Page 1
INTERAKSI SOSIAL DALAM PEMULIHAN ORANG
DENGAN BIPOLAR PADA KOMUNITAS BIPOLAR
CARE INDONESIA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial
(S.Sos)
Disusun oleh :
Nisa Diyanah
NIM. 11140541000012
PROGRAM STUDI KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF
HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M
Page 5
i
ABSTRAK
Nisa Diyanah/11140541000012
Interaksi Sosial dalam Pemulihan Orang dengan Bipolar pada
Komunitas Bipolar Care Indonesia
Orang dengan gangguan bipolar merupakan keadaan
dimana emosional ekstrem dan intens terjadi pada waktu yang
berbeda, yang disebut episode suasana hati. Episode suasana hati
ini dikategorikan sebagai manic, hypomanic atau depressive.
Untuk dapat kembali menjalani kehidupan orang dengan bipolar
perlu melakukan proses pengobatan dan pemulihan. Pemulihan
merupakan perjalanan panjang, banyak faktor yang harus
diperhatikan dalam pemulihan. Salah satunya adalah faktor sosial
dimana yang di dalamnya terdapat interaksi sosial. Oleh karena itu,
Komunitas Bipolar Care Indonesia dibentuk untuk menjadi wadah
bagi orang dengan bipolar untuk dapat saling berinteraksi,
memberikan dukungan dan memotivasi dalam proses pemulihan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui interaksi sosial
dalam pemulihan orang dengan bipolar yang tergabung pada
Komunitas Bipolar Care Indonesia. Teori yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori interaksi sosial dari Gillin dan Gillin.
Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif jenis deskriptif. Teknik pengumpulan data dalam
penelitian ini merupakan hasil dari wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada interaksi sosial
dalam pemulihan orang dengan bipolar dapat terjadi proses sosial
asosiatif dan disosiatif. Proses sosial asosiatif yang terjadi pada
interaksi sosial dalam pemulihan orang dengan bipolar adalah
kerjasama. Sedangkan proses sosial disosiatif yang terjadi pada
interaksi sosial dalam pemulihan orang dengan bipolar adalah
kontravensi berupa stigma dan diskriminasi.
Kata Kunci : Orang dengan Bipolar, Interaksi Sosial, Pemulihan,
Hubungan Antar Pribadi, Keterlibatan Sosial, Stigma,
Diskriminasi
Page 7
iii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, dengan memanjatkan puji
syukur kehadirat Allah yang telah melimpahkan rahmat serta
karunia-Nya kepada peneliti, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tercurah
untuk Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, keluarga dan para
sahabatnya serta pengikutnya yang telah menjadikan dunia yang
gelap gulita menjadi terang benderang, yang telah membawa kita
dari zaman jahiliyah hingga zaman islamiyah seperti saat ini
sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Atas keridhoan dari Allah, akhirnya skripsi ini dapat
terselesaikan. Serta tidak lupa peneliti menyampaikan ungkapan
terima kasih kepada pihak yang telah memberikan dukungan,
bantuan, motivasi, dan arahan-arahan kepada peneliti untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati peneliti
menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. H. Arief Subhan, MA., sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta. Bapak Suparto, M.Ed, Ph.D sebagai Wakil Dekan
Bidang Akademik. Ibu Dr. Roudhonah, MA., sebagai Wakil
Dekan Bidang Administrasi Umum. Bapak Dr. Suhaimi, M.Si.,
sebagai Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Ibu Lisma Dyawati Fuaida, M.Si., sebagai Ketua Program
Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Page 8
iv
dan Ibu Hj. Nunung Khoiriyah, MA., sebagai Sekretaris
Program Studi Kesejahteraan Sosial UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Ibu Nurkhayati Nurbus, M.Si., sebagai dosen pembimbing
skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
bimbingan, dukungan, dan motivasi kepada peneliti dalam
menyelesaikan skripsi ini.
4. Para Dosen Program Studi Kesejahteraan Sosial yang telah
memberikan wawasan dan keilmuan serta membimbing
peneliti dalam mengikuti perkuliahan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Ibu Nurul Hidayati, MA., sebagai dosen pembimbing
akademik.
6. Para Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi dan
seluruh Civitas Akademika yang telah memberikan peneliti
wawasan dan keilmuan, serta membimbing peneliti selama
mengikuti perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah
dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima
kasih telah membantu peneliti dalam memberikan referensi
dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Kepada Ketua Komunitas Bipolar Care Indonesia, Kak Vindy
Ariella yang telah mengizinkan peneliti melakukan penelitian
di Komunitas Bipolar Care Indonesia.
9. Kepada seluruh informan yang tergabung dalam Komunitas
Bipolar Care Indonesia yang telah bersedia untuk memberikan
Page 9
v
peneliti data dan informasi sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini.
10. Kepada kedua orang tua peneliti yang tersayang dan tercinta,
yang selalu menyebut nama peneliti dalam setiap doa mereka.
Peneliti mohon maaf apabila terlalu lama dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Tetapi peneliti yakin skripsi ini selesai di
waktu yang tepat dan atas Ridho Allah SWT.
11. Kepada adik-adik peneliti yang tersayang, Muhammad Ikhsan,
Muhammad Rifqy, dan Maitsa Aqilah yang telah memberikan
peneliti dukungan, bantuan dan beberapa gangguan dalam
menyelesaikan skripsi ini.
12. Kepada teman dekat peneliti semasa MAN 4 Jakarta hingga
saat ini, Agesti Nur Lestari dan Istiqomah Azhariyah, S.Pd.,
yang telah memberikan peneliti dukungan dan motivasi, serta
telah bersedia senantiasa mendengarkan curahan hati peneliti.
13. Kepada teman dekat peneliti semasa perkuliahan hingga saat
ini, Endah Ambarsari, S.Sos., yang telah memotivasi peneliti
untuk segera menyelesaikan skripsi, serta senantiasa menjawab
pertanyaan-pertanyaan peneliti mengenai penulisan skripsi.
14. Kepada Kak Jailani, S.Sos., terima kasih telah memberikan
peneliti motivasi sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi
ini.
15. Kepada teman-teman seperjuangan Kesejahteraan Sosial 2014
yang selalu menemani dan memberikan dukungan kepada
peneliti selama masa perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Page 10
vi
16. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, motivasi,
bantuan baik moril maupun materil sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini.
Peneliti menyadari bahwa skripsi ini masih banyak
kekurangan, baik dari segi isi maupun teknik penulisan, sekalipun
peneliti telah berusaha melakukan yang terbaik. Oleh sebab itu,
kritik dan saran yang bertujuan untuk membangun dari berbagai
pihak akan peneliti terima dengan tangan terbuka serta sangat
diharapkan.
Demikianlah skripsi ini peneliti persembahkan, peneliti
berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti khususnya dan
semua pembaca pada umumnya.
Jakarta, 11 Februari 2019
Nisa Diyanah
Page 11
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ........................................................................... i
KATA PENGANTAR ......................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................ vii
DAFTAR TABEL ............................................................... x
DAFTAR GAMBAR ........................................................... xi
DAFTAR BAGAN ............................................................... xii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................ 1
B. Batasan Masalah........................................................ 8
C. Rumusan Masalah ..................................................... 8
D. Tujuan Penelitian ...................................................... 8
E. Manfaat Penelitian .................................................... 9
F. Metode Penelitian...................................................... 9
G. Sistematika Penulisan ............................................... 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori .......................................................... 15
1. Interaksi Sosial .................................................... 15
2. Pemulihan ............................................................ 25
3. Orang dengan Bipolar ......................................... 31
Page 12
viii
B. Kajian Pustaka ........................................................... 39
C. Kerangka Berfikir...................................................... 44
BAB III PROFIL KOMUNITAS
A. Sejarah ....................................................................... 47
B. Visi dan Misi ............................................................. 49
C. Struktur Organisasi ................................................... 50
D. Nama dan Makna Logo ............................................. 51
E. Program ..................................................................... 52
F. Kegiatan .................................................................... 53
G. Simpul Bipolar Care Indonesia ................................. 55
H. Contact Person Bipolar Care Indonesia .................... 56
BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Interaksi Sosial .......................................................... 57
1. Proses Sosial Asosiatif ........................................ 57
2. Proses Sosial Disosiatif ....................................... 63
B. Pemulihan .................................................................. 67
BAB V PEMBAHASAN
A. Interaksi Sosial .......................................................... 71
1. Proses Sosial Asosiatif ........................................ 72
2. Proses Sosial Disosiatif ....................................... 77
B. Pemulihan .................................................................. 81
BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan ................................................................... 85
B. Implikasi .................................................................... 86
Page 13
ix
C. Saran .......................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 91
LAMPIRAN
Page 14
x
DAFTAR TABEL
Table 1.1 Informan Penelitian ............................................... 11
Page 15
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Logo Komunitas Bipolar Care Indonesia .......... 52
Page 16
xii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Kerangka Berfikir ................................................ 45
Bagan 3.1 Struktur Organisasi .............................................. 50
Page 17
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Bimbingan Skripsi
Lampiran 2 Pedoman Wawancara
Lampiran 3 Transkip Wawancara Informan Ina
Lampiran 4 Transkip Wawancara Informan Susi
Lampiran 5 Transkip Wawancara Informan Galih
Lampiran 6 Transkip Wawancara Informan Ari
Page 18
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Orang Dengan Gangguan Jiwa atau yang biasa disingkat
ODGJ adalah orang yang mengalami gangguan dalam
pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku
yang bermakna, serta dapat menimbulkan penderitaan dan
hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia (UU RI NO.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan
Jiwa). Orang dengan bipolar merupakan salah satu
gangguan kesehatan jiwa berat yang perlu pengobatan.
Lalu, setelah pengobatan mereka kembali ke kehidupan
sehari-hari mereka. Menjalani fungsi sosialnya, berteman,
berkeluarga, bekerja, dan masih banyak lagi. Dalam
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2014 Tentang Kesehatan Jiwa, perlu adanya upaya
kesehatan jiwa bagi orang dengan bipolar agar dapat
kembali menjalani fungsi sosialnya. Upaya Kesehatan Jiwa
merupakan semua kegiatan yang dapat mewujudkan
derajat kesehatan jiwa yang optimal bagi setiap individu,
keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan promotif,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan
secara menyeluruh, terpadu, dan berkesinambungan oleh
Page 19
2
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat (UU
RI NO.18 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Jiwa).
Data statistik yang dikemukakan oleh WHO (2012)
menyebutkan bahwa sekitar 450 juta orang di dunia
mengalami masalah gangguan kesehatan jiwa. Sepertiga
diantaranya terjadi di Negara berkembang. Menurut WHO
(2016), terdapat sekitar 35 juta orang terkena depresi, 60
juta orang terkena bipolar, 21 juta orang terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta orang terkena dimensia. Di
Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan
sosial dengan keanekaragaman penduduknya, jumlah kasus
dari gangguan jiwa terus bertambah dan berdampak pada
penambahan beban negara dan penurunan produktivitas
manusia untuk jangka panjang (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2016). Jumlah penderita gangguan
jiwa di Indonesia saat ini adalah 236 juta orang, dengan
kategori gangguan jiwa ringan 6% dari populasi dan 0,17%
menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya
mengalami pasung. Tercatat sebanyak 6% penduduk
berusia 15-24 tahun mengalami gangguan jiwa. Data
Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi ganggunan
mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala
depresi dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas
mencapai sekitar 14 juta orang atau 6% dari jumlah
penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa
berat, seperti bipolar mencapai sekitar 400.000 orang atau
Page 20
3
sebanyak 1,7 per 1.000 penduduk (Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, 2016).
Dinas Sosial Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebut
jumlah orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) dan orang
dengan masalah kejiwaan (ODMK) di Jakarta meningkat.
Berdasarkan data Dinsos DKI, saat ini jumlah ODMK dan
ODGJ yang ditampung di tiga panti sosial milik
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yakni Panti Bina Laras
Harapan Sentosa 1, 2, dan 3 mencapai 2.962 orang WBS.
Sementara, kapasitas daya tampung idealnya di tiga panti
tersebut hanya 1.700 orang WBS (CNN Indonesia, 31
Agustus 2017 03:14).
Bipolar merupakan salah satu gangguan jiwa berat seperti
yang telah disebutkan di atas. Bipolar adalah gangguan
otak yang menyebabkan perubahan suasana hati seseorang,
energi, dan kemampuan untuk berfungsi. Gangguan bipolar
merupakan gangguan yang mencakup tiga kategori kondisi
berbeda yaitu bipolar I, bipolar II dan gangguan
siklothymik. Orang dengan gangguan bipolar memiliki
keadaan emosional ekstrem dan intens yang terjadi pada
waktu yang berbeda, yang disebut episode suasana hati.
Episode mood ini dikategorikan sebagai manic, hypomanic
atau depressive. Orang dengan gangguan bipolar umumnya
juga memiliki periode mood normal. Sebenarnya gangguan
bipolar ini bisa diobati, karena orang dengan bipolar dapat
kembali menjalani kehidupan yang produktif (American
Psychiatric Association).
Page 21
4
ها ي أ ء ل ما في لن اس ٱ ي م وشفا ب ك ن ر وعظة م م م ءتك قد جا
ور ٱ د ؤمنين لص دى ورحمة ل لم ٧٥وه
Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu
pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-
penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman (Q.S. Yunus: 57).
Berdasarkan ayat Al-Qur’an diatas, dapat dipahami bahwa
tujuan dari ajaran Al-Qur’an (islam) adalah dapat berperan
bagi pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia
yang berkualitas dan bahagia. Islam dalam kesehatan jiwa
memiliki konsep tersendiri. Dalam pandangan islam
hakikat dari manusia itu adalah jiwanya, karena jiwa itu
berasal dari Tuhan dan menjadi sumber kehidupan.
Berdasarkan pandangan dan pemikiran diatas, maka dapat
dikemukakan pengertian kesehatan jiwa/mental dalam
islam sebagai berikut. Kesehatan jiwa menurut islam tidak
lain adalah ibadah yang amat luas atau pengembangan
dimensi dan potensi yang dimiliki manusia dalam dirinya
dalam rangka pengabdian kepada Allah yang diikuti
dengan perasaan amanah, tanggung jawab serta kepatuhan
dan ketaatan kepada Allah dan ajaran agama-Nya, sehingga
dengan demikian terwujud nafsu muthmainnah atau jiwa
sakinah (Yahya Jaya, Kesehatan Mental. 2002).
Page 22
5
Untuk dapat kembali menjalani kehidupan orang dengan
bipolar perlu melakukan proses pengobatan dan
pemulihan. Pemulihan merupakan perjalanan panjang
orang dengan bipolar. Banyak faktor yang harus
diperhatikan dalam pemulihan orang dengan bipolar. Tidak
hanya faktor biologis dan psikologis, faktor sosial juga
harus diperhatikan dalam pemulihan orang dengan bipolar.
Pemulihan orang dengan bipolar merupakan suatu
perjalanan yang melibatkan perubahan pribadi dan
keterlibatan kembali di dalam lingkungan sosial, yang
melihat pentingnya menciptakan penerimaan dan
memungkinkan lingkungan sosial yang dapat mendukung
proses pemulihan. Intinya pemulihan di sini yaitu
menekankan pada membangun kembali kehidupan yang
lebih bermanfaat, terlepas dari seseorang yang memiliki
gangguan bipolar yang berkelanjutan, dan fokus untuk
dapat memperoleh kembali peran sosialnya yang berharga
serta identitas diri yang positif (Jerry Tew 2012, 443).
Dalam pemulihan orang dengan bipolar peran pekerja
sosial sangat diperlukan. Seperti yang telah disebutkan
dalam UU No. 18 tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa
bahwa, “Yang dimaksud dengan tenaga profesional lainnya
adalah tenaga profesional di luar tenaga kesehatan yang
menggunakan keilmuan dan keterampilannya sebagai
profesi untuk melakukan pelayanan di bidang Kesehatan
Jiwa, antara lain pekerja sosial, terapis okupasi, terapis
wicara, guru tertentu, dan lain-lain”. Pekerja Sosial sebagai
Page 23
6
salah satu profesi yang berfokus pada keberfungsian sosial
klien dan interaksi lingkungan sosial klien sejatinya
memiliki peran yang sangat penting dalam hal pemulihan
sosial bagi orang dengan bipolar. Dengan menggunakan
pemahaman sistem dasar pekerja sosial, akan terlihat
bagaimana lingkungan dapat menjadi salah satu faktor
yang sangat penting bagi proses pemulihan. Oleh karena
itu, untuk membantu pemulihan orang dengan bipolar
diperlukan tenaga pekerja sosial professional yang
kompeten (terstandar).
Penelitian ini akan membahas mengenai interaksi sosial
dalam pemulihan orang dengan bipolar pada komunitas
Bipolar Care Indonesia. Dimana yang dimaksud dengan
interaksi sosial adalah kegiatan hubungan timbal balik
yang dinamis antara individu atau kelompok yang
memodifikasi aksi dan reaksi mereka untuk saling
mempengaruhi satu sama lain. Interaksi sosial berperan
penting dalam pemulihan orang dengan bipolar. Hal ini
karena interaksi sosial dapat membentuk identitas diri dan
membantu pemulihan atau bisa jadi justru menghalangi
pemulihan. Memiliki interaksi sosial yang baik dapat
memberikan harapan dan semangat yang dapat menjadi
faktor yang serius dalam pencapaian pemulihan.
Pemulihan orang dengan bipolar merupakan suatu
perjalanan yang melibatkan perubahan pribadi dan
keterlibatan kembali di dalam lingkungan sosial, yang
melihat pentingnya menciptakan penerimaan dan
Page 24
7
memungkinkan lingkungan sosial yang dapat mendukung
proses pemulihan. Intinya pemulihan di sini yaitu
menekankan pada membangun kembali kehidupan yang
lebih bermanfaat, terlepas dari seseorang yang memiliki
gangguan bipolar yang berkelanjutan, dan fokus untuk
dapat memperoleh kembali peran sosialnya yang berharga
serta identitas diri yang positif. Penelitian ini akan
dilakukan pada 4 (empat) orang dengan bipolar yang
pernah mengikuti kegiatan Bipolar Care Indonesia.
Penelitian dilakukan pada komunitas Bipolar Care
Indonesia karena dalam komunitas ini dapat dilihat
interaksi sosial orang dengan bipolar secara utuh. Hal ini
dikarenakan orang dengan bipolar tidak sedang menjalani
rehabilitasi. Orang dengan bipolar melakukan aktifitas
seperti sekolah, bekerja, dan melakukan peran sosialnya
seperti biasa. Sehingga peneliti dapat mendapatkan
jawaban dari interaksi orang dengan bipolar secara luas.
Penelitian ini akan melihat pemulihan dari aspek hubungan
antara diri orang dengan bipolar dan orang lain, hubungan
orang dengan bipolar dan keluarga atau sistem (teman,
saudara, tetangga, dll), serta keterlibatan sosial orang
dengan bipolar.
