Top Banner
UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU S (73 TAHUN) DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK DI WISMA CEMPAKA PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI MULIA 1 CIPAYUNG KARYA ILMIAH AKHIR NERS DESTIANA PUSPASARI 0906564076 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN DEPOK JULI 2014 Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014
126

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Nov 16, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN

MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU S (73 TAHUN)

DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK

DI WISMA CEMPAKA PANTI SOSIAL TRESNA

WERDHA BUDI MULIA 1 CIPAYUNG

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

DESTIANA PUSPASARI

0906564076

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN

DEPOK

JULI 2014

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 2: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

ii

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN KESEHATAN

MASYARAKAT PERKOTAAN PADA IBU S (73 TAHUN)

DENGAN MASALAH HAMBATAN MOBILITAS FISIK

DI WISMA CEMPAKA PANTI SOSIAL TRESNA

WERDHA BUDI MULIA 1 CIPAYUNG

KARYA ILMIAH AKHIR NERS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

DESTIANA PUSPASARI

0906564076

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

PROGRAM PROFESI KEPERAWATAN

DEPOK

JULI 2014

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 3: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

iii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Karya Ilmiah Akhir Ners ini adalah hasil karya saya sendiri,

dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk

telah saya nyatakan dengan benar.

Nama : Destiana Puspasari

NPM : 0906564076

Tanda Tangan :

Tanggal : 10 Juli 2014

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 4: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

iv

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Destiana Puspasari

NPM : 0906564076

Program Studi : Profesi Keperawatan

Judul KIA-Ners : Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan

Masyarakat Perkotaan pada Ibu S (73 Tahun) dengan

Masalah Hambatan Mobilitas Fisik di Wisma Cempaka,

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima

sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Ners

pada Program Studi Profesi Keperawatan, Fakultas Ilmu Keperawatan,

Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Pembimbing : Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati, S.Kep., M.N.( )

Penguji : Ns. Ibnu Abbas, S. Kep. ( )

Ditetapkan di : Depok

Tanggal : 10 Juli 2014

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 5: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners dengan judul

“Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan

pada Ibu S (73 Tahun) dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik di Wisma

Cempaka Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung” ini tepat pada

waktunya. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan, dukungan, dan bimbingan

dari berbagai pihak, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan karya ilmiah

akhir ini. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih, penghormatan, dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Ns. Dwi Nurviyandari Kusuma Wati, S.Kep., M.N. selaku

pembimbing dalam pembuatan karya ilmiah akhir. Terima kasih banyak

atas bimbingan, arahan, dukungan, dan motivasi dari Ibu selama

menyelesaikan karya ilmiah akhir;

2. Bapak Ns. Ibnu Abas, S. Kep selaku dosen penguji yang telah memberikan

saran, masukan, dan arahan untuk menyempurnakan tugas akhir ini;

3. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia (FIK UI);

4. Ibu Fajar Tri Waluyanti, S.Kp., M. Kep, selaku koordinator mata ajar

Karya Ilmiah Akhir Ners dan selaku Ketua Program Studi Profesi

Keperawatan;

5. Ibu Happy Hayati, S.Kp., M.Kep, selaku pembimbing akademik;

6. Bapak dan Ibu dosen serta seluruh staf Fakultas Ilmu Keperawatan

Universitas Indonesia atas bantuan dan bimbingan selama masa

perkuliahan dan penyusunan karya ilmiah akhir ini;

7. Pihak PSTW Budi Mulia 1 Cipayung atas kesediaan dan dukungan yang

diberikan dalam penelitian ini;

8. Teristimewa kepada Bapak Pudji Leksono dan Ibu Mumun Munawaroh

sebagai ayah dan ibu tersayang, serta Febryan Destyanto, Kartika Retno

Sari, Santika Indah Oktavia, Mayang Sari Dewi, dan Dwi Nardi Irfan,

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 6: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

vi

sebagai kakak dan adik tercinta yang telah memberikan dukungan secara

penuh, baik dukungan moral, nasehat, doa, dan materi selama penyusunan

karya ilmiah akhir ini;

9. Sahabat-sahabat sebagai keluarga penulis yang kedua, Yayun Patma Sari,

Ratih Tien Seratri, Nina Asterina, Anggi Pratiwi, Isnaeni Nur Zakiyah,

Verra Widhi Astuti, Desty Hersiana M., Utami Rachmawati, teman-teman

satu bimbingan ,dan teman-teman FIK UI angkatan 2009, terima kasih atas

dukungan dan doa yang diberikan, yang saling menyemangati satu sama

lain;

10. Serta pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu tanpa

mengurangi rasa terima kasih dan hormat penulis.

Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari bahwa penyusunan karya

ilmiah akhir masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis

mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk karya ilmiah

akhir. Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala

kebaikan semua pihak yang telah membantu dan semoga penelitian ini dapat

bermanfaat tidak hanya bagi penulis, namun juga bagi masyarakat.

Depok, 10 Juli 2014

Penulis

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 7: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

vii

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan di

bawah ini:

Nama : Destiana Puspasari

NPM : 0906564076

Program Studi : Profesi Keperawatan

Fakultas : Ilmu Keperawatan

Jenis Karya : Karya Ilmiah Akhir Ners

demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty-

Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Analisis Praktik Keperawatan Klinik Kesehatan Masyarakat Perkotaan

pada Ibu S (73 Tahun) dengan Masalah Hambatan Mobilitas Fisik di Wisma

Cempaka Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung

beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan hak bebas royalti

nonekslusif ini Universitas Indonesia bebas menyimpan, mengalihmedia/

formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan

mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap dicantumkan nama saya sebagai

penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Depok

Pada tanggal : 10 Juli 2014 2012

Yang Menyatakan

( Destiana Puspasari )

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 8: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

x

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL .................................................................................................. i

HALAMAN JUDUL ..................................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .............................................................. iii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ................................................................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ..................................... vii

ABSTRAK ..................................................................................................................... viii

ABSTRACT .................................................................................................................... ix

DAFTAR ISI .................................................................................................................. x

DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... xii

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................. xiii

1. PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1

1.2 Perumusan Masalah ............................................................................................. 7

1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................. 7

1.4 Manfaat Penulisan ............................................................................................... 8

2. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................................... 10

2.1 Teori Penuaan ...................................................................................................... 10

2.2 Mobilitas Fisik Lansia ......................................................................................... 12

2.2.1 Perubahan terkait mobilisasi yang terjadi selama penuaan..................... 12

2.2.2 Faktor–faktor yang mempengaruhi masalah mobilitas lansia ................ 15

2.3 Hambatan Mobilitas Fisik .................................................................................. 19

2.3.1 Pengertian hambatan mobilitas fisik ........................................................ 19

2.3.2 Etiologi dan faktor presipitasi hambatan mobilitas fisik ......................... 20

2.4 Penggunaan Alat Bantu Jalan (Walker) ............................................................... 20

2.5 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan ................................ 26

2.6 Pelayanan Kesehatan pada Lanjut Usia ............................................................... 27

3. ANALISIS KASUS .................................................................................................. 34

3.1 Pengkajian ........................................................................................................... 34

3.1.1 Riwayat kesehatan .................................................................................. 35

3.1.2 Kebiasaan sehari-hari .............................................................................. 36

3.1.3 Pemeriksaan fisik .................................................................................... 40

3.2 Analisa Data ........................................................................................................ 44

3.3 Rencana Asuhan Keperawatan ............................................................................ 47

3.4 Implementasi ....................................................................................................... 49

3.5 Evaluasi ............................................................................................................... 51

4. ANALISIS SITUASI ................................................................................................ 57

4.1 Analisis Profil Panti Sosial Tresna Werdha ....................................................... 57

4.2 Analisis Diagnosa Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik pada Ibu S ............. 61

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 9: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

xi

4.3 Analisis Penggunaan Alat Bantu Jalan Walker pada Ibu S dengan

Hambatan Mobilitas Fisik .................................................................................. 64

4.4 Alternatif pemecahan yang dapat dilakukan ....................................................... 67

5. PENUTUP .............................................................................................................. 69

5.1 Kesimpulan ...................................................................................................... 69

5.2 Saran ................................................................................................................ 71

DAFTAR REFERENSI ............................................................................................... 74

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 10: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Standard Walker ...................................................................................... 32

Gambar 2.2 4-Wheel Rollator Walker ......................................................................... 33

Gambar 2.3 3-Wheel Rollator Walker ......................................................................... 55

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 11: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1: Pengkajian Individu

Lampiran 2: Analisa Data

Lampiran 3: Rencana Asuhan Keperawatan Individu

Lampiran 4: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Mini Mental Status Exam

(MMSE)

Lampiran 5: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Berg Balance Test (BBT)

sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan

Lampiran 6: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Berg Balance Test (BBT)

setelah dilakukan Intervensi Keperawatan

Lampiran 7: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen False Morse Scale (FMS)

sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan

Lampiran 8: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen False Morse Scale (FMS)

setelah dilakukan Intervensi Keperawatan

Lampiran 9: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Barthel Index Scoring

Form sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan

Lampiran 10: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen Barthel Index Scoring

Form setelah dilakukan Intervensi Keperawatan

Lampiran 11: Daftar Riwayat Hidup

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 12: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

1 Universitas Indonesia

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masa lanjut usia (lansia) merupakan tahap paling akhir dari tumbuh kembang

manusia. World Health Association (WHO) (2012) mendefinisikan masa lansia

merupakan masa yang dimulai pada usia 65 tahun. Menurut Roach (2001), lansia

adalah seorang individu yang berusia 65 tahun atau lebih dimana pada usia 65

tahun tersebut, seorang individu dikatakan telah memulai periode ‘old age’. Sama

halnya dengan O’neill (2002), individu lansia adalah seseorang yang berusia di

atas 65 tahun dengan klasifikasi sebagai berikut: 65 sampai 75 tahun termasuk

periode ‘young old’, 75 sampai 85 tahun termasuk periode ‘middle old’ dan di atas

85 tahun termasuk periode ‘oldest old’. Di Indonesia, Undang-Undang Nomor 13

Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia menetapkan bahwa lanjut usia adalah

seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun (Departemen Sosial RI, 2006).

Populasi lansia mengalami pertumbuhan yang pesat baik di Indonesia maupun di

dunia.

Jumlah penduduk lansia di seluruh dunia mengalami peningkatan yang sangat

cepat. Di dunia, antara tahun 2000 hingga tahun 2050, proporsi penduduk berusia

lebih dari 60 tahun meningkat dua kali lipat, yaitu dari 605 juta atau 11% total

populasi menjadi 2 miliar atau 22% total populasi. Di Indonesia, pada tahun 2000

jumlah lansia sekitar 5,3 juta atau 7,4% dari total polulasi. Adapun pada tahun

2010 jumlah lansia meningkat yaitu sekitar 24 juta atau 9,77% dari total populasi.

Pada tahun 2050 diperkirakan populasi lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun

2013. Badan kesehatan dunia WHO menyebutkan bahwa penduduk lansia di

Indonesia pada tahun 2020 mendatang diperkirakan mencapai 28,8 juta orang atau

11,34% dari total populasi. Jumlah tersebut menjadikan jumlah penduduk lansia

di Indonesia menjadi terbesar di dunia (Kementrian Kesehatan Republik

Indonesia, 2013). Peningkatan jumlah penduduk lansia menyebabkan perubahan

pada berbagai aspek.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 13: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

2

Universitas Indonesia

Salah satu perubahan yang disebabkan oleh meningkatkanya jumlah lansia yaitu

peningkatan angka ketergantungan lansia. Rasio ketergantungan penduduk tua

(old dependency ratio) yaitu angka yang menunjukkan tingkat ketergantungan

penduduk tua terhadap penduduk usia produktif. Hasil dari data Susenas

menunjukkan bahwa angka rasio ketergantungan penduduk lansia pada tahun

2012 adalah sebesar 11,90. Angka tersebut menunjukkan bahwa setiap 100 orang

penduduk usia produktif harus menanggung sekitar 12 orang penduduk lansia

(Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Data tersebut menunjukkan

bahwa ketergantungan lansia perlu menjadi perhatian. Semakin tinggi tingkat

ketergantungan lansia menunjukkan semakin rendah kemandirian dan

produktivitas lansia. Oleh karena itu, berbagai upaya perlu dilakukan untuk

meningkatkan kemandirian sehingga lansia dapat menjadi lebih produktif. Akan

tetapi, salah satu hal yang perlu menjadi perhatian yaitu bahwa kemandirian lansia

salah satunya dipengaruhi oleh suatu proses yang normal dialami oleh lansia,

yaitu proses penuaan.

Masa lansia sebagai tahap akhir tumbuh kembang manusia menjadi masa dimana

manusia mengalami proses menua. Menua adalah suatu proses menghilangnya

kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri serta

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya. Proses ini merupakan kondisi

fisiologis yang berlangsung terus-menerus sepanjang hidup seseorang. Penuaan

bersifat kompleks dan multidimensional yang berbeda pada setiap individu.

Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor herediter,

lingkungan, dan faktor-faktor lainya. Selanjutnya, faktor-faktor tersebut dapat

mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual individu.

Salah satu aspek biologis yang mengalami perubahan akibat proses penuaan yaitu

perubahan pada sistem tubuh, terutama sistem muskuloskeletal dan neurologis

yang mempengaruhi aktivitas dan mobilitas fisik lansia. Perubahan pada aktivitas

dan mobilitas fisik tersebut dapat mempengaruhi kemandirian dan produktivitas

lansia. Peningkatan usia menyebabkan terjadinya perubahan baik anatomis

maupun fisiologis pada semua sistem tubuh, salah satunya perubahan pada sistem

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 14: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

3

Universitas Indonesia

muskuloskeletal dan neurologis. Proses penuaan mengakibatkan lansia mengalami

penurunan kekuatan otot lansia (Stanley & Beare, 2007). Selain itu, proses

penuaan juga mengakibatkan hilangnya massa total tulang dan perubahan postur

tubuh pada lansia. Sistem neurologis pada lansia juga mengalami penurunan yang

mengakibatkan perubahan refleks tendon (Stanley & Beare, 2007). Perubahan dan

penurunan fungsi ketiga sistem tersebut merupakan perubahan fisiologis yang

normal terjadi pada lansia. Akan tetapi, perubahan tersebut memungkinkan lansia

mengalami keterbatasan dalam aktivitas dan mobilitas mengingat ketiga sistem

tersebut memiliki peran penting terhadap kemampuan mobilitas fisik lansia. Hal

ini diperkuat dengan beberapa peneliti yang melakukan penelitian terkait kondisi

tersebut.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perubahan fisiologis pada sistem tubuh

akibat proses penuaan mempengaruhi kemampuan mobilitas fisik lansia.

Penelitian yang dilakukan oleh Oliveira, Santana, dan Bachion (2002) pada 60

lansia di Portugal menunjukkan bahwa 100% lansia yang diteliti mengalami

hambatan mobilitas fisik. Adapun hambatan mobilitas fisik tersebut berhubungan

dengan kelemahan sistem muskuloskeletal (76,7%), penurunan kekuatan dan

resistensi otot (61,7%), kelemahan neuromuskular (55%), dan kerusakan persepsi

atau kognitif (53,3%). Selain itu, Rantakokko, Manty, dan Rantanen (2013)

menyebutkan faktor predisposisi penurunan mobilitas pada lansia meliputi nyeri

dan obesitas, penurunan kekuatan otot, kerusakan sensori, dan hambatan mobilitas

karena kondisi medis tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa lansia rentan

mengalami hambatan mobilitas fisik karena berbagai perubahan yang terjadi

selama proses penuaan.

Mobilitas diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk melakukan perpindahan

secara mandiri dari satu tempat ke tempat lain. Dalam hal ini, mobilitas menjadi

salah satu komponen utama yang dapat digunakan untuk mempertahankan

kemandirian lansia (Rantakokko, Manty, & Rantanen, 2013). Penurunan mobilitas

meningkat seiring proses penuaan dan sering menjadi tanda awal dari penurunan

fungsional yang lebih jauh. Hambatan mobilitas fisik menghambat kemampuan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 15: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

4

Universitas Indonesia

untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari yang dapat menyebabkan meningkatnya

ketergantungan dan peningkatan risiko kecacatan pada lansia. Selain itu,

hambatan mobilitas fisik juga dapat meningkatkan risiko jatuh pada lansia

(Barker, Nitz, Choy, & Haines, 2012). Hirvensalo, Rantanen, dan Heikkinen

(2000) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa hambatan mobilitas fisik

merupakan faktor predisposisi kematian dan peningkatan ketergantungan lansia.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penurunan atau hambatan mobilitas fisik

dapat menimbulkan dampak buruk jika terjadi berkelanjutan dan tidak diatasi

dengan tepat.

Lansia di perkotaan memiliki risiko mengalami hambatan mobilitas fisik. Hal ini

dikarenakan rendahnya aktivitas dan produktivitas lansia di perkotaan. Profil

Penduduk Lanjut Usia tahun 2009 yang menunjukkan bahwa hanya sebesar

7,08% penduduk lansia yang melakukan kegiatan olahraga selama seminggu

terakhir. Adapun penduduk lansia yang melakukan kegiatan olahraga di daerah

perkotaan sebesar 12,9% (Komisi Nasional Lanjut Usia, 2010). Selain itu, gaya

hidup masyarakat perkotaan yang kurang sehat seperti diet dan kurangnya

aktivitas menyebabkan lansia di perkotaan memiliki keluhan kesehatan dan angka

kesakitan yang lebih tinggi.

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung merupakan salah satu

pelayanan untuk lansia yang terdapat di daerah perkotaan. Lansia yang tinggal di

Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung tidak hanya berasal dari

daerah perkotaaan namun juga lansia yang tidak berasal dari daerah perkotaan

namun sudah lama tinggal di daerah perkotaan. Hasil observasi selama 7 minggu

praktik di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung didapatkan data

terkait hambatan mobilitas fisik, khususnya pada lansia di Wisma Cempaka.

Sebagian besar lansia di wisma Cempaka memiliki tingkat ketergantungan partial

care. Hal ini menyebabkan lansia tidak dapat memenuhi kebutuhannya secara

mandiri. WBS di Wisma Cempaka sebagian besar dapat melakukan aktivitas

sehari-hari seperti mandi, makan, berjalan atau mobilisasi, dan eliminasi secara

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 16: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

5

Universitas Indonesia

mandiri, namun membutuhkan pengawasan dan pengarahan dari perawat ataupun

care giver yang ada di PSTW Budi Mulya 01 Cipayung. Selain karena kondisi

fisik, tingkat ketergantungan lansia juga disebabkan oleh kerusakan kognitif yang

dialami. Hal ini ditunjukkan dengan hasil dari MMSE, yaitu sebanyak 53,1%

WBS mengalami gangguan kognitif ringan hingga sedang.

Hasil pengkajian kelompok juga didapatkan data terkait penggunaan alat bantu

jalan dan risiko jatuh. Data menunjukkan sebanyak 77,4% lansia tidak

menggunakan alat bantu jalan, sedangkan 22,6% lansia memiliki gangguan

berjalan yang menggunakan alat bantu berjalan berupa kursi roda, tongkat, dan

walker. WBS yang dapat berjalan tanpa alat bantu saat berjalan terlihat sangat

perlahan dan hati-hati serta berpegangan pada barang-barang yang ada di

sekitarnya saat berjalan. Kondisi tersebut menyebabkan lansia memiliki risiko

jatuh yang tinggi. Hasil pengkajian menggunakan angket didapatkan data

sebanyak 38,7% lansia menunjukkan BBT risiko tinggi jatuh. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa lansia di wisma Cempaka telah mengalami penurunan

keseimbangan tubuh. Adapun berdasarkan pengkajian FMS kelompok, 48,4%

lansia memiliki risiko tinggi jatuh. Kondisi tersebut menunjukkan sebagian besar

lansia membutuhkan pengawasan dan bantuan dalam aktivitas sehari-hari.

Pengawasan dan bantuan dalam aktivitas sehari-hari lansia di Wisma Cempaka

dilakukan oleh perawat dan care giver. Adapun hasil wawancara didapatkan data

bahwa terdapat 1 orang perawat dan 2 care giver yang bertanggung jawab

terhadap 33 orang WBS yang ada di wisma Cempaka. Hal ini menunjukkan

bahwa pengawasan dan bantuan tidak dapat dilakukan secara maksimal karena

keterbatasan SDM. Oleh karena itu, tindakan memandirikan WBS yang

mengalami hambatan mobilitas fisik perlu dilakukan, salah satunya yaitu

penggunaan alat bantu jalan. Selain untuk memandirikan WBS, penggunaan alat

bantu jalan juga bertujuan untuk menurunkan risiko jatuh pada lansia. Salah satu

lansia di Wisma Cempaka yang mengalami masalah hambatan mobilitas fisik dan

membutuhkan intervensi keperawatan yang tepat yaitu Ibu S.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 17: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

6

Universitas Indonesia

Ibu S (73 tahun), salah satu lansia di wisma Cempaka, mengeluhkan tubuh terasa

lemah dan kaku. Selain itu, tulang tibialits klien tepatnya di area 1/3 distal tibia

sinistra klien mengalami deformitas dan area deformitas terkadang terasa nyeri

saat digunakan untuk berjalan. Selain itu, terdapat penurunan kekuatan otot

ekstremitas bawah kiri dan kanan berdasarkan hasil pengkajian kekuatan otot.

Klien juga mengalami penurunan rentang gerak sendi terutama sendi di

ekstremitas bawah. Tampak gaya berjalan klien lambat, sedikit menyeret kaki,

dan tidak seimbang. Klien juga tampak kesulitan dalam beberapa gerakan seperti

duduk ke berdiri, berdiri ke duduk, naik dan turun dari tempat tidur. Hasil

pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT) didapatkan data

Ibu S memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti

tongkat, kruk, dan walker. Akan tetapi, hasil pengkajian menunjukkan bahwa

motivasi Ibu S untuk menggunakan alat bantu jalan jenis walker masih kurang.

Selain itu, cara Ibu S menggunakan walker masih belum tepat. Oleh karena itu,

intervensi yang dapat diterapkan untuk mengatasi masalah hambatan mobilitas

fisik Ibu S yaitu terkait penggunaan alat bantu jalan walker.

Walker merupakan sebuah alat untuk berjalan dengan kerangka yang terbuat dari

bahan logam. Alat ini dilengkapi dengan dua gagang yang berfungsi sebagai

tempat untuk berpegangan serta dilengkapi dengan empat kaki sebagai

penumpunya. Walker dapat memperbaiki keseimbangan dengan meningkatkan

area dasar penunjang berat badan dan meningkatkan keseimbangan. Hernandez

(2012) menyebutkan bahwa risiko jatuh dapat diturunkan jika jenis walker yang

digunakan sesuai dan lansia diajarkan cara menggunakan walker dengan tepat.

Hal ini menunjukkan bahwa latihan menggunakan alat bantu jalan penting untuk

diterapkan pada Ibu S.

Penggunaan alat bantu jalan memfasilitasi peningkatan mobilitas fisik Ibu S.

Dengan terjadinya peningkatan mobilitas fisik, maka kemampuan dalam

melakukan aktivitas dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dapat meningkat

sehingga kemandirian dapat ditingkatkan. Adanya manfaat penggunaan alat bantu

jalan walker untuk meningkatkan mobilitas fisik dan fasilitas yang disediakan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 18: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

7

Universitas Indonesia

oleh PSTW membuat penulis merasa penting untuk menerapkan latihan

penggunaan alat bantu jalan walker pada asuhan keperawatan Ibu S dengan

menggunakan teori dan konsep keperawatan gerontik sebagai sumber dan acuan

untuk mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik Ibu S.

1.2 Perumusan Masalah

Lansia mengalami proses penuaan yang berakibat pada menurunnya fungsi sistem

tubuh. Beberapa sistem tubuh lansia yang mengalami penurunan yaitu sistem

muskuloskeletal dan sistem neurologis. Perubahan pada kedua sistem tersebut

mengakibatkan lansia mengalami penurunan dalam aktivitas mobilisasi atau

mengalami hambatan mobilitas fisik. Adapun hambatan mobilitas fisik yang

dialami oleh lansia tidak hanya disebabkan oleh faktor penuaan, namun juga

karena berbagai faktor lain. Hal ini menunjukkan bahwa hambatan mobilitas fisik

pada lansia penting untuk diperhatikan. Masalah hambatan mobilitas fisik pada

lansia dan dampak negatif hambatan mobilitas fisik akan meningkat pada jika

masalah ini tidak ditangani khususnya pada lansia yang tinggal di perkotaan.

Masalah kesehatan pada lansia di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung sebagian besar

karena gaya hidup lansia saat ini yang jarang melakukan aktivitas sehingga

muncul masalah hambatan mobilitas fisik. Hal ini menyebabkan tingkat

ketergantungan lansia meningkat sehingga kemandirian lansia dalam melakukan

aktivitas sehari-hari menurun. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan

memandirikan lansia penting untuk dilakukan, salah satunya yaitu memfasilitasi

penggunakan alat bantu jalan secara tepat untuk meningkatkan kemandirian

lansia. Oleh karena itu, dalam laporan ini penulis ingin menganalisis intervensi

yang dapat dilakukan dalam asuhan keperawatan pada lansia dengan masalah

hambatan mobilitas fisik di Wisma Cempaka Panti Sosial Tresna Werdha Budi

Mulia 1 Cipayung.

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis asuhan keperawatan

kesehatan masyarakat perkotaan pada Ibu S (73 tahun) dengan masalah hambatan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 19: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

8

Universitas Indonesia

mobilitas fisik selama 7 minggu praktik di Wisma Cempaka Panti Sosial Tresna

Werdha Budi Mulia 1 Cipayung.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini, yaitu:

1.3.2.1 Menggambarkan profil pelayanan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha

Budi Mulia 1 Cipayung

1.3.2.2 Menggambarkan hasil pengkajian pada Ibu S dengan masalah hambatan

mobilitas fisik di Wisma Cempaka Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia

1 Cipayung

1.3.2.3 Menggambarkan perencanaan asuhan keperawatan (analisis data, diagnosa

keperawatan, rencana asuhan keperawatan) yang diberikan pada lansia

dengan masalah hambatan mobilitas fisik

1.3.2.4 Menggambarkan implementasi keperawatan pada Ibu S dengan masalah

hambatan mobilitas fisik

1.3.2.5 Menggambarkan analisis dampak intervensi penggunaan alat bantu jalan

walker pada Ibu S dengan masalah hambatan mobilitas fisik

1.4 Manfaat Penulisan

Penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk mengatasi

masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia, antara lain:

1.4.1 Bagi pelayanan keperawatan dan kesehatan lansia

Hasil penulisan laporan ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang salah

satu intervensi yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah hambatan

mobilitas fisik pada lansia, yaitu dengan memfasilitasi dan melatih kemampuan

lansia untuk menggunakan alat bantu jalan dengan tepat. Selain itu, laporan ini

juga diharapkan dapat memberikan masukan bagi bidang keperawatan dan

pelayanan kesehatan terkait pentingnya kebutuhan alat bantu jalan lansia dan

tentang pentingnya meningkatkan keterampilan perawat atau care giver terkait

prosedur penggunaan alat bantu jalan pada lansia. Selain itu, laporan ini juga

diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pelayanan keperawatan dan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 20: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

9

Universitas Indonesia

kesehatan lansia terkait cara atau intervensi lain yang dapat dilakukan untuk

mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia.

1.4.2 Bagi keilmuan

Hasil penulisan laporan ini ini diharapkan dapat menjadi data atau masukan bagi

institusi pendidikan khususnya bidang keperawatan gerontik terkait mobilitas

fisik, masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia, dan intervensi yang

dilakukan, terutama intervensi penggunaan alat bantu jalan. Selain itu, laporan ini

juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi institusi pendidikan terkait

efektivitas penggunaan alat bantu jalan walker pada lansia untuk mengatasi

masalah hambatan mobilitas fisik. Laporan ini juga diharapkan dapat menjadi

bahan pertimbangan bagi institusi pendidikan terkait penambahan bobot materi

atau pembahasan terkait hambatan mobilitas fisik dan penggunaan alat bantu

jalan pada lansia dalam materi perkuliahan.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 21: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

10 Universitas Indonesia

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Penuaan

Penuaan merupakan suatu proses yang normal dialami oleh manusia namun

berbeda pada setiap individu. Perbedaan tersebut dikarenakan penuaan bersifat

kompleks dan multidimensional serta dipengaruhi oleh berbagai macam faktor.

Penuaan menyebabkan individu mengalami perubahan yang kemudian dapat

mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan individu, baik aspek biologis,

psikologis, sosial, maupun aspek spiritual individu. Dalam hal ini, perubahan

akibat proses penuaan salah satunya berdampak pada aktivitas dan mobilitas fisik

individu. Perubahan tersebut kemudian dapat mempengaruhi kemandirian dan

produktivitas lansia.

Proses penuaan yang berkaitan dengan perubahan pada sistem biologis dapat

dijelaskan dengan pendekatan melalui teori-teori yang sudah ada. Teori-teori yang

ada menjelaskan proses yang terjadi selama penuaan yang selanjutnya dapat

digunakan untuk menganalisa implikasi yang dapat ditimbulkan akibat proses

penuaan. Beberapa teori yang dapat menjelaskan penuaan dan berkaitan dengan

kemampuan mobilitas fisik dan aktivitas yaitu teori pemakaian dan pengrusakan

atau teori wear and tear,teori cross linkage, teori aktivitas, dan teori kontinuitas.

Salah satu teori biologis yang dapat menjelaskan tentang penuaan yaitu teori

pemakaian dan pengrusakan atau teori wear and tear. Teori ini dikenalkan oleh

Weisman (1891). Teori pemakaian dan pengrusakan ini terjadi karena kelebihan

usaha dan stress yang menyebabkan sel-sel tubuh yang terus menerus dipakai

menjadi lelah. Hal ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan jumlah kolagen

dalam tubuh lansia, tidak ada perlindungan terhadap radiasi, penyakit, dan

kekurangan gizi (Maryam, Ekasari, Rosidawati, Jubaedi, & Batubara, 2008).

Miller (2004) dalam bukunya mengatakan bahwa manusia diibaratkan seperti

mesin yang memerlukan perawatan, sedangkan penuaan merupakan hasil dari

penggunaan. Dalam teori ini, juga dinyatakan bahwa sel-sel tetap ada sepanjang

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 22: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

11

Universitas Indonesia

hidup walaupun sel-sel tersebut digunakan secara terus-menerus. Dalam teori ini,

Hayflick menyatakan bahwa kematian merupakan akibat dari tidak digunakannya

sel-sel karena dianggap tidak diperlukan lagi dan tidak dapat diperbaharui secara

mandiri. Teori tersebut dapat menjelaskan bahwa sistem tubuh seperti sistem

muskuloskeletal dan neurologis yang digunakan terus menerus akan mengalami

penurunan fungsi. Selain itu, dari teori tersebut juga dapat dilihat bahwa jika

sistem muskuloskeletal dan neurologis tidak digunakan, seperti digunakan untuk

beraktivitas, maka sistem akan mengalami kematian atau kerusakan serta tidak

dapat diperbaharui kembali.

