saat ini, klien mengeluhkan nyeri di kaki sebelah kiri jika digunakan
untuk berjalan terlalu lama. Klien mengatakan nyeri terasa seperti
berdenyut di kaki kiri. Jika nyeri muncul, klien mengatakan nyeri masih
bisa ditahan, skala nyeri 2, dan dapat hilang jika kaki diistirahatkan.
Nyeri hanya terasa di kaki kiri bagian bawah, dekat area kaki yang dulu
pernah mengalami patah tulang, namun nyeri tidak menjalar. Jika nyeri
terasa saat berjalan, klien segera istirahat (duduk) dan melanjutkan
berjalan jika nyeri hilang atau berkurang. Klien mengatakan hal yang
dilakukan jika nyeri terasa hanya mengistirahatkan kaki dan mengurangi
aktivitas berjalan. Saat ini nyeri jarang dirasakan, namun jika nyeri muncul
klien mengatakan mengurangi aktivitas berjalan. Jika nyeri terasa saat
berjalan, klien segera istirahat (duduk) dan melanjutkan berjalan jika nyeri
hilang atau berkurang. Sebelumnya, klien sudah diajarkan untuk
melakukan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri, namun
masih membutuhkan bimbingan.
Data kesehatan klien dan hasil wawancara dengan perawat yang bertugas
di wisma tempat klien tinggal menunjukkan bahwa klien memiliki
masalah psikotik yaitu waham somatik sejak awal masuk ke panti. Klien
mengeluh sulit buang air besar, namun petugas panti mengatakan kklien
sebenarnya rutin buang air besar 1 kali sehari. Selain itu, hasil wawancara
dengan klien juga didapatkan data bahwa klien mengatakan buang air
besar 1 kali sehari dengan feses lunak namun klien selalu merasa sulit
buang air besar. Selain itu, selama tinggal di PSTW Budi Mulia 1
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 91
(lanjutan)
Cipayung, klien pernah 1 kali jatuh saat berjalan di lantai yang menanjak
dan kejadian jatuh terakhir yaitu pada bulan Mei tahun 2014.
B. Masalah kesehatan keluarga / keturunan
Klien mengatakan tidak mengetahui penyakit yang pernah diderita oleh
keluarga klien. Klien mengatakan klien tidak memiliki penyakit keturunan.
IV. KEBIASAAN SEHARI-HARI
A. Biologis
o Pola Makan
Pola makan klien tiga kali sehari sesuai makanan yang disediakan oleh
panti. Klien mengatakan tidak memilih-milih makanan, klien
menyukai sayuran, lauk, dan buah, dan tidak menghindari atau
membatasi makanan tertentu. Klien mengatakan nafsu makan sempat
membaik, naum kembali menurun saat ini sehingga klien sering tidak
menghabiskan makanan yang disajikan. Klien hanya menghabiskan
setengah hingga tiga per empat porsi dari makanan yang diberikan dan
membuang sisa makanan yang tidak habis dimakan. Klien mengatakan
cepat merasa kenyang sehingga makanan tidak dihabiskan. Hasil
observasi didapatkan data bahwa klien masih dapat mengunyah dan
menelan makanan dengan baik. Gigi depan atas dan bawah masih utuh
dan sebagian gigi geraham sudah tanggal akan tetapi kebersihan mulut
kurang.
Hasil observasi juga mendapatkan data terkait pola makan atau nutrisi
pada klien. Adapun data tersebut yaitu tidak ada kegiatan makan
bersama. Sebagian lansia makan di depan wisma dan duduk
berdampingan dengan WBS lain tanpa melakukan interaksi dan
sebagian besar WBS makan di dalam wisma karena keterbatasan
mobilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa suasana makan kurang
mendukung peningkatan selera makan lansia. Selain itu, jumlah care
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 92
(lanjutan)
giver dan perawat hanya ada tiga orang dan masing-masing perawat
bertanggung jawab terhadap 33 WBS di wisma cempaka sehingga
perawat atau petugas sulit mengawasi dan memastikan WBS
menghabiskan makanan yang diberikan.
o Pola Minum
Klien mengatakan minum 3 gelas besar setiap hari (+ 1200cc). Klien
mengatakan saat ini tidak khawatir untuk minum air lebih banyak
karrena sudah menggunakan diaper sehingga tidak terus menerus pergi
ke kamar mandi.
o Pola Tidur
klien mengatakan selalu dapat tidur nyenyak pada malam hari. Klien
tidak mengetahui persis jam berapa klien tertidur namun klien
mengatakan tidak lama setelah maghrib klien tertidur dan terkadang
bangun saat sudah terang tanpa terbangun pada malam hari. Klien
menghindari minum sebelum tidur agar tidak terbangun di tengah
malam untuk buang air kecil. Hasil observasi menunjukkan bahwa
klien tidur pada siang hari sekitar 1 hingga 1,5 jam terutama setelah
meminum obat. Klien mengatakan sering merasa mengantuk pada
siang hari terutama setelah minum obat.
o Pola Eliminasi (BAB / BAK)
Klien mengatakan BAK 4 sampai 6 kali sehari. Klien lebih
sering.BAK 3 sampai 4 kali di siang hari dan 1 sampai 2 kali sehari di
sore hari Klien jarang BAK pada malam hari atau pada tengah malam.
Selain itu, klien biasanya BAB satu kali sehari dengan feses yang
lunak, namum klien selalu merasa sulit buang air besar. Klien
mengatakan masih dapat merasakan jika ingin BAK atau BAB. Klien
juga masih dapat menahan BAK dan BAB, namun tidak dapat
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 93
(lanjutan)
menahan lama sehingga harus segera ke kamar mandi sebelum BAK
atau BAB sudah tidak tertahankan.
o Aktifitas Sehari-hari
Aktivitas klien setiap hari yaitu setiap pagi, klien bangun subuh dan
mengambil air wudhu lalu shalat Subuh terlebih dulu. Setelah itu,
sekitar pukul 06.00 klien mandi dengan dibantu perawat namun
terkadang klien mandi sendiri. Klien mengatakan selalu mandi
menggunakan sabun dan menyikat gigi. Klien juga mengatakan setiap
hari selalu mencuci rambut. Setelah itu, klien duduk di depan wisma
untuk menunggu waktu sarapan dan pukul 07.00 klien sarapan pagi
bersama dengan klien lain. Setelah sarapan, klien biasanya tetap
duduk-duduk di bangku depan wisma sampai agak siang lalu masuk ke
dalam wisma dan menuju tempat tidur jika tidak ada kegiatan.
Aktivitas lain yang dilakukan klien yaitu melakukan rentang
pergerakan sendi atau menggerakkan badan dengan gerakan yang
sebelumnya pernah diajarkan oleh perawat setiap pagi. Klien
mengatakan setiap selasa dan jumat ada senam pagi, namun klien
mengatakan tidak pernah ikut senam pagi karena tidak kuat berjalan
jauh dan tidak ada yang mendampingi klien. Akan tetapi, klien ingin
ikut senam pagi jika diajak oleh perawat dan dibantu jalan atau senam
dengan menggunakan kursi roda.