Page 25
8
B. Batasan Masalah
Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih fokus, sempurna,
dan mendalam maka penulis memandang permasalahan
penelitian yang diangkat perlu dibatasi. Oleh sebab itu,
penulis membatasi penelitian hanya berkaitan dengan
“Interaksi Sosial dalam Pemulihan Orang dengan Bipolar
pada Komunitas Bipolar Care Indonesia”. Pada penelitian
ini orang dengan bipolar yang menjadi informan dibatasi
yaitu dari usia 20 tahun sampai dengan 40 tahun. Hal ini
karena pada rentang usia tersebut, manusia sedang dalam
masa produktif dan banyak aktifitas yang dilakukan.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah penulis tentukan
maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini yaitu,
bagaimana interaksi sosial dalam pemulihan orang dengan
bipolar pada Komunitas Bipolar Care Indonesia?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah untuk
mengetahui interaksi sosial dalam pemulihan orang dengan
bipolar pada Komunitas Bipolar Care Indonesia.
Page 26
9
E. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Akademik
a. Dapat memberikan tambahan informasi dan
referensi untuk penelitian lain di masa yang akan
datang.
b. Dapat memberikan sumbangan keilmuan dan
pengetahuan, khususnya untuk mahasiswa
kesejahteraan sosial.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat menjadi referensi suatu lembaga atau
komunitas dalam menghadapi orang dengan
bipolar.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif digunakan untuk meneliti dimana
masalahnya belum jelas, dilakukan pada situasi sosial yang
tidak luas, sehingga hasil penelitian lebih mendalam dan
bermakna (Rustanto 2015, 16).
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif. Jenis
penelitian deskriptif merupakan penelitian yang
dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan
mengklasifikasikan suatu fenomena atau kenyataan sosial,
Page 27
10
dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang
berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti (Salam
2006, 14).
3. Teknik Pemilihan Informan
Penentuan informan dalam penelitian ini menggunakan
teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling ini
adalah teknik mengambil informan atau narasumber
dengan tujuan tertentu sesuai dengan tema penelitian
karena orang tersebut dianggap memiliki informasi yang
diperlukan bagi penelitian. Dalam hal ini peneliti memilih
informan yang dianggap mengetahui permasalahan yang
akan dikaji serta mampu memberikan informasi yang dapat
dikembangkan untuk memperoleh data. Subjek dalam
penelitian ini adalah orang dengan bipolar. Adapun ciri-ciri
informan yang dipilih dalam kegiatan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Orang dengan Bipolar yang telah didiagnosa secara
akurat oleh dokter spesialis kejiwaan.
b. Orang dengan Bipolar yang pernah mengikuti
kegiatan pada komunitas Bipolar Care Indonesia.
c. Orang dengan Bipolar pada masa produktif, yakni
usia 20 tahun sampai 40 tahun.
Page 28
11
No. Informan Informasi yang dicari Jumlah
1.
Pengurus
Bipolar Care
Indonesia
Profil dan kegiatan dalam
komunitas Bipolar Care
Indonesia.
2 orang
2. Orang dengan
bipolar
Penerapan mengenai
interaksi sosial dalam
pemulihan orang dengan
bipolar.
4 orang
Tabel 1.1 Informan Penelitian
4. Sumber Data
Kata-kata dan tindakan merupakan sumber data dalam
penelitian kualitatif. Sedangkan dokumen dan lain-lain
merupakan data tambahan. Data primer dan sekunder
merupakan sumber data yang diperoleh dalam penelitian
kualitatif deskriptif.
a. Data Primer
Data primer adalah data yang langsung diperoleh dari
para informan yang merupakan orang dengan bipolar
pada waktu penelitian. Data primer ini diperoleh
melalui kegiatan wawancara.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang dikumpulkan melalui
sumber-sumber informasi tidak langsung, seperti
Page 29
12
dokumen-dokumen yang ada di perpustakaan, pusat
pengelolaan data, pusat penelitian, departemen dan
sebagainya. Data sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini di antaranya data yang diperoleh dari
studi kepustakaan.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan menggunakan teknik
wawancara. Wawancara adalah merupakan pertemuan dua
orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya
jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu
topik tertentu (Sugiyono 2015, 231).
6. Teknik Analisis Data
Analisis data penelitian ini menggunakan model analisis
data Miles dan Huberman. Miles dan Huberman
mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung
secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya
sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data
reduction, data display, dan conclusion
drawing/verification (Sugiyono 2015, 246). Miles dan
Huberman menegaskan, bahwa dalam penelitian kualitatif
data yang terkumpul melalui berbagai teknik pengumpulan
data terlihat lebih banyak berupa kata-kata daripada angka.
Oleh karena itu, data tersebut harus di proses dan di analisis
sebelum dapat digunakan.
Page 30
13
G. Sistematika Penulisan
1. BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini terdapat latar belakang masalah, identifikasi
masalah, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian
(pendekatan penelitian, jenis penelitian, teknik pemilihan
informan, informan, teknik pengumpulan data, dan teknik
analisa data), dan sistematika penulisan.
2. BAB II KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini terdapat landasan teori yang membahas
mengenai interaksi sosial serta teori kesejahateraan sosial
yang digunakan, pemulihan serta teori kesejahateraan
sosial yang digunakan, penjelasan orang dengan bipolar,
kajian pustaka dari beberapa jurnal internasional yang
relevan dengan penelitian ini, dan kerangka berpikir.
3. BAB III PROFIL KOMUNITAS
Dalam bab ini membahas mengenai profil komunitas
Bipolar Care Indonesia yang di dalamnya terdapat sejarah
komunitas, visi dan misi, struktur organisasi, nama dan
makna logo, program, kegiatan, simpul BCI dan contact
person BCI.
4. BAB IV DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Dalam bab ini membahas mengenai data dan temuan
penelitian yang telah dilakukan. Data dan temuan
Page 31
14
penelitian berupa hasil wawancara dengan 4 orang dengan
bipolar yang tergabung di dalam Komunitas Bipolar Care
Indonesia.
5. BAB V PEMBAHASAN
Dalam bab ini membahas mengenai analisa data dan
temuan penelitian menggunakan teori kesejahteraan sosial.
Teori kesejahteraan sosial yang akan digunakan adalah
teori sistem dalam interaksi sosial orang dengan bipolar
dan teori perilaku kognitif dalam pemulihan orang dengan
bipolar.
6. BAB VI SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
Dalam bab ini terdapat simpulan, implikasi, dan saran dari
hasil penelitian yang telah dilakukan.
Page 32
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Interaksi Sosial
Interaksi sosial atau hubungan sosial diartikan sebagai
hubungan-hubungan sosial yang dinamis, yang
menyangkut hubungan-hubungan antara orang perorangan,
antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang
perorangan dengan kelompok manusia. Dengan adanya
interaksi sosial tersebut maka terjadilah proses
sosial. Menurut Gillin dan Gillin, proses sosial yang timbul
dari akibat interaksi sosial ada dua macam yaitu proses
sosial asosiatif (process of association) dan proses sosial
disosiatif (process of dissociation).
a. Proses Sosial Asosiatif
Proses sosial asosiatif adalah proses interaksi yang
cenderung menjalin kesatuan dan meningkatkan solidaritas
anggota kelompok. Proses asosiatif terdiri dari:
1) Kerjasama
Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau antarkelompok untuk mencapai tujuan
bersama. Menurut Charles H. Cody, kerjasama timbul
apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai
Page 33
16
kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat
yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan
kesadaran terhadap diri sendiri untuk memenuhi
kepentingan-kepentingan tersebut. Kerjasama
terbentuk karena adanya faktor-faktor diantaranya
adanya kebersamaan rencana dan tujuan antarindividu,
adanya kemampuan untuk menciptakan rencana dan
melaksanakannya, adanya pengetahuan yang cukup
dan pengendalian diri yang memadai, terciptanya
suasana yang menyenangkan di antara pelaku
kerjasama. Bentuk kerjasama diantaranya:
a) Kerukunan, mencakup gotong royong dan tolong
menolong antarsesama warga dalam masyarakat.
b) Bargaining, merupakan bentuk kerjasama yang
dihasilkan melalui proses tawar-menawar atau
kompromi antara dua pihak atau lebih untuk
mencapai suatu kesepakatan.
c) Kooptasi (cooptation), yaitu proses penerimaan
unsur-unsur baru dalam kepemimpinan atau
pelaksanaan politik dalam suatu organisasi dan
sebagai suatu cara untuk menghindari terjadinya
kegoncangan dalam organisasi yang
bersangkutan.
d) Koalisi (coalition), yaitu kombinasi antara dua
organisasi atau lebih yang bertujuan sama.
Page 34
17
e) Joint Venture, yaitu kerjasama antara beberapa
organisasi dalam mengusahakan proyek-proyek
besar tertentu.
2) Akomodasi
Akomodasi mempunyai dua arti, yaitu menunjuk suatu
keadaan dan untuk menunjuk suatu proses.
Menurut Gillin dan Gillin pengertian akomodasi yang
menunjuk pada suatu keadaan, berarti suatu kenyataan
adanya suatu keseimbangan dalam interaksi antara
orang perorang dan kelompok-kelompok manusia
sehubungan dengan norma dan nilai sosial yang
berlaku di dalam masyarakat. Sedangkan akomodasi
sebagai suatu proses, berarti usaha-usaha manusia
untuk meredakan suatu pertentangan untuk mencapai
suatu kestabilan. Bentuk-bentuk akomodasi
diantaranya:
b) Arbitrasi (arbitration), yaitu cara untuk mencapai
kesepakatan yang dilakukan antara dua pihak
yang bertikai dengan meminta bantuan pihak
ketiga yang kedudukannya lebih tinggi.
c) Stalemate, yaitu bentuk akomodasi di mana
pihak-pihak yang bertentangan mempunyai
kekuatan seimbang, berhenti pada titik tertentu
dalam melakukan pertentangan.
Page 35
18
d) Pengadilan (adjudication), yaitu bentuk
akomodasi yang diselesaikan lewat meja hijau
atau pengadilan.
e) Kompromi (compromize), yaitu bentuk
akomodasi yang masing-masing pihak yang
terlibat saling mengurangi tuntutannya agar
tercapai penyelesaian terhadap perselisihan.
f) Paksaan (coersion), yaitu bentuk akomodasi yang
prosesnya dilaksanakan secara paksaan baik
langsung maupun tidak.
g) Mediasi (mediation), yaitu bentuk akomodasi
dengan cara mengundang pihak ketiga yang
netral, hampir menyerupai arbitration. Akan
tetapi pihak ketiga tersebut tidak memiliki
wewenang untuk memberi keputusan.
h) Toleransi (tolerance), yaitu bentuk akomodasi
tanpa persetujuan formal yang dilandasi saling
menghargai, saling menghormati dan tidak saling
curiga.
i) Konsiliasi (conciliation), yaitu bentuk akomodasi
dengan cara mempertemukan keinginan-
keinginan dari pihak-pihak yang berselisih untuk
mencapai persetujuan bersama.
Page 36
19
3) Asimilasi
Asimilasi merupakan suatu proses di mana individu-
individu atau kelompok-kelompok yang mempunyai
perbedaan kemudian lebur menjadi satu tujuan,
pandangan, kepentingan yang sama.
Menurut Koentjaraningrat, asimilasi dapat terjadi
apabila memenuhi, yaitu terdapat sejumlah kelompok
manusia yang memiliki kebudayaan berbeda, terjadi
pergaulan antara individu atau kelompok secara
intensif dan berlangsung dalam waktu yang lama,
kebudayaan yang dimiliki tiap kelompok tersebut
saling berubah dan menyesuaikan diri. Faktor
pendorong atau yang mempermudah proses asimilasi,
yaitu:
a) Terjadinya perkawinan campuran
(amalgamation), yaitu perkawinan campuran
antara dua orang yang berbeda budaya.
b) Adanya musuh dari luar yang sama.
c) Adanya sikap menghargai orang asing dan
kebudayaannya.
d) Adanya kesempatan-kesempatan yang seimbang
di bidang ekonomi.
e) Adanya persamaan unsur-unsur kebudayaan.
Faktor yang menghambat terjadinya proses asimilasi,
yaitu:
Page 37
20
a) Kehidupan suatu golongan tertentu dalam
masyarakat terisolir atau terasing.
b) Kurangnya pengetahuan mengenai kebudayaan
dari golongan masyarakat yang dihadapi.
c) Perasaan takut terhadap kekuatan kebudayaan
lain.
d) Adanya perbedaan warna kulit atau perbedaan
ciri fisik.
e) Perasaan bahwa kebudayaan golongan atau
kelompok tertentu lebih hebat dari kebudayaan
yang lain.
f) Apabila golongan minoritas mengalami
gangguan dari golongan yang berkuasa, yang
menyebabkan timbulnya kebencian dari golongan
minoritas terhadap mayoritas walaupun
sebelumnya proses asimilasi di antara mereka
sudah terjalin.
g) Perbedaan kepentingan dan pertentangan pribadi.
h) Adanya perasaan yang kuat.
4) Akulturasi
Akulturasi adalah perpaduan dua kebudayaan yang
berbeda dan membentuk suatu kebudayaan baru
dengan tidak menghilangkan ciri kepribadian masing-
masing. Menurut Koentjaraningrat, akulturasi terjadi
apabila suatu kelompok dengan kebudayaan tertentu
Page 38
21
dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan asing.
Dengan begitu, unsur-unsur kebudayaan asing itu
lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan
sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian
kebudayaan itu sendiri.
b. Proses Sosial Disosiatif
Proses disosiatif adalah cara yang bertentangan dengan
seseorang atau kelompok untuk mencapai suatu tujuan.
Bentuk-bentuk proses disosiatif adalah
1) Persaingan
Persaingan adalah suatu proses sosial dilakukan oleh
individu atau kelompok untuk saling berlomba atau
bersaing dan berbuat sesuatu untuk mencapai suatu
kemenangan tanpa adanya ancaman atau kekerasan dari
para pelaku. Bentuk persaingan dibedakan menjadi 2
macam, yaitu
a) Persaingan kelompok, yaitu persaingan yang
terjadi antarkelompok individu.
b) Persaingan individual, yaitu persaingan antara
orang perorangan.
Persaingan dapat terwujud dalam berbagai bentuk,
yaitu:
Page 39
22
a) Persaingan ekonomi, persaingan ini terjadi karena
persediaan barang yang terbatas dan jumlah
konsumen yang terus bertambah. Persaingan di
bidang ekonomi bertujuan untuk mengatur
produksi dan distribusi.
b) Persaingan kebudayaan. Setiap daerah memiliki
kebudayaan sendiri, sehingga Setiap kebudayaan
daerah berusaha menjadi kebudayaan yang
terbaik. Demikian juga masyarakat yang
memiliki kebudayaan tersebut mencoba untuk
melestarikan dan mengembangkan
kebudayaannya.
c) Persaingan kedudukan. Dalam hal ini setiap
individu atau kelompok mempunyai keinginan
untuk diakui sebagai individu atau kelompok
yang mempunyai kedudukan dan peranan yang
terpandang.
d) Persaingan ras, persaingan ini terjadi karena
perbedaan ciri-ciri fisik seperti warna kulit,
bentuk tubuh, dan corak rambut.
Page 40
23
2) Kontravensi
Kontravensi adalah sikap mental tersembunyi yang
ditandai oleh gejala-gejala adanya ketidakpuasan
mengenai seseorang atau rencana, perasaan tidak suka
yang disembunyikan dan kebencian atau keraguan
terhadap kepribadian seseorang. Kontravensi
merupakan bentuk proses sosial yang berada di antara
persaingan dan pertikaian. Hal ini ditandai dengan
sikap ketidakpastian, keraguan, dan penolakan yang
tidak diungkapkan secara terbuka sehingga terjadi
pertikaian. Menurut Leopold Van Wiese dan Howard
Becker, bentuk-bentuk kontravensi dibedakan menjadi:
a) Kontravensi umum (penolakan, protes, gangguan
dan perbuatan kekerasan).
b) Kontravensi sederhana (menyangkal pernyataan
orang lain, mencerca, memfitnah).
c) Kontravensi intensif (penghasutan, desas-desus
dan mengecewakan pihak lain).
d) Kontravensi rahasia (pengkhianatan dan
membocorkan rahasia pada pihak lain).
e) Kontravensi taktis (mengejukan lawan,
mengganggu pihak lain, provokasi, dan
intimidasi).
Kontravensi dibagi menjadi dalam empat tipe, yaitu
kontravensi antar masyarakat, antagonisme
keagamaan, kontravensi intelektual antara yang
Page 41
24
berlatar belakang pendidikan tinggi dan pendidikan
rendah, oposisi moral yang berhubungan erat dengan
latar belakang kebudayaan.
3) Pertentangan
Pertentangan adalah proses sosial di mana beberapa
individu atau kelompok berusaha menekan,
menghancurkan, atau mengalahkan pihak lawan
melalui ancaman kekerasan untuk mencapai suatu
tujuan. Bentuk-bentuk pertentangan, yaitu
a) Pertentangan pribadi, terjadi di antara individu
yang satu dan individu yang lain dan dapat
menimbulkan kebencian.
b) Pertentangan ras. Sumber pertentangan ini adalah
adanya perbedaan ciri-ciri fisik.
c) Pertentangan antarkelas-kelas sosial. Disebabkan
oleh adanya perbedaan kepentingan.
d) Pertentangan politik. Terjadi di antara golongan
yang satu dengan golongan yang lain atau di
antara negara-negara yang berdaulat.
e) Pertentangan bersifat internasional. Disebabkan
oleh adanya kepentingan yang luas dan
menyangkut kepentingan nasional serta
kedaulatan masing-masing negara.
Page 42
25
4) Konflik
Faktor yang memengaruhi terjadinya konflik di dalam
masyarakat diantaranya perbedaan antarindividu;
perbedaan kebudayaan yang menimbulkan perbedaan
kepribadian, pemikiran, dan pola perilaku; perbedaan
kepentingan antar individu maupun antar kelompok;
perubahan nilai-nilai sosial yang cepat menyebabkan
perbedaan dalam masyarakat.
Akibat yang ditimbulkan konflik diantaranya
bertambahnya rasa solidaritas antar anggota dalam
kelompok; menyebabkan retaknya hubungan antar anggota
kelompok; perubahan kepribadian individu dari
masyarakat yang mengalami konflik; kerusakan harta,
benda, bangunan, bahkan menimbulkan korban jiwa;
adanya penaklukan dan penguasaan salah satu pihak yang
terlibat dalam konflik.
2. Pemulihan
Pekerjaan sosial adalah profesi pertolongan kemanusiaan
yang tujuan utamanya adalah membantu keberfungsian
sosial individu, keluarga, dan masyarakat dalam
melaksanakan peran-peran sosialnya (NASW, 2014).
Pekerjaan sosial berurusan dengan dua tipe orang, yaitu
orang yang membutuhkan bantuan untuk mengembalikan
tahap kesejahteraan dalam kehidupan mereka (restoration)
Page 43
26
dan orang yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan
perkembangan kompetensi dalam kehidupannya
(enhancement) (Cepi Yusrun Alamsyah, 2015, h. x).