Teori selanjutnya yang berhubungan dengan aktivitas dan mobilisasi lansia yaitu

teori cross linkage. Teori ini diperkenalkan oleh Bjorksten pada tahun 1942. Teori

cross linkage mengatakan bahwa struktur molekul yang biasanya dipisahkan,

terikat bersama melalui reaksi kimia. Menurut teori ini, agen cross linkage

menempel pada untai tunggal dari molekul DNA dan bersifat

merusak. Mekanisme pertahanan biasanya dengan memperbaiki kerusakan, tetapi

seiring bertambahnya usia, mekanisme pertahanan tersebut lemah, yang

memungkinkan proses cross-linkage dilanjutkan sampai kerusakan tidak dapat

diperbaiki. Kerusakan permanen pada sel yang membentuk kolagen akhirnya

menyebabkan kegagalan jaringan dan organ karena sistem protein menjadi tidak

elastis dan tidak efektif (Miller, 2004). Kondisi tersebut juga dapat terjadi pada

sistem muskuloskeletal dan neurologis lansia. Kerusakan atau penurunan pada

sistem tersebut akan terus menerus terjadi sementara mekanisme pemulihan

berkurang. Kondisi tersebut dapat berimplikasi pada penurunan kemampuan

lansia melakukan aktivitas dan mobilisasi.

Teori selanjutnya yang berhubungan dengan aktivitas dan mobilisasi lansia yaitu

teori aktivitas. Teori ini diperkenalkan oleh Havigurst dan Albretch pada tahun

1953. Teori ini menyebutkan bahwa penuaan yang sukses ialah dengan cara tetap

aktif. Banyak penelitian yang dilakukan untuk menguji teori ini dan didapatkan

hubungan yang positif antara aktivitas serta kesejahteraan fisik dan mental orang

tersebut. Pengembangan penelitian teori ini juga menunjukkan bahwa aktivitas

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 23: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

12

Universitas Indonesia

mental dan fisik mempengaruhi pemeliharaan kesehatan sepanjang kehidupan

manusia (Miller, 2004).

Teori kontinuitas juga berhubungan dengan kemampuan dan motivasi klien

melakukan aktivitas dan mobilisasi. Teori ini diperkenalkan oleh Neugarten pada

tahun 1968. Teori ini menjelaskan pengaruh kepribadian dengan kebutuhan lansia

untuk tetap aktif ataupun menarik diri untuk mencapai kebahagiaan saat usia

lanjut. Seseorang yang memiliki kehidupan sosial yang aktif akan terus menikmati

gaya hidupnya sampai usia lanjut. Sebaliknya, orang yang lebih menikmati

kesendiriaan dan memiliki jumlah aktivitas sosial yang terbatas kemungkinan

akan meneruskan gaya hidupnya sepeti itu hingga lansia. Dengan kata lain, teori

ini mengemukakan bahwa kepribadiaan dan gaya hidup yang telah dinikmati

sebelumnya akan dilanjutkan hingga seseorang berusia lanjut. Namun beberapa

hal dapat juga menyebabkan seseorang berubah, masalah-masalah seperti

ekonomi, sosial, dan pengalaman hidup lainya memungkinkan seseorang untuk

berubah (Miller, 2004).

2.2 Mobilitas Fisik Lansia

2.2.1 Perubahan terkait mobilisasi yang terjadi selama penuaan

Proses penuaan menyebabkan terjadinya perubahan anatomis dan fisiologis sistem

tubuh yang mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh lansia. Perubahan fungsi

fisiologis tubuh tersebut mempengaruhi pemenuhan kebutuhan fisiologis,

termasuk kebutuhan mobilisasi. Mobilitas adalah kemampuan untuk melakukan

aktivitas dan perpindahan tanpa keterbatasan yang meliputi berjalan, berlari,

duduk, berdiri, mengangkat, mendorong, dan melakukan aktivitas sehari-hari

(DeLaune & Ladner, 2011). Mobilitas merupakan salah satu aspek terpenting dari

fungsi fisiologis karena menggambarkan kemandirian lansia (Miller, 2004).

Mobilitas berkaitan dengan aktivitas seseorang sepanjang kehidupannya. Hal ini

menunjukkan bahwa perubahan pada mobilitas lansia yang dipengaruhi oleh

perubahan sistem tubuh akibat penuaan mempengaruhi kemandirian lansia.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 24: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

13

Universitas Indonesia

Sistem pertama yang mengalami perubahan yaitu sistem tulang atau rangka.

Pertumbuhan tulang mencapai puncaknya pada tahap dewasa awal, namun proses

remodelling akan berlangsusng terus menerus selama rentang kehidupan manusia.

Perubahan yang terjadi pada usia lanjut meliputi peningkatan resorpsi tulang,

berkurangnya penyerapan kalsium, peningkatan serum hormon paratiroid,

terganggunya pengaturan akitivitas osteoblas, terganggunya pembentukan tulang

akibat penurunan produksi osteoblastis dalam matriks tulang serta penurunan

jumlah sumsum tulang dan tergantikan oleh sel lemak (Miller, 2004).

Selain beberapa perubahan tersebut, terdapat faktor lain yang mempengaruhi

proses remodeling tulang. Faktor tersebut adalah hipertiroidisme, PPOK,

kurangnya asupan vitamin D dan kalsium, konsumsi obat jenis glukokortikoid dan

anti-konvulsan, serta minimnnya aktivitas (Miller, 2004). Perubahan ini berlaku

untuk pria maupun wanita, mengingat aktivitas hormon estrogen dan testosterone

juga berperan. Faktor-faktor ini saling mempengaruhi sehingga menimbulkan

perubahan terhadap fungsi pembentukan kembali. Sehingga secara umum, lansia

akan mengalami penurunan pada massa tulang. Lansia akan terlihat mengalami

penurunan tinggi badan, penyempitan diskus intervertebral dan penekanan

kolumna spinalis, serta bahu yang melebar.

Perubahan normal sistem muskuloskeletal pada masa penuaan melibatkan

beberapa bagian sistem muskuloskeletal yang kemudian menimbulkan berbagai

implikasi klinis. Adapun perubahan tersebut, meliputi perubahan tinggi progresif

akibat penyempitan diskus intervertebral dan kekakuan tulang dada untuk

mengembang. Selain itu juga terjadi penurunan produksi tulang kortikal dan

trabekular. Penuaan juga menyebabkan penurunan massa otot akibat kehilangan

lemak subkutan. waktu kontraksi-relaksasi muskular juga memanjang selama

proses penuaan. Implikasi klinis dari perubahan-perubahan tersebut, meliputi

postur tubuh bungkuk dengan penampilan barrel-chest, peningkatan risiko jatuh,

fraktur, dan cedera. Selain itu, implikasi klinis perubahan muskuloskeletal yaitu

kontur tubuh yang tajam dan kekuatan otot menurun (Stanley, Blair, & Beare,

2005).

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 25: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

14

Universitas Indonesia

Perubahan selanjutnya adalah perubahan pada sistem muskular. Beberapa

perubahan yang terjadi pada sistem otot yaitu penurunan massa otot akibat

penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, deteriorasi serabut otot akibat

pergantian jaringan ikat menjadi jaringan lemak, serta penurunan jumlah cairan

dan kalsium (Miller, 2004). Penurunan massa otot ini mengakibatkan penurunan

kekuatan seseorang untuk melakukan aktivitas (Faulkner, Larkin, Claflin, &

Brooks, 2007). Selain itu perubahan yang terjadi pada sistem otot dipengaruhi

pula oleh sistem saraf. Hal ini dikarenakan sistem saraf merupakan sistem yang

menggerakkan sistem otot. Keterlambatan gerak yang terjadi selama penuaan

disebabkan oleh semakin memanjangnya waktu antara kontraksi-relaksasi otot

(Stanley, Blair, & Beare, 2005). Hal inilah yang menyebabkan lansia terlihat

berjalan dan melakukan segala aktivitas dengan lambat.

Perubahan selanjutnya yang akan dijelaskan yaitu perubahan pada jaringan ikat

dan persendian. Secara umum, terdapat penurunan kartilago sendi terutama pada

bagian yang menahan beban berat (Stanley, Blair, & Beare, 2005). Komponen

kapsul sendi akan pecah dan kolagen meningkat. Hal ini menimbulkan inflamasi,

nyeri, penurunan mobilitas sendi, serta deformitas (Stanley, Blair, & Beare, 2005).

Berbeda dengan rangka dan otot yang membutuhkan latihan rutin untuk menjaga

keadaan normalnya, persendian pada lansia rawan mengalami kerusakan apabila

sering digunakan untuk beraktivitas. Beberapa perubahan yang terjadi pada

persendian dan jaringan ikat menyebabkan gangguan pergerakan fleksi-ekstensi,

penurunan elastisitas, penurunan perlindungan akan gerakan yang tiba-tiba, erosi

tulang, serta penurunan daya regang jaringan ikat (Miller, 2004).

Miller (2004) menyebutkan beberapa beberapa perubahan terkait penuaan yang

terjadi pada persendian. Adapun perubahan tersebut yaitu penurunan kepekatan

cairan synovial sendi dan penurunan sel elastin. Pemecahan struktur serabut otot

pada jaringan ikat juga merupakan salah satu perubahan yang terjadi selama masa

penuaan. Selain itu, penuaan menyebabkan pertumbuhan kalitaginous semakin

pesat dan terjadi perubahan pada asterial kartilago. Perubahan lain yang terjadi

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 26: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

15

Universitas Indonesia

yaitu terjadi pertumbuhan jaringan skar dan kalsifikasi pada kapsul sendi dan

jaringan ikat.

Perubahan terakhir yang akan dibahas yaitu perubahan pada sistem syaraf.

Perubahan yang terjadi pada sistem syaraf mempengaruhi keamanan mobilisasi.

Hal ini mengingat sistem persyarafan menngontrol semua indera yang

berhubungan dengam proses mobilisasi seseorang. Perubahan yang terjadi

diantaranya adalah penurunan refleks, penurunan proprioception, serta penurunan

sensasi bergetar dan posisi pada ektremitas bawah (Miller, 2004). Pada lansia,

akan sering ditemukan tubuh yang tampak limbung saat berjalan. Hal ini

dikarenakan kemampuan mengontrol badan dalam keadaan tegak semakin

berkurang. Sehingga risiko jatuh akan semakin meningkat.

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa perubahan mobilisasi pada lansia

dipengaruhi oleh perubahan yang terjadi pada sistem geraknya. Sistem yang

menyokong pergarakan tersebut mencakup sistem rangka, otot, persendian, dan

saraf. Pada lansia, otot dan rangka akan mengalami penurunan ukuran dan massa

sehingga mempengaruhi kekuatan untuk melakukan aktivitas. Sedangkan

perubahan yang terjadi pada persendian dan persyarafan mempengaruhi refleks

lansia untuk melakukan aktivitas. Secara keseluruhan, perubahan yang terjadi

pada mobilisasi menyebabkan lansia risiko jatuh dan cedera pada lansia semakin.

Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang perubahan yang terjadi dan

bagaimana intervensi yang tepat pada masalah yang disebabkan oleh penurunan

mobilisasi.

2.2.2 Faktor–faktor yang mempengaruhi masalah mobilitas lansia

Mobilitas lansia merupakan hal yang penting untuk dipertahankan secara optimal

karena mempengaruhi kesehatan mental dan fisik lansia (Annete, 2000). Akan

tetapi, lansia memiliki keterbatasan mobilisasi yang disebabkan oleh faktor-faktor

tertentu (Stanley & Beare, 2002). Hal tersebut meliputi faktor internal dan faktor

eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari diri lansia,

sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang timbul oleh lingkungan sekitar.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 27: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

16

Universitas Indonesia

Penjabaran di bawah ini akan menjelaskan secara lebih rinci faktor-faktor yang

mempengaruhi mobilisasi lansia.

2.1.2.1 Faktor-faktor internal

Mobilitas yang kurang optimal atau hambatan mobilitas fisik sering terjadi pada

lansia. Faktor-faktor internal yang timbul disebabkan oleh beberapa hal, seperti

penurunan fungsi muskuloskeletal, perubahan fungsi neurologis, nyeri, dan aspek

psikologis (Stanley & Beare, 2002). Selain disebabkan oleh perubahan normal

akibat penuaan, perubahan patologis pada sistem muskuloskeletal dan neurologis

juga mempengaruhi mobilisasi. Permasalahan pada sistem muskuloskeletal

meliputi atrofi, distrofi, dan cedera pada otot. Selain pada otot, permasalahan

fungsi muskuloskeletal juga terjadi pada tulang yaitu oleh adanya fraktur, tumor,

ostereoporosis, dan osteomalasia serta atrisis dan tumor pada sendi. Permasalahan

muskuloskeletal juga disebabkan oleh gabungan keduanya yaitu otot dan tulang

seperti kanker dan permasalahan obat-obatan.

Perubahan fungsi neurologis, nyeri, dan aspek psikologis juga mempengaruhi

mobilisasi lansia. Permasalahan pada sistem persyarafan, seperti stroke dan

penyakit Parkinson. Penyakit gangguan metabolik seperti hipoglikemi dan

gangguan nutrisi juga mempengaruhi mobilisasi lansia. Selain itu, nyeri yang

berhubungan dengan penyebab dari berbagai macam penyakit yang diderita oleh

lansia berdampak pada trauma sehingga menimbulkan sikap atau respon

penurunan mobilisasi (Annete, 2002). Aspek psikologis yang menyebabkan

perubahan dalam mobilisasi berhubungan dengan adanya faktor aktual seperti

kehilangan pasangan, pindah jauh dari keluarga atau kerabat serta perubahan pola

pikir sehingga berdampak pada depresi.

2.1.2.2 Faktor-faktor eksternal

Faktor eksternal juga merupakan faktor yang menjadi penyebab masalah

mobilisasi pada lansia. Faktor tersebut meliputi program terapeutik, karakteristik

tempat tinggal dan staff, sistem pemberian asuhan keperawatan, hambatan-

hambatan, dan kebijakan-kebijakan institusional (Stanley & Beare, 2000).

Program terapeutik berkaitan dengan penanganan medis yang sedang diberikan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 28: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

17

Universitas Indonesia

terhadap lansia. Penanganan medis tersebut akan memiliki pengaruh terhadap

kualitas dan kuantitas pergerakan lansia. Adapun penanganan program teraupeutik

seperti faktor mekanis yaitu penggunaan alat eksternal yang akan mencegah atau

menghambat pergerakan bagian tubuh saat menggunakannya. Alat eksternal

meliputi penggunaan gibs, traksi, hingga alat yang dipasangkan kedalam ubuh

lansia seperti pemberian cairan IV, kateter urine hingga penggunaan masker

oksigen.

Program rehabilitasi, obat-obatan, serta restrain juga mempengaruhi masalah

mobilisasi pada lansia. Adapun program rehabilitasi serta penggunaan obat-obatan

atau kemoterapi pada lansia yang dimaksud adalah yang dapat membuat lansia

mengalami penurunan kesadaran atau yang menganjurkan lansia untuk bedrest

(Annete, 2000). Selain itu, pengaman tempat tidur atau restrain fisik umum

digunakan oleh pihak rumah sakit. Akan tetapi, penggunaan alat tempat tidur

biasanya dimaksudkan untuk memberikan pembatasan mobilisasi pada lansia

yang sedang mengalami perawatan atau program terapeutik. Walaupun bersifat

terapeutik, tindakan tersebut dapat menurunkan aktivitas mobilisasi individu.

Karakteristik penghuni institusi juga mempengaruhi masalah mobilisasi pada

lansia. Lansia yang tinggal di panti werdha tentunya akan memiliki lingkungan

yang akan berpengaruh terhadap pola kebiasaan lansia. Tingkat mobilitas dan pola

perilaku teman sebaya dapat mempengaruhi pola mobilitas dan perilaku lansia.

Hal ini akan berpengaruh terhadap aktivitas lansia yang akan berdampak pada

mobilsasi yang disebabkan oleh pola kegiatan lansia yang tidak banyak dilakukan

di panti. Lansia memang cenderung pasif karena faktor usia dan keterbatasan

dalam melalukan berbagai hal. Aktifitas seperti senam pagi dapat membantu

meningkatkan mobilitas. Kurangnya jumlah staf juga membuat lansia yang

memiliki keterbatasan bergerak untuk membantu bergerak terutama klien yang

menggunakan alat bantu gerak atau yang sedang mengalami program terapeutik

(Stanley & Beare, 2000).

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 29: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

18

Universitas Indonesia

Karakteristik staf juga mempengaruhi masalah mobilisasi pada lansia. Hal ini

berkaitan dengan kemampuan staf panti atau perawat dalam memberikan pogram

mobilisasi. Setiap staf dan perawat seharusnya memiliki 3 komponen ini, yaitu

pengetahuan, komitmen, dan jumlah. Pengetahuan dalam hal ini ialah pemahaman

tentang konsekuensi fisiologis dari kurangnya aktivitas mobilisasi dan tindakan

keperawatan untuk mencegah masalah mobilisasi yang akan muncul. Komitmen

dalam hal ini ialah kesetiaan staf dan perawat untuk selalu care terhadap lansia.

Jumlah perawat dalam hal ini untuk mengoptimalkan penanganan pada tiap lansia

(Stanley & Beare, 2000). Dengan terpenuhinya ketiga komponen tersebut,

program mobilisasi dapat dijalankan dengan optimal.

Hal lain yang juga mempengaruhi masalah mobilisasi lansia yaitu sistem

pemberian asuhan keperawatan dan kebijakan institusi. Sistem pemberi asuhan

keperawatan berkaitan dengan perhatian terhadap lansia di institusi seperti rumah

sakit maupun panti yang merawat lansia. Dalam hal ini perlu dilakukannya alokasi

asuhan keperawatan oleh staf dan perawat terhadap lansia untuk memenuhi

kebutuhan mobilisasi selain tugas yang lain seperti mandi, pemberian makanan,

obat-obatan dan lainnya. Adapun kebijakan institusi berkaitan dengan kebijakan

dari panti untuk melalukan prosedur keperawatan. Semakin ketatnya pengawasan

terhadap tiap prosedur-prosedur dan kebijakan keperawatan, maka dampak

terhadap kesejahteraan lansia akan semakin baik (Stanley & Beare, 2000).

Berbagai macam hambatan baik hambatan fisik maupun arsitektur juga

mempengaruhi masalah mobilisasi. Hambatan yang timbul dalam pemberian

mobilisasi pada lansia berkaitan dengan hambatan fisik dan arsitektur yang dapat

mengganggu mobilitas. Hambatan fisik seperti pengetahuan dalam penggunaan

alat bantu untuk mobilitas yang tidak adekuat, lantai yang licin. Arsitektur rumah

sakit dan panti tidak dilengkapi tempat yang memudahkan lansia untuk

beraktifitas seperti pegangan di tiap koridor rumah sakit, koridor yang terlalu

sempit, tidak adanya aula, hingga stuasi yang memungkinkan lansia terjatuh

seperti banyak perabotan (Stanley & Beare, 2000).

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 30: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

19

Universitas Indonesia

2.3 Hambatan Mobilitas Fisik

2.2.1. Pengertian hambatan mobilitas fisik

Beberapa sumber atau referensi mengartikan hambatan mobilitas fisik ke dalam

berbagai definisi. Holloway (2004) mendefinisikan hambatan mobilitas fisik

sebagai suatu kondisi dimana individu memiliki keterbatasan kemampuan untuk

melakukan perpindahan atau gerakan fisik secara mandiri. Selain itu, Carpenito

(2008) juga mendefinisikan hambatan mobilitas fisik sebagai suatu kondisi

dimana seseorang mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan perpindahan

fisik tetapi tidak imobil. Pengertiaan tersebut menunjukkan bahwa kondisi imobil

tidak dapat dikatakan sebagai hambatan mobilitas fisik.

Hambatan mobilitas fisik juga didefinisikan sebagai keterbatasan dalam

kemandirian, perpindahan atau gerakan fisik yang bertujuan pada tubuh atau salah

satu atau lebih ekstremitas (Doenges, Moorhouse, & Murr, 2008; NANDA

International, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa hambatan mobilitas fisik dapat

melibatkan salah satu ekstremitas atau semua ekstremitas pada tubuh individu.

Dari beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hambatan mobilitas

fisik adalah suatu kondisi dimana individu mengalami keterbatasan kemampuan

untuk melakukan perpindahan atau gerakan fisik secara mandiri pada tubuh atau

salah satu atau lebih ekstremitas tetapi tidak imobil.

NANDA International (2012) menyebutkan beberapa batasan karakteristik dari

hambatan mobilitas fisik yang dapat mendukung definisi. Adapun batasan

karakteristik hambatan mobilitas fisik meliputi penurunan waktu reaksi, kesulitan

membolak balik posisi, melakukan aktivitas lain sebagai pengganti pergerakan,

dispnea saat beraktivitas, dan perubahan gaya berjalan. Batasan karakteristik

lainnya yaitu gerakan bergetar, keterbatasan keterampilan melakukan

keterampilan motorik halus dan kasar, keterbatasan rentang pergerakan sendi, dan

tremor akibat pergerakan. Ketidakstabilan postur, pergerakan lambat, dan

pergerakan tidak terkoordinasi juga merupakan batasan karakteristik dari

hambatan mobilitas fisik (NANDA International, 2012).

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 31: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

20

Universitas Indonesia

2.2.2. Etiologi dan faktor presipitasi hambatan mobilitas fisik

Beberapa kondisi menjadi etiologi dan faktor presipitasi hambatan mobilitas fisik.

Cedera yang mencegah individu menahan berat badan seperti trauma

menyebabkan hambatan mobilitas fisik. Selain itu, kondisi penyakit yang

menyebabkan intoleransi aktivitas seperti penyakit kardiovaskular, cedera akut

yang menyebabkan paralisis atau paresis seperti stroke, dan kondisi

ketidakmampuan yang kronis dan akut seperti artritis juga menjadi penyebab

terhambatnya mobilitas fisik individu. Gangguan persepsi sensori, pembatasan

terapeutik, dan keengganan untuk mencoba gerakan atau mobilisasi juga menjadi

faktor presipitasi hambatan mobilitas fisik (Holloway, 2004). Adapun faktor yang

biasa ditemukan pada lansia meliputi artritis, depresi, nyeri kronis, fraktur

panggul, dan penyakit neurologis seperti demensia atau penyakit Parkinson

(Miller, 2009).

NANDA International (2012) menyebutkan beberapa faktor yang berhubungan

dengan hambatan mobilitas fisik. Adapun faktor yang berhubungan meliputi

intoleran aktivitas, perubahan metabolisme seluler, ansietas, indeks massa tubuh

di atas presentil 75 sesuai usia, gangguan kognitif, dan kontraktur. Faktor lain

yang juga berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik yaitu kepercayaan

budaya tentang aktivitas sesuai usia, fisik tidak bugar, penurunan ketahanan

tubuh, penurunan kendali, massa, dan kekuatan otot, serta kurang pengetahuan

tentang nilai aktivitas fisik. Selain itu, keadaan mood depresi, keterlambatan

perkembangan, ketidaknyamanan, disuse, dan kaku sendi juga merupakan faktor

yang berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik. Faktor lain yang juga

berhubungan yaitu kurang dukungan sosial, keterbatasan ketahanan

kardiovaskular, dan kerusakan integritas struktur tulang.

2.4 Penggunaan Alat Bantu Jalan (Walker)

Walker merupakan salah satu jenis alat bantu jalan yang dapat membantu lansia

melakukan mobilisasi dan beraktivitas secara mandiri. Bateni, Brian, dan Maki

(2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa berdasarkan evaluasi klinis dan

biomedik dapat dibuktikan bahwa penggunaan walker dapat meningkatkan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 32: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

21

Universitas Indonesia

keseimbangan dan mobilitas. Walker dapat menyangga 50% berat badan lansia.

Walker membutuhkan kekuatan tubuh bagian atas untuk mengangkat dan

memindahkan walker, serta memajukan walker saat berjalan. Beberapa walker

memiliki dua roda yang dapat mempermudah penggunanya. Beberapa alasan

tipikal untuk memilih walker yaitu individu yang mengalami artritis, terutama

yang menyerang kaki dan panggul, gangguan keseimbangan sedang, dan

kelemahan umum panggul dan kaki.

Indikasi lain dari penggunaan walker juga perlu diperhatikan. Uustal dan Baerga

(2004) menyebutkan bahwa indikasi penggunaan walker meliputi kelemahan

bilateral atau inkoordinasi tungkai bawah atau seluruh tubuh, seperti pada

penderita penyakit multiple sclerosis atau penyakit parkinson, ketika penggunaan

alat bantu yang sesuai dapat meningkatkan keseimbangan. Selain itu, walker juga

diindikasikan untuk meringankan seluruh atau sebagian beban pada ekstremitas

bawah. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan walker memungkinkan

ekstremitas atas untuk mentransfer berat badan ke lantai. Indikasi lain penggunaan

walker yaitu pada individu dengan kelemahan unilateral atau amputasi ekstremitas

bawah, seperti osteoartritis atau fraktur femur, di mana kelemahan umum

membuat tubuh membutuhkan dukungan atau sokongan yang lebih besar. Selain

itu, walker juga diindikasikan pada individu yang memerlukan dukungan untuk

membantu melakukan mobilitas atau meningkatkan kemampuan mobilitas seperti

pada individu yang menjalani bedrest dalam jangka waktu lama dan pada lansia

yang sakit.

Walker terdiri dari beberapa jenis. Miller (2011) menyebutkan bahwa walker

terdiri dari tiga jenis, yaitu standard walker, 4-wheel rollator, dan 3-wheel

rollator. Jenis walker yang pertama yaitu standar walker. Standar walker

memperikan dukungan keseimbangan dan stabilitas ketika berjalan. Penggunaan

standar walker yaitu dengan memindahkan walker ke depan terlebih dahulu

sebelum melangkah. Walker jenis ini memiliki tingkat keseimbangan yang tinggi

karena memiliki empat titik yang bersentuhan langsung dengan lantai.selain itu,

walker jenis ini juga membuat individu atau pengguna merasa aman saat berjalan.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 33: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

22

Universitas Indonesia

Walker ini juga biasanya ringan dan mudah digunakan. Akan tetapi, jenis walker

ini juga memiliki kelemahan yaitu desain walker yang lebar tidak dapat digunakan

atau sulit digunakan pada area yang sempit seperti melewati pintu, dan tidak aman

jika digunakan untuk menaiki atau menuruni tangga (O’Sullivan, Schmit, & Fulk,

2014).

Gambar 2.1 Standard Walker

Sumber Miller (2011)

Jenis walker dengan dua roda dilengkapi dengan dua roda di depan sehingga

individu tidak perlu mengangkat walker ketika berjalan. Jenis berikutnya yaitu 4-

wheel rollator atau walker dengan 4 roda digunakan pada individu yang

membutuhkan sokongan tetapi masih memiliki kekuatan kaki. Penambahan roda

pada walker ditujukan untuk meningkatkan fungsi ambulasi individu yang tidak

dapat mengangkat beban atau tidak dapat menggunakan walker jenis standar

(O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014). Beberapa walker beroda empat dilengkapi

dengan tempat duduk yang memungkinkan individu istirahat saat menggunakan

walker (Miller, 2011).

Gambar 2.2 4-Wheel Rollator Walker

Sumber Miller (2011)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 34: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

23

Universitas Indonesia

Jenis walker yang terakhir yaitu 3-wheel rollator atau walker beroda tiga. Jenis

walker ini lebih ringan dan lebih kecil namun memberikan stabilitas yang lebih

kecil (Miller, 2011). Selain itu, keuntungan penggunaan walker jenis ini yaitu

memudahkan individu dalam mengarahkan walker dan lebih mudah saat berbelok

atau mengubah arah (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).

Gambar 2.3 3-Wheel Rollator Walker

Sumber Miller (2011)

Beberapa hal perlu diperhatikan saat akan menggunakan walker. Salah satu hal

yang perlu diperhatikan yaitu cara memilih pegangan pada walker. Pada

umumnya, pegangan walker terbuat dari plastik, akan tetapi banyak pilihan yang

lebih baik. Klien harus mempertimbangkan pegangan walker yang berlapis busa,

khususnya jika tangan klien walker cenderung mudah berkeringat. Jika klien

memiliki masalah pada jari-jari, seperti penderita arthritis, masalah nyeri pada

persendian, dan masalah pada saraf, klien harus memilih pegangan yang lebih

besar. Memilih pegangan yang tepat akan mengurangi masalah pada persendian

dan membantu dalam mencegah kelainan bentuk pada persendian. Pegangan

manapun yang klien pilih, yakinkan bahwa pegangan tersebut aman untuk

digunakan sehingga klien walker tidak akan tergelincir saat menggunakan walker.

Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu cara menyesuaikan walker yang akan

digunakan. Walker yang akan digunakan harus disesuaikan terlebih dahulu

sehingga klien merasa nyaman saat menggunakan walker. Hal ini akan

mengurangi masalah pada bahu dan tulang belakang klien saat memakai walker.

Untuk memastikan tinggi walker sudah nyaman untuk digunakan, klien dapat

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 35: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

24

Universitas Indonesia

mencoba untuk melangkahkan kaki dengan menggunakan walker. Setelah itu,

periksa siku klien dan letakkan tangan klien pada pegangan walker hingga

membentuk sudut 150o. Selanjutnya, periksa tinggi pergelangan tangan. Pegang

pegangan walker dan rilekskan tangan klien di sisi tubuh. Selain itu, pengukuran

juga dilakukan saat individu memegang walker, sudut fleksi siku yang tepat yaitu

kira-kira 20o hingga 30

o (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014; Miller, 2011).

Sebagian besar walker memiliki tombol kecil di masing-masing sisi yang dapat

ditekan lalu disesuaikan ukuran atau ketinggian walker hingga panjang walker

sesuai (Miller, 2011)

Prosedur penggunaan walker dimulai setelah jenis walker yang sesuai dan

pengaturan walker telah tepat. Selanjutnya, beberapa hal perlu diperhatikan dan

disampaikan pada individu atau pengguna sebelum menggunakan walker. Hal

pertama yang harus diperhatikan yaitu walker harus diletakkan dengan semua

sudut atau kaki walker menyentuh lantai untuk mencapai stabilitas maksimal.

Selain itu, saat menggunakan walker, postur tubuh harus dalam kondisi yang baik

atau dalam posisi tegap dan wajah menghadap ke arah depan.Individu juga perlu

diingatkan untuk tidak melangkah terlalu mendekati garis atau batas depan walker

karena dapat mengakibatkan jatuh (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).

Hal selanjutnya yang dilakukan yaitu melatih klien cara melakukan langkah

pertama ketika menggunakan walker. Jika klien membutuhkan tempat yang lebar

atau luas untuk berpindah saat menggunakan walker, langkah pertama dimulai

dengan mendorong walker ke arah depan. Selanjutnya, punggung klien harus

dijaga agar tetap nyaman saat menggunakan walker. Setelah itu, satu kaki klien

diletakkan pada sisi walker dan minta klien untuk melangkah. Kaki walker

dilangkahkan sesuai dengan langkah kaki klien. Setelah itu, gerakan melangkah

dilanjutkan pada satu kaki lainnya (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).