Aktivitas klien di wisma juga terlihat sangat kurang. Klien mengatakan
tidak pernah mencuci pakaian sendiri karena sudah tidak kuat dan
takut jatuh. Klien juga tidak mengikuti kegiatan kesenian dan
keterampilan di panti karena sulit berjalan, mudah lelah, dan tidak
memiliki keterampilan dalam bidang seni. Akan tetapi, klien selalu
mengikuti kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa di wisma. Klien
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 94
(lanjutan)
juga mengatakan tidak pernah mengikuti pengajian yang diadakan di
mushala panti karena jalan menuju mushola menanjak dan klien takut
jatuh jika tidak ada yang membantu klien ke mushola. Hal ini sesuai
dengan data observasi yang menunjukkan bahwa klien tidak pernah
terlibat dan mengikuti aktivitas tersebut. Saat ini, klien mengeluhkan
tubuh lemah ketika digunakan untuk berjalan. Klien mengatakan
terkadang sempoyongan dan terasa akan jatuh saat berjalan. Hasil
observasi juga menunjukkan bahwa klien berjalan dengan berpegangan
pada benda sekitar seperti dinding, tempat tidur, atau meja. Klien juga
tampak kesulitan dalam beberapa gerakan seperti duduk ke berdiri,
berdiri ke duduk, naik dan turun dari tempat tidur.
Klien memiliki alat bantu jalan yaitu walker , namun klien tidak
pernah menggunakan walker tersebut. Berdasarkan hasil wawancara
dengan petugas panti didapatkan data bahwa lansia mendapatkan alat
bantu jalan walker sekitar satu setengah tahun yang lalu. Alat bantu
jalan klien didapatkan dari PSTW. Sebelumnya klien pernah dilatih
menggunakan walker oleh mahasiswa yang melakukan praktik klinik
di PSTW ini, namun klien mengatakan walker berat dan menyulitkan
saat berjalan sehingga klien tidak lagi menggunakan walker .
Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat yang bertugas di panti,
klien pernah mengalami jatuh pada bulan Mei 2014 saat berjalan tanpa
menggunakan walker . Hal tersebut menyebabkan klien membatasi
aktivitas seperti aktivitas berjalan ke kamar mandi atau ke luar wisma.
Akan tetapi, klien tetap tidak menggunakan walker saat berjalan ke
luar wisma atau ke kamar mandi. Hasil observasi juga didapatkan
bahwa klien belum menggunakan walker dengan tepat, baik dari cara
melangkah, postur tubuh, maupun pengaturan walker itu sendiri.
Jumlah care giver atau perawat yang bertugas di wisma tempat klien
tinggal yang terbatas memungkinkan lansia kurang mendapatkan
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 95
(lanjutan)
pengawasan terhadap aktivitas mobilisasi. Hasil wawancara dengan
petugas panti didapatkan data bahwa care giver dan perawat sudah
mendapatkan pelatihan terkait penggunaan alat bantu jalan. Akan
tetapi, jumlah WBS yang membutuhkan pengawasan dan
pendampingan penggunaan alat bantu jalan jauh lebih banyak
dibandingkan dengan jumlah SDM yang tersedia sehingga pengawasan
dan pendampingan penggunaan alat bantu jalan tidak dapat dilakukan
dengan optimal.
o Rekreasi
panti mengadakan kegiatan rekreasi bagi WBS yang dilakukan dengan
pergi mengunjungi tempat wisata. Akan tetapi, klien mengatakan tidak
pernah mengikuti kegiatan rekreasi karena tubuh sudah tidak kuat atau
lemah untuk melakukan perjalanan jauh. Selain kegiatan rekreasi yang
diadakan oleh panti, klien tidak memiliki aktivitas rekreasi yang lain di
dalam wisma.
B. Psikologis
o Keadaan emosi
Klien tampak bersemangat ketika menceritakan masa lalu yang
menyenangkan, namun klien tampak sedih ketika menceritakan
kondisi klien saat ini yang tidak lagi tinggal dengan keluarga.
C. Sosial
o Dukungan keluarga
klien mengattakan masih memiliki keluarga di Jakarta, namun saat ini
klien sudah tidak pernah mengunjungi keluarga dan keluarga tersebut
juga tidak lagi mengunjungi klien di panti. Data yang didapatkan
menunjukkan bahwa klien memiliki anggota keluarga yang tinggal di
wilayah jakarta Utara dan terakhir mengunjungi keluarga pada tahun
2010.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 96
(lanjutan)
o Hubungan antar keluarga
Klien mengatakan sudah hilang kontak dengan keluarga klien karena
sudah tidak pernah mengunjungi keluarga lagi dan keluarga tidak
pernah mengunjungi klien di panti. Akan tetapi, klien mengatakan saat
suami klien masih hidup, hubungan klien dan suami klien baik dan
saling mendukung.
o Hubungan dengan orang lain
Klien mengatakan hubungannya dengan orang lain di tempat tinggal
sebelumnya yaitu di Jakarta Utara kurang baik karena klien
menganggap orang kota individualis. Selama di panti, klien
mengatakan jarang berinteraksi dengan klien atau WBS lain. Hal ini
dikarenakan klien merasa tidak memahami pembicaraan klien lain.
Klien mengatakan banyak klien lain yang jarang berinteraksi sehingga
klien segan untuk memulai interaksi atau pembicaraan. Klien juga
mengatakan klien lebih sering mengobrol dengan perawat atau
mahasiswa. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa klien tampak
tidak pernah melakukan interaksi dengan klien atau WBS lain
walaupun duduk bersebelahan. Selain itu, klien lebih banyak
melakukan aktivitas di tempat tidur walaupun sering keluar wisma
untuk duduk di bangku depan wisma. Kurangnya interaksi dengan
WBS lain menyebabkan lansia semakin tidak termotivasi untuk
melakukan aktivitas atau mobilisasi.
D. Spiritual / Kultural
o Pelaksanaan Ibadah
Terkait pelaksanaan ibadah, klien selalu berusaha menunaikan shalat 5
waktu akan tetapi klien mengatakan terkadang tidak shalat 5 waktu
karena berbagai alasan seperti bangun kesiangan, lupa, atau pusing dan
mengantuk. Klien mengatakan biasanya melakukan ibadah dalam
posisi duduk. Klien tidak pernah mengikuti pengajian di mushola
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 97
(lanjutan)
karena jalan menuju mushola menanjak sehingga klien kesulitan dan
takut jatuh jika tidak ada yang mendampingi
o Keyakinanan tentang kesehatan
Klien percaya bahwa sakit adalah ujian dari Allah SWT agar orang
senantiasa ingat kepada Allah SWT. Selain itu, klien mengatakan
kesehatan itu sangat penting dan harus dijaga.
V. PEMERIKSAAN FISIK
A. Tanda Vital
o Keadaan umum :
Klien tampak kurus serta gaya berjalan dan pergerakan lambat. Selain
itu, klien berjalan dengan berpegangan pada dinding atau benda di
sekitar walaupun klien memiliki alat bantu jalan walker.
o Kesadaran :
Kesadaran klien yaitu compos mentis. Klien masih mengingat nama
ketiga anaknya, nama suaminya, masih mengingat orang-orang
disekitarnya seperti perawat dan petugas panti yang sering
mengunjungi klien. Orientasi klien terhadap tempat juga masih baik.