Dalam kasus orang dengan bipolar, pekerja sosial
menangani orang yang membutuhkan bantuan untuk
mengembalikan tahap kesejahteraan dalam kehidupan
mereka. Hal ini karena, ketika meraka mengalami relaps
mereka perlu fokus menjalani pengobatan dan
mengharuskan mereka untuk mengenyampingkan peran
sosial yang sebelumnya mereka lakukan. Setelah
pengobatan mereka selesai, tentu saja mereka harus
kembali menjalani peran sosial yang sebelumnya mereka
lakukan. Dalam proses kembalinya orang dengan bipolar
melakukan peran sosialnya di sinilah yang disebut dengan
proses pemulihan.
Pemulihan dalam jurnal yang ditulis oleh Chris Lloyd, dkk
yang berjudul Conceptualising Recovery in Mental Health
Rehabilitation yaitu,
Pemulihan adalah proses, cara hidup, sikap, dan cara
mendekati tantangan pada setiap harinya. Ini bukan
proses linear yang sempurna. Terkadang proses
pemulihan tidak menentu dan goyah, menurun, lalu
relapse kembali. Kebutuhan dalam proses pemulihan
adalah untuk dapat memenuhi tantangan dalam
gannguan dan untuk membangun kembali rasa
integritas dan tujuan yang baru dan bernilai di dalam
dan di luar batas gangguan yang dimiliki, aspirasi
dalam proses pemulihan adalah untuk hidup, bekerja,
dan cinta dalam komunitas dimana seseorang membuat
kontribusi yang signifikan (Chris Lloyd 2008, 322).
Page 44
27
Dari definisi pemulihan di atas, intinya pemulihan adalah
suatu proses yang panjang dan hasil yang diharapkan
terjadi dalam semua aspek di kehidupan. Definisi lain
dalam jurnal ini menyebutkan bahwa pemulihan adalah
Pemulihan merupakan proses yang sangat pribadi dan
unik dalam mengubah sikap, nilai, perasaan, tujuan,
keterampilan, dan atau peran seseorang. Hal ini
merupakan cara dalam menjalani kehidupan yang
memuaskan, penuh harapan dan berkontribusi bahkan
dengan keterbatasan yang disebabkan oleh penyakit.
Pemulihan melibatkan pengembangan makna dan
tujuan baru dalam kehidupan seseorang ketika
seseorang tumbuh melampaui efek gangguan mental
(Chris Lloyd 2008, 322).
Jadi, dari definisi di atas pemulihan merupakan suatu
proses yang sangat pribadi, bagaimana seseorang dapat
kembali memiliki kepercayaan diri dan kemauan untuk
menjadikan hidupnya lebih baik lagi dari sebelumnya.
Pemulihan bertujuan untuk membantu orang dengan
bipolar melewati tantangan hidup bukan hanya sekedar
bertahan hidup dan eksistensi. Hal ini mendorong mereka
untuk bergerak maju, menetapkan tujuan baru dan
melakukan berbagai hal dan mengembangkan hubungan
yang memberi makna dalam hidup mereka. Pemulihan
menekankan bahwa, orang dengan bipolar mungkin tidak
memiliki kontrol penuh atas gejala mereka, namun mereka
dapat memiliki kontrol penuh atas kehidupan mereka.
Pemulihan bukan tentang 'menyingkirkan' masalah. Ini
adalah tentang melihat bagaimana seseorang menghadapi
Page 45
28
masalahnya, mengenali dan mengembangkan kemampuan,
minat dan impian mereka. Kerangka konseptual dalam
proses pemulihan menurut Jerry Tew, dkk yang ditulis
dalam jurnal yang berjudul Social Factors and Recovery
from Mental Health Difficulties: A Review of the Evidence
menghasilkan lima proses pemulihan yang saling terkait,
yaitu
a. Pemberdayaan dan dapat kembali mengambil
kendali atas kehidupan seseorang.
b. Membangun kembali identitas pribadi dan sosial
yang positif (termasuk dalam berurusan dengan
dampak dari stigma dan diskriminasi).
c. Keterhubungan (termasuk hubungan antar pribadi
dan keluarga, dan aspek inklusi sosial yang lebih
luas).
d. Harapan dan optimisme tentang masa depan.
e. Menemukan makna dan tujuan hidup.
Dalam pemulihan, pekerja sosial menggunakan Teori
Perilaku Kognitif untuk menganalisa permasalahan yang
terjadi. Dalam buku Belajar Teori Pekerjaan Sosial yang
ditulis oleh Siti Napsiyah Ariefuzzaman dan Lisma
Dyawati Fuaida menyebutkan bahwa
Teori perkembangan kognitif dan moral
menggambarkan cara-cara pemikiran dan penalaran
moral yang berubah dan berkembang dari masa kanak-
kanak hingga dewasa. Teori-teori ini didasarkan pada
kerangka kerja pembangunan yang menekankan
Page 46
29
interaksi antara faktor biologis bawaan dan lingkungan
sosial. Berbeda dengan teori psikodinamik yang
menekankan pemikiran tidak sadar, teori
perkembangan kognitif dan moral fokus pada proses
dan penalaran pikiran sadar (Robbins dkk, 1998).
Dari penjelasan di atas, teori perilaku kognitif merupakan
teori yang membahas mengenai proses seseorang berpikir,
mengapa seseorang dapat berpikir atau melihat sesuatu
seperti saat ini. Teori perilaku kognitif memiliki tujuan
untuk meningkatkan fungsi sosial melalui pemahaman
service users dengan mempelajari perilaku lebih realistik,
cara-cara mempersepsi, memikirkan sesuatu, dan
menerjemahkan pengalaman-pengalaman kehidupannya
secara positif. Teori ini memfokuskan perhatian pada
peristiwa adanya saling mempengaruhi antara kognisi
(pikiran), emosi, dan perilaku (Cepi Yusrun Alamsyah,
2015, h. 136-137). Teori perilaku kognitif menekankan
pada pentingnya pengembangan pengelolaan rasional
orang atas perilakunya, sehingga dapat lebih baik dalam
memahami sumber masalah. Teori ini menitikberatkan
pada bagaimana mengelola dan mengubah perilaku
manusia untuk memecahkan masalah sosial yang
mempengaruhi mereka (Malcolm Payne, 2016, h. 127).
Teori perilaku kognitif adalah bagian dari pengembangan
teori dan terapi tingkah laku, yang akhir-akhir ini dibangun
oleh teori belajar sosial. Teori perilaku kognitif
berpendapat bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh persepsi
atau interpretasi terhadap lingkungan selama proses
Page 47
30
belajar. Jika tingkah lakunya tidak sesuai maka bisa
dipastikan karena salah dalam mempersepsi dan
mengintepretasi lingkungan (Siti Napsiyah Ariefuzzaman
dan Lisma Diawati Fuaida, 2011, h. 40). Karakteristik
penting dalam teori perilaku kognitif adalah pendekatannya
yang sangat terstruktur, asesmen yang hati-hati untuk
mengenali secara persis perilaku yang disasar, dan
pengembangan program perubahan perilaku yang hanya
mempertimbangkan perilaku tersebut (Malcolm Payne,
2016, h. 150). Tiga unsur teori perilaku kognitif yang
efektif ketika mengintervensi gangguan emosional:
a. Mengubah pemikiran orang (penilaian kognitif)
tentang situasi yang mereka hadapi yang
mengarahkan kepada gangguan emosional.
b. Mencegah orang dari percobaan menghindari
pengalaman emosi negatif, sebaliknya, mencoba
membantu mereka menghadapi dan melewati
pengalaman-pengalaman buruk.
c. Mendorong tindakan-tindakan dan kegiatan yang
tidak berkaitan dengan emosi negatif (Malcolm
Payne, 2016, h. 145).
Page 48
31
3. Orang Dengan Bipolar
Gangguan bipolar adalah gangguan mental yang
menyerang kondisi psikis seseorang yang ditandai dengan
perubahan suasana hati yang sangat ekstrem berupa mania
dan depresi, karena itu istilah medis sebelumnya disebut
dengan manic depressive. Suasana hati penderitanya dapat
berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang
berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan
(depresi) yang berlebihan tanpa pola atau waktu yang pasti.
Bipolar adalah gangguan otak yang menyebabkan
perubahan suasana hati seseorang, energi, dan kemampuan
untuk berfungsi. Gangguan bipolar adalah kategori yang
mencakup tiga kondisi berbeda yaitu bipolar I, bipolar II
dan gangguan siklothymic. Orang dengan gangguan
bipolar memiliki keadaan emosional ekstrem dan intens
yang terjadi pada waktu yang berbeda, yang disebut
episode suasana hati. Episode mood ini dikategorikan
sebagai manic, hypomanic atau depressive. Orang dengan
gangguan bipolar umumnya juga memiliki periode mood
normal. Gangguan bipolar dapat diobati, dan orang-orang
dengan penyakit ini dapat kembali menjalani kehidupan
yang produktif (American Psychiatric Association).
Pada umumnya setiap orang pernah mengalami suasana
hati yang baik (mood high) dan suasana hati yang buruk
(mood low). Akan tetapi, seseorang yang menderita
gangguan bipolar memiliki perubahan kedua suasana hati
Page 49
32
tersebut yang ekstrem dengan pola suasana hati yang
mudah berubah secara drastis. Pada waktu tertentu, seorang
pengidap gangguan bipolar bisa merasa sangat antusias dan
bersemangat (mania). Pada waktu yang berbeda, suasana
hatinya berubah buruk, ia bisa sangat depresi, pesimis,
putus asa, bahkan sampai mempunyai keinginan
untuk bunuh diri. Suasana hati yang meningkat secara
klinis disebut sebagai mania, atau di saat ringan disebut
hipomania. Individu yang mengalami episode mania juga
sering mengalami episode depresi, atau episode campuran
di saat kedua fitur mania dan depresi hadir pada waktu yang
sama. Episode ini biasanya dipisahkan oleh periode
suasana hati normal, tetapi dalam beberapa individu
depresi dan mania mungkin berganti dengan sangat cepat
yang dikenal sebagai rapid-cycle.
Gejala psikosis merupakan salah satu sebab dari episode
manik ekstrem yang sering terjadi, contohnya delusi dan
halusinasi. Kemunculan episode manik biasanya terjadi
selama dua minggu dan paling hingga lima bulan yang
sering terjadi secara tiba-tiba. Jika dibandingkan dengan
episode manik, episode depresi biasanya memiliki rentang
waktu yang lebih lama. Dalam tingkatan derajat, episode
hipomanik ini memiliki tingkatan yang lebih rendah dari
episode manik. Terdapat tiga bagian yang terjadi dalam
gangguan bipolar, yaitu bipolar I, bipolar II, cyclothymia,
dan ada beberapa jenis lain tergantung dari sifat,
Page 50
33
pengalaman, tingkat keparahan episode suasana hati yang
sering digambarkan dengan spektrum bipolar.
Episode pertama bisa timbul mulai dari masa kanak-kanak
sampai tua. Kebanyakan kasus terjadi pada dewasa muda
berusia 20-30 tahun. Semakin dini seseorang menderita
gangguan bipolar, risiko penyakit akan lebih berat,
berkepanjangan, bahkan sering kambuh. Sementara anak-
anak berpotensi mengalami perkembangan gangguan ini ke
dalam bentuk yang lebih parah dan sering bersamaan
dengan gangguan hiperaktif defisit atensi. Orang yang
berisiko mengalami gangguan bipolar adalah mereka yang
mempunyai anggota keluarga mengidap gangguan bipolar.
a. Jenis Gangguan Bipolar
Gangguan bipolar dapat terlihat dalam berbagai bentuk.
Beberapa jenis telah diidentifikasi, jenis-jenis tersebut
terutama terkait dari pola terjadinya gangguan bipolar:
1) Gangguan Bipolar I: Setidaknya terjadi satu
kejadian kegembiraan berlebihan (manik).
2) Gangguan Bipolar II: Tidak ada kejadian
kegembiraan berlebihan, tetapi setidaknya ada satu
kejadian Hypomania, dan setidaknya satu kejadian
kesedihan berlebihan (major depressive).
3) Cyclothymia: Seperti halnya gangguan bipolar II,
tetapi depresinya tidak dapat dikategorikan sebagai
kesedihan berlebihan.
Page 51
34
b. Faktor Penyebab
1) Genetika
Faktor utama yang sering terjadi pada gangguan bipolar
umumnya adalah genetika bawaan. Orang tua yang
mengidap gangguan bipolar, jika memiliki anak maka
anak tersebut berisiko mengidap gangguan bipolar
sebesar 15% sampai 30 %. Apalagi jika anak yang
dilahirkan merupakan anak yang kembar identik, maka
memiliki risiko yang lebih tinggi. Sedangkan jika yang
mengidap gangguan bipolar adalah kedua orang
tuanya, tidak salah satu saja risiko anak mengidap
gangguan bipolar lebih tinggi sebesar 50% sampai
75%. Hal ini sudah dibuktikan dengan penelitian yang
sudah dilakukan, yang hasilnya menunjukkan bahwa
sekitar 10% - 15% keluarga dari pasien yang
mengalami gangguan bipolar pernah mengalami satu
episode gangguan suasana hati.
2) Fisiologis
a) Sistem Neurokimia
Faktor penyebab lainnya dari pengidap gangguan
bipolar adalah cairan kimia utama di dalam otak
mengalami gangguan sehingga cairan kimia tersebut
tidak seimbang. Otak merupakan organ yang
memiliki fungsi menghantarkan rangsang, sehingga
otak membutuhkan neurotransmitter (saraf pembawa
Page 52
35
pesan atau isyarat dari otak ke bagian tubuh lainnya)
dalam mendukung tugas otak tersebut. Terdapat
beberapa jenis neurotransmitter seperti
norepinephrin, dopamine, dan serotonin, jenis-jenis
ini merupakan hal yang penting dalam penghantaran
impuls saraf, sehingga terjadi ketidakseimbangan
cairan-cairan kimia tersebut yang dialami oleh
penderita gangguan bipolar.
Contohnya ketika pengidap gangguan bipolar merasa
sangat bersemangat, agresif, dan percaya diri, berarti
yang sedang terjadi adalah kadar dopamin dalam
otaknya sedang tinggi. Hal ini biasa disebut juga
dengan fase mania. Sedangkan jika kadar cairan
kimia utama otak sedang menurun hingga di bawah
normal maka biasanya penderita merasakan tidak
bersemangat, pesimis, hingga ingin bunuh diri, ini
yang disebut dengan fase depresi.
Penderita gangguan bipolar biasanya ditandai dengan
gangguan pada sistem motivasional atau biasa
disebut juga dengan behavioral activation
system (BAS). Behavioral activation system
berfungsi agar manusia mampu mendapatkan
penghargaan dari lingkungannya. Behavioral
activation system ini berkaitan erat dengan positive
emotional states, karakter kepribadian seperti
ekstrovert (bersifat terbuka), peningkatan energi dan
Page 53
36
berkurangnya kebutuhan untuk tidur. Dari segi
biologis, jalur saraf dalam otak memiliki keterkaitan
dengan behavioral activation system sehingga
terlibat dengan dopamin dan perilaku untuk
memperoleh penghargaan yang dialami oleh
penderita gangguan bipolar. Episode mania dapat
meningkat ketika terjadi peristiwa kehidupan yang
melibatkan penghargaan atau keinginan untuk
mencapai tujuan tetapi hal ini tidak memiliki
keterlibatan dengan episode depresi. Pada episode
mania tidak memiliki kaitan dengan peristiwa positif
lainnya.
b) Sistem Neuroendokrin
Hipotalamus memiliki fungsi mengontrol kelenjar
endokrin dan tingkat hormon yang dihasilkan ketika
dipengaruhi oleh area limbik di otak dan
berhubungan dengan emosi. Kelenjar pituaritas juga
dipengaruhi oleh hormon yang dihasilkan oleh
hipotalamus. Kelenjar pituaritas memiliki kaitan
dengan gangguan depresi seperti gangguan tidur dan
rangsangan selera. Sudah banyak temuan yang
membuktikan hal tersebut, tingkat cortisol (hormon
adrenocortical) yang tinggi dimiliki oleh penderita
gangguan bipolar yang mengalami episode depresi.
Kelebihan produksi dari pelepasan hormon rotropin
oleh hipotalamus menyebabkan tingkat cortisol
Page 54
37
(hormon adrenocortical) yang tinggi. Banyaknya
kelenjar adrenal pada orang yang depresi juga
disebabkan oleh kelebihan produksi dari cortisol.
Selain itu, penelitian juga telah membuktikan
penderita depresi memiliki hipoccampal yang tidak
normal dan kelebihan cortisol sehingga terjadi
kerusakan pada hipoccampus. Penelitian terkait
Cushing’s Syndrome yang sudah dilakukan,
menemukan bahwa tingkat cortisol yang tinggi
terjadi pada gangguan depresi.
3) Lingkungan
Penyebab gangguan bipolar tidak hanya dari faktor
genetis saja karena tidak semua orang mewarisi
gangguan tersebut dari bawaan faktor genetika. Ada
penyebab lainnya seperti perubahan fisik pada otak
yang dialami oleh penderita gangguan bipolar.
beberapa penelitian juga membuktikan bahwa
gangguan bipolar dapat disebabkan oleh poin
ketidakseimbangan neurotransmitter, fungsi tiroid yang
abnormal, gangguan ritme sirkadian, dan tingkat tinggi
hormon stres cortisol. Penyebab lain yang
menyebabkan gangguan bipolar semakin berkembang
adalah faktor eksternal lingkungan dan psikologis.
Penyebab episode baru mania atau depresi yaitu faktor-
faktor eksternal yang dapat membuat gejala semakin
Page 55
38
memburuk, tetapi tidak jarang juga banyak penyebab
yang tidak jelas pada episode gangguan bipolar.
Penyebab penderita gangguan bipolar berkaitan dengan
hubungan antar perseorangan atau peristiwa-peristiwa
pencapaian tujuan (penghargaan) dalam hidup.
Hubungan perseorangan yang dimaksudkan seperti
jatuh cinta, putus cinta, dan kematian sahabat. Contoh
peristiwa pencapaian tujuan seperti kegagalan untuk
lulus sekolah dan dipecat dari pekerjaan. Selain itu,
seorang penderita gangguan bipolar yang gejalanya
mulai muncul saat masa remaja kemungkinan besar
mempunyai riwayat masa kecil yang kurang
menyenangkan seperti mengalami banyak kegelisahan
atau depresi. Selain penyebab di atas, alkohol, obat-
obatan dan penyakit lain yang diderita juga dapat
memicu munculnya gangguan bipolar.
Di sisi lain, keadaan lingkungan di sekitarnya yang baik
dapat mendukung penderita gangguan ini sehingga bisa
menjalani kehidupan dengan normal. Faktor
lingkungan yang dapat memicu terjadinya gangguan
bipolar antara lain stres dan penyalahgunaan zat.