Latihan melangkah dengan kaki yang lain dilakukan dengan terlebih dahulu

menempatkan kaki lain di dalam walker. Selanjutnya, langkah tersebut diulangi

dengan memindahkan walker ke depan dan melangkah satu kaki ke dalamnya

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 36: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

25

Universitas Indonesia

dalam satu waktu. Jika klien menggunakan walker hanya untuk keseimbangan,

klien dapat berdiri di dalam walker dan berjalan dengan normal. Postur jalan

normal adalah kepala tegak, vertebra servikal, thorakal, lumbal sejajar, pinggul

dan lutut berada dalam keadaan fleksi yang sesuai, dan lengan bebas mengayun

bersama dengan kaki. Ketika klien menggunakan walker, perawat penting untuk

memperhatikan klien agar tetap berdiri tegak. Hal ini akan membantu melindungi

punggung klien. Adapun aspek keamanan yang harus diperhatikan untuk

mencegah jatuh adalah walker tidak diperbolehkan untuk didorong terlalu jauh di

depan klien atau menset pegangan terlalu tinggi. Selain itu, klien diinformasikan

untuk tidak mempercepat atau mengambil langkah yang lebar saat berjalan

dengan menggunakan walker (O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).

Perawat membutuhkan persiapan saat membantu klien berjalan menggunakan alat

bantu jalan. Perawat mengkaji toleransi aktivitas, kekuatan , nyeri, koordinasi, dan

keseimbangan klien untuk menentukan jumlah bantuan yang diperlukan. Perawat

juga harus memperhatikan serta menguasai mekanika tubuh manusia sehingga

dapat mengetahui posisi yang baik dan buruk pada klien lansia yang

menggunakan walker. Perawat menjelaskan seberapa jauh klien mencoba

berjalan, siapa yang akan membantu, kapan dilakukan kegiatan berjalan, dan

mengapa berjalan itu penting. Selain itu perawat dan klien menentukan berapa

banyak kemandirian klien dapat berikan dan menentukan posisi yang tepat saat

mendampingi individu menggunakan walker (Johansson & Chinworth, 2012;

O’Sullivan, Schmitz, & Fulk, 2014).

Perawat juga memeriksa lingkungan yang digunakan untuk latihan berjalan.

Perawat memastikan tidak ada rintangan di jalan klien (O’Sullivan, Schmitz, &

Fulk, 2014). Kursi, penutup meja tempat tidur, kursi roda disingkirkan dari jalan

sehingga klien memiliki ruangan yang luas untuk berjalan. Sebelum memulai,

perawat menentukan tempat berisitirahat dengan perkiraan klien kurang toleransi

aktivitas atau klien menjadi pusing. Misalnya, jika diperlukan kursi dapat di

tempatkan diruangan yang dapat digunakan klien untuk beristirahat.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 37: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

26

Universitas Indonesia

2.5 Konsep Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan

Perawatan kesehatan masyarakat adalah suatu upaya pelayanan keperawatan yang

dilaksanakan oleh perawat dengan mengikutsertakan tim kesehatan lain dan

masyarakat untuk memperoleh tingkat kesehatan yang lebih tinggi (Depkes RI,

1996). Perawatan kesehatan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan

kemampuan masyarakat untuk hidup sehat sehingga tercapai derajat kesehatan

yang optimal yang meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan

resosialitatif. Keperawatan kesehatan komunitas mencakup masyarakat perkotaan

atau urban community yang merupakan komunitas yang tinggal di daerah

perkotaan dengan semua keadaan dan kondisi yang ada di lingkungan kota.

Keperawatan masyarakat perkotaan memiliki 8 karakteristik dan merupakan hal

yang penting dalam melakukan praktik (Allender, 2001). Adapun karakteristik

tersebut yaitu keperawatan masyarakat perkotaan merupakan lahan keperawatan,

kombinasi antara keperawatan publik dan keperawatan klinik, serta berfokus pada

populasi. Selain itu, keperawatan masyarakat perkotaan menekankan terhadap

pencegahan akan penyakit serta adanya promosi kesehatan dan kesejahteraan diri.

Karakeristik selanjutnya yaitu keperawatan masyarakat perkotaan

mempromosikan tanggung jawab klien dan self care, menggunakan pengesahan

atau pengukuran dan analisa, menggunakan prinsip teori organisasi, serta

melibatkan kolaborasi interprofesional.

Keperawatan kesehatan masyarakat memiliki beberapa teori dan model

keperawatan kesehatan. Adapun teori keperawatan kesehatan masyarakat

perkotaan meliputi teori lingkungan atau Nightingale’s theory of environment dan

teori keperawatan Virginia Handerson. Pada teori lingkungan, lingkungan yang

lemah dan buruk merupakan hal yang buruk bagi kesehatan. Kesehatan dapat

ditingkatkan dengan menyediakan ventilasi, air bersih, kehangatan, pencahayaan

serta kebersihan yang cukup (Allender, 2001). Adapun teori Handerson

mendeskripsikan keperawatan sebagai suatu fungsi yang unik dari perawat untuk

memberikan pelayanan kesehatan dengan meningkatkan kemampuan, kekuatan,

pengetahuan dan kemandirian pasien. Adapun model keperawatan kesehatan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 38: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

27

Universitas Indonesia

masyarakat perkotaan meliputi model self-care atau Orem’s self-care model,

model adaptasi atau Roy’s adaptation model, dan model dan konsep keperawatan

Neuman atau Neuman’s health care systems model.

Model self-care atau Orem’s self-care model menjelaskan bahwa tujuan dari

tindakan keperawatan adalah untuk membantu seseorang mengenal kebutuhan dan

keterbatasan self-care serta meningkatkan kemampuan self-care klien. Perawat

bertugas memfasilitasi pemenuhan kebutuhan self-care klien sampai mereka

mampu melakukannya sendiri. Adapun model adaptasi Roy menggambarkan

model adaptasi dalam keperawatan yaitu individu adalah makhluk biospikososial

sebagai satu kesatuan yang utuh yang menggunakan koping untuk beradaptasi dan

berespon terhadap kebutuhan tubuh. Adapun model dan konsep keperawatan

Neuman mendefenisikan keperawatan sebagai suatu profesi yang unik dengan

memperhatikan seluruh faktor-faktor yang mempengaruhi respon individu

terhadap penyebab stress, tekanan intra, inter dan ekstra personal (Neuman, 1995).

2.6 Pelayanan Kesehatan pada Lanjut Usia

Kesehatan merupakan aspek penting yang harus diperhatikan untuk meningkatkan

kesejahteraan lansia. Jumlah populasi lansia yang semakin meningkat

menunjukkan peningkatan kebutuhan kesehatan pada lansia, termasuk

ketersediaan pelayanan kesehatan lanjut usia untuk memenuhi kebutuhan

kesehatan lansia. Adapun beberapa jenis pelayanan kesehatan yang tersedia bagi

lansia, meliputi acute care, long term care setting, home care, dan community

setting (Miller, 2004; Stanley, Blaire, & Beare, 2005). Adapun masing-masing

jenis pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kondisi lansia. Masing-masing

jenis pelayanan kesehatan lansia tersebut akan dijelaskan secara lebih rinci pada

penjelasan di bawah ini.

2.6.1 Acute Care

Jenis pelayanan kesehatan acute care memberikan fasilitas dan pelayanan bagi

lansia yang membutuhkan perawatan akut termasuk unit gawat darurat (UGD),

ruang operasi, unit perawatan kritis, dan unit keperawatan medikal bedah. Banyak

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 39: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

28

Universitas Indonesia

rumah sakit yang memenuhi kebutuhan perawatan akut dengan menyediakan unit

geriatri yang terpisah, atau sering disebut sebagai unit acute care for elder (ACE),

dan dikelola oleh tim multidisiplin yang terlatih secara khusus. Alasan

dibentuknya unit ini adalah lansia memiliki kebutuhan yang unik yang dapat

diantisipasi dan ditangani untuk mencegah penurunan fungsional selama rawat

inap berlangsung. Fokus dari program ACE yaitu untuk membantu lansia yang

memiliki masalah kompleks untuk tetap berapa pada tingkat fungsional tertinggi

yang dimiliki. Adapun lemen kunci dari unit ACE meliputi adanya lingkungan

yang disesuaikan secara khusus; sebuah pendekatan tim multidisiplin; perawatan

berpusat pada klien, termasuk rencana perawatan untuk rehabilitasi dan

pencegahan kecacatan; kajian intensif perawatan untuk meminimalkan dampak

buruk dari obat-obatan dan prosedur; dan perencanaan pulang dengan tujuan agar

klien dapat kembali lagi ke rumah (Miller, 2004).

Jenis pelayanan kesehatan lansia selanjutnya yaitu long term care setting atau

perawatan jangka panjang. Perawatan jangka panjang berhubungan dengan

pelayanan perawatan kesehatan yang berkaitan dengan kebutuhan perawatan

kronik lansia (Miller, 2004). Adapun jenis pelayanan long term care setting

meliputi long term home care dan long term care di komunitas. Peran perawat

penting dalam setting long term home care. Tugas perawat dalam pelayanan ini

yaitu memberikan edukasi kepada staff, membantu pengembangan program,

mengembangkan rencana untuk klien dementia, menyediakan kebutuhan

perawatan akut dan kronis, membuat kelompok pendukung untuk klien dan

keluarga, sebagai penasehat klien dan keluarga, dan sebagai konsultan pada

kondisi seperti demensia dan depresi. Adapun secara psikososial, perawat

berperan dalam menyediakan privasi, memberikan promosi kesehatan, model

perlindungan kesehatan, dan menyediakan lingkungan yang menyambut baik akan

mendorong kunjungan dan sosialisasi dengan teman-teman dan keluarga. Secara

fisik, perawat berperan dalam membantu merencanakan dan membuat ruang fisik

yang dapat diakses dan aman bagi lansia.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 40: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

29

Universitas Indonesia

Long term care di komunitas juga merupakan salah satu jenis long term care

setting. Lansia mennggunakan pelayanan long term care di komunitas disebabkan

oleh faktor tertentu, seperti kehilangan dukungan keuangan, sosial, kesehatan,

kekuatan emosional, dan kehilangan kemampuan fungsional. Menurut lama

perawatannya, penghuni pelayanan ini dibedakan menjadi penghuni jangka

panjang dan jangka pendek. Jangka panjang yang umumnya usia lebih tua sering

tetap tinggal di fasilitas sampai mereka meninggal atau dipindahkan ke fasilitas

yang lain. Sedangkan penghuni jangka pendek yang meninggalkan fasilitas dalam

waktu 3-6 bulan biasanya mempunyai permasalah fisik, dan diterima dari fasilitas

rehabilitasi atau rumah sakit (Miller, 2004). Pelayanan yang paling umum

disediakan oleh pelayanan komunitas antara lain penyedia makanan, asisten

perawat personal, bekerja sama dengan dokter, dan belanja kebutuhan dapur.

2.6.2 Home care

Home care adalah sebuah pelayanan keperawatan dimana perawat mendatangi

rumah lansia. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi lama rawat di rumah sakit,

mengurangi penggunaan emergency room, dan pertimbangan lain meliputi

minimalisasi penggunaan obat dan restrain. Pelayanan home care dibedakan lagi

manjadi dua jenis, yaitu skilled home care dan long term home care (Miller,

2004). Skilled home care disini adalah perawatan di rumah yang membutuhkan

keterampilan keperawatan dengan syarat bahwa lansia tersebut jauh dari rumah,

namun cukup mampu untuk diberikan pendidikan mengenai intervensi dan

pemenuhan kebutuhan sehari-hari oleh perawat. Jadi apabila lansia tersebut cukup

mampu untuk melakukan segala aktivitas sehari-harinya secara mandiri, maka

skilled home care ini tidak berlaku. Yang kedua adalah long term home care. long

term home care biasanya diperuntukkan bagi lansia yang tidak mampu memenuhi

kebutuhan sehari-hari secara mandiri. Secara integral dipadukan dengan

pelayanan komunitas lain seperti fasilitas transportasi dan penyediaan makanan.

Peran perawat dalam pelayanan home care adalah melayani konsultasi, pemberi

asuhan keperawatan, dan melakukan observasi secara kontinyu (Milone-Nuzzo &

Pike, 2001 dalam Miller, 2004).

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 41: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

30

Universitas Indonesia

2.6.3 Community setting

Pelayanan komunitas dibedakan menjadi home health, clinics, retirement centers,

dan adults’ day care (Stanley, Blaire, & Beare, 2005). Miller (2004)

menambahkan respite services dan health promotion program ke dalam

pemberian pelayanan di komunitas. Pelayanan home health hampir sama dengan

home care yang menyediakan pengkajian secara menyeluruh dan juga intervensi

seperti halnya di rumah sakit. Pelayanan home helath menyediakan klinik

keperawatan ini menekankan pada perawatan tentang penyakit tertentu misalnya

diabetes, CHF, dan COPD. Diharapkan dengan pendirian klinik ini, memudahkan

lansia untuk mencapai perawatan penyakit akut dan peningkatan kualitas hidup.

Jenis pelayanan community setting selanjutnya yaitu assisted living.

Residential care atau assisted living bagi lansia merupakan fasilitas yang

memberikan pelayanan pada lansia. Residential care memberikan fasilitas seperti

kamar, tempat tinggal, keperluan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga

seperti mencuci baju, mencuci piring, dan bantuan personal untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan perawatan diri, makan, berpakaian, dan

berjalan. Residential care memberikan fasilitas berupa pengawasan pada lansia

yang tidak dapat tinggal secara mandiri, namun tidak membutuhkan pelayanan

perawatan selama 24 jam. Hal ini menunjukkan bahwa residential care

merupakan fasilitas non-medis yang tidak memerlukan perawat, perawat

tersertifikasi, atau dokter sebagai staf (California Advocates for Nursing Home

Reform, 2008).

Pelayanan adults day center juga merupakan salah satu jenis pelayanan

community setting. Adults’ day care menyediakan pelayanan kurang dari 24 jam.

Tidak seperti retirement center yang mengharuskan pelayanan secara

komprehensif dan maksimum, adults’ day care berfokus pada pemberian

pelayanan pada lansia dengan penurunan fungsional dan kognitif. Adults’ day

care biasanya dilengkapi dengan pemberian makanan gizi berimbang, akses

transportasi, dan kegiatan yang mendukung aktivitas sosial namun tetap rekreatif.

Selain itu beberapa adult day center juga memberikan manajemen pengobatan,

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 42: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

31

Universitas Indonesia

bantuan perawatan diri dan pelayanan kesehatan lainnya serta terapi. Sebagian

besar klien pada pelayanan ini adalah lansia dengan gangguan kognitif, depresi,

dan juga cacat fisik. Tujuan adults’ day care adalah memulihkan kemampuan

fungsional, mencegah perawatan di institusi perawatan akut, serta meningkatkan

kualitas hidup lansia (Miller, 2004). Pelayanan ini umumnya memberikan

perawatan selama 8 jam sehari dengan sekitar 5 jam program formal selama

waktu itu dan 3 lainnya jam yang digunakan untuk interaksi sosial dan kegiatan

tidak terstruktur lainnya.

Jenis pelayanan community setting lainnya yaitu respite service. Respite service

mengacu pada sejumlah pelayanan yang tujuan utamanya adalah secara berkala

untuk meringankan pemberi asuhan dari stres akibat tanggung jawabnya dalam

memberikan pengasuhan. Tujuan dari respite service antara lain adalah

meningkatkan kesejahteraan pengasuh dan mengurangi secara institusional

ketergantungan lansia. Tipe dari respite service diantaranya adalah adult day

center care, overnight dan home care (Miller, 2004). Selain itu, promosi

kesehatan juga menjadi salah satu layanan community setting. Sasaran dari

promosi kesehatan ini adalah lansia yang relatif sehat yang sedikit membutuhkan

perawatan dan dapat meningkatkan kualitas hidupnya (Ebersole, Hess, Touhy, &

Jett, 2005).

Beberapa aktivitas promosi kesehatan pada lansia diantaranya adalah program

pemeriksaan tekanan darah, kursus aman mengemudi, kelas penghentian

merokok, pemeriksaan kesehatan, misalnya pemeriksaan pendengaran dan

penglihatan, perhitungan, manajemen dan pendidikan tentang obat-obatan serta

berbagai tipe latihan seperti berjalan, aerobik, akuatik, dan tai chi (Miller, 2004).

Dalam promosi kesehatan ini, rumah sakit dan institusi kesehatan lain turut

berperan. Topik dalam pendidikan kesehatan pada lansia meliputi nutrisi,

manajemen stres, perawatan kesehatan secara umum, dan permasalahan

kesehataan musiman seperti hipotermia, penyakit yang berhubungan dengan

panas, serta kedinginan dan flu.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 43: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

32

Universitas Indonesia

2.6.4 Panti Sosial Tresna Werdha

Salah satu jenis pelayanan community setting yang terdapat di Indonesia yaitu

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW). PSTW merupakan panti sosial yang didanai

oleh pemerintah dan dikhususkan untuk lansia terlantar yang berkaiatan dengan

kondisi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi lansia. Adapun kegiatan PSTW

meliputi program reguler, program subsidi silang, dan program pelayanan harian

lanjut usia (Kemensos, 2012). Program Reguler adalah program pokok

Kementerian Sosial RI, dimana program ini menyelenggarakan pelayanan

kesejahteraan sosial bagi lanjut usia yang berasal dari keluarga tidak mampu tanpa

dipungut biaya. Dan para lanjut usia ini ditampung didalam asrama. Pelayanan

yang diberikan meliputi pelayanan fisik, keagamaan, sosial, keterampilan,

psikologis, kesehatan, pendampingan, rekreasi, dan pelayanan pemakaman.

Program PSTW selanjutnya yaitu program subsidi silang (Kemensos, 2012).

Program subsidi silang menyelenggarakan pelayanan kesejahteraan sosial bagi

para lanjut usia yang berasal dari keluarga mampu dalam arti mampu secara

ekonomi, namun karena sesuatu hal mengalami keterlantaran perawatan dan

pelayanan. Lanjut usia yang memanfaatkan pelayanan ini dikenakan biaya dan

seperti halnya lanjut usia pada program reguler, para klien ditempatkan dalam

asrama. Pungutan biaya tersebut, disamping untuk membiayai klien yang

bersangkutan juga diharapkan dapat mensubsidi klien tidak mampu yang berada

pada program reguler. Pelayanan yang diberikan meliputi pelayanan untuk

memenuhi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial.

Program selanjutnya yaitu program pelayanan harian lanjut usia (day care

services) (Kemensos, 2012). Pelayanan ini ditujukan pada lanjut usia dalam

jangka waktu tertentu atau terbatas dalam arti tidak menginap atau hanya

mengikuti kegiatan-kegiatan yang diminati. Program pelayanan harian ini

dimaksudkan dapat membantu keluarga atau masyarakat yang karena sesuatu hal

tidak dapat memberi perawatan dan pelayanan kepada lanjut usia dalam kurun

waktu tertentu, terutama pada siang hari sehingga dengan adanya program

pelayanan ini lanjut usia tidak mengalami keterlantaran, bahkan sebaliknya

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 44: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

33

Universitas Indonesia

mereka dapat berinteraksi dengan lanjut usia lain dan dapat menyalurkan hobi

serta kemampuannya dengan mengikuti berbagai kegiatan yang ada. Adapun

biaya yang dipungut ditentukan berdasarkan kesepakatan antara lembaga dengan

para lanjut usia atau keluarga. Pelayanan yang diberikan meliputi pelayanan

sosial, psikologis, kerohanian, fisik dan kesehatan, rekreasi dan penyaluran hobi,

rujukan, data dan informasi, serta transportasi.

Penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa PSTW merupakan bentuk pelayanan

kesehatan lansia yang disediakan oleh pemerintah untuk lansia terlantar sebagai

dampak urbanisasi dan masalah sosial lain yang terjadi di perkotaan. Pelayanan

ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan lansia dan memfasilitasi lansia

mendapatkan kehidupan sosial yang wajar. Dalam hal ini. PSTW merupakan

pelayanan community setting untuk mengatasi masalah sosial pada lansia di

perkotaan.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 45: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

34 Universitas Indonesia

BAB 3

ANALISIS KASUS

3.1. Pengkajian

Klien Ibu S, berusia 73 tahun, adalah salah satu WBS di Panti Sosial Tresna Werdha

(PSTW) 1 Cipayung. Klien menganut agama Islam dan saat ini berstatus janda.

Berdasarkan hasil wawancara, didapatkan data klien tidak sekolah dan sebelumnya

hanya berperan sebagai ibu rumah tangga dan tidak memiliki pekerjaan lain. Klien

masuk ke PSTW Budi Mulia 1 Cipayung untuk mendapatkan pelayanan dan

perawatan pada tanggal 25 September 2007. Klien mengatakan masuk ke panti

dengan diantar oleh petugas untuk dirawat dan tinggal di panti karena sudah tua dan

tidak ada yang merawat. Klien memiliki keluarga di Jakarta namun tidak ingin

merepotkan dan menjadi beban keluarga. Klien bekerja sebagai petugas kebersihan

yang membersihkan jalan raya setelah suami meninggal dunia.

3.1.1 Riwayat Kesehatan

Klien mengatakan pernah mengalami kecelakaan namun tidak mengingat persis pada

tahun berapa kecelakaan tersebut terjadi. Klien memperkirakan kecelakaan terjadi 5

tahun yang lalu. Kecelakaan tersebut mengakibatkan klien mengalami patah tulang

kaki kiri dan menjalani perawatan di rumah sakit. Selain patah tulang, klien tidak

pernah memiliki penyakit parah lain yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.

Penyakit yang sebelumnya pernah diderita seperti demam, batuk, pilek, diare, dan

mual muntah, namun sangat jarang dan tidak pernah sampai dirawat di rumah sakit

Hasil wawancara juga didapatkan data bahwa klien tidak mengetahui penyakit yang

pernah diderita oleh keluarga dan tidak memiliki penyakit keturunan.

Klien juga mengeluhkan nyeri di area kaki sebelah kiri jika digunakan untuk berjalan

terlalu lama. Nyeri terasa seperti berdenyut di kaki kiri.Jika nyeri muncul, nyeri

masih bisa ditahan, skala nyeri 2, dan dapat hilang jika kaki diistirahatkan. Nyeri

biasanya terasa sekitar 10 menit dan bersifat hilang timbul. Nyeri hanya terasa di

kaki kiri bagian bawah, dekat area kaki yang dulu pernah mengalami patah tulang,

namun nyeri tidak menjalar. Saat ini nyeri jarang dirasakan, namun jika nyeri muncul

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 46: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

35

Universitas Indonesia

klien mengatakan mengurangi aktivitas berjalan, segera istirahat atau duduk dan

melanjutkan berjalan jika nyeri hilang atau berkurang. Sebelumnya, klien sudah

diajarkan untuk melakukan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri,

namun masih membutuhkan bimbingan.

Data kesehatan dan hasil wawancara dengan perawat yang bertugas di wisma

menunjukkan bahwa klien memiliki masalah psikotik yaitu waham somatik sejak

awal masuk ke panti. Klien mengeluh sulit buang air besar, namun petugas panti

mengatakan klien sebenarnya rutin buang air besar 1 kali sehari. Selain itu, hasil

wawancara juga didapatkan data bahwa klien mengatakan buang air besar 1 kali

sehari dengan feses lunak namun klien selalu merasa sulit buang air besar. Selain itu,

selama tinggal di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung, klien pernah 1 kali jatuh saat

berjalan di lantai yang menanjak dan kejadian jatuh terakhir yaitu pada bulan Mei

tahun 2014.

3.1.2 Kebiasaan sehari-hari

Kebiasaan sehari-hari yang dikaji salah satunya yaitu kebiasaan biologis seperti pola

makan, pola minum, pola tidur, pola eliminasi, aktivitas sehari-hari, dan rekreasi.

Pola makan klien tiga kali sehari sesuai makanan yang disediakan oleh panti. Klien

mengatakan tidak memilih-milih makanan, menyukai sayuran, lauk, dan buah, dan

tidak menghindari atau membatasi makanan tertentu. Klien mengatakan nafsu makan

sempat membaik, naum kembali menurun saat ini sehingga sering tidak

menghabiskan makanan yang disajikan. Klien hanya menghabiskan setengah hingga

tiga per empat porsi dari makanan yang diberikan dan membuang sisa makanan yang

tidak habis dimakan. Klien mengatakan cepat merasa kenyang sehingga makanan

tidak dihabiskan. Hasil observasi didapatkan data bahwa klien masih dapat

mengunyah dan menelan makanan dengan baik. Gigi depan atas dan bawah masih

utuh dan sebagian gigi geraham sudah tanggal akan tetapi kebersihan mulut kurang.

Hasil observasi juga mendapatkan data terkait pola makan atau nutrisi pada klien.

Adapun data tersebut yaitu tidak ada kegiatan makan bersama. Sebagian lansia

makan di depan wisma dan duduk berdampingan dengan WBS lain tanpa melakukan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 47: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

36

Universitas Indonesia

interaksi dan sebagian besar WBS makan di dalam wisma karena keterbatasan

mobilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa suasana makan kurang mendukung

peningkatan selera makan klien. Selain itu, jumlah care giver dan perawat hanya ada

tiga orang dan masing-masing perawat bertanggung jawab terhadap 33 WBS di

wisma cempaka sehingga perawat atau petugas sulit mengawasi dan memastikan

WBS menghabiskan makanan yang diberikan.

Kebiasaan biologis lain yang dikaji yaitu pola minum dan pola eliminasi klien. Klien

mengatakan minum 3 gelas besar setiap hari (+ 1200cc). Klien mengatakan saat ini

tidak khawatir untuk minum air lebih banyak karrena sudah menggunakan diaper

sehingga tidak terus menerus pergi ke kamar mandi. Adapun terkait pola tidur, klien

mengatakan selalu dapat tidur nyenyak pada malam hari. Klien tidak mengetahui

persis jam berapa tertidur namun tidak lama setelah maghrib klien tertidur dan

terkadang bangun saat sudah terang tanpa terbangun pada malam hari. Klien

menghindari minum sebelum tidur agar tidak terbangun di tengah malam untuk

buang air kecil. Hasil observasi menunjukkan bahwa klien tidur pada siang hari

sekitar 1 hingga 1,5 jam terutama setelah meminum obat. Klien mengatakan sering

merasa mengantuk pada siang hari terutama setelah minum obat.

Pola eliminasi yang meliputi pola BAK dan pola BAB juga merupakan salah satu

aspek kebiasaan biologis yang dikaji. Klien mengatakan BAK 4 sampai 6 kali sehari.

Klien lebih sering.BAK 3 sampai 4 kali di siang hari dan 1 sampai 2 kali sehari di

sore hari Klien jarang BAK pada malam hari atau pada tengah malam. Selain itu,

klien biasanya BAB satu kali sehari dengan feses yang lunak, namum selalu merasa

sulit buang air besar. Klien mengatakan masih dapat merasakan jika ingin BAK atau

BAB. Klien juga masih dapat menahan BAK dan BAB, namun tidak dapat menahan

lama sehingga harus segera ke kamar mandi sebelum BAK atau BAB sudah tidak

tertahankan.

Kebiasaan biologis selanjutnya yang dikaji yaitu aktivitas sehari-hari. Aktivitas klien

setiap hari yaitu setiap pagi, bangun subuh dan mengambil air wudhu lalu shalat

Subuh terlebih dulu. Setelah itu, sekitar pukul 06.00 klien mandi dengan dibantu

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 48: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

37

Universitas Indonesia

perawat namun terkadang mandi sendiri. Klien mengatakan selalu mandi

menggunakan sabun dan menyikat gigi dan setiap hari selalu mencuci rambut.

Setelah itu, klien duduk di depan wisma untuk menunggu waktu sarapan dan pukul

07.00 klien sarapan pagi bersama. Setelah sarapan, klien biasanya tetap duduk-duduk

di bangku depan wisma sampai agak siang lalu masuk ke dalam wisma dan menuju

tempat tidur jika tidak ada kegiatan.

Aktivitas lain yang dilakukan klien yaitu melakukan rentang pergerakan sendi atau

menggerakkan badan dengan gerakan yang sebelumnya pernah diajarkan oleh

perawat setiap pagi. Klien mengatakan setiap selasa dan jumat ada senam pagi,

namun tidak pernah mengikuti senam pagi karena tidak kuat berjalan jauh dan tidak

ada yang mendampingi klien. Akan tetapi, klien ingin ikut senam pagi jika diajak

oleh perawat dan dibantu jalan atau senam dengan menggunakan kursi roda.

Aktivitas klien di wisma juga terlihat sangat kurang. Klien mengatakan tidak pernah

mencuci pakaian sendiri karena sudah tidak kuat dan takut jatuh. Klien juga tidak

mengikuti kegiatan kesenian dan keterampilan di panti karena sulit berjalan, mudah

lelah, dan tidak memiliki keterampilan dalam bidang seni. Akan tetapi, klien selalu

mengikuti kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa di wisma. Klien juga mengatakan

tidak pernah mengikuti pengajian yang diadakan di mushala panti karena jalan

menuju mushola menanjak dan takut jatuh jika tidak ada yang membantu ke

mushola. Hal ini sesuai dengan data observasi yang menunjukkan bahwa klien tidak

pernah terlibat dan mengikuti aktivitas tersebut. Saat ini, klien mengeluhkan tubuh

lemah ketika digunakan untuk berjalan. Klien mengatakan terkadang sempoyongan

dan terasa akan jatuh saat berjalan. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa klien

berjalan dengan berpegangan pada benda sekitar seperti dinding, tempat tidur, atau

meja.

Klien memiliki alat bantu jalan yaitu walker, namun tidak pernah digunakan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas panti didapatkan data bahwa alat bantu

jalan walker didapatkan sekitar satu setengah tahun yang lalu. Alat bantu jalan

didapatkan dari PSTW. Sebelumnya klien pernah dilatih menggunakan walker oleh

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 49: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

38

Universitas Indonesia

mahasiswa yang melakukan praktik klinik di PSTW ini, namun klien mengatakan

walker berat dan menyulitkan saat berjalan sehingga walker tidak lagi digunakan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat yang bertugas di panti, klien pernah

mengalami jatuh pada bulan Mei 2014 saat berjalan tanpa menggunakan walker. Hal

tersebut menyebabkan klien membatasi aktivitas seperti aktivitas berjalan ke kamar

mandi atau ke luar wisma. Akan tetapi, klien tetap tidak menggunakan walker saat

berjalan ke luar wisma atau ke kamar mandi. Hasil observasi juga didapatkan bahwa

klien belum menggunakan walker dengan tepat, baik dari cara melangkah, postur

tubuh, maupun pengaturan walker itu sendiri.

Jumlah care giver atau perawat yang bertugas di wisma yang terbatas

memungkinkan klien kurang mendapatkan pengawasan terhadap aktivitas mobilisasi.

Hasil wawancara dengan petugas panti didapatkan data bahwa care giver dan

perawat sudah mendapatkan pelatihan terkait penggunaan alat bantu jalan. Akan

tetapi, jumlah WBS yang membutuhkan pengawasan dan pendampingan penggunaan

alat bantu jalan jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SDM yang tersedia

sehingga pengawasan dan pendampingan penggunaan alat bantu jalan tidak dapat

dilakukan dengan optimal.