Klien mengatakan tidak mengingat tanggal, tahun, dan bulan saat ini
karena jarang melihat tanggalan.
o Suhu : 36,3 0
C
o Nadi : 72 x / menit
o Tekanan darah : 130/70 mmHg
o Pernafasan : 22x / menit
o Tinggi Badan : 147 cm
o Berat Badan : 39 kg
o IMT (indeks massa tubuh) : 18,05
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 98
(lanjutan)
B. Pemeriksaan dan kebersihan perorangan
a. Kepala dan leher
Kepala : kepala bulat, simetris (normocephalic), tidak
terdapat lesi
Rambut : rambut tampak beruban, kulit kepala sedikit
berketombe dan lembab. Rambut klien tipis, tidak mudah dicabut,
tidak rapuh, serta kulit kepala dan rambut bersih . selain itu, rambut
lurus, tidak bercabang, terdistribusi secara merata pada kulit
kepala, dan tidak ada lesi pada kulit kepala.
Mata : keadaan dan penampilan umum struktur mata
yaitu alis mata kurang simetris, namun mata sejajar, keadaan
konjungtiva dan sklera yaitu konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik. Sekitar lensa agak putih. Kelopak mata sedikit menutup dan
kelopak mata kanan tidak sama dengan kelopak mata kiri. Mata
kanan klien mengalami penurunan atau penglihatan lebih buran
dibandingkan dengan mata kiri klien. Klien masih dapat melihat
dengan jelas wajah orang-orang yang berada dekat dengan klien,
akan tetapi klien tidak dapat meilhat jelas orang atau benda yang
letaknya jauh atau terlalu dekat. Klien tidak memakai kaca mata,
tidak ada luka atau irirtasi mata dan mata tampak bersih.
Hidung : simetris, bersih, tidak ada masa, tidak ada
sekret yang menyumbat hidung.
Mulut : bibir tampak sedikit kering, gigi seri dan taring
depan atas dan bawah masih lengkap, namun beberapa gigi
geraham atas dan bawah sudah tanggal. Klien mengatakan tidak
pernah sakit gigi dan gusi tidak berdarah saat menyikat gigi. Klien
juga mengatakan gigi masih dapat digunakan untuk menggigit dan
mengunyah. Tidak ada karies, plak, dan terdapat halitosis. Gigi dan
gusi serta rongga mulut tampak kurang bersih, terdapat sisa
makanan.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 99
(lanjutan)
Telinga : simetris atara telinga kanan dan kiri, tidak ada
serumen atau pengeluaran cairan, tidak ada nyeri tekan, klien
mengatakan masih dapat mendengar dengan baik,
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening,
tidak ada kesulitan atau gangguan menelan.
b. Dada
Keadaan umum : bentuk dada simetris
1). Kardiovaskuler
- Auskultasi: BJ I – II normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada,
bunyi jantung teratur
2). Pernafasan : klien mengatakan tidak sesak nafas
- Inspeksi : dada simetris, tidak ada retraksi dinding dada.
- Palpasi : Tactil Fremitus antara toraks posterior dan anterior sama.
Bagian anterior vibrasinya keras dan semakin rendah di bagian
inferior.
- Auskultasi : Suara paru vesikuler., wheezing (-), ronchi (-), stridor
(-), gargling (-)
c. Abdomen
- Inspeksi : Simetris, datar, tidak ada kemerahan, tidak ada bekas luka
atau jaringan parut, tidak ada tanda – tanda infeksi
- Auskultasi : Bising usus (+)
- Perkusi : suara timpani, nyeri ketuk pada ginjal tidak ada.
- Palpasi: abdomen teraba lemas dan tidak ada massa, nyeri tekan
abdomen tidak ada, tidak ada ascites,
d. Ekstremitas
- Inspeksi : kulit tidak pucat, warna kulit sama dengan warna tubuh,
deformitas pada tulang tibia di area 1/3 distal tibia sinistra karena
riwayat fraktur. Ekstremitaas bawah kiri klien lebih pendek dari
ekstremitas kanan. Rentang gerak ekstremitas atas dan bawah baik
kanan maupun kiri sudah mengalami penurunan. Edema (-), varises
(-).
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 100
(lanjutan)
- Palpasi : Turgor kulit tidak elastis, kembalinya lambat, capillary
refill time kurang dari 2 detik
- Perkusi : Reflek fisologis ++
- Kekuatan otot:
Tabel pemeriksaan kekuatan otot:
Ekstremitas
Otot
Ekstremitas kanan atas Ekstremitas kiri atas
Skor Interpretasi Skor Interpretasi
Otot
Deltoid
5 Pergerakan aktif melawan
gravitasi dan melawan
tahanan maksimal
5 Pergerakan aktif melawan
gravitasi dan melawan
tahanan maksimal
Otot Bisep
Brachii
5 Pergerakan aktif melawan
gravitasi dan melawan
tahanan maksimal
5 Pergerakan aktif melawan
gravitasi dan melawan
tahanan maksimal
Otot Trisep
Brachii
5 Pergerakan aktif melawan
gravitasi dan melawan
tahanan maksimal
5 Pergerakan aktif melawan
gravitasi dan melawan
tahanan maksimal
Otot
Interossei
5 Pergerakan aktif melawan
gravitasi dan melawan
tahanan maksimal
5 Pergerakan aktif melawan
gravitasi dan melawan
tahanan maksimal Ekstremitas
Otot
Ekstremitas kanan bawah Ekstremitas kiri bawah
Skor Interpretasi Skor Interpretasi
Otot
Hamstring
3 Pergerakan aktif melawan
gravitasi tanpa tahanan 3 Pergerakan aktif melawan
gravitasi tanpa tahanan
Otot
Quadrisep
4 Pergerakan melawan
gravitasi dan melawan
tahanan sedang (moderat)
3 Pergerakan aktif melawan
gravitasi tanpa tahanan
Otot
tibialis
anterior
4 Pergerakan melawan
gravitasi dan melawan
tahanan sedang (moderat)
1 Tidak ada gerakan sendi,
tetapi kontraksi otot dapat
dipalpasi
(sendi mengalami kontraktur)
Otot trisep
surae
4 Pergerakan melawan
gravitasi dan melawan
tahanan sedang (moderat)
1 Tidak ada gerakan sendi,
tetapi kontraksi otot dapat
dipalpasi
(sendi mengalami kontraktur)
5 5 5 5 5 5 5 5
3 4 4 4 3 3 1 1
Hal ini menandakan bahwa ada penurunan kekuatan otot pada
kaki kiri dan kanan.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 101
(lanjutan)
Tabel pemeriksaan rentang gerak sendi:
Bagian
Tubuh Jenis Sendi Gerakan Hasil pemeriksaan
Leher Sendi Putar Fleksi dan
ekstensi
Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 70-90
derajad, ekstensi 55 derajad)
Fleksi lateral
kanan dan kiri
Luas rentang gerak sendi kurang maksimal
(<35 derajad)
Rotasi lateral
kiri dan kanan
Luas rentang gerak sendi kurang maksimal
(<70 derajad)
Bahu Sendi Peluru Fleksi dan
ekstensi
Luas rentang gerak sendi kurang maksimal
(fleksi <180 derajad, ekstensi < 60 derajad)
Abduksi Luas rentang gerak sendi kurang maksimal
(<180 derajad)
Adduksi Luas rentang gerak sendi penuh (50 derajad)
Fleksi dan
ekstensi
horisontal
Luas rentang gerak sendi kurang maksimal