Stres merupakan peristiwa kehidupan yang dapat
memicu gangguan bipolar pada seseorang dengan
kerentanan genetik. Peristiwa ini cenderung melibatkan
perubahan drastis atau tiba-tiba baik atau buruk seperti
akan menikah, akan pergi ke perguruan tinggi,
Page 56
39
kehilangan orang yang dicintai, atau dipecat dalam
pekerjaan. Sementara penyalahgunaan zat dapat
menyebabkan gangguan bipolar, itu dapat membawa
pada sebuah episode dan memperburuk perjalanan
penyakit. Obat-obatan seperti kokain, ekstasi dan
amphetamine dapat memicu mania, sedangkan alkohol
dan obat penenang dapat memicu depresi. Obat-obat
tertentu, terutama obat-obatan antidepresan, bisa
memicu mania. Obat lain yang dapat menyebabkan
mania termasuk obat flu, penekan nafsu makan, kafein,
kortikosteroid dan obat tiroid.
B. Kajian Pustaka
Beberapa jurnal yang relevan dalam penelitian ini antara
lain:
1. Temuan dari jurnal yang ditulis oleh Chris Lloyd dkk
yang berjudul Conceptualising Recovery in Mental
Health Rehabilitation, menunjukkan bahwa
Pemulihan adalah perjalanan yang sangat
individual dan pribadi bagi setiap individu.
Berfokus pada pemulihan membutuhkan penyedia
layanan untuk mengubah fokus perawatan mereka.
Diperkirakan bahwa penyedia layanan perlu
mengatasi tidak hanya pemulihan klinis tetapi juga
pemulihan fungsional, pemulihan pribadi dan
pemulihan sosial, untuk memberikan perawatan
yang berpusat pada klien yang lebih efektif. (Chris
Lloyd 2008, 327).
Page 57
40
Pemulihan merupakan proses yang sangat pribadi, oleh
karena itu pemulihan harus berpusat kepada klien.
Pemulihan berdasarkan temuan jurnal ini perlu dilihat
dari empat domain, yaitu pemulihan klinis, pemulihan
fungsional, pemulihan pribadi, dan pemulihan sosial.
Persamaan jurnal ini dengan penelitian yang penulis
lakukan adalah konsep pemulihan dalam kesehatan
mental. Dimana jurnal ini memberikan penulis
referensi dalam memahami konsep dari pemulihan
dalam kesehatan mental. Perbedaan jurnal ini dengan
penelitian yang penulis lakukan adalah penulis hanya
mengamati pemulihan dari domain sosial. Hal ini
karena fokus penulis adalah pada interaksi sosial yang
dilakukan oleh orang dengan bipolar. Selain itu, jurnal
ini melakukan kajian literatur dalam menemukan dan
memahami pemulihan. Sedangkan penulis akan
melakukan penelitian dengan pendekatan kualitatif
yang akan lebih mendalam. Di dalam jurnal ini juga
menjelaskan perbedaan antara pemulihan dengan
rehabilitasi, yaitu
Rehabilitasi merupakan istilah yang perlu
dibedakan dari pemulihan. Profesional kesehatan
mental dan profesional rehabilitasi biasanya
merencanakan kegiatan rehabilitasi yang
melibatkan intervensi yang ditargetkan untuk
membantu orang memperoleh dan menerapkan
keterampilan baru, memanfaatkan dukungan, dan
mengakses sumber daya yang diperlukan untuk
menjalani kehidupan yang bermakna di komunitas
pilihan mereka. Pengguna layanan, di sisi lain,
Page 58
41
jarang menyebutkan rehabilitasi, tetapi sebaliknya
berbicara tentang pemulihan sebagai proses pribadi
yang kompleks, non-linier dan multidimensi untuk
sembuh dan melanjutkan kehidupan mereka (Chris
Lloyd 2008, 322).
Jadi, menurut jurnal ini rehabilitasi merupakan suatu
kegiatan yang memiliki tujuan dan target tertentu.
Sedangkan pemulihan merupakan suatu proses yang
kompleks dan pribadi.
2. Temuan dari jurnal yang ditulis oleh Charmaine C.
Williams dkk yang berjudul Towards a
Biopsychosociopolitical Frame for Recovery in the
Context of Mental Illness, menunjukkan bahwa
Stigma adalah penghalang utama dalam pemulihan.
Namun, pemulihan dapat dipromosikan melalui
proses biomedis, psikologis, sosial dan politik yang
terintegrasi. Komponen penting dari pemulihan
adalah perasaan berdaya dan berhak atas partisipasi
penuh dalam lingkungan sosial. Intervensi
pekerjaan sosial yang berorientasi pada pemulihan
harus diarahkan untuk mempromosikan
kewarganegaraan sosial bagi orang yang
didiagnosis dengan gangguan mental, memerangi
stigma, dan menciptakan lingkungan psikologis
dan sosial untuk dapat menemukan makna dan
harapan setelah menerima diagnosis (Charmaine C.
Williams 2015, i17).
Stigma merupakan penghalang utama dalam
pemulihan. Dan hal terpenting dalam pemulihan adalah
merasa memiliki kekuatan dan memiliki hak yang
penuh dalam berpartisipasi di lingkungan sosial.
Persamaan jurnal ini dengan penelitian yang penulis
Page 59
42
lakukan adalah kerangka berfikir pemulihan dalam
kesehatan mental. Jurnal ini memberikan penulis
referensi dalam memahami aspek-aspek yang perlu di
analisa dalam pemulihan kesehatan mental. Dari
temuan jurnal ini, aspek-aspek yang penting dan saling
terkait dalam pemulihan kesehatan mental adalah
biomedical, psychological, social and political
processes. Perbedaan jurnal ini dengan penelitian yang
penulis lakukan adalah subjek atau informan dalam
jurnal ini adalah orang dengan skizofrenia dan
pendekatan penelitiannya adalah mixed-methods.
Sedangkan dalam penelitian penulis subjek atau
informannya adalah orang dengan bipolar.
3. Temuan dari jurnal yang ditulis oleh Jerry Tew dkk
yang berjudul Social Factors and Recovery from
Mental Health Difficulties: A Review of the Evidence,
menunjukkan bahwa
Temuan dalam penelitian dieksplorasi secara rinci
dalam kaitannya dengan tiga bidang yang telah
diidentifikasi oleh tinjauan luas sebagai pusat
pemulihan: pemberdayaan dan kontrol atas
kehidupan seseorang; keterhubungan (termasuk
hubungan antar pribadi dan inklusi sosial); dan
membangun kembali identitas positif (seringkali
dalam konteks stigma dan diskriminasi) (Jerry Tew
2012, 443).
Tiga area yang penting dalam pemulihan berdasarkan
jurnal ini adalah pemberdayaan dan pengendalian
hidup seseorang, keterhubungan antara hubungan antar
Page 60
43
pribadi dan keterlibatan sosial, serta membangun
kembali identitas diri yang positif. Persamaan jurnal ini
dengan penelitian yang penulis lakukan adalah objek
jurnal ini yaitu faktor sosial dan pemulihan dalam
kesehatan mental. Jurnal ini memberikan penulis
referensi dalam memahami keterkaitan antara faktor
sosial dengan pemulihan kesehatan mental. Perbedaan
jurnal ini dengan penelitian yang penulis lakukan
adalah jurnal ini melakukan kajian literatur dalam
menemukan dan memahami keterkaitan antara faktor
sosial dengan pemulihan. Dalam jurnal ini penulis
menemukan permasalahan yang menjadi fokus
penelitian penulis sehingga penulis memutuskan untuk
mengangkat tema interaksi sosial, yaitu
Hubungan sangat penting dalam pemulihan.
Hubungan dapat membentuk identitas, dan
berkontribusi atau menghambat kesejahteraan. Dan
memiliki satu atau lebih hubungan antar pribadi
yang memberikan harapan dan dorongan dapat
menjadi faktor penting dalam mencapai pemulihan.
Namun, orang dengan gangguan mental sering
menemukan diri mereka dengan hubungan antar
pribadi yang lebih tertutup. Dan tidak semua
hubungan dan interaksi sosial yang dialami bersifat
positif atau mendukung pemulihan. Orang mungkin
merasa tidak berdaya atau dicap oleh orang lain,
atau oleh anggota masyarakat yang lebih luas (Jerry
Tew 2012, 451).
Page 61
44
C. Kerangka Berfikir
Pemulihan merupakan suatu proses yang sangat pribadi,
bagaimana seseorang dapat kembali memiliki kepercayaan
diri dan kemauan untuk menjadikan hidupnya lebih baik
lagi dari sebelumnya. Sering dijumpai orang dengan
bipolar memiliki interaksi yang sangat terbatas. Hal ini
disebabkan oleh gangguan yang dideritanya. Namun,
sebenarnya Bipolar bukanlah suatu penghalang seseorang
dalam melakukan interaksi sosial. Mereka tetap memiliki
hak yang sama dalam berpartisipasi di lingkungan
sosialnya. Faktor penyebab orang dengan bipolar tidak
berhasil dalam pemulihannya salah satunya adalah
interaksi sosialnya yang kurang baik dan tertutup. Hal ini
dapat disebabkan dari internal orang dengan bipolar itu
sendiri (kurang percaya diri, identitas diri yang negatif) dan
dari eksternal orang dengan dengan bipolar (stigma,
diskriminasi).
Dalam penelitian ini penulis menganalisa interaksi sosial
dalam pemulihan orang dengan bipolar, baik itu interaksi
sosial yang berdampak positif maupun negatif. Penulis
menganalisa apakah interaksi mempengaruhi pemulihan
dan apakah ada interaksi tertentu yang menjadi faktor
keberhasilan dalam pemulihan. Dari beberapa kajian
pustaka yang relevan dengan penelitian ini, penulis
mengambil hipotesa bahwa interaksi sosial dapat
berpengaruh dalam pemulihan orang dengan bipolar, baik
Page 62
45
itu pengaruh kepada keberhasilan pemulihan maupun
pengaruh kepada tidak berhasilnya pemulihan.
Keberhasilan pemulihan yang dimaksud dalam penelitian
ini adalah pemulihan sosial. Dimana orang dengan bipolar
dapat kembali memiliki kepercayaan diri untuk
menjalankan kehidupannya, baik itu dalam keluarga,
pekerjaan maupun lingkungan sosialnya yang lebih luas
lagi. Penulis menganalisa interaksi sosial dalam pemulihan
dengan dua proses sosial yaitu Proses Sosial Asosiatif dan
Proses Sosial Disosiatif. Berdasarkan uraian di atas, maka
kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan
sebagai berikut:
Bagan 2.1 Kerangka Berfikir
Orang dengan Bipolar
Interaksi Sosial
• Proses Sosial Asosiatif
• Proses Sosial Disosiatif
Pulih (Recovery)
Page 64
47
BAB III
PROFIL KOMUNITAS BIPOLAR CARE INDONESIA
A. Sejarah
Gangguan jiwa di Indonesia merupakan sebuah
permasalahan yang masih dirasa tabu untuk dibahas.
Gangguan jiwa terjadi karena beberapa faktor yang saling
berkontribusi seperti biologis, psikologis, dan lingkungan.
Sayangnya, banyak masyarakat yang belum mengerti
tentang hal tersebut. Akhirnya timbulah stigma negatif
yang tidak baik untuk pemulihan penderita gangguan jiwa.
Gangguan bipolar sendiri adalah salah satu gangguan jiwa,
dimana penderitanya mengalami perubahan mood yang
ekstrem antara manik (senang sekali) dan depresi (sedih
sekali). Di satu waktu seorang penderita bipolar bisa
merasa sangat gembira lalu di lain waktu merasa sedih
bahkan sampai ingin bunuh diri. Kedua hal yang sangat
bertolak-belakang tersebut datang silih berganti, kadang
ada periode normal diantaranya, dan pola, keparahan, serta
frekuensinya bisa berbeda pada setiap penderita.
Perubahan mood ekstrem dan gejala-gejala yang dirasakan
penderita bipolar tersebut mengganggu fungsi personal,
sosial, dan pekerjaan penderita, sehingga menurunkan
kualitas hidup jika tidak ditangani dengan tepat. WHO
menyebutkan bahwa gangguan bipolar berada dalam
urutan ke-6 dalam penyakit utama yang dapat
Page 65
48
menyebabkan disabilitas di seluruh dunia. Padahal, jika
ditangani dengan tepat, penderita bipolar bisa kembali
berfungsi optimal dan mandiri. Selain terapi menggunakan
obat-obatan dan psikoterapi, penderita bipolar juga perlu
mendapatkan dukungan dari lingkungannya. Mulai dari
keluarga, teman, sampai masyarakat luas. Perlu edukasi
kepada masyarakat tentang gangguan jiwa pada umumnya
dan gangguan bipolar pada khususnya, serta dukungan
untuk penderita.
Melihat hal tersebut, maka timbulah keinginan untuk
membentuk sebuah wadah bagi orang-orang yang peduli
dengan bipolar. Baik penderita, caregiver, atau siapa saja
yang memiliki perhatian pada mereka dengan gangguan
Bipolar sehingga mereka tidak merasa berjuang sendirian.
Bipolar Care Indonesia awalnya merupakan inisiasi dari 5
(lima) orang yang sama-sama merasakan gejala bipolar,
bertemu di komunitas kesehatan jiwa lain. Lalu karena
saling merasa cocok dan memiliki keinginan yang sama
untuk membentuk komunitas maka terbentuklah BCI.
Diawali dengan membuat sebuah acara pameran dan
talkshow.
Bipolar Care Indonesia memberikan edukasi kepada
masyarakat tentang gangguan bipolar, memberi dukungan
untuk penderita dan caregiver dengan kasih sayang tulus
seperti keluarga sendiri, dan membangun penderita untuk
terus melakukan kegiatan positif dan bermanfaat sebagai
salah satu bagian dari terapi agar bisa hidup optimal.
Page 66
49
Bipolar Care Indonesia berjalan langkah demi langkah dan
berusaha terus konsisten dalam membangun kepedulian
terhadap gangguan bipolar. Langkah kami tidak selalu
besar. Seberapa besarpun kepedulian kami akan sangat
berarti bagi penderita dan caregiver bipolaryang butuh
dukungan. Dan kami perlu keterlibatan berbagai elemen
masyarakat mulai dari lingkungan kecil sampai lingkungan
profesional dan pemerintah untuk ikut serta melangkah
bersama kami, membangun dan menjaga sinergi agar
tercipta wadah yang kuat untuk penderita dan orang yang
peduli dengan bipolar.
B. Visi dan Misi
1. Visi
Membentuk wadah untuk orang dengan bipolar (ODB),
caregiver, dan siapa saja yang peduli dengan gangguan
bipolar.
2. Misi
a. Meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat
terhadap gangguan bipolar.
b. Memberikan edukasi kepada masyarakat tentang
gangguan bipolar.
c. Memberi edukasi dan dukungan kepada orang
dengan bipolar (ODB) dan caregiver-nya.
Page 67
50
d. Memotivasi penderita untuk melakukan kegiatan
positif.
e. Melawan stigma terhadap orang dengan gangguan
jiwa.
C. Struktur Organisasi
Bagan 3.1 Struktur organisasi
Ketua : Vindy Ariella
Wakil Ketua : Agus Hidayat
Sekretaris : Saras Zettira Pratiwi
Program : Dini Hariyanti, M. Arief,
Egga Yusran
Kontributor : Tania Khairunnisa, Zefanya Halim, Rumaisha Al-
Amal
Bendahara : Ruzaria Putri
Media & Komunikasi : Rayhana Anwarie,
Olivia Fabrianne, Nurul
Page 68
51
D. Nama dan Makna Logo
1. Nama
“Bipolar Care Indonesia” mewakili visi misi kami. Orang-
orang yang ada di dalamnya peduli dengan gangguan
bipolar dan berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
2. Makna Logo
a. Kelopak Bunga : adalah mereka para penderita,
caregiver dan yang peduli pada gangguan bipolar,
menghiasi kehidupan, dan tumbuh di masyarakat.
b. Kelopak Bunga Keatas dan Kebawah : kehidupan
penderita dan caregiver yang mekar dan layu, adalah
bagian dari perjuangan menuju hidup normal, namun
juga dinamika kehidupan sosial. Menjadi bagian dari
kelopak bunga berarti menerima bahwa kita semua
sama dan sejajar dan memiliki hak untuk hidup tanpa
stigma.
c. Garis Tanda Seru dengan Titik : Dimulai dari setitik
asa, merupakan akar, dan menjadi tonggak untuk
menggalang persatuan, menuju keluarga yang ramah,
peduli dan mencintai anggotanya dengan tulus.
Page 69
52
Gambar 3.1 Logo Komunitas Bipolar Care Indonesia
E. Program
Bipolar Care Indonesia memiliki cakupan program sebagai
berikut :
1. Edukasi dilakukan untuk pengurus internal maupun
anggota dan masyarakat luas. Edukasi yang diberikan
yaitu mengenai kesehatan jiwa pada umumnya dan
gangguan bipolar pada khususnya.
2. Dukungan khususnya diberikan kepada penderita
bipolar dan caregiver. Sebagai bentuk bahwa mereka
tidak berjuang sendirian dan bisa saling berbagi
pengalaman, inspirasi, dan motivasi dalam menghadapi
bipolar.
3. Aktivitas. Kami melakukan berbagai aktivitas baik di
dunia maya maupun tatap muka, dengan Pembina atau
mandiri. Aktivitas yang dilakukan ditujukan untuk
membangun semangat positif dan sebagai terapi agar
penderita bisa mengoptimalkan dirinya. Contoh
Page 70
53
aktivitas adalah diskusi dengan topik spesifik, kegiatan
seni, terapi kelompok, dll.
F. Kegiatan
Kami memiliki beberapa program kegiatan, baik kegiatan
besar dan kecil yang dilakukan secara rutin. Beberapa
kegiatan yang sudah dan sedang berjalan antara lain :
1. KumBar (Kumpul Bareng)
Kegiatan kecil kami salah satunya adalah KumBar
(Kumpul Bareng). Dengan KumBar tatap muka kelompok
kecil, kami saling berbagi info terapi, suka duka
menjalankan terapi, perkembangan pengobatan bagi
penderita, dukungan bagi penderita dan caregiver, serta
memberikan edukasi bahwa Orang Dengan Masalah
Kejiwaan (ODMK) bukan orang yang harus dijauhi.
2. BipoTalk
Terapi kelompok merupakan psikoterapi dalam kelompok
kecil ± 15 orang dibawah bimbingan psikolog maupun
mandiri (Bipotalk). Bekerja sama dengan Ikatan Psikolog
Klinis dan psikiater di Jakarta, untuk penderita bipolar serta
caregivernya.
3. Support Group Online
Kami memiliki support group aktif melalui aplikasi
Whatsapp, dengan jumlah anggota ± 200 orang dari
Page 71
54
berbagai daerah di Indonesia dengan latar belakang yang
beragam.
4. Art Therapy – Keep Calm Make Art
Art therapy merupakan program kami yaitu melalui seni,
penderita bipolar bisa berekspresi mengungkapkan
perasaannya atau meluapkan isi jiwanya. Dilakukan
dengan berbagai media seperti melukis. Dibimbing oleh
seniman yang ahli di bidangnya dan juga pemerhati
masalah kejiwaan.
5. Edukasi Kesehatan Jiwa
Kami memberikan edukasi mengenai kesehatan jiwa
melalui dunia maya seperti website, facebook, instagram,
dan twitter. Selain itu akun digunakan untuk memberi
dukungan bagi penderita.