Kebiasaan biologis selanjutnya yaitu rekreasi. Hasil wawancara menunjukkan bahwa

panti mengadakan kegiatan rekreasi bagi WBS yang dilakukan dengan pergi

mengunjungi tempat wisata. Akan tetapi, klien mengatakan tidak pernah mengikuti

kegiatan rekreasi karena tubuh sudah tidak kuat atau lemah untuk melakukan

perjalanan jauh. Selain kegiatan rekreasi yang diadakan oleh panti, klien tidak

memiliki aktivitas rekreasi yang lain di dalam wisma.

Kondisi psikologis dan sosial juga merupakan komponen yang dikaji. Terkait

keadaan emosi, emosi klien tampak stabil dan sesuai. Klien tampak bersemangat

ketika menceritakan masa lalu yang menyenangkan, namun tampak sedih ketika

menceritakan kondisi saat ini yang tidak lagi tinggal dengan keluarga. Terkait

dukungan dari keluarga, klien mengatakan masih memiliki keluarga di Jakarta,

namun saat ini sudah tidak pernah mengunjungi keluarga dan keluarga tersebut juga

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 50: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

39

Universitas Indonesia

tidak lagi berkunjung ke panti. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa klien

memiliki anggota keluarga yang tinggal di wilayah jakarta Utara dan terakhir

mengunjungi keluarga pada tahun 2010.

Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa klien memiliki hubungan yang kurang

baik dengan keluarga dan WBS lain. Klien mengatakan sudah hilang kontak dengan

keluarga karena sudah tidak pernah mengunjungi keluarga lagi dan keluarga tidak

pernah berkunjung ke panti. Akan tetapi, klien mengatakan saat suami masih hidup,

hubungan klien dan suami baik dan saling mendukung. Klien mengatakan

hubungannya dengan orang lain di tempat tinggal sebelumnya yaitu di Jakarta Utara

kurang baik karena klien menganggap orang kota individualis. Selama di panti, klien

mengatakan jarang berinteraksi dengan WBS lain. Hal ini dikarenakan klien merasa

tidak memahami pembicaraan. Klien mengatakan banyak WBS yang jarang

berinteraksi sehingga klien segan untuk memulai interaksi atau pembicaraan. Klien

juga mengatakan lebih sering mengobrol dengan perawat atau mahasiswa. Hasil

observasi juga menunjukkan bahwa klien tampak tidak pernah melakukan interaksi

WBS lain walaupun duduk bersebelahan. Selain itu, klien lebih banyak melakukan

aktivitas di tempat tidur walaupun sering keluar wisma untuk duduk di bangku depan

wisma. Kurangnya interaksi dengan WBS lain menyebabkan klien semakin tidak

termotivasi untuk melakukan aktivitas atau mobilisasi.

Aktivitas spiritual dan kultural klien juga dikaji. Terkait pelaksanaan ibadah, klien

selalu berusaha menunaikan shalat 5 waktu akan tetapi terkadang tidak shalat 5

waktu karena berbagai alasan seperti bangun kesiangan, lupa, atau pusing dan

mengantuk. Klien mengatakan biasanya melakukan ibadah dalam posisi duduk.

Klien tidak pernah mengikuti pengajian di mushola karena jalan menuju mushola

menanjak sehingga kesulitan dan takut jatuh jika tidak ada yang mendampingi.

Selain itu, terkait keyakinan tentang kesehatan, klien percaya bahwa sakit adalah

ujian dari Allah SWT agar orang senantiasa ingat kepada Allah SWT. Selain itu,

klien mengatakan kesehatan itu sangat penting dan harus dijaga.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 51: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

40

Universitas Indonesia

3.1.3 Pemeriksaan Fisik

Hasil pemeriksaan fisik yang dilaksanakan pada tanggal 7 Mei 2014 didapatkan hasil

keadaan umum klien tampak kurus serta gaya berjalan dan pergerakan lambat. Selain

itu, klien berjalan dengan berpegangan pada dinding atau benda di sekitar walaupun

memiliki alat bantu walker. Kesadaran compos mentis masih mengingat nama ketiga

anaknya, nama suaminya, masih mengingat orang-orang disekitarnya seperti perawat

dan petugas panti yang sering mengunjungi klien. Orientasi klien terhadap tempat

juga masih baik. Klien mengatakan tidak mengingat tanggal, tahun, dan bulan saat

ini karena jarang melihat tanggalan. Hasil pengukuran tanda tanda vital didapatkan

data tekanan darah klien 130/70 mmHg, suhu tubuh 36,3o C, frekuensi nadi 72 kali

per menit dan frekuensi napas 22 kali per menit. Hasil pengkajian juga didapatkan

berat badan yaitu 39 kg dan tinggi badan 147 cm sehingga didapatkan indeks massa

tubuh 18,05.

Hasil pemeriksaan fisik meliputi pengkajian head to toe atau pengkajian dari area

kepala hingga kaki. Pemeriksaan fisik menunjukkan bahwa bentuk kepala bulat,

simetris (normocephalic), tidak terdapat lesi. Selain itu, rambut tampak beruban,

kulit kepala sedikit berketombe dan lembab. Rambut klien tipis, tidak mudah

dicabut, tidak rapuh, serta kulit kepala dan rambut bersih . selain itu, rambut lurus,

tidak bercabang, terdistribusi secara merata pada kulit kepala, dan tidak ada lesi pada

kulit kepala. Pengkajian pada area mata menunjukkan keadaan dan penampilan

umum struktur mata yaitu alis mata kurang simetris, namun mata sejajar, keadaan

konjungtiva dan sklera yaitu konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, dan ekitar

lensa agak putih. Kelopak mata sedikit menutup dan kelopak mata kanan tidak sama

dengan kelopak mata kiri. Mata kanan klien mengalami penurunan atau penglihatan

lebih buram dibandingkan dengan mata kiri. Klien masih dapat melihat dengan jelas

wajah orang-orang yang berada dekat dengan klien, akan tetapi tidak dapat meilhat

jelas orang atau benda yang letaknya jauh atau terlalu dekat. Klien tidak memakai

kaca mata, tidak ada luka atau irirtasi mata dan mata tampak bersih.

Pemeriksaan fisik juga dilakukan pada area hidung, mulut, telinga, dan leher. Hidung

tampak simetris, bersih, tidak ada masa, tidak ada sekret yang menyumbat hidung.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 52: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

41

Universitas Indonesia

Selain itu, bibir tampak sedikit kering, gigi seri dan taring depan atas dan bawah

masih lengkap, namun beberapa gigi geraham atas dan bawah sudah tanggal. Klien

mengatakan tidak pernah sakit gigi dan gusi tidak berdarah saat menyikat gigi. Klien

juga mengatakan gigi masih dapat digunakan untuk menggigit dan mengunyah.

Tidak ada karies, plak, dan terdapat halitosis. Gigi dan gusi serta rongga mulut

tampak kurang bersih, terdapat sisa makanan. Telinga simetris antara telinga kanan

dan kiri, tidak ada serumen atau pengeluaran cairan, tidak ada nyeri tekan, klien

mengatakan masih dapat mendengar dengan baik. Selanjutnya, pada area leher tidak

ada pembesaran kelenjar getah bening dan tidak ada kesulitan atau gangguan

menelan.

Pemeriksaan fisik pada area dada dan abdomen menunjukkan keadaan umum bentuk

dada dan abdomen simetris. Hasil auskultasi didapatkan BJ I dan BJ II normal, tidak

ada murmur dan gallop, bunyi jantung teratur, suara paru vesikuler, tidak ada suara

paru dan bunyi napas abnormal. Selain itu juga tidak ditemukan adanya retraksi

dinding dada. Pengkajian area abdomen didapatkan data abdomen datar, tidak ada

kemerahan, tidak ada bekas luka atau jaringan parut, dan tidak ada tanda–tanda

infeksi. Selain itu, abdomen teraba lemas dan tidak ada massa, nyeri tekan abdomen

tidak ada, dan tidak ada ascites.

Pemeriksaan juga dilakukan pada area ektremitas dan kondisi lingkungan klien. Dari

hasil pemeriksaan fisik, didapatkan data bahwa terdapat deformitas pada tulang tibia

di area 1/3 distal tibia sinistra. Tidak ada edema dan varises. Hasil palpasi didapatkan

turgor kulit ekstremitas menurun, kembalinya lambat, dan capillary refill time

kurang dari 2 detik. Selain itu, rentang gerak ekstremitas atas dan bawah baik kanan

maupun kiri sudah mengalami penurunan atau mengalami keterbatasan, Klien tidak

dapat melakukan rentang gerak sendi penuh pada gerakan fleksi lateral kanan dan

kiri, rotasi lateral kanan dan kiri leher, fleksi dan ekstensi, abduksi, fleksi dan

ekstensi horisontal bahu, ekstensi siku, ekstensi jari-jari tangan, dorso fleksi, plantar

fleksi, inversi, eversi pergelangan kaki, dan abduksi, adduksi, fleksi serta ekstensi

jari kaki.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 53: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

42

Universitas Indonesia

Hasil pengkajian kekuatan otot juga menunjukkan bahwa klien telah mengalami

penurunan kekuatan otot pada kedua ekstremitas bawah. Kekuatan otot deltoid, bisep

brachii, trisep trachii, dan otot interossei di kedua ekstremitas atas menunjukkan

kekuatan otot baik, dapat melakukan pergerakan aktif melawan gravitasi dan

melawan tahanan maksimal. Adapun otot hamstring di kedua ekstremitas bawah dan

otot quadrisep ekstremitas kiri bawah mengalami penurunan yaitu dapat melakukan

pergerakan aktif melawan gravitasi tanpa tahanan. Otot quadrisep, otot tibialis

anterior, dan otot trisep surae ekstremitas kanan bawah klien juga mengalami

penurunan yaitu dapat melawan gravitasi dan melawan tahanan sedang. Selain itu,

hasil pengkajian kekuatan otot juga menunjukkan bahwa otot tibialis anterior dan

otot trisep surae ekstremitas kiri bawah mengalami penurunan. Hal ini ditunjukkan

dengan tidak adanya gerakan sendi, namun kontraksi otot dapat dipalpasi. Hal ini

dikarenakan ekstremitas kiri bawah tepatnya di area 1/3 distal tibia telah mengalami

kontraktur.

Data terkait kondisi lingkungan menunjukkan bahwa lantai wisma tidak licin, bersih,

penerangan cukup baik, tidak ada benda-benda yang menghalangi lansia saat

berjalan. Perabotan tertata dengan baik dan rapi. Selain itu, terdapat jendela yang

dapat dibuka. Kamar mandi bersih, lantai kamar mandi kering dan tidak licin. Akan

tetapi, kamar mandi masih menggunakan kloset jongkok. Tempat tidur klien agak

tinggi dan tidak terdapat pengaman (side rail) pada tempat tidur.

Hasil wawancara dengan perawat juga didapatkan data bahwa saat ini diagnosa

medis klien yaitu gangguan psikotik berupa waham. Klien mendapatkan terapi atau

obat-obatan antipsikotik yaitu THP dan Risperidone. Adapun dosis yang diberikan

yaitu klien mengkonsumsi kedua obat tersebut masing-masing 2 kali setengah tablet

sehari. Hasil wawancara tidak menemukan data terkait pemeriksaan laboratorium

karena klien tidak pernah dirujuk ke rumah sakit sebelumnya.

Pengkajian juga dilakukan dengan menggunakan beberapa instrumen pengkajian

berupa kuesioner. Berdasarkan hasil pengkajian menggunakan instrumen False

Morse Scale didapatkan data terkait item riwayat jatuh dalam 3 bulan terakhir klien

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 54: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

43

Universitas Indonesia

pernah mengalami kejadian jatuh sebanyak 1 kali sehingga didapatkan skor 25.

Adapun terkait item diagnosis sekunder, klien tidak memiliki lebih dari dua

diagnosis medis sehingga skor yang didapatkan yaitu 0. Terkait item bantuan

berjalan, hasil observasi menunjukkan bahwa klien berjalan dengan berpegangan

pada furnitus walaupun memiliki alat bantu jalan sehingga didapatkan skor 30 pada

item tersebut. Gaya juga terlihat lemah sehingga skor item gaya berjalan klien yaitu

10. Adapun terkait item status mental, orientasi terhadap kemampuan masih baik,

sehingga didapatkan skor 0. Dari hasil tersebut, disimbulkan bahwa hasil pengkajian

menggunakan instrumen False Morse Scale (FMS) menghasilkan skor total 65 yang

menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh yang tinggi.

Pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT) juga dilakukan untuk

mengukur keseimbangan dan risiko jatuh klien. Hasil pemeriksaan BBT didapatkan

klien mampu berdiri namun membutuhkan bantuan sehingga didapatkan skor 3.

Selain itu, klien juga mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan sehingga

didapatkan skor 2. Hasil pengkajian juga didapatkan data klien mampu duduk aman

selama dua menit dengan skor 4. Klien mampu duduk dengan menggunakan bantuan

tangan sehingga didapatkan skor 3. Klien juga membutuhkan seseorang untuk

membantu berpindah dan tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap

berdiri dengan aman. Kedua item tersebut selanjutnya diberi skor 1. Klien

mendapatkan skor 0 untuk item berdiri tanpa bantuan dengan kaki rapat karena

membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi mampu

berdiri selama 15 detik. Selain itu, klien mampu meraih ke depan mencapai 25 cm

dengan mengulurkan tangan ketika berdiri sehingga didapatkan skor 4.

Hasil pengkajian juga menunjukkan klien tidak mampu mengambil objek di lantai

dengan posisi berdiri dan memerlukan pengawasan ketika mencoba sehingga

didapatkan skor 1. Klien juga hanya mampu melihat ke samping tetapi masih dapat

menjaga keseimbangan saat diberi instruksi melihat ke belakang melewati bahu

ketika berdiri sehingga didapatkan skor 2. Klien mampu berputar 360 derajat, tetapi

dengan gerakan yang lambat sehingga didapatkan skor 2. Saat pengkajian juga klien

membutuhkan bantuan untuk menempatkan kaki pada pijakan, kehilangan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 55: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

44

Universitas Indonesia

keseimbangan saat berdiri dengan satu kaki didepan kaki lainnya, dan tidak mampu

mencoba berdiri dengan satu kaki sehingga masing-masing diberi skor 0. Dari hasil

pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT) didapatkan skor total

24 yang menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu

menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk, dan walker.

Skor Barthel Index Scoring menunjukkan skor total 60 yang menginterpretasikan

klien memiliki ketergantungan sedang. Selain itu, hasil pengkajian menggunakan

instrumen Mini Mental Status Exam (MMSE) didapatkan skor total 21 yang

menunjukkan bahwa klien mengalami kerusakan kognitif ringan. Hasil pengkajian

menggunakan angket yaitu The Mini Nutritional Assessment (MNA) didapatkan skor

total 16,5 yang menunjukkan bahwa klien mengalami malnutrisi. Selain itu, hasil

pengkajian menggunakan instrumen Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI)

didapatkan skor total 4 dengan interpretasi kualitas tidur baik.

3.2. Analisa Data

Hasil pengkajian di atas menunjukkan bahwa pada kasus klien ditemukan beberapa

masalah keperawatan, yaitu hambatan mobilitas fisik, ketidakseimbangan nutrisi:

kurang dari kebutuhan tubuh, dan hambatan interaksi sosial. Adapun masalah

keperawatan tersebut diangkat berdasarkan data pengkajian terfokus dan disesuaikan

dengan definisi serta batasan karakteristik sesuai ketentuan NANDA Internasional

tahun 2012-2014. Masalah hambatan mobilitas fisik diangkat berdasarkan data

subjektif yang menunjukkan bahwa klien mengeluhkan nyeri di kaki sebelah kiri jika

digunakan untuk berjalan terlalu lama dan saat ini nyeri jarang dirasakan, namun jika

nyeri muncul klien mengatakan mengurangi aktivitas berjalan. Klien juga

mengatakan jarang mengikuti kegiatan panti, seperti senam pagi, pengajian, dan

panggung gembira karena tidak kuat berjalan jauh, takut jatuh jika jalan menanjak

dan tidak ada yang mendampingi. Selain itu, klien mengeluhkan tubuh lemah ketika

digunakan untuk berjalan. Klien juga mengatakan terkadang sempoyongan dan terasa

akan jatuh saat berjalan. Data subjektif lain yang mendukung yaitu klien mengatakan

walker berat dan menyulitkan saat berjalan sehingga tidak lagi menggunakan walker.

Selain itu, klien mengatakan melakukan rentang pergerakan sendi atau

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 56: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

45

Universitas Indonesia

menggerakkan badan dengan gerakan yang sebelumnya pernah diajarkan oleh

perawat setiap pagi.

Data objektif yang mendukung diangkatnya masalah hambatan mobilitas fisik

didapatkan dari hasil observasi dan pengkajian menggunakan instrumen atau angket.

Klien berusia 73 tahun dan sudah mengalami penurunan kekuatan otot dan

keseimbangan atau pengendalian gerakan akibat proses penuaan Aktivitas klien di

wisma juga terlihat sangat kurang. Selain itu, klien tampak berjalan dengan

berpegangan pada benda sekitar seperti dinding, tempat tidur, atau meja. Hasil

observasi menunjukkan bahwa klien memiliki alat bantu jalan yaitu walker, namun

walker tidak pernah digunakan. Dari hasil pemeriksaan fisik, diapatkan data bahwa

terdapat deformitas pada area 1/3 distal tibia karena riwayat fraktur. Selain itu,

rentang gerak ekstremitas atas dan bawah baik kanan maupun kiri sudah mengalami

penurunan atau mengalami keterbatasan. Hasil pengkajian kekuatan otot juga

menunjukkan bahwa klien telah mengalami penurunan kekuatan otot pada kedua

ekstremitas bawah. Selain itu, klien mendapatkan terapi atau obat-obatan antipsikotik

yaitu THP dan Risperidone dengan efek samping yang dapat mempengaruhi

mobilitas klien seperti pusing, kelemahan otot, penglihatan kabur, dan mengantuk.

Jumlah care giver atau perawat yang bertugas di wisma tempat klien tinggal yang

terbatas memungkinkan klien kurang mendapatkan pengawasan terhadap aktivitas

mobilisasi. Hasil wawancara dengan petugas panti didapatkan data bahwa care giver

dan perawat sudah mendapatkan pelatihan terkait penggunaan alat bantu jalan. Akan

tetapi, jumlah WBS yang membutuhkan pengawasan dan pendampingan penggunaan

alat bantu jalan jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah SDM yang tersedia

sehingga pengawasan dan pendampingan penggunaan alat bantu jalan tidak dapat

dilakukan dengan optimal.

Hasil pengkajian menggunakan instrumen atau angket juga menunjukkan data yang

mendukung munculnya masalah hambatan mobilitas fisik klien. Hasil pengkajian

menggunakan instrumen False Morse Scale (FMS) menghasilkan skor total 65 yang

menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh yang tinggi. Adapun hasil

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 57: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

46

Universitas Indonesia

pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT) didapatkan skor total

24 yang menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu

menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk, dan walker. Skor Barthel Index

Scoring menunjukkan skor total 60 yang menginterpretasikan klien memiliki

ketergantungan sedang. Selain itu, hasil pengkajian menggunakan instrumen Mini

Mental Status Exam (MMSE) didapatkan skor total 21 yang menunjukkan bahwa

klien mengalami kerusakan kognitif ringan. Status mental juga perlu diperhatikan

mengingat status mental merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mobilitas.

Pengkajian yang dilakukan dengan observasi dan wawancara mendapatkan data yang

mendukung masalah ketidakseimbangan nutrisi pada klien. Adapun data subjektif

yang didapatkan yaitu klien mengatakan tidak memilih-milih makanan, menyukai

sayuran, lauk, dan buah, dan tidak menghindari atau membatasi makanan tertentu.

Klien mengatakan nafsu makan sempat membaik, namun kembali menurun saat ini

sehingga klien sering tidak menghabiskan makanan yang disajikan. Selain itu, klien

mengatakan cepat merasa kenyang sehingga makanan tidak dihabiskan.

Data observasi dan hasil pemeriksaan fisik menjadi data objektif yang mendukung

masalah ketidakseimbangan nutrisi pada klien. Hasil observasi didapatkan data

bahwa klien masih dapat mengunyah dan menelan makanan dengan baik. Gigi depan

atas dan bawah masih utuh dan sebagian gigi geraham sudah tanggal akan tetapi

kebersihan mulut kurang. Selain itu, pola makan klien tiga kali sehari sesuai

makanan yang disediakan oleh panti. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa klien

hanya menghabiskan setengah hingga tiga per empat porsi dari makanan yang

diberikan dan membuang sisa makanan yang tidak habis dimakan.

Pemeriksaan fisik dan pengkajian menggunakan angket juga mendapatkan data yang

mendukung masalah nutrisi klien. Hasil pengkajian menunjukkan klien tampak kurus

dengan berat badan klien yaitu 39 kg dan tinggi badan 147 cm sehingga didapatkan

indeks massa tubuh klien 18,05. Indeks massa tubuh klien menunjukkan bahwa gizi

klien kurang. Selain itu, pengukuran LLA didapatkan lingkar lengan atas klien 21cm

dan lingkar betis klien yaitu 27cm. Selain itu, hasil pengkajian menggunakan angket

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 58: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

47

Universitas Indonesia

yaitu The Mini Nutritional Assessment (MNA) didapatkan skor total 16,5 yang

menunjukkan bahwa klien mengalami malnutrisi.

Hasil observasi juga mendapatkan data yang mendukung terjadinya masalah nutrisi

pada klien. Adapun data tersebut yaitu tidak ada kegiatan makan bersama. Sebagian

lansia makan di depan wisma dan duduk berdampingan dengan WBS lain tanpa

melakukan interaksi dan sebagian besar WBS makan di dalam wisma karena

keterbatasan mobilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa suasana makan kurang

mendukung peningkatan selera makan klien. Selain itu, jumlah care giver dan

perawat hanya ada tiga orang dan masing-masing perawat bertanggung jawab

terhadap 33 WBS di wisma cempaka sehingga perawat atau petugas sulit mengawasi

dan memastikan WBS menghabiskan makanan yang diberikan.

Masalah lain yang juga muncul pada klien yaitu terkait hambatan interaksi sosial.

Adapun data subjektif yang mendukung masalah tersebut yaitu klien mengatakan

jarang berinteraksi dengan WBS lain. Hal ini dikarenakan klien merasa tidak

memahami pembicaraan. Klien juga mengatakan banyak WBS yang jarang

berinteraksi sehingga klien segan untuk memulai interaksi atau pembicaraan. Selain

itu, klien juga mengatakan lebih sering mengobrol dengan perawat atau mahasiswa.

Data objektif didapatkan dari hasil observasi yang menunjukkan bahwa klien tampak

tidak pernah melakukan interaksi dengan WBS lain walaupun duduk bersebelahan.

Selain itu, klien lebih banyak melakukan aktivitas di tempat tidur walaupun sering

keluar wisma untuk duduk di bangku depan wisma. Kurangnya interaksi dengan

WBS lain menyebabkan klien semakin tidak termotivasi untuk melakukan aktivitas

atau mobilisasi.

3.3. Rencana Asuhan Keperawatan

Rencana asuhan keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan klien, yaitu

hambatan mobilitas fisik, ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh,

dan hambatan interaksi sosial. Adapun diagnosa keperawatan prioritas klien yaitu

hambatan mobilitas fisik. Tujuan rencana asuhan keperawatan terkait diagnosa

tersebut yaitu setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 15 hari dalam 5

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 59: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

48

Universitas Indonesia

minggu, klien menunjukkan peningkatan mobilitas fisik. Adapun kriteria evaluasi

dari tujuan tersebut yaitu klien memperlihatkan penggunaan alat bantu secara benar,

meminta bantuan untuk aktivitas mobilisasi, jika diperlukan, melakukan aktivitas

kehidupan sehari-hari secara mandiri dengan alat bantu (walker), menyangga berat

badan, rentang gerak sendi meningkat, melakukan latihan rentang gerak sendi secara

mandiri, dan menunjukkan peningkatan keseimbangan saat berjalan. Rencana

intervensi yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah hambatan mobilitas

fisik yaitu kaji tanda-tanda vital dan kekuatan otot setiap hari untuk menentukan

status perkembangan klien. Intervensi selanjutnya yaitu tingkatkan mobilitas dan

tentukan jenis ROM yang tepat untuk klien (pasif, aktif asistif, aktif), frekuensi

ditentukan oleh kondisi klien. Selanjutnya, lakukan latihan secara perlahan dan

sanggah ekstremitas atas dan bawah sendi saat melakukan ROM setiap hari satu

sampai dua kali.

Rencana intervensi selanjutnya yaitu jelaskan dampak kurangnya aktivitas mobilisasi

dan akibat tidak menggunakan alat bantu jalan. Selanjutnya, ajarkan tindakan

mobilisasi yang lebih progresif, jika kondisi klien memungkinkan. Adapun tindakan

tersebut meliputi motivasi klien untuk meningkatkan aktivitas di luar kamar dengan

tetap menggunakan alat bantu jalan. Selain itu, biarkan klien untuk menjuntai kaki ke

sisi tempat tidur selama beberapa menit sebelum berdiri.

Tindakan selanjutnya yaitu ajarkan klien menggunakan alat bantu walker dengan

cara yang tepat. Sebelum melakukan latihan, evaluasi kemampuan dan motivasi klien

menggunakan alat bantu jalan. Selain itu, perhatikan kondisi klien dan lingkungan

serta alat yang dibutuhkan selama intervensi penggunaan alat bantu jalan. Hal ini

bertujuan untuk meminimalkan faktor yang dapat menghambat atau membahayakan

kien selama latihan berlangsung. Selanjutnya, jelaskan kembali pada klien tujuan

penggunaan alat bantu jalan, dampak jika tidak menggunakan alat bantu jalan, serta

cara penggunaan alat bantu jalan baik cara melangkah, duduk, maupun berdiri

menggunakan alat bantu jalan. Setelah diberi penjelasan, demontstrasikan cara

menggunakan alat bantu jalan walker. Selanjutnya, beri kesempatan klien untuk

mendemostrasikan kembali cara menggunakan walker. Beri motivasi dan bimbing

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 60: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

49

Universitas Indonesia

serta lakukan pengawasan pada klien saat klien mendemostrasikan penggunaan alat

bantu jalan. Lakukan intervensi ini secara berulang hingga klien benar-benar dapat

menggunakan alat bantu jalan walker dengan tepat dan mandiri.

Intervensi selanjutnya yang dilakukan yaitu lakukan supervisi terhadap usaha

mobilisasi klien, bantu jika diperlukan. Libatkan klien dalam aktivitas olahraga yang

memfasilitasi pergerakan sendi dan kekuatan otot sesuai program yang diadakan di

panti. Selanjutnya, tindakan kolaborasi juga dimasukkan ke dalam rencana

intervensi. Adapun tindakan kolaborasi tersebut yaitu sediakan informasi mengenai

pentingnya klien melakukan mobilisasi kepada orang terdekat klien (penjaga panti

atau tenaga sosial) dipanti, agar mereka berpartisipasi dalam melakukan tindakan

mobilisasi pada klien.

3.4. Implementasi

Implementasi yang dilakukan sesuai dengan rencana asuhan keperawatan klien.

Adapun implementasi yang akan dibahas yaitu implementasi terkait diagnosa

keperawatan prioritas yaitu masalah hambatan mobilitas fisik. Adapun implementasi

dilakukan selama 5 minggu. Minggu pertama, yaitu tepatnya pada tanggal 11 dan 12

Mei 2014 dilakukan pengkajian tanda-tanda vital, rentang gerak sendi, dan kekuatan

otot klien untuk mengevaluasi kondisi klien. Selain itu juga penulis mengevaluasi

kemandirian, keseimbangan dan risiko jatuh klien menggunakan instrumen Barthel

Index Scoring, FMS dan BBT serta instrumen MMSE. Selanjutnya, penulis

memberikan penjelasan pada klien terkait kondisi klien, dampak penuaan terhadap

tulang, saraf, dan otot secara sederhana, pentingnya mobilitas fisik dan dampak yang

dapat terjadi dari kurangnya mobilitas fisik. Selanjutnya, klien diberikan penjelasan

terkait intervensi atau tindakan keperawatan yang akan dilakukan untuk

meningkatkan mobilitas klien. Klien menyetujui kontrak yang telah dibuat.

Implementasi selanjutnya dilakukan pada minggu selanjutnya, yaitu tanggal 14, 16,

dan 18 Mei 2014. Implementasi yang dilakukan pada tanggal 14 Mei 2014 yaitu

mengajarkan klien menggunakan alat bantu jalan walker. Adapun sebelum

mengajarkan klien menggunakan walker dengan tepat, penulis terlebih dahulu

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 61: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

50

Universitas Indonesia

menyiapkan dan memperhatikan kondisi klien sebelum intervensi, alat yang

dibutuhkan, dan lingkungan yang digunakan untuk latihan. Selanjutnya, penulis

mengevaluasi kembali ketepatan pengukuran ketinggian walker pada klien. Penulis

memeriksa siku klien dan letakkan tangan klien pada pegangan walker hingga

membentuk sudut 150o

atau sudut fleksi siku kira-kira 20o hingga 30

o. Selanjutnya,

penulis juga memeriksa tinggi pergelangan tangan untuk menyesuaikan ketinggian

walker yang nyaman bagi klien. Tindakan selanjutnya yang dilakukan yaitu melatih

klien melangkah menggunakan walker.

Penulis mengevaluasi kemampuan dan motivasi klien menggunakan walker sebelum

latihan. Karena penggunaan walker belum tepat, penulis kembali mengajarkan klien

cara menggunakan alat bantu jalan walker dengan tepat. Penulis mengajarkan cara

melangkah menggunakan walker dengan memindahkan walker ke depan, kemudian

melangkahkan satu kaki diikuti kaki lainnya ke dalam walker. Selama melatih klien

menggunakan walker, penulis juga memotivasi dan membimbing klien untuk

memperhatikan postur tubuh yang baik yaitu dengan kepala tegak, vertebra servikal,

thorakal, lumbal sejajar, pinggul dan lutut berada dalam keadaan fleksi yang sesuai,

dan lengan bebas mengayun bersama dengan kaki. Selain itu, penulis juga

mengingatkan klien untuk tidak mendorong walker terlalu jauh di depan klien atau

melangkahkan kaki terlalu dekat dengan batas depan walker. Selain itu, selama

latihan, klien juga diinformasikan untuk tidak mempercepat atau mengambil langkah

yang lebar saat berjalan menggunakan walker. Intervensi melatih klien melakukan

alat bantu jalan dilakukan 3 kali dalam minggu ini dengan persiapan prosedur yang

sama dan dievaluasi setiap pertemuan atau intervensi yang dilakukan.

Intervensi yang dilakukan pada minggu ketiga yaitu mengevaluasi kemampuan klien

berjalan menggunakan walker dan melatih keterampilan baru yaitu duduk dan berdiri

menggunakan walker. Penulis mendemonstrasikan cara duduk dari posisi berdiri

menggunakan walker dan berdiri dari posisi duduk menggunakan walker.

Selanjutnya penulis memotivasi klien untuk mendemonstasikan cara yang telah

diajarkan. Saat klien mendemonstrasikan, penulis melakukan pengawasan dan

pendampingan serta memberikan motivasi dan bimbingan selama latihan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 62: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

51

Universitas Indonesia

berlangsung. Penulis juga mengevaluasi respon dan kondisi klien sebelum, selama,

dan setelah intervensi dilakukan. Intervensi ini juga dilakukan sebanyak 3 kali dalam

seminggu.