(fleksi <130 derajad, ekstensi < 45 derajad)
Rotasi internal
dan eksternal
bahu
Luas rentang gerak fleksi sendi penuh (90
derajad)
Siku Sendi Engsel Fleksi-ekstensi Luas rentang gerak sendi penuh , ekstensi
kurang maksimal (fleksi 150 derajad, ekstensi
<180 derajad)
Supinasi-
pronasi
Luas rentang gerak sendi penuh (90 derajad)
Pergelangan
tangan
Kondiloid Fleksi ekstensi Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 80-90
derajad, ekstensi 70 derajad)
Abduksi/fleksi
radial/deviasi
radial
Luas rentang gerak sendi penuh (20 derajad)
Adduksi/fleksi
ulnar/deviasi
ulnar
Luas rentang gerak sendi penuh (30-50
derajad)
Jari-jari
tangan
Sendi Engsel Fleksi ekstensi Luas rentang gerak fleksi sendi penuh (30
derajad), ekstensi kurang maksimal (<30
derajad)
Abduksi-
adduksi
Luas rentang gerak sendi penuh (70 derajad)
Oposisi Luas rentang gerak sendi penuh
Sirkumduksi Luas rentang gerak sendi penuh (70-90
derajad)
Fleksi-ekstensi
ibu jari
Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 50
derajad, ekstensi 70 derajad)
Abduksi-
adduksi ibu
jari
Luas rentang gerak sendi penuh (80 derajad)
Panggul Sendi Peluru
dan engsel
Fleksi ekstensi Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 110-
130 derajad, ekstensi 30 derajad)
Hiperekstensi Luas rentang gerak sendi penuh (30 derajad)
Abduksi
adduksi
Luas rentang gerak sendi penuh (abduksi 45
derajad, adduksi 20-30 derajad)
Rotasi internal Luas rentang gerak sendi penuh (40 derajad)
Rotasi
eksternal
Luas rentang gerak sendi penuh (45 derajad)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 102
(lanjutan)
Lutut Sendi Engsel Fleksi ekstensi Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 150
derajad, ekstensi 15 derajad)
Pergelangan
kaki
Dorso fleksi Luas rentang gerak sendi tidak maksimal
karena kontraktur (<30 derajad)
Plantar fleksi Luas rentang gerak sendi tidak maksimal
karena kontraktur (<20 derajad)
Inversi Luas rentang gerak tidak maksimal karena
kontraktur (<20 derajad)
Eversi Luas rentang gerak tidak maksimal karena
kontraktur (<10 derajad)
Jari-jari kaki Sendi Engsel Abduksi Luas rentang gerak tidak maksimal karena
kontraktur (<25 derajad)
Adduksi Luas rentang gerak sendi tidak maksimal
karena kontraktur (<20 derajad)
Fleksi ekstensi Luas rentang gerak sendi tidak maksimal
karena kontraktur (fleksi <80-90 derajad,
ekstensi <70 derajad)
Dari tabel di atas, diketahui bahwa gerakan rantang gerak sendi
yang mengalami keterbatasan yaitu :
Leher : fleksi lateral kanan dan kiri, rotasi lateral kanan dan
kiri
Bahu: fleksi dan ekstensi, abduksi, fleksi dan ekstensi
horisontal
Siku: ekstensi
Jari-jari tangan: ekstensi
Pergelangan kaki: dorso fleksi, plantar fleksi, inversi, eversi
Jari kaki: abduksi, adduksi, fleksi dan ekstensi
e. Keadaan lingkungan : Lantai wisma tidak licin, bersih, penerangan
cukup baik, tidak ada benda-benda yang menghalangi lansia saat
berjalan. Perabotan tertata dengan baik dan rapi. Selain itu, terdapat
jendela yang dapat dibuka. Kamar mandi bersih, lantai kamar mandi
kering dan tidak licin. Akan tetapi, kamar mandi masih menggunakan
kloset jongkok. Tepat tidur klien agak tinggi dan tidak terdapat
pengaman (side rail) pada tepat tidur.
f. Lain-lain
Klien tampak rapi dan bersih, kuku kaki dan tangan tampak pendek dan
bersih
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 103
(lanjutan)
V. Informasi Penunjang
o Diagnosa Medis : Tidak diketahui
o Laboratorium : Tidak diketahui
o Terapi Medis : THP 2x1/2, Risperidone 2x1/2
Pemeriksaan lain:
Geriatric Depression Scale: Skor total = 5, interpretasi = tidak
mengindikasikan depresi
Mini Mental Status Exam (MMSE): Skor total: 21, interpretasi =
mengalami kerusakan kognitif ringan
Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) : skor total 4, interpretasi: kualitas
tidur baik
The Mini Nutritional Assessment (MNA) : skor total= 16,5, interpretasi:
malnutrisi
False Morse Scale (FMS): Skor total: 65, interpretasi = risiko jatuh tinggi
Berg Balance Test (BBT): skor total= 24, interpretasi= Ibu N memiliki
risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti
tongkat, kruk, dan walker
Barthel Index Scoring menunjukkan skor total 60 yang
menginterpretasikan klien memiliki ketergantungan sedang
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 104
Lampiran 2: Analisa Data
ANALISA DATA
Data Masalah Keperawatan
DS:
- Klien mengeluhkan nyeri skala 2 di kaki
sebelah kiri jika digunakan untuk berjalan
terlalu lama, tidak menjalar, durasi dan saat ini
nyeri jarang dirasakan
- Jika nyeri muncul klien mengatakan
mengurangi aktivitas berjalan.
- Klien mengatakan jarang mengikuti kegiatan
panti, seperti senam pagi, pengajian, dan
panggung gembira karena tidak kuat berjalan
jauh, takut jatuh jika jalan menanjak dan tidak
ada yang mendampingi.
- Klien mengeluhkan tubuh lemah ketika
digunakan untuk berjalan.
- Klien mengatakan terkadang sempoyongan
dan terasa akan jatuh saat berjalan.
- Klien mengatakan walker berat dan
menyulitkan saat berjalan sehingga klien tidak
lagi menggunakan walker.
- Klien mengatakan melakukan rentang
pergerakan sendi setiap pagi atau
menggerakkan badan dengan gerakan yang
sebelumnya pernah diajarkan oleh perawat
DO:
- Klien berusia 73 tahun dan sudah mengalami
penurunan kekuatan otot dan keseimbangan
atau pengendalian gerakan akibat proses
penuaan
- Aktivitas klien di wisma terlihat sangat kurang
- Klien tampak berjalan dengan berpegangan
pada benda sekitar seperti dinding, tempat
tidur, atau meja.
- Klien juga tampak kesulitan dalam beberapa
gerakan seperti duduk ke berdiri, berdiri ke
duduk, naik dan turun dari tempat tidur.
- Klien memiliki alat bantu jalan yaitu walker,
namun klien tidak pernah menggunakan
walker tersebut
- Terdapat deformitas pada tulang tibia di area
1/3 distal tibia karena riwayat fraktur.
- Rentang gerak sendi sudah mengalami
Hambatan mobilitas fisik
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 105
penurunan atau mengalami keterbatasan.
- Kekuatan otot menunjukkan bahwa klien telah
mengalami penurunan kekuatan otot pada
kedua ekstremitas bawah.