Website = www.bipolarcareindonesia.org
Facebook = www . facebook.com / groups / bipolarcare .
indonesia
Twitter = @BipolarCareInd
Instagram = bipolarcare.indonesia
Selain di dunia maya, kami aktif mempromosikan Bipolar
Care Indonesia di berbagai acara, sambil berkampanye dan
memberi edukasi mengenai gangguan jiwa. Salah satunya
adalah acara Indonesia Community Network 2013 dan
Page 72
55
Nova Ladies Fair 2013. Kami juga melakukan promosi,
edukasi, dan kampanye di berbagai media seperti radio dan
situs internet. Sejauh ini, kami pernah melakukan
kampanye berbagai radio antara lain Hardrock FM, RRI
Pro 3, V Radio, Smart FM, Pelita Kasih FM, dll. Acara
kami juga pernah diliput di berbaga televisi lokal seperti
DAAI TV, Metro TV, Trans TV, Net TV, O Channel dan
Jak TV.
6. Perayaan Hari Bipolar Sedunia
Kami turut serta merayakan hari bipolar sedunia yang jatuh
pada tanggal 30 Maret tiap tahunnya. Bentuk perayaan
yang pernah kami laksanakan antara lain pameran karya
seni penderita bipolar serta diskusi mengenai melawan
stigma melalui seni bersama psikiater dan seniman,
talkshow, Art Performance, Funwalk Car Free Day, dan
Pemutaran serta Diskusi Film.
G. Simpul Bipolar Care Indonesia
Bipolar Care Indonesia memiliki simpul di Bandung,
Jogjakarta, Surabaya, Semarang, Bogor.
Page 73
56
H. Contact Person Bipolar Care Indonesia
Vindy Ariella : 0865-111 -4131 / [email protected]
Igi Oktamiasih : 0818-0889-9420 /
[email protected]
Semoga kedepannya kami dapat lebih baik dalam
menjalankan program-program kami dan semakin banyak
yang peduli dengan isu kesehatan jiwa, sesuai dengan
slogan kami :
“RAISE mental health awareness, CARE for each other,
TOGETHER for better life.
Page 74
57
BAB IV
DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
Dalam bab 4 ini akan dijabarkan data dan temuan dari
penelitian yang telah dilakukan. Proses sosial yang timbul dari
akibat interaksi sosial ada dua macam yaitu proses sosial asosiatif
(process of association) dan proses sosial disosiatif (process of
dissociation). Dalam pemulihan akan dijabarkan bagaimana
perasaan informan ketika melakukan interaksi sosialnya. Berikut
data dan temuan dari penelitian yang telah dilakukan.
A. Interaksi Sosial
1. Proses Sosial Asosiatif
Dalam hubungan antar pribadi, orang dengan bipolar
cenderung memiliki hubungan yang tertutup. Yang
dimaksud dengan hubungan yang tertutup dalam hal ini
adalah orang dengan bipolar hanya memiliki hubungan
yang dekat atau intim dengan orang-orang yang
mengetahui mereka mengalami gangguan bipolar.
Sedangkan dengan orang-orang yang tidak mengetahui
mereka mengalami gangguan bipolar, mereka cenderung
hanya sebatas kenal tanpa memiliki hubungan yang dekat
atau intim. Biasanya orang dengan bipolar memiliki
hubungan yang dekat atau intim dengan keluarga inti,
pasangan, dan teman dekat yang benar-benar mereka sudah
mengenal lama. Sedangkan hubungan dengan tetangga,
Page 75
58
lingkungan kerja, lingkungan sekolah orang dengan bipolar
cenderung tertutup dan hanya sebatas kenal.
Hampir sebagian besar keluarga orang dengan bipolar
ketika menyaksikan anggota keluarganya mengalami
gangguan bipolar di awal merasa kebingungan harus
bagaimana menghadapinya. Seperti yang dialami oleh
informan Ina dan informan Ari yang awal-awal sebelum
mereka mengetahui mereka mengalami gangguan bipolar,
mereka justru menjadi sasaran kemarahan dan pencetus
untuk bertengkar dengan orang tua atau anggota keluarga
yang lainnya.
“Alhamdulillah hangat dan akrab. Walaupun sekarang
sudah sibuk dengan aktivitas masing-masing. Dulu
hubungan saya dengan ibu kurang baik. Saya selalu jadi
sasaran kemarahan. Tapi sekarang tidak lagi. Sudah
dekat sekali dengan ibu (informan Ina).”
“Waktu dulu ketika awal saya mengalami bipolar saya
sering bertengkar dengan kedua orangtua saya. Saya
dulu mudah emosi, tetapi sekarang Alhamdulillah
sudah stabil (informan Ari).”
Dalam dunia kerja orang dengan bipolar cukup mengalami
kesulitan dalam berteman. Hal ini karena orang dengan
bipolar cenderung menyembunyikan gangguan bipolar
yang dialaminya. Sehingga ketika mereka sedang dalam
fase manic atau depresi mereka justru menjauh atau
menghindari lingkungan pekerjaannya. Hal seperti ini yang
menjadikan orang dengan bipolar meresa kurang nyaman
Page 76
59
ketika harus bekerja dengan orang lain yang bersifat kerja
tim. Seperti informan Galih dan informan Ari yang lebih
memilih untuk bekerja sendiri atau tidak terlalu banyak
ketemu orang. Hal ini dilakukan agar mereka lebih nyaman
dalam bekerja.
“Saya merasa kesulitan dalam berteman, saya berteman
hanya begitu-begitu saja. Makanya saya lebih memilih
untuk bekerja sendiri dengan mengajar privat anak-
anak. Saya mengajar anak TK dan SD semua mata
pelajaran. Dan anak SMP dan SMA khusus bahasa
inggris dan akuntansi (informan Galih).”
“Karena keadaan saya sekarang saya jadi mudah
tersinggung. Dulu saya kerja saya suka bete dengan
teman yang reseh, bisa juga dengan atasan saya. Tetapi
teman saya ada juga yang baik, saya merasa cocoknya
kerja yang tidak banyak teman. Makanya sekarang saya
menjadi penjaga masjid saja (informan Ari).”
Bertetangga merupakan suatu interaksi sosial yang dapat
menghasilkan banyak manfaat. Hal ini karena tetangga
merupakan orang yang paling pertama kita minta
pertolongan apabila terjadi sesuatu dengan kita. Namun,
dalam berinteraksi dengan tetangga orang dengan bipolar
cenderung tertutup dan menjaga jarak. Mereka hanya
sebatas kenal dan menjaga hubungan baik. Seperti
informan Susi dan informan Ari yang tidak terlalu sering
dalam melakukan interaksi dengan tetangganya.
“Kalau hubungan dengan tetangga kenal hanya
beberapa saja dulu. Sekarang bisa dibilang mungkin
Page 77
60
saya dan keluarga dikenal tetapi kurang dekat
(informan Susi).”
“Dengan tetangga saya suka jaga jarak, tidak mau
mencampuri urusan orang lain. Saya cuek saja, yang
penting saya tenang (informan Ari).”
Pasangan merupakan orang terdekat dengan kita. Tentu
saja pasangan adalah orang pertama yang harus
mengetahui bahwa orang dengan bipolar mengalami
gangguan bipolar. Hal ini karena pasangan yang akan
berpengaruh besar dalam memberikan dukungan orang
dengan bipolar untuk pulih. Menurut peneliti, hubungan
yang baik dengan pasangan merupakan salah satu kunci
dalam pemulihan orang dengan bipolar. Seperti informan
Galih yang memiliki hubungan yang baik dengan istrinya
dan istrinya dapat menerima dan memahami keadaannya.
“Hubungan saya dengan istri saya baik-baik saja, dia
sudah bisa memahami keadaan saya (informan Galih).”
Orang dengan bipolar tidak hanya melakukan interaksi
dalam dunia nyata saja. Mereka juga melakukan interaksi
di media sosial. Dalam berinteraksi di media sosial akan
ada pengaruh positif dan negatifnya. Pengaruh positif
dalam berinteraksi di media sosial, orang dengan bipolar
mendapatkan dukungan dari orang lain. Sedangkan
pengaruh negatifnya, orang dengan bipolar akan juga
melihat orang-orang yang kurang atau bahkan tidak
mendukung keadaan mereka. Seperti informan Ina dan
informan Ari yang aktif di media sosial Facebook,
Page 78
61
Instagram, dan Whatsapp. Dapat dikatakan informan Ina
dan informan Ari sudah dapat memilah dan memilih dalam
berinteraksi dengan menggunakan media sosial.
“Apresiasi hal baik saja di status orang sesekali.
Sekarang sejak 2 bulan ini saya Facebook-an untuk
jualan. Plus sosial media tetap. Kalau Instagram cuma
buat simpan momen spesial sama interaksi dengan
sahabat yang sudah terpisah jarak (informan Ina).”
“Kalau Facebook buat cari info kesehatan, saya suka
lihat group Bipolar Care Indonesia dan sejenisnya.
Ketika saya lagi bete saya suka lihat yang lucu-lucu.
Kalau Whatsapp saya ikut group pengajian (informan
Ari).”
Dalam keterlibatan sosial, orang dengan bipolar sebagian
besar menarik diri dari lingkungan sosialnya. Kembali lagi,
hal ini dikarenakan mereka merahasiakan gangguan
bipolarnya dan tidak ingin lebih banyak lagi orang yang
mengetahui keadaannya. Orang dengan bipolar lebih
memilih dalam bersosialisasi. Mereka memilih lingkungan
dimana mereka merasa nyaman dan diterima. Perasaan
diterima dalam lingkungan sosial sangat penting untuk
orang dengan bipolar.
Orang dengan bipolar lebih memilih lingkungan sosial
yang dapat benar-benar menerima keadaan mereka. Seperti
informan Susi dan informan Galih yang cukup menjaga
jarak dengan lingkungan sosial yang lebih luas lagi. Hal ini
bukan karena mereka tidak mau berpartisipasi. Tetapi
karena mereka merasa kurang diterima dan kurang
Page 79
62
mendapat dukungan. Meskipun, hal ini belum tentu benar
sepenuhnya.
“Teman dekat saya tidak ada di dunia nyata. Di dunia
maya saja. Ketika saya punya teman dekat di dunia
nyata mungkin akan menjauh. Karena biasanya saya
mementingkan kepentingan saya sendiri. Tetapi saya
berusaha juga membalas kebaikan mereka walaupun
tidak nampak (informan Susi).”
“Tidak ada satupun, saya tidak cukup dekat dengan
siapapun. Saya menjaga jarak agar tidak terlalu dekat
dengan orang lain selain keluarga. Saya belum bisa
berbagi kesedihan saya dengan orang lain termasuk
istri dan keluarga saya. Saya selalu ingin orang tau saya
bahagia. Saya paling susah untuk mengeluh, saya selalu
mementingkan orang lain daripada diri saya, jadi saya
tidak mau buat orang susah dengan masalah-masalah
saya (informan Galih).”
Dalam berpartisipasi kegiatan sosial, orang dengan bipolar
tidak selalu menghindarinya. Mereka juga menyadari
bahwa terdapat manfaat dalam berpartisipasi kegiatan
sosial. Salah satunya mereka dapat mengetahui bahwa di
luar sana masih banyak orang yang peduli dengan mereka.
Seperti informan Ina dan informan Ari. Mereka mengikuti
kegiatan sosial yang menurut mereka dapat memberikan
pengaruh yang positif untuk pemulihan mereka.
“Dulu sebelum bipolar, aktif banget. Sekarang, lihat
kondisi badan. Lebih hati-hati saja agar tidak kecapean.
Tapi asal fit, aktif juga walau tidak sekeren dulu
(informan Ina).”
Page 80
63
“Saya mengikuti kegiatan jamaah taklim, orang-orang
di taklim baik-baik. Saya senang pikiran jadi terhibur
bertemu dengan orang-orang baik. Saya memilih
kegiatan yang baik-baik saja (informan Ari).”
2. Proses Sosial Disosiatif
Stigma dan diskriminasi merupakan dua hal besar yang
sangat berpengaruh dalam pemulihan orang dengan
bipolar. Kedua hal ini yang sering menjadi alasan mengapa
orang dengan bipolar merahasiakan gangguan bipolarnya
dan hanya memberi tahu orang-orang terdekat saja.
Apabila kita melihat lebih luas, di Indonesia, kesehatan
mental masih sangat taboo. Hal ini karena masih banyak
orang menggunakan kata “gila” untuk orang dengan
gangguan kejiwaan, khususnya gangguan bipolar. Kata
“gila” ini yang menjadi alasan orang dengan bipolar tidak
mau mengakui bahwa mereka mengalami gangguan
bipolar. Padahal, kenyataannya orang dengan bipolar
bukan orang “gila”. Mereka sama dengan orang yang tidak
mengalami gangguan bipolar. Mereka memiliki hak dan
kesempatan yang sama. Mereka berhak sekolah, kerja,
berkeluarga, dan hidup dengan tenang juga nyaman.
Di mulai dari lingkungan keluarga. Masih banyak keluarga
yang malu mengakui bahwa salah satu anggota
keluarganya mengalami bipolar. Hal ini menjadikan ruang
gerak orang dengan bipolar terbatas. Sebenarnya, tidak ada
yang salah dengan mengakui bahwa memiliki anggota
Page 81
64
keluarga yang mengalami bipolar. Yang salah dalam hal ini
adalah stigma yang sudah terbangun dalam diri bahwa
memiliki keluarga yang bipolar adalah hal yang
memalukan. Meskipun sebagian besar keluarga menutupi
bahwa mereka memiliki anggota keluarga yang mengalami
bipolar. Tetapi, setidaknya mereka menerima keadaan
orang dengan bipolar dan mau hidup berdampingan. Hal ini
karena dukungan keluarga merupakan hal yang sangat
penting dalam pemulihan orang dengan bipolar. Seperti
informan Ina dan informan Galih yang mendapat
penerimaan baik dari keluarganya. Walaupun di awal pihak
keluarga sempat mengalami kebingungan dalam
menghadapi mereka.
“Baik. Cuma dulu ketika kambuh, pada bingung harus
bagaimana. Soalnya saya jadi menyebalkan banget.
Sekarang saya sudah dianggap sukses. Semua bersikap
baik (informan Ina).”
“Perlakuan keluarga saya terhadap saya baik sekali.
Mereka sekarang sudah dapat memahami kondisi saya
saat ini. Mereka mencoba untuk menerima keadaan
saya (informan Galih).”
Dalam lingkungan sekolah atau kerja, stigma dan
diskriminasi terhadap orang dengan bipolar masih sangat
dirasakan oleh orang dengan bipolar. Hal ini membuat
orang dengan bipolar lebih nyaman merahasiakan
keadaannya dan memilih untuk menyendiri. Interaksi
ketika sekolah atau bekerja menjadi sangat terbatas untuk
orang dengan bipolar. Seperti informan Susi dan informan
Page 82
65
Ari yang lebih memilih untuk menyendiri dalam
lingkungan sekolah dan kerjanya.
“Perlakuan teman di kampus baik, tetapi saya memang
jarang bersosialisasi. Karena saya sibuk dengan dunia
sendiri. Kalau waktu kecil saya malah sering main.
Pada saat sekarang ini saya lebih suka menyendiri dan
tidak mau saya menyusahkan orang (informan Susi).”
“Saya sekarang kerja sendirian, bersih-bersih masjid.
Dulu pengalaman kerja saya banyak, seperti di toko dan
pabrik. Dulu ada teman yang menyebalkan, tidak suka
dengan saya, merendahkan saya. Tetapi saya cuek dan
mengalah saja (informan Ari).”
Lingkungan tempat tinggal menjadi ketakutan tersendiri
untuk orang dengan bipolar dalam menerima stigma dan
diskriminasi. Hal ini dikarenakan orang dengan bipolar
hidup di lingkungan tempat tinggal 24 jam dalam 7 hari.
Tentu saja stigma dan diskriminasi akan sangat dirasakan.
Di sisi lain, ketakutan akan stigma yang ada di dalam diri
orang dengan bipolar juga menjadi hambatan orang dengan
bipolar untuk bersosialisasi dengan lingkungan tempat
tinggal. Seperti informan Susi dan informan Ari, mereka
merasakan ketakutan untuk bersosialisasi dengan
lingkungan tempat tinggal. Mereka merasa lebih nyaman
untuk menyendiri.
“Perlakuan tetangga sebenarnya baik hanya sayanya
saja tidak tahu cara mereka baik sama saya (informan
Susi).”
Page 83
66
“Saya merasa seperti fobia sosial, saya jadi males
bergaul. Karena efek depresi dulu, saya jadi lebih suka
berdiam diri di rumah dan menjadi mudah tersinggung.
Tetapi di tempat tinggal saya yang sekarang saya
merasa senang karena lebih nyaman dan jarang ada
orang yang ngomongin gitu. Namun, jika saya berada
di tempat yang membuat ingatan buruk kembali itu hal
yang menyakitkan, dada saya jadi berdebar-debar,
kepala pusing, emosi, dan lain-lain (informan Ari).”
Memiliki pasangan dan menjalani kehidupan rumah tangga
merupakan salah satu hak orang dengan bipolar. Namun
seringkali hak ini di kesampingkan oleh orang dengan
bipolar. Mereka merasa butuh seseorang yang tepat untuk
dapat menerima keadaan orang dengan bipolar. Dalam
kasus informan Galih cukup baik. Dimana pasangan, lebih
tepatnya istri sudah mampu memahami keadaannya.
“Istri saya baik, sangat memperhatikan saya (informan
Galih).”
Stigma dan diskriminasi tidak hanya diterima orang dengan
bipolar di dunia nyata saja. Dalam media sosial stigma juga
kerap di terima oleh orang dengan bipolar. Namun, dari
media sosial juga terdapat dampak positif. Dimana orang
dengan bipolar dapat berkomunikasi dan saling
mendukung dengan orang dengan bipolar lainnya. Hal ini
dapat membuat orang dengan bipolar merasa tidak
sendirian. Seperti informan Susi dan informan Ari, media
sosial menjadi tempat untuk berkomunikasi dengan orang
dengan bipolar lainnya dan saling mendukung.
Page 84
67
“Pro kontra. Pronya biasanya memberikan komentar
positif, kadang menasehati. Kontranya biasanya saya
suka di block (informan Susi).”
“Saya memiliki teman yang senasib dengan saya di
Facebook, saya jadi merasa tidak sendirian.
Kebanyakan dari kami menyembunyikan, tetapi kalau
di Facebook kami terbuka. Karena kebanyakan orang-
orang memberikan kami stigma yang buruk. Hanya ke
sesama kami saling mengerti (informan Ari).”