Intervensi minggu ke empat dan minggu ke lima didifokuskan untuk mengevaluasi

kemampuan klien menggunakan alat bantu jalan, memberikan motivasi,

mendampingi, dan membimbing klien menggunakan alat bantu jalan untuk

melakukan aktivitas di wisma. Selain itu, penulis juga melibatkan petugas panti atau

care giver dalam melakukan pengawasan dan memberikan motivasi pada klien untuk

menggunakan walker. Selain itu, setiap intervensi yang dilakukan penulis

mengupayakan keterlibatan petugas panti atau care giver.

Implementasi dari intervensi keperawatan lain yang berkaitan dengan hambatan

mobilitas fisik juga dilakukan terintegrasi dengan latihan penggunaan alat bantu

jalan. Adaapun implementasi yang dilakukan yaitu mengevaluasi kemampuan dan

membimbing klien melakukan latihan rentang pergerakan sendi. Hal ini dikarenakan

sebelumnya klien pernah diajarkan latihan rentang pergerakan sendi. Implementasi

berikutnya yang dilakukan secara terintegrasi yaitu dengan memotivasi klien untuk

meningkatkan aktivitas di luar kamar dan melakukan supervisi terhadap usaha

mobilisasi klien, serta memberikan bantuan jika diperlukan. Selain itu, klien juga

dilibatkan dalam aktivitas olahraga senam pagi dengan menggunakan alat bantu kursi

roda untuk mobilisasi klien jika memungkinkan. Implementasi lain yang dilakukan

yaitu memfasilitasi care giver atau perawat di wisma untuk mendapatkan informasi

mengenai pentingnya klien melakukan mobilisasi agar turut berpartisipasi dalam

melakukan tindakan mobilisasi pada klien.

3.5. Evaluasi

Evaluasi terhadap implementasi yang telah dilakukan telah didokumentasikan dalam

catatan perkembangan. Hasil evaluasi terhadap implementasi latihan penggunaan alat

bantu jalan walker pada minggu petama yaitu didapatkan data bahwa motivasi klien

menggunakan alat bantu jalan masih kurang. Hal ini dikarenakan klien kurang

memahami manfaat penggunaan alat bantu jalan dan beranggapan bahwa akan lebih

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 63: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

52

Universitas Indonesia

baik dan mandiri jika tidak menggunakan alat bantu jalan. Selanjutnya, setelah diberi

penjelasan tentang manfaat aktivitas dan penggunaan alat bantu jalan serta dampak

yang mungkin ditimbulkan jika tidak menggunakan alat bantu jalan, klien mampu

menyebutkan kembali dan menyadari bahwa anggapan klien terhadap alat bantu

jalan selama ini tidak tepat. Klien juga mengatakan lupa cara menggunakan alat

bantu jalan walker dan memiliki keinginan untuk melakukan latihan penggunaan alat

bantu jalan.

Adapun hasil evaluasi objektif berdasarkan intervensi yang dilakukan yaitu

mencakup beberapa hal. Terkait aktivitas, aktivitas klien tampak lebih banyak di

tempat tidur, kemandirian kurang, dan klien masih berjalan dengan berpegangan

pada furnitur. Evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa klien masih tampak tidak

seimbang saat berjalan dan cara menggunakan walker belum tepat. Adapun hasil

evaluasi menggunakan instrumen BBT mendapatkan skor total 24, sedangkan

instrumen FMS mendapatkan skor 65. Selain itu, kekuatan otot serta rentang gerak

sendi leher, bahu, lutut, pergelangan kaki, dan jari kaki kanan dan kiri belum

mengalami peningkatan. Adapun skor Barthel Index Scoring menunjukkan skor

meningkat dari skor awal 60 yang menginterpretasikan klien memiliki

ketergantungan sedang. Hasil evaluasi pada minggu pertama menunjukkan bahwa

motivasi klien menggunakan alat bantu jalan masih kurang, keseimbangan, kekuatan

otot, dan rentang gerak sendi klien juga belum mengalami peningkatan. Oleh karena

itu, perencanaan yang ditetapkan penulis untuk intervensi di minggu selanjutnya

yaitu latih penggunaan alat bantu jalan walker.

Evaluasi dari intervensi keperawatan yang dilakukan pada minggu kedua meliputi

evaluasi subjektid dan objektif. Adapun hasil evaluasi subjektif didapatkan hasil

klien mengatakan akan selalu menggunakan walker saat berjalan untuk mencegah

jatuh. Selain itu, setelah diberikan penjelasan terkait tujuan penggunaan alat bantu

jalan dan dampak yang dapat muncul jika tidak menggunakan alat bantu jalan, klien

termotivasi untuk berlatih menggunakan alat bantu jalan walker dengan cara yang

tepat. Klien mengatakan akan selalu menggunakan walker saat berjalan untuk

mencegah jatuh. Klien menyebutkan dampak jika tidak menggunakan walker yaitu

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 64: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

53

Universitas Indonesia

berisiko jatuh seperti kejadian jatuh yang sebelumnya pernah dialami.Pada

pertemuan pertama tanggal 14, klien mengatakan tubuh terasa lebih seimbang, tidak

sempoyongan jika berjalan menggunakan walker.

Hasil evaluasi objektif pada minggu kedua menunjukkan klien mampu

mendemonstrasikan kembali cara melangkah menggunakan walker dengan tepat,

namun masih membutuhkan bimbingan. Klien juga mulai mampu berjalan

menggunakan alat bantu jalan dengan tepat, namun terkadang masih berjalan dengan

berpegangan pada furnitur. Klien juga belum dapat menggunakan alat bantu jalan

dengan tepat secara mandiri. Pada intervensi minggu kedua, petugas dilibatkan

dalam intervensi baik pelibatan dalam latihan menggunakan walker maupun dalam

pengawasan penggunaan walker klien.

Hasil evaluasi objektif juga menunjukkan aktivitas klien di wisma belum mengalami

peningkatan. Hasil evaluasi subjektif dan objektif menunjukkan bahwa motivasi

klien menggunakan walker mulai terlihat, akan tetapi kemampuan penggunaan

walker belum optimal sehingga perlu dilatih secara rutin. Dari hasil evaluasi tersebut,

penulis menetapkan perencanaan untuk intervensi selanjutnya yaitu latih klien

berjalan menggunakan alat bantu jalan walker secara rutin, latih penggunaan alat

bantu jalan untuk mencapai posisi duduk dari posisi berdiri dan sebaliknya, serta

libatkan petugas dalam intervensi.

Evaluasi dari intervensi keperawatan yang dilakukan pada minggu ketiga didapatkan

hasil evaluasi subjektif dan objektif. Adapun hasil evaluasi subjektif menunjukkan

klien mengatakan akan selalu menggunakan walker saat berjalan untuk mencegah

jatuh. Hasil evaluasi objektif menunjukkan klien mulai mampu berjalan

menggunakan alat bantu jalan dengan tepat, namun belum dapat menggunakan alat

bantu jalan secara mandiri tanpa pengawasan. Klien masih membutuhkan

pengawasan yang tepat. Akan tetapi, pada minggu ketiga tampak motivasi klien

untuk menggunakan alat bantu jalan mulai meningkat. Selain itu, pada minggu ini,

klien juga diajarkan cara duduk dari posisis berdiri dan sebaliknya dengan

menggunakan walker. Latihan dilakukan 3 kali seminggu akan tetapi pengawasan

dan pendampingan terhadap penggunaan alat bantu jalan dilakukan setiap hari. Hasil

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 65: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

54

Universitas Indonesia

evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa klien mulai mengalami peningkatan

aktivitas berjalan baik di dalam maupun di luar wisma menggunakan walker. Selain

itu, klien dapat melakukan latihan mencapai posisi duduk dari posisi berdiri dengan

aman dan tepat, namun masih membutuhkan arahan dan bimbingan.

Hasil evaluasi objektif dan subjektif pada minggu ketiga menunjukkan bahwa

motivasi klien menggunakan walker meningkat. Selain itu, klien juga menunjukkan

peningkatan aktivitas. Akan tetapi, klien masih memerlukan latihan menggunakan

walker secara rutin. Dari hasil evaluasi tersebut, penulis menetapkan perencanaan

untuk intervensi minggu selanjutnya yaitu latih berjalan menggunakan alat bantu

jalan walker secara rutin, motivasi dan supervisi penggunaan walker pada klien, dan

libatkan petugas dalam intervensi.

Evaluasi dari intervensi keperawatan yang dilakukan pada minggu keempat

didapatkan hasil klien mulai mengalami beberapa peningkatan. Hasil evaluasi

subjektif menunjukkan klien mengatakan memiliki keinginan untuk dapat

menggunakan walker dengan tepat dan nyaman. Klien juga mengatakan berjalan

menggunakan walker lebih aman karena tidak sempoyongan dan tidak takut jatuh.

Selain itu, hasil evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa kemampuan klien

menggunakan alat bantu jalan dengan tepat untuk berjalan. Akan tetapi, klien masih

membutuhkan bantuan dan bimbingan saat ingin mencapai posisi duduk maupun

berdiri menggunakan alat bantu jalan. Hal ini juga dipengaruhi oleh kekuatan otot

dan rentang gerak sendi klien. Intervensi penggunaan alat bantu jalan juga

diintegrasikan dengan latihan rentang gerak sendi dan latihan kekuatan otot.

Hasil evaluasi subjektif dan objektif minggu keempat menunjukkan beberapa

peningkatan. Pada minggu keempat, motivasi klien menggunakan walker meningkat,

klien merasakan manfaat penggunaan walker, menunjukkan peningkatan aktivitas,

namun klien memerlukan latihan menggunakan walker terutama untuk duduk dan

berdiri secara rutin untuk membiasakan dan mengoptimalkan kemampuan klien

menggunakan walker. Dari hasil evaluasi tersebut, penulis menetapkan beberapa

perencanaan untuk intervensi keperawatan minggu selanjutnya, yaitu latih berjalan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 66: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

55

Universitas Indonesia

menggunakan alat bantu jalan walker secara rutin, motivasi dan supervisi

penggunaan walker pada klien, dan libatkan petugas untuk melakukan pengawasan.

Evaluasi dari intervensi keperawatan yang dilakukan pada minggu kelima didapatkan

hasil klien mulai menunjukkan peningkatan baik peningkatan penggunaan alat bantu

jalan, peningkatan aktivitas, maupun peningkatan skor BBT, kekuatan otot, dan

peningkatan rentang gerak sendi. Hasil evaluasi subjektif menunjukkan klien

mengatakan akan selalu menggunakan walker untuk berjalan. Klien juga mengatakan

setelah dapat menggunakan alat bantu jalan, klien dapat lebih banyak berjalan

sehingga tidak merasa pusing seperti sebelumnya karena terlalu banyak berbaring di

tempat tidur. Klien juga mengatakan bahwa ekstremitas bawah masih terasa lemah,

namun setelah lebih banyak digunakan untuk berjalan, klien merasa tidak selemah

sebelumnya. Klien merasa ekstremitas bawah sudah mulai lebih kuat.

Hasil evaluasi objektif pada minggu kelima juga menunjukkan bahwa mobilitas fisik

klien mengalami peningkatan. Evaluasi objektif menunjukkan kemampuan klien

menggunakan alat bantu jalan dengan tepat untuk berjalan meningkat. Kemampuan

klien untuk mencapai posisi duduk dan berdiri dengan menggunakan walker juga

mengalami peningkatan. Hal ini ditunjukkan dengan klien yang mulai dapat

mencapai posisi tersebut dengan langkah yang aman dan tepat serta nyaman bagi

klien. Hasil evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa klien mulai mampu

menggunakan alat bantu jalan dengan mandiri dengan pengawasan yang minimal.

Aktivitas klien di wisma juga meningkat. Hal ini terlihat dari aktivitas klien yang

lebih banyak menghabiskan waktu untuk berjalan di dalam atau ke luar wisma dan

duduk di luar wisma.

Hasil evaluasi objektif juga menunjukkan bahwa klien mulai menunjukkan

peningkatan kekuatan otot, rentang gerak sendi, skor Index Barthel Scoring, skor

FMS serta skor BBT. Kekuatan otot ekstremitas bawah mengalami peningkatan. Otot

hamstring dan otot quadrisep ekstremitas kiri bawah mengalami peningkatan yaitu

mampu melawan gravitasi dan mampu melawan tahanan dengan kekuatan sedang.

Selain itu, rentang gerak sendi klien juga mengalami peningkatan. Adapun rentang

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 67: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

56

Universitas Indonesia

gerak sendi yang mengalami peningkatan atau luas rentang gerak maksimal yaitu

rentang gerak rotasi lateral kanan dan kiri leher, fleksi dan ekstensi serta abduksi

sendi bahu, serta ekstensi sendi siku.

Hasil evaluasi menggunakan instrumen BBT, Barthel Index Scoring dan FMS juga

menunjukkan peningkatan. Skor BBT masih menginterpretasikan bahwa klien masih

dalam rentang yang sama, yaitu risiko jatuh sedang, namun skor meningkat menjadi

27. Item yang mengalami peningkatan yaitu kemampuan berpindah, dan berdiri

tanpa bantuan. Hasil pengkajian atau evaluasi menggunakan FMS juga menunjukkan

bahwa skor FMS klien mengalami penurunan yaitu dari skor awal 65 dengan

interpretasi risiko tinggi jatuh menjadi 55 dengan interpretasi risiko jatuh rendah.

Item yang mengalami penurunan skor yaitu item bantuan berjalan, yaitu klien yang

awalnya berjalan berpegangan pada furnitur, skor 30, saat ini sudah mulai berjalan

menggunakan alat bantu jalan, skor 15. Adapun skor Barthel Index Scoring

menunjukkan skor meningkat dari skor awal 60, interpretasi dependen sedang,

meningkat menjadi 70, interpretasi dependen ringan.

Rencana tindak lanjut untuk meningkatkan mobilitas fisik klien yaitu dengan

memberikan reinforcement positif pada klien untuk melakukan latihan ROM setiap

hari, melakukan lebih banyak aktivitas di luar wisma, dan selalu menggunakan

walker ketika berjalan. Selain itu, mahasiswa juga berkolaborasi dengan care giver

dan perawat untuk mengingatkan ika klien lupa atau terlihat tidak menggunakan

walker dan melakukan pengawasan terhadap penggunaan alat bantu jalan.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 68: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

57 Universitas Indonesia

BAB 4

ANALISIS SITUASI

4.1. Analisis Profil Panti Sosial Tresna Werdha

Jakarta sebagai ibukota negara, pusat pemerintahan, dan pusat perekonomian

memungkinkan terjadinya arus urbanisasi yang pesat. Hal ini menyebabkan

banyak penduduk dari daerah pedesaan, memilih untuk bertempat tinggal di

perkotaan dengan berbagai latar belakang. Masyarakat urban tidak hanya berasal

dari kelompok usia dewasa atau usia produktif, namun juga kelompok usia lansia.

Lansia bermukim di perkotaan karena beragam latar belakang. Hal ini kemudian

yang menyebabkan jumlah lansia di daerah perkotaan meningkat.

Pertumbuhan pembangunan dan globalisasi yang pesat menjadi ancaman

tersendiri khususnya bagi lansia sebagai masyarakat urban di perkotaan.

Peningkatan jumlah penduduk perkotaan, penurunan lapangan pekerjaan,

penyempitan lahan pemukiman, dan semakin padatnya persaingan kerja

mengancam kesejahteraan lansia termasuk kesejahteraan yang berhubungan

dengan penghasilan dan tempat tinggal. Lansia yang tinggal mandiri tanpa

anggota keluarga yang lain, tanpa penghasilan dan tempat tinggal, pada akhirnya

terlantar dan memilih untuk menjadi pengemis dan gelandangan. Hal tersebut

menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah sehingga pemerintah menyediakan

jaminan sosial bagi lansia yang tidak potensial dan terlantar untuk mendapatkan

pelayanan sosial, salah satunya pelayanan sosial di dalam panti (Kementrian

Sosial, 2012).

Salah satu panti sosial yang menampung dan memberikan pembinaan serta

pelayanan bagi penduduk lanjut usia yaitu Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW)

Budi Mulia 1 Cipayung. PSTW ini merupakan panti sosial milik Negara yang

berada di bawah kepengurusan Departemen Sosial RI. PSTW berfungsi sebagai

suatu tempat atau sarana pelayanan kesejahteraan sosial bagi lansia yang

mengalami masalah sosial yang disebabkan oleh kemiskinan, ketidakmampuan

secara fisik dan ekonomi untuk diberikan pembinaan dan pelayanan sosial serta

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 69: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

58

Universitas Indonesia

perlindungan agar lansia dapat hidup secara wajar. Hal ini menunjukkan bahwa

PSTW Budi Mulia 1 Cipayung merupakan salah satu wadah bagi lansia,

khususnya lansia terlantar untuk mendapatkan pelayanan sosial.

Panti Sosial Tresna Werdha (PSTW) Budi Mulia 1 Cipayung ini dibangun pada

tahun 1968 dengan luas area 8.883 m2. Awalnya, panti ini diberi nama Panti

Werdha Cipayung yang dikukuhkan oleh SK Gubernur KDKI Jakarta No. Ca.

11/29/1/1972. Selanjutnya, nama panti diubah menjadi PSTW Budi Mulia 1

Cipayung dengan SK Gubernur KDKI Jakarta No. 736 tanggal 1-5-1996. Adapun

PSTW Budi Mulia 1 Cipayung sebagai sebuah institusi memiliki visi dan misi.

Visi yang diusung PSTW ini yaitu mengangkat harkat dan martabat lansia

terlantar menuju kehidupan layak, sehat, normatif, dan manusiawi. Adapun

beberapa misi yang diangkat, yaitu menyelenggarakan penampungan lanjut usia

terlantar dalam rangka perlindungan sosial; menyelenggarakan pelayanan sosial,

psikologis, perawatan medis, bimbingan fisik, mental spiritual, dan bimbingan

pemanfaatan waktu luang; menyelenggarakan penyaluran bina lanut dan

pemulasaran; menjalin keterpaduan dan kerjasama lintas sosial; dan menggalang

peran serta sosial masyarakat dan dunia usaha.

Tugas dan fungsi PSTW Budi Mulia 1 Cipayung berkaitan denga visi dan misi

yang diangkat. Adapun tugas yang dijalankan yaitu memberikan pelayanan sosial

bagi lanjut usia terlantar agar dapat hidup secara wajar dalam kehidupan

bermasyarakat, yang meliputi perawatan, perlindungan dan pembinaan fisik,

spiritual, sosial, dan psikologis. Selanjutnya, fungsi PSTW Budi Mulia 1

Cipayung yaitu sebagai lembaga pemenuhan kebutuhan lansia, lembaga

pelayanan dan pengembangan lansia, serta pusat informasi dan rujukan. Hal ini

menunjukkan bahwa PSTW didirikan untuk memberikan pelayanan bagi lanjut

usia untuk dapat memenuhi kebutuhan biopsikososial dan spiritual.

PSTW Budi Mulia 1 Cipayung memiliki sasaran tertentu. Adapun sasaran PSTW

Budi Mulia 1 Cipayung yaitu penduduk DKI Jakarta yang berusia lanjut dan

terlantar, berusia minimum 60 tahun, tidak memiliki penghasilan atau berdaya

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 70: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

59

Universitas Indonesia

guna untuk mencari nafkah bagi penghidupannya. Selain itu, sasaran PSTW ini

yaitu lansia yang tidak memiliki keluarga atau orang lain atau lingkungan yang

dapat memberikan bantuan penghidupannya, serta merupakan golongan keluarga

yang benar-benar tidak mampu. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah telah

menyediakan suatu wadah atau tempat untuk meningkatkan kesejahteraan lansia

terutama lansia yang terlantar.

Hasil analisis menunjukkan bahwa kebijakan PSTW Budi Mulia 1 Cipayung

mengarah pada konsep long term care setting. Miller (2004) menyebutkan bahwa

long term care yang umumnya memberikan pelayanan pada lansia yang tetap

tinggal di fasilitas sampai mereka meninggal atau dipindahkan ke fasilitas yang

lain. Dalam pelayanan long term care, perawat memegang peranan terkait

pemenuhan dan pelayanan serta perawatan kesehatan lansia. Hal ini menunjukkan

bahwa kebutuhan SDM yang berlatar pendidikan perawat dibutuhkan dalam

pelayanan pada konsep tersebut. Dalam hal ini, PSTW telah menyediakan SDM

dengan berlatar belakang pendidikan keperawatan untuk memenuhi kebutuhan

kesehatan lansia. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan tersebut mengarah pada

konsep long tem care.

Hasil analisis juga menunjukkan bahwa PSTW Budi Mulia 1 Cipayung

menyediakan fasilitas yang mengarah pada konsep long term care. Hal ini

dibuktikan dengan PSTW yang menyediakan fasilitas seperti penyediaan

makanan, tempat tinggal, pakaian, obat-obatan dan kebutuhan perawatan diri, dan

konsultasi kesehatan. Miller (2004) menyebutkan bahwa Pelayanan yang paling

umum disediakan oleh pelayanan long term care di komunitas antara lain

penyedia makanan, asisten perawat personal, bekerja sama dengan dokter, dan

belanja kebutuhan dapur.

Konsep yang digunakan oleh PSTW Budi Mulia 1 Cipayung tidak mengarah pada

konsep nursing home karena perbedaan karakteristik lansia dan perbedaan

fasilitas yang diberikan. PSTW Budi Mulia 1 Cipayung lebih mengarahkan

kebijakan yang berkaitan dengan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan sosial

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 71: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

60

Universitas Indonesia

lansia. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor

186 Tahun 2011 yang menyebutkan bahwa Panti Sosial Tresna Werdha digunakan

untuk memenuhi kesejahteraan sosial lansia (Kemensos, 2012). Hal ini

menunjukkan bahwa fokus pelayanan mengarah pada aspek sosial sehingga tidak

mengarah pada konsep nursing home.

Konsep kebijakan PSTW Budi Mulia 1 Cipayung lebih mengarah ke konsep

residential care atau assisted living. Konsep residential care facilities terlihat dari

pelayanan di PSTW ini yang menyediakan fasilitas berupa kamar, tempat tinggal,

keperluan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga seperti mencuci baju,

mencuci piring, dan bantuan personal untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari

seperti kebutuhan perawatan diri, makan, berpakaian, dan berjalan. Selain itu,

lansia juga mendapatkan pengawasan namun tidak membutuhkan perawatan 24

jam. California Advocates for Nursing Home Reform (2008) menyebutkan bahwa

residential care merupakan fasilitas non-medis yang tidak memerlukan perawat,

perawat tersertifikasi, atau dokter sebagai staf. Akan tetapi, PSTW Budi Mulia 1

memiliki SDM yang memiliki latar belakang pendidikan di bidang keperawatan.

Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan PSTW Budi Mulia 1 mulai mengarah pada

pemenuhan kebutuhan kesehatan lansia.

Berbagai fasilitas disediakan di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung unttuk menunjang

kualitas pelayanan. Adapun fasilitas yang disediakan yaitu sarana dan prasarana

fasilitas hunian, klinik, fasilitas penunjang kesehatan lansia dan fasilitas lain yang

mendukung. Fasilitas hunian meliputi wisma yang terdiri dari 7 wisma, yaitu

Wisma Asoka, Bougenvile, Cattleya, Cempaka, Dahlia, Edelweis, dan

Flamboyan. Adapun fasilitas kesehatan dan penunjang kesehatan lansia yaitu

klinik dilengkapi dengan ruang konsultasi, ruang terapi, serta peralatan medis dan

peralatan olahraga. Adapun fasilitas lain yaitu dapur, ruang baca, dan aula atau

ruang serbaguna yang biasanya digunakan untuk kegiatan lansia seperti latihan

angklung, panggung gembira, dan kegiatan lain. Hal ini menunjukkan bahwa

sebagai salah satu pelayanan sosial milik pemerintah, PSTW Budi Mulia 1

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 72: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

61

Universitas Indonesia

Cipayung tidak hanya memperhatikan kebutuhan sosial saja, namun juga

memperhatikan kebutuhan kesehatan lansia yang mendapatkan pelayanan di panti.

4.2. Analisis Diagnosa Keperawatan Hambatan Mobilitas Fisik pada Ibu S

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa Ibu S (73 tahun) tubuh terutama kedua kaki

lemah ketika digunakan untuk berjalan, terkadang merasa sempoyongan, dan

terasa akan jatuh saat berjalan. Selain itu, hasil pengkajian kekuatan otot juga

menunjukkan bahwa klien telah mengalami penurunan kekuatan otot pada kedua

ekstremitas bawah. Kondisi tersebut merupakan salah satu implikasi klinis dari

perubahan normal pada sistem muskuloskeletal akibat proses penuaan. Proses

penuaan mengakibatkan terjadinya penurunan massa otot yang kemudian

berdampak pada penurunan kekuatan otot (Stanley, Blaire, & Beare, 2005).

Kekuatan otot yang menurun menyebabkan Klien merasa ekstremitas terasa

lemah saat berjalan. Selain itu, perubahan normal sistem neurologis pada proses

penuaan menyebabkan kemampuan lansia mengontrol badan dalam keadaan tegak

semakin menurun (Miller, 2004). Hal ini yang menyebabkan Klien merasa

sempoyongan dan terasa akan jatuh yang saat berjalan.

Aktivitas klien di wisma juga terlihat sangat kurang. Klien lebih banyak berbaring

di tempat tidur atau duduk di atas tempat tidur. Hal ini sejalan dengan pernyataan

National Health Service (NHS) (2013) menyebutkan bahwa lansia berusia 65

tahun ke atas menghabiskan sekitar 10 jam atau lebih untuk duduk atau berbaring.

Aktivitas yang kurang tersebut disebabkan oleh keengganan klien melakukan

kegiatan. Keengganan memulai pergerakan merupakan salah satu faktor yang

berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik (NANDA International, 2012).

Aktivitas yang kurang, terutama aktivitas fisik pada klien menyebabkan kekuatan

otot, tulang, dan sendi tidak terlatih. NHS (2013) menyebutkan bahwa aktivitas

fisik dapat meningkatkan kekuatan otot dan tulang. Kekuatan otot, tulang, dan

sendi yang kurang dapat menghambat mobilitas fisik Klien atau menyebabkan

keterbatasan gerak pada Klien. Hal ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung,

aktivitas fisik yang kurang dapat menyebabkan masalah hambatan mobilitas fisik

pada lansia.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 73: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

62

Universitas Indonesia

Hasil juga observasi menunjukkan bahwa klien memiliki alat bantu jalan yaitu

walker, namun klien tidak pernah menggunakan walker tersebut. Klien tampak

berjalan dengan berpegangan pada benda sekitar seperti dinding, tempat tidur,

atau meja Klien mengatakan tidak menggunakan walker karena klien merasa

walker berat dan menyulitkan saat berjalan sehingga klien tidak lagi

menggunakan walker. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yeh

(2009) yang menemukan bahwa salah satu alasan lansia menolak menggunakan

alat bantu jalan yaitu karena kesulitan dalam penggunaan alat bantu jalan tersebut.

Selain itu, Klien juga mengatakan tidak menggunakan alat bantu jalan karena

ingin belajar berjalan tanpa walker. Hal ini menunjukkan bahwa klien

beranggapan bahwa berjalan tanpa menggunakan alat bantu jalan lebih baik

daripada menggunakan alat bantu. Faktor sosial juga merupakan salah satu hal

yang berhubungan dengan keengganan lansia menggunakan alat bantu jalan.

Lansia lebih memilih melakukan aktivitas secara mandiri tanpa menggunakan alat

bantu jalan atau menggunakan alat bantu jalan hanya jika membutuhkan (Yeh,

2009).

Hasil pemeriksaan fisik didapatkan data bahwa terdapat deformitas pada tulang

tibia fibula posterior ekstremitas bawah sinistra karena riwayat fraktur. Klien

mengatakan pada area tersebut terkadang masih terasa nyeri jika digunakan untuk

berjalan. Kondisi tersebut menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik. Nyeri

dan kerusakan integritas struktur tulang merupakan etiologi atau faktor yang

berhubungan dengan hambatan mobilitas fisik (NANDA International, 2012). Hal

ingi menunjukkan bahwa area deformitas yang terkadang terasa nyeri dapat

menghambat mobilitas fisik Klien.

Rentang gerak ekstremitas atas dan bawah baik kanan maupun kiri sudah

mengalami penurunan atau mengalami keterbatasan. Kondisi tersebut

menunjukkan bahwa Klien mengalami keterbatasan dalam pergerakan atau dalam

melakukan rentang gerak sendi. Keterbatasan rentang gerak sendi merupakan

salah satu batasan karakteristik masalah hambatan mobilitas fisik (NANDA

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 74: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

63

Universitas Indonesia

International, 2012). Keterbatasan rentang gerak sendi yang dialami oleh Klien

disebabkan oleh sendi yang telah mengalami kontraktur dan kekakuan..Kontraktur

dan kaku sendi merupakan salah satu etiologi atau faktor yang berhubungan

dengan hambatan mobiltaas fisik individu (NANDA International, 2012).

Klien juga mendapatkan terapi atau obat-obatan antipsikotik yaitu

Trihexyphenidyl (THP) dan Risperidone dengan efek samping yang dapat

mempengaruhi mobilitas klien seperti pusing, kelemahan otot, penglihatan kabur,

dan mengantuk. Trihexyphenidyl merupakan terapi antikonvulsan, sedatif, dan

hipnotik yang memiliki beberapa efek samping, seperti penglihatan kabur, pusing,

cemas, dan sakit kepala. Adapun Risperidone adalah medikasi yang diindikasikan

untuk individu dengan kondisi psikotik dengan efek samping sakit kepala, lelah,

pusing, dan gangguan daya penglihatan (Pramudianto & Evaria, 2010). Beberapa

efek samping dari kedua medikasi tersebut dapat menyebabkan aktivitas termasuk

mobilitas fisik individu mengalami gangguan atau keterbatasan.

Hasil pengkajian menggunakan instrumen Mini Mental Status Exam (MMSE)

didapatkan skor total 21 yang menunjukkan bahwa klien mengalami kerusakan

kognitif ringan. Status mental juga perlu diperhatikan mengingat status mental

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi mobilitas. NANDA

International (2012) menyebutkan salah satu faktor yang berhubungan dengan

hambatan mobilitas fisik yaitu gangguan kognitif. Hal ini menunjukkan bahwa

tidak hanya aspek fisik saja yang diperhatikan dalam mengkaji hambatan

mobilitas fisik pada lansia, namun juga aspek psikologis perlu diperhatikan. Hal

ini dimaksudkan agar lansia mendapatkan intervensi keperawatan yang tepat.