- Klien mendapatkan terapi atau obat-obatan
antipsikotik yaitu THP dan Risperidone
dengan efek samping yang dapat
mempengaruhi mobilitas klien seperti pusing,
kelemahan otot, penglihatan kabur, dan
mengantuk.
- Jumlah care giver atau perawat yang bertugas
di wisma tempat klien tinggal yang terbatas
memungkinkan lansia kurang mendapatkan
pengawasan terhadap aktivitas mobilisasi
- Hasil pemeriksaan:
- False Morse Scale (FMS): Skor total: 65,
interpretasi = risiko jatuh tinggi
- Berg Balance Test (BBT): skor total= 24,
interpretasi= Ibu N memiliki risiko jatuh
sedang dan perlu menggunakan alat bantu
jalan seperti tongkat, kruk, dan walker
- Mini Mental Status Exam (MMSE) : skor
total 21 yang menunjukkan bahwa klien
mengalami kerusakan kognitif ringan
- Barthel Index Scoring menunjukkan skor
total 60 yang menginterpretasikan klien
memiliki ketergantungan sedang
DS:
- Klien mengatakan tidak memilih-milih
makanan, klien menyukai sayuran, lauk, dan
buah, dan tidak menghindari atau membatasi
makanan tertentu
- Klien mengatakan nafsu makan sempat
membaik, namun kembali menurun saat ini
sehingga klien sering tidak menghabiskan
makanan yang disajikan
- Klien mengatakan cepat merasa kenyang
sehingga makanan tidak dihabiskan
DO:
- Klien tampak kururs
- Klien masih dapat mengunyah dan menelan
makanan dengan baik
- Gigi depan atas dan bawah masih utuh dan
sebagian gigi geraham sudah tanggal akan
tetapi kebersihan mulut kurang
- Pola makan klien tiga kali sehari sesuai
makanan yang disediakan oleh panti
- Klien hanya menghabiskan setengah hingga
Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan tubuh
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 106
tiga per empat porsi dari makanan yang
diberikan dan membuang sisa makanan yang
tidak habis dimakan
- Tidak ada kegiatan makan bersama
- Sebagian lansia makan di depan wisma dan
duduk berdampingan dengan WBS lain
tanpa melakukan interaksi dan sebagian
besar WBS makan di dalam wisma karena
keterbatasan mobilisasi
- Jumlah care giver dan perawat hanya ada
tiga orang dan masing-masing perawat
bertanggung jawab terhadap 33 WBS di
wisma cempaka sehingga perawat atau
petugas sulit mengawasi dan memastikan
WBS menghabiskan makanan yang
diberikan
- Tinggi Badan: 147 cm
- Berat Badan: 39 kg
- IMT (indeks massa tubuh) : 18,05
- The Mini Nutritional Assessment (MNA) :
skor total= 16,5 , interpretasi: malnutrisi
DS:
- Klien mengatakan jarang berinteraksi
dengan klien atau WBS lain dikarenakan
klien merasa tidak memahami pembicaraan
klien lain.
- Klien mengatakan banyak klien lain yang
jarang berinteraksi sehingga klien segan
untuk memulai interaksi atau pembicaraan
- Klien juga mengatakan klien lebih sering
mengobrol dengan perawat atau mahasiswa
DO:
- Klien tampak tidak pernah melakukan
interaksi dengan klien atau WBS lain
walaupun duduk bersebelahan
- Klien lebih banyak melakukan aktivitas di
tempat tidur walaupun sering keluar wisma
untuk duduk di bangku depan wisma.
Hambatan interaksi sosial
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 107
Lampiran 3: Rencana Asuhan Keperawatan Individu
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN INDIVIDU
Diagnosa Keperawatan Tujuan
Rencana Tindakan Rasional Umum Khusus
Hambatan mobilitas fisik Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 5 x 45
menit klien
menunjukkan
peningkatan
mobilitas
Kriteria evaluasi:
Klien akan:
- Memperlihatkan
penggunaan alat bantu
secara benar
- Meminta bantuan untuk
aktivitas mobilisasi, jika
diperlukan
- Melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari
secara mandiri dengan
alat bantu (walker)
- Menyangga berat badan
- Rentang gerak sendi
meningkat
- Melakukan latihan
rentang gerak sendi
secara mandiri
- Menunjukkan
peningkatan
keseimbangan saat
berjalan
o Kaji tanda-tanda vital setiap hari untuk
menentukan status perkembangan klien.
Lakukan pula pengkajian GCS (Glasgow
Coma Scale), kekuatan otot, dll
o Tingkatkan mobilitas dan tentukan jenis ROM
yang tepatuntuk klien (pasif, aktif asistif,
aktif), frekuensi ditentukanoleh kondisiklien.
o Lakukan latihan secara perlahan dan sanggah
ekstremitas atas dan bawah sendi saat
melakukan ROM.
o Lakukan ROM setiap hari satu sampai dua
kali. Masukkan ke dalam aktivitas sehari-hari.
o Perhatikan posisi tubuh, hindari duduk lama
atau berbaring dalam posisi yang sama.
o Status kesehatan klien
penting untuk menentukan
tindakan keperawatan
selanjutnya.
o ROM dapat meningkatkan
massadan kekuatan otot,
meningkatkan kerja jantung
dan fungsi pernapasan,
mobilitas sendi dan sirkulasi.
o Lakukan latihan secara
perlahan untuk
memungkinkan waktu otot
untuk bersantai, dan sanggah
ekstremitas atas dan bawah
sendi untuk mencegah
ketegangan pada sendi dan
jaringan.
o Efektivitas ROM terlihat jika
latihan dilakukan secara rutin
dan bertahap.
o Untuk mencegah timbulnya
komplikasi akibat posisi
tubuh yang salah atau tirah
baring yang lama dan untuk
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 108
o Ajarkan tindakan mobilisasi yang lebih
progresif, jika kondisi klien memungkinkan:
- Motivasi klien untuk meningkatkan
aktivitas di luar kamar.Biarkan klien untuk
menjuntai kaki ke sisi tempat tidur selama
beberapa menit sebelum berdiri.
- Ajarkan klien menggunakan alat bantu
walker dengan cara yang tepat
o Lakukan supervisi terhadap usaha mobilisasi
klien, bantu jika diperlukan
o Libatkan klien dalam aktivitas olehraga yang
memfasilitasi pergerakan sendi dan kekuatan
otot sesuai program yang diadakan di panti
o Tindakan Kolaborasi:
- Sediakan informasi mengenai pentingnya
klien melakukan mobilisasi kepada orang
terdekat klien (penjaga panti atau tenaga
sosial) dipanti, agar mereka berpartisipasi
dalam melakukan tindakan mobilisasi pada
klien.
meningkatkan sirkulasi
o Tirah baring yang terlalu
lama dapat menyebabkan
volume darah menurun serta
penurunan mendadak pada
tekanan darah
(ortostatikhipotensi) sebagai
pengembalian darah ke
sirkulasi perifer. Dengan
melakukan ambulasi secara
bertahap dapat mengurangi
kelelahan dan meningkatkan
daya tahan tubuh.
o Klien mendapatkan
pengawasan sehingga dapat
menurunkan risiko jatuh,
mengevaluasi kemampuan
mobilisasi klien
o Meningkatan aktivitas dan
mobilisasi klien
o Orang terdekat klien harus
memiliki kemampuan dalam
melakukan tindakan untuk
meningkatkan mobilisasi
klien. Mobilisasi pada lansia
penting untuk meningkatkan
sirkulasi serta mencegah
terjadinya atrofi dan penyakit
lainnya.