B. Pemulihan
Pemulihan merupakan suatu proses panjang yang harus
dilalui oleh orang dengan bipolar. Pemulihan bukan suatu
hasil yang hanya dapat selesai dalam hitungan hari. Dalam
pemulihan orang dengan bipolar banyak pihak yang harus
dilibatkan. Hal ini karena dalam pemulihan, orang dengan
bipolar akan kembali menjalani fungsi sosialnya. Tentu
saja orang dengan bipolar akan berinteraksi dengan banyak
pihak. Dalam pemulihan, pihak yang sudah pasti
melakukan interaksi dengan orang dengan bipolar adalah
keluarga. Keluarga merupakan pihak yang cukup
berpengaruh dalam pemulihan orang dengan bipolar. Baik
tidaknya interaksi dalam keluarga akan berpengaruh
kepada pemulihan orang dengan bipolar. Namun, yang
lebih penting dari keluarga adalah penerimaan keadaan
orang dengan bipolar. Karena tidak sedikit keluarga yang
justru paling sulit dalam menerima keadaan orang dengan
bipolar. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan
Page 85
68
Susi dan informan Ari, keluarga mereka sudah dapat
menerima keadaan mereka meskipun keluarga masih perlu
adaptasi lebih untuk dapat memahami keadaan orang
dengan bipolar.
“Awalnya baik, tapi tidak tahu kenapa akhir-akhir ini
tidak harmonis. Yang salah sih memang saya. Seolah-
olah kalau saya mengobrol tidak nyambung, saya
terlalu serius juga (informan Susi).”
“Alhamdulillah, sekarang saya merasa senang ketika
ada bersama keluarga. Keluarga saya sudah mulai dapat
memahami keadaan saya (informan Ari).”
Seperti yang telah disebutkan di atas, ketika pemulihan
orang dengan bipolar akan kembali menjalani fungsi
sosialnya. Orang dengan bipolar yang bersekolah akan
kembali menjalani hari-harinya di sekolah. Orang dengan
bipolar yang bekerja akan kembali menjalani
pekerjaannya. Tentu saja bukan hal yang mudah untuk
orang dengan bipolar setelah menjalani pengobatan lalu
kembali menjalani fungsi sosialnya. Dibutuhkan adaptasi
kembali dengan lingkungannya. Seperti informan Susi dan
informan Galih yang membutuhkan adaptasi kembali untuk
dapat menjalani fungsi sosialnya.
“Tidak nyaman, saya merasa sedang dalam fase
depresi. Saya merasa akhir-akhir ini suka murung dan
tidak bersemangat (informan Susi).”
“Sangat menyenangkan awalnya, tapi lama kelamaan
saya sekarang mulai jenuh. Enam tahun mengajar saya
mulai jenuh. Semenjak istri saya keguguran tiga kali,
saya mulai tidak suka dengan anak-anak (informan
Galih).”
Page 86
69
Selain keluarga dan lingkungan sekolah juga lingkungan
kerja, lingkungan tempat tinggal juga menjadi pihak yang
terlibat dalam pemulihan orang dengan bipolar. Tetangga
atau lingkungan tempat tinggal sedikit banyak akan
mempengaruhi pemulihan orang dengan bipolar. Tidak
sedikit orang dengan bipolar yang menghindari untuk
berinteraksi dengan tetangga. Hal ini karena mereka
merasa bingung harus berinteraksi seperti apa. Dalam hasil
wawancara dengan informan Susi dan informan Ari,
mereka merasa minder dan malas ketika berinteraksi
dengan tetangga. Mereka lebih memilih untuk menghindari
berinteraksi dengan lingkungan tempat tinggal. Meskipun
hal ini tidak dapat seterusnya mereka lakukan.
“Biasa saja, mereka menganggap saya aneh. Jadi itulah
kenapa saya jadi minder dengan mereka (tetangga)
(informan Susi).”
“Terkadang saya merasa malas untuk berinterkasi
dengan orang lain. Saya lebih suka menyendiri dan
berbicara jika diperlukan saja (informan Ari).”
Pasangan merupakan pihak yang sudah dapat dipastikan
terlibat dalam pemulihan orang dengan bipolar. Dukungan
dari pasangan akan sangat berpengaruh dalam pemulihan
orang dengan bipolar. Tidak sedikit orang dengan bipolar
yang justru merasa kurang percaya diri untuk memiliki
pasangan. Namun, dalam hasil wawancara dengan
informan Galih, pasangan atau istri Galih dapat menerima
keadaan Galih dan dapat saling mendukung satu sama lain.
Hal ini sangat baik dalam pemulihan orang dengan bipolar.
Page 87
70
Mereka akan merasa tidak sendiri dalam berjuang
menerima keadaannya.
“Sangat menyenangkan dan kami saling mencintai
(informan Galih).”
Tidak dapat dipungkiri, pada era modern saat ini, media
sosial sedikit banyak akan terlibat dalam pemulihan orang
dengan bipolar. Pengaruh positif dan negatif dalam
bersosialisasi menggunakan media sosial akan
mempengaruhi pemulihan orang dengan bipolar. Meskipun
pengaruh media sosial tidak akan sebesar ketika orang
dengan bipolar berinteraksi secara langsung. Seperti hasil
wawancara dengan informan Susi dan informan Ari yang
menggunakan media sosial. Pengaruh positif dan negatif
penggunaan media sosial sangat dirasakan oleh mereka.
Dukungan dari media sosial tidak jarang mereka dapatkan.
Namun, stigma dari media sosial juga tidak dapat mereka
hindari.
“Saya merasa senang ketika ada yang memberikan
komentar yang positif dan menasehati. Namun, saya
mudah tersinggung ketika ada yang menganggap saya
aneh atau berlebihan (informan Susi).”
“Dengan media sosial saya merasa senang, karena di
Facebook saya menemukan orang-orang yang senasib
dengan saya (informan Ari).”
Page 88
71
BAB V
PEMBAHASAN
Pada bab 5 ini akan diuraikan hasil temuan yang dikaitkan
dengan latar belakang dan teori-teori yang telah dijabarkan pada
bab sebelumnya. Dalam menganalisa hasil temuan peneliti
menggunakan teori interaksi sosial Gillin dan Gillin dan teori
pemulihan. Teori interaksi sosial Gillin dan Gillin digunakan
dalam menganalisa hasil temuan yang berkaitan dengan interaksi
sosial. Dan teori pemulihan digunakan dalam menganalisa hasil
temuan yang berkaitan dengan pemulihan orang dengan bipolar.
A. Interaksi Sosial
Orang dengan bipolar memiliki kesempatan dan hak yang
sama untuk dapat berinteraksi sosial. Mereka berhak untuk
berinteraksi dengan siapapun tanpa merasa terbatas.
Namun, seringkali orang dengan bipolar merasa kurang
nyaman ketika berinteraksi. Pekerjaan sosial melihat
interaksi sosial orang dengan bipolar sebagai suatu proses
yang menjadi media pekerjaan sosial dalam melaksanakan
fungsi-fungsi kinerja yaitu membantu mengentaskan,
memecahkan, dan menguatkan situasi sosial-psikologis
orang dengan bipolar dalam kapasitas dan kapabilitas
melaksanakan peran kehidupannya. Dalam hal ini, peneliti
menggunakan teori interaksi sosial Gillin dan Gillin dalam
menganalisa hasil temuan. Interaksi sosial atau hubungan
sosial diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang
Page 89
72
dinamis, yang menyangkut hubungan-hubungan antara
orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia
maupun antara orang perorangan dengan kelompok
manusia.
1. Proses Sosial Asosiatif
Hubungan antar pribadi orang dengan bipolar terdiri dari
hubungan dengan keluarga, teman sekolah, teman kerja,
pasangan, lingkungan tempat tinggal hingga media sosial.
Orang dengan bipolar cenderung memiliki hubungan antar
pribadi yang tertutup. Mereka hanya memiliki hubungan
yang dekat dengan orang-orang yang memang sudah
mengetahui bahwa mereka mengalami gangguan bipolar.
Dalam temuan penelitian yang telah dijabarkan pada bab 4.
Pada awalnya keluarga orang dengan bipolar sempat
merasa kebingungan apa yang terjadi dan bagaimana
menghadapi orang dengan bipolar. Apabila peneliti
menganalisa pada bagaimana melihat individu berinteraksi
dengan lingkungannya dan melihat bagaimana individu
tersebut bereaksi atas apa yang terjadi pada lingkungannya.
Orang dengan bipolar memiliki fase manik dan fase
depresi. Dimana kedua fase ini ketika muncul akan
menimbulkan tingkah laku atau perilaku yang tidak seperti
biasanya. Tentu saja awalnya reaksi keluarga akan
kebingungan, ada keluarga yang merespon fase ini dengan
berbalik memarahi orang dengan bipolar atau justru
Page 90
73
menghindari orang dengan bipolar. Kedua respon ini
terjadi karena keluarga belum mengetahui bahwa anggota
keluarganya mengalami gangguan bipolar. Melihat respon
keluarga yang seperti ini, tentu saja akan berpengaruh pula
kepada orang dengan bipolar. Mereka akan merespon
dengan lebih memilih untuk sendiri atau ikut merespon
dengan marah-marah. Inilah yang disebut dengan sistem
yang saling mempengaruhi. Dimana terdapat aksi dan
reaksi antara keluarga dan orang dengan bipolar.
Tidak jauh berbeda dengan keluarga, lingkungan sekolah
atau tempat kerja juga merupakan sistem dari orang dengan
bipolar yang berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari.
Reaksi lingkungan sekolah atau tempat kerja terhadap
perilaku atau tingkah orang dengan bipolar akan juga
menimbulkan aksi dari orang dengan bipolar. Seperti
temuan dalam bab 4 yang telah dijabarkan. Orang dengan
bipolar lebih nyaman ketika mereka bekerja sendiri.
Meskipun harus di garis bawahi bahwa tidak semua orang
dengan bipolar seperti ini. Namun, apabila peneliti
menganalisa. Telah terjadi respon yang kurang baik dari
lingkungan sekolah atau tempat kerja orang dengan
bipolar. Sehingga hal ini membuat orang dengan bipolar
lebih memilih untuk bekerja sendiri atau tidak terlalu
banyak bertemu dengan orang lain. Sikap orang dengan
bipolar ini merupakan hasil dari sebuah interaksi yang
terjadi.
Page 91
74
Lingkungan tempat tinggal tidak dapat dipisahkan dari
interaksi orang dengan bipolar. Hal ini karena lingkungan
tempat tinggal merupakan salah satu media orang dengan
bipolar berinteraksi. Namun, tidak sedikit orang dengan
bipolar yang justru menjauhi atau menjaga jarak dengan
lingkungan tempat tinggalnya. Apabila peneliti
menganalisa berdasarkan dari hasil wawancara, orang
dengan bipolar menjaga jarak atau menjauhi lingkungan
tempat tinggalnya dikarenakan orang dengan bipolar
sedang dalam keadaan tenang. Dimana dalam
mempertahankan keadaan tenang hanya dapat dilakukan
apabila orang dengan bipolar dapat resilient dalam
menghadapi perubahan.
Hubungan yang baik dengan pasangan akan berpengaruh
baik dalam pemulihan orang dengan bipolar. Namun, tidak
sedikit orang dengan bipolar yang merasa kurang percaya
diri dalam mencari pasangan. Pasangan akan menjadi
support system bagi orang dengan bipolar, apabila
pasangan dapat menerima dan memahami keadaan orang
dengan bipolar. Dalam hasil wawancara yang telah
dijabarkan pada bab 4 (empat). Pasangan yang dapat
memahami keadaan orang dengan bipolar dapat
berpengaruh baik dalam pemulihan orang dengan bipolar.
Hal ini karena hubungan yang baik dengan pasangan dapat
memberikan energi yang baik bagi orang dengan bipolar.
Page 92
75
Energi yang baik ini akan sangat berpengaruh dalam
pemulihan orang dengan bipolar.
Interaksi sosial tidak hanya terjadi di dunia nyata. Pada era
modern seperti sekarang ini, media sosial menjadi sangat
dekat dengan manusia. Tidak terkecuali orang dengan
bipolar, mereka juga memanfaatkan media sosial sebagai
sarana untuk berinteraksi. Baik buruknya dampak media
sosial akan berpengaruh juga ke dalam pemulihan orang
dengan bipolar. Dari hasil wawancara peneliti dengan
informan, sebagian besar sudah dapat menggunakan media
sosial dengan baik. Mereka memahami bahwa media sosial
juga sedikit banyak akan berpengaruh dalam pemulihan
orang dengan bipolar. Meskipun media sosial tidak
berinteraksi secara langsung. Namun energi baik dan
buruknya akan dirasakan ketika interaksi terjadi.
Keterlibatan sosial orang dengan bipolar dilihat dari
bagaimana orang dengan bipolar berpartisipasi dalam
lingkungan sosialnya. Dari hasil wawancara, sebagian
besar orang dengan bipolar menarik diri dari lingkungan
sosialnya dan tidak lagi berpartisipasi dalam lingkungan
sosialnya. Mereka lebih memilih untuk sendiri dan
menjalani hubungan sosial yang tertutup. Selain itu, alasan
karena merahasiakan gangguan bipolarnya juga menjadi
faktor orang dengan bipolar menarik diri dari lingkungan
sosialnya.
Page 93
76
Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti jabarkan
pada bab 4. Orang dengan bipolar lebih nyaman ketika
sendiri. Tidak banyak teman dekat yang mereka miliki.
Bahkan beberapa dari mereka memilih untuk menarik diri
dan tidak memiliki teman dekat sama sekali. Apabila
peneliti menganalisa. Sikap atau perilaku lingkungan sosial
orang dengan bipolar yang kurang menerima keadaan
orang dengan bipolar. Menciptakan pola pikir, persepsi,
dan perasaan orang dengan bipolar yang mencerna input
yang telah diterimanya dari lingkungan sosialnya. Dan efek
pada orang di luar batas energi merupakan sikap atau
perilaku orang dengan bipolar yang lebih memilih untuk
menyendiri dan menarik diri dari lingkungan sosialnya.
Bentuk menarik diri dari orang dengan bipolar adalah
mereka kurang berpartisipasi dalam kegiatan sosial yang
ada pada lingkungan sosialnya. Tentu saja hal ini kurang
baik dalam pemulihan orang dengan bipolar. Dari hasil
wawancara peneliti dengan informan orang dengan bipolar,
mereka cukup memilah dan memilih kegiatan sosial yang
diikutinya. Hal ini dilakukan bukan tanpa alasan. Energi
yang dihasilkan ketika interaksi terjadi dapat berpengaruh
terhadap sikap dan perilaku seseorang. Yang dilakukan
orang dengan bipolar dalam memilah dan memilih kegiatan
sosial adalah mereka memilih kegiatan sosial yang dapat
memberikan mereka energi yang baik. Sehingga hal ini
Page 94
77
dapat menghasilkan output yang baik bagi orang dengan
bipolar dalam pemulihan.
2. Proses Sosial Disosiatif
Stigma dan diskriminasi masih sangat dirasakan oleh orang
dengan bipolar. Stigma dan diskriminasi menjadi alasan
terbesar orang dengan bipolar merahasiakan gangguan
bipolarnya. Merahasiakan keadaannya bahwa orang
dengan bipolar mengalami gangguan bipolar merupakan
efek dari apa yang diterima mereka di dalam lingkungan
sosialnya. Hal ini karena stigma bahwa orang dengan
bipolar adalah orang “gila” masih sangat melekat di
masyarakat pada umumnya. Kurangnya pemahaman
mengenai gangguan mental dalam masyarakat menjadikan
stigma orang “gila” ini masih digunakan. Namun, apabila
dilihat lebih mendalam dan dipahami, orang dengan bipolar
bukan orang “gila” dan sangat berbeda sekali. Orang
dengan bipolar sama dengan orang pada umumnya. Mereka
memiliki hak dan kesempatan yang sama. Orang dengan
bipolar berhak bersekolah, bekerja, menikah, dan
menjalani kehidupan seperti orang pada umumnya tanpa
diberikan stigma dan diskriminasi.
Stigma dan diskriminasi tidak hanya dirasakan dalam
lingkungan sosial yang luas. Dalam lingkungan keluarga,
orang dengan bipolar juga kerap menerima stigma dan
diskriminasi. Tidak sedikit keluarga yang merahasiakan
Page 95
78
keadaan anggota keluarganya yang mengalami gangguan
bipolar. Alasan mereka sama seperti orang dengan bipolar
merahasiakan keadaannya. Stigma bahwa orang dengan
bipolar adalah orang “gila” menjadi alasan keluarga
merahasiakan keadaan orang dengan bipolar dari
lingkungan sosialnya. Sekilas, merahasiakan keadaan
bahwa anggota keluarganya mengalami gangguan bipolar
terlihat biasa saja. Namun, apabila peneliti lihat lebih
mendalam lagi. Merahasiakan keadaan bahwa orang
dengan bipolar mengalami gangguan bipolar dapat
memperkecil atau mempersempit ruang gerak orang
dengan bipolar. Hal ini tentu saja kurang baik dalam
kehidupan sosial orang dengan bipolar. Apabila peneliti
menganalisa, merahasiakan keadaan orang dengan bipolar
tentu saja akan mengganggu hubungan yang terjadi di
antara sistem sosial orang dengan bipolar. Hubungan yang
terjadi antara orang dengan bipolar dan orang yang
mengetahui bahwa mereka mengalami gangguan bipolar
akan sangat berbeda dengan hubungan orang dengan
bipolar dan orang yang tidak mengetahui keadaannya.
Stigma juga dirasakan orang dengan bipolar dalam
lingkungan sekolah dan pekerjaan. Hal ini membuat orang
dengan bipolar lebih memilih untuk merahasiakan
keadaannya. Selain itu, diskriminasi dalam lingkungan
sekolah dan pekerjaan juga menjadi ketakutan tersendiri
bagi orang dengan bipolar. Perlakuan diskriminasi dari
Page 96
79
lingkungan seperti membeda-bedakan dan mengganggap
orang dengan bipolar tidak mampu melakukan sesuatu
merupakan contoh kecil yang sering terjadi di lingkungan
sekolah dan pekerjaan. Dalam hasil wawancara yang telah
peneliti jabarkan dalam bab 4, orang dengan bipolar kurang
memiliki hubungan yang dekat dengan teman sekolah atau
kerjanya. Bahkan beberapa dari mereka lebih memilih
untuk bekerja sendiri. Apabila peneliti menganalisa, stigma
dan diskriminasi merupakan suatu hal yang di terima orang
dengan dengan bipolar. Dan merahasiakan keadaannya
merupakan hasil dari stigma dan diskrimansi yang mereka
terima.
Lingkungan tempat tinggal merupakan lingkungan sosial
yang tidak dapat dihindari oleh orang dengan bipolar.
Namun, stigma dan diskriminasi juga sangat dirasakan
orang dengan bipolar dalam lingkungan tempat tinggal.
Ketakutan orang dengan bipolar dalam menerima stigma
dan diskriminasi menjadikan mereka lebih memilih untuk
menyendiri dan menghindari interaksi dengan lingkungan
tempat tinggal. Dalam interaksi sosial akan menghasilkan
suatu energi. Stigma dan diskriminasi yang diterima oleh
orang dengan bipolar memberikan energi kepada orang
dengan bipolar sehingga menimbulkan rasa ketakutan dan
sikap untuk menarik diri dari lingkungan tempat tinggal.
Disinilah yang dikatakan bahwa sebuah interaksi sosial
akan saling mempengaruhi.