Perubahan normal pada sistem muskuloskeletal dan neurologis klien membuat

Klien rentan mengalami kejadian jatuh. Hal ini dibuktikan dengan Klien yang

pernah mengalami kejadian jatuh dalam 1 bulan terakhir. Hal ini didukung dengan

hasil pengkajian menggunakan instrumen False Morse Scale (FMS) yang

menghasilkan skor total 65 dan menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh

yang tinggi. Selain itu, hasil pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 75: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

64

Universitas Indonesia

Test (BBT) didapatkan skor total 24 yang menunjukkan bahwa klien memiliki

risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti tongkat, kruk,

dan walker. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi kejadian jatuh berulang dan

mengantisipasi komplikasi lain akibat hambatan mobilitas fisik, klien perlu

mendapatkan intervensi keperawatan yang tepat. Skor Barthel Index Scoring

menunjukkan skor total 60 yang menginterpretasikan klien memiliki

ketergantungan sedang. Hal ini menunjukkan bahwa intervensi yang tepat juga

diharapkan dapat meningkatkan kemandirian klien.

4.3. Analisis Penggunaan Alat Bantu Jalan Walker pada Ibu S dengan

Hambatan Mobilitas Fisik

Masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia disebabkan oleh berbagai faktor,

terutama karena proses penuaan yang menyebabkan perubahan pada sistem

muskuloskeletal dan neuromuskular. Hambatan mobilitas fisik yang dialami oleh

lansia menurunkan partisipasi lansia dalam melakukan berbagai aktivitas. Kondisi

ini kemudian dapat menurunkan kemandirian lansia. Rantakokko, Manty, dan

Rantanen (2013) menyebutkan bahwa mobilitas merupakan komponen utama

untuk mempertahankan kemandirian. Selain itu, selain itu, Hirvensalo, Rantanen,

Heikkinen (2000) dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa hambatan

mobilitas fisik merupakan faktor predisposisi dari kematian dan peningkatan

ketergantungan lansia. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan intervensi yang

tepat untuk meningkatkan mobilitas fisik yang dapat mempertahankan atau

meningkatkan kemandirian lansia. Melatih lansia menggunakan alat bantu jalan

yang tepat merupakan salah satu intervensi yang dapat meningkatkan mobilitas

fisik lansia. Dengan meningkatnya mobilitas fisik, maka kemandirian dan

partisipasi lansia terhadap berbagai aktivitas dapat ditingkatkan.

Penggunaan alat bantu jalan yang tepat dapat meningkatkan mobilitas dan

kemandirian lansia, serta dapat menurunkan risiko jatuh. Berbagai pilihan alat

bantu jalan tersedia dan dapat digunakan bagi lansia. Akan tetapi, pemilihan alat

bantu jalan harus disesuaikan dengan kondisi lansia. Jenis alat bantu jalan

memiliki indikasi masing-masing bagi lansia dengan kondisi tertentu. Dalam hal

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 76: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

65

Universitas Indonesia

ini, penggunaan alat bantu jalan walker merupakan salah satu alat bantu jalan

yang tepat bagi Klien. Hal ini dikarenakan indikasi penggunaan alat bantu jalan

standard walker sesuai dengan kondisi fisik Klien. Adapun indikasi penggunaan

alat bantu jalan walker yaitu kelemahan bilateral atau inkoordinasi tungkai bawah

atau seluruh tubuh dan gangguan keseimbangan sedang (Uustal & Baerga, 2004).

Hal ini sesuai dengan kondisi klien yang mengalami kelemahan dan penurunan

kekuatan otot ekstremitas bawah serta gangguan keseimbangan sedang

berdasarkan interpretasi skor total Berg Balance Test (BBT). Selain itu, alat bantu

jalan walker juga tepat digunakan untuk meningkatkan keseimbangan bagi

individu dengan kerusakan kognitif (Seiler, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa

Klien yang mengalami kerusakan kognitif ringan berdasarkan interpretasi MMSE

dapat menggunakan alat bantu jalan walker.

Alat bantu jalan walker terdiri dari beberapa jenis. Adapun jenis walker yang

sesuai dengan kondisi Klien yaitu jenis standard walker. Standard walker

memberikan dukungan keseimbangan dan stabilitas ketika berjalan (Miller, 2011).

Bateni, Brian, dan Maki (2005) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa

penggunaan walker dapat meningkatkan keseimbangan dan mobilitas. Kriteria

tersebut sesuai dengan kondisi Klien yang mengeluhkan merasa sempoyongan

saat berjalan dan merasa ingin jatuh. Selain itu juga berdasarkan pengukuran

keseimbangan secara objektif menggunakan Berg Balance Test (BBT), terlihat

bahwa Klien mengalami penurunan keseimbangan. Interpretasi dari skor total

Berg Balance Test (BBT) juga menunjukkan bahwa klien memiliki risiko jatuh

yang sedang dan membutuhkan alat bantu jalan, salah satunya yaitu alat bantu

jalan walker. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan Klien dalam menggunakan

alat bantu jalan walker secara tepat perlu ditingkatkan.

Latihan menggunakan alat bantu jalan diimplementasikan dengan memperhatikan

beberapa hal. Setelah menentukan jenis walker yang tepat, penulis

mengklarifikasi alasan klien tidak menggunakan walker. Selanjutnya, penulis

menjelaskan tujuan penggunaan alat bantu jalan walker dan membenarkan

kesalahan persepsi klien terkait penggunaan alat bantu jalan. Goldstein (2010)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 77: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

66

Universitas Indonesia

yang menyebutkan bahwa pengetahuan, memori, dan ekspektasi dapat

mempengaruhi persepsi individu. Hal ini dibuktikan dengan klien yang saat ini

telah memahami bahwa tujuan penggunaan walker untuk keseimbangan dan

keamanan klien, yaitu untuk mencegah jatuh. Hal ini menunjukkan bahwa

pengetahuan yang kurang dapat menimbulkan persepssi yang salah, sehingga

pemberian informasi atau pengetahuan yang tepat dapat meluruskan persepsi

individu.

Intervensi kemudian dilanjutkan dengan pengukuran walker sesuai dengan

ketentuan yang tepat setelah klien siap melakukan latihan. Pengukuran ketinggian

walker yang sesuai dimaksudkan untuk meningkatkan kenyamanan klien dan

mengurangi masalah pada bahu dan tulang belakang klien (Miller, 2011).

Pengukuran ketinggian walker dilakukan dengan meminta klien menempatkan

tangan pada pegangan walker dan menyesuaikan tinggi walker hingga siku

membentuk sudut kurang lebih 150o. Setelah dilakukan pengukuran, didapatkan

bahwa ukuran ketinggian walker telah sesuai karena siku klien membentuk sudut

kurang lebih 150o.

Intervensi selanjutnya yang dilakukan yaitu dengan melatih cara menggunakan

walker dengan tepat. Cara menggunakan walker yang dilatih meliputi cara

berjalan, melatih cara duduk ke berdiri menggunakan walker, melatih cara berdiri

ke duduk menggunakan walker, dan melangkah naik atau melangkah turun

menggunakan walker. Dengan melatih cara penggunaan walker yang tepat,

diharapkan klien dapat menggunakan walker dengan aman sehingga penggunaan

walker dapat berfungsi optimal untuk meningkatkan aktivitas dan kemandirian

lansia. Adapun skor Barthel Index Scoring menunjukkan skor meningkat dari skor

awal 60, interpretasi dependen sedang, meningkat menjadi 70, interpretasi

dependen ringan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hernandez

(2012) yang menemukan bahwa risiko jatuh dapat diturunkan jika jenis walker

yang digunakan sesuai dan lansia diajarkan cara menggunakan walker dengan

tepat.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 78: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

67

Universitas Indonesia

Hasil observasi asuhan keperawatan yang diterapkan pada klien selama 5 minggu

menunjukkan bahwa melatih menggunakan alat bantu jalan standard walker pada

klien meningkatkan kemampuan klien dalam melakukan mobilisasi. Selain itu,

aktivitas klien juga meningkat yang ditunjukkan dengan klien yang mulai lebih

banyak berjalan di luar atau di dalam wisma menggunakan walker dengan tepat.

Klien juga mengatakan lebih seimbang dan tidak sempoyongan saat berjalan

menggunakan walker. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa klien terlihat

lebih seimbang saat berjalan menggunakan walker. Kondisi tersebut sesuai

dengan beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan walker dapat

meningkatkan keseimbangan dan mobilitas ketika berjalan (Bateni, Brian, &

Maki, 2005; Miller, 2011).

4.4. Alternatif pemecahan yang dapat dilakukan

Alternatif pemecahan atau intervensi lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi

masalah hambatan mobilitas fisik selain melatih penggunaan alat bantu jalan yaitu

dapat berupa membantu lansia meningkatkan aktivitas fisik. Aktivitas fisik yang

dapat dilakukan seperti latihan rentang gerak sendi atau Range of Motion (ROM),

latihan kekuatan otot, dan latihan keseimbangan. Ketiga latihan tersebut ditujukan

untuk mempertahankan, mengoptimalkan, dan meningkatkan sistem

muskuloskeletal lansia yang sudah mengalami perubahan akibat penuaan.

Range of Motion (ROM) atau biasa disebut Rentang Pergerakan Sendi (RPS)

merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan fungsi sendi yang

berkurang karena proses kecelakaan, penyakit, atau tidak digunakan dan dapat

dibantu dengan menggunakan alat bantu jalan. Jenis latihan ROM aktif, aktif

resisitif, aktif asisitif, dan latihan isometrik dapat meningkatkan kekuatan otot,

mencegah demineralisasi tulang, dan mempertahankan fungsi otot individu

(Brookside Associates, 2007; Rosdahl & kowalski, 2008). Perawat juga dapat

berkolaborasi dengan fisioterapis untuk perencanaan kebutuhan latihan serta

mempertahankan dan meningkatkan kemampuan gerak lansia (Wilkinson, 2005).

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 79: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

68

Universitas Indonesia

Latihan kekuatan otot adalah aktivitas yang memperkuat dan menyokong otot dan

jaringan ikat. Latihan dirancang supaya otot mampu membentuk kekuatan untuk

mengerakkan atau menahan beban. Adapun aktivitas yang melawan gravitasi yang

dapat diterapkan untuk menguatkan otot seperti gerakan berdiri dari kursi, ditahan

beberapa detik, lalu dilakukan berulang-ulang. Selain itu, aktivitas lain yaitu

aktivitas dengan tahanan tertentu misalnya latihan dengan tali elastik. Latihan

kekuatan otot dilakukan setidaknya 2 hari dalam seminggu. Pembentukan

kekuatan otot menggunakan tahanan atau beban dapat dicapai dengan intensitas

latihan 10 sampai 12 repetisi untuk masing-masing latihan. Dalam satu set latihan,

diharapkan setiap latihan dapat dilakukan dengan intensitas 10 sampai 15 repetisi.

Jumlah repetisi harus ditingkatkan sebelum beban ditambah. Selain itu, intensitas

latihan meningkat seiring dengan meningkatnya kemampuan individu

(Ambardini, 2011).

Aktivitas fisik atau latihan selanjutnya yaitu latihan keseimbangan (balance

exercise). Latihan keseimbangan adalah latihan khusus yang ditujukan untuk

membantu meningkatkan kekuatan otot pada anggota bawah (kaki) dan untuk

meningkatkan sistem vestibular atau keseimbangan tubuh. Latihan keseimbangan

sangat penting pada lansia (lanjut usia) karena latihan ini sangat membantu

mempertahankan tubuh agar stabil sehingga dapat mencegah jatuh. Hasil

penelitian yang dilakukan oleh Kusnanto, Indrawati dan Mufidah (2007)

mengungkapkan bahwa latihan balance exercise yang dilakukan 3 kali seminggu

selama 3 minggu dapat menimbulkan kontraksi otot pada lansia yang kemudian

dapat mengakibatkan peningkatan serat otot (hipertropi). Serat otot yang

hipertropi ini mengalami peningkatan komponen sistem metabolisme fosfagen,

termasuk ATP dan fosfokreatin sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot pada

lansia.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 80: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

69 Universitas Indonesia

BAB 5

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Hasil karya ilmiah akhir ini dapat disimpulkan bahwa PSTW Budi Mulia 1

Cipayung merupakan salah satu panti sosial yang menampung dan memberikan

pembinaan serta pelayanan bagi penduduk lanjut usia. PSTW ini merupakan panti

sosial milik Negara yang berada di bawah kepengurusan Departemen Sosial RI.

PSTW berfungsi sebagai suatu tempat atau sarana pelayanan kesejahteraan sosial

bagi lansia yang mengalami masalah sosial yang disebabkan oleh kemiskinan,

ketidakmampuan secara fisik dan ekonomi untuk diberikan pembinaan dan

pelayanan sosial serta perlindungan agar lansia dapat hidup secara wajar.

Kebijakan pada PSTW ini mengarah pada konsep long term care dan community

care.

Salah satu lansia yang tinggal di PSTW Budi Mulia 1 Cipayung yaitu Ibu S yang

mengalami hambatan mobilitas fisik. Adapun masalah hambatan mobilitas fisik

tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor fisik akibat proses penuaan,

fakor lingkungan, maupun medikasi. Masalah hambatan mobilitas fisik lansia

tersebut menurunkan partisipasi lansia terhadap aktivitas dan menurunkan

kemandirian lansia. Pengkajian yang dilakukan pada Ibu S dengan masalah

hambatan mobilitas fisik meliputi pemeriksaan fisik terutama pemeriksaan fungsi

sistem muskuloskeletal dan neurologis serta pengkajian menggunakan instrumen

seperti Berg Balance Test (BBT), False Morse Scale (FMS), Mini Mental Status

Exam (MMSE), Mini Nutrition Assessment (MNA).

Data yang didapatkan berdasarkan hasil pengkajian mencakup berbagai aspek dan

memunculkan satu masalah prioritas yaitu hambatan mobilitas fisik. Data

pengkajian menunjukkan bahwa klien, Ibu S, mengalami penurunan kekuatan

otot, keseimbangan, dan rentang gerak sendi. Selain itu, klien juga mengalami

keterbatasan mobilisasi yang disebabkan oleh nyeri di area area 1/3 tibialis distal

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 81: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

70

Universitas Indonesia

sinistra yang mengalami deformitas. Tampak gaya berjalan klien lambat, sedikit

menyeret kaki, dan tidak seimbang. Klien juga tampak kesulitan dalam beberapa

gerakan. Hasil pengkajian menggunakan instrumen Berg Balance Test (BBT)

didapatkan data klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat

bantu jalan seperti tongkat, kruk, dan walker. Akan tetapi, hasil motivasi klien

untuk menggunakan alat bantu jalan jenis walker masih kurang dan cara

penggunaan walker masih belum tepat.

Data pengkajian menunjukkan bahwa klien mengalami hambatan dalam

melakukan mobilitas fisik. Berdasarkan data yang didapatkan dari hasil

pengkajian, diagnosa keperawatan yang sesuai dengan NANDA adalah hambatan

mobilitas fisik. Masalah hambatan mobilitas fisik menjadi masalah keperawatan

prioritas pada klien. Rencana asuhan keperawatan yang diberikan pada masalah

hambatan mobilitas fisik yaitu dengan kaji tanda-tanda vital dan kekuatan otot

setiap hari untuk menentukan status perkembangan klien, latih dan motivasi klien

melakukan ROM, ajarkan tindakan mobilisasi yang lebih progresif, ajarkan klien

cara menggunakan alat bantu walker, lakukan supervisi terhadap usaha mobilisasi

klien, bantu jika diperlukan, dan libatkan klien dalam aktivitas di panti. Selain itu,

sediakan informasi mengenai pentingnya klien melakukan mobilisasi kepada

orang terdekat klien. Intervensi yang diunggulkan pada klien yaitu penggunaan

alat bantu jalan walker.

Implementasi melatih penggunaan alat bantu jalan walker dilakukan secara

bertahap selama 5 minggu. Adapun setelah implementasi selama 5 minggu

tersebut, didapatkan hasil klien mengalami peningkatan kemampuan penggunaan

alat bantu jalan, peningkatan mobilisasi, dan penurunan risiko jatuh. Selain itu,

motivasi lansia menggunakan alat bantu jalan dengan tepat juga meningkat. Hal

ini menunjukkan bahwa penggunaan alat bantu jalan dengan tepat memiliki

dampak yang positif bagi lansia, khususnya bagi klien. Dengan kemampuan dan

penggunaan alat bantu jalan yang tepat, partisipasi dan kemandirian klien dalam

berbagai aktivitas meningkat. Hal ini kemudian diharapkan dapat meningkatkan

kesejahteraan lansia.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 82: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

71

Universitas Indonesia

5.2. Saran

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi, acuan,

atau data baik bagi institusi pelayanan kesehatan lanjut usia, pendidikan, maupun

dinas sosial maupuan dinas kesehatan. Bagi institusi pendidikan, hasil karya

ilmiah ini diharapkan dapat menjadi data dan informasi terkait pentingnya

penambahan kompetensi dan keterampilan mahasiswa terkait prosedur

penggunaan alat bantu jalan bagi lansia. Hal ini dimaksudkan agar mahasiswa

memiliki kompetensi yang memadai untuk mengaplikasikan ilmu atau konsep dan

teori penggunaan alat bantu jalan yang telah dipelajari secara langsung pada

lansia.

Institusi pendidikan juga diharapkan dapat meningkatkan kompetensi dan

keterampilan atau skill mahasiswa dalam melakukan pengkajian fisik terutama

pada sistem yang berkaitan dengan mobilitas fisik lansia yang terintegrasi dengan

konsep penuaan. Pengkajian fisik dan pemeriksaan penunjang lain perlu

diperhatikan terutama pengkajian terkait fungsi sistem muskuloskeletal dan

neurologis. Selain itu, faktor lain yang juga mempengaruhi masalah hambatan

mobilitas fisik, seperti status mental dan medikasi perlu dipehatikan. Hal ini

dimaksudkan agar lansia mendapatkan intervensi keperawatan yang tepat untuk

mengatasi masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia. Hal ini dilakukan

mengingat penyebab dari masalah hambatan mobilitas fisik pada lansia cukup

beragam. Dengan beragamnya penyebab tersebut, diharapkan lansia mendapatkan

intervensi yang dapat mengatasi etiologi atau penyebab masalah serta dapat

mencegah dampak yang mungkin ditimbulkan.

Hasil karya ilmiah ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi

pelayanan kesehatan untuk lebih memperhatikan kebutuhan mobilitas fisik lansia,

khususnya kebutuhan penggunaan alat bantu jalan. Adapun terkait penggunaan

alat bantu jalan, sebaiknya alat bantu jalan yang digunakan disesuaikan dengan

kondisi lansia tersebut. Masing-masing jenis alat bantu jalan memiliki indikasi

tertentu. Indikasi dari masing-masing penggunaan alat bantu jalan menentukan

jenis alat bantu yang sesuai dengan kondisi lansia. Hal ini perlu diperhatikan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 83: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

72

Universitas Indonesia

karena pemilihan alat bantu jalan yang tidak tepat atau tidak disesuaikan dengan

kondisi lansia dapat menyebabkan dampak buruk, seperti kejadian jatuh. Oleh

karena itu, indikasi penggunaan alat bantu jalan perlu diperhatikan dan

disesuaikan dengan kondisi lansia.

Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu hal-hal yang menyebabkan lansia tidak

menggunakan alat bantu jalan. Banyak hal yang dapat menyebabkan lansia

menolak menggunakan alat bantu jalan. Adapun penyebab-penyebab tersebut

salah satunya yaitu persepsi lansia terkait penggunaan alat bantu jalan itu sendiri.

Oleh karena itu, diperlukan pemberian infiormasi yang tepat tentang tujuan

penggunaan alat bantu jalan pada lansia sehingga perpsepsi lansia dapat diubah.

Dengan berubahnya persepsi, diharapkan motivasi lansia menggunakan alat bantu

jalan dapat meningkat.

Perlunya keterampilan dan pemahaman terkait proses penuaan dan penggunaan

alat bantu jalan pada lansia menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan perlu

memperhatikan keterampilan dan pemahaman care giver terkait hal tersebut.

Karya ilmiah ini dapat menjadi masukan bagi pelayanan kesehatan tentang

pentingnya pelatihan dan pembekalan terkait proses penuaan dan standar prosedur

penggunaan alat bantu jalan pada lansia. Hal ini dimaksudkan untuk

meningkatkan kemampuan dan pengawasan terhadap kemampuan penggunaan

alat bantu jalan lansia. Selanjutnya, dengan penggunaan alat bantu jalan yang

tepat diharapkan kemandirian lansia dapat meningkat dan menurunkan risiko

jatuh lansia. Kondisi tersebut kemudian secara tidak langsung dapat menurunkan

beban kerja perawat atau care giver.

Hasil karya ilmiah ini juga diharapkan dapat menjadi sumber informasi terkait

perlunya disediakan fasilitas konsultasi dan fisioterapi untuk meningkatkan

kemampuan mobilitas fisik lansia. Penyediaan fasilitas konsultasi dan fisioterapi

memungkinkan lansia mendapatkan terapi rutin yang efektif untuk meningkatkan

mobilitas fisik hingga kemandirian lansia dapat meningkat. Karya ilmiah ini juga

diharapkan menjadi bahan pertimbangan bagi kedinasan khususnya bagi dinas

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 84: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

73

Universitas Indonesia

sosial untuk bekerja sama dengan dinas kesehatan sehingga pelayanan yang

diberikan pada lansia dapat lebih optimal. Hal ini dimaksudkan agar porsi

pelayanan kesehatan lansia dapat ditingkatkan. Peningkatan pelayanan kesehatan

diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan lansia.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 85: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

74 Universitas Indonesia

DAFTAR REFERENSI

Annete, G. L. (2000). Gerontological Nursing. St. Louis: Mosby

Barker, A. L., Nitz, J. C., Choy, N. L., & Haines, T. P. (2012). Mobility has a

non-linear association with falls risk among people in residential aged care:

an observational study. Journal of Physiotherapy, 58, 117-125. Physiotherapy

Association 2012. http://ajp.physiotherapy.asn.au/AJP/vol_58/2/Barker.pdf.

Bateni, H., Brian E., & Maki. (2005). Assistive devices for balance and mobility:

benefits, demands, and adverse consequences. Archieve of Physsical Medical

Rehabilitation, 86, 134-145 .

http://biochemistry.usuhs.mil/med/geriatrics/AssistiveDevicesforBalanceand

Mobility.pdf

Bookside Associates. (2007). Lesson 5: Active and passive range of motion

exercises. Juli 3, 2014.

http://www.brooksidepress.org/Products/Nursing_Fundamentals_1/lesson_5_

Section_1.htm

California Advocates for Nursing Home Reform. (2008). Residential care /

assisted living: What is residential care for the elderly?. Juni 11, 2014.

http://www.canhr.org/RCFE/rcfe_what.htm

Carpenito, L. J. ( 2008). Nursing diagnosis: Application to clinical practice, 12th

Ed. Philadelphia: Lipincott Williams & Wilkins

DeLaune, S. C. & Ladner, P. K. (2002). Fundamentals of nursing: Standards &

practices. 2nd

Ed. USA: Delmar/ Thomson Learning

Departemen Sosial RI. (2012). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia

Nomor 19 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelayanan Lanjut Usia. Juni, 4.

http://sosialnews.com/wp-content/uploads/2013/03/NSPK-Pelayanan-

LANSIA-PERMENSOS-19-TH-2012.pdf

Doenges, M.E., Moorhouse. M.F., Murr.A.C. (2008). Nursing diagnosis manual:

planning, individualizing, and documenting client care.(2nd

ed).

Philadelphia: Davis Company

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 86: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

75

Universitas Indonesia

Ebersole, P., Hess, P., Touhy, T., & Jett, K. (2005). Gerontological nursing &

healthy aging. 2nd

ed. St. Louis: Mosby Elsevier

Faulkner, J. A., Larkin, L. M., Claflin, D.R., & Brooks, S.V. Age-related changes

in the structure and function of skeletal muscles. Clinical and Experimental

Pharmagology and Physiology, 34, 1091-1096.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17880359

Goldstein, T. R., Bridge, J. A., & Brent, D. A. (2008). Sleep disturbance

preceding completed suicide in adolescents. Journal of Consulting & Clinical

Psychology, 76, 84-91. DOI: 10.1037/0022-006X.76.1.84

Hernandez, C. R. (2012). Choosing the correct walker. Juni, 22.

https://nursingandhealth.asu.edu/files/ors/aging/provider-sheets/walkers.pdf

Hirvensalo, M., Rantanen, T., & Heikkinen, E. (2000). Mobility difficulties and

physical activity as predictors of mortality and loss of independence in the

community-living older population. Journal of the American Geriatrics

Society, 48, 493-498. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10811541

Holloway, N. M. (2004). Medical-Surgical care planning. 4th

Ed. USA:

Lippincott Williams & Wilkins

Johansson, C. & Chinworth, S. A. (2012). Mobility in context: Principles of

patient care skills. Philadelphia: F. A. Davis Company

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Gambaran keseahatan lanjut

usia di Indonesia. Juni 4, 2014.

www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia.pdf

Kementrian sosial RI. (2012). Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia

Nomor 186 Tahun 2011 tentang Rencana Strategis Kementrian Sosial Tahun

2010-2014. Juli 5, 2014.

http://www.djpp.kemenkumham.go.id/arsip/bn/2012/bn91-2012lamp.pdf

Komisi Nasional Lanjut Usia. (2010). Profil penduduk lanjut usia 2009. Juni 4,

2014.http://www.komnaslansia.go.id/d0wnloads/profil/Profil_Penduduk_Lanj

ut_Usia_2009.pdf

Kusnanto, Indrawati R., dan Mufidah, N. (2007). Peningkatan stabilitas postural

pada lansia melalui balance exercise. Jurnal Keperawatan Media Ners, 1, 49-

99. http://ejournal.undip.ac.id/index.php/medianers/article/download/715/588

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 87: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

76

Universitas Indonesia

Maryam, R. S., Ekasari, M. F., Rosidawati., Jubaedi, A., & Batubara, I. (2008).

Mengenal usia lanjut dan perawatannya. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Miller, C.A. (2004). Nursing for wellness in order adults: Theory and practice. 4th

Ed. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins

Miller, M. L. (2011). Senior mobility: Use of assistive devices for fall prevention.

http://www.fresno.ucsf.edu/norcal/downloads/14Assistive%20Devices%20fo

r%20Prev%20of%20Falls%20%5Bwith%20cover%20sheet%5D.pdf

NANDA International. (2012). Nursing diagnosis: Definitions and classification

2012 – 2014. UK: Wiley-Blackwell.

National Health Service. (2013). The importance of exercise as you get older. Juli

1, 2014. http://www.nhs.uk/Livewell/fitness/Pages/activities-for-the-

elderly.aspx

O’neill, P. A. (2002). Caring for the older adult: a health promotion perspective.

1st ed. Philadelphia: Saunders

O’Sullivan, S. B., Schmitz, T. J., & Fulk, G. (2014). Physical rehabilitation.

Philadelphia : F. A. Davis Company

Oliveira, L.A., Santana, R.F., & Bachion, M.M. (2002). Impaired physical

mobility in elderly: related factors and defining characteristics. Revista

Brasileira de Enfermagem, 55, 19-25.

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12592781

Pramudianto, A. & Evaria. (2010). MIMS Indonesia petunjuk konsultasi. Edisi 10

2010/2011. Jakarta: UBM Medica

Rantakokko, M., Mänty, M., & Rantanen, T. (2013). Mobility decline in old age.

Exercise and Sport Sciences Reviews, 41, 19-25.

http://www.medscape.com/viewarticle/777551_2

Rosdahl, C. B., &, Kowalski, M. T. (2008). Textbook of basic nursing. 9th

Ed.

Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins

Seiler, R. J. (2007). Assistive technology for individuals with cognitive

impairment. Juli 3, 2014.

http://www.idahoat.org/Portals/0/Documents/cognitive_impair.pdf

Stanley, M. & Beare, P. G. (2002). Buku Ajar Keperawatan. Edisi 2. Jakarta: EGC.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 88: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

77

Universitas Indonesia

Kementrian sosial jRI. (2007). Buku ajar keperawatan gerontik. Edisi 2. (Juniarti,

N. & Kurnianingsih, S., penerjemah). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC

Stanley, M., Blair, K. A and Beare, P. G. (2005). Gerontological nursing: A

health promotion/protection approach 3rd

Edition. Philadelphia: F. A Davis

Company

Uustal, H. & Baerga, E. (2004). Assistive devices—Ambulation aids. Juni 22,

2014. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK27318/

WHO. (2012). Definition of an older or elderly person. Juni, 4.

http://www.who.int/healthinfo/survey/ageingdefnolder/en/

Yeh, H. C. (2009). Elderly people’s use of and attitudes towards assistive device.

Juli 8, 2014. http://eprints.qut.edu.au/30320/1/Hui-Ching_Yeh_Thesis.pdf

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 89: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 1: Pengkajian Individu

PENGKAJIAN INDIVIDU

Panti : Panti Sosial Sasana Tresna Werdha Budi Mulia 1 Cipayung,

Jakarta

Tanggal Masuk : 25 September 2007

No. Register : 350

I. IDENTITAS

A. Nama : Nenek S

B. Jenis Kelamin : Perempuan

C. Umur : 73 tahun

D. Agama : Islam

E. Status perkawinan : Janda

F. Pendidikan terakhir : Tidak sekolah

G. Pekerjaan : Tidak bekerja

H. Alamat : Kp Sawah, Cilincing, Jakarta Utara

II. ALASAN KUNJUNGAN KE PANTI

Klien mengatakan masuk ke panti karena klien sudah tua dan tidak ada yang

merawat. Klien memiliki keluarga di Jakarta namun tidak ingin merepotkan

dan menjadi beban keluarga. Semenjak suami klien meninggal, klien bekerja

sebagai tukang sapu jalanan. Saat bekerja sebagai tukang sapu jalanan, klien

mengalami kecelakaan yaitu tertabrak mobil dan dibawa ke rumah sakit untuk

menjalani perawatan. Klien mengalami patah tulang dan membutuhkan

perawatan lebih lanjut. Klien mengatakan diantar petugas untuk dirawat dan

tinggal di panti.

III. RIWAYAT KESEHATAN

A. Masalah kesehatan yang pernah dialami dan dirasakan saat ini

Klien mengatakan klien pernah mengalami kecelakaan namun klien tidak

ingat persis pada tahun berapa kecelakaan tersebut terjadi. Kecelakaan

tersebut mengakibatkan klien mengalami patah tulang kaki kiri dan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 90: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

menjalani perawatan di rumah sakit. Klien mengatakan selain patah

tulang, klien tidak pernah memiliki penyakit parah lain yang

membutuhkan perawatan di rumah sakit. Klien mengatakan penyakit yang

sebelumnya pernah diderita seperti demam, batuk, pilek, diare, dan mual

muntah, namun sangat jarang dan tidak pernah sampai dirawat di rumah

sakit. Saat ini, klien mengeluhkan nyeri di kaki sebelah kiri jika digunakan

untuk berjalan terlalu lama. Klien mengatakan nyeri terasa seperti

berdenyut di kaki kiri. Jika nyeri muncul, klien mengatakan nyeri masih

bisa ditahan, skala nyeri 2, dan dapat hilang jika kaki diistirahatkan.