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 109
Diagnosa Tujuan Intervensi
Rasional Khusus Umum
Ketidakseimbangan
nutrisi : kurang dari
kebutuhan tubuh
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 5 x 45
menitintake
nutrisi yang
adekuat
terpenuhi
Kriteria evaluasi:
BB klien ideal
Mengungkapkan tekad
untuk mematuhi diet
Mempertahankan BB
dalam batas normal
Melaporkan tingkat
energi yang adekuat
Melaporkan peningkatan
nafsu makan dan intake
makanan
1. Evaluasi kemampuan untuk mengunyah,
merasakan dan menelan
2. Kaji pengetahuan klien tentang kebutuhan
nutrisi terkait penuaan, penggunaan obat-
obatan, penyakit, dan aktivitas.
3. Jelaskan pentingnya konsumsi karbohidrat,
lemak, protein, vitamin, mineral, dan cairan
yang adekuat secara sederhana dan mudah
dipahami.
4. Jelaskan penurunan sensitivitas terhadap rasa
manis dan asin
5. Anjurkan klien untuk istirahat sebelum makan
1. Lesi mulut, tenggorok, dan
esophagus dapat
menyebabkan disfagia,
penurunan kemampuan klien
untuk mengolah makanan
dan mengurangi keinginan
untuk makan
2. Mengevaluasi pengetahuan
klien tentang kebutuhan
nutrisi terkait penuaan,
penggunaan obat-obatan,
penyakit, dan aktivitas untuk
menentukan intervensi
selanjutnya
3. Pengetahuan penting untuk
mengubah perilaku intake
nutrisi klien yang kurang
adekuat
4. Penjelasan tentang efek
proses penuaan terhadap
penurunan sensitivitas rasa
penting dilakukan untuk
menghindari kesalahan
persepsi terhadap makanan
yang disediakan oleh panti
5. Terlalu lelah setelah
aktivitas dapat menurunkan
nafsu atau selera makan
klien
(lanjutan)
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 110
6. Berikan makanan sedikit tapi sering.Tingkatkan
nafsu makan klien (makanan kesukaan klien,
kontrol nyeri, suasana makan yang nyaman)
7. Timbang berat badan sesuai kebutuhan.
Evaluasi berat badan dalam hal adanya berat
badan yang tidak sesuai. Gunakan serangkaian
pengukuran berat badan dan antropometrik
8. Berikan perawatan mulut
9. Pantau obat-obatan terhadap efek nutrisi
10. Pantau intake nutrisi klien
6. Memfasilitasi klien tetap
mendapatkan intake nutrisi
yang adekuat dan
meningkatkan selera dan
nafsu makan klien
7. Indikator kebutuhan nutrisi/
pemasukan yang adekuat
8. Mengurangi
ketidaknyamanan yang
berhubungan dengan mual/
muntah, lesi oral,
pengeringan mukosa dan
halitosis
9. Profilaktik dan obat-obatan
terapeutik mungkin
mempunyai efek samping
nutrisi, missal AZT
(pengubah rasa, mual/
muntah), bactrim (anoreksia,
ketidakseimbangan glukosa,
glositis, pentamidin
(perubahan rasa dan aroma,
mual/ muntah,
ketidakseimbangan glukosa)
10. Mengidentifikasi
pemenuhan atau intake
nutrisi yang adekuat
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 111
11. Berikan informasi tentang pentingnya intake
nutrisi yang adekuat bagi klien dan yakinkan
klien bahwa makanan yang disediakan oleh
panti bersih dan tidak diolah secara
sembarangan.
Kolaborasi:
12. Konsultasikan kebutuhan pemberian suplemen
atau vitamin bagi klien dan berikan obat-obatan
sesuai petunjuk
13. Sediakan informasi mengenai pentingnya
intake nutrisi adekuat kepada orang terdekat
klien (penjaga panti atau tenaga sosial) dipanti,
agar mereka berpartisipasi dalam meningkatkan
intake nutrisi adekuat klien.
11. Meningkatkan motivasi
klien untuk meningkatkan
intake nutrisi yang adekuat,
memperbaiki persepsi yang
buruk terhadap makanan
yang disediakan oleh panti
12. Mengurangi insiden muntah,
meningkatkan fungsi gaster.
Kekurangan vitamin dapat
terjadi akibat penurunan
pemasukan makanan dan
atau kegagalan mengunyah
dan absorbsi dalam
gastrointestinal
13. Orang terdekat klien harus
memiliki pengetahuan dan
kemampuan dalam
melakukan tindakan untuk
meningkatkan status nutrisi
klien
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 112
Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan
Rasional Umum Khusus
Hambatan interaksi sosial Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama 5 x 45
menit klien
menunjukkan
peningkatan
interaksi sosial
Kriteria evaluasi:
Klien akan:
- Mengungkapkan
penyebab atau faktor
yang menyebabkan klien
membatasi interaksi
- Mengidentifikasi
perasaan yang membuat
klien mengurangi
interaksi sosial
- Memberikan
reinforcement positif
terhadap pencapaian
- Meningkatkan interaksi
sosial dengan klien atau
WBS lain atau dengan
petugas panti dan perawat
o Kaji pola interaksi dalam keluarga, tingkat
keparahan, dan kemampuan interaksi klien
o Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan
dan persepsi dari masalah klien
o Kaji kemampuan koping dan mekanisme
pertahanan klien
o Libatkan dalam permainan peran tentang cara
berinteraksi dengan orang lain dengan
mengidentifikasi situasi atau perilaku orang
yang akan diajak berinteraksi
o Diskusikan tentang konsep diri negatif dan
cara untuk berpikir positif
o Bimbing klien untuk melakukan interaksi
sosial dengan klien lain
o Interaksi sosial dipelajari
secara mendasar dalam
keluarga. Ketika pola yang
tidak tepat dan faktor
penyebab teridentifikasi,
tindakan untuk perubahan
dapat ditentukan dengan
tepat.
o Membantu mengidentifikasi
dan mengklarifikasi alasan
klien mengalami kesulitan
dalam interaksi dengan orang
lain.
o Kemampuan koping dan
mekanisme pertahanan klien
digunakan untuk melindungi
klien dari perasaan kesepian
dan menarik diri.
o Melatih kebiasaan baru
memungkinkan individu
merasa nyaman dengan
situasi yang diciuptakan
o Digunakan untuk
menciptakan interaksi sosial
yang positif
o Memfasilitasi klien
melakukan interaksi sosial
secra langsung
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 113
o Motivasi klien untuk meningkatkan interaksi
sosial dengan klien lain
o Libatkan klien dalam aktivitas di panti
o Meningkatkan motivasi klien
dan meningkatkan interaksi
sosial klien di wisma
o Meningkatkan interaksi klien
dengan orang lain selama
aktivitas berlangsung
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 114
Lampiran 4: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen
Mini Mental Status Exam (MMSE)
MINI- MENTAL STATE EXAM (MMSE)
Nama pasien : Nama pemeriksa: Hari, tanggal:
Petunjuk : Tulislah skor untuk setiap pertanyaan/instruksi yang diberikan kepada pasien.