Page 97
80
Memiliki pasangan yang dapat mengerti dan memahami
keadaan orang dengan bipolar tentu sangat diinginkan oleh
orang dengan bipolar. Pasangan akan mendampingi orang
dengan bipolar dalam menjalani kehidupan sehari-hari,
dalam menghadapi fase manik dan depresi. Namun, tidak
sedikit pasangan orang dengan bipolar yang justru menjadi
pencetus orang dengan bipolar relapse. Apabila peneliti
menganalisa, pasangan yang kurang memahami keadaan
orang dengan bipolar akan menimbulkan reaksi pada orang
dengan bipolar. Reaksi ini dapat berupa relapse, persepsi
kurang baik terhadap pasangan, hingga memutuskan untuk
berpisah karena merasa kurang dipahami.
Media sosial dapat menjadi tempat orang dengan bipolar
menerima stigma dan diskriminasi. Meskipun stigma dan
diskriminasi tidak di terima secara langsung oleh orang
dengan bipolar. Tidak jarang media sosial justru menjadi
ketakutan orang dengan bipolar dalam menerima stigma
dan diskriminasi. Hal ini karena dalam media sosial
seseorang dapat menulis apapun tanpa harus ketemu
bahkan tanpa memberi tahu identitasnya. Namun, hal
positif yang didapat dalam media sosial adalah orang
dengan bipolar dapat berkomunikasi dengan sesama orang
dengan bipolar. Mereka dapat saling mendukung dan
memberi motivasi yang positif. Apabila dianalisa,
dukungan dan motivasi antara sesama orang dengan
bipolar dapat memberikan energi yang positif dalam
Page 98
81
pemulihan orang dengan bipolar. Hasil yang didapat dari
hubungan ini adalah rasa percaya diri dan keberanian untuk
kembali menjalani kehidupan sehari-hari. Hal ini karena
orang dengan bipolar merasa tidak sendirian.
B. Pemulihan
Pemulihan adalah suatu proses yang panjang dan hasil yang
diharapkan terjadi dalam semua aspek di kehidupan.
Pemulihan merupakan suatu proses yang sangat pribadi,
bagaimana seseorang dapat kembali memiliki kepercayaan
diri dan kemauan untuk menjadikan hidupnya lebih baik
lagi dari sebelumnya. Pemulihan bertujuan untuk
membantu orang dengan bipolar melewati tantangan hidup
bukan hanya sekedar bertahan hidup dan eksistensi. Dalam
pemulihan, peneliti akan menganalisa hasil temuan
menggunakan teori perilaku kognitif. Peneliti
menggunakan teori perilaku kognitif dikarenakan teori ini
menekankan pada pentingnya pengembangan pengelolaan
rasional orang atas perilakunya, sehingga kita dapat lebih
baik dalam memahami sumber masalahnya (Malcolm
Payne, 2016, h. 127). Selain itu, bagian perilaku dari
praktik teori perilaku kognitif berpusat pada pembatasan
dan pembahasan perilaku-perilaku bermasalah, terutama
fobia sosial, kecemasan, dan depresi (Malcolm Payne,
2016, h. 127). Dalam pemulihan orang dengan bipolar,
teori perilaku kognitif ini dapat menjadi acuan dalam
Page 99
82
melakukan asesmen dan pemantauan yang teliti tentang
perkembangan kehidupan sosial orang dengan bipolar.
Dalam pemulihan orang dengan bipolar, penerimaan akan
keadaan orang dengan bipolar oleh keluarga sangat
penting. Berdasarkan hasil wawancara yang telah peneliti
lakukan, keluarga yang dapat memahami keadaan orang
dengan bipolar dapat menimbulkan perasaan senang dan
nyaman bagi orang dengan bipolar. Apabila peneliti
menganalisa menggunakan teori perilaku kognitif.
Keluarga yang dapat menerima dan memahami keadaan
orang dengan bipolar dapat menjadi proses terapi perilaku
kognitif bagi orang dengan bipolar. Dalam proses terapi
perilaku kognitif ini, dapat melihat bagaimana pola pikir
orang dengan bipolar yang menghasilkan pola perilaku
orang dengan bipolar. Seperti hasil wawancara, orang
dengan bipolar akan berpikir bahwa, saya di terima oleh
keluarga dan saya merasa nyaman dengan keluarga. Hal ini
akan menghasilkan pola perilaku yang baik, orang dengan
bipolar dapat berani untuk melanjutkan hidupnya dan
menjalani peran sosialnya.
Kembali menjalani peran sosialnya, salah satunya adalah
orang dengan bipolar kembali bersekolah, bekerja, dan
bertetangga. Dalam proses kembali ke sekolah, pekerjaan,
dan tempat tinggal, orang dengan bipolar membutuhkan
adaptasi kembali setelah proses pengobatan. Proses
adaptasi ini sangat penting dalam pemulihan orang dengan
bipolar. Berdasarkan hasil wawancara pada bab 4, orang
Page 100
83
dengan bipolar perlu kembali melakukan adaptasi kembali
dengan lingkungan sekolah, tempat kerja, dan tempat
tinggalnya. Hal ini dilakukan agar orang dengan bipolar
tidak merasa minder atau kurang percaya ketika berada di
lingkungan tersebut setelah proses pengobatan yang
dilakukan. Teori perilaku kognitif dalam hal ini berperan
dalam melihat bagaimana pengelolaan dan perubahan
perilaku orang dengan bipolar untuk memecahkan masalah
sosial yang mempengaruhinya. Awal orang dengan bipolar
mengetahui bahwa mereka mengalami gangguan bipolar,
tentu menjadi masalah tersendiri bagi orang dengan
bipolar. Akan terjadi perubahan perilaku orang dengan
bipolar dalam lingkungan sosialnya setelah hal ini. Perilaku
tersebut dapat berupa menarik diri dari lingkungan
sosialnya, menyendiri, dan masih banyak lagi. Disinilah
perlu adanya pemulihan bagi orang dengan bipolar.
Pemulihan dilakukan agar orang dengan bipolar dapat
merubah perilakunya terhadap lingkungan sosialnya
menjadi lebih baik. Dalam pemulihan orang dengan bipolar
juga diharapkan dapat kembali menjalani peran sosialnya.
Hubungan yang baik dengan pasangan akan berpengaruh
baik dalam pemulihan orang dengan bipolar. Hubungan
yang baik dengan pasangan dapat menjadi terapi tersendiri
bagi orang dengan bipolar dalam proses pemulihannya.
Dalam teori perilaku kognitif, hubungan yang baik dengan
pasangan dapat menjadi terapi kognitif bagi orang dengan
bipolar. Hal ini karena hubungan yang baik dengan
Page 101
84
pasangan dapat menghasilkan perubahan proses berpikir
yang tidak tepat. Dimana seringkali orang dengan bipolar
berpikir bahwa mereka melewati masalahnya sendirian.
Namun, apabila orang dengan bipolar memiliki hubungan
yang baik dengan pasangan dan dapat saling mendukung,
orang dengan bipolar tidak akan berpikir bahwa mereka
sendiri dalam melewati masalahnya.
Media sosial sedikit banyak juga berpengaruh dalam
pemulihan orang dengan bipolar. Hal ini karena di era
modern sekarang ini, media sosial sulit untuk dipisahkan
dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan hasil wawancara
yang telah dijabarkan pada bab 4, terdapat pengaruh positif
dan negatif dalam penggunaan media sosial oleh orang
dengan bipolar. Pengaruh positif dari media sosial adalah
orang dengan bipolar dapat berkomunikasi dengan sesama
orang dengan bipolar dan saling memberikan dukungan.
Namun, pengaruh negatif dari media sosial adalah orang
dengan bipolar akan pula mendapat stigma dan
diskriminasi. Dalam teori perilaku kognitif, pengaruh
positif dan negatif dari media sosial ini akan menjadi terapi
kognitif. Dimana pengaruh positif media sosial akan
menghasilkan pemikiran bahwa orang dengan bipolar tidak
sendirian. Dan pengaruh negatif dari media sosial akan
menghasilkan pemikiran bahwa selain orang dengan
bipolar tidak ada yang memahami keadaannya mereka.
Sehingga mereka lebih nyaman ketika bersama orang
dengan bipolar juga.
Page 102
85
BAB VI
SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan
Berdasarkan penelitian dan pembahasan yang telah peneliti
lakukan mengenai Interaksi Sosial dalam Pemulihan Orang
dengan Bipolar melalui teknik wawancara, maka peneliti
dapat menyimpulkan bahwa:
1. Pada interaksi sosial dalam pemulihan orang dengan
bipolar dapat terjadi proses sosial asosiatif dan
disosiatif. Hal ini karena dalam pemulihan, orang
dengan bipolar melakukan interaksi dengan keluarga,
teman sekolah, tetangga, dan masih banyak lagi. Dari
interaksi ini akan menimbulkan proses sosial baik
asosiatif maupun disosiatif.
2. Proses sosial asosiatif yang terjadi pada interaksi sosial
dalam pemulihan orang dengan bipolar adalah
kerjasama. Pada proses sosial asosiatif kerjasama ini
orang dengan bipolar melakukan hubungan antar
pribadi dan keterlibatan sosial dengan orang-orang
terdekat seperti keluarga dan teman dekat.
3. Proses sosial disosiatif yang terjadi pada interaksi
sosial dalam pemulihan orang dengan bipolar adalah
kontravensi. Pada proses sosial disosiatif kontravensi
ini orang dengan bipolar mengalami interaksi sosial
dengan keluarga, teman sekolah, tetangga dan lain-lain
Page 103
86
yang kurang menyenangkan seperti stigma dan
diskriminasi.
B. Implikasi
Penelitian jika dilakukan tanpa adanya manfaat untuk
orang lain tentu merupakan hal yang sia-sia. Dalam
penelitian ini, peneliti berharap yang telah dilakukan dapat
bermanfaat baik dari segi teoritis maupun praktis. Adapun
implikasi dari penelitian ini yang dapat bermanfaat untuk
kedepannya adalah
1. Teoritis
Dari segi teoritis peneliti mengharapkan bahwa penelitian
ini dapat bermanfaat bagi para akademisi maupun orang
dengan bipolar yang membaca penelitian ini. Adapun
implikasi dari segi teoritis adalah
a. Berdasarkan teori proses sosial asosiatif dan proses
sosial disosiatif, maka pemulihan orang dengan bipolar
dapat lebih baik apabila orang dengan bipolar,
komunitas dan lingkungan sekitar dapat melakukan
proses sosial dengan baik.
b. Berdasarkan teori proses sosial asosiatif bentuk
kerjasama, maka pemulihan orang dengan bipolar akan
berjalan lebih baik apabila dalam pemulihan orang
dengan bipolar dan lembaga atau komunitas memiliki
tujuan yang sama.
Page 104
87
c. Berdasarkan teori proses sosial disosiatif bentuk
kontravensi, maka pemulihan orang dengan bipolar
dapat terlaksana dengan baik apabila lingkungan
sekitar dapat lebih mendukung dalam pemulihan orang
dengan bipolar.
2. Praktis
Dari segi praktis, peneliti mengharapkan bahwa penelitian
ini dapat bermanfaat bagi praktisi, caregiver, komunitas,
dan lembaga yang bergerak di bidang kesehatan jiwa,
khususnya yang menangani orang dengan bipolar. Adapun
implikasi dari segi praktis adalah
a. Komunitas Bipolar Care Indonesia dapat mendorong
proses sosial asosiatif dan mengurangi proses sosial
disosiatif bagi orang dengan bipolar dalam pemulihan
seperti melakukan kegiatan dengan interaksi yang lebih
luas.
b. Komunitas Bipolar Care Indonesia dapat mendorong
proses sosial asosiatif bentuk kerjasama seperti
melakukan kegiatan yang memiliki tujuan yang saling
mendukung dan melakukan kegiatan yang dapat
meningkatkan keterlibatan sosial orang dengan bipolar.
c. Komunitas Bipolar Care Indonesia dapat mengurangi
proses sosial disosiatif bentuk kontravensi dengan
Page 105
88
kegiatan yang dapat meningkatkan kesadaran
masyarakat mengenai gangguan bipolar.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh
peneliti, untuk dapat memperbaiki interaksi sosial orang
dengan bipolar dalam pemulihan peneliti ingin
menyampaikan beberapa saran akademis, praktis dan
kepada peneliti selanjutnya, yaitu
1. Akademis
Dalam memahami interaksi sosial orang dengan bipolar
dalam pemulihan, khususnya proses sosial asosiatif dan
proses sosial disosiatif. Sebaiknya, dapat memperdalam
teori mengenai interaksi sosial dari berbagai ahli agar dapat
memahami interaksi sosial lebih luas lagi. Hal ini karena,
interaksi sosial tidak hanya menghasilkan proses sosial
asosiatif yang cenderung menjalin kesatuan dan
meningkatkan solidaritas. Namun juga, dapat
menimbulkan proses sosial disosiatif yang bertentangan
dengan seseorang atau kelompok lain.
2. Praktis
Sebagai wadah untuk orang dengan bipolar (ODB),
caregiver, dan siapa saja yang peduli dengan gangguan
bipolar, sebaiknya komunitas Bipolar Care Indonesia dapat
memperbaiki program dukungan yang khususnya
Page 106
89
diberikan kepada penderita bipolar dan caregiver. Sebagai
bentuk dukungan bahwa mereka tidak berjuang sendirian
dan bisa saling berbagi pengalaman, inspirasi, dan motivasi
dalam menghadapi bipolar.
3. Kepada Peneliti Selanjutnya
Penelitian ini menjelaskan bagaimana pemahaman
interaksi sosial orang dengan bipolar dalam pemulihan,
maka peneliti selanjutnya sebaiknya dapat meneliti
mengenai bagaimana interaksi sosial orang dengan bipolar
dalam masa pengobatan dan rehabilitasi.
Penelitian mengenai interaksi sosial orang dengan bipolar
dalam pemulihan ini dilakukan pada orang dengan bipolar
yang pernah mengikuti kegiatan pada komunitas Bipolar
Care Indonesia, maka peneliti selanjutnya sebaiknya dapat
meneliti pada komunitas atau lembaga lain dengan
pengidap gangguan mental yang lebih bervariasi.
Page 108
91
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Adi, Isbandi Rukminto. 2013. Kesejahteraan Sosial (Pekerjaan
Sosial, Pembangunan Sosial, dan Kajian Pembangunan).
Jakarta: Rajawali Pers.
Alamsyah, Cepi Yusrun. 2015. Praktik Pekerjaan Sosial Generalis.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ali, M. dan Mohammad Asrori. 2004. Psikologi Remaja
Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi Aksara.
Ariefuzzaman, Siti Napsiyah dan Lisma Diawati Fuaida. 2011.
Belajar Teori Pekerjaan Sosial. Jakarta: Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah.
Arifin, Bambang Syamsul. 2015. Psikologi Sosial. Bandung:
Pustaka Setia.
Maryati dan Suryawati. 2003. Sosiologi 1. Jakarta: Erlangga.
Murdiyatmoko dan Handayani. 2004. Sosiologi I. Jakarta:
Grafindo Media.
Panggabean, Laurentius M. 2015. Apakah Aku Bipolar? 100
Tanya Jawab dengan Psikiater. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Payne, Malcolm. 2016. Teori Pekerjaan Sosial Modern.
Yogyakarta: Samudra Biru.
Pritchard, Colin. 2006. Mental Health Social Work (Evidence-
based practice). New York: Routledge by Taylor & Francis
Group.
Razak, Yusron. 2013. Sosiologi Sebuah Pengantar: Tinjauan
Pemikiran Sosiologi Perspektif Islam. Tangerang:
Laboratorium Sosiologi Agama.
Rustanto, Bambang. 2015. Penelitian Kualitatif Pekerjaan Sosial.
Bandung: Rosdakarya.
Page 109
92
Salam, Syamsir. 2006. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN
Jakarta Press.
Setiadi, Elly M. 2011. Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta dan
Gejala Permasalahan Sosial: Teori, Aplikasi, dan
Pemecahannya. Jakarta: Kencana.
Soekanto, Soerjono. 2013. Sosiologi Suatu Pengantar (Edisi
Revisi). Jakarta: Raja Grafindo.
Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitaif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi (Edisi Revisi).
Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Susanto, Astrid S. 1985. Pengantar Sosiologi dan Perubahan
Sosial. Jakarta: Bina Cipta.
Yusuf, A. Muri. 2014. Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif,
dan Penelitian Gabungan. Jakarta: Prenadamedia Group.
B. Sumber Jurnal
Lloyd, Chris. 2oo8. Conceptualising Recovery in Mental Health
Rehabilitation. Australia: British Journal of Occupational
Therapy.
Tew, Jerry. 2012. Social Factors and Recovery from Mental
Health Difficulties: A Review of the Evidence. Inggris:
British Journal of Social Work.
Williams, Charmaine C. 2015. Towards a Biopsychosociopolitical
Frame for Recovery in the Context of Mental Illness.
Kanada: British Journal of Social Work.
Page 110
93
C. Sumber Website
Kementerian Kesehatan RI. 2014. Undang-undang Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Juga dapat
diunduh pada
http://yankes.kemkes.go.id/assets/downloads/UU%20No.
%2018%20Th%202014%20ttg%20Kesehatan%20Jiwa.pd
f
Kementerian Kesehatan RI. 2016. Peran Keluarga Dukung
Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI. Juga dapat diunduh pada
http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-
keluarga-dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html
Mediani, Mesha. 2017. Dinas Sosial DKI: Penderita Gangguan
Jiwa Meningkat. Jakarta: CNN Indonesia. Juga dapat
diunduh pada
https://m.cnnindonesia.com/nasional/20170830143423-
20-238372/dinas-sosial-dki-penderita-gangguan-jiwa-
meningkat
D. Sumber Dokumentasi
Arsip Dokumen Profil Komunitas Milik Ketua Komunitas Bipolar
Care Indonesia.
Page 113
PEDOMAN WAWANCARA
Pertanyaan Untuk Informan Utama (Orang Dengan Bipolar)
1. Tanggal Wawancara :
2. Waktu Wawancara :
3. Lokasi Wawancara :
Data Diri Informan
1. Nama :
2. Jenis Kelamin :
3. Tahun Lahir :
4. Pekerjaan :
5. Pendidikan Terakhir :
6. Status :
7. Bagaimana awalnya saudara mengetahui bahwa saudara
mengalami gangguan Bipolar? Dari kapan dan bagaimana
perasaan saudara?
Interaksi Sosial : Hubungan Antar Pribadi
1. Bagaimana hubungan saudara dengan keluarga?
2. Bagaimana hubungan saudara dengan teman sekolah /
kerja / rumah?
3. Bagaimana hubungan saudara dengan lingkungan sekolah
/ kerja / rumah?
4. Bagaimana hubungan saudara dengan pasangan?
5. Bagaimana saudara berinteraksi menggunakan media
sosial?
Page 114
Interaksi Sosial : Keterlibatan Sosial
1. Berapa banyak teman yang dekat dengan saudara di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah? Bagaimana
hubungan saudara dengan mereka?
2. Bagaimana saudara dalam mengikuti kegiatan yang ada di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah?
Interaksi Sosial : Stigma dan Diskriminasi
1. Bagaimana perlakuan keluarga terhadap saudara?
2. Bagaimana perlakuan teman sekolah / kerja / rumah
terhadap saudara?