Nyeri hanya terasa di kaki kiri bagian bawah, dekat area kaki yang dulu

pernah mengalami patah tulang, namun nyeri tidak menjalar. Jika nyeri

terasa saat berjalan, klien segera istirahat (duduk) dan melanjutkan

berjalan jika nyeri hilang atau berkurang. Klien mengatakan hal yang

dilakukan jika nyeri terasa hanya mengistirahatkan kaki dan mengurangi

aktivitas berjalan. Saat ini nyeri jarang dirasakan, namun jika nyeri muncul

klien mengatakan mengurangi aktivitas berjalan. Jika nyeri terasa saat

berjalan, klien segera istirahat (duduk) dan melanjutkan berjalan jika nyeri

hilang atau berkurang. Sebelumnya, klien sudah diajarkan untuk

melakukan teknik relaksasi napas dalam untuk mengurangi nyeri, namun

masih membutuhkan bimbingan.

Data kesehatan klien dan hasil wawancara dengan perawat yang bertugas

di wisma tempat klien tinggal menunjukkan bahwa klien memiliki

masalah psikotik yaitu waham somatik sejak awal masuk ke panti. Klien

mengeluh sulit buang air besar, namun petugas panti mengatakan kklien

sebenarnya rutin buang air besar 1 kali sehari. Selain itu, hasil wawancara

dengan klien juga didapatkan data bahwa klien mengatakan buang air

besar 1 kali sehari dengan feses lunak namun klien selalu merasa sulit

buang air besar. Selain itu, selama tinggal di PSTW Budi Mulia 1

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 91: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

Cipayung, klien pernah 1 kali jatuh saat berjalan di lantai yang menanjak

dan kejadian jatuh terakhir yaitu pada bulan Mei tahun 2014.

B. Masalah kesehatan keluarga / keturunan

Klien mengatakan tidak mengetahui penyakit yang pernah diderita oleh

keluarga klien. Klien mengatakan klien tidak memiliki penyakit keturunan.

IV. KEBIASAAN SEHARI-HARI

A. Biologis

o Pola Makan

Pola makan klien tiga kali sehari sesuai makanan yang disediakan oleh

panti. Klien mengatakan tidak memilih-milih makanan, klien

menyukai sayuran, lauk, dan buah, dan tidak menghindari atau

membatasi makanan tertentu. Klien mengatakan nafsu makan sempat

membaik, naum kembali menurun saat ini sehingga klien sering tidak

menghabiskan makanan yang disajikan. Klien hanya menghabiskan

setengah hingga tiga per empat porsi dari makanan yang diberikan dan

membuang sisa makanan yang tidak habis dimakan. Klien mengatakan

cepat merasa kenyang sehingga makanan tidak dihabiskan. Hasil

observasi didapatkan data bahwa klien masih dapat mengunyah dan

menelan makanan dengan baik. Gigi depan atas dan bawah masih utuh

dan sebagian gigi geraham sudah tanggal akan tetapi kebersihan mulut

kurang.

Hasil observasi juga mendapatkan data terkait pola makan atau nutrisi

pada klien. Adapun data tersebut yaitu tidak ada kegiatan makan

bersama. Sebagian lansia makan di depan wisma dan duduk

berdampingan dengan WBS lain tanpa melakukan interaksi dan

sebagian besar WBS makan di dalam wisma karena keterbatasan

mobilisasi. Hal ini menunjukkan bahwa suasana makan kurang

mendukung peningkatan selera makan lansia. Selain itu, jumlah care

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 92: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

giver dan perawat hanya ada tiga orang dan masing-masing perawat

bertanggung jawab terhadap 33 WBS di wisma cempaka sehingga

perawat atau petugas sulit mengawasi dan memastikan WBS

menghabiskan makanan yang diberikan.

o Pola Minum

Klien mengatakan minum 3 gelas besar setiap hari (+ 1200cc). Klien

mengatakan saat ini tidak khawatir untuk minum air lebih banyak

karrena sudah menggunakan diaper sehingga tidak terus menerus pergi

ke kamar mandi.

o Pola Tidur

klien mengatakan selalu dapat tidur nyenyak pada malam hari. Klien

tidak mengetahui persis jam berapa klien tertidur namun klien

mengatakan tidak lama setelah maghrib klien tertidur dan terkadang

bangun saat sudah terang tanpa terbangun pada malam hari. Klien

menghindari minum sebelum tidur agar tidak terbangun di tengah

malam untuk buang air kecil. Hasil observasi menunjukkan bahwa

klien tidur pada siang hari sekitar 1 hingga 1,5 jam terutama setelah

meminum obat. Klien mengatakan sering merasa mengantuk pada

siang hari terutama setelah minum obat.

o Pola Eliminasi (BAB / BAK)

Klien mengatakan BAK 4 sampai 6 kali sehari. Klien lebih

sering.BAK 3 sampai 4 kali di siang hari dan 1 sampai 2 kali sehari di

sore hari Klien jarang BAK pada malam hari atau pada tengah malam.

Selain itu, klien biasanya BAB satu kali sehari dengan feses yang

lunak, namum klien selalu merasa sulit buang air besar. Klien

mengatakan masih dapat merasakan jika ingin BAK atau BAB. Klien

juga masih dapat menahan BAK dan BAB, namun tidak dapat

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 93: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

menahan lama sehingga harus segera ke kamar mandi sebelum BAK

atau BAB sudah tidak tertahankan.

o Aktifitas Sehari-hari

Aktivitas klien setiap hari yaitu setiap pagi, klien bangun subuh dan

mengambil air wudhu lalu shalat Subuh terlebih dulu. Setelah itu,

sekitar pukul 06.00 klien mandi dengan dibantu perawat namun

terkadang klien mandi sendiri. Klien mengatakan selalu mandi

menggunakan sabun dan menyikat gigi. Klien juga mengatakan setiap

hari selalu mencuci rambut. Setelah itu, klien duduk di depan wisma

untuk menunggu waktu sarapan dan pukul 07.00 klien sarapan pagi

bersama dengan klien lain. Setelah sarapan, klien biasanya tetap

duduk-duduk di bangku depan wisma sampai agak siang lalu masuk ke

dalam wisma dan menuju tempat tidur jika tidak ada kegiatan.

Aktivitas lain yang dilakukan klien yaitu melakukan rentang

pergerakan sendi atau menggerakkan badan dengan gerakan yang

sebelumnya pernah diajarkan oleh perawat setiap pagi. Klien

mengatakan setiap selasa dan jumat ada senam pagi, namun klien

mengatakan tidak pernah ikut senam pagi karena tidak kuat berjalan

jauh dan tidak ada yang mendampingi klien. Akan tetapi, klien ingin

ikut senam pagi jika diajak oleh perawat dan dibantu jalan atau senam

dengan menggunakan kursi roda.

Aktivitas klien di wisma juga terlihat sangat kurang. Klien mengatakan

tidak pernah mencuci pakaian sendiri karena sudah tidak kuat dan

takut jatuh. Klien juga tidak mengikuti kegiatan kesenian dan

keterampilan di panti karena sulit berjalan, mudah lelah, dan tidak

memiliki keterampilan dalam bidang seni. Akan tetapi, klien selalu

mengikuti kegiatan yang diadakan oleh mahasiswa di wisma. Klien

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 94: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

juga mengatakan tidak pernah mengikuti pengajian yang diadakan di

mushala panti karena jalan menuju mushola menanjak dan klien takut

jatuh jika tidak ada yang membantu klien ke mushola. Hal ini sesuai

dengan data observasi yang menunjukkan bahwa klien tidak pernah

terlibat dan mengikuti aktivitas tersebut. Saat ini, klien mengeluhkan

tubuh lemah ketika digunakan untuk berjalan. Klien mengatakan

terkadang sempoyongan dan terasa akan jatuh saat berjalan. Hasil

observasi juga menunjukkan bahwa klien berjalan dengan berpegangan

pada benda sekitar seperti dinding, tempat tidur, atau meja. Klien juga

tampak kesulitan dalam beberapa gerakan seperti duduk ke berdiri,

berdiri ke duduk, naik dan turun dari tempat tidur.

Klien memiliki alat bantu jalan yaitu walker , namun klien tidak

pernah menggunakan walker tersebut. Berdasarkan hasil wawancara

dengan petugas panti didapatkan data bahwa lansia mendapatkan alat

bantu jalan walker sekitar satu setengah tahun yang lalu. Alat bantu

jalan klien didapatkan dari PSTW. Sebelumnya klien pernah dilatih

menggunakan walker oleh mahasiswa yang melakukan praktik klinik

di PSTW ini, namun klien mengatakan walker berat dan menyulitkan

saat berjalan sehingga klien tidak lagi menggunakan walker .

Berdasarkan hasil wawancara dengan perawat yang bertugas di panti,

klien pernah mengalami jatuh pada bulan Mei 2014 saat berjalan tanpa

menggunakan walker . Hal tersebut menyebabkan klien membatasi

aktivitas seperti aktivitas berjalan ke kamar mandi atau ke luar wisma.

Akan tetapi, klien tetap tidak menggunakan walker saat berjalan ke

luar wisma atau ke kamar mandi. Hasil observasi juga didapatkan

bahwa klien belum menggunakan walker dengan tepat, baik dari cara

melangkah, postur tubuh, maupun pengaturan walker itu sendiri.

Jumlah care giver atau perawat yang bertugas di wisma tempat klien

tinggal yang terbatas memungkinkan lansia kurang mendapatkan

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 95: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

pengawasan terhadap aktivitas mobilisasi. Hasil wawancara dengan

petugas panti didapatkan data bahwa care giver dan perawat sudah

mendapatkan pelatihan terkait penggunaan alat bantu jalan. Akan

tetapi, jumlah WBS yang membutuhkan pengawasan dan

pendampingan penggunaan alat bantu jalan jauh lebih banyak

dibandingkan dengan jumlah SDM yang tersedia sehingga pengawasan

dan pendampingan penggunaan alat bantu jalan tidak dapat dilakukan

dengan optimal.

o Rekreasi

panti mengadakan kegiatan rekreasi bagi WBS yang dilakukan dengan

pergi mengunjungi tempat wisata. Akan tetapi, klien mengatakan tidak

pernah mengikuti kegiatan rekreasi karena tubuh sudah tidak kuat atau

lemah untuk melakukan perjalanan jauh. Selain kegiatan rekreasi yang

diadakan oleh panti, klien tidak memiliki aktivitas rekreasi yang lain di

dalam wisma.

B. Psikologis

o Keadaan emosi

Klien tampak bersemangat ketika menceritakan masa lalu yang

menyenangkan, namun klien tampak sedih ketika menceritakan

kondisi klien saat ini yang tidak lagi tinggal dengan keluarga.

C. Sosial

o Dukungan keluarga

klien mengattakan masih memiliki keluarga di Jakarta, namun saat ini

klien sudah tidak pernah mengunjungi keluarga dan keluarga tersebut

juga tidak lagi mengunjungi klien di panti. Data yang didapatkan

menunjukkan bahwa klien memiliki anggota keluarga yang tinggal di

wilayah jakarta Utara dan terakhir mengunjungi keluarga pada tahun

2010.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 96: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

o Hubungan antar keluarga

Klien mengatakan sudah hilang kontak dengan keluarga klien karena

sudah tidak pernah mengunjungi keluarga lagi dan keluarga tidak

pernah mengunjungi klien di panti. Akan tetapi, klien mengatakan saat

suami klien masih hidup, hubungan klien dan suami klien baik dan

saling mendukung.

o Hubungan dengan orang lain

Klien mengatakan hubungannya dengan orang lain di tempat tinggal

sebelumnya yaitu di Jakarta Utara kurang baik karena klien

menganggap orang kota individualis. Selama di panti, klien

mengatakan jarang berinteraksi dengan klien atau WBS lain. Hal ini

dikarenakan klien merasa tidak memahami pembicaraan klien lain.

Klien mengatakan banyak klien lain yang jarang berinteraksi sehingga

klien segan untuk memulai interaksi atau pembicaraan. Klien juga

mengatakan klien lebih sering mengobrol dengan perawat atau

mahasiswa. Hasil observasi juga menunjukkan bahwa klien tampak

tidak pernah melakukan interaksi dengan klien atau WBS lain

walaupun duduk bersebelahan. Selain itu, klien lebih banyak

melakukan aktivitas di tempat tidur walaupun sering keluar wisma

untuk duduk di bangku depan wisma. Kurangnya interaksi dengan

WBS lain menyebabkan lansia semakin tidak termotivasi untuk

melakukan aktivitas atau mobilisasi.

D. Spiritual / Kultural

o Pelaksanaan Ibadah

Terkait pelaksanaan ibadah, klien selalu berusaha menunaikan shalat 5

waktu akan tetapi klien mengatakan terkadang tidak shalat 5 waktu

karena berbagai alasan seperti bangun kesiangan, lupa, atau pusing dan

mengantuk. Klien mengatakan biasanya melakukan ibadah dalam

posisi duduk. Klien tidak pernah mengikuti pengajian di mushola

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 97: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

karena jalan menuju mushola menanjak sehingga klien kesulitan dan

takut jatuh jika tidak ada yang mendampingi

o Keyakinanan tentang kesehatan

Klien percaya bahwa sakit adalah ujian dari Allah SWT agar orang

senantiasa ingat kepada Allah SWT. Selain itu, klien mengatakan

kesehatan itu sangat penting dan harus dijaga.

V. PEMERIKSAAN FISIK

A. Tanda Vital

o Keadaan umum :

Klien tampak kurus serta gaya berjalan dan pergerakan lambat. Selain

itu, klien berjalan dengan berpegangan pada dinding atau benda di

sekitar walaupun klien memiliki alat bantu jalan walker.

o Kesadaran :

Kesadaran klien yaitu compos mentis. Klien masih mengingat nama

ketiga anaknya, nama suaminya, masih mengingat orang-orang

disekitarnya seperti perawat dan petugas panti yang sering

mengunjungi klien. Orientasi klien terhadap tempat juga masih baik.

Klien mengatakan tidak mengingat tanggal, tahun, dan bulan saat ini

karena jarang melihat tanggalan.

o Suhu : 36,3 0

C

o Nadi : 72 x / menit

o Tekanan darah : 130/70 mmHg

o Pernafasan : 22x / menit

o Tinggi Badan : 147 cm

o Berat Badan : 39 kg

o IMT (indeks massa tubuh) : 18,05

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 98: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

B. Pemeriksaan dan kebersihan perorangan

a. Kepala dan leher

Kepala : kepala bulat, simetris (normocephalic), tidak

terdapat lesi

Rambut : rambut tampak beruban, kulit kepala sedikit

berketombe dan lembab. Rambut klien tipis, tidak mudah dicabut,

tidak rapuh, serta kulit kepala dan rambut bersih . selain itu, rambut

lurus, tidak bercabang, terdistribusi secara merata pada kulit

kepala, dan tidak ada lesi pada kulit kepala.

Mata : keadaan dan penampilan umum struktur mata

yaitu alis mata kurang simetris, namun mata sejajar, keadaan

konjungtiva dan sklera yaitu konjungtiva tidak anemis, sklera tidak

ikterik. Sekitar lensa agak putih. Kelopak mata sedikit menutup dan

kelopak mata kanan tidak sama dengan kelopak mata kiri. Mata

kanan klien mengalami penurunan atau penglihatan lebih buran

dibandingkan dengan mata kiri klien. Klien masih dapat melihat

dengan jelas wajah orang-orang yang berada dekat dengan klien,

akan tetapi klien tidak dapat meilhat jelas orang atau benda yang

letaknya jauh atau terlalu dekat. Klien tidak memakai kaca mata,

tidak ada luka atau irirtasi mata dan mata tampak bersih.

Hidung : simetris, bersih, tidak ada masa, tidak ada

sekret yang menyumbat hidung.

Mulut : bibir tampak sedikit kering, gigi seri dan taring

depan atas dan bawah masih lengkap, namun beberapa gigi

geraham atas dan bawah sudah tanggal. Klien mengatakan tidak

pernah sakit gigi dan gusi tidak berdarah saat menyikat gigi. Klien

juga mengatakan gigi masih dapat digunakan untuk menggigit dan

mengunyah. Tidak ada karies, plak, dan terdapat halitosis. Gigi dan

gusi serta rongga mulut tampak kurang bersih, terdapat sisa

makanan.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 99: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

Telinga : simetris atara telinga kanan dan kiri, tidak ada

serumen atau pengeluaran cairan, tidak ada nyeri tekan, klien

mengatakan masih dapat mendengar dengan baik,

Leher : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening,

tidak ada kesulitan atau gangguan menelan.

b. Dada

Keadaan umum : bentuk dada simetris

1). Kardiovaskuler

- Auskultasi: BJ I – II normal, murmur tidak ada, gallop tidak ada,

bunyi jantung teratur

2). Pernafasan : klien mengatakan tidak sesak nafas

- Inspeksi : dada simetris, tidak ada retraksi dinding dada.

- Palpasi : Tactil Fremitus antara toraks posterior dan anterior sama.

Bagian anterior vibrasinya keras dan semakin rendah di bagian

inferior.

- Auskultasi : Suara paru vesikuler., wheezing (-), ronchi (-), stridor

(-), gargling (-)

c. Abdomen

- Inspeksi : Simetris, datar, tidak ada kemerahan, tidak ada bekas luka

atau jaringan parut, tidak ada tanda – tanda infeksi

- Auskultasi : Bising usus (+)

- Perkusi : suara timpani, nyeri ketuk pada ginjal tidak ada.

- Palpasi: abdomen teraba lemas dan tidak ada massa, nyeri tekan

abdomen tidak ada, tidak ada ascites,

d. Ekstremitas

- Inspeksi : kulit tidak pucat, warna kulit sama dengan warna tubuh,

deformitas pada tulang tibia di area 1/3 distal tibia sinistra karena

riwayat fraktur. Ekstremitaas bawah kiri klien lebih pendek dari

ekstremitas kanan. Rentang gerak ekstremitas atas dan bawah baik

kanan maupun kiri sudah mengalami penurunan. Edema (-), varises

(-).

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 100: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

- Palpasi : Turgor kulit tidak elastis, kembalinya lambat, capillary

refill time kurang dari 2 detik

- Perkusi : Reflek fisologis ++

- Kekuatan otot:

Tabel pemeriksaan kekuatan otot:

Ekstremitas

Otot

Ekstremitas kanan atas Ekstremitas kiri atas

Skor Interpretasi Skor Interpretasi

Otot

Deltoid

5 Pergerakan aktif melawan

gravitasi dan melawan

tahanan maksimal

5 Pergerakan aktif melawan

gravitasi dan melawan

tahanan maksimal

Otot Bisep

Brachii

5 Pergerakan aktif melawan

gravitasi dan melawan

tahanan maksimal

5 Pergerakan aktif melawan

gravitasi dan melawan

tahanan maksimal

Otot Trisep

Brachii

5 Pergerakan aktif melawan

gravitasi dan melawan

tahanan maksimal

5 Pergerakan aktif melawan

gravitasi dan melawan

tahanan maksimal

Otot

Interossei

5 Pergerakan aktif melawan

gravitasi dan melawan

tahanan maksimal

5 Pergerakan aktif melawan

gravitasi dan melawan

tahanan maksimal Ekstremitas

Otot

Ekstremitas kanan bawah Ekstremitas kiri bawah

Skor Interpretasi Skor Interpretasi

Otot

Hamstring

3 Pergerakan aktif melawan

gravitasi tanpa tahanan 3 Pergerakan aktif melawan

gravitasi tanpa tahanan

Otot

Quadrisep

4 Pergerakan melawan

gravitasi dan melawan

tahanan sedang (moderat)

3 Pergerakan aktif melawan

gravitasi tanpa tahanan

Otot

tibialis

anterior

4 Pergerakan melawan

gravitasi dan melawan

tahanan sedang (moderat)

1 Tidak ada gerakan sendi,

tetapi kontraksi otot dapat

dipalpasi

(sendi mengalami kontraktur)

Otot trisep

surae

4 Pergerakan melawan

gravitasi dan melawan

tahanan sedang (moderat)

1 Tidak ada gerakan sendi,

tetapi kontraksi otot dapat

dipalpasi

(sendi mengalami kontraktur)

5 5 5 5 5 5 5 5

3 4 4 4 3 3 1 1

Hal ini menandakan bahwa ada penurunan kekuatan otot pada

kaki kiri dan kanan.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 101: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

Tabel pemeriksaan rentang gerak sendi:

Bagian

Tubuh Jenis Sendi Gerakan Hasil pemeriksaan

Leher Sendi Putar Fleksi dan

ekstensi

Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 70-90

derajad, ekstensi 55 derajad)

Fleksi lateral

kanan dan kiri

Luas rentang gerak sendi kurang maksimal

(<35 derajad)

Rotasi lateral

kiri dan kanan

Luas rentang gerak sendi kurang maksimal

(<70 derajad)

Bahu Sendi Peluru Fleksi dan

ekstensi

Luas rentang gerak sendi kurang maksimal

(fleksi <180 derajad, ekstensi < 60 derajad)

Abduksi Luas rentang gerak sendi kurang maksimal

(<180 derajad)

Adduksi Luas rentang gerak sendi penuh (50 derajad)

Fleksi dan

ekstensi

horisontal

Luas rentang gerak sendi kurang maksimal

(fleksi <130 derajad, ekstensi < 45 derajad)

Rotasi internal

dan eksternal

bahu

Luas rentang gerak fleksi sendi penuh (90

derajad)

Siku Sendi Engsel Fleksi-ekstensi Luas rentang gerak sendi penuh , ekstensi

kurang maksimal (fleksi 150 derajad, ekstensi

<180 derajad)

Supinasi-

pronasi

Luas rentang gerak sendi penuh (90 derajad)

Pergelangan

tangan

Kondiloid Fleksi ekstensi Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 80-90

derajad, ekstensi 70 derajad)

Abduksi/fleksi

radial/deviasi

radial

Luas rentang gerak sendi penuh (20 derajad)

Adduksi/fleksi

ulnar/deviasi

ulnar

Luas rentang gerak sendi penuh (30-50

derajad)

Jari-jari

tangan

Sendi Engsel Fleksi ekstensi Luas rentang gerak fleksi sendi penuh (30

derajad), ekstensi kurang maksimal (<30

derajad)

Abduksi-

adduksi

Luas rentang gerak sendi penuh (70 derajad)

Oposisi Luas rentang gerak sendi penuh

Sirkumduksi Luas rentang gerak sendi penuh (70-90

derajad)

Fleksi-ekstensi

ibu jari

Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 50

derajad, ekstensi 70 derajad)

Abduksi-

adduksi ibu

jari

Luas rentang gerak sendi penuh (80 derajad)

Panggul Sendi Peluru

dan engsel

Fleksi ekstensi Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 110-

130 derajad, ekstensi 30 derajad)

Hiperekstensi Luas rentang gerak sendi penuh (30 derajad)

Abduksi

adduksi

Luas rentang gerak sendi penuh (abduksi 45

derajad, adduksi 20-30 derajad)

Rotasi internal Luas rentang gerak sendi penuh (40 derajad)

Rotasi

eksternal

Luas rentang gerak sendi penuh (45 derajad)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 102: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

Lutut Sendi Engsel Fleksi ekstensi Luas rentang gerak sendi penuh (fleksi 150

derajad, ekstensi 15 derajad)

Pergelangan

kaki

Dorso fleksi Luas rentang gerak sendi tidak maksimal

karena kontraktur (<30 derajad)

Plantar fleksi Luas rentang gerak sendi tidak maksimal

karena kontraktur (<20 derajad)

Inversi Luas rentang gerak tidak maksimal karena

kontraktur (<20 derajad)

Eversi Luas rentang gerak tidak maksimal karena

kontraktur (<10 derajad)

Jari-jari kaki Sendi Engsel Abduksi Luas rentang gerak tidak maksimal karena

kontraktur (<25 derajad)

Adduksi Luas rentang gerak sendi tidak maksimal

karena kontraktur (<20 derajad)

Fleksi ekstensi Luas rentang gerak sendi tidak maksimal

karena kontraktur (fleksi <80-90 derajad,

ekstensi <70 derajad)

Dari tabel di atas, diketahui bahwa gerakan rantang gerak sendi

yang mengalami keterbatasan yaitu :

Leher : fleksi lateral kanan dan kiri, rotasi lateral kanan dan

kiri

Bahu: fleksi dan ekstensi, abduksi, fleksi dan ekstensi

horisontal

Siku: ekstensi

Jari-jari tangan: ekstensi

Pergelangan kaki: dorso fleksi, plantar fleksi, inversi, eversi

Jari kaki: abduksi, adduksi, fleksi dan ekstensi

e. Keadaan lingkungan : Lantai wisma tidak licin, bersih, penerangan

cukup baik, tidak ada benda-benda yang menghalangi lansia saat

berjalan. Perabotan tertata dengan baik dan rapi. Selain itu, terdapat

jendela yang dapat dibuka. Kamar mandi bersih, lantai kamar mandi

kering dan tidak licin. Akan tetapi, kamar mandi masih menggunakan

kloset jongkok. Tepat tidur klien agak tinggi dan tidak terdapat

pengaman (side rail) pada tepat tidur.

f. Lain-lain

Klien tampak rapi dan bersih, kuku kaki dan tangan tampak pendek dan

bersih

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 103: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

V. Informasi Penunjang

o Diagnosa Medis : Tidak diketahui

o Laboratorium : Tidak diketahui

o Terapi Medis : THP 2x1/2, Risperidone 2x1/2

Pemeriksaan lain:

Geriatric Depression Scale: Skor total = 5, interpretasi = tidak

mengindikasikan depresi

Mini Mental Status Exam (MMSE): Skor total: 21, interpretasi =

mengalami kerusakan kognitif ringan

Pittsburg Sleep Quality Index (PSQI) : skor total 4, interpretasi: kualitas

tidur baik

The Mini Nutritional Assessment (MNA) : skor total= 16,5, interpretasi:

malnutrisi

False Morse Scale (FMS): Skor total: 65, interpretasi = risiko jatuh tinggi

Berg Balance Test (BBT): skor total= 24, interpretasi= Ibu N memiliki

risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan seperti

tongkat, kruk, dan walker

Barthel Index Scoring menunjukkan skor total 60 yang

menginterpretasikan klien memiliki ketergantungan sedang

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 104: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 2: Analisa Data

ANALISA DATA

Data Masalah Keperawatan

DS:

- Klien mengeluhkan nyeri skala 2 di kaki

sebelah kiri jika digunakan untuk berjalan

terlalu lama, tidak menjalar, durasi dan saat ini

nyeri jarang dirasakan

- Jika nyeri muncul klien mengatakan

mengurangi aktivitas berjalan.

- Klien mengatakan jarang mengikuti kegiatan

panti, seperti senam pagi, pengajian, dan

panggung gembira karena tidak kuat berjalan

jauh, takut jatuh jika jalan menanjak dan tidak

ada yang mendampingi.

- Klien mengeluhkan tubuh lemah ketika

digunakan untuk berjalan.

- Klien mengatakan terkadang sempoyongan

dan terasa akan jatuh saat berjalan.

- Klien mengatakan walker berat dan

menyulitkan saat berjalan sehingga klien tidak

lagi menggunakan walker.

- Klien mengatakan melakukan rentang

pergerakan sendi setiap pagi atau

menggerakkan badan dengan gerakan yang

sebelumnya pernah diajarkan oleh perawat

DO:

- Klien berusia 73 tahun dan sudah mengalami

penurunan kekuatan otot dan keseimbangan

atau pengendalian gerakan akibat proses

penuaan

- Aktivitas klien di wisma terlihat sangat kurang

- Klien tampak berjalan dengan berpegangan

pada benda sekitar seperti dinding, tempat

tidur, atau meja.

- Klien juga tampak kesulitan dalam beberapa

gerakan seperti duduk ke berdiri, berdiri ke

duduk, naik dan turun dari tempat tidur.

- Klien memiliki alat bantu jalan yaitu walker,

namun klien tidak pernah menggunakan

walker tersebut

- Terdapat deformitas pada tulang tibia di area

1/3 distal tibia karena riwayat fraktur.

- Rentang gerak sendi sudah mengalami

Hambatan mobilitas fisik

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 105: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

penurunan atau mengalami keterbatasan.

- Kekuatan otot menunjukkan bahwa klien telah

mengalami penurunan kekuatan otot pada

kedua ekstremitas bawah.

- Klien mendapatkan terapi atau obat-obatan

antipsikotik yaitu THP dan Risperidone

dengan efek samping yang dapat

mempengaruhi mobilitas klien seperti pusing,

kelemahan otot, penglihatan kabur, dan

mengantuk.

- Jumlah care giver atau perawat yang bertugas

di wisma tempat klien tinggal yang terbatas

memungkinkan lansia kurang mendapatkan

pengawasan terhadap aktivitas mobilisasi

- Hasil pemeriksaan:

- False Morse Scale (FMS): Skor total: 65,

interpretasi = risiko jatuh tinggi

- Berg Balance Test (BBT): skor total= 24,

interpretasi= Ibu N memiliki risiko jatuh

sedang dan perlu menggunakan alat bantu

jalan seperti tongkat, kruk, dan walker

- Mini Mental Status Exam (MMSE) : skor

total 21 yang menunjukkan bahwa klien

mengalami kerusakan kognitif ringan

- Barthel Index Scoring menunjukkan skor

total 60 yang menginterpretasikan klien

memiliki ketergantungan sedang

DS:

- Klien mengatakan tidak memilih-milih

makanan, klien menyukai sayuran, lauk, dan

buah, dan tidak menghindari atau membatasi

makanan tertentu

- Klien mengatakan nafsu makan sempat

membaik, namun kembali menurun saat ini

sehingga klien sering tidak menghabiskan

makanan yang disajikan

- Klien mengatakan cepat merasa kenyang

sehingga makanan tidak dihabiskan

DO:

- Klien tampak kururs

- Klien masih dapat mengunyah dan menelan

makanan dengan baik

- Gigi depan atas dan bawah masih utuh dan

sebagian gigi geraham sudah tanggal akan

tetapi kebersihan mulut kurang

- Pola makan klien tiga kali sehari sesuai

makanan yang disediakan oleh panti

- Klien hanya menghabiskan setengah hingga

Ketidakseimbangan nutrisi:

kurang dari kebutuhan tubuh

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 106: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

tiga per empat porsi dari makanan yang

diberikan dan membuang sisa makanan yang

tidak habis dimakan

- Tidak ada kegiatan makan bersama

- Sebagian lansia makan di depan wisma dan

duduk berdampingan dengan WBS lain

tanpa melakukan interaksi dan sebagian

besar WBS makan di dalam wisma karena

keterbatasan mobilisasi

- Jumlah care giver dan perawat hanya ada

tiga orang dan masing-masing perawat

bertanggung jawab terhadap 33 WBS di

wisma cempaka sehingga perawat atau

petugas sulit mengawasi dan memastikan

WBS menghabiskan makanan yang

diberikan

- Tinggi Badan: 147 cm

- Berat Badan: 39 kg

- IMT (indeks massa tubuh) : 18,05

- The Mini Nutritional Assessment (MNA) :

skor total= 16,5 , interpretasi: malnutrisi

DS:

- Klien mengatakan jarang berinteraksi

dengan klien atau WBS lain dikarenakan

klien merasa tidak memahami pembicaraan

klien lain.

- Klien mengatakan banyak klien lain yang

jarang berinteraksi sehingga klien segan

untuk memulai interaksi atau pembicaraan

- Klien juga mengatakan klien lebih sering

mengobrol dengan perawat atau mahasiswa

DO:

- Klien tampak tidak pernah melakukan

interaksi dengan klien atau WBS lain

walaupun duduk bersebelahan

- Klien lebih banyak melakukan aktivitas di

tempat tidur walaupun sering keluar wisma

untuk duduk di bangku depan wisma.