Skor
maksimal Skor pasien Instruksi
5
5
3
4
Orientasi waktu:
“Tahun berapa sekarang?”
“Bulan apa sekarang?”
“Tanggal berapa sekarang?”
“Hari apa sekarang?”
“Musim apa sekarang?”
Orientasi tempat:
“Kita ada di negara mana sekarang?”
“Kita ada di provinsi apa?”
“Kita sekarang ada di kota mana?”
“Ada di panti mana sekarang?”
“Ada di wisma apa?”
3 3 Registrasi (mendaftar):
Pemeriksa menyebutkan tiga benda dengan jelas dan pelan.
Kemudian minta pasien mengulang ketiga benda tersebut,
segera setelah pemeriksa selesai mengatakannya. Berikan 1
poin untuk setiap jawaban yang benar. Kemudian ulangi lagi
sampai pasien mampu menyebutkan ketiga benda tersebut
dengan tepat (jika memungkinkan). Hitung dan catat berapa
kali pasien melakukan pengulangan.
5 3 Perhatian dan kemampuan berhitung:
Seri 7. Pemeriksa meminta pasien untuk menghitung
mundur angka 100 dengan pengurangan 7 (93, 86, 79, 72,
65, ….)
Alternatif: “Meminta pasien mengeja satu kata ke belakang”
Misal: SEPATU (U-T-A-P-E-S)
3 2 Kemampuan mengingat kembali:
“Sebelumnya saya menyebutkan 3 nama benda. Bisakah
Anda menyebutkannya kembali?”
2
1
3
1
2
1
3
0
Bahasa:
Tunjukkan 2 benda sederhana kepada pasien, misalnya jam
tangan, pensil, kemudian minta pasien menyebutkan nama
benda-benda yang Anda tunjuk.
“Ulangi frase kata: “Jika tidak, dan, atau tetapi”
Ikuti 3 perintah berurutan:
“Ambil secarik kertas dengan tangan kanan Anda, lipatlah di
bagian tengahnya, dan letakkan di lantai”
(Pemeriksa memberi pasien secarik kertas kosong).
“Tolong baca dan lakukan apa yang tertulis di kertas
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 115
1
0
tersebut: (Perintah tertulis: “Tutup mata Anda”).
“Buatlah dan tulislah sebuah kalimat.” (Kalimat tersebut
harus mempunyai subyek dan predikat).
1 0
“Tolong salinlah gambar di bawah ini.” (Pemeriksa
memberi pasien kertas kosong dan minta pasien untuk
menggambar symbol di bawah ini. Ke-10 sudut harus
digambar dan kedua bangun tersebut harus
berpotongan/irisan).
30 21 TOTAL: 21 Interpretasi: Kerusakan kognitif ringan
(lanjutan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 116
Lampiran 5: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen
Berg Balance Test (BBT) sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan
BERG BALANCE TEST
1. Duduk ke berdiri
Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai sokongan
( ) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan
( √ ) 3 mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan
( ) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali mencoba
( ) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri
( ) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri
2. Berdiri tanpa bantuan
Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan
( ) 4 mampu berdiri selama dua menit
( ) 3 mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan
( √ ) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
( ) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30 detik tanpa
bantuan
( ) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai
Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit
( √ ) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit
( ) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan
( ) 2 mampu duduk selama 30 detik
( ) 1 mampu duduk selama 10 detik
( ) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik
4. Berdiri ke duduk
Instruksi: silahkan duduk
( ) 4 duduk dengan aman dengan penggunaan minimal tangan
( √ ) 3 duduk menggunakan bantuan tangan
( ) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun
( ) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri ke duduk
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk
5. Berpindah
Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang
memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga
tangan
( ) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan
( ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan
( ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan
( √ ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu
( ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi
6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup
Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik
( ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman
( ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik
( √ ) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan
aman
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 117
(lanjutan)
( ) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh
7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat
Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan
( ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit
( ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik
( √ ) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi
mampu berdiri selama 15 detik
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama
15 detik
8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri
Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu
Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh)
( √ ) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)
( ) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)
( ) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)
( ) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan
( ) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan
9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri
Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda
( ) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman
( ) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan
( ) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat menjaga
keseimbangan
( √ ) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika mencoba
( ) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah hilangnya
keseimbangan atau terjatuh
10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri
Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke arah kanan
( ) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi
( ) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi
( √ ) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga keseimbangan
( ) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau terjatuh
11. Berputar 360 derajat
Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan arah yang
berlawanan
( ) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau kurang
( ) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat detik atau kurang
( √ ) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat
( ) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar
12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri tanpa
bantuan
Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan. Lanjutkan
sampai setiap kaki menyentuh pijakan selama 4 kali.
( ) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 118
(lanjutan)
( ) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik
( ) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan
( ) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal
( √ ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu melakukan
13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya
Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa tidak bisa,
cobalah melangkah sejauh yang Anda bisa
( ) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama 30 detik
( ) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik
( ) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik
( ) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan selama 15 detik
( √ ) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri
14. Berdiri dengan satu kaki
Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan
( ) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik
( ) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik
( ) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik
( ) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3 detik tetapi
dapat berdiri mandiri
( √ ) 0 tidak mampu mencoba
Skor Total: 21
Interpretasi: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan
seperti tongkat, kruk, dan walker.
Rentang nilai BBT : 0 – 20 : klien memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat
bantu jalan berupa kursi roda.
21 – 40: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu
jalan seperti tongkat, kruk, dan walker.
41 – 56: klien memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 119
Lampiran 6: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen
Berg Balance Test (BBT) setelah dilakukan Intervensi Keperawatan
BERG BALANCE TEST
1. Duduk ke berdiri
Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai sokongan
( ) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan
( √ ) 3 mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan
( ) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali mencoba
( ) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri
( ) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri
2. Berdiri tanpa bantuan
Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan
( ) 4 mampu berdiri selama dua menit
( √ ) 3mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
( ) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30 detik tanpa
bantuan
( ) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan
3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai
Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit
( √ ) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit
( ) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan
( ) 2 mampu duduk selama 30 detik
( ) 1 mampu duduk selama 10 detik
( ) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik
4. Berdiri ke duduk
Instruksi: silahkan duduk
( ) 4 duduk dengan aman dengan penggunaan minimal tangan
( √ ) 3 duduk menggunakan bantuan tangan
( ) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun
( ) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri ke duduk
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk
5. Berpindah
Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang
memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga
tangan
( ) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan
( √ ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan
( ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan
( ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu
( ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi
6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup
Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik
( ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman
( ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan
( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik
( √ ) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan
aman
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 120
(lanjutan)
( ) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh
7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat
Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan
( ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit
( ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan
( ) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik
( √ ) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi
mampu berdiri selama 15 detik
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama
15 detik
8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri
Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu
Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh)
( √ ) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)
( ) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)
( ) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)
( ) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan
( ) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan
9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri
Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda
( ) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman
( ) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan
( ) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat menjaga
keseimbangan
( √ ) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika mencoba
( ) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah hilangnya
keseimbangan atau terjatuh
10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri
Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke arah kanan
( ) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi
( ) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi
( √ ) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga keseimbangan
( ) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau terjatuh
11. Berputar 360 derajat
Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan arah yang
berlawanan
( ) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau kurang
( ) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat detik atau kurang
( √ ) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat
( ) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal
( ) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar
12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri tanpa
bantuan
Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan. Lanjutkan
sampai setiap kaki menyentuh pijakan selama 4 kali.
( ) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 121
(lanjutan)
( ) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik
( ) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan
( ) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal
( √ ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu melakukan
13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya
Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa tidak bisa,
cobalah melangkah sejauh yang Anda bisa
( ) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama 30 detik
( ) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik
( ) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik
( ) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan selama 15 detik
( √ ) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri
14. Berdiri dengan satu kaki
Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan
( ) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik
( ) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik
( ) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik
( ) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3 detik tetapi
dapat berdiri mandiri
( √ ) 0 tidak mampu mencoba
Skor Total: 27
Interpretasi: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan
seperti tongkat, kruk, dan walker.
Rentang nilai BBT : 0 – 20 : klien memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat
bantu jalan berupa kursi roda.
21 – 40: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu
jalan seperti tongkat, kruk, dan walker.
41 – 56: klien memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu.
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 122
Lampiran 7: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen
False Morse Scale (FMS) sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan
FALSE MORSE SCALE (FMS)
Penilaian dalam skala ini terdiri dari 6 variabel atau bagian yaitu riwayat jatuh, diagnosis
penyait, bantuan berjalan, terapi intravena, gaya berjalan dan status mental.
No Item Skala Skor
1 Riwayat jatuh Tidak : 0
Ya : 25
25
2 Diagnosis sekunder Tidak : 0
Ya : 15
0
3 Bantuan Berjalan
Bedrest/bantuan perawat
Kruk/tongkat/walker
Furnitur
0
15
30
30
4 Terapi intravena/heparin lock Tidak : 0
Ya : 20
0
5 Gaya berjalan
Normal/bedrest/immobile
Lemah
Dengan bantuan
0
10
20
10
6 Status mental
Orientasi terhadap kemampuan
diri sendiri
Melebih-lebihkan/melupakan
keterbatasan
0
15
0
TOTAL 65
Interpretasi:
Risiko Tinggi
Jatuh
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 123
Lampiran 8: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen
False Morse Scale (FMS) setelah dilakukan Intervensi Keperawatan
FALSE MORSE SCALE (FMS)
Penilaian dalam skala ini terdiri dari 6 variabel atau bagian yaitu riwayat jatuh, diagnosis
penyait, bantuan berjalan, terapi intravena, gaya berjalan dan status mental.
No Item Skala Skor
1 Riwayat jatuh Tidak : 0
Ya : 25
25
2 Diagnosis sekunder Tidak : 0
Ya : 15
0
3 Bantuan Berjalan
Bedrest/bantuan perawat
Kruk/tongkat/walker
Furnitur
0
15
30
15
4 Terapi intravena/heparin lock Tidak : 0
Ya : 20
0
5 Gaya berjalan
Normal/bedrest/immobile
Lemah
Dengan bantuan
0
10
20
10
6 Status mental
Orientasi terhadap kemampuan
diri sendiri
Melebih-lebihkan/melupakan
keterbatasan
0
15
0
TOTAL 50
Interpretasi:
memiliki
kemungkinan
untuk jatuh
(resiko rendah)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 124
Lampiran 9: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen
Barthel Index Scoring Form sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan
BARTHEL INDEX SCORING FORM
No. Kegiatan Nilai 1. Makan
0 = tidak mampu
5 = membutuhkan bantuan untuk memotong, atau menentukan diet
10 = mandiri
5
2. Mandi
0 = dibantu
5 = mandiri
5
3. Berhias
0 = dibantu
5 = mandiri
5
4. Berpakaian
0 = dibantu
5 = membutuhkan bantuan sebagian
10 = mandiri (dapat mengancing baju, menarik resleting, dll)
5
5. Buang Air Besar
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)
5 = sesekali butuh bantuan
10 = kontinen
5
6. Buang Air Kecil
0 = inkontinensia (atau membutuhkan kateter)
5 = sesekali butuh bantuan
10 = kontinen
5
7. Penggunaan toilet
0 = dibantu
5 = membutuhkan bantuan sebagian
10 = mandiri
5
8. Berpindah (tempat tidur ke kursi, dll)
0 = tidak mampu, tidak dapat duduk dengan baik
5 = sebagian besar dibantu (butuh 1 atau 2 penolong), dapat duduk.
10 = sebagian kecil dibantu
15 = mandiri
10
9. Berjalan di permukaan datar
0 = tirah baring
5 = mandiri menggunakan kursi roda, > 50 m
10 = berjalan dengan bantuan 1 orang, > 50 m
15 = mandiri (walaupun dengan menggunakan alat bantu jalan, > 50 m)
10
10. Menaiki tangga
0 = tidak mampu
5 = membutuhkan bantuan
10 = mandiri
5
Total Nilai ( 0 - 100) 60
(Interpretasi:
dependen sedang)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 125
Lampiran 10: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen
Barthel Index Scoring Form setelah dilakukan Intervensi Keperawatan
BARTHEL INDEX SCORING FORM
No. Kegiatan Nilai 1. Makan
0 = tidak mampu
5 = membutuhkan bantuan untuk memotong, atau menentukan diet
10 = mandiri
5
2. Mandi
0 = dibantu
5 = mandiri
5
3. Berhias
0 = dibantu
5 = mandiri
5
4. Berpakaian
0 = dibantu
5 = membutuhkan bantuan sebagian
10 = mandiri (dapat mengancing baju, menarik resleting, dll)
5
5. Buang Air Besar
0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)
5 = sesekali butuh bantuan
10 = kontinen
5
6. Buang Air Kecil
0 = inkontinensia (atau membutuhkan kateter)
5 = sesekali butuh bantuan
10 = kontinen
5
7. Penggunaan toilet
0 = dibantu
5 = membutuhkan bantuan sebagian
10 = mandiri
5
8. Berpindah (tempat tidur ke kursi, dll)
0 = tidak mampu, tidak dapat duduk dengan baik
5 = sebagian besar dibantu (butuh 1 atau 2 penolong), dapat duduk.
10 = sebagian kecil dibantu
15 = mandiri
15
9. Berjalan di permukaan datar
0 = tirah baring
5 = mandiri menggunakan kursi roda, > 50 m
10 = berjalan dengan bantuan 1 orang, > 50 m
15 = mandiri (walaupun dengan menggunakan alat bantu jalan, > 50 m)
15
10. Menaiki tangga
0 = tidak mampu
5 = membutuhkan bantuan
10 = mandiri
5
Total Nilai ( 0 - 100) 70
(Interpretasi:
dependen ringan)
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
Page 126
Lampiran 11: Daftar Riwayat Hidup
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
I. Biodata
Nama : Destiana Puspasari
Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Oktober 1991
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Golongan Darah : B
Alamat : Jl. Margonda Raya Gg. H. Atan No. 34 RT 04 RW 12
Kelurahan Kemirimuka Kecamatan Beji Depok 16423
Pekutan RT 01 RW 002, Kecamatan Bayan, Kabupaten
Purworejo 54152
Telepon/HP : 085228616667
Email : [email protected]
[email protected]
II. Riwayat Pendidikan
1. TK Mardisiwi : 1996-1997
2. SD N 02 Pekutan : 1997-2003
3. SMP Negeri 3 Purworejo : 2003-2006
4. SMA Negeri 1 Purworejo : 2006-2009
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia : 2009-sekarang
Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014