3. Bagaimana perlakuan dalam lingkungan sekolah / kerja /
rumah terhadap saudara?
4. Bagaimana perlakuan pasangan terhadap saudara?
5. Bagaimana perlakuan orang-orang di media sosial terhadap
saudara?
Pemulihan
1. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
keluarga?
2. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
teman sekolah / kerja / rumah?
3. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dalam
lingkungan sekolah / kerja / rumah?
4. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
pasangan?
5. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
menggunakan media sosial?
Page 115
TRANSKIP WAWANCARA
Pertanyaan Untuk Informan Utama (Orang Dengan Bipolar)
1. Tanggal Wawancara : Senin, 24 September 2018
2. Waktu Wawancara : 13.00 – selesai
3. Lokasi Wawancara : Rumah Orangtua Ina
Data Diri Informan
1. Nama : Ina
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tahun Lahir : 1991
4. Pekerjaan : Guru Swasta
5. Pendidikan Terakhir : S1
6. Status : Lajang
7. Bagaimana awalnya saudara mengetahui bahwa saudara
mengalami gangguan Bipolar? Dari kapan dan bagaimana
perasaan saudara?
Sejak Juli 2014
Interaksi Sosial : Hubungan Antar Pribadi
1. Bagaimana hubungan saudara dengan keluarga?
Alhamdulillah hangat dan akrab. Walaupun sekarang sudah
sibuk dengan aktivitas masing-masing. Dulu hubungan saya
dengan ibu kurang baik. Saya selalu jadi sasaran kemarahan.
Tapi sekarang tidak lagi. Sudah dekat sekali dengan ibu.
2. Bagaimana hubungan saudara dengan teman sekolah /
kerja / rumah?
Page 116
Alhamdulillah baik, bisa saling bekerjasama. Akrab dan baik-
baik saja.
3. Bagaimana hubungan saudara dengan lingkungan sekolah
/ kerja / rumah?
Baik-baik saja, walaupun tidak begitu dekat.
4. Bagaimana hubungan saudara dengan pasangan?
Single Lillah. Belum ada pasangan.
5. Bagaimana saudara berinteraksi menggunakan media
sosial?
Apresiasi hal baik saja di status orang sesekali. Sekarang sejak
2 bulan ini saya Facebook-an untuk jualan. Plus sosial media
tetap. Kalau Instagram cuma buat simpan momen spesial sama
interaksi dengan sahabat yang sudah terpisah jarak.
Interaksi Sosial : Keterlibatan Sosial
1. Berapa banyak teman yang dekat dengan saudara di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah? Bagaimana
hubungan saudara dengan mereka?
Sahabat yang beneran sahabat ada 8 orang. Hubungan baik
semua, walaupun berjauhan dan hanya sesekali ketemu. Tapi
ketika ketemu, seru banget.
2. Bagaimana saudara dalam mengikuti kegiatan yang ada di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah?
Page 117
Dulu sebelum bipolar, aktif banget. Sekarang, lihat kondisi
badan. Lebih hati-hati saja agar tidak kecapean. Tapi asal fit,
aktif juga walau tidak sekeren dulu.
Interaksi Sosial : Stigma dan Diskriminasi
1. Bagaimana perlakuan keluarga terhadap saudara?
Baik. Cuma dulu ketika kambuh, pada bingung harus
bagaimana. Soalnya saya jadi menyebalkan banget. Sekarang
saya sudah dianggap sukses. Semua bersikap baik.
2. Bagaimana perlakuan teman sekolah / kerja / rumah
terhadap saudara?
Baik. Lumayan pada pengertian, tidak dipaksa mengerjakan all
out. Kalau sudah keliatan capek, di suruh istirahat. Walaupun
kadang akunya tetap ngeyel.
3. Bagaimana perlakuan dalam lingkungan sekolah / kerja /
rumah terhadap saudara?
Baik, tidak dekat tapi menghargai.
4. Bagaimana perlakuan pasangan terhadap saudara?
Single Lillah. Belum ada pasangan.
5. Bagaimana perlakuan orang-orang di media sosial terhadap
saudara?
Baik-baik semua.
Page 118
Pemulihan
1. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
keluarga?
Saya merasa bahagia ketika berinteraksi dengan keluarga,
terutama ibu saya.
2. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
teman sekolah / kerja / rumah?
Saya merasa baik-baik saja dengan mereka
3. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dalam
lingkungan sekolah / kerja / rumah?
Saya merasa biasa saja.
4. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
pasangan?
Single Lillah. Belum ada pasangan.
5. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
menggunakan media sosial?
Senang, soalnya hiburan di waktu senggang.
Page 119
TRANSKIP WAWANCARA
Pertanyaan Untuk Informan Utama (Orang Dengan Bipolar)
1. Tanggal Wawancara : Rabu, 3 Oktober 2018
2. Waktu Wawancara : 11.00 – selesai
3. Lokasi Wawancara : Tempat Makan di Daerah Jakarta
Selatan
Data Diri Informan
1. Nama : Susi
2. Jenis Kelamin : Perempuan
3. Tahun Lahir : 1997
4. Pekerjaan : Mahasiswa
5. Pendidikan Terakhir : SMA
6. Status : Lajang
7. Bagaimana awalnya saudara mengetahui bahwa saudara
mengalami gangguan Bipolar? Dari kapan dan bagaimana
perasaan saudara?
Sejak tahun 2016
Interaksi Sosial : Hubungan Antar Pribadi
1. Bagaimana hubungan saudara dengan keluarga?
Hubungan saya dengan keluarga baik, bisa dibilang dekat.
2. Bagaimana hubungan saudara dengan teman sekolah /
kerja / rumah?
Page 120
Hubungan saya dengan teman kampus bisa dibilang sedikit
kenalannya.
3. Bagaimana hubungan saudara dengan lingkungan sekolah
/ kerja / rumah?
Kalau hubungan dengan tetangga kenal hanya beberapa saja
dulu. Sekarang bisa dibilang mungkin saya dan keluarga
dikenal tetapi kurang dekat.
4. Bagaimana hubungan saudara dengan pasangan?
Saya tidak punya pasangan, saya jomblo sampai halal.
5. Bagaimana saudara berinteraksi menggunakan media
sosial?
Saya berinteraksi dengan keingintahuan saya yang tinggi. Saya
mencari informasi dengan cepat.
Interaksi Sosial : Keterlibatan Sosial
1. Berapa banyak teman yang dekat dengan saudara di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah? Bagaimana
hubungan saudara dengan mereka?
Teman dekat saya tidak ada di dunia nyata. Di dunia maya saja.
Ketika saya punya teman dekat di dunia nyata mungkin akan
menjauh. Karena biasanya saya mementingkan kepentingan
saya sendiri. Tetapi saya berusaha juga membalas kebaikan
mereka walaupun tidak nampak.
Page 121
2. Bagaimana saudara dalam mengikuti kegiatan yang ada di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah?
Saya tidak turut serta.
Interaksi Sosial : Stigma dan Diskriminasi
1. Bagaimana perlakuan keluarga terhadap saudara?
Perlakuan mereka baik.
2. Bagaimana perlakuan teman sekolah / kerja / rumah
terhadap saudara?
Perlakuan teman di kampus baik, tetapi saya memang jarang
bersosialisasi. Karena saya sibuk dengan dunia sendiri. Kalau
waktu kecil saya malah sering main. Pada saat sekarang ini
saya lebih suka menyendiri dan tidak mau saya menyusahkan
orang.
3. Bagaimana perlakuan dalam lingkungan sekolah / kerja /
rumah terhadap saudara?
Perlakuan tetangga sebenarnya baik hanya sayanya saja tidak
tahu cara mereka baik sama saya.
4. Bagaimana perlakuan pasangan terhadap saudara?
Saya tidak punya pasangan.
5. Bagaimana perlakuan orang-orang di media sosial terhadap
saudara?
Pro kontra. Pronya biasanya memberikan komentar positif,
kadang menasehati. Kontranya biasanya saya suka di block.
Page 122
Pemulihan
1. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
keluarga?
Awalnya baik, tapi tidak tahu kenapa akhir-akhir ini tidak
harmonis. Yang salah sih memang saya. Seolah-olah kalau
saya mengobrol tidak nyambung, saya terlalu serius juga.
2. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
teman sekolah / kerja / rumah?
Tidak nyaman, saya merasa sedang dalam fase depresi. Saya
merasa akhir-akhir ini suka murung dan tidak bersemangat.
3. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dalam
lingkungan sekolah / kerja / rumah?
Biasa saja, mereka menganggap saya aneh. Jadi itulah kenapa
saya jadi minder dengan mereka.
4. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
pasangan?
Saya tidak punya pasangan.
5. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
menggunakan media sosial?
Saya merasa senang ketika ada yang memberikan komentar
yang positif dan menasehati. Namun, saya mudah tersinggung
ketika ada yang menganggap saya aneh atau berlebihan.
Page 123
TRANSKIP WAWANCARA
Pertanyaan Untuk Informan Utama (Orang Dengan Bipolar)
1. Tanggal Wawancara : Kamis, 11 Oktober 2018
2. Waktu Wawancara : 12.30 – selesai
3. Lokasi Wawancara : Rumah Galih di Daerah Jakarta
Selatan
Data Diri Informan
1. Nama : Galih
2. Jenis Kelamin : Laki - laki
3. Tahun Lahir : 1989
4. Pekerjaan : Guru Privat
5. Pendidikan Terakhir : S1
6. Status : Menikah
7. Bagaimana awalnya saudara mengetahui bahwa saudara
mengalami gangguan Bipolar? Dari kapan dan bagaimana
perasaan saudara?
Sejak juni 2018
Interaksi Sosial : Hubungan Antar Pribadi
1. Bagaimana hubungan saudara dengan keluarga?
Sebelum mengetahui saya bipolar saya sering bertengkar
dengan orang di rumah, terutama istri saya mudah emosi.
Tetapi sekarang semenjak berobat saya lebih bisa mengontrol
diri saya.
Page 124
2. Bagaimana hubungan saudara dengan teman sekolah /
kerja / rumah?
Saya merasa kesulitan dalam berteman, saya berteman hanya
begitu begitu saja. Makanya saya lebih memilih untuk bekerja
sendiri dengan mengajar privat anak-anak. Saya mengajar anak
TK dan SD semua mata pelajaran. Dan anak SMP dan SMA
khusus bahasa inggris dan akuntansi.
3. Bagaimana hubungan saudara dengan lingkungan sekolah
/ kerja / rumah?
Saya jarang keluar rumah saya jarang bertetangga.
4. Bagaimana hubungan saudara dengan pasangan?
Hubungan saya dengan istri saya baik-baik saja, dia sudah bisa
memahami keadaan saya.
5. Bagaimana saudara berinteraksi menggunakan media
sosial?
Saya hanya membuka media sosial ketika sedang senggang
saja atau ketika saya sedang merasa sedih.
Interaksi Sosial : Keterlibatan Sosial
1. Berapa banyak teman yang dekat dengan saudara di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah? Bagaimana
hubungan saudara dengan mereka?
Tidak ada satupun, saya tidak cukup dekat dengan siapapun.
Saya menjaga jarak agar tidak terlalu dekat dengan orang lain
Page 125
selain keluarga. Saya belum bisa berbagi kesedihan saya
dengan orang lain termasuk istri dan keluarga saya. Saya selalu
ingin orang tau saya bahagia. Saya paling susah untuk
mengeluh, saya selalu mementingkan orang lain daripada diri
saya, jadi saya tidak mau buat orang susah dengan masalah-
masalah saya.
2. Bagaimana saudara dalam mengikuti kegiatan yang ada di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah?
Tidak ada kegiatan yang saya ikutin.
Interaksi Sosial : Stigma dan Diskriminasi
1. Bagaimana perlakuan keluarga terhadap saudara?
Perlakuan keluarga saya terhadap saya baik sekali. Mereka
sekarang sudah dapat memahami kondisi saya saat ini. Mereka
mencoba untuk menerima keadaan saya.
2. Bagaimana perlakuan teman sekolah / kerja / rumah
terhadap saudara?
Saya tidak memiliki teman kerja.
3. Bagaimana perlakuan dalam lingkungan sekolah / kerja /
rumah terhadap saudara?
Biasa saja, karena tadi kan saya bilang saya tidak bertetangga
banget. Jadi tidak begitu kenal-kenal banget.
4. Bagaimana perlakuan pasangan terhadap saudara?
Istri saya baik, sangat memperhatikan saya.
Page 126
5. Bagaimana perlakuan orang-orang di media sosial terhadap
saudara?
Biasa saja tidak ada yang istimewa.
Pemulihan
1. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
keluarga?
Saya hanya bicara seperlunya, tidak terlalu jelas dengan
perasaan saya.
2. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
anak-anak yang mengikuti privat?
Sangat menyenangkan awalnya, tapi lama kelamaan saya
sekarang mulai jenuh. Enam tahun mengajar saya mulai jenuh.
Semenjak istri saya keguguran tiga kali, saya mulai tidak suka
dengan anak-anak.
3. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dalam
lingkungan sekolah / kerja / rumah?
Biasa saja tidak terlalu dekat.
4. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
pasangan?
Sangat menyenangkan dan kami saling mencintai.
Page 127
5. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
menggunakan media sosial?
Senang karena bisa membaca tulisan orang lain dan mendapat
pelajaran juga.
Page 129
TRANSKIP WAWANCARA
Pertanyaan Untuk Informan Utama (Orang Dengan Bipolar)
1. Tanggal Wawancara : Kamis, 18 Oktober 2018
2. Waktu Wawancara : 14.00 – selesai
3. Lokasi Wawancara : Masjid Tempat Ari Bekerja
Data Diri Informan
1. Nama : Ari
2. Jenis Kelamin : Laki - laki
3. Tahun Lahir : 1980
4. Pekerjaan : Penjaga Masjid
5. Pendidikan Terakhir : SMA
6. Status : Lajang
7. Bagaimana awalnya saudara mengetahui bahwa saudara
mengalami gangguan Bipolar? Dari kapan dan bagaimana
perasaan saudara?
Jadi awalnya pada tahun 1998 terjadi krisis ekonomi, waktu itu
saya lulus SMA saya ingin sekali bekerja. Karena saya terlalu
keras memikirkannya kepala saya pusing, saya mulai depresi.
Lalu, secara pasti saya periksa ke psikolog, saya diberi tes-tes.
Interaksi Sosial : Hubungan Antar Pribadi
1. Bagaimana hubungan saudara dengan keluarga?
Waktu dulu ketika awal saya mengalami bipolar saya sering
bertengkar dengan kedua orangtua saya. Saya dulu mudah
emosi, tetapi sekarang Alhamdulillah sudah stabil.
Page 130
2. Bagaimana hubungan saudara dengan teman sekolah /
kerja / rumah?
Karena keadaan saya sekarang saya jadi mudah tersinggung.
Dulu saya kerja saya suka bete dengan teman yang reseh, bisa
juga dengan atasan saya. Tetapi teman saya ada juga yang baik,
saya merasa cocoknya kerja yang tidak banyak teman.
Makanya sekarang saya menjadi penjaga masjid saja.
3. Bagaimana hubungan saudara dengan lingkungan sekolah
/ kerja / rumah?
Dengan tetangga saya suka jaga jarak, tidak mau mencampuri
urusan orang lain. Saya cuek saja, yang penting saya tenang.
4. Bagaimana hubungan saudara dengan pasangan?
Saya tidak memiliki pasangan.
5. Bagaimana saudara berinteraksi menggunakan media
sosial?
Kalau Facebook buat cari info kesehatan, saya suka lihat group
Bipolar Care Indonesia dan sejenisnya. Ketika saya lagi bete
saya suka lihat yang lucu-lucu. Kalau Whatsapp saya ikut
group pengajian.
Interaksi Sosial : Keterlibatan Sosial
1. Berapa banyak teman yang dekat dengan saudara di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah? Bagaimana
hubungan saudara dengan mereka?
Page 131
Kalau di sini yang dekat sedikit. Tetapi kalau teman pengajian
saya banyak. Hubungan saya dengan teman dekat saya baik.
2. Bagaimana saudara dalam mengikuti kegiatan yang ada di
sekolah / tempat kerja / lingkungan rumah?
Saya mengikuti kegiatan jamaah taklim, orang-orang di taklim
baik-baik. Saya senang pikiran jadi terhibur bertemu dengan
orang-orang baik. Saya memilih kegiatan yang baik-baik saja.
Interaksi Sosial : Stigma dan Diskriminasi
1. Bagaimana perlakuan keluarga terhadap saudara?
Baik, biasa saja. Alhamdulillah sekarang keadaan mental saya
tenang. Dulu ketika masih parah saya sering beda pendapat dan
mudah tersinggung. Saya banyak ikut taklim jadi pengaruhnya
mental saya bisa tenang.
2. Bagaimana perlakuan teman sekolah / kerja / rumah
terhadap saudara?
Saya sekarang kerja sendirian, bersih-bersih masjid. Dulu
pengalaman kerja saya banyak, seperti di toko dan pabrik. Dulu
ada teman yang menyebalkan, tidak suka dengan saya,
merendahkan saya. Tetapi saya cuek dan megalah saja.
3. Bagaimana perlakuan dalam lingkungan sekolah / kerja /
rumah terhadap saudara?
Saya merasa seperti fobia sosial, saya jadi males bergaul.
Karena efek depresi dulu, saya jadi lebih suka berdiam diri di
rumah dan menjadi mudah tersinggung. Tetapi di tempat
Page 132
tinggal saya yang sekarang saya merasa senang karena lebih
nyaman dan jarang ada orang yang ngomongin gitu. Namun,
jika saya berada di tempat yang membuat ingatan buruk
kembali itu hal yang menyakitkan, dada saya jadi berdebar-
debar, kepala pusing, emosi, dan lain-lain.
4. Bagaimana perlakuan pasangan terhadap saudara?
Saya tidak memiliki pasangan.
5. Bagaimana perlakuan orang-orang di media sosial terhadap
saudara?
Saya memiliki teman yang senasib dengan saya di Facebook,
saya jadi merasa tidak sendirian. Kebanyakan dari kami
menyembunyikan, tetapi kalau di Facebook kami terbuka.
Karena kebanyakan orang-orang memberikan kami stigma
yang buruk. Hanya ke sesama kami saling mengerti.
Pemulihan
1. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
keluarga?
Alhamdulillah, sekarang saya merasa senang ketika ada
bersama keluarga. Keluarga saya sudah mulai dapat
memahami keadaan saya.
2. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
teman sekolah / kerja / rumah?
Karena saya sekarang bekerja sendirian di masjid, jadi saya
merasa biasa saja. Tidak terlalu banyak teman yang saya temui.
Page 133
3. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dalam
lingkungan sekolah / kerja / rumah?
Terkadang saya merasa malas untuk berinterkasi dengan orang
lain. Saya lebih suka menyendiri dan berbicara jika diperlukan
saja.
4. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
pasangan?
Saya tidak memiliki pasangan.
5. Bagaimana perasaan saudara ketika berinteraksi dengan
menggunakan media sosial?
Dengan media sosial saya merasa senang, karena di Facebook
saya menemukan orang-orang yang senasib dengan saya.