Hambatan interaksi sosial

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 107: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 3: Rencana Asuhan Keperawatan Individu

RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN INDIVIDU

Diagnosa Keperawatan Tujuan

Rencana Tindakan Rasional Umum Khusus

Hambatan mobilitas fisik Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

selama 5 x 45

menit klien

menunjukkan

peningkatan

mobilitas

Kriteria evaluasi:

Klien akan:

- Memperlihatkan

penggunaan alat bantu

secara benar

- Meminta bantuan untuk

aktivitas mobilisasi, jika

diperlukan

- Melakukan aktivitas

kehidupan sehari-hari

secara mandiri dengan

alat bantu (walker)

- Menyangga berat badan

- Rentang gerak sendi

meningkat

- Melakukan latihan

rentang gerak sendi

secara mandiri

- Menunjukkan

peningkatan

keseimbangan saat

berjalan

o Kaji tanda-tanda vital setiap hari untuk

menentukan status perkembangan klien.

Lakukan pula pengkajian GCS (Glasgow

Coma Scale), kekuatan otot, dll

o Tingkatkan mobilitas dan tentukan jenis ROM

yang tepatuntuk klien (pasif, aktif asistif,

aktif), frekuensi ditentukanoleh kondisiklien.

o Lakukan latihan secara perlahan dan sanggah

ekstremitas atas dan bawah sendi saat

melakukan ROM.

o Lakukan ROM setiap hari satu sampai dua

kali. Masukkan ke dalam aktivitas sehari-hari.

o Perhatikan posisi tubuh, hindari duduk lama

atau berbaring dalam posisi yang sama.

o Status kesehatan klien

penting untuk menentukan

tindakan keperawatan

selanjutnya.

o ROM dapat meningkatkan

massadan kekuatan otot,

meningkatkan kerja jantung

dan fungsi pernapasan,

mobilitas sendi dan sirkulasi.

o Lakukan latihan secara

perlahan untuk

memungkinkan waktu otot

untuk bersantai, dan sanggah

ekstremitas atas dan bawah

sendi untuk mencegah

ketegangan pada sendi dan

jaringan.

o Efektivitas ROM terlihat jika

latihan dilakukan secara rutin

dan bertahap.

o Untuk mencegah timbulnya

komplikasi akibat posisi

tubuh yang salah atau tirah

baring yang lama dan untuk

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 108: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

o Ajarkan tindakan mobilisasi yang lebih

progresif, jika kondisi klien memungkinkan:

- Motivasi klien untuk meningkatkan

aktivitas di luar kamar.Biarkan klien untuk

menjuntai kaki ke sisi tempat tidur selama

beberapa menit sebelum berdiri.

- Ajarkan klien menggunakan alat bantu

walker dengan cara yang tepat

o Lakukan supervisi terhadap usaha mobilisasi

klien, bantu jika diperlukan

o Libatkan klien dalam aktivitas olehraga yang

memfasilitasi pergerakan sendi dan kekuatan

otot sesuai program yang diadakan di panti

o Tindakan Kolaborasi:

- Sediakan informasi mengenai pentingnya

klien melakukan mobilisasi kepada orang

terdekat klien (penjaga panti atau tenaga

sosial) dipanti, agar mereka berpartisipasi

dalam melakukan tindakan mobilisasi pada

klien.

meningkatkan sirkulasi

o Tirah baring yang terlalu

lama dapat menyebabkan

volume darah menurun serta

penurunan mendadak pada

tekanan darah

(ortostatikhipotensi) sebagai

pengembalian darah ke

sirkulasi perifer. Dengan

melakukan ambulasi secara

bertahap dapat mengurangi

kelelahan dan meningkatkan

daya tahan tubuh.

o Klien mendapatkan

pengawasan sehingga dapat

menurunkan risiko jatuh,

mengevaluasi kemampuan

mobilisasi klien

o Meningkatan aktivitas dan

mobilisasi klien

o Orang terdekat klien harus

memiliki kemampuan dalam

melakukan tindakan untuk

meningkatkan mobilisasi

klien. Mobilisasi pada lansia

penting untuk meningkatkan

sirkulasi serta mencegah

terjadinya atrofi dan penyakit

lainnya.

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 109: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Diagnosa Tujuan Intervensi

Rasional Khusus Umum

Ketidakseimbangan

nutrisi : kurang dari

kebutuhan tubuh

Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

selama 5 x 45

menitintake

nutrisi yang

adekuat

terpenuhi

Kriteria evaluasi:

BB klien ideal

Mengungkapkan tekad

untuk mematuhi diet

Mempertahankan BB

dalam batas normal

Melaporkan tingkat

energi yang adekuat

Melaporkan peningkatan

nafsu makan dan intake

makanan

1. Evaluasi kemampuan untuk mengunyah,

merasakan dan menelan

2. Kaji pengetahuan klien tentang kebutuhan

nutrisi terkait penuaan, penggunaan obat-

obatan, penyakit, dan aktivitas.

3. Jelaskan pentingnya konsumsi karbohidrat,

lemak, protein, vitamin, mineral, dan cairan

yang adekuat secara sederhana dan mudah

dipahami.

4. Jelaskan penurunan sensitivitas terhadap rasa

manis dan asin

5. Anjurkan klien untuk istirahat sebelum makan

1. Lesi mulut, tenggorok, dan

esophagus dapat

menyebabkan disfagia,

penurunan kemampuan klien

untuk mengolah makanan

dan mengurangi keinginan

untuk makan

2. Mengevaluasi pengetahuan

klien tentang kebutuhan

nutrisi terkait penuaan,

penggunaan obat-obatan,

penyakit, dan aktivitas untuk

menentukan intervensi

selanjutnya

3. Pengetahuan penting untuk

mengubah perilaku intake

nutrisi klien yang kurang

adekuat

4. Penjelasan tentang efek

proses penuaan terhadap

penurunan sensitivitas rasa

penting dilakukan untuk

menghindari kesalahan

persepsi terhadap makanan

yang disediakan oleh panti

5. Terlalu lelah setelah

aktivitas dapat menurunkan

nafsu atau selera makan

klien

(lanjutan)

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 110: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

6. Berikan makanan sedikit tapi sering.Tingkatkan

nafsu makan klien (makanan kesukaan klien,

kontrol nyeri, suasana makan yang nyaman)

7. Timbang berat badan sesuai kebutuhan.

Evaluasi berat badan dalam hal adanya berat

badan yang tidak sesuai. Gunakan serangkaian

pengukuran berat badan dan antropometrik

8. Berikan perawatan mulut

9. Pantau obat-obatan terhadap efek nutrisi

10. Pantau intake nutrisi klien

6. Memfasilitasi klien tetap

mendapatkan intake nutrisi

yang adekuat dan

meningkatkan selera dan

nafsu makan klien

7. Indikator kebutuhan nutrisi/

pemasukan yang adekuat

8. Mengurangi

ketidaknyamanan yang

berhubungan dengan mual/

muntah, lesi oral,

pengeringan mukosa dan

halitosis

9. Profilaktik dan obat-obatan

terapeutik mungkin

mempunyai efek samping

nutrisi, missal AZT

(pengubah rasa, mual/

muntah), bactrim (anoreksia,

ketidakseimbangan glukosa,

glositis, pentamidin

(perubahan rasa dan aroma,

mual/ muntah,

ketidakseimbangan glukosa)

10. Mengidentifikasi

pemenuhan atau intake

nutrisi yang adekuat

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 111: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

11. Berikan informasi tentang pentingnya intake

nutrisi yang adekuat bagi klien dan yakinkan

klien bahwa makanan yang disediakan oleh

panti bersih dan tidak diolah secara

sembarangan.

Kolaborasi:

12. Konsultasikan kebutuhan pemberian suplemen

atau vitamin bagi klien dan berikan obat-obatan

sesuai petunjuk

13. Sediakan informasi mengenai pentingnya

intake nutrisi adekuat kepada orang terdekat

klien (penjaga panti atau tenaga sosial) dipanti,

agar mereka berpartisipasi dalam meningkatkan

intake nutrisi adekuat klien.

11. Meningkatkan motivasi

klien untuk meningkatkan

intake nutrisi yang adekuat,

memperbaiki persepsi yang

buruk terhadap makanan

yang disediakan oleh panti

12. Mengurangi insiden muntah,

meningkatkan fungsi gaster.

Kekurangan vitamin dapat

terjadi akibat penurunan

pemasukan makanan dan

atau kegagalan mengunyah

dan absorbsi dalam

gastrointestinal

13. Orang terdekat klien harus

memiliki pengetahuan dan

kemampuan dalam

melakukan tindakan untuk

meningkatkan status nutrisi

klien

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 112: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Diagnosa Keperawatan Tujuan Rencana Tindakan

Rasional Umum Khusus

Hambatan interaksi sosial Setelah

dilakukan

tindakan

keperawatan

selama 5 x 45

menit klien

menunjukkan

peningkatan

interaksi sosial

Kriteria evaluasi:

Klien akan:

- Mengungkapkan

penyebab atau faktor

yang menyebabkan klien

membatasi interaksi

- Mengidentifikasi

perasaan yang membuat

klien mengurangi

interaksi sosial

- Memberikan

reinforcement positif

terhadap pencapaian

- Meningkatkan interaksi

sosial dengan klien atau

WBS lain atau dengan

petugas panti dan perawat

o Kaji pola interaksi dalam keluarga, tingkat

keparahan, dan kemampuan interaksi klien

o Dorong klien untuk mengungkapkan perasaan

dan persepsi dari masalah klien

o Kaji kemampuan koping dan mekanisme

pertahanan klien

o Libatkan dalam permainan peran tentang cara

berinteraksi dengan orang lain dengan

mengidentifikasi situasi atau perilaku orang

yang akan diajak berinteraksi

o Diskusikan tentang konsep diri negatif dan

cara untuk berpikir positif

o Bimbing klien untuk melakukan interaksi

sosial dengan klien lain

o Interaksi sosial dipelajari

secara mendasar dalam

keluarga. Ketika pola yang

tidak tepat dan faktor

penyebab teridentifikasi,

tindakan untuk perubahan

dapat ditentukan dengan

tepat.

o Membantu mengidentifikasi

dan mengklarifikasi alasan

klien mengalami kesulitan

dalam interaksi dengan orang

lain.

o Kemampuan koping dan

mekanisme pertahanan klien

digunakan untuk melindungi

klien dari perasaan kesepian

dan menarik diri.

o Melatih kebiasaan baru

memungkinkan individu

merasa nyaman dengan

situasi yang diciuptakan

o Digunakan untuk

menciptakan interaksi sosial

yang positif

o Memfasilitasi klien

melakukan interaksi sosial

secra langsung

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 113: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

o Motivasi klien untuk meningkatkan interaksi

sosial dengan klien lain

o Libatkan klien dalam aktivitas di panti

o Meningkatkan motivasi klien

dan meningkatkan interaksi

sosial klien di wisma

o Meningkatkan interaksi klien

dengan orang lain selama

aktivitas berlangsung

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 114: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 4: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen

Mini Mental Status Exam (MMSE)

MINI- MENTAL STATE EXAM (MMSE)

Nama pasien : Nama pemeriksa: Hari, tanggal:

Petunjuk : Tulislah skor untuk setiap pertanyaan/instruksi yang diberikan kepada pasien.

Skor

maksimal Skor pasien Instruksi

5

5

3

4

Orientasi waktu:

“Tahun berapa sekarang?”

“Bulan apa sekarang?”

“Tanggal berapa sekarang?”

“Hari apa sekarang?”

“Musim apa sekarang?”

Orientasi tempat:

“Kita ada di negara mana sekarang?”

“Kita ada di provinsi apa?”

“Kita sekarang ada di kota mana?”

“Ada di panti mana sekarang?”

“Ada di wisma apa?”

3 3 Registrasi (mendaftar):

Pemeriksa menyebutkan tiga benda dengan jelas dan pelan.

Kemudian minta pasien mengulang ketiga benda tersebut,

segera setelah pemeriksa selesai mengatakannya. Berikan 1

poin untuk setiap jawaban yang benar. Kemudian ulangi lagi

sampai pasien mampu menyebutkan ketiga benda tersebut

dengan tepat (jika memungkinkan). Hitung dan catat berapa

kali pasien melakukan pengulangan.

5 3 Perhatian dan kemampuan berhitung:

Seri 7. Pemeriksa meminta pasien untuk menghitung

mundur angka 100 dengan pengurangan 7 (93, 86, 79, 72,

65, ….)

Alternatif: “Meminta pasien mengeja satu kata ke belakang”

Misal: SEPATU (U-T-A-P-E-S)

3 2 Kemampuan mengingat kembali:

“Sebelumnya saya menyebutkan 3 nama benda. Bisakah

Anda menyebutkannya kembali?”

2

1

3

1

2

1

3

0

Bahasa:

Tunjukkan 2 benda sederhana kepada pasien, misalnya jam

tangan, pensil, kemudian minta pasien menyebutkan nama

benda-benda yang Anda tunjuk.

“Ulangi frase kata: “Jika tidak, dan, atau tetapi”

Ikuti 3 perintah berurutan:

“Ambil secarik kertas dengan tangan kanan Anda, lipatlah di

bagian tengahnya, dan letakkan di lantai”

(Pemeriksa memberi pasien secarik kertas kosong).

“Tolong baca dan lakukan apa yang tertulis di kertas

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 115: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

1

0

tersebut: (Perintah tertulis: “Tutup mata Anda”).

“Buatlah dan tulislah sebuah kalimat.” (Kalimat tersebut

harus mempunyai subyek dan predikat).

1 0

“Tolong salinlah gambar di bawah ini.” (Pemeriksa

memberi pasien kertas kosong dan minta pasien untuk

menggambar symbol di bawah ini. Ke-10 sudut harus

digambar dan kedua bangun tersebut harus

berpotongan/irisan).

30 21 TOTAL: 21 Interpretasi: Kerusakan kognitif ringan

(lanjutan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 116: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 5: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen

Berg Balance Test (BBT) sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan

BERG BALANCE TEST

1. Duduk ke berdiri

Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai sokongan

( ) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan

( √ ) 3 mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan

( ) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali mencoba

( ) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri

( ) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri

2. Berdiri tanpa bantuan

Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan

( ) 4 mampu berdiri selama dua menit

( ) 3 mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan

( √ ) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan

( ) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30 detik tanpa

bantuan

( ) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan

3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai

Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit

( √ ) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit

( ) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan

( ) 2 mampu duduk selama 30 detik

( ) 1 mampu duduk selama 10 detik

( ) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik

4. Berdiri ke duduk

Instruksi: silahkan duduk

( ) 4 duduk dengan aman dengan penggunaan minimal tangan

( √ ) 3 duduk menggunakan bantuan tangan

( ) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun

( ) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri ke duduk

( ) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk

5. Berpindah

Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang

memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga

tangan

( ) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan

( ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan

( ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan

( √ ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu

( ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi

6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup

Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik

( ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman

( ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan

( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik

( √ ) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan

aman

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 117: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

( ) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh

7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat

Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan

( ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit

( ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan

( ) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik

( √ ) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi

mampu berdiri selama 15 detik

( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama

15 detik

8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri

Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu

Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh)

( √ ) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)

( ) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)

( ) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)

( ) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan

( ) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan

9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri

Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda

( ) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman

( ) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan

( ) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat menjaga

keseimbangan

( √ ) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika mencoba

( ) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah hilangnya

keseimbangan atau terjatuh

10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri

Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke arah kanan

( ) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi

( ) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi

( √ ) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga keseimbangan

( ) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok

( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau terjatuh

11. Berputar 360 derajat

Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan arah yang

berlawanan

( ) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau kurang

( ) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat detik atau kurang

( √ ) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat

( ) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal

( ) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar

12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri tanpa

bantuan

Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan. Lanjutkan

sampai setiap kaki menyentuh pijakan selama 4 kali.

( ) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 118: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

( ) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik

( ) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan

( ) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal

( √ ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu melakukan

13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya

Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa tidak bisa,

cobalah melangkah sejauh yang Anda bisa

( ) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama 30 detik

( ) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik

( ) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik

( ) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan selama 15 detik

( √ ) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri

14. Berdiri dengan satu kaki

Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan

( ) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik

( ) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik

( ) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik

( ) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3 detik tetapi

dapat berdiri mandiri

( √ ) 0 tidak mampu mencoba

Skor Total: 21

Interpretasi: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan

seperti tongkat, kruk, dan walker.

Rentang nilai BBT : 0 – 20 : klien memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat

bantu jalan berupa kursi roda.

21 – 40: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu

jalan seperti tongkat, kruk, dan walker.

41 – 56: klien memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 119: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 6: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen

Berg Balance Test (BBT) setelah dilakukan Intervensi Keperawatan

BERG BALANCE TEST

1. Duduk ke berdiri

Instruksi: tolong berdiri, cobalah untuk tidak menggunakan tangan sebagai sokongan

( ) 4 mampu berdiri tanpa menggunakan tangan

( √ ) 3 mampu untuk berdiri namun menggunakan bantuan tangan

( ) 2 mampu berdiri menggunakan tangan setelah beberapa kali mencoba

( ) 1 membutuhkan bantuan minimal untuk berdiri

( ) 0 membutuhkan bantuan sedang atau maksimal untuk berdiri

2. Berdiri tanpa bantuan

Instruksi: berdirilah selama dua menit tanpa berpegangan

( ) 4 mampu berdiri selama dua menit

( √ ) 3mampu berdiri selama dua menit dengan pengawasan

( ) 2 mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan

( ) 1 membutuhkan beberapa kali untuk mencoba berdiri selama 30 detik tanpa

bantuan

( ) 0 tidak mampu berdiri selama 30 detik tanpa bantuan

3. Duduk tanpa sandaran punggung tetapi kaki sebagai tumpuan di lantai

Instruksi: duduklah sambil melipat tangan Anda selama dua menit

( √ ) 4 mampu duduk dengan aman selama dua menit

( ) 3 mampu duduk selama dua menit di bawah pengawasan

( ) 2 mampu duduk selama 30 detik

( ) 1 mampu duduk selama 10 detik

( ) 0 tidak mampu duduk tanpa bantuan selama 10 detik

4. Berdiri ke duduk

Instruksi: silahkan duduk

( ) 4 duduk dengan aman dengan penggunaan minimal tangan

( √ ) 3 duduk menggunakan bantuan tangan

( ) 2 menggunakan bantuan bagian belakan kaki untuk turun

( ) 1 duduk mandiri tapi tidak mampu mengontrol pada saat dari berdiri ke duduk

( ) 0 membutuhkan bantuan untuk duduk

5. Berpindah

Instruksi: buatlah kursi bersebelahan. Minta klien untuk berpindah ke kursi yang

memiliki penyagga tangan kemudian ke arah kursi yang tidak memiliki penyangga

tangan

( ) 4 mampu berpindah dengan sedikit penggunaan tangan

( √ ) 3 mampu berpindah dengan bantuan tangan

( ) 2 mampu berpindah dengan isyarat verbal atau pengawasan

( ) 1 membutuhkan seseorang untuk membantu

( ) 0 membutuhkan dua orang untuk membantu atau mengawasi

6. Berdiri tanpa bantuan dengan mata tertutup

Instruksi: tutup mata Anda dan berdiri selama 10 detik

( ) 4 mampu berdiri selama 10 detik dengan aman

( ) 3 mampu berdiri selama 10 detik dengan pengawasan

( ) 2 mampu berdiri selama 3 detik

( √ ) 1 tidak mampu menahan mata agar tetap tertutup tetapi tetap berdiri dengan

aman

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 120: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

( ) 0 membutuhkan bantuan agar tidak jatuh

7. Berdiri tanpa bantuan dengan dua kaki rapat

Instruksi: rapatkan kaki Anda dan berdirilah tanpa berpegangan

( ) 4 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit

( ) 3 mampu merapatkan kaki dan berdiri satu menit dengan pengawasan

( ) 2 mampu merapatkan kaki tetapi tidak dapat bertahan selama 30 detik

( √ ) 1 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi yang diperintahkan tetapi

mampu berdiri selama 15 detik

( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencapai posisi dan tidak dapat bertahan selama

15 detik

8. Meraih ke depan dengan mengulurkan tangan ketika berdiri

Instruksi: letakkan tangan 90 derajat. Regangkan jari Anda dan raihlah semampu

Anda (penguji meletakkan penggaris untuk mengukur jarak antara jari dengan tubuh)

( √ ) 4 mencapai 25 cm (10 inchi)

( ) 3 mencapai 12 cm (5 inchi)

( ) 2 mencapai 5 cm (2 inchi)

( ) 1 dapat meraih tapi memerlukan pengawasan

( ) 0 kehilangan keseimbangan ketika mencoba/memerlukan bantuan

9. Mengambil objek dari lantai dari posisi berdiri

Instruksi: Ambilah sepatu/sandal di depan kaki Anda

( ) 4 mampu mengambil dengan mudah dan aman

( ) 3 mampu mengambil tetapi membutuhkan pengawasan

( ) 2 tidak mampu mengambil tetapi meraih 2-5 cm dari benda dan dapat menjaga

keseimbangan

( √ ) 1 tidak mampu mengambil dan memerlukan pengawasan ketika mencoba

( ) 0 tidak dapat mencoba/membutuhkan bantuan untuk mencegah hilangnya

keseimbangan atau terjatuh

10. Melihat ke belakang melewati bahu kanan dan kiri ketika berdiri

Instruksi: tengoklah ke belakang melewati bahu kiri. Lakukan kembali ke arah kanan

( ) 4 melihat ke belakang dari kedua sisi

( ) 3 melihat ke belakang hanya dari satu sisi

( √ ) 2 hanya mampu melihat ke samping tetapi dapat menjaga keseimbangan

( ) 1 membutuhkan pengawasan ketika menengok

( ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah ketidakseimbangan atau terjatuh

11. Berputar 360 derajat

Instruksi: berputarlah satu lingkaran penuh, kemudian ulangi lagi dengan arah yang

berlawanan

( ) 4 mampu berputar 360 derajat dengan aman selama 4 detik atau kurang

( ) 3 mampu berputar 360 derajat hanya dari satu sisi selama empat detik atau kurang

( √ ) 2 mampu berputar 360 derajat, tetapi dengan gerakan yang lambat

( ) 1 membutuhkan pengawasan atau isyarat verbal

( ) 0 membutuhkan bantuan untuk berputar

12. Menempatkan kaki secara bergantian pada sebuah pijakan ketika beridiri tanpa

bantuan

Instruksi: tempatkan secara bergantian setiap kaki pada sebuah pijakan. Lanjutkan

sampai setiap kaki menyentuh pijakan selama 4 kali.

( ) 4 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 pijakan dalam 20 detik

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 121: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

(lanjutan)

( ) 3 mampu berdiri mandiri dan melakukan 8 kali pijakan > 20 detik

( ) 2 mampu melakukan 4 pijakan tanpa bantuan

( ) 1 mampu melakukan >2 pijakan dengan bantuan minimal

( √ ) 0 membutuhkan bantuan untuk mencegah jatuh/tidak mampu melakukan

13. Berdiri tanpa bantuan satu kaki di depan kaki lainnya

Instruksi: tempatkan langsung satu kaki di depan kaki lainnya. Jika merasa tidak bisa,

cobalah melangkah sejauh yang Anda bisa

( ) 4 mampu menempatkan kedua kaki (tandem) dan menahan selama 30 detik

( ) 3 mampu memajukan kaki dan menahan selama 30 detik

( ) 2 mampu membuat langkah kecil dan menahan selama 30 detik

( ) 1 membutuhkan bantuan untuk melangkah dan mampu menahan selama 15 detik

( √ ) 0 kehilangan keseimbangan ketika melangkah atau berdiri

14. Berdiri dengan satu kaki

Instruksi: berdirilah dengan satu kaki semampu Anda tanpa berpegangan

( ) 4 mampu mengangkat kaki dan menahan >10 detik

( ) 3 mampu mengangkat kaki dan menahan 5-10 detik

( ) 2 mampu mengangkat kaki dan menahan >3 detik

( ) 1 mencoba untuk mengangkat kaki, tidak dapat bertahan selama 3 detik tetapi

dapat berdiri mandiri

( √ ) 0 tidak mampu mencoba

Skor Total: 27

Interpretasi: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu jalan

seperti tongkat, kruk, dan walker.

Rentang nilai BBT : 0 – 20 : klien memiliki risiko jatuh tinggi dan perlu menggunakan alat

bantu jalan berupa kursi roda.

21 – 40: klien memiliki risiko jatuh sedang dan perlu menggunakan alat bantu

jalan seperti tongkat, kruk, dan walker.

41 – 56: klien memiliki risiko jatuh rendah dan tidak memerlukan alat bantu.

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 122: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 7: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen

False Morse Scale (FMS) sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan

FALSE MORSE SCALE (FMS)

Penilaian dalam skala ini terdiri dari 6 variabel atau bagian yaitu riwayat jatuh, diagnosis

penyait, bantuan berjalan, terapi intravena, gaya berjalan dan status mental.

No Item Skala Skor

1 Riwayat jatuh Tidak : 0

Ya : 25

25

2 Diagnosis sekunder Tidak : 0

Ya : 15

0

3 Bantuan Berjalan

Bedrest/bantuan perawat

Kruk/tongkat/walker

Furnitur

0

15

30

30

4 Terapi intravena/heparin lock Tidak : 0

Ya : 20

0

5 Gaya berjalan

Normal/bedrest/immobile

Lemah

Dengan bantuan

0

10

20

10

6 Status mental

Orientasi terhadap kemampuan

diri sendiri

Melebih-lebihkan/melupakan

keterbatasan

0

15

0

TOTAL 65

Interpretasi:

Risiko Tinggi

Jatuh

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 123: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 8: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen

False Morse Scale (FMS) setelah dilakukan Intervensi Keperawatan

FALSE MORSE SCALE (FMS)

Penilaian dalam skala ini terdiri dari 6 variabel atau bagian yaitu riwayat jatuh, diagnosis

penyait, bantuan berjalan, terapi intravena, gaya berjalan dan status mental.

No Item Skala Skor

1 Riwayat jatuh Tidak : 0

Ya : 25

25

2 Diagnosis sekunder Tidak : 0

Ya : 15

0

3 Bantuan Berjalan

Bedrest/bantuan perawat

Kruk/tongkat/walker

Furnitur

0

15

30

15

4 Terapi intravena/heparin lock Tidak : 0

Ya : 20

0

5 Gaya berjalan

Normal/bedrest/immobile

Lemah

Dengan bantuan

0

10

20

10

6 Status mental

Orientasi terhadap kemampuan

diri sendiri

Melebih-lebihkan/melupakan

keterbatasan

0

15

0

TOTAL 50

Interpretasi:

memiliki

kemungkinan

untuk jatuh

(resiko rendah)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 124: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 9: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen

Barthel Index Scoring Form sebelum dilakukan Intervensi Keperawatan

BARTHEL INDEX SCORING FORM

No. Kegiatan Nilai 1. Makan

0 = tidak mampu

5 = membutuhkan bantuan untuk memotong, atau menentukan diet

10 = mandiri

5

2. Mandi

0 = dibantu

5 = mandiri

5

3. Berhias

0 = dibantu

5 = mandiri

5

4. Berpakaian

0 = dibantu

5 = membutuhkan bantuan sebagian

10 = mandiri (dapat mengancing baju, menarik resleting, dll)

5

5. Buang Air Besar

0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)

5 = sesekali butuh bantuan

10 = kontinen

5

6. Buang Air Kecil

0 = inkontinensia (atau membutuhkan kateter)

5 = sesekali butuh bantuan

10 = kontinen

5

7. Penggunaan toilet

0 = dibantu

5 = membutuhkan bantuan sebagian

10 = mandiri

5

8. Berpindah (tempat tidur ke kursi, dll)

0 = tidak mampu, tidak dapat duduk dengan baik

5 = sebagian besar dibantu (butuh 1 atau 2 penolong), dapat duduk.

10 = sebagian kecil dibantu

15 = mandiri

10

9. Berjalan di permukaan datar

0 = tirah baring

5 = mandiri menggunakan kursi roda, > 50 m

10 = berjalan dengan bantuan 1 orang, > 50 m

15 = mandiri (walaupun dengan menggunakan alat bantu jalan, > 50 m)

10

10. Menaiki tangga

0 = tidak mampu

5 = membutuhkan bantuan

10 = mandiri

5

Total Nilai ( 0 - 100) 60

(Interpretasi:

dependen sedang)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 125: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 10: Hasil Pengkajian Menggunakan Instrumen

Barthel Index Scoring Form setelah dilakukan Intervensi Keperawatan

BARTHEL INDEX SCORING FORM

No. Kegiatan Nilai 1. Makan

0 = tidak mampu

5 = membutuhkan bantuan untuk memotong, atau menentukan diet

10 = mandiri

5

2. Mandi

0 = dibantu

5 = mandiri

5

3. Berhias

0 = dibantu

5 = mandiri

5

4. Berpakaian

0 = dibantu

5 = membutuhkan bantuan sebagian

10 = mandiri (dapat mengancing baju, menarik resleting, dll)

5

5. Buang Air Besar

0 = inkontinensia (atau membutuhkan enema)

5 = sesekali butuh bantuan

10 = kontinen

5

6. Buang Air Kecil

0 = inkontinensia (atau membutuhkan kateter)

5 = sesekali butuh bantuan

10 = kontinen

5

7. Penggunaan toilet

0 = dibantu

5 = membutuhkan bantuan sebagian

10 = mandiri

5

8. Berpindah (tempat tidur ke kursi, dll)

0 = tidak mampu, tidak dapat duduk dengan baik

5 = sebagian besar dibantu (butuh 1 atau 2 penolong), dapat duduk.

10 = sebagian kecil dibantu

15 = mandiri

15

9. Berjalan di permukaan datar

0 = tirah baring

5 = mandiri menggunakan kursi roda, > 50 m

10 = berjalan dengan bantuan 1 orang, > 50 m

15 = mandiri (walaupun dengan menggunakan alat bantu jalan, > 50 m)

15

10. Menaiki tangga

0 = tidak mampu

5 = membutuhkan bantuan

10 = mandiri

5

Total Nilai ( 0 - 100) 70

(Interpretasi:

dependen ringan)

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014

Page 126: UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN …lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-5/20391030-PR... · mempengaruhi aspek biologis, psikologis, sosial dan juga spiritual

Lampiran 11: Daftar Riwayat Hidup

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. Biodata

Nama : Destiana Puspasari

Tempat, Tanggal Lahir : Jakarta, 14 Oktober 1991

Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Golongan Darah : B

Alamat : Jl. Margonda Raya Gg. H. Atan No. 34 RT 04 RW 12

Kelurahan Kemirimuka Kecamatan Beji Depok 16423

Pekutan RT 01 RW 002, Kecamatan Bayan, Kabupaten

Purworejo 54152

Telepon/HP : 085228616667

Email : [email protected]

[email protected]

II. Riwayat Pendidikan

1. TK Mardisiwi : 1996-1997

2. SD N 02 Pekutan : 1997-2003

3. SMP Negeri 3 Purworejo : 2003-2006

4. SMA Negeri 1 Purworejo : 2006-2009

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia : 2009-sekarang

Analisis praktik ..., Destiana Puspasari, FIK UI, 2014